Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 33


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 33



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Betapa pun menantu buruk muka akhirnya juga harus bertemu dengan mertua. Sungguh tidak nyana hari ini aku berubah menjadi menantu bermuka buruk demikian ini."

   "Sin-heng, buat apa engkau menghindari aku?"

   Kata Siau-hong.

   "Manusia mana yang tidak pernah bersalah? Padahal engkau sudah pernah membantu pihak laskar rakyat di Yang-ciu, kami tak pernah memandang rendah padamu."

   "Kutahu kalian telah memberi maaf padaku, tapi aku sendiri tetap merasa malu,"

   Kata Liong-sing.

   "Sebenarnya bukan maksudku menghindari kau, aku justru ingin bicara berhadapan dengan kau, kutahu engkau akan mencari aku ke sini."

   "Ada urusan apa silakan bicara saja. Terima kasih Sin-heng menganggap diriku sebagai kawan yang dapat mencurahkan isi hatinya."

   "Tentang urusanku dengan Hi Giok-kun, rasanya kau pun sudah tahu bukan?"

   Siau-hong mengangguk. Maka Sin Liong-sing lantas menyambung.

   "Kau tahu apa yang paling membuatku merasa malu? Yang paling membuat kumalu ialah aku merasa bersalah terhadap Giok-kun dan juga terhadapmu."

   "Urusan yang sudah lalu jangan diungkit lagi, Giok-kun juga tidak marah padamu."

   "Tidak, aku ingin menebus dosaku ini. Ada suatu permohonanku, Kok- heng, bisa jadi sulit bagimu untuk menerimanya, tapi kalau tidak kukemukakan, betapa pun rasa hatiku tidak lega."

   "Silakan bicara saja,"

   Ujar Siau-hong. Dalam hati ia sudah dapat meraba apa yang hendak dikemukakan Sin Liong-sing. Benar saja, segera Sin Liong-sing berkata.

   "Aku telah membikin susah hidup Giok-kun, dosaku ini rasanya sukar ditebus. Yang kuharapkan kini adalah supaya dia mendapatkan jodoh lagi yang baik dan sekadar mengurangi dosaku ini. Kok-heng, ada suatu rahasiaku yang tak pernah kuberitahukan kepada siapa pun juga kecuali Ki Ki. Yakni, meski aku dan Giok-kun sudah menikah, tapi selama lebih setahun ini kami hanya suami- isteri nama kosong saja. Kok-heng, aku pun tahu sampai sekarang hati Giok- kun tetap suka padamu. Nah, Kok-heng, apakah kau paham maksudku?"

   Siau-hong tersenyum getir, katanya.

   "Kupaham maksudmu, tapi urusan yang sudah lalu kupikir tidak perlu diungkit lagi. Cuma aku dan Giok-kun juga masih tetap sahabat baik."

   "Kutahu engkau sudah mempunyai nona Han, permohonanku padamu jelas terlalu dipaksakan,"

   Ujar Liong-sing dengan suara lirih.

   "Hanya dosaku ini menjadi sukar diperingan, hal ini terpaksa kusesalkan selama hidup."

   "Kau pun tidak perlu terlalu mencerca diri sendiri, akhir daripada persoalan kalian ini menurut pandanganku kan masih ada harganya untuk digirangkan,"

   Kata Siau-hong.

   "Digirangkan bagaimana?"

   Tanya Liong-sing.

   "Coba pikir, jika kalian tetap menjadi suami-isteri kosong, bukankah penderitaan kedua pihak akan tiada akhirnya? Kini kau dan dia bukan suami- isteri lagi, tapi dia adalah seorang sahabatmu yang murni."

   CAPAN Kok Siau-hong itu telah menyingkap kabut yang selalu menyelimuti hati Sin Liong-sing selama ini. Serentak ia tersadar, katanya.

   "Ya, ucapanmu memang tidak salah, orang hidup tak perlu menyesal lagi apabila mendapatkan seorang kawan sejati. Cuma aku tetap tidak tenteram."

   

   Jilid 38 U Dengan tegas Kok Siau-hong berkata.

   "Tapi pikiran Giok-kun jauh lebih terbuka daripadamu, kini dia siap kembali ke Kim-keh-nia. Sin-heng, janganlah kau memikirkan urusan sendiri, kau tentu juga akan gembira. Kini para pahlawan seluruh negeri sedang bersatu-padu siap menghadapi penyerbuan musuh dari utara, seharusnya kita juga mesti kesampingkan dahulu urusan pribadi."

   Sin Liong-sing menengadah, tertampak seluruh bumi kemilauan oleh sinar sang surya, tanpa terasa pikirannya juga terbuka, katanya.

   "Terima kasih atas kata-kata mutiaramu yang berharga ini."

   "Sin-heng, kuharap tidak lama lagi kita dapat bertemu di Kim-keh-nia,"

   Kata Siau-hong pula.

   "Asal hatimu tiada ganjalan apa pun, bila kau dan nona Ki pergi ke Kim-keh-nia, kuyakin Giok-kun juga gembira bertemu dengan kalian. Kalau tidak, baik juga kalau engkau mau kembali ke tempat gurumu untuk membantu perjuangan di daerah Kang-lam sana."

   Setelah berpikir sejenak, Sin Liong-sing berkata.

   "Sebenarnya aku ingin mengasingkan diri ke pegunungan sunyi untuk mengakhiri hidupku, tapi sekarang aku tahu jalan pikiran demikian tidaklah tepat. Untuk sementara kukira masih harus tinggal di sini, nanti kalau kesehatan Ki-locianpwe sudah pulih barulah kutentukan langkah selanjutnya bersama Ki Ki."

   "Baik juga,"

   Kata Siau-hong.

   "Ki Ki adalah nona yang baik, engkau harus sayang padanya."

   Baru berkata sampai di sini, terdengarlah suara Ki Ki sedang memanggil Sin Liong-sing.

   "Aku dan Kok-toako berada di sini!"

   Sahut Liong-sing.

   "Ada apa engkau mencari aku, kan di rumah ada tamu?"

   Dengan tertawa Ki Ki menjawab.

   "Paman Han suruh kau jangan sungkan padanya dan karena sudah sekian lamanya engkau dan Kok-toako belum nampak pulang, aku menjadi kuatir dan mencari kau."

   "Ah, kan musuh kita sudah mati dan kabur, apa yang perlu dikuatirkan lagi bagiku?"

   Ujar Liong-sing tertawa.

   "Entah mengapa aku selalu menguatirkan kau,"

   Kata Ki Ki pula.

   Dasar nona yang masih polos, biarpun ada orang ketiga di situ, tanpa tedeng aling- aling tercetuslah juga isi hatinya yang murni.

   Sedap rasa hati Sin Liong-sing mendengar itu, ia pikir apa yang dikatakan Kok Siau-hong memang tidak salah, aku menghormati Giok-kun, tapi berdampingan dengan Ki Ki rasanya terlebih bahagia.

   Maka dengan tertawa ia pun berkata.

   "Baiklah, mari kita pulang saja."

   Kok Siau-hong berkata.

   "Sin-heng, harap kau sampaikan kepada mertuaku bahwa Pwe-eng dan lain-lain sedang menunggu aku di depan sana, maka aku tidak sempat mohon diri kepada beliau."

   Begitulah sendirian Kok Siau-hong turun dari gunung itu, teringat kepada pembicaraan Sin Liong-sing tadi dan terkenang pula kejadian lalu dengan Hi Giok-kun, tanpa terasa hatinya menjadi rada terharu, perubahan kehidupan manusia seringkali sukar diduga orang.

   Sang surya sudah makin condong ke barat, Kok Siau-hong mempercepat langkahnya, sebelum matahari terbenam ia sudah bergabung dengan rombongan Han Pwe-eng.

   Tapi yang kelihatan hanya Pwe-eng, Kiong Kim- hun dan Yim Hong-siau bertiga, Hi Giok-kun ternyata tidak nampak.

   "Apakah kau bertemu dengan Sin Liong-sing?"

   Demikian Pwe-eng bertanya.

   "Bertemu,"

   Tutur Siau-hong.

   "Keluarga Ki sangat baik padanya, aku mengajak mereka ke Kim-keh-nia, tapi mereka baru dapat berangkat sedikit waktu lagi."

   "Ya, luka yang diderita badannya kecil, tapi luka hatinya teramat besar, biar dia istirahat dahulu di rumah keluarga Ki agar luka lahir batinnya selekasnya dapat sembuh kembali,"

   Ujar Han Pwe-eng. Jalan pikiran kedua orang ternyata sama, maka tertawalah Kok Siau-hong dan berkata.

   "Adik Eng, engkau benar-benar dapat memahami perasaan orang, aku sendiri pun berpikir begitu. Eh, mana Giok-kun?"

   "Kenapa baru sekarang kau tanya dia?"

   Kata Pwe-eng dengan tertawa.

   "Dia sudah pergi!"

   "Pergi?"

   Siau-hong melengak.

   "Mengapa dia tidak ikut ke Kim-keh-nia?"

   "Mana aku tahu?"

   Demikian Pwe-eng sengaja berkata.

   "Kulihat kau mestinya tahu apa sebabnya?"

   "Sudahlah, jangan menggoda dia lagi, biar kuberitahukan kau, Kok- toako,"

   Kata Kiong Kim-hun dengan tertawa. Lalu ia pun menyingkap teka- tekinya. Kiranya Hi Giok-kun pergi ke Lim-an (Hang-ciu).

   "Ai, memang aku sendiri yang bodoh, masakah tidak dapat menerkanya,"

   Ujar Kok Siau-hong dengan tertawa.

   "Di sanalah tempat kediaman guru Sin Liong-sing, setelah jejak Liong-sing diketahui, sudah sepantasnya Giok-kun memberitahukan beliau."

   Begitulah mereka berempat lantas melanjutkan perjalanan. Kiong Kim- hun dan Yim Hong-siau sengaja berjalan lebih cepat di depan agar memberi kesempatan kepada Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng untuk bicara.

   "Tepat seperti katamu tadi, luka badannya kecil, tapi luka hatinya lebih parah,"

   Demikian kata Siau-hong.

   "Dia merasa berdosa kepada Hi Giok-kun, tapi aku telah menghiburnya dan dengan susah payah dapat kubikin lapang pikirannya. Namun rasa pedih hatinya kukira takkan lenyap dalam waktu singkat ini."

   "Sekali terjeblos akan menjadi penyesalan selama hidup, syukur Sin Liong-sing keburu sadar dengan cepat,"

   Ujar Pwe-eng gegetun.

   "Pedih hatinya adalah pantas, sesungguhnya aku pun merasa tidak enak bagi pengalaman dan nasib Hi-cici."

   "Aku percaya luka hati mereka lambat-laun akan sembuh,"

   Kata Siau- hong.

   "Semoga demikian hendaknya. Namun....."

   Pwe-eng tersenyum dan menyambung.

   "Hi-cici dan Sin Liong-sing sudah terpisah, sebenarnya kalau kau ingin lekas menyembuhkan luka hatinya, hal ini teramat mudah. Aku bersedia menyempurnakan keinginan kalian."

   Muka Siau-hong menjadi merah, katanya.

   "Adik Eng, mengapa kau berkata demikian padaku? Kejadian yang sudah lampau itu memang salahku, sebab meski sejak kecil kita dipertunangkan, tapi dirimu selama itu sangat asing bagiku. Namun kini sudah berlainan, biarpun kau mengusir aku juga aku takkan meninggalkan kau."

   "Bicara sejujurnya, aku sendiri pun tahu tak bisa menandingi Hi-cici,"

   Kata Pwe-eng pula.

   "Aku pun merasa sayang bagi kalian bahwa akhirnya kau harus berpisah dengan dia."

   "Kau bicara sejujurnya, aku pun bicara sejujurnya. Bahwasanya Giok-kun cerdik dan pandai, berada bersama dia memang merasakan kehebatannya. Namun engkau tidaklah sama, engkau gemilang di dalam, laksana batu Giok (yade) yang masih polos dan belum terukir. Atau bicara yang lebih jelas, kebaikan Giok-kun sekali pandang saja sudah diketahui, sedang kebaikanmu diperlukan waktu baru lambat laun akan terasakan. Tapi sekali kebaikanmu sudah diketemukan, maka pasti akan tertarik secara mendalam padamu. Pwe-eng, kesalahanku dahulu apakah sampai sekarang masih mengganjal di dalam hatimu dan selamanya tak dapat memaafkan aku?"

   "Aku cuma bergurau saja, kenapa kau menjadi kelabakan seperti kebakaran jenggot?"

   Kata Pwe-eng dengan tertawa.

   "Sudahlah, sekarang aku tahu kau ini tak dapat diajak berkelakar, selanjutnya aku tak mau lagi guyon padamu."

   Nadanya seperti menyesali, tapi hatinya sebenarnya senang.

   Setelah keduanya saling mengutarakan isi hati masing-masing, tanpa terasa cinta mereka tambah mendalam, sisa bayangan gelap yang terakhir lantas terhapus juga dari hati mereka.

   Tiba-tiba Pwe-eng melihat Kim-hun sedang menoleh dengan tersenyum, ia jadi kikuk dan mengajak Siau-hong menyusul ke depan.

   Setelah bergabung, dengan tertawa Kim-hun berkata.

   "Asyik benar tampaknya!"

   Pwe-eng berlagak marah, omelnya.

   "Bagus, sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu kabar padamu, tapi kau menertawai aku, biarlah aku tidak jadi memberitahukan padamu."

   "He, kabar apa?"

   Tanya Kim-hun tercengang.

   "Coba jawab, siapa yang paling kau pikirkan?"

   Pwe-eng balas menggoda. Cepat Kiong Kim-hun bertanya pula.

   "He, dia kenapa?"

   "Dia..... dia siapa? Bicara yang terang dong!"

   Ujar Pwe-eng dengan tertawa.

   "Aku tanya dengan sungguh-sungguh, tapi kau sengaja menggoda ya?"

   Omel Kim-hun. Maka Han Pwe-eng terpaksa berkata.

   "Baiklah, Siau-hong, boleh kau ceritakan berita mengenai Kong-sun Bok."

   "Tiga bulan yang lalu sehabis kami bertugas di Yang-ciu, dia tetap tinggal di Yang-ciu untuk membantu pihak perjuangan mengurusi kaum pengungsi di sana,"

   Tutur Siau-hong.

   "Pantas aku tidak menemukan dia di Kim-keh-nia,"

   Kata Kim-hun.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tapi sekali ini di Kim-keh-nia kau pasti dapat bertemu dengan dia,"

   Kata Kok Siau-hong dengan tertawa.

   "Ah, aku toh tidak menguatirkan dia,"

   Ujar Kim-hun.

   "Ah, yang benar!"

   Goda Pwe-eng dengan tertawa.

   "Aku masih ingat kau pernah berkata padaku bahwa ketika kau dipaksa berpisah dengan dia, selama dua hari kau tidak dapat makan enak dan tidur nyenyak."

   "Aku tidak menguatirkan dia, tapi menguatirkan ayahku,"

   Kata Kim-hun kemudian sambil menghela napas.

   "Beliau melarang aku berkumpul dengan dia."

   "Konon ayahmu bermusuhan dengan Hong-lay-mo-li, apa betul?"

   Tanya Siau-hong.

   "Benar, Hong-lay-mo-li adalah anak angkat kakek engkoh Bok, maka engkoh Bok memanggilnya bibi,"

   Tutur Kim-hun.

   "Tapi sekarang engkoh Bok ikut berjuang di tengah laskar rakyat dan menjadi anak buah Liu Beng- cu (Hong-lay-mo-li), jika hal ini diketahui ayah tentu akan membuatnya makin tidak senang."

   "Setiba kau di Kim-keh-nia sekali ini, kau berani menetap di sana tidak?"

   Tanya Han Pwe-eng. Dahulu ketika Kiong Kim-hun berkunjung ke Kim-keh-nia, lantaran kuatir diketahui ayahnya, maka dia cuma tinggal satu malam saja di sana.

   "Biarpun ayah tidak mengakui aku sebagai anak juga aku tidak peduli lagi,"

   Demikian jawab Kim-hun dengan tegas.

   "Bagus,"

   Kata Pwe-eng.

   "Ini adalah soal penting pribadimu, seharusnya kau mengambil keputusan secara tegas."

   Kiong Kim-hun merasakan hangatnya persahabatan, dengan bersemangat ia berkata.

   "Terima kasih atas dorongan semangatmu, aku pasti akan tetap pada tekadku ini."

   "Ketika pertama kali kulihat kau, waktu itu kau adalah anak tanggung yang nakal, tapi kini kau telah berubah dewasa,"

   Kata Han Pwe-eng dengan tertawa.

   Maka teringatlah Kim-hun pada waktu ia menyamar sebagai anak pencari arang dan menggoda Han Pwe-eng, tanpa terasa ia tertawa geli.

   Begitulah sepanjang jalan tiada terjadi apa pun, suatu hari sampailah mereka di Kim-keh-nia.

   Semula mereka mengira akan dapat bertemu dengan Kong-sun Bok, tak tersangka hasilnya tetap mengecewakan mereka, Hong-lay-moli sudah lama pulang di Kim-keh-nia, maka Han Pwe-eng lantas memperkenalan Kiong Kim-hun kepadanya sekalian bertanya kemana perginya Kong-sun Bok.

   "Sudah lama Kong-sun Bok bercerita tentang dirimu padaku, nona Kiong,"

   Demikian kata Hong-lay-mo-li.

   "Cuma sayang kedatanganmu ini terlambat tiga hari, sepulangnya dari Yang-ciu Kong-sun Bok telah pergi lagi."

   "Dia pergi kemana?"

   Tanya Kok Siau-hong.

   "Ada maksud dari berbagai Pang di lembah Hong-ho akan bergabung dengan laskar kita dan minta dikirim seorang utusan untuk berunding dengan mereka,"

   Tutur Hong-lay-mo-li.

   "Kupikir Kong-sun Bok adalah pilihan yang tepat karena ada hubungan baik dengan mereka, maka aku telah mengutus dia ke sana dan diperkirakan makan waktu setengahan bulan. Siau-hong, sebenarnya pulangmu inipun kebetulan, ada suatu urusan mungkin kuperlukan juga tenagamu."

   "Urusan apa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Apakah kau masih ingat kepada Beng Cong-piauthau dari Cin-wan Piaukiok?"

   Tanya Hong-lay-mo-li.

   "Tentu saja masih ingat,"

   Jawab Siau-hong dengan tertawa.

   "Dia yang mengantar Pwe-eng dari Lok-yang ke Yang-ciu, untuk itu aku malahan belum mengucapkan terima kasih padanya."

   "Pribadi Beng Ting itu ternyata lebih setia kawan daripada soal harta,"

   Tutur Hong-lay-mo-li.

   "Karena itu kupikir kau boleh pergi ke Tay-toh untuk menemuinya."

   "O, dia berada di Tay-toh (ibukota negeri Kim waktu itu, kini Peking)?"

   Siau-hong menegas.

   "Perusahaan Piaukioknya sebenarnya di Lok-yang, tapi tahun yang lalu pasukan Mongol menyerbu ke Lok-yang dan telah menghancurkan perusahaannya. Kini dia bersiap membuka kembali Piaukioknya itu di Tay- toh."

   "Jadi maksudmu suruh aku mewakilkan kau menyampaikan selamat padanya?"

   "Ya, tapi masih ada tugas lain yang lebih penting. Beng Ting ada maksud membantu kita secara diam-diam, Cin-wan Piaukiok yang dipimpinnya adalah perusahaan tua yang terkenal, hubungannya luas, baik kalangan Hek- to maupun golongan Pek-to tidak sedikit kenalannya. Sedangkan kita mengalami kesulitan memasang mata-mata di kotaraja Kim, maka kebetulan kita dapat minta dia menjadi pengintai. Selain itu, setibamu di sana, dengan bantuannya kau dapat mengadakan kontak pula dengan para pahlawan di sana."

   "Baik sekali kalau begitu,"

   Kata Siau-hong.

   "Kapan aku harus berangkat?"

   "Kabarnya Cin-wan Piaukiok akan dibuka tanggal enambelas bulan satu tahun depan, jadi masih ada waktu dua bulan lebih. Mengingat waktunya masih cukup lama, kau tentu masih lelah, silakan istirahat beberapa hari lagi barulah berangkat."

   "Ah, aku sudah biasa berkelana kian kemari,"

   Ujar Siau-hong.

   "Bilamana di sini tiada urusan, kupikir besok juga aku lantas berangkat supaya cukup waktu untuk berhubungan dengan para pahlawan di sana."

   "Baik juga kalau kau menghendaki begitu,"

   Kata Hong-lay-mo-li. Sejak tadi Han Pwe-eng ingin bicara, baru sekarang ada kesempatan, maka ia lantas berkata.

   "Liu Beng-cu, aku..... aku....."

   "Kau juga ingin ikut ke Tay-toh bukan?"

   Sela Hong-lay-mo-li dengan tertawa. Han Pwe-eng menjadi kikuk, jawabnya.

   "Aku masih ingat ada hutang seribu tahil emas kepada Beng Ting, sudah tentu aku tidak sanggup membayarnya, tapi sedikitnya aku harus mengucapkan terima kasih padanya."

   "Mengapa kau hutang padanya?"

   Tanya Hong-lay-mo-li.

   "Yaitu honorarium pengawalanku ke Yang-ciu itu,"

   Tutur Pwe-eng.

   "Dahulu ayah baru memberi seribu tahil, separoh lagi belum sempat dibayar karena sepulangnya di Lok-yang keluargaku sudah berantakan dihancurkan oleh Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok."

   "O ya, bicara tentang ayahmu, setelah kalian bertemu di daerah Miau, mengapa beliau tidak datang ke sini bersama kau?"

   Tanya Hong-lay-mo-li. Pwe-eng lantas menceritakan persoalannya. Lalu berkata pula.

   "Ayah menyatakan akan datang ke sini antara setengah tahun ini, dalam setengah tahun ini aku pikir akan mengiringi Siau-hong ke Tay-toh saja."

   "Sudah tentu aku tahu perasaanmu,"

   Ujar Hong-lay-mo-li dengan tertawa.

   "Dan jika memang begitu halnya, bolehlah kau ikut pergi."

   "Bagaimana kalau aku pun ikut, Liu Beng-cu,"

   Tiba-tiba Kiong Kim-hun menyela. Hong-lay-mo-li seperti sudah tahu jalan pikirannya, dengan tertawa ia menjawab.

   "Kau adalah tamuku, sudah tentu kau bebas datang dan pergi, mengapa minta izin padaku segala. Hanya Tay-toh adalah ibukota negeri musuh, kalau terlalu banyak yang pergi akan menjadi kurang baik. Kupikir begini saja, kalian toh mesti melalui kota Uh-seng di lembah Tiang-kang, aku ingin minta tolong sesuatu urusan."

   "Urusan apa?"

   Tanya Kim-hun, dalam hati ia sudah dapat menerka apa maksudnya.

   "Setiba di Uh-seng, kukira kau lebih baik tinggal saja di sana,"

   Kata Hong- lay-mo-li.

   "Kong-sun Bok berada di sana sedang berunding dengan Tiang- keng-pang dan kawanan bajak yang lain, maka kau tentu dapat bertemu dengan dia di sana, lalu kalian pulang bersama ke sini."

   Sesungguhnya maksud tujuan Kiong Kim-hun minta pergi bersama Han Pwe-eng adalah ingin selekasnya bertemu dengan Kong-sun Bok, maka ia menjadi jengah karena isi hatinya kena ditebak dengan jitu, ia menunduk dan mengucapkan terima kasih.

   "Eh, bagaimana kalau aku pun ramai-ramai ikut pergi,"

   Sambung Yim Hong-siau.

   "Ada seorang pamanku di Tay-toh, ibuku sudah meninggal, aku pikir harus menyampaikan berita duka ini kepada paman itu."

   Kiranya dia sudah mempunyai sesuatu tekad di dalam hati, yaitu sejak dia mengetahui ayahnya telah bergabung kepada Wanyan Tiang-ci di Tay-toh, ia pikir pada suatu hari akan menemui ayahnya di sana dan akan menggugat kesalahan sang ayah walaupun ia sendiri harus menebusnya dengan kematian.

   Sudah tentu Hong-lay-mo-li tidak tahu jalan pikirannya, setelah berpikir ia pun berkata.

   "Kalian tiga perempuan dan seorang lelaki, mungkin akan menarik perhatian orang dalam perjalanan."

   "Aku ada akal,"

   Tukas Kim-hun dengan tertawa.

   "aku sudah biasa menyamar sebagai lelaki, aku masih dapat menyaru sebagai kacung kalian."

   "Ah, sekali ini kau tidak perlu menyamar sebagai Su-seng (pelajar) segala."

   "Baiklah, kalian boleh berlagak sebagai dua pasang kakak beradik,"

   Kata Hong-lay-mo-li.

   Setelah mengambil keputusan, besoknya mereka berempat lantas berangkat lagi bersama.

   Cuma keempat orang masing-masing mempunyai pikiran sendiri, yang berhati sedih adalah Yim Hong-siau, sedangkan hati Kiong Kim-hun paling gembira.

   Sudah tentu Kiong Kim-hun tidak tahu bahwa Kong-sun Bok yang ingin ditemuinya selekasnya itu, pada waktu itu sedang mengalami sesuatu halangan yang tak terduga di tengah perjalanan.

   Kong-sun Bok meninggalkan Kim-keh-nia tiga hari sebelum rombongan Kok Siau-hong tiba, maka waktu rombongan Kok Siau-hong berangkat lagi, sementara itu Kong-sun Bok sudah sampai di suatu tempat bernama Hu-li- cip, kira-kira hanya dua hari perjalanan dari kota Uh-seng yang ditujunya.

   Siang itu ia merasakan haus dan lapar, kebetulan di tepi jalan ada sebuah kedai, tapi pintu kedai setengah tertutup, sekilas kelihatan seorang nenek sedang menyapu di dalam, suasana di dalam kedai sunyi senyap tiada seorang tamu pun.

   Kong-sun Bok rada kecewa, ia pikir kedai ini mungkin istiharat dan tidak berjualan hari ini.

   Selagi ia hendak mencari kedai lain, tiba-tiba ia tertarik oleh sesuatu benda di depan kedai itu.

   Kiranya di depan kedai itu ada beberapa lonjor bangku batu yang biasanya menjadi tempat duduk tetamu yang mencari angin di kala mengaso.

   Tapi satu lonjor bangku batu itu patah menjadi dua.

   Keempat kaki bangku batu ambles ke dalam tanah, hanya bagian tengah bangku saja yang patah, bagian yang patah itu tampak halus licin, permukaan bangku juga rata sekali.

   Sebagai seorang ahli ilmu silat, sekali pandang saja Kong-sun Bok lantas tahu bangku batu itu dipatahkan oleh jago silat yang memiliki lwekang tinggi, mungkin dengan telapak tangan atau bisa juga diinjak dengan kaki.

   Sebenarnya Kong-sun Bok hendak pergi, tapi melihat keadaan yang aneh itu, ia menjadi tertarik dan ingin tahu kejadian yang sebenarnya.

   Segera ia mengetuk pintu kedai.

   "Siapa?"

   Terdengar suara rada gemetar pemilik kedai bertanya di dalam.

   "Tamu!"

   Jawab Kong-sun Bok. Nenek tadi mengintip melalui celah pintu, melihat Kong-sun Bok berdandan sebagai pemuda kampung dan membawa payung segala, tampaknya orang baik-baik, legalah hati nenek itu, katanya.

   "O, maaf tuan, hari ini kedai ini tidak buka."

   "Harap kalian menolong, aku hanya mau makan bubur atau minum dua cangkir teh saja, bolehkah aku mengaso sebentar di dalam?"

   Kata Kong-sun Bok. Melihat cara bicara Kong-sun Bok sopan santun, tampangnya juga baik, kakek dan nenek pemilik kedai itu lantas membuka pintu dan berkata.

   "Silakan tuan tamu masuk, kalau cuma sekadar daharan atau minuman masih dapat kami suguhkan."

   Kedai itu ternyata sangat sederhana, hanya terdiri empat meja, dua meja kayu dan dua lagi meja batu.

   Apa yang dikatakan meja batu terdiri dari dua potong batu persegi dan terletak di atas dua potong batu lainnya, dengan demikian dipakai sebagai meja.

   Kedua meja kayu itu sudah rusak, yang sebuah malahan bersandar pada dinding, sebuah lagi sudah berlubang sehingga tidak terpakai.

   Selain itu ada sebuah ang-lo yang gumpil sebagian dan tertaruh di sudut sana.

   Melihat keadaannya, agaknya belum lama baru terjadi perkelahian orang di dalam kedai ini.

   "Teman tua, boleh kau buatkan nasi buat tuan tamu dan ambilkan sepiring sayur asin,"

   Kata si kakek kepada isterinya.

   "Tuan tamu harap suka memaafkan, karena hari ini kami tidak membuka kedai sehingga tiada persediaan apa-apa, silakan dahar seadanya saja."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baik, bagiku asal cukup tangsal perut sudah baik, kalian tidak perlu repot,"

   Jawab Kong-sun Bok sambil duduk bersanding sebuah meja batu itu.

   Setelah berduduk, tiba-tiba ia menemukan sesuatu keanehan lagi pada meja batu itu.

   Pada permukaan meja batu itu ada suatu dekukan bundar, ketika Kong-sun Bok menaruh cangkir teh pada dekukan itu, ternyata persis sekali ukurannya.

   Betapa pun hebat ilmu silat Kong-sun Bok tidak urung ia pun terkejut melihat itu.

   "Siapakah yang memiliki kekuatan sehebat ini, hanya menaruh sebuah cangkir di atas meja batu ini lantas dapat ambles sedalam ini?"

   "Tentunya tuan tamu merasa heran bukan?"

   Tanya si kakek.

   "Ya, mengapa bisa jadi begini?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Sungguh sial, entah sebab apa mendadak ada orang berkelahi di sini sehingga kedai kami ini hampir dihancurkan,"

   Tutur kakek itu. Kong-sun Bok mengeluarkan sepotong perak dan diberikan kepada si kakek, katanya.

   "Aku pun berasal dari keluarga miskin, makanya cukup paham penderitaan orang melarat. Kerugian yang kalian alami tentu terasa berat, sedikit uang perak ini boleh kau ambil saja sekadar menambal kerugianmu."

   Kakek itu tercengang, katanya.

   "Ah, tuan tamu hanya dahar seadanya di sini, mana kami berani menerima hadiah sebesar ini?"

   "Tidak apa, terimalah,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di kedai ini, coba ceritakan."

   Dengan ucapan terima kasih berulang, kakek itu menerima pemberian Kong-sun Bok itu. Kebetulan si nenek sedang keluar dengan membawa daharan, ia lantas menukas.

   "Sudah tua usiaku, tapi belum pernah kutemukan tamu yang baik hati seperti tuan. Biarlah kuceritakan, kalau salah harap teman tua membetulkannya. Kemarin menjelang lohor telah datang sepasang muda-mudi, mereka pesan makan minum, kembali muncul seorang kakek berjubah hijau, mukanya pucat kehijauan dan membuat orang merasa seram melihatnya."

   Mendengar kakek berjubah hijau, hati Kong-sun Bok tergerak, tanyanya.

   "Apakah kakek jubah hijau itu berkumis?"

   "Ya, dengan kumis pendek, tampaknya bukan orang baik-baik,"

   Jawab si nenek, ia merasa tidak paham mengapa Kong-sun Bok bertanya sejelas itu.

   "Kemudian bagaimana?"

   Tanya Kong-sun Bok pula.

   "Munculnya kakek jubah hijau itu agaknya membuat sepasang muda- mudi itu rada gelisah,"

   Tutur si nenek.

   "Dengan lagak tuan besar kakek jubah hijau itu lantas berduduk, tempat duduknya adalah tempat tuan tamu sekarang ini. Ketika aku membawakan secangkir teh padanya, dia angkat cangkir dan mengetuknya di atas meja, segera pula ia habiskan isi cangkir dan di atas meja batu lantas menimbulkan dekuk bulat ini. Habis minum kakek itu lantas bergelak tertawa dan berkata, Aha, keponakan perempuan yang baik, sungguh tidak nyana akan bertemu lagi dengan kau di sini, bagaimana kalau kalian pindah ke mejaku, marilah kita minum bersama? ~ Lantas terdengar nona itu menjawab, Kongkong (kakek), Pepek (paman), kebetulan ayahku berada di belakang, silakan tunggu sebentar, akan kupanggil ayah untuk mengiringi engkau minum arak."

   "Aneh, mengapa dia panggil kakek itu Kongkong dan memanggilnya Pepek pula?"

   Tanya Kong-sun Bok heran.

   "Mana aku tahu, yang jelas memang begitulah dia memanggilnya,"

   Kata si nenek. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Kong-sun Bok paham duduknya perkara, ia pikir orang she Kiong teramat jarang, mungkin waktu itu si nona rada ketakutan sehingga suaranya juga gemetar, mestinya dia hendak memanggil.

   "Kiong-pepek", tapi didengar oleh nenek itu sebagai "Kongkong dan Pepek". Maka dengan tertawa Kong-sun Bok berkata.

   "Barangkali kau salah dengar, agaknya orang itu she Kiong."

   Si nenek lantas melanjutkan ceritanya.

   "Sesudah mendengar ucapan si nona tadi, si kakek jubah hijau memberi gerakan tangan, maksudnya menyuruh si nona tetap berduduk saja di tempatnya, lalu dengusnya, Hm, kau tidak perlu mendustai aku, jelas aku mengetahui ayahmu pergi ke Kang- lam. He, he, biarpun betul ayahmu berada di sini juga aku tidak gentar. Nah, kalian berdua ikut aku pulang ke Oh-hong-to saja!."

   Meski sejak tadi Kong-sun Bok sudah menduga siapa si kakek baju hijau, tapi demi mendengar "Oh-hong-to", tanpa terasa hatinya tergetar juga, pikirnya.

   "Memang tidak salah dugaanku akan Oh-hong-tocu Kiong Cau- bun. Dan kedua muda-mudi itu tentu Hi Giok-hoan dan Le Say-eng adanya."

   Segera ia bertanya pula bagaimana lanjutannya. Si nenek lantas menyambung.

   "Mendadak mereka lantas berkelahi, padahal sebelumnya masih bicara dengan baik. Waktu itu si nona menuangkan arak dan mendekati si kakek, katanya, Kiong-pepek, boleh juga kau menghendaki kami ikut kau ke Oh-hong-to. Tapi kan tidak perlu terburu-buru, ini, kusuguh engkau satu cawan lebih dulu. Kakek jubah hijau itu bergelak tertawa, jawabnya, Keponakan yang baik, apakah kau ingin menguji kepandaian pamanmu ini ya? Kutahu kau mahir menggunakan racun, setelah kuminum arak beracun suguhanmu ini, tentunya kau akan ikut aku pulang bukan? Percakapan mereka itu membuat aku terkejut, kukira cuma kakek itu saja orang jahat, tak tersangka nona secantik itupun suka menggunakan racun segala."

   "Meracuni orang sudah tentu bukan perbuatan yang baik, tapi menghadapi orang jahat perlu juga menggunakan cara yang setimpal,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Mungkin nona itu menyadari bukan tandingan si kakek, maka dia harus bertindak dengan segala kemampuannya."

   Rupanya kakek itu juga dapat berpikir, ia melengak mendengar ucapan Kong-sun Bok yang bernada memihak pasangan muda-mudi itu, katanya dengan tertawa.

   "Tuan tamu, agaknya engkau mengetahui mereka adalah orang baik-baik?"

   "Terus terang, mereka adalah sahabatku,"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Kakek berjubah hijau itupun kukenal, dia adalah orang jahat."

   Kakek dan nenek itu terkejut, mereka menatap Kong-sun Bok dengan terpaku, seketika mereka tidak berani bicara lagi.

   "Kalian jangan takut,"

   Kata Kong-sun Bok dengan tersenyum.

   "Aku bicara terus terang, tentu aku takkan membikin susah kalian, sekali pun aku harus berkelahi dengan kakek jubah hijau itu juga takkan kulakukan di kedaimu ini."

   Hati kakek itu merasa lega, katanya dengan tertawa.

   "Ya, kutahu tuan tamu adalah orang baik. Begitulah ketika nona itu dan si kakek jubah hijau mengangkat cawan arak, mendadak si nona menyiramkan araknya ke muka si kakek. Wah, kecepatan mereka waktu itu sungguh sukar dilukiskan, yang kudengar hanya suara gedubrakan, suara gemuruh, seakan-akan kedaiku ini hendak roboh. Cepat aku menyingkir ke pojok sana, sekejap itu ketiga orang sudah menerobos keluar kedai. Waktu aku mengintip keluar, terlihat kedua muda-mudi yang semula berlari di depan mendadak dilampaui si kakek dengan suatu lompatan seperti burung terbang, kakek itu tancapkan kaki di atas bangku batu di bawah pohon Liu di luar sana sambil membentak agar kedua muda-mudi itu tunduk kepada perintahnya jika tidak ingin dihajar olehnya."

   "O, kiranya bangku batu itu diinjak patah oleh Oh-hong-tocu,"

   Demikian kata Kong-sun Bok dalam hati. Sementara itu si kakek sedang menyambung ceritanya.

   "Terdengar si nona balas membentak, Kau berani menganiaya diriku, ayah tentu takkan mengampuni kau! ~ Tapi si kakek jubah hijau lantas menjengek, Hm, masih kau gunakan nama ayahmu untuk menggertak aku? He, he, pendek kata satu di antara kalian berdua harus ikut aku pulang ke Oh-hong-to, kalau tidak, he, he, apakah tulang punggungmu bisa lebih kuat daripada bangku batu ini? ~ Segera si pemuda melolos pedang seperti siap melabrak si kakek, tapi si nona telah menariknya dan membisikinya. Selang sejenak pemuda itu tampak menunduk, bersama si nona mereka lantas berjalan di depan dan disusul si kakek jubah hijau dari belakang. Dalam sekejap saja mereka bertiga sudah menghilang tanpa bekas. Ketika aku memeriksa keadaan kedaiku, wah, sungguh sial, kaki meja ada yang patah dan meja satunya lagi berlubang. Untung aku sendiri tidak mengalami cidera apa pun. Kalau ingat kejadian kemarin rasanya sekarang masih takut."

   Hi Giok-hoan adalah sahabat baik Kong-sun Bok, Le Say-eng malah pernah menolongnya, betapa pun Kong-sun Bok pikir dirinya harus ikut campur urusan ini. Segera ia mengeluarkan pula sepotong uang perak, katanya.

   "Ini, kutambahkan ganti rugi kedaimu ini. Sekarang aku harus berangkat."

   Dengan gembira si nenek menerima pemberian Kong-sun Bok dan tidak habis memuji kebaikannya.

   "Engkau sungguh orang yang baik budi, tuan tamu. Dengan uang ini, biarpun ada orang berkelahi lebih seru lagi di kedai kami ini juga kami sanggup memperbaiki kembali."

   "Ah, bisa saja kau omong, padahal kemarin kau lari terbirit-birit sembunyi di dalam kamar dan terkencing-kencing malah!"

   Ujar si kakek dengan tertawa.

   "Cis, hal yang memalukan ini juga kau katakan!"

   Omel si nenek.

   Dan baru saja Kong-sun Bok angkat payungnya hendak meninggalkan kedai itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, ada tiga orang sudah berada di depan kedai.

   Melihat ketiga orang ini, seketika Kong-sun Bok terkejut.

   Yang berada paling depan adalah seorang Lhama berjubah merah yang tidak dikenal Kong-sun Bok, tapi dua orang di belakang Lhama itu dikenalnya.

   Mereka adalah Sebun Cu-sik dan Tok-ko Heng kedua anak buah Wan-yan Ho yang pernah dikenalnya di istana perdana menteri Han To-yu dahulu itu.

   Meski Kong-sun Bok tidak kenal Lhama itu, tapi sekali pandang saja dapat diketahui lwekangnya pasti sangat tinggi, kepandaiannya tentu di atas kedua kawannya itu dan tidak mungkin di bawahnya.

   "Eh, eh, sungguh orang hidup dimana pun dapat berjumpa,"

   Demikian Sebun Cu-sik menyapa dengan menyengir.

   "tak terduga di sini dapat bertemu pula dengan Kongsun-siauhiap. Wanyan-kongcu kami sudah terkenang kepadamu."

   Lhama jubah merah itupun mengamat-amati Kong-sun Bok, dengan mata mendelik ia tanya kawannya.

   "Siapa dia?"

   "Kongsun-siauhiap ini adalah menantu Oh-hong-tocu, persoalan antara mertua dan menantu mereka tentu Taysu juga sudah tahu,"

   Jawab Tok-ko Heng. Sambil mengangguk Lhama itu berkata.

   "Aku bernama Umong, datang dari Ho-lin. Mendiang ayahmu ketika di Mongol dahulu pernah bersahabat dengan guruku Liong Siang Hoat-ong, aku pun beruntung pernah bertemu satu kali dengan ayahmu."

   Tergerak hati Kong-sun Bok setelah tahu siapa Lhama itu, ia pikir perkelahian tentu sukar terhindar, terutama menghadapi Umong ini, betapa pun harus waspada.

   Kiranya Umong ini adalah murid tertua Liong Siang Hoat-ong, itu Kok- su kerajaan Mongol yang terkenal.

   Waktu Jengis Khan masih hidup, ada delapanbelas jago kepercayaannya telah diberi gelar "Jago Kemah Emas", Umong adalah jago ketiga di antara kedelapanbelas orang itu, maka betapa tinggi kepandaiannya dapatlah dibayangkan.

   Sebenarnya dia dari keluarga preman, menurut peraturan perguruan, dia harus mengikuti agama sang guru dan menjadi Hwesio tiga tahun, tahun ini baru tahun kedua dia menjadi Hwesio, sebab itu dia tidak cukur rambut, tapi memakai jubah Lhama.

   Dalam pada itu si kakek dan si nenek pemilik kedai menjadi ketakutan dan hendak menyingkir, tapi Umong telah membentaknya.

   "Hai, ada tamu, kenapa kalian tidak menawarkan makanan dan minuman."

   "Maaf tuan, sebenarnya hari ini kami tidak berjualan, maka tiada persediaan apa-apa,"

   Jawab si kakek dengan suara gemetar.

   "Ngaco, tidak berjualan katamu, mengapa dia makan minum di sini?"

   Damprat Umong.

   "Apa yang kumakan dapat kau lihat sendiri, mana ada lagi makanan di sini,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Kalau kau ingin makan minum, boleh kita mencari kedai lain."

   "Bukan tujuanku hendak makan minum, aku cuma ingin bicara dengan kau,"

   Kata Umong pula.

   "Baiklah, boleh kita bicara di sini saja, tidak perlu cari tempat lain. Nah, silakan duduk, silakan!"

   Sembari berkata, telapak tangannya yang lebar terus menahan ke atas pundak Kong-sun Bok.

   Diam-diam Kong-sun Bok mengerahkan Hou-deh-sing-kang, tenaga sakti pelindung tubuh, ia merasa daya tekanan tangan Lhama itu sedemikian hebatnya, ia pikir kalau sekarang berkelahi dengan dia, tentu kedai ini akan berantakan dan membikin susah pemiliknya, sebaiknya bersabar dan mencari kesempatan memancingnya pergi dari sini.

   Karena itu ia lantas berkata.

   "Baiklah, kau ingin bicara apa, silakan omong dan tidak perlu main dorong dan tarik segala."

   Tangan Umong juga tergetar oleh tenaga sakti Kong-sun Bok sehingga tubuhnya tergeliat, ia pun terkesiap dan mengakui betapa hebat tenaga lawan meski usianya masih muda.

   Maka ia tidak berani sembarangan bertindak Iagi, segera ia duduk di depan Kong-sun Bok dan berkata pula.

   "Syukur Kongsun-heng sudi berkawan dengan aku, maka bolehlah aku bicara langsung saja."

   Dalam pada itu Sebun Cu-sik dan Tok-ko Heng tidak ikut masuk ke dalam kedai, mereka berdiri di depan pintu.

   Hal ini disebabkan kedudukan mereka yang lebih rendah daripada Umong sehingga tidak dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan Umong.

   Selain itu mereka pun kuatir Umong tidak mampu merintangi Kong-sun Bok, jadi mereka sengaja berjaga di luar apabila Kong-sun Bok melarikan diri.

   "Ah, mana aku berani mengharap berkawan dengan Taysu yang berkedudukan agung,"

   Demikian jawab Kong-sun Bok.

   "Apa yang hendak Taysu bicarakan boleh katakan saja."

   "Kongsun-siauhiap, ucapanmu terasa kurang tepat,"

   Kata Umong dengan menyeringai.

   "Padahal kau mestinya tahu bahwa sebenarnya kita masih terhitung orang sendiri."

   Tapi Kong-sun Bok lantas menarik muka, katanya.

   "Kau adalah Hwesio besar Mongol, sedangkan aku adalah rakyat kecil negeri Song, sungguh aku tidak paham darimana bisa dikatakan orang sendiri segala? Umong tertawa dibuat-buat, katanya.

   "Mertuamu Oh-hong-tocu saat ini justru berada bersama guruku dan cukup mendapat kepercayaan Khan Agung negeri kami, masakah Kongsun-siauhiap tidak tahu hal ini? "Ini kan urusannya dan tiada sangkut-paut dengan diriku,"

   Jengek Kong- sun Bok.

   "He, he, kudengar antara mertua dan menantu kalian rada tegang, maka aku ada maksud menjadi perantara mengakurkan kalian."

   "Cara bagaimana kau akan mengakurkan?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Mungkin Kongsun-siauhiap belum tahu bahwa mertuamu dan guruku bulan yang lalu sudah berada di Tay-toh tinggal di tempat kediaman majikan kedua kawanku itu, yakni di rumah Wanyan Tiang-ci,"

   Kata Umong.

   "Cuma belasan hari yang lalu, berhubung ada urusan lain, untuk sementara mertuamu telah meninggalkan Tay-toh. Terus terang kedatangan kami ini adalah untuk memberi bantuan kepada mertuamu apabila diperlukan. Kini dapat berjumpa dengan Kongsun-siauhiap di sini, kurasa sangat kebetulan, marilah kita pergi bersama mencari mertuamu."

   Memangnya Kong-sun Bok ingin mencari berita, maka ia merasa kebetulan dari apa yang diberitakan Umong itu, segera ia berkata.

   "Coba katakan dulu, dimana dia sekarang dan urusan apa yang hendak dikerjakannya?"

   "Dia berada di markas Tiang-keng-pang di Uh-seng,"

   Jawab Umong dengan girang.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jadi Kongsun-siauhiap bersedia pergi bersama kami untuk mencarinya?"

   "Siapa yang bilang mau pergi, kau sendiri yang berkata demikian,"

   Kata Kong-sun Bok dengan tak acuh. Mendadak Umong menarik muka dan berkata.

   "Kongsun-siauhiap, tampaknya kau sengaja mempermainkan aku bukan?"

   Pada saat itulah tiba-tiba Sebun Cu-sik berseru di luar kedai.

   "Ada suatu pertemuan baru, Taysu. Bangku batu di bawah pohon sana patah menjadi dua diinjak orang, tampaknya itulah gaya ilmu silat Kiong-losiansing."

   Umong melirik Kong-sun Bok sekejap, lalu berkata.

   "O, agaknya kalian mertua dan menantu sudah bertemu di sini?"

   "Boleh kau menerka sesukamu, aku kan tidak wajib memberi lapor kepadamu,"

   Jawab Kong-sun Bok ketus. Selamanya Umong belum pernah menghadapi sikap dingin dan menghina seperti sikap Kong-sun Bok sekarang, tapi setelah berpikir ia merasa harus bersabar dahulu, segera ia berkata pula.

   "Darah muda memang tak dapat disalahkan. Cuma antara kalian mertua dan menantu sebaiknya rukun saja, lebih baik kau terima nasehatku tadi. Aku dapat membawa kau ke Tay-toh dahulu untuk menjadi tamu Wanyan-ongya, di sana kita menunggu pulangnya mertuamu. Untuk ini ada tiga kebaikan bagimu. Pertama, mendiang ayahmu pernah berangan-angan membantu Mongol kami untuk menguasai seluruh jagat, sebab itulah dia bergabung pada guruku, jadi kau dapat melanjutkan cita-cita ayahmu. Kedua, antara kalian mertua dan menantu dapat rukun kembali seperti bermula. Ketiga, kini guruku berada di tempat Wanyan Tiang-ci, setiba di sana, mengingat kau adalah putera sahabat lamanya, beliau tentu akan meladeni kau secara istimewa. Bisa jadi beliau akan memberi petunjuk ilmu silat padamu. Bukan aku sengaja memuji perguruan sendiri, tapi ilmu silat guruku terhitung nomor satu di seluruh jagat, kukira hal ini telah diakui oleh dunia persilatan umumnya. Maka kesempatan baik ini hendaklah jangan kau sia-siakan."

   Sambil bicara pertama, kedua, ketiga, berbareng jari tangannya lantas menggores di atas meja batu. Selesai bicara, permukaan meja batu itupun timbul tiga guratan yang cukup dalam.

   "Tapi, hm, tiga hal yang kau katakan itu justru hal yang paling memuakkan aku!"

   Jengek Kong-sun Bok.

   Sambil berkata telapak tangannya lantas mengusap ke permukaan meja, serentak terlihat bubuk batu bertebaran, dalam sekejap saja tiga guratan yang mendekuk telah lenyap, permukaan meja batu telah rata kembali.

   Keruan Umong terkejut, dampratnya.

   "Kurangajar kau ini, masakah mendiang ayahmu sendiri juga kau maki?"

   "Aku justru merasa bangga dapat menjadi putera murtad,"

   Jawab Kong- sun Bok tegas.

   "Setiap manusia mempunyai cita-cita sendiri, kau tidak perlu urus!"

   Pada saat yang sama, hampir berbareng kedua orang serentak melompat bangun, telapak tangan Umong menghantam ke muka Kong-sun Bok tapi cepat juga Kong-sun Bok mengangkat payung dan menyodorkan gagang payung ke depan.

   Segera pukulan Umong itu berganti menjadi mencengkeram, walaupun cepat perubahan serangannya, tidak urung pinggir telapak tangan telah kebentur gagang payung, rasa sakitnya tidak kepalang.

   Malahan tangannya lantas tergetar lepas oleh tenaga dalam Kong-sun Bok meski gagang payung sebenarnya sudah kena dicengkeramnya.

   "Awas, itulah Hian-tiat-po-san!"

   Seru Sebun Cu-sik. Namun sudah terlambat peringatannya itu, Umong sudah telanjur digasak lawannya.

   "Marilah berkelahi di luar!"

   Bentak Kong-sun Bok sambil melayang keluar kedai seperti burung terbang.

   Secepat kilat golok Tok-ko Heng lantas menabas, terdengarlah suara mendering nyaring disertai letikan lelatu api, mata golok Tok-ko Heng sampai terguncang ke samping.

   Sebun Cu-sik mengegos dan belum sempat melancarkan pukulan berbisanya yang lihai, tahu-tahu Kong-sun Bok sudah melayang keluar.

   "Lari kemana?"

   Bentak Umong sambil mengudak.

   Sebenarnya Kong-sun Bok dapat melepaskan diri dari pertarungan dengan musuh, tapi mengingat kedua pihak sama-sama akan datang di Uh- seng, betapa pun pasti akan bertemu, maka biarlah sekalian melabraknya di sini saja, meski kalah menang sukar diduga, tapi lebih baik daripada kalau ketiga lawan ini bergabung dengan Oh-hong-tocu.

   Selain itu Kong-sun Bok mendapat tahu bahwa Oh-hong-tocu datang ke Uh-seng juga bertujuan hendak menaklukkan kawanan bajak Hong-ho sebagaimana tugas yang diembannya.

   Jadi dirinya harus berusaha agar musuh gagal mencapai tujuan.

   Setelah ambil keputusan itu, Kong-sun Bok sengaja memberi kesempatan agar musuh dapat menyusulnya.

   Sebaliknya Umong juga mempunyai perhitungan sendiri, soalnya dia mengiler akan Hian-tiat-po-san, payung pusaka yang tiada bandingannya itu.

   Ia pikir, dengan bantuan Sebun Cu-sik dan Tok-ko Heng kiranya tidak perlu gentar kepada Kong-sun Bok seorang, maka ia tetap mengejar dengan mantap.

   Sama sekali tak terduga bahwa ketika jarak kedua pihak sudah dekat, sekonyong-konyong Kong-sun Bok berhenti dan menyabetkan payungnya ke belakang.

   Keruan kejut Umong tidak kepalang, untung dia sempat melompat ke samping dan menjatuhkan diri.

   Diam-diam Kong-sun Bok merasa sayang sergapannya tidak mengenai sasaran, ketika dia menghantam lagi, namun Umong sempat melompat bangun dan kini sudah siap, ia telah menanggalkan jubahnya, sekali terbentang, segera jubahnya yang lebar itu memapak hantaman payung lawan.

   Sebenarnya benda keras apa pun pasti akan hancur dihantam payung mestika itu, tapi jubah adalah benda lunak, ujung payung dapat menembusnya, tapi tak dapat menghancurkannya.

   Begitulah dengan enteng jubah Umong itu bergerak mengikuti arah payung, seperti membungkus, tapi tidak kencang, hanya gerakan Kong-sun Bok menjadi terhalang sehinga tidak mampu mengeluarkan segenap daya tekanannya, seketika ia tidak dapat merobohkan musuh.

   Yang satu keras dan yang lain lunak, apalagi kekuatan kedua orang hampir seimbang, sukar bagi Kong-sun Bok untuk merusak jubah orang, tapi Umong juga tidak mampu merebut payung musuh dengan libatan jubahnya itu.

   Segera Umong mengerahkan segenap tenaga dalam, jubahnya terbentang laksana layar berkembang, biarpun lwekang Kong-sun Bok cukup kuat juga merasakan beratnya tekanan lawan.

   "Baik, biar aku mengadu lwekang dengan kau,"

   Demikian pikir Kong-sun Bok. Ia angkat payungnya, sedang tangan kiri terus menghantam sehingga jubah Umong terpukul merosot ke samping. Dengan gusar Umong juga membentak.

   "Bagus, biar kau pun kenal aku punya Liong-siang-sin-kang!"

   Di tengah bentakannya itu ia lantas balas menghantam satu kali.

   Sekali ini tangan kedua pihak beradu, Kong-sun Bok tergetar mundur dua tindak, sedangkan Umong hanya tergeliat saja.

   Sama sekali bukan Kong-sun Bok kalah kuat, soalnya sebagian besar tenaga Kong-sun Bok dikerahkan pada payungnya, sedangkan pukulan lawan menggunakan segenap tenaga, dengan sendirinya dia kelihatan rada terdesak.

   Diam-diam Kong-sun Bok mengakui kehebatan Liong-siang-sin-kang yang termasyhur itu, ia tahu kalau Liong-siang-sin-kang sudah terlatih sampai tingkatan kesembilan, maka cukup kuat untuk menandingi ilmu silat dari aliran mana pun di jagat ini.

   Tokoh yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu Liong-siang-sin-kang itu hanya Liong Siang Hoat-ong sendiri, tapi Umong adalah muridnya yang tertua, ia pun sudah berlatih sampai tingkatan ketujuh.

   Bicara tentang tenaga dalam sebenarnya Kong-sun Bok tidak kalah, hanya sebagian tenaga harus dia gunakan untuk memutar Hian-tiat-po-san yang berat dan makan tenaga.

   Sedangkan jubah Umong adalah benda lunak dan enteng, dengan sendirinya lebih menghemat tenaga dibandingkan payung pusaka yang dipegang Kong-sun Bok itu.

   Cuma sesuatu benda ada kebaikannya tentu juga ada keburukannya, betapa pun Hian-tiat-po-san adalah benda mestika yang ampuh, Umong harus menutup seluruh badan serapatnya dengan jubah, kalau meleng sedikit saja pasti akan jebol oleh hantaman payung lawan.

   Tidak lama Sebun Cu-sik dan Tok-ko Heng juga sudah menyusul tiba.

   Kedua orang ini sama-sama pernah kecundang di tangan Kong-sun Bok, mereka kenal kelihaian pemuda itu, maka mereka tidak berani mengadu kekerasan, tapi dengan main kerubut mereka cuma mencari peluang untuk melancarkan serangan.

   Menghadapi keroyokan tiga orang, beberapa kali Kong-sun Bok hampir termakan senjata lawan, ia pikir kalau tidak mengeluarkan serangan maut yang aneh tentu sukar untuk menang.

   Tapi ketiga lawan adalah jago kelas tinggi dan mempunyai ilmu silat istimewa, untuk merobohkan mereka satu per satu juga tidak mudah, malahan hendak menerjang keluar kepungan terasa juga sulit.

   Biarpun lwekang Kong-sun Bok amat kuat, menghadapi tiga musuh tangguh, lambat laun dahinya mulai berkeringat.

   Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak Umong mengebutkan jubahnya untuk melibat payung Kong-sun Bok, berbareng itu sebelah tangannya lantas menghantam dengan Liong-siang-sin-kang tingkat ketujuh.

   Terpaksa Kong-sun Bok menyambut pukulan itu, ia tergetar bergeliat, kesempatan ini tidak dilewatkan oleh Sebun Cu-sik yang sudah mengincar sejak tadi, segera ia pun menghantam punggung Kong-sun Bok dengan ilmu pukulan berbisa Hu-kut-ciang.

   Namun Kong-sun Bok sempat menangkis dengan membaliki tangannya ke belakang, Sebun Cu-sik tergetar mundur oleh tenaga pukulan pemuda itu, tapi di dalam hati ia merasa girang.

   Kiranya ia merasa tenaga dalam Kong-sun Bok sudah terlebih lemah daripada dugaannya, walaupun pukulannya tadi belum tepat mengenai sasarannya, tapi ujung jarinya sudah menyentuh Hiat-to di punggung Kong- sun Bok.

   Sebenarnya Kong-sun Bok juga mahir Hu-kut-ciang dan Hoa-hiat-to, kedua ilmu berbisa warisan keluarga Kong-sun sendiri, malahan kepandaiannya jauh lebih kuat daripada yang dimiliki Sebun Cu-sik itu.

   Tapi Sebun Cu-sik sengaja menunggu setelah Kong-sun Bok banyak membuang tenaga dalam dan merasa cukup kuat untuk menyerangnya barulah dia mau turun tangan.

   Begitulah setelah gebrakan tadi, Sebun Cu-sik tergetar mundur, ia coba memperhatikan keadaan lawan, dilihatnya muka Kong-sun Bok bersemu gelap, inilah tanda sudah terkena racun pukulannya.

   Ia menjadi girang dan berseru.

   "Bocah ini sudah terkena pukulanku yang berbisa, dia takkan tahan lama lagi!"

   Benar juga, selang sejenak langkah Kong-sun Bok tampak mulai sempoyongan, meski ia masih memutar payung pusakanya, namun gayanya sudah ngawur.

   Melihat keadaan itu, Tok-ko Heng percaya apa yang dikatakan Sebun Cu- sik tentu benar, dengan tabah segera ia menubruk maju, secepat kilat goloknya lantas menabas.

   Tak terduga justru inilah yang ditunggu Kong-sun Bok, segera terdengar "creng"

   Yang keras, golok Tok-ko Heng kena diselentik oleh jari Kong-sun Bok dan mencelat ke udara.

   Dalam pada itu Kong-sun Bok telah memutar Hian-tiat-po-san pula dengan hebat sehingga jubah Umong tidak sanggup menahannya, lekas ia bertahan dengan pukulannya, dengan demikian dapatlah tekanan Kong-sun Bok itu dibendung.

   Keruan Sebun Cu-sik terkejut, untung dia tidak lantas ikut menyerang pula sehingga tidak sampai terpukul oleh payung lawan.

   Ia pun tidak habis mengerti mengapa Kong-sun Bok yang jelas kelihatan sudah keracunan itu mendadak bisa bertambah kuat dan gagah perkasa.

   Belum ia paham duduknya perkara, terdengar Kong-sun Bok menjengek.

   "Sebun Cu-sik, Hu-kut-ciangmu itu perlu dilatih sepuluh tahun lagi. Hm, kau sendiri yang sudah keracunan, tapi kau tidak tahu. Sebaiknya lekas kau pulang untuk menyelamatkan jiwamu saja. Kalau terlambat mungkin jiwamu takkan tahan satu jam lagi."

   Mendengar ucapan itu, benar saja Sebun Cu-sik lantas merasa telapak tangannya rada gatal pegal, seketika pula kepala pening dan mata berkunang.

   Kiranya racun Hu-kut-ciang itu sudah tidak asing lagi bagi Kong-sun Bok, semenjak masih bayi dia sudah terkena racun itu, syukur ibunya telah merawatnya dengan cermat, Bing-bing Taysu mengajarkan inti lwekang yang paling hebat pula padanya, dengan demikian barulah dia dapat hidup dan menjadi dewasa (Kisah kecil Kong-sun Bok dapat diikuti dalam cerita Pendekar Latah).

   Lantaran sejak kecil Kong-sun Bok sudah digembleng, dengan sendirinya pada tubuhnya tumbuh semacam kemampuan menolak racun, sebab itu tadi dia berani melawan pukulan Sebun Cu-sik dan membuat lawannya keracunan sendiri.

   Setelah mengetahui keadaan dirinya yang konyol, tidak kepalang kaget Sebun Cu-sik, mana dia berani bertempur lebih lama lagi, tanpa pikir segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu alias kabur.

   Tok-ko Heng sudah kehilangan senjata, tangan masih terasa sakit pegal lagi, ia pun pecah nyalinya.

   Melihat Sebun Cu-sik kabur, segera ia pun ikut lari.

   Tertinggal Umong sendirian, terpaksa ia bertempur mati-matian, bentaknya.

   "Keparat, biar aku mengadu jiwa padamu!"

   "Baik, boleh kita coba apakah Liong-siang-sin-kangmu lebih lihai atau kepandaianku lebih tinggi,"

   Jawab Kong-sun Bok.

   Walaupun di mulut Umong masih garang, tapi di dalam hati sesungguhnya ia sudah jeri.

   Maka setelah menyerang lagi dua-tiga kali segera ia bermaksud kabur.

   Akan tetapi Kong-sun Bok sudah menubruk maju sehingga tiada peluang baginya untuk lari.

   Umong pikir lawan tentu sudah banyak kehilangan tenaga mengingat sejak tadi satu harus lawan tiga, kalau dirinya mengeluarkan Liong-siang-sin- kiang tingkat ketujuh dan bertempur lebih lama rasanya takkan kalah, apalagi jubahnya terasa mampu menghadapi payung pusaka musuh.

   Karena pikiran itulah segera ia putar jubahnya lebih kencang, sebelah tangannya juga menggunakan Liong-siang-sin-kang, ia lancarkan pukulan dahsyat melebihi tadi.

   Di luar dugaannya, cara bertempur Kong-sun Bok kini juga sudah berbeda daripada tadi.

   Kong-sun Bok tetap melayani pukulan orang dengan pukulan, tapi payungnya kini telah terpentang sehingga berbalik digunakan untuk menggulung jubah Umong.

   Keruan Umong menjadi kelabakan, kini dia yang harus menghindari payung Kong-sun Bok yang terus-menerus berputar.

   Dalam pertarungan sengit itu, mendadak Kong-sun Bok mendapat peluang, ujung payung secepat kilat mencungkit, kontan jubah Umong berlubang dan terkait pada payungnya.

   Karena kedua orang sama-sama menggunakan tenaga dan payung Kong-sun Bok sedang berputar seperti kitiran, tanpa kuasa Umong ikut terseret dan berputar dua lingkaran, ketika menyadari keadaan yang runyam itu dan bermaksud lepas tangan, namun sudah terlambat, payung Kong-sun Bok telah menusuk seperti tombak.

   Saat itu Umong belum sempat berdiri tegak, jelas serangan payung lawan sukar untuk dihindarkan.

   Tiada jalan lain kecuali keras lawan keras.

   Pada detik yang menentukan itu sekonyong-konyong tubuh Umong mendoyong ke belakang, sebelah tangannya terus meraup dan kena mencengkeram pada ujung payung.

   Tapi Kong-sun Bok lantas membentak keras, telapak tangannya terus memotong pula ke bawah, berbareng payungnya juga menyodok ke depan.

   Di bawah serangan dua jurusan itu, Umong menjadi kerepotan, kalau dia tidak pegang ujung payung sekencangnya tentu dada akan berlubang oleh tusukan ujung payung, sebaliknya kalau dia kerahkan tenaga untuk memegangi payung lawan, mungkin pula dia tidak sanggup menangkis pukulan Kong-sun Bok yang dahsyat itu.

   Dalam keadaan itu, ia tidak sempat banyak berpikir lagi, walaupun tahu resikonya, terpaksa ia menangkis serangan lawan.

   Mendadak ia mendek ke bawah dan melepaskan payung lawan, kedua telapak tangan digunakan sekaligus untuk menangkis pukulan Kong-sun Bok, ia kerahkan segenap kekuatan Liong-siang-sin-kangnya.

   Untung dia dapat melayani dengan tepat pada waktunya, lantaran dia mendek ke bawah sehingga ujung payung menyerempet lewat di atas pundaknya.

   Karena tusukan payungnya mengenai tempat kosong, Kong-sun Bok lantas mengubah gaya tusukan menjadi menindih ke bawah, padahal bobot payung pusakanya itu ada ratusan kati, keruan tindihan ini tak bisa ditahan oleh Umong, kontan tulang bahunya patah satu.

   Dalam pada itu tenaga pukulan kedua pihak telah saling bentur, sebenarnya kekuatan kedua orang seimbang, tapi lantaran Umong sudah terluka patah tulang dan merasa kesakitan mendadak, betapa pun tenaga Liong-siang-sin-kang menjadi terganggu, maka terdengarlah suara "blang"

   Yang keras, seperti bola saja Umong terlempar ke atas dan terpental beberapa meter jauhnya. Kontan Umong muntah darah, tapi dalam keadaan terluka parah dia masih mampu melejit bangun terus melarikan diri secepat terbang.

   "Eh, jangan terlalu cepat, kalau lari terlalu kencang, sebentar kau akan kehilangan tenaga dan bisa jadi lumpuh!"

   Jengek Kong-sun Bok.

   Dan selagi dia hendak mengejar, mendadak tenggorokan sendiri terasa mual, darah segar bergejolak di rongga dada.

   Cepat ia tenangkan diri, barulah dia merasa keadaan sendiri juga terlalu banyak mengeluarkan tenaga, walaupun tidak parah luka dalamnya, namun sudah cukup payah juga.

   Karena itu ia tidak jadi mengejar musuh.

   Apalagi ia harus merawat diri jika tidak ingin berakibat buruk.

   Begitulah ia lantas berduduk semadi, ia mengatur napas untuk melakukan penyembuhan diri.

   Selagi mencapai titik yang genting dalam penyembuhan diri itu, tiba-tiba terdengar suara seorang mendengus padanya.

   "He, he, Kongsun-siauhiap, kau telah melukai keponakanku, coba katakan cara bagaimana kita harus menyelesaikan hutang-piutang ini?"

   Kong-sun Bok terkejut, cepat ia melompat bangun, tahu-tahu seorang kakek sudah berdiri di depannya. Siapa lagi dia kalau bukan Sebun Bok-ya, paman Sebun Cu-sik. Sambil menjinjing payung pusakanya Kong-sun Bok balas membentak.

   "Baiklah, jika kau ingin menggunakan kesempatan ini, hayolah maju!" ~ Sehabis mengalami pertarungan sengit tadi dan tenaga belum pulih, maka payung pusaka yang dipegangnya itu menjadi terasa agak berat. Dengan menyeringai Sebun Bok-ya berkata.

   "Kau jangan takut, aku takkan mencabut nyawamu, hanya cara bagaimana kau melukai keponakanku tadi, dengan cara itulah boleh kau keluarkan lagi terhadapku, marilah kita coba bertanding ilmu pukulan berbisa. He, he, jikalau kau takut, boleh juga kusudahi urusan ini asalkan kau menyembah tiga kali padaku!"

   "Kentut makmu!"

   Damprat Kong-sun Bok dengan gusar.

   "Seorang Iaki- laki sejati biarpun mati pantang bertekuk lutut. Apa kehendakmu boleh kau lakukan saja!"

   Habis berkata segera ia angkat payungnya terus menghantam.

   "Hm, bandel juga kau ini!"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jengek Sebun Bok-ya sambil menyampuk perlahan, kontan tangan Kong-sun Bok sendiri terasa kesemutan, hampir saja payung pusakanya terlepas dari cekalan.

   Dalam keadaan biasa, dengan Hian-tiat-po-san di tangan, maka payung pusaka itu akan merupakan senjata yang ampuh, tapi sekarang dalam keadaan payah, payung yang mempunyai bobot ratusan kati itu berbalik menjadi beban yang berat baginya, lambat-laun ia merasa tidak mampu memutarnya lagi.

   Sebun Bok-ya mengincar suatu kesempatan baik, mendadak ia membentak.

   "Lepas!"

   Berbareng itu kelima jarinya terus menyabet pergelangan tangan Kong-sun Bok.

   Cepat Kong-sun Bok menarik tangannya, segera ia bermaksud memutar payungnya untuk balas menghantam lagi, tapi sial, napsu besar tenaga kurang, payungnya tidak mau menuruti kehendak hatinya lagi.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali Sebun Bok-ya sudah menubruk maju, Kong-sun Bok merasa cekalannya menjadi enteng, tahu-tahu Hian-tiat- po-san sudah dirampas oleh Sebun Bok-ya.

   Payung rampasan itu segera dibuang oleh Sebun Bok-ya, sambil bergelak tertawa ia berkata.

   "Ha, ha, bagaimana? Kau lebih baik menggunakan pukulanmu yang berbisa saja!"

   Kong-sun Bok menjadi nekat, ia tahu tujuan gembong iblis itu adalah hendak memancing dia mengeluarkan ilmu pukulannya, dari situ mungkin orang akan menjajaki dimana letak keistimewaannya.

   Maka ia sengaja tidak mau menggunakan pukulan berbisa, ia hanya mengeluarkan Tay-heng-pat- sik, ilmu silat ajaran Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau.

   Tay-heng-pat-sik sebenarnya adalah ilmu silat kelas satu yang dahsyat, tapi sayang, keadaan Kong-sun Bok sudah payah, kekuatan yang dapat dikeluarkannya tidak ada tiga bagian, maka cuma beberapa jurus saja kembali dia dipaksa oleh Sebun Bok-ya untuk menyambut suatu pukulannya dengan keras lawan keras.

   Ketika keempat telapak tangan beradu, seketika tangan Sebun Bok-ya seperti ada daya lengketnya, tangan Kong-sun Bok seakan-akan melengket dan sukar terlepas.

   Telapak tangan Kong-sun Bok terasa sedikit gatal dan pegal, ia tahu pihak lawan telah menggunakan ilmu berbisa, bahkan dua macam ilmu berbisa digunakan sekaligus, yaitu Hu-kut-ciang pada tangan kiri dan Hoa-hiat-to pada tangan kanan.

   Jelas pihak lawan telah mengerahkan tenaga dalam, kalau saja kadar racun terus merembes masuk ke hulu hati, maka kematian sudah pasti baginya.

   Bukanlah Kong-sun Bok takut mati, soalnya dia tidak rela mati di tangan Sebun Bok-ya.

   Dalam keadaan begini, biarpun Kong-sun Bok tidak mau mengeluarkan ilmu berbisanya, mau tak mau ia dipaksa menggunakan kedua jenis ilmu berbisa yang sama untuk melayaninya.

   Kong-sun Bok pernah mendapatkan ajaran lwekang aliran Buddha dari Bing-bing Taysu, dengan dasar lwekang dari aliran baik ini untuk mengerahkan ilmu berbisa keluarga Siang, dalam hal kekuatan memang masih di bawah Sebun Bok-ya, tapi bicara tentang kemurnian kedua macam ilmu itu ternyata jauh di atas Sebun Bok-ya.

   Setelah adu tangan sekian lamanya, kemudian kelihatan Sebun Bok-ya mengunjuk rasa kejut-kejut girang.

   Ia pikir.

   "Kiranya ada cara pengerahan ilmu berbisa sebagus ini, malahan jauh lebih bagus daripada cara pemunah racun ciptaan Kong-sun Ki sendiri."

   Segera Sebun Bok-ya mengerahkan tenaganya lebih kuat, sebaliknya keadaan Kong-sun Bok bertambah payah laksana pelita yang kehabisan minyak.

   Mau tak mau pemuda itu mengeluh, ia kira jiwa sendiri pasti sukar diselamatkan.

   Selagi Kong-sun Bok hendak nekat mengadu jiwa, sekonyong-konyong Sebun Bok-ya mengendurkan kedua tangannya dan berkata.

   "Eh, rasanya tenagamu semakin berkurang, silakan mengaso sebentar, nanti kita bergebrak lagi. He, he, caraku ini cukup bijaksana bukan?"

   Sikap Sebun Bok-ya ini tentu saja ada maksud tertentu.

   Memang benar seperti dugaan Kong-sun Bok tadi bahwa Sebun Bok-ya sengaja hendak memancing rahasia ilmu berbisa keluarganya.

   Hanya saja Kong-sun Bok tidak tahu cara bagaimana Sebun Bok-ya akan memancingnya.

   Padahal sekarang yang menarik bagi Sebun Bok-ya adalah lwekang ajaran Bing-bing Taysu yang digunakan Kong-sun Bok, cuma sukar baginya untuk memahaminya dalam waktu singkat, sebab itulah ia sengaja memberi kesempatan kepada Kong-sun Bok untuk mengaso dan nanti akan dipancing lagi secara berulang.

   Samar-samar Kong-sun Bok juga dapat menerka akan maksud tujuan musuh, tapi keadaannya sekarang terasa serba susah, terpaksa ia harus melayani Sebun Bok-ya.

   Begitu berulang tiga kali mereka mengadu tangan, tapi Sebun Bok-ya tetap tak dapat memahami sebab musababnya.

   Sedangkan keadaan Kong-sun Bok sudah tambah lemah dan tidak sanggup lagi.

   Sebun Bok bergelak tertawa dan menarik kembali tangannya, katanya.

   "Jika kau ingin selamat, hayolah ikut aku ke kotaraja."

   Kong-sun Bok terpental jatuh, cepat ia melompat bangun, jawabnya dengan ketus.

   "Hm, seorang lelaki sejati pantang menyerah, memangnya kau sangka aku ini manusia yang takut mati?" ~ Ia pikir kalau keadaan mendesak, segera ia hendak memutus urat nadi sendiri untuk membunuh diri.

   "Ha, ha, ha! Sayangnya lelaki sejati seperti kau agaknya minta hidup tidak dapat, ingin mati pun sukar,"

   Jengek Sebun Bok-ya.

   "He, he, meski kau ingin mati juga tak bisa, sebaliknya malah akan menambah penderitaanmu. Lebih baik turut saja kehendakku, mungkin kau masih dapat mengharapkan hidup." ~ Sembari tertawa ia terus mendekati Kong-sun Bok dan segera hendak mencengkeramnya. Tampaknya Kong-sun Bok pasti sukar lolos dari elmaut, pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang mendengus, rasanya seperti di tepi telinga Sebun Bok-ya saja, katanya.

   "Huh, tidak tahu malu! Betapa pun kau terhitung tokoh yang termasyhur, tapi beraninya cuma menganiaya seorang anak muda."

   Sebun Bok-ya terkejut, cepat ia menoleh, dilihatnya pendatang adalah seorang kakek bertubuh kekar dan berwajah merah.

   Sebun Bok-ya kenal kakek ini bukan lain daripada Beng-sia-tocu Le Kim-liong yang mempunyai nama sama tenarnya dengan Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun.

   Suara Le Kim-liong itu seperti bergema di tepi telinga Sebun Bok-ya, padahal jarak kedua orang belasan langkah jauhnya.

   Kiranya Le Kim-liong kuatir tidak keburu menyelamatkan Kong-sun Bok, maka ia sengaja bersuara lebih dulu dengan ilmu gelombang suara untuk menakuti Sebun Bok-ya.

   Ketika Sebun Bok-ya menyadari tertipu dan segera bermaksud mencengkeram Kong-sun Bok pula, namun sudah terlambat, secepat terbang Le Kim-liong sudah memburu tiba dan menghadang di depan Kong- sun Bok.

   Sekali lengan bajunya mengebas.

   "bret", lengan baju terobek secabik kecil, tapi Sebun Bok-ya juga tergetar mundur dua-tiga tindak oleh tenaga kebasan itu. Gebrakan ini tampaknya kedua pihak sama-sama mengalami kerugian kecil, tapi kalau dibandingkan jelas kerugian Sebun Bok-ya terlebih besar.

   "Selamanya kita tiada permusuhan apa pun, mengapa kau ikut campur urusanku?"

   Teriak Sebun Bok-ya.

   "Mengapa aku ikut campur urusanmu tidak perlu kujawab, yang pasti aku memang kheki melihat caramu terhadap seorang anak muda?"

   Jengek Le Kim-liong. Dengan murka segera Sebun Bok-ya seperti mau mengamuk, namun Le Kim-liong sudah siap siaga. Tak terduga mendadak Sebun Bok-ya berubah tertawa, katanya.

   "Ha, ha, baiklah, mengingat kehormatan saudara, bolehlah kau bawa pergi bocah ini."

   "Kongsun-siauhiap ini sudah tentu tak dapat kubiarkan jatuh di tanganmu, tapi kau sendiri pun tidak boleh pergi begitu saja!"

   Kata Le Kim- liong. Keruan Sebun Bok-ya melengak, katanya.

   "Aku sudah mengalah padamu, kau mau apa lagi?"

   "Kau telah mencuri barang orang, kini sudah waktunya kau serahkan kembali padanya!"

   Ujar Le Kim-liong.

   "Apa katamu?"

   Sebun Bok-ya menegas dengan kejut dan gusar.

   "Hm, kau telah membongkar kuburan Kong-sun Ki dan mencuri kitab pusaka keluarga Siang yang dimakamkan bersama dia, memangnya kau sangka aku tidak tahu?"

   Kata Le Kim-liong dengan menjengek.

   "Menurut watakku, sekali aku sudah ikut campur sesuatu urusan, maka urusan ini harus kuselesaikan sampai titik terakhir. Kau membongkar kuburan ayah orang, dosamu tidaklah ringan, kini aku cuma suruh kau mengembalikan barang curianmu kepada pemiliknya, cara ini sudah murah bagimu."

   "Aha, kiranya kau sendiri juga mengincar kitab pusaka keluarga Siang!"

   Jengek Sebun Bok-ya.

   "Terserah apa kesimpulanmu, yang jelas aku cuma menegakkan keadilan!"

   Ujar Le Kim-liong. Meski Sebun Bok-ya merasa jeri terhadap Le Kim-liong, tapi suruh menyerah begitu saja betapa pun ia tidak rela. Karena itu ia pun menjengek.

   "Baik, jika kau mampu, hayolah silakan ambil sendiri."

   "O, jadi kau ingin aku turun tangan, ya, terpaksa aku menurut saja!"

   Kata Le Kim-liong dengan tertawa.

   Maka terjadilah gebrakan lagi, kedua tangan beradu, Sebun Bok-ya melompat mundur dua tindak, ketika ia mengawasi lawannya, tertampak kening Le Kim-liong samar-samar timbul hawa hitam, tapi sekejap saja lantas lenyap.

   Diam-diam Sebun Bok-ya terkejut, ia tahu kekuatan lawan jelas di atasnya, rasanya Hu-kut-ciang yang menjadi andalannya takkan mampu mengalahkan Le Kim-liong.

   "Eh, bukankah kau masih mempunyai ilmu Hoa-hiat-to, hayolah keluarkan sekalian!"

   Ejek Le Kim-liong. Dalam keadaan kepepet Sebun Bok-ya menjadi nekat, segera tangan kirinya bergerak, telapak tangan itu kelihatan merah membara, bentaknya.

   "Kau ingin kenal Hoa-hiat-to, ini kau rasakan!"

   Di antara dua macam ilmu berbisa keluarga Siang, Hoa-hiat-to memang lebih lihai daripada Hu-kut-ciang.

   Setelah menyambut satu kali pukulan tadi, air muka Le Kim-liong juga bersemu hitam, cuma warna hitam itu hanya sekejap saja lantas hilang.

   Sedang Sebun Bok-ya tergetar oleh tenaga pukulannya hingga terpental mundur beberapa tindak.

   "Nah, Hoa-hiat-to juga sudah kujajal, masih ada kepandaian apa lagi yang lebih lihai, hayolah keluarkan semua!"

   Tantang Le Kim-liong.

   Sebun Bok-ya menduga sukar baginya untuk melarikan diri, kalau keras lawan keras mungkin lawan juga tak terhindar dari luka parah.

   Tapi jiwa sendiri pun rasanya suka diselamatkan.

   Segera timbul pikirannya bahwa setelah memiliki kitab ilmu berbisa keluarga Siang, kalau meyakinkan ilmu itu, akhirnya toh pasti akan mengalami Cau-hwe-jip-mo, jika kitab itu kuserahkan pada tua bangka ini, tentu dia sendiri akan merasakan akibatnya.

   Karena pikiran itu, dengan tertawa Sebun Bok-ya lantas berkata.

   "Le To- cu, kita adalah kenalan lama, aku pun cukup kenal pribadimu, rasanya kau tidak perlu berlagak orang baik di hadapanku. Biarlah kita bicara blak-blakan saja, tampaknya kau juga tidak bersungguh-sungguh ingin menyerahkan kitab ini kepada pemiliknya. Apalagi tujuanmu hendak memberikan kitab ini kepada seorang kenalanmu, bisa jadi orang itupun sahabatku. Dan jika demikian adanya, kukira lebih baik urusan ini kau sudahi saja sampai di sini."

   Le Kim-liong tercengang juga, diam-diam ia mengakui kecerdikan Sebun Bok-ya yang dapat meraba maksud tujuannya itu, ia menjadi ragu apakah mungkin Oh-hong-tocu telah memberitahukan persoalan ini padanya? Seperti diceritakan di bagian depan, Le Kim-liong pernah hutang budi kepada Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun, yaitu ketika Kiau Sik-kiang dan kawanan bajak menyerbu ke Beng-sia-to, Le Kim-liong terkepung oleh Kiau Sik-kiang dan anak buahnya, untung pada waktu itu Oh-hong-tocu kebetulan berkunjung ke sana dan berhasil membebaskan dia dari bencana.

   Sebagai balas jasa ia telah berjanji kepada Oh-hong-tocu akan mencarikan kitab ilmu berbisa keluarga Siang itu.

   Melihat Le Kim-liong tertegun, dengan tertawa Sebun Bok-ya berkata pula.

   "Ha, ha, betul tidak kataku tadi, Le To-cu?"

   Tadi Le Kim-liong memang meragukan Oh-hong-tocu telah memberitahukan Sebun Bok-ya mengenai kitab pusaka yang dijanjikan itu, tapi kini timbul pikiran lain pula dalam benaknya.

   Ia tahu Oh-hong-tocu sama liciknya dengan orang she Sebun ini, meski kedua orang oudah berkomplot, tapi masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, mana Oh- hong-tocu mau bicara terus terang padanya.

   Kalau aku tetap menggunakan muslihatku, bukan mustahil akan membuat mereka berdua tertipu semua.

   Karena itu ia sengaja bergelak tertawa dan berkata.

   "Untuk keperluan apa aku minta kitab pusaka itu padamu boleh saja kau menerka sesukamu. Jika kau anggap benar dugaanmu, kan kebetulan bagimu bukan? Setelah berputar satu tangan toh kitab ini akan kembali lagi kepadamu?"

   Sebun Bok-ya juga mempunyai perhitungan sendiri, ia pikir toh tak dapat menandingi Le Kim-liong, biarlah kukorbankan kitab pusaka ini.

   Rasanya takkan diberikannya lagi kepada Oh-hong-tocu, dan kalau dia meyakinkan ilmu berbisa ini, biarkan dia mengalami Cau-hwe-jip-mo, bagiku kitab ini toh tidak terpakai lagi, apalagi aku sendiri masih ada harapan dapat terhindar dari penyakit Cau-hwe-jip-mo.

   Begitulah setelah ambil keputusan itu, segera ia mengeluarkan kitab pusaka ilmu berbisa keluarga Siang itu dan dilemparkan kepada Le Kim- liong.

   Dengan sigap Le Kim-liong menangkap kitab itu, katanya.

   "Tulen atau palsu kitab ini? Hm, jika kau menipu aku dengan kitab palsu, kelak jangan kau harap akan dapat lolos dari cengkeramanku!"

   "Ha, ha, ha, tulen atau palsu masakah dapat mengelabui cucu keluarga Siang yang berada di sini (maksudnya Kong-sun Bok), mana aku dapat menipu kau?"

   Kata Sebun Bok-ya dengan tertawa.

   "Baiklah, pergilah kau!"

   Kata Le Kim-liong. Setelah Sebun Bok-ya pergi, lalu Le Kim-liong mendekati Kong-sun Bok untuk memeriksa keadaannya.

   "Paman Le, aku ingin memberitahukan sesuatu padamu,"

   Kata Kong-sun Bok. Le Kim-liong mengerut kening dan menjawab.

   "Kau telah banyak kehilangan tenaga dalam, kau jangan bicara dahulu, biar aku melancarkan jalan darahmu."

   Habis ini ia lantas pegang kedua tangan Kong-sun Bok, ia kerahkan tenaga dalam sendiri untuk bantu melancarkan jalan darahnya.

   Selang tak lama, ubun-ubun Kong-sun Bok tampak menguap, air mukanya yang tadi pucat kini pun mulai berubah merah.

   Diam-diam Le Kim- liong memuji kehebatan lwekang anak muda itu dalam usia duapuluhan, sungguh tidak malu sebagai murid ketiga tokoh guru besar ilmu silat pada zaman ini.

   Setelah menarik napas panjang, lalu Kong-sun Bok berkata.

   "Terima kasih paman Le, keadaanku sudah baik kini."

   "Kau berterima kasih padaku, tapi kalau lwekangmu sendiri tidak kuat, biar aku membantu sepenuh tenaga juga tak banyak artinya,"

   Ujar Le Kim- liong dengan tertawa.

   "Cuma keadaanmu sekarang walaupun sudah baik, rasanya kau perlu istirahat dulu satu hari."

   "Aku sudah sanggup berjalan, pula berkawan dengan paman Le tentu juga tidak perlu kuatir bertemu musuh tangguh di tengah jalan, waktu satu hari harus kuhemat,"

   Kata Kong-sun Bok. Le Kim-liong melengak heran, darimana anak muda itu mengetahui dirinya akan menemani perjalanannya? Segera ia bertanya.

   "O ya, tadi kau bilang hendak memberitahukan sesuatu padaku, mengenai....."

   "Berita puteri paman sudah kuperoleh,"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "Dia..... dia....."

   Kejut dan girang pula Le Kim-liong, cepat ia bertanya.

   "Dia bagaimana?"

   "Dia bersama Hi-toako, Hi Giok-hoan, telah ditawan oleh Oh-hong- tocu,"

   Tutur Kong-sun Bok, lalu diceritakannya apa yang telah terjadi.

   "Kiranya kau bermaksud memburu ke Uh-seng untuk menolong mereka, makanya kau bertempur sengit dan dilukai iblis Sebun itu,"

   Kata Le Kim- liong dengan rasa sangat terharu oleh jiwa setia kawan Kong-sun Bok itu.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sungguh aku tidak tahu cara bagaimana berterima kasih padamu."

   "Janganlah paman berkata demikian, puterimu juga pernah menolong jiwaku, pula Hi-toako adalah sahabatku yang baik."

   "Kepandaian puteriku selisih jauh dengan kau, mana dia dapat menolong jiwamu?"

   "Terus terang, meski Oh-hong-tocu adalah mertuaku, tapi lantaran aku tidak sudi tunduk kepada keinginannya, maka dia pernah berniat membinasakan aku. Suatu kali aku dikejar olehnya dan tampaknya sukar meloloskan diri, syukur bertemu dengan puterimu dan berhasil menipunya ke jurusan lain."

   "O, kiranya begitu. Aku pun mendengar ketidak cocokan kalian mertua dan menantu. Kau jangan kuatir, aku mempunyai akal bagus, akan kubikin dia menyerahkan puterinya kepadamu dengan sukarela."

   Muka Kong-sun Bok menjadi merah, katanya.

   "Terima kasih atas perhatian paman, hal ini..... ini....."

   "Kau tidak perlu malu,"

   Ujar Le Kim-liong dengan tertawa.

   "Meski kita baru kenal, tapi aku sangat menyukai pribadimu, kesulitanmu ini pasti akan kubantu."

   Habis berkata ia mengeluarkan kitab pusaka keluarga Siang dan disodorkan kepada Kong-sun Bok, katanya.

   "Ini adalah milik keluargamu, coba kau periksa apakah benar kitab yang asli?"

   Kong-sun Bok membalik-balik halaman kitab itu, dikenalnya tulisan tangan mendiang ayahnya yang tercatat di tepian kitab, ia menjadi berduka, dengan pilu ia berkata.

   "Ya, kitab ini asli. Tapi kitab inipun benda yang membikin celaka orang. Menurut cerita ibuku, kematian ayah meski sebagian besar disebabkan perbuatan jahatnya, tapi akibat melatih ilmu kitab ini juga salah satu sebab kematiannya."

   "Janganlah kau berduka, aku cukup tahu urusan ayahmu,"

   Kata Le Kim- liong.

   "Aku juga tahu kemudian dia mengalami Cau-hwe-jip-mo dan timbul rasa penyesalannya. Bicara sejujurnya, ayahmu memang bukan manusia baik-baik, tapi dia mempunyai seorang putera baik, sedikitnya dosanya dapat ditebus."

   Lalu ia menyambung dengan tertawa.

   "Kau bilang kitab ini adalah benda celaka, namun banyak tokoh kalangan Sia-pay justru memandangnya sebagai mestika dunia persilatan dan semua orang mengharap bisa mendapatkannya."

   "Terima kasih atas pengembalian kitab ini, tapi aku tidak ingin memilikinya. Jika paman setuju, kukira lebih baik kitab ini dibakar saja."

   "Maksudku memang hendak kukembalikan padamu, tapi kau tidak ingin memilikinya, maka sementara boleh pinjamkan padaku saja,"

   Kata Le Kim- liong.

   "Kitab ini hasil usaha paman, cara bagaimana akan diperbuat boleh terserah padamu. Cuma apa yang kuketahui mau tak mau harus kuberitahukan pada paman. Bahwa isi kitab ini meski telah banyak ditambahi catatan oleh ayahku tentang cara penyembuhan racunnya, tapi tetap tak dapat membebaskannya dari bahaya Cau-hwe-jip-mo."

   "Sungguh kau ini seorang yang jujur dan tulus,"

   Puji Le Kim-liong.

   "Cuma, apa yang kau katakan ini memang sudah dalam dugaanku. Apabila isi kitab pusaka ini cukup sempurna tanpa sesuatu kelemahan, rasanya iblis Sebun Bok-ya itu tidak mau menyerahkannya begitu saja padaku. Tapi justru lantaran kitab ini mempunyai ciri yang kurang sempurna, makanya aku menghendakinya. Bicara lebih jelas, sama sekali bukan maksudku hendak meyakinkan ilmu berbisa dalam kitab pusaka ini."

   "Habis untuk apa paman Le mengambilnya?"

   Tanya Kong-sun Bok heran.

   "Begini, aku pernah hutang budi kepada seorang, sebab itu aku berjanji akan mencarikan kitab pusaka ini sebagai balas budinya."

   "Dia tentu tidak tahu bahwa akibat meyakinkan ilmu berbisa dalam kitab ini akan mendatangkan Cau-hwe-jip-mo,"

   Kata Kong-sun Bok pula.

   "Benar. Sebab itulah terus terang tujuanku semula ialah ingin menyerang orang jahat dengan cara jahat."

   Pada dasarnya Kong-sun Bok adalah orang yang baik hati dan polos, ia pikir meski Oh-hong-tocu tergolong orang jahat, tapi kalau kita juga menggunakan cara jahat padanya bukankah menjadi serupa saja dengan dia? Dalam pada itu Le Kim-liong telah menyambung pula.

   "Terhadap orang bajik, kita juga berlaku baik padanya, terhadap kaum lalim harus kita lawan dengan kekerasan apabila perlu, cara jahat terkadang mungkin juga perlu digunakan. Cuma sekarang pendirianku telah berubah lagi."

   "Bagaimana pikiran paman sekarang?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Aku bermaksud menggunakan kitab pusaka ini sebagai juru damai bagi kalian mertua dan menantu,"

   Kata Le Kim-liong dengan tertawa.

   "Kau tahu, mertuamu adalah tokoh kelas wahid dunia persilatan, dengan dasar ilmu silatnya yang hebat itu untuk meyakinkan ilmu dalam kitab ini, tidak perlu makan waktu lama tentu dia akan berhasil dan tidak lama kemudian dia pun akan mengidap penyakit Cau-hwe-jip-mo. Tatkala itu, he, he, mau tidak mau dia harus mohon pertolonganmu. Nah, kau paham tidak maksudku?"

   Baru sekarang Kong-sun Bok paham, maksud tujuan Le Kim-liong itu, ia pikir caranya itu memang rada keji dan kurang gemilang, tapi memang juga ada gunanya.

   Apabila Oh-hong-tocu benar perlu pertolonganku, pada kesempatan itu aku pun dapat menganjurkan dia kembali ke jalan yang baik.

   "Selain itu ada lagi suatu hal,"

   Kata Le Kim-liong pula.

   "Setahuku, sesudah mertuamu bekerja pada pihak Mongol, agaknya dia tidak begitu mendapat angin, Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok cemburu padanya dan senantiasa berusaha memojokkan dia. Jika kitab ini sampai di tangan mertuamu dan kemudian diketahui oleh kedua iblis itu, maka mereka pasti akan bertambah benci kepada mertuamu. Dalam keadaan begitu tentu pula mertuamu akan lebih sukar tancap kaki di sana dan hal ini akan besar manfaatnya bagimu bukan?"

   "Apabila Kiong To-cu dapat kembali ke jalan yang baik, memang inilah harapanku,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Cuma puterimu masih tercengkeram di tangannya, agaknya kita tidak boleh membuang waktu lagi."

   Tapi Le Kim-liong ternyata tenang saja, katanya.

   "Jangan kuatir, dia tak berani membikin susah puteriku. Mungkin maksudnya hendak menggunakan puteriku untuk memeras aku, di suatu pihak dapat menghalangi aku mencari perkara padanya, di lain pihak dia menghendaki aku melaksanakan janji. Kini kitab pusaka ini sudah berada padaku, kebetulan dapat kugunakan sebagai bahan tukar menukar dengan dia. Yang ku kuatirkan justru kesehatanmu, betapa pun kau perlu mengaso satu hari lagi."

   Sudah tentu Kong-sun Bok juga tahu akibat buruk yang mungkin dialaminya, maka ia pun menuruti nasehat Le Kim-liong dan bertahan lagi satu hari.

   Selama sehari ini Le Kim-liong membantu pula menyalurkan tenaga murninya untuk menghalau sisa racun di tubuh Kong-sun Bok.

   Dasar lwekang Kong-sun Bok memang kuat, dapat bantuan pula dari Le Kim-liong, maka tidak sampai satu hari sisa racun sudah dapat dibersihkan, bahkan tenaganya juga hampir pulih seluruhnya.

   Cuma disebabkan kelambatan satu hari itu, sementara rombongan Kok Siau-hong, Han Pwe-eng, Kiong Kim-hun dan Yim Hong-siau melampaui mereka dan tiba beberapa jam lebih dulu di Uh-seng daripada Kong-sun Bok.

   Setiba di Uh-seng, dengan tertawa Kiong Kim-hun berkata kepada Han Pwe-eng.

   "Enci Eng, apakah kau masih ingat pertemuan kita yang pertama kali di rumah makan Gi-ciau-lau dahulu itu?"

   "Hah, kau si kacung pencari arang yang suka makan itu barangkali teringat kepada daharan lezat dari restoran itu?"

   Jawab Han Pwe-eng dengan tertawa. Dahulu Kiong Kim-hun menyamar sebagai seorang kacung pencari arang untuk menggoda Han Pwe-eng. Maka dengan tertawa Kiong Kim-hun berkata pula.

   "Memang enci Eng adalah orang yang paling kenal isi hatiku, sekali ini akulah yang menjamu engkau dan tidak perlu engkau keluar biaya lagi."

   Lalu ia berpaling kepada Yim Hong-siau dan berkata.

   "Gi-ciau-lau ini adalah restoran yang paling terkenal di daerah utara sini, konon pendiri restoran ini adalah Gi Tik, itu orang yang menemukan cara menyuling arak."

   "Tapi lebih baik kita mendatangi Tiang-keng-pang lebih dulu, setelah bertemu dengan Kongsun-toako barulah kita ke restoran itu,"

   Tiba-tiba Kok Siau-hong menyela.

   "Betapa pun malam ini kita akan sampai di sana, buat apa terburu-buru?"

   Ujar Kiong Kim-hun.

   "Lagi pula kita juga perlu makan siang. Biasanya di restoran itu banyak dikunjungi anak buah Hong-ho-ngo-pa, jika kebetulan kita bertemu seorang di sana kan dapat kita mintai sebagai penunjuk jalan."

   Begitulah mereka berempat jadi masuk ke restoran terkenal itu dan mengambil tempat pada meja yang berdekatan dengan jendela, sembari minum arak dapat pula menikmati pemandangan Hong-ho. Kiong Kim-hun coba memanggil pelayan dan bertanya.

   "Apa kau masih kenal padaku?"

   Ketika pelayan itu mengamat-amati dan mengingat-ingat, lebih dulu ia mengenali Han Pwe-eng, lalu ia pun ingat kepada Kiong Kim-hun yang pernah membikin onar dan berkelahi di situ dahulu, ia menjadi rada gelagapan dan menjawab.

   "O, kiranya kedua tuan tamu berkunjung lagi ke sini, kalian adalah sahabat Ang Pang-cu bukan?"

   "Betul, ingatanmu cukup baik,"

   Kata Kim-hun dengan tertawa.

   "Sekali ini. kau tidak perlu takut, kami tidak datang untuk berkelahi. Eh, bagaimana dengan Ang Pang-cu, baik-baikkah dia?"

   "O, sudah lama tidak melihat beliau,"

   Jawab si pelayan.

   Pertanyaan Kiong Kim-hun itu bermaksud menarik perhatian tamu lain agar mengetahui dia mempunyai hubungan baik dengan Ang Kin, Pang-cu dari Tiang-keng-pang, apabila di antara tetamu restoran itu ada anak buah kawanan bajak lembah Hong-ho tentu akan datang dan menghubunginya.

   Selain itu secara tidak langsung ia pun ingin mencari tahu Kong-sun Bok sudah berada di Uh-seng atau belum.

   Maklumlah, Kong-sun Bok adalah utusan Hong-lay-mo-li yang menjabat Bu-lim-beng-cu lima propinsi utara, jika sudah datang tentu gembong pimpinan Hong-ho-ngo-pa akan menjamunya di restoran ini.

   Tak terduga si pelayan telah menjawab sudah lama tidak melihat Ang Kin, tentu saja Kiong Kim-hun rada kecewa.

   Padahal tetamu restoran waktu itu tidak banyak, termasuk mereka seluruhnya cuma belasan orang saja, tapi hanya sebentar saja tetamu itu berturut-turut telah pergi semua.

   Entah takut terkena getahnya jika terjadi sesuatu atau di antaranya memang ada anak buah Hong-ho-ngo-pa dan buru- buru pergi menyampaikan berita.

   "Hayolah minunh, ehmm, arak restoran ini memang enak benar,"

   Kata Yim Hong-siau dengan tertawa.

   "Ya, araknya enak, daharannya juga lezat,"

   Demikian Kiong Kim-hun menanggapi.

   "Ini coba cicipi ikan mas Hong-ho yang khas."

   Kalau mereka berdua sedang merasakan minuman dan makanan lezat, adalah Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng ternyata sedang asyik memperbincangkan beberapa bait syair yang terukir pada pigura hias di dinding restoran itu.

   "Hai, jangan kalian melupakan kepentingan perut, hayolah, araknya sudah mulai dingin!"

   Seru Kim-hun dengan tertawa kepada Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng. Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara tindakan tiga orang ke atas loteng restoran itu. Suara seorang tua sedang berkata.

   "Arak enak Gi-ciau-lau ini kalian harus mencicipinya."

   Suara seorang yang kasar keras bergelak tertawa menanggapi.

   "Sekaligus aku justru ingin minum habis beberapa puluh kati araknya, jangan-jangan restoran ini tidak punya persediaan arak simpanan lama."

   Menyusul seorang lagi berkata dengan tertawa.

   "Arak simpanan selama ratusan tahun di Gi-ciau-lau ini sedikitnya ada beberapa puluh guci, berapa pun kau sanggup minum juga takkan mampu menghabiskannya. Aku justru kuatir caramu minum seperti kerbau ini takkan dapat merasakan enaknya arak di sini."

   Mendengar suara ketiga orang itu, seketika air muka Kok Siau-hong berubah hebat.

   "Trang", cawan arak yang dipegang Kiong Kim-hun terjatuh dan pecah berantakan. Tampaknya dia terlebih terkejut daripada Kok Siau- hong. Dalam pada itu segera ketiga orang tadi telah muncul di hadapan mereka. Kiranya ketiga orang itu ialah ayah Kiong Kim-hun sendiri, yaitu Oh-hong- tocu bersama Kiau Sik-kiang dan pembantu utamanya, Ciong Bu-pa. Kiau Sik-kiang berdua pernah bergebrak dengan Kok Siau-hong di daerah Miau beberapa bulan yang lalu. Tentu saja Siau-hong terkejut dan heran mengapa secepat ini mereka pun datang ke Uh-seng sini. Padahal seorang Oh-hong-tocu saja sukar dilayani, apalagi ditambah kedua gembong bajak itu. Sementara Ciong Bu-pa telah mengenali Kok Siau-hong, dengan tertawa ia berseru.

   "Aha, kiranya kau juga berada di sini, kebetulan aku memang hendak mencari kau!"

   Dengan langkah lebar ia terus mendekati Kok Siau- hong, dengan tangannya yang lebar segera ia mencengkeram. ENGHADAPI serangan Ciong Bu-pa itu, Kok Siau-hong tetap duduk dengan tenang, ia angkat sumpit dan diacungkan ke arah "Lo-kiong-hiat"

   Di tengah telapak tangan lawan.

   Cepat Ciong Bu-pa menarik tangannya dan berubah menjadi menabas pula dengan telapak tangan, tapi sumpit Kok Siau-hong segera pula ganti gerakan untuk menotok urat nadinya.

   Totokan sumpit Kok Siau-hong itu menggunakan gaya ilmu pedang Jit-siu-kiam-hoat, seketika Ciong Bu-pa menjadi kewalahan.

   "Eh, kalian kan sobat lama, baru bertemu mestinya berjamu saja, ini makanan enak!"

   Kata Kiong Kim-hun dengan tertawa. Berbareng ia terus menyumpit satu biji bakso.

   "plok", bakso itu dijejalkan ke mulut Ciong Bu- pa.

   Jilid 39 M Sebenarnya kepandaian Ciong Bu-pa jauh lebih tinggi daripada Kiong Kim-hun, tapi lantaran dia sedang menghadapi serangan Kok Siau-hong dengan sepenuh perhatian, tanpa terduga ia kena dikerjai Kiong Kim-hun, ia menjadi gelagapan karena bakso yang masuk mulutnya itu, saking murkanya ia berjingkrak dan berkaok-kaok.

   Sekilas Oh-hong-tocu juga telah mengadu pandang dengan Kiong Kim- hun, ia bersuara heran dengan mata terbelalak.

   Seperti diketahui Kiong Kim-hun dalam penyamaran sebagai lelaki, meski cara berdandannya sangat mahir, namun mata sang ayah memang sukar dikelabui.

   Dalam pada itu melihat pembantu utamanya kecundang, segera Kiau Sik- kiang bermaksud maju membantu, tapi tiba-tiba ia melihat air muka Oh- hong-tocu mengunjuk rasa heran, sebagai seorang yang cerdik segera ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, ia pun melenggong dan tidak jadi melangkah maju.

   "Kim-ji, jangan nakal!"

   Demikian Oh-hong-tocu lantas membentak karena perbuatan Kiong Kim-hun yang jahil melolohi Ciong Bu-pa dengan bakso tadi. Segera Kim-hun menjawab.

   "Ayah, orang liar ini berlaku kasar terhadap sahabatku, dia juga menganiaya diriku, masakah ayah malah mendamprat puteri sendiri?"

   Baru sekarang Ciong Bu-pa mengetahui Kiong Kim-hun adalah puteri Oh-hong-tocu, ia terkejut dan cepat melompat mundur.

   "Jangan sembrono, anak Kim, lekas kemari!"

   Bentak pula Oh-hong-tocu.

   Kim-hun tahu tujuan sang ayah hendak menariknya ke pihak sana, habis itu segera ayahnya juga akan turun tangan.

   Tanpa banyak pikir lagi segera ia melolos pedang pendek dari pinggangnya, ia acungkan senjata itu ke dada sendiri.

   "Apa yang kau lakukan? Lekas lepaskan!"

   Seru Oh-hong-tocu kuatir.

   "Demi kawan siap berkorban jiwa, ini adalah petuah umum dunia persilatan kita sejak dahulu kala,"

   Kata Kim-hun.

   "Anak sudah berjanji untuk senasib setanggungan dengan kawan-kawanku ini, harap ayah maklum akan hal ini."

   "Hm, kau cuma tahu pada kawan saja dan lupa pada ayah ya?"

   Omel Oh- hong-tocu.

   "Anak tidak berani memusuhi ayah, maka terpaksa menggunakan jalan ini,"

   Kata Kim-hun.

   "Jika ayah juga akan memusuhi kawanku, terpaksa anak mati di depanmu saja."

   Oh-hong-tocu kenal watak puterinya yang kepala batu, mau tak mau ia harus berpikir dua kali sebelum bertindak, dengan mengerut kening ia berkata.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ada urusan apa boleh dirundingkan saja, tidak perlu kau cari mati segala."

   "Hendaklah ayah jangan melangkah maju, satu tindak saja engkau melangkah maju, itu berarti ayah memaksa kematian anak sendiri,"

   Ancam Kim-hun. Tanpa berdaya terpaksa Oh-hong-tocu berduduk bersanding meja yang terdekat, katanya.

   "Baiklah, asal kau ikut aku pulang dan segala urusan di sini aku pun tidak mau ikut campur."

   "Tapi ayah telah menyerah pada musuh betapa pun anak tidak sudi bergaul dengan bangsa penjajah negeri kita,"

   Kata Kim-hun. Air muka Oh-hong-tocu berubah, dampratnya.

   "Ngaco-belo! Kau benar- benar kurangajar, berani sembarangan omong terhadap orang tua!"

   "Berbakti kepada orang tua dan setia kepada negara tidak dapat dipisahkan, jika perlu silakan ayah membunuh diriku saja!"

   Jawab Kim-hun tegas. Tiba-tiba Oh-hong-tocu mendapatkan akal, katanya.

   "Bukan maksudku hendak membawa kau ke Ho-lin dan juga tidak pergi ke Tay-toh, tapi kita benar-benar pulang ke rumah. Selanjutnya kita hidup aman tenteram di Oh- hong-to dan tidak pergi lagi, dengan demikian kau merasa puas tidak?"

   "Benarkah ucapan ayah ini?"

   Kim-hun menegas.

   "Masakah ayah berdusta padamu?"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Baik, jika begitu ayah boleh berangkat lebih dulu, tunggulah di Tay-to- kau (suatu tempat penyeberangan sungai Tiang-kang) yang terletak ratusan lie sana,"

   Kata Kim-hun.

   "Tapi nanti kau tidak datang ke sana?"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   "Asalkan ucapan ayah dipegang teguh, betapa pun anak takkan menipu ayah sendiri,"

   Jawab si nona.

   "Baiklah, aku percaya padamu, sekarang juga aku berangkat dulu!"

   Baru selesai berkata, mendadak Oh-hong-tocu ayun tangannya.

   "tring", seketika pedang pendek yang dipegang Kiong Kim-hun jatuh terpental tersambit oleh sebatang sumpit yang dilemparkan Oh-hong-tocu. Kiranya Oh-hong-tocu sengaja berpura-pura menerima permintaan Kiong Kim-hun, tujuannya untuk mengalihkan perhatian dan mengendurkan penjagaan puterinya itu. Perubahan yang mendadak ini, sebelum Kok Siau-hong sempat melolos pedang, dengan cepat luar biasa Oh-hong-tocu sudah melompat maju dan menarik Kiong Kim-hun ke sebelah sana.

   "Maju semua!"

   Bentak Oh-hong-tocu setelah berhasil menarik puterinya ke pihaknya. Serentak Kiau Sik-kiang menerjang maju, serunya sambil tertawa.

   "Ha, ha, Kok Siau-hong, coba saja sekarang kau mampu lari kemana?"

   Segera Kok Siau-hong membikin meja di depannya terbalik dan disambut suatu pukulan dahsyat oleh Kiau Sik-kiang, meja yang kukuh itu seketika hancur berkeping, mangkok piring di atas meja juga berantakan memenuhi lantai.

   Para pelayan restoran ketakutan dan bersembunyi ke tempat yang aman.

   Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng lantas melolos pedang dan mengerubut Kiau Sik-kiang.

   Di sebelah sana Yim Hong-siau juga sudah bertanding menghadapi Ciong Bu-pa.

   Tidak kepalang sedih Kiong Kim-hun dan mendongkol pula, serunya dengan suara pilu.

   "Ayah saja menipu anak, apa artinya lagi hidup puterimu di dunia ini?"

   Terdorong oleh rasa sedihnya, segera ia bermaksud membunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri.

   Tapi untuk memutus urat nadi sendiri harus mempunyai lwekang yang kuat, dasarnya Kiong Kim-hun memang belum mampu membunuh diri dengan cara begitu, apalagi Oh-hong-tocu berada di sampingnya, mana dia dapat berbuat sesukanya? Dengan suara halus Oh-hong-tocu lantas membujuk.

   "Tidak perlu kau berpikiran cupet, anak Kim, buat apa kau membela kawan mati-matian? Apa pun mereka bukan apa-apa jika dibandingkan Kong-sun Bok bukan? Aku tahu kau suka pada Kong-sun Bok, aku akan mencari dan menemukan dia untuk memenuhi harapanmu, aku pun sudah berjanji takkan ikut campur dan membikin susah kawanmu, dengan demikian apa yang kau risaukan lagi?"

   Kim-hun diam saja, tapi nama Kong-sun Bok telah menggugah pikirannya, ia pikir demi engkoh Bok, betapa pun aku harus tetap hidup.

   Karena itu ia batalkan maksudnya hendak membunuh diri.

   Waktu Oh-hong-tocu mengikuti kalangan pertempuran, dilihatnya Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng berdua cukup kuat menandingi Kiau Sik-kiang seorang, sedangkan Yim Hong-siau tertampak kewalahan melawan Ciong Bu-pa.

   Melihat gelagatnya Oh-hong-tocu merasa dirinya memang tidak perlu ikut terjun dalam pertarungan itu.

   Ia lihat Yim Hong-siau terdesak oleh Ciong Bu-pa dan terpaksa menyingkir kian kemari sambil menjungkirkan meja kursi untuk merintangi kejaran lawan, dalam keadaan begitu Ciong Bu-pa menjadi tidak mampu berbuat lebih banyak, untuk menangkap si nona menjadi sukar.

   Sejenak kemudian Oh-hong-tocu dapat mengenali gaya ilmu silat Yim Hong-siau, ia terkejut dan berseru.

   "Awas, Ciong-heng, jangan kau melukai anak dara itu, tampaknya dia adalah puteri Yim Thian-ngo!"

   Sebenarnya Ciong Bu-pa sudah tidak sabar lagi main kucing-kucingan dengan Yim Hong-siau dan segera bermaksud melancarkan serangan maut, demi mendengar seruan Oh-hong-tocu itu, ia menjawab.

   "Baiklah, aku mengerti!"

   Berbareng sebelah kakinya terus menyapu, sebuah meja kena didepak terpental, maksudnya hendak menghalau semua rintangan itu, habis itu Yim Hong-siau tentu tidak sukar ditangkap.

   Terdengarlah suara gemuruh, meja yang terdepak itu terguling ke arah tangga, kebetulan pada saat itu seorang pemuda sedang melangkah ke atas loteng restoran itu, meja itu ditolak ke atas pula oleh payung yang dibawa pemuda itu, bukan saja meja itu terpental ke atas, bahkan tengah meja telah berlubang oleh tusukan payung.

   Di belakang pemuda itu menyusul naik lagi ke atas loteng seorang kakek bertubuh tinggi kekar.

   Bukan main rasa girang Kiong Kim-hun melihat pemuda itu, serunya.

   "He, engkoh Bok!"

   Kiranya pemuda itu memang Kong-sun Bok adanya, kakek yang datang bersamanya itu ialah Beng-sia-tocu Le Kim-liong.

   Kong-sun Bok tidak heran kalau dapat bertemu Oh-hong-tocu di sini, yang tak tersangka olehnya adalah sekaligus dia dapat berjumpa pula dengan Kiong Kim-hun.

   Karena itu ia pun terkejut dan bergirang juga, semula ia tertegun, tapi segera ia balas menyapa.

   "Jangan kuatir, adik Hun, ayahmu tentu takkan membikin susah kita."

   "Baiklah, sementara kau tidak perlu urus diriku, hendaklah kau membantu Yim-cici lebih dulu!"

   Seru Kim-hun. Dalam pada itu Oh-hong-tocu juga lantas berseru.

   "Aha, kukira siapa, tak tahunya sobat lama sendiri. Le-heng, angin apakah yang meniup engkau ke sini?" ~ Lahirnya dia berlagak tenang, tapi dalam hati sebenarnya dia merasa kebat-kebit.

   "Kukira kau sudah tahu untuk apa kedatanganku ini?"

   Jengek Le Kim- liong.

   "Mana puteriku?"

   "O, kiranya kau hendak mencari puterimu?"

   Ujar Oh-hong-tocu. Kembali Le Kim-liong menjengek.

   "Kau tidak perlu berlagak pilon, kau telah menangkap puteriku dan Hi-kongcu, apa kau masih mau berlagak bodoh lagi?"

   "Jangan gusar dulu, Le-heng, ada urusan apa dapat dirundingkan dengan baik,"

   Ujar Oh-hong-tocu dengan menyengir.

   Saat itu Ciong Bu-pa telah mendesak Yim Hong-siau hingga mepet dinding, segera ia mencengkeram hendak menawannya untuk dijadikan sandera.

   Namun Kong-sun Bok keburu bertindak, Hian-tiat-po-san segera menusuk dari samping sambil membentak.

   "Jangan temberang!"

   Ciong Bu-pa tidak kenal lihainya Kong-sun Bok, maka dia pandang sebelah mata kepada payung tak menarik itu, segera ia alihkan cengkeramannya, Hian-tiat-po-san tepat kena dipegangnya.

   Biarpun Ciong Bu-pa sangat kuat, tapi ketika tangan menyentuh payung pusaka itu, seketika ia merasa tangannya kesakitan, sambil mengerang cepat ia lepaskan pegangannya.

   "Hm, tentu kau penasaran bukan? Biar aku bergebrak dengan kau tanpa senjata!"

   Kata Kong-sun Bok dengan tertawa.

   Ia lantas melemparkan Hian- tiat-po-san kepada Yim Hong-siau.

   Bagai binatang buas yang terluka, sambil meraung kalap Ciong Bu-pa terus menerjang maju.

   Tapi dengan tenang Kong-sun Bok sudah siap dengan pukulan sakti Tay-heng-pat-sik, ketika tangan kedua pihak beradu, terdengarlah suara "blang"

   Yang keras, papan loteng restoran itu terinjak oleh Ciong Bu-pa hingga berlubang, rupanya saking kuatnya dia mempertahankan diri sehingga papan loteng itu tidak kuat menahan bobotnya ditambah tenaga dahsyat pukulan kedua pihak.

   Seketika tubuh Ciong Bu-pa yang besar itu terjeblos ke dalam lubang papan loteng, cuma tangannya sempat menahan lantai loteng sehingga tidak sampai terperosot ke bawah.

   Segera Kong-sun Bok cengkeram kulit kepala Ciong Bu-pa dan ditarik mentah-mentah ke atas, menyusul ia totok Hiat-to lawan dan dilemparkan ke samping.

   Sungguh sial bagi Ciong Bu-pa, tadi dia hendak menawan Yim Hong-siau untuk dijadikan sandera, siapa tahu ia sendiri kini yang tertawan malah.

   "Berhenti dulu, marilah kita bicara secara baik-baik!"

   Seru Oh-hong-tocu. Kiau Sik-kiang lantas melompat mundur, maka Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng sempat bertemu dengan Kong-sun Bok.

   "Baiklah, cara bagaimana kau akan berunding dengan aku?"

   Demikian kata Le Kim-liong kemudian.

   "Kita kan sobat lama?"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   "Kau telah menawan puteriku, adakah di dunia ini orang memperlakukan sobat lama secara demikian?"

   Jengen Le Kim-liong.

   "Jangan kuatir Le-heng,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Puterimu dan bakal menantumu memang berada padaku, tapi mengingat persahabatan kita, sedikit pun aku tidak mengganggu seujung rambut mereka. Nah, bagaimana kehendakmu, Le-heng, silakan bicara secara terus terang saja."

   "Masakah masih perlu tanya?"

   Jengek pula Le Kim-liong.

   "Lepaskan puteri dan menantuku itu!"

   "Le-heng, tentunya kau pun tahu peraturan Kang-ouw, persahabatan kita adalah soal lain lagi bukan?"

   Kata Oh-hong-tocu dengan tertawa.

   "Hm, kau perlu dengar dulu ucapanku yang belum selesai,"

   Bentak Le Kim-liong.

   "Bukan mereka saja harus kau lepaskan, malahan puterimu sendiri harus ditinggalkan di sini!"

   "He, he, apakah adil ucapan Le-heng ini?"

   Kata Oh-hong-tocu dengan menyeringai.

   "Kau mendapatkan kembali puterimu, sebaliknya suruh aku kehilangan puteri, caramu ini apa tidak terlalu merugikan aku?"

   "Kan ayah sendiri sudah berjanji akan mempertemukan anak dengan engkoh Bok,"

   Sela Kiong Kim-hun.

   "Dengan demikian anak tetap mengaku ayah padamu, ayah kan belum pernah kehilangan anakmu ini."

   "Wah, sungguh sial,"

   Ujar Oh-hong-tocu sambil menggeleng kepala.

   "Dasar anak perempuan, kalau sudah besar akhirnya menjadi milik orang. Sungguh membikin hatiku kecewa."

   "Jangan kuatir, adik Hun, betapa pun kita dan ayahmu pasti akan dicapai suatu penyelesaian yang baik,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Bagus, setidaknya kau punya engkoh Bok ini lebih bisa berpikir,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Kalau tidak, aku benar-benar rugi teramat besar."

   "Huh, aku tidak membikin perhitungan dengan kau sudah baik, masakah kau masih bilang rugi segala?"

   Jengek Le Kim-liong.

   "Tapi mengingat persahabatan kita yang lalu, baiklah aku pun memberi jasa baik sekalian, akan kusumbangkan sesuatu benda mestika bagi emas kawin Kong- sun Bok padamu, tapi juga anggap sebagai hadiahku padamu. Dengan demikian kau tentu tidak perlu berteriak-teriak rugi lagi."

   Jantung Oh-hong-tocu berdebur, cepat ia bertanya.

   "Emas kawin apa yang hendak kau sumbangkan padamu? Le Kim-liong keluarkan kitab pusaka ilmu racun itu, katanya.

   "Kitab ini kurampas dari Sebun Bok-ya, sebenarnya kitab ini adalah benda pusaka keluarga menantumu, kini kugunakan sebagai emas kawinnya kan sangat kebetulan bukan?"

   "Cara bagaimana bisa diketahui kitab ini tulen atau palsu?"

   Ujar Oh- hong-tocu.

   "Menantumu sendiri sudah memeriksanya, tidak mungkin palsu,"

   Kata Le Kim-liong.

   "Ya, sudah kuperiksa dengan betul, ada catatan di dalam kitab, kukenal benar tulisan tangan ayahku,"

   Tukas Kong-sun Bok. Le Kim-liong menyambung pula.

   "Kitab ini selain kuanggap sebagai emas kawin Kong-sun Bok juga harus dianggap sebagai bayar hutangku padamu. Aku pernah hutang budi padamu, kini aku telah memberikan barang yang kau kehendaki, sejak kini hutang piutang antara kita menjadi lunas."

   Oh-hong-tocu tahu tabiat Le Kim-liong yang tegas, kalau bilang satu tidak mungkin menjadi dua, maka ia pun lantas menjawab.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik, aku setuju. Berikan kitab itu padaku dan akan kukembalikan anak perempuanmu, segala persoalan kita menjadi beres sampai di sini."

   "Dan bagaimana dengan adik Hun?"

   Sambung Kong-sun Bok cepat.

   "Aku sudah menerima emas kawinmu, masakah puteriku tidak kuserahkan padamu?"

   Ujar Oh-hong-tocu dengan tertawa sambil melepaskan pegangannya kepada Kiong Kim-hun.

   "Nah, anak Kim, pergilah ikut kau punya engkoh Bok."

   Dengan erat Kiong Kim-hun memegang tangan Kong-sun Bok dengan mengucurkan air mata kegirangan.

   Setelah mengalami banyak suka duka akhirnya mereka berdua dapat berkumpul dan terkabul cita-cita mereka, tanpa terasa Kim-hun menggelendot di tubuh Kong-sun Bok meski di hadapan orang banyak.

   Kalau Oh-hong-tocu sudah berdamai dengan pihak lawan, justru yang paling kelabakan adalah Kiau Sik-kiang.

   Sebagaimana diketahui, yang dikatakan hutang budi Le Kim-liong kepada Oh-hong-tocu tadi adalah peristiwa penyerbuan Kiau Sik-kiang ke Beng-sia-to, pulau kediaman Le Kim- liong.

   Ketika itu Oh-hong-tocu telah menjadi juru damai dan ikut mengenyahkan Kiau Sik-kiang.

   Kini antara Oh-hong-tocu dan Le Kim-liong akan menghadapi persoalan dengan Kiau Sik-kiang.

   Begitulah Kiau Sik-kiang lantas berkata dengan kuatir.

   "Oh-hong-tocu, kita adalah sekutu, apa yang kau lakukan seharusnya memikirkan juga kepentinganku."

   "Ya, tentang puteri Le-heng itu memang perlu juga minta bantuan Kiau- heng,"

   Kata Oh-hong-tocu kepada Le Kim-liong.

   "Maka aku ingin mohon kemurahan hati Le-heng, sebaiknya persoalan yang sudah lalu jangan diungkit lagi."

   "Apa? Jadi kau ingin membikin gara-gara lagi?"

   Teriak Le Kim-liong dengan gusar.

   "Le-heng, terus terang puterimu berada di bawah pengawasan seorang kawan Kiau-heng, maka terpaksa aku harus minta pertolongannya untuk mengantar puterimu ke sini,"

   Tutur Oh-hong-tocu.

   Kawan yang dimaksud Oh-hong-tocu adalah Su Thian-tik.

   Sebagaimana diketahui, Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa serta Su Thian-tik adalah suatu komplotan, setelah mereka kabur dari daerah Miau, mereka ingin ganti haluan dan bekerja pada Wanyan Tiang-ci, itu tokoh terkenal kerajaan Kim, karena itulah mereka mendekati Oh-hong-tocu dan bersekutu.

   Le Kim-liong pikir apa yang dikatakan Oh-hong-tocu tentu bukan gertakan belaka, maka ia lantas menjawab.

   "Baiklah, sekarang aku tidak membikin susah mereka, tapi lain kali kalau kepergok lagi aku tetap takkan mengampuni mereka."

   Legalah hati Kiau Sik-kiang, segera ia menyatakan setuju dan mendekati Ciong Bu-pa dengan maksud hendak membuka Hiat-to pembantunya yang tertotok roboh oleh Kong-sun Bok itu.

   "Nanti dulu!"

   Bentak Le Kim-liong mendadak.

   "Ada apa lagi?"

   Tanya Kiau Sik-kiang.

   "Hm, pertama kau terkenal sebagaimana tokoh kalangan Hek-to, masakah kau tidak tahu peraturan Kang-ouw?"

   Jengek Le Kim-liong.

   "Orang yang kuminta sudah diserahkan barulah kawanmu boleh dibawa pergi, jelasnya kita mengadakan tukar menukar."

   "Ya, kau jangan kuatir, Kiau-thocu,"

   Sela Kong-sun Bok dengan tertawa.

   "aku telah menotok kawanmu dengan ilmu Tiam-hiat yang khas, dia takkan mampus, paling banyak dia cuma akan kehilangan tenaga latihan selama setahun saja bila meringkuk satu jam lagi di sini."

   Demi keselamatan pembantu yang disayangnya itu, terpaksa Kiau Sik- kiang cepat memenuhi syarat pihak lawan. Dengan mendongkol ia tatap Kong-sun Bok sekejap, lalu melangkah pergi dengan cepat.

   "Eh, jangan tergesa-gesa, Kiau-thocu?"

   Dengan tertawa Kiong Kim-hun mengolok. Setelah Kiau Sik-kiang pergi, dengan tertawa Kim-liong berkata.

   "Nah, Kiong-heng, sekarang kita boleh bicara lagi sebagai sahabat lama."

   Segera Kong-sun Bok memanggil pelayan agar membersihkan meja kursi yang jungkir balik itu dan memberi ganti rugi secukupnya. Lalu pesan arak dan daharan baru. Kemudian Le Kim-liong mengangkat cawan arak mengajak minum Oh- hong-tocu.

   "Silakan Kiong-heng minum satu cawan dahulu. Dapatkah Kiong-heng memberitahu untuk apakah engkau datang ke Uh-seng sini?"

   "O, aku hanya kebetulan berlalu di sini dan sekadar mampir ke restoran yang termasyhur ini,"

   Jawab Oh-hong-tocu.

   "Apakah betul cuma berlalu di sini secara kebetulan? Kukira engkau sedang menunggu dua orang teman bukan?"

   


Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long Rase Emas Karya Chin Yung Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini