Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 10


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 10



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dari romannya dan dandanannya, teranglah ia adalah satu petani, atau seorang yang baharu pulang dari ladang habis meluku.....

   Semua orang memusatkan perhatiannya pada pertandingan, tidak ada yang lihat datangnya orang baru ini sampai orang mendengar suara batuknya itu.

   Menyusul itu terjadilah satu kejadian aneh, yang dilakukan orang asing ini.

   Dia sudah lantas datang kepada kedua orang yang bertempur itu, untuk menyelak disama tengah.

   "Tuan-tuan, kamu telah lelah, pergilah beristirahat!"

   Demikian suaranya perlahan tetapi nyata.

   Itulah lagu suaranya Tantai Mie Ming ketika tadi Mie Ming merubuhkan lawan-lawan yang terdahulu.

   Heran Mie Ming, apa pula ketika orang itu ketengahkan kipas rusaknya di antara mereka berdua, hingga kipas itu hancur dan merosot turun bagaikan terikat sutera.....

   Hong Hoe terperanjat, sambil berseru, dia lompat mundur.

   Mie Ming pun terhuyung, lekas-lekas ia tarik kembali kedua tangannya, ia heran sekali.

   Hebat orang tua itu, yang mengerahkan tenaganya dengan pinjam perantaraan kipas rusak itu, hingga kedua orang yang tengah bertempur itu terpaksa memisahkan diri.

   Begitu lekas ia telah sadar akan dirinya, Tantai Mie Ming tertawa tergelak-gelak.

   "Sungguh beruntung hari ini aku bertemu dengan orang pandai!"

   Kata orang Mongolia ini.

   "Aku Tantai Mie Ming, ingin menerima pengajaranmu!"

   Sambil pegangi kipas rusak itu, si orang tua perlihatkan roman sibuk.

   "Haraplah Tantai Tjiangkoen tidak berkelakar denganku,"

   Katanya, suaranya kurang nyata.

   "Aku adalah seorang desa yang telah lanjut usianya, apakah yang aku mengerti tentang ilmu silat?"

   Mie Ming sebaliknya perlihatkan roman sungguh-sungguh, roman tak senang.

   "Apakah benar-benar ioosianseng tidak suka memberi pengajaran padaku?"

   Dia tegaskan.

   Lalu dengan satu gerakan tangannya, dia membuat kutung tulang-tulang kipas rusak dari si orang tua itu, seperti terpapas pisau tajam.

   Semua orang menjadi kagum dan heran.

   Itu adalah kekuatan jari-jari tangan yang istimewa.

   Orangpun heran, kenapa si orang tua membiarkannya, sedang tadi ia yang memisahkan kedua lawan itu.

   Ketika tadi ia memisahkan, orang tua itu menggunakan akal, yaitu waktu Mie Ming dan Hong Hoe tidak bersiap sedia, dan barusan, Mie Ming juga bergerak secara tiba-tiba, tak sempat si orang tua menolong kipasnya itu, ia cuma dapat melindungi dirinya sendiri.

   Hong Hoe ketahui semua itu, ia menjadi kagum, di dalam hatinya, ia berkata.

   "Benar-benar kepandaian manusia tak ada batasnya. Sampai sebegitu jauh, aku merasa puas dengan kepandaianku, sekarang terbukti, Mie Ming adalah terlebih liehay daripadaku, siapa tahu, orang tua ini ada jauh terlebih liehay lagi..... Mereka ini sama liehaynya, entah siapa yang terlebih liehay....."

   Karena memikir demikian, hati komandan Kimie wie ini menjadi tidak tenteram.

   Ia pun berkuatir dalam pertempuran selanjutnya akan meminta korban jiwa.

   Tidak apa untuk si orang tua, ia tak dikenal, ia adalah rakyat jelata, tidak demikian dengan Tantai Mie Ming.

   Umpama terbinasa, akibatnya bisa hebat, sebab dia adalah utusan Watzu.

   Kalau si orang tua terbinasa, cuma Hong Hoe sendiri yang merasa tidak enak, karena barusan ia berhutang budi, ia merasa kasihan terhadap orang tua itu.

   Jikalau mereka bertempur, siapa sanggup memisahkan mereka?"

   Semua pahlawan juga merasa heran dan bingungnya seperti Hong Hoe.

   Di satu pihak, mereka ingin menyaksikan pertempuran, di lain pihak mereka kuatirkan akibatnya, hingga mereka berbareng ingin pertempuran dibatalkan.....

   Semua mata lantas diarahkan kepada Mie Ming dan si orang tua itu.

   "Jangan, jangan bertempur....."

   Achirnya Hong Hoe berkata dalam hati. Tiba-tiba si orang tua mengangkat kipasnya.

   "Kau telah rusakkan kipasku, tak ingin lagi aku akan kipasku ini!"

   Kata ia sambil mengangkat tangannya. Kipas itu tinggal batangnya saja, ketika diangkat, gagangnya menuju kepada jidat Tantai Mie Ming, pada jalan darah "thianleng niat"

   Tantai Mie Ming terkejut.

   "Sentilan yang liehay!"

   Dia berseru, saking cepatnya tangan si orang tua.

   Selagi sekalian pahlawan kaget, Tantai Mie Ming mengangkat tangannya, mengibaskan tangan bajanya, atas mana, tangan baju itu berlubang terkena gagang kipas, dan gagangnya sendiri, yang dilepaskan dari tangan si orang tua, melesat terus, mengenai sebuah pohon hingga menerbitkan suara! "Telah aku saksikan kepandaian jari tanganmu,"

   Kata Mie Ming.

   "Sekarang ingin aku saksikan lebih jauh tanganmu!....."

   Menyusul itu, orang Mongolia ini lompat maju, beruntun ia menyerang dengan kedua tangannya saling susul. Orang tua itu menangkis, sambil berseru.

   "Oh, oh, kenapa kau benar-benar hendak serang aku si orang dusun yang tua?"

   Kedua tangannya dirapatkan, bagaikan ngempo bayi, sambil menangkis, ia tambahkan.

   "Boleh, boleh kau patahkan tulang-tulangku yang tua ini!....."

   Hong Hoe terkejut melihat bergeraknya tangan dari kedua orang itu.

   Mie Ming ada bagaikan singa murka, si orang tua sebaliknya seperti ular air yang lincah, tubuhnya setiap saat menyingkir dari serangan si panglima Mongolia.

   Setelah beberapa kali gagal, Mie Ming berseru, ia menyerang pula berbareng dengan kedua tangannya.

   "Ah!....."

   Seru si orang tua, tubuhnya terhuyung tiga tindak. Setelah itu, Tantai Mie Ming berseru.

   "Looenghiong, Taylek Kimkong Tjioe-mu tak ada tandingannya di kolong langit ini, suka aku bersahabat denganmu! Looenghiong, sudikah kau memberitahukan she dan namamu?"

   "Ehrn!"

   Si orang tua bersuara pula, suaranya dingin.

   "Tidak berani aku si orang dusun bersahabat dengan seorang besar....."

   Sambil mengucap demikian, tangan kirinya menangkis, kaki kanannya menendang, ke arah jalan darah pekhay hiat di betis lawannya. Tiba-tiba Tantai Mie Ming menjadi gusar, hingga ia berseru.

   "Apakah kau sangka aku benar-benar takut terhadapmu?"

   Demikian suaranya yang nyaring, lalu tangan kirinya dilonjorkan, tangan kanannya menyambar. Si orang tua loloskan diri, ia tertawa dingin.

   "Telah aku saksikan dua macam kepandaian Thian Ya Lookoay si orang tua aneh!"

   Katanya.

   "Sungguh ilmu Tiat Piepie Tjioe dan Loohan koen yang liehay!"

   Mendengar itu, Tantai Mie Ming terkejut berbareng mendongkol. Memang, gurunya adalah Siangkoan Thian Ya, dan guru itu liehay dalam lima macam ilmu kepandaian, yaitu "tangan besi"

   Tiat Piepie Tjioe, jurus Loohan koen, pedang Gouwkauw kiam, sentilan satu jari Ittjie sian, dan lima batang jarum Hoeihong tjiam, yang di kalangan Boeiim, Rimba Persilatan, kesohor sebagai Boeiim Ngotjiat - lima macam ilmu kepandaian silat yang istimewa.

   Ia mendongkol karena lagu suara orang, yang seperti memandang enteng kepada gurunya.

   Maka juga, ia perhebat serangannya.

   Nampaknya si orang tua jumawa akan tetapi selama berkelahi, ia berlaku sangat hati-hati, tidak mau ia memandang enteng, semua gerakannya adalah penting untuk pembelaan diri, dan dengan Taylek Kimkong tjioe ia layani Loohan koen dan Tiat Piepee tjioe.

   Makin lama makin seru jalannya pertempuran kedua orang itu.

   sampai debu mengepul, sambaran-sambaran angin membuat penonton terpaksa mundur sendirinya.

   Loohan koen adalah ilmu silat biasa, Tiat Piepee tjioe juga tak susah untuk dipelajarinya, hanya, di tangannya Tantai Mie Ming, kedua ilmu silat itu jadi liehay luar biasa, dapat digabung jadi satu, hebat serangannya, sempurna penjagaannya.

   Demikian juga liehaynya si orang tua, tubuh siapa sangat lincah, hingga Tantai Mie Ming tidak pernah mengenai tubuh orang itu, hingga keduanya bagaikan air banjir menerjang gili-gili panjang, yang tak berhasil merubuhkannya.

   Di pihak lain, si orang tua juga tidak sanggup merubuhkan panglima Watzu itu.

   Kalau tadi pertandingan antara Hong Hoe dan Tantai Mie Ming membuatnya semua penonton kagum, sekarang mereka ini menyaksikan sambil menjublak, saking kagum dan heran.

   Dua lawan ini hebat tapi mereka nampaknya lucu, bagaikan dua bocah tengah bermain-main.....

   Sudah beberapa puluh jurus mereka itu mengadu kepandaian, kelihatannya Tantai akan mengenai tubuh si orang tua, tahu-tahu orang tua itu dapat membebaskan diri, atau nampaknya si orang tua menang di atas angin, atau si panglima Mongolia mendadak bebas dari ancaman bahaya.

   Maka semua penonton seperti menahan napas.....

   In Loei kagum seperti semua pahlawan lainnya.

   "Hebat Taylek Kimkong tjioe si orang tua ini,"

   Demikian pikirnya.

   "Katanya toasoepee liehay dalam ilmu silat itu, apakah orang tua ini toasoepee adanya!....."

   Hian Kee Itsoe mempunyai lima murid, kecuali ayahnya In Loei, yang telah menutup mata, ia masih punya empat murid yang masing-masing dapat mewariskan satu kepandaian tersendiri.

   Dalam ilmu pedang, yang terliehay adalah muridnya yang ketiga, Tjia Thian Hoa.

   Mengenai tenaga dalam, yang paling tanggu adalah murid kepalanya yaitu Tang Gak dengan Taylek Kimkong Tjioe.

   Pikir In Loei terlebih jauh.

   "Aku dengar toasoepee dan samsoepee pandai ilmu silat dan pintar ilmu suratnya, wajah mereka luar biasa, kalau dia ini benar toasoepee, mengapa dia hanya seorang desa yang tua? Pun katanya, untuk belasan tahun dia pesiar di Mongolia dan Thibet, kenapa sekarang dia mendadak muncul di kota raja ini?....."

   Tengah In Loei berpikir keras, pertandingan pun sudah berganti rupa.

   Kalau tadi mereka itu saling serang dengan hebat, sekarang gerakan kaki tangan mereka jadi lambat, malah ada kalanya mereka seperti saling mengawasi saja, kaki tak bergerak, tangan diam, cuma mata mereka memandang tajam.

   Mereka pun berhadapan dekat.

   Tak lama keadaan ini, atau mendadak mereka berubah pula, keduanya lompat maju, lantas mereka memisah diri.

   Nampaknya tak hebat serangan mereka, tetapi sebenarnya, mereka mencoba mencari kemenangannya masing-masing.

   Semua penonton tak tahu gerakan mereka itu, karena hebatnya dan anehnya.

   Tidak lama, juga Tantai Mie Ming telah mandi keringat.

   Menampak itu, Hong Hoe terperanjat, ia berkuatir.

   Kelihatannya mereka itu mesti kalah kedua-duanya, sama-sama terluka.....

   Ia bingung sebab tak tahu ia, bagaimana harus memisahkannya.

   Seumurnya, Tantai Mie Ming belum pernah menghadapi lawan setanggu ini, ia pun menjadi berkuatir sendirinya.

   Karena ini, ia nampaknya menjadi nekat.

   Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan cepat.

   Ia berseru.

   Si orang tua melayani sambil mundur, dengan teratur.

   Ia bertindak dengan gerakan "kioekiong patkwa,"

   Sebelah tangannya menangkis, yang lain melindungi dadanya.

   Tampaknya ia seperti tidak membalas menyerang, sedang sebenarnya, sambil menangkis, ia pun membalas.

   Dilihat dengan mata biasa, Tantai Mie Ming menyerang hebat sekali, akan tetapi sebenarnya, setiap kali ia tertolak oleh tenaga dorongan Kimkong tjioe dari lawannya itu.

   "Sudah dua puluh tahun lebih aku malang melintang, kecuali Tjia Thian Hoa, inilah tandinganku yang terkuat,"

   Pikir Mie Ming.

   "Tjia Thian Hoa liehay ilmu pedangnya, tak ada tandingannya di kolong langit ini tetapi bicara hal tenaga dalam, orang tua ini menang daripadanya. Mungkinkah dia sama dengan Tjia Thian Hoa, ialah salah satu murid lawannya guruku?"

   Memang pada tiga puluh tahun yang lampau, gurunya Mie Ming ini, yaitu Siangkoan Thian Ya, telah bentrok keras dengan Hian Kee Itsoe, bentrok dalam perebutan kedudukan sebagai pemimpin kaum Rimba Persilatan, selama tiga hari dan tiga malam, keduanya sudah bertempur hebat di atas gunung Ngobie San, tanpa ada yang kalah atau menang, hingga kesudahannya Siangkoan Thian Ya pergi menyembunyikan diri di Mongolia, di mana dengan menerima murid, ia mencoba mendirikan satu kaum persilatan tersendiri.

