Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 11


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 11



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sedang Hui-ang-kin sendiri sejak lama sudah mengasingkan diri.

   Karena itu, suka-duka antara Njo Hun-cong dan Hui-ang-kin dengan sendirinya tak diketahui Leng Bwe-hong.

   "Ilmu silat Hui-ang-kin sungguh sudah tiada tara dan tiada bandingannya di kalangan sesama pendekar wanita, cuma tabiatnya mengapa begitu aneh?"

   Demikian sesal Bwe-hong. Wan-lian memang tidak kenal orang macam apakah Huiang- kin itu, maka ia tak berani ikut campur bicara.

   "Mana 'Cu-ko-kim-hu' itu?"

   Tanya Bwe-hong tiba-tiba pada si gadis itu.

   "Coba serahkan padaku saja."

   Segera Wan-lian menyerahkan benda yang diminta itu.

   "Biarlah malam ini aku menyelidiki penjara kerajaan,"

   Kata Bwe-hong pula.

   "Apakah Leng-tayhiap tak perlu pembantu?"

   Tanya Wanlian.

   "Tak perlu,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Terlalu banyak orang malah kurang leluasa."

   Habis itu mereka pun saling menceritakan keadaan masingmasing sesudah berpisah sekian lama.

   Karena itu barulah si gadis bernapas lega setelah mengetahui keselamatan dan diri Kui Tiong-bing yang tiada kabar beritanya setelah berangkat ke kota-raja, maka Li Lay-hing dan Pho Jing-cu meminta Leng Bwe-hong menyusul mereka untuk mencari kabar.

   Nama Leng Bwe-hong terlalu dikenal kalangan Kangouw, pula mudah dikenali karena mukanya yang codet, maka ia selalu berjalan di waktu malam dan siang hari malah mengaso.

   Sepanjang jalan tiada sesuatu yang dia dengar, tapi begitu masuk kota-raja segera didengarnya Ie Lan-cu sudah berhasil membunuh To Tok dan dipenjarakan.

   Sejak kecil Ie Lan-cu dibesarkan Leng Bwe-hong, hubungan mereka boleh dikata bagai saudara dan mirip juga ayah dan anak.

   Keruan ketika didengarnya Lan-cu tertangkap musuh dan dipenjarakan, ia menjadi kuatir dan ikut menderita batin bagai ditusuk ribuan anak panah.

   Suhengnya telah tewas secara mengenaskan dan hanya punya seorang puteri tunggal ini saja, betapapun juga jadinya, tak boleh kubiarkan anak dara itu tamat nyawanya di tangan musuh, demikian pikirnya.

   Ada hubungan apa antara Lan-cu dan Nilan-onghui dengan sendirinya Leng Bwe-hong mengetahui.

   Maka urusan mencari Tiong-bing dan Wan-lian sementara ia tinggalkan, lebih dulu ia menyelidiki istana Pangeran To Tok, dengan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tiada bandingan ia berhasil menyelundup ke atas loteng kamar Onghui tanpa dipergoki.

   Dan di situlah secara kebetulan telah menemukan Boh Wanlian dan Hui-ang-kin tadi.

   "Orang macam apakah Hui-ang-kin itu?"

   Demikian Tanya Wan-lian kemudian.

   "Tampaknya perhatiannya terhadap Ie Lan-cu tidak kurang daripada kita."

   "Ya, agaknya itu memang nasib,"

   Sahut Bwe-hong menghela napas.

   "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, cuma sewaktu tinggal di Sinkiang, pernah kudengar cerita rakyat penggembala sedikit tentang mereka dan barulah aku tahu bahwa Hui-ang-kin sebenarnya bernama Hamaya, di masa muda namanya menggemparkan seluruh daerah selatan Sinkiang, ia adalah puteri tunggal pahlawan suku bangsa Lopu yang bernama Danu. Konon menurut cerita di waktu Coh Ciau-lam mula-mula turun gunung pernah juga membantu di bawah pimpinan pahlawan tua Danu dan bersama-sama melawan pasukan Boan. Tapi tak seberapa lama Coh Ciau-lam lantas mengkhianati Danu dan takluk pada pasukan Boan." (Baca Pahlawan Padang Rumput) "Sayang, sungguh sayang,"

   Ujar Wan-lian gegetun.

   "Tatkala itu nama Suhengku Njo Hun-cong juga tersohor di utara Sinkiang, ia membantu suku bangsa Kazak melawan pasukan Boan dan kemudian malah merupakan jiwa daripada laskar rakyat Kazak. Sayang akhirnya bangsa Kazak telah dihancurkan dan Njo-suheng terpaksa melintasi gurun Taklamakan dan menggabungkan diri dengan Hui-ang-kin di selatan Sinkiang."

   "Mereka berdua melawan pasukan Boan bersama-sama, pula sama gagah perkasa, mengapa mereka tidak mengikat perjodohan yang sangat setimpal itu?"

   Kata Wan-lian tertarik oleh cerita itu.

   "Wan-lian, tidak semua orang beruntung seperti kau dan Tiong-bing,"

   Ujar Bwe-hong menghela napas.

   "Soal asmara memang sangat aneh, bila kesempatan kaulewatkan sedikit saja, mungkin orang itu akan menyesal untuk selamanya. Dan kenapa mereka tidak mengikat jodoh, itulah yang aku tidak tahu. Cuma kabarnya sebelum Hui-ang-kin bertemu dengan Njo-suheng, ia sudah pernah jatuh cinta pada seorang seniman suku bangsanya sendiri yang bernama Abu. Suara emas Abu sangat dipuja di padang rumput mereka dan menggoncangkan hati setiap gadis. Tapi sayang seniman terpuja itu sebaliknya berjiwa kotor dan rendah, ia telah bersekongkol dengan pihak musuh hingga pahlawan Danu gugur. Belakangan ia tertangkap oleh Hui-ang-kin dan disodet perutnya di depan abu sembahyang ayahnya."

   Wan-lian terharu dan menghela napas pula oleh cerita itu.

   "Menurut dugaanmu, apakah Njo-tayhiap menampik Hui-angkin karena sebelumnya ia sudah mencintai seniman Abu itu?"

   Tanyanya.

   "Kukira tidak,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Mungkin sebelum mereka berkenalan, Njo-suheng sudah mencintai dulu seorang lain, yaitu yang sekarang kita kenal sebagai Ok-onghui."

   Lagi-lagi Wan-lian gegetun dan menghela napas. Tapi tibatiba dilihatnya wajah Leng Bwe-hong menjadi muram dan mata berkaca-kaca, ia menjadi terkejut.

   "Apakah mungkin Leng-tayhiap sendiri juga mempunyai kisah cinta yang menyedihkan?"

   Demikian ia membatin. Maka ia pun tak berani bertanya lebih lanjut.

   "Malam ini aku ingin menyelidiki penjara, kalau berhasil menolong keluar Lan-cu, segera aku membawanya mencari kalian,"

   Kata Bwe-hong setelah bertanya tempat tinggal Wanlian.

   Dalam pada itu, di kala Leng Bwe-hong memikirkan diri le Lan-cu, di lain pihak gadis itupun sedang mengenangkan Leng Bwe-hong di dalam penjara yang gelap gulita tak tertembus sinar matahari maupun rembulan, dalam penjara itu hanya disinari dua pelita kecil yang berkelip-kelip di pojokan.

   Secara tak sadar Lan-cu meringkuk dalam penjara itu dan entah sudah berapa kali siang telah berganti malam dan malam berganti siang, terasa olehnya semacam perasaan kesunyian yang aneh.

   "Aku adalah puteri ayahku!"

   Demikian ia menghibur diri sendiri, ia merasa tidak mengecewakan harapan sang ayah.

   Surat darah ayahnya masih tersimpan baik dalam bajunya, tapi kini tekanan jiwa yang ditimbulkan surat darah itu sudah lenyap sama sekali, ia merasa puas, ia ingin menari, ingin menyanyi atas kemenangannya itu.

   "Marilah maju, tak nanti aku takut padamu,"

   Demikian tantangnya pada malaikat elmaut yang dihadapinya dalam kegelapan itu.

   Tapi benarkah sedikitpun ia tak gentar mati? Mungkin betul.

   Namun kadang ia pun merasa takut menghadapi malam yang gelap dan panjang itu, ia bukan takut mati, melainkan sayang pada jiwa sendiri yang masih muda-belia.

   Bukankah ia baru gadis remaja berusia belum genap 20 tahun? Tapi segera ia akan berpisah untuk selamanya dengan sanak-kadang yang dicintainya.

   Ia tak mempunyai sanak-kadang sebenarnya, tapi dalam keadaan demikian ini ia justru terkenang pada sanak-kadang.

   Onghui adalah ibu kandungnya.

   Terhadap ibunya selama ini perasaannya selalu bertentangan di antara cinta dan benci, dalam hati si gadis yang lemah tapi juga keras ini hakikatnya sudah tak pandang sang ibu sebagai sanak-kadang lagi, namun kini, di saat menghadapi elmaut yang akan menamatkan kehidupannya ini, ia justru terkenang pada sang ibunda, ia mempunyai suatu harapan, ya, bahkan sangat mengharap agar bisa menguras air matanya yang sudah tertimbun sekian lamanya di hadapan sang ibu, ia ingin menyatakan betapa merindukan kasih ibu dan juga betapa ia benci padanya.

   Dan 'sanak' kedua yang ia kenangkan ialah Leng Bwe-hong.

   Sebenarnya Bwe-hong bukan sanak juga bukan kadang-nya, tapi baginya rasanya malah lebih dekat dan lebih rapat daripada sanak-kadang yang lain.

   la masih ingat betapa susah payah Leng Bwe-hong membawanya ke Thian-san jauh dari daerah selatan, melintasi gurun luas dan pergi ke daerah perbatasan itu, masa itu ia baru seorang anak bayi yang sedang belajar omong.

   Budi kebaikan itu boleh dikata melebihi hubungan ayah dan anak.

   "Dimanakah ada seorang ayah pernah menderita dan berkorban begitu banyak untuk anaknya?"

   Demikian pikirnya.

   Bila terkenang pada Leng Bwe-hong sungguh ia ingin memanggilnya sebagai 'ayah', tetapi usia Leng Bwe-hong hanya belasan tahun lebih tua darinya, apakah ia akan suka dipanggil ayah.

   Bila ingat sampai di sini, kadang Lan-cu lantas tertawa sendiri.

   'Sanak' ketiga yang ia kenangkan ialah Thio Hua-ciau.

   Belum ada dua tahun ia mengenal pemuda itu, tapi aneh, perasaannya terhadap Hua-ciau sudah begitu mendalam dan jauh berlainan sekali dengan perasaannya terhadap Leng Bwehong.

   Ia ingat benar sinar mata pemuda yang begitu simpati dan penuh terima kasih waktu ia menolongnya di Jing-liang-si di atas Ngo-tai-san dahulu dan perpisahan yang berkesan sewaktu ia akan melakukan.

   'tugas suci' pesan ayahnya, di rumah Ciok Cin-hui tempo hari.

   "Setelah aku mati, sungguhkah ia akan memetik sekuntum bunga cempaka dan menancapkannya di depan kuburanku?"

   Demikian ia berpikir.

   "Ah, semua ini hanya khayalan belaka, bila aku mati, mungkin kuburan saja tiada terdapat!"

   Karena pikiran ini, tak tahan lagi air matanya berlinang.

   "Tidak, puteri Njo-tayhiap tak pernah mengalirkan air mata!"

   Tiba-tiba ia mencela diri sendiri. Begitulah ia termenung mengenangkan ketiga orang 'sanak- kadang' itu, namun gabungan dari semua rasa rindunya itu masih belum melebihi rasa cintanya pada sang ayah.

   "Aku mati karena melaksanakan tugas dan cita-cita ayah!"

   Demikian ia berpikir. Dan karena pikiran terakhir ini, seketika ia bersemangat, ia merasa jiwanya sendiri kenapa harus disayangkan? "Hayo, majulah, tak nanti aku takut padamu!"

   Teriaknya tiba-tiba sambil mementang kedua tangannya menantang kegelapan yang bagaikan malaikat elmaut hendak menerkam padanya itu. Jiwa Lan-cu tergoncang hebat, ia pejamkan matanya dan menggumam sendiri.

   "O, ayah, tunggulah daku, segera puterimu ini akan berjumpa denganmu!"

   Dan pada saat itulah, pintu penjara terbuka, sesosok bayangan pelahan berjalan ke arahnya.

   Sejak Lan-cu digusur ke dalam penjara belum pernah ia didatangi orang, santapan sehari dua kali juga disodorkan dari luar oleh sipir bui, maka ia menyangsikan bayangan ini kalau bukan malaikat elmaut, tentunya algojo yang datang hendak menghabisi nyawanya? Karena itu, seketika perasaannya seperti kosong melompong, lapat-lapat ia merasa keadaan seakan beku dan tak berperasaan lagi.

   Dalam keadaan setengah sadar itu, tiba-tiba terasa olehnya sebuah tangan pelahan mengelus rambutnya.

   "Lan-cu,"

   Terdengar suatu suara rendah.

   "Akulah yang telah datang!"

   "O, betul-betul ayahkah?"

   Seru Lan-cu. Orang itu menghela napas, lalu ia memanggil lagi.

   "Lan-cu, sadarlah! Aku yang telah datang buat mengeluarkanmu!"

   Habis berkata, cepat sekali orang itu memegang beberapa kali ke sekitar tangan dan kaki Lan-cu, seketika gadis ini merasa tubuhnya menjadi enteng, ternyata belenggu kaki dan tangannya sudah dipatahkan orang itu.

   "Kau bukan ayah? Apakah kau algojo?"

   Mendadak Lan-cu menubruk maju terus menarik tangan orang itu. Namun segera terasa olehnya ada setetes air hangat yang jatuh di mukanya, menyusul suatu suara yang sudah sangat dikenal berbisik di telinganya.

   "Sadarlah, Lan-cu! Tak kenalkah kau padaku?"

   Dan baru kini Lan-cu mengenali siapa orang itu, air mata tak tertahan lagi bercucuran, ia mendeprok ke bawah terus merangkul kedua kaki orang.

   "O, Leng-sioksiok, apakah ini bukan di alam mimpi?"

   Ia meratap.

   Ternyata orang ini memang betul Leng Bwe-hong adanya.

   Sesudah ia menerima 'Cu-ko-kim-hu' dari Boh Wan-lian, lalu ia menyamar sebagai bayangkara istimewa dari kerajaan dan dengan kedok di mukanya malam itu juga ia mendatangi sipir bui.

   Kepala penjara kerajaan ini ternyata seorang Pwelek (gelar bangsawan Boanciu), ketika dilihatnya datang seorang jago pengawal dan menunjukkan 'Cu-ko-kim-hu' yang bertulis dua huruf 'Tay Jing' (Jing Raya) di atas kertas, Pwelek ini menjadi amat terkejut.

   "Apakah kau bayangkara kerajaan?"

   Tanyanya cepat dan curiga. Bwe-hong tak menyahut, ia mengangguk angkuh saja.

   "Apakah masih ada pesan lain dari Hongsiang?"

   Tanya Pwelek itu lagi.

   "Hongsiang memerintahkan aku segera membawa gadis pembunuh To Tok itu ke dalam istana dan hal ini harus dirahasiakan, maka lekas kausingkirkan dahulu penjagapenjaga lain yang ada di sini,"

   Kata Bwe-hong kemudian.

   Pwelek itu menjadi tambah heran dan terkejut, sebab siang harinya Kaisar sendiri memerintahkan agar penjahat wanita itu dijaga sekerasnya jangan sampai dirampas orang dari penjara, kenapa sekarang mendadak bisa mengirim orang lagi hendak membawa pesakitan itu ke dalam istana? Tetapi pusaka 'Cu-ko-kim-hu' bukanlah benda sembarangan, siapa yang membawanya sama dengan utusan Kaisar yang berkuasa penuh, maka perkataannya tidak mungkin bisa dibantah.

   Dan sesudah ragu-ragu sejenak, tiba-tiba Pwelek inipun mendapatkan akal.

   "Apakah kau bayangkara istimewa?"

   Ia coba menegasi lagi.

   "Kau berada di bawah pimpinan siapa?"

   Dan karena pertanyaan ini, Bwe-Hong tahu orang telah timbul curiga dan sengaja hendak menguji dirinya.

   Diam-diam ia mengeluh.

   Di lain pihak dengan mata terpentang lebar Pwelek itu mengawasi Bwe-hong terus dan menanti jawabannya.

   Namun Bwe-hong cukup cerdik, segera ia pun mendapatkan pikiran baik.

   "Kau berhak menanyai aku?"

   Demikian bentaknya sembari tertawa dingin.

   Berbareng itu ia sengaja menggebrak meja dengan sebelah tangan hingga seketika ujung meja itu sempal.

   Keruan saja Pwelek itu ketakutan hingga mandi keringat dingin demi nampak Bwe-hong mengunjuk kepandaiannya yang hebat ini.

   Dan baru sekarang ia mau percaya orang benar-benar jago pengawal, maka ia tak berani bertanya lagi.

   Segera ia perintahkan penjaga lain menyingkir hingga dengan leluasa Leng Bwe-hong bisa masuk ke dalam penjara dan membebaskan Ie Lan-cu dari belenggu.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Betul-betul ini bukan di alam mimpi, Leng-tayhiap?"

   Demikian Lan-cu mengulangi lagi sembari tersedu-sedan.

   "Jangan kuatir kau, hayolah ikut aku keluar, para kawan sedang merindukanmu dan menantikan kedatanganmu,"

   Kata Bwe-hong kemudian.

   "Tidak, aku tidak dapat keluar!"

   Kata Lan-cu tiba-tiba. Tentu saja Bwe-hong heran.

   "Sebab apa?"

   Tanyanya cepat.

   "Aku sudah tak bertenaga,"

   Demikian tutur Lan-cu.

   "Sampai di luar tentu akan dicegat oleh penjaga, sedang aku tak sanggup meloncat tinggi dan berlari cepat sepertimu, pula tak bisa membantumu menempur musuh, bukankah nanti berbalik membikin susah kau belaka? Dan akhirnya kita toh akan terpaksa terkurung lagi dalam penjara malah."

   "Lan-cu,"

   Kata Bwe-hong pelahan sambil menunjukkan jimatnya.

   "Aku memegang 'Kim-hu' kerajaan, tak nanti penjaga di luar berani merintangi. Marilah jangan kuatir, lekas ikut aku keluar."

   Dan karena itulah Lan-cu menjadi girang.

   "Leng-tayhiap, sungguh aku tak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu,"

   Katanya terharu.

   Habis itu, cepat Leng Bwe-hong menarik tangan si gadis dan membimbingnya pelahan keluar penjara.

   Sementara itu Pwelek Kepala penjara yang kena digertak oleh ilmu kepandaian Leng Bwe-hong, pula ada bukti 'Cu-kokim- hu', betul juga sudah menyingkirkan jauh-jauh para penjaga penjara dan memberi perintah agar jangan merintangi bila melihat tawanan mereka dibawa keluar orang.

   Tapi karena itu juga, rasanya yang paling gelisah ialah Coh Ciau-lam.

   Kiranya sesudah Khong-hi kena diselomoti Boh Wan-lian hingga gadis ini bisa lolos keluar istana dengan selamat, maharaja itu luar biasa gusarnya dan segera mengirim delapan jago bayangkara menguber ke istana Pangeran To Tok dan seperti diketahui kemudian jago-jago pengawal itu telah kocar-kacir dilabrak Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin.

   Di samping itu Khong-hi sangat kuatir juga karena rahasianya tergenggam di tangan Boh Wan-lian.

   Ia pun memerintahkan Coh Ciau-lam membawa jago-jago pengawal lain pergi memperkuat penjagaan Ie Lan-cu dalam penjara.

   Dan ketika Ciau-lam mendengar perintah Pwelek kepala penjara agar menyingkir karena tawanan hendak dibawa masuk istana itu, ia menjadi heran dan curiga.

   "Apakah titah Hongsiang siang tadi sudah dilupakan Pwelek?"

   Demikian ia mencoba memperingatkan orang. Tak ia duga Pwelek itu menjadi kurang senang.

   "Jika terjadi apa-apa, biar aku sendiri yang bertanggung-jawab,"

   Demikian sahut si Pwelek dengan muka masam.

   Ia tak mau menerangkan tentang 'Cu-ko-kim-hu' sebab menurut peraturan kerajaan Boan, perintah dengan bukti 'Cu-ko-kimhu' hanya dilakukan pada tugas-tugas yang harus dirahasiakan, sekalipun diketahuinya Coh Ciau-lam adalah komandan pasukan pengawal, namun Pwelek itupun tak berani berkata terus terang.

   Karena jawaban itulah Coh Ciau-lam menjadi bungkam, tanpa berkata lagi ia mengeloyor pergi.

   Tapi ia masih curiga, ia pun punya perhitungan sendiri, diam-diam ia mengumpulkan bawahannya dan bersiap di sekitar kamar penjara itu untuk melihat gelagat.

   Sementara itu Lan-cu telah dibimbing keluar oleh Leng Bwe-hong.

   Melihat jalanan di luar kamar tahanan itu sunyisenyap tiada seorang pun, diam-diam Bwe-hong girang, maka dengan langkah lebar dan bersitegang ia pun makin berlagak sebagai utusan rahasia Kaisar tulen.

   Di lain pihak Coh Ciau-lam yang bersembunyi di suatu pojok yang gelap sedang mengintai.

   Betul juga kemudian dilihatnya dari kamar tahanan seorang berkedok telah menyeret keluar Ie Lan-cu yang terseok-seok, ia menjadi tegang dan ragu-ragu, seketika ia tak berani mengambil keputusan apakah harus mencegat atau membiarkan mereka pergi begitu saja? Tiba-tiba tergerak hatinya, ia tertarik oleh perawakan orang berkedok ini seperti sudah dikenalnya.

   Segera ia teringat pada diri seorang ia terkejut bercampur kuatir.

   Namun suatu pikiran timbul juga, bila benar orang ini adalah orang yang diduganya itu, kenapa ia begitu berani masuk ke rumah penjara ini untuk menemui Pwelek dan kenapa Pwelek lantas percaya begitu saja padanya? Dan selagi Ciau-lam ragu-ragu, orang berkedok dan Ie Lancu sudah berada di dekatnya.

   Tiba-tiba Ciau-lam mendapat suatu akal.

   Sekonyongkonyong ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya yang gelap itu terus memukul cepat.

   Leng Bwe-hong sudah banyak berpengalaman, telinganya tajam dan matanya jeli.

   Sudah tentu sejak tadi ia pun tahu dirinya lagi diintai dan ada orang bersembunyi di tempat gelap.

   Tapi mengandalkan pusaka 'Cu-ko-kim-hu' yang ia bawa, maka di samping bersiap-siap juga ia tetap berlagak seperti tiada terjadi apa-apa.

   Mendadak dilihatnya Coh Ciau-lam menubruk dari samping terus menyerang dengan tipu 'Swat-yong-lam-kwan' atau salju memenuhi benteng selatan, dagunya hendak diarah, maka cepat ia berkelit sembari sebelah tangan lain melindungi Ie Lan-cu, habis itu tangan kanan cepat sekali balas menotok dada Ciau-lam di tempat 'Hian-ki-hiat'.

   Siapa tahu serangan Coh Ciau-lam itu hanya pancingan belaka, yakni sengaja hendak menjajal saja, ia tahu Leng Bwe-hong terlalu lihai, maka begitu menyerang segera ia menarik kembali untuk kemudian dengan cepat ia pun melompat mundur sambil berteriak.

   "Orang ini adalah buronan kerajaan, lekas tangkap! Bunuh saja habis perkara!"

   Dan karena teriakannya, segera dari tempat gelap, dari atas atap dan dari pojokan lain berbondong-bondong mengembut maju jago-jago pengawal yang tidak sedikit jumlahnya.

   Kiranya setelah serangan pancingannya tadi berhasil, segera Ciau-lam yakin dugaannya tidak meleset, yakni Leng Bwe-hong yang disangkanya itu.

   Maka bersama para begundalnya segera mereka mengurung rapat dari semua jurusan.

   Tapi ketika Bwe-hong sekali menggertak, ia berputar cepat, kontan dua pengawal yang coba mendekat telah kena terpukul roboh.

   Habis itu pedangnya segera dilolos dan kembali seorang pengawal lain tertusuk tembus olehnya.

   Menyusul tangan Lan-cu ditariknya, segera mereka menerjang keluar garis kepungan musuh yang sedikit bobol itu.

   Namun Ciau-lam lantas maju mencegat, cepat sekali ia sudah melontarkan serangan beruntun ke iga Leng Bwe-hong.

   Ilmu pedang Coh Ciau-lam tidak banyak selisih dari Leng Bwe-hong, hanya tenaganya sedikit kalah, namun dua kali serangan itu tidak kurang bahayanya.

   Terpaksa Bwe-hong sedikit mengegos sambil menangkis.

   Dalam pada itu didengarnya dari belakang angin tajam menyambar juga, sebuah ruyung musuh telah datang menghantam.

   Namun Bwe-hong sangat tenang, begitu pedang Ciau-lam tertangkis, segera tangan kiri meraup ke belakang hingga ujung ruyung musuh yang membokong itu kena dicekalnya.

   "Naik!"

   Gertaknya keras sembari mengayun tangannya.

   Belum sempat pembokong itu melepaskan senjatanya tahutahu orangnya sudah terbanting pergi jauh.

   Tapi karena harus menggunakan kedua tangannya, Ie Lancu yang digandeng Bwe-hong tadi kini terpaksa terpotong di belakang.

   Dengan sekali geraman, lekas Bwe-hong berbalik hendak menolong, namun berbagai macam senjata musuh lantas me-ngerubutnya lagi.

   Karena kuatirnya, Leng Bwe-hong mengamuk, pedangnya berputar cepat dan menerobos lewat di bawah senjata-senjata musuh, namun sudah terlambat, ia lihat Lan-cu sudah ditawan musuh kembali dan sedang berteriak memanggil.

   "Leng-sioksiok, jangan pikirkan diriku, lekas kauterjang keluar!"

   Sementara itu dari empat penjuru para jago pengawal telah mengembut maju lagi.

   Terpaksa Bwe-hong melawan mereka mati-matian, dengan tangkas ia menusuk dan menikam cepat, sedang telapak tangan yang lainpun menghantam hingga sekejap beberapa musuh kena dilukai atau dibinasakan pula.

   Nampak gelagat jelek bagi pihaknya, segera Coh Ciaulam'merangsek maju lagi, dengan gerak tipu 'Giok-li-coanciam' atau gadis ayu menyusup benang, dari belakang mendadak ia tusuk bahu Leng Bwe-hong di 'Hong-hu-hiat'.

   Namun dengan cepat Bwe-hong mengegos pergi dan pada saat itulah kebetulan seorang jago pengawal lagi menubmk maju, segera ia kena dicengkeram Leng Bwe-hong terus diangkat ke atas, dengan pedangnya lebih dulu Bwe-hong menangkis pergi semua senjata musuh yang sementara itu sudah tiba pula dengan gerakan 'Hui-eng-hwe-soan' atau elang terbang mengitar, habis itu pengawal yang dipegangnya itu tems diayun dan menyapu ke belakang.

   Saking cepat gerakan Leng Bwe-hong itu hingga pedang Ciau-lam yang saat itu telah menusuk lagi dari samping segera menembus tubuh pengawal itu sendiri, dan waktu ia hendak menarik kembali senjatanya, tahu-tahu Bwe-hong sekalian mendorong mayat pengawal itu ke arahnya.

   Lekas Ciau-lam melompat mundur dan kesempatan itu telah digunakan Leng Bwe-hong menerjang ke depan keluar dari kepungan.

   Sementara itu Ie Lan-cu telah digusur kembali ke dalam penjara.

   Melihat Bwe-hong akan lolos begitu saja, mata Coh Ciaulam seakan-akan berapi, secepat terbang segera ia menubruk ke depan lagi tems menikam.

   Namun Bwe-hong tak ingin terlibat lebih lama, dengan gerakan 'Yan-cu-coan-lim' atau burung walet menerobos hutan, cepat sekali ia melayang ke depan sembari tangannya menjambret seorang jago pengawal lagi dengan ilmu Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menawan dan memegang, segera ia lemparkan tubuh pengawal itu ke belakang, dengan cara demikianlah beruntun tiga kali lompatan, tiga pengawal kena di-timpukkan ke belakang hingga rangsekan Coh Ciau-lam terhalang.

   Pengawal lain menjadi jeri melihat ketangkasan Leng Bwe-hong, karena itu dengan cepat Bwe-hong sudah bisa lari sampai di bawah suatu pagar tembok.

   Dinding pagar ini ternyata 5-6 tombak tingginya hingga tak bisa dicapai dengan sekali lompat, kecuali dengan ilmu 'Sia-pihoan- ciang' atau merayap di dinding dengan bergantian tangan, atau ilmu 'Pia-hou-yu-jiang' atau cecak merayap di dinding.

   Dalam keadaan begitu ia menjadi serba susah, musuh sudah mendekat, bila ia menggunakan ilmu merayap di dinding, tentunya tak bisa menjaga diri bila diserang dengan senjata rahasia.

   Dan ketika ia ragu, betul saja segera ia dihujani musuh dengan berbagai senjata rahasia.

   Terpaksa Bwe-hong berkelit ke sana sini sambil tangannya ikut menyampuk dan lengan bajunya mengebas hingga senjata rahasia musuh dapat dihindarkannya.

   "Kepung dia, asal dia sudah lelah tentu tak akan bisa lolos lagi,"

   Sem Ciau-lam pada begundalnya.

   Berbareng itu ia pun memimpin orang-orangnya mengepung maju.

   Karena tiada jalan lain, Bwe-hong terdesak hingga mepet dinding pagar itu, tapi dengan mati-matian ia masih terus bertahan sekuatnya.

   Sekalipun jumlah lawan jauh lebih banyak, tapi mereka hanya bisa mengembut dari tiga jurusan, karena sisi belakang Leng Bwe-hong adalah dinding.

   Maka Coh Ciau-lam hanya mengembut bersama tiga jago pengawal terpilih dan berulang kali merangsek sengit.

   Namun Thian-san-kiam-hoat yang dimainkan Leng Bwehong sedemikian mpa hebatnya bagai kilat menyambar.

   Dalam pertarungan sengit itu, dua pengawal kawan Coh Ciau lam roboh tertusuk olehnya.

   Tapi dua roboh, segera maju lagi dua o-rang untuk menggantikannya, dan begitu seterusnya.

   "Leng Bwe-hong, jika kau tak meletakkan senjatamu dan menyerahkan diri, maka hari ini juga adalah hari ajalmu!"

   Bentak Ciau-lam mengejek. Tapi kontan Leng Bwe-hong menjawabnya dulu dengan sekali tusukan.

   "Bangsat,"

   Dampratnya kemudian.

   "Manusia tak kenal malu. Apa kau mengmginkan kepalaku? Ha, boleh tukar dulu dengan 10 buah kepalamu!"

   Karena sudah lama masih belum bisa mengalahkan lawan, Ciau-lam berganti siasat, ia memberi tanda dan empat kawannya lantas menyerang serentak, ia sendiri berdiri di tengah menunggu lubang untuk mengirim serangan tambahan yang mematikan.

   Ilmu silat Coh Ciau-lam memangnya tidak banyak selisih dengan Leng Bwe-hong, kini ia dibantu lagi empat jago pengawal kelas tinggi, betapapun tinggi kiam-hoat Bwe-hong akhirnya ia kerepotan juga, apalagi Ciau-lam tidak perlu memikirkan serangan musuh karena empat kawannya cukup bisa mewakilkan menangkis, ia hanya tinggal menunggu kesempatan untuk menambahi serangan hebat yang mematikan.

   Karena itu, daya tekanan mereka dengan sendirinya sekali lipat bertambah hebat Dan karena tusukan Ciau-lam yang gencar pada setiap ada kesempatan itu, tampaknya suatu saat pasti Leng Bwe-hong akan tertancap di tembok oleh pedangnya.

   Tiba-tiba seorang jago pengawal di antaranya ingin berjasa dulu, mendadak ia merangsek maju dengan senjatanya sepasang 'Hou-jiu-kau' atau gaetan dengan pelindung tangan, mendadak ia mengait pinggang lawan.

   Namun mendadak Bwe-hong menggeram, berbareng tangannya meraup dan dapat memegang gaetan musuh terus ditarik sekuatnya, dengan tipu 'Sin-liong-tiaubwe' atau naga sakti membalik ekor, dengan tenaga dalamnya yang hebat berbareng ia membikin pedang Ciau-lam yang sementara itu juga menyerang tiba tergetar pergi, lalu tubuh pengawal yang kena ditariknya tadi terus diayun ke depan hingga pengawal yang lain terpaksa melompat mundur.

   Dalam gusarnya Ciau-lam tak memikirkan lagi kawan atau lawan, mendadak ia menghantam ke depan hingga tubuh pengawal yang dipegang Leng Bwe-hong itu mencelat kena pukulannya.

   Menyusul pedangnya segera menusuk pula dan menyerang lebih sengit.

   Menyaksikan Coh Ciau-lam begitu kejam, hanya memikirkan jasa sendiri tanpa memikirkan keselamatan kawan, pengawal yang lain menjadi keder dan dingin hati.

   Karena itu mereka pun tak bersemangat hingga seketika tiada yang maju membantu Ciau-lam.

   Dan karena itulah Leng Bwehong sempat melontarkan serangan balasan beberapa kali hingga Ciau-lam berbal ik dibikin kalang-kabut.

   "Mengapa diam saja? Hayo maju! Apakah perlu Hongsiang sendiri yang memberi perintah!"

   Bentak Ciau-lam mengkal melihat kawannya yang berpeluk tangan itu.

   Dan karena digertak dengan nama Hongsiang atau Kaisar, pengawal-pengawal itu menjadi jeri bila sikap mereka ini dilaporkan Coh Ciau-lam, tentu mereka bisa celaka.

   Karena itulah, segera ada beberapa jagoan lain menggantikan lowongan yang masih belum terisi itu dan mendesak Bwehong mepet ke tembok lagi.

   Cuma jeri menyaksikan kejadian ngeri, maka mereka tak berani sembarangan menubruk maju lagi.

   Dengan begitu keadaan Leng Bwe-hong menjadi ringan, meski masih belum bisa lolos dari kepungan.

   Dan karena masih belum juga bisa merobohkan lawannya ini, tiba-tiba Ciau-lam menunjuk dua jago pengawal lain lagi yang merupakan orang kepercayaannya agar maju menggantikan jago pengawal yang kelihatan ragu-ragu dan kurang sungguh-sungguh itu.

   "Lakukan sebisanya, tangkap penjahat ini hidup ataupun mati, asal keluar tenaga sekuatnya, pasti aku akan melaporkan jasa kalian pada Hongsiang,"

   Demikian Ciau-lam coba memberi semangat.

   Karena dorongan ini, segera para pengawal itu bertempur mati-matian, sedang yang lain berteriak dari samping memberi sokongan moril pada kawan mereka.

   Sebaliknya sudah semalam suntuk Bwe-hong bertempur, ia menjadi payah, keningnya mulai berkeringat, tenaganya mulai habis dan tak tahan lagi.

   "Ada kebakaran di sebelah barat!"

   Tiba-tiba seorang pengawal berteriak kaget. Dan waktu Ciau-lam menoleh, betul saja dilihatnya api berkobar menjulang tinggi di pendopo sebelah barat.

   "Jangan ribut,"

   Bentaknya cepat.

   "Sekalipun kedatangan musuh lagi, di sana ada juga kawan kita yang menahannya. Lekas binasakan keparat ini dulu!"

   Tapi belum hilang suara bentakannya, tiba-tiba dari atas dinding sana muncul seorang wanita berbaju hijau dan sehelai selendang merah melambai tertiup angin menyelip di atas ikat kepalanya.

   Di belakang wanita ini terlihat mengejar beberapa jago pengawal dengan kencang.

   Tangan kiri wanita baju hijau itu membawa pecut panjang dan tangan kanan memegang pedang terhunus.

   Setelah mendekat, dilihatnya Leng Bwe-hong sedang dikeroyok di sebelah bawah, segera ia berseru.

   "Jangan kuatir Leng Bwehong, aku datang menolongmu!"

   Habis itu mendadak pecutnya menyabet ke belakang, tahutahu seorang pengawal yang mengubernya telah terguling ke bawah sewaktu wanita itu melompat turun, berbareng pecutnya diputar-putar hingga menerbitkan suara petasan telah menyabet juga ke arah Coh Ciau-lam sembari membentak.

   "Jahanam, apakah masih kenal padaku?"

   Terkejut luar biasa Ciau-lam demi mengenali siapa wanita ini.

   "Hui..,.. Hui-ang-kin, kau kau"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Teriaknya terputus-putus sambil mundur ke belakang.

   Sementara itu cepat sekali Leng Bwe-hong telah menyerang lagi hingga seorang lawannya kena dirobohkan pula.

   Sebenarnya kalau soal ilmu silat, meski Ciau-lam tak bisa mengalahkan Hui-ang-kin, tapi tak mungkin juga bisa dikalahkan orang.

   Tapi karena ganjalan hati hubungan mereka di masa lalu, walau sudah sekian lamanya, namun ia masih merasa malu dan risih kalau bertemu muka dengan Hui-angkin.

   Ia masih ingat betapa kagumnya hingga jatuh hati pada Hui-ang-kin dulu di waktu ia baru tamat belajar dan turun dari Thian-san.

   Tapi belakangan karena jiwanya yang rendah lambat-laun dapat diketahui Hui-ang-kin hingga gadis ini dari menghormat menjadi benci dan menjauhi dirinya.

   Kemudian ia lantas takluk pada pasukan Boan dan bersekongkol dengan Abu, kekasih Hui-ang-kin yang berkhianat itu dan dengan tipu muslihat akhirnya menewaskan pahlawan Dan u, ayah Huiang- kin.

   Karena peristiwa itulah, Ciau-lam menjadi risih terhadap Hui-ang-kin, dalam hati selalu merasa jeri untuk berhadapan dengan gadis ini.

   Kini setelah berulang kali ia hampir tersabet oleh pecut Huiang- kin, akhirnya baru ia bisa menenangkan diri.

   Para jago pengawal kini sudah berkumpul hampir 50 orang, meski pecut Hui-ang-kin bisa menyabet jauh dan pedangnya juga menusuk cepat serta bisa melukai beberapa orang, namun tidak urung kemudian ia pun terjeblos dalam kepungan musuh.

   Malahan di atas dinding pagar itu masih ada beberapa pengawal yang mengejar Hui-ang-kin tadi, dari atas kadang mereka pun membokong dengan senjata rahasia.

   Pada suatu ketika, mendadak Bwe-hong membentak, secepat kilat dua jago pengawal kena dilukainya lagi, habis itu segera ia menerjang ke depan menggabungkan diri dengan Hui-ang-kin yang sementara itu sedang dikeroyok juga, lalu mereka berdua mengundurkan diri lagi ke pinggir tembok.

   Bwe-hong memindahkan pedang ke tangan kiri, dengan tangan kanan ia menyiapkan tiga buah Thian-san-sin-bong, senjata rahasianya yang tunggal.

   Kemudian mendadak ia sambitkan ke atas tembok sambil menggertak.

   "Kena!"

   Dan secepat kilat tiga sinar hitam emas menyambar, menyusul segera terdengarlah suara jeritan beberapa kali. Nyata tiga jago pengawal yang berdiri di atas itu telah terjungkal ke bawah tertembus oleh senjata rahasia Leng Bwe-hong.

   "Hui-ang-kin, kau gantikan aku menahan sementara, dari atas aku nanti melindungimu meloloskan diri!"

   Teriak Bwehong.

   Habis itu, dengan ilmu kepandaian 'Pia-hou-yu-jiang' atau cecak merayap di dinding, cepat sekali ia merayap ke atas.

   Tentu saja ia dihujani senjata rahasia musuh, tapi semuanya kena disapu bersih oleh pecut Hui-ang-kin yang melindunginya dari bawah.

   Maka sekejap saja Leng Bwe-hong sudah bisa mencapai atas dinding pagar itu, dua jago pengawal lain yang masih ketinggalan di situ mencoba hendak mengerucutnya, tapi dengan mudah telah dibereskan semua oleh Leng Bwe-hong.

   Sementara itu dilihatnya Hui-ang-kin rada kewalahan karena sendirian dikerubut musuh yang banyak.

   "Hui-ang-kin naiklah ke atas sini!"

   Segera Bwe-hong berteriak.

   Berbareng itu dari atas susul-menyusul ia menghujani musuh dengan senjata rahasia hingga banyak musuh kena dibinasa-kannya dan banyak yang terluka pula, keruan keadaan musuh seketika menjadi kacau-balau.

   Dan pada kesempatan itulah tiba-tiba Hui-ang-kin bersiul panjang, ia meloncat tinggi sambil mengayun pecutnya ke atas yang ujungnya segera ditarik oleh Leng Bwe-hong dan disendai, maka dengan enteng sekali Hui-ang-kin berjumpalitan di udara untuk kemudian menancapkan kakinya di atas tembok.

   Segera senjata rahasia musuh berhamburan lagi dari bawah, tapi mudah saja Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin mengelakkan semua serangan itu, lalu dengan Ginkang yang tinggi dalam sekejap saja mereka sudah kabur keluar lingkungan penjara kerajaan itu.

   Waktu Coh Ciau-lam dan begundalnya mengejar lagi, mereka tak bisa mendapatkan bayangan Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin.

   Keruan saja Coh Ciau-lam marah-marah.

   Musuh hanya datang dua orang, tapi pihaknya yang berjumlah jauh lebih banyak malah ada belasan orang yang tewas dan terluka.

   Namun apa daya, baiknya Ie Lan-cu berhasil dirampas kembali, kalau tidak, pasti persoalan akan lebih runyam bagi mereka.

   Memang Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin adalah 'bin-tangbencana' bagi Coh Ciau-lam, maka ia menjadi mati kutu dan tak berani temberang lagi, lekas ia menghadap Khong-hi dan menerima dampratan, ia pun mohon agar diberi pembantu jago pengawal lain yang lebih tangguh.

   Tentu saja Khong-hi amat terkejut oleh laporan itu.

   Pikirnya, mengapa jago pengawalnya begini tak becus? Namun sesungguhnya mereka pun sudah berusaha sekuat tenaga untuk melawan musuh hingga banyak yang tewas dan terluka, kalau ia menambahi dampratan lagi mungkin akan membuat jago pengawalnya sakit hati malah.

   Karena itulah ia hanya mengomeli Ciau-lam saja.

   "Sudahlah, asal kelak berlaku lebih hati-hati."

   Habis itu segera ia pun memanggil Ok-onghui Nilan Ming-hui menghadap.

   Tentang kejadian Leng Bwe-hong mengobrak-abrik penjara memang Ok-onghui sudah menerima kabar juga, ia girang bercampur kuatir, ia tak tahu apakah Lan-cu berhasil ditolong atau tidak, dan sementara itu ia lantas dipanggil menghadap Kaisar Khong-hi.

   "Apakah kau sudah sembuh?"

   Tanya Khong-hi kurang senang segera sesudah berhadapan dengan Onghui. Hati Onghui kebat-kebit hingga berkeringat dingin, namun ia coba menenangkan diri dan menjawab.

   "Terima kasih atas perhatian Sri Baginda, keadaan hamba sudah baikan!"

   "Ok-jin-ong amat besar jasanya terhadap negara dan kini harus terbunuh secara begitu mengenaskan, tentunya kau sangat gemas terhadap pembunuhnya, bukan?"

   Tanya Khonghi pula.

   "Ya, hamba memang sakit hati sekali,"

   Sahut Onghui sambil melelehkan air mata.

   Apa yang dikatakan ini memang benar terasa dalam hatinya.

   Dan karena nampak Onghui begitu sedih, Khong-hi menyangka orang terlalu berduka atas tewasnya sang suami, maka ia pun tidak mendesak lebih jauh, hanya dengan dingin dikatakannya pula.

   "Tempo hari kaukatakan pada Thayhou bahwa kau ingin memeriksa sendiri si gadis pembunuh itu, kini kau sudah sembuh, maka besok bolehlah kaulakukan tugasmu itu di penjara sana."

   Mendengar firman itu, seketika Onghui merasa seakanakan disambar petir di siang bolong, matanya pun berkunangkunang.

   "Jangan beri waktu hidup lebih lama lagi bagi pembunuh itu,"

   Demikian Khong-hi berkata pula.

   "Sangat banyak komplotannya, bila sampai lolos, maka sakit hati suamimu mungkin tak bisa dibalas lagi."

   Tak tahan lagi Onghui oleh pukulan batin itu, ia menjerit ngeri dan roboh tak sadarkan diri. Khong-hi memerintahkan dayang istana membawa Onghui mengaso ke kamar Thayhou, sebelum pergi ia masih berpesan lagi pada pelayan kepercayaannya itu.

   "Kalau Onghui belum juga jernih pikirannya dan besok tak bisa memeriksa pesakitan sendiri, boleh lantas kau titahkan Pwelek agar pembunuh itu diserahkan pengadilan untuk segera dihukum mati!"

   Saat itu baru saja lapat-lapat Onghui sadar, dan demi mendengar perintah Khong-hi itu, tak tahan lagi kembali ia pingsan.

   Di lain pihak, sesudah Ie Lan-cu dirampas kembali ke dalam penjara, anak dara ini benar-benar putus asa.

   Namun ia menjadi bisa lebih tenang juga, sambil menantikan datangnya malaikat maut dalam penjara yang gelap itu.

   Dalam kegelapan itu entah berapa lama sudah ketika mendadak pintu penjara dibuka pelahan, sesosok bayangan tampak menyelinap masuk.

   Lan-cu tak bergerak sama sekali, dengan suara keras ia malah berteriak.

   "Marilah, bawalah aku keluar, mau bunuh, mau gantung atau dipotong boleh sesukamu. Tapi bangsa Han kami tidak mungkin bisa habis kamu bunuh!"

   Tiba-tiba pintu penjara itu terdengar digabrukkan bayangan orang itu. Tahu-tahu keadaan menjadi terang, kiranya orang itu telah menyulut sebatang lilin besar, kemudian pelahan Lancu didekatinya.

   "Po-cu, O, Po-cu, apakah kau tak kenal lagi padaku? Angkatlah kepalamu dan lihatlah siapakah aku ini!"

   Demikian orang itu berkata setengah meratap. Tetapi Lan-cu tidak mengangkat kepalanya, dengan dingin ia menjawab.

   "Siapa adalah Po-cu? Hm, Onghui yang mulia, akulah pembunuh suamimu itu!"

   Sesaat itu sebuah tangan yang hangat telah meraba mukanya, lalu mengelus rambutnya.-Ingin Lan-cu berteriak, meronta, tapi sedikit tenaga pun rasanya tiada! "O, mereka telah menyiksamu sedemikian rupa!"

   Ratap orang itu yang memang Ok-onghui Nilan Ming-hui adanya.

   Pada leher Ie Lan-cu dipasang belenggu besar hingga kulitnya tergesek dan menimbulkan bengkak berdarah, begitu pula kedua pergelangan kakinya mengalirkan darah hitam kental.

   Onghui mengeluarkan saputangan suteranya dan pelahan membersihkan luka Ie Lan-cu itu hingga darah membasahi saputangan itu, tapi dengan hati-hati Onghui lempit saputangan itu dan dimasukkan kembali ke bajunya.

   Mendadak Lan-cu mementang matanya lebar-lebar dan tiba-tiba berteriak tajam.

   "Jangan kau pura-pura berbelaskasihan, Onghui! Yang menyiksa aku bukan mereka, tetapi kau!"

   Onghui menggigil dan tanpa terasa melangkah mundur.

   "Hm, 18 tahun yang lalu aku dibuang dan kini kau datang hendak membunuhku lagi!"

   Kata Lan-cu pula dengan tertawa dingin sambil melirik. Remuk rendam hati Onghui, tak tahan lagi ia menangis sedih, tiba-tiba Lan-cu dirangkulnya erat-erat sembari menjerit.

   "O, Po-cu, nyata sedikitpun kau tak tahu betapa rasa cintaku padamu!"

   "Cinta padaku? Haha! Kau cinta padaku?"

   Seru Lan-cu mengejek dan mendorong pergi orang pelahan.

   "Untuk bisa menjadi Onghui, kau membiarkan ayahku dibunuh mati suamimu, karena ingin menjadi Onghui, kau tega membuang diriku dan membiarkanku kedinginan terombang-ambing di tanah asing selama 18 tahun!"

   "Po-cu, kau menistaku?"

   Seru Onghui pilu.

   "Baiklah, teruskanlah kau menista! Senang sekali aku, kini kau sudah tahu bahwa akulah ibumu!"

   "Tidak, aku tak beribu lagi, ibuku sudah mati 18 tahun yang lalu,"

   Kata Lan-cu.

   "O, Po-cu,"

   Ratap Onghui sambil memeluk Lan-cu dan duduk di lantai.

   "Memang ibumu telah berbuat salah, tetapi percayalah ia bukan perempuan sebagaimana kaukatakan! Boleh kau percaya atau tidak, pendeknya ia bukan manusia semacam itu. Aku ingin menceritakan padamu, namun pasti susah dijelaskan. Po-cu, aku hanya minta kau coba meraba hatiku ini! Dari denyutan hatiku pasti kau akan tahu betapa rasa cintaku padamu. Ya, selama 18 tahun ini, siang dan malam senantiasa aku terkenang padamu, aku merindukanmu. Aku masih ingat betapa Jenakanya kau pada waktu mulai belajar berjalan dan betapa senangku ketika untuk pertama kalinya kau memanggil ibu. Selalu terpikir olehku entah dimana kau telah dibesarkan, entah wajahmu serupa ayahmu atau mirip ibumu. Tapi tampaknya kini kau mirip sekali dengan ayahmu. Ya, berhati sekeras dia!"

   Kepala Lan-cu bersandar pada dada Onghui, dua jantung sama-sama berdetak keras. Lan-cu jatuh ke dalam pangkuan Onghui dan menangis terisak-isak.

   "O, ibu, sesungguhnya aku pun cinta padamu!"

   Ratapnya tak lancar.

   Cahaya lilin telah menghalau kegelapan, ibu dan anak yang sudah berpisah selama 18 tahun itu saling rangkul kencang, air mata ibu menetes di muka anaknya dan air mata anaknya membasahi dada sang ibu.

   Lama dan lama sekali tiada yang berkata sekecappun.

   Tibatiba di luar pintu penjara terdengar ada suara tindakan orang yang mondar-mandir.

   Onghui mengkerut kening, segera ia pun ingat, lekas ia menyeka air matanya lalu membentak.

   "Siapa itu? Pelahan sedikit berjalan, jangan mengacau, aku sedang memeriksa pesakitan ini."

   Kiranya suara tindakan itu adalah penjaga-penjaga yang sedang meronda atas perintah Pwelek kepala penjara untuk keselamatan Onghui. Dan sehabis membentak pergi penjaga-penjaga itu, dengan kencang kembali Onghui merangkul Lan-cu lagi.

   "O, anakku, kini kau adalah milikku sudah!"

   Demikian katanya berbisik. Tapi karena mendengar suara tindakan orang di luar tadi, mendadak dalam hati Lan-cu timbul semacam rasa benci.

   "Tidak, ibuku adalah orang pihak sana dan mereka tunduk pada perintah ibuku!"

   Demikian pikiran semacam ini seperti membakar jiwanya. Mendadak ia meronta keluar dari pelukan sang ibu dan dengan keras berkata.

   "Onghui, kau bilang mau memeriksaku, nah, kenapa tak kauperiksa?"

   Pedih sekali hati Onghui bagai disayat-sayat "O, Po-cu,"

   Ratapnya terputus-putus.

   "Dengan cara bagaimanakah baru kau mau percaya padaku? Percaya pada ibumu? Katakanlah, asal aku bisa melakukannya, pasti akan kulakukan untukmu!"

   "Hm, mungkin besok atau bisa jadi tidak sampai besok mereka sudah akan menggantung buah kepalaku di atas tiang bendera pintu gerbang kota dan mengambil hatiku untuk sembahyang suamimu. Lantas apa urusanku yang harus dilakukan olehmu?"

   Sahut Lan-cu tertawa dingin. Tiba-tiba Onghui mencium sekali puterinya ini.

   "Baiklah, Pocu,"

   Katanya kemudian dengan pasti.

   "Biar aku membawamu keluar penjara dan membebaskanmu secara diam-diam, habis itu aku lantas minum racun yang paling jahat menyusul ayahmu, dengan demikian dapatkah memuaskanmu?"

   Karena itu Lan-cu menjerit tajam dan kembali memeluk erat sang ibu.

   "O, kenapa kau berkata demikian?"

   Ratapnya pula.

   "Kau anggap aku sebagai puterimu atau pandang aku sebagai musuhmu? Caramu bicara seakan-akan aku hendak menuntut balas padamu dan supaya kau menemui ajalmu!"

   Onghui memandang puterinya ini dengan mata tak berkedip, tiba-tiba ia berseru.

   "Matamu, sungguh matamu ini sangat mirip ayahmu!"

   Mendadak Lan-cu menyobek baju dalamnya dan mengeluarkan surat berdarah yang sudah disimpannya sekian tahun terus disodorkan pada Onghui.

   "Ini adalah surat ayah yang ditujukan padaku dan padamu, memangnya ayah menghendaki aku serupa dia!"

   Tergetar seketika tubuh Onghui melihat surat darah itu, perasaannya bergolak bagai ombak mendampar, dengan gemetar ia membuka sampul surat itu dan membaca, ia lihat surat itu tertulis .

   Po-cu pu teriku, Di kala surat ini kau baca, tentu kau sudah dewasa.

   Ayahmu bernama Njo Hun-cong dan ibumu bernama Nilan Ming-hui.

   Ayahmu adalah pejuang melawan pemerintah Jing, sedang ibumu adalah permaisuri Pangeran musuh.

   Hari ajal ayahmu justru adalah hari ibumu menikah lagi.

   Ibumu adalah bangsawan kerajaan, ia menikah lagi atas desakan orang tua, hal ini tak bisa menyalahkan dia.

   Tapi yang dinikahinya itu adalah musuh bangsa kita, algojo kaum penjajah.

   Kalau kau sudah tamat belajar ilmu pedang kita, harus dengan tanganmu sendiri kau bunuh binatang itu untuk membalas sakit hati ayahmu dan membasmi musuh negara.

   Bila bertemu ibumu, serahkanlah surat ini agar dia tahu bahwa ayahmu bukan tidak ingin dia menikmati kesenangan di hari tua, tetapi soal sakit hati bangsa dan dendam keluarga tidak bisa dibiarkan.

   Hal lain yang kau tidak paham boleh kau tanya Suco (kakek guru) dan paman yang membawa kau ke atas gunung ini.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ayahmu, pada sebelu ajalnya.

   Tak tertahankan lagi Onghui menangis sedih.

   "O, Po-cu aku toh tidak menyalahkan ayahmu menyuruh kau membunuhnya!"

   Demikian ratapnya. Karena kata-kata Onghui ini, tiba-tiba mata Lan-cu bersinar.

   "Betulkah, ibu, betulkah kau tidak menyalahkanku?"

   Tanyanya cepat.

   Seketika Onghui merasa ngeri, bayangan To Tok yang bermandi darah dan tertawa seram sebelum menghembuskan napas penghabisan itu seakan-akan terlihat di antara kaca air matanya.

   Segera ia pun teringat pada janjinya yang pernah dikatakan pada To Tok.

   "Jangan kau celakai dia dan aku pun menyuruh dia jangan mencelakaimu!"

   Ya, ia memang tidak menyalahkan puterinya tetapi sedikitnya ia pun menyesalkan cara mereka saling bunuh.

   "Ya, anakku, mana bisa aku menyalahkanmu?"

   Katanya kemudian lirih.

   "Tetapi sudah cukup banyak darah mengalir, sungguh aku tidak ingin darah mengalir lebih banyak lagi."

   "Darah sudah cukup mengalir?"

   Sambung Lan-cu tertawa dingin.

   "Berapa banyak darah bangsa Han kami telah mengalir? Tapi Rajamu dan Panglimamu masih akan membikin darah kami mengalir terus! Namun darah kami pun tak nanti mengalir percuma. Darah ayahku membasahi tanah Hangciu, darah suamimu lantas menyirami Se-san. Besok, darahku mengalir dalam penjara ini, lusa, darah orang Boanciu yang lebih banyak pasti akan membasahi tanah ibu-kota ini!"

   Sungguh kata-kata Ie Lan-cu yang bersemangat ini seakanakan suatu kemplangan bagi Onghui, dengan terperanjat ia memandang puterinya ini.

   Puteri yang dirindukannya siang dan malam selama 18 tahun dan kini sudah berada di hadapannya ini, rasanya begitu mesra, tapi seperti begitu asing juga baginya! Tempat mereka seperti berada dalam dunia yang berlainan, ia tak memahaminya, di antara jiwa mereka pun seakan-akan terpisah oleh selapis tirai! Ia mendengarkan isi hati puterinya yang penuh sesal dan benci itu dituang keluar bagai air terjun yang menggerujuk, ia terperanjat dan pedih pula, pikirannya rada pening dan tubuh sedikit gemetar, mendadak ia memeluk puterinya lagi terlebih erat dan meratap.

   "Kau adalah anakku, kenapa kau membedakan antara 'kami' dan 'kamu', kau adalah darah dalam darahku, daging dari dagingku, kau dan aku adalah satu tubuh jua!"

   Tiba-tiba Lan-cu tertawa, bukan tertawa dingin, tapi tertawa girang, tertawa sesungguhnya, ia menempelkan mukanya ke dada sang ibu dan berkata.

   "Sungguhkah kau begini cinta padaku, ibu? Bersediakah kau menjadi orang kami?"

   Dan sebelum Onghui paham maksud kata-kata Lan-cu, dengan cepat ia sudah berkata.

   "Ya, sudah tentu, apalagi yang kau ragukan atas diriku?"

   "Kalau begitu, marilah kau pergi ikut aku!"

   Kata Lan-cu cepat.

   "Bukan kau membawa aku pergi, ibu, tapi kau ikut pergi denganku, pahamkah ibu? Sekarang Leng-tayhiap dan kawan-kawan pasti sedang berdaya untuk menolongku, maka lekas kau pergi ke sana, aku nanti akan memberitahukan tempat tinggal mereka, dengan bantuanmu pasti mereka dapat menolongku lolos. Kecuali kalau aku tak bisa melewatkan esok, bila tidak, kau masih ada kesempatan buat menolongku lolos!"

   Sesaat itu Onghui serasa berkunang-kunang.

   "Ikut pergi denganmu?"

   Tanyanya kemak-kemik.

   Sungguh tak pernah terlintas dalam pikirannya tentang soal ini, ia adalah seorang Onghui, mana bisa ia menggabungkan diri dengan bangsa Han yang asing baginya untuk melawan bangsa sendiri? Dan karena ragunya itu, cepat Ie Lan-cu sudah berubah lagi wajahnya.

   "Sedikitpun aku tidak memaksamu, ibu. Memang akulah yang terlalu, pikiranku tadi yang masih kekanak-kanakan! Memang, kalau kau bersedia ikut pergi denganku, 18 tahun yang lalu kau sudah ikut pergi dengan ayahku. Aku tak menyalarikanmu, ibu! Dan kau pun sukalah jangan menyesalkan aku! Kini sedikit, sectikpun aku tak memerlukan bantuanmu lagi. Nah, lekaslah kau pergi saja! Kamar penjara ini terlalu kotor bagimu!"

   Habis ini, ia pun membisu dalam seribu basa.

   Keadaan menjadi sunyi.

   Akhirnya terdengar Onghui terisak pelahan, banyak sekali yang ingin dia katakan lagi, bahkan disanggupinya bersedia ikut pergi bersama puterinya ini, namun Lan-cu sudah seperti gagu, sepatah kata pun tak menjawabnya! Sesaat itu perasaan Onghui lebih menderita daripada mati, sungguh sama sekali tak diduganya bahwa hati puterinya ini bisa begitu keras melebihi ayahnya.

   Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu, cepat ia berseru.

   "Po-cu, nih, ada sesuatu ingin kuberikan padamu!"

   Tapi sikap Ie Lan-cu masih tetap serupa, ia menutup muka dengan tangannya, tiba-tiba dari sela-sela jarinya tampak sorotan cahaya berdarah, ternyata tangan Onghui memegang sebilah pedang pendek yang mengkilap dan noda darah To Tok yang masih melengket di atas mata pedang itu belum dilap bersih.

   "Ini adalah pedang ayah,"

   Teriak Lan-cu mendadak meloncat.

   "Ya, memang inilah pedangnya,"

   Kata Onghui sedih.

   "Ketika untuk pertama kalinya aku bertemu dia, ia jatuh pingsan di luar kemahku karena serangan angin puyuh, dan justru karena pedang inilah aku telah menolongnya. Tempo hari kau melakukan pembunuhan di atas Ngo-tai-san, begitu pedangmu kau tusukkan ke dalam joli, sekilas segera aku mengenali dan menduga pasti kau adalah anakku!"

   Ya, Pokiam atau pedang pusaka 'Toan-giok-kiam' itu seakan-akan merupakan saksi bagi segala suka-duka dan mati-hi-dup sekeluarga Ie Lan-cu yang semuanya ada hubungannya dengan pedang itu, ia pernah mendampingi Njo Hun-cong berjanji setia dengan Nilan Ming-hui di padang rumput, ia pernah melindungi Njo Hun-cong sampai detik terakhir dan Leng Bwe-hong telah menggunakannya sebagai tanda bukti untuk membawa Ie Lan-cu ke Thian-san dan paling akhir Lan-cu menggunakannya mengakhiri nyawa To Tok.

   Justru pada hari To Tok dibunuhnya itu, karena Lan-cii melihat ibunya hingga tanpa terasa pedangnya terjatuh ke tanah Ketika ia mengenangkan semua sanak-kadang dalam penjara, pernah juga terpikir olehnya akan pedang pusaka ini.

   Tetapi kini.

   ibunya telah menyerahkan kembali pedang itu padanya, hal ini malah membikin dia menjadi ragu.

   "Simpanlah pedrng ini, mungkin ada gunanya bagimu,"

   Demikian kata Onghui pelahan.

   "Kalau Leng-tayhiap dan rekan-rekannya datang lagi menolongmu, dengan pedang ini akan lebih gampang juga buat meloloskan diri."

   Lan-cu paling cinta pada ayahnya, oleh sebab sangat cinta pula pada pedang pusaka ini. Tapi saat ini, mendadak ia malah merasa benci, bukan benci pedang ini, tapi benci ibunya.

   "Ia menyuruhku menyimpan pedang ini dan menunggu Leng-tayhiap datang menolongku, ini berarti bukan saja ia tak bersedia ikut aku pergi, bahkan tak sudi lagi berdaya menolong diriku,"

   Demikian ia berpikir.

   Ia tidak mengharapkan pertolongan ibunya ini, cuma lubuk hatinya yang dalam itu sesungguhnya sangat haus akan cinta-kasih ibu, ia merasa penderitaan selama 18 tahun ini seharusnya bisa memenangkan cinta ibu keseluruhannya.

   Tetapi harapan yang terlalu muluk, kecewanya pun lebih mudah.

   Memang itu adalah semacam perasaan yang luar biasa ruwet dan campur-aduk.

   Namun ia tak tahu, bahwa pada waktu ibunya mengucapkan kata-katanya tadi, dalam hatinya sudah mengambil suatu keputusan yang pasti.

   "Aku tak mau. Setiap orang kami adalah sebilah pedang pendek semua, pedang pendek yang membikin keder bangsa Boanciu kalian!"

   Demikian teriak Lan-cu kemudian.

   "Pedang ini biarlah kausimpan sendiri saja, agar bila kau melihatnya akan lebih ingat pada ayah."

   Habis itu kedua tangannya menutup kepalanya lagi dan tersedu-sedan, kembali ia tak menggubris sang ibu lagi. Sementara itu suara tindakan orang di luar berkumandang pula, ada orang sedang mendesak.

   "Pwelek menanyakan keadaan Onghui, Hongsiang juga mengirim orang menanyakan apakah Ong-hui sudah selesai memeriksa?"

   Lekas Onghui menyahut sekali, lalu dikeluarkannya saputangan lain yang kering dan mengusap air mata puterinya pelahan. Ketika ia bangkit berdiri, saputangannya jatuh ke lantai tanpa terasa olehnya.

   "Po-cu, jagalah dirimu baik-baik, pahamkah kau?"

   Demikian pesannya paling akhir.

   Sesaat itu hati Lan-cu bagai disayat-sayat, hancur luluh! Api lilin pelahan mulai guram, lilin besar yang dibawa Onghui itu hanya tinggal beberapa senti saja dan sedang memancarkan sinarnya yang lemah, lilin yang lumer di lantai men-ciptakan peta bumi lorang-loreng yang tak beraturan, Onghui berhenti menangis, ia memandang Lan-cu sekejap untuk yang penghabisan kalinya, lalu dengan kaku ia membalik tubuh dan berjalan menuju pintu kamar penjara.

   "Aku paham, ibu, ini bukan salahmu!"

   Demikian dengan lembut Lan-cu berkata sambil menghela napas.

   Tapi terlalu lirih suaranya hingga hakikatnya tak terdengar oleh Onghui.

   Api lilin itu sudah habis terbakar, sinar lilin mendadak sirap, dan pada saat itulah Onghui pun sudah melangkah keluar pintu penjara, dalam penjara hanya ketinggalan kegelapan yang sunyi dan hampa.

   Mendadak Lan-cu meloncat bangun.

   "Ibu, marilah kita saling memaafkan! Ibu, kembalilah, ibu! Ibu ibu!"

   Tapi pintu penjara sudah tertutup rapat, ibunya tak akan kembali lagi! Dengan perasaan kosong Lan-cu memandang sekitarnya, dalam kegelapan itu dirasakannya seakan ada berbagai setan buas yang lagi menubruk ke arahnya, ia menjerit dan roboh, dalam hati ia paham, tamatlah segalanya.

   "Tamatlah segalanya!"

   Demikian jerit hati Onghui, tatkala itu ia sudah berada di rumahnya dan lagi mondar-mandir di dalam kamarnya dan sedang mengeluarkan jeritan hatinya yang putus asa! Di tengah kamar tergantung lukisan To Tok, sepasang mata To Tok itu seakan sedang memandang padanya, ia melolos pedang pendek itu, bayangan Njo Hun-cong seakan muncul juga di antara sinar pedang itu dan seperti juga sedang melotot padanya.

   Onghui menjerit, ia mendekap mukanya.

   Dalam kegelapan, bayangan puterinya itu seakan muncul juga di kelopak matanya dan juga seperti lagi mendelik padanya.

   Tiba-tiba ia mementang kedua tangannya, pedang pendek itu pelahan diangkatnya mendadak terdengar gedoran pintu yang riuh, ada pelayan sedang melapor di luar.

   "Nilan-kongcu mohon bertemu Onghui!"

   "Dia? Kenapa pada saat demikian ini minta bertemu?"

   Demikian Onghui membatin. Nilan Yong-yo adalah keponakan Onghui yang paling disayang dan merupakan orang yang paling cocok pula dengannya. Sebenarnya tak ingin ditemuinya siapa-siapa lagi, tapi Nilan Yong-yo di luar pembatasan ini.

   "Baiklah, biar aku bertemu sekali lagi dengannya,"

   Kata Onghui akhirnya menghela napas.

   Waktu pintu kamar dibuka, ia lihat Nilan Yong-yo sedang naik ke atas loteng dengan pelahan dan kacung pelayannya menunggu di bawah.

   Sesudah duduk berhadapan, keduanya sama-sama terkejut sekali.

   Yong-yo terkejut karena bibinya yang merupakan wanita tercantik bangsanya kini mendadak sudah bertambah tua beberapa puluh tahun, pula kedua matanya merah bendul, terang tidak sedikit orang telah mencucurkan air mata.

   Sebaliknya yang membikin Onghui terkejut ialah keponakannya yang namanya tersohor di seluruh negeri ini tahu-tahu sudah kehilangan sikapnya yang tenang ganteng itu, sebaliknya wajahnya putih pucat, di waktu mengangkat cangkir teh tangannya pun rada gemetar.

   "Baikkah kau, Yong-yo? Ada urusan apakah?"

   Tanya Onghui pula.

   "Sam-moaymoay telah mati!"

   Kata Yong-yo berbangkit mendadak hingga air teh menciprat ke lantai. Dengan suara gemetar dan tergoncang ia memberitahukan berita buruk ini.

   "Sam-kiongcu telah mati?"

   Dengan kaku Onghui menegasi, dengan sinar matanya yang terpaku ia memandang keluar jendela. Ya. berita ini datangnya terlalu mendadak, memang tekanan batinnya sudah cukup berat, kini ditambah lebih antap lagi juga tak begitu kelihatan.

   "Sam-moaymoay mati gantung diri,"

   Dengan suara berat Yong-yo menyambung lagi.

   "Mati gantung diri?"

   Onghui mengulangi pula, suaranya tak lancar.

   "Tapi kenapa Sam-kiongcu membunuh diri?"

   "Bukan bunuh diri, tapi dipaksa mati oleh Hongsiang!"

   Kata Yong-yo cepat.

   "Aku menduga, soalnya ada hubungannya dengan 'penyamun wanita' dari Thian-san itu!"

   Ketika ia berkata sampai 'penyamun wanita' mendadak Onghui menjerit hingga Yong-yo memandang sang bibi ini dengan heran dan terkejut, lalu ia pun menyambung pula.

   "Apakah kau tak tahu? Pada hari kau menghadap Hongsiang itulah dalam istana telah dibikin geger oleh seorang Lihiap (pendekar wanita), seorang pengawal pribadi Hongsiang malahan terbunuh dan ada lagi dua orang yang semaput kena pasir beracun, dan karena terlambat ditolong, kemudian pun mati."

   Dalam hati Onghui cukup terang, ia tahu 'Lihiap' itu pasti 'Kiongli' yang ikut keluar istana atas hadiah Khong-hi dan menjadi kawan puterinya itu.

   Ia pun sangat heran, mengapa Yong-yo menyebut 'Lihiap' padanya, sebaliknya menyebut puterinya itu sebagai 'penyamun wanita'.

   Karena itu, ia lantas bertanya.

   "Darimana kau bisa tahu ia adalah wanita?"

   Dengan pedih Yong-yo memandang Onghui, mendadak dengan lagu suara yang cepat sekali ia menjawab.

   "Kokoh (bibi) kita adalah orang sendiri dan segalanya serba terus terang, biarlah kuceritakan, pendekar wanita itu akulah yang membawanya masuk istana, ia bernama Boh Wan-lian, malahan katanya puteri Tang-okhui almarhum. Siapa nyana aku membawanya masuk istana sebaliknya telah membuat celaka Sam-moaymoay! Kokoh, maafkan kalau aku boleh bertanya 'penyamun wanita' yang dikerangkeng di penjara itu apa bukan orang terdekat dan terapat denganmu?"

   Seketika tubuh Onghui seakan-akan kaku kejang, lama dan lama sekali baru ia mendongak.

   "Baiklah, kini aku pun tak perlu membohongi kau, ia adalah puteriku!"

   Sahurnya kemudian pelahan.

   "Aku sudah bisa menerkanya!"

   Ujar Yong-yo menghela napas.

   "Kokoh, kita yang terlahir di keluarga kerajaan sungguh semacam dosa! Kematian Sammoaymoay juga semacam dosa, dosa asmara!"

   Mendadak urat daging pada muka Onghui berkerut lebih menakutkan lagi.

   "Dosa asmara! Dosa asmara?"

   Ia menggumam sendiri.

   "Ya, dosa asmara,"

   Kata Yong-yo pula coba menghindarkan sorot mata sang bibi.

   "Si 'penyamun wanita' itu bukan Piaumoay (adik misan) mempunyai seorang kekasih bernama Thio Huaciau yang sangat ingin bisa menolongnya keluar penjara. Dan Sam-moaymoay justru telah jatuh cinta pada kekasih Piaumoay itu!"

   Untuk pertama kalinya Onghui mendengar hal ini, meski ia sendiri merasa sudah sampai ujung pangkal hidupnya, tetapi terhadap sesuatu urusan puterinya itu ia masih haus ingin mengetahuinya. Mendadak ia menjadi bersemangat, tanyanya cepat.

   "He, bisa terjadi begitu? Darimana kau tahu?"

   Yong-yo menghela napas pelahan.

   "Tak perlu lagi kau tanya, seketika juga takkan jelas diceritakan,"

   Sahurnya kemudian.

   "Biarlah aku ceritakan dulu cara bagaimana Sam-moaymoay meninggal. Kiranya sesudah nona Wan-lian mengobrak-abrik istana, Hongsiang mengetahui pula kehilangan Cu-ko-kim-hu. Benda ini sekali-kali tidak boleh dicuri orang luar, maka mendadak Hongsiang ingat tatkala nona Wan-lian menyamar sebagai dayang yang ikut kau keluar istana, pernah Sam-moaymoay menarik-narik tangannya dan mengajak bicara padanya, ia menjadi sangat curiga, segera ia memerintahkan Thaykam pergi memanggilnya. Sam-moaymoay bilang pada Thaykam yang datang memanggil itu, 'Kalian tunggu saja sejenak, biar aku berkemas dulu.'. Dan tak terduga ia lantas gantung diri dalam kamarnya sendiri!"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, kiranya Cu-ko-kim-hu itu adalah Samkiongcu yang mencurinya!"

   Seru Onghui tak tahan.

   "Ya, guna orang yang dicintainya, ia telah mengorbankan diri!"

   Kata Yong-yo. Air mata Onghui bercucuran, ia menunduk dan memukul dada sendiri sambil berkata.

   "Meski Sam-kiongcu terpingit dalam istana sunyi, tapi lahirnya memang berbudi luhur, dibanding aku terang ia lebih bernilai beribu kali!"

   "Waktu itu aku sedang menemani Hongsiang membaca di kamar selatan,"

   Sambung Yong-yo dengan suara parau.

   "Tibatiba ada seorang dayang yang memberi laporan bahwa Sam-kiongcu telah gantung diri. Tahu-tahu wajah Hongsiang merengut dan berkata dengan tertawa dingin, 'Syukur, memang harus mari!' Sebaliknya aku terkejut luar biasa hingga hampir pingsan, hendak menangis pun tak keluar air mata! Tiba-tiba pula Hongsiang bertanya padaku, 'Apa kau tahu budak (maksudnya Sam-kiongcu) itu ada persekongkolan dengan pembesar negeri di luar?' Aku menjadi bingung tak paham dan hati amat berduka, aku tak sanggup buka suara, maka hanya menggeleng kepala. Kata Hongsiang pula, 'Ha, besar sekali nyali budak ini, ia mencuri pusakaku Cu-ko-kimhu, aku sangka dia hendak meniru Thay-peng Kiongcu!' Thaypeng Kiongcu adalah puteri Bu-cek-thian, Kaisar wanita di zaman ahala Tong dan pernah bersekongkol dengan pembesar negeri hendak melakukan kudeta. Hongsiang menggunakan contoh Thay-peng Kiongcu, mungkin ia menyangka Sammoaymoay mencuri Kim-hu tentu ada maksud hendak merebut takhta, sudah tentu ia tak tahu bahwa di dalamnya bisa terjadi hal-hal yang begitu ruwet? Maka aku bilang, 'Samkiongcu biasanya sangal baik denganku, aku cukup tahu selamanya ia tidak pernah ikut campur urusan luar, mana bisa ia bersekongkol dengan pembesar negeri?' 'Yong-yo, aku percaya kau tak mendustai aku!' kata Hongsiang tertawa padaku. Dan sesudah berpikir sejenak, lalu ia berkata lagi, 'Ya, sudahlah, kejadian keluarga yang memalukan jangan tersiar, kau saja yang mewakilkan aku memberi perintah agar siapa pun dilarang membocorkan rahasia peristiwa ini dan sekalian mewakilkan aku membereskan jenazah budak itu.' Ketika aku datang ke kamar Sam-moaymoay dan menurunkannya dari tali gantungan, aku lihat di atas meja tulisnya masih ada secarik kertas dengan dua baris sajak. Ya, paling akhir ini ia memang belajar sajak padaku, mungkin belum selesai ia mengarangnya lantas menggantung diri."

   Setelah menghirup tehnya sekali, lalu Yong-yo menyambung lagi.

   "Kemudian Hongsiang bertanya padaku lagi, 'Tahu tidak ada orang menggunakan Cu-ko-kim-hu itu untuk jimat penolong si gadis pembunuh terpenjara itu.' Aku bilang tidak tahu. Lalu Hongsiang berkata lagi bahwa semua kejadian itu terlalu aneh, masakah orang sendiri pun tidak bisa dipercaya lagi, maka ia hendak menyelidikinya lebih mendalam. Makanya, Kokoh, tindak-tandukmu hendaklah sedikit berhati-hati, bila dicurigai Hongsiang, tentulah bisa celaka!"

   "Apa yang kutakuti lagi, sekarang?"

   Sahut Onghui tertawa pilu.

   "Yong-yo, bila kau kembali ke istana dan Hongsiang bertanya tentang diriku, bolehlah kau bilang saja tak tahu!"

   Ketika Yong-yo memandang Onghui, tiba-tiba hatinya terasa dingin ngeri.

   "Kokoh, kalau begitu aku mohon diri saja!"

   Katanya kemudian dengan air mata meleleh.

   "Yong-yo,"

   Kata Onghui sambil menghela napas.

   "Biasanya tiap kali kau datang selalu membawakan sajakmu yang baru padaku, cuma selanjutnya mungkin tak bisa membacanya lagi."

   "Apa kau bilang, Kokoh?"

   Tanya Yong-yo kaget.

   Namun segera ia pun merasa ngeri dan tanpa bertanya lebih jauh ia pun berjalan keluar.

   Dengan mata memandang perginya Nilan Yong-yo, Onghui seakan-akan kehilangan segala perasaan yang dimilikinya! Kembali pada Leng Bwe-hong bersama Hui-ang-kin yang telah lolos dari bahaya dengan ilmu mengentengkan tubuh mereka yang hebat sesudah membikin geger penjara istana.

   Di sepanjang jalan Bwe-hong memohon lagi agar Hui-ang-kin suka menggabungkan diri bersama mereka pergi menemui kawankawan Ie Lan-cu yang lain.

   Namun Hui-ang-kin hanya menggeleng kepala saja, waktu ditanya dimana tempat tinggalnya Hui-ang-kin pun tidak menjawab.

   Keruan diamdiam Leng Bwe-hong mendongkol, pikirnya, aku menghormatimu sebagai pendekar wanita dari angkatan lebih tua, pula sahabat baik Suhengku, tapi kenapa kau begini tak kenal adat? "Leng Bwe-hong,"

   Kemudian Hui-ang-kin berkata.

   "Tempat tinggalku tak bisa kuberitahukan padamu, jika kau mampu, bolehlah kau mencarinya sendiri, maafkan aku tak bisa menemanimu lebih lama lagi!"

   Habis berkata, sekali melesat secepat bintang meluncur, tahu-tahu dalam sekejap saja bayangannya sudah pergi jauh. Waktu Bwe-hong coba menyelami arti perkataan Hui-angkin tadi seperti sengaja menyuruh dia mengikutinya, diam-diam ia membatin.

   "Baiklah, apa kau kira aku tak sanggup menyusulmu?"

   Habis itu dengan Ginkangnya yang tinggi 'Pat-poh-kan-sian' atau memburu tonggeret dalam delapan langkah, secepat terbang ia mengintil di belakang Hui-ang-kin.

   Namun Hui-ang-kin sengaja anggap tak tahu, melainkan terus berlari cepat ke depan.

   Maka terjadilah kejar mengejar secepat kilat.

   Ternyata kepandaian kedua orang ini setali-tiga-uang alias sama kuat.

   Hui-ang-kin berlari lebih dulu, maka ia selalu di depan dalam jarak beberapa tombak dari Leng Bwe-hong.

   Melihat ilmu mengentengkan tubuh pendekar wanita itu memang nyata hebat, mau tak mau Leng Bwe-hong sangat kagum juga.

   "Pantas ia dan Njo-suheng dahulu terkenal sebagai sepasang pendekar di padang rumput!"

   Sekitar setengah jam telah lewat, kedua orang sudah sampai di hutan sunyi, Bwe-hong melihat Hui-ang-kin masih terus berlari ke arah Se-san, jalan pegunungan berliku dan setelah membelok beberapa tikungan, tahu-tahu bayangan Hui-ang-kin sudah menghilang.

   Bwe-hong berhenti melihat sekitarnya, ia lihat kabut melingkari puncak dan angin gunung meniup santar, nyata orangnya sudah berada di tengah gunung.

   Ada apakah Huiang- kin memancingku ke sini? demikian ia membatin.

   Apakah benar-benar ia tinggal di atas gunung sini? Dan tengah ia ragu-ragu, tiba-tiba didengarnya di arah kiri atas sana ada suara tertawa orang yang nyaring berkumandang datang terbawa angin.

   Cepat sekali Leng Bwe-hong enjot tubuh, kakinya menutul tebing dan tangannya menahan di dinding pegunungan yang curam secepat dan segesit kera hingga sekejap saja sudah sampai di atas.

   Tapi segera ia merasa ada angin pukulan yang menyambar dari atas, ternyata di atas sudah menanti seorang laki-laki tegap berkedok, begitu maju segera kedua telapak tangannya memukul hebat.

   Gusar sekali Bwe-hong oleh serangan orang, dengan gerak tipu 'Hong-kwilok- hoa' atau angin menggulung bunga rontok, sekali ia menangkis, kontan ia pun balas memotong ke depan, namun sedikit orang itu mengegos tahu-tahu serangannya sudah mengenai tempat kosong.

   Terkejut juga Leng Bwe-hong, cepat amat gerak tubuh orang ini? Maka tak berani lagi ia ayal, sedikit memutar dan tangan membalik, kembali ia memukul.

   Tapi dengan mudah saja orang itu menangkis, sedang tubuhnya tiba-tiba sempoyongan dan orangnya mendadakpun menubruk maju sambil tangan memukul dan jari menjojoh, gerak tubuh dan ilmu pukulannya ternyata aneh luar biasa dan belum pernah dilihat Leng Bwe-hong.

   Beruntun orang itu melontarkan enam kali tipu pukulan aneh, sungguhpun ilmu silat Leng Bwe-hong sangat mendalam dan ilmu pukulannya sangat hebat, terpaksa ia harus menarik tangan buat menjaga diri.

   Bwe-hong diam saja tak membuka suara dengan perasaan heran, ia lihat tipu serangan orang itu meski aneh, tapi kekuatannya ternyata masih kurang, setelah belasan jurus lewat, segera Bwe-hong dapat melihat tempat kelemahan lawan, mendadak ilmu pukulannya berubah, kadang ia menjotos dan tempo-tempo memotong dengan telapak tangan, cepat dan keras membawa angin, dan karena tak berani menyambut serangan Bwe-hong yang keras dan lihai ini, orang itu terdesak mundur terus.

   Yang lebih mengherankan ialah ilmu pukulan orang itu mula-mula sangat aneh dan bagus, tapi setelan belasan jurus tak bisa merobohkan lawan, segera tempat kelemahannya lantas kelihatan hingga seperti 'harimau kertas' saja, untuk menggertak belaka.

   Mendadak Leng Bwe-hong tertawa terbahak, ketika ia mementang tangan melompat melewati orang itu, segera ia ber-balik mencegat jalan mundurnya.

   Dan ketika Bwe-hong berpikir hendak menghantam roboh orang, tatkala itu mereka telah berada di tempat lapang yang sedikit lebar, di bawah cahaya bulan remang-remang sekonyongkonyong ia menarik kembali pukulannya yang sudah mulai dilontarkan itu, sebab perawakan orang ini dilihatnya seperti sudah dikenalnya.

   Dan selagi Bwe-hong hendak membentak, tiba-tiba orang itu telah memberi hormat padanya sambil bergelak tawa dan berkata.

   "Leng-tayhiap, betapapun juga memang kepandaianmu lebih tinggi!"

   Ketika orang itu membuka kedoknya, tidak 'kepalang girang Leng Bwe-hong.

   Ternyata orang ini adalah Han Ci-pang yang tinggal pergi tanpa pamit tahun yang lalu ketika bersama Lauw Yu-hong mereka melakukan perjalanan bersama di daerah Hunkang itu.

   Dalam pada itu dari rimba di depan sana tiba-tiba terdengar juga suara suitan panjang, tahu-tahu Hui-ang-kin telah muncul juga.

   "Leng-tayhiap, apa kau masih marah padaku sekarang?"

   Demikian katanya tertawa.

   "Kalau bukan Han-toako bilang kau adalah sahabatnya, tadinya aku masih belum berani mengajakmu ke sini."

   "Leng-tayhiap, di sana masih ada beberapa kawan lain sedang menunggu hendak menemuimu,"

   Kata Ci-pang pula sambil menarik sobat lama ini. Habis itu ia membawa Leng Bwe-hong menyusuri sebuah rimba lebat, dalam rimba itu ternyata ada sebuah kelenteng kecil, Han Cipang menggedor tiga kali pintu kelenteng itu sembari berteriak.

   "Buka pintu, kawan lama telah datang!"

   Maka dengan cepat pintu kelenteng itu dibuka, ternyata di dalam terdapat 7-8 orang Lamma dan belasan orang Kazak yang beraneka corak perawakannya berjubel di sana.

   Di antara para Lamma itu Bwe-hong mengenal ada seorang yaitu Congtat Wancin yang dulu ikut mengawal 'Sik-li-ci' ke Tibet itu, sedang di antara bangsa Kazak itu ada lebih separah dikenalnya sebagai kawan seperjuangan lama.

   Dan karena bisa saling bersua kembali, mereka merasa senang sekali.

   "Ada apa jauhjauh kalian datang ke kota-raja dari perbatasan?"

   Tanya Bwehong kemudian. Tapi tiada yang menjawab, Ci-pang berpikir sejenak, lalu dengan tertawa baru ia berkata.

   "Leng-tayhiap, kau bukan orang luar, maka tiada halangannya berkata terus terang padamu."

   Sembari berkata ia pun melirik sekejap pada Congtat Wancin. Karena itu cepat Congtat Wancin menyambung.

   "Leng-tayhiap ada budi atas diri kami yang tak pernah kami lupakan selama hidup, boleh Han-tayhiap katakan saja."

   Melihat gelagat mereka ini, diam-diam Bwehong berpikir apakah mereka ada urusan rahasia yang dirinya tidak enak untuk ikut campur. Tapi belum sempat ia buka suara, Han Ci-pang sudah berkata lagi.

   "Bukan kami sengaja main rahasia, Leng-tayhiap, tapi karena persoalan menyangkut urusan Tibet yang besar. Apakah Leng-tayhiap tahu bahwa Dalai Lamma telah mengirim utusan istimewa ke kota-raja?"

   "Kemarin dulu aku baru sampai sini dan buru-buru hendak menolong orang, hakikatnya aku belum mendengar urusan ini,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Tentu kau masih ingat,"

   Demikian kata Ci-pang pula.

   "Sebelum Go Sam-kui bergerak, lebih dulu ia telah bersekongkol dengan Dalai Lamma agar supaya bila ia kewalahan, Buddha Hidup itu lantas diminta menjadi juru damai. Kali ini Dalai mengirim utusan ke kotaraja, soalnya justru hendak mohon perdamaian bagi Go Samkui itu."

   "Ya, soal itu di kala aku menolong Lamma jubah merah di Ngo-tai-san dulu aku sudah pernah mendengar ceritanya,"

   Kata Bwe-hong.

   "Dan Lamma jubah merah itu justru adalah utusan istimewa yang dikirim itu,"

   Sambung Cipang pula.

   "Kecuali meminta damai bagi Go Sam-kui, mungkin bisa dirundingkan juga tentang penggabungan Tibet."

   Leng Bwe-hong sendiri tidak tahu belakangan Han Ci-pang berhasil menemukan kembali 'Sik-li-ci' hingga diarak para Lamma ke Tibet, maka diam-diam ia sangat heran mengapa Han Ci-pang bisa berhubungan begitu baik dengan mereka.

   "Lamma jubah merah itu membawa dua-tiga puluh orang ke sini, lalu Congtat Wancin bersama beberapa kawan Kazak inipun menyusul tiba,"

   Demikian tutur Ci-pang lagi.

   "Cuma kami tidak ingin tinggal bersama Ang-ih Lamma (Lamma jubah merah) di hotel yang disediakan."

   "Dan kedatanganku sendiri karena mendengar di kota-raja telah ditangkap seorang 'penyamun wanita', maka aku lantas buru-buru datang ke sini,"

   Kata Huiang- kin juga.

   Mendengar semua ini, barulah Leng Bwe-hong paham sebab apa tadinya Hui-ang-kin tak mau memberitahukan tempat tinggalnya, agaknya karena ia tidak tahu dirinya pernah berkawan sehidup-semati dengan Han Ci pang.

   Malamnya setelah orang-orang lain masuk tidur, Han Cipang dan Leng Bwe-hong masih jalan bersama di tengah rimba di bawah sinar bulan yang terang.

   "Leng-tayhiap,'' kata Ci-pang tiba-tiba.

   "Dua tahun yang lalu aku telah meninggalkan kalian tanpa pamit, tentu kalian sangat marah padaku, bukan?'' "Tatkala itu kami memang sangat menyesalkanmu, tetapi bukan marah padamu,"

   Sahut Bwehong.

   "Leng-tayhiap,"

   Kata Ci-pang lagi dengan menyesal.

   "Ada sesuatu yang sesungguhnya aku ingin minta maaf padamu, aku pernah cemburu terhadapmu."

   "Itu karena kau salah paham, padahal aku dan Lauw-toaci tiada apa-apa,"

   Sahut Bwe-hong tertawa. Tapi Ci-pang menggoyang tangannya tak membenarkan kata-kata orang.

   "Leng-tayhiap,"

   Ujarnya.

   "Setelah digembleng selama dua tahun ini, aku menjadi banyak mengerti, segala cinta kasih sesungguhnya tak dapat dipaksakan. Kau dan Lauw-toaci adalah orang yang paling kuhormati dan kagumi, kalau aku melihat kalian berada bersama, pasti aku akan merasa sangat beruntung!"

   "Hantoako, maukah kau jangan mempersoalkan ini lagi?"

   Seru Bwehong dengan rasa penuh derita.

   Ci-pang memandang orang dengan penuh heran.

   Sementara itu bulan sudah terbenam ke barat, fajar sudah hampir menyingsing.

   Hanya sebentar Leng Bwe-hong pergi tidur, ketika esok harinya ia bangun, Hui-angkin ternyata tak dilihatnya lagi, Waktu bertanya pada Ci-pang, Ci-pang sendiripun tidak tahu, hanya dikatakannya.

   "Lihiap ini pergi-datang selalu sendirian, ilmu silatnya sangat tinggi, wataknya pun aneh, maka siapa pun tiada yang berani bertanya padanya. Boleh jadi ia telah pergi berdaya menolong anak dara itu."

   Diam-diam Leng Bwe-hong kuatir, tetapi ia pun tak berdaya, maka ia lantas mohon diri pada Han Ci-pang untuk pergi mencari Boh Wan-lian.

   Mendengar bahwa para kawan yang dulu mengobrak-abrik Ngo-tai-san itu juga sudah berada di kota-raja, tentu saja Han Ci-pang sangat girang.

   Tapi ia masih berpesan pada Leng Bwe-hong agar untuk sementara jangan membocorkan tentang jejaknya ini dan hal ini disanggupi Leng Bwe-hong.

   Apa yang diduga Han Ci-pang ternyata tidak salah.

   Memang betul Hui-ang-kin telah pergi berdaya menolong Ie Lan-cu.

   Pagi-pagi ia telah bangun dan lantas berlatih ilmu pedangnya sejurus di atas puncak Se-san itu, lalu ia bebenah ringkas masuk ke kota-raja lagi.

   Dalam hati Hui-ang-kin sangat kesal dan sedih, dan karena murungnya pikiran ia menjadi lebih tiada berdaya buat menolong Ie Lan-cu.

   Karena itu seketika segala kejadian di masa mudanya terbayang olehnya, mendadak ia mengotak gigi dan berpikir.

   "Nilan Ming-hui adalah ibunya, kalau dia tak mau menolong puterinya sendiri, biarlah aku lantas mengadu jiwa dengannya."

   Setelah mengambil keputusan ini, di waktu senja kala ia lantas masuk ke istana Nilan-onghui lagi.

   Mengenai diri Onghui, sejak perginya Nilan Yong-yo, perasaannya seakan sudah mati, orangnya pun serasa kaku, seorang diri ia duduk dalam kamarnya, pandangannya seolah kabur.

   Selang lama dan lama sekali, lambat-laun baru ia bangkit, dengan tangannya yang gemetar ia mencabut pedang pendek itu.

   "Po-cu, janganlah kau sesalkan daku! Hun-cong, nantikanlah aku,"

   Demikian teriak Onghui mendadak dan ujung pedang itu ia balik dan cepat menikam hulu hati sendiri. Sekonyong-konyong daun jendela terbuka, secepat terbang sesosok bayangan orang melayang masuk.

   "Ming-hui, hai, Ming-hui, kenapakah kau?"

   Seru orang itu.

   Dua tangan yang kuat telah memayangnya dengan kencang.

   Rembulan muda waktu itu baru saja menongol, sinarnya lembut menembus tirai sutera jendela menyorot diri dua orang wanita yang saling benci dan iri selama ini, wajah kedua wanita ini sama-sama pucat lesi.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hui-ang-kin, janganlah kau benci padaku!"

   Demikian suara Onghui lemah. Sesaat itu segala rasa benci, rasa permusuhannya sudah terhapus seluruhnya. Tak tertahan pendekar wanita yang pernah malang melintang di padang rumput dan tersohor di daerah perbatasan itu mencucurkan air mata.

   "Hui-ang-kin,"

   Kata Onghui pula pelahan.

   "Kita adalah o-rang Njo-tayhiap yang paling rapat, marilah, biarlah kita ber-damai saja. Cici, kau tidak benci aku memanggil kau Cici, bukan?"

   Tiba-tiba wajah Onghui berubah semu merah, jantungnya berdetak keras, semangat yang timbul memuncak sebelum ajalnya ini membikin darahnya seakan mengalir cepat bagai air terjun di dalam tubuhnya.

   "Ming-hui, O, Ming-hui adikku,"

   Ratap Hui-ang-kin terharu.

   "Kita bukan musuh, pasti aku akan menjaga anakmu baik-baik, sekalipun mengorbankan jiwaku pasti akan ku berdaya menolongnya keluar!"

   Dengan sorot mata yang sangat berterima kasih Onghui memandang Hui-ang-kin, lalu ia menghela napas panjang sekali, tenaganya pelahan lenyap, tapi sekuatnya ia masih mencoba berkata lagi.

   "Cici, cabutlah pedang pendek ini dan berikanlah pada anakku, ini adalah barang ayahnya."

   Seketika tubuh Hui-ang-kin menggigil.

   Hui-ang-kin yang begini keras hatinya dalam keadaan demikian ini telah merasakan saat yang paling seram selama hidupnya.

   Pedang itu menancap masuk hampir sampai gagangnya, sekalipun ada obat mujizat atau obat dewa juga susah ditolong lagi, dan kalau dicabut, matinya pasti akan bertambah cepat.

   Tetapi mana bisa tak dicabut? Ia berkewajiban menyerahkan kembali pedang pendek ini kepada puteri Njo Hun-cong! Jidat Onghui dikecupnya sekali, lalu pelahan Hui-ang-kin membisikinya.

   "Jangan kuatir, adikku, pergilah kau dengan hati yang lapang!"

   Habis itu, dengan mata meram ia memegang pedang itu dan dicabutnya cepat.

   Darah segar bagai pancuran air muncrat keluar, dengan lemas Nilan-onghui terkulai di lantai.

   Tiba-tiba sesuatu terkilas dalam perasaannya, di saat denyutan jantungnya hampir berhenti itu, pada saat napasnya yang terakhir belum terhembus, sekuat tenaganya ia mencoba berkata lagi dengan terputus-putus.

   "besok waktu sore mereka akan menggiring menggiring Po-cu ke ke sidang pem pemeriksaan."

   Habis berkata, sekali matanya membalik, sejak itulah ia tak bangun kembali.

   Hui-ang-kin masih termangumangu di samping mayat Onghui dengan memegangi pedang pendek itu.

   Mendadak didengarnya suara tertawa orang yang seram di luar jendela, ketika Hui-ang-kin membalik tubuh dengan pedang terhunus, segera dilihatnya tiga orang tak dikenal telah masuk ke dalam dengan mendobrak jendela.

   Di bawah sinar bulan cukup jelas kelihatan seorang di antara ketiga orang itu berjenggot panjang putih bagai perak, perawakannya kurus kecil dan di sampingnya mengikut dua orang laki-laki berusia setengah umur.

   Begitu masuk dan demi nampak di lantai sudah banjir darah, seketika mereka berteriak kaget.

   "Hm, besar sekali nyali bangsat perempuan ini, berani kau membunuh Onghui!"

   Bentak orang tua berjenggot putih itu segera.

   Memang hati Hui-ang-kin lagi mendongkol tak terlampiaskan, tentu saja ia bertambah gemas, begitu tubuhnya mencelat dan pedangnya menyambar, kontan ia tusuk orang tua itu.

   Lekas orang tua itu mengebas dengan lengan bajunya yang panjang lebar, maka terdengarlah suara "bret", ternyata bajunya sudah berlubang tertusuk, sebaliknya pedang Hui-ang-kin juga tergoncang menceng ke samping.

   Namun serangan Hui-ang-kin keji luar biasa, sebelah tangannya mengikuti tusukan pedangnya tadi mendadak telah menghantam juga.

   Orang tua itu bersuara heran sekali, lalu tangannya membalik terus menyodok ke depan.

   Mendadak Hui-ang-kin merasa ada suatu kekuatan raksasa mendorong datang, lekas ia mengikuti daya tenaga itu dan melompat pergi.

   Dalam pada itu golok-pedang kedua lelaki tadi berbareng pun membacok tiba, Hui-ang-kin mengangkat pedangnya menangkis dengan cepat, maka terdengarlah suara gemerincing nyaring tanda terputusnya benda keras.

   Hui-ang-kin sendiri secepat kilat terus melesat keluar menerobos daun jendela dan melompat ke bawah dari loteng yang cukup tinggi, berbareng itu pedangnya bekerja cepat, kembali dua pengawal istana di bawah itu kena dilukai pula.

   Dan ketika ia hendak kabin-, tiba-tiba dilihatnya dari atas loteng telah melayang turun seorang secepat kilat terus mencegat di depannya dengan sepasang pedangnya yang melintang sambil membentak.

   "Bangsat perempuan jangan lari !". Namun cepat juga Hui-ang-kin melorot pecutnya yang panjang dan kontan menyabet sambil balas mendamprat.

   "Tua bangka, berani kau merintangiku?"

   Orang tua berjenggot putih itu tertawa dingin, ia mengangkat pedang untuk menangkis hingga pedangnya kena dilibat pecut, ketika Hui-ang-kin mengayun sekuatnya, siapa tahu sedikitpun orang tua itu tidak bergerak.

   Keruan saja Hui-ang-kin sangat terkejut, sungguh tidak nyana lawannya bisa begini ulet dan kuat, lekas ia mengendorkan pecutnya dan menariknya kembali.

   Dalam pada itu kedua lelaki setengah umur tadipun sudah melompat turun dan bersama pengawal-pengawal Onghui telah menyebar ke empat penjuru mengambil kedudukan mengepung, cuma tidak ikut menerjang maju.

   Sementara orang tua berjenggot putih itu sedang melirik Hui-ang-kin dengan lagak menghina.

   "Bila kau mampu menangkan sepasang pedangku ini, aku lantas melepaskanmu,"

   Demikian katanya angkuh. Belum pernah Hui-ang-kin dipandang rendah orang seperti ini, keruan ia sangat marah, kembali pecutnya menyapu cepat dibarengi sedikit menyendal hingga pecutnya menyambar hidup bagai ular yang panjang.

   "Bagus!"

   Sambut orang tua itu sambil tubuhnya berputar cepat hingga sekejap sudah menyerobot sampai di samping Hui-ang-kin, dengan tipu 'Kim-tiau-tian-sit' atau garuda emas pentang sayap, pedang kirinya mendadak menusuk bahu lawan.

   Namun gerak tubuh Hui-ang-kin tidak kalah cepatnya, begitu pecutnya menyabet segera pula menggeser tempat, sedang pedang pendek di tangan yang lainpun balas menyampuk, maka terdengarlah suara nyaring hingga keduanya sama-sama tergetar mundur beberapa tindak.

   Hui-ang-kin merasa tangannya pedas panas, diam-diam ia terkejut.

   Sebaliknya mata pedang orang tua itu tergumpil sebagian, tak tahan ia pun bersuara heran.

   Kemudian keduanya saling gebrak pula, mereka sama-sama tak berani memandang enteng lawan lagi.

   Hui-ang-kin mengeluarkan ilmu silat perguruannya yang hebat, tangan kiri pecut dan tangan kanan pakai pedang, baik menyerang maupun menjaga dilakukan dengan rapat sekali dan susah diraba lawan dengan perubahan tipu silatnya yang ruwet.

   Sebaliknya orang tua itu ternyata tak gentar berada di bawah sambaran sinar pedang dan bayangan pecut, sepasang pedangnya yang dimainkan begitu hebat sehingga sayup sayup membawa suara menderu bagai bunyi angin dan guruh, yang lebih aneh ialah permainan pedangnya di tangan kiri dan tangan kanan ternyata lain pula tipunya hingga serupa seperti Hui-ang-kin menggunakan pecut dan pedang yang berlainan sekaligus, begitu pula tipu serangannya pun sangat ruwet.

   Hanya sekejap saja mereka sudah saling gebrak hampir 50 jurus, sekonyong-konyong orang tua itu melompat keluar kalangan dan membentak.

   "He, apakah kau anak murid siluman perempuan tua dari Thian-san?"

   Karena kata-kata itu, Hui-ang-kin bertambah gusar, beruntun pecutnya menyabet tiga kali dengan cepat.

   "Berani kau memaki guruku?"

   Demikian dampratnya kemudian.

   Dan sekarang ia pun barulah tahu siapa gerangan si orang tua ini.

   Tingkat orang tua berjenggot putih ini memang sangat tinggi, ia bukan lain daripada cikalbakal Tiang-pek-san-pay a-tau aliran Tiang-pek-san (nama pegunungan di timur laut Tiongkok) yang menciptakan 'Honglui- kiam-hoat', Ce Cin-kun namanya.

   Anak murid Ce Cin-kun ini sangat banyak, Susiok To Tok yang bernama Nikulo dan Khu Tong-lok yang 18 tahun berselang pernah melukai muka Leng Bwe-hong itu semuanya adalah muridnya.

   50 tahun yang lalu pernah Ce Cin-kun merantau ke Sin-kiang, tatkala itu umurnya baru 30-an, Hong-lui-kiam-hoat atau ilmu pedang angin dan guntur, baru saja tercipta olehnya, maka ia menjadi congkak dan tinggi hati, seorang diri ia naik ke Thian-san mencari Hui-bing Siansu (guru Njo Hun-cong, Coh Ciau-lam dan Leng Bwe-hong), karena mengingat orang sengaja datang dari jauh, maka Hui-bing Siansu mengunjuk diri menemuinya dan saling tukar pikiran tentang ilmu pe'dang di puncak Thiansan.

   Hui-bing Siansu paling suka pada angkatan muda yang giat belajar dengan sungguh-sungguh, maka mula-mula ia sangat menghargainya, katanya memuji Ce Cin-kun.

   "Usiamu masih muda, tapi sudah berhasil setingkat ini, sungguh susah dicari bandingannya. Ilmu pedangmu ini meski ada kekurangannya namun di daerah Kwangwa (luar tembok besar) mungkin sudah tiada yang bisa menandingi lagi."

   Tatkala itu kalau Ce Cin-kun cukup cerdik dan terus merendah minta petunjuk atau sekalian mengangkat guru padanya boleh jadi Hui-bing akan menerimanya dengan baik.

   Siapa tahu Ce Cin-kun ternyata bukan orang yang bisa berpikir, ia tidak mau dipandang sebagai angkatan lebih muda, bahkan minta bertanding dengan Hui-bing Siansu.

   Namun tantangan itu diganda senyum oleh Hui-bing, katanya.

   "Ah, sudah lama pedang kutanggalkan, kiam-hoat juga sudah terlupa tidak bisa lagi me-nandingimu. Apa yang kukatakan tadi hanya bergurau saja, jangan kau anggap sungguhan."

   Habis berkata, cepat tubuhnya melesat pergi dan sekejap saja sudah menghilang.

   Sungguhpun Ce Cin-kun sangat terkejut dan heran oleh Gin kang Hui-bing Siansu yang luar biasa itu, namun ia masih menyangka ilmu pedang orang benar-benar tak bisa menandingi dirinya, maka diam-diam ia pun bergirang dan tidak lagi mencari Hui-bing Siansu, ia meneruskan pengembaraannya di pegunungan Thian-san.

   Pegunungan Thian-san itu panjangnya lebih tiga ribu li, Hui-bing Siansu sendiri tinggal di puncak utara, sebaliknya di puncak selatan yang tertinggi masih berdiam pula seorang kosen yang jejaknya lebih susah dicari daripada Hui-bing.

   Orang kosen itu adalah seorang nenek tua, konon di waktu mudanya adalah seorang begal tunggal (begal tunggal diartikan semua pekerjaan membegal dilakukan sendirian tanpa pembantu seorang pun) dan namanya dikenal orang sebagai Pek-hoat Mo-li atau si iblis wanita berambut putih, karena seluruh rambutnya sudah ubanan semua.

   Pek-hoat Mo-li ini sangat suka diunggulkan, beberapa kali pernah ia mencari Hui-bing Siansu mengajak bertanding, ada sekali karena tak bisa menolak lagi oleh ricauan Pek-hoat Mo-li terpaksa ia bertanding dengannya selama sehari semalam di puncak utara itu dan akhirnya memenangkan sejurus.

   Dalam marahnya Pekhoat Mo-li terus berlari kembali ke puncak selatan, sebelum pergi ia masih menyatakan akan melatih ilmu pukulannya lebih hebat dan kelak masih akan mengajak bertanding pula.

   Sejak itu ia pun tidak merusuhi Hui-bing Siansu lagi sampai Njo Huncong berguru dan lewat 30 tahun baru Pek-hoat Mo-li datang lagi mengajak bertanding.

   Tapi tatkala itu ilmu pukulan Huibing sudah sampai tingkat yang tiada taranya, maka tidak sampai setengah jam kembali Pek-hoat Mo-li kalah satu jurus, dan habis itu barulah ia betul-betul tunduk, cuma luarnya ia masih belum mau mengaku kalah (Peristiwa ini bisa dibaca dalam Cau Guan Eng Hiong).

   Dan waktu Ce Cin-kun datang ke Thian-san, ketika itu baru saja Pek-hoat Mo-li habis bertanding untuk pertama kalinya dengan Hui-bing Siansu.

   Ce Cin-kun hanya tahu di Thian-san ada Hui-bing seorang dan tidak tahu masih ada seorang Pek-hoat Mo-li lagi.

   Dari puncak utara setelah bertemu dengan Hui-bing lalu ia meneruskan ke puncak selatan, di sini ia sentil pedangnya sambil bersiul panjang, lagaknya takabur.

   Ia melatih sejurus ilmu pedangnya di puncak gunung itu, lalu dengan suara keras ia berkata sendiri sambil menghela napas.

   "Sayang, sungguh sayang di jagat ini tiada orang yang sanggup lagi bertanding denganku!"

   Nyata ia benar-benar menganggap ilmu pedangnya sudah tiada bandingannya lagi di seluruh jagad dan merasa menyesal karena tak menemukan tandingan.

   Tak terduga belum lenyap suaranya mendadak didengarnya suara tertawa dingin orang yang menusuk.

   Terkejut sekali Ce Cin-kun, segera dilihatnya ada seorang nenek berambut ubanan sedang mendatangi.

   Begitu tinggi kepandaian Ce Cin-kun ternyata tak mengetahui darimana orang tua ini muncul, keruan terkejutnya ini tidak kepalang.

   "Orang macam apakah perempuan tua bangka ini, kenapa tertawa dingin?"

   Segera ia membentak sembari sepasang pedangnya diputar, yang satu melintang menjaga di dada dan yang lain mengacung ke depan menyambut musuh.

   "Hm, hanya sedikit permainanmu yang tak menarik ini berani kau memainkan pedang di sini?"

   Sahut nenek itu dengan sikap penuh menghina. Luar biasa gusarnya Ce Cin-kun hingga mukanya merah padam, begitu pedangnya bergerak segera ia berkata lagi.

   "Ha, jika begitu, tentu ilmu pedangmu tinggi sekali. Baiklah, mari kita coba bertanding."

   Nenek itu tertawa dingin pula, tangannya menekuk sebatang kayu seadanya dan diayun ke depan, ia memandang sekejap pada Ce Cin-kun, lalu ikat pinggangnya dilepas pula.

   "Hm,"

   Jengeknya kemudian.

   "Meski aku si nenek tua tak berguna, rasanya masih belum perlu menggunakan pedang untuk menghajarmu!"

   Tak tahan lagi amarah Ce Cinkun, secepat kilat sebelah pedangnya menyambar ke depan sambil membentak.

   "Baik boleh kau coba menangkis dengan batang kayumu itu!"

   Tapi sedikit berkelit, dengan gerak tipu 'Boan-liong-jiau-poh' atau naga melilit melingkar langkah, cepat sekali nenek itu mengayun batang kayunya hingga membawa sambaran angin, terus menyabet ke pergelangan tangan Ce Cin-kun.

   Lekas Cin-kun berkelit, namun ikat pinggang nenek itu bagai ular hidup tahu-tahu sudah menyabet juga dengan gaya pecut lemas, kalau sampai kena terlilit, pasti senjatanya akan terlepas dari tangan.

   Terpaksa Ce Cin-kun mundur beberapa tindak, dengan penuh perhatian ia memutar pedangnya, ia mengeluarkan ciptaan tunggalnya 'Hong-lui-kiam-hoat' yang hebat terus membacok, menusuk dan membabat, sepasang pedangnya secara bergantian menyerang dan menangkis serta diputar cepat hingga mengeluarkan angin yang gemuruh.

   Tapi begitu nenek tua itu mengayun ikat pinggang dan memutar batang kayu dengan kedua tangannya berbareng, caranya ternyata juga menggunakan gerak tipu yang berlainan, ikat pinggangnya dipakai sebagai pecut panjang dan batang kayu sebagai pedang terus merangsek hebat di bawah sinar pedang lawan, tidak sampai 30 jurus tahu-tahu sepasang pedang Ce Cin-kun sudah kena terbelit lepas dari tangan, bahkan pergelangan tangannya tergores luka oleh batang kayu si nenek.

   "Hm, sekarang kau tunduk tidak? Bila belum, hayo kita ulangi lagi!"

   Demikian nenek itu mengejek.

   Sudah tentu Ce Cin-kun mati kutu, tanpa berkata lagi ia jemput kembali pedangnya lalu mengeluyur pergi dengan cepat dan nenek tua itupun tidak mengejarnya.

   Nenek tua itu memang Pek-hoat Mo-li adanya, ialah yang kemudian menjadi guru Hui-ang-kin.

   Sebab itu kini demi nampak Hui-ang-kin sebelah tangan memakai pecut dan tangan lain dengan pedang serta berlainan tipu serangan satu sama lain, segera Ce Cin-kun yakin Hui-ang-kin adalah anak murid Pek-hoat Mo-li.

   Sejak Ce Cin-kun mengalami kekalahan yang memalukan dari Pek-hoat Mo-li, ia kembali ke Tiang-peksan dan giat berlatih pula hingga akhirnya menjagoi daerah Kwangwa sebagai ahli pedang nomor satu.

   Ketika pasukan Boanjing menyerbu ke daerah pedalaman pernah juga meminta bantuannya, cuma waktu itu ia merasa dirinya masih belum sanggup menandingi Pek-hoat Mo-li, maka ia tak mau keluar.

   Sampai kemudian Khu Tong-lok diiris sebelah daun kupingnya oleh Leng Bwe-hong di daerah Hun-lam dan kembali ke Tiang-pek-san melaporkan padanya dengan menangis, waktu ia hitung-hitung sejak ia dikalahkan di Thiansan sampai kini sudah dekat 50 tahun, ia pikir Hui-bing Siansu dan Pek-hoat Mo-li tentu siang-siang sudah mati, pula didengarnya Leng Bwe-hong adalah murid Hui-bing Siansu dan membikin para jago silat dari Kwangwa ketakutan karena ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat, tak tahan.

   Ce Cin-kun tergerak hatinya dan timbul angkara murkanya.

   Waktu itu ia sudah lebih 80 tahun umurnya, tapi tua-tua kelapa, tenaganya belum berkurang, semangatnya tidak kalah dari yang muda, maka ia lantas muncul kembali turun gunung dan masuk ke pedalaman sesudah 50 tahun.

   Dan begitu ia sampai di Pakkhia, kebetulan Leng Bwe-hong habis membikin geger penjara kerajaan.

   Ia masuk istana menghadap Kaisar, tentu saja Khong-hi sangat girang, segera ia diperintahkan membawa dua muridnya itu ke Onghu untuk menyelidiki jejak 'penyamun wanita' yang lolos itu.

   Kiranya karena rahasia Khong-hi tergenggam dalam tangan Boh Wan-lian, hal ini berarti ciri paling lemah baginya, maka ia merasa tidak aman selama gadis itu belum tertangkap dan terasa seakan duri dalam hati yang harus dicabutnya.

   Setelah menerima titah raja itu, segera Ce Cin-kun membawa kedua muridnya pergi ke Onghu dan di sini justru keper-gok Hui-ang-kin.

   Selama hidupnya Ce Cin-kun paling gemas pada Pek-hoat Mo-li, kini memergoki muridnya, ia mengambil keputusan harus membunuhnya untuk mencuci pedangnya.

   Tatkala ini ilmu pedangnya 'Hong-lui-kiam-hoat' setelah digembleng lagi selama SO-an tahun sesungguhnya sudah sampai tingkatan yang susah diukur.

   Maka begitu Ce Cin-kun memutar sepasang pedangnya, angin keras menyambar menderu-deru dan berwujud segulung sinar putih, daya tekanannya ternyata sangat mengejutkan.

   Akan tetapi Hui-ang-kin adalah ahli-waris Pek-hoat Mo-li, pecut panjang dan pedang pendek di tangan kanan-kiri bisa dimainkan sedemikian rupa dengan kerja-sama yang rapat sekali tanpa ada sedikit lubangpun.

   Mula-mula Ce Cin-kun menduga dengan latihannya selama lebih 50 tahun untuk melawan seorang 'bocah kemarin' masakah tidak lantas berhasil.

   Maka ia takabur dan berulang kali melontarkan serangan berbahaya.

   Tak terduga tipu silat Hui-ang-kin keji luar biasa, penjagaannya pun rapat sekali, setelah saling labrak setengah jam lebih, bukan saja Ce Cin-kun belum unggul sedikitpun, bahkan beberapa kali karena terburu napsu, hampir saja ia sendiri kena tersabet pecut Hui-ang-kin.

   Karena itulah diam-diam ia terkejut, pikirnya.

   "Dengan tekun aku melatih Hong-lui-kiam-hoat dengan maksud menuntut balas pada Pek-hoat Mo-li, dan kini kalau anak muridnya saja aku tak bisa menangkan, lalu jerih payah selama 50 tahun ini apa bukan sia-sia saja?"

   Padahal ia tak tahu bahwa sesungguhnya Hui-ang-kin terlebih berat rasanya daripada dia.

   Meski tipu silat Hui-ang-kin sangat bagus, tetapi apapun juga masih kalah ulet, setelah mengeluarkan sepenuh tenaga barulah bisa mengimbangi Ce Cin-kun, malahan setiap kali senjata beradu, selalu terasa oleh Hui-ang-kin suatu kekuatan besar memukul ke arahnya bagai sebuah palu mengetok dadanya.

   Baiknya ia bisa melawan mati-matian hingga beberapa puluh jurus dapat dilalui pula.

   Akhirnya Ce Cin-kun dapat juga melihat bahwa meski ilmu silat Hui-ang-kin sangat tinggi, tapi soal keuletan masih kalah daripadanya.

   Segera ia merubah permainan Hong-lui-kiam-hoat, ia tidak terburu napsu menyerang lagi melainkan mengumpulkan tenaga dalamnya dan disalurkan pada pedangnya, dengan kekuatan sambaran angin senjatanya yang hebat ini hingga daun pepohonan di sekitarnya ikut berkresekan tergoncang.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan sekaranglah Hui-ang-kin mulai gopoh, ia pikir lawan kuat sedang dihadapinya dan pengawal-pengawal lain masih ada yang bersiap di samping, kalau tidak lekas mencari jalan meloloskan diri, mungkin dirinya bisa celaka dalam istana ini.

   Maka cepat sekali ia merangsek beberapa kali, pada waktu Ce Cin-kun sedikit ayal, mendadak tubuhnya menggeliat dan pecutnya diayun lempang, dengan tipu serangan 'Giok-taisiam- yo' atau tali sabuk mengikat pinggang, secepat kilat ia menyabet pinggang Ce Cin-kun.

   Lekas Cin-kun menggunakan gerak tipu 'Kan-te-poat-jang' atau mencabut bawang di tanah tandus, tubuhnya mencelat tinggi ke atas hingga pecut orang menyerempet lewat di bawah kakinya.

   Ce Cin-kun memang sangat lihai, selagi tubuhnya masih terapung di udara tiba-tiba dengan tipu 'Ngo-eng-bok-tho' atau elang lapar menyambar kelinci, pedang kirinya membabat dari samping dan pedang kanan menikam ke bawah.

   Namun Hui-ang-kin sudah menduga orang bakal mengeluarkan serangan ini, dengan gerakan 'Jay-hong-tiam-thao' atau burung Hong memanggut kepala, sedikit ia menunduk dan tubuh memendek, tikaman orang telah dapat dielakkannya, dan ketika mendadak ia memutar pula, dengan kuat ia menyendal pecutnya hingga menegak ke atas terus menusuk ke 'Tan-dian-hiat' di perut Ce Cin-kun.

   Tatkala itu pedang Cin-kun yang membabat tadi justru sudah tiba hingga dengan tepat membentur pecut.

   Saking keras benturan itu hingga keduanya sama-sama tergetar dan melompat mundur.

   Kiranya keuletan Ce Cin-kun meski lebih tinggi dari Hui-ang-kin, namun selisih juga terbatas.

   Ketika tubuhnya terapung di udara tadi, dengan sendirinya tak bisa menggunakan tenaga sebagaimana di tanah datar.

   Dengan begitu kekuatan mereka menjadi sama kuat dan benturan kedua senjata membikin mereka samasama mencelat pergi.

   Malahan pada waktu Hui-ang-kin mencelat ke belakang dengan Ginkangnya hingga sejauh beberapa tombak, pecutnya yang panjang itu masih sempat diayun pula terus menyabet hingga golok dua orang pengawal baru saja diangkat hendak memapak tahu-tahu sudah terlilit pecut dan ketika kaki Hui-ang-kin menempel tanah, sekuatnya ia menarik, kedua golok musuh itu segera terbetot terbang.

   "Maafkan, bibimu tak bisa menemani kalian lebih lama!"

   Demikian bentak Hui-ang-kin sembari bersiul panjang. Tapi baru saja ia hendak menerjang pergi, tiba-tiba seorang lelaki tegap telah menubruknya dari depan, orang inipun memakai dua senjata yang berlainan, pedang dan golok, terus membacok padanya.

   "Kau hendak lari? Jangan harap!"

   Demikian bentaknya.

   Ketika pedang Hui-ang-kin balas membabat, dengan cepat orang itu melompat pergi, lalu ia pun melontarkan serangan lagi sekaligus pedang dan golok, nyata yang dimainkan juga Hong-lui-kiam-hoat yang lihai, cuma sepasang pedang diubahnya menjadi pedang dan golok.

   


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Lentera Maut -- Khu Lung Si Pedang Kilat -- Gan K L

Cari Blog Ini