Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 20


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 20



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   "Sedang paman sendiri juga memaksa aku harus minta maaf, ah, Tuhan yang maha murah. Kiranya hanya Tiau-ing seorang yang tahu tentang isi hatiku."

   Tiba-tiba terdengar lari kuda mendatangi. Yang datang ialah dayang pelayan Tiau-ing. Buruburu Se-kiat menanyakan keterangan tentang Tiau-ing. Dengan terbata-bata budak itu menjawab.

   "Nyonya telah merampas kudaku. Kukira ia sudah datang kemari, yang kunaiki ini kuda orang lain ...."

   "Lekas cari, lekas cari sana ...."

   Baru Se-kiat gugup menyuruh bujang itu, kembali seorang dayang Tiau-ing muncul. Dayang itu terus berseru.

   "Tak usah mencari, aku sudah tahu dimana nyonya."

   Se-kiat buru-buru mendesak bujang itu supaya menerangkan tapi bujang itu mengatakan tak leluasa mengatakan di situ. Ia minta Se-kiat masuk ke dalam kemah.

   "Bilang sekarang, dengar tidak?!"

   Bentak Se-kiat dengan murka. Saat itu pikiran Se-kiat sudah kalut. Dia seperti orang kalap.

   "Keadaanku toh sudah begini, aku tak peduli segala berita buruk,"

   Pikirnya. Karena ketakutan, bujang itu terpaksa bilang.

   "Aku tadi bertemu dengan nyonya. Ia, ia naik kuda bersama Toan Khik-sia, melarikan diri!"

   "Apa? Ia melarikan diri dengan Khik-sia?"

   Se-kiat menjerit.

   Ia yang sudah siap menerima kabar buruk toh terkejut sekali mendengar keterangan itu.

   Lebih kaget kalau andaikata menerima kabar Tiau-ing meninggal.

   Silih berganti ia mendapat kegoncangan hati.

   Dan rupanya berita tentang larinya Tiau-ing itu merupakan pukulan yang maha berat.

   Seketika ia seperti kehilangan semangat.

   Juga sekalian orang terkejut dengar berita itu.

   Lebih-lebih Yak-bwe.

   Hanya kalau Se-kiat menerimanya dengan rasa putus asa, Yak-bwe dengan perasaan cemas.

   Ia menjerit dan tubuhnya terhuyung-huyung.

   Untung In-nio dan Bik-hu cepat memapahnya.

   "Khik-sia, mengapa dia, dia ...."

   "Jangan mencurigai Khik-sia, tentulah ia, tentu ...."

   Kata In-nio.

   "Kutahu, tentu perbuatan siluman perempuan itu. Ah, entah dia diberi obat penyesat pikiran apa?"

   Kata Yak-bwe. Ia tidak percaya bahwa Khik-sia dapat dikalahkan Tiau-ing, kecuali dengan diberi minum obat pemunah tenaga. Karena hadirin gempar dengan berita itu sampai-sampai diri Se-kiat tak mendapat perhatian.

   "Se-kiat, bagus sekali isteri yang kau ambil itu! Hm, seorang isteri demikian tak usah kau pedulikan lagi! Selesaikanlah urusanmu di sini, baru kita nanti membuat pembersihan,"

   Kata Bo Jong-long berkata dengan hati pedih. Benak Se-kiat kosong melompong. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kegemparan hadirin dan kata-kata pamannya tadi, tak didengarnya lagi.

   "Bo Se-kiat, urusan busuk perempuanmu itu, uruslah sendiri. Itu tak ada sangkut pautnya dengan kami. Sekarang semua saudara menanti sepatah perkataanmu. Apakah kau masih punya muka menjadi bengcu lagi? Kau mau menghaturkan maaf atau tidak?"

   Tiba-tiba Shin Thian-hiong berseru. Perlahan-lahan Se-kiat berjalan ke tengah lapangan. Dalam hatinya ia tertawa pahit.

   "Seutas benang mengikat dua ekor semut. Melihat akhirnya aku bangkrut, ia lantas minggat dengan lain lelaki."

   Langkah Se-kiat itu diikuti mata segenap hadirin.

   Mereka kira Se-kiat tentu akan mengakui kesalahan.

   Tiba-tiba Se-kiat berhenti.

   Di sebelah tempat ia berhenti tampak In-nio berdiri di samping Bik-hu.

   Kedua anak muda itu tengah berbisik-bisik dengan mesranya.

   Hati Se-kiat seperti diiris sembilu.

   "Jika tempo hari aku tak salah langkah, bukantah aku dengan In-nio merupakan pasangan yang ideal dalam dunia persilatan? Hm, aku yang memperalat Tiau-ing atau Tiau-ing yang memperalat diriku? Saat ini mungkin sudah tak ada tempat bagiku di dalam hati In-nio. Hatinya sudah terisi Bik-hu,"

   Keluhnya dalam batin. Ia coba memandang lekat tapi In-nio dan Bik-hu makin merapatkan diri. Sekonyong-konyong berserulah ia dengan keras.

   "Set yang kujalankan ternyata salah. Satu set salah, semua-semuanya hancur. Apalagi yang kuharap!" - Ia cabut pedang dan ditusukkan sekuatkuatnya ke dadanya sendiri .... Kejadian itu sungguh tak tersangka-sangka. Bo Jong-long terbeliak kaget, tapi tak keburu mencegah. Paling-paling ia hanya menghampiri, menutuk darah Se-kiat supaya berhenti. Tapi untuk menyelamatkan jiwa keponakannya itu terang tak mungkin. Pedang telah masuk separuh ke dalam dadanya. Memang kalau menimbang kesalahannya, Se-kiat pantas menerima hukuman itu. Tapi biar bagaimana, ikatan batin antara paman dengan keponakan itu masih ada. Bo Jong-long sedih sekali.

   "Sejak kecil anak ini sudah ditinggal ayah bundanya, untung ia berotak cerdas dan berbakat bagus. Ah, tak nyana ia harus mengakhiri hidupnya secara begini rupa. Kesemuanya itu karena aku tak mampu mendidiknya dengan sempurna,"

   Batinnya berkata sendiri. Dengan menelan air matanya, Bo Jong-long membisiki ke dekat telinga Se-kiat.

   "Apa pesanmu?"

   Adalah karena ditutuk oleh pamannya itu, Se-kiat masih dapat bertahan hidup untuk beberapa saat. Ia gunakan saat-saat terakhir itu untuk meninggalkan pesan.

   "Begitu anak itu lahir, ambillah anaknya, buang ibunya ... paman, kau ... aduh, aku merasa sakit sekali, tolonglah paman mem ...."

   "Baik, nak. Aku tahu maksudmu. Berangkatlah dengan tenang,"

   Sekali menutuk jalan darah kematiannya, Bo Jong-long mencabut pedang di dadanya dan seketika itu melayanglah arwah Sekiat.....

   Bo Jong-long menyeka air matanya, kemudian perintahkan anak buahnya supaya jenasah Sekiat diperabukan.

   Abunya supaya dibawa pulang ke Hu-song-to.

   Pun mengingat persahabatannya di masa lampau, Thiat-mo-lek turut berduka dengan kejadian itu.

   Tapi tak tahu ia bagaimana hendak menghibur kedukaan Bo Jong-long.

   Saat itu muncul dua pengawal baju kuning ke tengah lapangan.

   Mereka ialah pengawal yang ditugaskan Bo Jong-long untuk membawa Khik-sia dan Ping-gwan.

   Mereka terkesiap kaget demi melihat kawan-kawannya tengah menggotong jenasah Se-kiat.

   "Mengapa kalian tak mengindahkan perintahku? Mana Khik-sia?"

   Tegur Bo Jong-long dengan nada berat.

   "Nyonya muda mengatakan kalau ia disuruh tocu membawa kedua tawanan itu. Kami tak tahu kalau nyonya membohong,"

   Kata kedua pengawal itu.

   "Kuberi waktu kalian dalam tiga tahun harus menemukan nyonya muda. Jika ia sudah melahirkan anak, bawalah anak itu saja, tak usah pedulikan nyonya muda lagi. Biar suhunya yang memberi hukuman padanya."

   Kedua pengawal itu heran. Tapi mereka tak berani membantah. Bo Jong-long bersuit rawan. Kepada ke-42 kepala pulau ia berseru tandas.

   "Kamu sekalian harus ikut aku pulang dan sejak ini tak boleh datang ke Tiong-goan lagi."

   Thiat-mo-lek dan Gong-gong-ji menghampiri untuk mengantar keberangkatan pemimpin Husong- to itu. Kata Thiat-mo-lek.

   "Bo-locianpwe, aku sungguh menyesal sekali ...."

   "Thiat-tayhiap, kau sudah melakukan segala apa yang kau dapat lakukan terhadap Se-kiat. Aku merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti kau. Tapi sejak saat ini mungkin aku takkan menginjak tanah Tiong-goan lagi. Gong-gong-ji maafkan. Arak kegirangan kalian berdua, terpaksa aku tak dapat turut minum."

   Bo Jong-long berlalu, ke-42 kepala pulau itupun mengikuti.

   Hasil dari rapat besar kaum loklim hari itu sungguh tak dinyana-nyana.

   Sudah dapat dipastikan bahwa Thiat-mo-lek bakal diangkat menjadi bengcu yang baru.

   Anehnya sampai saat itu Khik-sia belum kelihatan muncul.

   Sudah tentu sekalian orang merasa gelisah.

   "Hai, bukantah itu Ping-gwan? Dia sudah datang!"

   Tiba-tiba Goan-siu berseru. Ping-gwan memang berjalan ke lapangan. Pakaiannya compang-camping, badannya luka-luka dan jalannya sempoyongan. Thiat-mo-lek tergopoh-gopoh membawanya ke dalam kemah dan mengobati lukanya.

   "Lukaku ini tak mengapa. Yang penting kejarlah lekas siluman perempuan itu. Ia melarikan Khik-sia!"

   Kata Ping-gwan.

   Walaupun ia dan Khik-sia sama-sama ditutuk jalan darahnya oleh Bo Jong-long, tapi caranya mengerjakanpun berbeda.

   Untuk Khik-sia yang lwekangnya lebih tinggi, Bo Jong-long gunakan cara menutuk Ciong-chiu-hwat (tutukan berat).

   Kalau digunakan terhadap orang yang lwekangnya lemah, Ciong-chiu-hwat itu akan mengakibatkan luka berat.

   Sebenarnya lwekang Ping-gwan berimbang dengan Khik-sia.

   Tetapi Bo Jong-long belum pernah mengetahui kepandaiannya.

   Dan memang Bo Jong-long pun tak bermaksud mencelakai kedua anak muda itu.

   Kuatir Ping-gwan tak kuat menahan, Bo Jong-long hanya gunakan ilmu tutukan biasa.

   Waktu diseret sampai ke kaki puncak Thiat-li-hong oleh kedua pengawal baju kuning, sebenarnya Ping-gwan sudah dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.

   Rupanya si pengawal yang memanggulnya, tinggi kepandaiannya.

   Mendengar jalannya napas Ping-gwan berbeda, pengawal itu lantas meletakkan tubuh Ping-gwan untuk diperiksannya.

   Tapi sekonyong-konyong Ping-gwan menggembor keras.

   Tali yang mengikat kaki tangannya putus.

   Ia gunakan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim untuk melawan si pengawal.

   Sepuluh jurus kemudian, Ping-gwan rasakan peredaran darahnya tambah enak, tenaganya sudah pulih 5-6 bagian.

   Ia desak lawannya mundur lalu hendak menyerang pengawal yang membawa Khik-sia.

   Pengawal yang menawan Khik-sia itu kelabakan.

   Tahu kawannya tak mampu melawan Pinggwan, iapun hendak letakkan angkutannya (Khik-sia) untuk membantu sang kawan.

   Tapi pikirannya maju mundur.

   Kalau meletakkan tawanannya kuatir dirampas orang.

   Namun tidak meletakkan, ia tentu tak leluasa bertempur dengan lawan.

   Selagi Ping-gwan mendesak kedua pengawal dan sudah akan berhasil membebaskan Khik-sia, tiba-tiba terdengar derap kuda mendatangi.

   Yang datang ialah Tiau-ing.

   Melihat Khik-sia tak dapat berkutik, tahulah Tiau-ing bahwa anak muda itu tentu ditutuk dengan Ciong-chiu-hwat oleh Bo Jong-long.

   Ia girang sekali dan buru-buru minta supaya Khik-sia diserahkan padanya.

   Tetapi seperti yang dikatakan di atas, pengawal baju kuning dari Hu-song-to hanya menurut perintah dari Bo Jong-long saja.

   Sekalipun Tiau-ing yang meminta, tetap mereka tak lekas-lekas menyerahkan.

   Tanyanya.

   "Apakah nyonya muda sudah mendapat ijin dari Bo tocu?"

   Ping-gwan mempercepat serangannya.

   Bret, lengan baju pengawal itu kenal dibabatnya.

   Untung karena kuatir melukai Khik-sia, Ping-gwan tak mau turunkan serangan keras.

   Coba tidak, dada pengawal itu tentu sudah terbelah.

   Tapi adalah karena harus bertempur dengan hati-hati itu, Ping-gwan tak berhasil merampas Khik-sia.

   "Sudah tentu paman yang menyuruh aku membawa orang itu. Kau berani banyak tanya lagi? Apakah aku tak menganggap aku sebagai nyonya tuanmu?"

   Tiau-ing pura-pura marah besar. Pertama, karena tak berani menyangka kalau Tiau-ing berbohong. Kedua, karena rangsangan Ping-gwan, terpaksa ia serahkan Khik-sia pada Tiau-ing.

   "Baik, sambutlah!"

   Teriaknya seraya lemparkan tubuh Khik-sia.

   "Siluman perempuan, kau masih belum puas mencelakainya?"

   Damprat Ping-gwan dengan murka.

   Ia loncat menerjang tapi disambut dengan tabasan golok oleh Tiau-ing.

   Kedua pengawal itupun lantas menyerang Ping-gwan.

   Hampir saja Ping-gwan termakan golok Tiau-ing.

   Pada waktu ia menghindar, Tiau-ing tertawa gelak-gelak seraya menyambuti tubuh Khik-sia.

   Seperti mendapat pusaka berharga, Tiau-ing segera keprak kudanya dan membawa kabur Khik-sia.

   Karena Khik-sia sudah tak berada di situ, Ping-gwan pun tak bernafsu lagi.

   Setelah mendesak mundur kedua pengawal baju kuning, iapun lantas tinggalkan tempat itu.

   Cerita Ping-gwan itu menggelisahkan hati sekalian orang.

   "Keparat! Akulah yang bersalah karena terlalu memanjakan budak perempuan itu,"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Shin Ci-koh.

   "Karena tak dapat berkutik, Khik-sia tentu tak dapat berbuat apa-apa dibawa menurut kemauan siluman wanita itu,"

   Yak-bwe cemas.

   "Ai, jangan kuatir, justeru karena Khik-sia tertutuk jalan darahnya, ia tentu tak kena apa-apa,"

   In-nio tertawa.

   Sebenarnya yang dikuatirkan Yak-bwe ialah kalau tunangannya kena terpikat rayuan Tiau-ing.

   Karena isi hatinya ditebak In-nio, tersipu-sipulah wajah Yak-bwe.

   Wi Gwat menyatakan bahwa harus lekas-lekas dilakukan pengejaran terhadap Tiau-ing.

   Setelah lukanya diobati, Ping-gwan menyatakan ikut dalam pengejaran itu.

   Akhirnya mereka berlima membagi diri dalam tiga jurusan.

   Wi Gwat dan Ping-gwan, karena kepandaiannya tinggi, masingmasing berjalan seorang diri.

   Sedang Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu satu jurusan.

   Begitulah mereka berangkat ke arah timur, selatan dan barat.

   Diceritakan setelah menawan Khik-sia, Tiau-ing larikan kudanya secepat mungkin.

   Kudanya kuda pilihan hasil rampasan Se-kiat.

   Kekuatannya tak kalah dengan kuda pemberian Cin Siang kepada Thiat-mo-lek itu.

   Mendaki gunung melintasi sungai seperti di tanah datar saja.

   Luas area gunung Hok-gu-san itu di antara 500-an li.

   Karena sehari penuh terus lari nonstop, maka menjelang mahgrib Tiau-ing sudah mencapai 300 li.

   Dari situ memandang ke bawah, tampaklah padang datar di kaki gunung.

   "Punya sayap sekalipun tak mungkin piauko-mu Thiat-mo-lek mengejar kemari. Baiklah malam ini kita bermalam di dalam hutan siong sini, besok pagi baru turun gunung."

   Tiau-ing tertawa seraya menjinjing Khik-sia ke dalam hutan pohon siong.

   Walaupun tak dapat berkutik, tapi pikiran Khik-sia masih sadar.

   Diam-diam ia mengeluh membayangkan apa tindakan yang akan dilakukan Tiau-ing nanti.

   Di dalam hutan masih terdapat gundukan salju yang belum lumer.

   Ditingkah cahaya rembulan, tampaklah seperti permadani putih bertebar di bumi.

   Tampak Tiau-ing kerutkan alis.

   Wajahnya yang tengah merenungkan sesuatu, memancarkan mimik seperti minta dikasihani.

   Khik-sia meramkan matanya.

   Tak mau ia memandang wanita itu.

   Pikirnya.

   "Apa yang hendak dibicarakannya? Sayang seorang wanita yang secantik itu, mempunyai hati yang culas."

   Kedengaran Tiau-ing menghela napas dan berkata seorang diri.

   "Se-kiat, bukannya aku bermaksud mengkhianatimu, tetapi kau harus mengerti dan memaafkan kegelisahan hatiku."

   Heran Khik-sia dibuatnya.

   Nyata-nyata Tiau-ing masih merindukan suaminya.

   Tapi Se-kiat toh sedang menghadapi saat-saat yang menentukan nasibnya.

   Mengapa bukannya mendampingi sang suami sebaliknya wanita itu menculiknya (Khik-sia) ke tempat jauh? Terdengar derap kaki makin menjauh.

   Karena herannya Khik-sia membuka mata.

   Ai, ternyata Tiau-ing pergi.

   "Apa artinya ini? Apakah ia hendak berolol-olok padaku?"

   Ia makin heran.

   Khik-sia diam-diam salurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya.

   Tetapi tutukan Bo Jonglong memang istimewa benar.

   Walaupun lwekang sudah dapat menyalur tetapi jalan darahnya yang tertutuk masih tetap belum dapat terbuka.

   Sampai sekian lama Khik-sia berusaha sekuat-kuatnya.

   Pada saat ia sudah hampir berhasil, tiba-tiba terdengar derap kaki menghampiri.

   Tiau-ing muncul dengan menjinjing sebuah kantong kulit.

   Ujung goloknya berhias dua ekor ayam hutan.

   Kiranya tadi ia pergi berburu.

   "Sayang! Kalau jalan darahku belum terbuka ia tentu tak mau melepaskan,"

   Diam-diam Khiksia menyumpahi.

   "Sehari penuh kau tak minum tak makan, tentu lapar. Minumlah dulu air ini, nanti kupanggangkan ayam hutan untuk makanmu,"

   Kata Tiau-ing dengan nada lembut.

   Dalam hati Khik-sia menolak tapi karena jalan darahnya masih tertutuk, terpaksa ia biarkan saja.

   Tiau-ing membuka kantong kulit yang ternyata berisi air jernih.

   Sekali memijat pipi Khik-sia sehingga mulutnya ternganga, Tiau-ing lantas mencurahkan air itu ke dalam mulut si anak muda.

   Khik-sia gelagapan.

   Darahnya merangsang keras dan ....

   terbukalah jalan darahnya yang tertutuk itu.

   Cepat ia gunakan ginkang, lari menghampiri kuda.

   Tapi baru beberapa langkah, tibatiba kepalanya terasa puyeng, kakinya lentuk dan napasnya terengah-engah.

   Tiau-ing cepat melesat datang.

   Sekali mendorong pelahan-lahan saja, rubuhlah Khik-sia ke tanah.

   "Beristirahatlah, kau sudah tak dapat bertenaga lagi,"

   Tiau-ing tertawa. Khik-sia kaget bercampur marah. Ia berusaha bangkit dan memaki.

   "Kau, kau siluman wanita hendak mengapakan diriku?"

   Tiau-ing menekan pundak Khik-sia dan terkulailah anak muda itu.

   "Tidak apa-apa, aku hanya menaruh Soh-kut-san (obat pelunak tulang) dalam air tadi. Masih ingat tempo hari kau pernah kutawan berkat bantuan Soh-kut-san? Tetapi kali ini aku berjanji tak gampang-gampang memberi obat penawarnya."

   "Su Tiau-ing, mengapa kau selalu hendak mencelakai diriku?"

   Teriak Khik-sia dengan murka.

   "Suamiku mati di tanganmu. Apakah tak layak kau menerima sedikit siksaan dariku?"

   "Bagaimana kau tahu suamimu sudah mati? Toh sejak pagi-pagi kau sudah melarikan aku. Terang kau tak hadir dalam rapat itu!"

   "Terus terang kuberitahukan padamu bahwa pamannya Se-kiat itu sudah tak mau membantunya lagi,"

   Jawab Tiau-ing.

   "Tapi toh belum pasti kalau suamimu tentu meninggal. Aku tahu bagaimana rencana piauko-ku Thiat-mo-lek. Dia hanya bermaksud supaya suamimu sadar akan kesalahannya. Sekali-kali tidak menghendaki jiwanya. Andaikata suamimu berkeras kepala, toh paling-paling hanya dicopot dari kedudukannya sebagai bengcu saja. Siapa bilang Thiat piauko mau membunuh suamimu?"

   Tiau-ing menghela napas.

   "Kau hanya tahu tentang rencana piauko-mu tetapi tak tahu bagaimana watak suamiku. Sebagai seorang yang berhati tinggi mana dia mau menerima hinaan semacam itu? Kurasa saat ini dia tentu sudah bunuh diri! He, he, tahukah kau sekarang apa sebabnya kutawan kau kemari?"

   Khik-sia seram dengan nada tertawa Tiau-ing.

   "Mau apa kau? Apa mau membunuh aku sebagai balas dendam kematian suamimu?"

   Tanyanya. Sahut Tiau-ing dingin.

   "Sekalipun Se-kiat tidak langsung mati di tanganmu, tapi sebagian besar kaulah yang menjadi gara-gara. Tetapi aku tak mau membunuhmu. Aku menginginkan supaya kau menemani aku!"

   "Bunuhlah aku saja!"

   Teriak Khik-sia seperti orang kalap. Tiau-ing memberi sebuah kicupan mata yang mengasih. Tertawalah ia.

   "Khik-sia, apa kau kira karena teringat akan hubungan kita yang lampau, aku lantas tak sampai hati membunuhmu? Tidak! Aku menikah dengan Se-kiat dan akupun berusaha untuk menjadi isterinya yang baik. Tindakanku sekarang ini, kesemuanya demi untuk kepentingan Se-kiat."

   Tak mengerti Khik-sia kemana jatuhnya perkataan nona itu. Tapi diam-diam ia berjanji dalam hati, kalau Tiau-ing benar-benar berbuat untuk kepentingan suaminya, ia bersedia memaafkan wanita itu. Tapi ai sangsi itikad baik Tiau-ing.

   "Apa maksudmu, aku masih belum mengerti?"

   Tanyanya. Wajah Tiau-ing memerah, ujarnya.

   "Ya, aku terpaksa tak malu-malu lagi kepadamu. Di dalam perutku sekarang ini terisi anak Se-kiat yang baru berumur tiga bulan. Kutahu kamu semua membenci diriku. Suhuku, suhengmu, Thiat-mo-lek, Hong-git Wi Gwat dan kawan-kawanmu semua ingin membunuh aku ...."

   "Tidak, jika mereka tahu kau sedang mengandung tentu takkan membunuhmu,"

   Buru-buru Khik-sia menyatakan! Tiau-ing tertawa tawar.

   "Aku tak percaya pada siapa saja. Kau kira sepatah katamu tadi dapat menjamin jiwaku. Dan dengan begitu karena percaya pada ucapanmu aku lantas melepaskanmu? Tidak, bagiku satu-satunya jaminan untuk melindungi jiwaku ialah dengan menawan dirimu!"

   Khik-sia mengeluh dalam hati.

   "Karena wataknya ganas, ia tentu banyak curiga. Ia mengukur orang lain menurut ukuran hatinya sendiri. Untuk menyakinkan wanita ini, tentu akan makan waktu lama."

   "Khik-sia,"

   Tiba-tiba Tiau-ing berkata pula.

   "aku terpaksa meminta pengorbananmu. Kau harus menemani aku. Kau tentu sudah bagaimana kelihayan obat Soh-kut-san itu. Jika tak mendapat obat penawarnya, dalam waktu sebulan kau akan mati secara pelahan. Tetapi dengan ikut padaku, setiap setengah bulan, akan kuberimu separuh pil penawar agar jiwamu lebih panjang. Kau tak bisa gunakan ilmu silatmu lagi tapi kau masih tetap mempunyai tenaga untuk menemani barang kemana aku pergi. Kelak apabila anakku sudah berumur tiga tahun baru akan kuberimu kebebasan penuh untuk pulang menemui tunanganmu nona Su. Kawan-kawanmu tentu tak berani membunuh aku. He, he, jika mereka sampai berbuat yang tidak-tidak, kaulah yang akan kubunuh dulu. Kuberjanji setelah anakku berumur tiga tahu, kau tentu akan kusembuhkan. Pada waktu itu jika kau hendak membunuh aku karena mendendam atas perbuatanku itu, akupun tak keberatan."

   "Ah, tak usah kau berbuat begitu. Jika Se-kiat benar sudah mati, asalkan bertobat dan kembali ke jalan yang benar, mengasuh anakmu dengan baik-baik sebagai seorang ibu yang bijaksana, mereka tentu takkan mendendam padamu,"

   Kata Khik-sia.

   "Bagus, jika kau masih simpati dan kasihan padaku. Kuminta kau lakukan sebuah hal bagiku."

   "Apa?"

   "Selama dalam perjalanan kau harus menggunakan sebutan suami-isteri padaku,"

   Kata Tiau-ing.

   "Kau gila!"

   Teriak Khik-sia.

   "Ai, kau memang buta perasaan. Coba pikirlah. Seorang pria dan seorang wanita bersamasama dalam perjalanan. Terus terang saja aku tak dapat membiarkan kau berjalan terpisah jauh-jauh dariku. Di waktu bermalam di hotel, kita harus tinggal sekamar. Jika tidak memakai sebutan suami isteri, apakah tidak akan menimbulkan kecurigaan orang?"

   Nyata hati Tiau-ing gundah sekali.

   Memang benar rencana menawan Khik-sia itu untuk menajmin keselamatan dirinya dan calon bayinya.

   Tetapi pun rasa cintanya terhadap Khik-sia nyata belum padam.

   Bahwa mulutnya selalu menekankan kalau perbuatannya diperuntukkan kepentingan Se-kiat, itu hanya untuk menghilangkan kecurigaan Khik-sia saja.

   "Jangan, jangan! Bagaimanapun juga, aku tak mau berbahasa suami-isteri dengan kau!"

   Khiksia merah mukanya. Sekonyong-konyong terdengar orang tertawa geli dan berseru.

   "Nona Su, kalau budak itu tak mau menjadi suamimu, biarlah aku yang mewakili!"

   Sebuah bayangan loncat dari atas pohon. Kepalanya lancip, pipi tirus seperti monyet. Ai, kiranya Ceng-ceng-ji.

   "Kunyuk tua, kau berani kurang ajar terhadap aku?"

   Tiau-ing marah.

   "Toh kau mencuri suami? Pura-pura atau suami sesungguhnya, aku bersedia melamar,"

   Sahut Ceng-ceng-ji.

   "Begitulah manusia yang mengaku bersahabat baik dengan Se-kiat? Cis, tak tahu malu!"

   Damprat Tiau-ing.

   "Ceng-ceng-ji, muka suhu telah kau lumuri kotoran. Mengapa kau berani menghina seorang wanita yang tengah hamil? Jika toa-suheng tahu, pasti dia akan mencabut tulangmu, dan membeset kulitmu!"

   Khik-sia turut memaki.

   "Huh, jiwamu sekarang berada di tanganku, masih berani membacot!"

   Sahut Ceng-ceng-ji. Khik-sia tak berdaya. Sekali Ceng-ceng-ji menutuk jalan darah pembisunya, iapun tak dapat bersuara lagi. Sehabis itu Ceng-ceng-ji berpaling dan tertawa meringis.

   "Nyonya Bo, sia-sia saja kau paksa budak itu menjadi suamimu. Hm, hm, mengapa begitu jerih payah? Kau bukan wanita terhormat, akupun bukan lelaki baik. Setali tiga uang , cocok!"

   Mengkal dan murkan sekali Tiau-ing. Biarpun ia banyak akal, tapi pada saat itu ia belum dapat menemukan akal untuk menghadapi Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji terbahak-bahak.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah karena budak itu berparas cakap dan aku jelek, kau lantas menampik aku?"

   "Jangan ngaco belo! Kutawan dia karena untuk barang tanggungan. Ah, paman Ceng-ceng, peribahasa mengatakan. asal masih ada sinar matahari, kemudian hari tentu dapat bertemu lagi. Harap kau lepaskan tangan, siapa tahu kelak kemudian hari kita masih dapat bekerja sama,"

   Kata Tiau-ing.

   "Itulah baru pantas. Baiklah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh. Aku tak menjadi suamimu, tak apa. Tetapi budak itu harus diserahkan padaku."

   Tiau-ing terperanjat.

   "Apa? Kau mau membawanya? Kiranya kau juga menaruh minat padanya!"

   "Benar, memang ucapan budak itu benar. Aku memang takut ancaman Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh, maka aku hendak mengambilnya sebagai barang tanggungan."

   "Nanti dulu, paman Ceng-ceng. Mari kita berunding lagi,"

   Buru-buru Tiau-ing menyusuli kata kata.

   "Berunding apa? Apa kau suka pura-pura menajdi suami-isteri dengan aku?"

   Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa.

   Akhirnya ia menawarkan untuk bersama-sama membawa Khik-sia.

   Ia insyaf kepandaiannya kalah dengan Ceng-ceng-ji.

   Walaupun tak senang tetapi ia terpaksa gunakan siasat begitu.

   Atas pertanyaan Ceng-ceng-ji kemana rencana Tiau-ing hendak membawa Khik-sia nanti, Tiauing mengatakan.

   "Aku hendak mencari suhuku yang satunya Hoan Gong hwatsu."

   Hoang Gong hwatsu adalah kepala biara Ogemi di Cenghay.

   Dahulu waktu tentara Su Su-bing berpangkalan di Cenghay, dia bersekutu dengan paderi itu.

   Hoan Gong hwatsu suka akan kecerdikan Tiau-ing dan mengambilnya sebagai murid luar biasa.

   Yaitu tidak seperti hubungan guru dan murid pada umumnya.

   Walaupun ilmu silat Hoan Gong hwatsu tinggi, tapi karena Tiauing masih kecil maka tidak diajari ilmu silat.

   Seluruh kepandaiannya didapat dari Shin Ci-koh.

   Sekalipun demikian Hoan Gong tetap sayang pada Tiau-ing.

   Beberapa tahun yang lalu,ketika Su Tiau-gi (kakak Tiau-ing) hendak menggerakkan pemberontakan lagi, Hoan Gong pernah datang menjenguk Tiau-ing.

   Kala itu ketika Tiau-ing menawan Khik-sia hidup-hidup, pun dibantu oleh paderi itu.

   Ceng-ceng-ji pun kenal lama dengan Hoan Gon, tetapi hubungan mereka tak rapat.

   Ia girang dengan keterangan Tiau-ing itu.

   Pikirnya.

   "Kini aku sedang keputusan jalan. Sebenarnya tujuanku hendak menggabung pada Leng Ciu siangjin. Tetapi karena tempo hari ia dikalahkan Shin Ci-koh, ia tentu tak mau menerima aku. Hoan Gong hwatsu lebih sakti, apalagi dia masih mempunyai beberapa suheng dan sute yang tak kalah lihaynya. Jika aku dapat meneduh dalam lindungannya, itulah yang paling tepat. Asal aku dapat menggenggam Khik-sia, biar Tiau-ing banyak muslihat, tapi tak usah kuatir dapat mencelakai diriku."

   Dari air mukanya, Tiau-ing tahu kalau Ceng-ceng-ji setuju. Diam-diam ia muak dengan tampang eng-ceng-ji, namunia tahankan hati. Ujarnya.

   "Paman Ceng-ceng, kita bersama-sama mengamat-amati anak muda ini. Tetapi selama dalam perjalanan kau harus menurut sebuah perjanjianku."

   Waktu Ceng-ceng-ji menanyakan, Tiau-ing menjawab.

   "Dalam perjalanan kita bertiga harus pura-pura satu keluarga. Terpaksa agak mencemoohkan paman Ceng-ceng sedikit. Kuminta kau menjadi seperti bujang kami."

   Ceng-ceng-ji memoncat kaget.

   "Apa? Aku disuruh jadi bujang? Mengapa tak jadi suami atau sekurang-kurangnya jadi ayah saja?"

   "Telah kukatakan aku tak mau bersandiwara menjadi suami isteri denganmu. Kalau jadi ayah, ah, wajahmu terpaut jauh sekali. Cobalah berkaca, bagaimana bentuk wajahmu itu? Maka yang paling tepat, jadi bujang saja,"

   Kata Tiau-ing. Ceng-ceng-ji menggumam, belum membuka mulut Tiau-ing sudah berkata lagi.

   "Budak itu sudah termakan obat Soh-kut-san, hanya aku yang mmepunyai obat penawarnya. Jika kau cobacoba menculiknya, tak sampai sebulan dia tentu mati tanpa sakit. Paman Ceng-ceng, aku takut hukuman suhuku dan kau takut suhengmu membunuhmu. Jadi kita senasib. Asal kita dapat memiliki anak muda itu sebagai barang tanggungan, ya sekalipun kau harus menerima sedikit cemoohan, tapi kita tentu akan selamat."

   Ceng-ceng-ji tergelak-gelak.

   "Baiklah, nyonya Bo. Kau memang cerdik, aku menurut saja. Tetapi akan kau ujikan apa bocah itu? Apakah hendak kau jadikan suami tetiron?"

   "Menjadi adikku yang bisu. Setiap kali sebelum menginap di hotel, tutuklah jalan darah pembisunya. Sebagai bujang kau boleh tidur bersamanya. Bukankah baik pengaturan itu?"

   Sahut Tiau-ing.

   Mati hidupnya Khik-sia itu tak berarti apa-apa bagi Ceng-ceng-ji.

   Yang penting ia sekarang mendapat jalan bonceng Tiau-ing untuk mencari perlindungan pada Hoan Gong hwatsu.

   Maka dapat menyetujui rencana Tiau-ing itu.

   Begitulah setelah terdapat persepakatan, Ceng-ceng-ji lantas memanggul Khik-sia.

   Ia tertawa mengejek.

   "Bocah bagus, bukankah ji-suhengmu memperlakukan kau baik-baik? Beberapa kali kau menghina dan memaki aku, tetapi aku teap suka merawatmu."

   Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa.

   Tapi diam-diam ia terhibur juga.

   Dengan ikut sertanya Ceng-ceng-ji jauh lebih baik daripada kalau menempuh perjalanan seorang diri dengan Tiau-ing.

   Paling tidak ia dapat terhindar dari rayuan wanita itu.

   Pikiran Khik-sia jadi tenang, ia pasrah pada nasib.

   Dengan gunakan gin-kang, Ceng-ceng-ji dapat mengimbangi lari kuda Tiau-ing.

   Mereka menempuh perjalanan siang malam.

   Setelah keluar dari daerah Hok-gu-san, mereka menuju ke Ceng-hay.

   Sekarang mari kita ikuti rombongan yang mencari jejak Khik-sia.

   Lebih dulu kita tinjau Coh Ping-gwan.

   Kudanya juga kuda istimewa, walaupun masih kalah dengan kuda Tiau-ing.

   Hanya jurusan yang diambilnya, memang tepat.

   Sayang jarak mereka makin lama makin terpisah jauh.

   Hari ketiga Ping-gwan baru keluar dari daerah Hok-gu-san.

   Di kaki gunung ia berpapasan dengan seorang penebang pohon.

   Ia mencari keterangan orang itu.

   Kebetulan pagi harinya ketika Tiau-ing turun gunung, penebang itu melihatnya.

   Ia heran melihat seorang kunyuk besar memanggul seorang pemuda, berlari mengejar seorang wanita muda yang naik kuda.

   Ping-gwan menduga, kunyuk yang dimaksudkan si penebang pohon itu, tentulah Ceng-ceng-ji.

   Ia makin gelisah dibuatnya.

   Hari itu ketika Ping-gwan tiba di tempat pos pemberhtian di kaki gunung, tiba-tiba ada dua penunggang kuda mencongklang datang dengan pesat sekali.

   Kedua penunggang itu berpakaian seperti orang asing.

   Ping-gwan buru-buru mengejar.

   Kini makin jelas.

   Ia terkejut girang.

   Kedua orang asing itu bukan lain anak buah U-bun Hong-ni yang dahulu pernah mencuri kudanya (Pinggwan dan Khik-sia).

   Ping-gwan teringat, Tiau-ing pernah coba merapati Hong-ni.

   Ia kuatir jangan-jangan wanita itu akan menggabung pada Hong-ni.

   Waktu ia hendak keprak kudanya mengejar, dari belakang kembali datang dua penunggang suku asing lagi.

   Yang satu seorang berumur 20-an tahun, berpakaian mentereng seperti bangsawan.

   Yang satu seorang pertengahan umur.

   Rupanya pengawal pemuda tadi.

   Kedua anak buah Hong-ni congklangkan kudanya makin keras.

   Pemuda mentereng berseru keras.

   "Hai, berhentilah!"

   Tetapi kedua anak buah Hong-ni itu malah semakin mencongklang pesat.

   "Kurang ajar, berani membangkang perintahku!"

   Ia keprak kudanya mengejar.

   Kini Ping-gwan baru tahu kalau mereka itu bukan sekawanan.

   Ia duga pemuda itu tentu bangsawan Hwe-ki yang berpengaruh.

   Ia pun keprak kudanya membuntuti.

   Tiba di pinggir hutan, didengarnya di dalam hutan seperti ada orang bertengkar.

   "Hai, budak yang tak tahu mati. Di mana nona majikanmu sekarang? Bilang lekas, kalau tidak tentu kucabut jiwamu!"

   Pemuda itu marah-marah.

   "Lebih baik kami dipenggal kepala tetapi di mana tempat beradanya nona, tak dapat kukatakan padamu,"

   Sahut kedua bujang itu.

   "Budak kurang ajar, kamu hendak berontak!"

   Teriak pemuda itu.

   "Ya, memang kami budak tetapi hanya budak dari nona kami, bukan budak bangsamu Hwe-ki!"

   Tiba-tiba kedua bujang itu berseru keras.

   "Pemberontak, tangkap kedua budak hina ini!"

   Seru si pemuda. Kedua bujang tadi hendak menerjang, tapi cukup dengan sebuah ingsaran tubuh, mereka menubruk angin.

   "Kalian tak berharga bertempur dengan aku,"

   Pemuda itu tertawa menghina. Diam-diam Ping-gwan terkejut melihat gerakan si pemuda.

   "Rubuh!"

   Sebelum kedua bujang yang terhuyung-huyung itu sempat berdiri tegak, kaki kiri si pemuda mengait dan tangan kanannya menghantam. Yang kena terkait, terjerembab jatuh. Yang kena kepukul, mendekap pinggangnya sambil berjongkok.

   "Tahu rasa, sekarang? Jika kalian kepingin mati, nanti tentu kukirim. Ruyung kiau-pian ini dapat memecahkan dagingmu sampai busuk, coba saja kalau kalian tetap tak mau memberitahu,"

   Pemuda asing itu tertawa sinis. Bermula Ping-gwan tak mau campur tangan. Tapi demi mendengar percakapan mereka, ia tak kuat menahan kemarahannya lagi. Segera ia lari menghampiri dan berseru.

   "Hak apa kau hendak menghina orang?"

   Pemuda bangsawan itu terkesiap melihat ada orang muncul dari dalam hutan.

   "Siapa? Kau berani turut campur urusanku!"

   Bentaknya seraya ayunkan ruyung.

   "Enyah!"

   Ping-gwan menyambut dengan tangan kiri hendak merampas ruyung.

   Tetapi di luar dugaan, permainan ruyung pemuda bangsawan itu aneh sekali.

   Ruyung melingkar seperti naga melilit dan dari arah yang tak diduga Ping-gwan, ruyung itu menghantamnya.

   Terpaksa Ping-gwan gunakan gerak Poan-hong-yan-poh (naga melingkar langkah) dalam detik-detik yang berbahaya, ia rubah pukulannya menjadi gaya menutuk.

   Pluk, ruyung kena dipentalkan.

   Tapi sekalipun begitu, tak urung ujung bajunya tersabat pecah.

   Si pengawal maju.

   "Siau-ong-ya, mengapa perlu meladeni bedebah itu. Biarlah hamba yang memberesinya!"

   Siau-ong-ya artinya anak raja.

   Jadi pemuda itu memang benar seorang pangeran atau anak raja dari Hwe-ki.

   Ia mengikan dan pesan Ih-sin, pengawalnya itu supaya berhati-hati.

   Rupanya pangeran itu tahu Ping-gwan seorang 'berisi'.

   Ih-sin memang panglima kenamaan dari suku Hwe-ki.

   Tapi sebenarnya ia tak begitu tinggi ilmu silatnya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat Ping-gwan dalam sekali gebrak saja kena disabat hancur lengan bajunya oleh junjungannya (pangeran), Ih-sin tak memandang mata padanya.

   Ping-gwan pura-pura mengunjukkan sebuah lubang kelemahan.

   Begitu Ih-sin maju, ia biarkan saja.

   Ih-sin seorang jago gumul (semacam judo).

   Begitu tangan kirinya disusupkan ke bawah siku Ping-gwan, sekali sentak tubuh Ping-gwan terangkat ke atas.

   "Ha, ha, bedebah ini hanya.... aduh!"

   Ih-sin mengganti ketawanya dengan jeritan mengaduh.

   Ternyata dengan gerak kilat, Ping-gwan mencengkeram pergelangan tangan lawan, sebelum si pangeran sempat menolong, dengan kecepatan luar biasa Ping-gwan memelintir lengan orang terus di balik tubuhnya dan dilemparkan sampai beberapa tombak jauhnya.

   "Aduh ...!"

   Kembali Ih-sin menjerit karena tempat jatuhnya kebetulan dalam sebuah semak-semak berduri. Kaki dan tangannya dimakan duri, ia tak dapat berkutik lagi.

   "Hai, kau orang Han, sungguh besar sekali nyalimu! Tahukah kau siapa aku? Sekalipun rajamu kalau bertemu aku tentu akan memberi hormat dengan khidmat. Tetapi kau berani melawan aku? Heh, heh, jika kau ingin merampas uang, aku suka memberimu beberapa tail perak. Dan kalau kau suka ikut padaku, itu yang paling baik lagi,"

   Kata si pangeran. Ia tak kenal siapa Ping-gwan. Dikiranya pemuda itu bangsa penyamun. Tapi diam-diam ia jeri juga akan kepandaian Ping-gwan. Ia pamerkan dirinya agar orang takut. Kemudian coba membujuknya.

   "Aku tak peduli siapa kau ini. Mungkin lain orang takut padamu, tetapi aku tidak. Kalau kau andalkan pengaruhmu untuk menghina orang, aku tak dapat tinggal diam,"

   Sahut Ping-gwan. Pangeran itu menggumam. Dengan mimik memandang rendah ia berkata pula.

   "Negeri Su-tho adalah negeri jajahan kami. Kedua bujang itu, orang sebawahan dari rakyat taklukanku. Hidup matinya terletak di tanganku. Mengapa kau salahkan aku menghina mereka? He, he, lucu benar."

   "Tutup mulutmu! Aku tak kenal kalian ini tuan atau budak. Yang kuketahui, mereka berdua itu adalah sahabatku. Jika kau berani menghinanya, aku terpaksa membuatmu tak bisa tertawa nanti. Pergilah, dengar tidak?"

   Masih pangeran itu tertawa menghina.

   "Kau bersahabat dengan mereka? He, he, itu namanya membikin merosot hargamu sendiri. Hm, tahulah aku, mungkin nona U-bun itulah yang sebenarnya menjadi sahabatmu."

   "Kalau benar, mau apa? Sudah jangan banyak omong, pergilah!"

   Rupanya pangeran itu merasa cemburu, ia tertawa sinis.

   "Oh, makanya ia selalu menyingkir dari aku. Hm, budak, aku ingin jiwamu!"

   Dirangsang oleh rasa cemburu, rasa jeri terhadap Ping-gwan hilang seketika.

   Ia tak menghiraukan segala apa dan menyerang Ping-gwan dengan ruyungnya.

   Kali ini Ping-gwan sudah siap.

   Memutar tumit kakinya, ia berputar.

   Tapi sang pengeran mengirim lagi tiga buah hantaman ruyung.

   Melihat lawan pandai ilmu silat, Ping-gwan tak berani meremehkan.

   Iapun segera mencabut golok pusakanya.

   "Kau iniraja atau budak, tetapi tanah orang Han sini tak mengijinkan kau berbuat sewenangwenang. Unjuk kegaranganmu di negerimu sendiri sana. Lihat golok!"

   Serunya.

   Ping-gwan keluarkan permainan golok yang terdiri dari 36 jurus.

   Ruyung dan golok bermain dengan cepat.

   Di sela-sela sambaran angin, terdengar beberapa kali suara menggeletar.

   Punggung Ping-gwan termakan dua buah cambukan tapi ruyung si pangeranpun kena terpapas kutung tiga kali.

   Tiap bagian dari permainan golok Ping-gwan terdiri dari 36 jurus.

   Setelah selesai, lalu bagian yang kedua yang juga terdiri dari 36 jurus.

   Kini ruyung pangeran Hwe-ki tak mampu mengenai lawan, sebaliknya Ping-gwan berhasil memapas lagi empat kali.

   Dengan begitu ujung ruyug itu hilang satu meteran.

   Ping-gwan lanjutkan dengan bagian yang ketiga yang juga berisi 36 jurus.

   Dalam babak ini, dia menang angin.

   Si pangeran terkurung dalam sinar golok.

   Ruyung makin pendek makin mudah terbentur golok.

   Boleh dikata setiap dua jurus, Ping-gwan tentu dapat memapas beberapa inci.

   Waktu bagian ketiga selesai, ruyung si pangeran tinggal seperempat meter.

   "Apa kau tetap tak mau melepaskan ruyungmu?"

   Bentak Ping-gwan seraya gunakan gigir golok menyodik siku si pangeran.

   Sodokan itu membuat si pangeran terpaksa lepaskan ruyungnya.

   Untung Ping-gwan tak mau membikin onar.

   Coba ia pakai mata golok, lengan si pangeran tentu sudah terpisah dari tubuhnya.

   Ping-gwan sarungkan goloknya dan berseru.

   "Apa masih mau berkelahi terus?"

   Wajah si pangeran berubah membesi. Matanya melotot memandang Ping-gwan. Tanpa menyahut ia putar tubuh dan berlalu. Saat itu Ih-sin bru berhasil keluar dari semak berduri. Ia menyongsong tuannya.

   "Siau-ong-ya, mengapa tak memberi hukuman pada kedua bujang itu?"

   Plak, si pangeran memberi sebuah tamparan ke pipi Ih-sin dan membentaknya.

   "Lekas naik kuda!"

   Kuda kedua orang Hwe-ki itu, kuda perang yang terlatih mahir. Begitu tuannya naik di punggungnya, binatang itu segera lari sepesat angin.

   "Pangeran itu patah sebuah tulang tangannya, paling tidak dalam satu bulan ia baru dapat menggunakan ruyung lagi. Biarlah dia pergi dan kalian perlu kuberi obat,"

   Kata Ping-gwan. Tubuh kedua bujang itu berlumuran luka, untung hanya luka luar. Tampaknya mengerikan tapi sebenarnya tak berbahaya. Setelah dilumuri obat oleh Ping-gwan, luka itupun berhenti mengucurkan darah.

   "Coh tayhiap, nona kami hendak membunuhmu. Pun kami mendapat perintah nona untuk mengepungmu. Mengapa kau balas kejahatan dengan kebaikan?"

   Kedua bujang itu terheran-heran. Ping-gwan tertawa.

   "Sebenarnya aku tak mempunyai dendam apa-apa dengan nonamu. Peristiwa dahulu, kalian tentu mengetahui juga. Jika mencari biang keladinya, yang membunuh ayah nonamu itu adalah bangsa Hwe-ki."

   Kedua bujang itu entah berapa kenyangnya menerima hinaan orang Hwe-ki. Mereka mengiakan.

   "Benar, karena tak mengerti duduk perkaranya, nona melimpahkan kesalahan padanya."

   "Rupanya siau-ong-ya itu hendak paksa menikah dengan nonamu. Bagaimana duduk perkaranya?"

   Tanya Ping-gwan. Kedua bujang itu menghela napas.

   "Adalah nona sendiri yang nasibnya sial, Ayah dari anjing pangeran tadi adalah paman dari raja Hwe-ki. Namanya Topace, menjabat sebagai tay-goanswe (jenderal besar) angkatan perang Hwe-ki. Dia merupakan orang yang paling berkuasa di negeri Hwe-ki. Anjing pangeran itu bernama Topayan. Dua tahun berselang ketika berburu nona telah berpapasan dengan dia. Setelah itu dia terus-terusan merayu, hendak mengambil nona jadi isterinya. Dengan alasan bahwa menurut adat istiadat Su-tho sebelum membalas dendam ayah tak dapat menikah, nona main mengulur waktu. Tahun ini ketika kerajaan Tay Tong minta bantuan pemerintah Hwe-ki untuk menindas pemberontakan, Topayan mengusahakan pamannya nona itu dapat kesempatan untuk membalaskan sakit hati ayah nona. Kemudian ia mendesak nona tinggal dalam rumahnya. Setelah sakit hati terbalas, segera lepaskan pakaian berkabung dan melangsungkan perkawinan. Nona tak sudi menerima anjuran itu. Ia menyatakan hendak melakukan permbalasan sendiri. Ia ajak kami lari ke Tay Tong."

   "Oh, kiranya ia mencari balas padaku itu karena ada sebabnya,"

   Kata Ping-gwan. Kedua bujang itu melanjutkan keterangannya.

   "Tak tersangka-sangka anjing pangeran itu juga menyusul langkah kami. Ia bertekad hendak membawa pulang nona. Mendengar berita itu, nona tak berani pulang dan tak berani menemui pamannya di Tiang-an. Ia membagi rombongan pengikutnya menjadi beberapa kelompok agar anjing itu bingung mencarinya. Kami berdua sejalan tapi lacur bertemu dengan anak pangeran itu. Coh tayhiap, kali ini banyak membikin repot padamu."

   "Kemana nonamu lari, aku perlu menemuinya,"

   Kata Ping-gwan. Kedua budak itu saling berpandangan. Beberapa jenak kemudian, baru mereka berkata.

   "Coh tayhiap, kami berhutang jiwa padamu. Kami percaya kau tentu tak bermaksud jelek terhadap nona. Baik-, kami akan memberitahukan. Nona pergi ke tempat kepala daerah In-ge-sau-meng yang bernama Popa ong-kong (raja suku). Dia menjadi saudara angkat dari raja kita dahulu. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengan nona. Keduanya amat baik sekali seperti saudara. Ketika tanah kami diduduki bangsa Hwe-ki, Popa dan puterinya pernah sekali datang membawanya pulang. Tetapi kala itu si anak pangeran belum memaksa nona untuk menikah. Dan pemerintah Hwe-ki sedang memerlukan tenaga paman nona. Karena itu nona berat meninggalkan rumah dan terpaksa menolak. Ah, jika tahu sekrang bakal begini, itu waktu lebih baik turut Popa ong-kong saja."

   "Tapi apakah ong-kong itu tak takut kepada pangeran Hwe-ki?"

   Tanya Ping-gwan. Waktu kecil Ping-gwan pernah ikut ayahnya ke Su-tho. Dalam perjalanan melalui daerah In-gesau- beng juga. Samar-samar ia masih ingat tempat itu.

   "Sekalipun belum mendapat berita Khik-sia, tak apalah kalau menjenguk Siau-ni dulu. Ia sungguh kasihan sekali nasibnya, mungkin aku dapat membantu memberi penjelasan dendam sakit hati yang tak keruan ini,"

   Pikirnya.

   Ia ambil selamat berpisah dengan kedua bujang Hong-ni dan seorang diri menuju ke barat.

   In-ge-sau-meng itu terletak di sebelah barat gunung Ki-lian-san, merupakan seubah padang rumput seluas seribu li.

   Setelah sebulan menempuh perjalanan akhirnya tibalah Ping-gwan di daerah itu.

   In-ge-sau-meng ternyata merupakan desa penggembala yang primitif.

   Rakyat penggembala itu tiada mempunyai tempat tertentu, pun rajanya (ong-kong) juga tak punya istana tertentu, melainkan perkemahan yang selalu berpindah-pindah.

   Setiap perintah dibawa oleh seorang petugas berkuda.

   Di daerah padang rumput itu untuk beberapa hari jarang berjumpa dengan orang.

   Dan kalau berjumpa, orang itupun tak tahu di mana perkemahan kepala mereka.

   Ping-gwan tak hiraukan rintangan-rintangan itu.

   Dia menjelajahi padang rumput mencari Popa ong-kong.

   Hari itu ketika sedang berkuda, tiba-tiba ia berpapasan dengan segerombolang penunggang kuda.

   Ping-gwan hendak mencari keterangan tetapi beberapa penunggang kuda yang berada di bagian depan saling kejar-kejaran.

   Dua orang penunggang kuda lari menghampiri Pinggwan.

   Tiba-tiba penunggang kuda yang belakang mencambuk yang di muka.

   Tetapi orang yang dicambuk itu ternyata pandai sekali berkuda.

   Ia keprak kudanya lewat di sisi Ping-gwan.

   Tar, cambuk mengenai Ping-gwan.

   Kawan-kawannya yang berada di belakang terdiri dari pemuda dan pemudi.

   Mereka tertawa riuh.

   Seorang pemuda menyanyi.

   "Kuda si anak laki cepat larinya, cambuk si nona keras pukulannya. Jatuh di badan sang kekasih, sakitkah hatimu? Aduh, cambukannya tak keras, tetapi kukuatir dia akan lari secepat angin."

   Kini baru Ping-gwan mengetahui bahwa yang mencambuknya tadi seorang gadis cantik. Gadis itu merah mukanya.

   "Ai engkoh, aku tak sengaja mencambukmu." - Kemudian berpaling mendamprat kawan-kawannya yang beryanyi tadi.

   "Cis, menjemukan. Sekarang toh belum saatnya bermain Kambing-liar? Simpanlah nyanyianmu nanti malam untuk Keke."

   Kawannya yang menyanyi itu tertawa.

   "Kau tak suka mendengar nyanyianku, masakan aku berani menyanyikan di hadapan Pekeke?"

   Thiau-yo atau Kambing liar, adalah permainan rakyat padang rumput.

   Semacam permainan menunjukkan kepandaian naik kuda dan meminang gadis.

   Setiap tahun baru atau malam Purnamasidhi (tanggal 15 bulan delapan) tentu diadakan permainan itu.

   Pemuda dan pemudi sama naik kuda.

   Yang laki di depan, yang perempuan di belakang.

   Jika si pemuda kena dikejar, si gadis boleh mencambuk sesukanya.

   Memang tak adil, tapi anak muda-muda itu memang lebih senang kalau dicambuki anak gadis.

   Karena gadis itu tak sembarang mencambuk.

   Hanya pemuda pujaan hatinya yang dicambuk.

   "Oh, apakah malam itu malam perayaan Purnama-siddhi?"

   Kata Ping-gwan. Sudah sebulan ia menempuh perjalanan sampai-sampai lupa sudah ia akan tanggal. Tapi ia ingat permainan Kambing-liar itu hanya dilakukan pada tahun baru dan pertengahan bulan delapan.

   "Eh, engkoh ini, menilik dandananmu kau tentu bukan suku kami? Dari mana kau?"

   Tanya pemuda yang menyanyi tadi.

   "Aku orang Han dari selatan,"

   Sahut Ping-gwan. Ia tahu bahwa rakyat In-ge-sau-meng itu ramah tamah terhadap tetamu asing.

   "Oh, makanya kau tak tahu. Malam ini Papo ong-kong menyelenggarakan perayaan Kambingliar. Dia suruh anak-anak muda datang. Kabarnya ia hendak mencari menantu untuk puterinya Pekeke."

   Kuatir Ping-gwan tak mengerti, salah seorang anak muda menjelaskan lagi.

   "Kami menyebut puteri ong-kong dengan panggilan Keke. Namanya Yangpe, puteri tunggal dari ong-kong."

   Rupanya anak perempuan yang mencambuk Ping-gwan tadi masih tak enak hati, ujarnya.

   "Engkoh orang Han, sukalah menjadi tetamu kita. Dapatkah kau menyanyi lagu-lagu kami? Biarlah kuajari kau menyanyi."

   Gadis-gadis padang rumput memang lebih supel dan ramah. Dia tahu kalau kawan-kawannya menertawakan, tapi tak dipedulikan. Ping-gwan tertawa.

   "Malam nanti aku hanya melihat-lihat keramaian Kambing-liar saja, tak turut main. Tetapi nyanyian kalian merdu benar, jika kau suka mengajari, sungguh menggembirakan sekali."

   Di dalam kawanan anak muda itu sebenarnya ada seorang yang diam-diam menaruh hati pada gadis itu.

   Mendengar Ping-gwan tak mau ikut main, legalah hatinya.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka iapun ikut juga mengajar Ping-gwan bernyanyi.

   Demikianlah perjalanan mereka amat menggembirakan sekali.

   Di sepanjang jalan menyanyi riang gembira.

   Menjelang petang, bulanpun mulai memancarkan cahyanya.

   Ping-gwan mengikuti rombongan anak-anak muda itu masuk ke dalam sebuah lembah.

   Lembah itu penuh direntangi rumput halus dan ditaburi dengan bunga-bunga terompet warna putih.

   Selayang pandang, bagaikan permadani yang bertaburan mutiara.

   Dekat gunung sana, terdapat rumput penuh dengan pemuda pemudi yang berkuda.

   Malah ada sementara yang memetik alat tetabuhan, menyanyi dan menari-nari.

   "Kita datang tepat waktunya. Terlambat sedikit saja tentu tak keburu nonton pertunjukan gumul,"

   Kata gadis yang mencambuk Ping-gwan tadi.

   Tari nyanyian-nyanyian, gumul dan thian-yo, adalah acara pokok dalam keramaian Purnamasiddhi itu.

   Setelah mengikat kudanya, Ping-gwan ikut kawanan anak muda itu memasuki lingkungan keramaian.

   Nona tadi membisiki.

   "Tuh, lihatlah, cantik tidak Yangpe keke kami? Tuh, di sana. Ya, benar, memang itu. Orang tua itu adalah ong-kong suku kami."

   Di depan kemah yang di tengah-tengah, duduk Papo ong-kong dan puterinya. Waktu Ping-gwan memandang dengan seksama, dilihatnya puteri itu mengenakan selendang tipis dan berpakaian warna putih. Kecantikannya sungguh sukar dicari tandingannya.

   "Engkoh orang Han, kau terpesona dengan keke kami? Tapi sayang, keke kami tak dapat menikah dengan orang Han,"

   Kata nona tadi demi melihat Ping-gwan terpikat. Padahal Ping-gwan hanya mencari-cari U-bun Hong-ni. Di antara beberapa dayang yang mengelilingi Yangpe, pun tak terdapat U-bun Hong-ni. oooooOOOOOooooo Ping-gwan putus asa, pikirnya.

   "Jika Siau-ni berada di sini, tentu bersama puteri itu. Mengapa ia tak kelihatan, apakah sudah pergi ke lain tempat?"

   "Jangan melamun, mari kita cari makanan,"

   Nona itu tertawa.

   Kiranya dalam keramaian itu selain ketiga acara pokok tadi, pun merupakan pesta ria.

   Di pohon-pohon digantungkan kambing-kambing kecil yang sudah dibakar dan kantong-kantong kulit berisi arak.

   Siapa saja boleh makan dan minum.

   Ping-gwan mencabut golok dan menirukan si nona mengiris daging kambing.

   Si nona mengambil kantong kulit, meminum seteguk lalu diberikan kepada Ping-gwan.

   "Arak ini agak masam, apakah kau suka minum?"

   Ping-gwan meneguk beberapa kali dan memuji enak.

   Tiba-tiba ia mendengar orang mendengus lirih.

   Ping-gwan tersirap, ia tak asing dengan nada suara itu.

   Buru-buru ia mendongak dan memandang ke empat penjuru.

   Karena kantong kulit tak disongsongkan ke atas, maka tumpahlah araknya.

   Buru-buru nona tadi mencekal kantong kulit, tegurnya.

   "Kau bagaimana, kehilangan semangat?"

   "Aku, aku hendak melihat-lihat kesana,"

   Sahut Ping-gwan. Kiranya yang didengarnya tadi ialah nada suara U-bun Hong-ni. Tetapi anehnya ia tak melihat orangnya.

   "Mau lihat apa? Jangan kemana-mana, pertandingan gumul akan segera dimulai!"

   Kata nona itu. Memang suara mudik di lapangan berhenti. Sekawanan anak muda maju ke tengah lapangan. Pertandingan gumul dimulai, semua hadirin sama menaruh perhatian. Terpaksa Ping-gwan sungkan untuk pergi.

   "Pertandingan gumul nanti direncanakan dalam delapan pasangan. Semua jago-jago pilihan dari suku kami. Orang menduga mungkin ong-kong akan memilih sang juara untuk menjadi menantunya,"

   Kata si nona.

   Pertandingan dimulai.

   Cengkam mencangkam, banting membanting, sodok menyodik berlangsung ramai.

   Cara bergumul berjalan dalam gaya bebas.

   Namun Ping-gwan tak ada minat menontonnya.

   Di tempat tambatan kuda, datang sekawan kuda terdiri dari empat orang.

   Orang-orang tak mempedulikan siapa-siapa yang datang itu karena perhatian mereka tengah dicurahkan pada jalannya pertandingan.

   Pertandingan berlangsung cepat.

   Pada saat keempat penunggang kuda itu datang, hanya tinggal dua pasang yang bertanding.

   Sebaliknya Ping-gwan terperanjat sekali melihat pendatang baru-baru itu.

   Kiranya keempat pendatang itu adalah si pangeran Topayan, pengawalnya Ih-sin, seorang pemuda yang lebih muda dari Topayan dan seorang lelaki yang sebaya dan serupa dandanannya dengan Ih-sin.

   Pemuda itu sikapnya angkuh.

   Dia berjalan di sebelah muka bersama Topayan, sedang Ih-sin dan orang itu menggiring di belakangnya.

   "Apakah dia juga mendengar berita dan hendak menawan Hong-ni? Biarlah, lihat saja bagaimana tindakannya nanti,"

   Ping-gwan menimang dalam hati.

   Kedatangan Topayan berempat itu tak mengejutkan para hadirin.

   Setelah menambatkan kuda merekapun menggabung dalam kalangan penonton.

   Saat itu pertandingan sudah mencapai final.

   Dua jago pemenang sedang bergulat seru.

   Mereka saling mencengkau dan menjegal.

   Yang seorang bernama Pasan yang satu Luse.

   Waktu Pasan berhasil memelintir lengan lawan, Lusepun dapat mengait kaki Pasan hingga tubuhnya menjorok ke muka.

   Dengan begitu merek terpencar lagi.

   Beberapa jurus, pertandingan tetap seri.

   Penonton memberi tepuk sorak pujian.

   Entah bagaimana tahu-tahu Luse dapat menyengkelit tubuh Pasan terus dibanting ke tanah.

   Gerakannya mengagumkan, bantingannya menyakinkan.

   Sorak-sorai penonton memecah angkasa.

   Selagi penonton menyangka kemenangan tentu di pihak Luse, tiba-tiba terjadi adegan yang luar biasa.

   Ketika kepala Pasan hampir mengenai tanah, secepat kilat kepalanya menyusup ke selakang dan mencekal kaki lawan.

   Dengan sebuah gemboran keras, Pasan meronta sekuat-kuatnya dan tahu-tahu Luse dijumpalitkan ke atas.

   Luse tak mampu berkutik lagi dan terpaksa mengaku kalah.

   "Kejadian itu membuat penonton melongo. Lain kejab terdengar sorak gegap gempita.

   "Bagus, bagus, akupun juga ingin turut ramai-ramai ini,"

   Sekonyong-konyong sebuah seruan melengking nyaring.

   Semua mata tertuju pada orang itu.

   Kiranya yang bersuara itu ialah pemuda kawan Topayan tadi.

   Ketiga kawannya mengikuti di belakangnya.

   Melihat pendatang itu, seketika berubahlah wajah Papo.

   Tersipu-sipu ia berdiri menyambut.

   Tengah para penonton tercengang-cengang, Papo berseru.

   "Pangeran Topahiong berkenan datang. Maaf, hamba terlambat menyambut."

   Kiranya pemuda itu adik dari putera mahkota hwe-ki.

   Namanya Topahiong.

   Ayah Topayan adalah pernah pamannya.

   Topahiong lebih muda dua tahun dari Topayan tapi kedudukannya lebih tinggi.

   Maka dialah yang mempelopori maju menemui Papo ong-kong.

   Walaupun daerah In-ge-sau-meng itu tak diduduki pasukan kuda Hwe-ki, tapi pernah diobrakabrik.

   Maka walaupun para rakyat In-ge-sau-meng menghormat kedatangan anak raja itu, tetapi dalam hati mereka tak senang.

   Diam-diam Papo ong-kong cemas.

   "Malam ini malam keramaian Purnama-siddi. Kudengar kau mengadakan keramaian Kambingliar, maka aku sengaja datang kemari. Jago-jagomu tadi hebat benar sampai aku tertarik untuk bermain-main dengannya,"

   Kata Topahiong. Jawab Popa ong-kong.

   "Ini, mungkin kurang baik. Keselamatan ongcu amat berharga, kalau sampai ...."

   Topahiong terbahak-bahak.

   "Jangan kuatir, ong-kong. Malah aku yang kuatir dia tak mampu membanting aku. Jika dia dapat membanting aku satu kali saja, akan kuhadiahinya seratus tail emas!"

   Habis berkata ia menghampiri ke muka Yangpe keke, memberi hormat.

   "Telah lama kudengar kecantikan keke laksana bidadari. Setelah menyaksikan sendiri, benar-benar memang melebihi bidadari. Apabila aku beruntung menang, harap kau sudi memberi hadiah padaku."

   Para penonton marah melihat tingkah laku pangeran yang kurang ajar itu.

   "Nanti kalau ongcu menang, kita bicara lagi,"

   Sahut Yangpe.

   "Bagus, bagus, bagus! Kalau begitu segera dimulai saja, ayo kemarilah!"

   Pangeran Hwe-ki itu melagak tertawa.

   "Biar dimarahi ong-kong, tapi aku takkan membiarkan bedebah Hwe-ki ini menghina pepe kami,"

   Diam-diam Pasan membulatkan tekad. Lalu berkata.

   "Ongcu adalah tetamu yang terhormat, silahkan!"

   Pasan mengira pangeran itu tentu mudah dibanting.

   Tapi di luar dugaan ternyata lihay sekali.

   Pangeran itu maju menyambar siku tangan orang.

   Jika kena, lengan Pasan tentu akan patah tulangnya.

   Pasan pentang kedua tangannya untuk mengacip lengan pangeran itu licin seperti diminyaki.

   Gebrak pertama tiada yang berhasil.

   Tapi diam-diam Pasan terperanjat.

   Begitulah keduanya segera mulai bergumul lagi.

   Ada kalanya merapat, ada kalanya terpencar.

   Belasan jurus, pun keduanya masih sama kuatnya.

   Beberapa kali tampaknya Pasan menang angin, tapi dalam detik-detik yang berbahaya Topahiong selalu dapat memecahkan ancaman lawan.

   Para penonton terheran-heran dan gelisah.

   Pasan sendiripun bingung memikirkan.

   Hanya Ping-gwan yang tahu rahasianya.

   Kiranya pangeran Hwe-ki itu memiliki ilmu silat tinggi.

   Pada saat menangkis serangan Pasan, Topahiong selalu gunakan lwekang melekat untuk menghapus tenaga orang dan diselingi juga dengan ilmu Kin-na-chiu (menangkap).

   Tapi pangeran itu juga mahir dalam ilmu gumul.

   Orang yang tak mengeri ilmu silat, tentu takkan mengetahui rahasia kelihayan Topahiong.

   Diam-diam Ping-gwan menilai.

   Dalam ilmu gumul terang pangeran itu tak menang dengan Pasan.

   Tapi ilmu silatnya lebih tinggi.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jika bertanding terus, Pasanlah yang akan kalah.

   Tapi pangeran itu menjadi tetamu agung dari Popa ong-kong, kalau ia (Ping-gwan) sampai menyalahinya, Popa ong-kong tentu mendapat kesukaran.

   Tiba-tiba Pasan mengeluarkan ilmu simpanannya.

   Ia turunkan tubuhnya menunggu si pangeran menyerang terus hendak disambar tumit kakinya.

   Tetapi ternyata kaki Topahiong itu seperti tumbuh akarnya.

   Pasan menindih sekuat-kuatnya tetap tak dapat menggoyangkan tubuh si pangeran.

   Tibatiba Topahiong balikkan tangan menyambar lengan lawan.

   Dengan gunakan ilmu Hun-kin-jo-kut (memelintir tulang), ia berhasil mematahkan sebuah tulang tangan Pasan.

   Pasan menjerit ngeri.

   Tahu-tahu tubuhnya diangkat Topahiong terus dibanting.....

   Suku In-ge-sau-meng sama terbeliak dan buru-buru lari menolong Pasan.

   Mata jago itu merah, mulutnya mengeluh.

   "Dia, dia tidak...." - Sebenarnya ia hendak mengatakan kalau Topahiong tidak menurut peraturan gumul. Tapi karena tak kuat, ia sudah pingsan. Orang-orang segera menggotongkan ke dalam kemah. Beberapa jago gumul merasa curiga tapi karena Topahiong tadi membanting dengan gaya gumul apalagi dia seorang pangeran Hwe-ki, maka merekapun tak berani membuka suara. Dengan kebanggaan, Topahiong menghadap ke muka Yangpe, ujarnya.

   "Keke, aku berhasil menang. Sekarang hendak minta hadiah darimu."

   Pangeran itu ulurkan tangan terus hendak menarik Yangpe.

   "Ongcu, berlakulah sopan sedikit!"

   Wajah Yangpe mengerut keren. Topahiong cekikikan.

   "Keke, aku hanya akan minta kepadamu untuk menari dengan aku. Menurut peraturan kami, sehabis menang bergumul, siapa yang diminta menari dengannya, tidak boleh menolak. Bukankah adat rakyatmu juga begitu?"

   Sekonyong-konyong Ping-gwan berbangkit, berjalan ke muka. Si nona yang pernah mencambuknya tersentak kaget.

   "Hai, mau apa kau?"

   Tetapi sudah kasip.

   Ping-gwan sudah tiba di hadapan Yangpe keke dan memberi hormat menurut adat rakyat In-ge-sau-meng.

   Puteri itu dongakkan kepala.

   Ping-gwan mengira tentu akan terkejut.

   Siapa tahu Yangpe tenang sekali wajahnya malah mengulum senyum dan berkata.

   "Kau seorang Han? Apa keperluanmu?"

   "Aku akan mohon tanya kepadamu, keke. Apakah aku juga diperbolehkan ikut dalam pertandigan gumul?"

   "Siapa kau? Apakah seorang katak busuk seperti kau juga ingin makan daging angsa?"

   Bentak Topahiong serta terus menjotos punggung Ping-gwan.

   Ping-gwan melangkah maju selangkah hingga tinju Topahiong menemui angin.

   Hampir saja pangeran itu terjorok ke muka.

   Ping-gwan gunakan gerak langkah Su-giong-poh-hwat (langkah empat gajah) untuk menghindari.

   Topahiong belum menyadari kalau pemuda itu berilmu tinggi, ia kira hanya secara kebetulan saja.

   Setelah berdiri jejak, pangeran itu berputar tubuh hendak mnyerang lagi tapi Yangpe berkata dengan serius.

   "Yang datang padaku, baik kaya atau hina, semua adalah tetamuku. Aku menghendaki para tetamuku sama-sama memegang peraturan, sama-sama menikmati kegembiraan pesta malam ini."

   Merah wajah Topahiong. Terpaksa ia telan kemarahannya. Yangpe berpaling dan berkata dengan nada riang kepada Ping-gwan.

   "Apakah kau juga mengerti bergumul? Kau ingin bertanding dengan ongcu?"

   Ping-gwan mengiakan.

   "Benar, jika keke mengijinkan, aku ingin menyumbangkan tenagaku, harap keke jangan menertawakan. Aku tak meminta hadiah apa, apa, juga takkan meminta keke supaya menari dengan aku. Jika beruntung menang, aku hanya ingin bicara beberapa patah perkataan dengan keke."

   "Kalian adalah tetamuku yang terhormat. Ongcu boleh ikut ambil bagian dalam pertandingan gumul, kaupun boleh juga. Siapa yang menang nanti, aku bersedia meluluskan permintaannya. Tapi entah apakah ongcu sudi bertanding dengan kau atau tidak? Jika ongcu tak mau, hal ini kuanggap tidak ada semua."

   Topahiong tersengsem dengan kecantikan Yangpe. Sudah tentu dia tak mau melepaskan kesempatan untuk menari bersama si cantik itu. Dia benci benar kepada Ping-gwan. Ingin sekali ia menghajarnya. Maka ia segera menerima.

   "Baik, kau budak yang tak tahu diri, mari!"

   Tetapi Topayan yang kenal pada Ping-gwan, buru-buru meneriaki.

   "Bagus, kau juga menyelundup kemari budak! Aku justeru hendak membikin perhitungan padamu."

   "Bagus, kalau begitu kalian berdua boleh maju bareng!"

   Sahut Ping-gwan.

   "Kau berani menghina aku? A-yan, menyingkirlah. Carilah pacarmu sana, jangan mengganggu aku,"

   Topahiong berseru murka.

   Begitu Topayan menyingkir, Topahiong segera mengerjakan Ping-gwan dengan sebuah kaitan tangan dan sodokan siku.

   Ping-gwan gunakan lwekang menghapus.

   Sebuah dorongan tangan untuk membuyarkan kaitan lawan dan lututnya diangkat untuk menumbuk perut orang.

   Topahiong terkejut.

   Buru-buru ia kempiskan dada dan papaskan tangannya ke lutut orang.

   Ping-gwan putar kakinya menghindar.

   Dua-duanya sama tak memperoleh hasil.

   Dari gebrak pertama itu, kedua pihak sama tak berani memandang rendah lawannya.

   Setelah mundur, Topahiong maju pula.

   Kedua lengan dipentang setengah melingkar untuk mengancam lengan lawan.

   Ping-gwan tahu kalau gerakan itu disebut jurus Jong-eng-can-ki (rajawali pentang sayap).

   Sebuah jurus dari ilmu Toa-kin-na-chiu.

   Tapi gerakan itu dimainkan begitu rupa oleh Topahiong hingga tak ubah dengan gaya orang bergumul.

   Langkah kaki Ping-gwan lincah sekali.

   Tiba-tiba ia berputar tubuh dan gunakan jurus Siat-koatan- pian (menggantung miring ruyung) untuk mengancam pergelangan tangan lawan.

   "Hai, gerakan apa yang kau lakukan ini?"

   Topahiong menggumam. Ia tekuk siku lengannya sambil condongkan tubuh ke kiri. Menghindar sambil menyerang. Jari Ping-gan meluncur di sisi, tangannya hanya terpaut setengah dim dari pergelangan tangannya.

   "Dan kau gunakan gerak apa itu?"

   Ping-gwan mendengus.

   Setelah saling merapat keduanya berpencar lagi.

   Jurus Siat-koa-tan-pian itu sebenarnya termasuk jurus maut dari ilmu pukulan Thian-kong-ciang dari partai Siau-lim-pay.

   Tapi karena dimainkan Ping-gwan secara cepat sekali, maka tampaknya seperti gaya bergumul saja.

   Sekalian penonton termasuk Yangpe sendiri, sama mengharap agar pangeran Hwe-ki itu dapat dirubuhkan.

   Jangan lagi mereka tak mengetahui bahwa gaya permainan Ping-gwan itu sebenarnya bukan ilmu bergumul, sekalipun tahu, mereka tetap menjagoi Ping-gwan.

   Seperti telah diterangkan di atas, Topahiong menyakinkan dengan serius ilmu bergumul.

   Sekalipun bukan termasuk jago kelas satu namun permainannya cukup lihay juga.

   Sedang Pinggwan hanya pernah belajar setengah tahun ketika ia masih kecil ikut ayahnya di Su-tho.

   Sudah tentu kalah mahir dengan Topahiong.

   Sekalipun dia juga menyusupkan ilmu lwekang dalam permainan gumulnya, tapi karena ia tak berani terlalu menonjolkan gerakan-gerakan yang bukan termasuk gumul, maka dalam pertandingan itu Topahiong-lah yang menang angin.

   Selagi dia mencari daya untuk merebut kemenangan tak terduga-duga tangan si pangeran dapat mendorong dan menekannya.

   Ping-gwan terputar hampir jatuh.

   Banyak di antara penonton yang berteriak tertahan.

   Di antaranya terdengar sebuah nada yang melengking tinggi seperti suara anak perempuan.

   "Tak salah, memang Siau-ni!"

   Pikir Ping-gwan.

   Saat itu kakinya belum berdiri tegak.

   Mendengar lengking suara itu, otomatis ia memandang ke jurusan suara tersebut untuk mencari Hong-ni.

   Dengan begitu perhatiannya terpencar dan ini suatu kesempatan bagus bagi sang lawan.

   Topahiong cepat kaitkan ujung kakinya.

   Begitu Ping-gwan sempoyongan mau jatuh, ia barengi menyambar lengannya dengan ilmu Hun-kin-jo-kut.

   Tetapi sayang, Ping-gwan bukan Pasan, maklum Pasan tak mengerti lwekang, maka mudah diremukkan tulangnya.

   Sebaliknya Ping-gwan hanya merasa kesemutan lengannya tapi tak sampai terluka.

   Keduanya bergerak cepat sekali.

   Sebelumpenonton tahu apa yang terjadi, tahu-tahu Ping-gwan beerseru 'rubuh' dan entah dengan gerakan bagaimana, si pangeran Hwe-ki sudah terpelanting ke tanah.

   Kiranya walaupun pikirannya terpencar tadi, tapi Ping-gwan masih dapat menguasai permainannya.

   Begitu si pangeran maju, cepat ia menutuk jalan darah di bagian rusuk pinggangnya.

   Benar lwekang Topahiong cukup tinggi, tapi dalam sekejab mata mana ia dapat menyalurkan lwekang membuka jalan darahnya itu.

   Sebelumnya rakyat In-ge-sau-meng mengharap-harap agar pangeran Hwe-ki itu terbanting.

   Mereka siap dengan sorak sorai bergembira.

   Tapi demi pangeran itu menggeletak di tanah tak berkutik, penonton sama menjerit dan pucat wajahnya.

   Kalau pangeran itu sampai mati, celakalah rakyat In-ge-sau-meng nanti! Topayan juga terkejut sekali.

   Pikirnya setelah pertandingan selesai, ia segera mencari Hong-ni.

   Tapi kini terpaksa ia harus menolongi saudara sepupunya itu dulu.

   Sebagai seorang yang mengerti silat, tahulah ia kalau Topahiong kena tertutuk jalan darahnya.

   Ia segera memijat jalan darah pembukanya.

   Berbareng itu Topahiongpun kerahkan lwekangnya.

   "Ai...."

   Topahiong berteriak lega.

   Tapi karena tutukan Ping-gwan tadi menggunakan Ciongchiu- tiam-hiat (tutukan keras), sekalipun jalan darahnya sudah terbuka namun peredaran darahnya masih belum lancar.

   Untuk sesaat pengeran itu masih belum dapat bicara.

   Tetapi karena nyata pangeran itu masih hidup, kini hilanglah kegelisahan rakyat In-ge-saumeng.

   Sebaliknya mereka tengah memberi pernyataan dukungan kepada Ping-gwan.

   "Dalam bertanding gumul, sudah tentu ada yang menang ada yang kalah. Yang kalah harus menyalahkan dirinya sendiri mengapa tak becus. Jangan menyalahkan siapa-siapa! - Dalam gelanggang pertandingan, tak ada perbedaan diapa kaya siapa hina. Mana boleh mengandalkan pengaruh untuk menghukum lawan!"

   Demikian sana sini terdengar ucapan-ucapan yang membela Ping-gwan, sebaliknya menyalahkan dan mengejek Topahiong. Tiba-tiba Yangpe berbangkit.

   "Tetamu agung tak kena apa-apa, tak usah saudara hadirin gelisah. Sekarang permainan thiau-yo dimulai!"

   Seekor kuda lari keluar dari sebuah kemah.

   Setelah memberi pengumuman, Yangpe pun loncat ke kudanya dan mengejar penunggang kuda itu.

   Melihat Yangpe mengejar seorang pemuda sambil membawa cambuk, sekalian orang menjadi terkesiap.

   Beberapa pemuda diam-diam putus asa.

   "Ah, kiranya keke sudah punya pilihan!"

   Tetapi mata Ping-gwan yang celi segera mengetahui bahwa pemuda yang dikejar Yangpe itu bukan lain U-bun Hong-ni dalam penyaruan sebagai seorang pemuda.

   Kawanan gadis sama naik kuda mengejar pemuda yang disetujuinya.

   Dalam kekacauan itu Ping-gwan pun juga loncat ke atas kudanya dan mencongklang keluar lembah menuju ke padang rumput.

   Rakyat In-ge-sau-meng segan mengganggu keke mereka yang tengah mengadakan rendervouz (pertemuan) dengan sang kekasih.

   Mereka sama bubaran mencari tempat sendiri-sendiri.

   Kini tinggal Ping-gwan seorang diri yang larikan kudanya mengejar Yangpe.

   "Perlu apa kau mengejar kemari?"

   Tegur Hong-ni dengan alis mengerut.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku hendak menyampaikan berita padamu. Urusanmu, aku sudah tahu semua. Tempo hari aku berpapasan dengan dua bujangmu...."

   "Akupun tahu tindakanmu menghalau Topayang, menolong bujangku itu,"

   Tukas Hong-ni.

   "Aku hendak menyampaikan berita, siapa tahu mereka sudah datang kemari. Siau-ni, bagaimana rencanamu hendak menghadapi hal itu?"

   "Urusanku, tak perlu kau urus. Kau sudah menyampaikan berita, silahkan pergi."

   Ping-gwan tak menyangka kalau nona itu sedemikian dingin kepadanya. Letikan api asmara yang baru mulai timbul hatinya, telah disiram air dingin oleh nona itu, Ping-gwan tegak seperti patung tak tahu apa yang harus dilakukan.

   "Siau-ni, kau yang salah. Orang datang dari ribuan li jauhnya dengan membawa itikad baik. Sebaliknya tanpa mengucapkan sepatah terima kasih kau malah mengusirnya. Mana ada aturan begitu macam? Coh tayhiap, atas pertolonganmu kepadaku tadi, terimalah pernyataan terima kasihku,"

   Kata Yangpe. Hati Ping-gwan menjadi tawar, ujarnya.

   "Siau-ni, aku sudah berterima kasih kalau kau sudah batalkan niatmu membunuh aku. Mana aku berani mengharap lebih banyak untuk menjadi kawanmu? Baik, selamat tinggal Siau-ni!"

   Air mata mulai mengembang di sudut pelaput Hong-ni. Pada lain saat pecahlah tangisnya. Ping-gwan tertegun dan buru-buru berputar diri.

   "Siau-ni, jangan menangis. Kalau ada omongan silahkan mengatakan!"

   Hong-ni menghapus air matanya. Dengan terisak-isak ia bertanya.

   "Coh toako, mengapa kau begitu baik kepadaku?"

   "Bukankah kita berkawan sejak kecil? Kalau kau mendapat hinaan orang, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"

   Berkata Hong-ni dengan nada rawan.

   "Coh toako, kau balas kejahatan dengan kebaikan. Dari tempat ribuan li jauhnya kau perlu menyampaikan berita padaku. Sebenarnya akupun merasa berterima kasih. Tapi apa daya aku telah minum arak darah di hadapan arwah ayahku...."

   "Ai, lagi-lagi kau begitu, Siau-ni,"

   Buru-buru Yangpe menyelutuk.

   "Bukankah sudah berkalikali kukatakan kepadamu? Mengapa kau tetap limbung saja? Ayahmu belum tentu terbunuh oleh ayahnya. Taruh kata dalam kekacauan pertempuran kala itu, tak sengaja ayahmu terluka, keterangan Coh siangkong ini benar sekali. Pada hakekatnya, orang Hwe-kilah yang menjadi garagaranya!"

   Yangpe seperti saudara dengan Hong-ni. Hong-ni telah menceritakan apa kata Ping-gwan kepadanya. Hong-ni diam saja. Kata Yangpe pula.

   "Dan aku masih menaruh kecurigaan. Jangan-jangan ayahmu itu telah dicelakai sendiri oleh orang Hwe-ki. Pertempuran itu dilakukan pada malam yang gelap. Pasukan berkuda Hwe-ki membantu ayahmu. Dalam rencana orang Hwe-ki untuk melenyapkan negerimu, ayahmu dianggap sebagai perintangnya yang besar. Maka dengan menggunakan kesempatan itu, dengan sebuah anak panah saja, bukankah cukup untuk membinasakan ayahmu?"

   "Ai, benar! Mengapa aku tak memikir sampai di situ? Itu namanya siasat 'sekali tepuk dua lalat'. Mereka dapat menghilangkan perintang, pula dapat menyuruh rakyat Su-tho benci kepada orang Han,"

   Seru Ping-gwan.

   "Kuharap mudah-mudahan begitu. Tetapi sekalipun tidak begitu sejak ini aku takkan menganggapmu sebagai musuh. Ai, aku tak hiraukan segala bisak-bisik orang lagi. Terima kasih, Coh toako,"

   Akhirnya Hong-ni memberi pernyataan dan berjabatan tangan. Lama nian tangan mereka saling merapat, hati berdebar. Yangpe menutupi mulutnya yang tertawa seraya menyingkir ke samping.

   "Siau-ni, bagaimana rencanamu menghadapi siau-ong-ya?"

   Tanya Ping-gwan.

   "Aku dikejar-kejarnya sampai bingung lari kemana? Entah tak tahu bagaimana untuk menghadapi dia. Coh toako, maukah kau memberi petunjuk?"

   "Memang, bersembunyi bukan cara yang baik. Cara yang manjur ialah mengenyahkan orang Hwe-ki dari negerimu,"

   Sahut Ping-gwan.

   "Ini.... hem, tidakkah kau mengetahui bahwa negeriku Su-tho itu kecil? Bagaimana dapat melawan Hwe-ki?"

   "Berapa jumlah tentara Hwe-ki yang menduduki Su-tho?"

   Tanya Ping-gwan.

   "Tiga ribu pasukan berkuda!"

   "Berapa banyak orang lelaki rakyatmu yang dapat berperang?"

   Tanya Ping-gwan pula.

   "Hanya 30-an ribu. Wanita kamipun bisa berperang tetapi total jenderal semua hanya berjumlah 50-an ribu."

   "Hanya 50-an ribu? Hm, bukankah itu sudah hampir dua puluh kali lipat dari tentara musuh?"

   Ping-gwan tertawa.

   "Tetapi Hwe-ki dapat mendatangkan bala bantuan dari Se-gak. Jika pasukan berkuda mereka melanda dari negeri tetangga, kita pasti hancur!"

   Ping-gwan membuat beberapa puluh lingkaran di tanah, ujarnya.

   "Sekalipun tentara berkuda Hwe-ki itu pandai berperang tapi mereka terpencar di beberapa negara. Berarti kekuatan mereka tersebar di mana-mana. Jika negeri-negeri di daerah Se-gak mau bersatu padu, apa susahnya menghancurkan musuh?"

   Kata Ping-gwan.

   "Dikuatirkan tak mudah untuk mempersatukan mereka,"

   Sahut Hong-ni.

   "Tetapi rakyat daerah Se-gak mana yang sudi negerinya dijajah orang! Asalkan kalian mempelopori perlawanan itu, masing-masing negeri tentu akan memberi reaksi. Kirimlah utusan untuk menghubungi negeri-negeri itu,"

   Ping-gwan memberi usul positif. Hong-ni menghela napas.

   "Memang bagus sekali usulmu itu. Tetapi, ai, dengan kekuatan apa kita mengadakan perlawanan?"

   "Bukankah pamanmu sekarang sedang menjabat panglima pendudukan di Tiang-an? Jika kau dapat mempengaruhinya supaya memberontak terhadap Hwe-ki, membangun negara Su-tho. Kurasa hal itu mengontungkan Tay Tong dan Hwe-ki."

   Hong-ni membelalakan matanya, kemudian berkata dengan rawan.

   "Ah, pamanku itu sudah seperti dikenakan tahanan oleh orang Hwe-ki. Panglima besar Topace adalah ayahnya Topayan si bangsat itu. Kemarin lusa bujangku datang memberi laporan, Topace telah memberi perintah supaya kau pulang dan menikah dengan anaknya. Kalau aku menurut, barulah pamanku dibebaskan."

   "Baik, marilah kita sekarang pulang,"

   Tiba-tiba Ping-gwan berkata.

   "Pulang kemana?"

   "Kepada Popa ong-kong sana. Kita tawan Topahiong dan Topayan untuk ditukarkan dengan pamanmu,"

   Sahut Ping-gwan. Yangpe keke segera menyatakan hendak memanggil pemuda-pemuda yang turut dalam keramaian Thiau-yo itu supaya membantu tangkap kedua pangeran itu. Tetapi Ping-gwan menolak.

   "Lebih baik jangan ramai-ramai. Mereka toh hanya berjumlah empat orang, tak usah pakai sekian banyak tenaga."

   Waktu mereka hendak naik kuda, tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda riuh mendatangi dan di sana Topahiong berseru sekeras-kerasnya.

   "Jangan kasih mereka lolos!"

   Menurut perhitungan paling tidak satu jam anak raja Topahiong itu baru dapat sembuh dari tutukan tadi.

   Tak nyana ternyata lwekang dari Topahiong yang berasal dari aliran Tibet itu, hebat sekali.

   Walaupun tak sesakti dengan lwekang persilatan Tiong-goan, tapi dalam hal membuka jalan darah memang mempunyai kegunaan yang khas.

   Apalagi dibantu diurut-urut oleh Topayan.

   Belum setengah jam pangeran itu sudah pulih dan segera melakukan pengejaran.

   Kalau menurut rencana Yangpe yang hendak mengerahkan rakyatnya untuk menangkap pangeran-pangrean itu, tentulah mudah terlaksana.

   Tapi sekarang situasinya berubah.

   Yang hendak ditangkap malah mau menangkap.

   Kekuatan mereka pun lebih besar.

   Namun Ping-gwan tak jeri.

   Ia membisiki Hong-ni supaya melindungi keke.

   Kemudian ia cabut gan-ling-to dan maju menyongsong musuh.

   Kuda tunggangan Topahiong paling hebat.

   Dialah yang lebih dahulu datang menyerang.

   Dengan menggerung keras Ping-gwan putar goloknya membabat kaki kuda lawan.

   Tetapi kuda yang terlatih baik itu melonjak ke atas melampaui kepala Ping-gwan.

   Ping-gwan luput membabat kaki terus tusukkan ujung goloknya ke perut kuda.

   Kuda rubuh, penunggangnyapun terbanting.

   Pengawalnya yang bernama Utotong berteriak.

   "Jangan melukai junjunganku!" - Ia loncat dari kudanya terus menombak Ping-gwan. Dia adalah ko-chiu nomor dua di negeri Hwe-ki. Tombaknya laksana naga keluar dari laut atau harimau tinggalkan sarang. Permainan ilmu golok Ping-gwan yang terdiri dari 36 jurus, dapat ditangkis dengan baik oleh tombak Utotong. Keduanya sama menahan kesakitan dari tangannya yang linu. Topahiong loncat bangun, tertawa keras.

   "Hai, kalian berdua nona, kawinlah dengan kami berdua saudara! Yangpe keke, tak usah kau pulang. Nanti pada hari perkawinan kita baru kusuruh menjemput ayahmu."

   Alis keke mengerut naik saking murkanya. Ia memaki.

   "Bangsat kecil, kau berani menghina aku di daerahku sini!"

   Kembali Topahiong tertawa.

   "Biar kau puteri ong-kong, tapi akupun akan raja Hwe-ki. Kau jadi isteriku, sudah sepantasnya, masakan kau anggap menghina?"

   "Jangan menghina taciku!"

   Bentak Hong-ni yang terus menusuk punggung putera raja itu. Topayan yang sudah tiba, ayunkan cambuknya untuk menghalangi Hong-ni.

   "Siau-ni, kali ini kau tak nanti mampu lari. Mari, ikut aku saja pulang,"

   Kata pangeran itu.

   Gerakan cambuk pangeran itu membuat lingkaran seluas beberapa tombak.

   Hong-ni gunakan ginkang untuk berlincahan menghindar kian kemari.

   Yang satu naik kuda, yang lain jalan kaki.

   Cambuk lawan pedang.

   Memang cambuk si pangeran tak mungkin dapat melibat pedang Hong-ni, tapi Hong-ni pun tak berdaya untuk menolong Yangpe.

   Pada saat Topahiong akan berhasil mengudak Yangpe, tiba-tiba Ping-gwan tinggalkan Utotong terus lari memburu si anak raja.

   Karena kalah dalam ilmu gin-kang, Utotong tak dapat mengejar Ping-gwan.

   Ia lontarkan saja sebatang hui-ja (garu terbang).

   "Bagus!"

   Tanpa berpaling, Ping-gwan balikkan tangan menyambuti hui-ja itu terus dilemparkan ke arah Topayan.

   Topayan sudah pernah merasakan kelihayan Ping-gwan.

   Ia tak berani menyambuti lemparan itu.

   Buru-buru ia gunakan gerak Teng-li-ciang-sim, berjumpalitan ke bawah perut kuda.

   Hui-ja melayang di atas punggung kuda, sedang Topayanpun jatuh ke tanah.

   Hong-ni cepat menghampiri dengan sebuah tabasan.

   Karena tak sempat loncat bangun, terpaksa Topayan gerakkan cambuknya untuk menangkis.

   Saat itu jika Ping-gwan memburu dengan mudah ia tentu dapat menghabisi jiwa pangeran itu.

   Tapi kala itu Topahiong sudah dekat sekali dengan Yangpe keke.

   Apa boleh buat, terpaksa Pinggwan harus menolong keke itu lebih dulu.

   "Siau-ni, hadapilah dia dulu!"

   Mulutnya berseru, kakinya sudah bergerak dalam Pat-poh-kamsian (delapan langkah memburu tenggoret).

   Belum habis kumandang ucapannya, Ping-gwan sudah melesat di belakang Topahiong.

   Topahiong tersipu-sipu menangkis serangan Ping-gwan.

   Benar dia kalah lihay tapi kepandaiannya tak terpaut jauh dari Ping-gwan.

   Dalam beberapa kejab saja Ping-gwan sudah melancarkan 18 kali tabasan dan memaksa Topahiong mundur terus-menerus.

   Cuma dia masih dapat menghindari tabasan.

   Utotong berlari-lari menghampiri dan menyerang dengan tombaknya.

   Dengan begitu kini Ping-gwan diserang dari muka dan belakang.

   Saat itu Topayanpun sudah loncat bangun dan bertempur dengan Hong-ni.

   Keduanya samasama tak naik kuda.

   Topayan lihay ilmu ruyungnya, kuat dan gagah perkasa.

   Hong-ni lincah permainan pedang dan gerakan tubuhnya.

   Kekuatan mereka berimbang.

   "Cici, lekas larilah!"

   Dalam bertempur itu Hong-ni sempat meneriaki Yangpe. Yangpe loncat ke atas kudanya dan segera meniup terompet. Topahiong menertawakan.

   "Pada saat orang-orangmu datang, kau tentu sudah menjadi tawananku," - Ia lempar hui-ja untuk menghantam jatuh terompet Yangpe, setelah itu mengeroyok Ping-gwan lagi. Tombak Utotong itu dapat mencapai beberapa tombak. Sedang Topahiong selalu siap memberi pukulan maka satu-satunya jalan bagi Ping-gwan ialah harus mengundurkan anak raja itu dulu baru nanti mengganyang Utotong. Sebenarnya mudah untuk merobohkan Topahiong, tapi tombak Utotong itu selalu mengancam saja. Ping-gwan menyempatkan diri untuk memandang ke sekeliling. Dilihatnya Yangpe keke berlari-larian mencari jalan lolos. Rupanya tenganya sudah lelah. Pun karena bertempur lama, tenaga Hong-ni pun makin lemah. Kini nona itu hanya dapat bertahan diri, tak mampu balas menyerang Topayan lagi. Ping-gwan makin gelisah karena ia sendiri sukar untuk lolos dari kepungan kedua lawannya. Dalam kegelisahan itu tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang menusuk telinga. Tahu-tahu si kunyuk Ceng-ceng-ji muncul. Dengan ginkangnya yang hebat, dalam bebrapa loncatan saja ia sudah dapat menyambar Yangpe untuk diserahkan pada Ih-sin.

   "Orang she Coh, tempo hari kau beruntung lolos. Coba saja sekarang kau mampu lolos lagi atau tidak? Pangeran Topa, beruntung aku dapat memberikan jasaku. Untuk itu aku tak berani mengharap apa-apa kecuali minta perlindungan,"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Ceng-ceng-ji.

   "Baik, jika kau dapat membunuh budak itu, akan kuangkat kau jadi pemimpin pelatih pasukan raja,"

   Sahut Topahiang.

   Diam-diam Ping-gwan mengeluh.

   Sebenarnya ia hendak mencari jejak Ceng-ceng-ji dan Tiauing, sungguh tak terduga dapat bertemu di situ.

   Tapi munculnya pada saat dan tempat seperti itu, sungguh tak menguntungkan Ping-gwan.

   Dia ambil putusan mengadu jiwa.

   Dengan berani ia merangsek.

   Setelah berhasil menghalau tombak, tiba-tiba ia balikkan tangan menyambar golok pangeran itu.

   Karena tak menduga sama sekali golok Topahiong kena direbut.

   Dan sebelum sempat menurunkan kepala, tahu-tahu pundaknya termakan ujung golok.

   Itu saja untung tak mengenai tenggorokannya.

   Sekalipun begitu, luka di pundaknya itu berat sekali.

   Tulangnya sampai retak.

   Waktu Ping-gwan hendak menyusuli tabasan lagi, Ceng-ceng-ji keburu menolong.

   Sekali tabas, golok Ping-gwan kutung jadi dua.

   Ih-sin bergegas-gegas mengangkat Topahiong yang sudah berlumuran darah, kemudian memberinya obat penghenti darah.

   Anak raja itu masih muda dan sebat serta memiliki lwekang tinggi.

   Setelah tak ingat diri beberapa saat, iapun tersadar lagi.

   "Kalian harus mencincang bangsat itu, aduh, aduh...."

   Anak raja itu mengerang kesakitan.

   "Ong-cu, jangan kuatir, tentu kubalaskan!"

   Seru Ceng-ceng-ji.

   Mengapa mendadak sontak Ceng-ceng-ji muncul dan minta perlindungan pada Hwe-ki? Kiranya dia telah tertipu Tiau-ing.

   Setelah tiba di Ogemi, dia tetap berhati-hati.

   Dia selalu tinggal sekamar dengan Khik-sia.

   Setiap makanan yang diantarkan Tiau-ing, lebih dulu ia suruh Khik-sia mencicipi baru kemudian dimakannya.

   Ini untuk menjaga kemungkinan Tiau-ing meracuninya.

   Tapi obat yang diberikan Tiau-ing kepada Khik-sia setiap bulannya, sudah tentu Ceng-ceng-ji tak dapat turut mencicipi.

   Justeru dalam obat itulah Tiau-ing menjalankan siasatnya.

   Kali itu ia mencampurkan obat penawar dari obat pembius.

   Begitu minum, Khik-sia tentu akan segera pulih tenaganya.

   Tapi lewat sepenyulut dupa tentu akan kembali pingsan.

   Tiau-ing tahu kepandaian mereka berimbang.

   Dalam waktu yang singkat itu terang Khik-sia tak mampu mengalahkan Ceng-ceng-ji.

   Untuk itu Tiau-ing telah mengadakan persiapan seperlunya.

   Ia dapat menghasut Hoan Gong hwatsu untuk turut mengganyang Ceng-ceng-ji.

   Rencana Tiau-ing telah berjalan semerstinya.

   Ceng-ceng-ji menerima obat dari Tiau-ing tapi tak mengijinkan nona itu masuk ke kamar.

   Begitu Khik-sia minum, tiba-tiba ia rasakan tenaganya pulih kembali.

   Segera ia menempur Ceng-ceng-ji.

   Tiau-ing dan Hoan Gong yang bersembunyi di luar kamar segera turut melabraknya.

   Ceng-ceng-ji terpaksa melarikan diri.

   Hanya berselang beberapa detik Ceng-ceng-ji kabur, Khik-siapun kembali pening dan pingsan.

   Dia tetap jatuh di tangan Tiau-ing.

   Ceng-ceng-ji muring-muring dengan pengkhianatan itu.

   Namun apa daya.

   Sekarang yang menjadi pemikirannya ialah kemana ia harus mencari tempat berlindung.

   Tiba-tiba ia teringat Ubun Hong-ni.

   Ia belum mengetahui urusan Topayan dengan Hong-ni.

   Ia memutuskan pergi kepada Hwe-ki dengan mengatakan kalau kenal pada U-bun Hong-ni.

   Ia mengharap mudah-mudahan panglima Hwe-ki menerimanya.

   Panglima Hwe-ki ialah Topace, ayah dari Topayan.

   Justeru ayah dan anak itu sedang mencari Hong-ni untuk dipaksa kawin.

   Mendengar pengakuan Ceng-ceng-ji kalau kenal dengan si nona, Topace segera memerintahkan supaya orang itu ditangkap.

   Ceng-ceng-ji lari tunggang langgang.

   Setelah menyelidiki ke sana-sini, barulah ia tahu apa sebabnya.

   Maka pada suatu malam kembali ia menemui Topace dan menyatakan keinginannya.

   Ia sanggup mencapai dan menangkap U-bun Hong-ni.

   Melihat Ceng-ceng-ji berkepandaian tinggi, Topace menerimanya tetapi dengan syarat harus dapat menangkap U-bun Hong-ni.

   Setelah hal itu berhasil, ia akan membantu Ceng-ceng-ji untuk menangkap Tiau-ing dan Khik-sia.

   Begitu pula Ceng-ceng-ji diperbolehkan tinggal di istana Hweki.

   Girang Ceng-ceng-ji tak kepalang.

   Dia bakal memiliki Khik-sia sebagai tanggungan dan dilindungi raja Hwe-ki.

   Ancaman Gong-gong-ji tak perlu dikuatirkan lagi.

   Kala itu Topayan dan pangeran Topahiong sudah menuju ke daerah In-ge-sau-meng.

   Cengceng- ji siang malam menempuh perjalanan ke daerah itu.

   Dan secara kebetulan ia datang tepat pada waktu kedua pangeran itu memerlukan bantuan.

   Ceng-ceng-ji punya pandangan dendaman dengan Ping-gwan.

   Mendengar perintah anak raja Hwe-ki supaya membunuh Ping-gwan, Ceng-ceng-ji girang sekali.

   Setelah sekian lama bertempur, tenaga Ping-gwan mulai berkurang.

   Sebenarnya kepandaiannya berimbang dengan Ceng-ceng-ji, tapi karena sudah lelah, ia tak dapat mengimbangi.

   Apalagi ketambahan seorang seperti Utotong yang bertenaga kuat.

   Dalam waktu yang singkat, Ping-gwan berbahaya sekali keadaannya! Dengan ginkangnya yang hebat, Ceng-ceng-ji mainkan ilmu pedang Wan-kong-kiam.

   Dalam sejurus saja, ia dapat menusuk tujuh buah jalan darah orang.

   Ilmu golok Ping-gwan juga serba cepat.

   Tring, tring, dalam sekejab saja terdengar suara dering senjata beradu sampai tujuh kali.

   Golok pusaka beradu dengan pedang pusaka.

   Utotong putar tombaknya menusuk dada Ping-gwan.

   Karena tak sempat menangkis, Ping-gwan ayunkan kakinya menendang tombak lawan.

   Tapi tombak Utotong berat sekali.

   Benar Ping-gwan dapat menendangnya terpental tapi tak urung kakinya terhuyung-huyung.

   Dan kesempatan itu tak dilewatkan Ceng-ceng-ji.

   "Kena!"

   Pedang berkelebat dan punggung Ping-gwan berhias selarik luka.

   "Kau atau aku yang mati!"

   Teriak Ping-gwan. Luka itu membuatnya kalap. Dan karena kalap ia makin gagah. Bangsa Hwe-ki paling menghormati orang gagah. Diam-diam Utotong menimang dalam hati.

   "Anak muda ini sungguh gagah perkasa. Sayang ia melukai junjunganku, sukar untuk mengampuni jiwanya. Toh dia takkan lolos, baik kubiarkan si kunyuk itu saja yang membunuhnya."

   Utotongpun rubah permainannya, dari menyerang jadi bertahan.

   Sebaliknya karena Ping-gwan kalap hendak mengadu jiwa, Ceng-ceng-ji pun segan.

   Ia tahu ginkangnya lebih unggul dari lawan.

   Maka ia merubah gaya permainannya menjadi berputar-putar untuk menghabiskan tenaga orang.

   Dan siasatnya itu berhasil.

   Karena terlalu bernapfsu menyerang, mata Ping-gwan mulai berkunangkunang, kepalanya pening.....

   "Coh toako, kita mati berdua!"

   Hong-ni berteriak dan mendesak Topayan terus hendak menggabung pada Ping-gwan.

   "Oh, makanya kau tak mau menikah dengan aku, kiranya kau suka dengan budak itu!"

   Topayan iri hati dan menghadang nona itu.

   Tenaga Hong-ni kalah dengan lawan.

   Beberapa kali ia hendak menerobos tapi paling banyak hanya beberapa belas tindak saja.

   Jaraknya masih jauh dengan Ping-gwan.

   Untung Topayan hanya akan menawannya hidup-hidup, maka terpaksa ia main mundur.

   Adalah Ping-gwan, tergugah semangatnya demi mendengar pernyataan Hong-ni tadi.

   "Siau-ni, kalau kau dapat lolos, lekaslah lolos!"

   Serunya. Sebenarnya ia sudah groggy, tapi mendadak kakinya tegak kembali. Dalam serangkai serangan ia dapat memaksa Ceng-ceng-ji mundur.

   "Boleh saja kau bertingkah beberapa saat, toh tak nanti mampu lolos!"

   Ceng-ceng-ji tertawa mengejek. Baru dia berkata begitu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Tiga penunggang kuda mencongklang datang dengan pesat. Yang di sebelah muka, seorang nona berseru.

   "Bukankah itu Coh toako? Ai, nona U-bun juga berada di situ!"

   Yang datang itu bukan lain adalah Su Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu.

   Merekapun hendak mencari keterangan tentang diri Hong-ni ke daerah Su-tho.

   Waktu lewat di situ, mereka mendengar bunyi pertandaan terompet.

   Ketika menghampiri ternyata berjumpa dengan orang yang dicarinya.

   "Oh, kalian sudah saling mengenal? Bagus, bagus, lekas tolongi dia!"

   Yangpe girang sekali.

   Tar, begitu keprak kudanya maju, Bik-hu sudah ayunkan cambuknya.

   Kuat sekalipun tenaga Ihsin, tapi mana mampu menghadapi kelihayan Bik-hu.

   Bik-hu gunakan gerakan pinjam tenaga orang untuk menghantamnya.

   Tampaknya hanya perlahan-lahan saja ia menarik cambuknya, tapi Ih-sin sudah tertarik jatuh dari kudanya.

   Disusuli dengan gerakan tangkai cambuk, jalan darah Ih-sin pun tertutuk.

   Sekali gebrak, Bik-hu dapat membebaskan Yangpe keke.

   Setelah suruh Yak-bwe membantu Hong-ni, Bik-hu dan In-nio loncat turun dari kudanya dan berseru.

   "Bagus, kunyuk tua. Kau berani umbar kebiadaban lagi di sini? Kami justeru hendak menangkapmu!" - Sepasang pemuda itu segera menyerang Ceng-ceng-ji.

   "Dengan kepandaianmu berdua hendak menangkap aku?"

   Ceng-ceng-ji mengejek.

   Ia tak tahu kepandaian In-nio dan Bik-hu sudah maju pesat sekali.

   In-nio sudah berhasil menyakinkan ilmu pedang warisan suhunya.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bik-hu adalah keponakan Biau Hui sin-ni dan juga terhitung murid dari Mo Kia lojin.

   Paling akhir ini dia telah menggabungkan ilmu pedang dari kedua tokoh itu menjadi satu.

   Dan lagi selama dalam perjalanan dengan In-nio itu, tak putus-putusnya mereka saling merundingkan pelajaran ilmu pedang.

   Karena berasal dari sesama perguruan, maka ilmu pedang merekapun sesuai sekali.

   Memang kalau satu lawan satu, terang mereka bukan tandingan Ceng-ceng-ji.

   Tetapi dengan maju berbarengm kekuatan mereka dapat mengatasi Ceng-ceng-ji.

   Ceng-ceng-ji memandang rendah In-nio yang dianggap hanya seorang anak perempuan.

   Ia hendak gunakan jurus menusuk jalan darah untuk membuat In-nio tak berkutik.

   Tapi In-nio juga mahir ilmu pedang Hui-hoa-potiap (bunga bertebar menangkap kupu-kupu).

   Ceng-ceng-ji menemui tempat kosong.

   Waktu ia hendak merubah serangannya, Bik-hu sudah menghalaunya dengan sebuah jurus Heng-hun-toan-hong.

   Dan In-niopun kembali kembangkan permainannya untuk menimpali serangan sang kawan.

   Sepasang pedang bergabung, timbullah selingkar bianglala perak yang mengurung diri Ceng-ceng-ji.

   Ceng-ceng-ji keluarkan ilmunya berlincahan.

   Tapi tak urung ia lebih banyak bertahan daripada menyerang alias kalah angin.

   Dan karena mendapat bantuan, semangat Ping-gwan timbul seketika.

   Meskipun terluka, ia masih dapat menghadapi Utotong dengan berimbang.

   Pun karena mendapat bantuan Yak-bwe, Hong-ni dapat mendesak Topayan.

   Untuk pertama kali sejak mendapat pelajaran ginkang dari tunangannya, baru kali itu Yak-bwe menggunakan untuk menghadapi seorang musuh.

   Permainan pedang disertai gin-kang, memang hidup sekali.

   Gerakan pedang makin lama makin cepat.

   Diam-diam Topayan mengeluh dan merencanakan lari.

   Tapi Yakbwe tak memberi hati lagi.

   Dalam sebuah serangan ia dapat melukai pangeran itu sampai tiga kali.

   Hong-ni yang benci sekali kepada pangeran itu, kembali menambahinya dengan sebuah tusukan yang tepat mengenai lutut.

   Topayan menjerit terus rubuh tak dapat berkutik lagi.

   "Jika tak berguna, tentu sekarang juga kuhabisi jiwamu,"

   Kata Hong-ni.

   Kini kedua nona itu berputar tubuh.

   Yak-bwe membantu In-nio dan Bik-hu, Hong-ni membantu Ping-gwan.

   Utotong meremehkan kekuatan Hong-ni.

   Ia menyambut kedatangan itu dengan tombaknya.

   Tetapi walaupun tenaganya lemah, Hong-ni lincah sekali.

   Sekali melesat ia dapat menghindar.

   Karena tusukannya luput, tubuh Utotongpun menjorok ke muka.

   Ping-gwan balikkan golok, dengan sebuah hantaman yang indah ia dapat memukul jatuh tombak lawan.

   Sedang Hong-ni pun tak mau kalah.

   Sekali melesat ia tusuk jalan darah jago Hwe-ki itu.

   "Uto ciangkun, kutahu kau seorang lelaki perkasa. Tapi karena kau hendak unjuk kesetiaanmu kepada junjunganmu, aku terpaksa menyakitimu!"

   Seru Hong-ni. Tapi ia masih kasihan. Tusukannya hanya pelahan saja tak sampai membikin orang luka.

   "Bagus, sekarang tinggal kunyuk tua itu. Jangan biarkan dia lari!"

   Teriak Ping-gwan.

   Menghadapi tiga anak muda saja Ceng-ceng-ji sudah kewalahan, apalagi ketambahan dua jago muda lagi.

   Kini dia hanya dapat bertahan saja.

   Dikeroyok lima jago muda, dia sukar meloloskan diri.

   Tiba-tiba terdengar bunyi pertandaan terompet.

   Pada lain saat terdengar gemuruh derap kaki kuda.

   Di padang rumput muncul beratus-ratus kuda.

   "Celaka, jika tak lekas lari aku tentu bakal celaka di sini,"

   Pikir Ceng-ceng-ji.

