Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 3


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 3



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dengan sendirinya Kok-hujin tidak dapat mengikuti liku-liku isi hati Yim Thian-ngo itu, terpaksa ia gegetun atas kepergian Han Pwe-eng yang telah tahu duduk persoalannya itu, apakah nona itu akan menolong persoalannya itu, apakah nona itu akan menolong Siau-hong atau tidak, terserah saja kepada kehendak nona itu.

   Menolong Kok Siau-hong atau tidak? Soal itupun sedang membikin kusut pikiran Han Pwe-eng.

   Sekaligus nona itu berlari meninggalkan rumah keluarga Kok sampai belasan lie jauhnya, perlahan-lahan pikirannya dapat ditenangkan kembali.

   Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah menongol di ufuk timur dengan cahayanya yang gilang-gemilang, angin pagi meniup sepoi- sepoi sejuk, semangat Pwe-eng terasa segar kembali.

   Bermandikan cahaya matahari pagi itu, bayangan gelap yang menutupi pikiran Pwe-eng semalam seperti cair terkena sinar matahari.

   Ia menjadi tersenyum geli sendiri, pikirnya.

   "Kok-hujin berjiwa besar dan berpikir secara terbuka, masakah aku malah berpikiran sempit? Hi Giok-kun telah menyembuhkan penyakitku, kini adalah kesempatan bagus bagiku untuk membalas kebaikannya. Aku toh tidak bermaksud berebut lelaki dengan dia, mengapa aku tidak pergi ke sana?"

   Berpikir sampai di sini, ketika pikirannya terbuka dan bertekad pasti akan membantu kesukaran keluarga Hi.

   Karena ia tidak membawa bekal apa- apa yang tertinggal di hotel, maka langsung saja ia menuju ke Pek-hoa-kok.

   Besok sorenya ia sudah sampai di Ban-siong-nia, sebuah bukit yang berhadapan dengan bukit dimana terletak Pek-hoa-kok, jaraknya kurang lebih tinggal ratusan lie saja.

   Ia menaksir malam nanti tentunya sudah dapat mencapai tempat tujuan.

   Hi Giok-kun pasti takkan menduga akan kedatanganku kembali ke sana.

   Dan bagaimana dengan Kok Siau-hong, apakah harus kutemui atau tidak? Begitulah selagi Pwe-eng merenungkan apa-apa yang akan dilakukannya nanti sambil mempercepat larinya, tiba-tiba terdengar suara nyaring beradunya senjata di kejauhan, ia menjadi heran siapakah yang sedang bertempur di tengah hutan sana? Walaupun ia sendiri ada urusan penting, tapi mengingat orang-orang yang bertempur itu bukan mustahil ada yang dikenalnya, tanpa terasa ia pun ingin mengetahuinya dengan jelas.

   Maka diam-diam ia menyusup ke dalam hutan sana.

   Sesudah dekat, ia menjadi terkejut setelah mengetahui keadaannya.

   Ternyata ada tiga orang lelaki sedang mengerubut seorang pemuda.

   Pemuda ini bukan lain daripada kakak Hi Giok-kun, yaitu Hi Giok-hoan.

   Ketiga laki-laki itu memiliki kepandaian tinggi semua, seorang memakai golok dengan tangan kiri, permainan ilmu goloknya hebat, seorang lagi menggunakan golok dengan tangan kanan sehingga dapat bekerja sama dengan sangat rapi dengan kawannya yang bergolok di tangan kiri.

   Orang ketiga menggunakan senjata tombak berujung cabang tiga, trisula.

   Ujung tombak bergelang tembaga tiga buah sehingga menerbitkan suara nyaring bila bergerak.

   Tombak trisula itu sebenarnya adalah senjata berat, tidak cocok untuk digunakan menotok Hiat-to.

   Tapi cara permainan tombak orang itu ternyata sangat lihai, ujung tombak selalu mengincar Hiat-to lawan yang mematikan.

   Biasanya Han Pwe-eng sering mendengar cerita ayahnya tentang jago-jago silat yang terkenal di dunia Kang-ouw.

   Maka ia menduga orang yang bergolok dengan tangan kiri itu tentu jago silat terkenal Koan Gun-ngo dari Wi-yang.

   Sedang orang bergolok dengan tangan kanan adalah tokoh ternama Loh Tay-yu dari Bu-cin.

   Kedua orang itu adalah saudara angkat dan telah saling mempelajari ilmu golok masing-masing yang berlawanan itu sehingga menghasilkan kerja sama ilmu golok yang sangat hebat.

   Sedangkan orang yang bertombak trisula itu diduganya tentu Bong Sian adanya, seorang Ce-cu dari Hek-hong-lim.

   Terang ketiga tokoh inipun termasuk jago-jago yang diundang oleh Liok Hong dan Tian It-goan, yaitu kedua kakek pengawal Pwe-eng.

   Ketiga orang itu memang lihai, tapi nyatanya ilmu silat Hi Giok-hoan lebih-lebih menakjubkan.

   Setelah mengikuti sejenak, heran dan girang pula Han Pwe-eng melihatnya.

   Pedang Hi Giok-hoan tampak begitu lincah, menyampuk ke sana terus menyabet ke sini, golok kiri Koan Gun-ngo disampuk pergi terus menabas pula ke arah lain sehingga Loh Tay-yu terpaksa menarik kembali goloknya untuk menangkis.

   Berbareng itu Hi Giok-hoan menggeser ke samping sehingga totokan tombak Bong Sian terhindarkan.

   Di tengah berkelebatnya senjata, empat bayangan orang melayang kian kemari dengan cepat.

   Girang dan kagum sekali Han Pwe-eng.

   Pikirnya.

   "Benar di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Aku sudah berhasil meyakinkan Keng- sin-kiam-hoat ajaran ayah dan selalu menganggap jarang ada tandingannya lagi, tapi tampaknya sekarang kepandaianku masih jauh daripada sempurna, bukan saja ilmu pedang Hi Giok-hoan masih di atas diriku, bahkan salah seorang di antara Koan Gun-ngo bertiga mungkin juga aku tidak dapat mengalahkannya. Tapi dengan satu lawan tiga toh Hi Giok-hoan masih berkelebihan. Kalau pertempuran sengit ini berlangsung terus, tentu salah satu pihak sukar terhindar dari kematian. Selagi Pwe-eng bermaksud unjuk diri untuk melerainya, sekonyong- konyong terdengar Hi Giok-hoan tertawa panjang, sinar pedangnya berkelebat.

   "trang-tang"

   Dua kali, golok kiri Koan Gun-ngo dan golok kanan Lok Tay-yu terbentur dengan tepat. Menyusul Hi Giok-hoan terus melompat mundur dua-tiga meter jauhnya.

   "Lari kemana!"

   Bentak ketiga orang itu berbareng.

   Tapi di tengah berkelebatnya bayangan orang yang uber menguber itu, terdengarlah suara jeritan berulang-ulang.

   Loh Tay-yu dan Bong Sian tahu- tahu jatuh terbanting, sedangkan Hi Giok-hoan juga bersuara tertahan dan tergeliat dua kali, tiba-tiba darah segar tersembur pula dari mulutnya, habis itu ia pun roboh terguling.

   Melihat gelagatnya, bukan mustahil luka Giok- hoan jauh 1ebih parah daripada kedua lawannya.

   Perubahan mendadak ini benar-benar di luar dugaan Han Pwe-eng, padahal dilihatnya pertarungan mereka sedang berlangsung dengan amat seru dan sukar menentukan kalah menang sebelum ratusan jurus.

   Siapa duga begitu kedua pihak sama-sama mengeluarkan jurus serangan maut, seketika pula kedua pihak sama-sama menggeletak.

   Melongo kaget Han Pwe-eng menyaksikan itu, tiba-tiba dilihatnya pula Koan Gun-ngo sedang membentak.

   "Bedebah, biar kumampuskan kau!"

   Tubuh Koan Gun-ngo berlumuran darah, tampaknya lukanya juga tidak ringan.

   Tapi di antara keempat orang itu lukanya adalah paling enteng.

   Ternyata lengan kanannya tersayat oleh pedang Hi Giok-hoan hingga terluka panjang, tapi goloknya sudah dipindahkan ke tangan kiri dan selangkah demi selangkah ia menggeser ke depan untuk mendekati Hi Giok-hoan.

   Hi Giok-hoan ternyata tak bisa berkutik, agaknya Hiat-to bagian dengkulnya tertotok oleh ujung tombak Bong Sian, punggungnya terkena pukulan Loh Tay-yu yang terseling di tengah serangan goloknya.

   Melihat keadaan gawat itu, cepat Pwe-eng bersemu.

   "Koan Lo-cianpwe, tunggu dulu!"

   Karena jaraknya masih agak jauh, ia menjadi kuatir Koan Gun-ngo tidak ambil pusing terhadap seruannya itu, terpaksa ia jemput sepotong batu kecil terus diselentikkan.

   "Trang", golok di tangan Koan Gun- ngo terbentur jatuh. Memangnya luka Koan Gun-ngo tidak ringan, goloknya terpukul jatuh pula, keruan ia terkejut sehingga sempoyongan dan akhirnya juga roboh terguling. Diam-diam ia mengeluh pasti akan celaka, ternyata bocah she Hi itu masih menyembunyikan bala bantuan di dalam hutan sini. Demikian anggapannya. Sementara itu Han Pwe-eng sudah berlari sampai di depannya, ketika melihat pendatang baru ini adalah seorang nona jelita, dengan ragu-ragu Koan Gun-ngo membentak.

   "Siapa kau?"

   "Ayahku ialah Han Tay-wi,"

   Sahut Pwe-eng.

   Koan Gun-ngo terkejut, cepat ia bangun berduduk dan menatap Pwe-eng dengan mata melotot.

   Samar-samar ia merasa anak dara itu memang mirip Han-toasoh, di antara mereka bertiga hanya dia saja yang pernah bertemu dengan mendiang istri Han Tay-wi, hal itu terjadi sudah duapuluh tahun yang lalu.

   Di antara ketiga orang itu, watak Bong Sian paling berangasan, apalagi dia terluka, rasa gusarnya belum terlampias, tanpa pikir ia lantas mendamprat.

   "Ngaco belo, darimana Han Tay-wi mempunyai anak perempuan seperti ini? Anak perempuannya sedang terkurung di Pek-hoa- kok, kakak beradik keluarga Hi adalah musuhnya, seumpama dia berhasil meloloskan diri juga pasti akan membinasakan bocah she Hi ini bila bertemu, masakah dia malah membela musuh sendiri? Hm, kau anak perempuan ini berani menipu kami, apakah kau minta ku......"

   Mestinya ia hendak bilang "apakah minta kumampuskan kau", tapi mengingat keadaan sendiri dalam keadaan terluka parah, sebaliknya dengan sepotong batu kecil saja Han Pwe-eng mampu menimpuk jatuh golok di tangan Koan Gun-ngo, jelas kepandaian si nona tidak di bawah mereka.

   Dalam keadaan seperti sekarang bukan waktunya untuk main gertak, malahan dia harus berharap si nona suka mengampuninya.

   Karena itu ucapannya tadi tidak jadi dilontarkan dan saking dongkolnya ia menjadi pingsan.

   "Kau kenapa, Bong-samte?"

   Seru Koan Gun-ngo kuatir.

   "Jangan kuatir, dia hanya pingsan untuk sementara saja,"

   Kata Pwe-eng sambil mengurut urat-urat tubuh Bong Sian untuk melancarkan jalan darahnya. Sejenak kemudian Bong Sian memuntahkan sekumur riak kental dan siuman kembali.

   "Jangan kau permainkan aku, jika mau bunuh lekas kau bunuh aku saja!"

   Kata Bong Sian dengan putus asa.

   "Apa yang terjadi ini adalah salah paham belaka, sayang aku datang terlambat,"

   Kata Pwe-eng.

   "Salah paham bagaimana?"

   Tanya Loh Tay-yu lebih bisa berpikir.

   "Lantaran kau, Liok Hong dan Tian It-goan telah lari ke sana ke sini untuk mengerahkan bala bantuan, memangnya mereka cuma berkelakar belaka?"

   "Pantas saja kalian tidak percaya,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Urusan ini memang sukar diterangkan, biarlah aku menolong Hi Kong-cu dahulu."

   Luka yang diderita Hi Giok-hoan adalah luka dalam yang cukup parah. Lebih dulu Pwe-eng membuka Hiat-to Giok-hoan yang tertotok oleh ujung tombak Bong Sian tadi, tapi ternyata gagal usahanya. Terpaksa ia bertanya kepada Bong Sian.

   "Bong Lo-cianpwe, sudikah engkau memberitahu cara membuka Hiat-to yang tertotok oleh engkau ini."

   Bong Sian mendengus, mestinya ia tidak mau memberitahu, tapi Koan Gun-ngo telah mengedipi dia, akhirnya ia berkata.

   "Tepuk saja Goan-tiau- hiatnya."

   Sesudah Hi Giok-hoan dapat bergerak kembali, katanya kepada Pwe-eng.

   "Nona Han, aku membawa obat luka, silakan membubuhkan luka para Lo- cianpwe."

   Obat luka buatan Pek-hoa-kok sangat terkenal kemanjurannya, meski Koan Gun-ngo bertiga juga membawa obat sendiri, tapi kalau dibandingkan obat keluaran Pek-hoa-kok memang berbeda sekali khasiatnya.

   Sebab itulah mereka tidak menolak dibubuhi obat oleh Han Pwe-eng.

   Meski luka Koan Gun-ngo bertiga juga tidak ringan, tapi hanya luka luar, sesudah dibubuhi obat mujarab itu, tidak terlalu lama mereka sudah dapat berdiri.

   "Cayhe telah salah melukai ketiga Lo-cianpwe sungguh aku sangat menyesal, harap suka memaafkan,"

   Kata Giok-hoan kemudian.

   "Senjata bertemu senjata, sukar untuk menjamin takkan terluka,"

   Ujar Bong Sian.

   "Kami bertiga mendapat tanda jasa semua, tapi kau bocah inipun terluka tidak ringan, maka masing-masing tidak perlu menyalahkan pihak lain, biarlah urusan ini kita anggap selesai. Tapi cara bagaimana membereskan persoalan di Pek-hoa-kok adalah soal lain."

   "Urusan ini sebenarnya cuma salah paham saja,"

   Kata Pwe-eng.

   "Hi Giok- kun dan aku sebenarnya adalah saudara angkat, dia mengundang aku mampir ke rumahnya, tapi Tian dan Liok Toa-siok salah sangka aku telah diculik olehnya....."

   "Hm, Tian It-goan dan Liok Hong kan bukan anak kecil, mereka adalah kakek-kakek yang berpengalaman, masakah mereka tidak tahu apa yang terjadi dan sengaja membikin gara-gara?"

   Dengus Bong Sian. Wajah Pwe-eng menjadi merah, katanya kemudian.

   "Pantas saja kalau ketiga Lo-cianpwe tidak mau percaya, soalnya memang sukar diterangkan secara singkat, sukar diterangkan."

   Pwe-eng merasa likat untuk menuturkan duduknya perkara, maklumlah dia adalah calon pengantin barunya, mana mungkin membeberkan rahasia kegagalan perjodohan sendiri kepada orang luar? Lebih-lebih kegagalannya ini disebabkan calon suaminya jatuh cinta kepada gadis lain, kalau hal ini diceritakan kepada orang bukankah akan menyinggung perasaannya sebagai seorang gadis jelita? Agaknya Koan Gun-ngo dapat melihat gelagat, katanya kemudian.

   "Jika nona Han tidak enak untuk menerangkan, maka kami pun tidak perlu diberitahu. Cukup asal sudah jelas bahwa kejadian ini akibat dari salah paham saja."

   Dari cara Han Pwe-eng mengurutnya tadi untuk melancarkan jalan darahnya, Koan Gun-ngo tidak sangsi lagi bahwa si nona di hadapannya ini memang betul puteri Han Tay-wi.

   "Kini Han Sio-cia yang kalian sangka terkurung di Pek-hoa-kok sudah berada di sini tanpa kurang suatu apa pun, maka salah paham ini dapat diselesaikan sampai di sini bukan?"

   Kata Hi Giok-hoan.

   "Tapi siapa yang berani menjamin Han Sio-cia ini tulen atau palsu?"

   Ujar Bong Sian, kalau Koan Gun-ngo sudah mau percaya, ternyata dia belum mau percaya.

   "Hal ini gampang, boleh kalian bawa cincinku ini dan serahkan kepada Tian Toa-siok berdua, tentu mereka akan memberi keterangan yang meyakinkan. Silakan kalian segera berangkat saja, aku harus bantu mengobati Hi Kong-cu dan mungkin besok baru dapat tiba di Pek-hoa-kok."

   Koan Gun-ngo pikir mungkin anak dara ini telah menyukai bocah she Hi ini, akibatnya tentu akan tambah ruwet antara keluarga Kok dan Hi, tapi peduli apa urusan mereka sendiri. Segera ia terima cincin pemberian Pwe- eng itu dan menjawab.

   "Baiklah, akan kusampaikan pesanmu kepada orang- orangmu itu, bagaimana kesudahannya nanti terserah kepada mereka. Nah, sekian saja, silakan kau tinggal di sini untuk mengobati Hi Kong-cu."

   Begitulah mereka bertiga lantas mencari kuda mereka yang tertambat tidak jauh dari situ, lalu dilarikan pergi dengan cepat. Suasana di hutan itu menjadi sunyi senyap, sementara itu hari sudah dekat magrib. Kemudian Hi Giok-hoan berkata.

   "Han Sio-cia, adik perempuanku bersalah padamu, tapi engkau sudah membantu kesukaran kami, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus bicara padamu."

   "Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi,"

   Kata Pwe-eng.

   "Biarlah kububuhi obat pada lukamu."

   "Mungkin obat luka ini tidak manjur atas lukaku ini,"

   Kata Giok-hoan.

   "Habis bagaimana?"

   Tanya Pwe-eng dengan kuatir.

   "Terpaksa aku mengerahkan lwekang untuk mengadakan penyembuhan sendiri,"

   Kata Giok-hoan.

   "Tapi entah diperlukan waktu berapa lama, padahal sekarang sudah petang, Han Sio-cia....."

   Han Pwe-eng cukup cerdik, ia tahu hendak kemana arah ucapan Hi Giok- hoan itu.

   Maklumlah, orang yang mengerahkan lwekang untuk menyembuhkan luka dalam tubuh sendiri diperlukan ketenangan untuk pemusatan pikiran.

   Dalam keadaan demikian, bila diusik sedikit saja akan mengakibatkan Cau-hwe-jip-mo (tenaga dalam tersesat ke jalan yang keliru dan menjadi lumpuh), apalagi kalau ketemu musuh tangguh, tentu lebih- lebih celaka.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka Pwe-eng tahu si pemuda ada maksud minta dia mengawasinya di situ, hanya saja tidak enak untuk menyatakan kehendaknya itu.

   Maka Pwe-eng lantas menanggapinya.

   "Silakan kau merawat lukamu, aku akan menjaga pintu. Cuma lukamu yang di luar itu biar tidak parah juga perlu dibubuhi obat."

   Hi Giok-hoan menurut, sesudah lukanya dibubuhi obat, lalu ia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam.

   Han Pwe-eng lantas berdiri di sampingnya untuk melindunginya dari segala kemungkinan.

   Malam sudah tiba, rembulan menghias di tengah cakrawala.

   Tanpa terasa sudah dekat tengah malam.

   Suasana di rimba itu sunyi senyap, hanya suara serangga kecil yang bercuitan di sana-sini diselingi desiran angin malam yang gemersik.

   Diam-diam Pwe-eng bersyukur di dalam hutan situ tiada binatang buas.

   Tapi di tengah malam sunyi begitu berhadapan dengan seorang pemuda yang baru bertemu satu kali saja, hal ini adalah sesuatu yang belum pernah dialaminya.

   Tanpa terasa timbul semacam perasaan aneh dalam hati Pwe- eng, pikirnya.

   "Segala sesuatu di dunia memang seringkali terjadi di luar dugaan. Sebenarnya aku hendak membalas kebaikan Hi Giok-kun yang telah menyembuhkan penyakitku, siapa tahu di sini aku telah menyelamatkan kakaknya lebih dulu. Ya, aku berada di sini demi untuk membantunya, andaikan dilihat orang juga aku tidak takut akan dinista dengan omongan iseng."

   Tidak lama kemudian, di bawah sinar bulan dilihatnya di atas kepala Hi Giok-hoan mulai mengepulkan asap tipis, air mukanya juga mulai bersemu merah. Diam-diam Pwe-eng bergirang, pikirnya.

   "Kiranya, Hi Giok-hoan tidak cuma lihai dalam ilmu pedang, bahkan lwekangnya juga sangat hebat dan jauh di atas perkiraanku. Melihat gelagatnya, tidak sampai fajar tiba dia sudah dapat sembuh. Sungguh mengagumkan, dalam keadaan terluka dalam yang cukup parah, tapi dia masih sanggup mengerahkan Lwekang untuk mengadakan penyembuhan bagi diri sendiri. Belum lenyap pikirannya, mendadak dilihatnya air muka Hi Giok-hoan berubah pucat menghijau, butiran keringat setetes demi setetes jatuh dari dahinya. Sebagai seorang jago silat, begitu melihat keadaan itu segera Han Pwe-eng tahu bahwa pengerahan tenaga dalam Hi Giok-hoan itu mendadak mengalami kemacetan, keruan ia terkejut. Demi menolong orang, tanpa pikir lagi Pwe-eng lantas pegang erat-erat kedua tangan Hi Giok-hoan dan menyalurkan tenaga murni sendiri untuk melancarkan darah pemuda itu. Selang tidak lama, perlahan-lahan air muka Hi Giok-hoan mulai normal kembali, keringat juga tidak menetes lagi. Tapi dari denyut nadi pemuda itu tahu juga Pwe-eng bahwa keadaan bahaya belum lenyap seluruhnya, maka ia masih terus menggenggam tangan Giok-hoan dengan kencang. Di bawah sinar bulan, kedua muda-mudi duduk bersila berhadapan, Pwe- eng dapat merasakan hawa napas yang dihembuskan oleh Giok-hoan sehingga membuatnya rada risih, tapi terasakan juga rada enak. Selama hidup baru pertama kali ini Pwe-eng berdekatan dengan seorang pemuda. Ia menjadi teringat kepada alam di Pek-hoa-kok tempo hari, di sana Hi Giok- hoan telah memegang nadinya, sekarang jadi terbalik, ia yang memegang erat-erat tangan pemuda itu. Tanpa terasa hati si nona berguncang, mukanya menjadi merah. Tiba-tiba timbul suatu pikiran padanya.

   "Malam itu Giok-kun suruh kakaknya mewakilkan menjenguk aku, apakah dia memang sengaja hendak mendekatkan kakaknya ini padaku?"

   Timbulnya pikiran demikian seketika membuat ia merasa malu, penasaran senang dan dongkol pula, macam- macam perasaan itu berkecamuk dalam benaknya dengan tak keruan rasanya.

   Sekonyong-konyong Hi Giok-hoan menjerit perlahan, keringat kembali merembes keluar dari dahinya.

   Kiranya perhatian Han Pwe-eng terpencar, padahal dia sedang menyalurkan tenaga untuk bantu melancarkan jalan darah si pemuda, hal inilah yang telah mengganggu kelancaran jalannya darah.

   Maka Pwe-eng terkejut, cepat ia memusatkan pikiran pula dan bantu menyalurkan tenaga Iagi.

   Sang dewi malam mulai condong ke barat, tanpa terasa sudah mendekati subuh.

   Air muka Giok-hoan bersemu merah lagi, ia membuka mata berkata.

   "Nona Han, terlalu membikin susah padamu tentunya?"

   "Ah, tidak apa-apa,"

   Jawab Pwe-eng sambil melepas tangan.

   "Kau sudah baik?"

   "Sudah banyak lebih baik, akan kucoba bisa berjalan atau tidak?"

   Ujar Giok-hoan. Segera Pwe-eng memayangnya bangun, dengan sempoyongan Giok-hoan melangkah beberapa tindak, ketika tersandung sepotong batu, hampir saja ia terjatuh. Cepat Pwe-eng merangkulnya, katanya dengan wajah merah.

   "Kau baru saja sembuh, jangan memaksakan diri."

   "Lukaku rasanya sudah tiada berhalangan lagi, hanya tenagaku belum pulih,"

   Ujar Giok-hoan dengan tertawa. Tiba-tiba Pwe-eng menyadari sesuatu, katanya.

   "Ah, sesudah bertempur sengit, mungkin perutmu sangat lapar. Aku membawa rangsum kering, harap kau makan sedikit."

   Selesai makan sedikit rangsum dan air yang diberikan Pwe-eng, benar juga semangat Giok-hoan lantas terbangkit, ia coba menggerakkan kaki dan tangannya, rasanya sudah kuat dan tidak sempoyongan lagi.

   "Han Sio-cia, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu?"

   Kata Giok-hoan kemudian.

   "Kalian juga telah menyembuhkan penyakitku, aku lebih-lebih harus berterima kasih padamu,"

   Sahut Pwe-eng.

   "Arak Pek-hoa-ciu yang diramu keluargamu itu sungguh merupakan cairan yang mujarab."

   "Bicara tentang Pek-hoa-ciu, sebenarnya kami bermaksud mengirim juga kepada ayahmu di Lok-yang, sayang lantas terjadi persoalan ini sehingga maksud kami itu tertunda. Nanti kalau urusan sudah beres, kupikir akan mengantarnya sendiri ke sana, entah ayahmu sudi menerima tidak?"

   Pwe-eng cukup cerdik, dari ucapan Giok-hoan itu segera ia tahu pemuda itu bermaksud minta bantuannya agar memberi penerangan kepada ayahnya. Maka dengan menghela napas Pwe-eng lantas berkata.

   "Arak itu akan kau antar atau tidak bukanlah soal. Tapi engkau juga tidak perlu kuatir, persoalan yang terjadi ini tidak dapat menyalahkan siapa-siapa. Di hadapan ayah tentu akan kuberi penjelasan. Sesudah pulang hendaklah kau juga sampaikan kepada enci Giok-kun bahwa kita tetap bersaudara, ayah juga takkan memandang kalian sebagai musuh."

   Giok-hoan sangat terharu. Katanya.

   "Kau sungguh orang baik, nona Han, pantas Giok-kun sering memuji kepribadianmu yang serba pintar, lebih-lebih jiwamu yang besar ini."

   Sambil bicara, tanpa terasa ia lantas menggenggam erat tangan Han Pwe-eng.

   Aneh juga, pujian Giok-hoan itu benar-benar sangat enak sekali bagi pendengaran si nona, dirasakan segar seperti habis minum air es yang dingin.

   Seakan-akan berbagai kesusahan yang diterimanya akhir-akhir ini masih ada harganya.

   Dengan wajah merah segera ia mengebaskan tangan Giok-hoan yang memegangnya itu, katanya.

   "Jangan kau terlalu memuji diriku, aku tidak sebaik apa yang dikatakan enci Giok-kun."

   Hi Giok-hoan merasa heran melihat wajah si nona yang merah jengah itu, pikirnya.

   "Bicara tentang kepribadian, nona Han ini boleh dikata wanita cantik yang cukup sempurna, tapi sungguh aneh, Kok Siau-hong ternyata tidak suka padanya."

   Tapi segera ia geli sendiri mengapa dirinya malah merasa penasaran bagi Han Pwe-eng? Padahal kalau Kok Siau-hong jadi mendapatkan Pwe-eng, lalu hendak dikemanakan Giok-kun, adik perempuannya sendiri itu? Mungkin inilah yang disebut sebagai jodoh oleh ajaran Buddha bahwa setiap orang mempunyai jodohnya sendiri yang tak dapat dipaksakan.

   Sementara itu tanpa terasa fajar sudah menyingsing, kata Giok-hoan kemudian.

   "Marilah kita berangkat saja. Melihat engkau datang lagi, tentu Giok-kun akan kegirangan."

   "Apakah engkau sudah kuat berjalan sekarang?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Banyak terima kasih atas pemberian makananmu, kini aku sudah kuat berjalan,"

   Kata Giok-hoan sambil melolos pedang terus ditabaskan.

   "krek", kontan sebatang pohon sebesar lengan tertabas kutung. Lalu katanya pula.

   "Kini ilmu silatku juga sudah pulih sebagian besar, semua ini berkat bantuanmu, tapi engkau sendiri tak tidur semalam suntuk, sungguh aku merasa tidak enak."

   "Kau sudah berterima kasih satu kali, kenapa berulang-ulang berterima kasih lagi, aku tidak suka kepada orang yang suka bertele-tele,"

   Ujar Pwe-eng dengan tertawa.

   "Sudahlah, kekuatanmu sudah pulih, maka lekas saja engkau pulang. Bila bertemu enci Giok-kun hendaklah sampaikan salamku kepadanya.

   "Kau tak ikut aku ke sana?"

   Tanya Giok-hoan dengan melenggong.

   "Kukira Liok dan Tian Toa-siok pasti takkan merecoki kalian lagi setelah melihat cincinku itu, maka aku pun tidak perlu lagi ikut ke sana,"

   Sahut Pwe- eng. Giok-hoan sangat kecewa, pikirnya.

   "Mungkin dia tidak ingin bertemu lagi dengan Kok Siau-hong. Ya, baik juga, supaya kedua pihak tidak kikuk. Tapi setelah berpisah entah kelak akan berjumpa lagi tidak dengan dia."

   Kedua orang itu lantas keluar dari hutan, baru akan mengucapkan selamat berpisah, tiba-tiba seorang penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Kiranya bukan lain dari Tian It-goan, budak tua keluarga Han. Dengan girang Pwe-eng berseru.

   "Kau sudah datang, Tian Toa-siok, tentunya kau sudah melihat cincin yang kubawakan Koan Lo-cianpwe? Kepungan Pek-hoa-kok sudah dibebaskan bukan?"

   Tapi Tian It-goan menjadi ragu-ragu dan serba susah untuk bicara demi melihat Hi Giok-hoan benar-benar berada bersama Sio-cianya. Ia lantas melompat turun dari kudanya dan menjawab dengan tergagap.

   "Perintah Sio-cia sudah tentu kuturut, cuma....."

   "Cuma apa?"

   Pwe-eng menegas. Tian It-goan melirik sekejap kepada Hi Giok-hoan tanpa bicara lagi. Seketika Hi Giok-hoan paham apa maksudnya, ia tahu budak tua itu tidak mau bicara lantaran ada orang ketiga di situ. Maka ia lantas berkata.

   "Han Sio-cia, pinjam kantong airmu, akan kuisi dengan air."

   Padahal kantong air Pwe-eng itu masih ada isinya, dengan sendirinya si nona tahu maksud tujuannya, segera ia menyerahkan kantong air yang diminta. Sesudah Hi Giok-hoan pergi barulah Tian It-goan berkata dengan suara perlahan.

   "Sio-cia, bilakah kau meloloskan diri? Ketika di Pek-hoa-kok apakah engkau bertemu dengan Koh-ya (tuan mantu, maksudnya Kok Siau- hong)?"

   Wajah Pwe-eng menjadi merah, jawabnya.

   "Dia adalah dia dan aku tetap aku, selanjutnya aku dan dia tiada sangkut-paut apa-apa lagi. Kok Siau-hong akan menjadi Koh-ya dari keluarga mana aku tidak peduli, yang pasti kalian sembarangan memanggil orang sebagai Koh-ya!"

   Tian It-goan menggeleng kepala dan berkata dengan gegetun.

   "Ai, mengapa urusan berpanjang sampai begini rupa?"

   Dalam hati ia pun yakin bahwa kabar tentang Kok Siau-hong telah mencintai gadis lain tampaknya memang benar. Karena itu ia pun mengiakan pesan Pwe-eng tadi, lalu bertanya pula.

   "Dan sebenarnya Sio-cia sudah bertemu dengan Kok Siau- hong belum?"

   Sekarang baru Pwe-eng menjawab pertanyaannya tadi.

   "Aku bukan meloloskan diri, tapi Hi Giok-kun telah menyembuhkan penyakitku, aku sendiri yang meninggalkan rumahnya. Setiba di Pek-hoa-kok aku cuma bertemu kakak Giok-kun dan tidak pernah bertemu dengan siapa-siapa lagi."

   "Sesudah kami kepung Pek-hoa-kok,"

   Tutur Tian It-goan.

   "Dengan cepat kami mendapat kabar yang pasti bahwa Kok Siau-hong sudah lama berada di situ, malahan kabarnya akan menikah dengan Hi Giok-kun. Pantas dia tidak berani menemui engkau sesudah Sio-cia berada di Pek-hoa-kok, tapi tampaknya Sio-cia sendiri sudah tahu urusan ini."

   "Ya, aku sudah tahu semuanya,"

   Kata Pwe-eng dengan hambar.

   "Urusan dengan Kok Siau-hong sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Aku hanya ingin tanya, kau menurut pesanku dan membubarkan kepungan kepada Pek- hoa-kok tidak?"

   "Sudah tentu hamba tunduk kepada perintah Sio-cia,"

   Sahut Tian It-goan dengan gelagapan.

   "Cuma..... cuma urusannya jadinya tidak begitu sederhana."

   "Apa yang terjadi di sana, lekas ceritakan,"

   Pinta Pwe-eng dengan cemas.

   "Ya, memang hamba berdua terlalu ceroboh, kami mengira Sio-cia diculik oleh Hi Giok-kun, terpaksa atas nama majikan kami mengundang banyak bala bantuan ke Pek-hoa-kok untuk menolong Sio-cia. Hi Giok-kun tampil ke muka dan mengatakan engkau sudah meninggalkan rumahnya, tapi dengan sendirinya kami tidak dapat percaya."

   "Dan sesudah kalian melihat cincinku tentunya dapat percaya bukan?"

   "Ya, namun ketika cincin Sio-cia tiba, keadaan sudah telanjur runyam. Umpama sekarang hendak menarik mundur pengepungan rasanya rada sulit."

   "Apakah kalian telah menyerbu masuk Pek-hoa-kok dan melukai Hi Giok-kun dan Kok Siau-hong?"

   "Bukan begitu jadinya. Kami telah menyerang tapi pertahanan Pek-hoa- kok cukup kuat sehingga sampai semalam ketika hamba meninggalkan sana belum dapat membobol pertahanan mereka. Namun dari beberapa kali serangan itu kedua pihak telah jatuh korban cukup banyak. Bocah she Kok itupun terang-terangan tampil ke muka membantu keluarga Hi. Bocah ini paling lihai, beberapa orang kita justru terluka oleh pedangnya."

   "Adakah yang gugur?"

   Tanya Pwe-eng terkejut.

   "Beberapa orang terluka parah, untung tiada yang gugur,"

   Sahut Tian It- goan.

   "Sungguh tidak nyana urusan menjadi kacau begini, syukurlah kalau tidak jatuh korban jiwa,"

   Kata Pwe-eng dengan menghela napas.

   "Sebenarnya kedua pihak boleh sama-sama mengalah mengingat kedua pihak sama-sama ada yang terluka."

   "Tapi orang sana yang terluka adalah kaum centing, sebaliknya pihak kita yang terluka adalah jago silat yang sudah punya nama,"

   Ujar Tian It-goan.

   "Jadi mereka tidak terima?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Ya. Orang Kang-ouw pada umumnya lebih mengutamakan nama daripada jiwa. Kali ini yang memimpin pengepungan terhadap Pek-hoa-kok adalah Ting Kian dan Koan Gun-ngo, adik Ting Kian, yaitu Ting Jiang termasuk orang yang dilukai oleh Kok Siau-hong. Sebab itulah mereka sangat benci kepada Kok Siau-hong, kita menjadi tidak dapat melerainya lagi."

   Diam-diam Pwe-eng berpikir, jika keadaan sudah berpanjang-panjang begitu, andaikata dia ke sana juga orang-orang Kang-ouw itu belum tentu mau tunduk kepadanya, kecuali kalau ayahnya datang sendiri.

   "Pihak keluarga Hi juga beberapa kali minta berunding, tapi sukar dicapai kata sepakat lantaran Kok Siau-hong""

   Sambung Tian It-goan.

   "Mereka ingin mengapakan Kok Siau-hong?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Semula kita hanya menuntut keluarga Hi mengembalikan Sio-cia, sudah tentu mereka tidak sanggup. Kemudian kami mendapat kabar tentang hubungan Kok Siau-hong dengan Hi Giok-kun, kami mengira Sio-cia sudah dicelakai oleh mereka. Sebab itulah kawan-kawan kita lebih-lebih tidak terima. Untung hamba dan Liok Hong masih dapat memberi penerangan kepada mereka dari segi untung ruginya bila mereka tetap ngotot. Akhirnya Liok Hong mengusulkan untuk berdamai dengan keluarga Hi dengan syarat pihak sana harus mengirim Kok Siau-hong ke Lok-yang untuk minta maaf sendiri kepada ayahmu, bahkan dia diwajibkan mencari Sio-cia serta melangsungkan pernikahan, habis itu barulah dia dapat diampuni."

   "Kalian benar-benar terlalu banyak urusan,"

   Ujar Pwe-eng dengan mengerut kening.

   "Mana Kok Siau-hong mau terima?"

   "Memangnya, sebab itulah pengepungan terhadap Pek-hoa-kok juga tak dapat ditarik mundur,"

   Kata Tian It-goan.

   "Kalau aku rela membatalkan pertunanganku dengan dia kan urusan menjadi beres?"

   Ujar Pwe-eng.

   "Menurut pendapat hamba, sedikitnya Kok Siau-hong masih diharuskan minta maaf kepada kita,"

   Sahut Tian It-goan.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Semalam kita menerima cincin Sio-cia, Liok Hong sudah telanjur pergi mengundang Kim-to Lui Biau."

   "Kim-to Lui Biau juga diundang? Wah, urusan bisa semakin runyam,"

   Kata Pwe-eng terkejut. Maklumlah, Kim-to Lui Biau, si golok emas, adalah salah seorang pemimpin dunia persilatan di daerah Kang-lam dan juga sahabat karib ayah Pwe-eng.

   "Sio-cia,"

   Tiba-tiba Tian It-goan bertanya dengan suara tertahan.

   "Sebenarnya engkau....."

   "Katakan saja, tidak perlu tergagap-gagap begitu,"

   Kata si nona.

   "Apakah Sio-cia dan..... dan Hi Siau-ya ini....."

   Baru sekarang Pwe-eng menyadari bahwa Tian It-goan menyangsikan hubungannya dengan Hi Goan-hoan. Maka dengan sungguh-sungguh ia menjawab.

   "Adik perempuannya menyembuhkan penyakitku, kan pantas jika aku membalas kebaikannya? Memangnya kau berpikir kemana?"

   "Lantas bagaimana diri Sio-cia bila pengepungan kita bubarkan dan bagaimana terhadap Lo-ya?"

   Tanya It-goan pula.

   "Sudah tentu kita terus pulang dan aku yang akan bertanggungjawab terhadap ayah,"

   Kata Pwe-eng.

   "Ya, apa boleh buat,"

   Ujar Tian It-goan.

   "Tapi pengepungan di sana entah dapat dibubarkan atau tidak? Liok Hong sudah pergi beberapa hari, mungkin hari ini Kim-to Lui Biau akan datang. Wataknya biasanya sangat kaku, apa yang dia anggap tidak pantas sukar untuk dikesampingkan begitu saja. Sio-cia suka memaafkan Kok Siau-hong, bisa jadi Lui Biau tidak mau memaafkan dia."

   "Baiklah aku ikut kau ke Pek-hoa-kok, biar aku sendiri yang memberi penjelasan padanya,"

   Kata Pwe-eng. Sampai di sini, tiba-tiba terdengar orang berdehem, kiranya Hi Giok- hoan telah kembali dari mengisi air. Dia sengaja berdehem agar kedatangannya diketahui. Segera Pwe-eng memanggilnya.

   "Lekas kemari, kita segera berangkat ke tempatmu!"

   "Bagus!"

   Seru Giok-hoan dengan girang.

   "Tian Toa-siok, kudamu ini harap pinjamkan Hi Kong-cu,"

   Kata Pwe-eng. Tian It-goan mengiakan dan menuntun kudanya ke hadapan Giok-hoan.

   "Tidak perlulah, aku sudah kuat berjalan,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Kau baru sembuh, lebih baik naik kuda saja,"

   Kata si nona. Diam-diam It-goan membatin.

   "Sio-cia begini baik padanya, tapi tidak mau mengaku suka padanya. Ai, urusan makin lama makin ruwet tampaknya."

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keleningan kuda, dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat.

   Di belakang mengikut pula dua ekor kuda tanpa muatan.

   Kedua pendatang ini yang satu kakek- kakek ubanan dan seorang lagi dara remaja.

   Kiranya Ciu Tiong-gak bersama cucu perempuannya, Ciu Hong.

   "Bagaimana kalian dapat meloloskan diri?"

   Seru Giok-hoan terkejut dan girang.

   Maklumlah, Pek-hoa-kok terkepung dengan rapat, Giok-hoan sendiri yang berkepandaian tinggi dan menerjang keluar di waktu malam toh juga terluka, apalagi kakek bercucu she Ciu ini.

   Makanya Giok-hoan heran melihat mereka dapat lolos dengan selamat.

   "Mereka sengaja melepaskan kami,"

   Sahut Ciu Tiong-gak. Sebaliknya Ciu Hong lantas berseru.

   "Wah, celaka, Piau-ko!"

   "Mereka mau melepaskan kalian kan berarti mereka bersedia berdamai? Tapi kenapa kau bilang celaka, Siau Hong?"

   Ciu Hong memandang Pwe-eng sekejap, lalu menjawab.

   "Mereka hendak menggiring Kok Siau-ya ke Lok-yang, Piau-ci menjadi bingung dan suruh kami mencari engkau."

   "Apa? Siau-hong tertangkap oleh mereka?"

   Tanya Giok-hoan dengan kuatir.

   "Tidak, Kok Siau-ya sendiri yang terima syarat mereka, tapi kemudian gagal lagi,"

   Tutur Ciu Tiong-gak.

   "Bagaimana duduknya perkara, coba ceritakan yang jelas,"

   Kata Giok- hoan.

   "Semalam pihak kita terluka tiga orang lagi, dilukai oleh senjata rahasia berbisa adik perempuan Ting Kian yang bernama Ting Tiau-lan, untuk menyembuhkannya diperlukan obat penawar dari mereka. Pagi tadi kabarnya Lui Biau sudah tiba di pihak mereka dan memberi batas waktu kepada kita untuk menyerahkan tawanan, kalau tidak, segera mereka akan menggempur dengan kekerasan. Kok Siau-ya bilang urusan ini timbul dari dia, maka dia tidak ingin orang lain ikut menjadi korban, maka dia sendirian lantas mengadakan perundingan dengan Lui Biau dan mau terima syarat pihak lawan untuk ikut datang ke Lok-yang dan minta maaf kepada Han Lo- yacu, tapi dengan syarat timbal balik agar mereka memberi obat penawar. Ting Kian menyatakan setuju, maka sekarang kawan kita yang terluka juga sudah sembuh."

   Diam-diam Pwe-eng berpikir, urusan tentu akan tambah runyam, buat apa Kok Siau-hong pergi ke rumahnya? Memangnya dia rela meninggalkan Hi Giok-kun? Ia tidak tahu bahwa Ciu Tiong-gak sengaja menutupi sesuatu hal dan tidak diceritakan, yaitu Kok Siau-hong telah bersumpah kepada Hi Giok-kun bahwa mati pun dia tidak mau menjadi menantu keluarga Han.

   Jadi kepergiannya ke Lok-yang selain untuk minta maaf kepada Han Tay-wi, sekaligus ia pun hendak membatalkan pertunangannya dengan Pwe-eng, bagaimana akibatnya jika Han Tay-wi marah sudah tak dipedulikan lagi.

   "Dan kenapa urusan menjadi gagal lagi?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Sebab Kok Siau-ya hanya mau berangkat ke Lok-yang sendiri, tapi Lui Biau dan Ting Kian hendak melucuti senjatanya dan menggiring dia ke sana sebagai tawanan, sudah tentu Kok Siau-ya tidak dapat terima penghinaan demikian. Sebab itulah perundingan menjadi batal. Kini Kok Siau-ya sudah berjanji dengan Lui Biau untuk mengadakan pertandingan pada lohor nanti, bila Kok Siau-ya kalah, maka dia akan tunduk pada apa yang diperlakukan oleh pihak lawan, sebaliknya kalau Lui Biau kalah, mereka berjanji akan membubarkan kepungan dan seterusnya takkan ikut campur urusan keluarga Hi dan Kok lagi."

   Dalam hati Pwe-eng memuji akan semangat jantan Kok Siau-hong itu, Lui Biau juga sangat angkuh tampaknya.

   Pertarungan dua harimau tentu ada satu yang akan cidera.

   Padahal waktu sudah mendesak, satu-dua jam lagi sudah lohor.

   Tiba-tiba Ciu Hong mendekati Pwe-eng dan memegang erat-erat kedua tangan si nona dan memohon.

   "Han Sio-cia, tolonglah Piau-ciku. Betapa pun kesalahan Piau-ci juga beliau telah menyembuhkan penyakitmu. Piau-ci tidak minta tolong padamu, akulah yang minta bantuanmu bagi Piau-ci."

   "Aku memang hendak ke sana bersama Piau-komu,"

   Sahut Pwe-eng tersenyum.

   "Aku harus berterima kasih padamu karena kuda yang kau bawa kemari ini. Nah, bolehlah kita berangkat sekarang juga."

   Begitulah mereka berlima lantas berangkat ke Pek-hoa-kok.

   Jalanan pegunungan sesudah dekat dengan Pek-hoa-kok rada curam dan sempit.

   Ciu Hong ketinggalan di belakang, maka Pwe-eng sengaja melambatkan kudanya dan berjajar dengan nona cilik itu, kemudian ia bertanya.

   "Siau Hong, darimana kau mengetahui aku berada di sini bersama Piau-komu?"

   "Koan Gun-ngo yang memberitahu kakek,"

   Sahut Ciu Hong.

   "Dia memang kenalan lama kakek."

   "Dan apakah Piau-cimu juga tahu?"

   Tanya pula Pwe-eng.

   "Sudah kuberitahu dan sudah tentu Piau-ci sangat mengharapkan kedatanganmu. Sedangkan Kok Kong-cu tidak tahu apa-apa, sebab waktu itu dia sedang berunding dengan Lui Biau."

   Tengah bicara, tiba-tiba dari samping jalan muncul dua penunggang kuda yang dilarikan dengan cepat.

   Karena jalan pegunungan yang sempit dan banyak batu cadas menegak di kanan-kiri, maka sebelumnya kedua pihak sama-sama tidak tahu.

   Ketika mengetahui akan bertubrukan, sekonyong-konyong laki-laki penunggang kuda yang berada di depan itu lantas mengayun cambuknya ke arah Pwe-eng.

   Pwe-eng terkejut, untuk melolos pedang sudah terlambat, terpaksa ia melontarkan pukulan.

   Tapi begitu pukulannya berjalan barulah Pwe-eng tahu dirinya telah salah sangka.

   Kiranya cambuk laki-laki itu bukan menyabet kepadanya, tapi bermalcsud menahan lari kudanya yang amat cepat itu, ujung cambuk orang telah melilit gelang besi yang berada di gigitan mulut kuda, karena itu kuda yang sedang lari kencang itu seketika terhenti.

   Namun pukulan Pwe-eng tadi sudah telanjur dilontarkan.

   Sudah tentu pukulan keras seorang nona jelita tidak terduga-duga oleh orang itu.

   Karena getaran tenaga pukulan Pwe-eng, kontan orang itu terlempar ke atas dari punggung kudanya.

   Keruan Pwe-eng terkejut dan mencela diri sendiri yang terlalu ceroboh, orang bermaksud baik menghindari tubrukan, tapi dirinya malah menyerangnya.

   Hendak menolong juga sudah kasip.

   Syukurlah pada saat itu laki-laki penunggang kuda yang lain juga menyabet ke depan.

   "tarrr", tahu- tahu orang yang terlempar ke atas tadi kena terlilit oleh cambuknya yang panjang. Sekali cambuk itu disendal dan diayun lagi ke depan, kawannya yang terapung di udara itu sempat herjumpalitan satu kali untuk kemudian jatuh kembali tepat di atas kudanya sendiri. Habis itu dengan cepat sekali kedua penunggang kuda itu terus melampui rombongan Pwe-eng ke depan. Dari jauh terdengar laki-laki yang mencelat ke udara tadi menyatakan rasa herannya kepada sang kawan tentang kepandaian Pwe-eng yang hebat itu. Dari suaranya yang lantang itu tahulah Pwe-eng bahwa orang tidak cidera apa-apa, maka legalah hatinya.

   "Ciu Lo-yacu, engkau adalah orang Kang-ouw kawakan, apakah kau tahu orang macam apakah kedua laki-laki tadi?"

   Tanya Pwe-eng. Ciu Tiong-gak menggeleng, jawabnya.

   "Aku tidak kenal, juga dari gerak tangan mereka tadi sukar diduga siapakah mereka itu."

   Sementara itu kedua penunggang kuda tadi sudah menghilang di depan sana, rombongan Pwe-eng lantas melanjutkan perjalanan ke Pek-hoa-kok.

   Sesudah melintasi jalan pegunungan itu, di depan sana adalah tanah datar.

   Tidak sampai satu jam, dari jauh Pek-hoa-kok sudah kelihatan.

   Tertampak di suatu tanah lapang penuh berkerumun orang.

   Sesudah dekat bahkan terdengar suara nyaring benturan senjata.

   "Wah, apakah pertarungan mereka sudah dimulai!"

   Kata Pwe-eng kuatir.

   Dalam pada itu terdengarlah suara sorak-sorai yang ramai, ada yang bersorak memuji ilmu pedang, ada pula yang gegetun bacokan golok yang meleset.

   Maka tidak kelihatan orang yang bertarung di tengah kalangan, tapi dari suara sorak-sorai orang-orang itu dapatlah Pwe-eng menduga siapa yang sedang bertanding itu.

   Dengan perasaan tak tenteram cepat Pwe-eng melarikan kudanya ke sana, sesudah berada di tempat orang banyak, memang tidak salah, orang yang sedang bertempur itu memang betul Kok Siau-hong dan Lui Biau adanya.

   Saking asyiknya orang-orang yang berkerumun itu menyaksikan pertarungan seru sehingga kedatangan rombongan Hi Giok-hoan dan Pwe-eng itu tidak mendapat perhatian mereka.

   Waktu Pwe-eng mengikuti keadaan di tengah kalangan, dilihatnya pedang Kok Siau-hong berputar dengan amat lincah dengan aneka perubahan yang sukar diduga.

   Sebaliknya Kim-to Lui Biau bersikap sangat tenang, setiap serangan lawan selalu dapat dipatahkan, golok emas yang berputar itu menimbulkan sinar mengkilap dan deru angin.

   Di tengah pancaran sinar emas yang menyilaukan itu, pedang Kok Siau-hong laksana ular saja menyusup kian kemari, tampaknya sinar pedangnya akan tenggelam di dalam lapisan sinar emas itu, tapi Kok Siau-hong tetap menghadapi dengan tabah.

   Diam-diam Pwe-eng merasa gelisah, pertarungan sengit begini kalau diteruskan akhirnya salah seorang pasti akan cidera, ia menjadi bingung cara bagaimana melerainya? Suara sorak-sorai masih terus gegap-gempita tak henti-hentinya.

   Sebagai seorang anak perempuan sudah tentu Pwe-eng tidak pantas berteriak-teriak menyerukan gencatan senjata pada kedua orang itu.

   Sedangkan orang yang berkerumun itu sedemikian banyak hingga sukar baginya untuk mendesak masuk ke tengah kalangan.

   Syukur Tiang It-goan lantas menemukan Liok Hong, kedua orang itu segera berseru agar orang-orang memberi jalan kepada Sio-cia mereka.

   Serentak suasana menjadi gempar dan perhatian semua orang teralih kepada diri Han Pwe-eng, mereka ingin tahu cara bagaimana "calon pengantin"

   Ini akan menyelesaikan persoalan ini, maka suara sorak-sorai tadi lantas berhenti, suasana berubah menjadi sunyi.

   Orang-orang itupun menyingkir memberi jalan kepada rombongan Pwe-eng.

   Tapi di tengah kalangan Lui Biau dan Kok Siau-hong masih terus bertarung dengan sengitnya, terhadap apa yang terjadi di sekitarnya seakan- akan tak dipedulikan lagi.

   Ketika Han Pwe-eng mendesak maju sampai di depan, dilihatnya Kok Siau-hong sedang melancarkan suatu tusukan maut kepada lawan.

   Sekonyong-konyong Lui Biau membentak.

   "Bagus!"

   Berbareng tubuhnya berputar, goloknya terus membacok dari samping.

   "trang", pedang Kok Siau- hong terguncang pergi. Menyusul goloknya membacok pula untuk kedua dan ketiga kalinya. Melihat keadaan berbahaya, tanpa pikir lagi Pwe-eng lantas berseru.

   "Lui Siok-siok, aku tidak kurang suatu apa, harap kalian jangan berkelahi lagi!"

   Lui Biau adalah sahabat baik Han Tay-wi dan sering berkunjung ke rumahnya, maka Pwe-eng cukup mengenalnya.

   Belum lenyap suaranya, tiba-tiba kedua orang yang sedang serang- menyerang tadi sama-sama melompat mundur.

   Dengan golok terhunus Lui Biau berkata kepada Pwe-eng.

   "Jangan kuatir, Tit-li (keponakan perempuan), aku akan membereskan urusan ini bagimu." ~ Habis itu dengan mendelik ia berkata terhadap lawannya.

   "Kok Siau-hong, apa abamu sekarang?"

   "Pendirianku sudah kukatakan padamu, apalagi yang hendak kau minta dariku?"

   Jawab Siau-hong.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nyata dia tetap pada pendiriannya, yaitu bila pertandingan ini berakhir dengan kekalahannya, maka dia akan menyerahkan diri untuk digiring ke Lok-yang.

   Sebaliknya kalau dia menang, maka Lui Biau dan kawan-kawannya tidak boleh lagi ikut campur urusannya.

   Terhadap kedatangan Han Pwe-eng hakikatnya dia tidak ambil pusing.

   Biar sudah tua, watak Lui Biau ternyata masih keras, seperti jahe, makin tua makin pedas.

   Maka ia menjadi gusar mendengar jawaban Kok Siau-hong itu.

   Tapi mengingat Han Pwe-eng sudah datang, betapa pun ia harus memikirkan kepentingan puteri Han Tay-wi itu.

   Terpaksa ia berkata dengan menahan gusar.

   "Kok Siau-hong, ada dua jalan boleh kau pilih, hendaklah kau pertimbangkan lagi masak-masak. Pertama, kau harus menikah dengan nona Han di sini juga, biar aku yang menjadi wali kalian."

   "Lui Siok-siok,"

   Seru Han Pwe-eng dengan muka merah.

   "kedatanganku bukan..... bukan....."

   Sebelum ucapannya yang tergagap itu selesai, terdengar Kok Siau-hong sudah menjawab seruan Lui Biau.

   "Tidak bisa, betapa pun tidak bisa!"

   Keruan Lui Biau tambah murka karena menyangka Kok Siau-hong sengaja mengingkari ikatan pertunangan puteri kawan karibnya itu, segera ia membentak pula.

   "Baik, jalan pertama kau tolak, maka boleh kau pilih jalan kedua saja, aku dan nona Han akan mengantar kau ke Lok-yang untuk menemui ayahnya. Setiba di rumah Han Toa-ko, segera aku tidak ikut campur lagi urusan kalian."

   "Buat apa kau menyeret Han Sio-cia dalam persoalan kita ini?"

   Jawab Kok Siau-hong dengan dingin.

   "Kita teruskan saja persetujuan semula, asal kau menang, boleh terserah padamu untuk berbuat apa pun terhadap diriku. Nah, tidak perlu lagi omong kosong."

   Dengan gusar Lui Biau membentak.

   "Kurangajar, memangnya kau kira aku jeri kepadamu? Lihat golok!"

   Berbareng ia terus membacok.

   Pertempuran segera dimulai lagi dan berlangsung lebih seru daripada tadi.

   Bicara keuletan jelas Lui Biau lebih kuat, tapi dalam hal kebagusan tipu serangan tampaknya ilmu pedang Kok Siau-hong terlebih hebat.

   Begitulah yang satu menyerang dengan jurus-jurus yang dahsyat dan yang lain bertahan dan balas menyerang dengan lincah dan cepat.

   Keduanya benar-benar ketemu tandingan dan sukar dilerai.

   Diam-diam Pwe-eng mengeluh karena tidak berhasil memisahkan mereka.

   Dia datang dengan rasa kikuk, kini usahanya melerai tidak berhasil, tentu saja ia pun merasa malu.

   Seketika ia menjadi bingung entah apa yang harus diperbuatnya.

   Sedang ia merasa cemas, tiba-tiba tangannya terasa diremas orang.

   Kiranya Hi Giok-hoan telah menggenggam tangan si nona.

   Ketika kedua pihak sama-sama merasakan hal itu, wajah keduanya menjadi merah jengah.

   "Pertarungan dua harimau pasti ada satu yang luka, bagaimana baiknya ini?"

   Pwe-eng mengada-ada sambil menarik kembali tangannya untuk menutupi rasa kikuknya.

   "Kita tunggu saja, begitu ada kesempatan baik segera kita maju berbareng untuk melerai mereka,"

   Ujar Giok-hoan dengan suara perlahan.

   Sebagai seorang jago tua, meski dalam pertempuran sengit, namun pancaindera Lui Biau masih tetap bekerja dengan tajam, segala apa yang terjadi di sekitarnya selalu dalam kontrol mata telinganya.

   Saat itu Hi Giok- hoan dan Han Pwe-eng telah berada pada baris paling depan di antara para penonton itu, gerak-gerik mereka berdua dapat ditangkap semua oleh pandangan Lui Biau.

   Karena itu Lui Biau menduga puteri Han Tay-wi itu tampaknya memang menyukai pemuda she Hi.

   Semalam ia sudah mendengar cerita Koan Gun- ngo tentang hubungan Pwe-eng dengan Giok-hoan yang kelihatan mesra itu, tapi Liau Biau sendiri cuma setengah percaya saja sebab dia cukup kenal ajaran keluarga Han yang keras, ia yakin Pwe-eng pasti bukan seorang nona berandalan.

   Tapi sekarang melihat gerak-gerik kedua muda-mudi itu, mau tak mau ia percaya beberapa bagian terhadap apa yang diceritakan Koan Gun-ngo.

   Tapi lantas terpikir oleh Lui Biau, jikalau muda-mudi itu sudah suka sama suka, buat apa aku ikut campur urusan pribadi mereka? Namun Han Tay-wi yang suka menjaga pamor itu masakah mau membiarkan puterinya berbuat semaunya sendiri? Pertarungan di antara jago silat mana boleh meleng? Pada saat Lui Biau meragukan diri Han Pwe-eng itulah hampir saja ia termakan pedang Kok Siau-hong.

   Lui Biau menjadi murka pula, segera ia balas menyerang dengan goloknya.

   Di tengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan golok, tiba- tiba Lui Biau membentak.

   "Menyerah atau tidak? Biar kupatahkan lenganmu ini!"

   Berbareng goloknya terus menyambar dari atas ke bawah, tubuh Kok Siau-hong sudah terkurung di bawah sinar goloknya.

   Hi Giok-hoan dan Han Pwe-eng terkejut, berbareng mereka terus melompat maju.

   Akan tetapi ada dua orang lagi yang terlebih cepat daripada mereka, kedua orang ini sama-sama menggunakan senjata ruyung baja, pada saat beradunya golok dan pedang di tengah kalangan yang menentukan mati dan hidup itu, mendadak kedua orang tahu-tahu sudah menghadang di tengah.

   "Lui Toa-ko, berhenti dulu!"

   Seru yang satu dan yang lain juga berteriak.

   "Kok Siau-hiap, sudahi saja pertarungan ini!"

   Menyusul terdengarlah suara "trang-trang"

   Dua kali, laki-laki yang sebelah kiri menangkis golok Lui Biau, sedang laki-laki sebelah kanan juga menangkis pedang Kok Siau-hong.

   Dalam hati Lui Biau dan Siau-hong sama-sama merasa bersyukur akan kedatangan juru pemisah itu, serangan mereka tadi sama-sama menggunakan tipu serangan yang mematikan, kalau tidak ditangkis oleh kedua lelaki itu, maka golok Lui Biau itu pasti akan menabas kutung lengan Kok Siau-hong, sebaliknya tubuh Lui Biau mungkin juga akan berlubang oleh tusukan pedang Siau-hong.

   Perubahan yang datangnya mendadak ini seketika membikin seluruh kalangan menjadi gempar.

   Ada beberapa orang yang kenal kedua lelaki itu segera berteriak.

   "He, kiranya Toa-thauleng dari Kim-keh-leng juga datang ke sini?"

   Pwe-eng juga terkejut dan bergirang.

   Kiranya kedua juru damai ini tak lain tak bukan daripada kedua orang penunggang kuda yang hampir bertubrukan dengan dia di tengah jalan tadi.

   Melihat kedua lelaki itu, segera Lui Biau melompat mundur dan menyimpan kembali goloknya sambil memberi salam hormat.

   "Nyo-siko dan Toh-patko, angin apakah yang membawa kalian ke sini? Ada petunjuk apakah kiranya?"

   Orang yang dipanggil sebagai Nyo-siko itu menjawab dengan tertawa.

   "Lui Toa-ko, mengapa hari ini timbul penuh hasrat untuk bertanding silat dengan Kok Siau-hiap? Kabarnya Kok Siau-hiap ini adalah bakal menantu Han Tay-wi, sedangkan hubungan Lui Toa-ko dengan Han tua kan cukup akrab?"

   "Justru karena urusan anak keluarga Han, nona Han cantik molek dan serba pintar, dalam hal apa yang tidak setimpal mendapatkan jodoh ini. Tapi dia, dia sengaja mengingkari perjodohan ini, maka aku harus membela sobat sendiri. Maksud baik kalian kuterima dalam hati saja, tapi pertandingan ini harus ditentukan kalah dan menang, aku harus menggiring dia ke Lok-yang,"

   Demikian Lui Biau bicara secara blak-blakan.

   Keruan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng sama-sama kikuk.

   Syukur Pwe- eng adalah gadis yang tabah, kalau tidak, mungkin dia sudah menangis.

   Namun begitu toh air mata juga sudah berlinang di kelopak matanya.

   Hi Giok-hoan juga serba susah, sedapat mungkin ia mengaling-alingi Pwe-eng agar si nona tidak mendapat perhatian orang-orang lain.

   Maka orang yang dipanggil Nyo-siko tadi lantas berkata.

   "Urusan rumah tangga Han Tay-wi biarlah dia kepala pusing sendiri, Lui Toa-ko tidak perlu ikut kuatir. Malahan Lui Toa-ko sendiri juga tiada waktu lagi buat pergi ke Lok-yang."

   "Ada apa?"

   Tanya Lui Biau tercengang.

   "Sesungguhnya kedatangan kami ini bukan untuk mendamaikan persoalan kalian ini, tapi kami datang atas perintah Beng-cu untuk mengundang engkau ke sana. Inilah Lok-lim-ci (panah perserikatan kaum Lok-lim),"

   Kata Nyo-siko sambil menyodorkan sebatang panah kemala warna hijau.

   Kiranya kedua orang ini adalah Toa Thau-bak atau hulubalang bawahan Hong-lay-mo-li, itu Lok-lim-beng-cu (ketua serikat Lok-lim) di daerah utara.

   Yang dipanggil sebagai Nyo-siko itu lengkapnya bernama Nyo Kong, kawannya itu bernama Toh Hok.

   Di waktu mudanya Lui Biau juga pernah berkecimpung di dunia Lok-lim, maka sudah lama kenal baik kedua orang itu.

   Yang-ciu terletak di lembah Tiang-kang sebelah utara, tepat di antara sungai Tiang-kang bertemu dengan kanal terpanjang Un-ho, suatu kota penting yang menghubungkan selatan dan utara.

   Kota Kwa-ciu terletak di seberang sungai dan dalam sejarah terkenal sebagai tempat Han Se-tiong menghancurkan pasukan Kim beberapa puluh tahun berselang.

   Kini Yang- ciu sudah jatuh di bawah kekuasaan kerajaan Kim, jadi sudah termasuk kota pendudukan.

   Bahwasanya Lok-lim-ci dari Hong-lay-mo-li disebarkan sampai ke Yang- ciu, hal ini sebelumnya tidak pernah terjadi.

   Maka dengan hormat Lui Biau lantas terima panah perintah sang Beng-cu dan berkata.

   "Entah ada perintah apa dari Liu Beng-cu (nama asli Hong-lay-mo-li)?"

   Maka Nyo Kong lantas menjawab.

   "Liu Beng-cu mengundang Lui Toa- ko ke Kim-keh-nia untuk merundingkan urusan penting, begitu pula Ting Toa-ko dan lain-lain juga sekalian diundang ke sana. Kebetulan sekali bahwa kalian berada semua di sini, kami menjadi tidak perlu buang tenaga lagi."

   Mendengar undangan Bu-lim Beng-cu, para kesatria yang hadir di situ lantas berkerumun maju dan bertanya ada urusan penting atau kejadian genting apa? "Pasukan besar pihak Mongol sudah mulai menyerbu daerah Tiong-goan kita, untuk inilah Liu Beng-cu mengundang kalian diajak berunding cara bagaimana menghadapi musuh,"

   Tutur Nyo Kong.

   "Kekuatan Mongol sangat hebat, melihat gelagatnya orang Kim pasti kalah. Bangsa Han kita harus ambil tindakan apa, persoalan ini tidak sederhana. Menurut pendapat Liu Beng-cu, kita harus berbangkit mengikuti suasana dan sekaligus merebut kembali tanah air yang terjajah. Di samping melawan penyerbuan Tartar Mongol, berbareng kita menggulingkan kekuasaan orang Kim!"

   "Akur!"

   Serentak semua orang berteriak.

   "Kita tidak sudi berulang-ulang menjadi bangsa yang terjajah lagi."

   "Akan tetapi kita tidak boleh bertindak serampangan, segala sesuatu harus dipertimbangkan secara masak,"

   Kata Nyo Kong.

   "Melihat gelagatnya, agaknya tujuan pasukan Mongol hendak menuju ke selatan dulu untuk kemudian membelok ke utara dan menyerang Tay-toh (ibukota Kim). Kita sudah mengirim orang menghubungi Han Tay-wi, bisa jadi saat ini Lok-yang sudah dilanda api peperangan. Sebab itulah maksud Lui Toa-ko hendak ke Lok-yang kukira tidak perlu diteruskan."

   "Menghadapi penyerbuan musuh, sudah tentu urusan pribadi dikesampingkan, dengan sendirinya aku tunduk kepada perintah Beng-cu,"

   Kata Lui Biau. Selagi mereka sibuk bicara, tiba-tiba seorang penunggang kuda membedal ke sana dengan cepat, kiranya penunggang kuda itu adalah Kok Siau-hong. Nyo Kong tercengang, cepat ia berseru.

   "Hendak kemana Kok Siau- hiap?"

   Dari jauh Kok Siau-hong menjawab.

   "Seorang laki-laki harus bisa pegang janji. Aku sudah berjanji dengan Lui Lo-cianpwe untuk pergi ke Lok-yang meski sekarang pertandingan belum berakhir dengan menentukan, tapi aku tetap akan ke sana dan tidak perlu lagi digiring oleh Lui Lo-cianpwe."

   Dengan menggeleng kepala Nyo Kong berkata.

   "Kok Siau-hiap ini juga rada angkuh, suasana begini masakah masih berangkat ke Lok-yang. Sebenarnya aku ingin bicara dengan dia, terpaksa sekarang harus dibatalkan."

   Kemudian Lui Biau mendekati Pwe-eng dan berkata.

   "Tit-li, sungguh tidak terduga bahwa urusanmu ini akan berakhir sampai di sini. Namun engkau adalah kesatria muda yang bijaksana, urusan pribadimu tentu akan dapat kau selesaikan dengan baik. Aku sendiri mendapat perintah dari Beng- cu dan sekarang juga harus berangkat. Maka di sinilah kita berpisah."

   Dengan rendah hati Pwe-eng lantas mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba Toh Hok ikut bicara.

   "Kiranya nona adalah puteri Han Lo- cianpwe, pantas berkepandaian setinggi ini. Liu Beng-cu paling suka kepada wanita pandai, beliau juga pernah mendengar namamu. Sekarang rasanya engkau juga tak dapat lagi ke Lok-yang, apakah kau suka ikut kami ke Kim- keh-nia saja?"

   "Terima kasih,"

   Sahut Pwe-eng sesudah berpikir sejenak.

   "Aku sendiri pun sangat ingin menemui Liu Beng-cu. Tapi sekarang aku masih ada sedikit urusan, biarlah lain hari saja aku akan berkunjung ke sana."

   Rupanya ia telah melihat Hi Giok-kun keluar dari pintu rumahnya, tampaknya sedang menantikan dia.

   Meski Pwe-eng tidak sirik kepada Hi Giok-kun yang hendak merebut tunangannya, tapi lantaran harga dirinya tersinggung, betapa pun hatinya rada menyesal.

   Cuma sekarang Hi Giok-kun keluar sendiri menyambut kedatangannya, mengingat hubungan persaudaraan di masa lalu dan budi penyembuhan penyakitnya baru-baru ini, mau tak mau ia harus mendekatinya.

   Sementara itu para orang gagah yang ikut mengepung Pek-hoa-kok tadi sudah pergi semua.

   Terakhir Nyo Kong, Toh Hok dan Lui Biau juga mohon diri kepada Han Pwe-eng.

   Kemudian Tian It-goan dan Liok Hong mendekati Pwe-eng dan minta maaf atas kecerobohan mereka sehingga menimbulkan geger ini.

   "Urusan sudah selesai dan tidak perlu disebut lagi,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Tampaknya kalian ingin bicara apa-apa lagi?"

   "Mohon tanya, Sio-cia hendak pergi kemana?"

   Kata Liok Hong.

   Maklumlah mereka diperintahkan ayah Pwe-eng agar mengantar si nona ke Yang-ciu untuk menikah, sekarang terjadi keonaran hingga batalnya pernikahan, semuanya di luar dugaan sama sekali.

   Kalau sang Sio-cia tinggal di rumah keluarga Hi rasanya kurang cocok, keluarga Kok terang juga bukan lagi tempatnya berteduh, untuk pulang ke Lok-yang jangan-jangan di tengah jalan juga sudah menghadapi api peperangan.

   Sebab itulah mereka merasa serba susah bagi sang Sio-cia.

   Han Pwe-eng sudah mempunyai keputusan sendiri, cuma tidak enak dikatakan di depan Hi Giok-hoan dan adiknya.

   Selagi ia hendak mohon diri, sementara Giok-kun telah mendekat dan berkata kepada Liok Hong dan Tian It-goan.

   "Sio-cia kalian adalah tamu kami, biar kecil tempat Pek-hoa-kok kami ini, namun masih tukup luas bagi tempat tinggal Sio-cia kalian. Jika kalian sudi, boleh sekalian tinggal saja di sini."

   Sudah tentu Pwe-eng tidak bermaksud tinggal lebih lama di rumah Hi Giok-kun, tapi ia pun tidak ingin menjelaskan pendiriannya, katanya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Selamanya ayah tidak pandang Tian Toa-siok dan Liok Toa-siok seperti kaum hamba, sesungguhnya kali ini kalian juga sudah melaksanakan kewajiban dengan baik, selanjutnya aku yang akan menyampaikan persoalan ini kepada ayah. Kukira aku dapat menjaga diriku sendiri, maka kalian pun tidak perlu mengawal diriku lagi. Mengingat suasana sedang kacau, apakah kalian akan tetap pulang ke Lok-yang atau ke tempat lain boleh terserah kepada pilihan kalian sendiri."

   "Banyak terima kasih atas budi kebaikan Sio-cia, jika demikian biarlah kami mohon diri dan harap Sio-cia menjaga diri baik-baik,"

   Kata Liok Hong berdua.

   "Bukan kami tidak mau pulang ke Lok-yang untuk melayani Lo-ya, soalnya suasana sekarang sudah genting, hamba berdua bermaksud pergi ke Jing-liong-kang, Ting-siya di sana adalah sobat baik kami, dengan menggabungkan diri di sana sekaligus kami dapat membantu menghadapi Tartar Mongol yang pasti akan melalui Jing-liong-kang bila menyerbu ke selatan."

   Pwe-eng sangat senang mendengar penuturan itu, katanya.

   "Bagus, jika ayah mengetahui semangat patriot kalian, tentu beliau akan sangat setuju. Baiklah, kalian boleh berangkat saja."

   Seperginya Liok Hong berdua, dengan tertawa Hi Giok-kun lantas berkata kepada Pwe-eng.

   "Kedua centing tua itu tampaknya sangat setia padamu."

   Lalu ia menarik tangan Pwe-eng dan diajak pulang ke rumahnya.

   Timbul perasaan yang sukar dilukiskan dalam hati Pwe-eng setelah masuk kembali ke rumah keluarga Hi.

   Teringat olehnya waktu pertama kali dia datang ke situ, Hi Giok-kun juga menggandeng tangannya, tatkala itu masing-masing sama-sama menaruh syak.

   Pwe-eng sendiri pun tidak tahu persis apakah Hi Giok-kun sebenarnya kawan atau lawan.

   Tapi sekarang mereka seakan-akan sudah kembali pada persaudaraan mereka di waktu dulu.

   Namun hanya "seakan-akan"

   Saja, persaudaraan yang murni di masa lampau ini sekali pun tidak sampai buyar terdampar oleh badai yang baru saja terjadi, tapi sedikitnya toh sudah retak, untuk memulihkannya kembali seperti semula rasanya maha sulit.

   Begitulah ketika Pwe-eng memasuki pintu rumah, tiba-tiba dilihatnya kereta keledai yang pernah ditumpanginya itu siap di latar pekarangan, empat ekor keledai penarik kereta sudah siap pula, di balik kerai kereta itu samar-samar kelihatan ada tumpukan buntalan dan bekal lainnya.

   Pwe-eng heran, pikirnya.

   "Apakah mereka hendak pergi ke tempat jauh? Tapi mengapa memakai keretaku?"

   Hi Giok-kun tahu Pwe-eng sedang memperhatikan kereta itu, tapi sama sekali ia tidak memberi penjelasan.

   Mestinya Pwe-eng mau bertanya, tapi juga urung.

   Sesudah masuk di ruangan tamu, Giok-hoan dan Giok-kun menyilakan tamunya berduduk, walaupun mereka melayani sang tamu dengan ramah- tamah, tapi kedua pihak tetap merasa kikuk.

   Kemudian Giok-kun membuka suara.

   "Adik Eng, sungguh aku harus minta maaf karena telah membikin susah padamu."

   Wajah Pwe-eng menjadi merah, jawabnya.

   "Urusan yang sudah lalu buat apa disinggung lagi. Engkau telah menyembuhkan penyakitku, untuk ini aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Betapa pun kita tetap bersaudara."

   "Ya, semoga kau sudi berkumpul bersamaku buat selamanya dan lebih akrab daripada saudara sekandung,"

   Kata Giok-kun dengan tersenyum. Ada maksud di balik kata-katanya itu, tanpa terasa wajah Pwe-eng kembali merah pula. Kuatir orang mengucapkan kata-kata yang lebih tajam lagi, cepat Pwe-eng menanggapi.

   "Syukur sekarang bahaya yang mengancam Pek-hoa-kok sudah mereda, maka sudah waktunya bagiku untuk berangkat."

   "Kau akan terus pulang atau kemana lagi?"

   Tanya Giok-kun.

   Serba susah juga bagi Pwe-eng untuk menjawabnya.

   Sudah tentu ia ingin pulang untuk berkumpul dengan ayahnya, terutama dalam suasana kacau menghadapi serbuan musuh ke kota Lok-yang, apalagi keadaan ayahnya yang setengah lumpuh akibat pukulan Siau-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok dahulu, mana dia boleh meninggalkan ayahnya begitu saja? Akan tetapi hatinya juga kesal karena Kok Siau-hong telah mendahuluinya ke Lok-yang dengan maksud mencari ayahnya untuk membatalkan pertunangannya dengan Pwe- eng.

   Padahal biarpun Kok Siau-hong tidak menyatakan batal pertunangan juga Pwe-eng sendiri akan membatalkannya.

   Hanya saja dia tidak ingin menghadapi sendiri persoalan yang merikuhkan ini.

   Tapi suka atau tidak suka toh dia harus pulang, mana dia dapat membiarkan ayahnya terkurung di rumah yang setiap saat akan diserbu pasukan Mongol itu.

   Sudah tentu rasa kesalnya itu tak dapat dikatakan kepada Hi Giok-kun.

   Maka sejenak kemudian barulah ia balas bertanya.

   "Tampaknya kalian juga akan berangkat ke tempat jauh dan entah kalian hendak pergi kemana?"

   Dengan tertawa Hi Giok-kun menjawab.

   "Kami justru hendak pergi ke tempatmu di Lok-yang."

   Giok-hoan lantas menyambung.

   "Begini soalnya, mestinya kami hendak minta tolong kepada Kok-heng agar membawakan satu guci arak Pek-hoa-ciu kepada ayahmu, tak terduga dia terus berangkat dengan tergesa-gesa tanpa pamit, maka terpaksa kami sendiri yang berangkat ke sana."

   Dalam pada itu terlihat Ciu Tiong-gak sedang mengangkat satu guci ke dalam kereta.

   "Kau datang dengan menumpang kereta itu, maka pulangnya kan lebih baik menumpang kereta yang sama?"

   Ujar Giok-kun tertawa.

   Kiranya Hi Giok-kun sangat licin, dia sengaja mengatur agar kakak beradik dapat mengantar pulang Pwe-eng ke Lok-yang, pertama, dia dapat bertemu dengan Kok Siau-hong, kedua, sekaligus mengantar arak obat untuk mengambil hati Han Tay-wi agar kedua keluarga tidak menjadi bermusuhan.

   Ketiga, kalau Pwe-eng sudah pulang, bila terjadi keributan tentang pembatalan pertunangannya, tentu si nona akan minta ayahnya jangan marah dan merelakan hal itu.

   Malahan menurut rencana Giok-kun, dalam perjalanan jauh itu ada kesempatan menjalinkan kasih antara Pwe-eng dengan kakaknya, yaitu Hi Giok-hoan.

   Perhitungan Hi Giok-kun itu memang enak, tapi Pwe-eng juga bukan nona bodoh biarpun tidak selicin Giok-kun, ia tidak sudi dipermainkan begitu saja.

   Bukannya dia jemu kepada Giok-hoan, soalnya sesudah mengalami kegagalan pertunangannya itu dia perlu istirahat untuk memulihkan hatinya yang terluka itu, sebelum lukanya sembuh, mana dia sanggup memaksakan diri berada bersama Giok-kun dan Giok-hoan.

   Maka Pwe-eng lantas menjawab.

   "Enci Giok-kun, aku ingin pinjam seekor kuda, apa boleh?"

   "Kau kan terus pulang bukan?"

   Tanya Giok-kun.

   "Sudah tentu aku mesti pulang, cuma untuk sementara ini aku hendak mampir dulu ke tempat lain,"

   Jawab Pwe-eng. Giok-kun rada kecewa, tapi sebagai nona yang cerdik, dengan segera ia pun dapat meraba pikiran Han Pwe-eng, ia tidak bertanya lagi, tapi dengan tertawa berkata.

   "Baiklah, akan kusuruh Ciu Ji memilihkan seekor kuda bagimu."

   "Terima kasih Cici,"

   Kata Pwe-eng.

   "Seekor kuda bertukar dengan sebuah kereta rasanya masih lebih menguntungkan aku,"

   Kata Giok-kun pula.

   "Cuma kau kan masih perlu sesuatu?"

   Pwe-eng tercengang, lalu bertanya.

   "Sesuatu apa?"

   "Seperangkat pakaian lelaki,"

   Jawab Giok-kun dengan tertawa.

   Kiranya yang dipakai Pwe-eng sekarang masih tetap baju baru sebagai calon pengantin ketika berangkat dari rumah.

   Seketika Pwe-eng sadar keadaannya itu, ia pikir memang tidak salah, memang tidak pantas seorang perempuan muda berkelana sendirian dalam suasana kacau seperti sekarang.

   Tapi dalam waktu singkat kemana mencari seperangkat pakaian yang cocok.

   Syukurlah Giok-kun lantas berkata pula dengan tertawa.

   "Aku sudah menyiapkan pakaian bagimu, marilah kau ikut padaku."

   Lalu Giok-kun membawa Pwe-eng ke suatu kamar di pondoknya tempo hari, di atas ranjang tampak tertaruh satu tumpuk pakaian.

   "Kusediakan tiga setel bagimu agar dapat dibuat ganti dalam perjalanan, boleh kau coba apakah cocok tidak?"

   Kata Giok-kun.

   Meski Pwe-eng rada mendongkol akan kelicinan Giok-kun, tapi diam- diam ia pun berterima kasih caranya memikirkan kepentingannya yang serba lengkap itu.

   Tiga setel pakaian baru ternyata sangat cocok sekali bagi Pwe- eng meski tidak diukur sebelumnya.

   Melihat Pwe-eng dalam dandanan sebagai pemuda, dengan tertawa Giok- kun berkata.

   "Cakap benar! Dengan pakaianmu ini mungkin terjadi ada orang yang hendak merebut mempelai lelaki dan tidak perlu takut orang mau merebut mempelai perempuan."

   Sementara itu kuda yang diminta Pwe-eng sudah siap, dengan pura-pura mengomel atas mulut Giok-kun yang usil itu, segera ia mencemplak ke atas kudanya dan memberi salam perpisahan, di saat sang surya sudah condong ke barat itulah ia meninggalkan Pek-hoa-kok.

   Dengan perasaan hampa seperti kehilangan sesuatu, Giok-kun memandang jauh ke sana sampai bayangan Pwe-eng menghilang dari pandangan mata.

   "Sudah jauh, tidak kelihatan lagi. Tapi jangan kuatir, aku tanggung setiba di Lok-yang nanti kau pasti akan berjumpa pula dengan dia,"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   "Bukankah dia mengatakan akan mampir dulu ke tempat lain?"

   Kata Giok-hoan.

   "Kukira itu cuma alasannya saja,"

   Ujar Giok-kun.

   "Coba pikir, sekarang api peperangan sudah hampir menjalar ke Lok-yang, masakah dia tidak ingin lekas pulang mendampingi ayahnya?"

   Giok-hoan diam saja, ia pikir andaikata berjumpa pula, lalu mau apa? Kalau melihat gelagatnya tadi, jelas nona Han itu masih merasa sirik terhadap Giok-kun, mungkin juga dia belum melupakan Kok Siau-hong.

   Melihat kakaknya termenung-menung, segera Giok-kun berkata pula.

   "Kutahu kau masih kuatir. Baiklah, sekarang juga kita berangkat saja."

   Dengan tertawa Giok-hoan membalas.

   "Ala, aku pun tahu kau sedang memikirkan Siau-hong. Baiklah, kita lekas berangkat ke sana!"

   Karena isi hatinya tepat kena dikata-katai oleh sang kakak, wajah Giok- kun menjadi merah.

   Saat itu Pwe-eng dalam perjalanan sendirian juga sedang kusut memikirkan nasib dirinya.

   Seperti juga Giok-kun, ia pun merasa tidak tenteram lantaran Kok Siau-hong.

   Bedanya Giok-kun ingin lekas berjumpa dengan Siau-hong, sebaliknya Pwe-eng ingin menghindarinya.

   Dia dapat memaafkan Giok-kun, tapi tidak dapat memaafkan Siau-hong.

   Ia anggap peristiwa pembatalan pertunangan ini semuanya adalah gara-gara perbuatan Kok Siau-hong.

   Ia tidak tahu bahwa pada saat dia menyesali Kok Siau-hong, pada waktu yang sama itu Kok Siau-hong juga sedang menyesali dirinya sendiri dan merasa sedih bagi Pwe-eng serta bersimpati kepadanya.

   Siau-hong dapat membayangkan betapa berduka dan dongkol seorang nona bakal pengantin yang datang dari jauh dengan tujuan hendak melangsungkan pernikahannya, setiba di tempat tujuan ternyata segala sesuatu itu telah buyar bagai impian belaka.

   Menghadapi peristiwa demikian, kalau perempuan biasa bisa jadi terus ambil putusan pendek dan membunuh diri.

   Terpikir akan ini, diam-diam ia kagum terhadap jiwa besar Han Pwe-eng.

   Aku mengingkari dia, tapi dia malah menolong aku dari kerubutan musuh, budi kebaikannya ini sukar bagiku untuk membalasnya.

   Demikian pikirnya.

   Namun Kok Siau-hong tidak menyesali pilihannya yang tegas itu, sebab pertunangannya dengan Pwe-eng adalah berdasarkan keputusan orang tua, mereka berdua hakikatnya belum kenal, jangankan rasa cinta.

   Kalau dia mulai kenal si nona adalah terjadi sesudah peristiwa ini.

   Sebaliknya hubungannya dengan Hi Giok-kun sudah mempunyai akar yang kuat, betapa pun dia takkan mengingkari janji setianya kepada Giok-kun.

   Hanya tindakannya memang telah membikin susah Pwe-eng, untuk membalas kebaikan atau memberi ganti rugi jelas tiada mungkin, jalan satu-satunya hanya minta pengertian dan minta maaf padanya.

   Tapi harapan ini mungkin juga sangat tipis.

   Demikian terpikir pula olehnya.

   Selagi berpikir, tiba-tiba terdengar suara keleningan kuda, dari belakang ada orang berseru kepadanya.

   "Apakah di depan itu adalah Kok Siau-hong?"

   Waktu Siau-hong menoleh, dilihatnya penunggang kuda yang datang adalah seorang kakek berusia enampuluhan, wajahnya kereng, tapi belum pernah dikenalnya. Sambil menahan kudanya, Siau-hong menjawab.

   "Benar, aku Kok Siau-hong adanya. Maaf, rasanya belum pernah kenal Lo- cianpwe, entah ada urusan apa mencari diriku?"

   "Bila tidak keberatan, sudilah bicara sebentar di tepi jalan sana?"

   Kata si kakek.

   Siau-hong menerima ajakan itu, mereka melompat turun dari kuda dan menuntunnya ke bawah pohon yang rindang di tepi jalan.

   Lalu Siau-hong mulai bertanya siapa nama kakek itu dan mencarinya untuk urusan apa? Dengan tertawa kakek itu menjawab.

   "Aku bernama Yim Thian-ngo, dengan ibumu adalah saudara sekandung, jadi kau dan aku adalah keponakan dan paman yang terdekat."

   Kok Siau-hong tercengang, pikirnya.

   "Menurut ibu, orang-orang dari keluarga kakek luar sudah mati semua, darimana mendadak muncul seorang Ku-ku (paman, adik ibu) seperti dia ini?"

   Terdengar Yim Thian-ngo berkata pula.

   "Watak ibumu sangat kaku, dahulu kami kakak beradik pernah cekcok untuk suatu urusan kecil, dalam gusarnya ibumu terus minggat dari rumah dan tidak pernah pulang untuk selamanya. Mungkin dia tidak pernah bercerita padamu tentang diriku? Tapi sedikit percekcokan dahulu itu kini sudah diselesaikan. Aku baru saja datang dari rumahmu."

   Sudah tentu Siau-hong setengah percaya setengah tidak.

   Ia pikir kakek ini tampaknya bukan pembohong, tapi manusia tak dapat dinilai dari wajahnya, di dunia Kang-ouw tidak sedikit kaum penipu licik yang berwajah seperti orang baik-baik.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kalau aku salah mengaku paman padanya, kan bisa ditertawai orang? Sayang aku harus menuju ke Lok-yang sehingga tak dapat pulang untuk minta keterangan kepada ibu.

   Selagi Siau-hong ragu-ragu, tiba-tiba kakek itu memotong sebatang ranting kayu dan berkata.

   "Jit-siu-kiam-hoat keluargamu sudah kau latih sampai tingkat apa? Coba sambut serangan ini!"

   Berbareng ia terus menyerang, ranting kayu bergerak, ia totok ke muka Kok Siau-hong. Keruan Siau-hong terkejut, cepat ia melompat mundur. Tapi segera ranting kayu Yim Thian-ngo itu menotok pula ke depan sambil membentak.

   "Tidak lekas lolos pedangmu?"

   Meski ranting kayu itu bukan senjata yang kuat, tapi di tangan si kakek berubahlah ranting kayu itu bagai pedang yang lihai, tipu serangan yang dia lontarkan itu memang benar jurus mematikan dari Jit-siu-kiam-hoat.

   Diam-diam Siau-hong mendongkol, untuk menguji orang kan tidak perlu menggunakan serangan maut begitu? Karena pikiran demikian, Siau-hong berbalik ingin menjajal si kakek apakah benar-benar mahir Jit-siu-kiam-hoat? Begitulah dengan cepat Siau-hong berkelit menghindarkan serangan lawan, pada saat bergerak itulah pedang juga sudah dilolosnya terus balas menabas.

   Yim Thian-ngo memuji bagus atas gerak Kok Siau-hong yang indah itu.

   Ranting kayu sekonyong-konyong membalik untuk menyabet pergelangan tangan Siau-hong.

   Terpaksa Kok Siau-hong memutar balik pedangnya untuk menangkis, tapi ketika terbentur, pedangnya kena tersampuk miring ke samping.

   Tergetar hati Siau-hong.

   Hanya dua-tiga gebrakan saja ia sudah tahu bahwa kepandaian si kakek memang jauh lebih tinggi daripadanya.

   Segera ia putar pedangnya terlebih kencang sehingga jauh lebih hebat daripada kepandaian yang dia keluarkan untuk menempur Liu Biau kemarin.

   Tapi sekali Yim Thian-ngo ayun ranting kayunya, seketika segenap penjuru penuh berkelebat bayangannya.

   Tahulah Siau-hong bahwa gerak si kakek ini adalah satu jurus mengancam tujuh tempat Hiat-to, satu tipu serangan yang paling hebat dalam Jit-siu-kiam-hoat, sudah beberapa tahun Siau-hong sendiri meyakinkan jurus serangan lihai itu, tapi masih belum berhasil.

   Maka diam- diam ia mengeluh pasti akan terjungkal di tangan si kakek.

   Benar juga, di tengah berkelebatnya bayangan orang dan sinar pedang, terdengarlah suara "krek"

   Dan "trang", ranting kayu Yim Thian-ngo terpapas putus sebagian, sebaliknya tangan Kok Siau-hong juga terserempet oleh ujung ranting kayu lawan sehingga pedang terlepas dan jatuh ke tanah.

   "Kau dapat menabas putus ranting kayu yang kupakai, Jit-siu-kiam-hoat yang kau latih boleh dikata sudah lumayan,"

   Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa.

   Jit-siu-kiam-hoat adalah ciptaan keluarga Yim, setiap orang yang mahir ilmu pedang ini pasti mempunyai hubungan rapat dengan keluarga Yim, lebih-lebih jurus maut yang diperlihatkan si kakek tadi tidak mungkin diajarkan kepada orang di luar keluarga Yim, bahkan murid dari luar keluarga Yim juga takkan mendapat ajaran jurus itu.

   Sampai di sini Kok Siau-hong tidak sangsi lagi, cepat ia simpan pedangnya dan memberi hormat, katanya.

   "Maaf, karena belum pernah kenal Ku-ku, tadi aku telah bersikap kasar padamu."

   "Baiklah, jadi sekarang kau sudah percaya bahwa aku adalah Ku-kumu,"

   Kata Yim Thian-ngo sambil bergelak tertawa.

   "Banyak terima kasih atas petunjuk Ku-ku tadi,"

   Kata Siau-hong.

   "Tapi entah mengapa ibu dan Ku-ku....."

   "Kejadian di masa lampau tak perlu disinggung lagi,"

   Kata Yim Thian- ngo.

   "Orang muda macam kalian sebaiknya tidak perlu tahu."

   Maklumlah bahwa percekcokan Yim Thian-ngo dan adik perempuannya timbul karena dia menghalang-halangi perkawinan adik perempuannya dengan ayah Kok Siau-hong, dengan sendirinya ia tidak enak untuk bercerita terus terang kepada pemuda itu.

   Tentu pula Kok Siau-hong menjadi curiga, ia yakin kalau soal kecil saja tidak mungkin ibunya putus hubungan dengan kakak kandung sendiri.

   Jangan-jangan Ku-ku ini bukan manusia baik-baik? Tapi biarlah kudengarkan saja apa yang akan dia katakan padaku? Begitulah timbul kesangsiannya, maka biarpun dia sudah menganggap Yim Thian-ngo sebagai Ku-ku yang harus dihormati, namun dalam hati ia tetap waspada.

   "Kau hendak pergi ke Lok-yang bukan?"

   Tanya Yim Thian-ngo.

   "Benar, Ku-ku ada petunjuk apa?"

   Jawab Siau-hong.

   "Kedatanganku ini justru hendak mencegah keberangkatanmu ini. Urusanmu dengan keluarga Han aku pun sudah tahu semua,"

   Kata pula Yim Thian-ngo. Dalam hati Siau-hong merasa kurang senang, tapi lantaran orang itu adalah Ku-kunya, terpaksa ia tahan perasaannya itu, jawabnya kemudian.

   "Ku-ku, tadi engkau bilang sudah bertemu dengan ibu, apakah kedatanganmu inipun menjadi keputusan ibu?"

   "Bukan, tapi keputusanku,"

   Kata Thian-ngo.

   "Sebab apa?"

   Tanya Siau-hong. Diam-diam ia mendongkol, ibu saja tidak melarang aku, berdasarkan apa kau ikut campur dalam soal perjodohanku? Agaknya Yim Thian-ngo dapat meraba pikiran pemuda itu, dengan perlahan ia berkata pula.

   "Hendaklah kau jangan salah paham, bukan maksudku hendak campur tangan dalam urusan perjodohanmu. Biarlah kukatakan terus terang padamu, ibumu tidak setuju pembatalan perjodohanmu dengan nona Han, tapi akulah yang membela kau."

   "O, jika demikian aku harus berterima kasih kepada Ku-ku,"

   Kata Siau- hong dengan hambar.

   "Meski selama ini aku tiada berhubungan dengan ibumu, tapi ibumu merupakan satu-satunya adik perempuanku, dengan sendirinya aku ikut prihatin atas kepentingan dirimu,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Terus terang, aku tidak setuju dengan perjodohanmu yang ditetapkan oleh mendiang ayahmu itu. Bila disuruh memilih antara keluarga Han dan keluarga Hi, maka aku lebih suka kau mendapat jodoh dengan gadis keluarga Hi."

   "Jika demikian mengapa Ku-ku mencegah keberangkatanku ke Lok- yang?"

   Tanya Siau-hong.

   "Bila kau sudah bertekad takkan kawin dengan puteri Han Tay-wi buat apa mesti pergi ke sana untuk menemuinya?"

   "Setiap perbuatan seorang laki-laki sejati harus dilakukan secara terang- terangan tanpa tedeng aling-aling. Meski aku tidak cocok dengan perjodohanku ini toh aku harus menyelesaikan persoalan ini dengan keluarga pihak perempuan, mana boleh aku bertindak secara serampangan dan membatalkan ikatan perjodohan ini tanpa penjelasan?"

   "Tapi watak Han Tay-wi yang tinggi hati itu masakah dia mau terima dan mengampuni tindakanmu ini?"

   "Bagiku hanya mengenai soal tindakanku ini harus dilakukan atau tidak, apakah akibatnya untung atau buntung aku tidak peduli."

   Diam-diam Yim Thian-ngo pikir watak bocah ini ternyata serupa benar dengan ayah-ibunya. Segera ia berkata pula.

   "Jika kau sendiri ingin didamprat Han Tay-wi, maka aku pun tidak pusing. Aku cuma ingin tanya sesuatu padamu. Aku tahu ibumu sudah mengajarkan Siau-yang-sin-kang padamu. Apakah ketigabelas halaman Siau-yang-toh-kay itu berada padamu sekarang?"

   "Kalau berada padaku bagaimana dan kalau tidak ada bagaimana pula?"

   Tanya Siau-hong.

   "Jika sekarang berada padamu, maka aku takkan mengizinkan kau pergi ke Lok-yang."

   "Sebab apa?"

   Siau-hong menegas.

   "Mungkin kau belum tahu bahwa Siau-yang-sin-kang itu bukanlah milik keluarga Kok kalian, tapi ibumu membawanya dari keluarga Yim. Sebab itu aku tidak dapat membiarkan rahasia ilmu silat keluarga Yim jatuh di tangan Han Tay-wi."

   Hati Kok Siau-hong rada dongkol, jengeknya.

   "Tapi belum tentu Han Tay-wi mau mengincar pusaka ilmu silat keluarga Yim ini."

   "Itu kan anggapanmu,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Baiklah, aku pun tidak peduli apakah orang she Han itu mengincar atau tidak, aku cuma mau tanya padamu. Ketigabelas halaman Toh-kay itu berada padamu tidak?"

   "Tidak!"

   Jawab Siau-hong dengan kaku, habis itu ia terus bergegas hendak melanjutkan perjalanan.

   "Nanti dulu, aku ingin bicara pula!"

   Seru Yim Thian-ngo.

   "Ku-ku ada urusan apa lagi?"

   Tanya Siau-hong dengan rada heran.

   "Meski gambar Siau-yang-sin-kang itu tidak berada padamu, tapi teori daripada ilmu ini tentunya sudah kau hapalkan di luar kepala?"

   Kata Yim Thian-ngo. Siau-hong menjadi kurang senang, jawabnya.

   "O, jadi Ku-ku tak dapat mempercayai diriku dan kuatir aku membocorkan rahasia ilmu silat keluarga Ku-ku kepada orang luar? Baiklah, biar aku bersumpah kepadamu, dan kalau engkau masih tetap tidak percaya, maka terserahlah."

   "Bersumpah sih tidak perlu, aku cuma ingin kau bicara sejujurnya saja,"

   Kata Thian-ngo. Dengan mendongkol Siau-hong menjawab.

   "Selamanya aku tidak pernah berdusta. Nah, apa yang Ku-ku ingin kukatakan lagi?"

   "Tentunya kau mengetahui bahwa Han Tay-wi mengalami luka pukulan Siu-lo-im-sat-kang dari Cu Kiu-bok?"

   Tanya Thian-ngo.

   "Ya, aku tahu,"

   Jawab Siau-hong.

   "Dan kepergianmu ke Lok-yang ini apakah bermaksud menyembuhkan Han Tay-wi dengan Siau-yang-sin-kang?"

   "Kalau betul bagaimana dan kalau tidak bagaimana pula?"

   "Aku melarang kau menyembuhkan Han Tay-wi dengan ilmu pusaka kita!"

   Sebenarnya tiada maksud Kok Siau-hong untuk mengobati Han Tay-wi dengan Kiu-yang-sin-kang, sebab dengan lwekang Han Tay-wi yang tinggi, asal sudah minum Pek-hoa-ciu dari keluarga Hi tentu sudah cukup untuk menyembuhkan lukanya.

   Tapi dasar watak Siau-hong juga keras dan kaku, demi mendengar ucapan Yim Thian-ngo itu, ia menjadi gemas, segera ia menjawab.

   "Ku-ku, rasanya tanganmu menjulur terlalu panjang!"

   "O, jadi kau anggap aku terlalu banyak ikut campur urusan orang lain?"

   Yim Thian-ngo menegas dengan melotot.

   "Mana aku berani bilang demikian,"

   Sahut Siau-hong.

   "Cuma urusan takkan terlepas dari `ceng-li. Asalkan alasan Ku-ku cukup kuat, tentunya aku tak berani membantah."

   "Hm, mengapa tidak kau katakan saja bahwa aku ini bo-ceng-li,"

   Jengek Yim Thian-ngo. Kok Siau-hong tidak menjawabnya, dan kalau tidak menjawab biasanya berarti membenarkan. Dengan menahan perasaan Yim Thian-ngo berkata pula.

   "Mengapa kau harus menyembuhkan penyakit Han Tay-wi itu, coba aku ingin mendengar dulu alasanmu?"

   Semula Siau-hong menduga sang paman pasti akan berjingkrak gusar, tapi tak tersangka dia malah lebih ramah bicaranya. Agar tidak dianggap terlalu kurang ajar terhadap orang tua, dengan tenang Siau-hong berkata.

   "Aku ke sana untuk membatalkan pertunangan dan untuk menyembuhkan penyakit paman Han adalah dua persoalan yang terpisah. Paman Han adalah tokoh angkatan tua dunia persilatan yang dihormati, sekarang dia terluka oleh gembong Sia-pay, orang muda seperti kami ini adalah pantas bila berusaha menyembuhkan beliau, apalagi dia juga sobat baik mendiang ayahku."

   "Jika demikian, jadi bukan maksudmu hendak mengambil hati Han Tay- wi agar pembatalan pertunanganmu dengan puterinya tidak menimbulkan kemurkaannya?"

   "Kan sudah kukatakan bahwa kedua persoalan itu tiada hubungannya satu sama lain,"

   Jawab Siau-hong. Diam-diam ia anggap sang paman ini suka mengukur orang lain dengan dirinya sendiri.

   "Ha, ha, kalau begitu urusan menjadi mudah,"

   Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa. Kok Siau-hong menjadi bingung, tanyanya.

   "Maksud Ku-ku....."

   "Maksudku ialah kau tidak perlu mengobati Han Tay-wi!"

   Bicara sampai sekian lamanya, akhirnya tetap begitu, Yim Thian-ngo tetap melarang Kok Siau-hong menolong Han Tay-wi. Pemuda itu menjadi naik pitam, dengan suara keras ia menegas.

   "Sebab apa?"

   "Justru disebabkan alasan sebagaimana kau katakan tadi. Menurut ucapanmu tadi, kau ingin menyembuhkan Han Tay-wi lantaran kau memujinya sebagai seorang tokoh persilatan yang patut dihormati, begitu bukan?"

   "Ya, sedikitnya paman Han kan orang baik!"

   Sahut Siau-hong.

   "Tapi kalau dia adalah orang jahat, lalu bagaimana?"

   Siau-hong tercengang, jawabnya dengan penasaran.

   "Dengan dasar bukti apa kau mengatakan paman Han orang jahat?"

   "Aku tak dapat memberikan buktinya. Tapi aku tahu Han Tay-wi sekali- kali bukan orang baik sebagaimana sangkaanmu. Dia sesungguhnya adalah seorang yang licik dan licin."

   Sudah tentu Kok Siau-hong tak dapat mempercayai tuduhan sepihak itu, katanya dengan mendengus.

   "Tanpa bukti toh perlu juga diberikan sedikit kejadian nyata yang lain. Kalau cuma berdasarkan kata-kata Ku-ku saja, maaf, betapa pun aku tak dapat percaya!"

   Yim Thian-ngo termenung sejenak, katanya kemudian.

   "Sebenarnya aku harus memberitahukan padamu, tapi sekarang belum saatnya. Kalau kau diberitahu sekarang mungkin akan membikin runyam urusan malah. Sudah tentu aku pun tahu bahwa kata-kataku ini takkan dipercayai olehmu, tapi kau boleh pulang saja untuk bertanya kepada ibumu, aku percaya, biarpun dia tidak akur dengan aku, sedikitnya dia akan mengakui bahwa aku adalah seorang yang jujur dan pasti takkan sembarangan membusuk-busukkan orang lain."

   "Ya, aku memang ingin bertanya kepada ibu, tapi sekarang juga belum waktunya, aku harus meneruskan pejalanan ke Lok-yang. Mungkin Ku-ku juga sudah mendengar bahwa bangsa Mongol sudah menyerbu negeri kita, maka aku harus sampai di Lok-yang sebelum kota itu jatuh di tangan musuh, aku perlu bertemu dengan paman Han. Nah, maaf, aku mohon diri sekarang juga."

   Tapi Yim Thian-ngo lantas menghalangi kuda pemuda itu sambil menjengek, katanya.

   "Menurut pendapatku, sebaiknya kau jangan pergi ke sana!"

   Keruan Siau-hong naik darah, dengan suara keras ia menanyakan apa dasarnya sang Ku-ku merintangi kehendaknya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selagi kedua orang sama-sama ngotot, tiba-tiba seorang penunggang kuda datang dengan cepat, penunggang kuda itu adalah wanita pertengahan umur, dari jauh dia sudah berseru.

   "Eh, kalian ribut apa di sini? Dia adalah pamanmu, kau tahu tidak?"

   Siau-hong kegirangan, serunya.

   "Baik sekali kedatanganmu ini, ibu! Ku- ku melarang aku pergi ke Lok-yang!"

   "Anak Hong, kau terlalu menuruti kata hatimu sendiri,"

   Kata Kok-hujin sesudah dekat.

   "Mengapa kau tidak memikirkan kecemasan ibumu dengan pelarianmu pada perkawinanmu ini. Tapi urusan yang sudah lewat tak perlu kukatakan lagi, bahwa kau akan pergi ke Lok-yang, kukira memang harus begitu. Sebagai seorang laki-laki harus berani datang ke rumah Han Tay-wi untuk mempertanggung-jawabkan tindakanmu!"

   Semula Siau-hong kuatir akan didamprat ibunya, tak tersangka sang ibu malah mendukung maksudnya ke Lok-yang.

   Keruan ia kegirangan, coba kalau tahu sang ibu sedemikian bijaksana, tentu dia pun tidak perlu melarikan diri dari perkawinannya.

   EDANGKAN Yim Thian-ngo menjadi serba salah, katanya kepada Kok-hujin.

   "Sam-moay, kenapa kau....."

   Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Kok-hujin melemparkan satu gulung benda kepadanya.

   Sekali lihat saja Yim Thian-ngo lantas tahu bahwa gulungan itu pasti pusaka keluarganya, yaitu ketigabelas halaman Siau-yang-sin-kang.

   Dengan bingung ia bertanya.

   "Sam-moay, apa artinya ini?"

   "Mahar kawin pemberian ayah ini sekarang juga aku kembalikan padamu,"

   Kata Kok-hujin dengan ketus.

   "Dan sekarang kau takkan kuatir lagi dan tak perlu lagi menanyai keponakanmu!"

   Muka Yim Thian-ngo menjadi merah, kalau tidak diterima, nyatanya gambar pusaka itu adalah benda yang diimpi-impikannya selama ini.

   Terpaksa ia menerimanya tanpa malu-malu lagi.

   Maklumlah, gambar pusaka itu selama ini menjadi idam-idaman Yim Thian-ngo untuk memilikinya.

   Meski ia sendiri pernah meyakinkan Siau- yang-sin-kang, tapi sebelum jadi, gambar pusaka sudah diberikan sang ayah kepada adik perempuannya sebagai mahar, mas kawin.

   Betapa pun Yim Thian-ngo masih tahu malu, olok-olok Kok-hujin tadi membuat mukanya menjadi merah, cepat ia menanggapi.

   "Agaknya kau salah paham akan maksudku, Sam-moay. Bukan maksudku hendak minta kembali mas kawinmu pemberian ayah, yang Ku-kuatirkan hanya benda pusaka kita ini jatuh di tangan Han Tay-wi....."

   "Kau tidak perlu banyak omong lagi, Toako,"

   Sela Kok-hujin.

   "Supaya kau tidak kuatir lagi, nah, Siau-hong, janjilah kau sekarang di hadapanku bahwa kau takkan mengobati Han Tay-wi dengan Siau-yang-sin-kang, jika kau tidak menurut, maka aku pun takkan mengakui kau sebagai anak lagi."

   "Baik, aku berjanji, ibu!"

   Jawab Siau-hong tegas.

   Jilid 4 S "Nah, kau tidak perlu kuatir lagi, Toako,"

   Kata Kok-hujin.

   "Padahal untuk menyembuhkan penyakit Han Tay-wi toh diharapkan menggunakan Siau-yang-sin-kang saja."

   "Lantaran kalian salah paham kepadaku, terpaksa aku katakan terus terang""

   Ujar Yim Thian-ngo sambil menghela napas."Hendaklah tahu, Sam-moay, bahwa sebabnya aku melarang Siau-hong menyembuhkan penyakit Han Tay-wi tidak melulu kuatir rahasia ilmu Siau-yang-sin-kang kita jatuh di tangannya!"

   "Habis sebab apa lagi?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Ku-ku bilang paman Han bukan manusia baik-baik,"

   Sela Kok Siau- hong. Keterangan ini membikin Kok-hujin merasa bingung dan sangsi, ia pandang sang kakak dengan ragu-ragu.

   "Pantas juga jika kau pun tidak percaya, Sam-moay,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Han Tay-wi memang licin, bila aku tidak yakin betul akan perbuatannya, tentu pula akan menyangka dia adalah orang baik."

   "Apa yang kau ketahui tentang dia?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Dia bersekongkol dengan pihak Mongol!"

   Jawab Thian-ngo. Kok-hujin terkejut.

   "Kau mempunyai bukti apa?"

   Tanyanya.

   "Siangkoan Hok, kau tahu orang ini tidak?"

   Kata Thian-ngo.

   "Apakah Lo-cianpwe yang sudah lama tiada kabar beritanya di dunia persilatan itu?"

   Kok-hujin menegas.

   "Kuingat dahulu ayah pernah bercerita bahwa dia pernah menjalin cinta dengan Jing-leng Suthay, tapi gagal, kemudian dia menghilang entah kemana. Untuk apa kau menyinggung dia?"

   "Siangkoan Hok sekarang adalah pembantu utama Cun-seng Hoat-ong, itu Kok-su kerajaan Mongol, ia pun sangat mendapat kepercayaan Jengis Khan,"

   Jawab Yim Thian-ngo.

   "Lalu apa hubungannya pula dengan Han Tay-wi?"

   "Sudah tentu ada hubungannya, bahkan erat hubungannya. Bukan cuma sekarang saja Han Tay-wi mengadakan hubungan dengan Siangkoan Hok."

   "Di waktu hidupnya, ayah juga pernah berhubungan dengan Siangkoan Hok,"

   Ujar Kok-hujin.

   "Itu kan sebelum Siangkoan Hok menjual diri kepada pihak Mongol. Sedangkan hubungan Han Tay-wi dengan dia terjadi sesudah dia bekerja sebagai pembantu Kok-su kerajaan Mongol."

   "Darimana kau mendapat tahu?"

   Tanya Kok-hujin.

   "Tahun itu aku datang ke Lok-yang, Han Tay-wi tidak berani mengundang aku ke rumahnya. Tahukah kau apa sebabnya? Sebabnya di rumahnya pada waktu itu kebetulan ada seorang teman agung dari jauh."

   "Kau maksudkan Siangkoan Hok?"

   "Jika bukan dia, buat apa kukatakan lagi padamu. Biarpun perbuatan Han Tay-wi itu sangat rahasia, tapi toh tak dapat mengelabui mata telinga setiap orang?"

   "Siapa yang memberitahukan rahasia ini padamu?"

   "Lau Kun, Hiang-cu cabang Kay-pang di Lok-yang."

   Kok-hujin kenal sumber berita Kay-pang memang sangat tajam dan dapat dipercaya, jika betul demikian, mungkin apa yang dikatakan kakaknya ini memang ada dasarnya. Tiba-tiba Kok Siau-hong ikut bertanya.

   "Ku-ku, hanya berita kosong saja tanpa bukti belum dapat dianggap."

   "Justru aku melihatnya dengan mata kepala sendiri,"

   Kata Yim Thian- ngo.

   "Malam itu, setelah mendapat berita dari Lau Kun, segera kami mendatangi kediaman Han Tay-wi. Tapi belum tiba di sana, di ujung jalan yang menuju rumah Han Tay-wi itu kami sudah kepergok Siangkoan Hok dan terjadi pertempuran, aku terkena satu kali pukulannya dan Lau Kun juga tidak mampu membekuknya. Walaupun pengkhianatan Han Tay-wi tidak tertangkap basah, untuk menjatuhkan dia juga belum dapat, mengingat kedudukannya yang kuat di dunia persilatan. Tapi kalian memaksa aku bercerita terus terang, sudah tentu hendaklah kalian menjaga rahasia ini dan jangan sampai bocor, sebab bukan mustahil akan menjadi korban kekejian Han Tay-wi jika dia mengetahui perbuatannya telah kau ketahui. Maka dari itulah aku mencegah agar kau membatalkan keberangkatanmu ke Lok-yang."

   Kok Siau-hong menjadi bingung oleh cerita itu, dia tidak menjawab, melainkan memandang sang ibu. Maka Kok-hujin berkata.

   "Terima kasih atas perhatianmu, urusan ini akan kupikirkan dan akan kuputuskan sendiri bagi Siau-hong."

   "Sudah tentu, dia kan puteramu, dengan sendirinya aku tidak dapat memaksa dia, cuma kau mesti paham, maksudku mencegah Siau-hong jangan mengobati Han Tay-wi bukanlah karena kepentingan pribadiku saja. Nah, boleh kau pikirkan, aku akan pergi sekarang."

   Sesudah Yim Thian-ngo pergi, Siau-hong berkata kepada ibunya.

   "Apakah ibu anggap apa yang dikatakan Ku-ku tadi dapat dipercaya?"

   Kok-hujin sendiri ternyata merasa bingung, sampai lama sekali ia tidak menjawab, agaknya sedang merenungkannya secara mendalam. Karena terlalu banyak yang ingin diketahui, Siau-hong lantas bertanya lagi.

   "Sebenarnya apa sebabnya ibu tidak cocok dengan Ku-ku sejak dahulu?"

   "Ku-ku melarang aku menikah dengan ayahmu,"

   Jawab Kok-hujin. Lalu ia menyambung pula dengan tersenyum.

   "Kini tiada halangannya kuberitahu padamu, bahwa perkawinanku dengan ayahmu adalah dilakukan atas suka sama suka. Sebab itu pula aku tidak ingin memaksakan perkawinanmu agar kelak kau tidak membenci padaku seperti halnya aku benci kepada Ku-kumu. Padahal aku merasa anak perempuan Han Tay-wi cukup baik."

   Dengan rasa girang Siau-hong berkata.

   "Engkau benar-benar seorang ibu yang bijaksana. Terus terang, sikap Ku-ku yang kereng itu sesungguhnya tidak cocok bagiku. Sebenarnya sengketa apa lagi antara Ku-ku dengan paman Han, apa yang dia ucapkan tadi agaknya masih ada sebagian yang belum jelas."

   "Hal itu terjadi pada tahun kedua sesudah ayahmu menetapkan perjodohanmu dengan anak perempuan Han Tay-wi,"

   Tutur Kok-hujin.

   "Waktu itu Ku-kumu berkunjung ke Lok-yang, banyak tokoh-tokoh persilatan di kota itu telah mengundang dia untuk perjamuan, tapi Han Tay- wi sebagai tokoh utama di kota itu ternyata tidak mengundang Ku-kumu. Tadinya aku mengira hal itu disebabkan Han Tay-wi mengetahui ketidak cocokanku dengan Ku-kumu, tapi kemudian baru diketahui bahwa di balik itu ada pula sesuatu rahasia."

   "Lalu ibu percaya kepada cerita Ku-ku tadi?"

   Tanya Siau-hong.

   "Jangan- jangan Ku-ku dendam kepada paman Han, maka sengaja membusuk- busukkan dia."

   "Tidak, Ku-kumu bukan manusia demikian,"

   Kata Kok-hujin.

   "Biarpun aku tidak cocok dengan dia, tapi aku cukup kenal wataknya."

   "Jadi paman Han benar-benar orang busuk?"

   Siau-hong menegas dengan kesal. Kok-hujin menggeleng, katanya.

   "Paman Han adalah sobat baik mendiang ayahmu, aku percaya ayahmu takkan mengikat besan dengan dia jika paman Han adalah orang busuk. Coba kalau ayahmu masih hidup, tentu dia takkan mengizinkan kau membatalkan perkawinanmu ini."

   "Lantas ibu lebih percaya kepada ayah atau percaya kepada Ku-ku?"

   Tanya Siau-hong.

   "Sudah tentu aku percaya penuh kepada ayahmu,"

   Jawab Kok-hujin.

   "Tapi aku pun percaya Ku-kumu tidak bohong. Ya, dalam hal ini mungkin ada persoalan lain lagi. Meski Han Tay-wi ada hubungan dengan Siangkoan Hok, tapi tidak berarti dia akan menyerah kepada orang Mongol. Bukan cuma ayahmu saja yang percaya penuh kepada pribadi paman Han, aku sendiri pun percaya padanya. Dahulu ketika aku dan ayahmu berkelana di dunia Kang-ouw juga banyak menerima bantuannya. Hanya saja paman Han seharusnya tahu siapa Siangkoan Hok itu, mengapa dia tetap mengadakan hubungan persahabatan dengan dia?"

   "Dan kalau menurut pendapat ibu, anak harus tetap pergi ke Lok-yang atau tidak?"

   Tanya Siau-hong dengan rada bimbang. Kok-hujin berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Apa yang dikatakan Ku-kumu hanya suatu tanda tanya yang belum terjawab, sedangkan kita dan keluarga Han adalah sahabat selama berpuluh tahun. Persoalanmu saja rasanya tidak enak sekali terhadap paman Han, jika kau tidak pergi ke sana untuk minta maaf dan memberi pertanggung-jawaban secara terang, bagiku rasanya akan tambah tidak tenteram."

   "Benar, anak pun berpendapat demikian,"

   Kata Siau-hong sambil mengangguk.

   "Namun apa yang dikatakan Ku-kumu juga jangan sama sekali kau abaikan,"

   Ujar Kok-hujin.

   "Singkatnya, kepergianmu ini harus lebih hati-hati dan waspada. Paling baik kepergianmu ke Lok-yang ini diusahakan pula penyelidikan persoalan ini dengan sejelas-jelasnya."

   "Baik, anak akan selalu ingat kepada pesan ibu, harap ibu jangan kuatir,"

   Jawab Siau-hong.

   "Nah, boleh kita tukar kuda saja, kau gunakan si naga putih ini,"

   Kata sang ibu.

   Si naga putih yang dikatakan adalah seekor kuda putih mulus yang didapatkan ayah Siau-hong di daerah Jing-hay, umur kuda itu sudah belasan tahun, tapi larinya masih cepat, seribu lie dalam sehari bukan soal bagi kuda bagus itu.

   Alangkah terharunya Siau-hong atas kasih sayang ibunya, katanya dengan mengembeng air mata.

   "Anak telah banyak membikin susah kepada ibu, sungguh anak merasa malu."

   "Yang kuharapkan adalah kau dapat hidup bahagia,"

   Kata Kok-hujin dengan tersenyum.

   "Nona Hi itu memang cantik, pantas kau suka padanya."

   "Ibu sudah bertemu dengan Giok-kun?"

   Tanya Siau-hong dengan tercengang.

   "Apakah dia kenal engkau?"

   "Dia tidak kenal aku,"

   Jawab Kok-hujin.

   "Kukuatir dia malu, maka tidak mengajak bicara padanya. Dia dan kakaknya berada di suatu kereta, menurut keterangan yang kuperoleh, di atas kereta dimuat satu guci arak Pek-hoa-ciu."

   Baru sekarang Kok Siau-hong paham duduknya perkara, katanya.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pantas tadi ibu berani menjamin kepada Ku-ku bahwa aku tidak perlu menyembuhkan paman Han dengan Siau-yang-sin-kang, kiranya ibu sudah mengetahui kepergian Giok-kun ke Lok-yang."

   "Dengan kuda pemberianku itu tentu kau akan sampai di Lok-yang dua hari lebih cepat,"

   Kata Kok-hujin.

   "Dengan begitu kau dapat menemui Han Tay-wi lebih dulu, jika kau menemuinya bersama Giok-kun, betapa pun Han Tay-wi pasti tidak senang. Sebab itulah sedapat mungkin janganlah kau serombongan perjalanan dengan Giok-kun dan kakaknya."

   Siau-hong mengiakan dengan wajah merah. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, tanyanya.

   "Apakah ibu juga sudah bertemu nona Han itu?"

   "Sudah bertemu, dia sangat cantik, ilmu silatnya juga tidak rendah?"

   Jawab Kok-hujin dengan tersenyum.

   "Darimana ibu mendapat tahu?"

   Tanya Siau-hong heran.

   "Dia telah datang ke rumah kita,"

   Kata Kok-hujin.

   Lalu ia pun menceritakan kejadian pada malam itu.

   Diam-diam Siau-hong membatin, kedatangan Han Pwe-eng ke rumahnya itu tentunya ingin menyelidiki persoalan yang sesungguhnya, sesudah tahu jelas duduknya perkara, lalu nona itu pergi dengan kesal, maka dapat dibayangkan betapa berdukanya hati nona Han tatkala itu.

   "Mengapa tiba-tiba kau teringat padanya?"

   Tanya Kok-hujin dengan tertawa.

   "Dia telah datang ke Pek-hoa-kok untuk menolong kami, betapa pun kita harus berterima kasih padanya,"

   Jawab Siau-hong.

   "Tadinya aku mengira dia masih tinggal di Pek-hoa-kok, tapi ibu telah melihat Giok-kun dan kakaknya dalam perjalanan, maka dengan sendirinya nona Han takkan tinggal sendirian di Pek-hoa-kok. Hanya tidak jelas apakah dia terus pulang atau tidak? Sebab itulah anak bertanya pada ibu apakah juga melihat nona Han?"

   "Ya, pantasnya nona Han langsung pulang ke rumah pula, tapi aku tidak melihat dia dalam perjalanan, mungkin dia mengambil jalan lain. Bila kau bertemu dia, hendaklah kau bersikap baik-baik padanya, jangan sekali-kali membikin kesal padanya. Nah, ibu akan pulang saja, hendaklah kau hati- hati dalam perjalanan, terutama menghadapi pasukan Mongol yang kabarnya sudah mendekati kota Lok-yang."

   Sesudah memberi pesan, lalu ibu dan anak berpisah.

   Kok Siau-hong mencemplak kuda putih pemberian ibunya itu dan melanjutkan perjalanan ke Lok-yang.

   Sementara itu marilah kita ikuti pengalaman perjalanan Han Pwe-eng.

   Dugaan Kok-hujin memang tidak salah, karena nona itu ingin menghindari pertemuan dengan Kok Siau-hong di tengah jalan, maka dia telah ambil jalanan lain, jalan kecil.

   Dia sudah menyamar sebagai lelaki, beberapa hari permulaan tidak terjadi apa-apa.

   Tapi sampai hari ketujuh, sesudah lewat kota Ce-lam di propinsi Soa-tang, suatu kejadian aneh telah dialaminya.

   Malam itu dia menginap di suatu kota kecil, Ce-ho namanya, hotel yang dia pondoki ternyata menyambut kedatangannya serta memberi pelayanan istimewa tanpa diminta, bahkan daharan yang enak-enak juga lantas disediakan baginya.

   Keruan Pwe-eng terheran-heran, ia tidak mengerti apa sebabnya pengurus hotel itu melayaninya seakan-akan tamu agung saja.

   Malahan ada lagi yang lebih mengherankan, ketika esok paginya dia mau membereskan rekening hotel, ternyata pengurus hotel telah menolaknya.

   Waktu Pwe-eng tanya alasannya, di situlah Pwe-eng baru mengetahui bahwa sebelumnya sudah ada orang membayar segala keperluannya itu.

   Padahal dia merasa tidak punya kenalan di kota kecil itu, juga selamanya tak diketahui kalau ayahnya mempunyai sahabat yang tinggal di Ce-ho ini.

   Waktu Pwe-eng tanya lebih jelas siapa yang membayar rekeningnya itu, pengurus hotel memberitahu bahwa orangnya berumur empatpuluhan, biasa saja tanpa sesuatu tanda pengenal yang istimewa, hanya dandanannya kelihatan sangat perlente.

   Kemarin siang orang itu sudah pesan kamar lebih dulu bagi Pwe-eng disertai keterangan tentang dirinya dan memberi pesan pula agar diberi pelayanan sebaik-baiknya.

   Habis membayar, lalu orang itu pergi lagi tanpa meninggalkan nama dan alamat.

   Pwe-eng tidak bertanya lebih jauh, ia tidak tahu orang yang dimaksudkan itu sebenarnya kawan atau lawan, yang pasti jejaknya telah diikuti orang, maka ia melanjutkan perjalanannya dengan lebih waspada.

   Malam berikutnya ia menginap di suatu kota kecil di tepi selatan Sungai Kuning.

   Di kota kecil ini hanya terdapat sebuah hotel.

   Di sini ia disambut juga oleh pengurus hotel seperti apa yang terjadi di kota Ce-ho.

   Kembali ada orang memesan kamar baginya dan membayar segala keperluannya.

   Hanya saja sekali ini orang yang membayar itu adalah seorang laki-laki botak, jadi tidak sama dengan orang pertama.

   Dengan perasaan tidak tenteram Pwe-eng melewatkan malam itu dan ternyata tidak terjadi apa-apa.

   Diam-diam Pwe-eng mendongkol dan geli sendiri, ia pikir buat apa memusingkan soal ini, dengan melegakan perasaan ia meninggalkan hotel itu.

   Sementara itu situasi di utara Hong-ho sudah makin genting, setiap hari sudah ada pengungsi yang menyeberang ke selatan sungai, sebaliknya jarang sekali orang yang menyeberang ke utara.

   Karena itu menjadi sulit untuk mencari perahu tambangan.

   Untunglah akhirnya Pwe-eng dapat membujuk seorang tukang perahu untuk menyeberangkan dengan janji upah yang besar.

   Cuaca hari itu tidak terlalu baik, meski cerah, tapi angin meniup cukup keras.

   Sambil berdiri di haluan perahu, hati Pwe-eng terasa bimbang mengikuti bergolaknya arus sungai.

   Suatu ketika, tiba-tiba sebuah perahu kecil meluncur cepat dari belakang dan dalam sekejap sudah melampaui perahu yang ditumpangi Pwe-eng.

   Tertampak jelas tukang perahunya adalah seorang pemuda berusia delapanbelas atau sembilanbelas tahun, wjahnya tampan, pakaiannya juga rajin dan bersih, tidak mirip seperti tukang perahu umumnya.

   Pwe-eng merasa heran, ketika perahu pemuda itu meluncur lewat, tanpa terasa ia telah memandangnya.

   Agaknya pemuda itupun mengetahui dirinya sedang diperhatikan orang, maka ia pun berpaling dan tersenyum kepada Han Pwe-eng.

   Hati Pwe-eng tergerak, tanyanya kepada tukang perahunya.

   "Siapa orang itu, mahir benar caranya mengemudikan perahu."

   "Sebelumnya tak pernah kulihat, mungkin tukang perahu baru,"

   Jawab tukang perahu.

   Diam-diam Pwe-eng merasa curiga, jangan-jangan orang inilah yang main sandiwara membayar rekening hotel dan sebagainya itu.

   Tapi segera ia menertawai diri sendiri.

   Usia pemuda itu jelas lebih muda dariku, masakah dia begitu hebat dapat mengingusi diriku.

   Maklumlah dari keterangan kedua pengurus hotel yang berbeda-beda itu, jelas orang yang membayar rekening hotel itu tidak terdiri dari seorang saja.

   Sedangkan pemuda tadi masih muda belia, tentu lain daripada kedua orang itu.

   Selagi Pwe-eng merenungkan hal-hal yang aneh itu, dalam sekejap saja perahu kecil itu sudah meluncur jauh.

   


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Renjana Pendekar -- Khulung

Cari Blog Ini