Pendekar Sejati 36
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 36
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
Dalam keadaan sadar tak sadar ia merasa digendong orang.
Ketika ia siuman kembali, hari sudah menjelang esok pagi, orang itu telah menaruh dia di depan pintu belakang Cin-wan Piaukiok.
Syukur Beng Ting mempunyai kebiasaan bangun pagi dan berjalan-jalan keluar.
Pagi itu dia menemukan Lau Hong yang menggeletak di depan pintu, maka cepat ia memanggil Ji Cu-kah dan Kui Pek-keh untuk bantu menggotong Lau Hong ke dalam rumah.
Kejadian itu hanya diketahui Ji Cu-kah dan Kui Pek-keh serta kedua putera Beng Ting.
"Jika ada orang menolong kau, kukira pasti ada orang lain lagi yang menyelamatkan Ting Hiang-cu,"
Kata Tiong-cu.
"Ya, semoga begitu hendaknya,"
Ujar Lau Hong.
"Tapi juragan Ting terluka parah, betapa pun aku sangat menguatirkan keselamatan beliau."
"Kami bermaksud mencari berita ke cabang Kay-pang, sumber berita mereka cukup luas dan tajam, jika kami sudah mendapatkan kabarnya tentu akan kami beritahukan padamu,"
Kata Tiong-cu pula.
Begitulah Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi kemudian berangkat ke tempat cabang Kay-pang yang terletak di barat kota yang sepi.
Setiba di sana, mereka melihat tempat itu dilingkari sungai kecil yang penuh tumbuh rumput gelagah, setelah menyusuri sebidang ladang yang penuh tumbuh rumput liar, akhirnya terlihat sebuah rumah kuno yang dikelilingi pagar tembok cukup tinggi, tapi pagar tembok bagian belakang rumah sudah runtuh, ketika angin berkesiur, terenduslah bau harum daging yang sedap.
"Ini dia tempatnya,"
Kata Leng-wi.
Mereka lantas memasuki rumah kuno itu melalui pagar tembok yang runtuh itu, terlihat empat pengemis sedang mengelilingi segunduk api unggun dan sedang asyik minum arak dan makan daging.
Salah seorang pengemis itu melototi mereka, sedang pengemis satu lagi berkata.
"Wah, rasa daging anjing ini sungguh lezat. Eh, untuk apa kalian datang ke sini? Apa mau makan daging anjing?"
Tiba-tiba Ho Leng-wi merobek sebagian bajunya, lalu melangkah maju dan memberi salam.
Perbuatan Ho Leng-wi yang mendadak ini membikin Li Tiong-cu merasa bingung, sedangkan keempat pengemis itupun tampak kaget dan serempak bangkit berdiri.
Kiranya menurut peraturan Kay-pang (serikat kaum pengemis), setiap anak murid Kay-pang harus memakai baju rombeng.
Biarpun baju baru juga harus diberi cacat lebih dulu.
Namun Ho Leng-wi sengaja merobek bajunya secara mendadak, hal ini tidak pasti menandakan dia adalah anggota Kay- pang, hanya memberi tanda bahwa dia mempunyai hubungan erat dengan Kay-pang.
Pengemis yang agaknya menjadi kepala segera membalas hormat Ho Leng-wi, dengan suara lantang ia bersenandung.
"Tangan memegang pentung penggebuk anjing, punggung menyandang kantong buana, lima danau dan empat lautan dijelajah mereka. Mohon tanya darimana datangnya sang tamu, berapa lama pernah tinggal di gunung dewa?"
Pada umumnya kaum pengemis selalu membekal dua macam barang bawaan, satu ialah pentung bambu, gunanya untuk menghalau anjing galak, makanya disebut "pentung penggebuk anjing".
Barang bawaan yang lain adalah kantong yang digunakan mengisi barang hasil mengemis, disebut "kantong buana".
Karena itu tingkatan jumlah kantong yang disandangnya, yaitu mulai kantong satu sampai kantong sembilan.
Orang yang menyandang sembilan buah kantong adalah sang Pang-cu.
Hanya saja peraturan itu adalah dalam keadaan normal, bila ada persoalan khusus, misalnya ada tugas rahasia yang harus menutupi tanda pengenalnya, dengan sendirinya orang itu tidak perlu berdandan sebagai pengemis.
Begitu pula anggota Kay-pang yang tidak bergerak di luar juga tidak diharuskan membawa Pak-kau-pang (pentung penggebuk anjing) dan Kian-kun-te (kantong buana).
Begitulah lantaran pengemis tadi tidak jelas akan diri Ho Leng-wi, maka dia sengaja mengajukan pertanyaan dengan pertanyaan tadi.
Artinya dia bertanya apabila Ho Leng-wi memang anggota Kay-pang, maka sesungguhnya murid berkantong berapa dan sudah masuk menjadi anggota berapa lama? Jika bukan anggota Kay-pang, maka perlu juga menerangkan asal-usulnya.
Ho Leng-wi berpikir sejenak, akhirnya ia pun mengarang empat kalimat syair untuk menjawabnya.
"Pernah tinggal di gunung dewa selama delapan tahun, bukan Hwesio bukan Tosu dan juga bukan Dewa. Diriku ini telah melompat keluar garis tiga, soalnya aku pernah mencapai langit susun sembilan!"
Seperti sudah diceritakan, Ho Leng-wi adalah murid Bu Su-tun, ketua Kay-pang yang dulu sebelum Liok Kun-lun.
Dia baru saja meninggalkan tempat perguruan, maka belum masuk Kay-pang secara resmi.
Sebab itulah secara samar-samar ia memberi jawaban yang berarti, aku bukanlah anggota Kay-pang, tapi mempunyai hubungan erat dengan Pang kita selama delapan tahun (menurut istilah Kay-pang, pengemis disebut Dewa, Kay-pang disebut Gunung Dewa).
Sementara aku belum masuk Kay-pang, hal ini disebabkan aku pernah mendampingi Pang-cu serta mendapatkan izin khususnya (langit susun sembilan yang dikatakan mengiaskan sang Pang-cu yang berkantong sembilan, bahwasanya dia pernah mencapai langit susun sembilan artinya dia pernah di samping sang Pang-cu dan merupakan seorang kepercayaannya yang terdekat).
Ho Leng-wi mengarang dan mengucapkan liriknya itu secara sepontan, dengan sendirinya belum cukup untuk menerangkan kedudukannya secara jelas.
Keempat pengemis itu menjadi heran, sebab mereka tidak pernah menyangka bahwa mereka masih mempunyai seorang Pang-cu yang sudah lama mengasingkan diri.
Segera si pengemis yang menjadi kepala tadi bersuit, mendadak dari dalam rumah melompat keluar empat ekor anjing galak.
"Wah, celaka!"
Serentak keempat pengemis itu berteriak.
"Kita makan daging anjing, tampaknya anjing-anjing galak ini hendak membalas sakit hati bagi kaumnya."
Habis itu mereka lantas membuang pentung masing-masing dan berlari untuk menghindari serangan anjing-anjing itu.
Aneh juga, keempat ekor anjing itu tidak memburu orang lain kecuali Ho Leng-wi saja.
Segera Li Tiong-cu bermaksud membantu menghalau anjing- anjing itu, tapi Leng-wi telah berseru padanya agar tetap di tempatnya saja.
Sembari berkata ia terus jemput sebatang pentung bambu yang ditinggalkan kawanan pengemis tadi.
Li Tiong-cu yakin juga Ho Leng-wi pasti mampu menghadapi keempat ekor anjing itu, maka ia lantas menonton saja di samping.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa keempat ekor anjing tadi telah menubruk maju dari berbagai jurusan, seperti jago yang sudah terlatih, mereka mengepung musuh dengan cara yang teratur.
Namun Ho Leng-wi sempat berputar dengan sangat licin, belum orang lain dapat melihat jelas, tahu-tahu ia telah lolos dari tubrukan kawanan anjing itu.
Ketika ia berputar lagi beberapa kali, dalam sekejap saja segenap penjuru seakan-akan bayangan Ho Leng-wi belaka, malahan serangan kawanan anjing itu menjadi kacau.
Sejenak kemudian mendadak terdengar Leng-wi membentak.
"Roboh!"
Kontan seekor anjing terguling tanpa berkutik lagi terkena ketokan pentungnya.
Waktu itu seekor anjing lainnya sedang menubruk ke mukanya disusul dengan dua ekor lagi yang berjarak tidak jauh.
Tanpa pikir Leng-wi angkat pentungnya, sekali ini dia bergerak dengan perlahan seperti sengaja diperlihatkan kepada kawanan pengemis tadi agar kenal ilmu permainan pentungnya itu.
Tertampak pentungnya menjulur lurus ke depan dan tepat menyanggah di bawah perut anjing yang sedang menubruk tiba itu, sekali angkat dan disengkelit, kontan anjing itu mencelat pergi beberapa meter jauhnya.
Pada saat itu juga dari dalam rumah tiba-tiba berlari keluar seorang anak kecil dan berteriak.
"He, kenapa engkau memukul mati anjingku? Ayo, Say- ji dan Pah-ji (singa dan macan tutul), lekas gigit mampus orang jahat ini!" ~ Begitulah dia berseru kepada kedua ekor anjingnya untuk menyerang Ho Leng-wi pula. Dengan tertawa Leng-wi berkata.
"Jangan kuatir, anjingmu tidak mati!" ~ Benar juga, segera terlihat anjing yang mencelat tadi telah merangkak bangun dan mendekati majikan kecilnya itu sambil menggoyang ekor. Tapi kedua ekor anjing lain yang bernama Singa dan Macan Tutul sudah telanjur menerjang maju lagi menuruti perintah majikan kecilnya. Dengan tersenyum Ho Leng-wi angkat pentungnya dan menyabet perlahan, kontan kedua ekor anjing itu menggeletak dengan tubuh gemetar seperti orang sakit demam. Nyata pentung bambu Ho Leng-wi itu tepat menyabet pada Hiat-to ruas tulang kedua ekor anjing itu sehingga tidak sanggup bergerak lagi, walaupun tidak terluka dalam, tapi hendak menggigit orang jelas tidak mampu. Serentak keempat pengemis tadi berseru memuji.
"Sungguh jurus Pang- tah-siang-kau (pentung menghantam dua ekor anjing sekaligus) yang hebat!"
Sampai di sini betapa pun keempat pengemis tadi dapatlah mengenali Pak-kau-pang-hoat yang dimainkan Ho Leng-wi itu.
Baru saja mereka hendak berseru agar Leng-wi suka berhenti, pada saat itu juga tampak muncul seorang pengemis tua yang menyandang sembilan buah kantong serta seorang lelaki kekar berusia limapuluhan.
Segera si bocah tadi berseru.
"Ayah dan paman Bu datang!"
Ketiga pengemis yang berusia agak muda tidak kenal siapa "Paman Bu"
Yang disebut anak kecil itu, tapi pengemis yang lebih tua tadi segera memburu maju serta menjura kepada lelaki kekar itu sambil berkata.
"Bu- tianglo, bilakah engkau tiba?"
Kiranya paman Bu yang disebut adalah guru Ho Leng-wi, Bu Su-tun. Dia sudah dua hari berada di markas cabang Kay-pang, cuma orang lain tidak tahu kecuali sang Pang-cu, yaitu Liok Kun-lun serta puteranya. Dengan girang Ho Leng-wi lantas berseru juga.
"Suhu, engkau ternyata berada di sini. Li-toako ini adalah murid kesayangan Tam-tayhiap!"
Berbareng Li Tiong-cu, mereka berdua lantas memberi hormat.
"Ya, aku tahu, malahan aku sudah pernah bertemu dengan saudara Li ini,"
Ujar Bu Su-tun dengan tertawa. Waktu Tiong-cu mengamati, kiranya memang benar Bu Su-tun adalah "perwira Kim"
Yang secara diam-diam telah menolongnya kabur dari tempat bahaya tempo hari itu. Cepat ia menghaturkan terima kasih.
"Hubunganku dengan gurumu laksana saudara sendiri, jika bukan untukmu, malam itu tidak mungkin aku datang ke sana,"
Kata Bu Su-tun dengan tertawa.
"Tentunya waktu itu kau sangat heran mengapa seorang perwira Kim bisa membantu kau bukan?"
"Benar, sama sekali tak terpikir olehku akan kejadian itu,"
Jawab Tiong- cu.
"Setelah bertemu dengan Ho-toako, segera diketahui juga akan diri paman Bu."
"Marilah kita masuk ke dalam, nanti kuceritakan,"
Kata Bu Su-tun. Setelah berada di ruangan dalam, Liok Kun-lun memperkenalkan puteranya yang bernama Liok Hiang-yang itu. Bu Su-tun juga memperkenalkan Ho Leng-wi. Katanya.
"Sudah sekian lama aku putus hubungan dengan Pang kita sehingga sampai kini muridku ini belum sempat masuk Kay-pang secara resmi. Kuharap setelah dia resmi menjadi anggota, semoga Pang-cu memberi kelonggaran padanya supaya ada kesempatan menambah pengalaman di dunia Kang-ouw. Liok Kun-lun paham maksud Bu Su-tun agar Ho Leng-wi diberi kesempatan lebih banyak bergerak bebas memberi bantuan pada para pahlawan. Sudah tentu ia setuju saja dan memberi tugas pula kepada Ho Leng-wi sebagai penghubung antara Kay-pang dengan pasukan pergerakan, untuk itu kedudukannya sebagai anggota Kay-pang juga tidak perlu terbuka. Kemudian Ho Leng-wi melaporkan pengalamannya mengenai Cin-wan Piaukiok dan toko sutera Ting Sit yang telah disegel serta Ting Sit yang tak diketahui kemana perginya. Tak tersangka baru saja Ting Sit disebut, mendadak seorang lelaki telah membawa datang juragan Ting itu. Ting Sit kelihatan belum sembuh dari lukanya, tapi cukup sehat, tentu saja ia sangat girang melihat Tiong-cu dan Leng-wi juga berada di situ. Lalu Ting Sit juga menceritakan pengalamannya malam itu, kiranya dia dan Lau Hong sama- sama diselamatkan oleh anak murid Kay-pang. Akhirnya Li Tiong-cu bertanya mengapa Bu Su-tun dapat menyamar sebagai perwira pasukan pengawal Kim dan mengapa pula kesempatan baik itu tidak digunakan untuk membinasakan Wan-yan Ho.
"Soalnya aku mengemban tugas yang lebih penting,"
Tutur Bu Su-tun.
"Kedatanganku kali ini karena mendapatkan sesuatu berita rahasia bahwa ada maksud Wanyan Tiang-ci hendak berebut takhta. Justru orang yang paling kuat mendukung maksud Wanyan Tiang-ci itu adalah puteranya sendiri, Wan-yan Ho."
"Darimana Suhu memperoleh berita rahasia itu?"
Tanya Leng-wi kejut dan girang.
"Kau tahu dahulu aku pernah bekerja dalam pasukan pengawal Kim dan di sana juga ada beberapa kawanku yang dapat dipercaya, maka untuk menyusup ke dalam istana Wanyan Tiang-ci tidak sulit bagiku, di sanalah secara kebetulan dapat kudengar muslihat mereka akan merebut takhta kerajaan Kim itu. Selain itu juga diketahui rencana mereka akan menangkap Ting Hiang-cu serta Li-seheng. Rupanya mereka menjadi curiga akan diri Li- heng setelah melihat Keng-sin-ci-hoat yang digunakan Li-heng atas diri An Tat tempo hari. Malam itu Wanyan Ho telah memerintahkan Yim Thian- ngo dan Soa Yan-liu pergi menangkap Ting Sit, di samping itu dia dan orang kepercayaannya berkumpul di Thian-tam untuk merundingkan rencana perebutan takhta. Seperti diketahui, Thian-tam adalah tempat sembahyang raja yang dilarang didatangi oleh siapa pun juga, maka tempat itu sesungguhnya sangat bagus untuk perundingan rahasia mereka. Tak terduga tugas yang diberikan Yim Thian-ngo serta begundalnya ternyata tidak berhasil, sebaliknya secara kebetulan kalian malah menerjang ke daerah terlarang itu dan memergoki Wan-yan Ho di sana."
"Apakah Suhu sudah tahu cara bagaimana mereka hendak merebut takhta?"
Tanya Leng-wi.
"Rencana mereka cukup keji juga,"
Tutur Bu Su-tun.
"Mereka telah siap membunuh raja Kim pada tahun baru tepat bila raja mengadakan sembahyangan di Thian-tam, sekaligus pembesar Kim yang ikut ke sana akan dibereskan semua."
"Musuh saling membunuh adalah suatu kejadian yang sangat menguntungkan kita,"
Ujar Leng-wi.
Bu Su-tun seperti berpikir sesuatu, sejenak kemudian baru menanggapi, Hal ini ada untung atau ada ruginya bagi kita masih belum dapat diketahui.
Aku justru hendak menyampaikan berita penting ini ke Kim-keh-nia untuk mengetahui bagaimana pendapat Siau-go-kan-kun dan Hong-lay-mo-li.
Guru Li-heng kukira tidak lama lagi juga akan sampai di Tay-toh sini, semoga aku dapat bertemu dengan dia dalam waktu singkat ini supaya kami dapat berunding."
"Hah, jadi Suhu juga akan datang ke sini?"
Seru Tiong-cu girang.
"Ya, sebabnya aku menyusup ke sini justru adalah hasil keputusan setelah aku berunding dengan gurumu itu,"
Jawab Bu Su-tun. Tampaknya Ho Leng-wi belum dapat memahami cerita gurunya tadi, ia bertanya pula.
"Suhu, pihak musuh saling membunuh sendiri, bukankah hal ini sangat kebetulan bagi kita, mengapa dikatakan ada ruginya juga bagi kita?"
"Memang, dalam keadaan biasa hal itu memang menguntungkan kita, tapi keadaan sekarang lain daripada biasanya, maka apakah hasilnya akan menguntungkan atau merugikan kita menjadi sukar disimpulkan,"
Kata Su- tun.
"Kau tahu, musuh kita sekarang selain Kim masih ada bangsa Mongol, kekuatan Mongol sekarang jauh melebihi Kim dan Song kita, rencana orang Mongol adalah menumpas Kim dahulu, langkah kedua barulah mencaplok Song kita."
"Sedangkan daerah yang diduduki Kim sekarang sebagian besar adalah tanah air bangsa Han kita, bila orang Mongol menyerbu kemari, sungguh pun raja Kim dari suku Nuchen itu akan digulingkan, tapi rakyat bangsa Han dan rakyat bangsa Nuchen juga akan sama-sama menderita. Sebenarnya di antara pembesar Mongol juga terbagi dua aliran, yang satu berpendirian berserikat dengan Song untuk membasmi Kim, aliran lain lebih suka berserikat dengan Kim untuk menumpas Song. Sudah tentu hal ini hanya soal politik dan siasat saja, hakikatnya sama saja, baik dia berserikat dengan A atau B, akhirnya kedua-duanya juga akan dicaplok semua."
"Benar, berita mengenai hal inipun pernah kudengar,"
Kata Liok Kun- lun.
Bulan yang lalu Bun Beng-cu juga pernah memberi kabar padaku bahwa pemerintah Song di selatan sedang mengadakan perundingan rahasia dengan pihak Mongol, tapi perdana menteri Han pribadi berpendirian lebih baik berserikat dengan Kim saja."
"Menurut keadaan sekarang, kalangan penguasa Mongol juga lebih unggul aliran yang ingin berserikat dengan Song, cuma aliran yang ingin berserikat dengan Kim dipimpin oleh Kha Khan Agung (Khan Agung) Mongol sendiri, yaitu Cahatai. Sedang pimpinan aliran yang ingin berserikat dengan Song adalah Tulai yang paling berkuasa, karena dia adalah panglima angkatan perang Mongol sekarang."
"Engkau sungguh hebat, Bu-tianglo,"
Puji Liok Kun-lun dengan amat kagum.
"Selama ini kami mengira engkau mengasingkan diri dan tidak ikut campur urusan luar, siapa tahu engkau justru sangat paham akan keadaan dalam pemerintahan Mongol."
"Selama ini aku pernah beberapa kali mengunjungi Mongol,"
Sambung Bu Su-tun pula.
"Yang terakhir adalah tiga bulan yang lalu, di Ho-lin aku bertemu dengan Bu-lim-thian-kiau dan baru diketahui bahwa dia lebih lama berada di Mongol daripadaku. Dia mempunyai seorang kawan baik bernama Siangkoan Hok, dahulu pernah menjadi pembantu utama Liong Siang Hoat- ong. Siangkoan Hok adalah orang Liau, dia bermaksud membangun kembali negerinya yang dicaplok oleh Kim, maka dia kabur ke Mongol. Akhirnya asal-usulnya diketahui oleh Liong Siang Hoat-ong, tapi dia telah kabur dari Ho-lin."
"Apakah guruku pernah menyatakan kapan kedatangannya yang pasti?"
Tanya Tiong-cu.
"Waktu itu dia menyatakan masih ada suatu soal yang perlu diselesaikan dulu dan baru berangkat ke sini antara sepuluh hari lagi, kini sudah saatnya dia akan tiba di sini. Cuma sebelum kedatangan gurumu, seorang utusan rahasia Tulai ternyata sudah tiba lebih dulu. Utusan ini diharuskan menemui Wanyan Tiang-ci, yaitu pada hari pesta pembukaan Cin-wan Piaukiok tempo hari."
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teringat kepada kejadian hari itu, Tiong-cu berkata.
"Pantas Wan-yan Ho terburu-buru pulang, kiranya dia perlu mengiringi ayahnya menemui utusan dari Mongol."
"Usaha perebutan takhta yang direncanakan Wanyan Tiang-ci justru mendapatkan dukungan penuh Tulai. Sudah tentu tujuan Tulai adalah mengadu domba dan mengurangi kekuatan kerajaan Kim agar rencananya membasmi kerajaan Kim dapat terlaksana lebih mudah dan lebih cepat."
Sudah tentu semua orang tidak pernah menyangka di balik semua persoalan itu ternyata ada tipu muslihat berbagai pihak yang begitu ruwet.
"Jika Suhu sudah datang tentu semua urusan akan lebih mudah diatasi,"
Ujar Li Tiong-cu.
"Sekarang kalian boleh pulang dahulu, aku nanti berdaya menghubungi Beng-lopiauthau, dan kalau ada persoalan tentu akan kukirim kabar kepada kalian,"
Kata Bu Su-tun akhirnya kepada Ho Leng-wi dan Li Tiong-cu.
Kedua pemuda itu mengiakan, lalu mereka mohon diri kepada Liok Pang- cu dan lainnya.
Setelah meninggalkan markas Kay-pang, sementara hari sudah lohor.
Di tengah jalan Li Tiong-cu berkata kepada Leng-wi agar pulang saja lebih dulu, katanya.
"Aku sendiri tadinya tinggal di rumah inang guruku, waktu aku pindah ke tempat Ting Sit pernah kukatakan akan kembali ke sana untuk menjenguknya. Kini belasan hari sudah lewat, sudah waktunya aku harus pergi menjenguk orang tua yang baik budi itu."
"Kukira engkau juga ingin mencari tahu kabar gurumu bukan?"ujar Leng- wi.
"Benar,"
Jawab Tiong-cu.
"Jika Suhu sudah datang ke Tay-toh, beliau pasti akan berkunjung ke rumah mak inangnya."
"Jika begitu biar aku ikut kau ke sana,"
Kata Leng-wi.
"Aku pun ingin bertemu dengan gurumu, kecuali itu kita keluar bersama dan harus pulang bersama pula. Kalau tidak, ayah tentu akan tambah kuatir jika cuma aku sendiri saja yang pulang."
Perlu diketahui bahwa mak inang Bu-lim-thian-kiau kini telah menjadi kaum budak istana kerajaan Tiang-ci, maka Ho Leng-wi merasa kuatir apabila membiarkan Li Tiong-cu pergi ke sana sendirian.
Usia mak inang Bu-lim-thian-kiau itu sudah lebih enampuluh dan sudah janda, dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki.
Sesudah Bu-lim-thian- kiau meninggalkan rumahnya, keluarga Tam tidak memperhatikan lagi keadaan mak inang itu.
Wanyan Tiang-ci mengetahui hal itu, ia pikir orang tua masih dapat diperalat dalam perhubungannya dengan Bu-lim-thian-kiau, maka dia pura-pura kasihan kepada mak inang itu dan suruh kepala rumah tangganya menerima ibu dan anak itu bekerja di istananya.
Anak mak inang itu menjadi tukang kebun istana Wanyan Tiang-ci, cuma tempat tinggalnya tidak berada di dalam lingkungan istana melainkan tinggal di sebuah rumah kecil dan jelek di luar taman bunga.
Li Tiong-cu membawa Ho Leng-wi ke tempat tinggal mak inang itu.
Tentu saja mak inang sangat girang dan minta mereka tinggal saja di rumahnya, segera pula ia hendak menyediakan suguhan seperlunya.
Tapi Li Tiong-cu telah mencegahnya berkata.
"Terima kasih atas maksud baikmu, harap kau jangan merepotkan diri. Aku tinggal di rumah saudara Ho ini, kedatangan kami hanya ingin mencari suatu kabar padamu, yaitu mengenai guruku, apakah beliau sudah datang ke sini?"
"Wah, aku sendiri sudah sangat merindukan gurumu, apakah betul dia akan datang?"
Jawab mak inang.
"Tapi kukira dia belum sampai, biasanya dia pasti akan menjenguk ke sini."
"Selama beberapa hari aku tinggal di sini, entah diketahui anak buah Ong-ya tidak? Apakah pernah engkau ditanyai orang?"
Tanya Tiong-cu.
"Siapa yang mau menggubris nenek peyot macamku ini?"
Ujar mak inang.
"Kau jangan kuatir, apalagi engkau sudah pernah pesan padaku, tidak mungkin aku sembarangan omong meski ditanyai orangnya Ong-ya."
Baru bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar rumah ada suara orang bicara, kata seorang.
"Tentunya rumah ini?"
Seorang lagi menanggapi.
"Ya, katanya rumah ketiga pada ujung taman, tentu tidak keliru lagi. Ayo kita masuk saja."
Li Tiong-cu terkejut karena suara orang itu terasa sudah dikenalnya. Memang benar, sebab kedua pendatang itu bukan lain daripada Wan-yan Ho dan Yim Thian-ngo. Cepat Tiong-cu membisiki mak inang.
"Yang datang itu ialah Siau-ongya, kami harus cari tempat sembunyi."
Mak inang menunjuk ke dapur dan berkata perlahan.
"Sembunyi saja di belakang tumpukan kayu bakar, biar kulayani mereka."
Baru saja Tiong-cu berdua sembunyi ke tempat yang ditunjuk, saat itu juga daun pintu telah didobrak orang hingga terpentang. Segera tampak Wan-yan Ho dan Yim Thian-ngo melangkah masuk. Dengan badan gemetar mak inang berkata.
"Kami..... kami orang miskin, tidak punya ap.... apa-apa, kalian..... Di tempat sembunyinya diam-diam Li Tiong-cu merasa geli dan memuji lagak mak inang yang pintar main sandiwara itu. Dengan mendongkol dan geli pula Yim Thian-ngo menghardik.
"He, nenek reyot, pentang matamu dan lihat yang jelas, beliau ini ialah Siau- ongya, masakah kau anggap kami ini sebagai perampok?"
"Ap.... apa katamu? Aku rada tu.... rada tuli, tidak jelas?"
Kata mak inang sambil mendekatkan telinganya. Yim Thian-ngo membentak dengan suara keras di tepi telinga mak inang.
"Beliau ini ialah Siau-ongya, tahu tidak?"
Maka cepat mak inang berlutut dan menyembah, katanya dengan ketakutan.
"O, kiranya Siau-ongya adanya, maaf, mohon diampuni kebodohanku."
"Orang tidak tahu tidak dapat disalahkan,"
Kata Wan-yan Ho dengan tertawa.
"Eh, nenek tua, selama ini Ong-hu memperlakukan kau dengan baik tidak?"
AIK, baik sekali, kami ibu dan anak takkan melupakan kebaikan Ong-ya dan Siau-ongya,"
Jawab mak inang.
"Jika begitu, hendaklah kau bicara sejujurnya padaku!"
Kata Wan- yan Ho pula dengan suara keras.
"Apa yang harus kukatakan, Siau-ongya?"
Tanya mak inang dengan lagak ketakutan.
"Kudengar Tam-Pwecu (pangeran Tam, maksudnya Bu-lim-thian-kiau) telah pulang ke sini, kau telah menemui dia?"
Tanya Wan-yan Ho. Dengan lagak kejut girang mak inang berseru.
"Apa kata Siau-ongya? Tam.... Tam-Pwecu sudah.... sudah pulang? Apa.... apa betul? Dia..... dia berada dimana?"
"Dia berada dimana, justru inilah yang hendak kutanyakan padamu!"
Tukas Wan-yan Ho dengan mengerut kening.
"O, kukira Siau-ongya hendak memberitahu padaku, tapi..... tapi mana kutahu dimana Tam-Pwecu berada, jika beliau sudah pulang tentu akan berkunjung kepada Ong-ya, mana beliau sudi datang ke tempatku yang buruk ini untuk menjenguk nenek tua macamku ini?"
Jilid 42
"B "Kau kan mak inangnya, dia sudah tidak mempunyai orang tua, masakah dia takkan menjenguk kau?"
Ujar Wan-yan Ho dengan suara keras.
"Tapi..... tapi dia adalah majikan dan aku cuma kaum budak, mungkin beliau mengira aku sudah lama mati,"
Kata si nenek.
"Tampaknya nenek ini memang tidak tahu apa-apa, agaknya kedatangan kita ini sia-sia belaka,"
Kata Wan-yan Ho kepada Yim Thian-ngo.
"Kulihat nenek ini rada licin, coba engkau menanyai pula bocah she Li itu,"
Bisik Yim Thian-ngo.
"Bila perlu harus digunakan cara halus dan keras."
Wan-yan Ho mengangguk setuju. Mereka mengira si nenek benar-benar tuli dan tidak tahu akal busuk mereka. Segera Wan-yan Ho mengeluarkan dua potong uang perak, lalu berkata dengan suara keras.
"Ini seratus tahil perak untukmu, kau mau tidak? Asal saja kau bicara sejujurnya padaku tentang seseorang."
Si nenek tampak ragu sejenak, lalu menjawab.
"Siapa yang Siau-ongya maksudkan?"
Wan-yan Ho berusaha melukiskan wajah Li Tiong-cu, lalu berkata pula.
"Orang ini she Li, kutahu tentu kau pernah melihat dia. Nah, dia berada dimana sekarang?"
Mak inang itu berlagak tidak paham, kemudian menjawab.
"Siapa orang yang engkau katakan itu, Siau-ongya? Selamanya belum pernah kulihat dia!"
"Coba kau pikir lagi, tidak perlu kau dustai aku,"
Kata Wan-yan Ho kurang senang. Segera ia keluarkan sebatang seruling dan berkata pula.
"Orang yang kumaksud adalah murid Tam-Pwecu, dia juga membawa seruling semacam ini."
Tapi si nenek menjawab pula.
"Ai, orang agung yang memiliki mestika begini mana sudi kenal mak tua macamku ini?"
Wan-yan Ho menjadi tak sabar, mendadak ia menggebrak meja dan mendamprat.
"Kurangajar! Tampaknya kau tidak dapat diajak bicara dengan halus dan perlu kekerasan barangkaIi. Padahal puteramu sudah memberitahukan semuanya padaku, tapi kau sendiri berani dusta! Sebenarnya kau pun tidak perlu kuatir, Tam-Pwecu kan masih saudaraku, masakah aku bermaksud jahat terhadap muridnya?"
Namun si nenek tetap menggeleng kepala, katanya.
"Betapa pun aku juga ingin memiliki seratus tahil perak, tapi apa daya, sama sekali aku tidak tahu bagaimana harus mengaku kepada Siau-ongya."
"Plak", dengan gusar Wan-yan Ho menampar sehingga dua gigi si nenek rompal dan tumpah darah. Pukulan itu sama seperti memukul pada muka Li Tiong-cu, mana dia dapat bersabar lagi, segera ia siap lompat keluar dari tempat sembunyinya. Tapi sebelum dia keluar, seorang telah lebih dulu menerjang ke dalam rumah, kiranya dia adalah putera si mak inang yang kebetulan pulang dari tugas. Alangkah sedih dan dongkolnya melihat ibunya dianiaya, dengan gusar ia berteriak.
"Siau-ongya, biarpun engkau adalah majikan, tapi mengapa menganiaya ibuku yang tak berdosa?"
"Aku ingin tahu dimana beradanya orang she Li, murid Tam-Pwecu itu, asal kau mengaku terus terang segera akan kuampuni ibumu, kalau tidak, bahkan kau pun akan kubinasakan!"
Bentak Wan-yan Ho sambil mengancam dengan serulingnya. Pada saat itulah mendadak terdengar bentakan seorang yang menggeledek.
"Ini orang she Li berada di sini." ~ Sekonyong-konyong Li Tiong-cu menerjang tiba, seruling kemalanya bergerak.
"trang", kontan seruling tiruan yang dipegang Wan-yan Ho itu terpukul patah menjadi dua. Menyusul Ho Leng-wi juga menerjang keluar dan menyambut sekali pukulan Yim Thian-ngo. Tenaga pukulan Ho Leng-wi teramat hebat sehingga sedikit pun Yim Thian-ngo tidak lebih unggul.
"Toa-ko, lekas lari bersama ibumu!"
Seru Li Tiong-cu kepada putera si mak inang.
Berbareng itu serulingnya terus melancarkan totokan kilat ke arah Wan-yan Ho secara mendadak.
Sesungguhnya Keng-sin-ci-hoat yang dimiliki Wan-yan Ho tidak lebih lemah daripada ilmu totokan Li Tiong-cu itu, tapi lantaran belum lama berselang dia baru kecundang di Thian-tam, betapa pun rasa jerinya belum lenyap, apalagi kini Li Tiong-cu bersenjatakan seruling yang merupakan benda mestika dunia persilatan, cara menyerangnya juga amat ganas.
Sedangkan Wan-yan Ho sendiri tidak bersenjata, keruan ia menjadi lebih gugup, hanya beberapa jurus saja ia hampir termakan oleh seruling lawan, terpaksa ia main mundur ke arah pintu depan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh putera mak inang, segera ia menggendong sang ibu dan kabur melalui pintu belakang.
Sementara itu Yim Thian-ngo sudah bergebrak beberapa kali dengan Ho Leng-wi dan sedikit pun tidak menarik keuntungan diam-diam ia terkejut oleh Kim-jong-ciang-hoat lawan mudanya yang lihai itu.
"Kiranya kau ini anak murid Kay-pang,"
Jengek Yim Thian-ngo kemudian.
"Kau murid Bu Su-tun atau murid Liok Kun-lun? Hm, hebat juga kepandaianmu, cuma sayang bertemu lawan diriku."
Sambil berkata ia terus melancarkan suatu pukulan dahsyat seraya berseru kepada Wan-yan Ho.
"Lekas keluar rumah, Siau-ongya!"
Waktu itu Ho Leng-wi juga sedang melancarkan suatu pukulan, kedua tangan segera beradu.
"blang", kedua orang itu sama-sama tergetar mundur, mendadak rumah gubuk itu bergoyang dan akhirnya ambruk oleh getaran tenaga pukulan kedua orang itu. Dalam pada itu Wan-yan Ho sudah melompat keluar dan dibayangi pula oleh Li Tiong-cu. Ho Leng-wi satu langkah lebih lambat, sebatang balok menindih dari atas, tapi sempat ditangkisnya dengan sebelah tangan.
"krak", balok itu patah menjadi dua, segera ia pun melompat keluar rumah. Setiba di luar rumah, cepat Wan-yan Ho melepaskan sebuah anak panah bersuara untuk mengundang bala bantuan. Dengan gusar Li Tiong-cu menubruk maju, serulingnya terus menotok "Hong-hu-hiat"
Di bagian dada musuh.
Ia pikir Yim Thian-ngo teramat lihai, rasanya Ho Leng-wi bukan tandingannya, maka jalan paling baik ialah membekuk Wan-yan Ho lebih dulu.
Wan-yan Ho menjadi kelabakan terdesak oleh serangan Li Tiong-cu.
Melihat gelagat jelek, cepat Yim Thian-ngo menggeser ke sana dan melancarkan suatu pukulan dahsyat untuk membantu Wan-yan Ho, tapi Ho Leng-wi segera membayangi pula dan menerjangnya.
Yim Thian-ngo menjadi gemas, ia menghantam sekuatnya sambil membentak.
"Kubinasakan kau dahulu!"
Serangan lihai ini rada di luar dugaan Ho Leng-wi, untung dia sempat menyambar sepotong kayu dan segera menyambut serangan lawan dengan Pak-kau-pang-hoat (ilmu permainan pentung penggebuk anjing) dari Kay- pang yang terkenal itu.
"Krak", batang kayu patah menjadi dua, tapi baju Yim Thian-ngo juga berobek sebagian oleh sambaran pentung Ho Leng-wi itu. Mendadak Yim Thian-ngo menerjang ke sana pula dan mendesak mundur Li Tiong-cu sambil berseru.
"Siau-ongya, biar kutukar lawan dengan kau!"
Wan-yan Ho rada longgar dengan ganti melawan Ho Leng-wi, jengeknya.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, satu pun kalian pasti tak dapat lolos, begitu pula nenek peyot dan anaknya tadi pasti akan kubekuk kembali biarpun mereka sudah kabur!"
Dengan gusar Ho Leng-wi ganti melabrak Wan-yan Ho, sedangkan Li Tiong-cu juga melancarkan serangan seruling kemalanya, ia menotok ke atas dan ke bawah, selalu mengincar ketigapuluh enam Hiat-to maut di tubuh Yim Thian-ngo.
Keng-sin-ci-hoat adalah ilmu Tiam-hoat kelas paling tinggi dan jauh di atas Jit-siu-kiam-hoat musuh, betapa pun tinggi kepandaian Yim Thian-ngo juga sukar mengalahkan Li Tiong-cu dalam waktu singkat.
Setelah bergebrak lagi beberapa jurus, akhirnya Yim Thian-ngo merasakan juga bahwa Li Tiong-cu adalah pemuda yang kabur bersama anak perempuannya tempo hari itu.
Dengan gusar ia mendengus.
"Hm, jadi kau inilah bangsat yang membawa lari anak perempuanku, kemana kau telah menyembunyikan puteriku?"
"Huh, mana kau mempunyai anak perempuan? Sudah lama puterimu tidak mengakui kau sebagai ayahnya!"
Jengek Li Tiong-cu.
"Keparat! Kau menipu puteriku, harus kubinasakan kau!"
Bentak Yim Thian-ngo dengan kalap, segera ia melancarkan serangan maut.
Betapa pun kekuatan Yim Thian-ngo lebih tinggi daripada Li Tiong-cu, setelah belasan jurus lagi, Li Tiong-cu telah mandi keringat karena terdesak.
Untung Yim Thian-ngo juga rada jeri terhadap Keng-sin-ci-hoatnya yang lihai sehingga untuk sementara dia masih sanggup bertahan.
Di sebelah sana Ho Leng-wi juga cuma sedikit lebih unggul daripada Wan-yan Ho, tapi lantaran dia tadi sudah mengadu tenaga pukulan dengan Yim Thian-ngo, mau tak mau kekuatannya telah berkurang, sebab itulah Wan-yan Ho dapat bertahan dan terkadang malah balas menyerang.
Li Tiong-cu menguatirkan mak inang dan puteranya yang sempat kabur tadi, maka dia rada gelisah.
Sudah tentu hal ini makin menguntungkan Yim Thian-ngo yang menyerang dengan lebih gencar.
"Keparat, jika ingin selamat hendaklah lekas katakan dimana kau menyembunyikan puteriku, kalau tidak, segera kubinasakan kau!"
Bentak Yim Thian-ngo. Namun Li Tiong-cu lantas balas mendamprat.
"Sungguh aku tidak percaya Hong-siau mempunyai ayah yang tidak tahu malu macam kau ini!"
"Kematianmu sudah di depan mata, kau masih berani kepala batu?"
Bentak Yim Thian-ngo pula sambil menyerang.
Tampaknya Li Tiong-cu sudah kepepet benar dan hampir tidak tahan, tiba-tiba kelihatan dua penunggang kuda mendatangi dengan cepat, penunggangnya adalah dua perwira pasukan pengawal istana.
Selagi Wan-yan Ho membentak menanyakan mereka apakah berhasil membekuk kembali mak inang dan puteranya sebagaimana perintahnya tadi, mendadak di belakang kedua perwira itu muncul pula seorang Su-seng (kaum pelajar, sastrawan) setengah umur.
"He, engkau, Suhu!"
Terdengar Li Tiong-cu berseru kegirangan. Wan-yan Ho terkejut dan cepat melompat keluar kalangan pertempuran. Ia tahu siapa pendatang itu, yaitu guru Li Tiong-cu, Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong adanya.
"Benar, aku!"
Jawab Bu-lim-thian-kiau dengan tersenyum.
"Nah, kalian semuanya berhenti!"
Saat itu Yim Thian-ngo sedang melancarkan suatu pukulan dahsyat dan tampaknya Li Tiong-cu pasti tidak mampu menangkisnya.
Sudah tentu Yim Thian-ngo tidak peduli bentakan Bu-lim-thian-kiau yang menyuruh mereka berhenti bertempur, apalagi dia pun tidak kenal siapa yang bicara.
Serangan Yim Thian-ngo tampaknya sukar dielakkan oleh Li Tiong-cu, andaikan dia menangkis sekuatnya juga pasti akan terluka.
Siapa tahu Li Tiong-cu ternyata tidak mengelak juga tidak menangkis, setelah mendengar seruan Bu-lim-thian-kiau agar berhenti, segera ia meluruskan kedua tangan ke bawah dan berkata.
"Ya, Suhu, Tecu menurut!"
Mendengar sebutan "Suhu"
Itu barulah Yim Thian-ngo menyadari bahwa pendatang itu ialah Bu-lim-thian-kiau, keruan ia terkejut dan tahu urusan bisa runyam. Tapi hendak menahan serangannya tadi kini pun sudah tidak keburu lagi. Pada detik itulah segera terdengar suara "plak"
Satu kali, tahu-tahu Yim Thian-ngo telah dipersen satu kali tamparan oleh Bu-lim- thian-kiau.
Tamparan yang mengenai muka Yim Thian-ngo dengan cepat itu membuat Wan-yan Ho terkesiap.
Bayangkan saja, Yim Thian-ngo terhitung jago kelas satu di dunia Kang-ouw, tapi tamparan Bu-lim-thian-kiau itu sedikit pun tidak dapat ditangkis apalagi dielakkan, maka betapa hebat kepandaian Bu-lim-thian-kiau kiranya tidak dapat diukur.
Pikir Wan-yan Ho.
"Ayah terkenal sebagai jago nomor satu kerajaan Kim, tapi sukar juga rasanya untuk menghilangkan dia." ~ Untuk mencari selamat, sejak tadi ia sudah berhenti bertempur dengan Ho Leng-wi. Setelah menempeleng Yim Thian-ngo barulah Bu-lim-thian-kiau menjengek.
"Hm, kau ini siapa berani membangkang perintahku?"
Cepat Wan-yan Ho maju memberi hormat dan berkata.
"Tam-Pwecu, Yim-losiansing ini adalah tamu ayahku, mungkin kalian belum pernah kenal. Nah, Yim-losiansing, tentunya nama Tam-Pwecu juga pernah kau dengar bukan?"
"O, kiranya Tam-Pwecu adanya, maafkan jika aku telah bersalah pada muridmu,"
Kata Yim Thian-no dengan tertawa ewa sambil meraba pipinya yang masih pedas itu. Bu-lim-thian-kiau hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya, ia berpaling pada Wan-yan Ho dan menegurnya.
"Sebagai seorang bangsawan, mengapa kau datang ke tempat kaum hamba seperti ini dan menganiaya mak inangku serta merusak tempat tinggalnya yang sederhana ini?"
Wan-yan Ho menjadi gugup, jawabnya dengan wajah sebentar merah sebentar pucat.
"Harap maklum bahwa..... bahwa....."
"Maklum apa? Kau memerintahkan orang untuk menangkapnya, untung aku keburu datang, kalau tidak, mungkin jiwanya sudah melayang,"
Jengek Bu-lim-thian-kiau.
Bicara sampai di sini, tampak sepasukan pengawal kerajaan mendatangi dengan cepat, komandan pasukan ternyata bukan lain daripada paman raja yang menjadi panglima pasukan pengawal, yaitu Wanyan Tiang-ci sendiri.
Dengan girang Wan-yan Ho berseru.
"Tam-Pwecu itu dia, ayah sendiri datang menyambut engkau."
Sementara itu Wanyan Tiang-ci sudah dekat dan turun dari kudanya, dengan tertawa ia menyapa.
"Aha, Ih-tiong, angin apa yang telah meniup kau ke sini? Sudah lama aku terkenang padamu!"
"Ong-ya, engkau datang untuk menangkap buronan bukan?"
Jawab Bu- lim-thian-kiau dengan hambar.
"Ah, jangan bergurau, Ih-tiong,"
Kata Wanyan Tiang-ci.
"Urusan yang sudah lalu buat apa diungkit lagi. Sri Baginda sekarang baru saja membicarakan dirimu dengan aku, beliau merasa sayang tidak tahu dimana kau berada, sesungguhnya beliau sangat ingin memanggil kembali kau untuk kedudukan pangeranmu yang turun-temurun itu. Kini keinginan beliau ternyata terkabul dengan pulangnya kau, maka aku sengaja datang untuk menyambut."
Kira-kira duapuluh tahun yang lalu Bu-lim-thian-kiau dianggap sebagai buronan kerajaan Kim lantaran gerakannya yang anti raja Kim yang lalim pada waktu itu, yakni Wan-yan Liang, maka terpaksa Bu-lim-thian-kiau melarikan diri dari kotaraja Kim.
kemudian Wan-yan Liang sendiri memimpin pasukannya menyerbu wilayah Song, dalam pertempuran Jay- ciok-ki pasukannya hampir dimusnahkan seluruhnya oleh panglima Song yang terkenal, Ki Un-bun.
Sisa pasukannya lari ke Kwa-ciu, di sanalah Wan- yan Liang terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Lalu saudara sepupunya, Wan-yan Yong, menggantikan takhtanya dan hingga sekarang sudah belasan tahun lamanya.
Karena merasa takhta yang diperolehnya itu, secara tidak langsung Bu- lim-thian-kiau juga ikut berjasa, sebab itulah setelah berkuasa, tidak lama kemudian Wan-yan Yong lantas menghapuskan Bu-lim-thian-kiau dari daftar buronan kerajaan.
Hanya saja persengketaan dalam keluarga kerajaan itu selalu dirahasiakan dan tidak pernah diumumkan, maka orang luar hampir tidak ada yang tahu (Kisah itu dapat dibaca dalam Pendekar Latah).
Cuma apa yang dikatakan Wanyan Tiang-ci juga ada sebagian tidak benar, sebab walaupun Wan-yan Yong tidak lagi memandang Bu-lim-thian- kiau sebagai duri di dalam daging sebagaimana anggapan Wan-yan Liang, tapi paling juga cuma menghapuskan dia dari daftar buronan saja, tentang akan mengembalikan gelar pangeran padanya sesungguhnya cuma bualan Wanyan Tiang-ci belaka untuk mendustai Bu-lim-thian-kiau.
Bahwa Wan-yan Yong pernah bicara dengan Wanyan Tiang-ci mengenai Bu-lim-thian-kiau memang juga betul.
Suatu ketika Wan-yan Yong teringat kepada Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong dan menyesalkan bakat yang baik itu tidak dapat dimanfaatkan pada tempat yang tepat.
Tapi Wanyan Tiang-ci lantas memberi kisikan bahwa Bu-lim-thian-kiau meski berdarah bangsawan Kim, namun perjuangannya berkiblat kepada bangsa lain, yaitu kerajaan Song bangsa Han.
Tapi Wan-yan Yong berpendapat apa pun juga Tam Ih-tiong adalah pangeran bangsa Kim, betapa pun tidak nanti mencelakainya dan menyerahkan daerah kekuasaan sendiri kepada bangsa Han.
Apabila Bu-lim- thian-kiau mau pulang ke Tay-toh, ia ingin sekali dapat menemuinya.
Terpaksa Wanyan Tiang-ci mengiakan dan berjanji akan melaksanakan keinginan Sri Baginda itu.
Karena pembicaraan itu, siapa tahu kini Bu-lim-thian-kiau benar-benar telah pulang, terpaksa Wanyan Tiang-ci tak dapat menggunakan kekerasan, hanya dengan tipu daya ia hendak memancing Bu-lim-thian-kiau ke istananya.
Di tengah kepungan pasukan musuh ternyata Bu-lim-thian-kiau tetap bersikap tenang saja.
Dengan tertawa ia menanggapi ucapan Wanyan Tiang- cu tadi.
"Sesungguhnya kedatanganku ini sama sekali tiada maksud minta dipulihkan gelar pangeranku segala, juga aku tidak berani membikin repot Ong-ya."
"Tapi apa pun juga Sri Baginda telah menyatakan rindunya pada Pwe-cu, engkau harus memberi muka padaku dan sudi mampir sebentar ke tempatku, kalau tidak, cara bagaimana aku akan memberi jawab kepada Baginda?"
Ujar Wanyan Tiang-ci. Dalam pada itu kepungan pasukan pengawal sudah semakin ketat. Namun Bu-lim-thian-kiau tetap tenang dan menjawab.
"Baiklah, jika undangan Ong-ya tetap kutolak rasanya menjadi tidak pantas, terpaksa aku harus merepotkan Ong-ya."
"Memangnya aku tahu Pwe-cu cukup bijaksana,"
Ujar Wanyan Tiang-ci dengan tertawa.
"Tapi bagaimana dengan muridku dan kawanku ini, apakah Ong-ya juga mengundang mereka?"
Tanya Bu-Iim-thian-kiau.
"Sudah tentu, masakah mereka dikecualikan?"
Jawab Wanyan Tiang-ci.
Sebenarnya Li Tiong-cu merasa ragu-ragu, tapi ia yakin sang guru pasti sudah mempunyai perhitungan yang tepat, maka dia dan Ho Leng-wi hanya menurut saja.
Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai di istana kediaman Wanyan Tiang-ci.
Wanyan Tiang-ci sendiri mendampingi Bu-lim-thian-kiau, sedangkan Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi dilayani oleh Pan Kian-ho, kepala rumah tangga istana.
Ketika berjabat tangan berkenalan, diam-diam Pan Kian-ho menggunakan tenaga dalam untuk menguji kedua tamunya yang muda itu.
Setelah berjabatan tangan, Ho Leng-wi dan Li Tiong-cu merasa tenaga dalam Pan Kian-ho ternyata tidak di bawah mereka, apalagi di istana Wanyan Tiang-ci ini masih ada jago lain seperti Yim Thian-ngo, Wan-yan Ho, Sebun Bok-ya dan lain-lain, kalau sebentar terpaksa harus menggunakan kekerasan, rasanya sukar meloloskan diri bagi mereka.
Di sebelah sana Wanyan Tiang-ci diam-diam juga sudah menguji tenaga dalam Bu-lim-thian-kiau.
Ketika pelayan membawakan teh, Wanyan Tiang-ci sengaja menerima nampan dari tangan si pelayan dan menyuguh sendiri kepada Bu-lim-thian- kiau.
Katanya.
"Ini adalah teh wangi hadiah Sri Baginda, silakan Pwe-cu mencicipinya."
"Terima kasih,"
Jawab Bu-lim-thian-kiau.
Dalam pada itu Wanyan Tiang-ci sudah menyodorkan nampan ke depan dada Bu-lim-thian-kiau.
Sebagai seorang ahli, segera Bu-lim-thian-kiau mengetahui tuan rumah itu telah mengerahkan lwekang yang maha tinggi, apabila terbentur oleh nampan teh itu dan tidak mampu menahannya, maka pasti akan terluka dalam dengan parah.
Namun Bu-lim-thian-kiau berlagak tidak tahu, dengan tak acuh dia pegang nampan dan berkata.
"Ah, Ong-ya terlalu sungkan, taruh saja di atas meja, biar kuambil sendiri."
Ketika dua arus tenaga dalam terbentur, nampan teh tergetar, namun air teh dalam cangkir sedikit pun tidak tumpah.
Rupanya tenaga dalam kedua orang seimbang sehingga tidak menimbulkan guncangan yang berat sebelah.
Bu-lim-thian-kiau yakin orang cukup kenal pribadinya dan tidak mungkin menggunakan racun, maka tanpa ragu ia terus angkat cangkir teh dan diminum berbareng dengan Wanyan Tiang-ci, lalu berkata.
"Sungguh teh yang sedap!"
Kemudian pelayan menyingkirkan nampan untuk disusul dengan suguhan daharan.
Ketika nampan diangkat, terlihat permukaan meja ada garis mendekuk bekas nampan.
Wanyan Tiang-ci terkejut oleh kepandaian Bu-lim-thian-kiau yang hebat itu, namun sikapnya tetap tenang saja, dengan tertawa ia memuji.
"Hebat sekali ilmu Tam-Pwecu, sungguh kagum. Cuma sayang, meja ini menjadi tidak rata, biarlah aku membuatnya halus kembali." ~ Habis berkata, perlahan dia mengusap permukaan meja, serentak bubuk kayu bertebaran, dekuk meja telah diusap menjadi licin kembali, walaupun permukaan meja masih belum rata sama sekali. Meski begitu, diam-diam Wanyan Tiang-ci menyadari bahwa tenaga dalam Bu-lim-thian-kiau jelas lebih tinggi setingkat daripada dia. Keruan dia terkesiap dan sirik pula. Ia pikir kepandaian orang ini sudah di atasku, betapa pun aku tak dapat membiarkan dia. Untung dia masuk jaring sendiri, lebih tinggi lagi kepandaiannya juga takkan lolos dari tanganku. Begitulah ia lantas mulai bertanya pada soal pokok.
"Tam-Pwecu, selama ini kau berada dimana? Sri Baginda dan aku sangat terkenang padamu."
"Aku berkelana kian kemari di Kang-ouw, kemana saja sukar bagiku untuk menjelaskan,"
Jawab Bu-lim-thian-kiau.
"Begitu luas pengalaman Pwe-cu, tentu tidak sedikit kesatria dan pahlawan kenalanmu, menurut pandangan Pwe-cu, siapakah kiranya pahlawan sejati zaman kini menurut pendapatmu?"
"Kenalanku teramat banyak dan hampir semuanya adalah kesatria dan pahlawan sejati, kukira sukar juga bagiku untuk menceritakan satu per satu,"
Jawab Bu-lim-thian-kiau.
"Dalam hal ini memang bisa jadi berlainan pendapat antara kau dan aku, tapi ada dua orang aku ingin minta pendapatmu apakah mereka itu kesatria sejati menurut penilaianmu?"
"Siapa?"
Tanya Bu-lim-thian-kiau.
"Mereka adalah suami isteri, yang isteri terkenal sebagai Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau, sang suami bergelar Siau-go-kan-kun bernama Hoa Kok-ham. Tentu Pwe-cu kenal mereka."
"Ya, kenal. Mereka suami isteri adalah dua sejoli yang tiada taranya, sudah tentu mereka adalah kesatria dan pahlawan sejati."
"Tapi Hong-lay-mo-li bercokol di Kim-keh-nia dengan anak buah yang menamakan dirinya sebagai laskar rakyat, mereka mengadakan perlawanan terhadap kerajaan kita, apakah Pwe-cu tahu?"
Dengan hambar Bu-lim-thian-kiau menjawab.
"Sudah tentu tahu!"
"Jadi kesatria dan pahlawan sejati dalam pandangan Pwe-cu ternyata adalah musuh besar kerajaan Kim kita!"
"Mohon tanya Ong-ya, Jengis Khan dari Mongol terhitung kesatria dan pahlawan bukan?"
Tiba-tiba Bu-lim-thian-kiau bertanya.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keperwiraan Jengis Khan tidak ada bandingannya pada zaman ini, sudah tentu dia adalah seorang pahlawan besar."
"Sejak Jengis Khan memerintah Mongol selama beberapa puluh tahun, entah sudah berapa kali mereka bertempur dengan kerajaan Kim kita, sementara ini walaupun damai, tapi rencana mereka hendak mencaplok Kim kita bukan lagi rahasia. Apakah dalam pandangan Ong-ya kiranya Jengis Khan bukan musuh kita? Betapa pun kukira pandangan kita ada titik persamaan juga, yaitu mengakui di pihak musuh juga terdapat pahlawan besar."
Karena kalah berdebat, terpaksa Wanyan Tiang-ci berkata.
"Apa pun juga kau tetap bangsa Kim dan bukan bangsa Han?"
"Tapi apa pun juga Kim-keh-nia adalah tanah air bangsa Han mereka,"
Kata Bu-lim-thian-kiau.
"Dalam pandangan kita tindakan mereka itu adalah pemberontakan terhadap kita, tapi dalam pandangan mereka justru sebaliknya bukan?"
"Mengenai saudara sepupu Tam Se-eng yang pernah memimpin pasukan menggempur Kim-keh-nia dan mengalami kekalahan besar, apakah Pwe-cu juga sudah tahu?"
"Peristiwa itu menggemparkan Kang-ouw, dengan sendirinya pernah kudengar,"
Jawab Bu-lim-thian-kiau.
"Demi kejayaan kerajaan Kim kita dan juga keselamatan keluarga Pwe-cu sendiri, bagaimana pendapatmu jika aku mengusulkan kepada Sri Baginda agar Pwe-cu diangkat sebagai panglima pasukan untuk menggempur Kim- keh-nia?"
Dengan dingin Bu-lim-thian-kiau menjawab.
"Menurut pandanganku, musuh besar yang jelas mengancam kerajaan Kim kita adalah Mongol, jika pemerintah mengerahkan kekuatan untuk menggempur Kim-keh-nia, kurasa soalnya rada ganjil."
"Berdamai dengan Mongol adalah keputusan Sri Baginda sendiri, apakah Pwe-cu anggap Sri Baginda sekarang ini kurang bijaksana?"
Jengek Wanyan Tiang-ci sambil berdiri, segera ia hendak bertindak.
Rupanya Wanyan Tiang-ci sengaja memancing agar Bu-lim-thian-kiau mengemukakan pikirannya yang bertentangan dengan tindakan kerajaan Kim, dengan demikian supaya ada alasan untuk bertindak padanya.
Sementara itu di sekeliling istana sudah siap pasukan pemanah dan anak panah berbisa, di belakang pintu angin juga sudah siaga jago-jago pilihan, asalkan Wanyan Tiang-ci memberi aba-aba, serentak Bu-lim-thian-kiau bertiga akan dibinasakan.
Akan tetapi sikap Bu-lim-thian-kian tetap tenang saja dan menantikan tindakan apa yang hendak dilakukan lawan.
Pada detik yang amat gawat itulah, tiba-tiba terdengar seruan orang.
"Titah raja tiba!"
Wanyan Tiang-ci terkejut, terpaksa ia urungkan maksudnya hendak bertindak dan cepat memerintahkan membuka pintu tengah untuk menyambut titah raja.
Sesudah pintu gerbang tengah dibuka, masuklah seorang Thay-kam (dayang istana kebiri) dan seorang Wi-su (pengawal) istana.
Wanyan Tiang-ci kenal Thay-kam itu bernama Maliha, Thay-kam yang mengurus protokol istana dan paling dipercaya oleh raja.
Sedangkan Wi-su itu tidak dikenalnya.
Selagi Wanyan Tiang-ci hendak berlutut untuk menerima titah raja, mendadak Maliha berkata.
"Ong-ya, titah raja bukan ditujukan kepadamu melainkan kepada Tam-Pwecu."
Mendengar itu segera Bu-lim-thian-kiau tampil ke depan untuk mendengarkan titah raja, dengan suara lantang Maliha lantas berseru.
"Hong-siang (Sri Baginda) minta Pwe-cu menerima titah ini dan segera ikut ke istana untuk menghadap Hong-siang!"
Hal ini sama sekali di luar dugaan, Wanyan Tiang-ci tidak berani menaruh curiga.
Ia hanya heran mengapa Hong-siang dapat menerima berita secepat itu, baru saja Tam Ih-tiong datang sudah diketahuinya.
Ia pun heran akan Wi-su baru ini, rasanya seperti belum pernah dilihatnya.
diam-diam ia pun kuatir jangan-jangan Hong-siang menggunakan Wi-su kepercayaan untuk mengawasi gerak-geriknya dan dengan sendirinya Wi-su demikian itu sengaja dirahasiakan, pantas kalau Wi-su ini tidak di kenalnya.
Terpikir kemungkinan Hong-siang telah mencurigai dirinya, mau tak mau Wanyan Tiang-ci menjadi tidak tenteram.
Selesai menerima titah raja tadi Bu-lim-thian-kiau lantas berkata.
"Apakah murid dan keponakanku ini boleh ku bawa sekalian untuk menemui Hong-siang?"
Maliha menyatakan tidak keberatan membawa serta Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi, soal Hong-siang mau menerimanya atau tidak adalah urusan lain.
Lalu Bu-lim-thian-kiau mohon diri kepada Wanyan Tiang-ci, sampai di luar, di situ sudah menunggu sebuah kereta kuda dengan tanda milik kerajaan.
Melihat kereta itu Wanyan Tiang-ci menjadi tidak sangsi lagi.
Yang masih membuatnya heran adalah si Wi-su tadi sejak mula tidak pernah membuka suara barang sekata pun.
Di lain pihak Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi juga sedang heran dan sangsi, sebab mereka merasa Wi-su itu seperti sudah pernah dikenalnya, hanya tidak ingat lagi dimana pernah melihatnya.
Bu-lim-thian-kiau duduk di dalam kereta bersama Maliha, sedangkan Li Tiong-cu, Ho Leng-wi duduk di tempat kusir, Wi-su istana tadi menjadi kusir, Tiong-cu dan Leng-wi duduk di kanan-kirinya dan tanpa terasa mereka memandangnya beberapa kali dengan perasaan ragu.
Teka-teki itu tidak lama kemudian lantas terbongkar.
Ketika kereta itu sampai di suatu tempat yang sepi, mendadak Wi-su itu menghentikan kereta dan berkata dengan tertawa.
"Apakah kalian tidak kenal aku lagi? Sekarang bolehlah kalian turun di sini!"
Mendengar suara itu, seketika Leng-wi terkejut dan bergirang, serunya.
"He, Suhu, engkau kiranya!"
Segera Li Tiong-cu juga ingat bahwa Wi-su ini ternyata bukan lain daripada perwira pasukan pengawal yang pernah menolongnya di Thian-tam tempo hari itu. Dengan bergelak tertawa Bu-lim-thian-kiau juga lantas berkata.
"Bu- toako, kau juga boleh turun saja di sini, biarlah kita membagi tugas, kau pulang bersama muridku dan aku masuk kerajaan bersama Ma-kongkong."
Wi-su ini memang bukan lain daripada guru Ho Leng-wi, yaitu Bu Su- tun adanya.
"He, kau tetap akan masuk ke istana?"
Kata Bu Su-tun.
"Benar, tak perlu kau kuatir bagiku, aku pasti akan kembali,"
Jawab Bu- lim-thian-kiau dengan tertawa.
"Muslihat Wanyan Tiang-ci sudah kuketahui, coba pikir, masakah persoalan ini dapat kudiamkan?"
Begitulah ia lantas menduduki tempat kusir untuk menggantikan Bu Su- tun dan melanjutkan perjalanan. Setelah turun dari kereta, Ho Leng-wi lantas tanya.
"Suhu, bagaimana bisa terjadi begini?"
"Soalnya sangat sederhana,"
Tutur Bu Su-tun.
"tidak lama setelah kalian meninggalkan Kay-pang, datanglah Tam-tayhiap. Semalam dia baru tiba dan tadi bermaksud pergi menjenguk mak inangnya, tak terduga kalian justru mengalami serangan di rumah mak inangnya itu."
"Dan bagaimana bisa datang titah raja segala secara mendadak?"
Tanya Tiong-cu.
"Titah raja itu dengan sendirinya adalah palsu,"
Jawab Bu Su-tun.
"Tapi mengapa Thay-kam itu mau membantu Suhu?"
Tanya Tiong-cu heran.
"Aku yang memaksa dia menuruti perintahku,"
Tutur Bu Su-tun.
Kiranya Bu-lim-thian-kiau sangat paham seluk-beluk keadaan istana raja Kim, maklum dia sendiri adalah pangeran.
Sedangkan Bu Su-tun pernah bekerja sebagai jago pengawal raja Kim, dengan sendirinya ia pun tahu keadaan istana.
Waktu Bu-lim-thian-kiau pergi menolong mak inangnya sudah diduganya akan kepergok Wanyan Tiang-ci di sana dan pasti sukar meloloskan diri, maka dia minta Bu Su-tun berusaha menculik Maliha dengan membawa titah raja palsu.
Bu Su-tun menyamar sebagai jago pengawal istana dan berhasil menyusup ke kamar Maliha, di bawah ancamannya, terpaksa Maliha tidak berani berkutik dan menuruti segala keinginannya.
Begitulah Li Tiong-cu terkejut dan bersyukur pula, katanya.
"Berani sekali Suhu menghadapi bahaya itu. Tentang muslihat Wanyan Tiang-ci akan merebut takhta, apakah paman Bu yang memberitahukan Suhu?"
"Semalam dia pulang ke sini dan telah menemui sahabat lama di dalam istana sehingga dia sudah mendapatkan keterangan lebih dulu, cuma tidak terlalu jelas sebagaimana apa yang kuketahui,"
Jawab Bu Su-tun.
"Sekarang kita akan pergi ke markas Kay-pang atau pulang ke rumah Tecu saja, Suhu?"
Tanya Ho Leng-wi.
"Boleh pulang ke tempatmu saja agar ayahmu tidak kuatir,"
Ujar Su-tun.
"Alamat kediamanmu juga sudah kukatakan kepada Tam-tayhiap."
"Wanyan Tiang-ci tentu tidak menyangka kini kita tidak berada di istana raja melainkan dalam perjalanan ke Se-san, he, he, andaikan tahu juga sudah terlambat,"
Ujar Li Tiong-cu dengan tertawa.
Ucapan Li Tiong-cu memang tidak salah, memang agak terlambat ketika Wanyan Tiang-ci mengetahui hal itu, tapi toh diketahuinya sekarang apa yang terjadi.
Kiranya penyamaran Bu Su-tun itu telah diketahui oleh Wan-yan Ho.
Setelah Wanyan Tiang-ci mengantar pergi Maliha dan Bu-lim-thian-kiau, segera Wan-yan Ho, menemui sang ayah dan menceritakan pengalamannya di Thian-tam serta perwira pasukan pengawal yang dicurigainya itu.
Hati Wanyan Tiang-ci tergerak setelah mendengar penuturan itu, tapi ia menjadi ragu-ragu mengingat Maliha adalah Thay-kam kepercayaan raja yang tidak mungkin dipalsukan.
Untuk menyelidiki keadaan yang sebenarnya, segera ia mengirim seorang kepercayaan ke istana untuk mencari kabar.
Tidak lama kemudian datanglah laporan bahwa Maliha memang betul membawa Bu-lim-thian-kiau ke istana untuk menghadap raja, cuma jago pengawal dan kedua anak muda tidak kelihatan ikut masuk istana.
Mau tak mau Wanyan Tiang-ci menjadi sangsi, ia pikir Maliha adalah Thay-kam kesayangan Hong-siang, dia berani membawa Tam-Pwecu ke istana, tentu urusan ini tidak perlu disangsikan.
Tapi kemana jago pengawal itu betapa pun harus diselidiki dengan jelas.
Segera ia ambil keputusan, ia sendiri langsung masuk istana untuk menghadap Raja.
Sedangkan jejak jago pengawal serta kedua anak muda itu juga harus diselidiki segera, untuk ini Wan-yan Ho diberi tugas mengusutnya.
Begitulah Wan-yan Ho lantas memilih belasan jago kelas tinggi dan terbagi empat jurusan untuk mengusut jejak ketiga buronan itu, tiap kelompok disertai pula orang yang sudah kenal Li Tiong-cu dan Leng-wi.
Ketika Bu Su-tun bersama Ho Leng-wi dan Li Tiong-cu sampai di Se-san, sementara itu hari sudah hampir gelap.
Baru saja mereka lewat Leng-san-si, sebuah kuil di lereng bukit itu, untuk mencapai Pit-mo-giam tempat tinggal keluarga Ho masih harus mendaki lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai dari belakang.
Waktu Bu Su-tun menoleh, tertampak ada empat penunggang kuda sedang menyusul mereka, kelihatan Yim Thian-ngo berada di antaranya, selain itu ada seorang kakek kurus yang dikenalnya pernah bergebrak dengan dia di Thian-tam tempo hari.
Dua orang lagi adalah seorang kakek tinggi besar dan seorang lelaki setengah umur, keduanya tidak dikenalnya.
Setelah dekat, si kakek kurus itu mendahului melompat turun dari kudanya dan membentak.
"Sungguh berani kau ini, sudah menyamar sebagai perwira, menyaru pula sebagai jago pengawal. Tempo hari di Thian- tam kami kena dikelabui olehmu, sekarang jangan harap kau mampu lolos dari tanganku!"
"Hm, tua bangka macam kau ini mempunyai kepandaian apa, berani kau membual?"
Jengek Bu Su-tun.
Tempo hari kakek kurus ini pernah bergebrak satu kali dengan Bu Su- tun dan belum merasakan lihainya bekas ketua Kay-pang itu, maka disangkanya kepandaian Bu Su-tun tidak lebih hanya setingkat dengan dirinya.
padahal dia sendiri adalah satu di antara tiga iblis yang paling ditakuti orang Kang-ouw, mana dia pernah diolok-olok orang sedemikian rupa? Maka dengan gusar ia balas mendamprat dengan angkuh.
"Baik, boleh coba kau belajar kenal dengan tua bangka macamku ini!"
Sembari bicara ia terus menerjang maju, kontan ia melancarkan pukulan dahsyat ke arah Bu Su-tun.
Sambaran angin pukulan itu membawa hawa dingin yang merasuk tulang, Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi yang berdiri di samping menggigil kedinginan, tapi Bu Su-tun yang menjadi sasaran pukulan itu ternyata tenang-tenang saja, dengan bergelak tertawa ia berkata.
"Ha, ha, ha, memangnya aku sedang kegerahan, terima kasih angin segar yang kau berikan ini!"
Ketika kedua tangan beradu, si kakek kurus merasakan hawa hangat berkesiur dan membuat tubuhnya terasa lelah dan malas, rasanya menjadi mengantuk dan ingin pulas.
Keruan si kakek kurus terkejut, cepat ia menggigit lidah sendiri sehingga terjaga kembali semangatnya, menyusul ia menghantam pula tiga kali.
Namun semuanya dapat ditangkis oleh Bu Su-tun, katanya dengan mendengus.
"Hm, Siu-lo-im-sat-kang yang kau latih ini entah sudah membikin celaka berapa banyak orang, sekarang sudah tiba hari naasmu kebentur padaku!"
Berbareng ia melancarkan serangan balasan yang maha dahsyat, sebenarnya kakek kurus itu terhitung jago kelas terkemuka di bawah Wanyan Tiang-ci, tapi tergetar oleh tenaga pukulan Bu Su-tun, tidak urung ia tergentak mundur beberapa langkah.
Kiranya yang diyakinkan Bu Su-tun adalah Kim-kong-ciang, ilmu pukulan bertenaga sakti, sejenis ilmu pukulan dengan tenaga maha panas, bukan saja kekuatannya memang lebih tinggi daripada si kakek, bahkan Kim- kong-ciang justru merupakan ilmu pukulan anti Siu-lo-im-sat-kang yang dingin itu.
Melihat kawannya terdesak, si kakek tinggi besar segera menerjang maju untuk mewakili kawannya menyambut satu kali pukulan Bu Su-tun.
"Blang,"
Kontan kakek tinggi besar itupun tergetar mundur dua-tiga tindak, malahan mulutnya tampak merembeskan air darah, nyata ia telah terluka dalam.
Tapi telapak tangan Bu Su-tun juga merasakan panas seperti terbakar, malahan disertai rasa gatal-gatal pegal.
"Hah, kiranya kau inilah iblis yang mencuri kitab pusaka keluarga Siang itu,"
Bentak Bu Su-tun dengan gusar.
"Cuma sayang Hoa-hiat-to yang kau latih belum sempurna, mana kau mampu melukai aku. Hm, tidak nanti kubiarkan kau mencelakai orang dengan kepandaianmu yang jahat ini!" ~ Sambil bicara kembali ia melancarkan suatu pukulan keras. Tadinya mulut kakek tinggi besar itu hanya kelihatan mengeluarkan liur berdarah, tapi sekarang dia memuntahkan darah segar, lalu seperti orang mabuk saja, tubuhnya rada sempoyongan, dari jarak jauh ia pun balas menghantam satu kali. Aneh juga, setelah muntah darah, tenaga pukulannya dari jauh itu ternyata lebih dahsyat daripada pukulan tadi, ketika kedua tenaga pukulan bertemu, terbitlah suara gemuruh yang keras. Dalam pada itu si kakek kurus sudah dapat menenangkan diri, segera ia berseru.
"He, kau pun mahir Kim-kong-ciang, malahan lebih hebat daripada Liok Kun-lun, apakah kau ini Bu Su-tun yang pernah menjabat ketua Kay- pang itu?"
"Benar,"
Jawab Bu Su-tun.
"Siu-lo-im-sat-kang kau gunakan untuk mencelakai orang, maka tak dapat kuampuni kau."
"Hm, Bu Su-tun, jangan omong besar dahulu!"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jengek si kakek kurus.
"Memang, kalau satu lawan satu mungkin aku bukan tandinganmu, tapi sekarang kami berdua, untuk bisa menang kau perlu memanggil Liok Kun- lun ke sini."
Tengah bicara, kakek kurus itu sudah menggabungkan diri dengan si kakek tinggi besar, dengan gabungan tenaga pukulan mereka, benar juga kekuatan pukulan Bu Su-tun yang dahsyat itu dapatlah ditolak kembali.
"Bu Su-tun, jangan lupa, masih ada aku!"
Mendadak Yim Thian-ngo berseru sembari menerjang maju.
"Hm, kau adalah buronan pemerintah, maka jangan kau sesalkan kami tidak pakai aturan Kang-ouw."
Jit-siu-kim-hoat yang menjadi ilmu andalan Yim Thian-ngo juga termasuk suatu kepandaian khas dunia persilatan, kekuatannya juga tidak di bawah kedua kakek kurus dan tinggi itu.
Memangnya Bu Su-tun mulai kewalahan menghadapi kerubutan kedua kakek, apalagi sekarang ditambah lagi seorang Yim Thian-ngo.
Dengan sendirinya Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi tidak tinggal diam, segera mereka pun menerjang maju.
Melihat Li Tiong-cu, seketika Yim Thian-ngo naik darah, dampratnya.
"Hm, kebetulan sekali kedatanganmu, keparat! Kau telah membawa lari anak perempuanku, biar kubinasakan kau dahulu!"
Namun seruling Li Tiong-cu juga tidak kalah tangkasnya, berturut tiga kali serangan musuh dapat dipatahkannya, malahan sekaligus ia balas mengincar Hiat-to di tubuh lawan. Mendadak si kakek tinggi besar melancarkan satu pukulan ke arah Ho Leng-wi.
"Awas anak Wi akan pukulannya yang berbisa!"
Cepat Bu Su-tun memperingatkan muridnya.
Leng-wi mengiakan, tapi dia tetap melancarkan serangan dengan keras lawan keras, mendadak ia menghantam tangan musuh.
Seperti juga sang guru, pukulan Leng-wi ini membawa tenaga maha dahsyat.
Tampaknya kakek tinggi besar itu rada jeri juga menghadapi pukulan ini, mendadak ia putar tangannya agar tidak kebentur tangan Ho Leng-wi.
Cepat Ho Leng-wi juga ganti serangan lain sambil mengelakkan pukulan musuh.
Kedua orang sama-sama lihai, pukulan masing-masing juga luput mengenai sasaran.
Diam-diam Bu Su-tun memuji ketangkasan muridnya sendiri, tapi ta pun tahu keuletan Ho Leng-wi masih kurang, jika bertarung lama mungkin akan kewalahan menghadapi pukulan berbisa musuh.
Segera ia mendesak mundur si kakek kurus, lalu menubruk ke sebelah sana, kedua telapak tangan memukul sekaligus ke arah Yim Thian-ngo dan si kakek tinggi besar.
Si kakek tinggi besar menggeser mundur untuk menghindari pukulan dahsyat Bu Su-tun.
Segera Yim Thian-ngo berseru.
"Baik, kau layani saja kedua bocah ini!" ~ Habis itu ia sendiri lantas menghadapi Bu Su-tun bersama si kakek kurus. Sedang si kakek tinggi besar sendiri lantas melayani kerubutan Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi. Begitulah pertarungan lantas berlangsung dengan sengitnya. Di pihak Yim Thian-ngo masih ada seorang laki-laki setengah umur, menghadapi pertarungan dahsyat itu ternyata dia tidak berani ikut bertempur. Kiranya lelaki setengah umur ini adalah Sia Hoa-liong, murid Yim Thian- ngo. Sedangkan si kakek tinggi besar itu ialah Sebun Bok-ya, si kakek kurus adalah Cu Kiu-bok. Sebenarnya kepandaian Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok tergolong kelas wahid, apalagi mereka berdua maju sekaligus. Tapi sial bagi mereka, lawan yang mereka hadapi justru adalah Bu Su-tun yang tidak mempan diserang oleh racun pukulan mereka. Antara mereka berempat hanya Sia Hoa-liong yang berkepandaian paling lemah, dia tidak berani ikut bertempur, malahan terpaksa mundur semakin jauh karena tidak tahan oleh hawa dingin yang timbul dari Siu-lo-im-sat-kang yang dilontarkan Cu Kiu-bok. Untuk sementara Bu Su-tun dapat melayani Yim Thian-ngo dan Cu Kiu- bok dengan sama kuatnya. Di sebelah lain Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi menghadapi Sebun Bok-ya semula juga dapat bertahan, tapi setelah dua- tigapuluh jurus, lambat-laun mereka mulai terdesak di bawah angin. Pukulan Sebun Bok-ya tidak sampai mengenai tubuh mereka, tapi hawa berbisa yang berbau amis itu sungguh memualkan, lama-lama mereka rada pening oleh bau tidak enak itu. Jadi terpaksa Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi di samping harus menahan serangan lawan juga harus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan hawa berbisa, lambat-laun mereka pun mulai merasa payah. Melihat Sia Hoa-liong tidak berani ikut bertempur, sebaliknya menyingkir makin jauh, dengan mendongkol Yim Thian-ngo membentaknya.
"Tolol, kenapa tidak lekas mengundang bala bantuan!"
Baru sekarang Hoa-liong sadar, cepat ia mengiakan dan lebih dulu melepaskan sebuah anak panah berapi ke angkasa, habis itu ia berlari ke tempat kudanya yang ditambat pada sebatang pohon.
Akan tetapi sebelum tiba di tempat tujuan, mendadak tertampak dua sosok bayangan sedang mendatangi secepat terbang.
Waktu Hoa-liong mengawasi, kiranya kedua pendatang itu adalah Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng.
Keruan ia terkejut, tanpa pikir lagi segera ia bersembunyi ke balik semak-semak yang terdapat di situ.
Untung baginya, lantaran Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng terburu ingin menuju ke tempat pertempuran, maka mereka tidak memperhatikan tempat sembunyi Sia Hoa-liong.
Hanya setiba di lereng bukit tempat tambatan kuda itu, tiba-tiba Han Pwe-eng mendapatkan suatu akal, dia sengaja memotong tali kendali kuda, empat ekor kuda itu dilepaskan semua, dengan demikian supaya musuh tidak mudah melarikan diri.
Dalam pada itu ketika mengetahui datangnya dua sosok bayangan orang, Yim Thian-ngo menjadi heran mengapa begitu cepat datangnya bala bantuan.
Ketika Kok Siau-hong berdua sudah dekat barulah dia terkejut setelah mengenali kedua anak muda itu.
Dari jauh Kok Siau-hong lantas membentak.
"Bagus, Yim Thian-ngo! Kau masih berani main gila dan membantu musuh, maka jangan kau salahkan pedangku jika tidak kenal orang tua macam kau ini!"
"Mari kita membereskan dulu Sebun Bok-ya, tampaknya Bu Pang-cu sanggup melayani Yim Thian-ngo dan Cu Kiu-bok berdua,"
Kata Pwe-eng. Siau-hong mengiakan, segera ia berseru kepada Li Tiong-cu.
"Li-heng, silakan mengaso dahulu, biar kami menggantikan kalian!"
Segera Kok Siau-hong bersama Han Pwe-eng menerjang maju, sinar pedang mereka berkelebat mengelilingi Sebun Bok-ya.
"Hm, kau bocah ini pernah keok di bawah tanganku, kau masih berani cari penyakit padaku?"
Bentak Sebun Bok-ya dengan gusar.
"Ha, ha, jangan temberang, mari sekarang kita coba-coba lagi!"
Jawab Kok Siau-hong dengan tertawa.
Sret-sret-sret tiga kali, setiap tusukannya selalu mengincar Hiat-to maut di tubuh lawan.
Baru sekarang Sebun Bok-ya terkejut, ia heran mengapa baru selang setahun ilmu pedang bocah ini sudah maju begini pesat, nyata tak dapat dipandang enteng lagi.
Bahwa ilmu pedang Kok Siau-hong memang jauh lebih maju memang tidak salah, tapi sebabnya dia dapat melancarkan serangan kilat dan membikin keder musuh bukan melulu karena kemajuan ilmu pedangnya saja.
Soalnya gabungan ilmu pedangnya dengan Han Pwe-eng yang dilatih bersama selama lebih setahun sudah mencapai hasil yang baik.
Selain itu ia pun diberi petunjuk oleh Kong-sun Bok cara melayani ilmu berbisa keluarga Siang, kini bergebrak pula dengan Sebun Bok-ya, dengan sendirinya dia sudah mempunyai perhitungan cara bagaimana menghadapi musuh.
Apalagi Sebun Bok-ya baru saja bergebrak dengan Bu Su-tun serta habis dikerubut oleh Li Tiong-cu dan Ho Leng-wi, sudah tentu banyak tenaga dalamnya terbuang, dalam keadaan demikian ia menjadi kewalahan menghadapi Siau-hong berdua.
Begitulah Siau-hong terus memutar pedangnya dengan cepat.
Di tengah pertarungan sengit itu, Sebun Bok-ya menjadi nekat, mendadak ia menubruk maju sambil menghantam dengan pukulan berbisa Hoa-hiat-to.
"Bagus!"
Sambut Kok Siau-hong.
"sret", pedangnya mendadak menusuk dari arah yang sama sekali tak terduga. Meski ujung pedang tergetar melenceng oleh tenaga pukulan lawan, tapi Lo-kiong-hiat di bagian telapak tangan Sebun Bok-ya tertusuk juga oleh pedangnya. Sebun Bok-ya menggerung keras dan mendadak menubruk ke arah Han Pwe-eng. Namun dengan enteng dan gesit Pwe-eng sempat mengelak. Tubrukan Sebun Bok-ya mengenai tempat kosong, namun peluang inipun digunakan dia untuk menerjang pergi.
"Tak perlu dikejar, biarkan bangsat tua itu kabur,"
Kata Siau-hong dengan tertawa.
"Ilmu racunnya itu paling sedikit tiga tahun lagi baru dapat dipulihkan. Malahan besar kemungkinan dia akan Cau-hwe-jip-mo. He, he, dia sudah kehilangan kitab pusaka keluarga Siang, maka sulitlah baginya untuk membebaskan diri dari malapetaka yang akan menimpanya itu."
Demikian ucapan Kok Siau-hong itu sengaja diperdengarkan kepada Sebun Bok-ya yang sedang kabur, dengan sendirinya ia dapat mendengar dengan jelas, ia terkesiap, pikirnya.
"Le Kim-liong telah merebut kitabku dan katanya akan diberikan kepada Oh-hong-tocu, mengapa aku tidak menemui Oh-hong-tocu saja dan bicara dengan dia? Meski Oh-hong-tocu belum tentu mau menyerahkan kembali kitab itu padaku, tapi kalau kuminta bantuan Liong Siang Hoat-ong bisa jadi dia akan terpaksa menurut." ~ Dia tidak tahu bahwa ucapan Kok Siau-hong itu hanya akalnya, sekali timpuk dua burung, sengaja hendak memecah belah musuh dan sekaligus membikin insyaf Oh- hong-tocu. Selagi Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng melabrak Sebun Bok-ya tadi, saat itu Bu Su-tun juga sedang bertempur sengit melawan Cu Kiu-bok dan Yim Thian-ngo. Sementara itu Ho Leng-wi dan Li Tiong-cu lantas ikut menerjang maju, Li Tiong-cu mengincar Yim Thian-ngo dan Ho Leng-wi menyerang Cu Kiu-bok. Memangnya gabungan tenaga Yim Thian-ngo dan Cu Kiu-bok juga cuma cukup kuat menahan Bu Su-tun saja, apalagi sekarang pihak Bu Su-tun bertambah dua pembantu yang masih muda dan kuat. Melihat Sebun Bok-ya sudah kabur, Cu Kiu-bok bertambah cemas, mendadak ia berteriak dan memuntahkan darah segar, menyusul ia terus menghantam sekuatnya ke arah Bu Su-tun, rupanya dia telah menggunakan ilmu Thian-mo-kay-teh-hoat, dengan cara melukai diri sendiri kekuatannya serentak dapat bertambah satu kali lipat, tapi sesudah itu dia akan mengalami kehabisan tenaga, andaikan tidak mati juga akan sakit parah. Begitulah segera terdengar suara "blang"
Yang keras, Bu Su-tun telah menyambut pukulan Cu Kiu-bok tadi.
Kontan Cu Kiu-bok terlempar ke atas seperti bola, sedangkan Bu Su-tun juga tergetar mundur sempoyongan serta menggigil kedinginan.
Pada saat yang sama, saking gelisah dan gugupnya Yim Thian-ngo juga telah tertotok oleh seruling Li Tiong-cu, Yim Thian-ngo menjerit satu kali terus putar tubuh dan lari.
Entah karena saking napsunya atau lantaran memang tidak tahan lagi, baru lari beberapa langkah, mendadak ia roboh terjungkal dan terguling ke bawah bukit.
Waktu Ho Leng-wi berpaling, dilihatnya wajah Bu Su-tun bersemu hijau, ia menjadi kuatir dan cepat bertanya.
"Suhu, kenapa engkau?"
Bu Su-tun menarik napas panjang, lalu berkata.
"Tidak apa, Siu-lo-im-sat- kang orang she Cu itu sudah kuhancurkan."
Tiba-tiba terdengar Li Tiong-cu berseru.
"He, di sana masih ada seorang!"
Terlihat dari semak-semak merangkak bangun satu orang dengan wajah pucat.
Ketika berusaha berdiri, orang itu tergeliat dua kali, lalu menjerit dan roboh lagi.
Rupanya Sia Hoa-liong yang bersembunyi di semak-semak itu bermaksud melarikan diri jika ada kesempatan baik, tak terduga dia terserang juga oleh tenaga pukulan Bu Su-tun dan Siu-lo-im-sat-kang maha dingin yang dilontarkan Cu Kiu-bok, meski jaraknya rada jauh, tapi Sia Hoa-liong ternyata tidak tahan dan membuat darahnya serasa membeku.
"Bagus, kiranya kau keparat ini!"
Bentak Kok Siau-hong dengan mendelik terus mendekatinya.
Tidak kepalang ketakutan Sia Hoa-liong, memangnya dia sudah terluka dalam, saking ketakutan nyalinya lantas pecah.
Waktu Kok Siau-hong mendekat, ternyata Sia Hoa-liong sudah tidak bergerak lagi, nyata dia sudah mati ketakutan.
"Kok-heng, mengapa kalian dapat tiba secepat ini?"
Tanya Ho Leng-wi kemudian.
"Karena kalian tidak pulang, maka kami keluar buat jalan-jalan dan cari berita,"
Tutur Kok Siau-hong.
"Tak terduga di lereng bukit kami lantas melihat panah berapi yang mengangkasa di sekitar sini dan segera kami memburu ke sini."
"Panah berapi itu dilepaskan oleh Sia Hoa-liong untuk mengundang bala bantuan, siapa tahu terjadi senjata makan tuan, yang datang adalah kalian dan dia sendiri jadi mampus malah,"
Kata Tiong-cu dengan tertawa.
"Hasil pertempuran ini telah memusnahkan ilmu berbisa Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya serta membikin Sia Hoa-liong mati ketakutan, maka boleh dikata suatu kemenangan total. Cuma sayang Yim Thian-ngo sempat kabur,"
Kata Kok Siau-hong. Tiba-tiba Bu Su-tun berkata kepada Li Tiong-cu.
"Li-seheng, sungguh kau tidak malu sebagai murid kesayangan Tam-tayhiap, totokanmu tadi sungguh hebat. Cuma tampaknya kau sengaja memberi kelonggaran kepada Yim Thian-ngo bukan?"
Muka Tiong-cu menjadi merah, jawabnya.
"Pandangan paman memang jitu, soalnya....."
"Li-heng adalah teman Piau-moay sejak kecil,"
Cepat Kok Siau-hong mewakilkan memberi penjelasan.
"biarpun ayahnya tetap sesat, tapi Piau- moay mengharapkan pada suatu hari ayahnya akan sadar kembali."
Memang benar Li Tiong-cu sengaja memberi kelonggaran kepada Yim Thian-ngo, maka totokannya tadi tidak menggunakan tenaga berat. Kalau tidak, tentu Yim Thian-ngo sukar melarikan diri.
"Sebenarnya Hong-siau berangkat bersama kami, tapi kami telah mendahului dia ke sini, sementara ini tentu dia juga sudah tiba, lekas Li-heng menyambut kedatangannya,"
Tutur Pwe-eng.
"Selama beberapa hari dia selalu gelisah menunggu kepulanganmu."
Benar saja, segera tertampak Yim Hong-siau muncul dari lereng bukit sana dan berlari mendatangi.
"He, mengapa kalian baru kembali hari ini, paman Ho sangat mencemaskan kalian,"
Demikian seru Hong-siau sesudah dekat.
"Dan sekarang kami sudah pulang dengan selamat, tentu kalian tidak perlu kuatir lagi,"
Jawab Li Tiong-cu.
"Malahan di antara kita sekarang bertambah seorang tamu agung yang sama sekali tak kalian duga."
Bu Su-tun mengenakan seragam jago pengawal istana, maka Yim Hong- siau sudah melihatnya sejak tadi, ia menjadi heran karena tahu tamu agung yang dimaksud Li Tiong-cu tentu dia adanya.
"Bu-tayhiap ini adalah guru Ho-toako,"
Segera Li Tiong-cu memperkenalkan mereka.
"Yaitu perwira pasukan pengawal yang malam tempo hari pernah membantu kita di Thian-tam."
Maka tahulah Yim Hong-siau sekarang, cepat ia menghaturkan terima kasih.
"Sudah lama aku meninggalkan Tiong-goan, sepulangnya sekarang baru kuketahui di sini telah bertambah kesatria muda sebanyak ini, sungguh aku sangat senang,"
Ujar Bu Su-tun.
"Nona Yim, kau dilahirkan di tempat kotor tapi tidak ikut ternoda, sungguh kau harus dipuji."
Yim Hong-siau sangat terharu, hatinya terasa pedih dan hangat pula mendapatkan hiburan dari kawan sepaham ini. Dia dan Li Tiong-cu menyingkir ke sana, dengan suara perlahan dia tanya pemuda itu.
"Apakah kau sudah bertemu dengan ayahku? Tadi kalian seperti sedang bertempur, siapakah lawan kalian?"
Tiong-cu termenung sejenak, jawabnya kemudian.
"Jika kau datang lebih cepat sedikit tentu dapat bertemu dengan ayahmu."
Hong-siau terkejut dan bertambah pedih pula hatinya, tanyanya.
"Jadi ayah tadi berada di sini. Bagaimana dia?"
"Dia tak terluka,"
Tutur Tiong-cu.
"semoga sesudah ini dia dapat sadar dan kembali ke jalan yang baik."
Lalu ia pun menceritakan apa yang terjadi tadi.
Begitulah setelah mereka pulang ke rumah Ho Leng-wi, ayah Leng-wi merasa girang juga melihat Bu Su-tun ikut datang, terutama setelah dia mendengar tentang pengalaman Leng-wi dan lain-lain di kotaraja.
Yang masih menguatirkan mereka adalah kemungkinan anak buah Wanyan Tiang-ci akan mencari jejak mereka.
Ayah Leng-wi berkata.
"Tempat kediamanku ini sangat sukar ditemukan, pula ada sebuah jalan di bawah tanah, dalam keadaan gawat kita dapat lolos melalui belakang bukit ini. Sungguh aku tidak menduga kalian akan dapat bertemu dengan gurumu di tempat Wanyan Tiang-ci, lebih tidak terduga kalian juga bertemu dengan Bu-lim-thian-kiau. Kini aku menjadi kuatir Tam- tayhiap sendirian masuk istana, mungkin dia akan terjebak oleh kelicikan Wanyan Tiang-ci, semoga dia dapat kembali dengan selamat."
"Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan yang bakal terjadi, tampaknya dia cukup yakin akan usahanya, andaikan tidak berhasil, untuk meloloskan diri kiranya tidak sukar,"
Tutur Bu Su-tun.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika tidak terjadi hal yang luar biasa, dalam dua-tiga hari ini tentu dia akan datang ke sini. Aku sudah memberitahukan dia alamatmu ini. Cuma kita juga harus waspada akan datangnya musuh lebih dulu."
Apa yang diperkirakan mereka ternyata segera terjadi. Malam itu tiada terjadi apa pun. Besoknya menjelang lohor, tiba-tiba terdengar suara suitan keras melengking. Dengan girang Bu Su-tun berkata.
"Itu dia Bu-lim-thian-kiau sudah datang! Cepat amat datangnya ini, tadinya kukira dia akan tinggal satu-dua hari di dalam istana."
Segera ia pun bersuit untuk menjawabnya.
Dalam sekejap saja sesosok bayangan orang sudah muncul di depan pintu, seorang lantas melangkah maju dengan gelak tertawa.
Siapa lagi dia kalau bukan Bu-lim-thian-kiau.
Terlihat sekujur badan Bu-lim-thian-kiau berlepotan darah, tapi semangatnya menyala, sedikit pun tiada tanda terluka.
Dengan hati lega kemudian Bu Su-tun bertanya.
"Tam-heng, cepat amat kedatanganmu ini. Noda darah di tubuhmu tentu akibat pertarungan seru. Kau bertempur dengan siapakah?"
Dalam pada itu mereka telah berada di ruangan tengah dan ambil tempat duduk masing-masing, pelayan pun membawakan teh.
Lalu Bu-lim-thian- kiau mulai menuturkan pengalamannya.
Kiranya waktu Maliha di bawah ancamannya dan terpaksa membawanya menghadap raja Kim, yaitu Wan-yan Yong.
Tatkala itu Wan-yan Yong sedang berada di kantornya dan sedang membaca satu berkas laporan.
Laporan itu datangnya dari panglima yang menjaga perbatasan dan melaporkan tentang gerakan militer Mongol yang ada tanda-tanda segera akan menyerbu ke selatan.
Selagi Wan-yan Yong merasa sedih oleh laporan genting itu, tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya, waktu ia menoleh, tertampak Maliha berlutut di lantai dan Bu-lim-thian-kiau berdiri di depannya.
Maliha adalah Thay-kam kesayangan raja, dia boleh masuk keluar secara bebas, pengawal yang berjaga di luar kantor tiada yang berani menegur dan merintanginya.
Wan-yan Yong sendiri sedang asyik membaca laporan, maka dia tidak tahu masuknya Maliha dan Bu-lim-thian-kiau.
Maka Wan-yan Yong menjadi kaget ketika mendadak nampak Bu-lim- thian-kiau, tanpa terasa berkas laporan yang dipegangnya itu jatuh ke lantai.
Baru Wan-yan Yong hendak menegur, namun Bu-lim-thian-kiau sudah mendahului membuka suara.
"Bukan salah Maliha, karena ada urusan penting, terpaksa aku suruh dia membawa aku menghadap Hong-siang. Untuk ini harap Hong-siang suka percaya padaku."
Sambil bicara Bu-lim-thian-kiau menjemput berkas laporan yang jatuh tadi dan dikembalikan kepada Wan-yan Yong.
Tapi sekilas dari isi berkas yang terbuka itu telah dapat dibaca sebagian dan diketahuilah laporan gawat itu.
Meski Wan-yan Yong merasa sangsi dan tidak tenteram menghadapi kedatangan Bu-lim-thian-kiau secara mendadak ini, tapi ia pun tahu Bu-lim- thian-kiau adalah jago nomor satu atau nomor dua negeri Kim, jangankan memanggil bala bantuan yang jelas tiada gunanya, andaikan sekarang dia dikelilingi para pengawal juga sukar menghadapi Bu-lim-thian-kiau.
Dalam keadaan demikian terpaksa Wan-yan Yong keraskan kepala dan berlagak percaya penuh kepada Bu-lim-thian-kiau.
Dengan menyeringai ia berkata.
"Tam-Pwecu, dahulu kau terpaksa meninggalkan negeri sendiri, kalau dibicarakan sebenarnya kau pun berjasa bagiku. Kudapat naik takhta sedikitnya juga atas jasamu. Selama ini aku selalu memikirkan dirimu, maka kebetulan sekali kedatanganmu ini. Ada urusan apa boleh silakan bicara saja."
"Yang hendak kulaporkan adalah urusan rahasia dan maha penting, hanya boleh didengar sendiri oleh Hong-siang,"
Kata Bu-lim-thian-kiau. Wan-yan Hong memahami apa maksud ucapan itu, segera ia suruh Maliha mengundurkan diri dan memberi titah agar penjagaan di luar diperkuat, siapa pun dilarang masuk ke kantor Sri Baginda.
"Aku baru datang dari tempat Wanyan Tiang-ci,"
Tutur Bu-lim-thian-kiau.
"Ah, kau datang dari sana? Ya, memang pernah kupesan dia agar bantu mencari kau,"
Ujar Wan-yan Yong rada terkejut.
"Tapi kedatanganku ini bukan karena Wanyan Tiang-ci menemukan aku,"
Kata Bu-lim-thian-kiau dengan tersenyum.
"Sebaliknya apa yang hendak kubicarakan ini justru menyangkut pribadi Wanyan Tiang-ci. Maaf, sebelum kubicarakan, lebih dulu mohon Hong-siang suka menjelaskan apa yang pernah dikatakan Wanyan Tiang-ci atas diriku di hadapan Hong- siang?"
"Ya, beberapa hari yang berlalu dia membicarakan dirimu dengan aku, dia juga mengakui kau adalah seorang yang berbakat,"
Kata Wan-yan Yong.
"Yang kumaksudkan hal-hal busuk apa yang pernah dia katakan mengenai diriku,"
Kata Bu-lim-thian-kiau.
Sesungguhnya Wan-yan Yong bukanlah orang bodoh, sejak dia naik takhta, ia pun merasakan kekuasaan terlalu banyak jatuh di tangan Wanyan Tiang-ci, karena itu ia merasa kurang senang, hanya lahirnya dia tak berani memberi sesuatu tanda.
Kini dengan munculnya Bu-lim-thian-kiau, ia pikir kalau Bu-lim-thian-kiau mau membelanya dengan sesungguh hati dan setia, maka kebetulan sekali dapat memperalatnya untuk menandingi Wanyan Tiang-ci.
Karena itulah dengan rada samar-samar ia menjawab.
"Sebenarnya dia dia tidak menjelekkan dirimu, hanya disayangkan kau....."
"Sayang apa?"
Sela Bu-lim-thian-kiau.
"Kau sendiri adalah pangeran kerajaan kita, tapi tidak mau bekerja bagi kerajaan, sebaliknya bergaul dengan bangsa Han yang memusuhi kerajaan kita,"
Sahut Wan-yan Hong.
"Tapi bagaimana pun aku tidak percaya kepada ocehannya."
"Ocehannya itu sebenarnya juga betul,"
Ujar Bu-lim-thian-kiau. Air muka Wan-yan Yong berubah seketika, untuk sejenak ia menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Coba kalau menurut pandangan Hong-siang, menghadapi situasi seperti sekarang ini, musuh negara kita yang utama adalah bangsa Han atau Mongol?"
Tanya Bu-lim-thian-kiau dengan tenang. Mengikuti arah pandangan Bu-lim-thian-kiau, Wan-yan Yong memandang sekejap pada berkas laporan yang tertaruh di atas meja itu, lalu berkata.
"Kalau menurut situasi sekarang, jelas musuh kita adalah Mongol. Tapi bangsa Han berjumlah besar, kelak mereka akan merebut kembali juga tanah air mereka dari pendudukan kita."
"Persoalan harus dibedakan antara yang penting dan tidak, bahwasanya bangsa Han ingin merebut tanah air mereka, apakah hal ini dapat dibenarkan atau tidak biarlah kita kesampingkan dahulu. Yang jelas, persoalan gawat pada saat ini bagi Hong-siang tentunya harus menghadapi bangsa Mongol dahulu, bukan?"
"Ya,"
Terpaksa Wan-yan Yong membenarkan.
"Nah, jika begitu bolehlah kulaporkan kepada Hong-siang tentang muslihat Wanyan Tiang-ci. Sesungguhnya diam-diam dia sudah bersekongkol dengan pihak Mongol dan bermaksud mengadakan perebutan kekuasaan Hong-siang.
"Apakah betul ucapanmu ini?"
Wan-yan Yong menegas dengan terkejut.
"Tanggung betul,"
Jawab Bu-lim-thian-kiau.
"Sudah kukumpulkan dengan lengkap keterangan tentang rencana maksiatnya ini."
Lalu diceritakanlah apa yang didengarnya bersama Bu Su-tun tempo hari mengenai rencana buruk Wanyan Tiang-ci itu.
Sudah tentu Wan-yan Yong belum dapat mempercayai laporan Bu-lim- thian-kiau itu, tapi sebagai seorang raja, yang paling ditakuti adalah takhtanya akan digulingkan orang, apalagi dia memang sudah menaruh curiga terhadap Wanyan Tiang-ci yang terlalu berkuasa itu.
Sebab meski masih sangsi, tidak urung hatinya menjadi kebat-kebit.
Pada saat itulah tiba-tiba di luar kantor ada suara orang bicara dengan perlahan.
Wan-yan Yong tidak mendengar, tapi Bu-lim-thian-kiau yang memiliki lwekang maha tinggi mempunyai daya pendengaran yang tajam, maka dapat diketahui bahwa orang yang bicara di luar itu adalah Wanyan Tiang-ci.
Rupanya Wanyan Tiang-ci minta pengawal melaporkan maksudnya hendak menghadap raja, tapi permintaannya ditolak pengawal dengan alasan raja sedang bicara dengan Tam-Pwecu dan baru akan menerima Wanyan Tiang-ci bila Tam-Pwecu sudah mengundurkan diri.
Terpaksa Wanyan Tiang-ci menyatakan hendak mencari Maliha dahulu, lalu ia melangkah pergi.
Bu-lim-thian-kiau cukup cerdik, ia tahu kedatangan Wanyan Tiang-ci ke istana tentu hendak mengatur tipu muslihat untuk menjebaknya.
Dalam pada itu Wan-yan Yong telah berkata pula.
"Bagaimana baiknya menurut pendapatmu, padahal dia memegang kekuasaan militer sepenuhnya."
"Hong-siang jangan gelisah, anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa, setiba hari yang ditentukan itu, Wanyan Tiang-ci bermaksud menjaring semua orang yang setia pada Hong-siang, tapi Hong-siang justru sekalian menggunakan caranya untuk berbalik menjaring mereka seluruhnya."
"Apakah pasti berhasil?"
Wan-yan Yong menegas.
"Entah Hong-siang mau mengikuti usulku atau tidak?"
Kata Bu-lim-thian- kiau.
"Coba katakan, asal baik tentu akan kuturuti akalmu ini. Tapi jangan sampai diketahui Wanyan Tiang-ci bahwa kita berusaha menghadapi dia."
"Justru inilah yang hendak kukatakan. Dapat kupastikan, sebentar lagi Wanyan Tiang-ci pasti akan menghadap Hong-siang. Maka Hong-siang boleh pura-pura percaya penuh padanya dan tidak mempercayai diriku. Jika dia minta Hong-siang mengusir diriku atau bahkan minta Hong-siang membunuh aku, bolehlah Hong-siang menyanggupi saja."
"Minta kau dibunuh juga boleh disanggupi? Kau pun terima?"
Tanya Wan-yan Yong tercengang.
"Ini kan cuma sandiwara saja, pada saat Hong-siang benar-benar hendak membunuh diriku tentu aku mempunyai akal untuk meloloskan diri. Hanya saja orang yang Hong-siang tugaskan untuk membunuh diriku haruslah jago pengawal kepercayaan Hong-siang pula."
"Ya, kupaham, coba teruskan!"
Kata Wan-yan Yong.
"Sementara ini Hong-siang tidak boleh mengirim pasukan untuk menggempur laskar rakyat bangsa Han. Setahuku, tidak lama lagi Wanyan Tiang-ci bermaksud menyerang Kim-keh-nia, betul tidak hal ini?"
"Betul,"
Jawab Wan-yan Yong dengan mengerut kening.
"Tapi apa yang kau katakan sebagai laskar rakyat bangsa Han kan juga merupakan ancaman besar bagiku."
"Kukira tidak lebih gawat ancamannya dibandingkan bangsa Mongol bukan?"
Ujar Bu-lim-thian-kiau.
"Yang kupikirkan kini adalah demi kepentingan Hong-siang, musuh yang harus dihadapi lebih dulu adalah orang Mongol yang sudah siap menyerbu ke sini. Hal ini terbukti laporan yang baru Hong-siang terima dan kebetulan boleh Hong-siang gunakan sebagai alasan untuk menarik pasukan yang disiapkan Wanyan Tiang-ci untuk menggempur Kim-keh-nia itu ke perbatasan untuk menghadapi Mongol, bukankah cara ini sangat baik, sekali kerja dua tujuan."
"Sekali kerja dua tujuan? Ah, tahulah aku, maksudmu dengan kesempatan ini kekuasaan Wanyan Tiang-ci dapat dikurangi juga?"
"Benar. Wanyan Tiang-ci bersekongkol dengan pihak Mongol tentu dilakukan secara rahasia, kalau Hong-siang memberi perintah agar perbatasan diberi bala bantuan, rasanya dia tak berani membangkang. Dengan demikian pasukan kita dapat dikerahkan untuk melawan musuh penyerbu, berbareng pula mengurangi kekuatan Wanyan Tiang-ci, untuk menghadapi muslihatnya kelak menjadi lebih mudah."
"Ya, bagus, sungguh akal yang baik. Cuma....."
"Hong-siang menyangsikan apa lagi?"
"Tapi kalau berbareng dengan serbuan pihak Mongol, sekaligus laskar rakyat bangsa Han itu juga apa yang kau katakan sebagai mengacau, lalu bagaimana?"
"Tidak, bangsa Han pasti tidak sudi berserikat dengan pihak Mongol, sebaliknya pasti akan bangkit melawannya juga, hal ini Hong-siang tidak perlu kuatir."
"Darimana kau tahu, kau menjamin hal ini?"
"Kuberani menjaminnya. Pimpinan lasykar di Kim-keh-nia itu kukenal, dapat kuwakili Hong-siang untuk berunding dengan mereka."
"Darimana kau mengetahui mereka akan menerima usulmu ini?"
"Hal ini sangat sederhana. Daerah ini memangnya adalah negeri bangsa Han mereka, kalau mereka tidak sudi diduduki bangsa Kim kita, dengan sendirinya mereka tidak sudi dijajah orang Mongol. Kalau sampai pasukan Mongol menyerbu ke sini, bukan cuma negeri Hong-siang saja yang hilang, yang menjadi korban paling besar justru adalah rakyat jelata bangsa Han, menghadapi hal ini, apakah laskar bangsa Han itu dapat tinggal diam? Sebab itulah meski aku tak berani menjamin mereka akan tunduk kepada Hong- siang, tapi sedikitnya aku dapat menjamin mereka pasti akan ikut menghadapi orang Mongol apabila pasukan Mongol menyerbu ke selatan."
Betapa pun Wan-yan Yong adalah raja yang punya pandangan juga, setelah berpikir sejenak dan merasa uraian Bu-lim-thian-kiau itu memang masuk akal, akhirnya ia berkata.
"Baiklah, urusan paling penting sekarang adalah menghadapi ancaman Mongol. Semoga segala sesuatu berja]an sebagaimana kau katakan tadi. Hanya perlu kau ketahui, pasukan pengawal kerajaan masih berada di bawah pimpinan Wanyan Tiang-ci."
"Juga tidak seluruh pasukan pengawal tunduk padanya,"
Ujar Bu-lim- thian-kiau.
"Hendaklah Hong-siang tenang saja, setelah diatur dan tiba pada hari yang dia rencanakan itu tentu kita dapat bergerak lebih dulu untuk mengatasi dia."
Habis itu ia lantas menjelaskan rencana yang telah disusunnya itu.
Rasa sangsi Wan-yan Yong menjadi hilang setelah mengetahui rencana kerja Bu- lim-thian-kiau itu ternyata sangat baik dan rapi.
Memang tidak meleset daripada dugaan Bu-lim-thian-kiau, setelah dia mengundurkan diri, Wanyan Tiang-ci lantas datang menghadap Wan-yan Yong.
Maksud Wanyan Tiang-ci bukan cuma menghasut Wan-yan Yong, malahan dia sudah mengatur perangkap hendak mencelakai Bu-lim-thian- kiau.
Malam itu Bu-lim-thian-kiau menginap di dalam istana.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar suara ramai, waktu ia keluar, tertampak istana tempat tinggal Wan-yan Yong itu penuh dengan hayangan orang dan ramai orang berseru menangkap pembunuh.
Bu-lim-thian-kiau terkejut, ia berpikir apakah Wanyan Tiang-ci telah turun tangan lebih dulu dan mengirim pembunuh gelap untuk Wan-yan Yong? Belum habis terpikir, tertampak serombongan jago pengawal istana sedang mengepung ke arahnya di bawah pimpinan Wanyan Tiang-ci.
"Tam-Pwecu, Hong-siang melayani kau dengan baik, mengapa kau hendak membunuh Hong-siang?"
Demikian Wanyan Tiang-ci lantas membentak setelah dekat. Baru sekarang Bu-lim-thian-kiau tahu Wanyan Tiang-ci hendak memfitnah padanya. Segera dia balas membentak.
"Tidak perlu banyak bicara. Marilah kita mengadu ke hadapan Hong-siang."
Pada saat itu juga tiba-tiba Maliha juga tampil ke muka dan menyampaikan titah raja, serunya.
"Hong-siang sendiri melihat pembunuhnya adalah kau, masakah kau berani membantah lagi? Hong- siang memberi perintah, barang siapa dapat membekuk Tam-Pwecu akan diberi kenaikan pangkat tiga tingkat dan emas murni seribu tahil."
Ucapan Maliha ini membuat hati Bu-lim-thian-kiau menjadi lega malah, ia tahu ini adalah rencananya yang telah dirundingkan dengan Wan-yan Yong, kini raja Kim itu sengaja memfitnahnya sebagai pembunuh gelap agar Wanyan Tiang-ci tidak curiga.
Cuma sekarang Wanyan Tiang-ci ikut tampil ke muka sehingga tidak seluruhnya berjalan menurut rencana, tapi dari sandiwara berubah menjadi sungguhan.
Semua orang mengikuti cerita Bu-lim-thian-kiau ini ikut berdebar juga, Li Tiong-cu bertanya.
"Lalu cara bagaimana Suhu dapat meloloskan diri?"
"Sebagian jago pengawal kepercayaan Wan-yan Yong berlagak bertempur mati-matian, tapi sebenarnya mereka sudah dipesan oleh Wan-yan Yong dan cuma main sandiwara saja, hanya Wanyan Tiang-ci dan beberapa perwira yang dia bawa itu benar-benar hendak membinasakan aku. Tapi aku telah melukai beberapa perwira itu, Wanyan Tiang-ci tidak berani mengadu jiwa dengan aku, maka aku pun berhasil meloloskan diri ke sini."
"Mengapa Wanyan Tiang-ci tidak berani membunuh Wan-yan Yong lebih dini daripada rencananya?"
Tanya Ho Leng-wi.
"Soalnya Wanyan Tiang-ci tidak boleh membawa pengikut ke dalam istana, paling banyak pengiringnya cuma tiga atau empat-lima orang saja. Sebaliknya jago pengawal istana juga cukup kuat, sebelum yakin akan berhasil, mana Wanyan Tiang-ci berani turun tangan secara gegabah."
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kemarin kami juga mengalami pertempuran yang berbahaya,"
Kata Bu Su-tun. Baru saja dia hendak menceritakan pengalamannya kemarin, dengan tertawa Bu-lim-thian-kiau mengatakan sudah tahu.
"Kau sudah tahu? O, barangkali kau pun sudah memergoki Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya berdua iblis itu?"
Kata Bu Su-tun.
"Benar. Kulihat mereka berada bersama lima jago pengawal. Kelima orang itu kubunuh semua. Tapi kedua iblis itu telah kuampuni jiwanya. Ilmu mereka telah kalian hancurkan sebagian bukan?"
"Mereka sudah kehilangan sebagian besar kepandaian, kukira mereka pun malu untuk pulang ke tempat Wanyan Tiang-ci,"
Ujar Bu Su-tun dengan tertawa.
"Pantas juga semalam tidak terjadi apa-apa, kiranya anak buah Wanyan Tiang-ci yang dikirim ke sini telah kau bunuh semua. Nah, Ho- toako, engkau juga tidak perlu kuatir lagi."
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara tertawa orang berkumandang dari lereng gunung sana, suaranya keras melengking, hanya sekejap saja suara tertawa itu rasanya sudah berada di tepi telinga.
Ayah Ho Leng-wi terkejut dan mengira kedatangan lagi jago kelas tinggi yang dikirim Wanyan Tiang-ci.
Tapi Bu-lim-thian-kiau lantas berkata.
"Jangan kuatir, Ho-toako, yang datang adalah kawan sendiri."
Maka tertampaklah seorang Su-seng setengah umur telah melangkah masuk dengan bergelak tertawa dan berkata.
"Ha, ha, tuan rumah harap maafkan tamu yang tak diundang macam diriku ini. Bu-heng dan Tam-heng, kiranya kalian memang betul berada di sini. Sudah lama kita tidak berjumpa, sungguh sangat merindukan kau."
"Ho-toako, kuperkenalkan kalian, ini adalah Hoa Kok-ham, Hoa- tayhiap,"
Kata Bu-lim-thian-kiau kepada tuan rumah.
Baru sekarang ayah Ho Leng-wi tahu pendatang ini adalah Siau-go-kan- kun atau si Pendekar Latah yang namanya sama tersohor dengan Bu-lim- thian-kiau.
Hoa Kok-ham adalah suami Hong-lay-mo-li.
Tentu saja ayah Ho Leng-wi menyambut kedatangan Pendekar Latah itu dengan girang.
"Mengapa kau dapat menemukan aku di tempat yang terpencil ini?"
Tanya Bu-lim-thian-kiau kemudian. Pertanyaannya itu juga sama dengan tanda tanya yang timbul dalam hati tuan rumah.
"Aku telah bertemu dengan Liok Pang-cu dari Kay-pang, dia suruh aku ke sini untuk mencari Bu-heng, tak terduga Tam-heng juga berada di sini,"
Tutur Siau-go-kan-kun.
"Cuma berita tentang kepulanganmu ke Tay-toh sebelumnya juga sudah kuketahui."
"Dan mengapa engkau sendiri juga ke Tay-toh sini?"
Tanya Bu-lim-thian- kiau.
"Kau di Tay-toh, masakah aku tidak menggunakan kesempatan ini untuk mencari kau?"
Ujar Siau-go-kan-kun dengan tertawa.
Begitulah setelah mengambil tempat duduk, lalu Bu-lim-thian-kiau memperkenalkan jago-jago muda kepada Pendekar Latah.
Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng sudah dikenalnya di Kim-keh-nia, hanya Li Tiong-cu, Ho Leng-wi dan Yim Hong-siau yang baru dilihatnya sekarang.
Dengan gembira Siau-go-kan-kun berkata.
"Sungguh aku sangat kagum dan iri kepada Bu-heng dan Tam-heng yang berhasil memungut anak murid bagus. Kabarnya kalian hendak melakukan sesuatu urusan besar di Tay-toh dan bagaimana pelaksanaannya sampai kini?"
"Panjang sekali untuk diceritakan,"
Jawab Bu-lim-thian-kiau.
"Kukira lebih dulu silakan kau menuturkan pengalamanmu."
"Kau tidak percaya bahwa aku sengaja datang ke sini untuk mencari kau bukan?"
Kata Siau-go-kan-kun dengan tertawa.
"Terus terang, sebelum sampai di Tay-toh sudah kudapatkan berita tentang kepulanganmu ke Tay- toh sini."
"Dari siapa kau mendapatkan beritanya?"
Tanya Bu-lim-thian-kiau heran.
"Aku bertemu dengan Siangkoan Hok yang baru pulang dari Mongol,"
Jawab Siau-go-kan-kun. Keterangan ini juga rada di luar dugaan Bu-lim-thian-kiau, katanya.
"O, dia juga sudah pulang? Sekarang dia berada dimana?"
"Dia ingin berputar dulu ke Lok-yang, habis itu baru akan ke sini."
"Hoa-heng, memang kedatanganmu ke Tay-toh ini tiada urusan lain lagi?"
Bu Su-tun ikut bertanya.
"Ya, memang masih ada sedikit urusan lain, yakni aku ingin membunuh tiga manusia durjana,"
Jawab Siau-go-kan-kun.
"Yaitu Su Thian-tik, Kiau Sik- kiang dan Ciong Bu-pa."
"Apakah ketiga durjana itupun kabur ke Tay-toh sini?"
Ujar Siau-hong dengan heran.
"Sebulan yang lalu pernah kami dan Beng-sia-tocu memergoki mereka di Uh-seng."
Bu-lim-thian-kiau, Bu Su-tun dan lain-lain belum tahu peristiwa di Uh- seng, maka Kok Siau-hong lantas menguraikannya secara singkat, katanya pula.
"Waktu itu mestinya Le To-cu tidak mau memberi ampun kepada mereka, tapi mengingat puteri dan menantunya masih tergenggam di tangan mereka, terpaksa Le To-cu mengadakan tukar menukar dengan dia. Waktu itu Oh-hong-tocu juga berada bersama ketiga bangsat itu. Puteri Oh-hong- tocu adalah bakal isteri Kong-sun Bok, demi kepentingan anak-anak muda itu, terpaksa Le To-cu mengikat perjanjian tukar menukar dengan Oh-hong- tocu."
"Kong-sun Bok sudah kembali ke Kim-keh-nia, karena berita yang dia bawa itulah maka aku segera memburu kawanan bangsat itu, malahan Oh- hong-tocu juga kupergoki,"
Tutur Siau-go-kan-kun.
"Jadi Oh-hong-tocu masih berada di Tiong-goan? Padahal dia sudah berjanji akan pulang ke Oh-hong-to apabila anak perempuannya sudah ditemukan,"
Kata Siau-hong.
"Waktu kupergoki dia adalah waktu dia hendak berpisah dengan ketiga bangsat itu,"
Kata Siau-go-kan-kun.
"Mereka sedang ribut mulut. Sayang aku tidak tahu Oh-hong-tocu sudah mempunyai maksud kembali ke jalan yang baik dan mengira mereka sedang bersandiwara dan orang pertama yang kulabrak justru dia. Tak tersangka ilmu silatnya sudah jauh lebih maju, setelah lebih tigapuluh jurus barulah aku di atas angin, tapi ketiga bangsat itu sempat kabur lebih dulu, dengan begitu barulah aku tahu mereka bukan sehaluan lagi dengan Oh-hong-tocu."
"Dan sudahkah engkau mengetahui jejak ketiga bangsat itu?"
Tanya Bu Su-tun.
"Aku terus menguntit jejak mereka, sampai di Tay-toh telah dapat kuketahui mereka bersembunyi di tempat Wanyan Tiang-ci, hal ini rada di luar dugaanku,"
Tutur Siau-go-kan-kun.
"Padahal kita mengetahui ketiga orang itu adalah antek orang Mongol, sedangkan Mongol dan pihak Kim juga dalam keadaan tegang meski saat ini belum berperang secara resmi."
"Rupanya Hoa-heng belum tahu bahwa Wanyan Tiang-ci sudah bersekongkol dengan pihak Mongol dan bermaksud merebut takhta, kalau ketiga orang itu kabur ke sini untuk mencari perlindungan adalah pantas juga,"
Ujar Bu-lim-thian-kiau. Lalu ia pun menceritakan pengalamannya selama berada di Tay-toh.
Jilid 43 AIK, kalau begitu kedua urusan ini dapat kita bereskan sekaligus,"
Kata Siau-go-kan-kun.
"Karena pasukan Kim sementara ini takkan menyerang Kim-keh-nia, maka aku dapat tinggal di sini untuk sementara. Cuma Kim-keh-nia perlu juga diberitahu, untuk ini....."
"Memangnya aku hendak pulang ke sana, biarlah aku dan Pwe-eng sekalian melaporkan urusan ini,"
Kata Kok Siau-hong.
"Ya, Kong-sun Bok juga memikirkan kalian, baik sekali kalau kalian pulang ke sana,"
Ujar Siau-go-kan-kun.
"Suhu, aku....."
Tiba-tiba Li Tiong-cu menyela.
"Ada apa?"
Tanya Bu-lim-thian-kiau.
"Ya, tahulah aku, ingin pergi bersama Kok-siauhiap untuk mencari pengalaman bukan? Baiklah, kukira nona Yim juga boleh berangkat sekalian."
Mendengar itu, semua orang tahu sang guru telah mengetahui hubungan erat muridnya itu dengan Yim Hong-siau, tanpa terasa mereka memandang kedua muda-mudi itu dengan tertawa.
Keruan Tiong-cu dan Hong-siau menjadi malu.
Begitulah setelah segala sesuatu diatur dengan baik, besoknya Siau-hong berempat lantas berangkat menuju Kim-keh-nia.
Sepanjang jalan tiada terjadi apa pun, suatu hari mereka sampai di kota Im-peng di wilayah propinsi Soa-tang.
Im-peng adalah suatu kota kabupaten yang berbatasan dengan propinsi Ho-pak.
Kotanya kecil, hanya ada dua buah hotel saja.
Siau-hong berempat lantas mencari hotel yang agak besaran.
Selesai makan malam, tiba-tiba hotel itu kedatangan enam perwira, begitu datang rombongan perwira itu lantas berteriak minta disediakan tiga buah kamar kelas satu.
Kok Siau-hong berempat menempati dua buah kamar, saat itu mereka sedang berkumpul di kamar Siau-hong untuk pasang omong.
Ketika mendengar suara ribut, mereka coba mengintip keluar, mereka menjadi terkejut ketika mengenali keenam perwira itu.
Kiranya adalah Thia-si-ngo- long (keluarga serigala keluarga Thia) dan si Rase liar An Tat.
"B Teringat kepada peristiwa pembegalan Thia-si-ngo-long dahulu, Han Pwe-eng menjadi gemas, katanya.
"Bagus, kebetulan memergoki mereka di sini, kawanan srigala dan rase ini tidak boleh lagi lolos dari tanganku."
"Mereka telah menjadi antek Wanyan Tiang-ci, aneh juga mereka tidak berada di sana, tapi berkeluyuran ke sini?"
Ujar Siau-hong.
"Kalau adik Eng hendak membereskan mereka sebaiknya dilakukan di luar hotel agar tidak membikin susah pemilik hotel."
Dalam pada itu suara ribut di luar bertambah keras. Kiranya hotel sudah penuh, jangankan tiga kamar, sebuah saja tak ada. Dengan gusar An Tat angkat cambuk kudanya dan pura-pura menyabet satu kali kepada pemilik hotel sambil membentak.
"Kami sengaja datang ke hotelmu ini dan ini berarti suatu kehormatan bagimu, kau tahu tidak? Nah, boleh kau suruh semua tamu di sini enyah saja!"
Pemilik hotel tampak gemetar ketakutan, jawabnya.
"Ja..... jangan gusar, tuan. Biarlah hamba berdaya, kamar pasti ada."
Akhirnya ada dua saudagar yang ketakutan mau mengosongkan sebuah kamarnya, pemilik hotel juga datang berunding dengan Kok Siau-hong agar suka mengalah dan memberikan sebuah kamarnya mengingat mereka adalah dua pasang kakak beradik.
Siau-hong berpikir sejenak, lalu berkata.
"Baiklah, hendaklah kau ambil buntalan mereka ke sini, tidak baik kalau kedua adik perempuan kami keluar sendiri."
Pemilik hotel mengira Pwe-eng dan Hong-siau takut dilihat oleh para perwira itu, maka ia menuruti permintaan Kok Siau-hong itu dan memindahkan bekal mereka ke kamar Siau-hong.
Dengan dua kamar itu pemilik hotel mengira persoalan akan selesai, tak terduga "Srigala Tua"
Hong Lui Bun -- Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pedang Abadi -- Khu Lung