Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 2


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 2



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Hanya saja dalam hati Beng Ting dan para pembantunya timbul suatu pertanyaan.

   "Mengapa ayah nona Han ini mau mengeluarkan biaya besar untuk minta pengawalan mereka? Teka-teki apa di balik peristiwa ini?"

   Tapi mereka tidak enak menanyakan nona Han yang mereka kawal ini, apalagi calon pengantin ini tampaknya sudah lelah dan ingin mengaso. Dalam pada itu si kakek kurus tadi lantas mendekati nona Han itu dan berkata.

   "Siocia, silakan minum obat lagi."

   Nona itu menerima obat yang diberikan dan diminum bersama air, lalu menguap kantuk, katanya.

   "Kalian tentu juga sudah capai, bolehlah istirahat semuanya, besok pagi-pagi kita masih harus melanjutkan perjalanan."

   Waktu itu sudah dekat tengah malam, Beng Ting lantas mohon diri untuk menjenguk anak buahnya yang terluka dalam pertempuran tadi.

   Di antaranya Ciok Tiong yang terluka paling parah, kepalanya bocor terkena bandulan Serigala kuning, meski sudah dibubuhi obat, darah masih mengucur keluar.

   Untung luka itu tidak membahayakan jiwanya, sesudah minum obat dalam pemberian Beng Ting, kemudian Ciok Tiong dapat tidur pulas.

   Selesai membereskan anak-buahnya, Beng Ting melihat kedua kakek pelayan nona Han itu sedang menghangatkan badan di tepi api unggun, segera Beng Ting mendekati mereka untuk mengobrol.

   "Kiranya Cong-piauthau juga belum tidur,"

   Tegur kedua kakek itu. Beng Ting memberi hormat, jawabnya.

   "Maafkan mataku yang buta ini, dalam perjalanan selama ini sama sekali aku tidak tahu telah didampingi oleh orang-orang kosen."

   "Ai, janganlah Cong-piauthau bicara demikian, bila didengar orang lain mungkin akan ditertawai,"

   Ujar kedua kakek itu.

   "Tua bangka macam kami ini masakah sesuai untuk disebut sebagai 'orang kosen' segala?"

   "Tapi kalau kedua Toako tidak membantu, mungkin kami sudah dikalahkan oleh kelima Serigala keluarga Thia, belum lagi si Rase dan kakek bercucu she Ciu yang datang belakangan,"

   Kata Beng Ting dengan menyeringai.

   "Oya, aku belum mengetahui nama kedua Toako yang terhormat?"

   Kedua kakek itu lantas memperkenalkan diri mereka, kiranya kakek gemuk bernama Liok Hong dan kakek kurus bernama Tian It-goan. Tampaknya Tian It-goan lebih suka bicara secara terus terang, katanya.

   "Sebenarnya Beng Cong-piauthau juga sudah terhitung tokoh pengawal kelas tinggi. Memang kalau dibandingkan kakek she Ciu tadi, bahkan kami pun bukan tandingannya. Pendek kata, kejadian tadi semuanya berkat Siocia kami, kalau tidak, kita semua mungkin sudah celaka."

   "Ya, budi kebaikan kedua Toako dan Han-siocia betapa pun takkan kulupakan untuk selamanya,"

   Kata Beng Ting.

   "Hanya saja ada sesuatu yang aku merasa tidak paham, untuk ini mohon kedua Toako sudi memberi penjelasan. Siocia kalian memiliki kepandaian maha tinggi, entah mengapa majikan kalian justru sengaja minta pengawalan kami dengan mengeluarkan biaya sebesar itu?"

   "Beng Cong-piauthau, bicara terus terang, Piau-kiok-Piau-kiok di kota Lok-yang tiada satu pun yang berani menerima pekerjaan dari majikan kami ini kecuali Hou-wi Piaukiokmu,"

   Kata Liok Hong.

   "Sesungguhnya majikan kami sudah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi di tengah jalan, bahwasanya kalian sudah dapat mengawal sampai di sini baru terjadi peristiwa tadi, hal ini boleh dikata berkat jasa Beng Cong-piauthau. Tentang sebabnya majikan kami minta pengawalanmu, baiklah kuterangkan sekalian. Soalnya Siocia kami hendak menikah di kota Yang-ciu, seorang calon pengantin perempuan mana boleh unjuk muka dan bertempur secara terang-terangan melawan kawanan bandit, kan bisa ditertawai orang nanti? Apalagi Siocia kami sedang sakit, beliau juga tidak sanggup berkelahi sepanjang perjalanan."

   "Betul juga,"

   Kata Beng Ting.

   "Tapi dengan kepandaian kalian....."

   "Memang betul,"

   Sela Tian It-goan.

   "Dengan beberapa kerat tulang kami yang tua ini rasanya masih sanggup melayani kawanan begal yang tak berarti. Namun dari Lok-yang ke Yang-ciu sini jauhnya ada beribu-ribu lie, jika ketemu kaum begal segera kami turun tangan membereskan mereka, bukankah cara ini akan menarik perhatian orang-orang dari kalangan Hek- to? Dan bila orang-orang Hek-to itu serentak datang merecoki kami, lalu cara bagaimana kami sanggup menghalau mereka? Akhirnya tentu Siocia kami pula yang turun tangan sendiri. Padahal majikan sudah memberi pesan agar Siocia jangan sekali-kali ikut turun tangan bilamana tidak dalam keadaan sangat terpaksa."

   "Terus terang,"

   Sambung Liok Hong.

   "bukan saja Siocia kami tidak suka unjuk diri di dunia Kang-ouw, bahkan kami yang rendah ini juga tidak suka orang mengetahui akan asal-usul kami. Sebab itu, segala pertengkaran sedapat mungkin ingin kami hindari."

   Sekarang Beng Ting sudah tahu kedua kakek ini bukan orang sembarangan, ia yakin merasa pasti orang Kang-ouw yang ternama, entah sebab apa terima menjadi budak orang, dengan sendirinya hal ini memang disengaja, pantas kalau mereka tidak ingin diketahui oleh orang luar.

   Mencari tahu urusan pribadi orang lain adalah pantangan besar bagi orang Kang-ouw, maka Beng Ting tidak berani bertanya lebih jelas.

   Dalam pada itu Tian It-goan telah menyambung pula.

   "Maksud majikan kami ingin selamat sampai di Yang-ciu di bawah lindungan panji Hou-wi Piaukiok kalian yang cukup disegani di dunia Kangoouw, siapa duga beberapa gerombolan bandit ini toh mempunyai sumber berita yang tajam, asal-usul kami tetap diketahui oleh mereka, jejak Siocia kami juga tidak dapat mengelabui iblis perempuan itu, terpaksa Siocia turun tangan sendiri membikin kakek she Ciu itu mundur teratur."

   Beng Ting tahu "iblis perempuan"

   Yang dimaksud tentulah Hi Giok-kun yang tinggal di Pek-hoa-kok itu.

   Diam-diam ia merasa heran, kalau nona Han tadi menyebut perempuan she Hi itu sebagai temannya yang akrab, tapi di mulut budaknya berbalik berubah menjadi momok yang ditakuti.

   Tampaknya di antara kedua keluarga mereka ada sesuatu perselisihan.

   "Nah, sudah jelas bukan tujuan majikan kami minta pengawalanmu,"

   Kata Liok Hong kemudian.

   "Besok kita masih harus melanjutkan perjalanan, harap Cong-piauthau mengaso dulu."

   Sudah tentu Beng Ting mengetahui kedua kakek itu kuatir ditanyai lagi hal-hal lain yang tidak leluasa diberi jawaban, terpaksa dengan macam- macam tanda tanya di dalam benaknya Beng Ting mohon diri.

   Esok paginya, baru saja fajar menyingsing, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara derapan kuda yang mendatangi dengan cepat.

   Beng Ting terjaga bangun dan cepat pembantu-pembantunya dibangunkan semua.

   Waktu mereka memandang ke ujung padang ilalang yang luas itu tertampak jauh di sana muncul dua titik hitam, dengan cepat sekali kedua titik hitam itu semakin membesar dan akhirnya tertampak dengan jelas dua penunggang kuda, semuanya wanita.

   Wanita penunggang kuda bagian depan memakai ikat kepala warna merah yang melambai-lambai tertiup angin, pakaian yang dipakai juga merah tua, sepatunya terbuat dari kain sutera merah bersulam bunga, kuda tunggangannya juga berbelang merah, semuanya serba merah.

   Ikut di belakang wanita serba merah itu adalah seorang nona cilik berbaju hijau muda sehingga warnanya sangat kontras dengan warna merah perempuan di depannya, kontras tapi serasi.

   Nona cilik ini adalah Ciu Hong itu, tapi setelah mengenali Ciu Hong, semua orang dapat menduga bahwa perempuan serba merah itu tentulah Piau-ci Ciu Hong, yaitu Hi Giok-kun.

   Selagi perasaan Beng Ting tidak tenteram, waktu menoleh dilihatnya kedua kakek gemuk kurus yang berdiri di samping kereta juga sedang saling pandang dengan mengerut kening.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali wanita serba merah itu sudah melarikan kudanya menyusuri padang yang bersemu merah itu, terdengar cambuknya menggeletar, kuda merahnya melesat menuju ke hutan sini secepat terbang.

   Sebagai pihak yang mengawal, betapa pun Beng Ting tidak dapat tinggal diam, sesuai dengan peraturan Kang-ouw, ia membiarkan tukang teriaknya berseru.

   "Harimau meraung di Tiongciu!" ~ Lalu ia maju untuk menghadang wanita serba merah itu, tegurnya sambil memberi hormat.

   "Numpang tanya nona, apa....."

   Belum selesai ucapannya, secepat terbang kuda wanita serba merah itu sudah menerjang tiba, sambil mengayun cambuk kudanya, wanita itu membentak.

   "Kalian sudah tahu sengaja tanya. Minggir kau!"

   Dengan mendongkol Ji Cu-kah melompat maju, katanya sambil menusuk dengan tombaknya.

   "Maaf nona, bila kau tidak bicara secara aturan. Silakan turun dari kudamu!"

   Tusukan Ji Cu-kah itu diarahkan pada kudanya dan tidak kepada penunggangnya.

   Tak terduga tusukannya ternyata luput, sebaliknya tangan sendiri terasa menjadi enteng, kiranya cambuk wanita itu secepat kilat telah menyabet dan membelit tombaknya, karena tombaknya terlepas, Ji Cu-kah kehilangan keseimbangan badan, kontan ia terjungkal.

   Betapa hebat kepandaian wanita serba merah ini, sungguh sangat mengejutkan.

   Beng Ting juga sadar bukan tandingannya, tapi ia masih berusaha menghadangnya dengan mati-matian, ketika kuda merah wanita itu menerjang tiba, dengan perisainya segera ia menyodok kepala kuda, berbareng pedangnya juga menusuk.

   "Roboh!"

   Bentak wanita serba merah.

   "Trang", cambuk kudanya tepat mengenai perisai itu, hanya cambuk sekecil itu ternyata dapat membikin perisai itu tergetar ke samping, bahkan tangan Beng Ting terasa sakit pedas, malahan pedang yang sedang menusuk itupun terbentur oleh perisai sendiri hingga mencelat dan menancap pada batang pohon di sebelah sana. Untung Beng Ting keburu melepaskan pedangnya sehingga tidak sampai menusuk tubuh sendiri, kalau tidak, jiwanya pasti amblas. Walaupun begitu ia pun tergetar mundur beberapa tindak. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa kuda merah itu sudah menerobos lewat, wanita itu sempat berseru dengan tertawa.

   "Beng Cong-piauthau dari Hou-wi Piaukiok memang tidak bernama kosong!"

   Beng Ting tidak roboh sebagaimana perkiraannya, hal ini rupanya juga rada di luar dugaan wanita serba merah itu, apa yang dia ucapkan sesungguhnya tidak mengandung maksud mengejek, namun bagi pendengaran Beng Ting rasanya menjadi tidak enak dan malu.

   Ketika Beng Ting menghadang si wanita serba merah, sementara itu orang-orang Piau-kiok juga sudah mengerubut si nona cilik Ciu Hong.

   Akan tetapi dengan senjata cambuk kudanya saja nona cilik itu pun dapat mengalahkan orang-orang Piau-kiok itu tanpa banyak keluar tenaga.

   Melihat itu Beng Ting menghela napas lesu, katanya.

   "Sudahlah, kita terima kalah saja!"

   Sementara itu Ciu Hong sudah menyusul ke sana dan berseru kepada Siocia di dalam kereta.

   "Han-cici, aku datang lagi untuk menjenguk engkau!"

   Sedangkan kedua kakek penjaga kereta juga lantas berkata kepada wanita serba merah.

   "Nona Hi, baik-baiklah engkau. Siocia kami sedang tidak enak badan."

   "Apa ya? Jika begitu aku lebih-lebih perlu menjenguk dia,"

   Ujar wanita serba merah itu. Selagi kedua kakek itu tidak tahu tindakan apa yang harus mereka ambil, tiba-tiba kerai kereta tersingkap, nona penumpang kereta itu telah keluar dari keretanya dengan tersenyum simpul.

   "Maaf, Pwe-eng, tamu yang tidak disukai seperti diriku ini terlalu pagi datangnya sehingga membuat ribut dan membikin kau terjaga dari tidurmu,"

   Ujar si wanita serba merah dengan tertawa. Orang-orang Piau-kiok memangnya sudah tahu penumpang puteri mereka yang akan menjadi pengantin di Yang-ciu itu she Han, baru sekarang pula mereka tahu nama Siocia itu ialah Pwe-eng.

   "Ah, masakah Hi-cici bicara begitu?"

   Terdengar Han Pwe-eng menjawab.

   "Hi-cici sudi menjenguk diriku, sudah tentu aku terima dengan senang hati. Angin apakah yang membawa engkau ke sini?"

   Dugaan Beng Ting memang tidak keliru, wanita serba merah ini memang betul Hi Giok-kun adanya. Melihat sikap mereka yang ramah tamah seperti kakak beradik saja, siapa tahu kalau di balik itu sesungguhnya keduanya saling bermusuhan.

   "Siau Hong tidak berhasil mengundang kau, terpaksa aku datang sendiri!"

   Hi Giok-kun berkata pula.

   "Apakah Siau Hong tidak menyampaikan padamu bahwa aku sedang sakit, maka tidak ingin membikin repot padamu,"

   Sahut Han Pwe-eng.

   "Kau sedang sakit, untuk itu lebih-lebih memerlukan perawatan,"

   Kata Hi Giok-kun.

   "Hubungan baik kita laksana kakak beradik, masakah kau kuatir aku tidak sanggup merawatmu sebaik-baiknya?"

   Wajah Han Pwe-eng yang pucat tiba-tiba bersemu merah, ia pikir tiada jalan lain kecuali bicara saja secara blak-blakan kepadanya. Tapi sebelum dia membuka suara, Hi Giok-kun telah berkata pula dengan tertawa.

   "Pwe-eng, kau tidak perlu membohongi aku, kau tidak sudi mampir ke tempatku soalnya kau terburu-buru hendak pergi menjadi pengantin baru, sudah punya suami lantas lupa kepada Cicimu ini, bukan?"

   "Jika nona Hi sudah tahu, maka seharusnya tidak dapat menyalahkan Siocia kami,"

   Tiba-tiba si kakek kurus, Tian It-goan, menimbrung.

   "Soalnya pihak lelaki sudah menetapkan harinya dan sedang menunggu kedatangan Siocia kami untuk menikah. Nanti kalau mereka sudah menikah, tentu sepasang mempelai akan balas berkunjung kepada nona Hi di Pek-hoa-kok."

   Sekonyong-konyong Hi Giok-kun tertawa nyaring, katanya kemudian.

   "Bukankah Moay-hu (suami adik) adalah Kok Siau-hong dari Yang-ciu? Jika betul dia, maka kau tidak perlu lagi pergi ke sana, aku sudah mengundang dia ke Pek-hoa-kok, kalian boleh menikah saja di Pek-hoa-kok, kan sama saja."

   Sesudah berhenti sejenak, lalu ia menyambung pula.

   "Untung kau bertemu aku, kalau tidak, perjalanan kalian ke Yang-ciu ini tentu akan sia- sia. Pengantin perempuan tidak ketemu pengantin lelaki, kan lucu?"

   Ucapan ini membikin Han Pwe-eng terkejut, pikirnya.

   "Darimana dia mengetahui semua ini? Ilmu silat Kok Siau-hong tidak lemah, masakah dia benar-benar telah diculik olehnya?"

   Antara Han Pwe-eng dan Hi Giok-kun memang bersahabat karib, tapi selamanya Pwe-eng tidak pernah memberitahukan bahwa bakal suaminya ialah Kok Siau-hong.

   Tidaklah mengherankan jika Hi Giok-kun mendapat tahu bahwa Pwe-eng akan menikah di Yang-ciu, tapi diketahui pula bakal suaminya adalah Kok Siau-hong, inilah yang sama sekali tidak diduga oleh Han Pwe-eng.

   Maka maksud Pwe-eng hendak memberikan nama palsu bagi bakal suaminya itu terpaksa diurungkan.

   Bahwasanya Han Pwe-eng tidak mau memberitahukan soal pernikahannya kepada sahabatnya bukan karena rasa malu sebagaimana anak perempuan umumnya, tapi memang ada sebab lain.

   Teringat olehnya perkenalannya dengan Hi Giok-kun pada empat tahun yang lalu.

   Tatkala itu Han Pwe-eng diutus ayahnya untuk mengirim surat kepada seorang sahabat lama di kota Ce-lam, di tengah jalan dia memergoki kawanan bandit sedang membegal kaum pedagang, tanpa pikir ia lantas membela kaum pedagang yang dibegal itu, tapi di tengah kepungan kawanan bandit itu hampir-hampir Han Pwe-eng mengalami nasib malang, maklum waktu itu ilmu silatnya masih kepalang tanggung.

   Untung waktu itu Hi Giok- kun juga lewat di situ, keduanya lantas bergabung dan mengacirkan kawanan bandit itu.

   Ketika itu umur Hi Giok-kun lebih tua dua tahun daripada Han Pwe-eng, pengalamannya di dunia Kang-ouw juga lebih luas daripada Pwe-eng.

   Karena umur keduanya sebaya, sifat masing-masing juga hampir mirip, keduanya merasa sangat cocok satu sama lain.

   Lantaran harus mengirim surat ke Ce- lam, terpaksa Pwe-eng berpisah dengan Hi Giok-kun.

   Sebelumnya Han Pwe- eng telah mengundang kenalan baru itu suka mampir ke Lok-yang, undangan inipun diterima dengan baik oleh Hi Giok-kun.

   Selesai tugas dan pulang ke rumah, dengan sendirinya Han Pwe-eng menceritakan pengalaman perjalanannya kepada sang ayah, Han Tay-wi mendengarkan dengan tekun penuturan puterinya itu, lalu termenung seperti memikirkan sesuatu.

   Dengan kekanak-kanakan Pwe-eng lantas bertanya.

   "Apakah ayah tidak suka aku bergaul dengan orang Kang-ouw? Tapi Hi-cici ini sama-sama perempuan, kan tidak menjadi soal toh?"

   "Tidak, bukannya aku tidak suka, aku justru ikut senang karena kau dapat mengikat persahabatan dengan Taci yang berkepandaian tinggi itu,"

   Kata Han Tay-wi.

   "Hanya saja aku ingin tanya sesuatu, Hi-cici yang kau katakan itu bukankah bertempat tinggal di Pek-hoa-kok di pegunungan Hong-hong-san?"

   "Darimana kau mendapat tahu, ayah?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Pwe-eng.

   "Rumah Hi-cici memang di Pek-hoa-kok, katanya Pek-hoa-kok itu benar-benar sesuai dengan keadaannya, bunga di sana selalu mekar tak henti-hentinya dengan aneka macam warnanya, malahan jenis bunga-bunga itu bisa jadi lebih dari seratus macam sebagaimana nama tempat itu. Semula Hi-cici mengundang aku mampir ke rumahnya, tapi lantaran mesti mengantar surat, terpaksa aku yang mengundang dia suka pesiar ke sini."

   Tiba-tiba air muka Han Tay-wi berubah, tanyanya.

   "Apakah kau juga memberitahukan padanya bahwa kau sudah bertunangan dengan keluarga Kok di Yang-ciu?"

   Dengan wajah merah jengah Pwe-eng menjawab.

   "Kami baru saja kenal, berkumpul juga cuma setengah hari saja, masakah aku lantas memberitahukan urusan pribadiku kepadanya?"

   "Apakah dia menanyakan kau ada urusan mengantar surat ke Ce-lam segala?"

   Tanya Han Tay-wi pula.

   "Aku cuma memberitahu akan pergi ke Ce-lam dan dia pun tidak bertanya lebih lanjut,"

   Sahut Pwe-eng.

   "Ayah, tampaknya Hi-cici itu tidak suka bertanya macam-macam sebagaimana kau duga."

   "Syukurlah jika begitu,"

   Ujar Tay-wi dengan tertawa.

   "Tapi ingat, selanjutnya jangan sekali-kali kau menyebut tentang keluarga Kok di Yang- ciu kepadanya."

   "Sebab apa?"

   Tanya Pwe-eng terheran-heran.

   Lalu Han Tay-wi memberitahukan bahwa keluarga Hi di Pek-hoa-kok itu ada sedikit perselisihan dengan keluarga Kok di Yang-ciu.

   Tapi tidak dijelaskan perselisihan apa, hanya dikatakan bahwa persoalan itu tidak layak untuk diketahui oleh Pwe-eng.

   "Jika di antara mereka hanya ada sedikit perselisihan saja, maka aku pun tidak perlu kuatir lagi untuk melayani kedatangan Hi-cici nanti,"

   Ujar Pwe- eng dengan tertawa. Tapi dengan air muka prihatin Han Tay-wi menambahkan pula.

   "Biarpun mereka tiada permusuhan yang berat, tapi sebaiknya jangan sampai dia mengetahui hubunganmu dengan keluarga Kok."

   Selang tiga bulan, benar juga Hi Giok-kun berkunjung ke rumah Han Pwe-eng.

   Sesuai pesan ayahnya, sedikit pun Pwe-eng tidak menyinggung keluarga Kok, keduanya sama-sama pintar, serba bisa, baik ilmu silat maupun ilmu sastra.

   Lebih sebulan Hi Giok-kun tinggal di rumah Han Pwe-eng, sesudah itu da tidak pernah berkunjung lagi ke sana.

   Tidak nyana dalam perjalanan Han Pwe-eng ke Yang-ciu untuk menikah sekarang ini mendadak kenalan lama itu datang mencari pekara padanya.

   Kini Hi Giok-kun berdiri di hadapannya dan mengundangnya ke Pek-hoa-kok untuk menemui Kok Siau-hong, undangan itu dipenuhi atau tidak? Inilah yang meragukan Han Pwe-eng.

   Teringat oleh Pwe-eng akan pesan ayahnya dahulu bahwa di antara keluarga Kok dan keluarga Hi ada perselisihan, masakah pada waktu hampir menikah Kok Siau-hong mau bertamu ke rumah keluarga Hi? Jangan-jangan dia tertangkap olehnya.

   Sekarang aku diundang pula ke sana, mungkin juga tidak bermaksud baik.

   Tapi kalau menolak undangannya tentu akan terjadi pertengkaran dengan dia, mengingat hubungan baiknya dengan aku, andaikan dia bermaksud buruk terhadap diriku rasanya juga tidak sampai mencelakai jiwaku.

   Namun bila benar Kok Siau-hong kini berada di rumahnya, masakah aku dapat menikah di rumah orang, hal ini bukan saja memalukan Siau-hong, bahkan juga akan menjadi buah tertawaan orang bila kejadian ini sampai tersiar.

   Akhirnya terpikir pula olehnya bahwa ilmu silat Kok Siau-hong tidaklah lemah, sedikit pun tidak di bawah Hi Giok-kun, mengapa dengan begitu gampang dia tertangkap olehnya? Begitulah macam-macam pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, dalam sekejap itu terjadilah pertentangan batin yang hebat, apakah mesti ikut ke rumah Hi Giok-kun atau tidak, sungguh sukar untuk mengambil keputusan.

   Hi Giok-kun seperti tidak sabar menunggu lagi, dengan tersenyum ia mendesak.

   "Adik yang baik, janganlah ragu-ragu, Kok Siau-hong sedang menantikan kau, ikutlah ke sana!"

   Sembari berkata ia terus melangkah maju dan hendak menarik Han Pwe-eng ke dalam kereta.

   Urusan sudah mendesak, tiada waktu untuk berpikir lagi bagi Pwe-eng, ia telah ambil keputusan akan tetap ke Yang-ciu apa pun yang terjadi.

   Karena itu waktu Hi Giok-kun hendak menariknya, perlahan-lahan ia kebaskan lengan bajunya sambil menjawab.

   "Banyak terima kasih atas maksud baik Cici, tapi aku tetap tidak ingin membikin repot kepada Cici."

   Kedua nona itu sama-sama bicara dengan tersenyum, bagi pandangan orang lain tampaknya mereka sedang tarik-menarik, yang satu mendesak dan yang lain menolak sebagaimana layaknya antar kawan, tidak tahunya bahwa di balik tarik menarik itu sebenarnya masing-masing telah saling mengukur beberapa jurus ilmu silat yang tinggi.

   Dengan mengebaskan lengan baju tadi jari tangan Han Pwe-eng yang terlindung di dalam lengan baju terus menotok tangan Hi Giok-kun yang hendak memegangnya.

   Karena teraling oleh lengan baju, maka gerak serangan itu tidak kelihatan sekali pun oleh Beng Ting yang tergolong jago silat kawakan.

   Totokan Han Pwe-eng itu adalah "Lam-hoa-hut-hiat" (ilmu menotok Hiat- to dengan lambaian tangan), semacam kepandaian keturunan keluarga Han yang hebat.

   Tak terduga totokannya itu berbalik kena dibelit oleh lengan baju Hi Giok-kun yang berbareng juga dikebaskan.

   "Jangan sungkan-sungkan adikku yang baik!"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   Menyusul tangan yang lain menirukan cara Han Pwe-eng, ia berbalik menotok Hiat-to di tangan Pwe- eng.

   Diam-diam Pwe-eng mendongkol, ia pikir orang yang mendesaknya tanpa menghiraukan hubungan persahabatan yang lalu, terpaksa aku pun tidak sungkan-sungkan lagi.

   Maka segera ia pun siap dengan sebelah tangannya, asalkan jari tangan Giok-kun menotok tiba, kontan ia akan memuntir putus jarinya dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai.

   Baru saja dia berpikir demikian, tampaknya Hi Giok-kun seperti sudah dapat menduga akan kemungkinan tindakan Pwe-eng itu, maka perlahan- lahan ia ketok siku orang, seketika Han Pwe-eng merasa lengannya menjadi kaku dan tak dapat bergerak lagi.

   "Hari sudah siang, marilah naik kereta,"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   "Wah, kereta ini sungguh mewah, sambil berbaring di dalam kereta kita boleh mengobrol sepuasnya untuk melenyapkan rasa rindu kita kakak beradik."

   Karena terancam dan tak bisa berkutik, terpaksa Pwe-eng berlagak tidak dapat menolak undangan orang dan ikut dia naik ke atas kereta lagi dengan tersenyum.

   Bahwasanya Han Pwe-eng naik kereta karena terpaksa, hal ini tidak diketahui oleh orang-orang Piau-kiok, tapi kedua kakek pengawal Pwe-eng cukup paham duduknya perkara, keruan mereka sangat terkejut.

   Walaupun menyadari bukan tandingan orang, tapi mereka masih bermaksud menubruk maju untuk merintangi.

   "Eh, eh, tamu yang diundang Siocia kami tidaklah termasuk kalian!"

   Tiba- tiba Ciu Hong yang berdiri di depan kereta menghadang kedua kakek itu.

   "Minggir Siau Hong!"

   Seru Hi Giok-kun yang sudah berduduk di dalam kereta, berbareng lengan bajunya mengebas pula keluar kereta sambil berkata pula.

   "Tian-toasiok dan Liok-toasiok, jika kalian ingin ikut ke Pek- hoa-kok, sudah tentu akan kusambut dengan senang hati. Cuma untuk ini kalian perlu minta izin dulu kepada Siociamu."

   Kedua kakek itu sebenarnya sedang berlari menerjang, tapi mendadak terasakan dorongan tenaga kuat dari depan, meski mereka tidak sampai tergetar mundur, tapi langkah mereka menjadi terhenti dan tubuh tergeliat seakan-akan mendadak kebentur oleh selapis dinding.

   Maka terdengar Han Pwe-eng berseru dari dalam kereta.

   "Maksud baik Hi-cici tak dapat kutolak, biarlah aku ikut ke rumahnya buat beberapa hari saja. Tian-toasiok dan Liok-toasiok boleh pulang saja, tidak perlu ikut."

   Apa yang dikatakan Han Pwe-eng itu adalah karena terpaksa, tapi kedua kakek itupun terpaksa mengiakan, lalu mengundurkan diri.

   Terdorong oleh rasa tanggung-jawab, ketika melihat kereta keledai itu hendak dilarikan, orang-orang Piau-kiok menjadi cemas, cepat Beng Ting melarikan kudanya menghadang di depan sana sambil berseru.

   "Nanti dulu, nona Hi, kau mesti memberi penjelasan dulu padaku."

   "Jangan kuatir, Beng Cong-piauthau,"

   Kata Hi Giok-kun dengan mengikik tawa.

   "Kalian mengawal bagi keluarga Han, sekarang boleh anggap saja aku yang menerima pekerjaan ini. Cuma bukan maksudku hendak merebut rezeki kalian....."

   Sampai di sini, tiba-tiba ia melemparkan sesuatu benda ke arah Beng Ting.

   Dari suara angin yang menyambar itu Beng Ting tahu senjata rahasia yang disambitkan tidak keras, jelas pihak lawan tidak bermaksud buruk kepadanya, rasa tegangnya menjadi rada longgar dan segera menangkap senjata rahasia yang menyambar tiba itu.

   Waktu ia periksa, kiranya sebuah panah kecil warna hijau pupus dari batu kemala, pada ujung panah kemala itu terukir sebuah huruf kecil "Hi".

   "Bawalah panahku itu dan perlihatkan kepada paman Han, dengan begitu boleh dikata tugasmu sudah selesai,"

   Kata Hi Giok-kun.

   "Aku berani tanggung honorarium yang masih kurang bagimu itu pasti akan dibayar oleh paman Han. Ayahmu tentunya tidak kikir hanya soal seribu tahil emas saja, betul tidak Pwe-eng?"

   "Ya, biarpun keluarga kami miskin, kalau seribu tahil emas saja masih sanggup membayar,"

   Sahut Pwe-eng.

   "Beng Cong-piauthau, banyak terima kasih atas pengantaranmu sejauh ini, bolehlah kau pulang saja dan sampaikan kepada ayahku seperti apa yang dikatakan Hi-cici tadi, ayah tentu takkan menyalahkan dirimu."

   Meski Beng Ting tidak tahu apa yang mereka katakan itu akan terbukti atau tidak, namun ketiga pihak sudah bicara dengan jelas, betapa pun pihak Piau-kiok sudah diberi suatu penyelesaian secara resmi, andaikan mau merintangi juga tidak dapat, terpaksa Beng Ting menyaksikan keberangkatan kereta itu.

   Ciu Hong telah menunggang kuda merah yang dipakai Hi Giok-kun tadi sambil menuntun kuda sendiri dan mengikut di belakang kereta, katanya sambil melambaikan tangan kepada kedua kakek gemuk kurus tadi dengan tertawa.

   "Tian-toasiok dan Liok-toasiok, sampai bertemu pula, Siocia kalian tentu akan kami jaga dengan baik-baik, sepulangnya kalian harap sampaikan kepada paman Han agar beliau jangan kuatir."

   Sesudah kereta itu pergi jauh, kedua kakek itu berkata kepada Beng Ting.

   "Beng Cong-piauthau, harap pinjamkan dua ekor kuda kepada kami!"

   Beng Ting melengak, tanyanya.

   "Kalian tidak pulang bersama kami?"

   "Siocia telah diculik orang, masakah kami masih ada muka untuk pulang menemui Cukong (majikan)?"

   Jawab kedua kakek itu.

   "Lalu apa kehendak kalian?"

   Tanya Beng Ting.

   "Biarpun kami bukan tandingan budak itu juga kami tidak boleh membikin malu kepada Cukong,"

   Kata Tian It-goan dengan gemas.

   "Betapa pun lihainya budak itu toh masih ada orang lain yang lebih lihai. Sekali pun Pek-hoa-kok adalah sarang harimau juga kami tertekad akan menerobosnya." ~ Di balik kata-katanya itu agaknya dia bermaksud mengundang orang kosen untuk bantu menolong Siocia mereka.

   "Meski kepandaian kami tidak ada artinya, tapi sedikitnya kami bisa bantu menjadi pelari ke sana-ke sini,"

   Kata Beng Ting.

   "Maksud baik Beng Cong-piauthau kami terima di dalam hati saja, tapi urusan ini lebih baik kau tidak perlu ikut campur lagi,"

   Kata Liok Hong.

   "Kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik, majikan kami pasti tidak menyalahkan kau. Maka kalian boleh lekas pulang saja ke Lok-yang."

   Habis itu kedua kakek memilih dua ekor kuda, lalu berangkat.

   Beng Ting menjadi lesu, ia pikir pekerjaan sudah gagal, masakah ada muka untuk menerima kekurangan honor seribu tahil emas lagi.

   Sepulangnya di Lok-yang segera Piau-kiok akan ditutup, selanjutnya akan mengasingkan diri saja.

   Sementara itu kereta keledai tadi sudah pergi jauh.

   Di dalam kereta Han Pwe-eng merasa mendongkol dan gelisah, sampai sebegitu lama ia tetap tidak bicara.

   Tiba-tiba Hi Giok-hun tertawa, ia membelai rambut Pwe-eng dengan perlahan dan berkata.

   "Adik yang baik, kau tentu marah padaku bukan?"

   Nada ucapannya yang halus dan ramah itu tiada ubahnya seperti waktu berkumpul dahulu.

   "Masakah aku berani marah kepada Cici?"

   Sahut Pwe-eng.

   "Eh, berpisah selama tiga tahun, ilmu silat Cici sudah maju pesat. Aku harus mengucapkan selamat padamu."

   "Tampaknya kau tidak senang karena aku telah mematahkan kebasan Tiam-hiat kebanggaanmu tadi bukan?"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   "Terus terang kukatakan, caraku itu hanya kebetulan saja. Dahulu kita pernah bertukar pikiran tentang ilmu silat masing-masing, sejak itu aku telah memperhatikan kepandaian Tiam-hiat kebanggaanmu itu, syukur persiapanku selama ini tidaklah percuma sehingga dapat mematahkan seranganmu tadi. Padahal kalau kau tidak sakit aku pun belum tentu dapat menandingi kau. Cuma selanjutnya kuharap kita takkan bergebrak lagi. Betapa pun kita adalah kakak dan adik yang baik bukan? Nah, adik yang manis, janganlah kau marah padaku, bukan maksudku hendak membikin susah padamu, aku berbuat lantaran terpaksa, setiba di Pek-hoa-kok nanti kau tentu akan paham persoalannya."

   Keterangan Hi Giok-kun itu membikin Pwe-eng mendongkol, diam-diam ia benci kepada kelicikannya, jadi secara diam-diam ia sudah merencanakan apa yang akan terjadi sekarang dan sengaja mencuri belajar ilmu Tiam- hoatnya.

   Maka Pwe-eng sengaja pejamkam mata dan tidak menggubris Giok- kun pula.

   "Ya, kau memang kurang sehat, kau pergi tidur saja,"

   Kata Giok-kun.

   Tiba-tiba Pwe-eng merasa lengan baju Giok-kun mengebas di depan wajahnya, tercium bau harum yang meresap dan sedap, tanpa terasa Pwe-eng lantas pulas.

   Entah sudah berapa lamanya, ketika Pwe-eng mendusin, begitu membuka mata lantas tertampak api lilin yang terang benderang dengan asap dupa yang mengepul, dirinya ternyata berbaring di atas tempat tidur berukir dengan kelambu sulaman, suatu kamar tidur yang sangat indah.

   Waktu bangun, Pwe-eng merasa semangatnya penuh dan tenaga kuat, rasa lemas akibat sakitnya telah lenyap seluruhnya.

   Diam-diam ia merasa heran, mengapa habis tidur nyenyak penyakitnya itu lantas sembuh? Dilihatnya di meja rias ada sebuah cermin perunggu yang tergosok mengkilap, menghadapi cermin itu tertampaklah wajah sendiri yang cantik, seketika ia termangu-mangu sendiri.

   Ia heran, air muka sendiri yang tadinya pucat karena sakit kini telah lenyap seluruhnya, air mukanya sudah segar kembali seperti sebelum sakit.

   Di atas meja ada sebuah anglo kecil yang mengepulkan asap dupa cendana wangi, harum cendana mempunyai khasiat menenangkan pikiran.

   Maka Pwe-eng menarik napas dalam-dalam sehingga perasaannya menjadi tenang kembali.

   Pikirnya, apakah barangkali Hi-cici yang telah menyembuhkan penyakitku di luar tahuku? Kamar ini entah kamar tidur Hi- cici atau kamar yang khusus disediakan bagiku? Tapi apa pun juga tampaknya dia tidak bermaksud jahat kepadaku.

   Sekilas dilihatnya pula di dinding atas meja rias itu ada sebuah pigura hiasan yang bertuliskan sanjak, dari tulisannya Pwe-eng kenal itu adalah tulisan tangan Hi Giok-kun.

   Sanjak itu adalah gubahan penyair King Pek-sik dari zaman Song selatan.

   Sanjak itu mengenangkan nasib kota Yang-ciu yang hancur sesudah kekacauan perang.

   Yang mengherankan Pwe-eng adalah latar belakang sanjak itu adalah kota Yang-ciu dimana bertempat tinggal bakal suaminya, yaitu Kok Siau-hong.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di samping mengenangkan kota Yang- ciu, isi sanjak itu samar-samar juga mengandung kisah cinta yang sedih.

   Diam-diam Pwe-eng merasa sangsi apakah sanjak itu sengaja ditulis oleh Hi Giok-kun karena menyangkut diri Kok Siau-hong? Tapi apa hubungannya antara Hi Giok-kun dengan bakal suaminya itu? Mungkin sanjak yang ditulis ini hanya secara kebetulan saja dan tidak mengandung arti apa-apa, ia sendirilah yang berprasangka terlalu jauh.

   Demikian Pwe-eng menunggu sampai sekian lamanya dan tiada tampak ada orang datang ke kamar situ, ia sengaja berdehem beberapa kali, tapi di luar juga tiada suara orang.

   Pwe-eng menjadi mendongkol, pikirnya.

   "Mulutnya saja Hi Giok-kun bicara manis, nyatanya dia tidak mempedulikan diriku. Baiklah, dia tidak mau datang, biar aku saja yang mencari dia."

   Karena ingin lekas mengetahui keadaan bakal suaminya yang berada di sini sebagaimana dikatakan Hi Giok-kun, bahwa Kok Siau-hong telah diundang ke Pek-hoa-kok sini, hal inilah yang ingin diketahuinya betul atau tidak? Namun dia adalah calon pengantin perempuannya, kalau langsung menanyakan bakal suaminya kepada orang lain, bukankah akan dibuat buah tertawaan? Sebaliknya kalau tetap diam saja di kamar situ, rasanya kesal dan tidak kerasan.

   Ia coba membuka jendela, dilihatnya sang dewi malam tepat menghias di tengah langit dengan cahayanya yang bening, di luar jendela adalah sebuah taman bunga, keadaan sunyi senyap.

   Ia membuka pintu kamar dan keluar.

   Taman bunga itu banyak tertanam bunga aneka warna, sebagian besar tetumbuhan yang aneh itu tak dikenal namanya oleh Pwe-eng.

   Yang jelas cara mengatur tanaman-tanaman itu sangat rajin dan indah sesuai dengan keadaan tempatnya, pada tempat-tempat tertentu dibangun gunung- gunungan dengan jalanan kecil, di tengah sana terdapat pula gardu istirahat yang indah.

   "Pantas Hi-cici suka memuji Pek-hoa-kok adalah surganya dunia, melihat taman ini saja memang mirip benar dengan tempat kediaman malaikat dewata,"

   Demikian pikir Han Pwe-eng.

   Pemandangan taman yang indah itu terpaksa tak dapat dinikmati oleh Pwe-eng karena perasaannya yang tertekan itu.

   Setelah berjalan sebentar, menyusuri semak-semak tetumbuhan dan mengitar ke balik gunung- gunungan sana, tiba-tiba matanya terbeliak, ternyata di depan sana adalah sebuah kolam teratai.

   Di bawah sinar bulan yang terang tertampak daun- daun teratai yang besar bagai tampah mengambang di permukaan kolam, bunga teratai mekar dengan warna merah yang wmarak, sungguh indah sekali pemandangan kolam itu.

   Pwe-eng benar-benar terpesona oleh keindahan kolam teratai, tanpa terasa ia lupa kepada kerisauannya, ia mendekati kolam dan bercermin di air kolam yang jernih laksana kaca itu.

   Tiba-tiba dilihatnya di dalam air kolam itu tidak cuma bayangannya sendiri, tapi masih ada sebuah bayangan orang lain, bayangan seorang lelaki.

   Keruan Pwe-eng terkejut, cepat ia menoleh, dilihatnya seorang pemuda baju putih sudah berdiri di belakangnya dan sedang memandang padanya dengan tersenyum.

   "Siapa kau?"

   Bentak Pwe-eng setelah melenggong sejenak.

   Semula ia mengira Kok Siau-hong yang diam-diam datang menemuinya, tapi sesudah jelas baru diketahui lelaki ini sama sekali tidak dikenalnya.

   Sejak kecil Pwe-eng sudah bertunangan dengan Kok Siau-hong, yaitu waktu dia berumur tiga.

   Ketika ayah Kok Siau-hong, yakni Kok Yak-hi bertamu di kota Lok-yang, mereka tinggal di rumah Pwe-eng.

   Tatkala itu Kok Siau-hong lebih tua lima tahun daripada dia dan sudah mulai belajar "Tong- cu-kang-" (ilmu silat kanak-kanak).

   Kok Yak-hi sangat sayang kepada puteranya, kemana pun dia pergi selalu membawanya serta.

   Ayah Pwe-eng, yaitu Han Tay-wi adalah sahabat lama Kok Yak-hi, kedua orang itu sama-sama sangat menyukai putera-puteri pihak lain, maka mereka lantas sepakat untuk mengikat perjodohan anak-anak mereka.

   Karena usianya terlalu kecil, hakikatnya waktu itu Han Pwe-eng tidak tahu apa artinya bertunangan, maka Kok Siau-hong juga tidak meninggalkan kesan dalam hati sanubarinya.

   Sepulangnya Kok Yak-hi dan puteranya, lantaran perjalanan terlalu jauh, dalam sepuluh tahun hanya satu kali Han Tay-wi pernah berkunjung sendirian ke Yang-ciu.

   Waktu Han Pwee-eng melihat Kok Siau-hong lagi, sementara itu umurnya sudah empatbelas tahun, kedatangan Kok Siau-hong ke rumahnya untuk kedua kalinya itu adalah untuk menyampaikan berita kematian ayahnya.

   Sudah tentu Han Tay-wi berduka-cita mendengar sobat lamanya meninggal dunia, dengan sendirinya pula ia menyinggung tentang perjodohan Siau-hong dengan Pwe-eng.

   Namun Kok Siau-hong menyatakan umurnya masih muda, pula dia harus berkabung selama tiga tahun, terpaksa belum dapat melangsungkan pernikahan.

   Memangnya Han Tay-wi juga merasa berat berpisah dengan anak perempuannya yang masih kecil itu, akhirnya ia pun setuju akan pendapat Kok Siau-hong.

   Tak terduga sejak itu keadaan menjadi kacau, api peperangan berkobar dimana-mana, antara kedua tempat menjadi terhalang.

   Apalagi Han Tay-wi sendiri juga mengalami sesuatu yang tak terduga, ia terluka dalam, meski ilmu silatnya tidak punah, namun gerak-geriknya rada terganggu, sebab itulah dia tak dapat mengantar puterinya ke tempat calon menantunya itu untuk melangsungkan pernikahan.

   Dengan begitu tiga tahun lewat dengan cepatnya dan kembali tiga tahun lagi, sekarang Han Pwe-eng sudah berumur duapuluh, maka ayahnya mengambil keputusan minta pengawalan Hou-wi Piaukiok untuk mengantar Pwe-eng ke Yang-ciu.

   Dahulu waktu Kok Siau-hong datang ke rumahnya buat menyampaikan berita duka, karena malu, Han Pwe-eng tidak berani menemui bakal suaminya itu.

   Tapi secara diam-diam ia pun mengintip dari balik pintu angin dan dilihatnya wajah bakal suami itu ternyata sangat cakap, diam-diam ia bergirang, berlainan dengan waktu masih anak kecil, sejak itu wajah bakal suami itu berkesan mendalam di hatinya.

   Kini pemuda yang berdiri di depannya juga berusia sebaya dengan Kok Siau-hong, wajahnya juga cakap, malah semula Pwe-eng mengira Kok Siau- hong adanya, tapi sesudah menegas lagi baru diketahui salah lihat.

   Dengan sendirinya ia terkejut dan cepat menegurnya.

   Begitulah pemuda baju putih itu lantas menjawab dengan tersenyum.

   "Jangan gugup nona Han, Giok-kun adalah adik perempuanku, aku adalah Giok-hoan, kakaknya."

   Kalau tidak salah Pwe-eng memang pernah mendengar cerita dari Giok- kun bahwa dia mempunyai seorang kakak lelaki, maka rasa tegangnya tadi rada kendur, namun dengan muka tetap cemberut ia berkata pula.

   "Sudah jauh malam begini, untuk apa kau datang ke sini?"

   Setelah mengucapkan demikian, barulah ia merasa kata-katanya itu tidak tepat.

   Tempat ini adalah rumahnya, apa salahnya kalau orang ke taman bunga di rumahnya sendiri? Karena ucapan itu sudah telanjur dicetuskan dan sukar ditarik kembali, seketika wajah Pwe-eng menjadi merah jengah.

   Syukur Hi Giok-hoan tidak menaruh perhatian, dengan tersenyum ia menjawab.

   "Cuaca malam ini sangat baik, kupikir di bawah sinar bulan purnama pemandangan teratai malam tentu sangat indah, maka timbul hasratku untuk melihatnya. Ketika mendengar di sebelah sini ada suara gemerincingnya gelang tangan, tadinya kukira Giok-kun, tak tersangka nona Han yang berada di sini. Secara sembrono aku menuju ke sini sehingga mengejutkan nona Han, untuk ini harap engkau jangan marah."

   "O, tidak apa-apa,"

   Sahut Pwe-eng dengan perlahan dan likat. Diam-diam ia pun heran ucapan orang menyimpang daripada tegurannya tadi.

   "Agaknya nona Han juga punya minat menikmati keindahan teratai malam?"

   Kata Giok-hoan dengan tertawa, nadanya sudah menganggap Pwe- eng sebagai teman sendiri. Pwe-eng rada mendongkol, tapi mengingat orang bicara dengan maksud baik, terpaksa ia menanggapi dengan hambar.

   "O, aku cuma keluar jalan- jalan saja. Aku akan kembali saja."

   Tapi Giok-hoan lantas mengikut di belakangnya dan berkata.

