Tusuk Kondai Pusaka 6
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 6
Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong
Nona itu sekarang sudah tinggalkan rumah Sik Ko dan berkelana di dunia kangouw.
Turut cerita Thiat-mo-lek, tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian-kejadian yang mengherankan.
Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu malam rasanya takkan habis.
Karena waktu itu kita tak mempunyai banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas,"
Menerangkan Hong-jun. Sejak awal, Yak-bwe menjublek saja dengan perasaan kebat-kebit. Demi Hong-jun sudah mengakhiri keterangannya, barulah ia longgar napasnya. Pikirnya.
"Ya, ketika aku ribut-ribut dengan Khik-sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu). Rupanya Thiat-toako dan Se-kiat sungkan menceritakan padanya."
"Khik-sia mencari aku? Hm, apakah hal itu bukan alasan kosong agar ia dapat meninggalkan rombongan supaya dapat menemani Lu Hong-chiu? Hm, bukan sekali dua Khik-sia selalu menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali kekhilafannya, akupun tak sudi menghiraukannya lagi,"
Demikian pikirnya pula.
Namun dalam hati kecilnya sebenarnya ia mengharap agar benarbenar Toan Khik-sia itu sedang mencarinya.
Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan dua pasang kakak-beradik yang terkenal di dunia kangouw.
Satu sama lain saling mengagumi.
Sebenarnya pertemuan dua pasang pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan sekali, tetapi sayang Lu Hong-chiu tak ikut serta.
Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan mereka.
Rupanya Tok-ko U cocok sekali dengan Hong-jun.
Mereka berbicara dengan asyik sekali.
"Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian bertiga dengarkan. Soal itu timbul dari soal perkawinan Toan Khik-sia,"
Kata Hong-jun. Kembali Yak-bwe terkesiap kaget dan buru-buru menanyakan hal itu.
"Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat-mo-lek mengenai pernikahan Toan Khiksia itu? Pada waktu itu tiba-tiba Thiat-mo-lek berhenti bercerita. Ini bukan melainkan karena panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia minta tolong akan bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua jam. Kuatir waktunya tak cukup, maka Thiat-mo-lek terpaksa menunda cerita tentang Toan Khik-sia dan mengganti dengan lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi."
Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang urusan pernikahan orang. Maka cepat-cepat ia menanya.
"Urusan pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada Lutayhiap itu?"
"Bo Se-kiat,"
Sahut Hong-jun.
"Hal itu juga tak kurang menariknya. Ya, entah bagaimana secara kebetulan terdapat persamaan dengan pernikahan Toan Khik-sia. Gadis yang menjadi idaman Se-kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun kerajaan. Walaupun kedudukan ciangkun itu tak setinggi Sik ciat-to-su, tetapi juga tak seberapa terpautnya."
"Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah siapakah gadis itu?"
Tok-ko Ing mendesak.
"Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin-siu-su dari Pok-ong-seng. Dalam dunia Kangouw nama nona itu sudah tak asing lagi, yaitu Sip In-nio."
"Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun, tapi ia lebih banyak berkelana di luaran, jadi juga termasuk golongan puteri Kangouw, sepadan dengan diri Bo Se-kiat,"
Kata Tok-ko U.
"Tetapi bagaimanapun kenyataannya ia itu puteri seorang ciangkun dan Se-kiat kuatir kalau ciangkun itu tak menyetujui pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik dengan Sipciangkun, malah pernah berbuat suatu kebaikan kepada ciangkun itu. Thiat-mo-lek tahu akan hal itu, maka ia lantas mendapat akal minta tolong aku supaya menjadi orang perantaranya. Coba kalian pikir, bukankah hal itu cukup menarik?"
Tanya Hong-jun.
"Hebat, sungguh menarik sekali!"
Entah apa sebabnya Tok-ko Ing serentak berseru girang.
"Hai, mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan orang lain?"
Tok-ko U menjadi keheranan melihat sikap adiknya yang kurang layak itu.
Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa di dalam taman bunga tadi adiknya itu telah 'minum cuka' alias cemburu kepada Sip In-nio.
Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya dibohongi oleh Yak-bwe yang begitu pandai merangkai cerita.
Ia cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan dengan Yak-bwe.
Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se-kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang setengah mati.
Harapannya untuk merebut kasih si pemuda cakap Yak-bwe, menjadi besar.
"Menarik sih cukup menarik. Tetapi akulah yang runyam. Pertama, aku tak mempunyai pengalaman menjadi comblang. Kedua kali, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua dengan adikku berkelana di dunia kangouw. Setitikpun tak ada minat menginjak lantai gedung kaum pembesar lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip sebenarnya sudah lama terputus,"
Kata Hong-jun. Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan.
"Ah, Lu toako, itu adalah suatu perbuatan mulia. Sekalipun menghadapi rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur."
"Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal sebagai comblang saja,"
Sahut Hongjun. Tok-ko U tertawa.
"Ing-moay, dalam urusan pernikahan ini rupanya kau begitu ngotot seperti Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat sendiri!"
Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya.
"Hai, Su toako, kau adalah adik misan Sip Innio. Agar Lu toako mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau ceritakan tentang kegemaran nona Sip itu."
Lu Hong-jun tertegun, ujarnya.
"Kiranya Su toako itu adik misan dari Sip In-nio? Kalau begitu kuserahkan saja tugasku kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa?"
"Jangan begitu ah! Su-toako justeru diam-diam tinggalkan rumah keluarga Sip, kalau pulang tentu kurang enak. Dan lagi ia pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip-ciangkun,"
Cepat-cepat Tok-ko Ing menyanggapi.
Ia lalu menuturkan cerita yang dirangkai oleh Yak-bwe di dalam taman bunga tadi.
Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu.
Sebelum pernikahan Sip In-nio berlangsung dengan Se-kiat, ia tak menghendaki 'pemuda' Yak-bwe itu bertemu muka dengan In-nio.
Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa curiga dalam hati Hong-jun.
Tetapi ia tak mau mengatakan.
Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe.
Karena kuatir rahasianya akan ketahuan, buru-buru Yak-bwe memutuskan ocehan Tok-ko Ing, ujarnya.
"Sip paiupeh-ku itu seorang yang lapang dada, perangainya pun penurut. Jika berhadapan padanya, lebih baik jangan mengajukan tentang urusan pernikahan itu lebih dulu. Tetapi banyak-banyaklah menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se-kiat selama ini. Setelah Sip piaupeh mempunyai kesan baik, barulah kau bicarakan urusan selanjutnya."
"Ai, Thiat-mo-lek juga menasihati aku begitu. Malah ia menambahkan bahwa Sip Hong itu seorang yang setia akan budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas budi padanya, dirasa ia tentu suka mendengarkan kata-kataku,"
Kata Hong-jun.
"Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu,"
Seru Tok-ko Ing.
"Ai, mengapa kau mendesak orang begitu rupa? Untung Lu toako itu bukan orang yang sempit dada, kalau tidak ia tentu mengira kau seperti hendak mengusirnya,"
Tok-ko U menegur sang adik.
"Ah, memang sudah lama mengobrol di sini, sudah seharusnya aku pergi,"
Kata Hong-jun. Mendapat teguran sang koko, Tok-ko Ing merasa tak enak. Buru-buru ia mencegahnya.
"Lu toako, mendengar kata-kataku tadi kau lantas mau pergi. Bukankah itu menandakan kau sempit dada? Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah kepada kami tentang beberapa peristiwa yang menarik di dunia kangouw."
Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong-jun, malah ia merasa jemu melihat sikap anak muda yang plintat-plintut suka melirik muka orang itu.
Tapi setelah mengetahui kalau Hong-jun hendak menjadi orang perantara dalam pernikahan Se-kiat In-nio, sikapnya lantas berubah seratus delapan puluh derajat.
Dari tak suka menjadi suka.
Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah bagaimana, nyamanlah rasanya perasaan Hong-jun.
Sungkan juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi.
"Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah pulang ke Tiang-an, Cin Siang, itu panglima dari pasukan Gi-lim-kun juga berniat hendak mengadakan Eng-hiong-hwe. Katanya, niatnya itu timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Rencananya itu mengandung maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia kangouw agar jangan sampai terjerumus dalam kalangan lok-lim,"
Kata Hong-jun.
"Sekarang ini kekuasaan berada di dalam tangan para panglima daerah. Kerajaan dalam keadaan gelap. Bagi kaum kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau bekerja untuk kerajaan,"
Demikian Tok-ko U memberi pandangannya.
"Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku, kini kaum persilatan dapat digolongkan dalam empat kategori (golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita luhur. Golongan inipun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas. Kesatu, yang tak mau bekerja untuk kerajaan dan benci kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu mereka terpaksa masuk ke dalam loklim menjadi penyamun. Dalam hal itu. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat adalah contohnya. Kedua, ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia kangouw. Misalnya, kalau dulu ialah mendiang Toan Kui-cing tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat, Gong-gong-ji yang termasyhur itu, dapat juga dimasukkan dalam kelas ini ...."
"Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari jahat menuju ke jalan yang lurus?"
Tokko Ing menyeletuk.
"Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik-sia. Perangai orang itu memang aneh sekali. Juga sepak terjangnya dahulu itu bukan termasuk jahat, melainkan di tengah-tengah antara jahat dan baik. Kabarnya dalam beberapa tahun terakhir ini, kejahatannya itu sudah banyak berkurang. Dia sudah dapat digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap,"
Hong-jun menerangkan. Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambung lagi.
"Dalam kalangan tokoh-tokoh aliran Cengpay itu masih terdapat lagi golongan yang kedua yaitu yang suka bekerja pada kerajaan. Tujuan mereka bukan karena hendak merebut kedudukan menjadi pembesar negeri, melainkan dengan mendapat kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak mengembangkan cita-cita mereka. Mungkin juga mereka itu hendak membantu pihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan Gi-lim-kun, tak sedikit jumlahnya tokoh-tokoh seperti itu. Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu An Tingwan, adalah juga dari golongan itu."
Tok-ko U tertawa.
"Ya, memang kutahu sebelum masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, An Ting-wan itu seorang tokoh hiap-gi. Itulah sebabnya ketika menolong Su toako dalam kesulitan tempo hari, aku hanya melukainya ringan-ringan saja."
Kiranya sebelum Tok-ko Ing dan Yak-bwe keluar, Tok-ko U telah menceritakan hal pertempuran Yak-bwe dengan pasukan Gi-lim-kun pada Hong-jun.
"Golongan kedua dari kaum bulim itu walaupun takmempunyai cita-cita suatu apa, tapipun termasuk golongan Ceng-pay. Mereka itu kebanyakan berasal dari perguruan atau keluarga bulim, mungkin ada juga yang mengandalakan belajar ilmu silat untuk mengangkat nama. Golongan itu termasuk apa yang dinamakan 'belajar silat untuk dijual pada kerajaan'. Tapi apakah pihak kerajaan mau memakai, mereka pun tak terlalu memusingkan. Tokoh-tokoh yang mewakili golongan ini antara lain ialah seperti Cin Siang dan Ut-ti Pak,"
Kata Hong-jun melanjutkan analisanya.
"Tapi katanya kedua orang itu amat menjunjung cita-cita luhur, tidak seperti kaum pembesar pada umumnya. Kabarnya banyak kaum loklim yang menghargai sikap kedua orang itu,"
Kata Tokko U.
"Benar, boleh dikata bahwa kedua jenderal itu benar-benar tokoh yang cemerlang. Jika mereka bukan keturunan panglima-panglima kerajaan yang termasyhur, mungkin mereka sudah menjadi kaum yu-hiap,"
Kata Hong-jun.
"Karena kini mereka menjadi pembesar tinggi, jadi sudah selayaknya setia menjalankan tuga-tugas negara. Selain kedua orang itu, ayah Sip In-nio, yaitu Sip Hong, juga termasuk golongan tokoh-tokoh semacam itu."
Tok-ko U mengangguk.
"Kiranya jumlah tokoh-tokoh dari golongan seperti itu, tak sedikit jumlahnya."
"Golongan ketiga, ialah tokoh-tokoh bulim jahat yang mengandalkan kepandaian silat untuk melakukan kejahatan. Pada golongan ini juga dapat dibagi menjadi dua. pertama, bangsa pencoleng loklim yang tahunya hanya merampok dan membunuh. Dalam hal ini tak perlu kusebutkan contohcontohnya. Kelompok kedua ialah yang berhamba menjadi kaki tangan dari kaum panglima daerah. Misalnya Goh Beng-yang, itu pemimpin dari pasukan Gwe-tho-lam yang dibentuk Tian Seng-su."
"Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo si iblis tua itu, juga termasuk kelompok tersebut. Bermula ia menjadi begal tunggal, sekarang kabarnya menjadi tetamu undangan dari Tian Seng-su,"
Menyeletuk Tok-ko U.
"Di samping itu masih ada segolongan lain, yakni kaum Bu-lim-in-su (tokoh-tokoh bulim yang mengasingkan diri). Karena putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari masyarakat ramai. Mo Kia lojin dan Se-gak-sin-liong Hong-hu Ko locianpwe, adalah contohnya,"
Kata Hong-jun. Diam-diam Tok-ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh tetamunya itu, ujarnya.
"Pengetahuan Lu toako ternyata amat luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong-hwe (rapat para orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga pentingkah?"
Hong-jun mengucap kata merendah hati lalu menyahut.
"Pada hematku, menilik kedudukan dan kewibawaan Cin Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan Bu-lim-in-ih, ketiga golongan kaum bulim yang lain itu, tentu akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan lebih mendapat sambutan hebat dari Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan di gunung Kim-ke-nia itu."
"Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya?"
Tanya Tok-ko U.
"Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong-ciu tahun ini di istana Li-san-hing-kiong,"
Kata Hong-jun.
"Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku seorang gadis jadi tak leluasa datang kesana. Apakah Lu toako bermaksud kesana juga?"
Tiba-tiba Tok-Ko ing menyeletuk. Hong-jun tertawa.
"Aku hendak ke Poh-ong dulu menemui Sip Hong untuk menyelesaikan urusan Bo Se-kiat. Setelah itu pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat-lihat keramaian itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang, tetapi jika kalian engkoh adik mempunyai minat, besok kita boleh sama-sama pergi."
Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu kepandaian silat. Tentang yang boleh menghadiri itu siapa, baik wanitakah atau priakah, semua diperbolehkan.
"Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun. Walaupun pada waktu itu aku memakai kerudung muka, tapi rasanya tentu diketahui juga,"
Kata Tok-ko U. Jawab Hong-jun.
"Cin Siang mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat kangouw. Sudah tentu ia mengetahui juga tentang pantangan-pantangan orang kangouw. Kabarnya untuk Eng-hiong-hwe itu ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan diselidiki tentang perbuatanperbuatannya yang sudah-sudah, sekalipun andaikata pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya hanyalah mereka itu jangan sekali-kali membuat onar di kota Tiang-an. Dalam pertandingan silat, tak ada paksaan bahwa yang menang nanti akan diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk pemenang pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah sebatang golok pusaka dan seekor kuda pilihan. Aku sih tak menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah pengalaman saja."
"Ya, nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi,"
Sahut Tok-ko U. Mendengar itu tampaknya Hong-jun agak kecewa. Ia mendongak ke langit dan tertawa.
"Ai, tanpa terasa sudah terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi."
Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tok-ko U pun tak mau mencegahnya lagi.
"Koko, apakah kau benar-benar berhasrat hadir dalam Eng-hiong-hwe di Tiang-an itu?"
Tanya Tok-ko Ing kepada kokonya setelah Hong-jun pergi.
"Dan kau bagaimana?"
Balas bertanya Tok-ko U.
"Aku kepingin sekali menambah penglihatan, ai, sayang ...."
"Sayang apa?"
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tukas Tok-ko U.
"Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak ingin pergi juga. Menghadiri semacam pertemuan begitu, baru menggembirakan kalau banyak kawan,"
Kata si dara. Yak-bwe tertawa.
"Bukankah tadi Lu Hong-jun mengajak kalian?"
"Aku tak begitu kenal dengan dia,"
Sahut Tok-ko Ing. Tok-ko U mengolok tertawa.
"Oh, jadi kalau Su toako tak pergi, kaupun tak mau pergi? Kalau begitu, karena kau tak pergi akupun juga tak pergi."
Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi, mereka lalu sama masuk tidur.
Ketika berada di kamarnya, hati Yak-bwe menjadi gelisah.
Bukan disebabkan karena tak dapat menghadiri pertemuan di Tiang-an itu, melainkan karena memikirkan Toan Khik-sia.
Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan Khik-sia itu selalu terjadi salah paham, diam-diam Yak-bwe menghela napas, keluhnya.
"Kalau aku memang tak berjodoh padanya mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia. Dan begitu lahir lantas dijodohkan? Tapi jika berjodoh, mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar? Ataukah hanya karena ia tak berani melanggar pesan mendiang orang tuanya saja? Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku, mengapa ia marah-marah ketika mendengar aku dipasangkan pada putera Tian Seng-su? Namun bila ia benar-benar menaruh hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia sudah mengetahui bahwa aku sudah tinggalkan keluarga Sik! .... Keterangan Lu Hong-jun tadi bahwa kini ia sedang mencari aku, apakah boleh dipercaya? Bagaimanakah hubungannya dengan Lu Hong-chiu? Sudah menginjak perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan semata-mata.... Hm, Yak-bwe, Yak-bwe! Jangan kau pikirkan dia lagilah. Tidakkah ia sudah cukup banyak menghina padamu? Persetan dengan pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu macam, masakan kau sudi tunduk padanya?"
Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak-bwe.
Tapi makin ia berusaha untuk menghapus bayangan Toan Khik-sia dalam hatinya, makin bayangan anak muda itu tergores jelas.
Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam, namun ia tak merasa ngantuk sama sekali.
Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu, kebetulan menghadap ke arah taman.
Dari jendela itu melongok keluar, dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.
Taman bunga seolah-olah bermandikan cahaya rembulan.
Permukaan empang bening laksana kaca, pohon-pohon, batu-batu dan bunga-bunga bersemarak bagaikan terbungkus dalam kabut perak.
Sungguh suatu pemandangan yang permai.
Di ruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak penerangannya.
Itulah kamar yang ditempati Tok-ko Ing.
"Kiranya ia masih belum tidur,"
Kata Yak-bwe seorang diri. Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak-bwe akan diri dara itu. Ya, teringat akan sikap dara itu kepadanya. Diam-diam ia merasa geli sendiri.
"Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona Tok-ko itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi. Sayang aku ini sekaum dengannya .... Mereka berdua kakak-adik amat baik sekali kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa tak dapat lama-lama tinggal di sini. Hm, kini lukaku sudah sembuh. Seharusnya kutinggalkan tempat ini."
Sebenarnya Yak-bwe merencanakan untuk pergi dengan diam-diam.
Ia akan tinggalkan sepucuk surat menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya.
Tapi demi teringat akan budi kebaikan Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat begitu.
Setelah beberapa hari bergaul, timbullah rasa sukanya kepada dara itu.
Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna.
Tiba-tiba ia mendapat akal.
Hanya saja akal itu sedikit bersifat nakal.
"Lebih baik sekarang aku menjenguk ke kamarnya. Melihat kedatanganku pada tengah malam begini, ia tentu terkejut. Pada saat ia murka, aku segera menerangkan diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau girangkah ia?"
Demikian akal yang direkanya itu.
Membayangkan akan reaksi si dara nanti, ia merasa gembira sekali.
Ia melangkah keluar menuju ke kamar cat merah itu.
Tapi waktu hampir dekat, tiba-tiba dari kain jendela kamar itu tampak dua buah bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria.
Yang pria adalah Tok-ko U.
"Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko U berada di dalam, aku tak leluasa masuk,"
Pikirnya. Waktu Yak-bwe hendak angkat kaki, tiba-tiba kedengaran Tok-ko U berkata.
"Ing-moay, hal ini menyangkut nasibmu seumur hidup. Harap kau pikir semasak-masaknya."
Geli Yak-bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa yang dipercakapkan kedua saudara itu, ia batalkan maksudnya pergi. Tok-ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian kedengaran Tok-ko U berkata pula.
"Kiranya sudah lebih dari layak apabila kau berjodoh dengan ...... Hong-jun. Seperti kau ketahui, ilmu silat Lu Hong-jun itu amat tinggi dan orangnya pun baik."
Yak-bwe terkesiap mendengar ucapan itu.
"Kiranya bukan memperbincangkan diriku. Kokonya hendak menjodohkan dia pada Lu Hong-jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya sayang sekalipun Lu Hong-jun itu orangnya baik, tapi adiknya itu seorang gadik yang katak. Kalau Tok-ko Ing jadi menikah dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan iparnya itu,"
Pikirnya.
"Apa? Jadi kedatangan Lu Hong-jun kemari tadi, akan meminang sendiri?"
Tiba-tiba Tok-ko Ing berseru.
"Bukan meminang melainkan berkenalan,"
Tok-ko U tertawa. Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru.
"Kau mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan datang-datang lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu? Jika tahu, sudah tentu aku tak sudi keluar!"
"Ai, memang sebelumnya ia sudah mengatakan, tetapi aku tak memberitahukan padamu. Ketika aku bepergian baru-baru ini, aku telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe ini seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol panjang lebar dan menanyakan juga tentang dirimu. Ia mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar. Keluarga Lu pun sepasang saudara pendekar. Jika dapat terangkap dalam perjodohan, tentulah bakal menjadi buah pujian dunia, bu-lim."
"Lu Hong-jun kan mempunyai seorang adik, pinang sajalah!"
Tok-ko Ing menyeletuk. Wajah Tok-ko U berubah merah. Memang pada waktu itu Hong-git Wi Gwat juga mengatakan hal itu, yaitu agar sepasang saudara itu saling mengikat jodoh.
"Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan pernikahanmu, perlu apa menyangkutnyangkut diriku?"
Tok-ko U cepat membantah. Kata Tok-ko U lebih jauh.
"Locianpwe itu mengatakan, apabila kita setuju, ia segera akan mencari Lu Hong-jun, suruh ia datang ke rumah kita untuk berkenalan dengan kau. Biasanya locianpwe itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani pastikan sungguh tidaknya omongannya itu. Jawabanku pada itu waktu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri. Maksud kunjungan Hong-jun, kita sambut dengan senang hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tak boleh dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan."
Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya.
"Benarlah, kau telah memberi jawaban yang tepat."
"Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata-kata lo-cianpwe itu, maka waktu pulang aku pun tak mau buru-buru mengatakan padamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su toako, jadi tak keburu memberitahukan. Sungguh tak terduga bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang kemari. Sebelum kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang dirimu. Sebenarnya ia itu seorang yang berwatak terus terang, tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat-likat. Sudah tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-gi Wi Gwat telah menyuruhnya datang kemari. Ing-moay, apakah kau tak mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik padamu?"
"Ya, justeru sinar matanya itulah yang kubenci!"
Sahut Tok-ko Ing. Tok-ko U tertawa.
"Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau benci. Dan diapun suka bergaul dengan kau!"
"Su toako sedang dalam sakit. Ia adalah tetamu yang kau undang kemari. Bahwa jerih payahku mewakili kau untuk merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau malah mengejek padaku,"
Demikian Tok-ko Ing mengomel.
"Kaulah yang harus berterima kasih padaku, moaymoay, jangan kira aku tak tahu isi hatimu, ya? Memang aneh ini. Aku yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak dapat bergaul dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu padamu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi kehendak nasib. Hanya saja, hanya saja ...."
Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi begitu mendengar ucapan sang engkoh itu, serentak ia dongakkan kepala"
"Hanya apa?!"
Ia tanya dengan cepat. Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut.
"Meskipun Su toako itu tiada tercela, tetapi asalusulnya tak ketahuan. Bagaimana keturunan keluarga Lu, rasanya kita sudah cukup mengetahui."
"Apanya yang tak jelas. Ia sudah menuturkan asal-usul dirinya kepadaku,"
Cepat-cepat Tok-ko Ing menukas.
"Tapi aku tetap bercuriga, sahut Tok-ko U.
"Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh kepercayaan penuh padanya!"
Bantah Tok-ko Ing. Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata.
"Moaymoay, urusan pernikahan itu suatu hal yang serius. Coba kau bilang terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi keterangan pada orang."
"Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan membilang .... dengan membilang ...."
"Membilang bagaimana?"
Tukas Tok-ko U. Selebar wajah Tok-ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba berhamburanlah kata-kata dari mulutnya.
"Bilang sajalah padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang. Pemuda she Lu itu terlambat datangnya. Dan habis perkara!"
Tok-ko U terbeliak, tanyanya dengan suara berbisik.
"Apakah kau sudah mengikat janji dengan Su-toako?"
"Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan kau tolol, itu hanya karena keserentakan dari pikiranku saja. Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda she Lu itu,"
Ujar Tok-ko Ing.
"Moaymoay, kau lebih suka menikah dengan Su-toako. Sayang tiada comblang yang memperantarakan. Turut katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang masak. Kau tentu bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun,"
Kata Tok-ko U. Tok-ko Ing berkobar semangatnya.
"Ilmu sastera dan ilmu silat dari Su-toako amat menonjol, belum tentu kalah daripada Lu Hong-jun. Sekalipun taruh kata, ia tak nempil dengan Lu Hong-jun, tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok dengan perangainya. Biarpun Lu Hong-jun sepuluh kali lebih lihay dari dia, aku .... aku....."
"Kau tetap akan memilih Su-toako bukan?"
Tok-ko U menukas dengan tertawa. Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap begitu berarti ia diam-diam menerimanya.
"Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su-toako itu lihay? Ah, mungkin ketika kalian berdua keluar untuk menyambut kedatangan Lu Hong-jun, kalian sama-sama menyelipkan pedang. Apakah kalian sebelumnya sudah menguji kepandaian di dalam taman?"
Tanya Tok-ko U.
"Benar, kau tentunya hanya mengetahui bahwa ilmu pedangnya lihay, tapi tentu belum mengerti siapa suhunya. Dengarlah, ilmu pedangnya lihay, ajaran dari Biau Hui sin-ni!"
Sahut Tok-ko Ing. Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang permainan pedang Yak-bwe. Setiap gerak dan setiap jurus dari ilmu pedang Su-toakonya, ia lukiskan dengan gairah sekali.
"O, o, hm, hm,"
Selama mendengarkan cerita sang adik, mulut Tok-ko U selalu menghamburkan nada heran dan kagum.
"Mengapa ilmu pedang Biau Hui sin-ni dapat diturunkan kepada seorang lelaki, itu sungguh mengherankan sekali!"
Akhirnya Tok-ko U menyatakan keheranannya.
"Piaucinya yang bernama Sip In-nio yang mengajarkannya, Tok-ko Ing memberi keterangan. Ia lantas menceritakan keterangan yang dirangkai oleh Yak-bwe. Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada wajahnya.
"Ai, kau ini bagaimana, koko? Apakah kau curiga Su toako mencintai piauci-nya?"
Tanya Tokko Ing. Tok-ko U tertawa.
"Omitohud, berdosa, berdosa! Tidakkah kau mendengar ucapan Lu Hongjun? Sip In-nio sudah tertambat hatinya dengan Bo Se-kiat. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, maka Thiat-mo-lek sudah minta tolong Lu Hong-jun menjadi comblangnya. Sip In-nio seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia bermoral tipis?"
"Ya, habis mengapa wajahmu lain? Terus terang aku sendiripun bermula juga menaruh kecurigaan. Tapi setelah mendengar keterangan Lu Hong-jun, hilanglah segala prasangkaku,"
Kata Tok-ko Ing. Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata tenang-tenang.
"Moay-moay, percayakah kau akan omongannya?"
Tok-ko Ing membeliakkan matanya lebar-lebar dan menyentak.
"Apa?"
"Kulihat di dalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan,"
Kata Tok-ko U.
"Apanya yang mencurigakan?"
Cepat-cepat Tok-ko Ing mendesak.
"Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui sin-ni itu hanya diajarkan pda kaum wanita dan tidak boleh kepada kaum pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya. Sekalipun Sip In-nio mempunyai ikatan keluarga dengan Su-toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar pantangan suhunya secara diam-diam mengajarkannya pada Su-toako,"
Kata Tok-ko U. Mendengar itu, timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan ragu-ragu ia berkata.
"Mungkin, ya mungkin karena Sip In-nio itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya. Terdorong rasa kegembiraannya bermain-main dengan Su-toako, sesaat ia sampai lupa akan pantangan itu."
Tok-ko U gelengkan kepala.
"Meskipun aku belum pernah bertemu pada Sip In-nio, tapi kabarnya ia itu seorang nona yang bijaksana, kalau tidak masakan Bo Se-kiat penuju padanya. Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang penting. Meskipun usianya masih muda, pun tak nanti ia naif akal itu."
"Ha, aku sampai lupa. Su-toako mengatakan, pada setiap hari Sip In-nio berlatih pedang, ia tentu melihat di samping,"
Kata Tok-ko Ing.
"Ilmu pedang ajaran Biau Hui Sin-ni itu bukan olah-olah sukar dan anehnya. Tanpa ada guru yang memberi petunjuk, bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu mencuri belajar. Apakah ia mengatakan padamu kalau ilmu pedangnya itu bolehnya mencuri?"
Tanya Tokko U.
Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang.
Ia cukup mengetahui bagaimana sukarnya orang belajar ilmu pedang itu.
Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran kalbunya, ia main telan saja akan obrolan Su Yak-bwe tadi.
Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu, barulah ia timbul rasa kecurigaannya.
Tiba-tiba dengan suara menggumam Tok-ko U berkata.
"Jangan-jangan, hm, jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa?"
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat Tok-ko Ing menyeletuk.
"Jangan-jangan ia itu seorang gadis,"
Sahut Tok-ko U. Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak sang engkoh.
"Ngaco saja kau ini! Mana bisa ia seorang gadis?!"
"Ah, aku kan hanya meraba-raba dalam dugaan saja. Jangan kesusu marah dulu,"
Sahut Tok-ko U. Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko Ing merasa menyesal juga tadi sudah membentak sang enkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa.
"Jika ia memang benar seorang gadis, itu malah kebenaran sekali. Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau kujodohkan padanya?"
Sebenarnya olok-olok Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk memperbaiki kesalahannya tadi. Siapa tahu, waktu mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat kemudian baru ia dapat berkata.
"Kalau ia benar seorang gadis, itulah seorang gadis istimewa yang jarang terdapat di dalam dunia. Mana aku layak menjadi pasangannya?"
"Ai, kalau begitu, kau anggap dirimu itu lebih rendah dari aku?"
Tanya si dara. Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko U dapat berkata.
"Ah, sudah tentu ia itu bukan seorang gadis. Ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan dugaan secara serampangan."
Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga Su Yak-bwe di tempat persembunyian, seolah-olah mendapat kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena Su-toako itu seorang lelaki. Yak-bwe berpikir.
"Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan. Kalau aku sampai menceritakan kepadanya bahwa aku ini seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan kerunyaman. Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku dapat menolaknya?"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari Tok-ko Ing, lalu katanya.
"Ah, memang sungguh sayang bahwa Su-toako bukan seorang nona. Kalau pembicaraan kita saat ini didengar Su-toako, wah, tentu runyam sekali."
"Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang gadis yang menyaru jadi lelaki?"
Tanya Tok-ko U. Sahut Tok-ko Ing.
"Sudah tentu aku mengetahui. Ia .... ia ..."
Tok-ko U terbeliak kaget, serunya.
"Moaymoay, moaymoay, kau, kau, kau dengan dia ...."
"Koko, jangan menduga sembarangan. Ia hanya menyatakan padaku, menyatakan ...."
"Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan?"
Tanya Tok-ko U. Kedua belah pipi si dara bersemu merah. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala kemalu-maluan sambil memainkan ikat pinggangnya. Yak-bwe juga terkesiap, pikirnya.
"Bilakah aku menyatakan isi hatiku kepadanya?" -- Tiba-tiba ia teringat ketika si dara menjenguk sakitnya, ia telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar kerja. Ya, ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing.
"Siapakah hai, gerangan yang berbahagia mempersuntingkan nona?"
"Ah, apakah ia kira aku menaruh hati padanya?"
Demikian pikir Yak-bwe lebih lanjut. Di dalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa.
"Su-toako bukan seorang wanita, ah, itulah memang rezekimu. Baiklah, biarlah kujadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar dirimu mendapat tempat. Nah, tidurlah baik-baik, aku hendak pergi."
"Mengapa aku gelisah? Asal kau tak menggerecoki aku dengan urusan Lu Hong-jun, aku pun tak punya keresahan apa-apa lagi,"
Sahut Tok-ko Ing.
Karena Tok-ko U hendak tinggalkan ruangan itu, Yak-bwe pun segera mendahului pergi.
Tapi baru ia melangkah sampai di rumpun pohon bunga, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam loncat melampaui tembok dan melayang tepat di atas batu gunung-gunungan yang berada di sebelahnya.
Ketika mengawasi, kejut Yak-bwe bukan kepalang.
Saking kagetnya, tubuhnya sampai gemetar dan bunga-bunga yang tersentuhnya menjadi berhamburan jatuh.
Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia yang dibencinya tapipun yang paling dirindukannya.
Toan Khik-sia! Kiranya Khik-sia telah menempuh jarak 700 li menyusur jalan raya Tiang-an, tapi tetap tak dapat menemukan Yak-bwe.
Ia terpaksa kembali dan hendak membalik haluan ke arah selatan.
Kebetulan ia berjumpa dengan Lu Hong-jun.
Sebenarnya Lu Hong-jun sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yak-bwe.
Dalam pembicaraan selanjutnya, ia pun menceritakan juga diri Yak-bwe itu kepada Khik-sia.
Demi mendengar bahwa pemuda itu orang she Su dan mengaku masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik-sia bukan kepalang.
Ya, siapa lagi pemuda gadungan itu kalau bukan Yak-bwe! Cepat-cepat Khik-sia minta alamat tempat tinggal Tok-ko U dan malam itu juga ia segera berangkat.
Ketika tiba di pintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah lewat tengah malam.
Menurut peraturan, jika hendak mertamu itu seharusnya pada siang hari.
Tapi Khik-sia sudah tak tahan lagi.
Apalagi Lu Hong-jun juga menyinggung-nyinggung tentang hubungan rapat antara pemuda she Su itu dengan adik perempuan Tok-ko U.
Maka tanpa dapat mengendalikan diri lagi, Khik-sia segera mengambil keputusan.
Lebih dulu masuk menyelundup ke dalam gedung untuk mencari Yak-bwe sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah.
Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk ke atas batu gunung-gunungan, ia kesamplokan dengan orang yang dicari-carinya.
Karena "tertangkap muka", Yak-bwe menjadi gelagapan, sebaliknya Khik-sia pun terkejut dan girang sekali! "Adik Yak-bwe ....!"
Tanpa ragu-ragu lagi Khik-sia meluncurkan tegur salam yang manis.
Tapi wajah Yak-bwe sedingin es.
Tanpa memandangnya lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya dan pergi.
Khik-sia memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak-bwe, bisiknya dengan lirih.
"Adik Bwe, kau dengarkanlah perkataanku ...."
Yak-bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin.
"Tahulah sopan sedikit! Siapa adikmu itu?"
Rasa cinta Khik-sia itu hangat membara, tapi kulit mukanya tipis.
Dibentak sedingin begitu, merahlah telinganya, ribuan kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau lagi.
Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak mengebut pohon liu, Yak-bwe lanjutkan langkahnya.
Khik-sia makin bingung.
Dengan besarkan nyali ia tekan ujung tumitnya.
Dengan gerak ginkang istimewa teng-hun-jong, ia melambung melampaui kepala Yak-bwe dan melayang jatuh di hadapan si nona untuk menghadangnya.
"Minggir!"
Bentak Yak-bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia terus maju menerjang. Tapi Khik-sia lantas mengadangkan kedua tangannya. Bagaimanapun Yak-bwe hendak coba menerobos, tetap kena terhadang.
"Toan Khik-sia, kau terlalu menghina orang!"
Akhirnya meluncurlah kata-kata kemarahan dari mulut Yak-bwe.
"Yak-bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu. Harap kau mengingat akan hubungan antara keluarga kita dahulu,"
Demikian buru-buru Khik-sia berkata.
"Bagaimana?"
Yak-bwe menegas.
"Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas .... ah, sudahlah jika kita sampai tak rukun, arwah ayah bunda kita di alam baka tentu tak dapat tenteram,"
Khik-sia melanjutkan kata-katanya. Sebenarnya betapa ingin Yak-bwe "rujuk"
Dengan pemuda yang dikenangkan itu.
Tapi ia sudah biasa dibesarkan sebagai seorang siocia yang beradat tinggi.
Teringat beberapa kali Khik-sia pernah menghinanya, api amarah Yak-bwe masih belum reda.
Jika sedatangnya tadi Khik-sia lantas meminta maaf, mungkin Yak-bwe dapat diredakan kemarahannya.
Adalah karena Khik-sia itu memang tak pandai merangkai kata-kata, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya tetap tak seperti yang diharapkan.
Ia kira dengan mengingatkan Yak-bwe akan hubungan keluarga mereka dahulu, dapatlah ia mendinginkan hati si nona.
Siapa tahu sebaliknya Yak-bwe malah lain penerimaannya.
Pikirnya.
"Ha, kiranya kau hanya karena takut dicap tak berbakti kepada orang tua, maka terpaksa mencari aku. Jadi sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku."
"Thiat-toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia pesan wanti-wanti kepadaku harus mengajakmu pulang. Adik Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah agar dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita lantas berangkat pulang,"
Demikian kata Khik-sia pula.
Jilid 7
"Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan keras!"
Seru Khik-sia. Sret,sret, sret, tiga kali ia bolang-balingkan pedang untuk mendesak mundur nona itu. Ia menyerang dengan gencar.
"Lepaskan golokmu!"
Tiba-tiba ia membentak.
Ia yakin lawan tentu sudah tak dapat bertahan lagi.
Siapa tahu nona itu malah maju selangkah.
Sebenarnya Khik-sia memang tak bermaksud mengambil jiwa si nona.
Permainan pedang Khik-sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa hingga dapat dilancarkan dan dihentikan menurut sekehendak hatinya.
Tadi ia miringkan ujung pedangnya untuk menutuk siku si nona supaya lepaskan goloknya.
Tapi tak nyana, nona itu hanya tertawa mengejek seraya berseru.
"Jangan kesusu, bung!...."
Sepasang goloknya dilingkarkan dan dengan tenaga lwekang lunak, ia menarik pedang Khik-sia ke samping.
Kiranya walaupun tenaga nona itu kalah dengan Khik-sia, tapi ilmu kepandaiannya tak di bawah Khik-sia.
Di samping itu matanya amat celi sekali dan pikirannya tajam pula.
Begitu melihat gerakan Khik-sia, ia segera mengetahui kalau anak muda itu takkan mengambil jiwanya.
Itulah sebabnya maka ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik-sia ke samping.
Dengan begitu tenaga Khik-sia berkurang separuh.
Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu golok dengan lwekang lunak untuk menundukkan kekerasan lawan.
Sudah tentu dalam hal itu, cara si nona mengambil timing (waktu) yang tepat, adalah faktor yang menentukan.
Diam-diam Khik-sia merasa kagum juga.
Kalau di sini ia masih belum merebut kemenangan adalah di partai sana Hong-kay Wi Wat sudah mulai menang angin.
Dengan ngacirnya Ceng-ceng-ji karena ketakutan digertak Khik-sia, lawan Wi Wat hanya tinggal Pok Yang-kau dan Liu Bun-siong.
Sekalipun Wi Wat tadi kena tertutuk, tapi lwekang Pok Yang-kau pun menderita besar, maka meskipun ditambah dengan seorang Liu Bun-siong, tetap Wi Wat dapat mengatasinya.
Di saat Bun-siong tusukkan pedangnya kemuka Wi Wat, tiba-tiba yang tersebut belakangan ini menggembor keras sehingga saking kagetnya Bun-siong sampai tergetar dan tusukannyapun menemui tempat kosong.
Dan secepat kilat Wi Wat segera merebut pedang lawan seraya menendang musuhnya yang satu (Pok Yang-kau) sampai terjungkir balik.
Wi Wat seorang pembenci kejahatan.
Benar Pok Yang-kau da Liu Bun-siong itu benggolanbenggolan penjahat, tapi keduanya mempunyai ciri-ciri kejahatan yang berlainan.
Kalau Pok Yangkau hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya, adalah Liu Bun-siong itu termasyhur sebagai tukang petik bunga alias pengrusak kaum wanita.
Diantara kedua orang itu, Wi Wat lebih benci kepada Bun-siong.
Pedang yang dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she Liu itu.
Sebenarnya ilmu ginkang Liu Bun-siong cukup lihay dan lagi saat itu ia sudah menyingkir sampai belasan tindak.
Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat juga.
Ujung pedang dari punggung menembus sampai ke dada.
Poh Yang-kau cerdik sekali.
Pada saat Wi Wat tengah mengincar jiwa Bun-siong, ia gunakan kesempatan itu untuk loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para pengemis.
Ciok Ceng-yang pun juga sudah dapat merobohkan Han Ciat.
Sedang saat itu tongkat kekuasaan jatuh di atas altar batu.
Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan mengambilnya.
Melihat itu, Uh-bun Jui hendak loncat membantu Ma tianglo.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Ceng-yang datang.
Ma tianglo dan Uh-bun Jui tak berani menyerangnya.
Mereka putar tubuh terus ngacir.
Ceng-yang pun segera mengambil tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang tersebut.
Bintang penolong yang diharapkan Uh-bun Jui, si nona pemimpin barisan wanita baju merah, ternyata saat itu tampak keripuhan menghadapi serangan Khik-sia.
Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit.
"Urusan besar telah dirusakkan bangsat kecil itu. Nona Su, aku telah menelantarkan maksudmu yang baik."
Sahut nona itu dengan hati besar.
"Selama gunung masih menghijau, masa takut tak mendapat kayu bakar. Kalah menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi apalah."
Ia lancarkan sebuah serangan kosong, kemudian mundur dari gelanggang. Tapi rupanya ia masih belum puas karena tiba-tiba ia menoleh dan berseru kepada Khik-sia.
"Hai, siapa kau? Harap beritahukan namamu!"
Tiba-tiba dari bawah altar batu, ada seorang menyahut.
"Bangsat kecil itu adalah Toan Khiksia!"
Kiranya orang yang membuka rahasia Khik-sia itu, bukan lain adalah Ping-tat, jago yang patah tulang lengannya karena dipelintir Khik-sia tadi.
Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik-sia.
Tapi ia kenal lama dengan Ceng-ceng-ji.
Tentang ilmu kepandaian Ceng-ceng-ji, ia cukup paham.
Tapi ia perhatikan bahwa gerakan Khik-sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng-ji.
Ia tahu bahwa sahabatnya itu (Ceng-ceng-ji) mempunyai seorang suheng dan seorang sute.
Pengemis muda yang memelintir tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng-ceng-ji.
Sudah tentu bukan suheng dari Ceng-ceng-ji, melainkan sutenya.
Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia hendak gunakan siasat pinjam pisau membunuh orang.
Ia harap setelah mengetahui nama Toan Khik-sia, nona itu akan mencari balas.
Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik-sia, tapi ia mempunyai backing (andalan) kuat serta mempunyai anak buah banyak.
Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas.
Dan benar juga di kemudian hari Khik-sia akan mendapat beberapa kesulitan dari nona itu.
Tapi karena belum sampai waktunya, baiklah kita pertangguhkan dulu.
Demi mendengar nama Khik-sia, nona itu tercengang.
Pada lain saat ia tertawa.
"Oh, kiranya Toan siauhiap, sungguh tak bernama kosong! Walaupun aku kalah, tapi puaslah!"
Dengan putar sepasang goloknya, ia lindungi Uh-bun Jui.
Dengan diikuti oleh barisan wanita merah dan anak buah Uh-bun Jui, mereka menerobos pergi.
Ciok Ceng-yang tak mau menimbulkan pertumpahan darah besar.
Buru-buru ia acungkan tongkat untuk anggota-anggota Kay-pang yang hendak mengejar mereka.
Khik-sia menghapus arang di mukanya dan menjumpai Hong-kay Wi Wat.
Jago tua dari Kay-pang itu tertawa riang.
"Sungguh tak kecewa menjadi putera Toan tayhiap. Ayahmu tentu akan tersenyum gembira di alam baka."
Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo pun menghampiri untuk menghaturkan terima kasih kepada Khik-sia.
"Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira kematian Ciu pangcu kita tentu ada sangkut pautnya dengan mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka rancang itu?"
Kata Ji tianglo. Kata Wi Wat.
"Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk mengacau Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang. Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada urusan ini, terpaksa aku harus ke sana."
Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya ke Tiang-an.
Kiranya Thio Kam-lok menganiaya Wi hiangcu itu terjadi pada tengah malam.
Tempatnya diatur di paseban dalam dari hun-tho (anak cabang) Kay-pang di Tiang-an.
Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian rupa.
Siangnya ia cari-cari alasan merobek surat untuk Wi hiangcu.
Ia percaya rencananya itu pasti takkan ketahuan orang.
Tapi tak nyana, seorang anak buah Kay-pang telah tak sengaja mempergokinya.
Pengemis itu menjadi pencuri dan dikejar alat negara.
Ia tahu dirinya tak dapat berdiam di Tiang-an lagi.
Maka malam-malam ia pergi ke tempat Wi hiangcu.
Maksudnya, hendak minta perlindungan dari hiangcu itu.
Ia hendak serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu dengan permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya.
Secara kebetulan sekali, ia mengetahui rencana keji dari Thio Kam-lok.
Pengemis pencuri itu sembunyi di dalam tumpukan genteng di bawah jendela.
Mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan, kejutnya bukan kepalang.
Ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap tak berani bicara pada lain orang.
Baru setelah Ciok Ceng-yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-yang pasti dapat melindungi dirinya, pengemis itu berani membuka rahasia.
"Tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan suhengku itu, adalah dua buah perkara. Tapi besar kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain,"
Kata Ceng-yang.
"Betul! Wi hiangcu itu adalah pengikut setia dari Ciu pangcu. Pengkhianat-pengkhianat itu menganggap jika tak melenyapkan Wi hiangcu, tentulah sukar buat Uh-bun Jui merangkai cerita sandiwaranya,"
Kata Ji tianglo.
"Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke Tiang-an?"
Tanya Lok-san, Lwe-santong- hiang-cu.
"Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan-jangan suheng masih hidup di dunia,"
Tiba-tiba Ceng-yang berseru. Katanya lebih lanjut.
"Pada hakekatnya Cin Siang belum berjumpa dengan suheng. Menilik kedudukan dan pribadinya, kupercaya ia tak berdusta. Waktu kubikin penyelidikan di Tiang-an, anak buah Kay-pang di Tiang-an juga tak pernah bertemu dengan Ciu pangcu."
Ji tianglo menyeletuk.
"Ya, memang aku sudah menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh-bun Jui menuturkan tentang peristiwa dicelakainya Ciu pangcu, tapi tak ada saksinya sama sekali. Paling-paling mengatakan Thio Kam-lok yang menyaksikan. Tetapi kini setelah nyata Thio Kamlok lah yang membunuh Wi hiangcu, cerita Uh-bun Jui tadi tak dapat dipercaya lagi. Turut pendapatku, 90 persen tentulah Uh-bun Jui itu bersekongkol dengan Thio Kam-lok. Dengan membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui. Tetapi setiap kebohongan itu tentu bakal ketahuan."
Ciok Ceng-yang melanjutkan kata-katanya lagi.
"Jika peristiwa terbunuhnya suheng itu hanya karangan saja, menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang-an, maka sekalipun Uh-bu Jui begitu bernafsu merebut kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh suhunya."
Ji tianglo mengangguk, ujarnya.
"Mudah-mudahan begitulah. Ditinjau dari peristiwa hari ini, rasanya Uh-bun Jui tentu mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak, masakan ia berani berbuat begitu."
"Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi? Tampaknya baik sekali hubungannya dengan Uh-bun Jui. Apakah kalian tahu?"
Tanya Ceng-yang. Para Tiang-lo dan Hiang-cu saling berpandangan. Tapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui.
"Budak busuk itu jahat benar, biar kuselidiki asal-usulnya. Tapi sekarang ini, baik kita jangan hiraukan ia dulu, masih ada lain urusan yang lebih penting,"
Kata Wi Wat. Ji tianglo menyetujui.
"Ya, benar, sekarang kedudukan pangcu jangan diberikan pada Uh-bun Jui. Wi susiok, pengangkatan pangcu baru, tak boleh ditunda-tunda lebih lama. Harap kau orang tua yang memutuskan, sekalian harap membatalkan pengangkatan Uh-bun Jui tadi."
"Ceng-yang, kau adalah orang satu-satunya yang diharapkan oleh seluruh anggota Kay-pang. Kau sajalah yang menjabat pangcu, jangan menolak lagi,"
Kata Wi Wat.
"Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan, masakan aku lantas menduduki jabatan itu?"
Bantah Ceng-yang. Jawab Wi Wat dengan tandas.
"Negeri tak boleh satu haripun tak ada kepalanya, begitu pula dalam partai kita tak boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang harus kita selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin. Jika keadaan suhengmu belum jelas dan kau sungkan menjadi pangcu, biarlah untuk sementara kau menjabat sebagai wakil pangcu saja."
Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa yang ia ucapkan tadi benar-benar jitu sekali.
Ciok Ceng-yang tak dapat menolak lagi.
Begitulah Wi Wat segera mengadakan persidangan anggota lagi dan mengumumkan tentang hal itu.
Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang saat itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu telah disambut dengan persetujuan aklamasi atau suara bulat.
Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada Khik-sia.
"Toan siauhiap, pengemis tua masih hendak minta bantuanmu untuk sebuah urusan."
Khik-sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu mengatakan.
"Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah muncul seorang pengkhianat semacam Uh-bun Jui itu. Dia bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan rapat dari Cin Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan itu, sekarangmasih belum jelas. Tapi bagaimanapun, rencana mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya. Sekarang aku si pengemis tua ini masih belum dapat berangkat. Kau mempunyai ilmu gin-kang yang tinggi, apakah suka mewakili aku berangkat ke Tiang-an lebih dulu untuk memberitahukan Cin Siang?"
Khik-sia berpikir sejenak, berkata.
"Aku sanggup mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi akupun mempunyai sebuah hal yang akan mohon bantuan lo-cianpwe juga."
"Katakanlah,"
Kata Wi Wat.
"Tentulah lo-cianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa tentara negeri menggempur gunung Kim-ke-nia. Toako-ku Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju ke Ho-se. Di sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi. Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk mencari seseorang. Orang itu telah kutemukan, tapi menolak kuajak pulang. Terpaksa sekarang aku hendak pulang melapor pada Thiat toako."
Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa 'orang' yang dicari Khik-sia itu ternyata seorang nona yang bakal menjadi isterinya, maka bertanyalah pengemis tua itu.
"Siapakah orang itu? Apakah penting sekali?"
"Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang ..... seorang sahabatku yang baik,"
Sahut Khiksia dengan terputus-putus.
"Oh, tahulah aku. Kalian sekarang sedang giat mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak minta orang itu masuk ke dalam perserikatan kalian,"
Seru Wi Wat. Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah sahabat Khik-sia itu pria atau wanita. Dengan sembarangan saja, ia menduga-duga semaunya. Khik-sia berduka, ia tertawa getir.
"Bagaimana pendirian orang itu, telah kuketahui jelas. Tak nanti ia mau bergabung pada kita. Tapi tak apalah ...."
Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia memberi komentar.
"Betul, toakomu Thiat-mo-lek itu luas sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan mudah akan mendapat sambutan baik dari orang gagah di empat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi apa."
"Benar, lo-cianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang tentulah Thiat toako amat mengharap-harap. Oleh karena itu, hendak kumohon kepada lo-cianpwe agar menyuruh seorang anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako bahwa aku sedang pergi ke Tiang-an. Selain itu, meskipun Kim-ke-nia diserang oleh tentara Gi-lim-kun, tapi hubungan pribadi toako dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap Thiat toako mengetahuinya."
Wi Wat tertawa.
"Thiat-mo-lek memimpin kaum enghiong. Pun Bo Se-kiat itu juga seorang loklim bengcu yang baru. Tak usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal itu kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi laporan. Karena waktunya rapat di Tiangan itu sudah mendesak, maka baiklah kau lekas-lekas berangkat."
Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian tugas, Khik-sia segera berangkat ke Tiang-an.
Dengan gunakan gin-kang, pada hari pertama Khik-sia dapat menempuh jarak 300-an li lebih.
Hari kedua ia sudah tiba di Gui-cia (sekarang propinsi Ho-pak).
Tiba-tiba ia berpapasan dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki perempuan, tua muda dan besar kecil.
Dari wajah dan dandanan serta keadaan, teranglah mereka itu tengah mengungsi.
Waktu Khik-sia menanyakan, pak tua yang menjadi pemimpin rombongan itu menyahut dengan heran.
"Engkoh kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita kekalahan. Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pok-yap. Di mana tempat yang dilalui, mereka merampok rakyat. Mengapa kau hendak kesana? Kau masih begini muda, baik ketemu tentara negeri maupun tentara perampok, kau tentu dipaksa turut mereka."
Yang dikatakan 'Su Tiau-gi' oleh pak tua itu, adalah putera dari Su Su-bing, itu jenderal dari An Lok-san.
Setelah An Lok-san dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak buah An Loksan menjadi terpecah belah.
Panglima Kwe Cu-gi dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat membasmi mereka.
Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada kerajaan Tong.
Tapi tak lama kemudian ia dapat menyusun kekuatan lagi, dan berontak.
Setelah berhasil mengalahkan tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia mulai menyerang Lok-yang.
Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan hongte.
Tapi tak lama kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi.
Kerajaan Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su Tiaugi.
Akhirnya pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762 Masehi, Li Kong-pik berhasil masuk ke Lok-yang dan mengejar tentara Su Tiau-gi.
Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya menuju ke daerah Pok-yap dengan maksud hendak menggabung pada suku He.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rombongan rakyat dipimpin oleh pak tua itu adalah rakyat di daerah yang mengungsi karena takut dirampok tentara Su Tiau-gi.
Khik-sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi sebatang kara karena akibat peperangan.
Teringat akan kematian sang ayah di medan pertempuran dan ibunya yang akibat melarikan diri lalu menderita luka dan akhirnya juga meninggal, diam-diam Khik-sia menjadi ngeri.
Ngeri karena peperangan atau huru-hara itu sampai sekarang masih belum padam.
"Engkoh kecil, kembalilah saja. Di sebelah depan sana sudah kosong semua,"
Kata pak tua itu pula. Khik-sia menghaturkan terima kasih.
"Terima kasih, lo-tio. Tapi aku mempunyai urusan penting, terpaksa harus kesana. Terserahlah pada nasib."
Karena Khik-sia tak mau mendengar nasihatnya, pak tua itu hanya menghela napas panjang.
Dan Khik-sia lalu meneruskan perjalanan pula.
Belum berapa jauh, di sebelah depan tampak debu mengepul tinggi.
Benar juga ia berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang.
Di dalam pasukan itu terdapat belasan buah kereta.
Mereka membawa panji-panji, tapi keadaan pasukan tiu tak mirip dengan susunan tentara lagi.
Ketika Khik-sia sedang pertimbangkan baik tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu, tiba-tiba terdengar suara orang menggembor keras.
Seorang tua yang bertubuh tinggi besar menyerbu ke tengah pasukan itu dan membentak keras-keras.
"Siapa yang sayang jiwanya, harus lekas-lekas pergi. Tinggalkan kereta pesakitan!"
Khik-sia tersentak kaget. Pikirnya.
"Siapakah orang tua itu? Mengapa seorang diri ia berani menyerbu kawanan 'serigala'? Dari suara bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi, tidak di bawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang, ia sudah terluka dalam."
Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi.
Trang, ia hantam golok seorang opsir sampai mencelat ke udara.
Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang opsir lain yang tak keburu menangkis dengan senjatanya lung-ya-pang, telah terhantam remuk.
Melihat opsirnya mati, kawanan tentara perampok itu sama lari kalang-kabut.
Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka tak berpakaian opsir.
Serempak keduanya berseru.
"Hai, Hong-hu Ko, jiwamu sudah berada di ujung rambut, mengapa masih berani merampas kereta pesakitan? Baiklah, jika kau ingin lekas-lekas menghadap raja akhirat, biarlah kami bantu!"
Orang tua yang dipanggil Hong-hu Ko itu tak menyahut dengan mulut melainkan dengan pukulan tongkat besinya.
Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka hanya kuat bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas kalah.
Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat mengejar mereka.
Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas berusaha membuka kereta pesakitan.
Kereta pesakitan itu merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat.
Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang tua itu tak sabar lagi.
Bruk, ia hantamkan tongkat besinya ke kerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang.
Jago tua itu menjenguk ke dalamnya, tapi segera ia berseru.
"Bukan!" -- Ia lantas berganti sasaran kerangkeng yang kedua. Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik-sia terkejut sekali. Tiba-tiba ia teringat.
"Astaga! Kiranya tokoh yang kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gak-sinliong (Naga Sakti gunung barat) Hong-hu Ko locianpwe. Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh semacam orang tua ini? Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan?"
Khik-sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi sudah mendengar kemasyhuran namanya.
Kiranya Hong-hu Ko itu selain bersahabat baik dengan mendiang ayak Khik-sia juga pernah menerima budi dari bibi Khik-sia yang bernama He leng-siang itu (He Leng-siang adalah isteri dari Lam Ce-hun.
Sejak umur 10 tahun, Khik-sia lantas ikut pada bibinya itu pen).
Khik-sia menimang dalam hati.
"Meskipun lo-cianpwe itu mampu menandingi kawanan tentara perampok, tapi setelah kutahu kalau dia, masakan aku tinggal diam tak mau memberi bantuan?"
Pada saat itu Hong-hu Ko sudah menghantam terbukan 7 buah kereta pesakitan, tapi tetap belum mendapatkan orang yang dicarinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang mendatangi dengan gemuruh sekali.
Penunggang kuda yang paling depan sendiri, seorang tua yang berwajah jelek keja, tubuhnya kekar dan matanya hanya tinggal satu.
Astaga! Khik-sia tersirap kaget.
Itulah Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo! Iblik itu tertawa nyaring.
"Hai, Hong-hu Ko, nyawamu sendiri sudah di ujung rambut, masih mau menolong orang? Mari biar kuantarmu ke akhirat!"
Wut, iblis itu loncat dari kudanya.
Dengan gerak can-liong-chiu atau gerak menabas naga, ia berjumpalitan di udara terus menghantam lawan.
Hong-hu Ko menyambutnya dengan jurus kihwe- liau-thian atau mengangkat api membakar langit.
Tongkat diarahkan ke dada Yo bok-lo.
Brak, pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil mementalkan tongkat Hong-hu Ko ke samping.
Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan Yo Bok-lo.
Tapi karena sebelumnya ia sudah terluka dalam lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng besi, tenaganya berkurang banyak sekali.
Maka dalam adu kekuatan yang pertama itu, Yo Bok-lo lah yang menang angin.
Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati.
Baru kakinya turun ke bumi, ia sudah enjot lagi menerjang.
Hong-hu Ko membabat ke arah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui-hun (tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok-lo itu lihay sekali kakinya.
Tendangannya tadi ternyata hanya pancingan, begitu Hon-hu Ko menghantam, dengan berdiri di sebelah kaki ia putar tubuh ke samping Hong-hu Ko.
Di situ secepat kilat ia menyambar tong-kut orang.
Dengan meminjam tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu ia mencengkeram tongkat, terus membentak keras.
"Lepaskan!"
Hong-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak.
"Lepaskan!" - Sesosok tubuh melayang datang terus menusuk jalan darah li-yan-hiat di punggung telapak tangan Yo Bok-lo. Itulah Toan Khik-sia. Ia datang tepat pada waktunya. Yo Bok-lo segera mengenali musuhnya besar itu. Sebuah matanya buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun bencinya kepada anak muda itu menyusup sampai ke tulang, namun kedatangan Khik-sia secara begitu mendadak itu, membuatnya tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti sasaran untuk menangkis tusukan Khiksia. Ilmu kim-na-chin atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu, sudah mencapai tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu lihay ilmu gin-kangnya, tambahan pula menggunakan pedang pusaka, maka Yo Bok-lo tak berdaya untuk merapatinya. Malah dalam serangan tiga kali berturut-turut, iblis itu dipaksa mundur tiga langkah. Hong-hu Ko tak kenal pada Khik-sia. Melihat anak semuda itu dapat melayani seorang jago kolotan seperti Yo Bok-lo, ia merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada anak muda itu, tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih menolong orang yang dicarinya itu dulu. Dengan kertek gigi, ia gunakan sisa tenaganya untuk menghantam kereta pesakitan. Namun sudah dua buah kereta yang dirusaknya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu tak kelihatan. Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut di belakangnya tadi pun sudah tiba. Dua orang opsir penunggang kuda, loncat turun. Yang seorang mencekal ruyung cui-mo-pian, yang seorang seorang membekal sam-ciat-kun atau tongka tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik-sia, tapi dengan sigapnya Khik-sia menghindari cambukan pian untuk kemudian membabat sam-ciatkun.
"Hati-hati!"
Saking terkejutnya Hong-hu Ko berteriak memperingatkan Khik-sia.
Tapi pedang Khik-sia itu bukan sembarang pedang.
Trang, terdengar bunyi mendering dan tahu-tahu tongkat sam-ciat-kun sudah kutung sebuah ruasnya.
Tiba-tiba tampak sebuah sinar putih berkelebat.
Ternyata bagian tengah dari sam-ciat-kun itu berlubang dan di dalam lubang itu dipasangi senjata rahasia hu-ku-ting atau paku pembusuk tulang yang amat beracun sekali.
Paku beracun itu mendadak keluarnya dan tidak diduga sama sekali oleh Khik-sia.
Jaraknya pun amat dekat sekali.
Syukur tadi Hong-hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, Khik-sia unjukkan kepandaian gin-kangnya yang istimewa.
Ia buang tubuhnya mendatar seraya putar pedangnya menyampok paku itu.
Yang sebuah kena ditampar jatuh yang dua buah menyambar di bawah kakinya.
Sedikitpun ia tak terluka.
Tapi di sebelahkanya masih ada Yo Bok-lo.
Laksana harimau buas yang siap menerkam sang korban, pada saat Khik-sia tengah menghindar dari serangan paku tadi, iblis itu segera lontarkan sebuah hantaman dahsyat.
Tubuh Khik-sia masih terapung di udara jadi sukar untuk menghindar.
Hong-hu Ko berseru keras.
Cepat ia timpukkan tongkat besinya, kemudian menyusuli menghantam.
Opsir yang bersenjata ruyung cui-mo-pian hendak menyerbu, tapi kena timpukan tongkat Hong-hu Ko.
Seketika kepala pecah, otaknya berlumuran keluar dan jiwanya melayang.
Hong-hu Ko gunakan sisa tenaga untuk adu pukulan dengan pukulan biat gong-ciang dari Yo Bok-lo.
Begitu kuat Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus keras.
Plak, Yo Boklo tersurut mundur sampai beberapa tindak.
Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak berdiri tak apa-apa.
Sesaat Khik-sia turun ke tanah, begitu ia memandang ke arah Hong-hu Ko, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata jago tua itu wajahnya pucat seperti kertas, sepasang matanya merah.
Khik-sia tak mau merangsang Yo Bok-lo lagi, melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu.
Huak ....
mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah.
Ternyata jago tua itu sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam.
Benar Yo Bok-lo kena dihantam mundur, tapi jago tua yang sudah terluka dalam itu, kini makin bertambah parah lukanya.
Ia kehabisan tenaga betul-betul.
Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata sam-ciat-kun tadi cepat timpukkan dua buah paku hu-kut-ting lagi ke arah Hong-hu Ko.
Tapi kali ini Khik-sia sudah siap siaga tak nanti ia kena dibokong.
Cepat ia melejit ke muka untuk melindungi Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya untuk menyampok jatuh hu-kut-ting.
Pada saat itu Yo Bok-lo sudah dapat memperbaiki posisinya dan mulai menyerang lagi.
Khiksia cepat memanggul Hong-hu Ko sembari putar pedangnya.
Anak muda itu bertahan diri sembari maju menghampiri Yo Bok-lo.
Yo Bok-lo heran dibuatnya, pikirnya.
"Anak itu sungguh gila, mengapa ia senekad itu?"
Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya sekali bagi Khik-sia untuk bertempur dengan Yo Bok-lo.
Salah-salah keduanya (Khik-sia dan Hong-hu Ko) akan binasa semua.
Memang Yo Bok-lo sendiri juga tak terluput dari luka berat.
Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan kenekatan si anak muda itu.
Sebenarnya ia pasti menang, tapi sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan.
Ia miringkan tubuh dan dengan gerak chit-poh-tui-hun, ia menyelinap ke samping Khik-sia.
Di sini ia memberikan Hong-hu Ko sebuah hantaman.
Sekonyong-konyong Khik-sia berganti arah.
Tubuh meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.
"Rebahlah!"
Mulutnya kedengaran membentak.
Kiranya Khik-sia telah gunakan siasat suaranya di timur tapi yang diserang arah barat'.
Dengan andalkan ilmu gin-kangnya yang jempol, ia menyergap ke tempat si opsir dan tahu-tahu punggung si opsir itu sudah berhias sebuah tusukan pedang yang cukup membuat nyawanya melayang.
Dengan berhasil membunuh opsir itu, berarti Khik-sia mendapat keringanan.
Gusar Yo Bok-lo bukan olah-olah.
Tapi demi melihat walaupun dengan memanggul orang namun anak muda itu masih dapat lari secepat kuda bedal, diam-diam Yo Bok-lo menjadi kaget juga.
"Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat merobohkan bangsat kecil itu,"
Akhirnya setelah menimang-nimang sejenak, Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar.
Khik-sia membawa Hong-hu Ko ke atas gunung yang di sebelah muka.
Di situ ia letakkan orang tua yang terluka berat itu.
Dilihat jago tua itu sudah tersengal-sengal napasnya, wajahnya berwarna gelap.
Khik-sia terkejut, buru-buru ia tempelkan telapak tangannya ke punggung Honghu Ko.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu.
Lewat beberapa menit kemudian, Hong-hu Ko dapat membuka mata dan bertanya.
"Siapakah kau?"
"Wanpwe Toan Khik-sia."
"Toan Kui-ciang pernah apamu?"
Tanya Hong-hu Ko pula.
"Ayah wanpwe,"
Sahut Khik-sia. Mendengar itu Hong-hu Ko tertawa gelak-gelak.
"Sungguh jaman itu selalu maju. Aku si pengemis tua dalam hari-hari terakhir dapat berjumpa dengan putera seorang sahabat karibku, sungguh berbahagia sekali!"
Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula.
"Hiantit, aku sudah tak berguna lagi, harap kau jangan buang tenaga sia-sia."
Tapi mana Khik-sia mau menurut, ujarnya.
"Lo-cianpwe, tolong kau salurkan pernapasan, biar kubantu melancarkan darahmu. Aku pun membekal pil leng-tan yang mustajab."
"Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun ada pil siok-beng-sian-tan (pil dewa penyambung jiwa), rasanya tak bergunalah. Jangan membuang waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah urusan untukku?"
Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat kaki tangan Hong-hu Ko makin kaku, Khik-sia percaya akan keterangan jago tua itu.
Adanya pengemis tua itu masih dapat bicara, adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja.
Terpaksa dengan menahan kepiluan hati, Khik-sia menyatakan kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang.
"Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang. Tahukah kau kepada Ciu Ko itu?"
Tanya Hong-hu Ko. Khik-sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat Kay-pang yang menghebohkan peristiwa terbunuhnya Ciu Ko.
"Tidak, Ciu Ko belum mati. Dia ditawan oleh anak buah Su Tiau-gi,"
Menerangkan Hong-hu Ko.
Khik-sia tersentak kaget.
Herang ia dibuatnya.
Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada hubungannya apa dengan Ciu Ko? "Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su Tiau-gi menawannya.
Kemarin barulah aku mendapat berita bahwa tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak.
Keterangan jelas tentang hal itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan.
Cukup asal kau suka menyampaikan berita ini ke suatu tempat, aku sudah sangat berterima kasih padamu,"
Kata Hong-hu Ko. Sampai di situ, suara pengemis tua itu sudah makin lemah. Buru-buru Khik-sia tahan tangannya yang masih menempel di punggung Hong-hu Ko itu dan menyalurkan lagi lwekangnya.
"Dengan sisa pasukannya Su Tiau-gi hendak menggabung pada Kahan, kepala suku He. Pesakitan-pesakitan pentingpun dibawanya ke sana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko. Hal ini harus lekas dilaksanakan. Jika mereka sudah keburu tiba di daerah Kaham, sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira-kira lima puluh li dari sini, ada sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah gua, di depannya tumbuh lima batang pohon siong tua. Tempat itu menjadi markas dari hun-tho (cabang) Kay-pang. Setelah mendapatkan tempat itu, kau harus minta bertemu dengan Hwe Tay-yap, tho-cu kay-pang di situ. Sampaikan padanya berita ini supaya ia lekas-lekas mengadakan pencegatan dan merampas pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok-ong."
"Aku telah mendapa janji bantuan dari dua orang sahabat. Paling lambat besok pagi, mereka tentu sudah datang. Kau minta Hwe thocu supaya kirim orangnya menunggu kedua sahabatku itu di pagoda yang terletak di kaki gunung itu. Kedua sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka bawalah barangku ini ....."
Hong-hu Ko melolos sebentuk cincin besi dari jarinya, lalu diserahkan pada Khik-sia, ujarnya.
"Berikan cincin ini pada Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh menyambut sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal. Sudah jelaskah?"
"Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat mengingatnya dengan sungguh-sungguh."
Jawab Khik-sia. Hong-hu Ko tertawa getir.
"Delapan belas tahun yang lalu, aku pernah memberikan sebuah cincin kepada ayahmu karena hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana, delapan belas tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin lagi kepadamu, juga untuk minta bantuan. Dengan kalian ayah dan anak, rupanya aku memang berjodoh!"
Suara tertawa reda, sepasang kakinya berkelojotan dan Hong-hu Ko menarik napas yang penghabisan .....
Khik-sia amat berduka.
Seorang pengemis luar biasa dari dunia persilatan, seorang tokoh persilatan yang sakti, telah meninggal secara menyedihkan di sebuah gunung belantara.
Dengan pedang pusakanya, Khik-sia menggali sebuah liang dan mengubur Hong-hu Ko.
Kemudian ia meletakkan sebuah batu besar selaku pertandaan.
Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran air mata, Khik-sia dengan hati berat meninggalkan tempat itu.
Untuk jarak 50 li itu, Khik-sia hanya menggunakan waktu kurang dari satu jam.
Ternyata gunung itu tak berapa lagi.
Mendaki ke atas dan mencari dengan teliti, cepat ia sudah dapatkan kelima batang pohon siong itu.
Tapi heran ia tak melihat suatu guapun.
"Aneh, apakah aku keliru?"
Pikirnya. Tapi ia hendak mencoba sebuah cara.
"Wanpwe Toan Khik-sia, mendapat perintah dari cianpwe Kay-pang Hong-hu Ko untuk minta bertemu dengan Hwe thocu!"
Demikian ia lantas berseru nyaring. Tiba-tiba tanah yang di bawah pohon siong yang di tengah-tengah sendiri, mengungkap ke atas dan pada lain kejap berubah menjadi sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru.
"Apakah membawa bukti penandaan?"
Kiranya gua itu dibuat di bawah tanah, atasnya ditutupi dengan tanah yang bertumbuh rumput. Jika tidak menyelidiki dengan seksama orang luar pasti sukar mengetahuinya.
"Ada sebuah cincin besi dari Hong-hu locianpwe,"
Sahut Khik-sia.
"Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa,"
Seru orang itu. Khik-sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang itu berseru.
"Aku ini Hwe Tay-yap sendiri, silahkan masuklah."
Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar untuk menyambut orang yang dimintai tolong oleh ketua Kay-pang.
Sebaliknya malah Khik-sia yang disuruh masuk.
Meskipun Khik-sia seorang pemuda yang tak menghiraukan segala macam peradatan tetek bengek, namun tak urung ia merasa kurang senang juga.
Diam-diam ia menganggap Hwe thocu itu seorang yang angkuh.
Namun karena berat melakukan pesan Hong-hu Ko, terpaksalah ia mengalah juga.
Di dalam gua itu amat gelap.
Lebih-lebih Khik-sia baru datang dari tempat terang.
Samarsamar ia hanya melihat beberapa sosok bayangan orang.
Kembali Khik-sia menggerutu.
"Hm, mengapa tahu ada tetamu, mereka tetap takmau nyalakan lampu?"
Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah.
Tiba-tiba ia hentikan langkahnya dan timbul pikirannya hendak bertanya.
Tapi sekonyong-konyong ia mendengar bunyi senjata rahasia mengaum di udara dan berbareng itu tersiar bau yang harum.
Untuk Khik-sia selalu siap sedia.
Cepat ia cabut pedangnya dan bolang-balingkan kian kemari untuk menjaga diri.
Dua buah thi-cijong, dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah belati.
Kena ditampar jatuh semua.
Dalam sinar yang terpancar dari kelebat pedangnya itu, Khik-sia melihat ada tiga orang maju menyerangnya.
Salah seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri.
Ceng-ceng-ji! "Setan cilik, kau telah memperdayai aku, sekarang akupun juga menyelomotimu.
Lihat pedangku!"
Ceng-ceng-ji tertawa dingin seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan serangannya itu. Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali. Khik-sia gunakan gerakan kaki i-poh-hoan-sing untuk berloncatan menghindar. Serunya.
"Jisuheng, jangan salah paham. Kau bermusuhan dengan Kay-pang itu, bisa menimbulkan bahaya. Maka meskipun aku telah menipumu tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku?"
Ceng-ceng-ji memaki.
"Kurang ajar! Kau seorang anak kemarin sore berani menasihati aku? Dulu karena ada tiang pengandal su-niomu itu, aku biarkan saja dirimu. Tapi kini setelah jatuh ke dalam tanganku, kau tentu kuhajar!"
Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng-ceng-ji tetap lancarkan pedangnya dengan serangan-serangan yang berbahaya. Khik-sia naik darah juga. Pikirnya.
"Dia berani mengkhianati perguruan dan sekarang hendak membunuh aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi?"
"Karena Ji-suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siau-te melanggar adat!"
Serunya sambil kembangkan pedang dalam jurus tiang-ho-lok-jit atau matahari terbenam di sungai panjang.
Trang, pedang Ceng-ceng-ji yang terbuat dari emas murni itu, kena dipentalkan ke samping.
Pedang keduanya sama-sama pedang pusaka, maka sama-sama tak gempil serambutpun juga.
Tapi sekalipun begitu, tangan Ceng-ceng-ji merasa kesakitan.
Dalam hal gin-kang terang kalau Khik-sia lebih unggul dari bekas ji-suhengnya itu.
Pun dalam ilmu lwekang, setelah mendapat gemblengan dari Bo Jong-long, ayah Bo Se-kiat yang menjadi kepala pulau Hu-siang-to, lebih atas juga dari Ceng-ceng-ji.
Pada saat itu Khik-sia tak mau mengalah lagi.
Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian-liong-kiam-hwat dari warisan keluarganya.
Ilmu permainan Thian-liong-kiam-hwat itu mengutamakan kekerasan.
Ini sesuai dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik-sia sekarang.
Maka kalau Ceng-ceng-ji menjadi tersirap kaget, itulah sudah jamak.
Dari rasa mengiri, timbullah pikiran buas dari Ceng-ceng-ji untuk membunuh sutenya itu.
Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu berisi tiga orang.
Sewaktu Khik-sia menghalau mundur Ceng-ceng-ji, tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping dengan senjata tongkat.
Orang itu bukan lain adalah murid pemberontak dari Kay-pang, yaitu Uh-bun Jui.
"Aku adalah pangcu dari Kay-pang. Ceng-ceng cianpwe membantu partai kami, mengapa kau mengadu biru memutar balik hitam putihnya. Urusan partai Kay-pang kami, tak perlu kau campur tangan!"
Seru Uh-bun Jui.
Beradanya Uh-bun Jui di situ, telah membuat Khik-sia menjadi terang persoalannya.
Uh-bun Jui tentu menduga bahwa Hong-hu Ko akan datang ke markas gua situ, itulah sebabnya maka Uhbun Jui mendudukinya lebih dulu.
Tetapi mengapa ia berbuat begitu? Apakah benar-benar ia sudah berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung pada pemberontak Su Tiau-gi? Memikir sampai di sini, berkobarlah amarah Khik-sia.
Sudah tentu Uh-bun Jui bukan tandingan Khik-sia.
Hanya sekali gebrak saja, tongkat Uh-bun Jui sudah kena dipapas kutung oleh Khik-sia.
Untung Ceng-ceng-ji cepat-cepat menyerang sehingga Uh-bun Jui terlepas dari serangan Khik-sia yang kedua.
Bentak Khik-sia.
"Benar, memang aku tak berhak campur urusan partaimu Kay-pang. Tetapi Hong-hu Ko lo-cianpwe berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai binasa, tahu tidak kau? Beliau suruh aku kemari untuk menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum pemberontak, tahukah kau? Asal kau masih punya setitik rasa nurani (liangsim), tentu akan berdaya untuk menolong suhumu. Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa maksudmu?"
Semprotan Khik-sia itu telah membuat Uh-bun Jui terlongong-longong. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak.
"Telah kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhan bantuanmu. Untuk melakukan karya besar harus menyampingkan urusan tetek bengek, kau tahu apa, hai, budak kecil? Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay-pang. Aku melarangmu ikut campur!"
Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat.
Khik-sia masih mempunyai pikiran panjang.
Bagaimanapun halnya, Uh-bun Jui itu adalah masih anak murid Kay-pang.
Segala kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan.
Maka ia ambil putusan tak mau membunuhnya.
Ia gunakan jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum, yakni sebuah gerak serangan yang memakai lwekang lunak, untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat di siku lengan orang.
Khik-sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup.
Pertama, dapat digunakan sebagai barang tanggungan agar ia dapat keluar dari gua itu.
Kedua, demi menghormati kewibawaan pimpinan Kay-pang untuk mengurusnya sendiri.
Tapi ternyata Uh-bun Jui itu cukup licin.
Ia cukup tahu kelihayan Khik-sia, sudah tentu ia tak berani bertempur sesungguhnya.
Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah kesini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan membuat supaya ia mudah mundur setiap saat.
Untuk tusukan Khik-sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah dihindarinya dengan loncatan ke samping.
Saat itu Ceng-ceng-ji pun sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Benar Khik-sia lebih unggul setingkat dengan ji-suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah kembangkan permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia mementalkan pedang Ceng-ceng-ji.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ceng-ceng-ji gunakan ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah.
Tapi dengan tangkasnya dapatlah Khik-sia menangkisnya dengan tepat.
Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang perguruannya.
Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat.
Dalam beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling berbentur.
Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita suatu apa.
Heng-liong-koay-hwat atau permainan tongkat menundukkan naga yang digunakan Uh-bun Jui itu adalah berasal dari ilmu pusaka Kay-pang.
Tapi dikarenakan Khik-sia kelewat tangguh, maka ia tak dapat berbuat apa-apa.
Walaupun dikeroyok dua itu, Khik-sia masih menang angin, tapi untuk merebut kemenangan dalam waktu yang singkat, juga tak mudah.
Demikian mereka bertempur dengan makin serunya.
Sekonyong-konyong Khik-sia rasakan kepalanya pusing, mata berkunang-kunang.
Memang sejak masuk ke dalam gua situ, ia sudah tercium bau wangi.
Ia pun sudah curiga, tetapi karena secepatnya ia sudah mendapat serangan, jadi ia tak sempat memikirkannya lagi.
Tetapi wangian itu berasal dari bungan Asulo atau dalam nama bangsa Tionghoa disebut bunga Mo-kui-hoa (bunga setan).
Bunga itu diperoleh Ceng-ceng-ji ketika ia mendaki di puncak gunung Himalaya.
Kemudian bunga itu diramu dengan istimewa sekali, hingga menjadi suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat dari bi-hiang kepunyaan Gong-gong-ji.
Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang itupun makin bekerja.
Khik-sia dapatkan tenaganya makin berkurang.
Diam-diam ia mengeluh.
Akhirnya dengan menahan napas, ia rubah permainannya menjadi ilmu permainan golok.
Dengan jurus no-hay-to-liong atau ngaduk laut membunuh naga, ia hantam kepala Ceng-ceng-ji.
Jurus itu adalah jurus yang terganas dari ilmu pedang keluarganya.
Ketrampilan pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok.
Ceng-ceng-ji kenal lihay.
Tak berani ia menangkis, melainkan cepat-cepat menghindar.
Tapi Uh-bun Jui agak lambat, kembali tongkatnya kena terpapas kutung.
Trang, mencelatlah tongkatnya itu dari tangannya.
Khik-sia berputar hendak berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin menggerang.
"Masih ada aku di sini!"
Seperti telah diterangkan tadi, di dalam gua situ terdapat tiga orang.
Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui dan seorang paderi asing berbaju merah.
Paderi tua itu berdiri di mulut gua.
Sejak tadi ia hanya berpeluk tangan mengawasi saja.
Ia hendak tunggu sampai Khik-sia sudah kehabisan tenaga, baru nanti turun tangan.
Hoan-ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata sepasang kecer (plat logam berbentuk bundar, dipukulkan satu sama lain untuk tetabuhan).
Ketika Khik-sia menusuk, paderi itu kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya sehingga menimbulkan suara gempar yang mengalun sampai jauh ke lembah.
Khik-sia terperanjat, pikirnya.
"Lihay benar paderi ini, tenaganya tak di bawahku!"
Tapi itu hanya penilaian Khik-sia sendiri karena pada hakekatnya lwekang paderi itu masih kalah setingkat dengan Ceng-ceng-ji.
Adanya Khik-sia mempunyai anggapan demikian karena saat itu tenaganya sudah berkurang banyak.
Mulut gua dihadang si paderi, tiga kali Khik-sia coba menerjang tapi kena dihalau oleh sepasang kecer si paderi.
Tiba-tiba dari belakang terdengar deru senjata menyambar.
Ceng-ceng-ji kembali sudah datang menyerang.
Khik-sia menyabat ke belakang.
Sabatan pedangnya ia dilancarkan dengan sepenuh tenaga.
Kedua pedang mereka muncratkan letikan api, tetapi bukannya mundur sebaliknya Ceng-ceng-ji malah maju dua langkah.
Ujung pedang Kim-ceng-toan-kiamnya ditujukan ke muka Khik-sia, tapi pemuda itu sempat menghindar.
Melihat Khik-sia mulai kehabisan tenaga, segera Uh-bun Jui berani menyerang lagi.
Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga Khik-sia tak dapat bertahan lama.
Kembali ia harus mengambil napas, tapi dengan berbuat begitu ia seperti orang yang mabuk minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali.
Khik-sia mengeluh, dengan kuatkan semangat ia tangkis pedang Ceng-ceng-ji.
"Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku yang mengajar kau!"
Ceng-ceng-ji tertawa mengejek.
Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan lagi.
Sabatan pertama memapas kopiah Khik-sia, yang kedua memutuskan ikat pinggang dan yang ketiga melubangi baju si anak muda.
Ia tak mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja.
Khik-sia gigit lidahnya.
Pada saat Ceng-ceng-ji tertawa, sekonyong-konyong Khik-sia kiblatkan pedangnya.
Begitu pedang Ceng-cengo terpental ke samping, ia lantas teruskan menggurat lengan orang hingga terluka.
Bluk, kakinya menendang Uh-bun Jui sampai jatuh jumpalitan.
Dengan menggigit lidahnya tadi, Khik-sia merasa kesakitan.
Tapi dengan begitu semangatnya menjadi tergugah dan dengan perangsang sakitnya itu, tenaganyapun malah bertambah.
Malah lebih kuat dari tenaganya semula.
Ceng-ceng-ji tersentak kaget.
Buru-buru ia pindah pedangnya ke tangan kiri.
Kini ia menyerang dengan pedang tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan.
Ia gabungkan serangan keras dan lunak ganti berganti.
Ilmu itu adala ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia ikut pada Coan Lun hwat-ong.
Dengan begitu Khik-sia pun tak mengetahui cara memecahkannya.
Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi, kini sudah reda.
Ketambahan lagi Khik-sia harus menghadapi ilmu serangan yang tak dikenalnya.
Kepalanya makin pusing, bingung ia bagaimana harus menghadapi.
Ia dapat menghindari pedang Ceng-ceng-ji tapi tak mampu menyingkir dari pukulan dan tutukan jarinya.
Akhirnya sebuah pukulan Ceng-ceng-ji telah membikin rubuh anak muda itu.
Ceng-ceng-ji menambahi lagi dengan sebuah tutukan pada jalan darah pelemas.
"Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak?"
Ceng-ceng-ji mendengus dingin.
Ia terus hendak menutuk tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia untuk membikin lenyap kepandaian anak muda itu.
Saat itu Uh-bun Jui pun sudah tengel-tengel bangun.
Terhadap anak muda yang membikin kacau urusannya itu, Uh-bun Jui benci setengah mati.
Cepat diambilnya potongan tongkat terus hendak disabatkan ke kaki Khik-sia.
Trang, trang, si paderi menghadang dengan sepasang kecernya hingga pedang Ceng-ceng-ji dan tongkat Uh-bun Jui terhalang.
Dengan suara keren paderi itu berseru.
"Tuan puteri maukan hidup, tidak boleh melukainya!"
Mendapat tutukan berat dari Ceng-ceng-ji dan menghirup obat bi-hiang yang keras, maka pikiran Khik-sia jadi limbung. Samar-samar ia mendengar kata-kata 'tuan puteri' (kongcu) tadi. Pikirnya.
"Siapakah tuan puteri itu?"
Tapi ia tak sempat memikirkan lagi karena saat itu si paderi sudah lantas menjinjingnya.
Karena banyak menyedot bi-hiang, seketika Khik-sia menjadi pingsan.
Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik-sia membuka mata, kejutnya bukan kepalang.
Kiranya saat itu ia tengah berbaring di sebuah ranjang yang berkasur empuk dari sebuah kamar yang dihias indah.
Pantasnya kamar itu adalah kamar dari seorang gadis orang berada.
Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah tenaganya tak ada sama sekali.
Ia bingung mengapa dirinya berada di situ.
Tapi setelah merenung tenang-tenang, ingatannya berangsur-angsur kembali.
Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh si paderi hoan-ceng.
Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar lengking tawa macam bunyi kelinting.
Seorang dara muncul dan berkata.
"Bagaimana, apakah di sini kurang enak? Maaf, telah membuat kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat, melainkan hendak mengundangmu sungguh-sungguh. Kuatir kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan begitu."
Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan wanita baju merah yang dipanggil Uh-bun Jui dengan sebutan Nona Su itu.
"Siapa kau? Aku belum kenal padamu, mengapa kau hendak mengundang aku? Tempat apa ini?"
Tanya Khik-sia.
"Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik perempuan dari Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah mengatakan nama engkohku itu? Waktu ini kami menjadi pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang?"
Kata nona itu.
Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing.
Ia bunuh ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja Wi Yan.
Tentang hal itu Khik-sia sudah mengetahui.
Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil 'tuan puteri' oleh paderi hoan-ceng itu adalah Su Tiau-ing ini.
Khik-sia tertawa tawar.
"Aku seorang rakyat jelata, tak berani bergaul dengan kaum ningrat. Apa maksudmu mendatangkan aku kemari ini?"
Dara itu tertawa.
"Jangan marah dulu, maukah? Siapa dirimu, aku sudah tahu jelas. Terus terang, kita semua adalah kaum penyamun. Hanya saja ayahku lebih bernyali besar, berani melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu menjadi raja, tetapi kalau kalah dinamakan berandal. Itulah sudah jamak."
Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak mengandung maksud buruk terhadap Khik-sia.
"Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan kuterangkan pelahan-lahan. Singkatnya saja, aku hendak minta bantuanmu untuk sebuah hal,"
Kata Tiau-ing.
Mendiang ayah Khik-sia dahulu telah gugur dalam medang pertempuran melawan pasukan Su Su-bing.
Jenderal Leng Ho-tiau adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota Ciau-yang yang dipertahankan Toan Kui-ciang.
Meskipun Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su Su-bing, tapi secara tidak langsung ada hubungannya juga.
Maka setelah mengetahui dara itu puteri Su Su-bing, belum-belum Khik-sia sudah mempunyai rasa antipati.
Maka tanpa banyak pikir lagi, ia segera menyahut.
"Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti kamu orang. Aku ini seorang penyamun yang tak punya cita-cita muluk, aku tak mampu membantu urusanmu."
Gadis itu tertawa.
"Jangan kelewat merendah diri dululah!"
Khik-sia tertawa rawan.
"Dan lagi, akupun tak suka membantumu. Terserah bagaimana kau hendak mengapakan diriku!"
Tiba-tiba gadis itu tertawa nyaring.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang kau tertawakan?"
Teriak Khik-sia dengan marah.
"Aku menertawai dirimu seorang lelaki, tapi tidak lapang dada!"
Sahut Su Tiau-ing. Khik-sia terkesiap.
"Dalam hal apa aku tidak lapang dada?"
Tanyanya.
"Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih teringat akan peristiwa pertempuran di Sui-yang, bukan? Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan ayahkulah yang menjadi pihak lawannya. Sudah sewajarnya kalau kau mendendam. Tetapi mana ada pertempuran tanpa ada korban yang jatuh? Jika dua pihak saling bertempur, tentu sukar terhindar dari korban-korban yang luka dan mati. Apalagi ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya dendam sakit hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak mau menghapus rasa dendammu itu, pun seharusnya hanya tertuju kepada ayahku saja. Pada masa itu aku masih seorang anak perempuan kecil yang tak tahu apa-apa. Mengapa diriku turut dibawa-bawa? Dengan setulus hati kuundang kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu. Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas kepadaku. Apakah ini bukannya menandakan hatimu sempit?"
Dengan tepat sekali Tiau-ing telah menelanjangi isi hati Khik-sia.
Nona itu telah memberikan uraian yang jitu.
Diam-diam Khik-sia mengagumi kecerdikan nona itu.
Meskipun perasaannya masih tetap tawar terhadap nona itu, namun sikapnya tidak segetas tadi lagi.
Sahutnya.
"Memang aku tak bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan berbeda tujuan, aku tak dapat membantu kerepotanmu!"
"Toh aku belum mengatakan bagaimana kau tahu tak dapat membantu? Dan mungkin juga kita sehaluan,"
Tiau-ing tertawa. Khik-sia kalah separuh, akhirnya terpaksa ia mengalah.
"Baiklah, silahkan mengatakan saja urusanmu itu."
"Aku bermaksud hendak berserikat dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama membagi rata kerajaan dan negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka?"
Kata Tiauing.
"Tidak!"
Tukas Khik-sia dengan tegas.
"Mengapa?"
Tanya Tiau-ing.
"Tidak ya tidak! Siapa Thiat toako-ku itu, rasanya kau tentu tak mengetahui,"
Sahut Khik-sia.
"Mengapa tak tahu? Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai si-wi di istana, kemudian difitnah oleh kaum dorna sehingga keluar. Tetapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong. Dengan An Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam anggapannya, pihakku itu kawanan pemberontak. Berdasarkan hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi berserikat dengan aku. Betul tidak?"
"Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup,"
Sahut Khik-sia. Dengan komentarnya yang terakhir itu, Khik-sia hendak memutuskan pembicaraan. Ia duga nona itu tentu tak dapat berkata lagi. Siapa tahu, Tiau-ing malah tertawa gelak-gelak.
"Mengapa kau tertawa lagi?"
Khik-sia heran dibuatnya.
"Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah kerajaan Tong dan tak menyesuaikannya dengan suasana perubahan jaman,"
Sahut Tiau-ing.
"Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman, harap nona katakan,"
Kata Khik-sia.
"Lain dulu lain sekarang. An Lok-san adalah suku Oh (utara). Ia ingin menjadi kaisar Tiongkok. Jika sekalian patriot Tiong-goan tak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she Su adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar, mengapa kami orang she Su, orang she Thiat, orang she Bo dan kau she Toan, tidak boleh? Ini dalil pertama.
"Dahulu Thiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong, sekarang menjadi pemimpin Lok-lim (begal). Bo Se-kiat itu seorang yang punya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin Thiat-mo-lek tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah berkembang sedemikian rupa, mau tak mau ia harus menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak, pihak kerajaan tetap takkan memberi ampun padanya. Markasnya di Kim-ke-nia sudah dihancurkan tentara pemerintah, kini ia melarikan diri entah ke mana. Rasanya sukar untuk menginjakkan kakinya lagi. Jika mau berserikat dengan kami, tentu sama-sama ada kebaikannya. Mengapa tak mau?"
Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata-kata. Sebaliknya Khik-sia tak pandai bicara. Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk mengatakan.
"Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum?"
Tanya nona itu. Diam-diam Khik-sia membatin.
"Meskipun An Lok-san adalah suku Oh dan Su Su-bing suku Han, tapi dua-duanya merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama saja. Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiau-gi membunuh ayahnya sendiri karena hendak merebut kedudukan, ini lebih biadab lagi. Su Tiau-ing ini adalah adik perempuannya, rasanya tentu tak berbeda banyak dengan engkohnya."
Walaupun batinnya begitu, tapi lahirnya Khik-sia tetap bersikap ramah kepada nona itu. Kemudian ia mengambil ketetapan, ujarnya.
"Kau minta aku mengatakan sejujurnya?"
Tiau-ing mengiakan.
"Taruh kata Bo Se-kiat mau bersekutu dengan kau, akupun tak mau menjadi orang perantaraannya,"
Kata Khik-sia.
"Mengapa? Kau memandang hina pada kami?"
Seru Tiau-ing.
"Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek kata, apa yang aku tak ingin, takkan kukerjakan. Jika mau mengirim orang perantara, silahkan cari lain orang saja,"
Sahut Khik-sia. Dengan tawar Tiau-ing berkata.
"Jika ada orang yang lebih sesuai dari kau, sudah tentu kamipun takkan berjerih payah untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, akupun tak dapat memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kami mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah kau hendak pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan? Nah, silahkan menimbang lagi, mau meluluskan atau tidak?"
Khik-sia tertawa dingin.
"Apakah kau menghendaki aku pura-pura meluluskan permintaanmu? Sebenarnya aku dapat berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang janji begitu, bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah kau? Nah, rasanya sudah cukup, jika hendak membunuh aku, silahkan saja."
Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak.
"Mengapa kau tertawa?"
Lagi-lagi Khik-sia kesima.
"Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai engkohku yang sudah salah lihat orang. Ternyata mataku lebih tajam dari dia,"
Sahut Tiau-ing.
"Bagaimana?"
Tanya Khik-sia.
"Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan membujuk, dapatlah tentu menundukkan kau. Tetapi pendapatku bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang berkepribadian kuat, jujur dan perwira. Apa yang kau pikirkan, tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri, pun tak mau menipu orang. Bagus, benar- benar dapat digolongkan perilaku seorang laki-laki utama."
Disanjung puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang. Tanpa merasa Khik-sia pun tergerak hatinya. Pikirnya.
"Nona ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat digolongkan sebagai pahlawan wanita. Sayang seorang nona begitu, rela menjadi pemberontak."
Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara berkeresekan pelahan sekali.
Obat bius yang dihirup Khik-sia masih belum hilang khasiatnya.
Tenaganya lenyap tapi pendengarannya masih tajam.
Jika lain orang tentu sukar menangkap suara berkeresekan yang sedemikian pelahannya itu.
"siapakah orang yang lihay gin-kangnya ini? Menilik Su Tiau-ing itu sebagai seorang kongcu (puteri0, tentulah orang itu anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa berani mencuri dengar. Hm, apakah musuhnya ?"
Khik-sia menimang-nimang dalam hati. Tapi ditunggu sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa lagi. Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata.
"Biarlah kubukakan jendela, ya?"
Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata di luar tak kelihatan suatu apa.
Tapi dengan telinganya yang tajam itu, dapatlah Khik-sia menangkap bahwa suara itu hilang berbareng pada saat Tiau-ing membuka jendela.
Orang itu tentu sudah kabur.
Diam-diam Khik-sia terkejut, pikirnya.
"Hebat benar gin-kang orang itu. Apakah toa-suhengku yang datang?"
Tiau-ing berputar tubuh lagi dan menghela napas pelahan-lahan. Ujarnya.
"Toan kongcu, aku tak mau memaksa kau, tapi juga tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku?"
Dingin-dingin Khik-sia menjawab.
"Aku adalah orang tawananmu. Hendak kau apakan, terserah saja. Masakah aku dapat membantah."
"Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi bagaimana sikapmu kepadaku?"
Tiba-tiba nona itu bertanya.
"Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tak membikin susah padaku, sudah tentu aku takkan bikin perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua ganjelan selama inipun takkan kutarik panjang,"
Sahut Khik-sia.
"Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya meluluskan takkan membenci aku saja?"
Kata Tiau-ing.
"Kau masih menghendaki apa lagi? Apakah minta aku bertekuk lutut minta maaf padamu?"
Tiau-ing kedipkan matanya kepada anak muda itu sejenak, lalu tertawa.
"Ah, mana aku berani menerima kehormatan begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon belas kasihan padamu."
Khik-sia duga nona itu hendak mengungkat lagi pembicaraan tadi. Buru-buru ia menyahut.
"Seorang laki-laki lebih baik mati dari menyerah. Telah kukatakan tadi, baik kau lepaskan aku atau tidak, aku tetap tak dapat membantu padamu. Nah, kiranya sudah cukup, terserah bagaimana kau hendak memutuskan."
Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang dipikirkan. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba ia menghela napas lagi, katanya.
"Toan kongcu, sebenarnya ingin sekali kulepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja dulu, aku hendak pergi."
Pikiran Khik-sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan kata-kata Su Tiau-ing tadi, melainkan pengintai yang memiliki ilmu ginkang hebat itu.
Bermula ia duga kalau toa-suhengnya, Gonggong- ji, yang datang itu.
Kalau benar ia, mengapa takut? Toh tak ada orang yang mampu menghalanginya? Dan mengapa sampai sekarang tak muncul lagi? Namun bila pengintai itu orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal juga.
Mana ada orang sebawahan berani mencuri dengar pembicaraan 'tuan puterinya'? Memikir bolak-balik, tetap Khik-sia tak menemukan jawabannya.
Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam yang berisi semangkuk besar bubur dan beberapa mangkuk masakan.
"Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan hidangan ini untukmu,"
Kata budak itu. Pikir Khik-sia.
"Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu memberi racun dalam makanan."
Khik-sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus ia gasak hidangan itu sampai habis. Setelah budak itu pergi, Khik-sia duduk sendirian di dalam kamar situ. Sampai sekian lama tak kelihatan orang datang. Timbullah ingatannya.
"Daripada menunggu pertolongan orang, lebih baik berusaha sendiri."
Ia lantas duduk bersila menyalurkan lwekangnya.
Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa murni (cin-gi) masih sukar dipusatkan.
Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu mulai bergerak tapi pun hanya terbatas sampai ke arah tangan kakinya saja.
Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya, itulah masih sukar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara orang berbicara.
Suara orang lelaki berkata.
"Apakah ia sudah menyanggupi?"
"Aku sedang membujuknya,"
Sahut suara seorang anak perempuan yang bukan lain ialah Su Tiau-ing. Lelaki itu tertawa dingin.
"Moay-moay, lebih baik jangan buang tenaga. Memang sudah kuduga ia tentu menolak."
"Tidak, beri ia waktu dua hari lagilah,"
Bantah Tiau-ing. Kata lelaki itu.
"Apa yang kau bicarakan padanya, telah kudengar semua. Kalau toh ia menolak, kau bisa berbuat apa? Hm, apakahh kau hendak gunakan siasat 'memikat dengan kecantikan'?"
Marahlah Tiau-ing.
"Koko, jangan ngaco belo! Kau anggap aku ini orang macam apa?"
Khik-sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi. Pikirnya.
"Benar-benar pribadi Su Tiau-gi itu hina dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan tergolong kaum Ceng-pay (lurus), tapi ia lebih baik dari engkohnya."
Bandit Penyulam -- Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id