Pendekar Sejati 4
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 4
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
Sesudah menyeberang Sungai Kuning, Pwe-eng meneruskan perjalanan dengan kudanya, sebelum matahari terbenam, sampailah dia di kota Uh-seng, suatu kota yang cukup besar dan ramai di utara sungai.
Kota Uh-seng terkenal dengan araknya, di tengah kota ada sebuah restoran yang bernama "Gi-ciau-lau", suatu bangunan berloteng yang menjulang tinggi sehingga tetamu dapat menikmati pemandangan Sungai Kuning yang luas itu.
Karena hari sudah dekat magrib, Pwe-eng ambil keputusan bermalam saja di Uh-seng.
Dari pengalaman dua hari, Pwe-eng menjadi ragu-ragu apakah orang masih mengikuti jejaknya sampai di utara sungai? Ia pikir lebih baik cari suatu hotel kecil saja, coba apakah orang lagi-lagi memesankan kamar atau tidak? Maka dengan menuntun kudanya ia sengaja menyusuri jalan dan gang yang rada sepi untuk mencari hotel yang murahan.
Tengah berjalan, tiba-tiba Pwe-eng berpapasan dengan seorang anak tanggung tukang cari arang.
Kuatir tersenggol dan membikin kotor bajunya, Pwe-eng miringkan tubuhnya untuk memberi jalan.
Tapi jalanan di situ rada sempit, apalagi Pwe-eng menuntun kuda, cara menghindarnya menjadi kurang leluasa sehingga tidak urung tubuhnya tersenggol oleh anak itu.
Anak tukang cari arang itu berseru kaget dan berulang-ulang minta maaf, bahkan sebelah tangannya mengusap-usap baju Pwe-eng yang tersenggol itu.
Namun muka serta tangan anak muda itu juga kotor berlepotan debu arang, jadi makin mengusap makin kotor pula baju Han Pwe-eng.
Keruan Pwe-eng mendongkol dan geli pula, lekas ia dorong anak tanggung itu dan berkata.
"Sudahlah, pergi saja kau!"
Cepat juga bocah itu menghilang di ujung jalan sana, habis itu barulah teringat oleh Pwe-eng bahwa wajah bocah itu seperti sudah pernah dilihatnya.
Meski mukanya kotor penuh debu arang, tapi wajahnya yang tampan itu sukar ditutupi.
Akhirnya teringat juga olehnya bahwa anak muda itu bukan lain daripada pemuda si tukang perahu yang pernah dilihatnya ketika menyeberang sungai itu.
Tukang perahu muda itu tadinya memakai baju yang bersih dan rajin, hanya dalam waktu setengah hari saja sudah berubah menjadi seorang anak tanggung yang kotor, sebab itulah Pwe-eng tadi merasa pangling.
Sesudah menyusuri beberapa jalan dan gang, akhirnya Pwe-eng berhenti di depan sebuah penginapan kecil, begitu sederhana rumah penginapan itu, sampai-sampai papan mereknya saja hanya terbuat dari sepotong kain yang digantungkan pada sebatang galah bambu.
Pwe-eng pikir sekali ini orang-orang yang main kucing-kucingan dengan dia itu pasti takkan tahu dimana ia menginap.
Tak terduga baru saja ia mendekati pintu rumah penginapan, cepat juga pengurus hotel itu sudah memapak kedatangannya sambil memberi hormat dan berkata.
"Selamat datang tuan, betapa bahagia kami atas kunjungan tuan. Kamar tuan sudah kami sediakan, silakan periksa apakah mencocoki selera tuan atau tidak?"
Habis berkata, ia terus hendak menuntun kuda si nona.
"Nanti dulu,"
Tiba-tiba Pwe-eng berkata.
"Apakah kau tahu siapa diriku? Mengapa lebih dulu disediakan kamar bagiku?"
Pengurus hotel itu tertegun, tapi ia lantas menjawab.
"Seorang tuan telah memberitahukan padaku tentang wajahmu dan warna kuda tungganganmu, beliau yang pesan kamar bagimu dan minta kami melayani engkau sebaik- baiknya."
Pwe-eng tidak ingin banyak bicara lagi, segera ia berkata.
"Kau keliru, aku cuma lewat di sini saja dan tidak bermaksud bermalam di tempatmu ini."
Habis ia berkata, lantas meneruskan perjalanannya ke sana.
Keruan pengurus hotel itu melongo heran.
Tapi peduli apa, uang kamar sudah kuterima, mau bermalam atau tidak adalah urusanmu.
Demikian pikirnya.
Dari pengalamannya tadi, Pwe-eng sudah dapat menduga bahwa setiap hotel besar kecil di kota ini tentu dipesankan kamar baginya oleh orang- orang misterius itu, maka ia pun tidak mau mencoba lagi pada hotel yang lain.
Ia pikir kalau ada orang mau membayar, kenapa aku tidak makan tidur secara gratis? Maka ia lantas menuju ke jalan raya dan mencari hotel terbesar di kota Uh-seng itu.
Sambil berjalan, diam-diam Pwe-eng memperhatikan sekitarnya, ia merasa dirinya sedang diikuti oleh dua orang.
Yang satu adalah kakek-kakek berjenggot cabang tiga, seorang lagi adalah laki-laki botak setengah umur.
Kedua orang itu berjalan menyusur emperan rumahrumah dan tidak berjalan di tengah.
Sudah sekian lamanya, ketika Pwe-eng menoleh, dilihatnya kedua orang itu masih terus menguntitnya.
Agaknya kedua orang itupun mengetahui Pwe-eng sedang memperhatikan mereka, kebetulan saat itu mereka berada di depan restoran "Go-ciau-lau"
Yang paling terkenal di Uh-seng, terdengar si kakek sedang berkata.
"Kabarnya arak harum di sini jauh lebih enak daripada arak buatan tempat lain, marilah kita berdua coba minum barang satu-dua cawan."
"Jika Lau-ko (saudara tua) punya hasrat, sudah tentu Siau-te siap mengiringi engkau,"
Jawab laki-laki botak dengan tertawa.
Lalu kedua orang itu naik ke atas loteng restoran.
Pwe-eng jadi teringat kepada keterangan pengurus hotel kemarin malam yang mengatakan bahwa orang yang memesan kamar baginya itu adalah seorang laki-laki botak, ia menjadi sangsi apakah barangkali inilah orangnya? Ia pikir sebentar aku pun menyusul ke restoran itu, coba apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku? Akhirnya Pwe-eng mendapatkan sebuah hotel yang mentereng, ternyata pengurus hotel kembali menyambut kedatangannya dengan hormat, nyata orang memang sudah memesan kamar baginya.
Hanya saja sekali ini orang yang pesan kamar adalah seorang berdandan sebagai Su-seng (kaum sekolahan, pelajar).
Diam-diam Pwe-eng tambah curiga, tampaknya dirinya sedang dikuntit oleh suatu komplotan orang tertentu.
Selesai menaruh barang-barangnya, segera Pwe-eng keluar dari hotel itu dan menuju ke Gi-ciau-lau.
Sampai di atas loteng restoran itu, dilihatnya tetamu memenuhi belasan buah meja, kedua orang yang dicurigainya tadi juga masih berada di situ.
Diam-diam Pwe-eng mengawasi gerak-gerik kedua orang itu, pandangan mereka seperti sedang menuju ke sini, tapi segera beralih pula ke arah lain sambil pura-pura minum araknya.
Dengan rasa sangsi Pwe-eng memilih sebuah meja yang berdekatan dengan jendela, lalu memanggil pelayan.
Kebetulan saat itu si kakek berjenggot juga sedang memanggil seorang pelayan lain serta memberi pesan apa-apa dengan suara perlahan, lantaran suasana berisik dan tetamu amat banyak, maka Pwe-eng tidak jelas apa yang dikatakan si kakek.
Segera Pwe-eng pesan daharan sendiri kepada pelayan.
"Bawakan satu poci arak, satu ekor ayam panggang dan satu porsi daging rebus."
Si pelayan mengiakan, lalu pergi.
Pwe-eng coba mengawasi tetamu restoran itu, kecuali kedua laki-laki tadi, ia merasa tiada orang lain lagi yang pantas dicurigai.
Sambil menunggu datangnya daharan, secara iseng Pwe-eng membaca beberapa pigura yang penuh tulisan pujaan terhadap Tay U, itu pahlawan pembendung bahaya banjir Sungai Kuning di zaman purbakala.
Kiranya Uh- seng atau kota Uh inilah tempat yang tertimpa bahaya banjir dan dapat diselamatkan oleh Tay U, untuk memperingati jasa Tay U, penyair-penyair dari zaman ke zaman berlomba menuliskan sajak dan pujaan kepada penyelamat rakyat jelata itu.
Selagi Pwe-eng asyik memikirkan betapa luhur budi pahlawan purba penyelamat rakyat itu, sementara daharan yang dia pesan sudah datang dibawakan oleh pelayan tadi.
Bahkan seorang pelayan lain ikut datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi lima macam masakan lagi.
Rumah Pwe-eng paling mengutamakan daharan, maka sekali pandang saja ia lantas tahu kelima macam masakan itu bukan sembarang masakan, tapi masakan yang khusus dipesan dan dibuatkan secara istimewa pula.
Sudah tentu Pwe-eng merasa heran karena kelima macam masakan itu bukan pesanannya, tapi pelayan itu justru membawa ke mejanya.
Maka dengan tegas ia menolak masakan itu.
Rupanya pelayan itu menjadi tercengang dan memandang ke arah si kakek berjenggot tadi.
Tertampak si kakek manggut-manggut sebagai tanda agar si pelayan boleh bicara terus terang.
Maka sambil membungkuk-bungkuk pelayan itu berkata kepada Pwe-eng.
"Beberapa macam daharan ini adalah pesanan Lo-siansing di meja sebelah sana itu agar disuguhkan kepada tuan."
"Untuk apa aku menerima suguhan kalian, bawa kembali sana!"
Jawab Pwe-eng dengan dingin. Keruan si pelayan terkejut, cepat ia menambahkan.
"Tapi tapi masakan ini sudah dibayar, mana boleh kami membawa kembali lagi?"
Tampaknya ia merasa kuatir akan diomeli oleh si kakek bilamana daharan itu ditolak oleh Han Pwe-eng. Maka si kakek berjenggot lantas berbangkit dan berkata kepada Pwe-eng.
"Agaknya Heng-tay (saudara) baru pertama kali berkunjung ke sini sehingga belum kenal masakan terkenal di restoran ini, sebab itulah secara sembrono aku telah mewakilkan Heng-tay memilih beberapa macam daharan. Sedikit makanan yang tiada artinya ini sudilah kiranya Heng-tay suka menerimanya."
"Selamanya kita tidak kenal, mengapa Lo-siansing menjamu diriku?"
Tanya Pwe-eng.
"Ah, dimana pun kita bertemu, tentu pula menjadi tamu setempat, syukur hari ini dapat berjumpa dengan Heng-tay, apa artinya kenal atau tidak sebelumnya? He, he, sebagai tanda hormatku, sudilah kiranya Heng-tay minum secawan,"
Habis berkata, segera kakek itu angkat cawan araknya. Usia kakek itu sudah lanjut, tapi berulang-ulang ia menyebut "Heng-tay"
Kepada Han Pwe-eng sehingga rada lucu kedengarannya, tapi juga menandakan rasa hormatnya kepada Pwe-eng.
Melihat sikap si kakek, Pwe-eng merasa orang tidak bermaksud jahat padanya, malahan orang pun belum tahu dia adalah wanita yang menyamar.
Ketika kakek itu mengangkat cawan araknya, Pwe-eng mengira orang mengajak minum padanya.
Tak terduga mendadak cawan si kakek yang penuh berisi arak itu terus melayang ke arah Pwe-eng.
Baru sekarang ia tahu orang hendak pamer kepandaian dengan alasan ingin menyuguh arak padanya.
Dengan tenang Pwe-eng ingin tahu sampai dimana kemahiran si kakek.
Tertampak cawan arak itu melayang ke arahnya dan tepat jatuh di depannya, sama halnya si pelayan memasang cawan arak baginya, arak yang memenuhi cawan itu satu tetes pun tidak tercecer.
Diam-diam Pwe-eng terkejut dan mengakui kepandaian orang yang cukup hebat.
Segera ia pun angkat cawan arak itu dan menjawab.
"Terima kasih. Orang tua harus dihormati, sepantasnya aku yang harus menyuguh arak kepada Lo-siansing."
Habis berkata, dengan jari tangan kiri ia menyelentik, kontan cawan arak itu melayang kembali ke arah si kakek. Pwe-eng telah menggunakan "tenaga jari sakti"
Ajaran sang ayah, meluncurnya cawan arak itu bagai anak panah terlepas dari busurnya, cepat dan keras.
Melihat itu, si kakek tahu cawan arak itu pasti mengarah ke mukanya dan takkan jatuh di atas meja.
Padahal cawan arak itu berisi penuh, untuk menangkap cawan itu tidaklah sulit bagi si kakek, yang susah adalah isi cawan juga harus tetap penuh tanpa tercecer, kalau tidak, akan berarti kekalahan baginya.
Namun di dalam hati si kakek diam-diam juga bergirang di samping terkejut, ia tambah yakin anak dara ini pasti orang yang hendak diajak bersahabat oleh Pang-cu (pemimpin sesuatu organisasi atau sindikat).
Ia bergirang karena orang yang dia kuntit ternyata tidak keliru, tapi juga rada kuatir kalau kehilangan muka lantaran tidak mampu menangkap cawan arak itu tanpa tercecer isinya.
Selagi si kakek memusatkan tenaga dan pikiran dan siap untuk menangkap cawan arak itu, tiba-tiba ada seorang pada saat yang sama kebetulan muncul di atas loteng restoran, tanpa permisi orang itu terus menyambar cawan arak itu dan berkata.
"Kalian suka sungkan-sungkan dan tidak mau minum, biarlah aku saja yang minum arak ini!"
Habis itu, sekali tenggak ia habiskan isi cawan itu.
Kejadian tak terduga ini membikin orang-orang kedua pihak sama-sama terkejut.
Lebih-lebih Han Pwe-eng, sebab segera dikenalinya orang yang menyerobot cawan arak itu tak lain tak bukan daripada anak tanggung pencari arang yang telah menyenggolnya di jalan sempit tadi alias si tukang perahu muda yang dilihatnya ketika menyeberang sungai.
Bocah itu tetap memakai baju yang kotor, mukanya juga masih berlepotan hangus arang.
Laki-laki botak yang bersatu meja dengan si kakek berjenggot tadi menjadi gusar, segera ia berbangkit dan membentak.
"Siapa kau, mau apa kau datang ke sini? Lekas pergi, pergi!"
Berbareng itu ia terus mendorong anak muda itu. Tapi dengan gerakan "Oh-kui-siok-keng" (kura-kura mengkeret leher), anak muda itu sempat menghindari dorongan orang terus bersembunyi di samping Han Pwe-eng, katanya.
"Aneh bin heran, ini kan restoran, siapa pun boleh makan minum di sini, untuk apa kau pedulikan siapa diriku."
Dasar kaum rendahan, melihat pakaian anak muda yang kotor itu, si pelayan restoran juga merasa jijik padanya, segera ia mengejek.
"Bicara sih gampang, tapi untuk makan minum kan juga diperlukan uang?"
"Hah, rupanya kau menghina diriku ya? Memangnya kau kira aku tidak punya uang buat membayar?"
Jawab anak muda itu dengan marah-marah.
Sambil bicara, dengan lagak penasaran ia terus merogoh saku seperti layaknya orang hendak mengambil uang.
Tapi sudah merogoh ke saku kanan dan saku kiri, sampai sekian lamanya uangnya belum juga terogoh keluar.
Tiba-tiba ia berseru.
"Wah, celaka! Rupanya uangku benar-benar ketinggalan!"
"Hm, memangnya darimana datangnya uangmu? Dapat mencuri ya? Sudahlah, pergi saja!"
Jengek si pelayan.
"Nanti dulu, nanti dulu!"
Seru si anak muda sambil menyengir.
"Biarpun aku tidak punya duit, siapa tahu ada orang mau mentraktir diriku? Nah, para tamu sekalian, siapa di antara kalian yang mau mentraktir aku?"
Keruan ucapan anak muda itu membikin para tamu di restoran itu bergelak tertawa. Tiba-tiba Han Pwe-eng membuka suara.
"Pelayan, engkoh cilik ini adalah tamuku, aku yang menjamu dia, boleh kau sediakan tempat baginya."
Si pelayan melongo, tapi cepat juga ia mengiakan dan membawakan sumpit, mangkuk, cawan dan sebagainya serta ditata rajin di depan tempat duduk anak muda tadi.
Gara-gara perbuatan anak muda itu, si kakek dan lelaki botak yang mestinya hendak bicara dengan Han Pwe-eng menjadi terganggu.
Dengan gusar si lelaki botak mestinya hendak melabrak si anak muda dekil itu, namun keburu ditahan oleh si kakek.
Sesudah anak muda itu berduduk di tempatnya, kemudian si kakek mendekati Pwe-eng dan memberi hormat.
"Terimalah hormatku yang tua ini."
Pwe-eng membalas hormat dan menjawab.
"Ah, mana aku berani menerima penghormatan Lo-siansing. Numpang tanya, siapa nama Lo- siansing yang mulia, mengapa menyediakan daharan enak bagiku?"
"Aha, kiranya engkau sendiri juga ditraktir orang?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba si anak muda menimbrung dengan tertawa.
"Wah, kalau begitu engkau juga tidak perlu uang untuk membayar makananku. Ha, ha, bagus sekali, aku tidak perlu sungkan-sungkan lagi."
Maka terdengarlah si kakek berkata.
"Ah, sedikit tanda hormatku ini tiada harganya untuk disebut. Cay-he Coh Tay-peng sudah lama menaruh hormat dan kagum terhadap ayahmu, walaupun Cay-he tidak berani tonjolkan diri, tapi bila menyebut namaku, mungkin ayahmu juga tahu."
Diam-diam Pwe-eng membatin, agaknya kakek itu ingin bersahabat dengan ayahnya, maka lebih dulu anaknya yang didekati. Ia lantas menjawab.
"Dalam perjalananku selama beberapa hari ini, sepanjang jalan selalu ada orang melayani diriku, entah semua itu apakah juga pemberian Lo-siansing?"
"Itupun sedikit tanda hormat dari beberapa anggota perkumpulan kami yang berada di sekitar Hong-ho ini, harap saja di depan ayahmu kelak Heng- tay suka menyampaikan salam kami, untuk itu kami akan sangat berterima kasih padamu,"
Jawab si kakek.
Menyebut kata-kata "Heng-tay" (saudara), seperti tidak sengaja kakek itu melirik sekejap kepada Han Pwe-eng dengan tersenyum.
Sebagai gadis yang cerdik, seketika Pwe-eng tahu bahwa penyamarannya telah diketahui oleh kakek yang mengaku bernama Coh Tay-peng itu.
Sesudah itu, lalu Coh Tay-peng memberitahukan Pwe-eng tentang pemimpin-pemimpin perkumpulan di sekitar Hong-ho yang dimaksudkan.
Tampaknya anak muda dekil tadi menjadi tidak sabar, serunya.
"Hei, selesai belum pembicaraan kalian? Perutku sudah lapar, aku tidak mau menunggu lagi, Ang-sio-hi itu harus dimakan selagi hangat, kalau sudah dingin tidak enak!"
Habis berkata, tanpa permisi pula ia terus angkat sumpit dan menggasak daharan yang tersedia di depannya itu.
Pwe-eng hanya tersenyum saja dan membiarkan anak muda itu makan sesukanya.
Ia sendiri timbul curiga demi mendengar beberapa pemimpin Pang dan Hwe (organisasi dan sindikat) yang disebut Coh Tay-peng tadi.
Sebab setahunya, pemimpin-pemimpin dari kalangan hitam itu biasanya tidak terpandang sebelah mata oleh ayahnya, apalagi beberapa Pang dan Hwe yang disebut itu tidak mempunyai nama baik di dunia Kang-ouw, ia menjadi heran, sejak kapan ayah mengadakan hubungan dengan mereka? Karena rasa sangsi itu, segera Pwe-eng bertanya.
"Entah para To-cu itu ada urusan apa yang perlu kusampaikan kepada ayahku? Apakah sebelum ini Coh Lo-cianpwe sudah pernah bertemu dengan ayahku?"
"O, kami tidak berani mengganggu ketenangan ayahmu,"
Sahut Coh Tay- peng dengan hormat.
"Yang kami harapkan, bila lain kali ayahmu berkunjung pula ke Tiong-goan sini, sudilah kiranya mampir ke tempat kami."
Pwe-eng bertambah heran.
Maklumlah, Lok-yang tempat tinggal keluarga Han adalah kota terkenal yang justru terletak di pusat daerah Tiong-goan.
Ia menjadi bingung mengapa Coh Tay-peng malah menggunakan kata-kata "bila berkunjung pula ke Tiong-goan".
Coh Tay-peng mengira Pwe-eng tidak paham maksudnya, maka segera ia menambahkan.
"Asalkan Heng-tay menyampaikan ucapanku tadi, tentu ayahmu akan paham."
Dengan tetap merasa bingung terpaksa Pwe-eng mengiakan secara samar- samar. Maka Coh Tay-peng menyambung pula.
"Tahun yang lalu ayahmu berkunjung ke Thay-san, ketika itu aku dan Pang-cu kami juga naik ke gunung itu untuk memberi sembah kepada ayahmu. Asalkan Heng-tay menyebutkan kejadian ini tentunya ayahmu masih ingat."
Keterangan ini membuat Pwe-eng semakin bingung.
Padahal sejak lima tahun yang lalu ayahnya sudah tidak leluasa bergerak lagi lantaran terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok.
Selama lima tahun ini ayahnya hanya tinggal di rumah saja, mana mungkin ayahnya tahun yang lalu dikatakan naik ke gunung Thay-san? Dalam pada itu si anak muda tadi asyik mengganyang daharan yang tersedia, sambil mengunyah makanan ia menggerundel pula.
"Pembicaraan kalian habis belum? Sup sarang burung ini harus dimakan selagi hangat- hangat, bila kau tidak lekas makan, sebentar sup inipun akan kusapu habis."
Coh Tay-peng menjadi rikuh, cepat ia berkata.
"Ya, akulah yang telah mengganggu kalian, harap dimaafkan."
Habis itu ia memberi hormat pula kepada Han Pwe-eng, lalu mohon diri untuk kembali ke tempat duduknya sendiri.
Pwe-eng pikir tentunya Coh Tay-peng itu salah paham orang yang ditemuinya di Thay-san itu tentu bukan ayah, jadi dia salah mengenali diriku, malahan aku telah menarik keuntungan dari kesalah pahaman ini."
Mestinya ia bermaksud memberi penjelasan kepada Coh Tay-peng, tapi segera terpikir olehnya.
"Ayah terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang, kejadian ini perlu dirahasiakan. Kalau aku memberi penjelasan, lebih dulu asal-usulku akan diketahui orang. Selain itu agaknya di balik persoalan permintaan mereka padaku tadi mungkin juga ada sesuatu rahasia tertentu."
Selagi ragu-ragu, terlihat Coh Tay-peng dan lelaki botak sudah meninggalkan restoran itu. Terpikir pula oleh Pwe-eng.
"Daripada banyak urusan, biarkan saja mereka salah mengenali diriku, paling sedikit aku dapat makan minum gratis."
Dalam pada itu si anak muda tadi tampak merasa senang dengan perginya Coh Tay-peng dan kawannya, dengan tertawa ia berkata.
"Busyet, omong melulu! Nah, sekarang lekas kau menikmati daharan saja!"
Habis berkata berulang-ulang ia menyilakan Pwe-eng mencicipi berbagai makanan itu, Pwe-eng dianggapnya seperti tamunya malah.
"Engkoh cilik,"
Kata Pwe-eng.
"Kau datang dari selatan sungai bukan? Kulihat kau meluncurkan sebuah perahu kecil melintasi Hong-ho, caramu memegang galah perahu sungguh amat mahir dan mengagumkan."
"Tajam benar pandanganmu, kau tidak pangling padaku,"
Sahut anak muda itu dengan tertawa.
"Dan mengapa engkoh cilik berganti dandanan semacam ini?"
Tanya Pwe- eng.
"Ah, orang miskin seperti kami ini harus cari makan bukan? Maka pagi hari aku mencari ikan di sungai, sorenya masuk kota mencari arang. Hampir beginilah pekerjaanku setiap hari. Tidak perlu diherankan toh?"
Tadinya Han Pwe-eng juga menyangsikan anak muda inipun anggota sesuatu Pang atau Hwe, tapi sekarang diketahui bukan, namun rasa herannya terhadap anak muda ini belum terhapus. Pikirnya.
"Melihat caranya menyambar cawan arak tadi, jelas dia bukan anak keluarga biasa. Tampaknya dia juga sengaja menguntit jejakku, entah bagaimana pula asal- usulnya?"
Anak muda itu minum seteguk araknya, lalu angkat sumpit dan berkata.
"Ini, coba cicipi masakan ikan Le-hi ini, cara membuatnya lain daripada yang lain, dapatkah kau merasakannya?"
"Rasanya memang istimewa segar, tampaknya sama dengan cara memasak kuah ikan biasa, mana ada bedanya,"
Ujar Pwe-eng.
"Agaknya kau bukan ahli makan,"
Kata si anak muda dengan tertawa.
"Tampaknya ikan ini dimasak kuah bening, tapi sebenarnya bukan kuah bening."
"O, cara bagaimana pula membuatnya? Coba aku ingin belajar?"
"Begini, lebih dulu tuang satu kuali air jernih, harus air sumur, tidak boleh air sembarangan. Kalau air sudah mendidih, padamkan api anglo, lalu ikan segar dimasukkan ke dalam air mendidih dan ditutup rapat. Selang sebentar, dalam keadaan ikan itu masih setengah masak, lalu diangkat serta diberi bumbu, dengan demikian daging ikan akan tetap punya rasa asli dan lezat sekali."
"Rupanya kau ini ahli benar,"
Ujar Pwe-eng dengan tertawa.
"Aku sudah biasa menangkap ikan di Hong-ho, keluarga miskin tidak punya koki, dengan sendirinya harus masak sendiri, karena itu bukan ahli akhirnya menjadi ahli juga,"
Demikian anak muda itu memberi "kuliah". Lalu ia menyambung pula dengan menunjuk masakan lain.
"Dan masakan Hui-cui-theng ini jangan kau anggap sepele, walaupun bahannya cuma terdiri dari tahu dan taoge, tapi untuk membuatnya hingga selezat ini bukanlah pekerjaan yang gampang. Tahu harus pilihan, taoge juga mesti pilih bagian pupus yang paling halus. Selain itu kaldu untuk memasak tahu harus kaldu murni dari tiga ekor ayam."
"Wah, hanya semangkuk Ta-hu-theng (kuah tahu) saja juga begini sukar membuatnya. Apakah kau juga sering memasaknya di rumah?"
Tanya Pwe- eng.
Diam-diam ia membatin, rahasia anak muda itu akhirnya ketahuan juga, mana mungkin anak keluarga miskin menyembelih tiga ekor ayam untuk mengambil kaldunya? Setelah minum beberapa cawan arak, wajah anak muda itu mulai bersemu merah.
Mukanya yang berlepotan hangus arang itu tetap sukar menutupi kemolekan aslinya, lebih-lebih sesudah minum arak, dua dekik di pipi semakin manis tampaknya.
Pwe-eng pikir anak muda ini sehari-harinya tentu adalah pemuda tampan yang sudah biasa hidup mewah dan terhormat, entah mengapa sengaja menyamar sebagai bujang rudin dan kotor begini? Karena mereka duduk berhadapan, lapat-lapat Pwe-eng merasa anak muda ini rada-rada aneh tampangnya.
Kok Siau-hong dan Hi Giok-hoan juga sangat tampan, boleh dikata lelaki cantik.
Tapi ketampanan Siau-hong dan Giok-hoan disertai sikap yang gagah, sedangkan ketampanan anak muda ini membawa sikap kelembutan kaum wanita, ini adalah semacam perasaan yang hanya dapat dipahami dan sukar diutarakan.
Kalau Han Pwe-eng sedang mengamat-amati si anak muda, maka anak muda itu temyata juga sedang menatap Pwe-eng.
Tanpa terasa air muka nona itu menjadi merah.
Pikirnya.
"Meski rupanya seperti perempuan, tapi toh dia bukan perempuan. Caraku memandang dia jangan-jangan akan menimbulkan salah pahamnya. Cuma usianya kelihatan masih lebih muda daripadaku, jika aku anggap dia sebagai adik tentunya tidak menjadi soal. Dia juga belum tentu tahu aku adalah wanita yang menyamar."
Entah mengapa sekali kenal saja Pwe-eng cocok dengan anak muda itu.
Maka ketika ingat dirinya sedang dalam penyamaran sebagai lelaki, segera hatinya tenang kembali dan lenyap pula sikap malu-malu anak gadis umumnya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara papan loteng berbunyi dan muncullah seorang laki-laki kekar bermantel bulu hitam, bertopi kulit beruang, pakaiannya perlente, tapi wajah dan sikapnya kasar.
Begitu berduduk segera lelaki itu berteriak.
"Bawakan satu guci arak!"
Keruan pelayan restoran terkejut karena mengira dirinya salah dengar, ia mendekati sang tamu dan menegas.
"Tuan ingin satu poci atau guci?"
"Apa kau tuli? Aku minta satu guci!"
Damprat lelaki itu.
"Tapi..... tapi tuan harap maklum, guci paling kecil saja berisi sepuluh kati arak, guci paling besar berisi seratus kati, sedang guci yang sedang ada yang berisi tigapuluh kati, limapuluh kati dan tujuhpuluh kati. Tuan pilih yang mana?"
"Sudahlah, jangan banyak cingcong!"
Omel lelaki itu.
"Bawakan saja guci tigapuluh kati. Selain itu bawakan dua ekor ayam panggang, lima kati daging masak."
Si pelayan menjulurkan lidahnya dan berkata.
"Apakah tuan akan menjamu tamu? Perlu disediakan berapa pasang mangkuk dan sumpit?"
"Hanya aku sendiri saja,"
Kata lelaki itu. Tiba-tiba ia melotot dan menambahkan.
"Ada apa? Memangnya restoran kalian takut kepada tukang gegares? Hayo lekas sediakan, banyak cingcong saja, mau tanya apa lagi?"
Melihat dandanan orang yang perlente itu, si pelayan percaya lelaki itu pasti bukan tukang gegares gratis.
Maka cepat ia mengiakan berulang-ulang dan pergi menyiapkan makanan yang dipesan.
Meja yang dipilih oleh lelaki kekar itu adalah meja yang ditinggalkan Coh Tay-peng dan kawannya tadi, letaknya di depan samping meja Han Pwe-eng.
Maka diam-diam Pwe-eng memperhatikan gerak-gerik orang itu.
Samar- samar dilihatnya di tengah dahi orang itu bersemu hijau, kalau tidak diperhatikan semu hijau itu hampir tidak kelihatan.
Dalam hati Pwe-eng membatin.
"Menurut cerita ayah, bila dahi orang bersemu hitam, ungu atau hijau, ini menandakan orangnya pasti bukan manusia baik-baik. Sebab cuma ada dua kemungkinan, terkena racun orang lain atau dia sendiri meyakinkan ilmu beracun. Padahal suara orang ini lantang penuh tenaga, tentu tidak keracunan. Tampaknya dia adalah orang dari kalangan Sia-pay."
Sementara itu pelayan sudah datang membawakan satu guci arak yang dipesan.
"Tidak perlu pakai cawan segala, tukar saja dengan mangkuk besar,"
Kata laki-laki kekar tadi.
Si pelayan mengiakan dan kembali ke belakang.
Tidak lama kemudian dia keluar lagi dengan membawa dua ekor ayam panggang, lima kati daging, mangkuk besar dan sumpit.
Laki-laki itu menuang penuh satu mangkuk arak, sekali tenggak ia bikin kering seluruh isi mangkuk itu.
Lalu memukul meja dan berteriak memuji.
"Arak bagus! Arak enak!"
Menyusul sebelah tangannya terus menyambar seekor ayam panggang dan diganyang dengan lahapnya tanpa menggunakan sumpit lagi.
"Melihat caranya makan dan minum seperti orang kelaparan, sungguh memuakkan,"
Demikian pikir Pwe-eng. Pada saat itu pula, tiba-tiba anak muda yang semeja dengan dia mengikik tawa.
"Kau tertawa apa, anak kotor?"
Tanya lelaki kekar itu dengan mata melotot.
"Aku tertawa sendiri, peduli apa dengan kau?"
Jawab si anak muda.
Dengan keras lelaki itu gabrukan mangkuknya ke atas meja, tampaknya dia bermaksud melabrak anak muda itu.
Pada saat itulah kembali di atas loteng restoran itu muncul beberapa orang tamu lain.
Dua orang yang berjalan di depan kiranya adalah Coh Tay-peng dan lelaki botak tadi, yang ikut di belakang mereka ada lagi empat orang.
Seorang di antaranya berwajah sangat jelek, jidatnya menyendul besar oleh sebuah uci-uci, dua buah siungnya juga menonjol keluar bibir.
Pwe-eng menjadi heran mengapa Coh Tay-peng berdua datang kembali ke situ, malahan membawa serta orang sebanyak itu.
Ketika Coh Tay-peng lewat di meja tempat duduknya tadi, ia pun memandang sekejap kepada lelaki kekar itu dengan rada heran pula, tapi ia tidak bersuara apa-apa, hanya dalam hati ia berpikir.
"Orang ini entah sahabat dari kalangan mana?"
Kiranya dia dapat melihat lelaki kekar itu memiliki ilmu silat tinggi, cuma belum diketahui bahwa yang diyakinkan orang itu adalah ilmu berbisa dari Sia-pay (golongan jahat).
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Datangnya tetamu itu membikin sibuk pula kepada pelayan.
Segera pelayan tadi mendekati mereka dan menyapa.
"Kiranya Coh-toaya dan Lay- toaya kembali lagi. Silakan duduk, silakan!"
Menyusul khusus ia memberi hormat kepada lelaki berjidat jendul itu dan berkata.
"Ang Lo-yacu, angin apakah yang membawa engkau ke sini? Silakan duduk, daharan apa yang akan kalian pesan, silakan pilih dan pasti akan kami sediakan."
"Nanti dulu,"
Kata Coh Tay-peng sambil goyang tangan.
"Tujuan kami bukan mau makan, boleh kau bikin dua poci teh enak saja dan jangan mengganggu urusan kami."
Selesai pesan minuman, lalu Coh Tay-peng membawa kawan-kawannya ke hadapan Han Pwe-eng dan berkata.
"Kawan-kawan ini mendengar Kongcu berada di sini, maka sengaja datang buat memberi hormat."
Pwe-eng mengerut kening.
"Mana aku berani!"
Katanya. Lelaki jidat jendul itu lantas melangkah maju, ia bertekuk lutut sebelah kaki, ia memberi hormat dengan setengah menjura, lalu berkata.
"Kiong- sio..... Kiong-kongcu, sudah lama kami mendengar nama ayahmu yang mulia. Syukurlah hari ini Kongcu berkunjung ke tempat kami ini, maka sepantasnyalah kami menghadap engkau. Cay-he bernama Ang Kin, wakil Pang-cu dari Hay-soa-pang. Inilah kartu persembahan Cay-he."
Waktu Ang Kin mengucapkan kata-kata "Kiong-sio....."
Tadi, mendadak Coh Tay-peng yang berdiri di sebelahnya menarik ujung bajunya sehingga dia tertegun, habis itu barulah dia mengucapkan kata-kata "Kongcu".
Sudah tentu perbuatan mereka itu dapat dilihat oleh Han Pwe-eng, diam- diam si nona merasa heran.
Kata-kata "Kiong"
Dan "Kong"
Hampir sama, ia tidak tahu kalau orang itu menyebut dia punya she, yaitu disebabkan orang menyangka dia seorang she Kiong yang hendak ditemuinya, malahan orang she Kiong yang dimaksud juga seorang perempuan, sedangkan "Kiong- siocia"
Itupun suka berkelana di dunia Kang-ouw dengan menyamar sebagai lelaki. Jadi tadi Ang Kin hendak mengucapkan "Kiong-siocia", tapi keburu ditarik oleh Coh Tay-peng, seketika ia ingat bahwa "Kiong-siocia"
Dalam penyamaran, maka cepat ganti dengan "Siocia" (puteri, sebutan hormat kepada anak perempuan hartawan atau bangsawan) menjadi "Kongcu" (putera). Cuma saja kata "Sio....."
Sudah telanjur diucapkan dan tak dapat ditelan kembali.
Meski tidak tahu seluk-beluk ucapan orang yang keliru itu, namun sesudah lelaki jendul tadi memperkenalkan namanya sendiri, segera pula Pwe-eng mengetahui asal-usul orang.
Kiranya orang itu mempunyai sebuah nama julukan, yakni "Tok-kak- liong" (naga tanduk satu), pandai menggunakan Tok-sah-ciang (pukulan pasir berbisa).
Meski jabatannya cuma wakil Pang-cu, tapi ilmu silatnya berada di atas sang Pang-cu yang bernama Lau Kian-bu.
Di dunia Kang-ouw Ang Kin sudah terhitung jagoan kelas tinggi.
Menyusul orang-orang yang ikut di belakang Ang Kin itupun berturut- turut mempersembahkan kartu penghormatan dan melaporkan nama masing-masing.
Sekarang Han Pwe-eng baru tahu bahwa lelaki botak pertama tadi bernama Lay Hwi, pemimpin utama dari Jing-liong-pang (gerombolan naga hijau).
Kembali anak muda yang duduk semeja dengan Han Pwe-eng memperlihatkan rasa kesal, katanya.
"He, apa-apaan kerja kalian ini? Selalu mengganggu saja! Kalian kan tahu kami sedang makan? Nah, sudahlah, kartu hormat sudah kalian persembahkan, sekarang kalian boleh pergi saja."
Padahal orang-orang itu semuanya adalah bandit besar yang biasanya membunuh orang tanpa kenal ampun, dengan sendirinya mereka gusar karena diolok-olok oleh seorang anak muda pencari arang yang kotor.
Tapi lantaran si anak muda makan minum bersatu meja dengan Han Pwe-eng, betapa pun mereka cuma marah di dalam hati saja karena segan terhadap Pwe-eng.
Lay Hwi, si kepala botak, kemudian berkata.
"Banyak terima kasih atas kesudian Kongcu menerima kartu hormat kami, hamba sekalian mohon diri."
Dan waktu mengundurkan diri, dengan gemas ia melototi sekejap ke arah si anak muda tadi.
Namun anak muda itu pura-pura tidak tahu dan tetap makan minum seenak sendiri.
Berturut-turut beberapa orang itu mengundurkan diri, paling akhir tertinggal Coh Tay-peng dan Ang Kin, si kepala jendul.
Dalam pada itu pelayan sudah menyiapkan sebuah meja besar "Pat-sian- to" (meja delapan dewa, meja segi delapan).
Rupanya orang-orang itu meski bilang "mohon diri", tapi sebenarnya tidak pergi dari restoran itu melainkan berpindah ke meja besar yang disiapkan oleh si pelayan.
Sedangkan empat pasang mata mereka tetap mengikuti gerak gerik di pihak Han Pwe-eng sini.
Melihat gelagatnya seperti ada sesuatu urusan atau kejadian yang sedang mereka tunggu.
Di tengah suasana yang aneh luar biasa itu, kembali terdengar suara orang naik loteng, kelihatan muncul seorang pemuda berbaju biru, pada punggungnya menggendong sebuah buntalan (rangsel).
Melihat tindak- tanduknya yang polos dan lugu itu, besar kemungkinan adalah anak desa atau anak petani.
Begitu muncul, segera si pelayan memapaknya dengan mulut mendesis dan jari di depan mulut, maksudnya jangan bersuara agar tidak menimbulkan amarah tamu-tamu yang lain.
Lalu pemuda desa itu dibawanya ke suatu meja di pojok serta dibawakan satu poci teh, habis itu tidak dilayaninya lebih lanjut.
Dalam anggapan si pelayan, orang desa saja paling-paling minum teh dan jajan sekadarnya, buat apa dilayani, apalagi saat itu dia memang sedang sibuk melayani tamu-tamu yang ada urusan sehingga tidak sempat melayani tamu baru yang kekampung-kampungan ini.
Pemuda sederhana itu rada bingung juga, segera ia berseru.
"He, pelayan, apa-apaan ini? Memangnya kalian tidak menjual arak lagi? Aku kan datang buat minum arak!"
Lay Hwi, si kepala botak menjadi gusar, bentaknya.
"He, kau gembar- gembor apa? Lekas enyah dari sini, jangan mengacaukan urusan kami!"
Mendadak si anak muda kotor tadi menimbrung.
"Mengapa kau menghina orang? Aku yang menjamu Toako ini. Nah, pelayan, bawakan dia satu poci arak enak ditambah satu ekor ayam panggang!"
Si pelayan menjadi bingung dan serba salah, pandang Lay Hwi dan pandang pula si anak muda kotor.
"Apa yang kau tunggu?"
Kata si anak muda kepada pelayan yang bingung itu.
"Apa kau kuatir aku tidak punya uang buat mentraktir tamu? Ini, simpan dulu uang perak ini, tentunya cukup untuk membayar rekeningnya nanti. Sisanya ambil saja sebagai persen!"
Berbareng itu terdengar suara "tring"
Yang nyaring, sepotong perak telah dilemparkan dan tepat jatuh di atas meja kasir.
Dikatakan "jatuh", tapi sebenarnya ambles terjepit di atas meja sehingga si kasir tidak sanggup mengeluarkannya.
Melihat itu, Lay Hwi mendengus, ia mendekati meja kasir, sekali tangannya menggebrak, kontan potongan perak itu mencelat keluar, papan meja pun retak.
"Huh, hanya sedikit kemampuan begitu saja berani pamer!"
Ejek si anak muda.
Hendaklah diketahui, bilamana tenaga dalam sudah sempurna, maka sekali gebrak meja tadi hanya akan membikin uang perak itu mencelat keluar dan takkan membikin pecah mejanya.
Sebab itulah meski Lay Hwi berhasil membikin uang perak tergetar keluar dari jepitan meja, tapi papan meja juga pecah dan sampai dimana kepandaian Lay Hwi juga kelihatan.
Coh Tay-peng mengerut kening dan lekas berkata.
"Teman Kiong- kongcu yang traktir tamunya, maka Lay Ji-te hendaklah jangan cari perkara."
Dengan penasaran Lay Hwi lantas kembali ke tempat duduknya sendiri. Sedangkan si pemuda desa lantas berbangkit sambil angkat cawan arak yang telah disediakan, ia tersenyum kepada si anak muda kotor dan berkata.
"Terima kasih!"
Si anak muda mengiringinya dari jauh dengan menenggak habis pula isi cawannya, lalu berkata dengan tertawa.
"Pakaian kita kotor, maka dipandang hina oleh mereka seperti halnya anjing menggonggong pada setiap manusia yang berpakaian rombeng, aku sendiri pun ditraktir orang, aku merasa tidak enak hati karena makan minum gratis, makanya aku pun ingin mencoba rasanya mentraktir orang."
Sampai di sini tiba-tiba ia berkata kepada Coh Tay-peng dan Ang Kin.
"Eh, mengapa kalian belum pergi, apakah kalian juga ingin kutraktir? Hm, kalian pasti banyak uang, tentu dapat membayar sendiri."
"Engkoh cilik ini suka bergurau saja,"
Ujar Coh Tay-peng.
"Sesungguhnya kami ada urusan penting yang ingin mohon bantuan kawanmu."
"Bukankah tadi kau mengatakan tiada sesuatu permohonan padaku, mengapa tiba-tiba timbul urusan penting?"
Kata Han Pwe-eng.
"Bukan urusan, tapi urusan Ang Pang-cu ini, aku pun baru saja diberitahu,"
Jawab Coh Tay-peng.
"Nah, Ang Pang-cu, silakan kau sendiri saja yang bicara."
Dalam hati Ang Kin sangat mendongkol, ia anggap orang sudah tahu sengaja tanya.
Tapi pertama, berhubung dia yang berkepentingan dan ingin mohon pertolongan, kedua, dia telah salah sangka Han Pwe-eng sebagai Sio- cia she Kiong, sedangkan Kiong-siocia itu adalah seorang gembong iblis yang paling ditakuti olehnya.
Sebab itulah sekali pun dalam hati sangat mendongkol, tapi lahirnya dia bersikap sangat hormat, segera ia membuka suara.
"Mo..... mohon Kiong..... Kiong-kongcu sudi bermurah tangan?"
"Apa atinya ini?"
Tanya Pwe-eng dengan bingung.
"Kedua Hiang-cu dari Pang kami entah karena urusan apa telah membikin marah kepada Kongcu, maka diharap Kongcu sudi mengampuni jiwa mereka!"
Kata Ang Kin pula.
"Bagaimana urusannya ini?"
Tanya Pwe-eng heran.
"Selamanya aku tidak kenal dengan orang-orang Pang kalian, mana bisa aku akan mengancam jiwa kedua Hiang-cu kalian?"
Ang Kin menghela napas lega, katanya pula.
"Berkat budi luhur Kiong- kongcu, harap engkau sudi berkunjung saja ke tempat Pang kami untuk menolong mereka. Kasihan, keadaan mereka sudah payah, jangan-jangan tidak sanggup bertahan sampai besok pagi."
"Bagaimana urusannya ini?"
Tanya Pwe-eng dengan terkejut.
"Aku kan bukan tabib, mengapa minta pertolongan padaku?"
"Apa kau berlagak pilon?"
Teriak Ang Kin dengan gusar.
Seketika kepalannya menggebrak meja.
Lantaran meluap gusarnya sehingga tak terpikir olehnya akan akibatnya.
Untunglah Coh Tay-peng keburu memegang pergelangan tangan Ang Kin sehingga tidak mengenai meja.
Pada saat yang sama terlihat anak muda kotor tadi menjulurkan sebatang sumpitnya sembari menjengek.
"Hm, mau apa kau? Aku belum makan kenyang, apakah kau akan membikin kacau perjamuan ini?"
Dari ujung sumpitnya ternyata tepat mengarah "Lau-kiong-hiat"
Di tengah telapak tangannya.
Untung tangannya keburu ditarik Coh Tay-peng, kalau tidak, Hiat-to itu pasti tertotok dan itu berarti segenap ilmu silat yang diyakinkan Ang Kin akan musnah seluruhnya.
Hati Ang Kin terkesiap, lekas ia menarik kembali tangannya dan minta maaf.
"Ya, perbuatanku yang kasar ini mohon Kongcu sudi memberi ampun."
"Aku benar-benar tidak paham apa persoalannya, maukah kau bicara yang jelas?"
Kata Pwe-eng. Kuatir Ang Kin yang berwatak kasar itu membikin runyam urusan, cepat Coh Tay-peng mewakilkannya bicara.
"Begini soalnya. Dua orang Hiang-cu dari Hay-sah-peng kemarin malam pulang dengan menderita luka parah. Melihat keadaan luka mereka, diperkirakan Kongcu yang memberi hukuman kepada mereka. Lantaran Ang Pang-cu tidak tahu duduknya perkara, maka dia sengaja datang buat minta maaf kepada Kongcu, di samping itu juga diharapkan kemurahan hati Kongcu agar sudi menolong jiwa kedua Hiang-cu itu."
"Tapi..... tapi Ang Pang-cu, kau telah salah alamat,"
Kata Pwe-eng dengan heran. Jawaban ini membikin Coh Tay-peng dan Ang Kin melengak. Pikir Ang Kin.
"Kalau dia tetap menyangkal, apa boleh buat mungkin terpaksa harus menggunakan kekerasan."
Maka dengan ragu-ragu Ang Kin berkata pula.
"Biarpun pandangan kami kurang tajam, tapi rasanya takkan sampai salah mengenali orang."
"Ang Pang-cu, coba katakan, apakah kau sendiri pernah melihat pengganas yang melukai orang-orangmu itu?"
Tanya Pwe-eng.
"Ti..... tidak,"
Jawab Ang Kin.
"Mereka diserang secara menggelap ketika mereka melakukan pemeriksaan di tepi sungai. Waktu mereka diketemukan, keadaan kedua orang itu sudah tidak sadar bahkan sampai saat ini juga belum siuman."
"Jika begitu mengapa kalian anggap pasti akulah yang melukai mereka?"
Kata Pwe-eng.
"Dalam keadaan terluka parah, kedua orang itu terus menerus mengeluarkan air keringat yang mengandung darah. Di dunia ini selain ayahmu siapa lagi yang mampu menggunakan ilmu pukulan Jit-sat-ciang?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Ang Kin, jelas ucapannya ini langsung menuduh Han Pwe-eng melukai anak buahnya dengan ilmu keturunan keluarganya.
"Jit-sat-ciang? Hah, baru sekarang aku mendengar nama ini!"
Dengus Pwe- eng. Dengan mendongkol segera Ang Kin bermaksud melabrak Han Pwe-eng. Tapi pada saat itu juga tiba-tiba ada suara orang berlari-lari ke atas loteng restoran, begitu sampai di atas, beberapa orang itu lantas berteriak-teriak.
"Wah, Lay Hiang-cu, dua kawan kita yang mengontrol sungai telah dibokong orang, keduanya tidak sadarkan diri dan terus menerus mengeluarkan keringat berdarah!" ~ Lalu yang lain juga berseru.
"Celaka, Cia Toako, tiga orang Hiang-cu kita telah diserang orang secara gelap, jiwa mereka terancam setiap saat!"
Dari laporan orang-orang itu, nyata apa yang terjadi adalah serupa dengan apa yang dialami anak buah Ang Kin tadi.
Kini bukan saja Ang Kin menjadi gusar, malahan Lay Hwi dan kawan- kawan semejanya itupun mendekati Han Pwe-eng, dengan sikap menantang mereka mengepung meja si nona.
"Eh, mau apa kalian ini? Apa mau berkelahi?"
Jengek si anak muda pencari arang.
"Bukan urusanmu, tutup bacotmu!"
Bentak Lay Hwi gusar. Ang Kin lantas berkata pula kepada Han Pwe-eng"
"Kiong-kongcu, jiwa manusia jangan dibuat main-main, engkau tak dapat mengelakkan tanggung- jawab. Sekarang kami hanya ingin jawabanmu yang tegas, engkau mau tidak menolong saudara-saudara kami yang terluka itu? Jika mau, maka kami akan anggap saudara-saudara itu sendiri yang sial dan urusan dibikin selesai, tapi kalau engkau tidak mau, terpaksa kami bertindak tanpa pikir tentang ayahmu lagi."
"Wah, wah, tampaknya perkelahian ini sukar dihindarkan lagi!"
Tiba-tiba si anak muda kotor itu bersorak.
"Ya, jika kau mau ikut membantu temanmu juga boleh,"
Bentak Lay Hwi. Tapi anak muda itu menggeleng-geleng sambil menenggak pula araknya, katanya.
"Lebih baik minum arak saja, buat apa berkelahi? Kalau kau mau menurut kata-kataku, sebaiknya kalian jangan menantang berkelahi."
"Memangnya kau sangka aku takut padamu dan pihak kami pasti kalah?"
Bentak Lay Hwi dengan gusar. Coh Tay-peng lebih hati-hati dan lebih sabar orangnya, cepat ia mengedipi Lay Hwi, lalu berkata.
"Ya, benar, sebaiknya kita jangan bertengkar. Adik cilik, kau memang orang baik, harap engkau suka membujuk temanmu ini!"
"Hakikatnya dia memang tidak dapat menyembuhkan luka pukulan Jit- sat-ciang,"
Kata si anak muda.
"Pula kalian juga mengacau secara ngawur saja, sebab kawan-kawan kalian ini sesungguhnya bukan terluka oleh pukulan Jit- sat-ciang!"
Ucapan ini membikin Coh Tay-peng dan rombongannya terkejut. Segera Ang Kin membentak.
"Darimana kau mendapat tahu sejelas itu? Siapa kau?"
"Aku cuma seorang kacung pencari arang di kota ini, ada apa sih?"
Jawab si anak muda dengan acuh tak acuh.
"Hm, kalau cuma kacung pencari arang saja, darimana kau mengetahui tentang luka kawan-kawan kami itu bukan akibat pukulan Jit-sat-ciang?"
Jengek Coh Tay-peng. Diam-diam Coh Tay-peng terperanjat, dalam hati ia membatin.
"Jangan- jangan kami telah salah alamat, yang benar anak muda inilah anak perempuan Kiong To-cu yang kami cari?"
Waktu ia mengamat-amati lebih teliti, lapat-lapat ia merasa bentuk tubuh kacung pencari arang itu memang rada-rada mirip anak perempuan. Dasar watak Ang Kin memang berangasan, segera ia membentak pula.
"Besar amat omongmu tadi, jika begitu tentunya kau sendiri mahir Jit-sat- ciang, aku menjadi ingin coba-coba belajar kenal padamu!"
"Ah, aku mahir apa? Kalau makan gratis aku memang amat mahir!"
Jawab anak muda itu.
"Tapi jika kau mau mengajak berkelahi, ya, apa boleh buat, akan kulayani kau. Padahal, huh, orang dogol macam kau ini masakah perlu digunakan Jit-sat-ciang segala?"
Ang Kin menjadi gusar dan segera hendak menandangi tantangan si anak muda. Tapi Coh Tay-peng keburu menariknya ke samping, katanya.
"Engkoh cilik, apakah engkau dari Oh-hong-to (pulau angin hitam)?"
"Bukankah sudah kukatakan tadi, aku adalah kacung pencari arang, aku tidak tahu apa itu pulau angin hitam atau pulau angin puyuh segala?"
Coh Tay-peng menjadi sangsi dan ragu-ragu, katanya pula.
"Engkau menyatakan kawan-kawan kami itu tidak terluka oleh Jit-sat-ciang, lalu terluka oleh ilmu pukulan apa? Sudikah engkau memberi petunjuk?"
"Darimana aku tahu?"
Jawab si anak muda. Tentu saja Coh Tay-peng sangat mendongkol, katanya.
"Tapi tadi engkau bilang....."
"Aku bilang apa?"
Potong si anak muda.
"Aku cuma mengatakan luka itu bukan akibat pukulan Jit-sat-ciang, lain tidak. Nah, habis belum kata- katamu? Ribut saja, aku masih ingin minum arak lagi, tahu?"
"Coh-Toako, bocah ini sembarang mengoceh, masakah kau lantas percaya padanya?"
Seru Ang Kin dengan gemas. Mendadak lelaki kekar bermantel bulu dan bertopi kulit yang duduk sendirian di meja sana itu berbangkit dan berseru.
"Apa yang dikatakan engkoh cilik memang tidak keliru, luka yang dialami kawan-kawan kalian itu memang bukan luka pukulan Jit-sat-ciang!"
"Nah, apa kataku?"
Jengek si anak muda dekil itu kepada Coh Tay-peng dan Ang Kin.
"Kalian sendiri berpengetahuan dangkal, akhirnya toh ada orang yang lebih pintar daripada kalian. Sekarang kalian berani bilang lagi aku omong besar?"
Habis berkata, dengan sikap acuh tak acuh ia menikmati araknya pula.
Tampilnya lelaki kekar itu seketika menarik perhatian semua orang yang hadir di situ, serentak orang-orang itu berpindah ke sana dan mengerumuninya, anak muda kotor itu tidak digubris lebih lanjut.
"Kalau bukan terluka oleh Jit-sat-ciang, lalu terluka oleh apa, mohon orang pandai suka memberi penjelasan!"
Kata Coh Tay-peng sambil memberi hormat.
"Terluka oleh Hoa-hiat-to!"
Jawab si lelaki kekar. Hoa-hiat-to (golok pembuyar darah), istilah ini membikin Coh Tay-peng terkejut. Tapi kawan-kawannya yang tidak tahu apa itu "Hoa-hiat-to"
Yang sebenarnya menjadi bingung dan saling pandang belaka.
"Tapi tapi kedua Hiang-cu kami itu tidak ada tanda terluka oleh golok!"
Ujar Ang Kin.
"Namanya Hoa-hiat-to, tapi sebenarnya bukan permainan golok, melainkan semacam ilmu pukulan berbisa, yaitu satu di antara dua ilmu berbisa dari keluarga Siang yang terkenal,"
Demikian tutur Coh Tay-peng.
"Duapuluhan tahun yang lalu, kepala keluarga dari Siang-keh-po yang bernama Kong-sun Ki, itu tokoh nomor satu dari kalangan Sia-pay pada zaman itu, pernah merajai dunia Kang-ouw dengan dua jenis ilmu berbisanya yang lihai, yaitu Hoa-hiat-to dan Hu-kut-ciang (pukulan pembusuk tulang). Konon orang yang terkena pukulan Hoa-hiat-to, dalam tujuh hari korbannya akan mati karena darahnya mengering. Entah betul tidak apa yang kukatakan ini?"
Keterangan Coh Tay-peng membikin kawan-kawannya terkejut.
Sudah tentu mereka tidak kenal Kong-sun Ki yang disebut itu, tapi hampir semuanya pernah mendengar kisah peristiwa-peristiwa mengenai tokoh utama dari Sia-pay itu pada duapuluh tahun yang lalu.
Maka lelaki kekar tadi berkata pula.
"Ucapanmu memang mendekati kebenaran. Cuma orang yang terluka oleh Hoa-hiat-to tidak pasti akan mati dalam tujuh hari, bagi orang yang sudah sempurna meyakinkan Hoa-hiat-to, dia dapat berbuat sesuka hatinya untuk membikin mati korbannya dalam waktu sebulan kemudian atau lebih, bila perlu mati dalam waktu tiga hari juga bisa. Sedangkan luka pukulan Jit-sat-ciang akan kontan membikin mati korbannya dengan mengeluarkan darah pada pancainderanya. Darah yang keluar itu banyak, jadi berbeda daripada keringat berdarah orang yang terkena Hoa-hiat-to. Sebab itulah memang tidak keliru jika saudara cilik itu berani memastikan kawan-kawan kalian itu bukan terluka oleh Jit-sat-ciang."
"Jika begitu, menurut pandanganmu, kedua kawan kami itu masih dapat tahan hidup beberapa lama?"
Cepat Ang Kin bertanya. Lelaki kekar itu minum dulu satu mangkuk araknya, habis itu baru menjawab dengan setengah menjengek.
"Orang-orang kalian itu terkena Hoa-hiat-to yang berat, mungkin tidak tahan hidup sampai besok siang."
Ang Kin terkesiap, selagi dia bermaksud memohon pertolongan orang itu, tiba-tiba Coh Tay-peng berkata pula.
"Tapi ada sesuatu yang perlu kuminta penjelasanmu. Kabarnya sesudah Kong-sun Ki meninggal, kedua macam ilmu berbisa keluarga Siang konon sudah hilang dan putus turunan, mengapa sekarang masih ada orang mahir menggunakan Hoa-hiat-to? Malahan sebelum meninggalnya, kabarnya Kong-sun Ki sudah mengalami Cau-hwe-jip-mo (kegagalan meyakinkan ilmu dan mengakibatkan kelumpuhan), maka dapat diduga orang pun takut untuk meyakinkan kedua macam ilmu berbisa itu biarpun kitab pusaka ilmu itu beredar di dunia."
"Salah, salah!"
Kata si lelaki kekar sambil menggeleng.
"Kau cuma tahu satu, tapi tidak tahu dua. Kedua macam ilmu berbisa itu sebelumnya sudah ada ahli warisnya, bahkan terlebih mahir daripada Kong-sun Ki sendiri, maka pasti juga takkan mengalami Cau-hwe-jip-mo segala."
"Darimana kau mendapat tahu?"
Tanya Ang Kin tidak percaya.
"Justru aku inilah orang yang mahir menggunakan Hoa-hiat-to,"
Kata lelaki itu dengan bergelak tertawa.
"Terus terang, kawan-kawan kalian itu juga terluka oleh seranganku."
Keterangan ini membikin semua orang menjadi terkejut dan gusar pula. Watak Ang Kin paling berangasan, tanpa pikir ia terus menubruk maju.
"Jangan, Ang Toako!"
Cepat Coh Tay-peng mencegahnya.
"Dia melukai orang dengan pukulan berbisa, biar dia juga merasakan sendiri!"
Seru Ang Kin, tanpa menghiraukan peringatan Coh Tay-peng, dia terus menghantam ke kepala lelaki itu.
Ang Kin meyakinkan Tok-sah-ciang, pukulan pasir berbisa, ia pikir biar keparat inipun merasakan pukulanku yang berbisa, bila dia terluka baru dapat memaksa dia tukar menukar obat penawar racun.
"Bagus! Aku memang ingin belajar kenal dengan Tok-sah-ciang Ang Pang-cu!"
Ejek lelaki kekar itu. Belum lenyap suaranya, terdengarlah suara "plak"
Yang keras, kontan Ang Kin jatuh terjengkang ke belakang terus menggelinding jatuh ke bawah loteng.
Apa yang terjadi itu cepatnya luar biasa, sampai-sampai cara bagaimana si lelaki kekar menyerang juga tidak terlihat jelas oleh mereka.
Si botak Lay Hwi berhubungan paling karib dengan Ang Kin, dengan sendirinya ia tidak tinggal diam melihat sahabatnya kecundang, dengan gusar ia lantas berteriak.
"Kelima perkumpulan besar kita di lembah Hong- ho masakah terima dihina orang sesukanya?" ~ Di bawah dorongan Lay Hwi itu, serentak kawan-kawannya ikut menerjang maju.
"O, kalian ingin berkelahi?"
Kata lelaki itu.
"Tapi di ruangan restoran ini terlalu sempit, biar aku menyuguh kalian minum arak dulu!" ~ Habis berkata, tiba-tiba ia menyemburkan arak yang dikumurnya, seketika Lay Hwi dan kawan-kawannya tersemprot oleh hujan arak itu hingga kepala dan muka mereka pedas kesakitan, semuanya menjadi jeri, dalam keadaan mata tertutup karena kuatir tersemprot air arak, cepat mereka melompat mundur lagi. Dengan sendirinya semburan arak itu ada sebagian menciprat ke meja lain. Maka anak muda kotor yang semeja dengan Han Pwe-eng itu berseru.
"Wah, panas benar!"
Berbareng ia mengeluarkan sebuah kipas lempit, lalu dikebas-kebaskan sehingga air arak yang menciprat tiba terkipas jatuh semua.
Meski Lay Hwi dan kawan-kawannya cepat melompat mundur karena semprotan arak itu, tapi lantaran mundur dengan mata meram dan sempoyongan, tiba-tiba seorang di antaranya terhuyung-huyung dan hampir menumbuk pemuda desa yang sejak tadi duduk di tempatnya tanpa menghiraukan kejadian di sekitarnya.
Tampaknya tubrukan dua sosok tubuh tak dapat dihindarkan lagi, tapi entah mengapa sekonyong-konyong orang yang terhuyung-huyung itu terpeleset kakinya sehingga memberosot lewat di samping pemuda desa itu tanpa menyenggolnya barang sedikit pun.
Diam-diam Han Pwe-eng mengikuti kejadian itu, ia terkejut.
Pikirnya.
"Itulah ilmu yang disebut Ciam-ih-sip-pat-tiat (menempel baju jatuh delapanbelas kali). Ai, sungguh tidak nyana seorang pemuda desa kiranya juga jago silat kelas tinggi."
Melihat keributan akan terjadi lagi, cepat Coh Tay-peng berseru.
"Berhenti semua! Dengarkan kataku!"
Dalam pada itu beberapa kawannya telah memayang Ang Kin ke atas loteng pula, ternyata muka Ang Kin pucat bersemu kelabu, bajunya penuh bintik-bintik merah, kiranya ternoda oleh air keringatnya yang berdarah.
Keadaannya tepat sama dengan kawan-kawannya yang dikatakan terluka oleh Hoa-hiat-to itu.
Jendul besar di dahi Ang Kin kini juga pecah dan mengeluarkan darah kental.
"Ha, ha, ha! Tanduk Tok-kak-liong sekarang sudah patah!"
Seru si lelaki kekar dengan bergelak tertawa. Segera Coh Tay-peng memberi tanda agar kawan-kawannya memencarkan diri sehingga lelaki kekar itu terkepung di tengah.
"Sebenarnya kau kawan dari garis mana? Selamanya kami tiada permusuhan apa-apa dengan kau, mengapa kau memakai cara sekeji ini untuk melukai teman-teman kami?"
Demikian Coh Tay-peng lantas bertanya.
"Bukankah kalian tidak percaya bahwa aku dapat menggunakan Hoa- hiat-to? Ya, tiada jalan lain, terpaksa aku perlihatkan bukti nyata kepada kalian, sekarang kalian mau percaya tidak?"
Kata orang itu. Dalam pada itu Ang Kin masih terus mengalirkan keringat berdarah, napasnya juga empas-empis. Dua orang yang memayangnya menjadi kuatir, tanpa pikir mereka lantas berteriak.
"Celaka, keadaan Ang Pang-cu sangat payah, lekas kalian menolongnya!"
"Memang betul!"
Seru lelaki kekar itu dengan tertawa latah.
"Kawan kalian ini meyakinkan Tok-sah-ciang, racun ditambah racun, dengan sendirinya dia terluka lebih parah daripada beberapa kawannya itu. Kalau kawan-kawannya dapat bertahan sampai besok siang, maka orang she Ang ini mungkin cuma tahan satu jam lagi."
Coh Tay-peng menyadari kepandaian pihak sendiri berselisih jauh dengan pihak lawan, tiada jalan lain terpaksa mengalah, segera ia memberi hormat kepada orang itu dan berkata.
"Maaf, kami punya mata tapi tak dapat melihat. Kiranya saudara juga tiada permusuhan apa-apa dengan Ang Pang- cu, maka sudilah engkau mengampuni jiwanya." 04.16. Murid Pertama Iblis Sebun Bok-ya "Ha, ha, memangnya kita tiada permusuhan apa-apa, jika kalian sudah mau tunduk dan mengaku kalah, maka aku pun takkan memperbesar soal ini,"
Kata orang itu.
"Sekarang akan kupenuhi permintaanmu, akan kuselamatkan dulu Ang Pang-cu ini."
Lalu orang itu menyeret Ang Kin ke dekatnya, entah dengan cara bagaimana, sekali ia angkat dan pencet dagu Ang Kin, seketika mulut Ang Kin menganga.
Segera orang itu mengangkat guci arak yang baru diminumnya sebagian tadi, sisa arak di dalam guci terus dituang ke dalam mulut Ang Kin.
Agaknya Ang Kin sudah mulai siuman, dia terbatuk-batuk keras.
Tidak lama, sisa setengah guci arak itu telah dituang seluruhnya ke dalam perut Ang Kin, perut Ang Kin tampak melembung.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Habis itu barulah lelaki itu mulai mengurut tubuh Ang Kin, tidak lama kemudian air keringat Ang Kin mulai sedikit dan tidak merah lagi.
Sebentar saja terdengarlah kerongkongan Ang Kin bersuara keruyukan, mendadak arak yang dicekokkan padanya tadi tumpah keluar semua.
Warna arak itu berubah menjadi hitam dan berbau menusuk hidung.
"Mati aku!"
Teriak Ang Kin, ternyata dia sudah siuman kembali. Melihat itu, anak muda pencari arang yang semeja dengan Han Pwe-eng tadi mendadak menggabrukkan cawan araknya ke atas meja sambil berseru.
"Bedebah! Restoran yang mentereng seperti ini telah dibikin bau busuk seperti ini, memangnya restoran nenek moyangmu sehingga dia boleh berbuat sesukanya?"
"Jangan cari perkara, saudara cilik,"
Kata Pwe-eng.
Setelah menyaksikan beberapa gerakan si lelaki kekar tadi, ia tahu kepandaian orang itu masih di atas dirinya.
Untunglah Coh Tay-peng dan kawan-kawannya sedang memperhatikan Ang Kin sehingga tiada yang memperhatikan ucapan si anak muda tadi.
Sedangkan lelaki kekar itupun cuma melirik sekejap saja ke arah si anak muda dan tidak ambil tindakan apa-apa.
Lekas pelayan restoran berusaha membersihkan loteng yang kotor ini.
Tamu-tamu biasa kini sudah pergi semua, yang masih tinggal adalah Coh Tay-peng dan kawan-kawannya, selebihnya adalah Han Pwe-eng dan si anak muda beserta si pemuda desa tadi.
"Nah, cukuplah sudah, darah berbisa Ang Pang-cu kalian sudah kucuci bersih dengan setengah guci arak, jiwanya boleh kujamin takkan melayang,"
Kata si lelaki kekar.
"Sekarang marilah kita berduduk untuk bicara."
Sesudah siuman, keadaan Ang Kin tampak masih lemas, meski dalam hati sangat marah, tapi tidak berani buka mulut lagi. Dengan tertawa lalu lelaki kekar itu berkata pula.
"Ang Pang-cu, kau terkena oleh Hoa-hiat-to yang kuberikan, walaupun merasakan sedikit kegetiran, tapi bisul besar di dahimu juga telah kusembuhkan dengan cara racun menyerang racun, bila dibicarakan kau seharusnya berterima kasih padaku malah."
"Ya, atas budi kebaikan saudara ini, selama hidupku takkan terlupakan,"
Jawab Ang Kin dengan suara parau, sudah tentu yang dia maksudkan adalah sebaliknya. Lelaki kekar itu bergelak tertawa, katanya pula.
"Bagus, apakah kau betul- betul berterima kasih atau dendam padaku boleh terserah. Nah, sekarang kau pun silakan duduk untuk bicara."
Segera Coh Tay-peng bicara pula sebagai wakil rombongan.
"Sebenarnya di antara kelima Pang dan Hwe kami di lembah Hong-ho ini pernah berbuat sesuatu kesalahan apa kepada saudara?"
"Ha, ha, seingatku tidak ada apa-apa,"
Jawab lelaki itu dengan tertawa angkuh.
"Bukankah sejak tadi aku pun sudah menyatakan demikian?"
"Jika begitu,"
Kata pula Coh Tay-peng dengan menahan perasaan.
"Lalu beberapa kawan kami yang terluka itu....."
"Apakah kau ingin kusembuhkan juga kawan-kawanmu itu? Tapi, he, he, orang dagang tidak boleh selalu rugi bukan, maka aku pun tidak mau selalu di pihak yang rugi,"
Kata orang itu, jelas ada syaratnya jika dia diminta menyembuhkan pula kawan-kawan Coh Tay-peng yang lain. Sudah tentu setiap orang dapat menangkap maksudnya, tapi apa daya, dalam keadaan kepepet, terpaksa Coh Tay-peng bicara pula.
"Numpang tanya siapakah nama saudara yang mulia? Sebenarnya ada keperluan apa berkunjung ke tempat kami ini? Jika tenaga kami diperlukan, sudah tentu kami siap mengerjakannya asalkan mampu,"
Ucapan Coh Tay-peng ini tiada ubahnya sudah menyatakan takluk tanpa syarat. Lelaki itu tampak sangat senang, kembali ia habiskan semangkuk arak, lalu berkata pula.
"Nama Sebun Bok-ya yang termasyhur pernah kalian dengar atau tidak?"
Mendengar nama itu, semua orang menjadi tercengang.
Bukan saja mereka tidak pernah mendengar nama yang dikatakan itu, bahkan tidak layak bahwa orang yang memperkenalkan namanya sendiri mengaku sudah termasyhur segala.
Tapi di bawah pengaruh sikap orang yang garang itu, mau tak mau mereka menjawab.
"Ya, nama Sebunsiansing yang maha termasyhur sudah lama kami dengar bagai bunyi geledek, beruntung sekali hari ini kami dapat berkenalan dengan Sebun-siansing."
Tiba-tiba Coh Tay-peng ingat cerita seorang teman dari daerah Kwan-tang bahwa akhir-akhir ini di Kwan-tang baru muncul seorang gembong iblis, namanya jelas disebut Sebun Bok-ya.
Menurut cerita teman itu, katanya Sebun Bok-ya adalah seorang kakek, sudah menghilang duapuluhan tahun dan baru sekarang muncul kembali.
Jika betul cerita temannya itu, maka pantaslah Sebun Bok-ya bukanlah lelaki setengah umur di depannya sekarang ini.
Belum lenyap pikirannya, terdengar lelaki kekar itu tertawa terbahak- bahak pula.
Semua orang menjadi bingung, cepat mereka bertanya.
"Mengapa Sebun- siansing tertawa?"
"Aku sendiri bukan Sebun Bok-ya,"
Kata lelaki itu.
"Sebun Bok-ya adalah guruku, aku adalah muridnya yang tertua, Pok Yang-kian."
Sembari bicara, jarinya terus menggores di atas meja sehingga menjadi tiga huruf "Pok Yang-kian", begitu dalam goresan itu sehingga mirip seperti ukiran.
Baru sekarang semua orang menyadari mereka telah salah menjilat orang, tapi untung orang yang dijilat itu ada hubungan guru dan murid dengan lelaki itu, jadi kesalahan mereka pun selisih tidak terlalu jauh.
Coh Tay-peng lantas berkata.
"Konon gurumu tahun yang lalu telah muncul kembali dan menjagoi daerah Kwan-tang. Sayang kami banyak pekerjaan, perjalanan sangat jauh pula sehingga tidak dapat berkunjung ke Kwan-tang untuk menghadap gurumu."
"Ha, ha, ha, tidaklah sukar jika kalian ingin menghadap beliau,"
Kata Pok Yang-kian dengan tertawa.
"Terus terang kedatanganku ini adalah untuk membuka jalan bagi guruku. Paling lama setengah tahun lagi atau mungkin cuma tiga bulan saja tentu guruku akan tiba di sini untuk bertemu dengan kalian."
Pok Yang-kian mengatakan "membuka jalan", ini berarti menyatakan bahwa dia datang atas perintah gurunya dengan tugas tertentu pula. Maka cepat Coh Tay-peng menanggapi.
"Entah ada pesan apa dari gurumu, harap saudara sudi memberi petunjuk agar kami dapat bersiap-siap menyambut kedatangan beliau."
Dengan angkuh Pok Yang-kian menjawab.
"Waktu aku berangkat, beliau memberi pesan padaku.
"Di wilayah Kwan-tang dan sekitarnya kita sudah terkenal, tapi kawan-kawan di daerah Tiong-goan masih asing bagi kita, maka boleh kau berkeliling dulu ke sana dan coba bersahabat dengan kesatria- kesatria dunia persilatan di sana! Tapi, he, he, dasar aku ini memang bodoh, setiba di sini, aku menjadi bingung dengan cara bagaimana agar dapat bersahabat dengan kalian. Tiada jalan lain, terpaksa aku menggunakan sedikit kepandaian untuk mengundang kedatangan kalian ke sini. Sebab itulah biarpun aku telah melukai kawan-kawanmu, tapi sesungguhnya timbul dari maksud baikku akan bersahabat, untuk ini diharap kalian jangan marah."
Sudah tentu semua orang sangat mendongkol, mana ada cara bersahabat begitu? Tapi di bawah pengaruh ilmu silat orang yang lihai, semuanya tidak berani buka mulut meskipun mendongkol dalam hati. Selang sejenak barulah Coh Tay-peng bicara pula.
"Banyak terima kasih atas perhatian gurumu yang sudi bersahabat dengan kami di sini. Jika begitu, apakah saudara-saudara kami yang terluka itu sekiranya Pok-heng suka meringankan tangan menolong mereka?"
"Jangan buru-buru, mereka masih tahan sampai besok siang, waktu masih cukup banyak,"
Kata Pok Yang-kian.
"Tidak sulit bagiku untuk menolong mereka, soalnya kalian mesti....."
"Pok-heng ada pesan apa lagi, harap suka katakan terus terang,"
Cepat Coh Tay-peng menanggapi pula.
"Soal inipun berasal dari maksud guruku,"
Kata Pok Yang-kian.
"Kini guruku sudah menjadi Bu-lim Beng-cu di Kwan-tang, kedudukan beliau ini perlu diketahui oleh para kawan dunia persilatan daerah Tiong-goan. Padahal cita-cita guruku teramat luas dan tidak cuma ingin menjabat Bu-lim Beng-cu di daerah Kwan-tang saja. He, he, kukira kalian sudah dapat memahami maksudku, bukan?"
Pok Yang-kian telah buka kartu, baru sekarang semua orang paham persoalannya.
Kiranya Sebun Bok-ya sengaja mengutus seorang muridnya untuk menaklukkan mereka, agar mereka mau mengangkat Sebun Bok-ya sebagai Bu-lim Beng-cu seluruh jagat, jadi tidak terbatas sebagai Bu-lim Beng- cu (kepala atau ketua) jago-jago silat di daerah Kwan-tang saja.
Cepat semua orang menjawab serentak.
"Ilmu silat gurumu tiada bandingannya, adalah pantas jika beliau menjadi Bu-lim Beng-cu seluruh jagat. Silakan Pok-heng melaporkan kepada gurumu akan dukungan kami yang tulus. Hanya saja kawan-kawan kami itu....."
"Ha, ha, asalkan kalian betul-betul tunduk kepada kami guru dan murid, maka dengan sendirinya akan kusembuhkan kawan-kawan kalian itu,"
Seru Pok Yang-kian dengan tertawa.
"Tapi kalian tunggu dulu, sekarang aku harus menyelesaikan sesuatu urusan kecil."
Habis berkata ia terus melangkah ke arah meja Han Pwe-eng bersama si anak muda dekil tadi.
"Wah, celaka!"
Kata si anak muda dengan tertawa.
"Kukira dapat menonton orang lain berkelahi, tapi tampaknya sekarang orang berbalik akan menonton kita."
Belum lenyap suaranya, Pok Yang-kian sudah berada di depannya dan membentak.
"Kalian berdua ini siapa?"
"Kami belum cukup syarat untuk bersahabat dengan kalian guru dan murid, maka lebih baik kau kembali ke tempatmu untuk minum arak saja,"
Kata si anak muda dengan tertawa.
"Pok-heng,"
Dengan suara perlahan Coh Tay-peng membisiki Pok Yang- kian.
"Kiong-kongcu ini dari Oh-hong-to di lautan timur. Saudara cilik ini mungkin juga orang Oh-hong-to."
Hendaklah diketahui bahwa Kiong To-cu dari Oh-hong-to adalah seorang gembong iblis yang paling ditakuti oleh rombongan Coh Tay-peng ini, sekarang meski mereka telah mendapatkan sandaran baru, tapi mereka tetap takut kepada iblis yang ganas itu.
Makanya Coh Tay-peng sengaja memperingatkan Pok Yang-kian.
Ucapan Coh Tay-peng itu dapat didengar oleh Han Pwe-eng, ia menjadi heran mengapa mereka menyangka diriku sebagai Kiong-kongcu segala, padahal selamanya ayah tidak pernah keluar lautan dan sama sekali tiada hubungannya dengan To-cu apa dari Oh-hong-to itu.
Dalam pada itu terdengar Pok Yang-kian mendengus angkuh atas ucapan Coh Tay-peng tadi, katanya.
"Biarpun Kiong To-cu dari Oh-hong-to lantas mau apa? Kalau kebentur padaku juga akan kubikin dia minta ampun. Hm, jadi kalian berdua ini mentang-mentang karena orang dari Oh-hong-to, lalu berani berlagak dan menipu di sini?"
"Hm, siapa yang berlagak dan menipu di sini?"
Jawab Han Pwe-eng dengan menahan gusar.
"Nama Oh-hong-to saja baru sekarang kudengar untuk pertama kalinya. Sebenarnya aku tiada sangkut-paut sedikit pun dengan Kiong To-cu atau Kiong-kongcu segala, kalian sendiri yang mengoceh sejak tadi."
Coh Tay-peng menjadi terkejut, serunya.
"Kau benar-benar bukan Kiong- kongcu?"
"Habis mengapa kau menerima kartu persembahan kami tadi?"
Lay Hwi menambahkan.
"Hm, kalian sendiri yang mengangsurkan, memangnya siapa mengharapkan kartu apa segala dari kalian?"
Jengek Pwe-eng.
"Benar, kembalikan saja kepada mereka daripada membikin kotor meja kita,"
Timbrung si anak muda dekil tadi. Sekali Han Pwe-eng ayun tangannya, seketika satu tumpukan kartu kehormatan melayang ke sana berserakan.
"Nah, terima kembali kartu kalian!"
Katanya. Belum lenyap suaranya, tertampak kedua tangan Pok Yang-kian meraup ke sana dan menangkap ke sini ke udara, dalam sekejap saja segenap kartu itu telah jatuh di tangannya semua. Dengan bergelak tertawa ia lalu berkata.
"Ha, ha, kalian emoh, aku yang mau. Serahkan saja padaku daripada mereka susah-susah menyiapkan kartu penghormatan lagi."
Padahal kartu adalah sehelai kertas yang enteng saja, kepandaian Han Pwe-eng boleh dikata luar biasa karena sanggup menyambitkan setumpukan kartu itu seperti menyambitkan senjata rahasia.
Tapi cara Pok Yang-kian menangkap kartu-kartu yang bersebaran itupun lain daripada yang lain, jadi secara diam-diam kedua orang telah saling mengukur kepandaian masing- masing, keruan semua orang terkesima menyaksikannya.
Selesai menangkap kartu-kartu itu, lalu Pok Yang-kian berpaling pada si anak muda kotor dan bertanya.
"Kau mahir ilmu Jit-sat-ciang, kau orang macam apa dari Oh-hong-to?"
"Dan kau paham ilmu Hoa-hiat-to, kau ini anak atau cucu Kong-sun Ki?"
Balas si anak muda dengan tertawa, jawaban ini tidak kurang tajamnya daripada pertanyaan Pok Yang-kian, di balik ucapannya seakan-akan menyatakan bahwa orang yang mahir Jit-sat-ciang juga belum pasti orang dari Oh-hong-to.
Mendengar tanya jawab yang tajam dan ketus itu, tiba-tiba pemuda desa yang duduk sendirian di sebelah sana itu mengakak tawa saking tak tahan.
Pok Yang-kian menjadi gusar, bentaknya kepada si anak muda.
"Kalian tidak mau mengaku, memangnya aku lantas tidak dapat mengetahui asal-usul kalian?" ~ Serentak kedua tangannya bekerja, tangan kiri mencengkeram si anak muda dan tangan kanan menjambret Han Pwe-eng. Tanpa pikir si anak muda angkat sumpitnya untuk menotok urat nadi lawan, sedangkan Han Pwe-eng angkat cawan araknya dan menyiramkan isi cawan ke muka Pok Yang-kian.
"Trang,"
Cawan Han Pwe-eng mendadak kena diselentik oleh jari Pok Yang-kian dan hancur, menyusul kedua jarinya yang lain menjepit.
"krek", sumpit anak muda itupun kena dijepit patah. Namun tidak urung mukanya tersiram juga oleh arak yang diguyurkan Han Pwe-eng tadi.
"Anak kurangajar! Kalian sudah bosan hidup barangkali!"
Bentak Pok Yang-kian, berbareng sebelah kakinya menendang, sedangkan sebelah telapak tangannya lantas memotong ke arah Han Pwe-eng.
Terdengar suara gemuruh, meja itu kena ditendang terbalik oleh Pok Yang-kian, ternyata si anak muda pencari arang itu sudah menyelinap ke belakang lawan, telapak tangannya lantas menghantam.
Tapi Pok Yang-kian ternyata tidak ambil pusing akan serangan itu, pukulannya tadi masih diteruskan pada Han Pwe-eng.
"Jangan sampai terkena oleh tangannya yang berbisa!"
Seru si anak muda. Cepat Pwe-eng memutar tubuh, lengan bajunya mengebut, jari tangan menjulur ke depan dari bawah lengan baju untuk menotok "Ing-gi-hiat"
Di bagian iga lawan.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bret,"
Ternyata lengan baju Han Pwe-eng kena dirobek sepotong, menyusul lantas terdengar suara "plak"
Satu kali, Pok Yang-kian telah kena pukulan anak muda itu. Namun totokan Han Pwe-eng juga tidak mengenai Hiat-to sasarannya.
"Hm, biarpun Jit-sat-ciang bisa berbuat apa kepadaku?"
Ejek Pok Yang- kian.
"Sekarang kau harus tahu bahwa Jit-sat-ciang jauh untuk dibandingkan Hoa-hiat-to bukan? Nah, pulanglah dan katakan kepada ayahmu, suruh dia mempersembahkan kartu kehormatan dan mengaku kalah saja kepada guruku."
Kembali ucapan Pok Yang-kian ini membikin terkejut semua orang.
Baru sekarang mereka tahu bahwa kacung yang kotor inilah kiranya putera kesayangan Kiong To-cu yang sebenarnya.
Mereka menjadi susah, jika terjadi pertarungan, pihak mana pun mereka tidak berani ikut.
Setelah mendesak mundur pula si anak muda, lalu Pok Yang-kian berpaling ke arah Han Pwe-eng dan mendengus.
"Hm, kau bocah inipun ketahuan sekarang, kau pernah apa dengan keluarga Han di Lok-yang?"
Lagi-lagi Coh Tay-peng dan kawan-kawannya dibikin terkejut.
Nama Han Tay-wi dari Lok-yang cukup dikenal mereka.
Hanya saja Han Tay-wi sudah lama tinggal menyepi di rumahnya, selama ini entah jago tua itu mempunyai anak murid atau tidak, mereka pun tidak tahu bahwa Han Tay-wi hanya mempunyai seorang anak perempuan.
Tapi betapa pun asal saja orang dari keluarga Han, mereka pun merasa jeri untuk memusuhinya.
Dalam pada itu Pok Yang-kian sudah makin gencar memainkan pukulan dan tendangan, beberapa meja di dekatnya telah terjungkir balik sehingga loteng restoran itu kini terluang satu ruangan.
Coh Tay-peng dan kawan- kawannya merasa tidak sanggup dan juga tidak berani ikut campur, maka mereka menyingkir jauh ke pinggir.
Rupanya pemuda desa yang duduk makan minum sendirian itupun merasa terganggu oleh perkelahian itu, tiab-tiba ia ambil buntalannya yang tertaruh di atas meja sambil geleng-geleng kepala, katanya.
"Apa-apaan ini, bikin orang tidak tenang makan. Hai, pelayan, pindahkan daharanku ke meja sana."
Lalu ia mendekati sebuah meja yang terletak di pojok. Tapi pelayan yang dipanggil itu mana berani mendekat, serunya dengan wajah muram.
"Tuan tamu, anggap saja kami yang sial, biar kuganti satu poci arak dan dua macam daharan, anggaplah kami yang menyuguh engkau."
"Mana aku dapat menerima suguhanmu,"
Kata pemuda desa itu.
"Jangan kuatir, sobat cilik itu tadi yang menjamu diriku, boleh kau tambahkan arak dan makanan, dia nanti yang membayar seluruhnya. Eh, betul tidak, saudara cilik?"
Sambil mengelakkan suatu serangan Pok Yang-kian, anak muda dekil itu sempat menjawab dengan tertawa.
"Engkau ini sungguh seorang yang suka terang-terangan. Memang kau tidak perlu kuatir, silakan makan minum sekenyangnya, aku inilah nanti yang menjadi kasirnya."
Pada saat si anak muda bicara, segera Pok Yang-kian melangkah maju, kelima jarinya mirip kaitan itu secepat kilat mencengkeram.
"Baik, silakan kau makan ini!"
Sambut si anak muda dengan tertawa, sebelah telapak tangannya lantas memapak serangan lawan.
Pok Yang-kian menjadi heran mengapa anak muda itu berani mengadu tangan dengan dia, jangan-jangan pihak lawan menggunakan tipu akal licik apa-apa.
Benar saja, belum sempat dia berpikir lebih jauh, tiba-tiba telapak tangan sendiri terasa kenyal-kenyal dan berminyak.
Kiranya anak itu telah menyodorkan sepotong paha ayam kepadanya.
Habis itu, dengan sangat licin anak muda itu terus menggeliat dan berkelit ke samping.
Ketika Pok Yang-kian menyusuli lagi cengkeraman tangan lain, tapi tetap mengenai tempat kosong.
"Wah, hampir saja! Untung tidak kena!"
Seru si anak muda.
"Anak kurangajar! Berani kau permainkan diriku!"
Teriak Pok Yang-kian dengan murka.
Kontan ia lemparkan paha ayam tadi ke arah lawan kecil itu.
Namun anak muda itu cuma manggut kepala saja dan paha ayam itupun melayang lewat di atas kepalanya dan menyambar ke arah si pemuda desa.
Cepat pemuda desa itu angkat poci arak untuk menahan.
"trang", paha ayam itu jatuh ke lantai, poci arak juga dekuk terkena paha ayam. Semua orang terkejut melihat itu. Pikir mereka.
"Pantas anak muda itu tidak berani menangkap paha ayam yang dilemparkan kembali padanya, kiranya jauh lebih lihai daripada Am-gi (senjata rahasia) biasa."
Dalam pada itu tertampak si pemuda desa lagi-lagi menggeleng kepala dan berkata sendiri.
"Sayang, sungguh sayang, paha ayam yang lezat terbuang percuma!" ~ Habis itu ia menunduk dan menikmati pula araknya sendiri. Diam-diam Pok Yang-kian membatin.
"Jika dua anak ingusan saja bisa kubereskan, lalu cara bagaimana aku dapat menaklukkan orang banyak?" ~ Seketika timbul napsu membunuhnya, sekali putar tubuh, ia keluarkan Hoa- hiat-to dan kontan telapak tangannya menabas ke arah Han Pwe-eng. Terendus bau amis busuk yang memuakkan oleh Han Pwe-eng, ia tahu lihainya pukulan lawan, cepat ia mengegos dengan "Liap-in-poh-hoat", langkah ajaib awan mengapung.
"Lari kemana?"
Bentak Pok Yang-kian, secepat itu pula ia membayangi si nona dan tampaknya punggung Han Pwe-eng segera akan kena dicengkeramnya.
Untunglah pada saat yang sama, dengan cepat luar biasa si anak muda dekil juga sudah memburu maju, segera ia pun menotok dari samping, jarinya menyambar ke muka Pok Yang-kian, biji matanya yang diarah.
Serangan maut ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu.
Keruan Pok Yang-kian menjadi gusar, teriaknya murka.
"Baik, biar kumampuskan dulu kau anak jadah ini!"
Sambil berkelit, tangan kiri segera memapak ke atas untuk menangkap dan bermaksud mematahkan jari lawan.
Tapi tangan si anak muda keburu ditarik ke samping, berbareng lantas berubah menjadi telapak tangan dan menabas ke bawah.
Pok Yang-kian sedikit mendek, sikunya lantas menyodok sehingga anak muda itu tertumbuk mundur beberapa langkah, sebaliknya siku Pok Yang- kian juga kena tertabas oleh telapak tangan si anak muda, rasanya sakit pedas.
Kiranya anak muda itu telah memakai sepasang sarung tangan dari benang emas, makanya ia tidak takut lagi mengadu tangan dengan Pok Yang- kian.
"Han-heng, terhadap manusia keji dan berbisa demikian, tidak perlu sungkan-sungkan lagi padanya,"
Seru si anak muda kepada Han Pwe-eng.
"Hayolah, kalian boleh keluarkan senjata saja!"
Jengek Pok Yang-kian.
Dengan bertangan kosong memang Han Pwe-eng rada repot karena kuatir terkena tangan lawan yang berbisa.
Tapi demi mendengar kata-kata Pok Yang-kian, ia pikir kalau menggunakan pedang tentu akan dipandang rendah oleh lawannya itu.
Segera ia sambar sepasang sumpit, lalu berkata.
"Baiklah, biar aku main-main dengan kau!"
Padahal tadi Pok Yang-kian sudah menjepit patah sumpit si anak muda yang akan digunakan menotok, sekarang melihat Han Pwe-eng mengulangi lagi permainan kawannya, tentu saja Pok Yang-kian merasa geli dan mendongkol pula, segera ia menjawab.
"Bagus, biar aku melayani kau main- main." ~ Segera ia pun mengulangi gerak serangan tadi, kedua jarinya menjulur untuk menjepit sumpit Han Pwe-eng yang sedang menotok ke arahnya. Tak terduga cara Tiam-hiat (menotok) Han Pwe-eng ternyata jauh lebih mahir daripada si anak muda dekil, sedikit sumpitnya berputar ke bawah, segera "Lau-kiong-hiat"
Di tengah telapak tangan Pok Yang-kian yang diincar. ERUAN Pok Yang-kian terkejut, lekas ia tarik kembali tangannya. Kiranya "Lau-kiong-hiat"
Adalah urat nadi utama di bagian tangan, orang yang meyakinkan ilmu berbisa paling pantang Hiat-to itu kena tertotok
Jilid 5 K oleh lawan.
Biarpun tidak sampai terluka, mengingat tenaga dalam Pok Yang-kian yang kuat itu, tapi sedikitnya tenaga latihannya selama bertahun- tahun akan punah.
Sudah beberapa kali Pok Yang-kian menggunakan Hoa-hiat-to dan selalu luput mengenai lawan, sebaliknya ia sendiri hampir-hampir termakan.
Saking gusarnya ia putar kedua tangannya sehingga menerbitkan deburan angin yang dahsyat.
Karena tak dapat mendekati lawan, terpaksa Han Pwe-eng main mundur berulang-ulang.
Sedangkan si anak muda kotor itu main putar di sekeliling musuh dengan cepat, sebentar ia menggeser ke sana, lain saat sudah berputar lagi ke sini, bila Pok Yang-kian menyerang, segera ia melompat mundur, jika lawan terpaksa harus menghadapi Han Pwe-eng, segera pula anak muda itu melompat maju untuk meledeknya.
Keruan Pok Yang-kian merasa gemas, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa kali Han Pwe-eng hampir kena dicengkeram Pok Yang-kian, syukur si anak muda itu dapat bekerja sama dengan baik sehingga serangan musuh selalu digagalkan.
Meski ilmu Tiam-hiat anak muda itu tidak lebih tinggi daripada Pwe-eng, tapi gerak serangannya yang aneh itu seakan-akan tidak habis-habisnya, dalam hal ini Pwe-eng berbalik tak dapat melebihinya.
Diam-diam Pwe-eng membatin.
"Ayah sering mengatakan bahwa di luar dunia masih ada langit, orang kosen masih ada yang lebih kosen, ucapan ini memang tidak salah. Hari ini untung aku mendapatkan bantuan anak muda ini."
Namun begitu biar Pwe-eng masih dapat mempertahankan diri, tapi lambat-laun terasakan berat juga.
Sebabnya, pukulan-pukulan Pok Yang-kian itu selalu membawa angin yang berbau amis, kalau terisap banyak pasti mengakibatkan kepala pusing dan mata berkunang-kunang.
Tampaknya anak muda kotor itu malah lebih ulet daripada Han Pwe-eng, sedikit pun dia tidak memperlihatkan tanda-tanda payah.
Tapi sesudah beberapa puluh jurus kemudian, lama-lama gerak-geriknya juga mulai kelihatan lamban, tidak segesit tadi.
Pemuda desa yang berduduk di sudut sana tiba-tiba berbangkit, katanya kepada si anak muda dekil itu.
"Adik cilik, banyak terima kasih atas makanan yang kau suguhkan padaku ini, tapi aku tidak dapat makan percuma, biarpun aku bantu kau menyelesaikan perkelahian ini."
"Kau sangat baik hati,"
Sahut si anak muda.
"tapi jiwamu lebih berharga daripada satu kali makan. Memangnya kau tidak takut kepada Hoa-hiat-to?"
Dengan hambar pemuda desa itu menjawab.
"Hoa-hiat-to yang dia latih belum sempurna, aku justru ingin memberi pelajaran padanya agar dia tidak omong besar lagi di sini, sedikit-sedikit dia menggunakan Hoa-hiat-to untuk menganiaya orang."
Ucapan ini membikin semua orang terkejut, begitu pula Pok Yang-kian.
Mereka merasa sangsi apakah pemuda desa yang sederhana inipun mahir Hoa-hiat-to? Sudah tentu Pok Yang-kian lebih-lebih tidak percaya, sebab ia tahu jelas kitab pusaka ilmu racun yang menjadi milik Kong-sun Ki itu sudah jatuh di tangan gurunya, yaitu Sebun Bok-ya, maka selain mereka guru dan murid, di dunia ini boleh dikata tiada orang lain yang dapat menggunakan Hoa-hiat- to.
Tengah bicara, dengan cepat pemuda desa tadi sudah melangkah sampai di depan Pok Yang-kian, entah cara bagaimana dia menyelinap ke tengah- tengah kalangan pertempuran itu.
"Bagus, aku justru ingin tahu cara bagaimana kau akan memberi pelajaran padaku!"
Jengek Pok Yang-kian. Melihat sikap pemuda desa yang penuh percaya atas diri sendiri itu, betapa pun Han Pwe-eng dan si anak muda kotor merasa sangsi.
"Baiklah, biar kami saksikan permainanmu,"
Kata si anak muda kemudian dengan tertawa, lalu dia mundur ke samping bersama Han Pwe- eng. Perlahan-lahan Pok Yang-kian angkat tangannya, lalu berkata dengan mendengus.
"Nah, boleh kau mulai memberi pelajaran!"
Pada telapak tangan Pok Yang-kian jelas kelihatan berwarna hitam dan berbau amis.
Han Pwe-eng dan si anak muda merasa kuatir bagi pemuda desa itu.
Karena itu pandangan semua orang seketika terpusat kepada diri pemuda desa dan ingin tahu cara bagaimana pemuda itu akan menghadapi lawannya.
Maka terdengarlah pemuda desa itu menjawab dengan acuh tak acuh.
"Kira-kira baru tujuh tahun kau meyakinkan Hoa-hiat-to ini bukan?"
Pok Yang-kian terkejut, diam-diam ia merasa heran cara bagaimana pemuda desa itu mengetahui lama waktu latihannya itu? Pemuda desa itu seakan-akan tahu apa yang sedang dipikir Pok Yang- kian, segera ia menyambung pula.
"Bila Hoa-hiat-to sudah terlatih sempurna, maka warna telapak tangan sedikit pun tidak berbeda daripada kulit daging tangan biasa. Sebab itulah aku mengatakan kepandaianmu belum sempurna, memangnya aku keliru?"
Tentu saja Pok Yang-kian terkejut dan ragu-ragu, lapat-lapat ia merasa tidak menguntungkan pihaknya, tapi laksana anak panah sudah dipentang pada busurnya, terpaksa harus dibidikkan, maka ia pun menjawab.
"Baiklah, harap saja engkau yang ahli ini suka memberi pelajaran saja!" ~ Habis berkata segera telapak tangannya menabok ke depan. Pemuda desa itu tenang-tenang saja, ia menunggu telapak tangan orang sudah hampir mencapai mukanya barulah dia angkat tangan menangkis sambil berkata.
"Huh, sedikit kepandaianmu ini sebenarnya aku tidak sudi memberi pelajaran padamu. Tapi lantaran aku sudah bicara dimuka, biarlah agar kau kenal siapa diriku?"
Ketika pemuda desa itu angkat telapak tangannya ke atas, orang lain tidak dapat melihat sesuatu yang aneh pada tangannya, tapi Pok Yang-kian menjadi terkejut ketika dia memperhatikan tangan lawan itu.
Kiranya telapak tangan pemuda itu rada bersemu merah, tapi warna merah itu hanya sekejap saja lantas lenyap.
Ini adalah tanda-tanda bagi seorang yang mendekati sempurna dalam meyakinkan ilmu Hoa-hiat-to.
Dalam kejutnya itu Pok Yang-kian juga berpikir.
"Umur bocah ini paling- paling baru duapuluhan, memangnya dia sudah berlatih sejak masih dalam kandungan ibunya?" ~ Apa yang dia pikir ini memang beralasan, sebab Sebun Bok-ya, gurunya itu paling-paling juga baru mencapai tingkatan seperti pemuda desa ini, meski sang guru sudah berlatih Hoa-hiat-to selama duapuluh tahun. Tapi lantaran keadaan sudah kepepet, pula Pok Yang-kian tidak percaya pemuda itu benar-benar sudah mencapai tingkatan setinggi itu? Karena itu dengan nekat ia terus melanjutkan hantamannya tadi. Benturan kedua tangan tak dapat dihindarkan lagi, terdengar suara "blang"
Yang keras, pemuda desa itu terhuyung-huyung mundur beberapa tindak. Sebaliknya Pok Yang-kian berdiri tegak tanpa bergerak. Serentak Coh Tay-peng dan lain-lain bersorak gembira.
"Hebat benar kepandaian Pok-siansing, bocah itu baru sekarang tahu rasa!"
Han Pwe-eng dan si anak muda pencari arang itu juga terkejut, berbareng mereka memburu maju dan berjaga di kanan-kiri si pemuda desa, mereka kuatir kalau-kalau Pok Yang-kian melancarkan serangan susulan pula.
Sekonyong-konyong sorak gembira Coh Tay-peng dan kawan-kawannya berhenti serentak seakan-akan leher mereka tercekik seketika, keadaan menjadi sunyi senyap.
Kiranya mendadak mereka melihat air muka Pok Yang-kian yang penuh rasa ngeri, sebaliknya sikap si pemuda desa ternyata tenang-tenang dan biasa saja.
Biarpun orang yang paling bodoh sekali pun juga tahu betapa bedanya keadaan kedua orang yang menyolok itu.
Maka terdengar si pemuda desa berkata dengan menjengek.
"Nah, apakah kau masih ingin coba-coba lagi?"
"Ba..... banyak terima kasih atas atas kemurahan hatimu,"
Pok Yang-kian dengan suara gemetar.
"Sia..... siapakah engkau?"
"Jika sudah kapok, mengapa kau tidak lekas menggelinding pergi?"
Bentak si pemuda sambil menuding.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menghadapi bentakan dan tudingan jari pemuda itu, tanpa kuasa Pok Yang-kian mundur selangkah demi selangkah dengan muka pucat pasi, tanpa terasa ia pun mundur, sampai di ujung tangga, ketika si pemuda desa mengucapkan kata-kata "menggelinding pergi", benar juga, seketika Pok Yang-kian terguling-guling jatuh ke bawah loteng melalui anak tangga itu.
Keruan Coh Tay-peng dan kawan-kawannya sangat terperanjat, beramai- ramai mereka pun berlari ke bawah loteng.
"Pok Yang-kian,"
Jengek pula si pemuda desa.
"Pulanglah dan beritahukan kepada gurumu, dia telah mencuri benda milik keluargaku, lambat atau cepat aku pasti akan mencari dia untuk bikin perhitungan, sampai waktunya nanti tentu pula kau akan tahu siapa diriku ini!"
Dalam sekejap orang-orang itu sudah pergi semua, di atas loteng restoran kini tinggal tiga orang tamu saja, yaitu Han Pwe-eng, si anak muda pencari arang dan si pemuda desa.
"Bagus, sungguh bagus!"
Seru si anak muda dengan tertawa.
"Banyak terima kasih kepada Toako ini, syukurlah engkau telah membantu kami."
"Ah, soal sepele saja, engkau mentraktir aku makan minum, aku juga mesti berterima kasih padamu,"
Jawab pemuda desa itu.
"Siapakah nama Toako yang terhormat, bolehkah aku mendapat tahu?"
Tanya si anak muda.
"Kau anggap aku sebagai teman sendiri, sudah tentu dapat kuberitahu,"
Jawab si pemuda desa.
"Aku she Kong-sun bernama Bok alias Giok, Kong- sun Ki yang dimaki orang-orang tadi sebagai gembong iblis itu bukan lain ialah mendiang ayahku."
Anak muda pencari arang itu berseru kaget, mulutnya menganga akan mengucapkan sesuatu, tapi ragu-ragu dan urung diucapkan.
"Maafkanlah aku telah mengganggu kalian, biarlah aku mohon diri saja!"
Kata si pemuda desa yang bernama Kong-sun Bok itu, ia terus menyandang buntalannya, lalu melangkah pergi tanpa balas bertanya nama si anak muda pencari arang.
"Eh, Han-heng, apakah kita meneruskan makan minum?"
Tanya anak muda itu sejenak kemudian.
Kini Han Pwe-eng sudah tahu jelas anak muda ini adalah orang dari Oh- hong-to, maka rasa simpatiknya tanpa terasa banyak berkurang daripada tadi, ia pikir lebih baik tidak bergaul terlalu rapat dengan orang dari Sia-pay (golongan jahat) macam begini.
Maka dengan tertawa ia pun menjawab.
"Restoran ini sudah dibikin kacau-balau seperti ini, biarlah lain hari saja bilamana ada jodoh baru kita datang lagi ke sini untuk makan minum."
Jelas ucapannya bernada ingin berpisah dengan anak muda itu. Tapi anak muda itu tampaknya belum puas, katanya pula.
"Kau yang traktir aku, sebagai tamu aku hanya menurut saja, kalau kau tidak mau minum lagi, terpaksa aku pun tidak minum."
Dalam pada itu pelayan restoran baru muncul dengan rasa takut-takut, katanya.
"Rekening tuan-tuan sudah dibereskan oleh Coh-toaya tadi."
"Aku tidak perlu dibayar orang, barang kalian yang rusak juga akan kuganti,"
Kata Pwe-eng.
"Benar, dan rekening Kong-sun Toako itu tadi hendaklah kau bereskan sekalian,"
Sambung si anak muda. Segera Han Pwe-eng merogoh saku sambil berkata kepada pelayan.
"Kuberi sepuluh tahil perak, cukup tidak?"
Akan tetapi mendadak air mukanya berubah cemas dan serba runyam, kiranya dompet yang tersimpan dalam saku dalam ternyata sudah hilang tanpa bekas.
Pada saat itulah tiba-tiba si anak muda pencari arang itu mengeluarkan sebuah dompet dengan tertawa-tawa.
Keruan Han Pwe-eng terkejut, mukanya menjadi merah juga, sebab segera diketahuinya bahwa dompet yang dipegang anak muda itu justru adalah miliknya, tahu-tahu sekarang telah dirogoh orang.
Segera ia pun paham duduknya perkara, teringat olehnya ketika berpapasan di jalan yang sempit itu dia telah tersenggol oleh anak muda pencari arang itu, tentu pada kesempatan itulah orang telah mencopet dompetnya itu tanpa disadarinya.
Dari kejadian ini jelas kepandaian "merogoh saku"
Anak muda itu hebat luar biasa, tapi juga terlalu jahil.
Maklumlah, sebagai anak perempuan, dompet Han Pwe-eng itu tersimpan di dalam saku baju dalam, tapi telah kena digerayangi anak muda itu, sebab itulah di samping merasa kagum terhadap kepandaian mencopet orang, ia pun merasa mendongkol dan jengah karena badannya telah kena diraba.
Begitulah anak muda kecil itu sedang berkata dengan tertawa.
"Harap Han-heng jangan marah, lantaran aku tidak berduit, terpaksa pinjam duitmu untuk berlagak sebagai cukong!"
Habis itu ia terus membuka dompet milik Han Pwe-eng dan semua isi uang perak receh ditumplekkan ke atas meja, lalu berkata kepada pelayan.
"Coba hitung, cukup tidak sepuluh tahil?"
Sementara itu kasir restoran juga sudah mendekat tiba, sebagai ahli uang, sekali pandang saja ia lantas tahu jumlahnya, dengan tertawa ia pun menjawab.
"Terlalu banyak, sudah lebih dari sepuluh tahil!"
"Sisanya ambil saja!"
Kata si anak muda dengan lagak cukong benar- benar. Tentu saja pelayan kegirangan dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih.
"Aku sudah membereskan rekeningmu, sekarang sudah waktunya dompet ini kembali kepada yang berhak,"
Ujar si anak muda sambil menyodorkan dompet kepada Han Pwe-eng.
"Jika sakumu sedang kering, boleh kau simpan saja untuk digunakan seperlunya,"
Kata Pwe-eng dengan hambar, dalam hati ia rada mendongkol.
"Han-heng benar-benar seorang teman sejati,"
Ujar si anak muda dengan tertawa.
"Bila engkau menghendaki demikian, maka aku pun tidak sungkan- sungkan lagi untuk menyimpan dompetmu ini."
Begitulah mereka lantas meninggalkan restoran itu. Kemudian Han Pwe- eng berkata kepada anak muda itu.
"Banyak terima kasih atas hantuan saudara tadi, sampai bertemu kelak."
Tapi anak muda itu ternyata enggan untuk mengucapkan selamat berpisah, dia masih terus mengintil di belakang Han Pwe-eng, katanya.
"Nanti dulu, Han-heng! Aku belum mengetahui namamu yang terhormat!"
Biarpun merasa mendongkol, tapi apa pun juga orang sudah membantu kesukarannya tadi, sekarang orang ingin tahu namanya, betapa pun tidak pantas untuk menolaknya, tapi ia pun tidak ingin memberitahukan nama aslinya yang benar, maka ia menjawab.
"Aku bernama Eng, lengkapnya Han Eng. Dan, aku pun belum tahu namamu."
"Siau-te she Kiong bernama Kim-hun,"
Jawab si anak muda.
"Oh-hong To-cu yang disebut-sebut mereka tadi adalah ayahku."
Memang Han Pwe-eng sudah dapat menerka siapa anak muda itu, maka ia pun tidak perlu terkejut demi mendengar jawaban ini. Cuma setelah mendengar nama orang, tanpa terasa hatinya tergerak dan membatin.
"Aneh, Kiong Kim-hun, nama ini seperti nama anak perempuan saja."
Tapi kuatir terjadi salah paham, maka ia pun tidak berani bertanya lebih lanjut. Menyusul Kiong Kim-hun lantas berkata pula.
"Kalau dibicarakan, bahkan Kong-sun Bok dan keluarga kami boleh dikata ada hubungan turun- temurun, cuma mungkin dia sendiri tidak mengetahui."
Kembali Han Pwe-eng pikir lebih baik menjauhi saja orang-orang dari kalangan Sia-pay ini.
Baru dia bermaksud mencari jalan buat melepaskan diri, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda, waktu Pwe-eng berpaling ke sana, tertampak seorang penunggang kuda sedang kabur ke jalan sana dengan cepat sekali, penunggang kuda itu tidak jelas kelihatan, tapi kuda itu terang adalah kuda pemberian Hi Giok-kun.
Keruan ia terkejut, cepat ia mengejar dengan segenap ginkangnya.
Tapi betapa hebat Ginkangnya toh tidak lebih cepat dari lari kuda itu.
Dalam sekejap saja kuda itu sudah keluar kota dan lenyap di kejauhan.
Waktu ia kembali ke hotelnya, ternyata di situ sedang ribut.
Melihat Pwe- eng sudah kembali, dengan sikap gugup pemilik hotel lantas minta maaf dan memberitahu bahwa kuda sang tamu telah dicuri orang.
Pwe-eng menduga maling kuda itu pasti bukan maling biasa, tapi sengaja mencari perkara padanya, maka tiada gunanya banyak bicara dengan pemilik hotel itu, segera ia menjawab.
"Sudahlah, seekor kuda saja tidak menjadi soal, tak perlu kau pikirkan."
Tiba-tiba seorang menimbrung di belakangnya.
"Benar, hanya seekor kuda saja tidak menjadi soal. Jangan kuatir, Han-toako, bila perlu nanti aku pun mencurikan seekor kuda bagimu, tanggung jauh lebih baik daripada kudamu yang dicuri itu."
Ternyata yang bicara itu adalah Kiong Kim-hun, si anak muda dekil pencari arang, entah sejak kapan dia juga masuk ke hotel itu.
Wajah Kiong Kim-hun masih kotor penuh debu hangus, bajunya juga banyak tambalan, ditambah lagi bicaranya tentang mencuri segala, keruan semua orang menjadi melengak dan menatap ke arahnya.
"Ah, Kiong-heng ini suka bergurau saja,"
Kata Pwe-eng kemudian.
"Tapi Kiong-heng tidak perlu kuatir bagiku, silakan Kiong-heng pulang ke rumah saja."
"Pulang ke rumah? Kau suruh aku pulang kemana?"
Jawab Kiong Kim- hun dengan tertawa.
"Justru lantaran aku tidak punya rumah untuk pulang, makanya aku datang ke sini mencari kau."
Sungguh mendongkol sekali Han Pwe-eng, ia pikir mengapa orang ini begini dablek, aku ingin menjauhi dia, tapi dia justru merecoki aku terus. Maka dengan sikap dingin Pwe-eng bertanya.
"Mencari aku untuk apa?"
"Untuk mencari tempat tinggal kan?"
Sahut Kiong Kim-hun.
"Bukankah engkau menyewa kamar di sini, malam nanti kita kan dapat tidur satu ranjang dan bicara sepanjang malam."
Wajah Pwe-eng menjadi merah, katanya dengan dingin.
"Maaf, aku tidak biasa tidur sekamar dengan orang. Besok pagi aku perlu melanjutkan perjalanan, mana aku dapat bicara dengan kau sepanjang malam."
Kiong Kim-hun mengerut kening, katanya kemudian dengan tertawa.
"Baiklah, engkau tidak mau menerima diriku, terpaksa aku mencari jalan lain."
Segera ia merogoh keluar dompet asal milik Han Pwe-eng itu, lalu katanya pula.
"Untunglah dompetmu ini cukup padat. Nah, pengurus, berikan satu kamar kelas satu padaku!"
Berbareng ia comot satu biji emas dan disodorkan kepada pengurus hotel itu.
Keruan si pengurus hotel terbelalak matanya melihat betapa royalnya anak muda dekil itu, padahal dandanannya mirip kaum gelandangan atau pengemis.
Maka ia menjadi ragu-ragu untuk menerima biji emas itu.
"Apa yang kau pelototi?"
Omel Kiong Kim-hun.
"Memangnya kau tidak pernah melihat emas? Nah, ambil saja, tukarkan menjadi uang pecah untuk membayar sewa kamar, sisanya ambil saja sebagai persen. Han-toako, kau telah memberikan dompetmu ini padaku, tentunya kau tidak keberatan kalau aku menggunakan uangmu bukan?"
"Barang yang sudah kuberikan, sudah tentu terserah cara bagaimana kau akan menggunakannya,"
Jawab Pwe-eng mendongkol.
"Bagus, aku harus berterima kasih pula atas kebaikan hatimu,"
Ujar Kiong Kim-hun dengan tertawa.
Dari percakapan mereka itu baru pengurus hotel mau percaya bahwa emas itu berasal dari pemberian Han Pwe-eng dan bukan barang gelap alias barang curian, maka tanpa sangsi lagi ia pun menerima biji emas tadi.
Seketika pula sikapnya berubah, segera ia berteriak menyuruh pelayan membawa Kiong Kim-hun ke suatu kamar kelas satu yang paling bagus.
Pwe-eng lantas kembali ke kamarnya sendiri, ia kuatir kalau Kiong Kim- hun datang merecokinya lagi, syukur anak muda itu tidak ikut ke kamarnya.
Tapi ketika Han Pwe-eng menutup pintu kamarnya dan menyalakan lampu minyak, kembali ia terkejut demi mengetahui keadaan kamarnya itu.
Ternyata kasur selimutnya dalam keadaan kacau-balau, rangselnya juga sudah terbuka, jelas barang-barang itu telah diobrak-abrik orang.
Padahal di dalam rangselnya terdapat dua pasang pakaian laki-laki pemberian Hi Giok-kun, ada pula dua pasang pakaian wanita yang baru, yaitu pakaian pengantin yang sedianya akan dipakai sendiri, selain itu ada pula beberapa bentuk perhiasaan serta tigapuluhan tahil perak.
Ia coba periksa isi buntalannya itu, pakaian-pakaian masih utuh, tapi perhiasan dan perak sudah lenyap.
Sebagai orang yang sedikit banyak sudah berpengalaman di dunia Kang- ouw, setelah berpikir sejenak segera Han Pwe-eng tahu duduknya perkara, tentu Coh Tay-peng dan kawan-kawannya itu menyangsikan asal-usulnya, mereka anggap diriku sebagai Kiong Kim-hun, untuk lebih meyakinkan mereka, maka di samping mengadakan kontak di loteng restoran itu, begundalnya juga dikirim untuk menggeledah bekalnya di kamar hotel itu.
Mungkin orang yang menggeledah itu mengetahui diriku bukan orang dari Oh-hong-to segala, supaya tidak pulang dengan tangan hampa, maka mereka pun sekalian menyambar perhiasan dan uang perak serta kuda tunggangannya itu sebagai pelampias rasa dongkol mereka, demikian pikir Han Pwe-eng.
Kehilangan perhiasan dan uang perak sebenarnya bukan soal bagi Han Pwe-eng, cuma dompetnya sudah diberikan kepada Kiong Kim-hun, sekarang dia sudah tidak membekal satu peser pun, hal ini yang membuatnya serba susah.
Padahal jarak ke Lok-yang masih ada beberapa ratus lie jauhnya, lalu darimana diperoleh biaya? Untung sewa kamar sudah dibayar orang, tapi bagaimana dengan hari-hari selanjutnya? Memangnya harus meniru cara Kiong Kim-hun menjadi pencopet? Begitulah dengan rasa kesal Pwe-eng berbaring di tempat tidurnya, sepanjang malam ia tak berani tidur, pertama, ia kuatir diganggu oleh Coh Tay-peng dan kawan-kawannya itu, kedua, ia pun kuatir direcoki lagi oleh Kiong Kim-hun.
Maka sebelum fajar tiba ia sudah bangun, ia hanya pesan pelayan agar jangan membangunkan Kiong Kim-hun, segera ia meninggalkan hotel itu.
Sekeluarnya dari kota itu barulah fajar menyingsing.
Jalanan masih sepi karena terlalu pagi, baru dia mau melanjutkan perjalanan dengan ginkang, tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang memanggilnya.
"Han-toako, tunggu! Mengapa kau berangkat secara diam-diam, payah benar aku mengejar engkau!"
Siapa lagi dia kalau bukan Kiong Kim-hun yang ingin ditinggalkan oleh Han Pwe-eng itu, ternyata dia menyusul tiba pula.
Tapi sekarang Kiong Kim- hun sudah berganti pakaian baru, wajahnya yang cakap itu sekarang tampak putih bersih, benar-benar seorang pemuda yang tampan, bedanya seperti langit dan bumi dengan macamnya yang kotor kemarin itu.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mendongkol terpaksa Han Pwe-eng menegurnya.
"Kau mau apalagi datang ke sini? Kita bertemu secara kebetulan dalam perjalanan, habis itu kita boleh berpisah dan menuju arah sendiri-sendiri, mana aku berani minta diantar olehmu."
"Aku tidak datang buat mengantar keberangkatanmu, tapi aku datang untuk membayar hutang,"
Jawab Kiong Kim-hun tertawa.
"Kan sudah kukatakan kuberikan padamu, maka kau tidak perlu bayar kembali,"
Kata Pwe-eng.
"Jika begitu anggaplah aku balas memberikan uang padamu saja,"
Ujar Kiong Kim-hun.
"Semalam aku telah mendapatkan rezeki, duit yang kuperoleh terlalu banyak, kupikir adalah layak jika aku membalas kebaikanmu, maka hendaklah kau jangan menolak pemberianku ini."
Habis berkata ia terus mengeluarkan sebuah dompet uang, ternyata bukan dompet asal milik Pwe-eng itu. Lalu katanya pula.
"Dompet ini adalah buatanku sendiri, harap engkau suka menerimanya sebagai tanda mata."
Sesungguhnya Han Pwe-eng juga sedang susah karena kehabisan sangu, maka sesudah berpikir sejenak, akhirnya ia pun terima pemberian Kiong Kim-hun itu, katanya.
"Baiklah, banyak terima kasih atas hadiahmu ini. Nah, sampai bertemu pula kelak."
Tiba-tiba Kiong Kim-hun mengikik tawa, katanya.
"Ai, engkau ini mengapa tergopoh-gopoh begitu? Bicara belum seberapa patah kata masakah kau lantas mengusir aku?"
Meski dia bicara dengan mengulum senyum, tapi sikapnya tampak rada-rada menyesal dan membikin orang terharu serta menaruh kasihan padanya. Tiada jalan lain, terpaksa Han Pwe-eng berkata.
"Bicara terus terang, sesungguhnya aku perlu buru-buru meneruskan perjalanan, bukan maksudku hendak mengusir kau."
"Kau hendak menuju kemana, Han-heng?"
Tanya Kiong Kim-hun.
Karena di restoran itu kemarin Pok Yang-kian sudah mengatakan dia adalah orang keluarga Han dari Lok-yang, waktu itu Kiong Kim-hun yang duduk semeja dengan dia tentunya juga mendengar, untuk membohongi terang tidak dapat, maka secara blak-blakan lantas menjawab.
"Aku harus mencapai Lok-yang dalam waktu tujuh hari ini."
"Aha, kebetulan sekali, aku pun hendak pergi ke Lok-yang,"
Seru Kiong Kim-hun. Runyam pikir Han Pwe-eng, maksudnya hendak melepaskan diri dari recokan orang, siapa tahu kembali kena disusul pula. Melihat Han Pwe-eng diam saja, Kiong Kim-hun mengerut kening dan bertanya.
"Han-toako, apakah kau jemu padaku?"
"Ah, mana bisa jadi, hendaklah kau jangan berpikir begitu,"
Jawab Pwe- eng.
"Aku hanya kuatir perjalanan ini tidak aman, musuhku banyak pula, jangan-jangan akan membikin susah padamu."
"Jika Han-toako benar-benar tidak jemu padaku, maka legalah hatiku,"
Kata Kiong Kim-hun sambil tertawa manis dengan lirikannya yang menggiurkan. Seketika timbul rasa curiga Han Pwe-eng, pikirnya.
"Makin dipandang makin mirip perempuan, jangan-jangan dia memang benar seorang perempuan yang menyamar sebagai lelaki seperti diriku?"
Dalam pada itu Kiong Kim-hun sudah menyambung lagi.
"Han-toako, kau tidak perlu kuatir asal aku dalam perjalanan bersama engkau, tanggung sepanjang jalan aman sentosa. Seumpama ada musuh mencari perkara padamu, dengan kekuatan kita berdua juga lebih baik daripada engkau sendirian. Apalagi aku dapat menunjukkan jalan yang lebih dekat, tidak sampai tujuh hari engkau pasti dapat sampai di Lok-yang."
Lantaran tidak dapat menolak lagi, pula Pwe-eng mencurigai Kiong Kim- hun sebagai perempuan, tentunya tidak berhalangan dalam perjalanan bersama seorang perempuan.
Apalagi dalam perjalanan nanti bila ada kesempatan tentu dapat memancing keadaan diri orang yang sebenarnya.
Karena itu akhirnya Pwe-eng menerima baik permintaan Kiong Kim-hun dan keduanya lantas meneruskan perjalanan.
Pwe-eng sengaja hendak menguji kepandaian Kiong Kim-hun, begitu memasuki jalan pegunungan segera ia berlari cepat dengan Ginkangnya yang tinggi.
"Hebat benar kepandaianmu, Han-toako!"
Seru Kiong Kim-hun dengan tertawa sambil mengikut kencang di belakang Pwe-eng.
Sekaligus mereka berlari-lari beberapa puluh lie jauhnya, Pwe-eng mulai merasa lelah, lalu ia menghentikan langkahnya.
Ketika ia menoleh, dilihatnya Kiong Kim-hun tetap berada di belakangnya dengan air muka tenang-tenang saja, napasnya pun tidak memburu, tampaknya Ginkang orang bahkan lebih hebat daripadanya.
Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pedang Abadi -- Khu Lung