   "Engkau tentu belum pernah datang ke taman ini, rasanya isi taman ini masih ada harganya untuk dipandang. Eh, nona Han, kabarnya kesehatanmu terganggu, apakah sekarang sudah sembuh seluruhnya?"

   "Ah, cuma masuk angin saja, banyak terima kasih atas perhatianmu, kini aku sudah sehat kembali,"

   Sahut Pwe-eng.

   "Nona Han, penyakitmu ini sudah ada setahun lebih bukan?"

   Sambung pula Hi Giok-hoan dengan tersenyum.

   "Cu Kiu-bok punya Siu-lo-im-sat-kang memang sangat lihai, agaknya tak dapat dianggap penyakit seperti masuk angin saja."

   Ucapan ini membikin Pwe-eng terkejut, kiranya penyakit apa yang dideritanya juga telah diketahui dengan jelas oleh kakak beradik tuan rumah itu.

   Cu Kiu-bok yang disebut Hi Giok-hoan itu memang betul adalah musuh besar ayah Han Pwe-eng.

   Delapan tahun yang lalu, yaitu waktu Han Tay-wi pulang dari menjenguk Kok Yak-hi di Yang-ciu, di tengah jalan Han Tay-wi telah bertemu musuh besarnya itu, Tay-wi terluka bagian kakinya oleh tenaga dalam Siu-lo-im-sat-kang yang dingin, sejak itu gerak-geriknya kurang leluasa, jalannya rada kaku.

   Orang luar memang sukar melihat ciri Han Tay-wi itu, tapi Pwe-eng cukup paham separoh berhubung cacatnya itu.

   Waktu itu Han Tay-wi juga belum memberitahukan nama musuh besar itu kepada Pwe-eng.

   Dengan cepat tujuh tahun telah berlalu, dalam tujuh tahun Han Tay-wi giat memberi pelajaran kepada puterinya, akhirnya Pwe-eng berhasil meyakinkan sejurus ilmu pedang yang khusus digunakan menusuk Hiat-to.

   Ilmu pedang ini mengutamakan cepat dan tepat, dalam satu gerakan dapat menusuk tujuh tempat Hiat-to di tubuh musuh.

   "Keng-sin-kiam-hoat"

   Yang diajarkan kepada puterinya itu adalah untuk berjaga-jaga bila musuh besarnya datang lagi.

   Dan benar juga, permulaan tahun yang lalu Cu Kiu- bok datang pula ke rumahnya di Lok-yang.

   Bila teringat kepada pertarungan sengit waktu itu, sampai sekarang Pwe- eng masih ngeri.

   Teringat waktu itu ayahnya duduk bersila di lantai, sedangkan Cu Kiu-bok berulang-ulang menubruknya seganas singa dan selincah kera.

   Setiap gerakan Cu Kiu-bok selalu membawa tenaga dahsyat, angin pukulannya yang dingin mengguncangkan benda-benda yang berada di ruangan itu, Pwe-eng yang bersembunyi di kamar sebelah ikut merasakan dinginnya angin pukulan itu.

   Dari cermin besar yang tergantung di sekeliling ruangan tamu, dari tempat sembunyinya Pwe-eng dapat mengikuti dengan jelas suasana pertempuran di situ.

   Dilihatnya Cu Kiu-bok mengitari ayahnya dengan cepat, sekonyong- konyong dia menghantam dengan sebelah telapak tangan, kontan ayahnya roboh.

   Secepatnya kilat Pwe-eng lantas melompat keluar, dengan kecepatan yang tak terlukiskan ia menyerang Cu Kiu-bok secara tidak terduga-duga.

   Jurus serangan itu memang sebelumnya sudah diajarkan dengan baik oleh ayahnya, rupanya serangan maut Cu Kiu-bok itu sudah dalam perhitungan Han Tay-wi, mula-mula Tay-wi memancing serangan lawan, ia yakin dirinya cukup mampu memunahkan kekuatan pukulan lawan, namun dia tetap roboh karena tenaga Siu-lo-im-sat-kang yang dahsyat.

   Tapi di waktu menyerang, dengan sendirinya belakang Cu Kiu-bok tidak terjaga.

   Dan detik yang menguntungkan inilah yang dinanti-nantikan Pwe-eng, ilmu pedang yang diyakinkan selama tujuh tahun ini justru mengharapkan adanya detik yang menentukan itu.

   Kerja sama Han Tay-wi dan Pwe-eng sungguh sangat baik, secepat kilat Pwe-eng menusuk dengan pedangnya, kontan Cu Kiu-bok menggerung sambil menampar ke belakang, namun Pwe-eng sempat melompat mundur lebih dulu.

   Di tengah sinar pedang dan angin pukulan itu Cu Kiu-bok terus menerjang keluar, dalam sekejap saja suara menggerungnya sudah menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

   "Sayang, sungguh sayang!"

   Kata Tay-wi sesudah berbangkit duduk kembali.

   "Sayang apa?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Sayang tusukan pedangmu hanya mengenai tiga tempat Hiat-to saja, cuma ditambah dengan pukulanku tadi rasanya sudah cukup membuatnya dalam tiga tahun sukar memulihkan ilmu silatnya,"

   Kata Tay-wi.

   "He,he, delapan tahun yang lalu aku telah dihantamnya satu kali, meski belum terbalas seluruhnya, sedikitnya sudah terlampias rasa dendamku. Tapi tiga tahun lagi, betapa pun kau harus berhati-hati bila Cu Kiu-bok datang menuntut balas padamu. Sebab itulah paling baik kalau tahun ini juga kau menikah saja."

   Umur Pwe-eng sementara itu sudah genap duapuluh tahun, menurut adat zaman itu sudah tiba usia yang cocok untuk kawin.

   Namun ucapan ayahnya itu tetap menimbulkan rasa herannya, segera ia bertanya apa sebabnya sang ayah buru-buru menyuruhnya menikah? "Coba kau mengerahkan tenagamu, tidakkah dada terasa sesak?"

   Kata Tay-wi. Pwe-eng menurut, benar juga dada terasa sesak dan napas kurang lancar.

   "Nah, itu tandanya kau sudah terkena hawa dingin Siu-lo-im-sat-kang yang dipukulkan iblis tadi, meski tidak parah, tapi sukar untuk disembuhkan,"

   Tutur Tay-wi.

   "Suamimu memiliki ilmu keturunan yang sakti yaitu Siau-yang-sin-kang, meski tenaga dalam Siau-yang-sin-kang yang panas itu tidak dapat memunahkan ilmu Sin-lo-im-sat-kang, tapi cukup kuat untuk menahan hawa dingin ilmu pukulan itu. Maka kalau kau sudah menikah, kau dapat minta suamimu mengajarkan Siau-yang-sin-kang, sambil meyakinkan ilmu itu akan berarti penyembuhan pula bagi penyakitmu. Dengan gabungan kalian suami isteri berdua, andaikan tiga tahun lagi iblis itu datang menuntut balas padamu, rasanya kalian berdua cukup kuat untuk melayani dia."

   Begitulah Pwe-eng teringat kepada kejadian yang telah lalu itu, yang tak tersangka olehnya adalah sebelum melangsungkan perkawinan, juga belum sempat belajar Siau-yang-sin-kang kini penyakit sesak napas itu ternyata sudah disembuhkan oleh Hi Giok-kun.

   Hilangnya penyakit sudah tentu membikin gembira, tapi lantaran itu juga lantas timbul rasa curiganya.

   Ia heran mengapa Hi Giok-kun mau menyembuhkan penyakitnya secara diam-diam dan di luar tahunya? Dia sengaja membawa aku ke Pek-hoa-kok sini, apa tujuannya adalah untuk mengobati penyakitku ini? Dia juga mengatakan Kok Siau-hong berada di sini, betul tidak hal ini atau cuma suatu alasan saja agar aku mau ikut dia ke sini? Begitulah selagi Pwe-eng merasa ragu-ragu apakah mesti minta penjelasan hal itu kepada kakak lelaki Giok-kun atau tidak, ternyata Hi Giok-hoan membuka suara pula dengan tersenyum.

   "Nona Han, coba kuperiksa nadimu."

   Karena pihak lain adalah kakak teman karib, pula bermaksud baik memeriksa penyakitnya, dengan sendirinya Pwe-eng tidak enak buat menolak.

   Tanpa bicara ia terus mengangsurkan tangannya.

   Sekali pun muda-mudi kaum Kang-ouw pada umumnya tidak sirik tentang pergaulan laki-laki dan perempuan, tapi selama hidup Pwe-eng baru pertama kali ini tangannya dipegang seorang lelaki muda, betapa pun timbul perasaan yang aneh di dalam hati Pwe-eng, tanpa terasa pipinya bersemu merah.

   Dengan penuh perhatian Hi Giok-hoan mendengarkan denyut nadi tangan Han Pwe-eng, sejenak baru ia lepaskan tangan yang halus itu, lalu berkata dengan tertawa.

   "Selamat, nona Han, hawa dingin berbisa di dalam tubuhmu kini sudah lenyap seluruhnya dan takkan kambuh kembali."

   "Kiranya kalian telah menyembuhkan penyakitku, tapi aku sama sekali tidak tahu, sungguh aku merasa tidak tenteram. Entah obat mujarab apa yang digunakan Hi-cici sehingga aku dapat sembuh dengan cepat. Terus terang, ayahku pernah mengatakan padaku bahwa penyakitku biarpun tidak parah, tapi untuk menyembuhkannya juga sukar."

   "Lantaran kau tanya, tiada halangannya aku pun beritahukan terus terang,"

   Ujar Giok-hoan dengan tertawa.

   "Bukan maksudku meninggikan jasa adik perempuanku, tapi demi penyakitmu ini dia benar-benar sudah banyak membuang pikiran. Untuk penyembuhan ini cukup dalam sehari saja, tapi guna penyembuhannya dia sudah menyiapkan diri lebih dari tiga tahun lamanya."

   "Aneh, penyakitku ini baru ada setahun lebih, masakah Hi-cici memiliki kesaktian meramalkan apa-apa yang akan terjadi sebelumnya?"

   Tanya Pwe- eng dengan heran.

   "Begini,"

   Tutur Giok-hoan.

   "sejak adikku pulang dari rumahmu dulu dia sudah berjaga-jaga akan kemungkinan terjadinya peristiwa seperti sekarang ini. Tatkala itu ayahmu sudah terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang sehingga badan bagian bawah kurang leluasa buat bergerak, betul tidak?"

   Pwe-eng mengiakan, diam-diam ia pun heran pula bahwa penyakit ayahnya itu ternyata juga sudah diketahui Hi Giok-kun.

   "Menurut taksiran adikku, gembong iblis itu pasti takkan membiarkan ayahmu begitu saja, cepat atau lambat dia pasti akan datang mencari perkara pula ke rumahmu. Menurut jalan pikiran adikku, bila taksirannya itu meleset, seumpama kau tidak cidera apa-apa, asalkan sudah mahir cara penyembuhan bagi luka kena Siu-lo-im-sat-kang, tentunya dia akan dapat bantu menyembuhkan ayahmu."

   Hati Pwe-eng menjadi terharu oleh maksud baik teman karib itu, katanya.

   "O, kiranya begitu. Sungguh aku harus berterima kasih kepada jerih-payah Hi-cici itu."

   Kata-kata "jerih-payah"

   Diucapkan Pwe-eng tanpa sengaja, tapi bagi pendengaran Hi Giok-hoan rasanya mengandung arti tertentu, mukanya menjadi merah. Keruan Pwe-eng menjadi bingung, ia heran mengapa wajah pemuda itu bisa merah mendadak. Lalu Giok-hoan bicara pula.

   "Sesudah pulang dari tempatmu, adikku pernah berguru selama lebih setahun kepada Bu-siang Sin-ni di Go-bi-san dan mohon Nikoh tua itu mengajarkan ilmu penawar racun dengan jarum emas (ilmu tusuk jarum). Sebenarnya melulu penyembuhan dengan tusuk jarum saja belum dapat menyembuhkan penyakitmu ini, untung tempat tinggal kami ini berada di Pek-hoa-kok "Pek-hoa-kok ini memang indah bagai surga, tapi ada sangkut paut apa dengan penyakitku?"

   Sela Pwe-eng dengan heran.

   "Nona Han memang tidak tahu bahwa Pek-hoa-kok ini adalah tempat tinggal kami yang sudah turun-temurun selama ratusan tahun."

   "Apa hubungannya pula dengan penyakitku?"

   "Dahulu tempat ini adalah sebuah lembah pegunungan sunyi, leluhur kami gemar kepada bunga-bunga, maka beliau telah banyak mengumpulkan jenis bunga-bungaan yang aneh-aneh dari berbagai tempat untuk dipindahkan ke sini. Setelah dipupuk selama ratusan tahun, perkembangan selanjutnya menjadikan Pek-hoa-kok seperti sekarang ini."

   "Ya, leluhur menanam pohon, keturunannya memetik buahnya, pepatah ini memang tidak salah,"

   Kata Pwe-eng dengan tertawa.

   "Setiap jenis bunga di sini ternyata tumbuh dari hasil jerih payah orang leluhur. Tetapi dengan penyakitku ada....."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada hubungannya sedikit,"

   Sambung Giok-hoan.

   "Ada beberapa jenis bunga-bungaan di Pek-hoa-kok sini adalah bahan obat yang sukar diketemukan di lain tempat. Satu di antaranya baru berbunga selama enampuluh tahun sekali, jenis ini kebetulan dapat memunahkan hawa dingin di tubuh manusia. Boleh dikata nasibmu sedang baik, nona Han, bunga mujizat ini baru saja berbunga tahun yang lalu, maka adik perempuanku telah membuatkan sejenis obat bagimu, obat arak yang disebut "Kiu-thian-hwe-yang-pek-hoa-ciu". Semalam ketika engkau tidur nyenyak, Giok-kun telah mencekoki engkau satu poci arak wangi itu, kemudian baru mengadakan tusuk jarum, dia kuatir pula tenagamu tidak cukup, maka aku disuruh membantu mengurut jalan darahmu dengan Siau- yang-sin-kang."

   Baru sekarang Pwe-eng mengetahui Hi Giok-kun telah banyak membuang pikiran dan tenaga demi untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi setelah mendengar ucapan Hi Giok-hoan yang terakhir, tiba-tiba wajahnya menjadi merah, pikirannya.

   "Kiranya dia juga mahir Siau-yang-sin- kang. Tapi, ai, dia bantu mengurut jalan darahku, jika begitu bukankah badanku telah diraba-raba olehnya?"

   Hi Giok-hoan seperti tahu apa yang sedang dipikirkan si nona, sikapnya juga rada kikuk. Tapi ia lantas berkata pula.

   "Sesungguhnya Siau-yang-sin- kang juga baru kulatih pada tahun yang lalu. Aku telah bertukar pikiran ilmu silat dengan Kok Siau-hong, untung dia mau mengajarkan Siau-yang-sin- kang padaku, untuk itu kami kakak beradik telah menukarnya dengan dua macam ilmu silat dari keluarga kami. Han-siocia, untuk menyembuhkan penyakitmu dengan cepat diperlukan tiga jalan sekaligus, yakni tusuk jarum, Pek-hoa-ciu tadi serta Siau-yang-sin-kang, kurang satu saja tidak boleh. Kalau kau cuma berlatih Siau-yang-sin-kang saja, meski penyakitmu lambat-laun juga akan sembuh dengan sendirinya, tapi akan makan waktu bertahun- tahun. Demi untuk menyembuhkan penyakitmu, terpaksa aku berbuat menurut keadaan, untuk ini harap Han-siocia suka memberi maaf."

   Wajah Pwe-eng bertambah merah, sudah tentu ia tidak dapat menyalahkan Hi Giok-hoan yang mengobatinya itu.

   Akan tetapi hal ini menambah dua tanda tanya baginya.

   Menurut Hi Giok-kun, katanya Kok Siau-hong sudah berada di Pek-hoa-kok sini, jika demikian mengapa tidak suruh Kok Siau-hong mengurut jalan darahnya, sebaliknya minta bantuan Hi Giok-hoan? Selain itu, menurut pesan ayahnya dahulu, katanya keluarga Hi dan keluarga Kok ada perselisihan, tapi menurut cerita Hi Giok-kun dan Hi Giok-hoan, tampaknya di antara kedua keluarga itu berhubungan akrab pula.

   Mengapa bisa demikian? Dalam pada itu terdengar Hi Giok-hoan berkata pula.

   "Kami sangat girang melihat Han-siocia sembuh secepat ini, suatu tanda bahwa Pek-hoa- ciu memang membawa khasiat yang tak terhingga. Karena itu kami bermaksud mengirim satu botol kepada ayahmu, dengan tenaga dalam ayahmu, kiranya tanpa tusuk jarum juga akan sembuh bila habis minum satu botol arak harum ini."

   Pwe-eng sangat terharu, katanya.

   "Sungguh aku tidak tahu cara bagaimana membalas budi kebaikan Hi-cici. Oya, dimanakah Hi-cici, aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya."

   "Tidak perlu terburu-buru Han-siocia, nanti saja kalau segala sesuatu sudah jelas bagimu,"

   Ujar Giok-hoan. Keruan Pwe-eng melengak, apanya yang perlu dijelaskan lagi? Segera ia pun bertanya.

   "Benar, aku memang heran, mengapa Han-cici mengobati aku secara diam-diam di luar tahuku?"

   "Bila dibicarakan sebelumnya padamu, Giok-kun kuatir kau tidak mau menerima pengobatannya,"

   Kata Giok-hoan dengan tersenyum. Seketika timbul rasa curiga pula dalam hati Pwe-eng.

   "Jangan-jangan dia mengharapkan balas jasa sesuatu dariku, makanya sengaja diatur cara demikian?"

   Belum lenyap pikirannya, benar juga lantas terdengar Giok-hoan berkata.

   "Sesungguhnya Giok-kun ingin mohon sesuatu kepada Han-siocia, entah engkau suka meluluskan atau tidak? Cuma hendaklah Han-siocia jangan salah paham, tiada maksud Giok-kun memaksa kau membalas kebaikannya, tapi cuma berunding saja dengan kau, jika Han-siocia tidak dapat menerima, maka Giok-kun juga tidak berani memaksa."

   Walaupun begitu katanya, tapi permintaan itu diajukan sesudah menyembuhkan penyakit orang, betapa pun ini sudah mengandung unsur pemerasan.

   Pwe-eng telah memperhatikan orang, di waktu bicara meski Giok-hoan tetap tersenyum simpul, tapi senyumnya tidak wajar, seakan-akan kikuk juga mengajukan permintaan bagi adik perempuannya itu.

   Maka Pwe-eng lantas menjawab.

   "Aku dan Hi-cici laksana kakak beradik sekandung, apalagi dia telah menyembuhkan penyakitku, jika dia ada kesulitan, masakah aku dapat berpeluk tangan? Asalkan aku sanggup melaksanakannya, biarpun terjun ke lautan api juga takkan kutolak."

   "Terjun ke lautan api sih juga tidak sampai begitu, hanya hanya entah Han-siocia bisa menerima atau tidak?"

   Kata Giok-hoan dengan tergagap.

   "Silakan omong terus terang saja,"

   Pinta Pwe-eng.

   "Waktu Giok-kun mengundang engkau ke sini, apakah dia pernah membicarakan apa-apa terhadapmu?"

   Kata Giok-hoan.

   Tergetar hati Pwe-eng, ini dia pikirnya.

   Teringat pesan ayahnya bahwa di antara kedua keluarga mereka itu ada perselisihan, jika mereka hendak menggunakan diriku untuk membalas dendam kepada Siau-hong, wah, ini benar-benar sukar untuk diterima.

   Di bawah desakan sinar mata Giok-hoan, terpaksa Pwe-eng menjawab dengan malu-malu.

   "Ya, Hi-cici bilang Siau-hong berada di sini, katanya dia minta aku menemuinya ke sini, entah entah....."

   "Apa sekarang juga kau ingin bertemu dengan Siau-hong?"

   Giok-hoan menegas dengan tersenyum. Pwe-eng hanya mengangguk saja tanpa menjawab, wajahnya bertambah merah.

   "Siau-hong memang berada di sini, cuma sekarang dia tidak leluasa buat menemui kau,"

   Kata Giok-hoan. Dengan terkejut dan tanpa pikir Pwe-eng menegas.

   "Sebab apa?"

   Dalam hati ia pikir mungkin bakal suaminya itu telah ditawan oleh kakak beradik she Hi itu. Ternyata Hi Giok-hoan tidak menjawabnya langsung, tapi malah bertanya.

   "Kalian sudah lama tidak berjumpa bukan?"

   Pwe-eng tahu dalam hal ini tentu ada sesuatu yang tidak beres, urusan menyangkut kepentingan pribadinya, dengan mendongkol segera ia menjawab.

   "Benar, sudah enam tahun lamanya kami tidak berjumpa, ada apa?"

   "Kalian sudah bertunangan sejak kecil, waktu itu kau baru berumur tiga tahun, apakah betul demikian?"

   Kembali Giok-hoan bertanya.

   "Sebenarnya apa maksudmu dengan pertanyaanmu yang mengorek urusan orang lain ini?"

   Sahut Pwe-eng dengan aseran.

   "Tiada punya maksud apa-apa,"

   Kata Giok-hoan dengan mengiring tawa.

   "Hanya saja, pertunangan kalian sejak masih kecil, jarak kedua keluarga terpisah sangat jauh. Han-siocia, apakah pernah kau pikirkan bahwa pertunangan ini rada..... rada....."

   Dengan marah Pwe-eng lantas menyela.

   "Urusan perjodohanku didasarkan atas persetujuan orang tua, cocok atau tidak bukan urusanmu dan kau pun tidak perlu ikut campur."

   "Benar, aku tahu kau sudah hampir menjadi pengantin baru, tapi Kok Siau-hong tidak menunggu kau di Yang-ciu, sebaliknya dia malah datang ke tempat kami ini, apakah kau tidak merasa heran akan kejadian ini? Apa kau tidak ingin tahu apa sebabnya? Urusan perjodohanmu memang tidak perlu kuikut campur, namun urusannya menyangkut kepentingan adik perempuanku, sebagai kakak terpaksa aku tidak dapat tinggal diam."

   Sangsi dan ragu-ragu berkecamuk dalam benak Pwe-eng, ia pikir orang sudah bicara secara blak-blakan, terpaksa aku pun tanya dia dengan lebih jelas. Maka dengan menahan perasaan segera ia menegas.

   "Giok-kun minta aku datang ke sini untuk menemui Siau-hong, mengapa aku tak dapat menemui dia, sesungguhnya dia berada di sini atau tidak?"

   "Apa kau menyangka Giok-kun mendustai kau? Lihatlah ini,"

   Kata Giok- hoan dengan tertawa sembari mengeluarkan sepotong bunga karang yang indah dan disodorkan kepada Han Pwe-eng.

   "Benda ini oleh Siau-hong sengaja dikembalikan kepadamu, terimalah kau!"

   Bunga karang itu dikenal Pwe-eng sebagai tanda bukti pertunangan yang diberikan oleh ayahnya kepada pihak keluarga lelaki dahulu. Keruan ia terkejut dan berseru dengan suara rada gemetar.

   "Apa artinya ini?"

   "Hendaklah kau jangan sedih,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Perjodohan orang sudah ditakdirkan dan tak dapat dipaksakan oleh manusia....."

   "Lebih baik kau bicara terus terang saja, apakah dia bermaksud membatalkan pertunangan?"

   Pwe-ing menegas dengan tak sabar. Giok-hoan tidak langsung menjawab, tapi seperti menggumam sendiri.

   "Enam tahun bukan waktu yang lama tapi juga tidak pendek, dalam masa itu memang sukar diduga akan terjadi perubahan-perubahan pada orang- orang yang bersangkutan. Siau-hong telah saling mencintai dengan Giok- kun, hal ini bagi mereka sendiri juga tidak terduga."

   Pwe-eng melengak, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri, dengan bimbang ia menegas.

   "Kau bilang apa?"

   Sambil menghela napas Giok-hoan menjawab.

   "Giok-kun tidak bermaksud membikin susah padamu, dia juga terpaksa. Empat tahun yang lalu, sebelum dia kenal kau, dia dan Kok Siau-hong sudah sama-sama bersumpah setia dan mengikat janji."

   Teka-teki sudah terjawab, segala sesuatu menjadi jelas.

   Sebabnya Hi Giok-kun menculiknya ke Pek-hoa-kok adalah untuk urusan ini.

   Secara diam- diam Giok-kun menyembuhkan penyakitnya ternyata bertujuan pemerasan, yakni supaya dia mau menyerahkan bakal suaminya sebagai imbalan.

   Seketika wajah Han Pwe-eng berubah, tampaknya Hi Giok-hoan juga kikuk, katanya kemudian.

   "Aku tahu cara ini memang tidak pantas dan terlalu memaksa. Tapi urusan sudah telanjur begini, mereka berdua sudah pasti tak terpisahkan lagi. Maka diharap Han-siocia dapat berpikir dengan kepala dingin, perjodohan adalah urusan kedua pihak....."

   "Kau suruh mereka menemui aku saja!"

   Seru Pwe-eng dengan suara parau.

   "Han-siocia, kukira lebih baik nanti saja bila perasaanmu sudah tenang baru bertemu dengan mereka,"

   Ujar Giok-hoan dengan serba susah. Dalam keadaan mendongkol, malu dan gusar pula, mendadak Pwe-eng mengebas lengan bajunya terus berlari pergi. Cepat Hi Giok-hoan memburunya sambil berseru.

   "Han-siocia, bicaralah dengan baik."

   "Mau bicara apa lagi?"

   Sahut Pwe-eng dengan mendengus.

   "Kalau Hi Giok-kun sudah berusaha sejauh ini, biarlah aku memenuhi keinginannya saja."

   Habis berkata tangannya lantas menyambit ke belakang, satu titik perak lantas menyambar secepat kilat ke arah Hi Giok-hoan.

   "Aneh, mengapa kau marah kepadaku?"

   Ujar Giok-hoan dengan menyeringai. Sekali lengan bajunya mengebut, kontan "senjata rahasia"

   Itu kena ditangkapnya. Waktu dia periksa, kiranya adalah sebuah tusuk kundai kemala berhiaskan mutiara.

   "Itu adalah barang Kok Siau-hong, boleh kau berikan pada adik perempuanmu, barang ini sekarang wajib dimilikinya,"

   Kata Pwe-eng. Rupanya tusuk kundai kemala ini adalah benda yang diterima Pwe-eng dari keluarga Kok sebagai tanda pertunangan, yaitu sebagai pertukaran tanda mata dengan bunga karang tadi.

   "Han-siocia....."

   Giok-hoan berseru pula, tapi mendadak terdengar suara gemerincing, Han Pwe-eng telah membanting hancur bunga karang yang diterimanya kembali tadi. Tanpa menoleh lagi ia terus melompat pergi lewat pagar tembok. Hi Giok-hoan menghela napas, pikirnya.

   "Dia tentu sangat berduka."

   Akan tetapi apa mau dikata lagi, terpaksa dia menyaksikan kepergian Pwe- eng.

   Sekaligus Pwe-eng berlari meninggalkan Pek-hoa-kok yang indah itu, tapi nona itu tiada minat buat menikmati pemandangan permai itu.

   Ketika angin pegunungan meniup, rasa segar tiupan angin itu membikin pikiran Pwe-eng rada jernih dan tenang kembali, tiba-tiba teringat olehnya.

   "Ah, mana boleh aku percaya penuh kepada omongan mereka kakak beradik?"

   Maklumlah, ketika mula-mula mendengar apa yang dikatakan Hi Giok- hoan itu, seketika ia penuh rasa mendongkol, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Hi Giok-kun yang baik laksana saudara kandung sendiri itu ternyata mempunyai rencana sejauh itu dan berusaha merebut bakal suaminya.

   Ia pun benci kepada Kok Siau-hong yang telah menipunya agar ke Yang-ciu untuk melangsungkan pernikahan, tapi nyatanya membuatnya mengalami penghinaan sebesar ini.

   Tadinya ia bermaksud mencari Kok Siau-hong dan Hi Giok-kun untuk dicaci-maki sepuasnya, tapi kemudian terpikir olehnya apa gunanya berbuat demikian jika mereka memang sudah saling mencintai dengan setulus hati.

   Sebab itulah ia berlari meninggalkan Pek-hoa-kok dengan perasaan pedih, ia berharap apa yang dialaminya itu hanya impian buruk belaka, semoga dengan cepat dapat melupakan impian buruk dan selanjutnya dia tak ingin bertemu lagi dengan kedua orang itu.

   Namun demikian, betapa pun dia masih penasaran, mana dia dapat melupakan penghinaan besar begini? Bayangan Kok Siau-hong yang gagah itu muncul dalam benaknya.

   Apakah dia mencintai Kok Siau-hong? Ia sendiri tidak tahu.

   Waktu bertunangan sedikit pun dia tidak tahu apa-apa.

   Enam tahun yang lalu ia pun cuma melihat wajah bakal suami itu dengan mengintip dari balik pintu angin, satu patah kata pun belum pernah berbicara.

   Namun resminya mereka toh bakal suami-istri, dia tidak rela dihina dan ditipu oleh Kok Siau- hong.

   Akan tetapi timbul pula suatu pikiran padanya.

   "Bukan mustahil kalau Hi Giok-kun yang sengaja mendustai aku? Bukankah di antara kedua keluarga mereka ada perselisihan, mungkin Hi Giok-kun sengaja membalas dendam dengan cara yang keji ini. Ya, betapa pun juga aku harus menyelidiki persoalan ini dengan sejelas-jelasnya."

   Begitulah, setelah ambil keputusan demikian, pikirannya menjadi tenang kembali.

   Ia bertekad akan tetap pergi ke Yang-ciu untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.

   Dua hari kemudian, sampailah dia di kota yang dituju.

   Rumah keluarga Kok terletak di Gang Tiok-say dan cukup terkenal di kota Yang-ciu.

   Setelah mendapatkan sebuah kamar di suatu hotel kecil, segera Pwe-eng menuju ke jalan itu dan dengan gampang menemukan rumah yang dicari.

   Dilihatnya pintu rumah keluarga Kok tertutup rapat, di depan pintu besar ada sepasang singa-singaan batu yang sudah berlumut, emper rumah penuh sawang, melihat keadaannya jelas tiada tanda-tanda sedikit pun bahwa di rumah itu bakal ada pesta pernikahan.

   Padahal menurut perhitungan Pwe-eng, bila tiada halangan, besok juga sudah tiba hari pernikahan, saat ini seharusnya di rumah keluarga Kok itu sudah sibuk dan ramai dengan tetamu, mengapa kelihatan sunyi senyap begitu? Apakah mereka mendapat kabar dari kedua pengawal tua tentang kejadian di tengah jalan atas diriku? Atau kemungkinan lain adalah Kok Siau-hong hakikatnya tiada berniat menikahi aku.

   Sebagai anak perempuan sudah tentu tidak enak bagi Pwe-eng untuk tanya keterangan tentang perkawinan orang segala.

   Sedangkan pintu rumah keluarga Kok juga tertutup rapat, ia pun tidak enak berkunjung ke rumah bakal suaminya, betapa pun dia adalah bakal menantu keluarga Kok, bila tiada terjadi sesuatu atas keluarga Kok dan calon pengantin perempuan mendadak muncul untuk mencari bakal suami, bukankah hal ini sangat lucu? Akhimya Pwe-eng dapat menahan perasaannya, ia pikir nanti malam saja aku akan menyelidiki persoalannya.

   Umpama Siau-hong di rumah, tentunya aku dapat menemui ibu mertuaku.

   Dari ayahnya pernah Pwe-eng mendengar bahwa ibu Kok Siau-hong berasal dari keluarga Yim, guru silat terkenal di Soh-ciu.

   Ia pikir bakal ibu mertua itupun orang dunia persilatan, bila malam nanti aku menemuinya secara diam-diam, asalkan aku menjelaskan persoalannya, tentu beliau takkan marah padaku.

   Menjelang tengah malam, Pwe-eng mengganti pakaiannya menjadi serba hitam, pakaian piranti keluar malam.

   Tanpa dipergoki siapa pun juga ia meninggalkan hotelnya dan menyusup ke rumah keluarga Kok.

   Malam itu tiada rembulan, bintang-bintang juga kelam.

   Rumah keluarga Kok yang besar itu sunyi senyap dan gelap-gulita, satu bayangan orang pun tidak kelihatan.

   Dengan perasaan tidak tenteram Pwe-eng memasuki pekarangan belakang, tiba-tiba dilihatnya di sebuah kamar ada cahaya lampu, dengan mengendap-endap Pwe-eng mendekati kamar itu, dari balik gunung- gunungan ia coba melongok ke sana, dilihatnya sesosok bayangan wanita timbul di atas tirai jendela, wanita itu sedang berjalan mondar-mandir di dalam rumah.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pwe-eng pikir wanita itu tentu ibu mertua adanya, sudah jauh malam begini masih belum tidur, apa mungkin juga sama seperti diriku yang sedang menanggung sesuatu beban pikiran? Sebenarnya kesempatan ini sangat baik baginya untuk menemui bakal ibu mertuanya itu, tapi ia menjadi bingung cara bagaimana harus menemuinya dan cara bagaimana harus membuka suara pula.

   Betapa pun ia adalah menantu yang belum resmi, masakah pantas begitu datang lantas menanyakan Kok Siau-hong? Selagi ragu-ragu, tiba-tiba terdengar nyonya Kok di dalam rumah sedang membentak.

   "Siapa itu di luar?"

   Pwe-eng terkejut karena menyangka jejaknya telah diketahui bakal ibu mertua, baru dia mau keluar dari tempat persembunyiannya dan menjawab, pada saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan orang muncul di depan gunung- gunungan itu.

   Baru sekarang Pwe-eng mengetahui bahwa di situ terdapat pula orang lain, keruan ia tambah terkejut.

   Orang itu adalah kakek-kakek berusia enampuluhan, agaknya kakek itu tidak tahu kalau di belakang gunung-gunungan itu terdapat Han Pwe-eng, maka langsung kakek itu melangkah ke kamar itu, serunya sambil tertawa.

   "Ha,ha, apakah masih kenal kepada kakakmu ini, Sam-moay (adik perempuan ketiga)?"

   Ketika pintu kamar terbuka, Kok-hujin (nyonya Kok) berdiri di ambang pintu dengan air muka cemberut, jawabnya dengan sikap dingin.

   "Yim Thian-ngo, mau apa kau datang ke sini?"

   "Aku datang untuk menjenguk kau, Sam-moay!"

   Sahut kakek itu.

   "Sudah hampir tigapuluh tahun kita tidak berjumpa, kan pantas jika aku datang menjenguk kau?"

   "Hm, terima kasih, tapi aku belum mati,"

   Jengek Kok-hujin.

   "Dahulu waktu aku menikah dengan Kok Yak-hi, dengan tegas kau menyatakan hanya pada hari kematianku barulah kau akan datang ke rumah keluarga Kok untuk melawat. Apakah kau masih ingat kepada ucapanmu itu?"

   Kakek yang bemama Yim Thian-ngo itu tampak serba kikuk, jawabnya.

   "Dahulu aku memang tidak setuju pernikahanmu dengan Kok Yak-hi, tapi sekarang Yak-hi sudah mati, betapa pun kau adalah adik kandungku, percekcokan antara kakak beradik masakah masih selalu diingat saja?"

   "Kau boleh lupa, tapi aku tetap ingat,"

   Kata Kok-hujin.

   "Kau anggap aku telah membikin malu keluarga Yim, kau bilang sesudah aku menjadi menantu keluarga Kok, maka tidak boleh lagi menjadi anak perempuan keluarga Yim. Kau sendiri yang telah mengusir aku dari keluarga kita, tapi sekarang kau datang memanggil adik lagi kepadaku?"

   "Ya, aku tahu perasaanmu, sudah tigapuluh tahun kau menahan penasaran, pantas kalau kau masih mendongkol,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Baiklah, sekarang rasa gusarmu sudah mereda bukan? Kakak beradik toh tetap kakak beradik, dahulu ucapanku memang rada-rada kelewat keras, biarlah sekarang aku minta maaf kepadamu."

   Han Pwe-eng rada heran mendengar percakapan itu, pikirnya.

   "Kiranya mereka memang kakak beradik sekandung, dari percakapan mereka, agaknya kakak she Yim ini tidak setuju perjodohan adik perempuannya sehingga terjadi cekcok antara kakak beradik. Padahal keluarga Kok cukup terkenal di dunia persilatan, di masa hidupnya Kok Yak-hi juga terkenal sebagai pendekar budiman, ayahku sendiri pun sangat kagum padanya. Tapi mengapa Yim Thian-ngo anti perjodohan adik perempuannya ini?"

   Dalam pada itu sikap Kok-hujin tampak rada sabar sedikit, katanya.

   "Minta maaf sih tidak perlu, jika Toako toh masih sudi mengakui adik perempuan yang tidak genah ini, maka aku pun berterima kasih atas kebaikan Toako. Baiklah, silakan masuk, Toako. Sekiranya ada petunjuk- petunjuk apa, tentu akan kudengarkan dengan pasang telinga."

   Meski sudah saling mengaku sebagai kakak dan adik, tapi ucapan Kok- hujin itu toh masih mengandung nada olok-olok.

   "Ah, sifat Sam-moay masih sama saja seperti waktu kecil,"

   Ujar Yim Thian-ngo dengan menyeringai. Sesudah masuk ke dalam dan berduduk, lalu ia bertanya pula.

   "Dimanakah keponakanku si Siau-hong?"

   "Tapi Siau-hong tidak pernah mengetahui masih mempunyai paman seperti kau,"

   Kata Kok-hujin dengan ketus.

   "Aku telah memberitahukan pada dia bahwa orang-orang dari keluarga asalku sudah mati seluruhnya."

   "Apakah sedemikian Sam-moay benci padaku?"

   Kata Yim Thian-ngo dengan air muka berubah.

   "Tidakkah kau pun mengharapkan aku cepat-cepat mati?"

   Sahut Kok- hujin. Tampaknya Yim Thian-ngo mau naik pitam, tapi segera diurungkan, dengan tertawa ia berkata pula.

   "Sam-moay benar-benar tidak mau mengalah sedikit pun. Tapi kedatanganku ini adalah untuk mencari damai dan tidak ingin bertengkar lagi dengan kau. Di waktu muda, kita memang sama-sama berwatak keras, apa yang dahulu pernah kita ucapkan janganlah selalu diingat."

   Agaknya Kok-hujin juga merasa sikapnya sendiri agak keterlaluan, karena Yim Thian-ngo sudah mengalah, maka ia pun lunak kembali, tanyanya kemudian.

   "Ada apa kau mencari Siau-hong?"

   "Haha, sebagai Ku-ku (paman, adik atau kakak ibu), mumpung aku belum masuk liang kubur, kan pantas bila aku menjenguk keponakan yang belum pernah kulihat selama ini,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Hm, sungguh aku harus berterima kasih kepada Toako yang menaruh perhatian kepada kami?"

   Jengek Kok-hujin.

   "Namun sudah sekian lamanya Moay-hu (ipar) meninggal, dan Toako baru sekarang datang, kukira maksudmu bukan untuk menjenguk kami, tapi ada urusan lain tentunya?"

   "Kabarnya Siau-hong sudah mau kawin bukan?"

   Tanya Yim Thian-ngo.

   "Dahulu aku tahu Sam-moay marah padaku, dengan sendirinya aku tidak enak datang ke sini. Sekarang Siau-hong sudah akan berkeluarga, sebagai Ku-ku datang buat memberi selamat, Sam-moay takkan marah lagi padaku bukan?"

   "Perjodohannya memang sudah tetap, untuk menikah masih lama, kedatanganmu ini agak terlalu pagi sedikit,"

   Ujar Kok-hujin.

   "O, kudengar besok juga Siau-hong akan menikah, memangnya harinya sudah berubah?"

   Yim Thian-ngo menegas.

   "Benar, sudah berubah,"

   Sahut Kok-hujin.

   Mendengar itu, Han Pwe-eng ikut tegang di tempat sembunyinya.

   Ia menduga selanjutnya Yim Thian-ngo pasti akan tanya apa sebabnya hari pernikahan berubah, maka dengan pasang telinga tajam-tajam ia siap mendengarkan.

   Tak tersangka Yim Thian-ngo malah terus putar pembicaraannya dan bertanya.

   "Bukankah pengantin perempuannya adalah puteri Han Tay-wi?"

   "Betul, kau kenal baik dengan keluarga Han bukan?"

   Jawab Kok-hujin.

   "Pernah bertemu satu-dua kali di dunia Kang-ouw, tidak dapat dianggap kenalan baik. Tapi kabarnya Han Tay-wi terluka oleh pukulan Siu-lo-im-sat- kang Cu Kiu-bok, apakah kau tahu?"

   "Kalau tahu lantas ada apa?"

   Sahut Kok-hujin.

   "Kau tentu tahu Siau-yang-sing-kang dapat menahan hawa pukulan Siu- lo-im-sat-kang, maka perjodohan yang kalian ikat ini menjadi bermanfaat bagi Han Tay-wi. Sam-moay, itu tigabelas helai Siau-yang-toh-kay (gambar penjelasan Siau-yang) apa sudah kau berikan kepada keponakan Siau-hong?"

   Tiba-tiba Kok-hujin mendengus pula.

   "Hm, pahamlah aku sekarang. Jadi kedatanganmu ini adalah untuk ketigabelas helai gambar itu."

   "Ya, benda itu adalah wasiat keturunan Yim kita, mau tak mau aku mesti ikut memikirkannya,"

   Kata Thian-ngo.

   "Benar, memang benda itu asalnya milik keluarga Yim, tapi sebelum wafat, ayah telah berjanji akan memberikan gambar wasiat itu sebagai emas kawinku."

   "Ayah menjanjikannya sebagai emas kawinmu, tapi tidak berarti diberikan kepada keluarga Kok sebagai emas kawin. Waktu ayah masih hidup, beliau sama sekali tidak menduga bakal suamimu adalah Kok Yak- hi."

   Wajah Kok-hujin tampak sebentar pucat sebentar merah, seakan-akan borok lama telah tertusuk oleh ucapan sang kakak. Selang sejenak baru dia menjengek.

   "Hm, kalau kau anggap aku membikin malu padamu lantaran aku menjadi menantu keluarga Kok, maka seharusnya kau jangan datang ke tempat kami ini. Sekarang suamiku sudah meninggal, puteraku juga sudah mau menikah, tapi sengaja datang mengorek-orek urusan lama, sebenarnya apa maksudmu yang sesungguhnya?"

   Sampai di sini mendadak ia membentak pula dengan suara keras.

   "Yim Thian-ngo, katakan terus terang saja, kau hendak membikin perhitungan lama dengan diriku atau kau hendak minta kembali Siau-yang-toh-kay milik keluarga Yim?"

   "Urusan yang sudah lalu tidak perlu disebut-sebut lagi,"

   Kata Yim Thian- ngo.

   "Siau-yang-toh-kay itu diberikan ayah sebagai emas kawinmu, sekali pun orang yang kau nikahi bukan pilihan ayah sendiri, namun aku pun tidak peduli lagi soal ini. Sam-moay, kau tidak perlu marah-marah dulu, aku tidak akan mengincar Siau-yang-toh-kay itu."

   "Habis, apa arti ucapanmu tadi?"

   "Aku tidak bermaksud minta kembali Siau-yang-toh-kay, tapi aku pun tidak dapat membiarkan pusaka keluarga Yim jatuh di tangan orang luar."

   "O, jadi kau kuatir secara diam-diam Siau-hong menurunkan Siau-yang- sin-kang kepada keluarga Han?"

   "Han Tay-wi terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang. Siau-yang-sin-kang adalah ilmu yang diimpi-impikan olehnya. Dia sengaja mengikat besan dengan kau, he, he, kukira memang untuk inilah tujuannya."

   Pwe-eng merasa malu dan gusar pula mendengar sampai di sini, pikirnya.

   "Untung penyakitku sudah sembuh sehingga tidak perlu mengemis apa yang disebut Siau-yang-sin-kang segala dari keluarga Yim kalian. Hm, Yim Thian- ngo ini benar-benar kurang ajar, memangnya dia anggap ayahku orang macam apa? Perjodohanku ini telah ditetapkan sejak kecil, kalau menuruti jalan pikirannya, tampaknya seakan-akan ayah sengaja menggunakan anak perempuan sendiri sebagai barang pertukaran!"

   Sampai di sini ia menjadi rada berterima kasih kepada Hi Giok-kun yang telah menyembuhkan penyakitnya sehingga terhindar dari prasangka Yim Thian-ngo. Tapi lantas terpikir pula olehnya.

   "Jika sanak keluarga Kok sudah timbul prasangka demikian, masakah aku merasa enak untuk menikah dengan Kok Siau-hong?"

   Didengarnya Kok-hujin sedang berkata pula.

   "Besanan keluarga Kok dan Han sudah ditetapkan tujuhbelas tahun yang lalu oleh mendiang ayah Siau- hong. Waktu itu Han Tay-wi dan Cu Kiu-bok belum bermusuhan, malahan Siu-lo-im-sat-kang mungkin juga belum berhasil diyakinkan oleh Cu Kiu- bok."

   "Jika menuruti ucapanmu ini tampaknya seakan-akan aku inilah yang berprasangka jelek terhadap orang baik,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Seumpama Han Tay-wi tidak punya maksud tertentu waktu menjodohkan puterinya kepada puteramu, yang jelas sekarang dia memang memerlukan Siau-yang- sin-kang."

   "Andaikan Siau-hong menggunakan Siau-yang-sin-kang untuk mengobati ayah mertuanya kan juga pantas,"

   Ujar Kok-hujin.

   "Memangnya membantu mertua sendiri siapa bilang tidak pantas? Cuma siapa yang berani memastikan bahwa hal ini bukan perangkap yang sengaja dipasang oleh Han Tay-wi?"

   "Perangkap apa maksudmu?"

   Kok-hujin menegas.

   "Misalnya, dia bersekongkol dengan Cu Kiu-bok dengan pura-pura terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang, lalu untuk menipu Siau-yang-sin-kang milikmu. Dengan kemampuan ilmu silat Han Tay-wi, tidak perlu melihat gambar penjelasan Siau-yang-sin-kang, asalkan dia mendapatkan penyembuhan dari ilmu ini, maka cukup baginya untuk menyelami dimana letak intisari ilmu pusaka keluarga kita ini."

   Diam-diam Pwe-eng sangat mendongkol terhadap Yim Thian-ngo yang sembarangan mencerca ayahnya. Dalam pada itu terdengar Kok-hujin berkata pula.

   "Aku tidak perlu jelas terhadap pribadi Han Tay-wi, tapi mengingat persahabatannya dengan mendiang ayah Siau-hong dan tanpa ragu-ragu ayah Siau-hong mau berbesanan dengan dia, maka aku yakin pandangan ayah Siau-hong pasti tidak meleset."

   Hati Han Pwe-eng sangat terhibur mendengar itu, ia pikir betapa pun Po- po (ibu mertua) adalah wanita yang punya pandangan, asalkan dia tidak percaya kepada hasutan, maka hatiku dapatlah tenteram.

   Belum lenyap pikirannya, terdengar Kok-hujin berkata pula.

   "Tapi kau pun tidak perlu terburu-buru merasa kuatir, sebab perjodohan Siau-hong dapat terlaksana atau tidak masih harus disangsikan."

   "Mengapa bisa begitu?"

   Tanya Yim Thian-ngo. Tampaknya Kok-hujin merasa sukar untuk menjelaskan, hendak berkata tapi urung, lalu menghirup secangkir teh dan tetap bungkam.

   "O ya, kudengar besok adalah hari pernikahan Siau-hong, makanya aku sengaja memburu ke sini. Tapi melihat gelagatnya sekarang, agaknya di sini tiada tanda-tanda mau melangsungkan pesta nikah, entah apakah yang terjadi?"

   Tanya Yim Thian-ngo. Sebenarnya Kok-hujin tidak ingin menjelaskan, tapi mengingat sang kakak mempunyai pergaulan luas di dunia Kang-ouw, mungkin sekali persoalan ini nanti masih memerlukan bantuannya. Maka lantas ia berkata.

   "Toako, kalau kau benar-benar ingin akur kembali dengan tulus hati dan betul-betul datang untuk pesta pernikahan Siau-hong, maka aku pun tidak perlu dusta padamu. Tentang Siau-hong, dia dia sudah pergi!"

   "Pergi? Pergi ke mana?"

   Yim Thian-ngo menegas, tampaknya tidak terlalu kaget.

   "Aku pun tidak tahu,"

   Kata Kok-hujin.

   "Yang jelas anak Hong tidak puas dengan perjodohan ini, dengan macam-macam alasan dia menolak pernikahan ini, setelah kuomeli, akhirnya dia minggat. Aku sendiri tidak pernah keluar rumah, urusan Kang-ouw sudah asing bagiku, selama ini aku tidak tahu Siau-hong bergaul dengan orang-orang macam apa. Maka sekarang aku sedang susah, entah cara bagaimana mencari Siau-hong dan menyuruhnya pulang?"

   Seketika kepala Han Pwe-eng seakan-akan dikemplang orang secara mendadak demi mendengar itu, matanya menjadi berkunang-kunang dan hampir-hampir kelengar saking gusarnya. Pikirnya.

   "Nyata Kok Siau-hong memang memandang hina padaku dan tidak sudi beristrikan diriku. Hm, memangnya aku tergila-gila padanya? Hanya saja rasa mendongkol ini tidak dapat kutelan mentah-mentah. Sekarang persoalannya sudah jelas, buat apa aku tinggal lebih lama di sini!"

   Pikirnya hendak pergi, tapi saking marahnya sehingga kedua kakinya belum mau menurutkan perintah. Sementara itu terdengar Yim Thian-ngo berkata pula.

   "Apakah Sam- moay ingin tahu dimana beradanya Siau-hong? Aku malah tahu tentang dia."

   Kejut dan girang Kok-hujin, diam-diam ia pun mendongkol terhadap sang kakak, kiranya segala apa sudah diketahuinya, tapi sengaja memancing- mancing padaku. Namun ia tidak ingin ribut lagi dengan kakaknya, tapi cepat bertanya.

   "Dimanakah Siau-hong sekarang?"

   "Di rumah Hi Giok-hoan di Pek-hoa-kok,"

   Jawab Yim Thian-ngo dengan perlahan. Keterangan ini seperti bunyi geledek di siang bolong bagi Kok-hujin. Seketika mukanya berubah pucat dan sebentar lagi menjadi merah, selang sejenak barulah dia menggumam sendiri.

   "Di rumah orang she Hi itu?"

   "Benar Hi Giok-hoan itu adalah putera Hi Bok. Siapakah Hi Bok tentu kau masih ingat, dia adalah....."

   "Tidak perlu kau katakan lagi!"

   Seru Kok-hujin dengan suara gemetar. Tapi Yim Thian-ngo tetap melanjutkan.

   "Dia adalah tunanganmu yang kemudian kau tolak untuk menikahinya. Hi Bok mempunyai seorang putera dan seorang puteri, puterinya bernama Giok-kun kabarnya sangat baik dengan Siau-hong, untuk dia makanya Siau-hong telah minggat."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Serentak dua wanita di dalam dan di luar kamar hampir-hampir kelengar mendengar keterangan itu.

   Meski Han Pwe-eng sebelumnya sudah mengetahui akan hal itu, tapi sekarang memperoleh kesaksian dari mulut Yim Thian-ngo bahwa apa yang dikatakan Hi Giok-kun memang tidak dusta, seketika hati Pwe-eng menjadi seperti disayat-sayat.

   Begitu pula dengan Kok-hujin, agaknya dia pun terpukul oleh berita mendadak itu, seketika ia duduk lunglai di kursinya, katanya dengan setengah menggumam.

   "Ini sungguh..... sungguh terlalu kebetulan!"

   "Ya, ini benar-benar karma,"

   Sambung Yim Thian-ngo.

   "Dahulu kau melemparkan orang, caramu sesungguhnya rada keterlaluan. Padahal keluarga Hi paling mengutamakan muka, lantaran perbuatanmu, selama hidup Hi Bok kehilangan muka di dunia Kang-ouw."

   Kata "karma"

   Memang hampir diucapkan oleh Kok-hujin tadi.

   Meski apa yang dikatakan Yim Thian-ngo itu sangat menusuk perasaannya, tapi kini perhatiannya sedang dicurahkan atas diri puteranya, maka perasaannya menjadi tidak terlalu tersinggung.

   Namun tidak demikian dengan Han Pwe- eng yang berada di luar itu, ia membatin.

   "Persetan, masakah karmanya jatuh di atas diriku!"

   Baru sekarang juga Pwe-eng paham apa yang dikatakan ayahnya tentang perselisihan keluarga Kok dan Hi itu, kiranya adalah persoalan kisah cinta.

   Pantas ayahnya tidak mau menerangkan karena soalnya menyangkut rahasia pribadi orang.

   Selang sejenak barulah Kok-hujin berkata pula.

   "Toako, apakah mungkin keluarga Hi sengaja melakukan pembalasan cara demikian?"

   "Apakah putera-puteri Hi Bok mengetahui kisah cinta mendiang ayahnya, hal ini aku tidak berani sembarangan menduga. Cuma satu hal sudah kuketahui, untuk inilah makanya hari ini aku datang mencari kau."

   "Urusan apa?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Siau-hong telah mengajarkan Siau-yang-sin-kang kepada Hi Giok-hoan, kabarnya hal ini timbul dari pikiran Hi Giok-kun. Maksudnya agar Hi Giok- hoan kelak dapat menyembuhkan Han Tay-wi, dengan demikian diharapkan akan dapat membuyarkan rasa dendam keluarga Han yang mungkin akan timbul. Tampaknya Hi-siocia itu mempunyai perhitungan yang mendalam, dibandingkan kau, caranya itu jauh lebih licin. Maka dari itu, Sam-moay, kelak bila menantumu itu sudah masuk pintu, rasanya kau mesti hati-hati menghadapi dia."

   Kok-hujin tidak menggubris sindiran sang kakak, ia bertanya pula.

   "Darimana kau mendapat tahu sejelas itu? Masakah pikiran yang timbul dari siapa pun diketahui olehmu?"

   "Kau masih ingat kepada Ciu Ji atau tidak?"

   Yim Thian-ngo balas bertanya.

   "Ciu Ji yang mana? Oya, apakah kau maksudkan suami Ciu Ji-soh, mak inangku dulu itu? Waktu kecilku pernah beberapa kali kulihat dia, aku sudah tidak begitu ingat lagi kepada wajahnya. Apakah Ciu Ji-soh baik-baik saja? Sudah tigapuluh tahun aku tidak melihat dia."

   "Mak inangmu itu sudah lama meninggal dunia,"

   Jawab Thian-ngo.

   "Ciu Ji itulah sekarang berada di tempat keluarga Hi."

   "Sejak aku menikah tidak pernah lagi aku bertemu dengan mak inangku. Bilakah dia meninggal aku pun tidak tahu. Mesitnya aku ingin membantu mereka, cuma sayang maksudku ini tidak terkabul."

   Maklumlah sejak kecil Kok-hujin sudah ditinggalkan ayah bundanya dan dibesarkan oleh mak inang yang sangat sayang padanya.

   Sebab itulah ketika Yim Thian-ngo menyebut mak inangnya, tanpa terasa menimbulkan rasa sesal dan dukanya.

   Begitulah Yim Thian-ngo lantas berkata pula.

   "Keluarga Hi sangat baik kepada mereka. Kau tentu tahu Ciu Ji ada sedikit hubungan famili dengan keluarga Hi, kalau tidak keliru adalah misan. Dahulu waktu ayah menjodohkan kau kepada keluarga Hi pernah juga menanyakan keadaan keluarga Hi kepada Ciu Ji. Meski resminya dia bukan comblangnya, tapi sedikitnya ia pun terhitung perantaranya."

   "Ah, urusan yang sudah begitu lama buat apa disebut lagi?"

   Ujar Kok- hujin dengan wajah merah.

   Kiranya dahulu mak inangnya itu termasuk orang yang mendorongnya agar mau menjadi menantu keluarga Hi.

   Sebab itu pula dia lantas menjauhi mak inangnya sesudah dia menikah dengan Kok Yak-hi.

   Tapi kini bila teringat kepada kebaikan mak inangnya yang telah membesarkannya itu, mau tak mau timbul juga rasa menyesalnya.

   "Nah, sesudah kau menikah dengan Kok Yak-hi, lalu Ciu Ji dan istrinya pindah ke Pek-hoa-kok, selama ini Ciu Ji rada terkenal di dunia Kang-ouw, nama Ciu Ji memang tiada orang yang kenal, tapi kalau kau sebut Ciu Tiong- gak, kukira banyak orang Kang-ouw mau menyebutnya sebagai Locianpwe yang terhormat. Ciu Ji mempunyai seorang cucu perempuan, namanya Siau Hong, sejak kecil Siau Hong tinggal bersama Hi Giok-kun. Sebab itulah biarpun Ciu Ji anggap dirinya seperti kaum hamba keluarga Hi, tapi cucu perempuannya saling menyebut taci adik misan dengan Hi Giok-kun. Tentang Siau-hong minggat ke Pek-hoa-kok dan Hi Giok-kun menganjurkan dia menyembuhkan Han Tay-wi dengan Siau-yang-sin-kang untuk membuyarkan sakit hati yang mungkin timbul, semuanya ini kudengar dari Ciu Ji. Sedang Ciu Ji mendengarnya dari cucu perempuannya, maka pasti dapat dipercaya."

   Kok-hujin menjadi serba susah, ia pikir sesudah Siau-hong kabur ke tempat keluarga Hi, tentu sukar untuk menyuruhnya kembali.

   "Aku tidak dapat mempercayai Han Tay-wi, makanya kukuatir intisari pusaka Siau-yang-sin-kang jatuh di tangannya,"

   Kata Yim Thian-ngo pula. Mendengar itu, Han Pwe-eng mendengus dalam hati, pikirnya.

   "Memangnya ayahku ingin Siau-yang-sin-kang kalian segala. Kalian juga terlalu memandang sepele kepada Hi Giok-kun, nyatanya perencanaan Hi Giok-kun jauh di luar dugaan kalian. Di waktu aku tak sadarkan dirilah dia telah mengobati diriku, dia juga cuma bermaksud mengirim arak Pek-hoa- ciu kepada ayahku, mana dia mau membocorkan rahasia Siau-yang-sin-kang kalian itu?"

   Dalam pada itu Kok-hujin sedang termenung-menung dan belum menanggapi ucapan Yim Thian-ngo tadi, tiba-tiba seorang budak berlari-lari masuk dan berseru dengan gugup.

   "Wah, su..... sudah, Cu-bo (nyonya majikan)!"

   Ketika mendadak melihat seorang kakek tak dikenal duduk di dalam situ, seketika ia bungkam.

   "Ada apa ribut-ribut?"

   Omel Kok-hujin.

   "Ini adalah Ku Lo-ya (tuan besar ipar), ada urusan apa bicara saja."

   "Anu, Cu-bo sudah.... sudah ada berita tentang Siau-ya (tuan muda),"

   Sahut pelayan yang bernama Lan Hoa itu.

   "Ehm, bagus!"

   Ujar Kok-hujin dengan tak acuh.

   "Katanya Siau-ya berada di rumah orang she Hi di Pek-hoa-kok,"

   Utur pula si Lan Hoa.

   "Toa-siauya keluarga Hi itu mengutus orang menyampaikan berita ini."

   Kok-hujin menduga tentu Hi Giok-hoan menghendaki aku menerima baik perjodohan Siau-hong dengan adik perempuannya, segera ia bertanya.

   "Mana orangnya?"

   "Hamba tidak melihatnya,"

   Lapor Lam Hoa.

   "Ting-toasiok yang meladeni orang itu di luar. Tadi ia sempat masuk memberitahukan kepada hamba agar segera dilaporkan kepada Cu-bo."

   "Ting-toasiok"

   Atau paman Ting yang dimaksudkan itu adalah budak tua pengurus rumah tangga keluarga Kok, budak tua ini mengetahui dengan jelas tentang perselisihan antara keluarga Kok dan Hi di masa lampau.

   "Si Ting tua juga suka ribut-ribut,"

   Ujar Kok-hujin.

   "Padahal urusan ini aku sudah tahu sebelumnya, dilaporkan kepadaku besok pagi kan masih bisa."

   Waktu itu sudah jauh lewat tengah malam, budak tua she Ting itu tidak berani masuk ruangan belakang, sebab itulah dia menyuruh pelayan nyonya majikan itulah yang melaporkan.

   "Kukira Ting tua cukup tahu aturan, kalau tiada urusan penting tentu dia tidak berani mengejutkan kau di tengah malam begini,"

   Ujar Yim Thian-ngo.

   "Memang benar Ku Lo-ya,"

   Sambung si Lan Hoa.

   "Urusan ini memang sangat penting, kalau tidak, masakah hamba berani mengganggu Cu-bo."

   "Jika begitu lekas katakan, ada persoalan apa?"

   Tanya Kok-hujin cepat.

   "Orang dari keluarga Hi itu membawa kabar genting, katanya rumah keluarga Hi di Pek-hoa-kok telah dikepung musuh,"

   Tutur Lan Hoa.

   "Ilmu silat kakak beradik Hi Giok-hoan tidak lemah, selama ini juga tidak terdengar mereka bermusuhan dengan orang Kang-ouw, mengapa sekarang rumahnya dikepung musuh? Katanya kawan-kawan dari kalangan manakah yang mengepungnya itu?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Menurut utusan itu, katanya pengepung-pengepung itu didatangkan oleh Han Jin-keh (besan Han), banyak di antaranya adalah jago-jago terkenal, terlalu banyak nama-nama yang disebut Ting-toasiok sehingga hamba tidak ingat lagi,"

   Tutur Lan Hoa. Kok-hujin terkejut, katanya.

   "Han Tay-wi jauh berada di Lok-yang, masakah dia sudah mendapat tahu tentang minggatnya Siau-hong ke rumah Hi? Andaikan tahu toh juga tidak perlu geger secara begitu?"

   Han Pwe-eng kembali terkejut mendengar itu, tapi merasa girang pula.

   Kalau Kok-hujin merasa bingung mengapa bisa terjadi begitu, namun Pwe- eng cukup paham duduknya perkara.

   Ia yakin pasti Tian It-goan dan Liok Hong yang telah mengundang bantuan jago-jago itu dengan menggunakan nama ayahnya.

   Tentunya mereka tidak percaya ketika kakak beradik Hi Giok- hoan mengatakan diriku sudah tidak berada lagi di Pek-hoa-kok.

   Dan demi kehormatan ayahku, sekali pun akhirnya percaya tentu juga Liok Hong berdua akan melabraknya dulu untuk melampiaskan rasa dendamku.

   Hm, ada baiknya juga biar Hi Giok-kun mengalami sedikit kekuatiran.

   Begitulah Kok-hujin telah berkata pula.

   "Sebenarnya bagaimana terjadinya urusan ini, apakah Ting-toasiok sudah menanyai orang dari keluarga Hi itu?"

   "Sudah, katanya Han Jin-keh ingin keluarga Hi mengembalikan seorang,"

   Jawab Lan Hoa.

   "Hm, minta orang apa?"

   Ujar Kok-hujin dengan kurang senang.

   Dalam anggapannya tentunya Han Tay-wi hendak minta kembali puteranya yang minggat itu, yakni Siau-hong.

   Padahal pernikahan belum diresmikan, masakah pantas bakal mertua mendatangi Pek-hoa-kok untuk merebut mempelai lelaki? Kalau sampai ditertawai orang, bukan keluarga Han akan malu, bahkan aku pun akan kehilangan muka.

   Demikian pikirnya.

   Tak terduga lantas terdengar si Lan Hoa menjawab.

   "Minta mempelai perempuan!"

   "Apa? Mempelai perempuan apa?"

   Kok-hujin menegas dengan terkejut.

   "Ialah nyonya menantu kita yang resmi itu, puteri keluarga Han!"

   Lan Hoa.

   "Mengapa bisa terjadi begini, apa-apaan ini?"

   Kata Kok-hujin dengan heran.

   "Jika demikian, tampaknya urusan ini memang benar adanya,"

   Timbrung Yim Thian-ngo.

   "O, jadi kau sudah mengetahuinya? Lekas ceritakan padaku!"

   Pinta Kok- hujin.

   "Kabarnya Han Tay-wi minta perantaraan Hou-wi Piaukiok untuk anak perempuannya ke tempatmu ini untuk menikah, ketika lewat Lo-long-ko, mempelai perempuannya telah diculik oleh kawanan bandit,"

   Tutur Yim Thian-ngo.

   "Hah, diculik? Apakah perbuatan kelima serigala she Thia itu? Keluarga Hi juga tersangkut dalam peristiwa itu?"

   Kok-hujin menegas dengan terkejut.

   "Keluarga Hi tidak sekomplotan dengan Thia Lo-long, mereka melakukan pekerjaannya sendiri-sendiri, tujuan Thia Lo-long adalah harta, sedang tujuan Hi Giok-kun adalah menculik orang. Akhirnya Hi Giok-kun yang berhasil menggondol calon menantu perempuan itu ke rumahnya."

   "Jadinya begitu? Haya, sungguh runyam!"

   Seru Kok-hujin. Ia menjadi kuatir jangan-jangan Hi Giok-kun mencelakai anak perempuan Han Tay-wi, dengan begitu keluarga Han tidak cuma menuntut balas saja kepada Hi Giok-kun, malahan dengan keluarga Kok mungkin juga akan berubah menjadi musuh.

   "Menurut utusan keluarga Hi itu, katanya Hi-siocia adalah saudara angkat nona Han, maksudnya cuma mengundangnya mampir ke rumahnya saja, siapa tahu akibatnya menimbulkan kegegeran begini."

   "Nona Han hendak datang ke sini untuk menikah, perbuatan Hi Giok- kun ini bukanlah keterlaluan? Tapi kita pun tidak mempedulikan dia, yang penting asalkan nona Han tidak kurang apa-apa,"

   Ujar Kok-hujin.

   "Tapi menurut orang itu, katanya nona Han sudah tidak berada di tempat mereka lagi,"

   Tutur Lan Hoa.

   "Habis kemana?"

   Tanya Kok-hujin cepat.

   "Entah,"

   Sahut Lan Hoa.

   "Makanya kawan-kawan keluarga Han itu tidak percaya alasan keluarga Hi dan memaksa mereka menyerahkan nona Han."

   Rupanya orang yang diutus keluarga Hi ini tidak tahu seluk beluknya persoalan secara jelas, tentang penyakit Han Pwe-eng yang disembuhkan Hi Giok-kun itupun tak diketahuinya. Maka terdengar Yim Thian-ngo berkata.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bakal menantumu itu adalah puteri tunggal Han Tay-wi, tentu kepandaiannya tidak rendah. Mungkin sesudah dia mengetahui Hi Giok-kun tidak berniat baik kepadanya, lalu dia melarikan diri."

   "Lan Hoa, suruh Ting-toasiok melayani orang itu sebaik-baiknya, besok akan kuselesaikan bagaimana baiknya,"

   Kata Kok-hujin kemudian. Lan Hoa mengiakan, sebelum pergi ia menambahkan pula.

   "Orang itu mengatakan bahwa Siau-ya kita berada di rumah mereka, maka harap Cu-bo suka ingat kepada Siau-ya dan sudi bantu menolong keluarga Hi."

   "Memangnya aku tidak kuatir kepada puteraku sendiri sehingga perlu dia banyak omong?"

   Tukas Kok-hujin dengan kurang senang. Sesudah Lan Hoa pergi, Yim Thian-ngo berkata pula.

   "Apa yang akan kau lakukan, Sam-moay?"

   "Bagaimana pendapatmu, Toako?"

   Tanya Kok-hujin dengan bimbang.

   Sebenarnya Kok-hujin adalah seorang yang punya pendirian tegas, buktinya dahulu dia minggat bersama Kok Yak-hi demi cintanya yang murni.

   Tapi sekarang persoalannya sangat rumit dan menyangkut tiga keluarga Han, Kok dan Hi, sebab itulah Kok-hujin merasa serba susah dan terpaksa minta pendapat kakaknya.

   Begitulah Yim Thian-ngo lantas menjawab.

   "Jika keluarga Hi dapat menyelesaikan urusannya, tentu takkan datang minta bantuan padamu. Karena itu tiada jalan lain kecuali kau tampil ke muka dengan melupakan kejadian lama."

   "Urusan sudah begini, mau tak mau aku mesti ikut campur,"

   Kata Kok- hujin.

   "Tapi aku sendiri tidak kenal orang-orang yang mengepung keluarga Hi itu, mereka belum tentu mau menerima jasa baikku. Sedangkan kalau menggunakan kekerasan, sekali pun Toako membantu aku juga belum pasti akan menang. Apalagi kalau membantu keluarga Hi dengan menggunakan kekerasan, akan berarti memusuhi Han Jin-keh."

   "Ya, sudah tentu tidak dapat pakai kekerasan,"

   Ujar Thian-ngo.

   "Lantas dengan cara bagaimana untuk menyelesaikan persoalan ini?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Untuk menyelesaikan sebaiknya dilakukan oleh orang yang menimbulkan persoalan ini, kenapa Sam-moay lupa kepada pepatah kuno ini?"

   Kata Thian-ngo. AKSUDMU mohon Han Jin-keh menyelesaikan urusan ini? Tapi ku kira kurang sempurna cara ini,"

   Kata Kok-hujin.

   "Han Tay-wi sekarang berada di Lok-yang, peristiwa yang terjadi ini mungkin di luar tahunya malah, gara-gara namanya digunakan oleh pembantu-pembantunya. Apalagi air yang jauh tidak dapat memadamkan api yang sedang berkobar, biarpun Han Tay-wi mau terima undanganmu juga tidak keburu lagi."

   "Habis, apakah mesti mencari jalan melalui anak perempuannya?"

   "Benar. Meski Siau-hong berbuat tidak pantas kepadanya, tapi engkau toh tetap ibu mertuanya. Jalan paling baik sekarang adalah mencari nona itu dan kau yang mohon bantuan kepadanya."

   "Kemana mencarinya?"

   Ujar Kok-hujin dengan tersenyum getir.

   "Andaikan ketemu, lalu cara bagaimana aku bicara padanya? Hubungan Siau-hong dan Hi Giok-kun bagaimana, jika dia tetap menolak istri yang kubawa pulang baginya, apakah urusannya takkan membikin susah kepada puteri keluarga Han?"

   Diam-diam Pwe-eng memuji kebijaksanaan bakal ibu mertuanya itu, betapa pun orang tua itu masih memikirkan kepentingan diriku, padahal sekarang aku kan sudah berada di rumahmu.

   Tapi dalam keadaan begini masakah aku masih dapat menjadi menantumu? Demikian pikir si nona.

   Belum lenyap pikirannya, terdengar Yim Thian-ngo berkata pula.

   "Tak peduli bagaimana sikap Siau-hong nanti, yang penting urusan genting ini harus dibereskan lebih dulu. Asalkan kau bersungguh-sungguh, aku akan berusaha menemukan puteri Han Tay-wi, bila perlu dapat minta bantuan kawan-kawan Bu-lim di wilayah sini."

   "Sesungguhnya apa yang kau kehendaki dariku?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Minta maaf padanya dan memberi jaminan bahwa puteramu pasti akan menikah dengan dia,"

   Sahut Thian-ngo.

   Jilid 3

   "M "Tapi jangan-jangan Siau-hong tidak mau menurut."

   "Kau adalah ibunya, asalkan kau terangkan untung ruginya, berikan tekanan padanya, masakah dia takkan menurut?"

   "Seperti sifat ayahnya, sifat Siau-hong juga sangat keras. Jika dia sudah jatuh cinta kepada Hi Giok-kun, maka dia pasti takkan menikahi gadis lain. Cara bagaimana aku berani memberi jaminan kepada anak perempuan Han Tay-wi?"

   "Biarpun dia tidak mau menurut juga harus kau paksa dia sampai menurut!"

   Ujar Yim Thian-ngo dengan menarik muka.

   "Persoalan ini bukan mainan kanak-kanak, kau sendiri sudah salah satu kali, jangan lagi membiarkan puteramu mengulangi kesalahanmu pula?"

   "Apa gunanya main paksa?"

   Jengek Kok-hujin tiba-tiba.

   "Bukankah dahulu kalian juga memaksa aku kawin dengan orang keluarga Hi, tapi aku toh minggat bersama Kok Yak-hi. Untuk pilihanku itu selamanya aku tidak pernah menyesal. Kau anggap perbuatanku salah atau tidak adalah urusanmu, yang pasti biarpun waktu dapat diputar balik kepada masa tigapuluh tahun yang lalu dan aku diberi lagi kesempatan untuk memilih, maka aku akan tetap berbuat demikian menurut pendirianku. Karena itu aku pun tak dapat memaksa puteraku."

   "Jika begitu, ya terpaksa tiada jalan lain lagi!"

   Ujar Yim Thian-ngo sambil angkat bahu.

   Tidak kepalang gundah-gulana pikiran Han Pwe-eng.

   Meski kata-kata Kok-hujin itu melukai perasaan harga dirinya, tapi mau tak mau ia harus berterima kasih kepada orang tua yang telah bicara secara terus terang itu.

   Pikirnya diam-diam.

   "Ucapan Po-po memang tidak salah, soal kawin mana boleh dipaksa? Perjodohanku adalah berdasarkan perintah orang tua saja, andaikan aku kawin dengan Siau-hong juga belum diketahui seterusnya apakah aku dapat bahagia?"

   Berpikir sampai di sini perasaannya menjadi agak tenang, tiba-tiba ia menjadi geli sendiri.

   "Kalau aku sudah pasti takkan menjadi menantu keluarga Kok, mana boleh aku anggap Kok-hujin sebagai Po-po lagi?"

   Keadaan di dalam rumah itu sunyi sejenak, lalu terdengar Yim Thian-ngo bicara pula dengan suara tertahan.

   "Aku ada suatu akal lain yang dapat dicoba."

   Segera Han Pwe-eng ikut mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi suara Yim Thian-ngo teramat lirih sehingga tak terdengar. Tiba-tiba timbul rasa curiganya, terpikir olehnya.

   "Si tua ini main bisik-bisik, akal yang dia kemukakan tentu bukan pikiran yang baik. Padahal di dalam rumah situ toh tiada orang ketiga, buat apa dia mesti bicara bisik-bisik begitu? Jangan- jangan..... jangan-jangan dia sudah mengetahui aku sedang mencuri dengar di luar sini?"

   Begitulah Han Pwe-eng merasa curiga mengapa Yim Thian-ngo main bisik-bisik dengan Kok-hujin. Tiba-tiba terdengar nyonya Kok itu berkata dengan suara keras.

   "Apa? Kau suruh aku membohongi anak perempuan orang?"

   "Mengapa kau pakai kata-kata begitu, maksudku hanya sebagai pemecahan sementara saja,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Tapi aku tidak dapat berbuat demikian,"

   Ujar Kok-hujin dengan kurang senang.

   "Aku akan berterima kasih padamu bila kau dapat mencarikan nona Han, tapi aku harus bicara secara terus terang dengan dia, terserah dia apakah mau memberi bantuan atau tidak. Yang pasti aku tidak boleh membohongi dia."

   Dengan menyeringai Yim Thian-ngo menuding-nuding keluar jendela sambil mendengus.

   "Ai, kau ini....."

   "Apa? Di luar ada....."

   Kata Kok-hujin tercengang, pada saat yang sama terdengar di luar ada suara gemerincingnya gelang tangan, waktu Kok-hujin melongok keluar, dilihatnya sesosok bayangan orang sudah melompat lewat pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan.

   Rupanya Han Pwe-eng pergi dengan tergesa-gesa sehingga menerbitkan suara kelintingan yang perlahan.

   Dari suara dan bayangannya jelas tertampak seorang wanita, sebagai orang tua yang cerdik segera Kok-hujin tahu apa artinya itu, katanya.

   "Apakah dia itulah anak perempuan Han Tay-wi?"

   "Benar, ialah bakal menantumu itu,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Waktu aku masuk ke sini sudah kulihat dia."

   "Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?"

   "Mengapa kau menjadi linglung? Dia adalah bakal menantumu yang belum resmi, jika aku bersuara, lalu kemana dia akan menyembunyikan mukanya?"

   Kok-hujin tertawa geli sendiri, katanya.

   "Jika demikian, agaknya dia juga belum tahu urusan Siau-hong dengan Hi Giok-kun, kedatangannya ini mungkin untuk menyelidiki duduk perkaranya. Ai, apa yang kita bicarakan tadi tentu telah didengarnya semua."

   "Justru aku sengaja membikin didengar olehnya,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Aku sudah memberi isyarat padamu, tapi kau tidak paham akan maksudku. Tapi bila kau memberi keputusan yang pasti bahwa kau akan membela dia, tentunya dia akan sangat berterima kasih padamu, dengan demikian dia tentu juga akan pergi menolong Siau-hong demi kepentingannya pula. Tapi sekarang kau telah bicara sebaliknya dan membikin dia kabur, mungkin sekali dia pun tak mau lagi menjadi menantumu."

   "Biarpun tahu dia berada di luar juga aku tetap bicara seperti tadi,"

   Ujar Kok-hujin dengan kurang senang.

   "Memangnya setiap orang licin seperti kau? Yang pasti aku tidak dapat mendustai seorang nona yang lebih muda tigapuluhan tahun daripadaku."

   "Sam-moay, peringaimu masih tetap keras kepala seperti waktu masih perawan dahulu, ya, apa mau dikata lagi,"

   Kata Yim Thian-ngo sambil angkat bahu. Tiba-tiba Kok-hujin ingat sesuatu, tanyanya.

   "Jika kau sudah tahu dia berada di luar, mengapa kau bicara tentang keburukan ayahnya kepadaku?"

   "Itu soal lain,"

   Jawab Yim Thian-ngo.

   "Yang memburukkan ayahnya adalah aku dan bukan kau, kalau dia marah adalah diriku yang akan dimarahi, aku sendiri ada alasannya dengan sengaja bicara begitu. Tapi sekarang dia sudah kabur, maka aku pun tidak perlu menerangkan lagi sebab-musababnya."

   Kiranya Yim Thian-ngo ada sedikit perselisihan dengan Han Tay-wi, maksudnya yang sebenarnya adalah dia tidak ingin Han Pwe-eng kawin dengan keponakannya.

   Selain itu ia pun tidak ingin rahasia Siau-yang-sin- kang diperoleh Han Tay-wi, sebab itulah menurut perhitungannya Han Pwe- eng tentu dapat dibujuk oleh Kok-hujin untuk menolong Kok Siau-hong, tapi ia pun menduga Han Pwe-eng takkan sudi menjadi istri Siau-hong lagi, sebab dengan ucapannya tentang keburukan Han Tay-wi tadi, bilamana Han Pwe-eng menyampaikan apa yang didengarnya itu kepada sang ayah, tentu Han Tay-wi yang ingin menjaga martabatnya pasti akan membatalkan pertunangan puterinya itu dan tidak sudi menerima penyembuhan dengan Siau-yang-sin-kang.

   


Legenda Bunga Persik -- Gu Long Tiga Maha Besar -- Khu Lung Duel Di Butong -- Khu Lung

Cari Blog Ini