Pendekar Sejati 27
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 27
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
Sebelumnya Sin Liong-sing sudah punya rekaan nama samaran, maka ia lantas menjawab.
"Aku she Liong bernama Sin. Di jalan pegunungan sana aku bertemu dua bandit, aku tidak mampu menandingi mereka dan melarikan diri, mereka mengejar aku sampai di tepi jurang dan aku terjerumus ke bawah."
"Lwekangmu mempunyai dasar yang kuat, agaknya kau berlatih sejak kecil, siapakah gurumu?"
Tanya si kakek.
"Ah, hanya beberapa jurus yang tak berani ini adalah ajaran ayahku sendiri,"
Jawab Sin Liong-sing.
Ketika ditanya, ia memberikan suatu nama palsu pula ayahnya.
Si kakek merasa tidak kenal nama yang dikatakan Sin Liong-sing, ia mengira mungkin orang juga sudah lama mengasingkan diri seperti dia sendiri, apalagi orang kosen di dunia Kang-ouw pada umumnya banyak yang tak terkenal, maka ia pun tidak curiga.
Rupanya Sin Liong-sing kuatir si kakek kenal pada gurunya, kalau sampai jejaknya diketahui sang guru, bukan mustahil perbuatannya yang memalukan itu akan diketahui dan jiwanya pasti akan melayang.
Sudah tentu mimpi pun dia tidak menduga bahwa Kong-sun Bok akan menutupi perbuatannya yang kotor itu, malahan menyiarkan hal-hal yang baik baginya.
Begitulah si kakek telah manggut-manggut dan berkata.
"Untung sejak kecil kau telah berlatih sehingga tubuhmu sangat kuat, pula Tong-cu-kang (ilmu anak sejati) yang kau latih sampai saat ini masih tetap murni sehingga gangguan apa pun tidak terlalu membahayakan jiwamu. Asal kau mau istirahat sebulan saja di sini, kukira takkan sukar bagimu untuk sembuh seluruhnya."
"Apa artinya Tong-cu-kang? Apakah ilmu yang sangat berguna?"
Tanya si nona.
"Tong-cu-kang hanya dapat dilatih oleh anak laki-laki sejak kecil,"
Kata si kakek dengan tertawa.
"Budak ini tidak pernah pergi dari pegunungan ini, apa pun dia tidak paham. Untuk ini harap Liong-kongcu jangan menertawainya."
Diam-diam Sin Liong-sing terkesiap karena orang ternyata dapat melihat kemurnian tubuhnya yang masih sempurna itu, yakni masih bertubuh jejaka. Ia berdehem sekali, lalu berkata.
"Sejak tadi Wanpwe belum mengetahui nama tuan penolong yang mulia."
"Aku pun sudah hampir duapuluh tahun tak pernah bertemu dengan orang luar sehingga nama sendiri pun hampir terlupa,"
Ujar si kakek dengan tertawa. Tampaknya si nona menaruh perhatian terhadap Sin Liong-sing, katanya kemudian.
"Ayah, lukanya ini rasanya perlu dirawat cukup lama di tempat kita ini?"
Si kakek mengangguk, jawabnya.
"Ya, memangnya ada apa?"
"Jika dia mesti tinggal sekian lama di tempat kita, ini berarti dia bukan lagi orang luar, kalau kita memberitahukan nama kita kan menjadi lebih leluasa untuk saling memanggil,"
Ujar si nona. Kiranya kakek itu dahulu juga tokoh Kang-ouw terkenal, lantaran sesuatu perstiwa, akhirnya dia mengasingkan diri di lembah sunyi ini. Begitulah kemudian si nona lantas memberitahu.
"Kami she Ki, ayah bernama We, aku sendiri bernama Ki Ki, she dan nama berlafal sama." ~ Untuk lebih jelasnya, sambil berkata jarinya juga lantas menggores di tanah sehingga terlihat empat huruf yang cukup indah.
"Nona benar-benar serba pintar, indah benar tulisan nona dengan tenaga jari yang tajam dan kuat,"
Puji Sin Liong-sing.
Dalam hati diam-diam ia pun terkejut.
Kiranya Ki We ini pada duapuluh tahun yang lalu terkenal sebagai seorang gembong iblis yang berdiri di antara yang baik dan yang jahat, cuma munculnya di dunia Kang-ouw tidak lama, setelah melakukan beberapa perbuatan yang mengejutkan, habis itu mendadak lenyap.
Tanpa sengaja Sin Liong-sing juga pernah mendengar gurunya dan kawannya membicarakan Ki We dan menaksir tokoh aneh ini tentu sudah mati, siapa tahu hari ini justru diketemukannya di sini.
Menurut cerita, katanya tingkah laku Ki We rada aneh, rada eksentrik, tapi tampaknya sekarang toh biasa saja seperti orang umumnya, sekali pun tak dapat dikatakan ramah-tamah, tapi juga mudah didekati.
Ia tidak tahu bahwa sebabnya Ki We bersikap ramah padanya bukannya tidak mempunyai alasan.
Begitulah berkat pertolongan Ki We, setelah dirawat sebulan, perlahan kesehatan Sin Liong-sing dapat dipulihkan, kini ia sudah dapat berjalan kemana suka.
Tanpa terasa musim semi sudah tiba, suatu hari cuaca cerah, Ki Ki mengajak Sin Liong-sing pesiar ke belakang gunung.
Sudah tentu Liong-sing terima baik ajakan itu.
Menghadapi nona jelita dengan suasana yang indah itu, pikiran Sin Liong-sing merasa lapang dan semangat segar.
Ketika melintasi sebuah sungai kecil, Ki Ki berkata kepadanya.
"Lepaskan sepatumu, biar kupayang kau ke seberang sana."
"Biar kucoba melompat saja ke sana, entah sudah kuat belum,"
Kata Liong-sing.
"Kau baru sembuh, jangan coba-coba dulu, kalau sampai terjatuh lagi tentu akan repot,"
Ujar Ki Ki.
"Mengapa engkau sedemikian baik padaku?"
Kata Liong-sing. Ucapan ini sebenarnya cuma pancingan belaka. Tak terduga air muka Ki Ki mendadak berubah merah dan menjawab.
"Asal kau tahu saja!"
Sikapnya tampak malu-malu kucing penuh arti. Sin Liong-sing menjadi tertegun, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nona jelita yang masih hijau itu dapat jatuh cinta padanya. Ia menjadi girang dan kejut. Pikirnya.
"Ki We berusaha menyelamatkan jiwaku sedapatnya, kiranya disebabkan anak perempuannya ini. Anak dara ini baru mulai mengenal cinta, aku cukup tampan, pantas kalau dia menyukai aku. Kini aku perlu perlindungan Ki We, kalau anak perempuannya jatuh cinta padaku, hal ini jelas sangat menguntungkan aku."
Tapi mendadak teringat pula olehnya akan diri Hi Giok-kun, mungkin isterinya itu mengira dia sudah meninggal.
Setelah kejadian tempo hari, sekali pun masih ada harapan buat bertemu kembali, namun sukar juga rasanya untuk dapat berkumpul lagi sebagai suami-isteri.
Ya, mengapa aku tidak pura-pura mencintai anak dara ini agar dia bergembira.
Baginya toh tidak rugi, sebaliknya menguntungkan diriku, kenapa tidak kulakukan?"
"Eh, apa yang kau pikirkan, Liong-toako? Lekas lepaskan, sepatumu!"
Kata Ki Ki pula.
"Adik Ki, rasanya hari ini adalah hari yang paling gembira bagiku,"
Kata Sin Liong-sing dengan tertawa. Di balik ucapannya ini jelas hendak mengatakan bahwa gembiranya disebabkan dia mengetahui maksud hati Ki Ki. Pipi Ki Ki menjadi merah, omelnya.
"Hayolah, jangan melamun, batu kali berlumut dan licin, biar kupegangi kau untuk menyeberang, awas kalau jatuh!"
Tapi Sin Liong-sing lantas melangkah ke dalam sungai itu dengan kaki telanjang, katanya dengan tertawa.
"Segar sekali air sungai yang jernih ini!"
Tanpa sengaja ia menunduk, permukaan air mencerminkan wajahnya.
Sekonyong-konyong tertawa Sin Liong-sing menjadi beku, kulit daging mukanya serasa kaku semua.
Ia menjerit sekali, kakinya terpeleset dan hampir tergelincir jatuh.
Cepat Ki Ki menahannya dan bertanya.
"He, kenapakah kau?"
"Ken..... kenapa kau tidak katakan padaku....."
Kata Sin Liong-sing dengan napas terengah.
"Mukaku telah berubah menjadi begini, selanjutnya cara..... cara bagaimana aku dapat bergaul di luar?"
Kiranya tempo hari sesudah jatuh ke bawah jurang, mukanya ikut tergores luka oleh duri cemara sehingga penuh meninggalkan bekas luka, kini mukanya boleh dikata seburuk siluman, sampai dirinya sendiri pun tidak kenal lagi.
Padahal biasanya Sin Liong-sing suka bangga akan ketampanan sendiri serta kemahiran dalam ilmu silat dan sastra yang serba pintar, kini mendadak mengetahui diri sendiri telah berubah menjadi muka siluman, tentu rasa dukanya jauh melebihi segalanya.
Tapi berbareng ia pun paham duduknya perkara, pantas di rumah Ki Ki tidak diketemukan sebuah cermin pun, tentu cermin telah disembunyikan agar ia tidak tertusuk perasaannya bila mengetahui mukanya sendiri yang sudah rusak itu.
Begitulah dengan suara halus Ki Ki lantas berkata.
"Wajah seseorang tidaklah menjadi soal, yang lebih penting adalah hati sanubarinya yang baik. Liong-toako, sesungguhnya engkau tidak perlu berduka mengenai hal ini, orang lain tidak suka padamu, yang pasti aku tetap suka padamu."
Sebenarnya Sin Liong-sing cuma hendak main-main saja dengan si nona, setelah mendengar ucapan itu, tanpa terasa dia sangat terharu, air mata lantas bercucuran, katanya.
"Tapi pribadiku ini mungkin tidak sebaik sebagaimana yang kau sangka."
"Mana mungkin,"
Ujar Ki Ki.
"ayahku pernah memuji dirimu, katanya kau ramah dan berbudi, boleh dikata seorang pemuda tampan yang jarang dilihatnya."
Bahwasanya Sin Liong-sing memang cakap dan serba pintar, hal ini memang nyata, cuma Ki Ki tidak tahu sebabnya sang ayah memujinya, yang utama adalah demi untuk menyenangkan hati puterinya sendiri.
Begitulah seketika itu timbul rasa senang dan malu dalam lubuk hati Sin Liong-sing, hampir saja ia hendak menyatakan penyesalannya di depan Ki Ki tentang segala perbuatannya yang memalukan di masa lampau.
Cuma sayang dia tidak punya keberanian untuk berterus terang, cukup lama hatinya merasa bimbang, tapi akhirnya rasa kuatirnya telah membatalkan niat baiknya itu.
Segera terpikir pula olehnya.
"Jika dia mengetahui aku adalah manusia serendah itu, apakah dia masih dapat menyukai diriku?"
Karena rasa kuatir inilah dia telan kembali apa yang mestinya hendak diutarakannya itu. Kemudian Ki Ki berkata pula.
"Ayahku mahir ilmu pengobatan, bisa jadi beliau akan mendapatkan sesuatu obat untuk menyembuhkan kau.
"Muka manusia adalah pembawaan, kalau aku ditakdirkan mesti berubah menjadi begini, ya, apa mau dikata lagi, aku pun tidak berani bermimpi akan dapat pulih kembali sepeti sediakala,"
Kata Liong-sing dengan tersenyum getir.
"Adik Ki, begini baik kau kepadaku, untuk ini saja aku sudah bersyukur dan sangat berterima kasih."
Rupanya Sin Liong-sing juga berpikir bahwa mukanya yang rusak itupun bukan tiada gunanya, kalau dirinya sendiri sampai pangling, tentu Suhu dan Hi Giok-kun juga takkan dapat mengenalinya lagi.
Maka kelak kalau lukanya sudah sembuh, dengan leluasa dia akan dapat berkecimpung di dunia Kang- ouw pula, dengan demikian tidak perlu lagi kuatir Kong-sun Bok akan melaporkan perbuatannya kepada sang guru.
"Biarlah anggap saja Sin Liong- sing sudah mati, selanjutnya aku adalah Liong Sin yang belum dikenal di kalangan Kang-ouw,"
Demikian pikirnya. Melihat Sin Liong-sing tidak begitu berduka lagi, Ki Ki ikut gembira, ia mengusap air matanya dan berkata.
"Memangnya kita datang ke sini untuk pesiar, kita harus gembira. Lihatlah, di dinding tebing sana itu ada bunga yang elok sekali!"
"Ah, sungguh cantik sekali, bunga apakah itu?"
Tanya Liong-sing.
"Namanya Po-jun-hoa (bunga musim semi), bilamana bunga ini mulai mekar, tandanya musim semi pun akan tiba,"
Tutur Ki Ki.
"Po-jun-hoa, bagus sekali namanya,"
Kata Liong-sing.
"Jika kau suka, akan kupetik setangkai untukmu,"
Kata Ki Ki.
"Jangan, dinding tebing itu sangat curam, berbahaya,"
Ujar Liong-sing.
Akan tetapi Ki Ki sudah lantas berlari ke sana, sekali loncat, segesit kera dia terus memanjat ke atas dinding tebing itu dan dapat memetik setangkai bunga Po-jun-hoa yang paling besar, kemudian diantarkan kepada Sin Liong- sing.
Sin Liong-sing menerima bunga elok itu, tapi pandangannya justru tertuju kepada Ki Ki.
"He, bukannya bunga yang kau pandang, mengapa aku yang kau pandang?"
Omel Ki Ki.
"Bunga ini sangat bagus dipandang dari jauh, tapi di depanmu bunga ini menjadi kurang menarik,"
Kata Liong-sing.
"Sebab apa?"
Tanya Ki Ki.
"Sebab kau terlebih cantik daripada bunganya,"
Ujar Liong-sing.
"Betapa bahagianya siluman bermuka buruk seperti aku ini dapat mendampingi bidadari seperti kau."
Senang sekali rasa hati Ki Ki, dengan suara perlahan ia berkata.
"Kau sengaja membikin senang aku saja atau bicara dengan sesungguh hati?"
Baru saja Sin Liong-sing mau bersumpah untuk menguatkan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara berdehem satu kali, satu orang mendadak muncul dari balik batu karang sana.
"He, ayah, engkau juga datang ke sini!"
Seru Ki Ki terkejut.
Hati Sin Liong-sing menjadi kebat-kebit, ia pikir jangan-jangan ucapanku tadi telah didengar semua oleh Ki We dan entah bagaimana pandangannya terhadap diriku? Dalam pada itu Ki We telah memandang sekejap kepada Sin Liong-sing, lalu berkata.
"Tampaknya kalian pesiar dengan sangat gembira. Aku datang untuk mencari kau."
"Ada urusan apakah, paman?"
Tanya Liong-sing.
"Kau boleh pulang dahulu, anak Ki,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Ki We.
"Aku ingin bicara dengan Liong-toakomu."
Ki Ki tahu maksud sang ayah, ia yakin apa yang hendak dibicarakan ayahnya tentu menyangkut perjodohannya. Maka dengan muka merah ia berlagak mengomel.
"Ayah, urusan apakah sehingga anak sendiri pun tidak boleh ikut mendengarkan?"
Walaupun begitu dia tetap melangkah pergi ke jurusan rumah. Melihat anaknya sudah pergi jauh, habis itu barulah Ki We berkata kepada Sin Liong-sing.
"Apakah lukamu sudah sembuh?"
"Ya, sudah sembuh, terima kasih atas segala pertolongan paman,"
Kata Liong-sing.
"Tidak,"
Tiba-tiba Ki We berkata.
"lukamu bagian luar memang sudah sembuh, tapi ternyata masih ada semacam penyakit dalam yang belum bisa disembuhkan, apakah kau sendiri tidak mengetahuinya?"
Sin Liong-sing melengak, tapi segera ia paham penyakit apa yang dimaksud Ki We, tanpa terasa mukanya menjadi merah.
Ia menjadi ragu- ragu apa barangkali Ki We mengetahui penyakitnya ini dan dengan sendirinya anak perempuannya tak mungkin dikawinkan kepadanya.
Malah bisa jadi dia akan marah karena aku berusaha memelet anaknya.
Tapi Ki We ternyata tidak membicarakan soal anak perempuannya, kembali ia bertanya pula.
"Di rumahmu masih ada siapa lagi?"
"Sejak kecil Siautit sudah yatim piatu, hanya ada seorang bibi saja,"
Jawab Sin Liong-sing.
"Aku tahu kau masih belum beristeri, tapi entah kau sudah mengikat jodoh belum?"
Tanya Ki We pula.
"Be..... belum,"
Terpaksa Sin Liong-sing menjawab, ia pikir hubunganku dengan Giok-kun toh tak mungkin dipupuk kembali, rasanya tidak perlu kuberitahukan. Ki We tampak mengangguk, katanya pula.
"Syukur kau belum mengikat jodoh, kalau tidak anak perempuan orang tentu akan kau bikin susah. Coba katakan terus terang padaku, kau pernah berbuat sesuatu apa yang tidak benar sehingga orang tega turun tangan keji padamu?"
Otak Sin Liong-sing dapat bekerja dengan cepat, segera ia dapat merangkai suatu cerita bohong, katanya.
"Ada seorang iblis yang cukup terkenal di dunia persilatan, namanya Oh-hong-tocu, apakah paman mengetahuinya?"
"Duapuluh tahun yang lalu pernah kudengar namanya,"
Jawab Ki We.
"Waktu itu dia sudah menghilang dari Tiong-goan. Tidak lama kemudian aku pun mengasingkan diri, karena itu belum pernah kukenal dia."
Diam-diam Sin Liong-sing bergirang, ia pikir cerita bohongnya itu tentu takkan diketahui.
"Apakah Oh-hong-tocu itu yang berbuat keji padamu?"
Tanya Ki We pula.
"Benar,"
Jawab Liong-sing. Ki We rada heran, katanya.
"Orang muda seperti kau ini mengapa bermusuhan dengan Oh-hong-tocu?"
Dengan lagak penasaran Sin Liong-sing menghela napas, lalu berkata.
"Tanpa bersalah Siautit telah ikut terkena getahnya."
"Mengapa bisa terjadi begitu?"
Tanya Ki We.
"Waktu mudanya bibiku terkenal sangat cantik, kabarnya Oh-hong-tocu pernah meminangnya tapi telah ditolak oleh bibi,"
Tutur Sin Liong-sing.
"Sebab itulah kemudian Oh-hong-tocu meninggalkan Tiong-goan dengan rasa kecewa."
"O, ada peristiwa begitu?"
Kata Ki We.
"Aku cuma mendengar Oh-hong- tocu berkomplot dengan Kong-sun Ki, kemudian dikalahkan oleh Hong-lay- mo-li dan kawannya, lantaran tidak dapat menancapkan kaki lagi di Tiong- goan, maka kabur ke suatu pulau terpencil."
"Aku tidak tahu peristiwa itu, hanya begitulah menurut cerita yang kudengar dari bibi,"
Ujar Liong-sing. Ki We seperti terkenang kepada sesuatu, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata.
"Orang yang kecewa dalam cinta, terkadang dapat melakukan sesuatu yang tak terduga. Bisa jadi kedua sebab itupun menjadi dorongan bagi kaburnya Oh-hong-tocu. Kemudian bagaimana?"
"Tiga tahun yang lalu tiba-tiba Oh-hong-tocu muncul pula di Tiong-goan dan mencari bibi, agaknya bibi sudah pangling padanya, tapi dia masih tetap dendam kepada kejadian lama. Bibi telah diculiknya, katanya bibi akan disiksa selama hidup. Lebih dari itu aku pun menjadi korban, dia mencekik leherku dan memaksa aku minum satu cawan arak berbisa. Katanya supaya keluarga Liong kami putus turunan seterusnya."
Rupanya Sin Liong-sing sudah mempunyai rekaan, dia pikir kalau mengaku Si Bwe yang meracuni dia, tentu Ki We akan tanya siapa itu Si Bwe dan mengapa mahir menggunakan obat racun yang aneh dan hebat itu.
Padahal ahli racun di dunia ini hanya beberapa orang saja, kecuali bibinya sendiri mungkin cuma Oh-hong-tocu saja.
Dari sini Ki We tentu tidak sukar untuk menduga siapa bibinya yang dimaksud itu dan ini berarti cerita bohongnya akan terbongkar.
Apalagi kalau persoalan Si Bwe itu diceritakan tentu malah akan menimbulkan rasa curiga yang lebih besar bagi Ki We.
Sebabnya Sin Liong-sing sengaja mengalihkan kesalahan kepada Oh- hong-tocu, soalnya Oh-hong-tocu memang terkenal sebagai iblis yang bernama busuk serta ahli menggunakan racun, tentang ini Ki We tentu percaya saja.
Di samping itu, Oh-hong-tocu tinggal jauh di pulau terpencil sana, Ki We juga mengasingkan diri di pegunungan sunyi, seumpama Oh- hong-tocu kebetulan datang ke Tiong-goan, rasanya mereka berdua juga takkan bertemu, (dalam hal ini Sin Liong-sing ternyata tidak tahu bahwa Oh- hong-tocu belum pulang ke Oh-hong-to).
Lebih dari itu, tentang diculiknya sang bibi oleh Oh-hong-tocu memang peristiwa yang nyata dan sungguh-sungguh terjadi, andaikan kelak kedua pihak kebetulan bertemu, dia akan mendahului menegur Oh-hong-tocu yang angkuh, tentu takkan menyangkal kejadian itu.
Dan kalau Oh-hong-tocu mengakui kejadian itu, maka hal-hal lain yang dikarangnya biarpun kemudian Oh-hong-tocu hendak membantah, tentu Ki We akan lebih percaya kepada ceritanya.
Apalagi watak Oh-hong-tocu yang keras dan angkuh itu tidak mungkin mau banyak bicara, begitu ditegur tentu dia akan terus mengamuk.
Begitulah Ki We lantas percaya saja kepada cerita bohong Sin Liong-sing, dengan gusar ia berkata.
"Hm, sungguh teramat jahat Oh-hong-tocu itu, aku sendiri pun pernah berbuat kejahatan, tapi aku pun tidak dapat menyetujui perbuatannya yang keji itu. Hm, sekali waktu bila Oh-hong-tocu kepergok olehku, betapa pun juga akan kutuntut balas bagimu."
"Ki-lopek sudah menolong jiwaku, mana aku berani pula membikin susah engkau untuk membalaskan sakit hatiku?"
Cepat Liong-sing berkata.
"Apa lagi Oh-hong-tocu berdiam di pulau terpencil jauh di lautan sana, janganlah Ki-lopek menempuh bahaya."
Padahal tiada maksud Ki We buat pergi dari tempat pengasingannya, ia menghela napas dan berkata.
"Aku sih takkan berkecimpung lagi di Kang- ouw, rasanya Oh-hong-tocu juga takkan mencari diriku ke sini, jadi sulit rasanya untuk memergoki dia. Cuma jika kau ingin menuntut balas, kukira juga bukan tak ada harapan."
Dalam hati Sin Liong-sing sangat girang, tapi ia berlagak gugup dan berkata.
"Kabarnya racun yang lihai ini tidak hanya membikin orang putus turunan, bahkan kelak ada kemungkinan timbul penyakit Cau-hwe-jip-mo, walaupun paman dapat menyembuhkan lukaku, kelak jiwaku mungkin juga sukar dipertahankan, lalu cara bagaimana akan dapat menuntut balas?"
"Siapa bilang racun ini dapat mengakibatkan Cau-hwe-jip-mo? Jangan kau percaya bualan Oh-hong-tocu, dia cuma menggertak kau saja,"
Ujar Ki We.
Maka legalah hati Sin Liong-sing, diam-diam dia mengutuk Wan-yan Ho yang telah berdusta dan menakut-nakutinya sehingga dia merana dan mengalami nasib demikian ini.
Ia pikir kalau sudah sembuh, kelak harus menuntut balas.
Ia pun berpikir kalau Ki We menyatakan tidak sukar baginya untuk menuntut balas, tentunya dia dapat menyembuhkan penyakitnya ini.
Tapi Ki We ternyata diam saja, sampai sekian lama masih bungkam.
Baru Sin Liong-sing hendak memancing ucapannya, tiba-tiba Ki We menghela napas, lalu berkata.
"Apa benar kau tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak baik? Kumaksudkan kau pernah berbuat dosa terhadap anak gadis orang?"
Dengan lagak orang jujur Sin Liong-sing menjawab.
"Selamanya Siautit hidup berdampingan dengan bibi, orang yang kukenal tidaklah banyak, lebih-lebih tidak pernah bergaul dengan kaum perempuan segala."
Ia rada heran mengapa Ki We menghela napas ketika bertanya padanya. Kemudian Ki We berkata pula.
"Jika betul begitu, aku pun tidak perlu kuatir lagi. Kau tidak tahu, lantaran aku sendiri pernah berbuat sesuatu kesalahan sehingga aku sangat menyesal, sebab itu pula aku pun tidak ingin berkecimpung lagi di dunia Kang-ouw."
Baru sekarang Sin Liong-sing paham, pantas Ki We begitu sayang pada anak perempuannya, rupanya dia pernah berbuat sesuatu yang tidak baik kepada ibu Ki Ki.
Walaupun hatinya ingin tahu, tapi tak berani dia bertanya.
Lalu Ki We berkata pula dengan perlahan.
"Kalau Oh-hong-tocu menghendaki keluarga Liong kalian putus turunan, maka aku justru akan berusaha menggagalkan tujuannya."
"Engkau dapat mengobati penyakitku ini, Ki-lopek?"
Tanya Liong-sing girang. Ki We mengangguk, jawabnya.
"Asal kau dapat mempelajari lwekang perguruan kami ini, maka penyakitmu akan sembuh dengan sendirinya tanpa obat."
"Entah Siautit dapat diterima ke dalam perguruan Ki-lopek tidak?"
Cepat Sin Liong-sing bertanya pula.
"Lwekang perguruan kami ini tidak diajarkan kepada orang luar, kau ingin menjadi muridku, maka kau harus menjadi anggota keluarga Ki lebih dulu,"
Jawab Ki We.
"Jiwa Siautit ini diselamatkan oleh paman, maka apa yang paman kehendaki dari diriku pasti akan kuturut saja."
Ki We tersenyum, katanya.
"Persoalan ini tidak dapat dipaksakan, tapi harus ditentukan olehmu secara sukarela. Si Ki Ki sangat menyukai kau, bagaimana dengan pikiranmu?"
Memang yang ditunggu-tunggu Sin Liong-sing tidak lain ialah ucapan Ki We ini, maka tanpa pikir lagi segera ia berlutut dan menyembah, katanya.
"Jika paman tidak menolak dan sudi menjodohkan puterimu kepadaku, sungguh Siautit merasa beruntung sekali dan melebihi apa yang kuharapkan. Ayah mertua yang terhormat, terimalah hormat anak menantu ini......"
Belum habis ucapannya, tiba-tiba Ki We mengulur tangan dan mengangkat perlahan tubuhnya dan berkata.
"Nanti dulu, jangan terburu- buru pakai penghormatan demikian, masih ada yang ingin kukatakan lagi. Sesudah persoalan jelas dibicarakan dan kau masih tetap mau menjadi menantuku, tatkala itu barulah kau boleh sebut aku sebagai ayah mertua."
Sin Liong-sing berdiri dengan hormat, katanya.
"Ya, silakan Ki-lopek bicara."
"Begini,"
Kata Ki We.
"Jika kau telah jadi menantuku, sekaligus kau pun menjadi muridku, untuk itu kau harus memenuhi tiga syaratku. Pertama, tidak boleh berdusta kepada guru dan menodai leluhur, untuk pelanggaran ini hukumnya ialah mati, apakah kau sanggup?"
Terasa berat Sin Liong-sing oleh syarat pertama ini, seketika ia berkeringat dingin, tapi ia masih berani menjawab.
"Ya, Tecu pasti takkan berbuat begitu dan tetap taat kepada peraturan perguruan."
"Bagus. Syarat kedua, jika kau berbuat sesuatu yang mengingkari anak perempuanku, biarpun kelak aku sudah meninggal juga aku mempunyai cara tertentu untuk mencabut jiwamu."
"Tecu beruntung dapat mempersunting anak perempuan Ki-lopek, hal ini adalah rezeki yang menimpa diriku, mana Tecu berani lagi berpikiran jelek?"
Jawab Liong-sing.
"Dan syarat yang terakhir adalah, sesudah kau meyakinkan ilmu silat perguruan, kau harus melaksanakan sesuatu tugas bagiku,"
Kata Ki We pula.
"Tugas urusan apa?"
Tanya Liong-sing.
"Akan kuberitahu bila tiba waktunya,"
Jawab Ki We.
"Mungkin adalah tugas yang sangat ringan, tapi bisa juga tugas yang maha berat, pendek kata kau harus tunduk dan melakukannya menurut perintahku."
Diam-diam Sin Liong-sing merasa syarat terakhir ini teramat aneh, tapi ia pun menjawab.
"Baiklah, asal Suhu yang memberi perintah, biar terjun ke lautan api atau air mendidih juga akan kulakukan."
Dengan senang Ki We lantas berkata pula.
"Baik, mulai hari ini juga aku lantas mengajarkan pengantar ilmu lwekang perguruan kita."
Cepat Sin Liong-sing menyembah tiga kali dan memanggil "ayah mertua"
Dengan hormat, Ki We bergelak tertawa dan membangunkannya, katanya.
"Sudahlah, kita pulang saja, si Ki Ki tentu sudah menunggu dengan tidak sabar."
Sampai di rumah, Ki We lantas memanggil.
"Anak Ki, kemarilah, kalian mulai dengan adat baru, sejak kini kalian saling sebut sebagai kakak dan adik."
Ki Ki tampak rada kecewa, katanya.
"Apakah ayah telah terima dia sebagai anak angkat?"
Ki We tertawa, jawabnya.
"Dia sudah kuterima sebagai murid dan juga kupungut sebagai menantu. Cuma usiamu masih muda, maka kupikir tiga tahun lagi baru akan melangsungkan pernikahan kalian. Kini kalian saling memanggil kakak dan adik supaya lebih mesra sedikit. Tentunya kau tidak menyalahkan ayah sengaja menunda pernikahanmu toh?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan malu-malu girang Ki Ki berkata.
"Ah, kenapa ayah menggoda anak sendiri?"
"Baiklah, ayah tidak bergurau lagi,"
Kata Ki We.
"Nah, anak Sin, ikutlah aku!"
Ki We lantas mengajak Sin Liong-sing ke suatu kamar, katanya.
"Sekarang aku mulai mengajarkan lwekang padamu, kau harus tahan uji sedikit."
Lalu ia menguraikan kunci cara bagaimana berlatih, kemudian sebelah tangan menahan di punggung pemuda itu dan suruh dia melakukan latihan sebagaimana diajarkannya.
Segera Sin Liong-sing merasa suatu arus hawa panas menyalur dari tangan orang ke punggungnya, ketika ia melakukan latihan menurut petunjuk tadi, seketika sekujur badan terasa panas laksana dibakar dan sukar ditahan.
Sin Liong-sing merasa heran, padahal setiap kali dia berlatih lwekang ajaran gurunya sendiri, biasanya terasa darah berjalan lancar dan sekujur badan terasa segar.
Mengapa lwekang ajaran Ki We ini begini aneh.
Jangan- jangan lwekang dari golongan Sia-pay? Tapi demi sembuhnya penyakit, terpaksa ia mengertak gigi untuk bertahan.
Nampak pemuda itu punya keteguhan tekad, Ki We mengangguk memuji, katanya.
"Asal kau tahan derita, selang beberapa hari saja tentu kau akan merasakan manfaatnya."
Begitulah cara berlatih itu terus berlangsung hingga beberapa hari, setiap hari berlatih tiga kali.
Selang lima hari, benar juga keadaan semakin tambah baik, rasa tersiksa semakin berkurang, malahan seperti orang yang mengisap candu, kalau tidak berlatih rasanya seperti ketagihan.
Lwekang aneh itu ternyata membawa hasil yang pesat, hanya sebulan saja Sin Liong-sing sudah merasa penuh tenaga dalam dan bersemangat, ia yakin penyakitnya yang menekan jiwa dahulu itu tentu sudah lenyap, tenaga kelaki- lakiannya pasti sudah pulih sepenuhnya.
Ki Ki bersifat lincah dan terbuka, dia tidak pantang bergaul dengan Sin Liong-sing, hanya juga dalam batas-batas tertentu dan tidak melampaui garis kesopanan.
Lama-lama timbul juga rasa cinta, Sin Liong-sing benar-benar telah mencintainya.
Cuma pada waktu malam, dalam keadaan sunyi senyap Sin Liong-sing juga selalu terkenang pada Hi Giok-kun, pikirannya menjadi risau.
Sesudah penyakit dalam Sin Liong-sing itu sembuh, lalu Ki We berkata padanya.
"Tentang ilmu silat perguruan kita boleh kau belajar kepada Sumoaymu saja, ilmu silat keluargamu sendiri mempunyai dasar yang kuat, tentu tidak sukar bagimu untuk belajar ilmu silat perguruan kita ini. Setelah kau berlatih sebulan dua bulan dengan Sumoay, nanti aku sendiri mengajarkan kau lagi."
Begitulah tanpa terasa sebulan berlalu pula, suatu hari Sin Liong-sing dan Ki Ki berlatih di luar rumah, mereka menuju ke sungai kecil itu, kuatir melihat bayangan muka sendiri yang buruk, Sin Liong-sing terus melompati sungai itu, namun begitu tidak urung bayangan sendiri juga tertampak sekilas, tanpa terasa ia menjadi murung.
"Pernah kutanyakan ayah, beliau mengatakan ada cara yang dapat memulihkan wajahmu yang asli,"
Tutur Ki Ki.
"Cuma beliau ingin menunggu lagi tiga tahun baru akan memberitahukan cara pengobatannya dan suruh aku yang mengobati engkau. Untuk urusan ini aku sampai bertengkar dengan ayah, sebab aku minta sekarang juga beliau suka mengobati kau. Sungguh aneh, dalam segala hal ayah suka menuruti permintaanku, hanya urusan inilah dia tetap menolak dan harus tunggu lagi tiga tahun."
Sin Liong-sing menjadi teringat kepada pernyataan Ki We bahwa tiga tahun lagi baru akan melangsungkan pernikahan mereka, ini berarti setelah mereka menjadi suami-isteri baru mau mengobati mukanya yang rusak itu.
Ia menjadi heran, apa sebabnya Ki We sengaja berbuat demikian? Apakah dia tidak suka anak perempuannya mendapatkan suami yang cakap? Mengapa mesti menunggu tiga tahun lamanya? Begitulah Sin Liong-sing tidak habis mengerti maksud Ki We itu, tapi lantas terpikir olehnya bahwa wajahnya lebih baik buruk seperti sekarang ini, sebab dengan demikian kenalan lama menjadi pangling padanya dan hal ini akan lebih menguntungkan dirinya.
Maka dengan tertawa ia lantas berkata.
"Adik Ki, asalkan kau tidak mencela diriku, memangnya aku pun tidak perlu muka cakap segala. Kehidupan seperti sekarang ini bukankah cukup bahagia bagi kita?"
"Engkoh Sin, sudah tentu aku tidak mempersoalkan mukamu, tapi aku tahu kau sangat berduka mengenai mukamu yang rusak ini. Aku tahu, jangan kau dustai aku."
"Tidak, kini aku malah tidak ingin memulihkan mukaku yang asli lagi. Kukatakan dengan setulus hati, kuharap kau jangan memohon lagi kepada ayahmu."
Karena Sin Liong-sing bicara dengan sungguh-sungguh, Ki Ki menjadi heran malah, tanyanya.
"Sebab apa?"
"Sebab dengan muka buruk begini engkau juga suka padaku, maka apalagi yang kuharapkan pula. Aku justru berharap selama hidupku ini akan bahagia seperti sekarang ini."
Alangkah sedap rasa hati Ki Ki, katanya.
"Betulkah begitu? Asalkan kau gembira, tentu aku pun gembira. Aku pun suka keadaan seperti sekarang ini, akan kudampingi kau dengan bahagia untuk selama hidup."
"Percayalah padaku, aku berkata dengan setulus hatiku,"
Kata Liong-sing. Berulang dua kali ia menegaskan setulus hati, padahal ucapannya ini bukanlah setulus hatinya. Kini yang dia pikirkan adalah.
"Lebih baik kalau orang sudah pangling padaku, dengan demikian tak mungkin hidup bersama dia lagi, tapi puas rasanya asal dapat bertemu satu kali lagi dengan dia. Hanya entah selama hidup ini dapatkah bertemu pula dengan dia?"
Berpikir sampai di sini barulah dia menyadari bahwa bayangan Giok-kun ternyata cukup mendalam terukir di dalam hati sanubarinya. Cepat ia tenangkan diri agar tidak sampai rahasia hatinya diketahui oleh Ki Ki.
"He, apalagi yang kau pikirkan? Marilah kita berlatih pedang, apakah Ngo-heng-kiam-hoat sudah kau pahami?"
Tanya Ki Ki.
"Boleh kita latih nanti saja,"
Jawab Liong-sing.
"Adik Ki, aku ingin tanya sesuatu padamu, janganlah kau marah dan anggap aku terlalu sembrono."
"Urusan apa, katakan saja, aku takkan marah padamu,"
Ujar Ki Ki.
"Bagaimanakah ibumu, mengapa selama ini belum pernah kudengar kau menyebutnya?"
Tanya Liong-sing. Muka Ki Ki menjadi merah, katanya.
"Siapa nama ibuku, sampai saat ini aku pun tidak tahu. Aku cuma tahu hari lahirnya jatuh pada satu hari sesudah Tiong-ciu, yaitu tanggal enambelas bulan delapan. Setiap kali tiba hari lahirnya ini, diam-diam aku menjadi terkenang kepada beliau."
"Mengapa ayahmu tidak memberitahukan padamu?"
Tanya Liong-sing.
"Bahwa nama ibu sendiri tidak diketahui, betapa pun hal ini teramat luar biasa."
"Menurut ayah, katanya ibu meninggal lantaran sulit melahirkan. Ayah sangat cinta kepada ibu, setiap kali teringat kepada ibu tentu sangat berduka, sebab itu sejak kecil aku sudah dibiasakan tidak boleh bicara tentang ibuku dengan ayah."
"Habis darimana pula kau mendapat tahu hari lahir ibumu?"
"Sebab pada setiap malam tanggal enambelas bulan delapan, di luar tahuku di tengah malam ayah tentu keluar rumah dan menangis sedih. Pada suatu kali kupergoki kelakuan ayah itu, sesudah kutanya barulah ayah memberitahukan hari lahir ibu itu."
"Tingkah laku Ki We ini benar-benar sangat aneh,"
Demikian pikir Liong-sing.
"Engkoh Sin, tampaknya hari ini engkau kurang bersemangat, marilah kita pulang saja dan berlatih besok,"
Ajak Ki Ki.
Tanpa pikir Sin Liong-sing lantas terima baik usul itu.
Semula dia ingin mengurung diri di dalam kamar untuk mengenangkan kisah hidupnya dengan Hi Giok-kun di masa yang lampau, tak terduga setiba di rumah segera Ki We lantas memanggilnya untuk membicarakan sesuatu, bahkan mengenai urusan yang sama sekali tak terduga olehnya.
Ki We memanggilnya ke kamar tulis dan berkata.
"Ilmu lwekang perguruan kita sudah kuajarkan padamu, ilmu silat perguruan yang lain tentu juga sudah lumayan kau pelajari bukan?"
"Ya, berkat petunjuk Sumoay, walaupun belum paham seluruhnya, tapi rasanya ada kemajuan juga,"
Jawab Liong-sing.
"Bagus, jika begitu besok juga kau boleh turun gunung,"
Kata Ki We.
"Tentang kunci ilmu pedang Ngo-heng-kiam-hoat, malam nanti akan kuberi petunjuk seperlunya."
Sin Liong-sing terkejut dan bergirang pula, katanya cepat.
"Apakah..... apakah Suhu hendak menugaskan sesuatu kepada Tecu?"
"Benar,"
Jawab Ki We.
"Apakah kau masih ingat syarat yang kukemukakan bahwa kau harus melakukan sesuatu tugas bagiku? Nah, sekarang juga kau akan kuberi tugas pekerjaan itu."
Hati Sin Liong-sing berdebar-debar, sebab tak diketahuinya bagaimana bentuk tugas yang dimaksud itu, katanya kemudian.
"Silakan Suhu memberi perintah saja."
"Aku ingin kau membunuh seorang perempuan, selain itu menempeleng dua kali seorang lelaki!"
Kata Ki We. Liong-sing menjadi heran, tanyanya.
"Macam apakah kedua orang lelaki dan perempuan itu?"
"Yang laki bernama Gak Liang-cun, kini menjabat Ti-hu (bupati) kota Yang-ciu, dan yang perempuan adalah isterinya yang ketiga,"
Tutur Ki We.
"Pada tanggal delapanbelas bulan tiga nanti adalah hari ulang tahun keenampuluh Gak Liang-cun, tentu di rumahnya akan diadakan pesta besar dan isteri tua serta kedua isteri mudanya pasti akan keluar pula untuk melayani tamu. Tatkala itu kau boleh menyusup ke sana, bagaimana caranya boleh terserah padamu. Yang penting di depan para tamu hendaklah kau menempeleng dia dua kali, lalu membunuh pula isterinya yang ketiga itu. Jangan salah membunuh isterinya yang pertama. Selisih usia kedua isteri mudanya dan isteri pertama kira-kira belasan tahun, tentunya mudah dibedakan, hanya antara isteri kedua dan ketiga bilamana kau tidak dapat membedakan mereka, maka boleh juga kau membunuh keduanya."
"Orang macam apakah Ti-hu kota Yang-ciu itu dan mengapa harus membunuh isteri mudanya?"
Tanya Sin Liong-sing. Ia pikir kalau pembesar itu adalah pembesar korup dan suka menindas rakyat, maka yang harus dibunuh kan pembesar itu sendiri, mengapa malah isterinya yang mesti dibunuh. Dengan nada kurang senang Ki We menjawab.
"Apa yang kukatakan boleh kau lakukan saja dan tidak perlu banyak bertanya."
Tanpa alasan disuruh membunuh seorang perempuan, betapa pun Sin Liong-sing merasa tidak tega.
Tapi watak Ki We begitu aneh, terpaksa ia mengiakan.
Ia pikir setiba di Yang-ciu nanti, membunuh atau tidak adalah urusanku, mana dia dapat mengawasi diriku lagi.
Demikianlah ia lantas mengiakan.
Menyusul Ki We lantas berkata pula.
"Urusan ini jangan sekali-kali kau katakan kepada orang lain, biarpun ditanya anak Ki juga jangan kau katakan."
Dengan hormat kembali Sin Liong-sing mengiakan. Sikap Ki We menjadi halus kembali, dengan ramah ia bertanya pula.
"Asal kau dapat melaksanakan tugas ini dengan baik, tidak perlu tunggu lagi tiga tahun, begitu kau pulang ke sini segera akan kulangsungkan pernikahanmu dengan anak Ki. Ini, ada dua bungkus obat untukmu."
Karena perubahan pokok persoalan yang mendadak ini, Sin Liong-sing menjadi tertegun, tanyanya kemudian.
"Untuk apakah kedua bungkus obat ini?"
"Yang bungkusan merah ini digunakan untuk merendam kepala manusia,"
Tutur Ki We.
"Setelah perempuan hina itu kau bunuh, obat ini kau campur dengan air untuk merendam kepala perempuan itu, hanya sekejap saja kepala akan mengecil sehingga sebesar kepalan. Lalu kau bawa pulang untukku."
Sin Liong-sing merinding oleh cerita itu, katanya kemudian.
"Dan yang bungkus wama putih ini?"
"Bungkus ini untuk kau sendiri,"
Tutur Ki We.
"Ilmu lwekang perguruan kita sangat cepat dilatih, tapi untuk mencapai tingkatan sempurna adalah sulit. Ketika aku mengajarkan kunci pertama berlatih, lantaran sedikit teledor aku menjadi lupa memikirkan hal ini."
Sin Liong-sing terkejut, cepat ia bertanya.
"Apakah ada bahayanya?"
"Bahaya besar sih tidak ada,"
Jawab Ki We.
"Kau sendiri sudah mempunyai dasar lwekang dari aliran lain, setelah berlatih lwekang ajaranku, kedua ilmu yang berlainan cara berlatih ini ada manfaatnya juga ada pertentangannya, sebab itulah meski kau dapat mencapai kemajuan dengan pesat, namun selanjutnya setiap sebulan sekali kau akan menderita penyakit sebagaimana permulaan kau berlatih, hanya terlebih hebat daripada itu. Karena aku tidak dapat mendampingi kau untuk membantu dengan tenaga murni, maka ada resiko bagimu akan kemungkinan Cau-hwe-jip-mo. Maka bungkusan obat ini perlu kau bawa, diminum menjadi enam kali, setelah habis minum obat ini tentu takkan terjadi apa-apa lagi. Urusan Yang-ciu pergi pulang dan waktu yang kau perlukan, kukira cukup setengah tahun saja."
Sin Liong-sing cukup cerdik, segera ia paham duduknya perkara.
Kiranya Ki We sudah mengatur sesuatu sebelumnya, maka mau melepaskan dia pergi ke Yang-ciu, sebab mau tak mau dia harus tunduk kepada perintahnya, bahkan terpaksa harus pulang lagi ke pegunungan sunyi ini.
Diam-diam Sin Liong-sing mengakui kelihaian dan kelicikan Ki We.
Kemudian ia pun bertanya pula.
"Dan sesudah itu apakah perlu lagi minum obat?"
"Tidak perlu lagi,"
Kata Ki We.
"Tapi perlu menunggu lagi sampai kau berhasil meyakinkan lwekang perguruan kita dengan baik barulah obat tidak diperlukan lagi. Kau jangan kuatir, kelak pasti akan kuajarkan segenap rahasia ilmu lwekang perguruan kita. Kau terlebih pintar dan berbakat dariku, kalau kau sudah berhasil dengan baik meyakinkan lwekang kita, maka kau pun akan menjadi seorang tokoh besar ilmu silat di dunia ini."
Dalam hati Sin Liong-sing tertawa getir, masakah masih berharap akan menjadi tokoh silat segala, asal dapat melepaskan diri dari kekanganmu sudah cukup bagiku.
Demikian pikirnya.
Teringat kepada lwekang aliran Ki We ini sudah seperti candu baginya, tidak dilatih rasanya ketagihan, kalau dilatih nyatanya juga berakibat buruk.
Lantaran ini pada perjamuan perpisahan malamnya dia menjadi lesu, bicara dengan Ki Ki saja rasanya kurang semangat.
Sebaliknya Ki Ki mengira Sin Liong-sing merasa sedih dan berat untuk berpisah dengan dia, maka ia pun merasa berduka, tapi juga terhibur.
Esoknya ketika berpisah, Ki Ki malah menghiburnya agar bersabar dan hati- hati dalam perjalanan, setengah tahun dengan cepat akan berlalu dan mereka pun dapat bertemu lagi.
Lebih jauh Ki Ki juga bertanya tugas apa yang diberikan ayahnya itu.
Sin Liong-sing memberi alasan.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah piatu, yang ada cuma orang tua dari tingkatan paman, maka urusan pernikahanku perlu juga dimintakan restu mereka." ~ Ditambahkannya pula.
"Menurut Suhu, bila aku pulang ke sini segera pernikahan kita dapat dilangsungkan. Bukankah kau sudah diberitahu oleh ayahmu?"
Dari ucapan Liong-sing ini membuktikan apa yang dikatakan ayahnya memang benar, tentu saja hati Ki Ki menjadi senang. Dengan muka merah ia berkata.
"Ah, entahlah. Jadi cuma urusan ini saja dan tiada urusan lain?"
Hati Sin Liong-sing tergerak, ia pikir apakah si nona mengetahui tidak urusan di Yang-ciu itu? Belum ia bersuara pula, terdengar Ki We berkata di dalam rumah.
"Anak Ki, biarkan kakakmu berangkat, mengapa kata-kata kalian tidak habis- habisnya, kan dapat disambung pula kalau dia sudah pulang kelak. Toh dia takkan pergi lama, hanya setengah tahun saja dia tentu akan pulang."
Tersadar juga Sin Liong-sing oleh suara Ki We itu, ia pikir untung aku tidak berusaha bertanya kepada Ki Ki. Kalau saja dia tadi menanyai si nona, bukan mustahil semuanya telah didengar oleh Ki We. Kembali muka Ki Ki bersemu merah, katanya.
"Ayah, aku cuma mengantar sebentar saja, masakah engkau menertawai anak sendiri. Baiklah Liong-toako, semoga engkau lekas sampai di tempat tujuan dan lekas pulang pula, aku senantiasa menantikan kau."
Melihat kesungguhan hati Ki Ki, tanpa terasa hati Sin Liong-sing rada terharu, diam-diam ia menyesali dirinya sendiri.
"Ai, dia mana tahu bahwa saat ini yang kupikirkan justru bukan dia melainkan ada lagi orang lain."
Yang-ciu, tempat tujuan yang ditugaskan Ki We kepadanya itu justru adalah kampung halaman Hi Giok-kun, Pek-hoa-kok, tempat kediaman keluarga Hi yang terkenal itu terletak di luar kota Yang-ciu.
Begitulah Sin Liong-sing melanjutkan perjalanan, semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin dekat pula dengan Hi Giok-kun.
Memang yang selalu terkenang olehnya bukan lain daripada Hi Giok-kun.
"Kini dia berada di Kim-keh-nia atau berada di rumahnya? Jika berada di rumah, aku dapat pergi menjenguknya secara diam-diam. Dia tentu pangling padaku. Tapi setelah bertemu, lalu apa yang dapat kubicarakan dengan dia?"
Demikianlah Sin Liong-sing menjadi bimbang sendiri dan timbul pula penyesalan akan perbuatannya sendiri yang telah lampau itu.
Saat itu Hi Giok-kun memang berada di rumah, pulangnya ke rumah sudah lebih sebulan yang lalu, di rumahnya tinggal seorang budak tua tukang kebun saja, taman bunga sudah lama tak teratur lagi.
Semula waktu baru pulang di rumah, hati Giok-kun merasa sudah kering, pikiran sudah beku, sepanjang hari dia hanya mengurung diri di dalam kamar saja dan malas untuk keluar.
Sebenarnya dia harus menyampaikan berita kematian Sin Liong-sing itu kepada Bun Yat-hoan selaku guru sang suami, akan tetapi setelah dipikir beberapa kali, ia merasa tidak punya keberanian untuk berdusta di depan Bun Yat-hoan, sedangkan kalau melapor menurut kejadian sesungguhnya, dia merasa lebih-lebih tidak mempunyai keberanian demikian.
Maka dia memutuskan takkan keluar rumah lagi, ia berharap orang lain akan melupakan dia dan dia pun akan melupakan orang lain, biar dia hidup aman tenteram sendirian di Pek-hoa- kok yang sunyi itu.
Tapi dapatkah orang lain melupakan dia? Teringat olehnya akan Kok Siau-hong, teringat pula kepada Han Pwe-eng, kepada kakaknya sendiri, Hi Giok-hoan.
Terkenang juga kepada Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun dapatkah dia melupakan orang-orang ini? Jelas tidak dapat! Lebih-lebih terhadap Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng! "Mereka tentu sudah menikah di Kim-keh-nia? Apakah mereka pernah membayangkan aku sedang berduka sebatangkara di Pek-hoa-kok sini?"
Demikian pikirnya.
Sang tempo adalah obat yang paling baik, demikian kira-kira kata-kata peribahasa.
Musim semi sudah tiba, meski taman bunga itu tidak terawat, tidak permai sebagaimana di masa yang lalu, tapi bunga-bunga tetap mekar di tengah semak rumput dan di samping reruntuhan pagar tembok yang sudah ambruk.
Suatu hari dia dan si budak tua sedang mengatur tanaman di tengah taman, melihat keadaan kini dan terkenang kepada masa lalu, ia menjadi gegetun.
Katanya.
"Hanya dua tahun meninggalkan rumah, taman ini ternyata sudah telantar begini. Eh, orang tua, apakah kau masih ingat waktu dahulu, bila tiba waktu begini kita tentu memetik bunga untuk bahan penyulingan arak, kerja kita menjadi sibuk sekali."
"Ya, dahulu di taman ini sedikitnya ada beberapa puluh orang yang bekerja, tapi kini tinggal Sio-cia dan hamba berdua saja,"
Ujar budak tua itu.
"Sebelum Sio-cia pulang, hanya hamba sendiri yang menjaga taman ini, mana hamba sempat menanam bunga segala, keruan taman yang indah ini menjadi telantar begini, apakah Sio-cia marah padaku?"
Sebagai keluarga besar dan ternama, biasanya kaum budak pelayan dan sebagainya di rumah keluarga Hi sedikitnya ada ratusan orang banyaknya. Maka Giok-kun telah menjawab.
"Kau tetap berada di sini untuk menjaga taman ini, untuk ini saja aku merasa sangat berterima kasih, mana aku dapat marah lagi padamu? Kemanakah mereka itu, mengapa tertinggal kau sendiri saja?"
"Sio-cia tidak tahu bahwa sesudah engkau pergi, daerah Kang-lam selalu kacau, keamanan, sekitar Tiang-kang terganggu oleh bajak Su Thian-tik, kabarnya gerombolan bajak itu berkomplot dengan pihak Mongol. Untung akhir-akhir ini bangsa Nuchen, dan Mongol sama tidak bergerak sehingga keadaan rada aman. Tapi orang-orang kita sudah banyak yang masuk ke laskar rakyat di daerah Kang-lam, hanya karena usiaku sudah lanjut sehingga hamba tidak ikut."
Mendadak Giok-kun tersadar, laksana seorang yang sedang mimpi tidak keruan mendadak terjaga bangun.
Diam-diam ia merasa malu sendiri, kalau saja kaum hamba saja tahu berjuang untuk bangsa dan negara, masakah aku sendiri malah bersembunyi di rumah dan menyesali nasib sendiri, apa artinya ini? Melihat Giok-kun termenung, budak tua itu bertanya.
"Apa yang kau pikirkan, Sio-cia?"
"O, tidak apa-apa, marilah kubantu kau,"
Jawab Giok-kun sambil mencabut rumput.
Sementara itu sang surya sedang memancarkan sinarnya terang benderang, bayangan gelap yang tadinya menyelimuti pikiran Giok- kun tanpa terasa seperti buyar juga oleh sinar sang surya.
Tiba-tiba terdengar seorang menegur.
"He, Ong tua, apakah masih ingat padaku?"
Pintu taman bunga itu memangnya sudah rusak dan belum dibetulkan.
Maka orang itu dapat melangkah masuk begitu saja.
Waktu Giok-kun berpaling, kiranya Tian It-goan adanya, yaitu budak tua keluarga Han Pwe- eng.
Tian It-goan sebenarnya juga tokoh Kang-ouw yang cukup punya nama, lantaran pernah mendapat pertolongan ayah Han Pwe-eng, makanya dia rela menjadi budak keluarga Han.
Dahulu dia dan budak tua satunya lagi, yaitu Liok Hong, mengawal Han Pwe-eng ke Yang-ciu untuk menikah, kemudian terjadi geger penyerangan kepada Pek-hoa-kok, kemudian kedua pihak dapat didamaikan, Liok Hong pulang ke Lok-yang dan Tian It-goan pergi ke Kang- lam dan bertugas di bawah Bun Yat-hoan.
Waktu Giok-kun menikah dengan Sin Liong-sing ia pun ikut membantu dalam pesta yang meriah itu.
Masa yang lalu sudah buyar laksana asap, tapi Giok-kun toh merasa serba kikuk demi nampak Tian It-goan.
Sesudah memberi hormat, lalu Tian It- goan bertanya pula.
"Dimanakah Sin-siauya? Dia diharapkan lekas pulang oleh Bun-tayhiap, banyak urusan sedang menunggunya."
Mata Giok-kun menjadi merah, jawabnya.
"Dia..... dia tak dapat lagi pulang ke sana!"
Tian It-goan terkejut dan cepat bertanya.
"Apa sebabnya?"
"Dia..... dia sudah meninggal!"
Jawab Giok-kun dengan terguguk, tak tertahan lagi air mata pun bercucuran. Seketika Tian It-goan terkesima, katanya kemudian.
"Sungguh sama sekali tidak terduga. Cara bagaimanakah Sin-siauya bisa meninggal?"
"Dia bertemu Wan-yan Ho dan kena dikerjai pangeran negeri Kim itu, urat nadinya terluka dan akhirnya tak tertolong,"
Tutur Giok-kun. Habis berdusta demikian, tanpa terasa ia menjadi malu, ia menunduk dan tak berani menatap Tian It-goan.
"Nona jangan terlalu berduka, kami berjanji pasti akan menuntut balas bagimu,"
Kata Tian It-goan.
"Bilakah Sin-siauya meninggal? Belum kau kirim berita duka ini kepada Bun-tayhiap?"
"Dia meninggal lebih tiga bulan lalu, kebetulan juga kedatanganmu ini, harap engkau menyampaikan berita ini kepada Bun-tayhiap,"
Jawab Giok- kun. Tian It-goan mengangguk, katanya.
"Baik, tentu akan kulaporkan kepada Bun-tayhiap, cuma dalam waktu singkat mungkin aku belum dapat pulang ke sana."
"O ya, aku belum bertanya, untuk urusan apakah kedatanganmu ini?"
"Maksudku hendak melihat apakah Hi-siauya sudah pulang belum, tak tersangka Hi-siauya belum bertemu malahan sudah bertemu dengan nona dahulu."
"Koko belum pulang,"
Kata Giok-kun.
"Ada urusan apakah kau mencari kakakku?"
Tian It-goan tampak ragu-ragu sejenak, kemudian berkata.
"Urusan ini perlu juga kurundingkan dengan nona, cuma....."
"Cuma apa?"
Giok-kun menegas.
"Kebetulan nona sedang berduka....."
Giok-kun cukup cerdik, segera ia dapat menduga apa maksud kedatangan Tian It-goan, katanya.
"Ah, agaknya kau hendak minta bantuan kakakku bukan? Katakan saja, asal mampu, aku pun bersedia membantu kau."
"Tapi bukan urusan pribadiku, hal ini....."
"Apakah urusan dinas laskar rakyat? Kau kuatir aku membocorkan rahasia?"
"Bukan begitu maksudku. Soalnya urusan ini sangat penting, aku mempertimbangkan pantas tidak nona ikut tampil ke muka umum."
"Coba katakan saja, biar kita berunding bersama."
"Aku mendapat tugas dari Bun-tayhiap dan baru kembali dari Kim-keh- nia, kami bermaksud mengadakan perampasan besar-besaran pada kaum pembesar korup dalam kota Yang-ciu, sedikitnya perbuatan kami ini pasti akan menggembirakan rakyat jelata."
"Pembesar korup mana yang kalian berencana akan merampasnya?"
Tanya Giok-kun.
"Ialah Ti-hu kota Yang-ciu sendiri, Gak Liang-cun."
"Ya, pembesar she Gak itu memang bukan manusia baik-baik. Sesudah dia menjabat Ti-hu di Yang-ciu, setiap tahun dia menambah beban pajak rakyat jelata sehingga rakyat jelata umumnya mengomel kalang-kabut."
"Tidak cuma itu saja, dia malah bersekongkol dengan Su Thian-tik, hampir sebagian besar perbekalan kawanan bajak Su Thian-tik itu disokong langsung oleh Gak Liang-cun."
"Bukankah Su Thian-tik telah menyerah kepada pihak Mongol?"
"Meski antara bangsa Mongol dan bangsa Nuchen juga terus berperang, tapi tujuan mereka hendak mencaplok kerajaan Song kita adalah sama. Paling akhir ini negeri Kim dan Mongol telah berdamai, dengan sendirinya orang Nuchen (negeri Kim) mengharapkan kawanan bajak Su Thian-tik mengacau besar-besaran di daerah Kang-lam sebagai perintis jalan bagi pihak Kim. Bahwa Gak Liang-cun memberi perbekalan kepada Su Thian-tik, tentu semua ini mendapat restu dan seizin majikannya."
Waktu itu Yang-ciu sudah jatuh dalam kekuasaan kerajaan Kim dan merupakan tapal batas antara kerajaan Kim dan Song (antara selatan dan utara sungai Tiang-kang).
"Dari info yang kita dapat, kabarnya Gak Liang-cun akan mengirim suatu partai perbekalan ke Tay-toh (ibukota Kim). Maka kita merencanakan akan merampas perbekalan mereka itu untuk dijadikan perbekalan pihak laskar, sebagian dapat pula kita bagikan kepada rakyat jelata yang tertimpa bahaya banjir."
"Kalian bermaksud turun tangan kapan?"
"Pada tanggal delapanbelas bulan ini adalah hari ulang tahun keenampuluh Gak Liang-cun. Pada hari itu tentu dia akan mengadakan pesta perayaan, kesempatan itu akan kita gunakan untuk turun tangan. Yaitu segenap pembesar yang hadir di tengah pestanya itu akan kita jaring seluruhnya."
"Sungguh rencana yang bagus, tiba saatnya aku siap menerima pembagian tugas dari kalian!"
Kata Giok-kun. ANG memimpin gerakan ini adalah Toh-thauleng, Tho Hok yang dahulu pernah ikut ke Pek-hoa-kok sini, tentu kau masih ingat. Kalau nona sudi membantu, bagaimana kalau malam nanti kuajak dia ke sini untuk berunding bersama?"
Tanya Tian It-goan.
"O, kiranya dia,"
Kata Giok-kun.
"Bagus jika dia yang datang."
Tho Hok adalah salah seorang utusan Hong-lay-mo-li yang ikut mendamaikan peristiwa Pek-hoa-kok dahulu sehingga kedua pihak dapat dilerai.
Teringat kepada kejadian dahulu itu, tanpa terasa Giok-kun menjadi murung lagi.
Tian It-goan seperti tahu perasaan Giok-kun, setelah berdiam sejenak, lalu ia berkata.
"Nona kami tidak berada di Kim-keh-nia, Kok-siauya juga belum pulang. Kabarnya mereka berada di Kang-lam, hanya entah dimana. Nona Hi, kado yang kau titip padaku tempo hari masih kusimpan dengan baik." ~ Habis itu ia lantas mengeluarkan sebuah tusuk kundai buatan batu Giok (yade). Tusuk kundai itu dahulu oleh Kok Siau-hong diberikan kepada Hi Giok- kun sebagai tanda mata, pada sehari sebelum Giok-kun menikah dengan Sin Liong-sing, ia menjadi berduka melihat benda bersejarah itu, ia merasa lebih baik tidak memilikinya lagi, maka ia titipkan tusuk kundai itu kepada Tian It-goan agar diserahkan kepada Han Pwe-eng sebagai kado pernikahan nona Han itu dengan Kok Siau-hong. Dengan tersenyum getir Giok-kun berkata.
"Biar tetap kau simpan saja, kapan bertemu Han-cici boleh kau serahkan padanya. Eh, kalian datang dari Kim-keh-nia, selain Toh-thauleng ada siapa lagi?"
Jilid 31
"Y "Akhir-akhir ini ada berita pihak Mongol akan menyerbu lagi ke selatan, maka Kim-keh-nia tidak dapat banyak membagi orangnya, Toh-thauleng hanya disertai belasan orang saja. Bun-tayhiap juga mengirim beberapa orang ke sini, tapi jumlahnya juga terbatas. Sebab itulah aku jadi ingat kepada kalian dan sengaja datang ke sini untuk melihat Hi-siauya sudah pulang belum. Soalnya hari ulang tahun pembesar anjing itu sudah dekat, tinggal tiga hari lagi. Sedangkan Toh-thauleng....."
"Malam ini juga boleh kau undang dia ke sini untuk bertemu,"
Kata Giok- kun.
Tian It-goan mengiakan, ia simpan kembali tusuk kundainya dan mohon diri.
Hi Giok-kun termenung seperginya Tian It-goan, teringat kepada Han Pwe-eng dan Kok Siau-hong, tiba-tiba teringat pula kepada Sin Liong-sing.
Ia pikir kalau saja Sin Liong-sing masih mendampingi gurunya, sekali ini tentu dia yang akan ditugaskan ke sini untuk mengatur siasat.
Tapi apa mau dikatakan lagi sekarang? Sampai jenazahnya saja kini pun sudah tak ada.
Sudah tentu mimpi pun Giok-kun tidak menduga bahwa Sin Liong-sing yang dianggapnya sudah mati tanpa meninggalkan jenazah itu kini masih segar bugar, bahkan pada saat yang sama berada di kota Yang-ciu.
Hari itu Sin Liong-sing memang sudah berada di Yang-ciu, jadi masih ada waktu tiga hari sebelum hari ulang tahun Gak Liang-cun.
Dia mendapatkan sebuah hotel, pikirannya terasa kacau dan bimbang.
Ki We menyuruhnya membunuh seorang perempuan tak berdosa, tindakan ini harus dilaksanakan atau tidak? Coba kalau belum berpisah dengan Hi Giok- kun, tentu urusan yang pelik ini dapat dirundingkan dengan dia.
Bayangan Hi Giok-kun timbul dalam benaknya, Sin Liong-sing menjadi tak dapat menahan rasa cintanya, ia pikir hari ulang tahun Gak Liang-cun masih dua-tiga hari lagi, kalau aku menyamar dan menjenguk ke Pek-hoa- kok, bisa jadi akan dapat melihat Giok-kun.
Akan tetapi kalau kebetulan dipergoki, lalu bagaimana? Sedang pikirannya kusut, mendadak pandangan matanya terasa gelap, kepala kesakitan luar biasa seakan-akan pecah.
Sebenarnya dia duduk di atas ranjang, karena tidak tahan oleh rasa sakit yang hebat itu, seketika ia melonjak bangun sambil merintih-rintih keras.
Syukur pikirannya masih cukup jernih, tiba-tiba teringat olehnya sejak dia meninggalkan rumah Ki Ki sampai kini tepat sebulan sudah, Ki We pernah mengatakan padanya bahwa lwekang yang telah dilatihnya itu setiap sebulan sekali akan bekerja dengan hebat, apakah mungkin inilah gejala akan timbulnya penyakit Cau-hwe-jip-mo? Saking kaget dan kuatirnya cepat ia mengeluarkan obat pemberian Ki We terus diminum sebutir.
Setelah menelan obat itu, terasalah hawa hangat timbul dari dalam perut, rasanya enak seperti biasanya di waktu dia berlatih lwekang itu, Ki We lantas memegang punggungnya serta menyalurkan hawa murni untuk membantu latihannya.
Begitulah keadaannya berangsur mulai baik, hanya badan masih terasa agak lemas, pada saat itulah tiba-tiba pintu kamarnya ditolak orang, pengurus hotel dan seorang berdandan sebagai tabib kelilingan melangkah masuk.
"Tuan tamu merintih-rintih, apakah jatuh sakit?"
Tanya pengurus hotel. Ia menjadi kuatir demi nampak muka Sin Liong-sing penuh keringat dan pucat, disangkanya sang tamu menderita penyakit berbahaya apa.
"O, tak apa-apa, mungkin terlalu lelah dalam perjalanan, tadi perut terasa sakit, tapi aku sendiri membawa obat dan sudah kuminum, kini sudah terasa agak baik,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Liong-sing. Pengurus hotel merasa belum lega, ia berkata.
"Tabib Ong ini adalah ahli terkenal di Soh-ciu, kebetulan hari ini sampai di Yang-ciu sini dan mondok di hotel kami. Kukira tuan tamu tiada halangannya diperiksa beliau."
"Kukira tidak perlu membikin repot kalian,"
Ujar Liong-sing. Tabib itu memandang sekejap kepada Sin Liong-sing, dengan sikap yang merasa heran ia berkata.
"Ada lebih baik kuperiksa saja." ~ Habis itu tanpa menunggu jawaban ia terus memegang nadi pemuda itu.
"Sebenarnya tabib Ong jarang praktek di luar, seringkali dia menolak undangan kaum hartawan maupun pembesar,"
Kata si pengurus hotel dengan tertawa.
"Cuma beliau mempunyai sesuatu sifat yang aneh, bila melihat sesuatu penyakit aneh dan belum dikenal, tanpa diminta si penderita, beliau lantas memeriksanya walaupun tanpa diberi honorarium."
Dalam hati Sin Liong-si menertawai tabib kelilingan itu tentu suka membual belaka, mana dia mampu menentukan penyakit yang kuderita. Tak terduga segera terdengar tabib itu bersuara heran, katanya.
"He, memang benar penyakit aneh!"
Pada saat itu pula Sing Liong-sing merasakan nadi pergelangan tangannya terasa diterjang oleh suatu arus tenaga dalam yang kuat, rasanya seperti dipijat oleh seorang ahli, memangnya dia sudah sembuh beberapa bagian, kini jalan darahnya menjadi lancar sama sekali.
Keruan Sin Liong-sing terkejut, pikirnya.
"Tabib ini rada aneh, jangan- jangan dia adalah tokoh persilatan yang sengaja mengasingkan diri?"
Agaknya pengurus hotel itupun terkejut oleh ucapan si tabib tadi, ia pun bertanya.
"Penyakit apakah yang menghinggapi tuan tamu ini? Apa berbahaya?"
Seharusnya Sin Liong-sing sendiri yang mesti bertanya demikian, tapi rupanya pengurus hotel itu kuatir tamunya mati di hotelnya, maka ia mendahului bertanya. Maka tabib Ong itu telah menggeleng, jawabnya.
"Sungguh penyakit aneh, aku sendiri tidak tahu penyakit apakah ini?"
"Aneh bagaimana?"
Tanya Sin Liong-sing.
"Saat ini sama sekali tiada sesuatu tanda penyakit pada dirimu,"
Tutur tabib itu.
"Tapi menurut keadaan nadimu, sebulan kemudian penyakitmu ini akan kumat kembali. Sebenarnya apa penyakitnya kini aku tak dapat menentukannya. Paling baik sebulan lagi kau dapat berkunjung ke tempatku. Klinik tabib Ong di kota Soh-ciu cukup terkenal, begitu kau tanya tentu akan ditemukan dengan mudah."
"Jadi dalam sebulan tuan tamu ini takkan berhalangan apa-apa?"
Si pengurus hotel menegas.
"Ya, jika dalam sebulan dia tak terkena penyakit apa saja, boleh kau datang ke Soh-ciu dan hancurkan papan merek klinikku,"
Jawab tabib itu. Segera Sin Liong-sing mengucapkan terima kasih atas kebaikan tabib Ong itu, katanya.
"Baiklah, sebulan lagi aku pasti akan berkunjung ke tempatmu."
Di mulut dia berkata demikian, tapi di dalam hati ia menyangsikan kemampuan si tabib, jangan-jangan asal-usulnya sendiri nanti akan ketahuan dan bukan mustahil akan membawa celaka bagi dirinya bila diketahui oleh gurunya.
Walaupun begitu, namun hati Sin Liong-sing kembali ragu, sedikit banyak timbul juga harapannya kalau-kalau si tabib bisa menyembuhkan penyakitnya, dengan demikian dia akan dapat melepaskan diri dari kekangan Ki We.
Padahal waktunya masih ada sebulan, apa salahnya kalau berusaha mencari tahu dulu siapakah sebenarnya tabib Ong ini? Begitulah karena rasa sangsi dan ingin tahu pula, setelah lewat tengah malam, perlahan Sin Liong-sing keluar dari kamarnya dan coba mengintai ke kamar si tabib.
Hotel itu cuma ada belasan buah kamar, sampai di kamar nomor tiga segera terdengar suara tabib Ong itu.
"Kiranya dia mempunyai teman lagi. Biarlah kudengarkan apa saja yang mereka percakapkan,"
Demikian Liong-sing membatin, segera ia pasang kuping dengan tajam.
Sebenarnya tabib itu bicara dengan kawannya sambil berbaring di tempat tidur, malahan bicara dengan bisik-bisik, tapi lwekang Sin Liong-sing kini sudah tinggi, indera pendengarannya sangat kuat, maka kata-kata orang yang sangat lirih itu dapat didengarnya dengan cukup jelas.
Terdengar kawan si tabib berkata.
"Tian It-goan siang tadi berkunjung ke Pek-hoa-kok dan telah bertemu dengan nona Hi."
"Nona Hi yang mana? Apakah menantu murid Bun-tayhiap itu?"
Tabib Ong menegas.
"Bukankah murid pewaris Bun-tayhiap itu bernama Sin Liong-sing?"
"Benar,"
Kata temannya.
"Cuma kabarnya Sin Liong-sing itu sudah mati tak terkubur."
Mendengar sampai di sini, jantung Sin Liong-sing memukul keras seakan-akan meloncat keluar dari tubuhnya. Tabib Ong sedang menghela napas, lalu berkata pula.
"Aku jadi teringat pada waktu Bun Yat-hoan mengundang aku ke Hang-ciu untuk menikmati musim semi di sana, tanpa terasa kejadian itu sudah duabelas tahun yang lalu. Murid kesayangannya itu aku belum pernah bertemu, kabarnya sangat pintar dan cekatan, siapa duga akhirnya mati tanpa kubur, Bun Yat-hoan tentu sangat sedih oleh kematian muridnya itu. Selang beberapa hari lagi kita pergi ke sana bersama sekadar untuk menghibur hatinya yang duka."
"Tapi kau sudah berjanji kepada penderita sakit itu agar sebulan lagi menemui kau di Soh-ciu?"
Kata temannya.
"O ya, penyakit apakah yang diderita orang itu, masakah begitu aneh sehingga tabib sakti terkenal macam kau ini juga angkat tangan tak berdaya?"
Mendengar pembicaraan mereka beralih atas dirinya, segera Sin Liong- sing pasang telinga terlebih tajam.
Tapi sampai agak lama si tabib Ong tidak bicara, mendadak terdengar suara "kletak", daun jendela dibuka orang, teman si tabib segera melompat keluar.
Syukur Ginkang Sin Liong-sing jauh lebih tinggi daripada orang ini, begitu mendengar suara, segera ia mendahului melompat ke atas rumah, waktu orang itupun melompat ke atas rumah, sementara itu Sin Liong-sing sudah melayang pergi dan kembali ke kamarnya sendiri.
Waktu Liong-sing mengintip dari celah-celah jendelanya, terlihat orang itu celingukan kian kemari, tapi tiada mendapatkan sesuatu, lalu melompat turun.
Sayup-sayup Sin Liong-sin dapat mendengar orang itu berkata dengan tabib Ong bahwa tiada seorang pun yang dilihatnya.
Tapi orang itu tidak masuk lagi ke kamar tabib Ong melainkan masuk sebuah kamar lainnya.
Baru sekarang Sin Liong-sing mengetahui orang itu bukanlah "teman sekamar"
Si tabib Ong, tapi adalah tamu lain lagi. Diam-diam Sin Liong-sing berpikir.
"Tabib Ong itu ternyata kenalan guruku, untung aku tidak sembarangan bertindak. Tian It-goan adalah budak keluarga Han, waktu aku meninggalkan tempat Suhu, dia ditugaskan ke Kim-keh-nia, tapi sekarang dia berada di sini, mungkin dia baru kembali dari Kim-keh-nia. Jika dia berada di Pek-hoa-kok, aku menjadi kurang leluasa untuk pergi ke sana."
Esoknya kekuatan Sin Liong-sing sudah lebih baik, tapi demi keselamatannya, sepanjang hari dia hanya bersembunyi di dalam kamar saja.
Tabib Ong itu agaknya sejak pagi sudah keluar, seharian ternyata tidak nampak batang hidungnya.
Sorenya hotel itu kedatangan seorang tamu baru yang bertubuh pendek gemuk, berpakaian perlente, lagaknya seperti kaum hartawan, tampaknya seorang saudagar kaya.
Pengurus hotel telah menyambutnya tamunya dengan penuh hormat.
Dari percakapan mereka, Sin Liong-sing mendengar tamu baru itu she Lau, seorang saudagar toko sutera yang besar di Soh-ciu, kedatangannya ke Yang-ciu ini ialah untuk menghadiri pesta ulang tahun sang Bupati.
Tergerak pikiran Sin Liong-sing, ia berusaha mendekati tamu baru itu dan mengundangnya mengobrol ke kamarnya sendiri.
Liong-sing mengaku dirinya juga berdagang di kota Khay-hong, kedatangannya ke daerah Kang- lam ini adalah untuk mencari pasar demi perluasan dagangnya.
Saudagar she Lau itu tampaknya acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh keterangan Sin Liong-sing, dia hanya menanggapi sekadarnya saja meski Sin Liong-sin membual lagi tentang niatnya mencari barang dagangan yang bisa menguntungkan segala, malahan juga disinggungnya tentang ulang tahun Bupati.
Selagi Sin Liong-sing merasa sangsi atas sikap orang she Lau itu, tiba-tiba terdengar seorang menyapa.
"Eh, Lau-laute, kiranya kau sudah datang, tentu kau tidak menduga aku juga berada di sini bukan?"
Ternyata orang itu lantas masuk kamar Sin Liong-sing tanpa permisi. Dari suara pendatang ini, hati Sin Liong-sing berdebur seketika. Jelas orang ini bukan lain daripada "teman"
Si tabib Ong semalam. Kini orang ini sudah berdandan dengan perlente, mukanya merah bercahaya, potongan seorang saudagar besar. Maka saudagar she Lau tadi lantas menanggapi dengan tertawa.
"Ha, ha, Sun-toako, kiranya engkau sudah berada di sini lebih dulu. Apakah kalian sudah kenal?"
Tapi orang she Sun yang baru datang itu lantas berkata dengan tertawa.
"Liong-heng, mungkin engkau tidak tahu diriku, tapi aku mengetahui akan dirimu. Aku adalah teman baik tabib Ong, kemarin tabib Ong telah memeriksa penyakitmu bukan?"
"Benar, selamat bertemu,"
Jawab Sin Liong-sing. Ia menjadi bimbang apakah orang mengetahui kejadian yang dilakukannya semalam atau tidak? Orang she Sun itu berkata pula.
"Siau-te berdagang beras di kota Bu-sik dan banyak berhubungan dengan Lau-toako ini. Kini aku pun baru tahu bahwa Liong-heng juga orang dari kalangan kita. Apakah kalian sedang merundingkan soal dagang apa?"
"Dari kalangan kita", kalimat yang mempunyai arti bercabang ini membuat Sin Liong-sing ragu-ragu lagi, ia tidak tahu apakah rahasia dirinya telah diketahui orang atau tidak. Terpaksa ia menjawab juga.
"Ah, Siau-te cuma berdagang kecil-kecilan saja, mana dapat dibandingkan dengan kedua juragan besar. Aku dan juragan Lau sedang bicara tentang ulang tahun bupati Gak....."
Segera saudagar she Lau itu menyela dengan tertawa.
"Liong-heng ini menyatakan hendak memberi sumbangan kepada Gak Ti-hu untuk permulaan perkenalan, soalnya Liong-heng ini baru datang dari daerah lain, seketika belum kenal keadaan setempat."
Orang she Sun itu memandang Sin Liong-sing sekejap, lalu berkata dengan tertawa.
"Ha, ha, soal ini tidaklah sukar, besok boleh engkau ikut hadir ke sana bersama kami."
Sin Liong-sing pikir sangat kebetulan ajakan ini, segera ia mengucapkan terima kasih dengan lagak kegirangan. Lalu ia pun bertanya.
"Apakah tabib Ong itu besok juga akan hadir ke sana?"
"Entahlah, belum kutanya dia, bisa jadi akan hadir juga,"
Jawab orang she Sun.
Akan tetapi sampai malam tabib Ong itu ternyata tidak pulang ke hotel.
Lewat tengah malam, ada satu regu opas mengadakan pemeriksaan di hotel, melihat Sin Liong-sing adalah pendatang dari daerah lain, petugas itu telah mengajukan macam-macam pertanyaan.
Syukur akhirnya saudagar she Lau dan she Sun ikut campur tangan dan menyatakan sanggup menjamin diri Sin Liong-sing, maka bereslah segala urusan.
Besoknya Sin Liong-sing ikut kedua saudagar itu pergi ke kediaman Gak Liong-cun untuk menghaturkan selamat ulang tahun, sebegitu jauh tabib Ong ternyata belum pulang ke hotel.
Dasar pembesar korup, selama menjadi Ti-hu beberapa tahun di Yang- ciu yang terkenal sebagai daerah makmur, kekayaan Gak Liang-cun sudah menumpuk, maka tidak heran kalau pesta ulang tahunnya itu diadakan secara meriah dan besar-besaran.
Selain pembesar setempat dan undangan dari daerah lain, banyak pula kaum hartawan dan saudagar besar yang hadir.
Di ruangan upacara tamu berjubel-jubel, tapi isteri pertama dan kedua selir sang Bupati ternyata belum nampak muncul.
Waktu Sin Liong-sing menoleh, ternyata kedua saudagar she Lau dan Sun tadi entah menyelinap atau terdesak kemana perginya.
Di tengah orang banyak itu sebagian tetamu sedang mengobrol tentang pesta yang meriah ini, ada yang mengatakan bahwa kabarnya Wanyan-ongya juga mengirim utusan untuk memberi selamat kepada Gak Liang-cun.
Lalu seorang lagi menyatakan kekagumannya terhadap Gak Liang-cun yang ternyata mendapatkan perhatian sang pangeran yang berkuasa itu, padahal dahulu atasannya yang juga berulang tahun tidak pernah mendapat perhatian begitu besar.
Karena menyangka tuan rumah tentu sedang sibuk melayani tamu kehormatan, yaitu utusan Wanyan Tiang-ci dan untuk waktu singkat tentu belum dapat keluar, maka para tamu merasa kegerahan dan mengeluyur ke taman belakang, dimana terdapat beberapa jenis tontonan yang sengaja ditanggap untuk menghibur para tamunya.
Sin Liong-sing juga merasa sebal menunggu terlalu lama, maka ia pun ikut-ikutan menuju ke taman.
Di sana suasana sangat meriah dan gemuruh oleh suara tambur dan gembreng di beberapa panggung pertunjukan.
Tiba-tiba terdengar suara seorang pembawa peran sedang bernyanyi di atas panggung sebelah kiri sana, mendengar suara yang merdu itu, seketika Sin Liong-sing terkesima.
Jelas itulah suaranya Hi Giok-kun! Cepat Sin Liong-sing mendekati panggung pertunjukan itu, dilihatnya seorang nona berdandan sebagai penyanyi sedang berdendang membawakan lakon "Se-siang-ki", sebuah kisah roman yang terkenal.
Sin Liong-sing menjadi sangsi apakah dirinya sedang mimpi, ia coba menggigit jari sendiri, tapi rasa sakitnya tidak kepalang.
Jelas ini bukan mimpi, mengapa Giok-kun bisa menjadi pengamen, apakah betul muka sama saja.
Tapi setelah diamat-amati, ia yakin nona pengamen di atas panggung itu pasti Hi Giok-kun adanya.
Sebelumnya siang dan malam Sin Liong-sing senantiasa mengenangkan Hi Giok-kun dan ingin melihatnya, kini setelah dilihatnya, pikirannya menjadi kacau-balau malah dan bingung entah apa yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu terdengar Hi Giok-kun masih terus berdendang dengan suara yang merdu dan gaya yang menggiurkan, penonton di bawah panggung bersorak-sorai, ada yang memuji, ada yang menggoda.
Walaupun Hi Giok-kun adalah penduduk setempat, tapi lantaran jarang keluar rumah, kini dia menyamar pula sedemikian rupa sehingga tiada orang yang dapat mengenalnya.
Mendadak Sin Liong-sing tergetar hatinya.
"Jangan-jangan Giok-kun juga mempunyai maksud tujuan seperti diriku?"
Dalam pada itu suara tertawa dan menggoda kepada Giok-kun semakin riuh, syukur pada saat itu muncul seorang budak cilik dan memanggil Giok- kun, katanya.
"Hu-jin (nyonya) minta nona Sin suka bernyanyi di ruangan belakang!"
Tentu saja undangan ini sangat kebetulan bagi Hi Giok-kun, tanpa bertanya ia lantas ikut budak cilik itu ke ruangan dalam.
Tanpa terasa Sin Liong-sing juga berjubel di tengah orang banyak dan ikut masuk ke ruangan dalam.
Dalam hati ia merasa manis sekali demi mendengar Hi Giok-kun menyamar dengan she Sin, ini menandakan di dalam hati isterinya itu masih tetap terisi oleh dirinya.
Karena berjubel dengan penonton lain, ada dua orang di sebelahnya tanpa terasa telah ditumbuk jatuh oleh Sin Liong-sing, segera ada orang berolok-olok.
"He, siluman buruk macam kau ini juga hendak mengincar bidadari?"
Sin Liong-sing tidak menanggapi karena saat itu pikirannya serasa kabur. Tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat lirih tapi tajam, suara orang yang membisikinya.
"Ingat akan pesan Ki Lo-cianpwe, lindungi Gak Liang-cun, yang harus dibunuh adalah isteri mudanya!"
Keruan Liong-sing terkejut, ia berpaling ke belakang, tapi tak diketahui siapa yang bersuara, penonton terlalu banyak, sukar dipastikan mana orang yang bicara itu. Diam-diam ia membatin.
"Kiranya Ki We mengirim orang pula untuk mengawasi diriku, jika aku tidak melakukan apa yang dia perintahkan padaku, mungkin aku sendiri bisa celaka."
Begitulah dengan kebat-kebit Sin Liong-sing kembali ke ruangan depan, kebetulan saat ini sang Bupati baru keluar dari ruangan dalam dengan iringan para kerabat dan pelayan.
Gak Liang-cun lantas mengambil tempat duduk di tengah, di belakangnya berdiri dua perempuan yang berdandan sangat mewah, agaknya kedua perempuan inilah isteri muda Gak Liang- cun.....
Sin Liong-sing mendengar seorang tamu berbicara kepada kawannya.
"Aneh, isteri pertama tidak keluar, tapi kedua isteri muda malah sudah ikut keluar."
Diam-diam Sin Liong-sing merasa kebetulan, isteri pertama Gak Liang- cun tidak ikut keluar, hal ini akan memudahkan dia turun tangan tanpa kuatir keliru membunuh. Dalam pada itu Gak Liang-cun telah memberi hormat kepada para tamunya, lalu berkata.
"Sungguh aku merasa sangat bangga atas kedatangan pada hadirin pada hari ulang tahunku yang sederhana ini."
Belum lenyap suaranya, mendadak seorang membentak dengan suara menggelegar.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa peduli ulang tahunmu! Pembesar anjing, serahkan jiwamu!"
"Blang", segera meja yang penuh tertumpuk barang-barang antaran tetamu ditendang roboh oleh orang, dua lelaki kekar tampak menerjang ke arah Gak Liang-cun. Kedua orang ini ialah Toh Hok dan Tian It-goan. Tapi dari kedua samping Gak Liang-cun segera dua orang berdandan sebagai budak melolos golok untuk menghadang kedatangan Toh Hok dan Tian It-goan. Tian It-goan dahulu adalah bandit besar, kepandaiannya tidak rendah. Toh Hok adalah jago Kim-keh-nia, ilmu silatnya terlebih hebat. Tapi kedua budak Gak Liang-cun itu entah darimana asalnya, ilmu golok mereka ternyata sangat aneh, seorang memegang golok dengan tangan kanan dan seorang memakai tangan kiri. Golok mereka bergerak serentak dari dua arah sehingga berwujud mengacip kepada kedua lawannya. Sementara itu di luar terdengar suara berondong letusan, orang-orang yang menyamar sebagai pengemis telah membunyikan mercon roket, suara letusan mercon memekakkan telinga, tapi suara bentakan orang banyak terlebih keras lagi, terdengar suara orang berteriak.
"Inilah orang gagah dari Kim-keh-nia! Kami cuma menangkap pembesar korup dan membunuh musuh! Siapa yang mengaku bangsa Han janganlah menjual jiwa bagi mereka!"
Di antara pembesar dan perajurit yang berada di situ sebagian besar adalah bangsa Han, melihat kawanan pengemis itu menerjang tiba laksana serombongan harimau lapar, tentu saja mereka menjadi gugup dan tiada napsu buat bertempur.
Karena perubahan suasana yang mendadak itu, seketika ruangan upacara menjadi kacau-balau.
Komandan militer kota Yang-ciu adalah seorang Kim dan sudah berpengalaman cukup di medan perang, dengan tenang ia membentak anak buahnya.
"Jangan bingung, tutup pintu dulu, tangkap saja penjahat di dalam rumah ini lebih dulu!"
Dalam pada itu dengan cepat Sin Liong-sing sudah menerobos keluar dari gerombolan orang banyak, sekali lompat seperti burung melayang saja ia meluncur ke depan sana, kontan dua pengawal di depan Gak Liang-cun ditusuknya roboh, lalu sekali jumpalitan dia tancapkan kakinya tepat di tengah kedua isteri muda Gak Liang-cun.
Kedua perempuan itu sangat terkejut dan berteriak.
"Am..... Ampun....."
Namun sebelumnya Sin Liong-sing sudah mengincar dengan baik.
"sret", kontan ia penggal kepala isteri muda kedua sang Bupati, sekali depak ia tendang isteri muda ketiga terjungkal, ia masukkan buah kepala hasil buruannya itu ke dalam kantong kulit yang sudah tersedia, lalu memutar balik dan menerjang ke arah Gak Liang-cun lagi. Gak Liang-cun masih didampingi oleh dua pengawal, tapi kepandaian kedua orang ini tampaknya tidak setinggi kedua temannya tadi, mereka bermaksud mencegat Sin Lion-sing. Sambil membuat suara rada serak Sin Liong-sing membentak.
"Lekas enyah jika tidak ingin mampus!"
Berbareng itu pedangnya bergerak secepat kilat, dalam sekejap saja ia telah menusuk tujuh kali, seorang pengawal itu tertusuk roboh, seorang lagi lekas menjatuhkan diri ke tanah dan berguling ke sana untuk menyelamatkan diri.
Kedua budak yang menghadang Toh Hok dan Tian It-goan tadi menjadi jeri.
"Kena!"
Bentak Toh Hok, goloknya segera menyambar, kontan budak sebelah kiri terbacok dan mengucurkan darah.
Tian It-goan tidak mau ketinggalan, dengan bertangan kosong ia pun menubruk maju, segera ia merampas golok budak sebelah kanan.
Tapi Sin Liong-sing ternyata lebih cepat dua langkah, sebelum Tian It- goan sempat mendekati Gak Liang-cun, tahu-tahu Sin Liong-sing sudah berada di samping Bupati itu, kontan ia menempeleng dua kali pembesar itu, menyusul tubuhnya lantas dicengkeram dan dikempit terus dilarikan ke ruangan dalam.
Pada saat Sin Liong-sing menerjang maju tadi, kedua saudagar she Lau dan Sun itupun ikut turun tangan di sebelah sana.
Lebih dulu saudara she Lau itu mendekati komandan militer bangsa Kim itu dan bertanya padanya.
"Tayjin (paduka tuan), siapakah yang hendak engkau tangkap?"
Perwira itu kenal saudagar she Lau, selagi hendak bertanya mengapa seorang saudagar berani berkeliaran di tempat pertempuran, mendadak ia merasa sebagian tubuhnya kaku kesemutan, tahu-tahu kedua tangannya telah ditelikung saudagar she Lau itu.
"Hei, bukankah engkau ini juragan Lau?"
Seru perwira itu. Saudagar she Lau itu tertawa dan menjawab.
"Benar, tapi sejak saat ini aku bukan lagi saudagar. Dapat menangkap ikan besar macam kau ini, aku tidak perlu dagang lagi!"
Saudagar she Sun tadi juga lantas mengayun senjatanya berupa cambuk, kontan belasan orang yang memburu maju hendak membantu atasannya itu kena disabet hingga babak belur.
Ketika cambuk panjang itu berputar lagi beberapa kali, senjata belasan orang itupun kena dililit dan terlepas dari cekalan.
Pada waktu yang sama itulah Sin Liong-sing telah berhasil mengempit Gak Liang-cun dan dilarikan ke ruangan belakang.
Kedua saudagar she Lau dan Sun itu menjadi heran, pikir mereka.
"Ternyata betul dia adalah kawan segolongan, tapi mengapa dia membunuh isteri muda Gak Liang-cun, sebaliknya Gak Liang-cun ditawan dan malah menerjang ke ruangan dalam?"
Mereka mengira Sin Liong-sing salah jalan saking paniknya oleh suasana pertempuran, maka mereka lantas berseru.
"Liong-heng, lari keluar, jangan membunuh lagi anggota keluarganya!"
Di sebelah sana Tian It-goan bermaksud menyusul Sin Liong-sing, tapi mendadak "blang", pintu ruangan belakang telah ditutup rapat dari dalam oleh Sin Liong-sing.
Pada waktu terjadinya keonaran di ruangan depan, pada saat yang sama pula Hi Giok-kun diundang ke ruangan dalam untuk menemui isteri pertama Gak Liang-cun.
Giok-kun cukup cerdik, ia merasa heran mengapa nyonya Bupati itu sengaja mengundangnya menghadap sendirian, apa barangkali rahasia penyamaranku telah diketahui olehnya? Maka dengan hati-hati sekali ia pun siap siaga.
Nyonya Gak itu ternyata sangat ramah, dengan tertawa ia berkata kepada Giok-kun.
"Kudengar kau pandai menyanyi dan cantik pula, maka sengaja memanggil kau ke sini. Ya, ternyata mereka benar, kau memang sangat cantik. Kau she apa, sudah berkeluarga belum?"
Giok-kun merasa lega mendengar nada orang yang ramah, maka ia pun menjawab seperlunya, diam-diam ia mengawasi keadaan di situ, hanya ada dua budak cilik saja yang menunggu, tiada tanda-tanda ada perangkap tersembunyi, maka ia lebih lega lagi.
"A Lan, tuangkan teh untuk nona ini,"
Kata nyonya besar itu.
Cepat Giok-kun mengucapkan terima kasih dan menyatakan tidak haus dan tidak perlu repot.
Namun nyonya Bupati itu tetap menyuruh menyuguhkan teh.
Terpaksa Giok-kun tak dapat menolak lagi.
Ia pikir betapa pun harus waspada akan segala kemungkinan.
Segera ia pura-pura gugup, waktu mengangkat cangkir teh, tangannya menjadi gemetar sehingga isi cangkir tercecer sebagian.
Waktu air teh tersiram di lantai, seketika timbul uap hitam.
Kiranya air teh itu tercampur racun yang jahat.
"Kenapa kau berani kurangajar!"
Bentak nyonya besar itu dengan gusar.
Dalam pada itu di ruangan depan sudah terjadi pertarungan sengit, suara bentakan orang banyak juga berkumandang ke ruangan dalam.
Mendadak timbul pikiran Hi Giok-kun untuk menangkap isteri Gak Liang-cun itu untuk dijadikan sandera yang berharga.
Tak terduga pada saat dia turun tangan, berbareng nyonya Gak itupun turun tangan juga.
Giok-kun menyambitkan cangkir teh ke mukanya, tapi sekali mengebutkan lengan bajunya.
"trang", cangkir itu jatuh dan pecah berantakan. Ternyata nyonya Gak juga seorang jagoan silat. Dengan gesit Giok-kun lantas menubruk maju, jarinya yang lentik menotok Hiat-to lawan. Kembali Gak-hujin mengebutkan lengan bajunya.
"bret", lengan baju terobek oleh jari Giok-kun. Sedangkan tangan Giok-kun juga terasa panas pedas terkebut oleh lengan baju lawan.
"Kau anak perempuan Ki We bukan? Kenapa kau berani kurangajar padaku? Apa kau tidak tahu siapa aku ini?"
Bentak Gak-hujin. Giok-kun merasa bingung, tapi ia lantas mendengus.
"Hm, siapa sudi bersanak padamu? Aku adalah pahlawan Kim-keh-nia yang datang untuk menumpas pembesar korup, kau isterinya, tentunya kau pun bukan manusia baik-baik!"
Gak-hujin pikir meski Ki We dendam padaku, tapi rasanya tidak mungkin dia mengirim anak perempuannya untuk membunuh diriku? Segera ia pun melancarkan serangan maut, pukulan disusul pukulan, makin lama makin lihai.
Keruan Giok-kun terkejut dan heran pula, tak disangkanya bahwa isteri Gak Liang-kun bisa begini lihai.
Sedangkan pertempuran di luar sudah berlangsung dengan sengit, ia pikir harus bertempur dengan cepat untuk membereskan secepatnya pula.
Ia menyadari bukan tandingan Gak-hujin kalau cuma bertangan kosong, maka pada suatu kesempatan segera ia melolos pedang, dengan gerak tipu "Giok-li-jwan-soh" (gadis ayu melempar tali), cepat ujung pedangnya menotok Hiat-to lawan.
Mendadak salah seorang budak cilik yang berjaga di samping herseru.
"Ini tongkatmu, Lo-thaythay!" ~ "Serr", segera ia melemparkan sebatang tongkat berkepala naga kepada Gak-hujin. Tanpa pikir Giok-kun menabaskan pedangnya.
"trang", lelatu api oteletik, pedang yang tajam ternyata tidak mampu mengutungi tongkat orang, tongkat itu tetap tak dapat diraih oleh Giok-kun. Pada kesempatan itu segera Giok-kun melarikan diri ke depan, ia pikir lebih baik bergabung dengan para kawannya. Gak-hujin ternyata tidak tinggal diam, ia membentak sambil menyabet dengan tongkatnya. Mendengar sambaran angin dari belakang, Giok-kun ayun pedangnya untuk menangkis. Tapi tangannya menjadi kesemutan, pedang pun hampir terlepas, cepat Giok-kun berlari pula. Dengan kencang Gak-hujin terus mengudak, dari ruangan dalam ke ruangan luar harus melalui serambi yang panjang. Dari jauh Giok-kun melihat pintu besar sudah tertutup rapat, diam-diam ia mengeluh. Di sebelah sana Sin Liong-sing yang sudah lari masuk ke ruangan dalam, pada ujung tikungan sana ia telah menurunkan Gak Liang-cun dari kempitannya dan berkata.
"Lekas kau menyelamatkan diri! Kalau terlambat aku pun tidak sanggup menolong kau lagi!"
Terkejut dan bersyukur pula Gak Liang-cun, sekejap itu ia hampir tidak percaya kepada telinga sendiri.
Ia heran orang yang telah membunuh isteri mudanya sekarang mau menyelamatkan jiwanya malah? Karena Gak Liang-cun masih ragu-ragu, Sin Liong-sing lantas membentaknya lagi agar lekas lari.
Tapi mendadak terdengar suara benturan senjata, pada saat itu Hi Giok-kun telah muncul dengan dikejar oleh Gak- hujin.
Mengira sang suami sudah jatuh ke dalam cengkeraman musuh, tidak kepalang kejut Gak-hujin.
Sin Liong-sing juga lebih terkejut, maksudnya ke ruangan dalam ini adalah untuk mencari Hi Giok-kun, siapa tahu kini Giok-kun telah lari keluar dengan diudak oleh seorang nyonya tua.
Karena menyangka keselamatan sang suami sedang terancam, segera Gak-hujin mengambil tindakan balasan, ia putar tongkatnya dengan cepat sehingga Giok-kun terkurung di bawah bayangan tongkatnya, bentaknya.
"Jika kau membunuh suamiku, segera aku pun membunuh begundalmu ini!"
Tanpa bicara Sin Liong-sing lantas menusuk dengan pedangnya, Hiat-to penting di punggung Gak-hujin yang diarah, serangan ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu.
Tindakan Sin Liong-sing ini benar- benar di luar dugaan Gak-hujin.
Terpaksa dia mengelak sambil membaliki sebelah tangan untuk mencengkeram pergelangan tangan Liong-sing.
Biarpun sudah tua, ternyata gerakan Gak-hujin sangat gesit dan tepat pula, cengkeramannya cukup lihai, apabila orang lain pergelangan tangan pasti akan terpegang, setidak-tidaknya pedang pasti akan terampas.
Namun Sin Liong-sing juga tidak kalah lihainya, secepat kilat dia juga menggeser ke samping, pedang terus memotong pula.
Seketika cengkeraman Gak-hujin mengenai tempat kosong, ia sadar gelagat jelek, cepat ia melompat mundur, namun begitu tidak urung sebagian lengan bajunya telah terobek juga oleh ujung pedang Sin Liong-sing.
Di serambi itu cahaya remang-remang, Giok-kun melihat orang yang membantunya itu adalah seorang pemuda bermuka buruk, tapi entah mengapa, rasanya seperti sudah pernah melihatnya.
Giok-kun jadi tercengang, ia bertanya.
"Kau ini....."
Pada saat itu juga Gak-hujin juga bertanya dengan heran.
"Kau pernah apanya Ki We? Lekas katakan!"
Kiranya Sin Liong-sing kuatir ilmu pedang perguruannya dikenali oleh Giok-kun, maka tadi ia telah menggunakan tipu serangan ajaran Ki We. Dengan suara yang dibuat parau Sin Liong-sing berseru kepada Giok- kun.
"Lekas lari!"
Sementara itu para cengting di bagian belakang juga sudah memburu tiba ketika mendengar suara ribut, orang di bagian luar juga sedang menggedor pintu dan berusaha menerobos masuk Giok-kun tidak sempat banyak berpikir lagi, ia yakin sebentar ditanyakan kepada Toh Hok atau Tian It-goan tentu akan diketahui siapakah pemuda bermuka buruk tadi.
Segera ia putar pedangnya dan menerjang ke depan.
Setiba di ujung halaman sana, segera ia melompat ke atas rumah untuk kabur.
Sin Liong-sing sendiri telah membalik tubuh untuk menangkis serangan tongkat Gak-hujin, pada suatu kesempatan ia lantas berkata dengan suara tertahan.
"Tak perlu kau tanya siapa aku? Yang pasti aku tidak bermaksud membunuh suamimu!"
Dalam pada itu beberapa cengting yang mengetahui kejadian di ruangan depan tadi lantas berteriak-teriak.
"Keparat itu telah membunuh Ji-hujin (nyonya kedua), jangan lepaskan dia!"
Mendengar itu Gak-hujin rada terkejut dan bergirang, katanya.
"Baiklah, kau telah membunuh perempuan hina itu, aku pun takkan membikin susah padamu. Lekas kau pergi saja!"
Gak Liang-cun juga lantas berkata kepada sang isteri.
"Kita juga harus lekas lari, yang datang adalah gerombolan dari Kim-keh-nia, panglima sudah tertawan oleh mereka."
Dasarnya memang orang licin, begitu keadaan mengizinkan segera dia memikirkan cara menyelamatkan diri.
Cepat ia menanggalkan pakaian dan menyamar sebagai cengting, sedang isterinya disuruh mengawal cengting yang memakai bajunya untuk meloloskan diri apabila pintu depan dibobol musuh.
Waktu Sin Liong-sing menyusul melompat ke atas rumah, ternyata Giok- kun sudah menghilang.
Kebetulan saudagar she Lau tadi juga melintasi atap rumah, maksudnya hendak menyusup ke ruangan dalam untuk membuka pintu.
Kedua orang kebetulan kepergok di atas rumah.
Segera saudagar she Lau itu tanya Sin Liong-sing.
"Mana nona Hi?"
"Dia sudah keluar, apa kau tidak melihat dia?"
Jawab Liong-sing.
"Dan dimana Gak Liang-cun?"
Tanya pula orang she Lau. Sin Liong-sing pikir Ki We telah pesan agar melindungi jiwa Gak Liang- cun, maka aku harus mengulur waktu agar orang she Gak itu sempat kabur. Ia lantas menjawab.
"Itu dia, lari ke sebelah sana, lihat tidak? Lekas kejar! Tapi hati-hati, isterinya yang pertama itu cukup lihai juga ilmu silatnya!"
Karena tidak tahu Gak Liang-cun sudah menyamar, dengan sendirinya orang she Lau itu tertipu oleh Sin Lion-sing.
Tanpa ayal Sin Liong-sing lantas lari meninggalkan kediaman Bupati itu.
Setelah melintasi dua jalan raya, waktu menoleh, tertampak kediaman pembesar itu sudah terjilat api.
Tapi pikiran Sin Liong-sing menjadi bimbang dan kusut, pikirnya.
"Tugas yang kuterima dari Ki We sudah kulaksanakan semua, sekarang aku harus kembali ke sana untuk menemuinya atau tinggal lagi beberapa hari di Yang-ciu sini untuk mengintip Giok-kun?"
Jelas ia tidak dapat tinggal lagi di hotel itu, segera ia keluar kota, ia menjadi bingung berdiri di simpang jalan yang menuju ke Pek-hoa-kok, sampai sekian lamanya tetap bimbang dan tak dapat mengambil keputusan.
Dalam pada itu saudagar she Lau tadi telah berhasil menyusul Gak-hujin dan Gak Liang-cun palsu, setelah bergebrak berpuluh jurus, sementara pintu depan telah bobol didobrak orang banyak, Toh Hok memburu tiba, Bupati tiruan itu tertangkap, tapi Gak-hujin sempat kabur.
Setelah diperiksa, Toh Hok berteriak penasaran karena merasa tertipu, ia tempeleng sekali cengting itu dan melepaskannya, lalu ia coba menggeledah segenap pelosok kediaman pembesar itu.
Namun Gak Liang-cun entah sudah lari kemana.
Untung juga mereka berhasil menangkap seorang perwira tinggi, walaupun pertempuran itu tidak mendapatkan kemenangan total, tapi sedikitnya tujuan sudah tercapai.
Para pahlawan dari Kim-keh-nia lantas membuka lumbung dan merampas semua perbekalan yang tersimpan di situ.
Habis itu mereka membakar pula rumah-rumah pembesar musuh dan mengundurkan diri dengan teratur.
Setiba di luar kota, mendadak Toh Hok teringat kepada pemuda bermuka buruk itu, ia lantas tanya kawannya, tapi ternyata tiada yang tahu kemana perginya.
"Apakah kau maksudkan pemuda yang mukanya penuh codet bekas luka itu?"
Tanya Hi Giok-kun.
"Ya, sebenarnya dia telah berhasil menawan Gak Liang-cun, entah mengapa dia malah lari ke ruangan dalam,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Toh Hok.
"Untung juga dia lari ke dalam sehingga jiwaku dapat diselamatkannya,"
Ujar Giok-kun.
"Lantaran dia harus menyelamatkan aku, terpaksa dia melepaskan Gak Liang-cun."
"Dia juga telah terjebak oleh akal licik Gak Liang-cun,"
Kata si saudagar she Lau.
"Entah mengapa Gak Liang-cun dapat menyamar dalam waktu sesingkat itu sehingga kita dapat dikelabui semua."
"Siapa nama orang itu dan berasal darimana?"
Tanya Giok-kun.
"Entah, dia tinggal satu hotel dengan kami, katanya bernama Liong Sin, asal-usulnya tidak jelas,"
Tutur orang she Lau. Seketika Giok-kun merasa curiga.
"Liong Sin", nama ini mirip benar dengan nama Sin Liong-sing yang di balik dan dikurangi suatu kata "Sing". Giok-kun bertanya pula cara bagaimana mereka berkenalan. Maka orang she Lau itu lantas menuturkan pengalamannya di hoel. Begitu pula Toh Hok juga menceritakan apa yang dilakukan Sin Liong-sing ketika membikin ribut di ruang upacara ulang tahun Gak Liang-cun. Kini Giok-kun menjadi ragu-ragu akan pikiran sendiri. Mana mungkin bisa dia? Jelas dia telah terjerumus ke dalam jurang yang curam, sekali pun tidak tewas, rasanya ilmu silatnya takkan pulih secepat ini. Apalagi kalau benar dia adanya, mengapa dia membunuh isteri muda Gak Liang-cun? Tapi, mengapa pula aku merasa seperti sudah pernah melihatnya? Demikianlah penuh tanda tanya di dalam benaknya.
"Tindak-tanduk orang ini memang misterius, kukira akan dapat diketahui asal-usulnya bila kutanyakan teman kita nanti,"
Ujar Toh Hok dengan tertawa.
"Nona Hi, kukira kau tak usah merisaukan urusan ini. Bagaimana kalau engkau ikut kami ke Kim-keh-nia saja, tidak lama nona Han juga akan kembali ke sana."
"Terima kasih atas perhatian kalian,"
Jawab Giok-kun.
"Ajakanmu akan kupikirkan dulu, kini aku harus pulang dulu ke rumah."
"Nasib malang yang menimpa Sin-siauhiap tentunya perlu dilaporkan kepada Bun-tayhiap secara jelas, bagaimana kalau nona Hi ikut ke tempat Bun-tayhiap saja?"
Kata Tian It-goan.
"Tentang ini biarlah kita bicarakan besok saja, sebaiknya Tian-toasiok ikut aku pulang dulu ke Pek-hoa-kok,"
Ujar Giok-kun dengan pikiran kusut.
Toh Hok dan kawan-kawannya harus mengurus perbekalan yang berhasil mereka rampas itu.
Maka Giok-kun dan Tian It-goan lantas mohon diri lebih dulu untuk pulang ke Pek-hoa-kok.
Di tengah jalan tiba-tiba timbul semacam pikiran aneh dalam benak Giok-kun.
"Jika Liong-sing masih hidup di dunia ini dan orang tadi betul adalah dia, lantas bagaimana? Aku harus memaafkan dia atau tidak?" ~ Pikiran ini membuatnya tidak enak, tapi akhirnya ia geli sendiri, pasti bukan dia, mengapa harus kupikirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi? Sudah tentu mimpi pun dia tidak menyangka bahwa pada saat itu juga Sin Liong-sing sedang menantikan dia di taman rumahnya di Pek-hoa-kok. Setelah ragu-ragu, akhirnya Sin Liong-sing bertekad akan melihat Hi Giok-kun lagi, ia pikir asal hati-hati sedikit tentu takkan kepergok. Begitulah ketika dia sampai di Pek-hoa-kok, sementara itu sudah hampir tengah malam. Diam-diam dia berdoa semoga malam ini juga Giok-kun dapat pulang ke rumah. Ia melintasi pagar tembok terus masuk ke dalam taman dan bersembunyi di balik sebuah gunung-gunungan. Tanpa terasa sudah lewat tengah malam, ia menjadi ragu-ragu apakah Giok-kun akan pulang ke rumah? Tengah kusut pikirannya, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang memasuki taman itu. Kejut dan girang pula Liong-sing. Dari suara tindakan itu jelas terdiri dari dua orang. Ia menjadi heran siapakah teman Giok-kun? Ia coba mengintip ke sana. Tapi ia menjadi kaget. Di bawah cahaya bulan terlihat dengan jelas, dua orang muncul di taman itu, seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang perempuan bukanlah Hi Giok-kun sebagaimana disangkanya melainkan isteri pertama Gak Liang-cun. Yang membuatnya terlebih terkejut ialah yang lelaki itu, siapakah dia? Kiranya bukan lain daripada Wan-yan Ho, pangeran muda kerajaan Kim yang memakai nama samaran sebagai Yan Ho. Sin Liong-sing sendiri dahulu hampir tewas di tangannya. Terdengar Gak-hujin sedang berkata kepada Wan-yan Ho.
"Siau-ongya, apakah engkau yakin pasti dia adanya?"
"Ya, dari umur, bentuk wajah dan perawakannya yang kau tuturkan, nona pengamen itu pasti bukan lain daripada Hi Giok-kun,"
Jawab Wan-yan Ho. Sampai di sini, dari dalam rumah kembali muncul satu orang, seorang Busu (jago silat) kerajaan Kim, usianya antara empatpuluhan.
"Cian-ciangkun, apakah menemukan sesuatu di dalam rumah?"
Tanya Wan-yan Ho.
"Lapor Siau-ongya, kecuali seorang budak tua, bayangan setan saja tidak diketemukan,"
Jawab Busu itu.
"Budak tua itu tidak mahir ilmu silat, katanya Sio-cia sudah lama tidak di rumah. Maka budak tua itu telah kutotok dan tak bisa berkutik."
"Jika begitu, aku menjadi lebih yakin pasti Hi Giok-kun adanya,"
Kata Wan-yan Ho dengan tertawa.
"Nah, Gak-hujin, kukira dia pasti akan pulang ke sini, sebentar biar kutangkap dia untuk melampiaskan rasa penasaranmu. Malahan untung rugi kedudukan suamimu juga bergantung atas dirinya."
Gak-hujin sebenarnya tidak memikirkan kedudukan sang suami, tapi masih ada maksud tujuan lain. Cuma dia tidak enak untuk bicara terus terang, ia hanya menjawab.
"Ya, semuanya mohon Siau-ongya suka memujikannya di hadapan ayahmu."
Diam-diam Sin Liong-sing mengeluh, ia membatin.
"Cian-ciangkun ini mungkin ialah Cian Tiang-jun yang dahulu pernah datang ke tempat Suhu. Kabarnya dia bertanding dengan Pek Tik dan sama kuatnya, maka dapat diduga ilmu silatnya pasti tidak di bawah Wan-yan Ho. Melulu Wan-yan Ho seorang saja sudah sukar bagiku untuk mengalahkannya, apalagi ditambah seorang Gak-hujin dan Cian Tiang-jun?"
Belum habis berpikir, didengarnya Cian Tiang-jun berkata.
"Kabarnya murid Bun Yat-hoan yang bernama Sin Liong-sing beristerikan nona Hi di Pek-hoa-kok sini. Apakah isterinya itu ialah Hi Giok-kun ini?"
"Benar,"
Jawab Wan-yan Ho dengan tertawa.
"Sebab itulah aku ingin menangkapnya hidup-hidup."
"Apakah Pangeran muda juga ada sengketa dengan mereka?"
Tanya Gak- hujin.
"Bukan sengketa melulu, tapi lebih dari itu,"
Tutur Wan-yan Ho.
"Sebenarnya Sin Liong-sing sudah kutaklukkan dengan berbagai cara, tapi kemudian dia plintat-plintut dan ingkar janji, akhirnya malah berani bergebrak melawan aku, tapi kena kupukul hingga jatuh ke dalam jurang, entah mampus atau tidak dia."
"O, kiranya engkau bermaksud menangkap isterinya untuk mengusut kebenaran mati-hidup suaminya itu?"
Tanya Gak-hujin.
"Ya,"
Kata Wan-yan Ho.
"Aku menduga biarpun dia beruntung dapat lolos dari maut, tentu juga dia akan mengasingkan diri, sedikitnya beberapa tahun baru berani menongolkan diri. Tapi kukira dia pasti takkan membohongi isterinya, maka kini aku dan Cian-ciangkun sengaja datang ke Yang-ciu sini."
Kiranya Cian Tiang-jun ditugaskan oleh Wanyan Tiang-ci (ayah Wan-yan Ho) ke Yang-ciu untuk mengambil perbekalan dan sekalian mewakili dia menyampaikan selamat ulang tahun kepada Gak Liang-cun.
Sedangkan kedatangan Wan-yan Ho adalah untuk menyelidiki jejak Sin Liong-sing.
Lantaran dia adalah seorang pangeran, untuk menjaga harga diri, dia tidak mau unjuk muka di depan umum dan memberi selamat kepada seorang bawahan ayahnya, sebab itulah dia sengaja datang terlambat beberapa jam, maksudnya hendak menemui Gak Liang-cun setelah pesta bubar.
Tak terduga waktu dia tiba di sana, tempat kediaman Gak Liang-cun ternyata sudah terbakar menjadi puing.
Tapi dia sempat melihat Gak-hujin yang berlari keluar.
Dari Gak-hujin dia mendapat keterangan tentang nona pengamen itu, dia yakin pasti samaran Hi Giok-kun adanya.
Mendengar percakapan mereka, Sin Liong-sing terkejut dan gusar pula.
Pikirnya.
"Keparat Wan-yan Ho ini sungguh keji, meski aku sudah mati juga belum terlepas dari incarannya. Sakit hati ini kalau tidak kubalas bukanlah laki-laki sejati, aku harus berusaha jangan kepergok olehnya. Semoga malam ini pula Giok-kun jangan pulang dulu!"
Kalau tadi dia merasa tak sabar karena Giok-kun belum nampak pulang, tapi sekarang dia berbalik berdoa agar Giok-kun janganlah pulang.
Tapi justru pada saat itulah Hi Giok-kun lantas muncul.
Di tengah malam sunyi dapat terdengar dengan lebih jelas, baru saja Giok-kun sampai di depan rumah, orang di taman sudah mendengar suara percakapannya dengan Tian It-goan di luar.
"Lau Ong mungkin sudah tidur, eh, pintu taman tak ditutup olehnya,"
Terdengar Giok-kun berkata.
"Mungkin Lau Ong sudah terlalu tua, sudah rada pikun, maka kerjanya juga rada kendur,"
Ujar Tian It-goan dengan tertawa.
Dalam pada itu terdengar tindakan mereka sudah sampai di pintu taman itu.
Sin Liong-sing menjadi serba susah, kalau dia unjuk diri tentu membahayakan keselamatan jiwa sendiri, kalau tidak unjuk muka Hi Giok- kun yang bakal terjebak oleh musuh.
Bagaimana dia harus bertindak? Kembali dia menghadapi ujian berat.
"Aku sudah salah satu kali dan tidak boleh salah lagi untuk kedua kalinya!"
Demikian terkilas dalam benaknya. Tanpa banyak pikir lagi segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil berteriak tajam.
"Lekas lari!"
Begitu ia bersuara, seketika pula dia sudah menubruk sampai di depan Wan-yan Ho.
Ketika mendadak mendengar teriakannya, Hi Giok-kun terperanjat, waktu ia memandang ke sana, kebetulan Sin Liong-sing baru muncul dari tempat sembunyinya, di bawah sinar bulan samar-samar ia masih mengenali dia adalah pemuda bermuka buruk yang pernah menolongnya di tempat kediaman Gak Liang-cun itu.
"Ah, kembali orang ini lagi,"
Demikian pikir Giok-kun.
"Aneh, suaranya seperti sudah berubah, kedengarannya suara ini sudah kukenal betul."
Dalam pada itu dengan cepat Gak-hujin dan Cian Tiang-jun sudah memburu tiba.
"Lekas lari, nona Hi!"
Seru Tian It-goan.
Dia pernah menyaksikan kepandaian Cian Tiang-jun di tempat Bun Yat-hoan dahulu, sedang kepandaian Gak-hujin bisa jadi berada di atas Cian Tiang-jun pula.
Dalam keadaan kalah tanding, jalan paling baik adalah lari.
Ketika dilihatnya Hi Giok-kun rada tertegun, ia menjadi gugup, tanpa pikir ia terus menariknya lari.
Waktu Sin Liong-sing menubruk sampai di depan Wan-yan Ho, kontan ia melontarkan tiga kali serangan kilat.
Karena serangan mendadak itu hampir saja Wan-yan Ho tertusuk, terpaksa ia berkelit sambil mundur berulang.
Melihat Sin Liong-sing sudah berada di atas angin, karena keadaan mendesak, ia tidak sempat mengikuti terus, segera ia keluarkan Ginkang dan ikut lari bersama Tian It-goan.
"Mau lari kemana, Hi Giok-kun? Lari ke ujung langit sekali pun akan kubekuk kau,"
Bentak Gak-hujin dan segera ia membayangi orang dengan kencang.
Ginkang Cian Tiang-jun juga tidak lemah, ia pun ikut mengudak.
Dalam sekejap saja jarak kedua pihak sudah semakin mendekat.
Betapa pun Wan-yan Ho adalah jago silat yang sudah mempunyai dasar yang kuat, ia terdesak mundur, setelah tenangkan diri, segera ia dapat bertahan dengan rapat, sukar lagi bagi Sin Liong-sing untuk mendesaknya pula.
Segera Wan-yan Ho mengeluarkan kipas lempit, dengan Keng-sin-pit- hoat yang paling lihai ia melancarkan serangan balasan, setiap totokannya selalu mengincar Hiat-to maut di tubuh Sin Liong-sing.
Karena ilmu pedang ajaran Ki We belum dapat dimainkan dengan leluasa oleh Sin Liong-sing, maka dalam sekejap saja ia berbalik tercecar hingga kelabakan.
Sebenarnya Sin Liong-sing tidak ingin memperlihatkan ilmu silat aslinya di depan Wan-yan Ho, tapi kini dia terdesak, ia tidak berdaya menghadapi ilmu Tiam-hiat dengan kipas yang dilancarkan Wan-yan Ho itu, terpaksa ia keluarkan kepandaian asalnya ajaran Bun Yat-hoan.
Bun Yat-hoan berjuluk "Thi-pit-su-seng", si sastrawan berpotlot baja, kepandaiannya yang khas ialah ilmu Tiam-hiat dan boleh dikata terhitung jago nomor satu atau nomor dua di dunia persilatan.
Dengan ilmu kepandaian andalan perguruannya ini, walaupun tetap kalah setingkat dibanding Keng-sin-pit-hoat yang dimainkan Wan-yan Ho, namun sebisanya Sin Liong-sing dapat bertahan dan seketika sukar pula bagi Wan-yan Ho untuk mengalahkannya.
Pertarungan sengit di tepi jurang tempo hari, ilmu silat yang digunakan mereka berdua juga sama seperti sekarang ini.
Meski muka Sin Liong-sing kini sudah rusak, tapi bertempur dari jarak dekat, samar-samar Wan-yan Ho dapat mengenalinya beberapa bagian wajah aslinya.
Tentu saja Wan-yan Ho menjadi sangsi, bentaknya.
"Siapa kau? Kau berani main setan di sini?"
"Benar katamu, aku memang setan, bukan manusia!"
Jawab Sin Liong- sing dengan nada seram dan memakai suara aslinya. Keruan kejut Wan-yan Ho tak terkatakan teriakanya.
"Kau..... kau Sin....."
Belum selesai ucapannya, secepat kilat pedang Sin Liong-sing telah menusuk dan melukainya.
"Bayar jiwaku!"
Demikian teriak Sin Liong-sing dengan suara melengking.
Karena mukanya kini memang seram, ditambah jeritan yang melengking, tentu saja kedengaran sangat mengerikan.
Dalam keadaan demikian, biarpun Wan-yan Ho biasanya berhati keji, tidak urung dia menjadi tergetar juga.
Sekejap itu ia menjadi bingung, ia tak berani melawan lagi dan segera putar tubuh dan lari.
Setelah Wan-yan Ho digertak lari, Sin Liong-sing kuatir atas keselamatan Hi Giok-kun, ia tak pusingkan Wan-yan Ho lagi dan terus meninggalkan taman sunyi itu untuk mencari Giok-kun.
Dalam pada itu Wan-yan Ho tidak lari terlalu jauh, segera teringat olehnya bahwa maksud kedatangannya ini adalah hendak menyelidiki Sin Liong-sing, masakah sekarang dia malah kena digertak lari, padahal ilmu silatnya tidak lebih rendah, apakah dia setan atau manusia kenapa aku harus takut padanya? Begitulah setelah tenangkan diri, segera ia putar balik.
Namun Sin Liong- sing sudah tidak nampak lagi, hanya di depan sana sayup-sayup ada suara benturan senjata, seperti ada orang sedang bertempur.
Kiranya tadi Hi Giok-kun dan Tian It-goan berusaha lari dengan dikejar oleh Gak-hujin serta Cian Tiang-jun, karena Ginkang Tian It-goan kurang kuat, ia yang lebih dulu kena disusul oleh Gak-hujin.
Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pedang Abadi -- Khu Lung Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung