Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 7


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 7



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sinar sang surya pagi hari menyorot indah, tetapi tiada seorang pun yang sempat menikmati keindahan alam itu, tanpa berkata-kata mereka masih terus mengejar ke depan.

   Cepat sekali Leng Bwe-hong mengudak, sejak tadi yang lain sudah jauh ditinggalnya di belakang, kini ia sudah menyan-dak Kui Tiong-bing, jaraknya dengan Ong Kang pun tidak jauh lagi.

   "Kau minggir dulu, biar aku yang menolong dia,"

   Kata Bwehong pelahan pada Kui Tiong-bing. Tiong-bing menurut saja, ia menyingkir memberi jalan pada Leng Bwe-hong, lalu dilihat Bwe-hong mengayun tangannya dan tiga buah "Thian-san-sin-bong' bagai kilat telah menyambar.

   "He, apa itu?"

   Teriak Tiong-bing kaget.

   Tapi tak keburu lagi mencegah saking cepatnya Bwe-hong bertindak.

   Dalam pada itu Ong Kang lagi kabur secepatnya sambil mengempit Boh "Wan-lian, 1i1a-tiba didengarnya angin tajam menyambar dari belakang, tanpa berpaling tubuh Boh Wan-lian tenis diayunnya ke belakang sebagai tameng.

   Keruan semua orang menjerit kaget dan paras Tiong-bing pucat pasi, rubuh serasa lemas, disangkanya pasti tubuh si gadis akan tertancap oleh ketiga 'Thian-san-sin-bong' itu.

   Di luar dugaan Ong Kang, cara Leng Bwe-hong menyambitkan am-gi ternyata aneh sekali, tiga buah Sin-bong itu terbagi dari arah kiri, kanan dan tengah, tapi semua hanya serangan percobaan saja dan seluruhnya menyamber lewat samping tubuh Boh Wan-lian yang diayun Ong Kang itu.

   Siapa tahu masih ada Sin-bong keempat yang disusulkan Leng Bwehong secepat kilat dan tahu-tahu sudah sampai sasarannya, lekas Ong Kang hendak menggunakan tamengnya lagi, namun terlambat.

   "Plok", lengan kanannya sudah ditembus Sin-bong itu. Ia kesakitan hingga tangannya menjadi lemas, maka terlepaslah Wan-lian dari kempitannya. Pada saat itu juga didengarnya pula suara teriakan Leng Bwe-hong yang sudah dekat, keruan tak sempat lagi ia mengurus tawanannya itu, ia terus berlari secepatnya tanpa pikir lagi. Bwe-hong membangunkan si gadis yang tak berkutik itu dan memunahkan totokan Ong Kang tadi.

   "Ini kukembalikan padamu dalam keadaan baik-baik, kiranya tak perlu lagi kaukuatir,"

   Kata Bwe-hong sambil tertawa kepada Kui Tiong-bing yang sudah datang juga.

   Sementara itu Ong Kang masih terus ngacir dengan cepat, di samping lengannya yang kesakitan itu, tiba-tiba terasa pula seluruh tubuhnya kaku dan gatal, pandangannya pun mulai gelap, luar biasa terkejutnya, lekas ia mengumpulkan semangat, segera ia ingat tadi telah kena disambit segenggam pasir yang ternyata berbisa.

   Keruan ia terkejut sekali, di lain pihak Leng Bwe-hong dan kawan-kawan yang mengejar sudah mendekat juga.

   Karena tiada jalan lain, terpaksa Ong Kang melompat ke depan menerobos tirai air terjun itu, ia mengumpulkan tenaga pada sebelah tangannya terus menggablok pintu goa dengan gerakan 'Tok-cio-kay-pi' atau tangan tunggal membelah pilar, hingga terdengarlah suara "Biang"

   Yang keras.

   Dengan ilmu kepandaian 'Kim-kong-san-jiu' yang lihai itu, tentu saja tenaga Ong Kang luar biasa besarnya karena itulah segera batu kerikil berhamburan disusul dengan suara mencicit-nya pintu batu, ternyata pintu goa itu sudah terpentang setelah terkena pukulan Ong Kang tadi.

   Sebaliknya saking kerasnya mengeluarkan tenaga, Ong Kang sendiri terpental balik dan patah tulang tangannya, lebih dulu ia kena diguyur air terjun, lalu terjerumuslah dia ke dalam kolam jurang di bawah itu, kelihatan ia masih meronta-ronta berusaha menyelamatkan diri, tetapi lantas tenggelam tak timbul lagi.

   Ketika Leng Bwe-hong sampai di tepi kolam itu, hanya tertampak oleh mereka gelombang air kolam yang mendampar.

   Nyata pengkhianat dunia persilatan dan ahli Lwekeh itu sudah tamat riwayatnya di dasar kolam.

   Menyaksikan kejadian itu, para benggolan dari berbagai golongan itu terkesima dan bungkam.

   Mereka telah menyaksikan pertarungan sengit tadi sampai matinya Ong Kang yang mengerikan hingga mayatnya hanyut tak menentu, dalam hati mereka masing-masing timbul perasaan tersendiri.

   "Syukur, keparat ini memang siang-siang sudah harus menerima hukumannya ini,"

   Demikian kata Loh-taylingcu menghela napas sesudah agak lama semuanya diam. Dalam pada itu Tat-tusi telah memandang Leng Bwe-hong beberapa kali, dalam hati ia sedang membatin.

   "Meski belum pernah aku bertanding melawan Ong Kang, tapi melihat kepandaiannya tadi tampaknya tidak di bawah 'Tiat-poh-san' kemahir-anku, namun kini hanya beberapa senjata rahasia Leng Bwe-hong saja sudah mengakibatkan kematiannya. Thian-san-sin-bong ini rupanya memang sesuai namanya yang tersohor."

   Sebaliknya waktu itu Lo Thay dengan mata terpentang lebar lagi mengawasi goa batu di balik air terjun itu.

   Bersama Kui Tiong-bing waktu itu Boh Wan-lian juga sudah datang mendekat, ketika dilihatnya pemandangan seputar goa itu, tiba-tiba teringat olehnya akan sebuah lukisan, hatinya tergerak.

   "He, apa sini bukan tempat yang dilukis ayah-angkatku di atas baju kuning itu"?"

   Tanya Tiong-bing pada si gadis.

   "Betul, goa bertirai air ini memang yang dimaksud dalam lukisan itu,"

   Sahut Wan-lian pelahan. Habis ini ia menggapai tangan meminta Bwe-hong datang ke tempat mereka.

   "Aku tak mau mengganggu kalian,"

   Kata Bwe-hong tersenyum demi nampak muda-mudi ini lagi asyik bicara berbisik-bisik.

   Sebagaimana diketahui, semalam di waktu baju kuning dibakar si kakek, Leng Bwe-hong sendiri sedang meronda di luar.

   Maka barulah ia tahu sekarang sesudah mendengar cerita Boh Wan-lian.

   Ia pun sangat tertarik oleh lukisan itu, ia coba memejamkan mata memikirkan apakah arti lukisan itu.

   "Lukisan rahasia yang ditinggalkan Kui-locianpwe itu sampai Ciok-toanio tak diberitahu, agaknya di dalamnya tersangkut soal yang maha penting, ada baiknya kita coba menyelidiki ke dalam goa itu,"

   Kata Bwe-hong kemudian.

   "Nanti dulu,"

   Tahan Wan-lian.

   "Di atas lukisan itu tertulis pula huruf-huruf 'Co-sam-yu-si, Tiong-capji', apakah artinya ini coba kau memecahkannya."

   "Mungkin itulah tanda rahasia,"

   Sahut Leng Bwe-hong.

   "Mungkin juga tanda itu menunjukkan tempat atau satuan barang yang disembunyikan itu."

   Sementara itu para benggolan itu menjadi curiga demi melihat Bwe-hong bertiga sedang bicara bisik-bisik sendiri, terutama Lo Thay menjadi sibuk, sebentar ia berdiri, lain saat ia duduk, ia pandang goa bertirai air itu, lalu mengamati Leng Bwe-hong bertiga.

   Dan ketika masing-masing pihak mempunyai pikiran sendiri-sendiri, tiba-tiba di angkasa lembah sunyi itu terdengar suara mendengingnya sebuah anak panah yang menjulang tinggi ke atas, menyusul kemudian melayang lewat pula dua buah anak panah lain.

   Lalu Lo Thay kelihatan berbangkit terus bersuit panjang.

   Selagi Bwe-hong heran, tak lama kemudian dari lereng gunung sana telah muncul seorang tua bungkuk, parasnya jelek, tapi gerak-geriknya gesit dan sebat, begitu cepat ia berjalan tanpa menimbulkan debu dan dalam sekejap saja orangnya sudah berada di depan mereka.

   Lo Thay paling girang oleh kedatangan orang tua itu, segera ia maju menyambutnya.

   "Han-toako, sudah lama kami menunggumu,"

   Demikian ia menyapa sambil memberi hormat.

   Lalu Loh-taylingcu dan Tat-tusi pun menyambut kedatangan orang dengan girang pula.

   Walau To Hong dan Thio Goan-cing tak mengenal orang tua ini, tapi melihat Lo Thay dan lainnya begitu menghormat padanya, mau tak mau mereka ikut menyongsongnya.

   Hanya Leng Bwe-hong bertiga masih tetap duduk tenang seenaknya, mereka coba menyelami juga maksud tujuan kedatangan jago-jago Lok-lim serta orang tua bungkuk itu.

   Belum sempat orang tua yang dipanggil Han-toako itu berkenalan dengan Leng Bwe-hong, tiba-tiba dilihatnya pintu goa itu sudah terpentang.

   "Ya, inilah tempatnya, apa sudah ada yang masuk?"

   Demikian katanya segera pada Lo Thay. Lo Thay menggoyang-goyang kepala tanda tidak ada.

   "Marilah kita masuk bersama,"

   Ajak Tat-tusi.

   "Seteguk air diminum bersama, biarlah kita bagi sama rata!"

   "Tapi di sebelah sana masih harus dibagi tiga bagian,"

   Kata Loh-taylingcu pula sambil menunjuk Leng Bwe-hong bertiga.

   "Mereka tak tahu, tiada bagian mereka,"

   Sahut Tat-tusi. Telinga Bwe-hong cukup tajam, maka dari jauh sayupsayup masih dapat didengarnya orang-orang itu sedang bicara dengan istilah Lok-lim tentang membagi air segala.

   "Apakah dalam goa itu disembunyikan harta karun hingga menarik perhatian benggolan-benggolan ini untuk membagi rejeki?"

   Pikirnya. Sedang Tat-tusi dan Lo Thay hendak mengajak To Hong dan Thio Goan-cing masuk goa bersama, namun si orang tua bungkuk tadi telah mencegah.

   "Jangan dulu,"

   Demikian katanya.

   "Biarlah seorang membuka jalan dulu, dan siapa berani, biarlah kita bagi dia sebagian lebih banyak!"

   "Aku,"

   Seru Lo Thay mendahului terus melompat maju.

   Cepat sekali Lo Thay melompat menerobos air terjun itu melewati kolam yang lebarnya tujuh tombak terus masuk goa.

   Sedang begundalnya penuh perhatian menantikan hasil penyelidikan sang kawan, Leng Bwe-hong bertiga juga berdiri menyaksikan perbuatan mereka.

   Suasana seketika agak tenang.

   Hanya sekejap saja, tiba-tiba terdengarlah suara jeritan di dalam goa, waktu semua orang menegasi, tertampaklah dengan rambut terurai dan mandi darah Lo Thay telah berlari keluar, sedang dari dalam goa masih menghambur keluar anak-anak panah, tampaknya di bagian dalam telah dipasang jebakan.

   Agaknya Lo Thay tak lemah juga, meski terluka ia masih bisa menerjang keluar, segera ia enjot tubuh dengan gerakan 'It-ho-jiong-thian' atau burung bangau menjulang ke langit ia bermaksud melintasi kolam kembali ke tempatnya tadi.

   Siapa duga sehabis terluka, tenaganya sudah banyak berkurang, kolam itu-pun terlalu lebar, hingga sampai di tengah mendadak tenaganya tak cukup lagi, sehingga orangnya menjeblos ke bawah jurang.

   Loh-taylingcu berteriak kaget tanpa pikir ia melesat cepat bagai meluncurnya anak panah, ia menekuk tubuh di atas kolam lebar itu dan tepat masih menyandak serta menyambar tubuh Lo Thay, terus mencelat lagi ke seberang sana.

   Menyaksikan ketangkasan Loh-taylingcu, semua orang bersorak memuji, begitu pula diam-diam Leng Bwe-hong mengagumi ilmu mengentengkan tubuh orang yang tinggi.

   Loh-taylingcu dan Lo Thay adalah sahabat karib selama tiga puluhan tahun, sama-sama berwatak keras, pemabukan, membunuh dan merampok, belakangan Loh-taylingcu banyak berubah diinsyafkan Cwan-tiong Tayhiap Jap Hun-sun.

   Sebaliknya Lo Thay semakin menjadi-jadi, bahkan sedikit jiwa ksatrianya semula kinipun sudah lenyap, ia kini adalah manusia tamak, serakah, pikiran cupet, maka lambat laun hubungannya dengan Loh-taylingcu menjadi sedikit renggang.

   Meski begitu, Loh-taylingcu tak pernah melupakan persahabatan lama, pada saat jiwa orang terancam, tanpa pikir ia telah menolongnya.

   Dan setelah berada di seberang sana dengan selamat Lohtaylingcu memeriksa luka sang kawan, ia lihat tubuh Lo Thay terkena beberapa anak panah dan darah masih mengucur terus, ia menjadi bingung, tapi segera ia kempit tubuh orang terus melompat ke seberang sini kembali, lekas ia minta sedikit obat bubuk putih keluaran Hun-lam dari Tat-tusi untuk membubuhi luka itu, untuk sementara darah berhenti tapi Lo Thay masih belum siuman, mungkin karena terluka dan banyak mengeluarkan tenaga, maka orangnya telah pingsan.

   "Lo-toako mungkin tak tertolong lagi,"

   Kata Loh-taylingcu sedih.

   "Coba berikan ini,"

   Kata Leng Bwe-hong tiba-tiba sambil menyodorkan sebutir obat pil warna hijau muda. Loh-taylingcu memandang Bwe-hong, ia ragu-ragu.

   "Pik-ling-tan terbuat dari teratai salju di Thian-san, betapapun hebat lukanya pasti dapat tertolong!"

   Kata Bwehong.

   Semua orang terkejut mendengar keterangan ini, sungguh tidak terduga bahwa Leng Bwe-hong yang baru dikenal itu dengan sukarela memberi obat mustajab itu.

   Keruan Lohtaylingcu yang merasa paling berterima kasih.

   Dan setelah keadaan Lo Thay cukup membaik, suasana telah tenang kembali.

   "Begitu panjangkah pikiran Li Ting-kok sampai bisa menduga berpuluh tahun kemudian barang pusakanya akan kita incar?"

   Ujar Tat-tusi ragu-ragu.

   "Dan persoalannya sekarang adalah barang itu masih kita inginkan tidak?"

   Kata Thio Goan-cing.

   "Coba tunggu dulu datangnya dua orang,"

   Sela si orang tua bungkuk tadi setelah berpikir sejenak. Mendengar percakapan mereka, tahulah Leng Bwe-hong apa yang mereka maksudkan. Ketika ia sedang berpikir, tibatiba Wan-lian berbangku; ia tarik Kui Tiong-bing dan menyenggol Leng Bwe-hong.

   "Marilah kita bertiga masuk dulu,"

   Demikian ia berkata. Melihat ketiga orang itu hendak memasuki goa, Thio Goancing berpikir, baik juga kalian bertiga dipakai umpan sebagai pembuka jalan, nanti kami tinggal mengeduk hasilnya. Karena itu lantas ia berkata.

   "Bagus, jika Leng-tayhiap yang masuk, tentu tak akan mengecewakan!"

   Tapi Loh-taylingcu mencegah, katanya.

   "Jangan Lengtayhiap, lebih baik kalian tunggu dulu."

   Bwe-hong memandang Wan-lian, ia lihat sorot mata si gadis penuh keyakinan atas diri sendiri, tergerak hatinya.

   "Alt. tak apa,"

   Sahutnya kemudian, Habis itu ia pun mendahului melompat ke depan goa itu, ia menerobos tirai air terjun dan segera disusul Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian.

   Setibanya di sana, Wan-lian mencoba memeriksa keadaan diri mereka, ia lihat tubuh Leng Bwe-hong hanya terciprat beberapa butir air saja, sedang Tiong-bing sedikit lebih banyak, sebaliknya dadanya sendiri ada sebagian basah tersiram air.

   Diam-diam ia berpikir.

   "Di antara kepandaian yang kudapat belajar dari Pho-oepek, ilmu mengentengkan tubuhku terhitung yang paling memuaskan, dulu saja di Bukeh- ceng 'Kuai-thau-to' Thong-bing Hwesio harus memuji kemahiranku itu. Siapa tahu dengan lompatan menerobos air terjun melintasi kolam, segera kentara aku masih ketinggalan jauh dari Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing. Pantas nama Leng Bwe-hong gilang gemilang di daerah barat-laut, nyata segala ilmu kepandaiannya sudah mencapai puncaknya yang tertinggi."

   Sementara itu sesudah berada di depan goa, mereka telah berhenti sejenak.

   "Coba kaudorong pintu goa yang sebelah situ agar kita bisa melihat lebih jelas keadaan di dalam,"

   Kata Bwe-hong pada Tiong-bing. Pemuda ini menurut, ia mengumpulkan tenaga terus mendorong pintu batu itu.

   "Buka!"

   Bentaknya keras.

   Dan berkisarlah pintu goa itu mepet ke dinding.

   Karena terbukanya pintu goa dengan lebar, maka cahaya matahari dapat menyorot masuk sampai ke dalam.

   Waktu semua orang memandang, terlihatlah di dalam goa ada dua baris patung yang berjajar di kanan dan kiri, jarak tiap-tiap patung itu kira-kira setombak, ada yang membawa golok, pedang, ada pula yang membawa tombak dan lain-lain.

   Patung-patung itu diukir dengan rupa yang aneh dan menakutkan ditambah hawa dalam goa yang dingin gelap, keruan makin menambah seramnya suasana.

   Apabila mereka mengamati lagi, kelihatan di atas lantai dalam banyak terserak anak panah serta senjata-senjata lain yang sudah patah, pula di antara senjata di tangan patungpatung itu-pun banyak yang putus.

   Di tengah goa ternyata kosong tiada suatu barang apapun.

   Makin ke dalam goa itu, tak kelihatan apaapa lagi saking dalamnya goa itu dan juga karena tak tercapai sinar matahari.

   "Tampaknya di dalam sini penuh alat perangkap sampai patung-patung pun bisa bergerak,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Bwe-hong sesudah berpikir.

   "Panah-panah di lantai ini tentunya menghambur ketika Lo Thay masuk tadi, sedang senjata-senjata patah itu pasti terkuning oleh Lo Thay waktu ia melindungi diri sebisanya. Maka kita harus hati-hati, jangan sampai masuk perangkap seperti Lo Thay."

   "Kita sudah masuk mulut macan, kalau mundur tentu akan ditertawai mereka,"

   Ujar Kui Tiong-bing. Wan-lian hanya tersenyum, ia jemput beberapa potong batu, ia minta Bwe-hong dan Tiong-bing mundur dulu, lalu ia berikan batu-batu itu kepada Leng Bwe-hong.

   "Caramu menimpuk am-gi sangat jitu, coba kau timpuk sebuah batu di kiri mulut goa sana, batu kedua menimpuk pula kira-kira setindak ke dalam dari tempat batu pertama, lalu batu ketiga maju lagi setindak, coba kita lihat bagaimana akibatnya,"

   Demikian pinta Wan-lian. Lalu ia berpaling pada Tiong-bing.

   "Dan kau siapkan pedangmu di samping Lengtayhiap untuk melindunginya dari hamburan panah."

   Bwe-hong menuruti petunjuk si gadis, beruntun ia sambitkan tiga buah batu, tapi tiada terjadi suatu apa.

   "Coba sekarang batu keempat,"

   Kata Wan-lian.

   Bwe-hong menurut pula.

   Tapi begitu batu itu jatuh, mendadak lantai yang terkena sedikit ambles, lalu serentetan anak panah telah menghambur keluar dari bawah, namun panah yang menyambar datang itu dapat disampuk jatuh oleh angin pukulan Leng Bwe-hong sebelum Tiong-bing menggerakkan pedangnya.

   "Kau sangat pintar, nona Boh,"

   Puji Bwe-hong girang.

   "Dengan cara perhitunganmu ini, tentunya batu keempat kalau ditimpukkan sebelah kanan goa tentu tiada terjadi sesuatu dan batu kelima lantas menimbulkan menghamburnya anak panah. Coba kita lakukan sekali lagi."

   Lalu ia jemput pula lima potong batu dan menimpuk seperti katanya itu, tapi dugaannya meleset, batu pertama saja sudah membikin panah beterbangan di luar dugaan.

   Bwe-hong talc serapat menyampuk dengan angin pukulannya, maka ia melompat ke samping.

   Sedang Tiong-bing cepat memutar pedangnya hingga panah-panah itu terkuning dan jatuh berserakan.

   "Perhitungan sebelah kiri betul, tapi kanan salah, lalu bagaimana nona?"

   Tanya Bwe-hong tersenyum kecut. Wan-lian tidak menjawab, ia termenung sejenak memikirkan tulisan yang dibacanya di atas lukisan rahasia, kemudian berkatalah dia.

   "Leng-tayhiap, boleh kaucoba lagi, sekali ini kalau masih salah, terpaksa kita mundur teratur."

   "Bagaimana caranya?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Coba kauhitung mulai tiga tindak dari sebelah kiri,"

   Wanlian menjelaskan.

   "Dari sana kau melompat ke kanan di antara patung-patung itu lalu kau berjalan empat langkah ke depan, kalau empat langkah ini tiada terjadi apa-apa, maka inilah perhitungan kita yang betul. Kini kau boleh coba."

   Leng Bwe-hong mencobanya lagi menuruti petunjuk itu, ia menimpuk mulai langkah ketiga sebelah kanan dan ternyata tidak terjadi sesuatu, kedua, ketiga dan keempat masingmasing berjarak selangkah, kesemuanya tiada terjadi sesuatu.

   "Betul sudah,"

   Seru Wan-lian girang.

   "Kini, boleh kaucoba menimpukkan batu kelima, tentu akan keluar anak panah pula."

   Dan benar saja anak panah lantas menyembur keluar begitu batu yang Leng Bwe-hong sambitkan pada tindakan kelima. Cuma jaraknya sudah jauh, maka belum sampai mulut goa, panah-panah itu sudah jatuh di tengah jalan.

   "Jika begini,"

   Kata Bwe-hong.

   "Kita melompat empat langkah ke kanan, lalu melompat ke tengah dan jalan 12 langkah lagi, terus melompat ke kiri dan jalan tiga langkah, begitu seterusnya bolak-balik, betul tidak?"

   "Ya, makanya disebut 'Co-sam, yu-si, Tiong-capjP (kiri tiga, kanan empat, tengah dua belas),"

   Kata Wan-lian. Segera Bwe-hong jemput pula beberapa batu, berturutturut ia sambitkan lagi dengan kuat ke tengah dan .betul saja batu ketiga belas barulah menimbulkan keluarnya anak panah.

   "Jelas sudah,"

   Katanya senang.

   "Mari kita masuk!"

   "Nanti dulu,"

   Cegah Wan-lian dengan tiba-tiba.

   "Kita harus menghitung pula letak patung-patung itu apakah juga berdasarkan langkah-langkah tadi."

   Segera Bwe-hong mencobanya lagi, tapi anak panah lantas menghambur pula. Agar tidak terjadi apa-apa, ternyata batubatu itu harus j aturi di depan patung.

   "Jelaslah kini,"

   Kata Bwe-hong.

   "Kalau kita dirintangi patung itu, tak boleh kita lewat di sampingnya, tapi harus melompat lewat di atasnya, hanya tak boleh juga terlalu jauh, harus tepat selangkah di depannya baru selamat."

   "Betul,"

   Kata Wan-lian.

   "Coba kini kausambit tubuh patungpatung itu."

   Dan waktu Bwe-hong menyambitkan, tiba-tiba patung yang terkena batu itu malah terdorong ke depan, golok di tangannya terus membacok mengenai lantai. Kemudian setelah berputar beberapa kali, lalu patung itu kembali ke tempatnya semula.

   "Patung-patung itu tak boleh disenggol,"

   Ujar Wan-lian.

   "Kena senggol juga tak apa,"

   Kata Leng Bwe-hong tertawa.

   "Patung-patung ini barang mati dan hanya bisa sekali bergerak, asal kita lantas menjauhinya, tentu akan selamat. Tentu saja, supaya tidak repot, lebih baik jangan menyenggolnya."

   "Dan kini kita boleh masuk belum?"

   Tanya Tiong-bing.

   "Boleh sudah,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Beruntung ada nona Boh yang cerdik dan bisa memecahkan kesulitan ini dengan cepat."

   "Dan beruntung juga ada kau yang bisa menimpuk batu dengan begitu jitu."

   Sahut Wan-lian.

   "Kau salah, Boh-cici,"

   Sela Tiong-bing tertawa.

   "Jitu atau tidak sambitan batu itu, yang paling sulit ialah tenaga dalam yang ia gunakan, sebutir batu kecil bisa menimbulkan tekanan keras hingga menimbulkan keluarnya anak panah, itulah yang hebat."

   "Ya, pendeknya aku sangat kagum,"

   Kata si gadis tertawa.

   "Dan kini marilah kita masuk!"

   Maka masuklah mereka ke dalam goa dengan pedang terhunus dan Wan-lian diapit di tengah.

   Mereka masuk melalui sisi kiri, setelah melangkah tiga tindak, segera Bwe-hong melompat ke kanan, ia menancapkan kaki di antara patungpatung batu, kemudian menyusul Wan-lian dan Tiong-bing melompat tepat di tempat Bwe-hong tadi sehingga mereka berjajar lurus.

   Kemudian Bwe-hong melangkah maju lagi setindak di sisi kanan, ia kosongkan tempatnya itu.

   "Mari, kau ke sini."

   Ia panggil si gadis. Melihat jarak tempat itu cukup jauh, Tiong-bing pikir soal melompat tidak susah, yang susah adalah menginjak di tempat yang tepat, terutama kalau ilmu mengentengkan tubuh orang belum masak betul. Karena itu segera ia berkata.

   "Biarlah sementara waktu kautinggal di sini saja, aku dan Leng-tayhiap yang menyelidikinya."

   Wan-lian tersenyum melihat perhatian si pemuda atas dirinya, ia sangat berterima kasih tapi juga geli.

   "Jangan kuatir, sedikit kepandaian ini rasanya aku masih bisa,"

   Katanya kemudian dengan pe lahan.

   Habis itu, sekali ia mengenjot tubuh, dengan tepat sekali tempat luang itu sudah diinjaknya dengan jitu.

   Meski Ginkangnya belum bisa menimpali Bwe-hong dan Tiong-bing, tapi di kalangan persilatan sudah tergolong kelas satu juga.

   Dan begitulah dengan cara perhitungan mereka tadi, secara berliku-liku mereka masuk ke dalam goa.

   Karena keadaan gelap, Bwe-hong menyalakan api, lalu mereka maju lebih ke dalam dengan hati-hati, tak lama kemudian, tampaklah bagian dalam goa itu banyak terdapat arca-arca Buddha yang tinggi besar dan jumlah seluruhnya ada 18, nyata itulah 'Cap-pek-lohan' yang terkenal dari Buddha.

   Waktu itu mereka sudah sampai di pojok terakhir.

   Menurut perhitungan, tatkala itu mereka persis berada di depan patung Buddha pertama.

   "Coba kautimpukkan beberapa anting-antingmu ke kanan dan kiri, apa ada terjadi sesuatu atau tidak,"

   Kata Bwe hong pada Tiong-bing. Pemuda ini menurut, segera ia menimpuk ke kanan dan ke kiri masing-masing tiga buah Kim-goan atau anting-anting emas. Tapi tidak ada sesuatu reaksi apa pun yang mencurigakan.

   "Tampaknya jika ada disembunyikan sesuatu yang berharga, tempatnya pasti di atas panggung arca atau di bawahnya,"

   Ujar Bwe-hong.

   "Maka di depan arca-arca ini tiada sesuatu alat rahasia, mungkin untuk menggampangkan pekerjaan orang yang menyembunyikan mestika ini."

   "Ya, aneh kenapa mereka tak memasang alat-alat rahasia sesudah harta mestika mereka pendam?"

   Kata Tiong-bing.

   "Memang rada mengherankan,"

   Kata Wan-lian setelah berpikir.

   "Jika harta mestika itu dipendam di sini, tentu benda itu sangat berat hingga perlu digotong beberapa orang, maka di sekitar ini tiada perangkapnya agar keluar-masuknya mereka bisa bebas. Tapi kalau benda mestika umumnya tiada bobot yang berat, sungguh ini susah untuk dimengerti."

   "Cuma ini hanya dugaanku saja,"

   Katanya lagi sesudah berhenti sejenak.

   "Jika memang patung-patung ini tiada alat perangkapnya, marilah kita coba memeriksanya."

   Habis itu, merela memeriksa ke kanan dan kiri, Tiong-bing sendiri lagi tertarik oleh patung paling tengah, ia memandangnya dengan termenung-menung.

   Kepandaian Bwe-hong tinggi dan nyalinya besar, maka ia memeriksa sembilan patung di sebelah kanan secara berani, ia lihat patung-patung itu hitam gelap, tapi rasanya keras ketika dipegang seperti terbuat dari besi, berbeda sekali dengan patung-patung yang biasa dilihatnya di kelenteng.

   Waktu Wan-lian disuruh memeriksa di sisi kiri keadaannya serupa saja.

   Dan selagi Bwe-hong hendak coba menggeser salah satu patung itu, mendadak didengarnya seruan Boh Wan-lian.

   "Tiong-bing!"

   Kiranya ketika si gadis sedang memeriksa patung di sisi kiri itu, tiba-tiba dilihatnya Tiong bing berdiri tegak terpaku sambil melongo, ia sangka penyakit pemuda ini telah kumat kembali menjadi gendeng, maka ia menjerit kaget.

