Pendekar Sejati 38
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 38
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
Begitulah kedua pihak sama-sama terdiri dari lima orang, di satu pihak Kok Siau-hong, Han Pwe-eng, Li Tiong-cu, Yim Hong-siau dan Sin Liong- sing, sedangkan pihak lawan terdiri dari Sipatoh, Ubun Hoa-kip, Kim Kong- jan, Han Hi-sun dan Su Hong.
Betapa pun kekuatan pihak Sipatoh lebih kuat, kalau bertempur lama tentu akan menang akhirnya.
Dengan tertawa Kim Kong-jan lantas berkata.
"Sabar saja, Han-kongcu, asalkan kawan kita sudah tiba, lihat saja mereka dapat lari kemana?"
"Pengkhianat yang tidak tahu diri, lihat serangan!"
Bentak Sin Liong-sing dengan gusar, segera ia melancarkan serangan lebih gencar terhadap Han Hi-sun.
Begitulah pertarungan sengit terbagi dalam lima partai, untuk sementara sukar ditentukan kalah dan menang.
Di sebelah sana Ciu Tiong-gak, Ciu Hong dan Ki Ki sedang sibuk menolong orang-orang yang tertindih di bawah bangsal runtuh itu.
Syukur tiada yang terluka parah, sebagian cuma terkilir saja tulang kaki atau tangan, maka dengan mudah Ciu Tiong-gak dapat membetulkan ruas tulang mereka.
Hanya An Toh-seng yang tertotok oleh cara khas Ubun Hoa-kip, maka Ciu Tiong-gak tidak mampu membuka Hiat-to yang tertotok.
Sedang Ciu Tiong-gak membukakan Hiat-to Pah Thian-hok dan Han Thian-siu yang tertotok, mendadak Ki Ki berseru padanya, Jangan, Ciu Lo- yacu, kedua orang itu adalah penjahat!"
Namun sudah terlambat, Pah Thian-hok telah melompat bangun dan sekali cengkeram Ciu Hong telah terpegang olehnya. Ciu Tiong-gak terkejut dan cepat menubruk maju untuk menolong, tapi Pah Thian-hok telah membentaknya.
"Tua bangka she Ciu, jika ingin cucu perempuanmu selamat, lekas mundur sejauhnya sana!"
Dengan menawan Ciu Hong sebagai sandera, Pah Thian-hok menjadi dapat angin.
Sedangkan Han Thian-siu juga lantas memburu ke sana hendak menangkap An Toh-seng yang tak bisa berkutik.
Selagi Ciu Tiong-gak merasa menyesal karena telah salah menolong kedua musuh itu, sekonyong-konyong tertampak Pah Thian-hok berdiri kaku dengan kedua tangan lurus ke bawah.
Cepat sekali Ciu Hong lantas melepaskan diri dari cengkeraman orang.
"Plok", menyusul ia terus persen Pah Thian-hok dengan sekali tamparan. Pada saat yang sama, tahu-tahu Han Thian-siu yang sedang berlari ke arah An Toh-seng itupun roboh terjungkal. Kiranya dengan secepat kilat Ki Ki telah menyambitkan dua buah senjata rahasia mata uang dan tepat mengenai Hiat-to kedua musuh itu. Sama sekali tidak pernah menduga sehingga Pah Thian-hok kena dibokong oleh seorang nona cilik, mereka telah kecolongan. Dengan gemas Ciu Tiong-gak lantas mendekati mereka dan menambahi beberapa kali tempelengan kepada Pah Thian-hok berdua.
"Ampuni sementara jiwa anjing mereka, nanti masih dapat kita pergunakan!"
Seru An Toh-seng.
"Ciu Lo-yacu, juragan An ini adalah kawan kita,"
Kata Ki Ki. Segera Ciu Tiong-gak berusaha membuka Hiat-to An To-seng yang tertotok, tapi ternyata tidak mampu.
"Coba aku!"
Ujar Ki Ki.
Ternyata sekali coba lantas jadi, segera An Toh- seng dapat bergerak leluasa.
Ternyata ilmu silat keluarga Ki mencakup berbagai aliran, dari ajaran ayahnya itulah Ki Ki telah dapat memunahkan ilmu Tiam-hiat Ubun Hoa- kip yang khas itu.
Dengan memperlihatkan kepandaiannya ini, seketika Sipatoh dan Ubun Hoa-kip terkesiap, berbareng mereka pun yakin bahwa Ki Ki pastilah puteri Ki We.
Diam-diam Sipatoh menyesal tadi tidak menawan nona itu lebih dulu.
Selagi pertempuran sengit berlangsung, tiba-tiba debu mengepul tinggi di kejauhan sana, satu pasukan tentara tampak mendatangi, dari panji yang berkibar itu jelas adalah pasukan kerajaan Kim.
Dengan girang Kim Kong-jan lantas berteriak kepada komandan pasukan itu.
"Ong-ciangkun, lekas tangkap kawanan penjahat ini, rombongan penjual obat itu adalah begundal bandit Kim-keh-nia."
"Kalian boleh tangkap saja kawanan penjahat itu, beberapa gembong bandit ini tak perlu kalian urus,"
Ujar Sipatoh dengan tertawa keras.
Sementara itu An Toh-seng sudah dapat bergerak leluasa, rasa dongkolnya tadi belum terlampias, maka beberapa perajurit yang menerjang maju paling depan menjadi sial, satu per satu kena dicengkeram olehnya laksana elang mencengkeram anak ayam saja, lalu dilempar hingga jauh.
Dalam sekejap saja sudah belasan orang kena dibanting sekarat.
Sambil memutar kedua goloknya Ki Ki juga berhasil melukai seorang perwira.
Kawanan penjual obat itupun tidak tinggal diam, dengan segala peralatan yang mereka bawa, mereka juga menghajar perajurit musuh.
Ong-siupi, komandan yang memimpin pasukan dari Kun-ciu menjadi gusar, segera ia memerintahkan pasukannya mengepung dan menghujani dengan anak panah.
Cepat An Toh-seng berseru kepada anak buahnya agar bergabung menjadi suatu lingkaran, dia dan Ciu Tiong-gak, Ciu Hong dan Ki Ki berjaga pada empat sudut, dengan senjata diputar gencar mereka menyampuk anak panah yang menyambar tiba, namun hujan anak panah itu terlalu deras akhirnya mereka tak bisa tahan lama, beberapa saat kemudian sudah ada beberapa kawan mereka terluka.
Sedang keadaan bertambah gawat, sekonyong-konyong kedudukan pasukan musuh menjadi kacau-balau, kiranya ada suatu pasukan lagi menerjang tiba, dari panji pasukan ini dapat dikenali adalah pasukan dari Kim-keh-nia.
Terlihat seorang pemuda kampung dengan memutar sebuah payung sedang menerjang ke tengah pasukan musuh, kemana dia tiba, di situ musuh lantas tunggang-langgang.
Ong-siupi bermaksud mencegah pemuda itu, tapi baru berhadapan dan cuma satu-dua gebrakan saja, tahu-tahu tombak Ong-siupi terbentur patah oleh payung pemuda itu.
Bahkan mendadak pemuda itu menggertak satu kali, sekali tarik segera Ong-siupi kena ditawan olehnya.
"Tangkap juragan An!"
Seru pemuda itu sambil mengangkat tubuh Ong- siupi dan dilemparkan sekuatnya ke arah bangsal yang roboh itu.
Cepat An Toh-seng pasang kuda-kuda dan menangkap tubuh Ong-siupi yang menyambar tiba itu, walaupun begitu toh dia tergentak mundur juga dan terhuyung-huyung.
Melihat komandan mereka sudah tertawan musuh, tentu saja pasukan Kim itu menjadi panik, serentak mereka berusaha melarikan diri.
"Kongsun-toako, tepat benar kedatanganmu ini!"
Seru Kok Siau-hong girang. Pemuda yang baru datang ini memang betul Kong-sun Bok adanya. Payung yang dia gunakan itu dengan sendirinya adalah Hian-tiat-po-san, payung pusaka yang tiada taranya itu.
"Silakan kalian mengaso, biar aku belajar kenal dengan murid Liong Siang Hoat-ong ini,"
Kata Kong-sun Bok. Ubun Hoa-kip tidak kenal siapa Kong-sun Bok, dengan kedua rodanya ia mengepruk dan tepat membentur payung pusaka pemuda itu.
"Trang", terdengar suara nyaring disertai lelatu api, tangan Ubun Hoa- kip kesakitan, sebelah rodanya juga mencelat ke udara. Keruan kejutnya tidak kepalang, tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus angkat langkah seribu. Segera Li Tiong-cu membayangi musuh, serulingnya lantas menotok punggungnya.
"Roda inipun kuberikan padamu!"
Bentak Ubun Hoa-kip sambil menyambitkan pula senjata yang lain dengan tenaga sekuatnya. Terpaksa Li Tiong-cu mengegos sambil menyampuk sedikit dengan serulingnya sehingga roda orang menyambar lewat ke belakang.
"Untuk apa besi rongsok begini!"
Bentak Kong-sun Bok ketika roda itu menyambar tiba, ia pentang payung pusakanya terus dipelintir, kontan roda itu mencelat balik ke sana dengan daya lebih keras.
Keruan Ubun Hoa-kip tidak berani menangkapnya kembali, cepat ia rebut seekor kuda seorang bintara Kim dan kabur sebisanya.
Nampak kedatangan Kong-sun Bok, teringat kejadian dahulu, hati Sin Liong-sing menjadi malu, tapi juga bergirang karena musuh dapat dihalau.
Dalam pada itu Kong-sun Bok telah menerjang ke sana untuk melabrak Kim Kong-jan, syukur kedatangan Kong-sun Bok itu tepat pada waktunya sehingga Sin Liong-sing terhindar dari suatu serangan yang tak terduga.
Kim Kong-jan kenal lihainya payung lawan, sebisanya ia menghindari benturan senjata, akan tetapi sudah terlambat, belum sempat ia tarik kembali pedangnya.
"trang", pedangnya tersentak oleh payung pusaka lawan dan terpental balik, walaupun tidak sampai terlepas dari cekalan, tapi telah melukai pundak sendiri. Dengan gugup Kim Kong-jan masih sempat meniru cara Ubun Hoa-kip, ia berhasil merebut seekor kuda dan menyelamatkan diri secepatnya. Segera Sipatoh memapaki Kong-sun Bok sambil membentak.
"Keparat, terimalah pukulanku ini!"
Kong-sun Bok turunkan payungnya dan membentak.
"Hm, apakah kau kira Liong-siang-kangmu sudah dapat kau gunakan untuk berbuat sewenang- wenang? Marilah kita coba!"
Berbareng ia pun melancarkan suatu pukulan dahsyat.
Terdengarlah suara benturan yang keras.
Sipatoh bersuara tertahan dan tergetar mundur dua-tiga tindak, diam- diam ia terkejut mengapa bocah semuda ini sudah memiliki kekuatan sehebat ini, bahkan rasanya dirinya sukar menandinginya.
Apalagi melihat kedua kawannya yang terkuat sudah kabur lebih dulu, betapa pun ia menjadi gugup.
Segera ia menerjang ke tengah pasukan kerajaan Kim, dia menghantam serabutan sehingga para perajurit itu jungkir balik dan merintangi pengejaran pasukan Kim-keh-nia malah, kesempatan ini telah digunakan Sipatoh untuk kabur juga.
Han Hi-sun menjadi kelabakan, tapi dia tidak selihai Sipatoh, hendak lari pun tidak bisa.
"Han-kongcu, terima kasih atas pelayananmu di istanamu dahulu, kini kita bertemu lagi di sini, betapa pun kau harus tinggal agar aku dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah,"
Kata Kong-sun Bok dengan tertawa sambil menghadang di depan Han Hi-sun.
"Biarlah aku mengadu jiwa padamu!"
Teriak Han Hi-sun dengan nekat, segera ia putar kipasnya dan melancarkan serangan, selalu ia incar Hiat-to maut di tubuh lawan dengan Keng-sin-ci-hoat yang lihai.
"O, barangkali Han-kongcu ingin latihan lagi denganku?"
Ujar Kong-sun Bok dengan tertawa.
"Cuma sayang, jurus seranganmu ini tampaknya belum masak!"
Tanpa banyak kesukaran, hanya satu-dua gebrakan saja Kong-sun Bok berhasil menotok Han Hi-sun dengan Keng-sin-ci-hoat pula.
Keruan Su Hong menjadi ketakutan, tapi ia pun tidak mampu melarikan diri dan dengan mudah saja dapat dibekuk oleh Kok Siau-hong.
Begitulah pertempuran itu telah berakhir dengan kemenangan total, selain An Toh-seng dan anak buahnya dapat diselamatkan dan Sipatoh serta begundalnya dapat dikalahkan, tapi juga telah berhasil menawan Han Hi- sun, Su Hong, Pah Thian-hok dan Han Hi-sun berempat, juga Ong-siupi.
Tentu saja semua orang sangat girang.
Dengan tertawa Kong-sun Bok lantas mendekati Sin Liong-sing dan berkata dengan penuh rasa persahabatan.
"Sin-toako, kami sedang mengharapkan kedatanganmu, tidak tersangka kita dapat bertemu di sini."
Sin Liong-sing menjadi serba kikuk dan berterima kasih pula, dengan hati pedih ia menjawab.
"Kongsun-toako, sesungguhnya aku ini bukan..... bukan manusia, aku berdosa padamu....."
Segera Kong-sun Bok menggenggam tangan Liong-sing dan berkata pula.
"Sin-toako, setiap orang tentu pernah berbuat kesalahan. Urusan yang sudah lalu tidak perlu disebut lagi. Malahan kami harus berterima kasih atas jasamu tadi. Betapa pun kita tetap bersahabat, hanya Sin-toako sendiri entah sudi bersahabat dengan kami atau tidak?"
Tidak kepalang rasa terharu Sin Liong-sing dan malu diri pula, dengan air mata berlinang ia menjawab.
"Kalian sedemikian baik padaku, akulah yang tidak sesuai untuk menjadi sahabatmu. Sejak kini aku boleh dikata mulai menjadi manusia baru lagi."
Begitulah beramai rombongan mereka lantas kembali ke Kim-keh-nia, mereka disambut dengan meriah oleh Hong-lay-mo-li, Siangkoan Hok dan lain-lain.
Sin Liong-sing kembali merasa kikuk bertemu dengan Hi Giok-kun, namun nona itu sangat simpatik dan berjiwa besar, dia menyambut kedatangan Sin Liong-sing dengan hangat, terhadap Ki Ki ia pun sangat baik.
Karena itulah Sin Liong-sing merasa rada tenteram, pikiran dapat tenang kembali.
Hong-lay-mo-li memerintahkan para tawanan digiring ke kamar tahanan, khusus untuk Han Hi-sun diberikan suatu kamar tersendiri dan dilayani seperti tamu.
Habis itu lantas diadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan mereka serta sebagai tanda selamat datang untuk Kok Siau- hong, Sin Liong-sing dan lain-lain.
Dalam perjamuan itu Sin Liong-sing sempat bertemu dengan Siangkoan Hok, Kok Siau-hong juga lantas menceritakan apa yang terjadi di Tay-toh, suasana menjadi tambah riang gembira.
"Kiranya Bu Pang-cu dan Hoa-tayhiap sudah berada di Tay-toh, mau tak mau aku harus pergi ke sana juga untuk ikut meramaikan,"
Kata Siangkoan Hok.
"Tapi engkau sedang diincar oleh Liong Siang Hoat-ong dan Wanyan Tiang-ci, mengapa paman malah sengaja ke sana?"
Ujar Ki Ki.
"Tidak masuk sarang macan mana bisa mendapatkan anak harimau?"
Kata Siangkoan Hok dengan tertawa.
"Apalagi aku sudah berjanji untuk bertemu Bu-lim-thian-kiau di Tay-toh, betapa pun aku harus pergi ke sana untuk membantu mereka."
"Ya, persoalan yang dihadapi Bu-lim-thian-kiau di kotaraja Kim itu sangat penting, jika Siangkoan-siansing ada janji dengan dia memang sepantasnya harus ke sana,"
Kata Hong-lay-mo-li kemudian.
"Cuma adalah lebih baik jika engkau ditemani seorang. Urusan ini biarlah kita rundingkan saja besok."
Tiba-tiba Kok Siau-hong berkata pula.
"Selain itu masih ada suatu urusan penting yang perlu kulaporkan kepada Beng-cu."
"Urusan apa?"
Tanya Hong-lay-mo-li.
Segera Kok Siau-hong menceritakan pengalamannya memergoki Thia-si- ngo-long dan An Tat dalam perjalanan ke Kun-ciu serta surat rahasia yang telah dirampasnya itu.
Hong-lay-mo-li tidak heran jika Wanyan Tiang-ci mengerahkan pasukan tentara di Kun-ciu untuk menyerang Kim-keh-nia, tapi ia sangat terkejut ketika mendengar bahwa di Kim-keh-nia telah diselusupi oleh agen rahasia musuh.
Ia coba tanya lebih jelas mengenai hal itu, namun siapa agen rahasia musuh itu tetap sukar diduga.
Akhirnya mereka mengambil keputusan akan memeriksa dan, menanyai Ong-siupi, itu komandan pasukan tentara yang ditawannya itu.
Akan tetapi dari Ong-siupi juga tidak diperoleh pengakuan yang jelas, pembesar itu juga tidak tahu siapa agen rahasia yang dimaksud.
Hanya menurut pengakuannya bahwa agen yang dimaksud memegang semacam tanda pengenal, yaitu sebuah pelat tembaga berukir seekor rajawali, di baliknya terukir huruf Mongol.
Hong-lay-mo-li rada kecewa karena keterangan yang kurang jelas itu, padahal anak buah Kim-keh-nia adalah belasan ribu jumlahnya, cara bagaimana dapat mengetahui siapa di antaranya yang memegang pelat tembaga rahasia itu.
Tapi kemudian ia pun mendapatkan akal.
Segera diperintahkan Ong-siupi itu digiring pula ke tempat tahanan.
"Cara bagaimana urusan ini dapat diselesaikan?"
Tanya Siau-hong kemudian.
"Memang agak pelik, terpaksa kita harus bersabar dan berdaya, sebaiknya kita mencari jalan agar mata-mata musuh itu masuk perangkap sendiri,"
Ujar Hong-lay-mo-li.
Siau-hong merasa lega, ia tahu kemampuan sang Beng-cu, jika begitu dikatakannya, tentu sudah ada jalan keluar yang tersimpul dalam benaknya.
Besok paginya Kong-sun Bok datang menemui Hong-lay-mo-li dan mengajukan permintaan agar diperbolehkan menemani Siangkoan Hok ke Tay-toh, selain itu Kong-sun Bok juga ingin pulang ke Kong-bing-si untuk menjenguk Bing-bing Taysu serta kakeknya yang sudah lama tak berjumpa.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah menduga kau tentu getol untuk ikut ke Tay-toh,"
Ujar Hong- lay-mo-li dengan tertawa.
"Cuma kau baru saja pulang dan sekarang harus berangkat lagi, apakah nona Kiong tidak mengomel nanti?"
Muka Kong-sun Bok menjadi merah, jawabnya.
"Sudah kukatakan padanya, ia pun ingin ikut pergi."
"Ya, memangnya kau harus membawa tunanganmu untuk menemui bakal mertua,"
Kata Hong-lay-mo-li dengan tertawa.
"Terus terang, semalam juga sudah kupikirkan bahwa dirimu adalah orang paling tepat untuk menemani Siangkoan-siansing ke Tay-toh."
Dengan girang Kong-sun Bok menyatakan terima kasih, lalu mengundurkan diri.
Hong-lay-mo-li minta pula agar Kong-sun Bok suka mengundang Sin Liong-sing kemari.
Hati Sin Liong-sing rada berdebar sebab tidak tahu untuk apa Hong-lay- mo-li mengundangnya.
Di luar dugaannya, setelah berhadapan, dengan ramah Hong-lay-mo-li mengucapkan selamat datang padanya, bahkan Sin Liong-sing diminta agar suka bertugas di Kang-lam, sekalian Sin Liong-sing dapat pulang menemui gurunya, malahan Hong-lay-mo-li juga menyatakan Ki Ki boleh berangkat bersama.
Tentu saja Sin Liong-sing kegirangan, ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan Hong-lay-mo-li.
Setiba di Kim-keh-nia, walaupun semua orang sangat baik padanya, tapi setiap hari ia harus bertemu dengan Hi Giok-kun, betapa pun ia merasa kikuk.
Kini kalau dapat pulang ke Kang-lam, tentu saja sangat diharapkannya.
Segera Sin Liong-sing hendak mohon diri, tapi Hong-lay-mo-li berkata pula padanya.
"Kau tunggu sebentar, nona Ki sudah kusiapkan untuk berangkat, segera dia akan datang ke sini."
Benar juga, tidak lama Ki Ki tampak muncul bersama Hi Giok-kun.
Kiranya semalam Ki Ki tidur sekamar dengan Hi Giok-kun dan dapat berbicara dengan akrab sekali.
Melihat kedua nona itu mirip kakak beradik baiknya, hati Liong-sing sangat senang, tapi juga rada kikuk.
Segera ia berkata kepada Giok-kun.
"Kami akan mohon diri padamu, adik Kun. Ce-cu menyuruh aku dan adik Ki ke Kang-lam untuk menemui Suhu."
"Ya, aku tahu, cuma aku harus melaporkan dulu tugasku semalam kepada Ce-cu,"
Kata Ki Ki.
"Memang betul dugaan Ce-cu, dalam makanan itu memang diberi racun, cuma sayang aku terlalu bodoh sehingga tidak tahu siapa pemberi racunnya?"
"Racun apa?"
Tanya Liong-sing kaget.
"Semalam ada orang menaruh racun dalam makanan yang disediakan untuk Han Hi-sun, syukur aku sudah berjaga sebelumnya, aku minta nona Hi dan nona Ki mengawasinya,"
Tutur Hong-lay-mo-li.
Kiranya Hong-lay-mo-li menduga mata-mata musuh yang berhasil menyusup ke Kim-keh-nia itu pasti akan berusaha menggagalkan segala rencananya, maka sebelumnya ia telah mengatur penjagaan dengan ketat.
Ia tahu Hi Giok-kun sangat cerdik dan cermat, Ki Ki berasal dari keluarga yang terkenal, pengetahuannya tentang racun tentu lebih luas daripada orang lain.
Sebab itulah kedua nona itu diminta mengawasi dan memeriksa makanan di dapur dan hasilnya ternyata cukup memuaskan, ditemukan racun dalam makanan yang disediakan bagi Han Hi-sun sehingga usaha pembunuh gelap itu gagal total.
"Padahal manusia macam Han Hi-sun itu pantas mampus diracun orang,"
Ujar Ki Ki dengan tertawa.
"Soalnya harus kita pikirkan secara luas, aku pun ingin memberi kesempatan kepada Han Hi-sun untuk memperbaiki kesalahannya,"
Kata Hong-lay-mo-li dengan tertawa.
"Kaum pendekar kita harus dapat berpikir dan bertindak bijaksana, betapa pun kita takkan sembarangan membunuh satu orang pun kecuali jika orang itu memang maha jahat dan tidak mungkin diberi ampun lagi."
Tersinggung dan terharu pula hati Sin Liong-sing, di samping malu ia pun sangat berterima kasih kepada Hong-lay-mo-li dan kenalan lama yang telah memberi kesempatan padanya untuk menjadi manusia baru.
Dalam pada itu Hong-lay-mo-li berkata pula kepada Liong-sing.
"Ada seorang kawan pula yang akan ikut kau ke Kang-lam, kuharap kau takkan menolaknya."
Selagi Liong-sing hendak tanya siapakah kawan yang dimaksud, tiba-tiba dua anak buah Kim-keh-nia telah membawa masuk seorang pemuda, siapa lagi dia kalau bukan Han Hi-sun adanya.
Han Hi-sun mengira dirinya pasti akan dihina dan disiksa sebelum dibunuh, maka ia menjadi nekat dan tetap bersikap angkuh berkata.
"Kalian akan membunuh diriku boleh silakan membunuh saja, seorang lelaki sejati lebih baik mati daripada dihina, jangan kalian harap akan dapat mengorek sesuatu dariku."
"Bagus, ucapanmu ini sesuai dengan dirimu sebagai putera perdana menteri, tetapi untuk mengaku sebagai lelaki sejati, huh, rasanya masih jauh daripada sepak terjangmu,"
Jengek Hong-lay-mo-li.
"Hm, mungkin dalam pandanganmu kami ini adalah kaum bandit, tapi sasaran kami hanya kaum pembesar korup dan hartawan jahat, kami tidak pernah membikin susah rakyat jelata, malahan kami berdiri di pihak rakyat untuk bersama membela negara dan bangsa. Sebaliknya pembesar seperti kalian ayah dan anak justru main sekongkol dengan pihak musuh. Kalian ingin menggunakan Wanyan Tiang-ci sebagai sandaran, tapi kalian tidak tahu bahwa Wanyan Tiang-ci sendiri mengekor pada pihak Mongol, jadi kalian boleh dikata cuma budaknya budak belaka. Ingat saja, seorang Busu Mongol saja berani meremehkan kau, bahkan hendak membunuh kau, sesungguhnya menjadi budaknya budak juga tidak mudah, apakah itu berharga bagimu?"
Betapa pun Han Hi-sun menjadi malu, apa yang diucapkan Hong-lay-mo- li memang benar dan nyata, tiada alasan baginya untuk mendebatnya. Dengan muka merah akhirnya Han Hi-sun berkata.
"Aku sudah jatuh di tanganmu, kutahu tak terhindar dari kematian. Silakan bunuh saja dan segala urusan menjadi beres."
"Kau salah sangka,"
Kata Hong-lay-mo-li tertawa.
"kami justru tidak ingin membunuh kau, juga tiada bermaksud menyiksa kau. Han-kongcu, malahan kami hendak mengucapkan selamat jalan padamu."
Han Hi-sun hampir tidak percaya kepada kupingnya sendiri, ia tertegun sejenak, lalu menegas.
"Apa katamu? Maksudmu kalian hendak membebaskan diriku?"
"Benar,"
Hong-lay-mo-li mengangguk.
"Tapi kau pun tidak perlu sangsi, kami membebaskan kau tanpa syarat, yang kuharap hanya kau suka menyampaikan apa yang kukatakan tadi kepada ayahmu, kami berharap dia mau bersatu dengan kami untuk menghadapi musuh dari luar, apakah dia bersedia atau tidak adalah urusannya. Terus terang, sesungguhnya kami pun tidak menaruh harapan yang berlebihan kepada ayahmu."
Teringat kepada penghinaan Busu Mongol tempo hari, lalu merenungkan apa yang dikatakan Hong-lay-mo-li tadi, mau tak mau dalam hati Han Hi-sun menjadi malu dan berterima kasih, walaupun dia belum dapat sekaligus mengubah pandangannya sendiri, tapi sedikitnya kesan buruknya terhadap pihak Kim-keh-nia sudah tidak seperti dahulu, malahan sudah mulai timbul kesan baik.
Karena itu ia lantas menjawab.
"Baiklah, sepulangnya tentu akan kunasehati ayah menurut ucapanmu tadi."
"Bagus, jika begitu sekarang juga kau boleh berangkat bersama Sin- siauhiap dan nona Ki,"
Kata Hong-lay-mo-li. Han Hi-sun melengak dan serba salah demi mengetahui orang yang akan mengantarnya pulang itu adalah Sin Liong-sing.
"Kalian adalah kenalan lama, bukan?"
Ujar Hong-lay-mo-li dengan tertawa.
"Benar, Sin-heng pernah mewakilkan gurunya berunding dengan ayahku,"
Jawab Han Hi-sun.
"Sin-heng, ketika engkau berada di rumahku waktu itu, aku merasa....."
"Urusan yang sudah lalu tidak perlu diungkit lagi,"
Sela Liong-sing.
"Setiba di Kang-lam segera kupulang ke tempat guruku dan takkan ikut kau ke tempatmu. Bahwa kau bersedia menasehati ayahmu, berhasil atau tidak, betapa pun kita tetap bersahabat."
Begitulah Hong-lay-mo-li lantas mengantar keberangkatan mereka, Ki Ki merasa berat untuk berpisah dengan Hi Giok-kun sehingga kedua nona itu sama-sama meneteskan air mata.
Menyusul Hong-lay-mo-li mengantar pula keberangkatan Siangkoan Hok, Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun bertiga, suasana berbeda dengan keberangkatan Han Hi-sun tadi.
Siangkoan Hok bertiga hendak melakukan tugas besar ke Tay-toh, sebab itu walaupun timbul rasa berat untuk berpisah, tapi lebih besar pula rasa gembira dan bersemangat.
Hanya seorang saja yang masih dirundung rasa murung ialah Hi Giok-kun.
Setelah mengantar keberangkan Ki Ki, Giok-kun kembali ke kamarnya sendiri.
Dilihatnya Ciu Hong sedang menyulam sarung bantal dengan lukisan sepasang merpati.
Hi Giok-kun menjadi teringat pada masa lalu, waktu itu dirinya juga pernah menyulam sarung bantal gambar merpati, karenanya ia menjadi tambah murung.
Ciu Hong adalah pelayan pribadi Giok-kun sejak masih sama-sama kecil, meski resminya adalah majikan dan budak, tapi sebenarnya mirip saudara saja.
Selama beberapa hari di Kim-keh-nia ini Ciu Hong tinggal sekamar dengan Giok-kun.
Melihat Ciu Hong sibuk menyulam, Giok-kun lantas menggoda.
"Siau- hong, kau sedang menyiapkan barang keperluan pengantin bukan?"
Sambil menghela napas Ciu Hong menjawab.
"Sio-cia, terkadang bila teringat pada pengalamanmu, sungguh hatiku menjadi dingin dan tidak ingin kawin, kurasa di dunia ini tiada lelaki yang baik."
"Tolol,"
Omel Giok-kun dengan tersenyum getir.
"Di dunia ini memang banyak lelaki buruk, tapi tidak dapat dipukul rata begitu saja. Apalagi pengalamanku juga tidak dapat membuktikan kesimpulanmu tadi."
"Masakah ucapanku ada yang keliru? Coba orang she Sin itu, betapa pun dia pernah menikah dengan engkau, dalam hal apa engkau tidak dapat menandingi nona Ki, tapi dia lebih suka ganti pacar, bahkan sengaja membawa kekasih barunya menemui kau, bukankah dia sengaja hendak membikin dongkol padamu?"
"Tapi sedikit pun aku tidak mendongkol. Ketahuilah bahwa aku justru ingin menjadikan perjodohan mereka itu. Pribadi nona Ki itu juga sangat baik."
"Bukan maksudku menjelekkan nona Ki, yang kumaksudkan adalah bocah she Sin itu. Sio-cia, engkau sungguh terlalu baik hati, betapa pun aku merasa....."
"Sebenarnya juga tak dapat menyalahkan Liong-sing, watakku memang tidak cocok dengan dia. Apalagi selama menikah setahun, sesungguhnya kami cuma suami-isteri nama kosong saja. Kuanggap kau sebagai adik, maka aku bicara terus terang padamu dari hati ke hati, sesungguhnya tubuhku ini masih tetap suci bersih."
"Ya, kutahu, Sio-cia,"
Jawab Ciu Hong.
"Cuma adalah sesuatu yang membingungkan aku, tentang kau dan Kok Siau-hong....."
Hati Giok-kun menjadi pedih, cepat ia memotong.
"Sudahlah, jangan menyebutnya lagi. Masakah kau tidak tahu selekasnya dia akan menikah dengan nona Han?"
"Justru itulah aku merasa penasaran bagimu,"
Kata Ciu Hong.
"Dahulu dia begitu baik padamu, mengapa sekaligus dia lantas berubah begini? Sungguh tak terduga dia juga lelaki yang suka ingkar janji."
"Harus disesalkan nasibku sendiri yang malang, tadinya kukira dia sudah meninggal, makanya aku menikah dengan Sin Liong-sing,"
Kata Giok-kun sambil menghela napas.
"Han Pwe-eng juga kawanku yang paling baik, sebenarnya dia terlebih sesuai bagi Siau-hong."
Melihat Giok-kun bicara dengan sesungguh hati dan matanya tampak basah, Ciu Hong tidak berani menyambung lagi, ia hanya berkata.
"Baiklah, tentu Sio-cia sudah lelah, silakan mengaso saja."
Akan tetapi Giok-kun hanya gulang-guling di atas tempat tidur dan tak bisa pulas.
Ketika diketahui Ciu Hong sudah tidur, segera ia bangun dan meronda ke belakang gunung.
Tertampak bulan sabit sudah condong ke sebelah barat cakrawala, sudah lewat tengah malam waktu itu.
Tanpa terasa Giok-kun berjalan ke hutan yang biasanya suka didatanginya.
Suasana sunyi senyap, hanya terdengar suara jangkrik dan sebangsanya memecah kesepian malam.
Dalam keadaan sunyi senyap itu, pikiran Giok-kun justru bergolak bagai ombak samudera.
Dia adalah seorang nona yang suka menang, karena inilah rasa derita batinnya tidak ingin diperlihatkannya di depan orang lain.
Sebab itu pula sikapnya di depan Han Pwe-eng dan Ki Ki sengaja diperlihatkan secara wajar dan seperti tidak terjadi sesuatu apa pun.
Tapi di kala sendirian ia tak dapat menahan rasa duka hatinya.
Selagi hati Giok-kun diliputi rasa masgul itulah, sekonyong-konyong dilihatnya sesosok bayangan orang berkelebat di sebelah sana.
Ia terkejut dan cepat memburu ke sana sambil membentak.
"Siapa itu? Berhenti! Di sini Hi Giok-kun adanya!"
Namun orang itu tidak mau berhenti, sebaliknya berlari lebih kencang.
"Tangkap mata-mata musuh!"
Seru Giok-kun. Pada saat hampir sama itulah mendadak orang itu memutar balik, Giok- kun hanya merasakan angin berkesiur perlahan, tahu-tahu orang itu seperti berbisik padanya.
"Ssst, jangan berteriak, aku bukan mata-mata musuh!"
Akan tetapi Giok-kun merasa orang tidak dikenalnya, tanpa pikir pedangnya lantas menusuk. Serangan dalam jarak dekat ini mestinya sukar dielakkan. Siapa duga gerakan orang itu ternyata gesit dan cepat luar biasa.
"creng", mendadak jari orang itu menyelentik, dengan tepat pedang terjentik hingga terpental ke samping. Itulah ilmu "Sian-ci-sin-thong" (ilmu tenaga jari sakti) yang maha lihai, jago yang berada di Kim-keh-nia tiada yang mampu menggunakan kepandaian itu kecuali Hong-lay-mo-li, Kong-sun Bok dan Kok Siau-hong bertiga.
"Nona Hi tidak perlu sangsi, tidak lama tentu kau akan jelas persoalannya, sekarang lekas kembali saja ke sana, jangan merintangi aku!"
Kata orang itu pula. Dalam kegelapan Giok-kun memang tidak dapat melihat jelas wajah orang, tapi rasanya tidak kenal, suaranya juga asing baginya. Tentu saja Giok- kun tak dapat mempercayai kata orang tadi.
"Jangan kau kira aku ini anak kecil yang dapat diingusi olehmu!"
Jengek Giok-kun sambil menyerang tiga kali beruntun, menyusul ia bersuit sekerasnya untuk memberi tanda bahaya kepada kawan-kawannya.
Agaknya orang itupun kuatir jago-jago Kim-keh-nia yang lain menyusul tiba, maka cepat ia pun melancarkan serangan balasan kepada Hi Giok-kun, dengan bertangan kosong ia menyerang dengan dahsyat sehingga Giok-kun terdesak kelabakan.
Setelah berada di atas angin, orang itu berkata pula.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pek-hoa-kiam-hoat memang hebat, cuma sayang aku tak dapat mengiringi permainanmu lebih lama. Maaf, nona Hi, terpaksa mesti membikin susah kau untuk sementara saja!" ~ Habis berkata mendadak ia melangkah maju, jarinya menotok dan tepat Hiat-to bagian bahu Giok-kun tertotok. Giok-kun tergeliat, tapi tidak sampai roboh. Namun kesempatan itu telah digunakan orang itu untuk kabur. Dongkol, kejut dan heran pula Giok-kun, jelas kepandaian orang itu jauh di atasnya, tapi totokannya tadi tidak menggunakan tenaga keras, maka dia tidak sampai roboh, tampaknya orang sengaja bermurah hati padanya. Apakah memang benar orang itu bukanlah mata-mata musuh? Dengan rasa sangsi terpaksa ia mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk melancarkan jalan darah. Pada saat itulah terdengar suara orang berlari mendatangi. Hiat-to Giok- kun yang tertotok itu belum lancar kembali, tapi ia dapat bicara, ia menyangka yang datang adalah kawan sendiri, maka ia cepat berseru.
"Mata- mata musuh sudah kabur ke barat sana, lekas kejar!"
Yang datang ada dua orang berbaju kelabu, air muka mereka pun tidak jelas dalam kegelapan. Karena seruan Giok-kun, kedua orang itu lantas berlari ke arahnya. Segera suara seorang yang belum dikenalnya lantas bertanya.
"O, kau ini nona Hi? Kenapa kau?"
Dengan girang Giok-kun menjawab.
"Benar, akulah Hi Giok-kun. Aku tidak berhalangan, hanya kesemutan sebentar, lekas mengejar musuh saja!"
Tak tersangka kedua orang itu lantas bergelak tertawa.
"Ha, ha, ha! Agaknya saudara tua kita menaruh belas kasihan kepada si cantik, tapi mengapa tidak dibawa pergi sekalian!"
"Kan kebetulan buat kita?"
Ujar kawannya.
"Dia tidak mau, kita yang ambil."
"Benar, dengan membawa nona Hi ini berarti pula kita mempunyai sandera,"
Kata orang pertama tadi.
"Eh, nona Hi, tentunya kau belum dapat berjalan, biar kugendong kau!"
Baru sekarang Giok-kun tahu kedua orang ini adalah begundal "mata- mata musuh", keruan kejut dan kuatir pula dia.
Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mendekat.
Padahal Hiat-to yang tertotok tadi belum lancar, Giok-kun menjadi cemas dan putus asa, ia pikir kalau perlu akan menggunakan sedikit tenaga yang telah terkumpul itu untuk membunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri.
Tapi pada detik yang paling gawat itulah sesuatu yang sama sekali tak terduga kembali terjadi pula.
Entah darimana datangnya, tahu-tahu sepotong batu kecil menyambar tiba dan tepat mengenai Hiat-to di bagian dengkulnya.
Karena itu jalan darah bagian kaki seketika lancar kembali.
Kiranya batu kecil itu sengaja disambitkan untuk menolongnya.
Pada saat yang sama juga lantas terdengar suara "trang", golok yang terpegang salah seorang berbaju kelabu itu terlepas dari cekalan oleh timpukan sepotong batu, hampir berbareng orang kedua juga tergeliat seperti tersambit pula oleh sesuatu senjata rahasia, tampaknya tidak kuat berdiri dan hampir bertekuk lutut.
"Keparat! Sebentar lagi pasti akan kubereskan jiwa kalian!"
Demikian terdengar suara bentakan orang yang berkumandang dari jauh. Pada saat lain Giok-kun juga lantas membentak.
"Kawanan bangsat, lekas serahkan diri jika ingin hidup!"
Berbareng pedangnya lantas menusuk ke kanan dan ke kiri. Rupanya dari suara bentakan tadi barulah kedua orang itu mengetahui orang yang disangkanya "saudara tua"
Mereka itu ternyata bukan, keruan mereka menjadi ketakutan dan cepat saling memberi tanda, sambil mengelakkan serangan Giok-kun segera mereka angkat langkah seribu.
Karena seorang harus mengejar dua orang, Giok-kun menjadi serba repot, apalagi dia baru saja bisa bergerak, langkahnya menjadi rada lamban.
Tidak lama kedua musuh dapat menghilang di kejauhan.
Waktu itu juga terdengar orang berseru padanya.
"Hi-cici, kembalilah!"
Giok-kun menoleh, samar-samar kelihatan sepasang muda-mudi berlari mendatanginya.
Sesudah dekat, kiranya Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe adanya.
Kedua orang ini datang bersama Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng beberapa bulan yang lalu, memangnya Kiat-bwe kenalan lama Giok-kun, setelah berkumpul beberapa bulan di Kim-keh-nia, hubungan mereka menjadi tambah rapat.
"Ada dua mata-mata musuh lari ke sana!"
Tutur Giok-kun segera.
"Lekas kalian mengejarnya!"
"Apa, ada mata-mata?"
Tanya Kiat-bwe tertegun. Kelihatannya Ciau Siang-hoa sudah tahu gerak-gerik Giok-kun sudah tidak lincah lagi, cepat ujamya.
"Baik, kami akan melakukan pengejaran, sementara kau pulanglah dulu!"
"Liu Beng-cu sedang mencari kau,"
Kata Kiat-bwe dengan tertawa.
"Jangan kuatir, biang keladi mata-mata musuh sudah tertangkap, rasanya anak buahnya juga takkan bisa berkutik lagi."
"He, biang keladinya sudah kena dibekuk? Siapa dia?"
Tanya Giok-kun kejut dan girang.
"Kami pun belum mengetahui, mungkin untuk urusan inilah Liu Beng- cu mencari kau,"
Tutur Kiat-bwe sambil mengudak ke arah yang ditunjuk Giok-kun. Giok-kun sendiri lantas kembali dan mendatangi tempat Hong-lay-mo-li, dilihatnya Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng sudah berada di sana. Giok-kun lantas melaporkan apa yang dialaminya tadi.
"Memang mata-mata musuh sudah dapat kita bekuk di sini,"
Kata Hong- lay-mo-li.
"Ternyata di Kim-keh-nia kita ada agen rahasia musuh, tapi juga ada sahabat kita sendiri yang telah memberi bantuan secara diam-diam."
"Siapa dia?"
Tanya Giok-kun panik.
"Bisa jadi seorang yang kita kenal, tapi siapa dia sesungguhnya harus menunggu penyelidikan lebih jauh."
"Kenapa harus menunggu?"
"Mata-mata itu mengenakan kedok kulit manusia, karena itu kita harus membongkar kedoknya dengan hati-hati, agar tidak merusak muka aslinya."
"Bagaimana sampai dia tertangkap?"
"Biarpun dalam markas kita menyusup mata-mata yang tidak kita ketahui, namun ada pula beberapa sahabat yang membantu kita secara diam- diam."
Giok-kun jadi terperanjat.
"Jadi ada orang yang membantu kita secara diam-diam sehingga mata-mata itu berhasil kita bekuk?"
Timbul rasa curiganya, batinnya.
"Jangan-jangan yang dimaksud adalah orang yang menotok jalan darahku, kemudian secara diam-diam membantuku itu? Sepak terjang orang itu misterius, sebenarnya dia kawan atau lawan?"
Belum selesai ia berpikir, terdengar Hong-lay-mo-li telah berkata lagi.
"Betul, mata-mata itu terbekuk lantaran terjebak dalam perangkap kita, coba tidak dibantu sahabat itu secara diam-diam, bukan saja ia akan berhasil kabur, bahkan kita bakal dipecundanginya."
Habis itu Hong-lay-mo-li lantas menuturkan cara bagaimana mata-mata musuh tersembunyi itu dapat dibekuk.
Kiranya waktu Hong-lay-mo-li memeriksa Ong-siupi kemarin, ketika itu telah timbul suatu rencananya untuk memancing munculnya musuh tersembunyi itu, yakni dengan menggunakan Ong-siupi sebagai umpan.
Ia sengaja mengurung Ong-siupi di "Oh-hong-tong", sebuah gua di belakang gunung, ia menduga musuh pasti akan berusaha menolong atau membinasakan Ong-siupi untuk menutup mulut.
Ternyata surat rahasia yang ditulis Wanyan Tiang-ci untuk Ti-hu kota Kun-ciu menyatakan bahwa mata-mata yang mereka kirim membawa lencana tembaga bertuliskan "Ong-hu", namun tidak mengatakan siapa mata-mata itu.
Surat rahasia itu berhasil dibaca Hong-lay-mo-li, sementara mata-mata itu belum sempat membacanya.
Berdasarkan surat rahasia inilah Hong-lay-mo-li berkesimpulan bahwa mata-mata itu mungkin tidak tahu Ong-siupi belum mengetahui tentang dirinya.
Maka Hong-lay-mo-li sengaja menyuruh berapa orang Thau-bak untuk membocorkan berita itu, maksudnya agar sang mata-mata mendapat tahu kapan dia akan memeriksa Ong-siupi, padahal pemeriksaan itu hanyalah siasatnya saja.
Ketika pintu ruang pemeriksaan ditutup, orang luar tak dapat melihat keadaan di dalam.
Ketika menjelang malam, penjagaan sengaja dikendorkan, dia hanya memerintahkan beberapa orang Thau-bak untuk melakukan ronda, tujuannya agar sang mata-mata punya peluang untuk mencuri dengar pemeriksaan yang berlangsung.
Dalam ruang pemeriksaan Hong-Lay-mo-li berlagak seolah-olah sedang menyiksa Ong-siupi, sementara Ong Siu-pi pun bekerja sama dengan pura- pura menjerit kesakitan, jeritannya seperti babi yang akan disembelih.
Kemudian dalam proses pemeriksaan, dia pun membacakan isi surat Wanyan Tiang-ci dengan suara keras.
Tentu saja isi surat yang dibacakan tidak sesuai dengan aslinya, dalam surat rahasia yang dipalsukan ini, dia mengatakan bahwa Ong-siupi sudah tahu siapakah mata-mata itu, tujuan menyiksa dirinya pun bertujuan agar dia mau mengakui siapa identitas mata-mata itu.
Ong-siupi memang tak hebat kungfunya, tapi mampu bermain sandiwara secara canggih, dia berlagak seolah setia terhadap Wanyan Tiang-ci dan sampai mati pun enggan mengaku.
Tapi kemudian lantaran disiksa, lambat- laun dia mulai mengaku, saat itu dia beralasan karena Hong-lay-mo-li cukup baik sikapnya, maka dia pun bersedia untuk "mempertimbangkan"
Tawaran itu.
"Baiklah,"
Kata Hong-lay-mo-li kemudian.
"akan kuberi waktu semalam untuk kau pertimbangkan, jika besok tetap enggan mengaku, akan kuhadiahi siksaan yang lebih hebat lagi." Selesai berkata, dia pun perintahkan penjaga untuk mengurung Ong- siupi yang "terluka"
Dalam gua Hek-hong-tong.
Gua angin hitam letaknya di belakang bukit yang dikeliling semak belukar, onak dan bebatuan tajam, sebuah tempat yang curam dan susah dicapai, tapi bagi jagoan yang mempunyai Ginkang tinggi bukan halangan untuk menyembunyikan diri di situ.
Tentu saja gua itu dijaga oleh para Thau-bak, hanya saja penjaga yang ditugaskan hari itu bukan jagoan kelas satu atau dua.
Menurut perkiraan Hong-lay-mo-li, mata-mata itu pasti akan datang untuk melakukan pembunuhan, maka sebelumnya dia sudah melakukan persiapan.
Di dalam gua Hek-hong-tong terdapat sebuah ruang rahasia bawah tanah, ia sembunyikan Ong-siupi dalam ruangan itu, sementara ia bersembunyi di sekitarnya, menunggu mata-mata masuk jebakan.
Walau persiapan amat sempurna, sayang sang mata-mata tidak terpancing datang.
Tengah malam itu tiba tiba ada sebuah anak panah yang dilepas orang ke dalam gua, semula Hong-lay-mo-li mengira sang mata-mata masuk perangkap, siapa tahu ketika dikejar keluar, tak terlihat sesosok bayangan pun.
Hong-lay-mo-li pun membuka surat yang terkirim lewat anak panah itu, ternyata isinya sama sekali di luar dugaan.
Surat itu mengatakan bahwa dia adalah sahabat Kim-keh-nia dan mengetahui rencana busuk sang mata-mata, ia berharap Hong-lay-mo-li mau mempercayai perkataannya.
Dikatakan pula bahwa orang itu licik dan banyak akal, dia sudah menduga Hong-lay-mo-li bakal pasang perangkap untuk menjebaknya.
Namun lantaran rasa curiga yang berlebihan, ia tetap berniat akan membunuh Ong-siupi, hanya saja sebelum melakukan pembunuhan, dia akan melakukan pengacauan terlebih dulu dalam markas.
Mata-mata itu tahu Hong-lay-mo-li pasti bersembunyi dalam gua menunggunya, sementara para Thau-bak yang tersisa dalam markas tak seorang pun memiliki Kungfu di atas dirinya, maka dia bermaksud menyerbu ke dalam kamar rahasia penyimpanan dokumen dan membakarnya.
Dengan melakukan pembakaran, Hong-lay-mo-li pasti akan balik ke markas untuk melakukan pemeriksaan, pada saat itulah rekannya akan menyusup ke dalam gua dan melakukan pembunuhan.
Antek andalannya adalah seorang pencuri ulung dunia persilatan, selain memiliki Ginkang yang hebat, gerak-geriknya licin dan cekatan.
Ujar Hong-lay-mo-li.
"Semula kusangka hal ini merupakan siasat memancing harimau meninggalkan gunung, tak akan kupercaya begitu saja, tapi apa salahnya untuk dijajal, toh Ong-siupi telah disembunyikan di bawah tanah dan lagi ada penjaganya, biar si mata-mata mencelakai dia juga bukan urusan gampang."
"Jangan-jangan orang yang membocorkan rahasia itu adalah orang yang kujumpai tadi?"
Pikir Giok-kun.
"sementara kedua orang yang terakhir itulah komplotan mata-mata itu?"
Terdengar Hong-lay-mo-li berkata pula.
"Untung aku segera ambil keputusan dan balik ke markas, waktu itu si mata-mata sedang siap melepaskan api, maka aku pun langsung membekuknya."
"Mata-mata itu berasal dari perguruan mana?"
Tanya Kok Siau-hong.
"Ilmu silatnya sungguh di luar dugaan, bukan saja sangat lihai bahkan berasal dari Siau-lim-pay."
"Ah, ternyata murid Siau-lim-pay,"
Kok Siau-hong terperanjat.
"Benar, itulah sebabnya aku minta kau bersama Pwe-eng datang kemari untuk mengenali orang itu."
Giok-kun tak habis mengerti, ia berpikir, pengalaman dan pengetahuan Hong-lay-mo-li begitu luas, kalau dia pun tak mengenali orang itu, darimana Kok Siau-hong bisa tahu? Belum pertanyaan itu diajukan, Hong-lay-mo-li sudah bertanya.
"Orang macam apa yang kau temui semalam?"
Secara ringkas Giok-kun menceritakan pengalamannya, agak tertegun juga Hong-lay-mo-li, katanya kemudian.
"Jadi pemimpin dari kedua orang mata-mata itu bermarga Soa?"
"Benar, ketika mereka singgung tentang keberhasilan pemimpin mereka, disebut orang itu sebagai Soa-lotoa."
"Sebetulnya aku sudah mencurigai orang ini,"
Kata Hong-lay-mo-li.
"kalau betul dia bermarga Soa, tak salah lagi dugaanku."
"Akupun pernah bertarung melawan orang she Soa ini, kalau betul dia, aku pasti akan mengenalinya,"
Kata Kok Siau-hong.
"Siapakah mata-mata musuh itu?"
Tanya Giok-kun.
"Belum jelas karena dia memakai kedok kulit yang tipis, tapi ilmu silatnya sangat tinggi dan berasal dari aliran Siau-lim-pay,"
Tutur Hong-lay-mo-li.
"Sebentar juga kita akan tahu siapa sebenarnya dia."
Tidak lama kemudian beberapa anak buah Kim-keh-nia menggusur masuk seorang tawanan, kedok tawanan sudah dibuka sehingga wajah aslinya tertampak jelas. Mendadak Kok Siau-hong berbangkit dan membentak.
"Bagus, kiranya kau murid murtad Siau-lim-pay, anjing bangsa Kim ini!"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong-lay-mo-li juga lantas menjengek.
"Soa Yan-liu, sungguh berani kau. Kau pernah membikin susah dan menghancurkan hidup Suhengku, Kong- sun Ki, hal itu belum kubikin perhitungan padamu, sekarang kau berani pula menyusup ke tempatku ini untuk menjadi agen rahasia Wanyan Tiang- ci."
Kiranya mata-mata musuh yang tertawan ini adalah murid khianat Siau- lim-pay, Soa Yan-liu adanya (Kisah asal-usulnya dapat dibaca dalam Pendekar Latah).
Duapuluh tahun yang lalu, sebabnya Kong-sun Ki, yaitu ayah Kong-sun Bok, sampai tersesat dan berbuat jahat justru lantaran bergaul dengan Soa Yan-liu ini.
Karena merasa dirinya sudah banyak berdosa, terpaksa Soa Yan- liu bekerja bagi Wanyan Tiang-ci.
Ketika Kok Siau-hong dan rombongannya mondok di rumah Ting Sit dan hendak ditangkap, di antara orang yang dikirim oleh Wanyan Tiang-ci untuk menggerebeknya itu juga terdapat Soa Yan-liu.
Tadi Soa Yan-liu telah mengadakan perlawanan ketika hendak dibekuk Hong-lay-mo-li, akhirnya dia kena dirobohkan oleh ujung kebut Hong-lay- mo-li yang tajam laksana jarum itu, Hiat-to tersabet dan kini dia dalam keadaan tak bisa berkutik, badan terasa kesakitan seperti digigit oleh beribu ekor ular rasanya, rasa deritanya sukar ditahan.
Menghadapi dampratan Kok Siau-hong dan Hong-lay-mo-li tadi, dengan kepala batu Soa Yan-liu masih berani menjawab.
"Hm, jika tiada laporan rahasia, betapa pun kau takkan mengetahui rencanaku. Kini aku sudah tertangkap olehmu, mau bunuh boleh silakan bunuh saja, tidak perlu banyak bicara."
"Hm, kau masih berlagak jantan segala?"
Bentak Hong-lay-mo-li dengan gusar, kembali menyabet perlahan ke tubuh Soa Yan-liu, seketika ketigapuluh enam Hiat-to di tubuhnya laksana digigit dan diisap tulang sumsumnya oleh ribuan ulat, sakitnya tidak kepalang.
"Nah, lekas katakan siapa begundal yang masih berada di sini?"
Bentak Hong-lay-mo-li pula. Dalam keadaan menderita, terpaksa Soa Yan-liu mengaku.
"Kedua kawanku adalah si pencuri Pau Kang dan Han Ngo, si golok cepat dari Khong-tong-pay, mereka pun bekerja bagi Wanyan Tiang-ci. Liu-lihiap, kumohon kemurahan hatimu, harap bunuh saja diriku ini."
"Hm, kau adalah murid murtad Siau-lim-si, biar kau dihukum menurut perguruanmu sendiri,"
Kata Hong-lay-mo-li.
Lalu ia memerintahkan tawanan digusur pergi ke kamar tahanan.
Lalu Hong-lay-mo-li memberitahukan kepada Siau-hong dan Pwe-eng bahwa saat itu ayah Pwe-eng sedang pesiar ke Siau-lim-si, maka Siau-hong berdua hendak ditugaskan menggiring Soa Yan-liu ke sana sekalian mengundang Han Tay-wi pulang ke Kim-keh-nia.
Sudah tentu Siau-hong dan Pwe-eng menyatakan setuju dengan girang dan diputuskan oleh Hong-lay-mo-li agar kedua muda-mudi itu berangkat besoknya.
Setelah Siau-hong dan Pwe-eng mohon diri, kemudian Hong-lay-mo-li berkata kepada Giok-kun.
"Adik Giok-kun, aku lebih tua beberapa tahun daripadamu, maka kuanggap kau seperti keponakan dan harap kau juga tidak perlu sungkan padaku, anggapkah seperti bibi. Kini aku ingin tahu lebih jelas tentang orang yang menotok kau dan kemudian menolong kau pula itu, bagaimana macam orang itu, usianya antara berapa dan dari aliran mana kiranya gaya ilmu silatnya?"
"Dalam kegelapan tidak begitu jelas, kukira usianya antara tigapuluhan,"
Tutur Giok-kun.
"Gaya ilmu silatnya yang aneh, karena cupetnya pengalamanku sehingga aku tidak kenal aliran ilmu silatnya itu. Ketika kutegur dia namun dia tak mau menerangkan siapa dia, yang pasti dia membantah bukan mata-mata musuh sebagaimana sangkaku semula. Waktu itu dia seperti tergesa-gesa hendak pergi melakukan sesuatu yang sangat penting."
"Ya, sekarang kita menjadi jelas bahwa orang itu adalah kawan dan bukan lawan,"
Kata Hong-lay-mo-li pula dengan tertawa. Hati Giok-kun tergerak, ia bertanya.
"Jadi Liu-kokoh sudah tahu asal- usulnya?"
"Orang ini bisa jadi adalah murid seorang sahabatku, cuma aku pun belum berani memastikannya,"
Ujar Hong-lay-mo-li.
"Watak sahabatku itu sangat aneh, tindak-tanduknya seringkali di luar dugaan orang, maka aku menjadi sangsi sifat muridnya juga sama seperti sang guru."
"Tingkah orang itu memang aneh dan sukar dimengerti,"
Kata Giok-kun.
"Kukira dia sudah tinggal sekian lama di sini, secara diam-diam dia membantu kita, entah mengapa dia tidak mau memperlihatkan diri?"
Sementara itu Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe yang tadi mengejar musuh tampak sudah kembali bersama Toa Thau-bak Lui Biau, si golok emas.
"Bagaimana dengan hasil pengejaran kalian?"
Tanya Hong-lay-mo-li.
"Sudah diketemukan, tapi tidak dalam keadaan hidup lagi,"
Tutur Lui Biau.
"Kematian kedua orang itu rada aneh. Mayat mereka kami ketemukan di semak rumput di bawah gunung, semula kami tidak tahu kalau mereka sudah mampus, hanya anggap mereka tertotok roboh oleh Tiam-hiat yang berat. Setelah kami periksa baru diketahui bahwa setelah kedua orang itu ditotok oleh seorang, kemudian dibinasakan dengan ilmu Bian-ciang (pukulan lunak) yang lihai."
"Sungguh aneh,"
Ujar Giok-kun.
"Orang yang menotok roboh mereka itu tentulah orang yang mengirim berita rahasia padaku itu,"
Kata Hong-lay-mo-li.
"Benar, aku pun berpikir begitu, tapi aneh, siapakah yang kemudian membunuh kedua musuh itu?"
Tanya Giok-kun.
"Bukan mustahil di tempat kita ini masih ada agen rahasia musuh yang lain."
"Menurut laporan rahasia yang kuterima dari orang itu, setahunya begundal Soa Yan-liu hanya ada dua orang, yaitu Pau Kang dan Han Ngo, mestinya tiada musuh tersembunyi lagi yang lain,"
Kata Hong-lay-mo-li, nadanya seperti menaruh kepercayaan penuh kepada pengirim berita rahasia itu.
"Cuma apa pun juga memang tiada buruknya jika kita berjaga dan lebih waspada terhadap segala kemungkinan, pesanku ini harap Lui-cianpwe dan nona Nyo suka diteruskan kepada semua saudara kita."
Begitulah setelah Lui Biau bertiga mengundurkan diri, lalu Hong-lay-mo- li berkata pula kepada Giok-kun.
"Apakah kau mengantuk, Giok-kun? Jika tidak, bolehlah kita bicara lagi sebentar."
"Pagi sudah hampir tiba, rasa kantuk juga hilang, ada urusan apa silakan bibi katakan saja,"
Jawab Giok-kun.
"Yang hendak kubicarakan adalah sedikit urusan pribadi,"
Kata Hong- lay-mo-li dengan tersenyum.
"Kutahu kau dan Sin Liong-sing hanya suami- isteri nama kosong saja, kini kalian sudah berpisah secara terang dan resmi. Kau adalah nona yang cerdik, tentu kau paham apa yang hendak kubicarakan dengan kau."
Muka Giok-kun menjadi merah, dalam hatinya memang sudah dapat menerka beberapa bagian, jawabnya kemudian.
"Nasibku sendiri ditakdirkan begini, terima kasih atas perhatianmu. Sesungguhnya aku tidak tahu apa yang hendak dibicarakan bibi."
"Kau adalah nona yang pintar dan bijaksana, memangnya kau juga percaya dan menyerah pada nasib? Betapa pun nasib seseorang juga harus ditentukan oleh orang yang bersangkutan sendiri, seumpama nasibnya memang jelek, sedikitnya masih dapat dikendalikan."
"Ucapan bibi memang betul. Aku pun percaya nasib memang dapat diubah. Hanya aku sendiri yang menyerah kepada nasib,"
Kata Giok-kun.
"Usiamu masih muda, tidak seharusnya kau putus asa, kukira hari depanmu masih cerah, sebagai anak perempuan kau masih perlu mencari jodoh yang lebih cocok."
"Aku sudah pernah menikah satu kali, walaupun cuma suami-isteri nama kosong saja, tapi bagiku hal itupun sudah cukup, hatiku sudah dingin."
"Kau masih muda, sebabnya hatimu terasa dingin adalah karena kau belum bertemu orang yang cocok,"
Ujar Hong-lay-mo-li dengan tersenyum.
"Apabila ada seorang pemuda yang segala sesuatunya memuaskan kau....."
"Terima kasih atas perhatian bibi, sesungguhnya aku memang tidak ingin menikah lagi,"
Kata Giok-kun.
"Aku justru bermaksud menjadi perantara bagimu, kuharap kau dapat mengubah pendirianmu,"
Ujar Hong-lay-mo-li tertawa.
Hati Giok-kun tergerak, ia tidak tahu pemuda mana yang dimaksud Hong-lay-mo-li, tapi tidaklah enak untuk bertanya walaupun sebenarnya ingin tahu.
Apalagi sudah dua kali gagal main cinta, sesungguhnya hatinya memang sudah dingin dan tidak ingin menikah lagi.
Maka ia menjawab.
"Kupaham maksud baik bibi, tapi soal jodoh hendaklah jangan disebut lagi. Apabila bibi tidak menolak, selama hidup ini aku bersedia mengabdi di sampingmu."
"Mana aku berani,"
Jawab Hong-lay-mo-li tertawa.
"Di sini memang diperlukan tenaga, tapi tugas kan tidak perlu menghalangi kebahagiaan dalam membina rumah tangga?"
"Engkau bicara rumah tangga, aku menjadi teringat kepada rumah,"
Kata Giok-kun.
"Jika bibi tidak keberatan, biarlah kupulang dahulu untuk menemui kakak dan mengatur rumah sekadarnya, nanti kudatang lagi ke sini. Rumah sudah kupunyai, kukira tidak perlu lagi rumah yang lain."
Melihat si nona bicara dengan tegas begitu, terpaksa Hong-lay-moli berkata.
"Sungguh sayang, padahal orang yang hendak kujodohan padamu itupun pernah kau melihatnya, ilmu silatnya juga sudah kau kenal. Dia benar-benar seorang kesatria muda yang serba pintar. Cuma sayang kau tidak mau, setiap manusia mempunyai cita-cita sendiri, aku pun tidak ingin memaksa kau. Hanya saja aku tetap berharap pada suatu hari kau akan mengubah pendirianmu ini."
Keterangan Hong-lay-mo-li ini kembali membikin hati Giok-kun tergerak.
"Orangnya sudah pernah kulihat, kepandaiannya juga pernah kukenal, siapakah dia? Apakah mungkin lelaki misterius yang kupergoki semalam itu?"
Demikian pikirnya. Walaupun rasa ingin tahunya sangat kuat mengenai nama dan asal-usul orang itu, namun harga diri seorang gadis membuatnya menahan perasaannya itu dan pokok pembicaraan inipun berakhir sampai di sini. Lalu Hong-lay-mo-li berkata.
"Baik juga jika kau ingin pulang. Sebelumnya dapat kuceritakan sedikit keadaan kampung halamanmu sekarang ini supaya kau dapat melakukan dua urusan bagiku. Pertama, hendaklah beritahukan kepada kakakmu bahwa mertuanya, yaitu Le To-cu sedang mencari dia. Le-locianpwe akan datang lagi ke Kim-keh-nia sini, jika beliau datang dan kalian kakak beradik belum nampak muncul, maka Le To- cu akan kuminta menyusul saja ke Pek-hoa-kok. Urusan kedua adalah mengenai Hay-soa-pang, kawanan bajak dan pedagang garam gelap itu kini sudah masuk perserikatan kita. Sepulangnya di Yang-ciu hendaklah kau berhubungan dengan mereka."
Giok-kun menerima baik tugas itu dan menyatakan pula akan membawa serta Ciu Hong pulang ke rumah, sedangkan Ciu Tiong-gak akan pergi ke Po-ting untuk menemui bakal besannya dan berunding hari pernikahan Ciu Hong yang akan berlangsung dan seterusnya menetap di Pek-hoa-kok.
Dengan demikian bila kelak Hi Giok-kun dan kakaknya meninggalkan kampung halaman menjadi ada penjaga yang dapat dipercaya.
Begitulah besoknya Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng lantas berangkat ke Siau-lim-si dengan membawa Soa Yan-liu.
Hi Giok-kun juga berangkat bersama Ciu Hong.
Sedangkan Ciu Tiong-gak menuju ke Po-ting di utara.
Sepanjang jalan tiada terjadi apa pun, suatu hari mereka telah tiba di Pek- hoa-kok.
Waktu itu sudah maghrib, tertampak pintu gerbang rumahnya tertutup rapat, malahan banyak terdapat sarang laba-laba di sana sini seakan- akan rumah itu sudah lama tak berpenghuni.
"Aneh, kemana paman Ong, kenapa begini malas, sama sekali tidak pernah menyapu,"
Ujar Ciu Hong dengan tertawa.
"Tak dapat menyalahkan dia, rumah seluas ini sendirian mana dia sanggup mengurus seluruhnya,"
Kata Giok-kun.
"Marilah kita melompat masuk melalui pagar taman belakang untuk membikin kaget dia,"
Ajak Ciu Hong.
Di luar dugaan, yang menjadi kaget bukanlah orang lain, tapi adalah mereka sendiri.
Ternyata taman di belakang juga dalam keadaan kotor tak terurus, rumput tumbuh liar memenuhi halaman, suasana sunyi senyap.
Yang membikin kaget mereka adalah pada pojok taman itu terdapat segundukan tanah galian yang masih baru, jelas itulah sebuah kuburan baru.
Ciu Hong coba mengetik api untuk menerangi batu nisan kuburan itu, tanpa terasa ia berseru.
"He, paman Ong sudah meninggal!" ~ Kiranya di atas batu nisan itu tertulis namanya, Ong Hok, itu tukang kebun yang ditugaskan menjaga rumah. Hati Giok-kun berdebar-debar, mendadak teringat olehnya pengalaman Han Pwe-eng waktu pulang ke rumah dahulu, begitu nona itu masuk rumahnya di Lok-yang segera melihat mayat pelayannya menggeletak di lantai, ayahnya yang diketahui sedang sakit juga menghilang. Kemudian Pwe- eng baru mengetahui rumahnya telah disatroni oleh Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya, sedangkan ayahnya dibawa pergi oleh Sin Cap-si-koh. Kini apa yang dilihat Giok-kun rasanya sedemikian miripnya, betapa pun tenang hatinya menjadi kebat-kebit juga.
"Coba kita periksa bagian dalam,"
Ajak Giok-kun. Beberapa pintu ruangan ternyata digembok, dengan tidak sabar Giok- kun menabasnya dengan pedang dan diperiksanya ruangan itu, akan tetapi tiada sesuatu yang ditemukan.
"Sio-cia, biar kucari keterangan kepada Ciu-toanio, tetangga kita di ujung jalan sana,"
Kata Ciu Hong dengan cemas.
Giok-kun setuju dan suruh Ciu Hong lekas pergi dan cepat kembali.
Seperginya Ciu Hong, Giok-kun coba masuk ke kamarnya sendiri.
Ia rada lega sebab tiada sesuatu tanda rumahnya pernah dikacau orang.
Andaikan kedatangan musuh, tentu kakaknya dan nona Le tidak menyerah begitu saja, tapi nyatanya juga tiada tanda pernah ada orang bertempur di situ.
Ia coba menyalakan lilin.
Ia meneliti pula keadaan kamarnya, semuanya masih dalam keadaan waktu ditinggal pergi.
Walaupun di sana sini berdebu, tapi selimut di atas ranjang juga masih terlipat dengan rajin, malahan bantal bersulam yang belum selesai dikerjakan itu masih tertaruh di tempat semula.
Melihat barang yang sedianya hendak dipakai dalam kamar pengantinnya dahulu itu, tapi semuanya itu kini tinggal kenangan belaka, tanpa terasa hati Giok-kun menjadi pedih pula.
Sambil membersihkan kamarnya ia pun meneliti sesuatu dengan cermat.
Waktu membersihkan keranjang sampah, terlihat ada sisa kertas terbakar, bagian yang belum terbakar setelah disambung terlihat tulisan yang berarti "di rumah jangan.....", lanjutan tulisan itu sudah terbakar sehingga tidak diketahui "jangan apa"
Yang dimaksud.
Dari gaya tulisan itu jelas bukan tulisan tangan kakaknya, yaitu Hi Giok- hoan, tapi juga bukan gaya tulisan kaum wanita.
Giok-kun tidak kenal gaya tulisan Le Say-eng, maka tidak tahu apakah Le Say-eng yang menulisnya atau bukan.
Selagi memikirkan apa arti tulisan yang dibacanya itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, baru saja ia hendak menegur, terdengar Ciu Hong telah berseru.
"Aku, Sio-cia. Apakah engkau menemukan sesuatu?"
"O, kau sudah kembali,"
Jawab Giok-kun.
"Belum ditemukan apa-apa, bagaimana dengan keterangan yang kau peroleh?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka berceritalah Ciu Hong keterangan yang diperolehnya.
Kiranya Hi Giok-hoan dan Le Say-eng pernah pulang dan tinggal beberapa bulan di rumah, mereka baru berangkat lebih sebulan yang lalu.
Menurut keterangan Ciu-toanio, tetangga yang dimintai keterangan dan masih terhitung adik ipar Ong Hok si tukang kebun itu, katanya Ong Hok jatuh sakit sebelum meninggal, apalagi Ong Hok juga sudah tua, maka tidaklah mengherankan kalau meninggal.
ERNYATA Ciu-toanio cukup terbuka, dia ceritakan semua yang diketahuinya kepadaku,"
Kata Ciu Hong.
"tapi lantaran aku kuatir kau menunggu dengan kuatir, maka tidak kutanya lebih lanjut. Nona, kau tak usah kuatir, Lo Ong mati karena sakit, dia bukan mati dibunuh orang."
Setelah merasa tenang Giok-kun baru bertanya lebih jelas.
"Toa-siauya dan nona Le sempat kembali ke rumah, di sana mereka berdiam hampir setengah tahun, baru kira-kira sebulan berselang mereka pergi."
"Apakah Ciu-toanio tahu mereka tinggal dimana?"
Tanya Giok-kun.
"Sebelum Siau-ya pergi, ia sempat mengunjungi Ciu-toanio, bahkan memberi pula uang dan beras, tapi tidak menjelaskan akan pergi kemana."
Kembali Hi Giok-kun merasa lega, pikirnya.
"Aneh, kenapa Koko pergi dengan tergesa-gesa, masa ia sedang dikejar musuh?"
Kembali ia ragu-ragu, pikirnya pula.
"Koko pulang untuk menyembuhkan lukanya, dan sekarang ia telah meninggalkan lembah Pek- hoa-kok, ini berarti lukanya telah sembuh. Tapi kenapa ia tidak balik ke Kim-
Jilid 45
"T keh-nia? Sekali pun hendak pergi ke tempat lain, semestinya kan memberi kabar dulu kepada nona Liu. Apalagi Hay-soa-pang ada hubungan dengan Kim-keh-nia, apa susahnya titip pesan lewat mereka? Menurut Ciu-toanio, dia baru pergi sebulan berselang, kalau titip pesan, semestinya surat itu sudah sampai di Kim-keh-nia."
Terdengar Ciu Hong berkata pula.
"Ong Hok baru meninggal sepuluh hari berselang, rasanya tak ada yang mencurigakan."
"Darimana Ciu-toanio tahu kalau dia mati lantaran sakit?"
"Ong Hok sering ke rumah Ciu-toanio untuk mengobrol, pada pertemuan mereka yang terakhir, Ong Hok sempat memberitahu selama dua hari terakhir sedang menderita masuk angin sehingga tak sempat keluar rumah, tapi keadaannya sudah mendingan karena telah minum obat, jadi Ciu-toanio tidak begitu perhatian lagi."
"Kalau hanya masuk angin, kan semestinya tak sampai merenggut nyawanya,"
Kata Giok-kun.
"Betul, Ciu-toanio sendiri tidak menyangka dia mati secepat itu, tapi kondisi Ong Hok memang sangat lemah, tak aneh kalau mendadak mati."
"Jadi kematiannya tidak mencurigakan lantaran dia sudah tua dan kondisi tubuhnya lemah?"
"Keesokan harinya, saat Ciu-toanio datang menjenguk, dilihatnya ia berbaring di ranjang dengan senyum di kulum, saat itu dia belum tahu kalau Ong Hok sudah mati, tapi kemudian setelah diperiksa napasnya, baru diketahuinya sudah tutup usia. Ia mati dalam keadaan tenang, rasanya mustahil kematiannya karena dibunuh orang."
"Nyo Kiat-bwe pernah bercerita, dia pernah menjadi dayang Sin Cap-si- koh, perempuan iblis paling beracun di kolong langit, konon gembong iblis itu memiliki sejenis racun, bila dimakan korbannya, orang itu bakal mati dengan tersenyum."
"Tapi, bukankah Sin Cap-si-koh sudah mati lama?"
"Aku tidak bilang Ong Hok mati lantaran dibunuh Sin Cap-si-koh, tapi kematiannya sangat mencurigakan, tentu saja aku tidak berharap Ong Hok mati dibunuh orang."
Ciu Hong agak tertegun, katanya kemudian.
"Nona, aku jadi curiga, paling tidak rumah ini sudah satu bulan lebih tidak dibersihkan, ketiga pintu gerbang pun dalam keadaan terkunci. Masakah Ong Hok sudah tahu bakal mati sehingga dia sengaja mengunci semua pintu?"
Kuatir Ciu Hong ketakutan, Giok-kun tidak bercerita tentang pertemuan robekan kertas itu, ujarnya.
"Siau-hong, jika kau merasa takut, besok kita tinggalkan Pek-hoa-kok."
"Aku malah merasa berat meninggalkan Pek-hoa-kok, lagi pula ada Sio- cia, apa yang kutakutkan? Bagaimana kalau kita sewa beberapa orang untuk membersihkan gedung ini? Lebih banyak orang akan membuat aku tak merasa takut."
"Aku pun berniat begitu, tapi lebih baik kita bicarakan nanti saja. Kau sudah lelah, lebih baik tidur dulu."
"Nona, kamarku belum sempat dibersihkan."
Hi Giok-kun tahu dayangnya takut, maka ujarnya.
"Sebelum kau diboyong pengantinmu, biarlah aku jadi pengantin sementaramu. Malam ini kau boleh tidur sekamar dengan aku."
"Ah, nona suka menggoda,"
Merah jengah muka Ciu Hong.
"tapi terus terang, dalam gedung sebesar ini hanya kita berdua, kalau tidak berada disampingmu, aku memang merasa agak takut."
Mungkin kelewat lelah, begitu naik ranjang, tak lama kemudian Ciu Hong sudah tertidur nyenyak.
Sementara Giok-kun tak dapat tidur, berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya.
Menjelang kentongan ketiga, tiba-tiba Ciok-kun mendengar suara pekikan burung gagak terbang di luar jendela, suaranya amat tak sedap.
Pikirnya.
"Semestinya burung gagak itu sedang beristirahat di atas pohon, kenapa mendadak terbang ketakutan?"
Biar bernyali besar pun tak urung berdiri juga bulu romanya, cepat ia kenakan baju dan melongok keluar.
Di bawah sinar rembulan terlihat sesosok bayangan hitam muncul dari belakang gunung-gunungan.
Saat itulah di sisi telinganya seolah ada seorang berbisik.
"Giok-kun, tak usah takut, aku tak akan mencelakaimu, keluarlah menjumpaiku."
Suara seorang perempuan tua yang rasanya pernah dikenal.
Bayangan hitam itu berada tujuh-delapan tombak dari kamar tidurnya, tapi bisikannya begitu jelas dan nyata, jelas ilmu Coan-im-jip-bitnya sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Tak terlukiskan rasa kaget Hi Giok-kun.
Waktu itu Ciu Hong sudah terlelap nyenyak, sama sekali tak tahu di luar ada orang.
Sadar tak bisa menghindar, Giok-kun segera menyambar pedangnya dan melompat keluar jendela.
Bayangan di belakang gunung-gunungan segera menampakkan diri sambil berkata seram.
"Nona Hi, maaf aku datang berkunjung di tengah malam buta, tak kau sangka bukan?"
Ternyata perempuan itu tak lain adalah Gak-hujin. Giok-kun pernah bertarung melawan Gak-hujin, dia tahu Kungfu perempuan ini sangat hebat, segera pikirnya.
"Cepat benar berita yang-dia peroleh, baru saja aku sampai ke rumah, dia sudah tahu."
Perempuan itu muncul seorang diri dengan status isteri Ti-hu, hal ini sama sekali di luar dugaan Giok-kun, maka ia pun menyapa.
"Gak-hujin, ada urusan apa kau mengunjungi aku di tengah malam begini?"
"Ikut aku pulang ke rumah, ada persoalan hendak kubicarakan."
"Kalau ingin bicara, sampaikan saja di sini."
"Aku tak ingin mengganggu ketenangan orang lain, lebih baik ikut aku saja. Lagi pula waktu kau menyusup ke gedung Ti-hu, aku belum sempat menjadi tuan rumah yang baik, hari ini aku mesti menyambutmu baik-baik."
Dengan cepat Giok-kun melolos pedangnya.
"Biar aku bukan tandinganmu, bukan berarti aku akan menyerah begitu saja."
"Aku hanya berniat mengundangmu, sama sekali tak bermaksud jahat."
"Aku tak mau!"
Berkerut dahi Gak-hujin, tegurnya.
"Nona Hi, aku sudah cukup sungkan terhadapmu, benarkah kau memilih arak hukuman daripada arak kehormatan?"
Begitu bicara, tiba-tiba ia mengayun tangannya melancarkan satu cengkeraman. Cepat Giok-kun menebaskan pedangnya.
"Sreet", tahu-tahu ujung bajunya kena tersambar oleh serangan Gak-hujin hingga robek, tebasan pedangnya pun mengenai tempat kosong. Gak-hujin juga tidak menduga bahwa cengkeramannya tadi tidak berhasil mengenai Giok-kun, ia bersuara heran dan berkata.
"Eh, ilmu pedangmu sudah jauh lebih maju daripada dulu. Cuma betapa pun kau tetap tak dapat lolos dari tanganku, lihat saja nanti!"
Selama beberapa bulan tinggal di Kim-keh-nia, Giok-kun banyak mendapat petunjuk dari Hong-lay-mo-li sehingga ilmu silatnya memang jauh lebih maju daripada dulu.
Serangannya tadi hampir melukai Gak-hujin apabila dia tidak cepat menarik kembali tangannya.
Tapi apa yang dikatakan Gak-hujin juga betul, walaupun kepandaian Giok-kun sudah tambah maju toh tetap bukan tandingannya.
Belasan jurus kemudian Giok-kun mulai kewalahan menghadapi tongkat Gak-hujin.
Suatu ketika mendadak Gak- hujin merangsek maju, dengan cepat ia hendak merampas pedang Giok-kun.
Tapi Giok-kun sempat membaliki pedangnya terus menabas dengan cara yang tak terduga-duga.
"Hm, kau masih berani bergebrak dengan aku!"
Jengek Gak-hujin.
"Trang", dengan tepat tongkatnya dapat membentur pedang Giok-kun. Seketika Giok-kun merasakan tangan pegal kesemutan, pedang hampir terlepas dari cekalan. Ia tahu Gak-hujin sengaja bermurah hati padanya, kalau tidak, tentu dirinya sudah terluka dalam.
"Nah, tahu rasa belum? Lekas ikut aku pulang saja!"
Kata Gak-hujin pula. Akan tetapi mendadak Giok-kun menyambitkan pedangnya, berbareng ia terus melarikan diri.
"Mana kau dapat lolos!"
Seru Gak-hujin.
Baru belasan tindak Giok-kun berlari, tahu-tahu Gak-hujin sudah menghadang di depannya.
Giok-kun lebih hapal keadaan jalan di taman itu, sedapatnya ia berlari mengitar kian kemari, tapi tetap tak dapat melepaskan diri dari bayangan orang.
Diam-diam Giok-kun mengeluh akhirnya pasti tak dapat lolos dari cengkeraman musuh.
Selagi keadaan mulai gawat, tiba-tiba terdengar jeritan Ciu Hong dan Gak-hujin juga mendadak berhenti tidak mengejarnya lagi.
Dengan terkejut Giok-kun memandang ke sana, benar saja tertampak tiga sosok bayangan orang muncul di atas rumah.
Ciu Hong dikejar dua musuh.
Dalam keadaan begitu biarpun Giok-kun hendak menolongnya juga tidak keburu lagi karena jaraknya cukup jauh.
Selagi Giok-kun berkuatir, sekonyong-konyong Gak-hujin mengayun tangannya sambil membentak.
"Sudah kupesan kalian agar jangan mengejutkan nona Hi, mengapa kalian tidak turut perintahku?" ~ Menyusul terdengar suara gedebukan orang jatuh dari atas, tiga orang sekaligus terjungkal ke bawah. Tapi orang ketiga itu ternyata bukan Ciu Hong. Kiranya pada saat Giok-kun menghamburkan senjata rahasia, dari sebelah sana mendadak muncul pula seorang lagi dan begitu muncul segera dia terjungkal kena senjata rahasia, hanya saja arah terjungkalnya itu berlawanan dengan kedua orang yang pertama tadi. Keruan hal ini membuat Giok-kun terheran pula, jelas orang ketiga itu bukan terkena senjata rahasia sambitan Gak-hujin melainkan ada orang kosen yang belum menampakkan diri. Benar saja, pada saat itulah lantas terdengar suara suitan nyaring seorang, dari suaranya yang melengking tajam itu jelas bukan sembarangan tokoh silat.
"Bagus, memangnya aku sudah tahu kapan-kapan kau bangsat tua ini pasti akan mencari perkara padaku, kini kau benar-benar sudah datang!"
Bentak Gak-hujin mendadak sembari melayang ke sana, entah maksudnya hendak mengejar "bangsat tua"
Yang disebutnya itu atau hendak melarikan diri, yang jelas dalam sekejap saja ia pun sudah menghilang. Sedangkan "bangsat tua"
Yang dimaksud itu cuma terdengar suaranya tadi dan tetap tidak kelihatan orangnya.
Dalam pada itu Ciu Hong lantas mendekati Giok-kun dan menceritakan apa yang dialaminya.
Rupanya dia terjaga bangun oleh suara benturan senjata waktu Giok-kun menempur Gak-hujin.
Segera ia memburu keluar, tapi dia lantas disergap oleh dua orang.
Untung suara seorang berbisik memperingatkan dia sehingga serangan kedua orang itu dapat dihindarinya.
Pada saat lain kedua penyerang itupun terjungkal ke bawah rumah.
"Ya, sungguh berbahaya, syukur ada orang kosen diam-diam melindungi kita,"
Ujar Giok-kun.
Mereka lantas memeriksa ketiga musuh yang terjungkal itu.
Mereka tambah heran dan sangsi setelah melihat ketiga orang itu ternyata berseragam perwira.
Satu di antaranya samar-samar Giok-kun merasa pernah bergebrak dengan dia di kantor kabupaten Yang-ciu dahulu.
Ketiga orang itu menggeletak terpisah di dua tempat, dua orang yang terjungkal oleh senjata rahasia Gak-hujin, seorang lagi menggeletak rada jauh di belakang rumah sana.
Kedua orang yang terkena serangan Gak-hujin itu sudah tidak bernyawa lagi, muka mereka hitam, pelipis mereka tertancap sebuah jarum kecil, nyata mereka terkena jarum berbisa.
"Keji amat perempuan itu, siapakah dia, Sio-cia?"
Tanya Ciu Hong.
"Dia isteri Gak Liang-cun, bupati Yang-ciu,"
Jawab Giok-kun.
"Tampaknya ketiga orang ini adalah anak buah suaminya. Bisa jadi kedatangan Gak-hujin ke sini di luar tahu suaminya, bahkan di luar tahu siapa pun juga, sebab itulah dia merasa perlu membunuh anak buah suami sendiri agar perbuatannya tidak diketahui orang."
Waktu mereka memeriksa pula orang ketiga, orang itu ternyata tidak mati, juga tiada tanda terkena senjata rahasia, cuma sedikit pun tidak bisa bergerak.
Sebagai jago silat, setelah merenung sejenak kemudian Giok-kun menyatakan rasa herannya.
Aneh, orang ini tampaknya tertotok Hiat-to yang membuatnya tak bisa berkutik, bisa jadi dia tersambit oleh sebutir batu kecil.
Kiranya Giok-kun melihat cara menyambitkan senjata rahasia untuk mengincar Hiat-to ini serupa dengan Pau Kang dan Han Ngo di Kim-keh-nia tempo hari.
Cuma orang itu pasti bukan orang tua walaupun aku tidak sempat melihat mukanya, mengapa Gak-hujin memaki dia sebagai "bangsat tua"? "Sio-cia membuka Hiat-tonya saja dan nanti dapat ditanyai,"
Ujar Ciu Hong.
"Mana aku mampu,"
Kata Giok-kun. Tiba-tiba pikirannya tergerak, katanya pula.
"Kau jaga rumah, biar aku keluar melihatnya, harus kuselidiki hingga jelas."
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia pikir Gak-hujin telah mengejar orang tadi, tentu masih dapat disaksikan pertarungan yang menarik.
Benar juga, tidak lama di tengah hutan di belakang rumah sana terdengarlah suara gemerincing beradunya senjata.
Ternyata betul Gak-hujin telah berhasil menyusul orang misterius itu dan sedang bertempur dengan sengit.
Dengan perlahan Giok-kun menyusup ke dalam hutan, karena pertarungan berlangsung dengan sengitnya, kedua orang itu seperti tidak tahu akan kedatangan orang ketiga.
Giok-kun memanjat ke atas pohon, di bawah sinar bulan yang remang-remang ia coba mengamat-amati pertarungan itu.
Orang yang menjadi lawan Gak-hujin itu adalah lelaki yang usianya belum ada tigapuluh tahun, dari perawakannya serta gaya ilmu silatnya memang betul adalah lelaki aneh yang dipergoki Giok-kun di Kim-keh-nia tempo hari.
Lelaki itu menggunakan pedang, permainan pedangnya luar biasa hebatnya, serangannya cepat dan lincah, setiap jurus serangan selalu mengincar Hiat-to maut di tubuh Gak-hujin.
Tidak kepalang kejut dan kagumnya Giok-kun.
Diam-diam ia mengakui kebagusan ilmu pedang orang itu, sekali pun Jit-siu-kiam-hoat Kok Siau-hong juga kalah setingkat dibandingkan ilmu pedang orang aneh ini.
Tapi kepandaian Gak-hujin ternyata juga lain daripada yang lain, tongkatnya menyambar kian kemari dan menerbitkan suara menderu, segenap penjuru seakan-akan bayangan tongkat melulu.
Tanpa terasa ia menjadi kuatir bagi orang itu.
Kini ia pun mau percaya bahwa tadi Gak-hujin memang memberi kelonggaran padanya, kalau tidak, dengan permainan tongkat yang dahsyat ini tentu dirinya tidak sanggup melawannya.
Dalam pada itu pertarungan kedua orang itu meningkat semakin sengit.
Lambat laun kelihatan orang itu mulai kewalahan menghadapi serangan tongkat yang dahsyat, beberapa kali orang itu terpaksa main melompat mundur untuk menghindari sabetan tongkat, kelihatan pula napas orang itu mulai tersengal-sengal.
"Hm, kepandaianmu memang sudah mendapatkan ajaran asli dari gurumu, tapi untuk dapat menandingi aku sedikitnya kau harus berlatih lagi tiga tahun,"
Jengek Gak-hujin.
"Nah, lekas katakan dimana gurumu? Apakah dia sengaja mengutus kau ke sini untuk merecoki aku?"
"Ha, ha, ha!"
Orang itu bergelak tertawa.
"Apakah benar kau ingin mencari guruku? Kalau begitu silakan kau bertanya kepada Giam-lo-ong (raja akhirat) saja."
Gak-hujin melengak kaget.
"Apa katamu? Gurumu sudah mati?"
"Sudah sepuluh tahun yang lalu Suhu meninggal dunia,"
Jawab orang itu.
"Tampaknya kau tidak mempunyai sumber berita yang tajam."
"Lalu siapa yang suruh kau merecoki aku ke sini? Apakah Ki We?"
Bentak Gak-hujin.
"Sudah lama kudengar nama Lo-cianpwe itu, cuma sayang aku belum pernah berjumpa dengan beliau,"
Sahut orang itu.
"Cuma perlu kukatakan, kedatanganku ini bukan sengaja hendak merecoki kau, soalnya kau datang ke sini mengganggu nona Hi dan kebetulan kupergoki."
"Aku ada urusan sendiri dengan Hi Giok-kun, masakah kau berani ikut campur urusanku?"
Bentak Gak-hujin pula.
"Nona Hi adalah pembantu kepercayaan Liu-lihiap kalau kau mempunyai sengketa dengan guruku, masakah kau tidak tahu hubungan erat antara beliau dengan Liu-lihiap?"
Jawab orang itu.
"Pendek kata, apa pun urusanmu dengan nona Hi, yang jelas aku pasti akan ikut campur."
"Bagus, kau berani menakuti aku dengan nama Hong-lay-mo-li? Hm, biarpun dia di sini juga aku tidak gentar, apalagi saat ini dia tidak berada di sini. Apa kau minta sekali ketok kumampuskan kau dengan tongkatku ini?"
Damprat Gak-hujin dengan gusar.
Dari percakapan mereka itu, hati Giok-kun jadi tergetar.
Baru sekarang ia tahu benar bahwa murid sahabat Hong-lay-mo-li yang pernah diperantarakan kepadanya itu memang betul adalah orang ini.
Tanpa terasa mukanya menjadi merah sendiri.
Dalam pada itu pemuda itu sedang menjawab.
"Hm, memangnya begitu gampang kau hendak membinasakan aku dengan tongkatmu?"
"Huh, mendiang gurumu saja juga rada jeri padaku, tapi kau berani memandang enteng padaku? Kau kira aku tidak mampu membunuh kau? Hm, lihat saja sebentar lagi!"
Jengek Gak-hujin. Selagi kedua orang sudah hampir mulai bergebrak lagi, tiba-tiba Gak- hujin membuka suara pula.
"Biarlah kuberi suatu kesempatan lagi padamu. Bagaimana dengan Ubun Tiong, dimana dia? Kau tentu tahu keadaannya dan lekas beritahukan padaku. Dengan begitu kematianmu dapat kuampuni walaupun kau tetap harus diberi hukuman yang setimpal."
"Aku sendiri tidak tahu, tapi kukira kau dapat minta keterangan kepada Hong-lay-mo-li di Kim-keh-nia apabila kau berani ke sana,"
Jawab pemuda itu.
"Kecuali itu, berita Kay-pang biasanya juga tajam, boleh juga kau tanya kepada Liok Pang-cu."
"Kurangajar! Kau sengaja mempermainkan aku ya? Gurumu sudah mati, biarlah kau yang membayar hutangnya!"
Teriak Gak-hujin dengan gusar, tongkatnya terus mengemplang dengan dahsyat, terpaksa pemuda itu melompat mundur pula.
Giok-kun merasa tidak sanggup membantu pemuda itu, ia pikir kedatangan Gak-hujin ke tempatnya ini bisa jadi cuma ingin mencari tahu kabar Ubun Tiong, jika kuberitahukan kejadian sebenarnya kan merupakan suatu cara untuk menolong pemuda itu.
Karena itu segera ia bersiap untuk melompat ke bawah.
Tapi pada saat itu juga Gak-hujin sudah mendengar suara kreseknya daun pohon bergerak, segera ia membentak.
"Siapa yang bersembunyi di situ?"
Maka dengan gaya "burung walet menyusur hutan", dengan enteng Giok- kun melompat turun, lalu menjawab.
"Aku tahu keadaan Ubun Tiong, boleh kau lepaskan dia dan menanyai aku saja!"
"Bagaimana dengan Ubun Tiong, lekas katakan!"
Bentak Gak-hujin.
"Keponakan kesayanganmu sudah lama mati!"
Jawab Giok-kun.
"Apa katamu?"
Gak-hujin menegas dengan terkesiap.
"Cara bagaimana matinya? Apa dibunuh oleh Ki We?"
"Dia mati sendiri akibat penyakit Cau-hwe-jip-mo, mati di daerah Miau sana,"
Tutur Giok-kun.
"Aku tidak percaya, tentu kalian yang membunuhnya!"
Teriak Gak-hujin kalap. Mendadak mukanya berubah beringas, kedua matanya merah membara, sekonyong-konyong ia menggerung keras seperti binatang buas hendak menerkam mangsanya, ia menubruk maju sambil berteriak pula.
"Bagus, musuhku sudah mati, keponakanku juga sudah mati. Aku harus menagih hutang padamu, kau harus mengganti jiwanya!"
"Trang", terpaksa pemuda itu menangkis kemplangan tongkat lawan sehingga tangan terasa kesakitan dan pedang hampir terlepas. Betapa pun tabahnya pemuda itu, melihat keadaan Gak-hujin yang kalap itu, mau tak mau ia rada keder. Ia menjadi heran mengapa tenaga Gak-hujin mendadak bisa bertambah kuat, padahal tadi mereka sudah bertempur sekian lamanya. Gak-hujin seperti sudah kehilangan akal sehatnya, setelah tongkatnya beradu dengan pedang si pemuda, menyusul tongkatnya lantas menyabet ke samping mengarah perut Hi Giok-kun. Cepat Giok-kun melompat ke atas sehingga tongkat musuh menyambar lewat di bawah kakinya. Di luar dugaan, mendadak tongkat Gak-hujin berputar balik terus menghantam pula, dalam keadaan begitu jelas Giok-kun tidak sempat menghindar lagi, begitu pula pemuda itu juga tidak sempat hendak menolongnya. Tampaknya kalau serangan Gak-hujin itu diteruskan tentu jiwa Giok-kun akan melayang. Tapi aneh juga, mendadak Gak-hujin menghentikan tongkatnya di udara, menyusul ia terus berteriak dengan suaranya yang serak seperti setengah menangis.
"O, puteri mestikaku, lekas cium ibumu ini. Jangan takut, masakah ibu tega memukul kau?"
Habis itu tongkatnya terus diturunkan sambil berlari maju hendak menarik Giok-kun. Agaknya Giok- kun telah dianggapnya sebagai anak perempuannya yang sudah meninggal itu. Sudah tentu Giok-kun menjadi takut, cepat ia mengegos.
"bret", lengan bajunya terobek. Sebenarnya maksudnya memberitahukan Gak-hujin tentang kematian Ubun Tiong adalah untuk mengacaukan pikirannya agar si pemuda bisa mencapai kemenangan, siapa tahu Gak-hujin mendadak menjadi gila. Kuatir Giok-kun dicelakai musuh, cepat pemuda tadi menusuk punggung Gak-hujin. Dalam keadaan gila ternyata kepandaian Gak-hujin tidak menjadi berkurang, serangan pemuda itu dengan mudah tetap dapat ditangkisnya.
"Ha, ha, ha! Kukenal kau, kau ini Ki We! Kau yang membunuh puteriku!"
Teriak Gak-hujin.
Berbareng itu tongkatnya terus berputar dan menyerang pula secara membadai, cuma caranya sudah tidak teratur lagi.
Sebagai seorang ahli silat, pemuda itu tahu bila dirinya mampu bertahan sebentar lagi, kemenangan sudah pasti berada padanya.
Soalnya sekarang tenaga Gak-hujin mendadak bertambah kuat dalam keadaan gila itu, untuk menangkis sepuluh jurus lagi rasanya juga sukar baginya.
Dalam keadaan serba susah itu, terdengar Giok-kun berseru.
"Perempuan ini sudah gila, sukar untuk dilawan!"
"Benar, lekas kita lari ke dua jurusan!"
Jawab si pemuda.
"Bagus, kau adalah anak kandungku, kau pun memaki aku!"
Seru Gak- hujin.
"Hai, kau musuhku, masakah kau ingin kabur begini saja!"
Tampaknya dia ingin menyusul "anaknya", tapi setelah merandek sejenak, akhirnya dia mengejar ke arah si anak muda.
Melihat itu segera Giok-kun memutar balik dan berseru kepada Gak- hujin, maksudnya supaya dirinya yang dikejar, tapi si pemuda juga lantas mengolok-olok Gak-hujin untuk memancingnya supaya mengudak ke arahnya.
Begitulah selagi mereka berebut menggoda Gak-hujin, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki kuda yang ramai, tertampak empat penunggang kuda sedang mendatangi dari bawah bukit.
Keempat orang itu berseragam perwira, Giok-kun kenal satu di antaranya adalah Koan Kun-ngo yang dahulu pernah ikut menyerang Pek-hoa-kok.
Asalnya Koan Kun-ngo adalah bandit, entah mengapa kini ia telah menjadi perwira antek Gak Liang-cun, itu bupati kota Yang-ciu.
Melihat Giok-kun, dengan tertawa Koan Kun-ngo lantas berseru.
"Aha, kiranya nona Hi sudah pulang, sungguh kebetulan, Gak-tayjin kami mengundang engkau untuk bertemu."
"He, Gak-hujin juga berada di sana!"
Seru si orang perwira lain.
"Lekas kita tangkap dulu anak dara ini."
Dengan gusar Giok-kun memapaki terjangan orang itu, ketika kuda lawan sudah mendekat.
Giok-kun mengegos ke samping sambil menabas cepat dengan pedangnya.
Orang itu sempat memberosot ke bawah pelana kuda, akan tetapi tabasan pedang Giok-kun itu telah memutuskan tali pengikat pelana dan melukai perut kuda, kontan orang itu terguling jatuh, kuda pun meringkik dan berjingkrak kesakitan terus lari kesetanan ke depan.
Dalam pada itu Koan Kun-ngo dan dua perwira lain juga sudah melompat turun dari kuda mereka, berbareng mereka menubruk ke arah Giok-kun.
Tidak lama perwira yang terguling tadi juga ikut menyerbu lagi.
Sekuatnya Giok-kun menghadapi kerubutan empat lawan, pedangnya berputar cepat laksana kitiran.
Akan tetapi satu lawan empat, betapa pun ia rada kerepotan.
Lama kelamaan daya tahannya mulai berkurang, beberapa kali ia harus menghadapi serangan maut musuh.
"Nona Hi, daripada mengadu jiwa, kukira lebih baik kau menyerah saja. Nona manis macammu ini masakah kami tega merusaknya?"
Ujar Koan Kun- ngo dengan cengar-cengir.
"Ngaco-belo!"
Bentak Giok-kun, sekaligus ia menyerang tiga kali.
Akan tetapi tenaganya sudah mulai lemah, serangannya gagal, sebaliknya hampir terbacok oleh golok seorang musuh.
Giok-kun menjadi nekat, daripada mati konyol, biarlah kubinasakan satu-dua musuh dulu, sedikitnya jiwaku harus mendapat imbalan yang setimpal.
Begitulah selagi Giok-kun berlaku nekat dan keadaan mulai gawat, tiba- tiba tertampak Gak-hujin berlari kembali ke sini dengan rambut terurai, pada saat itu kuda yang terluka oleh pedang Giok-kun tadi sedang berlari ke arah sana.
"Awas, Gak-hujin!"
Seru Koan Kun-ngo.
"Anak dara ini sudah tak berdaya, segera dapat kami tangkap, engkau tidak perlu merepotkan diri."
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar ringkikan kuda, menyusul kuda yang terluka itu roboh terkulai, kiranya sekali hantam Gak-hujin telah membuat batok kepala binatang itu hancur luluh.
Baru sekarang Koan Kun-ngo mengetahui keadaan Gak-hujin rada ganjil, keruan ia melengak.
Pada saat itu juga secepat angin Gak-hujin sudah menerjang tiba sambil membentak.
"Bagus, kalian berani mengerubut puteriku! Hm, biar kumampuskan kalian ini!"
Koan Kun-ngo terkejut, ia pikir apakah nyonya bupati ini sudah gila? "He, Gak-hujin, masakah engkau pangling kepada kami?"
Seru seorang perwira itu.
Baru habis ucapannya, tahu-tahu Gak-hujin sudah menubruk tiba, seketika lehernya terasa seperti dijepit oleh tanggam, sejenak kemudian ia pun putus napas dan roboh terkulai.
Dengan cerdik Koan Kun-ngo mendahului angkat langkah seribu, dua perwira lain rada kasip, baru saja mereka menyadari gelagat jelek dan bermaksud lari, namun sudah terlambat.
Susul-menyusul mereka kena dicengkeram oleh Gak-hujin dan terbanting mampus.
Pada waktu Gak-hujin memberesi beberapa perwira itu, kesempatan itu digunakan oleh Hi Giok-kun untuk menyembunyikan diri di tengah semak- semak.
Waktu Gak-hujin berpaling kembali dan tidak nampak lagi Giok-kun, ia menjadi cemas, serunya dengan suara serak.
"O, apa dosaku hingga puteriku sendiri tak mau mengakui diriku!?"
Pada saat itu pemuda tadi juga sudah berlari kembali, segera ia berseru kepada Gak-hujin.
"Puterimu sudah mati!"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak sebagian pikiran Gak-hujin seperti tersadar kembali, ia mengerang keras satu kali, ia cemplak ke atas kuda yang kebetulan berada di sebelahnya terus dilarikan secepat terbang.
Tidak lama kemudian di depan sana lantas terdengar pula suara jeritan ngeri, itulah suara jeritan Koan Kun- ngo.
Walaupun tidak kelihatan, tapi Giok-kun menduga pasti Koan Kun-ngo juga sudah dibinasakan oleh Gak-hujin.
Setelah tenangkan diri, kemudian Giok-kun keluar dari tempat sembunyinya untuk menemui si pemuda.
Seketika ia menjadi bingung entah apa yang harus dikatakan.
"Engkau tentu terkejut, nona Hi?"
Ujar pemuda itu dengan tertawa.
"Semua ini gara-garaku dan membikin susah kau."
"Ah, membikin susah apa? Sudah dua kali engkau membantu aku, malahan aku belum pernah mengucapkan terima kasih padamu, sedangkan siapa engkau belum kuketahui pula,"
Kata Giok-kun.
"Penglihatan nona Hi memang tajam, betul juga aku adalah orang yang pernah kau curigai sebagai mata-mata musuh di Kim-keh-nia itu,"
Jawab si anak muda.
"Aku she Tio bernama It-heng."
"Tio-tayhiap telah menolong diriku, mengapa engkau tidak mau bertemu muka dengan kami tempo hari?"
"Kutahu kalian pasti menganggap kelakuanku rada aneh, padahal kukira Liu-lihiap sendiri sudah dapat menerka akan asal-usulku."
Diam-diam hati Giok-kun tergetar, ia pikir pemuda yang dimaksud dan hendak diperkenalkan padaku oleh Hong-lay-mo-li itu besar kemungkinan adalah pemuda she Tio ini.
Untung dalam kegelapan sehingga Tio It-heng tidak dapat melihat perubahan air muka Giok-kun.
Dengan tersenyum kemudian Giok-kun berkata.
"Tapi aku sendiri belum mengetahui bagaimana asal-usulmu."
"Baiklah, biar kuceritakan sekarang,"
Ujar Tio It-heng.
"Pernahkah kau mendengar nama To Pek-seng?"
"Apakah kau maksudkan Ek-pak-jin-mo To Pek-seng?"
Tukas Giok-kun.
"Benar, Ek-pak-jin-mo (manusia iblis daerah utara) adalah julukan yang diberikan oleh bangsa Kim kepada beliau, padahal beliau sebenarnya tidaklah jahat sebagaimana dikira orang,"
Tutur Tio It-heng.
"Semasa hidupnya beliau banyak membunuh orang Nuchen yang suka menyerang bangsa Han kita. To Pek-seng juga bukan namanya yang asli, namanya yang tulen ialah To Kim-ho."
"Ya, pernah kudengar cerita kaum pendekar angkatan tua, konon beliau pernah membunuh pembesar jahat negeri Kim di berbagai kota, bahkan bersumpah akan membunuh pembesar musuh sedikitnya dari seratus kota, kebetulan beliau she To bernama To Pek-seng (sembelih), makanya orang lain lantas memberi nama To Pek-seng (sembelih orang seratus kota) kepadanya. Cuma cita-cita beliau itu konon belum terlaksana dan keburu dikerubut oleh jago-jago pilihan musuh, terpaksa beliau menyingkir ke utara kabarnya akhirnya beliau meninggal di Mongol, entah betul tidak?" (Cerita tentang To Pek-seng harap baca Pahlawan Gurun).
"Memang benar, beliau telah meninggal di Mongol belasan tahun yang lalu,"
Kata Tio It-heng. Dalam hati Giok-kun sudah dapat menerka beberapa bagian, ia coba menegas pula.
"Darimana Tio-tayhiap bisa mengetahui sejelas itu, apakah engkau....."
"Ya, To Pek-seng adalah guruku sendiri,"
Sambung Tio It-heng dengan tertawa.
"Tapi kudengar, katanya To Pek-seng cuma mempunyai seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan serta dua murid yang masing-masing she Liong dan she Ciok,"
Kata Giok-kun pula.
"Anak lelakinya bernama To Liong, jiwanya kotor dan sudah lama mati. Muridnya yang she Liong juga sudah meninggal. Puterinya, To Hong, diperisteri oleh Ji-suhengnya, yaitu Ciok Bok yang kini menjadi Ce-cu di Long-sia-san."
"Benar, soalnya aku adalah murid yang diterima guruku ketika beliau berada di Mongol, mungkin Suci To Hong tidak mengetahui adanya adik seperguruan macam diriku ini,"
Ujar It-heng.
"Engkau baru datang dari Mongol?"
Giok-kun menegas.
"Sudah setahun kupulang ke sini, selama ini belum sempat kukunjungi Long-sia-san,"
Jawab It-heng.
"Setahuku, guruku malahan mempunyai seorang murid lagi di Mongol sana, namanya Hong Thian-yang, usianya kini mungkin baru tigabelas atau empatbelas tahun, aku sendiri juga belum kenal dia. Bisa jadi dia baru masuk perguruan setelah guruku wafat."
"Aneh, setelah gurumu meninggal masih dapat menerima murid?"
Tanya Giok-kun.
"Guruku meninggal di Mongol karena serangan musuh, ayah Hong Thian-yang adalah sahabat karib guruku, menurut pesan terakhir guruku, kitab-kitab pelajaran ilmu silat guruku diberikan kepada Hong Thian-yang dan menganggapnya sebagai muridnya yang terakhir,"
Tutur It-heng.
"Cuma peristiwa itu aku pun tidak jelas, aku baru mendengar hal itu dua tahun yang lalu setelah guruku wafat."
"Ya, harap engkau bercerita saja kisahmu sendiri,"
Kata Giok-kun.
"Marilah kita bercerita dulu mengenai Gak-hujin. Sebenarnya Gak-hujin sudah bersuami sebelum menjadi isteri Gak Liang-cu. Suaminya mati barulah dia kawin lagi. Malahan kabarnya antara mereka pun cuma suami- isteri nama kosong saja."
"Kutahu urusannya ini,"
Kata Giok-kun.
"Kudengar dari kawanku Han Pwe-eng ketika dia bertemu dengan Ki We tempo hari. Konon suami Gak- hujin yang pertama adalah seorang bandit besar dan mempunyai tiga saudara angkat, tapi ketiga saudara angkat itu kemudian berkomplot membinasakannya, untuk membalas sakit hati suaminya barulah Gak-hujin mengawini Gak Liang-cun dan membantunya dalam tugas hingga mencapai tingkat bupati, dengan kekuasaan Gak Liang-cun itulah dia berhasil membunuh ketiga saudara angkat suaminya yang pertama. Puterinya juga dilahirkan dari suami yang pertama, semula hendak dijodohkan kepada Ubun Tiong, tapi puterinya mencintai Ki We. Akibatnya terjadilah keonaran besar."
"Benar, tapi masih ada suatu hal yang tidak diketahui oleh Ki We,"
Kata It-heng.
"Ilmu silat suami Gak-hujin yang pertama sangat tinggi, sebenarnya ketiga saudara angkatnya tidak mungkin bisa membunuhnya. Cuma kebetulan beberapa hari sebelum kematiannya, dia bertempur dahulu dengan guruku sehingga banyak mengurangi kekuatannya, karena itulah ketiga saudara angkatnya itu berhasil membunuhnya."
"Pantas Gak-hujin bertekad hendak menuntut balas kepada gurumu,"
Kata Giok-kun.
"Ya, Gak-hujin anggap guruku yang mengakibatkan terbunuhnya suaminya, maka dia bersumpah akan menuntut balas. Sebabnya guruku menyingkir ke Mongol sebenarnya juga untuk menghindari pencariannya."
"Dan Ubun Tiong....."
"Ya, aku pun ada sengketa dengan Ubun Tiong,"
Tukas It-heng.
"Untuk menarik hati Gak-hujin yang hendak memungutnya sebagai menantu, dia pernah menyusup ke Mongol untuk mencari tahu gerak-gerik guruku, dia tidak tahu bahwa guruku sudah wafat. Dia kepergok olehku dan terjadilah pertarungan, waktu itu kepandaianku masih rendah, aku telah kecundang. Tapi ketika aku baru pulang dari Mongol dan kembali kami bertemu sehingga terjadi pertempuran pula, sekali ini dia yang kecundang. Sebenarnya waktu itu aku bermaksud menemui Suci di Long-sia-san, tapi lantaran kebentur suatu urusan yang tak terduga, maka lebih dulu kudatangi Kim-keh-nia."
"Urusan apa? Dapatlah diceritakan?"
Tanya Giok-kun.
"Bicara tentang urusan ini menjadi ada hubungannya dengan penangkapan mata-mata musuh di Kim-keh-nia tempo hari itu,"
Tutur It- heng.
"Han Ngo, salah seorang yang tertangkap itu adalah putera seorang sahabat karib guruku, menurut pesan Suhu, hubungan antara keturunan kedua keluarga harus tetap dijalin erat. Untuk memenuhi pesan guru, sekembaliku ke sini segera kucari kabar Han Ngo, tapi kudengar dia hidup di kotaraja Kim dan telah menjadi antek Wanyan Tiang-ci. Semula aku meragukan kabar itu, ketika aku menyusup ke Tay-toh untuk mencari dia dan memperkenalkan diriku, di sana barulah aku percaya bahwa Han Ngo benar telah menjual diri kepada Wanyan Tiang-ci.
"Han Ngo ternyata sangat menghargai hubungan orang tua kami, dia juga menganggap aku sebagai sahabat karib walaupun kami baru saja bertemu. Dia memberitahukan rencana kerjanya akan menyusup ke Kim- keh-nia, malahan ia pun mengajak aku ikut serta untuk mencari nama dan kedudukan. Sudah tentu aku berusaha menginsyafkan dia dengan segala macam dalih, tampaknya ia pun rada goyah hatinya, tapi seperti ada sesuatu yang sukar diutarakan, maka dia belum dapat menjawab secara tegas. Esoknya Soa Yan-liu datang mencari dia, kemudian mereka berdua lantas meninggalkan Tay-toh. Diam-diam aku menguntit perjalanan mereka dengan tujuan akan memberi nasehat lagi kepada Han Ngo bila perlu menolongnya."
"Mengapa engkau tidak segera menghubungi Liu Beng-cu waktu itu?"
Tanya Giok-kun.
"Soalnya aku ingin menyelesaikan urusan Han Ngo ini secara langsung, pula aku pun menguatirkan Liu-lihiap tak mau mengampuni perbuatan Han Ngo itu, kupikir diam-diam membantunya membersihkan mata-mata musuh itu, kemudian barulah kujelaskan duduk perkaranya kepada Liu-lihiap."
Tiba-tiba Giok-kun teringat kepada apa yang pernah dikatakan Hong-lay- mo-li, ia bertanya pula.
"Agaknya Liu Beng-cu juga bersahabat dengan gurumu?"
"Benar, mereka kenal, cuma secara tak langsung mereka pun ada sedikit perselisihan paham."
"Perselisihan paham bagaimana?"
Giok-kun menegas.
"Guruku dan Siau-go-kan-kun (suami Hong-lay-mo-li) sebenarnya juga kenal baik, entah mengapa suatu kali mereka bertemu di Mongol dan bicara tentang ilmu silat, sedikit selisih paham lantas terjadilah pertandingan antara mereka. Akibatnya kedua orang sama-sama terluka, walaupun tidak parah, tapi hubungan baik keduanya menjadi renggang. Sejak itu keduanya tidak pernah bertemu lagi. Lantaran itu guruku sendiri selalu menyesalkan kejadian itu."
Giok-kun pikir di waktu mudanya watak Siau-go-kan-kun tentunya angkuh sesuai dengan julukannya sebagai Pendekar Latah. Mungkin To Pek- seng juga sangat angkuh, maka terjadilah pertengkaran.
"Mengenai Suci yang belum pernah kukenal itu kabarnya dia tidak ada hubungan dengan Kim-keh-nia, malahan kabarnya kedua pihak juga kurang cocok,"
Kata It-heng pula.
"Ya, justru ingin kutanya padamu apa sebabnya,"
Ujar Giok-kun.
"Liu Beng-cu sendiri juga tidak tahu apa sebabnya sehingga membikin Long-sia- san tidak suka padanya."
"Karena aku belum pernah bertemu dengan Suci, maka apa sebabnya aku pun tidak begitu jelas,"
Jawab It-heng.
"Cuma menurut kabar yang kudengar, agaknya di balik persoalan itu karena ada pihak ketiga yang sengaja hendak mengadu domba, sebab Suciku mendukung Li Su-lam sebagai Bu-lim-beng-cu, sedangkan Hong-lay-mo-li adalah Lok-lim-beng-cu lima propinsi daerah utara, bisa jadi soal nama saja dan Suci tidak mau tunduk kepada Hong-lay-mo-li."
"Demi perjuangan yang lebih penting, kukira persoalan nama pribadi begitu tidak perlu diributkan,"
Kata Giok-kun.
"Aku percaya Liu Beng-cu tidak pernah mempunyai perasaan sirik begitu. Meski aku belum kenal Li Su-lam, tapi dia dipuji oleh setiap orang Bu-lim, aku percaya dia juga tidak mempunyai pikiran sempit itu."
"Aku pun yakin Li-tayhiap dan Liu-lihiap pasti bukan manusia yang berpikiran picik,"
Ujar It-heng.
"Begitu pula Suci tentu juga cukup bijaksana. Cuma untuk menghindari kecurigaan orang yang picik, tentang kedatanganku ke Kim-keh-nia sebaliknya kurahasiakan dahulu."
"Jadi kau yang memberi laporan rahasia kepada Liu Beng-cu malam itu, hal ini memang sudah kuduga,"
Kata Giok-kun tertawa.
"Sebenarnya cara bagaimana kau mengetahui tipu muslihat mereka, jika tiada pemberitahuanmu, bisa jadi Liu Beng-cu akan tertipu oleh mereka."
"Pada malam itu juga baru kutemukan Han Ngo di sana,"
Tutur It-heng.
"Setelah kuberi nasehat secara mendalam, akhirnya pikiran Han Ngo rada goyah. Tapi dia tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi Hong-lay- mo-li dan juga tidak berani merintangi rencana keji Soa Yan-liu itu. Dia cuma berjanji padaku akan melarikan diri pada malam itu. Tapi kemudian dia berangkat bersama Pau Kang, mungkin sekali dia berada di bawah ancaman dan tidak berani berkutik."
"Pantas malam itu kau tidak banyak bicara dengan aku dan tergesa-gesa mengejar mereka."
"Benar, soalnya pihak Kim-keh-nia juga mengetahui kaburnya mereka dan ada yang mengejarnya, dalam keadaan terpaksa aku telah menotok roboh mereka. Kupikir kalau Han Ngo sudah menjadi tawanan, tentu dia akan mengaku di depan Hong-lay-mo-li serta akan menceritakan hubungannya dengan diriku."
"Orang Kim-keh-nia yang mengejarnya ialah Lui Biau, tapi yang dia temukan bukan manusia hidup lagi melainkan dua sosok mayat."
"Apa? Han Ngo terbunuh?"
It-heng menegas dengan kaget.
"Benar, juga Pau Kang!"
Jawab Giok-kun.
"Siapa yang membunuh mereka pun belum diketahui. Mengenai Soa Yan-liu, dia sudah digiring Kok Siau-hong ke Siau-lim-si."
"Kiranya Soa Yan-liu masih mempunyai begundal lain sehingga Han Ngo juga tidak mengetahui, hal ini sungguh di luar dugaanku. Sesudah urusan di Kim-keh-nia itu kuanggap selesai, lalu kususul kau ke sini. Asal- usul Gak-hujin memang sudah kukenal, walaupun tadinya aku tidak menduga dia akan merecoki kau."
Sembari bicara, tanpa terasa mereka telah sampai di rumah Giok-kun.
Segera Giok-kun hendak berseru memanggil Ciu Hong, akan tetapi pintu sudah lantas terbuka, Ciu Hong memapak keluar.
Ia menjadi melenggong ketika melihat sang Sio-cia pulang bersama seorang pemuda yang belum dikenalnya.
Sesudah berada di ruang tamu barulah Giok-kun memberitahukan bahwa To It-heng adalah pendekar yang telah menolongnya tadi.
"Syukurlah Sio-cia telah pulang dengan selamat, aku..... aku....."
Tiba-tiba suara Ciu Hong rada tergagap dan air muka rada pucat.
"Ada apa kau? Apakah tadi terjadi sesuatu lagi di sini?"
Tanya Giok-kun.
"Sio-cia, di rumah ini seperti ada setannya,"
Kata Ciu Hong.
"Hus, ngaco-belo! Sebenarnya apa yang telah kau lihat tadi?"
Kata Giok- kun.
Maka berceritalah Ciu Hong apa yang dialaminya.
Kiranya tadi sesudah Giok-kun pergi, Ciu Hong coba meronda ke taman, ketika mendekati kuburan si Ong tua, samar-samar dilihatnya ada sesosok bayangan dan mendadak menghilang dalam sekejap saja.
Tentu saja Ciu Hong mengkirik, disangkanya arwah si Ong tua hendak menggodanya.
Tapi sebisanya dia tabahkan diri dan meronda lagi ke tempat lain.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika sampai di depan pintu gudang penyimpanan arak, sayup-sayup kudengar pula di dalam gudang bawah tanah itu seperti ada sesuatu suara.
"Suara apa?"
Giok-kun menegas.
"Seperti suara geseran guci arak,"
Jawab Ciu Hong.
"Waktu kupasang kuping lebih cermat, ternyata suara itu tak terdengar lagi. Aku menjadi takut dan tak berani meronda lebih jauh dan cepat kembali ke sini untuk menunggu Sio-cia."
"Jika benar seperti ceritamu ini, kukira ada lagi musuh yang bersembunyi di sini,"
Kata Giok-kun.
"Menjelang tengah malam aku sudah bersembunyi di dalam taman kalian dan tidak nampak kedatangan orang lain lagi yang berkepandaian tinggi,"
Tio It-heng ikut bicara.
"Tapi sebaiknya kita coba periksa lagi keadaan yang mencurigakan itu."
Segera mereka menuju ke kuburan budak she Ong itu. Tio It-heng berusaha mendengarkan dengan cermat, sejenak kemudian mendadak ia membentak.
"Kawan dari garis manakah? Keluar saja!"
Benar juga, segera terdengar suara jengekan seorang, sesosok bayangan lantas melayang tiba.
Waktu Giok-kun mengamati, terlihat orang ini adalah seorang kakek berbaju hitam, setelah jelas, ia menjadi terkejut.
Kiranya kakek baju hitam ini tak lain tak bukan adalah Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun.
"Hm, akhirnya kau pulang juga, Hi Giok-kun?"
Jengek Oh-hong-tocu. Betapa pun Giok-kun merasa bersahabat baik dengan Kiong Kim-hun, ia pikir masakah iblis ini tega mencelakai aku tanpa sebab? Setelah tenangkan diri lalu ia menjawab.
"Kiong-locianpwe, ada apakah engkau mencari aku?"
"Aku tiada tempo buat bicara dengan kau, lekas kau berikan Pek-hoa-ciu padaku!"
Seru Oh-hong-tocu, berbareng itu ia terus mencengkeram seakan- akan kuatir Giok-kun menolak permintaannya.
Namun Tio It-heng sudah berjaga-jaga, tangan kiri mendorong Giok- kun, pedang di tangan kanan lantas menusuk.
Walaupun gerakan Tio It-heng cukup cepat, tapi terdengar juga suara "bret", baju Giok-kun terobek sebagian oleh cengkeraman Oh-hong-tocu, untung dia didorong ke samping oleh It-heng sehingga terluput dari cengkeraman musuh.
Dengan tenaga jari sakti Oh-hong-tocu dapat menjentik pergi pedang Tio It-heng, ia pun rada jeri terhadap ilmu pedang lawan yang hebat itu.
Ia melangkah mundur, lalu membentak.
"Siapa kau?"
Pada saat yang sama It-heng juga bertanya pada Giok-kun.
"Siapakah iblis ini?"
"Oh-hong-tocu!"
Jawab Giok-kun.
Sudah tentu Tio It-heng pernah mendengar nama iblis yang terkenal ini dari cerita gurunya.
Maka demi mengetahui siapa yang dihadapinya, segera ia melancarkan serangan kilat pula sebelum didahului musuh.
Dalam sekejap saja ia sudah menyerang belasan kali, sebaliknya Oh-hong-tocu tampak terbatuk-batuk, matanya merah seperti orang menderita sakit panas dalam.
"Sio-cia, iblis ini terkenal sangat lihai, tampaknya cuma bernama kosong saja!"
Kata Ciu Hong dengan tertawa ketika melihat Tio It-heng dapat mendesak musuh.
Tapi mendadak terdengar Oh-hong-tocu membentak keras.
Giok-kun menjerit kuatir dan cepat menubruk maju dengan tusukan pedang.
Tertampak Tio It-heng melompat ke atas dan berjumpalitan di udara, menyusul terdengar suara "trang"
Yang nyaring, tertampak pedang Giok-kun mencelat dari cekalan.
Kiranya pada gerakan terakhir itu Oh-hong-tocu telah mengeluarkan kepandaiannya yang khas, yaitu Oh-sat-ciang sehingga Tio It-heng tergetar oleh tenaga pukulannya yang dahsyat, menyusul pedang Giok-kun juga diselentik terlepas dari cekalan.
Anehnya Oh-hong-tocu tidak mendesak lebih jauh, sesudah kedua lawan mundur, segera ia menungging dan terbatuk-batuk pula.
"Iblis ini sudah payah, marilah kita bereskan dia!"
Seru Tio It heng. Tapi sebelum mereka bertindak, lebih dulu Oh-hong-tocu telah membentak.
"Nanti dulu! Sebenarnya aku tidak bermaksud jahat kepada kalian, jika aku mau membunuh, kalian sudah sejak tadi kulakukan."
"Sebenarnya Kiong-locianpwe ada keperluan apa?"
Tanya Giok-kun.
"Bukankah sudah kukatakan tadi, aku hanya minta Pek-hoa-ciu padamu,"
Jawab Oh-hong-tocu.
"Kau harus percaya padaku, aku bukan musuhmu, tapi kita harus bersatu menghadapi musuh, makanya lekas berikan Pek-hoa-ciu padaku."
"Apa katamu? Jadi masih ada musuh lain yang bersembunyi di sini?"
Giok-kun menegas dengan terkejut, segera ia teringat kepada cerita Ciu Hong tadi.
"Huh, barangkali kau sendirilah musuh itu!"
Jengek Tio It-heng dengan sangsi.
Wajah Oh-hong-tocu tampak merah-padam dan mata melotot, dengan kuatir Giok-kun melangkah mundur dan cepat It-heng menghadang di depan untuk berjaga.
Sekejap air muka Oh-hong-tocu dari merah berubah menjadi pucat dan kembali merah lagi, tampaknya seperti menahan kesakitan yang sangat dan seperti pula menahan rasa gusar.
Renjana Pendekar -- Khulung Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Tiga Maha Besar -- Khu Lung