Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 22


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 22



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kata Kiat-bwe.

   "Sebelum telanjur jauh, bagaimana kalau kita putar balik dan memeriksanya lagi,"

   Usul Liong Thian-hiang.

   Akhirnya sia-sia saja mereka pulang pergi enampuluh lie jauhnya dan tetap tidak menemukan kode pengenal tinggalan Kok Siau-hong.

   Dalam pada itu mereka telah sampai di suatu persimpangan jalan, simpang tiga.

   Mereka menjadi bingung jalan mana yang harus mereka ambil.

   "Marilah kita tempuh dulu jalan kiri, jika dalam tigapuluh lie tidak menemukan sesuatu tanda pengenal barulah kita kembali mengambil jalan sebelah kanan ini,"

   Usul Tapi lebih dari tigapuluh lie ternyata tiada ditemukan sesuatu tanda apa pun pada jalan sebelah kiri itu.

   Sementara itu hari sudah dekat magrib, cepat mereka putar balik dan menyusuri jalan sebelah kanan.

   Setelah lima lie jauhnya, di tengah cuaca yang sudah remang-remang itu tiba-tiba terlihat sepotong batu warna kemerahan terdapat satu jalur bekas retakan yang menyerupai ujung panah.

   Dengan girang Kiat-bwe berseru.

   "Liong-cici, syukur engkau cukup cerdik, akhirnya kita menemukannya."

   "Nanti dulu,"

   Tiba-tiba Hian-kam berkata.

   "Tanda panah ini tampaknya rada aneh, coba kalian memeriksanya lebih teliti."

   Sebagai jago-jago silat, setelah diteliti sejenak, benar juga mereka melihat sesuatu keganjilan pada bekas retakan itu.

   "Seperti digores dengan jari tangan,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Benar, ilmu yang digunakan orang ini kalau bukan Kim-kong-ci-lik (tenaga jari sakti) Siau-lim-pay tentulah It-ci-sin-kang (ilmu jari tunggal) kaum Buddha,"

   Ujar Ciau Siang-hoa.

   "Tanda pengenal yang ditinggalkan Kok Siau-hong sepanjang jalan digores dengan ujung pedang,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Apalagi kukenal ilmu silatnya, rasanya dia tidak mempunyai tenaga jari sekuat ini."

   "Jika begitu, jadi seorang lain yang meninggalkan tanda panah ini? Apa kita tetap mengikuti arah yang ditunjuk ini?"

   Kata Liong Thian-hiang.

   "Kita tidak tahu orang ini kawan atau lawan, entah tanda yang dia tinggalkan ini bermaksud baik atau perangkap,"

   Kata Hian-kam setelah berpikir sejenak.

   "Tapi kita tidak menemukan tanda lain, terpaksa kita coba mengambil jalan ini."

   Walaupun mereka rasa berbahaya, tapi tiada jalan lain, terpaksa mereka meneruskan perjalanan.

   Beberapa hari selanjutnya pada setiap lima lie selalu ditemukan tanda ujung panah yang serupa.

   Mereka mengikuti terus arah yang ditunjuk, dan tanpa terasa mereka telah mencapai tanah pegunungan yang sunyi.

   Suatu hari mereka sampai di suatu hutan lebat dan tiada jalan manusia lagi, lebih jauh ke sana tanda ujung panah itupun tidak nampak pula.

   Hian-kam mengerut kening, katanya.

   "Tempat ini bernama Ok-kui-nia (bukit setan buas), suatu tempat yang terkenal miskin dan tandus di Ouw- lam barat sini. Wah, celaka, jangan-jangan orang itu sengaja memancing kita ke sini?"

   Sampai di sini, sekonyong-konyong Kiat-bwe berseru heran.

   "He, coba lihat itu!"

   Waktu mereka berpaling ke sana, tertampak pada sebuah batu besar yang bagian atasnya halus rata seperti sebuah panggung, di atas batu tertumpuk tiga onggok tengkorak, setiap onggok tiga buah, malahan tengkorak paling atas tampak menyeringai dan menyeramkan.

   Thian-hiang merasa ngeri dan mengira onggokan tengkorak itu mungkin adalah perangkap yang dipasang musuh.

   Tapi Bu Hian-kam adalah kelahiran Ouw-lam, dia cukup kenal adat setempat.

   Katanya.

   "Di wilayah sini banyak aliran agama jahat, mungkin onggokan tengkorak ini adalah semacam upacara penyembahan malaikat salah satu agama jahat itu."

   Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara tiupan sebangsa seruling yang kaku, tidak berirama, di tengah hutan sunyi begitu rasanya semakin seram demi mendengar suara alat tiupan yang aneh itu.

   "Itu dia, kalian jangan gugup, lihat saja apa maksud tujuan mereka!"

   Kata Hian-kam.

   Ternyata yang muncul adalah satu barisan wanita Miau, seorang di antaranya memakai kerudung sutera tipis dengan badan atas setengah telanjang, dua anting-anting besar bergelantungan pada daun telinganya, dan dandanannya lain daripada yang lain, agaknya dia adalah pemimpin rombongan wanita Miau itu.

   Banyak di antara wanita Miau itu memegang sebatang bumbung bambu panjang, entah apa gunanya.

   Melihat Kiat-bwe berempat, wanita Miau itu pun rada kaget.

   Segera wanita yang menjadi pemimpin mereka itu memberi tanda dan mengucapkan beberapa kata, serentak rombongan wanita Miau itu merubung maju dan menuding mereka sambil ramai bercuitan seperti sedang memaki.

   "Apa kata mereka?"

   Tanya Thian-hiang bingung.

   "Kata pemimpin mereka, katanya kita memasuki daerah mereka yang terlarang bagi orang asing, orang perempuan yang melanggar akan mereka tangkap untuk dijadikan budak dan yang lelaki akan segera dihukum mati,"

   Tutur Hian-kam.

   "Jika begitu, lekas kau jelaskan kepada mereka bahwa kita kesasar ke sini tanpa sengaja serta tidak bermaksud jahat,"

   Kata Thian-hiang.

   Hian-kam paham sedikit bahasa Miau, tapi bicaranya tidak terlalu fasih dan lancar.

   Segera ia mendekati wanita Miau itu dan baru saja hendak bicara, tiba-tiba terendus bau harum dupa yang aneh, seketika kepalanya pusing dan sempoyongan.

   "Lekas tahan napas, itulah gas racun!"

   Seru Kiat-bwe.

   ~ Berbareng ia melompat maju dan menarik mundur Bu Hian-kam, cepat ia jejalkan sebutir pil ke mulut pemuda itu, menyusul ia membagikan pula Ciau Siang-hoa dan Liong Thian-hiang masing-masing satu pil dan suruh mereka lekas menelannya.

   Waktu Bu Hian-kam sempoyongan, pada saat yang sama Siang-hoa dan Thian-hiang juga merasa kepalanya pusing, cuma jarak mereka lebih jauh, keracunannya lebih ringan, sesudah minum pil pemberian Kiat-bwe itu, sebentar saja mereka sudah segar kembali.

   Dalam pada itu kawanan wanita Miau itu sudah mengepung mereka di tengah.

   "Kami kesasar dan tanpa sengaja memasuki tempat kalian ini, mengapa kalian terus main hakim sendiri dan hendak mencelakai kami!"

   Seru Kiat- bwe.

   "Peduli apa maksud kedatangan kalian, yang jelas kalian memasuki daerah terlarang dan kalian harus dihukum mati!"

   Seru wanita yang menyerupai pemimpin rombongan itu.

   Sungguh tidak nyana bahwa wanita Miau itu ternyata fasih bahasa Han.

   Namun Kiat-bwe juga tidak diberi kesempatan untuk bicara lagi, segera wanita Miau yang lain terus bergerak maju hendak menangkap mereka.

   "Hm, kalian tidak pakai aturan, aku pun tidak sungkan lagi kepada kalian!"

   Seru Kiat-bwe dengan gusar.

   Begitu ia mengebaskan lengan baju, seketika segulung asap terhambur, keruan beberapa perempuan Miau yang paling depan itu terkejut, cepat mereka melompat mundur.

   Namun begitu kawanan wanita Miau itu lantas berjingkrak dan berteriak- teriak karena tubuh mereka terasa gatal dan geli tidak kepalang.

   Kiranya Kiat-bwe menghamburkan semacam obat bubuk yang tidak membahayakan jiwa orang, hanya dalam waktu beberapa jam seluruh tubuh terasa gatal tidak kepalang sehingga jauh lebih menderita daripada sakit terluka.

   Wanita Miau yang menjadi pemimpin tadi mendadak menghantamkan sebelah tangannya sehingga kabut asap itu berguncang buyar.

   "Biar si hijau menggigit dia!"

   Bentaknya.

   Bahwasanya wanita Miau ini mampu mengguncang buyar kabut obat bubuk yang ditebarkan itu sungguh membikin kejut hati Kiat-bwe akan tenaga dalam orang, tapi yang lebih membuatnya kaget adalah kejadian berikutnya, habis mendengar perintah "Biar si hijau menggigit dia", serentak belasan wanita Miau itu lantas angkat bumbung bambu yang mereka bawa.

   Maka terdengarlah suara ramai mendesis, setiap bumbung bambu itu menyusur keluar seekor ular hijau dan berbareng merambat ke arah Kiat- bwe.

   Keruan Kiat-bwe terperanjat, cepat ia melompat mundur kembali ke tempat semula, bersama Siang-hoa dan lain-lain mereka lantas melolos senjata serta diputar dengan kencang, setiap ekor ular hijau yang bermaksud memagut mereka lantas ditabas mati.

   Akan tetapi kawanan ular hijau itu seperti sudah terlatih saja, setelah menyerang tidak berhasil, sebaliknya malah banyak jatuh korban, selebihnya lantas tidak sembarangan memagut lagi, ular-ular itu terus merambat kian kemari melingkari lawan untuk menunggu kesempatan baik.

   Malahan kawanan ular hijau itu makin lama makin banyak, sudah tentu Kiat-bwe berempat sangat was-was terkepung oleh barisan ular itu, mereka kuatir lama kelamaan bila sedikit meleng saja bukan mustahil akan menjadi korban gigitan ular.

   Dalam pada itu Bu Hian-kam telah dapat mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau hawa beracun yang disedotnya tadi, kini semangatnya sudah segar kembali, segera ia memberi komando.

   "Panah orang harus panah kudanya, tangkap maling harus tangkap benggolannya!"

   "Benar, kita bekuk dulu pemimpin mereka!"

   Sambut Kiat-bwe. Walaupun bagus rekaan mereka, tapi cara bagaimana membobol kepungan kawanan ular, inilah yang menjadi soal.

   "Ciau-heng, kau membawa batu api tidak? Kalau bawa, ketiklah lelatu api!"seru Hian-kam. Ciau Siang-hoa mengiakan, sebenarnya ia heran apakah ular juga takut kepada api? Namun ia tidak sempat bertanya lagi, segera ia mengeluarkan batu api dan diketik. Begitu lelatu api meletik, seketika pula bintik-bintik perak berhamburan, mendadak Bu Hian-kam melompat keluar dari kepungan barisan ular. Kiranya dengan bantuan meletiknya lelatu api, segera Bu Hian-kam menghamburkan segenggam Bwe-hoa-ciam (jarum lembut), walaupun sambitan jarumnya tidak begitu jitu berhubung kurang cahaya, tapi sedikitnya ada belasan ekor ular hijau itu mati tersambit oleh jarumnya dan peluang itu segera digunakan Hian-kam untuk menerobos keluar. Tentu saja Kiat-bwe tidak tinggal diam, secepat itu pula ia ikut melompat keluar kalangan.

   "Bagus, kalian berdua rupanya ingin cari mampus di tanganku!"

   Bentak wanita yang menyerupai pemimpin tadi, berbareng itu sepuluh cincin yang dipakainya telah dihamburkan sebagai senjata rahasia, menyusul ia pun bersuit pula.

   Suitannya itu adalah komando untuk mendesak kawanan ular itu lekas menyerang.

   Karena itu kini yang terkepung di tengah adalah Ciau Sing-hoa dan Liong Thian-hiang berdua.

   Hian-kam dan Kiat-bwe berdua segera menerjang ke depan, Hian-kam putar goloknya dengan cepat, terdengar suara "trang-tring"

   Yang nyaring, sepuluh cincin yang disambitkan wanita Miau itu kena disampuk jatuh seluruhnya.

   Kembali Kiat-bwe juga mengulangi serangan dengan obat bubuk tadi, lantaran sudah kapok oleh obat bubuk yang membikin gatal itu, kawanan perempuan Miau itu berlari menyingkir, tapi ada beberapa orang di antaranya tetap tertabur obat bubuk itu, saking gatalnya mereka berkaok- kaok sambil lari masuk hutan dan kemudian menceburkan diri ke dalam sungai untuk mencuci badan.

   Sementara itu wanita Miau yang menjadi pemimpin tadi terus menubruk ke arah Nyo Kiat-bwe, tanpa bicara Kiat-bwe menyambutnya dengan suatu tusukan, tapi luput.

   "Bret", baju bagian pundaknya berbalik kena terobek oleh perempuan Miau itu, untung Kiat-bwe sempat mendek ke bawah dan menggeser ke samping sehingga tulang pundaknya tidak sampai kena dicengkeram musuh. Nyata Ginkang perempuan Miau itu terlebih tinggi daripada Kiat-bwe.

   "Jangan temberang!"

   Bentak Hian-kam, dengan goloknya segera ia mengerubut perempuan Miau itu bersama Kiat-bwe.

   "Hm, kau tidak minta ampun sebaliknya kau berani kurangajar padaku?"

   Jengek perempuan Miau itu, berbareng sinar perak berkelebat, tahu-tahu ia menerobos ke tengah lingkaran sinar golok Bu Hian-kam.

   Terkesiap juga hati Hian-kam oleh betapa lihainya ilmu golok lawan.

   Cepat ia menggeser ke samping terus balas menabas pergelangan tangan musuh sambil membentak.

   "Lepas golok!"

   Tak terduga perubahan serangan wanita Miau itupun sangat cepat, tahu- tahu goloknya yang berbentuk melengkung sabit menyabet dari arah yang sukar diduga.

   "Hm, lihat saja golok siapa yang harus dilepaskan!"

   Jengeknya malah. Syukur Hian-kam tidak menjadi gugup, pada saat berbahaya ini dia tetap melayani dengan tenang, dari menyerang ia tarik kembali senjatanya untuk bertahan.

   "trang", ia tangkis serangan wanita itu. Dalam pada itu Kiat-bwe juga memutar pedangnya untuk menabas lengan wanita Miau itu, dengan kekuatan kedua orang barulah dapat mendesak mundur lawan itu.

   "Nona Nyo, engkau layani dia dengan cara berputar!"

   Kata Hian-kam, segera ia putar goloknya dengan kencang, di samping menyerang ia pun berjaga dengan rapat.

   Sedangkan Kiat-bwe terus bergeser kian kemari mengelilingi lawan, setiap ada kesempatan segera ia menyerang.

   Dengan kerja sama kedua orang yang rapat, tidak lama kemudian wanita Miau itu menjadi terdesak hingga cuma mampu menangkis saja dan tidak sanggup balas menyerang lagi.

   Kiranya ilmu golok wanita Miau itu tidaklah sama dengan permainan golok daerah Tiong-goan, sebab itulah Bu Hian-kam merasa bingung pada permulaan dan hampir kecundang.

   Padahal bicara tentang kepandaian sejati, Hian-kam sebenarnya lebih tinggi daripada lawan.

   Setelah Hian-kam dapat menyelami cara bagaimana harus melayani serangan musuh, dia dapat bekerja sama dengan baik bersama Kiat-bwe, dalam sekejap saja wanita Miau itu menjadi kelihatan kemampuannya yang terbatas itu.

   Sesudah di atas angin, Hian-kam lantas membentak.

   "Aku tidak ingin membikin susah kau, kau pun jangan mempersulit kami, lekas kau singkirkan kawanan ularmu saja!"

   "Hm, jiwamu sebentar akan melayang, berani omong besar!"

   Jengek wanita Miau itu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang mendengus dengan seram.

   "Si-bwe, coba lihat siapakah aku ini?"

   Tergetar hebat hati Kiat-bwe mendengar suara yang sudah dikenalnya dengan baik itu, waktu ia menengadah, memang tidak salah, siapa lagi kalau bukan bekas majikannya, Sin Cap-si-koh.

   "Sam-kongcu (puteri ketiga), boleh kau tangkap kedua muda-mudi itu saja, kedua orang ini serahkan padaku, dia adalah budak pelarian, aku harus menghukum dia dengan tanganku sendiri,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Sin-kokoh,"

   Kata wanita Miau itu dengan tertawa.

   "taksiranmu ternyata sangat cocok, benar juga mereka telah datang pada waktu yang tepat."

   Kiat-bwe cukup kenal watak bekas majikan yang keji, kepergok padanya pasti sukar terhindar dari malapetaka, tapi daripada mati konyol, betapa pun harus melawannya dengan mati-matian.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hm, kepandaianmu kau belajar dariku juga berani dipamerkan padaku sekarang?"

   Jengek Cap-si-koh pula sambil menyampuk perlahan dengan tongkat bambunya, hampir saja pedang Kiat-bwe itu terlepas dari cekalan.

   Cepat Hian-kam membacok dengan goloknya, tapi Sin Cap-si-koh telah memutar tongkatnya dan menyampuk pula, seketika golok Hian-kam juga tertolak pergi.

   Cuma kekuatan Hian-kam tidaklah lemah, walaupun bukan tandingan Sin Cap-si-koh, kalau belasan jurus saja rasanya masih sanggup melayani.

   Sedangkan Kiat-bwe sudah nekat, ia bertempur dengan mati- matian, maka dalam waktu singkat Sin Cap-si-koh juga belum sanggup merobohkan mereka.

   "Si-bwe,"

   Kata Cap-si-koh pula dengan dingin.

   "kalau kubunuh kau, kukira terlalu enak bagimu. Kalau kau menginsyafi dosamu, hayolah ikut aku pulang dan mungkin akan kuampuni jiwamu, kalau tidak, bila sebentar lagi jatuh di tanganku tentu kau akan tahu rasa."

   Mengkirik juga Kiat-bwe oleh ancaman itu, ia kenal watak keras bekas majikan itu, apa yang dikatakannya pasti bukan gertakan belaka. Diam-diam ia berpikir.

   "Daripada aku tertangkap olehnya, bila perlu biar aku membunuh diri saja!"

   Di sebelah sana Ciau Siang-hoa dan Liong Thian-hiang juga dalam keadaan bahaya terkepung di tengah barisan ular.

   Kawanan ular berbisa itu sebenarnya sudah terbunuh sebagian, Siang-hoa dan Thian-hiang sudah mulai merasa longgar.

   Tak terduga mendadak Sam-kongcu dari suku Miau tadi berganti sasaran kepada mereka, dia melintasi barisan ular itu dan melancarkan serangan kepada Siang-hoa berdua.

   Dengan demikian Siang-hoa berdua harus berjaga akan pagutan ular berbisa di samping harus melayani wanita Miau yang ilmu silatnya cukup lihai itu, dengan sendirinya Siang-hoa dan Thian-hiang menjadi rada kerepotan.

   "Sin-kokoh, perlu hidup atau biarkan mati saja!"

   Seru Sam-kongcu Miau itu.

   "Sudah tentu yang hidup lebih baik,"

   Jawab Cap-si-koh.

   "Baik, akan kucoba,"

   Ujar Sam-kongcu itu.

   "Menangkap mereka dengan hidup jelas rada sukar sedikit!"

   Segera ia putar golok sabitnya secepat kitiran, golok melengkung itu bagus sekali untuk menghadapi pedang yang lebih panjang, dengan cara memisahkan pertahanan Ciau Siang-hoa dan Liong Thian-hiang, bila ada peluang tentu ada ular hijau akan menerobos dan memagut mereka.

   Sebagai bakal suami Thian-hiang, Bu Hian-kam yang dipisahkan di sebelah sana sudah tentu merasa kuatir bagi sang tunangan.

   Sekilas pandang kebetulan Hian-kam melihat seekor ular sedang melompat dan hendak menyerang Thian-hiang, tampaknya tenggorokan si nona pasti akan terpagut, keruan kejut Hian-kam tak terkatakan.

   Padahal dia sedang menghadapi musuh tangguh, sedikit meleng saja pemainan goloknya segera menjadi kacau.

   Sin Cap-si-koh tidak sia-siakan kesempatan baik itu, tongkatnya segera menyabet.

   "trang", golok Bu Hian-kam tersampuk jatuh, menyusul Hiat-to pemuda itu lantas tertotok oleh Sin Cap-si-koh. Habis itu Cap-si-koh berpaling kepada Kiat-bwe, katanya sambil menyeringai.

   "Nah, ingin aku lihat budak seperti kau ini apa dapat lolos dari cengkeramanku? Barangkali kau hendak mencari Beng Jit-nio dan Kok Siau- hong untuk memusuhi aku bukan? Hm, biar kuberi tahu padamu, mereka sudah kutangkap, jika kau ingin menemui mereka sekarang juga akan kupenuhi keinginanmu!"

   Hati Kiat-bwe terkesiap, ia bertekad lebih baik mati daripada tertawan oleh bekas majikan itu, karena itu selagi dia hendak membunuh diri saja, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit, suara suitan itu sangat aneh laksana tiupan gagang gelagah yang biasa dilakukan oleh orang Miau, rasanya sangat menusuk telinga dan membuat perasaan tidak enak seperti kena hipnotis saja.

   Sin Cap-si-koh terkejut, bentaknya gusar.

   "Siapa itu berani main gila di sini?"

   Aneh juga, begitu terdengar suara suitan itu, kawanan ular hijau tadi seketika mogok, tidak mau tunduk lagi kepada perintah perempuan- perempuan Miau dan serentak menyusur pergi ke dalam hutan, dalam sekejap saja sudah menghilang semua.

   Ular yang hendak memagut Thian- hiang tadi pun keburu ditabas mati oleh pedang Ciau Siang-hoa.

   Wanita Miau yang disebut Sam-kongcu tadi dan perempuan-perempuan Miau lainnya tertegun, segera mereka pun putar tubuh dan kabur semua, tinggal Sin Cap-si-koh saja sendirian yang masih berada di situ.

   Tentu saja Cap-si-koh merasa bingung dan terkejut, padahal Sam-kongcu itu biasanya paling menurut kepada apa yang dia katakan, entah mengapa sekarang lantas kabur begitu saja tanpa pamit.

   Waktu ia berpaling, terlihat dari dalam hutan sana muncul satu orang.

   Pakaian orang itu compang-camping dan membawa sebuah rangsel obat, mukanya ada codet bekas luka, tangan memegang keleningan bertangkai panjang, dandanannya seperti tukang obat pengembara.

   Melihat tabib keliling ini, seketika Liong Thian-hiang bergirang bercampur kuatir.

   Kiranya tabib jembel ini tak lain tak bukan adalah tabib yang ditemuinya di kedai minum tempo hari itu.

   "Siapa kau? Berani kau mengacau urusanku di sini?"

   Tegur Sin Cap-si- koh dengan gusar.

   "He, he,"

   Tabib jembel itu menyeringai.

   "aku masih ingat padamu, masakah kau malah lupa padaku?"

   Sin Cap-si-koh coba mengamat-amati orang, lapat-lapat ia masih dapat mengenali wajah asli si tabib, keruan terkejutnya tidak kepalang, serunya tanpa terasa.

   "Ha, kau..... kau Ciok..... Ciok..... kau belum mati!"

   "Terima kasih banyak atas perhatianmu, syukur sampai saat ini aku masih hidup dan sehat walafiat!"

   Jengek tabib itu.

   "Hm, memangnya aku tidak ingin lekas-lekas mati, soalnya aku masih harus menuntut balas, mana boleh mati begitu saja. Meski kau bukan orang yang langsung membikin celaka diriku, tapi mempunyai sahamnya, maka, he, he, biar sekarang juga kita menyelesaikan hutang-piutang kita yang sudah lama itu!"

   Mendadak tongkat bambu hijau Sin Cap-si-koh menotok ke arah si tabib sambil membentak.

   "Aku sudah meloloskan jiwamu satu kali, kini sukar bagimu untuk menyelamatkan diri lagi! Hm, tentu kau sudah bosan hidup, maka boleh kau menghadap raja akhirat saja!"

   Tujuan serangan kilat Sin Cap-si-koh itu hendak merobohkan musuh lebih dulu, tak tahunya tabib jembel itupun sudah siap siaga, segera terdengar suara "trang"

   Yang nyaring, tabib jembel itu telah menggunakan keleningan bertangkai panjang itu sebagai senjata, dengan gerak tipu "Boat- in-kian-jit" (menyingkap awan kelihatan matahari) kontan tongkat Sin Cap- si-koh kena disampuk ke samping.

   Begitulah dengan cepat luar biasa Sin Cap-si-koh dan tabib jembel itu sudah bergebrak belasan jurus, bukan saja Sin Cap-si-koh tidak mendapat keuntungan, sebaliknya dia malah terdesak mundur beberapa tindak, ia merasa keleningan lawan yang bertangkai panjang itu luar biasa hebatnya, setiap kali senjata lawan itu menghantam rasanya seperti membawa tenaga maha kuat dan sukar ditangkis oleh tongkatnya.

   Diam-diam Cap-si-koh terkesiap.

   "Aneh, ilmu silat orang ini tadinya bukan tandinganku, selama belasan tahun ini biarpun kepandaiannya maju pesat, aku sendiri juga tidak pernah lalai berlatih, mengapa aku berbalik tak mampu melawannya?"

   Padahal sebenarnya bukan ilmu silat si tabib jembel sudah melebihi Sin Cap-si-koh, soalnya lantaran munculnya si tabib yang mendadak itu telah membikin dia terkejut dan gugup, sebab sebelumnya dia menyangka orang sudah mati.

   Selain itu Sin Cap-si-koh sudah bertempur sekian lamanya melawan Bu Hian-kam dan Nyo Kiat-bwe, betapa pun tenaganya sudah susut sebagian, dengan faktor-faktor itulah ia merasakan kepandaian lawan seakan- akan melebihi dia.

   Dalam pada itu Ciau Siang-hoa dan Liong Thian-hiang yang sudah kehilangan lawan, segera mereka berseru.

   "Hayolah kita serang iblis perempuan ini!"

   Setelah tenangkan diri Kiat-bwe juga berseru.

   "Benar, kerubut iblis perempuan ini, jangan sampai dia kabur!"

   "Hm, pergi atau datang siapa yang mampu merintangi aku?"

   Jengek Sin Cap-si-koh.

   Sebenarnya semangat tempurnya sudah lenyap, biarpun Ciau Siang-hoa dan lain-lain tidak mengerubutnya juga dia sudah berniat angkat langkah seribu.

   Sebaliknya Ciau Siang-hoa dan Kiat-bwe juga cuma main gertak saja, maka mereka pun tidak mengejarnya ketika Sin Cap-si-koh memutar tongkatnya dengan beberapa kali serangan kilat, ketika lawan-lawannya berkelit, segera ia kabur dengan Ginkang yang tinggi dan dalam sekejap saja sudah menghilang dalam hutan.

   Dalam pada itu Liong Thian-hiang sedang berusaha membuka hiat-to Bu Hian-kam yang tertotok, namun tidak berhasil.

   Kiat-bwe coba membantunya, tapi juga gagal.

   "Coba aku,"

   Kata si tabib jembel itu, lalu ia mengurut perlahan beberapa kali di tubuh Hian-kam, segera pemuda itu merasa badan menjadi segar dan melompat bangun.

   "Terima kasih atas petunjuk Lo-cianpwe tempo hari, kini engkau telah menolong kami pula, sungguh Wanpwe sangat....."

   Tapi si tabib lantas memotong ucapan Bu Hian-kam itu.

   "Jangan sungkan, aku membantu kau sebenarnya sama seperti membantu diriku sendiri, hal ini tentu akan kau ketahui kelak."

   Sungguh aneh, melihat tabib jembel itu, tiba-tiba Ciau Siang-hoa merasa mempunyai hubungan rapat dengan dia dan seperti sudah pernah mengenalnya, cuma entah dimana? Dalam pada itu sorot mata tabib itupun sedang menatap Ciau Siang-hoa, air mukanya juga mengunjuk perasaan yang sangat aneh, malahan Siang-hoa melihat pada ujung mata si tabib jembel mengembeng dua butir air mata.

   Seketika Siang-hoa merasa bimbang, ia coba tenangkan diri, lalu bertanya.

   "Siapakah engkau? Mengapa mengetahui aku berada di tempat Ong Ce-cu di Thay-ouw sana? Engkau sengaja memancing kami ke sini, engkau seperti banyak mengetahui urusan kami, mengapa....."

   "Ai, kau ternyata tidak kenal aku lagi, nak!"

   Kata tabib itu sambil menghela napas panjang.

   "Kutanya padamu, bukankah di bawah ketiakmu ada satu tahi lalat? Pada malam keluargamu mengalami bencana, bukankah kau dibawa lari oleh seorang budak tua bernama Ong Sam?"

   Peristiwa itu tidak mungkin diketahui orang luar, maka tahulah sekarang Siang-hoa apa artinya pertanyaan si tabib jembel itu, untuk sejenak ia tertegun, tapi segera ia menangis keras-keras sambil menubruk maju dan merangkul kedua kaki tabib itu sembari berseru.

   "Ayah, engkau adalah ayah!"

   Tabib itu membangunkan Siang-hoa dan berkata.

   "Jangan menangis, nak, jangan menangis! Kita justru harus bergembira karena ayah dan anak dapat bertemu kembali." ~ Ia suruh Siang-hoa jangan menangis, tapi air mata sendiri ternyata juga bercucuran.

   "Ayah, apa engkau tahu siapa nona Nyo ini?"

   Kata Siang-hoa kemudian.

   "Dia adalah..... adalah puteri Nyo-pepek, paman Nyo Tay-ging."

   "O, begitulah kiranya,"

   Seru tabib itu dengan girang.

   "Aku pernah mencari ayahmu dan mengetahui kemalangan keluargamu, selama ini aku pun berkuatir akan dirimu, sungguh tidak nyana hari ini aku telah menemukan anak Hoa dan sekaligus juga menemukan kau. Kalian berdua ternyata juga begini baik, ha, ha, agaknya memang sudah takdir."

   Setelah merandek sejenak, lalu tabib jembel itu menyambung pula.

   "Namaku yang asli ialah Ciok Leng, bersahabat baik dengan Nyo-toako, ayahmu, apakah kau tahu?"

   "Tahu,"

   Jawab Kiat-bwe.

   "Waktu kecilku pernah ayah katakan padaku mengenai paman Ciok. Belum lama ini juga ada seorang membicarakan persoalan kalian dengan aku, karena itu seluk-beluknya aku pun mengetahui sekadarnya. Paman Ciok, tak tersangka akan dapat bertemu dengan engkau, sungguh aku sangat gembira. Terus terang sebelumnya aku mengira engkau..... mengira engkau....."

   "Mengira aku sudah mati, bukan?"

   Sela Ciok Leng dengan tertawa.

   "Ayah, nona Nyo diculik penjahat dan dijual kepada iblis perempuan Sin Cap-si-koh itu,"

   Demikian Siang-hoa menjelaskan.

   "Aku tahu,"

   Kata Ciok Leng.

   "Sudah lama aku pun merasa sangsi, cuma aku belum yakin bahwa kau adalah puteri Nyo-toako. Terus terang aku pernah menguntit kalian, hanya saja kalian tidak mengetahuinya."

   "Mengapa tidak sejak dulu ayah menemui kami?"

   Tanya Siang-hoa.

   "Soalnya belum tiba waktunya yang tepat, sebab masih ada beberapa hal yang belum jelas bagiku, maka aku tidak berani sembarangan menemui kau,"

   Kata Ciok Leng.

   "Terutama mengenai gambar Hiat-to-tong-jin, apakah kalian pernah mendengar kisahnya? Justru nasib kedua keluarga kita banyak sangkut-pautnya dengan gambar pusaka ini."

   "Ya, kami sudah pernah dengar dari Ji-nio (ibu kedua),"

   Kata Siang-hoa.

   "Ji-nio siapa?"

   Ciok Leng melengak, tapi segera ia pun tahu apa maksudnya dan menyambung pula.

   "Ya, yang kau maksudkan tentu Ko Siau-hong, puteri Ko Kiat, dia telah menjadi istri muda ayah angkatmu?"

   "Benar,"

   Jawab Siang-hoa.

   "Tapi Ji-nio juga sangat baik padaku, cuma sayang beliau sudah meninggal."

   "Nasib Ko Siau-hong sesungguhnya juga harus dikasihani,"

   Kata Ciok Leng sambil menghela napas.

   "Kejadian di dunia ini terkadang memang aneh. Ayah Ko Siau-hong dahulu adalah kawan kami dalam pengawalan gambar pusaka itu, dia gagal membikin susah orang lain, sebaliknya dia sendiri harus menelan akibatnya. Aku dan dia adalah satu angkatan, tapi anak perempuannya berubah menjadi ibu angkatmu."

   "Justru untuk menghindari Kiau Sik-kiang, maka Ji-nio rela menjadi istri muda ayah angkat dengan tujuan berlindung di bawah pengaruhnya, siapa tahu akhirnya tetap dicelakai oleh Kiau Sik-kiang dan Sin Cap-si-koh,"

   Kata Siang-hoa. Ciok Leng ikut terharu oleh nasib malang Ko Siau-hong itu, katanya kemudian.

   "Selamatnya jiwaku ini sesungguhnya sangat kebetulan. Malam itu aku terluka parah dalam pertarunganku melawan Kiau Sik-kiang, aku kena dibacok pula oleh anak buahnya, ini, codet di mukaku ini adalah bekas bacokan itu."

   "Engkau sungguh kenyang menderita, ayah, sakit hati ini harus kita balas!"

   Kata Siang-hoa dengan air mata bercucuran.

   "Sudah tentu harus kita balas,"

   Tukas Ciok Leng.

   "Tapi untung juga aku kena dibacok, aku roboh terkulai sehingga Kiau Sik-kiang mengira aku sudah mati. Sesudah kawanan bandit itu pergi, aku merangkak dan bersembunyi di suatu gua untuk merawat lukaku. Kutahu bila Kiau Sik-kiang mengetahui aku belum mati, tentu dia takkan membiarkan begitu saja. Maka aku lantas kabur sejauhnya dari daerah Kiu-ciu, di tempat suku Miau, aku menyamar sebagai tabib kelilingan, dengan sedikit pengetahuan ilmu ketabibanku, tidak sedikit orang Miau telah kusembuhkan dari sakitnya. Kini Tongcu (kepala suku) daerah Miau itu telah menjadi sahabat baikku."

   Baru sekarang Bu Hian-kam paham persoalannya, katanya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ciok-pepek, pantas kau paham cara orang Miau mengusir ular."

   "Malahan aku paham cara meniup seruling gagang gelagah untuk mengumpulkan orang-orang Miau,"

   Ciok Leng menambahkan dengan tertawa.

   "Tongcu daerah Kiu-ciu itu adalah kepala dari seluruh kepala suku Miau, bahkan suku Miau di wilayah Ouw-lam barat juga tunduk kepada perintahnya. Waktu perempuan-perempuan Miau tadi mendengar suara seruling yang kutiup dan mengira utusan kepala suku mereka tiba, maka mereka buru-buru kembali ke tempat masing-masing."

   "Tapi kalau nanti mereka mengetahui kekeliruan mereka itu, bukankah mereka akan memburu lagi ke sini?"

   Kata Hian-kam.

   "Entah orang macam apakah perempuan-perempuan Miau itu, terutama yang disebut Sam-kongcu itu agaknya sudah kenal baik dengan Sin Cap-si-koh."

   "Perkampungan Miau mereka berjarak belasan lie dari sini, untuk pergi datang juga perlu waktu cukup lama,"

   Kata Ciok Leng.

   "Sebaiknya kita pergi dari sini saja, marilah kita selidiki perkampungan mereka, sambil berjalan kita dapat bicara pula."

   "Sin Cap-si-koh mengatakan Beng Jit-nio dan Kok Siau-hong sudah tertawan olehnya, apakah mereka dikurung di perkampungan orang Miau itu?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Betul, sebab itulah kita akan menyelidiki perkampungan Miau,"

   Kata Ciok Leng.

   "Sudah beberapa kali aku datang dan meninggalkan daerah suku Miau ini, syukur mukaku sudah berubah buruk begini sehingga tidak dikenal lagi oleh kawan lama, aku menyamar sebagai tabib kelilingan dan mengembara ke segenap penjuru. Pertama, aku mendapatkan suatu berita rahasia bahwa iblis perempuan Sin Cap-si-koh itu ternyata tersangkut dalam peristiwa perampasan gambar pusaka itu. Sebenarnya dia tidak kenal Kiau Sik-kiang, tapi dia adalah kenalan baik Sute orang she Kiau, yaitu Ko Kiat, ayah Ko Siau-hong, yang dahulu ikut mengawal gambar pusaka bersama kami.

   "Agaknya Ko Kiat menyukai Sin Cap-si-koh, waktu mudanya dia pernah menaksirnya, tapi rupanya Sin Cap-si-koh terlalu angkuh bagi Ko Kiat, dalam hatinya sudah terisi Han Tay-wi, tentu saja dia tidak menggubris kepada Ko Kiat. Namun Ko Kiat tetap tergila-gila, bahkan memberitahukan rahasia gambar pusaka Hiat-to-tong-jin itu kepada Sin Cap-si-koh dan minta bantuannya dengan janji setelah usahanya berhasil, gambar pusaka itu akan diberikan kepada Cap-si-koh sebagai hadiah.

   "Tentu saja Sin Cap-si-koh sangat girang, tapi dia tidak ingin tampil sendiri, melainkan cuma membantu pengaturan tipu muslihat saja. Obat tidur yang dikerjakan Ko Kiat pada malam itu bukan lain adalah pemberian Sin Cap-si-koh."

   "Tapi Ko Siau-hong malah mengira obat tidur itu diperoleh ayahnya dari Kiau Sik-kiang,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Soalnya ayahnya tidak ingin rahasianya diketahui Ko Siau-hong,"

   Kata Ciok Leng.

   "Malahan dia membunuh istri sendiri dengan maksud mengawini Sin Cap-si-koh."

   "Aku pernah mencari Ko Kiat untuk menuntut balas, tak terduga setelah kutemukan dia, keadaannya sudah payah, ternyata dia juga kena dilukai Kiau Sik-kiang, maka sebelum ajalnya dia telah menceritakan semua rahasia perbuatannya kepadaku. Pada umumnya manusia yang sudah dekat ajal bicaranya juga yang baik-baik saja. Maka aku percaya kepada apa yang dia ceritakan padaku."

   "Dan mengapa perempuan-perempuan Miau itu mau tunduk kepada perintah Sin Cap-si-koh, entah ada hubungan apa di antara mereka?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Di antara perkampungan Miau di sini terdapat seorang kepala kampung bangsa Han bernama Bong Tek-ci, dia mempunyai tiga orang anak perempuan, masing-masing bernama Bong Say-giok, Bong Say-goat dan Bong Say-hoa, tadi yang bergebrak dengan kalian itu adalah Sam-kongcu Bong Say-hoa.

   "Di tempat ini banyak berjangkit hawa berbisa, terutama pada musim semi. Suatu kali berjangkit Thoa-hoa-ciang (hawa berbisa yang timbul dari panas dan lembab) yang jahat, meski suku Miau pada umumnya mempunyai obat penawar hawa beracun itu, tapi tidak urung ketiga anak perempuan Bong Tek-ci juga keracunan semua. Kebetulan waktu itu Sin Cap-si-koh juga datang ke daerah Miau ini, dia adalah ahli pemakai racun nomor satu di dunia ini dan juga ahli penawar racun nomor satu pula. Begitulah anak-anak perempuan Bong Tek-ci itu dapat disembuhkan oleh Sin Cap-si-koh, karena itu Bong Tek-ci sangat berterima kasih padanya dan memandangnya seperti melihat dewata saja. Bong Say-hoa paling disukai Sin Cap-si-koh, ilmu silatnya sebagian juga ajarannya."

   "O, kiranya begitu, pantas Sin Cap-si-koh tidak perlu kuatir menyembunyikan Han Tay-wi di sini,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Apakah paman Ciok sudah pernah menyelidiki perkampungan Miau itu?"

   "Untung aku berkenalan dengan Tongcu di Kiu-ciu ini, sebelumnya tempat inipun tidak kukenal,"

   Tutur Ciok Leng.

   "Cuma kini sekitar tempat perkampungan mereka itu sudah hapal bagiku. Aku tahu ada suatu jalanan kecil yang menurun dari atas gunung dan langsung mencapai belakang kampung mereka."

   Begitulah mereka meneruskan perjalanan, ketika menyusuri hutan bambu, di tengah berkesiurnya angin, terdengar daun bambu berdesir gemerisik. Tiba-tiba Ciok Leng bersuara heran.

   "Apakah engkau mendengar sesuatu, ayah?"

   Tanya Siang-hoa.

   "Tidak apa- apa, biar kau berjalan di depan, kalian juga perlu waspada,"

   Kata Ciok Leng. Kiranya dia seperti mendengar suara berjalan seseorang, tapi ketika dia memandang sekelilingnya ternyata tiada sesuatu bayangan apa pun, maka ia menjadi curiga, pikirnya.

   "Sin Cap-si-koh tadi sudah kukalahkan, seorang diri masakah dia berani menguntit aku lagi? Tapi selain dia, masakah ada orang lain yang memiliki Ginkang setinggi ini? Apakah aku yang salah dengar?"

   Tapi selewatnya hutan bambu itu ternyata tiada terjadi apa-apa, hati Ciok Leng rada lega. Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, tanyanya kepada Siang- hoa.

   "Anak Hoa, apakah Ji-nio pernah mengatakan padamu tentang gambar pusaka itu sebenarnya jatuh di tangan siapa? Semula aku mengira orang berkedok itu adalah Kiau Sik-kiang, tapi kemudian kuketahui bukanlah dia. Selama sepuluh tahun ini aku senantiasa menyelidiki rahasia yang belum terbongkar ini dan sampai sekarang tetap belum diperoleh sesuatu titik terang."

   "Ji-nio sendiri mengira orang berkedok itu adalah Ku Gong, Suheng Beng-sia-tocu Le Kim-liong, sebab itulah Ji-nio berdaya upaya agar dapat diterima sebagai murid oleh Ku Gong serta berhasil mencuri satu

   Jilid kitab pusaka ilmu Tiam-hiat, tapi kemudian diketahui bahwa kitab itu ternyata bukan gambar pusaka yang dicarinya. Teka-teki itupun tetap tidak tersingkap sampai meninggalnya Ji-nio,"

   Demikian tutur Siang-hoa.

   "Gambar pusaka itu telah membikin celaka Nyo-toako dan mengakibatkan kematian Ko Kiat, aku sendiri pun tertimpa bencana dan syukur masih dapat hidup sampai sekarang. Namun selama ini siapakah gerangan orang berkedok itu masih tetap belum diketahui,"

   Kata Ciok Leng dengan gegetun.

   "Tapi kini sudah dapat diketahui dengan pasti!"

   Tukas Kiat-bwe dengan tertawa.

   "He, apa betul? Siapakah dia? Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?"

   Seru Ciok Leng dengan girang.

   "Aku pun sudah tahu, ayah,"

   Sela Siang-hoa dengan tertawa.

   "Orang berkedok itu adalah seorang pengemis tua, kabarnya telah bertarung dengan Sin Cap-si-koh di Siong-hong-nia. Kok Siau-hong juga pernah bergebrak dengan dia." ~ Lalu ia pun menuturkan lebih jelas tentang diri pengemis tua seperti apa yang didengarnya dari Ong Ih-ting. Ciok Leng sangat heran, katanya.

   "Jika begitu, jadi pengemis tua itupun bukan begundal Kiau Sik-kiang. Sungguh aneh, mengapa Sin Cap-si-koh juga bermusuhan dengan dia?"

   Di depan hutan bambu sana adalah sebuah jurang yang tak terkirakan dalamnya, diapit oleh dua puncak gunung yang terjal.

   Jarak kedua puncak itu hanya belasan meter saja dan dihubungkan oleh sebuah jembatan batu secara alam, jembatan batu itu lebarnya cuma setengah meteran, hanya dapat dilalui seorang demi seorang dan tidak mungkin dua orang bejajar.

   Tiba-tiba Ciok Leng berkata.

   "Tunggu, biar aku menyeberang dulu ke sana, habis itu barulah kalian!"

   Selagi Siang-hoa hendak bertanya apa yang mencurigakan sang ayah, mendadak Ciok Leng telah melompat ke tengah belandar batu itu sambil membentak.

   "Kawan darimana yang bersembunyi di sini? Silakan perlihatkan diri saja!"

   Belum lenyap suaranya, tahu-tahu di atas jembatan batu itu sudah bertambah dengan satu orang, siapa lagi dia kalau bukan si pengemis tua yang membawa buli-buli merah yang pernah diceritakan Ong Ih-ting kepada Ciau Siang-hoa itu.

   Kiranya si pengemis tua bergantungan di bawah jembatan batu itu, kedua tangannya mencengkeram di tepian belandar batu itu.

   Hanya dengan tenaga jari saja ia mempertahankan berat tubuhnya, bahkan mendadak dapat melompat ke atas jembatan batu itu, melulu kepandaian ini saja sudah cukup membikin Ciok Leng terkesiap.

   Tapi setelah melihat jelas siapa si pengemis tua itu, seketika Ciok Leng menjadi gusar.

   Pada malam kejadian dahulu itu meski Ciok Leng tidak melihat wajah orang berkedok yang merampas gambar pusaka itu, tapi perawakannya betapa pun ia tidak dapat melupakannya.

   Lebih-lebih telapak tangan orang berkedok yang jauh lebih lebar daripada orang biasa, karena pernah bergebrak dengan dia, maka ciri-ciri orang itu cukup mendalam dalam kesan Ciok Leng.

   Begitulah Ciok Leng lantas membentak.

   "Bagus, kiranya kau inilah orang yang mencuri gambar pusaka kami pada malam itu! Memangnya aku sedang mencari kau!"

   "Ha, ha, ha, kiranya memang kau adanya, Ciok Leng!"

   Seru si pengemis tua sambil bergelak tertawa.

   "Kukira kau sudah mati, ternyata masih segar bugar. Kedatanganmu sungguh kebetulan, aku memang juga mau mencari kau, nah, dengarkan dulu uraianku....."

   Tapi Ciok Leng mana mau memberi kesempatan bicara kepada musuh, tanpa ampun ia angkat keleningan bertangkai panjang itu terus menghantam ke dada lawan.

   Di atas jembatan batu yang sempit itu hakikatnya untuk berputar tubuh saja sulit, jangankan hendak berkelit dalam serang-menyerang itu, maka terdengarlah suara gemerinting yang nyaring, si pengemis tua telah mencengkeram keleningan bertangkai panjang itu terus dibetot sambil membentak.

   "Lepas!"

   Namun Ciok Leng berbalik menyodok ke depan seraya membentak juga.

   "Turun saja ke bawah!"

   Tampaknya tenaga kedua orang sama kuatnya sehingga keleningan bertangkai yang dibuat rebutan itu tak terlepaskan, hanya keleningannya yang terus berbunyi.

   Sekonyong-konyong terdengar suara "krak", tangkai panjang itu patah menjadi dua, tapi Ciok Leng terus melempar tangkai patah itu, kedua tangannya lantas memotong ke muka si pengemis tua.

   Mendadak pengemis tua itu mendoyongkan tubuhnya ke belakang, kedua kakinya masih tetap terpaku di atas belandar batu, hanya tubuhnya saja yang menekuk ke belakang dengan ilmu "Tiat-pan-kiau" (jembatan papan besi), telapak tangan Ciok Leng seakan-akan menyerempet lewat di atas mukanya.

   Habis itu dengan cepat luar biasa pengemis tua itu menegak kembali terus hendak memuntir kedua lengan Ciok Leng, sebelah kaki pun menggaet ke depan sambil membentak.

   "Roboh!"

   Namun Ciok Leng lantas balas menjengek.

   "Hm, belum tentu bisa!" ~ Nyata, latihan kuda-kudanya ternyata sangat kuat, meski kaki si pengemis tua berusaha menggantol tumit kakinya, tapi sedikit pun tidak goyah. Berbareng itu Ciok Leng lantas memberosot lolos dari cengkeraman lawan, hanya bajunya yang compang-camping itulah yang terobek.

   "Kepandaianmu telah banyak lebih maju, Ciok-heng!"

   Puji si pengemis tua.

   Menyusul kedua jarinya terus menotok pula.

   Dalam pada itu Ciau Siang-hoa berempat sudah siap di ujung jembatan sana, malahan Siang-hoa sendiri sudah berada di atas belandar batu itu, cuma sempitnya belandar batu, betapa pun Siang-hoa tak dapat berbuat sesuatu meski dia ingin maju membantu sang ayah.

   Apalagi dia tahu ilmu Tiam-hiat pengemis tua itu tiada bandingannya di dunia ini, tampaknya jarinya yang kuat itu sudah hampir kena menotok di tubuh sang ayah, keruan ia menjadi kuatir, tanpa terasa ia menjerit.

   Tapi mendadak terdengar Ciok Leng berteriak murka.

   "Biar aku mengadu jiwa dengan kau!"

   Berbareng telapak tangannya laksana golok terus menabas ke leher lawan.

   Serangan Ciok Leng ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu, benar juga si pengemis tua cepat menunduk dan miringkan tubuh untuk menghindarkan tabasan tangan Ciok Leng, sebaliknya totokannya tadi juga tepat mengenai sasarannya, seketika Ciok Leng merasa tubuh kesemutan, cepat ia kerahkan tenaga dalam dan hanya sekejap saja jalan darah sudah lancar kembali.

   "Pemuda ini tentunya puteramu bukan?"

   Kata si pengemis tua.

   "Sungguh harus diberi selamat atas berkumpulnya kembali kalian ayah dan anak. Tapi he, he, demi kebahagiaanmu, Ciok-heng, kau baru saja berkumpul kembali dengan keluargamu, kenapa kau mengadu jiwa pula dengan aku? Bagiku seorang pengemis tua yang tidak punya sanak dan tidak punya kadang, biarpun mati juga tidak menjadi soal."

   "Kau membikin aku jatuh sengsara, aku justru hendak mengadu jiwa dengan kau!"

   Bentak Ciok Leng dengan gusar.

   Walaupun begitu hatinya juga berpikir bahwa si pengemis tua tampaknya memang benar-benar bermaksud damai kembali dengan dia.

   Maklumlah, tadi ketika jari si pengemis tua kena menotoknya, ia merasa pengemis tua itu tidak menggunakan tenaga berat sehingga dia mampu melancarkan kembali jalan darah dalam waktu sekejap saja.

   "Ciok-heng, caramu bertempur ini, mungkin kita harus gugur bersama nanti!"

   Kata si pengemis tua sambil menghela napas.

   "Betapa pun jiwaku ini memang seperti ditemukan kembali, kalau sekarang aku gugur bersama juga tidak menjadi soal,"

   Jengek Ciok Leng.

   Pengemis tua tidak bicara lagi, kedua orang itu sama-sama mengeluarkan segenap kemahiran masing-masing, pertarungan di atas jembatan batu yang sempit itu bertambah sengit dan sukar terpisahkan.

   Ciau Siang-hoa berempat ikut berdebar-debar menyaksikan pertempuran dahsyat itu.

   Tiba-tiba terdengar suara "blang"

   Yang keras, empat telapak tangan beradu, Ciok Leng dan pengemis tua itu seperti terpaku di tempat masing- masing, telapak tangan beradu telapak tangan seperti lengket menjadi satu, keduanya tidak bergerak mirip patung saja.

   Kiranya pertarungan sekarang telah memuncak, kini mereka sedang mengadu tenaga dalam dan bukan lagi pertandingan dalam tipu serangan.

   Mengadu tenaga dalam adalah pertandingan yang paling berbahaya, pihak yang kalah bukan mustahil jiwa bisa melayang, sebaliknya yang menang juga pasti akan terluka parah.

   Kalau kekuatan kedua pihak seimbang, maka bisa jadi akan gugur bersama, sedikitnya akan sama-sama remuknya.

   Begitulah Ciau Siang-hoa menjadi kuatir, serunya dengan suara gemetar.

   "Ayah, sebaiknya engkau berdamai saja dengan dia!"

   Harus diketahui bahwa pertarungan mengadu lwekang hanya dapat dilerai bilamana ada seorang pemisah yang bertenaga dalam terlebih kuat daripada kedua orang yang sedang bertanding itu.

   Hanya lantaran terdorong oleh rasa dendam saja Ciok Leng tidak sayang untuk gugur bersama musuh.

   Tapi kini menghadapi detik antara mati dan hidup ini serta mendengar anjuran Siang-hoa, tanpa terasa timbul juga rasa menyesalnya.

   Namun pada saat mengadu tenaga dalam, betapa pun tidak boleh mengalah atau memberi kelonggaran kepada lawan.

   Karena itu terpaksa Ciok Leng tetap mengerahkan segenap tenaganya, sedikit pun ia tidak berani meleng.

   Agaknya si pengemis tua dapat meraba isi hati Ciok Leng, dengan tertawa tiba-tiba ia berkata.

   "Ciok-heng, bagaimana kalau kita berunding secara baik- baik?"

   Melihat pihak lawan dapat bicara dengan leluasa tanpa mengurangi tenaganya, Ciok Leng menjadi terkejut. Pikirnya.

   "Aku telah giat berlatih selama duapuluhan tahun, siapa tahu kekuatan pengemis tua ini masih tetap jauh lebih kuat daripada diriku. Dia ternyata sanggup bicara sambil mengerahkan tenaga. Tampaknya bila pertarungan ini berlangsung lebih lama, akhirnya jiwaku pasti akan melayang di tangannya!"

   Justru pada saat itulah tiba-tiba Ciok Leng merasa daya tekanan lawan seperti dikendurkan sedikit, maka dia dapatlah berganti napas dan membuka suara.

   "Antara kau dan aku masakah masih ada yang perlu dirundingkan lagi?"

   "Ciok-heng, coba jawablah pertanyaanku ini,"

   Kata si pengemis tua dengan tertawa.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sesungguhnya kau terlebih benci padaku atau jauh lebih benci kepada Kiau Sik-kiang?"

   Malam itu Ciok Leng tertotok oleh orang berkedok alias pengemis tua ini sehingga gambar pusaka Hiat-to-tong-jin kena digondolnya, tapi orang yang membikin berantakan keluarganya, bahkan jiwa sendiri juga hampir melayang, orang yang berbuat keji padanya itu justru adalah Kiau Sik-kiang, terutama lantaran Kiau Sik-kiang mengira gambar pusaka itu masih berada padanya.

   Maka setelah berpikir sejenak, kemudian Ciok Leng menjawab.

   "Sakit hatiku kepada Kiau Sik-kiang sedalam lautan, tapi kalau diusut asal mulanya, jika kau tidak mencuri gambar pusaka itu, rasanya aku pun tidak sampai bermusuhan begini mendalam dengan Kiau Sik-kiang."

   "Kalau begitu permusuhanmu dengan Kiau Sik-kiang kan terlebih mendalam daripada dengan diriku, meski kau tetap tak dapat memaafkan aku,"

   Kata si pengemis tua.

   "Dan bagaimana dengan Sin Cap-si-koh, kau benci tidak padanya?"

   "Kau ini pura-pura dungu, sudah tahu sengaja tanya pula,"

   Jengek Ciok Leng.

   "Jadi kau juga sangat dendam kepada Sin Cap-si-koh bukan?"

   Si pengemis tua menegas lebih lanjut. Kembali Ciok Leng mendengus, katanya.

   "Kiau Sik-kiang adalah musuhku nomor satu, musuh kedua adalah Sin Cap-si-koh. Dan kau, hm, kau....."

   "Musuhmu yang ketiga bukan?"

   Sambung si pengemis tua dengan bergelak tertawa.

   "Benar,"

   Jengek Ciok Leng.

   "Biarpun sekarang kau tidak membunuh diriku, lain hari aku tetap akan menuntut balas padamu!"

   "Ciok-heng,"

   Kata si pengemis tua.

   "terima kasih bahwa kau memasang diriku sebagai musuhmu yang ketiga, soal kau masih akan menuntut balas kepadaku adalah urusan kelak, yang penting hari ini kita kan masih dapat berunding?"

   "Berunding tentang hal apa?"

   Tanya Ciok Leng.

   "Apa kau sendiri yakin dapat mengalahkan Sin Cap-si-koh?"

   Tanya pengemis tua.

   "Meski tidak dapat menang, tapi aku pun belum tentu dapat kalah,"

   Jawab Ciok Leng dengan rada heran apakah maksud tujuan pertanyaan si pengemis tua itu.

   "Baiklah, seumpama kau sanggup menandingi Sin Cap-si-koh, tapi kalau dia dibantu orang-orang Miau itu, kau pasti akan kalah,"

   Kata si pengemis tua pula.

   "Setahuku, kalian akan memasuki perkampungan Miau untuk menolong kawan, maka janganlah kalian harap tujuanmu akan tercapai."

   "Apakah usaha kami akan tercapai atau tidak, ada sangkutpautnya apa dengan kau?"

   Jengek Ciok Leng.

   "Besar sangkut-pautnya,"

   Kata pengemis tua.

   "Sebab si jembel tua macam diriku juga merasa tidak sanggup menandingi Sin Cap-si-koh dan orang- orang Miau itu."

   "Kau pun bermusuhan dengan iblis perempuan itu?"

   "Kukatakan terus terang, dia ingin merebut gambar pusaka dariku dan aku tidak mau menyerahkannya. Kebenciannya kepadaku mungkin terlebih hebat daripada kebenciannya kepadamu."

   "O, jadi maksudmu hendak bergabung dengan aku untuk melawan Sin Cap-si-koh bersama?"

   "Tidak cuma begitu saja, bahkan kelak kita masih dapat bersatu untuk melawan Kiau Sik-kiang,"

   Tukas si pengemis tua.

   "Aku kan cuma musuhmu yang ketiga, apabila aku dapat membantu kau menumpas musuhmu yang pertama dan kedua, Ciok-heng, permusuhan kita rasanya dapatlah dibubarkan bukan?"

   Hati Ciok Leng rada tergerak, tapi seketika ia masih belum berani menerima tawaran orang.

   Ia belum tahu apakah orang bersungguh-sungguh atau cuma tipu muslihat belaka.

   Padahal kalau berdamai dengan si pengemis tua, hal ini berarti tak dapat meminta kembali gambar Hiat-to-tong-jin itu, lalu kematian Nyo-toako yang menjadi korban gambar pusaka itu bukankah sia-sia saja? Demikian Ciok Leng menjadi ragu-ragu.

   Si pengemis tua seperti tahu jalan pikiran Ciok Leng, katanya pula dengan perlahan.

   "Dahulu tujuanmu hendak mempersembahkan gambar pusaka itu kepada raja Song selatan, betul tidak? Dan gambar pusaka itu telah kurampas, tentu saja kau benci padaku. Cuma, untung juga usaha kalian itu tidak berhasil."

   "Hm, kau telah merampas barang orang, sekarang omong seenaknya,"

   Seru Ciok Leng dengan gusar.

   "Ini bukan omong seenaknya,"

   Kata si pengemis tua dengan sungguh- sungguh.

   "Meski waktu itu perdana menteri dorna Cin Kwe sudah mati, tapi penggantinya tetap juga setali tiga uang alias sama saja, sekali pun gambar pusaka itu dapat kau kembalikan kepada kerajaan Song, tidak urung akhirnya juga jatuh di tangan menteri dorna itu. Nah, kalau begitu, daripada benda mestika itu jatuh di tangan pembesar dorna, apa salahnya kalau membiarkannya berada di tangan sesama orang persilatan."

   "Betapa pun juga kau tidak pantas mengangkangi benda mestika itu,"

   Kata Ciok Leng dengan gemas.

   "Ha, ha, ha, memang betul juga, pribadi pengemis tua memang tidak sesuai untuk memiliki benda mestika itu,"

   Kata si pengemis tua dengan tertawa.

   "Jika kita dapat berdamai, sebagai tanda ketulusan hatiku, aku bersedia menyerahkan gambar pusaka itu kepadamu dan terserah kau untuk diberikan pula kepada seorang yang paling sesuai menurut pandanganmu. Dengan demikian dapatkah kau mempercayai aku?"

   Ciok Leng melengak malah oleh tawaran itu, katanya.

   "Kau benar-benar mau berbuat demikian, apalagi yang perlu kusangsikan? Baik, aku percaya padamu, gambar pusaka itupun tidak perlu kau serahkan padaku, nanti setelah urusan di sini selesai, silakan kau mengantar sendiri gambar pusaka itu kepada Liu-lihiap, Liu Jing-yau di Kim-keh-nia."

   "Baik, pasti akan kulaksanakan,"

   Jawab si pengemis tua.

   "Nah, sekarang kita dapat berdamai, silakan kau menarik tenaga dalam dengan perlahan."

   Begitulah kedua pihak lantas sama-sama menarik kembali tenaga dalam masing-masing dan akhirnya keempat tangan diluruskan semua ke bawah dan terhindarlah malapetaka kehancuran bersama.

   Dengan girang Ciau Siang-hoa lantas memburu maju dan memberi hormat kepada si pengemis tua, katanya kemudian.

   "Ayah, dengan bantuan Lo-cianpwe ini, rasanya usaha kita pasti akan berhasil."

   "Ya, aku sendiri belum mengetahui siapa nama saudara yang terhormat?"

   Kata Ciok Leng kepada si pengemis tua.

   "Aku she Thio, sebelum menjadi pengemis orang memanggil aku Thio Hong-cu (Thio si gila), karena itu aku lantas memberi julukan pada diriku sendiri sebagai Tay-tian (sungguh gila),"

   Tutur jembel tua itu alias Thio Tay- tian.

   "Baiklah, Thio-heng, cara bagaimana kita harus menuntut balas dan menyelamatkan kawan, tentunya kau sudah punya rencana,"

   Kata Ciok Leng.

   "Aku justru perlu bantuan kalian,"

   Kata Thio Tay-tian.

   "Hendaklah kau memancing pergi Sin Cap-si-koh sejauh-jauhnya dan dia pasti akan minta Ce-cu (kepala) perkampungan Miau itu membantu mengejar kalian, semakin lama semakin mengulur waktu akan semakin baik bagiku untuk menyusup ke perkampungan mereka untuk menolong kawan kita. Tentang menuntut balas kepada Sin Cap-si-koh biar kita belakangan saja, kau setuju bukan?"

   "Baiklah,"

   Jawab Ciok Leng.

   "Tapi kau sendiri memasuki sarang musuh, apa tidak terlalu berbahaya?"

   "Jangan kuatir, aku sudah tahu tempat dikurungnya Han Tay-wi dan Kok Siau-hong, pula aku fasih berbahasa Miau,"

   Ujar Thio Tay-tian.

   "Yang perlu hati-hati justru kau sendiri yang akan menghadapi iblis perempuan itu."

   "Keadaan tempat inipun hapal bagiku, biarlah kupancing mereka ke puncak gunung sebelah sana,"

   Kata Ciok Leng.

   "Baiklah, segera kita membagi tugas,"

   Kata Thio Tay-tian.

   "Lihatlah cahaya api di sana itu, tampaknya orang-orang Miau sudah mulai bergerak."

   Segera Ciok Leng mengajak Ciau Siang-hoa berempat menuju ke jurusan sana, mereka sengaja memperlihatkan diri agar dapat memancing musuh mengejarnya.

   Setelah rombongan Ciok Leng berangkat, si pengemis tua alias Thio Tay- tian menarik napas lega, tekanan batin yang diembannya selama ini terasa jauh lebih longgar, cuma dia masih mempunyai sesuatu beban perasaan, pikirnya.

   "Sengketaku dengan Ciok Leng telah dapat diredakan, semoga Han Tay-wi tidak kelelap dan lupa daratan karena direcoki oleh iblis perempuan itu."

   Saat itu Han Tay-wi sedang duduk bersemadi di suatu kamar yang sunyi.

   Dia keracunan berat, gerak-geriknya kurang leluasa, tapi tenaga dalam masih kuat, maka setiap malam sebelum tidur dia selalu bersemadi dan berlatih tenaga dalam.

   Sementara itu sudah lewat tengah malam, tetapi perasaannya ternyata berbeda daripada biasanya, sukar ditenangkan.

   Dia sudah lebih tiga bulan berada di perkampungan suku Miau itu, setiap beberapa hari satu kali Sin Cap-si-koh memberi satu butir pil kepadanya, bila Sin Cap-si-koh keluar rumah, obatnya tentu dititipkan kepada Ce-cu suku Miau dan baru diberikan kepada Han Tay-wi kalau tiba waktunya.

   Namun khasiat obat itu hanya mengurangi rasa sakit saja dan tidak dapat menyembuhkan penyakitnya.

   Menurut keterangan Sin Cap-si-koh, katanya dia sudah berusaha dengan segenap tenaganya, tapi Han Tay-wi menjadi sangsi, rasa sangsi terhadap Sin Cap-si-koh itu akhir-akhir ini semakin bertambah besar.

   Begitulah selagi Han Tay-wi bersemadi pula, tiba-tiba terdengar sayup- sayup suara tiupan gagang gelagah yang biasa dibunyikan orang Miau, terdengar suara tindakan barisan suku Miau itu keluar kampung.

   Apakah yang sedang terjadi? Mengapa Yu-ih (nama Cap-si-koh) tidak menjenguk diriku selama beberapa hari ini? Demikianlah Han Tay-wi semakin curiga.

   Ia menghela napas dan berpikir pula.

   "Betapa pun kini aku sudah jatuh dalam cengkeramannya, kalau dia hendak membikin susah padaku juga aku tidak dapat melawannya. Ai, entah bagaimana nasib anak Eng dan Siau-hong sekarang? Semoga aku dapat bertemu lagi dengan mereka selama hayat di kandung badan."

   Tengah kusut pikiran Han Tay-wi dan tak dapat tenang lagi, sekonyong- konyong daun jendela terpentang sendiri, menyusul seorang melompat masuk.

   "Siapa?"

   Bentak Han Tay-wi terkejut.

   Di bawah sinar bulan yang remang-remang, samar-samar Tay-wi dapat melihat bahwa pendatang ini adalah seorang pengemis tua.

   Seketika ia melengak, sebab lapat-lapat ia merasa pengemis tua ini seperti sudah dikenalnya? Belum lenyap pikirannya itu, tiba-tiba pengemis tua itu bergelak tertawa dan berkata.

   "Han-toako, sudah duapuluhan tahun kita tak bertemu, apakah kau sudah pangling padaku? Aku kan Thio Tay-tian adanya!"

   "Ah, Thio-heng mengapa kau pun berada di sini?"

   Seru Tay-wi tanpa terasa, hampir ia tidak percaya kepada pendengaran dan penglihatan sendiri.

   "Ssst, jangan keras-keras,"

   Desis Thio Tay-tian.

   "Aku sengaja datang ke sini buat membalas budi kebaikanmu dahulu, aku hendak menolong kau keluar dari sini."

   Kiranya waktu muda mereka adalah sahabat karib, usia Han Tay-wi lebih tua, waktu itu pergaulannya di dunia Kang-ouw sudah luas, namanya sudah cukup terkenal.

   Ketika itu Thio Tay-tian baru saja mulai berkelana di dunia Kang-ouw, sebagai pemuda yang berdarah panas, dia suka berkelahi dan pemberang, terkadang menjadi ngawur terdorong oleh darah mudanya.

   Suatu kali entah persoalan apa dia bersengketa dengan anak murid Bu- tong-pay, untung Han Tay-wi telah mendamaikan mereka.

   Kemudian Han Tay-wi mengasingkan diri di Lok-yang, Thio Tay-tian juga kabur setelah merebut gambar pusaka Hiat-to-tong-jin itu.

   Kedua orang sudah duapuluh tahun lebih tidak bertemu.

   Begitulah Han Tay-wi menjadi terkejut demi mengetahui maksud kedatangan kawan lama itu, ia menegas.

   "Hendak menolong aku keluar? Apa artinya ucapanmu ini?"

   "Han-toako, memangnya kau ingin mati tua di sini?"

   Ujar Thio Tay-tian dengan tertawa.

   "Rasanya Sin Cap-si-koh bukanlah teman hidup yang baik."

   Merasa di balik ucapan kawan itu mengandung makna tertentu, Han Tay-wi melengak dan bertanya.

   "Mungkin kau mengetahui sesuatu?"

   "Aku tidak sempat memberi penjelasan, kukira kau akan paham persoalannya jika kupertemukan seorang padamu,"

   Kata Thio Tay-tian.

   "Cara bagaimana aku dapat keluar, sedangkan setengah badanku sudah lumpuh,"

   Kata Han Tay-wi dengan menyeringai.

   "Jangan kuatir, aku tahu kau terkena racun Soh-kut-san. Aku membawa sebuah teratai salju keluaran Thian-san, lekas kau mengunyah dan memakannya, tentu sebentar lagi kau akan sanggup berjalan."

   Thian-san-swat-lian atau teratai salju Thian-san adalah barang yang sukar dicari, entah betapa susah payah barulah Thio Tay-tian berhasil mendapatkan teratai salju itu, tentu saja Han Tay-wi sangat berterima kasih, tapi ia pun tidak sempat banyak omong lagi, segera ia makan teratai salju yang diberikan itu, lalu ia mengerahkan tenaga dalam untuk mendorong bekerjanya khasiat teratai yang dapat menawarkan racun itu.

   Selang tidak lama, benarlah anggota badan Han Tay-wi sudah terasa panas, meski tenaga belum pulih, tapi sangguplah kalau untuk berjalan saja.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Segera Han Tay-wi ikut Thio Tay-tian menyusuri taman itu, dilihatnya kawan itu membawanya membelok ke sana dan menikung ke situ, mengitari bukit-bukitan, lalu menerobos rumpun bambu, tampaknya sudah hapal benar terhadap keadaan setempat.

   Diam-diam Han Tay-wi sangat heran, pikirnya.

   "Entah siapakah gerangan yang akan dia pertemukan padaku?"

   Belum habis terpikir, tertampaklah di depan sana ada sebuah rumah batu, di luar pintu berdiri kaku dua orang Miau seperti patung.

   Sebagai ahli silat, segera Han Tay-wi tahu bahwa kedua orang Miau itu Hiat-tonya tertotok.

   Melihat cara menotok yang lihai itu, diam-diam Han Tay-wi kagum terhadap ilmu Tiam-hiat Thio Tay-tian yang sedemikian tingginya itu.

   "Nah, orang di dalam adalah orang yang sangat ingin kau temui, boleh kau masuk ke sana,"

   Kata Thio Tay-tian dengan tertawa.

   "Blang", segera ia hantam pecah daun pintu. Di dalam rumah itu ternyata gelap-gulita, serentak seorang melonjak bangun dan berseru.

   "Siapa?"

   Mendengar suara orang itu, sungguh tidak kepalang rasa girang Han Tay- wi. Kiranya orang ini bukan lain Kok Siau-hong adanya.

   "Siau-hong!"

   Seru Han Tay-wi kegirangan.""Dimanakah Pwe-eng? Mengapa cuma kau sendirian dan kenapa terkurung pula di sini?"

   Sesaat itu Kok Siau-hong juga hampir tidak percaya kepada mata dan telinga sendiri, setelah tenangkan diri, kemudian ia menjawab.

   "O, Gak-hu (ayah mertua), kiranya memang benar engkau adanya. Ai, ceritanya teramat panjang, aku terkurung di sini karena tertawan oleh Sin Cap-si-koh."

   "Aku minta dia mengundang kau ke sini, mengapa dia menawan kau malah?"

   Kata Tay-wi dengan terkejut.

   "Kalian boleh bicara dulu, biar kupertemukan lagi seorang kepada kalian dan segala urusan tentu akan menjadi jelas,"

   Kata Thio Tay-tian.

   Saat itu Beng Jit-nio juga terkurung di suatu rumah batu yang dibuat di dalam perut gunung, dengan sendirinya rumah tahanan itu jauh lebih kukuh daripada tempat tahanan Kok Siau-hong.

   Sekeliling rumah yang menyerupai gua itu adalah dinding yang tingginya mencapai hampir sepuluh meter, bagian atas ada sebuah lubang dan dari situlah dikerek naik turun keranjang yang berisi makanan.

   Agaknya Sin Cap-si-koh anggap ilmu silat Beng Jit-nio sangat tinggi, maka cara mengurungnya juga lebih istimewa dan disekap pada rumah batu ini, tentu saja sukar bagi Beng Jit-nio untuk kabur.

   Dan lantaran anggap rumah batu itu cukup sempurna untuk mengurung tawanannya, maka Sin Cap-si- koh merasa tidak perlu menaruh penjaga lagi di situ.

   Saat itu Beng Jit-nio sedang duduk tenang, tiba-tiba terdengar suara "tok- tek-tok-tek"

   Beberapa kali, suara orang mengetuk dinding batu itu.

   Beng Jit-nio melengak heran, waktu ia mendongak, tiba-tiba tertampak cahaya terang, dari lubang bagian atas menjulur ke bawah seutas tambang panjang.

   Hanya saja tambang itu tidak membawa keranjang makanan seperti biasanya.

   "Pegang tambang itu!"

   Mendadak terdengar suara seorang.

   "Hm, kalian main gila apa?"omel Beng Jit-nio dengan gusar.

   "Ssst, lekas pegang tambangnya, aku sengaja menolong kau keluar dari sini!"

   Seru orang itu pula dengan suara tertahan.

   Habis itu mendadak terdengar suara gemuruh, lubang bagian atas tahu- tahu berubah lebar beberapa kali dari semula.

   Kiranya gua batu itu ditutup sepotong batu raksasa pada bagian atasnya, rasanya tiada orang yang memiliki kekuatan sehebat itu untuk menggeser batu raksasa itu kecuali Thio Tay-tian.

   Beng Jit-nio masih ragu-ragu, tapi lantas terpikir betapa pun akibatnya toh tidak lebih buruk daripada mati konyol terkurung di dalam gua itu.

   Maka ia lantas pegang erat tambang tadi, benar juga dia lantas dikerek ke atas.

   Di bawah sinar bulan, tertampaklah penolongnya itu adalah seorang pengemis tua.

   "Siapa kau? Apa kau orang Kay-pang?"

   Tanya Beng Jit-nio.

   "Kau tidak perlu urus siapa diriku, yang penting kau ikut saja padaku,"

   Kata Thio Tay-tian.

   "Tentunya kau tidak perlu sangsi lagi, kalau aku sengaja menolong kau keluar dari sini, masakah aku perlu mencelakai kau pula?"

   Dalam pada itu Thio Tay-tian terus mendahului berlari ke depan.

   Beng Jit-nio pikir toh orang sudah membebaskannya dari gua tadi, andaikan orang bermaksud jahat padanya, paling-paling akibatnya mati saja.

   Maka tanpa bicara lagi segera ia mengikut di belakang orang.

   Sementara itu di tempat tahanan Kok Siau-hong sana pemuda itu juga telah menguraikan semua pengalamannya serta apa yang diketahuinya mengenai diri Sin Cap-si-koh.

   Mendengar cerita itu, Han Tay-wi sangat terkejut, sungguh tidak tersangka olehnya bahwa orang yang mencelakainya sesungguhnya adalah Sin Cap-si-koh.

   Selama hidup Han Tay-wi sudah banyak mengalami ujian, tapi tidak urung kini ia pun bergidik oleh kekejaman orang.

   Katanya kemudian.

   "Sebenarnya sudah lama aku pun mencurigai dia, cuma tidak menyangka dia sekeji itu. Jika begitu, mungkin sekali kematian ibu mertuamu juga perbuatan iblis perempuan itu."

   "Ya, tentang meninggalnya Gak-bo (ibu mertua) juga sudah kudengar dari adik Eng,"

   Kata Siau-hong.

   "Kami menduga, bukan mustahil....."

   Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong suara seorang yang sudah dikenalnya menyambung.

   "Kalian tidak perlu menduga lagi, biar aku menjelaskan padamu!"

   Kiranya Beng Jit-nio dan Thio Tay-tian telah tiba dan kebetulan dapat mendengar percakapan mereka itu.

   "He, Jit-nio, kau juga berada di sini!"

   Seru Han Tay-wi terkejut bercampur girang.

   "Aku pun tidak mengira dapat bertemu pula dengan kau,"

   Kata Beng Jit- nio.

   "Semua ini berkat bantuan tuan ini....."

   "Dia adalah kawanku, Thio Tay-tian,"

   Kata Han Tay-wi.

   "Terima kasih atas pertolongan Thio-heng, bahkan engkau telah menyingkap teka-teki yang mengeram dalam hatiku selama duapuluh tahun ini."

   "Han-toako,"

   Sahut Thio Tay-tian dengan tertawa.

   "tentu kalian perlu bicara lebih asyik, boleh silakan bicara saja. Sebentar khasiat Thian-san-swat- lian yang kau makan tadi juga dapat bekerja dengan merata dan kau pun dapatlah bergerak dengan leluasa. Kini aku hendak pergi menemui seseorang, sebentar kalian boleh mencari aku di depan gunung sana."

   Memang tidak meleset dugaan Ciok Leng, begitu dia dan Bu Hian-kam serta Kiat-bwe dan lain-lain menampakkan diri, segera Sin Cap-si-koh dan Bong Tek-ci serta orang Miau yang lain dapat dipancing mengejar ke arah mereka.

   Sudah tentu yang mencapai puncak gunung lebih dulu adalah Sin Cap-si-koh dan Bong Tek-ci, anak buahnya ketinggalan jauh di bawah.

   Maka Ciok Leng lantas bertempur menghadapi Sin Cap-si-koh menurut rencana, sedang Bu Hian-kam dan lain-lain mengerubut Bong Tek-ci.

   Keleningan bertangkai panjang yang merupakan senjata Ciok leng itu kini sudah rusak, dia menghadapi tongkat bambu Sin Cap-si-koh dengan tenaga pukulan yang dahsyat.

   Sudah tentu kekuatan Ciok Leng menjadi banyak berkurang karena kehilangan senjata andalannya, namun Sin Cap- si-koh juga rada jeri terhadap ilmu pukulan lawan, meski dia berada di atas angin, untuk sementara sukar juga menjatuhkan Ciok Leng.

   Sedangkan ilmu silat Bong Tek-ci ternyata sangat aneh dan jauh berbeda daripada ilmu silat umumnya di daerah Tiong-goan.

   Dia memakai senjata golok sabit, di tengah serangan goloknya terseling pula pukulan tangan, setiap kali dia memukul selalu membawa bau amis yang memuakkan.

   Masih mendingan bagi Bu Hian-kam dan Ciau Siang-hoa, tapi Liong Thian-hiang dan Nyo Kiat-bwe lebih cetek lwekangnya, tidak lama kemudian bau amis itu telah membuat mereka kepala pening dan mata berkunang, napas pun sesak.

   Sementara itu anak buah Bong Tek-ci juga sudah menyusul sampai di pinggang gunung.

   Diam-diam Ciok Leng mengeluh, sedangkan si pengemis tua belum nampak muncul, kalau saja dia juga terkurung di perkampungan musuh, tentu urusan bisa runyam.

   Tengah keadaan menggawat, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang, secepat terbang tampak Thio Tay-tian mendatangi.

   Segera laskar Miau yang berada di pinggang gunung itu menghujani dengan anak panah, tetapi tetap tak dapat merintanginya, begitu Thio Tay- tian mengebaskan kedua lengan bajunya, seketika hujan panah itu berhamburan ke udara, laksana burung terbang saja, dalam sekejap ia sudah menerjang sampai di atas gunung.

   Sin Cap-si-koh terkejut, jengeknya.

   "Hm, bagus, jadi kalian hendak main kerubut, kalau kalian tidak malu, hayolah maju saja!"

   Kontan Thio Tay-tian menghantam hingga Sin Cap-si-koh tergetar mundur beberapa tindak, lalu jawabnya.

   "Jiwaku saja hampir amblas di tangan kau perempuan bangsat ini, untuk apa aku bicara lagi tentang peraturan Kang-ouw dengan kau?"

   Dalam pada itu Ciok Leng lantas berseru.

   "Thio-heng, harap kau membantu beberapa anak muda itu, perempuan bangsat ini rasanya aku masih sanggup melayaninya."

   "Ya, sesungguhnya memang tidak perlu aku turun tangan sendiri, sebentar juga ada orang lain yang akan membikin perhitungan dengan perempuan bangsat ini,"

   Ujar Thio Tay-tian dengan tertawa sambil menggeser ke sebelah sana.

   Segera Bong Tek-ci menyambutnya dengan totokan goloknya yang melengkung itu, menyusul sebelah tangan menghantam pula ke mukanya.

   Tapi Thio Tay-tian sempat mengebut dengan lengan bajunya, golok sabit lawan ternyata tidak dapat merobek lengan bajunya itu.

   Berbareng Thio Tay- tian sengaja menarik napas panjang-panjang, lalu berkata dengan bergelak tertawa.

   "Ha, ha, ha, darimana datangnya bau harum ini? Sungguh harum sekali!"

   Padahal pukulan Bong Tek-ci itu bernama Ngo-tok-ciang (pukulan panca bisa), yaitu mengandung lima jenis racun berasal dari ular, kalajengking, kelabang, laba-laba dan ulat emas.

   Keruan ia terperanjat melihat Thio Tay- tian kebal terhadap bau amis yang keluar dari pukulan berbisa jahat itu.

   Segera ia membentak.

   "Apakah kau pengemis tua ini yang memalsu sebagai utusan Cong-tongcu (pemimpin besar) suku Miau kami tadi?"

   Thio Tay-tian tidak lantas menjawab, ia tanggalkan buli-buli merah yang digendongnya itu dan diserahkan kepada Bu Hian-kam, katanya.

   "Kalian boleh minum arak di dalam buli-buli ini, habis minum kalian tentu akan segar kembali!"

   Setelah Bu Hian-kam berempat menyingkir ke samping untuk minum, kemudian Thio Tay-tian baru berpaling ke arah Bong Tek-ci sambil bergelak tertawa.

   "Apa yang kau tertawai?"

   Semprot Bong Tek-ci dengan gusar.

   "Kau jangan temberang, sekali pun kau dapat mengalahkan aku, tapi apa kau sanggup melayani anak buahku yang banyak ini? Hendaklah diketahui, anak panah mereka itu berbisa, asal masuk darah segera orang akan mampus. Puncak gunung ini adalah jalan buntu, kalau anak buahku menghujani kau dengan anak panah mereka, apa kau kira tiada satu pun yang akan mengenai kau?" ~ Tengah bicara, sementara itu laskar Miau itu pun sudah makin dekat.

   "Bong Ce-cu, sesungguhnya pengemis tua tidak bermaksud berkelahi dengan kau,"

   Kata Thio Tay-tian dengan tertawa.

   "Percaya atau tidak boleh terserah padamu, yang pasti aku sebenarnya bermaksud baik padamu. Namun, jika kau berkeras hendak memusuhi aku, biarpun aku nanti akan mati oleh panah berbisa anak buahmu, kau sendiri kiranya juga takkan lolos dari kedua tanganku ini!"

   Bong Tek-ci sudah merasakan lihainya Thio Tay-tian, ia tahu ucapan pengemis tua itu bukan cuma gertak sambal belaka.

   Kalau benar-benar harus berkelahi, sebelum pengemis tua itu mati kena panah beracun, mungkin aku sendiri sudah mati dulu oleh pukulannya.

   Karena pikiran itu, tanpa terasa Bong Tek-ci menjadi jeri, tapi ia masih belum mau tunduk begitu saja, jengeknya kemudian.

   "Hm, kau bilang bermaksud baik padaku, padahal kau telah memalsu sebagai utusan Cong- tongcu kami dan mengacau ke sini, bagaimana pula kau akan memberi alasan atas perbuatanmu ini?"

   "Aku mengaku sebagai utusan Cong-tongcu kalian, sebenarnya juga tidak palsu seluruhnya,"

   Jawab Thio Tay-tian dengan tertawa.

   "Aku adalah sahabat baik Cong-tongcu kalian, beliau sendiri mengizinkan aku bergerak bebas di daerah kalian, kalau kau tidak percaya, silakan periksa ini!"

   Habis berkata Thio Tay-tian lantas mengeluarkan sepotong bumbung bambu yang berukir macam-macam warna. Bong Tek-ci terkejut melihat benda itu, serunya.

   "Apa benar Cong-tongcu sendiri yang memberikan `Lik-giok-tik-hu kepadamu?"

   "Kalau bukan pemberian Cong-tongcu kalian, darimana aku mengetahui bergunanya benda ini di kalangan orang Miau kalian?"

   Ujar Thio Tay-tian.

   "Seumpama aku pandai mencuri tentu juga takkan mengincar sepotong bumbung bambu macam ini."

   Kiranya Lik-giok-tik-hu atau jimat bambu hijau kemala itu adalah benda tanda pengenal yang cuma dikeluarkan oleh Cong-tongcu saja, yaitu melulu diberikan kepada bangsa Han untuk digunakan bilamana perlu.

   Soalnya waktu itu antara bangsa Han dan suku Miau terjadi prasangka jelek, sebab pembesar bangsa Han yang berkuasa di wilayah suku Miau seringkali menjalankan politik penindasan secara kejam terhadap orang Miau sehingga bangsa minoritas itu sangat tertekan dan ketakutan, banyak yang menyingkir ke daerah pegunungan dan jauh dari keramaian.

   Pada umumnya orang Miau tidak tahu bahwa orang yang menindas mereka itu hanya terdiri dari segelintir bangsa Han yang berkuasa saja, maka timbullah permusuhan antar suku bangsa.

   Bilamana orang Han memasuki perkampungan Miau, sering kali terbunuh oleh orang Miau.

   Kegunaan "Lik-giok-tik-hu"

   Itu adalah untuk menyatakan bahwa orang Han yang membawa benda itu adalah sahabat orang Miau, adalah tamu sang Cong-tongcu.

   Orang Han yang memegang bumbung bambu hijau itu dapat bebas menjelajahi daerah kediaman orang Miau tanpa mendapat gangguan.

   Begitulah maka Thio Tay-tian lantas berkata pula.

   "Aku tahu Sin Cap-si- koh pernah mengobati penyakit kalian, tapi perempuan itu sesungguhnya bukanlah manusia baik, Cong-tongcu kuatir kalian tertipu olehnya, maka aku disuruh ke sini untuk menyelidiki permainan apa yang dia lakukan di tempat kalian. Dan dia memang sengaja mengacau, dia ternyata memperalat pengaruhmu untuk memusuhi kaum pendekar bangsa Han, terus terang kuberitahu padamu bahwa karena perbuatan perempuan jahanam itu, akibatnya kau akan susah sendiri."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Thio Tay-tian mengaku disuruh Cong-tongcu untuk menyelidiki perbuatan Sin Cap-si-koh, sebenarnya hal inipun tidak betul, cuma dia memegang Lik-giok-tik-hu, betapa pun Bong Tek-ci mau percaya juga kepadanya.

   Apalagi ilmu silat Thio Tay-tian jelas lebih unggul dari dia, kalau keras melawan keras juga takkan menguntungkan dia.

   Dalam pada itu laskar Miau sudah sampai di atas gunung dan telah mengepung rapat mereka dan siap dengan anak panahnya.

   "Tahan dulu!"

   Bong Tek-ci memberi aba-aba, lalu ia berpaling kepada Thio Tay-tian, katanya.

   "Baik, jika kau adalah tamu Cong-tongcu kami, sudah tentu kami takkan membikin susah kalian. Tapi Sin Cap-si-koh adalah penolong kami, aku pun tidak boleh mencelakai dia."

   "Aku takkan membikin susah padamu, asal kau tidak ikut campur urusan ini,"

   Kata Thio Tay-tian.

   "Tentang urusan kami dengan dia, biarlah kami bereskan sendiri."

   Maka Bong Tek-ci lantas berseru.

   "Sin Cap-si-koh, bukannya aku tidak mau membantu kau, soalnya aku tidak dapat memusuhi sahabat baik Cong- tongcu kami!"

   Habis ini ia lantas memberi isyarat agar laskarnya mundur ke bawah gunung, menyusul ia sendiri pun meninggalkan tempat itu.

   Sementara itu setelah minum arak obat pemberian Thio Tay-tian, tidak lama semangat Bu Hian-kam dan Ciau Siang-hoa sudah segar kembali, segera mereka memburu ke sana untuk membantu Ciok Leng mengerubut Sin Cap-si-koh.

   Nampak gabungan ketiga orang itu sudah berada di atas angin, Thio Tay- tian pikir dirinya tidak perlu ikut membantunya lagi, sebentar Han Tay-wi tentu juga akan muncul.

   Tolaos Dalam pada itu antara Han Tay-wi dan Beng Jit-nio telah dicapai saling pengertian sesudah jelas duduknya perkara.

   Segera mereka ambil keputusan akan mencari Sin Cap-si-koh untuk membikin perhitungan.

   Cepat mereka bertiga meninggalkan tempat itu.

   ETIBA di luar, mendadak mereka kepergok kedua anak menantu Bong Tek-ci yang sedang ronda, tapi sebelum kedua orang Miau itu sempat bertindak, lebih dulu mereka sudah ditotok roboh oleh Han Tay-wi.

   Melihat kecekatan Han Tay-wi, dengan girang Beng Jit-nio berkata.

   "Tay- wi, kiranya tenagamu sudah pulih?"

   "Sungguh di luar dugaan bahwa Thian-san-swat-lian pemberian pengemis tua itu mempunyai khasiat sehebat ini,"

   Ujar Han Tay-wi dengan tertawa.

   Tenaga Han Tay-wi ternyata sudah pulih enam-tujuh bagian, maka dengan cepat mereka memburu ke tempat yang dikatakan Thio Tay-tian itu.

   Keruan Sin Cap-si-koh sangat terkejut ketika mendadak nampak munculnya Han Tay-wi, namun begitu ia pun merasa masih ada harapan baik baginya, segera ia mendahului berseru.

   "Tay-wi, lekas engkau membantu aku!"

   "Bagus! Memangnya segera akan kubantu kau!"

   Jengek Han Tay-wi.

   Tapi mendadak Sin Cap-si-koh melihat sorot mata Han Tay-wi sangat beringas, ia terkejut.

   Waktu ia memandang pula ke sana, tampaklah Beng Jit-nio dan Kok Siau-hong juga menyusul muncul, segera ia tahu gelagat jelek.

   Tanpa pikir lagi cepat ia memutar ke sana, tongkat bambu terus menotok ke arah Ciau Siang-hoa, serangan ini sesungguhnya cuma pancingan belaka.

   Benar saja, kuatir puteranya terluka, cepat Ciok Leng memburu ke sana untuk menolong, kesempatan ini segera digunakan oleh Sin Cap-si-koh untuk menerjang keluar dari kepungan.

   Dalam pada itu Han Tay-wi sudah tiba.

   "Tay-wi, apakah kau sudah melupakan semua kebaikanku?"

   Seru Cap-si- koh.

   "Hm, kau masih berani bicara demikian?"

   Jengek Han Tay-wi.

   "Baiklah, biar kubalas kebaikanmu itu!"

   Dari jarak dua-tiga meter jauhnya segera ia melontarkan pukulan dahsyat. Seketika punggung Sin Cap-si-koh merasa sakit seperti kena ditonjok.

   Jilid 25 S Untung tenaga Han Tay-wi belum pulih seluruhnya, kalau tidak, pukulannya ini pasti akan membikin Sin Cap-si-koh terguling dan terluka parah. Tongkat Sin Cap-si-koh menutul tanah, laksana burung terbang saja ia terus melayang jauh ke sana.

   "Lari kemana!"

   Bentak Thio Tay-tian, ia pentang kedua tangannya terus menubruk maju. Namun Ginkang Sin Cap-si-koh teramat bagus, rintangan Thio Tay-tian itu ternyata tidak mampu menghalangi larinya.

   "Ah, kau pun datang, Kok-siauhiap!"

   Tiba-tiba Kiat-bwe berseru.

   "Han Lo- enghiong, yang memberi racun di dalam Pek-hoa-ciu yang kau minum dahulu itu ialah Sin Cap-si-koh, untuk itu aku berani menjadi saksi."

   "Aku sudah tahu hal itu!"

   Kata Han Tay-wi. Teringat kepada sakit hati baru dan dendam lama, seketika hati Han Tay-wi menjadi panas, segera ia mengejar ke arah Sin Cap-si-koh sambil berseru.

   "Kalian tidak usah ikut campur, biar aku sendiri membikin perhitungan dengan perempuan berbisa ini!"

   Tempat mereka berada sekarang adalah sebuah tebing yang terjal, menghadapi jalan buntu itu, terpaksa Sin Cap-si-koh menggunakan Ginkangnya yang tinggi untuk lari ke puncak yang lebih tinggi, walaupun tahu bahwa di sana juga buntu, tapi sedikitnya dapat mengulur waktu lebih lama.

   Tanpa pikir Han Tay-wi juga menguber terus sekuat tenaga, ketika mereka sampai di puncak gunung yang paling tinggi itu, Thio Tay-tian dan lain-lain sudah tertinggal di pinggang gunung.

   Mendadak Sin Cap-si-koh berpaling, katanya dengan rawan.

   "Tay-wi, memang betul akulah yang menaruh racun di dalam arak yang kau minum itu, tapi tujuanku ialah agar senantiasa dapat berdampingan dengan kau. Aku telah meracuni kau, tapi juga telah menyelamatkan jiwamu, apakah kau tetap tak dapat memaafkan kesalahanku?"

   "Cara bagaimana kematian istriku, coba katakan,"

   Dengus Han Tay-wi.

   "Hm, tanpa dosa istriku kau bunuh, betapa pun perbuatanmu ini harus kubereskan dengan kau."

   "Istrimu diracun oleh Beng Jit-nio, dia memfitnah aku, masakah kau hanya percaya pada omongannya?"

   "Kau masih berani menyangkal dan memfitnah orang lain?"

   Semprot Han Tay-wi dengan murka.

   "Memang, omongan siapa pun kupercaya, aku hanya tidak percaya kepada omonganmu!"

   Sin Cap-si-koh tahu sukar melarikan diri lagi, seketika ia menjadi nekat, katanya kemudian.

   "Tay-wi, kau terlalu mendesak aku, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau."

   Segera tongkatnya bergerak, satu serangan tiga tempat, sungguh suatu tipu serangan yang lihai dan sukar diraba pihak musuh. Melihat tipu serangan orang benar-benar sudah nekat dan mengajak mati bersama, Han Tay-wi menjengek.

   "Hm, jiwaku ini memangnya kutemukan kembali, kalau sekarang dipertaruhkan lagi dengan kau juga tidak menjadi soal!"

   Serentak timbul napsu membunuh Han Tay-wi.

   "creng", dengan jari ia selentik ujung tongkat lawan hingga tongkat itu terpental melenceng ke samping, menyusul ia terus menubruk maju, telapak tangan kiri segera menabok batok kepala Sin Cap-si-koh. Tangan Sin Cap-si-koh yang memegang tongkat kesemutan oleh tenaga selentikan Han Tay-wi, cepat pula ia melompat mundur sehingga tepat menghindarkan serangan Han Tay-wi.

   "Ha, ha, ha, Tay-wi, kita sudah tergolong orang tua, tapi perangaimu ternyata masih begini berangasan, sungguh menertawakan,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Coba kau pikir lagi, apa gunanya kau mengadu jiwa dengan aku, padahal kau mempunyai anak perempuan, mempunyai menantu kesayangan, sebaliknya aku tidak punya apa-apa, hanya sendirian."

   "Biarpun kau putar lidah sampai keseleo lidahmu juga aku tidak dapat mengampuni kau,"

   Kata Han Tay-wi. Beruntun Sin Cap-si-koh menghindarkan dua-tiga kali serangan dahsyat, katanya pula kemudian.

   "Tay-wi, engkau adalah ahli ilmu silat, kau tentu tahu bahwa untuk membunuh diriku kiranya juga tidak mudah bagimu. Meski ilmu silatmu sudah pulih, tapi tenagamu belum cukup. Dalam beberapa ratus jurus kau pasti belum mampu membunuh aku, sebaliknya kau sendiri tentu juga payah. Apakah benar kau ingin gugur bersama aku?"

   "Benar, aku justru ingin mati bersama kau!"

   Seru Tay-wi.

   "Baik juga, kita tidak dapat dilahirkan pada waktu yang sama, biarlah kita mati pada saat sama saja, begini pun boleh!"

   Kata Sin Cap-si-koh dengan tersenyum pedih. Dalam hati sebenarnya ia merasa ngeri, ia sadar Han Tay- wi tidak dapat mengampuni dia, tapi dia belum putus asa dan masih berusaha memikatnya dengan cinta. Tapi Han Tay-wi malah mencemoohkannya.

   "Hm, hakikatnya aku tidak pernah menyukai kau, kau bicara begitu padaku, barangkali kau sudah buta!"

   Wajah Sin Cap-si-koh menjadi pucat seperti kertas, katanya dengan suara gemetar.

   "Bagus, Han Tay-wi! Kiranya begini kau benci padaku! Hari ini kalau kau tidak membunuh aku, juga aku akan membunuh kau!"

   Sembari bicara, kembali Sin Cap-si-koh melompat mundur dan mundur lagi, Han Tay-wi dipancingnya sampai di atas tebing yang curam. Habis itu barulah dia menjengek lagi.

   "Han Tay-wi, lihatlah sekarang, di sinilah tempat tamatnya riwayat kita!"

   Baru sekarang Han Tay-wi menyadari keadaan yang berbahaya itu, kini dirinya sudah berada di atas tebing yang curam, di bawah adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya.

   Pertarungan di tempat berbahaya itu akan lebih menguntungkan Sin Cap-si-koh karena gerak tubuhnya yang lebih lincah.

   Betapa pun gemasnya terpaksa Han Tay-wi harus menghadapi lawan dengan sabar.

   Begitulah pertarungan maut kini mulai berlangsung, dengan gerakan yang gesit Sin Cap-si-koh melancarkan serangan dengan tongkat.

   Namun dengan tenang Han Tay-wi berdiri dengan kuat di tempatnya, kedua tangan menghantam ke depan, tenaga pukulannya mendampar laksana ombak samudera yang gulung gemulung.

   Thio Tay-tian dan lain-lain telah menyusul sampai di bawah tebing curam itu, mereka pun mengeluh melihat suasana bahaya itu.

   Tebing securam itu hanya Thio Tay-tian saja yang mampu memanjat ke atas, tapi seumpama ikut naik ke sana, tempat sesempit itu juga tidak mengizinkan dia ikut turun tangan.

   Apalagi setiba di atas sana mungkin mati-hidup kedua orang yang bertarung itupun sudah terputuskan.

   Diam-diam Thio Tay-tian merasa heran mengapa Han Tay-wi dapat terpancing oleh tipu muslihat perempuan kejam itu ke atas tebing berbahaya itu.

   Selagi pertarungan sengit berlangsung dan menggetar sukma setiap orang yang menyaksikannya, tiba-tiba terdengar suara tiupan gagang gelagah, pada puncak seberang sana mendadak muncul sepasukan perempuan Miau.

   Pemimpinnya adalah Bong Say-hoa yang dipanggil Sam-kongcu itu.

   Tebing dimana menjadi medan pertarungan Sin Cap-si-koh dan Han Tay-wi itu adalah batu padas yang mencuat keluar dari puncak gunung sebelah sini, sedangkan puncak gunung di seberang itu berjarak beberapa puluh meter jauhnya.

   Segera Bong Say-ha berteriak.

   "Jangan kuatir, Kokoh, biar kubidik dia dengan panah berbisa, cuma Kokoh harus berhati-hati!"

   Sin Cap-si-koh sangat girang, katanya.

   "Baik, tidak perlu kuatir bagiku, kalian boleh hamburkan anak panah sebanyak-banyaknya!"

   Bong Say-eng tahu Ginkang Sin Cap-si-koh sangat tinggi dan mahir pula mengobati racun, maka resikonya terbinasa oleh anak panah berbisa tentu jauh lebih kecil dibanding Han Tay-wi.

   Apalagi laskar wanita Miau yang dia pimpin itu adalah ahli panah, bidikan mereka cukup jitu, maka tanpa ragu- ragu lagi segera Bong Say-hoa memberi aba-aba, serentak berpuluh anak panah menyambar ke arah Han Tay-wi.

   Terpaksa Han Tay-wi menanggalkan baju luar dan diputar dengan cepat untuk menyampuk hujan panah itu.

   Lantaran pembagian perhatiannya itu, peluang itu segera digunakan Sin Cap-si-koh untuk melancarkan serangan.

   "Nona Bong, ayahmu sudah pulang, masakah dia tidak memberitahu padamu bahwa aku adalah sahabat baik Cong-tongcu kalian? Kalau kau tidak percaya, silakan periksa Lik-giok-tik-hu ini! Berhenti memanah dulu, biar kuperlihatkan padamu!"

   Demikian Thio Tay-tian berseru. Namun Bong Say-hoa telah menjengeknya.

   "Hm, kau pendusta, jangan kau harap dapat menipu aku lagi! Hm, biarpun kau memegang Lik-giok-tik- hu juga aku tidak peduli!"

   "Benar Say-hoa!"

   Tukas Sin Cap-si-koh.

   "Asal kau membantu kesukaranku ini, nanti aku pun akan bantu tercapainya harapanmu!"

   Kiranya secara diam-diam Bong Say-hoa mencintai Sin Liong-sing, tapi nona Miau itu tidak tahu kalau setengah tahun yang baru lalu Sin Liong-sing sudah kawin dengan Hi Giok-kun.

   Sudah tentu Sin Cap-si-koh sengaja merahasiakan hal ini agar keponakannya itu tetap dapat dipakai sebagai umpan untuk memancing bantuan Bong Say-hoa.

   Begitulah hujan panah masih terus berlangsung, sedangkan Sin Cap-si- koh juga sangat licin, ia selalu memaksa Han Tay-wi membelakangi puncak seberang sana sehingga kesempatan terkena anak panah menjadi lebih besar.

   Tidak lama kemudian, benar saja punggung Han Tay-wi terkena sebatang panah.

   Dengan mata merah berapi Han Tay-wi menjadi murka dan membentak.

   "Jangan kau gembira dulu, biarpun aku tak dapat hidup, betapa pun kau harus mati lebih dulu daripadaku!"

   Tergetar hati Sin Cap-si-koh oleh sikap Han Tay-wi yang penuh dengan dendam kesumat, tanpa terasa permainan tongkatnya menjadi rada kendur dan kacau.

   Di tengah suara bentakan itu segera Han Tay-wi mencengkeram, dengan tepat ujung tongkat bambu Sin Cap-si-koh itu kena terpegang, dengan kepandaian menyalurkan tenaga melalui benda, segera ia kerahkan segenap tenaga dalam ke batang tongkat untuk menggempur musuh.

   Pertarungan maut di atas tebing yang menggetar sukma ini membikin Thio Tay-tian dan lain-lain yang menyaksikan di bawah merasa ngeri, hampir mereka tidak berani mengikuti adegan yang menakutkan itu.

   Jelas Sin Cap-si-koh tidak mampu menahan tenaga dalam Han Tay-wi dan dia pasti akan binasa, sebaliknya Han Tay-wi sendiri juga sukar terhindar dari panah berbisa yang masih berhamburan ke arahnya itu.

   Thio Tay-tian dan lain-lain mengira mereka pasti akan gugur bersama.

   Han Tay-wi sendiri juga tidak pernah berharap akan hidup, yang dia inginkan adalah sebelum dirinya mati kena panah berbisa, lebih dulu Sin Cap-si-koh harus dibinasakan.

   Tak terduga pada saat yang menentukan itulah, sekonyong-konyong dari bagian puncak tebing curam itu melayang turun seorang berbaju hijau laksana burung.

   Lengan baju orang itu sangat lebar, sambil melayang dari atas kedua lengan bajunya terus dikebaskan sehingga semua anak panah yang berhamburan dari puncak gunung di seberang kena disampuk jatuh, tiada satu pun yang mengenai sasarannya.

   Setelah orang itu tancapkan kakinya di atas tebing, dia tidak lantas membantu salah satu pihak, ia berdiri di tengah, jarinya menyelentik sehingga tongkat Sin Cap-si-koh terjentik pergi.

   Sebaliknya selentikan itupun mematahkan segenap tenaga dalam Han Tay-wi yang dikerahkan.

   Sebenarnya Sin Cap-si-koh sedang tertekan oleh tenaga Han Tay-wi hingga hampir tak dapat bernapas, tapi mendadak dadanya terasa lega, baru sekarang ia dapat mengangkat kepala memandang ke depan.

   Han Tay-wi juga tergetar ketika mendadak tenaganya punah oleh selentikan jari pendatang itu.

   Ia heran siapakah gerangan yang memiliki kekuatan sehebat ini? Ketika ia memandang sebagaimana Sin Cap-si-koh, serentak kedua orang itu terkejut, sungguh tak terduga bahwa juru pisah ini adalah gembong iblis paling terkenal di kalangan Sia-pay, yaitu Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun.

   Meksipun Han Tay-wi kenal Kiong Cau-bun, tapi selamanya tidak ada hubungan apa-apa.

   Sin Cap-si-koh lebih sering bertemu dengan tokoh Sia- pay itu, tapi juga tiada persahabatan, maka mereka menjadi ragu akan maksud kedatangan orang.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Thio Tay-tian juga terkejut ketika mendadak nampak Ong-hong-tocu muncul di situ, cepat ia membentak.

   "Oh-hong-tocu, jangan kau menyerang orang yang sedang tak berdaya!"

   Karena tidak tahu maksud tujuan kedatangan Kiong Cau-bun, disangkanya gembong Sia-pay itu tentu akan membantu pihak Sin Cap-si-koh. Maka terdengar Oh-hong-tocu berkata dengan dingin.

   "Aku tidak ingin membantu pihak mana pun, kalian tidak perlu sangsi, aku justru datang buat menjadi pendamai!"

   Han Tay-wi mendengus, katanya.

   "Dendam kesumatku kepada perempuan berbisa ini betapa pun tak dapat didamaikan!"

   Tapi Sin Cap-si-koh lantas berkata.

   "Oh-hong-tocu, cara bagaimana kiranya engkau hendak memberi jasa baikmu?"

   "Kau perintahkan dulu agar mereka jangan memanah lagi,"

   Kata Oh- hong-tocu, sesudah hal itu dilaksanakan Cap-si-koh, lalu ia mengeluarkan sebuah botol perselen kecil dan berkata kepada Han Tay-wi.

   "Han-heng, ini adalah salep penawar racun buatanku sendiri, boleh kau mengobati dulu luka panah itu."

   Mestinya Han Tay-wi tidak sudi menerima kebaikan iblis itu, tapi mengingat racun panah suku Miau teramat lihai, kalau terlambat diobati mungkin jiwa sendiri akan melayang, padahal untuk membinasakan Sin Cap-si-koh sekarang tampaknya sukar terlaksana.

   Terpaksa ia menerima jasa baik Oh-hong-tocu itu, ia terima botol porselen itu, begitu ia mengerahkan tenaga dalam, seketika panah yang menancap di punggungnya itu mencelat keluar, menyusul darah matang biru terus menyembur dari lukanya, setelah warna darah sudah berubah merah biasa barulah dia mencolek sedikit salep dari botol porselen itu dan dibubuhkan pada lukanya.

   Terkesiap juga Oh-hong-tocu menyaksikan kelihaian Han Tay-wi itu, padahal orang masih belum pulih seluruh tenaganya, apalagi dalam keadaan terluka, tapi ternyata memiliki kekuatan begitu hebat.

   Jika dalam keadaan biasa tentu akan lebih lihai lagi.

   Begitulah diam-diam Oh-hong-tocu menjadi was-was, ia pikir kalau orang she Han itu tidak dibunuh, kelak pasti akan menjadi lawan kuat bagiku untuk menjagoi dunia persilatan.

   Cuma saatnya belum tiba untuk membunuhnya, sekarang justru perlu menolong jiwanya lebih dulu.

   Setelah membubuhi obat pada lukanya, lalu Han Tay-wi berkata.

   "Aku terima kebaikanmu ini, seharusnya aku menurut akan maksudmu, namun dendam kesumatku kepada perempuan berbisa ini tak mungkin didamaikan lagi, biar aku membinasakan dia, habis itu aku akan membunuh diri untuk membalas budimu."

   "Orang mati tak dapat dihidupkan kembali,"

   Kata Ong-hong-tocu.

   "andaikan sekarang kau berhasil membunuh Sin Cap-si-koh, tapi apa gunanya bagi istrimu yang sudah meninggal itu? Apalagi dia dan kau sedikitnya pernah bergaul dengan erat selama duapuluh tahun."

   "Memangnya istriku harus dicelakai olehnya dengan penasaran begitu saja?"

   Kata Han Tay-wi.

   "Cinta yang mendalam juga menimbulkan dendam yang mendalam,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Seumpama benar istrimu dicelakai oleh dia, kukira kesalahan ini dapat pula dimaafkan, Han-heng. Apa faedahnya kalian mempertaruhkan jiwa pula bagi yang sudah meninggal? Sebenarnya aku tidak bersangkut-paut dengan permusuhan kalian, sebabnya aku ingin ikut campur sebagai pendamai adalah mengingat kalian sama-sama sebagai guru besar ilmu persilatan, jika kalian akhirnya hancur bersama, hal ini berarti suatu kehilangan besar bagi dunia persilatan. Karena itu, menuruti watakku, sekali aku ikut campur urusan kalian, tetap aku ikut campur sampai detik terakhir."

   "Habis bagaimana saranmu?"

   Kata Sin Cap-si-koh.

   "Saranku tentu akan dapat diterima oleh kalian berdua pihak,"

   Kata Oh- hong-tocu.

   "Cuma, bagimu, Sin Cap-si-koh, kau harus menerima resikonya, silakan kau memunahkan ilmu silatmu sendiri."

   "Apa? Memunahkan ilmu silatku sendiri?"

   Tukas Sin Cap-si-koh terkejut. Tanpa terasa bulu romanya berdiri. Pikirnya diam-diam.

   "Orang ini benar- benar ganas dan keji sebagaimana namanya sudah terkenal di dunia persilatan. Tapi kalau mengikuti nada ucapannya, agaknya dia ingin memperalat diriku dan pasti takkan membiarkan diriku terbunuh oleh Han Tay-wi. Sudah tentu dia menghendaki aku memunahkan ilmu silatku, maksudnya agar selanjutnya aku tak mampu lolos dari cengkeramannya dan terpaksa mandah diperalat olehnya. Bagiku rasanya memang tiada pilihan lain. Tapi, hm, masakah aku sudi diperbuat sesukamu? Asal jiwaku masih selamat, betapa pun aku masih tetap dapat mencari jalan lagi."

   Han Tay-wi sendiri sebenarnya tidak gentar terhadap Ong-hong-tocu, tapi hatinya benar-benar tergetar oleh kata-kata Oh-hong-tocu tadi.

   Orang mati memang tidak dapat dihidupkan kembali, jika ilmu silat perempuan siluman ini dapat dimusnahkan dan selanjutnya tidak bisa mencelakai orang lagi, betapa pun rasanya dapat dipertanggung jawabkan kepada ibu Pwe-eng di alam baka.

   Karena pikiran ini, maka dia hanya diam saja sebagai tanda setuju.

   Setelah mengambil keputusan tadi, Sin Cap-si-koh juga lantas nekat menerima gagasan Oh-hong-tocu itu, katanya kemudian dengan menyeringai.

   "Baiklah, akan kulaksanakan usulmu itu, Tay-wi, biarlah kau senang!"

   Di tengah suara ucapannya yang rawan itu, menyusul terdengarlah suara pletak-pletok seperti suara retakan kacang digoreng.

   Wajah Sin Cap-si-koh tampak berubah pucat, keringat pun bercucuran, rasa deritanya sungguh sukar dilukiskan.

   Kiranya Sin Cap-si-koh sedang membuyarkan tenaga dalam sendiri sehingga ruas tulang seluruh tubuhnya seakan-akan retak semua dan menimbulkan suara.

   Walaupun tidak kepalang bencinya, melihat penderitaan hebat itu, Han Tay-wi menjadi tidak tega menyaksikannya dan cepat ia berpaling ke arah lain.

   Sejenak kemudian Oh-hong-tocu berkata pula.

   "Nah, juru damai yang kulakukan ini boleh dikata sudah berhasil. Han-heng, sekarang kau tentu sudah puas bukan?"

   Han Tay-wi tahu setelah tenaga dalam musnah, kini keadaan Sin Cap-si- koh tidak lebih hanya seperti wanita tua biasa saja, diam-diam ia menjadi terharu, katanya sambil mengebaskan tangan.

   "Yu-ih, semua ini adalah hasil perbuatanmu sendiri. Diharap selanjutnya kau dapat menjadi manusia yang baik dan sekarang bolehlah kau pergi saja."

   "Baik, setelah permusuhan kalian sudah diselesaikan, aku pun akan pergi,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Cuma sebelum aku berangkat aku ingin bicara dulu dengan Kok-siauhiap ini."

   "Kiong Lo-cianpwe ingin memberi petunjuk apa?"

   Kata Kok Siau-hong sambil mendekatinya.

   "Kabarnya Kok-siauhiap kenal anak perempuanku si Kim-hun, apa kau tahu sekarang dia berada dimana?"

   Tanya Oh-hong-tocu.

   "Benar, kira-kira setahun yang lalu pernah aku bertemu dengan puterimu di Lok-yang, tapi sejak terpencar di medan pertempuran Jing-liong-kau, sampai kini Wanpwe tidak tahu dimana dia berada?"

   "Jika begitu, dimana Kong-sun Bok, tentu kau tahu bukan?"

   Tanya Oh- hong-tocu pula. Kok Siau-hong pernah mendengar dari Kong-sun Bok bahwa Oh-hong- tocu pernah hendak mencelakainya, maka ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Oh-hong-tocu seperti tahu isi hati pemuda itu, katanya pula dengan menghela napas.

   "Biarlah kukatakan terus terang kepada Kok-siauhiap saja, sesungguhnya sejak kecil puteriku sudah dijodohkan kepada Kong-sun Bok, apa kau kira aku tega mencelakai bakal menantu sendiri dan membikin susah hidup anak perempuanku?"

   Melihat ucapan orang cukup tulus, Kok Siau-hong merasa pantas kalau mempertemukan bakal menantu dengan calon mertuanya ini, maka tuturnya kemudian.

   "Setahuku, saat ini Kong-sun Bok sedang mendatangi Hong-ho- ngo-pa untuk mengobati penyakit mereka."

   "Baiklah, biar sekarang juga aku lantas menyusul ke sana, terima kasih atas keteranganmu,"

   Kata Oh-hong-tocu. Lalu ia berpaling kepada Sin Cap-si-koh dan berkata pula.

   "Nah, ulurkan tongkatmu, ikutlah padaku!"

   Ilmu silat Sin Cap-si-koh sudah punah, kalau tidak dibantu orang terang dia tidak mampu turun dari pegunungan terjal itu.

   Walaupun merasa enggan, terpaksa juga ia menjulurkan ujung tongkatnya kepada Oh-hong- tocu agar dirinya dapat dituntun turun ke bawah gunung.

   Melihat iblis perempuan itu mau tunduk dan ikut pergi bersama Oh- hong-tocu, betapa pun Beng Jit-nio, Thio Tay-tian dan lain-lain menjadi terharu juga.

   Setiba di bawah gunung, segera Sin Cap-si-koh mengucapkan terima kasih dan ingin mohon diri buat berpisah.

   Namun Oh-hong-tocu lantas bersuit, tiba-tiba sebuah kereta keledai muncul dari balik pepohonan sana, kusirnya seorang lelaki kekar beralis tebal dan bermata besar, selain itu di atas kereta terdapat pula seorang perempuan setengah umur dengan dandanan sebagai babu.

   Begitu kereta itu berhenti, segera wanita itu turun dan memberi hormat kepada Sin Cap-si-koh sambil berkata.

   "Atas perintah To-cu, hamba sudah lama menunggu di sini akan kedatangan tamu agung kita!"

   Dengan perlahan Oh-hong-tocu juga lantas berkata kepada Sin Cap-si- koh.

   "Nah, silakan naik ke atas kereta, maafkan aku tidak mengiringi kau lagi!"

   Baru sekarang Cap-si-koh terkejut, ia menegas.

   "Apa artinya ini?"

   "Ha, ha, ha! Masakah belum tahu,"

   Seru Oh-hong-tocu dengan tertawa.

   "Mereka suami-istri adalah pengurus rumah tanggaku, aku sengaja menyuruh mereka mengantar kau pulang ke Oh-hong-to."

   "Rumahku di Yu-hong-li, aku sendiri dapat pulang ke sana, maka tidak berani aku mengganggu ke Oh-hong-to,"

   Kata Cap-si-koh "Ai, kenapa kau menolak, aku justru berpikir untuk kepentinganmu.

   Kini ilmu silatmu sudah punah, bila bertemu musuh tentu kau bisa celaka dan bukankah sia-sia maksudku menyelamatkan jiwamu dari tangan Han Tay-wi? Jika kau bertamu ke Oh-hong-to, tentu kau akan dilayani dengan baik dan kau pun takkan mengalami kesukaran."

   Sin Cap-si-koh tahu setiba di Oh-hong-to berarti dirinya menjadi tawanan orang, tapi apa daya, dirinya sekarang sudah berada di bawah cengkeramannya, terpaksa menurut saja dan mencari jalan lain lagi kelak bilamana tenaga sendiri sudah dapat dipulihkan beberapa bagian.

   Oh-hong-tocu seperti tahu jalan pikirannya, dengan tertawa katanya pula.

   "Untuk memulihkan tenagamu semula mungkin diperlukan sepuluh tahun lagi. Tapi aku dapat menolong kau, asal aku mencarikan sebuah Ho-siu-oh (tumbuh-tumbuhan sebangsa Kolesom) yang berumur seribu tahun, maka dalam tiga tahun saja sudah cukup bagimu untuk memulihkan tenagamu."

   "Aku pernah berbuat baik apa padamu, kenapa kau mau membantu aku?"

   Jengek Sin Cap-si-koh.

   "Ha, ha, ha, pertanyaan yang bagus!"

   Seru Oh-hong-tocu tertawa.

   "Kita boleh dikata sama-sama tahu. Memang, dagang yang merugikan terang aku tidak mau, soalnya aku tahu ilmu kepandaianmu dalam hal penggunaan racun boleh dikata nomor satu di dunia ini, maka nanti kau dapat hidup tenang di pulauku itu untuk menulis buku. Asal kau tidak membohongi aku dengan tulisan palsu, dengan sendirinya aku pun akan berusaha sepenuh tenaga untuk memulihkan kekuatanmu. Selain itu, terus terang kukatakan, sebelum aku pulang, sebaiknya kau jangan berusaha melarikan diri. Rasanya kau toh takkan sanggup meracuni semua orang-orangku di sana, andaikan mereka dapat kau binasakan semua dengan racunmu, kau sendiri juga akan terkurung di atas pulau yang terpencil dan tidak mungkin mampu melarikan diri."

   Lalu ia berpaling kepada wanita yang berdandan sebagai babu itu.

   "Thio-toasoh, boleh kau membawa dia ke atas kereta untuk mengganti pakaian, geledah semua barang di dalam bajunya dan dimusnahkan, dengan begitu kau dapat melayani dia dengan tenang dan aman."

   "Begitu rapi kau telah mengatur rencanamu, memangnya kau masih kuatir aku akan lolos?"

   Ujar Sin Cap-si-koh dengan menyeringai. Dalam hati tidak kepalang gemasnya terhadap Oh-hong-tocu. Tapi apa daya, terpaksa ia menerima semua perlakuan itu. Oh-hong-tocu tampak sangat senang, katanya pula.

   "Sin Yu-ih, bicara tentang mengatur tipu muslihat, aku mengaku bukan tandinganmu, soalnya kau sedang bernasib jelek. Ha, ha, ha!"

   Di tengah gelak tertawanya itu dia lantas melangkah pergi.

   Menurut rancangannya, bila Kong-sun Bok telah ditemukan, dengan cara halus dan keras bocah itu tentu sukar lolos dari cengkeramannya.

   Dengan begitu kitab pusaka ilmu racun keluarga Siang akan jatuh ke tangannya, ditambah lagi seorang ahli racun terkemuka seperti Sin Cap-si-koh yang dapat dikemudikan, maka kedua macam ilmu racun keluarga Siang yang hebat itu pasti akan berhasil dilatihnya.

   Dan kalau semuanya itu sudah jadi, jangankan Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau, sekali pun tokoh silat tertinggi di dunia ini juga takkan ditakuti lagi! Kembali bercerita mengenai Kong-sun Bok yang menuju ke utara sendirian.

   Suatu hari sampailah dia di kota Uh-seng, suatu kota di tepi sungai Kuning.

   Dari kota itu ke tempat Hay-soa-pang pimpinan Hong-ho-ngo-pa hanya makan tempo setengah hari saja.

   Uh-seng itu hanya kota kecil, tapi ada sebuah restoran "Gi-ciau-lau"

   Yang sangat terkenal baik kelezatan masakannya maupun araknya.

   Setiba di kota kecil ini, sudah tentu Kong-sun Bok ingin mendatangi lagi restoran yang dahulu sudah pernah dimasukinya itu.

   Di restoran inilah untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Kiong Kim-hun, kini dia datang lagi ke restoran ini, namun si nona kini entah berada dimana? Juga di restoran inilah dia mengikat permusuhan dengan anak murid Sebun Bok-ya, sekarang dia hendak mendatangi Hay-soa-pang untuk mengobati Hong-ho-ngo-pa, sebab-musababnya juga lantaran makan minum di restoran inilah dahulu.

   Restoran ini mempunyai kisah suka duka baginya.

   Di restoran ini dia mendapatkan banyak kesulitan, tapi juga di restoran ini dia mendapat seorang kekasih cantik.

   Mengenangkan peristiwa dahulu itu, tanpa terasa Kong-sun Bok telah menghabiskan sepoci besar arak.

   Sekonyong-konyong ia merasa perut rada sakit, seketika Kong-sun Bok tersadar, katanya dalam hati.

   "He, tidak beres ini. Meski aku tidak bisa minum banyak-banyak, tapi selamanya tidak pernah sakit perut lantaran minum arak. Wah, celaka, di dalam arak ini tentu ada racunnya!"

   Untuk menjaga segala kemungkinan, diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam untuk membendung meresapnya racun. Dalam pada itu pelayan telah mendekati dia dan bertanya.

   "Tuan tamu sungguh suka minum, apakah arak perlu ditambah?"

   "Arakmu ini arak apa? Sungguh murni dan sedap!"

   Sahut Kong-sun Bok dengan suara yang dibikin seperti orang mabuk.

   "Ha, ha, ha, menghadapi arak enak harus minum sepuasnya. Hayolah berikan satu poci lagi, cepat!"

   Makin bicara, akhirnya suaranya menjadi samar-samar dan mendadak dua orang lelaki berlari keluar dari dalam sambil bergelak tertawa. Ternyata mereka adalah anak murid Sebun Bok-ya, yang satu Pok Yang-kian dan yang lain The Yu-po.

   "Ha, ha, ha! Jalan ke surga kau tidak mau, neraka tanpa pintu justru kau masuki, hari ini kau pasti tak bisa lolos dari tanganku!"

   Demikian Pok Yang- kian tertawa senang.

   Ilmu racun Hoa-hiat-to yang dipelajari Pok Yang-kian dahulu telah dimusnahkan oleh Kong-sun Bok di restoran ini juga, ilmu itu sampai sekarang belum berhasil dipulihkan kembali, tentu saja benci Pok Yang-kian kepada Kong-sun Bok, boleh dikata meresap sampai tulang sumsum.

   "Toa-suheng, Suhu menghendaki bocah ini ditawan hidup-hidup,"

   Demikian kata The Yu-po kemudian.

   "Aku tahu,"

   Kata Pok Yang-kian.

   "Tapi aku harus menghajar adat dulu padanya. Akan kuremukkan tulang pundaknya untuk memusnahkan ilmu silatnya. He, he, dia pernah menghancurkan Hoa-hiat-to ku, kini aku balas memusnahkan ilmu silatnya, ini namanya ada ubi ada talas, kalau diberi harus membalas!"

   Pok Yang-kian mengira Kong-sun Bok sudah keracunan dan tak sadar, maka tanpa sangsi ia lantas mendekatinya, ia berjongkok terus hendak meremas tulang pundak pemuda itu. Di luar dugaan, mendadak Kong-sun Bok melompat bangun.

   "Hm, hanya arak begini saja masakah mampu mencelakai aku?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jengeknya kemudian.

   Ketika ia acungkan jari tengah, serentak seutas pancuran air menyemprot ke depan.

   Kiranya Kong-sun Bok cuma pura-pura jatuh pingsan, tapi diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak arak berbisa itu mengumpul di jari tengahnya.

   Karena tidak terduga, seketika muka Pok Yang-kian tersemprot oleh arak berbisa itu, keruan kedua matanya seketika tidak dapat melek.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali Kong-sun Bok terus menghantam pula.

   "blang", kontan Pok Yang-kian terjungkal. Sungguh kejut The Yu-po tak terhingga, dengan gugup ia lolos golok untuk merintangi Kong-sun Bok.

   


Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Imbauan Pendekar -- Khu Lung

Cari Blog Ini