Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 32


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 32



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Baiklah, coba katakan darimana kau memperoleh racun ini? Hal apa yang memaksa kau menaruh racun atas diri ayahmu sendiri?"

   Belum lenyap suara, tiba-tiba terdengar seorang menanggapi dengan mendengus.

   "Biar aku yang menjawab pertanyaanmu, Ki We!"

   Sembari berkata Sin Cap-si-koh lantas keluar dari tempat sembunyinya disusul oleh Ubun Tiong.

   Seketika itu Ki We terkejut, mendongkol dan gusar pula.

   Ia pun sadar apa yang terjadi, rupanya anak perempuannya telah terjebak oleh tipu muslihat perempuan siluman ini.

   Segera ia membentak.

   "Kau kau perempuan iblis ini berani menipu anak perempuanku dan meracuni aku?"

   "Benar, akulah yang menyuruh dia berbuat demikian!"

   Jengek Cap-si- koh.

   "Aku memang sengaja menyuruh anak perempuanmu untuk mencelakai kau agar kau berduka setengah mati. He, he, kau bangsat tua ini mengira ilmu silat sendiri tiada bandingannya di dunia, tentu kau tidak menyangka akan jatuh di tanganku bukan? Nah, ada ubi ada talas, sekarang menjadi giliranku untuk membalas sakit hati." ~ Habis berkata segera ia hendak menampar muka Ki We. Mendadak Ki We mendahului meludahinya dengan riak kental. Sin Cap- si-koh mengira orang sudah tidak berkutik, siapa tahu dia masih mempunyai tipu serangan simpanan. Riak kental itu tepat mengenai telapak tangannya yang hendak menampar itu, seketika "Lo-kiong-hiat"

   Di tengah telapak tangan terasa kesemutan, ia terkejut dan cepat melangkah mundur.

   Kiranya Ki We sedang menghimpun tenaga murni untuk mengusir racun yang meresap di dalam tubuh, tapi lantaran kadar racun terlalu lihai, tenaga yang dia himpun belum cukup kuat untuk menghalau racun.

   Tapi riak kental yang disemprotkan dari mulutnya dengan tenaga yang terhimpun itu boleh dikata tidak kalah lihainya daripada sambitan senjata rahasia tokoh silat kelas tinggi.

   Keruan tangan Sin Cap-si-koh menjadi kesakitan, sebelah lengan itu serasa tidak mau menurut perintah lagi.

   Tentu saja ia gusar, segera ia angkat tongkatnya hendak mengemplang Ki We.

   Dalam pada itu Ki Ki juga dapat melihat gelagat, ia pun menyadari dirinya telah tertipu, tanpa pikir ia lantas menubruk maju sambil berteriak.

   "Mengapa kau hendak menganiaya ayahku, bukankah kau sudah berjanji....."

   Tapi tongkat Sin Cap-si-koh berputar dan menggentak sehingga Ki Ki didorong ke pojok dinding, lalu jengeknya.

   "Hm, janganlah kau mimpi. Apakah kau tidak tahu bahwa ayahmu adalah musuhku? Memangnya kau kira aku hendak mengambil kau sebagai keponakan menantu? Ha, ha, ketahuilah bahwa Liong-sing sudah punya isteri, biarpun kau sudi menjadi gundiknya juga aku tidak sudi menerima kau."

   Saking gusarnya sehingga muka Ki Ki berubah pucat, ia balas memaki.

   "Perempuan tua bangka, manusia macam kau tidak mungkin adalah bibi Liong-toako. Kau menipu aku mencelakai ayahku sendiri, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau!" ~ Habis berkata ia terus menubruk maju pula. Sin Cap-si-koh merasa sebal terhadap si nona yang merintanginya itu, segera ia angkat tongkatnya untuk menghantam. Tiba-tiba terdengar suara "trang", kiranya Ubun Tiong telah menangkis tongkatnya dengan menggunakan tatakan lilin yang disambarnya dari atas meja. Cap-si-koh melengak, tanyanya bingung.

   "Ada apa? Kau membela budak ini?"

   "Aku tidak ingin kau melukainya,"

   Jawab Ubun Tiong.

   "O, apakah kau menaksir nona cantik ini?"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Jangan berkata demikian, Sin-toaci,"

   Jawab Ubun Tiong.

   "Soalnya dia terlalu mirip dengan ibunya, aku tidak tega mencelakai dia."

   "Ah, jadi kau terkenang kepada kekasihmu yang dahulu,"

   Kata Cap-si- koh.

   "Baiklah, dan Ki We kan musuhmu, boleh kau serahkan padaku untuk membereskan dia bukan?"

   Di luar dugaan mendadak Ki Ki berteriak.

   "Maaf, ayah, anak akan berangkat lebih dulu!"

   Berbareng itu mendadak ia melompat ke sana dan membenturkan kepala ke dinding.

   Ubun Tiong tidak menduga watak si nona sedemikian kerasnya, ia terkejut dan cepat menariknya, syukur masih keburu meraih bajunya, namun rada terlambat juga, dahi Ki Ki sudah luka terbentur dinding walaupun kepala tidak sampai pecah.

   Segera Ubun Tiong menotok Hiat-to nona itu, katanya kepada Sin Cap- si-koh.

   "Sin-toaci, permusuhanku dengan tua bangka she Ki ini teramat mendalam, biarlah aku sendiri saja yang membereskan dia. Bukankah engkau masih perlu menemui Yim Thian-ngo, silakan saja berangkat dahulu. Nanti aku menyusul setelah urusan pribadiku ini kubereskan."

   Hati Sin Cap-si-koh rada mendongkol, terpaksa ia menjawab.

   "Kau pernah menolong jiwaku, baiklah kuserahkan kedua orang ini kepadamu dan anggap aku sudah membalas budimu."

   "Jangan salah paham, Sin-toaci,"

   Kata Ubun Tiong dengan menghormat.

   "Nanti kau boleh menemui aku lagi di pekuburan belakang rumah ini untuk menyaksikan cara bagaimana aku membereskan musuh kita bersama ini, kukira engkau pasti akan merasa puas."

   Begitulah setelah Sin Cap-si-koh pergi, Ubun Tiong menghadapi Ki We sembari tertawa puas.

   "Hm, apa yang kau tertawai?"

   Jengek Ki We gemas.

   "Aku menertawai ketololanmu,"

   Jawab Ubun Tiong dengan terbahak.

   "Aku sudah menyatakan padamu pasti akan menuntut balas, tapi kau ternyata meremehkan diriku dan mengira aku tidak dapat berbuat apa pun padamu. He, he, kini kau toh jatuh dalam cengkeramanku! Ki We, dahulu kau tidak membunuh aku, sekarang kau menyesal bukan?"

   "Hm, selama hidupku tidak pernah menyesali apa yang pernah kulakukan,"

   Jawab Ki We dengan dingin.

   "Dahulu kau tidak berharga untuk kubunuh, sekarang kau pun tiada nilainya untuk kubunuh. Dasar kau ini memang manusia rendah, selamanya kau pun tetap rendah. Huh, sekali pun kau bergabung dengan perempuan keparat itu, paling-paling kalian juga cuma main sergap dan curang, biarlah kuanggap salahku sendiri kena digigit anjing gila, walaupun penasaran juga tidak menjadi soal."

   Ucapan Ki We ini benar-benar teramat memandang rendah dan menghina Ubun Tiong, air muka Ubun Tiong berubah, tapi mendadak ia bergelak tertawa pula, katanya.

   "Ha, ha, kau ingin memancing kemarahanku agar aku membinasakan kau supaya kau bisa mati dengan enak, betul tidak? Tapi mana aku dapat kau jebak. Pendek kata, baik adu kecerdikan maupun adu kekuatan, yang jelas kau sudah jatuh dalam cengkeramanku. Bukan kau saja akan kubereskan sesuka hatiku, bahkan anak perempuanmu juga tercengkeram olehku. Boleh kau menghina aku, sebentar baru kau rasakan kelihaianku."

   Mendengar anak perempuannya disebut, Ki We menjadi gugup, segera ia balas menjengek, katanya.

   "Hm, menganiaya seorang nona cilik, terhitung orang gagah macam apa? Jika kau manusia yang tahu harga diri dan ingin menuntut balas padaku, maka silakan saja cara bagaimana kau akan membalas, tapi jangan sekali-kali mencelakai puteriku."

   "Ha, ha, kau tidak perlu memancing aku dengan ucapanmu yang sok gagah ini,"

   Ujar Ubun Tiong dengan tertawa.

   "Biarlah kukatakan padamu, aku takkan membikin susah anak perempuanmu."

   Lalu ia mendekati Ki Ki, perlahan ia mengusap noda darah di muka nona itu sambil memandangnya dengan termangu.

   Tiba-tiba ia menghela napas dan mengeluarkan obat untuk dibubuhkan pada lukanya.

   Hiat-to Ki Ki tertotok dan tak dapat berkutik, terpaksa ia hanya melotot saja dan mendamprat.

   "Manusia yang tidak tahu malu, kau berani mencelakai ayahku, jadi setan pun takkan kuampuni kau. Kau boleh bunuh aku saja!"

   "Crot", mendadak ia meludahi Ubun Tiong. Ubun Tiong tidak menjadi marah, ia malah menghela napas pula dan berkata.

   "Kau sungguh mirip benar dengan ibumu. Aku tidak akan mencelakai kau sebab meski kau adalah anak Ki We, tapi kau juga anak perempuan Bun-giok (nama ibu Ki Ki). Sebaiknya kau jangan memaki aku, apakah kau ingin tahu apa sebabnya aku menuntut balas pada ayahmu?"

   "Jangan percaya pada ocehannya, anak Ki!"

   Seru Ki We.

   "Mulut anjing tidak mungkin tumbuh gading!"

   "Hm, kau takut kuceritakan duduk perkara yang sebenarnya bukan?"

   Jengek Ubun Tiong.

   "Biar kuceritakan padamu, Ki Ki, ketahuilah bahwa ibumu adalah adik misanku, sebenarnya kami adalah pasangan kekasih yang saling cinta. Tapi entah dengan cara kotor apa ayahmu telah merebut ibumu dariku. Kemudian dia malahan membinasakan ibumu. Andaikan dia tidak merampas Bun-giok dariku, maka kau akan terlahir menjadi anakku. Nah, coba, apakah tidak pantas kalau aku menuntut balas padanya?"

   "Anak Ki, jangan percaya obrolannya,"

   Sela Ki We.

   "Ibumu mencintai aku dengan setulus hati, yang membunuh ibumu adalah orang she Ubun ini. Dia bersekongkol dengan ibu tiri ibumu dan menipu ibumu meracuni aku, sama seperti halnya sekarang dia menipu kau supaya meracuni aku. Akhirnya ibumu mengetahui persoalannya, dalam menyesalnya ibumu lantas membunuh diri. Aku tidak ingin hatimu terluka, maka selama ini tak pernah kuceritakan peristiwa dahulu itu padamu."

   Tidak kepalang sedih dan haru hati Ki Ki, katanya kemudian.

   "Ayah, sudah tentu kupercaya kepada ceritamu dan tak percaya kepada ocehannya. Mana bisa ibu menyukai seorang keji dan culas seperti dia, dia tidak lebih hanya katak buduk yang memimpikan rembulan belaka."

   Ubun Tiong menjadi murka, bentaknya.

   "Budak celaka, aku bermaksud mengampuni jiwamu, tapi kau yang cari mampus sendiri!" ~ Habis berkata ia terus menggaplok ke muka Ki Ki. Namun si nona tidak gentar sedikit pun, jawabnya tegas.

   "Baiklah, kau boleh bunuh aku saja!"

   Tapi mendadak tangan Ubun Tiong ditarik kembali, ia menghela napas dan berkata pula.

   "Ai, apa mau dikatakan lagi, kau adalah anak perempuan Bun-giok, betapa pun aku tidak dapat menyakiti kau. Namun ayahmu tetap tak dapat kuampuni. Baiklah, kita berangkat sekarang!"

   Segera sebelah tangannya menarik Ki Ki dan tangan yang lain menyeret Ki We. Ki We tak dapat melawan, bentaknya.

   "Kau mau apa? Jika mau bunuh silakan bunuh saja di sini!"

   "Aku belum akan membunuh kau, aku harus memperlihatkan kejadian menyenangkan sekarang ini kepada Bun-giok, maka akan kuseret kau ke depan kuburannya, di sanalah akan kubereskan kau!"

   Jengek Ubun Tiong.

   "Ha, ha, ha, bagus sekali jika aku dapat mati di depan makam isteriku tercinta!"

   Seru Ki We dengan bergelak tertawa. Diam-diam Ki We sudah bertekad akan membunuh diri apabila ayahnya dicelakai musuh, dengan tegas ia berkata.

   "Ayah, semuanya gara-garaku sehingga engkau ikut menjadi korban. Jika ayah nanti pergi berkumpul dengan ibu, anak pasti mengikuti jejakmu."

   "Kau jangan berpikir begitu, anak Ki,"

   Kata Ki We.

   "Betapa sedihku ketika ibumu membunuh diri dahulu. Jika tidak demi membesarkan kau tentu aku sudah menyusulnya. Maka sekarang aku tidak ingin kau meniru tindakan ibumu, setiap kesempatan harus kau gunakan untuk terus hidup. Yang penting kejadian ini harus menjadi pelajaran bagimu agar kelak kau jangan mudah percaya kepada obrolan orang."

   Ki Ki tidak membantah lagi, tapi di dalam hati ia sudah ambil keputusan takkan hidup sendirian bila ayahnya terbunuh. Begitulah akhirnya Ubun Tiong menyeret mereka sampai di depan kuburan isteri Ki We. Ubun Tiong melepaskan mereka, lalu mendengus.

   "Ki We, kau anggap dirimu serba pintar dan berhasil memikat Piau-moayku. Sebagai imbalannya sekarang aku takkan membunuh kau, aku hanya akan memunahkan ilmu silatmu, akan kupotong kesepuluh jarimu dan memotong lidahmu. Ha, ha, akan kulihat apakah Bun-giok masih menyukai orang macam kau tidak?"

   Ubun Tiong tertawa menyeringai, keadaannya seperti orang gila, mau tak mau Ki We menjadi kuatir kalau dirinya benar-benar akan dihina dan dianiaya secara sadis.

   Sayang sedikit tenaga yang dihimpunnya tadi telah digunakan untuk menyerang Sin Cap-si-koh, kini keadaannya sudah payah, jangankan hendak mengumpulkan tenaga lagi, ingin membunuh diri saja tidak mampu.

   Bagi Ki Ki yang sudah bertekad akan mati bersama ayahnya, ia menjadi tidak begitu takut.

   Tapi demi mendengar Ubun Tiong akan menyiksa ayahnya secara keji, ia menjadi kuatir dan murka pula, segera ia memaki lagi.

   "Keparat, kau manusia berhati binatang, kau berani menyiksa ayahku?"

   "Nona Ki, percumalah kau memaki aku, toh kau tak dapat menolong nasib ayahmu,"

   Ujar Ubun Tiong dengan tertawa dingin.

   "Tapi kalau kau mohon ampun padaku, bisa jadi masih dapat dirundingkan."

   "Jangan percaya ocehannya, anak Ki!"

   Seru Ki We lantang.

   "Kau adalah puteriku, kau tidak boleh menangis, lebih-lebih tidak boleh minta ampun kepada musuh!"

   "Hm, sudah dekat ajalmu masih bermulut keras!"

   Jengek Ubun Tiong.

   "Baiklah, aku akan sembahyang dahulu di depan makam Bun-giok, sebentar akan kubereskan kau. Jika ada pesanmu kepada puterimu boleh lekas tinggalkan, inilah kelonggaranku bagimu."

   Sekuatnya Ki We lantas menggeser mendekati puterinya, perlahan ia membelai rambut Ki Ki, katanya dengan suara tertahan.

   "Selama hidup ayah banyak berbuat kesalahan, apa yang terjadi sekarang mungkin adalah ganjaran bagiku. Jika kau beruntung dapat meloloskan diri, maka boleh kau pergi mencari Sin-toakomu."

   Dengan air mata bercucuran Ki Ki berkata.

   "Ayah, aku ingin engkau memberitahukan suatu hal padaku."

   "Tentang apa?"

   Tanya Ki We.

   "Sesungguhnya orang macam apakah Sin-toako itu? Apakah betul dia sudah beristeri dan dia telah mengingkari anak?"

   Pertanyaan anak perempuannya ini membikin hati Ki We tidak enak.

   Ia pikir pada saat perpisahan antara hidup dan mati ini mana boleh membikin berduka hati puterinya ini.

   Sementara itu tampak Ubun Tiong sudah selesai berdoa di depan makam isteri Ki We dan telah berbangkit, sedangkan Ki We masih ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Ki Ki tadi.

   "Mengapa engkau diam saja, ayah?"

   Desak Ki Ki.

   "Katakanlah hal yang sebenarnya, apakah betul dia sudah..... dia sudah....."

   "Anak Ki,"

   Tutur Ki We akhirnya.

   "aku tidak sempat menjelaskan lagi, hanya dapat kukatakan padamu bahwa Sin-toakomu itu adalah orang yang punya perasaan, dia pasti akan menjaga kau dengan baik."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Timbul senyuman puas pada wajah Ki Ki, katanya.

   "Jika begitu barulah aku merasa lega, ayah. Asal dia punya perasaan baik, biarlah dia berbuat kesalahan apa pun juga dapat kuampuni dia."

   Dalam pada itu Ubun Tiong telah berpaling dan mendekati mereka, katanya dengan menyeringai.

   "Kalian sudah selesai bicara belum? Sekarang aku akan selesaikan kau."

   "Ubun Tiong, betapa pun kau akan berbuat atas diriku boleh silakan mulai, tapi janganlah anak perempuanku menyaksikannya di sini!"

   Bentak Ki We.

   "Ha, ha, ha! Ki We, kukira kau adalah lelaki sejati yang tidak takut langit dan tidak gentar bumi, nyatanya ada juga hal yang membuat kau takut?"

   "Keparat, siapa yang takut padamu? Permusuhan kita sama sekali tiada sangkut-paut dengan anak perempuanku, maka kau boleh menuntut balas padaku, kenapa kau mesti menyiksa pula batin anak perempuanku?"

   Teriak Ki We dengan murka.

   "Ha, ha, jadi kau kuatir puterimu menyaksikan cara kau disiksa?"

   Jengek Ubun Tiong.

   "Ha, ha, ha! Tadi kau sendiri mengajar puterimu agar jangan minta ampun kepada musuh, tapi sekarang kau sendiri malah minta ampun padaku?"

   "Tidak perlu membacot lagi, boleh kau bunuh aku saja!"

   Damprat Ki We dengan gusar. Ubun Tiong mencabut sebilah belati dan diacungkan di depan muka Ki Ki, katanya.

   "Nona Ki, mengingat ibumu dan kau, makanya aku mengampuni kematian ayahmu. Tapi aku akan memotong jarinya, memutus tulang pundaknya serta memotong lidahnya. Dengan demikian kau akan dapat melayani ayahmu selama hidup. Sekarang aku akan mencungkil lebih dulu biji matanya!" ~ Habis berkata mendadak ujung belatinya berganti arah kepada kedua biji mata Ki We. Ki Ki berteriak melengking dan jatuh pingsan. Sesaat itu yang terpikir pada detik terakhir dalam benaknya, adalah.

   "Biarlah aku mati bersama ayah saja. Sin-toako entah berada dimana? Semoga dia tahu kejadian sekarang ini dan dapat membalaskan sakit hatiku ini!"

   Sudah tentu mimpi pun Ki Ki tidak menduga bahwa Sin-toako yang dirindukannya itu pada saat yang sama sudah berada di rumah Yim Thian- ngo, tetangganya.

   Pada waktu itu Yim Thian-ngo juga sedang memeras keterangan dari Sin Liong-sing, tapi pemuda itu selalu menjawab "tidak tahu".

   "Hm, di Yang-ciu kau telah bertemu dengan Hi Giok-kun, memangnya kau sangka aku tidak tahu? Jika kau tetap kepala batu, jangan kau salahkan aku main kekerasan padamu!"

   Ancam Yim Thian-ngo.

   "Aku bertemu Giok-kun tidak berarti bertemu juga dengan puterimu,"

   Jawab Liong-sing.

   "Hakikatnya puterimu tidak berada bersama Giok-kun."

   "Benar, ketika itu dia tidak pergi bersama Hi Giok-kun. Tapi di luar rumah sama sekali dia tidak punya kenalan, maka kaburnya ini kalau tidak mencari Hi Giok-kun siapa lagi yang dicarinya?"

   Seperti telah diceritakan, tempo hari Yim Hong-siau telah mempertaruhkan kematiannya untuk memaksa sang ayah jangan merintangi kaburnya Hi Giok-kun dan sebagai imbalan dia mau ikut pulang bersama ayahnya.

   Setelah Yim Thian-ngo membawa pulang puterinya, semula diawasi dengan ketat, tapi lama kelamaan penjagaan menjadi kendur juga.

   Setelah sembuh lukanya, pada.suatu malam Yim Hong-siau lantas minggat tanpa meninggalkan sepucuk surat pun.

   "Tapi aku sama sekali tidak tahu menahu tentang puterimu segala, apakah kau ingin aku mendustai kau dengan cerita khayalan?"

   Demikian jawab Sin Liong-sing ketika didesak lagi.

   Sudah barang tentu Yim Thian-ngo tetap curiga dan tidak percaya kepada ucapan Sin Liong-sing.

   Tapi pemuda itu tetap bungkam, ia tak berdaya dan terpaksa mengurungnya untuk menunggu kedatangan Sin Cap-si-koh.

   Memangnya Sin Liong-sing sudah ditotok oleh bibinya, tapi Yim Thian- ngo masih kuatir, ia menambahi pula ilmu totokan sendiri yang khas sehingga orang lain tidak dapat membuka Hiat-to yang ditotoknya itu.

   Tiga tempat Hiat-to penting di tubuh Sin Liong-sing tertotok oleh dua tokoh kelas tinggi, sekali pun mulut dapat bicara, tapi tubuh jelas tak bisa berkutik lagi.

   Yim Thian-ngo menggusurnya ke dalam sebuah kamar tamu yang bagus, katanya.

   "Inilah kamar tidur yang kau tempati tempo hari, aku masih tetap memandang kau sebagai keponakan, kuharap kau dapat merenungkannya secara masak dan jangan menyia-nyiakan maksud baikku padamu, hendaknya besok kau dapat bicara terus terang padaku."

   Sin Liong-sing hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya.

   Dengan tersenyum Yim Thian-ngo melangkah keluar sambil menutup pintu kamar.

   Sin Liong-sing berbaring di kamar yang gelap-gulita itu, terbayanglah kejadian dahulu adegan demi adegan.

   Kamar ini pernah ditempatinya tempo hari, tapi kamar tamu ini sekarang telah berubah menjadi kamar tahanan, perasaannya juga sama sekali berbeda daripada dahulu.

   Waktu dia dan Giok-kun datang di rumah Yim Thian-ngo dahulu, meski hidup antara suami-isteri mereka hanya kosong belaka, tapi sedikitnya mereka tetap bersikap sebagai suami-isteri resmi, tapi sekarang untuk menemui Hi Giok-kun saja dia tidak berani lagi.

   Untuk pertama kalinya Hi Giok-kun tidak mau menurut lagi kepada kata- katanya terjadi sesudah mereka datang di rumah keluarga Yim ini.

   Jika menilik kembali masa yang lalu, Sin Liong-sing sangat merasakan keburukannya sendiri, tanpa terasa hatinya bergetar.

   Sebagaimana diketahui, waktu itu ia mengetahui Kiong Kim-hun berada di rumah Yim Thian-ngo, maka ia bermaksud menawan nona itu sebagai sandera untuk menukar bibinya yang ditawan Oh-hong-tocu, ayah Kiong Kim-hun.

   Sebab itulah dia dan Giok-kun datang ke rumah Yim Thian-ngo, sebab Giok-kun dan Yim Hong-siau, puteri Yim Thian-ngo adalah teman sejak kecil, ia minta bantuan Giok-kun agar malam-malam Kiong Kim-hun ditawan untuk dijadikan sandera penukaran sang bibi.

   Sebenarnya Giok-kun telah menasehatkan dia agar jangan berbuat demikian, tapi dia bersikeras agar Giok-kun melakukan apa yang diaturnya.

   Terpaksa Giok-kun menurut, tapi hanya adu mulut saja, sebaliknya Kiong Kim-hun lantas dilarikan malah, bahkan Yim Hong-siau ikut minggat pula.

   Dalam kegelapan, bayangan Hi Giok-kun seakan-akan berdiri di depannya dan sedang memandangnya dengan sorot mata yang dingin dan mencemoohkan serta memandang hina padanya.

   "Sebenarnya dia sudah memandang hina diriku sebelum dia melihat aku mendorong Kong-sun Bok ke jurang, ketika datang ke rumah keluarga Yim ini dia sudah tahu hatiku jahat. Aku bermaksud menawan Kiong Kim-hun untuk menukar bibi, siapa tahu bibi ternyata adalah wanita yang sedemikian jahatnya, aku anggap dia sebagai bibi, tapi dia tidak anggap aku sebagai keponakan. Dia lebih suka percaya padaku. Syukur kejahatan yang hendak kulakukan waktu itu telah gagal. Kini aku tercengkeram oleh Yim Thian-ngo, inipun akibat dan ganjaran perbuatanku sendiri yang jahat. Ai, sayang aku tak bisa berkutik, rasanya aku lebih baik mati saja. Tapi saat ini aku ingin membunuh diri pun tidak sanggup."

   Begitulah sedang pikirannya terombang-ambing dan menyesali dirinya sendiri, tiba-tiba bayangan seorang anak dara timbul pula di depannya, itulah bayangan Ki Ki.

   "Ya, masih ada Ki Ki yang harus kutolong, bibi dan Ubun Tiong, agaknya mereka hendak menggunakan Ki Ki sebagai umpan untuk memancing Ki We. Jika aku dapat melepaskan diri, betapa pun aku harus mencegah muslihat mereka yang terkutik itu. Tapi, ai, cara bagaimana aku dapat meloloskan diri?"

   Demikianlah pikirannya menjadi bergolak pula. Biarpun dia tahu tenaga sendiri terbatas, andaikan tidak dikurung Yim Thian-ngo juga belum pasti sanggup menolong Ki Ki, tapi asalkan dirinya masih hidup, sedikitnya masih ada harapan."

   Karena itulah dia batalkan pikiran hendak membunuh diri, hatinya perlahan mulai tenang kembali. Pikirnya pula.

   "Thian tidak pernah membikin buntu jalan hidup manusia. Peribahasa ini tentu betul. Apa gunanya aku melamun tanpa berdaya, biarlah kutunggu sampai besok, kuyakin pasti akan datang kesempatan baik bagiku."

   Di tengah malam gelap dan panjang itu, biarpun dia ingin tenangkan pikiran, tapi rasa cemas tetap sukar ditahan.

   Ia coba berlatih lwekang ajaran tabib Ong tempo hari untuk menghimpun tenaga.

   Sebenarnya ia tahu betapa hebatnya ilmu Tiam-hiat sang bibi dan Yim Thian-ngo, ia tidak menaruh harapan akan dapat membuka sendiri Hiat-to yang tertotok itu.

   Hanya di malam panjang iseng itulah ia ingin melakukan sesuatu untuk mengatasi pergolakan pikiran saja.

   Siapa duga peribahasa "Thian tidak membikin buntu jalan manusia"

   Ternyata berbukti.

   Setelah dia melakukan lwekang ajaran tabib sakti Ong, selang tidak lama tiba-tiba timbul kemujizatan.

   Mula-mula ia merasakan hawa hangat timbul dari dalam perut dan perlahan mengalir ke sekujur badan.

   Mendadak tiga tempat Hiat-to yang tertotok itu dapat ditembus, jalan darah kembali, tenaga juga pulih.

   Saat itu fajar sudah mulai menyingsing, tapi segenap penghuni rumah keluarga Yim masih belum ada yang bangun tidur.

   Dengan kegirangan yang sukar dilukiskan, segera Sin Liong-sing meloncat bangun, ia coba-coba menggerakkan kaki dan tangan sendiri dan terasa sudah leluasa.

   Pikirnya.

   "Hutang Yim Thian-ngo padaku biar kutagih kemudian saja, yang paling penting sekarang aku harus menyelamatkan Ki Ki lebih dulu."

   Tanpa pikir segera ia membuka jendela dan melompat keluar.

   Sungguh mimpi pun Yim Thian-ngo tidak pernah menyangka kalau Sin Liong-sing mampu membuka Hiat-to yang ditotoknya itu.

   Maka tanpa diketahui oleh siapa pun, dengan leluasa Sin Liong-sing dapat meninggalkan rumah keluarga Yim.

   Pada saat yang sama Sin Cap-si-koh juga sedang menuju ke rumah Yim Thian-ngo, untung Sin Liong-sing mengambil jalan kecil di belakang gunung sehingga dia tidak kepergok oleh sang bibi.

   Tanpa berhenti Sin Liong-sing berlari sampai di rumah Ki Ki, dilihatnya di dalam rumah keadaan sudah berantakan, tapi tiada tertampak bayangan seorang pun.

   "Kemanakah mereka? Apakah adik Ki sudah dicelakai mereka?"

   Belum lenyap pikirannya ini, tiba-tiba terdengar sayup-sayup lengking jeritan orang dari hutan di belakang rumah.

   Itulah suara Ki Ki.

   Kedatangan Sin Liong-sing itu memang tepat pada saat Ki Ki menjerit dan jatuh pingsan di depan makam ibunya.

   Belati Ubun Tiong sedang diarahkan ke mata Ki We sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   Seperti kucing yang sengaja mempermainkan tikus, ujung belati Ubun Tiong itu tidak lantas mengorek biji mata Ki We, senjata itu hanya diacungkan di mukanya saja sembari mengolok-olok.

   "Ha, ha, ha, Ki We, tentu kau tidak menyangka akan jatuh di tanganku bukan? Aku sudah menunggu duapuluh tahun lamanya, akhirnya terkabul juga seperti sekarang ini!"

   Habis itu belatinya perlahan diarahkan ke mata Ki We. Tapi pada detik yang menentukan itulah, sekonyong-konyong menyambar tiba sepotong batu kecil.

   "tring", dengan tepat belati Ubun Tiong tertimpuk sehingga melenceng ke samping. Ubun Tiong terkejut, sambil menoleh ia membentak.

   "Siapa itu?"

   Dalam pada itu secepat terbang Sin Liong-sing telah menubruk "Bagus, kiranya kau keparat ini!"

   Bentak Ubun Tiong.

   "Benar, memang aku adanya!"

   Liong-sing balas membentak.

   "Kau mencelakai adik Ki, aku harus membinasakan kau!" ~ "Trang", secepat kilat pedangnya menusuk sehingga belati Ubun. Tiong tertabas kutung menjadi dua. Cepat Ubun Tiong membuang kutungan belatinya, berbareng tangannya membalik hendak menangkap pergelangan tangan lawan. Namun Sin Liong-sing sempat putar pedangnya untuk memotong lengannya.

   "Lepaskan pedangmu!"

   Bentak Ubun Tiong, berbareng sebelah telapak tangannya lantas memotong. Ilmu silat Ubun Tiong memang jauh lebih tinggi daripada Sin Liong- sing, ketika Liong-sing hendak mengelak, namun sudah terlambat,

   Jilid 37 tangannya tepat terkena hantaman Ubun Tiong tadi dan pedangnya benar juga terlepas jatuh.

   ETELAH mengalami luka bersama dalam pertarungan tempo hari, sebenarnya Ubun Tiong rada prihatin terhadap Sin Liong-sing.

   Tapi setelah bergebrak dan merasakan kekuatan Liong-sing malah jauh berkurang daripada dahulu, maka tabahlah hati Ubun Tiong, dengan bergelak tertawa ia lantas menyindir.

   "Ha, ha, ha, kedatanganmu ini sangat kebetulan, jika kau benar berbudi dan setia, maka aku pun akan menyempurnakan cita-citamu agar kalian dapat berkumpul di neraka. Sedang adikmu nona Ki yang manis ini terpaksa biar menjadi janda saja bagimu."

   Saking murka kedua mata Sin Liong-sing seakan membara, seperti banteng ketaton ia bertempur dengan mati-matian.

