Pendekar Sejati 8
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 8
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
"Suhu, inilah bocah keparat yang pernah kuceritakan itu!"
Kong-sun Bok merasa kenal benar dengan suara orang, waktu ia berpaling, dilihatnya dari samping sana sedang mendatangi seorang tua berwajah kaku tanpa perasaan, matanya mendelik menakutkan.
Menyusul di belakang orang tua itu adalah seorang laki-laki kasar brewok.
Ternyata si nenek yang dicarinya belum ketemu, tahu-tahu Kong-sun Bok kepergok dulu dengan Sebun Bok-ya dan muridnya, yaitu Pok Yang-kian.
Terdengar Sebun Bok-ya menjengek sekali, lalu berkata dengan nada dingin.
"Hm, kiranya kau bocah ingusan ini yang memunahkan ilmu Hoa- hiat-to muridku?"
"Benar,"
Jawab Kong-sun Bok.
"Dia mencelakai orang dengan Hoa-hiat- to, aku merasa gemas, lalu memunahkan ilmunya itu. Kau mau apa sekarang?"
Mendengar Pok Yang-kian memanggil si kakek sebagai Suhu, dengan sendirinya Kong-sun Bok tahu sedang berhadapan dengan siapa. Segera Sebun Bok-ya menjengek, katanya.
"Hm, katanya kau omong besar dan menyatakan Hoa-hiat-to lebih hebat daripadaku, sekarang aku ingin mencoba kepandaianmu."
"Hoa-hiat-to adalah ilmu berbisa kaum Sia-pay, sekali pun sudah sempurna juga tidak perlu dibanggakan. Agaknya muridmu suka mengukur orang lain seperti dia sendiri, namun Wanpwe sesungguhnya tidak berani sembarangan menilai orang,"
Jawab Kong-sun Bok.
"Jika kau anggap Hoa-hiat-to bukan ilmu yang baik, mengapa kau sendiri melatihnya?"
Tanya Sebun Bok-ya.
"Soalnya ada orang lain meyakinkan ilmu jahat ini, maka perlu juga ada orang meyakinkannya untuk melawannya,"
Jawab Kong-sun Bok pula.
"Baiklah, marilah kita coba-coba,"
Seru Sebun Bok-ya dengan gusar.
Segera pukulannya menyambar dengan membawa bau anyir darah yang memuakkan.
Terkesiap hati Kong-sun Bok, diam-diam ia membatin Hoa-hiat-to iblis itu ternyata sudah terlatih sampai tingkat kedelapan dan mungkin kekuatannya berada di atasnya.
Hoa-hiat-to yang dilatih Kong-sun Bok sendiri juga sudah mencapai tingkat kedelapan.
Ketika kedua tangan beradu, Sebun Bok-ya tampak menggeliat, sedangkan Kong-sun Bok tergetar mundur tiga tindak.
Sebun Bok-ya merasakan telapak tangannya kesemutan dan gatal- gatal, tangan Kong-sun Bok juga terasa kaku.
Kiranya tingkatan Hoa-hiat-to yang dilatih kedua orang sama tingginya, cuma kekuatan latihan Sebun Bok-ya sudah ada empatpuluh-limapuluh tahun lamanya, dengan sendirinya terlebih ulet daripada Kong-sun Bok sehingga pengaruh racun pukulan yang dirasakan pemuda itu pun terlebih berat daripada lawannya.
Tapi Kong-sun Bok juga memiliki sesuatu yang tak dapat ditandingi lawannya, yaitu sejak kecil dia sudah kenyang menderita akibat racun Hoa- hiat-to, sesudah disembuhkan, dengan sendirinya dalam tubuhnya tumbuh semacam daya tahan terhadap serangan racun.
Sedangkan lwekang yang dilatihnya adalah lwekang dari aliran murni, meski tidak sekuat lawannya, tapi jauh lebih murni daripada Sebun Bok-ya.
Sebab itulah rasa kaku pada tangannya hanya sebentar saja lantas lenyap, sebaliknya Sebun Bok-ya perlu mengerahkan tenaga dalam untuk melawan serangan racun agar tidak menjalar lebih mendalam ke tubuhnya (untuk mengikuti kisah Kong-sun Bok di waktu kecil, bacalah Pendekar Latah).
Maka terkejutlah Sebun Bok-ya ketika melihat keadaan Kong-sun Bok yang tetap gagah dan kuat itu, diam-diam ia membatin bahwa Hoa-hiat-to pemuda itu ternyata lebih hebat daripadanya, untung dirinya menang kuat, kalau tidak, pasti sudah keok.
Sebagai jago silat kawakan, sesudah mengetahui dimana letak keunggulan dan kelemahan masing-masing, segera Sebun Bok-ya melancarkan serangan cepat, berulang-ulang ia menerjang dan menghantam.
Tanpa terasa ratusan jurus sudah berlangsung, Kong-sun Bok sudah mandi keringat, namun masih dapat bertahan.
Dengan demikian kedua pihak menjadi sama-sama mengeluh dan berkuatir.
"Jika sekarang aku tidak membinasakan bocah ini, kelak dia pasti akan menjadi bibit bahaya bagiku,"
Demikian pikir Sebun Bok-ya. Sebaliknya Kong-sun Bok juga berpikir.
"Kiong Kim-hun entah masih berada di rumah keluarga Han tidak, begini lihai iblis tua ini, semoga nona Kiong tidak datang mencari aku sekarang."
Sekilas ia melihat sang surya sudah jauh condong di sebelah barat, hari sudah menjelang senja.
Kong-sun Bok tidak tahu bahwa saat itu Kiong Kim-hun justru berada di tempat yang cuma terpisahkan oleh tirai air terjun saja.
Tapi pada saat menjelang senja itu ada dua muda-mudi telah tiba di rumah keluarga Han.
Mereka adalah Hi Giok-hoan dan Hi Giok-kun kakak beradik.
Pada malam itu, sesudah guci arak Giok-kun dibawa lari Kiong Kim-hun, sudah tentu ia sangat gemas, tapi apa daya tak dapat mengejar penyerobot itu.
Dan karena hilangnya guci arak itupun rencana perjalanannya menjadi gagal berantakan.
Seperti diketahui, arak itu maksudnya hendak disumbangkan kepada Han Tay-wi.
Jika Han Tay-wi menerima pemberian itu, sekali pun tetap marah mengenai soal pembatalan pertunangan Kok Siau-hong, namun bila diketahui bahwa gadis yang dicintai oleh Kok Siau-hong ternyata Hi Giok- kun adanya, rasanya hati Han Tay-wi takkan terlalu panas.
Tapi kini arak itu telah digondol orang, rencana Giok-kun menjadi buyar.
Kok Siau-hong sudah lebih dulu berangkat ke rumah keluarga Han, mau tak mau mereka kakak beradik tetap menuju ke Lok-yang.
Bagi Hi Giok-hoan sudah tentu mempunyai tujuan sendiri.
Ia tahu adik perempuannya bermaksud merangkapkan jodohnya dengan Han Pwe-eng, meski tidak berani bicara terus terang, namun dalam hati ia pun berharap hal itu dapat terkabul.
Tapi sekarang rencana adiknya telah buyar, urusan Kok Siau-hong juga entah bagaimana jadinya, maka hati Hi Giok-kun menjadi serba susah dan harap-harap cemas.
Ia berharap Kok Siau-hong jadi membatalkan pertunangannya, tapi kalau Han Tay-wi berkeras memegang teguh perjodohan anaknya, lalu bagaimana? Begitulah dengan pikiran yang berbeda-beda, akhirnya kakak beradik she Hi itu sampai juga di rumah keluarga Han.
Tapi mereka menjadi terperanjat demi menyaksikan keadaan rumah yang telah berwujud puing itu.
"Melihat gelagatnya, mungkin keluarga Han telah dicelakai musuh,"
Kata Giok-hoan.
"Entah Siau-hong dan Pwe-eng sudah sampai di sini belum?"
Ujar Giok- kun. Nyata apa yang dilihatnya sama sekali di luar dugaan, ia jadi kuatir kalau-kalau Kok Siau-hong ikut kepergok musuh Han Tay-wi.
"Marilah kita masuk ke sana untuk melihatnya,"
Ajak Giok-hoan.
"Ya, aku kenal keadaan di sini, marilah kita periksa dulu kamar Pwe- eng""
Kata Giok-kun. Dupa cendana wangi di kamar Han Pwe-eng belum padam, maka begitu Giok-kun berdua memasuki halaman situ, segera mereka mengendus bau harum. Dengan kejut-kejut girang Giok-kun lantas berseru.
"Pwe-eng!"
Tapi ia menjadi heran ketika tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
Padahal dari pergaulannya selama beberapa bulan dengan Han Pwe-eng, ia cukup kenal kebiasaan nona itu yang suka membakar dupa cendana wangi.
Karena itu ia yakin Han Pwe-eng pasti berada di dalam kamarnya.
Tapi ia menjadi kecewa ketika melongok ke dalam kamar melalui jendela, ternyata tiada seorang pun berada di dalam.
"Inilah kamar yang pernah kutinggali bersama nona Han, apakah Koko mau masuk ke situ untuk melihatnya?"
Kata Giok-kun. Muka Giok-hoan menjadi merah, jawabnya.
"Ah, adik jangan sembarangan omong, jangan lupa, nona Han sampai saat ini masih menjadi bakal istri Siau-hong."
Tanpa terasa ucapan Giok-hoan ini telah menusuk perasaan Giok-kun, wajah nona itu menjadi muram, pikirnya.
"Ya, sebegitu jauh Siau-hong memang belum membatalkan pertunangannya, urusan seringkali terjadi di luar dugaan, sebaiknya aku jangan berpikir terlalu muluk-muluk sebelum mengetahui kejadian yang sebenarnya di sini."
Sesudah bicara tadi barulah Giok-hoan merasa ucapannya telah menyinggung perasaan adiknya, maka lekas ia menghiburnya.
"Kau jangan kuatir, Siau-hong adalah seorang yang dapat pegang janji, dia pasti takkan mengingkari kau."
"Siapa yang kuatir?"
Sahut Giok-kun dengan tertawa.
"Aku justru kuatir bagimu. Bicara sesungguhnya, kurasa ada sesuatu yang tidak beres dalam kamar ini. Karena nona Han tidak berada di kamarnya, tiada halangannya kau ikut masuk ke situ untuk melihatnya, bisa jadi akan kita temukan sesuatu."
Tanpa membantah lagi Giok-hoan lantas ikut Giok-kun masuk kamar itu, ternyata keadaan kamar sudah morat-marit, yaitu akibat dibongkar oleh Yim Thian-ngo tadi.
Sedang di depan tempat tidur masih basah oleh air baskom dan jelas ada bekas sepatu dua orang, yang satu lelaki dan yang lain perempuan.
Mau tak mau timbul juga rasa curiga Giok-kun.
"Siapakah gerangan lelaki yang masuk ke kamar ini? Apakah..... apakah..... Ai, mana boleh kuberpikir demikian, Siau-hong pasti takkan berbalik kembali dengan Pwe-eng di luar tahuku."
Selagi Giok-kun tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba terdengar Giok- hoan mendesis.
"Ssst, seperti ada orang datang!"
Waktu mereka keluar kamar, terlihatlah seorang tua baju hijau berwajah kereng sedang memasuki halaman belakang situ dan sedang berseru.
"Siau- hong! Siau-hong!"
Giok-hoan terkesiap, baru hendak menegur, ternyata orang tua itu sudah mendahului berkata.
"He, kalian tentunya kakak beradik Hi dari Pek-hoa- kok bukan? Apakah Siau-hong sudah pergi dari sini?"
"Numpang tanya siapakah nama Lo-cianpwe yang mulia, mengapa kenal diri kami?"
Jawab Giok-hoan dengan heran.
"O, aku Yim Thian-ngo adanya, aku adalah Ku-ku si Siau-hong,"
Kata Yim Thian-ngo dengan tersenyum.
Kiranya Yim Thian-ngo baru datang dari markas cabang Kay-pang.
Ketua Kay-pang Liok Kun-lun kuatir terjadi apa-apa atas diri Kok Siau-hong karena sudah sekian lamanya ditunggu masih belum muncul, maka Yim Thian-ngo disuruh datang pula ke rumah keluarga Han untuk melihatnya.
Sejenak Hi Giok-kun tercengang, tapi ia pun lantas menjawab.
"Sudah lama kami kagum terhadap nama Yim-locianpwe yang tersohor, cuma tidak tahu bahwa Yim-locianpwe adalah Ku-ku si Siau-hong."
Mendadak Yim Thian-ngo menjulurkan jarinya dan menjojoh ke arah batang pohon di halaman situ, gerak jarinya secepat kilat, sekali menjulur segera ditarik kembali, namun pada batang pohon segera tertampak membekas tujuh lubang kecil-kecil sebesar jari tangan, terang lubang itu tertotok oleh tenaga jarinya.
Keruan Giok-kun dan Giok-hoan terkejut, mereka tahu Yim Thian-ngo telah menggunakan jarinya sebagai pedang dan telah memperlihatkan semacam ilmu pedang yang maha tinggi.
"Inilah Jit-siu-kiam-hoat keluarga Yim kami, Siau-hong sudah mendapatkan ajaran ilmu pedang ini dari ibunya, rasanya kalian sudah pernah melihatnya bukan?"
Kata Yim Thian-ngo dengan tersenyum. Giok-kun berdua tidak berani sangsi lagi, cepat mereka memberi hormat kepada Yim Thian-ngo sebagaimana layaknya kepada angkatan tua.
"Ah, jangan sungkan,"
Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa.
"Nona Hi, urusan dirimu dengan Siau-hong sudah lama kuketahui. Bilakah kalian sampai di sini?"
Wajah Giok-kun menjadi merah, jawabnya.
"Kami baru saja sampai di sini dan belum bertemu Siau-hong. Yim-locianpwe sendiri tentunya tadi sudah pernah datang ke sini."
"Ya, pagi tadi aku sudah sampai di sini dan bertemu dengan Siau-hong di dalam kamar ini,"
Kata Yim Thian-ngo. Mendengar berita itu, girang dan dongkol pula hati Giok-kun, segera ia berkata pula.
"Yim-locianpwe, ada macam-macam pertanyaan yang ingin kami mintakan petunjuk padamu."
"Baiklah, mari kita bicara saja di dalam, apakah kalian menemukan sesuatu yang tidak beres di dalam kamar ini?"
Kata Yim Thian-ngo.
Sebagai orang tua, melihat air muka si nona saja ia sudah tahu pasti Giok-kun merasa cemburu terhadap Han Pwe-eng.
Akan tetapi Yim Thian-ngo sangsi ketika melihat di dalam kamar ada bekas tapak kaki wanita, ia menjadi ragu-ragu, jangan-jangan tingkah-lakunya tadi telah dilihat orang.
Segera timbul juga rasa curiganya, jangan-jangan yang berada di situ tadi adalah Han Pwe-eng sendiri.
Sementara itu Hi Giok-kun bertanya pula padanya.
"Apakah tadi Yim- locianpwe bertemu dengan nona Han? Dia berada bersama Siau-hong bukan?"
Tiba-tiba Yim Thian-ngo mendapat akal licik, ia sengaja menghela napas, jawabnya.
"Nona Hi, rasanya tak perlu kukatakan juga kau sudah tahu. Aku sudah menasehati Siau-hong agar hatinya jangan bercabang, dia adalah keponakanku, sungguh aku ikut merasa malu."
Dasar licik dan licin, Yim Thian-ngo tidak langsung menjawab pertanyaan Giok-kun, sebaliknya dia menyalahkan Kok Siau-hong yang dikatakan hati bercabang, artinya cintanya tidak teguh.
Sudah tentu muslihatnya ini akan lebih mudah mencapai tujuan, yaitu memecah belah dan mengadu domba, apa lagi persoalan cinta segi tiga demikian, jarang sekali orang-orang yang bersangkutan mau ditemukan untuk memberi kesaksian secara berhadapan.
Bagi pendengaran Hi Giok-kun, jawaban Yim Thian-ngo sama dengan membenarkan Kok Siau-hong telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Han Pwe-eng di kamarnya.
Keruan timbul rasa kejut dan pedih dalam hati Giok-kun, pikirnya.
"Pantas mereka tidak kelihatan, tentunya karena pertemuan mereka kepergok oleh Ku-ku, makanya mereka sengaja menyingkir dari sini. Sungguh tidak nyana Kok Siau-hong adalah lelaki yang suka ingkar janji, di samping bersumpah setia denganku, diam-diam ia berkomplot pula dengan Pwe-eng."
Giok-hoan juga termangu-mangu, katanya kemudian.
"Memangnya nona Han adalah bakal istri Siau-hong, jika mereka bertemu di sini juga layak. Adik Kun, engkau adalah kawan baik nona Han, jika benar Siau-hong dapat melangsungkan pernikahannya dengan nona Han, betapa pun kita harus ikut bergirang bagi mereka."
Kedengarannya dia bicara untuk menghibur hati adik perempuannya, padahal dia justru menghibur hati sendiri yang lara.
Sebaliknya Giok-kun jauh lebih cermat daripada kakaknya, tiba-tiba terpikir olehnya mengapa Yim Thian-ngo tidak setuju Siau-hong beristrikan Pwe-eng? Bukankah orang she Yim ini ada hubungan baik dengan Han Tay- wi sekali pun bukan kawan akrab? Sedangkan dia dengan keluarga Hi justru tiada hubungan apa-apa, mengapa dia malah berbalik membela diriku? Agaknya Yim Thian-ngo dapat menerka apa yang dipikirkan Giok-kun, tiba-tiba ia berkata pula.
"Aku sama sekali tidak menaruh syak kepada nona Han, sebabnya aku menentang perjodohan mereka adalah disebabkan pribadi Han Tay-wi saja."
"Ya, kami justru ingin mohon keterangan kepada Yim-locianpwe, sebenarnya apa yang terjadi atas keluarga Han ini?"
Sedangkan Hi Giok-hoan juga merasa sangsi, ia pun bertanya.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa maksud ucapan Yim-locianpwe tadi? Apakah apakah mungkin pribadi Han Tay-wi....."
Tiba-tiba Yim Thian-ngo menghela napas dan menyela.
"Ini namanya kenal manusianya, kenal mukanya tapi tidak tahu hatinya. Aku pun baru sekarang benar-benar mengetahui bahwa Han Tay-wi ternyata sungguh- sungguh pengkhianat yang bersekongkol dengan pihak Mongol."
Keterangan ini benar-benar sangat mengagetkan Giok-hoan dan Giok- kun, berbareng mereka menegas.
"Han Tay-wi adalah mata-mata musuh? Mana..... mana bisa jadi?"
"Apa yang terjadi di rumahnya ini justru adalah perangkap yang sengaja dia atur sendiri,"
Kata Yim Thian-ngo.
"Dengan demikian dia berharap orang lain mengira dia kedatangan musuh besar. Padahal Liok Pang-cu dari Kay-pang sudah menemukan bukti nyata persekongkolannya dengan pihak Mongol."
Lalu ia pun menuturkan apa yang pernah dia bicarakan dengan Liok Kun-lun itu serta menyatakan bahwa sebagian robekan surat rahasia yang ditemukan di tangan si budak tua itu kini berada di tangan ketua Kay- pang itu.
Nama Yim Thian-ngo di dunia persilatan cukup dikenal dan dihormati, apalagi dia menonjolkan ketua Kay-pang sebagai saksi tambahan, maka mau tak mau Giok-kun berdua menjadi percaya.
Giok-hoan tertegun sejenak, kemudian berkata.
"Sungguh tidak nyana bahwa....."
"Maka dari itu aku tidak setuju hubungan keluarga antara Siau-hong dengan keluarga Han,"
Sela Yim Thian-ngo.
"Cuma sayang, entah mengapa sesudah bertemu dengan nona Han, kembali Siau-hong menjadi ragu-ragu. Jika dia tak mau menerima nasehatku, terpaksa aku pun tak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja aku pun ingin menasehati kalian....."
"Tentang apa?"
Tanya Giok-kun dengan hambar.
"Kabarnya kalian hendak memberi Pek-hoa-ciu kepada Han Tay-wi, kukira maksud kalian ini sebaiknya dibatalkan saja,"
Kata Thian-ngo.
"Kini maksud kami mau tak mau harus dibatalkan, sebab guci arak yang kami bawa telah dibawa lari orang di tengah perjalanan,"
Ujar Giok-kun dengan menyeringai. Yim Thian-ngo terkesiap mendengar keterangan itu.
"Siapakah yang merampasnya?"
Ia menegas dengan heran, padahal dia tahu kepandaian kakak beradik she Hi itu tidaklah lemah, tentu bukan sembarangan orang mampu merebut barang bawaan mereka.
"Dua pemuda yang berusia sebaya dengan kami,"
Jawab Giok-hoan.
"Sungguh memalukan, sampai saat ini kami belum lagi tahu asal-usul mereka."
Bahwa dua pemuda mampu merampas barang bawaan Giok-hoan dan Giok-kun, hal ini rada di luar dugaan Yim Thian-ngo. Segera ia pun berkata pula.
"Jika demikian, rasanya kalian tidak perlu tinggal terlalu lama di sini."
Giok-hoan percaya Yim Thian-ngo pasti takkan membohongi mereka, jika Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng benar-benar sudah rujuk kembali, biarpun mereka diketemukan juga tiada artinya lagi bagi mereka kakak beradik.
Terpikir demikian, ia menjadi muram, katanya.
"Adik Kun, ucapan Yim-locianpwe memang tidak salah, marilah kita pergi saja dari sini."
Sebelum Hi Giok-kun menjawab, Yim Thian-ngo berkata pula.
"Apakah Hi-kongcu masih ada urusan lain dan buru-buru akan pulang, jika tidak, hendaklah kalian sudi menunda sementara."
"Entah Yim-locianpwe ada keperluan apa?"
Tanya Giok-hoan.
"Bukan urusan pribadi, tapi Kay-pang ada urusan penting yang perlu minta bantuan dari para pahlawan,"
Kata Thian-ngo.
"Soalnya Kay-pang hendak mengirim suatu partai perbekalan kepada pasukan pergerakan, untuk itu diperlukan bantuan jago-jago pilihan. Sedangkan pasukan Mongol tidak lama lagi akan sampai di kota ini, di sini diperlukan pula tenaga. Kedua hal ini sama-sama penting dan besar resikonya, bagi kita hanya berbuat sepenuh tenaga saja, bagaimana hasilnya nanti sukar diramalkan. Tapi kalau Hi-kongcu tidak bersedia membantu, betapa pun aku tak berani memaksa."
Karena pancingan itu, seketika darah Giok-hoan bergolak, katanya.
"Biarpun kepandaianku rendah jika untuk kepentingan negara dan bangsa, betapa pun Wanpwe takkan tertinggal di belakang orang. Asal Liok Pang-cu mengizinkan, kemana pun Wanpwe siap ikut pergi. Mohon Yim-locianpwe suka memperkenalkan kami kepada beliau."
"Koko, aku takkan merintangi kepergianmu untuk urusan penting ini, tapi aku sendiri ingin pulang saja,"
Tiba-tiba Giok-kun menimbrung.
Sama sekali Giok-hoan tidak menduga akan kehendak adik perempuannya itu, biasanya Giok-kun tiada ubahnya seperti kaum lelaki, apakah dia menjadi putus asa lantaran pukulan batin persoalan Kok Siau- hong ini? Tapi segera Giok-kun memberi alasan bahwa di rumah hanya dijaga oleh Ciu Ji dan kaum budak lainnya, sedangkan api peperangan sudah makin menjalar mendekati daerah Kang-lam, belum orang-orang Kang-ouw yang pernah bentrok dengan Pek-hoa-kok dalam hubungan dengan persoalan Han Pwe-eng, mungkin sekali Pek-hoa-kok akan direcoki pula oleh mereka.
Maka dia ingin pulang ke rumah saja untuk menjaga segala kemungkinan.
Alasan Giok-kun itu memang masuk akal, Giok-hoan pikir betapa pun ada baiknya jika anggota keluarga Hi masih ada yang hidup, sebab kepergiannya ini sukar diramalkan apakah dapat pulang dengan hidup mengingat suasana yang mulai membara.
Maka ia pun menyatakan setuju atas maksud Giok-kun itu.
Sudah tentu yang kecewa adalah Yim Thian-ngo karena hanya sang kakak saja yang mau masuk perangkapnya.
Tapi ia pun merasa lega jika Giok-kun pulang ke Yang-ciu yang jauh itu, tentunya si nona takkan merusak usahanya yang kotor.
Maka untuk tidak terlalu menyolok akan maksud jahatnya, akhirnya ia pun pura-pura menyokong maksud Giok-kun untuk pulang ke rumah.
Begitulah kedua kakak beradik itu lantas berpisah, Giok-hoan ikut berangkat bersama Yim Thian-ngo, Giok-kun pulang sendiri ke rumahnya di Yang-ciu.
Sesudah bayangan kakaknya dan Yim Thian-ngo menghilang dari pandangan, diam-diam Giok-kun berkata sendiri.
"Koko, bukan maksudku hendak mendustai kau, soalnya aku tidak mau bicara terus terang di depan tua bangka itu. Demi Siau-hong, terpaksa aku bertindak demikian, tentu kau takkan marah padaku kelak."
Segera ia putar arah untuk kemudian kembali ke tempat semula.
Nyata maksudnya hendak pulang hanya sebagai alasan belaka.
Watak Giok-kun memang rada berbeda dengan kakaknya, Giok-hoan jujur dan suka terus terang, sedangkan Giok-kun cerdik dan cekatan, suka main akal.
Dia sesungguhnya tidak seluruhnya mempercayai ocehan Yim Thian-ngo tadi.
Ia pikir Kok Siau-hong tidak segan-segannya menghadapi tokoh-tokoh Kang-ouw sekian banyak demi membelanya, bahkan secara tegas menyatakan di hadapan si golok emas Lui Biau bahwa dia akan menemui Han Tay-wi untuk membatalkan perjodohannya, sesudah itu masakah dia mau berbaikan kembali dengan Han Pwe-eng, tidak mungkin nona Han berbuat serendah itu.
Ia yakin jika betul Siau-hong bertemu dengan Pwe-eng di kamarnya, tentu ada alasan-alasan penting dan bukan pertemuan kotor sebagaimana dimaksudkan tua bangka she Yim itu.
Jauh- jauh aku datang ke sini, sebelum bertemu muka dengan Siau-hong mana boleh aku pulang begini saja? Aku harus menyelidiki duduknya perkara hingga jelas agar tidak menyesal di kemudian hari.
Begitulah kita tinggalkan dulu Hi Giok-kun yang memutar balik ke rumah keluarga Han.
Sementara itu Kok Siau-hong dan Kiong Kim-hun masih belum menemukan Kong-sun Bok di atas bukit sana, sedangkan hari sudah mulai gelap.
Maka berkatalah Kok Siau-hong.
"Di depan sudah buntu, marilah kita pulang ke rumah keluarga Han untuk menunggu saja." ~ Dalam hati ia membatin saat itu Giok-kun tentu sudah sampai di rumah keluarga Han. Tiada alasan lain, terpaksa Kiong Kim-hun menuruti ajakan itu dengan ogah-ogahan. Sembari berjalan ia pun terus berseru memanggil.
"Kongsun- toako! Kongsun-toako!"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pada saat itu di balik air terjun sana Kong-sun Bok sedang bertempur melawan Sebun Bok-ya dengan mati- matian, suara air terjun yang gemuruh itu telah menelan suara seruan panggilannya itu.
Dengan sendirinya Kiong Kim-hun sangat kecewa dan murung.
Kok Siau-hong berusaha menghiburnya dan berkata.
"Ilmu silat kawanmu sangat tinggi, tentu takkan terjadi apa-apa atas dirinya, besar kemungkinan dia sudah turun ke bawah gunung sana. Hari sudah petang, marilah kita lekas kembali ke sana saja."
Sekali didesak, tanpa terasa timbul sifat manja Kiong Kim-hun, tiba-tiba ia mendengus.
"Memangnya hari sudah gelap, tentunya kau punya nona Hi itupun sudah sampai di rumah keluarga Han, kau tentu sudah merindukan dia bukan?"
Kok Siau-hong tertegun karena isi hatinya tepat kena dikatai si nona, belum dia sempat menjawab, seperti senapan mesin saja Kiong Kim-hun sudah mulai memberondong lagi, katanya.
"Ya, aku tahu nona Hi itu adalah jantung hatimu, jika kau terburu-buru ingin bertemu dengan dia, bolehlah kau pulang saja sendirian ke sana."
Karena olok-olok itu, Kok Siau-hong menjadi serba salah dan rada jengah pula, pikirnya.
"Kongsun-toako yang diteriaki itu tentu pacar nona ini, pantas juga kalau dia berkeras ingin menemukannya."
Melihat Siau-hong terdiam, perasaan Kiong Kim-hun menjadi tidak enak, segera ia berkata pula.
"Watakku memang keras, apa yang ingin kukatakan kontan kuucapkan, jika kau merasa tersinggung, hendaklah suka memberi maaf."
Tapi Kok Siau-hong masih diam saja, segera Kiong Kim-hun menambahkan.
"Eh, apakah marah padaku? O, agaknya kau sedang memikirkan sesuatu?"
Tiba-tiba Kok Siau-hong mendongak ke atas, lalu berkata.
"Ya, sekarang ingatlah aku. Mari ikut padaku, kita kembali ke sana untuk mencari Kongsun-toakomu!"
Kejut dan girang pula Kiong Kim-hun, cepat ia bertanya.
"Kau teringat kepada apa?"
Sambil berlari secepat terbang Kok Siau-hong menjawabnya.
"Jika aku tidak salah terka, pasti Kongsun-toakomu akan kita temukan. Biarlah kita bicara nanti kalau dia sudah ditemukan."
Tentu saja Kiong Kim-hun bingung oleh kata-kata itu, tapi kedengarannya Kok Siau-hong sangat yakin, terpaksa ia ikut berlari sama cepatnya.
Setiba kembali di bawah air terjun tadi, lalu mereka berhenti.
Kiranya Kok Siau-hong teringat kepada masa kecilnya, ketika dia terperosot ke dalam sungai dan berteriak minta tolong, tahu-tahu wanita itu muncul dan menyelamatkan jiwanya.
Peristiwa itu sudah belasan tahun lamanya, wanita yang menolongnya itu diduga pasti si nenek yang dijumpai Kiong Kim-hun tadi.
Padahal air terjun ini adalah sumber air sungai itu, di atas gunung sini tiada terdapat sesuatu rumah, kalau wanita itu dapat muncul mendadak untuk menolongnya, lalu pergi menuju ke arah air terjun ini, maka dapat diduga di balik air terjun ini pasti ada suatu tempat lagi, kalau tidak, kemanakah wanita itu akan berteduh? Begitulah Kiong Kim-hun menjadi bingung oleh kelakuan Kok Siau- hong itu, omelnya.
"Mengapa kau ajak aku kembali lagi ke sini, apakah kau sengaja menggoda aku?"
"Nama kawanmu itu lengkapnya.....?"
"Kong-sun Bok? Ada apa?"
Kok Siau-hong tidak menjawab, tapi ia lantas menghimpun tenaga dalam terus berteriak keras-keras.
"Kong-sun Bok, keluarlah sini! Kawanmu Kiong- siocia menantikan kau di dekat air terjun sini!"
Saat itu Kong-sun Bok sedang bertempur mati-matian melawan Sebun Bok-ya, untung pada tubuh Kong-sun Bok memiliki daya tahan terhadap serangan racun Hoa-hiat-to, karena itu dia sanggup menyambut belasan kali serangan Sebun Bok-ya tanpa cidera apa-apa.
"Hm, melihat usiamu yang masih muda, tapi sudah mampu meyakinkan Hoa-hiat-to hingga tingkat kedelapan, kau tentunya keturunan busuk si Kong-sun Ki, jika demikian aku pasti takkan memberi kesempatan hidup padamu!"
Jengek Sebun Bok-ya. Sambil bicara, secepat angin Sebun Bok-ya menubruk maju dan melanjutkan serangan mautnya.
"Bret", sebagian kain baju Kong-sun Bok terobek oleh tangan Sebun Bok-ya, yang diincar mestinya tulang pundak Kong-sun Bok, tapi ternyata meleset. Pada punggung Kong-sun Bok tersandang sebuah payung yang merintangi tulang pundak yang diarahnya itu, jari Sebun Bok-ya telah menyentuh payung itu, tapi entah mengapa payung itu ternyata tidak robek. Padahal tenaga jari Sebun Bok-ya mampu menembus papan kayu setebal beberapa senti, apalagi cuma sebuah payung. Karena ia terheran-heran. Dalam pada itu dengan cepat Kong-sun Bok telah memutar ke samping, tahu-tahu payung di punggungnya sudah terpegang, terdengar ia membentak dengan gusar.
"Memang betul ayahku bukan orang baik, tapi kau maling tua ini telah mencuri barangnya, sekarang kau memakinya pula, kau sendiri terlebih rendah daripada ayahku!"
Berbareng payungnya digunakan sebagai pedang, segera ia menusuk ke perut Sebun Bok-ya. Anak mengakui bapaknya bukan orang baik, hal ini jarang terjadi. Maka Sebun Bok-ya lantas bergelak tertawa, katanya.
"Kau bandingkan diriku dengan bapakmu, baiklah, boleh kau menyembah padaku, aku akan menerima kau sebagai anak pungutku. Ha, ha, eh, mana boleh jadi, anak hendak memukul bapak?"
Kiranya waktu itu ujung payung Kong-sun Bok yang tajam itu telah menyambar tiba, tanpa pikir Sebun Bok-ya terus memotong dengan telapak tangannya ke batang payung.
Tak terduga mendadak Kong-sun Bok memutar sedikit payungnya ke atas, dari gaya pedang ia ubah payungnya sebagai toya.
"plok", ia ketok satu kali pergelangan tangan lawan. Maksud Sebun Bok-ya hendak mematahkan payung itu tidak tercapai, sebaliknya malah kena terketok tangannya, betapa hebat ilmu silatnya juga tulang tangan terasa sakit luar biasa, seketika lengan kanan hampir-hampir tak dapat diangkat, keruan ia terkejut dan mendongkol. Rupanya payung Kong-sun Bok adalah semacam senjata aneh yang sangat lihai, tampaknya seperti payung biasa, tapi kerangka payung sebenarnya terbuat dari "sari baja"
Yang bobotnya sepuluh kali daripada berat besi biasa.
Bahan payungnya juga bukan kain biasa, tapi terbuat dari sutera yang teramat ulet, senjata biasa saja sukar menyayatnya, apalagi hendak merobeknya dengan tangan.
Payung itu adalah senjata yang digunakan kakek Kong-sun Bok di waktu muda, yaitu Kong-sun In.
Lantaran putera Kong-sun In, yaitu Kong-sun Ki (ayah Kong-sun Bok) berkelakuan buruk, maka payung itu tidak diwariskan kepada anaknya, sebaliknya diberikan kepada cucunya yang dilihatnya berbakat tinggi dan bersifat polos.
Dengan payung itu dapat digunakan sebagai pedang, toya dan Boan- koan-pit, kalau payung itu dibuka dapat pula digunakan menangkis serangan senjata rahasia musuh.
Sudah tentu Sebun Bok-ya tidak mengira bahwa payung yang sepele itu ternyata semacam senjata lihai, keruan dia kecundang.
Namun kekuatan Sebun Bok-ya memang juga lain daripada yang lain, tangannya kena diketok oleh payung tadi, tapi tulang tangan tidak remuk, maka sebentar saja rasa sakit itu sudah hilang dan pulih.
Hanya saja lantaran sedikit halangan itu, segera Kong-sun Bok mendapat kesempatan untuk mendahului, dari terdesak pemuda itu kini mulai balas menyerang.
Payung Kong-sun Bok bekerja cepat, dia menotok dengan ujung payung, sekali bergerak mengincar tujuh tempat Hiat-to di tubuh lawan, ganas dan jitu.
Lekas Sebun Bok-ya mengebas kedua lengan bajunya ke sana dan ke sini sambil menggeser langkah, terdengar suara.
"bret-bret"
Berulang-ulang, kedua belah lengan bajunya ternyata bertambah beberapa lubang kecil.
Cuma kekuatan totokan payung Kong-sun Bok itupun banyak terpunah karena kebasan lengan baju lawan itu.
Diam-diam Kong-sun Bok merasa sayang karena tipu serangannya yang lihai itu tidak berhasil mencelakai lawan.
Ia pikir untuk bisa mengalahkan bangsat tua yang hebat itu harus digunakan serangan maut agar dia kelabakan dan sukar menjaga diri, dengan demikian baru ada harapan buat menang.
Karena itu payungnya berputar terlebih cepat lagi, sekarang ia gunakan payung sebagai pedang, berputar-putar ia menusuk tiga kali dan selalu mengincar tempat mematikan di tubuh musuh.
Kini Sebun Bok-ya sudah kenal lihainya payung wasiat itu, dia tidak berani lagi menyambutnya secara keras lawan keras, dia hanya menggunakan lwekangnya yang tinggi untuk memutar lengan bajunya disertai tenaga pukulan yang kuat untuk mematahkan serangan lawan yang gencar.
Sekaligus Kong-sun Bok melancarkan belasan jurus serangan, berulang- ulang Sebun Bok-ya dipaksa melompat ke sana dan menghindar ke sini, berturut-turut dia terdesak mundur belasan langkah.
Pok Yang-kian, murid Sebun Bok-ya, ikut kebat-kebit menyaksikan pertarungan sengit itu, dalam sekejap saja ia lihat kedua belah lengan baju sang guru telah robek-robek menjadi kain kecil-kecil dan bertaburan seperti kupu-kupu sehingga jelas kelihatan lengan gurunya itu.
Dengan kuatir ia lantas berseru.
"Suhu, apakah apakah perlu Cu Kiu-bok diundang kemari?"
Dia mengira sang guru sudah kewalahan dan akan kalah, jangan-jangan nanti dia sendiri akan ikut menjadi korban, maka dengan alasan itu dia ingin melarikan diri. Tentu saja Sebun Bok-ya sangat murka, dampratnya.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, memangnya kau kira gurumu tak bisa menandingi bocah ini? Dasar manusia takut mati, bikin malu saja, lebih baik kau enyah saja!"
Saking kuatirnya, Pok Yang-kian mengira sang guru pura-pura mendamprat dan menyuruhnya "enyah"
Untuk mengundang Cu Kiu-bok, maka tanpa pikir ia lantas berseru pula.
"Baik, murid akan segera enyah!"
Habis itu ia terus berlari ke arah rumah batu sana. Keruan Sebun Bok-ya. tambah gusar, teriaknya keras-keras.
"Keparat! Mau kemana kau? Kembali sini!"
"Bukankah Suhu....."
Terpaksa Pok Yang-kian berhenti dan menjawab, ketika ia menoleh, tiba-tiba hatinya menjadi mantap.
Ternyata dalam sekejap itu posisi kedua orang yang bertempur itu sudah berubah.
Kini Sebun Bok- ya yang sedang melancarkan serangan gencar, Kong-sun Bok memutar payungnya dan terdesak mundur terus.
"Ha, ha, engkau benar-benar maha sakti, Suhu! Biarlah murid mengikuti kemenanganmu di sini!"
Begitulah Pok Yang-kian lantas mulai mengumpak sang guru, lalu dia duduk di satu batu padas di ketinggian sana untuk memberi semangat kepada gurunya.
Karena tenaga mulai lemah, diam-diam Kong-sun Bok mengeluh.
Sebaliknya Sebun Bok-ya sendiri juga payah, daya tahan racunnya tidak lebih kuat daripada Kong-sun Bok, sesudah saling gempur dengan Hoa-hiat-to tadi, Sebun Bok-ya merasa dadanya semakin sesak dan mual, ia tahu kalau pertempuran ini tidak lekas-lekas diakhiri, sekali pun akhirnya menang juga dirinya pasti akan jatuh sakit parah.
Selain itu Sebun Bok-ya juga ada pertimbangan lain, dia adalah orang yang ingin menjadi Bu-lim-beng-cu, ketua serikat persilatan, sekarang menghadapi seorang pemuda saja tak bisa menang, sekali pun menang, tapi lawannya sanggup bertahan sekian lamanya, hal inipun akan membuatnya kehilangan muka.
Diam-diam ia bersyukur kejadian ini tidak dilihat oleh Cu Kiu-bok, kalau sampai dilihatnya, mungkin orang she Cu itu akan memandang rendah padanya.
Maka sedapat mungkin pemuda ini harus lekas-lekas dibereskan sebelum Cu Kiu-bok menyusul tiba.
Lantaran terburu-buru ingin menang, segera Sebun Bok-ya menjadi nekat, sekaligus ia keluarkan kedua macam ilmu berbisa yang dicurinya dari keluarga Siang itu, tangan yang satu melancarkan serangan Hoa-hiat-to, tangan yang lain memakai Hu-kut-ciang.
Setiap pukulannya selalu membawa bau anyir yang memuakkan.
Syukurlah Kong-sun Bok memiliki daya tahan racun yang amat kuat, dia tidak sampai jatuh pingsan oleh hawa berbisa itu, tapi dia juga perlu mengerahkan tenaga untuk bertahan, karena itu makin lama juga terasa makin payah.
Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar seruan orang memanggilnya untuk keluar sana, di tengah suara gemuruh air terjun itu mula-mula Kong- sun Bok hanya mendengar namanya dipanggil, sejenak kemudian baru dia mendengar seruan ulangan orang secara lebih jelas.
Ia terkejut dan bergirang, ia tidak tahu siapakah orang yang berseru memanggilnya itu, yang pasti lwekangnya jelas sangat tinggi, biarpun tak dapat menandingi iblis tua Sebun Bok-ya ini, sedikitnya akan merupakan bala bantuan yang berharga.
Tapi cara bagaimana dapat melepaskan diri dari serangan iblis tua ini untuk menerjang keluar air terjun sana? Agaknya Sebun Bok-ya juga mendengar suara seruan itu, ia pun terkejut, pikirnya.
"Menurut cerita Cu Kiu-bok, katanya kemarin di rumah Han Tay- wi dia dipergoki menantu orang she Han yang tidak gentar kepada Siu-lo-im- sat-kang, jangan-jangan yang bersuara itulah dia? Kabarnya menantu Han Tay-wi bernama Kok Siau-hong, ayahnya Kok Lak-hi, dahulu sama terkenalnya dengan Han Tay-wi, jika betul Kok Siau-hong yang datang, mungkin sukar bagiku untuk menang bila menghdapi kerubutan mereka."
Karena itu ia menjadi tidak sabar, beruntun ia melancarkan serangan berbahaya sehingga Kong-sun Bok makin terdesak. Pada saat demikian tiba-tiba dari jalan kecil sana muncul seorang tua berbaju hijau. Pok Yang-kian menjadi girang dan segera berseru.
"Cu- locianpwe datang!"
Kepandaian Pok Yang-kian masih selisih jauh daripada gurunya, dia tidak mendengar suara teriakan Kok Siau-hong di balik air terjun sana. Sesudah dekat, Cu Kiu-bok lantas mendengus ketika mengenali Kong- sun Bok, katanya.
"Hm, kiranya kau lagi si bocah ini!"
Lalu sambungnya.
"Sebun-loheng, bocah ini memang rada-rada lain, apakah kau perlu istirahat dulu, biar aku menggantikan kau sebentar?"
Bagi Cu Kiu-bok ucapannya itu memang bermaksud baik, tapi bagi Sebun Bok-ya kedengarannya seakan-akan mengejek. Dengan bergelak tertawa segera Sebun Bok-ya menjawab.
"Cu-laute, lihat saja! Betapa pun hebat bocah ini juga takkan lolos dari genggamanku!"
"Hm, sekali pun kalian main tempur bergiliran juga aku tidak gentar!"
Jengek Kong-sun Bok, sekali payungnya bergerak, kembali ia patahkan serangan Sebun Bok-ya yang Iihai.
Tempo hari Cu Kiu-bok kena digertak lari oleh "Keng-sin-ci-hoat", ilmu Tiam-hiat nomor satu yang dikeluarkan Kong-sun Bok, sampai sekarang ia pun ragu-ragu dan tidak jelas sampai dimana kelihaian pemuda itu.
Cuma ia pikir kedua orang itu sudah bertempur sekian lamanya, jika sekarang dirinya maju, besar harapan akan merobohkan Kong-sun Bok.
Tapi ucapan Sebun Bok-ya tadi membikin dia mau tak mau berhenti di tempat untuk menonton saja.
Diam-diam ia membatin.
"Rupanya si tua Sebun Bok-ya ini rada iri padaku, baiklah, akan kusaksikan dia mendapat malu!"
Dalam pada itu Sebun Bok-ya menjadi tambah gelisah karena serangannya masih terus kena dipatahkan oleh payung Kong-sun Bok, ia menjadi kuatir juga kehilangan muka di hadapan Cu Kiu-bok.
Pertarungan di antara jago silat kelas tinggi tidak boleh terjadi rasa gelisah dan keayalan sedikit pun, lantaran gelisah tak dapat mengalahkan lawannya dengan segera, tanpa terasa pada suatu jurus serangan kelihatan lubang kelemahannya, tidak ayal lagi Kong-sun Bok menggertak sekerasnya sambil pura-pura menghantam, berbareng ia terus menerjang lewat ke sana secepat kilat.
"Wah, loloslah dia!"
Terdengar Cu Kiu-bok berseru.
Padahal Sebun Bok-ya baru saja omong besar menyatakan Kong-sun Bok pasti takkan lolos dari genggamannya, dan cuma sejenak saja pemuda itu lantas lolos, keruan dia menjadi murka oleh teriakan Cu Kiu-bok itu, segera ia pun membentak.
"Hendak lari kemana! Biarpun kau lari ke ujung langit juga akan kubekuk kau!"
Saat itu Kong-sun Bok sudah melayang ke arah air terjun sana, tanpa pikir Sebun Bok-ya juga melompat ke sana untuk membayangi pemuda itu, seketika ia lupa bahwa di luar sana Kong-sun Bok sudah ada bala bantuan.
Sebelum menerobos lewat air terjun, sekaligus Sebun Bok-ya melontarkan pukulan dahsyat.
Namun ketika Kong-sun Bok melompat ke sana, berbareng ia pun pentang payungnya, di bawah gerujukan air terjun itu dia putar kencang payungnya, seketika air yang jatuh keras dari atas itu muncrat berhamburan laksana anak panah.
Keruan muka Sebun Bok-ya merasa pedas oleh muncratan butiran air itu hingga kedua matanya sukar terbuka, bahkan dia hampir jatuh terpeleset oleh siraman air terjun itu.
Jika di tanah datar, Kong-sun Bok tentu akan terluka parah oleh tenaga pukulan dahsyat yang dilontarkan Sebun Bok-ya itu.
Tapi di bawah air terjun, betapa pun tenaga pukulan itu sudah terhalang oleh tekanan air, sebagian pula tertahan oleh payung Kong-sun Bok, maka sedikit pun pemuda itu tidak terluka.
Dalam pada itu dengan cepat sekali Kong-sun Bok sudah menerobos lewat gua bertirai air terjun itu.
Dengan mata terpejam sambil menghimpun tenaga, segera Sebun Bok- ya juga meloncat ke atas dari tengah air terjun itu dan menyusul ia pun menerobos lewat ke sana.
Kok Siau-hong saat itu sedang ragu-ragu di luar air terjun itu karena teriakannya tadi tidak mendapat jawaban, yang terdengar hanya suara gemuruh air terjun melulu.
Selagi dia bimbang kepada dugaannya sendiri, tiba-tiba dilihatnya air terjun muncrat berhamburan, tirai air itu mendadak tersiak dan seseorang melayang keluar dari sana.
Dengan girang Kiong Kim-hun lantas berseru.
"Itulah dia sudah datang! Kongsun-toako, Kongsun-toako, aku berada di sini!"
Segera ia memburu maju untuk memegang Kong-sun Bok yang basah kuyup itu.
"Awas, di belakang ada orang mengejar!"
Cepat Kong-sun Bok berseru. Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Sebun Bok-ya juga sudah menerjang tiba.
"Sret", tanpa pikir pedang Kok Siau-hong lantas menusuk. Saat itu Sebun Bok-ya belum sempat membuka matanya yang pedas terciprat air, ketika mendengar suara angin senjata menyambar tiba, segera ia pun menyambut dengan suatu pukulan keras. Maka ujung pedang Kok Siau-hong terguncang melenceng ke samping, hanya jubah Sebun Bok-ya saja yang terobek. Sebun Bok-ya terperanjat, ia pikir apakah mungkin bocah ini terlebih lihai daripada anak haram Kong-sun Ki itu, dia ternyata sanggup menghadapi tenaga pukulanku, bahkan mampu menusuk aku hingga sobek bajuku. Sesungguhnya Kok Siau-hong tidak lebih lihai daripada Kong-sun Bok, soalnya Sebun Bok-ya sudah bertempur sekian lamanya, tenaganya sudah banyak berkurang. Walaupun begitu, jika bertempur sungguh-sungguh, tetap Kok Siau-hong bukan lawan Sebun Bok-ya. Hanya saja Sebun Bok-ya telah dibikin keder begitu muncul, mau tak mau ia menjadi gugup. Begitulah dengan cepat luar biasa kembali ujung pedang Kok Siau-hong menyambar ke dada Sebun Bok-ya, sementara itu Sebun Bok-ya sudah sempat membuka matanya, cepat ia mengegos ke samping menyusul sebelah tangannya lantas meraup ke depan, ia balas mencengkeram pergelangan tangan Kok Siau-hong. Gerakan Sebun Bok-ya ini adalah Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara menangkap dan memegang) yang lihai, bila Kok Siau-hong tidak lekas melompat mundur, tentu pedangnya akan dirampas lawan. Untunglah Kiong Kim-hun sudah menerjang tiba, dari samping ia gempur Sebun Bok-ya. Pancaindera Sebun Bok-ya benar-benar sangat tajam, sekilas gaya serangan Kiong Kim-hun itu sudah dapat dilihatnya, kembali ia terkejut dan tidak sempat meneruskan serangannya kepada Kok Siau-hong, cepat ia menarik kembali tangannya untuk melindungi diri sendiri sambil membentak.
"Kau anak dara ini pernah apanya Kiong To-cu dari Oh-hong- to?"
Kiranya Kiong Kim-hun telah menyerang dengan ilmu pukulan "Jit-sat- ciang"
Khas keluarganya, gerak serangannya berguncang tak menentu, tapi sekaligus dapat menyerang tujuh tempat Hiat-to di tubuh orang.
Sebun Bok- ya sudah berpengalaman luas, sekali pandang saja ia lantas kenal ilmu pukulan keluarga Kiong itu.
Maka Kiong Kim-hun lantas menjawab.
"Ayah benci padamu karena kau suka latah, maka aku disuruh menghajar adat padamu!"
Terkesiap hati Sebun Bok-ya demi mengetahui Kiong Kim-hun adalah puteri Kiong To-cu dari Oh-hong-to, diam-diam ia membatin, jangan-jangan Kiong Cau-bun (ayah Kim-hun) telah menjadi gusar lantaran Pok Yang-kian telah menaklukkan Hong-ho-ngo-pa yang menjadi anak buah Kiong Cau- bun dahulu.
Dalam pada itu Kiong Kim-hun telah melancarkan serangan lagi dengan cepat seperti tadi.
Mau tak mau Sebun Bok-ya mendongkol, bentaknya.
"Biarpun Kiong Cau-bun datang sendiri juga mesti memanggil saudara tua padaku, hanya anak dara macam kau saja berani kurangajar padaku!"
Kedua tangannya berputar dengan rapat untuk melindungi seluruh Hiat-to tubuhnya, mendadak sebelah kakinya terus menendang ke arah Kim-hun. Di sebelah sana Kok Siau-hong juga tidak tinggal diam, dengan cepat lantas menubruk maju lagi sambil membentak.
"Tua bangka, jangan kau temberang!"
Berbareng pedangnya lantas menusuk ke perut lawan.
Saat itu Sebun Bok-ya sedang menghadapi Kiong Kim-hun, dengan sendirinya bagian samping merupakan tempat yang tak terjaga, tampaknya pedang Kok Siau-hong segera akan melubangi tubuhnya, tak terduga mendadak Sebun Bok-ya memutar tubuhnya dengan cepat, tendangannya kepada Kiong Kim-hun segera berubah arah menuju Kok Siau-hong.
"Trang", dengan tepat pedang Kok Siau-hong kena tertendang dan terlepas dari cekalan. Tapi Kok Siau-hong sendiri tidak sampai tertendang roboh, begitu pedangnya terlepas, segera tangannya yang kosong memotong ke bawah laksana golok tajam dan tepat mengenai dengkul Sebun Bok-ya. Betapa pun hebat Sebun Bok-ya juga tidak sanggup berdiri dengan kaki satu, dengkulnya kesakitan seperti tersayat, ia menggerung dan tergentak mundur beberapa tindak.
"Ha, ha, katanya kau hendak mencari ayahku untuk bertanding, mengapa baru bergebrak dengan aku saja kau sudah keok?"
Ejek Kiong Kim- hun. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari balik air terjun sana menerbobos keluar pula satu orang. Kiranya Cu Kiu-bok telah menyusul tiba.
"Aku saja yang coba-coba kepandaianmu!"
Bentak Cu Kiu-bok, segera pukulan dahsyat Siau-lo-im-sat-kang tingkat delapan dilontarkan.
Saat itu Kok Siau-hong sedang menjemput kembali pedangnya yang terlepas tadi, sebelah tangannya juga terasa kesemutan, lantaran tendangan Sebun Bok-ya tadi, untuk menolong Kiong Kim-hun rasanya juga tidak keburu lagi.
Syukurlah Kong-sun Bok sudah pulih sebagian tenaganya, begitu tampak Cu Kiu-bok melancarkan serangan, segera ia pentang payung pusakanya untuk menghadang di depan Kiong Kim-hun.
Segera payung itu tertolak oleh tenaga pukulan Cu Kiu-bok yang dahsyat itu, meski Kong-sun Bok memegang gagang payung sekuatnya toh masih merasakan tekanan tenaga yang hebat.
Untunglah hawa dingin Siu-lo-im-sat- kang itu tertahan oleh payung itu sehingga Kiong Kim-hun cuma menggigil sedikit saja di bawah lindungan payung pusaka itu.
Sebenarnya tenaga pukulan Siu-lo-im-sat-kang tidak terletak pada dahsyatnya, sebabnya Kong-sun Bok merasakan beratnya tekanan adalah karena tenaganya belum pulih seluruhnya.
Diam-diam ia terkesiap, ia pikir untuk menjaga diri dengan payung pusaka itu rasanya tidaklah sukar, tapi untuk mengalahkan iblis tua itu mungkin tidaklah mudah.
Segera ia main bertahan saja, ia putar payungnya sebagai tameng, sedangkan batang payung digunakan sebagai Boan-koan-pit, ujung payung yang runcing selalu mengincar Hiat-to berbahaya di tubuh musuh.
Sekonyong-konyong Cu Kiu-bok melompat ke samping, sebelah tangannya lantas mencengkeram ke muka payung yang melembung itu.
Ia tidak tahu payung itu bukan terbuat dari kain biasa, tapi adalah sutera alam yang paling ulet dan tidak terobekkan oleh tenaga jarinya.
Karena gerakan kedua pihak sama cepatnya, begitu mencengkeram segera Cu Kiu-bok merasa tangannya menyentuh bola yang bisa membal, jarinya seketika terpental.
Keruan Cu Kiu-bok terkejut, baru sekarang ia tahu sebabnya Sebun Bok-ya tidak mampu mengalahkan bocah yang tampaknya kekampung-kampungan ini, kiranya payungnya ini memang rada-rada aneh.
Dalam pada itu tahu-tahu ujung payung Kong-sun Bok sudah menyambar tiba pula dan menyerempet bajunya.
Untung Cu Kiu-bok sempat berkelit lebih dulu, kalau tidak, mungkin dia sudah terguling.
Sungguh tidak kepalang kagetnya, terpaksa ia melompat mundur untuk siap siaga pula.
"Lari kemana, bangsat tua! Rasakan pedangku ini!"
Bentak Kok Siau- hong yang sudah menjemput kembali pedangnya.
Cu Kiu-bok tahu Kok Siau-hong tidak gentar kepada Siau-lo-im-sat- kangnya, ia pikir kalau satu lawan satu dirinya masih dapat mengalahkannya, tapi kalau sekarang Kok Siau-hong dibantu oleh bocah kampungan dengan payungnya yang aneh ini, maka dirinya pasti tiada harapan buat menang.
Namun dia tidak mau kalah gertak, dengan sikap garang ia pun balas membentak.
"Hm, bocah ingusan macam kau saja memangnya aku takut?"
Mulutnya bicara besar, tanpa terasa kakinya melangkah mundur lagi dua-tiga tindak. OK-TOAKO,"
Tiba-tiba Kong-sun Bok berseru.
"mengingat mereka sudah tua bangka, biarlah hari ini kita ampuni mereka saja."
"Baiklah, aku setuju,"
Jawab Kok Siau-hong.
Padahal dia sendiri juga sudah kehabisan tenaga, ucapannya hanya untuk menjaga kehormatan pihaknya saja.
Sudah tentu Sebun Bok-ya dapat melihat kekuatan mereka yang sudah lemah, tapi dia sendiri sudah cidera dengkulnya, sementara sukar menggunakan ginkangnya, untuk mengejar tentu juga sulit, terpaksa ia diam saja menyaksikan Kok Siau-hong bertiga melangkah pergi.
Sesudah menuruni bukit dan tidak melihat kedua iblis tua itu mengejar, maka legalah hati Kok Siau-hong betiga.
Jilid 9
"K "Lihai benar pukulan berbisa kakek muka merah itu, tampaknya iblis she Cu itupun tak dapat menandingi dia,"
Kata Kok Siau-hong sesudah mengendurkan langkah mereka.
"Untung Kongsun-toako sudah bertempur dulu dengan dia, kalau tidak, mungkin aku tidak tahan sepuluh kali gebrakannya."
"Iblis tua itu bernama Sebun Bok-ya dan pukulan berbisanya disebut Hoa-hiat-to, yaitu satu di antara dua ilmu berbisa keluarga Siang yang termasyhur di masa dahulu,"
Tutur Kong-sun Bok.
"Ooo, kiranya demikian, pantas!"
Seru Kok Siau-hong menyadari duduknya perkara.
"Pantas apa?"
Tanya Kiong Kim-hun.
"Memangnya aku sedang heran siapakah yang memiliki ilmu pukulan berbisa sedahsyat itu sehingga dapat membinasakan segenap kaum budak di rumah Han Tay-wi, baru sekarang kuketahui bahwa yang melakukannya ternyata adalah iblis Sebun Bok-ya ini,"
Kata Kok Siau-hong.
Lalu ia pun menuturkan diketemukannya budak tua di rumah keluarga Han yang mati kena pukulan berbisa serta segumpal darah beku yang diambilnya dari luka di tubuh budak tua itu, ketika darah itu dimasukkan air dan mengakibatkan matinya sejumlah ikan di dalam air parit itu.
Selesai Kok Siau-hong menutur, lalu Kong-sun Bok mengucapkan terima kasih atas bantuannya serta menanyakan namanya.
Kiong Kim-hun mengikik tawa, katanya.
"Inilah Kok Siau-hong, Kok- toako menantu keluarga Han, tapi sekarang dia ingin menjadi menantu keluarga Hi di Pek-hoa-kok."
Sifat Kiong Kim-hun memang masih kekanak-kanakan dan suka omong tanpa tedeng aling-aling. Keruan Kok Siau-hong menjadi merah jengah, katanya dengan kikuk.
"Ah, nona Kiong janganlah bergurau. Oya, aku justu ingin tanya Kongsun- siauhiap, apakah jejak nona Han telah diketemukan?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hati Kong-sun Bok merasa heran mengapa yang ditanyakan adalah nona Han. Tapi Kiong Kim-hun lantas menjelaskan dengan tertawa.
"Kiranya Han-toako adalah puteri tunggal Han Tay-wi, namanya Han Pwe- eng. Hal ini baru kuketahui sesudah bertemu dengan Kok-toako tadi. Sekarang kau paham tidak?"
Diam-diam Kong-sun Bok mengomeli diri sendiri yang bodoh, masakah dua nona yang menyamar sebagai lelaki sama sekali tak diketahuinya. Tapi sifatnya tidak suka tahu urusan orang lain, lebih-lebih mengenai rahasia pribadi orang. Maka dia cuma menjawab.
"O, kiranya demikian. Kok-toako, apakah dadamu sekarang terasa rada enak?"
"Ya, memang begitulah,"sahut Siau-hong.
"Kepandaianku teramat cetek, sampai-sampai angin pukulan iblis itu yang berbau amis saja tidak tahan, sungguh memalukan."
"Soalnya bukan kepandaianmu rendah atau tinggi, tapi lantaran Kok- toako belum pernah kenal ilmu beracun iblis tua itu,"
Kata Kong-sun Bok.
"Siau-te sendiri sejak kecil sudah kenyang disiksa racun Hoa-hiat-to, syukur mendapat pertolongan tabib sakti sehingga ilmu berbisa itu tidak mempan lagi atas diriku. Di sini aku masih ada beberapa biji obat sisa waktu dulu, silakan minum saja satu biji obat ini, kukira Kok-toako pasti akan segar kembali."
Setelah Kok Siau-hong terima pemberian obat pil itu dan diminum, benar juga semangatnya lantas segar dan tenaga penuh, segera ia mengucapkan terima kasih dan tanya pula mengenai jejak Han Pwe-eng. Maka berkatalah Kong-sun Bok.
"Aku telah mengejar nenek itu, sesudah menerobos ke balik air terjun itu lalu nenek itu menghilang. Tapi di balik air terjun itu ternyata adalah sebuah bangunan kuno yang menyerupai benteng, kukira benteng itulah tempat sembunyi Han-siocia seperti kata nenek itu."
Kok Siau-hong belum tahu si nenek itu kawan atau lawan, yang jelas nenek itu pernah menyelamatkan jiwanya di masa dahulu, seumpama si nenek bukan lawan, posisi di pihak musuh juga terasa lebih kuat. Maka berkatalah dia.
"Kedua iblis tua itu terlalu lihai, jika cuma kita bertiga saja pasti bukan tandingan mereka. Jalan paling baik sekarang pulang dulu ke rumah keluarga Han, kalau kedua kakak beradik Hi sudah datang barulah kita ambil tindakan lebih lanjut."
Padahal Kiong Kim-hun justru segan bertemu dengan kakak beradik Hi, maka ia merasa susah mendengar usul Kok Siau-hong.
"Kedatangan kalian berdua ke Lok-yang ini entah ada urusan lain atau tidak?"
Demikian Kok Siau-hong bertanya pula.
"Hanya untuk menyambangi Han-toako, eh, keliru, Sio-cia, kecuali itu tiada urusan lain,"
Sahut Kong-sun Bok.
"Cuma..... cuma, terus terang saja, sesungguhnya kami merasa rikuh bila bertemu dengan Hi-siocia."
"Sebab apa?"
Tanya Kok Siau-hong heran.
"Sebab kami pernah mencuri satu guci arak Pek-hoa-ciu yang dia bawa, di luar dugaan arak itu kena direbut pula oleh si nenek tadi,"
Tutur Kong-sun Bok. Padahal soal mencuri arak adalah perbuatan Kiong Kim-hun dan tiada sangkut-pautnya dengan dia. Tapi Kong-sun Bok memang simpatik terhadap kawan, ia telah membagi tanggung-jawab perbuatan itu.
"O, pahamlah aku,"
Kata Kok Siau-hong dengan tertawa.
"tentunya kalian bermaksud memberikan arak itu kepada Pwe-eng bukan? Tapi kalian tidak tahu bahwa Giok-kun juga kawan baik Pwe-eng. Ah, ini hanya suatu salah paham saja, bila persoalan sudah jelas tentu mereka takkan menyalahkan kalian. Jika guci arak itu berada padaku tentu juga akan direbut oleh nenek itu. Maka kalian berdua tidak perlu menyesal, marilah kita kembali ke rumah keluarga Han."
Begitulah setiba di rumah keluarga Han, sementara itu sudah dekat tengah malam, ternyata kakak beradik Hi tidak berada di situ.
Kok Siau-hong merasa tidak tenteram, ia kuatir jangan-jangan terjadi sesuatu di tengah perjalanan mereka.
Tapi Kiong Kim-hun memang seorang nona cermat biarpun sifatnya nakal, sesudah masuk kamar Pwe-eng dan menyalakan lampu, ia periksa sejenak keadaan di dalam kamar, lalu berkata dengan tertawa.
"Kok-toako, mereka sudah datang. Malahan Ku-kumu yang suka bohong itupun seperti datang kembali lagi ke sini."
Setelah memeriksa bekas tapak kaki di lantai, lamat-lamat Kok Siau-hong juga dapat membedakan keadaan di situ. Ia berpikir sejenak, lalu berkata.
"Ya, tampaknya mereka sudah datang. Bisa jadi mereka tidak menemukan diriku, kini mereka kakak beradik mengikuti Ku-ku ke tempat Kay-pang. Ketua Kay-pang Liok-locianpwe kini juga berada di markas cabang Kay-pang di Lok-yang sini, bagaimana kalau kita juga berkunjung ke sana?"
"Bagus, sudah lama aku mengagumi nama Liok Pang-cu, kita harus berkunjung kepadanya,"
Kata Kong-sun Bok dengan girang.
"Jika ada bantuan Kay-pang, kita pun tidak perlu gentar lagi kepada kedua iblis tua itu. Marilah lekas kita berangkat."
Kok Siau-hong tidak menjawabnya dan seperti sedang berpikir sesuatu. Dengan heran Kiong Kim-hun lantas bertanya.
"Kok-toako, apa yang kau pikirkan? Bukankah kau ingin lekas-lekas menemui Hi-siociamu."
"Harap kalian tunggu sebentar,"
Kata Siau-hong.
Ketika Kiong Kim-hun memandang ke arah yang ditatap Kok Siau-hong, kiranya yang direnungkan pemuda itu adalah sebuah peti.
Kim-hun tahu bahwa di dalam peti itu tersimpan macam-macam lukisan dan tulisan, kemarin ketika Yim Thian-ngo menggeledah isi kamar itu, lukisan-lukisan itu telah berserakan memenuhi lantai, kemudian Kok Siau- hong datang dan dimasukkan kembali ke dalam peti.
"O, apakah engkau merasa berat lukisan-lukisan bagus itu ditinggalkan di sini?"
Tanya Kim-hun kemudian.
"Apakah kau yang menggembok peti ini?"
Tiba-tiba Siau-hong bertanya.
"Sama sekali aku tidak menyentuh peti ini,"
Jawab Kim-hun.
"Anehlah kalau begitu,"
Kata Siau-hong.
"Padahal aku ingat benar peti ini tidak bergembok."
"Kenapa heran, bisa jadi Hi-siocia telah datang ke sini, ketika melihat peti ini tidak terkunci, maka dia yang menggembok peti ini agar isinya tidak dicuri orang,"
Ujar Kiong Kim-hun.
"Ya, bisa jadi begitu,"
Kata Siau-hong sambil mengangguk.
"Cuma di sini tidak terjaga oleh seorang pun, biar digembok juga peti ini dapat digondol amblas."
"Apakah engkau ingin membawa serta peti ini?"
Tanya Kim-hun.
"Ai, di tengah suasana kacau begini betapa banyak harta benda yang tercecer tak keruan, buat apa kita menyusahkan diri dengan membawa peti ini?"
"Lukisan-lukisan itu semuanya barang seni yang berharga, kukira beberapa di antaranya yang penting perlu diselamatkan bagi paman Han,"
Ujar Siau-hong. Lalu ia membuka peti itu dan mengambil segulung lukisan yang terletak paling atas.
"Lepaskan, lukisan itu berbisa!"
Tiba-tiba Kong-sun Bok berteriak. Kok Siau-hong terkejut.
"Lukisan ini berbisa?"
Ia menegas, dan benar juga, telapak tangannya sudah terasa rada gatal-gatal pegal. Cepat Kong-sun Bok mengeluarkan sebuah jarum perak dan menyudet ujung jari tengah Kok Siau-hong serta dibubuhi sedikit obat bubuk, lalu katanya.
"Untung keburu diketahui, asal darah berbisa ini dipencet keluar tentu tak berhalangan."
Kong-sun Bok membungkus tangannya dengan kain, lalu ia membongkar isi peti itu, segera Kok Siau-hong dapat membedakan bahwa seluruh lukisan itu ternyata barang tiruan belaka. Dengan heran Siau-hong berkata.
"Mustahil paman Han mau menyimpan lukisan tiruan begini, padahal aku ingat benar lukisan-lukisan yang kumasukkan peti ini adalah lukisan-lukisan tulen yang berharga, siapakah yang menukar lukisan-lukisan berbisa untuk mencelakai orang ini?"
"Ya, maksud orang ini sungguh keji, apakah Kok-heng dapat menduga siapa yang berbuat?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Orang yang paling tersangka tentunya Sebun Bok-ya, tapi iblis itu tadi baru bergebrak dengan kita, mana bisa dia datang ke sini?"
Ujar Siau-hong.
"Benar, biarlah kita pergi dulu menjumpai Liok Pang-cu saja,"
Ajak Kong- sun Bok.
Begitulah malam itu juga mereka lantas berangkat dan menjelang pagi mereka sudah tiba di luar kota Lok-yang.
Tertampak beratus-ratus rakyat pengungsi berjubel di depan pintu gerbang kota untuk menantikan pintu dibuka.
Dari beberapa pengungsi yang ditanyai Kok Siau-hong dapat diketahui bahwa beberapa kota di utara Lok-yang sudah jatuh ke tangan Mongol, diperkirakan kalau pasukan Mongol terus menyerbu ke selatan, mungkin satu-dua hari lagi akan sampai di Lok-yang.
Menurut peraturan biasa, begitu subuh tiba pintu gerbang kota harus dibuka, tapi hari ini ternyata belum dibuka meski hari sudah terang.
Rakyat pengungsi makin banyak berjubel di bawah benteng kota, suasana menjadi ribut.
Prajurit penjaga tampak siap dengan anak panah terpasang di busurnya berdiri di atas benteng.
Kemudian tampak seorang perwira tampil keluar dan main bentak.
"Menurut perintah Cong-ping Tayjin (komandan militer kota), semua pengungsi dilarang memasuki kota. Lekas kalian menyelamatkan diri ke tempat lain saja, jika masih ribut-ribut di sini, terpaksa kami akan ambil tindakan dan menghukum kalian sebagai pengacau!"
Mendengar itu, suasana tambah ribut, para pengungsi mencaci maki dan merasa penasaran. Dengan lantang Kok Siau-hong lantas berseru.
"Kaum pembesar negeri dibayar dengan uang rakyat, kini rakyat dalam bahaya, tapi kaum pembesar tidak melindungi, sebaliknya malah mengusirnya, sungguh tidak pantas!"
"Benar!"
Teriak kaum pengungsi beramai-ramai.
"Jika pintu kota tidak dibuka, marilah kita membukanya sendiri!"
"Kurangajar!"
Damprat perwira tadi.
"Yang bicara itu tentulah mata-mata musuh, kalian jangan mau dihasut, siapa berani mengacau segera akan kuperintahkan dibinasakan dengan panah."
Dengan gusar segera Kok Siau-hong hendak melabrak perwira itu, tapi Kong-sun Bok keburu mencegahnya.
Sementara itu di atas benteng tampak muncul pula dua orang, satu perwira dan yang lain seorang jembel.
Kok Siau- hong kenal si jembel itu adalah Soh Ban-to, wakil Pang-cu Kay-pang cabang Lok-yang.
Tampak perwira itu bicara dengan perwira penjaga benteng tadi, habis itu perwira piket itu lantas berseru kepada kaum pengungsi di bawah benteng.
"Cong-ping Tayjin memaklumi kesusahan kalian, maka kini kalian boleh masuk kota, tapi harus tertib dan berkumpul di alun-alun untuk menantikan peraturan lebih lanjut."
Ketika pintu gerbang dibuka, masuklah para pengungsi itu membanjir ke dalam kota.
Kok Siau-hong lantas membawa Kong-sun Bok dan Kiong Kim- hun menuju ke markas cabang Kay-pang.
Di markas Kay-pang itu suasana juga kelihatan sibuk, ketika Lau Kan-loh keluar menemui mereka di ruang tamu, ternyata Liok Kun-lun sendiri tidak muncul.
"Kabarnya pasukan Mongol sudah mendekat, apakah Cong-ping di kota ini minta bantuan Kay-pang kalian untuk ikut mempertahankan kota?"
Tanya Siau-hong.
"Benar, sesudah kepepet barulah pembesar-pembesar Kim itu mohon kepada kami, padahal biasanya mereka suka berlagak tuan besar, mana mereka mau minta-minta kepada kaum jembel macam kami ini,"
Tutur Lau Kan-loh.
"Tapi kesempatan ini juga telah kami gunakan dengan baik. Kami mengajukan dua syarat, pertama, gudang-gudang perbekalan pemerintah dan orang-orang kaya harus dibuka dan dibagi-bagi untuk rakyat jelata. Kedua, agar kaum pengungsi dibolehkan masuk kota, di antara kaum muda para pengungsi itu dipilih untuk diikut sertakan dalam pasukan pertahanan kota. Karena sudah kepepet, Cong-ping itu terpaksa menerima syarat kami dan sekarang kedua syarat itu sedang dilaksanakan."
"Sungguh memuaskan hati rakyat jelata sekali ini!"
Kata Kok Siau-hong dengan tertawa.
"Dan entah Liok Pang-cu masih berada di sini tidak?"
"Pang-cu dan Ku-kumu beserta Hi Giok-hoan kemarin telah berangkat dengan membawa harta pusaka keluarga Han, maksud Liok Pang-cu hendak menyampaikan harta pusaka itu kepada pimpinan laskar rakyat yang kini berada di Ci-lo-san, satu gunung kira-kira seratus lie di barat kota ini. Sesudah menitipkan harta pusaka itu barulah Liok Pang-cu akan berusaha menghubungi Lok-lim-beng-cu kelima propinsi daerah utara, yaitu Liu-lihiap. Ketika berangkat Liok Pang-cu belum mengetahui suasana yang tambah genting ini. Oya, bagaimana dengan jejak Han Tay-wi, apakah semalam sudah kalian temukan?"
"Telah ditemukan sedikit tanda-tanda baik dan kami justru ingin minta petunjuk kepada Lau To-cu,"
Jawab Siau-hong.
Lalu ia pun menceritakan tentang benteng kuno yang ditemukan serta Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok yang dipergoki itu.
Menyusul ia pun memperkenalkan Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun kepada Lau Kan-loh.
Lau Kan-loh merenung sejenak, lalu berkata.
"Jika demikian, apakah Han Tay-wi itu kawan atau lawan belum jelas. Keadaan sekarang juga tidak memungkinkan mengurus Han Tay-wi. Kalian sekarang sudah berada di sini, bagaimana kalau tinggal dulu di sini untuk membantu kami?"
Urusan harus dibedakan mana yang lebih penting, demi negara dan bangsa, Kok Siau-hong bertiga lantas menerima permintaan itu dan sementara ini menunda maksud menyelidiki benteng kuno dan menyelamatkan Han Pwe-eng serta ayahnya.
Hanya ada suatu hal yang membikin hati Kok Siau-hong tidak tenteram, yaitu semalam Hi Giok-kun ternyata tidak ikut kakaknya datang ke Kay-pang sini, lalu kemanakah perginya nona itu? Saat itu Hi Giok-kun justru berada di atas bukit di belakang rumah keluarga Han dan telah mengalami sesuatu yang tak terduga.
Seperti sudah diceritakan, setelah berpisah dengan kakaknya, Giok-kun sengaja memutar balik lagi ke rumah Han Pwe-eng, ia mencari lagi sekeliling di situ dan tetap tidak menemukan Kok Siau-hong dan Pwe-eng.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, hati Giok-kun menjadi tidak tenteram, pikirnya.
"Siau-hong berangkat lebih dulu daripadaku, pantasnya dia sudah sampai di sini, mengapa dia tidak menunggu aku, padahal dia tahu pasti aku akan datang pula untuk menemui Pwe-eng? Apakah benar-benar telah terjadi sesuatu di sini?"
"Sesuatu"
Yang diceritakan Giok-kun itu ada dua kemungkinan, kepergok musuh keluarga Han dan ikut menjadi korban mengingat Kok Siau-hong diketahui adalah calon menantu Han Tay-wi.
Kemungkinan lain bisa jadi seperti yang dikatakan Yim Thian-ngo, ialah Kok Siau-hong rujuk kembali dengan Han Pwe-eng dan sengaja menyingkir pergi.
Mestinya Hi Giok-kun tidak berani percaya kepada ucapan Yim Thian- ngo, tapi gadis yang sedang dimadu cinta biasanya tak terhindar daripada rasa cemas dan kuatir kalau-kalau sang kekasih direbut oleh orang lain.
Dengan perasaan bimbang Giok-kun terus mencari ke atas gunung di belakang rumah.
Dia pernah bertamu di rumah Han Pwe-eng selama beberapa bulan, maka dia cukup kenal keadaan setempat.
Menghadapi tempat yang pernah didatangi, terbayang kembali ketika dia pesiar di situ bersama Han Pwe-eng dengan amat akrabnya, siapa tahu persahabatan yang rapat itu kini mulai retak disebabkan berebut kekasih.
Selagi Giok-kun kacau pikiran, tiba-tiba terdengar suara keresekan, dari semak pohon sana tiba-tiba muncul dua orang perempuan.
Saat itu rembulan sudah mulai menongol dengan cahayanya yang terang.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giok-kun terkejut, waktu ia memandang ke sana, ternyata Han Pwe-eng tidak terdapat di antara kedua perempuan itu.
Kedua perempuan itu ternyata adalah nona-nona cantik yang berusia enambelas atau tujuhbelas tahun saja, pakaian mereka serupa, berwarna hijau, dandanan mereka menyerupai kaum budak keluarga hartawan di daerah utara.
Melihat gerak-geriknya, Giok-kun yakin kedua budak cilik itu tentu memiliki ilmu silat.
Baru Giok-kun hendak menegur mereka, terdengar kedua budak cilik itu sudah mendahului menyapa.
"Maafkan kelancangan kami, mohon tanya apakah engkau adalah nona Hi Giok-kun dari Pek-hoa- kok?"
Giok-kun tercengang, jawabnya kemudian.
"Benar, akulah Hi Giok-kun adanya. Siapakah kalian?"
Budak yang lebih tua menjawab.
"Hamba bernama Si Bwe, dia bernama Si Kiok. Atas perintah majikan, hamba berdua disuruh mengundang Hi- siocia."
"Siapakah majikan kalian?"
Tanya Giok-kun.
"Sesudah bertemu tentu majikan akan menjelaskan sendiri kepada Hi- siocia,"
Sahut budak yang bernama Si Bwe itu.
"Andaikan sekarang kami sebut nama majikan, rasanya Hi-siocia tidak mengenalnya."
"Jika demikian, jadi aku tidak pernah kenal majikan kalian, tapi mengapa dia mengetahui akan kedatanganku sekarang ini dan ada urusan apa aku diundang ke sana?"
Kata Giok-kun.
"Agaknya majikan sudah menduga akan pertanyaan Hi-siocia ini, maka beliau sengaja membawakan sebuah lukisan untuk meyakinkan Hi-siocia,"
Sembari berkata Si Bwe lantas mengangsurkan satu gulungan lukisan.
Dengan ragu-ragu Giok-kun membentang lukisan itu, kiranya adalah sebuah lukisan kuno, lukisan pemandangan yang menyerupai pemandangan alam di luar kota Yang-ciu, di pojok lukisan terdapat beberapa baris syair, selain itu ada pula beberapa baris huruf kecil di tepi lukisan yang sengaja ditulis sebagai catatan kenang-kenangan pemilik lukisan itu.
Giok-kun tertegun melihat lukisan itu.
Lukisan itu tidak asing baginya, sebab empat tahun yang lalu ketika dia bertamu di rumah keluarga Han, pernah Pwe-eng memperlihatkan lukisan itu kepada Giok-kun, justru dari lukisan itulah Giok-kun mengetahui bahwa Pwe-eng adalah bakal istri Kok Siau-hong, yaitu dari tulisan-tulisan yang terdapat di lukisan itu, disebutkan lukisan itu adalah pemberian Kok Yak-hi kepada bakal besannya, Han Tay- wi.
Ketika itu Giok-kun pura-pura tidak tahu dan menegas kepada Han Pwe- eng, apakah Kok Yak-hi yang dimaksud adalah Kok Yak-hi dari Yang-ciu.
Kelihatan Han Pwe-eng menjawab dengan samar-samar dan berusaha membelokkan persoalan itu dengan memperlihatkan lukisan yang lain.
Selama ini Giok-kun tidak habis paham mengapa Han Pwe-eng bersikap demikian.
Sudah tentu Giok-kun tidak tahu bahwa Han Tay-wi yang memberi pesan kepada Han Pwe-eng agar merahasiakan pertunangannya dengan Kok Siau- hong.
Sebab ibu Kok Siau-hong telah minggat bersama Kok Yak-hi.
Sama sekali Han Tay-wi tidak menduga bahwa kejadian pada orang tua akan terulang kembali pada puterinya.
Begitulah setelah melihat lukisan itu, tanpa ragu-ragu ia menerima undangan kedua budak cilik itu.
Kedua budak cilik itu sangat girang, sesudah menggulung kembali lukisan itu, Si Bwe berkata.
"Harap Hi-siocia ikut kami ke sana, bila di tengah jalan ditanya orang, biarlah kami yang menjawab, Hi-siocia tidak perlu bicara."
Giok-kun tidak tahu teka-teki apa yang sedang dimainkan orang, ia hanya mengikuti kedua budak cilik itu ke atas gunung.
"Apakah jauh tempat tinggal majikanmu?"
Tanyanya di tengah jalan.
"Tidak jauh, hanya sebentar saja sudah sampai,"
Kata Si Kiok. Tentu saja Giok-kun sangat heran, seingatnya ketika bermain di atas gunung bersama Han Pwe-eng dahulu tidak pernah diketahui ada orang tinggal di situ. Maka ia coba menegas lagi.
"Apakah kalian baru pindah ke sini?"
"Tidak,"
Jawab Si Bwe.
"Sejak hamba lahir majikan sudah tinggal di sini."
Makin heranlah Giok-kun, tapi ia tidak bertanya lagi, ia pikir sebentar jika sudah berhadapan dengan majikan mereka tentu akan jelas segala persoalannya.
Tanpa terasa sampailah mereka di bawah air terjun itu, di depan sudah buntu, tiada jalan lagi.
Terlihat Si Bwe mengeluarkan sebuah kerudung berwarna-warni dan menyuruh Giok-kun memakainya.
"Untuk apa memakai kerudung?"
Tanya Giok-kun.
"Harap Hi-siocia ikut kami menerobos tirai air terjun kerudung ini sekadar sebagai mantel saja agar pakaian tidak basah,"
Jawab Si Bwe.
Lalu kedua budak cilik itupun memakai kerudung yang sama, habis itu Si Bwe lantas mendahului melompat ke balik air terjun, begitu pula Si Kiok.
Tanpa pikir Giok-kun mengikuti jejak mereka.
Setiba di balik air terjun, ternyata ada dunia lain di situ.
Si Kiok melipat kembali kerudung yang dipakai Giok-kun tadi.
Baru sekarang Giok-kun melihat jelas kerudung itu teranyam dari bulu merak, makanya enteng dan berwarna-warni.
Untuk menganyam sebuah kerudung saja entah diperlukan berapa ekor merak, maka dapat dibayangkan betapa berharganya kerudung itu.
Giok-kun menduga majikan kedua budak itu pasti orang kaya-raya seperti keluarga Han.
Waktu Giok-kun menengadah, dilihatnya di atas gunung sana ada sebuah bangunan kuno berbentuk benteng.
Tiba-tiba terdengar Si Bwe mendesis dan berkata.
"Ssst, lekas jalan ke sana, sedapat mungkin jangan sampai dilihat orang di benteng sana."
Semula Giok-kun mengira mereka bertempat tinggal di bangunan kuno itu, tapi demi mendengar ucapan Si Bwe baru diketahuinya penghuni benteng kuno itu adalah orang lain. Diam-diam Giok-kun berpikir.
"Entah betapa banyak orang-orang kosen yang tinggal di atas gunung ini, selamanya Pwe-eng tidak pernah bercerita kepadaku, agaknya dia juga tidak tahu adanya tempat rahasia ini."
Dengan ginkang yang cukup tinggi, Si Bwe dan Si Kiok membawa Giok- kun menyusuri semak alang-alang pegunungan itu dan maju terus ke depan, tidak lama benteng kuno itu sudah jauh ditinggalkan. Dengan menghela napas lega Si Bwe berkata.
"Untung tidak dipergoki orang di benteng itu."
"Siapakah penghuni bangunan kuno itu, apakah musuh majikan kalian?"
Tanya Giok-kun. Agaknya Si Kiok lebih suka ngobrol, tanpa ditanya ia lantas mengoceh.
"Di benteng itu baru kedatangan dua orang tua bangka, yang satu bernama Sebun Bok-ya dan yang lain bernama Cu Kiu-bok, konon adalah iblis-iblis yang lihai dan kejam. Enci Bwe rada jeri terhadap kedua iblis tua itu, aku sih tidak takut."
Giok-kun terkejut mendengar itu, kiranya musuh Han Tay-wi yang tinggal di bangunan kuno itu. Segera ia tanya Si Kiok.
"Mengapa kau tidak takut kepada mereka?"
Si Kiok memonyongkan mulutnya, lagaknya memandang hina kedua iblis yang dikatakan tadi, jawabnya kemudian.
"Huh, betapa pun ganasnya kedua iblis itu juga tak berani merecoki majikan kami."
Karena belum tahu hubungan apa antara kedua iblis tua yang dimaksud dengan majikan kedua budak cilik itu, maka di dalam hati Giok-kun rada- rada tidak enak.
Sementara itu mereka telah sampai di tepi sebuah sungai yang berarus keras, sumber air sungai ini adalah air terjun di atas gunung itu, suara air yang mendampar gemerujuk ke bawah itu bergemuruh memekakkan telinga.
Di tepi sungai tertambat sebuah perahu kecil, Si Bwe menyilakan Giok- kun naik ke atas perahu, katanya.
"Harap Hi-siocia duduk dengan baik, kami mengantar engkau ke atas gunung."
Segera ia angkat sebatang galah bambu, sekali tolak, perahu itu terus meluncur ke depan menyongsong arus.
Setiba di tempat yang arusnya keras, perahu itu terguncang hebat dan seakan-akan terlempar naik turun.
Dengan tekanan badan yang berat Giok-kun membantu mereka membikin perahu itu lebih stabil sehingga tidak perlu diombang-ambingkan ombak.
Tidak lama kemudian, perahu itu telah sampai di atas gunung dengan menyongsong arus sungai yang keras itu.
Si Bwe dan Si Kiok tampak basah kuyup oleh keringat, tapi kelihatan masih sangat tangkas.
Diam-diam Giok- kun merasa kagum, kalau kaum budaknya sudah begitu, maka dapat dibayangkan betapa hebat majikannya, tentu tokoh angkatan tua dari dunia persilatan yang luar biasa.
Akhirnya sampailah mereka di tempat tinggal majikan kedua budak cilik itu.
Ternyata sama sekali di luar dugaan Giok-kun, tempat tinggal orang yang disangka kaya-raya itu ternyata terdiri dari beberapa buah rumah bilik belaka, namun menimbulkan rasa tenteram dan nyaman.
Memasuki rumah yang sederhana itu, terlihat suasana di dalam semuanya serba hijau, pintu dan jendela terbuat dari bambu hijau, papan dinding juga dicat hijau, tetumbuhan yang merambat dari emper rumah juga berbunga hijau dengan bau harum yang semerbak.
Dari dalam ruangan sana terdengar suara tetabuhan kecapi.
Giok-kun memandang ke sana melalui jendela, dari bayangan yang samar-samar itu tertampak seorang wanita sedang memetik kecapi.
Sayup-sayup terendus bau harum cendana yang teruar dari ruangan itu.
Tiba-tiba Giok-kun merasa bau harum dupa cendana itu seperti sudah dikenalnya, setelah berpikir sejenak, akhirnya ia ingat bahwa dupa wangi itu adalah serupa dengan bau harum cendana yang sering dibakar oleh Han Pwe-eng.
"Majikan sedang memetik kecapi, harap Hi-siocia sudi menunggu sebentar,"
Bisik Si Bwe. Akan tetapi mendadak suara kecapi berhenti, terdengar suara wanita itu berseru.
"Tamu agung sudah tiba, silakan masuk saja."
Segera Si Bwe menyingkap kerai dan menyilakan Giok-kun masuk ke ruangan sana.
Ketika Giok-kun memandang ke dalam, dilihatnya majikannya adalah seorang wanita berusia sekitar setengah abad, meski sudah berumur, tapi masih jelas kelihatan kecantikan di masa mudanya.
Wanita itu mengamat-amati Giok-kun sejenak, lalu berkata dengan tertawa.
"Nona dari Lembah seratus bunga (Pek-hoa-kok) memang tidaklah bernama kosong, cantiknya memang laksana bunga. Nona Hi, meski kita baru bertemu untuk pertama kalinya, tapi hatiku sudah senang padamu. Kau jangan sungkan-sungkan, duduklah dan bicara. Si Kok, kenapa kau mematung di situ, bawakan teh untuk tamu kita."
Sama sekali Hi Giok-kun tidak menduga bahwa baru bertemu tuan rumah sudah begitu simpatik padanya, maka rasa was-wasnya menjadi kendur. Diam-diam ia pun sangat senang karena orang memuji kecantikannya.
"Aku diundang ke sini, entah cara bagaimana aku harus menyebut Cianpwe?"
Kata Giok-kun, secara tidak langsung ia ingin tahu nama tuan rumah. Wanita itu tertawa dan menjawab.
"Tidak perlu menyebut aku Cianpwe segala, aku she Sin, menurut urutan keluarga, aku adalah nomor Cap-si (empatbelas), maka kalau kau sudi boleh panggil saja padaku Cap-si-koh (bibi keempatbelas)."
Menurut adat setempat, hanya wanita setengah umur (perawan tua) yang belum menikah barulah dipanggil sebagai "Koh"
Segala. Maka dalam hati Giok-kun membatin.
"Mungkin di waktu dulu dia pernah patah hati, makanya hidup sendirian di lembah sunyi ini. Agaknya dia tidak suka dianggap tua, tidaklah enak jika aku menyebut nenek padanya."
Dalam pada itu Si Kiok telah membawakan teh. Si Bwe menaruh gulungan lukisan tadi di atas meja, sesudah memberi hormat, lalu kedua budak cilik itu mengundurkan diri.
"Hanya teh tawar saja, harap nona Hi jangan mencela, silakan minum,"
Kata Sin Cap-si-koh.
"Malam-malam Cap-si-koh mengundang aku, entah ada petunjuk urusan apa?"
Tanya Giok-kun kemudian setelah beramah-tamah sejenak.
"Tentunya Si Bwe sudah memperlihatkan lukisan itu kepadamu bukan?"
Kata Sin Cap-si-koh sambil menunjuk lukisan di atas meja.
"Ya, justru aku ingin mohon tanya, entah darimana Cap-si-koh mendapatkan lukisan itu?"
Tanya Giok-kun. Melihat gelagatnya ia menduga tidaklah mungkin Pwe-eng bersembunyi di sini. Maka terdengarlah Sin Cap-si-koh menjawab dengan hambar.
"Lukisan ini adalah pemberian Han Tay-wi."
Giok-kun melengak.
Lukisan itu adalah lukisan pusaka simpanan Han Tay-wi dan menyangkut hubungan famili antara keluarga Han dan Kok, jika betul lukisan itu pemberian Han Tay-wi, maka hubungan Sin Cap-si-koh ini dengan paman Han tentu lain daripada yang lain.
Demikian pikirnya.
Melihat keraguan si nona, segera Cap-si-koh berkata pula.
"Tidak cuma lukisan ini saja, bahkan sudah lama Han Tay-wi memberikan seluruh koleksi lukisannya kepadaku. Lukisan-lukisan yang dia kumpulkan seluruhnya adalah lukisan bernilai tinggi dan sukar dilihat orang luar. Bila nona Hi ada minat tiada halangannya kutunjukkan kepadamu."
Giok-kun pikir tentunya Sin Cap-si-koh tidak tahu bahwa lukisan-lukisan itu dahulu sudah pernah dilihatnya di rumah Han Pwe-eng, maka ia pun menjawab.
"Jika diberi kesempatan baik ini, tentu saja sangat kuharapkan."
"Sudah lama nona Hi terkenal serba pandai baik silat maupun seni, maka lukisan-lukisan ternama ini malam ini boleh dikata telah berjumpa dengan orang yang dapat menghargainya,"
Ujar Sin Cap-si-koh sambil menyilakan Giok-kun menghabiskan tehnya. Sin Cap-si-koh membuka pintu ruangan sebelah, lalu berkata pula.
"Ruangan ini adalah kamar lukisanku, di sini tergantung lukisan-lukisan ternama pemberian Han Tay-wi."
Agaknya Si Bwe sudah tahu ruangan lukisan itu akan ditinjau sang tamu, maka lebih dulu di ruangan itu sudah dinyalakan lampu sehingga suasana terang benderang.
Kamar lukisan itu jauh lebih luas daripada ruangan tadi, Giok-kun melihat sekeliling dinding penuh dengan lukisan-lukisan, jelas lukisan- lukisan ternama yang pernah dilihatnya di rumah Han Pwe-eng dahulu juga terdapat di situ.
"Tentunya kau rada heran mengapa Han Tay-wi memberikan semua koleksi lukisannya padaku bukan?"
Tanya Sin Cap-si-koh dengan tertawa.
"Pedang dihadiahkan kepada kesatria, pupur diberikan kepada si cantik, lukisan mudah didapat, yang sukar diperoleh adalah penggemar yang sepaham, maka pemberian lukisan kepada Cap-si-koh sungguh suatu hal yang tepat,"
Demikian kata Giok-kun.
"Kau benar-benar nona yang pintar bicara,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puji Cap-si-koh dengan tersenyum.
"Hubunganku dengan Han Tay-wi memang tergolong karib, tapi dia memberikan lukisan padaku sebaliknya bukan lantaran persahabatan kami. Di dalam ini masih ada persoalan lain. Nona Hi, apakah kau ingin mengetahui duduknya perkara?"
"Ya, jika tidak keberatan,"
Jawab Giok-kun.
"Aku tahu hubunganmu dengan puteri Han Tay-wi menyerupai saudara sekandung, maka tiada halangannya kuceritakan padamu. Sebabnya dia memberikan koleksi lukisannya padaku adalah karena dia menginsyafi bencana yang segera akan menimpanya."
Giok-kun terkejut, katanya.
"Tadi aku baru saja datang di rumah keluarga Han dan ingin tahu apa yang telah terjadi, kini ternyata telah ditimpa bencana, tentunya Cap-si-koh mengetahui sebab-musababnya?"
"Sudah tentu aku tahu,"
Jawab Sin Cap-si-koh.
"Itu pula sebabnya aku mengundang kau ke sini. Sekarang silakan kau ikuti ceritaku. Tiga bulan yang lalu Han Tay-wi telah mengetahui bahwa musuh besarnya yang sangat lihai siap datang menuntut balas padanya. Dia merasa tidak mampu menghadapi musuh itu, maka sebelumnya dia telah mengatur segala sesuatu. Lukisan-lukisan ini diserahkan padaku daripada jatuh ke tangan orang lain. Aku sendiri tidak bermaksud mengangkangi barangnya, aku hanya menyimpan sementara saja baginya, kelak akan kukembalikan kepada puterinya."
"Jika Han-pepek mengetahui musuhnya akan datang, mengapa beliau tidak siap siaga untuk menghadapinya dengan bantuan kawan-kawan Bu-lim yang dikenalnya, seperti Cap-si-koh yang tinggal bertetangga dengan dia, engkau kan juga bala bantuan yang dapat diandalkan....."
"Jangan kau meremehkan musuh Han Tay-wi itu,"
Ujar Cap-si-koh.
"Terus terang, aku sendiri juga kenal musuh besar Han Tay-wi itu, maka aku tidak enak membantunya, padahal ilmu silatku juga bukan tandingan musuhnya itu. Watak Han Tay-wi yang keras kepala tentunya juga pernah kau dengar. Dia tidak sudi minta bantuan orang, kepadaku saja tidak pernah buka mulut, apalagi minta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya kenalan- kenalan Han Tay-wi yang lihai juga dapat dihitung dengan jari. Misalnya Lau Kan-loh, itu pemimpin cabang Kay-pang di Lok-yang yang berdekatan, betapa pun tinggi ilmu silatnya boleh dikata sudah terhitung kelas satu di dunia Kang-ouw, tapi bukan maksudku sengaja omong besar, mungkin Lau Kan-loh belum mampu mengalahkan kedua budakku ini. Sebab itulah Han Tay-wi lebih suka mengatur kemungkinan buruknya dengan menyerahkan koleksi lukisan kepadaku dan menyumbangkan harta bendanya kepada Lau Kan-loh untuk diteruskan kepada gerakan laskar rakyat."
Karena Hi Giok-kun belum bertemu dengan Han Pwe-eng, dengan sendirinya ia belum tahu bahwa yang minta Kay-pang meneruskan harta benda yang besar itu bukanlah atas keputusan Han Tay-wi sendiri, melainkan tindakan Han Pwe-eng.
Begitulah Giok-kun ikut bergirang mendengar keterangan Sin Cap-si-koh itu, katanya.
"Baik sekali kalau begitu. Ternyata Yim Thian-ngo adalah seorang pendusta belaka."
"Yim Thian-ngo?"
Cap-si-koh menegas.
"Bukankah dia adalah Ku-ku si Kok Siau-hong?"
"Benar. Kiranya Cap-si-koh juga tahu tentang Siau-hong?"
"Kok Siau-hong adalah bakal menantu Han Tay-wi, juga tokoh muda yang akhir-akhir ini terkenal di dunia persilatan, sudah tentu aku tahu akan dia. Apa yang dikatakan paman Siau-hong itu kepadamu?"
"Menurut Yim Thian-ngo, katanya Han Tay-wi adalah manusia busuk, pengkhianat yang bersekongkol dengan pihak Mongol."
"Dia sendirilah manusia busuk,"
Seru Cap-si-koh dengan gusar.
"Jangan kau percaya kepada ocehan Yim Thian-ngo."
Giok-kun mengiakan, lalu bertanya pula.
"Entah bagaimana dengan enci Pwe-eng sekarang, apakah Cap-si-koh mengetahui keadaannya?"
"Begitu pulang segera Pwe-eng tertawan juga oleh musuh ayahnya, hal inipun baru saja kuketahui."
"Apakah enci Pwe-eng tertawan sendirian?"
Giok-kun menegas dengan kuatir.
"Ya, cuma dia saja,"
Jawab Cap-si-koh. Maka legalah hati Giok-kun, kalau begitu terang Kok Siau-hong tidak berada bersama Han Pwe-eng dan mengalami kesulitan. Nyata Yim Thian- ngo telah berbohong pula.
"Entah dimana enci Pwe-eng dan ayahnya dikurung oleh musuhnya, apakah Cap-si-koh mengetahui?"
Tanya Giok-kun kemudian.
"Di dalam benteng kuno itu. Pemilik bangunan itu bukan lain adalah musuh besar Han Tay-wi yang kukatakan."
"O, jadi Cu Kiu-bok tinggal di benteng kuno itu?"
Kata Giok-kun dengan heran.
"Agaknya kau cuma tahu sebagian kecil saja persoalannya. Meski Cu Kiu- bok juga musuh Han Tay-wi, tapi dia bukan musuhnya yang paling lihai. Empat tahun yang lalu Cu Kiu-bok bertempur dengan Han Tay-wi dan sama- sama mengalami cidera, dia melarikan diri ke tempat jauh untuk merawat lukanya dan baru kemarin datang ke sini. Dia adalah tamu daripada penghuni benteng kuno itu dan bukan tuan rumahnya."
"Lantas siapakah gerangan pemilik benteng kuno itu?"
Tanya Giok-kun.
"Tigapuluh tahun yang lalu di dunia Kang-ouw pernah muncul seorang pendekar wanita yang amat cantik, orang memujinya sebagai wanita tercantik di dunia persilatan. Apakah kau pernah mendengar ceritanya?"
Giok-kun berpikir sejenak, lalu menjawab.
"Apakah Beng Jit-nio yang berjuluk Swat-li-hong (si merah di dalam salju) itu? Di waktu kecil pernah kudengar ibu dan mak inang bercerita tentang dia."
"Bagaimana ceritanya?"
Tanya Cap-si-koh.
"Waktu itu mak inang membuatkan baju buat ibu, baju itu sangat bagus, semula ibu sangat senang, tapi kemudian beliau menjadi tidak suka dan menyuruh mak inang memberikan baju baru itu kepada orang lain, katanya ibu tidak suka meniru pakaian orang. Mak inang bilang kalau ibu memakai baju itu tentu akan lebih cantik daripada Beng Jit-nio yang terkenal sebagai wanita paling cantik di Bu-lim. Kukira ucapan mak inang itu hanya pujian saja kepada ibuku."
"Bukan pujian, ada ibu yang cantik tentu pula ada puteri yang molek,"
Kata Sin Cap-si-koh.
"Nona Hi, kulihat kau pun lebih cantik daripada si Merah di dalam salju di masa dahulu itu. Dengan sendirinya ibumu juga wanita yang maha cantik."
"Kemudian aku telah bertanya pada mak inang tentang Beng Jit-no yang disebutnya itu. Menurut mak inang, katanya Beng Jit-no adalah wanita cantik yang berkepandaian sangat tinggi, tapi dia cuma muncul sebentar saja di dunia Kang-ouw. Ada orang mengatakan Beng Jit-nio telah mati muda. Mungkin sebab itulah maka ibu tidak suka disamakan dengan Beng Jit-nio."
"Apakah baju baru itu terbuat dari bahan sutera putih bersulam ceplok bunga merah?"
Tanya Cap-si-koh.
"Benar, darimana Cap-si-koh mendapat tahu?"
"Tanda itulah yang menjadi julukan Beng Jit-nio yang terkenal sebagai si Merah dalam salju. Dahulu Beng Jit-nio paling suka memakai baju putih berceplok bunga merah. Cuma ada suatu hal yang keliru dikatakan mak inangmu, ialah Beng Jit-nio sampai saat ini masih hidup, dia tak lain tak bukan adalah pemilik benteng kuno itu."
Giok-kun terkejut dan menegas.
"Jadi dia adalah musuh besar Han-pepek yang paling lihai itu?"
"Betul,"
Jawab Cap-si-koh dengan tersenyum.
"Dia juga Piau-moayku (adik misan)."
Baru sekarang Giok-kun memahami duduk persoalannya, ia pikir makanya Sin Cap-si-koh bilang tidak enak membantu Han-pepek menghadapi musuhnya. Dalam pada itu Sin Cap-si-koh telah menyambung pula.
"Walaupun Piau-moayku itu tidak mati muda, tapi sebenarnya hatinya sudah lama mati. Waktu Piau-moay masih muda, dia telah jatuh cinta kepada satu orang, namun entah mengapa orang itu tidak suka padanya, sebaliknya menikahi seorang nona yang sepele, baik ilmu silat maupun mukanya tiada satu pun yang dapat menandingi Piau-moayku, keruan dia kheki setengah mati. Sejak itulah dia lantas mengasingkan diri di pegunungan ini dan tidak pernah muncul lagi di dunia Kang-ouw."
"Lelaki itu tentu Han-pepek adanya,"
Ujar Giok-kun. Cap-si-koh mengangguk, katanya.
"Ya, sebab itulah Beng Jit-nio mengubah cintanya menjadi dendam, perangainya berubah menjadi sangat aneh. Dia bersumpah akan berdaya menawan Han Tay-wi dan akan menyiksanya secara halus. Maksudnya ini diketahui oleh dua musuh Han Tay-wi yang lain, mereka datang bergabung dengan Piau-moay, akhirnya keluarga Han dihancurkan dan anggota keluarganya dibinasakan. Kedua musuh Han Tay-wi yang lain itu adalah Cu Kiu-bok serta Sebun Bok-ya."
"Dapat dimaklumi jika dia ingin menyiksa Han-pepek untuk melampiaskan dendamnya, tapi mengapa dia begitu keji, sampai-sampai kaum budak Han-pepek juga dibunuhnya?"
Kata Giok-kun.
"Itu bukan perbuatan Piau-moayku, tapi Sebun Bok-ya yang melakukannya,"
Kata Sin Cap-si-koh.
"Sesungguhnya siapakah gerangan Sebun Bok-ya itu?"
Tanya Giok-kun.
"Seorang iblis tua yang sudah lama mengasingkan diri di daerah Kwan- gwa dan baru saja muncul kembali di dunia Kang-ouw. Belasan tahun yang lalu entah cara bagaimana dia telah memperoleh kitab pusaka ilmu silat tinggalan Kong-sun Ki, dia telah berhasil meyakinkan dua macam ilmu racun keluarga Siang yang tertulis dalam kitab pusaka itu. Salah satu ilmu racun di antaranya adalah Hoa-hiat-to, siapa yang terkena ilmu pukulannya itu akan segera mati keracunan darah. Tinggi kepandaiannya pasti di atas Cu Kiu- bok. Kabarnya dia ingin menjadi Bu-lim-beng-cu seluruh dunia, maka orang pertama yang akan dia layani adalah Han Tay-wi."
"Jika demikian, kan bisa celaka Han-pepek dan enci Pwe-eng tercengkeram di tangan mereka?"
Kata Giok-kun dengan kuatir.
"Beng Jit-nio ada di sana, rasanya kedua iblis tua itu tidak berani mencelakai mereka. Tujuan Beng Jit-nio bukan membinasakan Han Tay-wi, hanya saja nona Han mungkin akan ikut mengalami siksaan seperti ayahnya."
"Wah, lantas bagaimana baiknya?"
Ujar Giok-kun dengan kuatir.
Ia pikir seorang Cu Kiu-bok saja sukar dilayani, apalagi pemilik benteng kuno itu menurut Sin Cap-si-koh berkepandaian jauh di atas Cu Kiu-bok, belum lagi ditambah seorang Sebun Bok-ya yang tidak kurang lihainya, maka sukarlah untuk menyelamatkan Han-pepek dan puterinya sekali pun mendatangkan ketua Kay-pang.
Cap-si-koh menatap Giok-kun dengan air muka senyum tak senyum, katanya.
"Kabarnya kau bersahabat baik dengan Pwe-eng, tapi dia adalah bakal istri Kok Siau-hong, hal ini tentu kau pun sudah tahu. Apakah kau ingin menyelamatkan dia dari sarang musuh?"
Mendengar pertanyaan itu, Giok-kun tahu tentu Sin Cap-si-koh telah mengetahui urusannya dengan Kok Siau-hong, maka mukanya menjadi merah, jawabnya kemudian.
"Hubunganku dengan Pwe-eng laksana saudara sekandung, asal dapat menyelamatkan dia, biarpun jiwaku harus dikorbankan juga aku rela. Cuma kepandaianku terlalu rendah, biarpun jiwaku dikorbankan juga takkan dapat menyelamatkan enci Pwe-eng. Maka diharap Cap-si-koh suka memberi bantuan sepenuh tenaga."
"Baik, asalkan kau punya tekad begitu, maka urusan menjadi mudah dikerjakan,"
Kata Cap-si-koh.
"Banyak terima kasih atas kesediaan bantuan Cap-si-koh,"
Kata Giok- kun.
"Kau telah salah wesel,"
Ujar Cap-si-koh dengan tertawa.
"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak enak turun tangan sendiri, apalagi kepandaianku juga bukan tandingan Piau-moayku."
"Habis, apa yang Cap-si-koh katakan mudah dikerjakan, entah bagaimana caranya?"
"Caranya terletak pada dirimu?"
"Diriku? Cara bagaimana aku mampu? Mohon Cap-si-koh sudi memberi penjelasan?"
"Begini. Kau kan tahu Han Tay-wi pernah dilukai Cu Kiu-bok dengan Siu-lo-im-sat-kang dan mengalami lumpuh setengah badan selama empat tahun."
"Ya, aku tahu,"
Jawab Giok-kun.
"Nah, justru lantaran Han Tay-wi belum sembuh dari sakitnya itulah, maka sekali ini dia tidak mampu lolos dari pukulan berbisa Sebun Bok-ya, dia terluka pula oleh Hoa-hiat-to dan akhirnya tertangkap. Kalau tidak, biarpun lihai juga belum tentu Sebun Bok-ya mampu mengalahkan dia. Sebab itulah jika ingin menyelamatkan mereka ayah dan anak, jalan satu- satunya adalah menyembuhkan dulu luka Han Tay-wi. Untuk ini orang di benteng kuno itu sama sekali tidak boleh tahu."
"Apakah maksud Cap-si-koh diusahakan agar Han-pepek dapat meloloskan diri sendiri dari sana?"
Tanya Giok-kun.
"Memang begitulah,"
Jawab Cap-si-koh.
"Orang-orang di benteng kuno mengira dia sudah terluka parah, biarpun punya sayap juga sukar terbang, maka penjagaan tentu tidak keras. Setahuku, kini yang bergilir menjaga mereka hanyalah murid Sebun Bok-ya saja. Jika luka Han Tay-wi sembuh, murid-murid Sebun Bok-ya itu pasti bukan soal bagi Han Tay-wi. Sekali pun kedua iblis tua itu dapat mengalahkan dia, tapi untuk merintangi larinya pasti sulit, terkecuali Beng Jit-nio juga ikut maju, dengan gabungan mereka bertiga barulah dapat menawan kembali Han Tay-wi yang telah pulih ilmu silatnya. Tapi rasanya takkan terjadi kebetulan begitu, mana bisa ketiga orang itu datang pada waktu yang sama untuk mencegat Han Tay-wi? Apalagi untuk meloloskan diri tentu Han Tay-wi akan memilih suatu waktu yang baik dan tepat. Menurut perhitunganku, rencana kita ini sembilan bagian pasti akan berhasil."
"Tapi dengan cara bagaimana menyembuhkan penyakit Han-pepek?"
Kata Giok-kun.
"Konon ada arak Pek-hoa-ciu buatan Pek-hoa-kok kalian yang khusus menyembuhkan penyakit keracunan Hoa-hiat-to, masakah nona Hi malah tanya padaku?"
Diam-diam Giok-kun mengakui pengetahuan Sin Cap-si-koh yang luas itu. Dengan tersenyum getir kemudian ia menjawab.
"Memang betul Pek- hoa-ciu dapat menyembuhkan keracunan pukulan berbisa itu, sebenarnya aku sudah membawa satu guci arak itu untuk Han-pepek, tapi sayang, di tengah jalan arak itu telah dibawa lari orang. Sungguh memalukan, siapakah orang yang berbuat itu sampai saat ini belum kuketahui."
"Aku malah tahu,"
Ujar Cap-si-koh dengan tersenyum.
"Mereka adalah sepasang muda-mudi yang pemuda membawa sebuah payung, potongannya seperti pemuda kampungan. Dan yang pemudi bermata jeli dan kelihatan sangat cerdik. Betul tidak?"
Giok-kun tercengang, katanya.
"Pemuda kampungan itu memang betul seperti katamu tapi yang satu lagi juga pemuda. Dia inilah yang masuk kamarku dan menggondol lari arakku."
"Tidak, orang itulah nona cantik yang menyamar sebagai lelaki,"
Kata Cap-si-koh dengan tertawa.
"Dia sengaja menyamar sebagai kacung yang kotor, kau telah kena dikelabui dia."
"Darimana Cap-si-koh mengetahuinya sejelas ini?"
Tanya Giok-kun terheran-heran.
"Siang kemarin mereka juga sudah sampai di rumah Han Tay-wi, hanya beberapa jam lebih dulu daripada kau. Tapi sayang mereka kepergok Beng Jit-nio, arak Pek-hoa-ciu itu kena direbut oleh Beng Jit-nio.
"Jadi mereka pun sudah sampai di rumah Han-pepek?"
Giok-kun menegas dengan heran.
"Ya, setahuku Beng Jit-nio sudah dapat mengetahui asal-usul mereka. Yang pemuda itu adalah putera Kong-sun Ki dan pemudinya adalah puteri Oh-hong-to-cu. Kong-sun Ki sudah mati, namun kedua iblis tua Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya rada jeri terhadap Oh-hong-to-cu. Ada pun mengapa mereka pun datang ke rumah keluarga Han, hal ini aku sendiri tidak tahu."
"Urusan ini sementara tak perlu diurus. Tapi Pek-hoa-ciu itu jika sudah direbut Beng Jit-nio, sedangkan Beng Jit-nio adalah musuh besar Han-pepek, lalu apa daya kita sekarang?"
"Aku ada suatu akal dapat menyampaikan arak obat itu ke tangan Han Tay-wi,"
Kata Cap-si-koh.
"Cuma untuk ini kau yang harus menyerempet bahaya sedikit."
"Asal dapat menyelamatkan Han-pepek berdua, ke lautan api sekali pun aku takkan menolak. Entah cara bagaimana akal Cap-si-koh?"
Baru saja Sin Cap-si-koh hendak menguraikan akalnya, tiba-tiba terdengar Si Bwe berseru.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tit-siauya (tuan muda keponakan) datang!"
Lalu masuklah budak itu bersama seorang pemuda berusia antara duapuluh lima- duapuluh enam tahun, keadaannya letih, agaknya baru datang dari perjalanan jauh. Pemuda itu memanggil "bibi"
Satu kali. Sin Cap-si-koh tertawa dan berkata.
"Kukira siapa, agaknya kau yang pulang. Mengapa sampai malam begini dan sebelumnya tidak mengirim kabar. Aku sedang melayani tamu, apa Si Bwe tidak memberitahukan padamu?"
"Hamba pikir Tit-siauya pulang dari tempat jauh dan tentu ingin lekas bertemu dengan majikan, maka secara lancang hamba membawanya masuk kemari, untuk ini harap majikan suka memaafkan hamba dan jangan menyalahkan Tit-siauya,"
Tutur Si Bwe. Dengan tertawa pemuda itupun menambahkan.
"Aku memang sudah kangen kepada bibi dan ingin cepat bertemu dengan engkau. Kupikir tamu bibi pasti bukan orang luar, maka tanpa pikir aku menerobos ke sini. Nona ini....."
"Kau telah salah duga, nona Hi ini bernama Giok-kun dan juga baru pertama kali bertemu dengan aku,"
Kata Cap-si-koh.
"Cuma kami memang sangat cocok satu sama lain seakan-akan kenalan lama saja."
"O, harap nona Hi suka memaafkan jika aku telah mengganggu percakapan kalian,"
Kata pemuda itu kepada Giok-kun.
"Ah, tidak apa-apa,"
Jawab Giok-kun dengan sikap sewajarnya.
"Justru aku yang telah mengganggu kalian, aku yang mesti minta maaf."
"Kau jangan sungkan, nona Hi,"
Ujar Cap-si-koh.
"Kita adalah orang persilatan dan tidak perlu pantang soal laki-laki dan perempuan. Marilah kita duduk untuk berbicara dan akan kuperkenalkan kalian."
Dengan sopan pemuda itu saling memberi hormat dengan Giok-kun, lalu berduduk di sebelah bibinya. Kemudian Cap-si-koh berkata.
"Keponakanku ini bernama Liong-sing, murid Thi-pit-su-seng Bun Yat-hoan, itu Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam. Sudah lima tahun Liong-sing berguru dan belum pernah pulang. Malam ini barulah dia pulang untuk pertama kalinya dan lantas bertemu dengan kau. Kalian boleh dikata bertemu secara kebetulan."
Tanpa terasa timbul rasa hormat Giok-kun demi mendengar Sin Liong- sing adalah murid Bun Yat-hoan.
"O, kiranya gurumu adalah Bun-tayhiap yang sudah lama kukagumi,"
Katanya kemudian.
"Nama guruku memang terkenal, tapi kepandaianku belum ada tiga bagian yang kupelajari dari Suhu,"
Kata Liong-sing dengan tertawa.
"Bukan maksudku hendak memuji keponakan sendiri,"
Timbrung Cap- si-koh.
"meski Liong-sing belum lama berguru, di atasnya masih ada pula beberapa Suheng, tapi lantaran dia belajar dengan tekun, agaknya Bun- tayhiap sangat sayang padanya, kabarnya tahun yang lalu Liong-sing telah diangkat sebagai ahli warisnya. Entah betul tidak hal ini, Liong-sing?"
"Beritamu sunguh sangat tajam bibi,"
Jawab Sin Liong-sing.
"Tentang Suhu sayang padaku memang betul, tapi aku sendiri harus merasa malu, bicara tentang kepandaian dan kecerdasan aku tidak lebih baik daripada para saudara seperguruan, sepatutnya aku tidak sesuai menjadi murid ahli waris."
"Orang muda memang baik kalau suka rendah hati, tapi kalau terlalu sungkan akan menjadi munafik,"
Kata Cap-si-koh.
"Sekarang aku ingin tanya kau, baru saja kau diangkat menjadi murid ahli waris Bun-tayhiap, mengapa kau sempat pulang ke sini?"
"Sudah terlalu rindu kepada bibi,"
Jawab Sin Liong-sing dengan tertawa.
"Sudah lima tahun tidak berjumpa, tapi bibi masih tetap serupa dahulu, sedikit pun tidak bertambah tua."
"Ah, mulutmu memang manis, katanya rindu, tapi selama lima tahun tidak pernah berkirim kabar sedikit pun,"
Kata Cap-si-koh.
"Bicara sesungguhnya, kepulanganmu sekali ini tentu ada urusan lain, kau tidak perlu dusta."
"Dugaan bibi benar-benar seperti dewa,"
Jawab Liong-sing.
"Tapi urusan ini tentunya bibi dapat memperkirakan sendiri meski aku tidak menjelaskan."
"Kau memang pintar membikin senang hatiku,"
Kata Cap-si-koh.
"Baiklah, aku akan coba menerkanya. Sebagai Bu-lim-beng-cu daerah Kang- lam, kalau kau disuruh pulang ke sini, tentunya disebabkan urusan negara yang maha penting bukan?"
"Sedikit pun tak salah,"
Jawab Sin Liong-sing.
"Memang urusan menyangkut penyerbuan pasukan Mongol ke wilayah Tiong-goan kita. Suhu tahu maksud agresi pihak Mongol yang tidak terbatas hendak mencaplok Kim saja, bahkan Song akan dijajah pula. Walaupun wilayah negeri Kim dan Song dibatasi oleh Tiang-kang, tapi rakyatnya adalah dari bangsa yang sama, sesama orang persilatan lebih-lebih berkewajiban saling membantu. Karena itu Suhu mengutus aku pulang ke sini untuk mengadakan kontak dengan pemimpin persilatan di utara sini, jika antara utara dan selatan sudah terjalin paham, kita dapat pula mengadakan kesatuan tindakan untuk menghadapi musuh dari luar."
"Gurumu ternyata sangat mempercayai kau dan menyerahkan tugas maha penting ini kepadamu,"
Kata Cap-si-koh.
"Tapi mengapa kau melupakan waktu menjenguk ke rumah, apa tidak membikin kacau tugasmu yang lebih penting?"
"Lebih dulu aku sudah pergi ke Kim-keh-nia dan bertemu dengan Lok- lim-beng-cu Liu-lihiap, kedatanganku ke sini adalah untuk menghubungi Liok Pang-cu dari Kay-pang, tapi katanya dia berada di Lok-yang. Tak terduga setiba di luar kota kemarin, prajurit penjaga ternyata tidak mau membuka pintu gerbang kota."
"Mengapa begitu?"
Tanya Cap-si-koh.
"Karena membanjirnya kaum pengungsi,"
Tutur Sin Liong-sing.
"Akhirnya di dalam kota kutemukan seorang anggota Kay-pang dan diketahui Liok Pang-cu sedang dinas ke lain tempat dan baru akan kembali dua hari lagi. Kesempatan ini segera kugunakan untuk pulang menjenguk dan meminta belajar kepada bibi."
"Sudah lima tahun kau belajar pada Bun-tayhiap, tentu kepandaianmu sudah tidak rendah, belajar apa lagi yang kau inginkan dari bibimu,"
Ujar Cap-si-koh.
"Jangan dilupakan bahwa aku berguru dengan membekal ilmu silat ajaran bibi,"
Kata Liong-sing.
"Suhu telah menguji ilmu silatku dan beliau sangat memuji ilmu pedang ajaran bibi."
Sin Cap-si-koh sangat senang, katanya.
"Suhumu terkenal dengan sepasang potlot baja, masakah dia juga memuji ilmu pedangku?"
"Ilmu Tiam-hiat guruku sudah tentu nomor satu di dunia persilatan, tapi dalam hal ilmu pedang beliau sangat merendah hati dan mengaku sedikitnya ada lima aliran lain yang lebih hebat daripada ilmu pedangnya, satu di antaranya adalah ilmu pedang keluarga Sin kita,"
Tutur Sin Liong-sing.
"Sebab itulah beliau telah mengajarkan ilmu Tiam-hiat dengan potlot dan suruh aku mempelajari sendiri untuk dilebur ke dalam ilmu pedang. Karena itu senjataku masih tetap pedang dan bukan Boan-koan-pit."
"Kiong-hi! Kiong-hi!"
Tiba-tiba Cap-si-koh mengucapkan selamat kepada Sin Liong-sing.
"Kiong-hi apa?"
Tanya Liong-sing dengan bingung.
"Usiamu masih muda, sekarang kau sudah dapat menciptakan sendiri suatu cabang silat, bukankah maksud gurumu supaya kau dapat melebur ilmu Tiam-hiat ajarannya dengan ilmu pedang keluarga kita sehingga terciptalah suatu cabang silat yang baru?"
"Tapi saat ini aku baru mulai meraba-raba saja jalannya, mana dapat dikatakan menciptakan cabang silat sendiri. Bibi selalu suka memuji keponakan sendiri, apa tidak kuatir ditertawai nona Hi ini? Sesungguhnya sekarang juga aku ingin mohon petunjuk kepada bibi, jika aku diserang dengan jurus "Lian-pi-sam-koan"
Oleh tokoh yang mahir Kim-kong-ciang, cara bagaimana kiranya aku harus menghadapinya. Yang kurancang adalah jurus ilmu pedang "Tiang-ho-loh-jit"
Yang mengandung gerak Tiam-hiat ajaran Suhu. Tapi Suhu bilang cara ini memang hebat, cuma kurang cepat dan kurang gesit, paling baik kalau dapat menirukan satu jurus "Yu-hong-hi- tiap"
Dari Pek-hoa-kiam-hoat dan dilebur pula ke dalam jurus baru ciptaan ini, maka hasilnya pasti sangat bagus.
Cuma sayang gerak tipu Pek-hoa-kiam- hoat itu tidak dipahami Suhu, maka aku ingin bertanya pada bibi, apakah sekiranya bibi tahu gerak serangan Yu-hong-hi-tiap dari Pek-hoa-kiam-hoat itu?"
"Jangan kuatir, nona Hi yang hadir di sini sekarang ini adalah ahli waris Pek-hoa-kiam-hoat, mengapa kau tidak minta petunjuk saja kepadanya?"
Ujar Cap-si-koh.
"Ah, janganlah Cap-si-koh berkelakar, sedikit kepandaianku ini mana sanggup tukar pikiran dengan Sin-siauhiap?"
Kata Hi Giok-kun. Dengan sungguh-sungguh Sin Liong-sing lantas membungkuk tubuh dan berkata.
"Betapa pun mohon nona Hi sudi memberi petunjuk."
"Ya, sama-sama kaum persilatan, saling tukar pikiran, membuang yang buruk dan menambah yang baik, kukira tidaklah berhalangan?"
Kata Cap-si- koh. Giok-kun pikir kalau terlalu kaku mungkin akan memberi kesan jelek, terpaksa ia menguraikan jurus ilmu pedang keluarga Hi itu kepada Sin Liong- sing. Lalu Cap-si-koh bertanya pula kepada pemuda itu.
"Apakah kau sudah mampir ke rumah Piau-koh (bibi misan) (maksudnya Beng Jit-nio)?"
"Mungkin tidak sempat mampir ke sana,"
Jawab Sin Liong-sing.
"Cuma tadi ketika lewat di tempatnya, di tengah jalan kepergok seorang tamu yang bersikap kasar, begitu bertemu lantas menanyai asal-usulku dan merintangi perjalanan ke sini. Semula aku tidak tahu dia adalah tamu Piau-koh dan lantas melabraknya, baru saja kukeluarkan jurus baru ciptaanku tadi dan rada terdesak, syukur seorang pelayan Piau-koh keburu muncul dan menjelaskan akan diriku, dengan begitu orang itu lantas minta maaf kepadaku."
"Pantas kau terburu-buru minta petunjuk jurus ilmu pedang keluarga Hi tadi,"
Ujar Cap-si-koh dengan tertawa.
"Orang yang kau pergoki itu adalah kakek bermuka merah dan bertubuh tinggi besar bukan?"
Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Tiga Maha Besar -- Khu Lung Peristiwa Merah Salju -- Gu Long