   Ia tak tahu bahwa Tiong-bing tertarik oleh patung itu karena memang patung itu lain daripada patung lainnya, tapi mirip sekali dengan seseorang yang ia kenal betul, ia sedang berpikir siapakah gerangan orang itu, dan sesudah pergidatang diingatnya, akhirnya barulah ia ingat bahwa itu adalah patung Li Ting-kok, panglima bawahan Thio Hian-tiong yang patriotik melawan bangsa Boan-jing dimana ayah-angkatnya dulu pernah masuk dalam pasukannya.

   Dan karena girangnya melihat patung Li Ting-kok yang disukainya sejak kecil, maka Tiong-bing merangkulnya eraterat dan menggoyangnya.

   "Li-pepek, oh, Li-pepek, masih ingatkah kau padaku?"

   Demikian ia berseru.

   Sekonyong-konyong ia terkejut ketika terasa tangannya seperti menyentuh sesuatu yang licin dingin, bahkan seakanakan bisa bergerak, lekas ia melepas tangannya terus melompat mundur.

   Dan haru saja ia menginjak garis terlarang menurut perhitungan mereka tadi, anak panah bagai hujan sudah menghambur keluar, syukur Ginkangnya cukup tinggi hingga sekali mencelat, ia telah menancapkan kakinya di tempat yang aman.

   Dalam pada itu melihat ada bahaya, segera Bwe-hong menimpukkan sisa batu yang dipegangnya tadi hingga anakanak panah itu terpukul jatuh semua.

   Dan selagi Tiong-bing melompat kembali tadi, telah terjadi pula sesuatu yang aneh, dari pinggang patung tadi mendadak menyambar keluar satu sinar putih ke mukanya, lekas Bwehong menyambitkan sebuah Sin-bong hingga sinar itu merandek sedikit, tapi masih terus menyambar ke depan, saat itulah Tiong-bing sudah sempat melolos pedangnya terus menangkisnya.

   Maka terdengarlah suara "Trang"

   Yang nyaring, sepasang pedang Tiong-bing ternyata terkuning dan sinar putih itupun jatuh ke lantai.

   Waktu itu Bwe-hong dan Wan-lian sudah memburu maju, mereka lihat di atas tanah menggeletak suatu benda mirip pedang dan masih kelogat-keloget bagai ular, bentuk benda itu sempit, ujungnya tumpul dan gagang pendek.

   Tiong-bing pegang gagang benda itu dan diangkatnya, ia merasa benda itu lemas seperti sabuk, pelahan ia mencoba menggulungnya, ternyata gampang saja benda itu bisa ditekuk, ia menjadi kecewa.

   "Bagaimana benda ini bisa digunakan sebagai senjata,"

   Katanya. Tapi berlainan dengan Leng Bwe-hong, ia menjadi girang demi nampak benda ini.

   "Kui-hiante, coba kaugerakkan sekuatnya hingga lempang, kita lihat bagaimana jadinya,"

   Demikian ia berkata.

   Waktu Kui Tiong-bing menggerakkan benda itu menurut permintaan orang, mendadak benda itu bisa mulur sewaktu diayun, tahu-tahu benda itu bersinar mengkilap dengan membawa angin tajam, sama sekali tak menunjukkan kelemasan benda itu.

   "Kenapa senjata ini begitu aneh,"

   Katanya kemudian sambil menyimpan kembali benda itu.

   "Tak perlu kita ributkan apakah ini benda pusaka atau bukan,"

   Kata Wan-lian tak sabar.

   "Bagaimana perasaanmu, ingat tidak kau pada kejadian-kejadian dahulu?"

   "Ya, segalanya aku telah mengingatnya,"

   Sahut si pemuda.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Patung ini adalah Li-pepek."

   "Li-pepek?"

   Bwe-hong heran.

   "Li-pepek siapa?"

   "Siapa? Ialah Li Ting-kok Ciangkun!"

   Sahut Tiong-bing.

   "Ah, betul kalau begitu, coba lihat pedang penemuanmu tadi,"

   Kata Bwe-hong girang. Setelah pedang itu diterimanya dari Tiong-bing, kemudian dengan sorot mata tajam ia menunjuk sesuatu di atas benda tersebut.

   "Lihatlah, tulisan apakah ini? Coba kaubaca!"

   Kata Bwe-hong. Tiong-bing membacanya, ia lihat tulisan itu berbunyi.

   "Theng-kau-pokiam, warisan orang bijaksana, ditinggalkan untuk pahlawan sejati"

   Li Ting-kok "Jika begitu, ini adalah pedang pribadi Li Ting-kok, pantas begini bagus,"

   Ujar Wan-lian.

   "Cuma untuk apa ia meninggalkan tulisan ini? Dan kenapa pedang ini disimpan dalam goa sunyi ini? Lebih mengherankan ialah cara bagaimana benda ini bisa mendadak menyambar, apakah mungkin di jagad ini terdapat pedang terbang?"

   "Tentang pedang terbang adalah omong kosong, sebabnya bisa terbang karena sentuhan keras Kui-hiante tadi,"

   Kata Bwe-hong.

   "Kalau tak percaya, marilah ikut padaku."

   Lalu ia menjemput senjata rahasianya, Sin-bong, yang pecah terbentur pedang itu tadi dan berkata.

   "Thian-san-sinbong ini kerasnya bagai besi, dengan tenaga sambilanku masih terbelah menjadi dua, agaknya pedang ini lebih bagus daripada Yu-liong-kiam milik Coh Ciau-lam."

   Sembari berkata, Bwe-hong membawa kedua kawannya itu ke patung Li Ting-kok.

   "Lihatlah apa ini?"

   Katanya pula sambil menunjuk suatu benda lain di dekat patung itu.

   Waktu Tiong-bing mengambilnya, ia lihat benda itu hitam mirip seutas ikat pinggang, ia coba menekan, diketahuinya benda itu berlapis dua dan di dalamnya kosong, ia coba memasukkan pedang temuannya tadi, ternyata cocok sekali, nyata itulah sarung pedangnya.

   "Sarung pedang ini dapat dilipat, boleh kau mencobanya,"

   Ujar Leng Bwe-hong tertawa. Tiong-bing menurut pula dan betul juga apa yang dikatakan Leng Bwe-hong.

   "Pedangmu itu tadinya terlipat di pinggang patung ini,"

   Kata Bwe-hong kemudian setelah memeriksa tubuh patung itu.

   "Dan tadi karena kau menyentuhnya dan menggoyangkan dengan keras sehingga mengendorkan ikatannya, lantas pedang ini mencelat keluar dari sarungnya."

   "Darimanakah kau mengetahui semuanya ini, Leng-tayhiap?"

   Tanya Tiong-bing heran.

   "Ya, dahulu waktu aku masih belajar di Thian-san,"

   Demikian Bwe-hong menutur.

   "Guruku, Hui-bing Siansu pernah bercerita tentang orang-orang kosen di zaman itu serta segala macam pedang wasiat Ia bilang ada sebatang pedang yang disebut 'Theng-kau-kiam' asalnya dari pedang pribadi Him Teng-kiong, pahlawan bangsa pada akhir dinasti Beng yang berkedudukan di Liau-tang, pedang itu digembleng dari sari baja keluaran daerah timur-laut sana, maka mempunyai daya hidup yang bisa mulur dan bisa ditekuk, bahkan dapat dipakai sebagai ikat pinggang, dengan pedang ini Him Teng-kiong banyak membinasakan musuhnya yang jahat. Belakangan Him Teng-kiong menjadi korban pembesar dorna kebiri Gui Tiong-hian, lalu pedangnya tak diketahui lagi kemana perginya. Siapa tahu kini bisa diketemukan di sini. Melihat tulisan tadi, mungkin kemudian pedang ini jatuh di tangan Li Ting-kok, dan sesudah laskar Li Ting-kok hancur, lalu ia menyerahkan pada seorang perwira kepercayaannya untuk disimpan di sini agar kelak bisa ditemukan seorang pahlawan, huruf-huruf yang menyebutkan 'warisan orang bijaksana' tentunya dimaksudkan Him Teng-kiong."

   Mendengar cerita ini Tiong-bing terkejut.

   "Sudah sering kudengar cerita dari ayah-angkatku,"

   Katanya kemudian.

   "Ia bilang Him Teng-kiong sudah dapat dibandingkan Gak Hui. Pedangnya bisa dipakai Li Ting-kok, itulah boleh dikatakan tepat orangnya, dan kini mana berani aku memiliki pedang ini? Leng-tayhiap, ilmu pedangmu tiada bandingannya, senjata ini tepatnya untukmu saja."

   "Kau yang menemukan, sudah seharusnya kau yang memiliki,"

   Ujar Bwe-hong tertawa.

   "Kalau aku tidak berlebihan, aku akan bilang ilmu pedangku berlainan dengan kemahiranmu. Dengan senjata biasa saja aku bisa memainkan ilmu pedangku dengan sama hebatnya untuk menandingi pokiam musuh, maka pedang ini tidak banyak berguna bagiku, sebaliknya besar faedahnya buatma Tapi bila kau merasa tak setimpal dengan pedang ini, bolehlah kau merawatnya dahulu, kelak kalau kau menemukan orang yang cocok, barulah kauserahkan padanya."

   Mendengar omongan orang yang terus terang, Tiong-bing tak banyak bicara lagi. Dan pada saat itulah tiba-tiba di mulut goa sana terlihat ada sinar api, ada orang telah masuk.

   "Siapkan senjatamu yang baru itu, boleh kau mencobanya pada para pendatang ini,"

   Kata Bwe-hong.

   Lalu mereka bertiga bersiap-siap menanti, tampaklah beberapa bayangan orang yang masuk itu melompat ke sana sini dan tak lama kemudian sudah mendekat.

   Waktu ditegasi ternyata seluruhnya ada tiga orang yang masuk, ialah si orang tua bungkuk itu, seorang lagi Tat-tusi dan yang lain tak mereka kenal.

   Kiranya setelah lewat agak lama menanti masih belum kelihatan Leng Bwe-hong bertiga keluar lagi, para benggolan itu menjadi gelisah dan kuatir, segera Tat-tusi hendak menerobos masuk menyusul, namun si orang tua bungkuk itu telah mencegahnya ketika didengarnya dari jauh ada suara suitan panjang yang berkumandang.

   "Nanti dulu, biar mereka membuka jalan, kita nanti tinggal keduk hartanya,"

   Demikian kata orang tua bungkuk itu. Dalam pada itu dari jauh terlihat mendatangi lagi seorang, ternyata seorang tua juga yang masih sigap, segera ia menyapa orang tua bungkuk itu dengan panggilan Han-toako, atau lengkapnya bernama Han Hing.

   "He, urusan menjadi mudah setelah Ho-loheng datang,"

   Demikian kata Han Hing sembari mengangkat tangan menyambut kedatangan orang.

   "Ho-loheng adalah orang yang diperintah Li Ting-kok untuk memasang alat rahasia di goa ini bersama Kui Thian-lan dulu."

   Habis itu ia pun memperkenalkan kawan-kawannya itu, maka tahulah orang tua ini bernama Ho Ban-hong, seorang arsitek kenamaan pada 30 tahun berselang, ia pandai membikin bermacam-macam ragam senjata rahasia, ilmu silatnya pun tidak jelek.

   "Dan mana kedua kawan yang lain?"

   Tanya Han Hing.

   "Waktu memasuki lembah gunung, kami telah bersimpang jalan,"

   Sahut Ho Ban-hong.

   "Mereka hendak pergi mencari si orang she Kui itu, dan aku sendirian menuju kemari."

   "Ya, sebab kukuatir dirintangi orang she Kui itu, maka sebelum berangkat kami telah mengajak dua orang jago lagi, siapa tahu sekarang diketahui orang she Kui itu sudah mati,"

   Demikian kata Han Hing.

   "Ah, tahu begitu, tak perlu lagi kita mengajak mereka dan bisa hemat dua bagian,"

   Kata Ho Ban-hong menyesal.

   "Belum tentu begitu gampang,"

   Sela Tat-tusi.

   "Meski o-rang she Kui sudah mati, mungkin masih ada rintangan lain. Tadi yang masuk goa itu si 'Thian-san-sin-bong' dan si pemuda baju kuning, kekuatan mereka tidak di bawah Kui Thian-lan. Kalau jumlah kita lebih banyak rasanya resiko kita pun akan lebih kecil."

   "Ah, sudahlah, asal kita bagi mereka masing-masing satu bagian kan beres,"

   Ujar Loh-taylingcu.

   "Ha, percuma saja kau disebut ahli Gwakang, kenapa harus takut pada dua bocah itu?"

   Ejek Han Hing. Nyata ia belum kenal lihainya Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing, sebab waktu Ong Kang tewas, ia masih belum datang.

   "Siapa takut?"

   Sahut Tat-tusi sengit.

   "Tapi kalau orang memang lihai, mana boleh kaupandang rendah! Mana petanya, biar aku seorang diri memasuki goa."

   "Ya, memang kita harus menyelidiki goa dulu,"

   Kata Ho Ban-hong cepat "Tapi kalau orang banyak kurang leluasa, paling baik kalau tiga orang saja. Maksud Tat-tusi tadi ada baiknya, memang tiada jeleknya kita sedikit waspada!"

   Han Hing mengangguk dingin, ia pun tak berkata lagi, bersama Ho Ban-hong dan Tat-tusi segera mereka melompat melewati tirai air terjun terus memasuki goa, Ho Ban-hong paham cara bagaimana masuk, maka dengan mudah ia sudah membawa kedua kawannya sampai di depan patung itu dan ketika dilihatnya Tiong-bing lagi memegang patung itu dan sedang menggo-yang-goyangnya, Han Hing terkejut disangka rahasianya sudah terbongkar, tanpa pikir lagi ia menubruk maju, ia angkat tangkarnya terus mengemplang kepala pemuda itu.

   Tahu dirinya diserang, cepat Tiong-bing membalikkan tangan, Theng-kau-pokiam tiba-tiba mulur dan dibuat menangkis ke atas, maka terdengarlah suara nyaring, bonggol tongkat Han Hing yang berukir seekor naga dan terbuat dari besi baja itu telah terkutung sebagian.

   Karena terkejut, Han Hing menjadi tertegun sejenak, lalu ia menjadi gusar, segera potongan tongkatnya itu dibuat menyabet pula dari samping dengan tenaga dalam penuh.

   Tapi Tiong-bing amat tangkas, sekali gertak ia melompat berbareng ia balas membacok dari atas dengan tipu 'Tian-yimo- hun' atau mementang sayap menggerayangi awan, suatu tipu serangan lihai dari Ngo-khim-kiam-hoat.

   Dan karena terpaksa, lekas Han Hing menarik tongkat buntungnya untuk menangkis, maka lagi-lagi kedua senjata beradu, kembali tongkatnya terpotong sebagian, Han Hing semakin kalap hingga matanya merah membara, belum sempat Tiong-bing menancapkan kaki ke bawah, cepat sekali ia menggunakan tipu 'Pi-sing-kam-goat' atau menyongsong bintang mengejar rembulan, ia melompat ke samping sambil tongkat buntungnya menyodok perut Tiong-bing.

   Belum sempat Tiong-bing menarik pedang buat menangkis serangan berbahaya ini, terpaksa ia mengunjukkan Ginkangnya yang tinggi, tiba-tiba ia tutulkan pedangnya ke batang tongkat orang dan meminjam tenaga ini orangnya lantas berjumpalitan ke belakang.

   Boh Wan-lian berseru kaget namun Tiong-bing sudah menancapkan kaki di sebelah salah satu patung, dan karena tak keburu memakan diri, pedang pusaka tajam di tangannya telah menabas kutung sebelah tangan patung itu.

   Tiba-tiba Tiong-bing terbeliak oleh warna kuning tangan patung yang putus itu, waktu diperiksanya dengan teliti, ternyata itu adalah emas mumi yang berlapiskan baja.

   "Ha, semuanya patung emas!"

   Serunya tertahan. Mendengar seruan itu, Han Hing tertawa terkekeh-kekeh.

   "Ya, memang patung emas,"

   Katanya.

   "Ke-18 patung Lo-han ini memang terbuat dari emas murni semua. Tetapi benda ini ada pemiliknya, jangan kalian coba mengincarnya!"

   "Siapa pemiliknya?"

   Bentak Bwe-hong.

   "Ialah aku sendiri,"

   Sahut Han Hing sambil menuding hidungnya sendiri.

   "Maka lekas kalian enyah dari sini!"

   Bwe-hong menjengek atas lagak orang, ia mendekatinya.

   "Ha, rupanya kau orang bungkuk ini sudah butek pikiran karena silau oleh harta ini,"

   Katanya kemudian.

   "Tapi biarlah kami nanti bagi kau sedikit untuk persediaan peti matimu kelak."

   Han Hing menjadi gusar tidak kepalang oleh kata-kata Leng Bwe-hong itu, waktu orang sudah dekat, tiba-tiba ia mengulur tangan mendorong patung di tengah itu hingga patung itu bergoyang-goyang ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh, patung itu sudah roboh dengan kerasnya.

   Kembali Han Hing terkejut, patung itu tadinya hendak didorong roboh, siapa tahu tenaganya kurang hingga malah kena disurung Leng Bwe-hong dan roboh ke depan, maka tertampaklah di sini tenaga Leng Bwe-hong masih di atasnya.

   Setelah patung roboh, dari bawah dudukannya tiba-tiba terlihat ada sebuah kotak terbungkus sutera, cepat sekali Bwehong menjambretnya terus dibuka, ia mendapatkan secarik surat di dalamnya.

   Sementara itu Tiong-bing sudah melompat maju dengan pedang terhunus, ia berjaga di samping Leng Bwe-hong, sedang Han Hing memegangi tongkat buntungnya mengawasi dengan napas memburu, suatu tanda betapa gelisah perasaannya waktu itu tapi ia tak berani maju, tampaknya ia tidak berani ikut campur tangan.

   Setelah surat tadi dibaca Leng Bwe-hong, ternyata di dalantnya tertulis .

   "Tahun It-sin, bulan Bin-chiu, pengkhianat menjual negara, kerajaan beralih ke selatan dan buron ke Su-tfwan, sayang sudah pergi tak bisa kembali, cita-cita menegakkan negara terserah generasi lain. Ting-kok menerima pesan Tay-se-ong dan titah Eng-lek-te, emas 18 ribu kati dibikin menjadi 18 Lohan dan disembunyikan dalam goa ini. Sengaja ditinggalkan pada pahlawan bangsa untuk modal pemulihan negara. Siapa yang mengambil untuk kepentingan sendiri terkutuklah dia!"

   Kiranya harta terpendam itu memang disembunyikan Li Ting kok yang memberikan tugas kepada Kui Thian-lan sebelum ia buron ke Birma.

   Pengkhianat yang dimaksud dalam surat itu adalah Go Sam-kui, sedang Tay-se-ong ialah gelar Thio Hian-tiong.

   Englek- te (Kaisar Eng-lek), sebelumnya dikenal sebagai Kui Ong yang nama kecilnya Yu Ling, ialah Kaisar yang kemudian dikejar-kejar Go Sam-kui dan akhirnya terbunuh di Birma itu.

   Asal Li Ting-kok adalah panglima Thio Hian-tiong, belakangan ia dititahkan Kui Ong melawan pasukan Boan untuk menyelamatkan dinasti Beng.

   Waktu Thio Hian-tiong menghadapi kehancuran total, dalam jengkelnya ia telah menenggelamkan semua harta timbunannya ke dalam sungai, tapi masih ada sebagian emas yang berada di pasukan Li Ting-kok, maka Thio Hian-tiong telah mengirim surat padanya agar harta itu dibuang saja, namun Ting-kok tidak lantas menuruti perintah itu, ia mengajukan permohonan agar boleh mempertahankan harta itu.

   Tatkala mana Thio Hian-tiong dalam keadaan luka dan sudah dekat ajalnya, karena surat Li Ting-kok itu, ia bilang pada utusannya.

   "Sebenarnya aku bermaksud menenggelamkan diri bersama dengan kekayaan ini, siapa tahu Li Ting-kok, si bocah ini begitu memberatkan sedikit emas, sudahlah, kau kembali dan bilang padanya, tak dibuang juga boleh, asal sekali-kali jangan sampai jatuh ke tangan musuh."

   Harta benda yang ditenggelamkan Thio Hian-tiong entah sudah berapa banyak, maka terhadap sedikit emas di tempat Li Ting-kok yang tiada artinya itu lak hcfliUi di|";Mnli"w "Minya, jika tidak, menuruti wataknya yang keras, titlult nanti 5,i Timy kok berani membangkang.

   Dan kemudian setelah Eng-lek-te dinaikkan tahta oleh Li Ting-kok, kembali ia sendiri digempur dan dikejar Go Sam-kui, makin lama kekuatan induknya makin menipis.

   Kaisar Eng-lek insyaf juga tiada harapan lagi, maka ia menyerahkan semua emas simpanannya kepada Li Ting-kok untuk digunakan seperlunya, kumpulan emas itu seluruhnya ada 18 ribu kati, Ting-kok memilih 300 orang kepercayaannya yang disumpah dan di bawah pimpinan Kui Thian-lan, emas-emas itu dibikin menjadi 18 patung Buddha Lohan dan disimpan dalam goa itu.

   Waktu pekerjaan menyimpan mendekati selesai, Thian-lan telah mengirim orang-orangnya berangsur kembali ke pasukan induk, paling akhir hanya tinggal 6-7 orang tenaga ahli saja untuk menyelesaikan alat-alat perangkap rahasia yang dipasang dalam goa untuk menjaga keselamatan harta ini, dan di antaranya Ho Ban-hong termasuk tenaga ahli yang masih tinggal itu.

   Han Hing adalah pembantu Thian-lan, waktu hampir selesai pekerjaannya, Han Hing malahan disuruh kembali dulu dan juga tidak diberitahu tentang rahasia-rahasia dalam goa.

   Tentu saja Han Hing penasaran, cuma tak diutarakannya.

   Rasa mendongkol itu sudah 20-an tahun ditekannya.

   Setelah pekerjaan menyimpan emas selesai, bersama pembantu- pembantunya itu Thian-lan kembali ke pasukan induknya lagi.

   Akhirnya mereka terdesak ke daerah Birma, bersama tiga ratus orang kepercayaannya sudah banyak yang mati dan tinggal beberapa orang saja.

   Kemudian tewasnya Li Ting-kok pun membikin mereka saling berpencar lagi.

   Hanya Kui Thian-lan yang menerima pesan rahasia Li Ting-kok, ia mengasingkan diri ke Kiam-kok, di samping menghindari pencarian musuh sebenarnya sambil menjaga simpanan emas itu.

   Dan ia sudah bersumpah, maka sebelum meninggal tiada seorang pun yang ia beritahu rahasia itu, sekalipun Cioktoanio.

   Hanya secara diam-diam ia melukiskan tempat penyimpanan itu di atas baju kuning, ia pikir bila Tiong-bing sudah dewasa baru akan memberitahu semua rahasianya agar pemuda ini kelak bisa l*i i linu) ; untuk misa dan ban^a dungui modal harta terpendam ilw Hiapa duga hidupnya diselingi dengan peristiwa sedih akan l"-i'id iwlhan pahamnya dengan Ciok Thian-sing hingga Tiong-liitijt lari dari rumah dan Thian-lan sendiri tewas secara mengemiskan di gunung sunyi itu.

   Mengenai diri Han Hing, sesudah Li Ting-kok tewas, ia pun mengasingkan diri di timur Su-cwan, ia pun memperdalam i intu silatnya hingga menjagoi kalangan Bulim di daerahnya.

   Sebenarnya ia tiada nafsu lagi buat ikut mengurus pergerakan ne-fiira yang besar, juga tiada pikiran buat mencuri simpanan emas itu.

   Tak terduga salah seorang ahli bangunan yang ikut membikin goa itu dalam keadaan kepepet, akhirnya ia bernaung di tempat Lo Thay, seorang benggolan bandit yang kemudian karena serakahnya telah membocorkan rahasia itu pada benggolan ini serta menghasutnya agar pergi mengambil emas-emas itu, ia pun memberitahukan bahwa Han Hing termasuk salah seorang yang dulu ikut dalam pekerjaan menyimpan harta emas itu.

   Lo Thay menjadi girang karena laporan itu, segera saja ia mendatangi Han Hing dan mengajak bekerja-sama.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia cukup pandai bicara, lebih dulu ia mengumpak kepandaian Han Hing agar mengambil emas itu untuk menonjolkan namanya di kalangan Lok-lim, di samping itu ia menghasut agar Han Hing menantang Kui Thian-lan bertanding untuk menaikkan derajatnya di dunia persilatan.

   Memangnya Han Hing seorang yang tinggi hati dan serakah, sudah tua masih gegabah, ia pikir emas itu kini sudah tak bertuan lagi kalau dirinya bisa mengambil, dengan segera menjadi kaya raya.

   Karena itu ia tertarik, ia lalu bersekongkol dengan Lo Thay, di samping itu ia mengajak pula beberapa jago lain dengan maksud untuk melawan Kui Thian-lan.

   Meskipun urusan itu sangat dirahasiakan, tapi entah bagaimana akhirnya telah bocor, beberapa jagoan terkemuka di Su-cwan tanpa berjanji telah mendatangi Kiam-kok secara bersama-sama.

   Orang-orang inipun seperti Lo Thay yang tak punya jiwa besar, yang mereka inginkan melulu emas belaka.

   Tentang pedang pusaka 'Theng-kau-pokiam' yang ditemukan Kui Tiong-bing itu memang juga barang Li Ting-kok yang diserahkan pada Thian-lan sebelum mangkat, ia berpesan agar senjata itu disimpan baik-baik untuk diberikan pahlawan lain.

   Kui Thian-lan sengaja mengikat senjata yang bisa ditekuk itu di patung tengah yang ia bikin serupa wajah Li Ting-kok sebagai peringatan, siapa duga akhirnya pedang itu jatuh di tangan Tiong-bing juga secara kebetulan.

   Begitulah, maka sesudah Leng Bwe-hong membaca surat wasiat Li Ting-kok itu, ia menjadi jelas asal usul harta terpendam itu.

   "O, maaf, maaf, kiranya kaulah tuannya emas ini,"

   Kata Bwe-hong kemudian tertawa dingin.

   "Kalau begitu, tentunya kau adalah Li Ting-kok Ciangkun? Padahal sudah lama aku mendengar Li Ting-kok sudah gugur di tanah asing, siapa nyana ia masih hidup sampai sekarang?"

   Merah padam wajah Han Hing oleh sindiran orang.

   "Kalau milik Li Ting-kok juga bukan milikmu,"

   Sahurnya gusar.

   "Aku sedikitnya pernah berjuang mati hidup dengan Li Ting-kok, waktu itu kau bocah ingusan ini mungkin masih menetek, jelek-jelek aku ada hubungannya dengan harta ini, dan kau terhitung manusia apa?"

   "Kau pernah mati hidup ikut Li Ting-kok, itulah paling bagus, tentunya kau pun paham akan maksud tujuannya,"

   Kata Bwe-hong tertawa. Tapi Han Hing sudah amat gusar, mendadak ia sambitkan tongkat buntungnya pada Leng Bwe-hong sambil membentak.

   "Hanya macammu saja berani merintangi aku? Hm, jangan kauharap!"

   Namun Bwe-hong cukup waspada, cepat ia pun mengayun tangannya, satu sinar hitam keemas-emasan telah menyambar ke depan dan membentur tongkat buntung orang hingga terpental balik, nyata itulah senjata rahasia Sin-bong yang hebat.

   "Justru aku akan merintangimu!"

   Balas Bwe-hong.

   Dan karena menyambar balik senjatanya itu, lekas Han Hing berkelit sambil mengulur tangan menangkap kembali tongkatnya.

   Waktu ia periksa ternyata di atas tongkat menancap sebuah benda kecil yang mirip anak panah, keruan ia terkejut.

   Pikirnya.

   "Dengan senjata rahasia sekecil ini, ia bisa memukul balik tongkatku yang kutung ini, sungguh tenaganya tidak kecil, kalau sebentar bertanding dengannya, rasanya sukar mengalahkannya."

   Tapi Han Hing adalah jagoan yang disegani, tidak nanti ia mau terima mentah-mentah hinaan itu.

   "Jika kau menginginkan emas itu, nah, lekaslah maju,"

   Ia dengar Bwe-hong menantang lagi sambil melempar pedangnya ke udara, kerlingan matanya penuh rasa menghina.

   Sedang Kui Tiong-bing, si pemuda baju kuning dengan pedang 'Theng-kau-pokiam' sudah bersiap-siap juga di samping Leng Bwe-hong.

   Di sebelah sana, Ho Ban-hong, orang yang dulu ikut menyimpan emas dalam goa ini dan memasang alat perangkapnya, diam-diam menjadi kuatir demi menyaksikan ketangkasan Leng Bwe-hong tadi yang bisa mendorong kembali patung emas yang bergoyang-goyang kena disurung Han Hing lebih dulu itu, dari sini saja sudah kelihatan orang lebih unggul daripada Han Hing.

   Karena itu segera ia membuka suara.

   "Di sini banyak terpasang alat perangkap rahasia, kalau mau bertanding lebih baik di luar saja untuk mengukur dasar lautan dan menentukan kepu-tusan." 'Mengukur dasar lautan' adalah istilah kaum begal yang maksudnya berkata secara terang-terangan keinginan masingmasing bila ada perselisihan. Dengan perkataan ini Ho Banhong maksudkan berunding secara baik-baik dengan Leng Bwe-hong.

   "Betul itu,"

   Sokong Tat-tusi segera.

   "Apa gunanya cekcok karena sedikit emas ini, lebih baik dirundingkan saja di luar sana, seteguk air biarlah kita minum bersama!"

   Padahal tak pernah terlintas dalam pikiran Tat-tusi untuk berbagi emas dengan Leng Bwe-hong dan kawan-kawan.

   Ia hanya kuatir tak unggulan melawan Bwe-hong dan Tiong-bing yang gagah itu, maka ia pikir pancing keluar dulu, di luar sana jumlah mereka lebih banyak dan tak usah kuatir lagi.

   "Baik juga,"

   Sahut Bwe-hong kemudian sambil memasukkan pedang ke sarungnya.

   "Hendak berkelahi memang harus cari suatu tempat yang baik. Marilah silakan keluar!"

   Tanpa berkata lagi segera Han Hing mendahului keluar dengan perhitungan 'Co-sam, yu-si, Tiong-capji' dan disusul yang lain-lain. Setelah keluar, segera para benggolan yang sedang menunggu itu mengerumuni mereka dan menanyakan hasil penyelidikan itu.

   "Kita betul-betul sedang ketumplek rejeki,"

   Demikian kata Ho Ban-hong.

   "Semua emas memang berada di dalam."

   "Ya, emasnya sudah ketemu, hanya cara membaginya yang harus dirundingkan,"

   Sambung Tat-tusi.

   "Sejak mula kita bertujuh sudah tahu tempat penyimpanan emas ini, makanya datang kemari,"

   Ujar Thio Goan-cing.

   "Bagian kita sudahlah pasti. Tetapi, bagaimana mereka bertiga?"

   "Leng-tayhiap bertiga sudah tentu masing-masing pun dapat bagian,"

   Sela Loh-taylingcu.

   "Marilah kita bagi menjadi sepuluh sero, dengan demikian tak perlu ribut-ribut lagi."

   "Aku paling dulu masuk goa hingga terluka, tadi kalian sudah berjanji, maka harus membagi aku sero tersendiri,"

   Kata Lo Thay sambil menahan sakit.

   "Bila kau berhasil, tentu bagianmu akan dua sero tetapi begitu masuk kau sudah terpanah keluar!"

   Kata Han Hing menyindir.

   "Cuma cara pembagian emas itu tidak bisa dilakukan begitu saja!"

   "Lalu cara bagaimana?"

   Tanya yang lain-lain curiga.

   "Emas aku yang simpan, alat rahasia dia yang pendam,"

   Kata Han Hing sambil menuding Ho Ban-hong.

   "Maka kami berdua masing-masing mendapat dua sero, kamu lima orang masing-masing sebagian, selain itu, aku telah mengajak dua orang kawan lagi bersama Ho-laute, walaupun belum muncul orangnya tapi harus membagi mereka tiap orangnya satu sero, sedang mengenai tiga tamu di sebelah sana itu"

   Ia menuding Leng Bwe-hong bertiga dan melanjutkan.

   "Menurut peraturan kalangan kita, hanya bisa digabung dan terhitung satu sero. Mereka hanya kebetulan memergoki, tidak bisa dibagi seperti kita."

   Mendengar itu, Lo Thay menjadi sangat penasaran, ia terluka dan hanya mendapat satu sero, tetapi dua kawan Han Hing yang belum muncul, malahan masing-masing juga mendapat satu sero.

   Meski mengkal, tetapi ia terluka parah, seluruh tubuhnya tak bertenaga, terpaksa ia tak berani buka suara.

   Sementara itu, Tat-tusi pun penasaran, dan ketika ia hendak buka suara sudah didahului Loh-taylingcu.

   "Han-toako dan Ho-toako masing-masing menghendaki dua sero, itu kita tak bisa apa-apa,"

   Katanya.

   "Tetapi Leng-tayhiap, mereka bertiga bergabung hanya mendapat satu sero. Itulah tidak adil. Menurut aku, kalau ada air diminum bersama, maka mereka seharusnya masing-masing pun mendapat satu sero. Sedang mengenai dua orang kawan Han-toako, memang Hantoako sudah mengajak datang mereka, kami bersedia mengalah, biarlah mereka bergabung mendapat satu sero, semua berjumlah tiga belas sero, dibagi rata. Bagaimana pikiran kalian?"

   Jiwa Lo Thay ditolong Loh-taylingcu, ia merasa berterima kasih, maka ia yang paling dulu menyatakan akur.

   Tat-tusi sekalipun tak ingin Leng Bwe-hong bertiga ikut mendapat bagian, tetapi ia berniat memancing supaya Han Hing bermusuhan, dengan begitu ia bisa 'menangkap ikan di air keruh', maka ia pun menyatakan setuju.

   Melihat sudah tiga orang yang menyetujui Leng Bwe-hong bertiga mendapat bagian rata, Han Hing menjadi gugup dan kuatir.

   Pikirnya kalau nanti mereka berserikat, pasti aku akan kewalahan.

   "Baik, memang tidak berkelahi maka tidak saling kenal,"

   Katanya kemudian ganti haluan.

   "Harta soal kecil, persahabatan lebih berharga, biarlah aku menurut perkataan Loh-tohcu tadi dan dibagi rata, menjadi tiga belas sero."

   Melihat siasatnya tak berhasil, Tat-tusi rada kecewa.

   Sewaktu para benggolan ribut mengenai cara pembagian emas, di sebelah sana, Leng Bwe-hong hanya tinggal diam saja, ia tak menghiraukan mereka.

   Dan sesudah Han Hing memutuskan menyetujui usul Loh-taylingcu, barulah mendadak ia berdiri, kedua matanya mendelik.

   "Siapa sudi berbagi cara begitu dengan kalian?"

   Bentaknya segera.

   "Kamu ini hanya ngaco-balo sendiri!"

   "Habis kalau menurutmu, bagaimana caranya?"

   Tanya Han Hing heran.

   "Semua emas ini adalah milikku, siapa ingin emas itu boleh terjang padaku!"

   Kata Bwe-hong dingin. Mendengar perkataan ini, tidak saja para benggolan itu terkejut, bahkan Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian ikut merasa heran.

   "Aneh, Leng-tayhiap telah berubah jiwanya dan kemaruk emas?"

   Demikian pikir mereka.

   "Untuk apa emas begini banyak?"

   Tanya Kui Tiong-bing pe lahan sambil menjawil Leng Bwe-hong.

   "Jangan urus,"

   Sahut Bwe-hong berbisik.

   "Dengan emas ini akan kutaklukan iblis-iblis ini untuk suatu pekerjaan besar."

   Leng Bwe-hong hendak mengangkangi emas tersebut, itulah sungguh di luar dugaan benggolan-benggolan itu, hingga sesaat mereka tak bisa berkata apa-apa, kemudian waktu Bwe-hong berbisik-bisik dengan Kui Tiong-bing mereka menyangka Bwe-hong berdua sedang berembuk cara melayani mereka, maka mereka menjadi gusar, bahkan Lohtaylingcu yang tadinya berterima kasih pada Leng Bwe-hong, kinipun berubah pandangan.

   Pikirnya.

   "Nama 'Thian-san-sinbong' ternyata palsu saja dan tak lain hanya manusia rendah, asal nampak keuntungan lalu lupa persahabatan."

   Maka belum Han Hing berkata, ia sudah mendahului ke depan.

   "Leng-Tayhiap,"

   Katanya sambil memberi hormat.

   "Dengan namamu 'Thian-san-sin-bong' yang besar, kau hendak menelan seluruhnya, sepantasnya kami mundur. Tetapi saudara-saudara ini jauh-jauh kemari dan Leng-tayhiap suruh mereka kembali dengan tangan hampa, itulah tidak patut!"

   "Betul,"

   Seru para benggolan itu beramai.

   "Peraturan darimanakah ini?"

   "Ha, justru inilah peraturan golonganmu sendiri,"

   Sahut Bwe-hong tertawa.

   "Emas kami yang menemukan dulu, semangkuk air dibagi minum bersama atau tidak itulah tergantung padaku!"

   Menurut peraturan Lok-lim, waktu merampas sesuatu harta benda, bila kebetulan ada kawan segolongan ikut tahu, maka mereka boleh minta bagian, 'Kiau-cia-yu-hun' atau siapa yang melihat mendapat bagian.

   Tetapi itu juga harus mendapat persetujuan dari yang mendapatkan duluan, jika yang menemukan tidak setuju dan yang minta bagian pun tidak mau mengalah, maka terpaksa harus diputuskan secara kekerasan.

   Dan dengan perkataan Leng Bwe-hong tadi, terang-terangan ia telah menantang.

   Loh-taylingcu menjadi serba sulit oleh perkataan Leng Bwehong, meski ia penasaran karena Bwe-hong hendak menelan sendiri dan mengangkangi seluruh emas, tetapi ia pun tidak ingin bertarung dengan Bwe-hong.

   Akhirnya ia mundur ke samping dan diam.

   Sebaliknya Han Hing dan Tat-tusi menjadi gusar hingga mata merah berapi.

   "Kalau begitu, terpaksa kita putuskan secara lain, coba katakanlah!"

   Kata mereka tawar.

   "Emas ini adalah milikku semua, maka siapa yang ingin bagian boleh coba maju bertanding denganku,"

   Sahut Bwehong.

   "Segala macam pertandingan aku siap melayani, kita bertanding untuk merebut emas, maka tiap-tiap pertandingan taruhannya adalah satu patung emas, siapa menang boleh dipakai buat modal lagi. Kalau kalian setuju biar aku seorang diri memborong semua pertandingan, tetapi kalau kamu ingin secara keroyokan kami tiga orang pun bersedia melayani."

   "Kami mempunyai keahlian sendiri-sendiri,"

   Pikir Han Hing.

   "Betapa pun lihainya Leng Bwe-hong, tak mungkin juga mengenal semua cabang keahlian, cara taruhan itu malahan lebih baik daripada secara keroyokan, kalau keroyokan, pedang Kui Tiong-bing itu saja sudah susah dilawan."

   Di sebelah sana Loh-taylingcu juga sedang berpikir.

   "Dengan cara pertandingan demikian, kalau bergilir sampai diriku, aku bisa bertanding secara halus untuk menjaga persahabatan."

   Karena itu, segera ia pun menyatakan akur. Melihat benggolan-benggolan semua sudah setuju, Leng Bwe-hong tersenyum, ia melayang pergi ke satu tanah datar, ia berdiri di atas sebuah batu besar.

   "Nah, siapa di antara kalian yang maju dahulu?"

   Tanyanya dengan suara lantang. Tat-tusi terima tantangan itu, ia meloncat maju.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Marilah turun, biar aku bermain denganmu,"

   Katanya.

   "Permainan apa?"

   Tanya Bwe-hong. Tat-tusi membuka bajunya, tampaklah tubuhnya yang hitam, ia menggerakkan kedua tangannya hingga otot tulang bersuara keretak-keretek.

   "Kita bermain pinjam tiga bayar lima. Biar aku memukul dulu tiga kali, nanti kubayar kau berikut rente lima kali,"

   Katanya lagi.

   "Waktu dipukul, masing-masing tidak boleh berkelit, juga tidak boleh membalas, kalau ada yang luka atau mampus, itulah takdir!"

   Tat-tusi adalah ahli Gwakeh kelas satu, ia mempunyai kulit tembaga tulang besi, ilmunya 'Tiat-poh-san' sudah mencapai puncaknya, ia sudah kebal senjata biasa, apalagi hanya kepalan tangan, pikirnya.

   "Kalau Leng Bwe-hong menerima juga pukul-anku, andaikan tidak mati tentu akan luka parah. Seumpama tidak luka, ia pukul aku lima kali, aku pun tak takut."

   Sebaliknya Loh-taylingcu yang mendengar cara pertandingan itu, ia menjadi geli, pikirnya.

   "Si Tat-tusi yang kasar ini ternyata juga bisa berpikir ingin mencari keuntungan, ia ingin memukul dulu tiga kali, tentu Leng Bwe-hong tidak mau menurut."

   Dan betul juga Leng Bwe-hong menolak.

   "Cara itu tidak adil,"

   Katanya.

   "Kalau begitu, kau pukul dulu tiga kali dan aku nanti pukul kau lima kali,"

   Ujar Tat-tusi. Siapa tahu, lain yang dimaksudkan Leng Bwe-hong.

   "Itu pun tidak adil,"

   Katanya lagi.

   "Untuk apa aku mengambil keuntungan memukul dua kali? Aku tidak menginginkan rente, kau boleh pukul dulu tiga kali, nah, setelah itu aku pun bayar kau tiga kali!"

   Tat-tusi menjadi gusar, pikirnya, berani kaupandang rendah padaku.

   "Kalau begitu, turunlah!"

   Teriaknya segera. Tapi dengan kaki tunggal Bwe-hong masih berdiri di atas batu besar itu, ia mengulur kepalanya.

   "Kau yang naik,"

   Serunya.

   "Di atas batu ini kita bisa bertanding lebih baik, siapa yang jatuh dihitung kalah."

   Tat-tusi coba memandang batu itu, ia lihat tempatnya hanya cukup untuk berdiri dua orang, jangankan berkelit sedang mengenjot tubuh saja sulit, pikirnya.

   "Inilah kaucari mampus sendiri."

   Segera ia pentang tangan dan melompat ke atas batu itu. Sementara itu Bwe-hong masih tetap berdiri dengan kaki tunggal.

   "Kau berdirilah yang kuat, batu ini terlalu sempit!"

   Katanya tersenyum.

   "Nah, sekarang kau boleh memukul!"

   Melihat Bwe-hong masih berdiri dengan satu kaki, terang orang sengaja memberi kelonggaran tempat padanya di atas batu, dan seakan-akan pandang sebelah mata padanya, keruan rasa gusar Tat-tusi memuncak.

   "Dan kau juga harus berdiri yang kuat!"

   Bentaknya terus memukul cepat. Tapi Leng Bwe-hong melambungkan dada menyambut pukulan itu.

   "Plak!"

   Terdengar suara keras seperti memukul pada kayu balok, tubuh Leng Bwe-hong bergoyang-goyang seperti hendak jatuh. Kui Tiong-bing terperanjat, segera ia hendak maju menolong, tapi Leng Bwe-hong sudah berdiri tegak lagi.

   "Aha! Tidak apa!' seru Bwe-hong sambil tertawa. Karena pukulannya seperti memukul pada lapisan baja, kepalannya sampai terasa sakit, tubuh Tat-tusi pun tergoncang hingga terhuyung-huyung, Kui Tiong-bing lagi memperhatikan diri Leng Bwe-hong, maka tak diketahuinya rupa Tat-tusi yang merah jengah, tetapi benggolan-benggolan lain terkejut sekali. Ternyata sengaja Leng Bwe-hong sambut pukulan keras itu untuk mengukur kekuatan lawan. Alhasil walaupun Leng Bwehong tidak terjatuh, namun dadanya pun dirasakan kesakitan. Lekas ia mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan, sesudah merasa tidak berhalangan atau terluka dalam, baru ia lega.

   "Pukulan pertama sudah, silakan yang kedua kalinya!"

   Katanya kemudian sambil tertawa.

   Namun Tat-tusi tidak berkata, ia mengumpulkan tenaganya, dengan cepat ia memukul pula dan kini yang ia arah adalah bawah perut Leng Bwe-hong.

   Sedikit Bwe-hong mengegos, maka kepalan Tat-tusi menyerempet lewat, dengan gampang Leng Bwe-hong menghindarkan lagi pukulan keras itu.

   "Pukulan kedua pun sudah, masih ada pukulan terakhir, pukullah baik-baik!"

   Kata Bwe-hong pula tertawa.

   Tat-tusi menjadi sengit, dengan mata melotot ia mengerernas dua kepalannya dan memukul berbareng.

   Mendadak Bwe-hong mendoyongkan tubuh ke belakang, sebelah kakinya menggantung, separoh tubuhnya sudah terapung.

   Tenaga pukulan kedua tangan Tat-tusi itu tidak kurang dari ribuan kati, karena Bwe-hong mendoyong tubuh ke belakang dan hanya sebelah kakinya menancap di batu, sedang perutnya mendadak legok ke dalam beberapa senti, maka dengan tepat kedua kepalan Tat-tusi mengenai tempatnya, tapi tahu-tahu telah kena tersedot oleh perut Leng Bwe-hong, tangan Tattusi sudah diulur seluruhnya, ia tidak bisa mengeluarkan tenaga lagi.

   Tiba-tiba Leng Bwe-hong melembungkan perut sambil membentak.

   "Lepas!"

   Maka terasalah oleh Tat-tusi ada satu kekuatan maha besar yang memukul balik hingga tubuhnya terhuyung-huyung hendak roboh, beruntung ia pun cukup ulet, ia menekan keras kedua kakinya barulah bisa menahan diri.

   Menyaksikan adegan yang berbeda-beda itu, para jagoan tak tahan bersorak kagum.

   Setelah Leng Bwe-hong menerima tiga kali pukulan, ia masih bersikap tenang, ia berdiri tegak berhadapan dengan Tat-tusi.

   "Dan kini giliranku yang memukul,"

   Katanya kemudian dengan tertawa.

   "Sudahkah kau berdiri yang kuat."

   "Tunggu dulu!"

   Kata Tat-tusi tiba-tiba agak keder. Lalu ia mengumpulkan tenaga dan mengatur napas, seluruh tulang tubuhnya keretekan bersuara. Pikirnya.

   "Kau Leng Bwe-hong meski berkepandaian tinggi, belum tentu bisa memecahkan 'Tiat-poh-san' milikku yang kebal terlatih ini!"

   "Pukullah!"

   Serunya kemudian setelah menancapkan kakinya kuat-kuat. Leng Bwe-hong tersenyum kecil, ia mengayun-ayunkan tangan kiri, tapi tahu-tahu tangan kanan menerobos menghantam dari bawah.

   "Awas pukulan pertama!"

   Teriaknya.

   Mendadak Tat-tusi sedikit menurunkan tubuh, ia benturkan pundaknya ke atas, dan "Plak", tepat pukulan Leng Bwe-hong mengenai pundaknya, tapi ia pun merasakan satu kekuatan besar menghantam kembali padanya, lekas ia menggeser badan waktu Leng Bwe-hong menarik kembali tangannya.

   "Berdirilah yang kencang!"

   Bentak Bwe-hong dengan tubuh sedikit bergeser ke samping. Keruan muka Tat-tusi merah padam, ia terpaksa menahan tubuhnya dan bungkam seribu basa. Sekali pukul tak dapat merobohkan lawannya, diam-diam Bwe-hong pun merasa heran.

   "Kepandaian orang ini tidak mengecewakan namanya, biar aku mencoba lagi ilmu Tiatpoh- san yang hebat ini!"

   Demikian pikirnya. Kembali ia tersenyum, ia memutar kakinya, tiba-tiba ia memukul dari samping ke dada Tat-tusi sambil berteriak.

   "Awas, pukulan kedua datang pula!"

   Sekali ini Tat-tusi tak berani gegabah lagi, ia melembungkan dada menerima pukulan keras itu dari depan.

   Waktu kepalan Leng Bwe-hong mengenai sasarannya, ia merasakan seperti mengenai batu yang keras, ia coba membarengi menekan ke bawah dengan kuat, segera Tat-tusi merasakan seperti sebuah martil yang beratnya ribuan kati telah memukul, kembali ia mengeluarkan suara tertahan, tubuhnya bergoyang sedikit, ia paksakan diri berlaku tenang.

   Pukulan Leng Bwe-hong tadi adalah secara Ngekang, atau tenaga luar yang keras dan melihat Tat-tusi masih tidak terluka sedikitpun, diam-diam ia pun memuji.

   "Ilmu Tiat-pohsan orang ini di kalangan Kangouw sudah boleh menduduki kursi pertama!"

   Setelah bisa menyambut dua kali pukulan tanpa menimbulkan kesulitan apa-apa, Tat-tusi menjadi bersemangat, ia pun hendak pamer ketangkasannya di hadapan orang banyak buat menutup kehilangan mukanya tadi.

   "Meski aku sudah tua, namun rasanya tulangku masih cukup keras, kan masih ada sekali pukulan lagi, maka pukullah baik-baik!"

   Demikian katanya ber-gelak tertawa.

   Tapi belum berhenti ia tertawa, sekonyong-konyong kedua kepalan Leng Bwe-hong telah memukul pula berbareng menuju kedua belah lambungnya.

   Tat-tusi coba menyambut pukulan itu sekuatnya.

   Tak disangka, begitu pukulan hampir sampai Leng Bwe-hong telah merubah kepalannya menjadi telapakan, ia menepuk keras kedua jalan darah 'Yong-cwanhiat' orang.

   Tat-tusi walaupun kebal dan tidak takut totokan, namun 'Yong-cwan-hiat' adalah salah satu urat nadi dari ke-60 jalan darah yang paling berbahaya di tubuh orang, ditambah pula tenaga yang luar biasa dari Leng Bwe-hong, tentu saja ia tak sanggup menahan, ia merasakan seluruh tubuhnya kaku kesemutan, bagaikan layang-layang yang putus benangnya ia terjungkir jatuh ke bawah.

   Loh-taylingcu berdiri paling dekat, maka ia memburu maju hendak menolongnya, tetapi Tat-tusi pun tidak lemah, dengan satu gerakan 'Le-hi-pak-tim' atau ikan lele meletik tubuh, ia telah bangkit kembali.

   "Aku tidak menginginkan emas lagi,"

   Teriaknya dengan muka merah padam, ia membalikkan tubuh terus hendak pergi, ia hendak kembali ke kampung halamannya buat berlatih ilmu silat yang lebih tinggi.

   "Jangan buru-buru, masih ada Siaute di sini,"

   Kata Han Hing mencegah. Ia berusaha menahan Tat-tusi bila nanti terpaksa harus secara keroyokan agar bisa mempunyai konco yang lebih banyak.

   "Aku sudah mengaku kalah, buat apa tinggal di sini lebih lama dibuat tontonan?"

   Kata Tat-tusi.

   "Tat-tusi!"

   Seru Bwe-hong "Kau punya Tiat-poh-san sebenarnya tak bisa kumenangkan, aku hanya mengandalkan ilmu menotok dan menangkanmu dengan akal, nanti aku masih akan minta petunjuk darimu."

   Walau tahu Leng Bwe-hong sengaja memberi muka padanya, terpaksa juga Tat-tusi tinggal di situ.

   Dan orang kedua yang maju bertanding dengan Bwe-hong ialah To Hong, ia mempunyai latihan ilmu sebelah bawah yang kuat.

   Ia mengajak Leng Bwe-hong bergumul, tetapi kekuatannya jauh di bawah Tat-tusi, ia tak bisa tahan karena Bwe-hong punya tenaga yang luar biasa, maka tiada beberapa jurus ia sudah kena dibanting roboh oleh Bwe-hong.

   Orang ketiga yang maju ini mau tak mau membuat Leng Bwe-hong agak ragu-ragu, yang maju kali ini ialah Lohtaylingcu.

   "Orang ini termasuk seorang laki-laki jujur, kalau ia tak tahu diri dan minta bertanding senjata hingga melukainya, itulah sungguh tidak baik,"

   Demikian pikir Bwe-hong. Tengah ia ragu-ragu, Loh-taylingcu dengan menghormat sekali sudah mendahului buka suara.

   "Leng-tayhiap, aku ingin minta pelajaran Guncang darimu,"

   Katanya.

   "Soal emas itu, meski aku Loh-taylingcu rudin, masih ada sesuap nasi buat makan, maka bila Leng-tayhiap menghendaki emas, tak berani kubicara tentang berunding buat merebut emas, pendeknya tak peduli menang atau kalah, emas bagianku itu, kau boleh ambil sekalian."

   Mendengar itu, diam-diam Leng Bwe-hong tertawa geli, ia tahu Loh-taylingcu menyangka dirinya hendak mengangkangi emas dan menganggapnya orang serakah. Pikirnya.

   "Biarlah nanti kalau sudah kujelaskan baru kau akan mengerti, kini boleh kau salah paham dahulu."

   "Loh-thocu terlalu bersungguh-sungguh,"

   Sahutnya kemudian sambil memberi hormat.

   "Soal emas, biar dibicarakan nanti sesudah bertanding. Sekarang silakan kaukatakan cara bagaimana kita bertanding ilmu mengentengkan tubuh?"

   "Kita berlari memanjat puncak gunung ini dan di tengah jalan tak boleh berhenti,"

   Kata Loh-taylingcu menunjuk satu puncak di depan sana.

   "Dengan sekali naik turun saja, segera bisa kentara ilmu mengentengkan tubuh masing-masing. Yang berada di sini semua adalah tokoh-tokoh ternama, tidak nanti mereka mengatakan yang buruk yang menang."

   "Baik!' kata Bwe-hong.

   "Loh-thocu, silakan kau duluan!"

   Kiam-kok adalah tempat yang tersohor curam dan berbahaya, tiap puncaknya melulu tebing yang gundul mengkilap, kera saja susah memanjatnya, kalau kepandaian sedikit rendah pasti akan terjatuh mampus.

   Dalam hal ilmu mengentengkan tubuh, Loh-taylingcu mempunyai latihan yang matang, tadi waktu ia menolong jiwa Lo Thay sudah ia tunjukkan, kini dengan Bwe-hong menyuruhnya duluan, segera ia mengenjot tubuh bagai anak panah terlepas dari busurnya, ia meloncat naik hingga beberapa tombak tingginya, kedua kakinya menutul tebing, secara berputar dan bergantian ke kanan dan ke kiri, hanya terlihat ia belok sana dan tikung sini di atas tebing gunung itu, dalam sekejap saja ia sudah sampai di atas puncak.

   Leng Bwe-hong mengetahui cara orang itu disebut 'Boantho- kang', yakni secara huruf 'S' untuk mengimbangi badan, yang susah ialah cara berkelok dan menikung di tebing yang curam itu, tapi ia ternyata bisa bergerak sesukanya, kepandaiannya itu boleh di kata sudah mencapai puncak kematangan.

   Setelah sampai di atas, Loh-taylingcu tidak berhenti, kembali ia turun ke bawah dengan cara tadi.

   Waktu tinggal 5- 6 tombak dekat di atas tanah, mendadak ia pentang tangan dan meloncat turun, dengan enteng sekali bagai burung ia dapat melayang turun dengan gerakan yang manis hingga para jagoan itu bersorak memuji.

   "Aku dibesarkan di Kiam-kok sini, bicara tentang ilmu mengentengkan tubuh, aku masih berada di bawahnya. Entah dengan cara apa Leng-tayhiap akan mengatasinya,"

   Demikian pikir Kui Tiong-bing diam-diam.

   "Cianpwe punya gaya ternyata luar biasa,"

   Kata Bwe-hong setelah Loh-taylingcu turun.

   "Wanpwe hanya bakal unjuk keburukan saja, maka harap jangan dibuat bahan tertawaan!"

   Habis itu, kakinya menutul pelahan, cepat sekali tubuhnya mencelat ke atas, dengan gerakan 'It-ho-ciong-thian' atau burung bangau menjulang ke langit, ia melayang naik hingga belasan tombak tingginya, setelah berada di atas tebing, tanpa kakinya menempel lagi, ia tepuk pelahan kedua tangannya ke te-pian tebing, tubuhnya kembali melayang naik lagi, dan begitulah seterusnya beberapa kali berganti tangan dengan cepat, orang-orang di bawah hanya nampak ia seperti burung terbang naik, sekejap saja sudah sampai di atas puncak dan dengan sekali putar, ia menggunakan cara yang sama untuk melayang turun, setelah 15-16 tombak di atas tanah tiba-tiba ia menukikkan kepala ke bawah dan kaki di atas, ia terjun bagai batu meteor jatuh, dibarengi suara jeritan orang banyak, waktu hampir dekat tanah, ia berjumpalitan, dengan tenang ia telah menancapkan kakinya dengan anteng.

   Menyaksikan pertunjukan hebat itu, baik dia kawan maupun lawan tak tertahan lagi mereka bersorak riuh memuji.

   "Aku mengaku kalah!"

   Kata Loh-taylingcu, lalu ia pun mundur ke tempatnya tadi dengan membisu. Melihat Leng Bwe-hong beruntun telah memenangkan tiga babak, Han Hing tak tahan lagi. Tongkatnya yang sudah terkurung itu ia selipkan di pinggangnya, lalu ia melangkah maju.

   "Leng-tayhiap, mari kita juga bertanding!"

   Serunya.

   "Cara bagaimana kau ingin bertanding?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Leng-tayhiap mempunyai ilmu mengentengkan tubuh dan ilmu senjata rahasia sudah kusaksikan tadi,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Han Hing.

   "Kini kuingin belajar kenal Lwekang Leng-tayhiap."

   "Menurut!"

   Sahut Bwe-hong secara hormat.

   Segera Han Hing mengumpulkan kayu dan rumput-rumput kering yang terdapat di situ, lalu diikat menjadi lima gebung, kemudian ia menyalakan api dan menyulutnya, ia tancapkan kayu-kayu itu di atas tanah, lima gebung api itu segera berkobar-kobar.

   "Marilah kita bertanding ilmu 'Pi-khong-cio',"

   Kata Han Hing lagi.

   Habis berkata, ia menyingsing lengan bajunya, otot-otot kedua tangannya terlihat menonjol, seluruh tulang tubuhnya bersuara keretakan, begitu melihatnya segera orang akan tahu ia adalah seorang ahli Lwekeh.

   Han Hing mengumpulkan tenaga, setelah itu ia menggerakkan kedua tangannya naik turun, ia berjalan pergi datang beberapa kali mengitar, makin lama makin cepat.

   Sekonyong-konyong kakinya menutul, tanpa kelihatan bergerak tahu-tahu ia sudah berada di depan gebung api yang tengah, dari jarak! urang dua meter, tiba-tiba dengan gerakan 'Tui-tang-bong-gwat' atau membuka jendela memandang rembulan, sebelah tangannya memukul obor api itu, angin pukulannya mendesir keras, api itu bergoyang-goyang ke belakang, dan pada waktu api hampir padam, dengan cepat Han Hing memukul pula dengan telapak tangan kanan, segera tertampak lelatu api berhamburan dan api di tengah itu segera sirap.

   Menyusul tubuhnya berputar, ia membalikkan tangannya, tetap menggunakan cara tadi, serangan dan gerakan tangan kiri memukul dulu, setelah sumbu api tertarik panjang baru pukulan tangan kanan menindih pula buat memadamkan api.

   Sesudah Han Hing memadamkan dua gebung obor, ia mengitar cepat seperti pada permulaan tadi, ia mengelilingi beberapa kali, sekali ini lebih lihai lagi, kedua telapak tangannya memukul berbareng dengan gaya 'Siang-liong-cuthay' atau sepasang naga keluar lautan, dua desiran angin yang keras telah menyambar, gebung api yang ketiga sekaligus kena terpadam, lelatu api muncrat jauh, kekuatannya sungguh mengejutkan.

   Menyusul itu, tubuhnya berbalik, dengan cara itu, ia memadamkan pula obor yang keempat.

   Beruntun dengan cara yang berlainan Han Hing bisa memadamkan empat obor, ia gembira sekali, ia menengadah dara tertawa panjang.

   Setelah itu, dengan langkah cepat ia memutar pula, ia mengunjuk beberapa jurus ilmu pukulannya, baru setelah itu, mendadak telapak tangannya mendorong ke depan, kali ini dari jarak yang lebih jauh memadamkan pula obor yang terakhir.

   Karena itu, para benggolan bertepuk tangan memuji.

   "Nah, inilah sedikit kepandaianku yang tua b angka, sekarang giliranmu boleh coba-coba,"

   Kata Han Hing sambil melirik Leng Bwe-hong.

   Ilmu 'Pi-khong-cio' atau pukulan telapak tangan kosong yang ditunjukkan Han Hing ini memang hebat, tapi dalam pandangan Leng Bwe-hong tenaganya masih kurang, sebab ia harus dibantu mengitar kian kemari dahulu baru bisa menyirapkan api, bahkan untuk memadamkan lima gebung obor harus dibagi menjadi tiga kali, jelas kelihatan Lwekangnya tak bisa bertahan lama.

   Maka begitu selesai orang berkata, Bwe-hong tersenyum, kemudian ia menyuruh Tiong-bing menyalakan kelima obor itu, malahan ditancapkan rada terpencar, kemudian ia melangkah maju pelahan, dalam jarak lebih dua tombak, mendadak tangannya bergerak memukul ke obor yang kiri dan sekaligus api itu sudah sirap.

   Kecepatan Leng Bwe-hong membikin kawan-kawannya terkejut.

   Dalam pada itu Bwe-hong telah memutar pula, ia mengayun tangan kanan dan kembali obor terpadam.

   Selesai dua obor disirapkan, Bwe-hong seperti acuh, mendadak ia membalik sambil kedua tangannya memukul berbareng, tahutahu obor ketiga dan keempat sirap semua.

   Waktu Han Hing memadamkan tiga obor pertama, lebih dulu ia harus menggunakan kedua tangannya bergantian, tapi kini Bwe-hong sekaligus malah memadamkan dua obor, melulu jurus ini saja sudah memutuskan siapa unggul atau asor.

   Tinggal sebuah obor lagi, Bwe-hong tak mendekatinya, dari jauh mendadak ia angkat kaki ke samping, dengan gerak tipu 'Yao-cu-hoan-sin' atau burung elang membalik tubuh, tiba-tiba telapak tangannya membalik terus memukul ke depan dengan tenaga dalam yang hebat, segera angin mendesir keras dan api obor terakhir itupun segera sirap.

   Kembali para penonton bersorak memuji, sebaliknya wajah Han Hing merah padam.

   "Kini apa yang akan kaukatakan lagi?"

   Seru Bwe-hong. Dari malu Han Hing menjadi gusar, matanya mendelik dan alisnya berdiri.

   "Baik, Pi-khong-cio aku mengaku kalah,"

   Demikian katanya sengit.

   "Tapi kauhilang tadi bahwa setiap pertandingan taruhannya sebuah patung emas, betul tidak?"

   "Ya,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Maka dua patung emas bagianku kupertaruhkan lagi,"

   Kata Han Hing.

   "Apa yang kau inginkan pula?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Ilmu mengentengkan tubuh, Lwekang dan am-gi hanya kepandaian yang tak berarti,"

   Kata Han Hing tertawa sinis.

   "Kini marilah kita coba-coba dengan senjata."

   "Selalu aku menurut, silakan keluarkan senjatamu,"

   Sahut Bwe-hong menerima tantangan orang. Segera Han Hing mencabut tongkatnya yang sudah terkutung oleh 'Theng-kau-pokiam' Tiong-bing tadi, ia mendahului mengambil tempat yang baik dan pasang kuda-kuda yang kuat.

   "Silakan menyerang,"

   Katanya segera. Tongkat Han Hing sebenarnya berpucuk kepala naga dan dari Tibet, meski sudah terkutung tapi ia mahir Tiam-hiat sehingga masih bisa dipakai peranti menotok, ia tidak menjadi kuatir. Sebaliknya Leng Bwe-hong sedang berpikir.

   "Di antara jago-jago Lok-lim ini, meski Tat-tusi orangnya kasar, tapi cukup jujur tulus, berani berkelahi berani mengaku kalah, sebaliknya Han Hing sombong dan tinggi hati, kalau belum keok betul dia belum mau tunduk."

   Dan ketika dilihatnya Han Hing mengerling tajam dengan tongkatnya yang sudah siap, ia hanya tersenyum dingin dan tidak lantas menyerang.

   "Tongkatmu sudah dikuningi orang, mana bisa digunakan sebagai senjata lagi?"

   Demikian ia berkata.

   "Justru beginilah senjata,"

   Jawab Han Hing angkuh. Segera Bwe-hong menyambar sekenanya seikat kayu sisa obor api yang belum terbakar, dengan alat inilah ia pun menirukan lagak Han Hing dan berkata.

   "Dan aku pun memakai senjata begini."

   Han Hing menjadi gusar oleh sikap Leng Bwe-hong yang jumawa itu, lebih-lebih dua puluh tahun paling akhir ini ia sangat disegani kawan maupun lawan di timur Su-cwan dan belum pernah ia merendah pada orang lain.

   Mendadak ia membentak, tengkarnya terus mengetok ke batok kepala Leng Bwe-hong.

   Namun Bwe-hong tidak gugup, ia tunggu sampai tongkat orang mendekat barulah secepat kilat ia melesat ke samping, gebung kayu yang dia pegang itu disabetkan pelahan ke muka Han Hing.

   Lekas Han Hing berkelit, namun segera Bwe-hong menyusulkan serangan lain lebih gencar, terpaksa ia harus melompat ke sana kemari.

   Dan setelah belasan jurus, barulah Han Hing kenal akan kelihaian Leng Bwe-hong.

   Terpaksa Han Hing bertahan sekuat tenaga, segera ia keluarkan permainan tengkarnya, 'Thian-mo-theng-hoat' yang berjumlah seratus delapan jurus, tapi meski hampir habis dilontarkan ilmu tongkat itu, belum sedikitpun ia berada di atas angin.

   Lekas ia merubah gaya ilmu tengkarnya lagi, tibatiba ia selingi dengan ilmu menotok yang lihai.

   "Ha, kiranya kau pun bisa menotok?"

   Kata Bwe-hong tersenyum sambil beruntun menghindarkan tiga kali serangan.

   "Apa kauhilang? Jika takut lekas mundur!"

   Sahut Han Hing gusar.

   "Hm, ilmu menotok saja apa herannya?"

   Kata Bwe-hong pula sambil terus menghindarkan serangan lawan.

   "Nih, gantian lihat punyaku ini."

   Berbareng itu, dengan gerakan 'Han-te-pat-jong' atau mencabut bawang di atas tandur, mendadak ia mencelat naik hingga serangan Han Hing mengenai tempat kosong, pada saat lain tahu-tahu gebung kayu Leng Bwe-hong sudah menyabet ke mukanya, lekas Han Hing mundur ke belakang tetapi sekali kena dibalas, segera Leng Bwe-hong merangsek terlebih kencang.

   Tatkala itu sudah dekat lohor, sinar matahari menyoroti air terjun itu hingga menimbulkan sinar mengkilap yang memantul, cepat sekali Leng Bwe-hong memberondong lawannya dengan serangan-serangan berbahaya, terpaksa Han Hing berdiri menghadap matahari, dengan demikian kedudukan Leng Bwe-hong sudah lebih menguntungkan, sebaliknya Han Hing menjadi silau hingga matanya berkunang-kunang, sedangkan pukulan Bwe-hong semakin gencar, jangan kata hendak menotok lagi, untuk menangkis saja kini sudah sulit.

   Ia insyaf bisa celaka, ia pikir paling selamat kabur.

   Tapi selagi ia bertahan beberapa gebrak lagi untuk segera angkat langkah seribu, namun sudah terlambat tiba-tiba terdengar suara gertakan Leng Bwe-hong, kayunya telah menyambar dengan gerak tipu 'Giok-li-joan-so' atau gadis ayu melempar tali, pinggang Han Hing telah diarah, cepat Han Hing berkelit dengan gerak tipu 'Boan-liong-jian-poh' atau ular naga melingkar langkah, namun serangan Bwe-hong yang lain sudah menyusul, tahu-tahu dadanya hendak disabet pula.

   "Kekuatan seikat kayu ini tentu terbatas, meski kena disabet, biar aku barengi menyerang untuk meloloskan diri,"

   Demikian pikir Han Hing akhirnya.

   Siapa duga baru saja ia berpikir, segera dadanya sudah terasa pegal kesemutan, sambil menjerit seluruh tubuhnya lantas terasa lumpuh, ia terguling roboh.

   Kiranya selain berilmu pedang yang tinggi Leng Bwe-hong mewariskan pula kepandaian gurunya ilmu 'Hut-hiat* atau menotok dengan cara menyabet.

   Dan karena robohnya Han Hing itu, para benggolan beramai menjerit, namun Leng Bwe-hong telah membuang ikat kayunya tadi, ia mendahului Tat-tusi membangunkan Han Hing, ia tepuk pelahan 'Hok-tho-hiat' di pinggang orang buat melepaskan totokannya tadi, lalu ia melepaskannya kembali.

   "Maafkan aku yang sembrono ini, Han-locianpwe,"

   Kata Bwe-hong sambil memberi hormat. Merah padam wajah Han Hing hingga ototnya yang hijau kelihatan menonjol, ia malu bercampur mendongkol, ia pun membisu dan membiarkan dirinya dipayang Tat-tusi terus hendak pergi.

   "Nanti dulu, Han-locianpwe!"

   Seru Bwe-hong tiba-tiba. Han Hing merandek, dan ketika ia hendak mendamprat orang, segera didengarnya Leng Bwe-hong telah berkata pada kawan-kawannya.

   "Dan kalian ini masih akan bertanding tidak?"

   Seperti diketahui yang masih belum bertanding ialah Lo Thay, ia terluka parah dan dengan sendirinya tak sanggup, sedang Ho Ban-hong, ia adalah seorang tukang meski berilmu silat juga, tak nanti berani melawan Leng Bwe-hong.

   Ada lagi Thio Goan-cing, tapi kepandaiannya di bawah saudara angkatnya, To Hong, padahal To Hong saja dalam dua tiga gebrak sudah dibanting roboh oleh Leng Bwe-hong, sudah tentu ia lebih-lebih tak berani maju.

   Dan karena pertanyaan Bwe-hong tadi, semua orang menjadi bungkam.

   "Mari kita pergi,"

   Ajak Han Hing gusar pada begundalnya.

   "Biarlah emas kita tinggalkan untuk dia, kita ingin lihat berapa lama ia bisa menikmati harta itu, emas sebanyak itu biarlah dibawa masuk ke dalam peti matinya kelak."

   Habis berkata, ia memberi tanda terus hendak berlalu.

   "Nanti dulu,"

   Seru Bwe-hong lagi. Tat-tusi menjadi gusar, ia berpaling dengan mata melotot.

   "Leng Bwe-hong, apa kau hendak menahan kami?"

   Tanyanya. Tapi Leng Bwe-hong tertawa terbahak-bahak.

   "Simpanan emas ini adalah milik kita bersama!"

   Serunya kemudian. Karena itu, semua orang menjadi heran.

   "Jangan kaupermainkan kami, Leng Bwe-hong,"

   Kata Han Hing mendongkol.

   "Ya, begitulah baru bisa dibilang ksatria sejati,"

   Ujar Lohtaylingcu mengunjuk jempolnya.

   "Memangnya emas hanya sampah, tapi budi dan setia kawan ialah emas!"

   Hanya Tat-tusi yang masih ngambek, katanya.

   "Tidak, meski kauberikan semua padaku, aku pun tak sudi, aku bukan pengemis yang harus minta-minta padamu!"

   Dalam pada itu, Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua juga terheran-heran oleh kelakuan Leng Bwe-hong yang aneh ini, sungguh mereka tidak mengerti, kalau tidak mau emasnya, buat apa tadi berkelahi mati-matian dengan orangorang ini? Dan sesudah simpang-siur pendapat para benggolan itu, kembali Leng Bwe-hong buka suara pula.

   "Saudara-saudara sesama orang Bu-lim (dunia persilatan), harap dengarkan sedikit pendapatku!"

   Demikian serunya. Dan ketika hendak dilanjutkan kata-katanya itu, tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan panjang, waktu Bwe-hong menegas ia lihat beberapa orang secepat terbang sedang mendatangi dari lembah sana, ia terkejut.

   "Kenapa datang lagi jago-jago begini banyak, tampaknya bisa berabe kalau sekomplotan dengan orang-orang ini,"

   Demikian ia berpikir.

   Tapi setelah dekat, dapat dikenalinya orang-orang itu dikepalai Ciok-toanio dan diikuti dua orang yang bukan lain ialah Pho Jing-cu dan Thio Jing-goan, perwira bawahan Li Layhing, selain itu ada lagi dua orang yang tak dikenal.

   Dan karena itu, Bwe-hong lantas menyapa kedatangan mereka.

   Di lain pihak demi nampak orang-orang itu, Han Hing juga bergirang.

   "Cu-samko, Jo-site, kenapa baru sekarang kalian datang kemari?"

   Dua orang yang tak dikenal itu kiranya adalah jago-jago yang diundang Han Hing, yang satu bernama Cu Thian-bok dan yang lain Jo Cing-po, mereka juga bekas bawahan Li Tingkok, ilmu silat mereka pun tidak di bawah Han Hing.

   Dalam pada itu Cu Thian-bok telah mendahului Han Hing, segera ia berseru.

   "Tidak semestinya pendaman emas ini kita miliki, yang empunya kini sudah datang!"

   "Siapa yang empunya?"

   Tanya Han Hing heran.

   "Dia ini adalah orang yang disuruh memeriksa emas simpanan itu oleh pemiliknya,"

   Kata Thian-bok pula sambil menunjuk Pho Jing-cu.

   "Ia bukan lain adalah tabib sakti Pho Jing-cu yang namanya tersohor, lekas kau berkenalan dengannya!"

   Semua orang terkejut demi mendengar nama Pho Jing-cu yang mereka kenal sebagai seorang tabib sakti dan tokoh silat yang disegani di dunia persilatan jauh melebihi Leng Bwehong.

   Dalam pada itu Han Hing belum tahu ada hubungan di antara Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong, ia menyangka Pho Jing-cu juga sengaja datang hendak merebut emas itu, pikirannya segera tergerak.

   "Haha, jika demikian, tentu akan menjadi ramai,"

   Serunya segera dengan tertawa.

   "Di sini sudah ada seorang Lengtayhiap yang mengaku sebagai pemilik emas, kini datang lagi seorang Pho-losiansing yang juga mewakili pemilik emas!"

   Dengan kata-katanya ini jelas ia sengaja mengadu-domba Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong, dengan demikian ia tinggal mengeduk hasilnya nanti. Siapa tahu, selesai ia bicara, berbareng Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong telah tertawa terbahak-bahak.

   "Bagaimana Leng-tayhiap? Patung emas itu sudah kautemukan?"

   Tanya Jing-cu masih dengan tertawa.

   "Ya, berkat nona Boh, emas itu sudah diketemukan,"

   Sahut Bwe-hong.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan darimana kautahu, jauh-jauh langsung datang kemari?"

   "Cerita ini agak panjang,"

   Kata Jing-cu.

   "Baiknya kauselesaikan dulu urusan dengan sobat-sobat ini."

   Karena itu, segera Bwe-hong mengeluarkan surat temuannya tadi.

   "Kawan-kawan,"

   Katanya kemudian.

   "Emas ini bukan milikku, juga bukan milik kalian, tapi adalah milik kita bersama. Hal ini sudah dijelaskan oleh pemilik asalnya di dalam surat ini."

   "Dari siapakah surat yang kaupegang itu?"

   Tanya Jing-cu.

   "Surat tinggalan Li Ting-kok Ciangkun,"

   Sahut Bwe-hong. Lalu dengan suara lantang ia pun membaca isi surat itu. Ketika dibacanya sampai kata-kata "Ditinggalkan pada pahlawan bangsa untuk pemulihan negara, siapa yang mengambil untuk kepentingan sendiri, terkutuklah dia!"

   Ia diam sejenak, sinar matanya menyorot tajam, habis ini terus disambungnya.

   "Han-locianpwe adalah bekas orang Li-ciangkun, tentunya ingat juga pesan terakhir pahlawan itu bahwa emas ini harus digunakan sebagai modal menegakkan kembali negeri kita!"

   "Jika begitu, kenapa kauhilang juga milik kita bersama?"

   Tanya Tat-tusi. Bwe-hong tersenyum oleh pertanyaan orang.

   "Apakah kau tahu kedatangan Pho-locianpwe mewakili siapa?"

   Sahurnya kemudian "Yang diwakilinya tidak hanya seorang dua, tetapi beratus ribu saudara-saudara bawahan Li Lay-hing Ciangkun! Li Lay-hing Ciangkun adalah cucu Li Jwan-ong yang pernah mengangkat saudara dengan Thio Han-tiong.

   Dan emas yang ditinggalkan Thio Han-tiong dan Li Ting-kok ini, selain dia, siapa lagi yang berhak memakainya?"

   "Betul,"

   Sela Pho Jing-cu.

   "Tepat sekali apa yang dikatakan Leng-tayhiap itu. Emas ini memang tidak pantas diincar siapa pun juga, tapi siapa pun mempunyai bagian juga bilamana ia bersedia ikut berjuang untuk menegakkan negara. Li Lay-hing Ciangkun sendiri sudah lama mengagumi kalian dan sengaja menyuruhku datang mengajak bekerja-sama dengan saudarasaudara."

   "Han-toako,"

   Sambung Cu Thian-bok tiba-tiba sambil maju menarik tangan Han Hing.

   "Apa yang dikatakan Pho-locianpwe memang benar."

   "Darimana kau tahu?"

   Tanya Han Hing masih sangsi.

   "Han-toako,"

   Jawab Thian-bok.

   "Berpuluh tahun kita bersahabat, biar aku berterus terang saja dan jangan kausesalkan aku, sebab akulah yang telah menghubungi Liciangkun, maksud tujuannya untuk kebaikanmu juga, aku ingin di hari tuamu bisa kembali dan mendapatkan tempat yang wajar dalam pasukan Li-ciangkun yang tentu akan menerimamu dengan suka hati, memangnya mereka sangat merindukan nasib kalian dari angkatan tua ini."

   Han Hing terbungkam oleh kata-kata orang, ia terharu hingga matanya basah.

   Kiranya dahulu tatkala masih dalam pasukan Li Ting-kok, antara Cu Thian-bok, Jo Cing-po, Kui Thian-lan dan Han Hing berempat disebut orang sebagai 'Su-kiat' atau empat ksatria gagah, dan di antara mereka berempat, Kui Thian-lan yang paling kuat, kemudian baru Cu Thian-bok.

   Hubungan Cu Thian-bok dengan Han Hing paling rapat, tapi di waktu Kui Thian-lan dan Han Hing diperintahkan memendam emas oleh Li Ting-kok, kala mana Cu Thian-bok dan Jo Cing-po ada tugas lain dan tidak ikut serta dalam pekerjaan itu.

   Kemudian setelah Li Ting-kok gugur, mereka masingmasing pun saling terpencar, Han Hing mengasingkan diri di timur Su-cwan dan Cu Thian-bok di daerah barat Su-cwan.

   Dari jauh pernah juga Thian-bok mendengar Han Hing banyak bergaul dengan kaum Lok-lim dan melupakan perjuangan yang dulu, ia menjadi kuatir kawannya ini tersesat Dan ketika Han Hing kena dibujuk Lo Thay untuk merebut emas dan datang minta bantuannya, ia pura-pura menyanggupinya, tapi begitu Han Hing pergi, ia segera memberitahukan pada Li Layhing.

   Mengenai Jo Cing-po, pandangannya tidak seluas Cu Thianbok, ia pun menyanggupi membantu Han Hing, maka ia datang ke Kiam-kok pada waktu yang dijanjikan, tapi lebih dulu ia hendak pergi mencari Kui Thian-lan dengan maksud membujuk bekas kawan seperjuangan ini agar membagi rata emas itu.

   Siapa duga di sana ia telah bertemu Ciok-toanio, nyonya tua ini menjadi gusar demi mendengar orang menyebut tentang emas, kontan ia melabrak orang dengan 'Ngo-kim-kiam-hoat' yang hebat hingga Cing-po terdesak kalang kabut.

   Beruntung pada saat yang berbahaya Cu Thianbok keburu datang memisah dengan membawa Pho Jing-cu dan Thio Jing-goan.

   Mereka menjadi terharu ketika mendengar cerita bahwa sudah lebih dua puluh tahun Thian-lan menjaga emas pendaman itu dan akhirnya tewas secara menyedihkan, mereka pun terkenang kembali pada masa silam tentang hubungan persahabatan mereka dan gegetun akan nasib yang menimpa sang kawan itu.

   Begitulah sesudah Thian-bok menuturkan semua selukbeluk itu, tangan Han Hing digenggamnya dengan kencang.

   "Han-toako,"

   Katanya pe lahan.

   "Percayalah padaku, marilah kita pergi bersama-sama dengan para pahlawan ini ke pasukan Li Lay-hing."

   "Kenapa tidak kaukatakan sejak tadi, Leng-tayhiap?"

   Seru Loh-taylingcu tiba-tiba mendahului.

   "Kalau kauterangkan sejak tadi tak perlu lagi aku ikut merecoki emas ini!"

   "Jika begitu,"

   Kata Bwe-hong girang.

   "Jadi kau "

   "Aku ikut kembali ke pasukan bersama saudara-saudara kami dari Cing-yang-pang,"

   Sambung Loh-taylingcu lantang. Lalu ia pun berpaling pada Lo Thay dan bertanya.

   "Dan kau bagaimana, Lo-toako?"

   Lo Thay merasa berhutang budi karena pemberian obat Leng Bwe-hong tadi, maka sesudah ragu-ragu sejenak, kemudian ia pun mengambil keputusan.

   "Bersama saudarasaudara kami dari Bi-san-ce, aku pun menurut pada perintah Leng-tayhiap,"

   Sahutnya kemudian.

   "Lo-cecu,"

   Kata Bwe-hong sambil merangkul orang.

   "Janganlah kau merendah, selanjutnya kita adalah orang sendiri!"

   Sementara itu Tat-tusi juga tak mau ketinggalan.

   "Aku adalah orang lurus,"

   Katanya sambil bertepuk tangan.

   "Maka biarlah kubicara terus terang, aku tak dapat menggabungkan diri pada Li-ciangkun seperti mereka."

   Pho Jing-cu memandang orang dengan tersenyum.

   "Dia adalah Tat-tusi, Tat Sam-kong,"

   Kata Bwe-hong coba memperkenalkan mereka.

   "Ya, justru karena aku seorang 'Tusi', maka aku telah terikat,"

   Kata Tat-tusi pula.

   "Aku tak mungkin meninggalkan suku bangsaku. Tetapi aku berjanji di sini, aku orang she Tat bagaimana terhadap Li Ting-kok dulu, selanjurnya dengan cara yang sama juga aku lakukan terhadap Li Lay-hing."

   Dengan janjinya ini, terang ia telah mengumumkan bersedia bekerja-sama dengan Li Lay-hing.

   "Bagus,"

   Seru Bwe-hong.

   "Sekali berkata, tetap pegang janji!"

   Tiba-tiba Tat-tusi memotong ke samping dengan sebelah tangannya hingga sebuah dahan pohon telah patah menjadi dua.

   "Jika ingkar janji, biarlah serupa dahan pohon ini!"

   Demikian ia perkuat janji setianya.

   Di sebelah sana mata Han Hing semakin basah, dengan kencang Thian-bok masih menggenggam tangannya, ia merasa hawa hangat sang kawan, di hadapannya berpasangpasang sorot mata pun sedang menantikan jawabannya.

   Mendadak ia tekuk tongkatnya yang sudah kutung itu hingga patah lagi.

   "Aku pun pergi bersama kalian!"

   Katanya segera dengan tegas.

   Dan karena Han Hing dan Loh-taylingcu yang merupakan pentolan mereka sudah mengambil keputusan kembali masuk ke pasukan Li Lay-hing, kini tinggal Thio Goan-cing dan To Hong, dengan sendirinya tiada alasan lab kecuali menurut juga.

   Girang amat hati Leng Bwe-hong sesudah usahanya menaklukkan gembong-gembong Lok-lim berhasil.

   Kemudian mereka beramai-ramai lantas mengikuti Cioktoanio kembali ke rumah batu tadi.

   "Kalau pagi tadi aku melarang kalian masuk, maka kini sebaiknya aku minta kalian suka masuk,"

   Kata Ciok-toanio.

   Thian-sing sangat girang bisa bertemu dengan para jago yang pernah turun tangan membantunya di Kiam-kok tempo hari, kemudian ia pun beramah-tamah dengan Loh-taylingcu yang sudah lama berpisah itu dan menyatakan kagumnya pula pada jago-jago yang lain.

   Suasana gembira itu telah melenyapkan rasa masgul semua orang tadi.

   "Sejak aku tahu kejadian yang sebenarnya, batinku selalu tertekan,"

   Demikian kata Thian-sing.

   "Aku menyesal telah menewaskan Suhengku sendiri, sebenarnya setelah bertemu kembali dengan Tiong-bing, aku berniat bunuh diri untuk menebus dosaku itu. Tapi demi nampak saudara-saudara yang bersedia berjuang untuk negara tanpa kenal lelah, barulah aku sadar sekarang kecuali menyebabkan kematian Suheng, masih berbuat lagi sesuatu kesalahan yang lebih besar."

   "Kesalahan apa lagi?"

   Tanya Ciok-toanio heran.

   "Ya, selama tiga puluhan tahun ini,"

   Demikian Thian-sing menutur.

   "Yang kupikirkan selalu kepentingan pribadi belaka, melawat ke timur dan mengembara ke barat, urusannya melulu soal diri sendiri dan tiada sesuatu yang berfaedah, sebaliknya tugas dan perjuangan kalian serta Thian-lan Suheng sama sekali aku tidak ambil pusing, sungguh hidupku ini dilewatkan dengan sia-sia saja, maka kalau kini aku mati begini saja tentu akan mengecewakan harapan Suheng, lebih berguna aku meneruskan perjuangannya. Biarlah sesudah lukaku sembuh, segera aku pun menggabungkan diri ke laskar Li Lay-hing. Tapi sebelum lukaku sembuh, aku pikir tinggal di sini dulu bersamamu (yang dimaksud adalah sang istri) untuk menjaga emas pendaman itu sampai kedatangan orang Liciangkun. Emas itu sudah dijaga Suheng selama dua puluh tahun, tugas ini biarlah kini serahkan padaku saja."

   Teringat akan Thian-lan, kembali Ciok-toanio mengucurkan air mata lagi.

   "Ya, memang, bagus kalau begitu,"

   Sahurnya kemudian sambil menyeka air matanya.

   Waktu itu memang Jing-cu lagi menguatirkan emas itu tiada yang menjaga, kini mendengar Thian-sing siap mengawasinya, keruan ia bergirang.

   Dalam pada itu, Ie Tiong, murid Thian-sing telah maju ke hadapan sang guru.

   "Suhu,"

   Katanya.

   "Masih ada satu urusan yang lebih penting!"

   "Soal apa, kenapa pakai main teka-teki?"

   Tanya Thian-sing.

   "SuhuA"

   Sahut Ie Tiong tertawa.

   "Sudah sehari penuh mereka belum bersantap. Sebagai tuan rumah kita hanya mengajak mengobrol saja, tapi tak memikirkan perut mereka, bukankah ini soal yang maha penting?"

   "Kau hanya pintar berolok-olok saja kenapa tidak kaukatakan sejak tadi?"

   Sahut Thian-sing tertawa.

   "Tapi kau tentu sudah menyediakannya sejak tadi, maka lekaslah keluarkan santapannya, bila tidak, apa gunanya aku mempunyai seorang murid?"

   Semua orang ikut tertawa karena kelakar guru dan murid itu.

   Suasana sedih tadi kini sudah tenggelam oleh suara tertawa itu.

   Dan dalam suasana riang gembira itulah Tiok-kun telah membawakan senampan kue terbuat dari tepung dan daging kambing panggang asal buruan Ciok-toanio.

   Dan karena sudah lapar para jago itu pun makan dengan lahapnya.

   Di waktu bersantap, Pho Jing-cu terus mengawasi Kui Tiong-bing, ia lihat pemuda ini sudah pulih kembali seperti orang biasa, ia merasa bersyukur.

   "Kau sungguh hebat, nona,"

   Katanya pada Wan-lian diam-diam.

   "Hanya kau yang dapat menyembuhkan nya."

   "Ah, kembali Pepek bergurau lagi,"

   Sahut si gadis malumalu.

   "Sama sekali aku tidak bergurau,"

   Kata Jing-cu berbisik.

   "Biarlah nanti kuceritakan padamu."

   Terhadap Boh Wan-lian rupanya Ciok-toanio sangat suka, berulang kali ia telah menyumpitkan potongan daging kambing.

   "Lihatlah, sesudah ada Boh-cici, ibu menjadi lupa pada putrinya sendiri,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Tiok-kun tertawa manja.

   Dan karena itu, semua orang bergelak tertawa.

   Habis dahar, sang surya sudah terbenam.

   Karena semalam suntuk semua orang tidak tidur, rumah batu itupun kurang luas untuk menampung orang begitu banyak, maka hanya Boh Wan-lian yang tidur di dalam rumah bersama keluarga Ciok, sedang lainnya mengaso di luar.

   Namun Jing-cu tidak lantas tidur, bersama Wan-lian mereka berjalan-jalan di lembah sunyi itu.

   Tengah malam, tiba-tiba Tiong-bing terjaga dari tidurnya, ia lihat sang ayah tidur nyenyak di sampingnya, perasaannya menjadi bergolak, ia tak bisa pulas lagi.

   Terkenang olehnya kisah hidupnya sendiri yang aneh, teringat ayah angkatnya Kui Thian-lan yang membesarkannya itu.

   Dan sama sekali tak terduga kini keluarganya telah bisa berkumpul kembali, la mengenangkan segala suka duka itu, ia lihat ayahnya masih tidur nyenyak dan tampaknya sangat harus dikasihani, tapi bila ingat akan ayah angkatnya, ia merasa orang itu lebih-lebih harus dikasihani.

   Tiba-tiba ia teringat besok pagi-pagi sudah akan berangkat bersama orang banyak ke tempat Li Lay-hing, pantasnya ia berziarah dulu ke makam ayah angkat untuk mohon diri.

   Ia pernah mendengar cerita Wan-lian bahwa mayat Kui Thian-lan adalah si gadis dan Pho Jing-cu yang menguburnya, pada batu nisannya malahan diukir pula nama Thian-lan, hanya letaknya entah di mana.

   


Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Gelang Perasa -- Gu Long

Cari Blog Ini