Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 17


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 17



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Suaranya melengking tajam sekali sampai memekakkan telinga.

   Pada lain saat kedua orang itupun menjerit keras, kedua martilnya mencelat ke udara.

   Coh Ping-gwan melangkah kemuka dengan lenggangnya.

   Ia tertawa nyaring.

   "Aku toh belum selesai bicara dengan nonamu, mengapa kalian buru-buru hendak menyerang aku?"

   Coh Ping-gwan menghampiri ke muka si nona. Tiada seorang pun yang berani menghadang. Mereka terlongong oleh sikap dan nada seruan Coh Ping-gwan yang sedemikian berwibawa. Diam-diam tergerak hati nona itu, pikirnya.

   "Di dalam menghadapi bahaya apa saja, dia selalu tenang, seperti semasa kecilnya. Tadi waktu kedua saudara Wi menghantamnya dengan martil, hatiku terkejut sekali. Eh, bukankah aku hendak membalas sakit hati padanya? Mengapa aku merasa sayang? Tidak, aku harus keraskan hatiku!"

   Tenang-tenang Coh Ping-gwan memberi hormat kepada si nona.

   "Kupikir aku tak pernah kesalahan pada nona, mengapa nona selalu hendak maukan jiwaku saja? Sudilah nona menerangkan agar bila aku mati tidak berada dalam kegelapan?"

   Nona itu menggigit bibir, katanya dengan dingin.

   "Coh Ping-gwa, tidakkah kau kenal padaku?" - Sudah dua kali ia berkata demikian pada Coh Ping-gwan. Coh Ping-gwan heran dan melirik tajam pada si nona. Ah, samar-samar sudah pernah melihat, tapi lupa ia. Akhirnya berkatalah ia.

   "Maaf, ingatanku memang jelek."

   Wajah si nona bertebar merah ketika dipandang si pemuda. Tiba-tiba ia berganti nada kekanakkanakan.

   "Aku tak mau kau tukari dengan giok. Kedua mustika ini kuberikan padamu. Lihatlah, mutiara ini mempunyai tujuh warna, indah tidak? Tetapi di dalam rumahku, benda ini tak berharga."

   Sekalian orang yang berada di sekitar situ (termasuk Khik-sia yang bersembunyi di atas pohon0, tak mengerti apa arti ucapan si nona itu. Dan nona itu tak memegang giok atau suatu mutiara.

   "Ha, kau si Ni kecil?"

   Tiba-tiba Coh Ping-gwan berteriak kaget.

   "Ya, sekarang sudah teringat atau belum?"

   Si nona mengangguk.

   Peristiwa itu terjadi pada 15 tahun yang lalu.

   Ketika itu ayah Coh Ping-gwan yaitu Coh Thongkok menjadi To-liat-su (wakil) dari gubernur Anse yang berkedudukan di Sutho, sebuah negeri kecil di wilayah Segak (Tibet).

   Kala itu Coh Ping-gwan baru berumur 10-an tahun lebih.

   Dia ikut ayahnya ke Sutho.

   Di negeri Sutho ada seorang raja Yu-hian-ong yang merangkap menjadi panglima perang.

   Dia bernama U-bun Hu-wi, mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Hong-ni.

   Umurnya lebih muda dari Coh Ping-gwan, baru 5-6 tahun.

   Sutho termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Tong.

   Dengan menjabat sebagai To-liat-su, berarti Coh Thong-kok itu yang dipertuan di negeri Sutho.

   Sering harus berhubungan dengan U-bun Hu-wi.

   U-bun Hong-ni mungil dan lincah.

   Coh Ping-gwan menganggapnya sebagai adik sendiri, acap kali mengajaknya bermain-main.

   Sutho banyak menghasilkan batu permata.

   Tetapi kulit kerang hanya terdapat di tepi laut.

   Hong-ni belum pernah melihatnya.

   Mendengar cerita Coh Ping-gwan betapa indah kulit kerang itu, Hong-ni mau menukarkan permatanya dengan kulit kerang.

   Tetapi Coh Ping-gwan tak mau menerima permata dan hanya memberikan kulit kerang secara cuma-cuma kepada Hong-ni untuk dibuat main-main.

   Ucapan si nona tadi, adalah menirukan kata Coh Pinggwan ketika dahulu bicara dengan Hong-ni.

   Coh Ping-gwan hanya tinggal satu tahun di Sutho, kemudian pergi dan tak pernah berjumpa lagi dengan Hong-ni.

   Jika Hong-ni tak mengungkat kejadian di waktu kecil itu, tentu dia tak teringat lagi akan nona cantik yang dihadapinya itu.

   Dengan menggigit bibir, Hong-ni berkata pula.

   "Sekarang sudah jelas, belum?"

   "Jelas apa? Di waktu kecil akupun tak pernah menghina padamu. Malah aku pernah memberi dua buah kulit kerang padamu."

   U-bun Hong-ni menyahut tawar.

   "Siapa yang ingin bergurau padamu? Jawablah, mana ayahmu?"

   "Sudah meninggal pada 10 tahun yang lalu."

   "Tepat, ayahmu sudah meninggal, siapa yang harus kucari kalau bukan kau? Bukankah ada pepatah mengatakan. hutang ayah, anak yang bayar? Hari ini aku hendak menagih hutang ayahmu pada kau!"

   Coh Ping-gwan terkesiap, ujarnya.

   "Apa artinya ini?"

   Nada Hong-ni berubah tajam.

   "Masih belum jelas? Coba ingat-ingatlah, bagaimana kalian tinggalkan Sutho?"

   Peristiwa 15 tahun yang lampau, terbayang lagi.

   Kala itu malam yang tak berbintang tak berembulan.

   Tiba-tiba ayah Hong-ni U-bun Hu-wi membawa pasukan menyerang gedung kediaman ayah Coh Ping-gwan.

   Dalam pertempuran malam yang gelap itu, Coh Ping-gwan dan ayahnya beruntung dapat meloloskan diri.

   Ketika terang tanah dan memcacahkan pasukannya, dari tiga ribu serdadu Tong, hanya tinggal beberapa puluh saja.

   Kemudian baru diketahui kalau pemberontakan itu digerakkan oleh tentara pendudukan Hwe-ki yang berada di Sutho.

   Pengaruh Hwe-ki makin luas menimbulkan clash dengan tentara Tong.

   Adalah suku Hwe-ki ini yang menghasut negara-negara di Segak untuk memberontak pada kerajaan Tong.

   Kejadian di Sutho itu, merupakan salah satu pencetusan.

   Salah satu unsur tentara yang menyerang kediaman wakil gubernur An-se di Sutho itu, adalah pasukan berkuda dari Hwe-ki.

   Sejak peristiwa itu, Sutho menjadi negara bagian Hwe-ki.

   Ayah Coh Ping-gwan pulang ke negerinya memohon hukuman.

   Ia mengajukan permohonan supaya pemerintah mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Hwe-ki.

   Tetapi kerajaan Tong pada saat itu sedang kacau, pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat timbul.

   Pemerintahan goncang dan terpaksa minta damai dengan bangsa Hwe-ki.

   Sejak itu pamor kerajaan Tong merosot.

   Akibat dari politik damai dengan Hwe-ki itu, ayah Coh Ping-gwan dijadikan kambing hitam.

   Dengan tuduhan 'tidak bijaksana mengatur pemerintahan', dia dipecat dan terpaksa pulang ke kampung.

   Beberapa tahun kemudian karena sakit kemudian meninggal.

   Teringat akan kejadian yang lampau itu mendidihlan darah Coh Ping-gwan, serunya.

   "Jadi kau hendak mengusik peristiwa itu? Ayahku telah kehilangan hampir seluruh pasukannya, apa yang hendak kau tagih lagi?"

   "Kau hanya tahu kerugian pihakmu, tetapi apakah kau tahu juga berapa kerugian di pihak kami?"

   Hong-ni marah. Coh Ping-gwan menghela napas.

   "Memang kalau diingat berapa banyak korban yang jatuh dari kedua pihak, kita merasa sedih. Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan ayahmu."

   Hong-ni makin marah.

   "Kau masih menyalahkan ayahku? Apa harganya jiwa pasukanmu itu? Mereka mati seribu atau sepuluh ribu masih tak menyamai nilai ayahku seorang!"

   "Apa? Ayahmu ...!"

   Coh Ping-gwan terperanjat.

   "Masih berlagak pilon menanyakan ayahku? Pada malam pertempuran itu juga ayahku dibunuh oleh ayahmu!"

   Coh Ping-gwan kesima. Ia baru mengetahui sekarang. Ujarnya.

   "Sampai pada saat meninggalnya, ayahku tak mengetahui kalau keliru membunuh ayahmu. Sudah tentu dalam pertempuran di malam gelap, tentu banyak korban. Dan belum tentu ayahmu terbunuh oleh ayahku."

   "Ayahmu adalah pemimpin pasukan. Ia sendiri yang membunuh atau bukan, hutang jiwa itu tetap kutagih padanya!"

   Marahlah Coh Ping-gwan.

   Terang yang menyerang lebih dulu itu ayah Hong-ni, mengapa menyalahkan orang? Tapi pada lain saat, ia memikir lebih panjang.

   Pertama, mengingat nona itu sudah sebatang kara, negaranya senasib dengan kerajaan Tong yang ditindas bangsa Hwe-ki.

   Kedua, mengingat bahwa mereka berdua adalah kawan bermain semasa kecil.

   Lebih baik menghindar dari permusuhan.

   "Sebenarnya hubungan kita berdua erat sekali. Kesemuanya itu adalah gara-gara bangsa Hweki ...."

   "Aku tak menyinggung urusan negara. Entah siapa yang benar dan salah. Yang kuurus ialah bahwa setiap penasaran dan hutang itu harus ada yang bertanggung jawab,"

   Tukas Hong-ni.

   "Baiklah, karena kau anggap ayahku itu sebagai musuhmu. Karena beliau sudah meninggal, aku bersedia pergi ke negerimu dan menghaturkan maaf di depan makam ayahmu. Membunuh orang hanya menambah kedosaan saja. Rasanya kaupun dapat terlepas dari penasaranmu."

   "Tidak bisa! Ayahmu sudah meninggal kan kau masih ada! Aku sudah bersumpah di hadapan kuburan ayahku, biar bagaimanapun tak dapat mengampuni kau!"

   Watak bangsa Sutho itu memang keras dan berani.

   Sakit hati orang tua, anak harus membalaskan.

   Jika tidak, tentu diasingkan oleh handai taulannya.

   U-bun Hu-wi tak punya anak laki, kewajiban itu jatuh pada diri Hong-ni.

   Menuruti adat kebiasaan bangsanya, Hong-ni melakukan juga upacara mengucurkan darah dalam arak di hadapan kuburan ayahnya.

   Kala itu ia baru berusia enam tahun.

   Sehari-hari ia menerima pelajaran bagaimana harus membalas sakit hati ayahnya.

   Maka betapa Coh Ping-gwan mengemukakan dalih alasan, tetap ditolaknya.

   Kesabaran ada batasnya.

   Karena ditolak getas akhirnya timbullah keangkuhan hati Coh Pinggwan.

   Tertawalah ia dingin-dingin.

   "Kalau begitu tetap meminta ganti jiwa padaku? Tetapi entah kepada siapa aku harus meminta ganti kerugian jiwa-jiwa serdadu Tong itu?"

   Hong-ni terkesiap, tapi ia tetap keras kepala.

   "Aku tak peduli hal itu. Kutahu hanya 'hutang ayah anaklah yang harus membayar'!"

   Coh Ping-gwan mendongak tertawa keras.

   "Baik, karena kau tuli dengan alasan-alasan, maka kunyatakan sejelas-jelasnya. Untuk hutang jiwa yang belum ketahuan kebenarannya itu, aku tak ingin mewakili ayah membayarnya. Tapi jika kau mempunyai kepandaian, silahkan kau mengambilnya secara kekerasan!"

   Hong-ni kerutkan alis. Pada saat ia hendak memberi komando pada anak buahnya supaya meringkus Coh Ping-gwan, tiba-tiba seorang perwira bangsa Han menerobos kemuka, serunya.

   "Nona U-bun, aku menerima titah supaya datang kemari untuk menjalankan perintahmu, ijinkan aku membaktikan tenaga, menangkap orang yang kau kehendaki itu."

   Panas telinga Coh Ping-gwan. Ia deliki mata memandang perwira itu. Kiranya orang itu adalah Bu Wi-yang, bekas pemimpin barisan pengawal istana.

   "Eh, Bu Wi-yang, kau tahu malu, tidak?"

   Tegurnya dengan tertawa mengejek.

   "Malu apa?"

   Sahut Bu Wi-yang.

   "Urusanku dengan nona ini bukan urusan sulit. Kau toh perwira dari kerajaan Tong, mengapa merendahkan dirimu sebagai hamba seorang nona lain suku? Kau tak malu itu memang hakmu karena mukamu tebal. Tapi perbuatanmu itu benar-benar menghina negara!"

   "Hm, menghina negara? Kau tahu apa, aku justeru mengemban tugas kerajaan!"

   "Hi, aneh! Coba katakan aku melanggar pasal mana dari hukum negara!"

   "Kau menghina seorang Siang-kok hujin, itulah dosa besar."

   Siang-kok hujin artinya isteri pangeran. Coh Ping-gwan melirik Hong-ni lalu berkata.

   "Oh, maaf, maaf, aku tidak tahu kalau nona ini seorang wanita bangsawan agung."

   Hong-ni tersipu-sipu dan buru-buru menyahut.

   "Aku tiada bermaksud minta bantuan pada negerimu untuk melakukan pembalasan sakit hati. Hal ini adalah tindakan pamanku yang berunding dengan Wi toa-cong-koan. Congkoan (jenderal) itu lantas menyuruh Bu ciangkun ini membantu aku. Hm, Bu ciangkun, aku hendak menyelesaikan urusan ini secara kaum persilatan. Tak ingin menerima bantuanmu. Biarlah kuselesaikan dengan Coh siangkong sendiri, tak perlu kau bantu."

   Kiranya setelah bangsa Hwe-ki menjajah Sutho, ibu dari Hong-ni menyerah pada Hwe-ki.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pada waktu itu tentara Hwe-ki mengirim tentara bantu kerajaan Tong menindas pemberontakan Su Khikhwat, paman Hong-ni (adik ibunya) turut dalam pasukan itu.

   Menjabat sebagai Co-ciangkun.

   Kemudian diangkat menjadi menteri koordinator urusan tentara ke Tiang-an.

   Kerajaan Tong makin lemah.

   Banyak panglima-panglima di perbatasan yang menyatakan berdiri sendiri.

   Perintah kerajaan tak dihiraukan lagi.

   Untuk mendapat bantuan dari tentara Hwe ki, pemerintah Tong bersikap manis sekali kepada mereka.

   Bahkan terhadap seorang jenderal suku Sutho yang menakluk pada Hwe-ki, pemerintah Tong pun mengindahkan sekali.

   Sejak peristiwa Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang itu, atas pengaduan puteri Tiang Lok (adik baginda Tong), maka pangkat Bu Wi-yang diturunkan sampai tiga tingkat.

   Kini ia hanya menjadi seorang si-wi biasa.

   Maka demi mendengar kesempatan itu, ia segera mengajukan permohonan pada Congkoan supaya dikirim membantu U-bun Hong-ni menangkap musuhnya.

   Dan untuk menangkap Coh Ping-gwan seorang, ia sanggup mengerjakan seorang diri tak perlu mengerahkan pasukan besar.

   Cong-koan lalu meluruskan dengan pesan supaya pembantuan itu atas nama Bu Wi-yang perseorangan.

   Karena memang memerlukan seorang pembantu penunjuk jalan, Hong-ni menerima bantuan itu.

   Maka Wi-yang hendak menggunakan kesempatan itu untuk mendekati pada bangsawan Hwe-ki (Hong-ni), agar ia mendapat pahala dan dinaikkan pangkat lagi.

   Waktu Hong-ni mendapat bantuan, ia kelabakan.

   "Hal ini berbeda dengan peristiwa balas sakit hati di kalangan persilatan. Dia hanya seorang rakyat jelata, ijinkanlah siapkoan (aku) menangkapnya sebagai tanda penghormatan terhadap tetamu agung,"

   Serunya.

   "Baik, karena peraturan kerajaan Tong sedemikian, silahkan kau menangkapnya lebih dulu. Tapi aku ada syarat. Jika kau gagal, aku tak mau menghiraukan peraturan lagi!"

   Akhirnya Hong-ni mengalah. Yang dipikirkan Bu Wi-yang hanyalah hadiah pangkat dari cong-koan. Ucapan si nona tadi sedikitpun tak diperhatikan, segera ia melolos cambuknya yang panjang itu.

   "Heh, pesakitan negara, lekas menyerah daripada kubekuk kau,"

   Serunya.

   Kini tersadarlah Coh Ping-gwan.

   Kiranya untuk mengambil hati bangsa Hwe-ki, pemerintah Tong telah menghapus jasa-jasa ayahnya untuk diganti dengan kedosaan.

   Dan karena ayahnya sudah meninggal, maka kini ia anaknyalah yang hendak dijadikan kambing sembelihan.

   Serentak bangkitlah keperwiraan anak muda itu.

   "Keluarga Coh tak pernah berdosa pada kerajaan. Aku menolak perintahmu yang semenamenanya itu. Aku tak peduli kau menjalankan perintah kerajaan atau tidak. Nih, makanlah dulu golokku!"

   Serunya dengan nyaring.

   "Membangkang? Kau hendak berontak!"

   Teriak Bu Wi-yang sembari menyabat dengan piannya.

   Tapi sudah disambut oleh golok Gan-leng-to Coh Ping-gwan.

   Sebagai bekas Su-wi thong-leng (pemimpin pengawal istana), memang kepandaian Bu Wi-yang cukup tinggi.

   Kebutan piannya tadi memancarkan tiga gelombang sinar.

   Susul menyusul sebagai damparan gelombang.

   Seketika tubuh Coh Ping-gwan terkurung oleh sinar pian.

   Tetapi ternyata kepandaian Coh Ping-gwan itu lebih unggul setingkat.

   Jurus yang digunakan Sam-yo-gui-thay itu juga mempunyai 3 buah serangan.

   Indahnya bukan kepalang.

   Tar, punggung goloknya dapat membuyarkan lingkaran sinar pian.

   Sampai-sampai pian Bu Wi-yang itu terdampar lempeng dan tenaganya lenyap.

   Dan sekali balikkan tangan, kembali golok Coh Ping-gwan dapat menghancurkan lingkar serangan pian yang kedua.

   Dua jurus gerakan Coh Ping-gwan yang ketiga, berhasil memapas sebuah jari tangan Bu Wi-yang.

   Sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang cukup untuk dibuat melayani sampai beberapa jurus.

   Dikarenakan ia terburu-buru hendak menang sebaliknya malah menderita kerugian yang membuatnya meringis kesakitan.

   Dan sebelum semangatnya yang hilang itu pulih, tiba-tiba Coh Ping-gwan berseru 'lepas', goloknya membabat.

   Mau tak mau Bu Wi-yang terpaksa lepaskan piannya juga.

   "Bu ciangkun, kau sudah melakukan kewajibanmu. Aku sudah menerima bantuanmu. Terima kasih atas jerih payahmu menunjukkan jalan. Sekarang musuh sudah kuketemukan, silahkan kau pulang!"

   Tiba-tiba Hong-ni berseru sembari loncat menghalangi golok Coh Ping-gwan.

   Dengan menahan rasa malu, Bu Wi-yang ngacir pergi.

   Sampaipun tianpian yang paling disayanginya itu, tak dihiraukan lagi.

   Coh Ping-gwan hentikan pengejarannya.

   Lintangkan golok ke dada, ia berkata.

   "Siau-ni, musuhmu itu seharusnya bangsa Hwe-ki. Jika kau hendak menuntut balas padaku itu tidak pada tempatnya. Maaf, aku tak dapat melaksanakan cita-citamu menjadi anak berbakti!"

   Karena pikirannya sudah diracuni dengan ajaran bahwa yang membunuh ayahnya itu adalah Coh Ping-gwan, maka saat itu ia tak dapat menerima jelas pernyataan Coh Ping-gwan. Cepat pada saat Coh Ping-gwan selesai bicara, pedang Hong-nipun sudah menusuknya.

   "Dengan musuh ayahku, aku tak dapat hidup bersama di satu kolong langit. Kau boleh memberi seribu satu alasan, tapi aku tetap tak dapat melepaskan kau. Untuk kebaikanmu memperlakukan aku begitu baik semasa kecil, kuberi kelonggaran agar kau bunuh diri sendiri! Kau kubebaskan dari cincangan!"

   Menghindari tusukan, Coh Ping-gwan tertawa bebas.

   "Siau-ni, bukannya aku takut padamu. Aku hanya menyatakan kebenaran. Jika kau tak mau mendengar, berarti memaksa aku harus bertempur padamu!"

   Sret, sret, sret, Hong-ni tebaskan pedangnya ke atas, tengah dan bawah.

   Yang diarah semua bagian yang berbahaya dari tubuh si anak muda.

   Coh Ping-gwan gunakan tangan kosong untuk merebut senjata si nona.

   Ia berputar tubuh, balikkan tangan menyambar lengan Hong-ni yang mencekal pedang itu.

   Tetapi ternyata gerakan si nona tak kalah lincahnya.

   Begitu tusukannya lewat di sisi iga lawan, nona itu miringkan tubuhnya dan lontarkan dua buah serangan istimewa.

   Pedangnya itu terus dibabatkan balik, sedang tangannya kiri menghantam si anak muda.

   Blak, mereka beradu pukulan.

   Hong-ni terputar-putar dan tersurut sampai tiga langkah.

   Sebaliknya baju Coh Ping-gwan pun robek sampai lima inci lebarnya.

   Diam-diam keduanya samasama terkesiap.

   Selagi Hong-ni tersurut mundur lagi, Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya yang disarungkan tadi.

   Tapi pada saat Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya yang disarungkan tadi.

   Hong-ni pun sudah mendahului menyerangnya.

   Kali ini ia gunakan jurus Giok-li-tho-soh, menusuk tangan bawah.

   Coh Ping-gwan berseru memuji ketangkasan si nona.

   Cepat ia gunakan jurus Tiang-bo-lok-jit.

   Sesaat Hong-ni bingung menghadapi.

   Kalau tak merubah jurusnya, pedangnya tentu kena terpukul jatuh.

   Tapi kalau hendak merubah gerakannya, terang tentu didahului lawan.

   Akhirnya Hong-ni mengambil putusan.

   Ia tetap tak merubah jurusnya tetapi bahkan menambahinya dengan sebuah hantaman.

   Blak, Coh Ping-gwan menangkis.

   Tapi kali ini yang tersurut mundur sampai tiga langkah bukan si nona, melainkan dia sendiri.

   Mendapat hati, Hong-ni mendahuluinya dengan serangan yang gencar.

   Benturan tadi membuat Coh Ping-gwan heran.

   Pikir punya pikir, akhirnya diketahui juga.

   "Ah, tadi yang pertama dia belum mengeluarkan tenaganya sungguh-sungguh,"

   Demikian kesimpulannya.

   Tapi kesimpulannya itu ternyata kurang tepat.

   Tadi waktu yang pertama kali adu tenaga, karena kuatir si nona tak sanggup menahan, ia sudah gunakan hanya enam tujuh bagian tenaganya saja.

   Ia tak mau dibunuh si nona tapi pun tak sampai hati membunuhnya.

   Ternyata Hong-ni pun mempunyai pertentangan dalam batinnya.

   Ia menyakinkan ilmu pukulan Kim-kong-ciang.

   Kuatir si anak muda tak kuat menerima, ia hanya gunakan dua tiga bagian tenaganya.

   Kesudahannya, dia harus menderita tersurut mundur sampai tiga langkah.

   Kini tahulah ia bahwa tenaga Coh Ping-gwan itu lebih unggul.

   Maka dalam adu tenaga yang kedua kalinya, ia gunakan sembilan bagian tenaganya.

   Dan celakanya Coh Ping-gwan tetap masih menggunakan enam tujuh bagian tenaganya.

   Akibatnya, dialah yang menelan kerugian.

   Pertempuran berlangsung dengan makin seru.

   Berulang kali Coh Ping-gwan berusaha menghindari kekerasan.

   Tapi lama kelamaan ia terpaksa harus bertempur sungguh-sungguh juga.

   Setelah bertanding sampai beberapa jurus, keduanya saling mengagumi kepandaian masing-masing.

   "Kepandaiannya ternyata lebih unggul dari aku. Jika aku hendak membalas sakit hati seorang diri, dikuatirkan tak mampu,"

   Diam-diam Hong-ni menimang dalam hati.

   "Sayang dia anak dari musuhku!"

   Pun Coh Ping-gwan juga mengagumi kepandaian si nona yang walaupun lebih muda 4 tahun tapi kepandaiannya berimbang.

   "Sayang ia berkeras kepala menganggap aku sebagai musuhnya,"

   Ia menghela napas.

   U-bun Hong-ni menyerang dengan tenaga penuh.

   Ia gunakan taktik kilat sehingga untuk beberapa saat Coh Ping-gwan sibuk sekali.

   Hanya dapat menangkis tak mampu balas menyerang.

   Tapi biar bagaimana juga, karena ia lebih unggul kepandaiannya dan lebih banyak pengalamannya, setelah empat lima puluh jurus dapatlah ia mengetahui gerak serangan si nona.

   Dari berimbang, perlahan-lahan Coh Ping-gwan berbalik menang angin.

   Dalam suatu serangan, Coh Ping-gwan memapas sembari menutuk jalan darah beng-bun dengan tangan kiri.

   Ia sudah menduga Hong-ni tentu akan bergerak dalam jurus Kim-cian-to-liap.

   Dugaannya itu ternyata benar.

   Sebelum Hong-ni sempat bergerak dalam jurus itu, ia sudah mendahului merubah tabasannya ke atas, sedang kedua jari kirinya menutuk lengan si nona.

   "Tring" .... terdengar benturan tajam dan letikan api. Pedang Hong-ni terbuat dari bahan baja putih, sedang golok Coh Ping-gwan adalah golok pusaka dari Toh Hok-wi, bekas Suma dari kota Kiu-seng. Pedang Hong-ni terpapas rombal. Tapi itu hanya kerugian sedikit, yang lebih hebat adalah kerugian yang dideritanya akibat tutukan jari Coh Ping-gwan itu. Seketika tangannya terasa kesemutan. Untung tak tepat kenanya, coba tidak ia tentu tak dapat bergerak lagi. Coh Ping-gwan susuli lagi dengan sebuah tebasan. Wing, sebuah tusuk kundai kumala di rambut Hong-ni terpapas kutung! "Maaf, apakah dendama sudah dapat dianggap selesai?"

   Serunya.

   Ia tak mau menyerang lagi dan berhenti.

   Sebenarnya kalau mau, ia dapat mengambil jiwa Hong-ni.

   Menurut peraturan persilatan, pembebasan itu berarti 'membayar jiwa'.

   Pihak yang menuntut balas, tak boleh melanjutkan tuntutannya lagi.

   Tapi jika tetap berkeras hendak membalas, pun boleh.

   Asal, setelah membunuh musuhnya, ia harus bunuh diri juga.

   Wajah Hong-ni pucat lesi.

   Mundur beberapa langkah langkah, iamenuding dengan pedang Ceng-kong-kiam.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku sudah bersumpah darah di hadapan makan ayah, sakit hati ayah tak boleh tidak harus diimpas. Ya, sudahlah, setelah membunuhmu akupun hendak bunuh diri!"

   Tudingan pedang Hong-ni tadi merupakan komando.

   Tujuh orang pengikutnya segera mengepung Coh Ping-gwan.

   Mereka adalah bu-su (ahli silat) dari Sutho dan Hwe-ki.

   Senjatanya beraneka warna dan posisinyapun berpencaran tujuh tempat.

   Mereka mulai menyerang.

   "Bagus, karena kalian main keroyok, jangan salahkan golokku tak bermata!"

   Teriak Coh Pinggwan yang cepat berputar dan menabas seorang busu.

   Rencananya setelah dapat melukai barang seorang dua orang orang musuh, ia hendak menerobos dari kepungan.

   Tetapi di luar dugaan barisan mereka yang disebut Ceng-hoan-su-hiong-tin itu luar biasa geraknya.

   Sewaktu ditabas, Bu-su yang bersenjata khik (tombak yang ujungnya memakai sangkur) itu sudah berubah posisinya.

   Sebagai gantinya dua orang Bu-su tampil menangkis golok Coh Pinggwan.

   Mereka bersenjata Ceng-tong-kian dan Lian-cu-jui (bandringan martil) Keduanya termasuk jenis senjata berat.

   Tenaga mereka kuat sekali, bahkan Bu-su yang bersenjata Lian-cu-jui itu lincah sekali.

   Coh Ping-gwan kerahkan tenaga mendesak mundur Bu-su yang bersenjata Ceng-tong-kian, kemudian menangkis Lian-cu-jui.

   Ia berhasil dapat memapas bandringan sampai terpotong separuh, tapi ia pun rasakan tangannya sakit kesemutan.

   Wut, ia putar tubuhnya untuk menghindari tusukan tombak dari lain Bu-su yang menyerang lambung kirinya.

   "Lepas!"

   Ia membentak dan secepat kilat, menyambar ujung khik hendak ditariknya tapi dua Bu-su yang masing-masing memegang tombak dan kampak, sudah menyerangnya.

   Terpaksa Coh Ping-gwan putar goloknya dalam jurus Ya-can-pat-bong.

   Kapak dan tombak dapat dipentalkan.

   Karena menangkis itu, ia belum berhasil merebut senjata yang dipegangnya tadi.

   Coh Ping-gwan membacok lengan pemegang khik itu tapi sekonyong-konyong sinar pedang berkiblat dan menusuk tangannya.

   Penyerangnya itu bukan lain ialah U-bun Hong-ni sendiri.

   Coh Ping-gwan cukup mengetahui kepandaian si nona.

   Terpaksa ia lepaskan khik dan menangkis serangan pedang, lalu menangkis pula pukulan si nona.

   Sebenarnya kepandaian Hong-ni tak terpaut jauh dari Coh Ping-gwan.

   Dengan dibantu oleh ketujuh Bu-su itu, sudah tentu Coh Ping-gwan keteter.

   Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin itu menurut formasi Pat-kwa, empat menghadap ke muka dan empat orang dari jurusan samping.

   Mereka bergerak-gerak silang menyilang.

   Sedang Hong-ni menempati posisi yang disebut Kian-wi.

   Dari situ ia dapat memberi bantuan pada saat-saat yang diperlukan.

   Jelas bagi Coh Ping-gwan, bahwa sukar sekali ia hendak membobolkan barisan itu.

   Lingkaran kepungan lawan bahkan makin lama makin menyempit.

   Coh Ping-gwan terpaksa kerahkan seluruh kepandaian untuk bertempur mati-matian.

   Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin makin menelenkup kecil.

   Coh Ping-gwan mainkan golok Ganleng- tonya dengan jurus-jurus yang berbahaya.

   Dua pihak sama-sama sukar untuk mengalahkan lawan.

   "Tidak bisa menangkap hidup, matipun boleh!"

   Akhirnya Hong-ni berteriak keras.

   Dengan komando itu ketujuh Bu-su tampak menyerang seru.

   Sepasang mata Coh Ping-gwan merah membara memandang Hong-ni.

   Ia benar-benar heran dan mendongkol terhadap nona yang tak dapat dikasih mengerti itu.

   Beberapa kali Ping-gwan hendak lancarkan serangan yang dapat menyebabkan hancur bersama, tapi setiap kali ia teringat akan nasib yang sudah sebatang kara dari nona itu, hatinyapun lemas kembali.

   Manusia adalah makhluk yang berperasaan.

   Apalagi Hong-ni seorang wanita.

   Ia merasa juga kalau dipandang dengan penuh kebencian oleh Ping-gwan.

   Teringat bagaimana kasih sayang mereka berdua sama-sama bermain di waktu kecil, diam-diam timbul juga kemenyesalan Hong-ni, batinnya.

   "Bukan karena aku berhati kejam hendak membunuhmu, tetapi nasiblah yang mengatur kita dalam keadaan begini sehingga ayahmu membunuh ayahku. Ah, aku telah mengikrarkan sumpah di hadapan makam ayahku, bagaimana aku dapat memberi ampun padamu!"

   Memang pada waktu mula-mula ia hendak melepaskan pemuda itu, tapi akhirnya ia keraskan hati dan menghindar dari sorot mata Ping-gwan.

   Ia tetap tak mau memberi hati dan menyerang gencar.

   Khik-sia mengetahui jelas keadaan Ping-gwan.

   Ia harus turun tangan.

   "Bwe-moay, tunggu kau di muka sana!"

   Bisiknya.

   "Mengapa aku tak boleh membantumu?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Musuh berjumlah lebih banyak. Aku hendak membantu Coh Ping-gwan keluar dari barisan itu. Sekali-kali tidak memusuhi lawan,"

   Sahut Khik-sia. Maksudnya ia sendiri sudah cukup melepaskan Coh Ping-gwan.

   "Kau seorang diri, ini ...."

   Masih Yak-bwe menguatirkan diri sang tunangan karena barisan sedemikian hebatnya.

   Khik-sia tersenyum dan menghiburi calon isterinya bahwa ia tentu dapat mengatasi.

   Karena keadaan mendesak, iapun segera bersuit nyaring dan melayang turun.

   Sebenarnya kepandaian Khik-sia tak terpaut banyak dengan Coh Ping-gwan.

   Tapi mengapa ia yakin dapat membobol barisan itu? Inilah disebabkan karena dahulu ia pernah mengalami dikepung barisan Pat-tin-tho oleh kedelapan pengikut Se-kiat dari pulau Hu-song-to, kemudian ditolong oleh Gong-gong-ji.

   Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin dari U-bun Hong-ni itupun menurut dasar-dasar dari Pat-bun-sengkhik (delapan pintu mati-hidup).

   Ada beberapa bagian yang sama dengan Pat-tin-tho.

   Tapi dalam keindahannya bahkan kalah dengan Pat-tin-tho.

   Tadi selama bersembunyi di atas pohon, Khik-sia memperhatikan juga gerak-gerik Ceng-hoansu- hiong-tin dan mengertilah ia.

   Dengan bersuit nyaring itu ia hendak menarik perhatian musuh agar dapatlah Yak-bwe menyelinap pergi dengan diam-diam.

   Dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya Khik-sia pun sudah menyusup masuk ke dalam barisan.

   Memang serupa dengan pandangan Ping-gwan, pun Khik-sia mengetahui bahwa Bu-su yang bersenjata khik itulah yang paling lemah sendiri.

   Maka pertama turun tangan, bu-su itulah yang diganyangnya lebih dulu.

   Begitu cepat Khik-sia bergerak sehingga sebelum kedua Bu-su yang berada di kanan-kirinya sempat menghalangi, tangan Bu-su yang bersenjata khik tadi sudah kena tertusuk pedang Khik-sia.

   Khik terlempar dari tangannya, kebetulan mencelat ke lain Bu-su yang buru-buru menangkisnya hingga senjata khik itu mencelat ke bawah gunung.

   Tapi karena menangkis itu, Busu tersebut kena dibacok bahunya oleh golok Coh Ping-gwan dan terbukalah Seng-bun atau pintu hidup.

   Dua Bu-su segera menyerangnya dari dua samping.

   Khik-sia deliki mata.

   Ia kenal kedua Bu-su itu sebagai orang yang mencuri kudanya.

   "Kembalikan kudaku atau kuambil jiwamu!"

   Bentak Khik-sia sambil membabat dengan jurus Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus puncak).

   Cepat sekali gerakan Khik-sia, tring, tring, golok dan kapak dari kedua bu-su itu sudah kena dipapas kutung.

   Waktu Khik-sia hendak menusuk jalan darah mereka, tiba-tiba U-bun Hong-ni membacok dari belakang.

   Tapi Khik-sia lebih sebat.

   Ia mendahului berkisar ke posisi 'khun' dan menggasak seorang Bu-su.

   Jurus itu disebut Kian-gun-ya-wi atau dunia berputar tempat.

   Gerakan itu telah membuat barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin pecah berantakan.

   Bu-su yang kena dilanggar Khik-sia sampai jungkir balik itu menutupi jalan bagi Hong-ni yang hendak maju menyerang.

   Khik-sia mainkan pedangnya dalam jurus Tok-biat-hoa-san atau menabas gunung Hoa-san.

   Sebenarnya jurus itu adalah permainan golok dan Khik-sia pun memainkan pedangnya sebagai golok, hebatnya bukan kepalang! Sekalipun Hong-ni memiliki tenaga Kimkong- ciang-lat, namun ia tetap seorang wanita.

   Sudah tentu dalam hal tenaga kalah dengan Khiksia.

   Waktu pedang mereka berbentur, Hong-ni rasakan tangannya sakit sekali.

   Ternyata telapak tangannya sampai merah.

   "Pedang hebat, tenaga hebat! Sambut lagilah ini!"

   Habis memuji si nona, Khik-sia menabasnya lagi. U-bun Hong-ni tahu kepandaian pemuda ini lebih hebat dari Coh Ping-gwan. Ia tak berani berayal dan curahkan seluruh kepandaiannya menyambuti.

   "Toan-heng, harap bermurah hati!"

   Tiba-tiba Coh Ping-gwan meneriakinya.

   Ilmu pedang Khik-sia telah mencapai sedemikian rupa hingga dapat dikuasai menurut sekehendak hatinya.

   Ia cepat kendalikan tabasannya sehingga ketika beradu, Hong-ni tetap dapat menguasai pedangnya.

   Tapi secepat itu juga Khik-sia sudah menusuk pergelangan tangan si nona dan membentaknya.

   "Lepas!"

   Benturan pertama sudah memecahkan telapak tangan Hong-ni, benturan kedua membuatnya hampir tak kuat lagi mencekal pedangnya.

   Bahwa tahu-tahu ujung pedang lawan mengancam pergelangan tangannya membuat ia terperanjat sekali.

   Cepat ia timpukkan pedangnya ke arah Khik-sia, berputar tubuh terus lari.

   "Bagus!"

   Mau tak mau Khik-sia memuji juga kelihayan Hong-ni yang dalam saat-saat berbahaya masih dapat melakukan serangan yang berbahaya. Ia menyambuti pedang dengan tangan kiri.

   "Orangmu telah mencuri dua ekor kudaku. Jika menghendaki pedang pusakamu ini, antarkanlah kedua kuda itu ke Liong-gan-ce di gunung Hok-gu-san, kita saling tukar!"

   Teriaknya.

   Kemudian ia ajak Coh Ping-gwan meneruskan perjalanan.

   Ketika berhenti, Hong-ni marah-marah.

   Dengan membawa sekian banyak orang ke Tiong-goan bukan saja ia gagal mencari balas malah pedang pusakanya kena dirampas seorang pemuda tak terkenal.

   "Kejar!"

   Akhirnya ia memberi komando kepada orangnya.

   Tapi mana mereka mampu mengejar gin-kang Khik-sia? Khik-sia sengaja minta Coh Ping-gwan lari lebih dahulu, ia sendiri berputar-putar untuk menyesatkan perhatian anak buah Hong-ni.

   Setelah memperhitungkan Coh Ping-gwan tentu sudah jauh beberapa li, akhirnya ia baru berseru mengejek.

   "Maaf nona U-bun, aku tak dapat menemani kalian lagi. Dalam sepuluh hari ini kutunggu kedatanganmu di Hok-gu-san. Setiap saat kau boleh datang ke sana dan carilah Toan Khik-sia. Nanti kita saling tukar pedang dengan kuda." -- Habis mengucap, ia melesat dan menghilang dari pemandangan. Malam itu gelap gulita. Setelah lari beberapa saat, Khik-sia berteriak memanggil nama Coh Ping-gwan tapi tiada penyahutan. Sebagai jawaban terdengarlah kilat gemuruh memancarkan cahaya dan menyusul turunlah hujan. Khik-sia cemas hatinya. Coh Ping-gwan yang gin-kangnya cukup tinggi, masih dapat mengatasi jalanan gunung yang licin kena air, tapi bagaimana dengan Yak-bwe? Ia segera percepat larinya untuk menyusul Yak-bwe. Tiba-tiba di antara kiblat cahaya kilat, samar-samar, ia melihat sesosok bayangan yang dengan cepat sudah menghilang lagi.

   "Coh toako, akulah!"

   Teriaknya. Karena gin-kang orang itu hebat, ia kira tentu Coh Ping-gwan. Tapi sampai dua kali ia ulang teriakannya, tetap tiada sambutan apa-apa.

   "Eh, apakah mataku lamur? Hm, mungkin seekor kera,"

   Pikirnya. Tiba-tiba terdengar teriakan Yak-bwe.

   "Khik-sia, kau? Aku di sini."

   Girang sekali Khik-sia. Ia memburu ke arah suara itu. Ternyata Yak-bwe meneduh di sebuah lubang dari dua buah batu yang melekat. Lubang itu cukup besar untuk tempat meneduh dua orang.

   "Hai, bajumu basah kuyub!"

   Kata si nona, ia minta Khik-sia melepas baju kemudian diperasnya lalu dijemur di atas batu.

   "Apa kau tak melihat Coh Ping-gwan?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Khik-sia.

   "Tidak, tetapi aku telah melihat dua orang lagi. Coba terka, siapa?"

   "Mendengar ucapanmu, terang mereka itu orang yang sudah kukenalnya,"

   Jawab Khik-sia.

   "Bukan saja kenal pun sahabatmu yang karib,"

   Yak-bwe tertawa.

   "mereka sepasang laki perempuan. Yang laki Bo Se-kiat, yang perempuan sahabatmu Su Tiau-ing."

   Khik-sia tersentak kaget.

   "Mengapa mereka juga menempuh perjalanan di malam hari? Apakah mereka tak mengetahui kau?"

   "Sudah tentu aku berusaha supaya jangan diketahui mereka. Ah, memang berbahaya sekali. Mereka melalui di sisi tempat ini. Jika mereka mempunyai pikiran hendak meneduh di bawah lubang batu ini, aku tentu jatuh ke tangan mereka."

   "Begini gelap, bagaimana kau tahu mereka?"

   Tanya Khik-sia.

   "Kudengar perempuan siluman itu menjerit karena hampir tergelincir. Ia meneriaki Se-kiat."

   Khik-sia menduga bayangan yang dilihatnya tadi tentu Se-kiat. Tapi mengapa hanya seorang diri? Kemana Su Tiau-ing? "Eh, Khik-sia, mengapa kau menghunus pedang?"

   Tegur Yak-bwe.

   "Coba lihatlah, bagus tidak pedang ini."

   Khik-sia memberikan pedang dari Hong-ni itu kepada bakal isterinya.

   Karena pedang itu tak ada sarungnya, terpaksa Khik-sia mencekalnya saja.

   Tring, pedang itu mendering tajam ketika jari Yak-bwe menjentiknya.

   Dan ketika dipapaskan ke batu, batu itupun rompal.

   Yak-bwe memuji-muji pedang itu dan menanyakan dari mana Khik-sia memperolehnya.

   Khik-sia segera menuturkan pertempuran tadi.

   Sambil memain-mainkan pedang itu, Yak-bwe berkata.

   "Pedang dan kuda sama-sama kusayang. Kalau nona itu tak mau menukarkan kuda, ya, biarlah."

   "Sebelum diambil yang punya, kau boleh menggunakan pedang itu. Kuda kita itu pemberian Cin Siang, kita harus mengambilnya kembali. Jika kuatir tak punya pedang pusaka, pakailah pedangku ini,"

   Kata Khik-sia.

   "Ai, aku hanya berkata iseng saja, mengapa kau masukkan di hati? Pedang yang kau pakai atau aku, toh sama saja. Khik-sia, kita toh takkan berpisah lagi, milikmu adalah milikku juga."

   Bahagia sekali hati Khik-sia mendengar ucapan itu.

   "Ya, nanti kalau berjumpa dengan Thiat toako, akan kuminta supaya dia mengurus pernikahan kita. Biar tiap hari aku mendampingi kau."

   "Fui, hendak kemana kau? Apakah kalau tak menikah tak boleh berkumpul dan harus berpisah?"

   Demikian kedua tunangan itu bercakap-cakap dengan gembira sehingga tahu-tahu hujanpun berhenti.

   Ternyata sudah terang tanah.

   Khik-sia ajak tunangannya berangkat lagi.

   Ia masih memikirkan Coh Ping-gwan tapi Yak-bwe menyatakan Coh Ping-gwan itu lebih tua dari Khik-sia, pikirannyapun lebih matang.

   Tentu dapat membawa dirinya tak sampai ada apa-apa lagi.

   Khik-sia mengetahui kepandaian Coh Ping-gwan itu tak di bawahnya.

   Andaikata kesampokan dengan Bo Se-kiat, pun masih dapat melarikan diri.

   Begitulah mereka segera arahkan langkahnya menuju ke Hok-gu-san.

   Sekarang mari kita ikuti jejak Coh Ping-gwan.

   Setelah berlari beberapa lama, ia dapatkan Khiksia belum menyusul dan hujanpun turun.

   Ia terkenang peristiwa lima belas tahun yang lalu, dimana pada malam gelap dan turun hujan seperti saat itu, ia bersama ayahnya meloloskan diri dari serangan musuh.

   Ia mendongkol terhadap Hong-ni yang setelah dewasa malah berubah perangainya menjadi seorang nona yang keras kepala.

   Coh Ping-gwan basah kuyub pakaiannya, ketika ia hendak mencari tempat meneduh sekonyong-konyong sesosok tubuh muncul di sebelah mukanya.

   Buru-buru Coh Ping-gwan menegurnya.

   "Apakah Toan-heng itu?"

   Sebagai penyahutan bayangan itu maju menusuk dengan pedang.

   Coh Ping-gwan terperanjat.

   Cepat ia menghindar, namun tak urung ujung bajunya kena tertusuk juga.

   Kini baru diketahuinya bahwa yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji.

   Pedang yang dibuat menusuknya itu justeru pedang Kim-ceng-toan-kiam kepunyaan keluarga Coh.

   Dahulu pedang itu dicuri Gong-gong-ji dan diberikan kepada Ceng-ceng-ji.

   Adalah karena hendak mencari pedang peninggalan keluarganya itu sampai Coh Ping-gwan bertempur dengan Gong-gong-ji.

   Tapi kesudahannya mereka menjadi sahabat.

   "Bagus, kiranya kau kunyuk tua! Cis, tak tahu malu. Aku justeru hendak mencari kau untuk membikin perhitungan!"

   Amarah Coh Ping-gwan meluap demi melihat pedangnya. Ceng-ceng-ji tertawa mengejek.

   "Benar, memang kudengar kau hendak mencari aku maka aku sengaja menemui kau agar kau tak perlu pergi kemana-mana."

   Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tabasan. Tapi Coh Ping-gwan sudah bersiap. Setelah menghindar, ia lantas mencabut golok Gan-leng-to dan balas membacok. Trang, senjata beradu dan orangnya masing-masing tersurut tiga langkah.

   "Kunyuk yang tak punya malu, kau berani memakai pedang curian untuk menyerang yang empunya!"

   "Apa itu sih yang disebut pemilik? Hanya orang yang mempunyai kepandaian layak memakainya. Terang keluargamu tak becus menjaga hingga dapat dicuri suhengku Gong-gong-ji. Mengapa kau mempersalahkan aku? Bukankah pedang ini sebenarnya milik dari Toh Hok-wi? Baiklah, jika kau hendak meminta kembali pedang ini, silahkan kalau mampu!"

   Mereka bertanya jawab sambil serang menyerang.

   Dalam bicara itu mereka sudah bertemput tiga empat puluh jurus.

   Permainan pedang Ceng-ceng-ji cepat dan lincah, selalu mendahului menyerang.

   Permainan golok Coh Ping-gwan tenang dan mantap.

   Meskipun gin-kangnya sedikit kalah dengan lawan tapi tak mengakibatkan apa-apa.

   Dia menang tenaga dan napas karena lebih muda usianya.

   Maka betapa Ceng-ceng-ji ngotot hendak menyerangnya, tetap dapat ditangkis Coh Ping-gwan.

   Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji berputar tubuh dan lari sambil melambaikan tangannya.

   "Mari, mari, kita cari tempat yang lebih luas. Apa kau berani ikut aku?"

   

   Jilid 16 Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu.

   Tapi karena tak berhasil menangkap Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya.

   Dengan gerak tengli- ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu.

   Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi dengan tusukan yang kedua dan ketiga.

   Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran, begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda.

   Sekalipun andaikata paderi itu masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang.

   Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali.

   Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia dapat lolos dari lubang jarum.

   Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya.

   Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena termakan pedang di bagian pantat.

   Kuda paderi itu juga kuda ternama.

   Begitu terluka, binatang itu lantas mencongklang sekuat-kuatnya.

   Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu.

   Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali.

   Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah.

   Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bik-hu lepaskan si paderi.

   Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong.

   "Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana dengan kuda tungganganku itu,"

   Kata Sip Hong.

   Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari mendatangi.

   Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik beberapa kali.

   Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa.

   Pun karena mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang.

   Kiranya kuda itu hanya membaui racun saja tetapi tak sampai terkena.

   "Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari,"

   Kata Bik-hu.

   Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi.

   Ternyata yang kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa.

   Karena tak tega melihati korbannya, Bik-hu segera menguburnya.

   Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka, ternyata hanya terluka ringan.

   "Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus terang, kalau tidak tentu kutabas,"

   Bentak Sip Hong seraya mencabut pedang.

   "Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa aku melakukan juga,"

   Sahut si paderi.

   "Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu?"

   Tanya Sip Hong pula. Si paderi mengiakan.

   "Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki. Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu."

   "Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari?"

   "Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan."

   Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah berpapasan dengan Shin Ci-koh.

   Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah si paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang semua telah binasa di tangan Shin Ci-koh.

   Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin.

   Ia kabulkan permintaan muridnya pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin Cikoh.

   Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang ke Yu-ciu.

   Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu.

   Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri.

   Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius.

   Tujuannya tidak melainkan menuntut balas pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi.

   Kelak apabila Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan mendapat prioritas untuk merajai dunia persilatan.

   Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan.

   Untuk keperluan itu, Su Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa.

   Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya.

   Tapi untuk sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul pecah.

   "Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu?"

   Tiba-tiba Bik-hu bertanya.

   Si paderi menyatakan tidak tahu.

   Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada adik perempuan Su Tiau-gi.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu.

   Yang diperhatikan Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat.

   Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se-kiat, tetapi In-nio.

   Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima itu mengeluarkan sebuah perintah.

   Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud anak muda itu.

   "Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala apa-apa, maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu,"

   Kata Bik-hu.

   Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu.

   Tapi karena jaraknya dengan Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak.

   Nanti saja apabila sudah tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu.

   "Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan musuh, lebih baik,"

   Bik-hu tetap mendesak. Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk menjadi tentara, pengalamannya kurang.

   "Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati."

   Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu boleh berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul.

   "Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga,"

   Kata Bik-hu.

   "Ai, mengapa begitu terburu-buru?"

   Kata Sip Hong.

   "Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li."

   "Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri,"

   Sip Hong memberi pesanan. Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang dari pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang.

   "Ia berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa?"

   Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh hanyalah untuk alasan saja.

   Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio.

   Sewaktu mendengar keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bik-hu sudah menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat.

   Memikir sampai di sini hati Bikhu rawan juga.

   Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi.

   "Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku tetap akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku tetap akan menemuinya!"

   Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali.

   In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat.

   In-nio berpambek seperti seorang anak lelaki.

   Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia tak kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan.

   In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya.

   Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering.

   Seorang diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan.

   Seluas berpuluh-puluh li, tak tampak barang seorang insan.

   Untung In-nio membekal ransum kering.

   Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu.

   Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak.

   Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum.

   Pada masa seperti saat itu, iklim di padang rumput berubah-rubah.

   Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali.

   In-nio buru-buru melanjutkan perjalanan.

   Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada penduduk di situ.

   Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai gandum untuk meminta minum.

   Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras.

   Terutama di daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa.

   Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di situ jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik.

   Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki menjenguk seorang bibinya.

   Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki.

   Ada juga sejumlah kecil suku Han.

   Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han.

   Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya.

   "Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami menerima Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah."

   "Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak secepat itu datangnya, bukan?"

   Kata In-nio. Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat beberapa pasukan yang lewat di situ.

   "Apakah bendera mereka?"

   Tanya In-nio.

   "Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya juga."

   In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ.

   "Entah pasukan manakah mereka itu?"

   Kata In-nio.

   "Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu lebih menderita lagi,"

   Kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu meneranginya lebih lanjut.

   "Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di sini, tanaman gandum kami diambil separuh!"

   Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama menuai gandumnya.

   Ia hanya dapat menghela napas.

   Memang anak tentara yang dipimpin oleh lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya.

   Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok.

   Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang.

   Petani-petani serempak berteriak gaduh.

   "Celaka, kawanan perampok itu datang lagi."

   "Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja,"

   Kata perempuan tani tadi.

   Tetapi Innio menolak.

   Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka.

   Waktu si perempuan tani hendak menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana.

   Perempuan tani itu banting-banting kaki.

   Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa perempuan itu lari.

   "Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat?"

   Tegur In-nio. Pemimpin mereka tertawa.

   "Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya besar. Lihat panah!" - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya. In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.

   "Hai, apakah itu bukan nona In-nio?"

   Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya.

   "Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu?"

   Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan kanan yang paling dipercaya Se-kiat.

   Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu.

   Sekiat banyak mendapat bantuannya.

   Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan kakak beradik she Kay itu.

   Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio.

   Ia masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan mereka sekarang.

   Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman.

   Ia sedang tertawa menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan.

   "Mengapa kau tanyakan aku? Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat?"

   "Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima perintahnya untuk membawa pasukan kemari?"

   Tanya In-nio.

   "Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau gerakan itu berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-ma-jwan Peh houce, Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang."

   In-nio terkesiap hatinya.

   Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan.

   Siapa tahu kini timbul tanda-tanda keretakan di dunia loklim.

   Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa.

   "Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada para petani yang rusak ladang gandumnya itu."

   Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang menyelutuk.

   "Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka semua."

   "Habis mereka disuruh makan apa nanti?"

   Bantak In-nio. Nona jelek itu kerutkan jidatnya.

   "Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh makan apa?"

   "Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum, dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu-ciu, perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji 'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta,"

   Bantah In-nio. Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi Innio.

   "Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya jika tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang yang tak kenal adat-kebenaran."

   "Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu,"

   Sahut In-nio. Thian-sian tertawa girang.

   "Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai kenyang."

   Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian.

   "Apakah ayahmu meluluskan perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil dengan lekas."

   In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat.

   "Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima kasihnya kepadamu!"

   Seru Thian-sian. Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya.

   "Mereka telah bertekad hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi aku hendak menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi."

   "Cici In, apa yang kau pikirkan?"

   Tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam diri.

   "Aku tengah memikirkan suatu permainan,"

   Jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan.

   "Tetapi kau harus membantu aku dulu,"

   Kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan kesediaanya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh, jangan sampai memberitahukan pada lain orang."

   "Kepada beng-cu?"

   "Juga tidak perlu!"

   Thian-sian kerutkan alis.

   "Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku."

   "Tahu apa?"

   Tanya In-nio.

   "Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya, bukan? Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang selalu menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya."

   Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa.

   "Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini."

   Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan.

   Demikianlah In-nio segera berganti pakaian sebagai serdadu wanita.

   Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh.

   Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung.

   Kotanya dibagi menjadi dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam.

   Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam.

   Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati.

   "Jika tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini."

   Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring.

   "Sebentar lagi Tay Yan kongcu akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san."

   In-nio berdebar hatinya.

   "Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu? Ah, jangan sampai diriku ketahuan."

   Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu.

   Tempat itu bekas ladang gandum.

   Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara.

   Hanya ada dua buah rumah tembok yang agak baik.

   Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati pembantunya.

   "Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota?"

   Kay Thian-sian kerukan dahinya.

   "Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini,"

   Jawab opsir itu.

   "Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu kehormatan besar. Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya.

   "Apa-apaan dengan kongcu (puteri), nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan diri di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh tak tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia?"

   Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang mewartakan bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya.

   "Kurang ajar betul, di hadapanku ia masih main agung-agungan!"

   Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta.

   Mungkin Tiau-ing itu tak mengerti bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya.

   Dengan menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya.

   Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang.

   Begitu turun dari keretanya, serta merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya.

   "Aduh, menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar kau ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari!"

   Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang.

   "Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti saudara saja?"

   Seru Tiau-ing. Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya.

   "Engkohku baik kepada bengcu itu, ada hubungan apa dengan kau dan aku?"

   "Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat menggabungkannya menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay, pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu,"

   Kata Tiau-ing pula.

   Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian.

   In-nio sudah gelisah.

   Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka lekas beristirahat saja.

   Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian banyak makanan.

   Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik untuk anak buah Kay Thian-sian.

   "Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak?"

   Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian.

   "Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara harap cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk cici."

   Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu, diterima tidak dengan kepercayaan penuh.

   Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari.

   Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya.

   Dan dengan sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing.

   Dengan adanya ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada.

   Itulah sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota.

   Di samping itu diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se-kiat.

   "Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami?"

   Kay Thian-sian heran.

   "Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat."

   "Ha, mengapa bengcu tak tampak?"

   Tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama dengan Se-kiat yang datang.

   "Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang?"

   Thian-sian menegas. Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru.

   "Ai, hari sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi."

   Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu.

   Begitu Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah, tibatiba seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu.

   "Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan pasukan untuk menyambutnya lagi?"

   Thian-sian muring-muring."

   "Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur, baru ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan,"

   Kata serdadu wanita itu. Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba timbullah gairahnya, serunya.

   "Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah ini, sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak menjumpainya."

   Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan membongkok tangan.

   "Hai, apakah kau ini raja daerah sini?"

   Tegur Thian-sian. Lelaki itu berpaling dan berseru.

   "Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun?"

   Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas.

   "Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku?"

   Sahut Thian-sian. Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur.

   "He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara?"

   Kembali si nona 'bidadari' menegurnya. Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras.

   "Kau menertawai apa?"

   Seru Thian-sian.

   "Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian?"

   Tomulun balas bertanya.

   "Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik?"

   "Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu, hi, hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan?"

   Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas menjiwirnya.

   "Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama itu, bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja pingsan melihatmu!"

   Tomulun mendorongnya, berkata.

   "Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali."

   Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji.

   "Tenagamupun hebat juga." - Ia tertawa riang, ujarnya pula.

   "Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi seorang jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani menertawai aku?"

   Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya.

   "Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ..."

   "Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau?"

   Tukas Thian-sian. Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya.

   "Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang berkelahi. Ha, ada akal ..."

   "Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan,"

   Tiba-tiba ia tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi, Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar.

   "Nona Kay, kuberikan anting-anting ini kepadamu, sukakah kau?"

   Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai antinganting.

   "Anting-anting besar"

   Yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak mempamerkan kekuatannya.

   Sebaliknya Thian-sian telah salah paham.

   Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa mengejek.

   "Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga."

   Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang.

   "Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan itu."

   Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang tongkat lagi.

   Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu diberikan kepada si raja.

   "Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan!"

   Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya.

   "Ah, kau menang! Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini?"

   Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya."Benar, kau bukannya goblok sekali." - Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa.

   "Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek,"

   Kata Tomulun. Thian-sian berjingkrak.

   "Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa?"

   "Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya,"

   Sahut Tomulun.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hm, begitulah baru perkataan manusia,"

   Kata Thian-sian. Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi.

   "Yang jelek malah jujur, yang cantik sebaliknya malah plin-plan!"

   Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya.

   "Siapa yang buruk dan siapa yang cantik itu?"

   "Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah,"

   Sahut Tomulun.

   "Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur!"

   "Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau sungguh hendak menanyakan?"

   Seru Tomulun.

   "Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu!"

   Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan.

   "Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari?"

   Tanya Tomulun.

   "Siluman kecil siapa?"

   Thian-sian melongo.

   "Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu!"

   "Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!"

   Tomulun marah sekali, serunya.

   "Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu!"

   "Mengapa kau begitu membencinya?"

   Tanya Thian-sian. Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang.

   "Mengapa aku tak harus membencinya, ia sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang!"

   "Jadi isteri siapa?"

   "Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu!"

   Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak.

   "Sungguhkah itu?"

   "Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu ...."

   Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan membentaknya.

   "Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang?"

   "Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah aku. Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan ...."

   Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya.

   "Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah bengcu kami, tahukah kau?"

   Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah.

   "Peduli apa dengan bengcu! Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu ...."

   Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak.

   "Seorang lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu. Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah." - Habis berkata ia lantas berputar hendak berlalu.

   "Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan,"

   Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat melampaui kepala raja itu dan menghadangnya.

   "Berhenti!"

   "Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak menantang aku berkelahi?"

   Seru Tomulun.

   "Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau apakah bengcu pernah mengatakan padamu?"

   "Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara padamu?"

   Sahut Tomulun.

   "Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku haturkan maaf padamu, bilanglah!"

   "Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga,"

   Kata Tomulun. Thian-sian terkejut, serunya.

   "Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan?"

   "Benar, besok lusa!"

   Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki.

   "Jahanam, benar-benar jahanam....."

   "Siapa yang kau maki itu?"

   Tegur Tomulun.

   "Aku bukan memaki kau, aku ....."

   Tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam.

   Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Se-kiat, tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu.

   Siapa yang sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu.

   Waktu mendengar Se-kiat telah menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat.

   "Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu!"

   Tomulun tertawa gelakgelak.

   "Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ....,"

   Kata Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana harus memulaikannya. Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian.

   "Ya, memang benar. Hari akan turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang!" - Ia berputar diri lantas angkat kaki. Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi. Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thian-sian itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habis-habisan. Di samping itu, ia ketarik juga dengan nama "Thian-sian" (bidadari). Menilik namanya orangnya tentu cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing. Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya.

   "Meski Thian-sian itu jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing."

   Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat.

   Makin memikir, makin mendongkol.

   Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan seorang penunjuk jalan orang Ki.

   Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk.

   Thian-sian tertegun, serunya.

   "Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya akupun memang hendak mencari kau."

   "Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau menyuruh begitu?"

   Tanya In-nio.

   "Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya!"

   "Jangan, cici, jangan ...."

   "Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat?"

   "Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi pengantin!"

   Kata In-nio.

   "Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat?"

   Teriak Thian-sian. In-nio tertawa rawan.

   "Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari kau. Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya mencintai kau?"

   Thian-sian menepuk pahanya berseru.

   "Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan mau dipermainkan lelaki!"

   Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi.

   "Namun cara begitu saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah?"

   "Siapa bilang aku berpeluk tangan saja?"

   Sahut In-nio.

   "Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali,"

   Teriak si buruk. In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin.

   "Tidak, aku tak mau berkelahi padanya!"

   "Oh, apakah kau masih suka padanya?"

   Tanya Thian-sian.

   "Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya."

   Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri.

   "Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau melabraknya, juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan?"

   "Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan kewajiban seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici, apakah kau suka membantu aku?"

   "Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya?"

   Tanya Thiansian.

   "Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcu-mu, sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti."

   "Lalu aku disuruh membantu apa?"

   "Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri."

   Thian-sian menepuk tangan.

   "Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ...."

   "Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan?"

   Bentak In-nio.

   "Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar,"

   Dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.

   Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni berkemah di luar kota sebelah timur.

   Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda untuk mengenal jalanan dulu.

   Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.

   Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung.

   Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota sebelah dalam.

   Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung.

   Ketika kuda In-nio masuk ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio.

   Kejut In-nio bukan kepalang.

   Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya.

   Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya melayang ke arah si paderi.

   "Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat!"

   Tiba-tiba terdengar lengking suara wanita. Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.

   "Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap puterinyapun lumayan juga!"

   Hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.

   In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel tempo hari.

   Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki.

   Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia masih berhasil melarikan diri.

   Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Padri itu menanggalkan jubahnya dipakai sebagai senjata.

   Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah.

   Innio gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar.

   Tapi bukannya dapat menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak ditariknya.

   Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu pedang Hui-ho-poh-tiap.

   Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan.

   Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.

   Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut dan memuji kelihayan si nona.

   Ia lebih lihay dari ayahnya.

   Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan.

   Dan karena tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.

   Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa.

   "Nona In, kemarin aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas."

   Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu.

   "Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan kakakadik denganmu?"

   Damprat In-nio. Tiau-ing tertawa mengejek.

   "Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya?"

   In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya berkobar.

   "Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang!" - Ia mengisar dan kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tibatiba ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat. Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya.

   "Apakah kata-kataku salah? Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?"

   In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap.

   "Celaka, aku terkena jerat mereka!"

   Diam-diam ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.

   Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio.

   Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah meluap.

   Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi).

   Hanya digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras, adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.

   "Rebahlah!"

   Tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya.

   Seketika itu In-nio rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh.

   Bagaikan orang bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia.

   Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa.

   "Kau seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?"

   Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah ranjang.

   Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri.

   Dan dari jendela dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari.

   Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.

   Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan.

   Untuk melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing.

   Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa.

   "Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!"

   In-nio makin gusar.

   "Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!"

   "Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan suka bercakap-cakap dengan aku?"

   "Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku?"

   Sahut In-nio.

   "Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat?"

   Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh."

   "Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?"

   Tiau-ing tersenyum.

   "Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat. Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu."

   "Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau memberitahukan hal itu kepadaku?"

   "Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat?"

   Seru In-nio.

   "Akan mengundang bantuanmu,"

   Tiau-ing tertawa.

   "Bagaimana caranya?"

   "Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu."

   "Isinya?"

   "Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan,"

   Kata Tiau-ing.

   "Aku kepingin mendengar pendapatmu,"

   Kata In-nio.

   "Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong, baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang terbaik untuk menasihati ayahmu."

   "Emoh semuanya!"

   In-nio menolak dengan tegas.

   "Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia benarbenar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang puteri tunggal kau ini!"

   Kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.

   "Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu!"

   Teriak In-nio. Wajah Tiau-ing mengerut marah.

   "Ha, kiranya kau yang tak mau menulis!" - Tiba-tiba ia tertawa mengikik.

   "Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu."

   "Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan?"

   In-nio menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat. Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek.

   "Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing."

   "Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?"

   "Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau tidak?"

   "Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!"

   Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin.

   "Kedatanganmu kemari, apa bukan karena Se-kiat?"

   "Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri,"

   Tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut suami. Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia.

   "Kau salah kira. Aku bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat, janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!"

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak In-nio.

   "Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?"

   "Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu!"

   "Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu apa yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau memberi kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja apakah ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah aku yang merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku!"

   Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi. Tertawalah Tiau-ing.

   "Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin bertemu sekarang atau tidak?"

   Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya.

   "Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya." - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat pada saat itu Se-kiat pun masuk.

   "Apa kau baru bangun? Mengapa kelihatan begitu girang?"

   Tegur Se-kiat.

   "Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau,"

   Kata Tiau-ing. Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan.

   "Kerajaan telah mengirim seorang jenderal besar membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?"

   "Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi, takut apa?"

   Kata Se-kiat.

   "Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi? Jangan kelewat meremehkan kekuatan lawan!"

   "Apa Cin Siang? Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan kotaraja?"

   "Coba tebak lagi!"

   Seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja. Tiau-ing tertawa.

   "Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja bakal menjadi mertuamu?"

   "Oh, Sip Hong?"

   Tiau-ing mengiakan.

   "Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan?"

   "Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh. Apanya yang kau girangkan?"

   Tiau-ing mengikik, ujarnya.

   "Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih? Padahal kau merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh, puterinya dahulu adalah kawan baikmu!"

   "Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan?"

   Mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati tak urung berdebar juga. Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum.

   "Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu, puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan kawan baikmu itu?"

   Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik.

   "Masih ingat apa yang kukatakan dahulu?"

   "Yang mana?"

   "Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak boleh meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir?"

   "Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku."

   "Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau kira itu."

   "Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya?"

   "Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya,"

   Sahut Se-kiat.

   "Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu."

   Se-kiat merenung sejenak dan berkata.

   "Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian padanya. Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi apabila aku benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai sekarang."

   "Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu silatpun lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya?"

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya.

   "Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya lagi. Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan?"

   Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa.

   "Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak mengenangkannya?"

   "Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu mengenangkannya?"

   Se-kiat balas bertanya. Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia.

   "Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak cemburu dan gembira kau hendak menjumpainya."

   "Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan musuh. Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali!"

   "Benarkah? Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali kau hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari."

   Se-kiat berjingkrak kaget.

   "Kau mau berolok-olok?"

   "Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ? Ai, orang telah menunggumu sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku menyingkir dari sini,"

   Dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu.

   In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing.

   Pun ketika mendengar papan ranjang berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap kelambu ....

   Saat itu terasa tegang sekali.

   In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung.

   Beberapa saat kemudian baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya.

   "In-nio, bagaimana kau datang kemari?"

   "Tanyakan pengantinmu!"

   Sahut In-nio dengan getas. Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang sehingga tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol sekali.

   "Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku,"

   Pikirnya.

   Diamdiam ia menyesal.

   Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama sekali sudah lenyap.

   Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing.

   Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya.

   Pada saat-saat begitu di dalam kamar mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang tidaktidak di dalam kalbu Se-kiat.

   Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot mata In-nio.

   Katanya dengan pelahan.

   "Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa yang hendak kau katakan kepadaku?"

   Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata lembut yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan kata-kata yang dingin.

   "Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku?"

   Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik kasih kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum.

   "In-nio, aku bercita-cita tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku menelantarkan dirimu."

   Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada Tiauing atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat. Saking gusarnya In-nio hampir pingsan.

   "Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal kau, tutup mulutmu!"

   Dampratnya.

   Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah.

   Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak mau membagi cintanya kepada Tiau-ing.

   Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk.

   Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat duduk.

   Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam.

   "Jika kau sampai berani menyentuh tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan cara menggigit putus lidahku."

   Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain kejab, hatinya berontak.

   "Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena perasaanku terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing!"

   Ia gelengkan kepala tertawa getir. 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru sekarang aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku?"

   In-nio tertawa dingin.

   "Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi, bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira? Kau salah alamat hendak mencari bantuanku!"

   Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi.

   Sudah tentu Se-kiat merah padam dan tundukkan kepala.

   Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda yang kuat batin tinggi cita-cita.

   Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa.

   Untuk merebut Tionggoan, ia harus berani menghadapi segala apa.

   Diam-diam ia ambil ketetapan.

   Ujarnya.

   "In-nio, kau adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta pengorbananmu lagi. Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil obat penawar. Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah kau ulurkan bantuan padaku?"

   In-nio tertawa mengejek.

   "Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to (jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku?"

   Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata.

   "In-nio, jangan berkata begitulah! Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak juga tak apa."

   "Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta bantuan apa kepadaku, silahkan bilang!"

   "Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi?"

   "Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan musuh?"

   Seru In-nio. Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi.

   "Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu,"

   Tiba-tiba In-nio membuka suara.

   "Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk,"

   Sudah tentu Sekiat girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan sebutan "hianmoay"

   Atau dinda yang bijak.

   "Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu mendirikan kerajaan baru."

   "Ah, dikuatirkan ayahmu menolak,"

   Kata Se-kiat.

   "Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan supaya ia berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama dengan rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada saatnya baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana yang ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak kerajaan memerangi kau!"

   Se-kiat berteriak girang.

   "In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat sekali dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-siang kau sudah memikirkan kepentinganmu."

   Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula.

   "Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya dapat diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah!"

   Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat tercengang, tanyanya.

   "Apa yang kau tertawakan?"

   "Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah yang memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar sepaham dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu!"

   In-nio tertawa hina. Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi. Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio.

   "Benar, benar, memang akulah yang membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang biarlah kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya yang berbeda?"

   Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau sekali tepuk tiga lalat.

   Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik.

   Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In-nio juga.

   Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel.

   Maka sengaja ia hendak memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa.

   Jangan harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka.

   Di samping itu, apabila In-nio sampai marah dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio.

   Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia telah mengatur segala-galanya.

   Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio.

   Katanya dengan lemah lembut.

   "Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan? Daripada hanya menjadi wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri? Apalagi dengan begitu hubungan kita tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu?"

   "Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara lagi?"

   Sahut In-nio.

   "Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In yang baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan kepada Se-kiat?"

   Tiau-ing menyeletuk.

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga. Kemudian berkata pula.

   "Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan!"

   Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat.

   Tetapi demi mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan manusia yang lupa budi lupa kecintaan.

   Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin.

   Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah.

   "Jangan kalian keliru menafsirkan. Apa yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan. Adalah karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat, kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau mendengar nasihat sahabat-sahabatmu?"

   


Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id

Cari Blog Ini