   Walaupun ia bercuriga demikian rupa, dalam keadaan seperti itu, di saat mati atau hidup, Tantai Mie Ming tidak sempat berpikir lama-lama, ia harus terus melayani si orang tua, siapa meski usianya lebih tua belasan tahun, nyata, tenaga dalamnya ada terlebih tanggu.

   Orang tua ini tetap membela diri sambil balas menyerang, menyabet atau mencengkram.

   "Ah, hebat sekali....."

   Mie Ming menghela napas.

   Ia menyedot hawa dingin.

   Diam-diam ia bergidik.

   Sia-sia belaka ia menyerang, tangan kiri dengan Lohan koen, tangan kanan dengan Piepee tjioe.

   Terpaksa ia mesti jaga diri baik- baik, ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya yang ia peroleh dari Siangkoan Thian Ya, yang telah mendidik ia dengan sungguh-sungguh hati, dengan susah payah.

   Sekian lama ia percaya, tidak nanti ada lain orang yang sanggup memecahkan Loohan koen dan Piepee tjioe-nya, tidak tahunya kali ini ia menemui lawannya.

   "Biarlah, aku tidak akan serang hebat padamu, hendak aku lihat, apa yang kau dapat berbuat terhadap diriku,"

   Pikir panglima Mongolia ini kemudian.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan begitu ia telah mengambil keputusannya.

   Jurus-jurus telah lewat, masih mereka sama tanggunya, cuma keringat yang membasahi jidat, mereka masing-masing.

   Para penonton tetap dalam ketegangan.

   Biar bagaimana, mereka, mengharapkan si orang tua yang keluar sebagai pemenang, untuk nama baik persilatan Tionggoan.

   Tentu sekali, mereka tidak tahu, Mie Ming pun asal orang Han sejati.

   Tantai Mie Ming juga berkuatir akan akibatnya pertandingan ini.

   Pihak luar niscaya tidak ketahui yang mereka bertanding hanya untuk mencoba kepandaian.

   Akibat itu bisa mengenai urusan negara dengan negara, sebab ia adalah pahlawan dari utusan Watzu, sedang pihak lainnya adalah pahlawan-pahlawan Beng.

   Selagi para penonton meragu-ragukan akhirnya pertandingan itu, tiba-tiba si orang tua membuat lagi satu gerakan baru.

   Tubuhnya tidak bergerak, adalah tangan kirinya dibikin melengkung bundar, lalu tangan kanannya dikepal, dimajukan ke depan.

   Menyusul tangan kanan itu baharulah tubuhnya turut maju sedikit, diturut dengan tindakan kaki.

   Dengan satu gerakan, Tantai Mie Ming tangkis serangan itu.

   Tiba-tiba si orang tua menarik kembali tangan kanannya, untuk dipakai melindungi dadanya, sebaliknya, kepalan kirinya berbalik menyerang.

   "Kena!"

   Dia berteriak.

   Lalu tangan kanannya menyusul.

   Itu adalah tiga serangan kepalan saling susul.

   Tantai Mie Ming rasakan dorongan keras ketika ia tangkis pukulan yang pertama, selagi ia hendak lawan dorongan itu, mendadak dorongan pihak lawan itu menjadi kendor sendirinya, selagi tubuhnya hampir terjerunuk, mendadak datang dorongan yang lain.

   Ia segera menangkis pula.

   Lalu ia tangkis serangan yang ketiga kali.

   "Kecuali toasoepee, siapa lagi yang tenaga dalamnya begini hebat?"

   Pikir In Loei, yang menyaksikan sambil mendelong. Tanpa merasa, ia berseru dengan kagumnya.

   "Bagus!"

   Sekonyong-konyong terdengar satu suara "Duk!"

   Yang keras. Nyata pundak Mie Ming terkena jotosan yang ketiga kali itu.

   "Celaka!"

   Thio Hong Hoe menjerit.

   Ia lantas lompat maju, maksudnya untuk datang sama tengah.

   Bersama ia maju pula beberapa pahlawan lain.

   Serangan si orang tua itu membuatnya pundak Mie Ming turun rendah, berbareng itu, kepalan si orang tua seperti terbetot tenaga rahasia.

   Belum sempat orang tua itu menarik kembali kepalannya, atau Mie Ming sudah membalas menyerang ke arah pinggang si orang tua itu.

   "Hm! Ha!"

   Demikian terdengar si orang tua, yang tubuhnya mencelat mundur, tinggi, sampai melewati kepalanya beberapa pahlawan, hingga di lain saat ia telah lewati juga tembok pekarangan! In Loei tidak sempat berbuat apa-apa, ia cuma melihat, sinar matanya si orang tua menatap dengan tajam ke arahnya.

   Tubuh Hong Hoe masih lemah, walaupun ia lompat, ia dapat disusul oleh dua pahlawan yang lompat berbareng dengannya.

   Kedua pahlawan ini sudah lantas sampai kepada Mie Ming, siapa hendak mereka tolongi.

   Karena serangannya itu, Mie Ming jatuh duduk, tubuhnya tak lagi bergerak.

   Mereka ini cekal kedua pundaknya, maksudnya untuk memimpin bangun, atau tiba-tiba di antara jeritan "Ayo!"

   Dua pahlawan itu mundur terhuyung, iga mereka dirasakan sakit.

   "Ha!"

   Mereka itu berseru. Hong Hoe segera mengerti duduknya hal. Ia halangi kedua pahlawan itu, hingga mereka tak terhuyung terlebih jauh.

   "Biarkan Tantai Tjiangkoen1."

   Hong Hoe teriaki kedua pahlawan itu.

   "Dia tengah empos tenaga dalamnya!....."

   Hampir berbareng dengan itu, kelihatan Mie Ming bersenyum, terus ia manggut- manggut kepada si komandan, seperti ia hendak puji komandan itu.

   Si orang tua turunkan tangannya yang terakhir, dia gunakan Taylek Kimkong tjioe, untung tenaga dalam si panglima Watzu pun liehay, ia pun luas pengalamannya, dari itu, dapat ia mengelakkan diri.

   Ia turunkan pundaknya untuk menyambut serangan, kecuali mendak, tidak ada lain jalan lagi baginya.

   Berbareng dengan itu, ia juga coba menyerang, guna meringankan pukulan si orang tua.

   Walaupun itu semua, pakaian perangnya - lapis baja - telah menjadi korban, jikalau tidak, tentu rusaklah anggota-anggota dalam tubuhnya.

   Juga si orang tua tidak menyangka, dalam keadaan terancam seperti itu, Mie Ming masih bisa mengelakkan diri, masih bisa membalas menyerang, ia terkejut ketika ia merasa tubuhnya seperti terbetot lawan itu.

   Ia mencoba pula mengelakkan diri.

   Syukur untuknya, serangan Mie Ming tak sekuat tenaganya - tenaga Mie Ming tengah terbagi - jadi serangan itu, dalam sepuluh cuma dua tiga bagian saja.

   Jikalau tidak, juga si orang tua mesti rubuh seperti lawannya ini, yang jatuh duduk numprah.

   Tapi tidak urung, sekeluarnya dari rumah Hong Hoe, ia mesti juga muntahkan diri, dan tempo ia kembali di pondoknya, ia mesti duduk bersemedhi guna memulihkan kesehatannya.

   Mie Ming tetap bercokol sekian lama.

   Ia lolos dari bahaya di dalam, ia tidak bebas dari luka di luar.

   Tidak berani ia bicara.

   Ia juga empos semangatnya, untuk mengalirkan jalan darahnya.

   Hong Hoe mengawasi orang, terus ia berkata pada rekan-rekannya.

   "Pertandingan sudah berakhir, sekarang silakan saudara-saudara pulang saja!"

   Semua pahlawan itu juga kuatir nanti terlibat, maka itu, dengan segala senang hati mereka lantas pamitan dan pergi, kecuali dua pahlawan, yang terus berdiri diam, wajah mereka beda dari biasanya.

   In Loei tak dapat berdiam lebih lama, hendak ia bicara kepada tuan rumahnya, atau mendadak, dua pahlawan itu membuka mulutnya.

   "Sekarang ini masih pagi, Tantai Tjiangkoen pun belum pulih kesehatannya, kami berdua hendak berdiam dulu di sini,"

   Demikian kata mereka.

   "Tidak berani aku mengganggu djiewie,"

   Kata Hong Hoe dengan cepat.

   "Kami dua saudara pertama-tama ingin menemani Tantai Tjiangkoen, kedua kami hendak gunakan ketika ini untuk melanjutkan pertandingan ini,"

   Kata pula mereka itu, yang bicaranya mendesak.

   "ialah kami ingin belajar kenal sama ilmu golok dari Thio Thaydjin. Karena ini ada latihan belaka, untuk kemajuan kedua pihak, kami percaya Thio Thaydjin tentulah tak nanti sudi tak memberi petunjuk kepada kami."

   Hong Hoe jadi berpikir keras.

   Kedua pahlawan itu adalah orang-orang kepercayaannya Soeiee Thaykam Ong Tjin, si orang kebiri yang besar pengaruhnya.

   Semasa kaisar masih menjadi putera mahkota, Ong Thaykam ini pernah mengajarkan ilmu silat padanya, sekarang, sebagai Soeiee Thaykam, dia jadi sangat berkuasa, dengan gampang dia dapat memfitnah menteri-menteri setia.

   Dua pahlawan ini, yang bersaudara kandung, adalah Lou Beng dan Lou Liang, kepandaian mereka yang utama adalah genggaman tameng yang bernama ilmu silat Lakcapshalou Koengoanpay hoat, yang terdiri dari enam puluh tiga jurus.

   Tameng itu istimewanya ialah bukan dikawani dengan golok, hanya dengan pedang, dan kedua saudara ini, yang satu menyekal pedang, yang lain memegang tameng, biasa mereka bertempur bersama.

   Sebenarnya Hong Hoe tidak mengundang mereka ini, adalah mereka yang datang sendiri.

   Bingung juga Hong Hoe.

   Terang sudah, kedua saudara she Lou ini tidak mempunyai maksud baik.

   Yang hebat baginya ialah selagi ia masih lelah habis melayani Mie Ming, tak dapat ia menampik dengan alasan masih letih itu.

   Akhirnya, terpaksa ia ambil putusannya.

   "Oleh karena djiwie mempunyai kegembiraan itu, baiklah, suka aku yang rendah menemaninya,"

   Demikianlah penyahutannya.

   "Tapi karena kita cuma melatih diri, aku harap kita hanya saling menyentuh saja, jangan kita bicarakan urusan kalah atau menang....."

   "Itulah pasti!"

   Tertawa kedua saudara Lou itu.

   "Siapa kalah siapa menang, kita sambut dengan tertawa saja!"

   Lalu, dengan mengambil tempat di kiri dan kanan, kedua pahlawan itu segera siap sedia dengan pedang dan tameng mereka. In Loei menjadi tidak puas sekali.

   "Tidak keruan-keruan, kembali orang hendak bertanding,"

   Pikirnya. Tapi ia ada orang luar, tidak dapat ia menyelak di tengah untuk mencegah pertandingan itu, terpaksa ia berdiri tetap di pinggiran. Thio Hong Hoe hunus goloknya, golok Biantoo.

   "Silakan!"

   Ia undang.

   "Thio Thaydjin saja yang mulai!"

   Lou Beng jawab. Hong Hoe mengerti persiapan kedua saudara itu, tak sudi ia hunjuk kelemahan dirinya.

   "Baiklah!"

   Ia jawab sambil tertawa.

   "Maaf!"

   Dengan satu gerakan menyabet dari ilmu golok Ngohouw Toanboen too, komandan Kimie wie sudah lantas menyerang lengannya Lou Beng.

   "Trang!"

   Demikian satu suara, ketika pahlawan Ong Tjin menangkis dengan tamengnya.

   Itulah Lou Liang, yang mendalangi saudaranya.

   Hong Hoe sudah menduga akan tangkisan itu, maka juga dengan menggunakan ketika itu, ia luncurkan goloknya di antara tameng itu, dengan menerbitkan sinar hijau yang menyilaukan mata, dengan jurus "Anghee toatbak,"

   "Sinar layung menyilaukan mata,"

   Ia menikam terus dengan ujung goloknya ke arah tenggorokan.

   Justeru itu Lou Beng, dengan pedangnya yang tajam, majukan diri sambil memapas, akan tabas kutung lengan si orang she Thio.

   Dengan cara ini ia berbareng menolongi saudaranya.

   Dengan cepat Hong Hoe tarik pulang goloknya, untuk menangkis pedangnya.

   Dalam tempo yang pendek itu Lou Liang dapat kenyataan, tamengnya pada bagian yang terbacok lawan telah melesak, memberi bekas bacokan golok, karena mana, ia terkejut.

   "Kusangka dia sudah lelah, tidak tahunya dia masih tetap tangguh,"

   Ia berpikir.

   Karena ini, segera ia maju pula, guna membantu saudaranya.

   Ia mencoba mendesak.

   Dengan lantas ia perlihatkan liehaynya ilmu silat tamengnya.

   Desakan ini ada baiknya untuk Lou Beng, yang jadi leluasa dengan pedangnya, sebab dia senantiasa terlindung tameng saudaranya itu.

   Dalam keadaan biasa, dua saudara Lou itu bukan tandingannya Thio Hong Hoe, sekarang ini komandan itu masih lelah hingga golok yang tajam itu kurang lincah gerakkannya, dengan begitu, bertiga mereka jadi berimbang.

   Lou Beng dan Lou Liang mencoba mendesak, sebentar saja mereka sudah bertempur kira-kira lima puluh jurus, bagus kerja sama mereka berdua, sempurna serangan dan pembelaan diri mereka, maka sulit bagi Hong Hoe untuk merubuhkan mereka, tidak peduli goloknya itu istimewa tajamnya.

   Dalam percobaannya mendesak itu Lou Liang kembali menyerang dengan tamengnya, dengan jurus "Soenloei koanteng"

   Atau "Geledek menyambar."

   Ia arah batok kepalanya Thio Hong Hoe.

   Komandan Kimie wie itu menginsyafi bahaya tameng itu, yang beratnya sedikitnya seratus kati.

   Coba ia masih segar, tidak usah ia pikirkan itu.

   Sekarang adalah lain, tidak mau ia melayani keras dengan keras.

   Maka itu dengan cepat ia berkelit.

   Karena ia mengalah, ia jadi terdesak, hingga segera ia berada di bawah angin.

   Dilindungi tameng saudaranya, pedang Lou Beng mendesak berulang-ulang, bagaikan ular berbisa yang tak hentinya menyemburkan bisanya.

   In Loei lantas menginsyafi bahaya yang mengancam Thio Hong Hoe itu, ia menjadi heran.

   "Ini bukan caranya orang berlatih,"

   Pikirnya. Tiba-tiba tampak Lou Liang mendekam, tamengnya menutupi seluruh tubuhnya, habis itu dengan cepat, ia lompat bangun, tamengnya itu menyambar, dalam gerakan "Hengsaw tjiankoen" - "melintang menyapu ribuan serdadu."

   Tameng itu mengarah kepinggang. Hong Hoe berkelit dengan gerakan "Liongheng hoeipou"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Atau "Naga terbang,"

   Ia lolos di bawah tameng, sambil berkelit, ia membalas menyerang dengan bacokan.

   "Tongleng tianpie"

   Atau "Cengcorang pentang sayap."

   Kalau ia barusan diarah pinggangnya, ia mengarah sepasang kaki orang. Inilah yang dikatakan "Tong long pok sian, oey tjiak tjay houw,"

   Yaitu, sang cengcorang menubruk sang tonggeret, sang burung gereja mengintai di belakangnya.

   Selagi Hong Hoe membabat kaki Lou Liang, Lou Beng di sampingnya pun menikam dengan pedangnya.

   Sebab Lou Beng hendak menolongi Lou Liang, sang saudara.

   In Loei saksikan kejadian itu, ia kaget hingga ia menjerit.

   Tapi ia tidak hanya menjerit, berbareng dengan itu, jari-jari tangannya menyentilkan Bweehoa Ouwtiap piauw.

   Lou Beng percaya betul, pedangnya akan mengenai sasarannya.

   Ia tidak sangka, berbareng dengan satu suara "trang!"

   Ujung pedangnya telah meleset, karena piauw menyampoknya hingga ujung pedang itu menggeser dari arahnya.

   Coba tidak demikian, sudah tentu tubuh Hong Hoe bakal tertusuk bagaikan sate dipanggang.

   Tak sempat berpaling lagi, untuk mencari tahu, siapa si pelepas piauw itu, Lou Beng berlompat mundur, sesudah itu, baharu ia pikir hendak menanya.

   Berbareng dengan itu, juga In Loei hendak lompat maju, untuk majukan diri, atau ia telah didahului Tantai Mie Ming.

   Panglima Mongolia ini mencelat maju seraya perdengarkan suaranya.

   "Aku hendak bertempur pula satu gebrakan! Djiewie, kamu suka berdiam di sini, untuk temani aku, maka untuk membalas kebaikanmu ini, suka aku mengorbankan diri untuk menemani kau! - Thio Thaydjin, silakan kau undurkan diri!"

   Mie Ming bergerak terus menyusuli kata-katanya itu, ia tak tunggu lagi jawabannya kedua saudara Lou itu atau Hong Hoe, tangan kirinya bekerja dibarengi dengan tangan kanan.

   Kalau tangan kiri menyambar menangkap, tangan kanan menggempur menyampok.

   Karena kagetnya, tameng Lou Liang sampai terlepas dari cekalannya, terpental tinggi, dan pedangnya Lou Beng kena dirampas, terus dibikin patah menjadi dua potong! Maka melengaklah kedua saudara itu! Tantai Mie Ming tidak berhenti sampai di situ.

   Dia bekerja terus, kedua tangannya menyambar tubuh Lou Beng dan Lou Liang, yang terus dia angkat sambil berseru "Pergi!"

   Maka kedua tubuh itu yang bagaikan ditiup angin puyuh, terapung kurang lebih satu tombak jauhnya, perdengarkan jeritan dari kesakitan, mata mereka berkunang- kunang, sebab mereka terbanting keras, sejenak itu juga mereka pingsan! Tantai Mie Ming melenggak, ia tertawa ber-kakakan.

   "Selama hidupku, inilah hari pertandinganku yang paling memuaskan!"

   Kata dia dengan nyaring. Terus dia manggut terhadap Thio Hong Hoe, sedang terhadap In Loei, dia usapkan tangannya dan berkata.

   "Aku hendak cari si orang tua tadi, maaf, tak dapat aku temani kamu terlebih lama pula!....."

   Dan dia buka tindakan lebar untuk berlalu dari rumah Hong Hoe.

   Tuan rumah she Thio itu segera lari menghampiri Lou Beng dan Lou Liang, untuk memeriksa keadaannya.

   Ia dapat kenyataan, tulang iga Lou Beng patah dua buah dan gigi Lou Liang copot dua biji.

   Sama sekali mereka tidak peroleh luka di dalam tubuh, hingga jiwa mereka tidak terancam bahaya.

   Maka dengan hati lega, Hong Hoe lantas ambil obat dan obati mereka itu.

   Habis itu, dengan keluarkan kata-kata tak tegas, dengan tindakan tidak tetap, kedua pahlawan itu juga ngeloyor pergi.....

   Akhir-akhirnya, Hong Hoe menghela napas.

   "Sungguh aku tidak duga....."

   Keluhnya.

   "Apakah yang kau tidak duga?"

   In Loei tanya.

   "Biasanya aku tidak pernah berhubungan dengan Ong Tjin,"

   Sahut komandan Kimie wie itu.

   "Dua orang ini adalah pahlawan-pahlawan Ong Tjin, mereka rupanya mendapat titah dari Ong Tjin untuk mencelakai aku. Mungkin ini disebabkan aku tak sudi pernahkan diri di bawah pengaruh orang kebiri itu....."

   In Loei berdiam. Baharu sekarang ia tahu, di kota raja ini, juga kaum pahlawan terdiri dari berbagai golongan, bahwa mereka saling berdengki. Tentang ini, tidak sudi ia mencari tahu, ia tidak menanyakannya lebih jauh.

   "Eh, mana sahabatmu itu, Siangkong Thio Tan Hong?"

   Tanya Hong Hoe kemudian. Wajah In Loei menjadi bersemu merah.

   "Sejak di Tjengliong Kiap, kita telah berpisah,"

   Ia menyahut, terpaksa.

   "Sayang, sayang,"

   Mengeluh Hong Hoe.

   "Coba kamu berdua ada di sini, dengan pedangmu bergabung menjadi satu, pasti sekali kamu dapat mengalahkan Tantai Mie Ming itu! Selama tiga hari beruntun, terus menerus Mie Ming menangkan belasan pertandingan, beruntung datang orang tua tidak dikenal itu yang membuatnya ia tahu rasa, sayang mereka bertanding seri, sama-sama mereka memperoleh luka..... Ah, sungguh, kali ini runtuhlah kaum pahlawan dari kota raja!....."

   In Loei mengerti orang sangat berduka dan menyesal. Tapi ia tertawa.

   "Sebenarnya kau belum terkalahkan Tantai Mie Ming!"

   Ia kata.

   "Syukur datang si orang tua, kalau tidak, tetap aku bakal kalah,"

   Hong Hoe akui.

   "Malah mungkin jiwaku akan lenyap bersama! Tidak tahu aku bagaimana cara datangnya orang tua itu, di sini banyak pahlawan, tidak seorang jua yang mengetahuinya....."

   Ia berhenti sebentar, untuk menambahkan.

   "Tantai Mie Ming juga ada seorang aneh. Kalau tadi dia tidak turun tangan, mungkin aku bercelaka juga. Biar bagaimana, aku mesti haturkan terima kasihku untuk Bweehoa Ouwtiap piauw-mu!"

   In Loei tak gubris pujian itu. Ia mempunyai urusan lain.

   "Thio Thaydjin,"

   Katanya.

   "aku datang ke kota raja ini untuk satu urusan penting. Hendak aku mohon bantuan kau!"

   "Katakanlah,"

   Jawab Hong Hoe.

   "Mana dia sebawahanmu, si perwira muda she In?"

   In Loei tanya.

   "Aku minta supaya kau ajak dia menemui aku."

   Hong Hoe mengawasi, nampaknya ia merasa heran.

   "Adalah untuk ini saja kau datang ke kota raja ini?"

   Dia tegaskan.

   "Ya, untuk ini saja,"

   In Loei pastikan.

   "Sebenarnya kau menpunyai hubungan apa dengan In Tongnia itu?"

   Hong Hoe tanya pula.

   "Belum pernah aku dengar ia menyebut-nyebut kau....."

   "Kita adalah dari satu she, aku ingin berkenalan dengannya,"

   Sahut In Loei, yang masih belum ingin menerangkan jelas.

   "Di kolong langit ini banyak orang yang sama she-nya,"

   Pikir Hong Hoe.

   "maka itu alasanmu tidak masuk diakal....."

   In Loei tidak membiarkan orang bungkam.

   "Jikalau Thaydjin ada punya urusan lain, tolong beritahukan saja alamatnya In Tongnia itu,"

   Ia mendesak.

   "Aku sendiri dapat mencari dia."

   Tiba-tiba saja komandan itu bersenyum.

   "Inilah urusan gampang,"

   Katanya.

   "Sekarang silakan kau masuk dulu."

   In Loei heran, di dalam hatinya, ia kata.

   "Kalau urusan ada gampang, untuk apa kau undang aku masuk dulu? Tidakkah cukup bila kau beri tahu aku alamatnya perwira muda itu?....."

   Tapi ia adalah tetamu, tidak berani ia terlalu mendesak. Hong Hoe pimpin tetamunya berlalu dari tanah lapang, untuk memasuki sebuah ruang tetamu di mana paling dulu ia titahkan pelayannya menyiapkan dua cangkir terisi teh wangi.

   "Maaf, ingin aku salin pakaian dulu,"

   Kata tuan rumah ini kemudian, lalu ia terus masuk.

   Memang, setelah pertempuran hebat melawan Tantai Mie Ming, pakaian komandan Kimie wie itu telah robek dan kotor, begitupun rambutnya.

   Mulanya In Loei, karena urusannya, tidak memperhatikan, sesudah orang menyebutkannya, baharu ia melihat terang.

   Benar-benar tidak pantas tuan rumah menemani tetamu dengan pakaian tidak keruan macam itu.

   Maka ia jadi tertawa.

   "Sungguh liehay Tantai Mie Ming itu!"

   Ia kata.

   "Syukur kau yang melayani dia, coba orang lain, sudah tentu dia tidak sanggup....."

   Hong Hoe bersenyum, ia jalan terus. Sebenarnya tidak lama, tapi In Loei menantikan dengan tidak sabaran, baharu hatinya lega apabila ia tampak tuan rumah itu muncul pula.

   "Thio Thaydjin, di mana tinggalnya In Tongnia itu?"

   Ia tanya tanpa menanti lagi. Ia seperti tak sanggup kuasai pula dirinya. Hong Hoe berlaku ayal-ayalan, ia singkap bajunya untuk duduk dengan tenang. Ia pun angkat dulu cawan tehnya, untuk menghirup teh yang wangi itu.

   "Sukar untuk menemui In Tongnia itu!"

   Sahutnya kemudian, tapi sambil bersenyum. In Loei heran, hingga tak dapat ia tidak memperlihatkan roman kaget.

   "Apa katamu?"

   Tanyanya cepat.

   "Dia kena-pakah?"

   Hong Hoe lihat tegas kelakuan orang yang luar biasa itu. Itu menyatakan bahwa di antara kedua anak muda itu terdapat suatu hubungan yang erat, kembali ia bersenyum.

   "Dia tengah menghadapi suatu kejadian di luar dugaan, hanya itu adalah kejadian yang baik,"

   Jawabnya kemudian.

   "Dia telah disetujui oleh Sri Baginda, dia telah diangkat menjadi siewie di dalam keraton. Karena ini dia tidak dapat sembarang keluar, jadi sulit untuk menemui dia."

   In Loei jadi bingung.

   "Apakah kau juga tak dapat memanggil dia keluar?"

   Ia tanya.

   "Sekarang ini dia bukan lagi sebawahanku, pasti tak dapat aku memanggil dia keluar,"

   Sahut Hong Hoe. In Loei jadi seperti putus asa.

   "Habis bagaimana?"

   Tanyanya, lenyap kegembiraannya.

   "Jikalau kau berniat menemui dia, mungkin setengah bulan lagi baharu ada ketikanya,"

   Hong Hoe beritahu.

   "Kenapa begitu?"

   In Loei tanya.

   "Apakah sebabnya?"

   "Setengah bulan lagi tibalah waktunya Sri Baginda mengadakan ujian militer tahun ini,"

   Komandan Kimie wie itu menerangkan.

   "Dengan ujian militer"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia maksudkan ujian boe kiedjin.

   "Saudara Tjian Lie sudah mendaftarkan namanya. Dia pandai ilmu silat, dia paham membaca kitab perang, ada harapan baginya lulus sebagai Boe tjonggoan. Umpama kata dia menjadi Boe tjonggoan, sudah pasti Sri Baginda akan berikan dia pangkat besar dan mendapat kedudukan lain hingga tak usah dia tinggal lebih lama di dalam keraton sebagai pahlawan."

   Benar-benar lenyap harapan In Loei.

   Ia jadi memikir untuk pamitan saja.

   Akan tetapi Hong Hoe tanya ia ini dan itu, ia tetap diajak bicara.

   Dan bicara tentang kejadian di Tjengliong Kiap, tuan rumah ini kembali puji Thio Tan Hong, ia kata, karena tipu dayanya Tan Hong itu, puteranya Tjioe Kian dan ia sendiri jadi dapat kebaikan.

   Hati In Loei berdenyut setiap kali ia dengar disebutnya nama Tan Hong.

   Hong Hoe lihat keadaan orang itu, ia menjadi heran sekali.

   "Apakah benar Thio Tan Hong itu puteranya Thio Tjong Tjioe?"

   Tanyanya kemudian.

   "Benar,"

   Jawab In Loei, terpaksa.

   "Kalau benar begitu, benarlah, teratai keluar dari lumpur tetapi tidak kotor!"

   Kata Hong Hoe.

   "Melihat segala sepak terjangnya, terang dia adalah satu pemuda penyinta negara, maka harus ditertawai saudara Tjian Lie, dia baik dalam semua hal kecuali terhadap Tan Hong, dia sangat berkukuh, dia sangat benci Tan Hong itu."

   In Loei berdiam, ia rasakan hatinya sakit.

   "Apakah kau juga datang dari Mongolia?"

   Kembali Hong Hoe menanya secara di luar dugaan.

   "Di masa kecilku, pernah aku tinggal di Mongolia,"

   In Loei akui.

   "Kalau benar begitu, kau mirip dengan saudara Tjian Lie itu,"

   Kata Hong Hoe.

   "Tahukah kau orang macam apa pangeran asing serta Tantai Mie Ming yang datang ke Tionggoan ini?"

   "Aku meninggalkan Mongolia sebelum berumur tujuh tahun,"

   Sahut In Loei.

   "maka itu mengenai Mongolia, sedikit sekali pengetahuanku. Kenapa Thaydjin tanya tentang kedua orang asing itu?"

   "Sekarang pemerintah kita menghadapi suatu urusan penting,"

   Jawab komandan itu.

   "Itu adalah satu urusan aneh."

   In Loei tidak menegaskan. Ia anggap ia adalah seorang rakyat jelata, tak ada pentingnya baginya untuk mengetahui urusan negara itu. Hong Hoe sebaliknya pandang "pemuda"

   Ini sebagai sahabat karib, bagaikan saudara kandung, tanpa kekuatiran, ia membicarakannya terlebih jauh.

   "Pangeran asing itu bernama Atzu,"

   Ia berikan keterangan.

   "di negerinya dia menjabat pangkat tiwan, yang berarti pejabat pemerintah, maka kekuasaannya berada di atasnya lain-lain pangeran, dia cuma berada di bawahan thaysoe. Kali ini dia datang ke negeri kita sebagai utusan, untuk membuat perundingan. Ada tiga syarat yang telah dikemukakan. Pertama-tama dia minta supaya daerah seratus lie di luar Ganboenkwan diserahkan pada negara Watzu, dan kota Ganboenkwan menjadi tapal batas kedua negara itu. Yang kedua dia minta diadakan penukaran antara barang-barang besi kita dengan kuda Mongolia. Dan yang ketiga dia minta supaya puteri raja kita dinikahkan dengan Toto Puhwa, putera raja Watzu itu. Ketiga permintaan itu ditentang keras oleh Ie Kokioo, yang tak dapat menerimanya. Ie Kokioo bilang, tanah daerah Tionggoan, satu dim juga panjangnya tak dapat diserahkan pada lain negara. Kalau besi kita diserahkan pada negara Watzu, itu ada seumpama kita pelihara harimau untuk mendatangkan ancaman bencana di belakang hari, sebab sekarang saja negeri Watzu sudah kuat sekali. Tentang pernikahan, meskipun itu ada urusan keraton, tetapi itu juga mengenai kehormatan kebangsaan, maka itu pun tak dapat diterima."

   "Ie Kiam adalah satu menteri besar yang jujur, dia sangat setia kepada negara, sikapnya itu pasti tidak aneh,"

   Kata In Loei, yang turut juga bicara.

   "Ie Kiam menentang keras, ia memang tidak aneh,"

   Hong Hoe jawab.

   "yang aneh adalah sikapnya Ong Tjin. Dia juga menentang, sedang dia secara diam-diam, telah sekongkol dengan negeri Watzu itu, hal mana sudah dapat kita dengar semua. Pada sikap Ong Tjin itu ada satu sebabnya. Daerah seratus lie di luar Ganboenkwan berada dalam pengaruhnya Kimtoo Tjioe Kian, daerah itu tak lagi dapat dikendalikan oleh pemerintah kita. Inilah sebabnya Ong Tjin sangat benci pada Tjioe Kian, selama sepuluh tahun sudah sering dia kirim surat-surat rahasia pada panglima kota Ganboenkwan, mengijinkan panglima itu berserikat dengan tentara Watzu, untuk bersama menghajar dan memusnahkan Tjioe Kian. Karena sebab itu, kita percaya, Ong Tjin tentunya setuju untuk menyerahkan daerah itu kepada bangsa Watzu. Di luar dugaan, dia justeru menentangi! Tentang pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia, hal itu sudah berjalan selama sepuluh tahun, yang melakukan itu, tentu saja secara diam-diam juga, adalah Ong Tjin sendiri."

   "Mungkin Ong Tjin mainkan siasat, supaya orang tidak tahu jelas akal muslihatnya itu,"

   Kata In Loei.

   "Rupanya dia tidak mau main terang-terangan."

   Thio Hong Hoe tertawa.

   "Kenapa Ong Tjin tidak melakukan itu terang-terangan?"

   Katanya.

   "Ong Tjin itu sudah mempengaruhi Sri Baginda untuk membikin tunduk semua menteri. Di dalam istana, dia telah berkoncoh, mengumpulkan kawan sekongkol, karena itu, ada alasan apa maka ia tidak berani berterus terang? Kau tahu, sekalipun Sri Baginda selalu pandang mata padanya. Sri Baginda sendiri ada seorang yang berhati kecil, bila Ong Tjin menganjurkan perdamaian, tentu semua permintaan Watzu itu akan sudah diterima baik....."

   "Tentang keadaan pemerintah aku tidak tahu suatu apa,"

   Kata In Loei.

   "Masih ada yang lebih aneh lagi daripada sikap Ong Tjin itu,"

   Hong Hoe tambahkan.

   "Sudah dia tentangi perdamaian, dia juga menganjurkan supaya utusan Watzu itu ditahan. Mengenai ini, Ie Kiam tidak mupakat. Ong Tjin biasa membantu Watzu, sekarang dia menganjurkan untuk menahan utusan negara itu, semua menteri tak ada yang tidak merasa heran....."

   Mendengar ini, panas hati In Loei. Kembali ia teringat pada urusan engkong-nya, yang diutus ke negeri Watzu, lalu ditahan, disiksa sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, hidup menderita di tempat dingin, es dan salju.

   "Walaupun kedua negara sedang berperang, tidak seharusnya utusan salah satu negara dibunuh mati!"

   Kata dia dengan sengit.

   "Karena itu, tidak selayaknya utusan Watzu mesti ditahan!"

   "Mengerti aku tentang kebiasaan antara negara itu, kata Hong Hoe.

   "Tapi usul penahanan utusan Watzu itu keluar dari Ong Tjin sendiri, itulah yang membuatnya semua orang tidak mengerti....."

   Tanpa merasa, mereka telah bicara banyak, tahu-tahu sang magrib telah tiba, maka Thio Hong Hoe titahkan orangnya menyiapkan barang santapan untuk menjamu tetamunya.

   "Di manakah In Siangkong ambil kamar?"

   Tanya tuan rumah.

   "Jikalau kau tidak cela rumahku yang kecil dan buruk ini, aku minta sukalah kau pindah saja pada aku di sini."

   In Loei menampik dengan segera. Ia mengerti bahwa ia adalah satu gadis dan ia tidak merdeka untuk menumpang di rumah komandan ini. Untuk itu ia menghaturkan terima kasih.

   "Kenapa ia pemaluan sekali, tingka polanya mirip dengan satu nona remaja?"

   Hong Hoe berpikir.

   "Dia beda jauh sekali daripada Thio Tan Hong."

   Di waktu bersantap, In Loei tanyakan alamatnya Ie Kiam si menteri besar.

   "Apakah kau berniat menemui Ie Thaydjin?"

   Hong Hoe tegaskan.

   "Dalam beberapa hari ini ia ada sangat repot dengan urusan pemerintahan, umpama kata dia sendiri sudi menemui kau, pengawal pintunya pasti akan tak mengijinkannya."

   Walaupun ia menjawab demikian, Hong Hoe beritahukan juga alamat menteri yang setia itu.

   Habis bersantap malam, In Loei pamitan tanpa tuan rumah mampu mencegah dia, maka itu Hong Hoe antar tetamunya sampai di luar.

   Waktu hendak berpisah, sambil tertawa komandan Kimie wie ini berkata.

   "Kalau nanti sahabatmu juga datang ke kota raja" - ia maksudkan Thio Tan Hong - "dan bila saudara Tjian Lie, telah lulus sebagai Boe tjonggoan, pasti aku akan jadi Lou Tiong Lian si juru perantara, untuk menjamu saudara Tjian Lie itu pada waktu mana kau harus menjadi tetamu yang mengawaninya....."

   In Loei tertawa menyeringai, ia lihat sendirinya.

   "Kau baik sekali, Thio Thaydjin,"

   Katanya.

   "Lebih dahulu aku haturkan terima kasih untuk perjamuan itu."

   Lalu pemudi ini pamitan, akan pulang ke hotelnya.

   Malam itu In Loei tidur gelisah, tak dapat ia lantas pulas.

   Sebentar ia ingat akan kakaknya, di lain detik ia ingat Thio Tan Hong.

   Ia menyesal, begitu jauh ia telah susul kakaknya itu, yang satu-satunya, siapa tahu, sesampainya di kota raja ini, masih ia tak dapat segera menemuinya.

   Siapa nyana kakak itu telah berada di dalam istana.

   Memang dapat ia menunggu kakaknya itu, sampai selesai ujian militer, di waktu mana mungkin si kakak akan ke luar sebagai pemenang, akan tetapi, sampai kapankah ia mesti menanti? Pastikah si kakak bakal menang? Siapa tahu, sesudah itu, tidak bakal menyusul lain urusan, yang dapat menghalangi pertemuan mereka? Maka pada akhirnya, ia menghela napas seorang diri.

   "Dasar nasibku buruk....."

   Katanya dalam hatinya.

   "Sampai saudara sendiri, sulit aku menemuinya....."

   Ingat saudara sendiri, In Loei kembali teringat pada Tan Hong. Ada sesuatu yang membikin ia selalu ingat pemuda itu. Teringat pula ia akan kata-katanya Thio Hong Hoe tentang si anak muda. Dengan sendirinya, ia tertawa meringis.

   "Mana kau ketahui keluargaku dengan keluarganya bermusuhan hebat, laksana dalamnya lautan..."

   Katanya di dalam hati.

   "Kau berniat memberi nasehat kepada kakakku supaya dia akur dengan Tan Hong, pastilah percobaanmu itu, akan sia-sia belaka akhirnya....."

   Ingat Tan Hong, segera In Loei ingat Ie Kiam.

   Ia lantas rabah sakunya.

   Ia keluarkan surat Tan Hong yang dititipkan padanya, untuk disampaikan kepada Ie Kiam, menteri setia itu.

   Ia baca alamat surat itu.

   Itulah tulisan tangan yang bagus, bagaikan "naga terbang atau burung hong menari."

   Itulah tulisan si mahasiswa berkuda putih..... Mengawasi tulisan itu, ia bagaikan melihat wajahnya si penulis surat sendiri.

   "Inilah untuk pertama Thio Tan Hong memasuki Tionggoan, cara bagaimana ia kenal Ie Kiam?"

   Ia tanya dirinya sendiri.

   "Kenapa ia menulis surat kepada Ie Kiam untuk memperkenalkan aku?"

   In Loei berpikir Tan Hong itu agak jumawa tetapi orangnya sangat berhati-hati, hingga sebegitu jauh ia tahu, belum pernah Tan Hong melakukan kekeliruan, dan diapun belum pernah mendusta.

   "Dia menulis surat kepada Ie Kiam, mesti ada sebab yang kuat alasannya,"

   Ia pikir lebih jauh.

   "Tidak ada jalan untukku akan menghadap Ie Kiam, baiklah aku pakai surat Tan Hong ini selaku pembuka jalan. Aku akan mencoba-coba saja! Ah, bagaimana jikalau pengawal pintu tak sudi mengijinkan aku menghadap Ie Kokioo? Apa aku mesti bertindak seperti di rumah keluarga Thio, untuk menyerbu saja? Ie Kiam adalah menteri kelas satu, dialah menteri tertua dan agung, yang dihormati di luar dan di dalam negara, bagaimana dapat aku berlaku lancang? Aku mempunyai kepandaian enteng tubuh, ah, baiklah aku datang saja pada waktu malam, aku datang secara diam-diam....."

   Setelah malamnya ia mengambil keputusan, besok paginya In Loei sadar dengan segar, akan tetapi hari itu ia keram diri di dalam kamar, untuk pelihara diri, guna sebentar malam bekerja.

   Begitulah, kira-kira jam tiga, ia sudah lantas salin pakaian, dengan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam.

   Secara hati-hati ia keluar dari hotelnya, lalu langsung mencari gedung Ie Kokioo.

   Oleh karena Ie Kiam ada satu menteri, di mata In Loei, gedungnya mesti merupakan sebuah istana, besar dan tinggi lotengnya, indah dan agung pemandangannya, akan tetapi setelah ia dapat mencarinya, ia tercengang.

   Ia dapatkan bukan istana yang bagaikan ia impikan, hanya sebuah rumah besar yang biasa saja, yang di belakangnya terdapat taman kecil.

   Itulah rumah mirip dengan satu keluarga yang cukup saja.....

   "Sungguh satu menteri setia,"

   Akhirnya si nona menghela napas.

   "Dengan melihat tempat kediamannya ini dapatlah diduga dia orang macam apa....."

   Dengan pesat In Loei lompat naik ke atas genteng, mulai dari payon, ia naik ke atas.

   Benar-benar ia tampak sebuah rumah yang biasa saja.

   Ia dapatkan sebuah kamar dengan taman, tiga penjuru jendelanya ditutupi gorden yang berkembang, kembangnya kecil dan besar, tak rata.

   Setiap jendela ada kacanya.

   Manis hiasan jendela itu, dari mana muncul sinar api yang terang, hingga di atas meja kelihatan pohon bunga bwee, yang berbayang di jendela.

   "Melihat cara menghiasnya, rumah ini tidak mirip dengan rumah seorang hartawan,"

   In Loei berpikir terlebih jauh.

   "Kamar ini pasti kamar tulisnya Ie Kokioo. Karena api belum padam, mungkin Kokioo belum tidur....."

   Dengan tindakan perlahan sekali, In Loei menuju ke kamar itu.

   Begitu ia datang dekat, segera ia dengar suara orang bicara.

   Ia lantas pasang kuping.

   Ia dapat mendengar dengan nyata, hatinya lantas saja goncang.

   Ia kenali, itulah suaranya Thio Tan Hong.

   "Bukankah aku tengah bermimpi?"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tanya dirinya sendiri. Hatinya menjadi bimbang.

   "Kenapa dia berada di sini? Kenapa dia datang secara begini tiba-tiba?"

   Baharu malam kemarin In Loei mimpikan si anak muda atau sekarang ia dengar suaranya. Ia memikir untuk tidak menemui pemuda itu..... Ia bersangsi. Apakah benar ia tak hendak menemuinya? Tapi ia berdahaga sekali untuk menemui si mahasiswa. Ah!.....

   "Biarlah aku intip dia....."

   Dan In Loei bertindak lebih jauh, dengan tindakan sangat enteng ia mendekati kamar tulisnya Ie Kokioo, untuk memasang mata.

   Dari kain gorden, ia segera dapat melihat sepasang bayangan manusia.

   Benar saja, satu di antaranya, adalah bayangannya Thio Tan Hong! -ooo0dw00ooo- Bab XV Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming.

   Ia bagaikan terpaku.

   Syukur untuknya, berselang sesaat, ia sadar kembali.

   Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati.

   Ia hirup hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu.

   Habis itu, dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping.

   "Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan Yasian,"

   Demikian terdengar suaranya Tan Hong.

   "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk menahan Pangeran Atzu, turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian."

   "Habis, bagaimana sekarang?"

   Terdengar Ie Kiam menanya.

   "Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan lawan yang tanggu,"

   Tan Hong berkata pula.

   "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan."

   "Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat,"

   Kata Ie Kiam sambil menghela napas.

   "Harus disayangi bahwa pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh sebagaimana yang kau mengetahuinya....."

   "Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu, itu pun berarti rejekinya kerajaan Beng,"

   Kata Tan Hong. Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela. In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia berpikir keras, saking tak mengertinya.

   "Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng itu?"

   Ia berpikir, heran. Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya goncang.

   "Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming."

   Demikian si mahasiswa berkuda putih.

   "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang saudara di dalam negeri Watzu."

   "Maukah ayahmu berbuat demikian?"

   Ie Kiam tanya.

   "Untuk tidak mendusta."

   Kata Tan Hong.

   "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau berhasil?....."

   "Jikalau begitu, sieheng,"

   Tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong.

   "kenapa tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?"

   "Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu,"

   Tan Hong akui terus terang.

   "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat penting. Hendak aku mencari satu benda berharga yang mengenai nasibnya negara."

   Ie Kiam sibuk juga.

   "Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak,"

   Ia kata.

   "sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama, alis akan segera terbakar..... Bagaimana sekarang?"

   "Sebenarnya tak usah kita berkuatir,"

   Tan Hong jawab.

   "Tionggoan besarnya berlipat puluh kali dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!"

   "Yang dikuatirkan justeru tak adanya persatuan..."

   Ie Kiam utarakan.

   "Piauwkie Tjiangkoen Kwee Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong, begitu juga Gielim koen Toatongnia Thio Hong Hoe adalah penyinta negara yang dapat diandalkan,"

   Kata Tan Hong.

   "maka berhubung dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong Tjin itu besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan pengkhianat ada perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya negara terancam bahaya kemusnahan, asal thaydjin bergerak secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan hangat dari empat penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat diumpamakan dengan seekor cengcorang yang menerjang kereta, mana dia dapat memusnahkan negara?"

   Akan tetapi Ie Kiam menghela napas pula.

   "Sungguh sukar untuk mengatakan, siapa yang akan berhasil dan siapa yang akan runtuh,"

   Kata menteri setia ini.

   "tetapi aku, akan aku habiskan semua tenagaku untuk mencoba melindungi negara!"

   "Kesesatan tak dapat melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin jangan sangsikan!"

   Tan Hong menganjurkan.

   "Siesieng, kau dapat melihat segala apa dengan tegas sekali, kau juga berpemandangan luas dan jauh, kau adalah satu orang cerdik pandai luar biasa untuk jaman ini,"

   Berkata Ie Kiam.

   "karenanya, sieheng, kenapa kau tidak sudi bekerja untuk pemerintah?"

   Thio Tan Hong tertawa.

   "Seseorang mempunyai pendiriannya sendiri-sendiri!"

   Ia kata.

   "Lagi pula, untuk satu laki-laki membela negara, apakah dia mesti selalu berdiri dipihak pemerintah?"

   Ie Kiam diam, dia bungkam. Tan Hong insyaf bahwa ia telah bicara terlalu tandas, maka ia tertawa pula.

   "Thaydjin adalah tiang negara, tentang thaydjin adalah lain,"

   Ia tambahkan.

   Bukan main tergeraknya hati In Loei mendengar pembicaraan antara Tan Hong dan menteri setia itu, teranglah sudah, mereka itu adalah penyinta-penyinta negara, hanya paham mereka itu yang berlainan.

   Ia girang dan kagum untuk Tan Hong.

   Ia kagum karena sepak terjang yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu.

   Ia girang karena terbukti ia tak keliru mengenali orang - Tan Hong benar-benar satu pemuda gagah dan jujur.

   Karena ini juga, dalam sekejap itu ia anggap benar-benar "tidak ada faedahnya permusuhan antara kedua keluarga mereka".....

   Segera terdengar pula suaranya Tan Hong.

   "Thaydjin, harap kau maafkan aku, sukalah kau percaya akan janjiku,"

   Demikian pengutaraan si anak muda.

   "Aku telah nelusup masuk ke kota raja ini, aku pun telah lancang menemui thaydjin, tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan tetapi, lega hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di belakang hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti hancur lebur, masih itu tak cukup untuk aku membalas budi kebaikanmu ini."

   "Jangan kau mengucap demikian, sieheng,"

   Kata Ie Kiam "Untukku adalah sama, kau membalas untuk negara, sama dengan kau membalas untukku!"

   "Satu laki-laki mesti membalas budi negara, tentang itu tak usah orang sampai dipesan lagi,"

   Tan Hong kata.

   "Sekarang sudah jauh malam, thaydjin harus beristirahat, maka itu harap thaydjin mengijinkan boanseng mengundurkan diri....."

   Ie Kiam berdiam, ia bagaikan berbicara seorang diri.

   "Bila kau akan datang pula padaku?"

   Tanyanya kemudian.

   "Kalau telah datang saatnya untuk bertemu pula, akan aku datang sendiri,"

   Jawab Tan Hong.

   "Pribahasa kuno mengatakan.

   "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa,"

   Pribahasa itu cocok dengan kita,"

   Kata Ie Kiam.

   "Dalam usiaku yang lanjut ini, aku masih dapatkan satu sahabat sebagai kau, sieheng, sungguh aku puas sekali. Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis gambar juga, kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya Tio Yoe, 'Liang Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan sebaris syair untuk gambar itu, untuk dijadikan peringatan di kemudian hari. Sudikah kau menulisnya, sieheng?"

   Dengan pribahasanya itu.

   "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa,"

   Ie Kiam maksudkan.

   Ada beberapa orang yang telah bersahabat satu dengan lain, sampai rambut mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti sahabat-sahabat baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain.

   Atau, ada beberapa orang yang telah bertemu di tengah jalan, mereka hentikan kereta mereka, mereka membuka tenda kereta mereka, untuk pasang omong, asyik pembicaraan mereka, hingga mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama.

   Dengan itu diartikan, persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan melulu dari waktunya bersahabat sudah lama atau masih baharu, hanya dari mereka saling mengerti atau tidak.

   Atas permintaan menteri itu, Tan Hong jawab.

   "yang terlebih tua telah memintanya, mana berani aku menampik? Baiklah, akan aku menuliskannya dengan syair The Soe Siauw,"

   In Loei di luar jendela dengar semua pembicaraan itu, lalu ia dengar juga suara goresan, dari jalannya pit di atas kertas, cepat dan tetap, maka tahulah ia, Tan Hong tengah menulis syairnya itu di atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" - "Liang Hoe tengah bersenanjung."

   Lalu habis itu, terdengarlah Ie Kiam membacakan syair itu, membacanya sambil bersenanjung.

   "Sungguh indah! kata si menteri kemudian.

   "Entah bagaimana sieheng telah terpengaruh syair ini....."

   Tiba-tiba saja Thio Tan Hong tertawa bergelak, menyusul mana, ia pun bersenanjung.

   "Di dalam dadaku ada sumpah laksana dalamnya lautan, yang dapat membuat negara bagaikan karam terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi boanseng bagaikan telah mabuk, maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan kelakuanku ini yang lancang! Di belakang hari masih ada waktu untuk kita bertemu muka pula, dari itu tidak usahlah thaydjin mengantar aku!"

   Kata-kata itu disusul oleh Ie Kiam, yang membukakan pintu, atas mana lalu terdengar tindakan kaki Tan Hong, yang pergi berlalu.

   Sejenak itu, kusut pikirannya In Loei.

   Ia bimbang, baik ketemui Tan Hong atau jangan.

   Tak dapat ia ambil putusan dalam sekejap.

   Sementara itu, Tan Hong sendiri sudah keluar dari kamar tulis, dia tengah memohon Ie Kiam tidak mengantar dia keluar.

   Di saat tegang itu, mendadak In Loei ingat kata-katanya Tan Hong.

   "Kalau mesti tertawa, tertawalah! Kalau mesti menangis, menangislah! Kenapa segala apa mesti dipaksakan?....."

   Karena ini, ia pikir.

   "Kalau begitu aku pun mesti, kalau mesti bertemu, mesti aku menemuinya, kenapa aku mesti kuatirkan ocehan orang luar?"

   In Loei segera merasa darahnya berjalan cepat sekali, hatinya menjadi goncang, tapi ia sudah lantas ambil putusannya.

   Hanya, pada saat ia hendak lompat, untuk menyusul, sekonyong-konyong ia merasa ada angin halus yang menyambar pada bebokongnya, lalu ia merasa ada benturan perlahan pada pinggangnya.

   Ia kaget, segera ia rabah pinggangnya.

   Akhirnya ia menjadi kaget sekali.

   Pedang Tjengbeng kiam, pemberian gurunya, telah dicabut orang, hingga di pinggangnya tinggal sarungnya saja, yang kosong! Walaupun ia sangat kaget, tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat, kedua tangannya dibuka ke kiri dan kanan.

   Itulah sampokan untuk menyusul tangan yang membuatnya pedang itu terbang.

   Tiba-tiba saja, ia rasakan sebelah lengannya lemas bergemetar, lalu ia tampak, di depan matanya, satu tubuh berkelebat bagaikan bayangan.

   Kecewa dia, yang pandai ilmu silat, telah ditotok orang tanpa dapat bersiap.

   Dalam keadaan lemah itu, ia merasa orang telah menyambar tubuhnya, dikempit, terus dibawa pergi cepat sekali bagaikan terbang, sampai tak dapat ia berteriak.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi selagi dibawa kabur itu, di kupingnya, ia dengar suara Thio Tan Hong.

   "Turunkan dia! Turunkan dia! - Eh, adik kecil, adik kecil! Benarkah kau?"

   In Loei merasa bahwa Tan Hong, yang berkata-kata itu, tengah menyusul ia.

   Larinya cepat luar biasa orang yang mengempit itu, In Loei merasa seperti dibawa terbang di tengah udara.

   Ilmu enteng tubuh Thio Tan Hong sudah liehay sekali, dalam dunia kangouw jarang ada tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti melebihinya sebab di lain saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda putih jauh tertinggal, di sebelah belakang.....

   In Loei kaget dan gusar, ia mendongkol tanpa ada gunanya.

   Sama sekali ia tidak mampu berontak, untuk membebaskan diri dari kempitan.

   Adalah tidak lama kemudian, si nona merasa ada orang menepuk bebokongnya, menyusul mana dengan perlahan ia dilepaskan, diturunkan ke tanah.

   Itu waktu, orang telah berhenti berlari-lari yang pesatnya bagaikan terbang.

   Ia pun segera merasa, darahnya telah mengalir seperti biasa.

   Sebenarnya, ketika ia menoleh, akan pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si orang tua yang lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia dapat melukai Tantai Mie Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang sudah siap untuk dikeluarkan, ia batalkan mengucapkannya, ia tarik kembali ke dalam perutnya.....

   Si orang tua buat main pedang Tjengbeng kiam-nya, dibulak-balik di tangannya, lalu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam, ia tatap si nona.

   Dengan tiba- tiba dia menanya.

   "Bukankah gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di Soetjoan Utara?"

   Tanpa bersangsi, In Loei menjawab.

   "Ya."

   Orang tua itu lantas menghela napas.

   "Sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu pula dengan dia,"

   Ia kata suaranya tak sekeras tadi.

   "walaupun demikian, dengan melihat pedangnya, aku bagaikan melihat dia sendiri. Dia telah serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya dia sudah berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek gurunya"

   Cepat-cepat In Loei manggut kepada orang tua itu.

   Ia tahu tentang gurunya.

   Itulah kejadian pada dua belas tahun yang lampau.

   Ketika itu Hoeithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang, yaitu Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah Hian Kee It Soe.

   Kesalahan itu ialah.

   dia bersama Tjia Thian Hoa, secara diam- diam telah saling menukar pelajaran ilmu silat pedang.

   Karena kesalahan itu, Yap Eng Eng dihukum duduk bersemedhi menghadapi tembok di gunung Siauwhan San selama lima belas tahun, dan selama lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan dua rupa urusan, dua tugas.

   Yang kesatu dia mesti melatih sempurna dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang kedua, dia mesti berhasil mendidik satu murid yang pandai "Pekpian Hian Kee Kiamhoat"

   Yaitu ilmu silat pedang yang mempunyai seratus jurus perubahannya.

   "Loodjinkee, bukankah kau Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?"

   Dia lantas tanya. Ia percaya betul, tidak ada lain orang lagi yang mengetahui hal ikhwal gurunya itu. Orang tua itu, yang benar ada Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa bergelak.

   "Hai, bocah, kau cerdik sekali!"

   Katanya.

   "Kemarin malam di rumah Thio Hong Hoe kau menggondol pedang ini dibebokongmu, aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma disebabkan kau menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku lancang. Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa aku melarang kau turun tangan?"

   Heran In Loei "Apa?"

   Dia tanya. Di dalam hatinya sendiri, dia kata.

   "Aku toh tidak memikir untuk turun tangan terhadap siapa juga.....?"

   "Bukankah tadi kau berniat munculkan diri untuk membunuh Thio Tan Hong?"

   Tang Gak tegaskan.

   "Jikalau kau bunuh dia kau lakukan satu kekeliruan."

   In Loei meringis. Nyata sudah paman guru itu telah keliru. Tapi ia cerdik. Ingin ia ketahui, apa yang menyebabkan kekeliruan paman guru itu.

   "Kenapa keliru?"

   Demikian ia tanya.

   "Thio Tan Hong itu,"

   Sahut Tang Gak, menerangkan.

   "sekalipun benar dia ada puteranya Thio Tjong Tjioe, akan tetapi mendengar kata-katanya dan melihat sepak terjangnya, dia adalah satu penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur Tantai Mie Ming, malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia, untuk mendengar kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan antara Thio Tan Hong dengan Tantai Mie Ming itu. Mereka tengah merundingkan suatu urusan rahasia yang maha penting. Tentang itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada sangat besar faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat memberi juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming, kesudahannya aku beri ampun juga padanya."

   Mendengar ini, In Loei tertawa di dalam hatinya.

   "Halmu ini telah aku ketahui....."

   Demikian pikirnya. Tang Gak tidak ketahui apa yang si nona pikir, ia bicara lebih jauh.

   "Coba kau pikir, jikalau sampai terjadi kau binasakan Thio Tan Hong, tidakkah karenanya kau jadi melakukan satu kekeliruan besar?"

   Katanya.

   "Lagi pula, dalam hal ilmu silat, kau bukan tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang asli?"

   "Baharu sebagian saja,"

   In Loei jawab paman guru itu. Orang tua itu kerutkan alisnya.

   "Nah, itulah tak tepat,"

   Katanya.

   "Satu anggota dari Rimba Persilatan tidak seharusnya menuruti saja ambekannya tanpa mengukur tenaga sendiri. Eh, ya, apakah namamu?"

   "Aku bernama In Loei,"

   Si nona jawab.

   "Ah!"

   Seru si orang tua, agaknya ia terkejut sekali.

   "Inilah yang pribahasa bilang, orang mencari sesuatu dengan memakai sepatu besi, sampai sepatu itu rusak, yang dicarinya tetap tak dapat diketemukan, sebaliknya, bila ada jodohnya, yang dicari itu dapat diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah payah. Kiranya kau adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak merasa aneh lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan tandingan Tan Hong, tetap kau hendak mencoba membunuh dia!....."

   In Loei meringis pula. Tak dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa.

   "Kemarin malam aku dengar Thio Tan Hong bilang, malam ini hendak dia menghadap Ie Kiam,"

   Tang Gak bicara pula.

   "karena itu, aku pun telah datang kemari. Di tengah jalan tadi, satu urusan telah memhuatnya aku datang terlambat, maka itu, ketika aku tiba, Tan Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka bicarakan. Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?"

   "Aku tak dapat mendengar nyata,"

   Sahut In Loei, yang tidak gembira untuk omong banyak.

   "Aku cuma dengar mereka menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka hendak menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa yang mereka itu katakan."

   "Itulah soalnya!"

   Kata Tang Gak.

   "Aku dengar In Tiong juga berada di sini. Pernahkah kamu bertemu satu dengan lain?"

   In Loei menjawab dengan suara dalam, tanda ia berduka.

   "Kakakku itu telah diangkat menjadi pahlawan dalam keraton,"

   Ia beri tahu. Mendengar itu, Kimkong Tjioe menghela napas.

   "Bagus cita-cita bocah itu,"

   Ia kata.

   "hanya kali ini, tak tepat tindakannya. Dia berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati kakeknya, guna menyuci malu negara, mesti dia menghamba dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan pengaruh besar."

   "Toasoepee benar,"

   Kata In Loei.

   "Di mana ada dorna yang berkuasa dalam pemerintahan, sekalipun Lie Kong yang gagah tak ada jasanya!"

   Itulah kata- katanya Tang Gak dalam suratnya kepada Kimtoo Tjioe Kian. Heran Tang Gak hingga ia mengawasi si nona.

   "Eh, apakah kau pun melihat surat itu?"

   Dia tanya.

   "Sayang si Tiong tak menginsyafi dalil itu. Aku kuatir, karena sikapnya si Tiong itu, akan sukar untuk kita menemui dia....."

   "Mungkin, lagi setengah bulan akan ada ketika-nya,"

   In Loei beritahu. Ia utarakan dugaannya Thio Hong Hoe mengenai In Tiong.

   "Sekarang begini saja,"

   Kata Tang Gak kemudian.

   "Aku pulang secara mendadak, untuk satu urusan sangat penting. Perlu aku segera menemui kakek gurumu. Ini pun sebabnya, sampai aku tak sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya telah lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah untuk sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di sini, maka itu, kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan pesanku ini."

   In Loei menyanggupi, ia manggut.

   "Kamu berniat mencari balas untuk keluargamu terhadap keluarga Thio,"

   Berkata pula Tang Gak.

   "Mengenai ini, jikalau kita pakai aturan kaum Rimba Persilatan, tidak dapat aku mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan. Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya dengan perbuatan leluhurnya, yang bermusuhan dengan keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa, bereskanlah permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal menuntut balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-kataku ini kepadanya, untuk dia pikirkan dan fahamkan."

   Turut kebiasaan Rimba Persilatan, mengenai permusuhan ayah, ibu dan leluhur, meskipun satu guru, dia cuma dapat menganjurkan perdamaian, tak bisa dia memerintah atau melarang pembalasannya. Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu.

   "Tentang Thio Tjong Tjioe itu, dia ada seorang baik atau seorang busuk, aku masih belum tahu suatu apa,"

   Tang Gak lanjutkan.

   "Shatee Thian Hoa terkurung di dalam keraton bangsa Ouw, tentang dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun tak mengetahuinya. Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung....."

   "Mungkin sekarang ini djiesoepee sudah sampai di Siauwhan San,"

   In Loei utarakan dugaannya. Ia beritahukan warta perihal Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu, paman guru yang kedua.

   "Bagus, bagus!"

   Tertawa Tang Gak.

   "Rupa-rupanya kita ke empat saudara seperguruan akan melakukan suatu apa yang menggemparkan di tapal batas bangsa Ouw, malah mungkin kakek gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun gunung!....."

   Hian Kee Itsoe telah sekap diri selama tiga puluh tahun lebih, In Loei belum pernah bertemu dengan kakek gurunya itu, maka itu, di dalam hatinya, ia kata.

   "Untuk melibat kakek gurumu turun gunung, itulah pekerjaan sangat sulit....."

   Tentu saja, mengenai orang-orang pihak tertua, In Loei tidak berani campur tahu, karenanya, ia tidak menanyakan terlebih jauh. Tang Gak pun berdiam, ia cuma memandang langit.

   "Jam sudah hampir pukul empat,"

   Ia kata.

   "karena sebentar pagi aku mesti lantas meninggalkan kota raja ini, tak dapat aku antar kau pulang. Di mana kau tinggal?"

   "Aku tinggal di rumah penginapan,"

   Sahut In Loei.

   "Toasoepee, silakan berangkat! Aku pun tak dapat mengantar kau."

   Waktu itu mereka berdua berada di luar kota, di tempat di mana mereka berdiri, terdapat sebuah empang kecil, maka itu, selagi rembulan bersinar terang, tegas sekali bayangan mereka berpeta di muka air itu.

   Ketika Tang Gak berpaling ke muka air, tiba-tiba ia menghela napas.

   "Buat belasan tahun aku lewatkan waktuku di tanah yang ber-es dan bersalju, tanpa merasa, rambut kepalaku pun telah berubah menjadi putih,"

   Dia kata, menyesal.

   "Sungguh, sang waktu lewat pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah dari gurumu, gurumu itu mirip dengan kau sekarang ini....."

   Diam-diam tergerak hatinya In Loei.

   Ia ingat lelakon asmara antara gurunya itu dengan samsoepee-nya, paman guru yang ketiga.

   Mengenai kata-katanya toasoepee ini, ia separuh mengerti dan separuh tidak, ia diam saja, tunduk.

   Maka itu, ketika kemudian ia angkat kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak ada dihadapannya.....

   Sampai di situ, In Loei segera putar tubuhnya.

   Ia tidak balik ke hotelnya, ia hanya menuju kembali ke rumah Ie Kiam.

   Tepat ketika ia sampai, ia dengar suara kentongan empat kali.

   Pada waktu itu, ia dapat lihat kamar si menteri masih terang benderang seperti tadi.

   Heran ia.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, apakah dia masih belum tidur?"

   Dia tanya dirinya sendiri. Dengan perlahan, ia menghampiri pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia mengetok dengan perlahan, beberapa kali. Ie Kiam belum tidur, lantas ia membukakan pintu.

   "Nona In, silakan masuk!"

   Menteri itu mengundang, sambil tertawa manis.

   "sudah lama aku tunggui kau!"

   In Loei tercengang. Ia dandan sebagai satu pemuda, ia anggap tidak ada orang yang ketahui atau kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam sekarang buka rahasianya itu! "Thio Tan Hong telah menuturkan halmu kepadaku,"

   Ie Kokioo kata pula, menambahkan.

   "Dia juga telah melukiskan potongan tubuhmu dan wajahmu kepadaku. Apakah kau baharu sampai?"

   Melihat sikap orang demikian ramah tamah, tanpa merasa In Loei jadi sangat terharu, hingga air matanya mengucur. Ia lantas saja berlutut, untuk memberi hormat. Ie Kiam membungkuk, untuk memimpin bangun nona itu.

   "Ketika dahulu aku diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu yang menjadi ketua ujian,"

   Ie Kiam kata pula.

   "Maka itu, andaikata aku tidak dipandang lancang, ingin aku panggil kau titlie saja."

   Titlie ialah keponakan perempuan. Mendengar disebutnya engkong-nya, In Loei menjadi terlebih berduka.

   "Bagaimana meninggalnya kakekku itu?"

   Dia tanya sambil menangis tersedu-sedu.

   "Benarkah dia diberikan kematian oleh raja? Peehoe, tahukah kau keadaan yang sebenarnya?"

   In Loei sudah lantas memanggil peehoe, paman, kepada menteri itu.

   "Kau duduk dulu,"

   Berkata Ie Kiam serta menuangkan orang secangkir teh, yang masih panas.

   "Kau seka air matamu, nanti aku jelaskan padamu."

   In Loei mengucap terima kasih, ia seka air matanya. Ie Kiam mengawasi, ia menghela napas pula.

   "Ketika hari itu kakekmu menemui kecelakaannya, aku telah menjadi Pengpou Sielong,"

   Menteri ini menutur.

   "Begitu kita dapat kabar buruk dari kota Ganboenkwan, semua menteri, sipil dan militer, menjadi kaget sekali, mereka berduka berbareng gusar. Semua orang anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama baik di negara asing. Selama dua puluh tahun kakekmu mengembala kuda di daerah ber-es dan bersalju, tak sudi ia menyerah di bawah tekanan musuh, sungguh dia mirip dengan Souw Boe yang setia dan keras hati, dialah satu manusia yang langka! Kakekmu menemui ajalnya secara demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar bersama. Demikian satu giesoe yang tak takut mati sudah memajukan surat kepada raja, untuk membalas kakekmu itu, ia minta supaya raja mencuci penasaran itu, agar nama kakekmu diperbaiki, untuk selanjutnya diberi pangkat mulia.

   "Apa benar In Tjeng telah meninggal dunia?"

   Tanya raja setelah ia baca surat giesoe itu.

   "Aku masih belum tahu. Baiklah, nanti aku cari keterangan. Suratmu ini akan ditangguhkan dulu."

   "Lantas raja menitahkan membubarkan persidangan di singgasana.

   "Menteri besar yang bernama Lauw Tek Sin tidak puas dengan sikap raja. Ia berbangkit, ia susul raja sampai di kamar tulis.

   "Bukankah Sri Baginda yang membubuhi tanda tangan atas surat titah yang menghadiahkan kematian kepada In Tjeng itu?"

   Dia tanya.

   "Raja mencoba menyangkal tapi bicaranya tidak jelas.

   "Mengetahui rajanya disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong Tjin datang menyusul.

   "Sri Baginda, apakah Baginda telah lupa menulis firman itu?"

   Ia tanya.

   "Oh, ya, ya,"

   Kata raja itu gugup.

   "Memang benar, akulah yang menulis firman itu. Ya, kenapakah dia diberi hadiah kematian? Baiklah, nanti aku pikir- pikir....."

   "Ong Tjin, yang mendampingi raja, lantas membantu mengingat. Dia kata, In Tjeng menjadi utusan, dengan tidak tahu malu, dia bekerja kepada musuh. Begitulah maka dia dihadiahkan kematiannya....."

   "Benar, benar!"

   Kata raja.

   "Karena itu dia dihukum mati"

   "Lauw Tek Sin menjadi sangat murka.

   "Teranglah kau yang membuat firman palsu, jahanam!"

   Dia damprat orang kebiri itu.

   "Kau telah memfitnah satu menteri setia dan membinasakannya, kau pakai nama Sri Baginda, dengan begitu kau membuatnya Sri Baginda tak disukai menteri- menterinya!"

   "Akan tetapi Ong Tjin menjadi gusar sekali. Dia perintahkan menawan Lauw Tek Sin, untuk dijebluskan ke dalam penjara istana, habis mana, dengan mencari akal, menunjuk orang berdosa, dia hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini membangkitkan kegusarannya menteri-menteri sipil dan militer dalam istana, mereka ini memprotes, mereka menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw Tek Sin bebas dari kematian, tetapi dia dipecat, dijadikan rakyat jelata. Sedang giesoe yang setia itu, yang membelai kakekmu, juga dihukum, yaitu dihukum buang ke Haylam. Tidak lama kemudian, giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong Tjin. Kemudian lagi, satu demi satu, menteri-menteri yang protes dorna kebiri itu, telah menerima bagiannya, pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri tidak terkecuali, aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee menjadi soenan."

   Mendengar keterangan itu, bukan kepalang mendongkolnya In Loei.

   "Sungguh satu dorna kebiri yang sangat menjemukan!"

   Dia berseru.

   "Jadi dialah yang membinasakan kakekku itu? Kenapa dia membinasakan kakekku?"

   "Hal itu baharulah kita ketahui kemudian,"

   Sahut Ie Kiam.

   "Sejak siang-siang Ong Tjin itu telah membuat perhubungan rahasia dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-diam mereka itu menukar besi kita dengan kuda Mongolia. Perdagangan tukar-menukar secara gelap ini dilakukan secara besar-besaran, dengan begitu Yasian telah mengeruk uang dalam jumlah yang besar sekali. Turut kabar, untuk Mongolia, perdagangan semacam itu dilakukan secara terang-terangan. Kakekmu adalah satu menteri besar, dia ternama baik, sudah begitu, untuk dua puluh tahun dia telah melindungi kesetiaannya, kesetiaan itu tak kalah dengan kesetiaan Souw Boe yang mengembala kambing, umpama kata dia dapat kemerdekaannya, pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki tata tertib di dalam istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala dorna. Karena ini semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong Tjin mestinya telah menerka yang kakekmu telah ketahui rahasianya. Untuk menjaga bahaya di belakang hari, Ong Tjin telah menggunakan firman palsu, untuk mendahului turun tangan terhadap kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam, cap kerajaan berada di tangannya, karena semua surat-surat, dari luar dan dari dalam, mesti terlebih dahulu lewat ditangannya, kecuali jikalau yang dihaturkan pribadi oleh suatu menteri. Karena kekuasaannya itu, gampang sekali baginya untuk memalsukan firman."

   Sampai di situ, In Loei teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah memesan Tantai Mie Ming untuk menyampaikan tiga buah kimlong kepada kakeknya.

   Memang kimlong itu - surat tertutup, yang untuk sementara dirahasiakan dulu - ada luar biasa.

   Dulu, dimasa ia kecil, In Loei tidak ketahui suatu apa tentang kimlong itu, adalah kemudian, sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im Hweeshio, dari Kimtoo Tjioe Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong.

   Dari ketiga kimlong, yang ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di dalam lahwan ini - lilin bundar - terdapat lagi sehelai surat.

   Itulah suratnya Ong Tjin yang di alamatkan kepada To Huan (ayahnya Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang tak adalah surat urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia.

   Surat rahasia itulah yang menyebabkan In Tjeng ditawan.

   Sebenarnya Tjia Thian Hoa telah dititahkan pergi ke kota raja, untuk menyerahkan lahwan kepada Ie Kiam, supaya Ong Tjin didakwa.

   Sayang telah terjadi kegagalan.

   In Tjeng bukan melainkan kena ditawan, dia malah segera dibinasakan.

   Meski begitu, terang sudah, itulah maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua.

   Surat itu kesampaian.

   Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan kepada Ie Kiam, pasti sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta pengaruhnya tak jadi sehebat sekarang ini.

   Dengan bukti itu belum tentu Ong Tjin tak dapat dirubuhkan....."

   Setelah menutur, Ie Kiam menghela napas.

   "Memang sakit hati In Thaydjin belum dapat dicuci bersih,"

   Kata dia.

   "akan tetapi ia mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau, di alam baka, dia tentunya dapat meramkan mata."

   Ingat itu, In Loei berpikir itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja ia tepuk kedua tangannya satu dengan lain, seraya berseru.

   "Jikalau aku tidak berhasil mencingcang hancur tubuh dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi menjadi manusia!"

   Tapi Ie Kiam menggeleng-gelengkan kepala.

   "Nona In, sekarang ini, aku tidak setuju kau pergi menuntut balas!"

   Dia kata. In Loei heran. Ia memang sedang murka.

   "Loopee, apakah artinya perkataanmu ini?"

   Ia tanya.

   "Sekarang Ong Tjin sedang besar pengaruhnya dan orang-orangnya pun banyak sekali,"

   Menteri itu berikan keterangan.

   "di samping itu, di dalam angkatan perang, banyak panglima yang menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik kita pusatkan seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu. Jikalau kita turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri, bisa kita merusak urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan, 'Kalau seribu orang menuding, tak sakit pun orang dapat mati?' Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan kejahatan, mana dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya? Pendeknya kalau nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata kau tidak pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang akan menyingkirkan dia! Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus ingat, tangan sebelah tak dapat perdengarkan suara. Maka sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu, baharu dapat kau berichtiar."

   In Loei berdiam. Ia anggap pikiran menteri itu benar sekali. Tapi ia jadi sangat bersedih, hingga air matanya membasahi ujung bajunya. Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam berbangkit, akan bertindak ke jendela, yang daunnya ia tolak.

   "Ah, sudah hampir terang tanah!"

   Katanya.

   "Keponakan Loei, kau tinggal di mana?"

   Nada suara itu seperti mengandung maksud.

   "Aku tinggal di rumah penginapan,"

   Sahut In Loei.

   "Di rumah penginapan terdapat orang dari segala macam, kau bersendirian saja, kau pun menyamar, pastilah kau kurang merdeka,"

   Berkata menteri itu.

   "Bukankah ada terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk tinggal bersama aku? Di sini juga kabar-kabar datangnya terlebih cepat."

   "Jikalau peehoe kehendaki itu, aku menurut saja"

   Sahut si nona.

   "Baik, akan aku pulang dulu ke pondokku, untuk mengambil barang-barangku."

   Justeru itu waktu, dari kamar sebelah, terdengar satu suara bocah perempuan yang terang sekali.

   "Ayah, kembali untuk satu malam kau tidak tidur....."

   Bangun alisnya Ie Kiam, ia tertawa.

   "Segera akan aku tidur,"

   Ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In Loei, untuk meneruskan.

   "Anakku meminta aku masuk tidur, maka lekaslah kau pergi untuk lekas kembali. Seringkah, karena repot, aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak berarti apa-apa, cuma kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian....."

   Itulah kecintaan antara ayah dan anaknya, mengetahui itu, In Loei teringat pada kakek dan ayahnya.

   Ie Kiam ini, dalam hal usianya, tak berbeda daripada kakeknya pada sepuluh tahun yang lampau.

   Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi seperti menteri ini.

   Segera nona ini memberi hormat, untuk berlalu, dan di lain saat, ia telah kembali.

   Ia pun segera menjadi kawannya si nona tadi, puterinya Ie Kiam.

   Puterinya Ie Kiam bernama Sin Tjoe,4j usianya baharu sembilan tahun, akan tetapi ia cerdik sekali dan gesit.

   Ia panggil entjie kepada In Loei, yang sudah lantas dandan sebagai satu nona.

   In Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini.

   Selama menumpang pada keluarga Ie, In Loei ada kandung suatu maksud.

   Ialah, ia harap-harap datangnya Tan Hong kembali untuk menemui Ie Kokioo.

   Akan tetapi, setengah bulan sudah lewat, pemuda itu masih belum kelihatan juga.

   Sementara itu si pangeran asing beserta Tantai Mie Ming, enam hari sesudahnya In Loei pindah ke rumah Menteri Ie, telah berangkat pulang ke negeri mereka, sebabnya ialah karena pembicaraan mereka gagal.

   Setelah lewat setengah bulan, tiba-tiba ingatlah In Loei akan omongannya Thio Hong Hoe tentang ujian militer Boe kiedjin istimewa untuk tahun yang sedang berjalan.

   Hal itu sangat menarik perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie Kokioo, bilamana ujian itu akan diadakan.

   "Keponakanku yang baik, kau sabarlah,"

   Kata Ie Kokioo sambil tertawa ketika ia ditanyakan yang terakhir.

   "Kalau nanti kakakmu turut ambil bagian, pasti sekali akan aku pertemukan kau dengannya!"

   "Apakah ujian sudah dimulai?"

   Si nona tanya.

   "Sekarang baharu permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka yang mengambil bagian. Nanti aku pergi ke Kementerian Perang untuk mencari tahu angka ujiannya kakakmu itu."

   Lima hari telah lewat sejak pembicaraan itu, atau pada hari ke enam, pagi-pagi sekali, Ie Kiam telah memanggil In Loei, dan semunculnya si nona, ia tertawa dengan manis.

   "Bukankah kau ingin menemui kakakmu?"

   Ia tanya. In Loei berjingkrak.

   "Peehoe, apakah sekarang juga kau hendak ajak aku menemuinya?"

   Tanya ia, yang girangnya tak kepalang.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar,"

   Jawab paman itu.

   "Hanya kau harus merendahkan sedikit dirimu. Kau menyamar sebagai pengiringku, nanti aku ajak kau ke lapangan pieboe untuk menyaksikan pertandingan."

   In Loei girang bukan main, dengan lantas ia salin pakaian.

   Ia sudah biasa menyamar sebagai priya, untuk jadi pengiring atau kacung, iapun tak berkeberatan.

   Ia seperti tak pedulikan segala apa, asal ia dapat bertemu dengan kakaknya.

   Kiranya hari itu adalah hari terakhir, untuk memilih Boe tjonggoan.

   Sudah dikatakan, ujian ada istimewa, maka itu, setelah ujian main panah sambil menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang, datanglah ujian untuk pieboe, guna mengadu kepandaian silat.

   Usul atau saran keluar dari otaknya Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay.

   Dia ambil alasan, ilmu silat ada banyak macamnya, tak berbatas cuma dengan ilmu panah di atas kuda, ada ilmu tombak atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini, ilmu silat itu tidak lengkap.

   Senantiasa berdiam di dalam keraton, atau istana, kaisar merasa kesepian, maka itu satu kali ia dengar akan diadakan keramaian - di antaranya termasuk pieboe - dengan segera dia terima baik usul Kong Tjongkoan itu.

   Demikian di tengah-tengah lapangan segera dibangun satu ioeitay - panggung untuk adu silat itu - dengan di empat penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung untuk penonton.

   Kaisar pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para pahlawan dan thaykam, pun Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut mendampingi padanya.

   Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay ini disebabkan dia mempunyai maksud sendiri - urusan pribadi.

   Dia mempunyai dua soehengtee, saudara-saudara seperguruan yang liehay ilmu silatnya, dia ingin kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya, supaya mereka peroleh nama dan kedudukan baik.

   Tapi kedua saudara itu terlalu rendah pengetahuannya mengenai kitab ilmu perang, maka itu diciptakan akal ini, ialah adu kepandaian silat.

   Sekitar lapangan dijaga tentara Gielim koen, pasukan pribadi kaisar.

   Kaisar sendiri, diiring oleh para pangeran dan orang kebiri, mengambil tempat di panggung tengah, yang menghadapi langsung panggung ioeitay.

   Ie Kiam beserta In Loei, bersama Menteri Perang dan menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari mana orang pun dapat melihat tegas ke panggung raja.

   "Kau lihat,"

   Kata Ie Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik.

   "itu orang dengan juba naga di belakang siapa berbaris pahlawan-pahlawan adalah Sri Baginda raja. Di kiri raja, orang yang berdiri mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin."

   Dengan mata tajam, In Loei awasi orang kebiri itu, untuk mengenali dengan baik roman orang dan potongan tubuhnya.

   Semua boe kiedjin, yang berhak turut ujian, berkumpul di bawah panggung di mana ada sebuah gubuk istimewa untuk mereka menanti atau beristirahat, sebab sebelum tiba gilirannya, tak dapat mereka sembarang menaiki panggung ioeitay.

   "Ujian istimewa kali ini namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja asal berkepandaian silat dan telah terpilih,"

   Ie Kiam terangkan pada In Loei.

   "akan tetapi kenyataannya, kecuali mereka yang memang sudah memangku pangkat dalam tentara, dia mesti diberi pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya mesti sedikitnya sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri Baginda berani turut datang menonton."

   Mendengar ini, di dalam hatinya, In Loei kata.

   "Kalau begitu orang kangouw, yang benar-benar gagah, tak dapat kesempatan untuk turut serta....."

   Tiba-tiba terdengarlah suara tambur nyaring, tiga kali.

   Itulah tanda bahwa pieboe sudah akan dimulai.

   Mendengar suara tambur itu, In Loei merasa tegang sendirinya, segera ia mengawasi ke arah ioeitay.

   Yang pertama kali maju adalah dua orang yang romannya kasar, mereka masing- masing bersenjatakan golok tantoo dan sebuah tombak.

   Sebentar saja, si pemegang golok peroleh kemenangan.

   Menyusul itu adalah tiga pertandingan lagi.

   Siapa yang menang, dia mesti bertanding terus.

   Siapa menang dua kali beruntun, dia dapat hak untuk beristirahat, untuk nanti diadu pula dengan pemenang lainnya.

   Begitu seterusnya.

   Selama itu, In Loei belum lihat kakaknya.

   Pertandingan, ke empat telah selesai, dan pemenangnya adalah seorang yang tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar dan tegap, gegamannya adalah sepasang gembolan.

   Selama itu, kuranglah perhatian In Loei.

   Sampai ia dengar bicaranya Pengpou Siangsie, menteri perang, kepada Ie Kokioo.

   Kata menteri itu.

   "Pemenang ini adalah Tjiangkoen Ouw Tay Keng, panglima yang baru diangkat oleh Kementerian Perang, kedua tangannya bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada banyak sekali, semuanya sembilan puluh enam orang, tetapi Sri Baginda hendak menyaksikan yang paling kosen saja, maka kemarin diadakan ujian istimewa oleh Kementerian, hingga kesudahannya, dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang tinggal dua puluh empat orang. Sri Baginda pun ingin supaya ujian selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin, Ouw Tjiangkoen ini dapat angka baik sekali."

   Ie Kiam sambut keterangan itu dengan senyuman. Ia tahu, Ouw Tay Keng adalah sanaknya Pengpou Siangsie, sudah tentu Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si sanak keluar sebagai pemenang. Segera juga terdengar suaranya kiepaykhoa di muka panggung.

   "Lim Too An, kiedjin nomor sembilan, naiklah ke atas panggung! Penanggung jawabnya adalah Leepou Tjoesoe Lie Soen."

   Pemberitahuan itu menunjukkan bahwa peserta Lim Too An bukan perwira, maka ia memerlukan orang yang menanggung dirinya.

   Heran juga In Loei, maka perhatiannya jadi tertarik sekali.

   Ia lantas lihat, Lim Too An lompat naik ke atas ioeitay dengan sebelah tangannya menggoyangkan kipas, dandannya pun tidak keruan, ialah sembarangan saja.

   Dia adalah puteranya Lim Tjhoengtjoe, sahabatnya Hongthianloei Tjio Eng.

   Dia juga yang beberapa bulan yang lalu telah melamar Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena dikalahkan Nona Tjio.

   Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen sambil menjura seraya pegangi terus kipasnya itu.

   Ia kata dengan lagu suaranya yang agak seram.

   "Ouw Tjiangkoen, aku mengharap belas kasihanmu....."

   "Sial!"

   Keluh Ouw Tay Keng di dalam hatinya.

   "Dari mana datangnya makhluk aneh ini, priya bukan wanita bukan?....."

   Tapi waktu menjawab, sambil mengayunkan gembolannya, dia membentak.

   "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi! Apakah kau anggap ini bagaikan sandiwara? Lekas kau keluarkan senjatamu!"

   Jumawa panglima ini, tetapi Lim Too An tidak menghiraukannya.

   "Boanseng empunya senjata ialah kipas ini,"

   Dia menyahut, suaranya halus bagaikan suara wanita.

   Ia pun membahasakan diri boanseng, artinya yang mudaan.

   Ouw Tay Keng menjadi gusar sekali, segera ia menghajar dengan sebelah gembolannya.

   Lim Too An berkelit sambil mendak, berbareng dengan itu kipasnya yang ia buat kuncup, diulurkan ke arah iga dari panglima itu, untuk menotok jalan darah djoanmoa hiat.

   Lincah gerakannya, tapi tidak segarang lawannya itu.

   Ouw Tay Keng bertubuh besar, ia kurang gesit, tidak ampun lagi, begitu kena ditotok, tubuhnya itu bergelimpang rubah jatuh di lantai panggung dengan menerbitkan suara keras! Lim Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat sebelah kakinya, untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh besar dari panglima itu, jatuh terbanting ke bawah panggung.

   "Maaf, boanseng terima kalah!"

   Kata dia sambil tertawa. Masih dia mengejek. Gembira kaisar menampak pertempuran itu.

   "Bagus!"

   Serunya dengan pujiannya.

   "Pertandingan yang menyusul akan lebih bagus lagi!"

   Kata Ong Tjin.

   "Lekas Baginda lihat!"

   Kiepaykhoa segera perdengarkan pula suaranya.

   "Nomor 10!"

   Kali ini yang lompat naik adalah seorang dengan sebelah tangannya mengangkat tinggi sehelai tameng.

   Dia adalah Lou Liang, adiknya Lou Beng.

   Lou Beng sendiri kemarin telah dijatuhkan oleh satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju seorang diri.

   Dua saudara Lou ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin.

   Lim Too An layani ilmu tameng Koengoan pay dari keluarga Lou dengan tameng besinya, Lou Liang lindungi diri dari totokan ujung kipas.

   Untuk sementara, Too An tidak bisa berbuat suatu apa, maka itu dengan cepat pertandingan telah melalui kira-kira lima puluh jurus.

   Lou Liang tahu orang pandai tiamhiat hoat, ilmu totok jalan darah, setelah bertanding sekian lama, ia menggunakan akal.

   Ialah mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya satu lowongan.

   Too An girang melihat ketika yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu, dengan memutar kipasnya, segera ia menotok jalan darah soankee hiat pada dada lawan.

   Ia percaya, setelah lawan nampaknya lelah, ia akan berhasil.

   Tiba-tiba saja tameng bergerak sangat cepat.

   "Prak!"

   Demikian terdengar satu suara. Too An kaget bukan main, karena kipasnya kena dihajar hingga patah seketika. Ia tahu selatan, segera saja ia lompat turun dari panggung. Ong Tjin lantas saja tertawa, wajahnya berseri-seri.

   "Kongkong, pahlawanmu benar kosen!"

   Kaisar memuji. Ia membuatnya orang kebiri itu bergirang dan bersyukur.

   "Kiedjin No.

   ", See Boe Kie, naik ke panggung! Penanggung jawabnya Hoetongnia Yo Wie dari Gielim koen!"

   Demikian suara kiepaykhoa.

   In Loei terkejut pula.

   Ia tidak sangka, juga penjahat besar ini, yang telengas, turut serta dalam ujian, malah dengan ditunggui oleh komandan muda dari tentara raja.

   Ia ingat benar, See Boe Kie adalah orang yang lamarannya telah ditolak Tjoei Hong.

   Begitu ia mencelat naik ke atas panggung, See Boe Kie tidak berlaku sungkan lagi.

   "Dengan kepalanku ini akan aku sambut tamengmu!"

   Katanya dengan jumawa. Lou Liang gusar terhadap sikap kasar itu.

   "Baik, kau sambutlah!"

   Dia jawab, dan tamengnya segera menyambar dari atas kebawah Hebat serangan itu, sampai tameng itu mendatangkan siliran angin.

   See Boe Kie berkelit ke samping, dari situ ia membalas menyerang dengan kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi berbaris rapat.

   Lou Liang terkejut apabila ia tampak telapak tangan hitam dari lawannya ini.

   Itulah Toksee tjiang - Tangan Pasir Beracun.

   Lekas-lekas ia menangkis.

   See Boe Kie sebat sekali, ketika serangan pembalasannya itu gagal, ia menyusul dengan tangan yang lain, ia barengi selagi orang menangkis.

   Kali ini ia berhasil menimpa pundak orang.

   "Aduh!"

   Teriak Lou Liang yang dibarengi dengan menggelindingnya tubuhnya ke bawah panggung.

   Ia sebenarnya kosen tetapi ia kalah sebat.

   Wajah Ong Tjin menjadi matang biru, karena mendongkolnya, sebab pahlawan yang ia banggakan itu, rubuh sebelum mencapai tiga jurus.

   Jangan gusar, kongkong1."

   Tertawa Kong Tiauw Hay.

   "Pada babak selanjutnya, binatang itu tak akan bertahan lama!....."

   Lalu terdengar suara kiepaykhoa'.

   "No. 12, Liok Thian Peng! Penanggungnya, Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay!"

   Segeralah lompat naik seorang yang tubuhnya tegap, di pinggangnya terlibat cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia tidak loloskan senjata itu, hanya sambil tertawa ia kata pada See Boe Kie.

   "Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah aku mengalah, kau menyerang dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku kalah!"

   See Boe Kie melengak. Orang ada lebih terkebur daripadanya.

   "Hayo mulai!"

   Kata Liok Thian Peng.

   "Kenapa kau belum menyerang juga? Di sini ada ioeitay tempat pieboe, jikalau kau tetap tidak hendak menyerang, hendak kau menggelinding turun saja dari atas panggung ini!....."

   See Boe Kie mendongkol, ia penasaran.

   "Mungkinkah tubuhnya kebal hingga ia tidak mempan racun tanganku yang liehay?"

   Dia berpikir.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Belum pernah aku dengar ilmu kebal semacam itu....."

   Lantas ia kata dengan tawar.

   "Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau berhati-hati!....."

   Belum berhenti si jago tangan beracun ini berbicara, atau sebelah tangannya sudah menyambar ke arah muka lawan. Sambil menyerang, ia berpikir.

   "Pada tubuhnya ada bajunya, yang mungkin menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya, yang kulitnya tipis! Mungkinkah mukanya pun kebal?....."

   Pada saat tangan lawan hampir sampai pada mukanya, mendadak Liok Thian Peng mendak berkelit, menyusul mana, tangannya diangkat, dipakai membentur sikut orang.

   Hebat benturan ini, See Boe Kie merasakan sakitnya sampai di jantungnya, lengannya yang dibentur pun lantas saja turun tergantung, tetapi ia kuat, masih dapat ia bertahan, maka dengan menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah, lantas dengan menggunakan tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian Peng, mengarah jalan darah kematian.

   In Loei saksikan pertempuran itu, ia tahu, kalau sambaran itu tidak gagal, mesti celaka Liok Thian Peng.

   Tapi yang menjerit hebat adalah See Boe Kie, tangannya semper, tubuhnya rubuh ke bawah panggung.

   "Hebat!"

   Kata In Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang punya ilmu "Tjiamie sippattiat" - "Membentur baju, delapan belas kali terguling."

   Itulah ilmu tenaga dalam yang paling sempurna. Sedikit benturan saja sudah cukup membuatnya orang kesakitan dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh.

   "Dalam ujian ini turut ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir kakakku tidak akan dapat merebut gelar Boe tjonggoan....."

   Liok Thian Peng adalah soetee, adik seperguruan, dari Kong Tiauw Hay, kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay sendiri.

   Tentu saja dia jadi sangat puas dengan kemenangannya itu, hingga dia jadi bangga sekali.

   Kemudian terdengar pula seruannya kiepaykhoa.

   "Kiedjin No. 14 naik ke panggung!"

   Bukan kepalang girangnya In Loei apabila ia tampak, siapa calon yang ke empat belas itu, dialah In Tiong, kakaknya.

   "Ha, In Tongnia juga naik!"

   Tertawa Liok Thin Peng.

   "Silakan tongnia keluarkan senjatamu!"

   Belum lama In Tiong masuk dalam kalangan Gielim koen akan tetapi namanya menaik dengan cepat sekali, hingga hampir menyamai kesohornya ketiga jago utama dari kota raja.

   Tentu saja, terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani memandang enteng, maka itu, ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya.

   Ia malah segera rebut tempat di kepala di mana ia berdiri dengan siap sedia.

   Cambuk lemas itu terbuat dari rotan tua terlibat dengan urat harimau, keuletannya istimewa, dapat melibat juga golok atau pedang.

   Karena In Tiong bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam tandingan, ia kalah imbangan.

   Baharu ia hunus goloknya, atau Liok Thian Peng sudah mulai menyerang padanya.

   Dahsyat serangan cambuk itu, akan tetapi mengimbangi kegesitan lawan, In Tiong kelitkan diri.

   Nampaknya ia akan tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak tersentuh.

   Sebaliknya ia, dari samping, segera membalas membacok.

   Liok Thian Peng benar-benar liehay.

   Ia terancam bahaya tapi, dengan mudah ia egoskan tubuhnya, untuk selanjutnya, menyambuk pula berulang-ulang tiga kali, guna mendesak lawannya, yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak memperoleh hasil.

   In Tiong tidak cuma berkelit, dia pun berlompatan pesat, dan di bawah bayangan cambuk itu, ia melakukan serangan pembalasannya.

   Serangan tiga kali saling susul dari Liok Thian Peng itu adalah serangan jurus- jurus "Kenghong sauwlioe"

   Atau "Angin besar menyapu pohon yanglioe,"

   Biasanya sulit untuk orang menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian Peng, terhadap lawannya.

   Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan, sesudah mana, lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat lengan orang.

   Apabila ia berhasil, yang paling dulu akan terjadi adalah golok In Tiong mesti terlepas dari cekalan dan terlempar.

   In Tiong perdengarkan suara, bagaikan kaget, berbareng dengan itu, tangan kirinya, yang hendak dilihat itu, dilonjorkan lempang dan kaku, atas mana, dengan sendirinya, libatan cambuk lolos dan cambuk lemas itu mental, tidak mendapatkan korbannya.

   Tapi itu belum semua, selagi dilonjorkan, tangan In Tiong dan kepalannya, berbareng dipakai menjotos dada lawannya! "Bagus"

   Teriak Liok Thian Peng, yang kaget dan kagum.

   Kakinya tidak digerakkan, hanya tubuhnya digeser sedikit, untuk melewatkan kepalan itu, menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan lawan itu.

   Kelihatannya kepalan dan jari-jari tangan akan bentrok satu dengan lain, akan tetapi di saat yang berbahaya, keduanya mundur sendirinya, diganti dengan gerakan cambuk dan golok - cambuk bagaikan terbang, golok bagaikan menari.....

   Kedua pihak nampak merenggangkan diri tetapi sebenarnya, mereka asyik mengadu kepandaian mereka, hingga penonton rata-rata menjadi kagum, ada yang menyaksikannya seperti matanya kabur.

   Ilmu silat "Tjiamie Sippattiat"

   Dari Liok Thian Peng liehay, akan tetapi, kali ini, menghadapi ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe"

   Dari In Tiong, dia repot juga. Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka itu, dia lantas berlaku sangat hati- hati, dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani terus.

   "Bagus, bagus!"

   Kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan girang. In Loei sebaliknya, berdebar-debar hatinya. Pertempuran seru berjalan terus, sampai kemudian In Loei lihat, gerakan kaki kedua pihak mulai ayal.

   


Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini