Pendekar Sejati 31
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 31
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
"Nah, silakan kembali saja!"
Kata Su Thian-tik dengan tertawa, segera ia menyambitkan pula tiga mata uang, berbareng ia pun menubruk maju. Dalam keadaan bahaya itulah, sekonyong-konyong terdengar suara "crang-cring"
Yang ramai, tiga buah mata uang musuh mendadak jatuh di samping Han Pwe-eng.
Menyusul dari semak-semak sana terus melompat keluar satu orang dan menghadang di depan Han Pwe-eng, kiranya orang ini telah menyambitkan beberapa batu kecil untuk menjatuhkan mata uang Su Thian-tik tadi.
Sekejap itu Han Pwe-eng menjadi girang bercampur kejut, ia mengira sedang mimpi saja, tanpa terasa ia berseru.
"He, kau Siau-hong!"
"Benar, memang aku adanya,"
Jawab Kok Siau-hong.
"Kita berada bersama, apa pun tidak perlu takut."
Su Thian-tik juga terkejut melihat Kok Siau-hong mendadak melompat keluar dari tempat sembunyinya dengan gerakan yang luar biasa, segera ia pun membentak.
"Siapa kau?"
Tapi Siau-hong tidak menggubrisnya, ia berkata pula kepada Pwe-eng.
"Adik Eng, boleh kau pulang dulu memberi kabar kepada ayahmu, biar aku yang menghadapi dia."
"Barusan engkau bilang apa pun kita tidak takut jika berada bersama,"
Ujar Pwe-eng dengan tersenyum.
"Maka biarlah aku tetap tinggal di sini, sekali pun mati biarlah kita mati bersama saja."
"Tapi bukan begitu maksudku, kita....."
Setelah mengalami macam- macam kesukaran dan suka-duka, kini dapat bertemu kembali dengan kekasih lama, betapa hebat guncangan perasaan Kok Siau-hong dapatlah dibayangkan, maka sama sekali ia tidak gentar menghadapi musuh tangguh.
Dalam pada itu Su Thian-tik lantas mendengus.
"Kalian boleh bermesraan di akhirat saja, keparat!"
Dengan gemas Kok Siau-hong menusuknya satu kali, sambil mengegos Su Thian-tik balas mencengkeram.
Tapi mendadak pandangannya menjadi silau, pedang musuh berkelebat dengan cepat seakan-akan berubah menjadi belasan pedang yang memburu ke mukanya.
Terkesiap hati Su Thian-tik, lekas ia mendekkan tubuh dan melompat mundur, menyusul kedua tangannya bergerak pula, dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai ia melancarkan serangan balasan.
Han Pwe-eng tidak tinggal diam, segera ia pun melolos pedang dan bahu membahu dengan Kok Siau-hong menghadapi musuh.
Mendadak Su Thian- tik membentak.
"Nanti dulu! Kau memainkan Jit-siu-kiam-hoat dari keluarga Yim, kau pernah apanya Yim Thian-ngo?"
Kok Siau-hong tidak menggubrisnya, tapi Kiau Sik-kiang lantas menimbrung.
"Su-toako, bocah ini bernama Kok Siau-hong, Jit-siu-kiam- hoat ini dia curi belajar dari keluarga Yim. Meski dahulu dia adalah keponakan Yim Thian-ngo, tapi antara mereka sudah lama putus hubungan, Su-toako tidak perlu gentar padanya."
"O, kiranya begitu,"
Kata Su Thian-tik.
"Baiklah, mengingat Yim Thian- ngo, akan kuampuni jiwamu, kau hanya akan kutangkap dan kuserahkan kepada Yim Thian-ngo saja."
Walaupun ilmu pedang Kok Siau-hong sangat hebat, tapi ilmu silat Su Thian-tik terlebih kuat daripada dia, setelah belasan jurus, akhirnya Siau- hong tidak sanggup menyerang lagi, terpaksa ia hanya bertahan belaka.
Syukur belakangan ini ilmu silat Han Pwe-eng juga maju banyak, dengan tenaga berdua orang, mereka masih mampu melayani serangan musuh.
"Su-toako, bocah inipun ada sedikit urusan dengan aku, boleh kau serahkan dia padaku saja!"
Seru Kiau Sik-kiang. Tapi Su Thian-tik ingin menjaga gengsi sebagai tokoh kalangan Hek-to, dengan tak acuh ia menjawab.
"Aku justru ingin tahu sampai dimana kehebatan Jit-siu-kiam-hoat yang terkenal ini, kau jangan mengganggu, bocah ini pasti tak dapat lolos dari tanganku."
Selagi Kok Siau-hong berdua mulai kewalahan, tiba-tiba terdengar suara seruling yang merdu berkumandang dari jauh sana.
Sekilas ia melihat dari lereng gunung sana sedang mendatangi seorang pemuda dan seorang nona.
Yang pemuda ternyata Ciau Siang-hoa adanya dan yang perempuan jelas ialah Nyo Kiat-bwe.
Rupanya Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe sedang pesiar menikmati pemandangan pegunungan yang indah, semula mereka tidak tahu di tengah semak alang-alang itu ada orang bertempur.
Sesudah dekat barulah mereka melihat Sin Cap-si-koh, Beng Jit-nio, Kiau Sik-kiang, Kok Siau-hong dan lain- lain, keruan mereka terkejut.
"Ah, kiranya Kok-toako juga di sini!"
Seru Ciau Siang-hoa, segera ia bersuit panjang untuk memberi semangat kepada kawannya itu. Dengan gemas Nyo Kiat-bwe juga mendamprat.
"Hm, iblis perempuan inipun muncul di sini, tidak perlu ditanya lagi tentu dia hendak mencari kita!" ~ Yang dia maki terang ialah Sin Cap-si-koh. Begitulah mereka berdua lantas memburu maju. Sin Cap-si-koh juga heran melihat mereka, pikirnya.
"Mereka tidak lari, sebaliknya berani mendekati aku, tentu mereka mempunyai andalan apa-apa. Jangan-jangan Han Tay-wi menyusul di belakang mereka?"
Segera Cap-si-koh melancarkan suatu serangan gertakan, ketika Beng Jit- nio berkelit, cepat ia memutar tubuh dan menghamburkan segenggam jarum berbisa ke arah Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe.
Sudah tentu Beng Jit-nio tidak tinggal diam, tongkatnya secepat kilat menutul ke Thay-yang-hiat di pelipis Cap-si-koh.
Serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu.
Sin Cap-si-koh tidak berani gegabah, sambil menghamburkan jarum berbisa, tongkatnya memutar untuk menangkis serangan Beng Jit-nio, tapi lantaran itulah arah jarum menjadi kurang jitu.
Dengan enteng saja Nyo Kiat-bwe dan Ciau Siang-hoa dapat menghindarkan senjata rahasia itu.
Dalam pada itu Ciong Bu-pa telah menghadang di depan kedua muda- mudi itu sambil berseru.
"Jangan repot, Sin-toaci, biar aku mewakilkan membereskan kedua bocah ini."
"Baik, boleh kau bekuk budak yang tak tahu budi kebaikan itu,"
Kata Cap-si-koh.
Segera Ciong Bu-pa pentang kedua tanganriya yang besar itu terus mencengkeram Nyo Kiat-bwe dan Ciau Siang-hoa.
Tapi kedua pedang Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe mendadak menyambar sekaligus.
Karena ingin menawan hidup Nyo Kiat-bwe sebagaimana permintaan Sin Cap-si-koh, maka cengkeraman Ciong Bu-pa kepada Kiat-bwe itu tidak seganas cengkeramannya kepada Ciau Siang-hoa, ketika pedang Kiat-bwe menusuk, sesudah dekat mendadak pedang berputar ke atas sehingga jari tangan Ciong Bu-pa hampir saja tertabas putus.
Ciong Bu-pa menjadi murka, dengan menggerung segera ia menubruk maju lagi.
"Lekas, kemari, ayah!"
Seru Siang-hoa.
Pada saat itulah lantas terdengar suara keleningan, seorang tua berdandan sebagai tabib kelilingan, tangan membawa pikulan peti obat, entah darimana munculnya, tahu-tahu tabib itu sudah berada di depan mereka.
Melihat tabib itu, legalah hati Kok Siau-hong, pikirnya.
"Kiranya Ciok- locianpwe datang bersama mereka, pantas Kiat-bwe berdua tidak gentar menghadapi musuh tangguh. Cuma pihak lawan berjumlah empat orang dan semuanya berkepandaian tinggi, Ciok-locianpwe sendirian mungkin sukar menghadapi mereka. Apabila paman Han juga datang tentu akan beres segalanya."
Kiranya tabib kelilingan itu tak lain tak bukan ialah Ciok Leng adanya, yaitu ayah kandung Ciau Siang-hoa. Ciong Bu-pa belum kenal kelihaian Ciok Leng, segera ia menjengek.
"Hm, tukang jamu macam kau saja juga berani ikut campur urusan orang lain, lebih baik selamatkan jiwamu sendiri saja!" ~ Berbareng ia terus menghantam. Dengan tenang Ciok Leng angkat pikulannya untuk menangkis, jawabnya dengan tertawa.
"He, orang gede! Salah ucapanmu ini, darimana kau mengetahui aku adalah tukang jamu yang tak berkepandaian sejati?"
Maka terdengarlah suara "blang"
Yang keras disertai bunyi keleningan yang riuh.
Pukulan Ciong Bu-pa sangat dahsyat, ia mengira sekali hantam tentu dapat mematahkan pikulan orang, siapa tahu tulang tangan sendiri berbalik hampir retak terbentur pikulan lawan.
Sambil mengerang, kembali tangan yang lain menghantam pula.
Pikulan milik Ciok Leng itu terbuat dari tembaga hijau, pada luarnya diberi minyak cat, tapi lawan ternyata berani menggunakan lengan untuk beradu dengan tongkatnya, mau tak mau Ciok Leng terkesiap dan mengakui kekuatan luar lawan yang hebat, ia pikir sebaiknya jangan mengadu kekuatan lagi dengan musuh, tapi harus mengadu akal saja.
Saat itu Ciong Bu-pa sedang menubruk maju dan menghantam pula, jaraknya sudah dekat, Ciok Leng tidak sempat menarik kembali pikulannya untuk menyodok lawan.
Tampaknya hantaman Ciong Bu-pa sekali ini pasti akan menghancurkan batok kepala Ciok Leng.
Tapi entah mengapa mendadak tubuh Ciong Bu-pa segede kerbau itu mencelat ke atas seperti bola dan jatuh beberapa meter jauhnya di sebelah sana.
Kiau Sik-kiang hanya mengikuti pertarungan itu sejak tadi tanpa ikut turun tangan, kini melihat pembantu utamanya itu kecundang, mau tak mau ia terkejut, cepat ia menerjang maju untuk memapak musuh.
"Paman Ciok, keparat itulah Kiau Sik-kiang yang telah berkhianat pada negara dan bangsa, jangan kau memberi ampun padanya!"
Seru Siau-hong. Sudah tentu Kiau Sik-kiang sudah tahu Ciok Leng adalah jago kelas tinggi, tapi mengingat kepandaian sendiri juga tidak rendah, maka ia pun tidak gentar, segera ia berkata dengan tertawa.
"Ha, ha, kau mengaku sendiri bukanlah tukang jual jamu biasa, maka biarlah aku belajar kenal dengan kepandaianmu yang sejati!"
"Baik, boleh kau coba!"
Bentak Ciok Leng, pikulannya bergerak, sekali berputar, segera ia menyodok ke dada Kiau Sik-kiang.
Mendadak Kiau Sik-kiang memutar tubuh, waktu membalik lagi tangannya sudah memegang sebilah golok pusaka yang mengkilat.
Kiranya golok pusakanya itu tipis dan lemas, kalau tidak terpakai biasanya melilit di pinggang dan digunakan sebagai sabuk, jika bertemu musuh tangguh barulah golok pusaka yang amat tajam itu digunakannya.
Maka terdengarlah suara berdering yang memekakkan telinga, golok Kiau Sik-kiang membacok pikulan Ciok Leng dan menerbitkan lelatu api, batang pikulan terdekuk, sebaliknya tangan Kiau Sik-kiang juga tergetar hingga kesakitan.
Segera Kiau Sik-kiang berganti serangan pula, tapi Ciok Leng juga menghadapi dengan sama tangkasnya.
Kiau Sik-kiang lebih untung dalam hal senjata, sedang lwekang Ciok Leng lebih kuat.
Jadi keduanya seimbang, keduanya bertempur dengan penuh semangat dan sukar ditentukan dalam waktu singkat.
Dalam pada itu Ciong Bu-pa telah merangkak bangun, ia berjingkrak gusar dan bermaksud menerjang maju lagi, namun Kiau Sik-kiang telah berseru padanya.
"Ciong-laute, bereskan saja kedua bocah itu, tapi jangan celakai jiwa mereka!"
"Anjing yang sudah digebuk ayah tadi masakah kita mesti takut, biarlah kita hajar dia lagi!"
Kata Ciau Siang-hoa dengan tertawa.
"Benar, kita binasakan dia saja supaya tidak menggigit orang pula,"
Jawab Nyo Kiat-bwe. Keruan tidak kepalang murka Ciong Bu-pa, teriaknya.
"Kiau-toako, aku tak dapat menurut katamu, kedua bocah keparat ini harus kubunuh!"
Tapi Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe dapat bertahan dengan kuat, Ciong Bu-pa sendiri sudah terluka sebelah lengannya, tenaga banyak berkurang, beberapa kali ia menubruk dan menerjang, tapi ia sendiri malah hampir termakan oleh pedang lawan.
Sekilas Ciok Leng dapat mengikuti pertarungan kedua muda-mudi yang cukup kuat menghadapi Kiau Sik-kiang itu, maka legalah hatinya.
Begitu pula Sin Cap-si-koh juga merasa lega.
Semula Sin Cap-si-koh kuatir kalau Han Tay-wi juga ikut datang, tapi sampai sekian lama ternyata Han Tay-wi tidak nampak muncul, padahal kalau menuruti watak Han Tay-wi, bila melihat anak perempuannya terdesak musuh, apalagi Beng Jit-nio juga terkepung, betapa pun tentu sudah unjuk diri dan ikut bertempur.
Maka ia yakin Han Tay-wi pasti tidak datang ke situ.
Dalam pada itu Beng Jit-no merasa kewalahan menghadapi serangan Sin Cap-si-koh, apalagi luka dalamnya memang belum sembuh.
Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia melancarkan serangan maut, sekonyong-konyong ia menubruk maju, tongkatnya menyodok sekuatnya, tipu serangannya ini penuh resiko, bilamana perlu ia bersedia gugur bersama musuh.
"Eh, Piau-moay, kesehatanmu belum pulih, mengapa kau tidak sayang kepada badanmu sendiri?"
Ejek Cap-si-koh.
Tongkat bambunya berputar perlahan dan tepat menahan di atas batang tongkat lawan, ketika dia puntir, tahu-tahu Beng Jit-nio ikut terseret berputar dua kali.
Nyata, dengan tongkat mengadu tongkat, Sin Cap-si-koh sengaja mengadu tenaga dalam dengan Beng Jit-nio.
Setelah terseret dan berputar, hendak melepaskan tongkatnya ternyata tak mampu, kedua tongkat seperti melengket saja, Beng Jit-nio merasa mata berkunang-kunang, dada terasa sesak, diam-diam ia mengeluh sekali ini pasti jiwanya akan melayang.
Selagi Beng Jit-nio berniat memutus urat nadi untuk membunuh diri daripada dianiaya, tiba-tiba ia merasa tenaga lawan rada kendur sedikit.
Ia menjadi heran, memangnya lawan mendadak berubah pikiran dan bermurah hati? Padahal cara bertempurnya jelas tidak kenal ampun.
Belum lenyap pikirannya, terdengar Sin Cap-si-koh bersuara heran dan membentak.
"He, siapa itu?"
Beng Jit-nio sempat berganti napas, waktu ia menoleh, terlihat seorang kakek berbaju hijau entah sejak kapan sudah berdiri di depan mereka.
Kakek baju hijau itu tidak menjawab teguran Sin Cap-si-koh tadi, ia mengamat-amati Cap-si-koh sejenak, habis itu baru berkata.
"Apakah kau ini Sin Cap-si-koh?"
Sorot matanya yang tajam dingin itu membikin Cap-si-koh merinding.
"Kau siapa?"
Jawab Cap-si-koh dengan gusar.
"Ya, memang aku inilah Sin Cap-si-koh, kau mau apa?"
"Tidak apa-apa,"
Kata kakek itu.
"Aku cuma ingin tanya sesuatu padamu, marilah ikut aku pergi saja!"
Sebenarnya Sin Cap-si-koh juga dapat melihat si kakek adalah seorang kosen, tapi mana dia mau sia-siakan kesempatan membereskan Beng Jit-nio yang sudah kewalahan itu. Segera ia menjengek.
"Ha, hanya berkata begini saja lantas aku harus ikut pergi dengan kau? Kalau kau punya isi, perlu juga kau memperlihatkan sejurus dua kepadaku."
"Hm, kau berani membantah kataku?"
Kata kakek itu dengan kurang senang.
"Sekali kubilang kalian harus menyudahi pertempuran ini, siapa yang tidak menurut boleh coba menghadapi aku."
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Habis berkata, mendadak ia melangkah ke tengah antara Beng Jit-nio dan Sin Cap-si-koh, kedua tangan terpentang, serentak kedua tongkat yang saling lengket tadi kena dipisahkan olehnya.
Betapa hebat tenaga dan betapa cepat gerakannya sungguh sukar dibayangkan.
Tertampak darah tersembur dari mulut Beng Jit-nio, dengan muka pucat ia membentak.
"Sin Yu-ih, keji amat kau! Lo-cianpwe ini....."
"Aku tidak peduli urusan kalian, kau pun tidak perlu berterima kasih padaku,"
Kata kakek itu.
"Aku datang untuk keperluanku sendiri, yakni hendak bicara dengan perempuan she Sin ini."
Dengan muntah darah Beng Jit-nio merasa mata berkunang-kunang dan kepala pusing, maksudnya hendak membantu Han Pwe-eng terpaksa dibatalkan untuk menenangkan diri dan menghimpun tenaga, si kakek baju hijau tidak mempedulikan dia, maka ia pun tidak mengurus mereka lagi.
Sin Cap-si-koh tidak tahu maksud tujuan kedatangan si kakek, ia pun penasaran oleh ucapan orang, maka ketika si kakek bicara dengan Beng Jit- nio, segera tongkat bambunya menutul ke punggung kakek itu.
Namun kepandaian kakek itu sungguh luar biasa, punggungnya seperti bermata saja, tanpa menoleh segera ia menyelentik, maka terdengarlah suara "cring-cring"
Beberapa kali, tertampak Sin Cap-si-koh melompat mundur beberapa meter jauhnya.
"Nah, apakah kau masih penasaran? Jika tetap bandel, terpaksa aku tidak sungkan lagi dengan kau!"
Kata si kakek sambil menjengek.
Rupanya si kakek telah menggunakan tenaga jari sakti untuk menjentik tongkat Sin Cap-si-koh, meski tongkatnya tidak sampai terlepas dari cekalan, tapi tangan Cap-si-koh terasa pegal linu oleh tenaga orang yang hebat itu.
Waktu Sin Cap-si-koh memandang sekelilingnya, ia lihat Kiau Sik-kiang dan Ciok Leng mungkin sukar ditentukan kalah dan menang dalam waktu singkat, sedang Su Thian-tik jelas pasti akan menang, agaknya tidak lama lagi pasti dapat membereskan Kok Siau-hong dan menawan Han Pwe-eng.
Dan kalau Su Thian-tik nanti membantunya tentu dapat mengalahkan kakek baju hijau ini.
Setelah ambil keputusan akan main bertahan mengulur waktu, segera Sin Cap-si-koh melompat mundur lagi sambil berseru.
"Ada urusan apa kau mencari aku, harap katakan lebih dulu sejelasnya."
"Baik, coba jawab dulu, Sin Liong-sing itu keponakanmu bukan?"
"Kalau betul ada soal apa pula?"
"Aku justru mencari dia? Berada dimana dia sekarang?"
"Ada urusan apa kau mencari dia?"
"Yang penting lekas kau membawa aku pergi mencari dia, nanti akan kujelaskan padamu."
"Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengan dia, darimana aku mengetahui dia sekarang berada dimana? Malahan aku sendiri pun hendak mencari dia!"
"Aku tidak peduli urusanmu, yang penting kau harus bertanggung-jawab menemukan dia,"
Kata si kakek, berbareng ia terus mencengkeram pula.
Tapi cengkeramannya mengenai tempat kosong, meski kepandaian Sin Cap-si-koh kalah tinggi, tapi Ginkangnya tidaklah lebih rendah daripada si kakek.
Namun si kakek tetap membayangi lawannya, cengkeraman kedua dan ketiga segera susul menyusul pula.
Sebenarnya Sin Cap-si-koh tidak sudi dihina orang, maka ia sangat mendongkol, tapi juga kuatir kalau Han Tay-wi keburu datang dan itu berarti sukar lolos baginya.
Karena itulah tiba-tiba ia mendapat akal, serunya.
"Berhenti dulu!"
"Tidak perlu banyak omong, lekas bawa aku pergi mencari keponakanmu!"
Jengek si kakek.
"Usiamu sudah lanjut, mengapa watakmu masih keras begini?"
Ujar Cap- si-koh dengan tertawa.
"Baiklah, aku akan pergi bersama kau?"
"Memangnya kau dapat membangkang? Hayo, tunjukkan jalan!"
Jengek kakek itu.
"Cuma ada sesuatu ingin kukatakan sebelumnya, dapatkah kau menyanggupi terserah kepadamu,"
Kata Cap-si-koh.
"Urusan apa, lekas katakan!"
Bentak si kakek.
Tak terduga Sin Cap-si-koh sengaja menggunakan siasat mengulur waktu, ketika si kakek sedikit lengah, mendadak ia mengebut lengan bajunya, sejenis Am-gi (senjata gelap/rahasia) mendadak menyambar keluar, terdengar suara letusan, seketika terhambur kabut asap yang tebal diseling dengan gemilapan bintik emas mengarah kepala si kakek.
Bintik-bintik mengkilat emas itu adalah jarum yang sangat lembut.
Kiranya senjata rahasia ini bernama "Tok-bu-kiam-ciam-liat-yam-tam" (granat berasap racun berjarum emas) dan merupakan Am-gi khas yang diyakinkan Sin Cap-si-koh dengan susah payah, setelah berhasil meyakinkan senjata rahasia itu, selama ini belum pernah digunakannya.
Sebenarnya senjata rahasia ini disediakan untuk menghadapi Han Tay-wi, tapi kini dalam keadaan terdesak oleh si kakek baju hijau, terpaksa lantas digunakannya.
Di tengah suara letusan itulah, dengan cepat si kakek baju hijau mengayun lengan bajunya yang longgar, berbareng ia pun memukul tiga kali, dengan tenaga pukulannya itu ia buyarkan kabut asap yang tebal, bintik mengkilat tadi segera pun ikut sirna.
"Ini kukembalikan jarum emasmu!"
Bentak si kakek mendadak sambil mengebaskan lengan bajunya.
Kiranya ada sebagian jarum yang sempat mampir pada lengan bajunya dan kini telah disambitkan kembali kepada Sin Cap-si-koh.
Keruan Cap-si-koh terkejut, tak terduga kepandaian si kakek ternyata begini tinggi, syukur Ginkang Cap-si-koh juga sangat hebat, pada detik berbahaya itu segera ia mengapung ke atas sehingga jarum-jarum lembut itu menyambar lewat di bawah kakinya.
"Hm, hanya sedikit permainanmu ini berani kau pamer padaku,"
Jengek si kakek.
"Aku tahu kau mahir menggunakan racun, maka aku ingin tahu apakah kabut berbisa yang kau hamburkan ini dapat mencelakai aku, boleh kau lihat!"
Tepat pada saat itu angin meniup ke arahnya, si kakek sengaja menarik napas dan mengisap kabut beracun itu, lalu bergelak tertawa dan berkata.
"Ha, ha, sungguh harum sekali!"
Sungguh kejut Sin Cap-si-koh tak terkatakan, ia pikir kalau pertarungan diteruskan tentu dirinya sendiri yang bakal celaka, jalan satu-satunya paling selamat adalah kabur saja. Tanpa pikir lagi segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.
"Lari kemana?"
Bentak si kakek. Tapi dengan cepat luar biasa, dalam sekejap saja Sin Cap-si-koh sudah lari berpuluh meter jauhnya.
"Baik, biar kita berlomba Ginkang!"
Seru si kakek.
Mendengar ucapannya itu, semua orang mengira dia pasti akan segera mengejar.
Siapa tahu dia justru melangkah dengan berlenggang seenaknya, sama sekali tidak terburu-buru seperti Sin Cap-si-koh.
Rupanya si kakek adalah seorang tokoh ahli, meski lari Sin Cap-si-koh itu kelihatan secepat terbang, tapi si kakek sudah dapat melihat letak kelemahannya, yaitu tak bisa tahan lama, sebentar lagi larinya pasti akan kendur, hal ini disebabkan Sin Cap-si-koh tadi sudah bertempur sengit melawan Beng Jit-nio.
Sementara itu Ciok Leng dan Kiau Sik-kiang juga sudah sampai pada saat menentukan kalah dan menang.
Dengan permainan golok pusakanya Kiau Sik-kiang sedikit pun tak dapat menarik keuntungan daripada lawannya.
Sedangkan Ciok Leng dapat memutar pikulannya menyerang ke sana sini, dia lebih banyak menyerang daripada bertahan.
Waktu si kakek baju hijau melangkah lewat di sebelah Ciok Leng, mendadak ia tertawa terbahak dan berkata.
"Ha, ha, kiranya kau si tabib keliaran ini masih belum mampus!"
"Ya, aku pun tidak menduga bahwa kau masih hidup!"
Jawab Ciok Leng tertawa.
Kiau Sik-kiang terkejut karena kedua orang itu saling kenal.
Untung si kakek terus melangkah lewat ke sana tanpa memberi bantuan kepada Ciok Leng.
Pada saat Ciok Leng berpaling menyapa si kakek baju hijau, segera Kiau Sik-kiang mengeluarkan serangan maut, goloknya menabas ke bahu lawan.
Rupanya Ciok Leng sudah menduga akan gerak serangan lawan ini dan justru sengaja memberi peluang itu.
Maka terdengarlah suara "trang"
Yang keras disertai cipratan lelatu api, Ciok Leng telah menyampuk dengan pikulannya, walaupun batang pikulan terbacok dekuk, tapi ujung pikulan yang berkait telah merobek baju Kiau Sik-kiang, untung dia sempat berkelit, kalau tidak, perut Kiau Sik-kiang pasti terobek.
Kalau di pihak sini Ciok Leng lebih unggul daripada lawannya, adalah di sebelah sana Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng yang mengerubut Su Thian- tik ternyata rada kewalahan.
Ketika si kakek baju hijau lewat di samping mereka, mendadak ia berhenti dan memuji.
"Bagus benar Jit-siu-kiam-hoatmu ini, tentu kau inilah Kok Siau-hong bukan?"
Kok Siau-hong tidak berani membuka mulut, ia hanya mengangguk saja. Dalam hati ia heran mengapa orang tua ini kenal akan diriku? Dalam pada itu terdengar si kakek berkata pula.
"Aku tahu Sin Liong- sing pernah hutang budi kepadamu." ~ Sampai di sini, mendadak ia mengebaskan lengan bajunya. Ketika itu Kok Siau-hong sedang menusuk lurus ke depan dengan pedangnya dan Su Thian-tik sempat melangkah ke samping, berbareng tangannya lantas mencengkeram pergelangan lawan. Sebenarnya pedang Kok Siau-hong sudah menusuk tempat kosong, tapi kena disampuk oleh angin kebasan lengan baju si kakek, kebetulan ujung pedangnya berganti arah dan tepat mengenai Su Thian-tik.
"Ilmu pedang hebat, Kok-siauhiap, sungguh mengagumkan!"
Seru si kakek.
"Su Thian-tik, jelas kau sudah kalah satu jurus kepada Kok-siauhiap, jika kau merasa penasaran boleh kau mencari balas padaku saja."
Sambil berkata ia terus melangkah ke depan dengan tenang seperti orang lewat saja, namun cepatnya luar biasa, hanya sekejap saja orangnya sudah menghilang di lereng gunung sana.
Berhasilnya Kok Siau-hong menusuk Su Thian-tik laksana dibantu oleh malaikat, sudah tentu "malaikat"nya ialah si kakek baju hijau tadi yang telah membantunya secara diam-diam.
Hal ini dipahami Kok Siau-hong dan juga diketahui Su Thian-tik.
Hanya Siau-hong tidak mengerti mengapa si kakek mau membantunya.
Dari ucapannya tadi, agaknya bantuannya ini adalah untuk membalas budi bagi Sin Liong-sing.
Anehnya mengapa si kakek mau berbuat mewakilkan Sin Liong-sing? Sebaliknya Su Thian-tik diam-diam bersyukur lukanya tidak berbahaya, coba kalau si kakek mau menggunakan serangan maut tentu dirinya sudah luka parah andaikan tidak mati.
Rupanya si kakek sengaja tidak menggunakan serangan mematikan, tujuannya hanya ingin membantu menaikkan nama Kok Siau-hong, agar pemuda itu yang mengalahkan jago nomor satu dari kalangan Hek-to seperti Su Thian-tik ini.
Apalagi dengan derajatnya tentu juga dia tidak sudi menyerang Su Thian-tik yang sedang bertempur itu, maka dia hanya membantu Kok Siau-hong secara diam-diam saja.
Walaupun tusukan Siau-hong tadi tidak mengenai tempat berbahaya, tapi lengan kanan Su Thian-tik juga terluka sehingga tidak leluasa bergerak.
Di sebelah lain Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe juga telah mencecar Ciong Bu-pa, percuma Ciong Bu-pa memiliki tenaga raksasa, dia hanya sanggup bertahan saja sambil berkaok-kaok.
Kiranya setelah dilukai Ciok Leng tadi, gerak-geriknya menjadi kurang gesit, sebaliknya Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe menggunakan siasat tempur dengan berlari kian kemari, begitu ada peluang segera mereka melancarkan serangan secara kilat.
Dalam keadaan gerak-gerik tidak leluasa, dengan sendirinya Ciong Bu-pa menjadi kewalahan.
Sementara itu Beng Jit-nio sudah dapat menenangkan diri dan berdiri, ia mengetuk tongkatnya ke tanah dan membentak.
"Su Thian-tik, kau hanya berani kepada kaum muda, sesungguhnya apa kemampuanmu? Kau mundur, Pwe-eng, biar kubereskan dia!"
Padahal Beng Jit-nio belum pulih tenaga dalamnya, ucapannya itu tidak lebih hanya sebagai gertakan belaka.
Namun keadaan Su Thian-tik dengan satu lawan dua kini sudah terdesak di bawah angin, mana dia berani menghadapi Beng Jit-nio pula yang berkepandaian setingkat dengan Sin Cap-si-koh.
Ia tidak tahu kalau keadaan Beng Jit-nio sebenarnya sudah payah.
Karena itulah ia pikir jalan paling selamat adalah lari.
Segera Sun Thian- tik bersuit panjang, mereka bertiga segera angkat langkah seribu alias kabur.
Ciau Siang-ho dan Nyo Kiat-bwe bermaksud mengejar, tapi Ciok Leng telah mencegahnya.
Lalu mereka mendekati Beng Jit-nio.
Han Pwe-eng mengeluarkan saputangan untuk membersihkan darah di mulut Beng Jit-nio, katanya.
"Kau baik-baik bukan, Jit-nio? Aku harus berterima kasih padamu yang telah menyelamatkan jiwaku. Dulu aku salah menuduh kau, harap suka memaafkan kebodohanku itu."
"Anak yang baik, asal kau mengetahui aku tidak bersalah, maka aku pun gembira sekali,"
Jawab Beng Jit-nio dengan tersenyum.
"Cuma apa yang terjadi tadi kita harus berterima kasih kepada si kakek baju hijau, sayang aku tidak tahu siapa dia?"
"Tampaknya paman Ciok adalah kenalan lama dengan dia bukan?"
Tanya Siau-hong.
"Ya, tigapuluh tahun yang lalu aku pernah berkelahi dengan dia sehingga terjadi perkenalan kami, kemudian dia malah pernah membantu suatu kesukaranku,"
Jawab Ciok Leng.
"Sebenarnya siapakah dia, ayah?"
Tanya Ciau Siang-hoa.
"Dia she Ki bernama We,"
Tutur Ciok Leng. Beng Jit-nio terkejut, katanya.
"Hah, kiranya dia inilah gembong iblis Ki We yang pernah malang melintang di dunia Kang-ouw pada tigapuluhan tahun yang lalu, pantas kepandaiannya begitu tinggi. Tapi dia hanya timbul sebentar saja di dunia Kang-ouw untuk kemudian lantas menghilang, entah apa sebabnya?"
"Memang, aku kenal dia beberapa tahun, lalu dia menghilang secara aneh,"
Tutur Ciok Leng.
"Aku sendiri pun tidak tahu apa sebabnya dia menghilang. Hanya menurut pergaulanku dengan dia selama beberapa tahun itu, aku merasa dia bukan seorang jahat, paling-paling tergolong tokoh yang berdiri antara baik dan jahat."
"Beng-kokoh, apakah engkau tahu ada sengketa apa antara Ki-locianpwe dengan Sin Cap-si-koh dan Sin Liong-sing?"
Tanya Siau-hong.
"Dahulu Yu-ih (nama Cap-si-koh) pernah membicarakan orang she Ki ini dengan aku, tapi aku sendiri tidak kenal dia,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Jit-nio.
"Akhir-akhir ini setelah aku bermusuhan dengan Yu-ih, maka urusan dia dan Liong-sing sama sekali aku tidak tahu menahu."
"Dia paksa Sin Cap-si-koh supaya menemukan Sin Liong-sing, entah apa sebabnya?"
Ujar Pwe-eng.
"Menurut nada ucapannya tadi, tampaknya dia sangat bengis terhadap iblis perempuan itu, sedangkan terhadap Sin Liong- sing agaknya tidak bermaksud jahat."
"Ya, justru lantaran Sin Liong-sing maka dia telah membantu aku mengalahkan Su Thian-tik,"
Sela Siau-hong.
"Tampaknya dia seperti menganggap Sin Liong-sing sebagai anak atau keponakannya sendiri, persoalan ini sunggu sukar dimengerti."
"Bocah Sin Liong-sing itupun bukan manusia baik-baik,"
Ujar Beng Jit- nio.
"Mulutnya manis dan lidahnya licin, jauh lebih culas daripada bibinya, melihatnya saja aku merasa muak. Bisa jadi dia telah putar lidah bicara yang muluk-muluk sehingga kakek she Ki itu telah tertipu olehnya."
"Kurasa Sin Liong-sing juga tidak begitu jelek,"
Kata Siau-hong.
"Meski dia tidak begitu jujur, tapi tetap tergolong kaum pendekar kita."
"Apakah akhir-akhir ini kau pernah bertemu dengan dia?"
Tanya Pwe-eng.
"Kabarnya dia telah menikah dengan Hi Giok-kun, apa betul? Ai, sudah hampir tiga tahun aku tidak berjumpa dengan Giok-kun, sungguh aku sangat terkenang padanya."
"Sekali ini kau tentu dapat bertemu dia kalau sudah pulang ke sana,"
Kata Siau-hong tertawa.
"Setahuku dia sudah pergi ke Kim-keh-nia sendirian."
"Dan Sin Liong-sing?"
Tanya Han Pwe-eng.
"Ya, tahun yang lalu dia memang menikah dengan Sin Liong-sing, tapi kemudian telah terjadi beberapa peristiwa aneh, sudah tiga bulan yang lalu dia mengira Sin Liong-sing telah meninggal dunia,"
Tutur Siau-hong.
"Mengapa bisa terjadi begitu?"
Tanya Pwe-eng pula. Kok Siau-hong lantas menceritakan beberapa kejadian aneh mengenai diri Sin Liong-sing sehingga Han Pwe-eng dibuatnya terheran-heran.
"Jika begitu dia memang benar pernah datang mencari bibinya, yaitu Sin Cap-si-koh, Ki-locianpwe itu juga sangat tajam sumber beritanya,"
Ujar Pwe- eng.
"Dan kau sendiri kan juga kawan baiknya? Mengapa dia juga menghindari kau?"
"Benar, bukan saja diriku, bahkan dia juga menghindari Giok-kun,"
Kata Siau-hong.
"Ketika di Yang-ciu dia sudah tidak mau menemui Giok-kun. Hal ini sungguh membuat aku tidak habis mengerti."
"Enci Giok-kun adalah orang yang suka menang, entah antara mereka ada salah paham apa sehingga Sin Liong-sing perlu berlagak mati untuk menghindari dia,"
Kata Han Pwe-eng gegetun.
"Semoga mereka selekasnya dapat rukun kembali dan hidup sampai tua."
"Giok-kun memang sedang berduka akan nasib sang suami yang belum jelas mati hidupnya itu, maka pulangmu ke sana kebetulan dapat kau sampaikan kabar baik ini padanya,"
Kata Siau-hong dengan tertawa.
"Nona Han, ayahmu siang dan malam selalu memikirkan dirimu, lebih tepat kita lekas pergi menemuinya,"
Timbrung Ciok Leng dengan tertawa. Tapi mendadak Ciau Siang-hoa berseru.
"Aha, itu dia paman Han sudah datang!"
Mereka berbicara sambil berjalan dan kini berada di lamping gunung, tertampak dari atas gunung sedang berlari turun seorang tua, siapa lagi kalau bukan Han Tay-wi adanya. Tak tertahankan lagi air mata Han Pwe-eng, serunya pedih bercampur girang.
"Ayah, akhirnya anak dapat bertemu dengan engkau. Lihatlah, Siau- hong juga datang!"
Dengan tangan kiri menggandeng puterinya dan tangan kanan menggandeng Kok Siau-hong, tak tertahan pula air mata Han Tay-wi juga bercucuran. Sampai lama sekali barulah ia dapat berkata.
"Tahun yang dulu aku cuma dapat bertemu dengan anak Eng, tahun yang lalu aku pun hanya bertemu dengan Siau-hong di sini, akhirnya aku dapat bertemu kalian berdua. Bagaimana dengan pernikahan kalian?"
Wajah Pwe-eng menjadi merah, jawabnya.
"Dahulu ayah minta Beng- piauthau mengawal anak ke Yang-ciu, tapi lantaran suasana sedang kacau oleh peperangan, terpaksa soal nikah tertunda. Waktu bertemu ayah tahun dulu, lantaran ayah sedang sakit sehingga anak tidak berani memberitahukan hal ini secara terus terang."
Syukur Han Tay-wi ternyata tidak tahu peristiwa yang terjadi atas persoalan nikah mereka dahulu, dengan gelak tertawa orang tua itu berkata pula.
"Baik juga, kalau kalian belum sempat menikah, maka sekarang aku sendiri sempat mengatur pernikahan kalian secara langsung."
"Apakah sakit ayah sudah sembuh?"
Tanya Pwe-eng dengan muka merah.
"Ya, berkat pertolongan paman Ciok inilah kini aku sudah sehat kembali,"
Tutur Han Tay-wi.
"Sungguh aku tidak mengira engkau dapat sembuh secepat ini,"
Ujar Ciok-leng.
"Semalam aku berlatih lagi hingga lupa waktu, tanpa terasa malam sudah berganti siang dan waktu aku keluar dari kamar, ternyata hari sudah sore, maka lantas aku keluar mencari kalian,"
Tutur Tay-wi.
"Ciok-heng, berkat pertolonganmu, kini segenap urat nadiku sudah lancar semua, sisa racun dalam tubuhku juga sudah punah."
"Ha, ha, pantas langkahmu secepat terbang tadi, kiranya engkau sudah berhasil menyembuhkan penyakitmu,"
Kata Ciok Leng dengan tertawa.
"Sungguh kau harus diberi ucapan selamat berganda, kesehatanmu pulih kembali, keluarga kalian pun berkumpul lagi."
"Anak Eng, kupikir tentang pernikahan kalian....."
"Ayah,"
Sela Pwe-eng sebelum ayahnya melanjutkan.
"ada suatu urusan penting perlu kuberitahukan, tentang urusan kami biarlah dibicarakan kelak saja."
"O, ada urusan penting apa?"
Tanya Han Tay-wi.
"Su Thian-tik, Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa bertiga bangsat tadi telah bertempur dengan kami dan baru saja ngacir, mungkin saat ini mereka masih bersembunyi di dalam hutan sana,"
Tutur Pwe-eng.
"Kejadian yang lebih jelas akan kuceritakan nanti, sekarang lebih penting kita coba mencari dulu jejak bangsat itu."
"Benar, selama ketiga bangsat itu belum ditumpas, selama itu pula keamanan daerah Miau akan terancam,"
Ujar Han Tay-wi.
"Ciok-toako, biarlah kita membagi diri dalam dua rombongan, bila bertemu musuh kita dapat saling memberi tanda dengan panah berapi. Kalau tidak bertemu musuh, besok kita berkumpul lagi di tempat semula."
"Beng-kokoh, engkau bersatu rombongan dengan kami,"
Kata Pwe-eng sambil memegang tangan Beng Jit-nio seakan-akan menganggapnya sebagai anggota keluarga sendiri, keruan Beng Jit-nio merasa kikuk tapi juga bergirang di dalam hati.
Di tengah jalan baru Han Pwe-eng menceritakan pengalamannya tadi secara lebih jelas kepada sang ayah.
Sama sekali Han Tay-wi tidak menduga Sin Cap-si-koh dapat kabur dari Oh-hong-to secepat itu.
"O, kiranya Ki We muncul kembali di Kang-ouw,"
Kata Han Tay-wi.
"hal ini sungguh tak pernah kuduga. Jika demikian, aku menjadi hutang budi padanya."
Kemudian Han Tay-wi juga beramah-tamah dengan Beng Jit-nio, kedua orang itu sama-sama menyatakan menyesal atas kesalah pahaman di masa yang lampau.
Setelah mencari sehari semalam, di dalam hutan itu hanya diketemukan sebuah rumah yang sudah runtuh, dari penelitian Han Tay-wi diketahui rumah itu roboh akibat pukulan dahsyat.
"Tampaknya rumah ini adalah tempat sembunyi ketiga bangsat itu,"
Ujar Han Tay-wi.
"Mungkin saking penasaran mereka telah merobohkan rumah ini setelah mengambil perbekalan yang masih tertinggal di sini."
Lalu mereka kembali ke tempat semula, tertampak rombongan Ciok Leng sudah menunggu di situ, bahkan sudah bertambah seorang lagi yaitu Thio Tay-tian.
"Begitu cepat kau sudah kembali, pengemis tua?"
Tegur Han Tay-wi.
"Ya, malah aku membawakan suatu kabar baik bagi kalian!"
Jawab Thio Tay-tian.
"Kabar baik apa?"
Tanya Tay-wi.
"Ketika aku memberitahukan Bong To-cu tentang datangnya rombongan Su Thian-tik ke daerah Miau sini, segera Bong Tong-cu menyebar anak buahnya untuk menyelidiki, menurut kabar pasti yang diterima pagi tadi, katanya ada orang melihat kawanan bangsat itu sudah kabur keluar daerah Miau,"
Tutur Thio Tay-tian.
"Bagus sekali, jika begitu kita dapatlah pulang ke rumah, ayah!"
Seru Pwe- eng bergirang.
"Tapi ada lagi berita lain, kabarnya pasukan pemerintah hendak menyerbu daerah Miau,"
Tutur Tay-wi.
"Ya, kami pun mendengar berita itu dan telah kami selidiki dengan jelas,"
Ujar Thio Tay-tian.
"pasukan pemerintah itu tidaklah besar, hanya dipimpin seorang perwira rendahan saja, mungkin hanya ingin mencari rezeki saja, kukira takkan menjadi soal. Biarlah aku dan Ciok-toako tinggal sementara di sini dan kukira dapat membantu Bong Tong-cu mengatasi serbuan mereka."
"Baiklah, jika begitu besok juga kami lantas berangkat, malam ini kita harus berpesta untuk perpisahan,"
Kata Han Tay-wi.
"Paman Thio,"
Siau-hong ikut bicara.
"besok kami tidak sempat mohon diri kepada Bong Tong-cu, harap engkau menyampaikan terima kasih kami kepadanya."
"Dapat kuberitahukan pula suatu kabar gembira,"
Tutur Thio Tay-tian pula dengan tertawa.
"yaitu muridku yang jelek itu kini telah bertunangan dengan puteri ketiga Bong Tong-cu."
"Sungguh kabar yang menggembirakan,"
Ujar Siau-hong.
"sejak mula aku memang sudah berdoa bagi kebahagiaan mereka, tak terduga apa yang terjadi jauh lebih cepat daripada harapanku malah."
"Bangsa Miau mereka memang lebih bebas adat istiadatnya, asal suka sama suka, perjodohan antara muda-mudi dengan cepat dapat dijadikan,"
Kata Thio Tay-tian dengan tertawa.
Begitulah esok paginya Han Tay-wi, Han Pwe-eng dan Kok Siau-hong lantas meninggalkan daerah Miau, setelah mengalami banyak kesukaran dan suka duka, akhirnya mereka dapat berkumpul kembali dengan bahagia, sudah tentu rasa gembira mereka sukar dilukiskan.
Satu-satunya persoalan yang dikuatirkan mereka adalah pengejaran Ki We atas diri Sin Cap-si-koh yang tidak diketahui bagaimana hasilnya.
Pengejaran Ki We terhadap Sin Cap-si-koh memang berlangsung terus, pada petang hari kedua barulah dapat tersusul.
Dengan dongkol dan kuatir Sin Cap-si-koh mendamprat.
"Apa perlunya kau terus mengikuti diriku, kalau hendak mencari keponakanku, kan sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu dimana dia berada, tapi kau tidak mau percaya."
"Mulutmu pintar mengoceh, tapi hatimu jelas merancangkan tipu muslihat untuk mencelakai diriku, memangnya kau kira aku tidak tahu?"
Jawab Ki We dengan menjengek.
"He, he, kemahiranmu menggunakan racun sudah kucoba, apalagi kepandaianmu yang lain boleh kau keluarkan saja!"
"Karena terdesak maka aku menyerang kau,"
Jawab Cap-si-koh.
"Sebenarnya kau harus bersabar untuk mendengarkan penjelasanku. Kalau tidak, biarpun kau membunuh aku juga tiada gunanya."
Diam-diam Ki We berpikir kalau perempuan siluman ini kubunuh, tentu Sin Liong-sing tidak mau lagi menjadi menantuku.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padahal bocah she Sin itupun bukan manusia baik-baik, menurut watakku mestinya dia juga harus kubunuh.
Tapi celakanya anak perempuan itu justru terpikat olehnya sehingga aku pun tak bisa berbuat apa-apa.
Karena pikiran itulah, terpaksa ia menjawab.
"Baiklah, apa yang hendak kau katakan?"
"Terus terang, Han Tay-wi dan Beng Jit-nio adalah musuhku, kemarin aku sedang melabrak musuh, tapi kau telah memaksa aku berangkat, sudah tentu aku merasa penasaran. Sebab itulah maka aku telah menyerang kau."
"Aku tidak peduli permusuhanmu dengan siapa pun, kau menyerang aku juga takkan kupersoalkan lagi,"
Kata Ki We.
"Sekarang aku cuma ingin tanya tentang keponakanmu, selebihnya tidak perlu kau katakan."
"Mengapa engkau berkeras ingin menemukan keponakanku?"
Tanya Cap-si-koh.
"Dia mempunyai hutang padaku, aku harus membekuknya kembali,"
Kata Ki We.
"Tapi kau jangan kuatir, aku menagih hutang padanya hanya ada manfaat baginya dan tiada jeleknya."
"Maksudmu dia hutang budi kepadamu?"
Tanya Cap-si-koh pula.
"Boleh juga dikatakan begitu. Setelah bertemu Sin Liong-sing tentu akan kuceritakan padamu dengan lebih jelas. Sekarang jangan banyak omong lagi."
"Baik, biar kukatakan sejujurnya padamu. Memang betul Liong-sing pernah mencari aku, tapi tidak lama ia merasa tidak cocok dengan aku, lalu pergi lagi."
"Pergi kemana?"
Tanya Ki We.
"Aku tidak tahu. Cuma sebelum pergi dia pernah berkata bahwa seseorang boleh tidak membalas dendam, tapi hutang budi harus membalasnya. Jika dia hutang budi padamu, maka kukira tanpa kau cari dia mungkin dia sudah kembali ke sana untuk mencari kau."
Apa yang dikatakan Sin Cap-si-koh ini memang betul. Tapi Ki We mana mau percaya. Ia mengerut kening dan berkata.
"Kau bermaksud menipu agar aku pergi bukan? Baik, sekali pun dia sudah kembali ke sana untuk mencari aku tetap kau harus ikut pergi bersama aku. Pendek kata kewajiban menemukan Sin Liong-sing kubebankan padamu. Setelah bertemu dia barulah kulepaskan kau!"
Menurut perhitungan Ki We, dengan menahan Sin Cap-si-koh sebagai sandera, sebagai keponakan betapa pun Sin Liong-sing pasti akan memperlihatkan dirinya.
Keruan tidak kepalang gemas Sin Cap-si-koh.
Maklumlah, selama ini dia sangat angkuh, belum pernah dia dihina dan diancam orang sedemikian rupa.
Soalnya ilmu silat Ki We jauh lebih tinggi, terpaksa dia mau bicara dengan rendah diri, tapi mendongkolnya sebenarnya sukar tertahan.
Kini Ki We hendak menahannya pula sebagai sandera, tentu saja ia tidak dapat menerimanya mentah-mentah.
Walaupun dadanya serasa akan meledak, tapi dia tetap bersikap sabar.
Ia hanya mengetuk tongkatnya dan berkata.
"Apakah kau tidak keterlaluan memaksa aku sedemikian rupa?"
"Aku tidak peduli, sekali kukatakan begini ya tetap begini. Suka atau tidak suka apa urusanmu, yang pasti kau harus tunduk padaku!"
"Setiap tindak-tandukku selamanya tidak pernah tunduk kepada perintah orang, kalau tidak suka, biarpun kau adalah maharaja juga tak dapat memerintah aku. Andaikan bukan tandinganmu juga aku akan mengadu jiwa dengan kau!"
"Meski kau hendak mengadu jiwa juga tidak ada gunanya! Aku pun takkan membunuh kau, tapi pasti akan kubikin kau tunduk kepada perintahku!"
"Aku lebih suka mati di tanganmu daripada tunduk kepadamu! Hm, sekali pun kau hendak membunuh aku juga tidak begitu mudah! Kalau tidak percaya boleh kau coba!"
Ki We melirik hina, jengeknya kemudian.
"Aha, mungkin kau masih mempunyai ilmu simpanan yang belum kau keluarkan? Baik, aku menjadi ingin tahu!"
Belum habis kata-katanya, tiba-tiba Sin Cap-si-koh memuntahkan darah segar.
Ki We menjadi kaget malah, ia heran mengapa belum perang tanding perempuan itu sudah tumpah darah? Pada saat lain mendadak Sin Cap-si-koh memutar tongkatnya terus menghantam.
Ki We menggunakan suatu jurus tangan kosong untuk merebut tongkat bambu lawan, gerakan ini sangat aneh dan lihai, sekali cengkeram saja segera ujung tongkat Cap-si-koh kena terpegang.
Tapi ketika tangannya menyentuh tongkat bambu itu, belum terpegang kencang, mendadak tangan terasa tergetar seperti kena keselomot, cepat ia kendurkan jarinya.
Rupanya Sin Cap-si-koh telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya sehingga mencapai ujung tongkat, maka urat nadi tangan Ki We sampai tergetar dan kesakitan.
Ki We terkejut, pikirnya.
"Perempuan siluman ini sungguh hebat, mengapa tenaganya bisa mendadak bertambah sekuat ini, apakah memang benar ada kepandaian simpanan yang belum dia keluarkan?"
Walaupun terkejut, tapi Ki We tidak menjadi gentar, dengan bergelak tertawa segera ia berkata.
"Ha, ha, hampir duapuluh tahun aku tidak pernah ketemukan lawan, baiklah, hari ini biar aku berkelahi dengan kau sepuas- puasnya!"
Di tengah suara tertawanya gerak serangannya mendadak berubah, dia sengaja masukkan kedua tangan ke dalam lengan baju yang longgar, hanya dengan kedua lengan baju saja ia tempur tongkat bambu Sin Cap-si-koh.
Setelah beberapa puluh jurus, tampakya tenaga Sin Cap-si-koh sudah mulai lemah, baru saja Ki We hendak melancarkan serangan mematikan, sekonyong-konyong Cap-si-koh memuntahkan darah segar pula.
Habis tumpah darah, mendadak tenaga pada tongkat Sin Cap-si-koh bertambah kuat.
Ketika lengan baju Ki We dapat membelit ujung tongkat, terdengar suara "bret", lengan bajunya terobek dan ujung tongkat hampir saja mengenai Soan-ki-hiat di dada Ki We.
Cepat Ki We melompat mundur, hatinya terkesiap, tiba-tiba teringat olehnya bahwa dalam ilmu hitam ada sejenis lwekang yang aneh, namanya Thian-mo-kay-teh-tay-hoat, apabila ilmu ini digunakan dengan cara melukai diri sendiri, maka tenaga akan mendadak bertambah satu kali lipat, jangan- jangan ilmu inilah yang digunakan Sin Cap-si-koh sekarang ini? Keadaan Cap-si-koh tampaknya sudah kalap dan seperti orang gila, sekali Ki We terdesak mundur, segera ia menyerang pula secara membadai.
Jengeknya dengan menyeringai.
"Hm, bagiku hidup juga tiada artinya, paling aku hancur bersama kau!"
Terkesiap juga hati Ki We oleh kenekatan Sin Cap-si-koh itu, pikirnya.
"Dia lebih suka mati daripada menuruti kehendakku untuk mencari Sin Liong-sing, apa mungkin pengakuannya memang benar, keponakannya sudah meninggalkan dia? Memangnya tiada maksudku membunuh dia, buat apa aku terlibat pertarungan sengit dengan dia?"
Akan tetapi kini biarpun Ki We bermaksud hendak melepaskan diri dari lawan, ternyata Sin Cap-si-koh yang tidak mau melepaskan dia malah.
Diam-diam Ki We mengeluh, terpaksa ia menghadapinya dengan segenap kemahirannya.
Namun meski beberapa puluh jurus berlalu lagi, tetap Ki We tak dapat melepaskan diri, sebaliknya napasnya mulai tersengal dan mandi keringat.
Sin Cap-si-koh juga sama mengeluhnya, setiap serangannya selalu dipatahkan musuh, tenaga juga mulai surut, ia pikir kalau sekali lagi menggunakan Thian-mo-kay-teh-tay-hoat, apabila berhasil gugur bersama musuh rasanya masih setimpal, tapi kalau gagal, kan sia-sia belaka jiwaku akan melayang? Dalam keadaan sama payahnya, selagi Sin Cap-si-koh hendak berbuat nekat, tiba-tiba terdengar suara mendesingnya senjata rahasia, dua biji batu kecil mendadak menyambar ke arah Ki We.
Keruan Ki We terkejut, disangkanya Sin Cap-si-koh sengaja menyembunyikan bala bantuan di situ.
Cepat ia menyampuk kedua biji batu itu dengan lengan bajunya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sin Cap- si-koh, tongkatnya lantas menyabet.
Walaupun Ki We juga sudah menduga akan kemungkinan serangan ini, tapi lantaran serangan Cap-si-koh teramat cepat, mau tak mau ujung tongkat telah mengenainya, untung tidak mengenai tempat berbahaya.
Dalam pada itu dengan cepat seorang telah melompat keluar dari semak- semak sana sambil bergelak ketawa.
"Hm, kiranya kau!"
Jengek Ki We.
"Ha, ha, memang betul aku adanya, kau tidak menyangka bukan?"
Jawab orang itu sambil terbahak.
"He, he, saat yang kutunggu ini sudah kunantikan lebih duapuluh tahun, perhitungan hutang-piutang antara kita biarlah sekarang juga kita selesaikan seluruhnya."
Habis berkata, di tengah gelak tertawanya kedua tangannya terus memukul sekaligus.
"Hm, kau masih pengecut seperti juga duapuluh tahun yang lalu, aku tidak menyalahkan kau mencari balas padaku, tapi berbuat secara pengecut, hm, macam kesatria apa?"
Ejek Ki We.
Di sebelah lain Sin Cap-si-koh juga terheran, ia tidak kenal pendatang ini, tapi orang telah membantunya.
jika menuruti nada ucapannya, agaknya dia juga bermusuhan dengan tua bangka she Ki ini.
Biarlah, peduli siapa dia, asal dia mau membantu aku berarti jiwaku belum ditakdirkan melayang.
Demikian pikirnya.
Dalam pada itu orang tadi telah melancarkan beberapa kali serangan pula, lalu balas menjengek.
"Hm, dahulu kau main rebut kekasihku, memangnya kau berbuat secara terang-terangan? He, he, sekali pun sekarang kubunuh kau, siapa lagi yang tahu, peduli apa perbuatan pengecut atau bukan?"
Kiranya orang ini bukan lain daripada musuh besar Ki We, yaitu Ubun Tiong.
Sebagaimana sudah diceritakan, duapuluhan tahun yang lalu Ubun Tiong mencintai adik misannya, yaitu anak perempuan bupati Yang-ciu, Gak Liang-cun, namun akhirnya kekasihnya itu dipersunting oleh Ki We.
Dia mengatur tipu muslihat untuk membinasakan Ki We, tapi yang jadi korban justru adalah adik misannya itu.
Tapi dia tidak menyalahkan diri sendiri yang berbuat curang, sebaliknya dia semakin dendam kepada Ki We.
Selama duapuluhan tahun ini dia mengasingkan diri dan giat belajar silat, tujuannya hanya ingin menuntut balas kepada Ki We.
Tadi waktu Ki We mulai bertempur sengit dengan Sin Cap-si-koh, sebenarnya dia sudah bersembunyi di situ, hanya pada saat yang menguntungkan saja barulah dia memperlihatkan dirinya.
ENGAN sendirinya kesempatan baik itu juga tidak disia-siakan oleh Sin Cap-si-koh, segera ia pun melancarkan serangan, dalam keadaan demikian betapa pun tinggi kepandaian Ki We juga terasa kewalahan.
"Plok", selagi Ki We menghindari suatu serangan maut Ubun Tiong, kembali ia kena dihantam oleh tongkat Cap-si-koh. Anehnya Ki We merasa tidak terlalu sakit oleh hantaman tongkat lawan, ia menjadi heran mengapa tenaga musuh banyak berkurang. Tetapi segera ia paham duduknya perkara, tentu disebabkan Thian-mo-kay-teh-tay-hoat yang dikeluarkan Sin Cap-si-koh sudah mulai lemah, tapi tidak diulanginya lagi karena merasa ada bala bantuan kini. Sedangkan Ubun Tiong tidak tahu seluk-beluk hal itu, melihat serangan Sin Cap-si-koh berhasil mengenai lawan, ia bergirang, segera kedua tangannya bekerja lebih cepat untuk mencegat jalan mundur Ki We agar tidak dapat kabur.
Jilid 36 D "Ha, ha, ha, kukira kau sudah dekat ajalmu, Ki We, sebaiknya kau bunuh diri saja!"
Ejek Ubun Tiong dengan tertawa.
"Kalau tidak, bila jatuh di tanganku, tentu tidak mudah untuk mati sekali pun kau menghendakinya."
"Pengecut!"
Bentak Ki We dengan gusar.
"Hm, sekali pun aku harus mati akan kubinasakan juga kau pengecut ini!"
Melihat Ki We menjadi nekat, Ubun Tiong menjadi jeri untuk menghadapinya secara keras lawan keras, dengan segala kelincahannya ia mainkan kedua tangannya, hanya sekejap saja di sekelilingnya tertampak bayangannya melulu, namun pukulan Ki We tidak dapat mengenai sasarannya.
Rupanya ilmu pukulan Ubun Tiong inilah hasil latihan selama duapuluhan tahun yang khusus disiapkan untuk menghadapi Ki We.
Namun Ki We bukanlah tokoh silat kelas rendah, dia menghadapi serangan lawan secara tenang, setiap serangan dapat dipatahkan.
Tidak sampai tigapuluh jurus, lambat-laun ia sudah dapat meraba jalan ilmu pukulan Ubun Tiong.
Suatu saat mendadak ia menggertak keras terus menubruk maju, telapak tangannya segera membelah ke dada musuh.
Cepat Ubun Tiong menangkis, kedua tangan beradu.
"blang", tubuh Ki We tergeliat, sedangkan Ubun Tiong tergetar mundur dua tindak. Sin Cap-si-koh tidak tinggal diam, tongkatnya lantas menyabet bagian kaki Ki We, namun Ki We sempat melompat ke atas untuk menghindar. Pada saat itu pula Ubun Tiong sudah menubruk maju lagi. Padahal pukulan Ki We tadi cukup keras, bahwa Ubun Tiong tidak tergetar jatuh, hal inipun tak terduga oleh Ki We. Tiba-tiba Ki We menyadari sesuatu, ia terkejut dan murka pula, segera ia membentak.
"Bangsat yang tidak tahu malu, kau berani mencuri ilmu lwekangku. Kau mencurinya dari siapa? Hayo lekas katakan!"
Ubun Tiong bergelak tertawa, jawabnya.
"Baiklah kukatakan padamu supaya kau bisa mati dengan tenteram. Yaitu Sin Liong-sing, bakal menantu kesayanganmu itulah yang memberikannya sebagai hadiah. Aku merasa tidak enak kalau menolak pemberiannya, terpaksa aku menerimanya. Hm, memangnya siapa sudi main mencuri segala, apalagi mencuri barangmu?"
Ki We berjingkrak murka, bentaknya pula.
"Hah, Sin Liong-sing itupun manusia yang lupa budi dan ingkar janji? Baik, biar kubinasakan kau dulu baru nanti aku mencari bocah itu untuk membikin perhitungan!"
Mengikuti pembicaraan mereka itu, Sin Cap-si-koh menjadi bingung, ia heran bukankah Sin Liong-sing sudah menikah dengan Hi Giok-kun, mengapa dikatakan pula sebagai menantu kesayangan orang she Ki ini? Terdengar Ubun Tiong menjengek pula.
"Hm, sudah sejak mula Sin Liong-sing tidak sudi menjadi menantumu, kau sendiri yang memaksa dia menikahi puterimu yang tidak laku kawin itu, maka jangan heran jika dia lupa budi dan ingkar janji."
Apa yang dikatakan Ubun Tiong itu kedengaran ditujukan kepada Ki We, tapi sebenarnya juga sengaja diperdengarkan kepada Sin Cap-si-koh, tujuannya agar membikin marah Ki We, berbareng juga untuk menghilangkan rasa sangsi Sin Cap-si-koh.
Benar juga gusar Ki We segera memuncak, teriaknya murka.
"Hm, kau bangsat ini berani mencuri belajar Lwekangku, cuma sayang latihanmu belum sempurna!" ~ Saking murkanya ia lantas tertawa terkekeh-kekeh, suara tertawa yang seram itu membikin bulu roma Ubun Tiong berdiri. Di tengah suara tertawa dan teriakan itulah pukulan Ki We lantas memberondong Ubun Tiong pula, setiap pukulannya kini adalah maut. Sin Cap-si-koh ternyata masuk perangkap Ubun Tiong, ia merasa baru tahu duduk persoalannya. Segera tongkat bambunya bekerja untuk membantu Ubun Tiong mematahkan serangan maut Ki We. Jengeknya.
"He, orang she Ki, kau terlalu menghina orang, sekali pun keponakanku menjadi menantumu juga takkan kubantu kau."
"Siapa minta bantuanmu?"
Bentak Ki We gusar.
"Hm, hm, kalian berdua bukanlah manusia baik-baik! Hayolah maju, biarpun kalian mengerubut aku juga aku tak gentar." ~ Habis ini serangannya juga tidak kenal ampun lagi terhadap Sin Cap-si-koh. Menghadapi serangan maut musuh itu, mau tak mau Sin Cap-si-koh rada keder.
"Tenang dan hadapi dia sekuatnya, dia takkan bertahan lama!"
Ujar Ubun Tiong. Benar juga, belum lenyap suaranya, tertampak langkah Ki We mulai sempoyongan dan tak bertenaga. Legalah hati Sin Cap-si-koh, segera tongkatnya menyabet pinggang lawan sambil menjengek.
"Ya, tua bangka ini sudah hampir mampus, lekas kita binasakan dia saja!"
Ubun Tiong terbahak-bahak, segera ia pun melancarkan serangan maut.
Ki We merasa kerongkongannya makin lama makin kering, matanya mulai berkunang-kunang, sebisanya ia menahan darah segar yang bergolak hendak menyembur keluar dari mulutnya.
Sekonyong-konyong ia bersuit panjang dan membentak.
"Kalian jangan tertawa dulu, ini, biar kalian juga kenal kelihaianku!"
Di tengah sambaran tongkat dan angin pukulan yang dahsyat, terdengar suara "blang"
Yang keras, dada Ki We terkena hantaman Ubun Tiong.
Menyusul terdengar pula suara "krek", kepalan Ubun Tiong tertangkap oleh Ki We dan lengannya kena dipuntir sehingga ruas tulangnya terkilir.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa tongkat bambu Sin Cap-si-koh juga sudah mengarah "Ih-gi-hoat"
Bagian iga musuh.
Namun Ki We sempat membaliki sebelah tangannya, kontan tongkat bambu Sin Cap-si-koh tersampuk mencelat.
Keruan kejut Cap-si-koh tidak kepalang, segera ia bermaksud mengelakkan diri pula dengan Ginkangnya, tapi tubuh terasa lemas, kedua kaki serasa tidak mau menurut perintah lagi.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lantaran Ki We harus melayani serangan Sin Cap-si-koh itulah maka Ubun Tiong sempat meloloskan diri, cepat ia menjatuhkan diri dan menggelinding pergi beberapa meter jauhnya.
Yang konyol adalah Sin Cap-si-koh, ia sempat dipegang oleh Ki We.
"plak-plak-plok", kontan Ki We menempelengnya beberapa kali.
"Kau telah menghantam aku tiga kali, kini aku pun balas menempeleng kau tiga kali, hutang-piutang kita menjadi lunas dan jiwamu biar kuampuni, tapi lain kali kalau kepergok lagi janganlah kau minta ampun. Nah, lekas enyahlah!"
Demikianlah Ki We membentak.
Seumur hidup Sin Cap-si-koh mana pernah dihina orang sedemikian rupa? Beberapa kali tempelengan tadi telah membuat pipinya merah bengkak, walaupun tidak parah, tapi saking penasaran ia pun jatuh pingsan.
Waktu ia siuman kembali, dilihatnya Ubun Tiong sedang memayangnya, sedangkan Ki We sudah tidak tertampak pula.
"Mana bangsat tua itu?"
Tanya Cap-si-koh dengan malu dan gusar pula.
"Agaknya luka bangsat tua itupun tidak ringan, dia sudah kabur,"
Tutur Ubun Tiong.
"Kita sama-sama terjungkal di tangannya, sakit hati ini biarlah kita bergabung untuk menuntutnya bersama."
Kiranya tadi Ubun Tiong bersembunyi di semak-semak lebat sana, setelah dilihatnya Ki We pergi barulah dia muncul kembali setelah membetulkan tangan yang terkilir tadi.
Sin Cap-si-koh coba menarik napas dalam-dalam, terasa sekujur badan kesakitan seperti ditusuk-tusuk, ia menjadi sedih, serunya.
"Sudahlah, aku sudah tidak berguna lagi dan tak dapat membantu kau."
Rupanya kekuatannya sudah payah setelah dua kali mengerahkan Thian- mo-kay-teh-tay-hoat tadi, ia menduga dirinya kalau tidak mati juga akan jatuh sakit parah dan ilmu silat juga sukar dipulihkan kembali.
Agaknya Ubun Tiong dapat melihat keadaan Sin Cap-si-koh itu, katanya.
"Janganlah putus asa, Sin-locianpwe."
Lalu ia mengeluarkan sebatang Jinsom dan berkata pula.
"Ini adalah Jinsom ribuan tahun yang khasiatnya dapat memulihkan kekuatan dan tambah tenaga, setelah dimakan, dalam tiga hari kesehatanmu pasti akan pulih kembali. Dengan demikian kita dapat pula menuntut balas kepada bangsat tua itu."
Jinsom yang sukar didapat itu dicuri oleh Ubun Tiong dari sumbangan yang diterima Gak Liang-cun pada ulang tahunnya dan kini kebetulan dapat digunakan untuk Sin Cap-si-koh.
"Siapakah kau, mengapa kau sedemikian baik padaku?"
Tanya Cap-si-koh. Ubun Tiong lantas memperkenalkan namanya, lalu sambungnya.
"Aku adalah kawan baik keponakanmu, pula Ki We adalah musuh bersama kita. Bicara terus terang, untuk menuntut balas kepada tua bangka itu aku sendiri pun tidak sanggup, rasanya engkau sendirian juga tidak mampu. Hanya kita berdua bergabung barulah ada harapan untuk mengalahkan dia."
Kiranya kedatangan Ubun Tiong ke daerah Miau ini adalah untuk mencari jejak Sin Liong-sing, ia pun tahu Sin Cap-si-koh adalah iblis perempuan yang berilmu tinggi, memangnya sudah ada maksudnya hendak menjebak Sin Cap-si-koh untuk membantu dia menuntut balas kepada Ki We, kini kebetulan Ki We juga sedang mencari perkara kepada Sin Cap-si- koh, sudah tentu hal ini cocok dengan maksud tujuannya.
Selama hidup ini Sin Cap-si-koh boleh dikata tidak mempunyai sahabat karib, satu-satunya sanak keluarga, yaitu Sin Liong-sing, kini telah meninggalkan dia pula, dalam keadaan yang serba kehilangan inilah mendadak muncul seorang Ubun Tiong yang mau melayani dia dengan baik, tentu saja hal ini membuatnya terharu.
Pikirnya.
"Memang betul dia ingin bantuan tenagaku, makanya mau menyelamatkan jiwaku. Namun di dunia ini mana ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih, sedikitnya dia terlebih baik daripada keponakanku sendiri!"
Begitulah lantaran Sin Cap-si-koh adalah seorang yang suka mementingkan diri sendiri, maka dia mengira semua orang serupa juga dengan dia, maka soal saling memperalat, dianggapnya lumrah belaka, tentang baik dan busuk tak dibedakan lagi, sebab itulah tanpa terasa ia pun masuk perangkap Ubun Tiong.
Karena pikiran itulah, tanpa sangsi lagi Sin Cap-si-koh lantas terima Jinsom pemberian Ubun Tiong dan dimakannya, katanya kemudian.
"Baiklah, jiwaku ini kuanggap pemberianmu, asal ilmu silatku pulih, aku bersumpah akan bantu kau menuntut balas."
"Kalau kita menuntut balas padanya, kukira tidak perlu keras lawan keras dengan dia, bila perlu kita bereskan dia dengan akal saja,"
Ujar Ubun Tiong dengan tertawa.
"Coba katakan apa tipu akalmu yang bagus?"
Tanya Cap-si-koh.
"Bangsat tua itu mempunyai seorang anak perempuan,"
Tutur Ubun Tiong.
"marilah kita mendahului dia ke rumahnya dan menculik puterinya itu. Dalam keadaan begitu, biarpun kita tak dapat menandingi bangsat tua itu juga kita dapat menaklukkan dia dengan cara lain."
"Benar, jika benar bangsat tua itu terluka parah seperti katamu tadi, tentu kita dapat mendahului dia sampai di rumahnya,"
Kata Cap-si-koh.
"Tentang cara bagaimana mengerjai anak perempuannya, hal ini boleh kau serahkan padaku saja."
Mengenai diri Ki We, memang benar seperti dugaan Ubun Tiong, tenaga dalamnya memang banyak terganggu, maka setelah pertarungan sengit itu, dia lantas masuk ke hutan yang rimbun dan mencari suatu tempat tersembunyi, di situ ia bersemadi mengumpulkan tenaga dan menyembuhkan lukanya.
Entah sudah berapa lama dia tetirah di situ, ketika tiba-tiba mendengar suara tindakan dua orang menuju ke arahnya.
Hati Ki We tergetar, ia merasa menyesal tadi tidak membinasakan Sin Cap-si-koh, ia pikir kalau sekarang yang datang ini adalah Sin Cap-si-koh dan Ubun Tiong, maka jiwanya jelas terancam.
Sementara itu kedua orang tadi sudah mendekat, terdengar seorang di antaranya sedang berkata.
"He, seperti ada orang bersembunyi di dekat sini, bukankah suara pernapasannya dapat terdengar?"
"Darimana kau dapat mengetahui yang bersembunyi di situ adalah manusia, kan bisa jadi binatang kelinci atau rusa,"
Ujar temannya.
"Peduli manusia atau binatang, yang penting kita harus memeriksanya,"
Kata orang pertama. Ki We merasa suara kedua orang itu sudah dikenalnya, hatinya tergerak, ia coba melongok ke sana, terlihat kedua pendatang itu adalah seorang Hwesio dan seorang Tosu.
"Hei, itu dia, di sini!"
Seru si Tosu kaget.
"Hah, bukankah kau ini..... Ki- lotoa?"
Terkejut dan girang pula Ki We, cepat ia menjawab.
"Aha, Ting-heng dan Khu-heng, mengapa kalian telah berganti bulu semua? Aku menjadi pangling pada kalian!"
Kiranya kedua orang itu ialah It-beng Tojin dan Pek-hui Hwesio, duapuluh tahun yang lalu, sebelum kedua orang itu memeluk agama, mereka adalah sahabat karib Ki We. Maka It-beng Tojin telah menjawab.
"Sudahlah, terlalu panjang untuk diceritakan mengenai urusan kami. Secara sederhana saja dapat kukatakan bahwa kami sudah bosan dengan kehidupan kalangan hitam, makanya meninggalkannya dan menjadi orang suci."
Pek-hui Hwesio memegang tangan Ki We dan bergelak tertawa.
"Ha, ha, ha, aku mengira kau sudah mati, nyatanya masih hidup segar. Tahu begini tentu aku tidak sudi menjadi Hwesio."
Ki We juga tertawa, katanya.
"Ha, ha, kau Hwesio sontoloyo ini tampaknya tidak pernah kenal peraturan agama segala. Kenapa kau tidak jadi Hwesio jika mengetahui aku masih hidup?"
"Soalnya mengenai Ubun Tiong, musuhmu itu, sebabnya kami menjadi orang suci kan ingin menghindari dia."
"Dan mengapa sekarang kalian berada di daerah Miau sini?"
Tanya Ki We.
"Aku pun ingin tanya kau dengan soal yang sama,"
Ujar Pek-hui Hwesio.
"He, Ki-lotoa, apakah kau terluka parah dan tadi sedang mengerahkan tenaga dalam untuk penyembuhan diri?"
"Ya, tadi aku benar-benar telah terjungkal habis-habisan,"
Kata Ki We.
"Cuma lukaku inipun tidak begitu parah, hanya habis bertempur sengit dan banyak tenaga dalam yang terganggu."
It-beng dan Pek-hui kenal kelihaian Ki We, mereka terkejut ada orang yang sanggup bertempur sengit dengan teman lama ini. Segera Pek-hui bertanya.
"Siapakah orang yang bertempur dengan kau? Masakah begitu lihai?"
"Seorang ialah Ubun Tiong, satu lagi ialah Sin Cap-si-koh,"
Tutur Ki We.
"Sebenarnya perempuan siluman itupun tidak begitu lihai, hanya dia menguasai ilmu aneh sehingga aku dan dia sama-sama terluka. Cuma keadaannya mungkin jauh lebih parah daripadaku."
"Wah, jadi kau memergoki Ubun Tiong di sini? Apa kau tahu maksud kedatangannya ke daerah Miau ini?"
Tanya Pek-hui. Meski dengan teman sendiri, namun Ki We tidak ingin menceritakan urusan pribadinya yang dahulu. Ia hanya menjawab.
"Yang pasti tujuannya pasti tidak baik. Nah, kalian sendiri ada urusan apa datang ke sini?"
Hati It-beng Tojin tergerak, tiba-tiba ia bertanya.
"Iblis perempuan she Sin yang bertempur dengan kau itu mempunyai keponakan bernama Sin Liong-sing, apakah kau tahu?"
"Untuk apa kau menanyakan dia?"
Jawab Ki We.
"Terus terang, kedatangan kami ini adalah untuk mencari Sin Liong- sing."
Ki We melengak.
"Kalian bermusuhan dengan dia?"
"Tidak, jutru sebaliknya, dia adalah kawan kami,"
Tutur It-beng dengan tertawa.
"O, jadi bocah she Sin itu pernah berteman dengan kalian? Sungguh aku tidak menduganya sama sekali. Apakah kalian tidak anggap dia orang busuk?"
Tanya Ki We.
"Bibinya orang busuk, tapi dia sendiri adalah orang dari kalangan pendekar kita,"
Tutur It-beng.
"Terus terang kedatangan kami mencari dia ke sini adalah atas permintaan Ong Cong-cecu dari Thay-ouw."
"He, Ki-toako, Sin Liong-sing itu apakah muridmu?"
Akhirnya Pek-hui Hwesio tidak sabar dan langsung bertanya.
"Mengapa kau berpikir demikian?"
Jawab Ki We.
"Sebab kami pernah bergebrak dengan dia karena salah paham, ketika itu kami sudah mencurigai ilmu silatnya adalah ajaranmu, kami tanya dia, tapi dia tak mau menerangkan,"
Kata It-beng. Lalu ia pun menuturkan apa yang terjadi tempo hari. Ki We mengerut kening, katanya kemudian.
"Aku tidak peduli apakah bocah itu orang dari kalangan pendekar atau bukan, yang jelas dia berkumpul dengan Ubun Tiong, mana bisa dia dikatakan orang baik."
"Kau salah jika berpikir begitu,"
Ujar It-beng.
"Dia cuma tertipu oleh Ubun Tiong, setelah kami bicara dengan dia, kini dia sudah paham bagaimana pribadi Ubun Tiong itu."
Diam-diam Ki We bersyukur telah mengetahui duduknya perkara sehingga tidak sampai terjebak oleh akal licik Ubun Tiong. Segera ia bertanya pula.
"Dan mengapa kalian mengetahui Liong-sing datang ke sini?"
"Sudah lama kami tahu dia datang ke sini, malahan kami juga tahu kini dia sudah meninggalkan daerah Miau ini, sebab kebetulan kemarin kami pergoki dia di tengah perjalanan,"
Kata Pek-hui Hwesio.
"Jika kalian bertemu dia, mengapa tidak mengajaknya kembali ke Thay- ouw tapi kalian masih berada di sini?"
Tanya Ki We heran.
"Ada dua sebab,"
Tutur It-beng Tojin.
"Pertama, dia tidak mau kembali ke Thay-ouw bersama kami, kedua, kami juga tahu Ubun Tiong berada di sini dan menduga Sin Liong-sing berada dalam bayangannya, hanya Sin Liong-sing sendiri tidak tahu hal itu."
"Darimana kalian mengetahui sebanyak itu?"
Tanya Ki We.
"Ceritanya cukup panjang,"
Tutur Pek-hui.
"Suatu hari, di suatu kota kecil terjadi pembunuhan dua orang dengan totokan berat, kedua orang itu adalah anak buah Kiau Sik-kiang. Coba kau terka mereka terbunuh oleh siapa?"
"Apakah Sin Liong-sing?"
Jawab Ki We.
"Benar, tapi waktu itu Ubun Tiong juga berada bersama Sin Liong-sing."
"Kota kecil yang kau maksud adalah Jing-liong-tin bukan?"
"Ah, kiranya kau sudah tahu kejadian itu?"
"Tidak, aku cuma diberitahu sekadarnya saja. Seorang kenalanku memberitahukan padaku tentang wajah pemuda yang dilihatnya, yaitu Sin Liong-sing, tapi dia tidak kenal Ubun Tiong,"
Tutur Ki We.
Kiranya ada seorang bekas anak buahnya tinggal di Jing-liong-tin.
Lantaran sudah dekat waktu yang dijanjikan dan Sin Liong-sing belum nampak pulang, maka Ki We lantas keluar sendiri untuk mencarinya.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagai bekas tokoh Kang-ouw kawakan, anak buahnya cukup banyak tersebar di berbagai tempat, sebab itulah sumber beritanya cukup luas.
Setelah mencari keterangan, akhirnya diketahuilah asal-usul Sin Liong- sing, ia menjadi gusar karena pemuda itu telah menipunya, segera ia mengikuti jejaknya sampai di Jing-liong-tin.
Dari bekas anak buahnya yang tinggal di kota kecil itu diperoleh keterangan tentang kedua anak buah Kiau Sik-kiang yang dikuntit oleh Sin Liong-sing dan kemudian terbunuh.
Dari kejadian itulah kemudian Ki We mengetahui Sin Cap-si-koh bersembunyi di daerah Miau, maka ia menduga Sin Liong-sing pasti pergi ke sana untuk mencari bibinya, sebab itulah ia pun menguber ke daerah Miau.
"Antara orang yang menaruh perhatian terhadap gerak-gerik anak buah Kiau Sik-kiang itu juga terdapat kawan dari Thay-ouw, makanya kami pun mendapatkan keterangan yang cukup,"
Tutur It-beng.
"Ki-toako,"
Sambung Pek-hui.
"bagian pertama kau sudah tahu, tentu kau ingin tahu bagian lanjutannya yang belum kau ketahui. Sesudah membunuh kedua anak buah Kiau Sik-kiang, kemudian Sin Liong-sing hendak menuju ke daerah Miau untuk mencari bibinya, tapi Ubun Tiong memaksa dia pergi ke Sun-keng-san, maka terjadilah pertengkaran antara mereka dan saling baku hantam."
"Ya, bagian kejadian ini aku memang belum tahu, lalu bagaimana?"
Kata Ki We. Ia pikir ilmu silat Ubun Tiong jauh lebih tinggi daripada Sin Liong- sing, pertarungan itu tentu dimenangkan oleh Ubun Tiong.
"Akhirnya keduanya sama-sama terluka, hanya luka Ubun Tiong agaknya lebih parah, sedangkan Sin Liong-sing dapat pergi pada hari itu juga, sebaliknya Ubun Tiong perlu sembunyi seharian di tengah hutan, esok harinya barulah dia sanggup berangkat,"
Tutur Pek-hui Hwesio.
Ki We menjadi heran hanya selama setengah tahun masakah ilmu silat Sin Liong-sing sudah maju sepesat itu, bahkan dapat menandingi Ubun Tiong dan melukainya, apakah pemuda itu mendapatkan ilmu ajaib? Terdengar It-beng Tojin menyambung pula.
"Namun Sin Liong-sing tidak tahu kalau dia masih dikuntit oleh Ubun Tiong, ketika dia bertemu dengan kami barulah kami memberitahukan dia. Dengan sendirinya dia menjadi gelisah dan bergegas melanjutkan perjalanan."
"Mengapa dia tak mau ikut pulang ke Thay-ouw, apa alasan yang dikemukakan dia?"
Tanya Ki We.
"Menurut ceritanya, katanya dia hutang budi pada seseorang, sebelum membalas budi kebaikan orang itu dia sendiri tidak ingin menonjolkan diri di dunia Kang-ouw,"
Tutur It-beng.
"Dia juga mohon kami agar menganggap dia sudah mati saja. Rahasianya masih hidup di dunia ini supaya ditutup rapat, hanya kepada Ong Ce-cu saja boleh diberitahukan. Mengenai apa sebabnya tak dijelaskan olehnya. Nah, engkau sendiri mungkin mengetahui, Ki-lotoa?"
"Kalian tidak tahu, darimana aku bisa tahu?"
Jawab Ki We. Padahal di dalam hati ia merasa paham apa yang dikatakan Sin Liong- sing hutang budi kepada seseorang itu, yang dimaksud tentu diri Ki We sendiri. Tampaknya Sin Liong-sing betapa pun masih mempunyai perasaan. Pek-hui lalu berkata pula.
"Kami telah mengajaknya menuntut balas bersama kepada Ubun Tiong, tapi dia menyatakan mungkin Ubun Tiong sudah meninggalkan daerah Miau dan menuju ke suatu tempat lain, maka ia pun ingin lekas menyusul ke tempat yang dimaksud itu."
Tiba-tiba Ki We menyadari sesuatu, katanya cepat.
"Jika begitu aku pun hendak berangkat saja sekarang."
It-beng Tojin dapat menerka beberapa bagian, tanyanya.
"Engkau hendak mencari Sin Liong-sing bukan?"
"Benar,"
Jawab Ki We.
"Terus terang, dia juga dapat dikatakan sebagai muridku, tempat yang akan dia tuju bisa jadi adalah rumahku."
"Selama ini engkau mengasingkan diri dimana?"
Tanya Pek-hui. Ki We menghela napas, jawabnya.
"Sudahlah, kalian anggap saja aku sudah mati. Jika sakit hatiku dapat kubereskan satu per satu kelak mungkin aku akan mencari kalian pula, kalau tidak, rasanya siapa pun aku tidak ingin bertemu lagi."
It-beng kenal watak Ki We yang aneh itu, maka ia tidak berani bertanya pula, katanya.
"Entah kesehatanmu sudah pulih kembali belum? Kalau perlu engkau boleh istirahat lagi di sini, biar kami menjaga kau."
"Terima kasih atas maksud baikmu, namun aku tidak dapat menunggu lagi,"
Kata Ki We.
"Lukaku ini soal kecil, aku dapat menyembuhkannya dalam perjalanan."
Setelah berpisah, Ki We melanjutkan perjalanan sendiri dengan pikiran yang bergolak.
Sin Liong-sing sudah menikah dengan Hi Giok-kun, tapi berani menipu anak perempuanku, betapa pun persoalan ini tak dapat kuampuni dia.
Tapi sekarang dia bergegas pulang, mungkin kuatir Ubun Tiong akan mencelakai anak Ki selagi aku tidak di rumah.
Hm, ternyata dia masih tahu juga membalas kebaikan, hal ini membuat aku menjadi serba susah untuk menindaknya.
Menurut keterangan, agaknya bocah she Sin itu pernah menemui Hi Giok-kun, tapi tidak lagi mengaku siapa aslinya, mengapa dia bertindak demikian, apa sebabnya? Ya, urusan di dunia ini terlalu banyak yang aneh, bukan mustahil di antara mereka suami isteri ada hal-hal yang sukar diketahui orang luar.
Pendeknya persoalan ini baru akan menjadi jelas jika Sin Liong-sing sudah kutemukan, kini aku tidak perlu merisaukannya.
Demikianlah Ki We menimbang-nimbang.
Begitulah berturut-turut ada tiga kelompok orang yang menuju ke Sun- keng-san, Sin Liong-sin berada paling depan, menyusul Ubun Tiong dan Sin Cap-si-koh, sedangkan Ki We berada paling belakang.
Tapi hanya Ki We yang mengetahui seluk-beluk persoalannya, Sin Liong-sing cuma tahu Ubun Tiong mungkin akan pergi ke Sun-keng-san dan menyergap Ki Ki, ia tidak tahu kalau bibinya, yaitu Sin Cap-si-koh dan Ki We juga menyusul di belakangnya.
Selama sepuluh hari dalam perjalanan tiada terjadi sesuatu, ketika memasuki pegunungan yang dituju, mulailah kusut hati Sin Liong-sing.
"Sedemikian tulus dan murni cintanya padaku, tidaklah pantas kalau aku menipu dia lagi,"
Demikian Liong-sing. Suatu bayangan anak dara yang suci murni lantas timbul dalam benaknya, itulah bayangan si Ki Ki.
"O, betapa manis dan menariknya anak dara itu! Ai, bila kuterangkan secara jujur, entah betapa dia akan berduka dan apakah aku tega melukai hatinya?"
Sekonyong-konyong bayangan anak dara itu berubah menjadi seraut muka yang dingin dan angker, itulah wajah Ki We, ayah Ki Ki.
Sin Liong-sing bergidik, teringat olehnya pesan wanti-wanti Ki We ketika dia hendak berangkat serta ancamannya apabila sampai terjadi penyelewengan kelakuannya.
Berpikir demikian, ia merasa lebih baik rahasia dirinya itu tetap ditutup saja.
Sudah tentu Ki We akan tanya sebab-musabab pulangnya yang terlambat ini, tapi kan ada peristiwa Ubun Tiong ini, jika kini aku pulang untuk menyampaikan berita penting ini, tentu ceritaku akan dipercaya penuh.
Betapa pun hati Sin Liong-sing tetap tidak tenteram.
Bayangan Ki We dan Ki Ki lenyap dari benaknya, tapi sebagai gantinya bayangan Hi Giok-kun timbul pula.
Karena rasa menyesalnya, tanpa terasa mukanya menjadi panas terutama bila mengingat hubungannya dengan Hi Giok-kun tidak lebih hanya suami-isteri nama kosong belaka.
Akan tetapi biarpun suami-isteri kosong, hal ini hanya diketahui antara mereka saja, betapa pun resminya tetap suami dan isteri.
Jika sekarang aku menikah dengan Ki Ki, apakah aku tega berbuat demikian terhadap Giok-kun? Terjadilah pertentangan batin yang hebat, tapi akhirnya segi yang benar tetap berada di atas angin.
Ia pikir dirinya sudah berbuat salah dan kesalahan itu tidak boleh diulangi lagi.
Mana boleh sekaligus aku menipu dua gadis? Apalagi kebohongan akhirnya pasti akan terbongkar, akibatnya jiwaku akan melayang dan mereka pasti akan lebih berduka dan lebih benci padaku.
"Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung-jawab. Akan kuceritakan hubunganku dengan Ubun Tiong, habis itu juga akan kututurkan rahasia asal-usulku, cara bagaimana dia akan bertindak atas diriku terserahlah kepada Ki We."
Demikianlah setelah ambil keputusan itu, dada Sin Liong-sing terasa lapang, jalannya menjadi bersemangat.
Di antara angin pegunungan yang meniup sepoi-sepoi itu sayup-sayup terdengar suara nyanyian anak perempuan.
Itulah lagu rakyat yang biasa didendangkan Ki Ki, lagu yang ringan gembira tapi juga bernada sayu.
Saat yang sama Ki Ki memang juga sedang kusut pikiran seperti halnya Sin Liong-sing, waktu itu dia sedang bersenandung sambil memetik bunga di lereng bukit untuk merangkai karangan bunga.
"Kini sudah pertengahan bulan sepuluh, sudah lewat sebulan menurut waktu yang dijanjikan, mengapa dia belum nampak pulang? Tentunya Liong- toako takkan mendustai aku? Mungkin juga terjadi halangan di tengah jalan sehingga dia terlambat pulang,"
Demikian pikiran Ki Ki sedang bergolak sehingga tanpa terasa ia bergumam sendiri. Pada saat itu pula Sin Liong-sing sudah mendekat, alangkah terharu hatinya mendengar gumaman si nona yang begitu mendalam cintanya.
"Sedemikian dia mempercayai diriku, mana boleh aku mengingkari dia?"
Ia merasa di dunia ini satu-satunya orang yang benar-benar mencintai dia hanyalah Ki Ki seorang.
Selagi dia hendak melangkah lebih dekat untuk kemudian mendadak muncul di hadapan Ki Ki agar nona itu terkejut dan kegirangan, tiba-tiba terdengar lebih dulu suara tertahan seorang sedang berkata.
"Coba dengar, anak dara itu sedang rindu kepada kekasihnya, kedatangan kita ini agaknya tepat pada waktunya."
Tidak kepalang kaget Sin Liong-sing, sebab suara itu dikenalnya sebagai suara Ubun Tiong.
Cepat ia berjongkok di tengah semak rumput, perlahan ia mengintip ke sana, dilihatnya Ubun Tiong sedang mendatangi bersama seorang wanita, ia tambah heran dan kejut setelah melihat wanita itu.
"Mengapa bibi bisa berada bersama dia? Tampaknya hubungan mereka sedemikian rapatnya malah?"
Demikian pikirnya.
Di lereng pegunungan itu tiada jalan buatan, seperti juga Sin Liong-sing, waktu itu Ubun Tiong dan Sin Cap-si-koh mendaki ke atas gunung dengan menyusur semak rumput, arah yang mereka tempuh sama, hanya jaraknya dengan Sin Liong-sing ada beberapa puluh langkah.
Saking cepatnya Sin Liong-sing bersembunyi ketika mendengar suara Ubun Tiong, maka jejaknya tidak sampai ketahuan.
Sin Liong-sing tahu Ubun Tiong ingin menuntut balas kepada Ki We, tapi dia tidak tahu kalau kemudian Ki We juga mengikat permusuhan dengan Sin Cap-si-koh, sebab itulah dia tidak habis mengerti apa sebabnya sang bibi juga datang mencari perkara kepada Ki We.
Seketika ia menjadi bingung dan serba susah bagaimana harus bertindak nanti.
Akhirnya ia ambil keputusan akan mendengarkan dulu apa yang dikatakan sang bibi.
Benarlah, segera terdengar Sin Cap-si-koh menanggapi ucapan Ubun Tiong tadi.
"Aku tidak jelas keadaan rumahnya, boleh kau bicara padanya, biar aku meronda di sini bagimu."
"Baik, kukira bangsat tua she Ki itupun takkan pulang secepat ini,"
Kata Ubun Tiong.
"Nanti kalau kau melihat dia membawa aku ke rumahnya, itu berarti dia telah terjebak oleh bujukanku. Dengan begitu kau hanya perlu menunggu lagi sebenar dan kemudian menyusul ke sana tanpa kuatir lagi."
Di tempat sembunyinya Sin Liong-sing dapat mendengar percakapan mereka, ia menjadi pedih dan kaget pula mendengar tipu muslihat mereka.
Tak tersangka olehnya bahwa sang bibi ternyata tidak mau menerima nasehatnya untuk kembali ke jalan yang benar, sebaliknya kini malah bertambah menjadi jahat, bahkan bersekongkol dengan musuhnya untuk menyergap seorang nona yang masih polos.
Sementara itu Ki Ki sudah selesai merangkai bunga dan baru saja mau pulang ketika tiba-tiba didengarnya ada orang datang dari belakang.
Cepat ia menoleh, dilihatnya seorang lelaki tak dikenal sudah berdiri di depannya.
"Siapa kau?"
Tegurnya dengan terkejut.
"Aku adalah teman Sin Liong-sing,"
Jawab Ubun Tiong sambil memberikan suatu nama palsu.
"
Siapa itu Sin Liong-sing?"
Ki Ki menegas dengan melengak.
"O, jadi kau belum tahu? Sin Liong-sing ialah Liong Sin, Liong-toako mu itu,"
Jawab Ubun Tiong. Keterangan ini membuat Ki Ki terkejut dan bergirang pula, ternyata berita "Liong-toako"
Yang dikenangnya siang dan malam akhirnya diterima juga. Ia pun curiga mengapa "Liong-toako"
Menggunakan nama samaran, namun kini dia tidak sempat bertanya lagi, cepat ia menegas.
"Ah, kiranya engkau adalah sahabat Liong-toako? Apakah Liong-toako yang suruh kau ke sini? Bagaimana keadaannya?"
Walaupun si nona masih bertanya terus, namun nadanya jelas telah percaya kepada apa yang dikatakannya tadi.
Diam-diam Ubun Tiong bergirang, betapa mudahnya nona itu ditipu.
Ia pikir untuk menguatkan kepercayaan si nona, ada baiknya memperlihatkan pula sesuatu bukti sesuatu rencana semula.
Maka perlahan ia mengeluarkan sepotong robekan kain dan berkata.
"Kau ini tentu nona Ki adanya? Apakah kau masih kenal benda ini?"
Pada waktu Sin Liong-sing hendak berangkat dahulu Ki Ki telah membuatkan sepotong baju baru padanya, maka ia masih kenal benar kain robekan ini berasal dari baju buatannya itu walaupun robekan kain ini sudah agak lusuh dan ada titik noda darah pula.
Rupanya kain ini dirobek oleh Ubun Tiong ketika dia bertempur dengan Sin Liong-sing dahulu.
Dengan girang dan kuatir Ki Ki lantas bertanya.
"Dari..... dari mana kau mendapatkan robekan kain ini?"
"Ialah pemberian Liong-toakomu itu, kini kau percaya tidak bahwa aku adalah sahabatnya?"
Ujar Ubun Tiong. Ki Ki mengangguk dan berkata.
"Ya, tentu, tentu percaya. Lekas katakan, sebab apa dia memberikan robekan kain ini padamu? Bagaimana keadaannya sekarang? Mengapa ada bekas darah pada kain ini?"
Melihat kecemasan si nona, Ubun Tiong sengaja bersikap tenang, jawabnya.
"Nona Ki, pertanyaanmu ini tentu akan kujawab dengan jelas. Cuma aku ingin memberitahukan pula padamu bahwa bukan saja aku ini sahabat Liong-toakomu, bahkan aku pun sahabat lama ayahmu."
"Apakah betul? Wah, bagus sekali kalau begitu!"
Seru Ki Ki.
"Ayah sedang pergi mencari Liong-toako, apakah engkau bertemu dengan beliau."
"Sudah bertemu, jangan terburu-buru, akan kututurkan perlahan,"
Ujar Ubun Tiong.
"Aku sudah kenal ayahmu pada duapuluh tahun yang lampau, waktu dia menikah dengan ibumu malahan aku pun hadir pada pestanya. Ibumu she Gak, puteri bupati Yang-ciu, betul tidak? Cuma sayang, tidak lama setelah kau lahir ibumu lantas meninggal."
Ki Ki tidak tahu asal-usul ibunya sendiri, tapi ibunya she Gak, hal ini jelas diketahuinya.
Maka ia bertambah percaya kepada Ubun Tiong yang bicara sebegitu tepat.
Ia pikir paman Bun (she palsu Ubun Tiong) ini ternyata kenalan ayah ibu, kebetulan aku dapat tanya mengenai diri ibu, mumpung ayah tidak di rumah.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cuma sekarang lebih penting adalah berita keadaan Liong-toako.
Maka ia lantas bertanya pula.
"Kalau ayah sudah bertemu Liong-toako, mengapa mereka tidak pulang bersama?"
Ubun Tiong sengaja menghela napas, jawabnya.
"Ah, mereka takkan pulang bersama lagi!"
Tentu saja Ki Ki terkejut.
"Mengapa?"
"Dengarkan ceritaku dengan tenang,"
Ujar Ubun Tiong.
"Bukankah ayahmu telah menugaskan Liong Sin ke Yang-ciu untuk melakukan sesuatu dan berjanji dengan dia agar pulang dalam waktu setengah tahun, betul tidak?"
"Benar, justru sudah lewat waktunya dan belum nampak dia pulang, maka ayah pergi mencarinya."
"Aku sendiri tinggal di Yang-ciu, ketika ayahmu menyuruh Liong Sin ke sana, pernah dia menyampaikan berita padaku agar aku mengawasi pemuda itu secara diam-diam. Sekarang apakah kau ingin tahu apa yang dilakukan oleh Liong-toakomu itu di Yang-ciu?"
"Apa yang dia lakukan boleh kau ceritakan nanti, yang penting sekarang hendaklah ceritakan bagaimana keadaannya? Apakah dia bertemu ayah dan terjadi sesuatu atas diri mereka?"
"Baiklah, akan kuceritakan lebih dulu bagian belakang,"
Kata Ubun Tiong.
"Aku adalah kawan lama ayahmu, tapi kenal Liong-toakomu baru terjadi setengah tahun yang lalu, perkenalan sekadarnya, tidak akrab, setelah dia disuruh ayahmu ke Yang-ciu barulah kami menjadi sahabat karib. Setelah dia selesai melakukan tugas yang dibebankan ayahmu kepadanya, aku telah menguntit dia dan melihatnya menuju ke suatu jalan lain, terpaksa aku menegur dan menasehati dia agar pulang ke sini, namun dia tidak mau."
"Ah, masakah begitu? Sebab apa?"
Ki Ki menegas pula.
"Semula aku pun tidak tahu apa sebabnya?"
Tutur Ubun Tiong.
"Kemudian setelah ayahmu tiba, dengan marah dia menegur Liong-toakomu itu, dari percakapan mereka itulah aku baru paham duduknya perkara."
"Duduk perkara apa maksudmu?"
Tanya Ki Ki pula dengan melenggong.
"Liong-toakomu itu sesungguhnya bukanlah kaum keroco di dunia Kang- ouw,"
Tutur Ubun Tiong.
"Aslinya dia bernama Sin Liong-sing, murid pewaris Bun Yat-hoan, itu Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam yang termasyhur. Maka ayahmu keluar menyelidikinya sendiri, dengan mudah saja ia dapat memperoleh keterangan sejelas-jelasnya mengenai diri Sin Liong-sing."
"Dia memakai nama palsu, walaupun ayahku telah dibohonginya, tapi ini kan juga cuma soal kecil saja,"
Ujar Ki Ki. Ia pikir seharusnya ayah merasa girang setelah mengetahui Liong-toako adalah murid Bun-tayhiap, mengapa tidak dapat memaafkan dia malah? Terdengar Ubun Tiong menerangkan pula dengan tak acuh.
"Ya, memang soal kecil. Tapi masih ada satu soal lain juga membohongi ayahmu dan soal ini bukan lagi soal kecil."
"Ada soal apa lagi?"
Ki Ki terkejut. Dengan tegas dan kata demi kata Ubun Tiong menjawab.
"Sebelum ini Sin Liong-sing sudah punya isteri. Sebab itulah dia tidak berani pulang ke sini!"
Keterangan ini seperti bunyi geledek di siang bolong, hampir Ki Ki tidak percaya kepada telinga sendiri. Ia tertegun sekian lamanya, akhirnya dia berteriak.
"Tidak, aku tidak percaya, aku tidak percaya!"
"Tapi ini memang benar!"
Kata Ubun Tiong berlagak menyesal.
"Sebab itu pula ayahmu sangat marah."
"Hah!"
Seru Ki Ki kaget.
"Ayah bertindak apa kepadanya?"
"Kau tentu kenal watak ayahmu, sekali dia sudah marah tentu tidak kenal ampun lagi, maka dengan murka dia hendak menghantam mati Sin Liong- sing, untunglah pada detik menentukan itu aku keburu datang dan berhasil melerainya. Walaupun jiwanya dapat kuselamatkan, namun ia pun terluka parah!"
"Apakah membahayakan jiwanya?"
Ki Ki menegas pula dengan kuatir.
"Mestinya ayahmu hendak membinasakan dia, setelah kubujuk barulah dia mengampuninya. Lukanya cukup parah, syukur tidak membahayakan jiwanya."
"Dia berada dimana sekarang?"
Tanya Ki Ki.
"Jangan kuatir, aku telah mengantar dia ke tempat bibinya untuk tetirah,"
Tutur Ubun Tiong.
"Bibinya bernama Sin Yu-ih, orang menyebutnya Sin Cap-si-koh, bibi keempat belas karena dia nomor empatbelas menurut urutan saudara-saudaranya, bibinya juga tokoh Kang-ouw terkenal pada duapuluh tahun yang lalu. Dalam keadaan luka parah. Liong-sing suka mengingau dan berseru ingin bertemu dengan kau, ia merasa mati pun tidak akan tenteram jika dia tidak melihat kau lagi dan memberi penjelasan padamu. Ia kuatir kalau ayahmu keburu pulang lebih dahulu dan bercerita apa yang terjadi, tentu kau akan benci sekali padanya."
"Tidak, dia telah salah sangka, betapa pun aku takkan benci padanya,"
Ujar Ki Ki sambil menggeleng.
"Ia kuatir kau membenci dia, juga kuatir kau akan berduka dan mengganggu kesehatanmu sendiri. Dia minta aku membawanya ke sini, tapi aku mana dapat memenuhi permintaannya. Akhirnya aku cuma menyanggupi akan membawa beritanya untuk nona, apa yang kau ingin katakan padanya juga dapat kusampaikan padanya. Dan begitulah lalu dia merobek kain bajunya ini untuk bukti supaya kau mau percaya padaku."
"Apakah tiada pesan lain lagi?"
Tanya Ki Ki.
"Dia cuma pesan agar kau suka percaya padanya, katanya dia takkan mengingkari kau selama hidupnya."
"Aku percaya penuh padanya, apakah dia hanya pesan sesingkat ini saja?"
"Dia mengatakan masih perlu memberi penjelasan padamu, cuma dia ingin bicara berhadapan dengan kau."
Dalam hati Ki Ki pikir pasti Liong-toako ada sesuatu yang sukar dikatakan kepada orang luar sehingga ingin bicara langsung padanya. Katanya kemudian.
"Sebenarnya tanpa penjelasan juga aku percaya penuh dia takkan mendustai aku. Harap paman Bun suka sampaikan padanya agar lekas pulang ke sini apabila lukanya sudah sembuh."
"Tapi dia masih menguatirkan sesuatu,"
Kata Ubun Tiong.
"Kuatir apa lagi?"
Tanya Ki Ki.
"Dia kuatir ayahmu menolak kedatangannya lagi."
"Jika ayah melarang kedatangannya, biarlah aku mati saja di depan ayah."
"Cara ini kurang baik,"
Ujar Ubun Tiong.
"Kita kenal watak ayahmu, yang harus dikuatirkan adalah bukan soal ayahmu melarang kedatangannya, celakanya kalau ayahmu menjadi murka dan membinasakan dia."
"Habis bagaimana jalan yang paling baik?"
Tanya Ki Ki.
"Kupikir sebaiknya kita mengundang bibinya untuk dirundingkan bersama cara bagaimana menghadapi ayahmu. Apakah kau ingin bertemu dengan bibinya?"
"Tentu saja mau,"
Jawab Ki Ki.
"Tapi apakah dia dapat meninggalkan Liong-toako yang masih sakit itu?"
"Keadaan Liong-sing sudah mendingan, pula di rumah ada pelayan,"
Kata Ubun Tiong.
"Terus terang, saat ini mungkin bibinya juga hampir sampai di sini. Dia telah berjanji dengan aku akan segera menyusul. Ia suruh aku mencari tahu dulu bagaimana sikapmu, jika kau percaya barulah dia mau bertemu dengan kau."
"Cara bagaimana dia akan menghadapi ayahku? Dengan cara halus atau kekerasan?"
Tanya Ki Ki.
"Katanya dia mempunyai cara yang baik dan akan bicara padamu, aku percaya dia takkan menggunakan kekerasan,"
Tutur Ubun Tiong.
"Eh, tanpa terasa kita sudah bicara sekian lama dan hari pun sudah hampir gelap."
"Ya, engkau datang dari jauh, sepantasnya aku bertindak sebagai pemilik rumah. Marilah paman ikut pulang ke rumah, engkau tentu belum dahar, akan kubuatkan makanan seadanya bagimu."
"Jangan repot,"
Ujar Ubun Tiong.
"Tapi boleh juga kita menunggu bibi Liong-sing di rumahmu. Bisa jadi malam nanti ia pun akan sampai di sini."
Di tempat sembunyinya Sin Liong-sing dapat menyaksikan Ubun Tiong melangkah pergi bersama Ki Ki, ia menjadi kuatir dan gemas pula, tapi tidak berani bersuara, ia kuatir kalau bersuara bukan mustahil Ubun Tiong lantas turun tangan keji lebih dulu terhadap Ki Ki.
Ia pun heran mengapa sang bibi bisa masuk perangkap Ubun Tiong sehingga berkomplot dengan dia? Jalan paling baik ialah sang bibi disadarkan dan ditarik ke pihaknya sendiri, dengan demikian barulah bangsat Ubun Tiong itu dapat dibereskan.
Begitulah akhirnya ia lihat Ubun Tiong dan Ki Ki telah melangkah pergi jauh, kemudian ia lantas melompat keluar dari tempat sembunyinya.
Sudah tentu Sin Cap-si-koh kaget melihat munculnya Sin Liong-sing.
"Bibi, tahukah engku orang macam apa Ubun Tiong itu?"
Segera Liong- sing bertanya selagi bibinya masih melongo.
"Dia kan sahabatmu?"
Ujar Sin Cap-si-koh heran.
"Sahabat apa? Malah aku hampir mampus di tangannya,"
Kata Liong-sing dengan gemas.
"Mengapa bisa terjadi begitu?"
Tanya Cap-si-koh terkejut.
"Tentu ada sebabnya bukan?"
"Sebab dia adalah musuh Ki We!"
Jawab Liong-sing.
"Aku pernah ditolong oleh Ki We, tapi dia memaksa aku agar berkomplot dengan dia untuk membunuh Ki We, namun aku menolaknya."
"Hm, kukira tidak cuma sebab itu saja!"
Jengek Cap-si-koh.
"Kau dan anak perempuan Ki We....."
"Benar, nona Ki sangat baik padaku, mereka ayah dan anak adalah penolongku,"
Kata Liong-sing.
"Bibi, betapa pun kumohon janganlah engkau membikin susah nona Ki itu."
"Hah, pantas Ki We demikian bernapsu menemukan kau, kiranya demikian persoalannya,"
Jengek Cap-si-koh.
"Hm, jadi kau telah mengikat janji dengan budak itu?"
Dengan agak berat terpaksa Sin Liong-sing mengiakan.
"O, jadi kau pilih yang baru dan membuang yang lama!"
Dengus Cap-si- koh pula.
"Lalu cara bagaimana kau akan memperlakukan Hi Giok-kun setelah kau mengikat janji dengan anak perempuan Ki We?"
"Bukan maksudku melupakan Giok-kun, bibi, soalnya Ai, sukar bagiku untuk menjelaskan. Pendek kata aku telah hutang budi kepada Ki We dan puterinya, sedangkan Ubun Tiong adalah musuhku. Maka adalah pantas kalau bibi membantu keponakan sendiri dan janganlah membantu pihak yang jahat untuk membikin susah seorang nona yang tak berdosa."
Sin Cap-si-koh menjadi gusar, jengeknya.
"Hm, justru aku anggap kau yang tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat."
"Mengapa bisa begitu?"
Ujar Liong-sing.
"Mana Ubun Tiong hendak mencelakai kau, dia hanya berusaha agar kau tidak jadi menikah dengan budak she Ki itu,"
Kata Cap-si-koh.
"Terus terang, aku tidak suka kepada Hi Giok-kun, tapi aku terlebih tidak suka kepada puteri Ki We. Makanya aku pun melarang kau menikahi dia."
"Siapa bilang aku ingin menikahi dia?"
Jawab Liong-sing.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soalnya aku hutang budi kepada mereka dan aku harus membalas kebaikan mereka."
"Tapi Ubun Tiong justru bermaksud baik padamu, sebaliknya Ki We memungut kau sebagai menantu adalah karena punya maksud tujuan tertentu,"
Kata Cap-si-koh. Melihat sang bibi tetap tak mau mengerti, Sin Liong-sing menjadi dongkol, serunya.
"Bibi, betapa pun aku hanya mohon padamu agar jangan membantu Ubun Tiong. Nona Ki tiada bermusuhan apa-apa dengan kau. Demi keponakanmu ini, tolonglah dia. Selesai urusan ini tentu akan kuceritakan seluk-beluknya dengan lebih jelas."
Sin Cap-si-koh juga mendongkol, jawabnya dengan mengejek.
"Ya, budak itu memang tiada permusuhan dengan aku, tapi ayahnya telah memusuhi aku."
"Mana bisa jadi, mengapa selamanya tak pernah kudengar hal ini?"
Kata Liong-sing dengan melengak.
"Belum terlambat bila kuceritakan sekarang padamu,"
Ujar Cap-si-koh. Lalu ia pun menguraikan sekadarnya apa yang terjadi tempo hari. Hal ini sama sekali di luar dugaan Sin Liong-sing, ia menjadi cemas dan gelisah pula, seketika ia tak sanggup membuka suara.
"Nah, sekarang kau mengetahui persoalannya,"
Sambung Cap-si-koh.
"Ki We pernah menyelamatkan kau, Ubun Tiong juga pernah menolong jiwaku. Kau ingin membalas budi, aku pun harus membalas budi kebaikan orang."
"Betapa pun juga dengan ayahnya, anak perempuannya kan tidak berdosa? Apakah bibi tidak dapat mengampuni dia demi keponakanmu ini?"
Liong-sing memohon.
"Tidak bisa!"
Jawab Cap-si-koh dengan tegas. Sin Liong-sing menjadi tambah mendongkol, serunya.
"Bibi, jika engkau tidak mau membantu keponakan sendiri, sedikitnya engkau juga jangan membantu orang lain, harap engkau diam saja bila aku sendiri menghadapi Ubun Tiong."
Tak tersangka mendadak tongkat bambu Sin Cap-si-koh lantas bekerja, dengan cepat luar biasa ia totok Hiat-to keponakannya itu. Kontan Liong- sing terguling, matanya melotot memandangi sang bibi dengan bingung.
"Kau sukar dinasehati, terpaksa kau harus diberi tahu rasa sedikit,"
Kata Cap-si-koh. Selagi ia memikirkan kemana Sin Liong-sing harus disembunyikan, tiba-tiba dari belakang terdengar berkesiurnya angin, segera tongkatnya membalik ke belakang sambil membentak.
"Siapa?"
Orang itu sempat berkelit, jawabnya dengan tertawa.
"He, Sin-toaci, apakah sudah pangling pada kawan lama?"
Semula Sin Cap-si-koh mengira Ki We yang datang, waktu ia berpaling baru diketahui ialah Yim Thian-ngo.
"O, kiranya kau, untuk apa kau menguntit aku secara sembunyi- sembunyi?"
Tanya Cap-si-koh dengan kurang senang.
"Jangan salah paham, Sin-toaci,"
Jawab Yim Thian-ngo dengan tertawa.
"Aku adalah tetangga Ki We, tempat tinggalku di gunung sebelah depan sana, apa engkau tidak tahu?"
"Ya, pernah kudengar,"
Kata Cap-si-koh.
"Terus terang, kedatanganku ini hendak mencari perkara kepada Ki We, apakah kau ingin membela tetanggamu."
"Mana bisa, aku pun lahirnya saja akur dengan Ki We, tapi dalam batin juga tidak cocok satu sama lain,"
Sahut Yim Thian-ngo.
"Jika kau hendak mencari perkara padanya, tentu kebetulan bagiku malah."
"Baik, jika begitu kau boleh pulang saja dan jangan merintangi urusanku,"
Kata Cap-si-koh. Tapi Yim Thian-ngo menuding Sin Liong-sing yang menggeletak tak berkutik itu dan berkata pula.
"Apakah dia ini keponakanmu?"
"Ada apa? Urusanku kau tidak perlu ikut campur!"
Jengek Cap-si-koh sambil mendelik.
"Mana aku berani ikut campur, aku hanya ingin mintakan ampun saja baginya,"
Ujar Yim Thian-ngo dengan tertawa.
"O, kau pun kenal dia?"
Tanya Cap-si-koh.
"Ya, keponakanmu ini pernah tinggal di rumahku."
"Habis apa maksudmu? Kau mau apa?"
"Kuharap engkau jangan menghukum berat padanya, serahkan saja dia di bawah pengawasanku."
Memangnya Sin Cap-si-koh sedang bingung cara bagaimana akan menaruh sang keponakan yang tak bisa berkutik itu, maka tawaran Yim Thian-ngo ini terasa kebetulan baginya.
Cuma prilaku Yim Thian-ngo juga dikenalnya, mau tak mau ia pun curiga akan maksud tujuannya, segera ia bertanya.
"Kau hendak membawanya ke rumahmu?"
"Benar, jauh-jauh Sin-toaci berkunjung ke sini, aku ingin mengundang kalian untuk tinggal beberapa hari di kediamanku,"
Kata Yim Thian-ngo.
"Cuma sekarang Sin-toaci sedang ada urusan, terpaksa aku mengundang dulu keponakanmu ini. Rasanya kepergianmu ke rumah Ki We juga tidak leluasa membawa serta keponakanmu, bukan?"
Sin Cap-si-koh melirik sekejap kepada Yim Thian-ngo, lalu berkata dengan acuh tak acuh.
"Kukira kau tidak perlu main sandiwara di hadapanku, terus terang katakan, apa tujuanmu atas diri keponakanku ini?"
"Ah, Sin-toaci terlalu banyak curiga, mana aku berani berbuat sesuatu yang merugikan kalian? Terus terang, aku memang ada sesuatu urusan ingin minta petunjuk kepada keponakanmu ini."
"Urusan apa?"
Tanya Cap-si-koh.
"Mengenai anak perempuanku, Hong-siau, dia telah dibawa lari oleh Hi Giok-kun yang bersekongkol dengan puteri Oh-hong-tocu bernama Kiong Kim-hun dan hingga sekarang tak diketahu kemana perginya?"
Cap-si-koh terkejut.
"Masakah bisa terjadi begitu?"
Ia menegas.
"Hi Giok-kun kan menantu keponakanmu? Makanya aku perlu tanya keterangan tentang puteriku itu kepada keponakanmu ini."
"Setahuku Liong-sing dan Giok-kun hanya suami-isteri nama kosong saja, pula mereka sudah lama berpisah. Sebenarnya cara bagaimana terjadinya peristiwa itu?"
Tanya Cap-si-koh.
"Aku tahu mereka suami-isteri kini sudah berpisah, tapi dahulu mereka justru datang bersama ke rumahku. Setelah peristiwa itu kemudian mereka suami-isteri berpisah, keponakanmu telah penujui pula anak perempuan Ki We dan tinggal di rumahnya. Cuma mengenai minggatnya anak perempuanku, jelas keponakanmu ikut serta dalam komplotannya. Jika sekarang aku minta pertanggung jawabannya, rasanya Sin-toaci juga setuju bukan?"
Diam-diam Sin Cap-si-koh berpikir permusuhannya dengan Oh-hong- tocu, jika kini Yim Thian-ngo juga ada sengketa dengan dia, ini berarti dirinya akan menambah seorang kawan untuk menghadapi Oh-hong-tocu. Karena itu ia lantas berkata.
"Baiklah, boleh kau bawa pergi Liong-sing untuk ditanyai, hanya aku minta jangan kau menyiksa dia."
"Jangan kuatir, aku takkan mengganggu seujung rambut keponakanmu ini,"
Kata Yim Thian-ngo.
Dengan menyerahkan Sin Liong-sing kepada Yim Thian-ngo, maka selesailah sesuatu kesukaran Sin Cap-si-koh yang dihadapi tadi, dengan hati lega kini dia dapat menuju ke tempat Ki We.
Saat itu Ki Ki sedang gelisah menghadapi Ubun Tiong, tiba-tiba terdengar suara tongkat mengetuk tanah, cepat ia membukakan pintu.
Begitu melihat Ki Ki, dengan muka berseri-seri Sin Cap-si-koh lantas menyapa.
"Ini tentunya nona Ki bukan? Ah, alangkah cantiknya nona, pantas keponakanku itu terpikat kepadamu."
Muka Ki Ki menjadi merah, jawabnya.
"Ba..... bagaimana dengan Liong..... eh, Sin..... Sin-toako?" ~ Ia sudah biasa memanggil "Liong-toako", maka cepat ia ganti sebutan.
"Jangan kuatir, Liong-sing sembuh dengan cepat, mestinya dia ingin ikut ke sini bersamaku, tapi aku suruh dia istirahat lagi beberapa hari, kukira tak lama ia pun akan menyusul kemari,"
Kata Cap-si-koh.
"Baik sekali, aku akan bersyukur jika dapat bertemu dengan dia,"
Ujar Ki Ki bergirang.
"Tapi aku kuatir kalau dia kepergok ayahmu, makanya kita harus berdaya cara yang baik untuk menyelamatkan dia,"
Kata Cap-si-koh pula.
"Mohon bibi memberi petunjuk cara yang baik,"
Pinta Ki Ki.
"Yang jelas ayahmu sedang marah, tentu saja Liong-sing takkan diampuni olehnya, kedatanganku inipun tidak enak kalau diketahuinya, sebab itu langkah pertama, kau harus berusaha jangan sampai ayahmu mengetahui kami bersembunyi di sini. Langkah kedua, aku pun sudah punya, hanya kau harus percaya padaku."
"Sudah tentu aku percaya penuh kepada bibi."
"Soalnya ilmu silat ayahmu terlalu tinggi, maka untuk keselamatan kita, terutama Liong-sing, kita harus berusaha agar untuk sementara ayahmu tidak mampu mengeluarkan kepandaiannya, dengan begitu kita dapat bicara dengan baik dan mintakan ampun bagi Liong-sing, andaikan ayahmu akan mengamuk juga tak berbahaya lagi."
Ki Ki menjadi ragu-ragu. Tapi Ubun Tiong lantas membujuk pula bahwa tindakan itu hanya sementara saja dan demi keselamatan Sin Liong-sing. Walaupun masih sangsi, akhirnya Ki Ki berkata.
"Dan cara bagaimana membikin ayah kehilangan kekuatan untuk sementara?"
"Aku mempunyai cara yang baik, asal kau menurut kepadaku,"
Kata Cap- si-koh.
"Coba dengarkan sini."
Lalu ia membisiki telinga si nona tentang upaya yang telah diaturnya.
Sudah tentu mimpi pun Ki We tidak menduga Sin Cap-si-koh dan Ubun Tiong bersembunyi di rumahnya.
Dan seperti sudah diduga Sin Cap-si-koh, esok paginya Ki We lantas pulang sampai di rumah.
Sesuai ajaran Sin Cap-si-koh, Ki Ki pura-pura tidak tahu apa pun dan bertanya.
"Apakah ayah dapat menemukan Liong-toako?"
Wajah Ki We tampak muram dan dongkol, katanya.
"Hm, jangan sebut- sebut lagi Liong-toako segala, jika mendengar namanya aku menjadi marah."
"Bagaimana dengan dia, ayah?"
Ki Ki menegas.
"Pertama dia tidak she Liong tapi she Sin, asal-usul yang pernah dia ceritakan kepada kita itu semuanya bohong belaka,"
Tutur Ki We.
Ia tidak tahu kalau anak perempuannya itu sudah mengetahui tentang Sin Liong-sing, maka ia menjadi heran melihat Ki Ki tidak memperlihatkan sesuatu tanda kaget dan sedih, ia mengira anak perempuannya itu masih terlalu muda dan polos sehingga belum paham seluk-beluk kehidupan manusia yang penuh kepalsuan.
Sebenarnya ia hendak menjelaskan seluruh persoalannya, akan diuraikan kebaikan dan keburukan Sin Liong-sing agar anak perempuannya itu mendapat gambaran yang jelas dan dapat mengambil keputusan sendiri akan bakal suaminya itu.
Tapi kini ia menjadi ragu-ragu untuk bicara lebih lanjut.
"Lalu bagaimana lanjutannya, ayah?"
Tanya Ki Ki melihat sang ayah terdiam.
"Selain namanya yang palsu itu, ada suatu urusannya yang tercela dan tidak pantas terhadapmu, hal ini....."
Teringat kepada kepolosan anak perempuannya ini, tapi Sin Liong-sing telah tega menipunya, tanpa terasa ia menjadi marah lagi.
Melihat sikap ayahnya itu, Ki Ki berpikir apa yang diceritakan paman Bun dan bibi Sin tadi agaknya memang tidak dusta.
Maka ia lantas berkata.
"Ayah, engkau tentu lelah, silakan minum dahulu teh wangi yang baru kuseduh untukmu ini."
Ki We merasa terhibur oleh kebaktikan anak perempuannya itu, tanpa curiga ia minum habis secangkir teh itu. Lalu ia berkata pula.
"Anak Ki, dengarkanlah ceritaku ini, tapi kau tidak boleh menangis."
"Anak merasa girang karena ayah telah pulang, masakah ada urusan lain yang mesti kutangisi?"
Ujar Ki Ki.
"Persoalan ini kukira akan membikin kau sangat berduka,"
Ujar Ki We sambil menghela napas.
"Tapi kau adalah anak perempuanku, hatimu harus tabah, betapa pun rasa sedihmu juga janganlah menangis."
"Anak takkan menangis, ayah, silakan bicara saja!"
Jawab Ki Ki tegas.
"Dia..... Sin Liong-sing ternyata..... ternyata....."
Perlahan Ki We bicara, tapi mendadak cangkirnya terbanting ke lantai hingga hancur. Ki Ki terkejut dan cepat bertanya.
"Ayah, ada apakah engkau....."
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi mata sang ayah mendadak mendelik dan membentaknya.
"Kau..... kau kenapa menaruh racun di dalam teh yang kuminum ini? Racun apa ini, lekas katakan!"
Kiranya racun yang diberikan Sin Cap-si-koh itu adalah jenis bubuk racun pelumpuh yang keras.
Jika sebelumnya Ki We sudah berjaga dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, maka teh beracun yang diminumnya itu takkan banyak pengaruhnya, tapi lantaran dia tidak menaruh curiga terhadap anak perempuan sendiri, maka terlambatlah ketika dia hendak mengerahkan tenaga untuk membendung menjalarnya racun di dalam tubuh.
Kini separoh badannya sudah lumpuh dan tak berkutik lagi.
"Jangan kuatir, ayah,"
Demikian Ki Ki menjawab.
"Anak pun tidak tahu ini racun apa, cuma bekerjanya hanya untuk sementara menghilangkan kekuatan ayah saja. Harap ayah suka memaafkan kesembronoan anak, soalnya terpaksa, janganlah ayah marah padaku."
Tidak kepalang sedih Ki We, ia menghela napas, ia pikir kalau anak perempuan sendiri saja tak dapat dipercaya, lalu siapa lagi di dunia ini yang dapat kupercayai? Dengan lesu ia lantas berkata.
Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id