7 Pendekar Pedang Thiansan 19
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 19
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen
"Lan-cu,"
Seru Ciau-lam tiba-tiba.
"Betapapun aku masih angkatan lebih tua darimu, maka lebih baik kau meletakkan senjata saja, pasti aku takkan bikin susah kau!"
Namun sepatah katapun Lan-cu tidak menjawab, dalam kegelapan hanya sinar matanya tampak berkilau menyorot tajam, seketika Ciau-lam terkejut sekali, diam-diam ia tidak habis mengerti, hanya selama setahun saja anak dara ini mengapa bisa maju begini pesat ilmu pedangnya? Janganjangan kitab pelajaran peninggalan Suhu sudah jatuh di tangannya? Sedang ia berpikir, mendadak Lan-cu menutul kaki terus melompat naik, tiba-tiba dengan gerakan 'Hui-niau-tau-lim' atau burung terbang menyusur rimba dari atas udara pedangnya terus menikam.
Lekas Ciau-lam mengegos, habis itu secepat kilat ia balas membabat kedua kaki si gadis, tipu serangan ini adalah salah satu tipu mematikan Thian-san-kiam-hoat yang lihai, ia menduga tubuh si gadis yang terapung itu pasti tak sanggup menghindarkan diri.
Siapa tahu justru di atas udara itulah Lancu telah mengunjuk kegesitannya, tahu-tahu orang bersama pedangnya berputar hingga merupakan suatu lingkaran sinar, menyusul mana dengan tipu 'Pek-hong-koan-jit' atau pelangi putih menembus sinar matahari, kembali ia menikam pula ke bawah.
Keruan saja Ciau-lam bertambah kaget, sungguh tak diduganya si gadis ini bisa memainkan 'Tui-hong-kiam-hoat' yang lihai dari ilmu pedang Thian-san itu dengan begitu bagus, maka lekas ia melompat pergi menghindarkan diri, sedang Lan-cu sudah melayang turun juga, pedangnya diputar dan kembali mereka bertempur sengit pula.
Sementara itu Ie Lan-cu sudah mulai terbiasa di tempat gelap, pula dari pancaran sinar pedang yang berkilau ia bisa mengincar baik-baik tubuh musuh dan merangsek dengan murka Karena serangannya yang cepat lagi lihai itu, Coh Ciau-lam terpaksa harus cepat melawan cepat, hingga kedua pedangnya itu sambar-menyambar di tempat gelap dengan sinar tajam yang berhamburan bagai hujan salju, nyata pertarungan seru ini tiada ubahnya seperti dilakukan di siang hari.
Dan karena mata Coh Ciau-lam sudah buta sebelah karena kena ludah Leng Bwe-hong tempo hari, maka akhirnya ia menjadi silau dan tak jelas lagi melihat musuh, dari gusar ia pun menjadi gugup maka kembali ia membentak lagi.
"Lan-cu, apa benar-benar kau mau mengadu jiwa?"
Tapi si gadis masih tidak membuka suara, hanya pedangnya menjawab dengan serangan-serangan yang terlebih gencar.
"Hm, apa kaukira aku takut padamu?"
Akhirnya Ciau-lam menjadi nekad juga Segera ilmu pedangnya berubah, ia mengeluarkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang paling susah diraba itu, menjaga sembari balas menyerang, selalu mengincar senjata Ie Lan-cu.
Maka sesudah 20-30 jurus lagi, kembali tangan si gadis tergetar, pedangnya saling bentur.
Pedang wasiat 'Toan-giok-kiam' yang dipakai Lan-cu dan 'Yu-liong-kiam' milik Coh Ciau-lam itu sama-sama adalah senjata buatan Hui-bing Siansu yang digemblengnya dengan sari baja k wali tas senjata sama maka ketika saling bentur tiada satupun yang rusak, sebaliknya karena Lan-cu adalah wanita, dengan sendirinya tenaganya tak bisa melawan Coh Ciau-lam.
Setelah sekali gebrak Ciau-lam mendapat hati, segera saja pedangnya berkelebat terus menusuk pula ke muka si gadis.
Tapi Lan-cu tidak kalah gesitnya dengan enteng saja ia melesat ke samping kanan Ciau-lam, lalu tipu serangannya berubah mendadak, pedangnya tiba-tiba memotong ke atas mengincar lengan musuh.
Namun betapa kejinya Ciau-lam, berkat tenaganya yang lebih besar dan lebih ulet, ia bisa menggunakan kesempatan waktu ujung senjata si gadis hampir menempel bajunya mendadak ia menubruk maju malah dengan gerakan 'Wankiong- sia-hou' atau menarik busur memanah harimau, sekali bergerak dua serangan, pedangnya membarengi menikam dan telapak tangan yang lain menghantam.
Karena senjata Lan-cu sudah telanjur diulur ke depan, untuk menarik kembali menangkis tak keburu lagi, diam-diam gadis ini kerepotan juga, baiknya dalam sekejap itu ia bisa mengeluarkan ilmu pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li, mendadak ujung pedang pendeknya menegak ke atas dan sedikit tangan memutar, tahu-tahu ia pun menikam ke hulu hati Ciau-lam lebih dulu.
$ Karena terkejut oleh serangan lihai ini, lekas Ciau-lam mendoyongke belakang tenis melompat ke samping.
Dalam hati ia menjadi lebih'terkejut dan ragu, sebab gerak tipu serangan Lan-cu barusan ini tidak pernah dikenalnya dalam Thian-san-kiam-hoat, tapi ternyata bisa begitu lihai.
Tapi pada waktu Lan-cu belum berganti napas, tiba-tiba alis Ciau-lam menegak dan pedangnya kembali diputar kencang pula hingga membawa suara menderu, masih tetap dimainkannya tipu serangan Si-mi-kiam-hoat yang hebat dan rnerangsek terus secara sengit.
Harus diketahui Si-mi-kiam-hoat yang dimainkan itu adalah ciptaan Hui-bing Siansu yang paling dibanggakan dan khusus dipakai untuk melawan orang yang berkepandaian sepandan.
Tadi karena Ciau-lam terlalu terburu napsu hingga ia sendiri beberapa kali hampir kecundang, tapi kini ia dengan hati-hati menempur pula, meski Lan-cu mencoba beberapa serangan lihai dari ilmu pedang Pek-hoat Mo-li, namun sedikitpun ia tak mampu menembusnya lagi.
"Kau adalah anak murid Thian-san, ilmu pedang perguruan sendiri tidak dikembangkan, sebaliknya mempelajari kepandaian liar, sungguh tak tahu malu, tidak lekas kau meletakkan senjata menyerah saja!"
Demikian kembali Coh Ciau-lam membentak.
Dan dalam sekejap ia melontarkan beberapa kali serangan juga.
Ilmu pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li itu paling tepat dipakai untuk menyerang secara mendadak, tapi kalau soal kebagusan masih kalah dibanding Thian-san-kiam-hoat Dan karena tak sempat berganti tipu serangan, maka senjata Lan-cu kembali terbentur lagi oleh pedang Coh Ciau-lam hingga tergetar mundur pula beberapa tindak.
''Kerxmakanku yang baik, apa kau masih belum mau mengaku kalah?"
Teriak Ciau-lam lagi mengejek.
"Bangsat! Nih, boleh kau belajar kenal ilmu pedang perguruan kita yang sesungguhnya!"
Sahut Lan-cu mendadak dengan dingin.
Habis itu, ilmu pedang Thian-san yang baru saja diyakinkannya itu lantas dikeluarkan dengan cepat dan penuh gerak perubahan yang susah diraba.
Sementara ini Lan-cu sudah mengetahui dimana letak keunggulan pihak sendiri dan tempat kelemahan musuh, sedangkan ilmu pedang perguruan sendiri yang diyakininya ini makin dimainkan makin lancar juga, maka ia menjadi lebih tenang dan sabar, ia tak takut lagi akan kelicikan Ciau-lam dan tenaganya yang lebih besar.
Ia memainkan pedangnya begitu hebat tiada taranya untuk menutup kelemahannya dalam hal tenaga.
Karena itu Ciau-lam tak dapat membentur senjatanya lagi hingga terpaksa harus bertahan mati-matian.
Sebaliknya makin lama permainan ilmu pedang le Lan-cu semakin kencang dan serangannya tidak pernah berhenti serta penuh dengan bahaya.
Melihat betapa hebatnya itu, mau tak mau Ciau-lam menarik napas dingin dan berulang-ulang terdesak mundur.
"Nah, inilah ilmu pedang perguruan sendiri yang sesungguhnya, sekarang kau paham tidak?"
Bentak Lan-cu kemudian mengejek.
Mendongkol tidak kepalang Coh Ciau-lam bercampur gusar, tapi ia tak berani menjawab, hanya berusaha menjaga diri dengan rapat dan mengandalkan keuletannya itu untuk bertahan.
Namun Lan-cu kembali tertawa dingin, pada saat tertentu secara tak sengaja ia menyelingi pula dengan tipu serangan mematikan dari ilmu pedang ajaran Pek-hoat Mo-li, dengan dua macan ilmu pedangnya yang dikombinasikan ini, kecuali masih kurang ulet, hakikatnya kepandaiannya sudah tidak selisih jauh dengan Leng Bwe-hong.
Sudah tentu Coh Ciau-lam tak mampu melawannya lagi, dalam hati diam-diam ia berpikir jalan paling selamat ialah angkat langkah seribu alias kabur! Karena itu mendadak ia pura-pura menerjang maju, tampaknya menyerang, tapi sebenarnya untuk kabur.
Tapi sekonyong-konyong Lan-cu membentak nyaring, sekali pedangnya berputar, tahu-tahu sudah menyambar ke depan.
Di bawah sambaran angin pedang itu segera terdengar jeritan Coh Ciau-lam yang keras, lalu orangnya berikut pedangnya tiba-tiba mencelat ke atas setinggi lebih dua tombak, dengan gerakan 'Hun-li-hoan-sin' atau membalik tubuh di atas awan, bagai burung layang-layang, cepat Ciau-lam melesat pergi.
Siapa duga mendadak Lan-cu pun mengenjot tubuh bagai anak panah terlepas dari busurnya, secepat kilat ia menyusul di belakang musuh terus menusuk dan menghantam pula.
Sesungguhnya ilmu silat Coh Ciau-lam memang sangat hebat, meski berulang kali sudah kecundang, tapi ia masih balas menyerang, belum tubuhnya turun ke tanah, pedangnya tiba-tiba membalik hingga tusukan Lan-cu itu kena ditangkis.
Namun demikian toh iganya tetap terhantam juga oleh telapak tangan si gadis.
Pukulan Lan-cu itu sebenarnya meminjam gaya melesat Coh Ciau-lam tadi, maka dengan gerak tipu 'Sun-cui-tui-ciu* atau mendorong perahu menurut arus air, dengan meminjam tenaga lawan untuk menghantam lawan, maka tanpa kuasa lagi tubuh Ciau-lam kena dihantam mencelat pergi terus terbanting ke tanah dengan keras.
Baiknya Ciau-lam bukan sembarangan jago silat, waktu jatuh ia bisa menahan dengan kaki dan tangannya, terus membal lagi ke atas dengan gerakan 'Kim-sian-hi-long' atau katak emas bermain ombak, orangnya terus melompat bangun.
Lan-cu memburu maju terus menikam pula, namun lagi-lagi kena ditangkis oleh Coh Ciau-lam.
Karena dua kali tertangkis itu hingga senjata kedua pihak terbentur, tapi aneh, tangan Lan-cu tidak merasa tergetar lagi seperti tadi.
Di antara sinar pedang yang kemilauan itu tibatiba dilihatnya lengan baju Ciau-lam penuh noda darah.
Kiranya bahu kanannya sudah terluka dan tangan kiripun kena tertabas putus dua jarinya, tapi Ie Lan-cu malah belum tahu.
Dan sesudah terluka Coh Ciau-lam masih dicecar terus, keruan ia menjadi kalap pula, kembali ia menempur orang mati-matian dengan tipu-tipu keji.
Karena itu Ie Lan-cu tak berani juga terlalu mendesak.
Di lain pihak Ciau-lam seperti banteng ketaton telah memutar pedangnya sambil membentak dan berteriak kalap.
Sebaliknya Lan-cu melayaninya dengan sabar dan penuh perhatian, dalam kegelapan itu ia mengincar baik-baik gerak tubuh musuh hingga kembali 50-60 jurus berlangsung pula.
Lambat laun tenaga Ciau-lam mulai habis, segera kesempatan itu digunakan Ie Lan-cu untuk melontarkan serangan balasan dengan tipu ajaran Pek-hoat Mo-li yang tak kenal ampun itu, ia menusuk ke kiri dan ke kanan, membabat ke atas dan ke bawah, hanya sekejap saja kembali Coh Ciaulam terluka lagi beberapa tempat.
Saking sakitnya Coh Ciau-lam menggeram sengit berulangulang, lagi-lagi ia menubruk serabutan mengadu jiwa, tapi segesit kucing Lan-cu bisa berkelit, kemana Ciau-lam menubruk selalu dielakkannya dengan enteng saja Karena itu Ciau-lam menjadi gusar dan gugup juga kepalanya terasa pula mulai pening kacau, maka lebih-lebih ia tak mampu menyandak si gadis.
Selang sejenak pula, keadaan Coh Ciau-lam sudah sangat payah, sebaliknya Lan-cu lantas mempercepat pedangnya mencecar lebih hebat.
Pada saat lain tiba-tiba terdengarlah suara jeritan Coh Ciau-lam, ternyata lengan kirinya sudah tertabas kutung oleh senjata si gadis, dan orangnya pun terguling.
Dalam keadaan demikian itu, mendadak pedang Yu-liongkiam lantas diangkat terbalik terus menikam ke hulu hati sendiri sembari berteriak seram.
"Laki-laki sejati sekalipun mati tak nanti mau dihina Kau ingin membunuhku, jangan kau harap!"
Nyata Coh Ciau-lam yang sombong dan tinggi hati itu memandang semua orang tiada yang bisa menandinginya, tak terduga kini bisa kalah di bawah tangan angkatan mudanya, ia insyaf pasti akan terbinasa, tapi sampai saat ajalnya ia masih mempertahankan pamornya tak mau mengaku kalah dan terima membunuh diri tak mau insyaf, sungguh kasihan dan menggelikan juga.
Betapapun hati Lan-cu adalah hati wanita, maka menyaksikan keadaan Ciau-lam itu, ia menjadi tak tega.
"Pengkhianat, pengkhianat, bila siang-siang kau bisa insyaf serta bisa membeda-bedakan antara yang benar dan yang salah, tidak nanti kau berakhir seperti ini,"
Demikian katanya dengan menghela napas.
Lalu Yu-liong-kiam milik Coh Ciau-lam itu lantas dicabut dan dimasukkan ke sarungnya, lalu diselipkan di tali pinggangnya Kemudian ia memasang kuping mendengarkan, nyata di luar sunyi sepi tiada sesuatu suara, waktu ia memandang ke depan, jalan lorong yang panjang gelap itu entah menembus kemana.
Namun begitu ia tak peduli, ia terus berjalan ke depan.
Mengenai Kui Tiong-bing tadi, ketika Lan-cu menguber Coh Ciau-lam dan ikut masuk ke dalam pintu rahasia, pemuda ini dirintangi beberapa jago pengawal hingga ketinggalan oleh Coh Ciau-lam dan Ie Lan-cu.
Ia menjadi gusar sekali, ketika pedang wasiat 'Theng-kau-pokiam' diobat-abitkan cepat, sekejap saja beberapa jago pengawal itu sudah kena dibunuhnya semua.
Waktu kemudian Pho Jing-cu dan para pahlawan menyusul datang, namun Ie Lan-cu sudah tak kelihatan.
"Ia mengejar Coh Ciau-lam seorang diri,"
Demikian tutur Tiong-bing.
"Ai, anak dara ini sungguh terlalu gegabah,"
Kata Jing-cu kuatir.
"Marilah, asal kita membunuh habis jago-jago pengawal musuh, kita pasti akan menemukannya'"
Sahut Tiong-bing. Tak terduga mendadak Jing-cu menahannya lalu dengan suara keras ia berteriak terhadap kawanan bayangkara itu.
"Dengarlah kalian, kita sama-sama orang Han, kenapa harus berkorban untuk bangsa asing, sekarang kami memberi jalan padamu, lekas kalian melarikan diri saja!"
Semula kawanan bayangkara itu masih ragu-ragu, tapi bila mengingat pemimpin mereka, Coh Ciau-lam sendiri sudah kabur, pula istana Potala sudah terjilat api, kalau mereka tidak lari, dapat dipastikan akan terkubur dalam lautan api.
Karena itu mereka pun tak memikirkan pertempuran lagi, paling perlu jiwa selamat, maka begitu berteriak, beramai-ramai mereka lantas lari tersebar.
"Marilah sekarang kita membagi diri dalam beberapa kelompok dan sebelum api menjilat lebih luas, lekas kita menemukan kembali Ie Lan-cu,"
Demikian kata Pho Jing-cu.
"Dan tidak peduli ketemu atau tidak, sebelum terang tanah nanti kita harus berkumpul di luar istana."
Meski Yu-hong sudah mendengar berita dari Lamma bahwa I* n g Bwe-hong sudah selamat tertolong, namun sebelum bertemu betapapun ia masih berkuatir.
Maka rombongan yang terdiri dari Be Hong, Ciu Jing dan Thio Hua-ciau beramai-ramai lantas menerjang ke pusat istana yang ruwet itu.
Setelah berjalan secara berliku-liku agak lama mendadak Be Hong berteriak.
"Nah, itulah kamar rahasia dimana Lengtayhiap dikurung, marilah lekas kita masuk melihatnya!"
Kamar tahanan itu ternyata gelap gulita dan pintu terpentang lebar, waktu Yu-hong ikut Be Hong menyelinap masuk, tiba-tiba dari dalam ada orang menegur.
"Hai, apakah Leng Bwe-hong dapat ditangkap kembali?"
Tanpa pikir segera Yu-hong menerjang masuk dengan pedang terhunus, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu benda, berbareng itu dari depan angin keras menyambar.
Lekas Yuhong mengangkat senjata menangkis, tapi masih tergetar mundur beberapa tindak, keruan saja luar biasa kagetnya.
Dalam pada itu Be Hong telah memutar toyanya yang bertekuk tiga itu terus memapak maju, saat itu juga Yu-hong sudah bisa melepaskan diri dari serangan orang, dari sorot api yang menembus lewat sela-sela jendela itu dapat dilihatnya di atas lantai penuh darah, di antara darah yang berlumuran itu ternyata menggeletak seorang yang dikenalinya sebagai Han Ci-pang, meski pada mukanya terdapat dua luka bekas goresan golok dan dadanya ternyata berlubang oleh tusukan senjata, dari luka inilah darah masih mancur dengan derasnya Seketika Yu-hong hampir jatuh pingsan, ia jadi teringat pada apa yang dikatakan Han Ci-pang tempo hari, maka pahamlah ia kini.
Nyata Han Ci-pang sudah rela mengorbankan jiwa sendiri untuk keselamatan Leng Bwehong.
Sesaat itu pedih luar biasa Lauw Yu-hong, hendak menangis seakan tiada air mata lagi.
"O, semuanya karena aku hingga kalian yang berkorban,"
Demikian ia menggumam sendiri.
Dalam pada itu tiba-tiba didengarnya suara jeritan ngeri di samping, menyusul itu Thio Hua-ciau dan Ciu Jing telah membentak gusar, waktu ia menoleh, tahu-tahu Be Hong sudah menggeletak terbinasa.
Kiranya setelah Seng Thian-ting kena ditotok jalan darahnya oleh Han Ci-pang, berkat ilmu silatnya yang sudah tinggi dan Lwekangnya yang hebat, diam-diam ia mengumpulkan tenaga dan melancarkan darahnya kembali, selebatnya satu jam, pelahan ia bisa bergerak bebas lagi.
Hanya belum diketahuinya bahwa para pahlawan sudah menyerbu ke dalam istana, dan ketika ia baru berbangkit kembali, mendadak dilihatnya Lauw Yu-hong bersama Be Hong menyerbu ke dalam kamar tahanan itu, maka secepat kilat ia mendahului menyerang.
Sesudah Be Hong ikut memapak maju, meski ia tidak lemah, tapi kalau dibanding Seng Thian-ting terang masih selisih jauh, maka tiada seberapa jurus, ketika Thian-ting menggunakan tipu 'Lik-ni Hoa-san' atau sekuat tenaga membelah gunung Hoa, sekali potlot bajanya menghantam, seketika batok kepala Be Hong hancur remuk.
Dari samping cepat Hua-Ciau memutar tongkat 'Hang-liongpo- tiang' atau tongkat penakluk naga, hadiah Leng Bwe-hong tempo hari.
la hendak menolong, sayang sudah terlambat, Seng Thian-ting dapat menangkis dengan potlot bajanya yang lain hingga Hua-Ciau sendiri merasa tangannya jarem pegal, sebaliknya Seng Thian-ting juga merasa senjata lawan keras luar biasa dan ia tertegun sejenak.
Dan pada saat itulah Lauw Yu-hong dan Ciu Jing lantas menubruk maju dari kedua sayap.
Thian-ting adalah jago kelas terkemuka dari bayangkara kerajaan, untuk menempur keroyokan tiga orang dengan sendirinya masih berlebihan, tapi api yang berkobar dalam istana itu kini sudah menjilat tinggi, pula para anggota Thiante- hwe yang dibawa Lauw Yu-hong itu kini beramai-ramai sudah membanjir datang juga.
Ketika Thian-ting melihat orang yang datang itu semuanya adalah musuh, sebaliknya para jago bayangkara satu pun tak kelihatan lagi, keruan tidak kepalang terkejutnya, cepat ia mengayun sepasang potlot bajanya dan menerjang keluar terus berlari secepatnya.
Di antara ketiga orang lawannya itu, ilmu silat Lauw Yuhong paling tinggi, maka tanpa pikir lagi segera ia mengeluarkan ilmu mengentengkan tubuhnya terus mengudak.
"l-auw-toaci, musuh yang sudah kalah tak perlu dikejar lagi!"
Hua-Ciau coba meneriaki kawannya itu.
Namun Yu-hong menyangka Seng Thian-ting adalah pembunuh Han Ci-pang, ia sudah terlalu gusar dan benci, maka tak terpikir olehnya bahwa ilmu silat Seng Thian-ting jauh lebih tinggi daripadanya, yang diingat hanya menuntut balas bagi kawannya, terhadap teriakan Hua-Ciau itu dianggapnya sepi saja.
Dan setelah sejenak udak-udakan, tiba-tiba Thian-ting mengetuk sekali pada suatu dinding dan tiba-tiba sebuah pintu rahasia terbuka, orangnya terus menyelinap masuk.
Tapi secepat kilat Yu-hong ikut menyusul masuk juga tanpa pikir.
Mendadak Thian-ting tertawa terbahak-bahak, ketika ia memutar alat rahasianya, pintu rahasia tadi tahu-tahu sudah menutup kembali.
Nyata tujuannya memang memancing agar Lauw Yu-hong ikut mengejar ke dalam, dengan begitu ia bisa menawannya dengan mudah sebagai jaminan nanti.
Di tempat gelap itu segera saja Thian-ting melontarkan serangan berbahaya, waktu Yu-hong menangkis dengan gerakan 'Seng-liong-in-hong' atau naik burung Hong memancing naga, ia menyampuk potlot baja orang ke samping, tak terduga potlot baja Thian-ting yang lain tahutahu ikut menyambar, terus dipuntir bagai gunting sambil membentak.
"Lepas!"
Tanpa ampun lagi Yu-hong merasa tangannya pegal panas dan pedangnya tak tertahan jatuh ke tanah, lekas ia melompat ke samping.
Namun potlot Thian-ting tahu-tahu menotok ke depan lagi, dalam kegelapan itu ternyata ia masih sanggup mengincar tempat jalan darah dengan jitu.
Mendadak Yu-hong mengayun tangannya, tahu-tahu selarik sinar menyambar terus meledak di jalanan lorong itu.
Karena itu Thian-ting kaget, cepat ia melompat menghindarkan diri.
Nyata senjata rahasia Yu-hong, 'Coa-yam-ci' atau panah berapi yang terbikin dari belerang, asal membentur benda lantas terbakar, dimana ada luka segera racunnya meresap masuk, maka lihai luar biasa.
Pula di jalan lorong yang sempit itu, untuk berkelit sesungguhnya rada sulit, meski ilmu silat Thian-ting sangat tinggi, mau tak mau ia pun rada jeri.
\ Begitulah maka di jalanan lorong itu kedua orang ini terjadi lagi kejar-mengejar, bila sudah terdesak, segera Yu-hong memberi musuh sebuah panah berapinya, tapi selalu Thianting bisa menghindarkan diri, menangkisnya atau menyuapkan apinya, dan orangnya masih terus mengudak tanpa berhenti.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu makin lama makin jauh mereka memasuki jalan lorong di bawah tanah itu.
Sekonyong-konyong Yu-hong merasa senjata rahasianya sudah habis terpakai, ia menjadi gugup.
Sementara itu Thian-ting sudah menyusul sampai di belakangnya.
"Awas senjata!"
Mendadak ia membentak sambil menggerakkan tangannya.
Dengan sendirinya Thian-ting berkelit ke samping, tapi sekali ini tak dilihatnya ada sambaran api, mula-mula ia tertegun tapi segera, ia bergelak tertawa "Hahaha, Lauw Yuhong, ada apalagi permainanmu? Tidakkah lebih baik kau lekas menyerah saja!"
Tak terduga di tempat gelap itu tiba-tiba ada suara orang bertanya "Hai, di sana apakah kau, Lauw-toaci?"
Waktu itu Thian-ting sudah melontarkan serangan lagi dengan potlot bajanya ke punggung Yu-hong, tapi mendadak tangannya tergetar, suara "trang"
Terdengar, senjatanya tahutahu tergoncang pergi, nyata tertangkis oleh orang yang bersuara itu dengan pedang yang kelihatan bersinar gemilapan, dalam kegelapan sorot mata orang pun tertampak berkilau, agaknya seperti seorang gadis.
"He, apakah kau, adik Lan-cu?"
Seru Yu-hong sangat girang. Dengan ilmu silat Thian-ting yang tinggi, di tempat gelap ia pun bisa melihat cukup jelas, maka kini ia pun dapat mengenali siapa gerangan orang itu.
"Eh, berani sekali kau penyamun wanita ini! Apa kau ingin dipenjarakan lagi?"
Demikian bentaknya segera.
"Nyata orang itu memang benar le Lan-cu adanya. Ketika mendadak Thian-ting menubruk maju dan potlot sebelah kiri menotok ke mukanya, namun sedikit mengegos Lan-cu sudah menghindarkan serangan itu. Tapi serangan Thian-ting ini hanya pura-pura saja, menyusul potlot sebelah kanan sudah menjojoh ke perut si gadis di tempat 'Hun-tay-hiat* yang berbahaya. Tak terduga sedikit Lan-cu berkelit dan pedang pendeknya tahu-tahu menyambar juga dari samping mengarah bahu orang, berbareng memotong pergelangan tangan, ini adalah salah satu tipu serangan paling keji dari ilmu pedang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li. Karena itu tiba-tiba Thian-ting merasa hawa dingin menyambar, ia terkejut, lekas tubuhnya mendoyong ke belakang sambil kedua potlotnya memutar ke atas buat menangkis, dengan susah payah barulah ia dapat mengelakkan serangan mematikan itu.
"Lauw-toaci, apakah kau terluka?"
Tanya Lan-cu sembari tetap melontarkan serangan.
"Tidak,"
Sahut Yu-hong.
"Orang ini adalah pembunuh pamanmu Han-sioksiok, jangan kaulepaskan dia."
Mendengar itu hati Lan-cu menjadi bertambah gemas dan serangannya bertambah gencar.
Mendadak dengan sekali tusukan ia mendesak mundur Seng Thian-ting, lalu pedang 'Yu liong-kiam' yang dirampasnya dari Coh Ciau-lam ia lemparkan kepada Lauw Yu-hong sambil berkata,-"Ini adalah 'Yu-liongkiam' punya Coh Ciau-lam itu, ambil dan pakailah!"
"Eh, ya, dan bagaimana dengan keparat Coh Ciau-lam itu?"
Tanya Yu-hong cepat.
"Sudah kubunuh!"
Sahut Lan-cu secara tawar.
Ia berkata dengan tenang sekali dan sewajarnya saja seakan apa yang sudah terjadi itu bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Tapi bagi pendengaran Seng Thian-ting, hal itu dirasakannya bagai bunyi guntur di siang cerah.
Ketika ia bisa menenangkan diri, dalam hati menjadi ragu-ragu.
Pikirnya.
"Meski ilmu pedang anak dara ini memang hebat, tapi masakah Coh Ciau-lam dapat dibunuh olehnya bahkan pedang wasiatnya justru kena dirampas?"
Di lain pihak, sembari berbicara tadi, sama sekali Ie Lan-cu tidak menjadi mandek, ia masih melontarkan serangan terus, mendadak dengan gerakan 'Yao-cu-hoan-sin' atau burung elang membalik tubuh, lalu kedua tangannya d i pentang dengan gaya 'Kim-tiau-tian-ih' atau garuda emas pentang sayap, sekonyong-konyong pedangnya membabat ke pinggang musuh dengan kecepatan luar biasa.
Namun Seng rhian-ting yang sudah kolotan dengan pengalaman segala pertempuran besar, cepat kedua senjata potlot bajanya terus menolak ke depan, segera potlot sebelah kiri menegak ke bawah buat menangkis babatan orang sedang potlot sebelah kiri terus mengarah ke depan sambil orangnya melangkah maju, dengan gerak tipu 'Sian-jin-ki-lo' atau sang dewata menunjuk jalan, tahu-tahu ia mengincar jalan darah di dada si gadis, meski dalam keadaan gelap namun kejituannya ternyata tidak berkurang.
Tapi sebelah tangan Ie Lan-cu tiba-tiba menotok ke pergelangan tangan lawan yang diulur itu, berbareng itu pedangnya diayun balik cepat terus memotong lengan orang.
Baiknya Seng Thian-ting cukup licin, begitu diulur segera senjatanya ditarik kembali lagi, menyusul tipu serangannya berubah cepat, kedua senjatanya sekaligus menjojoh ke iga si gadis di tempat 'Thay-it-hiat'.
Tipu serangan itu datangnya tiba-tiba, susah diraba dan keji luar biasa.
Tak terduga ilmu pedang Lan-cu lebih bagus lagi dari itu, kakinya sama sekali tak bergerak, hanya tubuhnya sedikit mengkeret hingga dengan tepat bisa mengelakkan totokan potlot baja orang, dan pada waktu musuh belum sempat melontarkan serangan lain, mendadak ia membentak.
"Kena!"
Tahu-tahu sinar pedangnya gemerlapan secepat kilat balas menusuk muka orang.
Lekas kedua potlot Thian-ting menyampuk ke atas, namun segera Lan-cu menarik pedangnya ke samping, bila kemudian sinar tajam berkelebat lagi, mendadak pedangnya menyambar lagi dari atas hendak memotong bahu kanan orang.
Karena kedua potlotnya tadi sudah diangkat dan seketika susah untuk ditarik kembali buat menangkis lagi, terpaksa Thian-ting harus melakukan gerak tipu berbahaya juga, berkat keuletan latihannya yang berpuluh tahun, ia tidak mundur juga tidak berkelit, tapi kedua senjatanya bergerak cepat, ia membarengi menyerang untuk membela diri, tiba-tiba ia menotok ke depan, potlot yang kiri mengarah 'Ki-bun-hiat' dan potlot kanan mengincar 'Cin-pek-hiat' di pusar le Lan-cu dengan kecepatan luar biasa.
Karena tidak sudi menderita luka bersama musuh, terpaksa Lan-cu menggeser tubuh dan melangkah ke samping.
Dan kesempatan itu digunakan Thian-ting untuk menarik kembali senjatanya dan orangnya sekonyong-konyong melompat pergi juga jauh-jauh, selagi ia bermaksud angkat langkah seribu alias kabur, mendadak dari samping sinar senjata menyambar lagi.
Lekas Thian-ting mengangkat potlotnya menangkis, namun karena tak menduga hingga tenaganya jauh berkurang, maka terdengarlah suara "trang"
Yang keras disertai letikan api, ujung potlotnya ternyata sudah tertabas putus, sebaliknya penyerang itupun terus jatuh terduduk.
"Lauw-toaci, biarkan aku saja yang membereskan keparat ini!"
Teriak Lan-cu lekas sambil melayang maju.
Nyata si penyerang tadi adalah Lauw Yu-hong.
Dan karena sedikit merandeknya itu, dengan cepat Lan-cu sudah menyelinap ke tengah-tengah antara Lauw Yu-hong dan Seng Thian-ting, ketika pedangnya diputar, segera ia mencegat lagi jalan lari Thian-ting.
Serangan Lauw Yu-hong tadi menggunakan sepenuh tenaganya, tak terduga tidak bisa mengenai musuh, sebaliknya ia sendiri tergetar jatuh, maka ia tak berani sembrono lagi, terpaksa ia menonton saja dengan pedang terhunus.
Di lain pihak sesudah ujung potlotnya tertabas putus, segera Thian-ting mengenali pedang yang digunakan Lauw Yu-hong itu memang betul adalah 'Yu-liong-kiam' milik Coh Ciau-lam.
Keruan saja seketika kepalanya serasa dikemplang hingga sukmanya hampir terbang ke awang-awang, sebab apa yang dikatakan le Lan-cu bahwa Coh Ciau-lam sudah dibunuhnya tampaknya tidaklah palsu.
Karena itu ia menjadi gugup, kedua potlot bajanya diobatabitkan serabutan sambil menyeruduk kian kemari dengan maksud mencari jalan buat menyelamatkan diri.
Namun justru di sinilah letak nasibnya, kalau ia tidak gugup hendak lari mungkin masih bisa menempur Lan-cu sampai lama, tapi karena gugupnya sekarang, semangatnya menjadi hilang cari pikirannya kacau, tentu saja ia tak dapat lagi menahan serangan Thian-san-kiam-hoat si gadis yang hebat itu.
Maka sesudah 20-30 jurus lagi, kembali Lan-cu menggertak.
"Kena!"
Dan begitu pedangnya menyambar, betul saja bawah bahu Thian-ting tertusuk sekali hingga orangnya terhuyung-huyung sambil mundur terus.
Di samping lain tentu saja Yu-hong tidak mau tinggal diam melihat ada kesempatan, cepat pedangnya membabat juga.
Dan karena senjata Thian-ting sedang dipakai melayani Ie Lan-cu, tak mampu ia menangkis serangan Yu-hong itu, tanpa ampun lagi sebelah lengannya lantas tertabas kutung oleh pedang orang, ketika Yu-hong menambahi sekali tusukan, maka melayanglah nyawa Seng Thian-ting.
"Baiklah, sekarang sakit hati Han-toako dapat terbalas, marilah kita mencari jalan buat keluar,"
Kata Yu-hong kemudian. Namun jalan lorong di bawah tanah itu terlalu panjang dan gelap gulita entah menembus kemana, meski sudah lama mereka berjalan masih belum didapatkan jalan keluarnya.
"Ssssst, ada orang mendatang,"
Tiba-tiba Lan-cu membisiki kawannya sambil menarik Yu-hong mengumpet ke suatu pojokan yang gelap. Tak lama kemudian, betul juga dari depan sana ada suara tindakan orang yang sedang mendatangi.
"Awas, kita lihat yang betul, bila kaum bayangkara musuh yang datang, segera kita persen mereka sekali tusukan,"
Kata Lan-cu pada Yu-hong.
Sementara itu bayangan orang dari depan sana sudah makin dekat.
Sudah cukup lama Lan-cu berada di lorong yang gelap itu, mata mereka sudah rada terbiasa memandang di tempat gelap, maka begitu orang sudah dekat, mendadak mereka melompat keluar sambil membentak.
"Apakah kedatanganmu ini adalah perintah Buddha Hidup?"
Bayangan orang itu agaknya terkaget oleh bentakan mendadak itu, cepat ia pun menyalakan api.
Waktu Yu-hong bisa menegasi, nyata orang itu memang seorang Lamma bahkan dikenalinya sebagai salah seorang Lamma yang tempo dulu pernah ikut Congtat Wancin mengantar 'Sik-li-ci' itu.
Sebaliknya Lamma itu demi melihat kedua gadis ini, dari kaget tadi ia menjadi girang.
"Eh, kiranya kedua Likisu (wanita budiman) masih mengenalku?"
Yu-hong mengangguk tanda membenarkan, dan tiba-tiba pikirannya tergerak pula, ia menjadi teringat pada apa yang dikatakan Lamma berkasa merah di saat sebelum ajalnya itu.
Maka cepat ia bertanya "Apakah kalian yang telah berhasil menolong keluar Leng-tayhiap?"
"Ya tapi semua itu adalah jasa Han-tayhiap,"
Sahut Lamma itu dengan muka muram.
"Dan dimanakah Leng-sioksiok sekarang?"
Tanya Lan-cu cepat. Tapi Lamma itu tidak lantas menjawab, ia menyuapkan apinya lalu dengan suara pelahan ia mengajak.
"Lekas kalian ikut padaku!"
Kiranya sesudah Leng Bwe-hong dapat dibawa keluar istana Potala oleh Congtat Wancin dan disembunyikan di dalam suatu kuil Lamma berdekatan, tidak lama lantas ia melihat api berkobar di istana itu, dan karena menduga pasti para pahlawan telah menyerbu ke dalam istana, padahal Leng Bwe-hong sudah dapat ditolongnya keluar, maka diam-diam ia berkuatir, lekas seorang Lamma kepercayaannya disuruh masuk kembali untuk mencari kabar melalui jalan di bawah tanah itu dan disuruh pula mencari Pho Jing-cu atau Lauw Yuhong agar diajak menemui Leng Bwe-hong.
Leng Bwe-hong sendiri meski sudah tertolong keluar, namun ia masih terus bungkam tanpa berkata dan tiada tertawa ia hanya berkuatir atas diri Han Ci-pang saja Nampak orang bermuka murung, Lamma besar menjadi ikut tak enak.
Selang agak lama, tiba-tiba Lamma besar berkata "Lihatlah, Leng-tayhiap, siapakah itu yang datang."
Karena itu seketika Bwe-hong tersadar dari renungannya, sementara itu suatu suara yang sudah sangat dikenalnya menyapa "Terima kasih pada Thian yang maha murah Bok-ko (engko Bok, nama kecil Leng Bwe-hong), kau betul-betul sudah tertolong keluar."
"Dan bagaimana dengan Han-toak"?""
Tanya Bwe-hong segera dengan suara gemetar.
"Ia sudah tewas,"
Sahut Yu-hong sedih.
Karena itu pelahan Bwe-hong terbangkit, badannya serasa kejang kaku bagai kena cambukan.
Tentu saja Yu-hong terkejut, rasa suka-duka bercampuraduk menyelimuti sanubarinya bagai benang bundet yang susah dilepaskan., kepalanya serasa pening, ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Leng-sioksiok, akhirnya kita menang!"
Tiba-tiba Lan-cu masuk sambil berteriak girang.
Sebenarnya ia tinggal di luar sengaja membiarkan Lauw Yu-hong bertemu dengan Leng Bwe-hong sendirian agar dua sejoli bisa saling mengutarakan perasaan rindu mereka, tak terduga di balik kerai ia melihat gelagat makin lama makin runyam, maka lekas ia pun ikut masuk.
"Sioksiok,"
Demikian katanya pula sambil memegang kencang tangan Leng Bwe-hong.
"Apakah kau masih ingat apa yang pernah kaukatakan pada Hui-ang-kin? Adalah kau yang telah membawa kami keluar dari lembah kesedihan dan untuk mana senantiasa kami berterima kasih padamu. Manusia pada akhirnya harus mati juga, ayahku sudah mati, ibuku pun sudah mati, karena itu selama 20 tahun ini aku selalu hidup dirundung rasa sedih, namun kini aku tak akan sedih pula. Kematian ayahku sangat gilang-gemilang, tapi kematian Hansioksiok terlebih gilang-gemilang. Di waktu ajal mereka sama sekali tak perlu merasa malu oleh perbuatan selama hidupnya! Dan aku sudah membunuh To Tok, sudah membunuh Coh Ciau-lam pula, kupikir di alam baka pasti ayah akan bilang juga aku adalah pu-terinya yang baik. Sedang kau selalu memimpin bangsa Kazak berperang melawan musuh, kau dapat pula menurunkan ilmu silatmu pada angkatan muda yang akan datang, untuk itu aku pikir di alam baka Hansioksiok tentu akan bilang juga kau ada-, lah sahabatnya yang paling baik!"
Ya, pahlawan yang mana saja selama hidupnya pasti pernah mengalami goncangan perasaan dan pernah juga menghadapi detik-detik kelemahannya, tapi pahlawan sejati dengan sangat cepat pasti akan bisa mengatasi segala pukulan itu.
Begitu pula dengan Leng Bwe-hong, karena kata kata le Lan-cu tadi, dengan cepat ia melonjat dan berkata.
"Ya, Lan-cu, tepat sekali apa yang kaukatakan!"
Habis itu ia berpaling dan Yu-hong dirangkulnya.
"Kheng-ci (enci Kheng, nama kecil Yu-hong), kini sudah waktunya kita harus naik ke Thian-san untuk menikmati pemandangan pegunungan bersalju itu,"
Demikian dikatakannya pelahan.
Sementara itu cuaca sudah remang-remang di luar, fajar sudah menyingsing.
Kembali bercerita mengenai para pahlawan yang terbagi dalam berbagai kelompok menyerbu ke dalam istana, sebelum fajar mereka pun sudah bisa bergabung kembali.
Tapi bukan saja Ie Lan-cu tak kelihatan kembali, bahkan Lauw Yu-hong pun menghilang.
"Pasukan besar In Te berada di sekitar kita, tapi di malam gelap mereka tak berani turun tangan, maka sebelum fajar mendatang kita mesti menerjang keluar kota,"
Demikian kata Jing-cu.
"Dan biar aku yang tinggal di sini untuk menjaga segala kemungkinan, sedang mengenai tugas pimpinan menerjang keluar kepungan musuh terpaksa harus diserahkan kepada Li-kongcu saja."
"Aku pun biar tinggal di sini juga buat menunggu Lengtayhiap,"
Ujar Tiong-bing.
"Jangan,"
Sahut Jing-cu menggeleng kepala "Apa kau sudah lupa, janjimu pada ketua Bu-tong-pay kalian, Hian-cin Tojin?"
"Kalau begitu biarlah aku saja yang tinggal buat menemani Susiok,"
Sela Hua-Ciau.
"Jika kau masih boleh juga,"
Sahut Jing-cu tersenyum.
Lalu ia pun berpisah dengan rombongan Li Jiak-sim dan melulu membawa Thio Hua-ciau bersembunyi di sebuah kuil Larnma kecil.
Bagi Li Jiak-sim yang pernah memimpin pasukan besar ratusan ribu jiwa, sudah tentu ia berbakat mengatur tentara, kini hanya tiga ribu prajurit saja telah dibaginya menjadi tiga regu, regu pertama pura-pura menyerang pintu timur, regu lain bersembunyi untuk membantu dan regu terakhir menjaga dari belakang bila kekuatan induk musuh sudah dipancing ke jurusan lain, segera regu belakang ini berubah menjadi regu perintis untuk menyerbu ke pintu barat.
Dan kalau pasukan musuh mengejar, segera regu yang bersembunyi itu menyerbu keluar.
Dalam keadaan gelap, meski jumlah sedikit bisa pura-pura berjumlah besar, ditambah semua prajurit mereka adalah pilinan, karena tak mengerti kekuatan lawan sesungguhnya, pula harus membagi sebagian kekuatannya pergi memadamkan api yang berkobar di istana Potala tanpa bisa berbuat banyak akhirnya pasukan Boan kena diserbu prajurit Li Jiak-sim itu hingga bobol dan seluruhnya melarikan diri keluar kota.
Pasukan yang dipimpin Jiak-sim ini semuanya gagah berani dan kuda tunggangan mereka pun pilihan, setelah membobol kepungan musuh, selama beberapa hari mereka mempercepat perjalanan, akhirnya tiba sampai di tapal batas.
Tatkala itu sudah magrib, ketika Jiak-sim memandang jauh dari suatu tanah tinggi, tiba-tiba dilihatnya asap dapur buyar tak kelihatan, ia menjadi heran dan berkata.
"Aneh, pasukan besar musuh yang menduduki tapal batas entah mengapa telah ditarik mundur semua?"
Karena itu dengan mudah saja mereka sudah bisa melintasi daerah perbatasan itu dan tidak sampai sepuluh hari sudah kembali di padang rumput Garsin, sepanjang jalan pun tak pernah menemukan pasukan musuh.
Sesudah mencari tahu, akhirnya baru diketahui bahwa setelah pasukan Boan menduduki beberapa kota besar di Sinkiang, oleh karena takut hawa dingin di daerah terpencil ini, maka beberapa hari yang lalu Khong-hi sudah menarik kembali pasukannya ke kota-raja.
Waktu Tiong-bing menghitung, nyata janjinya pada Hiancin Totiang tempo hari sudah hampir tiba.
Karena itu bersama Boh Wan-lian lalu mereka kembali ke Sinkiang selatan dulu untuk minta petunjuk Hui-ang-kin, siapa duga Hui-ang-kin sendiri juga sudah dua hari berselang seorang diri berangkat ke Thian-san.
"Menurut dugaanku, urusan ini rada ganjil,"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ujar Wan-lian.
"Tidak lekas tidak lambat kenapa Hui-ang-kin juga pergi ke Thian-san pada waktu ini? Aku yakin di dalamnya pasti ada sebab-sebabnya ada lebih baik kita tinggalkan surat di sini, kalau Leng-tayhiap dan Lan-cu sudah kembali, biar suruh mereka pun menyusul ke Thian-san sekalian."
Biasanya segala apa selalu Tiong-bing menurut pendapat Boh Wan-lian, sudah tentu sekarang ia pun idem dito. Kira-kira setengah bulan kemudian, mereka berdua sudah sampai di bawah kaki puncak Onta di pegunungan Thian-san.
"Kau masih ingat tidak peristiwa bertemu dengan Sin Liongcu di sini dahulu?"
Kata Wan-lian.
"Sungguh tak terduga hari ini kita berada di sini lagi, tapi pendekar kosen itu sudah mangkat ke alam baka, di atas puncak ini hanya tertinggal tulang jenazah gurunya saja."
"Ya, dan aku pun tidak nyana akan menjadi murid Tohtayhiap secara tak langsung; cuma entah Susiok pejabat ketua itu mau menerimaku ke dalam perguruan atau tidak?"
Demikian kata Tiong-bing.
Dan belum hilang suaranya sekonyong-konyong didengarnya di atas Lok-to-hong atau puncak Onta berkumandang suara siulan aneh berulang-ulang disusul pula suara bentakan orang yang tampaknya sedang saling mengudak, suara itu begitu seram dan mendebarkan, sejenak kemudian, batu es besar tiba-tiba berhamburan dari atas, tempat dimana mereka berdiri ikut tergon-cang seakan gempa bumi.
Suasana itu sungguh mirip sekali ketika dahulu mereka datang di tempat ini dan bertemu dengan Sin Liong-cu.
Cuma jauh lebih menakutkan keadaan sekarang daripada yang dulu.
"Aneh, apa mungkin di atas sana terdapat lagi seorang Sin Liong-cu kedua?"
Ujar Tiong-bing heran.
Tapi mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, nyalinya menjadi besar, segera Wan-lian ditariknya terus mendaki ke atas.
Kiranya pejabat ketua Bu-tong-pay sekarang ini, Hian-cin Tojin, berhubung diketemukannya kembali kitab pusaka mereka 'Tat-mo-pi-kip' atau ajaran rahasia Tat-mo, pula urusan pemindahan tulang jenazah ketua Bu-tong-pay mereka yang lebih dulu, maka Hian-cin telah membawa Sute seperti Hian-thong, Hiankat, dan H"
Lok-hua bersama suami, serta tujuh orang anak murid utama dari angkatan muda mereka, untuk mendaki ke atas puncak Onta buat menemui Kui Tiongbing seperti apa yang sudah dijanjikan.
Tak terduga, belum kelihatan Tiong-bing datang, sebaliknya suatu kejadian aneh telah terjadi.
Ketika rombongan Hian-cin baru saja sampai di atas puncak gunung itu, segera mereka mendengar semacam suara siulan aneh yang kedengarannya sangat jauh, tapi rasanya sangat menusuk.
Hian-cin terkejut oleh suara aneh itu, sedangkan suara itu susul-menyusul sudah berbunyi lagi dengan seramnya bagai se-sambatan kera di gunung sunyi dan tangisan bayi di malam sepi, seperti auman binatang buas dan mirip bunyi burung hantu pula, beraneka ragam suara itu telah bercampur-baur, agaknya suara orang yang datang itu tidak terbatas seorang saja.
Tapi bila memandangnya dari jauh, ternyata sesosok bayangan pun tidak kelihatan.
"Siluman darimanakah ini? Berani coba menakut-nakuti Toya?"
Demikian Hian-cin memaki.
Dan mengandalkan berkawan banyak, ia pun tidak menjadi gentar, segera ia membawa rombongannya menuju ke goa batu dimana dahulu Sin Liong-cu pernah bersembunyi itu.
Siapa duga baru mereka sampai di mulut goa, mendadak dari dalam terdengar sekali orang tertawa dingin.
Dalam kagetnya cepat juga Hian-cin lantas mencabut pedangnya, dengan membentak untuk membesarkan nyali, segera ia pun memimpin kawan-kawannya masuk ke dalam.
Waktu Ho Liok-hua menyalakan api, tiba-tiba ia berteriak kaget.
Ternyata di dalam goa itu terdapat sebuah panggung yang terbikin dari tumpukan batu, di atas panggung itu ada kerangka tengkorak yang jelas kelihatan tulang-belulangnya, masih utuh baik dan dapat dikenali ternyata tulang jenazah Toh It-hang yang mereka cari itu.
Cuma bedanya di masa hidupnya tinggi tubuh Toh It-hang ada enam kaki, orangnya gagah tegap, sebaliknya tengkorak yang dilihat sekarang ini tampaknya tidak ada tiga kaki seperti tengkorak anak kecil saja.
Di samping tengkorak kelihatan pula duduk seorang nenek berambut putih semua, terang sekali ialah Pek-hoat Mo-li adanya.
Lebih 20 tahun yang lalu waktu Ho Lok-hua datang ke Sinkiang menjenguk Toh It-hang, pernah ia hendak diusir Pekhoat Mo-li, peristiwa itu kalau teringat olehnya tanpa terasa masih mengerikan juga.
Karena itu ia mundur dulu, lalu dengan pedang terhunus Lok-hua berseru.
"Pek-hoat Mo-li, kita tiada dendam dan tak punya benci, Toh-tayhiap juga sudah lama mati, hari ini kami suami-isteri datang dari jauh, sama sekali tiada urusan dan sangkut-pautnya denganmu."
Tapi Pek-hoat Mo-li sedikitpun tidak bergerak, tangannya melambai ke bawah, kepalanya menunduk dan matanya meram.
Waktu tanpa sengaja Hian-cin mendongak, tiba-tiba dilihatnya di atas dinding batu goa itu terdapat tiga baris huruf besar dan tiap hurufnya cukup dalam, terang sekali bukan ditatah oleh orang biasa, melainkan digores dengan jari oleh Pek-hoat Mo-li.
Meskipun ilmu silat Hian-cin sudah sangat dalam, tak tahan juga ia terkejut oleh tulisan jari di atas dinding batu itu.
Sekonyong-konyong dalam goa itu meniup angin dingin yang menyeramkan dan membikin bulu roma berdiri, api yang dinyalakan tadi tiba-tiba sirap.
Lalu terdengar suara seorang berkata dengan tertawa dingin.
"Hm, benar-benar kalian berani datang ke sini!"
Karena suara orang yang tiba-tiba itu, Ho Lok-hua menjerit kaget terus melompat mundur. Begitu pula cepat Hian-cin menarik kedua orang Sutenya sambil berseru.
"Lekas mundur!"
Cepat mereka pun melompat keluar goa.
Di masa mudanya Pek-hoat Mo-li pernah bertanding pedang di Bu-tong-san dan sekaligus melawan delapan jago utama Bu-tong-pay, dalam pertarungan itu Pek-ciok Tojin, Susiok Toh It-hang telah dilukai, halmana hingga kini oleh kaum Bu-tong-pay masih dianggap suatu hinaan besar, tapi mereka pun jeri semua oleh perbawa Pek-hoat Mo-li yang menggetarkan, maka ketika angin dingin berjangkit tadi, semua orang Bu-tong itu menjadi gugup dan lekas melompat keluar goa dengan hati masih beTdebar-debar.
Dan setelah mereka bisa menenangkan diri, kemudian baru kelihatan dari dalam goa berjalan keluar seorang wanita.
Meski rambutnya juga ubanan seluruhnya seperti Pek-hoat Mo-li, tapi wajahnya masih kelihatan cantik molek.
Setelah mengenali siapa adanya orang itu, barulah Ho Lokhua menghela napas lega.
"Kiranya kau yang di dalam, Huiang- kin,"
Sapanya kemudian. Memang tidak salah lagi wanita itu Hui-ang-kin adanya. Dengan tangan kiri memegang pecut dan tangan kanan menghunus pedang, segera ia membentak.
"Manusia macam apa kalian ini? Berani coba mengintai 'tubuh emas' (jenazah dalam istilah Buddha) guruku?"
Kiranya pada tepat hari ulang tahun ke-100 Pek-hoat Mo-li tempo hari dan Thio Hua-ciau mempersembahkan kotak bersulam dan bunga sakti padanya hatinya menjadi terharu oleh cinta Toh It-hang yang suci tak pernah goyah, maka ia mencari ke goa batu di puncak Onta ini dan menggali keluar tulang jenazah It-hang.
Semasa hidupnya It-hang sangat sayang akan kecakapan diri sendiri, maka di waktu akan meninggal ia menyuruh Sin Liong-cu menggunakah obat-obatan buat mencuci jenazahnya hingga tubuhnya mengkeret menjadi kecil, tapi kerangka tulangnya masih baik bagai hidup.
Pek-hoat Mo-li sendiri karena kuatir setelah dirinya meninggal lalu ada musuh datang merusak tulangnya, maka ia menyuruh Hui-ang-kin ke atas gunung ini agar muridnya menguburkannya bersama dengan tulang jenazah Toh It hang.
Dan angin dingin seram tadi bukan lain adalah perbuatan Hui-ang-kin.
Kini setelah mengetahui orang di dalam itu bukan Pek-hoat Mo-li, barulah Hian-cin merasa lega.
Segera pedangnya menuding dan dengan suara lantang ia berkata.
"Kami orang Bu-tong-pay datang ke sini buat menyongsong tulang jenazah ketua kami yang dulu, siapa peduli tentang gurumu apa segala!"
Tak terduga Hui-ang-kin menjengek sambil pecutnya diayun hingga mengeluarkan suara petasan, lalu dengan dingin baru ia berkata.
"Tidak bisa!"
Keruan dari mendongkol Hian-cin menjadi gusar.
"Urusan dalam Bu-tong-pay kami, buat apa kau ikut mengurus?"
Demikian sahutnya.
"Hm, urusan dalam, selalu bilang urusan dalam,"
Kata Huiang- kin pula dengan tertawa dingin.
"Kalau Bu-tong-pay kalian tidak ikut campur urusan orang, tentunya Toh-tayhiap dan guruku tidak menjadi begini akhirnya Toh-tayhiap sendiri sudah lama tinggal di Thian-san ini, hubungan dengan Butong- pay kalian sudah lama putus. Menurut surat wasiatnya ia minta dikubur bersama dengan guruku. Maka bila kalian berani menyentuh tulangnya, boleh coba rasakan dulu pecutku ini."
Tentu saja Hian-cin tak tahan rasa gusarnya lagi, begitu pedangnya memberi tanda, segera tujuh anak murid utama Bu-tong-pay yang dibawanya sudah merubung maju.
Dan ketika pertarungan sudah hampir terjadi, sekonyongkonyong suara aneh di bawah gunung berjangkit riuh ramai.
Berubah hebat wajah Hui-ang-kin seketika.
"Jika kalian mau hidup, lekas lari saja hii adalah 'Se-ek-sam-yao' yang telah datang,"
Katanya cepat pada Hian-cin dan kawan-kawan.
Kiranya yang disebut 'Se-ek-sam-yao' atau tiga hantu dari barat itu adalah tiga manusia aneh yang masing-masing memiliki ilmu silat tunggal.
Toa-yao atau hantu pertama bernama Song Kian melatih semacam pedang berbisa yang disebut 'Chit-coat-cu-pek-kiam', ujung pedang dipoles racun jahat, asal kena darah seketika sang korban bisa binasa.
Ji-yao atau hantu kedua bersama Song Koh dengan ilmunya 'Tay-lik-kim-kong-cu' atau gada emas bertenaga raksasa, ia memiliki tenaga besar dan berkulit kebal.
Sedang Sam-yao atau hantu ketiga Song Jin melatih semacam ilmu pukulan 'Im-yang-pi-hong-cio', siapa yang kena dihantam, pasti jerohannya akan tergoncang remuk.
Ketiga orang ini dahulu malang melintang di daerah barat ini, dan karena ilmu kepandaian mereka sangat keji, maka mereka digelari 'Sam-yao' atau tiga hantu.
Ketika Pek-hoat Mo-li datang ke Thian-san, ia benci akan kelakuan Sam-yao itu dan mengusir mereka dari Sinkiang, karena Sam-yao tak bisa menandingi Pek-hoat Mo-li, maka mereka terpaksa kabur ke Tibet, dan selama 30 tahun ini tak terdengar suaranya, belakangan ini mereka mendapat tahu bahwa Hui-bing Siansu dan Toh It-hang berturut-turut sudah meninggal semua, Pek-hoat Mo-li juga sudah lama tak kelihatan.
Maka ketiga manusia hantu ini lantas membawa begundal mereka naik ke puncak utara Thian-san ini dengan maksud mencuri dulu kitab pelajaran silat Hui-bing Siansu dan Toh It-hang, habis itu baru mereka akan menuntut balas pada Pek-hoat Mo-li.
Hian-cin adalah ketua suatu aliran persilatan terkemuka, maka ia cukup kenal asal-usul Sam-yao itu, ketika didengarnya peringatan Hui-ang-kin tadi, wajahnya seketika berubah juga, tak bisa lagi ia melangsungkan pertarungan dengan Hui-angkin, lekas ia memerintahkan anak muridnya berdiri sejajar menjadi suatu lingkaran untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu dengan cepat luar biasa, suara aneh yang tadinya menggema di angkasa itu mendadak berhenti, Se-eksam- yao bersama belasan begundalnya tahu-tahu sudah sampai di atas puncak gunung itu.
Dan ketika melihat Hian-cin dan kawan-kawan berdiri melingkar, mereka tertawa iblis, lalu tanpa berkata lagi bagai setan jahat terus saja menerjang.
Tahu ketiga hantu itu tak mungkin diajak bicara tentang aturan, maka Hian-cin tak berani gegabah, dengan penuh semangat ia mengayun pedangnya mendahului menangkis pedang berbisa Toa-yao Song Kian yang sementara itu sudah menusuk.
"Bagus!"
Bentak Toa-yao mendadak, dan sekali pedangnya membentur, tahu-tahu pedang kedua pihak tergetar pergi semua.
"Ha, darimana Toh It-hang mendatangkan kawanan sampah ini untuk menjaga mayatnya!"
Jengek Sam-yao Song Jin dengan tertawa seram.
Habis itu cepat kedua telapak tangannya memukul berbareng, dan segera terdengar Hian-thong, Sute Hian-cin, menjerit kaget, ternyata senjatanya yang berbentuk porok (garpu) telah tergetar mencelat.
Di sebelah sana pedang berbisa Toa-yao Song Kian mendadak juga menyabet ke pinggang Hian-cin, saking cepatnya serangan ini tampaknya sudah menyenggol baju sasarannya, beruntung tiba-tiba Hui-ang-kin telah mengayun pecutnya, secepat kilat terus membelit pergelangan tangan Song Kian.
Untuk menghindarkan patahnya tangan, terpaksa Song Kian menarik kembali senjatanya dan melompat pergi.
Diam-diam Hian-cin bersyukur terhindar dari elmaut itu dan sangat berterima kasih atas pertolongan Hui-ang-kin yang tadi adalah lawannya, tapi kini telah menjadi kawan.
Di tempat lain, Ji-yao dengan senjata gadanya yang bertenaga raksasa telah sekali menyabet keras, tujuh anak murid utama Bu-tong-pay terpaksa harus mundur menyingkir, barisan lingkaran yang mereka pasang untuk mengepung tadi seketika bobol.
Hanya Ho Lok-hua dengan Ginkangnya yang hebat mendadak mengenjot tubuh terus melompat setinggi lebih dua tombak dan dari atas terus menikam ke atas kepala Ji-yao.
Melihat saudaranya terancam, cepat Sam-yao memburu maju terus mencengkeram hendak merampas senjata Ho Lok-hua secara paksa.
Namun kembali Hui-ang-kin datang lagi dengan pecutnya menyabet dan pedangnya menusuk, terpaksa Samyao harus melompat mundur dan lekas juga Toa-yao memburu maju membantu.
Begitulah Hian-cin, Hui-ang-kin dan Ho Lok-hua bertiga telah menempur tiga hantu kejam itu secara sengit, sedang tujuh anak muridnya bersama dua orang Sute Hian-cin juga sudah saling labrak dengan begundal Sam-yao hingga seketika di atas puncak Onta itu ramai sekali dengan suara bentakan dan teriakan aneh.
Dalam pertarungan sengit ini, Hian-cin, Hui-ang-kin dan Ho Lok-hua bertiga masih bisa bertahan, tapi kedua Sute Hiancin, yaitu Hian-thong dan Hian-kat bersama tujuh murid utama mereka sudah berulang kali menghadapi bahaya, terutama Jiyao dengan gadanya yang antap berat diputar dengan hebat hingga batu hancur dan salju gugur.
Pada suatu saat Hian-cin pura-pura menusuk sekali lalu melompat mundur membiarkan Hui-ang-kin menggantikan tempatnya melawan Toa-yao Song Kian, sedang ia dengan pedangnya terus melabrak Ji-yao Song Koh, dengan penuh tenaga masih dapatlah ia bertahan.
Sebaliknya ketika Sam-yao Song Jin mendadak melontarkan hantaman keras beberapa kali hingga Ho Lok-hua didesak mundur, lalu ia menggereng sekali terus meloncat naik dan mencengkeram Hian-cin.
Sungguh di luar dugaan Hian-cin datangnya serangan itu, lekas ia berkelit, namun Kim-kong-cu atau gada baja Song Koh tiba-tiba sudah menyambar juga ke pinggangnya.
Dalam keadaan begitu sekalipun kepandaian Hian-cin lebih tinggi lagi susah juga hendak melawan gempuran berbareng kedua musuh lihai itu dan pada saat ia berkelit itu tahu-tahu pedangnya telah disambar Song Jin.
"Matilah aku sekali ini!"
Diam-diam Hian-cin mengeluh sambil terus mundur terdesak sampai di tepi jurang.
Nampak itu tentu saja Ho Lok-hua dan Hian-kat kaget luar biasa berbareng mereka menyerobot maju untuk merintangi Song Jin.
Namun pada pihak lain gada Song Koh sementara itu sudah mengemplang ke atas kepala Hian-cin.
Karena tiada jalan lain, tanpa pikir mati-hidupnya lagi Hiancin melompat mundur ke dalam jurang hingga badannya terapung, di luar dugaan mendadak terasa pinggangnya disanggah seseorang dan pada saat lain ternyata sudah dibawa lagi naik ke atas puncak itu.
Tatkala itu Song Koh lagi senang karena Hian-cin dapat didesak masuk jurang, siapa tahu tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda berbaju kuning telah melompat naik dari bawah dengan Hian-cin disanggahnya di atas kepala.
"Kurangajar, kau bocah inipun ingin dimampuskan!"
Bentak Song Koh gusar. Menyusul mana sekuatnya gada terus menyabet.
"Dan kau, berani kau membikin susah Susiokku?"
Mendadak pemuda baju kuning itupun menggertak keras dengan suara menggelegar.
Berbareng itu kedua kepalan pemuda ini tergenggam dan secepat panah tubuhnya pun melesat maju memapak orang.
Dan tampaknya segera bakal berkenalan dengan gada musuh, sekonyong-konyong tangan kanan pemuda itu dibuka dan sebuah sinar putih berkilau pun menyambar ke depan.
Seketika tangan Song Koh tergetar dan gada bajanya yang besar antap itu tahu-tahu terkuning sebagian.
Pemuda berbaju kuning ini bukan lain ialah Kui Tiong-bing.
Ketika tiba-tiba pedang wasiat 'Theng-kau-pokiam' yang bisa lemas dan bisa kaku itu dikeluarkan mendadak, hingga tak menduga Song Koh kena diselomoti, keruan saja hantu kedua ini gusar tidak kepalang, gadanya yang sudah terkutung itu ia buang sekalian dan dengan ilmu pukulan bertenaga raksasa 'Tay-lik-kim-kong-jiu', dengan tangan kosong ia coba merangsek pula hendak merebut pedang Kui Tiong-bing.
Dengan kedatangan Tiong-bing, nyata keadaan seketika berubah banyak.
Dengan ilmu pedang pemuda ini yang lihai luar biasa terpaksa Song Koh harus mengembut bersama beberapa begundalnya barulah dapat sekedar bertahan.
Di sebelah sana setelah Hian-cin menjemput kembali pedangnya segera masuk kalangan pertempuran lagi dan saling labrak dengan Sam-yao.
Namun begitu kekuatan kedua pihak kini barulah bisa berimbang saja begundal yang dibawa Sam-yao sangat banyak, pula memiliki kepandaian tunggal sendiri, kalau satu lawan saru umpamanya, Hui-ang-kin masih bisa memenangkan musuh, Hian-cin juga dapat bertahan untuk diri sendiri.
Hian-thong, Hian-kat dan ketujuh murid utama mereka juga bisa melawan begundal Sam-yao itu dengan sama kuatnya.
Sedang pertarungan sem berlangsung, tiba-tiba di pinggang gunung itu muncul lagi beberapa bayangan orang segesit kera sedang memanjat ke atas gunung.
Melihat itu diam-diam Hian-cin mengeluh, untuk melawan musuh sekarang ini saja masih belum bisa menang, apalagi kalau musuh datang bala-bantuan lagi, mungkin tak bisa turun dari gunung ini dengan hidup, demikian ia membatin.
Sementara itu Boh Wan-lian yang datang bersama Kui Tiong-bing tadi sudah memutar senjatanya melawan musuh sejajar dengan sang kekasih.
Melihat keuletan gadis ini lebih rendah, Song Koh mengincarnya mendadak terus mencengkeram dengan telapak taagannya yang lebar bagai daun pisang.
Melihat Wan-lian terancam bahaya, segera Ticng-bing membabat dari samping, namun luput mengenai musuh, sebaliknya lantas terdengar si gadis menjerit sekali, orangnya tidak kena dicengkeram, tapi pedangnya sudah kena direbut musuh.
Terkejut sekali Tiong-bing, sekali melesat bagai burung terbang ia menusuk ke punggung musuh, namun belum sasarannya tertusuk, tiba-tiba sudah terdengar Song Koh menjerit ngeri sekali dan orangnya tahu-tahu terus roboh menggeletak.
"Hura, Leng-tayhiap telah datang!"
Teriak Wan-lian saking girangnya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu Tiong-bing menoleh, betul saja dilihatnya dengan gagah Leng Bwe-hong sudah berada di atas puncak gunung itu, di sampingnya malahan terdapat pula le Lan-cu, Lauw Yuhong, Thio Hua-ciau, Li Jiak-sim, Bu Ging-yao, Pho Jing-cu, Bu Goan-ing, kesemuanya ikut datang.
Ketika mendadak melihat datangnya rombongan orang begitu banyak, pertempuran sengit itu lantas berhenti dan semuanya melompat keluar kalangan untuk membedakan siapa gerangan yang datang itu apakah kawan atau lawan.
"Di atas Thian-san ini mana boleh dibiarkan kalian berkeliaran sesukanya!"
Demikian Leng Bwe-hong lantas mendamprat sambil menuding Song Kian.
"Hayo, tidak lekas enyah dari sini!"
"Siapa kau? Berani kau buka mulut besar!"
Sahut Song Kian membentak.
"Semasa Hui-bing Siansu masih ada, siapa saja tak berani membawa pedang ke atas gunung, peraturan ini kalian tahu tidak?"
Kata Bwe-hong.
"Jika begitu, apa kau anak murid Hui-bing?"
Tanya Song Kian. Namun Bwe-hong sungkan menjawab.
"Letakkan senjatamu dan enyah dari sini, dan jiwamu boleh kuampuni!"
Sahutnya kemudian.
"Ada kepandaian apa dan berdasarkan apa kau berani berlagak seperti Hui-bing?"
Kata Song Kian menjadi gusar.
"1S m, apa kau tidak terima? Jika demikian, marilah boleh kau maju mencoba,"
Sahut Bwe-hong tertawa dingin. Sementara itu Sam-yao Song Jin telah membawa mayat Song Koh ke hadapan kakaknya itu sambil berteriak dengan menangis.
"Toako, Jiko (kakak kedua) telah dibunuh keparat ini dengan Thian-san-sin-bong!"
Saking cemasnya Song Kian menjadi gusar, ia menengadah bersiul murka, lalu ia pun membentak.
"Baik, kita menuntut balas untuk Jite!"
Habis itu segera pedangnya berkelebat, senjatanya berikut orangnya terus menubruk maju. Begitu pula Song Jin, mayat Song Koh diletakkan dan segera ia pun menubruk maju ikut membantu.
"Bagus, biar aku mampuskan kalian berdua tanpa menyesal!"
Bentak Bwe-hong.
"Tiong-bing, Lan-cu, kalian berdua melucuti semua senjata begundalnya dan usir mereka ke bawah gunung."
Dalam pada itu mengandalkan tenaga pukulannya yang hebat.
Song Jin yang menubruk belakangan sudah mendahului menyerbu ke depan, telapak tangan kanan terpentang bagai kaitan terus mencengkeram ke iga lawan dengan tipu 'Ohliong- tam-jiau' atau naga hitam mengulur cakar, dengan sepenuh tenaga ia menyerang.
Dengan pukulannya ini dalam jarak beberapa kaki saja baik kayu maupun batu bila dihantamnya pasti akan patah atau remuk juga, apalagi tubuh manusia, tidak perlu terpukul, asal kena sambaran anginnya saja sedikitnya akan tulang patah dan otot putus, sungguh lihai luar biasa.
Sebagai seorang jago berpengalaman sudah tentu Leng Bwe-hong kenal betapa lihainya serangan orang itu.
Lekas ia menekuk tubuh, dengan gerak tipu 'Beng-hou-hok-cing' atau macan buas mendekam di atas cagak, hanya sedikit menggeser, tahu-tahu ia sudah memutar sampai di belakang Song Jin dan telapak tangan kanan terus menggablok ke bagian bawah musuh.
Tenaga pukulan Leng Bwe-hong yang besar ini sekalipun musuh melatih ilmu sebangsa 'Kim-cong-tok' atau 'Tiat-pohsam' yang kebal, asal kena digablok pasti akan remuk juga seluruhnya Karena itu Song Jin pun kenal akan kelihaian serangan itu, ia menarik tubuh dan menyedot perut serta melangkah mundur.
Sementara itu Song Kian dengan pedangnya 'Cu-pek-kiam' yang berbisa sudah menusuk juga ke dada Leng Bwe-hong.
Namun Bwe-hong menjengek, tiba-tiba kedua jarinya menyentil tubuh pedang orang, sedang tangan kirinya terus menjotos pula.
Baiknya Song Kian cukup gesit dan berpengalaman juga lekas dengan gerak tipu 'Pa-ong-ham-ka' atau Coh-pa-ong menanggalkan jubah, orangnya terus berjongkok ke bawah hingga kepalan orang menyambar lewat di atas kepalanya.
Di lain pihak cepat sekali Song Jin sudah menghantam lagi dari samping, ketika Bwe-hong mengayun tangan menangkis maka terdengarlah suara "pluk-pluk"
Yang keras diseling angin pukulan yang saling bentur, tahu-tahu Song Jin menggeram dan orangnya tergetar mundur.
"Kedua binatang ini ternyata boleh juga,"
Demikian diamdiam Bwe-hong membatin.
Habis itu Thian-san-cio-hoat yang hebat segera ia mainkan lebih kencang hingga tak tertembus angin.
Terhadap ilmu pukulan dan rahasia pedang ajaran gurunya, Hui-bing Siansu, kesemuanya sudah Bwe-hong pahami dan selami seluruhnya, ditambah lagi selama turun gunung sudah berbagai aliran silat lainnya yang dilihatnya, maka ilmu kepandaian Leng Bwe-hong sudah sampai puncak kesempurnaan dan susah diukur pula, meski kini dikeroyok dua, tapi setelah beberapa jurus lewat, kedua lawannya sudah tampak kewalahan, hanya bisa menangkis dan tak mampu balas menyerang.
Dalam gugupnya Song Jin akhirnya menjadi nekad juga, ia bermaksud menggunakan serangan berbahaya untuk memperoleh kemenangan terakhir.
Maka mendadak telapak tangan kirinya menyodok ke depan mengarah dada kiri Leng Bwe-hong dengan tipu mematikan yang disebut 'Kim-kau-cianbwe' atau ular emas mengayun buntut, dengan begitu apabila Leng Bwe-hong coba menangkis, maka secepat kilat ia akan merubah pukulan menjadi 'Oh-liong-coan-tah' atau naga hitam menerobos pcgoda, lalu 'Gin-liong-to-ka' atau naga perak merontok sisik dan akhirnya 'Kim-liong-kui-hay' atau naga emas kembali ke laut, yakni beruntun tiga gerak serangan ke lambung, ke pelipis dan ke selangkangan secepat kilat.
Akan tetapi tidak mudah Leng Bwe-hong masuk perangkapnya, tiba-tiba ia mengegos dan cepat sekali ia melangkah ke samping, menyusul mana dengan tenaga pukulan jarak jauh yang disebut 'Pek-poh-sin-kun-lik' atau tenaga pukulan sakti dari jarak seratus tindak, kontan ia menghantam lambung Song Jin.
Maka tiada ampun lagi dengan tepat pukulan itu mengenai sasarannya, tubuh Song Jin bagai bola saja terlempar pergi sejauh beberapa tombak dan menjerit ngeri di angkasa raya, lalu terjerumus ke bawah jurang yang tak terkirakan dalamnya.
Saat itu dari samping Song Kian lagi membabat juga dengan pedangnya yang berbisa.
Baiknya Leng Bwe-hong sebat luar biasa, orangnya terus meloncat setinggi-tingginya lalu menubruk ke bawah dan.
tepat dapat menjambret tengkuk Song Kian.
"Kau pun enyah ke bawah gunung!"
Dibarengi sekali bentak Bwe-hong melemparkan sekuatnya badan orang hingga bagai tayangan yang putus benangnya Song Kian ikut terlempar ke bawah puncak Onta.
Di sebelah sana Kui Tiong-bing dan le Lan-cu berdua juga lagi melabrak musuh dengan tangkasnya, pedang wasiat mereka menyambar kian kemari hingga sinar putih gulunggemulung tak jelas, di lain saat Leng Bwe-hong sudah membereskan Song Kian dan Song Jin, maka mendadak Tiong-bing dan Lan-cu juga menarik pedang dengan cepat, maka tertampaklah di tanah penuh terserak senjata-senjata yang sudah terkutung, nyata semua gegaman yang dibawa begundal Sam-yao tiada satupun yang utuh lagi.
Dan belum lagi begundal musuh itu tenang dari rasa takut mereka, tiba-tiba Leng Bwe-hong sudah membentak.
"Penjahat utamanya sudah terbunuh, maka begundalnya boleh diampuni, lekas kalian enyah dari sini!"
Mendengar itu, tanpa diperintah lagi begundal Sam-yao berteriak terus lari tunggang-langgang tanpa menoleh ke bawah gunung. Menyaksikan betapa perkasanya Kui Tiong-bing, mau tak maui Hian-cin menjadi kagum juga.
"Sudahlah, aku pun tak berani lagi mengaku kau sebagai Sutit (keponakan perguruan), kau bisa mendapatkan Tat-mo-kiam-hoat, rupanya kail memang ada jodoh, maka jabatan ketua Bu-tongpay kita ini aku pun tidak mau lagi, biarlah kau saja yang memangkunya"
Demikian katanya kemudian pada Tiong-bing dengan menghela napas. Habis itu ia membalik tubuh terus melangkah pergi.
"He, he, Susiok, jangan pergi dulu, mana aku bisa menjadi ketua apa segala!"
Tiong-bing berteriak bingung.
Akan tetapi tanpa menoleh Hian-cin sudah turun ke bawah bersama suami-isteri Ho Lok-hua, bahkan ia masih memberi pesan pada ketujuh anak murid utama mereka "Kalian bolehlah tinggal di sini ikut menguburkan tulang jenazah Tohsuco (ka-kek-guru), dan kalau ingin belajar Tat-mo-kiam-hoat, boleh belajar pada Suhengmu yang menjadi ketua sekarang ini!"
Dan ketika Tiong-bing hendak memburu Hian-cin untuk menahan kepergiannya, namun Pho Jing-cu sudah mencegahnya.
Sejak itulah Kui Tiong-bing lantas menjadi cikal-bakal Butong- pay sekte utara, dan menurut pesan peninggalan Toh Ithang, maka Thio Hua-ciau dianggap juga sebagai anak murid Bu-tong dan mempelajari Tat-mo-kiam-hoat serta dihitung sebagai Sute Tiong-bing.
Leng Bwe-hong sendiri menjadi ahli-waris Hui-bing Siansu dan tirakat di aras Thian-san bersama Lauw Yu-hong.
Sedang Hui-ang-kin selanjurnya masih kian kemari di padang rumput luas itu menjadi ketua perserikatan suku bangsa di Sinkiang, bila terjadi sesuatu, Leng Bwe-hong tiba-tiba bisa menjadi tetamu ke pasukan Hui-ang-kin untuk membantu mengatur segala sesuatu yang perlu, dan bila tugasnya sudah selesai, lalu ia pun tinggal pergi lagi.
Ie Lan-cu dan Thio Hua-ciau juga ikut Leng Bwe-hong tinggal di atas Thian-san dan mendirikan makam sandang-kudung ayahnya, Njo Hun-cong.
Dan bila tiba musim semi atau hari cerah, maka di puncak Thian-san sering terlihat sinar pedang sambar-menyambar, menandakan Leng Bwe-hong dan Ie Lan-cu sedang berlatih ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat.
Orang-orang Bu-lim atau dunia persilatan kemudian menambahkan Kui Tiong-bing, Thio Hua-ciau dan Lauw Yuhong bertiga di samping Leng Bwe-hong, Ie Lan-cu, Hui-angkin dan Bu Ging-yao, dan menyebut mereka sebagai 'Thiansan- cit-kiam' baru.
Thian-san-cit-kiam' lama terdapat murid murtad Coh Ciaulam serta seorang Sin Liong-cu yang terombang-ambing di antara jalan yang benar dan tersesat, sebaliknya 'Cit-kiam' baru terdiri dari pahlawan pemuda-pemudi semua dan cerita mereka yang gagah perkasa itu telah dijadikan nyanyian di padang rumput sepanjang masa.
"TAMAT"
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Legenda Bunga Persik -- Gu Long