   "Hai, kalian kepingin mendengar berita tentang Khik-sia atau tidak?"

   Ia coba-coba memancing perhatian anak-anak muda itu.

   Tapi In-nio dan Bik-hu tak menghiraukan.

   Mereka tetap menyerang dari kanan-kiri.

   Untung gingkang Ceng-ceng-ji hebat.

   Dengan sebuah gerakan yang istimewa, ia dapat melejit keluar dari kacipan kedua pedang anak muda itu.

   Setelah menghalau pedang Hong-ni, kembali ia berseru.

   "Su Tiau-ing, si wanita busuk itu, menipu aku. Aku ingin bersungguh hati membawa kalian utnuk menghajarnya. Sungguh, tidak bohong! Kalau kalian tak percaya, tentu menyesal!"

   "Baik, bohong atau tidak, biarkan dia bicara dulu,"

   Akhirnya Yak-bwe lambatkan serangannya.

   "Dengarkan baik-baik! Khik-sia berada di biara Ogemi!"

   Kata Ceng-ceng-ji.

   Orang yang paling memperhatikan diri Khik-sia, adalah Yak-bwe.

   Ia mendengarkan dengan penuh perhatian sampai lupa melakukan serangan.

   Tahu-tahu ujung pedang Ceng-ceng-ji menusuk ke tenggorokannya.

   Untung Bik-hu dan Ping-gwan cepat melindungi Yak-bwe.

   Ceng-ceng-ji mengamuk.

   Tiba-tiba ia rubah jurus permainannya.

   Ia ancamkan ujung pedangnya ke tenggorokan In-nio, begitu In-nio mundur, secepat kilat Ceng-ceng-ji enjot tubuhnya melayang melampaui kepala nona itu.

   Beberapa pemuda In-ge-sau-meng yang datang atas panggilan terompet Yangpe tadi, begitu melihat ada orang yang wajahnya seperti kunyuk, melayang di padang rumput, mereka segera turun tangan.

   Ada yang menimpuk hui-to, ada yang melemparkan jaring penangkap binatang.

   Cengceng- ji putar pedang untuk melindungi dirinya.

   Berpuluh-puluh batang hui-to kena dipukulnya jatuh.

   Dalam beberapa kejap Ceng-ceng-ji sudah lenyap dari pemandangan.

   Sebagai gantinya kini kawanan pemuda itu melihat pangeran dan anak raja Hwe-ki menggeletak di tanah dengan mandi darah.

   Kejut mereka lebih hebat daripada melihat manusia seperti kunyuk tadi.

   "Mereka menghina aku. Ringkus mereka, segala apa akulah yang tanggung,"

   Perintah Yangpe. Dengan suara parau si anak raja Topahiong mengancam.

   "Awas, kalau berani mengikat aku. Begitu aku pulang ke Hwe-ki tentu kukerahkan pasukan berkuda untuk meratakan perkemahan kalian. Dan kalian seorangpun takkan kubiarkan hidup."

   Di luar dugaan, rakyat padang rumput itu paling benci kalau menerima ancaman. Ancaman Topahiong menimbulkan kemarahan pemuda-pemuda itu.

   "Kami memperlakukan kau sebagai tetamu agung. Sebaliknya kau berani menghina keke kami, berarti tak memandang mata kepada kami. Baik, terserah kau mau pulang mengerahkan pasukan berkuda, pokok sekarang ini kami akan membongkokmu dulu."

   Topahiong, Topayan dan kedua pengawalnya segera diikat.

   Hong-ni berseri-seri girang.

   Waktu ia hendak menghaturkan terima kasih kepada Yak-bwe, tibatiba Ping-gwan muntah darah terhuyung-huyung mau jatuh.

   Rupanya pemuda yang terluka itu tadi bertahan diri sekuat-kuatnya.

   Kini setelah pertempuran selesai, dia tak kuat lagi.

   "Coh, toako, bagaimana kau?"

   Buru-buru Hong-ni memapahnya.

   "Hanya terluka ringan, tak apa-apa,"

   Sahut Ping-gwan.

   Tetapi nyata sekali wajahnya pucat, keringat dinginnya mengucur deras.

   Bik-hu yang sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan segera memeriksa.

   Ia dapatkan pemuda itu kehabisan tenaga.

   Untung lwekangnya tinggi hingga tak sampai terluka dalam.

   Ia segera memberi minum pil pada Ping-gwan.

   Sekalian orang lega hatinya.

   Kawanan pemuda itu menghormat sekali pada Ping-gwan yang telah menolong keke mereka.

   Mereka membuat semacam tandu dari dahan pohon dan mengangkut Ping-gwan pulang ke perkemahan Popa ong-kong.

   Saat itu hari pun sudah fajar.

   Popa ong-kong menyatakan kekuatirannya tentang peristiwa itu.

   Hong-ni minta maaf padanya karena ia merasa yang menjadi gara-garanya.

   "Anak raja itupun hendak menculik diriku. Kita tak bertindak, diapun akan mengganggu kita,"

   Yangpe memberi keterangan. Berkata Popa ong-kong dengan nada sungguh-sungguh.

   "Ajaran yang dianut suku kita ialah, jika orang mengantar seekor kambing kepada kita, kita balas memberinya dua ekor kuda. Jika orang menendang kita satu kali, kita harus membayarnya paling sedikit dengan dua pukulan. Adanya selama ini aku bersikap mengalah terhadap orang Hwe-ki, karena aku tak menginginkan pertumpahan darah, sekali-kali bukan karena takut pada mereka. Jangan kuatir anak-anakku. Karena urusan sudah begini rupa, kita bersama-sama senasib. Tak nanti kubiarkan kalian dihina orang Hwe-ki!"

   Sebenarnya Yangpe dan Hong-ni akan menggunakan segala daya untuk mempengaruhi kepala suku itu.

   Siapa tahu ternyata Popa ong-kong sudah mengadakan musyawarah dengan rakyatnya dan memutuskan untuk melawan bangsa Hwe-ki.

   Jago-jago muda itu girang sekali dengan peristiwa itu.

   Yangpe menjelaskan pada ayahnya bahwa rakyat In-ge-sau-meng tidak berdiri sendiri.

   Ia menuturkan usul Ping-gwan tadi.

   "Bersekutu dengan negeri-negeri di Se-gak untuk bersama-sama menentang Hwe-ki, memang suatu rencana yang tepat. Sekarang ini juga kesempatan itu harus kita laksanakan. Hong-ni, tadi petugas penyelidik pulang melaporkan sebuah berita."

   Atas pertanyaan Hong-ni, Popa menerangkan.

   "Rakyat Tho-ko-hun yang tak puas terhadap pendudukan Hwe-ki, tahun ini sudah hentikan pengiriman upetinya. Kini kedua negeri tengah mempersiapkan perang."

   Tho-ko-hun adalah sebuah negeri besar di daerah Se-gak.

   Daerahnya meliputi sebagian besar Ceng-hay dan sebagian kecil tanah Tibet.

   Negeri itu banyak menghasilkan kuda yang bagus.

   Pasukan berkuda yang menjadi kebanggaan kerajaan Hwe-ki, sebagian besar adalah kuda persembahan upeti dari Tho-ko-hun.

   Tiga tahun yang lalu Tho-ko-hun mengangkat raja baru.

   Di bawah pimpinan raja itu, negerinya makin bertambah kuat.

   Mereka tidak mau tunduk pada Hwe-ki lagi.

   "Berita itu tepat pada waktunya. Karena menguatirkan Tho-ko-hun, pihak Hwe-ki tentu tak berani sembarangan menggempur Su-tho,"

   Kata Popa. Ping-gwan yang selama tadi berbaring di tanah mendengari, kini tiba-tiba berbangkit, ujarnya.

   "Berita itu bukan saja berita girang bagi nona U-bun, pun juga bagi kalian semua." - Kata-katanya itu ditujukan pada Yak-bwe bertiga.

   "Mengapa?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Biara Ogemi itu terletak di daerah Tho-ko-hun. Tho-ko-hun sudah bermusuhan dengan Hweki. Itu berarti Hoan Gong tak nanti berani menyerahkan Khik-sia kepada Hwe-ki,"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Ping-gwan.

   "Kalau begitu kau percaya omongan Ceng-ceng-ji bahwa Khik-sia berada di biara Ogemi?"

   Tanya Yak-bwe.

   "Menurut pengetahuanku, dahulu Su Su-bing pernah menduduki Tho-ko-hun dan bersahabat dengan Hoan Gong. Malah dua tahun yang lalu Hoan Gong masih datang menjenguk Su Su-ging di Tho-ko-hun. Kalau Ceng-ceng-ji mengatakan bahwa hwatsu itu menjadi gurunya Tiau-ing, tentulah bukan membohong,"

   Sahut Ping-gwan. Akhirnya Bik-hu mengusulkan karena sudah tak ada lain-lain urusan baik bersama menuju ke Ogemi saja.

   "Paderi dari biara Ogemi berkepandaian tinggi. Aku menyesal sekali tak dapat membantu kalian. Harap kalian berhati-hati,"

   Kata Ping-gwan.

   "Nona U-bun, tolong kau sampaikan berita ini kepada Thiat cecu di Hok-gu-san,"

   In-nio meninggalkan pesanan.

   Memang cerdik sekali nona itu.

   Ia melakukan dua buah rencana.

   Sembari menuju ke Ogemi sembari memberitahu pada Thiat-mo-lek.

   Keesokan harinya berangkatlah Bik-hu bertiga menuju Tho-ko-hun.

   Negeri itu ribuan li jauhnya.

   Harus melalui padang rumput, payau-payau dan padang pasir yang berbahaya.

   Sekalipun mereka naik kuda pilihan tapi toh memerlukan waktu satu bulan untuk tiba di negeri itu.

   Kalau dihitung mulai berangkat dari Hok-gu-san, dalam mencari jejak Khik-sia itu mereka sudah menghabiskan waktu tujuh bulan lamanya.

   Hari itu turun badai salju yang hebat.

   Kabut menyelubungi bumi.

   Pada jarak sepuluh langkah tak dapat melihat apa-apa.

   Ketiga anak muda itu mengerudung mukanya dan tetap menempuh perjalanan.

   "Telah kutanyakan pada penduduk daerah ini. Daerah Ogemi hanya kurang seratus li lagi. Besok kita tentu sudah tiba di sana,"

   Kata Bik-hu. Bahwa besok pagi bakal bisa berjumpa dengan sang kekasih, Yak-bwe girang tapi gelisah juga. Ia bertanya pada In-nio apa yang akan dilakukan bila tiba di tempat itu.

   "Bukankah kita sudah sepakat malam harinya baru melakukan penyelidikan?"

   In-nio mengembalikan pertanyaan orang.

   "Ah, hatiku tak tenteram,"

   Kata Yak-bwe.

   "Eh, tinggal sehari saja masakan kau tak sabar lagi? Kalau yang kucemaskan ialah badai salju yang kita hadapi ini,"

   Sahut Bik-hu.

   "Kucemaskan kalau mengetahui kedatangan kita, siluman perempuan itu segera akan melekatkan pedangnya ke leher Khik-sia. Saat itu...."

   "Apa katamu? Khik-sia...."

   Dalam kabut badai salju yang lebat kuda mereka terpencar maka berteriaklah In-nio menegas. Kutakut siluman perempuan itu akan membunuh Khik-sia,"

   Seru Yak-bwe.

   Pertama karena tak dapat menahan luapan hatinya dan kedua karena kuatir In-nio tak mendengar, maka Yak-bwe berseru sekuat-kuatnya.

   Tiba-tiba terdengar suara benda mengaum.

   Sebatang hui-jui melayang ke arah Yak-bwe.

   Buruburu Yak-bwe gunakan gerakan Teng-li-ciang-sim untuk menghindar.

   Senjata rahasia tepat lewat menyusup di bawah kendali yang dicekalnya.

   Dengan gunakan gin-kangnya yang lihay, Yak-bwe berjumpalitan di udara dan melayang ke tanah.

   Tetapi penyerangnya itu juga tak kalah cepat.

   Sebelum Yak-bwe sempat mencabut pedang, orang itupun sudah loncat dari kudanya terus menyerangnya dengan golok.

   "Kurang ajar! Siapa kau? Menyerang orang secara gelap bukan laku seorang ksatria!"

   Damprat Yak-bwe yang dalam pada itu sudah menghindari 18 kali serangan golok.

   Jika ia belum mendapat pelajaran ginkang dari Khik-sia terang ia tentu binasa.

   Dalam lingkungan kabut dan salju tebal, tadi Yak-bwe tak tahu siapa penyerangnya itu.

   Tetapi kini setelah bertempur barulah ia melihat jelas.

   Diam-diam ia terkejut.

   Kiranya seorang bocah lelaki berumur empat lima belas tahun, lebih pendek dari Yak-bwe.

   Belum dewasa tetapi mengapa ilmu goloknya sedemikian hebat? "Huh, kau berani menghina aku bukan laki-laki ksatria? Membasmi dorna menghancurkan kejahatan, adalah perbuatan seorang ksatria.

   Hatimu jahat, perlu apa aku bicara manis dengan kau?"

   Sahut bocah lelaki itu.

   Ucapannya memang seperti orang persilatan yang berpengalaman tapi nadanya tetap seperti anak-anak.

   Yak-bwe geli-geli mendongkol.

   Ia tak kenal siapa pemuda tanggung itu.

   Ia tak mengerti kenapa bocah itu mengata-ngatainya begitu.

   Tapi ia tak berani berlaku ayal untuk menjaga serangannya yang hebat.

   Akhirnya karena kewalahan Yak-bwe terpaksa mencabut pedang untuk menangkisnya.

   Pedang Yak-bwe kena terpapas kutung.

   Buru-buru Yak-bwe gunakan lwekang lekat untuk mendorong golok lawan ke samping.

   Setelah itu ia baru sempat berkata.

   "Kau siapa? Tahukah kau aku siapa? Mengapa kau memaki-maki aku?"

   Bocah itu menggumam.

   "Kutahu kau seorang jahat!"

   "Bagaimana kau tahu aku jahat?"

   "Bukankah kau orang she Su?"

   Tanya bocah itu.

   "Benar, apa salahnya aku she Su?"

   Balas Yak-bwe.

   "Itu sudah jelas. Kau jahat, jahat sekali! Lihat golok!"

   Teriak bocah itu sembari terus menyerang.

   Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan 18 kali tabasan.

   Saat itu badai salju sudah mulai reda.

   Bik-hu dan In-nio pun menghampiri.

   Karena lihat hanya seorang bocah, mereka tak mau membantu.

   Heran juga mereka, siapa anak itu.

   Sebaliknya tahu kalau Yak-bwe mempunyai dua orang kawan, anak itu tetap congkak, tetap menyerang Yak-bwe.

   Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu, pikirnya.

   "Apakah kejadian lama terulang lagi? Janganjangan bocah ini mengira kau si wanita siluman itu? Tetapi dia masih kanak-kanak, mengapa bisa bermusuhan dengan Tiau-ing?"

   Permainan golok pemuda tanggungitu hebat dan cepat.

   Yak-bwe belum pernah melihat permainan golok yang lihay.

   Iapun masih suka berhati kanak-kanak.

   Ilmu golok lawan istimewa, iapun lalu keluarkan seluruh kepandaiannya.

   Maka meskipun ia menduga telah terjadi salah paham, tapi ia tak mau mencari penjelasan.

   "Siluman perempuan, kau main apa ini? Mengapa tak berani bertanding sungguh-sungguh dengan aku? Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu!"

   Marah anak itu karena merasa dipermainkan Yak-bwe. Yak-bwe tertawa mengikik. Waktu ia hendak hentikan pertempuran, tiba-tiba anak itu berteriak.

   "Mah, lekas datang! Ini dia si perempuan siluman itu!"

   Seekor kuda melesat datang.

   Penunggangnya seorang wanita pertengahan umur yang cantik.

   Sekali loncat turun ia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan jurus Giok-li-tho-ih.

   Ujung pedangnya mengarah ke tenggorokan Yak-bwe.

   Kejut Yak-bwe bukan kepalang.

   Untung ia sudah mahir dalam ilmu ginkang ajaran Khik-sia.

   Dalam keadaan kepepet, ia gunakan gerak Si-hiong-hia-hoan-hun untuk menghindar.

   Pedang nyonya cantik itu terpaut seujung rambut melalui muka Yak-bwe.

   Belum Yak-bwe berdiri tegak, nyonya itu sudah menyerangnya lagi.

   


Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini