Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 35


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 35



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kata Yim Thian-ngo. Karena dia ingin bicara sendirian dengan An Tat, maka Tio Pin dan lain-lain juga disuruhnya pergi.

   "Aku perlu ganti pakaian, harap Tio-heng suka mewakili diriku sebentar melayani tamu,"

   Kata Beng Ting kepada Tio Pin.

   Tapi Tio Pin juga menyatakan hendak ganti pakaian karena bajunya kena kotoran ketika menggotong An Tat tadi.

   Menunggu Tio Pin dan puteranya sudah menuju kamarnya sendiri, cepat Beng Ting menuju dapur.

   Di belakang kamar dapur ada sebuah pelataran kecil, ternyata si kacung pengantar arang tadi masih berada di situ, malahan didampingi dua orang pula, yaitu Beng Ing dan pembantunya, Ji Cu-kah.

   Melihat datangnya Beng Ting, kacung itu lantas mengusap mukanya, lalu berkata dengan tertawa.

   "Beng-lopiauthau, engkau tidak menduga akan diriku bukan?"

   Beng Ting terperanjat setelah melihat jelas siapa "kacung pengantar arang"

   Itu. Kiranya dia bukan lain daripada Kok Siau-hong. Lekas Beng Ting membawa Kok Siau-hong ke suatu kamar sunyi lain, ia tutup pintu kamar, lalu bertanya dengan suara tertahan.

   "Kok-siauhiap, engkau sungguh terlalu berani."

   "Aku diperintahkan ke sini oleh Liu-lihiap untuk menjenguk kau,"

   Jawab Siau-hong dengan tertawa.

   "Untung Ji Cu-kah mengenali aku dan segera aku disuruh menyamar sebagai kacung pengantar arang. Puteramu juga sangat cerdik dan berdusta bagiku. Rasanya Yim Thian-ngo takkan menyangka akan diriku. Pamanku itu sudah khianat, mungkin hal inipun sudah diketahui olehmu."

   "Ya, Yim Thian-ngo tadi juga rada curiga, tapi sekarang kita tak perlu mengurus dia,"

   Ujar Beng Ting.

   "Ada urusan penting apakah engkau disuruh ke sini oleh Liu-lihiap?"

   "Tidak ada urusan penting, dia hanya ingin kau memberi bantuan menyelidiki keadaan musuh,"

   Jawab Siau-hong.

   "Wan-yan Ho pernah mengunjungi perusahaanku, tampaknya dia rada curiga padaku,"

   Tutur Beng Ting.

   "Rasanya juga sulit bagiku untuk meninggalkan kota ini, hanya cara bagaimana kita harus mengadakan kontak kelak?"

   "Aku mondok di toko sutera Hong-hok, juragan Ting adalah orang Tiang-keng-pang yang baru saja mengadakan persekutuan dengan Kim-keh- nia, jadi dia terhitung kawan seperjuangan,"

   Kata Siau-hong.

   "Pantas Thia Piau tadi mengajaknya bicara, jangan-jangan mereka pun mulai curiga padanya."

   "Tapi juragan Ting cukup bisa membawa diri sehingga musuh belum menemukan sesuatu tanda kelemahannya."

   "Apakah Kok-siauhiap masih ada urusan lain?"

   Tanya Beng Ting, ia tidak berani terlalu lama tinggal di ruangan dalam.

   "Ada sedikit urusan pribadi,"

   Kata Siau-hong sambil mengeluarkan sehelai uang kertas (sejenis cek).

   "Ini dapat diuangkan sejumlah seribu tahil perak, mertuaku minta aku menyampaikannya kepada Beng-lopiautau, harap engkau suka menerimanya."

   "Untuk apa ini?"

   Tanya Beng Ting.

   "Mertuaku bilang masih hutang separoh biaya pengawalanmu dahulu dan kini harus dilunasi,"

   Tutur Siau-hong. Beng Ting menjadi kurang senang, katanya.

   "Kini setelah mengetahui mertuamu yang minta pengawalanku itu, masakah aku masih dapat minta biaya padanya. Apalagi aku pun tidak memenuhi kewajiban mengantar nona Han sampai di rumahmu, betapa pun aku malu untuk menerima pembayaranmu ini."

   "Beng-locianpwe, bagaimana kalau kubicara terus terang,"

   Kata Siau- hong.

   "Silakan,"

   Jawab Beng Ting.

   "Pembukaan kembali perusahaanmu ini bukankah masih kekurangan modal?"

   "Benar. Tapi biarpun begitu tidak nanti kuterima pembayaranmu ini."

   "Maaf Beng-locianpwe, karena waktu terlalu mendesak, biarlah kukatakan langsung saja. Bahwa engkau telah menerima pesero baru yang bernama Tio Pin itu, menurut pandanganku tampaknya dia bukan seorang yang dapat dipercaya dan bahkan berbahaya."

   "Ya, dia memang rada kikir, tapi belum terlalu busuk. Sebabnya aku bersekutu dengan dia hanya lantaran dia mempunyai pergaulan yang luas di Tay-toh sini. Tapi bagaimana pun juga nasehat Kok-siauhiap akan kuperhatikan, aku akan waspada menghadapi dia."

   Lalu Kok Siau-hong mendesak pula agar Beng Ting suka menerima pembayarannya itu. Tapi Beng Ting tetap menolak. Akhirnya ia berkata.

   "Baiklah, seribu tahil perak ini sementara kuterima saja, tapi bukan kugunakan untuk keperluan perusahaanku ini, tapi akan kumanfaatkan untuk urusan lain. Apakah Kok-siauhiap pernah bertemu dengan Kang-lam- tayhiap Kheng Ciau di Lim-an?"

   "Pernah kulihat satu kali di tempat Bun-tayhiap,"

   Jawab Siau-hong.

   "Apakah ada sesuatu urusan?"

   "Keng-tayhiap mempunyai seorang anak lelaki bernama Kheng Tian, usianya sekarang antara empatbelas-limabelas tahun. Dahulu waktu Kheng- tayhiap memimpin pasukan ke selatan, puteranya itu ditinggalkan di daerah utara. Kini aku sudah tahu jejak Kheng-tayhiap, maka kuhendak mengirim puteranya itu kepadanya. Maka seribu tahil perak pemberianmu ini dapat kugunakan untuk urusan ini."

   "Baiklah, akan kusampaikan beritamu ini kepada Kheng-tayhiap,"

   Kata Siau-hong.

   Lalu Beng Ting bergegas keluar melayani Yim Thian-ngo.

   Tapi sebelum berpisah ia memberikan suatu alamat dan nama temannya yang tinggal di Se-san di kota barat dengan pesan kalau di tempat Ting Sit terasa kurang aman boleh pindah mondok saja di tempat temannya itu.

   Ketika Beng Ting keluar lagi ke ruang tamu, terlihat Yim Thian-ngo dan An Tat sudah menunggu.

   "Eh, kemanakah engkau, Beng-lopiauthau, aku mencari kau buat mohon diri,"

   Demikian Yim Thian-ngo lantas menegur dengan tertawa. Sebisanya Beng Ting bersikap tenang, jawabnya.

   "Wah, Yim-tayhiap sungguh maha sakti, hanya dalam waktu singkat saja engkau sudah menyembuhkan An-tayjin. Kenapa Yim-tayhiap terburu-buru mau pergi, silakan tinggal satu-dua hari di sini."

   Mendadak Yim Thian-ngo menarik muka, katanya dengan dingin.

   "Ah, mana aku berani membikin repot kau, lebih-lebih aku kuatir membikin kotor tempatmu yang sering dikunjungi tamu agung ini."

   Diam-diam Beng Ting mendongkol oleh sikap Yim Thian-ngo yang palsu itu, padahal kau sendiri yang berkhianat, tapi lagaknya seperti pahlawan sejati.

   Walaupun berpikir demikian, terpaksa Beng Ting menjawab dengan rendah dan mengantar Yim Thian-ngo serta An Tat keluar.

   Sementara itu Ting Sit dan Li Tiong-cu juga sudah pergi tanpa pamit kepada Beng Ting, mereka mendapat kisikan dari Ji Cu-kah dan segera mereka pergi tanpa pamit.

   Tatkala itu Tio Pin sedang menyanjung kedatangan Yim Thian-ngo sehingga kepergian mereka tidak menarik perhatian tamu lain.

   Mereka bergabung kembali dengan Kok Siau-hong di jalan raya, sesudah bicara, yang paling dikuatirkan mereka ialah munculnya Yim Thian-ngo itu.

   "Mungkin para tamu itu tidak tahu aku yang mengerjai An Tat,"

   Ujar Siau-hong.

   "Tapi Yim Thian-ngo cukup lihai dan berpengalaman, bukan mustahil dia dapat mengetahui Siau-yang-sin-kang yang kugunakan itu. Cuma biarpun begitu juga belum pasti mengetahui aku menyamar sebagai pembantumu."

   "Ya, betapa pun juga kita harus hati-hati dan waspada,"

   Kata Ting Sit.

   "Menurut Beng-lopiauthau, dia mempunyai seorang teman bernama Ho Kian-heng dan bertempat tinggal di Se-san,"

   Tutur Siau-hong.

   "Dia pesan jika keadaan mendesak kita dapat mondok sementara di rumah temannya itu."

   "Aku tahu orang she Ho ini, sebaliknya dia tidak kenal aku,"

   Kata Ting Sit.

   "Yang pasti diriku tidak dapat bersembunyi begitu saja agar tidak menimbulkan curiga pihak musuh. Baiklah kita bertindak menurut keadaan saja nanti."

   Setiba kembali di rumah Ting Sit, Kok Siau-hong lantas menuturkan kepada Yim Hong-siau munculnya Yim Thian-ngo di tempat Beng Ting. Yim Hong-siau merasa sedih, katanya.

   "Jika begitu, tampaknya dia sudah bertekad akan tetap menjadi pengekor Wan-yan Ho. Maksudku hendak membujuknya agar kembali ke jalan yang benar mungkin cuma impian belaka."

   "Setiap manusia tentu bisa berbuat kesalahan, meski dia adalah ayahmu, asalkan kau sudah melakukan kewajibanmu sebagai puterinya, kau pun tidak perlu sedih dan malu lagi,"

   Ujar Siau-hong.

   "Sekarang ada sesuatu persoalan aku ingin tanya padamu."

   "Soal apa?"

   Tanya Hong-siau.

   "Sudah mencapai tingkat berapa Siau-yang-sin-kang yang dilatih ayahmu?"

   Tanya Siau-hong.

   "Aku sendiri sama sekali tidak paham Siau-yang-sin-kang, maka sampai berapa tinggi kepandaiannya itu aku pun tidak tahu,"

   Jawab Hong-siau.

   "Yang jelas dalam latihan ilmu itu dia pasti bukan tandinganmu."

   Sudah tentu Kok Siau-hong juga tahu dalam hal Siau-yang-sin-kang jelas Yim Thian-ngo belum mencapai tingkatannya.

   Yang dia kuatirkan adalah Yim Thian-ngo dapat mengenali ilmu yang melukai An Tat itu dan urusan tentu bisa runyam.

   Karena itulah terpaksa ia lebih waspada untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Malamnya Yim Hong-siau merasa sukar memejamkan mata.

   Dengan macam-macam jalan dan ucapan Han Pwe-eng berusaha menenteramkan perasaan Hong-siau, katanya.

   "Bunga teratai tumbuh di tengah lumpur dan tetap suci bersih. Biarpun ayahmu tersesat ke jalan yang tidak baik juga tiada sangkut-pautnya dengan dirimu. Betapa pun engkau masih banyak teman karib seperti kami ini. Maka janganlah kau sedih, marilah kita tidur."

   Hati Hong-siau rada terhibur oleh ucapan Pwe-eng itu. Tapi sebelum mereka berbaring, sekonyong-konyong daun jendela terbuka sendiri, menyusul seorang melompat masuk mendadak.

   "Anak Siau, sejak kecil kusayang padamu, masakah sekarang kau melupakan ayahmu ini?"

   Demikian orang itu mendengus. Siapa lagi dia kalau bukan Yim Thian-ngo. Sungguh tidak kepalang kejut Yim Hong-Siau, setelah tenangkan diri, segera ia berseru.

   "Jika engkau mau berpihak ke sini dan menjadi orang baik, sudah tentu aku tetap puterimu dan engkau adalah ayahku."

   "Sungguh lucu, selamanya anak tunduk kepada kata-kata ayah, mana ada aturan ayah harus menurut kepada anak?"

   Jengek Yim Thian-ngo pula.

   "Pendek kata, aku ini orang baik atau busuk bukanlah urusanmu. Hayolah, kau ikut aku pulang saja!"

   "Tidak!"

   Jawab Hong-siau sambil menyingkir ke samping.

   "Aku takkan ikut kau lagi."

   Namun gerakan Yim Thian-ngo terampat cepat.

   "bret", tahu-tahu baju Hong-siau terobek. Mendingan karena Yim Thian-ngo kuatir melukai puterinya, maka cengkeramannya tidak keras, kalau tidak, tentu Hong-siau sudah terpegang olehnya. Melihat gelagat jelek, cepat Pwe-eng memadamkan lampu dan menarik Hong-siau ke belakangnya. Lalu berkata.

   "Yim-losiansing, setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, engkau tidak boleh memaksa kehendak puterimu."

   "Sebenarnya anakku tidak sekurangajar ini, semuanya gara-gara kau perempuan hina ini, tentu kau yang membujuknya,"

   Damprat Yim Thian- ngo.

   "Baik, biar kubikin perhitungan dahulu dengan kau."

   Dengan membedakan arah suara, segera Yim Thian-ngo mcncengkeram. Terpaksa Han Pwe-eng melolos pedang untuk bertahan.

   "Sret", segera ia balas menabas tangan musuh. Namun Yim Thian-ngo telah mengebas lengan bajunya untuk menggulung pedang lawan, menyusul tangan lain terus menghantam.

   "blang", meja rias terpukul hingga hancur. Pedang Han Pwe-eng juga hampir terampas olehnya, lekas ia menghindar dengan mengitar meja. Tapi Yim Thian-ngo sungguh amat tangkas, ia depak meja itu hingga terjungkir, menyusul tangannya menghantam pula.

   "Ayah, engkau telah melukai aku!"

   Jerit Yim Hong-siau.

   Yim Thian-ngo terkejut, dari pukulan telapak tangan cepat dia ubah menjadi totokan jari.

   Han Pwe-eng putar pedangnya dengan kencang, dalam keadaan gelap Yim Thian-ngo juga tidak berani terlalu sembrono sehingga seketika ia pun tidak mampu merebut pedang lawannya.

   Tapi segera Yim Thian-ngo juga lantas tahu jeritan Hong-siau tadi hanya tipuan belaka, segera ia mendampratnya.

   "Anak kurangajar, kau tidak menurut pada ayahmu, kalau terluka juga pantas!"

   Habis berkata segera ia menyerang pula.

   "creng", sekali selentik ia membikin pedang Han Pwe-eng tergetar ke samping, cahaya pedang sekilas itu segera digunakan Yim Thian- ngo untuk mencengkeram pula ke pundak si nona. Melihat gelagat jelek, cepat Hong-siau berseru pula.

   "Ayah, anak tak dapat menurut perkataanmu, kau boleh bunuh aku saja, tapi jangan mencelakai enci Eng!"

   Sebenarnya tanpa menghiraukan bahaya tadi hendak menerjang ke depan, tapi mendadak terdengar sang ayah mengerang keras, tangan yang sedang mencengkeram Han Pwe-eng tadi cepat ditarik kembali.

   Rupanya Kok Siau-hong dan Li Tiong-cu terjaga bangun oleh suara ribut di kamar Hong-siau dan memburu tiba tepat pada saatnya.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam kegelapan Yim Thian-ngo tak dapat melihat dengan jelas, tapi sanggup mendengar segala penjuru, begitu terasa angin berkesiur segera ia putar tangannya lagi untuk menyerang musuh, dalam sekejap saja ia sudah adu pukulan dengan Kok Siau-hong dan mematahkan pula suatu serangan Li Tiong-cu.

   Dan begitu saling gebrak, segera pula Yim Thian-ngo tahu siapakah gerangan pendatang ini.

   Walaupun begitu, tidak urung hatinya juga terkesiap.

   Soalnya kalau kepandaian Kok Siau-hong sudah dalam dugaannya, tapi ilmu silat Li Tiong-cu yang rada membuatnya terkejut, yang digunakan Li Tiong-cu adalah Keng-sin-ci-hoat ajaran Bu-lim-thian-kiau.

   Li Tiong-cu sendiri merasa sesak napasnya oleh getaran tenaga pukulan Yim Thian-ngo, sebaliknya Yim Thian-ngo tertutul oleh ujung jari Li Tiong- cu, lengannya menjadi kaku pegal seketika.

   Untung lwekangnya cukup tinggi, segera ia mengerahkan tenaga dalam sehingga Hiat-to di telapak tangan itu tidak sampai tertotok.

   "Ilmu Tiam-hiat bocah ini sangat hebat dan aneh, rasanya rada mirip dengan kepandaian Wan-yan Ho, sudah tentu dia bukan orang dari kerajaan Kim, jangan-jangan dia inilah murid Bu-lim-thian-kiau?"

   Demikian pikir Yim Thian-ngo yang berpengalaman dan luas pengetahuannya. Belum habis berpikir, tiba-tiba terdengar Kok Siau-hong membentak.

   "Yim Thian-ngo, mau apa kau datang ke sini? Apakah Wan-yan Ho yang suruh kau ke sini?"

   "Kurangajar benar kau, Kok Siau-hong!"

   Damprat Yim Thian-ngo.

   "Jelek- jelek aku terhitung pamanmu. Aku mencari puteriku, sangkut-paut apa dengan kau?"

   "Maaf, kau telah rela menjadi anjing pemburu musuh, aku tak sudi mengakui paman macam kau ini,"

   Jawab Siau-hong.

   "Dan puterimu juga takkan ikut kau pulang."

   Dari malu Yim Thian-ngo menjadi murka, bentaknya.

   "Puteriku berubah buruk tentulah karena ajaran kalian ini. Hm, Kok Siau-hong, kau bersekongkol dengan kaum penjahat, ada maksudku hendak menolong kau, tapi kau berani terhadap orang tua, maka jangan kau sesalkan aku lagi!"

   Sembari berkata serangannya tidak menjadi kendur, dalam sekejap itu dia sudah menyerang beberapa kali terhadap Kok Siau-hong.

   Tapi lantaran Li Tiong-cu juga mengerubutnya, betapa pun sukar baginya untuk mengalahkan Siau-hong.

   Mendongkol dan gusar pula Kok Siau-hong, tapi ia pun sedih bagi Yim Hong-siau, katanya kemudian.

   "Yim Thian-ngo, percumalah lagakmu siang tadi di Cin-wan Piaukiok yang sok kesatria segala, hm, kau tahu malu tidak? Hayolah lekas enyah dari sini, kalau tidak, pedangku ini tidak mau kenal padamu lagi!" ~ "Sret", segera ia melolos pedangnya. Yim Hong-siau menanggung pertentangan batin yang hebat, dia tidak ingin Kok Siau-hong dilukai ayahnya, tapi tidak tega menyaksikan sang ayah dicelakai oleh Kok Siau-hong. Terpaksa ia berteriak.

   "Ayah, lekas engkau pergi saja! Asal engkau tidak membocorkan rahasia kami, maka kami juga tidak membocorkan rahasiamu. Kau anggap saja tidak pernah mempunyai puterimu ini, selanjutnya kita menempuh arah sendiri-sendiri."

   Diam-diam Han Pwe-eng menggeleng kepala oleh kepolosan Yim Hong- siau, kalau Yim Thian-ngo dapat mendatangi tempat mereka ini, jelas dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai pengekor Wan-yan Ho, masakah masih mengharapkan dia menjaga rahasia jejaknya.

   Benar saja, segera terdengar Yim Thian-ngo berkata.

   "Ha, ha, enak saja jalan pikiran kalian. Padahal Kok Siau-hong sudah tahu kedudukanku sekarang, apakah kau kira aku dapat mengampuni dia? Juga kau Hong-siau, kau tidak mengakui aku sebagai ayahmu, maka aku harus membekuk kau pulang. Hm, kau telah berpaling kepada orang luar, masakah aku masih dapat mempercayai kau?"

   "Piau-moay, harap kau menyingkir saja, dia tidak mau pergi, terpaksa kita mengusirnya,"

   Seru Siau-hong.

   Pertarungan di ruangan gelap, pula dikerubut, tentu saja berbahaya bagi Yim Thian-ngo.

   Ia pikir rahasia jejak orang toh sudah diketahuinya, buat apa pertarungan begini dilanjutkan? Segera ia melancarkan suatu pukulan dahsyat untuk mendesak mundur Kok Siau-hong dan segera pula ia melompat keluar jendela.

   "Sudahlah, dia sudah pergi!"

   Kata Hong-siau dengan hati lega. Tak terduga mendadak terdengar suara gelak tertawa Yim Thian-ngo di luar, katanya.

   "Ha, ha, ha, siapa bilang aku pergi? Justru setiap orang yang berada di dalam rumah dilarang keluar tanpa izinku!"

   Waktu Hong-siau melongok keluar, terlihat ayahnya berdiri di pelataran. Kok Siau-hong juga terkejut dan merasakan gelagat jelek, cepat ia bersama Li Tiong-cu melompat keluar. Sekaligus mereka melancarkan serangan maut.

   "Yim Thian-ngo, kau bersekongkol dengan musuh dan kini membawa pasukan ke sini bukan?"

   Bentak Siau-hong. Dengan tertawa yang dibuat-buat, Yim Thian-ngo berkata.

   "Ha, ha, tepat sekali terkaanmu, tapi sayang, terlambat sedikit kau menyadarinya!"

   Di tengah suara tertawanya itu, terdengarlah suara mendesingnya anak panah memecah angkasa sunyi, menyusul lantas terdengar suara pintu digedor dengan keras.

   Hanya sebentar saja pasukan kerajaan Kim sudah menerobos masuk dengan membobol pintu.

   Kiranya Yim Thian-ngo memang sudah sangsi ketika hadir di Cin-wan Piaukiok, setiba kembali di istana Wan-yan Ho, dengan teliti ia menanyai pula Thia Piau, An Tat dan lain-lain, diketahui dua pembantu Ting Sit yang ikut hadir rada mencurigakan, maka Yim Thian-ngo sengaja mendatangi tempat Ting Sit lebih dulu untuk mencari tahu, di luar rumah sudah siap sepasukan tentara, asalkan Yim Thian-ngo memberi tanda, segera pasukan itu akan bergerak untuk menggeledah rumah.

   Sementara itu Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau juga sudah menerjang keluar kamar, tidak kepalang gemas dan kuatir Yim Hong-siau, ia pun menyesali dirinya sendiri yang terlalu polos dan mudah percaya kepada orang lain.

   "Lekas kalian terjang pergi dahulu, adik Eng, biar kami melindungi kalian dari belakang!"

   Seru Siau-hong. Dalam pada itu beberapa perwira tentara sudah menerobos masuk halaman, perwira yang menjadi kepala bergelak tertawa dan berkata.

   "Wah, cantik benar kedua nona ini, kebetulan dapat kita suguhkan kepada Ong-ya, jangan melukai mereka!"

   Dengan gusar Han Pwe-eng lantas menusuk dengan pedangnya. Perwira itu berusaha menangkis dengan goloknya.

   "trang", ujung golok tertabas kutung oleh pedang Pwe-eng. Perwira itu terkejut dan berteriak.

   "He, keji amat perempuan ini!"

   Berturut-turut Han Pwe-eng melancarkan serangan kilat beberapa kali sehingga perwira itu terdesak mundur dengan kelabakan, untung kawannya cepat maju membantu.

   Tiga perwira lainnya juga lantas mencegat Yim Hong-siau, sembari mengerubut ketiga perwira itu bahkan mengeluarkan kata-kata kotor untuk menggoda.

   Tidak kepalang murka Yim Hong-siau, ia berteriak.

   "Kau dengar tidak, ayah? Puterimu dihina orang, tapi kau masih sudi menjadi budak musuh?"

   Beberapa perwira itu melengak kaget, satu di antaranya berkata.

   "Eh, kiranya kau ini anak perempuan Yim-losiansing? Sesungguhnya bagaimana bisa jadi begini, Yim-losiansing?"

   "O, budak ini masih hijau, dasar kepala batu dan salah bergaul, maka diharap kalian suka berlaku murah hati padanya,"

   Kata Yim Thian-ngo walaupun hatinya terasa kikuk. Lalu ia berkata kepada Hong-siau.

   "Anak Siau, lebih baik kau turut saja kataku, untuk lari terang tidak bisa lagi, buat apa kau membela kaum penjahat itu?"

   Sudah murka, sedih pula hati Yim Hong-siau, dengan air mata berlinang ia berkata.

   "Tidak, aku bukan anakmu, aku pun tidak mempunyai ayah yang tidak tahu malu seperti kau ini. Sejak kini kita putus hubungan sebagai ayah dan anak!"

   Sampai kata-kata terakhir ini, sekuatnya goloknya membacok kepala seorang perwira di depannya seakan-akan rasa gemasnya akan dilampiaskan atas diri perwira itu.

   Kesatu, perwira itu tidak berani mengadu jiwa dengan Yim Hong-siau, kedua, ia pun tahu Wan-yan Ho penujui nona Yim ini, maka tidak mungkin ia berani mencelakai Hong-siau.

   Karena itu terpaksa ia melompat ke samping untuk menghindari serangan maut itu.

   Peluang itu tidak disia-siakan oleh Yim Hong-siau, segera ia menerjang ke sana untuk bergabung dengan Han Pwe-eng.

   Setelah kedua nona bergabung, sudah tentu kekuatan mereka bertambah.

   Tapi untuk menerjang keluar halaman rumah seketika juga belum mampu.

   Melihat keadaan sudah kepepet, serentak Kok Siau-hong dan Li Tiong- cu melancarkan serangan dahsyat.

   Li Tiong-cu memainkan senjatanya sepasang Boan-koat-pit (potlot baja), kemana ujung potlotnya menuju, yang diarah selaku Hiat-to mematikan di tubuh musuh.

   Sedangkan Kok Siau- hong juga memutar pedangnya sedemikian hebatnya, ia mainkan Jit-siu- kiam-hoat yang lihai, dan selalu menusuk Hiat-to lawan.

   Betapa pun tinggi kepandaian Yim Thian-ngo, menghadapi kedua lawan muda yang kosen itu, mau tak mau ia pun merasa keder.

   Pikirnya.

   "Ternyata Siau-yang-sin-kang bocah ini telah maju sepesat ini, bahkan Jit-siu-kiam- hoatnya juga jauh lebih lihai daripadaku."

   Selagi Yim Thian-ngo merasa bimbang itulah serentak Siau-hong dan Tiong-cu menyerang terlebih kencang sehingga Yim Thian-ngo terpaksa melangkah mundur, kesempatan itu segera digunakan Siau-hong berdua untuk menerjang ke sana.

   Di bawah berkelabatnya sinar pedang dan bayangan potlot, terdengarlah suara jeritan di sana sini, tiga perwira telah tertotok oleh potlot Li Tiong-cu, dua perwira lain juga dilukai oleh pedang Kok Siau-hong.

   Perwira satunya lagi beruntun kena tusukan pedang Han Pwe-eng dan bacokan golok Yim Hong-siau, keruan seketika binasa.

   Kelima perwira yang terluka itu juga roboh terguling semua.

   Yim Thian-ngo menjadi kuatir dan berteriak minta bantuan, berbareng ia terus menubruk maju dan mencengkeram punggung Kok Siau-hong.

   Meski dia punya Siau-yang-sin-kang dan Jit-siu-kiam-hoat tidak sehebat Kok Siau-hong, tapi latihannya yang berpuluh tahun cukup ulet untuk menghadapi pemuda itu.

   Namun dengan tangkasnya Kok Siau-hong dan Li Tiong-cu dapat melayani setiap serangan Yim Thian-ngo.

   Karena pertarungan yang sukar ditentukan kalah menang ini, di sebelah sana Yim Hong-siau dan Han Pwe- eng sudah berhasil menerjang keluar.

   Dalam pada itu pasukan tentara juga sudah menyerbu ke dalam rumah dan sedang menggeledah segenap pelosok rumah Ting Sit.

   Cuaca malam ini gelap-gulita dan mendung pula, maka cara penggeledahan pasukan tentara itupun dilakukan dengan ngawur.

   Pada suatu tempat, mendadak dari atap rumah menggerujuk sekaleng minyak panas, seketika belasan perajurit dan bintara menjerit kaget karena kulit daging terbakar.

   Kiranya orang yang menyiram minyak panas dari atas itu ialah Ting Sit.

   "Ini dia orang yang kita cari, lekas tangkap dia!"

   Seru seorang perwira.

   Karena seruannya inilah beramai-ramai pasukan tentara itu lantas membanjir ke halaman sebelah sana, kesempatan ini digunakan Han Pwe- eng dan Yim Hong-siau untuk menerjang keluar rumah dengan bebas.

   Cepat Kok Siau-hong membisiki Li Tiong-cu.

   "Lekas kau membantu juragan Ting dan menerjang keluar, nanti kita berkumpul di rumah sahabat she Ho itu."

   Li Tiong-cu mengiakan, segera ia memberondongi Yim Thian-ngo dengan beberapa serangan maut, setelah Yim Thian-ngo terdesak mundur segera ia melompat pergi.

   Menyusul Kok Siau-hong juga berlari ke arah lain, maksudnya hendak memancing Yim Thian-ngo menguber padanya, ia pikir dengan demikian besar artinya bagi Ting Sit yang berkepandaian paling lemah itu.

   Yim Thian-ngo sendiri paling kuatir kalau rahasianya dibongkar oleh Kok Siau-hong apabila pemuda itu sampai lolos, karena pikiran ini dia lantas menguber Kok Siau-hong dan tidak memikirkan Li Tiong-cu.

   Ketika dua perwira tentara merintangi jalan larinya, dengan sigap Kok Siau-hong berhasil mencengkeramnya terus dilemparkan ke arah Yim Thian- ngo, kenal kedua perwira itu cukup berpengaruh di istana pangeran Wan- yan Ho, terpaksa dia menangkap tubuh mereka agar tidak terbanting mampus.

   Kesempatan itu segera digunakan oleh Kok Siau-hong untuk menyelinap ke sana, dalam kegelapan dia lantas mengenakan sehelai baju seragam perajurit musuh yang dia robohkan.

   Ketika Yim Thian-ngo menurunkan kembali kedua perwira tadi, namun bayangan Kok Siau-hong sudah tidak nampak lagi.

   Walaupun Kok Siau-hong sudah dapat lolos keluar rumah Ting Sit, tapi tidak berarti sudah bebas dari bahaya, sebab di luar masih dikepung oleh pasukan tentara.

   Untungnya malam itu gelap-gulita, dengan baju seragam itu dia tidak mudah dikenali musuh, maka akhirnya dia dapat menemukan rombongan Ting Sit di sebelah sana.

   Tiba-tiba di sebelah barat sana ada suara benturan senjata, menyusul ada suara bentakan orang.

   "Kedua budak liar kepergok olehku, masakah kalian mampu kabur?"

   Begitu keras suara bentakan orang itu sehingga anak telinga Kok Siau- hong serasa tergetar.

   Dalam kegelapan tidak kelihatan siapa orang itu, tapi diperkirakan jaraknya beberapa puluh meter di sebelah sana.

   Siau-hong terkejut oleh kekuatan lwekang orang, ia kuatir Han Pwe-eng dan Yim Hong- siau tidak sanggup menghadapinya.

   Segera Siau-hong memburu ke sana, terlihatlah seorang lelaki tinggi besar dengan kepala gundul sedang memutar sebatang tongkat dengan kencang sehingga jalan lari Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau terhalang.

   Begitu dahsyat permainan tongkat lelaki itu sehingga dalam lingkaran beberapa meter luasnya debu pasir berhamburan, pasukan tentara juga tidak mampu mendekat untuk membantunya.

   Tanpa pikir Kok Siau-hong menerjang maju, dengan jurus "Pek-hong- koan-jit" (pelangi putih menembus sinar matahari) segera ia menusuk.

   "Trang", pedang dan tongkat beradu, pedang Siau-hong tergetar dan tangan kesakitan. Orang itu bersuara heran melihat penyerangnya berseragam tentara, bentaknya segera.

   "Siapa kau?"

   Namun Siau-hong tidak menjawab, berulang ia menyerang lagi tiga kali. Dia dapat bekerja sama dengan Han Pwe-eng, gabungan sepasang pedang mereka ditambah sepasang golok Yim Hong-siau cukup kuat untuk menahan tongkat musuh yang hebat itu.

   "Boleh juga kepandaian bocah ini,"

   Bentak lelaki itu.

   "Tapi untuk bisa lolos di bawah tongkatku ini kau masih harus berlatih sepuluh tahun lagi."

   Habis itu ia putar tongkatnya lebih kencang sehingga membawa suara menderu yang dahsyat.

   Kok Siau-hong masih mendingan, tapi Yim Hong- siau yang berkepandaian lebih lemah menjadi tidak tahan, napasnya sesak dan tubuhnya rada sempoyongan.

   Diam-diam Siau-hong terkejut dan heran pula.

   Kiranya dia mengenali ilmu permainan tongkat lelaki itu adalah Hok-mo-tiang-hoat (ilmu permainan tongkat penakluk iblis) dari Siau-lim-pay asli.

   Lelaki itu bernama Soa Yan-liu, dia memang bekas murid Siau-lim-si, cuma sudah berkhianat dan dipecat.

   Akhir ini dia telah dirangkul oleh Wanyan Tiang-ci dan mengabdi kepada pangeran kerajaan Kim itu.

   Begitulah Soa Yan-liu telah putar tongkatnya dengan hebat, Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau merasa kewalahan menghadapi serangan dahsyat ini.

   Untunglah Kok Siau-hong selalu membantu mereka pada saat yang tepat apabila mereka terancam, malahan beberapa kali Soa Yan-liu terpaksa harus memutar balik tongkatnya untuk menangkis serangan Kok Siau-hong.

   Soa Yan-liu bersuara heran, bentaknya.

   "Tampaknya kau memainkan Jit- siu-kiam-hoat. Apakah kau ini Kok Siau-hong?"

   "Benar, seorang lelaki sejati tidak perlu memakai nama palsu, memang aku inilah Kok Siau-hong adanya, kau mau apa?"

   Jawab Siau-hong.

   "Ha, ha, ha! Bagus, aku justru hendak membekuk kau!"

   Seru Soa Yan-liu dengan tertawa.

   Sekali tongkatnya berputar ia sampuk pedang Han Pwe-eng dan golok Yim Hong-siau ke samping, menyusul tongkatnya yang besar dan berat itu terus mengemplang sekuatnya ke kepala Kok Siau-hong.

   Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara seruling yang lembut tetapi jelas meski di tengah suasana yang ribut oleh pertempuran itu.

   Soa Yan-liu terkejut dan membentak.

   "Siapa itu yang datang!"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam pada itu secepat terbang Li Tiong-cu sudah memburu tiba dengan seruling kemala mestika.

   Sekali serulingnya menotok, serentak ia incar tiga Hiat-to maut di tubuh Soa Yan-liu.

   Terpaksa Soa Yan-liu tarik kembali tongkatnya untuk menjaga diri.

   Sungguh tidak kepalang kejut Soa Yan-liu oleh serangan Li Tiong-cu itu.

   Nyata sekali-serangan Li Tiong-cu telah membikin gentar Soa Yan-liu dengan Keng-sin-pit-hoat yang lihai.

   "He, he, kau tidak kenal aku tentunya juga kenal serulingku ini!"

   Jengek Tiong-cu kemudian.

   "Hah, memangnya guruku sedang mencari kau, jika berani janganlah kau lari!"

   Tentu saja Soa Yan-liu melengak kaget, ia menegas.

   "Kau ini murid Bu- lim-thian-kiau?"

   Selagi orang merandek itulah Li Tiong-cu lantas berseru kepada kawannya.

   "Nona Yim dan nona Han, lekas kalian pergi! Murid murtad Siau-lim-si ini biar dihajar adat oleh guruku nanti!"

   Mau tak mau Soa Yan-liu menjadi sangsi dan kuatir, ia pikir kalau benar Bu-lim-thian-kiau berada di sini, jelas aku bukan tandingannya.

   Entah ucapan bocah ini betul atau tidak, tapi daripada tidak percaya lebih baik berjaga dulu segala kemungkinan.

   Dahulu Soa Yan-liu pernah merasakan kelihaian Bu-lim-thian-kiau, maka dia benar-benar sudah kapok, mendengar nama Bu-lim-thian-kiau saja nyalinya sudah rontok.

   Dalam pada itu jejak rombongan Kok Siau-hong sudah ketahuan, beramai-ramai pasukan tentara yang sedang menggeledah itu lantas merubung ke sini.

   Yim Thian-ngo juga berada di tengah pasukan itu, dari jauh ia mendahului bersuit panjang.

   Mendengar suara suitan Yim Thian-ngo itu, giranglah hati Soa Yan-liu, rasanya seperti terhindar dari beban yang berat.

   Cepat ia melompat keluar kalangan, sembari lari sambil berseru.

   "Yim-lotoa, lekas ke sini! Kita membagi dua jurusan untuk mengejar musuh. Kok Siau-hong berada di sini, kuserahkan padamu untuk membekuknya."

   Padahal dia cuma menggunakan alasan mengejar Pwe-eng dan Hiong- siau belaka, yang benar dia ingin menyelamatkan diri sendiri.

   Di tengah kegelapan itu Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau entah sudah lari kemana, namun Kok Siau-hong harus berkuatir bagi mereka kalau sampai tersusul oleh Soa Yan-liu.

   Segera ia berkata kepada Tiong-cu.

   "Li- heng, harap kau pergi melindungi Pwe-eng berdua, aku sendiri yang menghadapi Yim Thian-ngo."

   Li Tiong-cu mengiakan setelah memberi pesan agar Siau-hong hati-hati menghadapi Yim Thian-ngo. Segera Kok Siau-hong menerjang ke tengah pasukan musuh, beberapa perajurit dapat dirobohkannya. Tapi mendadak suara seorang tua mengejeknya.

   "Hm, Kok Siau-hong, apakah kau ingin bersembunyi lagi? Hayo lekas ikut aku pulang saja!"

   Ternyata Yim Thian-ngo sudah berada di sampingnya.

   Meski Siau-hong memakai baju seragam musuh, dalam kegelapan perajurit musuh tidak mengenalinya, tapi mana bisa mengelabui mata Yim Thian-ngo? Siau-hong menanggalkan baju seragam itu terus mengebut ke arah Yim Thian-ngo, berbareng pedangnya lantas menusuk di bawah aling-aling baju itu.

   "Bret", baju seragam itu terobek oleh jari Yim Thian-ngo.

   "Ha, ha, kau masih berani bergebrak dengan aku?"

   Bentaknya sambil memukul tiga kali beruntun, angin pukulannya yang dahsyat membikin ujung pedang Kok Siau-hong terguncang ke samping, malahan beberapa perajurit Kim yang tidak tahan oleh sambaran angin pukulannya itu ikut terguling, seketika suasana menjadi kacau-balau.

   Selagi Kok Siau-hong terancam bahaya, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tahu-tahu Han Pwe-eng muncul di sampingnya, secepat kilat pedang si nona lantas menusuk tenggorokan Yim Thian-ngo.

   Siau-hong terkejut dan bergirang pula, cepat ia berseru.

   "Adik Eng, jangan urus diriku, lekas lari saja!"

   "Hm, kedatangan budak busuk ini sangat kebetulan, kalian berdua jangan harap bisa lolos dari tanganku!"

   Jengek Yim Thian-ngo.

   Melihat gelagat jelek, terpaksa Kok Siau-hong mengeluarkan serangan berbahaya, pedang dan pukulan digunakan sekaligus, mendadak ia menerjang maju, pedang menusuk bahu musuh dan pukulan mengarah dada.

   Namun Yim Thian-ngo sempat menggeser ke samping.

   "blang", ia sambut pukulan Kok Siau-hong itu dengan keras lawan keras. Pukulan Kok Siau-hong itu telah mengerahkan segenap kekuatan Siau- yang-sin-kang yang dimilikinya, meski dia kalah ulet daripada Yim Thian- ngo, tapi dalam hal Siau-yang-sin-kang dia lebih hebat. Setelah mengadu pukulan, Kok Siau-hong tergetar mundur beberapa tindak, kontan darah segar tersembur dari mulutnya. Sebaliknya lengan Yim Thian-ngo juga terasa kaku kesemutan seketika. Cepat Han Pwe-eng menarik Siau-hong untuk melarikan diri sambil tanya keadaannya.

   "Aku tidak apa-apa dan dapat menggunakan Ginkang,"

   Jawab Siau-hong.

   "Tapi bagaimana dengan Piau-moay?"

   "Entahlah, dia terpencar dengan aku, mungkin sudah lolos keluar!"

   Tutur Pwe-eng.

   Tadi ketika melihat Kok Siau-hong terancam bahaya, tanpa pikir ia memburu balik untuk membantunya dan tidak sempat mengurus Yim Hong-siau lagi.

   Dalam kegelapan ketika mendadak terpencar dengan Han Pwe-eng, tentu saja Hong-siau menjadi gugup, terpaksa ia menyelamatkan diri tanpa membedakan arah, sedapatnya dia menghindari pengejaran musuh.

   Sedang berlari-lari, tiba-tiba tertampak di depan ada sebuah hutan.

   Hati Hong-siau tergerak, pikirnya.

   "Apakah mungkin tempat ini yang disebut Thian-tam? Kabarnya tempat ini terlarang didatangi orang biasa, hanya keluarga kerajaan saja yang boleh berkunjung ke sini. Tapi peduli amat, untuk bersembunyi sementara rasanya tempat ini sangat tepat bagiku."

   Apa yang disebut "Thian-tam"

   Atau panggung langit itu adalah tempat sembahyang "memuja langit"

   Bagi raja.

   Seluas beberapa lie di sekitar Thian- tam itu ditanami pohon cemara sehingga berwujud hutan cemara yang rindang, di tengah hutan terdapat beberapa istana megah, setiap tahun raja sekali atau dua kali mengadakan sembahyang, karena itu pada hari biasa juga dijaga oleh perajurit.

   Cuma tempat terlarang bagi umum, dengan sendirinya tiada orang yang berani melanggar sehingga penjagaan boleh dikata dilakukan sekadarnya saja, penjaganya juga sangat terbatas.

   Begitulah Yim Hong-siau lantas menyusup ke dalam hutan cemara itu, benar saja ia lihat beberapa perajurit sedang ronda di sebelah sana, sudah tentu tidak menduga daerah terlarang itu akan didatangi seorang nona jelita.

   Tak terduga selagi Hong-siau menyusur ke depan sana dengan perlahan, sekonyong-konyong cahaya api berkelebat, seorang mendadak muncul di depannya.

   Sungguh tidak kepalang kaget Yim Hong-siau ketika mengenali orang ini ternyata Wan-yan Ho adanya.

   Sebelah tangan Wan-yan Ho memegang api dan tangan lain memegang kipas, dengan cengar-cengis sambil mengebas kipasnya Wan-yan Ho berkata.

   "Hi, hi, kiranya kau, nona Yim, sunggguh cocok dengan peribahasa yang mengatakan, kalau jodoh hendak kemana!"

   Tanpa bicara Yim Hong-siau terus membacok dengan goloknya, tapi Wan-yan Ho lantas memadamkan api, kipasnya menyampuk perlahan dan berkata pula.

   "Eh, nona Yim, kenapa kau berubah menjadi tidak berbudi dan lupa kebaikan. Bukankah kita pernah menjadi teman akrab? Siang dan malam aku pun senantiasa rindu padamu."

   Sudah malu, gemas pula Yim Hong-siau, dengan suara tertahan ia mendamprat.

   "Persetan, siapa yang sudi berteman dengan kau?" ~ Sret-sret- sret, sekaligus ia menyerang beberapa kali secara membadai. Namun Wan-yan Ho dapat mematahkan setiap serangan itu dengan kipasnya, dengan tertawa ia berolok-olok pula.

   "He, kan ayahmu sudah menerima lamaranku, kalau kau membunuh aku berarti membunuh suami sendiri, kenapa kau begini tega? Kukira lebih baik kau ikut aku pulang saja!" ~ Sembari bicara kipasnya menahan golok si nona, tangan lain segera hendak mencengkeramnya. Dada Yim Hong-siau hampir meledak saking gusarnya. Tapi apa daya, ia menyadari bukan tandingan orang, terpaksa ia putar tubuh dan lari. Dalam pada itu perajurit yang sedang ronda itupun sudah mendengar suara ribut itu, segera mereka membentak.

   "Siapa itu?"

   Wan-yan Ho balas membentak.

   "Aku! Tidak ada apa-apa, lekas kalian menyingkir ke sana, yang jauh!"

   Meski perajurit itu jelas mendengar ada suara dua orang, tapi Wan-yan Ho sudah bersuara, terpaksa mereka tidak berani ikut campur dan lekas menyingkir.

   Dalam kegelapan Yim Hong-siau menyelinap kian kemari di tengah hutan cemara itu.

   Tiba-tiba terlihat di depan ada cahaya kemilau kuning keemasan, sebuah bangunan yang aneh muncul di depan laksana sebuah payung raksasa berwarna emas bertengger di udara.

   Kiranya bangunan aneh ini disebut "Hong-kiong-ih", salah satu di antara ketiga istana yang berada di Thian-tam ini.

   Bentuk Hong-kiong-ih itu bundar bagian atapnya tanpa saka penyangga, gentingnya terdiri dari kaca warna biru langit yang dicat emas.

   Sebab itulah dipandang dari jauh mirip sebuah payung biru beratap emas.

   Hong-kiong-ih adalah tempat terlarang di daerah terlarang itu, jadi perajurit penjaga juga tidak boleh memasuki tempat itu.

   Sudah tentu hal ini tidak diketahui oleh Yim Hong-siau.

   Begitulah dia menjadi heran melihat bentuk bangunan yang aneh itu, ia pikir di dalam entah ada orang atau tidak? Seketika ia menjadi ragu-ragu untuk bersembunyi ke dalam bangunan aneh itu.

   Tiba-tiba terdengar suara Wan-yan Ho sedang berkata padanya.

   "Jangan takut, nona Yim, setiba di sini, kita takkan diganggu oleh orang lain lagi."

   Suara Wan-yan Ho itu seperti berbunyi di tepi telinganya, keruan Hong- siau kaget.

   Cepat ia membalik terus membacok dengan goloknya, tapi tiada suatu pun yang kena diserangnya.

   Kiranya dinding luar Hong-kiong-ih itu dibuat dengan batu bata khusus yang tembus suara, namanya "Hwe-im-pi" (tembok tembus suara).

   Jika dua orang berdiri pada kedua belah dinding itu, seorang bicara dengan berbisik menempel dinding, maka gelombang suara itu akan tembus dan didengar oleh orang yang lain, jadinya seperti alat telepon pada zaman kini.

   Sudah tentu Yim Hong-siau tidak tahu rahasia itu, maka ketika Wan-yan Ho bicara dengan menempel dinding, ia menjadi kaget dan sangsi.

   Padahal Wan-yan Ho sama sekali belum tahu dia berada di mana.

   Tengah Hong-siau merasa sangsi dan bingung, mendadak suara Wan- yan Ho berkata pula.

   "Aku berada di sini, nona Yim!"

   Kini tampak jelas Wan-yan Ho sedang melangkah ke arahnya dengan mengebas kipasnya. Karena di belakangnya adalah dinding, Yim Hong-siau menghadapi jalan buntu, baru sekarang dia merasa terjebak.

   "Tempat ini memang tempat paling baik untuk pertemuan rahasia, kebetulan kau datang ke sini, ini suatu tanda kita memang ditakdirkan berjodoh,"

   Demikian Wan-yan Ho berkata pula dengan tertawa.

   "Untuk berkelahi terang kau bukan tandinganku, maka lebih baik kita bicara cara damai saja."

   Tapi Hong-siau mengertak gigi dan putar sepasang goloknya dengan kencang, ia menyerang serabutan sambil membentak.

   "Biar bukan tandinganmu juga akan kuadu jiwa dengan kau!"

   "He, kau hendak membunuh suami sendiri, tapi aku yang sayang kehilangan calon isteri cantik seperti kau ini!"

   Wan-yan Ho berolok pula. Kipasnya juga bergerak dengan cepat, hanya beberapa jurus saja.

   "trang", sebelah golok Yim Hong-siau telah disampuk terlepas dari cekalan.

   "Nah, apa kataku? Apa masih harus berkelahi lagi?"

   Demikian Wan-yan Ho berolok pula dengan senang.

   "Tapi, ai, biarpun kau tidak punya perasaan, tidak boleh aku tidak berbudi. Eh, marilah kucium kau!"

   Dalam keadaan kepepet, baru saja Yim Hong-siau bermaksud membunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding, tiba-tiba suara seorang yang sudah dikenalnya berseru.

   "Jangan takut, nona Yim! Ini aku sudah datang!"

   Ketika merasa angin berkesiur dari belakang, cepat Wan-yan Ho memutar kipasnya terus menotok pergelangan tangan pendatang itu.

   Orang itu bersenjatakan sebatang Giok-siau atau seruling kemala.

   Sedikit mengelak, kontan seruling orang itu balas menotok Thian-cu-hoat di punggung Wan-yan Ho.

   Wan-yan Ho sempat memutar kipasnya lagi untuk menangkis, benturan seruling dan kipas tak terhindarkan lagi.

   "trang", terdengar suara melengking nyaring. Wan-yan Ho tidak mampu menyampuk jatuh seruling lawan, malahan terasa suatu arus hawan panas menyembur ke arahnya, punggungnya laksana terbakar. Dalam kagetnya cepat ia melompat pergi beberapa meter jauhnya.

   "Siapa kau?"

   Bentak Wan-yan Ho. Namun orang itu terus membayangi Wan-yan Ho, serulingnya kembali menotoknya pula sambil menjengek.

   "Hm, kau tidak kenal diriku, sedikitnya kau kan harus kenal serulingku ini?"

   Kiranya pendatang ini bukan lain daripada murid Bu-lim-thian-kiau, yaitu Li Tiong-cu.

   Ilmu Tiam-hiat kebanggaan Bu-lim-thian-kiau, yakni Keng-sin-pit-hoat, berasal dari penyelamannya atas gambar pusaka Hiat-to-tong-jin.

   Hiat-to- tong-jin atau patung tembaga yang penuh terukir titik-titik Hiat-to di tubuh manusia itu sebenarnya adalah pusaka istana kerajaan Song yang dirampas oleh bangsa Kim dan selama ini tersimpan di istana kerajaan Kim.

   Untuk mempelajari rahasia ilmu Tiam-hiat yang terlukis pada patung tembaga itu, Wanyan Tiang-ci, ayah Wan-yan Ho pernah mendirikan suatu "lembaga riset"

   Khusus dengan mengundang semua ahli ilmu silat negeri Kim untuk menyelidikinya, hasilnya adalah tigabelas halaman gambar pemecahannya.

   Ketigabelas gambar pusaka itu hanya Bu-lim-thian-kiau dan Wanyan Tiang-ci saja yang pernah membacanya secara lengkap, cuma kesimpulan yang mereka tarik berbeda-beda, namun perbedaan itupun tidak banyak.

   Sebab itulah ilmu menotok dengan seruling Li Tiong-cu dan ilmu menotok dengan kipas Wan-yan Ho boleh dikata berasal dari suatu sumber yang sama (tentang Hiat-to-tong-jin harap baca Musuh Di Dalam Selimut dan Pendekar Latah).

   Biasanya Wanyan Tiang-ci dan Wan-yan Ho paling jeri terhadap Bu-lim- thian-kiau sebab itulah Wan-yan Ho sangat terkejut demi mengenal seruling Li Tiong-cu itu.

   Yim Hong-siau sempat menjemput kembali goloknya yang jatuh tadi dan berseru kegirangan.

   "Li-toako, kedatanganmu sangat kebetulan, bekuk dulu keparat itu."

   Sembari mematahkan beberapa serangan Li Tiong-cu, Wan-yan Ho lantas balas membentak.

   "Bagus, kiranya kau ini murid Tam Ih-tiong, sudah lama Tam Ih-tiong bersekongkol dengan negara musuh, kami sedang mencari dia dan akan membekuknya, maka sekarang kau pun jangan harap bisa lolos dari tanganku!"

   OoOOoo M,"

   Jengek Li Tiong-cu sambil melancarkan serangan kilat.

   "apa susahnya jika kau ingin mencari guruku? Sebentar lagi beliau juga akan datang, ha, ha, kukira kau sendiri yang tidak mampu menangkapnya."

   Sebenarnya ucapan Wan-yan Ho tadi hanya bertujuan memancing yaitu ingin tahu apakah Bu-lim-thian-kiau juga datang ke Tay-toh atau tidak.

   Keruan ia bertambah kuatir demi mendengar jawaban Li Tiong-cu itu.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanpa ayal Li Tiong-cu melancarkan serangan maut lagi, mendadak serulingnya bergerak satu lingkaran, sekaligus empat Hiat-to di tubuh Wan- yan Ho terancam.

   "Kalau bisa tangkap saja dia hidup-hidup, Li-toako!"

   Seru Hong-siau pula sembari menerjang maju untuk membantu, goloknya berkelebat, secepat kilat menabas kaki musuh.

   Maksud Yim Hong-siau hendak menawan Wan-yan Ho untuk dijadikan sandera agar mereka dapat melarikan diri dari kepungan musuh.

   Tapi ucapannya tadi sekaligus menyadarkan Wan-yan Ho.

   Jilid 41

   "H Pangeran muda itu cukup cerdik, segera ia dapat meraba maksud tujuan ucapan Yim Hong-siau itu. Ya, apabila benar Bu-lim-thian-kiau sebentar lagi juga akan datang seperti kata Li Tiong-cu tadi, maka tentunya mereka tidak perlu berusaha keras menangkap diriku. Tentu kata-kata Li Tiong-cu tadi hanya gertak sambal belaka. Begitulah hati Wan-yan Ho menjadi mantap. Segera ia layani serangan kedua lawan dengan tenang. Mendadak sebelah kakinya menendang Yim Hong-siau, sedangkan kipasnya digunakan mematahkan serangan Li Tiong- cu. Hong-siau terpaksa berkelit, tapi Wan-yan Ho terdesak mundur beberapa tindak lagi oleh serangan Li Tiong-cu yang lihai.

   "Mau lari kemana?"

   Bentak Li Tiong-cu sambil menubruk maju, serulingnya lantas menotok Hiat-to di punggung musuh. Cepat Wan-yan Ho menangkis dengan kipasnya.

   "cring", terdengar kumandang suara yang amat nyaring. Sekali Li Tiong-cu memainkan Keng-sin-pit-hoat, segera susul menyusul ia menyerang terlebih cepat. Kembali seruling dan kipas beradu pula, sekali ini terlebih aneh, suara kumandang yang terdengar ada dua kali. Menyusul Li Tiong-cu menyerang lagi dan untuk ketiga kalinya seruling dan kipas saling bentur, suara kumandang yang terbit sekali ini ada tiga kali dan semakin nyaring malah. Li Tiong-cu tercengang, ia tidak tahu mengapa bisa menimbulkan kumandang suara yang begitu aneh. Kesempatan itu segera digunakan Wan- yan Ho untuk melayang ke sana sambil menjengek.

   "Hm, kau berani menggertak aku, sekarang kau sendiri jangan harap bisa lolos. Hai, majulah!"

   Kiranya tempat pertarungan mereka itu adalah lantai batu di depan undak-undakan "Hong-kiong-ih".

   Tiga potong balok batu itu disebut "Sam- im-ciok" (batu tiga nada), jika berdiri di atas balok batu pertama, baik berteriak atau tepuk tangan satu kali, maka segera terdengar kumandang suara yang membalik satu kali.

   Kalau berdiri pada batu kedua dan ketiga dan berbuat cara yang sama, maka kumandang suara yang terdengar adalah dua dan tiga kali.

   Hal ini terjadi karena gelombang suara itu terpantul balik dari jarak yang tidak sama melalui "Hwe-im-pik" (dinding kumandang suara) yang bundar itu, makanya suara yang berkumandang kembali itupun tidak sama jumlahnya, sudah tentu Li Tiong-cu tidak paham keajaiban ilmu suara yang aneh itu.

   (800 tahun yang lalu ahli bangunan di Tiongkok sudah paham prinsip ilmu suara dan menciptakan "Hwe-im-pik"

   Dan "Sam-im- ciok"

   Sehingga membuat heran sarjana barat).

   Tapi segera Li Tiong-cu berpikir apabila kumandang suara itu didengar oleh para Busu yang sedang ronda, tentu tempat mereka berada itu akan ketahuan, maka ia pikir Wan-yan Ho harus dibekuk secepatnya.

   Dalam pada itu tertampak Wan-yan Ho telah melompat ke atas sebuah altar batu putih yang bersusun tiga dan berbentuk bulat.

   Tiong-cu tidak tahu bahwa altar bulat inilah altar sembahyang yang biasa digunakan raja, tanpa pikir ia terus mengudak ke atas sambil membentak.

   "Mau lari kemana!"

   Karena bentakannya ini, seketika kumandang suaranya berjangkit susul menyusul dari segenap penjuru dan memekakkan anak telinga. Kiranya altar sembahyang raja itu disebut "Koan-ciu"

   Yang dibangun menurut prinsip ilmu suara juga, malahan secara keseluruhan telah digunakan ilmu ukur dengan sangat tepat dan bagus, seperti halnya Hwe-im- pik dan Sam-im-ciok, altar "Koan-ciu"

   Inipun terhitung suatu keajaiban dalam sejarah bangunan di Tiongkok.

   Altar sembahyang raja adalah tempat maha suci, tapi kini telah digunakan sebagai arena pertarungan, mungkin hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.

   Sudah tentu Li Tiong-cu dan Yim Hong-siau tidak tahu menahu mengenai tempat keramat itu, mereka anggap tempat luas itu justru lebih menguntungkan untuk digunakan sebagai arena pertempuran.

   Sebaliknya Wan-yan Ho melayani serangan mereka di atas altar itu karena terpaksa, maka dalam hati sebenarnya ia merasa tidak tenteram, sebab sudah jelas ia telah melanggar memasuki tempat terlarang.

   Yang menguntungkan dia ialah suara pertempuran mereka di atas altar itu akan dapat terdengar hingga jauh oleh para Busu atau penjaga, asal dia bertahan lagi sebentar tentu bala bantuan dapat diharapkan akan tiba.

   Ia pikir jika nanti kedua bocah ini dapat ditawan, kecuali anak buahku yang terpercaya, selebihnya akan kubunuh semua agar rahasia kedatanganku ke tempat terlarang ini tidak tersiar dan diketahui raja.

   Akan tetapi untuk bertahan sebentar saja ternyata tidak semudah sebagaimana dia sangka.

   Kepandaian Li Tiong-cu memangnya lebih tinggi daripada dia, ditambah lagi Yim Hong-siau juga ikut mengerubutnya, maka hanya belasan jurus saja berulang kali dia harus menghadapi bahaya.

   Di tengah pertarungan sengit itu terdengarlah suara orang berlari mendatangi dari berbagai arah, cepat Wan-yan Ho pura-pura menyerang satu kali, lalu ia melompati langkah altar dan turun ke tingkat kedua.

   Namun Li Tiong-cu terus membayanginya dengan cepat, ia pun ikut melompat ke bawah, serulingnya segera menotok Hiat-to di punggung Wan-yan Ho.

   Tanpa pikir Wan-yan Ho menyampuk dengan kipasnya sehingga seruling tersampuk melenceng ke samping.

   Tenaga kedua orang seimbang, tapi Li Tiong-cu menubruk dari atas, tenaganya menjadi lebih besar.

   Maka terdengarlah suara "crat"

   Satu kali, kipas lempit Wan-yan Ho berlubang tertusuk oleh seruling. Seruling yang rada melenceng tersampuk itu masih membawa sisa tenaga totokan dan masih sempat mengenai "Hong-hu-hiat"

   Di pinggang Wan-yan Ho.

   Kontan Wan-yan Ho terjungkal ke bawah, ia jatuh terperosot dari tingkat kedua altar ke tingkat pertama.

   Untung tenaga totokan seruling Li Tiong-cu itu adalah sisa tenaga yang masih ada, walaupun Hiat-to itu tertotok, tapi cuma membuat Wan-yan Ho kaku kesemutan saja dan tidak sampai membuatnya pingsan.

   Dengan cepat sekali Yim Hong-siau juga sudah melompat ke bawah.

   Tapi pada saat yang sama dua Busu anak buah Wan-yan Ho juga sudah hampir sampai di altar itu.

   Dalam keadaan kepepet, Wan-yan Ho pikir asal dapat bertahan sebentar lagi tentu anak buahnya akan dapat membantunya.

   Karena itu sekuatnya ia gunakan jurus penolong terakhir, mendadak ia sambitkan kipasnya ke arah Yim Hong-siau yang sedang menubruk padanya itu.

   Namun Yim Hong-siau sempat berjumpalitan satu kali di udara, kedua goloknya membacok dengan menyilang.

   "trang", kipas yang menyambar tiba itu terbentur dengan tepat, kipas itu dan goloknya tergetar jatuh bersama. Tangan Yim Hong-siau juga kesemutan, waktu kakinya menancap tanah, tanpa kuasa ia rada sempoyongan. Li Tiong-cu terkejut, cepat ia pegangi Yim Hong-siau sambil bertanya lirih.

   "Kenapa kau?"

   "Tidak apa-apa, lekas kau kejar musuh!"

   Jawab Hong-siau. Tengah bicara, dua Busu sudah sampai di bawah altar.

   "Tidak keburu lagi, biarlah kelak kita membikin perhitungan dengan dia,"

   Ujar Li Tiong-cu, ia jemput kembali golok Hong-siau, kedua orang itu lantas melayang ke jurusan lain dengan Ginkang yang tinggi.

   "Di sini pembunuhnya!"

   Seru kedua Busu itu sambil menguber ke sana.

   Waktu itu Li Tiong-cu berdua sedang melompat ke bawah dari atas altar, tanpa pikir serulingnya lantas menghantam musuh.

   Ilmu silat kedua Busu itu meski lumayan, tapi mana sanggup menangkis serangan lihai dan kuat itu.

   Terdengarlah suara berdering beradunya senjata, golok seorang Busu tergetar hingga mencelat.

   Ketika kakinya menempel tanah, tangan Li Tiong- cu yang lain terus menyambar pula bandulan berantai Busu satunya lagi yang sedang menyerangnya, sekali pegang terus ditarik, tanpa ampun Busu itu terseret maju, segera Tiong-cu membekuknya terus dilemparkan ke belakang.

   Kebetulan Busu itu terlempar ke tingkat pertama altar tadi dan jatuh di samping Wan-yan Ho.

   Tanpa bicara Wan-yan Ho menotok pinggang Busu itu, terdengar suara jeritan Busu itu, kontan jiwanya melayang Maklumlah, meski Wan-yan Ho sendiri sudah terhindar dari bahaya, tapi jejaknya yang melanggar tempat terlarang altar suci itu dengan sendirinya tidak ingin dilihat orang lain.

   Sebab itulah meski Busu itu terhitung orang kepercayaannya, namun tidak urung terbinasa olehnya.

   Busu yang bergolok tadi terperanjat ketika mendengar jeritan kawannya, keringat dingin seketika mengucur.

   Ia yakin kawannya tidak mungkin terbanting mampus di atas altar itu, sedangkan di atas sana tiada orang lain kecuali Wan-yan Ho, jelas kawannya itu telah dibunuh oleh junjungannya sendiri yang kejam itu.

   Segera pula Busu ini menyadari persoalannya tentang tempat suci yang terlarang didatangi itu, pantas kalau Siau-ongya membinasakan kawannya itu untuk menghilangkan saksi.

   Jika sekarang aku berlagak tidak tahu, mungkin Siau-ongya takkan membikin susah diriku.

   Demikian ia berpikir.

   Setelah ambil keputusan itu, segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.

   Sementara itu kawanan Busu yang lain sudah memburu tiba, cepat Busu pertama tadi mencegah mereka dan memberitahukan keadaan Siau- ongya yang tidak tercidera itu, mereka dianjurkan lekas meninggalkan daerah terlarang itu.

   Untung juga kawanan Busu itu tidak jadi memburu ke altar suci itu sehingga kesempatan itu dapat digunakan oleh Li Tiong-cu dan Yim Hong- siau untuk meloloskan diri.

   Hanya sebentar saja kembali mereka sudah berada di tengah hutan cemara yang lebat dan gelap gulita.

   Di tengah hutan yang sukar membedakan arah itu, dengan suara perlahan Hong-siau berkata.

   "Wah, kemana kita harus menuju untuk bisa keluar dari hutan ini?"

   Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara seorang tua menjengek.

   "Hm, budak liar dan anak busuk, kalian kepergok olehku, jangan kalian harap bisa lolos!"

   Berbareng itu terasa angin dingin yang merasuk tulang menyambar tiba dengan dahsyat.

   Kiranya kakek yang mereka pergoki ini bukan lain daripada Cu Kiu-bok, itu gembong iblis yang sama terkenalnya dengan Sebun Bok-ya.

   Karena Sebun Bok-ya masih belum sembuh dari lukanya, maka hanya Cu Kiu-bok saja yang mengiringi Wan-yan Ho sebagai pengawal yang paling diandalkan.

   Dasar lwekang Li Tiong-cu cukup kuat sehingga dia masih sanggup melawan hawa dingin pukulan Siu-lo-im-sat-ciang Cu Kiu-bok, tapi kekuatan Yim Hong-siau lebih lemah, tanpa terasa ia menggigil kedinginan.

   Segera Tiong-cu angkat serulingnya dan meniup, suatu arus hawa hangat segera disemburkan.

   Untunglah dia memiliki senjata mestika hawa panas yang tertiup dari seruling kemala itu cukuplah untuk menahan sekadarnya hawa dingin Siau-lo-im-sat-ciang musuh itu.

   Cu Kiu-bok rada terkejut dan heran oleh Keng-sin-pit-hoat Li Tiong-cu itu, ia pikir ilmu Tiam-hiat bocah ini mengapa begini hebat? Maka ia pun tidak berani meremehkan lawan lagi, segera ia keluarkan Siu-lo-im-sat-kang sepenuh tenaganya hingga mencapai tingkat kedelapan, berturut-turut ia menyerang tiga kali.

   Li Tiong-cu merasakan dingin luar biasa, tapi dia memiliki seruling pusaka, betapa pun dia masih dapat bertahan sekuatnya.

   Yang payah adalah Yim Hong-siau, ia kedinginan hingga darah serasa beku, giginya berkertukan.

   Diam-diam Tiong-cu mengeluh kuatir, sebentar lagi nona itu mungkin bisa celaka.

   Cu Kiu-bok bergelak tertawa, katanya.

   "Ha, ha, mengingat kau ini anak perempuan Yim Thian-ngo, maka aku takkan membikin susah kau, kemari saja!" ~ Berbareng lengan bajunya lantas mengebut, seruling Li Tiong-cu disampuk ke samping, tangan lain terus mencengkeram Yim Hong-siau. Dalam keadaan terdesak, biarpun Li Tiong-cu ingin menolong juga tidak keburu lagi. Selagi Cu Kiu-bok sangat senang karena mengira si nona akan dapat dibekuknya tanpa susah, tiba-tiba sesosok bayangan menubruk tiba secepat kilat. Sebagai tokoh silat kelas wahid, pancaindera Cu Kiu-bok sangat tajam, tubrukan orang itu sebelumnya sudah diketahuinya. Cuma dia mengira orang itu adalah Busu anak buah Wan-yan Ho, maka tidak diperhatikannya. Di luar dugaan, begitu dekat segera orang itu membacok dengan goloknya. Ketika mendengar suara menyambarnya senjata tajam barulah Cu Kiu- bok terkejut, untung ilmu silatnya memang hebat, pada detik terakhir ia sempat menggeser, tangannya membalik untuk menyampuk senjata musuh. Permainan golok penyergap itupun sangat lihai, dia ternyata tidak gentar terhadap Siau-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok yang hebat itu, dengan cepat goloknya berputar dan susul-menyusul ia menyerang pula. Sekaligus delapanbelas kali ia membacok dan menabas dari berbagai penjuru. Di tengah hutan lebat itu gelap-gulita, tapi Cu Kiu-bok terlatih akan penglihatan di malam gelap, jaraknya juga cukup dekat, maka samar-samar ia dapat melihat penyerang itu memakai seragam pasukan pengawal kerajaan Kim.

   "Kita adalah orang sendiri, kedua orang itulah musuh!"

   Cepat Cu Kiu- bok berseru.

   Li Tiong-cu juga sudah dapat melihat seragam perwira Kim orang itu, maka cepat ia tarik Yim Hong-siau dan diajak lari.

   Anehnya perwira Kim itu ternyata tidak memburu mereka, sebaliknya masih tetap melibatkan Cu Kiu- bok dalam pertarungan sengit.

   Cu Kiu-bok menjadi ragu-ragu dan tidak berani mengeluarkan serangan maut, tapi lantaran inilah ia sendiri hampir dimakan oleh golok lawan, dengan gusar ia berteriak.

   "Kau dengar tidak kataku? Aku ini Cu Kiu-bok, kau salah menyerang kawan sendiri, lekas mengejar kedua musuh itu!"

   Baru sekarang perwira itu menanggapi.

   "Cu Kiu-bok apa? O, barangkali kau ini orang she Cu yang baru diundang oleh Ongya itu?"

   "Benar, aku inilah Cu Kiu-bok adanya!"

   Kata Kiu-bok pula. Tapi mendadak perwira itu mendengus.

   "Hm, aku tidak percaya, Cu Kiu- bok adalah jago undangan Ong-ya, masakah Ong-ya tidak memberi pesan padanya agar jangan memasuki daerah terlarang yang menjadi tempat suci Sri Baginda ini? Tapi kau berani memasuki daerah Koan-ciu ini, terang kau bukan Cu Kiu-bok!"

   Seketika Cu Kiu-bok menyadari kesalahannya sehingga berkeringat dingin, pikirnya.

   "Ya, memang benar. Jika dia tidak mengingatkan aku, hampir saja aku melanggar peraturan yang tidak dapat diampuni!" ~ Maka cepat ia menjawab.

   "Tadi kudengar suara panggilan Siau-ongya di sebelah sini, aku tidak tahu di depan sana adalah Koan-ciu yang dilarang didatangi."

   "Ngaco-belo, mana bisa Siau-ongya berada di tempat suci ini? Kulihat dia sekarang berada di belakang Hong-kiong-ih sana,"

   Kata perwira itu.

   "Tapi kau ini Cu Kiu-bok betul!"

   Dengan ilmu Siau-lo-im-sat-kang yang terkenal, betapa pun Cu Kiu-bok tak dapat mengelabui orang, terpaksa ia menjawab sebenarnya.

   "Ya, memang betul aku ini Cu Kiu-bok adanya, tapi aku sendiri tidak..... tidak tahu....."

   "Tidak tahu tidak dapat disalahkan,"

   Ujar perwira itu.

   "Untung kau belum sampai memasuki Koan-ciu, maka kau tidak perlu banyak bicara lagi. Tampaknya Siau-ongya sedang mencari kau, lekaslah kau ke sana. Kedua musuh tadi serahkan padaku saja."

   Cu Kiu-bok segera memburu ke belakang Hong-kiong-ih untuk mencari Wan-yan Ho.

   Ia pikir kepandaian perwira ini cukup lihai dan rasanya sanggup melayani murid Bu-lim-thian-kiau, tapi peduli apa, yang penting asalkan aku sendiri selamat.

   Tapi bagaimana pun Cu Kiu-bok adalah orang Kang-ouw kawakan, setelah tenangkan diri, segera timbul pula rasa curiganya.

   Ia heran mengapa perwira itu hanya menyerang padaku dan tidak mengurusi kedua bocah tadi.

   Padahal hampir semua jago pasukan pengawal kukenal, mengapa aku merasa seperti belum pernah melihat dia? Begitulah dengan perasaan tidak enak Cu Kiu-bok memasuki hutan cemara di belakang Hong-kiong-ih itu, betul juga di sana dia dapat menemukan Wan-yan Ho.

   "Kedatanganmu sangat kebetulan, Cu-losiansing,"

   Kata Wanyan Ho.

   "Tadi aku telah bergebrak dengan penyatron di sini dan karena sedikit lengah aku telah tertotok Hiat-to di bagian pinggang, untung aku dapat membuka Hiat-to yang tertotok itu, cuma jalan darahnya belum lancar, harap engkau membantu memijat untuk melancarkan jalan darahnya."

   Hati Cu Kiu-bok rada lega, ia pikir perwira tadi ternyata tidak berdusta, sebab Wan-yan Ho memang sedang mengharapkan pertolongannya.

   Begitulah Cu Kiu-bok lantas bantu memijat tubuh Wan-yan Ho, dengan lwekang Wan-yan Ho yang tidak lemah, hanya sebentar saja kekuatannya sudah pulih kembali.

   Setelah mengucapkan terima kasih, lalu Wan-yan Ho bertanya, apakah kedua penyatron sudah tertangkap dan mengapa Cu Kiu-bok dapat mencarinya ke hutan situ? "Ada orang sedang mengejar mereka,"

   Tutur Cu Kiu-bok.

   "Orang itu pula yang memberitahukan padaku beradanya Siau-ongya di sini."

   "O, siapakah orang itu?"

   Tanya Wan-yan Ho.

   "Aku tidak sempat tanya dia,"

   Jawab Kiu-bok.

   "Yang jelas kepandaiannya sangat hebat, yang digunakan adalah golok, tampaknya mahir ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wan-yan Ho mengerut kening, katanya.

   "Ya, aku memang bermaksud mencari kau, tapi tidak pernah kusuruh orang mencari kau. Busu yang kubawa malam ini juga tiada yang mahir ilmu golok yang kau maksudkan."

   Baru sekarang Cu Kiu-bok terkejut, katanya.

   "Wah, jika demikian aku telah tertipu olehnya."

   "Biarlah urusan ini kita selidiki kelak, sekarang kita kejar saja kedua penyatron tadi, di tengah malam gelap rasanya mereka sukar keluar dari daerah terlarang yang rumit ini,"

   Ujar Wan-yan Ho.

   Dugaan Wan-yan Ho memang tidak meleset, saat itu Li Tiong-cu dan Yim Hong-siau memang belum menemukan jalan keluarnya di tengah hutan cemara yang gelap-gulita itu.

   Selagi mereka menyelusup kian kemari tanpa arah tertentu, tiba-tiba terdengar suara orang membentak.

   "Hayo kalian hendak lari kemana?"

   Jelas itulah suara perwira Kim yang bersenjata golok tadi. Dengan suara perlahan Li Tiong-cu membisiki Yim Hong-siau.

   "Kepandaian orang ini sangat hebat, biar aku pancing dia agar mengejar diriku, kau sendiri lekas sembunyi sebisanya."

   Tapi Yim Hong-siau mana mau menyelamatkan diri sendiri tanpa menghiraukan kawan, jawabnya.

   "Di tengah hutan yang gelap-gulita ini kukira dia belum tentu dapat menemukan kita, rasanya dia cuma main gertak saja!"

   Mereka bicara dengan berbisik-bisik, suaranya lirih seperti denging nyamuk, tapi perwira Kim itu seperti mendengar jelas percakapan mereka, terdengar suara gelak tertawanya dan berkata.

   "Ha, ha, ha, jadi kalian mengira aku main gertak belaka? Lihat ini, mata uang yang kusambitkan ini segera akan mematahkan tangkai kayu di atas kepala kalian!"

   Saat itu Li Tiong-cu bersembunyi di bawah sebatang pohon cemara, rambut Yim Hong-siau saat itu terasa tersangkut oleh setangkai ranting cemara yang menjulur ke bawah.

   Dari ucapan perwira itu, jelas dia dapat melihat jelas tempat sembunyi mereka itu.

   Benar juga, segera terdengar suara "cring"

   Yang nyaring, ranting kayu di atas kepala Yim Hong-siau tahu-tahu patah dan jatuh.

   Di tengah malam gelap-gulita itu cara menyambit senjata rahasia orang itu ternyata begitu jitu, betapa pun tabahnya Li Tiong-cu tidak urung terasa kaget juga.

   Cepat ia menarik Yim Hong-siau terus melompat ke sana.

   Kembali terdengar suara tertawa perwira itu, katanya.

   "He, cara kalian berlari secara ngawur itu, maka mimpi belaka jika kalian ingin keluar dari daerah terlarang ini. Awas ini, mata uang kedua ini segera menyambar lagi!"

   "Creng", benar saja lantas terdengar orang itu menjentikkan senjata mata uang yang kedua. Tapi aneh juga, arah yang dituju mata uang itu ternyata meleset jauh, menyambar lewat di samping mereka dan mengarah ke tempat yang bukan arah lari mereka. Sebagai seorang jago silat, mau tak mau timbul rasa sangsi Li Tiong-cu, ia heran mengapa bisa begitu? Padahal tanpa bersuara tempat sembunyi kami dapat dilihat olehnya, sambitan mata uang pertama tadi juga sangat jitu, mengapa setelah kami lari, serangannya justru meleset begini jauh? Meski sangsi, dalam keadaan tergesa-gesa ia tidak dapat berpikir banyak, terpaksa dia tarik Yim Hong-siau membelok ke arah lain dan kembali berlari lebih kencang. Terdengar orang itu menjengek.

   "Hm, kukatakan kalian jangan lari secara ngawur, tapi lagi-lagi kalian lari serabutan. Huh, ada jalan ke surga tak kalian tuju, neraka tanpa pintu justru kalian terobos. Jika kalian lari secara ngawur lagi akhirnya hanya adalah suatu jalan kematian bagimu. Awas ini, mata uang ketiga!"

   "Creng", kembali sebuah senjata mata uang menyambar tiba, tapi seperti juga tadi, arah mata uang itu meleset sangat jauh dari sasarannya, melayang lewat jauh di samping Li Tiong-cu berdua dan terbang ke arah yang lain lagi. Baru sekarang hati Li Tiong-cu tergerak, pikirnya.

   "Orang ini tadi telah merintangi pengejaran Cu Kiu-bok kepada kami, kini dia dapat menyusul kami, tapi arah serangan senjata mata uangnya juga begini aneh, jangan- jangan maksudnya hendak menunjukkan jalan keluar bagi kami?"

   Setelah mendapat ilham ini, segera Li Tiong-cu menarik Yim Hong-siau dan berlari ke arah menyambarnya mata uang tadi.

   Dan begitulah seterusnya orang itu berturut-turut menyambitkan mata uang yang lain untuk memberi petunjuk arah, maka tidak antara lama mereka berhasil lolos keluar hutan cemara, jalan besar tertampak membentang di depan sana.

   Sementara itu di ufuk timur langit sudah remang-remang terang, kiranya fajar sudah hampir menyingsing tanpa terasa.

   "Syukurlah kita sudah lolos dari bahaya,"

   Kata Hong-siau sambil menghela napas lega.

   "Sungguh tidak nyana perwira Kim itu adalah orang baik, sayang tidak tahu siapa namanya."

   "Kukira dia belum tentu benar perwira Kim, bisa jadi perwira gadungan dan secara diam-diam membantu kawan seperjuangan kita,"

   Ujar Li Tiong- cu.

   "Tapi urusan yang penting sekarang adalah mencari kawan Beng- lopiauthau yang bertempat tinggal di Se-san itu. Tentang diri perwira tadi biarlah kita selidiki kelak."

   "Ya, entah Piau-ko dan enci Pwe-eng dapat menyelamatkan diri tidak, kita perlu lekas mencari kabar berita mereka,"

   Kata Hong-siau.

   Li Tiong-cu cukup kenal jalanan di sekitar kota Tay-toh, segera ia membawa Yim Hong-siau menuju ke Se-san, bukit di barat kota.

   Waktu itu hari sudah pagi, orang masih jarang di jalanan luar kota itu.

   Maka keduanya dapat mengayunkan langkah lebar, semangat mereka menjadi segar kembali menyongsong tiupan angin pagi yang sejuk.

   "Li-toako, kejadian semalam laksana bermimpi buruk saja,"

   Kata Hong- siau.

   "Ya, sungguh tidak terduga kita dapat lolos dari bahaya dengan begitu mudah, aku memang mengira sedang bermimpi saja,"

   Jawab Tiong-cu.

   "Bicara tentang mimpi buruk, kemarin malam aku benar-benar telah bermimpi, malahan mimpi tentang dirimu pula,"

   Kata Hong-siau.

   "O, mimpi buruk apakah itu, maukah kau ceritakan?"

   "Kumimpi hendak ditangkap Wan-yan Ho, syukur engkau keburu datang dan bertempur dengan dia, tapi engkau telah terluka parah, aku menjadi sedih dan menangis, akhirnya aku terjaga bangun."

   "Kisah mimpi itu hampir sama dengan kejadian semalam,"

   Ujar Tiong- cu dengan tertawa.

   "Tapi semalam Wan-yan Ho yang kau kalahkan, kejadian ini sama sekali terbalik daripada mimpiku,"

   Kata Hong-siau.

   "Aneh juga, dalam mimpiku bukannya mengimpikan aku ditolong oleh Piau-ko, tapi mimpi engkau yang menyelamatkan diriku, rasanya memang sudah ditakdirkan kau harus menolong diriku bukan?"

   Kata peribahasa, apa yang dipikirkan siang hari, timbul dalam mimpi di malam hari.

   Di balik kata-kata Yim Hong-siau itu seakan-akan memberitahukan Li Tiong-cu bahwa si nona lebih menaruh kepercayaan kepadanya daripada sang Piau-ko, bahkan di dalam mimpi pun senantiasa terkenang padanya.

   Sudah tentu Tiong-cu dapat menangkap arti kata-kata itu, jawabnya dengan perasaan bahagia.

   "Semoga kita selalu berada bersama, tidak hanya di dalam mimpimu saja."

   Muka Hong-siau menjadi merah oleh ucapan Li Tiong-cu itu.

   "Bagaimana, kau tidak suka?"

   Tanya Tiong-cu dengan tersenyum.

   "Urusan kelak siapa pun tak bisa meramalkannya, marilah kita lekas berangkat saja,"

   Jawab Hong-siau dengan suara perlahan.

   "Benar, saat ini mungkin Kok-toako dan nona Han sedang menantikan kedatangan kita,"

   Kata Tiong-cu dengan tertawa. Segera mereka mempercepat langkah, syukur sepanjang jalan tiada kepergok musuh, menjelang lohor sampailah mereka di Se-san yang terbentuk dari tiga bukit. Di sekitar Se-san terkenal "delapan obyek"

   Pariwisata yang terkenal, satu di antaranya adalah Pi-mo-keh, dimana orang she Ho, yaitu kawan Beng Ting itu bertempat tinggal.

   Karena lerengnya curam, jalanan sukar ditempuh, maka kaum pelancong jarang yang datang ke Pi-mo-keh.

   Meski Li Tiong-cu pernah berdiam di Tay-toh sekian lama, tapi dia juga belum pernah pesiar ke Se-san, maka jalanan di situ sama sekali asing baginya.

   Pada musim dingin tempat pariwisata itupun tiada nampak orang pesiar ke situ, syukur di tengah jalan dapat ditemukan satu-dua orang pencari kayu, dari mereka dapatlah diketahui arah letak Pi-mo-keh, tapi dimana letaknya yang jelas juga sukar diketahui dan perlu dicari sendiri oleh mereka.

   Li Tiong-cu tahu di Pi-mo-keh ada sebuah kuil yang disebut "Cin-ko-si", maka sepanjang jalan ia selalu memperhatikan rumah ibadah itu.

   Tanpa terasa hari sudah sore, tapi belum ada sesuatu bangunan yang dilihat mereka.

   Saat itu mereka sedang melintasi sebuah lereng dengan pemandangan yang indah.

   Yim Hong-siau mulai menggerundel mcngapa tempat yang mereka cari masih belum ditemukan, padahal kalau menurut petunjuk tukang kayu yang ditanyai seharusnya di sekitar situlah letak kuil yang menjadi patokan Pi-mo-keh.

   Dengan tertawa Li Tiong-cu menghibur si nona agar jangan gelisah dan anggap saja mereka sedang pesiar.

   "Tapi Piau-ko dan enci Eng mungkin sedang menunggu kita dengan cemas,"

   Ujar Hong-siau.

   Belum selesai ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara mendesingnya senjata rahasia memecah angkasa sunyi.

   Kiranya ada seorang berdiri di atas gunung dan menyambitkan sepotong batu ke arah mereka.

   Bagaimana macam orang itu, karena sembunyi di balik semak-semak, maka tidak jelas kelihatan, tapi caranya menyambitkan batu itu telah membuat Li Tiong-cu terkejut.

   Jarak mereka waktu itu sedikitnya ada ratusan tindak, tapi yang mengejutkan Li Tiong-cu bukan jarak sambitan orang itu, tapi adalah caranya menyambitkan ternyata serupa benar dengan cara menyambit senjata mata uang oleh perwira Kim semalam itu.

   Li Tiong-cu menjadi sangsi, pikirnya.

   "Jangan-jangan perwira itu yang membantu kami secara diam-diam telah mendahului kami datang ke sini?"

   Belum habis berpikir, batu orang sudah menyambar tiba dengan keras, karena belum tahu persis siapa orang di atas, segera Tiong-cu angkat serulingnya dengan maksud hendak menyampuknya jatuh.

   Tak terduga ketika batu itu dua-tiga meter belum mencapai sasarannya, mendadak bisa membelok ke samping.

   Menyusul terdengar pula orang itu membentak.

   "Siapa itu berani menerobos ke Pi-mo-keh sini, hayo lekas sebut namamu!"

   "Li-toako, kiranya kita sudah sampai di tempat tujuan, lekas kau jelaskan padanya,"

   Bisik Hong-siau dengan girang.

   "Nanti dulu!"

   Jawab Tiong-cu dengan suara perlahan. Segera ia melompat maju dan balas membentak.

   "Kalau terima harus membalas! Ini, silakan kau pun menerima pemberianku!"

   Berbareng ia menghamburkan segenggam mata uang yang diarahkan ke tujuh tempat Hiat-to orang, yang digunakannya adalah ilmu Tiam-hiat khas perguruannya.

   Terdengar orang itu bersuara heran, agaknya merasa kaget.

   Ketika dia bermaksud menangkap ketujuh buah mata uang itu, tahu-tahu senjata rahasia itu jatuh semua di depannya.

   Padahal sambaran mata uang itu sangat keras dan cepat, sama sekali orang itu tidak menduga ketujuh mata uang itu akan jatuh mendadak di depannya.

   Tanpa terasa ia melengak, tapi segera pula ia menyadari apa yang terjadi, pikirnya.

   "Pantas dia bilang menerima harus membalas, kiranya dia sengaja mengalah satu jurus padaku!"

   Dalam pada itu tahu-tahu Li Tiong-cu juga sudah berada di depannya.

   Waktu Tiong-cu mengawasi orang, kiranya orang itu adalah pemuda yang berumur likuran dan berdandan sebagai pemburu biasa.

   Walaupun semalam dia tidak tahu bagaimana wajah perwira Kim itu, namun jelas dan pasti bukan pemuda itu.

   Selain itu ada pula satu hal, suara perwira itu telah didengar oleh Tiong- cu, kalau cara menyambitkan senjata rahasia pemuda ini sama dengan perwira itu, tapi suaranya jelas berbeda.

   Begitulah pemuda itu lantas memuji.

   "Hebat benar kepandaianmu. Sebenarnya siapa kau, untuk apa kau datang ke Pi-mo-keh sini? Lekas bicara terus terang saja!"

   Li Tiong-ci sengaja hendak menguji pula kepandaian pemuda itu, maka ia sengaja menjengek.

   "Hm, Pi-mo-keh kan bukan milikmu, kalau kau boleh ke sini mengapa aku tidak boleh? Kau peduli apa mengenai siapa diriku?"

   "Ha, ha, tampaknya kau sengaja hendak berkelahi dengan aku bukan?"

   Kata pemuda itu dengan tertawa.

   "Kau sendiri yang mencari perkara, jika mau berkelahi tentu saja kutandingi,"

   Jawab Tiong-cu.

   "Baik, kau adalah tamu, silakan mulai!"

   Kata pemuda itu. Tiong-cu juga tidak sungkan-sungkan lagi, sekali serulingnya bergerak, sekaligus ia menyerang tujuh tempat Hiat-to di tubuh lawan.

   "Bagus, Keng-sin-pit-hoat memang bukan nama kosong!"

   Seru pemuda itu.

   Kontan ia pun balas menghantam, angin pukulannya menderu.

   Di tengah angin pukulan dan bayangan seruling, sekali gebrak segera kedua orang sama-sama melompat mundur lagi.

   Mendengar lawan dapat menyebut Keng-sin-pit-hoat, mau tak mau Li Tiong-cu terkejut pula.

   Pikirnya.

   "Kekuatan pemuda ini agaknya lebih hebat daripadaku, ilmu pukulannya mirip dengan Hok-mo-ciang-hoat aliran Siau- lim-si, tapi tenaga pukulannya bahkan lebih hebat, entah dia dari aliran mana?"

   Dalam pada itu si pemuda hanya berdiri tegak dan tidak menyerang pula, dengan seruling siap di depan dada Li Tiong-cu berkata.

   "Bagaimana, kau tidak ingin berkelahi lagi?"

   Pemuda itu terbahak-bahak, katanya.

   "Biar pun kau tidak mau memberitahu asal-usulmu aku pun tahu kau adalah murid Bu-lim-thian-kiau, betul tidak?"

   "Benar, dan kau siapa?"

   Jawab Tiong-cu.

   Belum lenyap suaranya, tertampak dari lereng sana telah mendatangi tiga orang.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang paling depan adalah kakek berusia enampuluhan, di belakangnya menyusul seorang pemuda dan seorang nona, siapa lagi kalau bukan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng.

   "Hai, Li-heng dan Piau-moay, kalian baru tiba?"

   Demikian Kok Siau-hong lantas berseru.

   "Leng-wi, mengapa kau jadi berkelahi dengan tamu kita?"

   Si kakek berkata juga dengan tertawa.

   "Tidaklah mudah untuk melihat Keng-sin-pit-hoat Tam-tayhiap yang hebat, maksudku hanya minta petunjuk saja kepada Li-toako,"

   Jawab pemuda tadi dengan tersenyum. Dengan tertawa Kok Siau-hong berkata pula.

   "Setelah berkelahi baru kenal. Li-heng, memperkenalkan inilah Ho-locianpwe dan saudara ini adalah putera beliau."

   "Namaku Ho Tiong-yong, puteraku bernama Leng-wi,"

   Kata si kakek.

   "Aku dan Beng-lopiauthau adalah sahabat lama, maka kalian jangan sungkan berada di tempatku ini."

   Begitulah Ho Tiong-yong lantas membawa mereka pulang ke rumahnya melalui jalanan kecil yang berliku dan berbelok ke sana sini, akhirnya sampai di Pi-mo-keh.

   Tertampak sepotong batu cadas besar mengambang dan mencuat keluar dari atas gunung, di bawah batu cadar raksasa itu ada sebidang tanah lapang sehingga dari jauh tampak mirip mulut singa yang menganga.

   Dan kuil Cin-ko-si itu justru terletak di dalam "mulut singa"

   Itu.

   Lantaran teraling oleh Pi-mo-keh (tebing iblis gaib) yang mencuat dan mengambang di udara itulah, maka kuil itu sukar terlihat dari jauh kecuali berada di bawah tebing aneh itu.

   Letak rumah keluarga Ho kira-kira beberapa lie di belakang Cin-ko-si, untuk mencapainya harus mengitari Pi-mo-keh itu.

   Setiba di rumah keluarga Ho barulah Kok Siau-hong menceritakan secara ringkas kejadian semalam.

   Kiranya setelah mereka lolos dari kepungan musuh, ternyata tiada banyak rintangan yang dihadapi, cuma Ting Sit tidak datang ke Se-san melainkan menyusul kembali ke dalam kota Tay-toh, perlunya hendak memberitahukan anak buahnya di toko agar lekas menyelamatkan diri.

   "Tindakan juragan Ting itu rasanya teramat berbahaya,"

   Ujar Li Tiong- cu.

   "Pergaulan Ting Hiang-cu sangat luas dan mendapat pula bantuan Kay- pang, andaikan ada bahaya rasanya juga tak menjadi soal,"

   Ujar Siau-hong.

   Setelah mendengar pengalaman Siau-hong dan Pwe-eng, lalu Li Tiong-cu juga bercerita apa yang dialaminya semalam, ia pun minta keterangan kepada Ho Leng-wi mengenai perwira yang gaya ilmu silatnya serupa dengan Ho Leng-wi itu.

   Sejenak tampak Ho Leng-wi terkesiap dan bergirang pula, ia tidak lantas menjawab, tapi seperti merenungkan sesuatu.

   "Jika begitu tampaknya perwira musuh yang membantu kalian menyelamatkan diri itu mungkin sekali adalah kawan kita sendiri,"

   Kata Siau- hong. Dengan girang Ho Leng-wi lantas berkata.

   "Jika menurut apa yang diceritakan Li-heng, bahwa gaya menyambit senjata rahasia orang itu serta pahamnya akan tempat sekitar daerah terlarang itu, kuyakin perwira itu pasti guruku adanya. Sungguh tidak nyana beliau telah berada di Tay-toh dan sama sekali aku tidak mengetahuinya."

   Keterangan ini membuat Li Tiong-cu melengak heran, ia pikir mengapa Ho Leng-wi bisa mempunyai seorang guru yang menjadi perwira pasukan pengawal musuh? Maka cepat ia bertanya siapakah gurunya itu? Dengan tertawa Ho Tiong-yong menerangkan.

   "Puteraku adalah murid Bu Su-tun, Pang-cu Kay-pang angkatan yang lalu."

   "O, kiranya Bu-tayhiap,"

   Tukas Tiong-cu.

   "Ya, guruku juga pernah menceritakan padaku tentang beliau. Semalam kami benar-benar bermata tapi tak bisa melihat."

   "Waktu mudanya guruku pernah dinas beberapa tahun dalam pasukan pengawal kerajaan Kim,"

   Tutur Ho Leng-wi.

   "Pada tahun peperangan di Jay- ciok-ki malahan beliau adalah pengawal pribadi Wan-yan Liang, raja Kim pada waktu itu."

   "Pejabat ketua Kay-pang sekarang Liok Kun-lun adalah sahabat baik guruku,"

   Sambung Siau-hong.

   "Beberapa tahun yang berlalu di Lok-yang pernah juga kudengar cerita Liok Pang-cu mengenai guru Ho-heng itu, konon beliau sengaja diperintahkan oleh kakek gurumu Siau Lo-pangcu agar menyamar sebagai orang Kim serta menyusup ke pihak musuh. Kemudian Wan-yan Liang mengalami kekalahan besar dalam pertempuran di Kwa-ciu dan akhirnya terbunuh oleh gurumu. Jasa besar gurumu itu sungguh sangat dikagumi oleh setiap pahlawan dan patriot bangsa kita." (Cerita mengenai diri Bu Su-tun dapat diikuti dalam "Pendekar Latah").

   "Dalam pertempuran Jay-ciok-ki yang menentukan kalah menang pihak Kim dan Song itu, pada tahun itu juga aku baru lahir, maka waktu aku masuk perguruan, guruku sudah tidak menjabat sebagai Pang-cu lagi,"

   Tutur Ho Leng-wi.

   "Beliau telah menyerahkan kedudukan Pang-cu kepada pembantunya, yaitu Liok Kun-lun sekarang ini, lalu mengasingkan diri bersama ibu guru dan menetap di Siu-yang-san."

   "Usia gurumu kira-kira berapa?"

   Tanya Yim Hong-siau.

   "Waktu beliau membunuh Wan-yan Liang boleh dikata masih muda belia, usianya kini mungkin juga belum ada limapuluh tahun,"

   Jawab Leng- wi.

   "Yang jelas umur Liok Pang-cu belasan tahun lebih tua daripada beliau."

   "Pantas perwira yang kulihat semalam itu agaknya baru pertengahan umur saja,"

   Kata Hong-siau. Tadinya ia mengira umur Pang-cu yang lebih dulu tentu juga lebih tua daripada Liok Kun-lun, tapi rasa sangsinya menjadi lenyap setelah mendapat penjelasan Ho Leng-wi itu.

   "Nona Yim kenal Liok Pang-cu?"

   Tanya Leng-wi.

   "Beberapa tahun yang lalu pernah bertemu satu kali di Yang-ciu,"

   Jawab Hong-siau. Teringat kepada kejadian di masa lalu, tanpa terasa ia menjadi muram.

   "Ibu gurumu apakah In-locianpwe yang nama aslinya In Ci-yan?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Benar,"

   Jawab Ho Leng-wi.

   "Waktu mudanya beliau juga berkawan baik dengan Liu Beng-cu, sesungguhnya kita ini adalah kerabat sendiri."

   "Sudah lama gurumu tidak berkecimpung di dunia Kang-ouw lagi, sungguh sayang, dalam usia yang masih muda gurumu sudah mengasingkan diri,"

   Ujar Siau-hong.

   "Tentang apa sebabnya beliau tidak berkecimpung di dunia Kang-ouw tidaklah diketahui, cuma beliau tidak sama sekali putus hubungan dengan khalayak ramai, sebab selama delapan tahun aku berguru telah tiga kali beliau turun gunung,"

   Kata Leng-wi.

   "Guruku pernah memuji sifat gurumu yang tenang tapi cerdik, sebabnya gurumu berlagak mengasingkan diri mungkin mempunyai rencana pergerakan tertentu, buktinya sekarang bukankah gurumu telah muncul kembali di dunia ramai?"

   Ujar Li Tiong-cu.

   "Aku sendiri secara resmi belum menjadi anggota Kay-pang, tapi cabang Kay-pang di Tay-toh kukenal dengan baik, biarlah sedikit hari kucari kabar mengenai guruku ke cabang Kay-pang sana, kukira mereka dapat memberi keterangan,"

   Kata Leng-wi.

   "Bulan yang lalu pernah kuberjumpa dengan Beng-lopiauthau, menurut berita yang dia terima, katanya Liok Kun-lun juga sudah berada di Tay-toh, entah benar atau tidak,"

   Tutur Ho Tiong-yong.

   "Biarlah kita tunggu kedatangan Ting Sit baru nanti kita berusaha mencari kabar ke kota,"

   Ujar Kok Siau-hong. Tak terduga, selang tiga hari lagi masih belum nampak kedatangan Ting Sit, semua orang menjadi kuatir.

   "Entah apa yang terjadi atas dirinya, tampaknya kita tak dapat menunggu lagi di sini,"

   Kata Siau-hong.

   "Telah beberapa kali Kok-heng bergebrak dengan musuh, maka tidak sedikit musuh yang mengenal dirimu, biarlah aku sendiri yang pergi mencari kabar saja, harap engkau memberitahukan alamat toko Ting Hiang-cu itu,"

   Pinta Ho Leng-wi.

   "Biarlah aku mengiringi kepergian Ho-heng, kukira diriku takkan dikenal musuh,"

   Kata Tiong-cu.

   Karena dicegah, terpaksa Siau-hong menunggu di rumah Ho bersama Pwe-eng dan Yim Hong-siau.

   Begitulah pada waktu lohor Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi telah menyusup ke Tay-toh, sampai di jalan letak toko Ting Sit itu, ternyata pintu toko tertutup rapat dan disilang dengan kertas segel pemerintah setempat.

   Mereka coba mencari tahu pada rumah makan yang herdekatan dan diketahui tiga hari yang lalu toko itu disegel, tapi di dalam toko waktu itu tiada terdapat seorang pun.

   Hati mereka rada lega, tapi jejak Ting Sit belum diketahui, betapa pun mereka masih merasa kuatir.

   Atas usul Ho Leng-wi, sebelum mengunjungi cabang Kay-pang sebaiknya menemui Beng Ting dahulu di Cin-wan Piaukiok, mungkin di sana akan dapat diperoleh berita mengenai jejak Ting Sit.

   Li Tiong-cu berdandan sebagai Su-seng (kaum terpelajar) setiba di Cin- wan Piaukiok, orang di situ ternyata tidak mengenalnya lagi bahwa dia pernah bertamu ke situ sebagai pegawai toko sutera Ting Sit.

   Mereka disambut oleh Ji Cu-kah dan ditanyai ada keperluan apa.

   Ho Leng-wi menyebut nama ayahnya dan menyatakan maksud kedatangannya hendak minta bertemu dengan Beng-lopiauthau sekadar mengucapkan selamat pembukaan kembali Cin-wan Piaukiok yang termasyhur itu.

   Ji Cu-kah tahu sedikit hubungan Ho Tiong-yong dan Beng Ting, ia berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Silakan masuk dan menunggu sebentar."

   Leng-wi merasa heran melihat orang bersikap ragu-ragu, entah apa sebabnya? Agak lama juga mereka menunggu di ruang tamu dan belum nampak Beng Ting keluar menemui mereka.

   "Apakah mungkin Beng-lopiauthau ada urusan penting lain atau memang tidak ingin menerima tamu?"

   Diam-diam Li Tiong-cu berkata kepada Ho Leng-wi.

   "Hubungan ayah dengan Beng-lopiauthau cukup akrab, jika mengetahui kedatanganku ini beliau pasti akan menemui aku,"

   Ujar Leng-wi.

   Benar juga, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, mereka mengira pasti Beng Ting yang keluar, maka cepat mereka berbangkit.

   Tak terduga yang muncul ternyata bukan Beng Ting melainkan seorang pemuda berumur duapuluhan tahun.

   Leng-wi melengak.

   Tapi pemuda itu lantas menyapanya.

   "Ho-toako, apakah engkau pangling padaku? Aku kan Beng To, masakah sudah lupa?"

   Kiranya Beng To adalah putera sulung Beng Ting, usia Beng To lebih muda tiga tahun daripada Leng-wi, waktu kecilnya mereka suka bermain bersama.

   "Aha, sudah delapan tahun kita tidak bertemu dan kau sudah tumbuh setinggi ini, aku benar-benar hampir pangling padamu,"

   Ujar Leng-wi tertawa. Tampaknya Beng To sangat senang dapat bertemu dengan teman bermain waktu kecil, dengan tertawa ia berkata pula.

   "Ho-toako, kudengar engkau pergi ke tempat jauh untuk belajar pada guru yang pandai, sejak kapan engkau pulang kemari?"

   "Sudah belasan hari kupulang,"

   Jawab Leng-wi.

   "Mestinya tempo hari aku akan hadir pada pesta kalian di sini, tapi lantaran sesuatu kesibukan sehingga ayahku menunda kunjunganku ini, tentunya kau tidak marah bukan?"

   "Aku paham, memang kalian tidak cocok untuk menghadiri pertemuan yang bercampur aduk dengan segala macam tamu itu,"

   Ujar Beng To dengan suara perlahan.

   "Sobat ini....."

   Sambil berkata ia pun terus menatap Li Tiong- cu yang terasa sudah dikenalnya, cuma tak ingat lagi bertemu dimana.

   "Beng-heng, kita sesungguhnya sudah pernah bertemu, aku adalah pengiring juragan Ting tempo hari itu,"

   Ujar Tiong-cu dengan tertawa. Baru sekarang Beng To ingat kejadian itu, katanya.

   "Aha, kiranya adalah kawan sehaluan, tempo hari aku benar-benar telah salah lihat."

   Meski sikap Beng To selalu ramah dan mengunjuk rasa gembira karena dapat bertemu dengan kawan lama, tapi di antara air mukanya samar-samar kelihatan menanggung pula rasa sedih.

   Apalagi sejak tadi dia tidak pernah menyinggung tentang ayahnya, maka Ho Leng-wi lantas bertanya dan minta bertemu dengan Beng Ting.

   Kini barulah Beng To memberitahukan.

   "Ayah sedang menghadapi sesuatu hal yang tak terduga, kini beliau sedang berusaha menyelesaikannya."

   "Urusan apa? Dapatkah aku mengetahuinya?"

   Tanya Leng-wi.

   "Antara satu jam yang lalu telah datang seorang tamu yang ingin melamar pekerjaan di Piau-kiok kami, untuk inilah ayah sedang pusing kepala dan entah dapat mengenyahkan dia atau tidak?"

   Tutur Beng To.

   "Aneh, seorang pelamar kerja mengapa membuat ayahmu pusing kepala, memangnya dia main paksa?"

   Ujar Ho Leng-wi.

   "Soalnya pelamar ini bukan sembarang orang, ayah harus menghadapinya dengan waspada,"

   Tutur Beng To.

   Kiranya orang yang dimaksud bernama Lo Jin-cun, dia menemui Beng Ting dengan membawa surat pengantar dari kepala rumah tangga istana Wanyan Tiang-ci yang bernama Pan Kian-ho.

   Semula Beng Ting tidak tahu maksud kedatangannya, setelah membaca surat pengantar diketahui nama Lo Jin-cun, diam-diam ia sangat terperanjat.

   Lo Jin-cun adalah seorang gembong kalangan hitam di daerah selatan, namanya tidak begitu harum di dunia Kang-ouw, meski Beng Ting belum pernah bertemu dengan dia, tapi namanya sudah sering mendengarnya.

   Dalam keadaan begitu terpaksa ia berlagak tidak tahu asal-usul Lo Jin-cun dan mengajaknya bicara dan bertanya sebenarnya apa kehendak sang tamu.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lo Jin-cun menjawab.

   "Aku ingin mencari pekerjaan, Pan-congkoan menyuruh aku ke Piau-kiok kalian sini dan minta Beng-lopiauthau suka memberi sesuap nasi."

   Beng Ting terkejut, cepat ia berkata.

   "Ah, janganlah Lo-heng bergurau, mana perusahaan sekecil ini sanggup menampung tokoh semacam Lo-heng, kan cuma merendahkan derajat Lo-heng belaka?"

   "Soalnya di tempat lain tidak ada lowongan, menurut Pan-congkoan, Piau-kiok kalian ini paling cocok bagiku, aku pun merasa bangga apabila bisa menjadi Piau-su di tempat kalian ini, mengapa Beng-lopiauthau bicara sungkan-sungkan segala, sebagai orang yang suka bicara blak-blakan, harap Beng-lopiauthau bicara langsung saja secara terus terang."

   Beng Ting jadi mendongkol oleh sikap orang, dengan ketus ia pun menjawab.

   "Aku tidak pandai bicara, barangkali ada ucapanku yang menyinggung Lo-heng, harap katakan saja dengan jelas."

   "Sudah kukatakan, aku akan merasa bangga jika dapat menjadi Piau-su kalian, tapi Beng-lopiauthau terus menolak sejak tadi, memangnya kau anggap kepandaianku terlalu rendah dan tidak sesuai untuk menjadi Piau-su perusahaanmu?"

   Sebenarnya Beng Ting sedang bingung karena tiada alasan yang tepat untuk menolak lamaran orang, kini ia menjadi ingat sesuatu, segera ia menjawab dengan tersenyum.

   "Ah, mana aku berani beranggapan begitu, Lo-heng adalah teman Pan-congkoan, sudah pasti berkepandaian tinggi. Cuma kalau Lo-heng ingin bicara terus terang, maka biar kukatakan juga secara blak-blakan. Soalnya perusahaan kami memang ada suatu peraturan, yaitu tiap Piau-su baru, karena semua teman belum tahu sampai dimana kepandaiannya, maka dia harus memperlihatkan sejurus dua lebih dulu. Tapi Lo-heng ke sini atas perantara Pan-congkoan, sudah tentu peraturan kami itu tidak berlaku bagimu."

   Lo Jin-cun naik darah juga, ia menyeringai dan berkata.

   "Ha, ha, sekali- kali aku bukanlah manusia yang cari makan dengan mengandalkan bantuan orang lain. Ucapan Beng-lopiauthau juga betul, aku ingin menjadi Piau-su, sudah tentu perlu kepandaian sejati. Maka sekarang juga aku mohon Piau- su kalian yang berkepandaian paling tinggi untuk bertanding dengan aku. Apabila Beng-lopiauthau sendiri sudi memberi pelajaran akan lebih bagus lagi bagiku."

   "Ah, Lo-heng jangan terlalu sungguh-sungguh, biarlah kita anggap pertandingan ini hanya pertandingan persahabatan saja, boleh kusuruh muridku mengiringi kau main-main sejurus dua,"

   Ujar Beng Ting. Begitulah Beng To telah menguraikan seluk-beluk tetamunya yang sedang dihadapi ayahnya di dalam itu.

   "Sungguh tidak terduga akan terjadi hal begitu, marilah kita ikut menonton keramaian itu,"

   Kata Ho Leng-wi kemudian.

   Dalam pada itu pertandingan sudah dimulai, Beng Ting mengajukan muridnya yang pertama, yaitu Kui Pek-keh untuk melayani Lo Jin-cun.

   Kui Pek-keh sudah mewarisi semua kepandaian sang guru, hanya soal keuletan saja mungkin kurang, tentang kekuatan mungkin terlebih kuat daripada sang guru mengingat usianya masih muda.

   Sementara itu kalangan pertandingan telah dikerumuni oleh segenap anggota Piau-kiok yang ingin menonton, Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi juga mencampurkan diri di tengah orang banyak sehingga tiada seorang pun yang memperhatikan mereka.

   Pertandingan berlangsung dengan seru, untuk membela nama baik perguruan, Kui Pek-keh telah mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menyerang.

   Suatu ketika, entah mengapa mendadak Lo Jin-cun memberikan suatu peluang bagi lawan, tentu saja Kui Pek-keh sangat girang, telapak tangannya terus memotong.

   Beng Ting terkenal dengan pukulan telapak tangan yang hebat dan disegani sesama orang Kang-ouw, Kui Pek-keh sudah mewarisi kepandaian gurunya itu, ditambah lagi lebih muda, tenaga pukulannya malahan lebih keras daripada sang guru.

   Belahan tepi telapak tangan itu pun batu juga akan hancur.

   Melihat serangan lihai itu, serentak para penonton bersorak memuji.

   Hanya murid buncit Beng Ting yang bernama Tio Bu-tiong, rupanya dia ingin mengikat hubungan baik dengan kalangan pembesar, maka ia menjadi kuatir jika Lo Jin-cun itu terluka, tanpa terasa ia berseru kuatir.

   Tak terduga sekonyong-konyong Lo Jin-cun dapat mengegos ke samping, berbareng sebelah tangannya terus menjotos ke muka musuh.

   Serangan belakangan tapi menyambar tiba lebih dulu, sungguh suatu serangan maut yang lihai.

   Kui Pek-keh tahu gelagat jelek, cepat telapak tangannya tidak jadi memotong lurus ke depan, tapi berubah menjadi sengkelitan ke samping dengan maksud membanting roboh lawan.

   Tapi perubahan Lo Jin-cun ternyata lebih cepat lagi, sebelum orang lain dapat melihat jelas, mendadak Lo Jin-cun memutar tubuh sambil membentak.

   "Kena!"

   Tahu-tahu Ku Pek-keh telah jatuh telentang. Kiranya dalam sekejap itu sebelah tangannya telah terkilir oleh betotan Lo Jin-cun.

   "Maaf!"

   Seru Lo Jin-cun, lalu ia bermaksud membangunkan Kui Pek-keh.

   Akan tetapi Kui Pek-keh juga cukup bandel, meski tangannya terkilir, merintih sedikit pun tidak, cepat dia meloncat bangun, dengan menahan sakit ia tarik dan betulkan lengan sendiri yang keseleo itu.

   Dengan berseri-seri Lo Jin-cun lalu berkata kepada Beng Ting.

   "Maaf Lo- congpiauthau, secara tidak sengaja aku telah membikin cidera muridmu. Kini entah Beng Cong-piauthau sudi memberi petunjuk tidak?"

   Diam-diam Beng Ting mengakui Kim-na-jiu-hoat yang lihai tadi, ia pikir jika usianya masih muda tentu tidak perlu gentar, tapi kini umur sendiri sudah lanjut, rasanya sukar untuk mengalahkan penyatron ini.

   Maka ia menjadi serba susah, jika tiada orang yang mampu mengalahkan Lo Jin-cun, ini berarti harus menerima lamarannya untuk bekerja di Piau-kiok, betapa pun Beng Ting tidak dapat menerimanya.

   Selagi ragu-ragu, tiba-tiba seorang tampil ke muka sambil berseru.

   "Sembelih ayam tidak perlu memakai golok, aku adalah Piau-su kecil yang tidak masuk hitungan, biarlah aku saja yang mewakili Beng-lopiauthau bermain beberapa jurus dengan kau."

   Orang ini bukan lain daripada Ho Leng-wi, ucapannya itu membikin semua orang terheran-heran bingung, sebab kecuali Beng Ting dan putera- puteranya serta Ju Cu-kah, orang Piaukiok tiada lagi yang kenal Ho Leng-wi.

   Cuma tampilnya ini mewakilkan Cin-wan Piaukiok, dengan sendirinya tiada seorang pun yang mau membongkar penyamarannya sebagai Piau-su palsu itu.

   Beng Ting juga ragu-ragu, ia kuatir kalau sampai Leng-wi tercidera tentu tidak enak terhadap ayahnya.

   Namun diketahui juga bahwa pemuda itu baru pulang dari belajar kepada guru pandai, bisa jadi memang memiliki kepandaian yang hebat.

   Di sini Beng Ting sedang ragu-ragu, di sana Lo Jin-cun telah menjadi murka.

   Sedangkan Beng Ting saja tidak terpandang sebelah mata olehnya, mana dia dapat terima ucapan Ho Leng-wi yang mencemoohkan itu.

   Segera ia mendengus.

   "Hm, aku tidak peduli apakah kau ini Piau-su jempolan atau Piau-su keroco, yang jelas kau telah omong besar, aku menjadi ingin tahu sampai dimana kemahiranmu. Nah, tidak perlu banyak omong, silakan mulai saja!"

   "Engkau adalah tamu, silakan mulai dahulu!"

   Jawab Leng-wi dengan tersenyum.

   Melihat muka Ho Leng-wi putih cakap dan lebih mirip anak pelajar yang lemah gemulai, Lo Jin-cun pikir jika sekali kena kupegang kau, segera akan kurobek tubuhmu menjadi dua potong.

   Maka tanpa bicara lagi segera ia pentang kedua tangannya terus menubruk maju.

   "Bagus!"

   Bentak Ho Leng-wi.

   Begitu keras suaranya hingga anak telinga semua orang terasa mendengung.

   Lo Jin-cun juga terkejut, sungguh tidak nyana pemuda yang tampaknya lemah itu memiliki suara begitu keras.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali Ho Leng-wi telah memapak tubrukan lawan dengan jurus "Tui-jong-bong-goat" (buka jendela tampak rembulan), kedua telapak tangan sekaligus mendorong ke depan.

   Kata peribahasa.

   "Sekali kaum ahli bergerak, segera diketahui berisi atau tidak". Ketika kedua tangan Ho Leng-wi menolak ke depan dengan angin pukulan yang dahsyat, segera Lo Jin-cun mengetahui kekuatan lawan pasti tidak di bawahnya, kalau kedua tangannya tetap mencengkeram ke depan, maka yang kecundang pasti dirinya. Dalam keadaan menentukan itu, cepat cengkeraman kedua tangannya berubah menjadi memukul juga ke depan sehingga tangan beradu tangan tak bisa terhindar lagi.

   "blang", Ho Leng-wi tergeliat, sedang Lo Jin-cun tergetar mundur tiga tindak. Kejut dan girang pula Beng Ting menyaksikan hasil pertarungan itu, pikirnya.

   "Kiranya Leng-wi sudah mewarisi Hok-mo-ciang aliran Kay-pang yang hebat itu, betapa pun dia pasti sanggup melayani orang she Lo ini." ~ Begitulah kini dia tidak perlu kuatir lagi. Di sebelah sana Lo Jin-cun juga terkejut dan menjadi kalap pula, bentaknya.

   "Baik, biar aku mengadu jiwa dengan kau!" ~ Ia pikir usia Ho Leng-wi masih muda, pengalamannya tentu terbatas. Maka cepat ia ganti siasat bertempur, ia gunakan cara mengitar dan menggeser kian kemari untuk membikin bingung musuh. Dengan tertawa Leng-wi berolok-olok.

   "Ah, aku kan cuma mewakili Beng-lopiauthau menguji kepandaianmu, mengapa kau menjadi kalap, apakah tidak terlalu berat pakai mengadu jiwa segala?"

   Sambil bicara, tangannya tidak menjadi kendur, berturut-turut ia menghantam pula tiga kali dengan tenaga dahsyat.

   Biarpun murka, terpaksa Lo Jin-cun hanya dapat menangkis sekuatnya dan tidak sempat mengadu mulut dengan pemuda itu.

   Begitulah pertarungan berlangsung dengan sengit, tanpa terasa limapuluh-tujuhpuluh jurus sudah lewat, lambat-laun gerakan Lo Jin-cun mulai kelihatan lamban.

   Ia menjadi kuatir dan gelisah, pikirnya.

   "Jika seorang pemuda saja tak dapat kukalahkan, lalu kelak cara bagaimana aku dapat berkecimpung di dunia Kang-ouw?"

   Dalam keadaan gelisah ia menjadi tidak sabar, mendadak ia keluarkan serangan berbahaya, tubuhnya mendoyong ke samping depan, dengan jurus "Yap-te-thau-tho" (mencuri buah Tho di bawah daun), mendadak ia serang iga kanan lawan.

   "Eeh, ingin mengadu jiwa sungguhan ya?"

   Dengan tertawa Ho Leng-wi berolok-olok pula sembari memutar tubuh dengan cepat, ia tidak menangkis serangan musuh, tapi malah membarengi suatu serangan dengan jurus "Leng-yang-koa-kak" (kambing gunung suka menanduk), sekonyong- konyong ia menjotos muka Lo Jin-cun.

   Tentu saja Lo Jin-cun tidak berani main keras lawan keras, terpaksa ia ganti jurus lagi.

   Secepat kilat ia memutar ke belakang lawan, ketika Leng-wi membaliki tangan hendak mencengkeramnya, segera ia miring ke samping, tangannya berbalik memegang dengan Kim-na-jiu-hoat yang menjadi ilmu kebanggaannya.

   Melihat keadaan begitu, para penonton menjadi kuatir bagi Ho Leng-wi, sebelum pemuda itu berhasil mencengkeramnya mungkin lengannya akan terpuntir patah lebih dulu oleh Lo Jun-cun.

   Karena itu tanpa terasa ada satu- dua orang telah berseru kaget.

   Siapa tahu suasana di tengah kalangan pertandingan itu mendadak berubah.

   Terlihat Ho Leng-wi menubruk maju malah, ketika Lo Jin-cun mencengkeram lengannya, segera Leng-wi pentang kedua tangannya ke atas, kontan Lo Jin-cun terlempar dan jatuh terjengkang beberapa meter jauhnya.

   Kiranya Leng-wi sengaja memberi peluang bagi lawan untuk memaksanya keras lawan keras dengan dia.

   Pemuda itu sudah mendapat ajaran segenap kepandaian gurunya, yaitu Bu Su-tun, ilmu kebanggaan Kay-pang "Kun- goan-it-ki-kang"

   Sudah lama berhasil diyakinkannya dengan baik, ketika kedua tangannya diangkat ke atas, kerasnya laksana besi sehingga cengkeraman Lo Jin-cun tadi seperti mengenai sebatang gada baja, jangankan hendak mematahkannya, malahan tangan Lo Jin-cun sendiri tergetar pecah.

   Ketika Leng-wi menjengkelit lagi, tentu saja Lo Jin-cun jatuh terjengkang tanpa ampun.

   Tapi Ho Leng-wi sendiri juga pura-pura tak dapat menguasai dirinya dan sempoyongan ke sana.

   "blang", sebatang pohon Liu di pinggir halaman sana tertumbuk olehnya, kontan pohon itu pun tumbang. Dalam pada itu Lo Jin-cun sempat meloncat bangun lagi, meski tubuhnya terasa sakit dan ruas tulang serasa lepas semua, namun masih untung baginya, sebab tidak terasa terluka dalam. Ho Leng-wi lantas mendekati Lo Jin-cun, ia membungkuk tubuh berkata dengan tertawa.

   "Maaf, karena tak sempat menahan diri telah menumbuk jatuh Lo-siansing, hendaklah engkau jangan marah. Kepandaian Lo-siansing sungguh hebat, betapa pun aku cuma sanggup bertanding sama kuatnya denganmu. Kukira pertandingan tidak perlu kita lanjutkan lagi."

   Ucapan Leng-wi itu jelas sengaja hendak menjaga kehormatan Lo Jin-cun, dengan sendirinya Lo Jin-cun paham.

   Bahwa Lo Leng-wi menumbuk pula pohon Liu hingga tumbang, jelas ini merupakan suatu demonstrasi kekuatan, tentu ia pun paham akan hal ini.

   Apalagi ketika dilihatnya pohon yang tumbang itu, bagian yang patah halus laksana ditabas oleh senjata tajam, keruan tidak kepalang kaget Lo Jin-cun, ia bersyukur orang bermurah hati padanya, kalau tidak, jiwanya tentu sudah melayang sejak tadi.

   Sampai di sini mau tidak mau Lo Jin-cun harus mengaku kalah, terpaksa ia menjawab.

   "Terima kasih atas kemurahan hatimu, sesungguhnya aku memang tidak sesuai untuk menjadi Piau-su kalian. Biarlah aku mohon diri saja."

   Maka tenanglah suasana tegang tadi, setelah Lo Jin-cun pergi, dengan gembira para Piau-su lantas berkerumun untuk menghaturkan terima kasih kepada Ho Leng-wi.

   Hanya Tio Bu-tiong saja yang merasa tidak tenteram, ia minta semua orang jangan bergirang dahulu, sebab bukan mustahil urusan ini akan membawa ekor panjang.

   Tapi Beng Ting lantas menghibur semua orang agar jangan kuatir, kalau perlu perusahaan boleh ditutup saja dan segala urusan akan menjadi beres.

   Kemudian Beng To berkata.

   "Ayah, Ho-toako datang bersama seorang temannya."

   Segera Li Tiong-cu tampil dan memberi hormat kepada Beng Ting, katanya dengan tertawa.

   "Apakah Beng-locianpwe masih ingat kepadaku?"

   Sudah tentu Beng Ting masih kenal dia, diam-diam ia terkejut, tapi air mukanya tidak mengunjuk sesuatu perasaan, jawabnya dengan tertawa.

   "Ah, kiranya kalian adalah sahabat baik, sungguh kebetulan, marilah masuk ke dalam untuk bicara."

   Dia sengaja tidak menyebut nama Li Tiong-cu sehingga semua orang mengira pemuda itu adalah kenalan baik Beng Ting, maka mereka pun tidak sangsi dan bubar. Lalu Beng Ting membawa mereka ke suatu kamar, katanya.

   "Li-heng, kau ingin mencari berita juragan Ting bukan?"

   Li Tiong-cu mengiakan dan memberitahukan pula pengalaman malam itu di rumah Ting Sit serta disegelnya toko milik Ting Sit dan jejaknya kini tidak diketahui.

   "Jejak Ting Sit aku pun tidak tahu, tapi ada seorang pembantunya yang sekarang tinggal di tempatku ini,"

   Tutur Beng Ting.

   "Marilah kalian ikut padaku."

   Segera ia meraba dinding kamar itu, nampaklah sebuah pintu rahasia, pintu rahasia itu menembus sebuah lorong bawah tanah dan pada ujung sana ada sebuah kamar.

   Waktu Tiong-cu dan Leng-wi ikut masuk ke sana, tertampak seorang berbaring di atas ranjang.

   Beng Ting membesarkan sumbu pelita, lalu berkata.

   "Lau-heng, ada kawan datang menjenguk kau."

   Kiranya orang yang bersembunyi dan sedang merawat lukanya ini adalah Lau Hong, itu kuasa toko sutera milik Ting Sit yang pernah kontak dengan Li Tiong-cu. Lau Hong berseru kaget dan bangkit berduduk, katanya.

   "Kiranya kau, Li-kongcu, bagaimana dengan juragan kami?"

   "Aku justru ingin mencari berita juraganmu, lukamu belum sembuh, silakan berbaring saja,"

   Kata Tiong-cu.

   "Lukaku sudah hampir sembuh, aku sendiri telah terpencar dengan juragan kami pada malam toko disegel itu,"

   Tutur Lau Hong.

   Lalu ia pun menceritakan apa yang terjadi atas toko mereka itu.

   Kiranya pada malam itu Ting Sit telah pulang dengan tergesa-gesa, ia mengumpulkan para pegawai dan menyingkirkan mereka dengan pesangon seperlunya.

   Akhirnya cuma tinggal Lau Hong seorang saja.

   Lau Hong bertugas sebagai kuasa merangkap kasir dan juru buku, semua hutang- piutang toko seluruhnya melalui tangannya, maka sebelum dia meninggalkan toko ia ingin membuat suatu daftar sisa hutang-piutang.

   Selain itu mereka pun harus memusnahkan surat menyurat serta dokumen lain yang penting.

   Karena itu, pada saat mereka hampir beres menyelesaikan urusan, namun pasukan pemerintah diperintahkan menyegel toko sudah tiba.

   terpaksa Ting Sit dan Lau Hong menerjang keluar melalui pintu belakang.

   Dalam usaha mereka untuk kabur itu, mendadak Lau Hong terkena panah musuh.

   Dalam keadaan terluka Lau Hong hendak menyerahkan dokumen yang dibawanya itu kepada Ting Sit agar dapat diselamatkan.

   Akan tetapi Ting Sit tidak mau meninggalkan kawan yang terluka itu, sedapatnya dia ingin menyelamatkan Lau Hong.

   Kedua perwira itu ternyata jago pilihan, kembali Lau Hong terluka lagi sehingga tidak dapat membantu Ting Sit.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan kuatir Ting Sit lantas memerintahkan Lau Hong agar tunduk kepada atasan dan lekas berusaha kabur untuk memberitahukan kepada pimpinan pusat.

   Karena diperintah secara tegas, mau tidak mau Lau Hong harus menurut dan menerjang pergi dengan luka yang cukup parah.

   Ting Sit sendiri sekuatnya menghadang kedua musuh agar tidak sempat mengejar.

   Tapi lantaran itulah Ting Sit telah kena dibacok oleh musuh sehingga mandi darah.

   Waktu Lau Hong menoleh dan melihat keadaan Ting Sit yang payah itu, sebenarnya ia bermaksud putar balik untuk membantu, namun ia sendiri terluka parah, tenaga sudah lemah, akhirnya ia jatuh terjungkal dan tidak sadarkan diri.

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini