Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 39


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 39



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tiba-tiba ia mendengus pula.

   "Hm, dalam keadaan biasa tentu kau sudah kubinasakan. Tapi sekarang terpaksa aku tak dapat melabrak kau agar tidak menguntungkan bangsat itu."

   "Apa? Jadi musuh yang tak kelihatan itu bukan satu, tapi ada dua?"

   Giok- kun menegas pula.

   "Nona Hi, supaya kau lebih yakin akan ucapanku, biarlah kukatakan terus terang,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Ketahuilah bahwa si Ong tua tukang kebunmu itu juga terbunuh oleh pukulan berbisa yang lihai. Kau sendiri tahu bahwa aku tidak dapat menggunakan pukulan berbisa yang kumaksud."

   Mau tak mau Giok-kun percaya juga, tanyanya.

   "Siapakah musuh yang bersembunyi itu? Maukah Kiong-locianpwe menjelaskan dan membawa kami mencarinya?"

   "Kuharap kau dapat memberi Pek-hoa-ciu padaku, kalau tidak, sukar bagiku untuk membantu kalian,"

   Kata Oh-hong-tocu dengan napas terengah, tampaknya seperti mengidap sesuatu penyakit yang dapat kumat setiap saat.

   "Baiklah, silakan ikut padaku,"

   Kata Giok-kun akhirnya, bersama Tio It- heng segera mereka membawa Oh-hong-tocu menuju ke gudang di bawah tanah tempat penyimpanan arak pusaka Pek-hoa-ciu itu.

   Tapi ketika mereka mulai menuruni undak-undakan gudang bawah tanah itu, mendadak Oh-hong-tocu mencengkeram bahu Giok-kun sambil membentak tertahan.

   "Muslihat apa yang diatur, apakah kau hendak menjebak aku?"

   "Apa artinya ini, Kiong-locianpwe?"

   Jawab Giok-kun bingung.

   "Musuh juga bersembunyi di dalam sana, mengapa kau membawa aku ke sini?"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Pek-hoa-ciu yang engkau inginkan justru tersimpan di gudang ini,"

   Tutur Giok-kun.

   "Baiklah, jika betul begitu, terpaksa aku mengadu jiwa dengan mereka!"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   Suasana di dalam gudang itu sunyi senyap, tapi begitu pintu didorong, segera terdengar suara tertawa dingin orang, berbareng sebuah guci arak terus melayang tiba.

   Benar juga Giok-kun lantas melihat dua orang yang sudah dikenalnya.

   Kedua orang itu adalah kakek-kakek semua, satu berperawakan tinggi besar, yang lain kurus jangkung.

   Mereka adalah Sebun Bok-ya dan Cu Kiu- bok.

   Sungguh mimpi pun Giok-kun tidak menduga kedua iblis itu bersembunyi di dalam rumahnya, keruan kejutnya tak terkatakan.

   Orang yang menyambitkan guci arak kepada Oh-hong-tocu itu ialah Sebun Bok-ya, begitu guci dilemparkan segera ia pun menjengek.

   "Hm, kau ingin Pek-hoa-ciu, maka terimalah lekas!"

   Begitu hebat tenaga lemparan guci itu, kalau Oh-hong-tocu menolaknya dengan tenaga penuh, tentu guci itu akan pecah berantakan, padahal dia mengharapkan arak di dalam guci itu.

   Terpaksa ia gunakan tenaga lunak untuk menahan datangnya guci, ia tempel tepi guci itu dengan telapak tangannya terus diputar dan ditarik ke samping.

   Akan tetapi segera ia merasa gelagat tidak enak, ia merasa tenaga lemparan orang teramat kuat, jika memaksakan diri untuk menahannya berarti tenaga dalam sendiri yang sedang terganggu itu akan terkuras habis, sebaliknya kalau lepas tangan berarti guci itu akan terbanting hancur.

   Syukurlah pada saat itu tiba-tiba tangannya terasa enteng, kiranya pada waktu yang tepat Tio It-heng telah membantunya, dengan sebelah tangannya It-heng telah menahan juga tepian guci itu sehingga guci itu berputar di udara untuk kemudian turun ke bawah dan sempat ditangkap oleh Hi Giok-kun.

   Karena bantuan Tio It-heng itu, mau tak mau pandangan Oh-hong-tocu terhadap pemuda itu menjadi berubah, diam-diam ia pun berterima kasih.

   Pada saat lain Cu Kiu-bok juga lantas menubruk maju, ia rada tercengang melihat Tio It-heng mampu menolak lemparan guci Sebun Bok-ya itu.

   Tanpa bicara lagi segera ia melancarkan suatu pukulan dahsyat.

   Tapi Oh-hong-tocu lantas melangkah maju dan menyambut pukulan itu, kedua orang itu sama-sama tergetar mundur, diam-diam kedua orang itu juga merasa heran.

   Yang diherankan Oh-hong-tocu adalah pukulan Cu Kiu-bok itu ternyata tiada rasa dingin sebagaimana biasanya walaupun tenaganya cukup kuat.

   Ia heran mengapa Siu-lo-im-sat-ciang lawan bisa berubah.

   Sebaliknya Cu Kiu- bok juga heran mengapa tenaga dalam Oh-hong-tocu seperti kurang kuat daripada biasanya, padahal konon dia sudah meyakinkan ilmu berbisa keluarga Siang, mengapa tak dikeluarkannya ilmu yang telah dilatihnya itu? Dalam pada itu Oh-hong-tocu telah berseru kepada Giok-kun.

   "Nona Hi, lekas berikan arak itu padaku!"

   Tapi Giok-kun telah menjawab.

   "Tidak, ini bukan Pek-hoa-ciu!"

   "Ha, ha, ha!"

   Mendadak Sebun Bok-ya bergelak tertawa.

   "Nyata kau tidak tahu bahwa kau telah tertipu olehku. Ini namanya ada jalan ke surga kau tak pergi, neraka tanpa pintu justru kau masuki!"

   "Hm, aku sudah tahu kalian bersembunyi di sini, memangnya kau kira aku gentar padamu?"

   Jengek Oh-hong-tocu.

   "Hayolah maju, tidak perlu banyak omong!"

   "Betapa pun kita pernah berkawan, jika kau ingin damai, kukira boleh juga kita berunding dahulu,"

   Kata Cu Kiu-bok sambil mengekeh.

   "Hm, memangnya ada apa lagi yang dapat dirundingkan?"

   Jawab Oh- hong-tocu tak acuh, pada kesempatan ini ia coba mengatur pernapasannya.

   "Asal kitab pusaka pemberian Kong-sun Bok itu kau tinggalkan dan kami juga memberikan satu guci Pek-hoa-ciu yang kami rampas ini padamu, tukar menukar ini kukira cukup adil dan kau pun segera dapat pergi dengan selamat,"

   Kata Sebun Bok-ya. Namun Oh-hong-tocu hanya tertawa dingin saja tanpa menanggapi. Segera Cu Kiu-bok ikut berkata.

   "Kiong To-cu, kukira kau tidak perlu berlagak, kami tahu kau sedang menghadapi bencana Cau-hwe-jip-mo, menurut kekuatanmu sekarang betapa pun kau bukan tandingan kami berdua."

   Baru sekarang Oh-hong-tocu terkejut, kiranya gebrakan tadi telah membuat pihak lawan mengetahui akan kelemahannya.

   Akan tetapi ia pun merasakan tenaga pukulan Cu Kiu-bok tadi tidak seperti biasanya, jika bertarung mati-matian, biarpun tak dapat menandingi mereka berdua, sedikitnya dapat gugur bersama musuh.

   Kiranya Oh-hong-tocu tidak tahu bahwa ilmu berbisa Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya telah dipunahkan oleh Siau-go-kan-kun dan Bu Su-tun.

   Hanya saja ilmu silat mereka yang lain masih tetap kuat.

   Seperti diketahui, semula Le Kim-liong merampas kitab pusaka ilmu berbisa keluarga Siang itu dari tangan Sebun Bok-ya, lalu diserahkan kepada Kong-sun Bok, kemudian Kong-sun Bok memberikan kitab itu kepada Oh- hong-tocu.

   Bahwa sejak kecil Kong-sun Bok sudah mendapatkan ajaran lwekang maha tinggi dari Bing-bing Taysu sehingga dia mampu terhindar dari penyakit Cau-hwe-jip-mo, maka menurut perkiraan Sebun Bok-ya, kitab yang diserahkan Kong-sun Bok kepada Oh-hong-tocu itu tentu telah ditambahi dengan catatan tentang cara bagaimana melatih ilmu berbisa itu dan cara menghindari penyakit Cau-hwe-jip-mo.

   Di luar dugaan Sebun Bok-ya bahwa Le Kim-liong justru mempunyai maksud tertentu, Le Kim-liong minta Kong-sun Bok memberikan kitab pusaka asli itu kepada Oh-hong-tocu itu tanpa mengurangi dan menambahi isi kitab itu.

   Setelah Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok kabur dari Tay-toh, mereka merasa senasib dan sepenanggungan, keduanya bersepakat akan pergi ke Oh-hong-to untuk mencari Oh-hong-tocu dan memaksanya menyerahkan kitab pusaka ilmu berbisa itu.

   Semula mereka tidak tahu bahwa akibat berlatih ilmu berbisa menurut kitab pusaka yang diperolehnya itu, tanpa disadari Oh-hong-tocu telah tersesat dan tanda-tanda penyakit Cau-hwe-jip-mo mulai timbul padanya.

   Menurut perhitungan Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, setelah bertemu dengan Oh-hong-tocu mereka akan bicara terus terang maksud kedatangan mereka dan berunding secara baik, jika Oh-hong-tocu menolak permintaan mereka barulah akan melabraknya sekuat tenaga.

   Soalnya mereka sudah kecundang dan ilmu berbisa mereka telah dipunahkan Siau-go-kan-kun, biarpun gabungan mereka berdua juga belum tentu mampu melawan Oh- hong-tocu.

   Siapa tahu sebelurn mereka sampai di Oh-hong-to, lebih dulu Oh-hong-tocu sudah mendengar berita akan kedatangan mereka dan segera kabur dari pulau kediamannya itu.

   Rupanya Oh-hong-tocu juga sudah mulai merasakan timbulnya penyakit Cau-hwe-jip-mo, ia menjadi kuatir akan kesehatan sendiri, apalagi didengarnya pula akan kedatangan kedua iblis besar itu, ia pikir jatan paling selamat adalah bersembunyi.

   Tapi lantaran kaburnya ini sama juga sebagai tanda jeri terhadap pihak lawan, meski kedua iblis tua itu semula tidak tahu dia sedang menghadapi bencana Cau-hwe-jip-mo, tapi mereka menjadi mendapat angin dan berani menguber dan mencarinya.

   Semula Oh-hong-tocu berusaha mencari bakal menantunya, yaitu Kong- sun Bok, tapi tidak bertemu, celakanya ia tidak berani mencarinya ke Kim- keh-nia, akhirnya terpaksa ia kabur ke Pek-hoa-kok di Yang-ciu.

   Sebabnya dia menyingkir ke Pek-hoa-kok, pertama, ia pikir bisa mencari berita Kong-sun Bok kepada Hi Giok-kun atau Hi Giok-hoan, selain itu ia pun tahu arak obat keluarga Hi, yaitu Pek-hoa-ciu, walaupun tidak dapat menawarkan bahaya penyakit Cau-hwe-jip-mo yang diidapnya, tapi khasiat arak itu sedikitnya dapat memperlambat bekerjanya penyakit itu.

   Akan tetapi sebelum dia berhasil menemukan Hi Giok-kun dan Pek-hoa- ciu yang diharapkan, pada waktu singkat juga kedua iblis itupun menyusul tiba.

   Sesudah berada di Pek-hoa-kok Cu Kiu-bok lantas teringat kepada arak mestika keluarga Hi yang dahulu hendak diberikan kepada Han Tay-wi, tidak sampai setahun setelah minum arak itu kekuatan Han Tay-wi lantas pulih seperti sediakala.

   Karena itu Cu Kiu-bok lantas mengemukakan hasratnya untuk mencari arak mujarab itu, bersama Sebun Bok-ya mereka telah membinasakan tukang kebun she Ong dan mengobrak-abrik seluruh isi rumah, akhirnya mereka dapat mendahului Oh-hong-tocu menemukan gudang di bawah tanah itu dan masuk ke situ.

   Kini kedua pihak berhadapan dan sama-sama merasa jeri.

   Ketiga orang itu diam-diam mengatur pernapasan dan mencari jalan agar dapat mengalahkan lawan.

   Betapa pun Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok merasa gabungan dua orang cukup untuk menghadapi Oh-hong-tocu seorang, akhirnya mereka mengambil keputusan melabrak lawan saja dan takkan memberi kelonggaran kepada Oh-hong-tocu.

   Begitulah segera Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya mendahului menyerang pula.

   Sudah tentu Oh-hong-tocu terpaksa melayani mereka sekuatnya.

   Tio It-heng tidak tinggal diam, segera ia menerjang maju, pedangnya berputar, sekaligus ia serang kedua iblis itu.

   Di tengah pertarungan sengit itu, Cu Kiu-bok kembali mengadu pukulan lagi dengan Oh-hong-tocu dan dirasakan tenaga lawan mulai lemah, Cu Kiu- bok bergirang, serunya dengan tertawa.

   "Ha, ha, masakah kau tahan?"

   Tapi mendadak terasa angin berkesiur dari belakang, Tio It-heng telah menusuk dengan pedangnya sehingga menembus lengan bajunya, untung Cu Kiu-bok sempat menyampuk dengan cepat, kalau tidak, pinggangnya pasti sudah tertembus.

   Dengan gusar Cu Kiu-bok balas menghantam, sambil mengelak, tusukan It-heng menyusul tiba pula.

   "Creng", Cu Kiu-bok menjentik dengan jarinya sehingga batang pedang Tio It-heng tergetar ke samping, serentak It-heng merasa tangannya menjadi dingin dan pedang hampir terlepas dari cekalan, ia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melawan serangan hawa dingin itu. Kiranya di tempat sembunyinya tadi Cu Kiu-bok telah berhasil minum Pek-hoa-ciu, berkat arak itu sebagian kecil tenaga Siu-lo-im-sat-kang sudah dapat dihimpun, cuma tenaga sedikit itu sudah tentu tak berguna untuk menghadapi tokoh seperti Oh-hong-tocu, maka sejak tadi Cu Kiu-bok tak berani mencobanya. Dalam pada itu Tio It-heng sempat menyerang lagi.

   "Keparat! Biar kubinasakan kau lebih dahulu!"

   Bentak Cu Kiu-bok murka, sekaligus ia cecar It-heng dengan beberapa kali pukulan dahsyat.

   Di sebelah lain Sebun Bok-ya terus dilibat Oh-hong-tocu dengan pukulan maut sehingga lawan tidak sempat membantu kawannya.

   Sesungguhnya rasa dingin Tio It-heng tadi belum lenyap seluruhnya, kini diberondong lagi oleh serangan Cu Kiu-bok, seketika ia menjadi kewalahan dan beberapa kali hampir termakan.

   Hi Giok-kun menjadi kuatir, tanpa pikir lagi ia lolos pedangnya dan menerjang ke tengah lapangan.

   "Nona Hi, lekas kau lari saja!"

   Seru It-heng.

   "Tidak, kau sudah menolong aku, betapa pun aku tak dapat meninggalkan kau untuk menyelamatkan diriku sendiri!"

   Jawab Giok-kun tegas. Semangat Tio It-heng terbangkit mendengar tekad si nona, ia putar pedangnya lebih gencar dan berhasil membalas beberapa kali serangan Cu Kiu-bok.

   "He, he, Hi Giok-kun, tampaknya kau setia benar, cuma sayang kau hanya akan mati percuma saja bersama dia!"

   Jengek Cu Kiu-bok.

   Giok-kun tidak menjawab, ia hadapi musuh dengan tabah.

   Namun setelah beberapa puluh jurus, di bawah tekanan tenaga pukulan musuh, napasnya terasa mulai sesak, makin lama makin payah.

   Lwekang Tio It-heng lebih kuat, keadaannya lebih mendingan daripada Giok-kun, tapi lambat- laun ia pun mulai kewalahan.

   Nampak keadaan berbahaya, sekonyong-konyong Oh-hong-tocu menggertak sekerasnya satu kali, menyusul darah segar terus tersembur dari mulutnya, mendadak pula tenaga pukulannya bertambah dahsyat dan sekaligus menghantam ke kanan dan ke kiri sehingga Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok didesak mundur.

   Kiranya Oh-hong-tocu telah menggunakan "Thian-mo-teh-tay-hoat", suatu ilmu keji yang merusak diri sendiri, tapi tenaga dapat bertambah lipat dalam waktu singkat, cara ini biasanya cuma digunakan jika dalam keadaan kepepet.

   Sebun Bok-ya tidak menyangka Oh-hong-tocu berani menggunakan ilmu terakhir itu, ia terdesak mundur, tapi segera ia menjengek.

   "Hm, rupanya kau ingin lebih cepat bertemu dengan raja akhirat!"

   Mendadak Oh-hong-tocu menubruk maju lagi dan menghantam pula kedua lawannya sehingga Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok tak berani menangkis serangannya yang teramat dahsyat, terpaksa mereka melompat mundur lagi.

   "Lekas kalian lari, biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka!"

   Seru Oh-hong-tocu kepada Giok-kun berdua.

   "Tidak, kedua iblis inipun musuhku!"

   Jawab Giok-kun.

   Oh-hong-tocu menyadari ilmu terakhir yang digunakan itu tidak dapat bertahan lama, jika dalam waktu singkat kedua lawan tak dapat dirobohkan, akhirnya ia sendiri yang bakal binasa.

   Sebab itulah ia berseru kepada Giok- kun berdua supaya lari, sementara ia sendiri terus melancarkan serangan dahsyat.

   Tapi Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok cukup cerdik, mereka terus main menghindar dan mundur, akhirnya mereka pun menerobos keluar gudang di bawah tanah itu dan berada di tengah taman.

   "Lekas lari, jika ayal tentu tak keburu lagi!"

   Seru Oh-hong-tocu pula kepada Giok-kun dan It-heng.

   "Tidak, tadi kami anggap kau sebagai musuh, tapi kini kita bersatu untuk menghadapi musuh, mati atau hidup biarlah kita tanggung bersama!"

   Jawab It-heng. Biarpun Oh-hong-tocu terkenal sebagai iblis yang ganas, kini hatinya terharu juga mendengar jawaban Tio It-heng yang simpatik itu. Ia berseru pula.

   "Bagaimana pun aku pasti akan mati, masakah kalian tidak menyadarinya? Lekas kalian lari dan memberitahu Kong-sun Bok agar membalaskan sakit hatiku ini. Jika ayal lagi tentu tidak keburu!"

   "Ya, memang sudah tidak keburu lagi!"

   Sambung Sebun Bok-ya mengejek, sekaligus ia pun melancarkan serangan balasan, begitu pula Ciu Kiu-bok juga lantas menyerang dari sebelah lain.

   Kiranya mereka sudah memperhitungkan waktunya tenaga Oh-hong-tocu mulai akan lemah, maka mereka berani melancarkan serangan balasan, mereka yakin sebentar lagi Oh-hong-tocu pasti akan lemas dan roboh dengan sendirinya.

   Benar saja, setelah belasan jurus lagi, keadaan Oh-hong-tocu tampak payah, napasnya terengah-engah, keringat memenuhi dahinya.

   "Ha, ha, ha! Kiong Cau-bun, apakah kau ingin hidup lagi!"

   Seru Cu Kiu- bok dengan tertawa.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Habis itu segera ia mencengkeram sekuatnya, keadaan Oh-hong-tocu sudah lemah dan tidak sanggup mengelak, terdengarlah suara terobeknya baju disertai muncratnya darah, punggung Oh-hong-tocu kelihatan berbekas cengkeraman kelima jari musuh, untung tulangnya tidak patah walaupun lukanya tidak ringan.

   Cepat Tio It-heng menusuk Cu Kiu-bok untuk menolong Oh-hong-tocu, tapi Sebun Bok-ya lantas mengebaskan lengan bajunya untuk melibat pedang itu sambil membentak.

   "Lepas pedang!"

   Sekuatnya Tio It-heng menusuk dengan harapan lengan baju lawan dapat ditembus.

   Akan tetapi ia sendiri ternyata sudah payah juga, malahan pedangnya hampir terbetot lepas dari cekalan.

   Syukur Giok-kun keburu menubruk tiba, sinar perak berkelebat, kontan ia menusuk "King-tiau-hiat"

   Di bagian dengkul Sebun Bok-ya.

   "Kurangajar! Apa kau pun cari mampus!"

   Bentak Sebun Bok-ya dengan gusar, terpaksa ia tarik kembali tangannya dan angkat kakinya, serangan Giok-kun itu luput, sebaliknya pedang tertendang mencelat ke udara.

   Di pihak sana Cu Kiu-bok kembali mencengkeram pula ke batok kepala Oh-hong-tocu, mendadak Oh-hong-tocu menyemburkan darah segar lagi, dengan dahsyat ia menjotos ke depan, tenaganya mendadak bertambah kuat.

   Angin pukulan lawan itu dapat dirasakan Cu Kiu-bok, ia terkesiap, kalau saja cengkeramannya itu diteruskan, biarpun kepala Oh-hong-tocu pasti berlubang dan jiwa melayang, tapi dada sendiri pasti juga akan kena digenjot oleh kepalan Oh-hong-tocu dan jiwa pun sukar dipertahankan.

   Yakin pihaknya sudah pasti akan menang, mana Cu Kiu-bok mau mengadu jiwa dengan lawan? Cepat ia mengelak ke samping sambil mengejek.

   "Hm, kau mencari mampus sendiri dengan cara lebih singkat, rasanya aku pun dapat menghemat tenaga. He, he, Thian-mo-kay-teh-tay-hoat yang kau gunakan mungkin sudah sampai detik terakhir!"

   Terdengar tenggorokan Oh-hong-tocu mengeluarkan suara mengorok, kedua matanya merah berapi, tampaknya sedang menahan rasa derita yang luar biasa dahsyatnya, kulit daging pada mukanya juga berkerut-kerut seperti kejang.

   Sekonyong-konyong Oh-hong-tocu menubruk ke sana, kembali ia menyemburkan darah ke arah Sebun Bok-ya.

   Saat itu baru saja Sebun Bok-ya hendak merebut pedang Tio It-heng, tanpa terduga mukanya disembur oleh darah segar Oh-hong-tocu hingga terasa panas pedas.

   Seketika Sebun Bok-ya terpaksa memejamkan kedua matanya agar matanya tidak cidera.

   Pada kesempatan itulah Tio It-heng lantas menarik kembali pedangnya dari libatan lengan baju musuh dan melompat mundur.

   Pada saat yang sama Sebun Bok-ya lantas menghantam satu kali ke depan untuk menahan terjangan Oh-hong-tocu, berbareng ia sendiri pun melompat mundur.

   Waktu ia membuka mata, terlihat keadaan Oh-hong- tocu sangat mengerikan, mulutnya berbusa dan mata merah beringas seperti binatang buas yang kalap.

   "He, he, Thian-mo-kay-teh-tay-hoat yang kau keluarkan sudah tak berguna lagi, sebentar kau sendiri akan Cau-hwe-jip-mo, apakah kau ingin mampus lebih cepat?"

   Bentak Sebun Bok-ya. Mendadak Oh-hong-tocu mengeluarkan suara gerungan aneh, ia memukul dada sendiri sambil berteriak kalap.

   "Hayolah maju! Lekas kalian maju! Biarpun setan iblis juga aku tak gentar!" ~ Sambil berteriak dan meraung, ia terus memukuli dada dan perutnya sendiri. Tio It-heng menjadi kuatir.

   "He, Kiong-locianpwe, kenapa kau?" ~ Segera ia memburu maju hendak menarik orang tua itu. Tak terduga, baru saja tangan menyentuh tubuh Oh-hong-tocu, seketika ia tergetar mundur oleh tenaga dalam orang.

   "Lekas lari kau, lekas! Sebentar kau pun akan kumampuskan!"

   Demikian Oh-hong-tocu berteriak pula dalam keadaan antara sadar tak sadar.

   Kiranya keadaan Oh-hong-tocu sekarang dapat diibaratkan pelita yang kehabisan minyak, penyakit Cau-hwe-jip-mo yang diidapnya telah bekerja lebih cepat dari mestinya.

   Maklumlah, dalam keadaan kepepet ia telah menggunakan Thian-mo- kay-teh-tay-hoat, ilmu yang merusak ini menambah cepat kerjanya penyakit yang mengeram dalam tubuhnya itu.

   Karena bekerjanya penyakit Cau-hwe- jip-mo itu, saking menderitanya ia terus memukuli tubuh sendiri untuk sekadar mengurangi rasa sakit yang menyiksa itu.

   Keadaan yang menyeramkan itu sungguh sangat mencemaskan Giok-kun dan It-heng, malahan Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok juga merasa jeri melihat Oh-hong-tocu yang sudah kalap itu, serentak mereka melompat mundur jauh sehingga pertempuran sengit sementara terhenti.

   Kelihatan muka Oh-hong-tocu berkerut-kerut menahan sakit, mendadak ia berseru memohon.

   "Nona Hi, harap kau suka menolong aku, berikanlah suatu tusukan pedangmu padaku!"

   Akan tetapi Giok-kun menjadi gemetar malah, cepat It-heng memegangi tangan si nona.

   Pikiran Oh-hong-tocu mulai kabur, ia ingin memutus urat nadi sendiri untuk membunuh diri, tapi tenaga dalam sendiri ternyata sudah mulai buyar, ingin membunuh diri sudah tidak mampu pula.

   Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok merasa kuatir, pada detik mendekati ajalnya itu mendadak Oh-hong-tocu akan melakukan sesuatu serangan terakhir, sebab itulah mereka menyingkir sejauhnya dan menyaksikan musuh dalam keadaan sekarat, mereka pikir sebentar kalau Oh-hong-tocu sudah binasa, tentu tidak sukar untuk membereskan Giok-kun dan It-heng berdua.

   Terlihat Oh-hong-tocu mulai terkulai ke tanah sambil menghela napas panjang serta perlahan memejamkan mata.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara suitan panjang seorang, suaranya melengking nyaring menusuk telinga.

   Sebun Bok-ya terkejut, pikirnya.

   "Kuat benar tenaga dalam orang ini, entah siapa gerangan?"

   Cu Kiu-bok juga terkejut, cepat ia berseru.

   "Lekas kita bekuk dulu kedua bocah ini!"

   Nyata ia merasa kuatir kalau pendatang itu adalah musuh. Akan tetapi sudah terlambat, sebelum dia bertindak, tertampak dua sosok bayangan orang secepat terbang telah melayang tiba.

   "Jangan takut, ayah! Anak dan engkoh Bok yang datang!"

   Demikian terdengar seruan seorang anak perempuan.

   Kiranya kedua pendatang ini ialah Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun.

   Waktu Kim-hun berseru kepada ayahnya, pada saat lain Kong-sun Bok sudah lantas menggertak dengan suara menggelegar dan langsung menubruk ke arah Cu Kiu-bok.

   Waktu itu Cu Kiu-bok sedang bermaksud mencengkeram Hi Giok-kun, syukur Kong-sun Bok keburu tiba, suara gertakan Kong-sun Bok juga membikin hati Cu Kiu-bok tergetar, sedikit meleng cengkeramannya menjadi luput.

   Sementara itu terdengar suara angin dahsyat menyambar dari belakang, pukulan Kong-sun Bok sudah dilontarkan.

   Cepat Cu Kiu-bok membaliki tangan untuk menangkis.

   "bluk", kedua tangan beradu, Kong-sun Bok tergeliat sedikit, tapi Cu Kiu-bok laksana dipukul oleh martil, napas sesak dan darah bergolak di rongga dadanya, ia tergetar mundur dua-tiga tindak. Setahun yang lalu tenaga dalam Cu Kiu-bok terlebih kuat satu tingkat dibandingkan dengan Kong-sun Bok, tapi kini dia dalam keadaan payah, betapa pun ia tidak sanggup menahan tenaga pukulan Kong-sun Bok itu. Ia pikir jalan paling selamat adalah melarikan diri. Sekali hantam membikin Cu Kiu-bok tergetar mundur, sambil memutar tubuh segera Kong-sun Bok sudah menyiapkan Hian-tiat-po-san, payung pusaka itu terus disodokkan ke depan untuk menyambut Sebun Bok-ya yang sedang menerjang ke arahnya. Sebun Bok-ya sudah kenal kelihaian payung pusaka itu, cepat ia menghindar ke samping, berbareng ia memukul bagian iga lawan sambil berseru kepada Cu Kiu-bok.

   "Lekas bekuk dulu iblis tua calon mertua bocah ini!" ~ Sesungguhnya seruannya ini hanya bertujuan mengacaukan pikiran Kong-sun Bok saja, ia pikir kalau Cu Kiu-bok benar-benar dapat membekuk Oh-hong-tocu yang sudah tak berdaya itu, sudah tentu untung baginya, andaikan tidak berhasil sedikitnya juga dapat memaksa Kong-sun Bok berlari ke sana untuk membela bakal mertuanya, dengan demikian Sebun Bok-ya sendiri menjadi terbebas dari ancaman maut. Cu Kiu-bok menyadari maksud tujuan Sebun Bok-ya itu, segera ia melompat ke sana. Di luar dugaan mendadak Oh-hong-tocu telah pentang kedua tangannya sambil berkata dengan menyeringai seram.

   "Hayolah maju! Biarpun setan iblis juga aku tak takut padamu!"

   Melihat keadaan lawan yang beringas menakutkan itu, Cu Kiu-bok bergidik dan ragu untuk menerjang maju.

   Sedikit ayalnya itulah dengan cepat Hi Giok-kun, Tio It-heng dan Kiong Kim-hun bertiga sudah sempat menghadang di depannya.

   Sesudah mengadu tangan tadi Kong-sun Bok sudah merasakan kekuatan Cu Kiu-bok jauh berkurang daripada dahulu, maka ia yakin gabungan Kim- hun bertiga pasti cukup kuat untuk menghadapi Cu Kiu-bok.

   Segera ia pentang payung pusakanya dan diputar seperti kitiran, ia kurung Sebun Bok- ya di tengah bayangan payungnya.

   Keruan Sebun Bok-ya menjadi kelabakan malah, sama sekali tak diduganya bahwa Kong-sun Bok tidak meninggalkannya untuk menolong Oh-hong-tocu, sebaliknya kini malah menyerangnya dengan sepenuh tenaga.

   Merasa sukar untuk meloloskan diri, Sebun Bok-ya menjadi nekat, sekuatnya ia melancarkan serangan.

   Mendadak Kong-sun Bok memutar payungnya dan tangan yang lain menghantam disertai bentakan keras.

   "Ini, rasakan Hoa-hiat-to!"

   Sungguh tidak kepalang kaget Sebun Bok-ya, ia sendiri sudah payah, Hoa-hiat-to yang pernah diyakinkannya sudah dipunahkan oleh Bu-lim- thian-kiau, ia tahu betapa pun serangan Kong-sun Bok ini sukar ditahan, pikirnya ingin mengelak, namun sudah tidak keburu lagi.

   Terdengarlah suara "blang"

   Yang keras disusul dengan jeritan ngeri, tubuh Sebun Bok-ya mencelat ke udara laksana bola dan jatuh beberapa meter jauhnya.

   Sementara itu Cu Kiu-bok sudah merasakan gelagat jelek ketika dicegat Kiong Kim-hun bertiga, apalagi lantas terdengar suara jeritan Sebun Bok-ya, segera ia pura-pura menyerang kepada Kiong Kim-hun, ketika si nona berkelit, peluang itu segera digunakannya untuk lari.

   Segera Hi Giok-kun dan Tio It-heng mengudak ke sana.

   Sedangkan Kiong Kim-hun lantas merangkul tubuh Oh-hong-tocu dan digoyang-goyang sambil berseru.

   "Ayah, ayah! Inilah puterimu! Kenapakah engkau? Bicaralah lekas!"

   Pikiran Oh-hong-tocu ternyata sudah butek, dengan sendirinya ia berusaha menahan derita penyakit Cau-hwe-jip-mo yang menyiksa itu, seruan Kiong Kim-hun seperti tak terdengar olehnya. Waktu Kong-sun Bok mendekatinya, dengan terguguk Kim-hun berkata.

   "Engkoh Bok, kedatangan kita mungkin agak terlambat. Keadaan ayah sudah begini, lihatlah!"

   Cepat Kong-sun Bok memeriksa denyut nadi Oh-hong-tocu, lalu berkata.

   "Ya, kita memang datang rada terlambat, tapi masih ada harapan, jangan kuatir, adik Hun, biar kutolong dia!"

   Habis berkata ia gunakan kedua telapak tangannya untuk menempel punggung Oh-hong-tocu, ia salurkan tenaga murni sendiri ke dalam tubuh bakal mertuanya itu.

   Tidak lama kemudian tertampak muka Oh-hong-tocu yang tadinya berkerut-kerut itu mulai tenang kembali, air mukanya yang tadinya pucat juga mulai bersemu merah, maka legalah hati Kiong Kim-hun.

   Di sebelah sana Hi Giok-kun dan Tio It-heng sedang mengejar Cu Kiu- bok, mereka sempat melihat Sebun Bok-ya menggeletak di samping gunung- gunungan sana dengan mata dan hidung mengucurkan darah berbau amis, tubuh terkulai lemas tak bergerak lagi.

   "Iblis itu sudah mampus!"

   Seru Giok-kun kejut dan girang.

   "Lekas kembali, nona Hi! Musuh yang sudah kabur tak perlu dikejar lagi, kemarilah, ingin kubicara dengan kalian!"

   Seru Kong-sun Bok.

   Kiranya Kong-sun Bok telah menyalurkan tenaga dalam ajaran Bing-bing Taysu yang maha sakti itu sehingga semua urat nadi Oh-hong-tocu yang terganggu oleh kesalahan latihan ilmu berbisa itu dapat dilancarkan.

   Setelah jalan darah lancar kembali, rasa derita Oh-hong-tocu lantas hilang, perlahan ia dapat membuka matanya.

   Dengan girang Kiong Kim-hun berseru.

   "He, ayah sudah sadar!"

   Mesti sudah sadar, namun semangat Oh-hong-tocu masih loyo, masih lesu. Meski rasa derita badannya sudah leyap, tapi siksaan batinnya kini berbalik bertambah malah. Dengan suara lemah ia berkata.

   "Kalian sudah datang, anak Hun dan anak Bok, sungguh aku sangat girang. Tak tersangka aku masih dapat bertemu dengan kalian. Aku pun merasa malu, aku merasa berdosa kepada kalian!"

   "Ayah, engkau jangan bicara dulu, istirahatlah!"

   Kata Kim-hun. Oh-hong-tocu menghela napas panjang, lalu berkata pula.

   "Tidak, betapa pun aku harus bicara, kalau tidak, tentu hatiku semakin tertekan. Sia-sia hidupku selama ini, mengingat perbuatanku dahulu sungguh aku merasa malu. Anak Bok adalah menantuku yang baik, tapi beberapa kali aku berusaha mencelakai dia untuk merintangi perjodohan kalian, sebaliknya orang jahat seperti Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok malah kuanggap sebagai sahabat dan bergaul erat dengan mereka. Apabila anak Bok tadi tidak keburu datang tentu jiwaku sudah melayang di tangan mereka. Ai, sungguh aku sangat menyesal. Anak Bok, dapatlah kau memaafkan diriku?"

   "Ayah, kini kita adalah orang sekeluarga, asalkan engkau tidak tercidera, urusan yang sudah lampau buat apa disebut lagi?"

   Ujar Kong-sun Bok.

   Sekali memanggil "ayah", sungguh tidak kepalang hati Oh-hong-tocu terharu, bergirang dan malu pula, air mata pun bercucuran.

   Yang merasa gembira dan paling bahagia tentulah Kiong Kim-hun, ia mengusapkan air mata sang ayah dan berkata.

   "Benar, ayah, asalkan engkau insyaf, maka bereslah semuanya, buat apa urusan yang sudah lalu disebut lagi? Bagaimanakah keadaanmu sekarang?"

   "Sudah banyak lebih baik daripada tadi,"

   Jawab Oh-hong-tocu.

   "cuma bahaya Cau-hwe-jip-mo mungkin..... mungkin....."

   "Jangan kuatir, ayah!"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Apa pun juga pasti akan kusembuhkan engkau."

   Sementara itu Tio It-heng dan Hi Giok-kun juga sudah mendekati mereka. Giok-kun ikut bicara.

   "Kongsun-toako dan Kiong-cici, mengapa kalian juga datang ke tempatku ini, sungguh sama sekali tak kuduga."

   Seperti diketahui, ketika berpisah di Kim-keh-nia tempo hari, mestinya Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun bertujuan ke Tay-toh, Bu-lim-thian-kiau hendak melakukan suatu urusan penting di kotaraja Kim itu dan Kong-sun Bok ditugaskan oleh Hong-lay-mo-li ke sana untuk membantunya.

   Setelah menyelesaikan tugasnya itu, Kong-sun Bok bermaksud membawa Kiong Kim-hun pulang untuk menemui kakeknya serta Bing-bing Taysu, habis itu baru kembali ke kim-keh-nia.

   Siapa duga baru belasan hari berpisah, tahu- tahu mereka malah muncul di Pek-hoa-kok.

   "Teramat panjang untuk diceritakan,"

   Ujar Kiong Kim-hun.

   "biarlah nanti kalau keadaan ayah sudah rada baik tentu akan kuceritakan padamu."

   Tiba-tiba Giok-kun ingat sesuatu, katanya.

   "O ya, masih ada simpanan Pek-hoa-ciu di gudang, bisa jadi akan bermanfaat bagi paman Kiong."

   "Sesungguhnya aku justru hendak tanya arak itu padamu,"

   Kata Kong- sun Bok dengan tertawa.

   "Dengan bantuan arak obat itu disertai penyembuhan dengan tenaga dalamku, rasanya tidak sampai sepuluh hari penyakit ayah pasti dapat disembuhkan."

   Sampai di sini, mendadak Tio It-heng mendesis tertahan.

   "Ada apa?"

   Tanya Giok-kun.

   "Di luar seperti ada suara orang,"

   Kata It-heng.

   "Ya, aku pun mendengarnya, yang datang berjumlah tiga orang, rasanya seperti tokoh dunia persilatan,"

   Tukas Kong-sun Bok.

   "Eh, Hi-cici, harap engkau bantu memayang ayah Kim-hun ke dalam."

   "Entah yang datang ini kawan atau lawan,"

   Kata Giok-kun.

   "jika musuh....."

   "Kalian jangan kuatir, silakan masuk saja, apa yang terjadi di luar nanti kalian tidak perlu menggubris,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Hi-cici tak perlu kuatir,"

   Kim-hun ikut bicara.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "biarlah dia melayani sementara, kukira takkan terjadi sesuatu."

   Giok-kun rada heran, jika menurut nada ucapan Kiong Kim-hun ini, apakah mungkin masih ada datang lagi bala bantuan lain yang lebih kuat? Tapi urusan sudah mendesak, pula Oh-hong-tocu harus lekas dipindah, apalagi Kiong Kim-hun kelihatan sangat tenang, maka Giok-kun tidak bertanya lebih lanjut melainkan bersama Kiong Kim-hun memayang Oh- hong-tocu ke dalam gudang di bawah tanah itu serta diberi minum Pek-hoa- ciu.

   Setelah minum Pek-hoa-ciu, laksana rumput kering yang mendapatkan air hujan tepat pada saat hampir layu, serentak semangat Oh-hong-tocu lantas terbangkit kembali.

   Ia menghela napas dan kemudian berkata.

   "Sayang aku belum dapat mengerahkan tenaga, yang datang entah tokoh macam apa?"

   Kim-hun merasa lega melihat kesehatan sang ayah sudah mulai pulih, dengan tertawa ia menjawab.

   "Kita siap siaga menghadapi serbuan musuh, tapi bisa jadi yang datang bukanlah musuh, malahan mungkin adalah sahabat lama ayah."

   "Sahabat lamaku? Siapakah dia?"

   Tukas Oh-hong-tocu dengan heran.

   "Biarlah kumain teka-teki dahulu,"

   Ujar Kim-hun dengan tertawa.

   "Eh, Hi-cici, yang datang di luar itu berjumlah tiga orang, jika aku tidak salah terka, seorang di antaranya adalah sahabat lama ayahku dan dua orang lagi adalah kau punya....."

   "Aku punya apa?"

   Cepat Giok-kun menyela.

   "Kau punya kenalan baik tapi juga orang yang tak kau duga,"

   Ujar Kim- hun dengan tertawa.

   "Nah, sementara boleh coba kau menerkanya."

   Giok-kun melenggong, gumamnya.

   "Apakah mungkin ialah....."

   Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring tajam memekakkan telinga. Air muka Kiong Kim-hun tadinya berseri-seri itu mendadak berubah kaget demi mendengar suara itu.

   "Siapa itu yang datang?"

   Tanya Giok-kun kuatir.

   "Wah, aku telah salah terka!"

   Ujar Kim-hun. Air muka Oh-hong-tocu juga tampak berubah dan tanpa terasa ia berseru.

   "He, itulah suara Kiau Sik-kiang!"

   Di luar sana Kong-sun Bok yang sedang menantikan kedatangan orang juga rada terkejut ketika mendengar suara suitan yang tajam menusuk telinga itu, ia pikir jelas bukan suara suitan Le To-cu (Le Kim-liong), tapi tenaga dalam orang ini terang tidak kalah kuat daripada Le To-cu.

   Tio It-heng lantas melolos pedang dan berkata dengan menyeringai.

   "Tampaknya yang datang adalah musuh tangguh lagi!"

   Tiba-tiba Kong-sun Bok memegang tangan Tio It-heng, seketika suatu hawa panas tersalur ke tubuh It-heng melalui telapak tangannya, hanya sekejap saja hawa panas itu telah rata mengalir ke seluruh tubuhnya.

   Semangat Tio It-heng menyala seketika, ia tahu Kong-sun Bok telah bantu memulihkan tenaga murninya dengan lwekang yang maha sakti.

   Sungguh tak terkatakan rasa kejut dan kagum Tio It-heng, ia pikir.

   "Usianya bisa jadi lebih muda daripadaku, tapi lwekangnya ternyata sehebat ini dan jauh di atasku. Pantas Suhu sering berkata bahwa di atas langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai, kata-kata ini memang betul."

   Ketika suara suitan berjangkit terdengar masih jauh di luar taman, tapi begitu suara suitan berhenti, seketika di dalam taman muncul tiga orang.

   Seorang di antaranya bertubuh tinggi besar dan membawa senjata bentuk orang-orangan berkaki satu terbuat dari tembaga.

   Dua orang lagi adalah kakek-kakek, tiada sesuatu yang luar biasa, tapi suara suitan tadi justru disuarakan oleh salah seorang kakek itu.

   Dengan terkejut Tio It-heng berkata.

   "Agaknya yang datang ini adalah bajak terkenal Kiau Sik-kiang dan pembantu utamanya, Ciong Bu-pa?"

   "Benar, seorang lagi adalah Su Thian-tik,"

   Jawab Kong-sun Bok. Sama sekali Kong-sun Bok tak menduga sekaligus akan kedatangan tiga gembong iblis ini, mau tak mau ia rada kuatir juga. pikirnya.

   "Paling banyak aku cuma sanggup melawan Su Thian-tik dan Kiau Sik-kiang dengan sama kuat, jika saudara she Tio ini belum banyak membuang tenaga rasanya sanggup mengalahkan Ciong Bu-pa, tapi sekarang sukar diramalkan apa yang akan terjadi nanti, diharap saja semoga Le To-cu bisa lekas datang ke sini!"

   Agaknya suara suitan Kiau Sik-kiang tadi ada maksudnya, ketika tidak mendapat jawaban, segera ia berseru.

   "Gak-hujin!"

   Kiranya mereka bertiga telah digertak kabur oleh Le Kim-liong di Uh- seng.

   Kiau Sik-kiang adalah kenalan lama Gak-hujin dan diketahui pula Gak Liang-cun sedang mencari pembantu untuk melayani kerusuhan Hay-soa- pang, maka mereka bertiga sengaja datang ke Yang-ciu untuk bekerja pada Gak Liang-cun.

   Kini mereka ditugaskan Gak Liang-cun untuk mencari Gak- hujin, mereka tidak tahu bahwa Gak-hujin sudah gila dan entah menghilang kemana.

   "Di sana seperti ada orang,"

   Demikian Su Thian-tik berkata kepada Kiau Sik-kiang. Pada saat itu juga Kong-sun Bok lantas menampakkan diri dan membentak.

   "Le To-cu telah mengampuni kalian, tapi kalian tidak mau sadar dan sekarang berani melakukan kejahatan lagi?"

   "Aha, kiranya kau bocah ini!"

   Jengek Kiau Sik-kiang dengan tertawa.

   "He, he, Gak-hujin tak diketemukan, boleh juga kami bekuk kau sebagai gantinya."

   "Hm, memangnya Le Kim-liong mau apa?"

   Demikian Su Thian-tik ikut mengejek.

   "Apa kau sangka kami takut padanya? Huh, ketika di Uh-seng itu soalnya kami ingin membantu Oh-hong-tocu, hm, jika tahu Oh-hong-tocu bakal menjadi seperti sekarang ini, tentu pada waktu itu kami takkan mengampuni kau."

   Kong-sun Bok rada melengak, ia pikir apakah mereka sudah mengetahui keadaan Oh-hong-tocu sekarang? Apakah Cu Kiu-bok yang baru kabur itu memberitahu mereka? Segera terdengar Kiau Sik-kiang membentak pula.

   "Dimana Oh-hong- tocu, suruh dia keluar menemui aku. Hm, hutangnya di Oh-hong-to dahulu itu biar kubereskan sekarang juga dengan dia."

   "Hm, menghadapi kawanan bangsat macam kalian ini masakah perlu membikin repot Oh-hong-tocu?"

   Jengek Kong-sun Bok, sebisanya ia bersikap tenang.

   "Oh-hong-tocu sudah sekarat oleh Cau-hwe-jip-mo yang mulai berjangkit pada satu-dua hari yang lalu, andaikan bocah ini dapat menolongnya, dalam waktu singkat ini rasanya dia belum mampu berkutik,"

   Ujar Su Thian-tik.

   "Benar, silakan Su-toako mencari tua bangka itu dan biarlah kulayani bocah yang mencari mampus ini,"

   Kata Kiau Sik-kiang.

   Begitulah pertarungan sengit segera terjadi, pada saat yang sama Ciong Bu-pa juga lantas menerjang ke arah Tio It-heng.

   Sebenarnya Kong-sun Bok bergaya hendak menandingi Kiau Sik-kiang, tapi mendadak ia berputar, dengan cepat luar biasa tahu-tahu ia sudah menggeser ke depan Ciong Bu-pa.

   "Keparat, kau pun berani padaku!"

   Bentak Ciong Bu-pa gusar.

   Perawakannya jauh lebih tinggi daripada Kong-sun Bok, segera ia angkat Tok-kah-tong-jin (senjata orang-orangan tembaga berkaki satu) dan mengemplang sekuatnya sehingga dengan tepat membentur Hian-tiat-po-san yang ditangkiskan oleh Kong-sun Bok.

   "Trang", lelatu api bercipratan, Ciong Bu-pa yang bertubuh raksasa itu tergetar mundur beberapa tindak dan hampir saja jatuh terjengkang kalau saja Kiau Sik-kiang tidak keburu menahannya. Menyusul Kiau Sik-kiang juga lantas melancarkan pukulan dahsyat ke arah Kong-sun Bok. Tapi Kong-sun Bok telah pentang payung pusakanya dan diputar seperti kitiran, ujung payung yang tajam mengincar "Lau-kiong- hiat"

   Di tengah telapak tangan lawan.

   Cepat Kiau Sik-kiang menggeser ke samping, lalu menghantam pula.

   Kong-sun Bok juga lantas berputar, payung pusaka digunakan menangkis pula, betapa pun Kiau Sik-kiang tidak berani membentur payung itu, dengan gesit ia menghindar lagi.

   Di sana Tio It-heng juga menempur Ciong Bu-pa dengan seru, It-heng memutar pedangnya dengan kencang, setiap serangannya selalu mengincar tempat mematikan di tubuh musuh.

   Sebaliknya Ciong Bu-pa juga memutar Tok-kah-tong-jin dengan cepat, terdengar suara nyaring berulang-ulang, dalam sekejap saja boneka tembaga itu sudah penuh luka.

   Tangan Tio It-heng terasa pedas juga karena pedangnya membentur senjata lawan yang berat itu, namun serangannya tidak menjadi kendur, sedangkan kekuatan lawan pun kelihatan lemah.

   Rupanya gebrakan pertama yang dilakukan Kong-sun Bok atas Ciong Bu-pa tadi, tujuannya adalah untuk mengurangi tenaga musuh untuk meringankan beban Tio It-heng.

   Mendadak It-heng putar pedangnya sedemikian cepat sehingga sinar pedang gemerdep menyilaukan mata.

   Ciong Bu-pa menjadi gusar, bentaknya.

   "Kurangajar! Berani kau main gila padaku!"

   Berbareng boneka tembaga lantas mengepruk.

   Justru inilah yang diharapkan Tio It-heng, sambil berkelit mendadak pedangnya menyambar dari samping dan tepat melukai lengan kiri musuh.

   Ciong Bu-pa mengerang kesakitan, Tok-kah-tong-jin terus dilemparkan ke arah Tio It-heng.

   Cepat It-heng meloncat ke atas sehingga boneka tembaga yang berat itu menyambar lewat di bawah kakinya.

   Dengan kalap Ciong Bu-pa segera hendak menerjang pula meski darah bercucuran dari lukanya.

   Pada saat itulah mendadak Su Thian-tik menarik Ciong Bu-pa ke samping dan berkata.

   "Kau berjaga saja di sini, biar kubekuk bocah ini!"

   Kiranya Su Thian-tik yang disuruh mencari Oh-hong-tocu itu tidak pergi jauh dari taman itu, dia hanya melongok sekadarnya ke sana sini, betapa pun ia kuatir keadaan Oh-hong-tocu tidak seburuk sebagaimana dikatakan oleh Cu Kiu-bok, untuk mencari selamat sendiri ia tidak berani pergi jauh.

   Karena itu pada saat yang tepat ia dapat menggantikan kedudukan Ciong Bu-pa.

   Begitulah belum Tio It-heng turun ke bawah, segera Su Thian-tik menubruk maju dan mencengkeram.

   Terpaksa Tio It-heng berjumpalitan di udara, ia menukik dari atas dan pedangnya terus menusuk.

   Su Thian-tik tidak menduga ilmu pedang lawan bisa begitu lihai, keruan ia terkesiap, ia tak berani meremehkan musuh lagi, cepat ia mengelak ke samping, jarinya segera pula menjentik dan tepat mengenai batang pedang lawan.

   Kontan tangan Tio It-heng panas pedas, pedang hampir terlepas dari pegangannya.

   Sekali gebrak saja bagi kaum ahli segera akan tahu pihak lawan berisi atau tidak.

   Maka segera Tio It-heng mengetahui kepandaian lawan jauh lebih hebat daripada si raksasa she Ciong tadi.

   Namun It-heng tidak menjadi bingung dan gentar, begitu kaki menancap kembali di atas tanah, sambil menggeser pedangnya menusuk pula dengan gaya sempoyongan.

   Gerak tubuh It-heng sempoyongan seperti orang mabuk, tapi permainan pedangnya ternyata tidak menjadi kacau, bahkan bertambah lihai.

   Kiranya inilah ilmu pedang perguruannya dengan gaya "Cui-pat-sian" (delapan dewa mabuk) yang termasyhur itu.

   "Bagus! Kiranya kau ini murid To Pek-seng!"

   Bentak Su Thian-tik.

   di tengah sambaran sinar pedang lawan ia gunakan kepandaian bertangan kosong untuk merebut senjata musuh.

   Kepandaian tujuhpuluh dua jurus Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencengkeram dan menangkap) yang dimiliki Su Thian-tik juga terhitung kelas terkemuka di dunia persilatan, sekali pun dalam keadaan sehat juga Tio It-heng bukan tandingannya, apalagi sekarang Tio It-heng cuma tujuh atau delapan bagian kekuatan biasa, tentu saja ia tidak sanggup melawannya.

   Hanya belasan jurus saja dia sudah terdesak dan terancam bahaya.

   Lantaran Kong-sun Bok tadi juga sudah bertempur, kini ia pun mulai merasakan tenaga berkurang dan agak kewalahan.

   Merasa yakin pasti akan menang, dengan tertawa Kiau Sik-kiang berseru.

   "Nah, Kong-sun Bok, kenapa tidak lekas memanggil bapak mertuamu agar menolong jiwamu ini? He, he, Oh-hong-tocu, kenapa kau mengkeret saja seperti kura-kura, jika kau tidak lekas keluar, sebentar lagi anak perempuanmu pasti akan menjadi janda!"

   Kiau Sik-kiang menggunakan tenaga dalam untuk menyiarkan gelombang suaranya hingga dapat mencapai jauh, maka ucapannya itu dapatkah didengar oleh Oh-hong-tocu yang berada di gudang bawah tanah itu.

   Keruan tidak kepalang gusar Oh-hong-tocu hingga matanya mendelik.

   "Biar kukeluar untuk melabraknya!"

   Serunya dengan mengertak gigi sambil berdiri sekuatnya, akan tetapi kedua kaki ternyata tidak mau tunduk kepada keinginannya, baru saja berdiri kembali ia duduk terkulai lemas lagi.

   "Ayah, hendaklah engkau bersabar sementara!"

   Bujuk Kim-hun.

   "Jangan kau urus diriku, lekas kau keluar membantu anak Bok, jika sempat kalian melarikan diri saja,"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   "Jangan kuatir, ayah, tentu akan datang bala bantuan dan menolong engkoh Bok,"

   Jawab Kim-hun.

   "Tidak perlu kau mendustai aku,"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   "Tiada gunanya kau mendampingi aku di sini, akhirnya nanti juga akan diketemukan mereka, sebaiknya kau keluar membantu anak Bok saja."

   Sesungguhnya Kiong Kim-hun juga berkuatir walaupun mulutnya berusaha menghibur sang ayah, ia pikir kalau bala bantuan tidak datang tepat pada waktunya, sebentar lagi tentu bisa celaka semua.

   Syukurlah, pada saat Kim-hun gelisah dan cemas, tiba-tiba di luar sana terdengar pula suara suitan panjang seorang, suaranya tajam melengking.

   Suara orang ini sama sekali berbeda daripada suara suitan Kiau Sik-kiang tadi dan jelas terlebih kuat.

   Oh-hong-tocu melengak sekejap, segera ia pun bergirang dan berkata.

   "Anak Hun, agaknya kau tidak berdusta padaku, memang betul bala bantuan kita telah tiba, itulah Le To-cu sahabatku!"

   "Apakah Beng-sia-tocu Le Kim-liong?"

   Tanya Giok-kun.

   "Benar, Hi-cici,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Kim-hun dengan tertawa.

   "Kini aku pun dapat memberitahukan padamu, dengan datangnya Le To-cu, dua orang yang tak tersangka olehmu pasti juga ikut datang. "Siapakah mereka?"

   Tanya Giok-kun pula.

   "Kakakmu dan isterinya!"

   Kata Kim-hun.

   "Haya, apa betul?!"

   Seru Giok-kun kaget bercampur girang, tanpa bicara lagi ia terus berlari keluar.

   Saat itu Kong-sun Bok sedang menghadapi Kiau Sik-kiang dengan mati- matian, selagi Kiau Sik-kiang hendak melancarkan serangan maut untuk merobohkan pemuda itu, mendadak suitan Le Kim-liong berjangkit, dalam sekejap saja di tengah taman itu sudah muncul Le Kim-liong, malahan sebelah tangannya mengempit seorang tawanan pula.

   "Hm, kalian kawanan bangsat ini berani main gila di sini ya, hutangmu di Uh-seng dahulu itu memang sudah tiba waktunya untuk mengadakan perhitungan di sini,"

   Bentak Le Kim-liong.

   Orang yang terkempit olehnya itu kiranya bukan lain daripada Cu Kiu- bok yang melarikan diri belum lama berselang.

   Keruan kejut Kiau Sik-kiang dan Su Thian-tik tak terkirakan.

   Setelah berada di tengah taman, sekali pandang Le Kim-liong lantas melihat Sebun Bok-ya yang roboh binasa di pojok sana, dengan tertawa ia lantas berseru.

   "Ha, ha, Cu Kiu-bok, bolehlah kau menemani begundalmu itu!" ~ Berbareng ia terus melemparkan tubuh Cu Kiu-bok dan tepat jatuh menggeletak di samping tubuh Sebun Bok-ya. ENGAN menggerung gusar Ciong Bu-pa menerjang maju.

   "Hah, kerbau bengkak macam kau juga berani menandingi aku?"

   Jengek Le Kim-liong.

   Sedikit berjongkok dan kedua tangan mencengkeram ke depan, tanpa ampun tubuh Ciong Bu-pa yang besar itu kena diangkat.

   Percumalah tenaga Ciong Bu-pa yang biasanya besar laksana banteng itu, kini sama sekali tak dapat dikeluarkannya.

   "Pergi!"

   Bentak Le Kim-liong pula, tanpa bisa berkutik Ciong Bu-pa dilemparkan beberapa meter jauhnya dan terbanting dengan keras.

   "Le To-cu, boleh engkau bereskan bangsat she Su ini dahulu,"

   Seru Kong- sun Bok. Le Kim-liong melihat keadaan Tio It-heng memang lebih berbahaya daripada Kong-sun Bok, segera ia melangkah ke sana dan mendengus.

   "Hm, Su Thian-tik, barangkali kau sudah lupa kepada pembicaraanku di Uh-seng dahulu? Kau tidak pergi sejauhnya dan menghilang, sebaliknya malah berani main gila lagi di sini!"

   Terpaksa Su Thian-tik menjawab dengan lagak gentar.

   "Le Kim-liong, ketika di Uh-seng tempo hari aku sengaja mengalah padamu, memangnya aku takut padamu?"

   "Baik, mungkin kau belum kapok sebelum merasakan kelihaianku,"

   Kata Le Kim-liong.

   "Nah, silakan kau mundur dahulu, Tio-siauhiap, biar kulayani dia."

   Begitu Tio It-heng menyingkir, tanpa bicara lagi Su Thian-tik terus menubruk ke arah Le Kim-liong dengan kesepuluh jarinya yang terpentang laksana kaitan tajam.

   Namun dengan enteng saja Le Kim-liong dapat mematahkan serangan musuh.

   Diam-diam Tio It-heng merasa kagum terhadap kepandaian Le Kim- liong.

   Dalam pada itu mendadak datang pula dua orang secepat terbang, mereka adalah sepasang muda-mudi.

   Jilid 46 D Dengan girang Kong-sun Bok berseru.

   "He, Hi-toako dan nona Le, kalian juga datang semua!"

   Kiranya kedua pendatang ini adalah Hi Giok-hoan dan Le Say-eng yang datang bersama Le Kim-liong, karena Ginkang mereka lebih lemah, maka mereka tertinggal di belakang sampai di tempat tujuan.

   Waktu itu Ciong Bu-pa telah melompat bangun walaupun masih kesakitan karena dilempar oleh Le Kim-liong tadi, dengan tepat dia menghadapi Hi Giok-hoan berdua.

   Sambil pentang kedua tangannya segera ia mencengkeram Le Say-eng, ia pikir anak dara ini adalah puteri Le Kim- liong, kalau dapat menangkapnya akan berarti mendapatkan sandera yang berharga.

   Namun dengan gesit Le Say-eng dapat menghindarkan serangan Ciong Bu-pa, menyusul dia dan Giok-hoan sempat melolos pedang dan balas menusuk berbareng.

   Dalam keadaan menangkis sini dan menahan sana, tahu-tahu lengan Ciong Bu-pa tergores oleh pedang Giok-hoan.

   Melihat Giok-hoan berdua sudah di atas angin, legalah hati Tio It-heng, cepat ia berlari ke sana untuk membantu Kong-sun Bok.

   Namun Kiau Sik-kiang sungguh lihai, kedua tangannya menghantam sana sini, payung pusaka Kong-sun Bok disampuk ke samping, menyusul tusukan pedang Tio It-heng digetar melenceng dengan pukulan yang kuat.

   Sayangnya tenaga Tio It-heng telah susut, meski pedangnya berputar cepat, tapi sukar membobol pertahanan musuh.

   Walaupun begitu, dengan gabungan tenaga mereka berdua kini cukup kuat untuk menandingi Kiau Sik-kiang.

   Sementara itu Ciong Bu-pa sekuatnya berusaha menghadapi kerubutan Giok-hoan dan Le Say-eng, tapi sejenak pula ia tertusuk lagi dua-tiga kali, ia mengerang kesakitan, mendadak ia menubruk maju.

   Melihat orang menerjang dengan kalap.

   Le Say-eng coba menahannya dengan melintangkan pedangnya, tapi tanpa terasa ia pun menyingkir ke pinggir ketika melihat lawan menerjang dengan nekat.

   Terdengarlah "krek- krek"

   Dua kali, dua jari tangan Ciong Bu-pa tertabas putus oleh pedang Le Say-eng, tapi Ciong Bu-pa sempat lolos ke sana. Segera Le Say-eng bermaksud mengejar, tapi Giok-hoan telah mencegahnya dan berkata.

   "Orang dogol itu cuma anak buah dan bukan biang keladinya, kukira tidak perlu dikejar, biarkan saja!"

   "Aneh, mengapa tidak nampak Oh-hong-tocu?"

   Kata Say-eng.

   "Eh, siapakah yang keluar itu?"

   Waktu Giok-hoan berpaling ke sana, ia berseru terkejut bercampur girang.

   "He, adik Kun, kiranya kau sudah pulang?"

   "Ternyata benar kau, engkoh Hoan!"

   Seru Giok-kun.

   "Kiong To-cu dan adik Kim-hun berada di dalam, mereka tidak berhalangan."

   Dalam pada itu pertarungan sengit masih berlangsung, Le Kim-liong melawan Su Thian-tik sudah di atas angin, sedangkan Kong-sun Bok dan Tio It-heng berdua hanya sama kuat menandingi Kiau Sik-kiang.

   Giok-hoan tidak sempat bicara dengan adik perempuannya, segera mereka bertiga berlari ke sana untuk membantu Kong-sun Bok mengerubut Kiau Sik-kiang.

   Melihat gelagat jelek, segera Kiau Sik-kiang ingin mencari selamat dengan jalan kabur lebih dulu.

   Mendadak ia menggertak.

   "Siapa yang merintangi aku pasti mampus!"

   "Hm, ajalmu sudah di depan mata, berani kau membuka mulut besar?"

   Jengek Kong-sun Bok, berbareng payung pusakanya lantas mengepruk.

   Tapi Kiau Sik-kiang dapat mengelak ke samping, mendadak ia mencengkeram ke arah Hi Giok-kun.

   Di tengah sambaran angin pukulan dan bayangan pedang, tertampak Giok-kun melompat ke samping, sedangkan Kiau Sik-kiang tergeliat sempoyongan untuk kemudian lantas jatuh tersungkur.

   Kiranya sebelum Kiau Sik-kiang berhasil mencengkeram Giok-hoan, lebih dulu punggungnya telah kena disodok oleh payung pusaka Kong-sun Bok.

   Malahan menyusul sepasang pedang kakak beradik Hi Giok-hoan dan Hi Giok-kun lantas menusuk pula.

   Jika dalam keadaan biasa Kiau Sik-kiang tidak perlu gentar terhadap ilmu pedang keluarga Hi yang lihai itu, tapi kini dia harus menghadapi kerepotan, akhirnya lukanya bertambah luka pula, selain punggung disodok payung, iga dan perutnya juga tertusuk pedang.

   Tadi Giok-kun terpaksa melompat ke samping karena getaran tenaga pukulan Kiau Sik-kiang.

   Tio It-heng terkejut dan kuatir, cepat ia memburu maju untuk memeganginya dan bertanya.

   "Bagaimana kau, adik Kun?"

   "O, tidak apa,"

   Jawab Giok-kun, tanpa terasa tangan kedua orang pun berpegangan erat.

   Melihat kemesraan kedua orang itu, Le Say-eng dan Hi Giok-hoan yang sedang memburu ke sana menjadi merandek dan diam-diam bergirang bagi Giok-kun.

   Dalam pada itu Kiau Sik-kiang telah merangkak bangun, tampaknya hendak lari, tapi langkahnya sempoyongan dan segera jatuh terguling pula.

   Sekali ini dia tidak mampu berdiri lagi.

   Waktu Kong-sun Bok mendekatinya, ternyata Kiau Sik-kiang muntah darah dan tak bisa berkutik sama sekali.

   "Bangsat ini sudah mampus!"

   Kata Kong-sun Bok.

   Kini tinggal Su Thian-tik saja yang masih menempur Le Kim-liong dengan mati-matian.

   Ketika dia mendengar ucapan Kong-sun Bok bahwa Kiau Sik-kiang sudah binasa, keruan kagetnya tak terkatakan, ia menyerang satu kali dan segera putar tubuh hendak kabur.

   "Mau lari kemana?"

   Bentak Le Kim-liong.

   Ketika Su Thian-tik lewat di samping Tio It-heng dan Hi Giok-kun, segera Kong-sun Bok putar payungnya untuk mencegat.

   Tak terduga Su Thian-tik sangat licin, tampaknya dia berlari ke arah Tio It-heng berdua, tahu-tahu dia menyerang Le Say-eng.

   Syukur kepandaian Le Say-eng tidaklah lemah, sedikit mengegos dapatlah dia menghindarkan cengkeraman Su Thian-tik, dalam pada itu Hi Giok- hoan sudah lantas menerjang maju dan menusuk dengan pedangnya.

   Sudah tentu Su Thian-tik tidak berani terlibat lebih lama dalam pertarungan itu, secepat angin ia melompat ke sana melintasi gunung- gunungan.

   Kuatir puterinya terluka, Le Kim-liong memburu tiba, tapi Le Say-eng lantas berseru.

   "Aku tidak berhalangan, ayah, lekas kejar musuh!"

   Tanpa bicara lagi segera Le Kim-liong mengudak ke arah Su Thian-tik.

   Tatkala itu Su Thian-tik sudah hampir berhasil kabur keluar taman itu, dalam hati ia bergirang, ia pikir sekeluarnya dari taman ini tentu tidak takut akan kerubutan musuh lagi.

   Di luar dugaan, belum habis ia bersenang, mendadak sebelah kakinya terasa dipegang orang dengan erat.

   Kiranya Cu Kiu-bok yang kebetulan menggeletak di dekat gunung-gunungan itu.

   Cu Kiu-bok terluka parah dan belum mati, ketika tiba-tiba melihat Su Thian-tik berlari lewat di samping, tanpa pikir ia terus rangkul kaki Su Thian- tik dan memohon.

   "Tolong, Su-toako, bawa lari diriku Aduh!"

   Mendadak ia menjerit pula, lalu binasa.

   Kiranya Su Thian-tik menjadi gemas, ia sendiri sedang mencari selamat, mana mungkin memikirkan orang lain, maka sekali depak saja ia mampuskan kawan lamanya itu.

   Dalam pada itu Le Kim-liong telah menjemput Tok-kah-tong-jin, itu boneka tembaga milik Ciong Bu-pa yang tergeletak di tanah, sekuatnya ia sambitkan ke arah Su Thian-tik.

   Lantaran terhalang oleh Cu Kiu-bok tadi, belum Su Thian-tik sempat angkat kaki lebih jauh, mendadak terasa angin keras menyambar dari belakang, pikirnya hendak berkelit, namun sudah terlambat, punggungnya tertumbuk tepat oleh boneka tembaga itu, tanpa ampun ia jatuh terguling dengan sebagian punggung hancur dan seketika binasa.

   Semua musuh utama sudah mati, yang berhasil kabur hanya Ciong Bu- pa yang tidak banyak artinya, maka semua orang menjadi sangat girang.

   "Ha, ha, hari ini terhitung hari paling menyenangkan bagiku!"

   Seru Le Kim-liong dengan tertawa.

   "Sekarang bolehlah kujenguk sahabat lama."

   "Kiong To-cu berada di dalam gudang bawah tanah,"

   Tutur Giok-kun.

   "Dia mendapat bantuan Kongsun-toako, ia pun sudah minum Pek-hoa-ciu, penyakit Cau-hwe-jip-mo kini sudah dapat diatasi, mungkin tidak berbahaya lagi baginya."

   Setelah minum Pek-hoa-ciu dan istirahat sekian lama, keadaan Oh-hong- tocu memang sudah pulih sebagian. Ketika Le Kim-liong masuk gudang itu, ia sudah dapat berbangkit untuk menyambutnya.

   "Selamat, selamat! Dari celaka kau telah mendapatkan berkah, kini kau sudah sempurna benar,"

   Seru Le Kim-liong.

   "Terima kasih, Le-toako, aku menyesal tidak menurut nasehatmu dan hampir saja celaka,"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   Le Kim-liong lantas ceritakan seluk-beluk kedatangannya ini.

   Tio It-heng juga menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan kepada Hi Giok-kun sebabnya dia bisa muncul di sini.

   Melihat hubungan Tio It-heng dengan adik perempuannya yang begitu baik, Giok-hoan menduga mereka pasti bukan persahabatan biasa saja, diam- diam ia bergirang bagi adiknya itu.

   Dengan tertawa kemudian ia berkata.

   "Adik Kun, kau belum memperkenalkan diri kita ini, saudara ini....."

   "Dia she Tio, namanya It-heng,"

   Dengan muka merah Giok-kun memperkenalkan mereka.

   "Kami juga baru kenal, cuma dia sudah pernah menolong diriku dua kali. Gurunya adalah tokoh yang menggetarkan dunia Kang-ouw pada masa duapuluh tahun yang lampau, yaitu To Pek-seng, ia pun ada hubungan baik dengan Liu Beng-cu."

   "O, kiranya Tio-heng adalah murid To Pek-seng, pantas ilmu pedangmu begini lihai,"

   Ujar Le Kim-liong.

   "Melihat gaya ilmu pedangmu tadi sebenarnya aku pun sudah sangsi, seharusnya sejak tadi aku mesti dapat menerka asal-usulmu."

   "Kiranya Le To-cu adalah sahabat guruku?"

   Kata Tio It-heng.

   "Sungguh malang guruku meninggal di daerah Mongol, kisahnya biarlah nanti kuceritakan pula."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar To Pek-seng sudah meninggal, Le Kim-liong ikut berduka cita. Kemudian Giok-kun bertanya kepada Kong-sun Bok.

   "Kongsun-toako, bukankah engkau hendak pergi ke Tay-toh, mengapa kau pun datang ke sini, apakah kau takkan terlambat akan tugasmu di sana?"

   "Aku bertemu dengan Ang Pang-cu dari Hay-soa-pang dan terpaksa mengubah rencanaku secara mendadak dan datang ke sini,"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "Mengenai tugas di Tay-toh, karena janji pertarungan Bu-lim-thian-kiau dengan Wanyan Tiang-ci di sana masih ada waktu sebulan lagi, kukira dengan kuda tungganganku yang bagus ini masih keburu menyusul ke sana."

   "Walaupun begitu, kukira kau jangan terlalu lama tertahan di sini, sebaiknya besok juga kau dan anak Hun berangkat lagi ke sana,"

   Ujar Oh- hong-tocu.

   "Tapi kesehatan ayah belum pulih, mana boleh kutinggalkan pergi lagi?"

   Kata Kiong Kim-hun. Tiba-tiba Kong-sun Bok menyela.

   "Kalian jangan kuatir, akan kuuraikan kunci rahasia lwekang ajaran Bing-bing Taysu kepada ayahmu, sebelum berangkat akan kulancarkan pula urat nadinya dengan bantuan lwekangku, kukira selanjutnya penyakit ayah takkan menjadi soal lagi."

   Sungguh tidak kepalang girang Oh-hong-tocu, serunya.

   "Anak Bok, kau bukan saja menantuku yang baik, bahkan kau adalah penolong jiwaku."

   "Baiklah, sekarang juga kumohon Hi-cici suka memberi pinjam sebuah kamar, kukira satu hari cukuplah bagiku,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kita berkumpul di sini, kukira dalam waktu singkat Gak Liang-cun pasti akan mendapat laporan dan segera tempat ini akan digerebek,"

   Ujar Le Kim- liong.

   "Maka besok juga sebaiknya kita meninggalkan sini, apakah kalian kakak beradik masih ada urusan yang perlu dibereskan?"

   Giok-kun tersadar, jawabnya.

   "Urusan sih tidak ada, cuma Liu Beng-cu mengutus aku menemui pimpinan Hay-soa-pang, urusan ini harus kuselesaikan sebelum kutinggalkan rumah."

   Le Kim-liong mengerut kening, katanya.

   "Tapi letak pangkalan Hay-soa- pang di Ang-tik-oh ada lebih seratus lie dari sini, dalam sehari mungkin tak dapat pulang pergi bagimu?"

   "Jangan kuatir,"

   Tiba-tiba Kong-sun Bok menimbrung.

   "bila perlu akan aku pinjamkan kudaku, jarak ratusan lie dalam satu hari kukira bukan soal lagi."

   Giok-kun menyatakan terima kasih, malahan Tio It-heng lantas menyatakan hendak mengiringi Giok-kun.

   Tentu saja Giok-hoan bergirang dan tak perlu kuatir lagi bagi keselamatan adik perempuannya.

   Sementara itu fajar sudah menyingsing, segera Giok-kun dan It-heng berangkat dengan kuda pinjaman dari Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun langsung menuju markas Hay-soa-pang di tepi danau Ang-tik-oh.

   Kuda pinjaman itu sungguh bagus dan cepat, hanya dua-tiga jam saja dari jauh sudah kelihatan air danau Ang-tik-oh yang beriak menghijau bening, jaraknya dengan markas Hay-soa-pang sudah dekat hanya duapuluh- tigapuluh lie lagi sudah sampai.

   Selagi Giok-kun dan It-heng melarikan kuda mereka dengan cepat, mendadak kelihatan di depan sana ada cahaya api disertai suara riuh ramai manusia dan ringkikan kuda, dipandang dari jauh samar-samar kelihatan pada sebuah teluk yang teraling oleh rumput alang-alang di depan sana penuh dengan bayangan manusia.

   "He, apakah Hay-soa-pang sedang bertempur dengan pasukan pemerintah?"

   Ujar Tio It-heng heran.

   "Bagus, jika begitu kedatangan kita ini sangat kebetulan,"

   Kata Giok-kun. Mereka mempercepat lari kuda dan menyusuri sebuah bukit kecil, tiba- tiba di balik bukit sana berkumandang suara beradunya senjata. Terdengar pula suara seorang perempuan tua sedang membentak.

   "Aha, kau kepergok olehku di sini, boleh juga kubinasakan kau sebagai ganti jiwa bocah she Tio itu!"

   Giok-kun terkejut, ia mengenali suara perempuan itu, katanya.

   "He, bukankah itu suara Gak-hujin, siapa yang hendak dibunuhnya?"

   Cepat Tio It-heng membelokkan kudanya menerjang ke arah bukit.

   Sesudah dekat, betul juga orang yang bersuara itu memang Gak-hujin adanya, lawannya adalah seorang lelaki dan seorang perempuan.

   Yang lelaki bersenjata golok dan yang perempuan memakai pedang.

   Kepandaian kedua orang itu ternyata tidak lemah dan menempur Gak- hujin dengan tangkas walaupun kelihatan Gak-hujin sedikit lebih unggul.

   It-heng menjadi heran.

   "Aneh, mengapa Gak-hujin sudah sembuh dari penyakit gilanya?"

   Mendadak terlihat wajah Gak-hujin berubah beringas, rambutnya yang panjang terurai, sifat gilanya tampak kumat lagi, tongkatnya menyabet serabutan sambil menjerit dan berteriak akan membalas sakit hati suaminya yang pertama.

   Kedua lawannya kelihatan terdesak mundur dan beberapa kali hampir termakan tongkat Gak-hujin.

   "Suamiku yang baik, jika arwahmu tahu, lindungilah supaya aku dapat membalaskan sakit hatimu dengan membunuh puteri dan menantu To Pek- seng ini!"

   Seru Gak-hujin pula dengan beringas, berbareng tongkatnya lantas mengemplang dengan dahsyat.

   Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir lagi Tio It-heng lantas menerjang maju, ketika menyelinap lewat di samping lelaki itu, dengan perlahan ia berkata.

   "Ciok-suheng, biarlah aku dan Suci melayani perempuan gila ini!"

   Karena datangnya Tio It-heng yang tak terduga serta ucapannya itu, lelaki itu sangat heran dan bergirang pula. Pikirnya.

   "Darimanakah mendadak muncul seorang Sute seperti ini?"

   Dalam pada itu terdengarlah suara nyaring beradunya senjata, kiranya gerak pedang Tio It-heng telah bekerja sama dengan serangan perempuan tadi dengan sangat bagus, daya tekanan mereka serentak bertambah lipat, hanya sekejap saja tongkat Gak-hujin telah ditangkis beberapa kali, semua serangan Gak-hujin dapat dipatahkan, bahkan Gak-hujin didesak mundur beberapa tindak.

   "He, darimana kau belajar ilmu pedang perguruan kami?"

   Seru perempuan itu heran.

   "To-suci, kita usir dulu perempuan gila ini, nanti kuceritakan,"

   Jawab It- heng. Mendadak terdengar Gak-hujin berteriak kalap.

   "Bagus, bocah she Tio, kau pun datang lagi untuk mencari mampus!"

   Tapi meski dia menyerang dengan lebih dahsyat, namun gabungan pedang Tio It-heng dan kakak perguruannya itu dapat mematahkannya, bahkan tongkatnya tidak mampu terlepas dari lingkaran pedang mereka.

   "Gak-hujin,"

   Seru Tio It-heng.

   "suamimu dahulu itu tidak terbunuh oleh guruku, dalam pertarungan itu suamimu memang terluka, tapi guruku juga terluka, mengapa kau tidak berpikir secara sehat?"

   "Persetan!"

   Teriak Gak-hujin.

   "Jika bukan lantaran terluka, masakah suamiku bisa tewas di tangan beberapa bangsat itu?"

   "Hm, setelah kau kawin lagi dengan Gak Liang-cun, musuhmu sudah kau bunuh semua, tapi kau malah bertambah jahat dan banyak membunuh orang yang tak berdosa,"

   Jengek It-heng.

   "Kini hendak menuntut balas lagi kepada siapa? Puterimu sudah mati, kau kan masih ada seorang menantu, mengapa kau tidak mengakui dia sebagai menantu? Padahal keponakan kesayanganmu, yaitu Ubun Tiong, sudah lama mampus, mengapa kau tidak mau mencari dan bergabung dengan menantumu yang baik itu?"

   Namun Gak-hujin tidak mau sadar, ia menyerang terlebih ganas lagi.

   "Perempuan gila ini tidak dapat diajak bicara secara baik, buat apa banyak omong dengan dia,"

   Kata sang Suci.

   "Dia sendiri yang cari mampus, kita bereskan dia saja."

   Begitulah ketika gabungan pedang mereka mulai melancarkan serangan balasan, keruan Gak-hujin tidak mampu menahan ilmu pedang yang lihai itu, hanya sekejap saja tubuhnya sudah bertambah beberapa luka.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar orang berseru dari kejauhan.

   "Hu-jin, lekas kemari, lekas! Tolonglah diriku!"

   Dari atas bukit sana ternyata muncul beberapa orang, yang lari paling depan adalah bupati Yang-ciu, yaitu Gak Liang-cun serta seorang perwira pembantunya, sedang yang mengejar di belakang mereka adalah pimpinan Hay-soa-pang.

   Dengan girang kakak perguruan Tio It-heng berseru.

   "Ciok-toako, lekas kau bantu kawan Hay-soa-pang itu menangkap pembesar busuk itu, perempuan gila ini boleh serahkan padaku dan Sute."

   Walaupun ia belum tahu asal-usul Tio It-heng, tapi dari ilmu pedang yang dimainkannya ia yakin orang memang betul adalah Sutenya sendiri.

   Lelaki itu percaya kepada omongan sang isteri, ia mengiakan, dengan golok terhunus segera ia memburu ke sana untuk mencegat Gak Liang-cun.

   Mendadak Gak-hujin menggerung sekerasnya, tongkatnya menghantam dengan kuat.

   Cepat It-heng dan sang Suci menangkis dengan pedang mereka, dengan gaya mengacip, tongkat lawan kena dikacip kutung menjadi dua.

   Gak-hujin melempar tongkatnya yang patah dan sempat menerobos ke sana.

   "Awas, Toako!"

   Seru Suci Tio It-heng kepada teman lelakinya tadi.

   Kiranya Gak-hujin berlari ke arah Gak Liang-cun, padahal waktu itu si lelaki sudah berhasil menghalangi jalan lari Gak Liang-cun dan sedang bertempur melawan perwira pengawal Gak Liang-cun.

   Dalam keadaan kepepet, Gak Liang-cun menjadi girang ketika melihat Gak-hujin berlari tiba, cepat ia berseru pula.

   "Lekas tolong diriku, Hu-jin! Lekas!"

   Terdengar Gak-hujin berteriak kalap.

   "Puteriku sudah mati, keponakanku juga sudah modar, siapa lagi sanak keluargaku yang masih ada di dunia ini? Memang benar ucapan bosah she Tio ini, dosaku teramat banyak, kepada siapa harus kutuntut balas?" ~ Sambil berteriak ia pun terus berlari ke arah Gak Liang-cun. Gak Liang-cun sendiri dalam keadaan kepepet, dia berharap sang isteri dapat menolongnya, tapi ia menjadi kaget ketika melihat keadaan isterinya yang sinting dan mengoceh tak keruan itu. Cepat ia berseru.

   "He, Hu-jin, sadarlah, akulah suami, kenapakah kau?"

   Namun cepat sekali Gak-hujin telah melayang tiba, sekali cengkeram Gak Liang-cun kena dipegangnya, bentaknya gusar.

   "Ngaco belo! Siapa isterimu? Kau telah membantu aku membalas sakit hati, aku pun telah membantu kau naik pangkat dan menjadi kaya, selama berpuluh tahun ini kau sudah cukup hidup mewah, maka di antara kita tiada lagi yang hutang budi. Lekas kau enyah dari sini!"

   Mendadak Gak-hujin mengangkat tubuh Gak Liang-cun terus diputar dengan cepat, habis itu terus dilemparkan sekuatnya.

   Tanpa ampun tubuh Gak Liang-cun melayang ke sana dengan kepala di atas dan kaki di bawah, jatuhnya tepat kepalanya membentur sepotong batu besar sehingga batok kepala pecah berantakan, sambil menjerit ngeri, melayanglah jiwa Gak Liang-cun.

   Gak-hujin bergelak tertawa sambil berteriak.

   "Ha, ha, ha! Kini bereslah segalanya, dapatlah aku menyusul suamiku di alam baka!"

   Mendadak darah segar tersembur dari mulutnya, tubuhnya lantas terkulai dan menghembuskan napasnya yang terakhir, kiranya dia telah membunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri.

   Perwira yang menempur si lelaki setengah umur tadi menjadi ketakutan setengah mati, ia pura-pura menyerang sekali, lalu angkat langkah seribu.

   Segera lelaki itu hendak mengejar, tapi isterinya dan Tio It-heng telah memburu tiba dan mencegah.

   "Biang keladinya sudah mati, biarlah dia kabur!"

   Sementara itu kedua orang yang mengejar Gak Liang-cun dari balik bukit tadi pun sudah datang, Giok-kun sangat girang setelah mengenali kedua orang itu, serunya.

   "Juragan Sun dan juragan Lau, kiranya kalian juga berada di sini!"

   Kedua orang ini adalah Sun Cu-ki dan Lau Keng yang dahulu pernah menyatroni kabupaten Yang-ciu bersama Giok-kun. Sun Cu-ki dan Lau Keng memberi hormat kepada Giok-kun, lalu memberi hormat pula kepada perempuan setengah umur tadi, katanya.

   "Maaf atas keteledoran penyambutan kami atas kedatangan To Ce-cu."

   Kemudian barulah Giok-kun mengetahui bahwa perempuan setengah umur ini adalah To Hong. Ce-cu Long-sia-san sekarang, ialah puteri To Pek- seng. Sedangkan lelaki setengah umur itu adalah Ciok Bok, suami To Hong.

   "Sayang kepandaianku terlalu rendah sehingga antek Gak Liang-cun tadi berhasil kabur,"

   Ujar Ciok Bok dengan kikuk.

   "Agaknya Ciok-toako tidak tahu bahwa perwira itu bukanlah antek Gak Liang-cun, dia terhitung salah satu jago terkemuka dari tiga jago pasukan pengawal kerajaan Kim, yaitu Kim Kong-jan,"

   Tutur Sun Cu-ki.

   "Jika bukan dirintangi dia, tadi kami pasti berhasil membekuk Gak Liang-cun."

   "Sungguh sangat kebetulan, begitu datang kami lantas memergoki kalian bertempur dengan musuh,"

   Kata To Hong dengan tertawa.

   "Pembesar celaka ini mengantar jiwa sendiri ke sini,"

   Ujar Sun Cu-ki dengan senang.

   "Konon kedatangannya ini hendak mencari isterinya, dia tidak tahu daerah ini adalah wilayah kekuasaan Hay-soa-pang kami."

   Kiranya Gak Liang-cun mendapat laporan tentang keadaan sang isteri yang kurang waras itu, dengan perasaan sangsi segera ia membawa anak buahnya untuk mencari isterinya.

   Sebenarnya ia pun tahu di luar kota telah dikuasai oleh Hay-soa-pang, hanya tidak diketahuinya tempat markas Hay- soa-pang itu.

   Ia membawa satu regu perajurit pilihan, ditambah lagi Kim Kong-jan yang kebetulan berada di Yang-ciu dan bersedia mengiringi kepergiannya, karena merasa cukup kuat, maka Gak Liang-cun berani memburu sampai di tepi danau Ang-tik-oh.

   Di situ mereka terkepung oleh pasukan Hay-soa-pang dan dapat dihancurkan, hanya Gak Liang-cun dan Kim Kong-jan saja yang berhasil membobol kepungan, tapi akhirnya yang satu mati dan yang lain kabur.

   Begitulah setelah Sun Cu-ki menuturkan apa yang telah terjadi, kemudian ia coba pasang kuping mendengarkan dengan cermat, lalu berkata.

   "Pertempuran di sana agaknya sudah berakhir. Jika To Ce-cu tidak menolak, harap sudi mampir dulu di tempat kami sana. Begitu pula nona Hi berdua juga silakan singgah dahulu."

   "Justru ada sedikit urusan yang perlu kubicarakan dengan Lo Pang-cu kalian, sebelumnya kami tidak memberi kabar, jadi kedatangan kami ini sesungguhnya terlalu sembrono,"

   Ujar To Hong. Giok-kun juga lantas menyatakan bahwa kedatangannya justru ingin bicara dengan Pang-cu mereka.

   "O ya, agaknya masih perlu kukenalkan Suteku ini, tapi sebenarnya aku sendiri pun belum mengetahui siapa nama Suteku ini,"

   Kata To Hong. Sun Cu-ki dan Lau Keng tercengang heran, sejak tadi mereka tidak tahu To Hong datang pula bersama seorang Sutenya. Dengan tertawa Tio It-heng lantas memperkenalkan dirinya.

   "Aku bernama Tio It-heng dan baru sekarang bertemu dengan Suci dan Suheng untuk pertama kalinya."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu sambil menuju ke markas Hay-soa-pang, di tengah jalan Tio It-heng sempat menceritakan asal-usulnya kepada sang Suci.

   "Kiranya kau adalah murid terakhir ayah, pantas ilmu pedangmu begini hebat, tadi juga berkat bantuanmu,"

   Kata To Hong.

   "Cuma harus kusesalkan, sudah sekian bulan kau pulang ke Tiong-goan sini, mengapa selama itu kau tidak menemuiku?"

   "Harap Suci suka memberi maaf, soalnya aku harus berkunjung ke Kim- keh-nia lebih dahulu untuk suatu urusan penting yang lain,"

   Kata It-heng. ~ Lalu ia pun menuturkan kejadian di Kim-keh-nia itu.

   "O, selama belasan hari kau bersembunyi di Kim-keh-nia, apakah kau belum bertemu dengan Hong-lay-mo-li?"

   Tanya To Hong pula.

   "Meski belum bertemu, tapi maksud Lu-lihiap sudah kuketahui,"

   Jawab It-heng.

   "Nona Hi ini berada di Kim-keh-nia, dia adalah pembantu kepercayaan Liu-lihiap."

   Maka To Hong lantas bertanya kepada Giok-kun.

   "Nona Hi, apakah Liu Ce-cu pernah membicarakan diriku dengan kau? Bagaimana maksudnya?"

   "Ya, Liu Beng-cu memang sering bicara dengan kami mengenai kalian, cuma sayang selama ini belum sempat mengadakan hubungan,"

   Jawab Giok- kun.

   "Liu Beng-cu sangat mengharapkan kerja sama yang erat dengan To Ce- cu untuk menghadapi musuh, untuk ini entah bagaimana pikiran To Ce-cu sendiri?"

   "Justru begitu pula maksud kedatanganku ini,"

   Kata To Hong dengan tertawa.

   "Adik Hi, aku lebih tua beberapa tahun daripadamu jika engkau tidak menolak, selanjutnya boleh kau panggil aku Cici saja."

   Giok-kun sangat girang karena maksud tujuan Hong-lay-mo-li yang ingin berserikat dengan pihak Long-sia-san di bawah pimpinan To Hong kini dapat dicapai tanpa susah payah lagi.

   Begitulah setiba di markas Hay-soa-pang, mereka disambut dengan hangat oleh Lo Uh-hong, Pang-cu Hay-soa-pang.

   Dengan gembira Lo Uh-hong menyatakan selamat datang kepada To Hong dan Giok-kun berempat, ia pun mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka yang telah membinasakan Gak Liang-cun dan isterinya.

   Akan tetapi dengan rendah hati To Hong menjelaskan bahwa kematian Gak Liang-cun itu bukanlah terbunuh olehnya, begitu pula Gak-hujin.

   "Bagaimana pun yang jelas jasa bantuan kalian tidaklah sedikit bagi kami, ini harus dirayakan dengan meriah,"

   Ujar Lo Uh-hong.

   Tapi Hi Giok-kun lantas menjelaskan bahwa mereka berdua tidak dapat tinggal lama di situ, karena mereka masih harus kembali ke Pek-hoa-kok, begitu pula To Hong menyatakan ingin ikut Giok-kun pergi ke Kim-keh-nia.

   Secara singkat Giok-kun lantas menceritakan pula apa yang terjadi di Pek- hoa-kok.

   "O, kiranya Kongsun-siauhiap dan Oh-hong-tocu juga berada di tempatmu, sungguh sayang aku tak dapat menemui beliau,"

   Ujar Lo Uh- hong.

   Kemudian Giok-kun lantas berunding seperlunya sebagaimana ditugaskan oleh Hong-lay-mo-li.

   Selesai bicara baru Giok-kun akan mohon diri, Lo Uh-hong minta dia menunggu sebentar dan akan menjamunya sekadar tanda terima kasihnya, selain itu ia pun mengatakan ada seorang kawan ingin bertemu dengan Giok-kun.

   Giok-kun rada heran siapakah gerangan yang dimaksud.

   Tidak lama kemudian, sedang mereka makan minum, masuklah seorang lelaki gemuk.

   Kiranya dia ini adalah An Toh-seng, itu saudagar obat-obatan.

   Setelah kejadian di tepi Hong-ho, dimana bahan obat yang dibawanya hampir dirampas musuh kalau tidak ditolong oleh Kong-sun Bok dan Sin Liong-sing.

   Setelah obat-obatan itu diantar ke Kim-keh-nia, An Toh-seng ditugaskan pula oleh Hong-lay-mo-li mengantar obat ke Hay-soa-pang sini, sebab itulah dia tidak mengetahui bagaimana urusan selanjutnya dengan Kong-sun Bok dan Sin Liong-sing.

   Mengetahui Kong-sun Bok berada di Pek-hoa-kok, An Toh-seng minta Giok-kun suka menyampaikan hormatnya kepada pemuda itu, katanya pula.

   "Mengenai Sin-siauhiap, sebenarnya kami ada sesuatu urusan dengan dia. Apakah nona Hi kenal baik dengan dia?"

   An Toh-seng bukanlah tokoh terkemuka dunia Kang-ouw, pula tugasnya selalu bekerja di kalangan dagang selundupan, maka dia tidak tahu bahwa Giok-kun pernah menjadi isteri Sin Liong-sing. Muka Giok-kun rada merah, ia menjawab dengan sedikit kikuk.

   "Ya, aku cukup kenal baik dia. Cuma Sin-siauhiap sudah pulang ke Kang-lam, urusan apa kau ingin mencari dia, dapatkah kau ceritakan padaku."

   "Ingin kuberi sesuatu hadiah padanya sekadar balas budi kebaikannya yang telah menyelamatkan diriku,"

   Tutur An Toh-seng.

   "Selang beberapa hari lagi aku harus bertugas ke daerah utara, untuk sementara mungkin takkan kembali ke Kim-keh-nia."

   "Ah, kita kan sama-sama orang sendiri, bantuan Sin-siauhiap itu adalah kewajibannya, kenapa pakai hadiah balas budi segala?"

   Ujar Giok-kun tertawa.

   "Tapi hadiahku ini adalah semacam barang yang sangat berguna bagi Sin- siauhiap,"

   Kata An To-seng.

   "Akan kuberi sejenis obat salep yang sangat mujarab untuk menumbuhkan daging baru, bekas luka yang parah, asal diberi salep ini akan segera timbul daging baru sehingga bekas luka itu akan lenyap tanpa bekas lagi."

   "O, jadi kau bermaksud menyembuhkan codet pada muka Sin Liong-sing itu?"

   Kata Giok-kun.

   "Ya, sebenarnya Sin-siauhiap adalah pemuda yang cakap, karena bekas luka di mukanya itu, tentu hatinya sangat sedih, apabila wajah aslinya dapat dipulihkan seperti semula, maka setimpal sekali dengan isterinya yang cantik itu,"

   Kata An Toh-seng dengan tertawa.

   Lalu An Toh-seng menitipkan sebuah kotak kecil obat salep untuk Sin Liong-sing.

   Giok-kun menerima kotak obat itu dengan rasa senang dan pilu pula, bukannya dia terkenang kepada Sin Liong-sing, tapi menyesali nasibnya sendiri.

   "Baiklah, Sin-siauhiap pasti akan kembali lagi ke Kim-keh-nia dan titipanmu ini tentu akan kuserahkan padanya,"

   Kata Giok-kun kemudian.

   "Lo Pang-cu, kiranya sudah waktunya kami harus mohon diri."

   To Hong tidak ingin bertemu Oh-hong-tocu, maka ia tidak ikut bersama Hi Giok-kun, ia hanya berjanji akan bergabung di persimpangan jalan ke Kim-keh-nia sana. Di tengah perjalanan pulang itu, tiba-tiba Tio It-heng berkata kepada Giok-kun.

   "Suka duka orang hidup memang seringkali terjadi di luar dugaan. Konon bakal isteri Sin Liong-sing adalah puteri Ki We, Sin Liong- sing sendiri adalah murid pewaris Bu-lim-beng-cu Bun Yat-hoan di daerah Kang-lam, sedangkan Ki We dahulu terkenal sebagai momok di dunia Kang- ouw, perjodohan mereka sesungguhnya di luar dugaan siapa pun."

   "Benar, orang hidup seperti mimpi, banyak kejadian seringkali tidak pernah tersangka sebelumnya,"

   Jawab Giok-kun.

   "Memang, sebelum ini tak pernah kubayangkan akan dapat berkenalan dengan kau,"

   Ujar It-heng.

   "Tio-toako, ingin ku....."

   Mendadak Giok-kun urungkan ucapannya.

   "Apa yang hendak kau katakan? Meski perkenalan kita belum lama, tapi bagiku engkau seperti sahabatku yang sudah lama kukenal."

   Giok-kun sangat terharu, katanya.

   "Tio-toako, memang ada sesuatu persoalan ingin kukatakan padamu, yakni mengenai mengenai segala urusan diriku di masa lampau."

   Lalu berceritalah Giok-kun mengenai semua pengalaman dan nasibnya di masa lalu. Selesai menutur, muka Giok-kun sudah penuh air mata. Dengan suara perlahan Tio It-heng menanggapi.

   "Adik Kun, kau pernah menjadi isteri nama kosong Sin Liong-sing, hal ini sudah lama kuketahui. Begitu banyak pengalamanmu yang tidak beruntung itu, aku pun ikut sedih bagimu. Tapi jangankan kau cuma isteri secara nama kosong saja, sekali pun suami-isteri sungguhan, kalau watak keduanya tidak cocok dan terpaksa harus berpisah, bagiku kau akan tetap seorang nona yang pantas dihormati, aku..... aku....."

   Melihat rasa kikuk cara bicara Tio It-heng itu, Giok-kun merasa geli juga dan cepat mendesak.

   "Sesungguhnya apa yang hendak kau katakan, ucapkanlah!"

   Dengan penuh arti It-heng memandang sekejap pada Giok-kun, lalu berkata.

   "Tanpa kuutarakan isi hatiku tentu kau pun sudah paham. Aku aku berharap dapat mendampingi kau untuk selamanya dan....."

   "Sudahlah,"

   Cepat Giok-kun memotong.

   "kupaham maksudmu, kukira tidak perlu kau katakan lagi."

   "Jadi..... jadi kau sudah setuju?"

   It-heng menegas dengan kegirangan.

   Giok-kun menunduk malu tanpa menjawab.

   Tanpa terasa tangan kedua orang saling genggam dengan kencang.

   Tanpa jawaban si nona pun Tio It- heng sudah tahu apa artinya itu.

   Pulang sampai di rumah, sementara itu Oh-hong-tocu sudah hampir sehat kembali.

   Kong-sun Bok juga sudah mengajarkan inti lwekang ajaran Bing-bing Taysu kepada bakal ayah mertuanya itu.

   Mereka sedang menantikan pulangnya Giok-kun berdua.

   Maka mereka pun sangat gembira sesudah mendapatkan laporan Giok-kun.

   Begitulah setelah segala sesuatu diatur beres, Le Kim-liong lantas tinggal di Pek-hoa-kok untuk menemani Oh-hong-tocu, Giok-hoan, Giok-kun, Tio It-heng dan Le Say-eng berempat kembali ke Kim-keh-nia, sedangkan Kong- sun Bok dan Kiong Kim-hun menuju ke Tay-toh, ibukota kerajaan Kim.

   Sebelum berangkat Giok-kun berpesan kepada Ciu Hong agar menghubungi Hay-soa-pang apabila ada sesuatu persoalan, apalagi Le Kim-Iiong masih tinggal di situ, tentu saja Ciu Hong dapat menunggu dengan tenang datangnya sang ayah dan calon suaminya.

   Setengah bulan kemudian, rombongan Giok-kun termasuk To Hong dan Ciok Bok sudah berada di Kim-keh-nia, suasana Kim-keh-nia menjadi meriah sekali, malamnya Hong-lay-mo-li lantas mengetahui urusan Giok-kun dan It-heng, ia lantas menjadi wali dan menetapkan pertunangan mereka, kelak kalau situasi sudah aman barulah akan menikahkan mereka.

   Setelah urusan pribadinya sudah mantap, pikiran Giok-kun menjadi segar, wajahnya bercahaya seakan-akan berubah menjadi seorang baru.

   Rasa sedih hatinya selama ini seakan bersih oleh hembusan angin.

   Hanya terkadang bila teringat kepada Kok Siau-hong dan Sin Liong-sing, betapa pun ia merasa rada kuatir.

   Sang tempo lewat dengan cepat, musim dingin berlalu dan tibalah musim semi.

   Hari ini adalah tanggal empatbelas bulan satu, besoknya adalah hari Cap-go-meh.

   Tapi berita dari ibukota Kim masih belum terdengar.

   Menurut rencana, Wanyan Tiang-ci akan mengadakan perebutan takhta tepat pada hari Tahun baru, sedangkan Bu-lim-thian-kiau dan Siau-go-kan- kun juga akan membabat Wanyan Tiang-ci pada hari yang sama dengan bantuan raja Kim.

   Kini waktunya sudah lampau empatbelas hari dan sedikit pun belum ada berita tentang gerakan mereka yang berhasil atau gagal, dengan sendiri semua orang merasa ragu dan kuatir.

   Siang harinya semua orang berkumpul di ruang pendopo dan ramai membicarakan berita yang terlambat itu, macam-macam dugaan dan pandangan mereka.

   Hanya Yim Hong-siau saja tampak tidak ikut bicara, selain berkuatir ia pun bersedih.

   Malamnya ia tak dapat pulas, hatinya merasa tidak tenteram.

   Maklumlah yang dia pikirkan adalah ayahnya, dalam peristiwa besar di kotaraja Kim itu entah bagaimana nasib ayahnya itu.

   Memang sudah lama ia membenci prilaku ayahnya, tapi senantiasa ia menaruh setitik harapan semoga setelah mengalami banyak pelajaran, akhirnya sang ayah dapat sadar dan kembali ke jalan yang benar seperti halnya Oh-hong-tocu.

   Kalau Yim Hong-siau sukar pulas, ternyata pada saat yang sama masih ada seorang pula yang tak dapat tidur.

   Orang itu ialah Hi Giok-kun.

   Giok-kun menguatirkan Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun, berbareng ia pun memikirkan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng.

   Kok Siau-hong adalah kekasihnya yang pertama, seorang yang pernah dicintainya dengan sesungguh hati, walaupun perpisahan mereka sudah pasti, tapi kini dirinya juga sudah mempunyai permata hati pengganti, segala perasaan sirik di masa yang lalu telah terhapus semua, sebab itulah dia berharap selekasnya dapat bertemu dengan kawan-kawan itu agar dapat bergembira bersama.

   Jika di sini Hi Giok-kun sedang memikirkan mereka, maka di sana mereka pun sedang memikirkan Giok-kun.

   Sesungguhnya tidak pernah dibayangkan oleh Giok-kun bahwa pada saat dia tak dapat tidur itulah Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng sudah pulang ke Kim-keh-nia.

   Mereka baru pulang dari Siau-lim-si dan juga ingin bisa selekasnya berjumpa dengan para kawan, maka malam itu juga mereka menempuh perjalanan naik ke Kim- keh-nia.

   Sang dewi malam bergantung di tengah cakrawala dengan cahayanya yang terang, sambil menanjak ke atas gunung, kedua muda mudi itu menikmati pemandangan alam yang indah permai.

   Angin berhembus semilir membawa bau harum bunga pegunungan yang semerbak, sekeliling sunyi senyap selain bunyi serangga bersahutan di sana sini.

   Melihat suasana sekitarnya, tanpa terasa Han Pwe-eng merandek dan memandang rembulan yang sedang memancarkan sinarnya yang gemilang, terkenang olehnya suka duka dan pengalamannya selama ini.

   "Apa yang kau pikirkan, adik Eng?"

   Tanya Siau-hong tiba-tiba.

   "Aku sedang memikirkan memikirkan Hi-cici,"

   Jawab Pwe-eng. Kok Siau-hong melengak, tukasnya.

   "Kau memikirkan dia?"

   "Ya, tapi jangan kuatir, aku tidak cemburu pada hubungan kalian di masa lampau. Hari ini adalah hari baik, aku terkenang pada Hi-cici dan berdoa semoga dalam waktu singkat ia akan menemukan jodoh yang setimpal."

   Siau-hong terdiam, ia pikir kemalangan nasib Giok-kun adalah gara-gara perbuatanku, betapa pun aku ikut tanggung jawab atas nasib nona itu.

   "Eh, kau sendiri sedang memikirkan apa?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Terus terang, apa yang kupikirkan ini sama dengan kau. Sesungguhnya hatiku baru tenteram apabila Giok-kun sudah mendapatkan jodohnya. Adik Eng, janganlah kau salah paham jika kukatakan isi hatiku ini."

   "Memangnya kau anggap aku ini perempuan yang berjiwa sempit? Terus terang aku pun ingin minta maaf padanya,"

   Kata Pwe-eng. Mendadak Kok Siau-hong mendesis.

   "Ssst, seperti ada orang datang. Ginkang orang ini sangat tinggi."

   Cepat Siau-hong dan Pwe-eng bersembunyi di balik sebatang pohon besar.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selang tak lama, benar juga tertampak sesosok bayangan orang sedang naik ke atas gunung.

   Ketika berjalan sampai di suatu pengkolan, dari situ samar-samar sudah dapat dilihat pos penjagaan pertama di atas gunung sana.

   Orang itu mendadak berhenti dan berkata sendiri.

   "Apakah tepat tindakanku ini? Dapatkah Hong-lay-mo-li percaya padaku? Bisa jadi dia akan membunuh aku. Tapi, ai, biarpun nanti aku dibunuh olehnya juga aku harus mendatangi tempatnya itu untuk menemui anakku si Hong-siau!"

   Siau-hong terkejut, ia membisiki Han Pwe-eng.

   "Ssst, dia pamanku!"

   Kiranya orang itu bukan lain daripada ayah Yim Hong-siau, yaitu Yim Thian-ngo.

   "Apa yang harus kita lakukan kini?"

   Tanya Pwe-eng dengan suara lirih. Dengan gemas Siau-hong membisiki si nona.

   "Sudah lama dia menjadi antek Wanyan Tiang-ci, aku tidak mengakui dia sebagai paman lagi. Biarpun kita bukan tandingannya juga tetap akan kita lawan!"

   "Nanti dulu!"

   Pwe-eng mencegahnya.

   "Tampaknya dia ingin bertemu dengan anak perempuannya dan belum pasti bermaksud jahat. Biarlah kita membikin jelas dulu urusannya."

   Selagi mereka berbincang dengan suara perlahan, tiba-tiba terdengar suara mendengus.

   "Hm, Yim-losiansing, tidak nyana kau berani datang ke Kim-keh-nia sini dan kau tentu tidak menduga pula akan kepergok olehku di sini."

   Waktu Siau-hong mengintip di sana, sungguh kagetnya tidak kepalang.

   Ternyata seorang paderi asing berkasa merah entah darimana munculnya, mendadak kini telah menghadang di depan Yim Thian-ngo.

   Paderi asing ini dikenal oleh Kok Siau-hong, yaitu sebagai imam negara Mongol, Liong Siang Hoat-ong adanya.

   Di belakang Liong Siang Hoat-ong ada lagi seorang pemuda bermantel kulit berbulu, siapa lagi dia kalau bukan Wan-yan Ho, putera Wanyan Tiang-ci.

   Liong Siang Hoat-ong berjuluk "jago silat nomor satu di seluruh jagat", kemungkinan nomor satu seluruh jagat masih disangsikan, tapi cukup disejajarkan dengan tokoh terkemuka pada zaman ini kiranya bukan omong kosong belaka.

   Maka kedatangannya tidak saja membuat Kok Siau-hong kaget, yang paling terkejut tentulah Yim Thian-ngo adanya.

   Terpaksa Yim Thian-ngo menjawab.

   "Ya, sungguh tak terduga, entah Hoat-ong hendak memberi petunjuk apa?"

   "Ah, mengapa Yim-losiansing merendah hati, yang benar adalah aku yang harus minta petunjuk padamu tentang maksud kedatanganmu ke Kim- keh-nia sini,"

   Kata Liong Siang dengan tertawa.

   "Urusan ini kukira juga tak dapat membohongi Hoat-ong, bahwa puteriku berada di sini, makanya aku ke sini untuk mengajaknya pulang,"

   Jawab Yim Thian-ngo ragu. Mendadak Wan-yan Ho menyela.

   "Hm, memangnya kau cuma pelesir saja ke sini? Pada peristiwa tahun baru, dalam pertempuran di Thian-tam, hanya kau yang terus menghilang dan kini kau muncul di sini, bukan mustahil kau bersekongkol dengan Bu-lim-thian-kiau dan kawanan bandit Kim-keh-nia ini."

   Keruan Yim Thian-ngo terkejut atas tuduhan itu, cepat jawabnya.

   "Siau- ongya, janganlah engkau menuduh orang baik, Bu-lim-thian-kiau adalah musuhku, mana mungkin aku bersepakat dengan dia?"

   "Betapa pun juga kau telah kabur pada saat gawat sehingga ayahku ditewaskan oleh Bu-lim-thian-kiau, inilah dosamu yang tak dapat diampuni,"

   Jengek Wan-yan Ho pula.

   "Kini kau bermaksud mengekor lagi pada Hong- lay-mo-li dan memusuhi kami, masakah kesalahanmu ini dapat dibiarkan begitu saja?"

   Yim Thian-ngo menyadari gawatnya persoalan, memberi penjelasan terang percuma, pakai alasan juga tak dipercaya, ia menjadi kepepet, akhirnya ia menjawab dengan ketus.

   "Baiklah, terserahlah kepada Siau- ongya mau apakan diriku, terpaksa kupertahankan beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini."

   Tapi Liong Siang Hoat-ong lantas menyela.

   "Ah, mengapa Yim- losiansing bicara demikian, asalkan Yim-losiansing mau ikut kami pulang ke Mongol, urusan apa antara kita sendiri tak dapat didamaikan? Betul tidak, Siau-ongya?"

   "Ya, jika Hoat-ong yang menengahi, terpaksa kuturut saja,"

   Jawab Wan- yan Ho.

   "Nah, Yim Thian-ngo, ingin mati atau hidup kini terserahlah kepada keputusanmu?"

   Sudah tentu mereka mempunyai perhitungan sendiri dengan memancing dan memaksa Yim Thian-ngo ikut ke Mongol.

   Soalnya dengan kemunafikan Yim Thian-ngo yang berlagak sebagai pendekar sejati, banyak kaum kesatria yang menjadi sahabatnya, maka Yim Thian-ngo cukup berharga bagi mereka untuk memperoleh keterangan dan rahasia kaum kesatria yang ada hubungan erat dengan gerakan perlawanan di berbagai tempat itu.

   Begitulah Wan-yan Ho dan Liong Siang Hoat-ong menatap tajam pada Yim Thian-ngo untuk menantikan jawabannya.

   Perasaan Kok Siau-hong juga tenang di tempat sembunyinya, ia pun ingin tahu bagaimana jawaban sang paman.

   Menghadapi keputusan yang menentukan baik buruk ini, dalam sekejap pikiran Yim Thian-ngo juga berubah beberapa kali, akhirnya ia berkata dengan perlahan.

   "Baiklah, kuikut kalian ke Mongol!" ~ Berbareng itu ia pun melangkah maju mendekati Wan-yan Ho. Siau-hong merasa kecewa dan gemas pula mendengar ucapan Yim Thian- ngo itu, tak terduga menyusul itu Yim Thian-ngo telah melakukan suatu tindakan yang sama sekali tak tersangka olehnya. Sekonyong-konyong Yim Thian-ngo mencengkeram ke arah Wan-yan Ho sambil membentak.

   "Aku sudah kenyang menjadi budak kalian ayah beranak, kini aku ingin menjadi manusia sejati. Serahkan dulu jiwamu!"

   Tapi Wan-yan Ho sempat mengegos.

   "bret", mantel bulu yang dipakainya terobek oleh cengkeraman Yim Thian-ngo itu. Pada saat terancam bahaya itu, ia merasa seperti didorong oleh satu tenaga yang tak kelihatan sehingga tergentak mundur beberapa langkah. Kiranya Liong Siang Hoat-ong yang telah menyelamatkannya. Kepandaian Liong Siang Hoat-ong jauh lebih tinggi daripada Yim Thian- ngo, sudah tentu ia tidak membiarkan Wan-yan Ho dicelakai musuh, begitu kedua tangannya menyodok ke depan, satu tangan mendorong mundur Wan-yan Ho, tangan yang lain dengan kuat mengadu pukulan dengan Yim Thian-ngo. Terdengarlah suara benturan keras, Yim Thian-ngo tergetar hingga sempoyongan, itupun Liong Siang Hoat-ong tiada maksud hendak membinasakan dia melainkan ingin menangkapnya saja, kalau tidak, tentu jiwa Yim Thian-ngo bisa melayang seketika.

   "Bagus, boleh kau bunuh saja diriku!"

   Teriak Yim Thian-ngo murka, kembali ia menghantam dan mengadu pukulan pula dengan Liong Siang.

   Sekali ini dia terluka lebih parah sehingga darah segar tersembur dari mulutnya.

   Tapi Liong Siang juga merandek di tempat.

   Rupanya Yim Thian- ngo telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya sehingga dada Liong Siang terasa sesak juga.

   Namun Liong Siang Hoat-ong memang maha sakti, ia atur pernapasan sejenak, segera tenaganya pulih.

   Dengan gusar ia membentak pula.

   "Yim Thian-ngo, kau benar-benar ingin mampus?"

   Baru saja Liong Siang Hoat-ong handak menubruk maju dan memberi pukulan maut, mendadak terdengar seruan Wan-yan Ho.

   "Tolong, Hoat- ong!"

   Liong Siang terkejut, cepat ia menoleh, tertampak dua sosok bayangan sedang menubruk ke arah pangeran itu, dua larik sinar pedang menyambar secepat kilat, tampaknya segera Wan-yan Ho akan terkurung oleh bayangan pedang yang tak kenal ampun itu.

   Kedua orang itu jelas adalah Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng.

   Mereka menyaksikan keadaan sudah gawat, mereka menyadari tidak mungkin menyelamatkan Yim Thian-ngo dari tangan Liong-sing yang maha lihai itu, sebab itulah mereka sengaja menggunakan akal "ancam sini untuk menolong sana".

   Cara mereka itu ternyata sangat tepat, terpaksa Liong Siang Hoat-ong menghentikan serangannya untuk sementara.

   Tapi maksudnya untuk menolong Wan-yan Ho jelas juga tidak keburu lagi, dalam keadaan begitu mendadak ia tanggalkan jubahnya sendiri terus dilemparkan sekuatnya ke sana.

   Kasa atau jubah paderi berwarna merah yang dipakainya itu adalah benda lemas, tapi kini ditolak dengan tenaga dalam yang maha kuat, seketika jubah itu laksana segumpal awan merah terus menyambar ke sana dan tepat menghadang di antara Kok Siau-hong berdua dan Wan-yan Ho.

   Sepasang pedang menyambar sekaligus, terdengar suara "crit-crit"

   Beberapa kali, kasa merah itu tertusuk beberapa lubang kecil, lalu jatuh ke bawah perlahan seperti balon yang mendadak gembos.

   Akan tetapi tangan Han Pwe-eng juga terasa kesemutan oleh getaran tenaga dalam musuh.

   Dalam pada itu Wan-yan Ho sempat menggunakan kipasnya untuk menangkis tusukan pedang Kok Siau-hong.

   Kepandaian Wan-yan Ho sesungguhnya juga tidak lemah, jika dia dikerubut Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng memang kewalahan, tapi kalau satu lawan satu, sedikitnya ia masih sanggup bertahan menghadapi Kok Siau- hong.

   Sementara itu Liong Siang Hoat-ong telah memburu tiba dan mengenali Kok Siau-hong, bentaknya gusar.

   "Kiranya kau! Rasakan ini!" ~ Segera ia melontarkan pukulan Liong-siang-kang tingkat sembilan yang maha dahsyat. Walaupun tidak langsung mengadu pukulan, namun angin pukulan maha kuat itu sudah cukup membuat Kok Siau-hong tergetar mundur, dada serasa dipalu, napas menjadi sesak. Begitulah lantaran Liong Siang harus menahan Kok Siau-hong berdua untuk menolong Wan-yan Ho, maka Yim Thian-ngo dapatlah bebas dari ancaman maut. Walaupun begitu karena getaran tenaga pukulan Liong Siang tadi kembali ia menumpahkan darah pula. Sekuatnya Yim Thian-ngo menenangkan diri, setelah jelas dapat melihat yang menolongnya ialah Kok Siau-hong, keponakannya sendiri, ia menjadi girang bercampur kaget, merasa berterima kasih dan malu pula.

   "Siau-hong!"

   Sekuatnya ia berseru sambil memburu maju untuk membantu Siau-hong menghadapi musuh, walaupun keadaannya sebenarnya sudah payah.

   "Kau tidak menyesalkan kesalahanku padamu dan kini kau malah menyelamatkan diriku!"

   "Ku-ku, urusan yang sudah lalu tidak perlu diungkit lagi asalkan selanjutnya kau mau sadar dan kembali ke jalan yang benar,"

   Jawab Siau- hong. Belum habis ucapannya, kembali angin pukulan Liong Siang mendampar tiba pula sehingga bernapas pun terasa sukar.

   "Serang dia dengan gerak cepat, Siau-hong!"

   Seru Yim Thian-ngo.

   "Bagus, rupanya kalian ingin mencari teman jalan ke akhirat!"

   Bentak Liong Siang dengan gusar sambil menghantam pula.

   Tapi serentak Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng telah melancarkan serangan kilat dengan pedang mereka.

   Kerja sama sepasang pedang mereka sangat rapat dan cepat pula.

   Belum Liong Siang sempat menggunakan tenaga Liong-siang-kang yang paling kuat, mendadak ia sudah diberondong oleh serangan kilat dari arah yang tak terduga.

   Sama sekali tak tersangka oleh Liong Siang bahwa kerja sama ilmu pedang kedua lawannya bisa begini lihai, terpaksa ia berkelit dan bertahan sekuatnya untuk mencari kesempatan menggunakan Liong-siang-kang.

   Meski Kok Siau-hong berdua dibantu oleh Yim Thian-ngo, tapi lantaran keadaan sang paman sudah payah, pada suatu ketika, sedikit kendur saja serangan Yim Thian-ngo telah memberi kesempatan kepada Liong Siang untuk mengerahkan pukulan saktinya, tanpa ampun Yim Thian-ngo muntah darah lagi, Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng juga tergetar mundur dengan langkah sempoyongan.

   "Siau-hong, aku sudah tak berguna lagi, jangan urus diriku, lekas kalian lari!"

   Seru Yim Thian-ngo dengan suara parau.

   Sudah tentu Kok Siau-hong tidak dapat berbuat sebagaimana dianjurkan Yim Thian-ngo.

   Ia saling pandang sekejap dengan Han Pwe-eng, hati kedua muda-mudi ini sudah bertekad akan bertahan sampai titik darah penghabisan.

   "Hm, biar kumampuskan kalian semua!"

   Jengek Liong Siang dengan tertawa.

   Selagi ia hendak mendesak lebih lanjut dan melancarkan serangan Liong- siang-kang tingkat tertinggi, tiba-tiba terdengar suara gemerisik di atas tanah salju, sebagai seorang tokoh terkemuka, segera ia mengenali itu adalah suara langkah kaki orang yang memiliki Ginkang maha tinggi.

   "Siapa itu?"

   Bentak Liong Siang.

   Saat itu Wan-yan Ho sedang tegang mengikuti pertarungan sengit itu, ia baru sadar di belakangnya tahu-tahu berdiri seorang yang dibentak Liong Siang Hoat-ong itu.

   Cepat ia menoleh, tertampaklah sebuah wajah yang penuh bekas luka sedang melotot padanya.

   Dengan kaku orang itu mendengus.

   "Wan-yan Ho, apakah masih kenal padaku?"

   Orang ini ternyata bukan lain daripada Sin Liong-sing yang dahulu hampir ditewaskan Wan-yan Ho di Sun-keng-san itu. Di belakang Sin Liong- sing tampak ikut pula Ki Ki. Keruan Wan-yan Ho terperanjat, serunya.

   "He, kiranya kau!"

   "Benar, sengaja kucari kau untuk membikin perhitungan total!"

   Jengek Sin Liong-sing pula. Wan-yan Ho tahu tak dapat menghindari penuntutan balas Sin Liong- sing, segera ia mendahului menyerang, sekali kipasnya bergerak, cepat ia menusuk iga lawan sambil membentak.

   "Rasakan dulu kelihaianku!"

   Ilmu Tiam-hiat Wan-yan Ho sudah terlatih sempurna, ia yakin serangannya pasti akan berhasil.

   Tak tersangka gerakan Sin Liong-sing juga tidak kalah cepatnya, malahan serangannya dapat sampai lebih dulu pada sasarannya, sebelum kipas lawan tiba, ujung pedangnya sudah mengancam dada musuh.

   Cepat Wan-yan Ho melompat mundur sambil mematahkan tusukan Sin Liong-sing.

   Tapi Sin Liong-sing lantas menubruk maju pula, di antara tusukan pedangnya sebelah tangannya lantas mencengkeram pula.

   Dalam hati Wan-yan Ho bergirang karena lawan berani gegabah memandang enteng padanya, mendadak ia mengegos ke samping dan kipasnya lantas mengetuk "Koan-tiau-hoat"

   Di bagian lutut Sin Liong-sing sambil membentak.

   "Roboh!"

   Ketukannya itu memang tepat mengenai sasarannya, tapi bukannya Sin Liong-sing roboh, sebaliknya cengkeramannya tadi masih terus merangsek ke tulang pundak Wan-yan Ho, apabila kena dicengkeram, bukan mustahil Wan-yan Ho akan cacat untuk selamanya jika jiwanya tidak melayang.

   Rupanya selama sekian lama tinggal bersama Ki We, ditambah lagi mendapatkan ajaran intisari lwekang dari tabib Ong dahulu itu, kini Sin Liong-sing sudah mahir menutup jalan Hiat-to dan memutar balik aliran darah, maka biarpun kipas Wan-yan Ho kena mengetuknya toh tidak membuatnya jatuh terjungkal.

   Dalam pada itu mendadak Liong Siang Hoat-ong menggertak sekerasnya, ia desak mundur Siau-hong dan Pwe-eng, menyusul Yim Thian-ngo ditendangnya hingga terjungkal, lalu menerobos ke sana.

   Saat itu cengkeraman Sin Liong-sing sedang mengancam pundak Wan- yan Ho, tapi tindakan Liong Siang Hoat-ong itu bukan bertujuan menolong Wan-yan Ho, tapi yang menjadi incarannya adalah Ki Ki.

   Saat itu Ki Ki sedang mengikuti pertarungan itu di sebelah sana, sambil memburu ke situ Liong Siang Hoat-ong membentak pula.

   "Kau inilah puteri Ki We, biarlah kau ikut aku saja sebagai ganti ayahmu!"

   Tujuan Liong Siang adalah menawan Ki Ki untuk menyelamatkan Wan-yan Ho, sebab ia merasa tidak keburu lagi untuk menolong Wan-yan Ho secara langsung.

   Benar juga Sin Liong-sing terjebak oleh akal Liong Siang Hoat-ong itu, sudah tentu dia tak dapat membiarkan kekasihnya itu terancam bahaya, karena kuatir dan sedikit merandek saja telah membuat cengkeramannya kepada Wanyan Ho rada meleset, hanya merobek sebagian baju Wan-yan Ho.

   Dalam pada itu Yim Thian-ngo yang tertendang roboh itu berteriak pula kepada Kok Siau-hong.

   "Lekas lari saja, Siau-hong, jangan urus diriku!"

   Siau-hong merandek sejenak, tapi akhirnya dia mengudak pula ke arah Liong Siang Hoat-ong.

   Ia hendak membantu Sin Liong-sing untuk menghadapi musuh.

   Ketika itu Sin Liong-sing sempat melompat ke sana untuk menghadang di depan Liong Siang Hoat-ong.

   Tanpa bicara lagi segera Liong Siang menghantam dengan pukulan sakti Liong-siang-kang.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi pedang Sin Liong-sing membarengi menusuk, mengincar tepat Hiat- to di tengah telapak tangan lawan.

   Namun Liong Siang telah kesampingkan pukulannya, walaupun begitu Sin Liong-sing juga tergetar oleh tenaga pukulannya yang dahsyat.

   Menyusul Liong Siang Hoat-ong lantas mencengkeram pula.

   Syukur pada saat itu kedua pedang Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng juga sudah menyambar tiba.

   Terpaksa Liong Siang mengayun jubahnya ke belakang.

   "bret-bret", kembali jubahnya berlubang tertusuk pedang, tapi pedang Siau-hong juga tersampuk dan membentur pedang Han Pwe-eng. Sementara itu cengkeraman Liong Siang Hoat-ong masih terus mengarah punggung Sin Liong-sing, karena tak dapat menghindar lagi, terpaksa Sin Liong-sing menangkis sehingga terjadi beradu tangan. Karena Liong Siang harus membagi sebagian tenaga untuk melayani serangan Kok Siau-hong berdua, pula Sin Liong-sing sudah berhasil meyakinkan lwekang kombinasi dari dua aliran, maka adu pukulan tadi tidak sampai membuatnya cidera, ia hanya tergetar mundur, tapi segera ia merangsek maju pula, bersama Ki Ki mereka mengerubut dari kedua sayap, maka keadaan sekarang menjadi Liong Siang Hoat-ong seorang harus melawan empat. Dengan tangkas luar biasa Liong Siang Hoat-ong menghadapi empat orang dan masih tetap lebih banyak menyerang daripada bertahan, terutama Ki Ki, karena kekuatannya paling lemah, berulang kali ia harus menghadapi detik bahaya serangan musuh.

   "Silakan kau menyingkir saja, adik Ki, biar kami melayani dia!"

   Kata Liong-sing. Melihat pihaknya sudah di atas angin, dengan tertawa Wan-yan Ho mengejek.

   "He, he, memang benar, kau mengaso saja nona Ki, biar aku yang menemani kau."

   Belum lenyap suaranya, tiba-tiba seorang telah menanggapi.

   "Wan-yan Ho, aku saja yang menemani kau!"

   Cepat Wan-yan Ho berpaling, sungguh kagetnya tidak tertahan, ternyata yang datang ini bukan lain daripada musuh yang paling ditakuti ialah Kong- sun Bok.

   "Wan-yan Ho, kau pernah memaksa aku bertanding dengan kau, kini adalah kesempatan yang paling bagus bagimu, kau ingin bertanding berapa lama tentu akan kulayani kau!"

   Kata Kong-sun Bok pula dengan tertawa. Kok Siau-hong tidak mengira secepat itu Kong-sun Bok dapat pulang dari Tay-toh, tentu saja ia pun sangat girang, serunya.

   "Sangat tepat kedatanganmu, Kongsun-toako!"

   Hanya sekejap saja Kong-sun Bok sudah muncul, Wan-yan Ho menjadi kuatir, ia tahu betapa lihai kepandaian Kong-sun Bok, biarpun ilmu silat Liong Siang Hoat-ong terkenal sebagai jago nomor satu, tapi sendirian melawan empat orang tampaknya sukar menang, apalagi ditambah seorang Kong-sun Bok.

   Pula tempat ini berdekatan dengan markas Hong-lay-mo-li, jika sebentar kedatangan lagi musuh lain, jelas sukar bagi dirinya untuk meloloskan diri.

   Begitulah serentak timbul pikiran Wan-yan Ho untuk mencari selamat dengan jalan melarikan diri.

   Saking terburu napsu ingin hidup, tanpa pikir lagi ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding ke bawah bukit.

   Melihat kawannya sedang menempur Liong Siang Hoat-ong dengan sengit, Kong-sun Bok terkejut sehingga tidak sempat mengurus Wan-yan Ho, cepat ia memburu maju dan membentak.

   "Bagus, Liong Siang Hoat-ong, biar kulayani kau! Kok-toako dan Sin-toako, silakan kalian mundur saja, biar kuhadapi dia satu lawan satu untuk belajar kenal dia punya Liong-siang- kang."

   


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long

Cari Blog Ini