Tusuk Kondai Pusaka 4
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 4
Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong
"Bagaimana ini?"
Seru Thian-hiong.
"Kita berdua seperti pengemis yang kematian ular, samasama nihil tak dapat apa-apa!"
"Kalau begitu kita bertanding minum arak sajalah!"
Sahut Thian-ho.
Karena senjatanya sama-sama terpental jatuh dan orangnya tak terluka, maka pertandingan itu berakhir seri.
Seorang juri tampil kemuka dan mengumumkan pertandingan itu seri.
Melihat kesudahan pertempuran itu, kedua belah pihak sama gembira puas.
Baru kedua jago tua itu dengan diantar oleh tepuk sorak yang riuh meninggalkan gelanggang, tiba-tiba terdengar gemerincing kelinting kuda.
Kuda itu mendatang dengan pesat sekali.
"Toan-siauhiap datang!"
Sekonyong-konyong ada orang berteriak.
"Hai, ia bersama seorang nona, siapa nona itu?"
Kata seorang lain.
Jantung Yak-bwe mendebur keras.
Waktu mendongak mengawasi, memang benar ada dua penunggang kuda berlari mendatangi.
Yang berada di muka ialah Toan Khik-sia dan di belakangnya seorang nona baju merah.
Sesudah melihat terang, sekalian orang gagah sama bersorak.
"Hai, nona Lu, kau datang juga? Mana engkohmu?"
Begitu loncat turun dari kudanya, nona baju merah itu segera menjura ke empat jurusan. Serunya.
"Engkohku suruh aku menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian. Dia tak datang."
Nona itu cantik sekali, tapi gagah juga. Di bawah sorotan mata dari sekian banyak orang gagah, sedikitpun ia tak jengah. Sikapnya wajar seperti seorang pemuda.
"Rasanya nona Lu itu tak asing bagiku, tetapi mengapa ia datang bersama Toan-long? Entah apakah hanya secara kebetulan bertemu saja atau memang ajak-ajakan?"
Demikian Yak-bwe membatin. Begitu tiba di hadapan Thian-hiong, Khik-sia lantas memberi keterangan.
"Shin-sioksiok, maafkan aku terlambat datang. Inilah surat dari Hong-ho-ngo-pa. Dalam menundukkan Hong-hongo- pa kali ini, aku banyak mendapat bantuan dari nona Lu."
Ia membuka sebuah bungkusan dan menyerahkan lima buah sampul besar warna merah kepada Thian-hiong.
"Bagus, bagus. Setelah Bengcu yang baru dilantik resmi, nanti akan kuhaturkan arak pernyataan selamat padamu!"
Kata Thian-hiong. Nona baju merah itupun menghampiri dan berkata.
"Shin-cecu tentu takkan mengusir aku, bukan?"
"Ai, mana, mana! Sebenarnya sudah kusiapkan surat undangan kepada kalian kakak beradik, tapi karena tak tahu alamatnya, jadi sayang tak dapat diterimakan. Harap nona suka maafkan. Kedatangan nona kemari ini, telah memberi muka terang kepada kami semua. Barusan saja aku habis bertempur dengan seorang sahabat karib, jadi rupaku tentu tak keruan, harap nona jangan menertawakan aku,"
Kata Thian-hiong. Memang Cecu dari gunung Kim-ke-nia itu mukanya kotor kena lumpur, pakaiannya ada yang koyak. Ya, benar-benar lucu kelihatannya. Nona baju merah itu tak dapat menahan gelinya lagi. Ia mengikik tertawa, sahutnya.
"Sayang aku datang terlambat, tak dapat menyaksikan Cecu main kunthau tadi. Tapi ah, janganlah aku mengganggu urusan di sini. Silahkan kalian melanjutkan pertandingan lagi."
"Toan-hiantit, kebenaran sekali kau datang!"
Seru To Peh-ing seraya menarik tangan pemuda itu ke arah pihaknya.
Nona baju merah itu juga ikut berdiri di samping Khik-sia.
Melihat pergaulan mereka yang begitu akrab, hati Yak-bwe menjadi gundah.
Malah ada dua orang tetamu yang berada di dekat situ, saling membicarakan tentang Khik-sia dengan si nona baju merah.
"Adik perempuan dari Sin-cian-chiu Lu Hong-jun itu, jika dipasangkan dengan putera dari Toan-tayhiap, sungguh merupakan sejoli yang sembabat sekali!"
Demikian kata seorang diantaranya. Maka sahut orang yang lain.
"Tapi puteri dari keluarga Lu itu tampaknya lebih tua beberapa tahun dari putera keluarga Toan."
Kata orang yang pertama tadi.
"Apa halangannya? Bukankah di desa kami banyak mempelaimempelai perempuan yang jauh lebih tua dari lakinya?"
Di Tiongkok dulu ada kebiasaan, mengambil menantu perempuan sejak masih kecil.
Orang tua dari pihak lelaki, mengambil dan memelihara calon menantu bagi puteranya yang masih kecil.
Setelah gadis itu dewasa, barulah dinikahkan dengan resmi.
Ini hampir sama dengan kebiasaan di Indonesia yang disebut "nikah pacul".
Bedanya, kalau di sana calon menantu perempuan yang dipelihara mertuanya, tapi kalau di sini calon menantu laki yang dipelihara mertuanya.
Lalu ada seorang lagi yang turut bicara.
"Benar, mereka adalah keturunan kaum persilatan. Di dunia persilatan mereka mempunyai kedudukan sebagai ksatria-ksatria angkatan muda. Keduanya sama-sama rupawan, jika saling berjajar, wah, sungguh seperti sepasang dewa-dewi. Jika mereka dapat terangkap menjadi suami isteri, pasti akan menjadi buah sanjungan dunia persilatan."
Hati Yak-bwe makin kecut. Diam-diam ia membatin.
"Turut ucapan Khik-sia tadi, mereka berdua itu bukan secara kebetulan bersua di jalan. Malah nona she Lu itu katanya pernah membantu dia menundukkan Hong-ho-ngo-pa. Wah, hubungan mereka tentu sudah mendalam!"
Tiba-tiba In-nio membisiki telinganya.
"Pemuda-pemudi persilatan itu umumnya bergaul secara bebas. Adik yang baik, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik kau tutup telingamu, jangan mendengar ocehan mereka."
"Setitikpun aku tak gelisah. Jika dia berbalik pikiran, akupun tak merasa kecewa,"
Sahut Yakbwe. Walaupun sang telinga tak ingin mendengar, namun tak urung sang hati kepingin mengetahui. Tanpa dapat dicegah lagi, bertanyalah Yak-bwe kepada orang tadi.
"Siapakah sebenarnya kakak beradik she Lu itu?"
Orang itu tertawa, sahutnya.
"Kakak-beradik she Lu adalah bintang-bintang cemerlang dalam kalangan persilatan, masakan kau tak mengetahui? Mereka menuntut penghidupan sebagai maling haguna (mulia). Memang jarang sekali mereka melakukan pekerjaan, tapi sekali turun tangan tentu 'ikan besar' yang ditangkapnya. Hasil yang diperolehnya, tentu didermakan pada rakyat yang menderita. Mereka benar-benar layak disebut pendekar-pendekar budiman yang dermawan. Kedua kakak-beradik itu memiliki kepandaian istimewa. Kakaknya disebut Sin-cian-chiu Lu Hong-jun yang malang melintang di daerah selatan-utara dengan sebatang busur besinya. Di dunia persilatan sukar dicari orang kedua yang dapat memanah begitu tepat seperti dia. Adiknya, Lu Hong-jiu lebih lihay lagi. Selain ilmu goloknya amat lihay, pun ia mempunyai kelinting Sip-hun-leng."
"Apakah Sip-hun-leng itu?"
Tanya Yak-bwe dengan heran. Orang itu tertawa.
"Sewaktu berjalan bukankah ia kedengaran bergemerincing seperti suara kelinting? Pakaiannya itu dipasangi banyak sekali kelinting emas kecil-kecil sebesar jari. Sewaktu bertempur dengan musuh, kelinting-kelinting itu dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia. Kelinting itu khusus dipakai untuk menghantam jalan darah berbahaya dari orang. Seratus kali timpuk, seratus kali kena. Maka banyaklah musuh-musuhnya yang sudah lari terbirit-birit jika mendengar suara kelintingnya itu. Selain itu, pun ada lain kegunaannya. Karena orangnya amat cantik dan jika berjalan berkelintingan seperti diiringi musik, maka banyaklah orang-orang yang tak mengetahui siapa nona itu, tentu akan terpikat semangatnya."
Mendengar orang begitu memuji-muji Lu Hong-jiu, hati Yak-bwe makin tak tenteram. Pikirnya.
"Seperjalanan dengan nona itu, entah apakah Khik-sia tidak akan dipikat semangatnya, diraih jiwanya?"
"Ah, sudahlah jangan membicarakan Sip-hun-leng lagi. Lihat saja bagaimana mereka akan mengadu jiwa itu. Hai, lihatlah, Toan Khik-sia maju ke muka. Baru saja datang, apa ia sudah lantas mau membantu Thiat-mo-lek memperebutkan kedudukan Bengcu?"
Demikian seorang yang berada di sebelah segera menyeletuk tertawa. Dan begitu berada di tengah gelanggang, Khik-sia lantas berseru nyaring.
"Bok-toako!"
Se-kiat yang dengan sebatnya sudah menyongsong, pun berteriak keras.
"Hai, Toan-hiante!"
Kedua jago muda itu segera saling berjabatan tangan dan tertawa gelak-gelak.
"Begitu mendengar kau datang ke Tiong-goan, siang-siang aku lantas ingin menjumpaimu. Apakah leng-siok (pamanmu) baik-baik saja? Dahulu aku banyak menerima petunjuknya yang berharga,"
Kata Khik-sia.
"Pada waktu kembali dari Tiong-goan, dalam membicarakan tentang tokoh-tokoh Bu-lim dewasa ini, pamanmu juga tak putus-putusnya memuji kau. Beliau masih ingat, pada waktu itu kau baru berumur 10-an tahun, tapi sudah dapat digolongkan sebagai salah seorang tunas muda yang paling menonjol dalam angkatan muda. Beliau amat terkenang padamu. Begitu datang di Tionggoan aku dititahkan segera mencarimu. Sayang karena mondar-mandir kian-kemari, baru sekarang aku dapat bertemu muka dengan kau,"
Sahut Se-kiat. Kata Khik-sia.
"Aku sendiripun sayang sekali terlambat sedikit, tak dapat menikmati pelajaran yang Bo-toako unjukkan dalam pertempuran tadi."
Beberapa orang yang sudah kepingin menyaksikan pertempuran ramai, segera berteriak.
"Sekarang masih belum malam. Omong-omong nanti saja dilanjutkan, sekarang adu kepandaian dulu agar mata kita dapat terbuka lebih lebar!"
Khik-sia tertawa.
"Bo-toako, sebenarnya aku tak berani jual aksi di hadapanmu. Tapi setelah menerima beberapa petunjuk dari leng-siok, berselang beberapa tahun kemudian, entah kemajuanku sampai dimana. Hari ini beruntung aku dapat berjumpa dengan toako. Jika toako sudi memberi petunjuk, aku sungguh merasa beruntung sekali."
"Ah, janganlah Toan-hengte begitu merendah. Memberi petunjuk, aku mana berani. Sekarang baiklah kita bermain-main untuk saling menguji kepandaian kita saja!"
Kata Se-kiat. Mendengar itu jago tua Hiong Ki-gwan segera menyeletuk dengan tertawa.
"Ah, tak usah kalian berdua saling sungkan. Ini adalah pertandingan resmi, bukannya hanya sekedar saing menguji kepandaian secara biasa saja. Baiklah, sebelumnya hendak kutegaskan lagi, silakan kalian mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh."
"Apa yang diucapkan saudara Hiong Ki-gwan itu memang benar!"
Sekalian hadirin sama tertawa memberi komentarnya. Khik-sia tertawa.
"Masakan aku tahu sungkan? Apa yang kukatakan tadi memang berasal dari lubuk hatiku. Memang saat ini aku membantu Thiat-sioksiok untuk merebut kemenangan dan berusaha keras supaya jangan sampai kalah. Tapi bagaimanapun halnya aku harus bersedia kalah juga. Maka akupun hanya dapat mengatakan kepada Bo-toako untuk meminta petunjuk saja."
Habis itu ia siapkan pedang di tangn dan berkata.
"Bo-toako, maafkan aku berlaku kurang ajar akan menyerang lebih dulu!"
Padahal yang dikata 'kurang ajar' itu pada hakikatnya bersikap menghormat orang.
Karena ia dengan Se-kiat itu sama tingkatannya.
Bertempur dengan orang yang sama tingkatannya, jika menyerang dulu, itu berarti merendahkan kedudukan diri sendiri dan mengangkat derajat lawan.
Maka bahu Se-kiat sedikit bergerak dan tubuhnya segera mundur sampai 7-8 langkah.
Ia pn sudah lantas melolos pedang, ujarnya.
"Bagus, Hiante, silakanlah!"
Dalam pertandingan yang terdahulu, ia tak mau gunakan senjata.
Bahwa kini ia memakai pedang itu berarti memandang tinggi juga kepada Khik-sia.
Melihat kedua pemuda itu sudah siap akan bertempur, Yak-bwe dan In-nio tumpahkan seluruh perhatiannya.
Hati kedua gadis itu kebat-kebit tak keruan.
Tampak Khik-sia lintangkan pedang di dada.
Sebelum bergerak, lebih dulu ia menatap sejenak kepada Se-kiat.
Ia lihat Se-kiat mengambil sikap (kuda-kuda) yang disebut "Bu-kek-hap-it-gi".
Sebuah jurus ilmu pedang yang memusatkan seluruh tenaga dan pikiran menjadi satu.
Sepasang tangan menjulai, mata memandang ke ujung pedang dan kuda-kuda kakinya mengapung tegak.
Keadaan anak muda itu benar-benar angker seperti gunung, tenang laksana telaga.
Tergetar hati Khik-sia melihat perbawa lawan, pikirnya.
"Jurus yang diambilnya itu sungguh kukuh sekali, aku harus mencari siasat untuk membobolkannya."
Jika kaum Ko-chiu (jago sakti) bertanding, setitik kesempatan saja sudah dapat menentukan kalah menangnya.
Kalau dalam jurus pertama tak dapat menguasai pertandingan, tentu berbalik akan dikuasai lawan.
Tapi dasar masih muda, maka Khik-sia tak terhindar dari watak ingin menang.
Meskipun ia tahu tak mempunyai modal untuk mengalahkan Se-kiat, namun ia merasa enggan kalau sampai kalah.
Maka ia amat memperhatikan sekali akan jurus pembukaan dari lawan.
Se-kiat tertawa.
"Toan-hengte, mengapa belum menyerang?"
Khik-sia sudah menetapkan rencana. Tiba-tiba ia berseru.
"Lihat pedang!" -- terus saja ia mulai mainkan pedangnya. Tapi anehnya, pedang bukan diserangkan langsung ke tubuh Se-kiat, melainkan berputar-putar mengelilingi orang. Sinar pedang berhamburan laksana hujan mencurah. Sepintas pandang seolah-olah ada berpuluh-puluh "Khik-sia"
Menyerang Se-kiat.
Serangan itu sukar dilukiskan kecepatannya.
Semua penonton hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung, sedang bayangan orangnya tak tampak sama sekali! Kiranya Khik-sia menggunakan siasat memakai kelebihan dirinya untuk menyerang kelemahan lawan.
Teringat ia akan paman Se-kiat yang bernama Bo Jong-long.
Pada waktu itu Bo Jong-long pernah menguji kepandaian dengan suheng Khik-sia, yakni Gong-gong-ji.
Dalam segala kepandaian, Bo Jong-long lebih unggul.
Hanya dalam ilmu gin-kang, ia kalah setingkat dengan Gong-gong-ji.
Khik-sia merasa, dalam ilmu gin-kang sekarang ia sudah hampir menyamai suhengnya.
Sebaliknya ia memperhitungkan, kepandaian Se-kiat itu diperoleh dari pamannya, sudah tentu tak dapat menyamai benar-benar dengan sang paman.
Maka Khik-sia ambil putusan gunakan serangan kilat.
Ia harap Se-kiat akan menjadi keripuhan.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beradu.
Se-kiat dengan masih tegak laksana gunung, setapak pun kakinya tak berkisar, telah dapat menghalau tiga puluh jurus lebih serangan Khik-sia.
Tapi sekalipun begitu, dalam libatan serangan kilat berantai dari Khik-sia itu, Se-kiat pun tak berdaya untuk balas menyerang.
"Ia telah menguasai dengan sempurna ilmu menghapus tenaga serangan lawan. Baik, akan kuserbu ia dengan siasat 'sembilan kali kosong, satu kali sungguh'. Dengan pedang pusaka, masakan ia tak kelabakan,"
Diam-diam Khik-sia mengatur rencana.
Kiranya pedang yang berada di tangan Khik-sia itu, adalah pedang pusaka warisan mendiang ayahnya.
Pedang pusaka itu dapat menabas logam seperti menabas kapuk.
Tapi dikarenakan dalam setiap bergerak, Se-kiat selalu dengan tepatnya dapat menghapus tenaga lawan, maka pedang pusakanya itupun tak dapat berkembang perbawanya.
Coba kalau tenaga keduanya berimbang atau setidak-tidaknya hanya terpaut sedikit saja, tentu tenaga "menghapus"
Itu tak nanti mempan.
Memang siasat menyerang kilat yang digunakan Khik-sia tadi, tepat sekali.
Tapi bahkan karena terlampau cepatnya ia melontarkan serangan, begitu merapat lantas mundur, maka perbawa pedangnya tak dapat menggabungkan kombinasi antara kedahsyatan dengan kecepatan.
Karena itu mudah dihapus kekuatannya oleh lawan.
Kini Khik-sia mengganti siasat 'sembilan kosong satu kali sungguh'.
Gerakannya tetap serba cepat bahkan lebih cepat dari tadi.
Hanya saja dalam kesepuluh kali serangan itu, tak seluruhnya dilontar dengan cepat.
Yang sembilan kali serangan kosong memang dilancarkan amat cepat.
Yang satu kali serangan sungguh, agak lambat tapi keras.
Tapi karena serangan yang cepat lebih besar jumlahnya, jadi keseluruhannya merupakan serangan cepat semua.
Dan yang lebih lihay lagi, walaupun serangan kosong, tapi apabila lawan kelihatan ayal, dapat juga berubah menjadi serangan sungguh-sungguh.
Dalam ilmu pedang Se-kiat sudah mempunyai peyakinan yang sempurna.
Namun menghadapi bertubi-tubi serangan kosong dari Khik-sia itu, tak urung ia heran juga.
Tiba-tiba saat itu Khik-sia maju merapat dan melancarkan serangan sungguh.
Anginnya menderu keras.
Serangan kali ini, indahnya bukan buatan, hebatnya bukan kepalang.
Sekalian orang gagah yang menyaksikan sampai terkesiap kaget.
In-nio sampai menjerit tertahan dan si berangasan Kay Thian-ho pun berjingkrak ke atas.
Dalam detik-detik yang menegangkan urat syaraf itu, sebelum sekalian penonton melihat jelas, tiba-tiba terdengar Se-kiat berseru memuji.
"Ilmu pedang yang hebat, sambutlah serangan ini!" -- Dan tampaklah ia kebaskan pedangnya dalam jurus Bian-chiu-te-sing atau tangan indah memetik bintang. Tepat sekali pedangnya itu sudah dapat melekat pedang pusaka Khik-sia. Kemudian sekali dipelintirkan kemuka, ujung pedang lantas mengancam jalan darah Hian-ki-hiat di dada Khik-sia. Waktu melancarkan serangan berisi (sungguh), karena memakai tenaga lebih besar, jadi kecepatan serangan Khik-sia pun berkurang. Se-kiat adalah seorang ahli pedang yang menguasai segala gerak-gerik lawan. Sedikit perubahan dari gerakan Khik-sia itu tak terluput dari pandangan matanya yang jeli. Segera ia menguasai kesempatan itu, kecepatan dilawan dengan kecepatan, menyerang untuk menghalau serangan. Perubahan siasat dari bertahan berganti menyerang itu, datangnya secara tak terduga-duga. Kalau tadi In-nio yang menjerit tertahan karena Se-kiat terancam, adalah sekarang giliran Yak-bwe yang berteriak tertahan sebab Khik-sia terserang! Sekonyong-konyong Toan Khik-sia bersuit, tubuhnya mencelat ke udara dan serupa dengan Sekiat tadi, ia pun berseru.
"Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini!"
Bagaikan burung melayang, anak muda itu melampaui kepala Se-kiat dan dengan jurus Engkik- tiang-gong atau burung elang menghantam udara, laksana selarik pelangi pedangnya menusuk ke bawah.
Se-kiat putar pedangnya melingkar.
Dua kali ia berputar tubuh dan serangan Khik-sia tadi dapat dipecahkan.
Detik demi detik diperebutkan oleh mereka berdua untuk mendahului menyerang.
Bagaimana tegang dan runcingnya pertempuran itu, sukar dilukiskan.
Setiap perubahan situasi, sukar diduga sama sekali.
Sekalian hadirin hanya menampak gelanggang pertempuran itu penuh dengan sinar pedang.
Sinar pedang yang bentuknya menyerupai sepasang naga saling berebut mutiara! Mana Se-kiat dan mana Khik-sia sudah tak dapat dibedakan lagi!"
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tampak permainan pedang kedua anak muda itu mulai lambat gerakannya.
Bagi orang yang tajam pendengarannya, akan dapat mendengar bahwa di dalam deru sambaran pedang itu, juga terdapat hamburan napas yang bergolak-golak.
Diam-diam Thiat-mo-lek berbisik-bisik kepada To Peh-ing.
"Sebenarnya Khik-sia Hiantit itu masih kurang pengalaman, tapi ia bernafsu sekali untuk menang."
Kiranya pertempuran itu berlangsung dengan seimbang.
Masing-masing mengeluarkan keistimewaannya sendiri-sendiri.
Khik-sia menang unggul dalam hal gin-kang, sedang Se-kiat menang kuat dalam ilmu lwekang.
Dalam babak permulaan, Khik-sia secara cerdik telah menetapkan rencana 'menggunakan kelebihan kepandaiannya untuk menundukkan kelemahan lawan'.
Tapi karena siasat itu sampai sekian lama tak memberi hasil, ia lantas berganti siasat dengan 'sembilan kali serangan kosong, satu kali serangan berisi'.
Berkat ketajaman pedang pusakanya, memang ia dapat menang angin sedikit.
Tapi Se-kiat ternyata seorang ahli pedang yang sudah kenyang pengalaman.
Menggunakan kesempatan sewaktu Khik-sia agak lambat gerakannya, Se-kiat cepat balas menyerang.
Dengan begitu selalu dapat merubah situasi dari diserang menjadi penyerang.
Saat itu, ia salurkan lwekangnya ke ujung pedang.
Hamburan suara yang bergolak-golak tadi, ialah berasal dari arus hawa dalam tubuhnya sewaktu memainkan pedang.
Makin lama permainan pedang Se-kiat makin pelahan.
Pada akhirnya, tampak sepasang matanya memandang lekat-lekat ke ujung pedang.
Seolah-olah pedangnya itu seperti diganduli benda yang beratnya seribu kati.
Lambat-lambat ia menunjuk ke timur, menggurat ke barat.
Jauh sekali perbedaannya dengan permainannya dalam babak-babak permulaan tadi.
Namun bagi mata seorang ahli silat, hal itu sebaliknya malah lebih dahsyat dari yang tadi.
Khik-sia merasa pedang ceng-kong-kiam lawan, beratnya seperti sebuah gunung.
Daya tindihnya makin lama makin berat sekali.
Apa boleh buat, ia pun lalu kerahkan lwekangnya untuk melayani.
Kini rencananya semula menjadi buyar semua.
Kelincahan gin-kang dan kecepatan permainan pedangnya, tak dapat digunakan sama sekali.
Tring, tiba-tiba kedengaran suara bergemerincing dan melengketlah kedua pedang anak muda itu menjadi satu, diam tak bergerak lagi.
Beberapa jenak kemudian, tubuh kedua anak muda itu tampak menurun sampai separuh bagian.
Astaga, kiranya kaki mereka itu menyurup ke dalam tanah! Sewaktu sekalian hadirin sama terperanjat, sekonyong-konyong Thiat-mo-lek loncat ke tengah gelanggang dan berseru.
"Sudah, berhentilah bertempur. Pertandingan ini adalah Bo-toako yang menang!"
Trang, berbareng dengan seruan itu, terdengarlah suara bergemerancang keras.
Pedang pusaka Khik-sia mencelat terlepas dari tangan, sedang ceng-hong-kiam Se-kiat pun terkutung separuh.
Kiranya pertandingan yang terakhir itu, merupakan pertandingan adu lwekang.
Sudah tentu Sekiat unggul.
Tepat di kala Thiat-mo-lek loncat sambil berseru tadi, Se-kiat telah berhasil mencungkit pedang Khik-sia sampai mencelat ke udara.
Tapi dikarenakan lwekangnya tak terpaut banyak sekali dengan Khik-sia dan lagi pedang Khik-sia itu sebuah pedang pusaka, maka sewaktu Khik-sia mengerahkan lwekang sekuatnya, segera pedang pusaka itu mulai unjuk gigi.
Berbareng pedang Khik-sia terpental, pun pedang Se-kiat terkutung.
Begitu loncat maju, Thiat-mo-lek segera ulurkan sepasang tangan untuk menyiah kedua pemuda itu.
Dan berbareng itu, ia membuyarkan tekanan tenaga lwekang masing-masing, agar jangan ada salah satu yang terluka.
Para tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dalam kalangan hadirin, sama memuji tindakan Thiat-mo-lek.
Mereka memuji Thiat-mo-lek sebagai orang yang adil, tidak semata mementingkan keuntungan pihaknya.
Seperti diketahui, ia dengan Se-kiat itu terhitung pihak yang berlawanan.
Dengan mengakui pihaknya yang kalah, sebenarnya ia boleh menarik Khik-sia seorang saja.
Apakah Se-kiat terluka atau tidak karena tekanan lwekang Khik-sia nanti, ia boleh tak usah memperdulikan.
Tapi ternyata ia rela mengambil resiko menerima tekanan lwekang dari kedua belah pihak.
Tanpa memandang mana kawan mana lawan, ia perlakukan sama rata.
Kedua-duanya ia tarik dengan berbareng.
Kejujurannya itu menimbulkan rasa kagum dan perindahan dalam hati sekalian hadirin.
Khik-sia memungut pedangnya.
Dengan muka kemerah-merahan ia berkata.
"Lwekang Botoako sungguh hebat sekali. Dengan tulus hati, aku mengaku kalah!"
Se-kiat tersipu-sipu goyangkan tangan.
"Tidak! Kau sudah mengutungkan pedangku. Sebenarnya akulah yang harus dianggap kalah!"
"Mana bisa!"
Bantah Khik-sia.
"aku dapat mengutungkan pedangmu karena mengandalkan ketajaman pedang pusakaku. Tapi berkat ilmu kepandaian yang sesungguhnyalah kau dapat membikin terlepas pedangku. Sudah tentu aku harus mengaku kalah."
Mendengar perdebatan saling berebut mengaku kalah itu, sekalian orang gagah merasa heran tapipun kagum. Maka berkatalah Thiat-pi-kim-to Tang Kiam.
"Tadi sewaktu bertanding, sejengkalpun kalian tak mau saling mengalah. Sekarang malah rebutan mengaku kalah. Aku sudah hidup beberapa puluh tahun, tapi baru sekali ini melihat peristiwa yang begini istimewanya."
Pecahlah mulut sekalian hadirin dengan gelak tertawa yang gemuruh. Jago tua Hiong Ki-gwan yang menjadi juri segera tampil kemuka.
"Ah, sudahlah, jangan kalian berbantah. Menurut peraturan pertandingan, belum ada ketetapan yang menyatakan senjata-senjata apa yang tak diperbolehkan dipakai. Pedang pusakakah atau kapak penebang kayukah, semua boleh dipakai. Pendek kata yang menang tetap dianggap menang. Menurut penilaian pertandingan tadi, yang satu senjatanya terlepas jatuh, yang lain pedangnya kutung. Terlepasnya pedang Khik-sia memang terjadi lebih dulu, tapi kerusakan yang diderita pedang Se-kiat itu lebih besar. Karena kedua belah pihak tak mau melanjutkan bertanding dengan tangan kosong, maka menurut peraturan, pertandingan ini hanya dapat dianggap seri."
Sekalian hadirin menyetujui putusan juri itu. Apa boleh buat, Se-kiat dan Khik-sia tak mau berbantah lagi dan masing-masing saling menyatakan maaf. Selanjutnya berseru pula Hiong Ki-gwan.
"Menurut peraturan pertandingan, bagi setiap calon Beng-cu diharuskan bertempur satu kali. Babak ketiga ini sudah berlangsung dua kali pertandingan. Dari pihak Thiat-mo-lek yang maju pada pertandingan pertama ialah Thian-hiong. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Toan Khik-sia. Maka untuk pertandingan yang terakhir, haruslah Thiat-mo-lek sendiri yang tampil. Pihak Bo se-kiat, yang maju untuk pertandingan pertama ialah Kay Thian-ho. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Se-kiat sendiri. Untuk pertandingan terakhir, menurut peraturan pertandingan, Se-kiat boleh menyuruh lain kawannya yang maju, pun boleh juga ia sendiri lagi yang tampil."
Juri itu berhetnti sejenak, lalu bertanya kepada Se-kiat.
"Bo-siauhiap, apakah kau akan keluar sendiri atau suruh lain kawan yang maju?"
Se-kiat memberi hormat kepada Thiat-mo-lek, ujarnya.
"Kepandaian dari Thiat-cecu melebihi lain-lain orang. Keharuman nama Thiat-cecu termasyhur sampai jauh. Dengan setulus hati aku merasa kagum. Bahwa dapat memperoleh rejeki seperti saat ini, aku merasa beruntung sekali. Jika tak menampik, aku hendak mohon pengajaran pada Thiat-cecu."
"Ah, kepandaian Bo-heng begitu sakti. Apa yang kusaksikan tadi, benar-benar sesuai dengan kenyataan yang disohorkan orang. Bahwa Bo-heng sudi memberi pengajaran, sudah tentu aku tak berani menampiknya. Hanya saja, aku mempunyai suatu pengharapan. Jika Bo-heng dapat meluluskan, barulah hatiku merasa tenteram,"
Kata Thiat-mo-lek. Sahut Se-kiat.
"Apabila Thiat-cecu yang menitahkan, tak ada alasan bagiku untuk tak mentaati."
Sekalian orang gagah yang hadir di situ sama kenal bagaimana pribadi Thiat-mo-lek yang penuh dengan kebajikan dan luhur budi.
Harapan atau permintaan yang akan diajukan, tentu takkan bernada merugikan orang dan menguntungkan diri sendiri.
Tetapi sikap Se-kiat yang ragu-ragu menyatakaan kesediaannya itu pun mendapat pujian tinggi dari sekalian hadirin.
Serentak berserulah Thiat-mo-lek dengan suara sungguh-sungguh.
"Baiklah, sekali seorang ksatria sudah berkata ...."
"Laksana kuda dicambuk berlari cepat!"
Buru-buru Se-kiat menyanggapi.
Pada saat itu salah seorang anak buah Se-kiat telah mengantarkan sebatang pedang ceng-kongkiam kepadanya.
Maksudnya hendak minta Se-kiat berganti pedang baru karena pedangnya yang tadi sudah kutung.
Tapi karena melihat pemimpinnya (Se-kiat) sedang berbicara dengan Thiat-molek, maka orang itupun tak berani mengganggu dan hanya tegak menunggu di samping saja.
Tiba-tiba Thiat-mo-lek lambaikan tangan kearah Khik-sia.
"Toan-hiantit, berikanlah pedangmu itu kepadaku!"
Orang-orang di pihak Se-kiat terkejut. Pikir mereka.
"Tidak sari-sarinya Thiat-mo-lek berbuat begitu. Apakah karena hendak berebut kedudukan Bengcu, maka ia tak menghiraukan harga diri lagi?"
Apakah ia hendak gunakan pedang pusaka untuk menempur Bo Se-kiat yang sudah lelah?"
Khik-sia sendiri pun tampak ragu-ragu. Tapi terpaksa ia serahkan pedangnya juga. Setelah menerima pedang berkatalah Thiat-mo-lek dengan tenang.
"Bp-hengte, harap maafkan atas kelancanganku ini. Harap kau sudi memakai pokiam ini!"
"Apa artinya ini? Kau, kau ....."
Sahut Se-kiat dengan tergagap-gagap. Thiat-mo-lek cepat menyela.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap Bo-heng jangan salah paham. Sekali-kali aku tak bermaksud memandang rendah Bo-heng. Kau tadi sudah bertanding melawan Khik-sia, ini berarti aku mendapat kemurahan. Dengan berganti pakai pokiam, barulah pertandingan ini akan menjadi adil!"
Sekarang barulah orang-orang di pihak Se-kiat mengerti maksud Thiat-mo-lek. Mereka merasa malu sendiri, malu karena mengukur pribadi seorang ksatria dengan ukuran seorang siaujin (manusia rendah). Se-kiat tertawa gelak-gelak.
"Terima kasih atas kebaikan Thiat-cecu. Tapi maafkan, aku tak dapat menerimanya."
Ia sengaja hendak pamerkan lwekangnya.
Maka ketawanya itu bergemerontang seperti batu logam terbentur.
Kumandangnya jauh sampai menyusur ke lembah.
Dengan ketawa itu, Se-kiat hendak mengunjukkan bahwa ia masih mempunyai tenaga cukup untuk melayani Thiat-mo-lek, tak memerlukan suatu senjata apapun lagi.
Benar juga, kelihayan anak muda itu telah mengejutkan seluruh hadirin.
Thiat-mo-lek sendiri tetap tenang.
Dengan tersenyum simpul ia berkata.
"Kita kaum persilatan, selalu pegang teguh akan setiap patah ucapan. Masakan kita mau ingkar?"
Tampak Se-kiat kerutkan dahi. Setelah bersangsi sebentar, dengan enggannya terpaksa ia menyambuti pedang dari Thiat-mo-lek itu. Dalam detik-detik tadi, batinya mengalami pertentangan-pertentangan. Pertama ia membatin.
"Sifat kesatriaan Thiat-mo-lek ini amat menonjol sekali, menawan hati orang. Lebih baik aku mengalah, menyerahkan kedudukan Bengcu kepadanya."
Tetapi bisikan hatinya yang lain lagi menentang.
"Dari ribuan li aku datang kemari, apakah tujuanku? Seorang lelaki sejati yang mencita-citakan usaha besar, masakah goyah pendirian karena urusan kecil?"
Baru ia merenung begitu, tiba-tiba Thiat-mo-lek sudah mulai mempersilahkannya.
"Bo-heng adalah seorang tetamu dari jauh. Harap mulai menyerang dulu!"
Kening Se-kiat mengerut.
Ia sudah mengambil ketetapan.
Segera ia mengucapkan maafkanlah dan terus ayun pedangnya menyerang.
Waktu Thiat-mo-lek lintangkan pedang menangkis, Se-kiat memburunya lagi dengan tiga buah serangan berantai.
Begitu menyerang lantas mundur, lalu maju merapat lagi dan mundur pula.
Thiat-mo-lek juga seorang jago kawak.
Ia tahu gerakan anak muda itu dimaksud untuk mengalah sampai tiga jurus.
Hal itu selaku pernyataan terima kasih atas budi pinjaman pedang pusaka tadi.
"Harap Bo-heng jangan sungkan-sungkan,"
Katanya.
Dengan jurus Tiat-soh-heng-kang atau rantai besi melintang sungai ia halau pedang Se-kiat keluar garis pertahanannya.
Jurus itu mengandung dua gaya.
menyerang dan bertahan.
Memiliki gerak lanjutan yang membahayakan lawan.
Jika Se-kiat masih main sungkan tak mau menyerang sungguh-sungguh, ia tentu bakal terjirat dalam kedudukan sulit.
Se-kiat mengerti bahwa ia dipaksa lawan supaya menyerang sungguh-sungguh.
Ya, apa boleh buat.
Ia segera gunakan jurus pek-hong-koan-jit atau bianglala putih menyilang matahari.
Pedangnya menerobos masuk ke dalam lingkaran pertahanan Thiat-mo-lek.
Perbawa jurus pekhong- koan-jit itu dahsyat sekali.
Menusuk ke atas dan memapas ke bawah.
Pedang pusaka milik Toan Khik-sia itu, kali ini benar-benar dapat kesempatan untuk mengembangkan perbawanya.
"Bagus!"
Saking kagumnya, Thiat-mo-lek sampai berseru memuji.
Tapi iapun tak berani berayal.
Tiba-tiba pedangnya diputar berlingkar seperti gaya gerakan golok besar.
Kemudian baru melancar sebuah tabasan.
Tapi tabasan itu bergaya istimewa sekali, lain dari yang lain.
Ujung pedang dari bawah melibat ke atas, lalu dijungkirkan untuk memapas lengan kanan Se-kiat.
Ilmu permainan itu adalah buah ciptaan Thiat-mo-lek sendiri yang mengkombinasikan kelincahan ilmu pedang dengan kedahsyatan ilmu golok.
Hebatnya bukan kepalang.
Sudah tentu Se-kiat tak kenal akan permainan itu.
Hanya dalam meninjau kedahsyatan serangan lawan itu, diam-diam ia membatin.
"Jelas ia mengetahui aku memakai pedang pusaka, tapi mengapa ia sengaja mau main bentur?"
Trang, baru menimang begitu, sudah terdengar suara senjata beradu.
Dan melengketlah kedua pedang itu.
Tapi pada saat itu tahu-tahu Thiat-mo-lek sudah balikkan punggung pedang untuk hantam pedang lawan sekeras-kerasnya.
Begitu hebat tekanan tenaga yang dilontarkan Thiat-molek, hingga pedang Se-kiat menjadi condong, tangannyapun terasa sakit sekali.
Betapa ia hendak gunakan ilmu menghapusm namun hanya dapat menghapus tiga bagian tenaga lawan saja.
Kini barulah Se-kiat insaf akan tenaga Thiat-mo-lek yang luar biasa kuatnya itu.
Itulah sebabnya maka Thiat-mo-lek tak gentar menghadapi pedang pusaka.
Di pihak Thiat-mo-lek pun tak kurang kejutnya.
Bahwa hantamannya tadi tak mampu membuat pedang si anak muda terlepas jatuh, telah menimbulkan rasa kekaguman.
Perlu dikemukakan disini, bahwa Thiat-mo-lek itu memang dilahirkan sebagai anak lelaki yang memiliki tenaga luar biasa.
Kemudian diperhebat pula dengan latihan ilmu silat yang tinggi.
Kini ia sudah menginjak usia setengah umur, sudah tentu kepandaiannya makin sempurna.
Bagaimana dahsyat permainan pedangnya dapat dibayangkan.
Jika tempat Se-kiat diganti lain orang, tentu sudah tak kuat menahan gempurannya tadi.
Se-kiat baru berumur 20 tahun lebih.
Ia tak memiliki tenaga pembawaan yang sakti.
Dapat menerima gempuran Thiat-mo-lek itu saja sudah cukup membuktikan sampai dimana kesempurnaan lwekangnya.
Nyata dalam ilmu lwekang ia tak di bawah Thiat-mo-lek.
Berbicara tentang pedang pusaka atau pokiam, memang pokiam Khik-sia yang dipakai Se-kiat itu tajamnya bukan buatan.
Tapi pedang itu tak dapat menabas benda jika tak digerakkan oleh tangan pemakainya.
Apalagi untuk mengutungkan pedang Thiat-mo-lek, pedangnya itu berubah menjadi sebuah benda yang amat berat sekali.
Jika hendak memapasnya.
Se-kiat harus mengerahkan segenap lwekangnya.
Dan hal itu tak cukup dengan sekali dua tekan saja, melainkan harus dilakukan beberapa kali pada posisi yang berbeda-beda.
Tapi dikuatirkan sebelum pedang Thiat-mo-lek dapat ditabasnya kutung, pedangnya sendiri sudah akan terpukul jatuh oleh gempuran tenaga lawan yang maha kuat itu.
Kini berputar-putarlah anak muda itu memainkan pedangnya ke kanan kiri.
Gerakannya amat aneh dan berbahaya.
Jurus apa yang digunakan itu, sukar diketahui.
Tapi yang nyata, ia selalu menjaga jangan sampai berbenturan dengan pedang Thiat-mo-lek.
Rupanya ia hendak mencari lubang lemah dari pertahanan orang.
Tujuh kali serangan pedang ia lontarkan berturut-turut.
Saking gencarnya permainan pedang anak muda itu, sekalian penonton sampai berkunang-kunang matanya.
Thiat-mo-lek mengambil posisi menurut perhitungan "kiu-kiong-pat-kwa"
Untuk menghadapi serangan si anak muda.
Satu demi satu dapatlah ia memecahkan ketujuh serangan Se-kiat.
Sekonyong-konyong Thiat-mo-lek menggembor keras dan menusuk dengan cepat sekali.
Anginnya sampai menderu-deru.
Jurus itu disebut Toa-moh-ko-yan-tit atau asap membubung di padang pasir.
Sebenarnya hanya jurus ilmu pedang yang biasa saja, tapi di tangan Thiat-mo-lek, jurus itu hebatnya tak terkira.
Beberapa penonton yang berada di dekat gelanggang situ, sampai menggigil dingin karena mukanya tersambar angin pedang itu.
Se-kiat putar tubuhnya dan putar pedangnya melingkar bundar.
Gerakan itu tepat sekali dapat mengurung pedang lawan.
Tring, tring, kembali pedang mereka beradu dan cepat sekali pedang itu berpisah lagi.
Pedang Thiat-mo-lek berhias sebuah rompalan, sebaliknya, Se-kiat tersurut mundur beberapa langkah.
Jurus yang digunakan Se-kiat itu disebut Tiang-ho-lok-jit-wan atau matahari terbenam di sungai Tiang-ho.
Dengan jurus toa-moh-ko-yan-tit yang dipakai Thiat-mo-lek itu merupakan dua jurus ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat.
Pertarungan kedua jago tadi, sepintas pandang tampaknya seperti dua orang saudara seperguruan saling berlatih.
Tapi gerak keindahannya, inti kekerasan dan kelemasan dari ilmu pedang, rahasia-rahasia dari ilmu melepaskan diri dan mematikan lawan, semuanya telah tercangkup dalam kedua jurus permainan tadi.
Nyata kedua jurus itu telah diperkembangkan secara sempurna oleh kedua jago tersebut.
Kalau di tengah gelanggang kedua jago itu telah menumplak seluruh kemampuannya, adalah para hadirin yang menyaksikan di sekeliling gelanggang itu yang menjadi tegang.
Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah, napas naik turun tak berketentuan.
Setelah kedua jago saling pencar, sekalian orang gagah itu sama berpandangan satu sama lain sendiri.
Tokoh-tokoh kelas satu atau yang disebut ko-chiu, saat itu merasa dirinya kecil.
Mereka mengakui kepandaiannya masih jauh terpautnya dengan kedua jago yang bertanding itu.
Dan ketegangan suasana yang menyesakkan napas sekalian penonton itu kemudian telah dipecahkan dengan sorak-sorai yang menggemparkan.
Kalau dalam babak pertempuran Se-kiat lawan Khik-sia tadi, para hadirin sudah sama leletkan lidah, adalah kini sama sekali mereka tak menyangka bakal menyaksikan suatu pertempuran yang lebih tinggi mutunya.
Memang tampaknya pertempuran itu tak sehebat pertandingan Se-kiat lawan Khik-sia tadi.
Tapi bagi mata seorang ahli, pertandingan Se-kiat lawan Thiat-mo-lek sekarang inilah baru tepat disebut pertandingan ilmu pedang yang sesungguhnya.
Tadi Khik-sia mengkombinasikan ilmu gin-kang dengan ilmu pedang, maka gayanya pun berjenis ragam dan dilakukan serba cepat.
Bagi pandangan mata sudah tentu cara bertempur seperti itu menyenangkan sekali.
Tapi dalam hal keindahan ilmu pedang, kalah dengan partai yang terakhir ini.
Thiat-mo-lek kembangkan lagi permainan pedangnya.
Kali ini lebih menghebat.
Cepat dan dahsyatnya seperti harimau mengamuk, tapi tenang dan kokohnya bagaikan gunung.
Setiap jurus yang digunakan selalu ilmu pedang 'terang', tak mau ia memakai jurus-jurus aneh dan berbahaya untuk nyelonong menyerang ke bagian lemah dari lawan.
Sekalipun begitu karena setiap jurus itu mengandung perbawa yang dahsyat, lawan pun menjadi gentar juga.
Untuk menghadapi kekerasan lawan, Se-kiat gunakan inti 'kelemasan menundukkan kekerasan' dari ilmu pedang.
Baik gerak tubuh maupun permainan pedangnya, semua ringan bagaikan air mengalir atau awan bertebaran di udara.
Kedua jago itu yang satu gagah perkasa, yang lain lemah gemulai.
Kedua-duanya sama-sama menguasai pokok-pokok sari keindahan dari ilmu pedang.
Sampai detik itu pertempuran sudah berlangsung setengah jam, namun masih belum ada yang kalah atau menang.
Para jago pedang dalam kalangan hadirin itu sama terpesona seperti orang dimabuk arak.
Sementara sebagian besar dari hadirin, karena pertandingan itu merupakan babak final untuk menetapkan Bengcu, mereka sama tegang urat syarafnya.
Pendukung-pendukung Thiatmo- lek dan penunjang-penunjang Se-kiat, sama sibuk kerupukan sendiri.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka kebanyakan tak mengerti ilmu pedang, maka apabila ada salah seorang jago yang terdesak, reaksinya tentu disambut dengan kegirangan atau kecemasan oleh kaum pendukungnya.
Disamping itu ada lain golongan yang tidak pro sana-sini alias netral, mereka saling bertaruh.
Ada yang memegang Se-kiat dan ada yang memegang Thiat-mo-lek.
Merekapun tak kalah berisiknya sewaktu bersorak-sorak dan berteriak-teriak mendorong semangat jagonya masing-masing.
Walaupun lagi bertempur, namun Thiat-mo-lek tetap pasang mata dan telinga akan keadaan di sekitar gelanggang situ.
Jelas dilihatnya, apabila ia menang angin, maka pihak Li Thian-go dan kawan-kawan sama-sama berjingkrak-jingkrak marah.
Sebaliknya golongan Kay Thian-ho dan kawan-kawan tampak bermuram durja.
Walaupun tangan Thiat-mo-lek tak pernah berayal untuk menghalau serangan dan memecahkan tipu lawan, namun batinnya bergolak, pikirnya.
"Ucapan Han Wi tadi memang benar. Aku adalah anak angkat keluarga Tou. Perselisihan antara kedua keluarga Ong dan Tou itu sudah berjalan hampir seabad. Sekalipun Ong Pek-thong sudah meninggal dan puterinya sudah menyatakan suka menghapuskan dendam keluarganya, tapi anak buah Ong Pek-thong masih banyak sekali. Belum tentu mereka mau taat padaku. Ditilik dari gerak-gerik Li Thian-go dan kawan-kawan itu terang mereak itu tak suka aku menjadi Bengcu. Taruh kata aku menjabat Bengcu dan kuperlakukan mereka dengan sama rata, mungkin mereka akan berbalik pikiran. Tapi hal itu urusan di belakang hari, yang nyata pada waktu sekarang ini mereka mempunyai hati menentang lebih dulu. Kalau begitu, kedudukan Beng-cu tak ada manfaatnya bagiku, bahkan dapat meretakkan persatuan."
Kemudian pikirnya lebih jauh.
"Shin-toako dan To-siok-siok menasihati supaya aku merebut kedudukan Bengcu, maksudnya tak lain tak bukan ialah mengharap aku dapat mendamaikan silangsengketa di dunia Lok-lim. Dengan ada satu pimpinan, masalah rebutan daerah operasi dan barang rampasan tentu akan berkurang. Selain itu sebagai Bengcu ia berhak untuk memberi komando agar anggota-anggota di daerah-daerah suka saling membantu, kemudian dipersatukan untuk melawan tentara negeri. Memang maksud tujuan kedua orang itu baik sekali, tapi karena ternyata aku tak mempunyai kewibawaan untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan itu, maka tak berguna aku ikut bercokol menjadi raja gunung dan menentang kerajaan. Ah, mengapa saat ini aku ngotot hendak merebut kedudukan Bengcu? Mengapa tak mengalah saja?"
Baru Thiat-mo-lek menimang sampai disitu, Se-kiat kembali melancarkan 7-8 kali serangan berantai.
Serangan-serangan itu hebat dan indah sekali.
Meskipun Thiat-mo-lek dapat menghalaunya satu demi satu, namun tak urung hatinya merasa kagum juga.
Kembali pikirannya melayang.
"Bo Se-kiat ini selain berkepandaian tinggi pun selama berkelana di dunia persilatan itu ia selalu dapat menundukkan orang dengan bijaksana. Perilakunya itu dapat digolongkan sebagai ksatria yang berbudi luhur. To-sioksiok kuatir anak itu mempunyai hati serong. Kuatir bila dia menjadi Bengcu akan membawa kawan-kawan Lok-lim ke jalan yang nyeleweng. Memang hal itu pantas menjadi pemikiran. Tapi apakah benar dia akan berbuat begitu, itulah kelak baru dapat diketahui. Andaikata kemudian hari negara terjadi kekalutan, dan anak muda itu benar-benar mempunyai ambisi untuk menjadi raja, itupun apa salahnya?"
Lalu ia berpikir pula.
"Sekarang banyaklah orang yang mendukung Bo Se-kiat. Memang kalau dihitung jumlahnya, pendukungku tetap lebih besar dari dia. Tapi Li Thian-go dan kawankawannya itu adalah pengikut-pengikut setia dari Ong Pek-thong. Kalau disuruh memilih antara aku dengan Se-kiat, sudah tentu mereka akan memilih Bo Se-kiat. Setelah ia menjadi Bengcu, aku akan dapat mengusahakan supaya pengikut-pengikut Ong Pekthong dan anak buah Kim-ke-nia, taat padanya. Tapi jika aku yang menjadi Bengcu, tentu tak ada orang yang akan membantu aku supaya kawan-kawan Lok-lim itu tunduk padaku. Ditilik dari sudut ini, untung ruginya sudah jelas. Demi untuk persatuan, demi pergerakan, mengapa aku tak memberikan kedudukan Bengcu kepada Bo Se-kiat saja?"
Berpikir begitu, makin mantaplah keputusannya.
Tepat pada saat itu Se-kiat gunakan jurus beng-pok-kiu-siau.
Tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun sambil menusuk.
Setelah mempunyai ketetapan untuk mengalah, maka Thiat-mo-lek sengaja luruskan pedangnya kemuka pura-pura menangkis.
Bret, tahu-tahu lengan bajunya robek karena terpapas secabik oleh pedang Se-kiat.
Jilid 4 Cepat jago budiman itu loncat keluar gelanggang. Begitu pedang disarungkan ia segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat. Serunya dengan lantang.
"Bo-hengte benar-benar sakti, aku mengaku kalahlah. Selamat kuhaturkan kepada Bo-hengte sebagai Bengcu baru. Aku si orang she Thiat rela menjadi pengiringmu saja!"
Ucapan Thiat-mo-lek itu seperti bunyi halilintar di siang bolong.
Saking kejutnya akan kejadian yang tak disangka-sangka itu, sekalian hadirin menjadi bungkam semua.
Siapapun tak percaya bahwa Thiat-mo-lek secara tiba-tiba dikalahkan Se-kiat.
Dan pula hanya terpapas secabik lengan bajunya, masakan begitu mudah sudah mengaku kalah.
Se-kiat sendiripun merasa heran.
Tapi dikarenakan serangan Se-kiat itu memang luar biasa bagusnya dan tipu daya Thiat-mo-lek untuk berpura-pura kalah itu pun teramat indahnya, maka tiada seorangpun yang mengetahui siasatnya itu.
Bahkan Se-kiat sendiripun kena dikelabuhi.
Ia mengira bahwa secara beruntung sekali dapat mengalahkan lawan.
"Jurus peng-pok-kiu-siau yang kugunakan tadi adalah jurus yang mengandung resiko besar. Jika ia gunakan gerak ki-hwe-lian-thian (mengangkat api, menyuluh langit), karena tubuhku mengapung di udara aku tentu sukar menghindar. Kesalahannya tadi ialah ia tak seharusnya menjulurkan pedang lempang ke muka. Ah, menilik ilmu pedangnya yang amat sakti itu, mengapa tiba-tiba ia bisa berbuat kekeliruan? Apakah memang diriku sudah diberkahi untuk menjadi Bengcu hingga dalam saat-saat yang genting itu lawan berbuat kesalahan?"
Demikian Se-kiat mengadakan analisa dalam hatinya.
Hal itu disebabkan karena ia tahu bahwa serupa dengan dirinya sendiri, tadi tampaknya Thiat-mo-lek itu amat bernafsu sekali untuk merebut kedudukan Bengcu.
Sudah tentu ia tak mengetahui, kalau Thiat-mo-lek itu memang sengaja mengambil putusan untuk mengalah.
Setelah tersadar dari termenungnya, sekalian orang gagah sama membatin.
"Ya, dalam kedudukannya itu, jika karena kealpaan kecil sampai menyebabkan kekalahannya, sudah tentu Thiat-mo-lek sungkan untuk melanjutkan pertempuran. Sebagai seorang ksatria tentu ia mengaku kalah."
Lama sekali para orang gagah itu sama merasa gegetun atas kekalahan Thiat-mo-lek.
Malah ada juga yang penasaran, mengapa Thiat-mo-lek sampai gunakan jurus yang begitu tololnya.
Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, Thiat-mo-lek sudah mengaku kalah dan pengangkatan Se-kiat menjadi Bengcu itu sudah pasti.
Suasana sunyi yang meliputi gelanggang pertempuran itu, tiba-tiba dipecahkan oleh hiruk-pikuk dan sorak-sorai yang gempar.
Rombongan Kay Thian-ho dan rombongan Li Thian-go sama berbondong-bondong datang memberi selamat kepada Se-kiat.
Pihak rombongan Kim-ke-nia, walaupun masgul, tapi atas dorongan Thiat-mo-lek pun maju untuk memberi selamat kepada anak muda itu.
Melihat itu, diam-diam Thiat-mo-lek bergirang dalam hati.
Pikirnya.
"Pengalahanku itu ternyata tepat. Jika aku yang menjadi Bengcu, tak mungkin segenap hadirin akan memberi selamat dengan tulus hati sebagaimana sekarang terhadap Se-kiat."
Toan Khik-siapun tak ketinggalan maju memberi selamat. Se-kiat segera mengembalikan pokiam kepadanya sambil menghaturkan terima kasih. Kemudian Bengcu baru itu berkata.
"Toanhiante, ada dua orang sahabatmu juga datang kemari. Apakah kau sudah menjumpai mereka?"
"Belum. Tapi entah sahabat yang mana?"
Khik-sia balas bertanya. Berbareng dengan kata-katanya itu, Ang-ih-li-hiap Lu Hong-jiu ikut pada Shin Thian-hiong datang memberi selamat kepada Se-kiat. Memandang sejenak kepada nona baju merah itu, tiba-tiba terkilas sesuatu dalam hati Se-kiat.
"Sungguh tak kunyana sama sekali bahwa aku bisa berhasil menjadi Bengcu. Dan sekalian kawan-kawan sama memberi dukungan. Mereka begitu hiruk-pikuk kacau. Entah dimanakah kedua sahabatmu tadi? Tapi jangan gelisah, sebentar mereka berdua tentu akan mencarimu juga!"
Kata Se-kiat kemudian kepada Khik-sia. Di sana Yak-bwe sedang berbisik perlahan-lahan kepada In-nio.
"Cici In, kiong-hi, kionghi!"
Kiong-hi artinya memberi selamat. Sudah tentu muka In-nio menjadi merah dibuatnya. Ia berseru.
"Kiong-hi untuk apa?"
"Si dia telah menjadi Bengcu tanpa merusak perhubungan dengan Thiat-sioksiok. Apakah ini tak layak kuberi kiong-hi?"
Sahut Yak-bwe.
"Kong-hi, kiong-hi juga kepadamu!"
In-nio balas menghaturkan hormat.
"Apa yang kau kiong-hikan?"
Tanya Yak-bwe dengan keheranan.
"Kiong-hi untuk pergabungan kalian berdua pada hari ini. Itu lihatlah, dia mu juga sedang memberi selamat pada Se-kiat. Mengapa kau tak lekas-lekas menjumpai dia kesana?"
Kata In-nio. Tapi waktu Yak-bwe arahkan matanya kesana, dilihatnya si nona baju merah tengah berdiri merapat pada Khik-sia, Yak-bwe segera jebikan bibir dengan marahnya.
"Aku tak sudi kesana!"
Serunya dengan banting-banting kaki. In-nio tertawa.
"Kau adalah tunangannya yang sah, yang resmi, mengapa takut pada nona itu?"
"Siapa bilang aku takut padanya!"
Yak-bwe menggeram.
"Habis mengapa kau tak berani menemui dia?"
Kata In-nio dengan setengah mengejek setengah membakar hatinya. Benar juga Yak-bwe kena dibikin panas hatinya. Ia biarkan saja ditarik berjalan oleh In-nio.
"Nona Lu itu berhati lapang, ramah terhadap orang. Belum tentu ia mempunyai apa-apa dengan Se-kiat. Harap kau jangan terburu ngambek dulu,"
Kata In-nio pula sambil tertawa.
Saat itu di tengah gelanggang sudah ramai sekali.
Penuh dengan orang yang mondar-mandir kian kemari mengelilingi Se-kiat.
Belum In-nio dan Yak-bwe berhasil mendekati ke tempat Se-kiat, tiba-tiba terdengar ada orang berseru.
"Hai, cuaca begini cerah, di langit tiada awan sama sekali, mengapa mendadak ada suara guntur?"
Kedua nona itu turut mendengarkan. Benar juga lapat-lapat seperti ada guntur menggelegar.
"Tidak, itu bukan suara guntur, tapi seperti bunyi genderang tentara negeri!"
Tiba-tiba Hiong Kigwan, jago tua yang menjadi juri dalam pertandingan babak terakhir tadi, menyeletuk.
Dia seorang veteran (jago kawak) yang kenyang dengan pengalaman bertempur melawan tentara negeri.
Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras.
Segumpal asap yang berwarna hitam kebiru-biruan melayang ke udara.
Datangnya bola asap itu dari kaki gunung.
Itulah coa-yam-cian atau panah ular api yang dilepas oleh kawanan kaulo ( anak buah) dari gunung Kim-ke-nia.
Coa-yam-cian itu diperuntukkan memberi tanda jika ada bahaya datang.
Selagi sekalian orang menduga-duga, dua orang thaubak (kepala liaulo) berlari-lari datang sambil melambai-lambaikan bendera merah.
"Celaka, pasukan tentara negeri menyerbu kemari!"
Teriak mereka. Seketika gemparlah orang-orang gagah di gelanggang situ. Mereka sama menggertek gigi dengan marah. Di sana sini segera terdengar orang memaki-maki.
"Tentu ada pengkhianat yang membocorkan tentang rapat kita ini!"
Seru seseorang.
"Jahanam, mereka hendak mengadakan razia untuk menangkap kita!"
Ada seorang lain yang mendamprat.
"Bagus, kebetulan sekali mereka datang! Kita cincang mereka sampai hancur lebur untuk selamatan hari pengangkatan Bengcu kita!"teriak seorang lagi dengan gagahnya. Se-kiat segera meredakan mereka.
"Harap saudara-saudara jangan panik. Kita lihat dulu keadaan mereka, baru nanti kita atur perlawanan!"
Sementara itu genderang berbunyi memecah angkasa.
Bendera berkibar-kibar seperti lautan pelangi.
Tentara negeri bagaikan air bah sudah menyerbu datang.
Se-kiat dan Thiat-mo-lek memperhatikan dengan seksama.
Tentara yang datang itu ternyata bukan serdadu biasa.
Mereka sama mengenakan baju perang yang lengkap.
Garang dan tegar-tegar tampaknya.
Jelas mereka itu terdiri dari empat buah pasukan.
Mereka melakukan penyerangan dalam formasi mengurung bersama.
Pasukan mereka amat rapi, bergelombang datangnya, tapi tidak kacau.
Pimpinannya tentu seorang yang mempunyai bakat tay-ciang (jenderal) cemerlang! Sekalian orang gagah yang berkumpul di atas gunung Kim-ke-nia itu memang rata-rata mempunyai kepandaian silat tinggi, pun sudah beberapa kali bertempur dengan tentara negeri.
Tapi rasanya mereka belum pernah menghadapi gelombang serangan dari pasukan negeri yang begitu besar jumlahnya dan bagus disiplinnya.
Walaupun ada beberapa orang yang masih gembar-gembor mengumpat caci, tapi diam-diam mereka itu sebenarnya gentar juga.
"Kawan-kawan, kita yang hadir sekarang benar gagah berani, tapi mereka hanya mengandalkan keberanian saja. Kebanyakan belum pernah mendapat latihan kemiliteran. Dikuatirkan sukar menghadapi serangan tentara negeri seperti kali ini,"
Diam-diam Se-kiat membuat analisa dalam hati.
Baru ia membayangkan hal itu, tentara negeri sudah maju.
Kini mereka sudah berhasil mencapai setengah bagian gunung.
Thiat-mo-lek terbeliak kaget.
Pasukan yang datang dari sebelah utara dan selatan itu, yang satu membawa bendera bertuliskan huruf "Cin"
Dan yang lain membawa bendera berhuruf "Ut-ti."
Nyata kedua pasukan itu adalah pasukan Gi-lim-kun (istana) yang dipimpin oleh Cin Siang dan Ut-ti Lam.
Diam-diam Thiat-mo-lek mengeluh.
Dahulu sewaktu ia masih bekerja sebagai Wi-su (pengawal istana), ia bersahabat baik sekali dengan Ut-ti Lam dan Cin Siang.
Siapa nyana kini ia harus berhadapan dengan mereka sebagai musuh! Se-kiat kerutkan alis.
Ujarnya kepada Thiat-mo-lek.
"Ah, ternyata mereka itu adalah pasukan Gi-lim-kun dari Tiang-an. Menilik gerakan mereka yang sedemikian besarnya itu, pastilah ada pengkhianat yang membocorkan pertemuan kita kepada pihak kerajaan."
Anak muda itu berhenti sejenak lalu menyambung pula.
"Karena musuh dipersiapkan rapi, turut pendapatku lebih baik kita mundur saja. Meskipun dengan berbuat begitu kita akan korbankan markas Shin-toako di sini, tetapi kekuatan induk kita masih dapat diselamatkan. Setelah nanti kekuatan kita tersusun kuat, kita akan gempur mereka lagi. Bagaimanakah pendapat Toako?"
Thiat-mo-lek juga mempunyai pikiran begitu.
Ia menyatakan persetujuannya.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi belum saja kata-katanya selesai, pasukan musuh dari arah timur dan barat sudah menyerbu datang.
Pasukan dari sebelah timur itu bukan pasukan Gi-lim-kun.
Pemimpinnya seorang tua yang berwajah merah, itulah Yo Bok-lo, musuh besar dari Thiat-mo-lek.
Ayah Thiat-mo-lek dibunuh oleh orang she Yo itu.
Sementara pemimpin pasukan dari sebelah barat adalah Gou Beng-yang, thongleng atau pemimpin pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su.
Jika bertemu musuh besar, orang tentu menjadi beringas.
Walaupun setuju untuk mundur, namun begitu melihat Yo Bok-lo, Thiat-mo-lek menjadi lupa segala.
Serentak ia memburu maju dan berseru.
"Bagus, bangsat tua, kiranya kau belum mampus! Aku Thiat-mo-lek memang hendak mencarimu!"
"Thiat-toako, kembalilah!"
Dengan terkejut Se-kiat buru-buru memanggilnya.
Tapi Thiat-molek tak mau menghiraukan lagi.
Yang tiba lebih dahulu ternyata pasukan berkuda dari Cin Siang.
Kuda mereka kuda pilihan, maka dapat mendaki naik dengan cepat.
Serta tiba, mereka lalu menghambat jalannya Thiat-molek.
Kedatangan Cin Siang kesitu itu, sebenarnya bukan atas kehendaknya sendiri.
Tian Seng-su mengirim laporan rahasia kepada pihak kerajaan, mengatakan bahwa pada hari itu benggolanbenggolan perampok dan penyamun dari berbagai aliran akan mengadakan pertemuan di gunung Kim-ke-nia.
Hal itu merupakan suatu ketika baik untuk merazia mereka.
Agar gerakan razia itu berhasil bagus, Tian Seng-su minta pihak kerajaan suka mengirimkan pasukan Gi-lim-kun untuk membantunya.
Pihak kerajaan terpaksa meluluskan.
Pertama, untuk merebut hati Tian Seng-su, seorang "war lord" (panglima daerah yang berkuasa besar).
Kedua, karena kawanan penyamun itu merupakan pengganggu keamanan negeri.
Dengan mengadakan pertemuan besar, mereka tentu akan mengadakan gerakan rahasia yang membahayakan negara.
Dengan pertimbangan itu, mau tak mau pihak kerajaan lalu mengirim pasukan pilihan, Gi-lim-kun.
Dan memang jalannya kehidupan manusia itu serba aneh.
Seperti sudah suratan nasib, Cin Siang dan Ut-ti Lam yang diwajibkan untuk memimpin pasukan Gi-lim-kun itu.
Sudah hampir 10- an tahun, Cin Siang tak pernah bertemu dengan Thiat-mo-lek.
Maka mereka menyangka sama sekali kalau bakal berjumpa lagi dalam keadaan yang begitu.
Keduanya sama merasa tak enak hatinya.
Dengan suara pelahan mungkin, Cin Siang berseru.
"Thiat-hengte, mengapa kau menyiksa diri di dalam kawanan penyamun? Kini kawanan dorna sudah dibersihkan dalam kalangan kerajaan. Lebih baik kau ikut aku kembali ke Tiang-an lagi. Dengan segenap jiwa raga, aku sanggup melindungi dirimu."
Sahut Thiat-mo-lek.
"Masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri-sendiri. Maaf, siaute tak dapat meluluskan titah toako itu. Apabila Toako suka mengingat akan persaudaraan kita yang lalu, harap Toako suka beri jalan pada Siaute. Nanti bila Siaute sudah dapat melakukan pembalasan sakit hati, Siaute rela menyerahkan diri untuk memenuhi harapan Toako."
Saat itu pun Jo Bok-lo sudah tampak mendatangi. Masih jauh ia sudah berteriak.
"Bangsat itu adalah kepala penyamun Kim-ke-nia, Thiat-mo-lek. Cin-towi, jangan lepaskan dia, aku segera datang!"
Apa boleh buat terpaksa Cin Siang pura-pura marah, bentaknya.
"Baik, karena kau tolak nasehatku yang baik, lihatlah senjataku!"
Pemimpin Gi-lim-kun itu segera ayunkan sepasang "kan", senjata gada bersegi banyak.
Waktu Thiat-mo-lek menangkis, barulah ia mendusin bahwa sahabatnya itu sebenarnya tak bermaksud menyerang sungguh-sungguh.
Nyata Cin Siang hanya gunakan lima bagian dari kepandaiannya saja.
Thiat-mo-lek juga bukan orang yang lupa sahabat.
Ia tak mau menyerang sungguh-sungguh.
Hatinya merasa gundah.
Pun Cin Siang serupa perasaannya.
Ia tak kurang sulitnya.
Tak mau melepaskan Thiat-mo-lek, juga tak ingin melukainya.
Sungguh suatu kedudukan yang serba sulit.
Dalam pada itu, Ut-ti Pak, saudara Ut-ti Lam, sedang congklangkan kudanya mendatangi.
Sembari angkat pian, ia berseru.
"Kepala penyamun yang merampok kuda negara berada di sana. Ha, Tecu dari Kim-ke-nia juga di sana. Cin-toako, ringkus bangsat itu!"
Si berangasan Ut-ti Pak itu ternyata bukan orang tolol.
Dalam saat-saat yang genting dapat juga ia menemukan akal.
Dengan seruan itu, ia kasih jalan pada Cin Siang agar Thiat-mo-lek bisa bebas.
Rupanya Cin Siang tahu juga akan maksud si berangasan itu.
"Ya, ya, kita lebih penting tangkap tawanan itu. Yo lo-siansing, kuserahkan orang ini kepadamu supaya kau mendapat pahala."
Ia pura-pura hantamkan senjatanya, lalu bersama Ut-ti Pak maju kemuka, menerjang barisan penyamun.
Kini Thiat-mo-lek mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan musuh besarnya.
Dengan menggerung keras, ia menyongsong Yo Bok-lo dengan serangan jurus lat-bik-hoa-san atau menhantam sekuat-kuatnya gunung Hoa-san.
Sebenarnya jurus lat-bik-hoa-san itu merupakan jurus ilmu permainan golok.
Bahwa Thiat-mo-lek sudah gunakan pedang dengan jurus ilmu golok, adalah karena ia sangat bernafsu sekali untuk menyerang musuh itu.
Yo Bok-lo menghadapinya dengan tangan kosong.
Sekali kakinya berputar, ia lantas mainkan ilmu pukulan chit-poh-tui-hun-ciang-hoat.
Tangan kiri merangsang untuk menampar gigir golok lawan, berbareng tangan kanan menghantam dada Thiat-mo-lek.
Jika senjata orang tertampar, Yo Bok-lo sedianya terus akan gunakan gong-chiu-jip-peh-jin, dengan tangan kosong merebut senjata lawan.
Tapi serta tenaga keduanya saling beradu, tangan Yo Bok-lo segera berdarah.
Dan sekali ujung pedang Thiat-mo-lek diputar, kembali telapak kaki Yo Bok-lo tergurat luka.
Untung tadi pedang Thiat-mo-lek sedikit condong karena kena ditampar lawan, jadi posisi pedangnyapun mendoyong.
Jika tidak, telapak kaki orang she Yo itu tentu sudah kutung! Dahulu sudah beberapa kali Yo Bok-lo bertempur dengan Thiat-mo-lek.
Dan setiap kali tentu dialah yang menang angin.
Maka mimpipun tidak dia bahwa dalam gebrak pembukaan saja ia sudah menderita luka.
Kejut orang she Yo itu tak terperikan.
"Beberapa tahun tak berjumpa, ternyata kemajuan anak ini bertambah pesat sekali!"
Diam-diam ia harus mengakui. Tapi Thiat-mo-lek juga tak kurang getarnya.
"Bangsat tua ini umurnya sudah mendekati 70-an tahun, tapi ia sanggup menyambut serangan pedangku dengan tangan kosong. Jika aku tak menang dari tenaga kemudaanku, mungkin aku benar-benar bukan tandingannya!"
Waktu bertempur lagi, keduanya sama-sama tak berani memandang rendah.
Karena menderita luka lebih dulu, Yo Bok-lo tetap yang rugi.
Waktu Gou Beng-yang datang dengan pasukannya, ia lantas membantu Yo Bok-lo.
Betapapun lihaynya Thiat-mo-lek, namun karena musuh banyak jumlahnya, jadi ia tetap terkepung.
Tapi Se-kiat sudah keluarkan perintah untuk mundur.
Tapi karena melihat Thiat-mo-lek terkepung, orang-orang sebawahan lama dari keluarga Tou dan anak buah Kim-ke-nia, tak mau berpeluk tangan.
Dengan gagah berani mereka menyerbu tentara negeri.
Tapi anak buah pasukan Gi-lim-kun itu sama mengenakan baju perang dari besi.
Pula mereka itu sudah terlatih baik untuk berperang secara massal (gelombang besar).
Sebaliknya kawanan orang gagah dari Lok-lim itu hanya mahir dalam ilmu silat perseorangan.
Sekalipun setiap orang sanggup melawan sepuluh musuh, namun menghadapi gelombang serangan dari empat jurusan, mereka tetap kewalahan juga.
"Toan-hiante, lekas bantu Thiat-sioksiokmu keluar dari kepungan. Minta dia supaya suka memikirkan keadaan keseluruhannya dan lekas turut kita mundur!"
Buru-buru Se-kiat meneriaki Khik-sia. Habis itu ia berseru keras.
"Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak memperoleh kayu bakar! Teng-locianpwe, To-toasiok, harap kalian pimpin kawan-kawan dari lain-lain tempat dan mundur ke belakang gunung. Shin-cecu, pimpinlah anak buah Kim-ke-nia melawan di bagian tengah, Kay Thian-ho, kau dan aku yang memotong di bagian belakang!"
Sekalian orang gagah yang mendengar perintah itu, sama taat.
Mereka anggap komando Bengcu baru itu tepat sekali.
Tetapi masih ada beberapa orang yang bawa maunya sendiri, bertempur secara perseorangan.
Lebih-lebih anak buah dari gunung Hui-hou-san, Yan-san-ce dan Kim-ke-nia.
Mereka baik sekali dengan Thiat-mo-lek, seperti saudara sehidup semati.
Mereka hanya curahkan perhatian untuk menolong Thiat-mo-lek.
Perintah Se-kiat tadi dianggapnya sepi saja.
Melihat itu hati Se-kiat merasa kecewa dan girang.
Kecewa karena ia masih kalah berwibawa dengan Thiat-mo-lek.
Ya, maklum, karena baru saja menjabat Bengcu.
Girang sebab ia mengetahui ciri kelemahan Thiat-mo-lek, yakni kekurangan toleransi (kesabaran), Thiat-mo-lek masih mudah dipengaruhi oleh rasa sentimen kemarahan.
Ini bukan martabat dari seorang pemimpin besar.
Selintas timbul dalam hati Se-kiat untuk melepas budi, maka begitu mencemplak seekor kuda tegar, ia lantas menerjang maju.
Anak buah Kim-ke-nia saat itu tengah dikepung pasukan Gi-lim-kun.
Mereka dicerai-beraikan oleh tentara kerajaan itu sehingga tak dapat saling bantu.
Kesitulah Se-kiat menyerbu.
Pakaian baja dari Gi-lim-kun berat dan tak tembus senjata tajam, tapi dengan permainan pedang yang lihay, Se-kiat selalu dapat menusuk tepat ke bagian tenggorokan mereka yang tak terlindung itu.
Dalam beberapa kejap saja robohlah berpulu-puluh anggota Gi-lim-kun.
Dengan begitu dapatlah Se-kiat menolong anak buah penyamun yang sudah tercerai-berai itu.
"Bukankah kau ini Bo Se-kiat yang merampas kuda milik kerajaan!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
Menyusul seekor kuda putih menerjang tiba.
Penunggangnya seorang opsir bermuka hitam.
Orang dengan kudanya, merupakan suatu warna yang amat kontras sekali.
Opsir itu bukan lain ialah kakak dari Ut-ti Lam, Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak.
Serta saling merapat, Ut-ti Pak segera ayunkan piannya menyabat, Se-kiat berseru memuji dan balas menusuk dengan pedang.
Waktu Ut-ti Pak hendak menangkis, secepat kilat Se-kiat putar arah pedangnya, menusuk kuda putih lawan.
Jurus serangan itu disebut "Li-kong-sia-ciok" (Li Kong memanah batu).
Ujung pedang menusuk kepala kuda.
Tapi Ut-ti Pak pun bergerak sebat sekali.
Hampir pada waktu berbareng, iapun sudah balikkan pian menampar leher kuda Se-kiat.
Kuda terjungkal roboh dan Se-kiat terlempar.
Kini keduaduanya sama-sama tak berkuda lagi.
"Sayang, sayang! Kepandaianmu begitu hebat, mengapa mau jadi penyamun?"
Teriak Ut-ti Pak.
"Memang aku tak berhasratkan pangkat. Hal itu pernah kukatakan kepada adikmu!"
Sahut Sekiat.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, pertempuranmu dengan adikku di gunung Pak-bong-san telah kuketahui. Terima kasih atas kemurahan hatimu kepadanya. Turut kepantasan, seharusnya aku lepaskan kau, tapi aku masih ada sedikit ketidakpuasan. Tempo hari dengan tangan kosong kau dapat merebut senjata pian adikku. Maka kini jika aku tak menempur kau sampai beberapa puluh jurus, kau tentu menganggap ilmu permainan pian dari keluarga Ut-ti hanya sebegitu saja!"
Kata Ut-ti Pak.
Se-kiat mengucapkan beberapa patah kata merendah.
Segera Ut-ti Pak mainkan piannya untuk mengurung tubuh Se-kiat.
Terpaksa Se-kiat melayani dengan hati-hati.
Ternyata permainan ilmu pian dari Ut-ti Pak itu jauh lebih lihay dari adiknya.
Kalau sewaktu berhadapan dengan Ut-ti Lam, Se-kiat dapat menang dengan hanya memakai tangan kosong.
Tapi sekarang walaupun menggunakan pedang, namun ia hanya dapat bermain seri saja melawan Ut-ti Pak.
Kedua jago itu bertempur dengan serunya.
Kalau Ut-ti Pak beringas dan tangkas, adalah Se-kiat bermain dengan tenangnya.
Sinar-sinar pedangnya seperti mata rantai yang melingkar-lingkar laksana hujan deras.
Keduanya sama kuat dan gagah.
Melihat jalannya pertempuran itu, diamdiam Se-kiat menjadi sibuk sendiri.
Di sana Toan Khik-sia pun mengamuk laksana banteng ketaton.
Ia berlincahan dengan ginkangnya yang hebat.
Menusuk kesana, menabas kesini.
Pagar berlapis yang merupakan pasukan musuh itu, tak dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda itu.
Setempo ia menyelinap masuk di antara barisan tentara, lain waktu ia berloncatan melampaui kepala para opsir musuh.
Dalam beberapa kejap saja ia sudah berhasil menerjang masuk ke dalam kepungan tentara yang memagari Thiat-mo-lek itu.
Di dalam barisan yang mengepung Thiat-mo-lek itu terdapat Yo bok-lo, Gou Beng-yang dan belasan bu-su kelas satu yang menjadi orang sebawahan Tian Seng-su.
Menurut penilaian, pasukan pengepung itu jauh lebih kuat dari pasukan Gi-lim-kun.
Dalam kesempatan waktu Toan Khik-sia melambung ke udara, ia segera gunakan jurus "gin-hosia- ing"
Atau Bima Sakti (sungai bintang) meluncurkan bayangan.
Ujung pedangnya langsung mengancam Yo bok-lo.
Waktu Yo Bok-lo menghindar ke samping, terdengarlah dua kali jerit ngeri.
Dua orang Busu yang berada di kanan-kiri Yo Bok-lo, sudah tembus tenggorokannya.
Kiranya jurus Gin-ho-sia-ing itu mempunyai tiga gerakan berisi tenaga penuh.
Sinar pedang berubah menjadi lingkaran jaring yang tertebar.
Dalam lingkaran seluas satu tombak persegi, musuh tentu akan termakan binasa.
Lihaynya bukan kepalang.
Yo Bok-lo menggeram marah.
Sekaligus ia menghantam kedua pelipis Khik-sia dengan sepasang tangan.
Saat itu Khik-sia baru saja turun ke tanah.
Sudah tentu Thiat-mo-lek menjerit kuatir, cepat ia hantankan pedangnya ke tengah untuk menahan pukulan Yo Bok-lo itu.
Tapi ternyata Khik-sia dapat bergerak luar biasa sebatnya.
Ia sudah secepat kilat menyerang tiga kali.
Angin sambatan pedangnya menampar ke muka lawan.
Tapi ternyata Yo Bok-lo itu seorang jago kawakan yang kenyang pengalaman.
Dengan tenang sekali, ia gerakkan kedua tangannya untuk membela diri dan menyerang.
Dalam sekejap saja ia sudah dapat memecahkan serangan Khik-sia tadi.
Gou Beng-yang buru-buru menghampiri.
"Lo-chiu-poan-kin"
Atau pohon tua melingkarkan akar, adalah jurus yang dimainkan Gou Beng-yang untuk menyapu kaki Khik-sia.
Tetapi dengan berlincahan macam anak kecil main loncat tali, tiga kali serangan pian beruntung dari Gou Bengyang itu selalu hanya menyambar lewat di bawah sepatu Khik-sia saja.
Dalam pada itu Khik-sia telah berputar diri dan membentaknya.
"Bagus, kau benar-benar kaum budak yang ganas, biar kubunuhmu dulu!"
"Cik-ci-thian-lam"
Atau lurus menuding ke arah langit selatan, adalah jurus yang ditusukkan Khik-sia.
Ujung pedangnya menyusup ke dalam lingkaran pian dan terus menusuk ke muka orang.
Gou Beng-yang tersipu-sipu gunakan gerak "lengkungkan pinggang menanam pohon-liau".
Sembari tekuk pinggang ia gelincirkan kakinya.
Dengan susah payah barulah ia dapat lolos dari tusukan Khik-sia.
Namun bagaikan bayangan melekat, Khik-sia memburu dan menyusuli pula dengan serangan yang bertubi-tubi.
Beng-yang menjadi sibuk bukan buatan.
Sebagai Thong-leng dari pasukan Gwe-thok-lam, sudah tentu Beng-yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi.
Hanya karena pernah kecundang satu kali oleh anak muda itu, maka belum-belum ia sudah mempeuyai rasa takut terhadap Khik-sia.
Rasa takut merupakan halangan besar bagi orang tengah bertempur.
Karena takut, permainannya menjadi tak wajar.
Terhadap serangan Khik-sia itu, ia hanya dapat menangkis, sama sekali tak mampu balas menyerang.
Melihat itu, Yo Bok-lo buru-buru berteriak.
"Gunakan Te-hong-to dan Liu-sing-ji untuk menghadapinya!"
Te-tong-to artinya ilmu permainan golok dengan bergelundungan di tanah.
Sedang Liu-sing-jui adalah senjata bandringan yang diikat dengan rantai.
Te-tong-to khusus untuk membabat kaki orang, sedang Liu-sing-jui menyambar-nyambar di udara untuk menghantam batok kepala musuh.
Ternyata dalam rombongan Bu-su itu, ada empat orang murid Yo Bok-lo.
Berkat dilatih Yo Bok-lo, ada dua orang muridnya yang mahir dalam ilmu Te-tong-to dan dua orang lagi yang pandai menggunakan Liu-sing-jui.
Terhadap musuh yang lihay ginkangnya, kedua senjata itu paling cocok digunakan.
Tapi ginkang Khik-sia terlalu tinggi untuk diserang oleh kedua senjata itu.
Dari bawah golok tak dapat mengenai kakinya, dari atas Liu-sing-jui tak mampu menghantamnya.
Tapi sekalipun begitu, Khik-sia terpaksa harus menjaga diri.
Dan karena itu tekanan yang diderita Gou Beng-yang menjadi kendur juga.
Kini rasa takut Beng-yangpun mulai hilang.
Tiang-pian atau ruyung panjang segera dikembangkan dengan hebat.
Dibawah teriakan dan bantuan para Bu-su, kini ia berbalik menjadi menang angin.
Tiba-tiba di barisan tentara negeri terbit kekacauan.
Dua orang pemuda menerjang maju.
Menyusul terdengar suara kelintingan.
Seorang nona baju merah tampak berlarian datang.
Itulah Sip-hun-leng Lu Hong-jiu.
Orangnya belum tiba, senjata rahasianya sudah melayang.
Seperti telah disebutkan di atas, senjata rahasianya itu berupa kelintingan emas yang besarnya hanya seperti jari telunjuk.
Jika tak digunakan, dipasang pada ujung bajunya sebagai perhiasan.
Kini ia timpukkan kelinting-kelinting emas itu sebagai senjata rahasia.
Suaranya berkelintingan menusuk telinga.
Timpukan Lu Hong-jiu bukan sembarang timpukan melainkan mengarah jalan darah orang.
Seketika beberapa orang Bu-su sudah bergelimpangan roboh.
"Celaka, Si-hun-leng dari keluarga Lu!"
Beberapa Bu-su yang kenal akan kelintingan istimewa itu segera berteriak kaget.
Mendengar itu, paniklah barisan Bu-su.
Mereka desak-mendesak lari kian kemari untuk menyelamatkan diri.
Pada lain kejap, kedua pemuda tadipun sudah menerjang datang.
Kiranya mereka bukan lain ialah Yak-bwe dan In-nio yang menyaru sebagai lelaki.
Yak-bwe yang tiba lebih daulu, segera membabat ke bawah.
Salah seorang yang menyerang Khik-sia dengan ilmu golok Te-tong-to tadi, segera tak berkutik lagi.
Kini setelah berkurang tekanannya, Khik-sia segera kisarkan kaki dalam gerak Ih-hing-hoan-wi (pindah bentuk ganti tempat).
Begitu sang kaki melangkah, orang satunya yang menyerang dengan Te-tong-to tadi ikut terpijat remuk tulang punggungnya.
"Terima kasih!"
Khik-sia berpaling ke arah Yak-bwe seraya berseru. Dan saat itu Yak-bwe pun tengah memandangnya. Empat mata saling beradu. Khik-sia terkesiap. Rasanya ia seperti sudah pernah bertemu dengan "pemuda"
Itu, tapi lupalupa ingat ia dimana. Apalagi di medan pertempuran yang dahsyat seperti kala itu, tak sempat lagi ia menggali ingatannya.
"Wut, wut,"
Tiba-tiba terdengar bandringan menyambar kepala Khik-sia.
Walaupun sekarang ia tak perlu kuatir lagi, namun tak boleh ia tinggal diam saja.
Ia enjot tubuhnya ke atas untuk menyambar rantai Liu-sing-jui.
Sudah tentu orang itu tak dapat menandingi tenaga Khik-sia.
Sekalai dibetot, Liu-sing-jui itu terlepas dari tangannya.
Setelah merebut Liu-sing-jui musuh, Khik-sia segera timpukkan ke arah Liu-sing-jui musuh kedua yang tengah menyambar datang.
"Trang!"
Saking kerasnya hantaman Khik-sia, orang kedua yang menyerang dengan Liu-sing-jui itu sampai jungkir-balik.
Begitu merangkak bangun cepatcepat ia lantas ikut jejak kawannya untuk melarikan diri.
In-nio dan Yak-bwe lintangkan pedang untuk menyambuti sebatang pian Beng-yang.
Dengan begitu dapatlah Khik-sia kesempatan untuk menghajar kedua penyerangnya yang menggunakan Liu-sing-jui tadi.
Kemudian anak muda itu berputar diri dan menyerang Beng-yang kembali.
Satu persatu saja sebenarnya Gou Beng-yang itu bukan tandingan Khik-sia, apalagi ditambah dengan Innio dan Yak-bwe berdua.
Cret, pantat Beng-yang termakan sebuah tusukan pedang.
Tanpa banyak pikir lagi, orang she Gou segera angkat kaki seribu.
"Bagus, Toan siauko, ilmu pedangmu sungguh hebat. Jurus kim-cian-tok-kiap tadi indah sekali!"
Tiba-tiba Lu Hong-jiu kedengaran memuji. Ternyata nona itupun sudah dapat menerjang ke dekat Khik-sia. Tadi waktu pertama kali mendengar mulut Khik-sia mengucapkan terima kasih kepadanya, perasaan hati Yak-bwe seperti dimabuk sarinya madu.
"Apakah ia belum mengetahui diriku? Ai, kali ini kau tentu tahu betapa kesetiaan hatiku padamu!"
Pikirnya. Tapi kini demi Lu Hong-jiu muncul ke dekat Toan Khik-sia dan bahu merapat bahu bertempur melawan musuh, sejenakpun Khik-sia tak mau berpaling kemari lagi. Hati Yak-bwe mendongkol sekali.
"Bagus, kau masih pura-pura tak kenal padaku!"
Diam-diam ia mendamprat.
Namun saat itu masih dalam pertempuran, maka Yak-bwe pun tak dapat menumpahkan kemarahannya dan terpaksa hanya mengikut di belakang anak muda itu untuk menggempur musuh.
Hong-jiu kembali memetik 3 buah kelinting emas.
Sekali ayunkan tangan, ketiga kelinting itu segera melayang merupakan bentuk huruf "V".
Yang atas menghantam jalan darah thay-yang-hiat di pelipis Yo Bok-lo, yang di tengah mengarah jalan darah hian-ki-hiat di dadanya dan yang bawah mengancam jalan darah hoan-thiam-hiat di ujung paha orang itu.
Tetapi iblis she Yo itu hanya tertawa dingin saja.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hh, mutiara sebesar biji beras, masakan dapat memancarkan sinar terang!"
Dua buah jari tangannya dijentikkan, kakinya ditendangkan dua buah kelinting yang melayang ke arah pelipis serta paha segera terpental balik.
Sedang kelinting yang menghantam ke dadanya dibiarkan saja.
Tring, kelinting itu membentur dada tapi bukan Yo Bok-lo yang roboh melainkan kelinting itu sendiri yang membal balik.
Kiranya Yo Bok-lo telah menyakinkan ilmu lindung kim-ciong-toh.
Jangan kata hanya sebuah kelinting kecil, sekalipun pedang dan lain-lain senjata tajam, tak nanti mampu melukai dirinya.
Kalau tadi Hong-jiu mengirim ketiga buah kelintingnya dalam bentuk huruf V ( satu di atas, dua di bawah), pun kini Yo Bok-lo mengirimnya kembali juga dalam bentuk huruf tersebut.
Tapi bedanya, timpukan Hong-jiu tadi hanya mengeluarkan bunyi kelintingan, adalah sekarang tamparan Yo Bok-lo itu sampai membuat kelinting-kelinting itu bersuara riuh sekali.
Entah berapa kali lipat kerasnya dari timpukan si nona tadi.
Selagi Hong-jiu masih meragu tak berani lekas-lekas menyambuti kelinting itu, dengan tangkas sekali Khik-sia sudah ulurkan tangannya dan menyanggapi terus diterimakan kepada yang empunya.
Wajah Hong-jiu kemerah-merahan, serta merta ia berbisik mengucapkan terima kasih.
Yak-bwe yang mengikuti di belakang mereka, tahu akan kejadian itu.
Ia merasa girang tapi pun agak kecut hatinya.
Girang karena Hong-jiu sudah memperlihatkan isinya yang sebenarnya.
Nyata kepandaian nona itu tak jauh bedanya dengan dirinya.
Tapi mendongkol karena Khik-sia telah menolong nona itu dengan mesranya.
Sebenarnya senjata rahasia kelinting emas dari Lu Hong-jiu itu termasuk golongan tokoh persilatan kelas satu.
Tapi celakanya, kali ini ia bertemu dengan Yo Bok-lo.
Ilmu kim-ciong-toh yang diyakinkan orang she Yo itu merupakan ilmu penunduk dari senjata rahasia termasuk yang dimiliki Hong-jiu itu.
Namun walaupun tak takut akan senjata kelinting dari Hong-jiu, Yo Bok-lo tetap gentar akan serangan pedang Thiat-mo-lek.
Di saat ia bergerak untuk menghalau serangan kelinting tadi, Thiatmo- lek sudah membarengi dengan sebuah tabasan.
Hampir saja ia kena tertabas.
Adalah setelah pontang-panting berjungkir balik sampai tiga kali, barulah ia dapat menyelamatkan diri.
Thiat-mo-lek hendak mengejarnya tapi Khik-sia segera meneriaki.
"Thiat- toako, Se-kiat menyuruhmu kembali. Jika kau tak mau balik, saudara-saudara kita tak mau mundur!"
Thiat-mo-lek tersadar, serunya"
"Ya, benar, tak boleh karena diriku seorang sampai membikin celaka semua saudara-saudara!"
Ia berputar diri untuk membuka jalan keluar.
Karena Yo Bok-lo dan Gou Beng-yang sudah menyingkir, tak ada lain orang lagi yang mampun menahan terjangan Thiat-mo-lek.
Dalam beberapa kejap saja kepungan dari kawanan Bu-su itu telah menjadi bobol.
Pada saat itu, Se-kiat dan Ut-ti Pak telah bertempur sampai 30 jurus lebih.
Melihat Thiat-molek sudah meloloskan diri, Se-kiat menjadi sibuk.
Ut-ti Pak selalu mendesaknya dengan seru.
"Awas, terimalah pianku!"
Bahkan tiba-tiba Ut-ti Pak membentak keras seraya menyerang hebat.
Ternyata ia mainkan salah satu jurus yang paling ganas dari ilmu permainan pian Cui-mopian- hwat, yakni yang disebut pat-hong-ih-hwe-tiong-ciu atau hujan dan angin dari delapan penjuru bertemu di Tiong-ciu.
Ribuan sinar pian, benar-benar seperti badai menderu gelombang mendampar.
"Bagus!"
Seru Se-kiat.
Ujung pedang dijungkatkan ke atas, tiba-tiba ia melambung ke udara dan gunakan jurus tian-thian-cu-hiang atau mendonga ke langit membakar dupa.
Sinarnya segera berubah menjadi seperti rantai, memagut-magut ke dalam sinar pian.
Krak ...
bret ...
terdengar dua kali suara.
Lengan baju Se-kiat robek terkena pian, sedang leher baju Ut-ti Pak pun berlubang termakan pedang Se-kiat.
Dua-duanya menderita kerugian alias seri.
Ut-ti Pak tertawa gelak-gelak, serunya.
"Kau benar-benar lihay. Lain kali kita bertempur lagi sampai 300 jurus!"
Kiranya karena tahu Thiat-mo-lek sudah lolos, maka Ut-ti Pak pun tak mau melibat anak muda itu.
Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak sengaja mengalah, maka dapatlah Se-kiat dan Thiat-mo-lek bergabung menjadi satu lagi.
Beberapa kelompok anak buah penyamun yang masih terkepung, dapat juga ditolong mereka.
Sekalipun diam-diam Cin Siang dan Ut-ti Pak memberi kelonggaran pada Thiat-mo-lek, namun mereka tak kuasa mencegah pasukan Gi-lim-kun yang menggempur barisan penyamun.
Anak buah penyamun itu tidak menerima didikan kemiliteran, mereka bertempur sambil mundur.
Digempur hebat oleh pasukan Gi-lim-kun, barisan penyamun itu berceceran kalang kabut.
Tidak lagi mereka merupakan suatu formasi kesatuan, melainkan masing-masing sama lari pontang-panting menyelamatkan jiwanya sendiri-sendiri.
Untung masih ada Thiat-mo-lek dan beberapa tokoh lain yang melindungi, hingga kerusakan yang dideritanya tidak begitu besar.
Pada saat itu kawanan liaulo dari markas Kim-ke-nia sudah menghilang semua.
Sebelum mundur, dengan memimpin beberapa anak buahnya, Shin Thian-hiong membakari belasan tempat di dalam dan di luar markasnya.
Api cepat berkobar dengan hebatnya.
Thian-hiong mempunyai dua maksud dengan melepas api itu.
Pertama, jangan sampai tentara negeri mendapatkan barangbarang yang berada di markas.
Kedua, kebakarang itu akan dapat menghalangi serbuan mereka.
Thiat-mo-lek, Se-kiat, dan lain-lain bertugas untuk melindungi anak buahnya.
Setelah anak buah mereka sudah sama lolos, barulah mereka mundur.
Thiat-mo-lek memandangi api yang berkobar-kobar itu dengan hati kecewa.
"Akulah yang menjadi gara-garanya hingga markas Shin toako menjadi korban,"
Katanya. Se-kiat menghiburinya.
"Api perjuangan kita takkan padam. Begitu angin musim semi meniup tentu akan berkobar lagi. Asal kita dapat bersatu padu, masakan dikelak kemudian hari kita takkan punya pangkalan yang lebih megah lagi. Mengapa toako lekas berputus asa?"
Thiat-mo-lek mengiyakan.
Saat itu api makin besar dan menjalar luas.
Hutan yang terletak di muka markas itu, dalam beberapa kejap tentu akan terjilat.
Itu berarti jalanan akan putus.
Tiba-tiba maka Thiat-mo-lek tertumbuk akan pemandangan yang mengejutkan.
Jago tua Ban Liu-tong bersama 7-8 muridnya masih terkepung tentara negeri.
Tempat mereka bertempur itu ialah di sebuah tikungan gunung, maka tadi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan tak melihat mereka.
Ban Liu-tong menggunakan senjata hou-than-jiang (tombak berkepala harimau) yang beratnya tak kurang dari 50-an kati.
Usianya sudah hampir 70-an tahun, namun masih begitu gagah sekali.
Sudah belasan serdadu Gi-lim-kun yang binasa di tangan jago tua itu.
Melihat itu Cin Siang menjadi murka.
Segera ia keprak kudanya menghampiri.
"Celaka!"
Thiat-mo-lek mengeluh kaget.
Cepat ia menyambar busur besi dari seorang thaubak, terus lari ke sana.
Kuda tunggangan Cin Siang itu pesat sekali.
Dalam sekejap saja, sudah tiba di tikungan.
Belum orangnya tiba, sepasang kan-nya sudah menghantam.
Ban Liu-tong coba menangkis dengan tombaknya.
Cin Siang juga memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa kuatnya.
Tenaganya tak di bawah Thiat-mo-lek.
Sudah tentu jago tua she Ban itu tak kuat menahannya.
Krak, begitu berbentur, ujung tombak segera putus.
Kan di tangan kiri Cin Siang didorongkan dan senjata di tangan kanan menghantam lagi.
"Jangan mencelakai jiwa Ban lo-enghiong!"
Tiba-tiba terdengar Thiat-mo-lek berteriak keras.
Menyusul ia lepaskan sebatang anak panah.
Anak panah itu menderu-deru menerobos di tengahtengah tombak dan Kan.
Itu berarti seperti melerai mereka.
Cara ilmu memanah yang lihay disertai tenaga yang luar biasa hebatnya itu, telah menimbulkan kegemparan.
Sampaipun kawanan tentara negeri turut bersorak memuji.
Melihat lawan tua, yang sudah beruban itu masih dapat menyambut serangannya, Cin Siang pun tak tega membunuhnya.
Apalagi Thiat-mo-lek turut memintakan kelonggaran, maka ia memutuskan untuk sekali lagi membeli hati sahabatnya (Thiat-mo-lek) itu.
Cin Siang pura-pura hendak menunjukkan bahwa kudanya kaget karena bidikan panah tadi, maka ia lantas jepitkan kedua kakinya keras-keras ke pinggang kuda.
Binatang itu sudah terlatih baik.
Begitu pinggangnya dijepit oleh sang tuan, ia lantas berputar dan mencongklang keras ke lain jurusan.
Dengan begitu, Ban Liu-tong dan murid-muridnya terhindar dari kehancuran.
Kini jago tua itu bersama anak muridnya segera berjuang keras untuk mengundurkan anak buah pasukan Gi-lim-kun.
Tapi celakanya dari arah belakang, pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su pun menyerang.
Pasukan itu dipimpin oleh tangan kanan Beng-yang yang bernama Pek Siat.
Ban Liu-tong menjadi beringas.
Tombaknya yang kutung separoh tadi, kini digunakan sebagai toya (tongkat).
Sepasang golok dari Pek Liat, kena dihantam jatuh.
Tapi tiba-tiba jago tua itu menguak.
Ia muntahkan segumpal darah segar.
Kiranya tadi sewaktu menyambut hantaman Cin Siang, ia sudah terluka dalam.
Beberapa anak muridnya buru-buru menyanggapinya.
Sudah tentu Thiat-mo-lek tak dapat berpeluk tangan mengawasi kejadian yang mengenaskan itu.
Untuk kedua kalinya, ia kembali menerjang masuk ke dalam barisan tentara negeri.
Dalam medan pertempuran, yang masih bertempur hanyalah partai Ban Liu-tong yang terkepung itu saja.
Lain-lain rombongan penyamun, ada yang sudah mundur ke belakang gunung, ada yang lolos dari kejaran musuh.
Di sana-sini tampak orang berserabutan lari kian kemari.
Suasana di gunung situ, jauh berlainan dengan sebelum pasukan negeri menyerbu ke atas.
"Toan hiante, silahkan kau berangkat dulu. Aku hendak menyongsong Ban lo-enghiong. Nanti aku segera menyusul!"
Kata Se-kiat.
"Aku mau ikut!"
Sahut Khik-sia.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, kawan-kawan kita yang masih terkepung hanya beberapa orang saja. Tak usah kita banyak buang tenaga. Lu lihiap dan beberapa saudara itu baru pertama kali ini datang ke Kim-ke-nia, mereka tentu tak paham jalanan di sini. Silahkan kau pimpin mereka meloloskan diri dulu. Jangan kuatir, Toan hiante, sekalipun musuh berjumlah besar, tetapi belum tentu mereka mampu menghadang aku dan Thiat toako!"
Kata Se-kiat. Mendengar itu, terpaksa Khik-sia mengiyakan.
"Baiklah, kutunggu kalian di sebelah muka sana!"
Di dalam lautan api yang menggenangi puncak Kim-ke-nia itu, Khik-sia pimpin kawankawannya untuk mencari jalan keluar.
Dengan mengitari lautan api itu, ia ajak rombongannya ke belakang gunung.
Pasukan Gi-lim-kun coba mengejar, tapi dibikin kocar-kacir oleh senjata rahasia yang ditimpukkan Lu Hong-jiu.
Pohon-pohon di dalam hutan yang termakan api itu, tumbang bergelundungan ke bawah.
Ini merupakan rintangan bagi musuh.
Ditambah pula dengan api yang meranggas maju, pasukan Gi-lim-kun itu terpaksa hentikan pengejarannya.
Setelah terlepas dari pengejaran, rombongan Toan Khik-sia tiba di sebuah selat yang terletak di bagian belakang dari gunung itu.
Waktu menoleh ke belakang, dilihatnya api menjulang ke langit, tetapi hiruk-pikuk teriakan orang sudah tak kedengaran lagi.
Memandang sejenak kepada rombongannya, Hung-jiu tertawa.
"Ha, kita semua berubah menjadi setan hitam ini!"
Kiranya karena menerobos di sebelah lautan api, muka orang-orang itu menjadi hitam terkena asap. Kebetulan di dekat situ ada sebuah aliran sungai. Khik-sia segera ajak kawan-kawannya.
"Ayo, kita cuci muka dulu ke sana, kemudian kita tunggu kedatangan Thiat-toako dan Bo-heng di sini!"
Di sungai situ terdapat dua buah batu yang dapat digunakan untuk tempat membasuh muka.
Dasar anak perempuan, maka Hong-jiulah yang buru-buru lantas membersihkan mukanya.
Khik-sia duduk di atas salah sebuah batu itu dan melambaikan tangannya kepada In-nio dan Yak-bwe.
"Ai, disini masih ada tempat. Siapa di antara kalian yang mau kemari, silahkanlah, jangan sungkan. Kita semua adalah kaum lelaki, tak usah rikuh-rikuh."
Ternyata kedua batu itu saling berdekatan. Jadi kalau orang duduk membasuh muka, tentu akan duduk saling merapat. Karena itu maka Khik-sia tadi tak mau bersama-sama cuci muka dengan Hong-jiu.
"Fui, berapakah usiamu, berani kau memberi ceramah tentang pergaulan wanita pria? Kuanggap kau ini hanya sebagai seorang adik kecil saja. Tetapi sebaliknya kau tak berani bersama aku mencuci muka!"
Hong-jiu mendengus tertawa.
"Bukannya tak berani, melainkan biar kau lebih leluasa. Mengapa kau tak berterima kasih kepadaku?"
Bantah Khik-sia.
"Huh, selalu kau ini mengatakan aku masih kecil saja. Toh kalau berdiri, aku lebih tinggi setengah kepala dari kau!"
Yak-bwe hanya tertawa dingin mendengar pembicaraan mereka itu.
"Hai, saudara yang itu! Muka kita semua seperti pantat kuali, jangan menertawakan orang. Ayo, sini lekas cuci mukamu!"
Tiba-tiba Khik-sia meneriaki Yak-bwe.
Khik-sia baru berusia 17-an tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang.
Ia kira Yak-bwe tadi menertawakan orang-orang.
Sebaliknya telinga Hong-jiu yang tajam, dapat menangkap nada tertawa Yak-bwe tadi agak aneh.
Ia menjadi kurang senang dan deliki mata kepada Yak-bwe.
Juga Yak-bwe mendongkol terhadap Khik-sia.
In-nio buru-buru membisikinya.
"Itu Khik-sia memanggilmu, pergilah!"
"Pergi ya pergi, masakah aku takut kepadanya!"
Jawab Yak-bwe dengan aseran. Khik-sia mendengar juga ucapan Yak-bwe itu. Diam-diam ia merasa heran.
"Omongan orang ini aneh benar. Kusuruh cuci muka bersama aku, masakah mengigau tidak takut segala?"
Hanya karena dalam medan pertempuran tadi, pemuda itu membantu sekuat tenaganya, apalagi ia belum mengetahui siapakah sebenarnya pemuda itu, maka Khik-sia hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat baru saja.
Walaupun hatinya merasa heran, namun ia sungkan untuk meminta keterangan juga.
Begitulah kedua anak muda itu duduk berjajar di batu itu.
Sambil cuci muka, Khik-sia bertanya.
"Terima kasih atas bantuan saudara tadi. Tapi maaf, aku belum mengetahui nama saudara yang mulia ini? Dan saudara ini dari golongan mana?"
Saat itu muka mereka sudah tercuci bersih. Kecantikan Yak-bwe tampak memancar jelas. Saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak.
"Kau, kau adalah ."
Tak tahu bagaimana Khik-sia hendak mengucapkan sebutannya. Maka sampai pada kata-kata adalah mulutnya hanya ternganga saja. Jantungnya berdetak keras, darahnya mengalir kencang.
"Siapakah dia?"
Buru-buru Hong-jiu bertanya. Cepat-cepat Khik-sia katupkan mulut lalu berseru keras.
"Dia adalah toasiocia dari Sik Ko, ciatto- su Lo-ciu. Dia menjadi menantu kesayangan dari Gui-pok-ciat-to-su Tian Seng-su!"
Hong-jiu itu seorang nona yang beradat keras. Begitu mendengar keterangan itu, ia segera naik pitam. Bentaknya.
"hm, kiranya kaulah perempuan hina ini yang menjadi cumi-cumi dalam selimut!"
Kejadian yang tak disangka-sangka itu hampir saja membuat dada Yak-bwe meledak. Kontan ia balas mendamprat.
"Kau sendirilah perempuan hina yang tak tahu malu!"
Wut, ia serentak menampar mulut Hong-jiu.
Tapi ternyata tenaga Hong-jiu lebih kuat.
Sekali ia dorongkan kedua tangan, Yak-bwe terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga langkah.
Hampir saja ia tergelincir jatuh ke dalam sungai.
Tring, Hong-jiu cepat mencabut hu-yap-to (pisau belati yang tipis seperti daun pohon liu), lalu memaki pedas.
"Pengkhianat yang bernyali besar, jika tak kubunuh sungguh membikin kecewa saudara-saudara kita yang gugur dalam pertempuran tadi!"
Yak-bwe tertawa mengejek.
"Ya, kalian begitu bernafsu hendak mengambil jiwaku supaya citacita kalian dapat terkabul, bukan? Hm, tidak semudah itu kawan!"
Tring, iapun segera melolos pedang untuk menyambut serangan Hong-jiu. Yak-bwe sudah mewarisi seluruh ilmu pedang dari Biau Hun sin-ni.
"Sret, sret, sret,"
Tiga kali serangan dilancarkan berturut-turut.
Dirangsang oleh api kemarahan, serangan Yak-bwe itu luar biasa dahsyatnya.
Kepandaian istimewa dari Hong-jiu ialah terletak dalam ilmu menggunakan senjata rahasia.
Sekalipun dalam ilmu permainan golok ia juga tak lemah, namun tetap kewalahan juga menghadapi serangan Yak-bwe yang sedahsyat itu.
Seketika situasi menjadi berubah.
Dari pihak penyerang, kini Hong-jiu menjadi pihak yang diserang.
Hampir saja ia tergelimpang jatuh dalam air karena didesak Yak-bwe.
"Toan Khik-sia, mengapa kau diam saja? Terhadap seorang pengkhianat, mengapa kau masih tetap memegang peraturan Kangouw?"
Nyata ia telah salah sangka. Melihat Khik-sia hanya diam saja tak mau memberi bantuan padanya, ia kira anak muda itu enggan main keroyok. Khik-sia gelisah bukan buatan. Waktu mendengar teriakan Hong-jiu tadi, ia gelagapan. Pikirnya.
"Ya, kali ini mengapa pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su dapat bergabung dengan pasukan Gi-lim-kun menyerang kemari? Dengan mata kepala sendiri aku pernah melihat ia bergandengan tangan mesra sekali dengan anak lelaki Tian Seng-su. Hm, hari ini ia berani menyelundup ke Kim-ke-nia. Jika bukan seorang cumi-cumi, paling tidak ia itu seorang musuh juga! Tali pertunangan siang-siang sudah kuputuskan, perlu apa aku memberatkannya lagi?"
Berpikir sampai di situ, Khik-sia segera mengambil ketetapan.
Tepat pada saat itu, terdengar suara "bret".
Baju Hong-jiu kena tertembus oleh ujung pedang Yak-bwe.
Kini nona yang tersebut di muka itu ungkang-ungkang dengan satu kakinya di tepi sungai, tubuhnya bergoyang-goyang hendak jatuh.
Yak-bwe tak mau kasih hati.
Waktu ia hendak melancarkan serangan lagi untuk mendesak lawan jatuh ke dalam sungai, tiba-tiba ada serangkum angin keras menyambar.
Kiranya Khik-sia sudah lantas loncat maju.
Dengan gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merebut senjata musuh), ia hendak merebut pedang Yak-bwe.
Yak-bwe makin berkobar marahnya.
"Bagus, tuan Khik-sia, bunuhklah aku!"
Teriaknya.
Dengan kalap ia menusuk anak muda itu.
Kepandaian Khik-sia sebenarnya jauh lebih lihay dari nona itu.
Tetapi karena serangan Yakbwe itu keliwat dahsyatnya, Khik-sia terpaksa tak dapat memilih lain jalan lagi.
Ia harus melukai Yak-bwe atau ia akan gagal merebut senjatanya.
Akhirnya ia terpaksa keraskan hati dan gunakan Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) untuk menampar.
Jika sampai kena, Yak-bwe pasti akan terluka parah.
Tangan Khik-sia sudah menempel pada kulit Yak-bwe.
Sewaktu hendak melancarkan lwekangnya, tiba-tiba pikiran Khik-sia terlintas.
"Benar aku sudah putus tunangan dengannya, tapi ayahnya telah melepas budi besar kepada keluargaku. Jika aku sampai melukainya, di alam baka ayahku tentu akan menyesali perbuatanku."
Secepat berpikir begitu, secepat itu pula ia sedot kembali lwekangnya.
Sekalipun begitu, angin pukulannya tadi telah membuat tubuh Yak-bwe terhuyung juga.
Saat itu Hong-jiu sudah dapat memperbaiki posisinya.
Sret, ia mengisar maju dan ayunkan goloknya.
Karena saat itu Yak-bwe sedang terhuyung, jadi ia tak sempat lagi untuk menangkis.
Untung dalam detik-detik yang berbahaya itu, dengan sebat sekali, Khik-sia segera loncat kemuka, tepat menghadang di tengahtengah kedua nona itu.
Di satu pihak ia menahan serangan golok Hong-jiu, di lain pihak ia mendorong pelahan-lahan hingga Yak-bwe tertolak mundur beberapa langkah.
Caranya ia menolong Yak-bwe itu, pintar sekali.
Loncat sembari gerakan tangan tadi, dilakukan berbareng.
Sepintas pandang tampaknya ia seperti memburu Yak-bwe dan menghantamnya.
Sudah tentu Hong-jiu tak dapat melihat ukal si anak muda yang lihay itu.
Pun ia tak menyangka sama sekali, bahwa Khik-sia akan melindungi nona yang dianggapnya sebagai cumi-cumi itu.
Salah paham di gedung Tian Seng-su tempo hari itu, hanya Khik-sia sendiri yang mengetahui.
Dan salah paham itu hanya anggapannya sendiri saja.
Yak-bwe sama sekali tak merasa, bahwa tindakannya untuk menolong anak muda itu malah dianggap menyakiti hatinya.
Kalau Yak-bwe sendiri saja tak merasa, apalagi In-nio.
Melihat perubahan sikap Khik-sia yang tak terduga-duga itu, In-nio menjadi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.
"Ia sudah mengenali adik Bwe tapi mengapa berbalik muka? Apakah ia sungguh sudah berbalik hati kepada adik Bwe?"
Pikirnya dengan cemas. Baru ia berpikir begitu, disana kedengaran Yak-bwe berseru marah-marah.
"Toan Khik-sia, sungguh bagus perbuatanmu! Baiklah, aku akan mengalah supaya kalian berdua dapat melaksanakan idam-idamanmu. Mulai saat ini, aku tak sudi melihat tampangmu seorang yang tak kenal budi itu!"
Begitu berputar tubuh, Yak-bwe lantas lari pergi .....
"Yak-bwe, Yak-bwe! Ai, kalian seharusnya bicara baik-baik, mengapa bertengkar begitu!"
Innio terkejut dan cepat-cepat meneriakinya.
"Bukankah kau melihat sendiri, dia begitu tipis budinya, perlu apa banyak bicara lagi? Ayo, kita pergi saja!"
Sahut Yak-bwe.
In-nio menjadi serba salah.
Ia tak mampu menasehati tapipun enggan ikut Yak-bwe.
Ia percaya di antara kedua anak muda itu tentu terjadi suatu kesalahpahaman.
Tapi dalam saat-saat itu ia pun bingung, jadi tak dapat memberi penjelasan pada Khik-sia.
Waktu mendengar kata-kata yang terakhir dari Yak-bwe tadi, Hong-jiu menjadi jengah dan gusar.
"Hai, perempuan siluman, kau mengaco-belo apa itu?"
Bentaknya dengan marah sekali. Diambilnya dua buah kelinting lalu mengejar Yak-bwe dan terus menimpuknya.
"Sudahlah, sudahlah, biarkan dia pergi!"
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Khik-sia seraya lontarkan dua buah thiat-lian-cu. Dengan tepat sekali thiat-lian-cu itu dapat menghantam jatuh kedua kelinting Hong-jiu. Hong-jiu tertegun, serunya.
"Hai, mengapa kau malah hendak mengeloni seorang pengkhianat?"
Seorang thaubak yang kebetulan berada di dekat situ, waktu mendengar suara ramai-ramai tangkap pengkhianat, buru-buru putar kudanya mengejar Yak-bwe.
Tanpa banyak bicara, ia lantas tusukkan tombaknya.
Yak-bwe saat itu sedang dirangsang kemarahan.
Ia sambar tombak thau-bak itu terus digelandangnya ke bawah.
Begitu thau-bak itu jatuh, Yak-bwe segera enjot tubuhnya loncat ke punggung kuda.
Kuda itu adalah salah seekor milik Gi-lim-kun yang dirampas Se-kiat dahulu.
Begitu duduk di punggung kuda, Yak-bwe lantas menconglang pesat.
Waktu Hong-jiu memburu datang, Yak-bwe sudah jauh sekali.
Sekalipun Hong-jiu itu gampang naik darah, tapi ia seorang nona yang cerdas.
Saat itu kemarahannya sudah mulai reda.
Seketika timbullah sesuatu dalam pikirannya, tanyanya.
"Toan hiante, bilanglah terus terang. Bukankah nona tadi mempunyai hubungan padamu?"
Wajah Khik-sia menjadi merah, lidahnya terkait tak dapat berkata. Untung In-nio menghampiri dan tertawa tawar.
"Kau tanyakan hubungan mereka? Mereka hanya baru berjumpa dua tiga kali saja, maka hubungannya pun tak begitu erat. Tetapi mereka itu sejak kecil sudah dijodohkan!"
Kejut Hong-jiu tak terkira. Ia membelalakkan sepasang matanya memandang kepada Khik-sia.
"Lu cici, jangan percaya omongannya!"
Khik-sia membantah dengan gugup. In-nio tertawa mengejek.
"Kecewalah kau sebagai puteranya Toan tayhiap, peribudimu begitu tipis! Apa salahnya Yak-bwe? Mengapa kau tak mau mengakuinya?"
"Jangan mengoceh tak keruan! Ia sudah menjadi menantu perempuan dari keluarga Tian, dengan aku tak ada hubungan lagi!"
Khik-sia berjingkrak. In-nio marah juga, ia balas mendamprat.
"Kau sendiri yang ngaco belo! Bilakah ia menjadi menantu keluarga Tian?"
"Bingkisan kawin dari keluarga Tian, akulah yang merampasnya. Siapakah orang Lok-lim yang tak mengetahui peristiwa itu?"
Khik-sia tak mau kalah. Jawab In-nio.
"Hal itu adalah urusan Sik Ko dan Tian Seng-su, tetapi Yak-bwe tak setuju. Yang hendak dinikahkan Sik Ko ialah puterinya yang bernama Sik Hong-sian, tapi kini Sik Hong-sian itu sudah tak ada lagi. Yang ada sekarang ialah Su Yak-bwe, puteri mendiang Su Ih-ji! Su Yak-bwe bukanlah Sik Hong-sian. Apakah kau masih belum jelas?"
Kini Khik-sia menjadi bimbang. Ditatapnya In-nio dan bertanyalah ia.
"Siapa kau? Apakah kau tahu akan urusan itu?"
"Tak perlu kau tanya siapa aku ini. Lebih dulu jawablah pertanyaanku, kau mau mengakui atau tidak bakal isterimu itu?"
In-nio balas bertanya. Tiba-tiba Hong-jiu menyeletuk.
"He, mengapa kau begitu jelas akan urusan orang? Calon isteri Khik-sia, mengapa kau diberitahukan segala-galanya? Mungkin hubunganmu baik sekali dengan dia, bukan?"
Pada saat itu In-nio masih menyaru jadi seorang pria. Bukan saja Hong-jiu, pun Khik-sia juga curiga. Tapi In-nio memang sengaja hendak mempermainkan mereka. Ia hanya menyahut sambil tertawa.
"Sudah tentu aku erat sekali hubungannya dengan dia. Paling sedikit tak kalah dengan hubunganmu dengan Khik-sia!"
Selama Hong-jiu mengangkat nama di dunia persilatan sebagai seorang lihiap (pendekar wanita) belum pernah ia diejek orang seperti itu. Serentak marahlah ia.
"Bagus, karena kau baik sekali dengan dia, coba jawablah. Ia seorang anak perempuan dari Ciat-to-su, apa maksudnya menyelundup ke dalam sarang penyamun? Kau seharusnya tahu akan hal itu. Toan siauhiap, apakah kau masih perlu minta keterangan lagi tentang perbuatan khianat itu?"
In-nio marah sekali.
"Memang pertama kali membuka mulut, kalian sudah mencap orang sebagai cumi-cumi, nah, perlu apa minta penjelasan lagi?"
Saat itu Khik-sia tak tahan lagi, ia berseru.
"Siapa kau? Jika tetap tak mau mengaku, aku, aku ...."
"Kau mau apa?!"
Tukas In-nio dengan sikap menantang.
Baru Khik-sia hendak mengatakan bahwa ia nanti terpaksa akan bertindak, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda riuh mendatangi.
Ternyata yang datang itu ialah Thiat-mo-lek dan Se-kiat.
Malah masih jauh, Se-kiat sudah kedengaran berteriak.
"Hai, mengapa kalian ribut-ribut itu?"
Setelah berhasil menolong Bang Liu-tong, kedua jago itu terpaksa harus berjalan memutari lautan api dan rintangan-rintangan yang malang melintang di jalanan.
Maka saat itu barulah mereka dapat tiba di tempat Khik-sia menunggu.
Khik-sia tersentak girang.
Bergegas-gegas ia lari menyongsong.
"Bo toako, kau adalah seorang Bengcu. Urusan ini kuserahkan padamu!"
Serunya.
"Urusan apa?"
Tanya Se-kiat.
"Ada dua orang yang kami curigai sebagai cumi-cumi musuh. Yang seorang sudah melarikan diri, yang seorang masih di sini. Ini, inilah orangnya. Apakah kau mau menanyainya?"
Kata Khiksia. Se-kiat terkesiap, serunya.
"Yang mana yang melarikan diri? Astaga! Jadi kau tak mengetahui siapa dia itu? In-nio, adik Yak-bwe tentu sungkan mengatakan, mengapa kau tak mau mewakilinya menjelaskan?"
"Sudah kuberitahukan tetapi mereka tak mau mengakui perjodohan itu, apa dayaku?"
In-nio membuat pembelaan. Mendengar itu kini Se-kiat mendamprat Khik-sia.
"Toan hiante, kiranya kaulah yang salah. Mengapa kau tak mau mengakui dia?"
Khik-sia menjadi gelagapan, ia menjerit.
"Bo toako, kau tak tahu. Dia, dia bukan orang golongan kita. Bagaimana aku dapat menerimanya?"
Tadi sewaktu mendengar Khik-sia memanggil nama In-nio, Thiat-mo-lek merasa seperti tak asing lagi. Tapi sama sekali ia tak teringat bahwa In-nio itu adalah puteri dari Sip Hong. Ia menghampiri nona itu dan bertanya.
"Siapakah nama saudara? Dimanakah kita pernah berjumpa?"
"Ya, benar, bukankah kemarin kita sudah berjumpa? Ingatkah bahwa aku sudah memberitahukan namaku?"
Sahut In-nio.
"Tidak! Kemarin kau memakai lain nama. Dan kemarin kau katakan dahulu kita belum pernah bertemu muka. Rupanya jika bukan kau yang berbohong, akulah yang jelek ingatanku. Saudara, apakah kau tak mau menganggap Thiat-mo-lek sebagai saudara?!"
Kata Thiat-mo-lek. In-nio tertawa mengikik. Sret, cepat ia mencabut kain pembungkus kepalanya, dan seuntai rambut hitam segera menjulai terurai.
"Ong toako, lupakah kau kepadaku?"
Serunya.
Khik-sia dan Hong-jiu terbeliak kaget.
Mereka tak mengira sama sekali bahwa 'pemuda' yang mengajaknya berbantah tadi ternyata seorang gadis.
Dan lebih terperanjat lagi mereka demi mendengar nona itu memanggil 'Ong toako' kepada Thiat-mo-lek.
Jika Khik-sia dan Hong-jiu termangu keheranan, adalah Thiat-mo-lek kedengaran tertawa gelak-gelak.
Serunya.
"Oho, makanya kau masih ingat pada Ong Siau-hek. Kiranya kau si dara kecil yang nakal itu kini sudah sedemikian besarnya. Jika kau tak memanggil Ong toako, sungguh mati aku tentu tak kenal padamu. Apakah ayahmu sehat-sehat saja? Mengapa kau datang ke gunung sini?"
"Akulah yang membawa mereka berdua kemari. Aku tak tahu bahwa Thiat-toako adalah kenalan lama dengan mereka,"
Kata Se-kiat dengan tertawa.
"Ia adalah puteri kesayangan dari Sip Hong ciangkun. Meskipun Sip-ciangkun itu menjadi pembesar negeri, tapi dia seorang lelaki jantan. Dahulu aku pernah menerima budinya. Toan hiante, ketika ayahmu dahulu masih hidup, ia juga bersahabat baik sekali dengan Sip ciangkun. Ayo, kalian berdua lekas menyambutnya lagi,"
Seru Thiat-mo-lek kepada Khik-sia.
"Ya, ketika aku mengaduk gedung Tiang Seng-su, diam-diam Sip-ciangkun juga memberi bantuan kepadaku, untuk itu aku belum menghaturkan terima kasih. Cici In, sudilah kau sampaikan ucapan terima kasihku kepada beliau,"
Kata Khik-sia sambil menjura. Dengan kerutkan air muka In-nio menyahut.
"Ah, tak berani kami menerima hormatmu itu. Cukup asal kau tak menuduh lagi aku dan adik Bwe sebagai cumi-cumi, aku sudah merasa berterima kasih sekali!"
Kini Hong-jiulah yang meringis. Apa boleh buat terpaksa ia menghampiri In-nio dan menghaturkan maaf.
"Karena salah paham, aku telah berlaku kurang adat pada cici, harap cici suka maafkan!"
Legenda Kelelawar -- Khu Lung Maling Romantis -- Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long