Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 14


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 14



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Yasian berkata pula.

   "hanya aku kuatir, jikalau aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti akan memperlambat peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada manfaatnya. Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang mengumpulkan tentera diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi perang di tempat jauh, hendak dia rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram."

   Yang disebut Tiwan Atzu itu adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia.

   "Ayah, kau gagah perkasa, buat apa kau kuatirkan hal itu?"

   Kata sang puteri.

   "Lagi pula hari ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan kata-katamu ini."

   Yasian tertawa.

   "Kau benar, anakku!"

   Ia kata.

   "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal yang akan membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio Tjong Tjioe?"

   Kaget Tan Hong mendengar perkataan itu.

   "Kenapa, ayah?"

   Topuhua balas menanya.

   "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya telah menyusup ke Tionggoan,"

   Sahut sang ayah.

   "Hal itu membuatnya aku curiga....."

   "Kenapa begitu, ayah?"

   "Keluarga Thio itu dengan kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai Tan Hong nanti membantu musuhnya itu,"

   Menerangkan Yasian.

   "tetapi sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah berselang satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa dia tidak datang padaku untuk melaporkan sesuatu? Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya."

   "Mungkin dia terhalang karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum mendapatkan kesempatannya,"

   Topuhua utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya itu.

   "Kalau nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak muncul?"

   Yasian tertawa.

   "Sampai itu waktu, itulah sudah pasti!"

   Ia kata.

   "Kau tahu, kali ini aku menerjang ke Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang....."

   "Siapakah kedua orang itu?"

   "Yang pertama yaitu kaisar Beng,"

   Jawab sang ayah.

   "Dengan ditawannya kaisar itu, meskipun dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat laun, negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga."

   "Dan yang kedua, ayah? Siapa dia?"

   "Yang kedua ialah Thio Tan Hong."

   "Ayah hendak tawan dia, apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup masuk ke Tionggoan?"

   Sang anak tanya pula.

   "Ya dan bukan,"

   Yasian jawab.

   "Apakah artinya itu, ayah?"

   "Thio Tan Hong itu gagah dan pintar, dia sangat berguna,"

   Yasian berikan keterangan pula.

   "Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi tunduk padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."

   "Ah....."

   Topuhua berseru tertahan.

   "Tidakkah itu terlalu kejam?"

   Yasian tertawa.

   "Dia bermusuh dengan kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti dia akan turut aku!"

   Dia kata.

   "Anakku, itulah maksud urusanku yang menggirangkan!"

   Topuhua berpura-pura likat.

   "Ah, ayah, kembali kau mengejek aku!....."

   Katanya. Yasian tertawa berkakakan.

   "Ayahmu bukannya seorang tolol!"

   Ia kata.

   "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau sukai Thio Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga tahun, menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu? Itulah karena aku tahu kau menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!"

   Topuhua tunduk, ia diam, tetapi hatinya girang bukan kepalang.

   "Hanya malam ini, bangsat itu!"

   Tiba-tiba Yasian berseru keras.

   "Dia benar-benar bernyali besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk membawa buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak sangsi....."

   "Siapa yang kau sangsikan, ayah?"

   Tanya Topuhua.

   "Aku kuatir penjahat itu adalah Thio Tan Hong....."

   Si nona heran.

   "Bukankah ayah sendiri yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?"

   Dia tanya.

   "Itulah yang menyebabkan kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya Thio Tan Hong, dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga berniat menculik kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal ini tidak terlalu sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki. Umpama kata perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia, terpaksa aku harus singkirkan padanya!"

   Topuhua terkejut, di dalam hatinya, ia mengeluh.

   Ia bersyukur yang ia belum sampai memberitahukan ayahnya hal Tan Hong ada bersama dengannya.

   Yasian berpaling ke meja kecil, untuk menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar suara.

   "Siapa di dalam tenda?"

   Ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya tengah mengipas dengan kipas kayu cendana.

   "Di mana ada orang di sini, ayah?"

   Kata anak itu sambil tertawa.

   "Mungkinkah ayah dibikin kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati hingga ayah menjadi bercuriga tidak keruan?"

   Wajah ayah itu berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa besar. Topuhua tetapkan hatinya, ia mengipas dengan terlebih keras.

   "Hawa udara di Tiongkok beda dengan kita di Mongolia,"

   Berkata Yasian kemudian.

   "Dalam bulan sembilan yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak- gerak, hingga aku menyangka yang bukan-bukan..."

   Habis mengucap, ayah ini tertawa pula, ber-gelak-gelak.

   Ia tidak tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah berpaling, ia tidak engah.

   Di dalam hatinya, Topuhua sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak hati-hati.

   "Sekarang ini aku telah mengumumkan titahku,"

   Berkata Yasian kemudian.

   "yaitu kecuali dengan titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar Beng. Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk bantu membuat penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang dia, aku telah dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan sendiri, dia benar gagah, dari itu aku harap dapat aku bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia suka menyerah, dia pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia telah terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena itu aku telah menarik kedua belas pahlawan itu."

   Atas kata-katanya ayah ini mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio Tan Hong.

   "Apakah ayah telah mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?"

   Ia tanya. Inilah hal yang penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah ia kuatirkan apa-apa lagi.

   "Sebenarnya aku tidak bercidera dengannya,"

   Yasian jawab puterinya itu.

   "kita cuma kurang cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula."

   Ia tertawa, lalu ia menambahkan.

   "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari kekuasaanku. Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah memikir yang tidak- tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita untuk membangun pula Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya satu urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini aku biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya aneh. Yang dia pikirkan siang dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk membangun kerajaannya, itu artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke Tionggoan. Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah masuk ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di dalam negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa begitu sikapnya? Hal ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi dia adalah seorang pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku merampas Tionggoan dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau akan menjadi puteri!"

   Ketika itu terdengar kentongan tiga kali.

   "Ayah, waktu sudah larut malam,"

   Kata Topuhua sambil tertawa.

   "Sekarang sudah waktunya ayah beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang, untuk menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi raja dan aku menjadi puteri!"

   Yasian tertawa.

   "Kau benar, anak!"

   Ia kata, hatinya gembira.

   Setelah mencium puterinya ia meninggalkan tangsi wanita itu.

   Begitu ayahnya berlalu, lekas juga Topuhua bernapas lega.

   Ia merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi baju dalamnya.

   Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata.

   "Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau bolehlah legakan hatimu..."

   Dari kemah dalam tidak ada penyahutan.

   "Ayahku sudah pergi!"

   Kata pula Topuhua sambil tertawa.

   "Kau lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu dengan air panas yang baru?"

   Dari dalam tenda itu tetap tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa.

   "Engko, engko Thio, ah, kenapa kau tidak menjawab?"

   Tanya Topuhua.

   Sekarang ia mulai merasa heran.

   Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis.

   Ia lantas bertindak menghampirkan tenda.

   Tapi ia tidak berani lantas memegangnya, untuk menariknya, buat membukanya.

   Ia kuatir si anak muda tengah membuka pakaian.

   "Engko Thio, engko Thio!"

   Ia memanggil pula, dua kali.

   Masih saja tidak ada jawaban dari Tan Hong.

   Sampai di situ, Topuhua menjadi curiga.

   Ia pun menjadi tidak senang, hingga ia kertek giginya.

   Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras! Bukan main herannya Topuhua begitu lekas tenda sudah terpentang.

   Tenda itu kosong, Thio Tan Hong tidak ada di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa.

   Segera ia menjadi terkejut.

   Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah belakang, tetapi sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda pecah bekas dipotong! Itulah tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan membuka jalan untuk buron! Topuhua melengak, ia mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan berduka.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dasar aku yang tolol,"

   Ia pikir kemudian.

   "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia membawa-bawa pedang."

   Selagi tunduk, Topuhua tampak corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia lantas membaca.

   "Terima kasih untuk pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang aku sangat kesusu, tidak ada ketika untuk kita pasang omong. Di mana kedua negara sedang berperang, sekarang pun bukan saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi dahulu!"

   Di bawahnya tertera tanda tangan Tan Hong. Dengan hati panas, Topuhua pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar.

   "Dia pergi sudah lama,"

   Ia dapat jawaban.

   "Kenapa kau tidak cegah padanya?"

   Si nona tanya.

   "Dia masuk bersama nona,"

   Sahut serdadu itu.

   "dan nona pun pesan supaya kami jangan banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"

   Bukan main mendongkolnya Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa.

   Dengan mendongkol dan masgul, ia kembali ke dalam kemahnya.

   Sementara itu, di lain kemah, Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri.

   Ditahan di dalam kemah, Hong Hoe dijaga dua pahlawan.

   Sejak ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup, tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia mogok makan.

   Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas titahnya Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya telah diobati.

   Lukanya tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah jinsom, kesehatannya telah pulih dengan cepat.

   Sekarang ia bisa gunakan otaknya.

   "Kalau toh aku mesti mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!"

   Demikian ia berpikir.

   Karena ini, seterusnya suka ia dahar.

   Pembahan sikap ini membikin girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum dan dahar.

   Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe hendak pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.

   Demikian malam itu, kira-kira jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang terbelenggu rantai.

   Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada tangguh sekali, rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara nyaring, hingga kedua penjaganya kaget.

   "Hai, kau bikin apa?"

   Tegur dua pahlawan itu.

   Hong Hoe tidak menjawab, dia hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai putus, suaranya semakin nyaring.

   Kaget kedua pahlawan itu, mereka hunus golok mereka, untuk mengancam.

   Ingin mereka mencegah orang buron.

   Hong Hoe mendelik, hingga ia nampaknya menjadi bengis sekali.

   "Mampus dia yang mendekati aku!"

   Teriaknya.

   Ia lompat, ia merabu dengan rantainya.

   Kedua pahlawan itu mundur, bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani membunuh tawanan ini, mereka lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki tawanan itu.

   Hong Hoe liehay, dia ganas, selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat sabetannya dengan rantai.

   "Aduh!"

   Teriak satu pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian dengkul kena rabuan rantai.

   Pahlawan yang kedua kaget tapi ia lantas membacok.

   Ia insyaf akan ancaman bencana.

   Hong Hoe rubuhkan diri, sambil rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang pun terbelenggu.

   Tapi pahlawan itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia membacok pula, untuk mencegah orang berbangkit bangun.

   Hong Hoe bergulingan, atas mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak ada ketika baginya untuk lompat bangun.

   Dalam keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari bentroknya senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas jatuh.

   Hong Hoe menjadi kaget, lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng mana, ia tampak menyerbu masuk, dua orang yang mukanya bertopeng.

   "Lekas bekuk tawanan ini!"

   Teriak si pahlawan.

   Ia lihat, dua orang itu adalah kawannya.

   Ia lantas lompat, untuk menjumput goloknya yang barusan terlepas.

   Untuk itu, ia membungkuk.

   Tapi di luar dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira Mongolia, tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan pedang mereka, hingga tanpa menjerit lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan rubuh dengan berlumuran darah.

   "Kau?"

   Teriak Hong Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu. Kedua orang itu membuka penutup muka mereka.

   "Ya, aku!"

   Jawab yang satunya, sambil tertawa.

   Mereka itu tidak lain daripada Tan Hong dan In Loei.

   Tan Hong mendengar dari Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian dan puterinya berbicara, ia berlalu dengan cepat.

   Dengan mudah ia akali serdadu wanita, yang menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk mengajak In Loei, bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan, malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia dapat memberikan bantuannya.

   Dengan cepat Tan Hong dan In Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe, tapi mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar suara berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di dalam, dia lari untuk memberi kabar.

   Hong Hoe tertawa besar.

   "Bagus!"

   Dia berseru.

   "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang modalku! Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"

   Dia lantas sambar golok seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat. Tiba-tiba Tan Hong totok komandan Gielim koen itu.

   "Kau... kau..."

   Hong Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap demikian, terus kedua matanya rapat, tubuhnya rubuh. In Loei heran, ia lirik kawannya itu.

   "Tak dapat dia dibiarkan nekat,"

   Kata Tan Hong.

   "Mari!"

   Anak muda ini mengangkat tubuh orang, untuk dipanggul.

   In Loei mengerti, ia lantas mengikuti.

   Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke depan, untuk menghadapi musuh.

   Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju menerjang, untuk membuka jalan.

   Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara beradunya pelbagai senjata tajam.

   Untuk kagetnya musuh, senjata mereka semua terpapas kutung, hingga terpaksa mereka lompat minggir.

   Tan Hong dan In Loei gunakan ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju dengan cepat.

   Terus mereka babat kutung senjata musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda dan lompat naik ke atasnya.

   Itulah pahlawan-pahlawan kelas dua, karena yang dua belas, yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk menjaga raja Beng.

   Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke tenda, lekas sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi pelbagai tenda lainnya.

   Begitu lekas mereka sudah berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya yang nyaring, suitan mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka.

   "Kita bebas!"

   Kata Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda itu.

   "Mari!"

   Ia ajak kawannya. In Loei ikuti kawan ini. Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah menantikan mereka sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong menyingkir dengan kudanya itu, yang lari keras.

   "Biarkan dia tidur!"

   Kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe diperut kuda.

   Komandan Gielim koen itu masih belum sadar, sebab ia belum ditotok pula.

   Tan Hong mempunyai dua macam ilmu totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak.

   Hong Hoe ditotok urat tidurnya, dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan napas dan jalan darahnya.

   Mulanya In Loei bersangsi akan naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong desak dia.

   "Naiklah, adik kecil!"

   Katanya.

   Ia bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas bebokong kuda.

   Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh.

   Meski begitu, tak dapat ia cegah mukanya menjadi merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah.

   Mau atau tidak mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.

   Dengan perdengarkan suara yang nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya.

   Dapat dikatakan tak sampai satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah jauh di belakangnya.

   Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa, dengan gampang kedua anak muda itu dapat melalui mereka.

   Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban pedangnya pasangan itu.

   Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman bahaya.

   Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah tangsi Watzu di Touwbokpo.

   Ia menjadi sangat girang.

   Satu kali ia tertawa tak disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli.

   "Toako, coba perlahankan kuda putihnya,"

   In Loei minta kemudian.

   Tan Hong meluluskan, maka sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas bertindak perlahan.

   Ini membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang malam dengan rembulannya yang permai.

   Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar.

   Baharu sekarang ia ingat, malam itu adalah malam Tiong Tjioe - bulan delapan tanggal lima belas! Tanpa merasa, ia tertawa.

   "Adik kecil!"

   Katanya.

   "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!"

   "Memang benar!"

   Sahut In Loei, yang hendak menggoda.

   "Hari raya Tiong Tjioe dinamakan juga Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!"

   Tan Hong terperanjat, ia segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis, bersenyum simpul, dari mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang sendirinya.

   "Adik kecil,"

   Katanya, sambil tertawa.

   "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan perang menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?' Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini! Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama bundar-bulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti mengiri!..."

   Tan Hong balas menggoda, yang mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In Loei menjadi jengah, ia likat sekali.

   "Ah, toako, kau jail sekali!"

   Dia kata.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!"

   Tan Hong menoleh, akan pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar, hatinya menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya.

   "Eh, toako, kau angot?"

   Tegur In Loei, heran. Masih Tan Hong tidak menjawab, ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan.

   "Semoga manusia hidup kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu lie."

   Dengan "keindahan alam"

   Itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis. Tanpa merasa, In Loei menimpali, perlahan ia bersenanjung.

   "Manusia mempunyai kedukaan, kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah sempurna. Toako, jangan kau ingat saja bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..."

   Habis berkata, wajah si nona menjadi suram.

   Tan Hong lihat keindahan malam itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak kekal tak sempurna selamanya.

   Karenanya, ia jadi berduka.

   Justeru itu segumpal awan lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya menjadi guram.

   Menampak itu, In Loei paksakan untuk tertawa.

   "Nah, toako, kau lihat!"

   Ia kata.

   "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?"

   Mau atau tidak, Tan Hong turut tertawa.

   "Adik kecil, ingatkah kau pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?"

   Ia tanya.

   "Bahagian yang manakah itu, toako?"

   In Loei balas menanya.

   "Itu syair yang dibuatnya di malam Tiong Tjioe,"

   Sahut Tan Hong.

   "Malam itu Tjoe Siok Tjin melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya sendiri, lantas ia menulis syairnya."

   Terus Tan Hong perdengarkan syair itu.

   "Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya selaksa lie?"

   Tjoe Siok Tjin adalah satu di antara dua penyair terkenal dari Ahala Song.

   Yang satu lagi adalah Lie Tjeng Tjiauw.

   Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia senantiasa berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan hatinya.

   Maka juga kumpulan syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi"

   Artinya.

   "Kumpulan Usus Putus."

   Mendengar nyanyian Tan Hong itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia berpikir.

   "Tjoe Siok Tjin dapat pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku bakal menelad dia?..."

   Tan Hong, sambil tertawa, sudah berkata pula.

   "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung banyak kedukaan, hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega disingkirkan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok Tjin adalah satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau sebaliknya bukan seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau sebaliknya dapat berusaha, bekerja!"

   Mendengar itu, hati In Loei berdebar. Ia berpikir.

   "Kakakku melarang aku bersahabat dengan Tan Hong, itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti kehendak Thian? Mega yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara menyingkirkannya?"

   Ketika ia angkat kepalanya, nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi seperti tadi! Kedua anak muda ini telah menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi sang rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi bayangan penghidupan manis dari manusia.

   Rambut di samping kuping mereka beradu, mereka dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain...

   Mereka saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun...

   Mereka menyesal, seolah-olah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka keluarkan itu semua...

   Sebenarnya, untuk apa mereka mengatakannya? Bukankah hati mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti maksud hati masing-masing? Kuda putih berjalan terus, perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah menjadi terang.

   Dan di depan mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera Watzu.

   Nyatalah, Yasian telah memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya pasukan depannya sudah mendekati Pakkhia.

   Maka itu di sepanjang jalan sejauh dua ratus lie lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan tangsi atau benteng tentera Watzu itu.

   "Sekarang bolehlah kita turunkan Thio Hong Hoe,"

   Berkata Tan Hong akhirnya.

   Hong Hoe di perut kuda masih belum sadar akan dirinya.

   Tan Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan, habis itu, ia menepuknya.

   Boleh dibilang dalam sekejap saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa kesegarannya pulih, ia merasa sehat betul.

   Ia lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali.

   "Tempat apakah ini?"

   Dia tanya.

   "Tempat ini telah terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo,"

   Sahut Tan Hong. Hong Hoe menghela napas.

   "Tan Hong,"

   Katanya.

   "kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan tugasku?"

   Tan Hong menatap dengan tenang. Kematianmu adalah urusan kecil,"

   Ia kata.

   "akan tetapi kalau setiap orang mengurbankan jiwanya untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya untuk negara? Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk mengambilnya kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!"

   Hong Hoe insaf dengan cepat.

   "Habis bagaimana kita dapat tiba di Pakkhia?"

   Ia tanya akhirnya. -ooo00dw00ooo- Bab XXI Justeru itu terdengar suara kuda lari mendatangi. Tan Hong semua berpaling. Mereka lihat dua serdadu Watzu, yang rupanya tengah meronda. Menampak dua serdadu itu, Tan Hong tertawa.

   "Mengandal kepada mereka berdua, aku tanggung kau akan sampai di Pakkhia,"

   Ia kata.

   Kedua serdadu Watzu sementara itu nampaknya heran.

   Mereka lihat dua perwira Watzu bersama satu perwira Han.

   Maka segera mereka menghampiri.

   Tan Hong berdua In Loei bertindak sangat cepat.

   Sekejap saja mereka sudah sampok terlepas senjata kedua serdadu Watztu itu, lalu diancamkan pedangnya ke batang leher mereka.

   "Kamu mau hidup atau mati?"

   Tan Hong mengancam.

   "Mau hidup..."

   Sahut kedua serdadu, yang putus asa.

   "Baik!"

   Kata Tan Hong.

   "Adik kecil, bawa dia seratus tindak jauhnya, tanyakan padanya pertandaan hari ini."

   In Loei menurut, ia tarik serdadu yang satu.

   "Bagus!"

   Kata pula Tan Hong, suaranya keras.

   "Sekarang mari kita mulai tanya mereka! Jikalau penyahutan mereka berbeda, itu tandanya mereka mendusta, maka adik kecil, kau boleh lantas tabas padanya!"

   Dengan sempurnanya Iweekang-nya, walaupun mereka terpisah seratus tindak, suara Tan Hong itu dapat didengar jelas sekali oleh In Loei. Coba Tan Hong ada lain orang, tidak nanti suaranya itu dapat terdengar. Hong Hoe kagumi anak muda ini.

   "Tan Hong benar teliti,"

   Kata dia dalam hatinya.

   "Jikalau mereka ini tidak dipisahkan, umpama mereka menyahuti secara palsu, sulit untuk mengetahui kedustaan mereka."

   Tan Hong sudah tanya si serdadu dan ia telah peroleh jawabannya.

   "Bagaimana?"

   Dia tanya In Loei.

   "Dia kata tanda-kata hari ini adalah bidadari,"

   Jawab In Loei. Bangsa Watzu juga tahu tadi malam adalah malaman Tiong Tjioe untuk bangsa Han, mereka sengaja pakai kata-kata "bidadari"

   Untuk tanda kata mereka.

   "Akur!"

   Berseru Tan Hong.

   "Mereka tidak mendustai"

   In Loei segera kembali bersama serdadu itu. Tan Hong bertindak terlebih jauh, dengan sebat ia buka seragam kedua serdadu itu, setelah mana, ia ikat mereka itu di atas pohon.

   "Maafkan kami,"

   Ia kata pada mereka.

   "Kalian boleh menunggu di sini sampai sahabat-sahabatmu nanti datang menolong kamu."

   Ia tidak tunggu jawaban lagi, terus ia berkata pada Hong Hoe.

   "Silakan kau pakai seragam ini."

   Hong Hoe menurut, dengan cepat ia salin pakaian.

   "Sekarang mari!"

   Mengajak pula Tan Hong.

   Dan kali ini, dengan masing-masing menunggang seekor kuda - untuk mana kudanya kedua serdadu Watzu itu mereka rampas - ia ajak kedua kawannya mengaburkan kuda mereka.

   Hong Hoe kenal baik jalanan itu, ia mengajaknya ambil jalan kecil, untuk memotong jalan.

   Secara begini dapat mereka menyingkir dari tiap-tiap tangsi bangsa Watzu.

   Benar mereka kerap kali bertemu serdadu ronda, tetapi dengan mengucapkan perkataan "Bidadari!"

   Mereka selalu bebas dari pemeriksaan.

   Maka akhirnya, sebelum matahari turun, mereka telah tiba di luar kota Pakkhia.

   Di sana pasukan depan bangsa Watzu sudah mengatur persiapan untuk bertempur, karena mereka tengah berhadapan dengan tentera Beng.

   Di antara mereka terdapat tanah perbatasan yang kosong, yaitu no man's land.

   Dengan berani Hong Hoe bertiga menerobos dari kalangan tentera Watzu, untuk melintasi tanah kosong, guna menghampiri tentera Han.

   Mereka lantas disambut hujan panah oleh tentera Beng, akan tetapi mereka maju terus, mereka sampok jatuh setiap anak panah.

   Pasukan Beng itu di kepalai oleh Yo Wie, hoetongnia dari Gielim koen, serta Kiekie Touwoet Hoan Tjoen, belum lagi Hong Hoe datang dekat, mereka itu sudah melihat dan mengenali, maka itu dengan lekas mereka larang serdadunya melepaskan panah terlebih jauh, mereka sendiri lantas maju, untuk menyambut.

   "Bagaimana sikap tentera?"

   Tan Hong tanya. Inilah pertanyaan yang pertama. Yo Wie menyahut dengan perlahan.

   "Kami telah mendengar kabar angin bahwa Sri Baginda telah ditawan musuh di Touwbokpo, kabar itu telah membuatnya hati tentera sedikit goncang..."

   "Berita mengenai Sri Baginda ditawan musuh bukan kabar angin belaka, itulah kejadian benar,"

   Kata Tan Hong.

   "Sekarang lekas kamu antar kami masuk ke dalam kota untuk menghadap Ie Thaydjin."

   "Mana kakakku?"

   Tanya Hoan Tjoen. Ia maksudkan Hoan Tiong.

   "Kakakmu sudah mengurbankan dirinya untuk negara,"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Hong Hoe.

   "Aku harap kau nanti meneruskan cita-citanya, untuk melindungi kota Pakkhia!"

   Lantas komandan Gielim koen ini tuturkan kegagahannya Hoan Tiong, yang telah menghajar mampus dorna Ong Tjin dengan gembolannya, habis mana, sekalipun dia terbinasa, Hoan Tiong tidak sudi menakluk pada musuh.

   Hoan Tjoen berduka, tetapi hatinya terhibur.

   Yo Wie pun berduka, ia terharu berbareng puas juga.

   Sampai di situ, Yo Wie persilakan ketiga orang itu salin pakaian, sesudah mana, ia antar mereka masuk ke dalam kota.

   Di mana-mana di dalam kota terlihat rakyat, dalam rombongan-rombongan kecil, berbisik-bisik, untuk satu dengan lain menanyakan keadaan dari medan perang.

   Pada wajah mereka tampak roman berkuatir dan tegang.

   Hong Hoe bersama Tan Hong dan In Loei menuju ke gedung Ie Kiam.

   Ketika itu sudah jam tiga tetapi gedung menteri itu masih terang benderang.

   Tan Hong maju di muka, untuk mengetok pintu, guna memohon menghadap.

   Tidak lama, pintu besar dipentang, kuasa rumah muncul untuk mengatakannya.

   "Thaydjin ada di ruang tengah, silakan kamu masuk!"

   Ketika Tan Hong tiba di lorak, ia tampak Ie Kiam seorang diri sedang jalan mondar-mandir.

   "Ie Thaydjin, kami telah kembali!"

   Tan Hong segera berkata.

   "Ah, kamu telah kembali..."

   Kata menteri itu, yang masih mondar-mandir terus. In Loei menjadi heran.

   "Ie Kiam dengan Tan Hong bersahabat kekal,"

   Ia berpikir.

   "dia pun perlakukan kami seperti keponakan atau anak, sekarang kita kembali, mengapa sikapnya begini tawar?"

   Karena ini, ia campur bicara, katanya.

   "Kami pun telah membawa pulang peta bumi. Tentang harta besar dari leluhurnya Thio Toako, itu pun akan diangkut kemari!"

   Pada wajah Ie Kiam terlihat sorot kegirangan, tetapi alisnya masih tetap mengkerut.

   "Benarkah itu?"

   Tanyanya, menegaskan.

   "Aku kuatir sudah terlambat..."

   Dan kembali ia jalan mondar-mandir.

   Tan Hong dapat menerka orang sedang menghadapi kesulitan, ia kedipkan matanya kepada In Loei untuk mencegah nona ini berbicara pula.

   Ia lantas memandang ke sekitarnya.

   Ia lihat di bawah lorak ada tumpukan kapur tembok dan di kedua tepinya telah banyak yang runtuh.

   Di dalam hatinya, ia menghela napas.

   "Jikalau tidak melihat sendiri, siapa sangka Ie Kokloo demikian melarat,"

   Katanya dalam hati kecilnya.

   "Rumahnya sudah begini tua, untuk membetulkan temboknya, ia cuma menitahkan orangnya sendiri..."

   Ia angkat kepalanya, ia tampak sebuah syair yang digantung di dalam ruangan itu. Ia baca.

   "Seribu kali gali, selaksa kali gempur, digali keluar dari dalam gunung, Dengan api yang berkobar besar dibakar, bukan main hebatnya, Tulang-tulang boleh jadi abu, tubuh lebur, tetapi hati tak gentar, Asal dapat pernahkan nama putih bersih di dalam dunia ini."

   Di bawah itu, di sebelah kiri, terdapat tambahan huruf-huruf halus yang berbunyi.

   "Dicatat pula di harian tentera Watzu mengurung kota, sebagai kesan."

   Di bawah itu ditulis nama Ie Kiam, penulisnya. Tergerak hati Tan Hong, hingga dengan keras ia berkata.

   "Ie Thaydjin, oleh karena kau tidak gentar tulang-tulang dan tubuhmu hancur lebur, kenapa kau jeri akan segala ocehan tidak keruan atau fitnahan pembesar hikayat?"

   Ie Kiam terperanjat, hingga kedua matanya bersinar dengan tiba-tiba. Ia angkat kepalanya, memandang langit.

   "Hiantit,"

   Katanya kemudian.

   "cuma kau seorang yang ketahui isi hatiku. Tapi urusan ini sangat besar, untukku tulang hancur dan tubuh lebur adalah soal kedua, hanya aku kuatir, di belakang hari, aku nanti mengalami perkara penasaran yang tak dapat dilampiaskan..."

   Tan Hong mendesak.

   "Sekarang ini Sri Baginda sudah ditawan musuh,"

   Kata dia.

   "maka itu thaydjin harus memikirkan negara, mesti thaydjin segera mengambil putusan. Sekarang telah tiba saatnya! Umpama kata benar di belakang hari raja toh mempersalahkannya, tetapi thaydjin telah pernahkan nama bersih di antara rakyat, nama itu akan teringat laksaan tahun, akan tercatat untuk selamanya dalam hikayat. Apakah yang harus digentarkan pula?"

   Alisnya Ie Kiam bergerak pula, ia sudah lantas ambil putusannya. Ia keprak meja ketika ia berseru.

   "Hiantit benar! Besok aku angkat raja baru, akan aku basmi kawanan dorna, lalu aku akan mengepalai sendiri angkatan perang untuk melawan musuh!"

   Memang Ie Kiam telah mendengar berita mengenai raja sudah tertawan musuh, hal mana membuatnya ia menyesal, berduka dan berkuatir.

   Ia sudah menerka, bangsa Watzu pasti akan menggunakan raja itu sebagai alat untuk memaksakan segala permintaannya, maka itu, ia memikirkan daya upaya untuk menghadapinya.

   Ia sudah ketahui, jalan satu-satunya ialah mengangkat raja baru, untuk menunjukan bahwa ia hendak mempertahankan diri, guna membela negara, hanya ia bersangsi sebab ia sendiri bukannya anggauta kerajaan, kalau ia sendiri saja yang mengepalai pengangkatan raja baru itu, tanggung jawabnya terlalu besar dan berat.

   Ia pun kuatirkan serangan kawanan dorna, sedang dalam kalangan keluarga raja, banyak yang berpendirian tak tetap.

   Di samping itu ia pikirkan juga, umpama kata raja yang tertawan itu mendapat kemerdekaannya kembali dan telah pulang ke dalam negeri, ada kemungkinan raja itu tak akan mengerti sikapnya itu, hingga ia akan terancam kebinasaan berikut seluruh keluarganya.

   Maka itu, sudah satu hari satu malam ia berpikir keras, masih saja ia belum dapat mengambil putusan.

   Sampai sekarang ini Tan Hong telah bicara dengan tandas, baharu ia dapat mengambil ketetapannya itu.

   Di hari kedua, Ie Kiam buktikan perkataannya.

   Ia himpunkan para menteri besar, ia utarakan keputusannya dan beritahukan rencananya untuk melawan musuh.

   Paling dahulu ia angkat adiknya kaisar Kie Tin, yaitu Kie Giok, menjadi raja, menjadi kaisar Tay Tjong, sedang Kie Tin diangkat menjadi Tahongsiang.

   Habis itu dikeluarkan perintah akan membunuh semua kambrat Ong Tjin.

   Setelah Kie Giok naik tahta, ia pakai gelaran negara Keng Tay, lalu dengan menuruti nasihat Ie Kiam, dalam satu hari itu, telah menghukum mati kambratnya Ong Tjin yang berjumlah tiga ratus jiwa lebih.

   Segera Ie Kiam diangkat merangkap menjadi Pengpou Siangsie, menteri perang, dengan diberi kekuasaan untuk memimpin angkatan perang guna melawan musuh.

   Ie Kiam sudah lantas bertindak sebagai kepala perang, ia kumpulkan tentera, ia kobarkan semangat rakyat, maka di dalam kota Pakkhia itu, ia berhasil membangun barisannya, untuk memulai perlawanan terhadap musuh.

   Demikian peperangan telah dimulai pula.

   Sebab Yasian, yang telah berhasil menawan kaisar Kie Tin, meleset dalam dugaannya.

   Ia mulanya menyangka, dengan kaisar musuh dapat ditawan, kota Pakkhia akan dapat dirampas dengan mudah, dengan begitu seluruh Tionggoan akan terjatuh ke dalam pelukannya, siapa nyana, Ie Kiam telah bangkit pula.

   Maka ia menjadi kaget berbareng gusar.

   "Maju!"

   Demikian ia serukan tenteranya, untuk mengurung kota Pakkhia.

   Pada bulan sepuluh tanggal sembilan, Yasian dapat memukul pecah kota Tjiekengkwan, pada tanggal sebelasnya, pasukan depannya sudah tiba di luar pintu kota Saytit moei di barat kota Pakkhia.

   Kie Giok tidak punya pendirian, ia sudah lantas usulkan untuk memohon perdamaian, akan tetapi Ie Kiam menentangnya, menteri perang ini menganjurkan perlawanan terus, ia sendiri yang pimpin tenteranya.

   Hebat pertempuran yang berlaku lima hari lima malam itu.

   Tentera Watzu berhasil memukul pecah pintu- pintu Tjianggie moei dan Tekseng moei, akan tetapi tentera Beng melawan terus, tak peduli banyak sekali kurban yang rubuh.

   Mereka telah dibantu rakyat penduduk kota raja, wanita dan pria, tua dan muda, menggulung tangan baju bersama, akan pertahankan negara mereka.

   Mereka itu turut naik ke tembok kota, akan melawan serbuan musuh.

   Anak panah tidak cukup, tanpa ragu-ragu mereka merusakkan rumah mereka, mereka pakai batunya untuk melontar musuh.

   Maka selama lima hari lima malam itu, hebat suara pertempuran itu, demikian pula jalannya pertempuran.

   Tentera Watzu gagah, tetapi menghadapi perlawanan musuh itu, gentar juga hati mereka.

   Pada hari ke enam telah datang sejumlah tentara suka rela, yang datang dari beberapa tempat, bendera mereka tertampak ramai dari atas kota Pakkhia.

   Segera Thio Hong Hoe pimpin pasukan Gielim koen, akan menyerbu keluar kota.

   Dengan cepat ia telah binasakan tiga perwira musuh yang tanggu.

   Menampak demikian, Ie Kiam berikan titahnya untuk menyerbu, maka tentera dan tentera rakyat segera pentang pintu kota, mereka maju menerjang musuh.

   Yasian saksikan nekatnya musuh, ia lantas berikan titahnya untuk mundur.

   Ia kuatir nanti sampai pula bala bantuan dari pelbagai tempat, apabila itu sampai terjadi, ada kemungkinan jalan mundurnya nanti tertutup, hingga ia terkurung.

   Hebat kerusakan Yasian karena pengundurannya ini.

   Pada tanggal sebelas ia masuk ke Saytit moei, tetapi ketika ia mundur pada tanggal tujuh belas, ia menderita kerugian sebanyak kira-kira delapan laksa serdadu yang luka dan binasa, ia mundur tanpa peroleh hasil! Pada tanggal delapan belas, di luar kota Pakkhia sudah bersih dari musuh.

   Sebaliknya dari Thongtjioe dan Hoolam telah datang beberapa pasukan suka rela.

   Sebenarnya jumlah bala bantuan itu, cuma beberapa laksa, tidak berarti apabila dibandingkan dengan besarnya angkatan perang Watzu, tetapi semangat tentera dan rakyat kota Pakkhia telah berkobar-kobar, sehingga menyebabkan musuh mundur terpaksa.

   Maka itu, semua orang sangat bergembira, semua berseru-seru kegirangan.

   Ie Kiam sambut dengan baik setiap bala bantuan suka rela itu.

   Yang membuatnya ia kagum adalah ketika ia dapatkan satu pasukan yang datang jauh sekali dari propinsi Kangsouw.

   Itulah pasukan suka rela di bawah pimpinan In Tiong, pasukan yang berasal dari tjhoengteng atau penduduk tani ketua dari Tamtay tjhoeng dan mulanya cuma terdiri dari beberapa ratus jiwa, tapi di sepanjang jalan mereka dapat mengumpulkan lagi kawan-kawan hingga jumlah mereka semua meliputi seribu jiwa lebih.

   Ketika barisan ini tiba di kota raja, jumlahnya tinggal kira-kira separuh.

   Sebab di tengah jalan mereka telah bertempur dengan musuh, banyak di antara mereka terbinasa dan luka, malah In Tiong sendiri terpisah dari mereka, dari itu, sekarang pasukan itu dipimpin oleh Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong.

   Yang paling penting dari barisan suka rela dari Kangsouw ini adalah mereka sudah tidak mensia-siakan tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh Thio Tan Hong.

   Yaitu mereka sudah mengiringi dengan selamat harta warisan Thio Soe Song sampai di Pakkhia.

   Dalam kegembiraannya, Ie Kiam lantas undang Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe membikin pertemuan dengan Tan Hong dan In Loei.

   Nona In terperanjat mendengar kakaknya lenyap, maka ia lantas tanya, bilamana dan bagaimana itu terjadinya.

   "Itu terjadi kemarin,"

   Sahut Tiatpie Kimwan, menerangkan.

   "In Tjonggoan titahkan kita menerjang musuh untuk melindungi harta, ia sendiri bertanggung jawab di bahagian belakang, guna merintangi kalau-kalau musuh mengejar. Nona Tamtay bersama belasan tjhoengteng pun membantu melindungi dari sebelah kiri. Kami tahu, tindakan itu berbahaya, tapi karena harta mesti dilindungi, kami tidak bisa berbuat lain. Kejadianlah yang rombongan kita kena dipotong tentera Watzu. In Tjonggoan sungguh gagah, ia telah membuka jalan, sayang di tengah-tengah pertempuran dahsyat itu, sebatang anak panah mengenai Nona Tamtay, hingga dia tak menerjang terlebih jauh. In Tjonggoan segera kembali ke belakang, untuk menolongi nona itu. Demikian maka mereka itu jadi terpisah dari kami, yang dapat membuka jalan dan menuju terus kemari."

   In Loei jadi sangat berkuatir dan berduka.

   "Syukur musuh telah mundur sekarang,"

   Berkata Ie Kiam.

   "nanti aku titahkan untuk mencari di sekitar luar kota ini. Aku percaya mereka dapat diketemukan."

   Hati In Loei menjadi sedikit lega, tapi ia masih tetap memikirkan kakaknya itu.

   Bagaimana keadaannya si kakak, yang menolongi Nona Tamtay itu? Ia jadi lebih berkuatir karena si Nona Tamtay tengah terluka, entah lukanya itu hebat atau ringan.

   Hari itu In Tiong telah menempuh bahaya, ia tunjukkan kegagahannya.

   Begitu ia lihat Tamtay Keng Beng terluka panah, segera ia pergi menghampiri untuk menolongi.

   Ia putar golok Toanboen too-nya, untuk melindungi si nona dan untuk membelai dirinya.

   Dengan tangan kiri, dengan pukulan-pukulan Taylek Kimkong Tjioe, ia rubuhkan atau mundurkan setiap musuh yang datang dekat.

   Tapi musuh berjumlah banyak, mereka terus terkurung.

   Kematian beberapa puluh musuh tidak berarti apa-apa.

   Di saat In Tiong mulai lelah, mendadak ia dengar suara tambur dan gembreng musuh disusul dengan suara terompetnya, lalu disusul pula dengan mundurnya barisan musuh.

   Dengan begitu In Tiong mendapat keringanan, segera ia membuka jalan darah, untuk meloloskan diri dari kepungan.

   Ia tidak tahu bahwa mundurnya musuh disebabkan Yasian membutuhkan bantuan, untuk angkatan perang Watzu itu mundur seluruhnya.

   Selang setengah jam, In Tiong sudah lari cukup jauh, bersama Tamtay Keng Beng, ia jadi berada jauh dari pasukan musuh.

   Ia bernapas lega.

   Ia hanya kaget ketika ia tampak wajah pucat pasi dari si nona.

   "Bagaimana kau rasakan?"

   Ia tanya nona itu.

   "Tidak apa-apa,"

   Sahut si nona. Di mulut Keng Beng mengucapkan demikian, akan tetapi les kuda yang ia pegang tak kencang lagi dan tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak rubuh. Mau atau tidak, In Tiong bersenyum.

   "Adik Tamtay,"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia berkata.

   "Ketika dulu aku terluka, banyak aku terima budimu. Bukankah kau telah menasihati agar aku jangan paksakan diri berkuat-kuat. Ingatkah kau akan hal itu?"

   Di mulut In Tiong berkata begitu, sepak terjangnya adalah lain.

   Gesit luar biasa ia lompat dari kudanya ke kuda si nona, untuk duduk di belakang nona itu, les kuda siapa ia sambar, untuk mewakilkan memegang kendali, untuk sekalian menjagai tubuh si nona supaya tubuh itu tidak rubuh terguling.

   "Adik Tamtay, kau harus beristirahat,"

   Ia berkata pula.

   "Mari kita cari satu rumah penduduk untuk menumpang beberapa hari kalau nanti lukamu sudah sembuh, baharu kita berdaya untuk pergi masuk ke Pakkhia."

   Tamtay Keng Beng tidak berkesan baik terhadap In Tiong, akan tetapi sekarang ia saksikan sikap orang yang lemah lembut dan sangat perhatikan kepadanya, dengan sendirinya, hatinya tergerak juga.

   Maka ia biarkan orang bawa padanya.

   Sibuk juga In Tiong sesudah ia mencari-cari rumah penduduk di sekitar itu.

   Dusun itu telah rusak, penduduknya tidak ada.

   Dengan sangat berduka dan, berkuatir, ia mencari terus, sampai di depannya ia tampak sebuah rumah yang letaknya pada lereng bukit.

   Dari jauh kelihatan rumah itu masih utuh juga.

   "Thian tidak memutuskan jalan makhlukNya,"

   Ia berseru.

   "Akhir-akhirnya kita menjumpai juga sebuah rumah!"

   Tapi Tamtay Keng Beng menggelengkan kepalanya.

   "Aku kuatir itu bukannya rumah penduduk baik-baik,"

   Ia utarakan kesangsiannya.

   "Saudara In, kau mesti berhati-hati..."

   "Dalam keadaan seperti kita ini, tak dapat kita terlalu bercuriga,"

   In Tiong jawab.

   "Yang penting adalah kau mesti beristirahat!"

   Maka ia larikan kudanya ke arah rumah kampung itu. Setibanya di situ, ia bantui Keng Beng turun dari kudanya, habis mana terus ia mengetok pintu, yang tertutup rapat.

   "Siapa?"

   Terdengar suara keras dari dalam rumah. In Tiong heran. Ia seperti kenali suara itu.

   "Aku adalah serdadu suka rela dari Kangsouw,"

   Ia lantas menjawab.

   "Aku hendak numpang menginap."

   Dengan berani ia bicara terus terang. Dengan menerbitkan suara, pintu segera di-pentang. Berbareng dengan itu, dari dalam terdengar suara pula.

   "Oh, kiranya In Tjonggoan1."

   Hanya kali ini suara itu sedikit menggetar, seperti dikeluarkan oleh seorang yang tengah terkejut berbareng kegirangan.

   Itulah di luar dugaan In Tiong, apapula ketika ia lihat tegas orangnya yang berbicara itu, yang berdiri di muka pintu, berendeng bersama orang lain.

   Untuk tercengangnya, ia kenali Low Beng dan Low Liang, kedua boesoe atau guru silat dari istana kaisar.

   "Saudara-saudara Low, mengapa kamu masih berada di sini?"

   In Tiong tanya.

   "Pada setengah bulan yang lalu,"

   Low Beng menyahut.

   "ketika aku lihat musuh datang menyerbu, aku minta ijin cuti, maksudku ialah mengantarkan keluargaku pulang ke kota raja untuk melindungi mereka. Di luar dugaan kami, musuh datang terlalu cepat, kami tercegat, perhubungan kami terputus, hingga kami tak dapat pergi terus ke kota raja, terpaksa kami menunda di sini. Ah, apakah nona gagah ini pun serdadu suka rela? Dia terluka, lekas ajak dia masuk! Kami mempunyai obat luka yang mustajab."

   "Djiewie, baiklah minum dulu air teh panas,"

   Berkata Low Liang, yang terus menyuruh orangnya menyuguhkan air teh. Tamtay Keng Beng adalah seorang yang berhati-hati, ia segera berpikir.

   "Mereka ini adalah guru-guru silat negara, kenapa di saat gentingnya peperangan, mereka diijinkan cuti? Dengan mundurnya tentera Watzu, di mana tentera itu lewat, ayam dan anjing pun tidak aman, rumah-rumah musnah, maka aneh, kenapa cuma mereka ini yang tetap utuh?"

   Oleh karena kecurigaannya itu, Keng Beng memandang seluruh rumah.

   Ia dapatkan di thia ada pelbagai macam alat senjata.

   Ia jadi bertambah curiga.

   In Tiong rupanya tidak menyangka suatu apa, ia angkat cawan teh, untuk di minum, tetapi Keng Beng, yang lihat itu, segera kedipkan mata padanya.

   In Tiong seperti tidak lihat kedipan mata itu, ia bawa terus cawan teh ke mulutnya.

   Bukan main kuatirnya si nona, hampir ia menjerit.

   Tiba-tiba terdengar satu suara keras dan nyaring, tahu-tahu cawan jatuh dan pecah, air tehnya tumpah berhamburan.

   "Ah."

   In Tiong berseru.

   "Celaka! Maafkan aku,"

   Ia terus mohon.

   "Tolong ditukar cawannya..."

   In Tiong belum tutup rapat mulutnya, atau air teh yang melimpah itu kelihatan bercahaya seperti api.

   Itulah tanda air teh itu telah dicampurkan racun.

   Hal ini mengejutkan kedua tuan rumah dan tetamunya.

   In Tiong pun bercuriga.

   Ia lantas ingat, Low Beng dan Low Liang adalah kepercayaannya dorna kebiri Ong Tjin.

   Ia memang belum tahu yang Ong Tjin selama di Touwbokpo sudah dihajar mampus oleh Hoan Tiong tapi ia tahu baik kejahatannya dorna kebiri itu, maka umpama kata Nona Tamtay tidak memberi tanda padanya, ia sudah berhati-hati sendirinya.

   Karenanya ia sengaja melepaskan cangkir teh itu, hingga jatuh pecah dan rahasia kedua saudara Low itu terbuka! Low Beng dan Low Liang berseru, dengan lantas mereka lari ke tempat alat senjata, untuk menyambar gegaman mereka masing-masing, habis mana mereka tidak membuang tempo untuk mengurung tetamunya itu, ialah In Tiong.

   Low Beng bersenjatakan sebatang pedang panjang dan Low Liang tameng besi.

   Dan pedang Low Beng itu memain di antara gerak-geriknya tameng, yang perdengarkan suara angin menyambar-nyambar.

   Itulah ilmu tameng Koengoan pay yang tersohor.

   In Tiong bela dirinya dengan tangan kiri, dengan pedang di tangan kanan, ia siap melayani musuh-musuhnya.

   "Apakah kamu, kedua saudara hendak memberontak?"

   Ia tegur mereka itu. Low Beng tertawa bergelak-gelak.

   "Tidak salah!"

   Sahutnya, jumawa.

   "Memang kami hendak memberontak! Kau tahu, kau masih dalam mimpi, kau masih belum tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi!"

   "Apa kau bilang?"

   In Tiong tegaskan.

   "Hendak aku tanya kau,"

   Jawab Low Liang.

   "Kau bawa pasukan suka rela ke kota raja, bukankah itu untuk menunjang raja?"

   "Memang!"

   Sahut In Tiong sambil mendesak tiga kali, setelah mana, ia tangkis tameng dan pedang kedua lawannya. Low Liang tertawa terbahak-bahak.

   "Rajamu yang tua bangka itu sudah sejak siang-siang menjadi tawanan bangsa Watzu!"

   Katanya separuh mengejek.

   "Bukankah kau kenal peribahasa, siapa kenal gelagat dialah seorang cerdik? Maka itu baiklah kau lekas letakkan senjatamu, mari kau turut kami menakluk kepada bangsa Watzu! Dengan menakluk, kau masih mempunyai harapan memangku pangkat dan hidup senang, tetapi sebaliknya, kau bakal celaka! Lihat angkatan perang Watzu yang berada di daerah ini! Kau adalah Boetjonggoan dari kerajaan Beng, umpama kata kami tidak membunuh kau, kau toh sukar lolos dari kematianmu!"

   In Tiong menjadi sangat gusar. Mana bisa ia dibujuk secara demikian? Tapi masih dapat ia kendalikan diri. Ia tertawa dingin.

   "Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang kenal selatan!"

   Katanya.

   "Maaf, maafkan aku..."

   Low Beng menduga bahwa orang telah tergerak hatinya, ia maju mendekati.

   "Bagaimana pikiran kau, saudara In?"

   Ia tanya. Dengan sekonyong-konyong saja In Tiong berteriak keras sekali.

   "Pikiranku adalah untuk mengambil jiwa anjingmu!"

   Demikian jawabannya yang dibarengi dengan satu bacokan hebat.

   Low Beng kaget, ia menangkis.

   Tapi kagetnya bertambah apabila ia dapat kenyataan pedangnya telah tertabas kutung dan gagang pedang itu hampir saja terlepas dari cekalannya! In Tiong sedang gusar, ia ulangi bacokannya yang tidak kurang hebatnya.

   Kali ini goloknya itu bentrok keras dengan tamengnya Low Liang, yang menggantikan saudaranya menangkis.

   Ia terkejut.

   Juga lawannya terperanjat.

   Kedua-duanya merasakan telapakan tangan mereka sakit, panas dan kesemutan.

   "Kau mempunyai kepandaian apa maka kau berani pentang bacot lebar?"

   Tegur Low Liang, sambil terus mengulangi serangannya dengan tamengnya, yang turun dari atas ke bawah, dalam gerakan "Taysan apteng" - "Gunung Taysan menimpa batok kepala."

   Tameng adalah senjata berat, Low Liang pun bertenaga besar sekali, tidak heran apabila serangannya kali ini sangat mengancam. In Tiong tidak jeri, dengan berani ia menangkis pula.

   "Trang!"

   Demikian satu suara sangat nyaring, yang disusul dengan meletiknya lelatu api.

   Hebat kesudahan dari bentroknya kedua senjata itu.

   Tameng Low Liang sempoak sedikit dan golok In Tiong pun bengkok ujungnya.

   Keduanya menjadi kaget, dengan sendirinya mereka masing-masing mundur tiga tindak.

   Low Beng dari samping tidak mengambil peduli orang sedang mundur, ia maju untuk membarengi menyerang musuhnya.

   Tapi ia bukannya maju kepada In Tiong, atau membantu Low Liang, saudaranya, hanya ia lompat kepada Tamtay Keng Beng, yang ia tikam dengan tiba-tiba, sinar pedangnya berkilauan! Nona Tamtay sedang terluka, waktu itu ia pun tengah merasakan sakit yang sangat karena lukanya itu, tenaganya hilang banyak, maka waktu diserang, walaupun ia melihat dan dapat menangkisnya, tetap ia terancam bahaya.

   Ia telah terpelanting, hingga rubuh.

   In Tiong saksikan musuh berlaku rendah, ia menjadi sangat gusar hingga ia menjerit, habis mana ia lompat kepada Low Beng itu, untuk menyerang padanya.

   Ia tidak pedulikan yang Low Liang, dengan tamengnya, mencoba merintanginya.

   Ia dapat mendekati Keng Beng, untuk melindungi nona itu.

   Ia sudah berlaku seperti nekat ketika ia coba mendesak kedua saudara Low itu hingga mereka mesti mundur dulu.

   Keng Beng dapat kesempatan untuk menyingkir ke ruang dalam.

   "In Toako, layani saja musuh-musuhmu itu!"

   Kata si nona kepada si anak muda.

   "Kau bikin habis mereka semua, tak usah kau kuatirkan aku!"

   Inilah anjuran berharga bagi In Tiong. Pemuda ini membuang napas, lantas ia menerjang pula. Low Beng tertawa dingin.

   "Ha, kau benar, sebelum kau sampai di tengah sungai Hong Hoo, kau belum insyaf."

   Katanya mengejek, menghina.

   "Sebelumnya melihat peti mati, kau tidak mengucurkan air mata! Kau harus diperkenalkan pada marah bencana. Lihat pedangku!"

   Bagaikan bisa ular menyambar-nyambar, demikian gerakan pedang orang she Low ini, yang diimbangi, gerak-gerik tamengnya, hingga In Tiong selalu diserang di bahagian yang berbahaya.

   Tapi pemuda itu memutar goloknya, hingga ia seperti terkurung sinar perak yang berkelebatan, berkilauan, dan golok itu pun kadang- kadang menembus tameng untuk mencari sasarannya.

   Kedua pihak sama-sama terancam bahaya, disebabkan sempitnya ruangan, yang membuatnya mereka tak dapat bergerak dengan leluasa.

   Pasangan saudara Low ini memang liehay, tameng dan pedang mereka terlatih sempurna.

   Demikian di kota raja, pernah mereka melayani Thio Hong Hoe dan Thio Hong Hoe tak dapat berbuat banyak terhadap mereka.

   In Tiong kalah dari Hong Hoe, tidak heran kalau ia lekas terdesak, apapula ia sudah keluarkan terlalu banyak tenaga.

   Setelah lewat seratus jurus, tenaganya tak dapat mengiringi lagi kehendak hatinya, sulit untuknya melakukan penyerangan pembalasan.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lagi dua puluh jurus, kedua saudara itu nampaknya semakin gagah.

   "In Tiong, apakah kau masih tidak hendak menyerah?"

   Tanya Low Beng sambil tertawa.

   "Jikalau sekarang kau letakkan golokmu dan mengaku kalah, kita dapat memberi ampun daripada kematian..."

   In Tiong mendongkol tak terkira, ia kertek giginya, ia menyerang dengan sengit. Setelah beberapa bacokan, yang tidak memberi hasil, ia menjadi lemah pula, hatinya pun menjadi dingin.

   "Walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku sudi menerima penghinaan,"

   Ia berpikir. Ia sudah hendak sambarkan goloknya ke lehernya tetapi ia ingat sesuatu, hingga ia berpikir pula.

   "Jikalau sekarang aku terbinasa, bukankah adik Tamtay ini akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat ini?"

   Ia lantas melirik kepada Keng Beng, ia tampak nona itu tengah mengawasi kepadanya, ia lihat sinar mata orang yang mengandung kedukaan dan kekuatiran tercampur rasa syukur, pada mana pun berpeta anjuran dan kepercayaan, pengharapan besar.

   Tiba-tiba semangatnya jadi terbangun pula.

   "Mundur kamu!"

   Sekonyong-konyong ia berteriak, sambil menyerang dengan tangan kirinya dan mengerahkan semua tenaganya.

   Itulah serangan hebat dari Taylek Kimkong Tjioe yang dibarengi dengan seruan bagaikan guntur menggelegar.

   Tidak kurang hebatnya adalah suara yang menyusuli seruan itu.

   Karena serangan dahsyat itu tepat mengenai tamengnya Low Liang, maka dia menjerit keras sekali! Dia kaget terkena gempuran Taylek Kimkong Tjioe itu, hingga tamengnya terlepas dan mental, telapak tangannya dirasakan sakit dan mengeluarkan darah, sedang sebelah lengannya kehabisan tenaga, tak dapat digerakkan lagi! Selain Low Liang, Low Beng juga kaget tidak terkira.

   Inilah di luar dugaan mereka, sebab waktu itu, musuh sudah terdesak dan nampaknya kehabisan tenaga.

   In Tiong di lain pihak dapat tambahan semangat, ia tidak berhenti sampai di situ, ia malah melanjutkan serangannya - sambil berseru pula, ia menyerang kembali sehebat tadi.

   Kali ini tangannya yang liehay itu menyambar ke pinggang Low Beng.

   Orang she Low ini cerdik dan licin, ia berkelahi dengan waspada, waktu serangan tiba, ia berkelit dengan cepat.

   Ia memang gesit.

   Akan tetapi In Tiong tidak mau kalah gesit, habis menggempur yang tidak mengenai sasarannya ia putar tangannya, kali ini dipakai menyambar pedang lawan! Percuma saja Low Beng terkejut dan mencoba akan menyingkirkan pedangnya, senjata itu sudah lantas kena dirampas, akan di lain saat terdengar suara terpatah.

   Karena dalam sengitnya, In Tiong tekuk pedang itu, hingga senjata orang itu jadi terkutung dua! Kedua saudara Low itu terkesiap hatinya, bagaikan sudah berjanji, dengan serentak mereka lompat keluar rumah, untuk singkirkan diri.

   Mereka insyaf, tanpa senjata, mereka tak dapat berkelahi terlebih lama pula.

   Hanya, begitu lekas mereka berada di luar, tiba-tiba terdengar mereka tertawa besar.

   In Tiong heran hingga ia berdiri melengak.

   Di saat ia hendak lompat menyusul, ia dengar teriakan kaget dari Keng Beng.

   "Celaka!"

   Sebab seolah-olah rumah itu bergerak keras, terputar, sejenak saja, kedua anak muda itu terbenam dalam kegelapan, tubuh mereka pun turut terbalik.

   Akhirnya terdengarlah suara sangat berisik.

   Ternyatalah ruang itu telah dipasangi alat rahasia, dilapis di sebelah dalam dengan papan-papan tembaga, yang bergerak turun, maka di saat itu juga, In Tiong berdua Tamtay Keng Beng sudah menjadi orang-orang kurungan.

   Dalam murkanya, In Tiong serang tembok tembaga yang mengurung mereka itu, ia telah gunakan tenaganya.

   Kesudahannya, ia mesti tarik kembali tangannya yang dirasakan sakit bukan main, tangannya menjadi semper, sedang kurungannya tidak bergeming sedikit juga.

   Dari sebelah luar lantas terdengar tertawa mengejek dari Low Beng dan Low Liang berdua! "In Tiong, jangan kau umbar hawa amarahmu!"

   Low Beng mengejek pula.

   "Kau berdiam di dalam dengan tenang untuk beberapa hari! Harap saja kau suka memberi maaf kepada kami yang tidak dapat melayani kamu!..."

   In Tiong mendongkol dengan tidak berdaya.

   Terang sudah kedua saudara Low itu hendak mengurung mereka supaya mereka kelaparan selama beberapa hari.

   Untuk kedua saudara Low, kebetulan saja mereka bertemu dengan In Tiong dan Keng Beng.

   Mereka baharu buron dari kota raja, disebabkan mereka merasa panas, mereka kuatir nanti kena dibekuk karena aksi dari Ie Kokloo yang berbareng dengan mengangkat raja baru telah menangkapi konco-konconya si dorna kebiri Ong Tjin.

   Mereka sering keluar masuk di gedung Ong Tjin, semua orang tahu mereka adalah kambratnya dorna kebiri itu, karenanya, mereka mendahului kabur.

   Adalah maksud mereka untuk pulang dulu ke rumah mereka, untuk mencari suatu pahala untuk nanti dibawa kepada bangsa Watzu kepada siapa mereka hendak menakluk, maka datangnya In Tiong berdua adalah sebagai kurban-kurban yang mengantarkan diri...

   Di dalam gelap itu, In Tiong meraba-raba.

   "Aku di sini,"

   Keng Beng perdengarkan suaranya. Ia menduga si anak muda mencari padanya. Dengan tindakan perlahan, In Tiong mendekati, tangannya masih meraba-raba.

   "Aduh"

   Tiba-tiba si nona menjerit. Karena si anak muda telah menyentuh lukanya.

   "Maaf!"

   In Tiong memohon. Lalu ia menambahkan.

   "Nona Tamtay, tidak harus disayangi jikalau aku mesti mati di sini, hanya aku menyesal, aku telah membawa kau ke tempat celaka ini..."

   Tadinya Keng Beng berniat menegur kesembronoan orang, akan tetapi mendengar suara orang yang halus, ia merasa tak enak sendirinya.

   "Bukan kau, aku justeru yang bikin kau celaka!"

   Katanya cepat.

   "Sebenarnya, sendirian saja kau dapat menyingkir dari sini."

   In Tiong tak tenang hatinya.

   "Bagaimana dengan lukamu? "

   Ia tanya.

   "Sakitkah itu?..."

   "Oleh karena kita akan mati, tak perlu aku pedulikan rasa sakit atau tidak,"

   Jawab Keng Beng.

   "Bukan begitu,"

   Kata In Tiong.

   "Tidak ingin aku melihat kau bersengsara..."

   In Tiong berkata-kata tanpa melihat si nona, kecuali sinar matanya.

   Keng Beng berdiam.

   Semakin berkuranglah kesannya yang kurang baik terhadap si anak muda, tanpa merasa, hatinya tergerak oleh sikap orang yang halus dan memperhatikannya itu.

   Di tempat gelap itu, ia masih tundukkan kepalanya.

   "Coba kau buka bajumu,"

   In Tiong minta.

   "Hendak aku pakaikan obat pada lukamu itu."

   Baharu sekarang si anak muda ingat akan luka orang itu. Sambil mengucap demikian, ia pun ulurkan tangannya perlahan-lahan. Ia menambahkan.

   "Kau pegang tanganku ini, kau bawa ke tempat yang luka itu."

   Keng Beng rasakan mukanya panas.

   Tetapi mereka berada di tempat gelap, ia anggap tidak ada halangannya untuk membuka bajunya.

   Ia pun memang seorang yang polos.

   Maka ia tidak tolak tangan In Tiong.

   Setelah membuka bajunya, ia bawa tangan sahabat itu pada lukanya.

   Nona ini tidak punyakan cuma satu luka.

   Luka yang pertama di bahu dan yang lainnya di punggung.

   Kedua luka itu diobati In Tiong, siapa merasakan kulitnya yang halus.

   Pemuda ini mendapat suatu perasaan aneh ketika tangannya menyentuh tubuh orang.

   "Kau muda dan gagah, kau pun telah berkedudukan tinggi,"

   Berkata si nona selagi orang mengobati dia.

   "kalau sekarang kau terbinasa secara begini kecewa, apakah itu tidak harus disayangi?"

   "Harta pusaka Thio Tan Hong, yang keselamatannya dibebankan kepadaku, hari ini mesti tiba di kota raja,"

   Sahut In Tiong.

   "Aku berbuat segala apa untuk negara, kalau untuk tugas sekecil ini aku mesti korbankan diriku, aku tidak menyesal."

   Kembali tergerak hati si nona, sejenak itu, kembali berkurang pula kesannya yang kurang manis terhadap pemuda itu. Di dalam hati kecilnya, ia berkata.

   "Anak ini agak kukuh, pandangannya pun agak cupat, akan tetapi dia mencintai negara dan polos, ia mempunyai bahagian-bahagian sifatnya yang baik..."

   Sementara itu, tanpa merasa, mereka sama-sama melewatkan sang waktu di dalam ruang yang gelap itu, entah sudah berapa lama, tatkala mereka dengar berisiknya suara kuda di arah luar. Terang sudah yang datang bukannya cuma satu penunggang.

   "Inilah hebat,"

   Berkata In Tiong.

   "Sekarang ini kota Pakkhia tengah dikurung musuh, yang datang ini mestinya tentera Watzu, ada kemungkinan besar kita bakal ditawan mereka... Apabila itu sampai terjadi, aku minta kau suka maafkan aku, tidak sanggup aku menolong kau terlebih lama pula, hendak aku bunuh diri, sebab tak sudi aku tertawan dan terhina!"

   Mendengar itu, sebaliknya dari kaget dan berkuatir atau berduka, Nona Tamtay justeru tertawa.

   "Jikalau kau terbinasa, apakah kau kira aku akan hidup sendirian saja?"

   Demikian katanya.

   "Jikalau aku terus tinggal hidup, aku mensia-siakan pengharapan Thio Tan Hong!"

   In Tiong berpikir apabila ia dengar perkataan orang itu. Pun agak luar biasa lagu suaranya si nona selagi dia menyebut nama Tan Hong. Itulah lagu suara tak sewajarnya.

   "Kiranya dia lebih menghargai Tan Hong daripada aku,"

   Pikirnya pula.

   Suara kuda di luar terdengar datang semakin dekat, akhirnya tiba di muka rumah dan lalu berhenti.

   Menyusul itu terdengar tindakan kaki orang yang mendatangi.

   Tanpa merasa, In Tiong pegang tangannya si nona dan menyekalnya dengan keras, yang mana dibalas oleh si nona.

   Keduanya membungkam.

   Segera juga terdengar suara pertanyaan dari luar, suara yang kaku.

   "Siapa yang terkurung di dalam kamar rahasia ini?"

   Terkejut In Tiong, akan kenali suara itu. Ia segera berbisik di kuping si nona.

   "Dialah Tantai Mie Ming, pahlawan Watzu!..."

   "Ya, aku pun kenali suaranya itu,"

   Jawab Keng Beng.

   "Dialah kakakku sepupu. Pada bulan lima yang baharu lalu dia pernah datang secara diam-diam ke Souwtjioe, untuk beberapa hari dia tinggal bersama kita di Tongteng Santjhoeng."

   In Tiong heran dan beragu-ragu. Ia memang belum ketahui halnya keluarga Tamtay ini. Maka ia berpikir dalam hatinya.

   "Tantai Mie Ming gagah perkasa, jikalau aku tertawan dia, sudah pasti aku tak akan dapat kesempatan untuk membunuh diri..."

   "Kau jangan bersuara,"

   Keng Beng kata dengan perlahan. Dia rupanya menyangka si anak muda akan mengucapkan sesuatu.

   "Hari ini kita tidak akan nampak bahaya. Coba kau dengar apakah katanya kakakku itu terhadap mereka?"

   Mereka dengar suaranya Low Beng.

   "Harap Tjiangkoen ketahui, orang-orang yang terkurung di dalam sini bukannya orang-orang biasa saja..."

   "Orang-orang macam apakah mereka itu?"

   Mie Ming tanya.

   "Pasti Tjiangkoen akan jadi girang sekali apabila aku mengatakannya, kata pula orang she Low itu.

   "Yang satu adalah In Tiong, Boetjonggoan baru. Dia pernah jadi tongnia dari Gielim koen. Ketika dulu Tjiangkoen datang ke kota raja, pasti Tjiangkoen pernah bertemu dengannya. Di dalam kalangan Gielim koen, dia sekarang ini cuma berada di bawahan Thio Hong Hoe. Bukankah dia seorang yang penting? Yang lainnya adalah satu nona, katanya ia ada punggawa suka rela yang datang dari Kangsouw. Tjiangkoen tahu, ia adalah satu nona yang cantik sekali! Sebenarnya aku telah merencanakan untuk mengurung mereka selama beberapa hari, kemudian akan aku bekuk dia, si nona sendiri hendak aku serahkan kepada Tjiangkoen, maka kebetulan sekali, sekarang Tjiangkoen telah tiba. Silakan Tjiangkoen ambil putusan sendiri mengenai mereka itu."

   "Satu nona yang datang dari Kangsouw?"

   Tantai Mie Ming tegaskan.

   "Tahukah kau she-nya?"

   "Belum sempat kami periksa dia, Tjiangkoen,"

   Jawab Low Beng.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sekarang Tjiangkoen ada di sini, Tjiangkoen saja yang periksa dia itu. Umpama kata Tjiangkoen penuju nona itu, tinggallah dia di sini. Mengenai ini, tidak nanti aku buka rahasia terhadap Thaysoe..."

   Dengan Thaysoe itu, Low Beng maksudkan Yasian.

   Berani Low Beng dan Low Liang, mereka hendak persembahkan nona itu kepada kakaknya si nona sendiri! Mendengar itu, Tamtay Keng Beng mendongkol berbareng merasa lucu.

   Segera terdengar suaranya Tantai Mie Ming.

   "Baiklah, sekarang kamu keluarkan mereka, hendak aku melihatnya!"

   Boleh dibilang baharu panglima itu mengucapkan perkataannya, atau mendadak In Tiong dan Keng Beng dengar satu suara nyaring yang disusul dengan berputarnya ruangan dengan keras, lalu daun jendela terbuka.

   Maka sekejap saja mereka itu melihat pula sinar terang dari langit.

   Dengan lekas pintu pun terpentang.

   Hingga di muka pintu terlihat tubuh Tantai Mie Ming yang besar dan tegap, wajahnya dingin dan bengis.

   "Adakah ini mereka itu?"

   Dia menegaskan.

   "Ya Tjiangkoen, benar mereka,"

   Jawab Low Beng. Ia terkejut ketika ia tampak wajah panglima itu, hingga ia menambahkan.

   "Eh eh, Tjiangkoen, apakah yang kurang beres?..."

   Pertanyaan itu belum habis diucapkan ketika Tantai Mie Ming, dengan kesehatannya yang luar biasa, sudah menyambar Low Beng dan Low Liang dengan kedua tangannya dan sebelum orang tahu apa-apa, kepala mereka telah diadukan satu dengan lain, hingga sambil keluarkan jeritan tertahan, tubuh mereka rubuh dengan bermandikan darah, sebab kepala mereka pecah, polonya berhamburan! Tamtay Keng Beng girang bukan kepalang, hingga ia lompat akan tubruk kakaknya itu sambil berseru.

   "Kokol"

   "Bukankah kau terluka panah?"

   Kakak itu berkata.

   "Mari perlihatkan lukamu itu! - Ah, tidak apa-apa!"

   Ia segera menambahkan.

   "Kali ini kau sangat menderita. Kau kurang pengalaman, kau telah terjebak dua saudara Low itu. Pasti kau kaget, bukan? Tapi anak muda menderita, ia dapat pengalaman, inilah baik juga sebagai latihan..."

   In Tiong berdiri melengak di samping. Ia awasi Keng Beng dan Mie Ming bergantian,tak dapat ia berkata suatu apa. Ia masih berdiam saja sampai Mie Ming berpaling kepadanya dan tertawa.

   "Saudara In Tiong, sungguh kebetulan!"

   Demikian katanya.

   "Kita rupanya berjodoh maka di sini kita bertemu pula! Hanya kali ini kau tak usah mengadu jiwa lagi denganku..."

   Ia tertawa pula. Terus ia menanya lagi.

   "Saudara, kau telah datang ke Souwtjioe, apakah kau telah ketemu Thio Tan Hong?"

   "Ya, aku bertemu dengannya,"

   Sahut In Tiong, meski sebenarnya ia heran.

   "Apakah permusuhan di antara kamu kedua keluarga telah dapat dihapuskan?"

   Tantai Mie Ming tanya. Anak muda itu berdiam, ia tidak menjawab. Keng Beng sebaliknya, menggelengkan kepalanya terhadap kakaknya. Mie Ming berkata pula.

   "Ini adalah urusan kamu berdua keluarga, aku adalah orang luar, tak dapat aku mencampuri urusan itu, akan tetapi ingin aku memesan kau, bila kau nanti bertemu pula dengan Tan Hong, tolong kau sampaikan padanya agar ia melegakan hatinya, karena pengurungan atas kota Pakkhia sudah buyar dan angkatan perang Watzu dalam tempo beberapa hari lagi mungkin akan sudah berangkat kembali ke negerinya."

   Mendengar itu, girang Tamtay Keng Beng.

   "Ah, benarkah itu?"

   Dia tanya.

   "Koko, adakah itu Yasian yang mengatakannya padamu?"

   "Tidak nanti dia dapat memberitahukannya sendiri hal itu kepadaku,"

   Jawab sang kakak.

   "Hanya aku melihat gelagat, tak dapat tidak, mesti dia bawa kembali pasukan perangnya itu. Sebenarnya aku tengah menerima titah dari Yasian itu, ialah dia yang menugaskan aku menjaga kota Ganboenkwan... Yasian kuatir tentera suka rela pihak Beng nanti memutuskan perjalanannya kembali, dia menitahkannya, sambil menjaga kota Ganboenkwan itu, aku harus memecah pasukanku untuk memapak dia. Sementara itu diam-diam aku telah kisiki Kimtoo Tjeetjoe supaya, di harian aku berangkat, dia datang menyerbu kota Ganboenkwan itu. Kemarin dahulu aku terima warta, bahwa tentera Watzu yang menjaga kota Ganboenkwan itu sudah bentrok dengan tentera suka rela di luar tembok kota, kesudahannya tentera itu telah dirusak separuhnya oleh Kimtoo Tjeetjoe. Yasian tidak menyangka tindak tandukku ini, dia hanya menduga, karena kepergianku tenaga tenteranya di Ganboenkwan menjadi kurang banyak, karena mana, tenteranya itu jadi kalah perang. Kekalahan itu membuatnya angkatan perang Watzu goncang. Sudah begitu, keadaan di dalam negeri pun nampaknya tak tenang. Aku lihat, tidak sampai setengah bulan, dia akan sudah mundur sendirinya."

   In Tiong dengar perkataan orang itu, dia berdiri menjublak. Sungguh ia tidak pernah sangka sikapnya Tantai Mie Ming ini, yang secara diam-diam sudah membantui pihak Beng.

   "Bagaimana sekarang dengan tjoekong kita?"

   Keng Beng tanya pula kakaknya. Dengan "tjoekong"

   Yaitu "junjungan,"

   Nona Tamtay maksudkan Thio Tjong Tjioe, ayahnya Tan Hong.

   In Tiong ketahui ini, ia menjadi bertambah heran, hingga jantungnya memukul.

   Nyata mereka ini sudah bicarakan musuh turunannya itu.

   Ia menjadi bingung.

   Tantai Mie Ming menyeringai sebelum ia menjawab adiknya itu.

   "Selama ini pikiran tjoekong kita itu kusut sekali,"

   Demikian penyahutannya.

   "Tak hentinya ia memikirkan soal merampas kembali kerajaan Beng, untuk itu ia menghendaki bangsa Watzu menduduki Tionggoan. Hanya ia bersangsi akan akibatnya nanti. Pikirannya itu tengah bertentangan sendiri. Tidak berhasil aku membujuk dia untuk bersabar dan menetapkan hati."

   Habis berkata, Mie Ming lihat langit.

   "Aku dititahkan Yasian untuk mengajak pulang Low Beng dan Low Liang,"

   Ia berkata pula.

   "sekarang tidak ada jalan lain, aku harus memberi laporan bahwa mereka telah terbinasa di tangan musuh. Sekarang hari sudah malam, aku mesti pergi."

   Ia pamitan dari adiknya dan In Tiong, terus ia bertindak keluar, akan mengajak orang-orangnya berlalu dari rumah kedua saudara Low itu.

   Selekasnya kakaknya dan barisannya pergi, Tamtay Keng Beng ajak In Tiong berlalu juga.

   Mereka menunggang kuda mereka, untuk kabur ke arah Pakkhia.

   Benar-benar kota Pakkhia sudah terlepas dari kurungan, di sekitar kota sampai beberapa puluh lie jauhnya, tidak terdapat seorang musuh jua.

   Mereka baharu melalui tiga puluh lie, lantas mereka bertemu dengan barisan Beng, yang lantas mengajak mereka masuk ke dalam kota, untuk segera bertemu dengan Tan Hong.

   Bukan main girangnya In Tiong.

   Sekarang ini telah lenyap pula beberapa bahagian dari rasa permusuhannya terhadap orang she Thio itu.

   Kata-kata Tantai Mie Ming tadi terhadap Nona Tamtay, membikin ia dapat melihat duduknya hal mengenai Tan Hong itu.

   Mie Ming sendiri nyatanya bukan musuh...

   Tentera suka rela sementara itu telah berbaris masuk ke dalam kota raja.

   Tibanya mereka itu saling susul.

   Ie Kokloo telah mengeluarkan barang-barang berharga dari Thio Soe Seng, untuk dijadikan uang, buat dipakai membeli rangsum dan lainnya.

   Di samping itu, ia telah periksa peta bumi dan memahami itu.

   Ia jadi bertambah bersemangat.

   Begitu, dalam beberapa pertempuran, ia terus peroleh kemenangan maka telah kejadian, setelah setengah bulan, angkatan perang Watzu telah mundur dari Ganboenkwan.

   Pada suatu hari, Ie Kokloo panggil Tan Hong dan In Tiong datang padanya.

   "Ada sesuatu yang berbahaya, apakah hiantit bersedia untuk melakukan itu?"

   Ia tanya kedua anak muda sehadirnya mereka itu.

   "Apa yang thaydjin titahkan, meskipun untuk menyerbu api berkobar, tidak nanti kita tampik,"

   Tan Hong berikan jawabannya. Ie Kiam berdiam sebentar.

   "Tadi malam aku telah menulis syair,"

   Kata ia kemudian.

   "Coba kau lihat dulu."

   Dan ia serahkan syairnya.

   Tan Hong menyambuti, terus ia membaca.

   Ia lantas manggut-manggut.

   Karena ia mengerti maksud kepala perang itu.

   Ie Kokloo telah melukiskan, bahwa perang sudah berhenti, kawanan dorna telah dibasmi, maka itu orang-orang yang berjasa dalam peperangan diberi anugerah.

   Ia mengharap ancaman di perbatasan telah lenyap, supaya tak timbul lagi peperangan.

   "Bagus,"

   Tan Hong memuji.

   "Bukankah maksud thaydjin untuk membuat perdamaian dengan bangsa Watzu?"

   "Benar,"

   Jawab Ie Kiam.

   "Di kolong langit ini tidak ada peperangan yang tidak dapat di akhiri. Sekarang kita sudah peroleh kemenangan, inilah waktunya untuk merundingkan perdamaian. Untuk kita, itu bukannya suatu hinaan. Taysianghong berada di negara asing, sudah selayaknya kita menyambut ia pulang. Di hati kecilnya, Tan Hong terkejut juga mendengar, niatnya Ie Kokloo ini. Ia berpikir.

   "Kokloo berniat menolongi taysianghong dapat pulang ke dalam negeri, tetapi sekarang sudah ada raja baru, dengan pulangnya taysianghong, dikuatirkan dia tak akan mengerti ihtiarnya Kokloo ini. Bukankah Kokloo jadi menghadapi ancaman malapetaka?"

   Ie Kiam rupanya melihat kesangsian anak muda itu.

   "Hiantit, niatku sudah pasti!"

   Dia kata.

   "Tak dapat diubah lagi niat itu. Tentang perseorangan, berhasil atau gagal, kemulian atau kehinaan, itulah bukan soal yang berarti banyak, akan tetapi raja negara kita yang besar, ia tidak dapat dibiarkan selamanya menjadi tawanan di negeri musuh. Sekarang ini pergilah kamu selidiki terlebih dahulu, sesudah itu baharu aku akan kirim utusan untuk pergi mengadakan perundingan, guna akhirnya menyambut Taysianghong pulang. Kita ketahui cita-cita Yasian besar, aku kuatir setelah kekalahannya nanti dia datang menyerbu untuk kedua kalinya. Dengan kepergianmu ini hiantit, kau juga boleh sekalian berdaya bersama ayahmu untuk mengajak Pangeran Atzu mencoba mempengaruhi Yasian, agar dia tidak sampai bergerak pula. Ini juga merupakan satu jasa besar untukmu."

   Tan Hong berpikir sebentar, segera ia berikan jawabannya.

   "Baiklah, besok akan aku berangkat!"

   Kata dia.

   "Sebenarnya aku berniat tidak akan kembali ke Watzu, akan tetapi untuk urusan ini, biar mesti menghadapi golok dan gergaji, akan aku pergi juga. Thaydjin, apakah aku harus pergi seorang diri?"

   "Aku telah bicara dengan In Tiong untuk In Loei pergi bersama kau,"

   Sahut Ie Kokloo.

   "Aku dengar kamu berdua mempunyai kepandaian silat dengan pedang Siangkiam happek benarkah itu?"

   "Itulah benar, selama ini belum pernah kami menemui lawan yang tangguh,"

   Jawab Tan Hong.

   "Hanya dengan dia turut bersama, itulah terlebih baik pula. Jadi bila kami, umpama kata bertemu musuh yang lebih tangguh, dapat kami menghadapinya."

   Ie Kiam bersenyum. Itulah senyuman yang berarti... Besoknya, Thio Tan Hong dan In Loei berangkat berdua. Mereka akan menempuh jarak yang jauh, hati mereka masing-masing terbuka sekali.

   "Adik kecil,"

   Kata Tan Hong sambil tertawa di tengah jalan, ketika dulu kita berangkat dari Kangsouw menuju ke Pakkhia, kau pernah bicara dari hal sulitnya perjalanan yang sukar, sekarang kita berangkat menuju ke Watzu, perjalanan ini lebih jauh lagi..."

   In Loei bersenyum.

   "Toh ada harinya yang perjalanan itu dapat dilakukan hingga ditujuannya?"

   Ia jawab. Tan Hong tertawa, ia lantas bersenanjung.

   "Di dalam hidupnya, manusia tidak sedikit mengalami perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka orang mesti menerjang es melawan hawa dingin untuk melanjutkan perjalanannya itu. Demikian dengan kita sekarang ini, berapa banyak perjalanan sukar yang mesti dilintasi, dari itu, mana ada hari yang dapat di akhirkannya?..."

   Hati In Loei bercekat.

   Mengertilah ia maksud kata-kata Tan Hong ini.

   Orang hendak minta supaya ia menjadi teman sehidup semati.

   Tentu saja ia bersyukur akan cinta orang itu.

   Akan tetapi hatinya menjadi ciut ketika ia ingat pesan atau permintaan kakaknya, untuk mana ia telah berikan janjinya.

   Maka ia merasa suram akan penghidupannya nanti.

   Terpaksa, ia berpura-pura kurang mengerti.

   Ia pun paksakan diri untuk bersenyum.

   "Oh, sioetjay kutu buku!"

   Katanya, menggoda.

   "Sudahlah, jangan kau main bersenanjung saja! Jikalau kau tidak lekaskan perjalanan kita ini, apabila kita memperlambat hari, aku kuatir, sebelumnya kita tiba di Kwangwa, salju sudah akan turun secara besar-besaran! Kalau itu sampai terjadi, baharu benar-benar kita menerjang es dan melawan hawa dingin!..."

   Tan Hong tertawa.

   Si nona pun tertawa.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian tidaklah sunyi mereka di tengah perjalanan, cuma setiap kali si pemuda bicara tentang hari kemudian mereka berdua, si pemudi senantiasa mengelakkan diri.

   Itu hari tibalah mereka di Yangkiok.

   Habis perang, kota menjadi sepi sekali, sebahagian dari toko-toko belum dibuka pula.

   Tapi Tan Hong girang juga ketika ia saksikan rumah makan di mana ia untuk pertama kali bertemu dengan In Loei, rumah makan itu masih mengibar-ngibarkan bendera mereknya.

   "Adik kecil, masihkah kau ingat rumah makan itu?"

   Dia tanya kawan seperjalanannya.

   "Seumurku, tak nanti kulupakan itu!"

   Sahut In Loei. Tan Hong tertawa.

   "Oh, adik kecil!"

   Katanya dalam keriangan hatinya.

   "Bagus sekali, ingatanmu dan ingatanku ada serupa..."

   "Ah, ingatan apa sih?"

   In Loei potong.

   "Tak dapat aku melupakannya yang di dalam rumah makan itu kau telah mencuri uangku, hingga hampir saja aku mendapat malu..."

   Tan Hong tercengang. Itulah jawaban yang ia tidak harapkan. Tapi sebentar saja, atau ia sudah tertawa pula.

   "Sudahlah, jangan kita adu mulut..."

   Katanya.

   "Kita telah tiba di tempat yang lama, tak dapat kita melupakan kejadian-kejadian yang telah berlalu itu, marilah kita minum arak, untuk memuaskan hati kita. Adik kecil, kau jangan kuatir, kali ini akulah yang undang tetamu, tidak nanti aku membiarkan kau dahar pula tanpa membayar!..."

   Gembira In Loei mendengar orang menyebut-nyebut kejadian sudah lewat itu, ia lirik si anak muda, ia tertawa.

   "Jikalau kau berani mengulangi mempertunjukkan kepandaianmu tangan liehay,"

   Katanya.

   "lihat, akan aku patahkan lenganmu..."

   Kembali keduanya tertawa, mereka saling pandang.

   Segera mereka sampai di depan rumah makan, keduanya turun dari kuda, untuk menambat binatang tunggangan mereka, habis mana, mereka bertindak masuk ke dalam rumah makan itu.

   Masih mereka saling lirik dan bersenyum.

   Rumah makan itu tidak banyak tetamunya, ini pun menandakan akibatnya bahaya perang.

   Tan Hong masih ingat tempat duduk mereka yang dulu, yaitu di meja di sebelah selatan yang menghadapi jendela, maka ia ajak In Loei ke meja yang dahulu itu.

   Ia lantas panggil jongos, untuk minta dua poci arak serta daging dua setengah kati.

   Begitu lekas arak disajikan, ia lantas saja tenggak tiga cawan.

   "Dahulu ketika aku duduk minum seorang diri di sini,"

   Kata dia menimbulkan soal lama.

   "Kau juga ada bersendirian, adik kecil. Ingat benar aku itu hari, kau senantiasa melirik aku, tetapi sekarang, bagus sekali, kita sekarang berada berdua! Sekarang, adik kecil, tak usah lagi kau tiap-tiap kali mengalihkan pandanganmu kepadaku!..."

   Jengah juga In Loei mendengar kata-kata orang itu. Tetapi ia tidak menjadi gusar karena ia tahu pemuda itu tengah bergurau.

   "Bicara perlahan sedikit!"

   Tegurnya.

   "Siapakah yang tiap-tiap kali melirikmu? Hari itu aku berpaling kepadamu karena tingkah polamu lucu dan juga ada orang jahat yang mengintai padamu tanpa kau mengetahuinya. Memang aku sering menoleh kepadamu, disebabkan tingkah lakumu itu! Hanya aku tidak menyangka, kau justeru hendak mempermainkan aku. Sudahlah, urusan lama jangan ditimbulkan pula. Bicara tentang itu, sekarang panas hatiku terhadapmu..."

   Tan Bong bersenyum, ia menatap.

   "Benarkah itu?"

   Dia menegaskan, separuh main-main. In Loei kewalahan.

   "Ah, kau jail sekali!"

   Katanya.

   "Buruk hatimu..."

   "Eh, apakah itu benar?"

   Tanya Tan Hong.

   "Kalau begitu, pastilah aku menjadi kakakmu sang busuk hatinya..."

   "Sudahlah!"

   Kata si nona, akhirnya.

   "Kalau tetap kau menggoda aku, nanti aku tak sudi bicara lagi denganmu..."

   Tan Hong irup araknya. Ia tertawa pula.

   "Aku ingat kedua penjahat yang hari itu mengarah aku,"

   Kata dia.

   "mereka itu duduk di situ, di sebelah timur..."

   Ia menoleh ke arah yang ia sebutkan. Di sana justeru duduk seorang imam yang jubanya hijau, yang romannya seperti bukan imam sembarang imam. In Loei pun berpaling ke arah itu.

   "Kali ini dia bukannya jahat!..."

   Katanya sambil tertawa.

   Ia pun keringkan cawannya.

   Di mulutnya, In Loei bilang tak ingin membicarakan soal-soal lama, akan tetapi sekarang ia berada di tempat dahulu itu, mau atau tidak, teringat segala, seperti berpeta apa yang mereka tampak dahulu itu.

   Begitulah ia ingat, dapat ia membayangkan saat-saat pertemuannya pertama kali dengan Tan Hong.

   Maka juga hatinya jadi bekerja.

   "Dulu aku berkesan menjemukan terhadap dia, aku tidak sangka, sekarang dia menjadi sahabatku yang kekal,"

   Demikian ia berpikir.

   "Yang lebih-lebih aku tidak sangka, dia justeru musuh besarku. Koko-pun sangat membenci dia. Benar-benar di dalam hidup manusia terdapat banyak hal yang tak disangka-sangka semulanya..."

   Kembali si nona ceguk araknya. Dengan jalan ini ia mencoba akan melenyapkan kenang-kenangannya itu, karena mana, dapat ia minum, dahar dan pasang omong dengan gembira bersama Tan Hong. Karena ini, tanpa merasa juga, ia telah tenggak beberapa cawan.

   "Adik kecil,"

   Kata Tan Hong pula.

   "Lagi sepuluh lie dari sini adalah dusun Hektjio tjhoeng, maka itu, inginkah kau menemui mertuamu?"

   In Loei melengak.

   Tidak ia sangka, sahabatnya ini menimbulkan soal itu.

   Maka ia lantas ingat pernikahannya dengan Nona Tjio Tjoei Hong dan apa yang terjadi pada malam pengantin itu.

   Tiba-tiba ia merasa lucu, hampir ia semburkan araknya.

   Ia tertawa.

   Tan Hong bersenyum, ia mengawasi.

   "Kasihan isterimu yang cantik itu, yang telah menantikan kau sampai hari ini,"

   Kata dia, romannya sungguh-sungguh.

   "Sekian lama dia tungkuli nama isteri kosong belaka... Setelah sekarang habis perang, sudah selayaknya kau pergi menjenguk dia, supaya hatinya menjadi lega..."

   Tergerak juga hatinya In Loei mendengar disebutnya Tjoei Hong. Ia jadi ingat cintanya Nona Tjio itu terhadapnya.

   "Benar, sudah selayaknya aku pergi menengok dia,"

   Ia berpikir.

   "Hanya, perlukah aku membuka rahasia terhadapnya tentang diriku sendiri?"

   Ia menjadi bersangsi.

   Dahulu ia suka menikah dengan Tjoei Hong karena terpaksa, untuk meloloskan diri, ia tidak nyana, nona itu demikian keras menyintai ia, ia dipandang sebagai suami yang benar-benar dapat diandalkan.

   Sekarang, setelah dapat pengalaman, lain lagi perasaannya.

   Ia tidak lagi seperti dulu, yang masih hijau.

   Dahulu ia anggap menyamar sebagai pemuda, habis perkara, tak pernah ia pikirkan akibatnya di belakang hari.

   Karena ini, ia angkat kepalanya, ia pandang Tan Hong.

   Pemuda itu pun tengah mengawasi si nona, wajahnya seolah-olah berseri-seri...

   "Eh, mengapa kau tertawa?"

   Si pemudi menegur.

   "Bukankah kau pun pernah menyamar menjadi wanita, malah hampir saja kau menikah dengan puterinya Yasian itu?"

   Tan Hong tertawa.

   "Aku belum sampai menikah!"

   Katanya, menggoda pula.

   "Sudahlah!"

   Kata nona In akhirnya.

   "Mari lekas minum, habis kita pergi menengok dia, hendak aku menutur segala apa dengan terang kepadanya. Sayang kita sekarang tak ketahui Tjioe San Bin ada di mana..."

   "Hai, kau lucu!"

   Kata Tan Hong.

   "Urusanmu sendiri masih belum beres, kau sudah memikir untuk menjadi comblang! Sekarang aku tanya kau, kau hendak salin pakaian atau tidak? Awas, kalau nanti Nona Tjio lihat kau, bisa-bisa dia gerembengi pula padamu!..."

   In Loei tunduk, memandang pakaiannya sendiri. Sejak berangkat dari kota raja, ia memang telah dandan pula sebagai satu pemuda. Ia menjadi tertawa sendirinya.

   "Kau omong perlahan sedikit..."

   Ia peringatkan pula sahabatnya itu.

   "Kau lihat, si imam agaknya memperhatikan kita..."

   Tapi Tan Hong menyahuti seenaknya saja.

   "Nah, mari kita berangkat!"

   Kata dia kemudian, sambil berbangkit. Ia hendak mendahulukan membayar uang santapan mereka.

   "Aku tidak inginkan kau yang membayar!"

   Ia sudah lantas merogo sakunya, atau mendadak ia menjadi melengak. Tangannya itu masuk ke dalam saku yang kosong - uangnya sudah terbang tanpa sayap! "Ah, toako, kembali kau godai aku!"

   Katanya kemudian pada Tan Hong.

   "Lekas kau kembalikan uangku!"

   Sambil mengucap demikian, ia menoleh kepada si imam, siapa justeru sudah berdiri di sampingnya. Tan Hong tidak menyahuti kawannya, hanya sambil berlompat bangun, ia terjang imam itu.

   "Di kolong langit yang begini terang benderang kau berani menjadi bangsat?"

   Ia mendamprat. Imam itu menangkis dengan sebat, enteng dan gesit gerakan tangannya.

   "Hai, kau berani lancang memukul orang?"

   Tegurnya. In Loei terkejut melihat kesebatan orang itu. Memang luar biasa serangan Tan Hong yang dapat ditangkis secara demikian. Hampir ia lompat untuk membantui kawannya, baiknya dapat ia bersabar. Tan Hong tidak berhenti karena tangkisan itu.

   "Ah, kiranya kau satu ahli?"

   Katanya, sambil menyerang pula. Ia berlaku sangat sebat, hingga dapat ia sambar apa yang ia arah, ialah kantong uangnya In Loei.

   "Apa kau hendak katakan sekarang?"

   Dia tanya pula.

   "Di sini ada buktinya!"

   Imam itu melejit, tetapi Tan Hong sambar bajunya, hingga "Bret!"

   Pecahlah ujung jubahnya. Imam itu mencoba meloloskan diri dengan kelitan "Kimsian toatkok"

   Atau "Tonggeret melepaskan sarung tubuhnya."

   Ia tidak pedulikan ujung jubah pecah, terus ia lompat ke jendela, untuk kabur. Tuan rumah makan lihat orang lari.

   "Eh, eh, uang makanmu!"

   Dia teriaki.

   "Ada orang jahat! Ada orang jahat! Ia lantas berteriak-teriak pula. Tan Hong buka kantong uangnya, untuk mengeluarkan sepotong perak, yang ia letakkan di atas meja.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Semua akulah yang bayar!"

   Dia kata kepada tuan rumah.

   Potongan perak itu, meski dibayarkan sekalian pada uang makan si imam, masih ada kelebihannya, maka itu, girang tuan rumah itu, tetapi, ketika ia hendak haturkan terima kasihnya, Tan Hong sudah menarik tangan In Loei untuk diajak lari keluar dengan jalan melompati jendela juga! Itu waktu, sedikit sekali orang berlalu lintas di jalan besar, si imam terlihat tengah melarikan dirinya sambil menunggang kuda, dia sudah mulai keluar dari pintu kota.

   Tan Hong lari kepada kudanya, terus ia lompat naik di bebokongnya.

   "Mari kita kejar dia!"

   Ia ajak In Loei.

   "Kantong uang telah didapat kembali, untuk apa melayani dia itu"

   In Loei tanya.

   "Bukan begitu,"

   Kata Tan Hong.

   "Dia liehay, dia bukannya penjahat sembarang! Hendak aku selidiki tentang dirinya!"

   Tjiauwya saytjoe ma pun segera meringkik dan kabur.

   Menampak demikian, terpaksa In Loei larikan kudanya, untuk menyusul.

   -ooo00dw00ooo- Bab XXII Kuda Tan Hong adalah kuda jempolan, kuda In Loei - hadiah dari Ie Kiam - juga adalah kuda pilihan, maka itu, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di luar kota kecamatan Yangkiok itu, lantas mereka candak si imam, yang telah melarikan kudanya.

   "Berhenti!"

   Teriak Tan Hong kepada imam itu. Heran agaknya si imam, dia menoleh, tetapi segera dia tertawa besar.

   "Kau tahu aku kekurangan uang untuk ongkos perjalanan, apakah kau hendak mengantarkan aku?"

   Dia tanya, sikapnya wajar. Tan Hong tidak pedulikan sikap orang berlagak pilon itu.

   "Di rumah makan ada banyak orang, tidak merdeka untuk bicara di sana,"

   Ia jawab.

   "Tootiang, apakah sampai di sini masih kau hendak bergurau?"

   Imam itu perlihatkan roman suram secara mendadak.

   "Siapa main-main denganmu?"

   Dia kata.

   "Jikalau tootiang tidak main-main, aku minta kau memberi keterangan tentang dirimu kepadaku,"

   Tan Hong minta.

   "Selama hidupku aku mencopet, belum pernah aku gagal", berkata imam itu.

   "sayang hari ini, aku telah dipergoki kau. Uangmu telah aku bayar kembali, apa perlunya kau susul aku? Bukankah itu berarti bahwa kau, tuan besar yang mempunyai banyak uang, hendak mempermainkan aku? Hm, hm! Baik kau rasakan pedangku ini!"

   Dia berkata dengan wajar, tidak mirip dia hendak bergurau, setelah itu segera dia hunus pedangnya, untuk lantas menikam dengan tikaman "Kimtjiam inshoa"

   Atau "Jarum emas memimpin benang."

   Tan Hong berkelit, atas mana, tiga kali ia diserang saling susul, hingga ia mesti terus-menerus mengegoskan diri, tetapi karena ini, ia lihat ilmu pedang orang mirip dengan ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay.

   Ia menjadi heran.

   Si imam masih tidak puas, masih ia keluarkan kata-kata yang tak sedap didengar.

   "Kau andalkan kudamu yang keras larinya, apakah itu perbuatan satu enghiong?" (Enghiong = orang gagah, satu laki-laki). Heran Tan Hong atas kelakuan orang yang jumawa itu.

   "Mungkinkah dia hendak mencoba-coba ilmu pedangku?"

   Ia dapat pikiran. Maka terus ia lompat turun dari kudanya, akan segera menjawab.

   "Baiklah, akan aku temani tootiang untuk beberapa jurus..."

   Imam itu sudah lantas lompat turun dari kudanya, sambil berlompat, ia menghampiri si anak muda, maka itu, begitu menginjak tanah, ia bisa mendahului dengan tikamannya ke arah jalan darah hoenboen hiat dari Tan Hong.

   Tentu saja anak muda itu menjadi mendongkol, karena ia kenali tikaman yang berbahaya itu, maka setelah menangkis dengan "Hengkee kimliang"

   Atau "Melintangkan penglari emas,"

   Ia lantas membalas dengan "Kimtjiam hielong"

   Atau "Kodok emas membuat main gelombang,"

   Disusul dengar dua tikaman lainnya, hingga si imam jadi kaget juga. Sebab ketiga tikaman itu mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya.

   "Sungguh liehay!"

   Dia berseru. Dengan gesit ia elakkan dirinya, habis mana, lagi sekali ia menyerang. Diam-diam Tan Hong kagumi ilmu silat pedang orang itu.

   "Dia jauh terlebih liehay daripada Siong Sek Toodjin,"

   Ia berpikir.

   "Ia mesti salah satu ahli silat dari Boetong Pay."

   Oleh karena ini, Tan Hong lantas melayani terus dengan perhatian. Ia segera keluarkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-nya,"

   Maka berbareng dengan kelincahannya, kegesitannya, ia menikam dan membabat dengan berulang-ulang, ke segala arah, ke delapan jurus.

   Imam itu melepaskan napas lega setelah ia dapat membela diri dari pelbagai serangan yang berbahaya itu, ia baharu hendak melakukan pembalasan, atau di luar dugaannya, si anak muda kembali menyerang padanya, dengan tikaman "Inheng Tjinnia"

   Atau "Mega melintang di atas bukit Tjinnia"

   Yang diubah menjadi sabatan "Soatyong Lankwan"

   Atau "Salju menindih kota Lankwan."

   Bukan kepalang kagetnya imam itu. Repot ia berkelit. Tidak urung, kopiah keimamannya tersabet juga hingga putus bahagian atasnya. Ia menjerit bahna kagetnya, ia mundur hingga beberapa tindak.

   "Hai, pantas Siong Sek Soetee telah menderita kekalahan hingga dia bersumpah tak hendak menggunakan pedang lagi!..."

   Ia pun berseru.

   Mendengar seruan itu, Tan Hong ingat kepada Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik seperguruan).

   Siong Sek Toodjin adalah si imam yang telah membantu See To ayah dan anak mencoba merampas kudanya si anak muda, karena mana dia dikalahkan anak muda itu.

   Maka anak muda itu jadi heran.

   "Tootiang,"

   Ia menanya sambil menahan pedangnya.

   "adakah kau bermaksud menuntut balas untuk Siong Sek Toodjin?"

   Imam itu tertawa berkakakan.

   "Untuk urusan kecil itu aku hendak menuntut balas?"

   Sahutnya.

   "Sungguh aku tidak kebanyakan tempo! Melihat kudamu, menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya Thio Tan Hong. Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti sekali kau akan jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng?"

   Tan Hong heran. Ia tetap tidak melanjutkan serangannya.

   "Apa kau bilang?"

   Ia tanya.

   "Tidak apa-apa,"

   Jawab imam itu.

   "Hanya, kalau benar kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng, di sana kau tidak akan dapat menemui Hongthianloei!"

   "Jikalau dia tidak berada di Heksek tjhoeng, habis di mana?"

   Tan Hong tanya.

   "Dia berada di dalam pesanggrahan See To yang menjadi saudara angkatnya,"

   Si imam menjawab dengan keterangannya. Persahabatan antara Tjio Eng dan See To memang kekal sekali, akan tetapi sejak Tjio Eng "menikahkan"

   Puterinya dengan In Loei, persahabatan itu menjadi renggang. See To dan puteranya menjadi tidak senang, sebab mereka merasa diri mereka seperti dihina. Mendengar keterangan itu, Tan Hong bersangsi.

   "Benarkah keteranganmu ini, tootiang?"

   Ia tegaskan.

   "Untuk apa aku mendustai kau?"

   Imam itu balik menanya.

   "Sekarang ini See To tengah mengundang banyak sekali orang-orang kaum Rimba Hijau, di antaranya termasuk pintoo, namun pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah menolak undangan dengan menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis itu pintoo lantas berlalu. Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo bertemu Tjio Eng."

   "Bagaimana dengan anak perempuannya?"

   In Loei tanya. Ia campur bicara secara tiba-tiba setelah lama membungkam saja. Si imam tertawa.

   "Tentu saja ia berada bersama ayahnya!"

   Sahutnya.

   "Eh, engko kecil, ada urusan apakah di antara kau dan mereka itu hingga kau menanyakan halnya si nona Tjio itu?"

   "Aku mohon bertanya, tootiang, apakah gelaran mulia dari tootiang?"

   Tan Hong memotong In Loei, hingga kawannya tak sempat menjawab.

   "Pintoo adalah imam dari Boetong San,"

   Sahut imam itu.

   "Namaku Tjek Hee."

   "Oh, kiranya Tjek Hee Tootiang."

   Kata Tan Hong.

   "Telah lama aku dengar nama besar dari tootiang,"

   Dengan mengatakan demikian, pemuda ini bukan cuma berlaku hormat menurut keharusan, ia hanya omong dengan sebenarnya, sebab Tjek Hee Toodjin ini memang salah satu imam kenamaan dari Boetong Pay.

   "Masih ada satu hal yang pintoo dengar di tengah jalan,"

   Berkata pula imam dari Boetong San itu.

   "hanya entahlah kabar itu benar atau dusta..."

   "Kabar apakah itu, tootiang?"

   "Kabarnya ketika angkatan perang Watzu menduduki wilayah ini, See To ayah dan anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing itu,"

   Terangkan Tjek Hee.

   "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To itu utuh hingga sekarang."

   Tan Hong terperanjat. Inilah kabar penting, yang ia tidak sangka. Ia memang belum pernah dengar kabar itu.

   "Bagaimana dengan Tjio Eng?"

   Ia tanya.

   "Sampai begitu jauh, pintoo tidak tahu,"

   Jawab Tjek Hee.

   "Sebetulnya pintoo berniat menyampaikan kabar mengenai See To itu kepada Tjio Eng, sayang ia selalu didampingi orangnya See To hingga pintoo tak mendapat ketika."

   Tan Hong kaget hingga ia berseru sambil mencelat.

   "Tootiang, terima kasih untuk kebaikanmu ini!"

   Ia mengucap sambil menjura, setelah mana ia beri tanda kepada In Loei, terus ia lompat naik ke atas kudanya, lalu ia kaburkan binatang itu. In Loei menurut, akan tetapi ia kurang mengerti.

   "Bagaimana kau pikir tentang imam itu?"

   Ia tanya.

   "Menurut keterangan imam itu, mestinya See To dan anaknya itu mempunyai maksud tertentu dan mereka sedang mengatur tipu daya,"

   Jawab Tan Hong.

   "Mungkin mereka sedang pancing Tjio Eng supaya Tjio Eng terjebak. Imam itu mencoba kita selagi kita berada di rumah makan tadi, untuk mengetahui kita sebenarnya siapa, dengan perbuatannya itu ia rupanya hendak menunjukkan kita jalan supaya kita menolongi Tjio Eng."

   In Loei kaget juga.

   "Apakah benar Tjio Eng tengah menghadapi bencana besar?"

   Ia tanya. Tan Hong tidak berikan penyahutannya, dia hanya berkata.

   "Karena kita mempunyai kuda yang keras larinya, mari kita pergi dahulu ke Heksek tjhoeng untuk melihat- lihat, apabila benar-benar Tjio Looenghiong tidak ada di rumahnya, kita mesti pergi terus kepada See To untuk membuat perhitungan."

   In Loei tidak punya pikiran lain, ia menurut saja.

   Maka itu, keduanya kaburkan keras kuda mereka.

   Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di Heksek tjhoeng.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka tampak pintu pekarangan dipentang lebar dan dari sebelah dalam mereka dengar suara berisik campur aduk.

   Dengan lantas mereka hunus pedang mereka, untuk memasuki pekarangan.

   Dua orang yang dandannya seperti tauwbak gunung muncul untuk menghalangi.

   Tan Hong dan In Loei tidak sudi dirinya dirintangi, mereka serang kedua tauwbak itu.

   


Telapak Emas Beracun -- Gu Long Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini