Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 19


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 19



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kiau Sik-kiang menyambutnya dengan suatu pukulan dahsyat dari jauh, namun angin pukulannya tidak mampu mengguncang pergi tongkat Lau-si, cepat ia menyusuli lagi satu pukulan, dengan demikin barulah tongkat lawan dapat tersampuk ke samping.

   Diam-diam Kiau Sik-kiang terkesiap, ia pikir kepandaian nenek ini rasanya tidak di bawah Ciau Goan-hoa, kalau mereka suami istri mengerubut diriku mungkin aku akan kewalahan.

   Terdengar Ciong Bu-pa berkata kepada Kiau Sik-kiang.

   "To-cu, serahkan saja perempuan tua ini padaku."

   Kiau Sik-kiang merasa longgar setelah Ciong Bu-pa menandangi Lau-si segera ia bergelak tertawa dan mengejek pula.

   "Ciau Goan-hoa, ingin melihat istri mudamu, tapi kau malah memanggil keluar istri yang tua, sungguh aku merasa kecewa!"

   Dalam pada itu tongkat Lau-si telah saling bentur dengan boneka tembaga Ciong Bu-pa dan mengeluarkan suara nyaring memekakkan telinga, ternyata kekuatan kedua orang sembabat.

   Sedangkan keempat pembantu Kiau Sik-kiang yang lain segera menerjang maju pula.

   Bu Hian-kam tidak dapat tinggal diam, serunya.

   "Bibi Ciau, urusan sudah begini, betapa pun aku tidak dapat membiarkan mereka malang melintang di sini."

   Habis berkata, bersama Liong Thian-hiang segera mereka pun ikut menyerbu ke tengah kalangan.

   Lau-si sendiri sedang menempur Ciong Bu-pa dengan tegang, diam-diam ia pun terkejut akan kelihaian pembantu Kiau Sik-kiang itu, karena itu dia tidak dapat membuka suara lagi dan membiarkan Bu Hian-kam berdua ikut bertempur.

   Melihat pertarungan sudah menjadi gaduh, Hi Giok-hoan dan Le Say- eng juga lantas memperlihatkan diri mereka dan berseru.

   "Kawanan bandit ini juga musuh Beng-sia-to, betapa pun kami tidak dapat dianggap ikut campur urusan orang lain."

   Kiau Sik-kiang melengak sejenak melihat munculnya Giok-hoan berdua, tapi ia lantas tertawa dan berkata.

   "Ha, ha, kiranya kau bocah ini belum mampus. Baik, sekali ini kau tak dapat dibela lagi oleh Beng-sia-tocu dan Oh- hong-tocu. Kalian yang mencari mampus sendiri, jangan kalian salahkan aku."

   Orang she Jiau dan lelaki she Ku yang menjadi kusir tempo hari, mata mereka menjadi merah demi nampak Giok-hoan dan Le Say-eng, tanpa diperintah lagi mereka lantas memburu maju dan berseru.

   "Bocah dan budak busuk ini boleh Tocu serahkan kepada kami saja!"

   "Hi, hi, cara lari kalian tempo hari sungguh amat cepat, entah orang kosen mana pula yang membela kalian?"

   Le Say-eng balas mengejek.

   "Tempo hari aku terluka, memangnya kau kira aku takut padamu?"

   Teriak orang she Jiau dengan gusar.

   Berbareng ia putar sepasang senjata gaetannya terus menerjang ke arah Le Say-eng dengan serangan membadai.

   Sedang orang she Ku juga lantas angkat senjatanya yang berupa pipa cangklong panjang untuk menyerang Hi Giok-hoan.

   Dalam pada itu Le Say-eng telah mengolok-olok lawannya dengan iertawa.

   "Ya, sekarang kau tentu tidak terluka, dan bagaimana jika kau kalah lagi?"

   "Kau jangan mimpi, masakah aku kalah denganmu,"

   Jawab orang she Jiau dengan murka.

   "Baik, jika kau kalah, kau harus menyembah padaku, tidak boleh ingkar janji lho!"

   Demikian Say-eng mengolok-olok lagi menurut ucapannya sendiri.

   Keruan orang she Jiau itu sangat mendongkol, ia berkaok-kaok saking gemasnya.

   Tanpa disadarinya dia justru telah terjebak oleh akal Le Say-eng yang sengaja memancing kemarahan lawan, si nona tahu dirinya bukan tandingan orang she Jiau, maka dia sengaja memencarkan perhatian lawan dengan membuatnya berjingkrak gusar.

   Luka orang she Jiau tempo hari itu tidaklah parah, maka sekarang boleh dikatakan sudah sembuh, hanya saja lukanya itu terletak pada bagian dengkul, betapa pun masih mengganggu, gerak-geriknya masih lamban.

   Kelemahannya ini dapat dilihat oleh Le Say-eng, segera si nona melancarkan serangan ke bagian kaki lawan melulu.

   Bicara tentang kepandaian sejati memang Say-eng bukan tandingan orang she Jiau itu, tapi dalam hal Ginkang Say-eng terlebih mahir biarpun orang she Jiau itu tidak pernah cidera kakinya sekali pun.

   Kini dia kena dicecar oleh Say-eng pada bagian kelemahannya, keruan ia menjadi kewalahan menghadapi serangan si nona yang cepat.

   Kepandaian Hi Giok-hoan di antara angkatan muda yang bertempur sekarang terhitung yang paling kuat, ilmu pedang khas Pek-hoa-kok juga sangat lihai, maka dia dapat menghadapi orang she Ku itu dengan sama kuatnya.

   Senjata pipa tembakau yang digunakan orang she Ku itu mempunyai "dwiguna", selain dapat dipakai menotok Hiat-to, dapat pula menyemburkan asap berbisa yang membikin orang jatuh pingsan.

   Akan tetapi sekarang dia datang bersamaan dengan gembongnya, ia yakin cukup kuat menghadapi pihak lawan, maka ia pun merasa tidak sudi menggunakan asap berbisa, jadi ia pun tidak merokok.

   Tak terduga Pek-hoa-kiam-hoat yang dimainkan Hi Giok-hoan itu juga ilmu pedang penusuk Hiat-to yang lihai, cara menusuk Hiat-to dengan pipa tembakau betapa pun masih kalah setingkat dibandingkan Pek-hoa-kiam- hoat.

   Karena senjatanya ketemu tandingan yang lebih unggul, pula dia tidak merokok hingga tidak dapat menyemburkan asap berbisa, maka sesudah berlangsung tigapuluhan jurus, akhirnya dia tercecar juga di bawah angin.

   Saat itu Lau-si sedang bertempur melawan Ciong Bu-pa dengan sengit.

   Sedangkan Ciau Goan-hoa tetap terdesak di bawah angin, bahkan keadaannya semakin payah, dia hanya sanggup bertahan saja sekuatnya dan tidak mampu balas menyerang Kiau Sik-kiang.

   Lantaran Hi Giok-hoan dan Le Say-eng telah menghadapi dua jago lawan yang kuat, maka Ciau Siang-hoa, Siang-yau, Bu Hian-kam, Liong Thian- hiang dan Nyo Kiat-bwe berlima menjadi berada di atas angin melabrak kedua pembantu Kiau Sik-kiang yang lain.

   "Pasang barisan Liok-hap-tin, jaring semuanya, tua-muda, laki perempuan, satu pun tidak boleh lolos!"

   Seru Kiau Sik-kiang kepada para pembantunya.

   Berbareng ia pun melancarkan serangan dahsyat sehingga Ciau Goan-hoa didesak mundur ke tengah lingkaran barisan yang mereka pasang.

   Ciong Bu-pa juga lantas mendesak Lau-si ke tengah lingkaran.

   Menyusul Kiau Sik-kiang juga dapat memaksa lawan-lawan lain berkumpul di tengah barisan yang mereka pasang itu.

   Liok-hap-tin (barisan enam orang) adalah jimat andalan Kiau Sik-kiang, dengan memasang barisan itu, mereka dapat bekerja sama dengan sangat rapat, tenaga enam orang seakan-akan bergabung menjadi satu, kekuatannya menjadi bertambah lipat.

   Seketika orang-orang di pihak keluarga Ciau terkepung di tengah dan sukar membobol keluar.

   Ciau Goan-hoa dan istrinya serta Hi Giok-hoan masih sanggup bertahan, tapi anak-anak muda yang lain sudah merasa payah.

   "Incar arah kanan, keluar arah kiri! Serang saja orang yang menjadi kusir itu!"

   Tiba-tiba Le Say-eng berkata.

   Dengan cepat Hi Giok-hoan dapat memahami maksud Say-eng itu, segera ia putar pedangnya menyerang orang she Ku dan dengan tepat telah mengiringi daya serangan Le Say-eng dengan baik.

   Orang she Ku yang menjadi kusir tempo hari itu terdesak mundur dua- tiga langkah.

   "bret", lengan bajunya tertembus oleh pedang Le Say-eng, untung Kiau Sik-kiang keburu menubruk tiba dari samping, sekali pukul dari jauh, angin pukulannya mengguncang pergi kedua pedang Giok-hoan dan Say-eng, dengan begitu barulah orang she Ku itu dapat diselamatkan. Rupanya orang she Ku itu bukan anak buah Kiau Sik-kiang, dia adalah orang yang ingin mohon bantuan kepada Kiau Sik-kiang, maka sementara dia membantunya. Sebagai tenaga tambahan sementara, sudah tentu dia belum begitu paham akan peraturan Liok-hap-tin yang berdasarkan hitungan Pat-kwa. Kelemahan pihak lawan ini segera diketahui oleh Le Say-eng yang cerdik. Sebab di Beng-sia-to dahulu dia sudah pernah melihat bekerjanya Liok-hap- tin, meski belum paham intisarinya, tapi satu-dua bagian sudah dapat dirabanya, maka ketika melihat Hi Giok-hoan menyerang kelemahan itu. Benar saja Liok-hap-tin musuh lantas dapat dikacaukan dan mereka pun dapat melonggarkan napas. Cuma sayang, mereka hanya bisa berganti napas saja dan belum dapat membobol kepungan musuh. Kekuatan Giok-hoan dan Say-eng selisih terlalu jauh dengan Kiau Sik-kiang, maka titik lemah Liok-hap-tin itu dengan cepat dapat ditutup rapat lagi oleh Kiau Sik-kiang. Namun kini Le Say-eng sudah dapat melihat titik lemah musuh, bilamana mereka terdesak dan keadaan gawat, segera mereka berdua menerjang orang she Ku itu untuk memencarkan kekuatan Kiau Sik-kiang. Dengan demikin keadaan dapat diperbaiki sekadarnya untuk bernapas.

   "Baik, coba saja kalian mampu bertahan sampai kapan?"

   Teriak Sik-kiang dengan gusar.

   "Hayo maju lagi, putar balik barisan dan serang sekuat tenaga!"

   Begitulah bersama begundalnya Kiau Sik-kiang lantas melancarkan serangan lebih dahsyat, maka Giok-hoan dan lain-lain kembali terdesak berhimpitan di tengah, lingkaran barisan itu makin lama makin mengecil.

   Selagi keadaan bertambah gawat, tiba-tiba terdengar suara wanita mendengus.

   "Hm, Kiau Sik-kiang, kedatanganmu ini adalah untuk diriku bukan? Baik, biar aku mengadakan keputusan dengan kau, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan keluarga Ciau!" ~ Ternyata yang muncul ini ialah Ko-si, istri muda Ciau Goan-hoa.

   "Ha, ha, ha! Ko Siau-hong, sudah duapuluh tahun aku mencari kau, kiranya kau memang betul bersembunyi di rumah keluarga Ciau ini!"

   Seru Kiau Sik-kiang dengan tertawa.

   "Ai, sungguh sayang, laksana sekuntum bunga tercocok di atas seonggok tahi kerbau, kau ternyata mau merendahkan diri dan terima menjadi gundik Ciau Goan-hoa!"

   "Kurangajar, ngaco-belo!"

   Teriak Ciau Goan-hoa dengan murka, tanpa menghiraukan bahaya segera ia menubruk maju dan menghantam. Cepat kedua tangan Kiau Sik-kiang mengunci.

   "prak", telapak tangan Ciau Goan-hoa tergencet oleh kedua tangannya. Tapi "sret", saat itu juga pedang Giok-hoan telah menusuk iga kiri Kiau Sik-kiang. Untunglah serangan Giok-hoan itu tepat pada waktunya sehingga Kiau Sik-kiang dipaksa menyelamatkan diri sendiri lebih dulu, ia menarik kembali sebelah tangannya untuk melayani serangan Hi Giok-hoan, sedang tangan yang lain mendorong dengan kuat hingga Ciau Goan-hoa tertolak pergi. Menyusul tangannya menjentik ke belakang pula hingga pedang Giok-hoan terjentik ke samping. Lantaran bantuan Hi Giok-hoan itulah tulang tangan Ciau Goan-hoa tidak sampai tergencet patah, namun tangannya juga sudah kesakitan dan merembeskan darah. Segera ia pun berseru.

   "Siau-hong, jangan kau menerjang ke dalam barisan musuh, lekas mengirim kabar saja ke rumah keluarga Bu, betapa pun keluarga Ciau kita harus ada orang yang lolos pergi!"

   Ia menginsyafi betapa pun hebatnya Liok-hap-tin, biarpun pihak sendiri bertambah lagi seorang Ko Siau-hong juga tak berguna, maka lebih baik dia pergi memberi kabar saja kepada keluarga Bu, selain jiwanya dapat selamat, rasanya Bu Yang-jun juga takkan tinggal diam bilamana mendapat kabar bahwa puteranya ikut terjebak atau binasa di tengah Liok-hap-tin musuh.

   Akan tetapi Ko Siau-hong ternyata tidak ambil pusing, tanpa pikir ia lantas menerjang ke tengah Liok-hap-tin.

   Sesungguhnya Kiau Sik-kiang yang sengaja membuka lubang barisannya agar Ko Siau-hong masuk ke tengah kalangan.

   Dengan rambut terurai Ko Siau-hong menerjang ke tengah barisan musuh dengan senjata sebilah golok tipis, Liu-yap-to, tanpa pikir ia terus menyerang Kiau Sik-kiang sambil berteriak.

   "Kiau Sik-kiang, marilah kita mengadakan suatu keputusan pasti, tapi keluarga Ciau tidak ada permusuhan apa pun dengan kau!"

   "Ha, ha, memangnya kau kira aku tidak tahu ya?"

   Jawab Kiau Sik-kiang dengan terbahak.

   "Puteramu ini she Ciok dan bukan she Ciau, dia adalah anak Ciok It-biau, sedangkan bakal menantumu ini adalah puteri Nyo Tay- ging, mana bisa dikatakan tiada sangkut-pautnya dengan aku? He, he, ha, ha, Ko Siau-hong, sungguh kau ini pintar mengatur tipu muslihat, kau kira dengan memelihara puteramu ini kau akan dapat mengangkangi gambar wasiat itu?"

   Ciau Siang-hoa hanya tahu dirinya berasal she Ciok, tapi tidak tahu asal- usul darimana, lebih-lebih tidak tahu cara bagaimana terjadinya permusuhan antara ayahnya dengan Kiau Sik-kiang.

   Maka mendengar percakapan mereka tadi, lapat-lapat ia menduga ayah sendiri pasti kenalan ibu angkatnya yang sekarang ini, pula pasti ada hubungannya dengan persoalan sekarang.

   Hati Ciau Goan-hoa juga tergerak demi mendengar kata-kata tadi, ia merasa pedih, pikirnya.

   "Aku dan dia sudah menjadi suami-istri lebih duapuluh tahun, tapi dia ternyata menutupi sesuatu rahasia yang penting dariku. Cuma entah gambar wasiat apakah yang mereka maksudkan itu?"

   Dalam pada itu Lau-si telah mengetuk tongkatnya ke lantai dan berkata.

   "Siau-hong, kau telah masuk pintu rumah keluarga Ciau, betapa kau sudah menjadi anggota keluarga Ciau. Kini kita harus hidup bersama dan mati berbareng, kenapa kau bicara akan mengadakan keputusan sendiri segala dengan musuh?"

   Saat itu kepungan Liok-hap-tin musuh semakin merapat, Lau-si bermaksud menerjang ke sana untuk membantu Ko Siau-hong, tapi dia terhadang oleh boneka tembaga Ciong Bu-pa yang lihai itu.

   Begitulah terdengar Kiau Sik-kiang sedang tertawa dan berkata pula.

   "Ko Siau-hong, cara bagaimana kau akan mengadakan keputusan pasti dengan aku, coba katakan?"

   "Ada kau tidak ada aku, ada aku tidak ada kau! Inilah keputusanku!"

   Teriak Ko Siau-hong sambil main bacok secepat kilat dengan goloknya.

   "Hm, kepandaianmu tampaknya sudah jauh lebih maju daripada dahulu, tapi untuk mengadu jiwa dengan aku rasanya masih selisih terlalu jauh,"

   Dengus Kiau Sik-kiang.

   "Huh, secara telaten kau telah bersembunyi selama duapuluh tahun, tentunya gambar wasiat itu sudah berada di tanganmu bukan? Coba keluarkan dan serahkan padaku, mungkin aku akan memenuhi harapanmu dan mengampuni jiwa ayah dan anak keluarga Ciau."

   "Siapa sudi diampuni olehmu?"

   Bentak Ciau Goan-hoa dengan murka.

   "Gambar wasiat tidak ada, yang ada cuma jiwaku ini!"

   Seru Ko Siau-hong.

   "Tapi jiwa yang kau kehendaki, paling-paling juga cuma jiwaku saja!"

   "He, he, sungguh tidak nyana kau rela dipersunting seorang tua bangka seperti dia, sekarang kau malah mintakan ampun baginya,"

   Jengek Kiau Sik- kiang.

   "Cuma sayang, aku tak dapat memenuhi permohonanmu."

   Sungguh tidak kepalang murka Ciau Goan-hoa, bentaknya pula.

   "Tutup bacotmu!"

   "He, he, kau hendak mengadu kekuatan dengan aku? Boleh juga, cuma kau perlu bersabar dahulu, sesudah kubereskan perempuan hina ini baru akan kubereskan kau pula,"

   Kata Kiau Sik-kiang dengan tertawa.

   Sekali ia memberi isyarat, barisan Liok-hap-tin berputar, segera Ciau Goan-hoa dan Ko Siau-hong dipisahkan di kanan dan kiri.

   Setelah bertempur lama, pula tangan sudah cidera, Ciau Goan-hoa tak mampu menembus rintangan dua orang pembantu Kiau Sik-kiang.

   Dalam sekejap saja lingkaran Liok-hap-tin itu semakin menciut, kembali Ciau Goan- hoa dan kawan-kawannya terkepung di tengah.

   Dengan rambutnya yang panjang terurai itu Ko Siau-hong lantas melabrak Kiau Sik-kiang.

   Berulang Kiau Sik-kiang melancarkan tiga kali cengkeraman maut dan selalu meleset mengenai lawan, mau tak mau ia terkesiap juga dan heran mengapa Ko Siau-hong dapat memainkan ilmu silat Beng-sia-to.

   Karena itu Kiau Sik-kiang tidak berani memandang rendah lagi kepada Ko Siau-hong.

   Dalam pada itu Ko Siau-hong telah menubruk maju, goloknya yang tipis lentik itu segera menusuk ke perut lawan, gerak serangan ini sungguh sukar diduga sebelumnya, terdengar suara "crit"

   Satu kali, ikat pinggang Kiau Sik- kiang tergores putus.

   Sayang Ko Siau-hong tidak paham rahasia pergeseran barisan Liok-hap-tin, maka ketika ia hendak menyusuli tusukan kedua, sementara itu kedudukan Kiau Sik-kiang ternyata sudah berganti tempat.

   Malahan Kiau Sik-kiang terus membaliki tangan untuk menjentik.

   "creng", golok Ko Siau-hong yang tipis itu terselentik balik dan hampir melukai diri sendiri. Diam-diam Le Say-eng merasa sayang serangan Ko Siau-hong yang gagal itu, pikirnya.

   "Dia menggunakan Liu-yap-to, tapi yang dimainkan adalah Ngo-heng-kiam-hoat, tampaknya dia pasti Suci (kakak perguruan) yang belum pernah kujumpai sebagaimana pernah dikatakan oleh ayah."

   Nyata, meski di tengah pertempuran sengit Le Say-eng tetap mengawasi gerak-gerik permainan silat Ko-si.

   Kini dia dapat melihat jelas bahwa permainan golok Ko-si itu sengaja diberi macam-macam variasi tapi gerak asli ilmu silatnya ternyata sukar ditutupi dan tetap dapat dikenali oleh Le Say- eng.

   Sementara itu Ciau Goan-hoa sudah payah, sudah murka ditambah lagi gemas, tanpa terasa ia memuntahkan darah, jalannya menjadi sempoyongan.

   Cepat Ciau Siang-hoa dan Ciau Siang-yau memburu ke samping sang ayah, tapi meski mereka membantu sekuat tenaga toh tetap sukar membobol kepungan musuh.

   Saat itu kekuatan Liok-hap-tin telah dikerahkan seluruhnya, Kiau Sik- kiang tahu orang yang paham pengaturan barisan itu hanya Le Say-eng saja, maka terkadang Kiau Sik-kiang sengaja meluangkan waktu untuk menggempur si nona.

   Ko Siau-hong sendiri meski gerak serangannya sangat hebat, namun kekuatannya masih selisih jauh dibandingkan Kiau Sik-kiang, maka ia pun tidak dapat banyak memberi bantuan kepada Le Say-eng, keadaan pihak keluarga Ciau jelas sudah kalah, paling mereka hanya mampu bertahan lagi untuk sementara waktu.

   Di tengah pertarungan sengit itu, terdengar suara "tring", tusuk kundai yang dipakai Le Say-eng tahu-tahu tersampuk jatuh oleh Boan-koan-pit yang menyambar dari samping.

   Giok-hoan terkejut, cepat ia memburu maju hendak menolong.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tak diketahui bahwa si lelaki she Ku saat itu pula menyusul di belakangnya, pipa cangklong yang panjang itu terus mengemplang belakang kepalanya.

   Tempo hari lelaki she Ku itu dikalahkan oleh Hi Giok-hoan, maka kesempatan sekarang hendak digunakannya untuk melampiaskan rasa dendam, karena itu ia mengemplang sepenuh tenaga agar kepala Giok-hoan dapat dihancur luluhkan.

   Karena terburu napsu hendak menolong kekasihnya, tampaknya Giok- hoan sukar mengelakkan serangan pipa tembakau si lelaki she Ku itu, syukurlah pada saat berbahaya itu mendadak terdengar suara "tring"

   Satu kali, entah darimana telah menyambar tiba sepotong batu kecil dan tepat menimpuk gagang tembakau, seketika lelaki she Ku merasa tangannya kesemutan, pipa cangklongnya juga terlepas dari cekalan dan mencelat.

   "Siapa yang menyerang secara menggelap?"

   Bentak orang she Ku itu dengan gusar. Maka tertampaklah seorang wanita berbaju hitam, usianya antara setengah abad, tangan memegang tongkat bambu hijau, entah sejak kapan dan dari mana, mendadak sudah muncul di hadapan mereka.

   "Ya, aku inilah yang menyerang secara menggelap,"

   Demikian dengus wanita baju hitam itu.

   "Tapi tempo hari aku pun pernah menyelamatkan kau, sekarang aku pun harus menyelamatkan Hi-kongcu, dengan demikian barulah adil."

   Kiranya tempo hari waktu orang she Ku itu dan orang she Jiau kepergok Hi Giok-hoan dan Le Say-eng di tengah jalan, mestinya mereka tak bisa meloloskan diri, untung pada detik paling gawat entah darimana menyambar tiba sebuah jarum halus dan menusuk perlahan kaki Le Say-eng sehingga si nona terpelanting jatuh, dengan begitu dapatlah orang she Ku dan she Jiau berhasil kabur.

   Rupanya orang yang menolong mereka itu adalah wanita baju hitam ini.

   Maka dengan gugup dan bingung orang she Ku itupun bertanya.

   "Siapa kau? Sebenarnya kau membantu pihak mana?"

   "Aku tidak membantu pihak mana pun,"

   Jengek wanita itu.

   "tapi urusan ini tidak bisa tidak aku harus ikut campur. Hm, Kiau Sik-kiang begundalmu tidak kenal aku masih dapat dimengerti, tapi kau, jelek-jelek kau terhitung seorang tokoh terkenal, masakah kau pun tidak kenal aku? Hayolah, lekas kau menarik barisan permainan anak kecil ini dan pergi dari sini. Kelak aku sendiri masih akan mencari dan bicara dengan kau."

   Sebagai seorang tokoh silat terkemuka, sekali melihat saja Kiau Sik-kiang lantas tahu ilmu silat si wanita baju hitam ini sukar diukur, ia merasa dirinya belum pasti dapat mengalahkannya, diam-diam ia pun heran siapakah wanita baju hitam yang tak dikenalnya itu, maka seketika ia menjadi ragu- ragu untuk menjawab.

   Pembantunya yang paling kasar adalah Ciong Bu-pa, dengan gusar lantas membentak.

   "He, kau perempuan siluman ini mempunyai kepandaian apa? Kau berani anggap Liok-hap-tin kami ini hanya permainan anak kecil, memangnya kau berani coba menerobos masuk ke sini?"

   "Mengapa aku tidak berani?"

   Jengek wanita baju hitam.

   "Malahan Liok- hap-tin kalian ini dalam pandanganku lebih tak berarti daripada permainan anak kecil!"

   Belum lenyap ucapannya, sekali melayang tahu-tahu ia sudah menerjang ke tengah barisan, kedua pembantu Kiau Sik-kiang yang menjaga bagian masuk, jangankan merintangi dia, bahkan ujung bajunya saja tdak sanggup menyenggolnya.

   Dengan bentakan keras Ciong Bu-pa lantas angkat boneka tembaganya terus mengemplang kepala wanita baju hitam itu.

   "Pergi!"

   Bentak si wanita baju hitam, tongkatnya dengan perlahan menyampuk, maka terdengarlah suara mendering nyaring.

   Kiranya boneka tembaga Ciong Bu-pa telah kena disampuk ke samping oleh tongkat bambu si wanita, bahkan dengan tepat membentur kedua senjata kawan-kawannya yang sedang menyerang dari kanan dan kiri, sebilah golok dan sebatang pedang terbentur mencelat ke udara.

   Ciong Bu-pa sendiri juga merasa tangannya kesemutan, boneka tembaga juga terlepas dan jatuh ke tanah.

   Pada saat yang sama mendadak terdengar pula suara "trang"

   Nyaring, pedang di tangan Nyo Kiat-bwe juga terjatuh.

   Cuma senjata Kiat-bwe itu bukan dipukul jatuh oleh si wanita baju hitam seperti senjata Ciong Bu-pa dan kawannya, tetapi pedang Kiat-bwe itu terlepas dari cekalan akibat rasa kaget dan gugupnya.

   Melihat air muka Kiat-bwe pucat lesi, Liong Thian-hiang menjadi kuatir, cepat ia bertanya.

   "Jangan kuatir, enci Bwe, apakah yang datang ini....."

   Belum selesai ucapannya, terdengarlah Kiau Sik-kiang sedang berseru.

   "He, agaknya yang datang ini Sin Cap-si-koh bukan? Sudah lama aku mengagumi namamu yang harum!"

   "Hm, masih boleh juga pandanganmu!"

   Jengek si wanita baju hitam yang bukan lain daripada Sin Cap-si-koh adanya.

   "Numpang tanya apa tujuan kedatangan Sin-lihiap ini? Rasanya kita selama ini air sungai tidak melanggar air perigi (artinya tidak pernah ada persengketaan),"

   Demikian Kiau Sik-kiang berkata pula.

   "Benar, dahulu memang air sungai tidak pernah melanggar air perigi, tapi sekarang kau telah melanggarnya,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Dengan jelas kau tahu Si Bwe adalah budakku, tapi secara terang-terangan kau berani hendak menculiknya."

   "Silakan kau membawa pergi budakmu, aku berjanji selanjutnya takkan membikin susah dia lagi,"

   Jawab Kiau Sik-kiang.

   "Hm, enak saja kau bicara,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Sekali aku tiba di sini, mau tak mau aku harus ikut campur urusan ini."

   Tiba-tiba Kiau Sik-kiang mendapat suatu pikiran, segera ia berkata pula.

   "Urusan ini menyangkut hal lain yang sangat penting, tadi kau sendiri telah menyatakan takkan membantu pihak mana pun, maka bagaimana kalau kita bicara secara orang dagang?"

   "Aku memang ada urusan hendak bicara dengan kau, tapi sekarang kau dan begundalmu lekas mengundurkan diri dari sini, nanti aku sendiri akan mencari kalian."

   Ciong Bu-pa merasa penasaran, ia mendekati Kiau Sik-kiang dan bermaksud minta sang Toa-ko menolaknya, namun Kiau Sik-kiang lantas memberi tanda agar pembantunya itu jangan banyak bicara, lalu ia menjawab.

   "Baik, atas perhatian Cap-si-koh yang sudi berunding dengan aku, betapa pun aku merasa terima kasih. Marilah saudara-saudara, kita berangkat pergi!"

   Melihat musuh mengundurkan diri, mata Ciau Siang-hoa menjadi merah berapi.

   Tapi lantaran ayah angkat sudah cidera, pula Sin Cap-si-koh telah menyatakan takkan membantu pihak mereka, terpaksa Siang-hoa menahan rasa dendamnya dan membiarkan musuh pergi.

   "Si Bwe,"

   Mendadak Sin Cap-si mendengus.

   "hm, apakah dalam pandanganmu masih ada diriku?"

   "Mohon majikan mengampuni aku yang telah minggat dari Yu-hong-li,"

   Jawab Kiat-bwe.

   "Soal kau minggat boleh dianggap selesai, tapi mengapa kau mencelakai keponakanku?"

   Kata Cap-si-koh pula.

   "Aku sebenarnya berasal dari keluarga baik-baik, karena diculik penjahat dan dijual menjadi budak ke tempatmu,"

   Sahut Kiat-bwe tegas.

   "Sekarang aku memang sudah melakukan hal itu terhadap keponakanmu, bagaimana kehendakmu boleh kau lakukan saja."

   "Keras juga mulutmu si budak ini,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Hayo, ikut aku pergi!"

   Tapi Ciau Siang-hoa, Siang-yau dan Liong Thian-hiang sekaligus lantas menghadang di tengah-tengah mereka.

   "Hm, kalian anak-anak ingusan ini juga berani merintangi urusanku?"

   Jengek Sin Cap-si-koh.

   "Jelek-jelek ayah nona Nyo juga tokoh dunia persilatan, harap kau sesama orang Bu-lim, sukalah kau membebaskan dia,"

   Kata Siang-hoa.

   "Ya, keponakanmu juga pernah menyatakan dengan tegas tidak menganggap nona Nyo sebagai budak lagi,"

   Sambung Thian-hiang.

   "Justru sejak dulu aku pun tahu dia adalah anak perempuan Nyo Tay- ging, kalau tidak, masakah aku begitu baik padanya?"

   Kata Cap-si-koh.

   "Tapi sekarang, hm, dia telah melupakan budi kebaikan, aku harus memberi hajaran padanya. Lekas kalian minggir. Nah, Si Bwe, ikut saja padaku!"

   Namun Siang-hoa dan Siang-yau, Bu Hian-kam dan Liong Thian-hiang, serentak berdiri sejajar di depan Kiat-bwe, tiada satu pun di antara mereka mau menyingkir. Perlahan Sin Cap-si-koh angkat tongkatnya dan berkata.

   "Bagus, jadi orang di sini sengaja hendak memusuhi aku?"

   "Nanti dulu!"

   Cepat Goan-hoa berseru meski mulutnya masih meneteskan darah.

   "Ciau Goan-hoa,"

   Seru Sin Cap-si-koh.

   "Lebih baik kau saja yang maju, aku merasa tidak sudi melayani bocah ingusan ini. Hayolah maju, apakah kau tunggu aku melabrak kau lebih dulu!"

   Begitulah selagi Sin Cap-si-koh angkat tongkatnya hendak mulai menyerang untuk menghalau rintangan Ciau Siang-hoa berempat, tiba-tiba terdengar suara tertawa orang yang berkumandang dari jauh, tapi dalam sekejap saja suara tertawa itu sudah mendekat dan memekakkan telinga setiap pendengarnya.

   Sin Cap-si-koh terkejut, tongkat bambu yang sudah diangkat ke atas itu tanpa terasa diturunkan lagi ke bawah.

   Waktu ia menoleh, ternyata pendatang itu sudah masuk ke taman, yaitu seorang Su-sing (orang terpelajar) setengah umur.

   Su-sing itu menggoyang-goyang sebuah kipas lempit yang dipegangnya, lalu berkata dengan dingin.

   "Apakah kau inilah Sin-lihiap, Sin Yu-ih, yang mengguncangkan Kang-ouw pada duapuluhan tahun yang lalu itu? He, he, orang bilang mendengar nama lebih baik melihat orangnya, tapi bagiku melihat orangnya ternyata tidak lebih baik daripada mendengar namanya saja."

   "Hm, apakah kau ini Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham?"

   Kata Sin Cap-si- koh dengan gusar.

   "Benar, aku inilah orangnya,"

   Jawab Siau-go-kan-kun, si Pendekar Latah atau si Hina Jagat.

   "Kau mengatakan melihat orangnya tidak lebih baik daripada mendengar namanya, apa maksud ucapanmu ini?"

   Tanya Cap-si-koh.

   "Ya, sebenarnya kau mendapatkan sebutan Lihiap (pendekar wanita), tapi sekarang kau menganiaya seorang nona cilik, apa kau tidak merasa menurunkan derajatmu?"

   Kata Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham.

   "Sin Yu-ih sudah mati duapuluh tahun yang lalu, pendekar apa tidak tiada sangkut-pautnya dengan aku lagi,"

   Jawab Cap-si-koh.

   "Sekarang yang aku cari adalah budakku ini, sebaiknya kau tidak ikut campur."

   "Kau hendak mencari dia, tapi aku juga hendak mencari kau,"

   Ujar Siau- go-kan-kun. Mendadak Sin Cap-si-koh angkat tongkatnya dan berkata.

   "Baik, coba katakan apa kehendakmu!"

   "Kau salah paham, Cap-si-koh,"

   Kata Siau-go-kan-kun.

   "Aku mencari kau bukan untuk mengajak berkelahi padamu."

   "Habis kau mau apa?"

   "Aku ingin mencari kabar padamu tentang seseorang."

   "Seseorang? Siapa?"

   Tanya Cap-si-koh ketus, hatinya tergetar juga.

   "Han Tay-wi, Han Lo-enghiong dari Lok-yang,"

   Jawab Siau-go-kan-kun perlahan dan tegas.

   "Kudengar beliau sedang merawat sakitnya di rumahmu, kami pernah mendatangi rumahmu, tapi tidak ketemukan dia. Sesungguhnya dimanakah kau menyembunyikan dia?"

   Kiranya ada orang melihat munculnya Sin Cap-si-koh di daerah Kang- lam, maka Han Pwe-eng sengaja minta tolong kepada Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham agar mencari jejak Sin Cap-si-koh.

   Biasanya Sin Cap-si-koh paling sirik kalau ada orang mengungkit hubungan pribadinya dengan Han Tay-wi di masa lampau, karena itu mukanya menjadi merah, dari malu ia menjadi gusar.

   Dengan ketus ia lantas menjawab.

   "Sangkut-paut apa dengan kau, mengapa kau ikut campur?"

   "Ha, ha, ha!"

   Siau-go-kan-kun tertawa.

   "Meski tiada sangkut-paut aku, tapi anak perempuan Han Tay-wi ingin mencari ayahnya, aku dimintai tolong, terpaksa aku ikut campur bukan?"

   "Mana anak perempuan itu, suruh dia maju bicara dengan aku,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Dia jauh berada di Kim-keh-nia,"

   Jawab Siau-go-kan-kun.

   "Hm, jangankan aku tidak tahu urusan Han Tay-wi, andaikan tahu juga takkan kukatakan padamu,"

   Kata Cap-si-koh.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jika begitu aku pun takkan memaksa,"

   Jengek Siau-go-kan-kun.

   "Baiklah, kau boleh pergi, tapi cuma kau seorang saja yang boleh pergi!"

   Sin Cap-si-koh bermaksud menarik Kiat-bwe untuk diajak pergi, mendengar ucapan itu, ia tertegun, lalu berkata dengan gusar.

   "Apa maksudmu?"

   Siau-go-kan-kun kebas-kebas kipasnya, segera ia menghadang di antara Cap-si-koh dan Kiat-bwe, katanya.

   "Nona Nyo ini adalah kawan Kim-keh-nia kami, dia bukan lagi budakmu, kau tak dapat membawa pergi dia!"

   Dengan gusar Cap-si-koh menjengek.

   "Hm, selamanya belum pernah ada orang berani main gila padaku, biarpun namamu termasyhur di dunia persilatan juga aku tidak takut padamu!"

   "Segala persoalan tidak terlepas dari kebenaran, kau memaksa orang baik menjadi hina, terhitung perbuatan pendekar macam apa ini?"

   Jengek Siau-go-kan-kun.

   "Aku tiada ada tempo buat bicara tentang kebenaran segala dengan kau, pula selamanya aku Sin Cap-si-koh tidak menganggap diriku sebagai pendekar,"

   Jawab Cap-si-koh.

   "Bahwa kau hendak membela budak ini, boleh juga, asal saja kau mampu mengalahkan tongkat bambuku ini."

   Sebenarnya Siau-go-kan-kun adalah seorang berwatak angkuh dan latah, sesudah menjadi suami Lok-lim-beng-cu daerah utara, yaitu Hong-lay-mo-li, sifat latahnya telah banyak hilang.

   Tapi kini setelah mendengar ucapan Sin Cap-si-koh yang mau menang sendiri itu, tanpa terasa sifat latah Siau-go-kan- kun menjadi kambuh kembali, segera ia bergelak tertawa, katanya.

   "Baik, kau tidak mau bicara tentang kebenaran, aku inilah kakek moyang daripada orang yang tidak suka bicara kebenaran segala. Hm, tongkatmu ini berharga berapa, coba kulihat?"

   "Ini, lihat yang jelas!"

   Bentak Cap-si-koh sambil angkat tongkatnya menjojoh ke depan.

   Serangan ini sangat cepat dan sukar diraba kemana arah yang akan dituju.

   Asal Siau-go-kan-kun sedikit lengah saja pasti akan kecundang.

   Tapi dengan tertawa saja Siau-go-kan-kun masih berolok-olok.

   "Ah, tampaknya tongkatmu tidak begitu berharga!"

   Berbareng kipasnya lantas menyampuk, dengan enteng saja tongkat bambu hijau lawan telah ditangkis ke samping. Sin Cap-si-koh terkejut, pikirnya.

   "Pantas orang menyebut Siau-go-kan- kun dan istrinya serta Bu-lim-thian-kiau sebagai tiga kesatria Bu-lim terkemuka, nyatanya memang bukan omong kosong belaka!"

   Ia tak tahu bahwa cara Siau-go-kan-kun mematahkan serangannya tadi, tampaknya saja enteng, tapi sesungguhnya telah menggunakan segenap kemahirannya untuk melayani serangan Sin Cap-si-koh itu.

   Setelah menyampuk tongkat lawan, Siau-go-kan-kun sendiri juga terkesiap, meski di mulut dia masih mengolok-olok, tapi di dalam hati ia berpikir.

   "Waktu mudanya Sin Cap-si-koh dijuluki orang sebagai Dewi bertangan ganas, ternyata memang tidak bernama kosong, permainan tongkat dengan gaya ilmu pedang benar-benar lihai luar biasa."

   Begitulah kedua orang itu sama-sama mengeluarkan kemahiran masing- masing, tipu serangan Sin Cap-si-koh makin lama makin aneh, setiap jurus tongkat bambunya selalu mengarah Hiat-to mematikan di tubuh Siau-go-kan- kun.

   Sedangkan Siau-go-kan-kun telah pentang kipasnya sambil memperhatikan setiap gerakan ujung tongkat lawan, kipasnya mendadak terpentang dan digunakan sebagai tameng, sungguh aneh, meski kipas itu terbuat dari kertas, tapi ujung tongkat Sin Cap-si-koh ternyata tidak mampu merobeknya, begitu mendekat lantas meluncur ke samping.

   Bilamana kipas itu dilempit, dengan cara yang sama ia pun balas menotok Hiat-to maut di tubuh Sin Cap-si-koh.

   Diam-diam Cap-si-koh terperanjat, pikirnya.

   "Kemahirannya mengelak serangan dan balas menyerang si Latah ini sungguh tak dapat kutandingi, bukan mustahil tongkatku ini akan dikalahkan oleh kipasnya nanti. Tapi kalau aku angkat langkah begini saja, kemana lagi mukaku harus ditaruh?"

   Sin Ca-psi-koh adalah orang yang paling mengutamakan kehormatan, karena diolok-olok oleh Siau-go-kan-kun, ia merasa penasaran dan malu pula untuk kabur, karena itu ia masih bertahan sekuatnya dan coba mengadu untung.

   Pada suatu saat, sekonyong-konyong Siau-go-kan-kun tertawa panjang, mendadak kipasnya menahan ujung tongkat lawan, tangan kiri secepat kilat dapat merampas senjata lawan, katanya sambil tertawa.

   "Ha, ha, agaknya juga bukan barang mustika. Sudah jelas kulihat, ini kukembalikan!"

   Menyusul ia terus melemparkan kembali tongkat bambu itu ke arah Sin Cap- si-koh.

   Dalam pada itu Cap-si-koh terkejut tidak kepalang karena tongkatnya terampas, kuatir pihak lawan melancarkan serangan susulan, otomatis ia melompat pergi beberapa meter jauhnya, ketika tongkat bambu itu dilempar kembali oleh Siau-go-kan-kun, ia kuatir kalau tongkat itu membawa tenaga dalam lawan yang dahsyat, maka ia tidak berani menangkapnya, cepat ia mendek ke bawah, tongkat bambu itu menyambar lewat di atas kepalanya dan melayang keluar pagar tembok.

   Sebenarnya tongkat bambu hijau Sin Cap-si-koh itu memang benar benda mestika, yaitu buatan sejenis bambu kemala hijau yang tumbuh di puncak pegunungan Kun-lun-san, daya tahan bambu hijau itu sangat ulet, tapi juga keras seperti besi.

   Dengan susah payah Sin Cap-si-koh memanjat ke puncak gunung itu dan berhasil mendapatkan sebatang hambu mestika itu.

   Kini tongkat itu dilempar keluar pagar tembok oleh Siau-go-kan-kun, terpaksa ia tidak pikirkan malu atau tidak, cepat ia melompat keluar pagar tembok untuk menjemput kembali tongkatnya, kabur.

   "Ha, ha, ha! Iblis perempuan itu terlalu sombong, setimpal kiranya kalau dia diberitahu rasa sedikit,"

   Demikian Siau-go-kan-kun bergelak tertawa.

   "Cuma sayang, jejak Han Tay-wi masih tetap tak diperoleh beritanya."

   Ciau Goan-hoa lantas memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Siau-go-kan-kun lantas memberi sebutir pil buatan Siau-lim-si dan menyuruh tuan rumah itu pergi mengaso saja. Kiat-bwe juga maju memberi hormat, katanya.

   "Hoa-tayhihap, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Cuma dengan orang Kim-keh-nia selamanya aku tiada....."

   "Ada seorang temanmu di Kim-keh-nia, masakah kau sudah lupa?"

   Sela Siau-go-kan-kun dengan tertawa.

   "Mana ada? Siapa dia?"

   Kiat-bwe menegas dengan heran.

   "Yaitu nona Han Pwe-eng yang pernah mendapatkan bantuanmu dahulu itu, masakah kau sudah melupakan dia?"

   Kata Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham "Ya, mana bisa aku melupakan nona Han, soalnya kedudukan kami berbeda, aku merasa tidak sesuai untuk berteman dengan dia,"

   Kata Kiat- bwe.

   "Apakah nama ayahmu adalah Nyo Tay-ging?"

   Tanya Siau-go-kan-kun.

   "Benar, Hoa-tayhiap kenal ayahku?"

   "Tidak, waktu aku mulai berkelana di Kang-ouw, sementara itu ayahmu sudah tirakat di rumah dan tak dapat berkenalan dengan beliau. Cuma ayah nona Han ternyata mempunyai hubungan baik dengan ayahmu."

   "Apa betul? Ketika aku diculik penjahat, lantaran usiaku teramat muda, maka aku sama sekali tidak tahu siapa saja teman mendiang ayahku itu."

   "Sebenarnya nona Han juga tidak tahu, setiba di Kim-keh-nia dan bertemu dengan teman seangkatan ayahnya barulah diketahuinya. Bicara terus terang, kedatanganku ke Kang-lam sekali ini selain dimintai bantuan oleh Han Pwe-eng untuk mencari ayahnya, berbareng aku pun sengaja hendak menyelidiki dirimu."

   "Aku adalah anak perempuan yatim piatu, sungguh entah cara bagaimana aku harus berterima kasih atas perhatian Hoa-tayhiap dan nona Han,"

   Kata Kiat-bwe dengan sangat terharu.

   "Nona Han juga sangat memikirkan dirimu, bila kau tiada tempat menetap, kenapa tidak pergi ke Kim-keh-nia saja untuk berkumpul dengan dia, juga dapat menemui sedikit kawan baik mendiang ayahmu di masa lalu."

   "Sungguh bagus sekali saran Hoa-tayhiap ini,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Cuma kupikir dua-tiga hari lagi barulah aku dapat berangkat ke sana."

   Ketika mereka berbicara, pandangan Ciau Siang-hoa selalu menatap Kiat- bwe saja dengan sikap yang tidak tenteram.

   Hal ini segera dapat dilihat oleh Siau-go-kan-kun yang sudah kenyang asam garam kehidupan manusia, ia tahu di antara kedua muda-mudi itu pasti ada hubungan intim yang luar biasa, maka dengan tertawa ia pun berkata.

   "Benar, memangnya kau tidak perlu terburu-buru ke sana, kalian boleh berunding saja lebih dulu."

   "Kalau nona Han sudah di Kim-keh-nia, tentunya Kok Siau-hong juga berada di sana bukan?"

   Tanya Giok-hoan tiba-tiba.

   "Benar, Kok Siau-hong yang mengiringi nona Han ke sana,"

   Jawab Siau- go-kan-kun.

   "Cuma dia mendapat tugas mewakili laskar rakyat Kim-keh-nia untuk mengadakan kontak dengan kawan seperjuangan di daerah Kang-lam, maka saat ini ia pun sudah berada di daerah selatan sini. Setelah mengalami macam-macam ujian, kini Siau-hong sudah baikan kembali dengan nona Han, asal ayah nona Han sudah diketemukan, maka pernikahan mereka tentunya dapat dilangsungkan. Peristiwa Pek-hoa-kok dahulu itu sudah berlalu, urusan pun sudah banyak berubah, tentunya hal itu tidak kau pikirkan lagi."

   Giok-hoan merasa girang dan serba salah pula, katanya kemudian.

   "Ya, sungguh baik sekali. Sayang saat ini tidak diketahui Kok Siau-hong berada dimana, aku sangat ingin menemui dia."

   "Kau bermaksud pergi kemana?"

   Tanya Siau-go-kan-kun.

   "Kupikir akan ke Lim-an untuk mencari Bun-tayhiap,"

   Jawab Giok-hoan. Padahal dia berniat mencari adik perempuannya. Soalnya dia tetap tidak percaya bahwa Giok-kun benar-benar telah menjadi istri murid pewaris Bun Yat-hoan.

   "Sudah lama aku tidak bertemu dengan Bun Yat-hoan, aku pun ingin bertemu dengan dia, marilah kita berangkat bersama ke sana,"

   Ujar Siau-go- kan-kun. Sementara itu Ciau Goan-hoa sudah minum pil pemberian Siau-go-kan- kun dan telah pergi mengaso didampingi istrinya, Lau-si. Kini tinggal Ko-si, Siang-hoa dan Siang-yau bertiga yang mengiringi tetamu.

   "Hoa-tayhiap,"

   Tiba-tiba Ko-si membuka suara.

   "dari jauh engkau datang kemari, silakan tinggal dulu sehari dua hari di sini."

   Tampaknya ada sesuatu yang hendak dikatakannya, tapi agaknya dan tidak berani bicara terus terang.

   "He, apakah tadi kau telah bergebrak dengan iblis perempuan itu?"

   Tiba- tiba Siau-go-kan-kun bertanya.

   "Tidak,"

   Jawab Ko-si.

   "Bibi, coba engkau menarik napas dalam-dalam, bukankah bagian iga menjadi sakit seperti tertusuk jarum?"

   Tiba-tiba Kiat-bwe ikut bertanya.

   "Darimana kau mendapat tahu?"

   Kata Ko-si dengan terkejut. Sebab sejak tadi dia memang sudah merasakan apa yang dikatakan Kiat-bwe itu, dia sendiri tidak tahu apa sebabnya, baru saja dia bermaksud minta petunjuk kepada Siau-go-kan-kun.

   "Kau telah kena racun Sin Cap-si-koh, bibi,"

   Kata Kiat-bwe. Keterangan ini tidak cuma membikin pucat muka Ko-si, bahkan Siau-go- kan-kun juga terperanjat, katanya.

   "Cara iblis perempuan itu meracuni orang sungguh sukar dicari tandingannya, sampai aku pun tidak dapat mengetahuinya."

   Ko-si tahu Kiat-bwe adalah pelayan kesayangan Sin Cap-si-koh, maka tidak heran kalau paham juga sedikit cara menggunakan racun dari sang majikan. Setelah pikiran rada tenang, lalu Ko-si bertanya.

   "Nona Nyo, racun apakah yang mengenai diriku ini, dapatkah ditolong?"

   Untuk sejenak Kiat-bwe ragu-ragu, katanya kemudian.

   "Kau mungkin terkena racun Kim-kian-jong (racun ulat emas), memang aku dapat juga menghilangkan racun ini, tapi cara memunahkan aku tidak paham. Orang yang terkena racun itu terkadang baru terasa beberapa bulan kemudian, bisa jadi dalam beberapa hari saja akan kumat."

   "Keji amat iblis perempuan itu, selamanya aku tidak bermusuhan dengan dia, entah mengapa dia mencelakai diriku?"

   Ujar Ko-si dengan gemas.

   Kiat-bwe juga heran, padahal seharusnya Sin Cap-si-koh menuntut balas padanya karena dia yang meracuni Sin Liong-sing, mengapa Ko-si yang kena getahnya malah? Segera Siau-go-kan-kun memberikan sebutir Pik-leng-tan terbuat dari teratai salju yang tumbuh di Thian-san, walaupun bukan obat yang tepat, tapi sedikitnya dapat mengurangi daya kerja racun.

   Ko-si tahu Pik-leng-tan adalah obat yang sukar diperoleh, ia pun tahu untuk bisa menawarkan racun dalam tubuhnya harus mendapatkan obat penawar dari orang yang meracuninya, maka ia mengucapkan terima kasih atas pemberian obat itu, katanya sambil menghela napas.

   "Mati atau hidup sudah ditakdirkan, maka aku pun tidak ingin membuang percuma Pik-leng- tan yang sukar didapat ini."

   Kemudian Siang-hoa dan Siang-yau membawa Ko-si ke dalam untuk istirahat, tiba-tiba Ko-si berkata.

   "Siang-yau, pergilah kau menjaga ayahmu."

   Siang-hoa minta maaf kepada Siau-go-kan-kun dan membawa ayah- ibunya ke dalam, sebenarnya Siau-go-kan-kun hendak mohon diri, tapi kini menjadi tidak enak untuk berangkat begitu saja, terpaksa ia menunggu di ruang tamu ditemani Hi Giok-hoan, Kiat-bwe dan lain-lain.

   Tidak lama kemudian keluarlah Siang-hoa dan berkata.

   "Nona Le dan nona Nyo, ibu ingin bertemu dengan kalian, harap kalian masuk ke dalam."

   Lapat-lapat Le Say-eng dapat menduga apa yang hendak dibicarakan Ko- si dengan dia, sedangkan Kiat-bwe merasa heran dan tidak tahu ada urusan apa Ko-si mengundangnya.

   Sesudah berada di kamar Ko-si, Siang-hoa bermaksud menyingkir agar mereka leluasa bicara antara kaum wanita.

   Namun Ko-si telah berkata.

   "Kau boleh tinggal saja di sini, apa yang hendak kubicarakan ada hubungannya dengan kalian bertiga."

   Siang-hoa menjadi heran dan sangsi, terlihat ibunya memanggil Say-eng ke dekat tempat tidurnya, lalu berkata.

   "Nona Le, bukankah kau mempunyai seorang Supek (paman guru) bernama Ku Gong?"

   "Benar, tapi Supek itu sudah meninggal sebelum aku lahir,"

   Jawab Say- eng.

   "Kau pun mempunyai seorang Suci, apa kau tahu?"

   Tanya pula Ko-si.

   "Pernah kudengar dari ayah,"

   Kata Say-eng.

   "katanya murid Supek satu- satunya itu dianggap seperti puteri kandung sendiri oleh Supek. Tapi kemudian entah sebab apa Suci itu telah minggat meninggalkan gurunya."

   "Aku inilah Sucimu itu!"

   Dengan perlahan Ko-si berkata.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku sendiri sangat menyesal akan kejadian dahulu itu."

   Diam-diam Say-eng merasa dugaaannya ternyata tidak meleset, tapi ia sengaja berlagak kaget dan berkata.

   "Kiranya engkau inilah Suci, sungguh tidak nyana akan bertemu di sini. Menurut ayah, waktu Supek wafat, beliau masih memikirkan dirimu. Entah sebab apakah dahulu Suci meninggalkan beliau?"

   Ko-si menghela napas, katanya.

   "Urusan ini teramat panjang untuk diceritakan, awalnya harus dimulai kira-kira seratus tahun yang lalu."

   Ciau Siang-hoa tambah sangsi, pikirnya.

   "Seratus tahun yang lalu, saat itu mungkin kakek luar saja belum lahir, entah mengapa ibu mulai kisahnya sejauh itu?"

   "Coba kalian dengarkan dulu ceritaku ini,"

   Tutur Ko-si.

   "Kira-kira seratus tahun yang lalu, waktu itu kerajaan Song belum hijrah ke selatan, ibukota masih di Peng-liang, ketika pasukan Kim menyerbu dan menduduki Peng- liang, kedua kaisar Wi dan Him telah tertawan musuh, sesudah itulah ibukota Song pindah ke selatan. Waktu musuh menduduki ibukota, seorang Thay-kam istana yang bertugas mengurusi kas kerajaan, dengan menempuh bahaya dia berhasil mencuri beberapa macam benda mestika. Sudah tentu benda-benda mestika itu sukar dinilai harganya, tapi satu di antaranya yang paling berharga adalah sebuah gambar penjelasan "Hiat-to-tong-jin", yaitu gambar orang-orangan yang melukiskan semua Hiat-to di tubuh manusia."

   Le Say-eng terkejut oleh keterangan itu, katanya.

   "Menurut cerita ayahku, katanya gambar Hiat-to-tong-jin itu bukan saja merupakan mestika di dunia ketabiban, bahkan juga pusaka yang sukar dicari di dunia persilatan. Konon sesudah Peng-liang diduduki bangsa Kim, Hiat-to-tong-jin yang merupakan pusaka istana Song itu telah diboyong ke kotaraja Kim, yaitu Tay-toh, tapi lantaran tidak mendapatkan gambar penjelasannya, maka patung tembaga Hiat-to-tong-jin itu menjadi tidak berguna. Sudah beberapa keturunan raja Kim mengumpulkan ahli silat dan tabib kenamaan dari seluruh negeri untuk mempelajari rahasia patung tembaga itu, akhirnya barulah dapat dihimpun sebuah gambar penjelasan baru, tapi tidak selengkap dan sejelas gambar penjelasan aslinya." (Tentang rahasia patung tembaga Hiat-to-tong-jin, dapat dibaca dalam Kisah Musuh Dalam Selimut).

   "Kau pernah mempelajari ilmu Tiam-hiat yang termuat digambar itu atau tidak?"

   Tanya Ko-si tiba-tiba. Say-eng melengak, jawabnya kemudian.

   "Ayah cuma tahu di istana Song ada patung tembaga demikian, tapi barang aslinya beliau tidak pernah melihat, lalu cara bagaimana aku dapat mempelajarinya?"

   "Apa betul?"

   Ko-si menegas. Mendadak jarinya menjentik, kontan Hiat- to di pinggang Le Say-eng tertotok. Nona itu tergeliat sempoyongan, syukur Kiat-bwe keburu memegangnya sehingga tidak sampai jatuh.

   "Kenapa kau, ibu?"

   Seru Siang-hoa terkejut.

   "Mengapa engkau perlakukan nona Le cara begini?"

   Tapi Ko-si tidak menjawabnya, ia menghela napas perlahan dan berkata.

   "Ya, kau memang tidak pernah mempelajarinya. Kalau tidak, tentu kau takkan kena tertotok oleh ilmu Tiam-hiat biasa yang kulakukan barusan ini." ~ Habis berkata ia menepuk perlahan di bahu Le Say-eng untuk membuka Hiat-to yang ditotoknya tadi.

   "Untuk apa kau menguji diriku, Suci?"

   Tanya Say-eng.

   "Sebab aku mengira gambar pusaka itu berada di tangan ayahmu,"

   Jawab Ko-si.

   "Mengapa bisa berada di tangan ayah?"

   "Kukira setelah guruku wafat, gambar itu oleh beliau serahkan kepada Sutenya, yaitu ayahmu."

   "Bukankah kau mengatakan bahwa gambar itu dicuri oleh seorang Thay- kam dari istana Song, mengapa bisa berada pada Supek? Jika betul berada padanya, engkau adalah murid kesayangannya, seharusnya gambar itu diwariskan kepadamu."

   "Ya, sebab itulah aku selalu sangsi apakah Suhu benar-benar telah mendapatkan gambar pusaka itu atau tidak. Tapi tampaknya kini hal ini tidaklah benar."

   "Mengapa Suci menyangsikan hal ini?"

   "Akan kuceritakan nanti,"

   Jawab Ko-si.

   "bukankah tadi aku mengatakan gambar pusaka itu ikut dibawa lari oleh Thay-kam penguasa kas kerajaan itu? Kukira beliau tentu juga mencurigai dia."

   "Benar, Thay-kam itu dipercayai memegang kas kerajaan, pada saat negara hancur dan kerajaan lebur, dia tidak ikut membela negara dan bangsa, sebaliknya ia malah menggunakan kesempatan itu untuk mencuri pusaka, sungguh teramat jahat perbuatannya ini."

   "Tidak, kau keliru sangka padanya,"

   Ujar Ko-si.

   "Thay-kam itu justru memiliki jiwa pahlawan, dia sangat setia kepada junjungannya, makanya dia berbuat begitu."

   "O, pahamlah aku,"

   Kata Siang-hoa.

   "Dia membawa lari pusaka yang tiada bandingannya itu dengan tujuan agar benda mestika kerajaan tidak jatuh di tangan musuh. Jadi bukan untuk kepentingan pribadinya."

   "Memang begitulah,"

   Kata Ko-si.

   "Asalnya Thay-kam itu juga seorang tokoh persilatan, semula dia hanya ingin mempelajari ilmu Tiam-hiat yang termuat di gambar pusaka itu, makanya dia sengaja "bersihkan diri"

   Dan masuk istana menjadi Thay-kam.

   Kemudian ketika kotaraja jatuh di tangan musuh, dengan menempuh bahaya dia mencuri pusaka, sementara itu rahasia ilmu Tiam-hiat pada Hiat-to-tong-jin itu belum ada dua bagian yang dipahaminya, tapi selanjutnya ia pun tidak mempelajarinya lebih jauh.

   Dia menyatakan pusaka itu takkan dikangkangi olehnya, tapi akan diserahkan kepada kaisar baru yang akan naik tahta nanti."

   "Bersihkan diri"

   Di sini maksudnya dikebiri. Menurut tradisi, syarat utama bagi lelaki yang ingin menjadi pelayan di istana harus dikebiri dulu.

   "O, kiranya Thay-kam itu mempunyai tujuan yang agung,"

   Ujar Siang- hoa.

   "Kemudian bagaimana?"

   Tapi Le Say-eng sedang merasa heran mengapa sang Suci bisa mengetahui duduk perkaranya sejelas itu? Sampai-sampai apa yang menjadi tujuan Thay-kam itupun diketahuinya.

   Agaknya Ko-si dapat meraba apa yang dipikirkan si nona, dengan tersenyum ia berkata pula.

   "Tentu kalian ingin tahu siapakah gerangan si Thay-kam itu bukan? Dia ialah adik kakekku, namanya Ko Siau. Tokoh persilatan yang berusia tujuhpuluh ke atas kiranya pernah mendengar namanya."

   Baru sekarang teka-teki pertama itu tersingkap.

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Say-eng.

   "Lalu gambar pusaka itu kemudian lari kemana?"

   "Sesudah mencuri pusaka, Thay-kam atau Siok-co (adik kakek) tidak berhasil lari keluar kotaraja,"

   Tutur Ko-si lebih lanjut.

   "Kemudian kerajaan Song hijrah ke selatan, perdana menteri dorna Cin Kwe memegang kekuasaan, kalau gambar pusaka itu diantar ke Lim-an, Siok-co kuatir akan jatuh ke tangan Cin Kwe. Sebab itulah beliau lantas menyimpannya sendiri, ditunggunya bila Cin Kwe sudah meninggal dan digantikan pembesar yang berjiwa patriot barulah gambar pusaka akan dikembalikan kepada kerajaan."

   "Pembesar dorna rasanya takkan habis-habisnya,"

   Ujar Siang-hoa dengan gegetun.

   "Setelah Cin Kwe mati, timbul Su Ni-wan, Su Ni-wan mampus, muncul Han To-yu. Bukankah lantaran penindasan Han To-yu maka ayah lebih suka meletakkan jabatan dan minta pensiun saja pulang kampung halaman."

   "Empatpuluh tahun kemudian, usia Siok-co ku itu semakin lanjut, sedangkan Cin Kwe masih belum mati, Siok-co merasa tidak sempat menunggu lagi, waktu beliau sakit keras, dia memanggil menghadap seorang keponakan lelakinya dan memberitahukan rahasia tentang gambar pusaka, keponakan itu diharuskan bersumpah keras agar betapa pun berusaha mengembalikan gambar pusaka itu kepada kerajaan beserta benda mestika lain yang pernah dicurinya itu. Andaikan tugas itu takkan dilaksanakannya, maka sang keponakan juga tidak boleh mengangkangi benda-benda mestika itu. Keponakan lelaki yang dimaksud itu ialah ayahku sendiri."

   "O, sungguh harus dipuji dan mengagumkan bahwa keluarga Suci turun- temurun adalah kaum patriot semua,"

   Ujar Le Say-eng. Muka Ko-si yang pucat itu tampak bersemu merah sedikit, sejenak kemudian barulah dia berkata pula.

   "Sungguh memalukan jika kuceritakan, sebab ayahku ternyata bukan kaum patriot sebagaimana dugaanmu. Aku..... aku sendiri pun tidak."

   Ucapan ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, semuanya menjadi serba kikuk sehingga tiada seorang pun yang buka suara lagi. Selang sebentar, Le Say-eng berkata pula.

   "Tahu kesalahan sendiri dan mau memperbaikinya adalah perbuatan yang terpuji. Kemudian bagaimana dengan gambar pusaka itu, konon Suci suka menjelaskan lebih lanjut."

   "Rupanya ayahku juga ingin mengangkangi gambar pusaka itu, waktu itu ayah juga bersumpah sebagaimana diharuskan oleh Siok-co dengan harapan akan mendapatkan gambar pusaka yang dikatakan, tapi cita-citanya itu ternyata tidak terkabul."

   "Sebab apa?"

   Tanya Say-eng.

   "Setelah memberitahukan rahasia gambar pusaka itu, kemudian Siok-co menyatakan bahwa beliau bukannya tidak percaya kepada ayahku, tapi persoalannya yang maha penting, seorang diri mungkin sukar terlaksana, maka beliau ingin mencari seorang lagi untuk bekerja sama dengan ayah. Dan orang yang dipilih Siok-co itu adalah ayah nona Nyo, yaitu Nyo Tay- ging."

   "Aneh, mengapa ayahku yang terpilih?"

   Ujar Kiat-bwe.

   "Tatkala itu ayahmu adalah Cong-piauthau sebuah Piaukiok terkenal di Peng-liang, ayahmu terkenal berbudi luhur dan berjiwa kesatria, meski usia Siok-co berselisih jauh dengan ayahmu, keduanya juga tidak bersahabat, tapi Siok-co ternyata dapat mempercayai ayahmu. Maka siok-co suruh ayahku mendatangkan Nyo Tay-ging, beliau sendiri lantas menyerahkan benda mestika itu di bawah pengawasan Nyo Tay-ging."

   Baru sekarang diketahui keterlibatan ayah Kiat-bwe dalam urusan ini, Ciau Siang-hoa menjadi gelisah, teringat olehnya apa yang dipercakapkan antara Ko-si dengan Kiau Sik-kiang siang tadi, agaknya ayahnya juga tersangkut di dalam persoalan ini.

   Karena itu ia lantas tanya bagaimana selanjutnya? "Sekarang tiba saatnya untuk menyinggung diri ayahmu,"

   Kata Ko-si dengan tersenyum hampa. Yang dimaksud ayah Ciau Siang-hoa adalah ayah kandungnya, maka Siang-hoa menjadi gelisah dan bergirang pula, katanya cepat.

   "Ayahku? Apakah beliau juga berusaha Piaukiok?"

   "Tidak, ayahmu bukan orang dari kalangan pengawalan, dia adalah seorang pendekar pengembara,"

   Tutur Ko-si.

   "Tapi dia adalah sahabat karib Nyo Tay-ging."

   "Apakah barangkali ayahku telah minta bantuannya agar ikut mengantar pusaka?"

   Tanya Kiat-bwe. ENAR, kau sangat pintar, sekali tebak lantas kena,"

   Ujar Ko-si.

   "Ayah anak Hoa bernama Ciok Leng, sedangkan ayahku bernama Ko Kiat, untuk mudahnya cerita, aku menyebut nama mereka saja. Tentang Nyo Tay-ging hendak minta bantuan sahabatnya, Ciok Leng, hal ini sebenarnya tidak disetujui Ko Kiat, tapi lantaran gambar pusaka berada di tangan Nyo Tay-ging, terpaksa ia menurut, tapi di samping itu dia telah merencanakan suatu maksud lain?"

   "Apa maksudnya?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Yaitu maksud mengangkangi benda pusaka itu,"

   Tutur Ko-si.

   "Tapi setelah dia mempertimbangkan, ia merasa melulu tenaga sendiri pasti sukar merampas benda pusaka, terpaksa diam-diam ia pun mencari seorang pembantu."

   "Siapa yang dicarinya?"

   Tanya Siang-hoa, lapat-lapat ia dapat menduga siapa yang dimaksud.

   "Ialah Kiau Sik-kiang,"

   Jawab Ko-si. Ternyata dugaan Siang-hoa memang tidak meleset, tapi dalam hati tetap heran, segera ia bertanya pula.

   "Mengapa tidak orang lain dan justru Kiau Sik-kiang yang dia cari?"

   

   Jilid 21

   "B Ko-si menghela napas, lalu menjawab.

   "Memangnya, lantaran itulah ayah justru mencari bencana bagi diri sendiri. Cuma selain dia, ayah memang tiada mempunyai orang kepercayaan lagi, sebab Kiau Sik-kiang adalah Suhengnya."

   "Haaah!"

   Tanpa terasa Siang-hoa dan Kiat-bwe bersuara heran, dalam hati mereka pun berkata.

   "O, kiranya demikian!"

   "Setelah menyerahkan kotak benda pusaka itu kepada Nyo Tay-ging, akhir tahun kakek pun lantas wafat,"

   Demikian tutur Ko-si lebih lanjut.

   "Kira- kira empat-lima tahun kemudian, Nyo Tay-ging mendengar bahwa menteri doma Cin Kwe telah mati, kerajaan Song selatan muncul seorang panglima patriot bernama Gu Un-bun, Nyo Tay-ging menganggap sudah tiba saatnya, maka ia lantas menutup perusahaan dan menuju ke selatan bersama Ko Kiat dan Ciok Leng dengan membawa benda pusaka. Maksud Nyo Tay-ging hendak menyerahkan harta pusaka itu kepada Gu Un-bun untuk diteruskan kepada Kaisar. Ia tidak tahu bahwa selama itu Ko Kiat telah mengatur tipu muslihat, diam-diam ia telah mengadakan perkomplotan dengan Kiau Sik- kiang, suhengnya.

   "Sudah tentu Kiau Sik-kiang sangat tertarik oleh gambar mestika yang diimpi-impikan oleh setiap tokoh persilatan itu, apalagi masih ada benda mestika lain yang tak ternilai harganya. Tapi kuatir tidak mampu mengalahkan Nyo Tay-ging dan Ciok Leng berdua, maka Kiau Sik-kiang dan Ko Kiat telah mengatur tipu keji. Kiau Sik-kiang menyerahkan obat bius kepada Ko Kiat agar diminumkan kepada kedua kawannya itu. Obat itu tidak berbau dan tidak berwarna, tapi dapat menghilangkan tenaga, hanya khasiatnya cuma bertahan duabelas jam saja, lewat duabelas jam orang yang minum obat itu akan pulih seperti biasa.

   "Begitulah Kiau Sik-kiang minta Ko Kiat mencampurkan obat itu ke dalam minuman Nyo Tay-ging dan Ciok Leng, agar tidak menimbulkan curiga, Ko Kiat sendiri juga harus minum air campur itu. Mereka merencanakan akan turun tangan pada suatu tempat berbahaya besok paginya, maka sekitar tengah malam diam-diam Ko Kiat mengerjakan apa yang telah disiapkan sebelumnya. Sudah tentu Nyo Tay-ging sama sekali tidak menduga bahwa Ko Kiat yang selama dalam perjalanan berdampingan itu akan mengerjai dia, maka akhirnya dia pun terjeblos."

   "Jika begitu, seharusnya benda-benda pusaka itu jatuh di tangan Kiau Sik- kiang, mengapa dia tidak mendapatkan apa-apa?"

   Tanya Siang-hoa heran.

   "Ya, itu namanya yang kuat masih ada yang lebih kuat, mereka mengatur tipu muslihat, tapi di belakang mereka ada orang lain lagi yang mengerjai mereka pula!"

   Kata Ko-si.

   "Siapakah gerangan yang membonceng tipu muslihat Ko Kiat itu?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Hal ini sampai sekarang aku pun tidak tahu,"

   Kata Ko-si dengan menghela napas.

   "Ayahku sih mencurigai paman guru nona Le, yaitu Ku Gong.

   "Mengapa dia yang dicurigai?"

   Tanya Say-eng.

   "Hal ini akan kuterangkan nanti, biar kuceritakan lebih dulu kejadian pada malam itu,"

   Kata Ko-si.

   "Sesudah Ko Kiat mencampurkan obatnya ke dalam teh, mereka bertiga telah minum semuanya, kemudian tidur. Lewat tengah malam, tiba-tiba seorang berkedok menyusup ke kamar mereka. Ko Kiat mengetahui lebih dulu, dia mengira sang Suheng sengaja mempercepat waktunya untuk merampas benda-benda mestika itu, untuk menghindari curiga Nyo Tay-ging dan Ciok Leng, segera ia berteriak maling dan melompat bangun untuk bergebrak dengan orang berkedok itu.

   "Ko Kiat mengira sang Suheng pasti akan pura-pura saja bergebrak dengan dia dan takkan melukainya, asal nanti dirinya berlagak terluka dan menjatuhkan diri, selanjutnya orang pasti takkan mencurigainya. Tak terduga orang berkedok itu ternyata bergebrak sungguh-sungguh dengan dia, bahkan memberi suatu pukulan dahsyat padanya. Dalam keadaan tenaga murni sudah hilang lima-enam bagian, Ko Kiat tidak tahan oleh pukulan itu, kontan dia terguling dan tidak sanggup bangun pula. Menyusul Nyo Tay- ging dan Ciok Leng juga terjaga bangun dan bergebrak dengan orang berkedok, tapi tenaga mereka pun sudah lenyap, dengan sendirinya mereka tidak mampu mengeluarkan kepandaian sejati, maka hanya beberapa gebrak saja mereka telah kena ditotok roboh. Sedangkan kotak benda pusaka berikut gambar keterangan Hiat-to-tong-jin juga ikut digondol oleh orang berkedok itu."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sungguh tidak nyana!"

   Demikian Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe berkata bersama dengan saling pandang.

   "Ya, memang siapa pun tidak pernah menduga akan peristiwa itu,"

   Kata Ko-si.

   "Bahwa Nyo Tay-ging dan Ciok Leng tidak kuat mengeluarkan kepandaian masing-masing, tahu-tahu mereka sudah tertotok roboh, sudah tentu hal ini membuat mereka bingung. Sedangkan ayahku juga tidak habis mengerti mengapa sampai kena dihantam oleh orang itu. Samar-samar ia merasa orang itu bukan Suhengnya, tapi siapa lagi yang tahu akan rahasia muslihat mereka? Tapi sebelum melihat jelas muka orang itu, betapa pun ayahku masih menyangsikan orang itu adalah Suheng sendiri, yaitu Kiau Sik- kiang.

   "Di antara mereka bertiga hanya ayahku saja yang tidak tertotok Hiat- tonya, walaupun terluka pukulan, namun badan ayah cukup kuat, mengaso sebentar saja akhirnya ayah dapat merangkak bangun untuk menyalakan lampu, semula ia bermaksud membuka Hiat-to kedua kawannya yang tertotok itu, tapi setelah melihat mereka di bawah cahaya lampu, mendadak berubah pula jalan pikirannya."

   "Apa sebabnya?"

   Sela Kiat-bwe saking tegangnya oleh cerita itu.

   "Sebab di bawah cahaya lampu dapat dilihatnya wajah Nyo Tay-ging dan Ciok Leng mengunjuk rasa gusar. Hiat-to mereka tertotok dan tak dapat bicara, tapi tidak perlu mereka membuka suara juga Ko Kiat dapat menduga apa yang menjadi sebab rasa gusar mereka. Pikir saja, di dalam kamar itu hanya mereka bertiga, lalu siapakah yang menaruh racun di dalam minuman sehingga tenaga murni mereka hilang? Padahal Nyo Tay-ging dan Ciok Leng bersahabat karib dan cukup memahami jiwa masing-masing dan dapat mempercayai kejujuran satu sama lain, maka yang dicurigai mereka tidak perlu dijelaskan lagi pasti Ko Kiat adanya. Pertama, lantaran Ko Kiat memang berdosa, kedua, ia pun ingin mencari sang Suheng untuk tanya duduknya perkara, maka tanpa mempedulikan keadaan kedua kawannya itu segera ia melarikan diri."

   "Untung kesempatan itu tidak digunakan Ko Kiat untuk membunuh ayahku dan ayah Siang-hoa,"

   Demikian Kiat-bwe membatin. Ko-si seperti tahu apa yang dipikir oleh Kiat-bwe, katanya pula.

   "Betapa pun busuk hati ayahku juga tidak sebusuk Kiau Sik-kiang. Setelah peristiwa itu, batin ayah sangat tersiksa dan menyesal, sejak itu beliau juga tidak bertemu pula dengan ayah kalian."

   "Tapi dia bertemu lagi dengan Kiau Sik-kiang bukan?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Mereka memang sudah berjanji untuk bertemu di suatu tempat yang direncanakan, maka Kiau Sik-kiang sudah siap di tempat itu. Tapi Kiau Sik- kiang menjadi curiga ketika melihat Ko Kiat datang sendirian, ditegurnya mengapa tidak melaksanakan rencana semula seperti telah diaturnya. Sebaliknya Ko Kiat juga curiga kalau Kiau Sik-kiang sengaja main sandiwara, segera ia, pun tanya apakah orang berkedok semalam itu bukan Kiau Sik- kiang sendiri? Lalu ia pun menceritakan kejadian semalam.

   "Tentu saja Kiau Sik-kiang tidak percaya, tanpa ampun lagi ia menghajar Ko Kiat dengan cara kejam, tapi meski sudah disiksa hingga sekarat, tetap Ko Kiat tidak mengaku salah. Tampaknya tiada harapan untuk mendapatkan keterangan, akhirnya Kiau Sik-kiang meninggalkan ayah yang sudah kempas- kempis itu. Katanya sebelum pergi bahwa jiwa ayah sengaja diampuni demi gambar pusaka yang belum ditemukan itu, kalau saja gambar itu tidak diserahkan, kelak ayah masih akan disiksa lebih berat lagi."

   "Sungguh keji amat keparat Kiau Sik-kiang itu, terhadap Sute sendiri saja tidak percaya dan tega menyiksanya seberat itu,"

   Ujar Ciau Siang-hoa dengan penasaran.

   "Kasihan ayah yang sudah kempas-kempis itu, tatkala itu aku baru berumur sepuluh tahun, ayah hanya tinggal semalam saja di rumah, besoknya lantas melarikan diri dengan membawa diriku. Dia kuatir dicari lagi oleh Kiau Sik-kiang dan juga takut dicari oleh Nyo Tay-ging serta Ciok Leng. Kami bersembunyi di suatu kampung pegunungan, setelah merawat diri beberapa bulan barulah luka luar ayah sembuh, tapi penyakit dalam bertambah berat malah.

   "Aku masih ingat dengan jelas, pada hari lahirku genap sepuluh tahun itu, ayah memanggil aku ke dekat pembaringannya dan berkata padaku, Hanya lantaran salah pikir sedikit saja dan ingin mengangkangi gambar pusaka itu, akhirnya aku sendiri yang tersiksa, menyesal pun sudah terlambat. Tapi tewas di tangan Kiau Sik-kiang betapa pun aku tidak bisa terima dan tetap penasaran. Meski aku baru berumur sepuluh, tapi aku sudah cukup paham urusan, segera aku bersumpah di hadapan ayah pasti akan menuntut balas bagi ayah. Ayah tersenyum dan berkata pula, Anak Hong, syukurlah kau mempunyai cita-cita yang teguh. Cuma, ayah saja tidak mampu menandingi keparat she Kiau itu, cara bagaimana kau sanggup membalaskan dendamku? ~ Dengan tegas aku menyatakan bila aku sudah besar, aku akan mencari guru yang pandai untuk belajar, aku tidak percaya bahwa di dunia ini tidak ada tokoh silat yang berkepandaian lebih tinggi daripada Kiau Sik-kiang.

   "Ayah mengatakan bahwa guru pandai sudah tentu ada, tapi hanya dapat bertemu secara kebetulan dan sukar dicari. Menurut ayah, jika betul aku bertekad akan menuntut balas, maka ada suatu jalan singkat daripada aku mencari guru segala. Cepat aku tanya bagaimana caranya, ayah berkata, Cari kembali gambar pusaka itu, bila kau berhasil meyakinkan ilmu Tiam-hiat yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan saja Kiau Sik-kiang dapat kau bunuh dengan mudah, bahkan dapat membalaskan sakit hatiku terhadap orang berkedok itu. Kau harus tahu bahwa musuh ayah ada dua orang, Kiau Sik-kiang adalah musuh pertama, orang berkedok itu meski tidak sebusuk Kiau Sik-kiang, tapi ia terhitung musuhku.

   "Kukatakan kepada ayah bahwa gambar pusaka itu mungkin adalah benda yang tidak membawa keberuntungan, ayah sudah terima akibat buruknya, buat apa memikirkannya lagi? Tapi ayah menyatakan tetap pada pendiriannya, untuk mendapatkan gambar pusaka itu ayah telah berjuang sekian lamanya dan akhirnya tewas karenanya, kalau saja gambar itu tidak didapatkan, di alam baka pun ayah takkan tenteram. Apalagi untuk bisa menuntut balas juga tiada jalan lain kecuali mendapatkan gambar pusaka itu? "Terpaksa sekali lagi aku bersumpah di hadapan ayah bahwa dengan jalan apa pun juga aku pasti akan menemukan kembali gambar pusaka itu. Kemudian kutanya ayah, cara bagaimana menemukan gambar pusaka yang jatuh di tangan orang berkedok yang tidak dikenal asal usulnya itu? "Ayah berkata, Dahulu aku tidak tahu siapa dia, tapi sekarang aku sudah tahu. ~ Cepat kutanya pula siapakah gerangan orang berkedok itu? Mengapa ayah dahulu tidak tahu dan sekarang mendadak sudah mengetahuinya?"

   Le Say-eng sendiri juga ingin tahu duduk persoalannya, maka ia menaruh perhatian penuh akan cerita Ko-si lebih lanjut. Ko-si minum dulu seteguk dan mengaso sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya.

   "Perlahan ayah membuka baju dan memperlihatkan perutnya kepadaku, ternyata di bawah pusarnya terdapat sebuah bekas telapak tangan berwarna ungu muda, lukanya sudah bercodet, hanya bekas tapak tangan itu masih tampak sangat jelas."

   "Ah, pahamlah aku,"

   Kata Say-eng.

   "Makanya ayahmu mengira pukulan yang melukai dia itu adalah Tok-liong-ciang Ku-supek."

   "Benar,"

   Kata Ko-si.

   "Menurut ayah, luka pukulan itu baru mulai bekerja dan bekas tapak tangan makin lama makin jelas, tanda khas ini hanya Tok- liong-ciang saja yang dilatih Coa-to-tocu Ku Gong."

   "Kau keliru,"

   Tiba-tiba Say-eng menyela.

   "Ada lagi sejenis pukulan berbisa lain yang juga mempunyai tanda-tanda khas itu."

   "Pukulan berbisa apa?"

   Tanya Ko-si.

   "Jit-sat-ciang yang dilatih Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun,"

   Jawab Say-eng. "Tapi kabarnya luka Jit-sat-ciang itu menimbulkan warna hitam pada bekas tapak tangan, berbeda daripada warna merah ungu bekas pukulan Tok-liong-ciang,"

   Ujar Ko-si.

   "Tidak, akibat pukulan Jit-sat-ciang baru akan menimbulkan warna hitam setelah lewat setengah tahun,"

   Kata Say-eng.

   "Jika dalam tiga-empat bulan orang yang terluka itu mati, maka warna bekas pukulan itu dimulai dengan warna ungu untuk kemudian baru berubah menjadi hitam. Tatkala itu apakah kau tidak memperhatikan keadaan bekas pukulan pada ayahmu itu?"

   Ko-si tertegun, jawabnya kemudian.

   "Entahlah. Jangan lupa, waktu itu aku baru berumur sepuluh, melihat penyakit ayah saja sudah kuatir, mana berani lagi memeriksa bekas lukanya? Tapi kabarnya Oh-hong-tocu pernah bertanding dengan ayahmu dan kalah satu jurus daripada ayahmu, konon Jit-sat-ciangnya baru berhasil diyakinkannya setelah mendapat bantuan ayahmu, apakah hal ini betul?"

   "Benar, memang begitulah,"

   Kata Say-eng.

   "Tapi hal itu terjadi lama berselang, tatkala itu mereka masih bersahabat dan sekarang menjadi bermusuhan malah."

   "Jikalau Oh-hong-tocu telah mendapatkan gambar pusaka itu, rasanya dia pasti takkan dikalahkan oleh ayahmu,"

   Ujar Ko-si. Di balik ucapannya ini dia masih tetap menyangsikan orang berkedok itu adalah Ku Gong, paman guru Le Say-eng. Karena ucapan Ko-si itu juga cukup beralasan, maka Le Say-eng juga merasa ragu, katanya kemudian.

   "Suci, sementara jangan peduli siapa orang berkedok itu. Bahwasanya ayah Suci mencurigai Ku-supek yang merampas gambar pusaka itu, sebab itulah beliau menyuruh engkau berguru kepada Supek bukan? Tapi entah mengapa Ku-supek mau pula menerima kau sebagai muridnya?"

   Tempat kediaman Ku Gong adalah Coa-to, pulau ular, letaknya beberapa ratus mil laut di sebelah utara Beng-sia-to, Le Say-eng belum pernah berkunjung ke pulau ular itu, ayahnya juga cuma beberapa kali saja ke sana, tapi tidak pada waktu Ko Siau-hong berguru kepada Ku Gong.

   Selama itu Ku Gong juga tidak pernah bercerita apa sebabnya dia mengambil murid.

   Sebab itulah Le Say-eng merasa heran dan ingin tahu.

   "Jika kuceritakan tentu kalian takkan percaya,"

   Ujar Ko-si.

   "Justru Kiau Sik-kiang yang telah membantu aku sehingga aku dapat diterima sebagai murid oleh paman gurumu."

   "Mana bisa jadi begitu?"

   Kata Say-eng heran.

   "Kiau Sik-kiang musuh besarmu, masakah kau berani pula minta bantuannya? Apalagi setahuku, ayahku dan Ku-supek juga bersengketa dengan Kiau Sik-kiang, cara bagaimana dia dapat memberi bantuan padamu?"

   "Memangnya aku pun sangsi ketika ayah mengutarakan rencananya waktu itu,"

   Tutur Ko-si.

   "Tapi dengan tegas ayah menyatakan pula bilamana aku bertekad akan menuntut balas, maka jalan yang paling baik adalah pura- pura bekerja sama dengan musuh untuk menarik hatinya, dengan begitu barulah dapat mencuri gambar pusaka itu. Kata ayah lebih lanjut, Setelah berhasil mencuri gambar pusaka itu, sudah tentu jangan kau serahkan Kiau Sik-kiang, tapi kau sendiri harus mempelajari ilmu Tiam-hiat pada gambar pusaka itu, dengan demikian bukankah kau dapat menuntut balas kepada kedua musuh besar kita itu?"

   "Sesungguhnya bagaimana rencananya sehingga kedua tokoh Kang-ouw ulung seperti Kiau Sik-kiang dan Ku-supek itu dapat diingusi?"

   Kata Say-eng.

   "Tidak lama ayah pun meninggal, beliau meninggalkan sepucuk surat wasiat dan memberi pesan agar membawa surat itu menemui Kiau Sik- kiang,"

   Tutur Ko-si pula.

   "Isi surat itu memohon Kiau Sik-kiang suka menerima aku dan mengajarkan ilmu silat perguruan sendiri. Bilamana Kiau Sik-kiang dapat menerima permintaan ayah itu, maka ayah berjanji akan memberi balas jasa yang berharga."

   "Balas jasa yang dijanjikan tentunya gambar pusaka itu,"

   Ujar Say-eng dengan tertawa.

   "Tampaknya ayahmu cukup kenal sifat Kiau Sik-kiang, dengan umpan itu, tentu saja Kiau Sik-kiang sangat tertarik dan mau tidak mau harus membantu kau."

   "Benar, setelah membaca surat tinggalan ayah, hatinya tergerak, tapi dia pura-pura baik hati segala, katanya, Ah, aku dan ayahmu adalah saudara seperguruan, meski kami bertengkar lantaran berebut pusaka, tapi hubungan baik sesama saudara seperguruan tetap berlangsung. Maka adalah kewajibanku pula ikut menjaga dirimu, mengapa mesti pakai balas jasa segala? Cuma ayahmu sendiri sudah mengutarakan maksudnya, aku menjadi ingin tahu balas jasa apa yang dia maksudkan? Aku pun menjawab sesuai ajaran ayah, maka kataku, Ayah memberi pesan agar kau mengucapkan sumpah lebih dulu barulah aku boleh memberitahukan kepadamu.

   "Kiau Sik-kiang bergelak tertawa, katanya, Ai, ayahmu sesungguhnya teramat banyak pikir, masakah aku diharuskan bersumpah segala baru dapat mempercayai diriku? Tapi, baiklah, untuk membikin tenteram hatimu, akan kulaksanakan sesuai pesan ayahmu, aku bersumpah bila tidak menjaga kau dengan sesungguh hati, kelak biar aku mati terkena pukulan berbisa orang berkedok itu seperti ayahmu.."

   "Ha, ha, sumpah begitu sama saja seperti tidak bersumpah,"

   Ujar Kiat- bwe dengan tertawa.

   "Orang berkedok itu toh tidak kenal dia, tanpa sebab masakah dia akan memukulnya segala?"

   Ko-si menyambung pula.

   "Habis dia bersumpah, aku lantas berkata, Ayah mengatakan beliau sudah tahu siapa orang berkedok itu dan gambar pusaka itu memang betul telah dirampas olehnya. Kalau saja Supek masih tidak percaya, biarlah aku tidak menerangkan lebih lanjut. ~ Kiau Sik-kiang lantas menjawab, Terus terang, semula aku memang sangsi ayahmu berdusta, tapi sekarang mau tak mau aku harus percaya. Lekas kau katakan, siapakah orang berkedok itu? ~ Aku lantas menerangkan bahwa orang itu ialah Coa-to-tocu Ku Gong. Untuk sejenak Kiau Sik-kiang melengak, katanya kemudian, Ilmu silat orang she Ku itu jauh di atasku, aku tidak mampu merebut gambar pusaka itu dari tangannya. Balas jasa yang dijanjikan ayahmu itu sama dengan nihil. Cuma kalau kau mau mengerjakannya menurut perintahku, kukira kita dapat sekali tepuk kena dua lalat dan sama- sama untung. Kutanya cara bagaimana aku harus menurut perintahnya? Dia menjawab, Aku akan berusaha membuat kau diterima Ku Gong sebagai muridnya, cuma kau harus berusaha mencuri gambar pusaka itu untukku. ~ Tentu saja gagasannya itu sesuai dengan rencana ayah, maka tanpa banyak pikir aku lantas terima dengan baik."

   "Hah, tampaknya dia malah dapat mempercayai kau?"

   Kata Say-eng.

   "Dia mengira aku hanya anak kecil yang mudah diingusi,"

   Ujar Ko-si.

   "Aku lantas tinggal beberapa bulan di tempatnya, dia melayani aku dengan sangat baik, aku pun pura-pura membikin senang hatinya. Dalam pada itu dia tentu juga sudah memperhitungkan kemungkinan lain bilamana aku berhasil mencuri gambar pusaka yang diharapkannya itu."

   "Tapi cara bagaimana dia berikhtiar sehingga kau dapat diterima Ku- supek sebagai murid?"

   Tanya Say-eng.

   "Lebih dulu dia mengajari aku bagaimana aku harus bicara, kemudian ketika kapal bajaknya berlalu di sekitar pulau ular, aku lantas diibuang di pulau itu,"

   Tutur Ko-si.

   "Kau sungguh tabah sekali, Suci,"

   Puji Le Say-eng sambil melelet lidah.

   "Kabarnya di pulau itu penuh ular berbisa, jika aku menjadi kau, aku sudah mati ketakutan."

   "Waktu itu usiaku baru duabelas-tigabelas tahun, sudah tentu aku pun merasa takut,"

   Kata Ko-si.

   "Tapi kalau tidak menyerempet bahaya sedikit, tentu sakit hati ayah takkan terbalas, terpaksa aku pasrah nasib saja. Tidak lama setelah aku ditinggalkan di pulau itu, datanglah aneka macam ular berbisa, ada yang berkepala gepeng, ada yang berkepala segi tiga, ada pula yang bagian kepala menegak sambil mendesis, sungguh aku ketakutan setengah mati, hampir saja aku jatuh kelengar, aku menjerit-jerit ngeri. Syukur sebelum kawanan ular itu menggigit diriku, sekonyong-konyong terdengar suara suitan nyaring panjang, sungguh aneh, demi mendengar suara suitan nyaring itu, kawanan ular lantas menyusur pergi seperti ada yang memberi komando. Dalam keadaan setengah sadar aku merasa dipondong orang, ketika aku siuman kembali, kulihat diriku berada di dalam sebuah kamar sunyi, seorang kakek bermuka merah dan berambut putih sedang memandangi diriku dengan tersenyum simpul. Dia menghiburku agar jangan takut, kemudian ia pun bertanya padaku cara bagaimana aku bisa berada di pulau itu?"

   "Kakek itu tentunya Ku-supek,"

   Kata Say-eng.

   "Benar, maka aku lantas menguraikan kisah bohong yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku mengatakan ikut berlayar bcrsama ayah ibu, di tengah lautan kepergok bajak laut, ayah ibu terbunuh, aku menangis dan memaki kawanan bajak, maka kepala bajak sengaja membuang diriku di atas pulau, katanya biar dimakan kawanan ular. Ku Gong sendiri melihat panji tengkorak yang terpancang di atas kapal bajak Kiau Sik-kiang berlalu di pulau ular itu, sudah tentu ia tidak menduga anak kecil seperti diriku ini sengaja berdusta, ternyata sesuai dengan dugaan Kiau Sik-kiang, tanpa banyak rewel Ku Gong lantas menerima aku sebagai murid."

   "Pantas Ku-supek begitu sayang padamu, rupanya dia mengasihani kau yang sudah yatim piatu,"

   Kata Say-eng. Muka Ko-si menjadi merah dan menahan air mata, katanya.

   "Ya, aku merasa berdosa terhadap Suhu, beliau telah menyelamatkan jiwaku dan begitu sayang pula padaku, namun aku malah bertujuan buruk hendak membikin susah padanya. Aku tinggal selama tujuh tahun di pulau ular itu. Suhu selalu menganggap aku sebagai puteri kandungnya. Meski aku senantiasa menganggap dia sebagai musuh pembunuh ayah, tapi mau tak mau aku pun berterima kasih atas budi kebaikannya. Sebenarnya banyak kesempatan bagiku bila aku mau mencelakai beliau, tapi akhirnya aku tidak tega turun tangan. Maksudku hendak mencuri gambar pusaka itupun kubatalkan, sakit hati membunuh ayah dan budi kebaikan membesarkan aku, kuanggap sebagai imbalan timbal balik."

   "Jika menurut ceritamu tadi, orang berkedok itu hakikatnya bukanlah Ku- supek, jelas kau telah salah menyangkanya sebagai musuhmu,"

   Ujar Say-eng dengan gegetun.

   "Ya, syukur aku tidak jadi mencelakai dia,"

   Kata Ko-si.

   "Pada suatu hari dia berlayar untuk menangkap ikan, besok paginya baru dapat pulang. Kesempatan itu kugunakan untuk memasuki kamarnya dan membongkar peti dan mengobrak-abrik almarinya, kutemukan satu

   Jilid buku kecil, dalam buku kecil itu juga ada beberapa gambar tubuh manusia dengan catatan- catatan tempat Hiat-to serta ilmu Tiam-hiat dan cara memunahkannya.

   Tapi kurasa gambar di dalam buku kecil itu tidaklah sama dengan gambar pusaka yang dimaksud ayahku.

   Namun aku mengira buku kecil itu adalah salinan gambar Hiat-to-tong-jin, gambar salinan boleh juga kucuri, maka aku lantas membawa lari buku kecil bergambar itu.

   Selama beberapa tahun tinggal di pulau ular itu aku sudah mahir mengemudikan perahu, ada sebuah perahu kecil yang biasanya kugunakan pesiar di sekeliling pulau, malam itu juga aku lantas meninggalkan pulau ular dengan perahu kecil itu.

   Untung ombak malam itu tidak besar, dengan menyerempet sedikit bahaya, akhirnya aku dapat mencapai daratan dengan selamat."

   Sampai di sini, Ko-si mengeluarkan sebuah buku kecil dari bawah bantal dan disodorkan kepada Le Say-eng, lalu katanya pula.

   "Aku telah berbuat dosa terhadap Suhu, meski aku dapat mendarat dengan selamat, namun hatiku selalu tidak tenteram. Kini jelas aku tidak dapat lagi minta ampun ke hadapan makam Suhu, maka kitab ilmu silat perguruan kita sendiri terpaksa kuminta Sumoay suka membawanya pulang untuk dikembalikan kepada Susiok, ayahmu."

   Say-eng membalik-balik kitab kecil itu, katanya kemudian dengan tertawa "Memang kitab ini bukanlah gambar Hiat-to-tong-jin segala, melainkan pelajaran Tiam-hiat dari perguruan kita sendiri, kalau dibandingkan gambar pusaka Hiat-to-tong-jin sungguh bedanya seperti langit dan bumi.

   Cuma kitab ini adalah hasil jerih payah kakek guru kita, baiklah kubawa pulang saja."

   Lalu Ko-si menyambung lagi.

   "Suhu belum mengajarkan ilmu Tiam-hiat kepadaku, mungkin disebabkan dasar kekuatanku belum cukup. Maka setelah pulang dengan membawa kitab kecil ini, aku coba berlatih menurut petunjuk gambar di dalam kitab, tapi hampir saja aku cidera sendiri, aku jatuh sakit, untung tidak sampai lumpuh. Akhirnya meski ilmu Tiam-hiat di dalam kitab dapat kuyakinkan, tapi tetap tidak mampu mengalahkan Kiau Sik-kiang, aku berhasil menotok Hiat-to di tubuhnya, tapi ia dapat mengerahkan tenaga dan memunahkan totokanku. Kini lapat-lapat aku pun dapat menduga bahwa kitab kecil ini memang bukan gambar Hiat-to-tong- jin."

   "Kau tidak mampu mengalahkan Kiau Sik-kiau, lalu dia mau melepaskan kau begitu saja?"

   Tanya Say-eng.

   "Memang aneh jika kuceritakan. Waktu dia mengejar aku dan hampir tersusul, entah mengapa mendadak ia keserimpet dan jatuh terguling, setelah merangkak bangun, dengan rasa bingung dan takut ia lantas kabur. Tentu saja aku sangat heran, tiba-tiba aku merasa Hiat-to pada perutku terasa gatal kesemutan, lalu aku tidak sadarkan diri. Waktu aku siuman, kulihat kitab kecil ini tergeletak di sampingku, aku tak mengalami cidera apa-apa dan selanjutnya juga tidak berhalangan."

   Mendengar sampai di sini, maka pahamlah Kiat-bwe akan duduknya perkara, katanya.

   "Ya, tentu Sin Cap-si-koh yang sengaja mempermainkan kau. Kepandaiannya menyebar racun tidak ada tandingannya di dunia ini, entah dengan obat apa dia telah membikin kau tidak sadar."

   Ko -si memang juga orang cerdik, setelah berpikir sejenak segera ia pun paham persoalannya, katanya kemudian.

   "Ya, tahulah aku, tentunya iblis perempuan itupun mengetahui rahasia gambar pusaka Hiat-to-tong-jin, dia mengira kitab yang kucuri itu adalah kitab asli, maka diam-diam menolong diriku dan membikin Kiau Sik-kiang lari ketakutan, habis itu ia telah membikin pingsan diriku, lalu menggeledah tubuhku. Dia adalah seorang tokoh silat terkemuka, setelah membalik-balik kitab kecil ini, segera mengetahui kitab ini bukanlah gambar Hiat-to-tong-jin yang dikehendaki. Untung juga dia tahu kitab ini bukan kitab asli yang dia cari, kalau tidak, waktu itu mungkin aku sudah terbunuh olehnya."

   "Jika dia sudah tahu gambar pusaka itu tidak berada padamu, mengapa hari ini dia datang pula ke sini untuk mencelakai kau?"

   Tanya Siang-hoa.

   "Hal ini kukira tidak sukar dipahami,"

   Ujar Kiat-bwe berkata.

   "Sebab kamilah sehingga bibi yang tidak bersalah ikut kena getahnya."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, aku pun pahamlah sekarang,"

   Kata Siang-hoa.

   "Tentunya dia anggap bilamana gambar pusaka itu tidak berada pada Ku Gong, maka besar kemungkinan Ko Kiat telah berdusta pada waktu itu, bukan mustahil gambar pusaka itu berada pada ayahku atau ayahmu. Ibu, tentunya ia pikir sebabnya engkau mau membesarkan diriku, tujuanmu tentu hendak mencari gambar pusaka itu."

   Diam-diam Ko-si merasa malu, sebab dahulu dia berkeras hendak memungut anak Siang-hoa, sesungguhnya memang terdorong oleh maksud tujuan hendak mencari gambar pusaka.

   Dia tidak mencurigai ayahnya sendiri berdusta, tapi lantaran pada malam kejadian itu di dalam kamar gelap-gulita, maka dia pikir bukan mustahil Nyo Tay-ging atau Ciok Leng yang telah menyembunyikan gambar pusaka, sedang barang yang dibawa lari orang berkedok itu hanya kotak berisi benda mestika lain.

   Karena ayahnya tidak melihat kejadian itu, maka disangkanya gambar pusaka digondol orang berkedok.

   Begitulah karena perasaan malu itu, tanpa terasa Ko-si menghentikan ceritanya dan memandang Siang-hoa dengan termangu.

   "Kau kenapa, ibu?"

   Tanya Siang-hoa terkejut.

   "Apabila aku memang betul memungut anak kau demi untuk mendapatkan gambar pusaka itu, apakah kau masih mau mengaku diriku sebagai ibu?"

   Tanya Ko-si.

   "Ah, mengapa ibu berkata demikian, masakah anak berani menyangka begitu kepada ibu? Apalagi waktu aku dipungut juga baru berumur delapan, darimana bisa tahu rahasia gambar pusaka itu?"

   "Bisa jadi aku memang menaruh harapan demikian? Aku berharap kalian ayah dan anak akhirnya pasti akan bertemu kembali, ayahmu sudah tua, tentu dia akan mewariskan gambar pusaka itu kepadamu. Tatkala itu kau tentu juga merasa berhutang budi padaku, jika aku minta gambar pusaka padamu, apakah kau akan menolak permintaanku?"

   Siang-hoa tertegun, katanya kemudian.

   "Ibu, andaikan kau mempunyai angan-angan begitu, juga aku takkan dendam padamu. Tapi darimana engkau mengetahui ayahku belum meninggal?"

   "Setelah aku mengetahui kitab kecil yang kucuri ini bukanlah salinan gambar Hiat-to-tong-jin, aku lantas mencari tahu pula dimana beradanya kedua keluarga kalian,"

   Tutur Ko-si lebih lanjut.

   "sebab aku menyangsikan gambar pusaka itu kalau tidak berada pada ayahmu, tentunya berada pada ayah nona Nyo. Sesudah terjadi peristiwa itu, mungkin Nyo Tay-ging kuatir perusahaannya ikut tersangkut, maka dia telah minta berhenti sebagai Cong- piauthau dan lari mengasingkan diri ke selatan, aku tidak berhasil menemukan jejaknya, tapi Ciok Leng kutemukan masih berada di kampung halamannya. Aku sendiri pernah mendatangi kampung halamanmu, yaitu pada hari ketujuh sesudah keluargamu diserbu kawanan bajak, seorang budakmu hanya terluka parah dan tidak mati, aku temukan dia dan mengobati dia sehingga dia dapat hidup lebih lama beberapa hari. Dia memberitahu padaku bahwa Ciok Leng mengalami luka parah, tapi tidak meninggal, malahan dilihatnya sang majikan berhasil menerjang keluar kepungan."

   Tidak kepalang terkejut dan girang Ciau Siang-hoa, katanya.

   "Jika ayah masih hidup di dunia ini, mengapa selama bertahun-tahun tiada sedikit pun kabar beritanya di dunia Kang-ouw?"

   "Kukira kemudian ayahmu juga mengetahui bahwa kawanan bajak yang menyerbu rumahmu itu adalah Kiau Sik-kiang,"

   Kata Ko-si.

   "Bisa jadi ayahmu ingin meyakinkan ilmu silat lagi, sebelum ilmu berhasil dilatih, untuk menuntut balas terang sukar, maka dengan sendirinya dia takkan muncul di kalangan Kang-ouw untuk diketahui Kiau Sik-kiang."

   "Ibu, sungguh anak tidak menyangka asal-usulku ternyata begini ruwet,"

   Ujar Siang-hoa dengan nada rawan.

   "Sungguh aku merasa bersalah kepada ayah angkatmu, semua persoalan ini sampai sekarang masih kurahasiakan di luar tahunya,"

   Sambung Ko-si pula.

   "Tatkala itu aku sendiri untuk kedua kalinya dikerubut oleh anak buah Kiau Sik-kiang, syukur datanglah ayah angkatmu menyelamatkan diriku. Aku telah mengarang cerita bohong untuk mendustai dia dan rela menjadi istri mudanya, tujuanku hendak berlindung di bawah kekuasaannya selaku pejabat pemerintah. Ayah angkatmu sangat baik padaku, akhirnya aku pun merasa berat untuk meninggalkan dia. Apa yang kuceritakan padamu ini kelak boleh kau ceritakan kembali pada ayah angkatmu bila sakitnya sudah sembuh."

   Diam-diam Siang-hoa heran. Pikirnya.

   "Mengapa aku yang disuruh menceritakan kembali, masakah engkau sendiri tidak dapat?" ~ Tapi ia merasa tidak baik untuk bertanya ibu angkatnya pada saat demikian ini, maka ia hanya menjawab.

   "Terima kasih banyak atas cerita ibu yang sangat jelas ini, engkau tentu sudah lelah, silakan istirahat saja."

   "Tidak, masih ada suatu hal yang perlu kukatakan,"

   Kata Ko-si.

   "Nona Nyo, coba kemari kau."

   "Ada pesan apa, bibi?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Ayah kalian berdua adalah sahabat karib,"

   Kata Ko-si.

   "sejak kecil kalian juga sama-sama teraniaya oleh musuh, nasib kalian serupa. Kini kalian dapat bertemu di sini, agaknya hal ini sudah ditakdirkan. Maka kuharap selanjutnya kalian jangan berpisah lagi, apakah kau mau berjanji, nona Nyo?"

   Muka Kiat-bwe menjadi merah jengah, katanya.

   "Bibi, kini aku sudah tahu asal-usulku sendiri, engkoh Hoa akan kuanggap seperti kakak kandungku saja."

   Ko-si terbatuk dua kali, lalu berkata pula.

   "Ti..... tidak, bukan maksudku menyuruh kalian bersaudaraan, tapi aku ingin....."

   Kuatir ibu angkatnya bicara lebih blak-blakan lagi sehingga membikin kikuk Nyo Kiat-bwe, cepat Siang-hoa menyela.

   "Bu, hendaklah engkau jangan kuatir bagi kami, soal ini..... soal ini boleh dibicarakan lagi kelak kalau engkau sudah sembuh."

   "Masakah aku dapat sembuh?"

   Ujar Ko-si dengan tersenyum pedih.

   "Meski aku tidak dapat mengobati racun jahat itu, tapi bukannya sama sekali tak dapat disembuhkan,"

   Kiat-bwe coba menghiburnya.

   "Aku tahu, untuk memunahkan racun ini diperlukan orang yang menaruh racunnya,"

   Kata Ko-si.

   "Selama hidupku ini sudah kenyang derita, maka aku tidak ingin tersiksa lagi oleh iblis perempuan busuk Sin Cap-si- koh."

   Suaranya makin lama semakin lemah, tiba-tiba tenggorokannya mengorok dan "krok", ia memuntahkan segumpal darah. Tidak kepalang kejut Ciau Siang-hoa, dengan suara gemetar ia berseru.

   "Ibu, bagaimana ke keadaanmu?"

   Ia merasa tangan ibu angkat yang dipegangnya itu sudah mulai dingin. Tertampak bibir Ko-si bergerak-gerak, cepat Siang-hoa dan Kiat-bwe berjongkok untuk mendengarkan dengan cermat. Terdengarlah Ko-si bicara dengan suara lemah dan terputus-putus.

   "Aku...... aku tidak ingin membikin susah ayah angkatmu sekeluarga. Kalau..... kalau aku mati, tentu si iblis perempuan Sin Cap-si-koh itu takkan mencari perkara kepada mereka. Selama hidupku telah banyak berbuat kesalahan, apa yang menimpa diriku ini adalah ganjaran yang setimpal. Nona Nyo, kumohon engkau suka mengabulkan cita-citaku agar aku dapat mangkat dengan dengan tenang."

   Rupanya Ko-si sengaja mengerahkan lwekang memutuskan urat nadi sendiri, maka sampai ucapannya yang terakhir itu, air mukanya tertampak sangat tersiksa, napas pun lemah dan tinggal putusnya saja.

   Kiat-bwe rada paham ilmu ketabiban, dari denyut nadi tangan Ko-si yang dipegangnya itu ia tahu tak dapat ditolong lagi.

   Dalam sekejap itu tanpa terasa dia dan Siang-hoa telah saling merapat dan bergenggaman tangan.

   "Ya, bibi, aku berjanji,"

   Dengan suara lirih Kiat-bwe menjawab permintaan Ko-si tadi.

   Entah mendengar atau tidak ucapan Kiat-bwe itu, namun air muka Ko-si yang menahan derita tadi tiba-tiba terunjuk senyuman puas.

   Ketika Siang- hoa memeriksa pernapasan ibu angkatnya itu, ternyata napasnya sudah putus.

   Sementara itu Hi Giok-hoan masih menemani Siau-go-kan-kun berduduk di ruang tamu, sampai lama sekali belum nampak Ciau Siang-hoa dan lain-lain keluar, tapi mendadak terdengar di dalam ada suara tangisan.

   Segera Giok-hoan merasakan gelagat jelek.

   Benar saja, segera tampak Kiat-bwe keluar bersama Say-eng dan memberitahukan bahwa Ko-si baru saja menghembuskan napas penghabisan, Siang-hoa sedang sibuk mengatur di dalam, maka minta maaf tak dapat mendampingi tetamunya.

   "Mengapa bisa meninggal begitu saja?"

   Ujar Siau-go-kan-kun. Say-eng hanya menggeleng saja dengan menghela napas. Siau-go-kan-kun tahu pasti ada persoalan pribadi, maka ia pun tidak tanya lebih jauh, katanya kemudian.

   "Keluarga Ciau sedang kesusahan, tuan rumah jatuh sakit pula, kukira nona Nyo sementara ini tak dapat pergi dari sini. Maka diharap kau menyampaikan kepada tuan rumah bahwa kami mohon diri saja sekarang."

   Kiat-bwe lantas mewakili tuan rumah mengantar keberangkatan tetamu, setiba di luar rumah, Kiat-bwe berkata kepada Le Say-eng.

   "Kalau urusan di sini sudah selesai, aku dan Siang-hoa tentu juga akan pergi ke Kim-keh-nia, silakan kalian berangkat ke sana lebih dulu."

   Kemudian di tengah jalan barulah Le Say-eng bercerita kisah yang didengarnya dari Ko-si itu. Siau-go-kan-kun dan Giok-hoan menghela napas gegetun mengenai peristiwa sedih itu.

   "Meski nyonya Ko-si sendiri juga ada kesalahan, tapi dia patut mendapatkan simpatik orang,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Setelah iblis perempuan Sin Cap-si-koh itu lari ketakutan oleh gertakanku, mungkin dia takkan berani mencari perkara lagi ke rumah keluarga Ciau,"

   Kata Siau-go-kan-kun.

   "Tapi aku berharap pada suatu ketika dapat bertemu pula dengan iblis perempuan itu, soalnya aku masih belum dapat menyampaikan tanggung jawabku mencari jejak Han Tay-wi atas permintaan anak perempuannya, yaitu Han Pwe-eng."

   Mendengar nama Han Pwe-eng disebut, tanpa terasa hati Giok-hoan menjadi bimbang, katanya kemudian.

   "Entah Kok Siau-hong berada dimana sekarang?"

   Tiba-tiba Siau-go-kan-kun tersadar, katanya.

   "Oya, aku pun berpikir akan mencari Kok Siau-hong. Dia telah datang ke Kang-lam sini, tujuannya hendak mengadakan kontak dengan tokoh pimpinan persilatan daerah Kang-lam, tempat Bun Yat-hoan sana sudah didatangi olehnya. Kini kukira dia berada di tempat Ong Ce-cu di Thay-ouw sana. Hi-seheng, mestinya aku dan kalian akan menyambangi Bun-tayhiap, tapi sekarang terpaksa aku harus mampir dulu ke Thay-ouw."

   "Aku pun sangat ingin bertemu dengan Siau-hong, tapi urusan adik perempuanku juga membuat aku kuatir,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Kalau saja Siau- hong tidak tergesa-gesa hendak pulang ke utara, harap engkau suruh dia tunggu aku saja di Thay-ouw."

   Begitulah mereka bertiga lantas berpisah menuju ke arah masing-masing, Siau-go-kan-kun sendirian menuju Thay-ouw, sedang Giok-hoan dan Le Say- eng pergi ke tempat Bun Yat-hoan di Hang-ciu untuk mencari Giok-kun.

   Waktu itu adalah musim semi, hawa sejuk dan bunga mekar, musim semi di daerah Kang-lam memang indah dan memabukkan orang, terutama bagi perjalahan sepasang kekasih yang sedang memadu cinta.

   Le Say-eng teringat kepada nasib Nyo Kiat-bwe, ia lantas menceritakan kisah aneh Kiat-bwe dan Siang-hoa kepada Giok-hoan, katanya kemudian dengan tertawa.

   "Kabarnya di tepi Se-ouw di Hang-ciu ada sebuah kuil dewi rembulan, di kuil itu ada sepasang tui-lian (syair timpalan) yang berbunyi. Semoga semua kekasih di dunia ini menjadi suami istri, kalau sudah takdir janganlah sia-siakan jodoh. Tampaknya hubungan Kiat-bwe dan Siang-hoa memang sesuai benar dengan bunyi syair itu. Tapi kisah hidup mereka yang aneh ajaib juga susah diduga oleh siapa pun."

   Giok-hoan menjadi bimbang mendengar cerita Say-eng itu, pikirnya.

   "Sengaja tanam bunga sang bunga tidak mekar, tidak niat tanam Liu justru pohon Liu menjadi rindang. Kisah diriku dan dirimu bukankah cocok benar dengan ungkapan pribahasa itu? Ketika terjadi bentrokan di Pek-hoa-kok, akhirnya Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng dapat erat kembali sesudah mengalami perpecahan, tapi adik perempuannya entah mengapa mendadak mau menjadi istri murid Bun Yat-hoan, yaitu Sin Liong-sing, sungguh hal yang tak pernah terduga oleh siapa pun."

   "He, apa yang sedang kau pikirkan? Tampaknya kau melamun?"

   Tegur Say-eng dengan tertawa.

   "Aku sedang berpikir, syair yang terdapat di kuil dewi bulan itu bukankah tepat juga digunakan atas diri kita?"

   Kata Giok-hoan dengan tertawa. Hati Say-eng merasa bahagia, tapi ia sengaja mengomel.

   "Cis, kukira kau ini orang yang lugu, tak tahunya mulutmu juga berminyak. Bicara hal yang betul, aku menjadi ingat sesuatu urusan."

   "Urusan apa?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Aku merasa sangsi orang berkedok yang melukai ayah Ko-si itu adalah Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun, maka gambar ikhtisar Hiat-to-tong-jin itu tentunya juga jatuh di tangannya. Cuma sayang aku belum bertemu dengan enci Kim-hun, kalau tidak, tentunya aku dapat menyelidiki duduk persoalan yang sebenarnya."

   "Di waktu kecil bukankah kau sangat baik dengan nona Kiong Kim- hun?"

   "Ya, saking baiknya sampai aku pernah berkelahi dengan dia,"

   Ujar Say- eng dengan tertawa.

   "Tapi waktu itu dia belum berhasil belajar ilmu Tiam- hiat, maka aku tidak tahu apakah gambar ikhtisar itu berada di tangan ayahnya atau tidak?"

   "Kau bicara tentang nona Kiong, aku pun menjadi teringat kepada seorang temanku,"

   Kata Giok-hoan.

   "Temanmu yang mana?"

   Tanya Say-eng.

   "Kong-sun Bok,"

   Jawab Giok-hoan.

   "Tempo hari kami terpencar di Jing- liong-kau, nona Kiong itu berhasil lolos bersama Kong-sun Bok. Oya, kau pun pernah memberitahukan padaku tentang pertempuranmu dengan Kong-sun Bok, entah mengapa nona Kiong tidak berada bersama dia lagi?"

   "Soalnya Kong-sun Bok kuatir bakal mertuanya mencari perkara padanya, Kiong Kim-hun sendiri tidak berani bertemu dengan ayahnya. Namun mereka jelas menuju ke Kim-keh-nia, saat ini mungkin mereka sudah bertemu di sana."

   "Kong-sun Bok adalah kawan yang simpatik dan baik hati, aku menjadi sangat kangen padanya."

   "Jika begitu lekas kita menemui adik perempuanmu di Hang-ciu, habis itu tentu dapat pulang ke Kim-keh-nia untuk mencari temanmu yang baik itu,"

   Kata Say-eng.

   Begitulah tiada terjadi sesuatu di tengah jalan dan sampailah mereka di wilayah Lim-an.

   Itulah hari yang cerah.

   Sepanjang jalan tertampak pasangan muda-mudi berjalan berdampingan dengan mesra, orang berlalu-lalang ramai sekali, semuanya itu adalah penduduk Lim-an yang pesiar keluar kota.

   "Pantas dalam kitab banyak sekali pujian tentang keindahan Kang-lam, nyatanya musim semi di daerah Kang-lam memang seindah ini,"

   Kata Giok- hoan. Waktu itu mereka sedang memasuki sebuah jalan pegunungan, orang pesiar sudah mulai sedikit. Tiba-tiba Le Say-eng mengerut kening dan berkata.

   "Sudahlah, jangan pikir tentang syair lagi, di gardu sana ada beberapa orang sedang memandangi kita, sungguh menjemukan. Hm, coba dengarkan, apa yang sedang mereka katakan mengenai diri kita?"

   Waktu Giok-hoan menengadah, dilihatnya di lereng bukit atas sana ada sebuah gardu istirahat, tampak ada lima-enam orang berteduh di sana, seorang di antaranya adalah seorang pemuda perlente seperti anak orang berpangkat, sedang yang lain agaknya cuma pengiringnya saja, hal ini dapat dilihat dari cara mereka menyanjung dan menjilat si pemuda perlente itu.

   Memang benar juga seperti apa yang dikatakan Le Say-eng, di samping membikin senang hati Kong-cu (tuan muda) mereka, orang-orang itupun sedang cengar-cengir sambil menuding Giok-hoan dan Say-eng.

   Giok-hoan coba pasang telinga, sayup-sayup terdengar mereka sedang memberi penilaian atas diri Le Say-eng.

   Seorang di antaranya sedang berkata.

   "Perempuan ini lumayan juga."

   Lalu kawannya menanggapi.

   "Dan yang lelaki juga tampan, hanya saja kaku seperti patung dan ketolol-tololan. Ai, sungguh sayang, laksana setangkai bunga harum tertancap di atas seonggok tahi kerbau."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kemudian seorang lagi berkata.

   "Darimana kau mendapat tahu mereka itu suami-istri atau mungkin hanya kakak adik saja?"

   Le Say-eng menjadi gusar, segera ia bermaksud melabrak orang-orang itu, tapi Giok-hoan cepat mencegahnya dan berkata.

   "Ah, kawanan buaya begitu, buat apa kau gubris mereka? Daripada cari gara-gara, lekas kita berlalu ke sana saja!"

   Dengan menahan gusar Le Say-eng dan Giok-hoan lantas mempercepat langkah mereka, tapi segera terdengar suara siulan bercampur dengan suara gelak tertawa, ucapan orang-orang itu semakin tidak enak didengar.

   "Kong-cu,"

   Demikian terdengar seorang di antaranya berkata.

   "bagaimana dengan perempuan itu? Jika engkau suka, silakan Kong-cu memberi perintah saja."

   "Ah, jangan main gila, orang kan perempuan bersuami,"

   Ujar si Kong-cu dengan tertawa. Tapi orang tadi lantas menanggapi.

   "O, jadi Kong-cu merasa suka padanya."

   "Baiklah, biar kutanyai mereka, kalau mereka kakak dan adik, dengan mudah aku dapat menjadi comblang bagi Kong-cu,"

   Kata lagi seorang pengiringnya.

   "Sekali pun mereka adalah suami istri juga tidak menjadi soal,"

   Timbrung kawannya yang lain.

   "Kong-cuya kita kan sudah berpengalaman, beliau justru lebih suka perempuan yang pernah bersuami."

   "Ya, kalau perlu kita rampas saja perempuan itu, buat apa pakai bertanya segala?"

   Seorang lagi menambahkan.

   "Sudahlah, jangan sembrono, kalau ketahuan ayahku bisa berabe,"

   Kata si Kong-cu dengan tersenyum sambil mengebas kipas yang dipegangnya.

   Le Say-eng benar-benar tidak tahan lagi oleh kata-kata kotor itu, tanpa pikir ia jemput sepotong batu, ia kerahkan tenaga dalam dan meremasnya, lalu ia hamburkan batu kerikil itu ke arah orang-orang di gardu itu.

   Giok-hoan sendiri juga merandek ketika merasa suara dua orang yang bicara itu seperti sudah dikenalnya, ia menjadi heran siapakah kedua orang itu, berbareng ia pun merasa ucapan orang-orang itu teramat kurang ajar dan pantas diberi peringatan.

   Dalam pada itu karena mendengar nada sang majikan rada memberi angin, segera dua orang pengiringnya itu berlari keluar, tapi kebetulan mereka kebentur oleh hujan batu kerikil yang dihamburkan Le Say-eng, tanpa ampun lagi kedua orang itu menjerit dan jatuh terguling.

   Batu tadi diremas Le Say-eng menjadi enam batu kecil, dia melihat orang di gardu itu berjumlah enam, maka enam potong batu kerikil itu menyambar ke sana laksana anak panah cepatnya, kontan dua pengiring yang sedang berlari keluar itu dirobohkan, sisa empat batu kerikil lain masih tetap menyambar ke dalam gardu.

   Le Say-eng mengira keempat orang yang lain juga bebal seperti kedua orang yang sudah dirobohkan itu, tak terduga keempat orang ini ternyata lain daripada yang lain, semuanya gesit dan cekatan.

   Seorang lelaki berbadan kekar segera memukulkan sebelah tangannya sehingga batu yang menyambar ke arahnya tertolak kembali oleh tenaga pukulannya.

   Seorang lagi berwajah hitam cepat menangkap batu yang menyambar kepadanya dan segera juga disambitkan kembali.

   Orang ketiga adalah lelaki dengan dahi beruci-uci, agaknya kepandaiannya lebih rendah daripada kawan-kawannya, dia tidak berani menghadapi batu yang menyambar tiba itu dan terpaksa mendek ke bawah, namun tidak urung ujung jidatnya keserempet juga oleh batu kerikil itu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan.

   Batu yang terakhir menyambar ke arah si Kong-cuya perlente, Le Say-eng mengira pemuda keluarga berpangkat itu masakah punya kepandaian, siapa duga kepandaian Kong-cuya itu justru terlebih tinggi daripada ketiga orang tadi, tertampak kipasnya menyambar perlahan dan batu kerikil yang menyambar ke arahnya itu kena disampuk jatuh.

   Lelaki kekar tadi agaknya menjadi gusar, ia mendengus dan berkata.

   "Hm, seorang perempuan memiliki kepandaian begini, kukira mereka kalau bukan kawanan bajak dari Thay-ouw tentulah kawanan bandit di Thian-bok- san."

   "Baiklah, boleh kau menangkap mereka, biar kutanyai mereka, cuma jangan kau melukai perempuan itu,"

   Kata si Kong-cuya. Orang itu mengiakan dan segera menerjang keluar sambil membentak.

   "Hai, kau perempuan ini berani berlagak di hadapan Han-kongcu, kalau tahu gelagat lekas kau ikut kami pulang!" ~ Berbareng ia terus mencengkeram dengan Kim-na-jiu-hoat, kalau sampai kena terpegang, seketika sekujur badan akan terasa lemas dan tak bisa berkutik. Namun Le Say-eng cepat mengebas lengan bajunya, tangan kiri terus menerobos melalui bawah lengan baju untuk menotok Hiat-to lawan.

   "Bret", terdengar robeknya lengan baju Le Say-eng, tapi lelaki kekar itupun tergetar mundur beberapa tindak. Dalam pada itu dengan cepat lelaki beruci-uci dan lelaki hitam juga sudah keluar semua. Untung lelaki kekar yang Hiat-tonya tertotok Say-eng tadi ilmu kekebalan Tiat-poh-san, dia cuma merasa bagian iga kesemutan saja dan tidak sampai roboh, tentu saja ia menjadi gusar dan membentak pula.

   "Kurangajar! Kong- cuya sayang kepadamu, lantaran itulah aku tidak tega mencelakai kau, tapi kau malah berani melukai aku?" ~ Berbareng ia lantas menubruk maju lagi, ia petang kedua tangannya yang lebar itu dan mencengkeram pula ke arah Le Say-eng. Kedua kawannya juga tidak tinggal diam, mereka mengarah Hi Giok- hoan sebagai sasaran, seorang putar tombak trisula (cabang tiga) bergelang sehingga menerbitkan suara gemerincing. Seorang lagi menggunakan pedang, mereka menyerang dengan cepat dan hebat. Melihat senjata yang digunakan kedua orang itu barulah Hi Giok-hoan teringat kepada mereka. Kiranya orang yang bersenjata tombak trisula itu bernama Bong Sian dan yang berpedang bernama Ting Kian. Kedua orang pernah ikut dalam pertempuran di Pek-hoa-kok dahulu. Hendaklah diketahui bahwa Kong-cuya ini adalah putera kedua Han To- yu, perdana menteri yang berkuasa sekarang, namanya Han Hi-sun. Sedangkan lelaki kekar yang hendak mencengkeram Le Say-eng dengan Kim- na-jiu-hoat yang lihai itu bernama Su Hong, dia adalah kepala penjaga kediaman sang perdana menteri. Bong Sian dan Ting Kian itu asalnya adalah orang dari kalangan hitam, mereka mempunyai hubungan baik dengan Tian It-goan, yaitu budak tua Han Pwe-eng, sebab itulah dahulu Tian It-goan juga mengundang mereka ikut mengepung Pek-hoa-kok. Namun mereka hanyalah tokoh kalangan hitam biasa, mereka bukan kaum pendekar yang membegal orang kaya untuk menolong kaum miskin. Karena itu setelah geger Pek-hoa-kok itu didamaikan, mereka lantas lari ke daerah Kang-lam. Di sinilah mereka ditarik oleh Su Hong untuk menjadi pelatih di tempat kediaman perdana menteri. Waktu ikut menyerbu Pek-hoa-kok dahulu mereka berdua pernah dilukai Kok Siau-hong dan Hi Giok-hoan. Setelah peristiwa itu didamaikan, orang lain merasa tidak dendam, tapi mereka berdua justru anggap terhina, sebab itulah tadi mereka sengaja mengolok-olok Hi Giok-hoan sebagai kawanan bandit segala, padahal mereka mengenali siapa Hi Giok-hoan. Orang yang pertama-tama menghasut sang Kong-cuya merebut Le Say-eng juga mereka berdua. Begitulah Giok-hoan juga lantas menjengek.

   


Gelang Perasa -- Gu Long Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Naga Kemala Putih -- Gu Long

Cari Blog Ini