Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 25


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 25



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Bukankah kau menyetujui pertarungan ini dihentikan? Kenapa kau tarik kembali pernyataanmu, Kongsun-siauhiap?"

   Kata Wan-yan Ho dengan kuatir. Cepat Han Hi-sun juga menambah.

   "Ya, ucapanmu tentunya dapat dipercaya, Kongsun-siauhiap?"

   "Apa yang sudah kuucapkan sudah tentu kupegang teguh,"

   Jawab Kong- sun Bok.

   "Tapi barangku yang hilang harus kuminta kembali. Ini kan sudah kukatakan sejak mula tadi. Asal payungku kau serahkan kembali dan segera kulepaskan kau."

   "Tapi engkau melihat sendiri, payungmu kan tidak kubawa ke sini,"

   Ujar Wan-yan Ho dengan memelas.

   "Aku tidak pusing,"

   Jawab Kong-sun Bok tegas.

   "Pendek kata, selama payungku belum kembali, selama itu pula kau harus tinggal di sini."

   Keruan Wan-yan Ho mati kutu, begitu pula Han Hi-sun merasa serba susah.

   "Coba akan kuusahakan,"

   Ujar Han Hi-sun, lalu ia melangkah keluar.

   Tidak lama kemudian ia masuk lagi bersama Sebun Cu-sik.

   Pada tangan Sebun Cu-sik ternyata memegangi Hian-tiat-po-san milik Kong-sun Bok itu.

   Kiranya setelah Sebun Cu-sik kecundang di hotel itu dan pulang ke Siang- hu, kemudian diketahuinya Su Hong telah memimpin pasukan ke tempat Bun Yat-hoan.

   Ia menduga Bun Yat-hoan pasti juga berada di sana, maka dengan penasaran ia lantas menyusul dengan membawa Hian-tiat-po-san, maksudnya akan membantu Wan-yan Ho bilamana perlu.

   Ia menduga Bun Yat-hoan, Kong-sun Bok dan lain-lain pasti takkan mampu melawan jumlah musuh yang lebih banyak.

   Tak tersangka Wan-yan Ho sendiri malah tertawan oleh Kong-sun Bok dan dijadikan sandera dan dia sendiri kebetulan mengantarkan payung pusaka yang diharapkan Kong-sun Bok itu.

   "Nah, Kongsun-siauhiap, sesudah payungmu kau terima kembali, sekarang dapat lepaskan aku bukan?"

   Kata Wan-yan Ho. Baru Kong-sun Bok bermaksud membebaskan tawanannya, tiba-tiba Pek Tik berkata.

   "Nanti dulu!"

   Han Hi-sun terkejut, katanya.

   "Bukankah kita sudah setuju, mengapa engkau mencari perkara lagi, Pek-losu?"

   "Betapa pun aku tidak mempercayai kalian,"

   Kata Pek Tik.

   "Maka, maaf, aku perlu diantar Wan-yan Ho untuk suatu jarak tertentu. Bila kalian kuatir boleh juga kalian ikut dari belakang."

   "Tapi kalian sendiri juga belum tentu dapat dipercaya, bukan mustahil hanya tipu muslihat belaka?"

   Ujar Wan-yan Ho. Bun Yat-hoan menjadi gusar, katanya.

   "Hm, memangnya kau anggap kami ini seperti orang Kim kalian yang tidak dapat pegang janji dan tak dapat dipercaya? Setiba di kaki gunung tentu akan kami bebaskan kau!"

   Terpaksa Han Hi-sun ikut berkata.

   "Harap Wanyan-kongcu jangan kuatir, Bun-tayhiap adalah Bu-lim-beng-cu wilayah Kang-lam, apa yang dia katakan tentu akan ditepatinya."

   Begitulah Han Hi-sun lantas menyuruh anak buahnya tinggal di tempat, dia sendiri mengiringi Wan-yan Ho "mengantar"

   Bun Yat-hoan dan lain-lain turun ke bawah gunung. Dan Bun Yat-hoan lantas menyerahkan Wan-yan Ho kepadanya dan berkata.

   "Han-kongcu, harap kau menyampaikan pesanku ini kepada ayahmu, katakan gerakan laskar rakyat tidak dapat ditumpas, perjuangan kami lebih mengutamakan kepentingan negara dan bangsa, maka tidak ingin bermusuhan dengan dia. Tapi bila kami terlalu didesak, pada akhirnya kami pasti takkan segan-segan bertindak padanya."

   Sudah tentu Han Hi-sun tidak berani banyak omong lagi, bersama Wan- yan Ho mereka mengiakan saja dan cepat melangkah pergi.

   Seperginya musuh, kemudian Bun Yat-hoan menyatakan kepada Kong- sun Bok akan maksudnya berkeliling ke daerah Kang-lam untuk menghubungi berbagai laskar rakyat di daerah itu sehingga dalam waktu singkat jelas tidak dapat berkunjung ke Kim-keh-nia, maka tentang perubahan politik pemerintah Song itu diharapkan Kong-sun Bok saja yang menyampaikannya kepada Hong-lay-mo-li.

   Pek Tik juga memberi pesan agar pemuda itu berhati-hati dan waspada mengingat musuhnya kini telah bertambah banyak.

   Kong-sun Bok mengiakan dan mengucapkan terima kasih atas pesan kedua orang tua itu.

   Tapi di dalam hati ia justru berharap di tengah perjalanan nanti dapat kepergok Wan-yan Ho lagi agar dapat memberi hajar adat lebih setimpal pada pangeran Kim itu, ia merasa kejadian tadi terlalu murah baginya.

   Tak terduga, setelah dia menyeberangi Tiang-kang dan menuju ke utara, sepanjang jalan ternyata aman tenteram tanpa terjadi sesuatu.

   Suatu hari ia memasuki daerah pegunungan kabupaten Kah-san-koan, termasuk wilayah propinsi Soa-tang, dari sini ke Kim-keh-nia kira-kira hanya tiga hari perjalanan saja.

   Tengah dia mengayunkan langkah, tiba-tiba dari depan mendatangi dua penunggang kuda dengan cepat, penunggangnya adalah dua lelaki kasar kekar, pada pinggang mereka tergantung senjata, tampaknya seperti tokoh kalangan Hek-to (kaum bandit).

   Kong-sun Bok memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu, kedua orang itupun menaruh perhatian kepadanya.

   Ketika berpapasan, Kong-sun Bok menyingkir ke tepi jalan, waktu kedua orang itu lewat di sebelahnya, terdengar mereka bersuara dan bicara dua kalimat "bahasa rahasia"

   Kang- ouw yang tidak dipahami Kong-sun Bok.

   Diam-diam Kong-sun Bo merasa geli, ia pikir kalau mereka bermaksud merampok diriku, maka mereka pasti akan kecewa, sebab sangu yang berada pada bajuku sekarang tidak lebih daripada sepuluh tahil perak saja.

   Namun kedua orang yang lewat di sampingnya dengan cepat itu, meski menunjukkan sikap yang mencurigakan, tapi tidak bertindak sesuatu.

   Maka Kong-sun Bok mengira dirinya sendiri terlalu banyak curiga, ia tidak memikirkannya lagi dan melanjutkan perjalanan.

   Tak terduga, tidak terlalu jauh tiba-tiba dari belakang terdengar suara keleningan kuda, kedua penunggang kuda tadi telah putar kembali.

   Kong- sun Bok mengira sekarang tibalah saatnya yang ditunggu-tunggu.

   Maka ia sengaja berhenti di tengah jalan dan ingin tahu bagaimana tindakan kedua orang itu.

   Kong-sun Bok mengira kedua orang itu putar balik untuk merampoknya, siapa tahu dugaannya kembali meleset, malahan kedua orang itupun tidak minta jalan padanya, sesudah dekat mereka terus menyelinap lewat di kanan kiri Kong-sun Bok, sedikit pun tidak memperlihatkan maksud buruk padanya.

   Kini Kong-sun Bok menjadi ragu kepada pikiran sendiri, meski wajah kedua orang tadinya tampaknya jahat, tapi belum tentu mereka dari kalangan Hek-to.

   Andaikan orang kalangan Hek-to juga belum pasti kaum perampok yang sembarangan mengganggu perjalanan orang.

   Dalam pada itu hari sudah dekat magrib, tiba-tiba terdengar pula suara keleningan kuda, dari belakang muncul lagi dua penunggang kuda dan melampaui Kong-sun Bok dengan cepat.

   Penunggangnya juga lelaki kekar, baju bagian pinggang mereka yang menonjol itu menunjukkan mereka pasti membawa senjata.

   Seperti juga kedua lelaki yang duluan, kedua orang inipun menaruh perhatian terhadap Kong-sun Bok, sudah lewat ke depan masih menoleh lagi memandang padanya.

   Mau tak mau rasa curiga Kong-sun Bok timbul lagi.

   Sementara itu hari sudah mulai gelap.

   Ia pikir mesti mencari suatu tempat untuk bermalam.

   Belum habis berpikir, kembali terdengar suara derapan kaki kuda, dua penunggang kuda mendadak turun dari atas gunung di sebelah, kedua penunggangnya berusia agak tua, tapi juga kelihatan membawa senjata.

   Kong-sun Bok memberi jalan pula, sekali ini ia tidak mencurigai kedua orang ini.

   Tak terduga, belum seberapa jauh, tahu-tahu kedua penunggang kuda itu putar balik lagi.

   Seperti juga kedua orang yang ditemuinya pertama tadi, ketika lewat di sebelahnya mereka kelihatan sangat menaruh perhatian kepadanya.

   Samar-samar Kong-sun Bok dapat mendengar percakapan mereka dalam bahasa Kang-ouw, yang satu menyangsikan pandangan kawannya kalau orang yang diincar ini membawa emas dalam jumlah besar.

   Tapi kawannya yang lain menyatakan pandangannya pasti tidak keliru dan yakin yang di bawa Kong-sun Bok bahkan bisa jadi benda mestika yang jauh lebih berharga daripada emas.

   Karena lwekangnya memang tinggi, pancaindera Kong-sun Bok dengan sendirinya sangat tajam, meski kedua orang itu lewat di sampingnya dengan cepat, tapi samar-samar percakapan mereka itu sempat didengarnya walaupun pembicaraan selanjutnya tidak terdengar lagi.

   Terutama percakapan dalam bahasa Kang-ouw yang sederhana itu dapat dipahami artinya dengan tepat.

   Maka sekarang yakinlah Kong-sun Bok bahwa orang-orang itu ternyata benar adalah pengintai kaum penjahat yang mengincarnya.

   Diam-diam ia merasa geli karena orang-orang itu telah salah duga atas dirinya, padahal dia tidak membawa sangu yang banyak, masakah disangka membawa benda mestika yang berharga.

   Waktu ia memandang ke depan di tengah suasana senja yang remang- remang itu tertampak kedua penunggang kuda tadi sudah berubah menjadi dua titik hitam, sekejap kemudian lantas menghilang pula ke dalam hutan yang lebat.

   "Aneh, mengapa mereka tidak mengambil jalan raya, jangan-jangan gunung di depan sana adalah sarang mereka? Kalau betul begitu, aku sendiri sedang mencari tempat untuk bermalam, biarlah aku menyusul ke sana untuk mengawasi mereka,"

   Pikir Kong-sun Bok. Sebenarnya Kong-sun Bok tidak suka cari gara-gara, hanya lantaran berulang kali bertemu "pengintai"

   Kaum Hek-to, ia menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang akan terjadi.

   Sebab itulah ia lantas ambil keputusan akan menyelidiki mereka malah.

   Begitulah ia lantas keluarkan Ginkangnya yang tinggi dan berlari ke atas gunung, tampaknya gunung itu terletak tidak jauh di depan sana, tapi ternyata berjarak belasan lie jauhnya, jalan pegunungan berlika-liku pula.

   Waktu memasuki hutan lebat itu, sementara hari sudah gelap sama sekali.

   ALAM kegelapan di tengah hutan lebat, dengan sendirinya sukar diketahui orang-orang tadi bersembunyi dimana.

   Sedang Kong-sun Bok merasa sulit, tiba-tiba di sebelah barat sana sayup- sayup ada suara orang bertepuk tangan dua kali.

   Cepat ia mendekam di atas tanah untuk mendengarkan, maka dengan jelas didengarnya di sebelah timur sana juga ada jawaban suara tepuk tangan dua kali.

   Menyusul lantas terdengar suara tindakan orang dari sebelah barat menuju ke arah timur.

   Sedikit banyak Kong-sun Bok sudah punya pengalaman, ia tahu suara tepuk tangan tadi adalah kode pertemuan orang-orang itu.

   Agaknya mereka sudah berjanji untuk bertemu di dalam hutan sebelah timur.

   Segera ia pun menguntit ke sana dengan Ginkang yang tinggi tanpa mengeluarkan suara.

   Tiba-tiba pandangannya terbeliak, terlihat di dalam hutan sana ada sebidang tanah yang rada jarang pepohonannya, di tengah tanah kosong itu ada segundukan api unggun, enam orang nampak mengelilingi api unggun

   Jilid 28 D itu, jelas mereka adalah keenam orang penunggang kuda yang dilihatnya petang tadi.

   Dengan enteng Kong-sun Bok memanjat ke atas satu pohon besar dengan daun yang rindang sehingga cocok sekali baginya untuk bersembunyi di situ.

   Karena Ginkangnya yang tinggi, pula orang-orang itupun tidak menduga kedatangannya yang begitu cepat, mereka pun sedang asyik berunding, maka tiada seorang pun yang mengetahui jejak Kong-sun Bok.

   Begitulah terdengar seorang di antaranya sedang berkata.

   "Bocah itu tidak membawa bungkusan apa pun, tapi sekali pandang saja jelas kelihatan dia membawa benda yang berat, kalau bukan benda kuning (emas) pasti juga mata kucing (permata)."

   Mendengar itu barulah sekarang Kong-sun Bok menyadari persoalannya.

   Pada umumnya orang dari kalangan Hek-to memang mempunyai kepandaian khas, yaitu dalam hal mengincar seseorang apakah membawa barang-barang berharga atau tidak.

   Misalnya kalau membawa emas, tentu langkahnya akan kelihatan berat, apalagi kalau membawa benda mestika lain yang lebih berharga daripada emas.

   Dengan sendirinya Kong-sun Bok merasa geli, orang-orang itu ternyata salah sangka dia membawa barang berharga, padahal yang dia bawa memang betul benda yang bobotnya luar biasa, yaitu Hian-tiat-po-san, payung pusaka terbuat dari besi murni.

   Dalam pada itu terdengar seorang berkata.

   "Aku pun tahu dia membawa benda berharga, tapi justru lantaran itulah, maka kita perlu lebih hati-hati bertindak. Coba kau pikir, bocah itu menempuh perjalanan jauh sendirian dengan membawa benda mestika, kalau dia tidak memiliki kepandaian tinggi tentu juga bukan sembarangan orang, kalau tidak, masakah dia berani berbuat demikian? Karena itu kita harus menyelidiki asal-usulnya lebih jelas agar kita tidak salah tindak."

   Baru sekarang Kong-sun Bok tahu bahwa orang-orang itupun ragu-ragu terhadap dirinya, makanya sepanjang jalan mengintainya secara berulang- ulang. Terdengar orang ketiga sedang berkata.

   "Kalau mesti menyelidiki dahulu, mungkin akan kehilangan kesempatan baik. Bila kambing gemuk sampai lolos kan sayang?"

   "Ya, kita juga bukan kaum keroco, kenapa mesti takut ini dan itu?"

   Ujar orang keempat. Segera orang kelima menambahkan.

   "Kita berenam orang, biarpun bocah itu juga mahir ilmu silat, masakah kita berenam takut padanya?"

   "Kalian hendaknya sabar dulu,"

   Ujar orang keenam.

   "Bocah ini belum sampai di sini, kenapa kalian ribut sendiri?"

   "Tapi kita juga perlu merundingkan cara turun tangannya nanti agar tidak kelabakan jika tiba saatnya,"

   Ujar orang pertama tadi.

   "Kabarnya orang Tiau-hou-kan juga sedang mengincar bocah itu."

   "Sebabnya aku minta kalian sabar dulu justru karena aku tahu Han-toako dari Tiau-hou-kan akan datang ke sini,"

   Kata orang keenam tadi.

   "Pengalaman Han-toako lebih luas, sejak kemarin dia sudah menaruh perhatian atas diri bocah itu dan sedang menyelidiki asal-usulnya."

   "Tapi bagian kita akan menjadi sedikit, bagaimana pun kita toh tetap menyerempet bahaya,"

   Ujar kawannya. Sedang ramai mereka berbincang, tiba-tiba terdengar suara orang bertepuk tangan dua kali.

   "Hah, itu dia Han-toako telah datang!"

   Seru keenam orang itu sambil melonjak bangun. Maka seorang lelaki brewok tampak muncul sambil bergelak tertawa.

   "Ha, ha, ha, apakah Han-toako juga akan datang? Sungguh bagus sekali! Dan kedatanganku ini kalian terima dengan baik atau tidak!"

   Ternyata lelaki brewok yang muncul ini bukanlah Han-toako dari Tiau- hou-kan (sungai harimau melompat) yang diharapkan keenam orang tadi.

   Karena itu keenam orang itu untuk sejenak tertegun, tapi segera mereka pun memapak kedatangan orang.

   Orang keenam tadi agaknya menjadi pimpinannya, dia lantas menyapa.

   "Kim-toako, kabarnya engkau sangat senang bekerja pada Sebun-siangsing, tentunya sudah lama menanjak ke atas, masakah engkau masih ingin melakukan pekerjaan Hek-to ini?"

   Lelaki brewok yang dipanggil "Kim-toako"

   Itu dulu juga bandit terkenal di dunia Kang-ouw, bahkan lebih terkenal daripada Han-toako dari Tiau- hou-kan itu.

   Tapi kemudian dia ikut Sebun Bok-ya menggabungkan diri dengan pihak Mongol.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Walaupun begitu dia masih tetap ada hubungan dengan tokoh golongan Hek-to.

   Begitulah Kim-toako itu lantas menjawab dengan tertawa.

   "Ha, ha, cuma seekor domba kecil saja apa artinya bagiku, kedatanganku ini justru akan kuberikan suatu rezeki besar bagi kalian."

   Keenam orang itu tercengang, beramai-ramai mereka lantas bertanya.

   "Kim-toako sudi membagi rezeki kepada kami, tentu saja kami sangat berterima kasih. Harap saja Kim-toako suka menerangkan cara bagaimana kami harus berbuat untuk mendapatkan rezeki yang dimaksud?"

   Dengan perlahan "Kim-toako"

   Itu lantas berkata.

   "Nama Oh-hong-tocu tentunya kalian kenal bukan?"

   Serentak keenam orang itu mengiakan, seorang di antaranya menambahkan.

   "Kabarnya Oh-hong-tocu sudah datang di Tiong-goan sini, entah betul tidak?"

   "Ya, memang betul, cepat juga berita yang kalian terima,"

   Ujar Kim-toako itu.

   "Lebih dari itu, bahkan tidak lama lagi Oh-hong-tocu akan menjadi Bu- lim-beng-cu daerah Tiong-goan."

   "He, kabarnya Sebun Bok-ya yang akan menjadi Bu-lim-beng-cu, kan mereka berdua bisa berhantam nanti?"

   Ujar orang pertama tadi. Kim-toako itu tertawa, katanya.

   "Sama sekali Sebun Bok-ya takkan berhantam dengan Oh-hong-tocu, bahkan dia harus berusaha mendekatinya."

   "Eh, masakah Sebun Bok-ya mau merendahkan diri?"

   Kata orang tadi heran.

   "Agaknya kalian tidak tahu persoalannya,"

   Tutur Kim-toako itu.

   "Sebabnya Sebun Bok-ya berani magang menjadi Bu-lim-beng-cu adalah karena didukung oleh Liong Siang Hoat-ong, itu Kok-su dari Mongol. Kalau sekarang Liong Siang Hoat-ong merasa Oh-hong-tocu lebih cocok untuk menjadi Bu-lim-beng-cu, betapa pun Sebun Bok-ya harus mengalah dan terima nasib biarpun di dalam hati dia merasa penasaran."

   "O, kiranya begitu,"

   Kata keenam orang itu.

   "Dan ada sangkut paut apa antara rezeki yang Kim-toako katakan tadi dengan persoalan Oh-hong-tocu?"

   "Besar sekali sangkut-pautnya,"

   Kata Kim-toako itu.

   "Ketahuilah bahwa Oh-hong-tocu mempunyai seorang anak perempuan, namanya Kiong Kim- hun, semula nona Kiong itu hendak ikut ayahnya ke Ho-lin, tapi entah mengapa, ketika berada di rumah penginapannya, tahu-tahu nona itu minggat tanpa pamit. Padahal Oh-hong-tocu hanya mempunyai anak perempuan satu-satunya itu, betapa sayangnya dapat kalian bayangkan, maka dia berusaha menemukan kembali anak perempuannya. Untuk inilah aku telah dimintai bantuan, maka sekarang aku pun minta bantuan kalian. Kini Oh-hong-tocu telah menjadi pembantu utama Liong Siang Hoat-ong, kelak kalau menjadi Bu-lim-beng-cu, tentu jasa kalian takkan dilupakan oleh beliau. Malahan kalau orang Mongol sudah memerintah seluruh Tiong- goan, soal harta dan pangkat bagi kalian tentu juga takkan menjadi soal. Nah, rezeki besar yang sudah menanti itu masakah perlu kalian ribut-ribut mengurusi seekor domba kecil seperti sekarang ini?"

   Diam-diam Kong-sun Bok terkejut dan bergirang dapat mendengar berita itu, pikirnya.

   "Kim-hun ternyata benar telah kabur lagi dari ayahnya, entah dimana dia berada sekarang?"

   Apa yang ingin diketahuinya itu ternyata telah ditanyakan oleh salah seorang itu.

   "Kim-toako, apakah engkau mengetahui nona Kiong itu kabur kemana?"

   "Jika aku tahu, buat apa aku minta bantuan kalian?"

   Jawab Kim-toako itu.

   "Tapi asal kalian mau membantu, tentu kita akan dapat menemukan dia. Nona Kiong itu sifatnya kekanak-kanakan dan suka pesiar, dia pasti tidak lari pulang ke Oh-hong-to, menurut perhitunganku, dalam waktu beberapa hari dia pasti masih berada beberapa ratus lie di sekitar tempat ini. Padahal kalian adalah orang-orang berpengaruh di sekeliling sini, dalam jarak beberapa ratus lie sekitar wilayah ini pasti tidak sukar bagi kalian mencari tahu jejak nona itu."

   "Akan tetapi..... makanan kami ini boleh dikata tinggal mencaplok saja, bagaimana kalau pekerjaan kami ini tetap kami lakukan, habis itu barulah kami kerjakan urusan Kim-toako itu?"

   Kata dua orang tadi.

   "Apalagi bocah ini paling lambat besok pagi akan berlalu di sini, rasanya urusan takkan sulit dibereskan."

   Tampaknya Kim-toako itu rada kurang senang, katanya.

   "Kalian harus tahu bahwa urusan ini menyangkut kepentingan Kiong To-cu dan Liong Siang Hoat-ong, kalau terlambat satu hari saja bisa jadi nona Kiong itu sudah kabur jauh, untuk mencarinya tentu menjadi susah. Karena itu kuminta kalian lebih memikirkan urusan besar daripada mengutamakan keuntungan kecil."

   "Tapi....."

   Selagi orang-orang itu hendak omong lagi, tiba-tiba seorang kawannya berseru.

   "Itu dia, Han-toako sudah datang! He, malahan ada seorang kawan baru yang datang bersama Han-toako, siapakah dia ini?"

   Orang-orang itu ternyata tidak kenal lelaki yang datang bersama "Han- toako"

   Itu, tapi Kong-sun Bok yang mengintip di atas pohon cukup kenal orang yang dimaksud. Kiranya dia bukan lain daripada Sebun Cu-sik, itu pengiring Wan-yan Ho yang mahir ilmu berbisa Hoa-hiat-to.

   "Kebetulan, memangnya aku hendak mencari dia buat membikin perhitungan, kini dia malah datang sendiri kepadaku,"

   Demikian Kong-sun Bok membatin dengan girang. Dalam pada itu orang yang dipanggil Kim-toako tadi lantas berseru.

   "He, Sebun-heng, mengapa engkau juga datang ke sini?" ~ Rupanya dia sudah kenal Sebun Cu-sik. Maka dengan tertawa Sebun Cu-sik telah menjawab.

   "Kim Jit, kau sendiri untuk apa berada di sini? Baik-baikkah pamanku?"

   Kim Jit tampak serba susah, jawabnya.

   "Pamanmu kini berada bersama Kok-su, malahan beberapa hari yang lalu beliau baru membicarakan kau, mengapa engkau tidak ikut beliau saja?"

   Nyata Sebun Cu-sik ini memang betul adalah keponakan Sebun Bok-ya.

   "Kami antara paman dan keponakan mempunyai majikan sendiri, namun begitu cita-cita kami boleh dikata sama juga."

   "Aku tahu, Sebun-heng,"

   Kata Kim Jit yang cukup tahu seluk beluk Sebun Cu-sik itu.

   "Tapi entah kedatangan Sebun-heng bersama Han-toako ini ada urusan apa?"

   "Coba kau katakan dulu urusanmu?"

   Sahut Sebun Cu-sik.

   Kim Jit menjadi ragu-ragu untuk bicara terus terang tentang persaingan antara Oh-hong-tocu dan Sebun Bok-ya dalam perebutan kedudukan Bu-lim- beng-cu, tapi kalau tidak diceritakannya toh nanti keenam orang tadi juga akan bicara.

   Karena itu terpaksa ia mengatakan terus terang maksud kedatangannya.

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Sebun Cu-sik.

   "Sungguh kebetulan, kami juga hendak mencari satu orang dan orang ini rasanya juga ada sangkut pautnya dengan nona Kiong yang hendak kalian cari itu."

   "He, siapakah gerangan yang kalian cari?"

   Tanya Kim Jit.

   "Seorang pemuda berdandan kampungan dan memanggul sebuah payung,"

   Tutur Sebun Cu-sik. Serentak keenam orang tadi bersorak gembira, seru mereka.

   "Ha, ha, bocah itulah yang sedang kami incar. Sebun-toako, kami sambut baik kedatanganmu ini untuk membereskan bocah itu, hasil rezeki ini biarlah kita bagi sama rata!"

   "Betapa pun bocah itu masakah lebih berharga daripada anak perempuan Kiong To-cu? Sebun-heng, engkau harus membantu urusanku dulu,"

   Ujar Kim Jit.

   "Tapi apakah kau tahu siapakah bocah itu dan benda mestika apa yang dia bawa?"

   Tanya Sebun Cu-sik dengan tertawa.

   "Mohon penjelasan,"

   Jawab Kim Jit. Hal ini memang juga sangat ingin diketahui oleh keenam orang tadi, maka mereka lantas pasang kuping lebih tajam. Dengan perlahan Sebun Cu-sik berkata.

   "Bocah itu bernama Kong-sun Bok, payung yang dia bawa itu adalah benda mestika yang jarang ada, namanya Hian-tiat-po-san!"

   Ucapan Sebun Cu-sik ini membuat Kim Jit terperanjat, ia yang pertama- tama berteriak.

   "Hah, Hian-tiat-po-san!"

   Menyusul lelaki yang mengincar Kong-sun Bok tadi juga berseru.

   "Kiranya Hian-tiat-po-san! Pantas dia seperti membawa benda yang amat berat."

   Tapi kawan-kawannya ada yang bingung dan bertanya.

   "Benda apakah Hian-tiat-po-san itu? Mengapa dikatakan sebagai benda mestika yang jarang ada?"

   "Hian-tiat-po-san adalah raja segala macam senjata,"

   Tutur Kim Jit.

   "Bobot payung itu sedikitnya sepuluh kali lebih berat daripada besi biasa, golok atau pedang wasiat pun tak bisa menandingi payung itu."

   Kuda bagus dan golok pusaka biasanya adalah barang yang diimpi- impikan oleh setiap orang persilatan, apalagi barang yang dimaksudkan sekarang adalah payung pusaka yang berpuluh kali lebih berharga daripada golok atau barang wasiat, tentu saja orang-orang itu menjadi mengiler dan ingin mendapatkannya.

   "Tapi..... tapi kita bersembilan orang, sedangkan payung itu hanya ada sebuah, lalu cara bagaimana kita membaginya jika sudah diperoleh?"

   Ujar seorang di antaranya dengan ragu-ragu. Semua orang terdiam, memang apa yang dikemukakan kawan ini cukup beralasan. Cepat Sebun Cu-sik membuka suara.

   "Benar, payung memang cuma ada sebuah, tapi aku pasti takkan membikin kalian keluar tenaga percuma, betapa pun kalian pasti akan mendapat balas jasa setimpal."

   Seorang di antaranya memberanikan diri untuk bertanya.

   "Baiklah, daripada ribut belakangan, lebih baik kita bicara di muka. Harap Sebun- siansing sudi menjelaskan balas jasa apa yang akan diberikan kepada kami?"

   Maka berkatalah Sebun Cu-sik.

   "Terus terang, saat ini Siau-te bekerja bagi Wanyan-ongya di negeri Kim, Kong-sun Bok adalah musuh majikan mudaku, Wan-yan Ho, bila saudara-saudara dapat membantu merampas payung pusaka itu, Pwe-lik kami berjanji akan memberikan sepuluh laksa tahil perak kepada setiap orang yang ikut membantu. Apabila bocah itu dapat dibinasakan sekalian, setiap orang akan mendapat tambahan persen lima laksa tahil perak. Selain itu kalian akan diberi kebebasan untuk melakukan pekerjaan kalian, apa pun yang kalian perbuat, pihak pemerintah Kim akan tutup mata dan pura-pura tidak tahu."

   Limabelas laksa tahil perak tentu saja satu jumlah yang amat besar bagi kawanan bandit itu, apalagi janji kebebasan bagi operasi mereka tanpa ditumpas oleh pihak pemerintah Kim.

   Keruan mereka sangat senang dan beramai-ramai menyatakan setuju dan terima syarat itu.

   "Tapi bagaimana dengan urusan Oh-hong-tocu?"

   Kata Kim Jit.

   "Walaupun kita harus bekerja bagi Wanyan-ongya, tapi urusan yang menyangkut Khan Agung, Liong Siang Hoat-ong dan bakal Bu-lim-beng-cu yang akan datang rasanya juga tidak boleh diremehkan."

   Orang-orang lain merasa apa yang dikatakan Kim Jit itupun beralasan, karena itu mereka terdiam dan menatap Sebun Cu-sik untuk mengetahui apa jawabnya. Dengan tertawa Sebun Cu-sik lantas berkata.

   "Tampaknya Kim-toako sedang bersaing dagang dengan aku? Padahal urusan kita berdua pihak sebenarnya juga kait mengait. Untuk itu aku menjadi ingin mengadakan perjanjian dagang dengan Kim-toako."

   "Perjanjian bagaimana?"

   Tanya Kim Jit.

   "Mudah saja,"

   Ujar Sebun Cu-sik.

   "Lebih dulu Kim-toako membantu aku membinasakan Kong-sun Bok, lalu aku berjanji akan membantu Kim-toako untuk menemukan nona Kiong."

   "O, engkau mengetahui dimana beradanya nona Kiong?"

   Tanya Kim Jit dengan rada sangsi.

   "Aku sih tidak tahu, tapi Han-toako yang tahu,"

   Kata Sebun Cu-sik dengan tertawa. Ce-cu Tiau-hou-kan, yaitu Han-lotoa, segera berkata.

   "Ya, aku tahu nona Kiong itu kini berada dimana, paling tidak dalam tiga hari ini dia takkan meninggalkan tempat itu."

   "Tempat mana itu?"

   Tanya Kim Jit cepat. Tapi Han-lotoa hanya tersenyum saja dan tidak menjawabnya.

   "Asal urusanku sudah beres, dengan sendirinya kami akan membawa Kim-toako ke sana, pendek kata dijamin nona Kiong pasti akan diketemukan,"

   Sambung Sebun Cu-sik.

   "Nah, bagaimana Kim-toako, kau terima tawaranku tidak?"

   Rupanya Sebun Cu-sik rada jeri terhadap Kong-sun Bok karena tempo hari pernah kecundang, kini meski beberapa bandit besar itu sudah dapat dibujuk untuk membantunya, tapi dia masih kuatir kurang kuat, sedangkan ilmu silat Kim Jit jauh lebih tinggi daripada bandit-bandit itu, makanya dia ingin menariknya pula sebagai pembantu.

   Setelah berpikir sejenak, lalu Kim Jit menjawab.

   "Baik, kuterima perjanjian dagang ini!"

   "Bagus, memang seharusnya begitu, kan sama-sama menguntungkan,"

   Kata Sebun Cu-sik dengan tertawa.

   "Malahan ada lagi sesuatu yang belum kukatakan kepada Kim-toako, ketahuilah bahwa nona Kiong yang hendak kau cari itu justru adalah kekasih Kong-sun Bok ini, tapi Oh-hong-tocu tidak ingin mempunyai menantu macam dia. Sebab itu jika engkau dapat membantu membinasakan bocah itu, tentu Oh-hong-tocu akan berterima kasih juga kepadamu."

   Baru sekarang Kim Jit tahu persoalannya, katanya.

   "O, kiranya begitu, pantas kau bilang urusan kita kait mengait. Baiklah, marilah kita turun ke bawah gunung untuk pasang mata menantikan kedatangan borah itu."

   Dalam pada itu Kong-sun Bok yang asyik mengintai itu menjadi kejut dan girang. Pikirnya.

   "Kiranya orang she Han ini sudah tahu jejak Kim-hun, wah, sungguh sangat kebetulan bagiku, aku menjadi tidak perlu susah payah mencarinya lagi."

   Begitulah selagi orang-orang itu hendak berangkat, mendadak Kong-sun Bok melompat turun dari tempat sembunyinya. Dengan mengangkat payung pusakanya ia berseru lantang.

   "Tidak perlu kalian membuang tenaga mencari diriku, sekarang juga aku Kong-sun Bok datang sendiri ke sini! Nah, siapa yang menginginkan payung pusaka ini silakan maju!"

   Untuk sejenak semua orang tertegun kesima, lain saat serentak mereka berseru sambil melolos senjata terus menerjang ke arah Kong-sun Bok.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Awas, jangan sampai terbentur oleh payungnya,"

   Seru Sebun Cu-sik.

   "Kita kepung dia, serang dia dari belakang. Ya, gunakan senjata rahasia pula!"

   Walaupun begitu, lantaran saking napsunya menerjang, dua orang di antaranya tidak sempat lagi menghindarkan beradunya senjata, terdengarlah suara nyaring memekakkan telinga, sebuah golok telah membacok pada batang payung, mata golok sampai gumpil, sedang seorang lagi menggunakan senjata toya tembaga yang berat, karena tangkisan payung Kong-sun Bok itu.

   "trang", toya tembaga itu melengkung, tangan orang itupun tergetar hingga pecah dan berdarah, toya pun terlepas dan hampir menghantam kawannya yang bersenjata golok tadi. Keruan kedua orang itu sangat terkejut, cepat mereka melompat mundur.

   "Gunakan senjata rahasia saja!"

   Seru Sebun Cu-sik. Kawanan bandit itu lantas terpencar mundur dan menghamburkan macam-macam senjata rahasia berbisa.

   "Hm, biarpun kalian menghujani diriku dengan senjata rahasia, memangnya dapat merobohkan aku?"

   Jengek Kong-sun Bok sambil pentang payungnya terus diputar, maka terdengarlah suara gemerincing yang tak terputus-putus, hamburan senjata rahasia laksana hujan itu terpental semua oleh tameng payung yang dipentang itu, malahan senjata rahasia yang terpental balik melukai dua orang di antaranya, untung hanya luka lecet saja dan senjata rahasia yang tidak berbisa.

   Beberapa orang lagi menjadi jeri, seorang yang penakut segera hendak lari, katanya.

   "Wah, payung bocah ini terlalu lihai, kukira kita jangan mencari penyakit! Tapi Han-lotoa dari Tiau-hou-kan lantas membentaknya.

   "Tutup mulutmu! Siapa yang bermaksud kabur biar kumampuskan dia dulu! Kalau kita berjumlah sebanyak ini tidak mampu membereskan seorang bocah, lalu selanjutnya apakah kita dapat mencari sesuap nasi di dunia Kang-ouw?"

   Kim Jit juga ikut membentak.

   "Jangan gugup, kepung dia dan serang terus! Masakah dia punya tiga kepala dan enam tangan?"

   "Benar,"

   Kata Sebun Cu-sik.

   "Gunakan saja senjata rahasia yang lembut sebangsa jarum dan pasir, serang bagian bawah, incar urat nadinya!"

   Senjata rahasia sejenis Bwe-hoa-ciam (jarum) dan lain-lain yang kecil lembut itu takkan terlalu keras bila terpental balik, pula sukar ditahan karena kecilnya, dengan pergantian siasat kawanan bandit itu, benar juga posisi mereka menjadi lebih kuat, sebaliknya Kong-sun Bok harus tambah hati-hati menghadapi kelicikan musuh.

   Kim Jit menggunakan senjata aneh, namanya "Lian-cu-cau" (cakar berantai), yakni pada ujung rantai diberikan senjata bentuk cakar, dengan sendirinya senjata ini dapat mencapai jauh, maka untuk menyerang dari jarak jauh sangatlah menguntungkan.

   "Krek", mendadak cakar berantai itu kena mencengkeram pada payung pusaka Kong-sun Bok sehingga lelatu api meletik, tapi cakarannya tidak mempan mencengkeram payung itu. Ketika Kong-sun Bok bermaksud menarik rantai untuk merebut senjata lawan, namun Kim Jit keburu menarik kembali senjatanya, menyusul dengan cepat sekali ia menyerang pula bagian bawah Kong-sun Bok, kedua kaki yang hendak dicengkeramnya. Segera Kong-sun Bok merapatkan payungnya dan digunakan sebagai toya.

   "trang", ia berhasil menyampuk pergi cakar berantai itu. Tapi setelah berputar, kembali senjata Kim Jit itu menyambar lagi ke pundaknya. Diam-diam Kong-sun Bok membatin.

   "Pantas Sebun Cu-sik sengaja membujuknya agar mau membantunya, nyatanya ilmu silat keparat ini memang rada aneh. Baik, tangkap penjahat harus tangkap pentolannya, biar kuhajar adat dulu kepada Kim Jit dan Sebun Cu-sik."

   Segera ia pura-pura kewalahan dan berulang-ulang mundur.

   Melihat itu Kim Jit menjadi girang dan berseru kepada kawan-kawannya agar menyerang lebih gencar, lingkaran kepungan mereka pun semakin menyempit.

   Ketika Kim Jit menyerang pula dengan cakarnya yang berantai, mendadak Kong-sun Bok melompat terus menginjak ujung senjata musuh, berbareng Hian-tiat-po-san terus mengetuk ke pundak Kim Jit, sedang tangannya juga memukul ke belakang sehingga beberapa musuh yang menerjang maju dipaksa melompat mundur lagi.

   Betapa pun kuat lwekang Kim Jit juga tidak tahan oleh ketokan payung Kong-sun Bok itu, tanpa ampun lagi ia menjerit, tulang pundaknya remuk, orangnya juga terkulai lemas seketika, meski jiwanya selamat, tapi akan menjadi cacat selamanya.

   Sambil bergelak tertawa Kong-sun Bok menarik kembali payungnya dan diputar satu kali untuk menyampuk senjata musuh yang sementara itu telah menyambar tiba, sedang tangan kiri segera mencengkeram pula ke muka Sebun Cu-sik.

   Lantaran sudah pernah kecundang, kini melihat tangan Kong-sun Bok yang mencengkeram ke arahnya itu merah membara dan membawa sambaran angin bau amis, Sebun Cu-sik tahu pemuda itu telah menggunakan ilmu berbisa Hoa-hiat-to, padahal Sebun Cu-sik sendiri adalah ahli ilmu berbisa itu, tentu saja ia tidak berani menahan pukulan itu dengan keras lawan keras.

   Namun serangan Kong-sun Bok itu teramat cepat, biarpun Sebun Cu-sik hendak mengelak juga tidak sempat lagi, dalam keadaan kepepet, terpaksa dia angkat tangan buat menangkis.

   Karena ilmu Hoa-hiat-to yang dilatihnya masih kalah kuat daripada Kong-sun Bok, maka begitu kedua tangan beradu, kontan Sebun Cu-sik menjerit sambil mencelat mundur beberapa meter jauhnya terus terguling ke bawah lereng bukit.

   Di antara kawanan bandit itu dua orang yang paling kuat kini seorang sudah kabur dengan terluka parah dan yang lain sudah cacat meski jiwanya selamat, keruan kawanan bandit yang lain menjadi ketakutan, tanpa menghiraukan Han-lotoa lagi serentak mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri.

   Kong-sun Bok pikir kalau orang-orang itu sampai lolos akan berarti memberi kesempatan mereka untuk pulang melapor, segera ia meraup segenggam batu kerikil terus disambitkan.

   Meski kemahiran Kong-sun Bok bukan ilmu Am-gi atau senjata rahasia, tapi untuk menghajar kawanan bandit itu cukup ampuh hamburan batu itu, segera terdengar suara jerit teriak di sana sini, hanya Sebun Cu-sik dan Han-lotoa saja yang tidak kena tertimpuk oleh batunya, selebihnya terguling dan tak bisa begerak lagi.

   Karena sudah terkena pukulan Hoa-hiat-to, Kong-sun Bok menduga paling jauh berlari sampai di bawah gunung pasti Sebun Cu-sik takkan tahan oleh bekerjanya racun pukulannya, maka ia tidak pusing kepadanya, kini yang dia uber hanyalah Han-lotoa, secepat terbang ia membayangi Han-lotoa dan ketika sudah dekat segera ia membentak.

   "Berhenti!"

   Karena gertakan yang keras itu, seketika Han-lotoa ketakutan setengah mati, kakinya menjadi lemas, tanpa kuasa ia bertekuk lutut di tanah.

   "Ha, ha, kukira kau pun tidak perlu menyembah padaku!"

   Jengek Kong- sun Bok sambil meletakkan payung pusakanya di atas pundak lawan.

   Han-lotoa telah menyaksikan sendiri tulang pundak Kim Jit terketok remuk oleh payung itu, maka disangkanya Kong-sun Bok juga akan memperlakukan dia dengan cara yang sama, sungguh tidak kepalang takutnya, cepat ia berteriak minta ampun.

   "Boleh juga kuampuni jiwamu,"

   Kata Kong-sun Bok dengan tertawa.

   "tapi kau harus mengaku terus terang serta menurut kepada perintahku."

   Mendengar jiwanya ada harapan selamat, dengan suara tergagap Han- lotoa menjawab.

   "Ba..... baik, baik, silakan Kongsun-siauhiap bicara, hamba pasti akan menurut."

   "Nah, boleh kau berdiri saja,"

   Kata Kong-sun Bok sambil menarik kembali payungnya, lalu mulai bertanya.

   "Dan sekarang katakan dulu, dimana nona Kiong saat ini?"

   Han-lotoa mengusap keringat di dahinya, jawabnya.

   "Kiranya Kongsun- siauhiap ingin tahu puteri Oh-hong-tocu itu, tentang ini..... ini....."

   Ternyata serba susah baginya untuk menjawab pertanyaan ini.

   "Ini itu apa, lekas katakan!"

   Bentak Kong-sun Bok sambil angkat payungnya dengan lagak hendak menghantam. Cepat Han-lotoa angkat kedua tangannya dan berseru.

   "Sabar, sabar, Kongsun-siauhiap, akan kukatakan terus terang! Kira-kira tigaratus lie dari sini ada sebuah gunung, namanya Sun-keng-san, letaknya wilayah kabupaten In-siu-koan, apakah engkau mengetahui tempat itu?"

   "Tahu atau tidak bukan soal, apakah maksudmu nona Kiong berada di sana?"

   Kong-sun Bok menegas.

   "Benar,"

   Jawab Han-lotoa.

   "di lereng gunung itu hanya ada penduduk terdiri dari beberapa keluarga saja dan di rumah salah seorang penduduk itulah nona Kiong bertempat tinggal sekarang."

   "Siapa keluarga tempat tinggal nona Kiong itu? Lekas katakan dan jangan berbelit-belit jika ingin jiwamu selamat!"

   Bentak Kong-sun Bok pula. Karena tidak dapat membangkang lagi, terpaksa Han-lotoa menutur.

   "Ada seorang Lo-cianpwe yang sudah lama mengasingkan diri dari dunia Kang-ouw, namanya Yim Thian-ngo, apakah Kongsun-siau-hiap mengenalnya?"

   "Yim Thian-ngo?"

   Nama ini membikin Kong-sun Bok terkejut.

   Ia masih ingat, bukankah orang ini adalah Ku-ku Kok Siau-hong? Tahun yang lalu baru saja aku bertemu dengan dia, mengapa dikatakan sudah lama mengasingkan diri? Apa yang dilakukannya memang belum jelas bagiku, tapi cukup diketahui bahwa dia banyak mengaduk di dunia Kang-ouw.

   Demikian pikir Kong-sun Bok.

   Tapi ia pun tidak memberi tanggapan apa-apa, ia bertanya pula.

   "Jadi nona Kiong berada di rumah orang she Yim itu? Agaknya kau mempunyai hubungan yang baik dengan dia?"

   "O, tidak, hanya kenalan biasa saja,"

   Sahut Han-lotoa.

   "Ada kudengar dia mempunyai hubungan rapat dengan orang Mongol, paman Sebun Cu-sik malahan adalah sahabat baiknya,"

   Kata Kong-sun Bok. Han-lotoa terkejut, jawabnya dengan tergagap.

   "Ap..... apakah begitu? Aku..... aku sendiri tidak tahu."

   Perlu dimaklumi bahwa selamanya Yim Thian-ngo suka berlagak sebagai pendekar sejati di dunia Kang-ouw, pada umumnya namanya juga cukup disegani, bahwa dia bersekongkol dengan pihak Mongol adalah urusan yang sangat dirahasiakan, sungguh mimpi pun Han-lotoa tidak menduga bahwa hal itu dapat diketahui oleh Kong-sun Bok.

   Dari perubahan air muka orang dapatlah Kong-sun Bok menduga apa yang dipikirkan Han-lotoa, segera ia menjengek pula.

   "Hm, masakah kau tidak tahu? Yang benar kau berdusta! Nah, mengingat kau telah bicara terus terang sebagian, maka jiwamu dapat kuampuni. Tapi sebagian lagi kau berbohong, terpaksa aku harus memberi hukuman setimpal kepadamu!" ~ Habis berkata ia angkat Hian-tiat-po-san dan akan mengetuk ke pundak Han- lotoa. Keruan Han-lotoa menjerit ketakutan, teriaknya.

   "Ampun Kongsun- siauhiap, aku akan bicara sejujurnya!"

   "Baik, sekarang kau akan mengaku tidak tahu lagi ya?"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Ti..... tidak, aku tak berani berdusta kepadamu, soalnya urusan..... urusan ini aku memang tidak tahu, hanya dari Sebun Cu-sik pernah kudengar sedikit sedikit bayangan persoalan ini."

   "Sedikit bayangan apa maksudmu?"

   Kong-sun Bok menegas.

   "Menurut cerita Sebun Cu-sik, katanya pamannya pernah mengatakan padanya tentang Yim Thian-ngo itu adalah pendekar berbeda daripada pendekar Kang-ouw umumnya, maka Sebun Cu-sik dipesan jangan sekali- kali berseteru dengan Yim-locianpwe itu."

   "Hm, pendekar apa? Yim Thian-ngo justru adalah pendekar gadungan, kesatria palsu,"

   Jengek Kong-sun Bok.

   "Dan apalagi yang dikatakannya?"

   "Katanya Sebun Bok-ya memberi pesan pula padanya agar Sebun Cu-sik tetap bekerja bagi pihak Kim, meski paman dan keponakan mempunyai Cukong yang berbeda, tapi tujuannya adalah satu dan sama. Kelak yang berkuasa baik Kim maupun Mongol, yang pasti keluarga Sebun akan tetap bertahan pada kedudukannya. Rupanya rencana membagi tugas untuk bekerja kepada dua majikan itu timbul dari paman Sebun Cu-sik."

   "Tapi apa hubungannya itu dengan Yim Thian-ngo?"

   Desak Kong-sun Bok.

   "Menurut Sebun Cu-sik, pamannya suka memuji kecerdikan Yim- locianpwe itu, katanya cita-cita bekerja bagi dua majikan sang paman itu timbul karena ingin meniru cara Yim Thian-ngo. Bedanya cara menginjak dua perahu itu menurut gambaran cerita Sebun Bok-ya adalah perahu pertama yang diinjak Yim Thian-ngo adalah kaum pendekar kesatria, sedangkan perahu yang lain mungkin adalah pihak Mongol. Sebab itulah tadi kukatakan pertanyaan Kongsun-siauhiap seperti ada sedikit bayangannya."

   "Kalau begitu mengapa Sebun Cu-sik tidak langsung mencari Yim Thian- ngo dan minta anak perempuan Oh-hong-tocu padanya,"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Sebun Cu-sik bekerja bagi pihak Kim, dia diperintah Wanyan Tiang-ci agar lebih dulu mencari..... mencari....."

   "Mencari aku bukan?"

   Potong Kong-sun Bok sambil menuding dirinya sendiri dengan tertawa.

   "Ya,"

   Sahut Han-lotoa.

   "selain itu Yim Thian-ngo juga cuma tahu paman Sebun Cu-sik adalah pembantu utama Kok-su Mongol, tapi tidak kenal seluk-beluk Sebun Cu-sik, jadi untuk bicara rasanya juga tidak cocok."

   "Makanya dia berkeras membujuk Kim Jit agar sukar membantunya, sebab kalau urusan ini berhasil diselesaikan, tentu banyak faedahnya bagi mereka paman dan keponakan, Kim Jit tentu juga berjasa,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kongsun-siauhiap memang bijaksana, menurut pendapatku memang begitulah persoalannya,"

   Kata Han-lotoa.

   "Semua yang kutahu sudah kututurkan, kini dapatkah sekiranya Kongsun-siauhiap membebaskan diriku?"

   Kini Kong-sun Bok benar-benar yakin bahwa Yim Thian-ngo memang pengacau kaum pendekar laksana musang berbulu ayam, pantas kalau Kok Siau-hong sudah lama mencurigai kejujuran sang paman. Segera ia pun menjawab.

   "Baik, akan kulepaskan kau, tapi kau harus membawa aku ke rumah Yim Thian-ngo dulu!"

   "Tapi..... tapi kepandaian Yim Thian-ngo itu teramat lihai....."

   Seru Han- lotoa kuatir.

   "Jiwamu sendiri terletak di tanganku, apa yang kau takuti?"

   Jengek Kong- sun Bok.

   "Pendek kata kau cukup membawa aku ke rumah Yim Thian-ngo saja, habis itu kau dapat bebas."

   Han-lotoa pikir kalau sudah sampai di rumah Yim Thian-ngo tentu dapat bertindak menurut gelagat, karena itu ia pun menurut saja perintah Kong- sun Bok itu.

   Kuda tunggangan kawanan bandit itu masib tertambat di hutan dekat situ, mereka lantas memilih dua ekor yang paling bagus, segera berangkatlah mereka ke In-siu-koan.

   Bahwasanya mendadak Kiong Kim-hun bisa berada di tempat Yim Thian-ngo, kiranya hal ini perlu diceritakan lebih dulu.

   Sesudah Kiong Kim-hun minggat dari ayahnya, suatu hari sampailah di In-siu-koan, sedang berjalan, tiba-tiba terdengar namanya dipanggil orang.

   Waktu ia menoleh, kiranya yang memanggilnya adalah seorang kakek, yaitu Yim Thian-ngo.

   "Kiong-titli yang baik, angin apakah yang meniup engkau ke sini?"

   Demikian Yim Thian-ngo menegur dengan tertawa.

   "Aku dan ayahmu adalah sahabat baik, tapi mungkin kau tidak tahu bahwa rumahku berada di tempat ini. Dimanakah ayahmu?"

   Secara tidak sengaja Kiong Kim-hun pernah mengintip Yim Thian-ngo mencuri benda pusaka keluarga Han, yaitu di rumah Han Pwe-eng, kemudian diketahuinya pula Yim Thian-ngo pernah mengirim muridnya yang bernama Ih Hoa-liong untuk mengirim berita kepada Sebun Bok-ya dalam persekonglcolannya hendak merampas harta pusaka keluarga Han yang sedang diangkut ke tempat laskar rakyat.

   Jadi sudah lama Kiong Kim- hun mengetahui Yim Thian-ngo bukanlah manusia baik.

   Tapi kini kepergok sendirian, Kim-hun merasa pasti bukan tandingan orang, terpaksa ia melayani pertanyaannya tadi.

   "O, ayah berada di Oh-hong- to dan tidak ke sini."

   "Lalu Tit-li sekarang hendak kemana?"

   Tanya Yim Thian-ngo pula.

   "Rasanya aku pun sudah kenyang pesiar di Tiong-goan sini dan sudah waktunya harus pulang,"

   Jawab Kim-hun.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayah tentu sedang menantikan diriku pulang ke rumah."

   "He, he, he!"

   Yim Thian-ngo menyeringai, lalu berkata.

   "Aneh, mengapa kabar yang kudengar berbeda dengan cerita Kiong-titli."

   "Berbeda bagaimana?"

   Kim-hun menegas dengan kebat-kebit.

   "Kabarnya ayahmu sudah sampai di Tiong-goan dan bukan sedang menanti kau pulang ke Oh-hong-to,"

   Kata Yim Thian-ngo. Karena kebohongannya terbongkar, terpaksa Kiong Kim-hun menjawab secara samar-samar.

   "Apakah betul? Ayah sudah lama mengasingkan diri di pulau terpencil dan tidak ingin keluar rumah lagi. Tapi mungkin ada sahabat lama yang mengundangnya sehingga sekali ini dia datang ke Tiong-goan untuk memenuhi janji."

   Dari nada si nona yang sumbang Yim Thian-ngo dapat menduga beberapa bagian, maka ia berkata pula.

   "Kalau ayahmu tidak di rumah, maka Tit-li rasanya juga tidak perlu buru-buru pulang. Aku adalah sahabat lama ayahmu, kebetulan kau sudah datang di sini, sudilah Tit-li mampir dulu dan tinggal sementara di rumahku, nanti akan kukirim kabar kepada ayahmu supaya kalian ayah dan anak dapat lekas berjumpa dan aku pun dapat berkumpul lagi dengan kawan lama."

   Kiranya Yim Thian-ngo juga belum tahu tentang minggatnya Kiong Kim- hun dari ayahnya itu, tapi tentang Oh-hong-tocu sedang mencari anak perempuannya sudah didengarnya, begitu pula ia pun sudah mendengar selentingan tentang Liong Siang Hoat-ong bermaksud merangkul Oh-hong- tocu ke pihaknya.

   Karena itulah Kiong Kim-hun menjadi gugup, cepat ia menjawab.

   "Terima kasih atas kebaikan paman Yim, tapi aku kira lebih baik langsung pulang saja. Sebab aku telah berjanji kepada ayah hanya akan pesiar selama setahun saja di Tiong-goan sini. Kini batas waktu sudah tiba, betapa pun aku harus pulang ke Oh-hong-to, sedangkan kedatangan ayah ke Tiong-goan juga belum pasti beritanya. Watak ayah tentu sudah dikenal oleh paman Yim, beliau tidak suka orang membangkang kepadanya, apalagi aku adalah anak perempuannya dan harus taat kepada perintahnya. Selain itu aku sendiri pun ada sedikit urusan yang perlu segera kubereskan."

   "Urusan apa, masakah begitu penting?"

   Ujar Yim Thian-ngo. Kiong Kim-hun pura-pura berlagak malu-malu, lalu berkata.

   "Urusan pribadi."

   Yim Thian-ngo memang mendengar tentang hubungan mesra antara Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok, tapi kabarnya Oh-hong-tocu tidak menyukai bocah ini, jangan-jangan dia hendak menemui Kong-sun Bok, padahal bocah itu adalah kawan Kok Siau-hong, atas kejadian dulu itu agaknya Siau-hong sudah curiga kepadaku, maka sebaiknya jangan kulepaskan anak dara ini pergi.

   Demikian pikirnya.

   Karena itu tiba-tiba ia mendapat akal, katanya kemudian.

   "Urusan pribadi anak perempuan sudah tentu tidak enak bagiku untuk bertanya. Baiklah, kalau kau berkeras hendak berangkat, terpaksa aku pun tak dapat menahan kau. Tapi lain kali kalau lewat di sini hendaklah kau mampir ke rumah paman, ya!"

   Hati Kiong Kim-hun merasa lega, cepat ia menjawab.

   "Ya, ya, tentu! Lain kali aku dan ayah pasti akan mengunjungi paman Yim."

   "Baiklah, jika begitu aku tidak mengantar lagi, hendaklah kau hati-hati!"

   Kata Yim Thian-ngo dengan berlagak baik hati selaku orang tua. Tapi mendadak ia seperti ingat sesuatu dan memanggil Kiong Kim-hun lagi, katanya.

   "Kiong-titli, di tengah perjalanan kau harus waspada, ayahmu mempunyai banyak sahabat di Tiong-goan, tapi juga tidak sedikit musuhnya, sebaiknya jangan sampai orang mengetahui kau adalah puteri Oh-hong- tocu."

   "Terima kasih, paman, aku tahu,"

   Jawab Kim-hun, dalam hati ia mencemoohkan Yim Thian-ngo, pikirnya.

   "Asal kau sendiri tidak membikin susah padaku, siapa lagi yang perlu kutakuti?"

   Bahwa Yim Thian-ngo ternyata tidak membikin susah padanya, hal ini sungguh di luar dugaannya.

   Maka cepat Kiong Kim-hun mengayun langkahnya.

   Sekian lamanya dia melanjutkan perjalanan dan ketika hendak melintasi wilayah kabupaten In-siu-koan, tiba-tiba dari hutan di tepi jalan sana terdengar orang bersuit beberapa kali, habis itu mendadak melompat keluar tiga orang lelaki dan menghadangnya di tengah jalan.

   "Hah, jika kalian bermaksud membegal, jelas kalian telah salah sasaran!"

   Jengek Kim-hun. Seorang di antaranya yang menjadi kepala bergelak tertawa, katanya.

   "Pintar juga kau ini, kami memang hendak membegal, tapi bukan membegal barang melainkan membegal orang!"

   Orang kedua juga ikut berkata.

   "Hm, Oh-hong-tocu memang tak dapat kami lawan, tapi anak perempuannya harus kami hajar adat supaya kenal kelihaian kami! Kau tidak perlu bohong lagi, kami sudah tahu kau ini anak perempuan Oh-hong-tocu!"

   Baru saja tadi Yim Thian-ngo memperingatkan agar berhati-hati terhadap musuh ayahnya dan sekarang juga musuh yang dimaksud lantas muncul, sudah tentu Kiong Kim-hun menjadi sangsi, pikirnya masakah begini kebetulan, bukan mustahil ketiga orang ini adalah suruhan Yim Thian-ngo sendiri agar membikin susah padaku.

   Dalam pada itu ketiga orang tadi sudah mengambil posisi pengepungan padanya.

   "Hm, kenapa aku mesti bohong?"

   Jengek Kim-hun kemudian.

   "Ya, memang Oh-hong-tocu ialah ayahku, kalian mau apa? Hayolah maju!"

   Orang yang menjadi kepala tadi berseru.

   "Permusuhan Oh-hong-tocu dengan kami sedalam lautan, anak perempuannya akan kami tangkap dan kami jadikan bini muda saja!"

   Belum pernah Kiong Kim-hun dihina orang sedemikian rupa, keruan ia menjadi murka, dampratnya.

   "Tutup mulutmu yang busuk!" ~ Berbareng ia terus melabrak mereka. Ketiga orang itu masing-masing menggunakan senjata cambuk, golok dan yang seorang bertangan kosong, sambil mengucapkan kata-kata kotor mereka terus menerjang maju, lingkaran kepungan mereka pun semakin menciut. Saking gemasnya, begitu bergebrak Kiong Kim-hun lantas menggunakan serangan maut, sekali pedangnya bergerak, tiga kali serangan lantas dilontarkan, cepat ia menusuk dada lawan yang bersenjata cambuk, tapi sebelum mencapai sasarannya, tahu-tahu pedang membalik menabas kaki orang yang bergolok, menyusul gagang pedang terus menyodok ke samping untuk menghantam perut orang yang bertangan kosong tadi. Satu gerakan tiga serangan, perubahannya sangat cepat dan ganas pula serangannya. Tak terduga ketiga orang itupun tidak kalah lihainya, lelaki yang bercambuk telah mengayun cambuknya sehingga ujung pedang yang menusuknya itu tersampuk pergi, ketika pedang Kiong Kim-hun menyambar ke kaki lawan, orang itu ternyata tidak mengelak, sebaliknya ia malah melangkah maju sambil mengayun goloknya menabas tangan si nona. Tipu serangan ini cukup keji dan memaksa pihak lawan mau tak mau harus menyelamatkan diri lebih dulu. Terpaksa Kim-hun menangkis serangan itu, syukur dia dapat bergerak dengan amat gesit, pada detik berbahaya itu ia pun menggeser ke samping dan gagang pedang tetap menyodok ke perut lawan yang bertangan kosong tadi. Tapi orang yang bertangan kosong itu ternyata terlebih lihai daripada kedua kawannya, mendadak terdengar suara "plok", gagang pedang Kiong Kim-hun yang menyodok ke arahnya itu telah kena diselentik oleh jarinya, seketika Kim-hun merasa tangannya tergetar kesemutan, pedang hampir terlepas dari cekalan. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa orang itu lantas menubruk maju, dengan ilmu "merebut senjata lawan dengan bertangan kosong", segera tangan orang itu mencengkeram, senjata Kiong Kim-hun hendak direbutnya mentah-mentah. Karena tidak sempat menarik kembali pedangnya buat menangkis, sedapatnya dia mengegos ke samping, berbareng tangan kiri lantas memapaki cengkeraman orang itu sambil membentak.

   "Biar kau pun tahu kelihaian Jit-sat-ciangku!"

   Rupanya lelaki itupun kenal Jit-siat-ciang yang lihai dan keji dari Oh- hong-tocu, melihat si nona menjadi nekat, orang itu menjadi jeri malah, cepat ia menarik kembali cengkeramannya dan melompat mundur, dengan demikian Kiong Kim-hun menjadi sempat pula menangkis tabasan golok lawan yang sementara itu sedang menabas dari sebelah kiri, berbareng mengelak sambaran cambuk dari sebelah kanan.

   Meski kepungan musuh menjadi rada kendur, tapi Kim-hun tetap tidak dapat membobol keluar.

   "Ha, ha, kepandaian budak cilik ternyata boleh juga, tapi hendak lolos jangan kau harap!"

   Kata orang yang bercambuk dengan tertawa.

   "Hm, kukira kau lebih baik menyerah saja dan mau menjadi bini muda kami, ditanggung kau akan hidup senang dan puas!"

   Keruan dada Kiong Kim-hun hampir meledak saking gusarnya, sedikit meleng saja pedangnya kena direbut oleh lawan yang bertangan kosong tadi. Terkesiap hati Kim-hun, ia pikir.

   "Aku tidak boleh gusar dan terjebak oleh akal licik mereka."

   Maka sebisanya dia menyabarkan diri dan menimbang daya upaya untuk meloloskan diri. Orang yang kepepet cepat mendapatkan akal, tiba-tiba pikiran Kim-hun tergerak, pikirnya.

   "Tampaknya mereka rada jeri terhadap Jit-sat-ciang, mengapa aku tidak menggunakan pukulan itu untuk membobol kepungan mereka?"

   Setelah ambil keputusan, segera ia sengaja menubruk maju sambil mengangkat tangan kiri dan membentak.

   "Hayolah, yang tidak takut mati boleh coba maju!"

   Lelaki yang bergolok terkejut, ia pikir tidak ada harganya menjual nyawa bagi Yim Thian-ngo, karena itu ketika dilihatnya Kiong Kim-hun menubruk ke arahnya, cepat ia mengegos, peluang itu segera digunakan Kiong Kim-hun untuk menerobos keluar.

   "Lari kemana?"

   Bentak orang yang bertangan kosong tadi, kedua tangannya terus mencengkeram. Tanpa pikir sebelah tangan Kim-hun menabas ke arah musuh, terdengar suara "blang"

   Yang aneh, tangannya seperti menghantam pada layar yang tertiup angin dan terpental kembali oleh suatu tenaga, namun si nona tetap sempat menerobos ke sana. Mendadak lelaki bertangan kosong itu berseru tertawa.

   "Jangan takut kawan-kawan, Jit-sat-ciang budak itu belum terlatih sempurna, dia tidak mampu melukai kita."

   Kiranya waktu dia mencengkeram tadi, Kiong Kim-hun memapaknya dengan pukulan Jit-sat-ciang, cepat dia tarik kembali kedua tangannya dan disembunyikan di dalam lengan baju yang longgar.

   Jadi dia telah menyambut pukulan Kim-hun tadi dengan lengan baju untuk menjajal kekuatan si nona.

   Sebab itulah Kiong Kim-hun merasa pukulannya seperti mengenai layar yang mengembang.

   Begitulah lelaki bercambuk tadi juga berseru.

   "Ya, budak itu takkan dapat lolos!"

   Berbareng cambuknya lantas menyabet ke sana. Cepat Kim-hun melompat ke atas untuk menghindar.

   "bret", betapa pun cepatnya dia menghindar, tidak urung ujung bajunya terobek sepotong kecil. Karena rintangan itu, sementara ketiga lawan tangguh itupun sempat memburu tiba dan kembali mengepungnya di tengah, karena sudah tahu kekuatan Kim-hun, ketiga orang itu berani menyerang dengan leluasa. Dengan demikian Kim-hun menjadi payah, sekuat tenaga ia bertahan, hanya sebentar saja ia sudah mandi keringat. Akan tetapi aneh juga, sudah jelas banyak kesempatan ketiga orang itu dapat melukai Kim-hun, tapi hal ini tidak dilakukan mereka, sebaliknya seperti sengaja menghindari untuk melukainya, hanya kepungan mereka semakin rapat dan tidak memberi kesempatan lolos baginya. Kim-hun sudah bertekad tak sudi tertawan musuh, kalau perlu dia lebih suka membunuh diri. Orang yang bercambuk kembali tertawa mengejek.

   "Bagaimana, jelas kau tak mampu mengalahkan kami, tapi kami yang merasa kasihan padamu dan tidak tega melukai kau. Maka lebih baik kau terima tawaran kami dan mau menjadi bini muda kami saja!"

   Sudah murka, Kim-hun gelisah pula. Selagi dia nekat hendak mengadu jiwa dengan mereka, pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang membentak.

   "Berhenti semua!"

   Sungguh di luar dugaan Kiong Kim-hun, orang yang datang ternyata Yim Thian-ngo adanya. Akan tetapi ketiga orang tadi ternyata tidak menghiraukan bentakan Yim Thian-ngo itu dan tetap menyerang Kiong Kim-hun dengan lebih kencang.

   "Di sini Yim Thian-ngo adanya, di wilayah pengaruhku tidak boleh kalian main gila kepada puteri sahabatku! Hayo, berhenti!"

   Bentak Yim Thian-ngo pula. Lelaki bercambuk itu berkata.

   "Yim-sianseng, namamu sudah lama kami kagumi, tapi urusan kami ini hendaklah engkau jangan ikut campur!"

   "Hm, melihat kepandaian kalian, tampaknya kalian bukanlah kaum keroco, tapi mengapa kalian bertiga mengerubut seorang anak perempuan?"

   Jengek Yim Thian-ngo.

   "Tidak tahu malu, tiga lelaki mengeroyok seorang anak perempuan, jangankan dia adalah puteri sahabatku, biarpun tidak kenal juga aku tidak dapat tinggal diam!"

   Orang bergolok lantas berseru.

   "Harap Yim-sianseng maklum, permusuhan Oh-hong-tocu dengan kami sedalam lautan, kami tidak mampu menandingi dia, terpaksa menuntut balas atas diri puterinya!"

   Habis itu, ketiga orang itu menyerang serentak, orang yang bercambuk telah membelit pedang Kim-hun dengan cambuknya, sedangkan golok kawannya lantas membacok.

   Yim Thian-ngo ternyata sudah siap sedia, segera ia menghamburkan tiga buah senjata rahasia mata uang.

   "trang", mata uang pertama telah membentur jatuh golok orang itu, sedang mata uang kedua tepat mengenai pergelangan tangan orang yang bercambuk, tanpa ampun cambuknya juga terlepas dari cekalan. Ilmu silat lelaki bertangan kosong itu paling tinggi, dia sempat menangkap mata uang ketiga yang disambitkan Yim Thian-ngo itu, kontan dia timpukkan kembali. Akan tetapi pada waktu dia menangkap senjata rahasia itu, cepat sekali pedang Kiong Kim-hun telah menusuk dan melukai lengan kirinya.

   "Hm, selama masih bernapas, sakit hati ini pasti kami balas!"

   Kata orang itu dengan penuh dendam. Habis itu mereka bertiga lantas angkat langkah seribu alias kabur.

   "Ha, ha, seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kalau kalian ingin menuntut balas, kapan saja kalian boleh datang padaku!"

   Seru Yim Thian-ngo dengan tertawa. Sikap Yim Thian-ngo itu seperti perbuatan seorang kesatria sejati. Tapi justru lantaran lagaknya yang terlalu dibuat-buat itu malah menimbulkan rasa sangsi Kiong Kim-hun. Pikirnya.

   "Jangan-jangan inilah perangkap yang sudah dia atur agar aku terjebak dan malah berterima kasih padanya?"

   Walaupun begitu, karena orang nyatanya telah menyelamatkan dia, terpaksa ia pun mengucapkan terima kasih. Yim Thian-ngo menghela napas, lalu berkata.

   "Kiong-titli, ayahmu adalah sahabatku sejak lama, waktu mudanya terlalu menuruti wataknya yang keras sehingga dimana-mana dia banyak mengikat permusuhan."

   "Sebenarnya siapakah ketiga orang itu, katanya dendam mereka kepada ayah sedalam lautan, padahal aku tidak pernah mendengar ayah menyebut mereka,"

   Ujar Kim-hun.

   "Berapa banyak musuh ayahmu, mungkin dia sendiri tidak jelas, hanya beberapa orang tertentu saja mungkin cukup menjadi perhatiannya, misalnya Hong-lay-mo-li dan Bu-lim-thian-kiau, kalau kaum keroco saja mana diperhatikan olehnya,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Tapi kepandaian mereka tidaklah lemah, tentu bukan kaum keroco,"

   Ujar Kim-hun.

   "Mana mereka dapat disejajarkan dengan Hong-lay-mo-li umpamanya,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Tentang seluk beluk mereka, aku pun tidak jelas. Cuma baru saja aku menerima sesuatu kabar yang sangat tidak menguntungkan kau."

   "Berita apa?"

   Tanya Kim-hun. Dalam hati dia menduga orang gagal menipunya, jalan selanjutnya tentu pakai gertakan. Benar juga lantas terdengar Yim Thian-ngo berkata.

   "Ada beberapa kelompok orang yang juga musuh ayahmu sedang merencanakan pencegatan padamu, agaknya mereka itupun sehaluan dengan ketiga orang tadi. Kaum buaya Kang-ouw seperti mereka itu pada umumnya berani berbuat apa saja sekali pun dengan cara kotor. Maka menurut pendapatku, lebih baik Kiong-titli menghindari mereka saja daripada terjadi apa-apa, umpamanya Tit-li dapat tinggal sementara di rumahku, ada anak perempuanku juga dapat menemani kau, rasanya kau pun takkan kesepian. Nanti aku akan bantu mencarikan ayahmu, jika ayahmu sudah datang, urusan apa pun yang bakal terjadi tentu takkan kau takuti lagi."

   Walaupun sangsi, tapi Kim-hun pikir lebih baik percaya akan kemungkinan itu daripada tidak percaya, apalagi seorang anak perempuan seperti dirinya, kalau benar terjadi sesuatu dan tertawan oleh mereka, sedikit banyak tentu akan mengalami penghinaan lebih dulu.

   Tampaknya tujuan Yim Thian-ngo membujuk aku mampir ke rumahnya hanya untuk mengambil hati ayah saja.

   Ayah tentu sudah berangkat ke Ho-lin bersama Kok-su Mongol itu, agaknya Yim Thian-ngo belum tahu kabar ini.

   Nanti kalau dia dapat menemukan ayah, sementara itu aku pun dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri.

   Begitulah setelah ambil keputusan, kemudian ia terima baik ajakan Yim Thian-ngo.

   Rumah Yim Thian-ngo terletak di atas Sun-keng-san, gunung itu tidak tinggi, tapi terpencil tempatnya.

   Di atas gunung hanya ada tiga rumah penduduk, dua rumah lainnya adalah buruh tani yang bekerja pada Yim Thian-ngo.

   Jadi sebenarnya di atas gunung boleh dikata cuma terdiri dari satu keluarga Yim saja.

   Rumah Yim Thian-ngo membelakangi gunung, cukup megah tampaknya.

   Ada sebuah taman bunga yang besar dengan dikelilingi pagar tembok.

   Begitu tiba di rumah, pertanyaan pertama Yim Thian-ngo kepada pelayannya ialah dimana anak perempuannya.

   "Sio-cia sedang berlatih silat di taman, entah sudah kembali ke kamar belum,"

   Tutur si pelayan. Selagi Yim Thian-ngo hendak menyuruh memanggil anak perempuannya, namun Kiong Kim-hun telah menyela.

   "Jangan mengganggu latihan Yim-cici, biarlah aku menemuinya di taman saja, Yim-cici tentu juga sudah mewarisi seluruh kepandaian paman, biar aku menambah pengalaman sedikit."

   "Ah, kepandaian budak itu masih terlalu cetek, mana ada harganya untuk ditonton,"

   Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa.

   "Dia lebih muda daripada kau, maka jangan sungkan, anggap saja sebagai adikmu."

   Yim Thian-ngo lantas membawa Kim-hun ke taman bunga yang indah itu, banyak sekali bukit-bukit buatan di sana sini dengan kolam teratai dan tetumbuhan bunga yang beraneka warnanya, semuanya itu laksana sebuah lukisan yang indah.

   Diam-diam Kiong Kim-hun berpikir, tua bangka ini ternyata bisa menikmati kehidupannya.

   Setelah Yim Thian-ngo membawa Kiong Kim-hun menyusuri beberapa bukit-bukitan dan memutari sebuah serambi, kemudian terlihatlah di tengah pepohonan Tho sana seorang gadis jelita sedang berlatih Am-gi (senjata rahasia).

   Senjata rahasia yang dilatih adalah Bwe-hoa-ciam (jarum lembut).

   Waktu itu adalah musim semi, bunga Tho sedang mekar semarak dirubung oleh kawanan lebah dan kupu-kupu, banyak sekali tawon madu tampak sedang mengisap sari bunga dengan mengeluarkan suara mendengung.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di bawah cahaya sinar matahari tertampak berkelebatnya bintik-bintik sinar emas, tawon madu itu kelihatan berjatuhan satu demi satu.

   Waktu Kiong Kim-hun sampai di situ sudah banyak tawon yang terserak di tanah.

   Dengan tertawa Yim Thian-ngo lantas menegur gadis jelita itu.

   "Anak Siau, berhentilah dulu, coba lihat siapa ini yang datang!"

   Nona itu menoleh, lalu menjawab dengan tertawa.

   "Ah, kukira enci ini tentunya Kiong-cici bukan?"

   "Benar,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Kini kau takkan kesepian lagi dengan datangnya nona Kiong untuk menemani kau."

   Dengan girang nona itu lantas berkata pula.

   "Kiong-cici, namaku Hong- siau. Ketahuilah bahwa aku sangat mengharapkan kedatanganmu. Siang tadi ayah pulang dan mengatakan engkau lewat di tempat kami ini, tapi tidak suka mampir, aku menjadi sangat kecewa, siapa duga kini engkau toh datang juga."

   "Aku telah mengganggu latihanmu,"

   Jawab Kiong Kim-hun.

   "Yim-cici, kepandaian jarummu ini sungguh luar biasa, cara bagaimana engkau melatihnya?"

   "Wah, kembali kau banyak membinasakan kawanan lebah lagi,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Ah, ayah teramat meremehkan kepandaian anak,"

   Ujar Hong-siau. Yim Thian-ngo pura-pura tidak paham, tanyanya.

   "Memangnya kepandaianmu ada kemajuannya sehingga kau berani omong besar?"

   "Coba ayah periksa sendiri,"

   Kata Hong-siau.

   Tenyata tawon-tawon yang jatuh di atas tanah itu belum mati, hanya pada sayap setiap ekor tawon itu tertancap oleh sebuah jarum kecil.

   Sembari bicara Yim Hong-siau mencabuti jarum yang menancap di sayap kawanan tawon itu, lalu tawon dilepas dan terbang lagi.

   "Ya, tampaknya latihanmu selama tiga bulan ini tidaklah sia-sia, walaupun belum sempurna, tapi sudah bolehlah,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Tapi kau masih harus berlatih lagi sampai setiap tawon yang kau kehendaki takkan terlepas dari tanganmu, kini kau baru mulai ada kemajuan dan tidak boleh merasa puas sampai di sini saja."

   "Mana anak berani merasa puas, justru anak ingin minta petunjuk lagi kepada Kiong-cici,"

   Ujar Yim Hong-siau.

   "Kabarnya ilmu silat Oh-hong-tocu semuanya merupakan ilmu khas yang tiada bandingannya di dunia persilatan, sedikit kepandaianku tadi tentu bukan apa-apa bagi Kiong-cici."

   Diam-diam Kiong Kim-hun merasa ucapan Yim Thian-ngo tadi seakan- akan secara tidak langsung sedang memperingatkan padanya agar jangan berusaha kabur, kalau tidak, nasibnya pasti akan seperti kawanan tawon tadi dan takkan terlepas dari cengkeraman anak perempuannya.

   Tapi dengan tenang Kim-hun lantas menjawab.

   "Ah, Yim-cici tentu salah dengar obrolan orang. Ilmu silat Oh-hong-tocu mana ada harganya untuk disebut-sebut, apalagi yang diajarkan ayah kepadaku juga cuma sedikit kepandaian biasa saja, mana dapat dibandingkan dengan Yim-cici."

   "Masakah Kiong-cici begini sungkan padaku,"

   Ujar Hong-siau.

   "Ya, aku dan ayahmu adalah sahabat lama, Kiong-titli tidak perlu sungkan dengan Hong-siau,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Kalian sama-sama orang muda dan boleh bergaul lebih akrab. Biar aku membereskan urusan lain, anak Siau, temani nona Kiong pesiar dulu di taman."

   Karena pikirannya sedang terganggu, mana Kiong Kim-hun ada minta buat pesiar segala.

   Sebaliknya Yim Hong-siau ternyata sangat bersemangat, ia membawa Kim-hun berkeliling sekitar taman sambil mengajak bicara tak henti-hentinya.

   Terpaksa Kim-hun melayani sekadarnya, katanya.

   "Yim-cici, taman bunga ini sungguh seperti pulau kahyangan saja."

   "Ah, taman bunga ini mana dapat dibandingkan dengan Oh-hong-to yang konon bunga selalu tumbuh dan mekar sepanjang musim, di situ barulah boleh dikatakan pulau kahyangan,"

   Ujar Yim Hong-siau dengan tertawa.

   "Cuma taman ini memang telah banyak memeras tenaga dan pikiran ayahku. Sebagai orang yang berpengalaman Kiong-cici tentu sudah dapat melihatnya."

   "Aku teramat bodoh, mana tahu seluk-beluk penataan taman segala, masih kuharap Yim-cici suka menerangkan,"

   Sahut Kim-hun.

   "Aku sendiri pun tidak paham, menurut cerita ayah, katanya pepohonan dan bukit-bukitan di taman ini diatur menurut Pat-kwa-tin ciptaan Khong Beng yang terkenal di zaman Sam Kok, bagi orang yang tidak paham, biarpun sudah berputar ke sana dan ke sini, akhirnya tetap tidak dapat menemukan jalan keluarnya dan selalu tersesat kembali ke tempat semula."

   "Wah, sungguh hebat sekali,"

   Ujar Kim-hun dengan tersenyum.

   "Tapi bagaimana kalau orang yang tersesat itu memiliki Ginkang yang tinggi dan main lompat belaka?"

   "Betapa pun tinggi Ginkangnya juga sukar keluar dari taman ini,"

   Kata Yim Hong-siau.

   "Untuk membedakan arah, paling tidak orang harus mendaki bukit-bukitan yang agak tinggi itu. Tapi di antara bukit-bukitan yang satu dengan yang lain jaraknya ada yang dekat dan ada pula yang belasan meter jauhnya, untuk melompat jarak sejauh itu tentu tidak mudah. Apalagi sebagian bukit-bukitan itu bagian atasnya terpasang pula pesawat rahasia."

   "Sungguh rapi benar penataan taman ini,"

   Kata Kim-hun.

   "Sebenarnya dengan kepandaian ayahmu yang tinggi masakah masih kuatir disatroni orang?"

   "Hal ini sukar dikatakan,"

   Jawab Hong-siau.

   "Biarpun ayah cukup disegani di luaran, tapi orang yang tidak suka dan memusuhinya tentu ada pula."

   Kim-hun pikir nona Yim ini tampaknya belum kenal watak asli sang ayah, semoga nona yang masih polos ini tidaklah berjiwa buruk seperti ayahnya.

   Karena usia kedua nona memang sebaya, dengan sendirinya pergaulan mereka cepat menjadi akrab, selesai pesiar di taman bunga, hubungan keduanya sudah tampak sangat mesra seperti kakak beradik saja.

   Malamnya kedua orang tidur sekamar dan setempat tidur, Yim Hong- siau ternyata suka mengobrol, bicara punya bicara, tanpa terasa pembicaraan mengarah kepada urusan pribadi.

   Dengan tertawa tiba-tiba Yim Hong-siau bertanya.

   "Kiong-cici, kabarnya sejak kecil engkau telah dijodohkan kepada Kong-sun Bok, tapi katanya paman Kiong tidak suka padanya. Apakah betul hal ini?"

   "Tentunya paman Yim yang bercerita padamu bukan?"

   Sahut Kim-hun, secara tidak langsung ia mengakui hal itu demi untuk lebih mendekati puteri tuan rumah itu.

   "Menurut ayah, katanya ilmu silat Kong-sun Bok teramat tinggi, entah mengapa paman Kiong tidak suka padanya?"

   Tanya Hong-siau pula.

   "Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, Kong-sun Bok ingin menggabungkan diri dengan kaum pahlawan untuk menghadapi musuh, sebaliknya ayah menyuruh dia ikut ke Oh-hong-to untuk menikah dengan aku, karena dia tidak mau, maka ayah tidak dapat menerima perjodohan kami."

   "Cita-cita Kongsun-kongcu sungguh harus dipuji, tapi maksud paman Kiong kan demi untuk kebahagiaanmu, lebih baik sang suami selalu mendampingi di rumah daripada berkelana dan menyerempet bahaya di dunia Kang-ouw."

   "Dahulu aku pun mempunyai jalan pikiran begitu, tapi kemudian aku berpendapat jalan pikiran demikian tidaklah tepat. Setelah aku berkelana sekian lamanya, dengan mata telingaku sendiri telah kusaksikan banyak kejadian. Kulihat sendiri orang Mongol dan bangsa Nuchen main bunuh rakyat kecil secara kejam, kudengar sendiri ratap tangis kaum ibu yang kehilangan suami atau anak, aku pun menyaksikan perajurit bangsa Han kita yang berkorban di medan bakti, aku mendengar sanak keluarga kaum patriot saling memberi dorongan semangat, ayah menganjurkan putera, istri memberi semangat kepada sang suami agar menghadapi musuh dengan gagah berani dan jangan memikirkan kepentingan pribadi."

   Menyusul Kim-hun lantas menceritakan pengalamannya selama berada di Kim-keh-nia, diuraikannya kisah-kisah nyata yang mengharukan sehingga Yim Hong-siau juga sangat tertarik oleh kisah kepahlawanan itu. Akhirnya Kim-hun menambahi kesimpulannya.

   "Bahwa Oh-hong-to jauh terpencil di lautan bebas sana, huru-hara di daerah Tiong-goan sini sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan sana, tapi kupikir kalau melulu mementingkan kebahagiaan sendiri tanpa menghiraukan nasib berjuta-juta rakyat yang menderita, betapa pun hidup ini menjadi tidak ada artinya lagi."

   "Aku pun pernah mendengar sedikit tentang kisah yang kau ceritakan tadi,"

   Kata Yim Hong-siau.

   "Kongsun-kongcu berjuang demi membela rakyat dan negara memang harus dipuji, cuma menurut ayahku ada suatu pandangan lain. Beliau merasa sebabnya paman Kiong tidak suka kepada calon menantu sendiri, mungkin sekali ada sebab-sebab lain lagi. Menurut pendapat ayah, bukan mustahil ada sesuatu kejelekan Kongsun-kongcu yang diketahui paman Kiong dan hal ini tidak dapat diberitahukan padamu, makanya paman Kiong menentang perjodohan kalian. Tapi menurut pendapatku pribadi, anak gadis seperti kita ini, asalkan mempunyai kekasih yang kita cintai dangan setulus hati, maka itu sudah merupakan kebahagiaan bagi kita, apakah dia orang baik atau orang busuk bukan soal apabila hati kita sudah diserahkan padanya. Tapi hendaklah Kiong-cici jangan salah paham, bukan maksudku hendak mengatakan Kongsun-toako adalah orang busuk."

   "Ya, aku tahu, cuma aku tidak dapat menyetujui pendapatmu,"

   Jawab Kim-hun dengan tertawa.

   "Umpamanya, kalau kekasih kita itu seorang anjing pemburu pihak musuh, ketika engkau mengetahui perbuatannya ini, lalu apakah engkau masih tetap suka padanya?"

   "Sudah tentu kalau terjadi hal demikian adalah soal lain lagi, yang kumaksudkan tentu bukan orang busuk seberat itu,"

   Kata Hong-siau. Tiba-tiba hati Kim-hun tergerak, dengan tertawa ia lantas bertanya.

   "Yim- cici, bukankah engkau juga sudah mempunyai pemuda pujaan? Urusan pribadiku sudah kubeberkan secara terus terang, kini bergilir engkau yang harus menceritakan rahasia pribadimu."

   Muka Yim Hong-siau menjadi merah, katanya.

   "Ah, mana aku dan..... dan dia dapat dibandingkan dengan kalian. Kalian sudah bertunangan sejak kecil, sedangkan aku dan dia adalah kenalan baru."

   "Wah, tentu seorang pemuda yang cakap dan berkepandaian tinggi, hayo lekas jelaskan, kalau tidak akan kukili-kili kau,"

   Kata Kim-hun dengan tertawa sambil menggelitik pinggang Yim Hong-siau. Keruan Yim Hong-siau terkikik-kikik geli, serunya.

   "Jangan..... jangan menggelitik lagi! Baiklah akan kuceritakan padamu."

   Setelah berhenti sejenak, kemudian Hong-siau menutur.

   "Kiong-cici, engkau lebih sering berkelana di dunia Kang-ouw, tentu banyak pula kawanmu di kalangan persilatan. Apakah engkau pernah mendengar nama Yan Ho?"

   "Yan Ho?"

   Kim-hun mengulang nama itu.

   "Rasanya belum pernah kudengar nama ini."

   Yim Hong-siau tampak rada kecewa, katanya.

   "Menurut ayah, katanya dia adalah kesatria muda yang sudah cukup punya nama."

   "Barangkali aku yang kurang pengalaman,"

   Ujar Kim-hun.

   "Aku tidak begitu lama berdiam di Kim-keh-nia, kaum pendekar yang kukenal juga sedikit saja. Kelak kalau aku kembali ke Kim-keh-nia tentu akan kubantu mencarikan keterangan Yan-siauhiap itu kepada Liu Beng-cu."

   Dalam hati Kim-hun berpikir "kesatria muda"

   Dalam pandangan Yim Thian-ngo pasti bukan manusia baik-baik.

   Dugaan Kiong Kim-hun ini memang benar, cuma mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa Yan Ho yang dikatakan itu sesungguhnya adalah Wan-yan Ho, putera Wanyan Tiang-ci yang menjadi panglima pasukan bayangkara kerajaan Kim.

   Begitulah maka Yim Hong-siau lantas menutur pula.

   "Suatu kali aku keluar rumah sendirian dan kepergok beberapa penjahat, sedang aku bertempur, kebetulan dia berlalu di situ dan membantu aku menghalau kawanan bandit itu. Pulang di rumah kulaporkan peristiwa itu kepada ayah. Selang tak lama ayah malah pernah bertemu juga dengan Yan Ho dan memberitahukan padaku bahwa Yan Ho baru dua tahun terakhir ini muncul di Kang-ouw dan baru mendapatkan sedikit nama, cuma belum banyak orang yang mengenalnya."

   Tiba-tiba timbul semacam pikiran aneh dalam benak Kiong Kim-hun, ia menyangsikan apa yang dialami Yim Hong-siau itu, jangan-jangan suatu perangkap lagi seperti halnya Yim Thian-ngo memperlakukan dirinya sekarang ini? Tapi segera ia merasa kesangsiannya itu tidak beralasan, masakah Yim Thian-ngo mempermainkan anak perempuannya sendiri? "Apa yang kau pikirkan, Kiong-cici?"

   Tanya Hong-siau ketika melihat Kim- hun termenung.

   "O, tidak, aku justru ikut bergirang bagimu,"

   Jawab Kim-hun.

   "Dan bagaimana selanjutnya? Kalian sudah pernah bertemu?"

   "Ayah bilang dia akan bertamu ke rumah sini, tapi sudah setahun lamanya belum nampak dia datang,"

   Jawab Hong-siau.

   "Ah, tentunya kau sangat merindukan dia,"

   Kata Kim-hun dengan tertawa.

   "Tapi kau tidak perlu kuatir, asalkan dalam hatimu sudah terisi oleh dia dan hatinya juga memikirkan kau, pula ayahmu juga sangat suka padanya, bukankah segala sesuatu tidak menjadi soal lagi?"

   "Kuceritakan rahasia pribadiku, tapi kau malah menggoda, sungguh busuk kau ini,"

   Omel Hong-siau, tapi di dalam hati sebenarnya sangat manis rasanya.

   Walaupun di mulut Kim-hun bergurau, tapi di dalam hati sebenarnya ia berkuatir bagi Yim Hong-siau.

   Ia yakin orang yang dipuji Yim Thian-ngo pasti bukan orang baik.

   Betapa pun juga, yang jelas setelah percakapan semalam ini, antara Kim-hun dan Hong-siau benar-benar telah terjalin menjadi sahabat karib, sungguh di luar dugaan Kim-hun bahwa hubungan mereka bisa maju begini pesat.

   Tanpa terasa sudah belasan hari Kim-hun tinggal di situ.

   Suatu hari sedang mereka mengobrol di kamar, tiba-tiba seorang pelayan Hong-siau menerobos masuk dengan tertawa gembira.

   "Mengapa tertawa tanpa sebab, masuk juga tidak permisi, sungguh budak tidak tahu aturan,"

   Omel Hong-siau kepada pelayan kesayangannya itu.

   "Lantaran hamba terburu-buru ingin melaporkan kabar gembira, maka lupa kepada aturan,"

   Jawab si pelayan cilik itu.

   "Berita gembira? Berita gembira apa?"

   Hong-siau menegas.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada seorang tamu agung yang datang dari tempat jauh,"

   Kata si pelayan.

   "Ada tamu? Sangkut-paut apa dengan diriku?"

   Ujar Hong-siau.

   "Tamu agung ini bernama Yan Ho, nyonya suruh hamba memberitahukan Sio-cia secara diam-diam, sekarang Yan-kongcu itu sedang bicara dengan Lo-ya di ruang tamu, apakah Sio-cia tidak ingin menemuinya?"

   Kata pelayan itu dengan tertawa. Sungguh tidak kepalang girang hati Yim Hong-siau, tapi sedapat mungkin dia menahan perasaannya dan pura-pura mengomel pula.

   "Ah, dasar kau ini memang suka cari urusan. Kan sudah cukup ayah yang mengiringi tetamunya."

   "Tapi Sio-cia sendiri kan sudah lama mengharapkan kedatangannya?"

   Kata si pelayan pula, betapa pun rasa girang sang Sio-cia tak dapat mengelabui dia.

   "Cis, banyak omong, lekas pergi sana!"

   Omel Hong-siau pula.

   "Eh, bagaimana kalau kita mengintipnya,"

   Tiba-tiba Kim-hun mengusul.

   "Kan pantas juga kalau aku pun diperkenalkan kepada kekasihmu?"

   "Jika ketahuan ayah rasanya tidak enak,"

   Ujar Hong-siau.

   "Tidak enak apa?"

   Kata Kim-hun.

   "Toh ayahmu pasti akan suruh kau menemuinya. Aku sendiri mungkin tak dapat bertemu dengan dia, makanya aku minta kau membawa aku pergi mengintipnya."

   Sesungguhnya Yim Hong-siau sangat ingin bisa melihat pemuda yang sudah lama dirindukannya itu, maka dengan malu-malu kucing kemudian ia pun membawa Kim-hun keluar ruang tamu untuk mengintip.

   Mereka bersembunyi di balik sebuah bukit-bukitan dekat ruang tamu itu, mereka melihat Yim Thian-ngo sedang bicara dengan seorang Kong-cu muda, tidak perlu dijelaskan lagi pemuda itu tentu Yan Ho adanya.

   "Cakap amat Yan-kongcumu ini!"

   Bisik Kim-hun di tepi telinga Hong- siau. Terdengar Yim Thian-ngo sedang berbicara.

   "Yan-kongcu, ilmu Tiam- hiat yang engkau katakan tadi bukankah bernama Keng-sin-ci-hoat?"

   Mendengar istilah "Keng-sin-ci-hoat"

   Itu, Kiong Kim-hun menjadi terheran-heran, bukankah itu ilmu silat yang terdapat pada Hiat-to-tong-jin, mengapa dia begitu paham? Dalam pada itu Yan Ho telah menjawab.

   "Benar, mengingat pengalaman paman Yim sangat banyak, pengetahuanmu yang luas, maka Siautit ingin menanyakan beberapa bagian dari Keng-sin-ci-hoat yang belum kupahami itu, sudilah kiranya paman Yim memberi petunjuk."

   "Ha, ha, ha, Yan-kongcu minta petunjuk kepadaku, hal ini tepat seperti kata peribahasa, tanya jalan kepada si buta!"

   Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa.

   "Ah, paman Yim terlalu rendah hati, Siautit minta petunjuk dengan setulus hati,"

   Kata Yan Ho pula.

   "Kita sekarang sudah seperti orang sendiri, mana aku dapat sungkan padamu,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Bicara terus terang, ada seorang sahabat muda cukup dalam menyelami ilmu Tiam-hiat ini, nama Keng-sin-ci-hoat juga kudengar dari dia. Sudah barang tentu kepandaian gurumu jauh lebih tinggi daripada sahabat mudaku itu, kan lebih baik kalau Yan-kongcu minta petunjuk kepada guru sendiri."

   "Paman Yim, aku pun ingin bicara terus terang bahwa ilmu totokanku ini bukan kudapatkan dari guru, tapi kuperoleh dari sahabat,"

   Kata Yan Ho.

   "Sahabat ini bahkan terlebih muda daripadaku."

   Mendengar sampai di sini, Kiong Kim-hun dan Yim Hong-siau sama- sama timbul perasaan yang berbeda-beda.

   Ucapan ayahnya yang mengakui Yan Ho sebagai orang sendiri bagi pendengaran Yim Hong-siau terasa penuh arti sehingga dia tidak memperhatikan kata-kata selanjutnya.

   Sedangkan Kiong Kim-hun menjadi terheran-heran mendengar keterangan Yim Thian-ngo tentang sahabat mudanya yang mahir ilmu Tiam- hiat itu, siapakah gerangannya yang dia maksudkan? Belum habis berpikir, terdengar Yim Thian-ngo telah mengungkapkan tanda tanya yang timbul dalam benaknya itu, terdengar orang tua itu berkata.

   "Yan-kongcu, dapatkah engkau memberitahu nama sahabatmu itu?"

   "Dan siapakah sahabat muda Yim-locianpwe itu apakah juga dapat diberitahukan padaku?"

   Jawab Yan Ho. Yim Thian-ngo bergelak tertawa, katanya.

   "Baiklah, kita sama-sama menuliskan nama orang yang bersangkutan, lalu dicocokkan."

   Selang sejenak, ketika kedua orang saling memperlihatkan carik kertas yang tertulis nama orang, berbareng mereka menyebutkan nama.

   "Kong-sun Bok!"

   Serentak kedua orang itupun tertawa terbahak-bahak.

   Kim-hun terkejut, ia heran mengapa Kong-sun Bok mempunyai seorang sahabat bernama Yan Ho, padahal belum pernah didengarnya, apakah sahabat baru? Lantaran mendadak mendengar nama Kong-sun Bok, tanpa terasa ia pun bersuara heran, meski keburu ditahan, tapi sudah telanjur bersuara, walaupun sangat lirih.

   Rupanya suara lirih itu dapat didengar oleh Yim Thian-ngo, ia berdehem satu kali dan bertanya.

   "Apakah anak Siau?"

   Terpaksa Hong-siau menjawab.

   "Ya, aku dan Kiong-cici sedang melihat bunga, apa ayah ada tamu?"

   "Kebetulan, memangnya kau hendak kupanggil ke sini,"

   Kata Yim Thian- ngo.

   "Coba lihat, siapa tamu kita ini?"

   Belum lenyap suaranya, Yan Ho lantas menambahkan.

   "Nona Yim, aku sengaja berkunjung kepada ayahmu, tentu tak kau duga bukan?"

   "Yan-kongcu bukanlah orang luar, boleh kalian masuk ke sini untuk menemuinya,"

   Kata Yim Thian-ngo pula.

   Sebenarnya Kiong Kim-hun tiada bermaksud hendak menemui Yan Ho, tapi karena mendengar nama Kong-sun Bok disebut sebagai sahabat orang she Yan itu, ia menjadi ingin tahu duduknya perkara, sudah tentu undangan Yim Thian-ngo itu sangat kebetulan baginya.

   Setelah berhadapan dan diperkenalkan oleh Yim Thian-ngo, Yan Ho berlagak kejut-kejut girang dan berkata.

   "O, kiranya Kiong To-cu adalah ayahmu, nama Kiong To-cu sudah lama kukagumi."

   "Dan ada suatu hal lagi mungkin juga belum kau ketahui,"

   Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa, Kiong-titli ini bukan lain adalah tunangan sahabatmu, si Kong-sun Bok itu."

   "Apa pun dibicarakan padaku, hanya urusan perjodohannya ini Kong- sun Bok tutup mulut rapat-rapat dan tidak pernah dikatakan padaku. Lain kali kalau bertemu pasti akan kuhukum dia minum arak tiga mangkuk besar,"

   Kata Yan Ho dengan tertawa.

   Padahal dia tahu jelas tentang hubungan Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok, tadi dia dan Yim Thian-ngo sengaja membicarakan Keng-sin-ci-hoat dan menyebut nama Kong-sun Bok, tujuannya justru hendak memancing kedatangan Kiong Kim-hun.

   Coba pikir, betapa tinggi ilmu silat Yim Thian- ngo dan Yan Ho, masakah tidak merasa kalau pembicaraan mereka sedang didengar orang? Kiong Kim-hun sendiri merasa sangsi mengapa Kong-sun Bok mengajarkan ilmu andalannya kepada seorang kenalan baru, apalagi untuk memahami Keng-sin-ci-hoat juga tidak dapat dicapai dalam waktu singkat sekali pun orang itu memiliki bakat yang baik.

   Tapi lantaran ingin mengetahui kabar Kong-sun Bok, dengan menahan rasa malu Kim-hun lantas bertanya.

   "Entah dimanakah Yan-kongcu bertemu dengan Kongsun-toako dan sudah berapa lama?"

   Agaknya Yan Ho dapat meraba pikiran si nona, dengan tenang ia menjawab.

   "Aku kenal Kongsun-heng di tempat Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, Bun-tayhiap, kami berkumpul antara sebulan dan setiap hari bertukar pikiran tentang ilmu silat. Ah, sesungguhnya lebih tepat dikatakan aku meminta petunjuk padanya. Mengingat nona Kiong adalah tunangannya, tentu dalam hal Keng-sin-ci-hoat jauh lebih paham daripadaku."

   "Ah, pengetahuanku dalam hal Keng-sin-ci-hoat juga cuma sekadarnya saja, dia tidak pernah mengajarkan padaku dengan sungguh-sungguh,"

   Ujar Kim-hun.

   "Janganlah nona Kiong sungkan-sungkan, biarlah kuperlihatkan Keng- sin-ci-hoat ajaran Kongsun-heng dan dimana perlu harap nona Kiong sudi memberi pembetulan,"

   Kata Yan Ho.

   "Mana aku berani memberi pembetulan segala,"

   Jawab Kim-hun.

   "Cuma Keng-sin-ci-hoat memang pernah kulihat seluruhnya, kalau Yan-kongcu sudi menambah pengalamanku lagi, tentu saja akan kuterima dengan senang hati."

   "Baiklah, asal nona Kiong jangan menertawakan nanti,"

   Kata Yan Ho, segera ia menggulung lengan baju, lalu memainkan Keng-sin-ci-hoat di ruang tamu.

   Kim-hun coba mengikuti permainan orang dengan cermat, ternyata gayanya maupun jurusnya memang benar serupa dengan permainan Kong- sun Bok.

   Agar diketahui bahwa Keng-sin-ci-hoat itu berasal dari gambar Hiat-to- tong-jin, gambar pusaka itu pernah berganti pemilik beberapa kali.

   Pertama adalah pusaka istana kaisar Song, kemudian dirampas oleh bangsa Kim dan akhirnya jatuh di tangan Thio Tay-tian.

   Masing-masing pemegang itu sama- sama mempelajari intisari gambar pusaka itu dan hasilnya hampir sama, perbedaan hanya sedikit saja.

   Keng-sin-ci-hoat yang diperoleh Kong-sun Bok berasal dari cabang Bu-lim-thian-kiau yang mengutamakan banyak gerak perubahan.

   (Kisah "Hiat-to-tong-jin"

   Dapat diikuti dalam cerita Pendekar Latah dan Musuh Di Dalam Selimut).

   Kisah tentang Hiat-to-tong-jin itu sudah pernah didengar oleh Kiong Kim-hun, maka ia menjadi percaya kalau Keng-sin-ci-hoat yang dimainkan Yan Ho itu memang ajaran Kong-sun Bok.

   Cuma dia merasa heran mengapa Kong-sun Bok mau mengajarkan ilmu silat yang diimpiimpikan setiap orang Bu-lim itu kepada seorang sahabat baru? Dan Yan-kongcu inipun maha pintar, hanya berkumpul selama sebulan saja sudah dapat mempelajari Keng-sin-ci-hoat dengan baik.

   Sudah tentu Kim-hun tidak tahu bahwa Keng-sin-ci-hoat gaya Kong-sun Bok itu diperoleh Yan Ho dengan akal licik, selama tujuh hari berturut-turut ia mengajak bertanding kepada Kong-sun Bok sehingga hampir seluruh kemahiran pemuda itu dapat dijiplak olehnya.

   Ia pun tidak tahu bahwa Yan Ho sesungguhnya adalah Wan-yan Ho, putera Wanyan Tiang-ci yang merupakan maha guru Keng-sin-ci-hoat aliran kerajaan Kim daripada ketiga aliran yang disebut tadi.

   Karena dasarnya Wan-yan Ho memang sudah mahir Keng-sin-ci-hoat ajaran ayahnya sendiri, dengan sendirinya teramat mudah baginya untuk menirukan gaya permainan Kong-sun Bok.

   Begitulah ia memainkan Keng- sin-ci-hoat itu dengan semakin cepat, pada suatu jurus "gaya miring", tertampak Yan Ho rada miringkan kepala dan angkat sebelah pundak, tubuhnya kelihatan gemetar sedikit, kalau tidak diperhatikan gerakan yang samar-samar itu sebenarnya tidak kelihatan.

   Melihat itu, Yim Thian-ngo seperti merasa heran dan bersuara perlahan.

   Sedangkan Kiong Kim-hun diam-diam manggut-manggut dan percaya penuh bahwa Keng-sin-ci-hoat itu memang benar ajaran Kong-sun Bok sendiri.

   Selesai memainkan Keng-sin-ci-hoat itu, Yan Ho lantas berkata.

   "Janganlah nona Kiong menertawakan permainanku yang jelek ini, sudah tentu Keng-sin-ci-hoat yang kuperlihatkan masih selisih sagat jauh jika dibandingkan Kongsun-toako."

   "Kalau kau tidak menjelaskan sebelumnya, tentu aku akan mengira kau dan kakak Bok adalah saudara seperguruan,"

   Ujar Kim-hun dengan tertawa.

   "Yan-kongcu, bukan aku sengaja memuji kau, sesungguhnya engkau memang maha cerdik, Keng-sin-ci-hoat ini kalau kau latih beberapa bulan lagi bukan mustahil akan lebih lihai daripada kakak Bok sendiri."

   Mendengar pujian Kim-hun kepada Yan Ho itu, yang merasa paling senang dan bangga adalah Yim Hong-siau. Dengan tersenyum ia tanya sang ayah.

   "Bagaimana pendapatmu, ayah?"

   Dia berharap akan mendengar pujian yang sama dari mulut ayahnya sendiri. Tak terduga Yim Thian-ngo seperti sedang memikirkan sesuatu, ia diam saja tanpa menjawab.

   "O ya, tadi paman Yim seperti bersuara heran, apa barangkali ada melihat sesuatu kelemahan dalam Keng-sin-ci-hoat yang kumainkan tadi?"

   Tanya Yan Ho.

   "Aku sendiri tidak paham Keng-sin-ci-hoat,"

   Ujar Yim Thian-ngo.

   "Cuma menurut teori ilmu silat pada umumnya, memang dalam hatiku timbul sesuatu tanda tanya."

   "Mohon paman memberi penjelasan,"

   Kata Yan Ho.

   "Menurut teori ilmu silat umumnya, baik menyerang maupun waktu bertahan, yang diutamakan adalah serapat mungkin pertahanan di pihak sendiri,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Tapi jurus gaya miring Yan-kongcu tadi tampaknya rada kendur dan memberi peluang bagi musuh untuk menyerang, apakah di dalam gerakan itu memang ada rahasianya?"

   "Entahlah, yang jelas waktu memainkan jurus itu Kongsun-toako juga bergaya begitu dan tentu saja aku menirukannya,"

   Jawab Yan Ho dengan tertawa.

   "Menurut keterangan Kongsun-toako, katanya gerakan kepala miring dan angkat pundak dengan tubuh rada gemetar itu disebabkan sesuatu penyakit yang menghinggapi dia sejak kecil, lantaran sudah biasa, sesudah besar menjadi sukar dihilangkan. Dia menganjurkan aku jangan menirukan gayanya, tapi sukar bagiku untuk mengubahnya. Namun peluang yang kelihatannya akan memberi kesempatan menyerang bagi musuh, menurut keterangan memang disengaja oleh guru Kongsun-toako waktu mengajarnya. Sebab di waktu musuh menyerang, segera ada jurus susulan yang dapat menotok Soan-ki-hiat di dada musuh. Aku sendiri belum pernah bergebrak dengan musuh, maka belum pernah mencobanya."

   "Yang mengajarkan Keng-sin-ci-hoat kepada Kong-sun Bok adalah Bu- lim-thian-kiau,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Bu-lim-thian-kiau sendiri adalah maha guru silat pada zaman ini yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apa yang dikatakannya tentu tidak keliru."

   Sebagaimana pernah diceritakan dalam Pendekar Latah, sejak kecil Kong- sun Bok terkena racun Hoa-hiat-to, maka waktu dia belajar Keng-sin-ci-hoat pada Bu-lim-thian-kiau, meski Bing-bing Taysu telah mengajarkan lwekang yang paling murni kepadanya untuk memunahkan racun Hoa-hiat-to, namun sisa racun belum lenyap seluruhnya, sedangkan "gaya miring"

   Dalam Keng-sin-ci-hoat itu sangat memerlukan tenaga dalam yang kuat, maka setiap kali dia memainkan jurus itu, tanpa terasa tubuhnya lantas gemetar sedikit dan memiringkan kepala serta angkat pundak.

   Begitulah maka Kiong Kim-hun menjadi lebih percaya bahwa Keng-sin- ci-hoat itu memang ajaran Kong-sun Bok, kalau saja Kong-sun Bok mau mengajarkan ilmu andalannya kepada seorang kenalan baru dan menceritakan ciri kelemahan sendiri, tentu di antara mereka memang ada persahabatan yang kekal.

   Dengan tertawa kemudian Yim Thian-ngo berkata.

   "Baiklah, sesudah lelah main silat, kini perlu libur dulu. Anak Siau, kau dan nona Kiong boleh mengiringi Yan-kongcu mengelilingi taman."

   Dalam hati Kiong Kim-hun pikir tidaklah enak mengganggu orang lain yang sedang memadu cinta, maka setiba di taman ia lantas berkata.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Badanku terasa kurang enak, biarlah aku kembali ke kamar buat mengaso saja."

   Sudah tentu Yim Hong-siau pura-pura mau ikut, tapi Kim-hun lantas membisikinya.

   "Aku tidak apa-apa melainkan supaya kau lebih leluasa."

   Baru sekarang Yim Hong-siau tahu maksud Kiong Kim-hun, mukanya menjadi merah, diam-diam ia berterima kasih kepada Kim-hun.

   Setiba di kamar sendiri, semakin dipikir semakin curiga.

   Bahwasanya Kong-sun Bok memang pemuda yang baik hati dan simpatik, hal ini sudah diketahuinya, tapi mengajarkan ilmu rahasia kepada seorang kenalan baru, inilah yang sukar dimengerti.

   Dari nada Yan Ho tadi tampaknya dia memang sahabat karib Kongsun-toako, maka tidaklah heran jika Kongsun-toako menceritakan semua kisah hidupnya.

   Tapi aneh juga, mengapa dia tidak menceritakan urusan diriku dengan dia? Begitulah Kiong Kim-hun tidak habis pikir mengenai persahabatan Kong-sun Bok dan Yan Ho itu, hanya suatu hal yang dia percaya penuh, yaitu Yan Ho memang betul sahabat baik Kong-sun Bok.

   Malamnya Yim Hong-siau rada terlambat kembali ke kamarnya, ketika muncul di kamarnya, dengan tertawa Kiong Kim-hun berolok-olok.

   "Masih pagi begini, kenapa buru-buru pulang?"

   UKANKAH lantaran dirimu?"

   Dengan sikap sungguh-sungguh Yim Hong-siau menjawab.

   "Mestinya dia masih mau bicara lagi dengan kau, tapi kupikir kau tentu juga ingin lekas mengetahui kabar Kongsun-toako, maka aku lantas berjanji dengan dia untuk bicara lagi besok."

   "O, kukira kau memikirkan diriku dan kuatir aku kesepian, makanya lekas kembali ke kamar buat menemani aku. Kiranya kalian sedang membicarakan Kong-sun Bok juga,"

   Kata Kim-hun.

   "Bukankah kabar itulah yang senantiasa kau harapkan siang dan malam? Kenapa sekarang kau berlagak tak acuh?"

   Demikian Hong-siau berolok-olok.

   "Apalagi aku mencari kabar tentang Kongsun-toako kan juga untuk kepentinganmu, betul tidak?"

   

   Jilid 29

   "B Meski ucapan Yim Hong-siau itu disertai senyuman, namun senyuman yang kelihatan sangat dipaksakan. Kiong Kim-hun menjadi heran, rasa sangsinya bertambah.

   "Ada kabar apa mengenai Kongsun-toako, Yim-cici yang baik, harap engkau ceritakan padaku,"

   Pinta Kim-hun akhirnya. Setelah ganti baju dan berbaring satu ranjang, kemudian Yim Hong-siau berkata.

   "Kiong-cici, kita seperti kakak beradik saja, kalau aku bicara secara blak-blakan padamu, tentunya kau takkan marah padaku bukan?"

   Melengak juga Kiong-hun, jawabnya.

   "Mana aku dapat marah padamu. Mengapa engkau berkata demikian, apa barangkali engkoh Bok telah telah mengalami sesuatu?"

   "Ya, ada terjadi sesuatu di luar dugaan, tapi bukan kejadian dia terluka atau mengalami cidera apa-apa,"

   Tutur Hong-siau.

   "Sebenarnya kejadian di luar dugaan bagaimana? Lekas Yim-cici ceritakan saja,"

   Pinta Kim-hun tak sabar dan bingung. Yim Hong-siang menatap Kiong Kim-hun sejenak, tiba-tiba ia menghela napas, lalu berkata.

   "Baiklah, akan kuceritakan padamu. Guru pertama Kong-sun Bok, apakah benar Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau?"

   Kim-hun tidak paham apa hubungan pertanyaan Yim Hong-siau dengan kejadian di luar dugaan atas diri Kong-sun Bok, tapi ia pun menjawab.

   "Benar, meski sejak kecil engkoh Bok mendapatkan gemblengan dari tiga maha guru ilmu silat, satu di antaranya adalah kakeknya sendiri, Kong-sun In, sedangkan dua orang lainnya hanya lantaran kasihan kepada cucu sang kawan yang bernasib malang, maka mereka pun mengajarkan lwekang yang murni untuk menyembuhkan penyakitnya, yaitu racun yang dideritanya karena pukulan Hoa-hiat-to, tapi tingkatan ketiga tokoh angkatan tua itu selisih dua angkatan, maka mereka tak dapat dianggap sebagai guru resmi engkoh Bok, yang resmi diangkatnya sebagai guru ialah Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau. Memangnya ada apa mengenai Kheng-tayhiap?"

   Yim Hong-siau menjawab.

   "Kheng-tayhiap mempunyai nama harum seperti Bu-lim-beng-cu Bun Yat-hoan, keduanya sama-sama pimpinan dunia persilatan yang terkenal, mempunyai guru sebaik itu tentu sangat beruntung bagi Kongsun-toako. Cuma Kheng-tayhiap itu kabarnya juga seorang pejabat militer dengan pangkat Cong-peng apa betul?"

   "Benar, dengan jabatannya itu Kheng-tayhiap telah memimpin pasukannya melawan penyerbuan pasukan Kim, apakah ada orang yang menganggap tindakan Kheng-tayhiap itu tidak tepat?"

   Tanya Kim-hun.

   "Bukan begitu maksudku,"

   Kata Hong-siau. Setelah berhenti sejenak, lalu ia berkata pula.

   "Aku ingin tanya satu hal lagi, apakah betul Kongsun-toako kenal juga putera perdana menteri Han To-yu yang bernama Han Hi-sun?"

   "Tidak kenal saja, bahkan mereka pernah perang tanding,"

   Jawab Kim- hun.

   "Menurut cerita engkoh Bok, pribadi Han-kongcu itu tampaknya tidak begitu baik."

   "Akan tetapi ketika Kongsun-toako berada di Lim-an dia telah menjadi tamu kesayangan sang perdana menteri,"

   Tutur Hong-siau. Kiong Kim-hun terkejut dan menegas.

   "Apa katamu? Kau maksudkan engkoh Bok pernah menjadi tamu di tempat perdana menteri Han To-yu?"

   "Ya, biarlah sekarang kuceritakan lebih jelas dari awal,"

   Kata Hong-siau.

   "Tentunya kau pun tahu tempat kediaman Bun-tayhiap di Thian-tiok-san itu terletak cuma satu hari perjalanan saja dari istana perdana menteri. Kheng- tayhihap sendiri terkadang juga mendekati sang perdana menteri demi mendesak kerajaan agar menghadapi pihak Kim. Malahan belum lama ini Kheng-tayhiap mondok di istana perdana menteri hampir sebulan lamanya."

   "Sebagai Cong-peng yang bertugas pada pos yang penting, kalau Han To- yu mengundangnya ke kotaraja untuk berunding urusan dinas, apa salahnya jika beliau tinggal di rumahnya,"

   Ujar Kim-hun.

   "Aku tidak anggap aneh hal itu, hanya peristiwa itu sedikit banyak ada sangkut-pautnya dengan dirimu?"

   "Ada sangkut-pautnya dengan diriku?"

   Kim-hun menegas dengan melengak. Mendadak ia pun menyadari persoalannya dan berkata pula.

   "O, jadi ketika engkoh Bok berada di tempat Bun-tayhiap, pada saat yang sama gurunya juga berada di tempat perdana menteri."

   "Benar, jarak kedua tempat itu hanya satu hari perjalanan, sebab itu tidak bisa tidak Kong-sun Bok pergi mengunjungi gurunya.

   "Itu kan juga layak. Apakah pada kesempatan itu Han-kongcu hendak menuntut balas padanya?"

   "Bukan, sebaliknya Han Hi-sun mengagumi kepandaiannya dan ingin bersahabat dengan dia, bahkan Han Siang-ya sendiri juga suka padanya,"

   Tutur Hong-siau. Kim-hun rada heran, dia tahu Kong-sun Bok adalah seorang polos dan tidak suka menyanjung orang yang berpangkat, mana Han To-yu dapat menyukai dia?"

   Dengan tertawa ia pun berkata.

   "Tentunya Yan-kongcu yang bercerita padamu bukan?"

   "Benar, Yan Ho mengiringi Kongsun-toako ke sana, maka dia tahu dengan jelas,"

   Kata Hong-siau.

   "Kiong-cici, urusan sudah begini, biarlah kukatakan saja padamu. Kau tentu tahu Han To-yu mempunyai dua anak lelaki dan seorang perempuan, anak perempuannya sebaya dengan Kong- sun Bok, rupanya Han Siang-ya telah penujui Kongsun-toako dan ingin memungutnya sebagai menantu."

   Hampir-hampir Kiong Kim-hun tidak percaya kepada telinganya sendiri, setelah tenangkan diri barulah dia berkata.

   "Apakah betul terjadi begitu? Engkau tidak bergurau padaku? Yan-kongcumu itu ganteng dan cakap, kalau Han Siang-ya mau mencari menantu, jika aku menjadi dia, pertama-tama yang kupilih adalah Yan Ho daripada Kong-sun Bok yang lebih menyerupai anak kampung, mana mungkin Siang-ya penujui dia?"

   "Sama sekali aku tidak bergurau kepada kau,"

   Kata Hong-siau.

   "Menurut cerita Yan Ho, bahwasanya Han Siang-ya penujui Kongsun-toako memang bukannya tidak ada alasannya. Yaitu yang penting adalah karena dia murid Kheng-tayhiap, rupanya Han To-yu ingin merangkul Kheng-tayhiap, kalau anak perempuannya dijodohkan dengan murid kesayangan Kheng-tayhiap, tentu inilah jalan paling baik untuk menarik Kheng-tayhiap ke pihaknya." . Kiong Kim-hun pikir cerita Yim Hong-siau itu memang beralasan, pasukan di bawah pimpinan Kheng Ciau memang terkenal kuat dan gagah berani, kalau Han To-yu ingin memperalat pasukan kuat itu, dia harus berusaha merangkul Kheng Ciau lebih dulu. Karena pikiran ini, tanpa terasa ia tambah percaya pada cerita Hong-siau itu, air mukanya menjadi berubah, tanyanya kemudian.

   "Lalu Kheng-tayhiap menerima kehendak Han Siang-ya itu atau tidak?"

   "Kheng-tayhiap adalah seorang panglima yang jujur dan setia, yang diharapkannya adalah pihak pemerintah bekerja sama dengan laskar rakyat melawan serbuan musuh dari luar, Han To-yu adalah perdana menteri yang berkuasa sekarang, dengan sendirinya harapan Kheng-tayhiap itu harus dicari jalannya melalui sang perdana menteri." ~ Di balik ucapannya itu, tidak perlu dijelaskan lagi dia telah menjawab pertanyaan Kiong Kim-hun itu secara pasti. Nampak wajah Kim-hun berubah, cepat Hong-siau menambahkan lagi.

   "Kiong-cici, segala apa hendaklah kau berpikir jauh, sesungguhnya di dunia ini tidak kurang pemuda yang baik, engkau mesti....."

   Tiba-tiba Kim-hun memotong dengan tertawa.

   "Engkoh Bok dapat menjadi menantu kesayangan Siang-ya kan aku ikut gembira, mana bisa aku berduka mengenai urusan ini. Adik yang baik, aku harus berterima kasih atas ceritamu ini. Malam sudah larut, marilah kita tidur saja."

   Dari suara tertawa Kim-hun yang rada aneh itu Hong-siau merasa tidak enak di hati, ia berbaring searah dengan Kim-hun, tapi mana dapat pulas? Entah lewat berapa lama, mendadak Kiong Kim-hun bangun berduduk bersandarkan dinding ranjang, kedua matanya tampak berkedip, seperti sedang memikirkan sesuatu.

   "Apa yang kau renungkan, Kiong-cici?"

   Tanya Hong-siau heran.

   "Kenapa tidak tidur saja?"

   "O, kiranya kau pun belum tertidur,"

   Kata Kim-hun.

   "Aku sedang memikirkan diri Yan-kongcumu itu. Apakah kau sudah tahu dia orang berasal darimana?"

   Hong-siau menjadi melengak, disangkanya yang menjadi pikiran Kiong Kim-hun adalah Kong-sun Bok, tak tahunya yang ditanyakan justru adalah asal-usul Yan Ho, hal ini sungguh di luar dugaannya. Melihat Hong-siau tertegun, segera Kim-hun menambahkan.

   "Apakah kau merasa aneh akan pertanyaanku ini? Lantaran aku tak dapat pulas, maka mencari bahan pokok pembicaraan dengan kau."

   "Kenapa kau menanyakan asal-usul Yan Ho, apakah kau merasa logat bicaranya rada campur-aduk dari berbagai daerah?"

   Jawab Hong-siau kemudian.

   "Ya, makanya aku tidak dapat menerka dia berasal darimana?"

   Kata Kim- hun.

   "Lantaran sejak kecil Yan Ho suka berkelana, tempat yang dijelajahinya teramat banyak, maka logat bicaranya menjadi ruwet pula,"

   Kata Hong-siau.

   "Menurut keterangannya, dia berasal dari Bu-seng di propinsi Soa-tang. Sebenarnya apa yang mendorong engkau menanyakan asal-usul Yan Ho?"

   Akhirnya Kim-hun menjawab setelah didesak lagi, katanya.

   "Baiklah, aku ingin tanya sesuatu lagi padamu. Apakah Yan Ho juga pernah berkunjung ke Tay-toh (ibukota kerajaan Kim pada waktu itu, kini Peking)?"

   "Entah, aku pun tidak tahu,"

   Jawab Hong-siau.

   "Aku hanya bertemu muka dua kali dengan dia, yang kami bicarakan juga tidak banyak. Tapi bukan mustahil dia pernah berkunjung ke Tay-toh. Kiong-cici, untuk apakah kau menanyakan hal ini? Ada persoalan apakah?"

   "O, tidak ada apa-apa, aku cuma tanya sekadarnya saja, marilah kita tidur,"

   Kata Kim-hun dengan tertawa sambil merebahkan diri lagi.

   Ia pura-pura tidur, tapi pikirannya bergolak hebat dan sukar dibendung.

   Kiranya dari logat bicara Yan Ho itulah Kiong Kim-hun menemukan sesuatu yang mencurigakan.

   Harus diketahui, bahasa daerah di berbagai tempat Tiongkok itu teramat banyak dan sangat ruwet.

   Perbedaan bahasa bangsa Han dan bangsa Nuchen (yang berkerajaan Kim atau Chin) boleh dikata sangat jauh, bahkan sesama bangsa juga banyak bedanya antara bahasa daerah satu dengan daerah yang lain.

   Bahasa bangsa Han yang tinggal di Tay-toh umpamanya juga berbeda dengan bahasa Han yang tinggal di daerah selatan.

   Kiong Kim-hun memiliki bakat ilmu bahasa, selama dua tahun dia berkecimpung di dunia Kang-ouw, tempat yang dijelajahi cukup jauh, bahasa daerah yang dipahaminya juga tidak sedikit, lebih-lebih ketika dia bersama ayahnya ikut Liong Siang Hoat-ong tinggal di Bit-in-koan yang termasuk wilayah kekuasaan pihak Mongol, di sana dijumpainya anak buah Liong Siang Hoat-ong yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ada orang Mongol sendiri, ada orang Han dan ada juga orang Kim.

   Diam-diam ia menaruh perhatian ciri kelemahan orang Kim di waktu berbicara bahasa Han, terutama logat dan kebiasaan bahasa Han di Tay-toh lebih mudah pula dibedakan daripada bahasa Han di tempat lain.

   Menurut rekaan Kim-hun, logat bicara seorang memang bisa terpengaruh oleh logat bahasa setempat yang pernah dikunjunginya, tapi logat "kampung halaman"

   Yang dikuasainya sejak kecil sampai tua sekali pun sukar dilenyapkan, betapa pun dia berusaha menutupinya, suatu ketika tanpa terasa tentu akan terdengar juga logat aslinya. Menurut dugaannya, Yan Ho tidak cuma "pernah"

   Berkunjung ke Tay-toh, tapi dari logat bicaranya, pasti dia dibesarkan di kota itu sejak kecil, bahkan adalah bangsa Kim yang fasih berbahasa Han, bahkan dapat memalsukan dirinya sebagai bangsa Han.

   Berpikir sampai pada titik yang mencurigakan ini, Kim-hun sendiri menjadi terkejut, katanya dalam hati.

   "Mana bisa Yan Ho adalah orang Nuchen? Apakah bukan aku sendiri yang ngawur? Tapi mengapa dia berdusta kepada Hong-siau dan mengaku berasal dari Bu-seng di Soa-tang?"

   Akhirnya terpikir olehnya.

   "Tua bangka Yim Thian-ngo itu sangat licin dan licik, kalau dia berani bersekongkol dengan Tartar Nuchen. Orang yang dipuji olehnya sembilan bagian pasti bukan manusia baik-baik."

   


Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Naga Kemala Putih -- Gu Long Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long

Cari Blog Ini