   Tapi sayang dia baru membuka Hiat-to sendiri yang tertotok, tenaga belum pulih sepenuhnya, kepandaiannya juga kalah tinggi daripada lawan, maka hanya beberapa gebrakan kembali ia kena digenjot sekali oleh Ubun Tiong sehingga jatuh terpental.

   "Bagaimana? Apakah kiranya kau mampu membunuh aku atau kau yang akan membinasakan aku?"

   Jengek Ubun Tiong. Cepat Sin Liong-sing melejit bangun dan balas mendamprat.

   "Keparat, biarpun mati di tanganmu juga aku tidak menyerah!"

   Saat itu Ubun Tiong sedang memburu maju hendak menangkapnya, tak tersangka Sin Liong-sing dapat melompat bangun dengan cepat, bahkan sambil mengelakkan cengekeraman Ubun Tiong, segera pula Sin Liong-sing menyeruduk maju untuk menghantam dada musuh.

   Cengkeraman Ubun Tiong itu kalau kena sasarannya belum tentu dapat meremuk tulang pundak lawan, untuk melukainya terang bisa.

   Sebaliknya kalau dia sampai kena terseruduk, maka dia sendiri pasti juga akan terluka.

   Merasa kemenangan pasti berada pada pihaknya, Ubun Tiong merasa rugi kalau mengadu jiwa dengan musuh, maka cepat ia tarik kembali tangannya dan ganti serangan.

   S Ki We membuka matanya dan berkata.

   "Sin-hiantit, aku sudah tahu kau adalah orang yang berbudi, dahulu aku telah salah paham padamu. Kini kau membela kami ayah dan anak dengan mati-matian, di alam baka juga aku akan berterima kasih padamu. Kini bolehlah kau pergi saja!"

   "Paman Ki, aku tak dapat membiarkan kesatria sejati seperti engkau dipermainkan oleh manusia rendah seperti keparat she Ubun ini, aku takkan pergi!"

   Jawab Sin Liong-sing, tengah bicara ia terkena satu pukulan Ubun Tiong, tapi ia pun balas menghantam lawannya satu kali.

   Nampak Sin Liong-sing makin tangkas, diam-diam Ubun Tiong terkejut, ia pikir bocah ini sudah berhasil meyakinkan lwekang ajaran Ki We, kalau sekarang tidak dibunuh, kelak tentu akan menimbulkan bahaya.

   Karena itu tipu serangannya lantas berubah, di sekeliling hanya bayangan Ubun Tiong belaka, Sin Liong-sing terkurung di tengah bayangan pukulannya.

   Mendadak Ki We berseru.

   "Melangkah ke sudut Kian, mundur ke bagian Soan, maju dan serang!"

   Sejenak Sin Liong-sing melengak, tapi segera ia menyadari aba-aba Ki We itu ialah petunjuk baginya untuk mematahkan serangan musuh.

   Segera ia melakukan apa yang dikatakan Ki We itu, walaupun rada terlambat sehingga bajunya terobek oleh cengkeraman jari Ubun Tiong, namun tipu serangan Ubun Tiong yang lihai itu dapat juga dipatahkan olehnya.

   Andaikan tidak ada petunjuk Ki We tadi, maka bukan cuma bajunya saja yang robek, mungkin perutnya yang pecah terbeset.

   Berturut-turut Ki We memberi petunjuk beberapa kali pula sehingga lambat-laun Sin Liong-sing dapat menandingi Ubun Tiong dengan sama kuat.

   Ubun Tiong menjadi gusar, bentaknya.

   "Bangsat tua, biar kumampuskan kau dulu!" ~ Segera ia melompat ke sana dan berlari ke arah Ki We. Sambil membentak sekerasnya Sin Liong-sing terus menubruk maju, tapi Ubun Tiong sempat menggablok ke belakang sehingga Sin Liong-sing disengkelit terjungkal. Diam-diam Ki We mengeluh, bagi jiwa sendiri bukan soal lagi, yang dia kuatirkan ialah Sin Liong-sing yang terjungkal itu mungkin akan terluka parah dan akibatnya tidak mampu melarikan diri lagi. Sambil tertawa Ubun Tiong mengejek Sin Liong-sing, ia terus mendekati Ki We pula. Tapi sebelum dia sempat bertindak, tahu-tahu Sin Liong-sing menubruk dari belakang lagi.

   "Kurangajar! Apakah kau memang tidak takut mati?"

   Bentak Ubun Tiong dengan gemas.

   "Ya, aku memang tidak takut mati!"

   Jawab Sin Liong-sing tegas sambil menghantam. Tanpa pikir Ubun Tiong sambut pukulan Liong-sing dengan pukulan.

   "plak", Sin Liong-sing tergetar mundur dua-tiga tindak, Ubun Tiong juga tergeliat dan hampir jatuh. Tentu saja ia kaget. Kiranya setelah lewat sekian lama, kekuatan Sin Liong-sing sudah mulai pulih, meski dia terjungkal beberapa kali, tapi semangatnya semakin menyala daripada tadi, tanpa petunjuk Ki We sekarang ia pun dapat menandingi Ubun Tiong dengan sama kuatnya. Mau tak mau Ubun Tiong menjadi keder melihat lawan yang tangkas dan kepala batu itu, katanya kemudian.

   "Sin Liong-sing, aku bersahabat dengan bibimu, untuk apa kau mengadu jiwa dengan aku? Mengingat bibimu, biarlah kulepaskan kau, lekas kau pergi saja!"

   "Hm, kau mencelakai nona Ki, betapa pun aku ingin mengadu jiwa dengan kau!"

   Bentak Liong-sing dengan murka, kembali ia menubruk maju dan menghantam.

   "Plak-plok", Ubun Tiong terkena sekali pukulannya, tapi ia pun kena digenjot oleh Ubun Tiong. Ubun Tiong terpukul bagian pinggang, tulang rusuknya terasa sakit, ia menjadi heran mengapa Sin Liong-sing makin lama makin kuat, kalau berlangsung lebih lama lagi mungkin ia sendiri yang akan celaka. Sedapatnya ia mendesak mundur Sin Liong-sing, lalu berkata.

   "Siapa bilang aku mencelakai nona Ki? Periksalah sendiri ke sana, bukankah nona Ki masih baik-baik saja berbaring di situ?"

   "Huh, jangan kau kira aku mudah tertipu, setelah aku menyingkir ke sana tentu Ki-locianpwe akan kau celakai bukan?"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab Liong-sing sambil menjengek, segera ia pun melancarkan serangan terlebih sengit. Tentu saja Ubun Tiong bertambah murka, bentaknya.

   "Keparat, kau yang mencari mampus, biar kukirim kau ke neraka!" ~ Berbareng ia menghantam sekuatnya, waktu Sin Liong-sing menangkis, rupanya ia kalah kuat, kembali ia tergetar jatuh. Kiranya dalam keadaan kepepet Ubun Tiong juga mengerahkan lwekang aliran Ki We hasil curiannya itu untuk mengadu kekuatan dengan Sin Liong- sing. Begitulah kedua orang telah menggunakan lwekang yang sama, sedangkan dasar kekuatan Ubun Tiong memang lebih tinggi daripada Sin Liong-sing, sebab itulah Sin Liong-sing kecundang olehnya. Namun Sin Liong-sing juga teramat tangkas, begitu terjungkal segera ia melompat bangun pula, betapa pun ia akan mencegah agar Ubun Tiong tidak dapat mendekati Ki We. Sekilas Ubun Tiong melirik ke arah Ki We, tertampak orang tua itu sedang duduk semadi. Ia menaksir mungkin Ki We sedang menghimpun tenaga untuk menghalau racun di dalam tubuhnya, namun ia percaya racun pelemas milik Sin Cap-si-koh itu, betapa pun hebat tenaga dalam Ki We juga takkan pulih dalam waktu singkat. Sebab itulah ia pikir robohkan Sin Liong- sing dulu baru nanti membereskan Ki We pula. Tak terduga, sebelum dia dapat mengalahkan Sin Liong-sing, sekonyong- konyong Ki We telah berbangkit sambil bersuit panjang, serunya lantang.

   "Kau mundur dulu, Liong-sing, biar aku membikin perhitungan dengan dia! Hm, keparat Ubun Tiong, agaknya sudah cukup kau malang melintang, sekarang giliranku untuk menghajar kau, jika jantan sejati janganlah kau lari!"

   Suara suitan panjang Ki We itu begitu keras dan nyaring sehingga anak telinga Ubn Tiong seakan-akan tergetar pecah.

   Yang dikuatirkannya justru kalau Ki We sempat memulihkan tenaganya, kini mendengar suitannya yang kuat itu, kalau lwekangnya belum pulih tentu takkan mampu bersuara sekeras itu.

   Keruan ia ketakutan setengah mati, tanpa pikir lagi segera ia angkat langkah seribu alias kabur.

   "Musuh yang sudah kalah tidak perlu dikejar, paman Ki, biarkan dia pergi saja!"

   Ujar Liong-sing.

   "Tidak bisa, aku harus mengejarnya untuk membikin perhitungan, hendaklah kau menjaga anak Ki di sini!"

   Jawab Ki We. Lalu ia sengaja berteriak.

   "Keparat Ubun Tiong, jika jantan janganlah kau lari! Hayolah sini, akan kuhadapi kau dengan satu tangan saja!"

   Akan tetapi Ubun Tiong mana berani menoleh lagi, bahkan ia berlari terlebih cepat ketika mendengar suara tindakan Ki We yang mengejarnya.

   Ia pikir kalau dapat lari sampai di rumah Yim Thian-ngo, dengan tenaga gabungan tiga orang tentu tidak perlu takut lagi pada seorang Ki We.

   Ubun Tiong tidak tahu bahwa sebenarnya pulihnya tenaga Ki We itu sebenarnya cuma gertakan belaka.

   Memang benar tadi Ki We telah mengumpulkan tenaga murni ketika Sin Liong-sing bertempur mati-matian dengan Ubun Tiong, suara suitannya tadi telah mengorbankan tenaga murni yang baru dikumpulkannya itu, tapi ilmu silatnya sesungguhnya belum pulih.

   Namun suara suitannya yang kuat tadi memang sangat hebat sehingga Ubun Tiong tidak dapat membedakan tulen atau palsunya tenaga dalam Ki We itu.

   Tujuan Ki We menggertak lari Ubun Tiong adalah untuk menyelamatkan Sin Liong-sing, sebab cara pertempuran Liong-sing tadi andaikan dapat mengalahkan lawan, namun akibatnya pemuda itu sendiri pasti juga akan jatuh sakit parah.

   Selain itu Ki We sengaja mengatakan hendak mengejar Ubun Tiong, maksudnya supaya Sin Liong-sing sempat bertemu dan bicara dengan puterinya, yaitu Ki Ki.

   Begitulah Ki We merasa geli juga bahwa Ubun Tiong kena digertak lari, padahal kalau harus bertempur mungkin dia sendiri bisa celaka.

   Segera ia berlagak mengejar pula sambil membentak-bentak dari belakang, ia pikir kalau musuh sudah lari jauh barulah akan putar balik ke rumah.

   Suara suitan Ki We tadi agaknya telah membikin Ki Ki terjaga bangun, begitu membuka mata lantas terlihat olehnya Sin Liong-sing berada di sampingnya.

   Tentu saja bukan main girang si nona, ia melonjak bangun sambil berseru.

   "Liong-toako, benar kau kau berada di sini? Aku Aku tidak mimpi bukan?"

   "Bukankah aku sudah berjanji padamu pasti akan pulang ke sini?"

   Jawab Liong-sing dengan suara lembut.

   "Eh, kemanakah bangsat itu?"

   Tanya Ki Ki.

   "Kekuatan ayahmu sudah pulih, keparat Ubun Tiong itu telah digebah lari dan beliau sedang mengejarnya,"

   Tutur Liong-sing.

   "Ah, kiranya engkau sudah mengetahui apa yang kualami?"

   "Ya, aku sudah tahu. Aku..... aku merasa menyesal telah mendatangkan malapetaka bagimu."

   Ki Ki melenggong bingung, katanya.

   "Aku tidak paham maksud ucapanmu? Apa sangkut-pautnya antara kau dengan perbuatan jahat mereka kepadaku ini?"

   "Sungguh mimpi pun tidak terpikir olehku bahwa bibiku ternyata bersekongkol dengan musuh ayahmu serta berkomplot hendak membunuh kalian ayah dan anak."

   "O, jadi perempuan jahat itu benar ialah bibimu?"

   Ki Ki menegas.

   "Benar, dia memang bibiku, cuma aku sudah bertengkar dan putus hubungan dengan dia."

   Ki Ki merasa tidak tenteram, ia pandang Sin Liong-sing sejenak, lalu berkata dengan suara lirih.

   "Dan apa yang dikatakan bibimu itu benar atau tidak? Katanya kau kau sudah punya isteri?"

   Hati Sin Liong-sing sakit seperti disayat-sayat, selang agak lama barulah dia mengangguk perlahan, jawabnya.

   "Ya, dia tidak berdusta padamu, hal itu memang memang betul!"

   Pada saat yang sama, di rumah Yim Thian-ngo juga sedang terjadi sesuatu yang tak pernah terduga oleh Sin Cap-si-koh. Yim Thian-ngo sangat girang ketika mendengar Ki We telah diracun oleh Sin Cap-si-koh dan sudah tertawan. Katanya.

   "Tua bangka itu selamanya tinggi hati dan memandang rendah padaku. Sebentar aku ikut kau ke sana untuk menyaksikan cara bagaimana Ubun Tiong membalas dendam padanya. Tapi sekarang aku ingin mohon sesuatu padamu."

   "Urusan apa?"

   Tanya Cap-si-koh.

   "Mengenai keponakanmu itu, aku telah tanya dia, tapi apa pun dia tak mau mengaku, harap kau suka membujuknya."

   "Aku sendiri pun kepala pusing menghadapi keponakanku itu, namun aku akan membantu kau dan coba membujuknya, bawalah aku menemui dia."

   Begitulah ketika Yim Thian-ngo membawa Sin Cap-si-koh ke kamar tahanan Sin Liong-sing, barulah diketahui pemuda itu sudah kabur. Keruan kejut mereka tidak kepalang.

   "Kepandaian Liong-sing cukup kuketahui, aku telah menotoknya, apalagi kau pun menotok dua tempat Hiat-to dengan caramu yang tidak mungkin dia dapat membuka sendiri Hiat-to yang tertotok jangan-jangan ada orang yang menolongnya?"

   Demikian kata Sin Cap-si koh dengan sangsi. Selagi mereka merasa heran dan curiga, saat itulah seorang budak keluarga Yim berlari datang memberi lapor bahwa di luar ada tiga orang tamu minta bertemu.

   "Macam apa ketiga tamu itu?"

   Tanya Yim Thian-ngo.

   "Siapa nama mereka?"

   "Seorang kakek dengan dua muda-mudi,"

   Tutur budak itu.

   "Hamba belum sempat tanya nama, mereka terus menerobos masuk, kini sedang menunggu tuan di ruang tamu."

   "Tampaknya mereka sengaja mencari perkara padamu,"

   Ujar Cap-si-koh. Yim Thian-ngo mengerut kening, katanya.

   "Baik, biar kulihat siapa mereka, barangkali mereka sudah makan hati harimau dan menelan empedu singa, makanya berani mencari gara-gara ke tempatku ini!"

   Sebenarnya Yim Thian-ngo sendiri juga menyadari urusan tidak sederhana, tapi ia pikir ada Sin Cap-si-koh, betapa pun cukup untuk menghadapinya.

   Siapa tahu begitu melihat ketiga tamu itu, bukan saja Yim Thian-ngo terperanjat, bahkan Sin Cap-si-koh juga ketakutan dan segera kabur.

   Kiranya ketiga orang itu ialah Han Tay-wi, Han Pwe-eng serta Kok Siau- hong.

   Dari penuturan It-beng Tojin dan Pek-hui Hwesio itulah Han Tay-wi mengetahui Ki We bertempat tinggal di Sun-keng-san, namun lereng pegunungan itu penuh dengan hutan belukar yang lebat, maka sukar diketahui terletak dimana rumah Ki We itu.

   Sebab itulah mereka mampir dulu ke tempat Yim Thian-ngo, alamat sang paman sudah tentu diketahui Kok Siau-hong, malahan ia pun ingin membikin perhitungan dengan Ku-ku jahat itu.

   Bahwasanya tujuan mereka hendak memaksa Yim Thian-ngo membawa mereka ke tempat keluarga Ki We untuk mencari tahu keadaan Sin Liong- sing, di luar dugaan mereka di tempat Yim Thian-ngo inilah mereka akan memergoki Sin Cap-si-koh.

   Dengan ketakutan Sin Cap-si-koh lantas angkat langkah seribu tanpa memikirkan Yim Thian-ngo lagi.

   "Kiranya perempuan siluman ini juga berada di sini, hayo lari kemana?"

   Bentak Han Tay-wi terus mengejar.

   "Eeh, bicara yang baik, jangan main kasar!"

   Seru Yim Thian-ngo dan bermaksud mencegah.

   Akan tetapi sekali tangan Han Tay-wi mengipat, kontan Yim Thian-ngo tergentak sempoyongan, sedang Han Tay-wi terus memburu ke depan.

   Segera Sin Cap-si-koh mengayun tangannya ke belakang, sebuah bola hitam lantas menyambar.

   "blang", bola itu meledak di udara dan menghamburkan kabut tebal disertai sinar kemilau jarum kecil yang tak terhitung jumlahnya. Am-gi atau senjata rahasia andalan Sin Cap-si-koh itu disebut "granat kabut berjarum emas", sejenis senjata rahasia yang khusus dilatihnya untuk menghadapi Han Tay-wi. Cepat Han Tay-wi melancarkan pukulan beruntun tiga kali, angin pukulannya yang dashyat membuat kabut dan jarum itu tersampuk buyar dan sirna. Tapi sesudah buyarnya kabut tebal itu, bayangan Sin Cap-si-koh pun tidak kelihatan lagi. Han Tay-wi menduga tidak mampu mengejar perempuan jahat itu, dengan gemas ia berkata.

   "Hm, kembali dia sempat lolos. Baiklah, sekarang apa abamu, Yim Thian-ngo?"

   Lwekang Yim Thian-ngo tidak sekuat Han Tay-wi, dia sedang terbatuk- batuk lantaran mengisap hawa kabut berbisa tadi, karena itu sekali jambaret dapatlah Han Tay-wi mencengkeramnya.

   "Ah, Han-toako, Kok Siau-hong kan menantumu, dia juga keponakanku, jelek-jelek kita kan besanan, masakah kau tega membikin susah padaku?"

   Ujar Yim Thian-ngo dengan menyeringai.

   "Aku tidak mempunyai Ku-ku semacam kau!"

   Sela Kok Siau-hong dengan dongkol. Diam-diam Yim Thian-ngo terkejut, sebab ia tahu apa artinya sehingga Kok Siau-hong tidak mau mengaku paman lagi padanya. Tapi ia masih berlagak kereng dan berkata.

   "Meski ibumu tidak cocok dengan aku, betapa pun kami adalah saudara sekandung, masakah kau berani tidak mengakui aku sebagai Ku-kumu?"

   "Kau tidak perlu berlagak dungu,"

   Jengek Kok Siau-hong.

   "memangnya kau kira aku hanya mempersoalkan urusan pribadi saja. Yang jelas kau tidak ada harganya untuk menjadi pamanku."

   Kembali Yim Thian-ngo terkejut, tapi ia tetap bersikap tenang dan balas menjengek.

   "Hm, aku Yim Thian-ngo juga bukan kaum keroco di kalangan Kang-ouw, biarpun kaum pendekar dan golongan kesatria juga segan padaku, masakah paman seperti aku ini menurunkan pamormu?"

   "Soalnya kau munafik, kau berlagak baik budi dan membohongi kawan kalangan pendekar,"

   Dengus Kok Siau-hong pula.

   "O, barangkali kau melihat Sin Cap-si-koh berada di sini, maka kau anggap begitulah pribadiku?"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Ya, aku memang tahu dia seorang perempuan jahat, tapi aku tiada permusuhan dengan dia, apa salahnya jika aku menyambut dia secara hormat sebagai tamu? Padahal kau saksikan sendiri tadi aku pun diserang olehnya dengan senjata rahasianya yang keji, jika aku berkomplot dengan dia masakah dia bertindak sekeji itu padaku?"

   "Untuk apa dia berkunjung padamu?"

   Tanya Han Tay-wi.

   "Terus terang, dia bermusuhan dengan Ki We, dia mencari aku agar mau membantunya menghadapi Ki We, tapi aku tidak menerima ajakannya,"

   Jawab Yim Thian-ngo.

   "Urusan ini sementara tak perlu dibicarakan,"

   Kata Siau-hong.

   "Aku hanya ingin tanya padamu, Sia Hoa-liong itu muridmu bukan?"

   "Benar, ada apa?"

   Jawab Thian-ngo.

   "Dia adalah antek pihak Mongol yang kupergoki, banyak perbuatannya yang busuk telah kuketahui semua,"

   Kata Siau-hong. Tergetar hati Yim Thian-ngo, tapi ia masih berlagak gusar dan berkata.

   "Kurangajar! Binatang itu berani berkomplot dengan musuh di luar tahuku? Aku pasti akan membinasakan dia untuk mencuci bersih noda perguruan ini. Terima kasih atas pemberitahuanmu ini."

   "Tapi Sia Hoa-liong telah mengaku semua kejahatannya itu dilakukan atas perintah gurunya!"

   Jengek Siau-hong pula.

   "Ngaco-belo!"

   Damprat Yim Thian-ngo dengan suara keder.

   "Untuk menyelamatkan diri murid murtad itu berani memfitnah gurunya. Apakah kau percaya kepada ocehannya?"

   "Yim Thian-ngo, jangan kau cuci tangan, apakah kau sudah melupakan pertempuran di Jing-liong-kau dahulu?"

   Tanya Siau-hong.

   "Bukankah kau sendiri melihat aku terluka dalam pertempuran Jing- liong-kau itu setelah mati-matian melawan musuh di bawah pimpinan Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok?"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Hm, jangan kau main sandiwara lagi, Yim Thian-ngo, sandiwaramu memang terlalu baik mainnya, dari pura-pura menjadi sungguhan rupanya!"

   Jengek Siau-hong.

   "Bukankah kau bersekongkol dengan kedua iblis itu untuk merampas harta pusaka titipan Siangkoan Hok di rumah mertuaku itu, tapi muslihatmu telah gagal, lalu kau pura-pura ikut mengawal harta karun itu bersama orang Kay-pang, namun diam-diam kau suruh Sia Hoa- liong mengirim kabar kepada orang Mongol untuk mencegat di tengah jalan. Semua ini Sia Hoa-liong telah mengaku terus terang, malahan perbuatanmu juga dilihat oleh Kiong Kim-hun, waktu itu dia bersembunyi di kolong ranjang di rumah mertuaku, kau sendiri tidak tahu dia bersembunyi di sana, yaitu setelah rumah mertuaku dibakar oleh kedua gembong iblis itu, tapi mereka pun tidak berhasil menemukan harta karun yang dicari."

   "Kau boleh menghadapkan Sia Hoa-liong dan Kiong Kim-hun padaku agar persoalan ini menjadi terang,"

   Seru Yim Thian-ngo dengan lagak penasaran.

   "Sia Hoa-liong sudah kabur ke Mongol, kelak aku pasti akan mencari dia untuk membikin perhitungan,"

   Kata Siau-hong.

   "Kiong Kim-hun sekarang berada di Kim-keh-nia, jika kau ingin diadu dengan dia, marilah kita menemuinya di Kim-keh-nia."

   "Baik, boleh kita ke Kim-keh-nia sekarang,"

   Kata Yim Thian-ngo. Ia pikir nanti masih banyak waktu untuk mencari jalan buat meloloskan diri. Rupanya Han Tay-wi dapat menerka pikirannya, ia pun menjengek.

   "Yim Thian-ngo, jangan kau menggunakan tipu mengulur waktu, tanpa diadu dengan saksi juga aku tahu apa yang dikatakan Siau-hong memang benar. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, Yim Thian-ngo, kau mengaku saja!"

   Tapi Yim Thian-ngo sudah bertekad akan ingkar sampai akhir, jawabnya.

   "Kalian memaksa aku mengakui perbuatan yang tak pernah kulakukan, lebih baik kalian bunuh aku saja!"

   "Yim Thian-ngo, kukira kau harus jujur sedikit dan mengaku terus terang saja, setiap perbuatan yang salah dapatlah diperbaiki, asal kau bertekad memperbaikinya, kesempatan untuk menebus dosamu ini selalu terbuka. Malahan sekarang juga terbuka suatu kesempatan bagimu. Nah, kau ingin menjadi manusia atau setan terserahlah padamu."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sebenarnya apa yang kalian kehendaki atas diriku?"

   Tanya Thian-ngo.

   "Pertama, mengakulah terus terang cara bagaimana kau bersekongkol dengan pihak Mongol,"

   Kata Kok Siau-hong.

   "Kedua, siapa dan berapa banyak kaum persilatan yang berkhianat macam kau ini, katakan apa yang kau ketahui? Dan yang terakhir, betapa pun kau tak dapat mengelakkan kewajiban munculnya Sin Cap-si-koh di tempatmu ini, tapi kami tidak peduli apa hubunganmu dengan dia, kami cuma ingin tahu berita tentang keponakannya, yaitu Sin Liong-sing, barangkali kau dapat membantu untuk menemukan dia."

   Hati Yim Thian-ngo rada mantap setelah mengetahui orang juga ingin bantuannya, dengan tenang ia pun menjawab.

   "Urusan pertama dan kedua yang kau sebut tadi adalah tuduhan semena-mena, maka tidak perlu kujawab. Mengenai Sin Liong-sing aku justru mengetahuinya."

   "Baiklah, coba terangkan dimana beradanya Sin Liong-sing sekarang?"

   Tanya Kok Siau-hong.

   "Terus terang, tiada lain Sin Liong-sing justru berada di sini,"

   Jawab Yim Thian-ngo.

   "Jika kedatangan kalian lebih dini setengah hari dapatlah kalian bertemu dengan dia."

   "Dan sekarang dia kemana?"

   Desak Siau-hong.

   "Semalam Sin Cap-si-koh membawanya ke sini dalam keadaan tertotok, tapi entah mengapa pagi tadi dia telah menghilang, mungkin dia melarikan diri semalam."

   "Apa betul ceritamu ini?"

   Tanya Siau-hong terkejut dan girang. Sampai di sini mendadak Han Pwe-eng menyambung.

   "Benar, sekali ini ceritanya memang tidak dusta."

   Kiranya Han Pwe-eng telah masuk ke dalam rumah dan menanyai pelayan, diperoleh keterangan memang ada seorang pemuda bermuka jelek semalam berada di situ dan pagi-pagi sudah menghilang lagi.

   "Nah, sekarang kau tentu tidak perlu sangsi lagi bukan?"

   Ujar Yim Thian- ngo.

   "Dia kabur kemana, tentunya kau pun dapat menduganya?"

   Tanya Siau- hong pula.

   "Besar kemungkinan lari ke tempat Ki We,"

   Tutur Thian-ngo.

   "Setahuku, dia mempunyai hubungan erat dengan puteri Ki We, konon Ki We tidak tahu kalau Sin Liong-sing sudah beristeri, maka dia malah memungutnya menjadi menantu."

   "Baik, hendaklah kau membawa kami ke tempat Ki We untuk mencarinya,"

   Kata Kok Siau-hong.

   "Soal ini terlalu mudah dan akan kubantu, tapi kalian tidak dapat menganggap aku sebagai tawanan bukan?"

   Ujar Thian-ngo dengan menyeringai. Han Tay-wi pikir apa pun juga Yim Thian-ngo adalah paman menantunya sendiri dan tidaklah pantas kalau memperlakukan dia terlalu kasar, maka ia lantas melepaskan cengkeramannya dan berkata.

   "Baik, asal kau berlaku dengan jujur kita masih tetap besanan. Nah, boleh kau menunjukkan jalan di depan."

   "Baiklah, ikutlah padaku melalui taman di belakang saja lebih dekat!"

   Kata Yim Thian-ngo sambil mendahului melangkah pergi.

   Sebenarnya Kok Siau-hong rada heran akan tindakan mertuanya yang biasanya sangat teliti menghadapi setiap persoalan.

   Belum habis terpikir, tiba-tiba terdengar Han Pwe-eng menjerit, kiranya secepat kilat Yim Thian-ngo telah mencengkeram nona itu, menyusul sebelah kakinya terus menendang Kok Siau-hong yang berada di sebelahnya.

   Sesaat itu Siau-hong sampai melenggong sehingga tidak terpikir untuk menghindari tendangan Yim Thian-ngo itu.

   Untung Han Tay-wi sempat mendorongnya sehingga tendangan Yim Thian-ngo tidak mengenai sasarannya.

   Menyusul tangan Han Tay-wi lantas memotong betis musuh.

   Tapi Yim Thian-ngo sempat menarik kembali kakinya, sebagai gantinya ia dorong Han Pwe-eng ke depan sambil membentak.

   "Ini, boleh kau binasakan puterimu sendiri!"

   Sesungguhnya Han Tay-wi juga sudah menduga kepengecutan Yim Thian-ngo, tapi sedikit lengah saja ternyata sudah didahului oleh lawan sehingga anak perempuannya jatuh di tangan musuh.

   Dalam keadaan demikian terpaksa ia menarik kembali serangannya dan membentak.

   "Jika kau ingin selamat, lepaskan puteriku, kalau tidak, hm, tentunya kau pun kenal kelihaianku!"

   "Ya, aku kenal kelihaianmu, makanya perlu ditemani sementara oleh puterimu ini,"

   Jengek Yim Thian-ngo.

   "He, he, kau tak bisa mempercayai diriku, aku pun tidak percaya padamu. Marilah kita pergi ke tempat yang aman barulah akan kulepaskan puterimu."

   Mendadak Han Tay-wi menggunakan suatu gerakan tipuan, tampaknya seperti melompat mundur, tapi sekonyong-konyong menubruk maju.

   "Kau benar tidak menghiraukan jiwa puterimu?"

   Bentak Yim Thian-ngo sambil mengelak, habis itu ia terus melompat ke pagar tembok yang membatasi halaman belakang dengan taman bunga yang terletak di belakang rumah itu.

   Sesudah melompat ke atas pagar tembok, Yim Thian-ngo sangat senang karena merasa sudah aman, apabila sudah melompat turun ke dalam taman, maka sukarlah bagi Han Tay-wi untuk mengejarnya.

   Akan tetapi pada detik terakhir sebelum dia melompat ke bawah, sekonyong-konyong Hiat-to bagian lekukan lututnya terasa kesemutan, tanpa kuasa cengkeramannya menjadi kendur sehingga Han Pwe-eng terlepas dan jatuh ke bawah, cepat Kok Siau-hong memburu maju untuk menangkap tubuh nona itu.

   Pada saat yang sama Yim Thian-ngo juga lantas terjungkal ke bawah, hanya dia jatuh di sebelah sana, ke bagian taman bunga.

   Kiranya dia terjungkal kena dua butir tanah liat yang disambitkan oleh Han Tay-wi.

   Lwekang Han Tay-wi sudah mencapai puncaknya, maka benda apa pun yang terpegang olehnya dapat digunakan sebagai senjata rahasia.

   Sudah tentu Yim Thian-ngo tidak pernah menyangka akan diserang, terutama mengingat dia sudah mempunyai sandera, yaitu anak perempuan Han Tay- wi, karena itu ia menjadi lena, ketika mendadak ia merasa lekukan lututnya kaku kesemutan, namun sudah terlambat.

   Dengan hasil serangannya itu, segera Han Tay-wi memburu maju dan melompat ke atas pagar tembok sambil membentak.

   "Lari kemana, bangsat!"

   Yim Thian-ngo juga sangat lihai, meski Hiat-to tersambit dan jatuh terjungkal ke bawah, tapi dengan gesit ia lantas melompat bangun serunya dengan tertawa.

   "Ha, ha, ha! Han Tay-wi, jika berani hayolah turun ke sini!"

   Habis itu mendadak ia menyelinap ke dalam sebuah gua gunung- gunungan, ia tarik batu di mulut gua.

   "blang", segera mulut gua tersumbat rapat. Habis suara keras itu, serentak terjadi hujan anak panah keluar gua. Kiranya di tengah taman bunga ini telah diatur sedemikian rupa sehingga terpasang banyak sekali pesawat rahasia yang berbahaya. Lekas Han Tay-wi menanggalkan bajunya terus menyapu dengan cepat, anak panah itu dapat disampuk jatuh semua. Ia tahu Yim Thian-ngo sukar diketemukan lagi, terpaksa ia melompat kembali ke halaman rumah tadi. Sebagian anak panah tadi juga telah menyambar ke halaman sebelah, tapi Kok Siau-hong sudah membawa Han Pwe-eng ke tempat yang aman. Han Tay-wi terkejut melihat keadaan puterinya, serunya.

   "Anak Eng, bagaimana keadaanmu?"

   Terlihat telapak tangan kanan Pwe-eng merah bengkak, Kok Siau-hong sedang mengurutnya.

   "Waktu bangsat tua itu hendak melompat ke bawah sana dadanya sempat kuhantam satu kali, akibatnya pergelangan tanganku ini seperti terkilir,"

   Tutur Pwe-eng.

   Kiranya pergelangan tangannya cidera karena getaran tenaga Yim Thian- ngo yang membalik.

   Cuma pukulannya itupun memaksa Yim Thian-ngo melepaskan cengkeramannya, kalau tidak mungkin dia akan ikut jatuh terjungkal ke taman di sebelah.

   Setelah mengurut dan memulihkan tangan puterinya yang cidera itu, Han Tay-wi berkata.

   "Tampaknya tenagamu ada kemajuan, apakah hasil petunjuk Siau-hong padamu?"

   "Dia telah mengajarkan Siau-yang-sin-kang padaku, ayah sungguh lihai, sekali lihat saja lantas tahu,"

   Jawab Pwe-eng dengan tertawa.

   "Tapi sayang jahanam she Yim itu sempat kabur,"

   Kata Tay-wi dengan gemas. Dengan muka merah Kok Siau-hong menukas.

   "Semua itu adalah kesalahanku, aku sudah tahu kelicikan bangsat itu, tapi masih memikirkan hubungan baik antara paman dan keponakan, akibatnya hampir membikin susah adik Eng."

   "Aku pun lengah dan lupa pada rumahnya yang penuh alat rahasia ini, cuma aku pun tidak menduga dia berani menawan Pwe-eng untuk dijadikan sandera,"

   Ujar Tay-wi.

   "Dan sekarang kita terpaksa harus mencari petunjuk jalan lain ke tempat Ki We."

   "Kukira tidak sukar,"

   Kata Pwe-eng.

   "Budak keluarga Yim itu tentu tahu dimana letak rumah keluarga Ki, kukira dia pasti akan menurut jika disuruh."

   Setelah menggertak lari Ubun Tiong, kuatir kalau kelemahan sendiri juga diketahui musuh, maka Ki We masih terus berlagak mengudak sambil membentak.

   Tentu saja Ubun Tiong ketakutan dan lari semakin cepat tanpa menoleh.

   Ketika Ki We merasa sudah cukup membikin pecah nyali musuh dan bermaksud putar balik, mendadak Ubun Tiong juga berhenti berlari.

   Keruan Ki We terkesiap sebab mengira sandiwaranya telah diketahui musuh.

   Terpaksa ia berlagak mengejar lagi sambil membentak.

   "Keparat Ubun Tiong, kalau berani janganlah kau lari, hayo kita bergerak lagi!"

   Ubun Tiong tidak menjawab, mendadak tingkah lakunya seperti orang gila, tangan dan kakinya bergerak seperti menari sambil mulutnya mengeluarkan suara mengerang seperti auman binatang buas yang terluka.

   Melihat perubahan yang luar biasa itu, betapa pun tenang dan tabahnya Ki We juga terkejut.

   Tiba-tiba Ubun Tiong muntahkan darah segar, ia membalik ke sini sambil berteriak dengan suara menyeramkan.

   "Aku toh bakal mati, baiklah Ki We, biar aku mengadu jiwa saja dengan kau!"

   Di tengah teriakannya yang kalap itu ia terus berlari ke arah Ki We, tingkah lakunya sudah mirip benar seorang gila.

   Melihat keadaan itu, seketika Ki We sadar apa yang terjadi, tentulah Ubun Tiong telah mengetahui keadaannya yang berbahaya, yaitu apa yang disebut Cau-hwe-jip-mo, kelainan dari hasil latihan lwekangnya yang menyeleweng, akibatnya adalah kematian atau kelumpuhan total.

   Memang lwekang aliran Ki We yang khas itu, jika cara berlatihnya tidak menurut jalan yang teratur, sampai tingkatan tertentu pasti akan mengalami Cau-hwe-jip-mo.

   Seperti diketahui, lwekang aliran Ki We itu diperoleh Ubun Tiong dengan menipu Sin Liong-sing, tapi ia tidak tahu bahwa Sin Liong- sing juga telah menipunya, apa yang diuraikan Sin Liong-sing dahulu itu adalah campur-baur antara benar dan palsu.

   Kini setelah timbul penyakit itu, dengan sendirinya jauh lebih menderita.

   Dalam keadaan tersiksa itu, sebenarnya pikiran Ubun Tiong masih sadar bagian, kini ia pun tahu telah tertipu oleh ajaran Sin Liong-sing dahulu, ia menyadari jiwa sendiri dalam bahaya.

   Maka pada sebelum ajalnya ia ingin gugur bersama Ki We.

   Ketika Ki We merasakan gelagat tidak menguntungkan dan bermaksud lari, namun sudah kasip, secepat angin Ubun Tiong sudah menubruk tiba.

   Terpaksa Ki We menggunakan segenap sisa tenaga yang terkumpul untuk menyambut hantaman mush.

   "Blang", dua tangan beradu dan Ki We terpental jatuh beberapa meter jauhnya. Kembali Ubun Tiong muntahkan darah, dengan tertawa gila ia berteriak.

   "Ha, ha, Ki We, masakah kau bisa hidup lagi! Ha, ha, ha, aku hendak membinasakan kau dengan tanganku sendiri, coba sekarang kau berani memandang rendah padaku atau tidak? Ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha!"

   Tenaga Ki We sudah terkuras habis, seketika ia tidak mampu merangkak bangun, mau tak mau ia mengeluh.

   "Celaka! Tak terduga hari ini aku harus mati di tangan seorang gila!"

   "Ha, ha, ha! Ha, ha, ha!"

   Suara gelak tertawa Ubun Tiong itu sahut menyahut berkumandang di lembah pegunungan sunyi itu.

   Di tengah suara gelak tertawa Ubun Tiong itulah ada tiga orang nona sedang memburu ke arahnya sini.

   Mereka ialah Hi Giok-kun, Kiong Kim- hun dan Yim Hong-siau.

   Mereka datang dari Kim-keh-nia, tujuan mereka juga hendak mencari berita Sin Liong-sing.

   Kiranya Ong Ih-ting, Cong-cecu kawanan bajak di Thay-ouw telah mendapatkan keterangan lengkap mengenai diri Sin Liong-sing, segera ia mengirim berita ke Kim-keh-nia, maka Hi Giok-kun bertiga lantas memburu ke Sun-keng-san setelah mampir di Thay-ouw dan mendapatkan berita lanjutannya, yaitu berita yang diterima pula dari It-bing Tojin dan Pek-hui Hwesio tentang berada bersamanya Sin Liong-sing dengan Ubun Tiong yang sedang menuju ke Sun-keng-san untuk menuntut balas pada Ki We.

   Hi Giok-kun bertiga belum tahu hubungan antara Sin Liong-sing dan Ki We, mereka pun tidak tahu Ubun Tiong mempunyai permusuhan apa dengan Ki We, tapi tempat kediaman Ki We diketahui oleh Yim Hong-siau, apalagi ia pun ingin menggunakan kesempatan itu untuk pulang menjenguk ayah-bundanya.

   Maka begitu menerima berita lanjutan pertama itulah mereka lantas berangkat.

   Segala sesuatu seringkali juga terjadi secara kebetulan.

   Untung mereka tidak tinggal lebih lama dua hari di Thay-ouw sehingga tidak mengetahui kejadian selanjutnya.

   Ketika berita susulan yang kedua tiba, mereka sudah meninggalkan Thay-ouw.

   Berita kedua itu dilaporkan bahwa Sin Liong-sing dan Ubun Tiong sudah terjadi bentrokan dan masing-masing menuju ke daerah Miau di Siam-say secara berturut-turut.

   Apabila Hi Giok-kun bertiga sempat mengetahui berita kedua itu, tentu mereka akan menyusul ke daerah Miau dan tidak akan menuju ke Sun-keng-san sini.

   Dengan demikian maka kedatangan mereka di Sun-keng-san kebetulan cuma selisih satu hari daripada Sin Liong-sing, malahan juga secara kebetulan memergoki Ubun Tiong sedang hendak membinasakan Ki We.

   Dari jauh mereka mendengar suara tertawa Ubun Tiong itu, Yim Hong- siau terkejut dan berkata.

   "Coba dengarkan, orang itu seperti menyatakan hendak membinasakan Ki We."

   "Lekas kita memburu ke sana,"

   Ujar Kiong Kim-hun.

   "Aku kenal Ubun Tiong, coba lihat dia atau bukan?"

   "Ki We adalah tetangga kami, meski ayahku tidak suka padanya dan melarang aku bermain ke rumahnya, tapi kupikir orang yang tidak disukai ayah kebanyakan tentulah orang baik, jika dia terancam bahaya, seharusnya kita menolongnya,"

   Demikian kata Yim Hong-siau.

   Begitulah mereka lantas memburu ke arah datangnya suara tertawa itu.

   Kedatangan mereka memang tepat pada waktunya, tapi begitu melihat keadaannya, mereka menjadi melenggong kesima.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terlihat mulut Ubun Tiong berbusa dan sedang berteriak dan menari, keadaannya sangat menyeramkan.

   Ki We menggeletak di tanah dan sedang meronta hendak bangun.

   Melihat kedatangan Hi Giok-kun bertiga, mendadak Ubun Tiong menerjang ke arah mereka.

   "Apa yang kau lakukan, Ubun Tiong?"

   Bentak Kiong Kim-hun.

   "Kau kenal aku tidak? Ayahku ialah Oh-hong-tocu! Kau tidak boleh membikin susah paman Ki!"

   Kiranya Ubun Tiong memang mempunyai hubungan baik dengan Oh- hong-tocu Kiong Cau-bun, lima tahun yang lampau dia pernah juga berkunjung ke Oh-hong-to. Dengan mata merah Ubun Tiong melototi Kiong Kim-hun, mendadak ia bergelak tertawa pula dan berkata.

   "Ya, aku kenal kau! Kau anak Ki We. Ha, ha, ha, aku sudah akan mati, kedatanganmu sangat kebetulan, aku ingin mati bersama kalian ayah dan anak!"

   "Aku she Kiong dan bukan she Ki, kau pernah bertemu dengan aku, namaku Kim-hun!"

   Seru Kiong Kim-hun.

   "Ngaco-belo, kau kan Ki Ki?"

   Teriak Ubun Tiong. Tapi mendadak nadanya berubah.

   "Ah, bukan, bukan, kau adalah Piau-moayku! Aha, meski waktu hidup kita tak dapat menjadi suami isteri, sesudah mati kita harus berliang kubur satu."

   Di tengah gelak tertawanya itu ia terus menubruk dan mencengkeram Kiong Kim-hun.

   Nyata ia sudah kehilangan akal sehatnya, ia benar-benar sudah gila.

   Dengan enteng Kiong Kim-hun dapat mengelakkan tubrukan Ubun Tiong.

   Segera Yim Hong-siau melolos senjata untuk menghadapi musuh.

   "Budak setan, biar kau pun mati mengiringi aku!"

   Seru Ubun Tiong kalap, kedua tangannya bekerja sekaligus, yang satu mencengkeram Yim Hong-siau dan tangan lain mencengkeram ke arah Hi Giok-kun.

   Meski orangnya sudah gila, namun ilmu silat Ubun Tiong tidak lenyap, malahan serangannya hebat dan ganas pula.

   "Plak", pergelangan tangan Yim Hong-siau terserempet tangan Ubun Tiong sehingga goloknya terlepas dari cekalan. Cepat Kiong Kim-hun menariknya mundur sehingga tidak sampai tercengkeram oleh musuh. Hi Giok-kun paling tenang di antara mereka bertiga. Melihat gelagat jelek, cepat ia putar pedangnya, ketika cengkeraman Ubun Tiong tiba, sambil berkelit Hi Giok-kun terus menusuk sehingga melukai bahu Ubun Tiong. Dalam keadaan kalap Ubun Tiong ternyata tidak tahu rasa sakit, sebelum Hi Giok-kun sempat menarik pedangnya, tahu-tahu batang pedang telah terpegang oleh Ubun Tiong, pedang terampas olehnya, lalu ia mencabutnya dari bahu sendiri. Dengan bergelak tertawa Ubun Tiong memutar pedang rampasannya itu sehingga ketiga nona itu menyingkir jauh ke belakang.

   "Huh, Ubun Tiong, apakah kau tahu dirimu ini orang macam apa?"

   Tiba- tiba Ki We menjengek.

   "Memangnya kau kira aku ini apa?"

   Jawab Ubun Tiong dengan menyeringai bingung.

   "Aku ini kesatria sejati yang tampan!"

   "Ha, ha, ha, kau lebih mirip katak buduk yang mengimpikan bidadari, tapi kau sendiri akan mati kekeringan,"

   Demikian Ki We berolok-olok.

   "Setan alas, siapa kau, berani memaki aku?"

   Bentak Ubun Tiong dengan murka. Tapi mendadak ia berteriak pula.

   "O, ya, kau adalah Ki We, musuhku paling besar! Biar kumampuskan kau dulu!"

   "Ha, ha, ha, kau sudah payah, Ubun Tiong, mana kau mampu membunuh orang pula? Jika tidak percaya boleh kau coba!"

   Seru Ki We dengan tertawa.

   Mendadak Ubun Tiong meraung keras, ia putar pedangnya terus menerjang maju, tampangnya yang beringas itu sudah mengerikan.

   Diam-diam Hi Giok-kun bertiga ikut kuatir, mereka heran Ki We tidak menyelamatkan diri, sebaliknya malah memancing kemarahan Ubun Tiong untuk membunuhnya.

   Belum habis terpikir, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan yang menyayatkan hati, waktu Yim Hong-siau memandang ke sana, terlihat Ubun Tiong sudah roboh terguling di tanah dengan berlumuran darah.

   Sedang Ki We masih tetap duduk bersila, jarak kedua orang itu antara dua-tiga meter jauhnya, jelas keduanya sama sekali belum sampai bergebrak.

   Kiranya penyakit Cau-hwe-jip-mo Ubun Tiong itu kini telah meledak.

   Sebenarnya dia takkan roboh secepat itu, tapi lantaran dia dibikin murka oleh pancingan Ki We tadi, maka penyakitnya lantas meledak dengan cepat.

   Pada tingkatan terakhir dari penyakit itu, rasa deritanya melebihi siksaan apa pun di dunia ini.

   Maka Ubun Tiong menjadi kesakitan dan berkelojotan, ia berteriak kalap.

   "Ki We, kau bunuh aku saja!"

   "Hm, sudah kukatakan kau ini manusia pengecut,"

   Jengek Ki We.

   "kini terbukti lagi, untuk mati saja kau mesti mohon bantuanku."

   Kulit daging wajah Ubun Tiong tampak kejang dan berkerut-kerut, mendadak ia berteriak sekeras-kerasnya, pedang rampasannya dari Hi Giok- kun tadi segera ia tikamkan ke hulu hati sendiri.

   Melihat adegan yang mengerikan itu, ketiga nona itu merasa takut juga.

   Pikir Giok-kun.

   "Walaupun Ubun Tiong ini pantas mampus, tapi cara Ki We juga rada keterlaluan."

   Melihat musuh sudah menggeletak tak bergerak, legalah hati Ki We, ia mengusap keringat dingin di dahinya.

   Tindakannya tadi sebenarnya sangat berbahaya, kalau saja Ubun Tiong masih ada sedikit tenaga dan terus menerjang maju, maka akibatnya sukar dibayangkan.

   Hi Giok-kun mencabut pedangnya yang menancap di tubuh Ubun Tiong dan menyeret mayat itu ke samping sana, lalu Yim Hong-siau mendekati Ki We dan bertanya.

   "Engkau tidak apa-apa, paman Ki? Sungguh tadi aku sangat kuatir."

   Baru sekarang Ki We merasa ngeri membayangkan keadaan yang berbahaya tadi. Katanya kemudian.

   "Terima kasih atas pertolongan kalian, kalau tidak, jiwaku tentu sudah melayang sejak tadi."

   "Ah, janganlah paman Ki merendah hati,"

   Ujar Yim Hong-siau sambil memayang bangun Ki We.

   "Marilah kubawa kau pulang saja. Apakah akhir- akhir ini paman sering bertemu dengan ayahku?"

   "He, jadi kau tidak tahu keadaan rumahmu?"

   Kata Ki We.

   "Ah, sebaiknya kau jangan pulang dulu."

   Hong-siau terkejut, tanyanya cepat.

   "Terjadi apakah di rumahku?"

   "Aku pun baru pulang hari ini dan tidak bertemu dengan ayahmu,"

   Tutur Ki We.

   "Cuma aku tahu Sin Cap-si-koh berada di rumahmu. Temanmu ini adalah puteri Oh-hong-tocu, maka sebaiknya jangan sampai kepergok dia."

   "Baiklah, biar kuantar paman pulang dulu,"

   Kata Hong-siau.

   "Aku ingin tanya pula berita seseorang padamu, paman Ki."

   "Siapa?"

   Jawab Ki We.

   "Sin Liong-sing,"

   Kata Hong-siau.

   "Kau kenal Sin Liong-sing?"

   Ki We menegas dengan tercengang.

   "Aku ingin mencari jejaknya atas permintaan kawan,"

   Tutur Hong-siau.

   "Paman Ki, dapatkah kau bantu mencari kabarnya?"

   Ki We sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia adalah orang yang dapat membedakan antara budi dan benci, ia pikir ketiga nona ini telah menyelamatkan jiwa sendiri, mana boleh menolak permintaan bantuan mereka? Maka dengan tersenyum kecut ia menjawab.

   "Terus terang, Sin Liong-sing dan anak perempuanku justru berada di atas sana."

   Ditudingnya hutan cemara di atas gunung sana. Kiong Kim-hun menjadi girang dan berseru.

   "Sekali ini telah kau temukan, lekas engkau menemuinya, enci Kun."

   Perasaan Giok-kun terguncang, kedatangannya ini mestinya ingin menemui Sin Liong-sing, tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu. Tapi akhirnya ia berpikir.

   "Urusanku dengan dia betapa pun harus ada suatu penyelesaian. Biarlah aku bicara sejelasnya berhadapan dengan dia."

   Tanpa bicara ia lantas melangkah ke arah hutan cemara itu.

   "Siapakah nona Kun itu?"

   Tanya Ki We dengan melengak.

   "O, dia adalah kawanku, Hi Giok-kun, puteri keluarga Hi dari Pek-hoa- kok,"

   Tutur Yim Hong-siau. Terkesiap hati Ki We, pikirnya.

   "Kiranya benar isteri Liong-sing datang mencarinya. Ai, urusan ini sebenarnya kesalahan Liong-sing, tapi entah betapa anak Ki akan berduka menghadapi kenyataan ini."

   Perasaan Hi Giok-kun yang sedang berjalan itu terguncang hebat dan merasa tidak tenteram, sedangkan Ki Ki yang sedang mendengarkan uraian Sin Liong-sing di hutan cemara itu terasa pilu, hatinya seperti disayat-sayat.

   "Ya, dia tidak berdusta padamu, itu memang benar!"

   Demikian ucapan Sin Liong-sing memperkuat apa yang dikatakan Sin Cap-si-koh tentang diri Liong-sing yang sudah beristeri.

   Sudah tentu bagi Ki Ki keterangan ini sangat mengagetkan laksana mendengar bunyi guntur di siang bolong.

   Ki Ki tidak menangis dan tidak mengomel, ia hanya termangu seperti orang linglung.

   Betapa pun dukanya jauh melebihi perkiraan Sin Liong-sing.

   Sambil menggigit bibir akhirnya Liong-sing berkata pula.

   "Adik Ki, memang salahku, aku pantas mampus. Namun kuyakin engkau pasti akan mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik daripadaku. Aku akan memanggil pulang ayahmu. Aku..... aku mohon diri!"

   Ia tidak tahu apakah Ki Ki tidak mendengarnya atau sengaja tidak menjawab, yang terang nona itu cuma memandangnya dengan melenggong tanpa berkata.

   Sin Liong-sing sudah berbangkit, demi nampak sikap si nona yang cemas itu, kedua kakinya tidak dapat bergeser lagi.

   Perlahan ia pegang tangan Ki Ki dan kembali berduduk di sampingnya.

   Akan tetapi apa yang harus dikatakannya? Kesalahan diperbuat olehnya, ucapan apa lagi yang dapat menghiburnya? "Jadi apa yang dikatakan bibimu itu memang benar seluruhnya?"

   Akhirnya Ki Ki membuka mulut. Hati Sin Liong-sing seperti disayat-sayat, ia hanya mengangguk saja.

   "Ya, memang benar begitulah!"

   Akhirnya ia berkata.

   "Apakah isterimu itu Hi-cici! Apakah inipun benar?"

   "Ya, inipun benar. Maka mau tak mau aku harus meninggalkan kau,"

   Jawab Sin Liong-sing setelah ragu sejenak.

   "Aku tidak paham, mengapa sekaligus kau dapat menyukai dua orang berbareng?"

   Kata Ki Ki dengan perasaan hampa. Meski masih tetap bersedih, tapi jelas pikirannya sudah lebih jernih daripada tadi. Air muka Liong-sing sebentar merah sebentar pucat, sejenak baru menjawab.

   "Aku sudah pernah mati satu kali, engkaulah yang membuat aku berani hidup lagi. Aku menghormati Giok-kun, tapi selama ini aku dan dia hanya suami-isteri nama kosong saja."

   "Bagaimana bisa begitu?"

   Tanya Ki Ki heran.

   "Ada kesukaranku yang tak dapat mendustai kau, yang pasti aku tidak sengaja mendustai kau,"

   Kata Liong-sing.

   "Ai, adik Ki, terus terang, memang semula aku hendak merahasiakan riwayat hidupku demi mendapatkan perlindungan ayahmu. Tapi kemudian kau..... kau begitu baik padaku dan tanpa terasa aku pun menyukai kau. Jadi memang benar aku menyukai kau dengan setulus hatiku."

   "Kau mempunyai kesukaran, aku tidak menyalahkan kau,"

   Ujar Ki Ki.

   "Cuma bagi isterimu, perbuatanmu ini adalah tidak pantas."

   "Ya, aku tahu, makanya aku harus meninggalkan kau. Harap kau suka memaafkan aku."

   Ki Ki berpaling ke sana dan tidak ingin menyaksikan kepergian Sin Liong-sing. Tapi pada saat itulah, seorang yang sama sekali di luar dugaannya mendadak muncul.

   "Apakah aku sedang mimpi?"

   Demikian hampir-hampir Sin Liong-sing tidak percaya kepada matanya sendiri. Ia coba menggigit bibir, rasanya sakit, ia tahu bukan sedang mimpi. Tanpa terasa ia berseru.

   "Kau, Giok-kun!"

   "Kau tidak menduga bukan?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Giok-kun dengan hambar.

   "Aku datang untuk mengucapkan selamat padamu."

   Liong-sing mengira pembicaraannya dengan Ki Ki tadi telah didengar semua oleh Hi Giok-kun, maka Giok-kun sengaja menyindirnya. Seketika ia menjadi kikuk dan tak bisa menjawab. Malahan Ki Ki dapat kembali tenang setelah melenggong sejenak. Katanya.

   "Hi-cici, sangat kebetulan kedatanganmu ini. Dahulu aku tidak tahu engkau isteri Sin-toako, sekarang aku sudah tahu. Sin-toako telah banyak mengalami penderitaan, lahir batinnya kenyang tersiksa, dia sedang memerlukan seorang isteri yang baik untuk merawatnya. Aku bersyukur dan mengucapkan selamat atas berkumpulnya kembali kalian berdua, sekarang bolehlah aku pergi saja."

   Hi Giok-kun tersenyum, ia tarik tangan Ki Ki, dengan suara lembut ia berkata.

   "Nona Ki, kau jangan pergi, aku ingin bicara dengan kau."

   Dengan perasaan tidak tenteram Liong-sing menyela.

   "Giok-kun, semuanya adalah kesalahanku dan tiada sangkut-pautnya dengan nona Ki, jika kau marah bolehlah kau marah padaku saja."

   "Kau salah paham, Liong-sing,"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   "Aku mengucapkan selamat bahagia padamu dengan setulus hatiku. Nona Ki adalah nona yang baik, adalah rezekimu kau dapat mempersunting dia."

   Lalu ia berpaling dan berkata kepada Ki Ki.

   "Meski kita baru pertama kali ini bertemu, tapi aku sangat menyukai kau. Aku lebih tua beberapa tahun daripadamu, jika engkau tidak menolak, anggaplah aku sebagai kakakmu. Apakah kau sudi mendengarkan perkataan kakakmu ini?"

   Dia bicara dengan hati yang tulus sehingga menimbulkan semacam perasan aneh bagi Ki Ki, perasaan yang akrab dan percaya kepada seorang kakak yang baru dikenalnya sekarang. Karena itu ia urung melangkah pegi, katanya kemudian.

   "Cici yang baik, silakan bicara, aku akan mendengarkan."

   Dengan kalem Giok-kun lantas berkata pula.

   "Liong-sing, harap kau percaya padaku, dengan tulus hati aku bergembira bagimu."

   "Urusan apa kau bergembira bagiku?"

   Tanya Liong-sing bingung.

   "Pertama, kau tidak mati oleh malapetaka besar yang menimpa dirimu sehingga sekarang aku masih dapat bertemu dengan kau,"

   Tutur Giok-kun.

   "Kedua, tadi sudah kukatakan, adalah rezekimu kau dapat menemukan nona baik seperti Ki-siocia ini. Semua ini kan pantas bagiku untuk bergembira dan mengucapkan selamat padamu?"

   "Ai, Giok-kun, manusia hidup sering terjadi hal-hal yang tidak pernah terduga,"

   Kata Liong-sing dengan menghela napas.

   "Pendek kata, sukar untuk kuuraikan dengan jelas padamu."

   "Kau tidak perlu omong, aku sudah tahu semua pengalamanmu,"

   Ujar Giok-kun.

   "Isi hatimu kukira aku pun paham. Sebab aku dan kau mempunyai pikiran dan perasaan yang sama." ~ Sampai di sini ia berpaling dan berkata pula kepada Ki Ki.

   "Memang betul aku adalah isteri Liong-sing, tapi juga betul seperti apa yang dia katakan tadi, kami hanya suami-isteri nama kosong belaka. Perjodohanku dengan dia sejak mula hingga akhir adalah suatu kesalahan. Tapi syukur kesalahan ini sekarang masih dapat dibetulkan kembali."

   Ki Ki tertegun sejenak, katanya kemudian.

   "Hi-cici, aku berterima kasih atas kebaikanmu padaku. Tetapi aku tidak dapat membiarkan pengorbananmu bagiku."

   "Tidak, anggapanmu keliru sama sekali, bagiku hal ini bukanlah pengorbanan, tapi justru suatu pembebasan,"

   Kata Giok-kun.

   "Dahulu aku dan Liong-sing sama-sama tidak pernah bicara dengan jujur, hal ini tidak boleh terjadi lagi. Sebab itu hanya menipu orang lain dan juga menipu diri sendiri. Betul tidak, Liong-sing?"

   "Betul, Giok-kun,"

   Kata Liong-sing.

   "Biasanya kau memang lebih berani dan lebih tegas daripadaku. Sungguh aku merasa malu kepadamu."

   "Liong-sing, kukira kau juga akan mengaku dengan jujur bahwa pernikahan kita hakikatnya juga suatu kesalahan besar. Untuk menjadi suami-isteri, yang paling penting harus saling cinta dan cocok satu sama lain lahir maupun batin, tapi antara kau dan aku selamanya belum pernah terasa ada kecocokan, tabiat kita juga berbeda jauh. Kau mengakui hal ini tidak?"

   Sin Liong-sing mengangguk tanpa menjawab. Lalu Giok-kun menyambung pula.

   "Kau pernah berbuat salah, aku juga pernah berbuat kesalahan. Pertama, sebabnya aku mau menjadi isterimu adakah karena ketamakanku yang ingin menjadi isteri bakal Bu-lim-beng-cu, sebab kau adalah murid pewaris Bun-tayhiap, pada umumnya semua orang mengakui kau adalah penerus Bu-lim-beng-cu yang akan datang."

   Betapa pun hati Sin Liong-sing terharu juga oleh keterus terangan Hi Giok-kun, dengan muka merah akhirnya ia pun mengakui.

   "Ya, pikiranku terlebih buruk lagi daripada kau. Ketika kita mulai kenal, sebenarnya aku sudah tahu kau mempunyai tunangan. Tapi aku terpikat oleh kecantikanmu, aku pun ingin mendapatkan dukungan keluargamu yang terkenal, keluarga persilatan yang sudah terkenal untuk perkembangan karirku. Karena itulah dengan segala daya upaya aku memecah perjodohanmu. Jadi sebenarnya, aku aku telah membikin susah padamu."

   Pedih hati Hi Giok-kun, dengan menahan air mata ia tersenyum, katanya.

   "Sudahlah, urusan yang sudah lalu tidak perlu dibicarakan lagi, kita berdua sama-sama salah....."

   "Tapi kesalahanku tidak cuma itu saja, masih ada kesalahan yang lebih besar,"

   Kata Liong-sing.

   "Urusan Kong-sun Bok....."

   "Ya, hal itupun sudah kuketahui,"

   Sela Giok-kun.

   "Asal kau menyadari kesalahanmu dan mau memperbaiki, kau masih dapat menjadi orang yang baik dan semua orang juga dapat memberi maaf padamu."

   Saking terharu hati Sin Liong-sing, tanpa terasa ia menangis. Giok-kun juga tidak dapat membendung lagi air matanya, katanya pula dengan menggigit bibir.

   "Ada kesalahan yang tidak dapat dibetulkan. Syukur kesalahan kita tidak sampai telanjur sehingga masih dapat diperbaiki. Sekali salah jangan salah lagi. Betapa pun kau jangan mengingkari kebaikan nona Ki ini. Janjilah padaku dalam persoalan ini! Aku mengutarakan perasaanku ini dengan setulus hati."

   "Dan bagaimana dengan kita berdua?"

   Tanya Liong-sing.

   "Selanjutnya kita masih tetap berkawan!"

   Jawab Giok-kun.

   "Terima kasih banyak atas nasehatmu yang berharga ini, selanjutnya aku pasti akan memperbaharui hidupku dan akan menjadi orang baik-baik,"

   Kata Liong-sing.

   "Tapi mengenai nona Ki, hal ini tidak dapat kusanggupi secara sepihak saja."

   "Ya, sudah tentu kau sendiri harus bicara dengan nona Ki,"

   Ujar Giok- kun.

   "Untuk ini aku tidak perlu terselip di antara kalian. Aku mohon diri saja."

   Dengan air mata berlinang Ki Ki menarik baju Giok-kun dan berseru.

   "Cici yang baik, engkau jangan pergi."

   "Adik yang bodoh, kan tiada urusanku lagi di sini, mana aku dapat menemani kalian selalu?"

   Ujar Giok-kun sambil melepaskan tangan Ki Ki, lalu melangkah pergi.

   Dengan termangu-mangu Sin Liong-sing membayangi kepergian Hi Giok-kun yang makin jauh dan akhirnya lenyap dari pandangannya.

   Sungguh sama sekali ia tidak menduga hubungannya dengan Giok-kun akan berakhir dengan demikian, ia merasakan semacam "kebebasan"

   Yang menggembirakan. Tapi di antara rasa gembira itupun terasa lebih banyak malu pada diri sendiri. Selagi dia termenung, tiba-tiba terdengar suara mengikik tawa Ki Ki di sebelahnya sehingga dia terjaga sadar.

   "Kau menertawakan apa?"

   Tanya Liong-sing bingung seperti baru mendusin dari mimpi.

   "Aku menertawai kau tidak punya rezeki,"

   Kata Ki Ki.

   "Ada isteri sebaik itu, tapi kau telah melepaskannya begitu saja. Apakah kau merasa menyesal?"

   Dengan sungguh-sungguh Sin Liong-sing menjawab.

   "Tapi aku merasa terlebih beruntung dapat menemukan kau."

   Muka Ki Ki menjadi merah, ia menunduk dan berkata.

   "Kau tidak perlu merayu aku, mana aku dapat dibandingkan Hi-cici."

   "Kalian berdua sungguh seperti kakak beradik saja, dia bilang kau baik, kau juga bilang dia baik. Dapat menemukan kau adalah rezekiku. Bukankah Giok-kun tadi juga berkata demikian?"

   "Sayang dia sudah pergi, sungguh aku ingin mempunyai seorang enci sebaik dia,"

   Kata Ki Ki menyesal.

   "Terus terang aku juga sangat menghormati Giok-kun, tapi terhadap kau aku terlebih suka,"

   Kata Liong-sing pula. Bahagia hati Ki Ki mendengar ucapan Liong-sing itu, ia menunduk dan tidak berkata. Tiba-tiba ia dengar Sin Liong-sing menghela napas perlahan.

   "Tanpa sebab mengapa kau menghela napas segala?"

   Tanyanya.

   "Adik Ki, aku merasa diriku tidak setimpal mempersunting dikau,"

   Kata Liong-sing.

   "Mengapa kau berkata demikian?"

   Ki Ki menegas.

   "Adik Ki, kau mirip sepotong batu Giok yang masih mulus, yang belum terukir. Sebaliknya aku adalah manusia yang penuh dosa, sekujur badanku penuh air pecomberan. Tadi kau sendiri juga sudah mendengar kisah hidupku yang lalu, apakah dapat menyukai seorang kotor dan hina seperti aku ini?"

   Ki Ki mengangkat kepalanya, katanya dengan lembut.

   "Aku tidak peduli kesalahan apa yang kau lakukan dahulu, yang kuketahui adalah sekarang kau adalah orang baik? Inipun dikatakan oleh Hi-cici tadi, manusia mana yang tidak pernah berbuat salah, pokoknya kalau bisa memperbaiki kesalahan sendiri dan itupun sudah cukup. Kau tidak perlu rendah diri, asal kau suka padaku, aku pasti akan selalu berdampingan dengan kau."

   Sinar sang surya memenuhi bumi, awan yang membayangi perasaan Sin Liong-sing selama inipun buyar sirna oleh cahaya sang surya.

   Dengan perasaan bimbang Hi Giok-kun sendirian mengayun langkah, apa yang dipikirkannya menjadi bertambah banyak.

   Setelah bebas dari "tali- patinya"

   Dengan Sin Liong-sing, perasaannya memang terasa longgar dan enteng, tapi bila teringat kepada pengalaman yang lalu, ia menjadi masgul. Ia pikir.

   "Ada kesalahan yang dapat diperbaiki, tapi juga ada kesalahan yang sukar ditarik kembali."

   Teringat kepada masa lalu, hatinya menjadi pilu.

   Coba kalau bukannya mudah percaya kepada omongan orang bahwa Kok Siau-hong sudah mati, tentu dirinya takkan menjadi begini.

   Apakah ini harus menyalahkan nasib? Tapi kalau aku sendiri tidak ragu-ragu, mana bisa menjadi salah besar? Begitulah setelah menyesal dan mencerca diri kemudian ia pun merasa malu diri.

   Tiba-tiba ia terkejut, pikirnya.

   "Kiranya di dalam lubuk hatiku masih terdapat barang kotor sebanyak ini, sungguh pantas dijemur di bawah sinar matahari yang terik ini. Nyata Han Pwe-eng jauh lebih baik daripadaku, dia adalah pasangan yang setimpal dengan Kok Siau-hong. Yang sudah lalu biarlah lalu, aku harus bergembira bagi mereka. Memangnya kalau aku tidak menjadi isteri Kok Siau-hong lantas tidak boleh menjadi kawannya?"

   Tengah ia terombang ambing oleh pikiran yang membuatnya masgul itu, tiba-tiba terdengar orang berseru.

   "He, Siau-hong, lihat itu, bukankah itu Hi- cici! Hai, Hi-cici, Hi-cici!"

   Waktu Giok-kun memandang ke sana, siapa lagi dia kalau bukan Han Pwe-eng yang dipikirkannya tadi. Pemuda yang menyusul di belakangnya itu dengan sendirinya adalah Kok Siau-hong.

   "Eh, kalian juga datang ke sini?"

   Sapa Giok-kun dengan kejut-kejut girang.

   "Malahan ayahku juga berada di sini,"

   Jawab Pwe-eng dengan tertawa.

   "Kami mencari seseorang ke sini. Coba kau terka siapa yang kami cari itu?"

   "Ah, kiranya paman Han sudah lolos dari bahaya dan kalian telah berkumpul kembali, sungguh harus diberi selamat,"

   Ujar Giok-kun. Han Tay-wi dan budak keluarga Yim yang disuruh menunjuk jalan itu sengaja memperlambat langkah dan jalan di belakang, dengan tertawa riang ia berkata.

   "Jangan kau main teka-teki, anak Eng, kau sendiri orang bodoh, masakah kau suruh Hi-cicimu menerka segala. Sudah tentu kedatangan Hi- cici ke sini juga hendak mencari orang. Dan orang yang kalian hendak cari adalah orang yang sama, masakah perlu diterka pula?"

   Giok-kun menanggapi dengan muram.

   "Benar orang yang hendak kucari memang orang yang sama dengan orang yang kalian cari itu."

   "O, lantas kau sudah bertemu dengan Sin-toako belum?"

   Cepat Pwe-eng bertanya.

   "Sudah,"

   Jawab Giok-kun. Han Pwe-eng melengak, tanyanya pula.

   "Habis mengapa kalian tidak berada bersama?"

   "Dia tidak perlu bersama lagi dengan diriku,"

   Kata Giok-kun.

   "Apa? Dia benar-benar telah berbuat sesuatu yang tidak baik padamu?"

   Pwe-eng menegas dengan terkejut.

   "Tidak, dia jauh lebih baik daripada dahulu,"

   Kata Giok-kun.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cuma..... cuma....."

   "Cuma apa?"

   Desak Pwe-eng. Betapa pun Giok-kun merasa serba susah untuk menguraikannya terus terang, dengan suara lirih akhirnya ia berkata.

   "Cuma kami merasa lebih baik berpisah saja satu sama lain. Janganlah kau tanya apa sebabnya, hal ini akan kuberitahukan nanti. Sekarang biar kuberitahu dahulu suatu kabar yang menyenangkan kau."

   Pwe-eng menduga pasti ada sesuatu yang tidak leluasa diucapkan Hi Giok-kun, maka ia pun tidak mendesak lagi, dengan tertawa ia berkata.

   "Kita dapat bertemu di sini, ini saja sudah cukup menggembirakan, ada berita apa lagi yang menyenangkan?"

   "Apakah kau masih ingat kepada seorang yang pernah jatuh cinta padamu?"

   Kata Giok-kun. Han Pwe-eng melengak, jawabnya kemudian.

   "Ah, Hi-cici ini bisa saja bergurau."

   "Aku tidak bergurau,"

   Kata Giok-kun.

   "Orang ini bukan lelaki, tapi perempuan."

   "O, barangkali yang kau maksudkan ialah Kiong Kim-hun?"

   Seru Pwe- eng tertawa teringat kepada kejadian dahulu.

   "Apakah dia juga datang ke sini."

   "Benar, dia datang bersama aku, malahan ada lagi seorang kawan yang belum pernah kau kenal,"

   Tutur Giok-kun.

   "Siapa dia?"

   "Puteri Yim Thian-ngo, namanya Hong-siau."

   "O, anak perempuan Yim Thian-ngo?"

   Han Pwe-eng merasa heran.

   "Mengapa dia juga berada bersama kalian?"

   "Teratai yang tumbuh di tengah air pecomberan takkan menjadi kotor, Yim Hong-siau tidak dapat disamakan dengan ayahnya,"

   Tutur Giok-kun.

   "Dia telah minggat dari rumahnya dan kini pulang lagi ke sini bersama kami. Aha, baru dibicarakan, seketika juga orangnya datang. Lihatlah, bukankah mereka sudah datang!"

   Benar juga, tertampak Kiong Kim-hun dan Yim Hong-siau memayang seorang tua muncul dari balik lereng gunung sana. Tanpa menyapa dulu kepada Kiong Kim-hun, segera Han Pwe-eng berpaling kepada ayahnya dan berkata.

   "Paman inilah tokoh kosen yang pernah menolong anak tempo hari itu."

   Sebagai seorang ahli ilmu silat ulung, sekali pandang saja cara jalan Ki We yang berat itu, segera Han Tay-wi tahu orang terluka dalam. Segera ia mendekatinya dan menyapa lebih dulu.

   "Saudara tentulah Ki-losiansing adanya. Cay-he Han Tay-wi, anak perempuanku pernah mendapat pertolonganmu, di sini kuhaturkan terima kasih."

   Sambil berkata Han Tay-wi lantas mengangsurkan tangannya untuk menjabat tangan Ki We.

   "Ah, Han-heng jangan sungkan,"

   Ujar Ki We dengan tersenyum getir.

   "Kini aku adalah orang yang sebelah kakinya sudah melangkah ke dalam liang kubur."

   Ucapan Ki We itu adalah karena dia kuatir jabatan tangan Han Tay-wi itu bermaksud menjajal ilmu silatnya, sebab itulah secara tidak jelas dia berkata tentang keadaan dirinya yang terluka parah.

   Tak tahunya, begitu kedua tangan saling genggam, sekonyong-konyong Ki We merasakan suatu arus hawa hangat menyalur dari telapak tangan Han Tay-wi, dalam sekejap saja telah merayap ke seluruh urat nadinya dan mencapai pusar.

   Seketika ia seperti orang yang kehausan mendadak minum air hangat, rasanya enak sekali.

   Baru sekarang ia tahu Han Tay-wi sengaja menggunakan tenaga murninya untuk menyembuhkan dia.

   Dengan kejut dan girang Ki We lantas berkata.

   "Sudah lama Han-heng terkenal sebagai ahli lwekang yang hebat, nyatanya memang tidak bernama kosong. Terima kasih banyak atas kebaikanmu. Bila engkau tidak menolak, kediamanku terletak tidak jauh dari sini, sudilah kiranya kalian mampir dulu ke sana?"

   Tengah Han Tay-wi bicara dengan Ki We, di sebelah sana Kiong Kim- hun juga asyik omong dengan Han Pwe-eng, masing-masing saling menceritakan pengalaman selama ini.

   Waktu Han Tay-wi hendak menjawab undangan Ki We tadi, tiba-tiba Han Pwe-eng menarik lengan baju ayah dan berkata.

   "Ubun Tiong sudah mati, Hi-cici juga sudah bertemu dengan Sin Liong-sing. Bagaimana kalau kita mengiringi Yim-cici ini pulang dahulu?"

   "O, Ubun Tiong sudah mati? Betapa pun dia terhitung tokoh Kang-ouw kelas tinggi, cara bagaimana matinya?"

   Tanya Tay-wi.

   "Orang jahat pasti menerima ganjarannya, dia mati karena penyakit Cau- hwe-jip-mo,"

   Tutur Giok-kun.

   "Aku justru terjebak oleh kelicikan Ubun Tiong dan Sin Cap-si-koh, hampir saja jiwaku melayang di tangannya, untung ketiga nona ini keburu datang sehingga jiwaku dapat diselamatkan,"

   Kata Ki We dengan menyeringai.

   Han Tay-wi adalah orang tua yang sudah kenyang asam garam penghidupan, setelah mendengar kata-kata Pwe-eng tadi, diam-diam ia menduga mungkin Pwe-eng tidak ingin pergi ke rumah Ki We agar tidak membikin kikuk Hi Giok-kun.

   Maka ia lantas membonceng ucapan Ki We itu, katanya.

   "Terima kasih atas undangan Ki-heng, meski kita baru kenal, tapi sudah seperti teman lama, maka aku pun tidak ingin sungkan padamu. Tenaga murni Ki-heng kini baru mulai kumpul, sebaiknya lekas pulang dahulu untuk istirahat agar tidak merusak kesehatanmu. Kelak bila ada kesempatan tentu aku akan berkunjung kepada Ki-heng untuk tukar pikiran."

   Ki We menyadari juga keadaan sendiri, katanya.

   "Terima kasih atas petunjuk Han-heng, biarlah aku pulang dulu, apabila Han-heng tiada urusan lagi, setelah tiga hari sudilah kiranya mampir ke rumahku?"

   "Baiklah, tiga hari lagi tentu aku datang,"

   Jawab Han Tay-wi.

   "Dan bagaimana dengan puterimu serta nona Hi dan lain-lain?"

   Tanya Ki We.

   "Ki-locianpwe dan Han-pepek adalah tokoh ilmu silat terkemuka pada zaman ini, bila kalian sedang tukar pikiran, jelas kami tidak mampu ikut menimbrung,"

   Ujar Hi Giok-kun dengan tertawa.

   "Apalagi kami pun ada sedikit urusan, setelah mengantar pulang nona Yim segera kami pun akan meninggalkan tempat ini."

   Urusan yang paling dikuatirkan Ki We adalah soal jodoh puterinya, sedangkan urusan itu erat hubungannya dengan Hi Giok-kun, dengan sendirinya ia tidak enak bicara terus terang, terpaksa hanya berkata.

   "Baiklah, jika begitu aku pun tidak memaksa kalian lagi. Cuma nona Hi apa tidak menunggu Sin Liong-sing?"

   "Aku tidak perlu lagi menunggu dia? Urusanku dengan dia sudah kujelaskan di hadapan puterimu, nanti Ki-locianpwe tentu akan jelas bilamana sudah ditanyakan kepada puterimu,"

   Kata Giok-kun dengan tersenyum. Walaupun tidak jelas, namun Ki We dapat menangkap apa artinya ucapan Hi Giok-kun itu, hatinya menjadi lega, katanya.

   "Baiklah, terima kasih atas bantuan nona Hi, kelak apabila tenagaku dibutuhkan, tentu aku akan membalas kebaikanmu ini." ~ Nadanya bercabang, kedengarannya maksudnya seperti mengarah pada urusan bantuan Hi Giok-kun tadi, padahal yang benar ialah rasa terima kasihnya atas kerelaan Hi Giok-kun menjadikan perjodohan puterinya dengan Sin Liong-sing. Begitulah karena bantuan tenaga murni Han Tay-wi tadi, kekuatan Ki We kini sudah pulih sebagian, segera ia pulang sendirian. Sedangkan Han Tay- wi dan lain-lain lantas mengiringi Yim Hong-siau pulang ke rumah. Kok Siau-hong dan Yim Hong-siau terhitung saudara Piau (misan) yang belum pernah bertemu. Maka setelah keduanya saling memberi hormat, Yim Hong-siau lantas berkata.

   "Ibu sering membicarakan bibi (ibu Siau-hong) padaku, cuma ayah terlalu kukuh dan melarang hubungan kedua keluarga kita. Cuma kabar Piau-ko sering juga kami dengar, konon engkau sangat terkenal di Kang-ouw, kami ikut bergembira. Kedatanganmu sekali ini sangat kebetulan, kalau ibu melihat kau, entah betapa senangnya beliau. Apakah bibi juga baik-baik?"

   "Baik,"

   Jawab Siau-hong.

   "Piau-moay, belum lama ini kudengar kau juga datang ke Kim-keh-nia, aku pun merasa sangat gembira."

   Yim Hong-siau teringat sesuatu, katanya.

   "Kudengar dari paman Ki, katanya seorang perempuan jahat bernama Sin Cap-si-koh sekarang berada di rumahku, apa kau tahu?"

   "Aku justru baru saja datang dari rumahmu, perempuan siluman she Sin itu sudah kami gebah lari,"

   Jawab Siau-hong.

   "Ah, jika begitu apakah kau juga sudah bertemu dengan ayah?"

   "Sudah,"

   Kata Siau-hong. Melihat sikap Siau-hong waktu berkata, Yim Hong-siau menduga tentu ada sesuatu yang tidak beres, segera ia bertanya.

   "Dan bagaimana ayah terhadap terhadap dirimu?"

   "Piau-moay,"

   Tutur Siau-hong sambil menghela napas.

   "jika kukatakan, hendaklah kau jangan marah."

   "Aku cukup kenal pribadi ayah,"

   Ujar Hong-siau.

   "aku pun tidak setuju dengan perbuatannya. Silakan Piau-ko bicara terus terang saja."

   Yim Hong-siau mengira di antara ayah dan Kok Siau-hong mungkin telah terjadi perkelahian, siapa tahu apa yang diuraikan Kok Siau-hong ternyata jauh lebih buruk daripada perkiraannya.

   Maka ia menjadi melengak ketika mendengar bahwa ayahnya bersekongkol dengan negara musuh serta tidak terima nasehat Kok Siau-hong dan hendak mencelakai Han Pwe-eng.

   "Kau jangan sedih, Piau-moay,"

   Han Pwe-eng coba menghiburnya.

   "kau memang berbeda daripada ayahmu, kami takkan memandang hina padamu lantaran perbuatan ayahmu."

   "Sungguh aku merasa malu mempunyai seorang ayah begitu,"

   Kata Hong- siau.

   "Entah ayah sekarang sudah kabur atau belum? Piau-ko, aku..... aku ingin mohon sesuatu....."

   Kok Siau-hong dapat menduga apa maksud si nona, katanya.

   "Ayahmu adalah pamanku, aku tetap akan berusaha sekuat tenaga agar dia mau kembali ke jalan yang benar. Marilah Piau-moay, kita bersama-sama menasehati dia, dengan kasih sayang kalian ayah dan anak, bisa jadi dia mau berpaling kembali ke jalan yang baik."

   "Semoga demikian hendaknya. Dan bagaimana dengan ibuku, apakah beliau mengetahui tindakan ayah itu,"

   Ia berpaling kepada budak tua yang mengantar Ki We tadi dan bertanya.

   "Kat-toasiok, bagaimana keadaan ibu?"

   "Toa-siocia, jika kukatakan, hendaklah kau jangan berduka,"

   Jawab budak tua itu.

   "Sesungguhnya nyonya besar sudah meninggal."

   Yim Hong-siau terperanjat, ia menegas.

   "Ibu sudah meninggal? Cara bagaimana meninggalnya?"

   "Setelah Toa-siocia pergi, siang dan malam Lo-hujin (nyonya besar) selalu terkenang padamu dan entah berapa kali beliau ribut mulut dengan Lo-ya (tuan besar),"

   Tutur budak itu.

   "Tidak lama Lo-hujin lantas meninggal setelah jatuh sakit."

   Berita ini laksana bunyi beledek di siang bolong, seketika Yim Hong-siau termangu seperti patung.

   "Tenanglah, nona Yim,"

   Giok-kun berusaha menghiburnya.

   "orang meninggal tidak dapat hidup kembali, apalagi bibi sudah cukup tua, betapa pun beliau terhitung mangkat dengan sempurna. Sebaiknya kau jangan terlalu berduka."

   Dengan susah payah akhirnya Yim Hong-siau dapat dicegah agar tidak terlalu sedih dan menangis, lalu mereka melanjutkan perjalanan.

   Tidak lama kemudian, tiba-tiba tertampak asap hitam mengepul dari balik lereng gunung sana, waktu mereka memandang dari ketinggian, terlihatlah api yang berkobar.

   Yim Hong-siau dan budak tua tadi berseru kaget, kiranya rumahnya yang sedang kebakaran.

   "Tenanglah, adik Yim,"

   Giok-kun berusaha menghibur Yim Hong-siau.

   "Marilah kita memburu ke sana, selamatkan orangnya lebih dulu."

   Untungnya rumah keluarga Yim itu dibangun membelakangi tebing gunung yang tandus, di depannya ada sebuah air terjun yang membentuk sebuah empang, karena itu api tidak sampai menjalar ke hutan cemara.

   Agaknya api itu sudah berkobar cukup lama, kini api sudah mulai mereda, ketika Yim Hong-siau sampai di depan rumahnya, ternyata semua sudah menjadi puing belaka.

   Terendus bau sangit dari gundukan puing yang hangus busuk itu, mayat tampak bergelimpangan dan semuanya sudah hampir berwujud menjadi arang.

   "Ayah! Ayah! Anak sudah pulang! Engkau berada dimana?"

   Demikian Yim Hong-siau berteriak sekerasnya sambil menangis.

   Biarpun ia tidak suka kepada ayahnya, tapi kasih sayang antara ayah dan anak tetap ada juga.

   Ia pikir ilmu silat ayahnya sangat tinggi, mungkin beliau tidak sampai terbakar dan bisa jadi bersembunyi di sekitar rumah.

   Benar juga, setelah dia berseru memanggil lagi beberapa kali, dari balik batu di tepi empang sana merangkak keluar satu orang.

   Dengan kejut dan girang Yim Hong-siau memburu ke sana, ia sangka ayahnya.

   Tapi setelah dekat, ia menjadi melenggong dan kecewa.

   Kiranya orang yang masih hidup ini adalah tukang kebun she Ong.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"He, Lau Ong, mengapa jadi begini dan mendadak kebakaran? Dimana ayahku?"

   Cepat Hong-siau bertanya. Tukang kebun she Ong itu basah kuyup, dengan menggigil ia menjawab.

   "Toa-siocia, syukurlah engkau sudah pulang. Tapi tapi engkau tidak perlu lagi mencari Lo-ya!"

   Hati Hong-siau tergetar, ia menegas.

   "Apa katamu? Kau maksudkan ayahku sudah meninggal?"

   Mendadak Ong tua itu mengangkat kepalanya, sorot matanya mengunjuk perasaan gemas, katanya dengan perlahan.

   "Lo-ya tidak mati, hanya kami yang pantas mati! Aku tahu Toa-siocia adalah orang baik, janganlah engkau marah pada ucapanku ini, aku ingin mengatakan bahwa ayahmu sungguh amat keji!"

   "Apa arti ucapanmu ini, Lau Ong?"

   Tanya Hong-siau terperanjat.

   "Ayahku, bagaimana dia?"

   "Lo-ya sendiri yang membakar rumah ini, kawanan hamba kami ini juga dia sendiri yang membunuhnya,"

   Jawab Ong tua itu dengan penuh dendam. Yim Hong-siau hampir tidak percaya kepada telinga sendiri, sejenak dia baru berkata.

   "Apa katamu? Ayahku masakah dapat bertindak begini? Apakah beliau sudah gila?"

   "Lo-ya tidak gila, kami yang tidak menyadarinya sejak dulu,"

   Tutur orang tua itu.

   "Padahal kejadian hari ini seharusnya sejak lama sudah harus kupikirkan."

   "Lau Ong, coba ceritakan, sebenarnya bagaimana duduk perkara kejadian hari ini?"

   Tanya Giok-kun pula.

   "Kejadian semula tidak jelas bagiku, hanya kuketahui pagi tadi datang beberapa orang tamu mencari perkara kepada Lo-ya,"

   Tutur Lau Ong.

   "Agaknya Lo-ya tidak mampu melawan mereka dan lari ke gua buatan di taman. Salah seorang tamu itu katanya masih pernah keponakan Lo-ya, hal ini kudengar dari si Sam botak (nama budak lain)."

   "Benar, keponakan tuanmu yang dimaksud ialah aku,"

   Sela Kok Siau- hong.

   "Dua orang lagi adalah paman Han dan puterinya ini."

   "Tidak lama setelah kalian pergi, Sam botak memberitahukan kejadian di depan kepadaku, pada waktu itulah kami mendengar suara genta yang dibunyikan Lo-ya untuk mengumpulkan kami,"

   Tutur Lau Ong pula.

   "Menurut keterangan Lo-ya, katanya beliau sedang direcoki musuh tangguh dan tidak dapat lagi tinggal di rumah ini, sebab itu beliau suruh kami membantunya membakar rumah ini, kalau kami mau ikut beliau boleh ikut, kalau tidak boleh tetap tinggal di sini."

   "Dan kau rupanya tidak ingin ikut pergi bersama Lo-yamu?"

   Kata Siau- hong.

   "Ya, bukan cuma aku saja, sebagian besar budak di sini tidak mau pergi dari sini. Yang ikut dia hanya tiga orang saja, mereka pun orang berasal dari kalangan Hek-to yang dibawa pulang Lo-ya."

   "Mengapa kalian tidak mau ikut pergi bersama tuanmu?"

   Tanya Siau- hong. Lau Ong berpaling kepada Yim Hong-siau dan berkata.

   "Toa-siocia, Lo- ya bersekongkol dengan orang Nuchen dan bangsa Mongol, sebenarnya kaum hamba kami banyak yang tahu, hanya engkau saja yang tidak diberitahu."

   "Dan bagaimana tindakan Lo-yamu terhadap kalian yang tidak mau ikut pergi?"

   Tanya Siau-hong.

   "Beliau mengiakan dan suruh kami menyalakan api. Siapa tahu setelah api berkobar, Lo-ya dan ketiga begundalnya itu berjaga di sekitar kami dan melarang kami lari. Lalu satu per satu kami dicengkeram dan dilemparkan ke lautan api dan terbakar hidup-hidup."

   "Jika tahu begini kekejamannya, tentu aku tidak memberi ampun padanya!"

   Ujar Han Tay-wi dengan gusar. Tak terkatakan rasa duka Yim Hong-siau, ingin menangis pun tak keluar lagi air matanya, hampir saja dia jatuh pingsan. Giok-kun coba memayang dan menghiburnya.

   "Sungguh mimpi pun aku tidak menduga ayah bisa bisa begitu keji,"

   Kata Yim Hong-siau dengan suara gemetar.

   "Toa-siocia, kami pun tahu engkau tidak setuju perbuatan Lo-ya, bicara terus terang, kami benci kepada Lo-ya, tapi tidak kepadamu,"

   Kata Lau Ong. Hong-siau menanggalkan gelang emas yang dipakainya, katanya.

   "Lau Ong, ambil ini, pergilah dan jual ini sekadar modal usaha."

   Lau Ong hendak menolak, tapi Hong-siau mendesaknya. Terpaksa Lau Ong menerimanya dan berkata.

   "Engkau sungguh orang yang baik, Toa- siocia, terima kasih atas pemberianmu ini."

   Setelah Lau Ong pergi, Yim Hong-siau berkata kepada budak tua yang mengantar ke rumah Ki We itu.

   "Kat-toasiok, harap tunjukkan makam ibuku, nanti kau pun boleh pergi saja."

   Budak she Kat itu adalah orang kepercayaan Yim Thian-ngo, ia sedang kebat-kebit karena tidak tahu bagaimana nasibnya nanti, maka ia merasa lega dan terima kasih demi mendengar ucapan Yim Hong-siau itu. Dengan gembira ia pun berkata.

   "Toa-siocia, ada suatu urusan belum kuberitahukan padamu."

   "Urusan apa?"

   Tanya Hong-siau.

   "Tentang meninggalnya Lo-hujin, beliau meninggal karena bertengkar dengan Lo-ya,"

   Tutur budak tua itu.

   "Tentu Toa-siocia masih ingat kepada Yan-kongcu yang pernah berkunjung ke sini itu, bukan?"

   Hong-siau mengangguk.

   "Kenapa dengan dia?"

   Tanyanya.

   "Kiranya dia tidak she Yan, tapi Wan-yan, putera Wanyan Tiang-ci, itu panglima pasukan pengawal kerajaan Kim yang terkenal,"

   Tutur budak she Kat itu.

   "Ya, asal-usulnya kini aku pun sudah tahu,"

   Ujar Hong-siau.

   "Semula Lo-hujin tidak tahu, tapi kemudian juga mengetahuinya,"

   Tutur pula budak tua itu.

   "Setelah Toa-siocia pergi, Lo-ya menjadi marah, tapi Lo- hujin telah menegur Lo-ya mengapa mengawinkan anak perempuan sendiri kepada bangsa lain yang menjadi musuh negara sendiri. Semula Lo-ya tidak mengaku, tapi kemudian dia menjadi murka dan mengakui maksudnya ingin mengikat besanan dengan bangsawan kerajaan Kim, tujuannya supaya bisa mendapat kedudukan mengingat nasib kerajaan Song tidak dapat dipertahankan lagi. Namun Lo-hujin tidak setuju sehingga terjadilah pertengkaran keras antara mereka. Terdengar suara ribut-ribut dan seperti Lo-hujin terjatuh, esok paginya Lo-hujin lantas meninggal."

   Macam-macam perasan Yim Hong-siau bercampur-aduk, dengan menangis ia sesambatan.

   "O, alangkah malangnya nasibmu, ibu! Sayang aku tidak dapat membunuh ayah kandung sendiri untuk menuntut balas bagimu, tapi keparat Wan-yan Ho itu harus kubinasakan dia."

   "Menurut dugaan hamba, kepergian Lo-ya ini besar kemungkinan menggabungkan diri ke tempat Wanyan Tiang-ci,"

   Kata budak she Kat. Hi Giok-kun ikut menghibur Yim Hong-siau, katanya.

   "Janganlah kau berduka, adik Siau. Wanyan Tiang-ci dan puteranya itu bukan cuma musuhmu saja, tapi juga musuh besar pihak laskar rakyat. Marilah kau ikut ke Kim-keh-nia dahulu, pada suatu hari kami pasti akan membalaskan sakit hatimu, bahkan juga membalas sakit hati bangsa Han kita umumnya dan mengusir musuh pergi dari tanah air kita."

   Selesai Yim Hong-siau berziarah ke makam ibunya dan suruh budak tua she Kat itu pergi dengan diberi biaya seperlunya, lalu ia berkata kepada Kok Siau-hong dan lain-lain.

   "Piau-ko, Piau-so dan Hi-cici, selanjutnya hanya kalianlah sanak keluargaku."

   "Tidak, segenap anggota laskar di Kim-keh-nia adalah anggota keluargamu,"

   Kata Siau-hong.

   "Marilah kita berangkat!"

   "Aku ada janji dengan Ki We dan harus kupenuhi janjiku untuk menemuinya,"

   Kata Han Tay-wi.

   "Hendaklah kau menjaga anak Eng, Siau- hong, setengah tahun lagi aku akan datang ke Kim-keh-nia untuk melangsungkan upacara nikah kalian."

   Wajah Pwe-eng menjadi merah, katanya "Harap ayah lekas datang ke Kim-keh-nia agar kami tidak kuatir bagimu."

   "Bagaimana kalau aku ikut ke rumah Ki-locianpwe, ayah?"

   Kata Siau- hong. Han Tay-wi melengak, katanya.

   "Mengapa kau tidak kembali ke Kim-keh- nia saja?"

   "Aku cuma ingin menemui Sin Liong-sing, setelah bertemu aku lantas pergi lagi,"

   Kata Siau-hong.

   "Benar, kau adalah sahabat baik Sin Liong-sing, seharusnya kau menjenguknya,"

   Kata Pwe-eng.

   "Baiklah, biar kami menunggu kau dalam perjalanan sana."

   Ketika mereka sampai di rumah keluarga Ki, Ki We sedang berlatih diri di dalam kamarnya, maka Ki Ki yang bertugas menyambut tetamu.

   "Jangan mengejutkan ayahmu,"

   Kata Han Tay-wi.

   "biar aku tinggal sehari dua di sini, masih cukup waktu untuk bertemu dengan ayahmu nanti."

   "Ya, ayah sudah memberi pesan padaku untuk menyiapkan kamar tamu, tapi kalian terpaksa tinggal di satu kamar,"

   Ujar Ki Ki.

   "Kedatanganku hanya ingin bertemu dengan Sin-toako, apakah dia ada di sini?"

   Ujar Siau-hong.

   "O, dia baru mencari kayu bakar di hutan cemara di belakang rumah, silakan Kok-toako menyusulnya saja,"

   Kata Ki Ki. Rupanya Sin Liong-sing melihat kedatangan mereka, maka sengaja menyingkir dahulu. Di dalam hutan cemara dapatlah Kok Siau-hong menemukan Sin Liong- sing. Dengan tersenyum getir Sin Liong-sing berkata.

   


Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id

Cari Blog Ini