Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 28


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 28



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dalam keadaan kepepet, mendadak Tian It-goan membaliki tangan hendak merebut tongkat orang, namun Gak-hujin lantas membentak.

   "Pergi!"

   Tongkatnya mencungkit.

   "bluk", kontan Tian It-goan jatuh terguling. Untung Gak-hujin tidak bertujuan menangkapnya, setelah Tian It-goan dirobohkan, segera ia mengejar pula ke depan. Mendengar suara jatuhnya Tian It-goan, Giok-kun terkejut dan bermaksud balik menolongnya. Tapi Gak-hujin lantas membentaknya sambil menyerang.

   "Budak liar, lebih baik kau menyerah saja jika ingin selamat!"

   Giok-kun menjadi nekat, ia tempur orang dengan mati-matian.

   Tapi cuma belasan jurus saja kembali dia terkurung oleh lingkaran tongkat lawan, hanya mampu bertahan saja dan tidak sanggup balas menyerang.

   Di sebelah sana Tian It-goan sempat melompat bangun, tapi segera Cian Tiang-jun sudah menyusul tiba.

   "Keparat, biar aku mengadu jiwa dengan kau!"

   Bentak Tian It-goan dengan kalap.

   "Tua bangka, kau hendak mengadu jiwa dengan aku? Hm, terlalu besar mulutmu!"

   Jengek Cian Tiang-jun, hanya beberapa gebrak saja.

   "krek", tahu- tahu lengan kanan Tian It-goan telah kena dipegang olehnya dan dipuntir patah.

   "Ha, ha, tua bangka, sekarang kau kenal kelihaianku tidak?"

   Jengek Cian Tiang-jun pula. Dan baru saja ia hendak tamatkan jiwa tawanannya itu, sekonyong-konyong terdengar angin tajam menyambar dari belakang, tahu- tahu pedang Sin Liong-sing telah sampai di punggungnya.

   "Bagus, kiranya kau lagi!"

   Bentak Cian Tiang-jun sambil meraup ke belakang, dengan ilmu merebut senjata dengan tangan kosong, pedang Sin Liong-sing hendak dirampasnya mentah-mentah.

   Namun Sin Liong-sing bukan lagi lawan empuk, cepat ia ganti tipu serangan.

   Kedua orang sama-sama lihai, dalam sekejap saja mereka sudah saling gebrak beberapa jurus.

   Diam-diam Cian Tiang-jun terkejut dan ragu, tiba-tiba terpikir olehnya.

   "Mengapa dia dapat lari sampai di sini, apakah Wan-yan Ho telah dilukai olehnya?" ~ Karena sedikit lengah, kesempatan itu segera digunakan oleh Sin Liong-sing untuk melancarkan serangan beberapa kali sehingga Cian Tiang-jun terpaksa mundur beberapa tindak. Pada saat itulah Wan-yan Ho baru berlari tiba secepat terbang, dari jauh ia lantas membentak.

   "Tahan bocah itu, jangan sampai dia kabur lagi!"

   Melihat Wan-yan Ho tidak kurang suatu apa pun, semangat Cian Tiang- jun terbangkit, segera ia pun berseru.

   "Jangan kuatir, Pangeran, bangsat cilik ini takkan dapat kabur!"

   Sin Liong-sing juga mengetahui keadaan Hi Giok-kun yang terancam oleh tongkat Gak-hujin itu, ia menjadi gugup dan kuatir, dengan nekat segera menubruk maju, pedangnya terus menusuk ke dada Cian Tiang-jun, bila perlu ia siap untuk gugur bersama musuh.

   Keruan Cian Tiang-jun menjadi kaget malah, cepat ia berkelit.

   Tapi ilmu pedang Sin Liong-sing sangat aneh, tusukan luput, segera pedangnya menabas miring ke bawah.

   Betapa pun gesit cara Ciang Tiang-jun menghindar, tidak urung dengkulnya tertusuk juga oleh ujung pedang.

   Tapi kepandaian berkelahi dari jarak dekat Cian Tiang-jun juga sangat lihai, meski terluka, dia sempat balas menampar muka Sin Liong-sing dua kali sekaligus.

   "plak-plok", kontan pipi Sin Liong-sing lantas babak belur. Untung ujung pedangnya lebih dulu berhasil melukai dengkul Cian Tiang- jun, karena itu gerak-gerik Cian Tiang-jun menjadi kurang leluasa, kesempatan itu tidak disia-siakan, secepat angin Sin Liong-sing menyelinap lewat di samping musuh terus memburu lagi ke arah Hi Giok-kun. Memangnya mukanya sudah penuh codet bekas luka, kini kena ditampar hingga babak belur dan berdarah pula, tentu saja mukanya tertampak lebih seram. Melihat Sin Liong-sing menerjang tiba dengan kalap dan bengis, biarpun kepandaian Gak-hujin cukup tinggi, tidak urung ia pun rada jeri. Karena itu Hi Giok-kun dapat peluang untuk berganti napas, ia sangat berterima kasih dan terkejut pula melihat pemuda bermuka buruk ini menerjang tiba untuk menolongnya tanpa menghiraukan keselamatan sendiri. Cepat ia berseru.

   "Toa-ko ini sia..... siapakah engkau? Aku ada obat luka harap kau bubuhi obat dulu pada lukamu, aku sendiri masih sanggup bertahan untuk sementara."

   Tapi Sin Liong-sing tidak bersuara dan juga tidak menangkap obat yang dilemparkan Hi Giok-kun itu, dia tetap melabrak musuh dengan mati- matian.

   Bungkusan obat itu jatuh di tanah, darah juga semakin banyak bercucuran dari mukanya.

   Sementara itu Wan-yan Ho sudah memburu tiba, mendengar ucapan Giok-kun tadi, ia tercengang dan membatin.

   "Hah, kiranya dia belum tahu kalau orang bermuka buruk ini adalah suaminya."

   Wan-yan Ho sendiri belum tahu kalau penyakit Sin Liong-sing sudah disembuhkan oleh Ki We, maka dia masih tetap berusaha hendak menaklukkan Sin Liong-sing agar dapat diperalat, karena itu ia pun belum mau membongkar rahasia penyamaran Sin Liong-sing itu.

   Di sebelah sana Cian Tiang-jun sedang mencaci-maki dan memburu maju lagi walaupun dengan kaki pincang.

   "Kau boleh mengaso saja, Cian-ciangkun, biar kutangkap bocah ini,"

   Kata Wan-yan Ho dengan tertawa. Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara orang berseru nyaring.

   "He, bukankah itu enci Giok-kun adanya? Jangan kuatir, Hi-cici, inilah kami yang datang!"

   Menyusul suara seorang lelaki lantas membentak.

   "Bagus, Wan-yan Ho, kiranya kau juga berada di sini! Kok-heng, bangsat cilik inilah putera mestika Wanyan Tiang-ci, jangan sampai dia lolos sekali ini!"

   Menyusul suara itu segera muncul seorang perempuan muda dan dua lelaki, perempuan muda itu adalah Kiong Kim-hun dan kedua kawannya adalah Kong-sun Bok dan Kok Siau-hong. Sungguh girang Giok-kun tak terkatakan, cepat ia balas berseru.

   "Kebetulan sekali kedatangan kalian! Toa-ko ini terluka, lekas kalian membantu dia!"

   Sin Liong-sing menjadi serba susah, pikirnya.

   "Dengan datangnya mereka bertiga, biarpun bertambah lagi seorang Wan-yan Ho juga takkan menjadi soal."

   Kuatir rahasia dirinya diketahui Kong-sun Bok, pula ia pun tidak ingin menyaksikan Kok Siau-hong berkumpul lagi dengan Hi Giok- kun, maka sebelum Kong-sun Bok berlari tiba, lebih dulu ia pura-pura menyerang satu kali, habis itu ia lantas melompat mundur dan melarikan diri.

   Tindakan Sin Liong-sing ini sangat di luar dugaan Hi Giok-kun, cepat ia berseru.

   "He, Toa-ko itu, kemanakah engkau? Mereka adalah kawan sendiri!"

   Namun dengan cepat Sin Liong-sing sudah kabur jauh dan menghilang dalam sekejap saja.

   "Jangan lari kau!"

   Mendadak Gak-hujin membentak sambil mencengkeram, Hi Giok-kun hendak ditawannya untuk dijadikan sandera. Tapi Giok-kun sempat mengegos.

   "bret", kain baju Giok-kun terobek sebagian. Pada saat itulah dengan cepat sekali Kong-sun Bok bertiga sudah memburu tiba.

   "Ganas amat perempuan ini,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kok-heng, silakan kau melayani bangsat cilik Wan-yan itu."

   Gak-hujin belum kenal senjata payung pusaka milik Kong-sun Bok itu, tanpa pikir segera ia memapaknya dengan kemplangan tongkatnya.

   "Bagus!"

   Bentak Kong-sun Bok sambil menyambut serangan orang. Dengan gerakan "Ki-hwe-liau-thian" (angkat obor menerangi langit), payung pusaka menangkis ke atas.

   "Trang", terdengar suara nyaring disertai lelatu api, Gak-hujin tergetar mundur beberapa tindak, tongkat hampir terlepas dari pegangannya. Padahal tongkat itu beratnya tujuhpuluh dua kati, ditambah kemplangannya disertai tenaga dalam yang kuat, dia kira payung lawan pasti akan terhantam patah, siapa duga payung lawan sedikit pun tidak rusak, sebaliknya tongkat sendiri malah mendekuk, kedua tangan pun tergetar kesemutan, keruan kejutnya tak terkatakan. Hi Giok-kun sempat melompat keluar dari kalangan pertempuran, namun sementara itu Sin Liong-sing sudah tak kelihatan lagi, sekilas dilihatnya Tian It-goan bersandar pada pohon dengan lengan kanan menggelantung. Cepat Giok-kun memburu ke sana untuk menolongnya.

   "Nona Hi, lukaku tidak parah, lebih penting engkau menghalau musuh saja,"

   Kata Tian It-goan.

   "Jangan kuatir, mereka cukup kuat untuk melayani musuh,"

   Kata Giok- kun.

   "biarlah kububuhi obat pada lukamu."

   Segera ia periksa keadaan Tian It-goan, ternyata lengannya tidak patah, hanya terkilir saja, dengan mudah Giok-kun dapat membenarkan lengannya itu dan dibubuhi obat, dengan demikian lengan Tian It-goan tidak sampai menjadi cacat.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong dan Kiong Kim-hun masing-masing juga telah bertempur melawan Wan-yan Ho dan Cian Tiang-jun.

   Sebenarnya kepandaian Cian Tiang-yun jauh lebih tinggi daripada Kiong Kim-hun, tapi lantaran dengkulnya terluka, gerak-geriknya kurang leluasa.

   Kelemahan inilah yang diincar oleh Kiong Kim-hun, ia sengaja berlari kian kemari mengadu kelincahan sehingga Cian Tiang-jun rada kerepotan melayaninya.

   Di lain pihak, Wan-yan Ho paling jeri pada Kong-sun Bok, kini yang harus dihadapinya ternyata orang lain, maka ia merasa lega.

   Tak terduga Jit- siu-kiam-hoat yang dimainkan Kok Siau-hong ternyata sangat lihai, walaupun kekuatannya tidak sehebat Kong-sun Bok, tapi bicara tentang bagusnya tipu serangan bahkan Kok Siau-hong lebih berbahaya daripada Kong-sun Bok.

   Wan-yan Ho telah mengeluarkan segenap kemahirannya untuk menangkis, tapi hanya sanggup bertahan saja dan belum mampu balas menyerang.

   Sekilas dilihatnya Gak-hujin juga terdesak di bawah angin, diam- diam ia menjadi kuatir dan memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri.

   Mendadak ia berlagak menyerang, tapi segera putar tubuh dan kabur.

   "Lari kemana?"

   Bentak Kok Siau-hong sambil membayangi orang.

   Cepat Wan-yan Ho bersuit, seekor kuda putih lantas berlari keluar dari hutan sana.

   Ini adalah kuda pilihan hadiah raja Kim kepada ayahnya, kuda perang ini sudah terlatih, perawakannya gagah dan larinya cepat.

   Sekali Wanyan.

   Ho mencemplak, segera kuda putih itu membedal secepat terbang.

   Berturut-turut Kok Siau-hong menyambitkan dua buah senjata rahasia, tapi tidak mencapai sasarannya.

   Cian Tiang-jun menjadi kelabakan ditinggal pergi oleh Wan-yan Ho, sekonyong-konyong ia membentak, ia keluarkan serangan berbahaya, tangannya membalik, sekali hantam pedang Kiong Kim-hun dipukul jatuh, tapi telapak tangannya tertusuk juga hingga tembus.

   Kiong Kim-hun tergetar mundur sempoyongan dan akhirnya jatuh terduduk.

   Dengan cara seperti Wan-yan Ho tadi, Cian Tiang-jun juga bersuit memanggil kuda tunggangannya.

   Karena memikirkan keselamatan Kiong Kim-hun yang terjatuh itu, Kok Siau-hong tidak sempat mengejar Cian Tiang-jun dan membiarkannya kabur.

   Kong-sun Bok juga kaget oleh jatuhnya Kiong Kim-hun.

   Pada kesempatan itulah Gak-hujin menyampuk payung lawan sekuatnya, lalu ia pun melarikan diri.

   "Bagaimana keadaanmu, adik Hun?"

   Tanya Kong-sun Bok dengan kuatir. Tapi Kim-hun sudah lantas berdiri, jawabnya dengan meringis.

   "Aku tidak terluka, cuma urusan menjadi runyam, musuh seorang pun tak berhasil ditangkap, sungguh sayang."

   Kong-sun Bok coba memegang nadi Kiong Kim-hun, legalah hatinya setelah diketahui si nona tidak mengalami cidera apa-apa. Katanya kemudian.

   "Bangsat cilik itu pada suatu ketika pasti akan jatuh di tanganku, biarlah hari ini dia kabur dulu."

   Sementara itu Hi Giok-kun sudah selesai membalut luka Tian It-goan dan mendekati Kong-sun Bok bertiga untuk mengucapkan terima kasih.

   "Untung kami bertemu dengan Toh Hok dan baru diketahui engkau sudah pulang di rumah,"

   Kata Kim-hun.

   Kiranya pada waktu Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok kembali ke Kim- keh-nia, saat itu adalah hari kedua Toh Hok meninggalkan sana.

   Hong-lay- mo-li sedang kuatir karena Toh Hok tidak membawa pembantu yang dapat dipercaya, maka Kong-sun Bok berdua lantas diminta agar suka menyusul ke Yang-ciu.

   Sedang Kok Siau-hong juga baru datang dan bergabung dengan mereka.

   Begitulah Kiong Kim-hun lantas menarik tangan Giok-kun dan berkata.

   "Hi-cici, aku sudah tahu semua persoalanmu. Kau jangan berduka, marilah kita pergi ke Kim-keh-nia saja, dengan berkumpul bersama, tentu engkau takkan merasa kesepian."

   "Bangsat Wan-yan Ho itu telah mencelakai Sin-toako, kami ikut berduka dan bersumpah akan menuntut balas baginya,"

   Kata Kok Siau-hong. Kiong Kim-hun mengangguk, katanya.

   "Bicara sejujurnya, semula aku tidak begitu kagum terhadap Sin-toako, tapi setelah dia menempur Wan-yan Ho dan akhirnya menjadi korban, sejak itulah aku sangat hormat padanya. Hi-cici, engkau harus bangga mempunyai suami kesatria dan janganlah terlalu berduka."

   Hi Giok-kun tahu tujuan ucapan Kiong Kim-hun itu sengaja diperdengarkan padanya, diam-diam ia berterima kasih mereka telah merahasiakan perbuatan Sin Liong-sing yang sebenarnya di depan Kok Siau- hong, cuma sayang jiwa Sin Liong-sing sesungguhnya tidak sebaik sebagaimana dikatakannya.

