Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 15


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 15



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dalam keadaan setengah sadar menghadapi antara mati dan hidup itu, sedapat mungkin Hi Giok-hoan menarik napas panjang, lalu melompat bangun.

   Dengan Siau-yang-sin-kang yang terlatih, meski sudah lemah, tapi dapatlah ia memaksakan diri untuk bangkit.

   Ia gigit jari sendiri pula, rasa sakit itu membuat pikirannya jernih kembali.

   Saat itu Ciok Tay-yu sedang membalut luka tangannya, segera Giok-hoan membentak.

   "Nah, sekarang bolehlah kita satu lawan satu, hayo majulah!"

   Namun The Yu-po menjadi jeri, hanya dari jauh ia melontarkan dua kali pukulan. Sedangkan Ciok Tay-yu menjadi murka setelah selesai membalut luka, bentaknya.

   "Keparat, biar kumampuskan kau!"

   Dan baru saja akan menerjang maju, tiba-tiba lututnya terasa kesemutan seperti digigit nyamuk, ia jatuh terduduk.

   Saat itu The Yu-po sudah dapat melihat keadaan Giok-hoan yang payah, tapi pada saat yang sama mendadak Ciok Tay-yu jatuh terduduk tanpa sebab, seketika ia menjadi ragu-ragu lagi, ia tidak tahu mesti menyerang musuh saja atau menolong kawan lebih dulu.

   Segera Hi Giok-hoan bermaksud melarikan diri saja sebelum lawan menyerang pula.

   Tapi tiba-tiba seorang membentaknya.

   "Hendak lari kemana kau, bocah she Hi, inilah aku ada di sini!"

   Kiranya Ham-khong Tojin sudah keluar lagi setelah tidak menemukan seorang pun di dalam rumah, dengan rasa mendongkol yang tak terlampiaskan segera ia hendak melabrak Giok-hoan.

   Namun belum suaranya lenyap, tiba-tiba seorang bersuara nyaring telah menanggapinya.

   "Hm, kau Tosu busuk ini tidak tahu malu, tiga orang mengerubuti seorang yang terluka. Ini hadapi aku lebih dulu di sini!"

   Lalu muncullah seorang nona jelita dari semak-semak sana, siapa lagi dia kalau bukan Le Say-eng yang datang hendak mencari Hi Giok-hoan."

   Menurut perkiraan Le Say-eng, tentunya Hi Giok-hoan masih berbaring tak bisa berkutik karena sakitnya, tak tersangka setibanya di tempat tujuan dilihatnya Giok-hoan sedang menempur Ciok Tay-yu dan The Yu-po dengan sengit, ia menjadi girang dan kuatir pula.

   Ia pikir Hi Giok-hoan pasti paham lwekang dari aliran yang baik, kalau tidak, mana mampu bertahan oleh serangan Jit-sat-ciang Kiong Cau-bun, bahkan sekarang sanggup bertempur melawan dua orang yang kelihatan tangkas sekali.

   Munculnya Le Say-eng secara mendadak membikin Ham-khong Tojin terkejut juga, tapi ia pun tidak mengacuhkan lagi setelah mengetahui pendatang ini cuma seorang perempuan muda saja.

   Segera ia berseru kepada kawannya.

   "The Yu-po, kau bekuk saja budak itu, budak ingusan begitu tentunya kau mampu membereskannya!"

   Dalam pada itu Ciok Tay-yu telah berbangkit dengan menahan rasa sakit, bentaknya kepada Le Say-eng.

   "Budak busuk, kau yang mencurangi aku bukan? Ini, rasakan golokku!"

   Kiranya lutut Ciok Tay-yu tadi telah terkena sebuah Bwe-hoa-ciam, jarum yang sangat lembut, untung jarum ini tidak berbisa sehingga tidak membawa akibat buruk kecuali membuat gerak-geriknya kurang leluasa saja.

   Dan habis terkena jarum lembut itu segera Le Say-eng muncul, maka tanpa sangsi lagi Ciok Tay-yu tahu si nona yang menyerangnya dengan jarum itu.

   Dasar watak Ciok Tay-yu memang berangasan, tentu saja ia menjadi murka setelah kena jarum itu.

   Maka begitu melompat bangun segera ia menerjang ke arah Le Say-eng.

   Ham-khong Tojin menjadi malu juga oleh olok-olok Le Say-eng tadi, seperti kaum angkatan tua, terpaksa ia berlagak kereng dan mendengus,"Bocah she Hi, asal kau tidak lari, sebentar aku hendak tanya kau dan takkan membikin susah padamu.

   Tay-yu, boleh kau bekuk sekalian anak dara itu."

   Ciok Tay-yu mengiakan, lalu membentak.

   "Budak busuk, lebih baik kau menyerah saja bilamana kau tidak ingin kubekuk batang lehermu!"

   Sedangkan Hi Giok-hoan lantas mengucapkan terima kasih kepada Le Say-eng yang telah membantunya, segera ia bermaksud menghadang Ciok Tay-yu yang hendak melabrak Le Say-eng. Namun Ham-khong Tojin telah membentaknya.

   "Kurangajar! Suruh kau jangan sembarangan bergerak, kenapa kau bergerak pula!"

   Berbareng ia jemput sebuah batu kecil terus disambitkan.

   Seperti Ciok Tay-yu tadi, dengan tepat lutut Hi Giok-hoan juga tertimpuk oleh batu kecil itu dan jatuh terduduk.

   Rupanya serangan Ham-khong Tojin itu sengaja dipamerkan kepada Le Say-eng.

   Tapi dengan mengejek nona itu telah berolok-olok.

   "Huh, menyerang orang yang sudah terluka, hebat benar kau Tosu busuk ini!"

   "Budak busuk, kau berani mengoceh? Kau mau menyerah atau tidak?"

   Bentak Ciok Tay-yu dengan gusar.

   "Hm, kau punya kepandaian apa, berani suruh aku menyerah? Kau menggunakan Ku-gi-to, agaknya kau orang Ciok-keh-ceng dari Tay-beng-hu yang terkenal?"

   Jengek Le Say-eng.

   "Baiklah, boleh coba saja gunakan golokmu, lihat saja apa mampu melukai aku?"

   "Kurangajar! Agaknya kau sudah bosan hidup!"

   Teriak Ciok Tay-yu dengan murka, goloknya diangkat dan segera ia membacok.

   "He, he, boleh kau coba dulu!"

   Jawab Le Say-eng sambil menyambut serangan orang. Di tengah berkelebatnya sinar golok, mendadak terpancar pula cahaya emas yang menyilaukan. Ham-khong terkejut dan berseru.

   "Awas, Tay-yu!"

   Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Tay-yu merasa pergelangan tangannya kaku kesemutan, entah dengan cara bagaimana ternyata Le Say-eng dapat menyampuk goloknya ke samping, bahkan dengan cepat luar biasa golok bergigi itupun sudah dirampas oleh nona itu.

   Bahwasanya Le Say-eng dapat menyampuk golok dengan tangan tanpa terluka, hal ini membikin Ham-khong Tojin melongo kaget.

   Sekonyong- konyong teringat satu orang olehnya, diam-diam ia membatin apakah mungkin nona ini adalah anak perempuan orang itu? Dalam pada itu Le Say-eng telah melemparkan golok rampasannya itu ke tanah, katanya sambil tertawa.

   "Golokmu ini tak dapat melukai aku, buat apa dipakai lagi?"

   Keruan Ciok Tay-yu mati kutu dan berdiri terpaku melongo di tempatnya. The Yu-po tidak tinggal diam, segera ia menerjang maju sambil membentak.

   "Budak busuk, rasakan pukulanku ini!"

   "Wah, yang kau latih tentunya Hoa-hiat-to bukan? Agaknya kau ini murid si tua Sebun Bok-ya,"

   Kata Le Say-eng dengan tertawa.

   "Eh, apa kau tidak tahu bahwa gurumu sekali pun tak berani kurangajar padaku, kau ini apa, berani kau main gila padaku? Memangnya kau kira Hoa-hiat-to yang kau latih setengah-tengah ini mampu melukai aku?"

   Sebenarnya Le Say-eng tidak pernah menginjak daerah Tiong-goan, tentang asal-usul berbagai ilmu silat di Tiong-goan hanya didengarnya dari sang ayah, konon duapuluhan tahun yang lalu Sebun Bok-ya pernah terjungkal di tangan ayahnya, makanya dia berani omong besar.

   Sudah tentu The Yu-po tidak percaya pada ocehannya, segera ia balas mendengus.

   "Hm, memang Hoa-hiat-to yang kulatih ini belum sempurna, boleh saja kau mencobanya."

   Mendadak terdengar suara "Plak", kedua tangan beradu, Le Say-eng tenang saja, sebaliknya The Yu-po tergetar mundur dua-tiga tindak.

   "Ini, boleh kau berkenalan pula dengan ilmu pukulanku!"

   Seru Le Say- eng, segera kedua tangannya bergerak cepat, laksana kupu-kupu menyusuri semak bunga saja dia berputar di sekeliling The Yu-po dengan serangan kilat.

   Sebenarnya kepandaian The Yu-po juga tidak lemah, tapi lantaran Hoa- hiat-to tidak mampu melukai Le Say-eng, pula dia menjadi silau oleh cahaya emas yang terpencar dari gerakan kedua tangan si nona, gerak ilmu pukulan yang aneh ini sungguh belum pernah dilihatnya.

   Maka baru beberapa jurus.

   "plok", dengan tepat pundak kanan The Yu-po telah kena digebuk satu kali. Kiranya Le Say-eng memakai sepasang sarung tangan pusaka yang terbuat dari benang emas putih, warnanya menyerupai kulit manusia, kalau tidak diperhatikan memang sukar dibedakan. Sarung tangan itu kebal oleh tajamnya golok atau pedang, dengan sendirinya juga tidak gentar terhadap pukulan tangan The Yu-po yang berbisa itu. Lantaran pundaknya kena pukul, walaupun tulang pundak tidak sampai cidera, tapi rasa sakitnya sudah tidak kepalang. The Yu-po menjerit dan roboh terguling-guling beberapa meter jauhnya untuk menjaga kalau si nona memburunya lagi. Setelah mengalahkan dua lawan secara enteng, dengan senang Le Say- eng lantas menantang Ham-khong pula. Tapi Ham-khong hanya mendengus saja, ia jemput sepotong batu kecil, tapi diremasnya beberapa kali, ketika ia membuka tangannya, maka berhamburanlah bubuk batu seperti tepung yang halus. Katanya.

   "Nona cilik, kepandaianmu memang lumayan, tapi kalau ingin mengalahkan aku mungkin perlu berlatih beberapa tahun lagi. Bukannya aku jeri padamu, soalnya kulihat ilmu silatmu seperti pernah kukenal. Coba katakan terus terang, Beng-sia-tocu Le Kim-liong pernah apamu?"

   Kiranya dahulu Ham-khong Tojin pernah melihat Le Kim-liong dan kenal sarung tangan yang dipakai Le Say-eng itu, pula ilmu pukulan yang dimainkan Le Say-eng lapat-lapat juga seperti Lok-eng-ciang-hoat Beng-sia- tocu yang pernah dilihatnya.

   Le Say-eng sendiri juga terkejut setelah menyaksikan lwekang meremas batu yang diperlihatkan Ham-khong Tojin tadi, diam-diam ia harus mengakui memang sukar baginya untuk mengalahkan Tosu itu.

   Cuma dari nadanya agaknya si Tosu rada jeri kepada ayahnya.

   Maka dengan angkuh ia pun menjawab.

   "Ya, Beng-sia-tocu adalah ayahku, kau mau apa?"

   Ham-khong terkejut, katanya.

   "Apakah ayahmu juga datang?"

   "Ayah minta Oh-hong-tocu membawa aku pesiar ke Tiong-goan sini, beliau segera pula akan menyusul ke sini, apakah kau ingin menemui beliau?"

   Kata Say-eng.

   Bahwasanya Oh-hong-tocu muncul kembali di dunia Kang-ouw, Le Say- eng menduga Sebun Bok-ya, Cu Kiu-bok dan gembong iblis lain tentu sudah mendapat kabar, maka Ham-khong yang menjadi begundal mereka itu tentu pula sudah tahu.

   Karena itu Le Say-eng sengaja berdusta untuk menggertaknya.

   Padahal Ham-khong sendiri merasa segan setelah mengetahui Le Say-eng adalah puteri kesayangan Le Kim-liong, apalagi ditambah Oh-hong-tocu, tentu saja dia tak berani mengganggunya.

   Maka ia menjadi gugup dan lekas pergi saja daripada cari penyakit terhadap Beng-sia-tocu dan Oh-hong-tocu yang terkenal ganas tanpa kenal ampun itu.

   Segera ia berkata.

   "Maafkan kalau aku tidak tahu Kok Siau-kokcu adalah teman baik nona, di hadapan ayahmu dan Kiong To-cu harap nona suka menyampaikan salamku."

   Habis itu ia lantas membentak kepada The Yu-po dan Ciok Tay-yu berdua.

   "Kalian berdua rupanya sudah buta sehingga berani main gila ke sini, hayo lekas ikut aku pergi!"

   Ciok Tay-yu dan The Yu-po juga bisa melihat gelagat, tanpa bicara lagi mereka lantas mengeluyur pergi bersama Ham-khong Tojin seperti anjing mencawat ekor.

   Diam-diam Le Say-eng bersyukur dapat mengenyahkan lawan-lawan kuat itu, kemudian dia mendekati Hi Giok-hoan untuk memeriksa lukanya.

   Wajah pemuda itu kelihatan pucat seperti mayat dan mandi keringat, malahan ubun-ubunnya seakan-akan menguapkan kabut tipis.

   Le Say-eng menjadi kuatir melihat luka Hi Giok-hoan yang tidak enteng itu.

   Tapi ia pun kagum terhadap lwekang pemuda yang kuat itu, padahal baru sebulan Giok-hoan terkena Jit-sat-ciang, sekarang terluka pula oleh Hoa- hiat-to, tapi masih mampu bertahan, sungguh tenaga dalamnya harus dipuji.

   "Terima kasih atas bantuan nona, sungguh aku....."

   Sambil bicara Giok- hoan berusaha berbangkit. Cepat Le Say-eng menahan pemuda itu agar berduduk saja, katanya.

   "Sudahlah, kau perlu mengaso dulu, biar aku mengobati lukamu."

   Tapi setelah memegang nadi Giok-hoan, ia merasa keadaan pemuda itu cukup payah, walaupun dalam waktu singkat jiwanya mungkin tidak perlu dikuatirkan, tapi untuk menyembuhkan luka pukulan Hoa-hiat-to itu rasanya tidaklah gampang, padahal dia sudah membual di hadapan Kong-sun Bok, katanya pasti mampu menyembuhkan Hi Giok-hoan, sekarang dia menjadi bingung sendiri.

   Melihat si nona rada ragu, Giok-hoan lantas berkata.

   "Di kamarku ada satu guci arak Pek-hoa-ciu, harap kau....."

   "Baiklah, akan kuambilkan,"

   Sela Le Say-eng, ia tahu Pek-hoa-ciu itu sangat baik untuk menyembuhkan luka pukulan Jit-sat-ciang, tapi entah manjur tidak untuk luka pukulan Hoa-hiat-to.

   Ketika dia keluar lagi dengan membawa guci arak yang dimaksud, ternyda Giok-hoan sudah jatuh pingsan dan sukar disadarkan.

   Walaupun lemah napasnya, tapi tidak sampai putus.

   Dengan bingung dan cemas Say-eng menunggui Hi Giok-hoan yang tak sadarkan diri itu.

   Akhirnya timbul pikirannya buat mencekoki pemuda itu dengan Pek-hoa-ciu, ia pikir mungkin arak itu dapat menyadarkannya.

   Ketika guci arak itu dibuka, seketika bau harum arak masuk hidung.

   Tiba- tiba pikiran Le Say-eng tergerak pula.

   Teringat olehnya cerita ayahnya tentang akibat "Cau-hwe-jip-mo", kalau Pek-hoa-ciu ini dapat menyembuhkan racun Siu-lo-im-sat-kang dan Jit-sat-ciang yang maha dingin, bukan mustahil akan mujarab juga untuk menyembuhkan penyakit akibat Cau-hwe-jip-mo.

   Apalagi dari kejadian itu, tampaknya yang dilatih Hi Giok-hoan adalah lwekang dari golongan Cing-pay, mungkin sekali inti Lwekang yang ingin dipelajari sang ayah dapat diperoleh pula dari pemuda ini.

   Baru berpikir demikian sampai di sini, tiba-tiba dua orang berlari masuk ke situ, yang satu berseru kuatir memanggil "Siau-kokcu" (majikan muda) dan yang lain menegur Le Say-eng.

   Kiranya kedua orang itu adalah hamba keluarga Hi.

   Mereka menjadi ketakutan dan bersembunyi ketika mendengar suara pertempuran di dalam taman tadi, setelah keadaan sunyi dan tenang kembali barulah merasa berani keluar lagi.

   Le Say-eng memberitahukan bahwa majikan mereka terluka berat dan dirinya sedang berusaha mengobatinya, tapi tampaknya sukar untuk sembuh dalam waktu singkat, sedikitnya perlu waktu setahun dan setengah tahun.

   Kedua budak itu tidak sangsi akan keterangan Le Say-eng itu, mereka sudah biasa menyaksikan majikan bergaul dengan orang-orang Kang-ouw.

   Tapi mereka lantas memberitahu bahwa suasana di sekitar Yang-ciu kini telah mulai rusuh, gembong bajak di lembah Tiang-kang, yaitu Su Thian-tik, kini telah menerima kepangkatan dari pihak Mongol dan diangkat menjadi raja muda dan menguasai sepanjang lembah sungai itu.

   Api peperangan dalam waktu singkat mungkin akan menjalar tiba pula, maka berbahaya sekali bilamana luka sang majikan tak dapat sembuh dalam waktu singkat.

   Menurut keterangan kedua hamba tua itu, kaum budak keluarga Hi yang lain telah dibubarkan oleh Hi Giok-hoan, hanya tinggal mereka saja yang ditugaskan menjaga rumah.

   Setelah mendengar uraian mereka, seketika Le Say-eng mendapatkan suatu gagasan, yaitu hendak membawa Hi Giok-hoan ke Beng-sia-to, hal ini sebenarnya sudah terpikir olehnya sejak tadi, cuma dia masih ragu-ragu, kini dia merasa ada alasan yang tepat untuk membawa Giok-hoan ke pulau kediamannya itu.

   Maka ia lantas berkata kepada kedua hamba tua itu.

   "Sebagai sahabat baik majikan kalian, bila kalian percaya padaku, biarlah kubawa majikan muda kalian ini ke suatu tempat yang aman untuk mengobati penyakitnya dan kalian boleh tinggal di sini untuk menjaga rumah."

   Daripada nanti harus mengungsikan majikan mereka yang terluka parah itu, kini ada tetamu majikan yang akan merawat dan membawanya ke tempat yang aman, tentu saja kedua budak tua itu sangat senang dan segera menyatakan persetujuan mereka.

   Begitulah dalam keadaan tidak sadar, entah sudah lewat berapa lama, akhirnya Hi Giok-hoan mulai bisa merasakan sesuatu.

   Dalam keadaan samar-samar ia merasa tubuhnya seperti terombang-ambing di awang-awang, sebentar naik, sebentar turun.

   Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang berkata di tepi telinganya.

   "Sekarang kau sudah siuman, Hi-kongcu!"

   Perlahan-lahan Hi Giok-hoan membuka matanya, tertampaknya seorang nona jelita berduduk di sampingnya, rasanya seperti sudah dikenalnya.

   "Siapa kau?"

   Tanya Giok-hoan dengan melenggong. Nona itu mengikik tawa, jawabnya.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memangnya begitu cepat kau melupakan diriku?"

   Terasa angin laut meniup, Giok-hoan menghirup udara segar dalam- dalam, pikirnya mulai jernih kembali, sekonyong-konyong ia ingat apa yang sudah terjadi, serunya.

   "He, kiranya kau adalah nona yang telah menyelamatkan diriku itu, untuk itu aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Apakah kawanan Tosu itu sudah kau kalahkan dan lari?"

   "Mereka telah kugebah lari,"

   Jawab Le Say-eng.

   "Pantas juga jika kau lupa padaku, kau sudah tidur selama tiga hari tiga malam!"

   "Tiga hari tiga malam?"

   Giok-hoan menegas dengan terkejut.

   "Tempat apakah ini? Eh, rasanya seperti di atas kapal?"

   "Benar, kita memang berada di atas kapal,"

   Kata Say-eng dengan tertawa.

   Kiranya Le Say-eng telah membeli sebuah kapal layar yang cukup besar, kapal ini asalnya milik seorang saudagar di Yang-ciu, lantaran suasana kacau maka kapal pesiar itu telah dijual dengan harga murah.

   Perlengkapan kapal itu cukup mewah, Le Say-eng telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga mirip sebuah rumah keluarga hartawan.

   Kalau saja tidak terdampar oleh ombak, tentu Giok-hoan takkan merasa berada di atas kapal.

   Kemudian Le Say-eng menceritakan apa yang didengarnya dari kedua budak tua tentang suasana di lembah Tiang-kang yang kacau oleh pergolakan api perang, ditambah lagi kerusuhan yang ditimbulkan oleh gerombolan bajak laut Su Thian-tik, ia mengutarakan pula maksudnya membawa Giok- hoan ke suatu tempat yang aman untuk mengobati lukanya.

   Giok-hoan memang sudah mengetahui kekacauan di lembah Tiang-kang itu, maka ia pun tidak kaget mendengar cerita Le Say-eng, ia menghela napas dan berkata.

   "Aku merasa tidak tenteram karena telah banyak menambah kerepotan kepada nona? Sungguh aku tidak tahu cara bagaimana berterima kasih atas kebaikanmu ini?"

   "Terus terang apa yang kulakukan atas dirimu ini adalah atas permintaan kawanku,"

   Tutur Say-eng.

   "Dia mengetahui kau terluka oleh Jit-sat-ciang Oh- hong-tocu, maka aku diminta menyembuhkan kau sedapat mungkin."

   "Siapakah kawan yang kau maksud itu?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Kong-sun Bok,"

   Jawab Say-eng.

   "Nona Kiong yang berada bersama dia itu adalah sahabat karibku."

   "O, kiranya dia,"

   Tutur Giok-hoan.

   Ia pikir kalau Kong-sun Bok berada di sini, tentu luka Hoa-hiat-to yang dideritanya ini tak perlu dikuatirkan.

   Namun Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun sedang pergi ke Kim-keh-nia, darimana mereka mengetahui apa yang kualami ini? Le Say-eng seperti paham pikirannya, segera ia pun berkata pula.

   "Kau jangan kuatir, meski lukamu tak dapat diobati, tapi ayahku pasti sanggup menyembuhkan kau."

   "Ya, sampai saat ini aku belum tahu nama nona yang harum? Entah ayah nona kaum Cianpwe yang manakah?"

   Tanya Giok-hoan. Say-eng memberitahukan namanya sendiri, lalu menyambung.

   "Ayahku bernama Le Kim-liong, tinggal di Beng-sia-to di lautan timur."

   Giok-hoan tidak kenal tokoh macam apakah Le Kim-liong itu, cuma ia yakin orang tentu seorang kosen yang tak terkenal mengingat anak perempuannya juga selihai ini. Kemudian ia pun bertanya.

   "Jadi kita ini sedang menuju ke rumahmu di Beng-sia-to?"

   "Benar,"

   Jawab Say-eng.

   "Pemandangan alam Beng-sia-to indah permai, kau pasti akan menyukainya. Kau baru siuman dan perlu mengaso lagi. Jangan banyak bicara dulu, tidurlah!"

   Terpikir untuk jangka waktu lama akan berpisah dengan kawan-kawan di daratan Tiong-goan, mau tak mau Giok-hoan menjadi sedih.

   Beberapa hari kemudian, dengan Siau-yang-sin-kang yang dilatih Giok- hoan, ditambah lagi Pek-hoa-ciu yang bagus, walaupun lukanya belum sembuh seluruhnya, namun semangatnya sudah pulih beberapa bagian, dia sudah dapat keluar ke geladak kapal untuk melihat pemandangan laut.

   Suatu hari, ketika Le Say-eng asyik bercerita tentang macam-macam kehidupan ikan di lautan, tiba-tiba ia bersuara heran sambil memandang jauh ke depan sana.

   Waktu Giok-hoan juga memandang ke sana, tertampaklah di kejauhan ada sebuah kapal besar, pada lautan kapal itu seperti terpancang sebuah bendera hitam.

   "Kapal apakah itu?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Bendera kapal itu berlukiskan tengkorak, jelas kapal bajak laut, sebaiknya kita menghindari saja,"

   Kata Say-eng. Entah kapal bajak itu tidak melihat kapal yang lebih kecil ini atau merasa tidak berharga untuk dirompak, maka dalam sekejap saja kapal bajak itu pergi jauh di tengah ombak samudera yang besar. Maka legalah hati Say-eng.

   "Nona Le, dengan kepandaianmu, hanya kapal bajak laut begitu saja kenapa mesti takut? Mungkin aku yang membikin susah padamu,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Terima kasih atas penghargaanmu atas diriku,"

   Kata Say-eng.

   "Sesungguhnya kepandaianku juga terbatas, bilamana kapal bajak itu mau membikin susah kita, mungkin aku pun sukar menghadapinya."

   Kiranya kapal bajak laut bukan sembarangan bajak laut, tapi bajak laut yang terkenal dan disegani, pemimpin bajak itu bernama Kiau Sik-kiang, ilmu silatnya sangat tinggi.

   Gerombolan bajak itu berjumlah tidak banyak, selain Kiau Sik-kiang, di bawahnya terdapat lima orang Thau-bak yang memimpin tiga buah kapal bajak, anak buahnya juga cuma dua atau tigaratus orang saja.

   Walaupun jumlah anak buahnya tidak banyak, tapi sasaran yang mereka tuju selalu kapal-kapal dagang luar negeri yang berhubungan dagang dengan Tiongkok.

   Padahal kapal dagang luar negeri umumnya dikawal dengan persenjataan lengkap, bajak biasa saja pasti tidak berani mengganggunya.

   Le Say-eng pernah mendengar cerita ayahnya, pada suatu hari gerombolan bajak itu bermaksud mendarat di Beng-sia-to dan bermaksud bercokol di situ sebagai sarang mereka.

   Sudah tentu ayahnya melarang keinginan kawanan bajak itu dan terjadilah pertarungan sengit, akhirnya Kiau Sik-kiang kalah satu jurus, sejak itu kapal bajak mereka tidak berani lewat di Beng-sia-to dan sekelilingnya.

   Waktu itu Le Say-eng baru berumur satu tahun, jadi peristiwa itu sudah duapuluhan tahun yang lalu.

   Karena itu diam-diam Le Say-eng bersyukur bahwa kapal bajak laut itu tidak mendekati kapalnya, kalau saja Kiau Sik-kiang berada di kapal bajak itu, tentu dia takkan tinggal diam bila mengetahui Say-eng adalah puteri Le Kim-liong yang pernah mengalahkannya itu.

   Hi Giok-hoan sendiri tidak tahu asal-usul kapal bajak itu, dengan sendirinya tidak ada soal baginya, apalagi kapal bajak itu kini sudah menghilang di kejauhan.

   Sementara itu sudah dekat senja, pemandangan laut tampak gilang- gemilang tertimpa cahaya sang surya di ufuk barat.

   Selagi kedua orang itu terkesima akan pemandangan indah itu, tiba-tiba Le Say-eng melihat Giok- hoan mengerut kening, air mukanya yang cerah tadi tiba-tiba berubah murung.

   "Eh, tanpa sebab kenapa kau menjadi sedih, apa yang kau pikirkan lagi?"

   Tanya Say-eng.

   "Aku menjadi teringat kepada kawan-kawanku, sayang aku tidak dapat berada bersama mereka,"

   Jawab Giok-hoan.

   "Kau sangat menitik-beratkan persahabatan, sungguh harus dipuji,"

   Kata Say-eng.

   "Pantas kawanmu juga sangat baik padamu. Aku menjadi menyesal, sejak dilahirkan belum pernah mendapatkan seorang teman yang karib."

   "Katanya kau dan nona Kiong adalah teman karib seperti saudara sekandung saja,"

   Kata Giok-hoan.

   "Persahabatan kami memang cukup baik, tapi waktu itu kami sama-sama masih kecil, namun juga dapat dikatakan persahabatan kami sudah karib,"

   Ujar Say-eng. Giok-hoan termenung sejenak, katanya kemudian.

   "Aku juga punya seorang adik perempuan, entah dia berada dimana kini."

   "Kau sangat memikirkan dia,"

   Tanya Say-eng.

   "Kasih sayang kakak beradik, mana dapat aku tidak menguatirkan dia?"

   Ujar Giok-hoan.

   "Kami berpisah di Lok-yang ketika kota itu sedang genting, kukira dia sudah pulang lebih dulu, ternyata sampai saat ini aku tidak memperoleh kabarnya sedikit pun."

   "Sungguh aku akan sangat bahagia bilamana mempunyai seorang kakak sebaik kau,"

   Kata Say-eng sambil menghela napas.

   "Tapi kau jangan kuatir, aku mengetahui jejak adik perempuanmu."

   "Hah, kau tahu jejaknya?"

   Giok-hoan menegas dengan girang dan terkejut.

   "Betulkah ucapanmu? Kau pernah bertemu dia?"

   "Ya, aku bertemu adik perempuanmu tidak jauh di tepi selatan Hong- ho,"

   Kata Say-eng.

   "Tapi kau tidak kenal dia, darimana kau tahu dia adalah adik perempuanku?"

   "Aku kenal teman lelaki yang berada bersama dia itu....."

   "Hah, jadi dia sudah bertemu dengan Kok Siau-hong!"

   Sela Giok-hoan dengan girang dan kejut.

   "Kau juga kenal Kok Siau-hong?"

   Sekali ini giliran Le Say-eng yang merasa heran, jawabnya.

   "Kok Siau- hong siapa? Aku tidak kenal."

   "Habis siapakah yang berada bersama adik perempuanku itu?"

   "Sin Liong-sing, murid pewaris Kang-lam-tayhiap Bun Yat-hoan."

   "Sin Liong-sing?"

   Giok-hoan merasa nama ini sudah pernah didengarnya.

   Sejenak kemudian ia pun ingat nama itu pernah disebut oleh The Yu-po tempo hari, yaitu pemuda yang hendak dicari oleh Ham-khong Tojin bertiga ketika mereka menyantroni rumahnya.

   Dari ucapan mereka itu seakan-akan Sin Liong-sing adalah kekasih adik perempuannya yang sengaja dibawa pulang ke rumah.

   Diam-diam Giok-hoan membatin apa yang dikatakan The Yu-po itu tentu juga ada dasarnya, maka ia lantas tanya Say-eng.

   "Kau bertemu dengan mereka di tepi Hong-ho, lalu mereka pergi kemana, apakah kau tahu?"

   "Sebagai murid Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, saat ini mereka tentu sudah kembali ke daerah selatan sana,"

   Ujar Say-eng.

   "Aku pun tidak terlalu kenal Sin Liong-sing, dahulu dia pernah ikut gurunya berkunjung ke Beng- sia-to dan cuma tinggal semalam saja di sana, waktu itu aku masih kecil, maka perkenalan kami hanya sepintas lalu saja."

   Giok-hoan menjadi sangsi, ia tahu adik perempuannya pintar dan cerdik, mengapa sekali ini bertindak secara kurang wajar? Dengan berjalan bersama pemuda she Sin itu, apakah tidak mungkin menimbulkan salah paham Kok Siau-hong? "Sin Liong-sing itu tentunya bakal iparmu bukan? Kulihat mereka sangat mesra, tentunya kau tidak perlu menguatirkan dia lagi,"

   Kata Le Say-eng kemudian.

   "Tidak, bukan, kau salah sangka,"

   Jawab Giok-hoan dengan perasaan kuatir.

   "Tapi aku memang merasa lega setelah mendapat sedikit kabar tentang adik perempuanku."

   "Dia bukan bakal iparmu? Sungguh aneh,"

   Kata Say-eng pula.

   "Ah, kau sendiri yang tidak paham perasaan kaum muda-mudi. Pikir saja, bilamana adik perempuanmu tidak ada hubungan erat dengan Sin Liong-sing, masakah dia mau menempuh perjalanan jauh dengan dia berduaan saja."

   Habis berkata demikian ia menjadi rikuh sendiri teringat bahwa dirinya juga sedang menempuh perjalanan berdua saja bersama Hi Giok-hoan, apakah hal inipun berarti dirinya ada maksud tertentu kepada pemuda ini? Teringat demikian, tanpa terasa mukanya menjadi merah.

   Giok-hoan sendiri sedang masgul, maka perubahan air muka Say-eng itu tidak diperhatikan olehnya.

   Tiba-tiba Le Say-eng menengadah dan bersuara kuatir, waktu Giok-hoan tanya ada apa, nona itu menjawab bahwa melihat tanda awan tebal di langit, sebentar lagi mungkin akan berjangkit angin puyuh.

   Benar juga, tidak lama kemudian mendadak angin keras mulai meniup, gelombang mulai mendampar dan bergelora seperti bukit tingginya.

   Untung Le Say-eng cukup mahir pegang kemudi, kapal layar mereka dapat terhindar dari damparan ombak yang dahsyat itu.

   Setelah ombak rada tenang kembali, ternyata arah kapal mereka mendapatkan angin buritan sehingga laju kapal mereka meluncur dengan cepat.

   Selang dua hari, di depan sana tertampaklah sebuah pulau yang menghijau permai.

   "Kita sudah sampai di rumah, entah betapa ayah akan bergirang melihat kepulanganku ini,"

   Kata Say-eng dengan gembira.

   "Hi-toako, apakah kau sudah dapat berjalan?"

   "Tenagaku sudah banyak pulih, kukira tidak berhalangan untuk berjalan,"

   Kata Giok-hoan.

   Setelah menepi, mereka lantas meninggalkan kapal mereka dan mendarat.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pemandangan alami pulau itu sungguh sangat indah, bunga dan tetumbuhan yang bagus dan aneh tidak kalah banyaknya daripada Pek-hoha- kok.

   Maka tiada hentinya Hi Giok-hoan memuji tempat yang baik ini.

   "Kukira kau dapat merawat penyakitmu di sini dengan tenang,"

   Ujar Say- eng dengan tertawa. Lalu ia membawa Giok-hoan menyusuri semak-semak menuju ke tengah pulau. Tidak jauh tiba-tiba dia bersuara heran seperti teringat kepada sesuatu.

   "Ada apakah?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Apakah di pulau ini ada ular berbisa?"

   "Di pulau ini tidak ada ular, cuma aku menjadi rada kuatir kedatangan buaya."

   "Buaya? Masakah buaya dapat mendarat jauh ke sini, bukankah hidup buaya di dalam air?"

   "Buaya yang kumaksudkan adalah kapal bajak yang kita temukan tempo hari itu."

   "Kepandaian ayahmu maha hebat, memangnya perlu takut lagi kepada bajak segala?"

   "Anak buah ayah ada ratusan orang, aku menjadi heran setelah sekian jauhnya kita belum disambut seorang pun,"

   Kata Say-eng.

   "He, kau dengar sesuatu tidak?"

   Waktu Giok-hoan pasang telinga, sayup-sayup dari arah barat-laut sana memang ada suara orang.

   Segera Le Say-eng menarik Giok-hoan menuju ke arah sana, setelah memasuki sebuah hutan, tertampak seorang tua memapak mereka dan menegur dengan girang dan kejut.

   "He, Sio-cia sudah pulang, tuan ini....."

   "Dia adalah kawanku,"

   Jawab Say-eng.

   "Dimanakah ayah....."

   "Kebetulan sekali pulangmu ini, Sio-cia,"

   Kata budak tua itu "To-cu sedang menghadapi kawanan musuh yang tangguh di sana."

   "Apakah gerombolan Kiau Sik-kiang itu?"

   Tanya Say-eng.

   "Benar, mereka sedang berhadapan di lapangan depan sana, To-cu melarang kami mendekat ke sana,"

   Tutur si budak tua.

   "Hi-siangkong ini kuserahkan padamu, dia sedang sakit, kau harus melindungi dia dengan baik,"

   Kata Say-eng kemudian.

   "Hi-toako, biar aku melihatnya ke sana."

   Budak tua itu rada kecewa, tadinya dia mengira pemuda yang datang bersama sang Sio-cia ini tentu bala bantuan yang tangguh, siapa tahu seorang sakit malah yang perlu penjagaan.

   Waktu Say-eng menerobos ke sana, dilihatnya di tengah semak pohon itu tersembunyi para centing yang setia dan patuh kepada Beng-sia-tocu.

   Walaupun sang majikan melarang orang mendekati lapangan, tapi mereka tidak berani tinggal pergi, tapi bersembunyi di sekitar sini untuk menjaga segala kemungkinan.

   Di tengah lapangan rumput sana Say-eng melihat ayahnya sedang berhadapan dengan beberapa orang.

   Terdengar suara orang yang keras dan kasar sedang berkata.

   "Le To-cu, orang she Kiau dahulu pernah menerima hadiah satu kali pukulanmu, sekarang aku merasa sudah ada sedikit kemajuan, maka sengaja datang buat membalas budimu."

   "Kau tidak perlu banyak omong, bagaimana maksudmu, bicara saja terus terang,"

   Jawab Le Kim-liong.

   "Kami berenam saudara telah berlatih sejenis kepandaian, entah berguna atau tidak, maka kami sengaja datang minta belajar kepada kepandaian Le To-cu yang hebat,"

   Kata Kiau Sik-kiang.

   "Bukan maksud kami hendak main kerubut, soalnya ilmu yang kami latih ini harus enam orang maju sekaligus, sebab itu silakan Le To-cu juga maju enam jago sekaligus, biar kita coba-coba belajar kenal kepandaian masing-masing."

   Padahal di Beng-sia-to hanya Le Kim-liong saja yang lihai, kawanan budaknya juga mahir ilmu silat, tapi untuk menghadapi jago silat kelas tinggi sudah tentu bukan tandingannya.

   Sebab itulah tantangan Kiau Sik-kiang untuk enam orang lawan enam kedengarannya memang adil, tapi sesungguhnya memang berniat main keroyok.

   Le Kim-liong menjadi murka, ia sengaja bergelak tertawa, katanya.

   "Karena sasaran kedatangan kalian adalah diriku, biarlah aku sendiri saja yang menyambut ilmu kepandaian kalian. Kalah atau menang biar kutanggung sendiri dan tiada sangkut-pautnya dengan orang lain di Beng- sia-to ini."

   Mendengar itu, diam-diam Le Say-eng berkuatir, pikirnya.

   "Kedatangan musuh sudah dipersiapkan lebih dulu, melulu ayah sendiri mungkin sekali akan repot melayani mereka."

   Dalam pada itu terdengar Kiau Sik-kiang telah mendengus.

   "Aha, jika begitu, jadi kau sendirian yang akan menghadapi kami berenam?"

   "Benar, ingin kulihat ilmu lihai apa yang telah kalian yakinkan?"

   Jawab Le Kim-liong.

   "Bagus!"

   Seru Kiau Sik-kiang sambil mengacungkan ibu jarinya.

   "Melihat sifat kesatriamu ini biarlah kami cuma membikin penyelesaian saja dengan dirimu dan pasti takkan mengganggu anak buahmu."

   "Hm, masih terlalu pagi bagimu untuk bicara begitu,"

   Jengek Beng-sia- tocu Le Kim-liong.

   "Sudahlah tidak perlu banyak omong, lihat seranganku ini!"

   Habis berkata, dengan cepat luar biasa ia terus menubruk maju, sebelah tangannya lantas menghantam muka Kiau Sik-kiang.

   "Bagus!"

   Seru Kiau Sik-kiang sambil mengelak, berbareng ia pun balas menghantam dengan pukulan dahsyat "Tay-si-pi-jiu".

   Ia merasa kekuatannya selisih tidak jauh dengan Beng-sia-tocu, asalkan saling gebrak beberapa jurus secara keras, bila kepungan mereka berenam semakin merapat, akhirnya mereka pasti akan menang.

   Akan tetapi Beng-sia-tocu tak membiarkan dirinya dipermainkan orang, begitu mulai segera dia menggunakan gerak cepat.

   Baru saja pukulan Kiau Sik-kiang dilontarkan, mendadak bayangan Beng-sia-tocu sudah menghilang dari depannya.

   Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Beng-sia-tocu sudah menggeser ke sana, tahu-tahu sudah berhadapan dengan seorang laki-laki brewok.

   Laki-laki brewok ini bernama Ciong Bu-pa, di antara mereka berenam, ilmu silat Ciong Bu-pa hanya di bawah Kiau Sik-kiang saja, senjata yang dia gunakan adalah sebuah Tok-kah-tang-jin, orang-orangan berkaki satu terbuat dari tembaga.

   "Jangan temberang, orang she Le!"

   Bentak Ciong Bu-pa sambil menubruk maju. Ketika Beng-sia-tocu memapaknya dengan melontarkan suatu pukulan keras, cepat Ciong Bu-pa mengelak ke samping, berbareng Tok-kah-tang-jin terus menyodok ke "Tiau-goan-hiat"

   Di lutut lawan. Beng-sia-tocu terkesiap akan ketangkasan lawan yang mampu menotok Hiat-to dengan senjata berat itu. Cepat telapak tangannya memotong miring ke bawah.

   "plok", boneka tembaga lawan yang berat itu kena disampuk ke samping. Menyusul tangan Beng-sia-tocu yang lain terus menghantam pula. Betapa pun cepatnya Ciong Bu-pa berkelit juga pundaknya terkena pukulan itu dan tergentak mundur beberapa langkah. Diam-diam Beng-sia-tocu merasa sayang bahwa pukulannya itu kurang tepat dan tidak menghancurkan tulang pundak musuh. Serang menyerang itu terjadi dengan amat cepat, baru saja Kiau Sik-kiang menerjang maju pula, tiba-tiba terasa angin berkesiur. Beng-sia-tocu sudah mendahului menyerang pula dari samping. Tanpa pikir Kiau Sik-kiang acungkan jarinya untuk menotok "Lo-kiong- hiat"

   Di tengah telapak tangan Beng-sia-tocu. Akan tetapi mendadak Beng-sia-tocu membentak.

   "Kena!" ~ Serentak tubuhnya berputar, seketika bayangan pukulannya berkelebat laksana beratus-ratus banyaknya dan menyilaukan mata, Kiau Sik-kiang merasa dari segenap penjuru melulu bayangan pukulan Beng-sia-tocu belaka. Senang sekali Le Say-eng menyaksikan itu, diam-diam ia memuji kehebatan ilmu pukulan Lok-eng-ciang-hoat sang ayah. Entah kapan aku baru dapat mencapai kepandaian sehebat ayah itu? Tampaknya Kiau Sik- kiang pasti bukan tandingan ayah. Demikian pikirnya. Kiau Sik-kiang juga tahu gelagat jelek, lekas kedua tangannya berputar cepat dengan kuat, ia bertahan sepenuh tenaga, bila perlu ia sudah siap untuk tamat bersama lawannya. Dan baru saja Beng-sia-tocu hendak melancarkan serangan maut, tiba- tiba dari belakang menyambar angin tajam, kiranya Ciong Bu-pa dan keempat kawannya telah menerjang maju sekaligus. Beng-sia-tocu sedikit menggeser, sebelah tangannya terus menghantam dua Thau-bak yang menerjang tiba itu, ketika kedua orang itu menangkis bersama serangan itu, kedua Thau-bak lainnya cepat mengurubut juga, tapi Beng-sia-tocu dapat memaksa mundur mereka dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai. Namun Ciong Bu-pa dan Kiau Sik-kiang kembali menubruk tiba pula. Diam-diam Beng-sia-tocu terkejut, tak tersangka olehnya bahwa beberapa Thau-bak gerombolan bajak Kiau Sik-kiang itupun begitu lihai, ia merasa keadaan dirinya benar-benar berada dalam bahaya. Sebenarnya kepandaian keempat Thau-bak itu selisih rada jauh dengan Beng-sia-tocu, soalnya ilmu tempur yang mereka latih itu dimainkan enam orang bersama secara serentak dan dapat bekerja sama dengan rapat, Kiau Sik-kiang yang berkepandaian paling tinggi adalah tulang punggung barisan serangan mereka, lalu Ciong Bu-pa membantunya dari samping dengan kerja sama kawan-kawannya, keempat orang itu terbagi dua pasangan dan harus menggempur dari kanan kiri, asal salah satu pasangan itu mampu menahan satu kali serangan Beng-sia-tocu, segera pasangan yang lain balas menyerang dan dengan demikian Beng-sia-tocu menjadi sukar untuk membobol barisan serangan mereka. Setidaknya keempat Thau-bak itupun tergolong jago pilihan, meski selisih jauh bila dibanding Beng-sia-tocu, tapi untuk menahan satu kali serangannya terang masih mampu. Sedangkan kepandaian Beng-sia-tocu memang lebih unggul setingkat ketimbang Kiau Sik-kiang, tapi dengan gabungan Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa yang dapat bekerja sama dengan rapat, mau tak mau Beng-sia-tocu akan terdesak di bawah angin, apalagi sekarang Kiau Sik-kiang berenam maju seluruhnya dengan barisan serangan yang rapat, dengan sendirinya Beng-sia-tocu menjadi kewalahan melayani mereka. Setelah pihaknya berada di atas angin, dengan bergelak tertawa Kiau Sik- kiang lantas mengejek.

   "Ha, ha, kepandaian kami ini sesungguhnya bukan apa-apa, tapi untuk membobol barisan kami ini mungkin tidaklah mudah bagimu."

   Keruan Beng-sia-tocu sangat mendongkol, segera ia membentak.

   "Baik, biar aku mengadu jiwa dengan kalian. Asal aku dapat membunuh seorang saja sudah kembali modal, bunuh dua orang berarti untung!" ~ Dengan mata mendelik segera ia melancarkan serangan mematikan. Nampak ketangkasan musuh, betapa pun keempat Thau-bak yang berkepandaian lebih rendah itu menjadi jeri.

   "Tahan saja, jangan bingung, kepung dia!"

   Bentak Kiau Sik-kiang untuk memberi dorongan semangat kepada kawan-kawannya.

   Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa menghadapi Beng-sia-tocu dari depan, keempat kawannya ikut menyerang dari kedua sayap secara bergilir.

   Dalam keadaan demikian ilmu pukulan Beng-sia-tocu menjadi kurang efektif, sesudah belasan jurus tak dapat melukai lawan, tanpa terasa dahi Beng-sia- tocu mulai keluar keringat, tenaga pun mulai lemah.

   Le Say-eng menjadi kuatir, tanpa menghiraukan rintangan si budak tua tadi, cepat ia melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru.

   "Terima pedang ini, ayah!"

   Pedang Say-eng itu asalnya adalah pemberian sang ayah, tajamnya luar biasa, maka selarik sinar hijau segera melayang ke tengah kalangan pertempuran.

   Segera Kiau Sik-kiang melompat ke atas hendak merampas pedang itu, namun Beng-sia-tocu lantas menghantam sambil membentak.

   "Boleh rasakan dulu pukulanku ini!"

   Karena tertolak oleh tenaga pukulan Beng-sia-tocu, pedang itu meluncur langsung ke arah Kiau Sik-kiang. Keruan Kiau Sik-kiang terkejut dan tidak berani menangkapnya dengan kekerasan, cepat ia mengegos, maka terdengarlah suara "trang"

   Yang nyaring, pedang itu membentur boneka tembaga Ciong Bu-pa dan terpental balik, kebetulan dapat ditangkap oleh Beng-sia-tocu dengan tepat.

   Dengan senjata di tangan, segera Beng-sia-tocu memperlihatkan kesaktiannya, seketika serangannya membadai ke arah musuh.

   Ciong Bu-pa bertahan dengan boneka tembaganya, terdengar suara "trang-tring", tak terputus-putus disertai berhamburannya bubuk tembaga, dalam sekejap saja tubuh boneka tembaga itu sudah penuh luka.

   Sayang, betapa pun Beng-sia-tocu harus menghadapi enam lawan tangguh, bersenjata pedang pusaka, untuk permulaan dia dapat mendesak musuh, tapi lama kelamaan kembali dia kerepotan, kepungan barisan serangan musuh juga semakin rapat dan semakin menciut.

   Sudah tentu Le Say-eng tidak dapat tinggal diam menyaksikan sang ayah dalam keadaan bahaya walaupun menyadari pihak musuh terlalu kuat baginya.

   Dengan nekat segera ia berlari maju.

   "Anak Eng, kau menyingkir sana, jangan ikut!"

   Seru Beng-sia-tocu.

   "Tidak ayah, mati atau hidup biar kita ayah dan anak berada bersama,"

   Teriak Le Say-eng.

   "Kau berani membangkang perintahku!"

   Bentak Beng-sia-tocu dengan gusar. Sedikit lengah, hampir saja ia kena dihantam oleh Kiau Sik-kiang.

   "Maaf, ayah, sekali ini anak terpaksa membangkang kata-katamu!"

   Seru Say-eng sambil melolos sebatang pedang pendek terus menyerang salah seorang Thau-bak itu.

   Pedang pendek itu adalah senjata mendiang ibunya, tajamnya juga luar biasa.

   Dalam hal Ginkang Le Say-eng tidaklah lemah, sebab itu dia mengutamakan bertempur dari jarak dekat dengan senjata pendek itu, tipu- tipu serangannya menjadi lebih ganas, mau tak mau Thau-bak yang diserang tadi terpaksa melompat mundur.

   "Ha, ha, biar kupenuhi cita-citamu yang ingin berbakti pada orang tua ini!"

   Seru Kiau Sik-kiang dengan tertawa sambil mencengkeram Le Say-eng. Namun di tengah berkelebat pedangnya segera Beng-sia-tocu barengi pula satu pukulan keras ke arah Kiau Sik-kiang, sedang pedangnya tetap menusuk Ciong Bu-pa, serunya pula.

   "Anak Eng, gunakan kelincahanmu, hindarkan keunggulan musuh dan serang kelemahannya!"

   Ia pun kenal watak anak perempuannya yang kepala batu itu, kalau sudah tidak dapat dicegah kemauannya, terpaksa ia memberi petunjuk cara bertempur.

   Kiau Sik-kiang dapat mematahkan pukulan Beng-sia-tocu, tapi Le Say-eng juga sempat melompat ke samping sehingga cengkeraman Kiau Sik-kiang mengenai tempat kosong, hanya dadanya terasa sesak juga seperti kena digodam satu kali, nyata tidak kepalang dahsyat pukulan Kiau Sik-kiang itu.

   Begitulah Le Say-eng lantas menghindari keras lawan keras, tapi terus berkisar kian kemari di antara keenam musuh dengan gerakan yang lincah.

   Dengan kerja sama ayah dan anak itu, kedudukan mereka dapatlah diperbaiki, tapi untuk membobol kepungan serangan musuh belumlah semudah itu.

   Akhirnya Le Say-eng merasakan tenaganya mulai payah, ketika boneka tembaga Ciong Bu-pa menyabet ke pinggangnya, cepat Say-eng berkelit ke samping, ia menerobos lewat di antara senjata dua orang Thau-bak, hanya sedikit lambat saja, di bawah berkelebatnya sinar golok, tahu-tahu secomot rambutnya telah terpapas tanpa dirasakannya.

   Melihat itu, si budak tua yang menjaga Hi Giok-hoan tadi sampai menjerit.

   Tentu saja Hi Giok-hoan tidak tahan menyaksikan keadaan itu, sekonyong-konyong ia berlari keluar dari tempat sembunyinya dan memburu ke tengah kalangan pertempuran.

   "Lekas mundur kau!"

   Seru Say-eng kuatir.

   "Ting-toasiok, lekas seret dia kembali ke sana!"

   Belum lenyap suaranya, salah seorang Thau-bak lawan telah menyambitkan tiga buah pisau, dua pisau mengincar Hi Giok-hoan, satu pisau menyambar ke arah si budak tua yang sedang menyusul Giok-hoan sebagaimana diperintahkan Le Say-eng.

   Waktu itu si budak tua sedang memburu Giok-hoan sambil berteriak.

   "Kembali Hi-siangkong! Kembali lekas, lek....."

   Belum selesai ucapannya, tiba-tiba pisau musuh sudah menembus tenggorokannya, dia terguling bermandikan darah.

   Sedang Hi Giok-hoan telah putar pedangnya, sekali bergerak ia sampuk jatuh kedua batang pisau musuh.

   Dengan mengertak gigi ia terus menerjang ke dekat Le Say-eng.

   Meski dalam keadaan sakit, tapi lantaran mempunyai dasar latihan Siau- yang-sin-kang yang kuat, dalam keadaan kepepet, secara otomatis Hi Giok- hoan mengeluarkan segenap kemahirannya sehingga melebihi batas kemampuannya di waktu biasa.

   Keadaan demikian serupa orang yang terancam bahaya kebakaran dan terkepung di dalam rumah, dalam keadaan kepepet orang dapat menerjunkan diri dari ketinggian yang biasanya tidak mungkin berani dilakukannya, dan seringkali terjadi di luar dugaan bahwa terjun dari ketinggian yang luar biasa itu tidak menimbulkan luka baginya.

   Begitulah saat itu Kiau Sik-kiang sedang mencengkeram pula ke arah Le Say-eng, sedang pedang Beng-sia-tocu kebetulan tertahan oleh boneka tembaga Ciong Bu-pa sehingga tidak sempat membantu anak perempuannya.

   Le Say-eng menjadi cemas, tampaknya segera dia akan tercengkeram oleh tangan musuh.

   Untunglah Hi Giok-hoan mendadak membentak keras, dengan cepat pedangnya menusuk ke belakang Kiau Sik-kiang.

   Sebagai ahli silat kelas wahid, dari sambaran angin senjata itu Kiau Sik- kiang tahu penyerangnya bukan jago silat sembarangan, dia terkesiap heran bahwa di Beng-sia-to masih ada jago silat selihai itu.

   Dengan sendirinya dia harus menyelamatkan diri lebih dulu, maka cengkeraman atas diri Le Say- eng terpaksa dibatalkan, tangannya menyelentik ke belakang.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"trang", pedang Giok-hoan kena dipentalkan. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa, dengan serangan berantai tiga kali Beng-sia-tocu telah mendesak mundur Ciong Bu-pa, secepat kilat dia menerjang lagi ke arah Kiau Sik-kiang. Untuk ini terpaksa Kiau Sik-kiang harus melayaninya dengan penuh perhatian sehingga tidak sempat lagi melancarkan serangan maut terhadap Hi Giok-hoan.

   "Kenapa kau tidak pikirkan dirimu!"

   Seru Say-eng girang-girang kuatir.

   "Kau yang menyelamatkan jiwaku ini, paling-paling kukorbankan bagimu kan juga pantas?"

   Jawab Giok-hoan.

   Sebagai pemuda yang tulus hati dan berjiwa kesatria, apa yang terpikir lantas diucapkannya, sama sekali Giok-hoan tidak peduli apakah ucapannya akan menimbulkan salah paham orang lain atau tidak.

   Apalagi di tengah pertempuran sengit, mana dia sempat menimbang hal-hal begitu.

   Alangkah senang dan bahagia rasa hati Le Say-eng mendengar ucapan Giok-hoan itu, diam-diam ia merasa tidak percuma telah menolong jiwa pemuda itu, nyatanya dia adalah pemuda yang luhur budi dan punya perasaan.

   Sementara itu Hi Giok-hoan juga terjeblos dalam kepungan musuh, dengan mengertak gigi Le Say-eng lantas menerjang maju dan berseru.

   "Hi- toako, aku sangat berterima kasih padamu. Baiklah, biar kita bertempur sejajar, hidup atau mati biarlah bersama."

   Mendengar anak perempuannya memanggil pemuda tak dikenal itu sebagai "Hi-toako", Beng-sia-tocu menjadi melengak. Serunya kemudian.

   "Anak Eng, dia bukan Kong-sun Bok?"

   "Bukan, dia adalah Hi Siau-kokcu dari Pek-hoa-kok, anak sengaja membawanya pulang untuk dikenalkan kepada ayah,"

   Jawab Say-eng. Dia hanya dapat menjawab secara singkat saja, seluk-beluk pertemuannya dengan Hi Giok-hoan dengan sendirinya belum sempat diuraikan secara jelas. Dalam hati Beng-sia-tocu berpikir.

   "Agaknya anak Eng telah penujui pemuda ini, apa boleh buat kalau memang sudah jodoh. Keluarga Hi dari Pek-hoa-kok juga terkenal sebagai keluarga persilatan, rasanya masih setimpal juga mendapatkan besan keluarga ternama itu."

   Sementara itu Kiau Sik-kiang telah mengejek dengan menyeringai.

   "Baiklah, biar kuantar kalian bertiga ayah beranak dan calon mantu menuju ke akhirat untuk berkumpul selamanya!"

   Ia anggap Hi Giok-hoan pastilah menantu Beng-sia-tocu, padahal di antara mereka hakikatnya belum saling kenal. Muka Giok-hoan menjadi merah, tapi ia pun tidak sempat untuk membantah. Dengan tertawa Beng-sia-tocu lantas berseru.

   "Anak perempuanku yang baik, kau memang bermata tajam, pilihanmu memang tidak keliru! Sekali pun jiwa ayahmu harus melayang juga takkan kubiarkan kawanan bajak ini melaksanakan keinginan mereka!"

   Begitulah Beng-sia-tocu terus bertempur dengan penuh semangat, pedangnya menusuk ke sana dan menabas ke sini disertai pula dengan pukulan tangan kiri yang kuat.

   Lantaran gerak-geriknya belum leluasa, Hi Giok-hoan berusaha bertahan di tempatnya saja, ia menghalau setiap serangan musuh, pedangnya berputar secepat kitiran.

   Tapi dia masih sakit, betapa pun tidak tahan lama oleh kerubutan musuh.

   Maka setelah belasan jurus pula, akhirnya dia merasa payah.

   Le Say-eng merasa berterima kasih dan berkuatir pula bagi Hi Giok-hoan, melihat keadaan pemuda itu, ia menjadi nekat dan ikhlas pula untuk gugur bersama seorang kawan sejati yang baru dikenalnya ini.

   Begitulah pihak Kiau Sik-kiang kembali berada di atas angin, garis kepungan mereka mulai sempit pula.

   Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara suitan orang yang nyaring panjang memekakkan telinga.

   Kiau Sik-kiang terkejut, waktu ia memandang ke sana, tertampak seorang kakek berjubah hijau telah berada di dekat situ.

   Kakek berjubah hijau ini bukan lain daripada Oh-hong-tocu Kiong Cau- bun.

   Munculnya secara mendadak ini membikin Kiau Sik-kiang berenam terperanjat.

   Lantaran tidak kenal maksud kedatangannya, Giok-hoan juga tergetar oleh kedatangan Oh-hong-tocu itu.

   "Ha, ha, ha, kedatanganku ini sungguh sangat tepat waktunya!"

   Seru Oh- hong-tocu dengan tertawa.

   "He, he, ilmu silat Beng-sia-tocu yang tiada bandingannya, kepandaian Kiau-heng dan Ciong-heng yang maha hebat, semuanya sangat berharga untuk ditonton. He, he, ha, ha, sungguh beruntung sekali aku dapat menyaksikan tontonan bagus ini!"

   Dia anggap pertarungan mati-matian antara kedua pihak itu sebagai tontonan yang menyenangkan, nadanya seakan-akan dia hanya ingin menonton saja dan tidak membantu pihak mana pun juga.

   Kiau Sik-kiang cukup kenal watak Oh-hong-tocu yang culas dan ganas, semula dia terperanjat oleh kemunculannya itu, ia menjadi kuatir kalau iblis itu membantu Beng-sia-tocu mengingat mereka ada hubungan persahabatan yang kekal, jika demikian halnya, maka pihaknya berenam pasti akan celaka.

   Tapi ia menjadi lega mendengar nada Oh-hong-tocu yang tidak bermaksud membantu salah satu pihak itu, ia pikir asalkan Oh-hong-tocu hanya menonton saja, maka kemenangan pasti berada di pihaknya.

   Namun segera terpikir oleh Kiau Sik-kiang.

   "Jangan-jangan iblis tua yang culas ini sengaja membiarkan kami dua pihak dalam keadaan payah dan hancur, habis itu dia yang menarik keuntungan nanti?"

   Dalam pada itu Le Say-eng telah berseru kepada Oh-hong-tocu.

   "Kiong- pepek, kau jangan cuma menonton belaka!"

   Tapi pada waktu itu Kiau Sik-kiang juga berseru.

   "Oh-hong-tocu, pada zaman ini hanya kepandaian Beng-sia-tocu saja yang dapat dijajarkan dengan kau, apakah kau tidak ingin menjagoi dunia dengan menumpasnya pada kesempatan yang bagus ini?"

   Oh-hong-tocu hanya tertawa saja dan tidak menanggapinya, katanya.

   "Ehm, boleh juga perhitunganmu yang muluk-muluk ini. Cuma aku masih harus menimbangnya lebih dulu, entah usulmu ini berharga tidak bagiku?"

   "Paman Kiong, memangnya kau sudah lupa cara bagaimana berhasilnya Jit-sat-ciang yang kau latih?"

   Seru Say-eng pula dengan kuatir.

   "Betapa pun harus ingat hubungan baik kita dan jangan mau dihasut oleh mereka."

   "He, he, aku memang harus berterima kasih, memang ayahmu telah banyak membantu aku sehingga Jit-sat-ciang berhasil kuyakinkan,"

   Jawab Oh-hong-tocu dengan mendengus.

   "Jangan sembarangan omong, anak Eng!"

   Bentak Beng-sia-tocu.

   "Kiong- heng, kau tentu kenal watakku yang tidak ingin menerima budi kebaikan orang. Jika kau mau membantu aku, kebaikanmu akan kuterima, tapi hal ini harus timbul dari lubuk hatimu sendiri secara suka rela, sekali-kali aku tidak memaksa kau berbuat demikian. Tapi kalau kau berbalik hendak mencelakai aku pada kesempatan ini, maka aku pun tidak nanti bertekuk lutut padamu!"

   Ucapan Beng-sia-tocu ini cukup angkuh, tapi di balik keangkuhan inipun bernada mengharapkan bantuan Oh-hong-tocu. Cepat Kiau Sik-kiang berseru pula.

   "Oh-hong-tocu, asalkan kau membantu pihak kami, maka setiap benda yang berada di Beng-sia-to ini adalah bagianmu semua, sedikit pun kami tidak akan mengambilnya, yang kami inginkan cuma jiwa Le Kim-liong melulu. Selain itu kami bersedia pula mempersembahkan dua kapal barang-barang berharga bagimu."

   "Ha, ha, ha, tidak sedikit jumlahnya hadiah yang kau sediakan bagiku ini!"

   Seru Oh-hong-tocu dengan tertawa.

   "Paman Kiong, apakah kau ingin tahu jejak anak perempuanmu?"

   Le Say- eng ikut berseru.

   "Apakah kau juga ingin tahu berita yang menyangkut kitab pusaka ilmu racun yang kau harapkan itu?"

   "O, barangkali inilah suapan yang kau hendak berikan padaku bukan?"

   Kembali Oh-hong-tocu bergelak tertawa.

   "He, he, mengenai kedua hal itu, ya, bagiku memang sangat penting!"

   Sampai di sini, tiba-tiba sorot matanya beralih ke arah Hi Giok-hoan, lalu katanya pula dengan tertawa.

   "Ehm, kepandaian bocah ini lumayan juga, tidak tersangka jiwanya bisa selamat setelah terkena Jit-sat-ciang. Cuma keponakanku Say-eng yang manis, ada suatu hal yang membingungkan aku. Dimanakah bocah yang bersama kau tempo hari itu? Kenapa sekarang sudah berganti bocah ini?"

   "Paman Kiong, lekas kau bantu membereskan kawanan bajak ini, habis itu baru dapat kuceritakan padamu,"

   Seru Say-eng.

   "Kubantu kau membereskan mereka, tapi, nanti kawanmu yang baik ini berbalik akan menuntut balas padaku!"

   Ujar Oh-hong-tocu dengan acuh tak acuh.

   "Tidak, tidak bisa jadi!"

   Kata Say-eng.

   "Baik, untuk ini aku ingin dia berjanji sendiri padaku bahwa sesudah urusan beres, maka dia harus terserah padaku untuk mengaturnya!"

   Kata Oh- hong-tocu. Hi Giok-hoan menjadi gusar, teriaknya.

   "Seorang laki-laki sejati lebih baik mati daripada bertekuk lutut minta ampun kepada orang! Jika kau takut aku menuntut balas padamu, maka kesempatan bagus ini boleh kau gunakan untuk membunuh diriku!"

   "Bagus, bagus! Sungguh lelaki sejati!"

   Dengus Oh-hong-tocu.

   "Betul, begitulah memang tidak malu sebagai menantuku!"

   Seru Beng- sia-tocu. Karena masih sakit, setelah bertempur sekian lamanya keadaan Hi Giok- hoan sudah payah, kini pikirannya sedang kacau, Kiau Sik-kiang sedang menyerangnya pula dengan mencengkeram, cepat Giok-hoan ayun pedangnya untuk menangkis.

   "trang", pedang Giok-hoan tergetar mencelat ke udara oleh tenaga pukulan musuh. Syukur pada saat berbahaya itu Beng-sia-tocu telah memperlihatkan kepandaiannya yang maha hebat, dari samping ia kebut lengan bajunya, tubuh Giok-hoan terangkat ke atas dan terlempar pergi beberapa meter jauhnya sehingga terhindar dari cengkeraman maut Kiau Sik-kiang. Oh-hong-tocu sempat melompat maju dan menangkap tubuh Hi Giok- hoan sehingga pemuda itu tidak sampai terbanting ke tanah. Karena getaran tenaga pukulan lawan, keadaan Giok-hoan sudah tidak sadar lagi. Le Say-eng terkejut dan berseru kuatir.

   "Paman Kiong, kau boleh menonton dan tidak membantu kami, tapi jangan kau mencelakai dia!"

   Setelah meletakkan Hi Giok-hoan di sebelahnya dan menotok Hiat-to pemuda itu, Oh-hong-tocu berkata.

   "Baiklah, Le-heng, mengingat hubungan kita, adalah pantas kalau aku membantu kau. Cuma untuk itu kau harus menerima suatu syaratku, bilamana nanti aku tanya sesuatu kepada Say-eng, dia harus menjawab sejujurnya dan tidak boleh bohong sedikit pun."

   "Baik, paman Kiong, aku berjanji,"

   Sela Say-eng. Sebaliknya Beng-sia-tocu hanya mendengus saja, katanya.

   "Selama hidupku aku tidak suka diperas orang!"

   "Nah, kau dengar, Oh-hong-tocu, orang ini tidak tahu kebaikan orang, lebih baik kau berdiri di pihak kami saja,"

   Seru Kiau Sik-kiang. Tapi mendadak Oh-hong-tocu membentaknya.

   "Kiau Sik-kiang, lekas kau enyah dari sini!"

   "Aneh, kenapa pikiranmu berubah mendadak?"

   Seru Kiau Sik-kiang dengan bingung.

   "Hm, persahabatanku dengan Le To-cu masakah dapat kau pecah belah begitu saja? Kau dengar tidak kataku, lekas enyah dari sini!"

   Bentak pula Oh- hong-tocu. Berbareng itu ia terus menerjang ke tengah kalangan pertempuran, kontan ia menghantam.

   "Plok", kedua tangan beradu dengan keras, Oh-hong-tocu terhuyung mundur dua tindak, sedangkan Kiau Sik-kiang hanya tergeliat saja, namun urat-urat hijau di dahinya tampak menonjol besar. Tampaknya seperti Kiau Sik-kiang lebih unggul dalam gebrakan itu, tapi sebenarnya dia mengeluh dalam hati. Maklumlah, Kiau Sik-kiang menggunakan pukulan dahsyat Tay-ciu-pi-jiu, dalam hal tenaga pukulan dia memang lebih kuat daripada Oh-hong-tocu, tapi Jit-sat-ciang lawannya itu berbisa, Kiau Sik-kiang telah menyambut pukulan berbisa itu secara keras lawan keras, keruan seketika dadanya terasa sesak dan mual, seperti orang yang makan kekenyangan dan mabuk, ingin muntah, tapi sukar ditumpahkan. Namun lwekang Kiau Sik-kiang juga cukup tinggi, setelah mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga dalam, akhirnya rasa sesak dan mual tadi dapat dipunahkan sebagian besar. Tapi dalam hati ia pun menyadari bahwa setelah menempur Beng-sia-tocu sekian lamanya, baginya sekarang paling banyak hanya sanggup menahan tiga jurus serangan Jit-sat-ciang musuh, lebih dari itu terang tidak mampu. Dalam pada itu Oh-hong-tocu telah membalik ke sana, pukulannya dilontarkan ke arah Ciong Bu-pa. Cepat Ciong Bu-pa angkat boneka tembaganya untuk menangkis, ia pikir betapa pun lihainya pukulanmu yang berbisa juga tak dapat mencapai tubuhku. Tak terduga meski Jit-sat-ciang yang berbisa itu memang tidak mengenai tubuhnya, namun angin pukulan yang berbau amis memuakkan itu telah menyambar ke mukanya, padahal kekuatan Ciong Bu-pa lebih lemah daripada Kiau Sik-kiang, terpaksa ia menahan napas agar tidak menyedot hawa berbisa itu. Dalam keadaan demikian tentu saja ia sangat payah, dengan ketakutan lekas Ciong Bu-pa melompat keluar kalangan dan menjauhi musuh, habis itu barulah dia menarik napas panjang untuk menghirup udara segar. Pada waktu dua jago utama pihak musuh sedang sibuk menghadapi Oh- hong-tocu, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Beng-sia-tocu, ia membentak keras, sekali ulur tangannya, kontan dua orang Thau-bak bawahan Kiau Sik-kiang kena dicengkeramnya laksana anak ayam saja, menyusul lawannya diputar terus dilemparkan sambil membentak.

   "Tiada harganya kubunuh kaum keroco macam kalian!"

   Dengan begini barisan tempur musuh seketika kocar-kacir, terpaksa Kiau Sik-kiang mundur teratur, katanya dengan menyeringai.

   "Baiklah, kami akan pergi dari sini seperti kehendakmu, harap kau memberi kelonggaran, Kiong To-cu."

   "Asal kau menurut aku, maka aku pun takkan membikin susah kau, nah, enyahlah kau!"

   Kata Oh-hong-tocu. Setelah Kiau Sik-kiang dan begundalnya pergi, lalu Beng-sia-tocu berkata.

   "Kiong-heng, terima kasih atas bantuanmu!"

   "Ha, ha, kau tentu tidak perlu memaki diriku lagi,"

   Ujar Oh-hong-tocu dengan tertawa.

   "Baiklah, aku pun mohon diri saja."

   "Nanti dulu!"

   Kata Beng-sia-tocu.

   "Ada petunjuk apa lagi?"

   Tanya Oh-hong-tocu.

   "Orang she Le selamanya membedakan antara budi dan dendam secara tegas, tadi kau menyatakan perlu aku berjanji sesuatu, sekarang katakanlah!"

   Oh-hong-tocu memandangnya sekejap, lalu berkata tak acuh.

   "Bukankah tadi kau sudah menolak menyanggupi syarat apa pun?"

   "Soalnya aku memang tidak suka diperas orang pada waktu kepepet,"

   Kata Beng-sia-tocu.

   "Sekarang kau telah membantu aku tanpa bicara mengenai syarat, untuk itu aku menjadi tidak enak sendiri dan pantas kalau membalas budimu."

   "Terima kasih, kukira tidak perlu,"

   Ujar Oh-hong-tocu. Habis itu mendadak ia berputar dan melompat ke sana, cepat sekali ia kempit tubuh Hi Giok-hoan.

   "Kau mau apa, paman Kiong? Lekas lepaskan dia!"

   Seru Say-eng kuatir.

   "Ha, ha, ha!"

   Oh-hong-tocu tertawa.

   "Aku tidak perlu balas budi ayahmu, tapi bocah ini kurebut dari tangan maut Kiau Sik-kiang, adalah pantas jika aku membawanya pergi sesukaku."

   Dengan mengerut kening Beng-sia-tocu berkata.

   "Kiong-heng, kau telah membantu aku, untuk itu aku berterima kasih. Tapi kau hendak membawa pergi Hi-kongcu, tindakan ini jelas kurang bijaksana, bagaimana kalau kau memberi muka lagi padaku?"

   "Le-heng, kau selalu tegas membedakan budi dan dendam, aku pun begitulah caranya,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Bocah she Hi ini ada sedikit sengketa dengan diriku, atas permintaanmu jiwanya dapat kuampuni, tapi aku harus mengurusnya di gua Oh-hong-tong, sedikit banyak dia harus merasakan penderitaan di sana."

   Oh-hong-tong adalah nama sebuah gua di pulau Oh-hong-to, suatu gua yang dalam dengan angin yang meniup dingin merasuk tulang, orang yang terkurung di dalam gua akan tersiksa lebih daripada alat siksa apa pun.

   Keruan Le Say-eng menjadi kuatir, cepat ia berkata.

   "Paman Kiong, aku kan sudah berjanji padamu, apa yang kau ingin tahu tentu akan kuberitahukan padamu asalkan kau tidak menyiksanya."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "O, jadi kau hendak berunding dengan aku?"

   Kata Oh-hong-ocu.

   "Baiklah, jika begitu aku dapat menurunkan sedikit harga yang kupasang."

   Merasa sudah terjebak, tiada jalan lain terpaksa Beng-sia-tocu mencari akal lagi, jengeknya kemudian.

   "Kiong-heng, kau tidak perlu banyak berlagak, boleh kau bicara terus terang saja, apa yang kau inginkan dariku?"

   "Coba jawab dulu, mengapa kau berkeras hendak membela bocah she Hi ini?"

   "Sebab dia adalah calon menantuku, bukankah sudah kukatakan tadi?"

   "Apa betul ucapanmu?"

   Oh-hong-tocu menegas.

   "Soal menantu mana boleh diakui secara sembrono?"

   Jawab Beng-sia- tocu dengan gusar.

   "Kukira menantumu bukanlah orang ini, apakah dia ini orang yang memakai nama palsu Kheng Tu-kan, tapi nama aslinya Kong-sun Bok?"

   Jengek Oh-hong-tocu.

   Tempo hari Le Say-eng bersama Kong-sun Bok kepergok oleh Oh-hong- tocu, agar terhindar dari keganasan Oh-hong-tocu, Le Say-eng pernah sengaja berlagak mempunyai hubungan istimewa dengan Kong-sun Bok, bahkan memberi nama palsu Kheng Tu-kan bagi Kong-sun Bok, dengan begitu barulah mereka terhindar dari kesulitan.

   Sekarang Le Say-eng menjadi kikuk mendengar pertanyaan Oh-hong-tocu, ia pikir jangan-jangan iblis ini sudah tahu duduknya perkara, jika demikian terpaksa aku harus bicara terus terang padanya.

   Beng-sia-tocu juga terkejut mendengar ucapan Oh-hong-tocu tadi, ia pun membatin.

   "Apakah mungkin dia sudah tahu aku bermaksud merebut bakal menantunya? Untunglah pemuda yang dipenujui anak Eng sekarang bukanlah Kong-sun Bok, aku menjadi enak untuk bicara, asalkan aku menyangkal pernah timbul maksud merebut menantunya, betapa pun tidak dapat menuduh aku."

   Begitulah, dia lantas berlagak gusar, katanya.

   "Kiong-heng, kau jangan sembarangan omong. Puteriku sudah mengikat janji dengan Hi-kongcu ini, tidak lama lagi mereka akan menikah."

   "Apa betul begitu?"

   Kata Oh-hong-tocu ragu-ragu.

   "Baiklah, aku ingin mendengar sendiri dari Hi-kongcu ini baru aku dapat percaya penuh."

   Lalu ia membuka Hiat-to Hi Giok-hoan yang ditotoknya tadi dan bertanya padanya.

   "Hi Siau-kokcu, coba katakan, apa hubunganmu yang sebenarnya dengan Beng-sia-tocu?"

   Padahal Hi Giok-hoan yang berlatih Siau-yang-sin-kang sejak tadi sebenarnya ia sudah berhasil membuka Hiat-to sendiri yang tertotok, cuma saja tak diketahui oleh Oh-hong-tocu.

   Dengan sendirinya apa yang dicakapkan antara Beng-sia-tocu dan Oh-hong-tocu juga telah didengarnya semua.

   Maka Giok-hoan menjadi serba salah, pikirnya.

   "Ayah nona Le sudah bertempur sekian lamanya, keadaannya tentu sudah payah, dia pasti bukan tandingan Oh-hong-tocu sekarang. Dia telah salah sangka aku sebagai bakal menantunya, tiada jalan lain, terpaksa aku pun mengakui untuk sementara saja."

   Maka waktu Oh-hong-tocu mengulangi lagi pertanyaannya, Giok-hoan pura-pura baru siuman kembali, lalu mendadak berlari ke arah Beng-sia-tocu sambil berseru.

   "Ayah mertua, tolonglah menantumu ini!"

   Mendengar kata "menantumu ini", wajah Le Say-eng menjadi merah, tapi hati terasa senang. Beng-sia-tocu bergelak tertawa kepada Oh-hong-tocu.

   "Nah, kau dengar tidak?"

   "Baik, jika begitu cukuplah kalau kau menyanggupi satu urusanku,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Urusan apa, katakanlah!"

   Ujar Beng-sia-tocu.

   "Sekarang belum teringat olehku, nanti akan kukatakan sesudah kutanyai anak perempuanmu,"

   Kata Oh-hong-tocu. Lalu ia berpaling kepada Le Say- eng.

   "Bocah yang mengaku she Kheng itu apakah Kong-sun Bok adanya?"

   "Kalau sudah tahu, perlu apa kau tanya pula?"

   Jawab Say-eng.

   "Kenapa kau mendustai aku?"

   Tanya Oh-hong-tocu.

   "Paman Kiong, justru tindakanku itu demi kepentinganmu!"

   "Apa maksudmu?"

   "Ketahuilah bahwa enci Kim-hun sudah bertemu dengan Kong-sun Bok dan telah saling mengaku suami-istri. Bahwasanya engkau hendak membikin susah bakal menantu sendiri, hal ini juga telah diketahui enci Kim-hun. Maka dari itu paman Kiong kuanjurkan agar engkau suka memikirkan kepentingan anak perempuan sendiri, janganlah melakukan hal yang merugikan orang dan merugikan diri sendiri."

   "Hm, urusanku sendiri tidak perlu kau ikut campur,"

   Jengek Oh-hong- tocu.

   "Sekarang katakan sejujurnya, kemana perginya mereka berdua?"

   "Mereka telah berangkat ke Kim-keh-nia,"

   Tutur Say-eng.

   Diam-diam Oh-hong-tocu mengeluh, ternyata betul Kim-hun juga terseret oleh Kong-sun Bok dan menggabungkan diri ke Kim-keh-nia sehingga berdiri di pihak musuhku, urusan menjadi serba runyam jadinya.

   Demikian pikirnya.

   Maklumlah, sesudah mengetahui pemuda yang mengaku she Kheng sebenarnya adalah Kong-sun Bok, maka timbul sedikit harapan Oh-hong- tocu semoga berita yang didengarnya itu tidaklah betul, dengan demikian dia dapat memungut mantu Kong-sun Bok menurut rencana semula.

   Justru alasan inilah maka dia sengaja memaksa Hi Giok-hoan mengaku sendiri sebagai menantu Beng-sia-tocu.

   "Nah, paman Kiong, apalagi yang hendak kau tanyakan padaku?"

   Kata Say-eng.

   "Kitab pusaka ilmu racun keluarga Siang itu jatuh di tangan siapa? Tadi kau bilang mengetahui hal ini,"

   Tanya Oh-hong-tocu.

   "Terus terang, kitab itu jatuh di tangan iblis tua Sebun Bok-ya,"

   Kata Say- eng. Oh-hong-tocu menjadi sangsi, katanya.

   "Keluarga Siang tidak punya anak lelaki, mengapa kitab pusaka itu tidak diwariskan kepada Kong-sun Bok sebagai cucu luar, tapi malah jatuh di tangan Sebun Bok-ya?"

   "Hal ini aku pun tidak tahu apa sebabnya,"

   Ujar Say-eng.

   "Darimana pula kau mendapat tahu bahwa kitab itu berada di tangan Sebun Bok-ya?" "Luka yang dideritanya adalah luka Hoa-hiat-to,"

   Kata Say-eng sambil menunjuk Hi Giok-hoan.

   "Hal itu terjadi sesudah lukanya terkena Jit-sat- ciangmu itu sudah hampir sembuh, lalu dia dilukai oleh The Yu-po, murid Sebun Bok-ya."

   "Apa betul ceritamu?"

   Kata Oh-hong-tocu. Mendadak ia melompat maju terus mencengkeram Hi Giok-hoan.

   "Lepaskan dia!"

   Bentak Beng-sia-tocu sambil melontarkan suatu pukulan keras.

   Tapi Oh-hong-tocu sempat membaliki sebelah tangannya sehingga serangan Beng-sia-tocu itu dipatahkan, kedua orang sama-sama tergetar mundur dua-tiga tindak.

   Diam-diam Oh-hong-tocu mengakui kelihaian Beng-sia-tocu, sesudah bertempur sengit sekian lamanya ternyata tenaga serangannya masih begini kuat.

   Sebaliknya Beng-sia-tocu tidak berhasil mencegah tertawannya Hi Giok- hoan, ia pun insyaf dirinya saat ini pasti bukan tandingan Oh-hong-tocu, maka katanya sambil mendengus.

   "Hm, bila kau bermaksud menculiknya pada saat orang sedang payah, biar aku korbankan beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini juga akan kuhalangi kau pergi dari Beng-sia-to ini."

   Ucapan Beng-sia-tocu sesungguhnya bukanlah gertak sambal belaka, kalau saja dia menjadi nekat dan sengaja mengadu jiwa, biarpun akhirnya dia tewas oleh Jit-sat-ciang, tapi Oh-hong-tocu sendiri pasti juga tak terhindar dari luka parah.

   "Le-heng, nyata kau telah salah sangka, ha, ha, ha!"

   Kata Oh-hong-tocu dengan tertawa. Lalu ia meraba luka Hi Giok-hoan, diam-diam ia menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu, terasa telapak tangannya menjadi panas, menyusul lantas terasa kaku.

   "Ya, betul, dia memang terluka oleh Hoa-hiat-to,"

   Kata Oh-hong-tocu. Habis itu lantas melepaskan Hi Giok-hoan. Kini Beng-sia-tocu baru tahu bahwa tindakan Kiong Cau-bun alias Oh- hong-tocu itu bertujuan membuktikan perkataan Le Say-eng saja.

   "Nah, menantumu sudah kuserahkan kembali, tapi apa yang kau ucapkan tadi harus kau pegang teguh,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Bilakah orang she Le pernah menjilat kembali ludah sendiri?"

   Jawab Le Kim-liong alias Beng-sia-tocu.

   "Kau ingin aku menyanggupi apa, lekas katakan!"

   "Dalam waktu setahun kau harus menyelesaikan suatu urusan bagiku,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Baik, asal aku mampu melaksanakan pasti akan kulakukan,"

   Jawab Beng-sia-tocu.

   "Andaikan tidak mampu melaksanakannya juga pasti akan kulakukan sebisa mungkin. Nah, puas tidak kau?"

   "Bagus, aku percaya kepada ucapanmu,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Cuma batas waktunya tetap diperlukan."

   "Sebenarnya bagaimana urusannya, coba katakan lebih dulu,"

   Kata Beng- sia-tocu.

   "Dalam waktu yang kuberikan itu, kau harus merebut kembali bagiku kitab pusaka ilmu racun keluarga Siang yang kini berada di tangan Sebun Bok-ya itu!"

   Kata Oh-hong-tocu dengan perlahan. Diam-diam Beng-sia-tocu menimbang.

   "Kepandaian Sebun Bok-ya bukanlah kelas kampungan, apalagi kabarnya dia berkomplot pula dengan Cu Kiu-bok, maka aku harus bersedia menghadapi mereka berdua sekaligus. Urusan ini benar-benar tidak mudah dilaksanakan. Tapi kata-kata sudah diucapkan, kalau tidak sanggup berarti akan kehilangan pamor."

   Sedang ragu-ragu, terdengar Oh-hong-tocu menjengek.

   "Le-heng, ilmu silatmu tiada bandingannya, masakah kau takut kepada tua bangka macam Sebun Bok-ya itu?"

   Karena dibakar, hati Beng-sia-tocu menjadi panas, katanya dengan gusar.

   "Kau tidak perlu membakar, pendek kata urusanmu ini pasti akan kulaksanakan. Hanya saja batas waktu setahun rasanya agak sempit sedikit."

   "Baik kuberi waktu dua kali lipat, jadi dua tahun,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Selewatnya dua tahun aku akan berkunjung pula ke sini. Nah, sekarang aku mohon diri dulu."

   Sesudah Oh-hong-tocu pergi, berkatalah Le Say-eng.

   "Ayah, Sebun Bok- ya sekarang adalah jago kepercayaan Khan Agung kerajaan Mongol, urusan ini mungkin sangat sulit terlaksana."

   "Apa yang sudah kukatakan harus kulakukan, betapa pun sulitnya juga mesti kulaksanakan,"

   Kata Beng-sia-tocu.

   "Diharap saja dalam waktu dua tahun ini aku takkan terganggu oleh penyakit Cau-hwe-jip-mo."

   "Kukira takkan terjadi. Hanya luka Hi-toako hendaklah ayah suka menyembuhkan,"

   Kata Say-eng. Beng-sia-tocu lantas pegang nadi Hi Giok-hoan dan dapat merasakan Siau-yang-sin-kang yang dilatih pemuda itu sudah mempunyai dasar yang kuat, ia menjadi girang dan berkata.

   "Sungguh mudah sekali, dalam waktu sebulan aku jamin kesehatannya akan pulih kembali."

   "Terima kasih, To-cu,"

   Kata Giok-hoan.

   "Kalian ayah dan anak begini baik padaku, sungguh aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih."

   "Sekarang kita sudah anggota sekeluarga, tidak perlu lagi kau main sungkan padaku,"

   Kata Beng-sia-tocu.

   "Sekarang juga akan kubantu kau menyembuhkan lukamu, bisa jadi kelak aku pun perlu minta bantuanmu."

   "Bila To..... Gak-hu (ayah mertua) memerlukan tenagaku, terjun ke lautan api atau air mendidih juga tak berani kutolak,"

   Kata Giok-hoan.

   "Beginilah baru mirip ucapan sesama anggota keluarga sendiri,"

   Ujar Beng-sia-tocu dengan tertawa. Diam-diam ia sangat girang, pikirnya.

   "Jika aku dapat memperoleh ajaran lwekang aliran baik dari dia, maka rintangan Cau-hwe-jip-mo yang kutakuti mungkin sekali dapat dihindarkan."

   Dalam pada itu kawanan hamba yang tadi bersembunyi di semak pepohonan sana keluar dan mengucapkan selamat kepada sang To-cu, beberapa orang di antaranya lantas mendekati Giok-hoan untuk memayangnya ketika melihat pemuda itu kelihatan letih.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalian tidak perlu mengganggu dia, aku sendiri dapat merawatnya,"

   Kata Say-eng.

   "Sebaiknya kalian menyiapkan saja sebuah kamar bagi tuan menantu kalian ini,"

   Ujar Beng-sia-tocu dengan tertawa.

   "Nah, anak Eng, kuserahkan dia padamu, aku sendiri juga ingin mengaso dulu?"

   Kawanan budak itu paham maksud sang majikan, mereka membiarkan Say-eng memayang Giok-hoan berjalan di depan, lalu mereka mengikut dari belakang dalam jarak rada jauh.

   Sesudah Say-eng membawa Giok-hoan menyusuri jalanan sepi yang penuh bunga-bungaan, dengan muka bersemu merah dia berkata.

   "Hi-toako, kau tentu tidak marah padaku bukan?"

   Giok-hoan melengak seperti tidak paham ucapan si nona, katanya.

   "Aku justru harus berterima kasih padamu, masakah malah marah padamu, kenapa mesti marah?"

   Dengan tergagap Say-eng berkata.

   "Tadi ayah salah sangka, kita..... sehingga terpaksa aku mengakui secara diam-diam. Hal ini tentu tidak pantas, apa kau marah padaku?"

   Baru sekarang Giok-hoan paham apa yang dimaksud si nona, katanya.

   "O, kiranya kau maksudkan hal ini. Mengenai hal ini yang kurang pantas sebenarnya adalah diriku. Entah..... entah bagaimana pula dengan pikiranmu?" ~ Berkata sampai di sini, tanpa terasa mukanya menjadi merah juga. Dengan menunduk Say-eng menjawab lirih.

   "Hi-toako, janganlah engkau menertawai diriku tidak tahu malu, watak ayah yang keras..... Ai, jika beliau mengetahui kita telah berdusta padanya, mungkin..... mungkin dia akan membunuh kau atau sedikitnya mengusir kau. Maka kupikir sebelum penyakitmu sembuh, biarlah kita..... kita untuk sementara mengaku sebagai..... sebagai bakal suami-istri saja."

   Hati Giok-hoan berdebar-debar, waktu ia melirik si nona, dilihatnya butiran air mata berlinang di sudut matanya dan sedang melirik pula kepadanya dengan rasa malu dan cemas pula menantikan jawabannya.

   Giok-hoan sendiri adalah pemuda yang berperasaan halus, betapa pun ia menjadi terharu, katanya.

   "Nona Le, kau begini baik padaku, mungkin selama hidupku ini sukar membalas budimu. Kalau saja kau tidak tidak mencela diriku, biarlah kita..... kita....."

   "Kita kenapa?"

   Say-eng menegas dengan suara yang hampir tak terdengar. Giok-hoan menjawab dengan tabahkan hati.

   "Biar kita menjadi menjadi suami-istri sesungguhnya saja!"

   "Ap..... Apa kau takkan menyesal!"

   Kata Say-eng dengan wajah merah.

   "Tidak, aku justru kuatir tidak sesuai menjadi suamimu,"

   Sahut Giok- hoan. Dan tanpa terasa si nona telah dirangkulnya perlahan.

   "Jangan, nanti ditertawakan oleh pelayan, silakan kau mengaso dulu, malam nanti akan kujenguk kau,"

   Kata Say-eng.

   Rupanya mereka sudah dekat dengan kamar yang disediakan untuk Hi Giok-hoan, dua orang pelayan perempuan tampak berdiri di depan pintu menyambut kedatangan mereka.

   Dengan rasa malu dan gembira pula Le Say-eng lantas pesan kedua pelayan itu untuk merawat Giok-hoan sebaik-baiknya, lalu kembali ke kamarnya sendiri.

   Sesudah tenang, Giok-hoan merasa seperti habis mimpi saja, pikirnya.

   "Sungguh mimpi pun tidak pernah kuduga akan kejadian ini. Tetapi aku takkan menyesal!"

   Lalu bayangan Han Pwe-eng berkelebat dalam benaknya, pikirnya pula.

   "Pwe-eng sudah rukun kembali dengan Kok Siau-hong, mereka memang ada janji perkawinan, maka tidak pantas jika aku menaruh harapan padanya. Hanya entah bagaimana nanti dengan nasib perjodohan Moay-moay? Rasanya Say-eng pasti tidak membohongi aku, dia bilang Moay- moay sudah ikut orang she Sin itu ke Kang-lam, ai, hal inipun tidak pernah kuduga sama sekali, semoga dia tidak tertipu orang."

   Kalau di Beng-sia-to Hi Giok-hoan sedang menguatirkan adik perempuannya dan memikirkan Han Pwe-eng serta Kok Siau-hong, maka di Kim-keh-nia juga terjadi hal yang sama, Kok Siau-hong dan Pwe-eng juga sedang menguatirkan Giok-hoan dan Giok-kun Sementara itu Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng memang sudah berada di Kim-keh-nia, pada hari pertama setibanya mereka di sana, seketika mereka menemui adegan yang serba salah dan serba kikuk.

   Sebagai Lok-lim-beng-cu, dengan sendirinya di pangkalan Hong-lay-mo-li berkumpul tidak sedikit orang gagah dunia Kang-ouw, di antaranya banyak pula yang pernah ikut mengepung Pek-hoa-kok dahulu.

   Kedua budak tua Han Pwe-eng, yaitu Tian It-goan dan Liok Hong, serta Liu Biau, si golok emas yang pernah bertempur melawan Kok Siau-hong juga berada di situ.

   Keruan saja mereka heran melihat kedatangan Han Pwe-eng disertai Kok Siau-hong, tapi sesudah heran, segera mereka menjadi gembira.

   Dengan bergelak tertawa Liu Biau lantas berkata.

   "Kiranya kalian berdua sudah rukun kembali, sungguh kami ikut bergirang, apa yang sudah terjadi tempo hari hendaklah dianggap tidak ada saja."

   "Lui-sioksiok, janganlah kau salah paham,"

   Kata Pwe-eng dengan muka merah.

   "Salah paham apa?"

   Ujar Liu Biau dengan tertawa.

   "Dapat menginsyafi kesalahan adalah perbuatan yang terpuji. Kok-siauhiap tidak malu sebagai seorang yang bijaksana, kalau dia sudah mau berpaling ke sini, kenapa mesti salah paham padanya."

   "Lui-sioksiok, bukan itu maksudku....."

   "Lalu apa maksudmu?"

   Sela Liu Biau sebelum Pwe-eng menjelaskan lebih lanjut.

   Tapi Kok Siau-hong telah menyenggolnya perlahan, maka Pwe-eng tidak segera berkata pula, ia pikir kalau urusan itu dibicarakan begitu saja tentu akan menyinggung harga diri Kok Siau-hong.

   Maka sesudah berpikir sejenak, akhirnya ia berkata pula.

   "Lui-sioksiok, urusan yang sudah lalu hendaklah jangan diungkit lagi, yang penting sampai saat ini nasib ayahku belum diketahui, maka kedatanganku ini adalah untuk minta bantuan kepada Liu-lihiap!"

   "Apa katamu?"

   Seru Liu Biau kaget.

   "Ilmu silat ayahmu maha tinggi, mana bisa mengalami sesuatu di luar dugaan."

   "Ceritanya terlalu panjang, biarlah kututurkan nanti sesudah bertemu Liu-lihiap,"

   Kata Pwe-eng.

   Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau memang memerlukan pembantu wanita yang berkepandaian tinggi, maka kedatangan Han Pwe-eng sudah tentu sangat menyenangkan dia.

   Apalagi nama Kok Siau-hong akhir-akhir ini juga sangat menonjol di dunia Kang-ouw, ia menjadi tambah girang setelah mengetahui pemuda itu adalah bakal suami Han Pwe-eng.

   Ia pun menyatakan akan bantu mencari tahu jejak ayah Pwe-eng.

   Sejak itulah Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng lantas tinggal di Kim-keh- nia, karena suaminya sedang pergi ke Ki-lian-san bersama Bu-lim-thian-kiau, maka Hong-lay-mo-li mengajak Pwe-eng tinggal sekamar dengan dia, sedang Kok Siau-hong tinggal di bagian luar.

   Sudah tentu Han Pwe-eng banyak mendapatkan petunjuk ilmu silat Hong-lay-mo-li selama tinggal bersama itu.

   Suatu hari setelah Pwe-eng berlatih pedang bersama Hong-lay-mo-li, tiba- tiba Hong-lay-mo-li bertanya padanya.

   "Konon ilmu pedang Sin Cap-si-koh sangat aneh dan sukar diukur, kau pernah menyaksikan kepandaiannya, apakah benar kenyataan sesuai dengan berita yang tersiar itu?"

   "Sungai mana dapat dibandingkan laut, bukit mana dapat dibandingkan gunung?"

   Ujar Han Pwe-eng.

   "Aku memang pernah terkesiap oleh ilmu pedang Sin Cap-si-koh yang sukar diukur itu, tapi kini bagiku kepandaiannya sudah tidak ada artinya lagi."

   Di balik ucapannya itu dia menyamakan Sin Cap-si-koh sebagai sungai dan bukit, sedang Hong-lay-mo-li disamakan sebagai laut dan gunung. Dengan tertawa Hong-lay-mo-li berkata.

   "Kau terlalu tinggi menilai diriku, sesungguhnya Sin Cap-si-ko juga seorang lawan yang tidak boleh dipandang enteng."

   "Kabarnya dia mempunyai seorang keponakan dan pernah datang ke sini?"

   Tanya Han Pwe-eng.

   "Apa kau maksudkan Sin Liong-sing? Aku justru sedang memikirkan soal ini. Apa kau pernah bertemu dengan Sin Liong-sing?"

   "Tidak, kudengar dia adalah murid pewaris Bu-lim-beng-cu daerah Kang- lam Bun Yat-hoan."

   "Benar, kedatangannya tempo hari juga atas perintah gurunya itu untuk mengadakan kontak dengan aku dan berunding tentang cara bagaimana menghadapi Tartar Mongol bersama. Sin Cap-si-koh adalah orang yang tidak jelas antara baik dan jahat, sebaliknya keponakannya itu adalah murid dari golongan baik. Cuma aku tidak tahu dia terpengaruh oleh bibinya atau tidak, maka aku menjadi rada ragu untuk percaya padanya."

   "Kalau Bun-tayhiap mengangkat dia sebagai murid pewaris, kukira tentu dapat dipercaya,"

   Ujar Pwe-eng. Dalam hati ia pun pikir kalau Hi Giok-kun benar menyerahkan dirinya kepada pemuda itu, maka pilihannya tentu orang yang dapat dipercaya. Setelah merenung sejenak, lalu Hong-lay-mo-li berkata pula.

   "Belum lama aku menerima kabar bahwa tiga jurusan pasukan Mongol yang menyerbu negeri Kim mendadak berhenti dan tidak bergerak lebih lanjut, sebaliknya ada suatu pasukan istimewa yang menyerbu wilayah Song kita, Thio Soan, panglima di kota Kay-ciu telah gugur sebagai kusuma bangsa. Selain itu bajak sungai di Tiang-kang yang terkenal, Su Thian-tik, kabarnya juga telah bersekongkol dengan pihak Mongol, situasi daerah Kang-lam menjadi genting, maka aku sedang mempertimbangkan akan mengutus satu orang untuk mengadakan kontak dengan Bun-tayhiap, sekalian mencari kabar di sana."

   "Apakah sudah ditentukan calon utusannya?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Sementara belum ada calon yang paling setimpal,"

   Kata Hong-lay-mo-li.

   Tiba-tiba timbul suatu gagasan dalam benak Han Pwe-eng, tapi lantaran ada urusan lain, maka Hong-lay-mo-li tidak membicarakan lebih lanjut dengan dia.

   Pwe-eng pikir biarlah nanti saja dibicarakan lagi kalau sudah bertemu dengan Siau-hong.

   Saat itu Kok Siau-hong sedang mondar-mandir kesepian di bawah pepohonan yang rindang di belakang gunung sambil melamun.

   Kok Siau-hong bukan lelaki yang mudah berubah pikiran, dia pernah bersumpah setia bersama Hi Giok-kun, biarpun orang mengatakan Giok- kun telah jatuh ke dalam rangkulan pemuda lain dan sedang menuju ke Kang-lam bersama Sin Liong-sing, namun cintanya terhadap nona itu masih tetap belum terlupakan.

   Di lain pihak perasaannya terhadap Han Pwe-eng yang penuh kegetiran, sejak dia mengenal Han Pwe-eng dari dekat, selain timbul hormat dan sukanya kepada nona itu, tapi terkandung pula rasa penyesalan yang mendalam.

   Pernah juga timbul pikirannya buat memulihkan ikatan jodohnya dengan Han Pwe-eng, tapi hal ini timbul karena maksudnya hendak "menebus dosa"

   Atau dia benar-benar sudah mengalihkan cintanya dari Hi Giok-kun kepada Han Pwe-eng? Soal ini pernah juga berulang ia tanyakan kepada dirinya sendiri, tapi ia sendiri pun merasa kabur dan rada bingung untuk menjawabnya.

   Apalagi sikap Han Pwe-eng yang tampaknya seperti mesra dan terkadang dingin pula, hal ini tentu saja membuatnya masgul.

   Begitulah selagi bayangan Hi Giok-kun dan Han Pwe-eng timbul tenggelam dalam benaknya serta mengusutkan pikirannya, tiba-tiba ia mendengar orang memanggilnya.

   Waktu ia menoleh, kiranya Han Pwe-eng adanya.

   "Kok-toako, tampaknya kau sedang melamun, apa yang sedang kau pikirkan?"

   Tegur Pwe-eng dengan tertawa.

   "Ah, tidak!"

   Jawab Siau-hong dengan muka rada merah.

   "Kau tidak memikirkan apa-apa, aku berbalik sedang memikirkan sesuatu,"

   Ujar Pwe-eng dengan tersenyum.

   "Kau sedang memikirkan soal apa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Kupikirkan enci Giok-kun,"

   Kata Pwe-eng.

   "Aneh, tanpa sebab-musabab mengapa kau teringat kepadanya?"

   Tanya Siau-hong heran.

   "Kok-toako, bicara sejujurnya, kau sendiri ingin bertemu dia atau tidak?"

   Tanya Pwe-eng. Siau-hong menghela napas, katanya.

   "Urusan sudah lalu, pikiran pun sudah berubah, buat apa diungkit lagi? Dia mengira aku sudah mati, bila aku mencari dan menemui dia, tentu malah akan menambah kesukaran baginya."

   Dengan tulus hati Han Pwe-eng berkata.

   "Kabar orang belum tentu betul, sebelum kau bertemu dengan dia, mana bisa jelas duduknya perkara?"

   Kok Siau-hong menjadi ragu-ragu, ia pikir jangan-jangan si nona sengaja hendak memancingnya. Katanya kemudian.

   "Ya, sesungguhnya memang ingin bertemu juga, tapi kini mungkin bukan saatnya yang tepat."

   "Tidak, justru lantaran dia mengira kau sudah meninggal, maka kau perlu menemui dia selekasnya,"

   Kata Pwe-eng.

   "Jika..... jika..... Ah, kau sendiri adalah orang pintar, tidak kukatakan tentu kau pun paham."

   Memang Kok Siau-hong paham maksudnya, jikalau Hi Giok-kun masih cinta padanya, maka munculnya tentu bisa menjernihkan kesalahpahaman, sebaliknya kalau Hi Giok-kun benar sudah berubah pikiran, maka setelah bertemu nanti segala sesuatu juga dapat dibikin jelas.

   Bukan mustahil Pwe- eng mempunyai tujuan lain, yaitu setelah keadaan dapat dijernihkan, habis itu barulah si nona dapat menentukan akan menerima cintaku atau tidak.

   Demikian pikir Siau-hong.

   Sampai di sini tanpa terasa jantung Siau-hong berdebar, ia berpaling kepada Han Pwe-eng, katanya.

   "Kau benar-benar berpikir demikian? Namun....."

   "Apa kau anggap urusan pribadi tidak boleh meninggalkan kepentingan negara?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Baik, biar kuberitahu, justru urusan ini adalah urusan negara, urusan dinas."

   "Aneh, masakah menyangkut urusan dinas segala?"

   Tanya Siau-hong heran.

   "Soalnya Liu Beng-cu sedang mencari seorang urusan untuk ditugaskan ke daerah Kang-lam,"

   Tutur Pwe-eng. Lalu ia pun menceritakan apa yang dibicarakan Hong-lay-mo-li itu dan menambahkan pula.

   "Ini adalah urusan yang penting, aku merasa kau adalah utusan yang paling tepat. Tapi bila kau tidak berani bertemu dengan Hi Giok-kun dan tidak mau ke sana, ini justru menandakan kau lebih mengutamakan urusan pribadi daripada kepentingan dinas."

   "Kau tidak perlu membikin panas aku,"

   Ujar Siau-hong dengan tertawa.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Biarlah aku akan memikirkannya lagi lebih teliti."

   "Jika kau ke selatan dan lewat Yang-ciu, kau malah dapat sekalian menyambangi Hi Giok-hoan,"

   Kata Pwe-eng pula.

   "Entah lukanya sudah sembuh belum. Maka kau tidak perlu ragu-ragu lagi, baik urusan pribadi maupun dinas, adalah pantas kau terima tugas ini."

   "Ya, kau anggap aku adalah calon yang tepat, tapi entah Liu-lihiap sependapat tidak dengan kau,"

   Ujar Siau-hong dengan tertawa.

   "Asal kau sudah sanggup, sebentar akan kubicarakan dengan Liu-lihiap dan besok juga kau dapat minta tugas padanya,"

   Kata Pwe-eng.

   Sebenarnya Hong-lay-mo-li sendiri juga pernah memikirkan Kok Siau- hong, cuma pemuda itu adalah tamu baru, ia merasa tidak enak hati untuk memberi tugas berat padanya.

   Sekarang dia sendiri yang minta diberi tugas, tentu saja sekali omong lantas jadi.

   Begitulah Kok Siau-hong lantas berangkat ke selatan dalam kedudukannya sebagai utusan laskar rakyat daerah utara.

   Saat itu kerajaan Kim sedang repot menghadapi serbuan Mongol, maka pengawasan terhadap orang-orang Kang-ouw menjadi longgar.

   Sepanjang jalan Kok Siau-hong tidak mengalami gangguan apa pun.

   Suatu hari sampailah dia di Pek-hoa-kok, dengan perasaan bimbang pada kenangan lama Siau-hong memasuki rumah keluarga Hi.

   Dalam hati ia yakin akan segera bertemu dengan Giok-hoan.

   Siapa tahu yang ada hanya seorang budak tua saja.

   Budak tua itu heran melihat Siau-hong datang sendiri tanpa tuan puterinya, sebaliknya Siau-hong juga tanya apa Hi Giok-hoan belum pulang.

   Maka berceritalah si budak tua tentang apa yang telah terjadi, akhirnya dituturkan bahwa berhubung suasana perang yang genting, maka nona yang membantu Hi Giok-hoan menghalau musuh itu telah membawa pergi pemuda itu untuk menyembuhkan lukanya.

   "Siapakah nona yang kau ceritakan itu?"

   Tanya Siau-hong heran.

   "Katanya dia juga kawan baik Siau-ya kami, namanya Le Say-eng,"

   Tutur si budak tua.

   "Tampaknya nona itu sangat baik kepada Siau-ya kami, kuyakin dia bukan orang jahat, harap Kok Siau-ya jangan kuatir."

   "Dimana tempat tinggal nona Le itu?"

   Tanya Siau-hong.

   "Entah, dia tidak bilang, aku pun lupa tanya,"

   Jawab si budak tua.

   "Tapi dia mengatakan akan mengantar pulang Siau-ya kami bilamana lukanya sudah sembuh."

   Diam-diam Siau-hong heran akan tingkah laku Le Say-eng yang diceritakan itu.

   Maka ia pun mohon diri dan melanjutkan perjalanannya.

   Menjelang lohor, sampailah dia di tepi sungai.

   Tertampak permukaan Tiang-kang (Sungai Panjang, Yang-tze-kiang) yang luas dan gelombang yang bergelepar itu, tiada sebuah perahu pun yang tertampak.

   Diam-diam Siau-hong mengeluh.

   Ia coba menyusuri tepi sungai, agak lama kemudian tiba-tiba dilihatnya di tengah semak-semak rumput sana ada sebuah sampan, tukang perahu yang sudah tua kelihatan sedang tertidur.

   "Lo-kongkong (kakek), tolonglah, harap kau seberangkan aku ke sana,"

   Seru Siau-hong. Tukang perahu tua itu kucek-kucek matanya sambil menggeliat, dengan kemalas-malasan ia memandangi Kok Siau-hong sejenak, kemudian menjawab dengan rada heran.

   "Tuan bermaksud menyeberang sungai?"

   "Benar, tolonglah!"

   Jawab Siau-hong. API, ah, tidak, tidak sanggup aku!"

   Ujar si tukang perahu sambil menggeleng.

   "Nanti kuberi persen sebanyak mungkin, aku ada urusan penting, harap seberangkan aku ke sana,"

   Pinta Kok Siau-hong pula.

   Jilid 17

   "T "Ai, bukan soal persen, tapi keamanan di sini sangat buruk, paling akhir bajak di sungai ini telah memberontak dan mengganggu keamanan sepanjang sungai, bilamana kita kepergok, aku sih tidak menjadi soal karena aku sudah tua, tapi tuan yang bisa celaka,"

   Kata tukang perahu.

   "Aku tidak takut bajak atau perompak, kalau terjadi apa-apa biar aku yang bertanggung-jawab,"

   Ujar Siau-hong. Si tukang perahu memandang sekejap pula kepada Kok Siau-hong, lalu menjawab.

   "Baiklah, bila tuan tidak takut, bolehlah kuseberangkan tuan ke sana."

   "Terima kasih, Lo-kongkong!"

   Seru Siau-hong dengan girang sambil melompat ke atas perahu.

   Ketika si tukang perahu angkat galah bambu dan menolak perlahan ke tepi sungai, maka meluncurlah perahu itu dengan cepat ke tengah.

   Ombak sungai cukup besar, Kok Siau-hong menjadi kuatir tak dapat mencapai tepian sana melihat keadaan si tukang perahu yang sudah tua dan loyo itu.

   Tak tersangka, meski usia si tukang perahu sudah tua, tapi kepandaiannya mengemudi perahu ternyata sangat tinggi, perahu kecil itu meluncur mengikuti arus dan naik turun mengikuti gelombang ombak, dalam sekejap saja dengan cepat sekali perahu itu sudah sampai di tengah sungai.

   Siau-hong berdiri di haluan perahu dengan perasaan riang menyaksikan betapa luasnya alam semesta.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar si tukang perahu berseru.

   "Wah, celaka!"

   "Ada apa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Lihatlah sana!"

   Kata si tukang perahu.

   Waktu Siau-hong memandang ke arah yang ditunjuk, dilihatnya di kejauhan sana ada satu titik hitam, semula titik hitam itu agak samar-samar, tapi dalam sekejap saja sebuah kapal layar sudah muncul di tempat yang tak terlalu jauh, panji di ujung tiang kapal itupun tertampak jelas, yaitu terlukis gambar tengkorak.

   Siau-hong terkejut, katanya.

   "Apakah kapal bajak laut?"

   "Benar,"

   Jawab si tukang perahu.

   "Malahan bukan sembarang bajak laut!"

   "Apakah anak buah Su Thian-tik?"

   Tanya Siau-hong.

   "Bukan,"

   Kata si tukang perahu.

   "Bajak ini datang dari laut Timur, pemimpinnya bernama Kiau Sik-kiang. Beberapa tahun yang lalu pernah kupergoki kapal bajak ini ketika aku mencari ikan di lautan bebas sana. Siapa duga kini bajak laut itu merembah masuk ke Tiang-kang sini."

   "Kabarnya bajak laut tidak mau sembarangan merompak, kapal kita sekecil ini tentu takkan terpandang oleh mereka,"

   Ujar Siau-hong.

   "Tapi kabarnya bajak laut she Kiau itu adalah iblis yang kejam, jika kepergok tentu akan celaka,"

   Kata si tukang perahu.

   Kok Siau-hong belum kenal Kiau Sik-kiang itu orang macam apa, dilihatnya yang datang hanya sebuah kapal bajak dengan anak buah paling- paling cuma dua-tigapuluh orang saja, rasanya tidaklah sulit menghadapi mereka.

   Maka ia lantas menghibur si tukang perahu.

   "Kau jangan takut, jika kepergok, biar aku nanti menghajar mereka!"

   "Tuan membawa pedang, agaknya tuan mahir ilmu silat?"

   Kata si tukang perahu.

   "Tapi jangan tuan memandang remeh mereka, tuan pasti bukan tandingan mereka."

   Sambil bicara, tukang perahu itupun menolak galahnya dengan lebih kuat agar perahunya meluncur lebih cepat, akan tetapi kapal bajak itu sudah makin mendekat. Terdengar seorang di atas kapal bajak itu membentak.

   "Hai, siapa yang berada di perahu itu, lekas berhenti."

   "Kami adalah kaum nelayan!"

   Jawab si tukang perahu. Akan tetapi orang di atas kapal bajak telah melihat Kok Siau-hong yang berdiri di haluan perahu itu, seorang bajak lain mengejek.

   "Huh, mana ada kaum nelayan berdandan perlente begitu? Tak peduli siapa, lekas kau berhenti, sesudah kami periksa akan kami lepaskan kalian!"

   "Memangnya kalian ini siapa, pakai memeriksa orang segala?"

   Seru Kok Siau-hong dengan gusar. Bajak laut tadi mendengus.

   "Hm, agaknya bocah ini sudah bosan hidup!"

   Mendadak seorang laki-laki kekar muncul ke haluan kapal, sebuah jangkar besar diangkatnya terus dilemparkan ke arah perahu kecil mereka.

   Jangkar besar itu sedikitnya ada beberapa ratus kati beratnya dan terikat oleh rantai yang panjang, akan tetapi orang itu seperti memegang tali saja tampaknya dan dapat melemparkan jangkar itu dengan enteng.

   Keruan Kok Siau-hong terkejut biarpun kepandaiannya tinggi dan hatinya tabah.

   "Tak", jangkar besar itu tepat mengait di ujung perahu, ketika lelaki kekar tadi menarik rantainya, kontan perahu itu kena terseret ke sana. Betapa pun kecil perahu yang ditumpangi Kok Siau-hong itu, untuk bisa menariknya sedikitnya juga mesti punya tenaga ribuan kati, tapi lelaki itu ternyata mampu menariknya dengan enteng saja. Kiranya lelaki kekar itu adalah pembantu utama Kiau Sik-kiang, namanya Ciong Bu-pa. Sesudah Kiau Sik-kiang kecundang oleh Beng-sia-tocu, lantaran takut Beng-sia-tocu menuntut balas lagi padanya, terpaksa Kiau Sik-kiang membawa anak buahnya meninggalkan sarang bajaknya dan hendak menggabungkan diri kepada Su Thian-tik. Walaupun tahu sedang berhadapan dengan lawan tangguh, tapi Kok Siau-hong juga tidak gentar, begitu perahunya mendekati kapal bajak, segera ia menghunus pedangnya terus melompat ke atas sambil membentak.

   "Kawanan bajak keparat, boleh kalian coba-coba kelihaianku!"

   Ciong Bu-pa memandang enteng Kok Siau-hong yang kelihatan lemah itu, maka ia tidak menggunakan senjata andalannya, yaitu boneka tembaga, tanpa pikir ia menyambut Kok Siau-hong dengan suatu pukulan dan mendengus.

   "Huh, anak ingusan saja berani omong besar!"

   Namun Jit-siu-kiam-hoat Kok Siau-hong sukar diraba gerak perubahannya, tampaknya sederhana, tapi dalam satu jurus saja sanggup menusuk tujuh tempat Hiat-to lawan.

   "Awas!"

   Cepat Kiau Sik-kiang memperingatkan pembantunya itu. Akan tetapi sudah terdengar suara "crit"

   Satu kali, lengan baju Ciong Bu- pa telah terpapas sebagian.

   Untung tangannya keburu ditarik karena seruan Kiau Sik-kiang, kalau tidak, tangan Ciong Bu-pa itu pasti sudah berpisah dengan tubuhnya.

   Setelah mendesak mundur Ciong Bu-pa, mendadak Kok Siau-hong merasa angin tajam menyambar dari belakang, rupanya dua Thau-bak anak buah Kiau Sik-kiang yang lain telah menyerangnya berbareng.

   Kok Siau-hong tidak sempat memutar pedangnya buat menangkis, cepat ia berjongkok dan menendang ke belakang, kontan golok seorang penyerang itu terpental, ketika ia menyikut pula dengan siku tangan, kembali seorang Thau-bak lain kena disodok dan terhuyung-huyung, hampir saja kecemplung ke sungai.

   "Kalian mundur semua!"

   Bentak Kiau Sik-kiang. Lalu dengan sikap angkuh ia melirik Kok Siau-hong, katanya.

   "Boleh juga Jit-siu-kiam-hoatmu ini, Yim Thian-ngo pernah apamu?"

   Sekaligus Kiau Sik-kiang mengenali asal-usul ilmu pedangnya, hal ini membuat Kok Siau-hong terkejut.

   Tapi demi mendengar orang menyebut Yim Thian-ngo, segera ia menjadi gusar pula.

   Sebab sekarang ia sudah tahu bahwa pamannya itu bukanlah manusia baik-baik, jika Kiau Sik-kiang kenalan baik Yim Thian-ngo, hal ini membuktikan Kiau Sik-kiang juga bukan orang baik-baik.

   Kok Siau-hong tidak sudi banyak bicara lagi, bentaknya segera.

   "Kalau kau sudah kenal kelihaian Jit-siu-kiam-hoat, maka tidak perlu banyak cingcong lagi, kau harus ganti rugi kerusakan perahu kami ini, kalau tidak, janganlah kau menyesal nanti!"

   "Ha, ha, ha!"

   Kiau Sik-kiang bergelak tertawa.

   "Sungguh bocah yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi! Apa kau mengira Jit-siu-kiam- hoatmu benar-benar sudah luar biasa? Hm, dalam pandanganku tidak lebih hanya beberapa jurus cakar kucing saja. Aku cuma kuatir kau ada hubungan rapat dengan Yim Thian-ngo, maka ingin memberi ampun padamu, tapi kau ternyata tidak tahu diri!"

   Saking gusarnya Kok Siau-hong tidak tahan akan perasaannya lagi, ia memaki.

   "Aku justru mau membikin perhitungan dengan tua bangka Yim Thian-ngo itu, siapa sudi mohon kemurahan hatimu demi tua bangka itu?"

   "Ha, bagus jika begitu, kini saat kematianmu sudah tiba!"

   Seru Kiau Sik- kiang dengan tertawa, ia tidak perlu sungkan lagi, segera tangannya mencengkeram ke atas pundak Kok Siau-hong.

   "Ini, biar kau kenal beberapa jurus cakar kucing ini,"

   Bentak Siau-hong.

   "sret", secepat kilat pedangnya bergerak, sekaligus ia menusuk tenggorokan, menabas lengan dan memotong perut, suatu serangan disusul serangan lain, sungguh suatu jurus serangan yang mematikan. Kiau Sik-kiang tidak bersenjata, Kok Siau-hong menukar serangannya itu sedikitnya akan melukai dua-tiga tempat di tubuh lawan. Siapa tahu, sekonyong-konyong gerak serangan Kiau Sik-kiang mendadak berubah, Kok Siau-hong merasa dirinya seperti terkurung oleh daya pukulan lawan, ujung pedang juga tersampuk melenceng oleh angin pukulan lawan yang dahsyat. Keruan Siau-hong terkejut, cepat ia pun ganti serangan, maka terdengarlah suara "bret", baju di atas pundak telah terobek oleh cengkeraman Kiau Sik-kiang, untung tulang pundaknya tidak cidera. Dengan gesit Kok Siau-hong menyelinap lewat di samping lawan. Mau tak mau Kiau Sik-kiang terkesiap juga karena lawan yang masih muda itu mampu menghindarkan cengkeraman mautnya. Diam-diam ia menaksir ilmu pedang pemuda itu tentu lebih tinggi daripada Yim Thian-ngo. Karena itu ia tidak berani memandang enteng lagi kepada Kok Siau-hong walaupun di mulut ia masih mengolok-olok. Meski geladak kapal layar Kiau Sik-kiang itu cukup lebar, tapi jelas juga terbatas, berbeda daripada kalau bertempur di tanah lapang. Meski ilmu pedang Kok Siau-hong cukup bagus, namun keuletannya tetap berselisih jauh dengan Kiau Sik-kiang. Setelah pertarungan sengit itu berlangsung belasan jurus, mendadak Kiau Sik-kiang menggertak keras, kedua tangannya terpentang terus menubruk maju. Kok Siau-hong tidak sanggup menahan serangan lawan, pundaknya terserempet oleh pukulan lawan sehingga sakit panas, tanpa kuasa ia sempoyongan dan tergentak mundur.

   "Tangkap dia!"

   Bentak Kiau Sik-kiang. Kedua Thau-bak yang kecundang oleh Kok Siau-hong tadi tidak tinggal diam, berbareng senjata mereka ditudingkan ke punggung Siau-hong sambil membentak.

   "Jangan bergerak!"

   Bahkan salah seorang Thau-bak itu sengaja menusukkan pedangnya ke pundak Kok Siau-hong dengan maksud mematahkan uratnya. Pada saat gawat itulah mendadak terdengar suara seorang tua membentak.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jangan bergerak!"

   Kiranya si tukang perahu tua tadi entah sejak kapan juga sudah melompat ke atas kapal, sekali galah bambunya menjulur ke depan.

   "trang", sekaligus ia sampuk pergi senjata kedua Thau- bak itu.

   "Siapa kau?"

   Bentak Kiau Sik-kiang terkejut.

   "Tua bangka Han Kong-sui dari Tong-ting-ouw menyampaikan salam hormat kepada Kiau To-cu,"

   Jawab si tukang perahu tua dengan sikap dingin.

   "Harap Kiau To-cu mengingat pemimpin besar Ong-toako kami dan janganlah membikin susah tamu kami!"

   Kawanan bajak tersentak kaget mendengar keterangan itu, sikap Kiau Sik- kiang seketika pula berubah, dia memberi hormat kepada si tukang perahu dan berkata.

   "Kiranya Han Lo-yacu adanya, selamat bertemu, selamat bertemu! Maafkan anak buah kami yang sembrono sehingga banyak membikin susah kawan kalian!"

   Si tukang perahu yang mengaku bernama Han Kong-sui itu terbahak- bahak, katanya.

   "Ah, Kiau To-cu tak usah sungkan, asal saja Kiau To-cu sudi membiarkan kami menyeberang sungai, untuk itu kami akan sangat berterima kasih padamu."

   Melihat sikap kawanan bajak yang mendadak berubah 180 derajat itu, baru sekarang Kok Siau-hong sadar bahwa sesungguhnya tukang perahu tua itu adalah orang kosen yang diam-diam telah melindungi dia.

   Mau tak mau ia terkejut dan bergirang pula.

   Kiranya di lembah danau Tong-ting-ouw seluruhnya terdapat tujuhpuluh dua gerombolan bajak, pemimpin besar daripada ketujuhpuluh dua gerombolan itu adalah Ong Uh-ting, sedang wakil pemimpin adalah Han Kong-sui, si tukang perahu tua itu.

   Ong Uh-ting terhitung tokoh nomor dua di dunia persilatan Kang-lam, kedudukannya hanya di bawah Bu-lim-beng-cu Bun Yat-hoan.

   Tapi lantaran Ong Uh-ting langsung membawahi tujuhpuluh dua kepala gerombolan bajak, kalau bicara tentang kekuatan boleh dikatakan masih di atas Bun Yat- hoan.

   Meski Han Kong-sui cuma wakil Ong Uh-ting, tapi kedudukannya di kalangan Lok-lim sesungguhnya lebih tua satu angkatan, soalnya dia sudah tua dan tidak suka banyak urusan, maka dia rela mengalah dan menjadi wakil Ong Uh-ting.

   Diam-diam Kiau Sik-kiang memikirkan kekuasaan Ong Uh-ting yang besar itu, bukan mustahil Su Thian-tik juga mesti mengalah padanya.

   Padahal kedatangannya sekarang bermaksud hendak bergabung kepada Su Thian-tik, betapa pun jangan sampai terjadi bentrokan dengan ketujuhpuluh dua gerombolan di Tong-ting-ouw itu.

   Begitulah maka Kiau Sik-kiang berkata pula dengan tertawa.

   "Wah, mengapa Han Lo-yacu berkata begitu. Engkau kebetulan hadir di sini, sudilah kiranya engkau menerima suguhanku barang secawan saja sebagai tanda permintaan maafku."

   "Maksud baik Kiau To-cu kuterima di dalam hati saja, soalnya aku masih harus buru-buru pulang, sebab itu sudilah Kiau To-cu melepaskan kami,"

   Ujar Han Kong-sui.

   "Jika Han-Ioyacu berkeras hendak berangkat, tentu aku pun tidak berani menahan engkau lebih lama,"

   Kata Kiau Sik-kiang dengan tertawa.

   "Cuma hendaklah Han Lo-yacu suka menunggu sebentar lagi, minumlah barang secawan, biar kami perbaiki dulu kapalmu itu."

   Perahu Han Kong-sui tadi telah retak tertancap jangkar besar yang dilemparkan Ciong Bu-pa, untung tidak rusak parah, kalau anak buah Kiau Sik-kiang segera mengadakan perbaikan, mungkin tidak terlalu lama perahu itu dapat selesai direparasi.

   Jika mesti menunggu perahunya diperbaiki, terpaksa Han Kong-sui menerima arak yang disuguhkan Kiau Sik-kiang.

   Kesempatan itu digunakan pula olehnya untuk memancing keterangan, tanyanya kemudian.

   "Selama ini Kiau To-cu kan sangat bahagia di lautan bebas sana, entah mengapa datang ke Tiang-kang sini?"

   Dengan sendirinya Kiau Sik-kiang tidak enak bercerita apa yang terjadi sesungguhnya, ia bergelak tertawa untuk menutupi rasa kikuknya, lalu berkata.

   "Soalnya aku sudah lama mendengar keindahan pemandangan daerah Kang-lam dan penduduknya yang romantis, maka sengaja mengadakan peninjauan ke sini. Mungkin sekali sedikit hari lagi kami akan berkunjung ke tempat kalian untuk menemui Ong Cong-cecu."

   "Kiau To-cu, jika betul begitu, wah, kedatanganmu ini agaknya tidak cocok waktunya,"

   Ujar Han Kong-sui dengan sikap dingin. Kiau Sik-kiang melengak, katanya.

   "Han Lo-yacu, apa artinya ucapanmu ini?"

   "Saat ini daerah Kang-lam sedang kacau, maka untuk meninjau keindahan alamnya kukira sukar terlaksana,"

   Kata Han Kong-sui.

   "Tapi para kesatria di Kang-lam juga sudah lama kukagumi,"

   Ujar Kiau Sik-kiang.

   "Bahwasanya suasana sedang kacau, seperti kata pribahasa, zaman kacau banyak muncul kaum pahlawan. Dengan kekuatan ketujuhpuluh dua Ce-cu di bawah pimpinan Ong Cong-cecu dan Han Lo-yacu, kukira kalian pasti dapat melakukan sesuatu gerakan besar."

   Nyata Kiau Sik-kiang juga ingin memancing isi hati Han Kong-sui. Dengan sikap dingin Han Kong-sui menjawab.

   "Kami cuma mencari sesuap nasi di lingkungan yang sempit saja bersama sekalian saudara-saudara kami yang miskin itu, mana dapat dibandingkan dengan Kiau To-cu yang berjiwa besar dan bercita-cita tinggi."

   Sudah tentu Kiau Sik-kiang dapat merasakan nada sindiran ucapan ini, rada kikuk rasanya, segera ia berlagak tertawa dan berkata.

   "Ah, Han Lo-yacu jangan berkelakar. Kedatangan kami ke tempat pengaruh kalian ini, betapa pun masih diharapkan bantuan para kawan di daerah sini."

   "Tadi Kiau To-cu bilang mengagumi kaum kesatria di Kang-lam sini dan agaknya Kiau To-cu ada maksud ingin bersahabat dengan mereka, menurut Kiau To-cu, entah siapa di antara mereka itu tergolong kesatria yang terpandang olehmu?"

   


Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung

Cari Blog Ini