Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 6


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Lantaran dia sengaja menunggu musuh melompat masuk kamar dan kemudian akan dibekuk, maka ia sendiri menjadi kena dikerjai oleh Kiong Kim-hun.

   Sebaliknya Kiong Kim-hun juga berbuat kesalahan, memandang enteng lawannya, ia tidak tahu bahwa pihak lawan sudah siap sedia sebelumnya dan masih dalam keadaan sadar.

   Ketika melihat keadaan di dalam kamar tidak ada suara apa-apa, segera ia masuk ke dalam dengan menerobos jendela.

   Dan baru saja hendak mengangkat guci arak yang terletak di sudut kamar itu, tiba- tiba terasa angin mendesir, pedang Hi Giok-kun telah menikam punggungnya.

   Serangan Giok-kun ini tidak dimaksudkan membinasakan Kiong Kim- hun, tapi hanya untuk menusuk "Hong-hu-hiat"

   Di punggungnya.

   Namun serangan inipun sangat ganas dan keji, bayangkan saja, seorang yang sedang membungkuk untuk mengangkat sesuatu, cara bagaimana mampu menahan serangan dari belakang itu? Untunglah Kiong Kim-hun sangat cekatan, pada detik yang berbahaya itu, sekonyong-konyong ia luruskan tubuh terus menjatuhkan diri ke depan.

   Keruan Hi Giok-kun berbalik kaget, ia merasa pedangnya belum mengenai sasarannya, mengapa orang sudah roboh lebih dulu.

   Pada saat lain, cepat sekali sebelah kaki Kiong Kim-hun lantas menggantol guci arak yang punya bobot tigapuluhan kati itu, sekali ujung kakinya mencungkit, kontan guci itu melompat ke atas.

   "Silakan tusuk saja!"

   Bentaknya.

   Sudah tentu Hi Giok-kun kuatir menusuk pecah guci araknya itu, lekas ia tarik kembali pedangnya.

   Kesempatan itu segera digunakan Kiong Kim-hun untuk melompat bangun, sekali sambar ia dapat memegang tali yang mengikat kedua sisi kupingan guci, maka jatuhlah guci itu ke dalam tangannya.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali Hi Giok-kun lantas melancarkan serangan kedua dan ketiganya.

   Dengan menjinjing guci arak Kiong Kim-hun terus melompat keluar jendela.

   "Lekas kemari, Koko!"

   Seru Giok-kun memanggil kakaknya sambil mengejar maju dan berturut-turut menyerang lagi tiga kali. Saat itu Kiong Kim-hun sempat melolos pedangnya, ketika melompat keluar jendela ia pun putar pedangnya ke belakang dengan tiga kali gerakan.

   "trang-trang-trang", tangan Hi Giok-kun kesemutan, pedangnya terbentur lepas dari cekalan dan jatuh ke tanah. Kepandaian mereka berdua sebenarnya sembabat dan sukar menentukan kalah menang, tapi lantaran Hi Giok-kun sudah mengisap sedikit obat bius tadi, dengan sendirinya ia tidak dapat menandingi Kiong Kim-hun. Sesudah pedangnya jatuh, ia bermaksud mengejar terus, namun kepalanya lantas terasa pusing, mata pun berkunang-kunang, hampir-hampir tidak dapat berdiri tegak. Keruan ia terkejut, cepat ia menghirup udara segar panjang- panjang, habis itu baru terasa rada segar. Di sebelah sana belum Kiong Kim-hun melintasi serambi, sekonyong- konyong seorang membentak padanya.

   "Taruh!"

   Sesosok bayangan mendadak menubruk tiba.

   Nyata Hi Giok-hoan adanya.

   Dari angin pukulan orang, segera Kiong Kim-hun mengetahui kekuatan Giok-hoan jauh di atas dirinya, sukar rasanya untuk mematahkan pukulan itu.

   Tiba-tiba timbul akalnya seperti tadi, kembali ia lemparkan guci arak ke arah Hi Giok-hoan sambil berkata.

   "Ah, mengapa kau begini pelit? Ini kukembalikan!"

   Giok-hoan juga kuatir guci itu jatuh pecah, segera ia ubah pukulannya menjadi cengkeraman, guci arak itu kena dipegangnya. Lalu serunya.

   "Bagaimana kau, Moay-moay!"

   "Tidak apa-apa, lekas kau bekuk maling itu!"

   Jawab Giok-kun. Ternyata Kiong Kim-hun tidak menunggu orang membekuknya, dia sendiri bahkan lantas menubruk maju, dengan jurus "Giok-li-tau-soh", segera pedangnya mengincar tenggorokan Hi Giok-hoan.

   "Maling cilik yang kejam!"

   Damprat Giok-hoan dengan gusar. Jarinya lantar menyelentik.

   "creng", dengan tepat batang pedang terselentik dan terpental balik hendak menusuk Kim-hun sendiri. Di tengah malam gelap cara Giok-hoan menyelentik pedang sebenarnya teramat bahaya, tapi juga sangat indah. Tapi hal ini rupanya sudah dalam perhitungan Kiong Kim-hun, ketika pedangnya terselentik oleh jari lawan, sebelah tangannya juga lantas menyodok ke dada Giok-hoan. Terpaksa pemuda itu gunakan tangan lain untuk menangkis dan karena itu guci arak yang dipegangnya itu kena direbut kembali oleh Kiong Kim-hun.

   "Kepandaianmu sangat tinggi, aku tidak dapat melukai kau, aku cuma ingin minta guci arak ini saja,"

   Kata Kim-hun dengan tertawa. Giok-hoan sangat mendongkol, dampratnya pula.

   "Jika guci arak itu tidak kau taruh, biarpun kau tidak mau melukai aku, juga aku akan melukai kau!"

   Sesudah bergebrak ia pun sudah tahu kepandaian Kim-hun sangat lihai, maka tidak berani lagi memandang enteng lawannya, segera ia pun melolos pedang untuk melabrak.

   Dengan menjinjing guci arak, Kiong Kim-hun sengaja melangkah ke kanan dan ke kiri seperti orang sempoyongan, tapi sebenarnya ia sengaja menggunakan guci arak itu sebagai tameng, sebab ia tahu Giok-hoan pasti tidak ingin membikin pecah guci itu.

   Beberapa jurus pula, mendadak Giok-hoan keluarkan serangan yang amat bagus, dengan tepat sekali pedangnya memotong putus tali pegangan guci arak itu tanpa menyentuh badan gucinya.

   Berbareng itu ia terus menubruk maju dan berhasil memegang guci arak itu sebelum terjatuh.

   "Ai, tampaknya kau benar-benar sangat pelit!"

   Kata Kiong Kim-hun.

   "Baiklah, biar kita sama-sama tidak minum arak saja."

   Habis berkata, baik pedangnya maupun sebelah tangan yang lain, sekaligus ia melancarkan serangan hebat.

   Kuatir guci araknya hancur, Giok-hoan melayani serangan lawan dengan sangat berhati-hati.

   Ketika Kiong Kim-hun dapat menahan pedang lawannya, tangan kiri segera menolak ke depan.

   Karena tidak tersangka-sangka, guci yang dipegang Hi Giok-koan itu tertempel oleh tangan Kiong Kim-hun.

   Meski tenaga Giok-hoan jauh lebih besar daripada Kiong Kim-hun, tapi dia cuma menggunakan sebelah tangannya untuk merangkul guci arak, guci itupun halus dan licin, betapa pun kuatnya tangan juga tidak gampang memegangnya dengan erat.

   Maka waktu Kim-hun memutar sedikit tangannya terus menahan ke bawah, lalu didorong ke samping, seketika guci arak itu terlepas dari pelukan Hi Giok-hoan dan melayang ke udara.

   Tanpa ayal lagi Kiong Kim-hun lantas ikut melompat ke sana, tangannya menjulur dan guci itupun kena disanggahnya pula dengan selamat.

   Beberapa kali kejadian itu berlangsung dengan cepat luar biasa, hanya dalam sekejap saja guci arak itu sudah berganti tangan tiga kali di antara mereka berdua.

   Dengan gusar Hi Giok-hoan lantas membentak.

   "Bangsat, kau ingin jiwamu atau ingin araknya?"

   Dengan cepat sekali pedangnya lantas menyambar pula ke punggung lawan, sekali ini dia sudah tidak kenal ampun lagi.

   Namun pada waktu merebut guci arak tadi Kiong Kim-hun sudah melihat keadaan sekitarnya, begitu guci terpegang, segera ia berkelit terus melompat ke bawah.

   Tak terduga, baru saja tubuhnya melejit ke atas, segera terdengar angin tajam menyambar tiba, seorang telah menyerangnya dari samping dengan pedang yang gemerlap, kiranya Hi Giok-kun sudah maju lagi untuk membantu sang kakak.

   Dalam keadaan terjepit, sukar bagi Kiong Kim-hun untuk menghindarkan serangan dari kanan-kiri itu, diam-diam ia mengeluh bisa celaka.

   Syukurlah pada detik yang berbahaya itu mendadak dari samping menyelonong tiba sebuah payung.

   "trang", pedang Hi Giok-hoan tertangkis pergi. Girang Kiong Kim-hun tak terkatakan, berbareng pedangnya juga menyampuk ke samping sehingga serangan Giok-kun tadi tertangkis, saking kerasnya benturan itu sehingga pedang Giok-kun terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah.

   "Maaf, aku ingin minum araknya dan juga ingin menyelamatkan jiwa, aku tidak dapat main-main lebih lama lagi dengan kalian!"

   Seru Kiong Kim- hun dengan tertawa, terus melompat ke bawah dan berlari ke tempat parkir kereta keledai. Hi Giok-kun terkejut dan gusar pula karena pedangnya tertangkis oleh sebuah payung, bentaknya.

   "Bagus, kiranya kalian berdua maling cilik ini memang sengaja cari perkara!" ~ Berturut-turut kembali ia menyerang pula tiga kali dengan gemas.

   "Creng-creng", dengan ujung payungnya dapatlah orang itu mematahkan dua kali serangan Hi Giok-hoan yang lihai itu. Ketika serangan ketiga tiba, mendadak payung orang itu menahan ke bawah sehingga pedang Hi Giok- hoan tertindih, lalu orang itu pun berseru.

   "Bagaimana persoalannya ini, Kiong-heng?"

   Tak perlu dijelaskan lagi, tentunya sudah dapat diduga bahwa orang yang bersenjatakan payung ini tentunya Kong-sun Bok adanya. Maka Kiong Kim- hun telah menjawabnya.

   "Pada saat gawat ini tak dapat kujelaskan, lekas kau kemari saja!"

   Dengan kuat Hi Giok-hoan melolos keluar pedangnya dari tindihan payung lawan, berbareng ia membentak pula.

   "Percuma saja kau berkepandaian tinggi, ternyata kau berkomplot dengan iblis tua itu. Hm, hendak lari kemana kau!"

   Menyusul pedangnya menusuk pula disertai pukulan Siau-yang-sin-kang.

   Kong-sun Bok berpikir memang kesalahan terletak pada Kiong-heng yang telah mencuri barangnya, tapi dari nada ucapan Hi Giok-hoan itu ia pikir tentu pula ada alasannya, betapa pun akan kubantu dia dahulu dan urusan belakang.

   Belum habis berpikir, cepat sekali serangan pedang dan pukulan Hi Giok-hoan sudah tiba.

   Tapi mendadak Kong-sun Bok membalik tubuh dengan punggung menghadap Hi Giok-hoan, lalu melompat ke bawah.

   Bahwasanya dalam pertempuran mendadak memberi punggung kepada musuh, cara ini sama dengan tidak terjaga dan membiarkan musuh menyerang dengan bebas, hal ini sama sekali bertentangan dengan teori ilmu silat.

   Hi Giok-hoan berbalik terkejut dan ragu-ragu karena tidak tahu tipu muslihat apa yang dipasang oleh musuh, ia pun kuatir sekali hantam lawannya terbinasa.

   Padahal urusannya cuma satu guci arak Pek-hoa-ciu, hilang arak dapat dibuat lagi, kalau jiwa melayang sukar diganti pula, rasanya tidaklah setimpal kalau cuma soal satu guci arak harus membunuh jiwa orang.

   Secepat kilat pikirannya timbul, secepat itu pula ia menahan serangannya.

   Akan tetapi gerak serangannya itu teramat cepat dan keras sehingga sukar dihentikan seketika, betapa pun tetap mengenai punggung Kong-sun Bok.

   "Banyak terima kasih atas kemurahan hati saudara, nanti kalau aku sudah tahu jelas duduknya perkara akan kucari kau untuk minta maaf,"

   Kata Kong-sun Bok sambil melompat ke bawah.

   Ketika tangan Hi Giok-hoan menyentuh tubuh lawan, sekonyong- konyong ia merasa badan tergetar panas seperti tersengat listrik, tanpa tertahan ia tergentak mundur dua-tiga tindak.

   Kiranya dia tergetar mundur oleh getaran "Hok-teh-sin-kang" (tenaga sakti pelindung badan) yang dimiliki Kong-sun Bok.

   Pukulannya itu menggunakan Siau-yang-sin-kang yang bertenaga keras, karena tenaga itu tergetar balik, dengan sendirinya badan sendiri terasa panas.

   Untung juga timbul rasa welas-asihnya tadi sehingga dia telah menahan sebagian besar tenaga pukulannya itu, kalau tidak, mungkin ia sendiri sudah terluka parah.

   Hi Giok-kun masih penasaran, sekaligus ia menghamburkan enam buah pisau ke arah kereta keledai.

   Saat itu Kong-sun Bok sudah sampai di pinggir kereta dan berdiri sejajar dengan Kiong Kim-hun, ketika mendengar suara sambaran senjata rahasia itu, dengan tersenyum ia berkata.

   "Maaf nona!"

   Ia terus pentang payungnya dan diputar dengan cepat, terdengarlah suara mendering nyaring, enam buah pisau kena digentak terbang ke udara, satu pun tidak mengenai sasaran.

   Padahal payung Kong-sun Bok itu hanya buatan dari kain, tapi sanggup mengguncang terbang pisau yang menghujaninya, kepandaian ini membikin Hi Giok-kun melongo kesima.

   Sementara itu Kiong Kim-hun sudah mencemplak ke atas punggung keledai, katanya dengan tertawa kepada Kong-sun Bok.

   "Marilah kita pinjam pula dua ekor keledai mereka ini, satu kali curi dan dua kali curi toh sama saja!"

   Kong-sun Bok pikir memang tidak salah, kalau Pek-hoa-ciu orang yang berharga itupun sudah dicuri, apa artinya lagi kalau keledai-keledai dicuri pula? Sebab itulah dengan rasa menyesal ia pun mencemplak ke atas keledai kedua dan kabur dari hotel itu bersama Kiong Kim-hun.

   "Kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi daripada kita, tak perlu lagi dikejar,"

   Kata Hi Giok-hoan.

   "Tampaknya mereka bukan begundal Cu Kiu- bok, kalau tidak, serangannya tadi tentu takkan kenal ampun."

   "Tapi kita telah kehilangan Pek-hoa-ciu, lalu bagaimana, kita tetap menuju Lok-yang atau tidak?"

   Tanya Giok-kun.

   "Kok Siau-hong sudah pergi ke sana, masakah kau tidak jadi menyusul?"

   Ujar Giok-hoan dengan tertawa.

   "Pek-hoa-ciu hilang, biarlah aku menyembuhkan Han Tay-wi dengan kekuatan Siau-yang-sin-kang, paling- paling tenaga latihan setahun kukorbankan."

   Giok-kun menjadi tersipu, tapi memang tiada jalan lain, terpaksa begitulah. Sementara itu Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok sudah melarikan keledai mereka dengan cepat, ketika fajar tiba mereka sudah lebih duapuluh lie meninggalkan kota kecil itu.

   "Sekarang kita boleh mengaso dulu,"

   Ujar Kim-hun dengan tertawa.

   "Kongsun-toako, semalam engkau telah banyak membantu padaku. Eh, tampaknya kau rada-rada kurang senang?"

   "Kita telah mencuri barang orang, betapa pun aku merasa tidak enak di hati,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Hi, hi, selama setahun ini entah sudah berapa banyak barang orang yang kucuri, kalau tidak, mungkin aku sudah lama mati kelaparan,"

   Kata Kim-hun dengan mengikik tawa.

   Maklumlah, ayah-ibunya terkenal sebagai gembong iblis kalangan Sia- pay, meski dasar Kiong Kim-hun masih polos dan murni, mau tak mau terpengaruh juga beberapa sifat jelek kedua orang tuanya.

   Selama setahun ini dia minggat dari Oh-hong-to, segala biaya yang diperlukan adalah hasil curiannya dari orang kaya, ia merasa apa yang diperbuatnya bukanlah sesuatu yang jahat.

   Kong-sun Bok tersenyum saja atas jawaban Kim-hun tadi, ia pikir apa yang kau curi adalah milik orang kaya yang kikir dan serakah, sudah tentu tak dapat disamakan dengan mencuri milik orang baik-baik.

   Tapi lantaran persahabatannya dengan Kiong Kim-hun belum kental, pula bukan waktunya untuk adu mulut dengan dia.

   Tiba-tiba Kiong Kim-hun berkata pula.

   "Yang sudah lalu, tujuanku mencuri adalah untuk menghidupi diriku sendiri, tapi sekali ini aku mencuri satu guci arak adalah untuk menghidupkan orang lain. Arak ini meski berharga, tapi jiwa manusia lebih-lebih berharga. Apakah perbuatanku ini tidak pantas menurut kau?"

   "O, kiranya arak ini dapat digunakan menyembuhkan penyakit orang?"

   Kong-sun Bok menegas.

   "Kau sanggup memunahkan Siu-lo-im-sat-kang, mengapa tidak tahu akan khasiat arak ini?"

   Kata Kim-hun dengan tertawa.

   "Pek-hoa-ciu ini adalah obat mujarab satu-satunya di dunia ini yang dapat menyembuhkan luka pukulan Siu-lo-im-sat-kang."

   "Aha, tahulah aku, jadi kau mencuri ini demi Han-toako?"

   Kata Kong-sun Bok, dia baru sadar persoalannya.

   "Benar,"

   Sahut Kim-hun.

   "Semoga kita dapat menyusulnya tepat pada waktunya, jika Han-toako tidak terluka oleh pukulan berbisa Siu-lo-im-sat- kang, maka arak ini akan dapat kita kembalikan kepada pemilik asalnya."

   "Tapi dengan kejadian semalam, kedua kakak beradik itu tentu menyangka kita adalah begundal iblis tua she Cu itu,"

   Kata Kong-sun Bok dengan menyeringai. Kiong Kim-hun paham jalan pikiran kawannya, dengan tertawa ia menjawab.

   "Daripada minta terang-terangan lebih baik mencuri secara gelap- gelapan saja, meski kedua kakak beradik itu bukan orang jahat, tetapi apakah gampang untuk membujuk mereka agar sudi memberikan araknya ini? Menolong jiwa orang lebih penting, curi saja kan beres."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kong-sun Bok jadi terkesiap, serunya cepat.

   "Ya, benar, menolong jiwa orang paling perlu. Lekas kita pergi mencari Han-toako."

   Dalam persoalan ini meski Kong-sun Bok akhirnya setuju atas tindakan Kiong Kim-hun itu, tapi ia tetap merasa perbuatannya kurang cocok dengan seleranya.

   Bagi Kiong Kim-hun justru kebalikannya, sepanjang jalan bersama Kong-sun Bok, perlahan-lahan dan tanpa terasa ia menjadi tertarik oleh sifat polosnya yang murni itu.

   Cuma lantaran benih asmaranya sudah tumbuh lebih dulu atas diri Han Pwe-eng, maka ia merasa Kong-sun Bok jauh daripada romantis dan menyenangkan seperti "Han-toako".

   Mengenai Han Pwe-eng, sejak berpisah dengan Kiong Kim-hun tempo hari, dalam hati ia menjadi geli sendiri, sungguh tidak tersangka bahwa dalam penyamarannya sebagai lelaki telah mengakibatkan Kiong-siocia jatuh cinta padanya.

   Karena dia buru-buru mau pulang, maka sedikit "selingan orang hidup"

   Itupun tak terpikir lagi olehnya.

   Dia sudah mendapatkan kembali kudanya, segera ia meneruskan perjalanan ke rumah.

   Lari kuda pemberian Hi Giok-kun itu sangat cepat, menurut perkiraan Han Pwe-eng akan dapat mencapai Lok-yang dalam waktu lima hari, maka hatinya sangat senang.

   Tak terduga baru dua hari dia meneruskan perjalanan, sepanjang jalan banyak ditemukan rakyat yang mengungsi.

   Makin dekat Lok-yang semakin banyak pula kaum pengungsinya.

   Dengan sendirinya ia tak bisa melarikan kudanya dengan leluasa, terpaksa ia melambatkan kudanya.

   Hari kelima kira-kira ratusan lie lagi akan mencapai kota Lok-yang, selagi berpapasan dengan serombongan pengungsi, tiba-tiba dilihatnya ada seorang tua di tengah rombongan pengungsi itu sedang menatapnya, sepeti ingin menyapa, tapi ragu-ragu.

   Waktu Pwe-eng mengamat-amati orang tua itu, tiba-tiba ia berseru heran.

   Kiranya kakek itu she Ong, tinggal satu kampung dengan dia.

   Cepat dia melompat turun dari kudanya, mendekati dan menegur kakek Ong untuk tanya keadaan di kampungnya.

   Ternyata kakek Ong mengungsi dengan segenap keluarganya, dua orang putera, seorang menantu perempuan dan seorang cucu perempuan berumur tujuh tahun.

   Dara cilik itu memandang Pwe-eng dengan terheran-heran, maklumlah, Pwe-eng dikenalnya sebagai seorang nona cantik, entah mengapa sekarang berubah menjadi jejaka.

   Dari penuturan kakek Ong itu kemudian Pwe-eng mendapat tahu bahwa pasukan Mongol sudah sampai di Hoan-sui, suatu kota kira-kira duaratus lie sebelah timur Lok-yang.

   Tapi mereka sudah mengungsi dalam perjalanan selama empat hari, entah bagaimana keadaan kota Lok-yang sekarang.

   Menurut kakek Ong, sebelum berangkat ia pun berkunjung ke rumah Han Pwe-eng untuk mohon diri kepada ayahnya karena kakek Ong merasa berhutang budi kepada tokoh silat yang mengasingkan diri itu, biasanya kakek Ong suka diberi obat serta diperiksa penyakitnya tanpa bayar.

   Besoknya sebelum kakek Ong dan keluarganya berangkat, ia mendatangi Han Tay-wi pula dengan maksud mengajaknya ikut mengungsi saja mengingat suasana sudah makin gawat.

   Tapi katanya pada pagi hari kedua itu rumah Pwe-eng tertutup rapat, meski pintu sudah digedor keras-keras tetap tidak dibuka, hal ini tidak pernah terjadi, bahkan sampai lama sekali tetap tiada suara jawaban orang di dalam.

   Keterangan terakhir ini membikin Pwe-eng heran dan ragu-ragu.

   Ia tahu betapa tinggi lwekang sang ayah, biarpun tidur nyenyak juga akan terjaga bangun asalkan mendengar sedikit suara orang saja.

   Apalagi di rumahnya masih ada seorang tukang masak, seorang tukang kebun dan dua orang pesuruh, masakah mereka pun tidak mendengar suara gedoran pintu.

   Lapat-lapat Pwe-eng merasakan alamat jelek, tapi ia pikir ilmu silat ayahnya yang maha tinggi itu, sekali pun dalam keadaan sakit, kalau orang Kang-ouw biasa saja sekali-kali bukan tandingannya kecuali ketemukan musuh kelas tinggi dari dunia persilatan.

   Apalagi hari sebelumnya kakek Ong masih bertemu dengan ayahnya, masakah cuma semalam saja bisa terjadi hal-hal yang luar biasa? Dengan pikiran sangsi Pwe-eng pikir perjalanan yang cuma sisa ratusan lie itu tentu dapat dicapai malam nanti, paling baik lekas menuju ke rumah saja, buat apa melamun di sini? Ia pikir pula jalanan sangat ramai dengan lalu-lalang kaum pengungsi, naik kuda tidak sebebas jalan kaki.

   Maka ia lantas berkata.

   "Paman Ong, kuberikan kuda ini padamu. Aku akan pulang ke rumah, semoga kita dapat berkumpul pula setelah keadaan aman kembali."

   Dalam keadaan perjalanan yang sulit itu, kuda pemberian Pwe-eng itu tentu saja sangat berguna bagi kakek Ong, berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih, ia pun memberi doa restu semoga nona Han itu senantiasa diberkahi keselamatan, suami-istri hidup rukun sampai ubanan.

   Dengan muka merah Pwe-eng mengucapkan terima kasih, lalu mereka pun berpisah.

   Sambil berjalan, pikiran Pwe-eng menjadi resah, pikirnya.

   "Suami-istri hidup rukun sampai ubanan apa segala? Tentunya ayah pun tidak mengira aku akan pulang dalam keadaan begini. Jauh-jauh aku pergi untuk menikah, tanpa dosa aku teraniaya, setelah peristiwa ini, soal perkawinan bagiku sudah tiada artinya lagi. Kaum lelaki di dunia ini kebanyakan berhati palsu, hidupku ini sudah puas asalkan dapat melayani ayah sampai hari tua. Tapi cara bagaimana aku harus bicara dengan ayah tentang urusanku ini?"

   Pwe-eng juga tahu Kok Siau-hong hendak pergi ke rumahnya, maka terpikir pula olehnya.

   "Sesungguhnya Kok Siau-hong juga teramat berani, ternyata dia sengaja hendak menemui ayah. Padahal aku cukup kenal watak ayah, beliau paling cinta dan sayang padaku, mana dapat membiarkan aku dihina orang? Kalau menuruti watak ayah yang keras itu, bila mengetahui urusanku ini, saking gusarnya bisa jadi jiwa Kok Siau-hong akan dicelakai. Biarpun Kok Siau-hong bersalah padaku, namun aku hanya menyesalkan nasibku sendiri yang buruk, tidaklah perlu ayah membunuhnya. Ya, aku harus mendahului dia sampai di rumah untuk menemui ayah."

   Sepanjang jalan kaum pengungsi semakin berjubel, agar dapat sampai di rumah lebih cepat, Pwe-eng lantas memilih jalan kecil yang melintasi bukit sana.

   Letak rumahnya berada di balik bukit, cuma jalan pegunungan tentunya jauh lebih sulit ditempuh, maka setiba di kampungnya sementara itu malam sudah tiba, rembulan sudah bercahaya di ujung langit.

   Tiada satu penduduk kampung yang dijumpai Pwe-eng, rumah-rumah yang dilalui juga tertutup rapat.

   Dari kakek Ong sudah diketahui oleh Pwe- eng bahwa orang-orang sekampung sudah mengungsi, maka ia pun tidak heran juga menemukan kampung dalam keadaan kosong.

   Akan tetapi setiba di depan rumahnya barulah dia sangat terperanjat.

   Rumah Pwe-eng adalah sebuah bangunan kuno yang amat luas dengan berpuluh buah kamar dan dibangun membelakangi bukit, sekelilingnya dipagari tembok.

   Kini tembok sudah banyak yang jebol dan pagar pun roboh, beberapa buah ruangan di tengah rumah kelihatan kosong melompong, di bawah cahaya bulan kelihatan tiang belandarnya hangus terbakar.

   Melihat gelagatnya di situ pernah terjadi kebakaran cuma segera dapat dipadamkan, hanya beberapa kamar dan ruangan yang terbakar.

   Pintu besar rumahnya terbuat dari kayu yang amat tebal dan juga ada tanda-tanda bekas terbakar, namun masih tertutup rapat.

   Pwe-eng tenangkan diri, pikirnya.

   "Entah dibakar orang atau terbakar karena kelalaian kaum pelayan. Melihat keadaannya, besar kemungkinan karena kelalaian kaum pelayan, semoga ayah tidak tercidera apa-apa. Sambil berpikir ia pun terus menerobos masuk ke dalam pekarangan melalui bagian pagar yang roboh sambil berteriak.

   "Ayah, ayah! Anak sudah pulang!"

   Berulang-ulang Pwe-eng berteriak, namun tiada jawaban dari sang ayah, bahkan suara kaum pelayan juga tidak terdengar.

   Karuan hatinya semakin cemas dan kuatir.

   Tiba-tiba tercium bau anyir busuk, sekilas terlihat olehnya di bawah semak bunga di pekarangan sana ada sesosok mayat, segera dapat dikenalnya sebagai mayat tukang kebun.

   Pwe-eng coba mendekatinya, dilihatnya kepala tukang kebun itu berlubang, sekali pandang saja lantas diketahui kematian itu akibat pukulan berat.

   Jika ayahnya yang memiliki ilmu silat maha sakti toh tidak sanggup melindungi kaum hambanya, maka dapat dibayangkan betapa lihai penyatron yang datang itu.

   Jantung Pwe-eng berdebar makin keras seakan-akan mau melompat keluar dari rongga dadanya, hendak berseru memanggil lagi juga sukar keluar dari kerongkongannya.

   Ia menyalakan geretan api, dengan pedang terhunus ia masuk ke dalam rumah dengan hati-hati.

   Pada undak-undakan batu diketemukan pula dua sosok mayat kedua pelayan tua, di ruangan belakang menggeletak juga mayat dayang perempuan yang biasanya melayaninya.

   Kedua pelayan tua itu sebenarnya juga punya kepandaian silat yang lumayan, meski tidak setinggi Tian It-goan dan Liok Hong yang pernah mengawalnya ke Yang-ciu tempo hari itu, namun untuk menghadapi dua- tigapuluh orang biasa saja cukup kuat.

   Dayang perempuan itupun pernah belajar silat padanya, bahkan lebih hebat daripada kedua pelayan tua.

   Namun sebelum sempat melolos pedang ternyata sudah dibinasakan oleh si penyatron.

   Melihat gelagatnya seakan-akan penyatron melakukan pembunuhan sesukanya tanpa mendapat perlawanan sedikit pun.

   "Siapakah penyatron yang kejam dan keji itu?"

   Pikir Pwe-eng dengan penuh dendam.

   Timbulnya amarah membuat rasa cemas dan takutnya lenyap.

   Paling-paling aku pun mengadu jiwa dengan kau, justru kuharap pihak musuh belum pergi dari sini.

   Demikian pikirnya.

   Kamar-kamar tengah yang terbakar itu justru adalah kamar tidur dan kamar tulis ayahnya serta sebuah ruang tamu, selain itu dua kamar atau gudang penyimpanan barang-barang antik koleksi ayahnya juga terbakar sebagian, barang-barang antik yang berharga berserakan memenuhi lantai dan sudah berubah menjadi puing.

   Di tengah timbunan puing itu tidak diketemukan mayat ayahnya, maka timbul satu titik harapan dalam benak Pwe-eng.

   "Mungkin ayah tidak dicelakai oleh penyatron itu. Tapi beliau berhasil menyelamatkan diri atau karena terluka parah dan kini bersembunyi di suatu tempat rahasia?"

   Karena pikiran itu, segera ia berteriak-teriak memanggil pula.

   "Ayah! Ayah!"

   Habis memanggil beberapa kali, lalu ia pasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat dengan harapan akan dapat mendengar suara jawaban sang ayah.

   Tidak terduga, suara jawaban ayahnya tidak terdengar, sebaliknya malah terdengar suara tertawa seorang yang seram dan membikin orang mengkirik.

   Waktu Pwe-eng menoleh, di bawah sinar bulan yang agak remang- remang dilihatnya seorang telah berdiri di tengah ruangan tamu yang terbakar itu, gerak tubuh orang itu benar-benar cepat luar biasa, sama sekali Pwe-eng tidak tahu bilakah orang masuk ke situ.

   Orang itu tak lain tak bukan adalah musuh besar keluarga Han, yakni Cu Kiu-bok.

   Empat tahun yang lalu Cu Kiu-bok melukai Han Tay-wi dengan Siu-lo- im-sat-kang, tapi dia sendiri juga menderita luka parah, Han Tay-wi yakin sebelum lukanya sembuh tentu ilmu silat Cu Kiu-bok juga belum dapat pulih, andaikan iblis tua itu berani datang menyantroni lagi, biarpun dalam keadaan setengah lumpuh juga Han Tay-wi sanggup mengatasinya, maka dari itu dia berani mengirim anak perempuannya ke Yang-ciu untuk menikah.

   Han Pwe-eng sendiri juga tidak menduga bahwa musuh yang datang sekarang ternyata Cu Kiu-bok adanya.

   Tapi sekarang Cu Kiu-bok sudah muncul di hadapannya, dari suara tertawanya tadi jelas tenaganya penuh, nyata ilmu silatnya sudah pulih seperti semula.

   Keruan Pwe-eng terkejut, dengan gusar ia pun membentak.

   "Kau..... kau iblis tua, kau....." ~ Biarpun terkejut oleh munculnya musuh besar secara mendadak, tapi ia pun tidak gentar. Sebenarnya Han Pwe-eng bermaksud menegur.

   "Kau telah mengapakan ayahku?" ~ Tapi terasa tidak enak pertanyaan demikian itu, sesungguhnya ia pun takut mendengar berita kematian ayahnya dari mulut iblis tua itu. Karena itu dengan suara gemetar ia tidak dapat menyambung ucapannya tadi. Sedangkan Cu Kiu-bok kembali terbahak-bahak, katanya.

   "Ha, ha, sayang, sungguh sayang!"

   "Sayang apa?"

   Damprat Pwe-eng dengan gusar, sedapat mungkin ia bersikap tenang untuk menghadapi musuh tangguh itu. Dia mendapat ajaran "Keng-sin-kiam-hoat"

   Dari ayahnya, ilmu pedang itu khusus disiapkan untuk melawan Cu Kiu-bok.

   Dahulu mereka ayah dan anak bergabung mengerubut Cu Kiu-bok dan iblis itu pernah tertusuk satu kali oleh pedang Pwe-eng.

   Tapi Pwe-eng menyadari kekuatan sendiri sekali-kali bukan tandingan lawan, paling-paling cari kesempatan untuk gugur bersama musuh.

   Maka diam-diam ia menimang jurus serangan mana yang paling tepat untuk mematikan iblis tua itu.

   Ternyata Cu Kiu-bok tidak lantas melancarkan serangan, mendengar pertanyaan Han Pwe-eng tadi kembali ia bergelak tertawa, katanya kemudian.

   "Ayahmu menyangka berhasil menggunakan tipu daya yang baik, tapi sayang, tipu muslihatnya tak dapat mengelabui aku. Kata-kata ini membikin Pwe-eng melengak heran malah, segera ia bertanya.

   "Tipu muslihat apa maksudmu?"

   "Ha, ha, sudah tahu pura-pura tanya,"

   Ejek Cu Kiu-bok dengan tertawa.

   "Biarlah aku bongkar terang-terangan tipu muslihat ayahmu saja agar kau kenal kelihaianku. Ayahmu memang setan yang cerdik, mungkin dia sudah mendapat kabar selentingan tentang munculnya kembali diriku di dunia Kang-ouw. Bahwasanya aku akan menuntut balas padanya tentu sudah diketahui olehnya. Jadi apa yang akan terjadi sekarang pasti juga sudah lama diperhitungkan olehnya....."

   "Memangnya kenapa lagi?"

   Tanpa tertahan Han Pwe-eng menyela tanya pula.

   "Sebab itu ayahmu lantas peras otak dan mendapatkan akal licik ini,"

   Kata Cu Kiu-bok.

   "Dia sengaja membakar rumahnya sendiri agar aku menyangka dia kedatangan musuh yang lain, rumahnya telah dibakar dan dia pun terbinasa, dengan begitu dia akan dapat menghindarkan pembalasanku."

   "Akal licik"

   Yang dikatakan itu sudah tentu sukar diterima oleh akal sehat, mana Han Pwe-eng mau percaya kepada dugaan Cu Kiu-bok itu. Dengan mendengus ia pun berkata.

   "Lantas siapa pula yang membunuh beberapa orang pelayan kami itu secara keji?"

   "Hm, pintar benar kau bermain sandiwara?"

   Jengek Cu Kiu-bok.

   "Huh masakah perlu kukatakan pula? Sudah tentu ayahmu sendiri yang membunuhnya secara keji."

   "Ngaco-belo!"

   Damprat Pwe-eng dengan murka hingga alisnya mengerut tegak. Melihat sikap si nona yang penuh kegusaran dan tampaknya tidak pura- pura itu, Cu Kiu-bok menjadi rada heran dan ragu-ragu apakah dugaannya yang keliru. Segera ia pun bertanya.

   "Kau baru pulang sampai di rumah bukan?"

   "Benar, memangnya mau apa?"

   Jawab Pwe-eng.

   "Itulah dia, pantas kau pun kena dikelabui oleh ayahmu sendiri!"

   Kata Kiu-bok dengan terbahak-bahak.

   "Orang-orang kami itu terang dibunuh olehmu, kau sungguh kejam sekali!"

   Damprat pula Pwe-eng dengan gusar.

   "Jika kau ingin menuntut balas boleh silakan bunuh saja diriku, tapi sekali-kali kau tidak boleh menista ayahku."

   "Ah, memangnya kau mampu kabur dari tanganku, buat apa terburu- buru?"

   Kata Kiu-bok.

   "Kalau kau hendak membela ayahmu, biarlah aku membongkar pula sesuatu tipu muslihatnya yang lain agar kau lebih kenal watak asli ayahmu sendiri."

   Menurut jalan pikiran Cu Kiu-bok, tentu Pwe-eng senantiasa anggap ayahnya adalah seorang laki-laki sejati, seorang kesatria berbudi luhur, bila dia membongkar rahasianya yang tercela itu, tentu Pwe-eng akan sangat berduka dan merana.

   Cara membalas dendam demikian tentu akan jauh lebih baik daripada ia menghantam mati anak dara itu dengan sekali pukul.

   Terpikir begitu, ia menjadi semakin senang, tanpa terasa ia tertawa terbahak-bahak pula.

   "Apa yang kau tertawakan?"

   Semprot Pwe-eng.

   "Berdasarkan apa kau menuduh ayahku yang membunuh anak buahnya sendiri?"

   "Lantas berdasar apa pula kau menuduh aku yang membunuhnya?"

   Jawab Cu Kiu-bok.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Memang betul, sekali aku turun tangan biasanya memang tidak kenal ampun kepada siapa pun juga. Jika aku datang ke sini satu-dua hari lebih dulu, bisa jadi aku pun benar-benar membabat habis seluruh isi rumah ini. Namun setiap korban seranganku seharusnya tidak meninggalkan bekas apa-apa di atas tubuh. Sekali hantam membikin remuk batok kepala orang, hal ini aku tidak dapat. Apalagi orang-orangmu yang terbunuh itu memiliki kepandaian silat yang lumayan, di zaman ini orang yang dapat sekali pukul membinasakan mereka mungkin cuma ketua Siau- lim-si atau Bu-tong-pay saja, masakah kedua tokoh terkemuka itupun akan datang ke sini untuk membunuh orang-orangmu?"

   Uraian Cu Kiu-bok ini rada masuk akal.

   Maklumlah, biarpun Siu-lo-im- sat-kangnya sangat lihai, tapi cara mematikan orang dengan ilmu pukulan itu bukan menggunakan tenaga kekerasan, tapi hawa dingin berbisanya yang membinasakan korbannya.

   Orang yang terkena pukulan Cu Kiu-bok, darah sekujur badannya akan membeku dan mati tanpa sesuatu tanda luka.

   Pwe- eng sendiri pernah bergebrak dengan Cu Kiu-bok, menurut taksirannya memang Cu Kiu-bok juga belum memiliki kepandaian setinggi itu dengan sekali hantam mematikan lawan.

   Sudah tentu sekali-kali Pwe-eng tidak percaya ayahnya tega membunuh pelayan yang telah berjasa dan mengabdi selama hidup padanya itu, namun mau tak mau timbul juga rasa sangsinya, pikirnya.

   "Tampaknya si pembunuh itu adalah orang lain lagi. Lalu siapakah gerangannya? Sudah barang tentu kata-kata iblis tua ini tak dapat dipercaya, namun untuk berbohong tentu juga ada tujuannya, buat apa dia mendustai aku tanpa alasan?"

   "Nah, sudahlah, kau boleh percaya dan boleh tidak, yang pasti sekarang aku harus membalas dendam!"

   Kata Cu Kiu-bok dengan tertawa.

   "Hayolah, silakan!"

   Bentak Pwe-eng sambil melolos pedangnya dan siap tempur.

   "Sebagai orang tua sebenarnya tidak pantas aku bertempur dengan kau, tapi kau pernah menusuk aku satu kali dengan pedangmu, aku harus menuntut balas. Baik begini saja, kau menyembah dan berguru padaku dan aku lantas mengampuni kau!"

   "Kentut busuk!"

   Bentak Pwe-eng dengan gusar.

   Segera pedangnya menusuk.

   Tapi segera pula ia menyadari telah tertipu oleh pancingan musuh.

   Menurut rencana Pwe-eng semula, karena merasa bukan tandingan musuh, dia harus menghadapi musuh dengan tenang dan bertahan sekuat mungkin, walaupun takkan menang, sedikitnya dapat gugur bersama musuh.

   Tak tahunya terdorong oleh rasa murka, dia telah terpancing oleh ucapan Cu Kiu-bok dan melancarkan serangan lebih dulu.

   Namun serangan yang sudah keluar sukar ditarik kembali, maka terdengar suara mendering nyaring berulang-ulang, menyusul terdengar suara kain terobek, kedua orang yang saling gebrak itu mendadak terpencar, ternyata lengan baju Han Pwe-eng sudah terobek sebagian.

   Rupanya dalam sekejap itu Han Pwe-eng telah menusuk tigabelas kali secepat kilat, ujung pedangnya selalu mengancam Hiat-to mematikan di tubuh musuh.

   Sedangkan Cu Kiu-bok sempat menyelentik sembilan kali di batang pedang si nona, selentikannya selalu mengenai batang atau gagang pedang secara tepat.

   Selentikan terakhir mestinya dapat mengenai dekukan telapak tangan (antara jari telunjuk dan ibu jari) dan membikin pedangnya terlepas dari cekalan, tapi lantaran Pwe-eng keburu mengetahui datangnya serangan itu, cepat sekali ia ubah gerak pedangnya sehingga terhindarlah dia dari malapetaka.

   Walaupun begitu tangannya juga terserempet dan terasa sakit pedas.

   "Cerdik amat kau anak dara ini!"

   Seru Cu Kiu-bok dengan tertawa.

   Sekonyong-konyong ia memutar tubuh, kedua tangannya memukul sekaligus, dengan cepat ia mencengkeram kedua pundak si nona.

   Dengan sedikit mengegos, segera Pwe-eng mengangkat pedangnya ke atas dengan maksud menabas tangan lawan.

   Akan tetapi Cu Kiu-bok lantas ganti serangan, tangannya memutar ke bawah untuk memotong pergelangan tangan Pwe-eng.

   Serangannya ini cukup lihai, tapi bukan tempat mematikan yang diarah, tampaknya dia cuma bermaksud merebut pedang saja, paling- paling melukai sedikit dan menghindari mencelakai jiwa Pwe-eng.

   Tapi Han Pwe-eng sudah bertekad mengadu jiwa, sedikit longgar serangan musuh, segera ia menusuk pula iga Cu Kiu-bok.

   Iblis itu pernah dilukai si nona, mau tak mau ia rada jeri terhadap ilmu pedang yang lihai itu, cepat ia mendoyong ke belakang untuk mengelakkan tusukan itu.

   Membayangkan keadaannya yang hampir dimakan serangan musuh tadi, diam-diam Pwe-eng berkeringat dingin.

   "He, he, sekarang kau kenal belum kelihaianku?"

   Jengek Cu Kiu-bok.

   "Untuk berkelahi terang kau bukan tandinganku, lebih baik kau ikut aku pulang saja. Kalau tidak, kau pasti akan menelan pil pahit lebih banyak lagi."

   "Bukan tandinganmu juga tetap bertanding!"

   Jawab Pwe-eng dengan murka, pedangnya mengacung miring ke depan dan siap menantikan serangan lebih jauh.

   "Kau ingin mengadu jiwa, aku justru akan menggagalkan cita-citamu dan akan kutangkap kau!"

   Jawab Cu Kiu-bok dengan menjengek.

   "Hm, setelah kutangkap budak busuk kau ini, lihat saja nanti bapakmu akan menongol atau tidak?"

   Baru sekarang Pwe-eng mengetahui apa sebabnya Cu Kiu-bok tidak menggunakan Siu-lo-im-sat-kang untuk menyerangnya, kiranya bermaksud menangkapnya sebagai sandera untuk memaksa ayahnya keluar dari tempat sembunyinya.

   Setelah paham maksud tujuan orang, dalam kuatirnya diam-diam Pwe- eng juga bersyukur, sebab kalau melihat gelagatnya sang ayah memang betul tidak tercidera di tangan musuh itu, buktinya iblis itu toh berusaha memancing keluar ayahnya.

   Sudah tentu Pwe-eng tidak mandah ditawan musuh, asalkan ayahnya masih hidup di dunia ini, biarpun mati baginya juga tidak menjadi soal.

   Andaikan tertangkap juga dia dapat membunuh diri nanti.

   Dengan tekad itu segera Han Pwe-eng menghadapi musuh dengan penuh semangat, ia mainkan Keng-sin-kiam-hoat dengan gencar dan rapat.

   Ilmu pedang ajaran ayahnya ini memang khusus disiapkan untuk menghadapi Cu Kiu-bok, biarpun kekuatan Han Pwe-eng belum cukup sehingga tak dapat mengalahkan musuh, tapi beberapa kali Cu Kiu-bok melakukan serangan juga selalu gagal.

   Diam-diam Cu Kiu-bok heran, hanya tiga tahun saja mengapa ilmu pedang ini sudah maju sepesat ini? Kalau aku tidak melukai dia, mungkin dia yang akan mencelakai aku.

   Tiada jalan lain, terpaksa harus membuatnya tahu rasa sedikit.

   Demikian pikirnya.

   Maka pada suatu kesempatan, setelah mengincar dengan tepat, mendadak jarinya menjentik.

   "cring", tepat punggung pedang Pwe-eng kena diselentik, caranya sama seperti tadi, hanya sekarang dia menggunakan dua bagian tenaga Siu-lo-im-sat-kang. Seketika Han Pwe-eng merasa pedang yang dipegangnya itu dingin melebihi es. Rupanya hawa dingin Siu-lo-im-sat-kang oleh Cu Kiu-bok disalurkan ke tangan Pwe-eng melalui batang pedangnya. Kontan Pwe-eng menggigil, namun pedang tetap digenggamnya dengan kencang tanpa terlepas. Cu Kiu-bok menjadi heran, baru dia hendak tambah tenaga untuk menyelentik lagi, sekonyong-konyong Pwe-eng telah mendahului menusuk dadanya. Serangan kilat ini benar-benar di luar dugaan Cu Kiu-bok, keruan ia menjadi kaget dan cepat mengelak. Cuma sayang, biarpun ilmu pedangnya bagus, namun tenaganya kalah kuat, hanya berhasil membalas menyerang beberapa kali, kembali ia terdesak pula oleh serangan Cu Kiu-bok. Kini iblis tua ini sudah dapat menyelami gaya serangan Keng-sin-kiam-hoatnya, ia menduga beberapa jurus lagi tentu akan kelihatan lubang kelemahannya. Tampaknya pada saat yang sudah diduganya, Han Pwe-eng pasti akan kecundang, syukurlah sebelum saatnya, tiba-tiba terdengar seruan seorang.

   "Ilmu pedang yang bagus!"

   Cu Kiu-bok benar-benar jago kawakan, meski terkejut oleh suara orang itu, namun sedikit pun ia tidak bingung.

   "Cring", ia berhasil menyentik pedang Pwe-eng ke samping, menyusul sebelah tangannya lantas memukul ke belakang sambil membentak.

   "Gelinding turun saja kau!"

   Pukulan ini telah dikerahkan tenaga Siu-lo-im-sat-kang tingkat kesembilan.

   Benar juga, kontan dari pagar tembok itu melompat turun satu orang.

   Waktu Pwe-eng memandang ke sana dan kebentrok dengan sinar mata orang itu, tanpa terasa ia menjadi tertegun.

   Di bawah sinar bulan yang cukup terang itu dapat dilihatnya dengan jelas bahwa seorang pemuda tampan sudah berdiri di situ, siapa lagi dia kalau bukan Kok Siau-hong adanya.

   Waktu meninggalkan Pek-hoa-kok sebenarnya Kok Siau-hong berangkat lebih dulu daripada Pwe-eng, tapi lantara si nona mengambil jalan memotong sehingga tiba di rumah lebih dulu daripada Kok Siau-hong.

   Ketika sampai di situ, kebetulan Kok Siau-hong dapat menyaksikan serangan beruntun dari Keng-sin-kiam-hoat yang dilancarkan Pwe-eng tadi sehingga tanpa terasa ia berseru memuji.

   Dan begitu dia bersuara, seketika pula Cu Kiu-bok menyerangnya dengan Siu-lo-im-sat-kang.

   Sekejap itu, ketiga orang yang berada di tengah rumah yang penuh puing itu sama-sama timbul pikiran sendiri-sendiri.

   Cu Kiu-bok sangat heran sebab Kok Siau-hong turun ke situ dengan melompat dan tidak jatuh menggelinding sebagaimana bentakannya tadi.

   Bahkan sesudah melompat turun, pemuda itu tetap tenang-tenang saja, sedikit pun tidak ada tanda-tanda kedinginan.

   Padahal Cu Kiu-bok sudah menggunakan segenap kekuatan Siu-lo-im-sat-kang yang dilatihnya, sekali pun tokoh yang memiliki lwekang tinggi juga akan merasa kedinginan bila tersampuk oleh angin pukulannya itu.

   Tapi seorang pemuda begini ternyata sanggup bertahan atas pukulannya, hal ini sungguh sukar dipercaya olehnya.

   Padahal selama empat tahun terakhir ini ia tekun meyakinkan Siu-lo-im- sat-kang tingkat tertinggi, dia yakin selanjutnya dapat menjagoi dunia, siapa tahu selama tahun-tahun belakangan ini dari kalangan angkatan muda telah muncul sedemikian banyak jago-jago kosen.

   Beberapa hari yang lalu pemuda yang ketolol-tololan itu sanggup mengatasi serangan Siu-lo-im-sat-kangnya, sekarang pemuda tampan inipun tidak gentar terhadap pukulannya yang dilakukan dengan tenaga tingkat kesembilan.

   Hanya dalam beberapa hari saja berulang-ulang sudah ketemu dua lawan muda yang tangguh, selanjutnya entah berapa banyak yang akan diketemukan pula dan mungkin akan lebih lihai.

   Masakah ilmu yang telah dilatihnya dengan susah payah akhirnya akan tersia-sia belaka.

   Terpikir demikian, tanpa terasa ia menjadi patah semangat dan putus asa.

   Sebaliknya Kok Siau-hong merasa tidak paham terhadap keadaan yang dihadapinya sekarang, ia tidak habis mengerti keluarga Han yang termasyhur dan disegani itu mengapa rumahnya kena dibakar orang? Maksud kedatangannya adalah untuk menemui Han Tay-wi buat membatalkan perjodohannya dengan puteri jago tua itu, tak terduga di tengah reruntuhan puing ini dapat bertemu dengan Han Pwe-eng malah.

   Lalu kemanakah perginya Han Tay-wi? Ia tahu jago tua itu memiliki ilmu silat maha sakti, cuma sayang badan mati sebelah.

   "Apakah mungkin paman Han telah terkubur di tengah lautan api?"

   Demikian pikirnya. Tanpa terasa timbul juga rasa cemas dan kuatirnya.

   "Kalau paman Han benar sudah meninggal, lalu kepada siapa aku harus membatalkan perjodohanku dengan anak perempuannya ini?"

   Namun keadaan di depan mata sekarang tidak memberi kesempatan padanya untuk memikirkan urusan pribadi, meski dia tidak kenal Cu Kiu- bok, tapi setelah menyambut pukulan Siau-lo-im-sat-kang tadi ia pun lantas tahu orang ini tentulah iblis tua yang pernah melukai Han Tay-wi pada empat tahun yang lampau.

   Sebenarnya juga terkandung rasa menyesal Kok Siau-hong terhadap Han Pwe-eng, sekarang ada kesempatan memberi sedikit jasa untuk si nona, tanpa ragu-ragu lagi ia terus mendekatinya dan berdiri sejajar di sebelahnya serta berkata.

   "Jangan kuatir, kita bergabung menghadapi iblis ini!"

   Han Pwe-eng sendiri menjadi serba salah.

   Meski Kok Siau-hong sudah berubah pikiran dan mencintai gadis lain, tapi resminya toh tetap masih tunangannya, terhadap lelaki yang pernah dia curahkan segenap harapannya dan pernah pula melukai perasaannya itu, betapa pun lapang pikiran Pwe- eng juga sukar untuk melupakannya serta memberi maaf sepenuhnya.

   Sesaat Pwe-eng menjadi kacau pikiran, entah mesti girang atau marah.

   Karena tak dapat menjawab, terpaksa ia mengangguk saja.

   Dalam pada itu Cu Kiu-bok lantas membentak.

   "Baik, coba saja kau mampu menyambut berapa kali pukulanku?"

   Menurut jalan pikirannya, jika pemuda itu sekarang saja sudah mampu menahan Siu-lo-im-sat-kang, lewat beberapa tahun lagi bukankah akan jauh lebih lihai pula? Lebih baik sekarang saja dibinasakan daripada kelak menambah musuh tangguh.

   Maka tanpa bicara lagi ia terus menghantam pula.

   Pukulan cepat dan ganas ini seketika membikin Han Pwe-eng merasa dingin luar biasa meski tangan orang belum tiba.

   Lekas Kok Siau-hong menolak perlahan si nona ke samping, berbareng tangan kanan terus memapak ke depan sehingga mengadu pukulan dengan Cu Kiu-bok.

   Ketika lengan Pwe-eng dipegang Kok Siau-hong dan ditolak ke samping, terasa olehnya hawa hangat menyalur dari telapak tangan pemuda itu sehingga rasa dingin yang mencekam tadi buyar seketika, rasanya menjadi segar kembali.

   Segera pula ia putar pedangnya membantu Kok Siau-hong menghadapi musuh.

   Habis menyambut pukulan Cu Kiu-bok tadi, cepat Kok Siau-hong juga melolos pedangnya sambil membentak.

   "Ini, kau pun rasakan pedangku!"

   Serentak sinar pedangnya berkembang, sekali gerakan membawa beberapa tipu serangan, Siau-yang-sin-kang Kok Siau-hong diperoleh dari ibunya, sedang ilmu pedang adalah ajaran ayahnya.

   Keluarga Kok terkenal sebagai ahli pedang, Jit-siu-kiam-hoat yang terkenal itu bahkan lebih lihai daripada Keng-sin-kiam-hoat ciptaan Han Tay-wi.

   Keruan Cu Kiu-bok terkejut, diam-diam ia harus mengakui betapa lihainya Jit-siu-kiam-hoat.

   Cepat ia mengebas dengan lengan baju, terdengarlah suara "creng"

   Yang nyaring, sinar pedang buyar, tangan Kok Siau-hong terasa panas kesemutan, ujung pedangnya ternyata melenceng ke samping.

   Habis terasa panas segera terasa dingin pula, sekali pun Kok Siau- hong meyakinkan Siau-yan-sin-kang, tidak urung ia pun menggigil.

   Tentu saja Kok Siau-hong sangat terkejut, lengan baju adalah benda lemas, tapi terdorong oleh tenaga Cu Kiu-bok itu, pedangnya seperti membentur benda keras.

   Baru sekarang Kok Siau-hong tahu Cu Kiu-bok tidak cuma Siu-lo-im-sat-kang saja yang lihai, bahkan lwekangnya juga jauh di atasnya.

   Namun Kok Siau-hong tidak tahu bahwa pihak lawan juga tidak kurang terkejutnya seperti dia.

   Sebab dalam serangan Siu-lo-im-sat-kang tadi sekaligus Cu Kiu-bok juga menggunakan "Tiat-siu-kang" (kesaktian lengan baju besi), kedua macam ilmu serangannya itu sama-sama memakan tenaga cukup banyak dan tak dapat digunakan secara berturut-turut.

   Waktu ia melangkah mundur serta melirik lengan baju sendiri, ternyata lengan bajunya telah tertusuk enam-tujuh lubang kecil-kecil oleh pedang lawan.

   Untung Kok Siau-hong tidak menubruk maju pula untuk menggempurnya, kalau tidak, Cu Kiu-bok pasti akan kewalahan di bawah kerubutan mereka berdua.

   Setelah mengalami cidera sedikit, Kok Siau-hong menjadi lebih hati-hati dan waspada.

   Begitu pula Cu Kiu-bok, ia kuatir terlalu banyak membuang tenaga murninya, maka tidak berani lagi menggunakan dua macam ilmu sakti sekaligus.

   Dengan demikian maka kedua pihak kembali menjadi sama kuat.

   Sekian lamanya Cu Kiu-bok tidak mampu menundukkan lawan- lawannya, diam-diam ia membatin.

   "Andaikata akhirnya mengalahkan mereka juga diperlukan ratusan jurus lagi dan untuk itu aku sendiri pun akan banyak mengorbankan tenaga."

   Pada saat hatinya mulai bimbang, tiba-tiba didengarnya seperti ada orang batuk perlahan satu kali, begitu lirih suara itu sehingga hampir-hampir tak terdengar.

   Suara batuk yang amat lirih itu didengar oleh Cu Kiu-bok, begitu pula Kok Siau-hong, tapi Han Pwe-eng tidak mendengar.

   Suara batuk orang itu sangat aneh, mirip suara batuk orang sakit yang dekat ajalnya, lemah dan mirip suara menghela napas.

   Tapi sebagai seorang tokoh silat, dari suara batuk itu Cu Kiu-bok dapat mengetahui orang itu pasti memiliki lwekang yang tinggi, sekali pun dalam keadaan sakit.

   Keruan Cu Kiu-bok merinding sendiri.

   Suara batuk itu sungguh teramat aneh.

   Di tengah tumpukan puing itu hanya ada beberapa sosok mayat, kecuali mereka bertiga hakikatnya tiada nampak lagi orang hidup keempat.

   Sekejap itu timbul macam-macam dugaan dan rekaan dalam hati Cu Kiu- bok, apakah mungkin di antara mayat-mayat itu ada satu yang belum putus napasnya.

   Tapi segera dugaan ini dibantahnya sendiri, sebab suara batuk tadi jelas penuh tenaga dalam, orang yang dekat ajalnya mana sanggup? Kecuali pura-pura mati.

   Tapi kaum hamba Han Tay-wi itu masakah begitu kuat sehingga tidak mati oleh pukulan majikannya itu? Dugaan akhir dengan sendirinya sampai pada kesimpulan, jangan-jangan orang yang batuk itu adalah Han Tay-wi sendiri? Dia sengaja sembunyi untuk menjebak diriku? Tapi kemudian timbul pula dugaannya, mungkin sekali ada orang kosen lain yang bersembunyi di situ dan sengaja mempermainkan diriku? Begitulah Cu Kiu-bok menjadi makin curiga.

   Apa pun juga, yang jelas pasti tidak menguntungkan dia.

   Dasar Cu Kiu-bok sendiri adalah seorang pengecut yang licik dan licin, sebab itu apa yang dia pikir juga tidak terlepas dari kemungkinan dia disergap orang.

   Padahal melayani Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng saja sudah terasa payah, kalau benar-benar terdapat lagi seorang kosen yang belum muncul, baik Han Tay-wi atau bukan yang jelas pasti akan sangat membahayakan dia.

   Makin dipikir makin gelisah bagi Cu Kiu-bok, akhirnya ia memutuskan, paling selamat adalah angkat kaki saja alias lari.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berturut-turut segera ia menyerang tiga kali sekuat tenaga, ketika kedua lawan sedang sibuk menangkis, cepat ia melayang pergi sambil bersuit panjang, sekali lompat ia melintasi pagar tembok dan kabur.

   Sebenarnya Kok Siau-hong sedang kuatir kalau-kalau musuh menyerang lebih gencar lagi, tak terduga orang malah terus kabur, hal ini benar-benar di luar dugaannya sama sekali.

   Selang sejenak Han Pwe-eng baru membuka suara.

   "Aneh, iblis itu benar- benar melarikan diri!" ~ Tanpa terasa dia berkeringat dingin bila membayangkan keadaan yang berbahaya tadi. Perlahan-lahan Kok Siau-hong memegang tangannya dan mengerahkan Siau-yang-sin-kang untuk menghalau hawa dingin berbisa dalam tubuh si nona. Katanya kemudian.

   "Bagaimana keadaanmu, nona Han?"

   "Tidak apa,"

   Jawab Pwe-eng sambil melepaskan tangan dari pegangan orang.

   Diam-diam ia tidak sudi didekati pemuda itu.

   Waktu itu rembulan sudah menghias di tengah cakrawala, di bawah sinar bulan yang terang itu kelihatan wajah Pwe-eng bersemu merah, timbul rasa menyesal dalam hati Kok Siau-hong, tapi ia pun tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

   Kedua orang berhadapan dengan diam dan sama-sama merasa kikuk.

   Selang sejenak baru Kok Siau-hong berkata.

   "Maaf....."

   "Maaf apa?"

   Sela Pwe-eng dengan muka cemberut.

   "Aku datang terlambat sehingga hampir..... hampir....."

   "Ya, hampir-hampir aku binasa oleh pukulan iblis tua itu, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi!"

   Siau-hong tahu si nona masih mendongkol padanya, terpaksa ia mencari pokok pembicaraan lain. Tiba-tiba ia ingat sesuatu dan bertanya.

   "Apakah pelayanmu ini dibinasakan oleh Cu Kiu-bok?"

   Pwe-eng melengak, jawabnya kemudian.

   "Aku sendiri tidak menyaksikannya, tapi siapa lagi kalau bukan dia? Huh!"

   Jengekan terakhir itu membikin Kok Siau-hong menjadi bingung. Tanyanya segera.

   "Nona Han, kata-kataku yang mana kiranya yang salah?"

   Dengan aseran Han Pwe-eng lantas berkata.

   "Iblis tua itu mungkin atas perbuatannya yang keji itu, sebaliknya dia malah memfitnah ayahku, katanya ayahku yang membunuh anak buahnya sendiri. Huh, memangnya kau pun mencurigai ayahku?"

   "Ah, mana bisa!"

   Seru Kok Siau-hong menyangkal karena dituduh begitu.

   "Padahal apa yang dikatakan iblis tua itu sama sekali aku tidak tahu. Hm, jika betul dia omong begitu, sungguh keterlaluan."

   Tapi segera ia teringat kepada apa yang pernah dikatakan pamannya, yaitu Yim Thian-ngo tentang pribadi Han Tay-wi, apakah benar Han Tay-wi memang manusia munafik yang suka baik budi, tapi sebenarnya orang busuk? Tapi mana bisa begitu, di adalah sahabat karib ayah selama berpuluh tahun, masakah ayah tidak kenal pribadinya? Jika paman Han betul orang hina, tentu ayah takkan mengikatkan perjodohanku ini.

   Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi kepada Han Pwe-eng dengan rasa menyesal.

   Hati Pwe-eng juga rada lapang sesudah mendengar Kok Siau-hong memaki Cu Kiu-bok, katanya kemudian.

   "Jika begitu, kenapa kau sengaja tanya pula tentang kematian pelayanku?"

   "Apakah tadi kau tidak mendengar suara orang batuk?"

   Jawab Kok Siau- hong.

   "Suara orang batuk? Sama sekali aku tidak mendengar,"

   Pwe-eng menegas dengan heran "Kecuali kita, darimana lagi datangnya orang lain di sini?"

   "Siu-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok belum tentu mampu membinasakan orang seketika, bisa jadi masih ada yang belum meninggal, marilah kita coba memeriksanya,"

   Ujar Siau-hong.

   "Tapi aku sudah memeriksanya tadi,"

   Kata Pwe-eng dengan ragu-ragu.

   "Mereka terbunuh oleh pukulan berat, sudah lama meninggal semua."

   "Apa betul? Jika mereka sudah meninggal, pantasnya kita menguburkan mereka pula,"

   Kata Kok Siau-hong.

   Lapat-lapat Pwe-eng merasakan kengerian yang sukar dilukiskan.

   Namun beberapa pelayan itu sudah dikenalnya sejak kecil sehingga mirip anggota keluarga sendiri, memang pantaslah kalau Pwe-eng menyelesaikan jenazah mereka.

   Maka ia pun mengangguk setuju dan pergilah dia mencari dua buah cangkul.

   Kok Siau-hong mengumpulkan keempat mayat itu dan diperiksanya kembali dengan teliti, dilihatnya batok kepala keempat orang pecah, memang betul binasa oleh pukulan keras dan sudah lama meninggal.

   Diam-diam Siau-hong juga membatin bahwa tanda pukulan itu bukan pukulan Siu-lo- im-sat-kang, rasanya Cu Kiu-bok juga tidak memiliki tenaga pukulan sedashyat itu.

   Sekonyong-konyong terdengar Pwe-eng menjerit.

   "Bukan ayahku, bukan ayahku!"

   Waktu Kok Siau-hong menoleh, dilihatnya si nona berdiri di situ dengan memegang dua buah cangkul, mukanya pucat dan air mukanya berlinang- linang, kini Pwe-eng juga percaya bahwa pembunuhnya bukanlah Cu Kiu- bok, tapi betapa pun juga ia tidak berani membayangkan bahwa pembunuhnya adalah ayahnya.

   "Sudah tentu bukan ayahmu,"

   Segera Kok Siau-hong menanggapi.

   "tapi juga mungkin dilakukan oleh seorang lain lagi dan bukanlah Cu Kiu-bok. Marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini baru nanti kita berusaha mencari jejak pembunuhnya untuk membalaskan sakit hati mereka." ~ Walaupun begitu ia menghibur si nona, tapi dalam hati mau tak mau timbul juga rasa curiganya. Kok Siau-hong lantas ambil sebuah cangkul yang dibawa Pwe-eng itu, baru dia hendak menggali tanah, tiba-tiba diketahui pada tangan salah satu mayat yang menggenggam itu, dari celah-celah jarinya kelihatan ada secarik kertas. Mayat itu adalah pelayan tua yang telah berpuluh tahun ikut Han Tay- wi. Hati Siau-hong tergerak, perlahan-lahan ia membuka genggaman tangan mayat itu, dilihatnya kertas yang digenggam kencang itu sudah robek sebagian, tampaknya pada waktu mendekati ajalnya pelayan tua itu telah berebut kertas itu dengan seorang sehingga sebagian dari kertas itu terobek oleh lawannya, sedang bagian terpegang olehnya sampai mati pun tak dilepaskannya. Segera Kok Siau-hong mengambil robekan kertas dari kulit kambing itu dan diperiksanya, ternyata di atasnya penuh tertulis oleh huruf Mongol yang aneh. Ia tahu huruf itu adalah bahasa Mongol, tapi dia tidak paham. Maka ia lantas tanya Han Pwe-eng.

   "Pernah kau melihat benda ini?"

   "Belum pernah sebelum ini,"

   Jawab Pwe-eng.

   "Aku pun tidak paham tulisan itu. Aneh, mengapa dia membela kertas ini dengan mati-matian. Kalau orang mampu membinasakan dia, mengapa bagian kertas ini tidak diambilnya sekalian?"

   "Ya, ini merupakan salah satu petunjuk yang penting,"

   Ujar Siau-hong.

   "Bolehkah aku yang menyimpan benda ini."

   "Betul, kenalanmu di dunia Kang-ouw jauh lebih luas daripadaku, bolehlah engkau yang menyelidiki duduk perkara sebenarnya dari peristiwa ini,"

   Kata Pwe-eng.

   Hatinya kini sedang kacau, cuma kacaunya pikirannya adalah karena tidak mengetahui siapakah pembunuh yang kejam itu, sama sekali tak terpikir olehnya kemungkinan ayahnya bersekongkol dengan pihak Mongol.

   Tapi hal itu telah terpikir oleh Kok Siau-hong, katanya dalam hati.

   "Ku- ku mengatakan paman Han mengadakan hubungan gelap dengan Siangkoan Hok, padahal Siangkoan Hok adalah wakil Kok-su negeri Mongol, sebab itu Ku-ku memastikan paman Han mengadakan persekongkolan dengan pihak Mongol. Apa yang dikatakan Ku-ku sebenarnya aku tidak percaya, tapi kini dari tangan pelayan tua ini diketemukan benda ini, jangan-jangan berita yang tersiar itu bukannya tiada dasarnya?"

   Kematian beberapa mayat itu sangat menyeramkan, Pwe-eng tidak berani memandangnya lagi. Sekonyong-konyong ia melemparkan cangkulnya dan menutupi mukanya sambil menangis.

   "Kau mengaso saja, nona Han, urusan di sini biar kubereskan,"

   Kata Kok Siau-hong dengan suara halus.

   Pada batok kepala pelayan tua yang pecah itu, tepi luka yang pecah itu ada segumpal kecil darah beku yang berwarna hitam kebiru-biruan.

   Mendadak hati Kok Siau-hong tergerak pula, tanpa memberitahukan lagi kepada Han Pwe-eng, dengan diam-diam ia keluarkan saputangannya, gumpalan kecil darah beku itu dikikisnya serta dibungkus dengan saputangan itu.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang yang sangat lemah, kini Pwe-eng juga dapat mendengar, teriakan orang itu seperti menyerukan minta tolong.

   Keruan Pwe-eng kaget, dia tak sempat menangis lagi, serunya.

   "He, benar- benar ada orang lain!"

   Mereka berdua lantas mencari ke arah suara itu, pada pojok taman sana dapatlah diketemukan seorang.

   Tapi lebih tepat dikatakan diketemukan satu kepala orang.

   Rupanya orang itu dikubur hidup-hidup di situ, bagian leher ke bawah sama sekali terpendam di dalam tanah.

   Di sebelahnya ada selapis tanah yang rada gembur.

   Melihat keadaan itu, tanpa terasa Siau-hong dan Pwe-eng melenggong.

   Selang sejenak barulah Pwe-eng dapat bersuara.

   "Sia..... siapakah kau?"

   Mata orang itu tampak mendelik dan seperti tidak mendengar pertanyaan Han Pwe-eng itu, dia masih terus mengeluarkan suara rintihan yang lemah.

   "To..... tolong!" ~ Melihat keadaannya seakan-akan orang sekarat yang sudah dekat ajalnya. Dari terkejut Siau-hong berdua menjadi girang pula. Mereka bergirang karena dari orang ini akan dapat diperoleh petunjuk-petunjuk yang lebih banyak. Tapi mereka pun kuatir kalau orang yang tampaknya sangat lemah itu sukar diselamatkan. Tanpa banyak bicara lagi segera mereka menggali tanah. Tidak terlalu lama, tanah sekitarnya telah dapat disisihkan. Perlahan- lahan Kok Siau-hong lantas menyeret keluar orang itu, lalu mengurut-urut pula tubuhnya untuk melancarkan jalan darahnya. Tidak lama kemudian kerongkongan orang itu kedengaran berkeruyukan, lalu muntahkan segumpal riak kental berdarah.

   "Kau siapa? Mengapa berada di sini?"

   Tanya Siau-hong. Sedangkan Pwe-eng lantas bertanya.

   "Dimanakah ayahku?"

   Orang itu ternyata tidak menjawab pertanyaan mereka, dengan suara gemetar ia berkata.

   "A...... air, air!" ~ Tampaknya tenaganya belum kuat untuk berbicara. Segera Pwe-eng pergi mengambilkan air. Perlahan-lahan orang itu membuka matanya dan menggeser kepalanya memandang ke kanan dan ke kiri dengan air muka yang cemas dan bingung, sorot matanya seakan-akan ingin bertanya.

   "Tempat apakah ini?"

   "Apakah kau tidak tahu siapa penghuni rumah ini?"

   Tanya Siau-hong. Orang itu mengangguk. Siau-hong menjadi heran, tanyanya pula.

   "Habis mengapa kau datang ke sini?"

   Kembali orang itu tidak menjawab, Siau-hong lantas ingat dia belum kuat untuk bicara, sebaiknya dijelaskan apa yang dia ingin tahu agar hatinya bisa tenteram. Maka lantas dikatakannya.

   "Keluarga di sini she Han, nona tadi adalah puteri keluarga ini. Asalkan kau bicara terus terang, kami pasti takkan membikin susah padamu."

   Mendengar penjelasan Kok Siau-hong bahwa Han Pwe-eng adalah puteri keluarga di sini, tiba-tiba orang itu berseru kaget seakan-akan mendadak mendengar sesuatu yang sangat menakutkan, air mukanya berubah ngeri.

   Rasa curiga Kok Siau-hong menjadi-jadi, pikirnya.

   "Mengapa dia ketakutan sedemikian? Masakah paman Han yang mengubur dia hidup- hidup?"

   Sementara itu Pwe-eng telah kembali dengan membawa sebuah botol kembang berisi air serta dituangkan ke mulut orang itu. Selesai orang itu kenyang minum air, lalu Pwe-eng berkata.

   "Sudah baikan bukan? Apakah kau tahu ayahku....." ~ Sambil bicara ia pun mengamat-amati orang, diam- diam ia heran juga, sebab setahunya di antara sahabat ayahnya agaknya tidak terdapat seorang begini. Sesudah kenyang minum air, tenaga orang itu agaknya rada pulih, sekonyong-konyong ia mendorong dengan kuat. Dorongan ini tak terduga- duga oleh Han Pwe-eng sehingga botol yang dipegangnya jatuh berantakan. Orang itupun mengeluarkan suara jeritan aneh mirip suara binatang buas yang terluka menghadapi Han Pwe-eng sebagai pemburunya. Sesudah mendorong, tenaganya habis, berdirinya tidak kuat.

   "bluk", kembali ia roboh terguling. AN PWE-ENG terperanjat oleh robohnya orang itu secara mendadak. Kok Siau-hong juga tidak tahu apa sebabnya, cepat ia membangunkan orang itu dan menghiburnya agar jangan takut. Tapi pada saat yang sama tiba-tiba Kok Siau-hong merasakan sesuatu yang aneh, yaitu waktu pergelangan tangan itu terpegang olehnya, rasa denyut nadi orang itu ternyata normal, sedikit pun tidak ada tanda-tanda lemah sebagaimana umumnya orang yang sudah sekarat. Sudah tentu rasa sangsi ini menimbulkan curiga Kok Siau-hong, ia menjadi ingin mencobanya. Mendadak ia menjulurkan jari tengah dan menotok ke "Ih-gi-giat"

   Di bawah iga orang.

   Hiat-to yang ditotok itu adalah salah satu tempat mematikan di tubuh manusia, bila tertotok seketika orang bisa mampus.

   Keruan Han Pwe-eng terkejut, cepat ia mencegahnya.

   Tapi orang itu ternyata tidak menyadari bahaya apa yang sedang mengancamnya, ketika ujung jari Kok Siau-hong menyentuh Hiat-to penting itu, dengan sendirinya orang itu cuma tergetar sedikit tanpa berusaha menghindar.

   Ujung jari Kok

   Jilid 7 H Siau-hong juga tidak merasakan tenaga perlawanan yang timbul dari tubuh orang itu.

   Maka tahulah Kok Siau-hong bahwa orang itu tiada bertenaga dalam, rupanya keliru rasa curiganya tadi, maka cepat ia pun tarik kembali tangannya.

   Han Pwe-eng juga baru tahu apa maksud gerak tangan Kok Siau-hong tadi, tanyanya.

   "Mengapa engkau menjajalnya?"

   "Berlaku waspada kan ada baiknya?"

   Ujar Siau-hong dengan tertawa.

   "Orang ini sudah keliling akhirat untuk kemudian balik kembali ke dunia lagi, tapi kau telah menakutkan dia pula, mungkin sukar untuk ditanyai lagi keterangan-keterangan yang kita ingin tahu,"

   Kata Pwe-eng.

   "Biarlah kita tunggu sebentar lagi agar dia mengaso dulu,"

   Kata Siau- hong.

   "Eh, suara apakah itu?"

   Ketika Pwe-eng ikut mendengarkan dengan cermat, sayup-sayup dari jauh terdengar suara suitan yang aneh.

   Bahkan menurut pendengaran Kok Siau- hong, suara itu tidak cuma terdiri dari satu orang saja, agaknya beberapa orang sedang berteriak dan bertempur.

   "Seperti suara iblis tua itu, entah sedang bergebrak dengan siapa?"

   Kata Kok Siau-hong dengan terkejut.

   "Coba kau menjaga dia, aku akan pergi ke sana melihatnya."

   Begitu ia lantas berlari menuju arah datangnya suara. Setiba di atas bukit di belakang rumah keluarga Han itu, baru saja memasuki sebuah hutan, belum nampak orangnya sudah terdengar lebih dulu suara angin pukulan yang menderu keras.

   "Apakah mungkin paman Han?"

   Pikir Siau-hong dengan terperanjat.

   Han Tay-wi terkenal dengan ilmu pedang dan ilmu pukulan yang dahsyat, di zaman ini orang yang memiliki ilmu pukulan sehebat itu boleh dikata dapat dihitung dengan jari.

   Karena itu timbul dugaan Kok Siau-hong terhadap diri Han Tay-wi yang menghilang itu.

   Ketika ia memasuki hutan itu lebih jauh, dipandang dari jauh kelihatanlah orang yang mengeluarkan suara suitan aneh tadi memang betul Cu Kiu-bok adanya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi orang yang bertempur dengan dia ternyata seorang pengemis tua.

   Terkejut bercampur girang sesudah Kok Siau-hong mengenali pengemis tua itu.

   Katanya dalam hati.

   "Kiranya Liok Pang-cu dari Kay-pang, pantas memiliki tenaga pukulan sedemikian dahsyat."

   Kiranya pengemis tua itu memang betul ketua Kay-pang adanya, yaitu Liok Kun-lun.

   Ilmu pukulan Kay-pang yang terkenal, Hok-hou-kun dan Hang-liong-ciang sekali-kali tidak di bawah Tay-lik-kim-kong-ciang, ilmu pukulan tenaga raksasa yang menjadi kebanggaan Han Tay-wi itu.

   Selain Cu Kiu-bok melawan Liok Kun-lun, di sebelah sana ada lagi satu partai yang sedang bertarung, satu di antaranya juga seorang pengemis yang dikenal Kok Siau-hong sebagai pemimpin cabang Kay-pang di Lok-yang, yaitu Lau Kan-loh.

   Lawannya adalah seorang laki-laki brewok yang tak dikenal.

   Saat itu terdengar Liok Kun-lun sedang berseru kepada Lau Kan-loh.

   "Yang digunakan orang itu adalah Hoa-hiat-to, jangan sampai tubuhmu tersentuh oleh tangannya!"

   Terdengar Lau Kan-loh mengiakan sambil memutar sebatang pentung dengan kencang, tampaknya permainan pentungnya tidak teratur, tapi laki- laki brewok itu ternyata terdesak hingga kelabakan tanpa dapat balas menyerang.

   "Kurangajar! Apakah permainanmu ini adalah Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing)?"

   Tanya laki-laki brewok itu dengan mendongkol. Habis bertanya barulah dia sadar bahwa pertanyaannya itu sesungguhnya merugikan diri sendiri. Seketika mukanya menjadi merah padam.

   "Benar,"

   Sahut Lau Kan-loh dengan tertawa.

   "Aku pandai Kan-loh (menggiring keledai), tapi aku pun mahir Pak-kau (gebuk anjing). Hari ini biar kau rasakan aku punya pentung penggebuk anjing ini!"

   Lau Kan-loh berasal dari keluarga miskin, di waktu kecilnya dia bekerja sebagai tukang giring keledai.

   Pada umumnya anak keluarga miskin di kampung tiada punya nama, maka sesudah besar ia terkenal dengan nama "Kan-loh", si tukang giring keledai.

   Dengan geram laki-laki brewok itu mendamprat.

   "Mulut anjing mana bisa tumbuh gading! Tidak perlu adu mulut. Yang jelas biarpun permainan pentungmu ini cukup hebat, tapi akhirnya kau pasti bukan tandinganku!"

   Saat itu jarak Kok Siau-hong dengan tempat pertempuran masih ada berpuluh meter jauhnya, tapi sudah terendus bau amisnya darah.

   Padahal pukulan Siu-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok itu cuma membawa angin berbisa saja tanpa berbau, maka tidak perlu ditanya lagi yang menimbulkan bau amis itu pasti angin pukulan si lelaki brewok.

   Kok Siau-hong tidak tahu apa yang disebut Hoa-hiat-to itu, ia cuma dapat menduga bahwa yang dilatih lelaki brewok itu tentu juga ilmu pukulan berbisa.

   Namun si brewok toh tidak dapat mendekati Lau Kan-loh, biarpun berilmu pukulan berbisa juga percuma, mengapa dia berani omong besar dan yakin akan dapat mengalahkan lawannya? Di sebelah sana Liok Kun-lun melawan Cu Kiu-bok sama-sama memiliki ilmu silat kelas wahid, ilmu pukulan masing-masing sama hebatnya, maka sukar untuk ditentukan kalah menang dalam waktu singkat.

   Sebaliknya pada partai Lau Kan-loh melawan si brewok, jelas si brewok sudah makin terdesak sehingga cuma sanggup menangkis saja, tapi air mata Lau Kan-loh justru semakin berat, semakin sungguh-sungguh menghadapi lawannya.

   Kiranya lelaki brewok itu bukan lain daripada Pok Yang-kian yang pernah dipergoki Han Pwe-eng di restoran Gi-ciau-lau beberapa hari yang lalu itu.

   Ilmu pukulan Hoa-hiat-to Pok Yang-kian adalah satu di antara dua ilmu berbisa keluarga Siang, meski kekuatannya belum sehebat Siu-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok, tapi dalam hal kejahatan racunnya bahkan jauh lebih lihai.

   Sedangkan Lau Kan-loh sudah beratus jurus bergebrak dengan dia, bau amis darah makin lama makin keras sehingga membuat pikirannya kacau dan dadanya sesak.

   Merasa gelagat jelek itu, diam-diam Lau Kan-loh terkejut, pikirnya.

   "Ilmu berbisa keluarga Siang memang tidak bernama kosong, jika dalam waktu singkat aku tak dapat mengalahkan dia, mungkin aku benar-benar akan terjungkal malah."

   Sebagai jago yang berpengalaman, biarpun dalam hati rada gelisah, namun dia tetap berlaku tenang, ia mainkan pentungnya lebih kencang, gerak serangan yang indah tak habis-habisnya dilontarkan.

   Sementara itu Liok Kun-lun lambat-laun mulai terdesak di bawah angin, hawa dingin berbisa yang terpancar dari Siu-lo-im-sat-kang dapat dipunahkan oleh tenaga pukulan Liok Kun-lun yang panas dan dahsyat itu.

   Diam-diam Cu Kiu-bok mengeluh.

   Ia yakin jika sebelumnya tenaganya tidak terbuang dalam pertempuran dengan Kok Siau-hong, tentu pengemis tua itu bukan tandingannya.

   Sekarang kalau pertarungan berlangsung lebih lama dirinya pasti akan celaka.

   Andaikan nanti dapat mengundurkan diri dengan selamat, sedikitnya juga akan jatuh sakit parah.

   Selagi kedua pihak sama-sama ingin lekas mendapatkan kemenangan terakhir, tiba-tiba terdengar seruan seorang.

   "Bagus sekali jurus pentung menggebuk anjing galak itu!"

   Kiranya menyaksikan permainan pentung Lau Kan-loh yang indah itu, tanpa terasa Kok Siau-hong bersorak memuji. Keruan Cu Kiu-bok terperanjat, cepat ia berteriak.

   "Angin kencang, lari!"

   Padahal ilmu silat Cu Kiu-bok jauh lebih tinggi daripada Pok Yang-kian, kalau dia berteriak "angin kencang"

   Dan mengajak lari, tentu saja Pok Yang- kian ikut kelabakan, disangkanya kedatangan lawan yang maha lihai.

   Karena itu tanpa pikir ia pun mencari kesempatan untuk lari.

   Tak terduga Pak-kau- pang-hoat dari Kay-pang memang hebat luar biasa, begitu Pok Yang-kian putar tubuh, seketika punggungnya tak terjaga, kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Lau Kan-loh, pentung menjulur ke depan, sekali sodok, kontan Pok Yang-kian jatuh terguling.

   Waktu itu Cu Kiu-bok sedang berlari ke situ, cepat ia memberi suatu pukulan ke arah Lau Kan-loh.

   Namun Liok Kun-lun keburu menyusul tiba dan menyelinap ke tengah untuk menahan pukulan itu.

   Namun Cu Kiu-bok sempat menarik bangun Pok Yang-kian terus dilarikan secepat terbang.

   Diam-diam Lau Kan-loh mengatur pernapasan beberapa kali, sejenak kemudian barulah dadanya terasa longgar, ia terkesiap akan lihainya ilmu pukulan lawan yang berbisa itu, diam-diam ia bersyukur kedua iblis itu telah lari oleh datangnya orang ini, kalau tidak, entah bagaimana jadinya.

   Entah siapakah pendatang ini sehingga perbawanya membikin kabur kedua iblis itu? Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang pemuda baju putih muncul dari hutan sana.

   Ia menjadi bergirang dan terkejut, serunya.

   "He, kiranya kau Kok-kongcu, kapan engkau datang, sudahkah mampir ke rumah keluarga Han?"

   Ketika Kok Siau-hong datang ke Lok-yang dahulu, dia pernah berkunjung ke cabang Kay-pang di kota ini dan pernah kenal Lau Kan-loh.

   Sedangkan Liok Kun-lun adalah kawan lama ayahnya, sudah tentu ia kenal.

   Maka Kok Siau-hong lantas memberi hormat kepada kedua jago dari angkatan lebih tua itu dan menjawab.

   "Aku baru tiba hari ini dan baru saja datang dari rumah keluarga Han."

   "Kabarnya kau hendak membatalkan perjodohanmu sehingga menimbulkan geger, apakah betul kabar ini?"

   Tanya Liok Kun-lun.

   Sumber berita Kay-pang biasanya memang sangat cepat dan tajam, tentang dua orang punggawa keluarga Han mengundang para pahlawan mengepung Pek-hoa-kok untuk membebaskan Han Pwe-eng, dengan sendirinya diketahui pula oleh Liok Kun-lun.

   Dengan muka merah Kok Siau-hong menjawab.

   "Ya, memang begitulah."

   "Tindakanmu ini sangat tepat,"

   Kata Liok Kun-lun."Jangan takut pada Han Tay-wi, ada apa-apa nanti aku si pengemis tua ini akan bertanggung- jawab bagimu."

   Hati Kok Siau-hong terkesiap, diam-diam ia merasa heran mengapa orang memuji tindakannya itu? Padahal urusan perjodohannya baginya adalah soal pribadi, ia sendiri tidak menganggap tindakannya itu keliru. Maka ia pun tahu apa yang dikatakan "tepat"

   Oleh Liok Kun-lun itu tentu ada sebab lain, jadi jalan pikiran pengemis tua itu tentu berbeda dengan dia. Benar juga, segera terdengar Lau Kah-loh menambahkan.

   "Kau tidak mau beristrikan anak perempuan Han Tay-wi, tentunya kau juga sudah mengetahui persoalan Han Tay-wi bukan?"

   "Entah persoalan apa yang dimaksud?"

   Tanya Siau-hong.

   "Sudah tentu tenang persekongkolannya dengan pihak Mongol, masakah ada soal lain?"

   Kata Lau Kan-loh.

   "Jadi paman...... paman Han benar-benar bersekongkol dengan pihak Mongol?"

   Siau-hong menegas.

   "Apakah pamanmu Yim Thian-ngo belum memberitahukan hal ini padamu?"

   Tanya Lau Kan-loh.

   "Sudah,"

   Jawab Siau-hong.

   "Katanya diketemukan bukti persekongkolan paman Han dengan Siangkoan Hok. Aku justru ingin tanya kepada Lau- locianpwe, apakah soal ini betul atau tidak?"

   Lau Kan-loh menarik bajunya hingga bagian dadanya terbuka dan kelihatan bekas luka yang kehitam-hitaman, katanya.

   "Malam ini aku mendapat laporan rahasia bahwa Siangkoan Hok bersembunyi di rumah Han Tay-wi, aku bersama Yim Thian-ngo lantas menuju ke sana, tujuan kami hendak menangkap basah untuk membongkar kepalsuan Han Tay-wi. Tak terduga mereka pun sangat cerdik, sebelum kami tiba, lebih dulu Siangkoan Hok sudah lari dari rumah Han Tay-wi, di tengah jalan kami kepergok dan lantas bergebrak dengan dia. Sungguh memalukan, kami berdua tak mampu menahan dia, sebaliknya bekas luka ini adalah tinggalan Siangkoan Hok bagiku."

   Kok Siau-hong tahu apa yang diceritakan Lau Kan-loh itu terjadi dua tahun yang lalu, dari bekas luka yang masih gosong sampai sekian lamanya itu dapatlah dibayangkan betapa lihainya Siangkoan Hok. Katanya kemudian.

   "Jika demikian, jadi apa yang dikatakan Ku-ku itu memang betul. Tapi cuma berhubungan dengan Siangkoan Hok saja rasanya juga tak dapat menganggap paman Han bersekongkol dengan pihak Mongol?"

   "Ya, waktu itu memang belum timbul perang, pihak Mongol juga ada perjanjian persahabatan dengan kerajaan Song kita, jika Siangkoan Hok bermalam di rumah Han Tay-wi sebenarnya bukan sesuatu dosa. Cuma waktu itu Siangkoan Hok sudah dikenal sebagai wakil Kok-su dari Mongol, hubungan Han Tay-wi dengan dia betapa pun sukar terhindar dari kecurigaan umum. Kini peperangan sudah terjadi, sudah tentu kita harus lebih-lebih waspada. Betul tidak, Kok-hiantit?"

   Dengan suara rendah Kok Siau-hong mengiakan.

   "Pasukan depan Mongol kini tinggal ratusan lie saja dari Lok-yang,"

   Sambung Liok Kun-lun.

   "Maksud kedatanganku justru sengaja hendak menghadapi Han Tay-wi. Lebih baik keliru membinasakan dia daripada membiarkan dia bersekongkol dengan pihak musuh."

   "Oya, katanya kau baru datang dari rumahnya, apakah kau bertemu dengan Han Tay-wi?"

   Tanya Lau Kan-loh.

   "Rumahnya sudah dibakar orang, Han Tay-wi juga tidak diketahui mati- hidupnya,"

   Jawab Kok Siau-hong. Di hadapan kedua tokoh Kay-pang itu dia tidak enak lagi menyebut paman kepada Han Tay-wi.

   "Tadi aku pun menerima laporan dari anggota Kay-pang kami, katanya api berkobar tadi malam, tidak besar apinya dan tidak lama api pun padam. Dua anak buah kami tidak berani masuk ke sana, sebab kuatir kalau hal itu cuma tipu muslihat yang sengaja diatur Han Tay-wi,"

   Kata Lau Kan-loh.

   "Tipu muslihat bagaimana?"

   Tanya Siau-hong bingung.

   "Bukan mustahil Han Tay-wi sendiri yang membakar rumahnya,"

   Kata Lau Kan-loh.

   "Kedua anak buah Kay-pang tidak berani masuk ke sana, sebab kuatir masuk perangkap."

   "Tapi mengapa dia membakar rumahnya sendiri?"

   Kata Siau-hong.

   "Ha, ha, ha!"

   Liok Kun-lun bergelak tertawa.

   "Justru itu adalah tipu daya yang bagus! Dia pura-pura kedatangan musuh besar, rumahnya hancur dan keluarga berantakan, dengan begitu siapa lagi yang akan mengusut persekongkolannya dengan pihak Mongol. Dan bila pasukan Mongol tiba barulah dia muncul untuk bekerja kepada musuh. Dengan begitu dapatkah kita berbuat sesuatu kepadanya?"

   Kalau menurut jalan pikiran Cu Kiu-bok, dia anggap Han Tay-wi membakar rumahnya sendiri untuk menghindarkan musuh.

   Sedangkan menurut rabaan Liok Kun-lun adalah karena Han Tay-wi ingin menghindari pengejaran pihak kaum pendekar dan para pahlawan.

   Meski jalan pikiran keduanya tidak sama, tapi sama-sama yakin Han Tay-wi sendirilah yang membakar rumahnya.

   Tanpa terasa berdirilah bulu roma Kok Siau-hong, ia merasa ngeri membayangkan betapa licin dan licik manusia.

   Ia pikir apakah betul-betul paman Han adalah manusia yang begitu rendah dan kotor? "Di rumah keluarga Han sana masih ada orang tidak? Aku menduga kaum budaknya juga sukar terhindar dari kematian terbunuh Han Tay-wi sendiri?"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Benar apakah Han Tay-wi yang membunuhnya atau bukan belum diketahui, yang jelas budak-budaknya memang sudah mati semua,"

   Sahut Kok Siau-hong.

   "Hm, kejam amat,"

   Jengek Lau Kan-loh.

   "Susiok, dugaanmu sungguh tepat, segenap anggota keluarga Han ternyata tiada satu pun yang hidup."

   "Ada, masih ada dua orang yang hidup!"

   Ujar Siau-hong. Lau Kan-loh tercengang.

   "Siapakah kedua orang itu?"

   Tanyanya kemudian.

   "Yang satu adalah anak perempuan Han Tay-wi,"

   Kata Siau-hong.

   "Apakah dia pulang bersama kau?"

   Tanya Liok Kun-lun.

   "Tidak, dia pulang lebih dulu,"

   Jawab Siau-hong.

   "Ketika aku sampai di rumahnya, kebetulan kulihat Cu Kiu-bok datang di situ juga untuk menuntut balas dan sedang bergebrak dengan dia."

   "Ya, lantaran kau sudah tidak suka padanya, dengan sendirinya tidak leluasa berjalan bersama dia,"

   Kata Liok Kun-lun.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jika begitu, jadi kalian berdua yang membikin lari iblis she Cu itu?"

   "Bukan begitu, Cu Kiu-bok sendiri yang melarikan diri,"

   Jawab Siau- hong.

   "Aneh, mengapa bisa begitu?"

   Ujar Lau Kan-loh.

   "Sebab dia mengetahui masih ada lagi seorang hidup di situ, dia mengira Han Tay-wi sengaja menyembunyikan orang di situ, maka dia ketakutan dan lari,"

   Tutur Siau-hong. Liok Kun-lun dan Lau Kan-loh sangat heran.

   "Siapa pula orang itu?"

   Tanya mereka.

   "Entah, aku pun tidak tahu,"

   Jawab Siau-hong. Lalu ia pun menceritakan apa yang dialaminya di rumah Han Tay-wi itu.

   "O, bisa terjadi begitu? Jika demikian lekas kita pergi ke sana untuk melihatnya,"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Katanya kau menemukan sepotong kertas bertulisan Mongol dari tangan seorang budak tua, apakah sobekan kertas itu berada padamu?"

   Tanya Lau Kan-loh.

   "Ada, tampaknya kertas ini dapat memberi petunjuk-petunjuk yang berharga,"

   Kata Siau-hong.

   "Coba, serahkan saja padaku. Ada seorang murid Kay-pang berkantong enam paham tulisan Mongol,"

   Kata Lau Kan-loh.

   "Bagus sekali jika ada orang kalian yang paham tulisan Mongol,"

   Seru Siau-hong sambil menyerahkan robekan kertas yang dimaksud. Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu. Sementara itu fajar sudah menyingsing. Segera mereka bertiga berlari cepat dengan ginkang masing- masing.

   "Kok-hiantit,"

   Tiba-tiba Liok Kun-lun berkata pula.

   "kedatanganmu untuk mencari Han Tay-wi ini apakah cuma mengenai soal pembatalan perjodohanmu saja?"

   "Ya, kupikir perbuatan seorang laki-laki harus dilakukan secara terang- terangan,"

   Kata Kok Siau-hong.

   "Betul juga ucapanmu,"

   Liok Kun-lun mengangguk.

   Diam-diam Kok Siau-hong merasa heran atas pertanyaan ketua Kay-pang itu, memangnya dia mengira untuk apa aku datang ke sini? Demikian pikirnya.

   Dalam pada itu Lok Kun-lun kembali memandang sekejap kepadanya, lalu berkata pula.

   "Kok-hiantit, selamat atas Siau-yang-sin-kang yang telah berhasil kau yakinkan."

   Kok Siau-hong melenggong, segera ia pun menjawab.

   "Ah, baru mencapai enam-tujuh bagian saja." ~ Diam-diam ia pun heran darimana Liok Kun-lun mengetahui dia meyakinkan Siau-yang-sin-kang? Terdengar Liok Kun-lun berkata lagi.

   "Cu Kiu-bok punya Siu-lo-im-sat- kang sudah luar biasa, satu-satunya yang dia takuti adalah Siau-yang-sin-kang. Kau telah bergebrak dengan dia tanpa mengalami cidera apa-apa, maka aku menduga kau sudah berhasil meyakinkan Siau-yang-sin-kang. Kok-hiantit, ada sesuatu pula ingin kutanya padamu."

   "Silakan,"

   Kata Siau-hong.

   "Sebenarnya kau ingin menyembuhkan penyakit Han Tay-wi dengan bantuan Siau-yang-sin-kangmu bukan?!"

   "Benar,"

   Jawab Siau-hong terus terang.

   "Soalnya aku merasa tidak enak hati dalam soal pembatalan pernikahanku ini, sebab itulah pernah timbul maksudku itu. Tapi sesudah mendengar ucapan Ku-ku, aku pun membatalkan maksudku semula."

   "Han-siocia memang serba pintar dan cantik, apakah kau masih mencintai dia?"

   Tanya Liok Kun-lun dengan tersenyum. Jawab Kok Siau-hong dengan muka merah.

   "Meski dia bukan istriku, tapi aku pun tidak membiarkan dia dihina Cu Kiu-bok. Apakah Liok-locianpwe menganggap tindakanku ini tidak betul?"

   "Membantu yang lemah melawan yang ganas adalah kewajiban kaum kita,"

   Ujar Liok Kun-lun.

   "Asalkan kau tidak tenggelam oleh urusan pribadimu saja sudah legalah hatiku."

   "Dalam hatiku hanya terisi seorang Hi Giok-kun saja, betapa pun baiknya Han-siocia aku juga takkan menikah dengan dia,"

   Demikian kata hati Kok Siau-hong. Sudah tentu persoalan pribadi ini tidak enak baginya untuk dibicarakan dengan Liok Kun-lun. Segera ia pun berkata kepada ketua Kay- pang itu.

   "Menurut pandanganku, sekali pun Han Tay-wi betul bersekongkol dengan pihak Mongol, namun anak perempuannya pasti tidak sepaham dengan dia."

   "Darimana kau mengetahui?"

   Tanya Liok Kun-lun.

   "Jika dia sekomplotan dengan ayahnya, tentu dia takkan memberikan robekan kertas bertulis Mongol itu kepadaku tanpa sangsi,"

   Kata Siau-hong.

   Begitulah, biarpun Kok Siau-hong sudah bertekad akan membatalkan perjodohannya dengan Han Pwe-eng, tapi sejak dia mulai kenal nona Han itu dari dekat, tanpa terasa timbul juga rasa kagum dan hormatnya, sebab itulah dalam kata-katanya tanpa terasa dia berusaha membelanya.

   Setiba di rumah keluarga Han, sudah tentu Han Pwe-eng rada heran melihat Kok Siau-hong datang bersama dua orang pengemis.

   "Ini adalah Liok Pang-cu dari Kay-pang dan ini adalah Lau To-cu,"

   Demikian Kok Siau-hong memperkenalkan mereka.

   "Iblis she Cu tadi kepergok Liok Pang-cu dan kecundang, sekarang sudah lari."

   Pwe-eng kenal Lau Kan-loh, tapi tidak kenal Liok Kun-lun. Segera ia memberi hormat kepada jago tua itu dan berkata.

   "Ayahku kedatangan musuh, mati-hidup beliau belum diketahui, untuk itu mohon kedua Locianpwe suka mengingat sesama orang Bu-lim, sudilah membantu menyelidiki urusan ini."

   Yang diketahui Han Pwe-eng adalah sumber berita Kay-pang sangat dapat diandalkan, maka dia minta bantuannya. Tak tahunya kini pemimpin- pemimpin Kay-pang itu sudah timbul curiga pada ayahnya. Lau Kan-loh lantas menjawab.

   "Justru kami mendengar tempat kalian ini kebakaran, maka sengaja datang menjenguk ayahmu. Tit-li jangan kuatir, aku pasti akan berusaha sepenuh tenaga untuk menemukan jejak ayahmu."

   "Selain menghilangnya ayahmu, apakah ada orang lain yang terhindar dari malapetaka?"

   Tanya Liok Kun-lun. Tanpa terasa Pwe-eng meneteskan air mata, jawabnya kemudian.

   "Segenap anggota keluarga kami telah mengalami nasib malang, kini diketemukan seorang hidup, akan tetapi orang yang tidak dikenal."

   Lalu ia membawa kedua jago Kay-pang itu ke ruangan dalam yang sudah menjadi puing itu.

   "Mayat hidup"

   Yang digali keluar dari lubang kubur itu ternyata masih duduk tepekur bersandar di dinding situ, kedua tangan memegangi kepala seakan-akan tidak melihat dan tidak mendengar akan kedatangan mereka.

   "Siapakah orang ini?"

   Tanya Lau Kan-loh.

   "Tampaknya dia menjadi gendeng karena ketakutan oleh sesuatu peristiwa seram,"

   Kata Pwe-eng.

   "Aku telah bertanya pada dia, tapi dia cuma bersuara seperti kera saja."

   Perlahan-lahan Liok Kun-lun menggeser tangan orang itu dan mengangkat dagunya ke atas, sesudah melihat jelas, segera ia pun berseru.

   "He, bukankah kau ini Pau Ling?"

   Kok Siau-hong terkejut mendengar nama itu. Kiranya Pau Ling adalah seorang "maling sakti"

   Terkenal di dunia Kang- ouw, selamanya dia tak pernah tertangkap basah dalam pekerjaannya itu, siapa duga sekarang dia kena dikubur hidup-hidup di rumah Han Tay-wi.

   Pau Ling memandang Liok Kun-lun dengan sinar matanya yang guram, agaknya dia kenal pengemis tua itu.

   Ketika Liok Kun-lun memegang nadi Pau Ling, dalam hati ia tidak habis heran.

   Sama halnya Kok Siau-hong, dia juga merasa denyut nadi Pau Ling dalam keadaan normal, bahkan tenaga dalamnya juga masih baik.

   Meski tubuhnya lemah, seharusnya tidak perlu kempas-kempis seperti orang sekarat macam sekarang ini.

   Liok Kun-lun yakin dalam hal ini tentu ada sebab-sebabnya.

   Tanpa bicara lagi ia lantas urut-urut dan pijat-pijat tubuh Pau Ling dengan lagak bantu menyalurkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darahnya.

   Selang sejenak Pau Ling memuntahkan riak kental, tiba-tiba maling sakti itu berlutut di hadapan Liok Kun-lun sambil berkata.

   "Pang-cu, to..... tolonglah aku!"

   Suaranya tetap lemah, mirip sekali orang yang kehabisan tenaga.

   "Jangan kuatir, aku tentu akan menyembuhkan penyakitmu,"

   Kata Liok Kun-lun. Diam-diam Han Pwe-eng kagum terhadap lwekang jago Kay-pang itu, hanya sedikit menyalurkan tenaga, orang yang sudah sekarat dapat dihidupkan kembali dalam sekejap saja.

   "Nona Han,"

   Kata Liok Kun-lun kemudian.

   "Bagaimana kalau aku membawa pergi orang ini untuk ditolong lebih lanjut. Sekarang dia terlalu lemah, bila tubuhnya sudah kuat dan didapatkan keterangan-keterangan yang berharga dari dia, tentu akan kuberitahukan padamu."

   Han Pwe-eng sedang bingung menghadapi keadaan rumahnya yang hancur itu, maka tanpa pikir ia lantas mengiakan dengan ucapan terima kasih. Katanya pula.

   "Karena keadaan ayah belum diketahui, sedangkan harta benda tinggalan beliau masih tertinggal di sini tak terurus, maka mohon kedua Locianpwe suka membawa pergi, biar kusumbangkan kepada pasukan pergerakan."

   Kekayaan keluarga Han boleh dikata sukar dihitung, hal ini terbukti dari barang-barang berharga yang berserakan memenuhi lantai, belum yang tersimpan baik-baik di tempat lain yang belum terbakar. Maka Liok Kun-lun lantas berkata.

   "Sesungguhnya aneh juga bahwa orang itu sama sekali tidak mengambil sesuatu benda berharga di rumahmu ini." ~ Lalu timbul juga pikirannya.

   "Soal membakar rumah sendiri dan membunuh orang-orangnya, jika hal ini dilakukan Han Tay-wi sendiri, mengapa sebelumnya dia tidak memindahkan harta bendanya ke tempat lain? Sebaliknya kalau perbuatan musuhnya, mustahil orang itu tidak tergerak hatinya ketika melihat benda mestika yang sukar dinilai harganya ini."

   Begitulah dia tidak habis mengerti tentang duduknya perkara, rasanya serba keliru rekaannya, kini mau tidak mau ia menjadi ragu-ragu terhadap gagasannya sendiri.

   Sedangkan Kok Siau-hong terpikir kepada suatu hal lain, Han Pwe-eng telah menyumbangkan harta bendanya kepada pasukan pergerakan, ini sudah cukup untuk membersihkan segala kesangsian padanya.

   Segera ia memuji tindakan nona itu yang bijaksana.

   Lau Kan-loh juga lantas berkata.

   "Tindakan nona Han yang ikhlas demi negara dan bangsa sungguh sangat mengagumkan. Tapi kelak bila ayahmu pulang, apakah dia takkan menyalahkan tindakan nona ini?"

   "Keselamatan ayah belum diketahui, bilakah beliau akan pulang juga tidak tahu, kini musuh sudah mendekati Lok-yang, daripada harta benda ini jatuh di tangan musuh atau dirampok kaum pengacau, kan lebih baik disumbangkan saja kepada Gi-kun (pasukan pergerakan). Kay-pang kalian banyak berhubungan dengan pemimpin pasukan pergerakan di berbagai tempat, sebab itu aku mohon bantuan kepada kedua Locianpwe,"

   Demikian jawab Pwe-eng.

   "Baik, kesungguhan hati nona benar-benar tindakan yang bijaksana dan atas nama pihak Gi-kun kita mengucapkan terima kasih,"

   Kata Liok Kun-lun kemudian.

   "Kan-loh, kau tinggal sementara di sini untuk menyelesaikan urusan harta ini, biar aku pulang ke markas cabang dulu dengan Pau Ling."

   Lau Kan-loh mengiakan. Segera pula Liok Kun-lun memanggul Pau Ling dan sekalian mengajak Kok Siau-hong untuk berangkat.

   "Baiklah, silakan kau tunggu sebentar, segera aku kembali ke sini lagi, nona Han,"

   Kata Siau-hong. Begitulah mereka bertiga lantas meninggalkan rumah keluarga Han, setiba di atas bukit, Liok Kun-lun menurunkan Pau Ling dan berkata.

   "Pau- losam, tidak perlu main gila lagi, jalanlah sendiri!"

   "Liok-loyacu, sudah dua hari aku kelaparan,"

   Kata Pau Ling dengan muka kecut.

   "Jalan sih bisa, cuma tidak kuat untuk mengikuti langkah Pang-cu."

   "Dasar maling rakus,"

   Omel Liok Kun-lun.

   "Baiklah, biar kubikin kembung perutmu." ~ Lalu ia pun menyerahkan sebuah buli-buli arak yang dibawanya serta dua potong dendeng. Dengan lahapnya Pau Ling sikat makanan dan minuman itu, lalu mengusap mulutnya sambil menggumam.

   "Ehmmm, nikmat sekali. Cuma sayang terlalu sedikit. Baiklah, marilah berangkat!" ~ Segera ia pun mengayunkan langkah mengikuti Liok Kun-lun dan Kok Siau-hong, jalannya ternyata cepat laksana terbang. Melihat itu bahkan Kok Siau-hong merasa kalah cepat, maka tahulah dia bahwa keadaan kempas-kempis maling she Pau itu tadi memang cuma pura- pura saja, tapi untuk apa dia berbuat demikian? Setiba di markas cabang Kay-pang, Liok Kun-lun membawa Pau Ling dan Kok Siau-hong ke dalam sebuah kamar rahasia, lalu katanya.

   "Nah, Pau- losam, bolehlah kau katakan sekarang! Sebenarnya bagaimana kejadiannya?"

   Pau Ling memandang sekejap pada Kok Siau-hong dengan sikap rikuh, kemudian berkatalah dia.

   "Liok-loyacu tentu maklum bahwa pekerjaan Siau- jin (hamba) adalah menggerayangi rumah orang, sekali ini sudah tentu tujuanku hendak mencari rezeki di rumah keluarga Han."

   "Dasar maling berani mati,"

   Omel Liok Kun-lun dengan tertawa.

   "Rumah mana yang kurang rezeki sehingga rumah Han Tay-wi juga kau gerayangi?"

   "Berikan sedikit arak lagi untuk menguatkan hatiku,"

   Pinta Pau Ling. Habis menenggak dua-tiga cawan arak, lalu ia menyambung.

   "Di kota Lok- yang memang tidak kurang hartawan, tapi setahuku tiada satu pun yang lebih kaya-raya daripada Han Tay-wi. Biarpun aku adalah satu maling kecil saja, tapi orang kaya biasa tidaklah terpandang oleh sebelah mataku. Dan kalau keluarga yang kupandang enteng, biarpun pintu rumahnya dibuka lebar- lebar juga aku tidak sudi menggerayanginya."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siau-hong tersenyum oleh uraian maling sakti itu. Sedangkan Liok Kun- lun lantas bertanya pula.

   "Darimana kau mengetahui Han Tay-wi kaya-raya?"

   "Orang yang bekerja di lapangan seperti diriku ini sudah tentu mempunyai sumber berita yang tajam,"

   Jawab Pau Ling.

   "Bulan apa hari apa Han Tay-wi membeli benda mestika apa biasanya pasti diketahui oleh kawan sekaum, aku Pau Sam biangnya golongan ini, berita yang diperoleh kawan lain sudah tentu akan kuterima. Maka keluarga Han memiliki betapa banyak simpanan boleh dikata terlalu jelas bagiku."

   "Jika kau mengetahui sejelas itu, mengapa tidak tahu bahwa Han Tay-wi adalah tokoh silat yang memiliki ilmu sakti?"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Mungkin seorang pelayannya saja sudah cukup untuk membinasakan aku. Tapi kau toh berani menggerayangi rumahnya, kau benar-benar ingin harta dan tidak ingin jiwa."

   "Bukannya aku kemaruk harta, soalnya lain ladang lain belalang, engkau Liok-loyacu adalah ketua Kay-pang, sudah tentu engkau mengetahui siapa- siapa adalah tokoh-tokoh dunia persilatan, tapi bagiku si Pau Sam yang diketahui hanya siapa-siapa hartawan terkaya di sini."

   "Ya, betul juga,"

   Ujar Liok Kun-lun sambil mengangguk.

   "Han Tay-wi sudah berpuluh tahun mengasingkan diri, jago silat biasa saja rasanya juga tidak tahu bahwa dia adalah tokoh silat terkemuka."

   "Memangnya, kalau tidak, masakah Beng Cong-piauthau dari Hou-wi Piaukiok mau mengawal anak perempuannya yang cantik itu ke Yang-ciu?"

   Sambung Pau Ling sambil mengerling ke arah Kok Siau-hong, entah dia mengetahui tidak Kok Siau-hong adalah calon menantu Han Tay-wi. Dengan sendirinya Kok Siau-hong menjadi kikuk.

   "Sudahlah, ceritakan saja, bagaimana sesudah kau sampai di rumah Han Tay-wi?"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Setiba di sana, kulihat kamar tulisnya masih ada sinar lampu dan ada suara orang sedang bicara,"

   Demikian tutur Pau Ling.

   "Dengan hati-hati aku bersembunyi di balik jendela dan siap menggunakan dupa pembius. Untunglah aku tidak terburu-buru, sebab aku menjadi terkejut ketika mendengar beberapa kalimat percakapan Han Tay-wi dengan seorang di dalam kamar itu."

   "Siapakah orang satunya itu dan kata-kata apa yang membikin kau terkejut?"

   Tanya Liok Kun-lun.

   "Orang yang diajak bicara itu adalah budak Han Tay-wi sendiri, kebetulan aku dapat mendengar budak itu sedang berkata, Sungguh aku sangat menyesal telah membunuh Ho-pak-sam-hiong!."

   Kok Siau-hong tercengang, ia tahu Ho-pak-sam-hiong, tiga jago dari Ho- pak she Kay adalah pendekar ternama, mengapa budak tua Han Tay-wi bisa membunuh mereka? Ternyata Liok Kun-lun juga merasa heran, ia lantas bertanya.

   "Apa sebabnya, apakah budak itu menutur lebih jelas?"

   "Ya,"

   Kata Pau Ling sambil menenggak araknya lagi, lalu menyambung.

   "Budak tua itu mengatakan bahwa pulangnya dari Ho-lin telah dicegat oleh ketiga saudara she Kay yang berjuluk Ho-pak-sam hiong itu, mereka tanya budak tua itu pergi ke Ho-lin untuk urusan apa dan siapa yang ditemuinya di sana, namun budak tua itu tidak mau menjawab dan menyatakan hanya majikannya saja yang berhak mengetahui pekerjaannya itu. Keterangan budak tua itu telah mendapat pujian dari Han Tay-wi."

   Tergetar hati Kok Siau-hong mendengar Han Tay-wi mengutus orang ke Ho-lin, ibukota Mongol. Jelas inilah bukti persekongkolan paman Han dengan pihak Mongol. Demikian pikirnya.

   "Lalu bagaimana?"

   Tanya Liok Kun-lun.

   "Pujian Han Tay-wi itu ternyata tidak membikin senang si budak tua itu, sebaliknya air mukanya tampak sangat menyesal,"

   Kata Pau Ling.

   "Aneh, bagaimana pula jawabnya?"

   Desak Liok Kun-lun.

   "Budak itu menuturkan pula bahwa Kay-lotoa (tertua dari ketiga saudara Kay) menjadi marah dan menyatakan sudah mengetahui tugas budak itu ke Ho-lin untuk menemui Siangkoan Hok. Kay-lotoa yakin Siangkoan Hok pasti memberikan surat balasan, maka budak itu dipaksa memperlihatkan isi surat dari Siangkoan Hok, namun si budak tua tetap menolak, akhirnya terjadilah pertarungan sengit, demi untuk menyelamatkan diri, budak tua itu melancarkan serangan maut dan akhirnya berhasil membinasakan ketiga orang lawannya."

   "Sungguh tidak nyana Ho-pak-sam-hiong mati secara begitu penasaran,"

   Ujar Liok Kun-lun dengan menyesal.

   "Budak tua itu masih punya perasaan juga, dia dapat merasa menyesal sesudah membunuh lawan-lawannya."

   "Ya, tapi Han Tay-wi toh tidak berpikir begitu,"

   Kata Pau Ling.

   "Dia menyatakan Ho-pak-sam-hiong pantas dibinasakan sebab berani mengganggu anak buahnya. Sebaliknya budak tua itu lantas berkata pula, Cukong, jelek-jelek ketiga saudara Kay itu adalah kaum pendekar yang punya nama baik, hanya karena sepucuk surat saja harus kubunuh mereka, betapa pun rasa hatiku tidak tenteram. Sudah banyak kesalahan yang kulakukan selama hidup ini, tapi sekali ini rasanya adalah kesalahan yang terbesar. Agaknya Han Tay-wi menjadi tidak senang, katanya, Kau tidak perlu menyesal segala, berikan saja surat itu padaku! Tapi budak itu menjawab, Cukong, harap maaf..... Dia menjadi tergagap dengan sikap gugup dan takut, sampai sekian lamanya surat yang diminta itu toh tidak dikeluarkannya. Air muka Han Tay-wi lantas berubah, tanyanya, Ada apa? Surat itu hilang? ~ Budak itu menjawab, O, tidak, Cuma..... cuma......"

   Sampai di sini Pau Ling menenggak araknya lagi, kemudian meneruskan pula kisah yang dilihatnya malam itu. Han Tay-wi menjadi gusar melihat kelakuan budak tua itu, bentaknya.

   "Dimana surat itu? Lekas katakan!"

   "Surat itu tidak hilang, cuma..... cuma..... sudah terbuka. Sebab itulah hamba mohon maaf dan ampun kepada Cukong,"

   Jawab si budak tua.

   "Surat itu terbuka, siapa yang membukanya? Kau?"

   Han Tay-wi menegas dengan air muka berubah.

   "Ya, ampun Cukong, hamba menyesal telah membinasakan Ho-pak-sam- hiong, maka sebelum Kay-lotoa menghembuskan napas penghabisan, hamba telah memenuhi permintaannya yang terakhir."

   "Jadi isi surat itu telah dibaca oleh Kay-lotoa?"

   Si budak tua menggangguk dan menjawab.

   "Ya, waktu itu dua di antara ketiga saudara she Kay itu sudah mati. Kay-lotoa lebih kuat, napasnya belum putus. Maka dengan sangat dia minta padaku agar memperlihatkan isi surat ini padanya, katanya surat ini menyangkut urusan yang maha penting, mati pun dia penasaran jika tidak melihat dulu isi suratnya."

   "Hamba pikir dia sudah dekat ajalnya, biar dia membaca isi surat ini toh pasti takkan membocorkan rahasianya. Maka hamba lantas membuka sampul suratnya, kusodorkan kertas surat ke mukanya dan membiarkan dia membaca. Selesai membaca, dia menghela napas dan berkata, Ternyata memang benar seperti dugaanku! Hamba menjadi tertarik dan ingin tahu, segera hamba tanya dia, `Seperti dugaanmu apa? Kay-lotoa menjawab dan bertanya padaku, Kau paham tulisan Mongol tidak? Hamba menjawab paham sedikit. Lalu Kay-lotoa berkata pula, Jika begitu boleh kau membacanya sendiri saja. Bila kau setia kepada majikanmu, maka surat ini janganlah sekali-kali di..... diserahkan kepada majikanmu itu! Habis berkata, tubuhnya berkelejetan beberapa kali, lalu putus napasnya. Agaknya dia tahu keadaannya sudah payah dan sukar menjelaskannya padaku, maka suruh hamba sendiri membaca isi surat ini."

   "Dan kau sudah membacanya belum?"

   Tanya Han Tay-wi dengan menarik muka.

   "Sudah, hamba rela menerima hukuman apa pun dari majikan,"

   Jawab si budak tua.

   "Sudah berpuluh tahun kau ikut aku, sungguh tidak nyana kau berani berbuat demikian,"

   Kata Han Tay-wi.

   "Mengingat jasamu mengantar surat ke tempat jauh, maka dosamu ini sementara kucatat, nanti boleh kau berjasa pula untuk menebus kesalahanmu ini. Sekarang serahkan surat balasan Siangkoan-siansing itu."

   "Hamba mohon majikan janganlah melihat surat ini,"

   Kata budak tua itu.

   "Apa yang dikatakan Kay-lotoa memang benar, sebaiknya majikan jangan membaca isi surat ini untuk menghindari malapetaka."

   "Ngaco-belo!"

   Damprat Han Tay-wi dengan gusar.

   "Aku adalah majikanmu, membaca isi surat itu atau tidak adalah urusanku dan aku yang memutuskannya."

   "Jika Cukong berkeras ingin membaca surat ini, maka silakan Cukong bunuh hamba dulu!"

   "Jadi kau sengaja merintangi aku?"

   Han Tay-wi menegas dengan gusar dan kejut.

   "Lebih baik tidak membacanya dan takkan terpengaruh, hamba berbuat demi kebaikan majikan. Tapi bila Cukong tetap ingin melihatnya, terpaksa hamba tak dapat berbuat lain,"

   Kata si budak tua sambil mengeluarkan surat yang dibawanya serta digenggam kencangkencang.

   Sampai di sini barulah Kok Siau-hong paham bahwa setengah cabikan kertas yang ditemukan di tangan budak tua itu kiranya adalah surat balasan dari Siangkoan Hok kepada Han Tay-wi.

   Dalam pada itu Pau Ling sedang menyambung ceritanya.

   "Karena si budak tua tetap tak mau menyerahkan surat yang dibawanya, Han Tay-wi tambah gemas, ia bertanya pula, Sebenarnya apa kehendakmu? ~ Budak tua itu menjawab, Hamba sudah bilang tadi, jika Cukong tak mau menerima usul hamba, tiada jalan lain, silakan Cukong menyempurnakan diri hamba saja! "Tadi budak tua itu sudah menyatakan lebih suka dibunuh oleh majikannya itu daripada menyerahkan suratnya. Karena itu Han Tay-wi murka, ia mendengus, mendadak ia menjentik kepalan si budak tua yang menggenggam erat-erat itu. Seketika budak tua itu menggigil hingga gigi berkerutukan, mukanya pucat seperti mayat dan air keringat memenuhi jidatnya. Jelas dia sangat tersiksa, entah dengan ilmu keji apa Han Tay-wi telah membuat budak tua itu tersiksa sedemikian rupa. Lambat-laun genggaman budak itu lantas kendur, cepat Han Tay-wi merampas kertas surat itu sehingga terobek, tapi segera budak tua itu menggenggam lagi lebih kencang sehingga sisa kertas surat itu tak terlepaskan lagi.

   "Han Tay-wi bertambah murka, bentaknya, Kau benar-benar tidak inginkan jiwamu lagi? ~ Dengan suara gemetar budak tua itu menjawab, Hamba tidak ingin Cukong mengalami kehancuran, jika Cukong tetap tidak mau terima, terpaksa hamba pasrahkan nasib kepada Cukong. ~ Dengan wajah sebentar merah sebentar pucat, tiba-tiba Han Tay-wi menjengek, `Kau sendiri yang cari mampus! ~ Habis berkata, mendadak pukulannya dijatuhkan. Terdengar budak tua itu mengeluarkan jeritan ngeri, kepalanya berlubang dan darah pun muncrat."

   Mendengar sampai di sini, dengan gusar Liok Kun-lun memaki.

   "Sehari- harinya Han Tay-wi suka berlagak sebagai kesatria sejati, tak tahunya dia lebih ganas daripada serigala buas!"

   Pau Ling melanjutkan ceritanya.

   "Waktu menyaksikan adegan yang mengerikan itu, hampir saja aku pun jatuh pingsan. Mungkin karena tubuhku rada gemetar sehingga menerbitkan suara dan terdengar oleh Han Tay-wi, mendadak dia membentak, `Siapa itu yang di luar? ~ Berbareng ia terus melancarkan pukulan dahsyat dari balik jendela. Saat itu aku mendekam di bawah jendela, angin pukulannya menyambar tiba dan membikin kulit kepalaku terasa sakit seakan-akan dikupas. Untung pukulan itu datangnya dari balik jendela, kalau tidak, mungkin jiwaku sudah melayang.

   "Pukulan itupun membikin aku tersadar, segera aku angkat langkah seribu. Kudengar Han Tay-wi bersuara heran, agaknya di luar dugaannya bahwa orang yang mencuri dengar percakapannya itu tidak roboh oleh tenaga pukulannya dari jauh itu. Segera ia pun mengejar keluar. Syukurlah, saat itu rembulan tertutup oleh awan tebal sehingga keadaan rada remang- remang, jejakku tidak dilihat Han Tay-wi. Ia terus melompat ke atas sebuah gunung-gunungan, dari situ ia melontarkan empat kali pukulan ke empat penjuru. Aku sedang berlari ketika mendadak terasa punggungku seakan- akan kena dipalu, isi perutku serasa terjungkir balik di dalam. Aku tidak tahu terluka atau tidak, yang jelas ginkangku sukar digunakan lagi, berat rasa langkahku."

   Liok Kun-lun dan Kok Siau-hong saling pandang dengan tercengang.

   Sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa tenaga pukulan Han Tay-wi ternyata begitu lihai.

   Untung si maling sakti ini, kalau orang lain mungkin sukar lolos di bawah tangan jago she Han itu.

   Agaknya Pau Ling masih ngeri membayangkan kejadian itu, dia mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya, lalu menyambung pula.

   "Kupikir untuk buron terang tidak bisa, kalau mau selamat harus mencari tempat sembunyi. Tapi tempat itu adalah rumah Han Tay-wi sendiri, tempat sembunyi mana yang tak diketahui olehnya? Pikir punya pikir, akhirnya aku mendapatkan akal. Waktu itu Han Tay-wi tidak mendengar lagi suara tindakanku, dia tentu menyangka aku terluka dan menggeletak dimana, maka dia mulai mencari diriku. Perlahan-lahan aku merangkak, aku menemukan suatu tempat di semak-semak yang bertanah gembur, segera aku menggali sebuah liang, lalu menyusup ke situ, aku mengubur hidup-hidup diriku sendiri."

   "Masakah waktu kau menggali tanah juga tidak menerbitkan suara?"

   Tanya Siau-hong.

   "Justru itulah kepandaian yang kuandalkan, berkat kepandaian itulah aku mampu menyusup ke rumah orang yang terjaga ketat dan menggangsir tempat penyimpanan harta mestika mereka untuk kemudian mengambil sesuka hatiku,"

   Tutur Pau Ling dengan tertawa.

   "Meski Han Tay-wi sangat lihai, tapi caraku menggali tanah dengan sepuluh jari rasanya takkan terdengar olehnya sebelum dia tiba beberapa depa di sekitarku. Cuma lolosnya diriku sedikit banyak juga berkat nasibku yang masih mujur. Sebelum Han Tay-wi menemukan aku, beramai-ramai kaum budaknya memburu tiba dan tanya dia apakah kedatangan maling.

   


Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Lembah Nirmala -- Khu Lung Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung

Cari Blog Ini