   Mau tak mau ia merasa malu dalam hati, tapi rasa kuatirnya akan terbongkarnya perbuatan Sin Liong-sing lantas lenyap juga, segera pula ia mengambil keputusan akan ikut mereka ke Kim-keh-nia.

   Lalu Kiong Kim-hun berkata pula.

   "Kedatangan Kok-toako sebenarnya hendak mencari Han-cici, tapi belum bertemu, namun sudah diketahui dimana Han-cici berada."

   "Dia berada dimana?"

   Tanya Giok-kun.

   "Di tempat Teng Siok-peng, seorang pendekar yang mengasingkan diri di Soh-ciu, Teng-locianpwe ini adalah kawan lama ayah Han-cici,"

   Tutur Kim- hun.

   "Bila urusan di Yang-ciu sudah selesai, segera Kok-toako akan pergi menjemput Han-cici. Jika engkau ikut kami ke Kim-keh-nia, tidak lama tentu kita dapat bertemu di sana."

   Giok-kun merasa girang dan berduka pula, pikirnya.

   "Jika tahu akan jadi begini, rasanya tidak perlu berbuat seperti dahulu itu. Aku telah merusak perjodohannya, apa aku tidak malu bertemu dengan dia? Ai, kini mereka akan menjadi suami-isteri yang bahagia, sebaliknya aku sendiri malah sudah jadi janda. Masih untung, perbuatan rendah Sin Liong-sing tidak diketahui oleh mereka."

   Tiba-tiba Kong-sun Bok seperti teringat kepada sesuatu, tanyanya.

   "Eh, nona Hi, siapakah kesatria tadi itu?"

   "Aku pun tidak tahu,"

   Jawab Giok-kun.

   "Tindak-tanduk orang itu sangat aneh, sudah dua kali dia menyelamatkan jiwaku dan dua kali pula pergi datang dengan tergesa-gesa."

   "Aku merasa sudah pernah melihat dia, cuma tak ingat lagi entah dimana?"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Wajahnya luar biasa, mukanya penuh bekas luka, jika kau pernah melihatnya, mustahil kau tidak ingat lagi?"

   Kata Kiong Kim-hun.

   "Makanya aku heran mengapa aku tidak ingat lagi,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Kong-sun Bok.

   "Ya, barangkali codet di mukanya itu baru timbul belum lama berselang, mungkin dahulu mukanya tidak begitu rupa."

   Dasar cerdik, sejak tadi Kiong Kim-hun memang sudah curiga, dengan tertawa ia lantas berkata.

   "Sudahlah, tidak perlu kau sembarangan menerka lagi. Jikalau dia kenalan kita, masakah dia berlari pergi begitu saja?"

   "Benar,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "betapa pun dia adalah orang golongan kita, mukanya begitu aneh pula, sepulangnya di Kim-keh-nia tentu dapat kita ketahui."

   Ucapan Kiong Kim-hun tadi bertujuan menghilangkan rasa sangsi Hi Giok-kun, tapi hati Giok-kun menjadi tergerak dan semakin curiga malah. Pikirnya.

   "Kong-sun Bok saja merasa pernah kenal dia, apakah mungkin memang betul-betul dia adanya? Tapi, ai, mana bisa terjadi demikian? Masakah dia masih hidup di dunia ini? Kalau pikiran Hi Giok-kun menjadi kusut dan bergejolak, pada saat yang sama pikiran Sin Liong-sing juga sedang kacau. Setelah meninggalkan mereka, seorang diri Sin Liong-sing lari ke tengah hutan yang lebat, tidak kepalang rasa pilu dan sedih hatinya. Dalam keadaan kacau pikiran itulah tiba-tiba ia merasa ada orang memanggil namanya dengan suara yang sangat lirih, seperti orang berbisik di tepi telinganya. Sin Liong-sing melonjak kaget, ia celingukan kian kemari, tapi tiada nampak bayangan seorang pun. Dengan suara tertahan ia membentak.

   "Sobat dari kalangan manakah?"

   Segera terdengar suara tertawa mengejek orang berkumandang dari hutan yang rimbun sana, lalu orang itu berkata pula.

   "Sin Liong-sing, kau ternyata sangat pintar berdusta. Cuma sayang, he, he, orang lain dapat kau dustai, tapi jangan harap kau dapat mendustai aku."

   Suara orang itu terasa asing, Sin Liong-sing tak dapat mengenalinya, ia menjadi kuatir dan cemas, entah orang tak kelihatan itu siapa adanya, betapa banyak dia mengetahui rahasia pribadinya? Mendadak Sin Liong-sing menubruk ke arah datangnya suara tadi sambil membentak.

   "Apa arti ucapanmu ini, sahabat? Kalau berani hayolah kita bicara secara blak-blakan saja!"

   Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar suara mendesirnya senjata rahasia, sebutir batu kecil menyambar tiba. Cepat Sin Liong-sing melolos pedang untuk menyampuk dan batu itupun jatuh terpental.

   "Kalau berani hayolah ikut padaku!"

   Demikian jengek orang itu, tetap cuma dengan suaranya saja dan tidak kelihatan orangnya.

   Jelas sambitan batu itu hanya digunakan sebagai petunjuk arah saja bagi Sin Liong-sing dan bukan menyerangnya dengan sungguh-sungguh.

   Sin Liong-sing pikir betapa pun orang ini harus kutangkap.

   Maka dengan Ginkang yang tinggi, segera ia mengejar ke arah yang ditunjuk itu.

   Tapi meski sudah sekian jauhnya dia mengejar, orang itu tetap tidak diketemukan.

   Hanya setiap kali kalau dia bermaksud berhenti, segera sebuah batu menyambar tiba untuk memberi petunjuk arah.

   Dengan mendongkol Sin Liong-sing mengejar terus dan sampai di puncak gunung sebelah timur, tanpa terasa sampai di suatu tempat yang sepi, sekelilingnya duri belukar dan pepohonan yang lebat, cahaya matahari saja tak kelihatan.

   Suasana terasa sangat seram.

   Mendadak Sin Liong-sing tersadar, pikirnya.

   "Orang ini seperti setan iblis yang tak kelihatan jangan sampai aku terjebak olehnya."

   Belum lenyap pikirannya, mendadak dari balik batu pegunungan sana melompat keluar satu orang dan mendengus padanya.

   "Baiklah, sampai di sini, bolehlah kita mulai bicara."

   Tapi Sin Liong-sing lantas menubruk maju sambil mencengkeram, bentaknya.

   "Kau main gila apa padaku?"

   Dengan mudah saja orang itu dapat menangkis serangan Sin Liong-sing sambil membentak.

   "Hm, kau ingin bergebrak dengan aku? Sedikitnya kau harus belajar lagi sepuluh tahun pada Ki We!"

   Waktu Sin Liong-sing mengamat-amati orang itu, kiranya seorang lelaki berbaju hitam, wajahnya kaku tanpa terlihat sesuatu perasaan, suaranya parau tak enak didengar, usianya sukar diduga.

   Terasa merinding juga Sin Liong-sing, sedapatnya ia tenangkan diri dan bertanya.

   "Siapa kau? Apa tujuanmu memancing aku ke sini."

   "Ha, ha, masakah kau sudah lupa bahwa kita pernah bertemu?"

   Jawab orang itu dengan tertawa.

   "Akulah yang menyampaikan pesan padamu ketika berada di taman rumah Bupati tempo hari itu. He, he, maksudku mengundang kau ke sini ialah ingin tanya padamu, apakah kau ingin aku menyempurnakan kebohonganmu?"

   Baru sekarang Sin Liong-sing mengetahui, bahwa orang inilah yang dikirim oleh Ki We untuk mengawasinya. Dengan sikap tenang Sin Liong- sing lalu bertanya pula.

   "Ngaco-belo, urusan apa yang kuperlukan bantuanmu?"

   "He, he, jangan kau berlagak pilon,"

   Jengek orang itu.

   "Hi Giok-kun adalah isterimu, orang Kang-ouw mana yang tidak tahu? Kau telah ganti nama dan tukar she, kau menipu anak perempuan Ki We, sekarang lari ke sini untuk bertemu pula dengan sang isteri. Hah, kejadian ini kalau diketahui Ki We, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri."

   Seram juga Sin Liong-sing oleh ancaman orang, ia pikir jalan satu-satunya sekarang harus membunuh orang ini.

   Maklumlah, dahulu Ki We juga telah menyatakan padanya bila sampai dia berkhianat kepada perguruan, maka jiwanya pasti akan ditamatkan, apalagi dia telah menipu anak perempuannya, mana Ki We rela membiarkan puterinya dihina begitu saja? "Baiklah, aku menyerah kalah,"

   Kata Sin Liong-sing kemudian dengan menghela napas.

   "Habis bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" ~ Sambil bicara ia terus melangkah maju dan mendadak pedang dilolos terus menusuk. Namun orang itu sudah siap siaga sebelumnya ketika melihat sorot mata Sin Liong-sing yang buas itu, sekali lengan bajunya mengebut, batang pedang kena dilibat, berbareng dua jarinya terus mencolok kedua mata Sin Liong- sing sambil membentak.

   "Keparat, barangkali kau sudah lamur, apa kau sudah bosan hidup?"

   Cepat Sin Liong-sing menunduk, sekuatnya ia putar pedangnya.

   "bret", lengan baju orang itu terobek, tapi dahinya juga lecet tergores oleh jari lawan. Bahwasanya orang itu tidak mampu menggulung lepas pedang Sin Liong- sing, sebaliknya lengan baju malah terpapas robek, hal inipun rada di luar dugaannya. Cuma kalau dibandingkan Sin Liong-sing, kerugiannya itu boleh dikata tidak berarti. Sebab kalau tadi Sin Liong-sing sedikit lengah saja, bukan mustahil kedua biji matanya sudah tercolok buta. Maka Sin Liong-sing menjadi jeri dan ragu-ragu, seketika ia tak berani menyerang lagi secara gegabah.

   "Ha, ha, sudah kukatakan jangan kau harap dapat membunuh aku untuk melenyapkan saksi,"

   Kata orang itu dengan gelak tertawa.

   "Nah, apakah kau ingin coba-coba lagi?"

   Sin Liong-sing lesu seperti ayam jago yang sudah keok, ia diam saja tak berani menjawab. Orang itu lantas berkata pula.

   "Tampaknya kau bukanlah orang bodoh, kenapa tidak kau pikirkan, jangankan kau tak mampu membunuh aku, seumpama kau dapat membinasakan aku, tapi kalau Ki We tidak menemukan aku lagi, tentu ia pun akan menduga aku telah dibunuh olehmu dan dapatkah dia melepaskan kau begitu saja?"

   Seketika Sin Liong-sing mandi keringat dingin, pikirnya.

   "Ya, Ki We mengirim dia untuk mengawasi aku, tentu dia sudah menaruh curiga padaku."

   Dalam keadaan kepepet, ilmu silat tidak unggulan, menyerang dengan licik juga gagal, Sin Liong-sing menjadi putus asa, terpaksa ia menyerah, ia sodorkan gagang pedangnya dan berkata.

   "Baiklah, boleh kau bunuh aku saja!"

   "Ha, ha, ha!"

   Orang itu bergelak tertawa.

   "Simpanlah pedangmu, aku tidak takut disergap olehmu, aku pun tidak bermaksud membunuh kau. Malahan aku ingin bersekutu dengan kau, asal saja kau mau menurut perkataanku."

   "Apa kehendakmu yang sebenarnya?"

   Tanya Liong-sing.

   "Aku cuma menginginkan kunci rahasia ilmu lwekang ajaran Ki We,"

   Kata orang itu.

   Sin Liong-sing tercengang oleh permintaan orang, ia pun rada heran.

   Maklumlah, dalam pandangannya, jika orang ini dikirim oleh Ki We untuk mengawasinya, dengan sendirinya orang ini adalah murid Ki We atau orang kepercayaannya, tapi sekarang yang diminta justru adalah ilmu lwekang ajaran Ki We, tentu saja Sin Liong-sing merasa heran.

   Agaknya orang itupun tahu Sin Liong-sing merasa curiga, segera ia berkata pula.

   "Sebenarnya aku dapat minta ajaran langsung dari Ki We, tapi menurut Ki We, katanya lwekangnya itu masih ada satu bagian terakhir belum bisa dipecahkan olehnya, dia sendiri tidak berhalangan, kalau orang lain bisa membawa bencana bagi yang melatih lwekangnya itu. Apalagi dalam pandangannya diriku ini tetap orang luar."

   "Jika begitu engkau seharusnya menurut, kenapa terburu minta petunjuk padaku?"

   Ujar Liong-sing.

   "Ketahuilah bahwa lwekang yang hendak kulatih ini akan kugunakan untuk menuntut balas,"

   Kata orang itu.

   "Umur manusia terbatas, sedangkan Ki We entah kapan baru dapat mengajarkannya padaku, cara bagaimana aku dapat menunggunya?"

   "Apakah engkau tidak bicara terus terang mengenai urusanmu ini?"

   Tanya Liong-sing. Tampaknya orang itu menjadi sebal, jengeknya.

   "Kukira kau tidak perlu tanya terlalu banyak. Sekarang aku cuma ingin mengadakan tukar menukar dengan kau, aku merahasiakan kebohonganmu yang telah menipu anak perempuan Ki We, sedang kau pun merahasiakan tujuanku mencuri belajar lwekang ini. Jika kau setuju boleh kita laksanakan, kalau tidak setuju ya sudah. He, he, kukira yang rugi toh kau sendiri bukan aku."

   Diam-diam Sin Liong-sing membatin.

   "Jika sama-sama berdosa, aku menjadi tidak perlu takut lagi padamu."

   Maka dengan tertawa ia pun menjawab.

   "Eh, kenapa engkau terburu napsu. Kalau kita menyetujui bersama dan kita akan menjadi sekutu. Tapi namamu belum kuketahui? Selain itu kau dan Ki We ada hubungan apa?"

   Dari pembicaraan orang tadi, kini ia dapat memastikan orang tentu bukan anak murid Ki We. Orang itu tertawa dan berkata.

   "Kalau kau sudah setuju menjadi sekutuku, maka aku pun tidak perlu berdusta padamu. Aku she Ubun dan bernama Tiong. Aku dan Ki We selain ada hubungan perguruan, bahkan kami adalah sahabat lama."

   Sin Liong-sing pikir memang betul juga Ki We pernah menyatakan lwekangnya cuma diajarkan kepada anggota keluarga sendiri.

   Jika Ubun Tiong ini bukan anak muridnya, pantas juga kalau dia mesti mencuri belajar.

   Sedangkan akibat Cau-hwe-jip-mo setelah melatih lwekang ini adalah urusannya kelak, masa bodoh, biar dia sendiri yang merasakannya.

   Setelah mengambil keputusan tetap, dengan tertawa Sin Liong-sing lantas berkata.

   "Baiklah, selanjutnya kita adalah teman persekutuan!"

   Lalu ia bertepuk tangan dengan Ubun Tiong sebagai sumpah setia untuk bersama merahasiakan kepentingan masing-masing. Kemudian Sin Liong-sing memberitahukan.

   "Pengantar ilmu lwekang ini sudah kulatih tiga bulan. Tapi dalam setengah tahun ini aku masih harus kembali ke tempat Ki We sana, mungkin aku tak dapat tinggal lebih tiga bulan di sini, terpaksa kepadamu aku hanya dapat mengajarkan kunci cara berlatihnya saja."

   "Ya, aku pun tahu, untuk meyakinkan lwekang ini tak dapat dicapai dalam waktu singkat, tapi aku sudah siap sedia sebelumnya, marilah ikut padaku,"

   Kata Ubun Tiong.

   Segera ia membawa Sin Liong-sing ke suatu rumah yang tersembunyi di balik semak-semak pohon sana, di dalam rumah ada sebuah gentong besar penuh berisi beras dan satu gentong lain berisi air minum, pada dinding rumah banyak tergantung sosis yang panjang, nyata persediaan rangsum ini cukup untuk hidup mereka selama beberapa bulan.

   "Aku tidak perlu berlatih sampai tiga bulan, cukup kau menemani aku sebulan saja di sini,"

   Kata Ubun Tiong kemudian.

   Begitulah segera Sin Liong-sing mulai mengajarkan lwekang yang dimaksud.

   Sebelumnya dia telah memaparkan akibat sampingan selama berlatih.

   Tapi dengan penuh tekad Ubun Tiong menyatakan siap menanggung segala akibatnya, dia cuma minta agar pada waktu dia berlatih, diharap Sin Liong-sing suka menjaganya di situ.

   Di waktu latihan, Ubun Tiong harus memusatkan segenap perhatiannya untuk duduk semadi, ubun-ubun kepalanya menguapkan kabut tipis, apa yang terjadi di sekelilingnya seakan-akan tak dilihat dan tak didengarnya.

   Dalam keadaan begitu kalau saja Sin Liong-sing berani membinasakan Ubun Tiong boleh dikata sangat mudah, tapi dia justru tidak berani bergurau dengan jiwa sendiri, ia benar-benar juga berjaga saja di situ, sedikitnya tidak berani sembrono.

   Sesudah berlatih setengah harian barulah Ubun Tiong berbangkit, ia mengusap keringat di dahi sendiri, lalu mengucapkan terima kasih kepada Sin Liong-sing.

   Di dalam hati diam-diam ia bersyukur.

   "Sungguh berbahaya, kalau saja dia tahu aku bukan sahabat Ki We melainkan musuhnya malah, maka jiwaku boleh dikata tergenggam di dalam tangannya." ~ Nyata Sin Liong-sing tidak berani bergurau dengan jiwanya sendiri, tapi Ubun Tiong telah berani bertaruh dengan jiwanya. Sejak itulah Sin Liong-sing membantu Ubun Tiong berlatih lwekang, tanpa terasa sudah hampir sebulan lamanya. Pada suatu malam, kira-kira baru lewat setengah malam, mendadak Sin Liong-sing dibangunkan oleh Ubun Tiong.

   "Ssst, jangan bersuara, ikutlah padaku, berjalan perlahan,"

   Desis Ubun Tiong.

   Walaupun merasa bingung, terpaksa Sin Liong-sing menuruti permintaan orang.

   Rumah tempat tinggal mereka terletak di balik batu-batu pegunungan yang dikelilingi semak-semak lebat, orang luar sukar menemukannya.

   Ubun Tiong mendorong sepotong batu besar, dari lubang itulah mereka keluar.

   Sin Liong-sing rada heran oleh cara Ubun Tiong itu, di antara batu-batu pegunungan itu jelas banyak celah-celahnya, untuk keluar dari situ sebenarnya tidak perlu mendorong batu penutup itu.

   Apalagi dengan Ginkang mereka bisa juga memanjat ke atas batu tanpa susah-susah lagi.

   Tapi dia lihat sikap Ubun Tiong rada tegang, malahan dia diberi tanda agar jangan bersuara, terpaksa Sin Liong-sing menahan rasa herannya.

   Ubun Tiong mengajak Sin Liong-sing ke tepi jurang yang terletak di belakang rumah atap mereka itu, di situ barulah Ubun Tiong berkata dengan suara tertahan.

   "Aku akan kedatangan beberapa orang musuh. Sebentar kau harus membantu padaku."

   "Kau minta aku bersembunyi di sini untuk menyergap musuh?"

   Tanya Sin Liong-sing, dalam hati ia anggap perbuatan Ubun Tiong ini bukanlah caranya seorang kesatria sejati.

   Tapi mengingat kepandaian Ubun Tiong yang sedemikian tingginya toh perlu minta bantuannya untuk menyergap, maka betapa lihai musuhnya itupun dapat dibayangkan.

   Betul juga lantas terdengar Ubun Tiong menjawab.

   "Ya, sebentar aku akan memancing mereka ke sini, asal kau dapat melukai satu di antara mereka, maka aku pasti dapat mengalahkan mereka. Tapi jangan sekali-kali kau menggunakan senjata rahasia, sebab percuma saja, senjata rahasia takkan mampu melukai mereka, bahkan bisa runyam malah."

   "Siapakah mereka itu? Apa sangat lihai?"

   Tanya Liong-sing.

   "Benar, makanya kita harus mengalahkan mereka dengan akal dan tak dapat melawannya dengan kekerasan,"

   Jawab Ubun Tiong.

   "Jika malam ini kita dikalahkan mereka, maka jiwa kita berdua tentu akan melayang. Mengenai siapa mereka itu, kukira kau tidak perlu tanya."

   Selesai mengatur seperlunya, lalu Ubun Tiong kembali lagi ke rumah itu.

   Tidak lama kemudian Sin Liong-sing coba pasang kuping dengan mendekam di atas tanah, sayup-sayup didengarnya ada suara tindakan orang sedang mendatangi, seluruhnya ada empat orang.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   ENGAH kebat-kebit hatinya, di bawah cahaya bulan tertampak keempat orang itu sudah muncul.

   Dari tempat sembunyinya Sin Liong-sing mengintip ke sana, ternyata keempat orang itu terdiri dari seorang Hwesio, seorang Tosu dan dua orang perwira.

   Hwesio dan Tosu itu tidak dikenalnya, tapi kedua perwira itu jelas sudah pernah dilihatnya, yaitu kedua budak yang melindungi Gak Liang-cun ketika terjadi pertarungan di tempat kediaman pembesar itu.

   Kini kedua orang itu sudah berganti pakaian seragam militer.

   Sin Liong-sing merasa tidak sukar untuk menghadapi kedua begundal Gak Liang-cun ini, mungkin mereka hanya penunjuk jalan saja, jagoan yang mereka andalkan agaknya adalah Hwesio dan Tosu itu.

   Benar juga dugaannya, segera salah seorang budak berseragam perwira itu berkata.

   "Pegunungan ini adalah tempat sembunyi yang baik, kukira kita mulai menggeledah di sekitar sini saja."

   "Kau benar-benar mengetahui cuma Ubun Tiong seorang saja?"

   Tanya si Hwesio.

   "Ada kawan yang melihat dia muncul di sini tanpa teman, entah kalau sekarang dia sudah mendapatkan teman,"

   Jawab perwira itu.

   "Nyonya Bupati kita menyangsikan bocah she Liong itu mungkin juga berada di sini,"

   Kata perwira yang lain.

   "Benar,"

   Ujar si Tosu.

   "Bocah she Liong itu kabarnya adalah murid Ki We, sudah tentu dia takkan bergaul dengan Ubun Tiong. Hanya kami tidak katakan hal ini, kalau tidak, he, he, mungkin nyonya besar kalian takkan suruh kalian membawa kami ke sini."

   Keruan Sin Liong-sing merasa curiga mendengar percakapan mereka.

   "Aneh, jika aku murid Ki We, mengapa dikatakan tidak mungkin bergaul dengan Ubun Tiong?"

   Demikian ia merasa heran. Tapi ia belum berani mencurigai Ubun Tiong adalah musuh Ki We.

   Jilid 32 T Dalam pada itu Ubun Tiong yang berada di dalam rumah itu menjadi kuatir kalau Tosu dan Hwesio membeberkan lebih banyak rahasia dirinya dengan Ki We dan akan diketahui oleh Sin Liong-sing.

   Syukur sebelum Tosu itu berkata lebih banyak, tiba-tiba si Hwesio menemukan rumah di tengah semak pohon sana dan berteriak.

   "He, lekas kemari, sarang Ubun Tiong itu ternyata berada di sini. Hayo, Ubun Tiong, lekas keluar!"

   Dengan suara keras Ubun Tiong membentak.

   "Jika berani silakan kalian yang masuk saja ke sini!"

   "Entah jebakan apa yang dia pasang, jangan kita masuk perangkapnya, biar kita paksa dia keluar saja,"

   Kata si Tosu.

   "Benar, bakar saja dia dengan api!"

   Ujar si Hwesio. Segera ia sambitkan sebuah panah roket, setiba di atas rumah, ujung panah yang terpasang belerang dan obat peledak itu lantas meletus, atap rumah terjilat api, dengan cepat rumah itu sudah berkobar.

   "Ha, ha, ha! Ubun Tiong, apakah kau masih akan menjadi kura-kura dan tetap menyembunyikan kepalamu?"

   Seru Tosu itu dengan tertawa. Tampaknya rumah itu sudah akan terbakar habis, tapi Ubun Tiong masih belum nampak keluar.

   "Aneh, dia bersembunyi kemana?"

   Ujar si Hwesio dengan heran.

   Belum habis ucapannya, mendadak terdengar jeritan ngeri, salah seorang perwira yang berdiri di sebelahnya tahu-tahu roboh tersungkur, darah segar menyembur dari dadanya.

   Kiranya Ubun Tiong telah menggeremet keluar melalui semak-semak batu ketika rumah terjilat api, dia paham keadaan di situ, dengan mudah dia mengitar ke belakang musuh, maka perwira yang sial itu telah kena dimakan olehnya.

   Dalam pada itu si Tosu lantas menubruk maju, pedangnya menusuk sambil membentak.

   "Kurangajar! Kau masih berani main gila, Ubun Tiong! Hm, betapa pun licikmu, hari ini kau pasti sukar menyelamatkan jiwamu!"

   Gerakan kedua pihak ternyata sama cepatnya, setelah merobohkan seorang perwira itu, segera Ubun Tiong menubruk pula ke arah perwira yang lain dengan dikejar oleh si Tosu dari belakang.

   Perwira yang satu itu lebih tinggi ilmu silatnya, tapi ia pun gugup ketika melihat Ubun Tiong menerjangnya dengan garang.

   "Ubun Tiong, apakah kau ingin mampus!"

   Bentak si Hwesio sambil memburu maju juga.

   Kedudukan kedua pihak kini sangat jelas, asalkan perwira itu sanggup menangkis sekali dua serangan Ubun Tiong, dengan segera pedang si Tosu yang menyusul tiba itu akan dapat menusuk ke punggung Ubun Tiong.

   Sedangkan si Hwesio juga sudah memburu datang, andaikan si Tosu gagal membinasakan Ubun Tiong, jika digencet dari muka dan belakang, akhirnya dia juga akan mati konyol.

   Pada saat itu Ubun Tiong juga sudah merasakan angin tajam menyambar di belakang punggungnya, tapi ia sudah nekat, ia pikir kedua begundal Gak Liang-cun yang paling banyak mengetahui rahasianya itu harus dibinasakan dahulu.

   Maka pada detik yang menentukan itu, sekonyong-konyong ia melayang lewat di samping ujung pedang si Tosu yang sedang menusuk si perwira yang diarahnya itu, maka dengan tepat pedangnya itu lantas menembus dada si perwira.

   Gerakan Ubun Tiong itu sebenarnya sangat berbahaya, dia telah mengegos secara gesit tapi jitu pada saat perwira itu memapaknya dengan bacokan goloknya, berbareng dia sempat menarik tangan perwira itu dan ditolak ke depan sehingga tepat pula memapak ujung pedang si Tosu.

   "Keparat, lari kemana?"

   Bentak si Hwesio sambil memburu maju, tongkatnya yang kasar itu lantas mengemplang kepala Ubun Tiong.

   "Bagus!"

   Seru Ubun Tiong.

   Cepat ia pun melolos golok pusaka dan menangkis, dengan meminjam tenaga benturan senjata itu, dia terus meloncat ke samping dan tepat pula serangan pedang si Tosu dari belakang dapat dihindarinya.

   Sin Liong-sing mengikuti pertarungan itu di tempat sembunyinya, dia menjadi kebat-kebit setelah menyaksikan beberapa gebrakan mereka.

   Bahwa kedua perwira tadi dengan mudah saja dapat dibinasakan oleh Ubun Tiong, tapi kepandaian Ubun Tiong setinggi itu tampaknya terdesak di bawah angin pula dikerubut oleh Hwesio dan Tosu itu, walaupun permainan golok Ubun Tiong sangat hebat dan lihai, tapi dia juga cuma sanggup berkelit kian kemari di bawah kurungan sinar pedang dan bayangan tongkat lawan, tampaknya sukar juga untuk lolos dari kepungan.

   Diam-diam Sin Liong-sing merasa kuatir, kalau saja nanti aku tidak berhasil menyergap mereka, bukan mustahil akan hancur bersama Ubun Tiong.

   Namun melihat gelagatnya, agaknya sukar juga bagi Ubun Tiong untuk memancing kedua lawannya ke tempat perangkap yang sudah dipasang itu.

   Belum lenyap pikirannya, terdengar suara bentakan si Tosu.

   "Kena!" ~ Menyusul Ubun Tiong tampak sempoyongan, pundaknya kelihatan terluka dan berdarah. Tapi si Tosu lantas memaki lagi.

   "Keparat, kau sudah nekat ya!"

   Ternyata ia sendiri pun tergeliat dan tidak sempat menambahi serangan lain terhadap Ubun Tiong yang kecundang.

   Kiranya pada waktu Tosu itu melancarkan serangan maut, pada saat yang sama Ubun Tiong juga menggunakan tipu serangan berbahaya, akibatnya dia tertusuk oleh pedang si Tosu, hanya lukanya tidak parah, sebaliknya Tosu itupun kena dicengkeram sekali oleh Ubun Tiong, bahkan tulang pundaknya hampir remuk, sakitnya tidak kepalang.

   Cuma kesakitan si Tosu ini tidak terlihat oleh Sin Liong-sing.

   Begitulah Ubun Tiong mendadak menggunakan tangan kiri untuk memegang golok, tipu serangannya semakin gencar dan ganas, permainan golok dengan tangan kiri dengan sendirinya berlawanan dengan ilmu golok yang umum, ditambah lagi dia sudah nekat, maka si Hwesio gendut menjadi kelabakan dicecar oleh serangan Ubun Tiong.

   Namun Tosu itu sungguh sangat lihai, mendadak ia membentak.

   "Lepas golok!"

   Mendadak tangan kirinya sudah memegang sebuah kebut dan tahu- tahu batang pedang Ubun Tiong telah terlilit oleh bulu kebut.

   Melihat kesempatan baik itu, si Hwesio gendut lantas ayun tongkatnya mengemplang kepala Ubun Tiong.

   Tapi mendadak Ubun Tiong menggertak satu kali, goloknya terus disambitkan ke arah muka Hwesio itu.

   Lantaran batang goloknya terlilit oleh ujung kebut si Tosu, ia tidak sempat merebut golok dan terpaksa menyerempet bahaya dengan menimpukkan goloknya daripada direbut musuh.

   Sudah tentu gerak tipu Ubun Tiong ini sama sekali tak terduga oleh si Tosu, ia menjadi tertegun.

   Dalam pada itu karena golok musuh menyambar tiba, terpaksa Hwesio gendut itu menarik kembali tongkatnya untuk menangkis.

   "trang", golok terguncang ke samping, sedangkan Ubun Tiong lantas menjatuhkan diri dan menggelinding pergi beberapa meter jauhnya. Tanpa pikir si Tosu lantas mengayun lagi kebutnya sehingga golok itu tersampuk balik ke arah Ubun Tiong.

   "Tangkap golokmu, hayo maju lagi!"

   Bentak Tosu itu.

   Sebenarnya Ubun Tiong juga sayang kehilangan golok pusaka itu, walaupun tahu menyambar tibanya golok itu sangat keras, tapi ia yakin kepandaiannya cukup kuat untuk menangkapnya kembali, maka sebelah tangannya lantas meraup ke belakang untuk sambut golok itu, dengan tepat punggung golok yang tidak tajam itu terpegang olehnya.

   Diam-diam ia merasa girang.

   Tak terduga kekuatan menyambarnya golok itu ternyata sangat keras, meski sudah terpegang olehnya, golok itu masih ada sisa tenaga yang cukup kuat sehingga telapak tangan Ubun Tiong terobek.

   Namun begitu golok pusaka sendiri sudah ditemukannya kembali dan ia sendiri pun berhasil lolos dari kepungan musuh.

   Hwesio dan Tosu itu berjingkrak murka, mereka terus mengudak dengan kencang.

   Lantaran terluka, terpaksa Ubun Tiong berlari sambil bertempur, ketika sampai di tebing curam tempat sembunyi Sin Liong-sing, kembali dia terluka beberapa kali lagi, untung bukan luka yang parah, namun begitu sekujur badannya sudah mandi darah.

   "Mau lari kemana lagi kau?"

   Bentak Hwesio itu dengan girang ketika melihat Ubun Tiong berlari ke arah jalan buntu, sebab di sebelah sana adalah jurang.

   Segera ia angkat tongkatnya terus menyabet.

   Tapi si Tosu terlebih cerdik, ia merasa curiga bahwa Ubun Tiong tidak mencari jalan lolos yang lain, tapi justru lari ke jalan yang buntu, jangan- jangan ada udang di balik batu.

   Maka cepat ia berseru kepada si Hwesio.

   "Awas, Suheng!"

   Benar saja, belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong Sin Liong-sing menubruk keluar dari tempat sembunyinya dan pedangnya lantas menusuk.

   Karena lawan teramat kuat, maka serangan Sin Liong-sing ini adalah gerak tipu maut andalannya.

   Dia sudah mengincar dengan tepat, walaupun cuma satu kali serangan, tapi sekaligus menusuk tujuh tempat Hiat-to si Hwesio.

   Keruan Hwesio itu tergeliat, dengan gusar ia mendamprat.

   "Keparat....."

   Tapi mendadak ia terjatuh.

   "Turun saja sana!"

   Bentak Ubun Tiong sambil menjegal, dalam keadaan terluka, Hwesio itu tidak mampu menghindarkan serangan Ubun Tiong, tubuhnya yang besar terus terjungkal ke dalam jurang, dalam sekejap saja terdengarlah suara gemerantang benturan tongkat dengan batu, suaranya nyaring memekakkan telinga dan menggema di angkasa lembah pegunungan.

   "Bangsat cilik, bayar jiwa Suhengku!"

   Bentak Tosu itu dengan murka, secepat kilat pedangnya lantas menusuk ke arah Sin Liong-sing.

   "Ha, ha, ha, jiwamu sendiri tak terjamin, masih berani berlagak lagi?"

   Seru Ubun Tiong dengan terbahak, segera goloknya membabat ke pinggang lawan.

   Kalau si Tosu sedang menyerang Sin Liong-sing, maka Ubun Tiong terus membayangi si Tosu pula.

   Sekuatnya Sin Liong-sing menangkis serangan si Tosu, tapi tangannya segera terasa kesemutan.

   Dalam pada itu kebut di tangan kiri si Tosu lantas menyabet pula sehingga pedang Sin Liong-sing terlilit dan terarnpas.

   Malahan kebut Tosu itu masih terus mengebut sehingga muka Sin Liong- sing serasa ditusuk-tusuk oleh jarum, sakitnya tidak kepalang, untung si Tosu sibuk melayani serangan golok Ubun Tiong, kalau tidak, tentu jiwa Sin Liong-sing bisa melayang.

   Lekas Sin Liong-sing mengegos lagi ke samping, didengarnya si Tosu bersuara sakit tertahan, lalu menjatuhkan diri menggelinding ke bawah gunung.

   "Wah, hampir saja!"

   Kata Ubun Tiong kemudian sambil menghela napas lega. Ternyata sekujur badannya sudah bermandikan darah, bajunya berlubang-lubang seperti sarang tawon. Waktu Sin Liong-sing meraba mukanya sendiri, terasa panas perih dan merembeskan darah.

   "Hah, kau pun berubah menjadi burikan sekarang, Sin-heng,"

   Kata Ubun Tiong sambil memandangi Sin Liong-sing.

   "Syukurlah engkau telah banyak membantu tadi!"

   Muka Sin Liong-sing yang dikatakan burik itu adalah akibat tusukan bulu kebut si Tosu tadi, untung tidak melukai matanya.

   "Sayang Tosu busuk itu sempat kabur,"

   Ujar Sin Liong-sing dengan gemas.

   "Tapi sudah cukuplah, mereka mati tiga dan lari satu, walaupun berhasil menyelamatkan jiwa, tapi luka Tosu itu jauh lebih parah daripada kita,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Jika dia hendak menuntut balas padamu, sedikitnya dia harus istirahat tiga tahun lagi. Aku ada obat luka, ambil dan bubuhkan pada lukamu."

   Mereka lantas turun dari tebing curam itu, rumah yang mereka diami itu sudah menjadi abu. Maka Ubun Tiong mengajak Sin Liong-sing meninggalkan tempat itu dan berpindah saja.

   "Ubun-heng, apakah kita berpisah begini saja, engkau hendak ke mana?"

   Tanya Sin Liong-sing dengan melengak.

   "Ya, terima kasih atas petunjukmu tentang lwekang ajaran Ki We itu, selanjutnya aku dapat melatihnya sendiri,"

   Kata Ubun Tiong. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, sambungnya pula dengan tertawa.

   "O ya, aku masih harus memenuhi sesuatu janji. Tentang budi kebaikanmu ini kelak aku pasti akan memberi balas kepadamu, Sin-heng."

   "Bantu membantu dalam keadaam sama-sama terancam bahaya adalah soal lumrah, yang kumaksudkan bukanlah soal ini,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Aku pun tidak ingin balas budi darimu, aku cuma ingin mengetahui sesuatu hal saja, harap Ubun-heng dapat memberi keterangan."

   "Coba silakan berkata, asal saja kau tahu tentu akan kukatakan,"

   Jawab Ubun Tiong.

   "Aku cuma ingin tahu sebab apa Ki We sengaja menyuruh aku membunuh isteri muda Gak Liang-cun, sebaliknya pribadi Gak Liang-cun harus dilindungi?"

   Kata Sin Liong-sing.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dan bagaimana asal-usul isteri tua Gak Liang-cun itu, mengapa ilmu silatnya begitu tinggi?"

   Ubun Tiong berpikir sejenak, lalu menjawab.

   "Pertanyaanmu ini dapat kujelaskan padamu. Tapi kau harus berjanji takkan membocorkan rahasia pertemuanmu dengan aku ini."

   "Sudah sejak tadi aku menyanggupi permintaanmu ini, supaya kau mantap, baiklah aku bersumpah lagi,"

   Kata Sin Liong-sing, segera ia pun mengucapkan sumpah berat.

   "Baik, sebagai balas budi bantuanmu tadi, biarlah kuberitahukan apa yang ingin kau ketahui,"

   Kata Ubun Tiong. Lalu ia pun mulai menutur.

   "Hal ini harus dimulai dari pribadi Gak-hujin. Bahwa Gak Liang-cun baru saja merayakan ulang tahun keenampuluh, padahal Gak-hujin terlebih tua dari suaminya. Asalnya Gak-hujin adalah puteri seorang bandit besar, limapuluh tahun yang lalu Gak-hujin sudah mulai berkecimpung di dunia Kang-ouw. Asalnya Gak-hujin she Bwe, ayahnya bernama Bwe Kiam-ho, apa kau pernah mendengar nama ini?"

   "Belum pernah dengar,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   "Jika Gak-hujin adalah puteri seorang bandit, mengapa dia mau menjadi isteri Gak Liang-cun? Padahal Gak Liang-cun tidak mahir ilmu silat, juga seorang pembesar sipil."

   "Bwe Kiam-ho lebih tua satu angkatan daripada gurumu, pantas kalau kau tidak tahu,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Tentang urusan mereka ini aku pun mendapat tahu dari orang tua. He, he, bahwa suami pertama Gak-hujin sebenarnya bukan Gak Liang-cun, hal ini tentu pula tak pernah terpikir olehmu bukan?"

   Sin Liong-sing melengak, jawabnya.

   "Ya, sungguh tak pernah terpikir olehku. Jadi dia sudah menikah dua kali?"

   "Suaminya yang pertama adala Suhengnya sendiri, jadi antara ayah dan anak serta menantu adalah satu komplotan bandit,"

   Tutur Ubun Tiong.

   "Kawanan bandit mereka itu selain keluarga Bwe masih ada empat kawan lainnya, kepandaian keempat orang itu lebih rendah daripada Bwe Kiam-ho, tapi juga terhitung tokoh kelas satu di dunia Kang-ouw pada zaman itu. Suatu kali Bwe Kiam-ho dan menantunya berhasil merampas satu partai harta dan bermaksud mengangkanginya sendiri, tapi maksud mereka diketahui oleh keempat sekutunya, segera mereka bergaung mengerubut Bwe Kiam-ho dan menantunya, akhirnya mereka berdua terbunuh."

   "Haah, dan bagaimana dengan Gak-hujin?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Tatkala itu dia belum menjadi Gak-hujin, tapi dia sudah hamil tiga bulan dan kebetulan tidak berada di sarang bandit itu sehingga jiwanya dapat selamat,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Waktu itu Gak Liang-cun baru berumur duapuluhan dan baru lulus ujian Ki-jin (tingkat pertama pada ujian negara kesusasteraan zaman itu), ambisinya besar dan ingin menanjak ke atas, dia berangkat ke Jing-ciu untuk mencari lowongan pekerjaan. Di tengah jalan dia hendak dibegal oleh sekawanan penyamun, untung Bwe-siocia juga lewat di situ sehingga jiwa Gak Liang-cun ditolong olehnya. Lalu Bwe-siocia juga merelakan dirinya untuk diperisteri."

   "Untuk apa Bwe-siocia berbuat demikian?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Dia menaruh harapan besar atas pemuda she Gak itu, asalkan Gak Liang-cun berhasil menjabat sesuatu pangkat dan makin menanjak ke atas, maka kelak Bwe-siocia dapat meminjam kekuatan kaum pembesar untuk membalas sakit hati ayah dan suaminya."

   "Dan mengapa Gak Liang-cun juga mau mengawininya?"

   Tanya Liong- sing pula.

   "Kesatu, sebagai balas budi pertolongan jiwanya, kedua, Gak Liang-cun adalah seorang yang kemaruk akan pangkat dan kedudukan, tentu kau sudah dapat merabanya tanpa penjelasan lagi bukan?"

   Kata Ubun Tiong dengan tertawa.

   "O, jadi Gak Liang-cun ingin menggunakan kepandaian silat isterinya untuk membantu dia menanjak ke atas, baik pangkat maupun harta,"

   Kata Liong-sing manggut-manggut.

   "Ya, makanya soal usia isterinya lebih tua, bahkan sudah hamil, semua ini tidak menjadi soal baginya,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Sebagai puteri seorang gembong bandit, sudah tentu Gak-hujin mempunyai simpanan harta benda yang tidak sedikit, dia telah keluarkan modal untuk membantu sang suami, dengan menyuap sana sini, akhirnya diperoleh suatu pangkat kecil yang bertugas memburu penjahat."

   "Ha, ha, puteri bandit membantu sang suami menangkap penjahat, tugas ini tentu saja tidak sukar,"

   Ujar Sin Liong-sing tertawa.

   "Makanya tidak sampai setahun Gak Liang-cun lantas naik pangkat menjadi Ti-koan (setingkat Wedana), dia terkenal sebagai pembesar anti penjahat. Maka selanjutnya dimana ada tempat yang kurang aman, atasannya lantas memindahkan dia ke sana untuk menangkap penjahatnya. Sementara itu keempat bandit yang dahulu sekutu ayah Gak-hujin itu sudah membagi rezeki dan terpencar sendiri-sendiri. Namun tiada satu pun antara mereka dapat lolos dari tangan Gak-hujin, dengan bantuan pasukan pemerintah, hanya dalam beberapa tahun saja keempat gerombolan itupun dapat dibasmi seluruhnya, dia berhasil membalas sakit hati ayah dan suaminya yang pertama. Dan pangkat Gak Liang-cun juga menanjak terus."

   "Perempuan itu benar-benar lihai,"

   Ujar Sin Liong-sing.

   "Tapi ada sesuatu hal yang meragukan aku, bahwa Gak Liang-cun dapat baik pangkat dan menjadi kaya adalah berkat bantuan isterinya, pantasnya dia mesti hormat dan segan pula terhadap sang isteri, mengapa dia malah berani ambil dua isteri muda, malahan tampaknya yang mendapat kasih sayangnya juga isteri mudanya. Mengapa Gak-hujin yang lihai itu mau di madu begitu?"

   "Kedua isteri muda itu justru dia yang mengambilnya untuk sang suami,"

   Tutur Ubun Tiong.

   "Aneh, mengapa bisa begitu?"

   Tanya Liong-sing heran.

   "Sebab dia dan Gak Liang-cun hanya namanya saja suami-isteri, tapi hakikatnya tidak,"

   Jawab Ubun Tiong.

   Keadaan suami-isteri yang begitu itu justru serupa dengan Sin Liong-sing sendiri, perasaan Liong-sing menjadi tersinggung, maka dia lantas terdiam dan tak berkata lagi.

   Tapi Ubun Tiong mengira Sin Liong-sing belum paham apa yang dimaksud, dengan tertawa ia menjelaskan.

   "Mungkin kau tidak paham ucapanku tadi. Jelasnya Gak-hujin tetap setia kepada suaminya yang pertama, dia kawin dengan Gak Liang-cun hanya untuk saling memperalat saja, tapi keduanya belum pernah tidur bersama. Untuk sambung keturunan, terpaksa Gak-hujin mengambilkan isteri muda bagi sang suami. Isteri muda kedua adalah seorang pengamen silat kelilingan, memangnya sudah kenal Gak-hujin. Sedang isteri muda ketiga adalah keturunan rakyat biasa yang dipenujui oleh Gak Liang-cun sendiri."

   "Lalu ada hubungan apa antara Ki We dan Gak Liang-cun suami isteri?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Ayah Ki We ialah seorang di antara keempat kawan sekutu yang dibunuh oleh Gak-hujin, waktu digerebek oleh pasukan pemerintah, hanya Ki We saja yang berhasil lolos."

   "O, jadi dia juga bermaksud menuntut balas bagi ayahnya. Tapi kemudian dia jatuh cinta pada anak perempuan Gak-hujin, begitu bukan?"

   "Ya, mungkin sudah ditakdirkan terjadi begitu. Hubungan mereka secara rahasia itu berlangsung cukup lama, pada suatu malam akhirnya kepergok oleh Gak-hujin. Waktu itu kepandaian Ki We belum tinggi, dia bukan tandingan Gak-hujin, selagi Gak-hujin hendak membunuhnya, mendadak anak perempuannya berlutut dan memohonkan ampun bagi Ki We serta mengaku bahwa dia sudah hamil, betapa pun dia harus menikah dengan Ki We. Sudah tentu Gak-hujin melongo kaget. Terpaksa dia suruh anak perempuannya menyingkir dulu dan berjanji takkan membunuh Ki We. Tapi urusan nikah harus dirundingkan lagi."

   "Barangkali Gak-siocia itu belum tahu kalau Ki We adalah musuh ibunya?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Betul, tapi begitu melihat gaya silatnya segera Gak-hujin mengetahui, makanya dia sengaja suruh anak perempuannya menyingkir. Kemudian Gak-hujin menyatakan kepada Ki We bahwa cinta mereka dapat dikabulkan, asal saja permusuhan orang tua di masa lampau harus dianggap berakhir dan Ki We tidak boleh menuntut balas lagi. Tanpa pikir Ki We lantas bersumpah dan berjanji takkan membalas dendam. Lalu Gak-hujin suruh Ki We mengaku sebagai sanak familinya sendiri serta mengajukan lamaran secara resmi. Biasanya Gak Liang-cun memang tidak ikut campur urusan mereka, asal Gak-hujin sudah setuju, dengan sendirinya Gak Liang-cun juga akur."

   Mendengar sampai di sini, diam-diam Sin Liong-sing merasa heran mengapa Ubun Tiong begitu jelas mengetahui urusan pribadi Ki We, sampai apa yang dikatakan Gak-hujin kepada Ki We juga diketahuinya. Betapa pun ia menjadi curiga. Maka ia pun bertanya.

   "Dan pernikahan mereka tentunya berlangsung tanpa rintangan."

   "Apa yang terjadi justru sama sekali tak terduga oleh Ki We,"

   Tutur Ubun Tiong.

   "Ketika Ki We datang sesuai dengan perjanjian, dia diterima Gak Liang-cun di ruangan dalam. Anak perempuannya menyuguhkan minuman, tapi baru saja Ki We minum seteguk, seketika air mukanya berubah hebat."

   "Ah, apakah minuman itu beracun?"

   Sela Liong-sing.

   "Benar, memang beracun,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Dengan air muka pucat Ki We menuding Gak-siocia dan berkata, Kau..... kau tega me....."

   Belum lagi kata meracuni aku terucapkan, serentak anak buah Gak Liang-cun sudah membanjir tiba."

   "Bagaimana sikap Gak-siocia waktu itu?"

   Tanya Liong-sing.

   "Air muka Gak-siocia juga berubah mendadak, tiba-tiba dia rebut cawan yang dipegang Ki We terus diminum habis sisa minuman itu sambil berkata, Ko-toako, biar kumati bersama kau, apakah kau masih mencurigai diriku? Sebelah tangan Ki We segera digunakan merangkul Gak-siocia dan sebelah tangan lain digunakan melawan musuh, beberapa anak buah Gak Liang-cun kena dirobohkan olehnya, lalu dia tanya Gak-siocia, Atas kehendak ayah atau ibumu aku diracun? Gak-siocia menjawab, Bukan kehendak mereka, minuman ini dituangkan oleh Ji-nio tadi."

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Liong-sing.

   "Pantas Ki We hanya suruh aku membunuh isteri muda kedua Gak Liang-cun."

   "Meski sudah keracunan, tapi Ki We tetap mengempit Gak-siocia dan menerjang keluar dengan kalap. Lantaran dia baru minum seteguk sehingga jiwanya tidak sampai terancam, tapi Gak-siocia telah minum seluruh sisa cawannya, keadaannya rada gawat. Siang malam Ki We membawa lari kekasihnya itu ke Soh-ciu dan mencari seorang tabib ternama yang berjuluk Say-hoa-to, ia memohon tabib sakti itu betapa pun harus menyelamatkan isterinya."

   Tiba-tiba pikiran Sin Liong-sing tergerak, tanyanya cepat.

   "Tabib sakti Say-hoa-to di Soh-ciu itu she Ong bukan?"

   "Betul, agaknya kau pun kenal dia?"

   Jawab Ubun Tiong.

   "Setelah tabib Ong itu memeriksa denyut nadi Gak-siocia, dia menghela napas dan berkata, Sebenarnya aku dapat menyembuhkan dia, cuma dia sedang hamil, ibu dan kandungan rasanya sukar diselamatkan sekaligus! ~ Menurut kehendak Ki We, asal saja isterinya selamat, tentang kandungan boleh dikorbankan. Tapi isterinya berkeras kandungannya harus diselamatkan, karena itu merupakan darah keturunan keluarga Ki. Tabib Ong juga tak berani menjamin apakah ibu atau kandungan yang dapat diselamatkan, dia hanya akan berusaha sedapatnya. Akhirnya umur Gak-siocia dapat diperpanjang sesudah melahirkan bayi perempuan, karena badan terlalu lemah, belum sampai tiga bulan umur bayi itu, dia lantas meninggal."

   Bercerita sampai meninggalnya Gak-siocia, tanpa terasa air mata Ubun Tiong pun menetes.

   "Gak-siocia itu tidak bersalah, pantas Ki We merasa menyesal sehingga setiap tahun pada hari kematian isterinya itu dia tentu mengucurkan air mata,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Dan bagaimana dengan Gak-hujin, apakah dia mau terima begitu saja kematian anak perempuannya itu?"

   "Setelah kejadian itu, Gak Liang-cun dan isteri muda kedua lantas berlutut di hadapan Gak-hujin untuk minta ampun. Isteri muda itu mengakui dia yang mengatur perangkap terhadap Ki We itu, tujuannya demi kebaikan sang suami, sebab Gak Liang-cun waktu itu sudah tinggi kedudukannya, jika orang mengetahui dia mempunyai menantu bandit, hal ini tentu akan merugikan nama baik dan kedudukannya. Karena urusan sudah telanjur terjadi, pula isteri muda itu adalah kawan baiknya sejak kecil, dia pula yang mengambilnya untuk isteri muda Gak Liang-cun, maka terpaksa ia mengampuni kesalahan mereka. Tatkala itu Gak-hujin belum tahu anak perempuannya masih hidup atau sudah mati. Ketika kematian anaknya diketahui, namun sudah berselang setahun lamanya. Selama setahun itu ia pun menyesali tindakannya yang telah membunuh habis segenap keluarga keempat musuhnya itu, pantas kalau dia menerima ganjarannya. Ketika kau bergebrak dengan dia, segera ia menduga kau adalah murid Ki We, maka dia tidak bermaksud membunuh kau, apakah kau tahu?"

   Sin Liong-sing menjadi heran, pikirnya.

   "Ucapan Ubun Tiong ini seakan-akan hendak membela Gak-hujin dan suruh aku jangan dendam padanya. Tampaknya dia sangat condong kepada pihak Gak-hujin."

   Maka dengan tertawa ia pun menjawab.

   "Sekarang aku sudah jelas duduknya perkara, Ki We adalah menantu Gak-hujin, mana aku dapat menuntut balas padanya. Pula kepandaianku juga bukan tandingannya, hendak membalas dendam juga sukar."

   "Nah, apa yang kau ingin tahu sudah kuceritakan semua, sekarang aku pun ingin tanya padamu, selama kau berada di tempat Ki We, apakah kau pernah melihat ada tamu mencari dia? Misalnya tetangganya?"

   "Apa kau maksudkan Yim Thian-ngo?"

   Dari nada ucapan Ki We, agaknya dia dan Yim Thian-ngo sama-sama sungkan mencampuri urusan masing-masing."

   "Ya, memang begitu tampaknya, tapi lantaran urusanmu, mau tak mau Ki We telah ikut campur urusan Yim Thian-ngo."

   "Betul, demi menolong jiwaku, dia memang telah mencampuri urusan Yim Thian-ngo. Tapi Yim Thian-ngo belum tentu tahu, sebab dia pasti mengira aku sudah mati."

   Dalam hati Ubun Tiong merasa senang karena Liong-sing dapat dipancing mengutarakan pengalamannya, terutama permusuhannya dengan Yim Thian-ngo dan tentang Ki We telah menolongnya di luar tahu Yim Thian-ngo.

   Diam-diam ia pikir persoalan ini dapat diperalat untuk minta Yim Thian-ngo berdiri di pihaknya untuk menghadapi Ki We bersama walaupun sebenarnya ia sendiri tidak cocok dengan pribadi Yim Thian-ngo.

   Sementara itu hari sudah pagi, rumah itu sudah terbakar menjadi abu, segera Sin Liong-sing mengajak berangkat.

   Tapi Ubun Tiong tampak masih termangu, katanya tiba-tiba.

   "Tadi kau bilang Ki We memberi batas waktu setengah tahun untuk pulang ke sana?"

   "Betul, ada apa?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Kulihat kau masih tetap cinta kepada isterimu dan belum tentu rela menjadi menantu Ki We bukan?"

   Tanya Ubun Tiong. Air muka Sin Liong-sing berubah.

   "Ubun-heng, kita sudah berjanji untuk menutup rahasia masing-masing."

   Mendadak Ubun Tiong bergelak tertawa. Liong-sing melengak, tanyanya.

   "Kau tertawa apa? Memangnya kau sengaja membohongi aku?"

   "Aku menertawai kau terlalu takut kepada Ki We,"

   Ujar Ubun Tiong.

   "Tapi kau jangan salah paham, jika kau tidak ingin menjadi menantu Ki We, untuk ini aku dapat menolong kau."

   "Apa artinya ucapanmu ini?"

   Tanya Liong-sing dengan melongo.

   "Maksudmu....."

   "Kau jangan sangsi,"

   Ujar Ubun Tiong dengan sungguh-sungguh.

   "bukan maksudku hendak menguji dirimu. Soalnya kau telah membantu aku, maka aku pun seharusnya membantu kau, maksudku hendak memberi jalan hidup bagimu?"

   "Jalan hidup bagaimana maksudmu?"

   Tanya Liong-sing.

   "Kukira Ki We telah menaruh sesuatu racun pada dirimu bukan? Racun itu akan bekerja dalam setengah tahun, betul tidak?"

   Kata Ubun Tiong.

   "Aku pun tidak tahu betul atau tidak,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   "Hanya setiap kali sehabis aku berlatih, selalu aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, bisa jadi aku memang telah diracuni."

   "Andaikan keracunan juga kau tidak perlu kuatir, kau boleh pergi ke tempat tabib sakti Say-hoa-to di Soh-ciu untuk minta pertolongannya,"

   Kata Ubun Tiong.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Baru sekarang Sin Liong-sing tahu bahwa jalan hidup yang dimaksud Ubun Tiong kiranya demikian.

   Kalau alamat tabib sakti she Ong itu memang sudah diketahuinya.

   Malah tabib itupun sudah pesan padanya agar ke tempatnya dalam sebulan ini.

   Kalau dihitung batas waktu itupun sudah hampir tiba.

   Dalam pada itu Ubun Tiong telah menyambung lagi.

   "Batas waktu setengah tahun itu toh masih ada tiga bulan lagi, seumpama kau tak dapat disembuhkan, kau masih sempat pulang lagi ke tempat Ki We sana. Kau tidak perlu kuatir akan kulaporkan perbuatanmu kepada Ki We, aku pasti akan merahasiakannya. Nah, persahabatan kita ini terpaksa harus berpisah sejak kini."

   Sin Liong-sing merasa kagum melihat langkah Ubun Tiong masih tangkas dan secepat terbang walaupun tubuhnya penuh luka.

   Ia sendiri ternyata tidak sanggup berlari cepat meski lukanya tidak separah Ubun Tiong.

   Terpaksa ia mencari sepotong kayu sebagai tongkat, lalu melangkah ke bawah gunung dengan perlahan.

   Sembari berjalan ia pun merenungkan kembali apa yang dibicarakannya dengan Ubun Tiong tadi, kemudian teringat pula kepada Ki Ki, tapi juga tak bisa melupakan Hi Giok-kun.

   Tengah berpikir tak menentu, tanpa terasa ia berada di suatu selat batu karang yang sempit, tiba-tiba terdengar suara orang merintih di balik gundukan batu-batu karang sana.

   Sin Liong-sing terkejut, belum dia sempat menyingkir, rupanya orang itupun mendengar suara kedatangannya, mendadak orang itu menongol dari balik batu.

   Karena sama-sama kepergok, kedua orang terkejut.

   Kiranya orang itu adalah si Tosu yang melukai Sin Liong-sing tadi.

   Tosu itupun terkejut, tapi segera ia menegur.

   "Kiranya kau bocah keparat ini! Dimana Ubun Tiong?"

   Sin Liong-sing cukup cerdik, dari pertanyaan si Tosu segera ia tahu orang jeri kepada Ubun Ting. Segera ia pun berlagak tertawa dan menjengek.

   "He, he, kiranya kau tidak mampus....."

   Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari balik batu sana menongol pula seorang. Kiranya si Hwesio gendut yang disangkanya sudah mati terjerumus ke jurang.

   "Keparat!"

   Demikian Hwesio gendut itu lantas memaki.

   "rupanya kau sengaja mengantar nyawa ke sini, sebentar akan kubeset kulitmu dan kubetot ototmu....." ~ Dia terus memaki, tubuhnya tampak penuh darah, tapi suaranya lantas parau dan tidak sanggup meneruskan makiannya lagi, ia terhuyung hendak roboh, terpaksa memegangi tongkat yang menancap di tanah. Rupanya Hwesio gendut ini belum ditakdirkan harus mampus, ketika dia terjerumus ke bawah jurang, lebih dulu tongkatnya menyentuh tanah dan menancap masuk, dengan sendirinya daya terjerumus tubuhnya lantas tertahan sejenak, kedua tangan si Hwesio sempat memegang tongkat sekencangnya sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting dengan berat, walaupun begitu isi perutnya tidak urung juga tergetar dan terluka dalam, untung jiwanya tidak sampai amblas. Kemudian si Tosu dapat menemukan dia dan memberikan obat padanya, pada waktu itulah Sin Liong-sing lantas datang. Melihat keadaan si Hwesio yang parah itu, Sin Liong-sing menjadi teringat kepada nasib sendiri ketika didorong masuk jurang oleh Wan-yan Ho tempo hari, tanpa terasa timbul rasa senasibnya kepada Hwesio itu, segera ia berkata.

   "Maaf, Toa-hwesio, tadi aku terpaksa mengadu jiwa dengan kau, tapi sekarang aku tiada maksud jahat padamu. Ada lebih baik kita berda....."

   Belum lagi kata "berdamai"

   Terucapkan, si Hwesio gendut sudah lantas berteriak.

   "To-heng jangan mau percaya ocehannya, mengapa kau diam saja, hayolah binasakan dia untuk membalas sakit hati kita!"

   Untuk menjaga kemungkinan diserang, lebih dulu Sin Liong-sing melompat mundur walaupun dengan menahan sakit, lalu berseru.

   "Nanti dulu!"

   "Memangnya kau mampu lolos dari tanganku?"

   Jengek si Tosu, tampaknya ia pun ragu-ragu.

   "Coba apa yang hendak kau katakan lagi?"

   "Terus terang aku baru berpisah dengan Ubun Tiong, aku tiada maksud bermusuhan dengan kalian, tapi kalau kalian memaksa aku untuk bergebrak, terpaksa aku berteriak memanggil Ubun Tiong,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Jangan percaya ocehannya, To-heng,"

   Seru si Hwesio gendut pula.

   "Lekas bunuh dia saja daripada melepaskan dia, apa pun yang akan terjadi, sedikitnya kita sudah punya teman mati bersama dengan kita."

   Si Tosu mendadak tersadar, ia pikir bocah ini juga terluka parah, mustahil Ubun Tiong membiarkan dia jalan sendirian.

   Rasanya ucapan Hwesio juga beralasan, daripada mati konyol lebih baik bunuh dia lebih dulu.

   Karena itu segera ia ayun kebutnya ke muka Sin Liong-sing sambil membentak.

   "Kau ini memang orang licin, aku harus membinasakan kau!"

   Sin Liong-sing sudah kenal kelihaian si Tosu, cepat ia putar pedangnya untuk menangkis dan mengegos, namun tidak urung kena tersabet juga oleh kebut lawan, bajunya robek, kulitnya terasa panas pedas.

   Hanya tidak sehebat sebagaimana disangkanya semula.

   Seketika Sin Liong-sing juga menyadari bahwa keadaan si Tosu ternyata juga cukup parah, buktinya tenaga dalamnya sudah banyak berkurang.

   Kalau saja balas menabraknya dengan mati-matian, bisa jadi dapat lolos dengan selamat.

   Segera timbul keberaniannya, dia mengerahkan lwekang ajaran Ki We, dengan serangan pedang dan pukulan, cepat ia melancarkan serangan balasan.

   Melihat Sin Liong-sing melawannya sendiri tanpa bersuara memanggil bala bantuan, segera si Tosu yakin Ubun Tiong pasti sudah pergi jauh, maka ia tidak perlu kuatir lagi terhadap perlawanan Sin Liong-sing, ia menjengek.

   "Hm, keparat, coba saja kau mampu melawan aku atau tidak!"

   Kembali kebutnya menyabet ke muka Sin Liong-sing dengan ujung kebut yang tajam itu.

   Sin Liong-sing angkat pedangnya menangkis, secomot ujung kebut tertabas putus oleh pedangnya, tapi bagian dadanya menjadi luang, segera pedang di tangan kiri si Tosu lantas menusuk.

   Serangan ini cukup lihai, si Tosu yakin pasti akan berhasil.

   Tak terduga gerak perubahan Sin Liong-sing juga sangat cepat, mendadak pedangnya menabas pula ke bawah, serentak ia balas menyerang, satu gerakan tiga serangan, sekaligus mengarah tiga tempat Hiat-to di tubuh si Tosu.

   Tosu itu bersuara heran dan cepat menarik kembali pedangnya untuk menangkis sambil membentak.

   "Bun Yat-hoan, Bun-tayhiap pernah apa dengan kau?"

   Kiranya gerak serangan Sin Liong-sing tadi adalah tipu serangan lihai kebanggaan perguruannya. Sebenarnya Sin Liong-sing tidak ingin mengeluarkan ilmu silat asalnya, tapi pada saat gawat, terpaksa ia dapat berpikir lagi. Maka ia telah menjawab.

   "Bun-tayhiap adalah tokoh persilatan yang paling kuhormati, untuk apa kau tanyakan beliau?"

   Dia anggap si Tosu adalah orang Gak Liang-cun dan diduga pasti tiada hubungan baik dengan gurunya sendiri, sebab itu pada saat si Tosu sedikit meleng segera ia melancarkan serangan maut beberapa kali.

   Tosu itu pikir Bun Yat-hoan tidak punya isteri dan anak, hanya seorang muridnya yang bernama Sin Liong-sing diketahui berkepandaian tinggi, menurut kabar, muridnya itu sangat tampan, tentunya bukan pemuda bermuka buruk seperti siluman sekarang ini.

   Bisa jadi dia telah berhasil mencuri belajar beberapa jurus ilmu silat Bun Yat-hoan.

   Maka ia menjadi gusar setelah diberondong oleh serangan Sin Liong-sing, dengan murka ia membentak.

   "Keparat, memangnya kau kira aku tak bisa membinasakan kau."

   Segera ia pun melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah lihainya, hanya sekejap saja kembali Sin Liong-sing terdesak di bawah angin.

   Sekuatnya Sin Liong-sing mematahkan tiga kali serangan maut musuh, tiga gerakan terakhir ini adalah ilmu pedang ajaran Ki We.

   Kembali si Tosu bersuara heran, bentaknya pula.

   "Siapa yang mengajarkan beberapa jurus ilmu pedangmu ini?"

   Sin Liong-sing menjengek.

   "Hm, siapa guruku, peduli apa dengan kau? Boleh kau menerka sesukamu, kenapa kau tanya segala?"

   Dalam pada itu si Hwesio gendut tadi sedang bersandar pada batu karang, dengan napas terengah ia menimbrung.

   "Bocah ini adalah bantuan yang didatangkan Ubun Tiong, mana bisa dia adalah murid Ki We? Kenapa To-heng sungkan padanya?"

   Si Tosu tersadar, katanya sambil tertawa.

   "Ha, ha, memang betul, aku sendiri yang banyak sangsi!"

   Suara tertawanya parau dan lemah, jelas tenaganya kurang laksana panah yang sudah hampir jatuh di tempat tujuannya.

   Tapi serangan pedang dan kebutnya masih tetap hebat dan tambah gencar.

   Rupanya si Tosu menyadari keadaannya tak sanggup bertahan lebih lama, maka sengaja bertempur lebih cepat dengan harapan akan lekas menyelesaikan Sin Liong-sing.

   Dengan sendirinya Sin Liong-sing terdesak, tapi sekuatnya ia tetap bertahan dengan segenap tenaganya.

   Diam-diam ia menjadi curiga mendengar ucapan si Hwesio itu, pikirnya.

   "Mengapa dia yakin kalau aku adalah bala bantuan yang didatangkan Ubun Tiong dan tentu pula bukan murid Ki We? Apakah Ubun Tiong bukan orang kepercayaan Ki We sebagaimana pengakuannya? Menurut nada ucapan si Hwesio, tampaknya antara Ubun Tiong dan Ki We bahkan adalah musuh?"

   Di tengah pertarungan sengit itu kembali Sin Liong-sing terluka dua kali, syukur bukan tempat berbahaya yang terluka itu, sebaliknya napas si Tosu tampak sudah ngos-ngosan, keringat membasahi tubuhnya, namun dia masih terus menyerang tanpa kendur, lambat-laun langkah kedua pihak sudah mulai lambat dan tak bertenaga.

   Semula si Hwesio juga berteriak untuk memberi semangat kepada si Tosu, tapi makin lama suaranya makin parau dan akhirnya tak terdengar lagi.

   Sambil melancarkan serangan gencar terhadap lawan, si Tosu merasa kuatir pula bagi keselamatan kawannya.

   Sekonyong-konyong terdengar tenggorokan si Hwesio bersuara mengorok, habis itu mendadak ia jatuh terguling.

   Dalam kejutnya si Tosu menjerit kaget.

   Tanpa ayal pedang Sin Liong-sing lantas menusuk, tapi ujung kebut si Tosu sempat membelit pedangnya, menyusul pedang di tangan lain terus menabas.

   Cepat Sin Liong-sing membalik gagang pedangnya untuk menyodok.

   "krek", kontan dua tulang iga si Tosu tersodok patah. Sedangkan sikut si Tosu juga sempat digunakan menyikut dada Sin Liong-sing, kedua orang sama-sama bersuara tertahan dan keduanya sama-sama jatuh tersungkur. Kedua pihak sama-sama terluka parah dan tak sanggup bangun lagi, mereka sudah payah semua, keduanya hanya saling melotot saja, keadaan mereka bergantung kepada siapa yang bisa pulih dahulu tenaganya dan dialah yang akan membinasakan lawannya. Si Tosu terlebih kuatir daripada Sin Liong-sing, dia tahu lukanya sendiri teramat parah, ia menaksir biarpun nanti tenaga sendiri dapat pulih beberapa bagian dan mampu membunuh musuh, tatkala itu tenaga sendiri juga akan terkuras habis dan pasti tidak sanggup lagi menolong temannya sendiri, yaitu si Hwesio. Selagi Sin Liong-sing berpikir dirinya pasti akan tamat bersama si Tosu, tiba-tiba terdengar Tosu itu berkata dengan gegetun.

   "Sayang, sungguh sayang!"

   Dalam keadaan sama-sama loyo, mau tak mau terjadi kontak mulut, dengan gusar Sin Liong-sing menanggapi.

   "Sayang apa maksudmu? Huhu!"

   "Dari gaya ilmu silatmu, kukira kau ada hubungan rapat dengan Bun- tayhiap dan Ki We, sekali pun kau bukan anak muridnya, betul tidak?"

   Kata si Tosu.

   "Habis kau mau apa?"

   Jawab Sin Liong-sing. Ia merasa jiwa sendiri toh sukar diselamatkan, maka ia pun merasa tidak perlu menyangkal pertanyaan Tosu itu.

   "Bun-tayhiap terkenal sebagai pemimpin Bu-lim, ini sudah jelas. Sedangkan Ki We meski berdiri antara yang baik dan yang jahat, dia juga terhitung tokoh yang gemilang di dunia persilatan. Kau telah belajar ilmu silat dari kedua tokoh itu, tapi tidak mengarah ke jalan yang baik, sebaliknya malah membantu kejahatan dan menambah kelaliman,"

   Kata Tosu itu.

   "Membantu kejahatan dan menambah kelaliman, kalimat ini harus kukembalikan kepadamu,"

   Jawab Sin Liong-sing dengan gusar.

   "Percuma kau telah belajar ilmu silat Bun-tayhiap, hakikatnya kau tidak tahu membedakan hitam dan putih,"

   Ujar si Tosu.

   "Aku membantu Ubun Tiong malah kau anggap tidak dapat membedakan hitam dan putih? Sebaliknya kalian menjadi begundal Gak Liang-cun malah dianggap baik?"

   Jengek Sin Liong-sing.

   "Memangnya kau tidak tahu siapa Ubun Tiong?"

   Tanya si Tosu heran.

   "Meski aku tidak jelas asal-usulnya, paling tidak aku tahu dia bukan antek kaum Tartar Mongol atau Kim."

   "Hm, bisa jadi Ubun Tiong tidak mengakui dia adalah antek musuh, tapi dia adalah begundal Gak Liang-cun, itu berarti dia adalah antek pihak musuh."

   Sin Liong-sing terkejut dan berteriak.

   "Mana bisa dia begundal Gak Liang-cun? Sedangkan kedua anak buah Gak Liang-cun telah dibunuh olehnya, sebaliknya kalian datang bersama kedua anak buah Gak Liang-cun itu untuk mengerubutnya."

   Agaknya si Tosu tambah terkejut dan heran, katanya.

   "Jadi kau benar- benar tidak tahu asal-usul Ubun Tiong."

   "Siapa dia sebenarnya?"

   Tanya Liong-sing.

   "Dia adalah keponakan isteri Gak Liang-cun, kemudian dipungut anak pula oleh Gak Liang.cun,"

   Tutur si Tosu.

   "Dia telah banyak membantu Gak Liang-cun menangkap kaum bandit, banyak kawan Liok-lim kami menjadi korban keganasannya."

   Sungguh mimpi pun Sin Liong-sing tidak menduga asal-usul Ubun Tiong yang demikian itu, seketika ia menjadi ragu, katanya kemudian.

   "Hm, jangan kau mengoceh sesukamu. Kejadian tadi telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri."

   "Ya, memang benar kau telah menyaksikan Ubun Tiong membinasakan kedua perwira itu dan kami juga datang bersama mereka. Tapi di dalam hal ini ada sebab-musababnya, mungkin kau tidak mengetahuinya."

   "Memang aku tidak tahu, coba jelaskan."

   "Cerita ini cukup panjang dan harus dimulai dengan asal-usul Gak-hujin, asalnya dia....."

   "Asal-usul Gak-hujin sudah kuketahui, dia adalah puteri gembong bandit, betul tidak?"

   "Benar, jika kau sudah tahu, maka cerita ini dapat kupersingkat. Kedua perwira yang terbunuh tadi adalah bekas anak buah ayah Gak-hujin yang ikut dia dan bekerja di bawah Gak Liang-cun. Hanya saja dia bukan begundal Gak Liang-cun sebagaimana kau sangka, tapi ada sedikit bedanya. Sebagaimana kau tahu ayah Gak-hujin dibunuh oleh keempat kawan sekutunya sendiri, hal inipun sudah kau ketahui bukan?"

   "Tapi aku tetap tidak paham, kalau mereka bekerja dan setia kepada Gak Liang-cun dan isterinya, sedangkan Ubun Tiong adalah keponakan isteri Gak Liang-cun, mengapa dia membunuh mereka?"

   "Soalnya di antara mereka sendiri ada sengketa dan dendam. Ubun Tiong banyak membantu Gak Liang-cun menumpas kejahatan, di antaranya terdapat seorang saudara angkat kedua orang bekas anak buah Gak-hujin itu, padahal sebelumnya mereka sudah sepakat akan saling memberi kelonggaran kepada teman sendiri. Sebab itulah antara kedua orang itu dengan Ubun Tiong telah ada bibit permusuhan, apalagi kedua orang itu merasa bukan tandingan Ubun Tiong, maka dendam itu tetap tersimpan saja di dalam hati."

   "Apakah selama ini Ubun Tiong tetap ikut pada Gak Liang-cun?"

   "Tidak, duapuluh tahun yang lalu sudah meninggalkannya."

   "Aneh, mengapa begitu?"

   "Soalnya dia jatuh cinta kepada puteri Gak-hujin yang usianya sebaya dengan dia. Tapi mendadak Gak-hujin menjodohkan puterinya kepada Ki We, hal ini sama sekali di luar dugaan Ubun Tiong. Kemudian baru diketahuinya bahwa dia dipungut menjadi anak oleh Gak Liang-cun juga bertujuan agar dia tak dapat memperisteri puteri Gak-hujin. Akhirnya Ubun Tiong juga mengetahui hal ini, saking gemasnya ia lantas minggat."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sampai di sini barulah Sin Liong-sing tahu duduknya perkara, pantas Ubun Tiong mengucurkan air mata ketika bicara mengenai kematian Gak- siocia. Ia lantas bertanya pula.

   "Jika begitu, jadi Ubun Tiong bukanlah kawan Ki We, sebaliknya ialah musuhnya?"

   "Siapa bilang Ubun Tiong teman Ki We?"

   Ujar si Tosu sambil tertawa.

   "Setahuku dia malah pernah mencari Ki We untuk perang tanding. Waktu itu isteri Ki We meninggal belum lama, perangainya berubah buruk, Ubun Tiong telah dilukai olehnya, tapi mengingat akan isterinya, jiwa Ubun Tiong telah diampuninya."

   Baru sekarang Sin Liong-sing mengetahui dirinya telah tertipu oleh Ubun Tiong, jadi tujuan Ubun Tiong minta belajar lwekang ajaran Ki We itu adalah untuk menghadapi Ki We pula. Dalam pada itu si Tosu telah menyambung pula.

   "Gak-hujin dan Gak Liang-cun hanya suami-isteri kosong belaka, setelah puterinya mati, di dunia ini sudah tiada sanak-kadang lain lagi, maka ia menjadi terkenang kepada keponakan satu-satunya yang pergi tanpa pamit itu. Ketika Ubun Tiong muncul di Yang-ciu, kedua anak buah Gak-hujin itu pernah melihatnya waktu terjadi pertempuran di ruangan pesta, hal itu kemudian dilaporkan kepada Gak-hujin, maka Gak-hujin lantas menugaskan mereka untuk mencari kembali Ubun Tiong. Sudah tentu kedua orang itupun memang bermaksud mencari Ubun Tiong, hanya saja maksud tujuan mereka berbeda dengan sang majikan."

   "Ya, Gak-hujin ingin menemukan keponakannya untuk berkumpul lagi, sebaliknya mereka mencari Ubun Tiong untuk menuntut balas, makanya sejalan dengan kalian, begitu bukan?"

   "Betul, terus terang, justru lantaran kami mendapat kabar munculnya Ubun Tiong di Yang-ciu, maka kami sengaja memburu ke sini untuk mencarinya."

   Setelah mengetahui seluk-beluk ini, Sin Liong-sing merasa menyesal juga, kalau saja jiwanya sendiri menjadi korban tipuan Ubun Tiong sungguh dirasakan penasaran sekali. Si Tosu menyambung lagi.

   "Nah, sebab-musabab persoalan ini sudah kujelaskan padamu. Dari nada ucapanmu, agaknya seluk-beluk mengenai Ubun Tiong kau tidak begitu jelas. Sebenarnya apa hubunganmu dengan dia?"

   "Kukenal dia belum ada sebulan, hakikatnya tak dapat dikatakan ada hubungan apa pun,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   "Maaf, aku tak dapat bercerita sejelasnya, aku cuma dapat mengatakan bahwa aku telah tertipu olehnya."

   "Habis sebenarnya kau ini siapa?"

   Tanya si Tosu.

   "Kalian ini orang dari kalangan pendekar atau bukan? Apakah bersahabat dengan Bun-tayhiap?"

   Tanya Liong-sing.

   "Kami tidak sesuai untuk disebut sebagai pendekar, kami pun tidak kenal Bun-tayhiap, hanya kami sangat kagum kepada beliau. Apakah kau muridnya?"

   Sin Liong-sing merasa lega, jawabnya kemudian.

   "Mana aku sesuai menjadi murid Bun-tayhiap? Hanya secara kebetulan berhasil belajar beberapa jurus ilmu pedangnya saja."

   Sementara itu tenaga Sin Liong-sing sudah pulih sedikit, ia mengeluarkan obat untuk dibubuhkan pada lukanya sendiri. Tosu itupun sudah pulih sebagian tenaganya, dia hanya melototi perbuatan Sin Liong-sing itu dan tidak merintanginya.

   "Secara tak sadar kita telah bertempur tadi, kukira kita tidak perlu berkelahi lagi, bagaimana pendapatmu?"

   Kata Sin Liong-sing. Sudah tentu si Tosu sangat mengharapkan usul Sin Liong-sing ini, cepat ia menjawab.

   "Baiklah. Apakah kau sudah sanggup berjalan?"

   Liong-sing jemput tangkai kayu yang dipakai sebagai tongkat tadi, lalu menjawab.

   "Kukira aku dapat berjalan meninggalkan lembah pegunungan ini."

   "Baiklah, jika begitu boleh kau berangkat saja. Ini, kuberi sebutir Siau- hoan-tan (pil tambah tenaga) agar kau sanggup mencapai Soh-ciu. Sin Liong-sing melengak, katanya.

   "Untuk apa ke Soh-ciu?"

   "Bukankah tadi sudah kukatakan tabib sakti Ong yang berjuluk Say-hoa- to itu?"

   Kata si Tosu.

   "Lukamu tidak ringan, jika ingin lekas sembuh terpaksa kau harus mencari dia. Nah, lekas kau pergi saja, sebentar kalau kawanku si Hwesio itu siuman ku kuatir dia akan merintangi kepergianmu." ~ Padahal dia sendiri juga kuatir kalau Sin Liong-sing berbalik pikiran dan menyerangnya lagi. Segera Sin Liong-sing menerima obat itu dan berkata.

   "Terima kasih, cuma aku masih ingin mohon sesuatu."

   "Urusan apa, lekas katakan!"

   Desak si Tosu.

   "Tentang pertemuan kita di sini janganlah kau beritahukan kepada orang lain."

   Setelah si Tosu mengiakan, lalu Sin Liong-sing melangkah pergi.

   Waktu ia menoleh ke lembah pegunungan ini dari jauh, ia merasa seperti habis mimpi buruk saja pengalamannya selama hampir sebulan berdiam bersama Ubun Tiong.

   Ia pikir Pek-hoa-kok jelas tak dapat didatangi lagi, Hi Giok-kun toh sudah dilihatnya dan angan-angannya sudah terkabul.

   Tapi untuk rukun kembali dengan Giok-kun jelas tak bisa diharapkan lagi.

   Sebaliknya kalau pulang ke tempat Ki We, rasanya juga tidak sudi di bawah kekangannya.

   Tiba-tiba bayangan Ki Ki terbayang dalam benaknya, pandangan sayu Ki Ki yang sangat mengharapkan dia lekas pulang ketika mereka hendak berpisah dahulu masih jelas terbayang olehnya.

   "Ai, mungkin terpaksa aku harus mengecewakan cintanya padaku,"

   Demikian pikirnya.

   "Aku lebih suka menganggap dia sebagai adik perempuan saja, tapi bila aku pulang ke sana, mau tak mau aku harus menikah dengan dia."

   Batas waktu yang diberikan Ki We padanya masih ada tiga bulan lagi, akhirnya Sin Liong-sing mengambil keputusan untuk pergi dulu ke Soh-ciu untuk mencari tabib sakti she Ong.

   Begitulah ia menyewa sebuah perahu dan menuju ke Soh-ciu.

   Selama beberapa hari istirahat di atas perahu, kesehatannya sudah pulih kembali, meski luka dalam belum sembuh sama sekali, tapi gerak-geriknya sudah biasa, kecuali air mukanya rada pucat sedikit, keadaannya sudah sehat.

   Suatu hari sampailah dia di kota yang dituju.

   Kota Soh-ciu memang benar sangat indah sebagaimana namanya yang termasyhur.

   Di atas ada surga, di bawah ada Soh(ciu) dan Hang(ciu), pameo ini memang benar.

   Demikian pikir Sin Liong-sing.

   Ia terus menyusuri jalan kota yang terbuat dari batu bulat kecil serupa telur, ia mencari klinik tabib Ong yang berjuluk "Say-hoa-to"

   Itu.

   Tiba-tiba dilihatnya ada sebuah perusahaan sutera yang besar pintunya tertutup rapat dengan ditempeli kertas segel pembesar setempat.

   Setelah melintasi jalan raya sebelah sana, kembali dilihatnya pula sebuah toko hasil bumi juga pintunya tertutup dan ditempeli kertas segel sebagian tanda dalam penyitaan dan pengawasan yang berwajib.

   Karena ingin tahu, ia coba tanya keterangan pada seorang tua yang kebetulan berlalu di situ.

   Orang tua itu semula takut-takut, tapi setelah dibujuk dan melihat Sin Liong-sing adalah pendatang dari tempat lain, akhirnya orang tua itu menerangkan secara singkat bahwa pemilik toko hasil bumi itu she Sun dan terkenal sebagai orang berbudi, tapi entah terkena perkara apa, tokonya belum lama ini telah disita, syukur juragan Sun itu sempat lolos.

   Setelah mengucapkan terima kasih, Sin Liong-sing melanjutkan perjalanan ke depan.

   Mendadak teringat olehnya kedua saudagar yang pernah dikenalnya di Yang-ciu tempo hari, seorang di antaranya mengaku she Lau dan berdagang kain sutera, seorang lagi she Sun dan katanya berdagang hasil bumi, terutama beras.

   Ia pikir kedua perusahaan yang disegel tadi tentulah milik kedua saudagar itu.

   Tempo hari mereka telah mengacaukan pesta ulang tahun Gak Liang-cun di Yang-ciu bersama para pahlawan dari Kim-keh-nia, mungkin perbuatan mereka itu telah diketahui sehingga toko mereka pun ditutup dan disita.

   Mereka adalah kawan tabib she Ong, tapi tabib Ong tempo hari tidak tinggal bersama mereka, entah tabib Ong terkena perkara atau tidak? Pikiran Sin Liong-sing menjadi bimbang, ia coba memasuki sebuah kedai minum dan bermaksud mencari keterangan lebih dulu.

   Kebetulan kedai minum itu sedang sepi, Sin Liong-sing pesan satu teko teh yang enak, lalu mengajak ngobrol pemilik kedai.

   Tanyanya.

   "Kabarnya di Soh-ciu kalian sini ada seorang tabib sakti Ong berjuluk Say-hoa-to, entah terletak dimana rumah prakteknya?"

   "Apakah tuan tamu hendak berobat padanya?"

   Tanya pemilik kedai. Setelah Sin Liong-sing mengiakan, lalu pemilik kedai berkata pula.

   "Kedatangan tuan tamu agaknya tidak tepat pada waktunya."

   Sin Liong-sing merasa heran.

   "Tidak tepat waktunya bagaimana? Apakah tabib Ong tidak di rumah?"

   Tanyanya. Belum pemilik kedai menjawab, tiba-tiba dua tamu melangkah masuk kedai itu. Cepat pemilik kedai mendekati mereka untuk melayani.

   "Jangan repot, Tio-lopan (juragan Tio),"

   Kata kedua tamu itu.

   "kau ada tamu, silakan melayani dulu, kita kan kenalan lama. Tampaknya asyik benar pembicaraan kalian tadi."

   Pemilik kedai she Tio itu menduga kedua tamu itu telah mendengar percakapannya tadi, terpaksa ia mengarang jawabannya dan berkata.

   "O, biasa, tuan tamu ini datang dari jauh ingin berobat ke sini."

   "Tentunya mencari tabib Ong si Say-hoa-to bukan?"

   Kata kedua tamu itu.

   "Benar,"

   Sela Sin Liong-sing.

   "Tapi aku tidak tahu dimana klinik tabib Ong, maka aku tanya....."

   "Aku menganjurkan tuan tamu ini lebih baik pulang saja,"

   Cepat pemilik kedai memotong.

   "sebab perangai tabib Ong terkenal sangat aneh, antara sepuluh orang penderita sakit yang ingin berobat padanya, kalau ada satu yang diterima olehnya sudah beruntung bagi orang itu."

   "Ah, tuan ini datang dari jauh, apa salahnya kalau coba-coba peruntungan, siapa tahu dia adalah satu di antara kesepuluh orang yang mau diterima tabib Ong,"

   Ujar tamu yang bertubuh besar.

   "Benar,"

   Sambung kawannya.

   "biar kuberitahu tempat praktek tabib Ong itu. Dari sini engkau terus melintasi jalan raya sana, lalu belok ke kiri dan belok lagi ke kanan, pada ujung jalan terakhir itulah letak klinik pengobatan tabib Ong."

   "Jadi tabib Ong berada di rumah?"

   Tanya pula Sin Liong-sing.

   "Sudah tentu di rumah, bulan yang lalu dia baru bepergian, sudah lama pulang di rumah,"

   Kata tamu itu.

   Sin Liong-sing pikir toh sudah berada di sini, betapa pun harus berkunjung kepada tabib itu.

   Sebenarnya dia cukup cerdik, dengan sendirinya ia pun menaruh curiga terhadap kedua tamu itu.

   Tapi mengingat kepandaian sendiri cukup tinggi, ia tidak begitu menaruh perhatian terhadap mereka.

   Begitulah menurut petunjuk kedua orang itu, benar juga Sin Liong-sing dapat menemukan klinik tabib Ong, pintu rumah tampak terbuka, maka legalah hati Sin Liong-sing, kalau klinik tabib Ong tidak ditutup, jelas orangnya tidak tersangkut sesuatu perkara.

   Dia berdiri di depan pintu, sebelum bersuara, seorang telah keluar dan menegurnya.

   "Apakah mau berobat?"

   Sin Liong-sing mengiakan dan segera orang itu menyilakan masuk. Setiba di ruang tamu, kembali keluar dua pelayan, seorang berkata dengan ramah.

   "Harap tuan tamu menunggu sebentar, akan kulaporkan kepada tabib."

   Seorang pelayan lagi lantas menuangkan secangkir teh, katanya.

   "Tuan tamu datang dari jauh, tentu sudah lelah, silakan minum sekadarnya untuk menghilangkan dahaga."

   Karena pelayanan yang berlebihan itu, Sin Liong-sing menjadi curiga. Ia terima cangkir teh itu dan mengendusnya, lalu berkata.

   "Ehmm, harum sekali teh ini."

   "Ya, teh ini adalah Sio-ciong-teh yang terpilih, enak sekali kalau diminum hangat-hangat,"

   Kata pelayan itu. Sin Liong-sing sengaja memegang cangkir teh itu dengan kedua tangan terus diangkat untuk diminum, ia menunduk dengan muka teraling oleh lengan baju yang longgar, ia berlagak menghirup seteguk teh itu, lalu memuji.

   "Wah, sungguh enak sekali teh ini!" ~ Habis itu mendadak ia lepaskan cangkir teh itu hingga jatuh pecah berantakan. Dengan kepala menunduk lemas Sin Liong-sing lantas mendekam di atas meja dan terpulas. Tanpa pikir kedua pelayan tadi bertepuk tangan gembira, seru mereka.

   "Ha, ha, bocah ini telah kita kerjai!" ~ Segera mereka mengambil tali untuk meringkus Sin Liong-sing. Tak terduga, mendadak Sin Liong-sing melompat bangun, sekali cengkeram, dengan Kim-na-jiu-hoat yang ampuh pergelangan tangan seorang pelayan itu lantas dipegangnya, pelayan yang lain cepat melompat mundur, lalu menendang.

   "Bangsat, biar kau kenal kelihaianku!"

   Bentak Sin Liong-sing sambil mendorong tawanannya ke depan. Tendangan pelayan tadi tidak mengenai Sin Liong-sing, sebaliknya tepat mengenai kawan sendiri.

   "Bluk", kedua orang sama-sama jatuh terguling. Dalam pada itu serentak kawanan pelayan yang lain lantas menerjang tiba, segera Sin Liong-sing terkepung di tengah, kepandaian kawanan pelayan itu ternyata tidak lemah. Betapa pun Sin Liong-sing menjadi kuatir, ia pikir jumlah musuh terlalu banyak, rasanya jalan paling selamat adalah melarikan diri. Segera ia pura-pura menyerang beberapa kali, ketika lawan berkelit, peluang itu segera digunakan untuk kabur keluar pintu. Akan tetapi baru saja dia melangkah keluar ambang pintu, mendadak sinar senjata yang mengkilap menyambar tiba, dua golok telah membacoknya dari depan. Terdengar pula bentakan si penyerang.

   "Hendak lari kemana?"

   Cepat Sin Liong-sing angkat pedangnya menangkis, waktu ia mengamat- amati, kiranya kedua penyerang adalah kedua tamu di kedai minum tadi.

   "Bagus, memangnya aku hendak mencari kalian untuk membikin perhitungan!"

   Bentak Sin Liong-sing dengan gusar.

   Segera pedangnya berputar, satu gerakan dua serangan, ia desak kedua lawannya hingga terpaksa melompat mundur.

   Namun dari belakang para pengejarnya telah menyusul tiba pula.

   Dalam keadaan kepepet, terpaksa Sin Liong-sing memutar balik dan menyerbu lagi ke dalam rumah.

   Akan tetapi jumlah musuh terlalu banyak, setelah bertempur sekian lamanya, akhirnya ia merasa kepala mulai pusing dan mata berkunang.

   Kiranya luka Sin Liong-sing belum sembuh betul, pertempuran ini telah pula menguras segenap tenaganya barulah dia dapat bertahan sampai sekarang.

   Kini dia benar-benar sudah payah.

   Mendadak ia menjadi nekat, secepat kilat ia melancarkan serangan beberapa kali sambil membentak.

   "Hayolah maju, keparat! Bunuh satu kembali pokok, bunuh dua berarti aku untung satu!"

   Sudah tentu kawanan musuh tidak berani mengadu jiwa dengan orang kalap, banyak di antaranya dipaksa melompat menyingkir.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Peluang itu lantas digunakan Sin Liong-sing untuk menerjang keluar kepungan.

   Lambat-laun Sin Liong-sing dapat pula mendekati pintu.

   Cuma sayang tenaganya sudah habis, setelah menerjang belasan langkah lagi, ia benar-benar sudah tidak kuat lagi, tubuhnya menjadi sempoyongan.

   Pandangan Sin Liong-sing mulai kabur, diam-diam ia mengeluh jiwanya sekali ini pasti akan melayang.

   Di luar dugaan, selagi dia pejamkan mata menunggu ajal, sekonyong- konyong terdengar suara nyaring gemerinting, suara seorang yang sudah dikenalnya membentak.

   "Bukankah kalian ingin mencari aku? Nah, orang she Sun berada di sini, kalau mampu tangkaplah aku!"

   Waktu Sin Liong-sing membuka matanya, dilihatnya seorang lelaki pendek gemuk memutar senjata berbentuk Sui-poa sedang melabrak musuh.

   Nyata orang ini adalah juragan hasil bumi she Sun yang dikenalnya di Yang- ciu tempo hari.

   Dalam pada itu dengan cepat orang she Sun itu telah menariknya sambil berkata.

   "Jangan gugup, Liong-heng, ikutlah padaku!"

   Langkah Sin Liong-sing sendiri sudah sempoyongan, hendak menerjang keluar kepungan musuh terasa berat sekali, terpaksa ia membiarkan dirinya diseret oleh orang she Sun itu.

   Biarpun gemuk tampaknya, tapi orang she Sun itu ternyata sangat tangkas, sekali terjadi beberapa musuh menyerang sekaligus, tapi senjata Sui- poa orang she Sun itu lantas menyampuk, terdengar suara mendering nyaring, senjata-senjata lawan telah terpental dan sebagian besar terlepas dari tangan.

   Ternyata Sui-poa itu terbuat dari baja murni, bobotnya terlebih berat daripada senjata biasa.

   Keruan musuh menjadi keder dan tak berani mendekat.

   Kesempatan itu segera digunakan orang she Sun itu untuk melompat ke atas rumah dengan mengempit tubuh Sin Liong-sing, jangan dikira tubuh orang she Sun itu pendek gemuk, tapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan cekatan.

   Hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah jauh meninggalkan tempat musuh.

   Ada beberapa orang berusaha mengejarnya, tapi mendadak orang she Sun mengayun senjatanya, serentak beberapa biji Sui-poa meluncur ke depan, kontan beberapa orang itu tertimpuk jatuh terjungkal ke bawah.

   Ternyata biji Sui-poa itupun menjadi senjata rahasia yang khas orang she Sun.

   Begitulah dengan tertawa panjang kemudian orang she Sun itu kabur tanpa rintangan lagi.

   Berada di kempitan orang, Sin Liong-sing merasa tubuhnya seperti terapung di udara, ia tahu keadaannya sudah aman, rasa tegangnya menjadi hilang, segera pula ia merasa badan sangat lemas, ia pun tidak sadarkan diri.

   Entah lewat beberapa lama, ketika Sin Liong-sing siuman, ia merasa dirinya berbaring di lantai yang bergerak-gerak ke depan dengan perlahan, terdengar pula suara angin mendesir dan ombak mendampar.

   Waktu ia membuka mata, kiranya berada di atas sebuah kapal.

   Suara seorang yang sudah dikenalnya lantas berkata.

   "Nah, Liong- siauhiap sekarang sudah mendusin."

   Seorang lagi berkata dengan tertawa.

   "Liong-heng, orang yang hendak kau cari juga berada di sini! Coba lihat, apakah engkau masih kenal kami?"

   Waktu Sin Liong-sing memperhatikan, terlihat tiga orang berdiri di depannya, ia menjadi girang dan kejut.

   Kiranya orang yang berdiri di tengah itu bukan lain daripada tabib sakti Ong, sedang yang sebelah kiri adalah Sun Cu-kiok, saudagar hasil bumi yang telah menolongnya itu.

   Dan yang berdiri di sebelah kanan adalah Lau Keng, saudagar sutera yang sudah dikenalnya di Yang-ciu dahulu.

   "Liong-heng sungguh orang yang bisa pegang janji, cuma sayang aku tidak dapat menunggu kedatanganmu di rumah sehingga membikin susah padamu,"

   Kata tabib Ong. Segera Sin Liong-sing bermaksud bangun untuk memberi hormat, tapi tabib Ong telah menahannya dan berkata.

   "Jangan banyak adat, Liong-heng, lukamu ternyata tidaklah ringan."

   "Terima kasih atas perhatianmu, Ong-tayhu (tabib Ong), meski engkau sendiri sedang tertimpa malang, tapi tetap ingat kepada janji pertemuan dengan Wanpwe, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu,"

   Kata Sin Liong-sing. Lalu ia pun mengucapkan terima kasih kepada Sun Cu-kiok yang telah menyelamatkan dia.

   "Yang menyelamatkan jiwamu sebenarnya adalah Ong-tayhu, pantasnya kau berterima kasih padanya,"

   Ujar Sun Cu-kiok.

   "Ah, aku cuma membantu pakai mulut saja, yang menolong pakai tenaga adalah kau, bahaya yang kau hadapi terlebih besar,"

   Kata tabib Ong dengan tertawa.

   Setelah diberi penjelasan lagi oleh Sun Cu-kiok, kini Sin Liong-sing baru tahu bahwa tabib Ong telah menduga akan kedatangannya sebagaimana dijanjikan dahulu, maka selama beberapa hari ini Sun Cu-kiok dan Lau Keng selalu bergilir mengintai di sekitar klinik tabib Ong.

   Maka terjebaknya Sin Liong-sing oleh musuh dapatlah dilihat oleh Sun Cu-kiok, lalu turun tangan menolongnya.

   Diam-diam Sin Liong-sing sangat berterima kasih, padahal perkenalan mereka cuma sepintas lalu saja, tapi mereka ternyata sangat memperhatikan dan menolongnya dengan sepenuh tenaga.

   Tanpa terasa ia mengucurkan air mata terharu dan kembali mengucapkan terima kasihnya yang tak terhingga.

   "Biasanya aku tak menggubris biarpun kaum pembesar minta berobat padaku, tapi kalau kawan pendekar yang minta tolong padaku, betapa pun aku akan berusaha menyembuhkannya. Sekali ini Liong-heng telah banyak membantu kami di Yang-ciu, kita sama-sama sekaum, mana aku dapat tinggal diam melihat engkau terjebak musuh. Makanya engkau jangan sungkan- sungkan lagi padaku, anggaplah seperti kawan lama."

   Kemudian Sun Cu-kiok menjelaskan pula disitanya perusahaan mereka oleh pihak yang berwajib, begitu pula klinik tabib Ong, soalnya perbuatan mereka di Yang-ciu telah diketahui musuh.

   Sebenarnya Cian Tiang-jun juga berada di klinik tabib Ong, tapi dua hari yang berlalu dia telah pergi.

   Sisa anak buahnya hanya jago kelas rendahan, makanya Sun Cu-kiok dapat melabrak mereka dengan mudah.

   Habis itu Ong-tayhu juga menguraikan keadaan penyakit Sin Liong-sing, katanya.

   "Luka Liong-heng kini telah tambah berat lagi. Agaknya dalam pertempuran di Yang-ciu tempo hari, engkau pernah bergebrak pula dengan jago yang memiliki lwekang sangat tinggi? Cuma saja untuk disembuhkan juga tidak sulit. Akan kuberi obat untuk luar dan dalam, cukup beberapa hari saja lukamu pasti akan sembuh. Hanya tentang penyakit yang membahayakan jiwamu ini adalah akibat penyakit aneh yang sebelumnya memang sudah mengeram di tubuhmu."

   "Mati atau hidup setiap orang sudah ditakdirkan, untuk ini Wanpwe pasrah nasib saja,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Cuma entah penyakit aneh apa yang mengeram di tubuhku ini?"

   "Menurut hasil pemeriksaanku, tiga tahun kemudian kau akan menghadapi bahaya Cau-hwe-jip-mo, asal mula penyakit ini seperti akibat salah latih ilmu lwekang. Apa kau kenal seorang gembong iblis bernama Ki We?"

   Pertanyaan mendadak ini membikin Sin Liong-sing melenggong, ia merasa sangsi apakah si tabib sakti ini telah dapat melihat tanda-tanda lwekang ajaran Ki We yang diyakinkannya itu? Tapi ia tak berani mengaku terus terang, terpaksa menjawab.

   "Nama gembong iblis itu memang pernah kudengar, tapi tidak kenal."

   "Dia memang sudah menghilang dari dunia Kang-ouw sejak duapuluh tahun yang lalu, pantas kalau kau tidak kenal dia,"

   Kata Ong-tayhu.

   "Soalnya dahulu Ki We juga pernah berobat padaku ketika dia entah sebab apa terkena racun jahat. Waktu itu lwekangnya belum terlatih sempurna, tapi sudah ada tanda-tanda dari denyut nadinya bahwa kelak dia pasti akan menghadapi Cau-hwe-jip-mo yang parah. Keadaan denyut nadinya waktu itu sama seperti kau sekarang. Apakah kau dapat memberitahukan padaku, siapakah gurumu?"

   "Maaf, guruku tidak ingin namanya dikenal orang luar, terpaksa Wanpwe tak dapat memberitahukan,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   Memang ada juga orang kosen Kang-ouw yang tidak suka menonjolkan diri atau sengaja merahasiakan jejaknya, sebab itu meski Ong-tayhu rada kurang senang mendapat jawaban yang tidak memuaskan itu, tapi ia pun tak dapat menyalahkan Sin Liong-sing.

   Selagi Sin Liong-sing ingin bertanya kemana mereka sedang menuju, tiba- tiba tukang perahu datang membawakan satu mangkuk bubur dan beberapa jenis sayuran.

   "Sudah sehari semalam kau tidak makan apa-apa, tentunya kau merasa lapar?"

   Kata tabib Ong dengan tertawa.

   "Nah, silakan tangsal perut dahulu, habis makan barulah kita bicara lagi."

   Tanpa sungkan Sin Liong-sing lantas makan apa yang disediakan itu. Sun dan Lau berdua mengiringinya dengan minum arak, dengan tertawa Sun Cu- kiok berkata.

   "Sayang Liong-heng belum boleh minum arak. Rasa arak ini masih boleh juga."

   "Arak ini adalah Kui-hoa-ciu yang terkenal di daerah Thay-ouw, tentu saja enak rasanya,"

   Ujar Ong-tayhu. Tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu, katanya kemudian.

   "Bukanlah Liong-heng tak boleh minum arak, soalnya arak apa yang akan dia minum. Aku menjadi teringat kepada sesuatu arak yang sukar diperoleh, tapi sangat berfaedah bagi penyakit Liong-heng."

   "Arak apa itu?"

   Tanya Lau Keng sebelum Sin Liong-sing buka mulut.

   "Yaitu Pek-hoa-ciu buatan keluarga Hi di Pek-hoa-kok,"

   Tutur tabib Ing. Sin Liong-sing terkesiap mendengar nama keluarga Hi di Pek-hoa-kok disebut, ia pikir keluarga Hi di Pek-hoa-kok yang dimaksud tiada lain kecuali keluarga Hi Giok-kun. Benar juga segera terdengar Sun Cu-kiok berkata.

   "Pek-hoa-ciu keluarga Hi kukira tidak sukar untuk dicari. Malahan aku kenal pemiliknya ketika berada di Yang-ciu, cuma sekarang nona Hi itu sudah pergi ke Kim-keh-nia."

   "Tapi di rumahnya masih ada seorang tukang kebun, boleh kita coba tanya dia apa di rumah majikannya itu masih tersimpan arak yang dimaksud,"

   Ujar Lau Keng.

   "Ya, kalau Pek-hoa-ciu itu berguna bagi Liong-heng, betapa pun kita harus berdaya upaya untuk mendapatkannya, kalau perlu kita akan mencari nona Hi di Kim-keh-nia untuk minta arak padanya,"

   Kata Sun Cu-kiok.

   "Benar, bicara tentang nona Hi itu, dia juga sangat memperhatikan Liong-heng,"

   Tukas Lau Keng dengan tertawa.

   "Nona Hi itu mengatakan hutang budi kepada Liong-heng, sayang dia tidak sempat mengucapkan terima kasih kepada Liong-heng sendiri. Apabila dia tahu keadaan Liong- heng di sini, bisa jadi dia sendiri akan berkunjung ke sini."

   Sudah tentu Sin Liong-sing merasa tidak enak, ia pikir semoga Hi Giok- kun tidak datang menemui aku, kalau saja Giok-kun mengetahui siapa diriku, wah, rasanya aku lebih baik mati saja.

   Demikianlah Liong-sing membatin.

   Sehabis makan, semangat Sin Liong-sing tambah segar, dia memandang jauh ke sana sambil bersandar pada dinding perahu, air tenang bak cermin yang halus.

   Tertampak deretan bukit menghijau jauh di tepian danau sana, pemandangan indah tak terlukiskan.

   Seketika Sin Liong-sing terkejut melihat pemandangan sekitarnya itu, cepat ia bertanya.

   "Tempat apakah di sini ini?"

   "Ini kan Thay-ouw, apakah Liong-heng belum pernah pesiar ke sini?"

   Kata Sun Cu-kiok dengan tertawa.

   Baru sekarang Liong-sing menyadari.

   Soh-ciu berada di dekat Thay-ouw, kalau perahu ini berlayar di danau yang luas, tentu saja danau ini adalah Thay-ouw yang terkenal.

   Wah, bisa runyam, demikian pikir Sin Liong-sing.

   Hal yang dia kuatirkan ternyata lantas terucapkan dari mulut Ong-tayhu.

   Tabib itu berkata.

   "Liong-heng, baru saja akan kukatakan supaya engkau ikut bergirang. Nama Ong Cong-cecu dari Thay-ouw, Ong Ih-ting, tentunya kau tahu. Nah, ke sanalah kita hendak menuju. Tentu pula Liong-heng tak perlu kuatir diganggu musuh selama tetirah di sana."

   Keruan Sin Liong-sing terkejut, Cong-cecu dari kawanan bajak Thay-ouw Ong Ih-ting adalah sahabat karib gurunya, terpaksa ia menjawab.

   "Nama Ong Cong-cecu termasyhur, sudah lama aku kagum terhadap tokoh pujaan itu, hanya belum pernah bertemu."

   "Aku pun belum kenal dia,"

   Tutur Ong-tayhu.

   "cuma kami membawa surat pribadi Toh Hok dari Kim-keh-nia, kami disuruh bernaung ke tempat Ong Cong-cecu bila terjadi sesuatu halangan."

   Diam-diam Sin Liong-sing membatin.

   "Hanya dua kali aku bertemu dengan Ong Ih-ting, kedua kali dia sibuk berunding dengan Suhu dan tidak begitu menaruh perhatian kepada diriku. Kalau Giok-kun saja sudah pangling padaku, rasanya Ong Ih-ting juga takkan mengenali diriku."

   Namun begitu hatinya tetap kebat-kebit.

   Tidak lama perahu mereka telah merapat dengan tepian danau, kedatangan mereka ternyata sudah ditunggu, Sin Liong-sing telah disiapkan suatu usungan dan digotong empat orang ke atas gunung.

   Begitu bertemu dengan Sin Liong-sing, segera Ong Ih-ting berkata.

   "Liong-heng, urusanmu sudah kuketahui semua."

   Tentu saja Liong-sing terkejut, sebab mengira asal-usulnya telah diketahui. Tapi Ong Ih-ting lantas menyambung pula.

   "Peristiwa di Yang-ciu telah banyak mendapat bantuan Liong-heng, konon engkau telah menyelamatkan jiwa nona Hi bukan?"

   Baru sekarang Sin Liong-sing tahu yang dimaksud tuan rumah itu adalah kejadian di Yang-ciu, maka legalah hatinya dan menjawab dengan kata-kata rendah hati.

   "Bicara tentang nona Hi, sungguh nasibnya sangat malang, apakah Liong-heng tahu kisah hidupnya?"

   Tiba-tiba Ong Ih-ting bertanya setelah bicara kejadian di Yang-ciu tempo hari. Jantung Sin Liong-sing memukul keras, sedapat mungkin ia tenangkan diri, jawabnya kemudian.

   "Keluarga Hi di Pek-hoa-kok adalah keluarga persilatan yang terkenal, aku cuma tahu nona Hi itu adalah puteri keluarga Hi di sana, lebih dari itu aku tidak tahu."

   "O, agaknya Liong-heng tidak tahu kalau dia sudah janda,"

   Tutur Ong Ih- ting.

   "Sebenarnya dia sudah punya suami, namanya Sin Liong-sing, murid pewaris Bun Yat-hoan, Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam yang terkenal. Sungguh sayang, pemuda cekatan dan serba pintar itu menurut berita terakhir telah tewas di tangan Wan-yan Ho, putera Wanyan Tiang-ci, panglima pasukan pengawal kerajaan Kim yang terkenal itu. Padahal pernikahan mereka belum ada setahun, dalam usia semuda itu nona Hi sudah menjadi janda, coba, kasihan bukan?"

   Diam-diam Sin Liong-sing merasa geli karena pembicara tidak tahu bahwa Sin Liong-sing yang disangka sudah mati itu kini justru sedang diajak bicara olehnya. Tapi sedapatnya Liong-sing bersikap simpati dan terharu, katanya.

   "Ya, sungguh sayang. Sejak dahulu kala memang wanita cantik selalu bernasib malang, sungguh tidak adil alam ini."

   "Bahwasanya suami sudah mati dan isteri harus menjanda selamanya, adat kolot ini aku paling anti,"

   Kata Ong Ih-ting pula.

   "Menurut pendapatku, kaum Kang-ouw kita hakikatnya tidak perlu mempedulikan peraturan kuno itu."

   


Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Gelang Perasa -- Gu Long

Cari Blog Ini