Pendekar Sejati 30
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 30
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
"Selamat, Sin-heng, selamat! Tampaknya engkau mendapatkan dua rezeki sekaligus!"
Selama ini dia selalu menyebut Liong-sing dengan she Liong, tapi mendadak kini berubah menjadi "Sin". Tentu saja Sin Liong-sing terkesiap, tapi ia pun tidak peduli lagi, dengan tak acuh ia menjawab.
"Rezeki apa? Mati hidup nasibku terletak di tangan Ubun-heng, ucapanmu tadi rasanya seperti mengejek saja."
"Jangan kuatir, Sin-heng,"
Kata Ubun Tiong dengan tertawa.
"kita memang saling mengetahui rahasia masing-masing, tapi kita kan sudah bersumpah setia akan menutup rahasia kita ini kepada siapa pun. Baiklah, selanjutnya aku akan tetap anggap kau sebagai Liong Sin. Tentunya kau tidak perlu ragu lagi bukan?"
"Terima kasih,"
Jawab Liong-sing.
"Tapi apa artinya dua rezeki yang kau sebut tadi? Harap dapat diberi penjelasan."
"Ah, Liong-heng sudah tahu sengaja tanya,"
Jawab Ubun Tiong dengan tertawa.
"Kau telah. mendapatkan berita tentang bibimu, bukankah ini berita rezeki pertama. Rezeki kedua adalah tenaga dalammu sudah pulih, bahkan terlebih hebat daripada dulu. Tidakkah ini harus kuberi ucapan selamat padamu?"
Tanpa diduga Sin Liong-sing tadi dapat membinasakan kedua lawannya secara mudah sekali, kini ia pun paham sebab-musababnya, yaitu hasil lwekang ajaran tabib Ong yang bekerja sama dengan lwekang ajaran Ki We itu.
Cuma untuk melawan Ubun Tiong mungkin masih belum memadai, maka Liong-sing sengaja berlagak lesu dan terbatuk-batuk.
Waktu Ubun Tiong bertanya, ia pura-pura mengatakan dada sesak dan merasa tidak enak badan, mungkin terlalu banyak keluar tenaga dan perlu mengumpulkan tenaga dulu.
"Jika begitu boleh kau istirahat dulu, bila perlu akan kuperiksa keadaanmu,"
Kata Ubun Tiong.
Sin Liong-sing mengucapkan terima kasih dan menyatakan sanggup mengatasi sendiri keadaan lemah itu, ia cuma minta Ubun Tiong suka menunggu dan menjaganya di situ.
Lalu ia masuk ke semak pohon sana dan duduk bersila untuk bersemadi.
Tabib Ong telah mengajarkan cara mengatur pernapasan yang harus memusatkan segala tenaga dan pikiran, pada detik yang genting indera penglihatan dan pendengaran seakan-akan tidak bekerja sama sekali.
Dalam keadaan begitu dia perlu dijaga, sebab seorang biasa saja cukup untuk membinasakan dia.
Syukur Ubun Tiong tidak menaruh prasangka apa pun, ia pikir Sin Liong-sing ternyata percaya penuh padanya, mengingat tenaga pemuda itu masih diperlukan kelak, maka ia pun mau menunggu dan menjaganya di situ.
Selang agak lama, akhirnya Sin Liong-sing menarik napas dalam-dalam, lalu membuka matanya, katanya kemudian.
"Cukuplah, Ubun-heng, terima kasih atas bantuanmu."
Kini ia merasa tenaga dalamnya sudah penuh dan kuat, ia pikir sudah dapat dicobanya biarpun belum yakin pasti akan berhasil.
Untuk melepaskan diri dari cengkeraman Ubun Tiong, ia merasa tiada jalan lain kecuali harus menyerempet bahaya ini.
Begitulah Ubun Tiong lantas mengajaknya berangkat dan segera ia mendahului melangkah ke sana.
"Eh, hendak kemana kita ini? Mengapa ke arah sana?"
Kata Liong-sing. Ubun Tiong melengak, jawabnya kurang senang.
"Apa barangkali kau masih ngelindur, kan kita hendak pergi ke Sun-keng-san untuk mencari tua bangka Ki We?"
"Kukira bukan aku yang ngelindur, tapi kau yang pikun,"
Ujar Sin Liong- sing.
"Bukankah tadi kau menyanggupi akan mengiringi aku ke Siam-say untuk mencari bibiku?"
"Ucapanku tadi hanya untuk mendustai kedua orang itu, mengapa kau anggap sungguh-sungguh?"
Jawab Ubun Tiong.
"Kau tidak sungguh-sungguh, aku yang sungguh-sungguh,"
Kata Liong- sing.
"Nah, kalau kau tidak mau mengiringi aku ke sana, biar aku sendiri saja yang pergi."
"Ke Sun-keng-san dulu baru aku mengiringi kau ke Siam-say,"
Jawab Ubun Tiong.
"Janji seorang lelaki sejati harus ditepati, mengapa kau ingkar?"
"He, he, sudahlah, kau dan aku bukanlah lelaki sejati, paling-paling cuma dua orang rendah,"
Ujar Sin Liong-sing sambil tertawa.
"Jangan lupa, ada kelemahanmu yang tergenggam olehku,"
Jengek Ubun Tiong dengan menahan gusar.
"Aku dapat menghancurkan namamu dan dapat pula membinasakan tubuhmu."
"Hm, peduli apa, memangnya aku sudah hancur segalanya, apa yang akan kau lakukan terhadap diriku boleh coba kau laksanakan, tapi kini rasanya tidak gampang lagi jika kau ingin membunuh aku!"
"Bagus! Jadi kau menantang, memangnya apa andalanmu sehingga kau berani omong besar. Aku justru takkan membinasakan kau, aku akan menyiksa kau lebih dulu dengan delapanbelas macam cara sedikitnya."
"Hah, dengan tigapuluh enam cara juga aku tidak takut!"
Jawab Liong- sing. Meluap juga rasa gusar Ubun Tiong akhirnya, bentaknya.
"Keparat! Baiklah biar aku mampuskan kau!"
Habis itu ia teus menubruk maju, tangan kiri bergerak pancingan, tangan kanan segera menghantam. Namun Sin Liong-sing juga sudah siap, sambil berkelit segera ia pun balas menyerang.
"Roboh!"
Mendadak Ubun Tiong membentak pula, dengan cepat luar biasa pergelangan tangan Sin Liong-sing kena dicengkeramnya.
Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencengkeram dan menangkap) Ubun Tiong sangat lihai, asal sasarannya terpegang, tentu sukar terlepas jika tidak ingin tulang patah dan otot keseleo.
Ia menduga Sin Liong-sing pasti takkan bisa berkutik setelah pergelangan tangan terpegang.
Tak terduga, sekali pegang segera diketahui gelagat jelek.
Sekonyong-konyong terasa tulang pergelangan tangan Sin Liong-sing sekeras besi, waktu Ubun Tiong menariknya, tahu-tahu Sin Liong-sing malah mendorong ke depan.
Jika hal ini terjadi tempo hari, waktu itu tenaga kedua orang selisih agak menyolok, sekali pun Sin Liong-sing dapat mematahkan serangan Ubun Tiong ini, paling tidak ia pun akan jatuh terguling.
Tapi kini lwekang kedua orang selisih tidak banyak lagi, tenaga tarikan Ubun Tiong justru ditunggangi oleh tenaga dorongan Sin Liong-sing, ini berarti dua kekuatan menjadi satu dan menggempur Ubun Tiong sekaligus.
Untung Ubun Tiong dapat melihat gelagat dengan cepat dan lekas kendurkan tangannya, namun tidak urung ia pun tergentak mundur beberapa tindak.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Sin Liong-sing, segera ia menerjang maju, dengan gerak tipu "Siang-liong-jut-hay" (dua naga keluar dari lautan), tangan kiri mencakar ke muka lawan dan kepalan kanan menghantam dada.
Tapi Ubun Tiong juga tidak kalah tangguhnya, cepat sekali ia mengegos ke samping, berbareng telapak tangannya lantas memotong serangan lawan.
Terpaksa Sin Liong-sing mengubah kepalan menjadi telapak tangan untuk memapak serangan musuh, maka terjadilah benturan.
"plak", Sin Liong-sing sendiri jatuh terpental dua-tiga meter jauhnya.
"Ha, ha, ha! Apa kau masih berani main gila!"
Ejek Ubun Tiong dengan bergelak tertawa. Mendadak Sin Liong-sing meloncat bangun dan balas membentak.
"Hutang satu pukulan ini sudah kucatat, segera akan kubayar kembali padamu!"
"Hm, jika kau belum kapok, sebentar kutambahi beberapa kali genjotan pula!"
Kata Ubun Tiong.
Meski di mulut ia masih garang, tapi di dalam hati dia mulai gentar.
Jelas kepandaian Sin Liong-sing kini sudah lain daripada dulu, kalau lawan tak dapat dibinasakan selekasnya, lama lama keduanya mungkin akan hancur bersama.
Bagi Sin Liong-sing sendiri setelah merasakan pukulan lawan tadi, walaupun juga terasa sakit, tapi tidak sehebat yang diduganya semula, maka ia menjadi tabah dan bersemangat.
Setelah bergebrak pula, kini Ubun Tiong tidak berani meremehkan lawannya lagi, ia tambah waspada.
Sebaliknya makin bertempur makin gagah berani Sin Liong-sing.
Belasan jurus lagi, satu ketika Ubun Tiong mendapatkan titik kelemahan lawan.
"plak", kembali ia berhasil menghantam Sin Liong sing, tapi sekali ini Liong-sing hanya tergetar mundur dua-tiga tindak dan tidak roboh. Kejut dan dongkol pula Ubun Tiong setelah berulang kali tidak mampu merobohkan Sin Liong-sing. Kini sudah timbul hasrat membunuhnya, ia pikir bocah ini jelas sukar dikuasai dan diperalat lagi, biar kubinasakan dia saja, paling tidak masih dapat minta balas jasa kepada Wan-yan Ho. Karena pikiran ini, segera ia melancarkan serangan maut tanpa kenal ampun lagi. Akan tetapi tenaga kedua pihak sama-sama sudah susut banyak, biarpun Ubun Tiong melancarkan serangan mematikan tetap tak sanggup membunuh Sin Liong-sing. Sebaliknya setelah terpukul beberapa kali dan seluruh tubuh terasa sakit, pernapasan juga mulai sesak, akhirnya Sin Liong-sing menjadi nekat juga dan bertempur mati-matian. Kekalapan Liong-sing ini mau tak mau membikin Ubun Tiong rada gentar, terpaksa ia main mundur apabila Sin Liong-sing melancarkan serangan nekat.
"Hutang harus bayar, sekarang kuminta rentenya dahulu!"
Mendadak Sin Liong-sing membentak sambil menubruk maju, jarinya terus menotok "Koh-cing-hiat"
Di pundak musuh.
Tapi Ubun Tiong sempat mendek ke bawah untuk menghindari totokan itu.
Tak terduga totokan Sin Liong-sing itu mendadak berubah menjadi gaplokan yang keras, kontan Ubun Tiong terpukul roboh.
Dengan napas terengah cepat Ubun Tiong meloncat bangun, bentaknya dengan murka.
"Keparat! Hari ini kalau aku masih hidup kau harus mati!"
Kembali kedua orang saling gebrak lagi.
Tapi kelincahan kedua pihak kini sudah sama-sama lambat.
Sin Liong-sing sangat senang karena untuk pertama kali dapat menghantam roboh Ubun Tiong.
Tak terduga selagi dia hendak melancarkan serangan lain, terasa sekujur badan sangat kesakitan, napas pun tidak lancar, langkahnya terasa enteng, pukulan tak bertenaga.
Nyata, apa pun juga kekuatannya memang kalah setingkat daripada Ubun Tiong, ia sendiri sudah belasan kali dihantam, kini dia baru berhasil balas menghantam satu kali dan saking girangnya barulah ia merasakan keadaan sendiri yang payah.
Namun kedua pihak sudah sama-sama lemahnya, belasan jurus lagi, kembali Ubun Tiong melancarkan pukulan ganda.
"plak-plok", kedua kepalan tepat mengenai tubuh Sin Liong-sing. Tapi pada saat yang sama Sin Liong-sing juga sempat menggenjot Ubun Tiong dengan keras. Kedua orang sama-sama kena pukulan pihak lawan, keduanya sama-sama sempoyongan ke belakang dan akhirnya roboh semuanya. Diam-diam Sin Liong-sing mengeluh, ia pikir tenaga sendiri kini sudah habis, ingin mengadu jiwa saja tidak mampu, sungguh tidak nyana jiwa sendiri kini tetap melayang di tangan keparat ini. Sekuatnya ia berusaha meronta bangun, tapi sebelum bisa bangun terlihat Ubun Tiong sudah dapat berduduk lebih dulu. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Ubun Tiong terlebih kejut daripada dia, Ubun Tiong juga mengeluh dan kuatir kalau sekali ini dia yang akan mati di tangan Sin Liong-sing malah. Kiranya Ubun Tiong baru saja berlatih lwekang aliran Ki We, tapi lwekang baru itu belum dapat terbaur dengan lwekang yang diyakinkannya semula, dalam keadaan biasa hal ini tidaklah terasa, tapi kini, setelah mengalami pertarungan dahsyat, pertentangan dua macam tenaga dalam itu lantas terasa berat. Kini dia harus duduk tenang untuk mengatur pernapasan agar tenaga murni yang mulai kacau di dalam tubuh itu tidak sampai bergolak, kalau tidak, akhirnya dia pasti akan mengalami kelumpuhan total alias Cay-hwe-jip-mo. Sin Liong-sing merasa heran karena Ubun Tiong tidak lantas menubruk maju lagi. Kesempatan ini segera digunakannya untuk mengaso, kedua orang menjadi saling melotot laksana dua ekor ayam jantan yang lagi berpandangan.. Tiba-tiba Ubun Tiong menghela napas dan berkata.
"Kau pernah menolong jiwaku, tapi aku pun pernah menyelamatkan jiwamu, kita sebenarnya adalah saudara senasib dan setanggungan, tidak tersangka kini telah berubah menjadi musuh. Baiklah, aku takkan memaksakan kehendakku atas dirimu, bolehlah kau pergi jika kau ingin mencari bibimu. Selanjutnya kita masih tetap berkawan."
Sin Liong-sing tahu apa yang dikatakan itu tidaklah setulus hatinya, tapi ia pun tidak tahu kalau Ubun Tiong sedang menghadapi bahaya kelumpuhan dan menyangkanya cuma kehabisan tenaga dan tidak berani bertempur lagi secara nekat.
Jadi kedua orang itu sama-sama takut mati, maka Sin Liong-sing juga lantas berkata.
"Baiklah, sejak kini kita sama-sama hutang budi dan dendam serta tiada sangkut-paut satu sama lain."
Ubun Tiong ingin orang lekas pergi saja, maka ia sengaja menghela napas dengan lagak menyesal, katanya,"Jika kau tidak sudi anggap aku sebagai kawan, ya terserahlah. Walaupun begitu aku tetap pegang janji dan takkan membocorkan rahasia dirimu."
Begitulah Sin Liong-sing lantas mendahului melangkah pergi dengan menggunakan sarung pedang sebagai tongkat, sekeluarnya dari hutan sana dan tidak nampak Ubun Tiong mengejarnya barulah dia merasa lega.
Ia sudah tahu dimana beradanya Sin Cap-si-koh, maka setiba di Ciau- yang-koan, begitu dia bertanya kepada penduduk setempat segera dapat diketahui rumah kediaman keluarga Ciau yang cukup terkenal itu.
Tak terduga olehnya, sebelum dia sampai di tempat yang dicarinya, dari depan sudah datang seorang nenek, siapa lagi kalau bukan bibinya, ialah Sin Cap- si-koh.
Kiranya hari ini adalah hari tertawannya Kok Siau-hong, setelah menyerahkan Kok Siau-hong di bawah penjagaan Bong Say-hoa, dengan sesuatu alasan ia lantas meninggalkan rumah keluarga Ciau itu.
Bahwa Bong Say-hoa menaruh hati kepada Kok Siau-hong memang sudah diketahui oleh Sin Cap-si-koh, maka dia membiarkan Bong Say-hoa menjaga Kok Siau-hong sendirian sebenarnya sengaja memberikan kesempatan kepada gadis Miau itu untuk melepaskan Kok Siau-hong.
Menurut perkiraan Sin Cap-si-koh, kalau kedua muda-mudi itu melarikan diri, tentu orang pertama yang akan dicari oleh Kok Siau-hong adalah ayah mertuanya, yaitu Han Tay-wi, dengan demikian Sin Cap-si-koh akan dapat menguntitnya secara diam-diam untuk menemukan tempat sembunyi Han Tay-wi.
Agar rencananya ini bisa berjalan dengan sempurna, maka sama sekali ia pun tidak berunding dengan Bong Say-hoa.
Sekeluarnya dari rumah keluarga Ciau itu, dia mengawasi gedung itu dari jauh.
Tiba-tiba dilihatnya seorang lelaki bermuka buruk sekali sedang mendatangi, ia menjadi heran dan kaget ketika merasa orang ini sudah dikenalnya, tanpa terasa ia pun berseru.
"He, bukankah kau ini Liong-sing?"
"Ya, bibi, ternyata engkau tidak sampai pangling padaku!"
Jawab Liong- sing.
"Kenapa kau berubah begini? Siapa yang membikin susah padamu, lekas beritahukan padaku?"
Tanya Sin Cap-si-koh. Sin Liong-sing menghela napas, jawabnya.
"Semua ini adalah akibat perbuatanku sendiri dan tak dapat menyalahkan siapa pun."
Sin Cap-si-koh menatap Liong-sing dengan heran, katanya kemudian.
"Berpisah setahun, bukan saja wajahmu telah berubah, bahkan watakmu rasanya juga sudah berubah. Kabarnya kau telah menikah dengan nona Hi dari Pek-hoa-kok, dimanakah isterimu?"
"Di Kim-keh-nia,"
Jawab Liong-sing.
"Bagaimana, apakah kalian sudah berpisah?"
Tanya Cap-si-koh.
"Giok-kun mengira aku sudah mati, bahkan guruku dan sahabatku, semua orang yang kenal aku mengira aku sudah mati. Ai, kini aku sepeti orang yang menjelma kembali di dunia ini, segala kejadian yang sudah lampau tak ingin kubicarakan pula."
"O, keponakan yang bernasib malang, selama setahun ini agaknya kau pun mengalami banyak kesulitan seperti diriku. Kau mempunyai persoalan apa, masakah kepada bibiku juga tak dapat kau katakan?"
"Bibi, terlalu panjang kalau kuceritakan, syukur kita dapat bertemu lagi, kita harus berkumpul dengan gembira dan persoalanku akan kututurkan lain hari saja."
"Baiklah, marilah kita ikut pulang. Aku tinggal di rumah besar di depan sana, rumah milik Ciau Goan-hoa yang telah kududuki sekarang,"
Kata Cap- si-koh.
"Ya, aku sudah tahu,"
Ujar Liong-sing.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah tahu? O, jadi kau sengaja mencari aku ke sini? Darimana kau mendapat tahu aku tinggal di sini?"
"Dari seorang anak buah Kiau Sik-kiang. Jangan kuatir, bibi, anak buah Kiau Sik-kiang itu sudah kubunuh sebelum sempat bertemu dengan pemimpinnya itu."
Sin Cap-si-koh merasa lega, katanya kemudian.
"Biarpun Kiau Sik-kiang mencari balas padaku juga aku tidak gentar. Cuma tempat tinggalku ini kalau bisa memang lebih baik dirahasiakan saja."
"Bagaimana dengan orang-orang keluarga Ciau? Telah bibi bunuh atau sudah lari?"
"Jangan kuatir, seorang pun tidak kubunuh. Malahan ada seorang yang kau benci kini kutahan di sini. Sebentar kau tentu terkejut dan girang pula melihat dia dan boleh kau perlakukan dia sesukamu."
"Apakah bibi maksudkan Si Bwe?"
Tanya Liong-sing terkejut.
"Bibi, sesungguhnya akulah yang bersalah kepadanya. Kata peribahasa, permusuhan lebih baik diakhiri daripada diteruskan. Kini penyakitku juga sudah sembuh, aku pun tidak ingin membalas dendam lagi padanya."
Sin Cap-si-koh menatap tajam kepada Sin Liong-sing, katanya kemudian.
"Liong-sing, tampaknya kau telah berubah sama sekali. Permusuhan memang lebih baik diakhiri, tapi itu adalah urusanmu, bagiku tak dapat diakhiri begitu saja. Tapi kau pun tidak perlu kuatir, orang yang kutawan itu bukanlah Si Bwe adanya."
"Bukan Si Bwe? Habis siapa?"
Tanya Liong-sing.
"Sebentar juga kau akan tahu sendiri. Orang ini adalah orang yang paling kau benci, aku percaya rasa bencimu jauh lebih hebat daripada dendammu terhadap Si Bwe,"
Kata Cap-si-koh.
Ia yakin Sin Liong-sing pasti akan berubah pendirian apabila nanti melihat Kok Siau-hong.
Begitulah tadi ketika mendengar Sin Cap-si-koh sudah kembali dengan membawa seorang, buru-buru Bong Say-hoa meninggalkan Kok Siau-hong setelah berpesan pada pemuda itu untuk tetap berpura-pura belum siuman.
Bong Say-hoa lantas memapak kembalinya Cap-si-koh, ketika orang yang ikut datang itu seorang lelaki bermuka sangat buruk, ia menjadi terkejut.
"Dia adalah keponakanku, kau boleh panggil Toako padanya,"
Kata Cap- si-koh kepada Bong Say-hoa. Begitu pula dia memperkenalkan Say-hoa kepada Sin Liong-sing. Terpaksa Bong Say-hoa menyapa walaupun hatinya merasa sangsi.
"Apakah orang itu sudah siuman?"
Tanya Cap-si-koh pula.
"Be..... belum,"
Jawab Say-hoa dengan muka rada pucat. Sudah tentu Sin Cap-si-koh dapat meraba jawaban si nona yang bohong itu, tapi ia pura-pura tidak tahu dan berkata.
"Baiklah, kalau sudah siuman biar toakomu bicara dengan dia."
Waktu itu Kok Siau-hong juga mendengar percakapan mereka, ia merasa sangsi pada telinganya sendiri, pikirnya.
"Keponakannya? Bukankah dia hanya mempunyai seorang keponakan, yaitu Sin Liong-sing? Dan sudah lama Sin Liong-sing meninggal, darimana bisa muncul seorang keponakan lagi?"
Belum habis berpikir, tiba-tiba Sin Liong-sing sudah melangkah masuk bersama Sin Cap-si-koh. Ketika pandangan kedua orang kebentrok, serentak Kok Siau-hong dan Sin Liong-sing sama-sama melenggong. Tanpa terasa Siau-hong lantas berseru.
"He, kau Liong-toako! Engkau ternyata masih hidup, syukurlah!"
Sesaat itu Sin Cap-si-koh juga terkesima oleh sikap kedua pemuda yang aneh itu, ia tidak mengerti apa sebabnya Kok Siau-hong menyapa Sin Liong- sing dengan sebutan "Liong-toako"? Setelah tertegun sejenak, mendadak Sin Liong-sing mendekap mukanya terus putar tubuh dan berlari keluar dengan cepat laksana diuber setan.
Sebelum Sin Cap-si-koh sempat mencegahnya, tahu-tahu Liong-sing sudah lari keluar gedung itu.
Tadinya Sin Cap-si-koh mengira Sin Liong-sing pasti akan membalas dendam bila melihat Kok Siau-hong tertawan olehnya, siapa tahu dia malah tidak berani berhadapan dengan Kok Siau-hong dan segera berlari pergi, hal ini benar-benar tak pernah tersangka olehnya.
Dalam keadaan bingung ia pun tidak dapat berpikir banyak, segera ia pun mengejar sang keponakan.
Kok Siau-hong masih termenung-menung ketika Bong Say-hoa berkata di sampingnya.
"Wah, bisa celaka urusan ini!"
"Urusan apa?"
Tanya Siau-hong.
"Dengan datangnya keponakannya, tentunya kau tak diperlukan lagi, sebab engkau menolak membawanya pergi mencari mertuamu, maka kuduga segera engkau akan dibunuh olehnya,"
Tutur Say-hoa. Siau-hong pikir apa yang dikuatirkan gadis Miau ini memang ada benarnya mengingat kekejian Sin Cap-si-koh. Tentang "Liong Sin"
Ternyata adalah Sin Liong-sing dan adalah keponakan iblis perempuan itu, hal inipun sama sekali tak terduga olehnya. Ia lihat Bong Say-hoa masih mengerut kening dengan rasa kuatir, maka ia pun berkata.
"Bagiku paling-paling hanya mati saja. Tapi kau adalah orang kepercayaannya, tentunya dia takkan berbuat kejam kepadamu."
"Tapi tapi aku tak dapat membiarkan kau dibunuh olehnya,"
Ujar Say- hoa. Tiba-tiba sorot matanya memancarkan sinar tajam, dengan tegas dan pasti ia menyambung pula.
"Aku akan membawa kabur kau!"
"Namun aku tidak dapat bergerak,"
Kata Siau-hong dengan tersenyum getir.
"Ada obat penawar padaku, lekas kau minum,"
Kata Say-hoa.
"Untuk aku kau rela mengkhianati gurumu, apakah kau takkan susah nanti?"
Ujar Kok Siau-hong. Tanpa berkata Bong Say-hoa menjejalkan sebutir obat ke mulut Kok Siau- hong, lalu memijatnya sebentar, kemudian baru berkata.
"Sudah baikan belum?"
"Sudah dapat berjalan sekarang, hanya....."
"Tidak perlu hanya ini dan itu, marilah lekas berangkat!"
Sela Say-hoa.
Kok Siau-hong tidak sempat berpikir lagi, terpaksa ia kabur bersama gadis Miau itu.
Bong Say-hoa berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, mereka memasuki pegunungan dengan hutan yang lebat, tidak terlihat Sin Cap-si- koh mengejar barulah mereka merasa lega.
"Terima kasih banyak atas budi pertolongan nona, kelak pasti akan kubalas kebaikanmu ini,"
Kata Siau-hong kemudian.
"Apa artinya ucapanmu ini? Kau hendak meninggalkan aku?"
Tanya Say- hoa. Siau-hong merasa serba salah, katanya dengan tergagap.
"Maksudku, supaya..... supaya nona tidak ikut tersangkut."
"Tapi kini mau tidak mau aku sudah tersangkut, apakah kau kira aku dapat kembali kepada guruku lagi?"
"Bukanlah engkau dapat pulang ke rumah sendiri?"
Ujar Siau-hong.
"Dia juga dapat mencari ke rumahku. Seumpama sebelum aku tiba di rumah sudah kepergok olehnya, lalu bagaimana? Sebenarnya aku justru ingin menolong kau seterusnya, bukankah kau hendak ke daerah Miau kami untuk mencari ayah mertuamu?"
"Benar, ada apa lagi?"
Jawab Siau-hong.
"Engkau adalah bangsa Han, kau pun tidak mahir bercakap bahasa Miau kami, jika aku mengiringi kau ke sana tentu akan banyak mengurangi kesukaranmu."
Siau-hong pikir apa yang dikatakan itu memang ada benarnya juga, hanya dikuatirkan kalau si nona mempunyai maksud tujuan lain. Say-hoa seakan-akan tahu pikiran Siau-hong, segera ia menambahkan.
"Kau jangan kuatir, setelah menemukan mertuamu segera aku akan pergi dan takkan membikin sulit padamu. Kok-toako, aku cuma ingin mengiringi kau beberapa hari saja dan sudah terasa puas bagiku."
Mendengar ucapan yang sungguh-sungguh itu, mau tak mau hati Kok Siau-hong rada terharu, katanya kemudian.
"Baiklah, jika kau sudi menganggap aku sebagai Toako, aku pun bersedia mengakui kau sebagai adik. Aku percaya Pwe-eng juga akan suka padamu bila bertemu nanti."
"Ya, aku pun sangat ingin bertemu dengan bakal isterimu yang cantik itu,"
Kata Bong Say-hoa dengan tersenyum pedih.
"Marilah kita berangkat."
Kembali pada Sin Cap-si-koh tadi.
Sama sekali ia tidak menduga kalau mendadak Sin Liong-sing akan melarikan diri, tanpa memikirkan Kok Siau- hong dan Bong Say-hoa lagi, segera ia mengejar sang keponakan.
Karena jalan keluar di situ hanya satu saja, maka tidak antara lama Liong-sing sudah tersusul olehnya.
"Bibi, jangan kau paksa aku kembali ke sana! Biarlah aku pergi dari sini saja!"
Seru Sin Liong-sing setengah meratap.
"Aneh, mengapa kau menjadi takut kepada Kok Siau-hong?"
Ujar Sin Cap-si-koh.
"Dia kan sudah tak mampu melawan lagi, kau dapat berbuat apa saja terhadap dia sesukamu."
"Aku ingin mohon sesuatu padamu, bibi!"
"Urusan apa? Coba katakan!"
"Kumohon engkau suka melepaskan Kok Siau-hong!"
"Dengan susah payah barulah aku dapat menangkap dia, mengapa kau malah minta aku melepaskan dia?"
"Bibi, apakah engkau merasa tidak cukup mengikat permusuhan sebanyak ini, kenapa ingin mencelakai Kok Siau-hong pula? Bibi, demi diriku, kumohon engkau suka melepaskan dia,"
Sembari berkata tak tertahankan lagi air mata Sin Liong-sing telah bercucuran dengan derasnya. Sin Cap-si-koh menatap Sin Liong-sing dengan tertegun seakan-akan orang yang baru dikenalnya, sejenak baru dia membuka suara.
"Sungguh aneh bahwa kau malah mintakan ampun bagi bocah she Kok itu. Liong-sing, meski kau tidak bercerita padaku, tapi aku juga mengetahui urusan kalian. Sebenarnya Kok Siau-hong adalah kekasih Hi Giok-kun, selama ini kau tentu cemburu, benci dan dendam padanya. Kenapa kesempatan ini tidak kau gunakan untuk membinasakan dia? Asal aku tidak memberitahukannya kepada orang lain, siapa lagi yang tahu akan rahasia ini?"
"Tidak bibi, lebih baik aku sendiri yang mati daripada engkau membunuh dia,"
Kata Liong-sing.
"Kau tidak cemburu dan tidak benci lagi padanya? Apa sebabnya?"
Tanya Sin Cap-si-koh dengan tatapan tajam.
"Ya, dahulu aku memang cemburu dan dendam padanya, tapi sekarang aku justru merasa berterima kasih padanya,"
Jawab Liong-sing.
"Bibi, bukankah tadi engkau mendengar dia memanggil aku sebagai Liong-toako? Betapa pun aku melihat rasa girangnya ketika mengetahui aku masih hidup di dunia ini? Jelas perhatiannya kepadaku itu bukan cuma dibuat-buat saja, tapi timbul dari hati nuraninya yang sebenarnya."
"Aku justru ingin tahu bagaimana duduk perkaranya?"
Tanya Cap-si-koh.
"Bibi memang tidak tahu bahwa sebenarnya aku seperti sudah menjelma menjadi manusia lagi,"
Tutur Liong-sing.
"Waktu aku masih menjadi Sin Liong-sing, walaupun tahu aku cemburu dan benci padanya, tapi Kok Siau- hong tetap menganggap diriku sebagai kawan. Ketika aku sudah ganti nama menjadi Liong Sin, dia masih tetap anggap aku sebagai kawan pula. Dia pernah berusaha sepenuh tenaga untuk menyelamatkan jiwaku, meski jiwaku bukan ditolong olehnya, tapi aku tak bisa tidak berterima kasih padanya."
"Mengapa kau mesti ganti nama segala? Pula apa sebabnya kau berubah menjadi begini, sampai saat ini kau pun belum menerangkan padaku,"
Tanya Cap-si-koh.
"Aku telah berbuat sesuatu yang salah, aku malu untuk bertemu lagi dengan kenalan lama,"
Tutur Liong-sing dengan suara parau.
"kalau aku muncul pula sebagai Sin Liong-sing asli, pasti Suhu takkan mengakui aku sebagai murid dan isteri pun tak sudi mengakui diriku sebagai suami. Untung sekarang wajahku sudah rusak, sebab itulah aku lantas anggap Sin Liong-sing sudah mati, aku telah ganti nama menjadi Liong Sin saja."
"Sebenarnya kesalahan apa yang kau perbuat?"
Tanya Cap-si-koh pula. Teramat kesal dan menderita pikiran Sin Liong-sing, tanpa terasa air mata menetes pula, katanya.
"Bibi, bila teringat kepada peristiwa ini aku merasa lebih baik mati saja, sesungguhnya aku tidak ingin menyinggungnya pula."
"Baiklah, dan bagaimana kehendakmu sekarang?"
"Tadinya kukira masih dapat berkecimpung di dunia Kang-ouw dengan nama Liong Sin, tapi kini Kok Siau-hong telah mengetahui aku sebenarnya ialah Sin Liong-sing, terpaksa aku harus menghilang saja dari khalayak ramai dan mengasingkan diri di pegunungan sunyi untuk selamanya. Bibi, kini engkau adalah satu-satunya orang tuaku, apakah engkau dapat menerima dua permintaanku?"
"Tadi kau telah minta sesuatu padaku, kini bertambah lagi suatu permintaan. Baiklah, coba katakan, kalau sanggup tentu akan kuterima."
"Kedua permintaanku inipun demi kebaikan bibi dan juga untuk kebaikanku."
"Baik atau jelek bagiku biar aku sendiri yang menentukan. Katakan saja!"
"Pertama yaitu bebaskan Kok Siau-hong seperti permintaanku tadi. Bibi, marilah kita pulang kampung halaman saja dan tak perlu ikut campur urusan luar. Sebenarnya bibi pantas menjadi maha guru suatu aliran persilatan tersendiri, jika engkau dapat mengasingkan diri dan memperdalam ilmu sendiri, kelak namamu pasti akan harum sepanjang masa, bukankah cara ini jauh lebih baik daripada engkau mesti pusing memikirkan musuh segala. Inilah permintaanku yang kedua."
"Dan masih ada permintaan ketiga tidak?"
Kata Cap-si-koh dengan tak acuh.
"Bibi, asal engkau dapat menerima kedua permintaanku ini, kita lantas dapat hidup aman tenteram selamanya, apalagi yang perlu kuharapkan pula?"
Sin Cap-si-koh menjadi ragu-ragu melihat sikap sang keponakan yang tulus itu, ia pikir hanya mempunyai keponakan ini satu-satunya, jika keponakan juga meninggalkan aku, maka benar-benar aku tiada punya sanak famili lagi.
Tapi kalau suruh aku mengasingkan diri begini saja rasanya juga tidak rela.
Begitulah kedua orang itu termenung-menung sejenak, tak lama Sin Cap- si-koh mendadak menghela napas, katanya.
"Kedua permintaanmu ini, yang pertama dapat kuterima, yang kedua juga dapat kuterima setengah saja."
"Betul-betul bibi sanggup membebaskan Kok Siau-hong?"
Liong-sing menegas dengan girang.
"Sebenarnya sejak tadi sudah kulepaskan dia,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Cap-si-koh dengan tertawa.
"Waktu aku meninggalkan rumah sudah kupesan Say-hoa agar melepaskan dia, kalau tidak percaya boleh kau memeriksanya ke sana."
Bahwasanya Bong Say-hoa akan memberi obat penawar kepada Kok Siau- hong dan mengajaknya kabur rupanya sudah dalam dugaan Sin Cap-si-koh. Maka ketika mereka kembali ke sana, benar saja di dalam rumah sudah tiada seorang pun.
"Nah, bagaimana, kini kau percaya tidak kepada omonganku?"
Kata Cap- si-koh. Tapi sekilas Sin Liong-sing dapat melihat senyuman sang bibi yang aneh. Terkesiap hatinya, ia cukup kenal watak sang bibi, ia pikir jangan-jangan dalam kejadian ini ada sesuatu tipu muslihat tertentu? Segera ia bertanya pula.
"Dan tentang permintaanku yang kedua tadi, mengapa bibi mengatakan cuma dapat menerima setengahnya saja?"
"Soalnya aku masih ada sesuatu urusan yang belum dibereskan, maka aku tak dapat pulang sekarang juga bersama kau."
"Urusan apa, bibi?"
Tanya Liong-sing.
"Setiap orang tentu mempunyai rahasia pribadi yang tak dapat dikatakan kepada orang lain. Bukankah kau pun tidak dapat memberitahukan kesalahan apa yang pernah kau perbuat? Cuma kalau kau ingin tahu dapat juga kubiarkan kau mengetahuinya nanti. Marilah kau ikut aku membereskan urusan ini."
"Sekali berbuat salah, aku tidak ingin bersalah lebih jauh, sebaiknya bibi juga jangan makin menambah kesalahan bibi,"
Ujar Liong-sing. Sin Cap-si-koh menjadi tidak senang, katanya dengan aseran.
"Liong- sing, apakah kau sengaja memberi ceramah padaku. Kau adalah keponakanku dan tentu kenal watakku. Selamanya aku pasti menuntut balas setiap sakit hati dan tidak mungkin memberi kelonggaran kepada musuh. Apa yang kulakukan, apakah salah atau benar, siapa pun tidak dapat mengubah pendirianku, sekali pun kau adalah keponakanku."
"Bibi, jika engkau tidak dapat menerima saranku, apa boleh buat, maafkan kalau aku tak dapat mengiringi bibi lagi,"
Kata Liong-sing sambil menghela napas.
"Di waktu kecil kau selalu tunduk kepada perkataanku, kini aku sudah menuruti setengah permintaanmu, kenapa kau belum puas dan ingin meninggalkan aku?"
"Apakah bibi masih ingin membikin susah orang lain?"
Tanya Liong-sing.
"Kenapa kau bertanya sekasar ini? Orang lain telah membikin susah hidupku, kenapa aku tidak boleh membalas dendam? Kau tidak tahu duduknya perkara, tapi kau menyalahkan aku malah!"
"Aku tahu bibi ingin mencari ayah Han Pwe-eng. Sebenarnya dia bukanlah manusia jahat yang tidak dapat diampuni!"
Sin Cap-si-koh semakin gusar, katanya.
"Jadi kau hendak membantu dia malah?"
"Mana aku berani, bibi! Hanya saja, kalau bibi tidak mau terima saranku, terpaksa aku tak dapat mengikuti jejakmu lagi."
Pedih rasa hati Sin Cap-si-koh, ia pikir sejak kecil bocah ini dibesarkan seperti anak kandung sendiri, tapi sekarang ternyata membangkang kepada keinginanku.
Ai, betapa pun baiknya keponakan tetap keponakan, kalau saja aku mempunyai putera kandung sendiri tentu takkan jadi begini.
Ia menjadi teringat kepada nasib sendiri yang sebatangkara dan kesepian seperti sekarang gara-gara cintanya kepada Han Tay-wi, tanpa terasa ia menjadi menyesal dan sakit hati pula.
Sekonyong-konyong ia naik pitam dan membentak.
"Baik, lekas pergi kau, lekas!"
Sin Liong-sing menjadi takut dan berduka pula, tanpa berkata lagi terpaksa ia melangkah pergi dengan masgul.
Suasana senja yang remang-remang dan sepi itu Sin Liong-sing sedang berjalan sendirian ke depan, ia menoleh dan tidak nampak lagi bayangan sang bibi.
Ia merasa hampa, sebab kini ia benar-benar tidak mempunyai seorang sanak famili lagi.
Apa betul tidak mempunyai sanak famili lagi? Tiba-tiba dalam benaknya timbul bayangan Ki Ki yang cantik.
"Aku tidak peduli wajahmu cakap atau jelek, asal saja hatimu baik dan tiada permintaanku yang lain lagi. Dan aku akan baik padamu berlipat ganda", demikian ucapan yang tulus ikhlas itu seakan-akan mengiang kembali di tepi telinganya. Tanpa terasa Sin Liong-sing menjadi malu pada diri sendiri.
"Ya, paling sedikit di dunia ini masih ada seorang sanak familiku, orang itu ialah Ki Ki,"
Demikian pikirnya.
Sudah tentu Hi Giok-kun lebih-lebih tak dapat dilupakan olehnya, akan tetapi sejak menjadi suami-isteri secara resmi, meski mereka berbaring pada satu ranjang tapi tidur sendiri-sendiri, bahkan sebagian besar waktu yang berlalu itu dirasakan seperti hidup di neraka.
Memang dia pernah mencintai Hi Giok-kun secara mendalam, malahan cinta itu masih bertahan sampai sekarang.
Tapi selama ini dia belum merasakan bahagianya cinta itu.
Mendadak dari lubuk hatinya yang dalam timbul pertanyaan.
"Apakah benar aku mencintai Giok-kun dengan setulus hati tanpa sesuatu pamrih lain?"
Hal yang dianggapnya benar itu, kini setelah dipikir lagi dengan kepala dingin, tak terasa timbul tanya jawab dalam batin sendiri.
"Aku cinta kepada kecantikannya, aku cinta kepada kepintarannya, aku cinta kepada kebesaran keluarganya, dia adalah puteri keluarga tokoh silat ternama, mempunyai isteri seperti dia, aku dapat berbangga di depan umum, aku ingin dia membantu aku yang akan menjabat Bu-lim-beng-cu kelak menggantikan Suhu. Sebab itulah dengan segala daya upaya aku harus mempersunting dia sekali pun harus membuat berita kematian Kok Siau-hong. Ya, aku memang cinta padanya, tapi dalam cintaku itu tercampur pikiran lain yang teramat banyak. Maka pantaslah jika antara suami-isteri tiada perasaan bahagia. Padahal waktu Giok-kun menikah dengan aku, sebenarnya ia pun terpaksa, sebab ia mengira Kok Siau-hong sudah mati, aku telah memancing dia dengan kedudukan isteri calon Bu-lim-beng-cu yang akan datang, dengan demikian dia rela menikah dengan aku. Dia memang baik sekali padaku, dia pun berharap aku akan menjadi seorang suami kebanggaannya. Akan tetapi, ai, aku telah melakukan perbuatan serendah itu, kalau dia mengetahui aku masih hidup, tentu dia juga merasa jijik padaku."
Begitulah bayangan Hi Giok-kun dan Ki Ki berturut-turut timbul dalam benaknya, terhadap mereka ia telah memberi penilaian yang mendalam.
Tiba-tiba ia merasa Ki Ki jauh lebih tepat dengan dia, malahan terhadap Ki Ki ia pun lebih banyak merasa bersalah.
"Dia adalah nona yang suci bersih, dalam kehidupannya selama ini belum pernah terselip lelaki kedua, mana aku dapat mendustai dia dan meninggalkan dia?"
Demikian pikirnya. Teringat pula ucapan Ki Ki.
"Aku akan menghitung sehari demi sehari hingga engkau kembali, janganlah kau melupakan janji setengah tahun ya!"
Ia menjadi malu dan terharu pula teringat kepada pesan Ki Ki sebelum berpisah. Akhirnya terpikir pula olehnya.
"Meski tindak-tanduk bibi kurang benar, tapi ada satu ucapannya yang tepat juga, yaitu harus tegas membedakan budi dan dendam. Bagi gadis yang masih suci murni seperti Ki Ki, aku telah terima budi pertolongannya, mana boleh aku tidak membalasnya? Kini Ubun Tiong sedang menuju ke sana untuk menyergap mereka ayah dan anak, meski kepandaian Ki We sangat tinggi bukan mustahil akan terjebak olehnya. Umpama aku tidak ingin memperisteri Ki Ki, sedikitnya aku harus mengirim berita penting ini kepadanya. Tempo hari Ubun Tiong terluka parah dalam pertarungannya dengan aku, tentu dia harus istirahat dulu, kalau sekarang aku mendahului mengirim berita kepada Ki Ki rasanya masih keburu."
Berpikir sampai di sini, tekadnya sudah bulat.
Segera ia melanjutkan perjalanan dengan dada lebih lapang daripada tadi.
Pada waktu itu pula Kok Siau-hong dan Bong Say-hoa sedang dalam perjalanan menuju daerah Miau dengan perasaan tertekan.
Siau-hong menguatirkan Han Pwe-eng kalau terjadi sesuatu di tengah jalan.
Terhadap Bong Say-hoa ia merasa tidak bertanggung jawab akan keselamatannya, hanya ia merasa hutang budi padanya dan entah cara bagaimana membalasnya nanti.
Agar lekas mencapai tempat tujuan, jalan yang mereka tempuh adalah jalan pegunungan sunyi, Kok Siau-hong lantas menggunakan Ginkang, semula ia kuatir Bong Say-hoa tidak mampu mengikuti jalannya yang cepat, tak terduga nona Miau itu ternyata selalu jalan berendeng dengan dia, bahkan tidak kalah cepatnya.
Rupanya sejak kecil Bong Say-hoa sudah biasa berburu di pegunungan, meski tidak pernah berlatih Ginkang, tapi larinya sudah terbiasa lincah.
Malahan lama-lama Kok Siau-hong merasa langkahnya bertambah berat, tanpa terasa ia menjadi ketinggalan, bahkan tubuh terasa enteng tanpa bertenaga lagi.
Waktu Bong Say-hoa menoleh, ia kaget melihat langkah Kok Siau-hong yang berat itu, katanya.
"Kok-toako, mungkin engkau tadi makan kurang kenyang, kini menempuh perjalanan jauh sehingga lapar lagi."
Benar juga Kok Siau-hong lantas merasa perutnya keroncongan dan perih. Ia lambatkan langkahnya, katanya dengan menyeringai.
"Ya, memang terasa agak lapar. Habis mau apa, kita juga tidak membawa rangsum."
"Jangan kuatir, kita mencari dulu suatu tempat untuk istirahat, nanti aku berdaya mencarikan makanan,"
Kata Say-hoa.
"Di depan sana ada sebuah kelenteng Yok-ong-bio, kita bisa bermalam sekalian di sana."
Kelenteng yang dimaksud itu sudah lama tiada penghuninya dan tidak terawat, kedua daun pintu juga sudah rusak.
Dengan tangkai pohon yang berdaun Bong Say-hoa gunakan sebagai sapu untuk membersihkan lantai kelenteng.
Setelah menyalakan satu gunduk api unggun, lalu Bong Say-hoa pergi mencari makanan.
Tidak lama kemudian Bong Say-hoa telah kembali dengan membawa satu renteng ubi.
"Ini adalah ubi liar, ubi bakar rasanya tentu tidak kalah dengan ubi bangsa Han kalian,"
Katanya dengan tertawa. Setelah ubi dibakar, enak sekali rasanya, sambil makan Kok Siau-hong berkata.
"Selamanya belum pernah kumakan ubi seenak ini, hasil bumi tanah Miau kalian sungguh kaya dan aneka ragamnya."
"Ya, sebab itulah kami selalu was-was terhadap bangsa Han kalian,"
Ujar Say-hoa.
"Dahulu bila ada orang Han memasuki wilayah kami, kalau kami tidak segera mengusirnya tentu akan membunuhnya."
"Aneh, mengapa begitu kejam?"
Kata Siau-hong.
"Kejam katamu? Hm, bangsa Han kalian terlebih kejam lagi daripada bangsa Miau kami,"
Jengek Say-hoa.
"Menurut penuturan orang tua, bangsa Han kalian telah mengusir bangsa Miau kami dan merampas tanah pertanian kami, menduduki rumah kami dan menculik wanita Miau kami, bahkan membunuh kaum lelakinya. Terpaksa kami menyingkir ke tanah pegunungan, tapi bangsa Han dan pemerintah kalian masih tidak tinggal diam, setiap beberapa tahun satu kali tentu kami diserang. Sampai ayahku menjadi Tong-cu, lalu bangsa Miau kami dianjurkan berlatih silat baik lelaki maupun perempuan, dengan begitu kami mempunyai kekuatan untuk melawan serangan bangsa Han kalian, setelah pasukan pemerintah Han kalian mengalami kerugian beberapa kali, beberapa tahun terakhir ini hidup kami menjadi lebih aman."
"Bangsa Han sendiri juga mengalami penindasan oleh pemerintahannya, pembesar yang menindas bangsa Miau kalian itu dan rakyat jelata bangsa Han tak dapat disama ratakan. Sudah tentu perlakuan kejam terhadap bangsa Miau kalian oleh pembesar bangsa Han betapa pun tak dapat dibenarkan dan aku pun ikut mengutuknya."
"Tapi orang Han yang datang ke daerah Miau kami pada umumnya juga sangat licin dan ingin mengakali kami. Misalnya orang Han menjual sepotong garam kepada kami dengan nilai tukar sepuluh kati jamur dari kami. Lantaran kami tidak tahu harganya, kami terima begitu saja. Tapi kemudian ada bangsa Miau kami yang berdatang ke tempat orang Han dan diketahui di sana harga satu kati jamur dapat ditukarkan dengan lima kati garam. Nah, bayangkan betapa kami telah dibodohi oleh pedagang petualang itu. Selain itu ada juga bangsa Han yang datang ke sini untuk menculik anak dan gadis kami, ada juga yang datang menjadi mata-mata pembesar Han kalian. Semua perlakuan buruk itu mau tak mau menimbulkan prasangka kami terhadap bangsa Han kalian."
"Apakah kalian tidak pernah bertemu bangsa Han yang baik?"
Ujar Siau- hong.
"Yang baik memang juga ada, seperti Thio Tay-tian dan Ciok Leng, mereka pernah membantu bangsa Miau kami melawan pasukan pemerintah. Ilmu silat mereka sangat tinggi, apa kau kenal mereka?"
"Kukenal kedua orang itu. Jika begitu, bukankah di antara bangsa Han juga ada orang yang baik?"
"Namun teramat sedikit, sedikit sekali, tapi aku pun tahu engkau adalah orang Han yang baik,"
Berkata sampai di sini muka Say-hoa menjadi merah. Sejenak kemudian ia menyambung pula.
"Selain kau masih ada pula ibu pungutku, dia pernah mengobati bangsa Miau kami, maka ayah juga menganggap dia orang baik. Namun dia juga bermusuhan dengan Thio Tay- tian dan Ciok Leng, hal ini membuat aku merasa bingung. Mengapa antara orang Han yang baik juga saling bermusuhan? Tapi engkau mengatakan ibu pungutku adalah orang jahat, aku lebih percaya kepada kata-katamu."
"Dia sengaja berbuat sedikit kebaikan untuk memperalat bangsa Miau kalian agar melawan kaum pendekar bangsa Han, jadi dia bukan orang baik sungguh-sungguh. Nona Bong, di dunia ini terdapat macam-macam orang dengan tipu akal yang licik dan licin. Padahal umumnya orang baik selalu lebih banyak daripada orang jahat."
"Pendapatmu ini memang cocok dengan pandangan Cong-tongcu kami, sebab itulah akhir-akhir ini ayahku juga tidak begitu benci lagi kepada bangsa Han."
"Bangsa Han kami ada pameo yang menyatakan, Semua orang di segenap penjuru ini adalah saudara. Artinya semua bangsa di dunia ini, meski berbeda warna kulit dan berlainan suku, tapi darah tetap sama merahnya. Sebab itulah kuharap sepulangnya kau dapat lebih banyak membantu ayahmu agar mengubah pandangan bangsa Miau kalian terhadap bangsa Han."
"Tapi kalau orang jahat apa juga mesti bersahabat dengan dia? Padahal baik atau jahat terkadang sukar dibedakan."
"Benar, perbedaan baik dan jahat memang tidak dapat dinilai dari satu- dua perbuatannya, tapi harus dinilai daripada apa yang diucapkan dan apa yang dilakukannya. Lama-lama tentu akan dapat dibedakan apakah dia orang baik atau jahat."
Bong Say-hoa menunduk seperti memikirkan sesuatu. Mendadak ia melonjak dan berseru.
"He, seperti ada orang datang!"
Benar juga, belum lenyap suaranya sudah terdengar seorang mendengus dengan suara seram.
"Hah, dunia ini benar-benar terlalu ciut, dimana-mana selalu bertemu. He, he, bocah she Kok, tentunya kau tidak mengira akan kepergok olehku di sini bukan?"
Waktu Kok Siau-hong menengadah, dilihatnya yang berkata itu kiranya gembong iblis yang namanya sejajar dengan Sebun Bok-ya, Oh-hong-tocu dan lain-lain, yaitu Cu Kiu-bok adanya.
Cu Kiu-bok ini juga musuh besar ayah mertua Kok Siau-hong, Han Tay- wi.
Selama beberapa tahun Han Tay-wi harus berbaring karena terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok.
Ketika Kok Siau-hong mengunjungi rumah Han Pwe-eng dengan maksud membatalkan pertunangan mereka, di sana untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Cu Kiu-bok, siapa duga setelah dua tahun kepergok lagi di sini.
"Siapakah dia?"
Tanya Say-hoa kepada Siau-hong.
"Dia adalah orang jahat, aku tidak mampu melawannya, lekas kau lari saja!"
Kata Siau-hong sambil melolos pedang.
"sret", segera ia menerjang ke sana dan menusuk Cu Kiu-bok, maksudnya agar Bong Say-hoa sempat melarikan diri. Akan tetapi nona Miau itu ternyata tidak bergerak sedikit pun, ia tetap makan ubi bakar dengan nikmatnya seperti tiada terjadi sesuatu. Ketika Cu Kiu-bok menjentik.
"creng", pedang Kok Siau-hong yang menusuknya itu kena diselentik ke samping. Seketika Kok Siau-hong merasakan hawa dingin yang menggigilkan, tanpa kuasa ia bergetar mundur dua-tiga tindak.
"Say-hoa, mengapa kau tidak lekas lari!"
Serunya pula kuatir.
"Ha, ha, ha, kau ternyata cukup tahu diri bahwa kau tidak mampu melawan aku, Kok Siau-hong!"
Jengek Cu Kiu-bok pula dengan tertawa.
"Cuma kau menuduh aku adalah orang jahat, kukira ucapanmu ini tidak tepat. Kalau kau anggap aku jahat, kau sendiri pun manusia busuk."
"Ngaco-belo, dia orang baik-baik, kau sendiri yang jahat!"
Damprat Say- hoa.
"Ha, ha, ha, agaknya kau belum tahu kalau dia sudah punya isteri? Lelaki sudah punya isteri masih main gila dengan kau, coba, bukankah dia pun orang busuk?"
"Keparat, tidak perlu banyak mulut, lihat pedangku ini!"
Bentak Kok Siau-hong sambil menyerang.
Berbareng ia berseru pula kepada Bong Say- hoa agar lekas lari.
Tapi si nona tetap diam saja tidak menghiraukan anjuran Siau-hong itu.
Cu Kiu-bok kenal ilmu pedang Jit-siu-kiam-hoat yang dimainkan Kok Siau-hong, maka ia pun tidak berani meremehkan lawannya, segera ia sambut serangan itu dan melancarkan pukulan tiga kali, ia kerahkan Siu-lo- im-sat-ciang hingga tingkat ketujuh, kaki tangan Kok Siau-hong sampai terasa kaku membeku, dengan sendirinya gerak pedangnya menjadi lambat dan hampir tak bertenaga lagi.
Dengan terkejut cepat Siau-hong mundur tiga tindak, ia menarik napas dalam-dalam, pedang melintang untuk berjaga, ia heran mengapa tenaga sendiri selemah ini? "He, he, Kok Siau-hong, sekarang baru kau kenal kelihaianku bukan? Jika kau mau tunduk padaku, tentu jiwamu dapat kuampuni!"
Jengek Cu Kiu- bok dengan tertawa.
Ilmu silat andalan Kok Siau-hong adalah Jit-siu-kiam-hoat dan Siau-yang- sin-kang, kedua macam kepandaiannya itu sebenarnya adalah ilmu anti Siu- lo-im-sat-kang, tapi lantaran kekuatan kedua orang selisih agak jauh, pula tenaga Siau-hong baru saja pulih, dengan sendirinya Siau-yang-sin-kang juga terbatas kemampuannya.
Hawa dingin yang terpancar dari ilmu pukulan Cu Kiu-bok itu ternyata juga menyerang Bong Say-hoa yang berduduk di samping api unggun, giginya sampai gemertuk kedinginan, andaikan sekarang Say-hoa hendak lari pun tak bertenaga lagi.
"Nah, kalian berdua tidak mungkin dapat lari lagi!"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jengek Cu Kiu-bok.
"Hah, kau nona Miau ini tampaknya sedang edan kasmaran kepada pemuda Han ini. Apakah kau ingin menyelamatkan kekasihmu? Jika kau mau mengaku terus terang atas pertanyaanku nanti, maka jiwa kekasihmu dapat kuampuni."
"Jangan gubris dia, Say-hoa!"
Seru Siau-hong. Say-hoa pikir tua bangka ini ternyata memang lihai dan Kok-toako tidak sanggup melawannya, betapa pun aku harus berdaya untuk membantunya. Maka mendadak ia berbangkit dan berseru.
"Hm, jangan kau gertak diriku, biar kami bukan tandinganmu, tapi guruku pasti akan membinasakan kau nanti!"
Tiba-tiba hati Cu Kiu-bok tergerak, segera ia bertanya.
"Eh, namamu Say- hoa, kau she Bong bukan? Apakah kau puteri ketiga Bong Tong-cu? Siapa gurumu?"
"Ya, guruku ialah Sin Cap-si-koh, untuk apa kau bertanya segala?"
Damprat Say-hoa.
"Ha, ha, ha, sungguh sangat kebetulan!"
Seru Cu Kiu-bok dengan tertawa.
"Aku dan gurumu adalah kawan baik, memangnya aku hendak mencari dia. Agaknya kau minggat bersama bocah ini di luar tahu gurumu bukan?"
Kiranya kedatangan Cu Kiu-bok ke daerah Miau ini justru disebabkan dia memperoleh berita jejak Han Tay-wi, maka dia ingin mencari Sin Cap- si-koh agar mau bergabung dengan dia untuk bersama menghadapi Han Tay- wi.
Tentang Sin Cap-si-koh.menerima seorang anak perempuan Miau sebagai murid ia pun mendengar.
Maka maksud Bong Say-hoa hendak menggertak Cu Kiu-bok dengan nama gurunya justru mendapatkan hasil sebaliknya.
Segera Cu Kiu-bok melancarkan serangan lagi kepada Kok Siau- hong, dalam keadaan terdesak.
"trang", pedang Kok Siau-hong terlepas dari tangan oleh damparan angin pukulan musuh yang dahsyat itu.
"Tua bangka, jika kau membunuh dia, maka selamanya kau pun takkan bisa bertemu guruku dan juga sukar meninggalkan daerah Miau ini,"
Teriak Say-hoa. Betapa pun Cu Kiu-bok terkesiap juga oleh ancaman itu, sebelum ia melancarkan serangan lebih lanjut, ia menoleh dan bertanya.
"Han Tay-wi bersembunyi dimana? Kau tahu tidak?"
"Sudah tentu aku tahu,"
Kata Say-hoa dengan tertawa.
"Akan kuberitahu tempat sembunyinya, bahkan aku dapat membawa kau pergi mencari guruku."
"Bagus, asal kau beritahu tempat sembunyi Han Tay-wi, segera aku membiarkan dia pergi,"
Kata Cu Kiu-bok girang.
"Terus terang, sebenarnya Suhu menyuruh aku membawa dia pergi memancing Han Tay-wi, jadi aku bukan minggat bersama dia seperti sangkaanmu tadi. Tempat sembunyi Han Tay-wi berada di sana, ini, akan kulukiskan tempatnya!"
Sembari bicara Bong Say-hoa berlagak mengorek tanah seperti hendak menggambar peta tempat sembunyi Han Tay-wi, tapi sebelah tangannya sudah siap menggenggam sesuatu.
Selagi Kok Siau-hong merasa bingung dan kuatir apa yang dikatakan Bong Say-hoa itu betul atau dusta, sementara itu Cu Kiu-bok telah mendekati Bong Say-hoa.
Tapi mendadak nona Miau itu berseru.
"Terimalah ini lebih dulu!"
Sekonyong-konyong segumpal kabut asap melayang dari tangan Bong Say-hoa, Cu Kiu-bok menggerung kaget dan membentak.
"Budak keparat, berani kau main gila kepadaku!" ~ Berbareng tangannya terus mencengkeram, tanpa berdaya Say-hoa kena dipegangnya. Tapi Cu Kiu-bok sendiri juga mulai sempoyongan seperti orang mabuk.
"Lekas lari, Kok-toako, lekas!"
Seru Say-hoa.
Kiranya benda yang tertabur dari tangannya itu adalah segenggam obat bubuk racikan kelopak bunga anggrek "mabuk seribu hari", bila mengendus baunya orang akan jatuh pingsan seperti minum obat bius.
Dengan lwekangnya yang tinggi, begitu merasa gelagat jelek segera Cu Kiu-bok menahan napas.
Walaupun begitu ia pun merasa kepala pusing.
Siau-hong sangat terharu oleh pengorbanan Bong Say-hoa, dengan sendirinya ia pun tidak dapat meninggalkan dia dan menyelamatkan diri sendiri.
Segera pedangnya menusuk sambil membentak.
"Lepaskan dia dan kuampuni jiwamu!"
Saat itu Cu Kiu-bok merasa kepala pusing dan mata sepat, rasanya ingin tidur.
Cepat ia menggigit lidah sendiri, rasa sakit membuatnya rada sadar.
Sementara itu tusukan pedang Kok Siau-hong telah merobek bajunya, tanpa pikir Cu Kiu-bok menyurut mundur terus menyodorkan tubuh Bong Say- hoa ke depan sebagai tameng.
Lekas Kok Siau-hong menarik kembali pedangnya.
Maka tertawalah Cu Kiu-bok dengan terbahak, katanya.
"Hayolah, teruskan tusukanmu jika kau ingin mampusnya budak ini! Maaf, jika kau enggan membunuhnya, biar aku pergi saja!"
Kok Siau-hong kuatir melukai Bong Say-hoa, tapi juga tidak rela nona itu digondol pergi, terpaksa ia terus mengejar.
Ia berharap Cu Kiu-bok tidak tahan oleh obat bubuk yang dihamburkan Bong Say-hoa tadi dan roboh sendiri, dengan demikian dapatlah si nona terlepas dari cengkeraman maut.
Tak terduga kekuatan Cu Kiu-bok memang luar biasa, meski dalam keadaan puyeng, dia masih tetap mencengkeram erat Hiat-to di tubuh Bong Say-hoa sehingga nona itu tak bisa berkutik.
"Lepaskan dia, Cu Kiu-bok, jika kau ingin....."
Bentak Kok Siau-hong.
"Ingin apa?"
Jengek Cu Kiu-bok. Ternyata Siau-hong tak berani mengucapkan kata-kata gertakan, karena kuatir akan menimbulkan salah paham Bong Say-hoa. Tapi nona itu seperti tahu pikiran Siau-hong, serunya.
"Benar, Kok- toako, tak perlu kau pikirkan diriku. Paling banyak jiwaku bertukar dengan jiwanya. Bunuh saja dia, asal engkau berani membunuhnya sungguh- sungguh tentu dia tak berani membunuh aku."
Tiba-tiba Cu Kiu-bok menanggapi dengan menjengek.
"Hm, Kok Siau- hong, biarpun sekarang kau yang minta ampun padaku juga takkan kuberi!"
Sementara itu Kok Siau-hong telah menyusul dekat lawan ketika mendadak Cu Kiu-bok membaliki tangannya dan menghantam.
Serentak Kok Siau-hong merasa hawa dingin menyambar dari depan, tanpa ampun terus ia menggigil.
Kiranya berkat lwekangnya yang tinggi, sekuatnya Cu Kiu-bok telah mengerahkan tenaga murni untuk melawan serangan racun anggrek "mabuk seribu hari", lambat-laun khasiat racun itu telah dapat dipunahkan dan kini tenaganya sudah pulih tiga-empat bagian.
Tapi dengan tenaga pukulan Siu- lo-im-sat-kang yang cuma tiga-empat bagian itu masih sanggup ditahan oleh Kok Siau-hong, maka ia masih terus mengejar dengan kencang.
"Kok Siau-hong, apakah kau benar-benar ingin cari mampus?"
Jengek Cu Kiu-bok pula.
Sudah tentu Siau-hong menyadari bukan tandingan gembong iblis itu, ia pikir mumpung tenaga lawan belum pulih seluruhnya mungkin masih dapat mengalahkan dia, tapi kalau sebentar lagi tentu sukar diramalkan.
Begitulah ia merasa ragu-ragu.
Sementara itu Cu Kiu-bok telah menghantam tiga kali lagi, ketika Kok Siau-hong merandek sejenak, segera Cu Kiu-bok berlari ke depan secepatnya.
Lantaran ragu-ragu, Kok Siau-hong tidak dapat bertindak tegas, maka dalam sekejap jarak kedua orang telah bertambah belasan meter jauhnya.
Kejar mengejar terus berlangsung, tidak lama tiba-tiba terdengar suara gemuruh air menggerujuk, kiranya di samping puncak gunung sana ada sebuah air terjun yang sedang menghamburkan airnya dari ketinggian.
Sambil mengempit tubuh Bong Say-hoa, mendadak Cu Kiu-bok berlari menuju ke air terjun itu terus menerobos lewat di balik tirai air.
Ketika Kok Siau-hong memburu ke sana, cepat Cu Kiu-bok melompat balik dan berlari pula.
Selagi Kok Siau-hong memburu secepatnya, mendadak Cu Kiu-bok berhenti dan membentak.
"Keparat, memangnya kau sangka aku takut padamu? Hayolah kita coba-coba lagi!" ~ Habis itu ia terus menghantam pula sehingga menerbitkan hawa dingin yang hebat, saking tak tahan terpaksa Siau-hong melompat ke samping menghindari damparan angin dingin itu. Diam-diam ia terkejut mengapa tenaga lawan dapat pulih secepat itu. Rupanya tadi Cu Kiu-bok sengaja melompat di bawah tirai air terjun, maksudnya supaya kepalanya tersiram oleh air dingin, dengan demikian rasa puyengnya lantas hilang, pengaruh racun anggrek yang memabukkan itupun hampir lenyap seluruhnya.
"Ha, ha, bocah she Kok, apakah kau berani mengejar lagi?"
Demikian Cu Kiu-bok berolok-olok dengan tertawa. Siau-hong menjadi gemas dan nekat, bentaknya.
"Baik, jika kau berani membebaskan dia, biarlah kita bertempur menentukan siapa yang akan hidup dan siapa akan mati."
"Bagus, di depan sana ada suatu tanah datar, apa kau berani bertempur jika aku berjanji akan membebaskan dia?"
Tantang Kiu-bok.
Sementara itu fajar sudah mulai menyingsing, ufuk timur sudah keputih- putihan.
Sudah beberapa jam mereka meninggalkan rumah keluarga Ciau.
Menghirup hawa segar pagi itu, semangat Cu Kiu-bok terbangkit, ia merasa kekuatan sendiri sudah pulih delapan-sembilan bagian, untuk menangkap hidup-hidup Kok Siau-hong rasanya bukan soal lagi, makanya ia sengaja melancarkan tantangan tadi.
Tapi Bong Say-hoa lantas berseru.
"Jangan, Kok-toako, engkau bukan tandingannya, lekas lari saja!"
"Biar bukan tandingannya juga akan kuhadapi, aku tak dapat meninggalkan kau di sini,"
Kata Siau-hong.
"Bagus, kau benar-benar pemuda yang setia dan berbudi,"
Seru Cu Kiu- bok dengan tertawa.
"Nah, marilah ikut padaku, di balik tanjakan sana adalah sebuah tanah datar. Asal kau mampu menahan sepuluh kali pukulanku segera kubebaskan kalian berdua."
Sembari bicara ia pun sudah melintasi tanah tanjakan itu.
Tapi mendadak di tengah jalan terlihat seorang pengemis tua berbaring seenaknya sedang tidur dengan lelap sehingga merintangi jalan lewat mereka.
Jalanan di situ sangat sempit, pengemis tua itu berbantalkan sebuah Hio- lo besar warna merah dan sedang ngorok melintang di tengah jalan, dalam posisi begitu, asal saja pengemis tua itu membalik tubuh, bukan mustahil akan tergelincir ke dalam jurang yang dalamnya sukar diduga itu.
Tapi pengemis tua itu ternyata adem-ayem saja seperti sedang tidur di atas kasur di rumah sendiri.
Cu Kiu-bok adalah orang Kang-ouw kawakan, melihat gelagatnya segera ia tahu si pengemis tua pasti pengemis kosen.
Tapi lantaran dia sedang berlari ke depan dan mendadak pada tanjakan yang menekuk itu terhalang oleh pengemis tua, untuk menahan langkahnya sudah tidak keburu lagi.
Secepat kilat pikiran Cu Kiu-bok bekerja, ia tidak mempedulikan lagi siapa pengemis tua itu, depak saja dia ke jurang dan habis perkara.
Tapi baru saja kaki Cu Kiu-bok terangkat, sekonyong-konyong pengemis tua itu bangkit berduduk dan mencengkeram dengan tangannya sambil membentak.
"He, apakah kau hendak membunuh untuk merampas harta bendaku?"
Cengkeraman itu ternyata tepat mengarah Hiat-to di tungkak kaki Cu Kiu-bok, untung kekuatan Cu Kiu-bok kini sudah pulih, cepat ia mengelak dan pada detik terakhir dapatlah ia menghindari cengkeraman maut itu.
"Kenapa kau menghalangi jalanku, kita tidak pernah bermusuhan, hendaklah kau minggir dulu!"
Seru Kiu-bok.
"Persetan!"
Omel pengemis tua itu.
"Memangnya, tempat ini milikmu? Aku sedang tidur nyenyak, kenapa kau mengganggu mimpiku yang asyik tadi. Kau harus ganti rugi padaku! Kalau tidak, jangan kau harap dapat pergi dari sini."
Habis berkata ia angkat Hio-lo besar warna merah itu terus menghantam.
Terpaksa Cu Kiu-bok memapak dengan telapak tangannya.
Dengan tenaga pukulan Cu Kiu-bok yang kuat itu, biasanya batu besar saja dapat dihancurkan olehnya.
Tapi aneh, kebentur Hio-lo lawan, tangan sendiri yang terasa kesakitan.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa tahu-tahu si pengemis tua telah memutar ke samping, sebelah kakinya melayang.
"plok", dengan tepat pantat Cu Kiu-bok kena terdepak. Serangan bergaya aneh ini membuat Cu Kiu-bok kelabakan seperti kebakaran jenggot, supaya tidak kecundang lagi, tanpa pikir ia terus lemparkan tubuh Bong Say-hoa, lalu ia hadapi lawan dengan kedua tangan. Waktu itu baru saja Kok Siau-hong menyusul sampai di atas tanjakan itu dan sempat melihat Bong Say-hoa dilemparkan Cu Kiu-bok, padahal arah yang lemparan itu adalah jurang yang tak terkira dalamnya. Keruan Siau- hong menjerit kaget, jaraknya masih cukup jauh, hendak menolong pun tidak keburu lagi. Kalau saja tubuh Bong Say-hoa sampai terbanting ke bawah jurang, maka tidak perlu ditanya lagi nona itu pasti akan hancur lebur. Di tengah jerit kuatir Kok Siau-hong itulah sekonyong-konyong dari tebing curam di bawah sana melompat keluar satu orang, sebelum tubuh Bong Say-hoa terbanting pada batu tebing yang terjal itu telah kena dirangkul oleh kedua tangan orang itu. Penolong itu adalah seorang pemuda kekar berbaju kulit binatang, setelah tubuh Bong Say-hoa kena ditangkap olehnya, kemudian ia menaruhnya di atas tanah dan menepuk bahu si nona dengan perlahan sambil berkata.
"Jangan kuatir, nona Bong! Bangunlah!"
Setelah tenangkan diri dan mengamatinya, segera Kok Siau-hong mengenali pemuda berbaju kulit binatang itu adalah murid Thio Tay-tian yang bisu itu.
Ia menjadi heran sekali mengapa si bisu kini dapat bicara? Waktu pandangan Kok Siau-hong beralih ke sana, dilihatnya si pengemis tua tadi sedang bertempur sengit dengan Cu Kiu-bok.
Tidak perlu dijelaskan lagi, pengemis tua itu terang ialah Thio Tay-tian adanya.
Tentu saja Kok Siau- hong sangat girang, ia pikir munculnya Lo-cianpwe ini pasti dapat menghadapi gembong iblis she Cu itu.
Di sebelah sana pertarungan Cu Kiu-bok melawan si pengemis tua alias Thio Tay-tian semakin memuncak dengan serunya.
Cu Kiu-bok telah mengeluarkan ilmu pukulan Siu-lo-im-sat-kang hingga tingkat delapan, hawa dingin yang dahsyat terasakan akan membekukan darah meski Siau-hong berdiri di tempat yang cukup jauh.
Terdengar Thio Tay-tian menjengek.
"Hm, kau ini memang manusia tidak berperasaan, sudah tahu pengemis miskin seperti diriku ini hanya punya baju tipis dan rombeng begini, tapi kau masih tega membikin aku mati beku. Wah, rasanya aku harus minum arak dulu untuk membikin hangat badanku, habis itu baru berkelahi lagi dengan kau."
Sudah tentu Cu Kiu-bok tidak membiarkan lawan berbuat sesukanya, segera ia menubruk maju dan menyerang. Tapi Thio Tay-tian sangat gesit, sambil berkelit ia sempat menjemput sebatang pentung bambu dan berseru.
"Anjing galak mau menggigit manusia, anjing harus digebuk dengan Pak-kau-pang (pentung penggebuk anjing)!"
Sekali bergerak, serentak bayangan pentung berubah seperti berpuluh jumlahnya dan sekaligus menghantam dari berbagai jurusan ke arah Cu Kiu- bok.
Keruan Cu Kiu-bok terkejut, ia tak berani melancarkan serangan lagi, terpaksa ia menarik diri untuk bertahan.
Thio Tay-tian tidak menerjang maju lagi, ia angkat Hio-lo besar dan menenggak araknya hingga kenyang, lalu dengan tertawa berkata.
"Ehm, arak enak! Kini semangat pengemis tua menjadi berkobar dan dapat bermain sepuasnya dengan kau. Eh, arakku ini sungguh enak, kau ingin mencicipi tidak?"
Cu Kiu-bok tidak berani menjawab, tapi tiga kali hantaman segera ia lancarkan pula. Sambil mengerut kening Thio Tay-tian berkata.
"He, aku ingin menyuguh kau minum arak, mengapa kau tidak tahu sopan santun? Baik, disuguh arak kau tidak mau, rupanya kau ingin dipaksa minum arak saja!"
Habis berkata mendadak ia menyemburkan arak dari mulutnya, seketika arus arak menyemprot ke muka Cu Kiu-bok.
Cepat Cu Kiu-bok pejamkan mata sambil melindungi mukanya dengan kedua tangan.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagai hujan gerimis saja semburan arak mengenai tubuhnya hingga muka dan kepala terasa kesakitan.
Kuatir disergap musuh, cepat Cu Kiu-bok melompat mundur, tanpa terasa ia telah terdesak sampai di tepi jurang.
Ketika Cu Kiu-bok memeriksa tubuhnya, terlihat bajunya telah berlubang kecil-kecil laksana sarang tawon.
Keruan kejutnya tak terkatakan, pikirnya.
"Entah darimana munculnya pengemis tua ini, dengan kepandaian setinggi ini jelas aku bukan tandingannya."
Segera timbul hasratnya buat kabur saja. Tapi Thio Tay-tian seperti tahu jalan pikirannya, dengan tenang ia gantung Hio-lo merah pada pinggangnya, lalu berkata dengan tertawa.
"Hm, kau ingin lari bukan? He, he, memangnya salah siapa? Aku sedang tidur nyenyak, tapi kau sengaja mengganggu ketenanganku. Sekarang sudah telanjur bergebrak, betapa pun kau harus mengiringi aku bermain sepuasnya."
Dengan pentung bambu dan pukulan segera ia mengurung Cu Kiu-bok dengan rapat, dalam keadaan kepepet, terpaksa Cu Kiu-bok bertahan mati- matian.
Melihat kedudukan Thio Tay-tian sudah jelas di pihak unggul, legalah hati Kok Siau-hong.
Ia menguatirkan keadaan Bong Say-hoa, segera ia mendekatinya.
Sementara itu Bong Say-hoa mulai siuman, ketika membuka mata dan merasa dirinya berada dalam pangkuan seorang pemuda, muka Say-hoa menjadi merah.
Pikirnya hendak meronta bangun, tapi terasa lemas tak bertenaga.
"Diam dulu, jangan bergerak, biar kubuka Hiat-tomu!"
Terdengar pemuda itu berkata.
Bong Say-hoa tercengkeram oleh Cu Kiu-bok tadi dan tertotok oleh ilmu Tiam-hiat yang khas.
Meski pemuda itu paham juga ilmu Tiam-hiat, tapi untuk membuka totokan Cu Kiu-bok yang khas itu harus dicari dahulu Hiat- to mana yang ditotoknya, habis itu baru dapat memunahkannya dengan tenaga dalam yang kuat.
Pemuda itu dibesarkan di pegunungan yang terpencil, sama sekali ia tidak tahu pantangan orang perempuan dan lelaki, untuk mencari Hiat-to yang tertotok, terpaksa ia harus meraba-raba di tubuh Bong Say-hoa.
Bong Say-hoa sendiri juga gadis Miau yang pada umumnya memang tidak begitu mempersoalkan laki-laki dan perempuan, namun karena tubuhnya diraba-raba, mau tak mau ia pun malu dan merah mukanya.
Berada dalam pangkuan pemuda itu, ia mengendus bau kelakian yang khas, bau yang menimbulkan perasaan aneh, bau yang merangsang pula seperti memabukkan.
Cukup lama juga barulah pemuda itu berhasil membuka Hiat-to si nona yang tertotok.
Waktu Bong Say-hoa berbangkit, dilihatnya Kok Siau-hong sudah berdiri di depannya dengan tersenyum simpul.
Muka Say-hoa menjadi merah, katanya dengan kikuk.
"Aku sudah baik kembali. Dimanakah iblis tua bangka tadi?"
"Iblis tua itu telah kebentur seorang lawan yang terlebih tangguh, yaitu guru Toako ini, kini dia sedang dilabrak,"
Kata Siau-hong dengan tertawa.
"Jiwamu telah diselamatkan oleh Toako ini, apakah kau tahu?"
Budi pertolongan jiwa sudah tentu diketahui oleh Bong Say-hoa. Tapi maksud tujuan ucapan Kok Siau-hong itu ialah memancing Bong Say-hoa agar mau bicara lebih asyik dengan pemuda penolongnya. Maka dengan menunduk dan kikuk-kikuk Bong Say-hoa berkata.
"Terima kasih banyak atas pertolongan Toako."
"Ah, hanya urusan kecil saja, tidak perlu disebut lagi!"
Ujar pemuda itu tertawa. Aku sudah kenal kau, nona Bong, aku pernah tinggal beberapa tahun di daerah Miau kalian, pernah beberapa kali melihat engkau berburu, cuma waktu itu sama sekali aku tidak dapat bicara dengan kau."
Bong Say-hoa merasa heran, tanyanya.
"Sebab apa?"
"Sebab setengah tahun yang lalu aku masih bisu,"
Tutur pemuda itu tertawa.
"Tapi mengapa sekarang kau dapat bicara? Apa mendapat obat mujizat?"
Tanya Bong Say-hoa.
"Kalau kukatakan mungkin kau tidak percaya, aku tidak makan obat apa pun, melulu sebatang jarum perak seorang tabib saja yang telah menyembuhkan aku,"
Tutur pemuda itu.
Kok Siau-hong menjadi tertarik, ia pikir di dunia ini tabib sakti hanya Ong-tayhu saja yang diketahui maha pandai, siapa lagi yang memiliki ilmu pengobatan sehebat itu? Karena itu ia lantas tanya siapakah tabib yang dimaksud itu? "Seorang tabib kelilingan she Ciok,"
Tutur pemuda itu pula.
"Suatu hari guruku membawa pulang beberapa tamu, satu di antaranya ialah she Ciok itu. Ketika mengetahui aku bisu, ia lantas mengobati aku, dengan sebatang jarum perak yang lembut dan panjang, bagian belakang telingaku telah ditusuk setiap beberapa hari satu kali, setelah sebulan lebih, tahu-tahu aku sudah bisa bicara."
"Dalam waktu singkat kau sudah mahir bicara sebanyak ini, sungguh suatu kemajuan yang pesat,"
Ujar Say-hoa.
"Sejak kecil sebenarnya aku sudah bisa omong, kemudian entah jatuh sakit apa, lalu berubah menjadi bisu,"
Kata pemuda itu.
"Di antara orang Miau kami juga ada yang bisu, kalau aku pun dapat minta pertolongan tabib pintar itu untuk mengobati mereka tentu akan besar jasanya bagi bangsa kami,"
Ujar Say-hoa.
"apakah tabib Ciok itu masih berada di tempatmu?"
"Kini kami tinggal bersama seorang Han Lo-siansing, tabib Ciok itupun berada di sana,"
Jawab si pemuda. Hati Kok Siau-hong tergerak, pikirnya.
"Tabib kelilingan she Ciok, jangan-jangan ialah ayah Ciau Siang-hoa?"
Sebagaimana pernah diceritakan, Ciau Siang-hoa adalah anak pungut keluarga Ciau, asliya she Ciok, ayahnya bernama Ciok Leng, lantaran menghindari musuh sehingga terpaksa mengasingkan diri dan baru setahun yang lalu ayah dan anak bersua kembali.
Musuh Ciok Leng justru adalah Kiau Sik-kiang dan Sin Cap-si-koh.
Dahulu waktu Kok Siau-hong datang ke daerah Miau untuk mencari Han Tay-wi, pernah dia bertemu Ciok Leng.
Begitu lah Kok Siau-hong lantas menerangkan.
"Han Lo-siansing yang kau sebut itu ialah mertuaku."
"Memang sudah kuketahui,"
Kata pemuda itu.
"Beberapa hari yang lalu Han Lo-siansing juga membicarakan engkau dengan guruku. Wah, mertuamu itu sungguh orang baik hati, dia telah mengajarkan beberapa jurus pukulan padaku, malahan cara mengerahkan tenaga dalam juga diajarkan kepadaku."
AN beberapa tamu lain yang kau katakan tadi itu siapa?"
Tanya Siau-hong. Selagi pemuda itu hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara mengerang Cu Kiu-bok seperti terluka.
"Ah, entah bagaimana keadaan pertempuran di atas sana, marilah kita melihatnya,"
Kata pemuda itu.
Tapi belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari atas sudah melayang jatuh satu orang, siapa lagi kalau bukan Cu Kiu-bok? Jatuhnya Cu Kiu-bok ke bawah tebing itu adalah karena getaran tenaga pukulan Thio Tay-tian, kebetulan sekali arahnya tepat di atas kepala Bong Say-hoa.
Lwekang Cu Kiu-bok sangat hebat, meski terluka oleh getaran pukulan lawan, tapi tenaga dalamnya belum terganggu.
Sebenarnya kalau sampai jatuh terbanting, sukar juga baginya untuk menyelamatkan diri.
Kini tiba- tiba dilihatnya Bong Say-hoa berdiri di bawah, ia menjadi girang, sekuatnya ia berjumpalitan di udara, dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kedua tangan terus mencengkeram ke arah Bong Say-hoa.
Segera terdengarlah suara "blang"
Yang keras, kiranya si pemuda tadi telah melompat maju menghadang di depan Bong Say-hoa dan tepat masih keburu menyambut terkaman Cu Kiu-bok itu.
Jilid 35
"D Begitu tangan beradu tangan, kontan Cu Kiu-bok meluncur lewat ke samping Bong Say-hoa sehingga cengkeramannya kepada nona Miau itu pun luput. Sedangkan si pemuda tadi juga jatuh terduduk dengan berat. Cepat Bong Say-hoa menariknya bangun dan berkata.
"Terima kasih Toako, kembali engkau telah menyelamatkan jiwaku. Bagaimana keadaanmu?"
"Aku tidak apa-apa,"
Jawab pemuda itu.
"Cuma..... iblis tua itu tentunya tidak jadi mampus terbanting?"
Memang waktu itu daya jatuhnya Cu Kiu-bok mendadak menjadi lambat karena adu tangan dengan si pemuda tadi.
Waktu mereka melongok ke bawah sana, kelihatan Cu Kiu-bok sempat berjumpalitan lagi di atas udara untuk kemudian baru tancapkan kakinya di atas tanah.
Habis itu dalam sekejap saja ia lantas menghilang dari pandangan.
"Sayang! Aku menjadi telah menolongnya malah!"
Ujar pemuda tadi dengan gegetun. Bong Say-hoa merasa bingung, ia bertanya.
"Engkau telah menyelamatkan jiwaku, mengapa kau bilang telah menolongnya malah?"
"Tapi gerak seranganmu tadi juga hebat sekali, engkau telah mematahkan tenaga pukulan iblis itu, meski iblis itu tidak jadi mampus, tapi syukur engkau sendiri tidak terluka,"
Ujar Kok Siau-hong.
Kiranya tadi tenaga terkaman Cu Kiu-bok sungguh dahsyat luar biasa, meski tenaga pemuda itu maha kuat, kalau mesti mengadu tenaga secara keras lawan keras sukar juga baginya untuk menahan daya tubrukan lawan dari atas itu, sebab itulah dia telah menggunakan gerakan setengah mengelak, tenaga terkaman Cu Kiu-bok ditolak ke samping sehingga karena itu tubuh Cu Kiu-bok juga kena ditolak pula ke samping.
Karena halangan itulah maka daya jatuh Cu Kiu-bok itu sedikit tertahan dan meluncurnya ke bawah juga menjadi agak lambat dan dapatlah menancapkan kakinya dengan aman di tanah.
Setelah mendengar uraian Kok Siau-hong itu barulah Bong Say-hoa tahu duduknya perkara, katanya.
"Toako, asal saja engkau tidak terluka kita pun harus merasa bersyukur. Biarlah iblis tua itu kabur."
"Kok-toako, gerak seranganku tadi justru adalah ajaran ayah mertuamu,"
Kata pemuda itu dengan tertawa. Tengah mereka bicara, terlihat Thio Tay-tian berjalan turun, katanya dengan tertawa.
"Sayang, sayang! Satu Hio-lo arak terbuang percuma dan iblis tua itu tetap tidak terbanting mampus!"
"Maaf, Suhu, gara-gara murid yang tidak becus ini sehingga iblis tua itu sempat kabur,"
Kata si pemuda.
"Bukan salahmu, aku justru hendak memuji gerak jurusmu tadi,"
Ujar Thio Tay-tian dengan tertawa.
"Kalau ada yang salah, maka aku sendirilah yang harus disalahkan. Soalnya sudah lama pengemis tua tidak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku menjadi gatal dan ingin main-main lebih lama dengan dia sehingga tidak lantas menggunakan serangan maut, akhirnya musuh sempat melarikan diri."
"Lo-siansing (tuan tua), ayahku juga gemar minum arak, kalau saja engkau sudi mampir ke rumahku, biar ayahku mengiringi engkau minum arak sepuasnya, kata orang, arak di rumah kami sungguh enak rasanya,"
Kata Bong Say-hoa.
"Apakah karena muridku inilah maka kau mengundang aku minum arak?"
Kata Thio Tay-tian dengan tertawa.
"Bagus sekali, boleh juga kita lantas pergi ke sana sekarang. Hanya ku kuatir kalian orang muda ini tidak suka dikawani oleh pengemis tua macam diriku ini."
Bong Say-hoa masih hijau dan kekanak-kanakan, ia tidak merasakan nada si pengemis tua itu mengandung arti tertentu, setelah merenung sejenak ia lantas berkata pula.
"Jika berangkat bersama engkau, tentu aku tidak kuatir akan diganggu iblis tua tadi dan juga tidak takut ditangkap kembali oleh guruku. Hanya aku sudah berjanji kepada Kok-toako membawanya pergi mencari ayah mertuanya. Bukankah mertuanya tinggal bersama kalian? Tidakkah lebih baik kita pergi ke tempat tinggalmu dahulu, setelah Kok-toako bertemu dengan mertuanya kemudian kita pergi ke rumahku untuk minum arak?"
Semula Kok Siau-hong mengira Thio Tay-tian hanya bergurau saja, tapi kemudian melihat pengemis tua itu bersikap sungguh-sungguh, hatinya tergerak, segera ia pun bertanya.
"Paman Thio, apakah kalian memang ada urusan dan perlu menemui Bong To-cu (ayah Say-hoa)?"
"Terkaanmu memang tepat,"
Jawab Thio Tay-tian dengan tertawa.
"Soalnya ada satu komplotan orang jahat telah memasuki daerah Miau dan mungkin akan mengacau, maka aku perlu memberi kabar kepada Bong To- cu. Kini bertemu dulu dengan nona Bong, tentu akan lebih baik bila dia membawa kita ke sana."
"Jika begitu bolehlah kalian langsung berangkat ke sana saja, silakan paman Thio memberitahukan letak tempat tinggal kalian, biar aku sendiri ke sana mencari mertuaku,"
Kata Kok Siau-hong.
"Kukira tidak perlu tergesa-gesa, kita masih bisa mengobrol lagi,"
Ujar Thio Tay-tian.
"Ya, kuingin tanya sesuatu pula kepada paman Thio, kabarnya ada beberapa orang tamu berada di tempatmu, siapakah mereka?"
Tanya Siau- hong.
"Tentunya muridku yang memberitahukan kau?"
Ujar Thio Tay-tian.
"Kukira kau pun kenal mereka, yaitu Ciok Leng dan keluarga Ciau, terdiri dari Ciau Goan-hoa, Ciau Siang-hoa dan bakal isterinya Nyo Kiat-bwe serta Ciau Siang-yau."
"Sungguh kebetulan sekali, aku justru baru datang dari rumah mereka dan tidak bertemu, kalau begitu aku akan dapat bertemu pula dengan mereka di sana,"
Kata Kok Siau-hong.
"Tapi Ciau Goan-cong dan anak perempuannya sudah berangkat pergi, kau hanya dapat bertemu dengan Ciok Leng bersama Siang-hoa dan tunangannya,"
Kata Tay-tian.
Kabarnya pindahnya Ciau Goan-hoa itu adalah untuk menghindari pencarian Sin Cap-si-koh, dari Thio Tay-tian diketahui Sin Cap-si-koh sudah terkurung di Oh-hong-to, namun tentang kaburnya lagi dari pulau itu belum diketahuinya, sebab itu setelah berkumpul beberapa hari dengan Thio Tay- tian dan Han Tay-wi, kemudian ia pun berangkat pergi bersama anak perempuannya.
Ciau Siang-hoa adalah anak kandung Ciok Leng dan kini telah bersua kembali, maka Ciau Goan-hoa lantas mengembalikan anak itu kepada ayahnya.
Cuma saja Ciau Siang-hoa masih tetap memakai she Ciau sebagai tanda balas budi kepada ayah angkat yang membesarkannya itu.
Begitulah Kok Siau-hong merasa gembira, katanya.
"Tak terduga setiba di sini dapat berkumpul dengan kawan-kawan lama. Bagaimana keadaan ayah mertuaku, apakah kesehatannya sudah pulih kembali?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berkat doamu, kini dia sudah sehat kembali,"
Tutur Thio Tay-tian.
"Dia juga sedang menanti kedatanganmu. Dan cara bagaimana kau bisa bertemu dengan nona Bong ini?"
"Dia adalah murid Sin Cap-si-koh, aku kepergok mereka di rumah keluarga Ciau,"
Tutur Siau-hong.
"Kini nona Bong sudah tahu gurunya itu adalah orang jahat, maka bertekad akan mengkhianati gurunya itu."
Lalu ia menceritakan seperlunya apa yang dialaminya tempo hari.
"Kesehatan mertuamu sudah pulih, ada Ciok Leng pula di sana, kalau iblis perempuan itu berani mencari kemari, pasti dia akan tahu rasa nanti,"
Ujar Thio Tay-tian dengan tertawa.
"Yang ku kuatirkan adalah tipu muslihat musuh atau serangan secara menggelap,"
Kata Siau-hong.
"Memang betul juga, iblis perempuan itu memang sangat keji, maka kita harus waspada,"
Sampai di sini tiba-tiba Thio Tay-tian melihat sikap Kok Siau-hong rada bimbang, segera ia bertanya pula.
"Apa yang kau kuatirkan? Jika ada sesuatu yang hendak kau tanyakan padaku boleh silakan bicara saja."
"Pwe-eng sudah datang ke sini belum?"
Tanya Siau-hong. Sejak tadi Thio Tay-tian tidak menyinggung Han Pwe-eng meski katanya kedatangan beberapa tamu, maka ia menjadi kuatir. Benar juga, segera Thio Tay-tian menjawab.
"Apakah Pwe-eng juga datang ke sini? Tapi mengapa belum nampak tiba?"
"Dia berangkat lebih dulu, seharusnya dia sudah di sini,"
Ujar Siau-hong. Thio Tay-tian coba menghiburnya.
"Perjalanan cukup jauh, mungkin dia tertunda oleh sesuatu urusan dalam perjalanan."
"Tadi engkau mengatakan ada sekomplotan orang jahat telah memasuki daerah Miau sini, siapakah mereka itu?"
Tanya Siau-hong.
"Belum jelas,"
Jawab Tay-tian.
"Cuma kemarin seorang Miau telah memberitahukan padaku bahwa ketika memetik daun obat di pegunungan dia melihat tiga orang Han yang tidak dikenal, satu di antaranya berkepala besar dan berperawakan tinggi seperti raksasa. Orang tinggi besar sebagaimana dikatakannya itu jarang ada di dunia Kang-ouw kecuali satu orang yang kuketahui."
"Apakah laki-laki raksasa pembantu Kiau Sik-kiang yang bernama Ciong Bu-pa itu?"
Tanya Siau-hong.
"Benar, aku menyangsikan dia adanya,"
Jawab Tay-tian.
"Cuma menurut berita yang kudengar, katanya Kiau Sik-kiang sudah berkomplot dengan Su Thian-tik di daerah Kang-lam, mengapa Ciong Bu-pa bisa datang ke sini?"
"Su Thian-tik telah mengalami kekalahan besar di daerah Kang-lam, kawanan bajak pimpinan Kiau Sik-kiang juga mengalami nasib yang sama dan hampir terbasmi seluruh anak buahnya,"
Tutur Siau-hong.
"Wah, jangan-jangan ketiga orang yang dikatakan itu adalah Su Thian-tik, Kiau Sik- kiang dan Ciong Bu-pa. Semoga Pwe-eng tidak kepergok oleh mereka di tengah jalan."
"Tapi kawan Miau yang melihat mereka bertiga tidak nampak ada orang perempuan di antara mereka,"
Kata Tay-tian.
"Paling penting sekarang kita harus waspada, aku sudah minta Bong Tong-cu agar berjaga-jaga segala kemungkinan, terutama penyerbuan pasukan kerajaan. Hanya setelah kini kita mengetahui kawanan Su Thian-tik kita menjadi tidak perlu kuatir lagi."
"Tapi rombongan Su Thian-tik ini terlebih sukar dihadapi daripada pasukan kerajaan,"
Ujar Siau-hong.
"Kalau sampai begundal mereka juga berturut-turut memasuki wilayah Miau, bukan mustahil akan menimbulkan kekacauan besar di sini."
"Benar, makanya aku akan memberitahukan lebih dulu kepada Tong-cu seperti rencanaku semula,"
Kata Tay-tian.
"Nah, kau pun harus lekas menemui mertuamu, apa ada yang hendak kau bicarakan pula?"
"Harap paman Thio memberitahukan letak tempatmu saja,"
Jawab Siau- hong.
Thio Tay-tian lantas melukiskan letak tempatnya.
Mereka asyik bicara dan ternyata melupakan Bong Say-hoa dan si pemuda tadi.
Kini baru mereka melihat kedua muda-mudi itupun sedang bicara dan si pemuda sedang corat- coret di atas tanah entah sedang menulis apa.
Rupanya Bong Say-hoa merasa kesal karena perhatian Kok Siau-hong tercurah kepada Han Pwe-eng, maka dengan rasa pedih ia berusaha mengalihkan pikirannya.
Pemuda itu tampaknya menaruh hati terhadap Say- hoa, bicara punya bicara akhirnya mereka pun bergaul akrab dan saling bertanya nama masing-masing.
Kiranya pemuda itu mengambil she seperti gurunya, yaitu Thio dan diberi nama Ciok-gi.
Waktu itu ia sedang corat-coret di atas tanah menuliskan namanya.
Begitulah Thio Tay-tian tersenyum melihat pergaulan muda-mudi itu, katanya dengan tersenyum.
"Tampaknya mereka berdua sangat cocok satu sama lain. Siau-hong, apakah kau marah kurebut petunjuk jalanmu itu?"
"Peta yang kau lukiskan padaku ini jauh lebih berguna daripada petunjuk jalan,"
Jawab Siau-hong.
"Kalau nona Bong berada bersamamu, tentu aku pun tidak perlu menguatirkan keselamatannya lagi."
"O, kau menguatirkan keselamatannya, kenapa?"
Tanya Tay-tian.
"Nona Bong telah menolong aku, ku kuatir kalau iblis perempuan she Sin itu mengejar kemari, aku sendiri tidak mampu melindungi dia, kan bisa membikin susah padanya?"
Tutur Siau-hong.
"Jika begitu biar kubawa serta nona Bong, selain berfaedah baginya juga dapat melenyapkan kesukaranmu,"
Ujar Thio tay-tian dengan tersenyum penuh arti.
Wajah Siau-hong menjadi merah, tapi di dalam hati ia sangat berterima kasih kepada pengemis tua itu.
Meski Thio Tay-tian itu suka berkelakar dan tampaknya seperti setengah sinting, tapi sebenarnya dia seorang yang berpengalaman dan bijaksana.
Bahwa Kok Siau-hong akan menemui ayah mertuanya, kalau dia membawa serta seorang gadis Miau, andaikan Han Tay-wi tidak berkata apa-apa, sedikitnya Kok Siau-hong akan merasa risih.
Sebab itulah Thio Tay-tian sengaja mencari alasan untuk membawa serta Bong Say-hoa dalam rombongannya.
Waktu itu Bong Say-hoa sedang memperhatikan pemuda itu menuliskan nama sendiri di atas tanah, ketika mendengar suara bicara Thio Tay-tian dan Kok Siau-hong, ia menoleh dan bertanya ada apa menyinggung namanya.
Dengan tertawa Thio Tay-tian menjawab.
"Ah, kubilang sekarang kau tentu sudah kenal nama muridku ini dan selanjutnya dapatlah memanggil namanya saja. Nah, marilah kita berangkat!"
"Tunggu sebentar!"
Tiba-tiba Say-hoa berkata sambil mengeluarkan sebuah dompet kain bersulam burung merak dan disodorkan kepada Kok Siau-hong, katanya pula.
"Dompet bersulam ini adalah tanda pengenalku, setiap orang Miau tentu mengenalnya, bawalah ini, kalau ada kesukaran boleh memperlihatkan barang ini."
Siau-hong terima dompet bersulam itu, dalam hati dia berdoa bagi gadis Miau itu.
"Murid paman Thio ini sangat setimpal dengan dia, semoga mereka dapat terikat jodoh dengan baik."
Maka ia lantas mengucapkan terima kasih kepada Bong Say-hoa, lalu mohon diri dan berangkat pergi.
Tempat tinggal Han Tay-wi adalah rimba lebat yang jarang didatangi manusia, seharian Kok Siau-hong dalam perjalanan dan tiada bertemu dengan seorang pun.
Untung dia dapat mengingat baik-baik peta yang dilukiskan Thio Tay-tian sehingga tidak sampai sesat jalan.
Besoknya makin jauh dia menyusuri pegunungan yang rimbun itu, dimana-mana hanya semak belukar melulu yang lebat dan tinggi melebihi orang.
Tengah Kok Siau-hong berjalan, tiba-tiba terdengar di belakangnya ada suara tongkat mengetuk tanah, cepat ia berjongkok dan bersembunyi di dalam semak rumput, waktu ia mengintai ke sana, ia menjadi terkejut.
Ternyata yang datang bukan lain daripada Sin Cap-si-koh yang ditakutinya itu.
Agaknya Sin Cap-si-koh juga merasa ada orang berjalan di depannya, tapi dia cuma mendengar suara tindakan Siau-hong saja dan tidak melihat orangnya.
Tapi ia tidak kurang akal, sambil menjengek ia terus memburu ke depan dengan cepat, katanya.
"Hm, apa kalian tidak berani menemui aku? Hm, kalau tidak lekas keluar, biar kubakar semak rumput ini, lihat saja apa kalian mau keluar atau tidak?"
Siau-hong menjadi ragu-ragu, sambil menahan napas ia pikir tunggu saja sebentar, kalau iblis perempuan itu benar-benar menyalakan api barulah terpaksa aku memperlihatkan diriku.
Tempat sembunyi Kok Siau-hong itu seluas beberapa lie seluruhnya adalah rumput alang-alang yang tinggi melebihi manusia, kalau benar Sin Cap-si-koh menyalakan api, maka dalam waktu singkat saja api pasti akan menjalar, betapa pun tinggi Ginkang Sin Cap-si-koh sendiri juga sukar lolos dari lautan api.
Sin Cap-si-koh menggunakan tongkatnya untuk menyabet dan mencungkit semak-semak itu sambil berjalan kian kemari, tapi tiada seorang pun ditemukan, sebaliknya dua ekor ular meloncat keluar terkejut dan Sin Cap-si-koh hampir saja terpagut.
Ia menjadi gusar dan membunuh mati ular itu.
Dengan mendongkol, ia lantas mengetik batu api dan membentak.
"Awas, aku akan menghitung sampai sepuluh, jika kalian tetap tidak keluar, biar kubakar mampus kalian! Satu... dua... tiga... empat....."
Sudah tentu tindakannya inipun hanya gertakan saja, ketika dia menghitung sampai "tujuh", mendadak angin meniup, ia pun kuatir benar- benar membakar rumput alang-alang dan itu berarti dirinya sendiri pun akan terancam terbakar, maka cepat ia memadamkan apinya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang membentak.
"Perempuan iblis darimana itu, berani main api di pegunungan sini?"
Suaranya melengking laksana benturan benda logam dan terasa sangat menusuk telinga.
Waktu Sin Cap-si-koh menoleh, dilihatnya seorang lelaki setengah umur dengan muka pucat kurus dan berpakaian rombeng sedang berjalan keluar dari hutan sana dengan sebelah tangan membawa sebuah ember.
Dapat dibedakan orang ini adalah bangsa Han.
Jalannya sangat cepat, tapi air di dalam ember yang dibawanya sedikit pun tidak terciprat keluar.
Hati Sin Cap-si-koh terkesiap, ia tidak tahu orang macam apakah, mengapa berada di daerah Miau ini.
Tapi ia pun tidak gentar, ia hanya mendengus saja dan tidak menjawab, segera ia melayang maju ke sana.
Melihat kepandaian Ginkang Cap-si-koh yang hebat itu, mau tak mau orang itupun terkejut.
Dalam pada itu kedua orang sudah berhadapan.
"Siapa kau? Berani kau memaki aku?"
Bentak Cap-si-koh segera sesudah berhadapan.
"Dan kau sendiri siapa? Kau berani kasar padaku?"
Balas orang itu.
"Sebenarnya kau harus kubunuh, tapi mengingat kau tidak tahu apa-apa, biarlah kuampuni jiwamu,"
Jengek Cap-si-koh.
"Namun kau harus menjawab pertanyaanku secara jujur, kalau tidak, kau tetap akan kumampuskan."
"Ha, ha, ha....."
Orang itu bergelak tertawa seperti mendengar sesuatu yang sangat lucu.
"Kurangajar! Apa yang kau tertawakan?"
Damprat Cap-si-koh. Orang itu masih tertawa terpingkal-pingkal, sambil mengurut perutnya, jawabnya kemudian.
"Ha, ha, selama hidupku tak terhitung orang yang telah kubunuh, tapi sekarang kau justru menggertak aku dengan membunuh, bukankah ini sangat menggelikan?"
"Persetan! Sudah cukup belum tertawamu?"
Jengek Cap-si-koh.
"Jawab pertanyaanku ini. Apakah kau melihat seorang perempuan yang sebaya dengan aku bersama seorang nona cantik? Jika kau dapat membantu aku menemukan mereka dapatlah jiwamu kuampuni. Kalau tidak, he, he, dalam waktu singkat pasti kau tidak mampu tertawa lagi."
Mendengar ucapan Sin Cap-si-koh itu, diam-diam Kok Siau-hong merasa heran, kiranya kedatangannya bukan untuk mencari aku dan Say-hoa, tapi mencari dua perempuan lain, siapakah mereka yang dicari itu? Demikian pikirnya.
Dalam pada itu terdengar orang tadi sedang berseru sambil mendekap hidungnya.
"Wah, bau! Alangkah baunya!"
"Kau mengoceh apa?"
Bentak Cap-si-koh gusar. Belum lenyap suaranya, mendadak orang itu angkat embernya terus mengguyurkan air di dalam ember ke arah Cap-si-koh sambil menjengek.
"Kau bicara lebih busuk daripada bau kentut, maka perlu dicuci yang bersih!"
Karena jarak kedua orang tiada dua meter jauhnya, tentu saja Sin Cap-si- koh tidak sempat mengelak siraman air itu.
Sedapatnya ia meloncat ke atas, namun betapa pun cepatnya dia menghindar, tidak urung setengah badan bagian bawah tetap basah kuyup.
Selamanya Sin Cap-si-koh belum pernah dihina orang sedemikian rupa, keruan ia menjadi murka, dari atas segera tongkatnya menghantam.
Segera terdengar suara gedubrak yang keras, kiranya orang itu telah melemparkan ember kayu untuk menyambut terkaman Sin Cap-si-koh, ember kayu hancur berantakan oleh hantaman tongkat.
Setelah menghancurkan ember kayu itu, kaki Sin Cap-si-koh juga sudah menancap kembali di tanah, segera serangan kedua dan ketiga dilancarkan pula dengan lebih ganas.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemana ujung tongkatnya mengarah selalu tempat Hiat-to yang mematikan di tubuh musuh.
Namun kepandaian orang itupun tidak lemah, setiap kali ia mundur selangkah dan setiap kali pula serangan Sin Cap-si-koh dapat dipunahkan.
Beruntun Sin Cap-si-koh menyerang delapan kali, berturut pula dia mundur delapan langkah.
Mendadak ia melompat maju, pada waktu Sin Cap-si-koh hendak ganti serangan lain, sedikit luang itu telah digunakan orang itu untuk balas menyerang, ia menjotos ke muka Cap-si-koh dengan ilmu pukulan Tiang-kun dari aliran selatan.
Tiang-kun adalah ilmu pukulan aliran selatan yang sangat umum, tapi gerak pukulan orang ini ternyata lain daripada yang lain.
Cara memukulnya kelihatan perlahan, tapi sebenarnya mengandung tenaga yang amat kuat.
Sin Cap-si-koh tidak berani meremehkan lawannya yang cekatan itu, sambil berkelit segera tongkatnya menyabet pula bagian kaki musuh.
Tapi orang itu kembali melompat maju dan mendahului menjotos pula ke muka Sin Cap-si-koh, terpaksa Cap-si-koh mundur lagi selangkah.
Begitulah seterusnya terjadi serang menyerang beberapa kali, meski Sin Cap-si-koh tetap sedikit di atas angin, tapi lambat-laun keadaan berubah menjadi saling bertahan belaka.
Dari tempat sembunyinya Kok Siau-hong dapat mengikuti pertarungan itu, ia heran siapakah orang yang tak dikenal ini ternyata sanggup melawan Sin Cap-si-koh dengan sama kuatnya.
Lantaran belum tahu kawan atau lawan, maka ia tidak berani gegabah unjuk diri untuk membantunya, terpaksa ia menunggu lagi dan melihat gelagat dulu.
Selagi pertarungan berlangsung dengan sengitnya, tiba-tiba terdengar suara seorang lagi bergelak tertawa dan berseru.
"Ha, ha, ha, dunia ini agaknya memang sempit, dimana-mana selalu bertemu. Cap-si-koh, memangnya aku hendak mencari kau, siapa tahu dapat bertemu lagi di sini!"
Mendengar suara orang ini, baik Sin Cap-si-koh maupun Kok Siau-hong terkejut.
Kiranya pendatang ini tak lain tak bukan ialah Kiau Sik-kiang yang baru mengalami kekalahan besar di Thay-ouw.
Di belakangnya tampak mengikut pula satu orang tinggi besar, yaitu pembantunya, Ciong Bu-pa.
Hati Cap-si-koh terkesiap, pikirnya kalau sampai Kiau Sik-kiang ikut mengerubutnya, maka jelas dirinya pasti akan kalah.
Jalan paling selamat sekarang adalah melarikan diri saja.
Tapi dalam pertarungan sengit itu, untuk menarik diri secara mendadak terang juga tidak mudah.
Terpaksa dengan lagak angkuh ia berkata.
"Kau boleh maju sekalian saja, orang she Kiau!"
Namun Kiau Sik-kiang lantas bergelak tertawa, katanya.
"Sin Cap-si-koh, kau tidak perlu kuatir akan kukerubut, kedatanganku bukan untuk berkelahi dengan kau, sebaliknya aku ingin berdamai. Su-toako, kita semua adalah kawan, harap berhenti dahulu!"
Baru sekarang Kok Siau-hong tahu bahwa orang yang perang tanding dengan Sin Cap-si-koh adalah Su Thian-tik, itu pentolan bajak laut yang malang melintang di muara Tiang-kang.
Diam-diam ia bersyukur dirinya tadi tidak sembarangan unjuk diri dan membantunya mengerubut Sin Cap-si- koh, kalau tidak, tentu akan terjadilah kesalahan besar, sebab Su Thian-tik justru adalah pengkhianat negara dan bangsa, dosanya jauh lebih besar daripada Sin Cap-si-koh.
Begitulah dengan cepat Su Thian-tik lantas melompat keluar dari kalangan pertempuran, katanya.
"Sin-locianpwe, ilmu silatmu memang lebih hebat daripadaku, kagum, aku sangat kagum! Tadi aku telah mencaci-maki kau, tapi kau juga balas memaki aku, jadi kita anggap seri saja dan tidak perlu dipersoalkan pula."
Bahwa kedua pihak lawan jelas berada di atas angin dengan datangnya bala bantuan, tapi tiba-tiba mau berhenti bertempur dan minta damai, hal ini sungguh di luar dugaan Sin Cap-si-koh. Dengan ragu-ragu kemudian ia mendengus.
"Hm sebenarnya sandiwara apa yang sedang kalian mainkan?"
"Dengan setulus hati aku ingin berdamai dengan kau,"
Jawab Kiau Sik- kiang dengan tertawa.
"Bagaimana kalau kita membicarakan suatu transaksi jual-beli?"
"Tentu saja transaksi ini menguntungkan baik bagimu maupun bagiku,"
Tutur Kiau Sik-kiang.
"Memang kita pernah bersengketa, tapi sengketa ini timbul gara-gara gambar Hiat-to-tong-jin yang sama-sama hendak kita perebutkan itu. Kini kau sudah tahu jelas gambar itu tidak berada padaku, aku pun tahu tidak berada padamu, jadi sengketa kita telah hapus tanpa penjelasan lagi, buat apa kita bertempur, kan lebih baik kita bersekutu untuk menarik keuntungan bersama, betul tidak?"
"O, jadi transaksi yang kau maksudkan ialah gambar pusaka itu?"
Sin Cap-si-koh menegas.
"Tapi gambar itu jelas tidak berada padamu, lalu dengan apa kita mengadakan transaksi segala?"
"Namun aku mengetahui gambar pusaka itu berada pada Ciok Leng dan tempat kediaman Ciok Leng juga sudah kuketahui, dia tinggal bersama Han Tay-wi di suatu tempat."
"Mereka tinggal bersama?"
Cap-si-koh menegas dengan terkejut.
"Benar, biarlah kita bicara secara blak-blakan saja. Kau sendirian pasti bukan tandingan mereka berdua. Kalau kita bergabung dan tiga melawan dua, untuk mencapai kemenangan jelas jauh lebih besar harapannya, apalagi kalau kita berempat, terang kemenangan pasti berada di tangan kita. Bagaimana pendapatmu akan usulku ini?"
"Baik, usulmu dapat kuterima, tapi ingin kudengar dulu apa syarat kalian?"
Ujar Cap-si-koh.
"Syaratnya tidak sukar,"
Kata Kiau Sik-kiang.
"Setelah berhasil mendapatkan gambar pusaka itu, kita masing-masing menyalinnya satu helai, cara begini bukankah adil?"
"Baiklah, kata Cap-si-koh.
"Cuma aku pun mempunyai suatu soal, kalian juga harus menurut syaratku ini."
"Katakan saja, transaksi kita ini harus dilakukan dengan adil,"
Ujar Kiau Sik-kiang tertawa.
"Tentang mati atau hidupnya Ciok Leng aku tidak peduli, tapi Han Tay- wi harus diserahkan kepadaku,"
Kata Cap-si-koh.
"Baik, kami terima,"
Jawab Kiau Sik-kiang tertawa.
"Tapi ada suatu hal kami juga ingin bantuanmu. Tentunya kau mengetahui kami lari ke sini karena mengalami kekalahan di Kang-lam, maka kami sudah siap untuk tinggal sementara di daerah ini, maka dari itulah kami harap engkau suka membantu bicara dengan Tong-cu agar memberi perlindungan kepada kami."
Perlu dijelaskan bahwa politik Mongol mencaplok kerajaan Song direncanakan dengan siasat dua jurusan, di satu pihak pura-pura bersekutu dengan Song untuk menumpas kerajaan Kim, habis itu pasukan induk Mongol lantas dikerahkan ke selatan.
Tapi pada saat yang sama sebelum Kim ditamatkan riwayatnya, pasukan Mongol di daerah barat laut juga menerobos memasuki Su-cwan dan Hun-lam untuk menduduki tempat yang penting, bilamana kerajaan Kim sudah dibereskan, segera pasukan inipun menyusur ke timur dan bergabung dengan pasukan induk di Siang-yang.
Menurut perhitungan Su Thian-tik dan Kiau Sik-kiang, mereka berusaha mengumpulkan sisa anak buah dan bercokol di daerah Miau di propinsi Siam-say, kalau kekuatannya sudah cukup bila perlu akan dilakukan perebutan pengaruh dan mengusir suku Miau dari tempat asal mereka itu, tapi kalau tenaga belum cukup kuat, terpaksa menunggu datangnya pasukan Mongol.
Jadi sebenarnya untuk tujuan rencana mereka inilah maka mereka mau bersekutu dengan Sin Cap-si-koh, tentang gambar pusaka Hiat-to-tong-jin hanya digunakan sebagai umpan untuk memancing Sin Cap-si-koh saja.
Sudah tentu Sin Cap-si-koh bukan orang bodoh, walaupun tidak tahu persis rencana mereka, tapi juga dapat menduga dirinya hanya akan diperalat belaka.
Karena itu ia pun selalu waspada dan pura-pura menerima ajakan Kiau Sik-kiang itu asal saja dapat menguntungkan dirinya.
Begitulah maka ia mengajukan syarat tambahan lagi.
"Akhirnya masih ada suatu permintaanku, yakni kalian harus membantu aku menghadapi dua musuhku."
"Siapakah mereka?"
Tanya Sik-kiang.
"Akan kukatakan kelak,"
Jawab Cap-si-koh.
"Yang pasti kepandaian mereka tidaklah tinggi, kalau bertemu kalian juga tidak perlu ikut turun tangan. Aku hanya minta bantuan kalian untuk mengawasi jejak mereka."
"Kini kita adalah kawan seperjuangan, urusan sekecil ini masakah kami tidak menerimanya,"
Ujar Kiau Sik-kiang dengan tertawa.
"Tapi permintaan kami tadi engkau belum memberi jawaban yang tegas."
"Baiklah, besok juga akan kubawa kalian menemui Tong-cu,"
Jawab Cap- si-koh.
"Mengapa tidak sekarang saja?"
Tanya Sik-kiang.
"Jangan tergesa-gesa, sekarang aku harus menyelesaikan suatu urusan lebih dulu,"
Kata Cap-si-koh.
"Boleh juga, silakan Sin-toaci mampir sementara di tempat pondok kami untuk berunding lebih jauh,"
Kata Kiau Sik-kiang dan diterima dengan baik oleh Cap-si-koh. Di tempat sembunyinya Kok Siau-hong dapat menghela napas lega. Pikirnya.
"Entah rencana jahat apa yang hendak mereka lakukan setelah menemui Bong Tong-cu? Untung Thio Tay-tian sudah mendahului mereka ke sana bersama nona Bong. Dengan bantuan tokoh yang dapat dipercaya itu, rasanya tipu muslihat mereka pasti takkan berhasil."
Setelah rombongan Kiau Sik-kiang dan Sin Cap-si-koh pergi jauh, Kok Siau-hong menjadi kuatir dan sangsi siapakah kedua orang yang dimaksudkan Sin Cap-si-koh tadi.
Ia pikir begundal Kiau Sik-kiang tentu masih banyak, daripada kepergok, biarlah sembunyi lebih lama lagi, toh tempat tinggal Ciok Leng dan mertuanya sudah tidak jauh lagi, malam nanti tentu bisa bertemu dengan mereka.
Begitulah ia lantas duduk semadi di tempat sembunyinya.
Selang agak lama, suasana sunyi senyap, yang terdengar hanya suara serangga belaka di semak belukar sekitarnya.
Selagi dia bersiap-siap hendak meneruskan perjalanan, tiba-tiba terdengar pula suara kresak-kresek, kembali ada suara tindakan dua orang sedang mendatangi.
Ia menjadi sangsi jangan-jangan rombongan Sin Cap-si-koh tadi telah putar balik, terpaksa ia mendekam pula di tempat sembunyinya.
Sejenak kemudian terdengarlah suara seorang perempuan yang sudah sangat dikenalnya sedang berkata.
"Sudah dekat, Jit-nio!"
Seketika hampir saja Kok Siau-hong melompat keluar dari tempat sembunyinya, sebab jelas orang yang bersuara itu tak lain tak bukan adalah Han Pwe-eng yang dirindukannya siang dan malam itu.
Dan orang yang disebut Jit-nio tadi jelas pula Beng Jit-nio adanya.
Sebenarnya Kok Siau-hong bermaksud berseru memanggil, tapi mendadak ia menyadari sesuatu, ia kuatir jangan-jangan rombongan Sin Cap-si-koh masih mengintai di sekitar situ dan suaranya pasti akan terdengar, itu berani memanggil maut baginya.
Karena itulah ia hendak menunggu mendekatnya Han Pwe-eng berdua dan akan diberi isyarat dengan tangan saja nanti.
Sementara itu Han Pwe-eng dan Beng Jit-nio sudah kelihatan muncul, sambil berjalan sambil bicara.
Terdengar Beng Jit-nio berkata.
"Ayahmu berada di gunung depan sana, malam nanti kita pasti dapat mencapainya."
Kiranya setelah bertemu dengan Han Tay-wi dahulu, suka-duka hubungan antara Beng Jit-nio dengan bekas kekasih itu telah dapat dibikin terang, Han Tay-wi kini sudah tahu pembunuh isterinya bukanlah Beng Jit- nio, sebaliknya Beng Jit-nio juga tahu setelah Han Tay-wi kematian isterinya, hatinya sudah beku, terhadap Jit-nio kini hanya punya rasa persahabatan saja.
Namun begitu Jit-nio merasa puas juga dapat memulihkan persahabatannya.
Di daerah Miau memang banyak tumbuh tetumbuhan obat-obatan yang berharga, Beng Jit-nio sendiri belum sembuh sama sekali dari luka dalamnya yang sudah lama itu, maka kesempatan telah digunakan untuk mencari obat- obatan yang diperlukan.
Kebetulan waktu itu Han Pwe-eng baru memasuki daerah Miau, sudah tentu banyak mengalami gangguan dan kesukaran karena perbedaan bahasa, untung Beng Jit-nio telah menemukan dia dan memberi bantuan.
Dengan sendirinya pula Jit-nio lantas membawa Pwe-eng pergi menemui ayahnya.
Begitulah dengan hati berdebar Kok Siau-hong menantikan mendekatnya Pwe-eng berdua.
Tapi mendadak terdengar Han Pwe-eng berkata.
"He, tampaknya di sana ada orang?"
Kok Siau-hong mengira dirinya yang dimaksud, tapi ternyata meleset dugaannya, segera terdengar suara orang tertawa dingin, berbareng dari dalam hutan sana melayang keluar satu orang.
Siapa lagi dia kalau bukan Sin Cap-si-koh adanya.
Sin Cap-si-koh mempunyai banyak kenalan orang Miau, maka dia mendapat keterangan tentang jejak Han Pwe-eng dan Beng Jit-nio, ia yakin Beng Jit-nio pasti akan membawa Pwe-eng pergi mencari ayahnya, maka dengan sengaja ia hendak mencegat datangnya Beng Jit-nio berdua.
Tadinya dia menyangsikan di tengah semak alang-alang ada orang bersembunyi dan entah Beng Jit-nio berdua atau bukan.
Sebab itulah tadi ketika berangkat pergi bersama Su Thian-tik bertiga, dia sengaja berkata dengan suara keras agar didengar oleh orang yang bersembunyi di semak-semak itu, tapi sebenarnya dia lantas memutar balik lagi untuk mengintai.
Tak terduga orang yang bersembunyi di semak-semak itu tidak muncul, sebaliknya Beng Jit-nio dan Han Pwe-eng malah datang lebih dulu.
Melihat Sin Cap-si-koh, segera Beng Jit-nio menghadang di depan Han Pwe-eng dan menjengek.
"Sin Yu-ih, kau mau apa?"
Dengan senang hati Sin Cap-si-koh menjawab.
"Piau-moay, agaknya kau baru datang ke sini, aku lebih lama berada di sini, sedikitnya aku berkewajiban menjadi tuan rumah untuk menyambut kedatanganmu dan nona Han ini."
"Tidak perlu banyak omong, katakan terus terang saja apa kehendakmu,"
Bentak Jit-nio dengan gusar.
"Tentang persengketaan kita biarlah kita bereskan sendiri, tidak perlu kau menggertak orang lain."
"Huh, aku juga tahu kalau cintamu belum padam dan dengan sukarela mau menjadi ibu tiri nona Han, tapi orang lain rasanya toh belum tentu mau menerima kau,"
Jengek Sin Cap-si-koh dengan senyuman sinis. Tidak kepalang gusar Beng Jit-nio, ia angkat tongkatnya dan mendamprat.
"Mulut anjing mana bisa tumbuh gading! Ini rasakan!"
Berbareng tongkatnya terus menghantam. Tapi dengan menyampuk perlahan serangan Beng Jit-nio itu telah tertangkis oleh tongkat bambu Cap-si-koh, menyusul ia pun melancarkan serangan balasan sambil mengeluarkan kata-kata ejekan.
"Sin Yu-ih, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau!"
Seru Beng Jit-nio dengan murka, lalu ia pun berkata kepada Han Pwe-eng.
"Lekas lari, Pwe- eng!"
Sudah tentu Han Pwe-eng menyadari dirinya tak dapat memberi bantuan banyak, tapi suruh dia meninggalkan Beng Jit-nio jelas ia pun tidak mau. Segera ia melolos pedang dan siap ikut menerjang maju. Tapi Sin Cap-si-koh lantas berkata.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana dia dapat lari, andaikan aku membiarkan dia pergi, ada orang lain yang pasti akan menahan dia!"
Belum habis ucapan Cap-si-koh itu, tahu-tahu di depan Han Pwe-eng sudah muncul tiga orang dalam posisi mengepung. Tak perlu diterangkan lagi mereka ialah Kiau Sik-kiang bertiga.
"Benar, nona Han, ayahmu adalah sahabat baik kami, kalau kami tidak melayani kau dengan sebaik-baiknya, bagaimana nanti aku harus bicara dengan ayahmu?"
Demikian Kiau Sik-kiang berolok-olok.
"Lebih baik kau ikut bersama kami saja, nanti akan kubawa kau menemui ayahmu."
"Hm, kalian bertiga jelek-jelek juga terhitung orang ternama, masakah mengerubut seorang nona cilik, kalian tahu malu tidak?"
Bentak Beng Jit- nio.
"Terima kasih atas pujianmu,"
Kata Su Thian-tik.
"Tapi nona Han ini adalah tamu yang hendak ditahan oleh Cap-si-koh, betapa pun aku harus membujuknya supaya dia mau menurut."
Habis berkata, terdengar suara nyaring "cring-cring"
Tiga kali, dia menyambitkan tiga buah mata uang tembaga.
Ketiga mata uang itu menyambar lewat di atas kepala Han Pwe-eng, lalu mendadak memutar balik.
Tentu saja Han Pwe-eng kaget, cepat ia melompat mundur untuk menghindar dan itu berarti dia makin mendekati lawan.
Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Maling Romantis -- Khu Lung