Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 18


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 18



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dengan demikian, mereka jadi tidak usah menunggu lama.

   Pintu depan dari kepala suku itu telah dipajang, rupanya ia sedang melayani tetamu agung.

   Setelah serahkan kuda mereka, yang mereka minta tolong dijagai, Tan Hong dan In Loei bertindak ke dalam mengikuti pengantarnya, ialah satu nana, bujangnya tuan rumah.

   Mereka dibawa ke dalam sebuah kamar di mana terdapat dua perapian untuk menghangati kamar itu, di atas itu mereka dipersilakan duduk.

   Adalah kebiasaan penduduk Utara, saban musim dingin, mereka nyalakan api di kolong kang, semacam dipan atau pembaringan tanah, umpan apinya tak tentu, ada dari kayu, arang, atau kotoran kuda yang sudah dikeringkan.

   "Sekarang ini ketua kami sedang menyambut tetamu di ruang depan,"

   Berkata nana kemudian.

   "Kamu diminta sukalah duduk menanti dahulu di sini, dia akan menyuruh tjuitjung melayani kamu. Segala apa kamu boleh sampaikan kepada tjuitjung itu."

   "Tjuitjung"

   Adalah semacam hoatsoe atau pendeta, yang di kalangan suku Ngolo ini berkedudukan hanya di bawahan "yutjang,"

   Kepala suku.

   Maka itu, penyambutan ini adalah penyambutan yang terhormat.

   Tapi In Loei kecele akan dengar tuan rumah tidak dapat segera menemui mereka.

   Keras sekali keinginannya untuk cepat-cepat dapat menemui ibunya.

   Sementara itu ia dengar suara kuda, ialah suara kudanya sendiri dan kuda Tan Hong, ia jadi seperti ngelamun.

   "Apakah kedua kuda itu bukan tengah dipelihara ibuku? Ah!... Aku ada di dalam kamar hangat dari kepala suku, menjadi tetamu yang dihormati, tetapi ibu tengah menderita, ia justeru mesti rawati kuda-kudaku dan Tan Hong..."

   Ia jadi sangat masgul, hingga ia duduk diam saja. Tan Hong sebaliknya mengajak si hana bercakap-cakap.

   "Tetamu macam apa itu yang tengah ketuamu layani?"

   Dia tanya.

   "Katanya utusan Yasian,"

   Sahut si nana.

   "Bukankah utusan itu sudah datang lama?"

   "Ya, sudah sejak tujuh hari yang lalu."

   "Kenapa baharu sekarang di jamu?"

   Hana itu tidak menjawab, agaknya ia bersangsi. Tan Hong bersenyum, ia rogo keluar sepotong emas.

   "Kau kerja cape di sini, ambillah emas ini untuk kau beli arak,"

   Ia kata.

   Sudah lama hana itu bekerja pada ketuanya, kalau ia dikasih presen, cuma satu atau dua potong perak kecil, hampir belum pernah ia lihat emas potongan, sekarang ia diberi hadiah ini, air mukanya lantas menjadi terang.

   Ia terima uang itu sambil berulang-ulang menghaturkan terima kasih, kemudian, tanpa ditanya lagi tetamunya, ia beritahu.

   "Kabarnya hari ini ketua kami dan utusan Yasian itu hendak memastikan persekutuan, sekarang dibikin pesta, mungkin persekutuan hendak disyahkan dalam sebuah upacara."

   Tan Hong terkejut.

   "Ah, syukur aku keburu datang!"

   Katanya dalam hatinya. Justeru waktu itu tjuitjung, wakilnya tuan rumah, belum muncul, anak muda kita ini segera berbangkit.

   "Ha, sungguh kebetulan!"

   Katanya, tingkah lakunya wajar "Kamipun adalah pesuruhnya Thaysoe Yasian, syukur kami dapat susul utusan itu. Thaysoe kami lihat rombongan utusannya lama belum kembali, dia titahkan kami menyusul untuk menanyakan hasilnya."

   Ia rogo lagi sakunya, untuk keluarkan dua potong emas.

   "Tolong kau serahkan ini kepada tjuitjung, sebagai tanda hormat kami. Kau katakan padanya, tidak usah lagi dia layani kami, besok kami sendiri akan mengunjungi padanya."

   Hana itu berpikir melihat orang ada demikian royal.

   "Mungkin benar mereka ini pesuruhnya Yasian,"

   Demikian katanya di dalam hati kecilnya.

   "Kalau tidak, mana bisa mereka begini pemurah hati?"

   Maka ia lantas berkata.

   "Kalau begitu akan aku kabarkan ketuaku, untuk minta dia kirim wakilnya untuk ajak kamu masuk ke dalam."

   "Ah, tidak usah, membikin berabeh saja,"

   Tan Hong mencegah.

   "Kami dapat masuk sendiri. Kau baik berdiam di sini untuk tunggui tjuitjung."

   Lantas pemuda kita tanya di mana letaknya ruang depan tempat pesta itu, ia minta ditunjukkan jalannya, setelah itu bersama In Loei, yang ia beri tanda, ia keluar dari kamar itu, untuk pergi ke ruang depan.

   Hana itu tidak berani mencegah, ia terpengaruh oleh emas presenannya...

   Tan Hong bertindak dengan cepat, In Loei mengikuti.

   Tidak ada orangnya tuan rumah yang mencegah, karena orang tidak tahu hal mereka yang disangkanya datang atas undangan sang majikan.

   Sebentar kemudian mereka telah sampai di ruang depan di mana lilin dipasang terang-terang.

   Tuan rumah tengah melayani dua tetamunya minum.

   Begitu tidak diduga munculnya dua orang itu, ruang lantas menjadi sunyi, semua orang tercengang.

   Kemudian adalah kedua tetamu, ialah utusannya Yasian, yang berbangkit paling dulu, untuk memberi hormat kepada dua orang ini, yang mereka sangka tetamu-tetamunya tuan rumah.

   Tan Hong dan In Loei memang dandan dengan rapi dan pakaian mereka bukan pakaian sembarang.

   Tan Hong bersenyum, ia bertindak menghampiri tuan rumah.

   Ia menyerahkan sepucuk surat.

   Ia tidak tunggu sampai tuan rumah menanyakan apa-apa, ia terus keluarkan juga pekgiok sanhoe serta singa-singaan kumala, yang ia letakkan di atas meja.

   Semua barang itu adalah barang permata dari istana, sinarnya lantas mencorong di antara cahaya lilin, hingga perhatian semua hadirin sangat tertarik kepada benda itu.

   Tuan rumah pun mengawasi dengan diam saja.

   "Barang-barang tidak berharga ini,"

   Berkata Tan Hong sambil bersenyum.

   "majikanku mohon supaya, biar bagaimana, yutjang sukalah menerimanya."

   "Tak berani aku terima hadiah demikian besar dari Thaysoe,"

   Berkata si tuan rumah dengan jawabannya.

   Ia sudah lantas menduga Yasian.

   Akan tetapi, setelah ia lihat surat di tangannya, ia terperanjat.

   Di situ ada tertulis namanya Tiewan Atzu.

   Ia lantas menjadi bingung.

   Tan Hong lihat kesangsian orang, ia mendesak.

   "Majikanku minta ongya membubuhi persekutuan untuk sama-sama menyerang Yasian"

   Demikian ia kata pula, dengan nyaring. Mendengar ini, kagetlah utusannya Yasian itu, mereka menjadi gusar, dengan berbareng keduanya lompat bangun.

   "Kau siapa?"

   Mereka membentak.

   "Kita adalah rekan!"

   Sahut Tan Hong sambil tertawa.

   "Kamu adalah utusannya Yasian dan aku utusannya Atzu."

   "Kau berani rusakkan perserikatan kami?"

   Bentak utusan yang satu dengan sangat mendongkol. Terus ia memandang kepada tuan rumah sambil terus berkata.

   "Kami mohon ongya perintah membekuk dua orang ini, untuk mereka diserahkan kepada Thaysoe."

   Tentu saja kepala suku itu menjadi bersangsi, hingga masih ia berdiam saja.

   "Aku minta ongya bertindak dengan sudah dipikir terlebih dahulu masak-masak,"

   Berkata pula Tan Hong. Di pihak utusannya Yasian itu berlaku bengis, Tan Hong sebaliknya berlaku manis sambil tertawa-tawa.

   "Yasian itu mempunyai sifat harimau atau srigala, maka bila terjadi dia sudah telan Atzu, tak mungkinlah ongya dapat hidup seorang diri!"

   "Hai, jahanam, kau sangat besar nyalimu!"

   Bentak pula si utusannya Yasian itu.

   "Nyatalah kau sedang memecah, kau menghina Thaysoe1. Ongya, aku minta lekas kau keluarkan titah menawan mereka ini!"

   Yutjang itu menjadi tidak senang menghadapi kelakuan garang dan kasar dari dua utusannya Yasian itu.

   "Aku tahu bagaimana harus bertindak, tidak usah tuan-tuan capekan hati!"

   Ia menyahut dengan dingin. Tan Hong tidak pedulikan kegarangan kedua utusan itu, terus ia bawa sikapnya yang sabar. Ia bersenyum pula ketika ia pandang tuan rumah dan berkata lebih jauh.

   "Kini memang Yasian kuat dan Atzu lemah, maka itu untuk bantu si kuat untuk menindih si lemah adalah pekerjaan sangat gampang, akan tetapi apakah pernah ongya memikirnya. Yang keras itu sukar melawan yang keras, yang lemah itu gampang untuk menyesuaikan diri?"

   Hatinya yutjang itu tergerak.

   Kata-katanya Tan Hong ini adalah soal yang membuatnya ia ragu-ragu selama tujuh hari, hingga selama itu belum juga ia ambil keputusannya akan menandatangani surat perjanjian persekutuan.

   Sekarang setelah mendengar perkataannya utusannya Atzu itu, ia insyaf dengan mendadakan, ia merasa seperti ditusuk-tusuk jarum, peluh dinginnya mengucur.

   "Benarlah akan kata-katanya dia ini,"

   Dia berpikir.

   "Yasian memang lebih kuat berlipat kali dari aku, jikalau tercapai cita-citanya, asal satu hari saja ia membalik muka, celakalah aku. Mana bisa aku lawan dia? Kekuatannya Atzu berimbang dengan kekuatanku, kalau ia bergabung dengan pelbagai yutjang, untuk menghadapi Yasian, ia mesti berhasil. Setelah itu, bisalah kita semua hidup damai, dengan masing-masing mengurus tanah daerahnya sendiri..."

   Kedua utusan Yasian menjadi tegang hatinya, mereka menjadi bingung.

   Mereka lihat kedua matanya tuan rumah bersinar, memain pergi datang.

   Mereka tahu tuan rumah tengah bersangsi.

   Inilah berbahaya bagi tugas mereka.

   Mereka bingung, mereka pun mendongkol.

   Kalau mereka gagal? Karena itu, mereka lantas saja ambil keputusan.

   Mereka adalah perwira-perwira sebawahan Yasian, mereka kosen, maka itu, mereka lantas memikir untuk menggunakan kekerasan.

   Demikian, tak bersangsi lebih lama pula, mereka menghunus golok, mereka terus terjang Tan Hong.

   Anak muda kita cerdik, ia tabah hatinya.

   Ia tidak tangkis serangan itu, ia hanya berkelit dan lompat ke belakangnya tuan rumah.

   Ia tidak diam saja, sebelumnya berkelit, ia telah ejek kedua utusan itu, hingga mereka itu bertambah mendeluh.

   Kedua utusan itu menyerang dengan sengit, hampir saja mereka kena bacok tuan rumah.

   Karena ini yutjang itu menjadi gusar.

   "Ringkus dua orang jahat ini!"

   Ia berikan titahnya.

   "Siapa berani tangkap kami?"

   Berseru dua utusannya Yasian itu, yang jadi semakin gusar.

   Oleh karena mereka tidak mau menyerah, mereka jadi bertempur dengan orang-orangnya tuan rumah.

   Sesudah bertempur sekian lama, baharu hati mereka menjadi ciut.

   Nyata mereka tidak bisa rebut kemenangan.

   Karena ini mereka jadi memikir untuk menoblos keluar.

   Tapi sekarang sudah terlambat.

   Baharu mereka memikir begitu, mendadak mereka rasakan kakinya kaku, hingga di luar kehendaknya, mereka terlutut di depannya Tan Hong.

   Itu waktu mereka justeru sedang merangsak sampai di depan anak muda kita.

   "Hai, tadinya galak lalu belakangan menjadi demikian hormat?"

   Berkata Tan Hong sambil tertawa. Orang-orangnya yutjang mendupak dua utusan itu, setelah mereka rubuh terguling, mereka lantas diringkus. Sampai waktu itu, mereka masih tidak ketahui bahwa mereka telah dipermainkan Tan Hong.

   "Kurung mereka!"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yutjang berikan titahnya pula. Titah itu sudah ditaati dengan segera.

   "Baiklah, akan aku berserikat dengan Tiewan1."

   Kemudian tuan rumah kata pada Tan Hong.

   Ia sebenarnya jeri terhadap Yasian, tetapi sampai sebegitu jauh, seperti orang yang menunggang harimau, ia tidak bisa memilih lain.

   Ia harus lindungkan dirinya.

   In Loei tertawa di dalam hatinya menyaksikan yutjang itu membubuhi surat perjanjian bersama Tan Hong.

   Sejak tadi, meski ia diam saja, ia sudah bertambah mengagumi anak muda itu, teman seperjalanannya.

   "Tan Hong sangat pintar dan aneh juga!"

   Ia berpikir.

   "Dia palsukan diri sebagai utusan Pangeran Atzu dan dia berhasil mengelabui yutjang ini."

   Sebenarnya Tan Hong memang telah mengatur rencana.

   Di dalam suratnya untuk Pangeran Atzu, yang ia telah minta Hek Pek Moko yang menyampaikannya, ia telah menjelaskan rencananya itu.

   Dengan singkat ia minta Atzu terima baik perserikatan yang dia atur dengan yutjang itu.

   Karena ini, meskipun secara luar biasa, ia sebenarnya adalah utusannya Atzu Tiewan itu.

   Setelah membubuhi tanda tangan, sekarang yutjang teruskan perjamuan dengan tetap ia sendiri yang melayani kedua utusan yang baru ini.

   Walaupun sepak terjangnya Tan Hong telah memberikan hasil yang memuaskan, yang mestinya menyenangkan hati mereka, namun In Loei tidak sedemikian anteronya.

   Ia tetap memikiri ibunya, malah sekarang makin keras, hingga sukar arak turun dikerongkongannya.

   Demikian, sesudah mencoba menyabarkan diri sekian lama, akhirnya ia tidak dapat menguasai dirinya lebih jauh.

   "Ongya, aku mohon tanya,"

   Begitu katanya.

   "adakah atau tidak di sini seorang wanita yang bekerja sebagai pengurus kuda?"

   Ia pun lukiskan roman dan potongan tubuh ibunya sebegitu jauh yang ia masih ingat. Heran tuan rumah yang tetamunya menanyakan hal demikian, hingga ia mesti berpikir sekian lama.

   "Rasanya benar ada wanita itu,"

   Sahutnya kemudian.

   "tetapi aku sudah tidak ingat betul. Baiklah aku nanti tanyakan dahulu kepada hana yang urus istal."

   Lantas ia titahkan orangnya. Tidak selang lama, muncul hana yang dimaksudkan itu. Yutjang tanya hambanya itu, lalu In Loei menegaskannya. Hana itu tidak lantas menyahuti, iapun berpikir dahulu.

   "Benar, memang ada wanita itu,"

   Sahutnya akhirnya, perlahan. Tiba-tiba saja, In Loei menjadi sangat girang.

   "Tolong minta nyonya tua itu datang kemari!"

   Katanya, lekas.

   "Kami ingin sangat bertemu dengannya!"

   Hampir nona ini beritahukan bahwa si nyonya tua adalah ibunya, syukur baharu ia berniat membuka mulutnya, segera ia dapat pikiran lain, maka ia menahan sabar.

   Hendak ia menanti sampai telah ada kepastian.

   Ia juga hendak cegah kalau-kalau tuan rumahnya menjadi tidak enak hati karenanya.

   Masih si hana berlaku ayal-ayalan, agaknya ia tengah berpikir keras.

   "Itulah tujuh tahun yang telah lampau ketika nyonya tua itu merawat kuda di sini,"

   Menerangkan dia kemudian.

   "Sekarang dia..."

   Hatinya In Loei seperti melompat.

   "Sekarang dia ada di mana?"

   Tanyanya. Ia memotong tanpa merasa. Tegang sekali hatinya sehingga ia tak berkuasa lagi atas dirinya. Hana itu heran, hingga ia mendelong mengawasi orang.

   "Dia sekarang sudah tidak bekerja di sini,"

   Sahutnya kemudian.

   "Pada tiga tahun yang lalu, dia telah berangkat dari sini, kabarnya dia kembali ke tempatnya yang dulu. Sukar penghidupannya dia itu, tapi kabarnya kini dia ada jauh lebih mendingan..."

   Sekarang dapat si hana bicara dengan lancar, tetapi sebaliknya, habis kesabarannya In Loei, yang sudah lantas berbangkit berdiri.

   "Baiklah,"

   Kata dia.

   "Sekarang kami berniat pergi menemui nyonya tua itu. Ongya, kami mohon diri!"

   Tuan rumah dan hambanya menjadi heran sekali, tetapi adat sopan santun melarang mereka banyak tanya.

   "Perlukah aku kirim orang untuk mengantarkannya?"

   Yutjang tanya.

   "Aku sudah ketahui. Terima kasih!"

   Sahut In Loei.

   Ia terus memberi hormat untuk pamitan, perbuatan mana diturut Tan Hong, maka sejenak kemudian, keduanya sudah keluar dari gedung.

   Sesudah orang pergi baharulah si hana ingat bahwa romannya In Loei sama mirip dengan roman si nyonya tua tukang merawat kuda itu, tetapi tentang ini ia tidak bilang suatu apa.

   In Loei dan Tan Hong berangkat dengan menunggang kuda mereka.

   Si nona bungkam akan tetapi wajahnya menandakan hatinya tegang, pikirannya terbuka, penuh harapan, sehingga bahna tegangnya, ia jadi mengucurkan air mata, yang berulang- ulang ia mesti menepasnya.

   Tan Hong bisa duga ketegangan dan kegirangannya si nona yang luar biasa, ia tidak hendak menegur.

   Setelah larikan kuda mereka sekian lama, tiba-tiba In Loei merandek dan turun dari kudanya.

   "Selewatnya kali kecil ini, di depan sana, rumah dari tanah liat yang kuning itu adalah rumahku!"

   Berkata si nona tanpa kawannya menanya.

   "Ah, itu pohon bwee di muka pintu masih seperti dulu! Pohon cemara di belakang pun masih kecil, di dalam semak-semak pohon cemara itu ibu suka menyanyi untukku!..."

   Lantas ia jalankan pula kudanya, sampai Tan Hong lompat turun dari kudanya juga.

   "Habis pahit, manis datang!"

   Ia berkata, sambil tertawa.

   "Hari ini peebo melihat kau, betapa girangnya dia!"

   Dengan lantas pemuda ini memanggil peebo - bibi - kepada ibunya si nona.

   In Loei tidak bilang suatu apa, matanya tengah mengawasi ke pintu rumahnya.

   Ia lantas saja dihinggapi rupa-rupa kenangan semasa kecilnya, semasa ia tinggal di gubuknya itu.

   Ia berduka, tetapipun ia bergembira.

   Tanpa merasa, dengan perlahan, ia menyanyikan nyanyian si cilik tukang gembala kambing yang ibunya ajarkan padanya.

   Aku ikuti ibu pergi mengembala kambing - Anak kambing makan rumput, sangat girang dia.

   Bunga di tanjakan sedang mekar, harum baunya, Ibu Bernyanyi, nyaring suaranya, Dan hatiku, bukan main girangnya! Aduh! Di udara terbang berputar seekor garuda besar, Hendak dia menyambar anak kambing kami! Kasihan, Anak kambing berlari-lari berkelitan! "Hai, jangan takut, jantung hatiku!"

   Anak kambing itu berlindung di sisi ibunya.

   "Ya, kau berlindunglah disisi ibumu.

   "Di mana pun tak ada tempat seaman sisi ibu!"

   Garuda itu tak dapat sambar anak kambing, Tak dapat dia merampas jantung hatiku! Sambil bernyanyi In Loei bertindak ke arah pintu.

   Tan Hong awasi si nona, tanpa merasa, air matanya mengembeng.

   Terharu ia untuk saksikan kelakuannya kawan ini.

   Tiba-tiba terdengar satu suara nyaring, lalu sepasang daun pintu bobrok terpentang terbuka, dari mana muncul seorang wanita Mongolia yang kepalanya terbungkus ikat kepala, romannya kucel, sepasang matanya celong, dan bajunya walaupun bersih, telah banyak tambalannya.

   Air matanya In Loei bercucuran begitu lekas ia tampak nyonya itu, lantas saja ia berlari-lari, untuk akhirnya menubruk, merangkul.

   Nyonya tua itupun bermandikan air mata, ia tatap muka orang.

   "Sepuluh tahun telah aku nantikan kau!"

   Serunya.

   "Benarkah kau, jantung hatiku?..."

   In Loei menangis sesegukan.

   "Benar, ibu, inilah aku..."

   In Loei menjawab.

   "Apa ibu tidak dapat lihat aku?"

   "Mari dekatan, kasih aku pandang kau!"

   Berkata si nyonya, walaupun orang telah berada dihadapannya.

   "Benar-benar kau mustikaku, jantung hatiku!..."

   Kasihan ibunya In Loei ini.

   Dahulu hari, karena secara mendadak ia kehilangan suaminya serta anak perempuannya, saking berduka, ia menangis terus menerus sampai air matanya seperti mau kering, karenanya penglihatan matanya itu menjadi kabur, benar ia tidak menjadi buta akan tetapi di antara jarak tiga kaki lebih, tidak sanggup ia mengenali orang lagi, ia cuma seperti lihat segumpal bayangan hitam.

   Demikian sebabnya, walaupun gadisnya berada di depannya, ia tidak lantas dapat melihat tegas, ia melainkan dapat merasakan saja.

   Tan Hong telah saksikan itu, ia bersusah hati bukan main.

   "Begini hebat penderitaannya nyonya yang baik ini,"

   Katanya di dalam hatinya.

   "Ya, semua ini disebabkan kedosaan keluargaku..."

   Selama di tengah jalan, banyak yang anak muda ini pikir.

   Ia telah siapkan kata- kata yang akan diucapkan nanti dalam pembicaraan dengan ibunya In Loei, untuk menghibur nyonya tua itu, akan tetapi sekarang, menyaksikan kesengsaraan orang, ia menjadi bungkam, tidak sepatah kata juga yang dapat ia ucapkan.

   Maka ia cuma bertindak menghampiri seperti seorang yang tanpa perasaan.

   In Loei dan ibunya berpelukan, mereka sedang menangis amat sedihnya.

   Sang nyonya tidak tahu ada lain orang di situ, dan In Loei lupa kepada kawan seperjalanannya itu.

   Selang sekian lama, baharu terdengar suaranya si nyonya.

   "Ayahnya In Loei, kau dengar tidak?"

   Demikian katanya.

   Hampir berbareng dengan itu, di muka pintu muncul seorang, melihat siapa, In Loei tercengang.

   Orang itu adalah seorang laki-laki, mukanya bercacat dengan bekas-bekas luka, tindakan kakinya dingkluk-dingkluk, pincang.

   Rambutnya yang tipis, sudah separuhnya berubah menjadi putih.

   Juga pakaiannya sudah tidak keruan macam, seperti pakaian si nyonya.

   In Loei hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu jikalau ia tidak dengar ibunya mengatakan "ayahnya A Loei."

   Menampak keadaan ayahnya itu, jantungnya In Loei memukul keras! -ooo00dw00ooo- Bab XXVII Sebagaimana kita ketahui, ayahnya In Loei itu adalah In Teng.

   Dahulu hari In Teng telah antarkan In Tjeng, ayahnya, sampai di luar kota Ganboenkwan, di sebuah gunung.

   Di sana mereka kena dicandak barisan pengejar.

   Ia halau barisan itu.

   Ia telah berkelahi mati-matian, di mana ia terluka parah dan rubuh ke dalam lembah.

   Di waktu malam yang gelap gulita itu, Tiauw Im Hweeshio beramai telah dengar jeritannya yang hebat dan melihatnya dengan samar-samar rubuhnya tubuh In Teng itu tanpa mereka sanggup menolong.

   Mereka menyangka bahwa In Teng telah menemui ajalnya.

   Sekalipun In Loei dan kakaknya tidak akan menyangka bahwa ayah mereka masih ada di dalam dunia yang fana ini.

   In Teng tidak terbinasa.

   Cabang-cabang pepohonan telah menolong dia, yang telah menadahi tubuhnya yang jatuh itu, hingga ketika ia jatuh terus juga ke tanah di dalam lembah, cuma sebelah kakinya yang patah, melainkan mukanya yang mendapat luka-luka baret oleh batu-batu lancip.

   Keadaannya In Teng sangat hebat, mungkin melebihi orang yang telah mati.

   Di dalam lembah itu, tidak ada orang yang dapat menolongi ia.

   Syukur di situ ada lain-lain kurban, yang terjatuh ke dalam lembah sebagai ia, yang jiwanya melayang, maka ia ambil rangsum bekalan mereka, untuk dipakai tangsel perutnya yang lapar.

   Untuk minum, ia minum air salju.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Untuk beberapa hari ia mesti berdiam di dalam lembah itu, sampai ia merasakan tubuhnya sedikit kuat, baharu ia mencoba merayap naik, untuk tiba di luar lembah.

   Setelah itu, ia hidup sebagai pengemis di luar kota Ganboenkwan, sampai kemudian ia dengar tentang nasib ayahnya.

   Bukan main sakit hati dan kedukaannya, ditambah dengan cacatnya itu serta penghidupannya yang sengsara, hatinya menjadi tawar.

   Ia merasa di dalam jagat yang luas ini tidak lagi ada tempat di mana ia bisa menaruh kaki.

   In Teng tidak meninggal dunia, tetapi dengan muka rusak dan kaki pincang, ia menjadi tidak berdaya, tak bisa lagi ia bersilat, hingga ia mirip dengan seorang biasa yang tapa dakpa.

   Ia juga tidak bisa lintasi Ganboenkwan, untuk pulang ke Tionggoan.

   Dengan kebinasaan ayahnya, yang dipandang sebagai "penghianat", iapun mungkin dicari pemerintah, untuk ditawan.

   Maka itu, terus ia terlunta-lunta di luar kota Ganboenkwan itu.

   Apabila ia tidak masih ingat kedua anaknya, mungkin ia sudah habiskan jiwanya sendiri di semak belukar di luar kota.

   Sehingga lebih dari satu tahun, baharu ia ingat lebih baik ia kembali ke Watzu.

   Ia lantas ambil ketetapan, lantas ia melakukan perjalanan kembali yang jauh itu.

   Di tempat di mana ada orang sudi kasi ia kerjaan, ia bekerja sebisa-bisanya, kalau tidak, terpaksa ia mengemis pula.

   Bukan main ia menderita sampai akhir-akhirnya tiba juga ia di Mongolia Utara, di gunung Tangkula, di selat selatannya, di mana ia berhasil mencari rombongan suku bangsa dari isterinya.

   Sementara itu ibunya In Loei sudah bekerja sebagai perawat kuda di rumahnya kepala sukunya.

   Dengan susah payah In Teng dapat tahu alamat isterinya itu, ia mencarinya.

   Dengan sudah payah juga ia mohon pertolongan orang, untuk mengabarkan pada isterinya, setelah mana, isterinya itu letakkan kerjaannya, untuk menyusul dan menemui suaminya itu.

   Hebat pertemuan mereka itu, suami isteri yang sama bersengsara itu.

   Mereka pulang ke rumah asal mereka, untuk tinggal bersama.

   Si suami pincang, si isteri buta melek, hingga isteri ini tak dapat lagi mengembala binatang.

   Syukur In Teng masih mempunyai tenaga, untuk hidupnya, ia mencoba berkuli, sedang isterinya berkuli menjahit yang kasar-kasar.

   Secara demikian mereka dapat hidup juga.

   Mula-mula mereka masih mengharapkan mereka akan bertemu pula kedua anak mereka, akan tetapi setelah tahun-tahun telah berlalu dengan tidak ada kabar beritanya, habis juga pengharapan mereka, hingga akhirnya mereka percaya, mereka menunggui ajal mereka di gubuknya itu tanpa anak-anak mereka mengetahuinya, sedang In Teng sendiri peserah nasib meninggal di negara asing...

   Tapi tak disangka-sangka, akhirnya datang juga hari ini yang mereka dapat bertemu anak dara mereka...

   In Loei awasi ayahnya itu.

   Mimpipun ia tidak menyangka akan bertemu ayahnya pula.

   Belum lagi berusia lima puluh tahun, sang ayah sudah ubanan.

   Iapun tidak akan menerka bahwa ayahnya demikian rusak mukanya, pincang kakinya.

   Semua itu membutikan kesengsaraannya ayah ini.

   Maka akhirnya, setelah menjerit, ia lari kepada ayahnya, untuk menubruk seperti tadi ia tubruk ibunya.

   Air matanya membasahi pakaian ayahnya, begitupun air mata ayah itu membasahi bajunya sendiri.

   Lama mereka berdiam, tak tahu harus bersedih atau bergirang.

   Kembali Tan Hong saksikan pemandangan yang membuatnya hatinya seperti beku.

   Sungguh hebat penderitaannya suami isteri itu.

   Ia kembali diam berdiri terpaku, tidak dapat ia hiburkan ayah dan gadisnya itu.

   Lama ayah dan anak itu saling rangkul, baharu perlahan-lahan mereka berhenti menangis.

   Waktu itulah, In Teng sadar bahwa di antara mereka ada satu anak muda, yang asing baginya.

   Ia hanya tahu bahwa orang datang bersama gadisnya itu.

   Lantas In Teng awasi anak muda itu, yang tampaknya tampan dan gagah romannya, pula lemah lembut agaknya, hanya ia dapatkan, kedua mata pemuda itu seperti tidak ada sinarnya.

   Ia tidak duga bahwa orang tengah berduka untuk mereka bertiga.

   "A Loei, siapa orang itu?"

   Akhirnya ayah ini tanya anaknya.

   Tan Hong sendiri terus berdiam, menjublak saja.

   In Loei terperanjat atas pertanyaan itu, ia bagaikan sadar mendadak dari mimpinya.

   Suara ayah itu sebenarnya perlahan tetapi ia mendengarnya bagaikan suara guntur.

   Telah lama ia pikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada ibunya, untuk berikan keterangan dengan sabar kepada ibu itu, tetapi sekarang, di luar sangkaannya, ia bertemu ayahnya, maka, seperti Tan Hong tadi, ia pun menjadi lupa segala apa.

   Sang ibu, mendengar pertanyaannya suaminya itu, mengawasi ke arah Tan Hong.

   Ia lamur, ia kerahkan tenaga matanya, akan tetapi apa yang ia tampak adalah suatu bayangan orang yang putih saja.

   "A Loei, apakah anak itu datang bersama kau?"

   Ibu ini tanya, matanya masih mengembeng air tetapi mulutnya bersenyum.

   "Beritahukan ibumu, anak, siapakah dia?"

   Perlahan dan halus suaranya ibu ini, menandakan ia berbudi pekerti halus, bahwa ia menyambut dengan baik kawannya gadisnya.

   Akan tetapi kata-kata yang lemah lembut ini sebaliknya bagaikan tusukan jarum di hatinya anak dara itu.

   Tiba-tiba In Loei lepas diri dari pelukan ibunya, dengan kedua tangannya ia tutupi mukanya.

   "Dia, dia... seorang she Thio..."

   Ia menjawab, hatinya karam.

   "Apa? Dia she Thio?"

   Tanya In Teng tanpa merasa, suaranya keras-kaget.

   Selama sepuluh tahun, ia sangat membenci Thio Tjong Tjioe, maka ketika mendengar orang ada she Thio, tak sanggup ia mengendalikan hatinya.

   In Loei menjerit, ia lompat untuk menubruk pula ayahnya itu.

   Sang ayah tengah berdiri tegak bagaikan satu boneka batu, wajahnya muram, melihat tubrukan gadisnya, ia mundur.

   Tidak mau ia menyentuh tangan gadisnya itu! Thio Tan Hong saksikan itu semua, tak dapat ia menahan pula denyutan hatinya.

   "Tidak salah, aku she Thio!"

   Ia bilang.

   "Aku ada anaknya Thio Tjong Tjioe! Loopee, aku datang untuk menghaturkan maaf kepadamu!"

   Dengan mendadak wajahnya In Teng menjadi merah padam, mukanya yang bercacat itu menjadi bengis nampaknya, ia tidak mengatakan sesatu, hanya giginya berkerot- kerot.

   Sekonyong-konyong ia tolak tubuh In Loei yang berada dihadapannya, agaknya ia hendak terjang si anak muda! Anak itu terperanjat, ia tahan tangan ayahnya itu.

   In Teng terkejut, tubuhnya tak dapat maju, tangannya dirasakan sakit.

   Nyata si nona menahan ia dengan memakai tenaga.

   Berbareng kagetnya, ia insyaf, anak muda di depannya itu adalah musuh yang ia paling benci berbareng pun orang yang sangat dikasihi puterinya! In Loei terkejut.

   Ia mengarti bahwa ia telah gunakan tenaga terlalu besar.

   Dengan lekas ia lepaskan cekalannya, ia mengganti dengan memegangi tangan baju ayahnya itu.

   Dengan tiba-tiba In Teng tarik tangannya, karena mana, bajunya yang dipegangi puterinya itu telah robek dan putus! In Loei melongo, justeru ayahnya awasi ia dengan bengis.

   Lalu ayah itu buka baju luarnya yang terus dirobeknya, lalu baju itu dilemparkan kepada gadisnya.

   "Foei"

   Ayah ini perdengarkan suaranya, akan terus dengan dingin mengatakan.

   "Kau pergilah! Rumahku ini, rumah bobrok, tak berani aku pakai untuk menerima kamu bangsa siauwya dan siotjia."

   In Loei rasakan tubuhnya menggigil, ia kaget dan bingung.

   Sejenak itu, di otaknya, di hatinya, telah terbit pertempuran hebat, antara cinta dan kebencian, antara budi kebaikan dan permusuhan! Ia malu sendirinya, ia likat, tapi hatinya sakit, berduka sangat.

   Ia berdiri diam, ia pandang ayahnya, lalu ia mengawasi Tan Hong, kosonglah hatinya, ia bagaikan kehilangan kesadarannya.

   Tan Hong pun berdiri diam, mukanya pucat.

   Ia bengong mengawasi nona itu.

   Perlahan-lahan si nona gerakkan kedua tangannya, lantas mendadak ia sambar baju luarnya yang berwarna merah tua, dengan keras ia menariknya hingga baju itu robek, setelah terbuka dan lolos dari tubuhnya, ia lemparkan itu ke tanah.

   Tan Hong ingat betul, itulah baju merah tua yang In Loei pakai sebegitu lekas penyamarannya diketahui, dan dia mengakuinya bahwa dialah seorang wanita.

   Itulah baju yang ditukar pada malam pertama di dalam kuburan tua di waktu mana ia puji kecantikan si nona.

   Maka baju itu, untuk mereka berdua meninggalkan kesan yang mendalam, yang membawa kenang-kenangan yang manis.

   Akan tetapi sekarang baju itu dirobek oleh In Loei sendiri! Tentu saja baju itu bagaikan dibawa terbang sang angin, yang takkan balik kembali...

   "Adik Loei!"

   Memanggil Tan Hong, suaranya perlahan.

   Ia merasakan seperti telah dapat pukulan hebat.

   In Loei berpaling pun tidak, tangan kanannya dipakai mencekal tangan ayahnya, tangan kirinya menyambar tangan ibunya, ia tarik kedua orang tuanya itu untuk diajak masuk ke dalam, menyusul mana.

   "Brak!"

   Pintu telah digabrukkan! Tan Hong menjadi putus harapan, karena tidak pernah In Loei menoleh ke belakang, hingga mereka tak dapat saling pandang.

   In Loei bertindak ke dalam seperti juga tenaganya telah lenyap habis.

   Soalnya hanya soal beberapa tindak saja, tetapi ia merasakannya bagaikan melakukan perjalanan yang sukar sekali, bagaikan ia melintasi laksaan sungai dan ribuan gunung, hampir saja ia tak kuat angkat kakinya.

   Tidaklah heran, setibanya di dalam, terus saja ia rubuh di lantai tanah berbareng dengan mana di luar terdengar ringkiknya kuda, ringkik dari kesedihan...

   Itulah suara kudanya In Loei.

   Kuda itu pun seperti sedang merasakan sangat berat untuk berpisahan dari "sahabatnya"

   Semenjak mereka ada bersama dari Tionggoan hingga di Mongolia, selama perjalanan mereka "selaksa"

   Lie... Dari kejauhan, menyambut suara kudanya In Loei ini, terdengar ringkik yang sedih juga dari kudanya Tan Hong.

   "Kuda meringkik, angin menderu,"

   Begitu satu pepatah.

   Demikian sang angin membawa datang suara kuda si mahasiswa.

   Demikian rupa adanya persahabatan di antara binatang, apapula di antara manusia...

   In Loei rubuh pingsan di sebelah dalam pintu, akan tetapi kupingnya masih dengar samar-samar keluhan ibunya.

   "Ah, anak yang harus dikasihani..."

   Tetapi masih ada lain orang yang harus terlebih dikasihani lagi.

   Ialah Tan Hong.

   In Loei masih ada ayah dan ibunya, yang dapat menghiburkannya, tidak demikian dengan si anak muda, yang bagaikan sebatang kara, sebatang kara di kampung orang.

   Tidak ada seorang jua kepada siapa ia harus tumpahkan kedukaannya, tidak ada seorangpun jua dengan siapa ia dapat bicara.

   Maka ia bagaikan seorang yang tak sadar dirinya, ia jalan seorang diri, entah ke mana tujuannya...

   Tan Hong dibawa oleh kudanya sendiri.

   Ia menunggang kuda tetapi ia tidak berkuasa atas kendali.

   Ia tampak puncak tinggi dari gunung Tangkula, yang menyundul tinggi hingga ke mega.

   Samar-samar ia ingat hal gurunya telah berjanji untuk membuat suatu pertemuan di puncak utara dari gunung itu, seperti juga guru itu hendak menemui satu iblis.

   Ia cerdas, kuat ingatannya, akan tetapi kali ini, ia terpukul hebat sekali, kecuali urusan dengan In Loei, lainnya hampir lupa akan segalanya.

   Tak ingat ia, siapa si iblis dan kenapa gurunya hendak menemui iblis itu.

   Maka syukur baginya, ia ada punya satu guru, dan ia masih dapat mengingatnya.

   Tetap dalam keadaan sadar tak sadar itu, Tan Hong terus melakukan perjalanannya, ia cuma singgah kapan ia rasakan perutnya lapar atau tibanya sang malam.

   Ia tetap ikuti gunung Tangkula.

   Dua hari sudah perjalanan, tibalah ia di kaki gunung.

   Lantas ia lompat turun dari kudanya, dengan biarkan kuda itu pergi cari makan sendiri, ia bertindak mendaki gunung itu.

   Sunyi gunung itu, bisa di mengerti jikalau Tan Hong tidak ketemu siapa juga.

   Ia jalan dan mendaki terus.

   Ketika ia ingat In Loei, ia lalu dapat membayangkan halnya ia berjalan bersama si nona, berjalan sambil merendengkan kuda mereka, melakukan perjalanan di musim semi selagi bunga-bunga mekar.

   Atau mereka tengah melalui wilayah Kanglam yang indah...

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tan Hong pernah berdiam di gurun utara, pernah ia menjelajah Kanglam, sekarang, ia seperti tak dapat membedakan kedua wilayah itu, ia seperti merasakan keindahan Kanglam saja, permai dan sedap...

   Beberapa kali ia seperti merasa In Loei benar-benar ada di dampingnya, hingga karenanya, ia suka memanggil "saudara kecil, saudara kecil..."

   Tapi kali ini, adalah sang kumandang dari lembah-lembah yang menyahuti padanya.

   "Saudara kecil, saudara kecil!..."

   Di hari pertama, Tan Hong masih ingat bahwa ia mendaki gunung Tangkula untuk cari gurunya, tetapi di hari kedua, ia mulai lupa, hingga tak tahu ia kenapa ia berada seorang diri di atas gunung itu.

   Setiap ia tampak pohon kering, pohon bunga atau batu besar, ia merasa seperti In Loei berbayang di depan matanya.

   Kapan ia dengar ricikannya air selokan ia seperti dengar suaranya si nona yang memanggil-manggil padanya.

   Atau sekonyong-konyong saja, suara panggilan si nona itu berubah menjadi suara daun pintu digabrukkan.

   "Brak!"

   Itulah suara yang tak dapat ia lupakan, suara itu bagaikan terus mengikuti padanya, menguber-uber padanya...

   hingga ia jadi tidak berani turun gunung, ia berlari-lari naik seperti juga, dengan berlari-lari itu, ia akan dapat menyingkir dari suara itu...

   Di hari kedua, di waktu magrib, sampailah Tan Hong di puncak gunung.

   Benar selagi ia hentikan tindakannya, tiba-tiba ia merasakan perutnya lapar dan haus.

   Ia pun lantas ingat yang bekalan rangsumnya telah habis di dahar pada kemarin sore, hingga karenanya, hari ini ia sudah tidak punya apa-apa.

   Sang lapar itu membuatnya ia sedikit sadar, ia dapat berpikir bahwa ia mesti cari sesuatu untuk tangsel perutnya itu...

   Di waktu ia celingukan, tengah ia memandang ke depan, ia tampak sebuah rumah batu dari dalam mana ada asap mengepul keluar...

   Tan Hong tidak ketahui bahwa rumah batu itu adalah rumah dari musuh besar kakek gurunya, ialah rumahnya Siangkoan Thian Ya.

   Apa yang ia ketahui adalah ia hendak mencari barang makanan.

   Maka juga, ia lantas lari menghampirkan pintu, terus saja ia menolaknya.

   Pintu itu adalah pintu batu yang tertutup kuat, maka daun pintu itu tak dapat lantas tertolak terbuka.

   Tengah ia menolak, pintu yang ia awasi itu ia tampak seperti juga pintu rumahnya In Loei...

   "Eh, aku hendak masuk!"

   Ia kata.

   Ia merasa seperti In Loei berada di dalam rumah itu.

   Entah dari mana datangnya tenaga besarnya, mungkin ia telah kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, ketika ia menggempur, baharu dua kali saja, daun pintu telah lantas menjeblak terbuka! "Hai, siapa itu yang bernyali besar sekali, yang berani merusak pintuku?"

   Demikian satu suara nyaring terdengar menegur dari dalam.

   Hanya teguran itu diberikuti ketawa yang aneh terdengarnya.

   Suara itu seperti juga senjata tajam menusuk kuping sehingga Tan Hong menjadi terkesiap hatinya.

   Beda sangat jauh suara tertawa itu daripada suara tertawanya In Loei.

   "Di sini tidak ada In Loei, ah, untuk apa aku datang kemari?"

   Kata anak muda ini seorang diri.

   Pada saat ini, tiba-tiba pikirannya berubah pula, hingga lupa ia pada rasa laparnya.

   Sekonyong-konyong Tan Hong lihat melesatnya beberapa tubuh bagaikan bayangan ke arahnya.

   Ia tidak sadar akan dirinya, akan tetapi dengan sewajarnya, ia ingat akan kepandaiannya ilmu silat, dengan cepat ia menggunakan kedua tangannya, untuk membuat perlawanan, ia menotok.

   Itu waktu ruangan ada gelap, Tan Hong tidak melihat tegas namun ia tahu, totokannya telah memberi hasil, ada benda-benda berat seperti tubuh manusia sang rubuh dan menerbitkan suara keras, tapi berbareng dengan itu, dari dalam kamar - sebuah kamar rahasia - ada lagi bayangan yang melesat keluar, belum Tan Hong ketahui apa-apa ia rasakan dunia seperti terputar, tubuhnya terus rubuh terguling, dan seterusnya, ia tidak ingat suatu apa lagi.

   Yang rubuh itu adalah empat pelayannya Siangkoan Thian Ya, selagi mereka serang Tan Hong, Siangkoan Thian Ya sendiri sedang ada di dalam kamar rahasianya itu, dari mana ia sudah lantas keluar.

   Siangkoan Thian Ya tersohor sebagai "iblis kepala".

   Inilah disebabkan liehaynya ilmu silatnya.

   Sudah beberapa puluh tahun ia sekap diri di atas puncak ini, selama itu belum pernah ada orang yang berani datangi padanya, atau melintas saja di dekat rumahnya.

   Hari ini, bukan saja ia telah disatroni, malah pintunyapun digempur rusak oleh Tan Hong, tentu saja ia menjadi heran.

   Untuk sejenak ia menyangka kepada Hian Kee Itsoe, atau di lain saat ia sadar, bahwa Hian Kee Itsoe takkan sudi bertindak demikian rupa, suatu tindakan hina.

   Karena ini, berbareng heran ia menerjang keluar sambil menggunai ilmu silat "Ittjie sian"

   Atau "Sebuah jari sakti".

   Tan Hong dalam keadaannya yang tak sadar itu, tidak heran ia tidak sanggup menangkis atau berkelit, hingga ia rubuh tanpa berdaya.

   Adalah setelah itu, lekas-lekas Thian Ya cari api, untuk menyuluhi dan mengenali penyerbunya itu.

   Untuk herannya iblis kepala ini, ia lihat penyerbu itu adalah satu anak muda yang tampan, mukanya perok dan pucat, umurnya mungkin belum dua puluh tahun.

   Ia lantas mengawasi dengan tajam, hingga ia tahu apa yang ia harus lakukan.

   Di samping sebagai ahli silat, iapun mengerti ilmu obat-obatan.

   Tetapi setelah ia periksa nadinya orang itu, ia telah dibikin menjadi heran pula, walaupun ia seorang yang ahli! Ilmu totok Ittjie sian dari Siangkoan Thian Ya telah mencapai puncaknya kesempurnaan, lagipun sasarannya sekarang ini adalah jalan darah djoanmoa hiat dari Tan Hong, sudah seharusnya, menurut teorinya, darahnya Tan Hong mesti berhenti berjalan, atau sedikitnya, mengalirnya darah mesti kendor sekali.

   Akan tetapi kenyataannya, jalan darah Tan Hong mengalir seperti biasa, hanya tenaga mengalirnya sedikit lemah.

   Karena ini, ia lantas ambil lain pandangan.

   Ia tahu bahwa orang ini rubuh bukan karena totokannya, hanya disebabkan saking laparnya.

   "Jika orang ada satu ahli yang liehay, Hian Kee Itsoe umpamanya, dia memang dapat menggunai ilmunya menutup jalan darah untuk membela dirinya dari serangan Ittjie sian,"

   Demikian jago ini berpikir lebih jauh.

   "akan tetapi apabila untuk menutup jalan darahnya itu, jikalau dia kena ditotok, dia tidak akan menjadi pingsan, juga tidak akan meninggalkan bekas-bekasnya. Tidak demikian dengan orang ini. Dia telah tertotok, namun dia tidak mendapat luka, tiada bekasnya totokan juga, apakah yang menyebabkannya ini? Mustahilkah di dalam dunia ini ada suatu macam ilmu dalam lainnya yang aku belum mengetahuinya?"

   Siangkoan Thian Ya benar-benar tidak menduga yang di dalam dunia ini memang benar ada semacam ilmu tenaga dalam yang ia belum ketahui, ialah ilmunya Pheng Eng Giok, ilmu yang termuat di dalam kitab "Hiankong Yauwkoat".

   Kepandaiannya Siangkoan Thian Ya ada dari jalan yang aneh, meski benar ilmunya itu liehay sekali, tetapi dalam hal kelurusan, tak dapat ia menandingi ilmunya Pheng Hoosiang.

   Maka itu, walaupun dalam latihan ilmu dalam itu Tan Hong masih kalah, namun karena dasarnya yang lurus itu, meski dia kena ditotok, dia sanggup pertahankan diri, hingga karenanya, dia dapat dibikin pingsan tapi tidak dapat dilukai.

   "Anak ini masih berusia muda, iapun tengah kelaparan hebat,"

   Masih Siangkoan Thian Ya berpikir.

   "tetapi dengan gampang sekali ia dapat rubuhkan empat pelayanku, inilah luar biasa. Kepandaiannya itu mestinya berkat latihan dua atau tiga puluh tahun, maka itu apakah ini tidak aneh? Mustahilkah ia telah mempelajari ilmu silat sejak ia masih dalam kandungan ibunya?"

   Oleh karena ia heran dan memikir demikian, tiba-tiba iblis kepala ini menjadi bercekat hatinya, ia menjadi terkesiap sendirinya. Mendadak ia mau menduga.

   "Bukankah anak muda ini muridnya Hian Kee Itsoe, musuh besarku itu?"

   Ia baharu menerka demikian atau ia berpikir pula.

   "Umpama benar dia muridnya Hian Kee Itsoe, tetapi dia begini muda, tak mungkin dia telah mempunyai kepandaiannya ini? Juga, caranya menangkis dia bukannya menurut ilmu silatnya Hian Kee It Soe..."

   Pusing Siangkoan Thian Ya karena berpikir terlalu keras itu. Ia dijulukkan "Mo Tauw,"

   Si kepala iblis, atau iblis kepala, akan tetapi pada dasarnya, pada batinnya, ia menyayangi orang pintar, orang yang berkepandaian luar biasa.

   Demikian kali ini, terhadap Tan Hong, timbullah perasaan sayang dan kasihannya.

   Maka tidak ayal lagi, ia totok sadar anak muda itu.

   Tan Hong tidak lantas ingat segala apa dengan seterang-terangnya.

   Akibat totokan yang liehay itu, pikirannya masih butek, kedua matanya pun tidak segera dapat dipentang.

   Ia tak sadar, apa yang barusan ia telah lakukan.

   "Adik kecil, adik kecil!"

   Ia lalu memanggil-manggil. Dalam sekali kesannya terhadap In Loei, maka si Nona In-lah yang ia ingat paling dulu. Siangkoan Thian Ya menuang air teh ke dalam sebuah cangkir, ia angsurkan ke bibir orang.

   "Ah, ah, adik kecil!"

   Tan Hong berkata pula.

   "Kau tidak doyan arak susu kuda, akupun tidak hendak meminumnya!..."

   Dan dia tolak air teh itu.

   "Masih kalut pikirannya anak muda ini,"

   Pikir Siangkoan Thian Ya. Terus ia layani orang bicara, katanya.

   "Baiklah, kalau kau tidak mau minum arak susu kuda, mari kau minum susu kental dicampur arak anggur."

   Ia benar-benar ambil susu kental itu. Ia singkirkan air teh dari muka orang, lalu dengan cepat ia bawa balik lagi, untuk dikasih minum. Tan Hong irup susu kental itu serta tehnya.

   "Adik kecil, adik kecil, kau baharulah adik kecilku yang baik!"

   Berkata anak muda ini dalam keadaannya tak sadar itu.

   "Kalau aku masuk pula, menginjak pintumu, kau tentu tidak akan mengusir pula padaku, bukankah? Haha-haha, kau benar-benar tidak mengusir lagi!"

   Mendadakan ia melenggak, tubuhnya jatuh ke kursi, lalu dengan cepat ia tidur mendengkur. Rupanya ia terlalu lelah tetapi pun girang... Tak tahu kenapa, Siangkoan Thian Ya merasa ia seperti berjodoh dengan pemuda ini.

   "Air tehku ini tercampur dengan soatsom,"

   Ia berkata di dalam hatinya.

   "soatsom dapat menghidupkan darah, maka dengan ditambah susu kental, meski dia tidur lagi satu hari, tanpa dahar apapun, dia tidak bakal dapat bahaya..."

   Lalu ia pondong anak muda itu, dibawa ke dalam kamarnya, untuk direbahkan di atas pembaringannya sendiri yang hangat.

   Ketika itu sudah tengah hari.

   Ketika akhir-akhirnya Tan Hong mendusi, waktu telah lewat tengah hari dari hari yang kedua.

   Ia merasakan bau yang harum, yang membuat hatinya lega.

   Ketika ia buka kedua matanya, ia tampak sinar matahari molos di jendela.

   Di muka jendela itu ada tanaman bunga tjielan, ialah bunga yang menyiarkan bau harum itu.

   Di kedua sisi jendela itu ada digantung sepasang lian dengan bunyi hurufnya.

   "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..."

   Rapi dan indah persiapan kamar itu, yang tentunya terawat baik.

   Di tembok pun ada tergantung sehelai gambar, yang berlukiskan hutan bambu, tjietiok lim, dalam mana ada satu nona dengan bajunya warna merah tua, yang alisnya panjang sekali, yang wajahnya seperti sedang bergirang, tapi juga seperti tengah mendeluh...

   Di dalam hatinya Tan Hong, rasanya ia pernah tampak tempat seperti itu, - hutan bambu dengan si nona, - dan si nona di dalam gambar itupun ia seperti mengenalnya.

   Karena ini, ia jadi baca dengan perlahan bunyinya lian itu.

   Oleh karena pikirannya tengah melayang-layang, di depan matanya pun segera seperti tertampak bayangannya In Loei, si nona dalam hutan bambu itu lantas saja berubah menjadi si Nona In itu...

   Tan Hong lihat seperti In Loei lompat keluar dari hutan bambu, lalu sekejap kemudian menghilang...

   Tertawa seorang diri, Tan Hong berkata seorang diri juga.

   "Di dalam dunia ini adakah lain orang yang dapat dibandingkan dengan adik kecilku? Nona dalam gambar benar cantik akan tetapi dia tak ada satu per selaksanya..."

   Tanpa merasa, Tan Hong jemput pit dan kertas, setelah beber kertas itu, ia poles-poleskan pit-nya di air bak, lalu ia melukis, selembar demi selembar, ia melukis In Loei dengan pelbagai macam wajahnya, tengah berlikat, tengah bersenyum, tengah tertawa, ada juga yang sedang mendongkol atau mendeluh atau beroman sedih.

   Indah semua lukisannya itu.

   Ia belum puas agaknya dengan hanya melukis si nona, lebih jauh, ia melukis juga dirinya sendiri berserta si nona yang sedang kaburkan kudanya dengan berendeng.

   Untuk ini, ia tuliskan kata-kata singkat sebagai timpalannya.

   Ketika kemudian sesudah selesai melukis, ia lempar pit-nya, terus ia tertawa panjang, akan tiba-tiba ia menangis dengan sangat sedih...

   Adalah di saat itu, anak muda ini merasa ada orang pegang pundaknya, yang ditepuk dengan perlahan, apabila ia angkat kepalanya, untuk melihat, ia dapatkan seorang tua dengan rambutnya telah putih semua, wajahnya bengis akan tetapi sinar matanya, yang tajam, ada mengandung kesan baik.

   Orang tua itu bersenyum, terus ia menanya dengan sabar.

   "Kau siapa? Apa yang kau tangisi?"

   "Kau siapa? Dan kau pun mentertawai apa?"

   Tan Hong balik menanya. Orang tua itu tertawa bergelak-gelak.

   "Sungguh aku tidak sangka di dalam dunia ini masih ada kau dan aku manusia tolol!"

   Katanya sambil tertawa pula. Keduanya saling memandang, lantas keduanya menangis bersama, lalu tertawa bersama juga. Kemudian, si orang tua berkata pula.

   "Tadi malam kau menyebut- nyebut adik kecil tak putusnya. Adik kecilmu itu ada di mana?"

   Tan Hong tidak menyahut dan tidak ambil pusing akan pertanyaan itu, sebaliknya, ia angkat setiap gambarnya untuk dipandang satu demi satu, sesudah mana, kembali ia menangis sesegukan.

   "Ah, adakah nona dalam gambar ini adik kecilmu?"

   Si orang tua tanya, matanya mengawasi gambar itu.

   "He, kenapa kau berani awasi adik kecilku?"

   Tanya Tan Hong, sambil ia menghela napas.

   "Awas, nanti aku hajar kau, tua bangka tidak tahu adat sopan santun!"

   Dan benar-benar tangannya melayang. Si orang tua angkat tangannya, telunjuknya dimajukan. Dengan cara itu ia menangkis. Gampang saja, pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari si anak muda kena dibikin tidak berdaya. Tiba-tiba, anak muda itu menangis pula.

   "Ya, ya, aku larang siapa juga mengawasi kau!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata dia.

   "Eh, kenapa kau pandang aku sambil mendelik?"

   Dan ia awasi gambarnya In Loei, gambar dengan wajah gusar. Menampak itu, si orang tua menghela napas.

   "Beberapa puluh tahun yang lampau,"

   Kata dia seorang diri.

   "jikalau ada orang berani awasi Tjie Lan-ku, aku juga bisa hajar padanya..."

   Sejenak itu, orang tua ini pandang si anak muda sebagai dirinya sendiri...

   "Eh, anak muda, mengapa adik kecilmu itu tinggalkan kau?"

   Dia tanya. Tan Hong mendelik terhadap orang tua itu.

   "Kau sendiri sudah tahu untuk apa kau tanya aku?"

   Dia menegur.

   "Apa?"

   Si orang tua tegaskan. Tan Hong menjawab dengan bersenanjung.

   "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Bukankah itu tulisanmu sendiri? Jikalau kau tidak ketahui hal ihwalku dengan In Loei, cara bagaimana kau dapat menulis sepasang liari itu?"

   Dan ia tunjuk liari di jendela. Mendengar jawaban itu, si orang tua menjublak.

   "Ha, kiranya budi dan penasaran yang sukar dilupakan, rindu itu, semuanya sama..."

   Katanya. Lalu mendadak ia tertawa berkakakan, tangannya menepuk meja.

   "Yang tiga puluh tahun dahulu itu adalah aku, yang tiga puluh tahun belakangan ini adalah kau!"

   Katanya pula nyaring.

   "Kita ada sama saja! Biarlah orang-orang di kolong langit ini yang senasib dengan kita, menangis bersama untuk sang cinta!..."

   Ia menangis, ia tertawa, lalu bersama Tan Hong, ia saling rangkul.

   Keras tangis mereka, hingga terdengar jauh di luar rumah.

   Di dalam ruang, beberapa pelayan itu berdiri diam saling mengawasi, semuanya merasa heran sekali.

   Tadinya mereka sangka Siangkoan Thian Ya, majikan mereka itu, akan binasakan si anak muda, tidak tahunya, mereka berdua ini adalah sahabat-sahabat kekal...

   Tidakkah dua orang ini, tertawa dan menangis saling sahutan? Memang sang majikan aneh tabeatnya akan tetapi kelakuannya seperti ini baharu kali ini mereka tampak.

   Lama mereka menangis, akhirnya si orang tua berhenti, dengan keras ia mengatakannya.

   "Hari ini kita menangis, sungguh memuaskan! Haha! Tiga puluh tahun lamanya aku menanggung kesengsaraan hati, baharu hari ini aku menemui orang yang sama penyakitnya, yang saling mengasihani..."

   Lalu, tangisannya itu berubah jadi tertawa. Tan Hong, tanpa merasa, turut tertawa juga. Karena ia menangis, karena ia tertawa itu, hatinya menjadi terbuka, dengan perlahan-lahan otaknya datangkan kesadarannya.

   "Eh, mengapa aku bisa tiba di sini?"

   Ia tanya. Si orang tua tertawa.

   "Ya, aku justeru hendak menanyakan kau!"

   Jawabnya.

   "Kenapa kau bisa tiba di sini?"

   Tan Hong berdiam, otaknya dikasih kerja keras sekali.

   Tak dapat ia ingat kenapa ia bisa sampai di tempat asing ini.

   Ia cuma ingat In Loei, ia ingat juga rumah In Loei letaknya di lembah selatan dari gunung ini.

   Samar-samar ia ingat bahwa ia telah dikuncikan pintu di luar, lalu ia berlari-lari, akan akhirnya tiba di sini.

   Ia seperti mengetahui sekarang bahwa si orang tua ingin sangat dengar hal ihwalnya, bahwa si orang tua pun sudi menceriterakan hal ihwalnya sendiri...

   Dalam keadaan yang sadar itu, Tan Hong lantas tuturkan tentang pergaulannya dengan In Loei, akan tetapi kemudian, ia berceritera dengan lompat sana dan lompat sini, ada yang ia masih ingat, ada yang ia telah lupa, kemudian yang ia telah lupa itu, ia susul dengan keterangan yang belakangan, toh masih saja, ceriteranya tidak lancar hubungannya.

   Si orang tua terus pasang kupingnya, baharulah kemudian, ia tanya.

   "Siapakah yang ajarkan ilmu silatmu dan ilmu silat nonamu itu?"

   "Aku dengan dia berasal satu rumah perguruan,"

   Tan Hong jawab. Lalu lenyap pula ingatannya.

   "Siapakah guruku? Siapakah guru dia?"

   Ia mengingat-ingat, tapi ia tak dapat mengingatnya.

   "Apakah kau pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe?"

   Tanya si orang tua. Tiba-tiba Tan Hong tepuk pinggangnya.

   "Ya, aku ingat sekarang!"

   Ia berseru.

   "Soetjouw-ku bernama Hian Kee Itsoe! Hian Kee Itsoe itu adalah soetjouw-ku. Soetjouw telah wariskan dua rupa ilmu pedang, dia mengajarnya dengan dipisah- pisah, dan orang yang mempelajarinya, satu orang cuma harus dapat satu rupa, mereka dilarang mengajarkan atau saling mengajarkan satu dengan lain. Siapa yang mencuri mempelajarinya, meski ia dapat cuma setengah jurus, ia akan dihukum duduk bersila menghadapi tembok lamanya dua belas tahun! Aku belajar waktu aku berada di ibu kota negara Watzu. Tapi, dari siapa aku belajar silat? Tidak tahu, aku tidak tahu... Dia belajar di Siauwhan San, dia duduk bersila menghadapi tembok selama dua belas tahun... Kedua ilmu silat itu tetap dilarang diajarkan satu pada lain, dilarang sekalipun dengan jalan diam-diam, akan tetapi kemudian, secara kebetulan kami bertemu satu pada lain, kami lantas saja mengecap kefaedahannya siangkiam happek! Ya, di kolong langit ini, kami tidak ada tandingannya! Haha, di kolong langit tidak ada tandingannya!..."Orang tua itu terperanjat, tapi segera juga, ia tertawa.

   "Hebat angotnya bocah ini!"

   Dia berpikir.

   "Dia sudah beristirahat satu hari satu malam, kenapa masih saja dia tak sadar akan dirinya? Jikalau dia benar cucu muridnya Hian Kee Itsoe, kenapa dia belajar di ibu kota Watzu? Dan kekasihnya tentu ada terlebih muda daripadanya, kenapa dia dapat pergi ke gunung Siauwhan San, untuk belajar di sana selama dua belas tahun? Kemudian mereka bertemu sesudah dua belas tahun, tidakah seharusnya kekasih itu sudah berusia tua? Lagipun sangat mustahil, selagi di satu pihak orang belum pernah lihat ilmu silatnya lain pihak, kenapa begitu bertemu, keduanya dapat menjadi cocok satu dengan lain, malah dengan secara sempurna sekali, hingga mereka sangat lihay! Bukankah dia ini mengatakan, ilmu silat pedang mereka berdua tak ada tandingannya di kolong langit ini? Apakah bukannya dia tengah ngelindur? Bicara dari hal tenaga dalamnya, apabila dia mengatakan dia perolehnya dari Hian Kee Itsoe, suka aku sedikit mempercayainya. Tetapi bila benar dia cucu muridnya Hian Kee Itsoe, cara bagaimana dia dapat menangkis totokanku? Mungkin sekali gurunya adalah satu jago Rimba Persilatan kenamaan yang namanya tersembunyi... Mungkin dia pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe, karena aku menanyakannya, dia secara tak sadar akui Hian Kee Itsoe itu sebagai kakek gurunya..."

   Oleh karena kesangsiannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak menyangka bahwa Tan Hong telah omong apa yang benar, hanya karena ingatannya anak muda ini kabur, penuturannya itu kacau.

   Dia menyebutkannya In Loei dihukum duduk bersila menghadapi tembok di gunung Siauwhan San, tak ingat dia bahwa, yang dihukum itu bukannya In Loei tapi gurunya si nona.

   Tentu saja, karena kekeliruannya ini, Siangkoan Thian Ya mau mempercayai soal dirinya In Loei, hingga ia menjadi heran.

   Memang orang tua ini telah lihat, kepandaian yang si anak muda perlihatkan bukannya kepandaiannya Hian Kee Itsoe.

   Sehabis bercerita, Tan Hong balik menanya.

   "Kau siapa?"

   Demikian pertanyaannya.

   "Kenapa kau ada di sini? Apakah kau juga telah disia-sia adik kecilmu?"

   "Benar,"

   Sahut Siangkoan Thian ya.

   "Memang, adik kecilku itu rela duduk sila menghadapi tembok lamanya tiga puluh tahun di dalam hutan bambu Tjietiok lim, dan dia tak sudi datang ke gunung salju ini untuk menemui aku! Ah, saudara muda, akan aku tuturkan kau sebuah dongeng..."

   Si orang tua benar-benar menuturkan ceriteranya.

   "Pada tiga puluh tahun yang lampau ada hidup satu begal besar dari kalangan Rimba Hijau serta satu ahli pedang dari golongan Rimba Persilatan. Keduanya menyombongkan diri bahwa mereka tidak ada tandingannya di kolong langit ini. Bukan, bukannya menyombongkan diri! Kau tadi mengatakan siangkiam happek tanpa tandingan di kolong langit, itulah dusta belaka. Adalah kepandaiannya mereka berdua, itu begal dan ahli pedang, yang benar-benar tulen!"

   "Bila demikian, di antara mereka berdua, sebenarnya kepandaian siapakah yang betul-betul tidak ada tandingannya di kolong langit ini?"

   Tan Hong tanya.

   "Sampai sekarang hal itu masih belum diketahui,"

   Sahut Siangkoan Thian Ya.

   "Jikalau kau ingin mendapat tahu, kau baiklah tinggal beberapa hari lebih lama di sini."

   Lalu ia melanjutkan.

   "Dua orang itu akui dirinya masing-masing tidak ada tandingannya. Apa mau mereka justeru sama menyintai satu nona, yang juga anggap dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini. Nona itu bersama si penjahat Rimba Hijau sering sekali bentrok adu mulut. Mungkin si nona tak setujui nama kurang wangi dari penjahat itu, maka juga, walaupun ia kurang cocok dengan si kiamkek, ahli pedang, ia toh suka cari ahli pedang itu. Celaka si kiamkek itu, buruk tabiatnya. Sebab dia bertentangan dengan si penjahat, sengaja dia ganggu hati si nona, rupanya dengan begitu ingin dia membikin susah hatinya si penjahat. Satu kali, si penjahat menjadi gusar sekali, ia tantang si kiamkek adu silat di puncak Ngobie San. Pertandingan berlangsung tiga hari tiga malam, mereka tidak kalah tidak menang, maka pertandingan di akhiri dengan keduanya berjanji, lagi tiga puluh tahun, mereka akan bertanding pula untuk mencari keputusan. Tempo yang dijanji itu, lagi beberapa hari akan tiba. Setelah pertandingan yang pertama itu, si penjahat telah cuci tangan, ia menyingkir keperbatasan Mongolia. Ia berpegang kepada dalil, orang gagah menyayangi orang gagah, ia rela mengalah akan serahkan si nona kepada si kiamkek. Akan tetapi tak disangkanya, kiamkek itu benar-benar busuk! Hm!"

   "Apakah sudah terjadi?"

   Tanya Tan Hong. Ia heran.

   "Setelah pertandingan itu, si kiamkek telah tinggalkan si nona, yang disia- siakannya. Kesudahannya si nona tinggal menyendiri di rimba bambu Tjietiok lim di mana nona itu tinggal menangis dalam kesedihannya..."

   "Ah, hebat kiamkek itu!"

   Kata si anak muda.

   "Kenapa dia mensia-siakannya satu nona yang menyintai padanya?"

   Begitulah Tan Hong mengatakannya, ia tidak tahu bahwa kiamkek yang dimaksudkan Siangkoan Thian Ya itu adalah Hian Kee It soe sendiri, kakek gurunya.

   Sedang si nona yang tersia-sia cintanya adalah si nyonya tua yang ia telah ketemukan di dalam hutan bambu Tjietiok lim itu, seorang she Siauw, namanya Oen Lan.

   Di kamar tulisnya Siangkoan Thian Ya ada bunga tjielan, itulah bunga pujaannya, untuk tanda bahwa ia masih menyintai dan menghargai nona itu.

   Keterangannya Siangkoan Thian Ya itu ada bahagian-bahagian yang tidak cocok dengan kenyataannya.

   Ia benar menyintai Nona Oen Lan, akan tetapi Hian Kee Itsoe sama sekali tidak menyintai nona itu.

   Yang benar adalah di antara Hian Kee Itsoe dan Siauw Oen Lan tidak ada kecocokan pendapat, sama sekali bukannya soal cinta.

   Nona Siauw kosen sejak ia masih muda, iapun sangat cantik, karena itu, di dalam hatinya telah timbul suatu pikiran yang luar biasa.

   Ia menghendaki supaya semua orang gagah di kolong langit ini bertekuk lutut dihadapannya.

   Ia tidak mencintai Siangkoan Thian Ya, tetapi ia puas terhadap penjahat besar ini, yang senantiasa uber-uber padanya.

   Hian Kee Itsoe tidak setujui sifatnya Oen Lan itu, karenanya ia selalu menjauhkan diri, tetapi justeru itu, Oen Lan ingin sekali mendapatkan kesan baik dari si kiamkek.

   Tetap Oen Lan kepada cita-citanya yang luar biasa itu, malah belakangan, ia menjadi terlebih berkeras hati, hingga ia ingin supaya orang-orang gagah yang anggap dirinya tak ada tandingannya di dalam dunia ini, semua binasa karena dia.

   Atau sedikitnya, karena ia itu mereka nanti adu jiwa mereka.

   Begitulah, ia jadi menghendaki Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe bentrok satu dengan lain.

   Siangkoan Thian Ya sangat menyintai Nona Siauw, bahkan lebih dari itu, ia tergila-gila, karena mana, ia telah masuk dalam perangkap.

   Hian Kee Itsoe hendak menyingkir dari perangkap itu, akan tetapi ia didesak Siangkoan Thian Ya, kepada siapa ia sebaliknya tidak hendak beber rahasianya Oen Lan itu, sebab tak dapat ia menceritakannya.

   Maka kejadianlah pertandingan tiga hari tiga malam di puncak Ngobie San itu.

   Sesudahnya pertandingan, Hian Kee Itsoe lantas dapat anggapan tidak bagus terhadap sifat wanita, karena ini, hatinya jadi tawar, pikirannya berubah, maka selanjutnya, ia tidak sudi bergaul pula dengan Oen Lan, setiap si nona datang untuk cari padanya, ia menampik, tidak mau ia menemui, ia berpendapat nona itu lebih daripada ular berbisa.

   Oen Lan dapat merasakan sikapnya Hian Kee Itsoe itu, ia insyaf akan sepak terjangnya yang tidak tepat itu, maka di akhirnya, iapun lantas undurkan diri, ia pergi hidup menyendiri di hutan bambu itu, tak sudi ia muncul pula dalam dunia kangouw.

   Tentu saja tak tahu Tan Hong akan duduknya hal yang sebenarnya.

   Karena ia hanya dengar keterangan satu pihak, yaitu keterangannya Siangkoan Thian Ya, ia jadi beranggapan bahwa satu orang - satu pria - tidak seharusnya menampik cintanya satu nona yang menyintai dirinya demikian rupa.

   Karena anggapannya ini, ia juga anggap tidak selayaknya sikap In Loei itu, yang sudah sia-sia padanya...

   Akhir-akhirnya, karena terpengaruh Siangkoan Thian Ya, Tan Hong caci si kiamkek.

   Ia jadi cocok dengan si iblis ini, suka ia berdiam di rumahnya si iblis.

   Ia pun ingin sangat dapat ketika untuk beristirahat, untuk sembuhkan dirinya sendiri, supaya ia jadi sadar seperti biasa...

   Begitu lekas Siangkoan Thian Ya tinggalkan ia seorang diri, tiba-tiba Tan Hong ingat ceritera tentang pertandingan di atas puncak gunung Ngobie San itu.

   Ia ingat bahwa ia pernah dengar hal itu.

   Akan tetapi ketika ia coba memikirkannya lebih jauh, untuk mendapat kepastian, ia buntu pula.

   Ia cuma ingat samar-samar, di antara dua orang yang adu kepandaian itu, satu di antaranya ada hubungannya yang erat dengan ia...

   Siangkoan Thian Ya itu luas pengetahuannya, ia mengerti tentang ilmu syair dan bernyanyi, maka itu setiap hari, setiap kali ia masuk ke kamar tulisnya, bisa ia omong banyak dengan Tan Hong, maka mereka berdua cocok satu dengan lain.

   Ada kalanya, kapan mereka kembali pada soal cinta, keduanya suka menangis pula sambil saling rangkul.

   Demikianpun bila mereka bicara dari hal yang menggirangkan hati, mereka tertawa terbahak- bahak, bergelak-gelak.

   Baharu lewat beberapa hari, hati pepat dari Tan Hong dapat juga sedikit reda.

   Ia telah dapatkan orang atau kawan dengan siapa ia bisa tumplakkan segala isi hatinya.

   Karena ini, dengan perlahan, ia mulai sadar banyak.

   Demikian itu hari, tengah ia berpikir seorang diri di dalam kamarnya, teringatlah ia janji gurunya untuk ia pergi mendaki sebuah gunung untuk menemui satu iblis kepala.

   Hanya ia tak tahu siapa namanya iblis itu.

   Ia lantas berpikir untuk cari Siangkoan Thian Ya, guna minta keterangan kalau-kalau "sahabat"

   Ini ketahui tempatnya si Kepala Iblis yang liehay di gunung ini. Tapi, sebelum ia bertindak keluar, dari luar ia telah dengar suara nyaring dari Siangkoan Thian Ya, dan dari suaranya itu rupanya orang tua itu sedang umbar tabiatnya.

   "Ouw Bong Hoe, apakah kau masih ada nyalimu untuk menemui aku?"

   Demikian Tan Hong dengar suara orang yang keras. Seorang, dengan suara sabar, menyahuti Siangkoan Thian Ya, katanya.

   "Sejak aku meninggalkan rumah perguruan, belum pernah aku melupai soehoe. Ilmu silat Ittjie sian yang soehoe ajarkan kepadaku, aku pun berlatih terus setiap hari, tidak pernah lengah. Maka itu, aku mohon soehoe suka terima aku kembali..."

   "Untuk mempelajari ilmu silat yang paling liehay itu, seorang dilarang menikah seumurnya dia,"

   Berkata orang tua itu.

   "akan tetapi kau mempunyai rasa cinta, napsu birahi, maka itu kau telah lakukan satu pelanggaran besar, melanggar sumpahmu ketika kau baharu masuk rumah perguruan. Karena pelanggaranmu itu, tak dapat kau tetap tinggal di sini! Jikalau kau tidak berhasil mempelajari ilmu yang liehay, kau tidak dapat tandingi murid-muridnya Hian Kee Itsoe, karenanya, apakah muka terangku tidak bakal dibikin rusak olehmu?"

   "Aku sumpah, sejak sekarang aku tidak akan menyinta pula,"

   Berkata orang itu.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ingin aku berlatih terus, untuk menebus kesalahanku itu dengan jasaku..."

   "Apakah jasamu itu?"

   "Aku telah dapat ketahui rahasianya ilmu silat Hian Kee Itsoe,"

   Sahut orang yang dipanggil Ouw Bong Hoe itu.

   "Rahasia apakah itu? Coba kau jelaskan!"

   Siangkoan Thian Ya bicara secara tawar tetapi terang, hatinya tertarik.

   "Di luar Ganboenkwan aku pernah tempur muridnya Hian Kee Itsoe,"

   Menerangkan orang yang ingin masuk pula dalam rumah perguruannya itu.

   "nyata mereka itu tidak beda banyak daripada muridmu, hanya mereka ada punya semacam ilmu silat yang liehay sekali..."

   "Ilmu silat apakah itu?"

   Tanya Siangkoan Thian Ya. Ia jadi semakin bernapsu.

   "Benarkah itu dapat dibandingkan dengan ilmu silatku Ittjie sian?"

   "Ilmu itu tak sama dengan Ittjie sian. Ilmu mereka itu ada semacam ilmu silat pedang, ialah dua pedang dapat digabung menjadi satu - siangkiam happek - liehaynya bukan main..."

   "Ah!"

   Siangkoan Thian Ya berseru tertahan.

   "Apa? Siangkiam happek? Aku tidak percaya jikalau ilmu itu tidak ada tandingannya di kolong langit ini!"

   Akan tetapi suaranya itu ada mengandung kesangsian besar. Tan Hong dengar itu, iapun bersangsi, ia heran. Tiba-tiba saja, ia bagaikan tersapu lenyap selapis kabut yang menutupi kesadarannya. Maka berpikirlah ia dalam hati kecilnya.

   "Tjouwsoe-ku, yakni Hian Kee Itsoe, dan siangkiam happek itu adalah ilmu silatku berdua In Loei! Ah, kiranya dia inilah si iblis yang guruku hendak menjumpainya!..."

   Oleh karena ia ingat demikian, pemuda ini jadi dapat berpikir pula.

   "Nyata aku telah tinggal bersama iblis ini untuk beberapa hari! Bukankah dia tidak mempunyai sesuatu yang harus dibuat jeri?... Tetapi, tak tahu apa sebabnya tjouwsoe telah bermusuhan dengan dia ini? Ah, bukankah ceritera yang ia tuturkan itu, ialah kedua orang kosen yang masing- masing anggap dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini, ada mengenai diri mereka berdua? Jadinya dia dan tjouwsoe-ku adalah yang dimaksudkannya itu?"

   Tan Hong seorang yang cerdas, dengan kesadarannya ini, tepatlah terkaannya itu. Setelah itu, ia lantas berpikir lebih jauh. Tengah ia berpikir, kembali ia dengar suara keras dari si orang tua.

   "Siapakah yang mengajak kau mendaki gunung ini? Apakah Sian In si budak itu?"

   "Benar dia,"

   Sahut orang yang dibentak itu.

   "Soehoe jangan kuatir, kepada soemoay itu tidak akan aku bicara pula perihal perjodohan!"

   Tapi si orang tua masih membentak.

   "Sebelumnya kau menghadap aku, kau telah berjanji dan bertemu dengan soemoay-mu itu, ini juga ada suatu pelanggaran! Tahukah kau kesalahanmu ini? Maka sekarang aku hukum kau berdiam dan berpikir di dalam kamar samedhi, tanpa titahku, aku larang kau sembarang keluar!"

   Guru ini mencaci tetapi toh ia terima muridnya itu, maka juga Ouw Bong Hoe jadi sangat girang, ia paykoei terhadap gurunya itu sambil menghaturkan terima kasihnya. Tan Hong mendengari pembicaraan dua orang itu, ia pikir.

   "Orang tua ini tidak pantas perbuatannya. Dia sendiri telah jadi kurbannya cinta, sekarang dia larang murid-muridnya bicara tentang hal pernikahan!"

   Siangkoan Thian Ya kurung Ouw Bong Hoe di kamar samedhi, setelah itu ia pesan pelayannya.

   "Aku juga hendak bersamedhi di dalam kamarku, maka itu kecuali muridnya Hian Kee Itsoe yang datang kemari, aku larang kau ganggu aku."

   Kemudian suasana menjadi sunyi.

   Tan Hong sendiri terus berpikir, ia tidak puas untuk perlakuannya si orang tua terhadap muridnya itu, Ouw Bong Hoe.

   Maka itu ia lantas keluar dari kamarnya.

   Ia hampirkan satu pelayan, ia tanya di mana orang tadi dikurungnya.

   Pelayan itu tahu, orang asing ini adalah orang dengan siapa gurunya biasa bergaul sangat rapat, walaupun dia belum tahu siapa sebenarnya orang ini, tidak berani dia mendusta, malah dia ajak Tan Hong ke kamar samedhi, dia sendiri yang mengetok pintu sambil berkata.

   "Ada satu sahabatnya gurumu datang menengoki. Inilah untungmu yang bagus. Apa kesukaranmu, kau boleh tuturkan kepada sahabat gurumu ini, supaya dia dapat tolong bicarakan kepada gurumu itu."

   Heran Ouw Bong Hoe di dalam kamarnya mendengar perkataannya pelayan itu.

   "Tingkat derajat dari soehoe ada sangat tinggi,"

   Begitu ia berpikir.

   "kecuali Hian Kee Itsoe, sekarang ini siapapun tak dapat dibandingkan dengan soehoe, tiada yang berhak untuk disebut sahabatnya! Siapakah orang ini? Agaknya, menurut suaranya si pelayan, dia adalah orang yang soehoe hormati..."

   Segera pintu dibuka, dan Tan Hong terus bertindak masuk yang terus ia rapatkan pula pintunya. Ketika Ouw Bong Hoe angkat kepalanya dan melihat orang yang masuk itu, ia menjublak.

   "Hai, kau, kau!"

   Katanya.

   "Bukankah kau Thio Tan Hong muridnya Tjia Thian Hoa?"

   Tan Hong tepuk kepalanya, lalu ia tertawa besar.

   "Tidak salah, guruku adalah Tjia Thian Hoa!"

   Ia kata.

   "Ya, Tjia Thian Hoa itu ialah guruku!"

   Ouw Bong Hoe heran. Ia tampak orang berbeda dari biasa, seperti orang hilang ingatannya.

   "Guru kita bermusuhan satu dengan lain, kau juga adalah musuhku, kau tahu atau tidak?"

   Ia tanya.

   "Tidak salah, kamu adalah musuh kami!"

   Sahut Tan Hong.

   "Ya, aku ingat sekarang! Dua kali kau pernah bertempur dengan aku, satu kali di dalam pasanggrahan gunung, satu kali lagi di luar kota Ganboenkwan!"

   Tan Hong ingat tentang pertempurannya itu, tetapi samar-samar ia masih ingat bahwa, pertempuran itu bukan disebabkan urusan guru mereka.

   "Dan kenapa kau bisa tiba di sini?"

   Ouw Bong Hoe tanya. Tan Hong angkat kepalanya, ia bersenanjung.

   "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Ah, apakah kaupun bukannya kurban sang cinta?"

   "Eh, apa kau bilang?"

   Ouw Bong Hoe tanya.

   "Jikalau kau bukannya kurban cinta, mengapa kau sia-siakan soemoay-mu?"

   Bong Hoe heran dan tertarik hatinya. Kata-kata orang tepat menusuk hatinya.

   "Siapa bilang aku mensia-siakan soemoay-ku itu?"

   Tanyanya.

   "Habis kenapa kau takut membicarakan urusan pernikahan dengannya?"

   Tan Hong membaliki.

   "Ha, kau tak tahu!"

   Berkata Ouw Bong Hoe.

   "Kaum kami ada punya ilmu silat yang sempurna, untuk itu kami lindungi kehormatan kami supaya tetap kami menjadi seperti satu perjaka, sebab satu kali kami menikah, kami tidak dapat pelajari ilmu kepandaian itu..."

   Thio Tan Hong tertawa - tertawa besar.

   "Mana ada tjenglie sebagai itu!"

   Katanya.

   "Itulah hanya dapat terjadi jikalau kau menuntut ilmu yang sesat, bukannya ilmu sejati. Mari, akan aku bikin kau dapat membuka matamu."

   Dari dalam sakunya, Tan Hong keluarkan kitabnya, kitab Hiankong Yauwkoat.

   "Akan aku pinjamkan kitabku ini kepadamu,"

   Ia berkata.

   "kau yakini ini untuk dijadikan pokok dari ilmu silatmu, sehabis itu baharulah kau meyakini ilmu silat Ittjie sian itu. Seandainya gurumu melarang pula kau bicara urusan pernikahanmu, kau perlihatkan kitab ini kepadanya, apabila tetap dia tidak memberikan ijinnya untuk kamu menikah, nanti aku hajar padanya, aku akan robek juga sepasang liari yang ia tulis dengan tangannya sendiri itu!"

   Tak kepalang girangnya Ouw Bong Hoe. Memang sudah sejak lama ia ingin dapatkan kitab yang luar biasa itu. Menampak lagak Tan Hong yang seperti tak beres otaknya, ia kuatir orang nanti menyesal. Maka lekas-lekas ia berkata.

   "Baik, baik! Terima kasih banyak untuk kebaikanmn ini! Sekarang lekas kau kembali, kuatir guruku mempergoki kita, nanti dia tegur kau."

   Tan Hong tertawa besar, ia terus kembali ke kamar tulis.

   Ia merasa sangat puas.

   Ia mencoba berpikir pula, ia menjadi lelah karenanya, tanpa merasa, ia letakkan kepalanya di atas meja dan tertidur.

   Tak tahu ia berapa lama ia sudah tidur, ia hanya terbangun dengan tiba-tiba ketika kupingnya mendengar suara beradunya alat senjata.

   Ia lantas saja lompat bangun, akan lari keluar kamar.

   Ia tidak tampak satu pelayan jua.

   Ia lari ke kamar samedhi, ia segera pentang pintunya.

   Di situ Ouw Bong Hoe pun tak ada.

   Maka ia keluar dari rumah itu.

   Setibanya ia di luar, ia tampak di bawah sebuah pohon besar tiga orang tengah bertempur, yaitu seorang pria dan seorang wanita, masing-masing bersenjatakan pedang panjang sedang mengerubuti Siangkoan Thian Ya.

   Iapun segera kenali sepasang pria dan wanita itu, ialah Tjia Thian Hoa, gurunya, serta Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya In Loei.

   Dan di samping mereka itu, berdiri menonton, tampak Ouw Bong Hoe serta beberapa pelayan.

   Tjia Thian Hoa dan Hoeithian Lionglie juga segera dapat lihat si anak muda, yang muncul dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, mereka nampaknya heran.

   -ooo00dw00ooo- Bab XXVIII Benar-benar hebat serangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng itu, pedang mereka menyambar-nyambar dengan sama imbangannya, kedua pedang sebagai juga tergabung menjadi satu.

   Tan Hong masih merasakan matanya seperti kabur, tidaklah heran apabila Ouw Bong Hoe, apapula beberapa pelayan itu, bagaikan tidak melihat tubuh orang, hanya bayangannya saja.

   Mereka ini cuma bisa memandang dengan mata diam dan lidah diletletkan...

   Begitu hebat serangannya Thian Hoa berdua, akan tetapi Siangkoan Thian Ya pun telah memperlihatkan kepandaiannya yang sempurna sekali.

   Dia melayani dengan sepasang tangan tanpa senjata, dia mempertunjukkan kelincahan tubuhnya serta kesehatannya kedua belah tangannya itu.

   Dia tidak hanya berkelit, diapun dapat membalas menyerang, yang setiap kali mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya dari kedua lawannya itu.

   Nampaknya si hantu bagaikan terkurung pedang-pedang lawan, akan tetapi Tan Hong dapat melihatnya dengan nyata bahwa si hantu senantiasa dapat pecahkan serangan- serangan berbahaya dari siangkiam happek, nampaknya gampang saja dia mengelakkan diri, hingga terlihat tegas dia ada jauh terlebih liehay apabila dibandingkan dengan si nyonya tua dari rimba bambu tjietiok lim.

   Menampak keadaan itu, Tan Hong kuatiri gurunya serta kawan gurunya itu.

   Di pihak lain, di dalam hatinya Siangkoan Thian Ya juga menjadi heran sekali hingga sekarang ia menginsafi benar-benar keterangan Tan Hong bukan omong kosong belaka perihal liehaynya ilmu pedang siangkiam happek itu.

   Jadi benarlah, di dalam dunia ini, ada semacam ilmu pedang yang liehay.

   "Apabila aku belum mencapai puncaknya kesempurnaan, pasti aku dengan lekas dapat dipecundangi,"

   Demikian dia berpikir di dalam hatinya.

   "Jikalau muridnya saja sudah demikian hebat, dapatlah diduga bagaimana liehaynya guru mereka..."

   Siangkoan Thian Ya mau tidak mau, mengagumi juga Hian Kee Itsoe.

   Sementara itu, karena herannya mereka menampak Tan Hong muncul dengan tiba-tiba dan munculnya juga dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, dengan sendirinya gerakannya Thian Hoa dan Eng Eng menjadi kendor, ketika baik ini segera digunakan oleh Thian Ya untuk mendesak, hingga mereka kena dipukul mundur beberapa tindak.

   Tentu saja, dengan sendirinya mereka menjadi bergelisah.

   Setelah berhasil dengan desakannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak mendesak terlebih jauh, hanya sambil berpaling kepada Tan Hong, yang ia tampak muncul, ia berseru.

   "Thio Tan Hong, kiranya kau juga termasuk muridnya Hian Kee Itsoe! Baiklah, kau pun boleh maju bersama!"

   Sampai itu waktu, Tan Hong telah sadar dan ingat benar akan janji gurunya untuk ia datang ke gunung ini, untuk bersama In Loei membantui guru mereka menandingi hantu itu, akan tetapi ia toh merasakan bagaimana manis budinya Siangkoan Thian Ya terhadapnya hingga ia beranggapan si hantu bukanlah hantu yang jahat.

   Malah ia menjadi berpikir.

   "Berhubung dengan dongengnya Siangkoan Thian Ya ini, antara dia dan soetjouw-ku, siapakah yang dapat disebut si kiamkek atau pendekar? Dia atau soetjouw-ku itu?"

   Dengan menyekal pedangnya, Tan Hong diam mengawasi ketiga orang itu. Menampak demikian, Ouw Bong Hoe menghampirkan, ia tepuk pundak orang.

   "Eh, marilah kitapun bertempur satu dua gebrakan!"

   Dia berkata.

   "Ya, aku mengucap terima kasih kepadamu yang telah pinjamkan aku kitabmu Hiankong Yauwkoat itu!"

   Ouw Bong Hoe bukan menantang benar-benar, ia hanya kuatirkan Tan Hong. Ia berkuatir anak muda ini masih belum sempurna ilmu silatnya hingga tidak akan sanggup melayani gurunya yang liehay itu, karena itulah, hendak ia menalangi gurunya.

   "Kita berdua tidak bermusuh, untuk apa kita bertempur?"

   Tan Hong tolak tantangan orang itu.

   "Eh, ya, bagaimana asal usul gurumu itu? Dia sebenarnya satu kiamkek atau satu penjahat?"

   Ouw Bong Hoe melongo karena mendengar kata-kata orang itu.

   Ia mau percaya, pada sejenak ini, si anak muda telah kumat gangguan otaknya...

   Tan Hong mengawasi, agaknya hendak ia menegaskan Bong Hoe, tapi mendadak perhatiannya tertarik oleh suara beradunya senjata, yang datang dari lain arah, ialah dari belakang bukit.

   Dari mana tertampak dua pria dan seorang wanita tengah bertempur sambil mendatangi ke arah mereka.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kedua pria itu terdesak oleh si wanita yang tangan kirinya memegang gaetan kimkauw dan tangan kanannya menyekal pedang.

   Setelah mereka itu mendatangi semakin dekat, Tan Hong segera kenali kedua pria itu adalah Tiauw Im Hweeshio yang kepalanya gundul dan Tjinsamkay Pit To Hoan yang mukanya hitam legam.

   Itu hari selagi Tiauw Im Hweeshio berada di luar kota Ganboenkwan dengan menyangsikan Tjia Thian Hoa sudah berubah pikiran dengan menyerah kepada musuh, saudara mana tak dapat ia susul, hingga ia mesti jalan mundar mandir di tengah tegalan datar rumput, secara kebetulan ia ketemu Pit To Hoan, maka bersama-sama mereka lalu pergi ke gedungnya Thaysoe Yasian untuk mengacau, sampai mereka dapat dicari Tang Gak, siapa telah menjelaskan kepada adik seperguruan itu perihal sepak terjangnya Thian Hoa.

   Pendeta ini percaya soeheng-nya, sang kakak seperguruan, dapat dikasih mengerti, maka sejak itu, ia mempercayai Thian Hoa.

   Ia menjadi menyesal atas keliru mengertinya itu.

   Kemudian Tang Gak pisahkan diri dari mereka, yang diminta pergi ke gunung Tangkula untuk menepati janji akan menemui Siangkoan Thian Ya.

   Nyatalah mereka telah ketinggalan oleh Thian Hoa.

   Selagi mendaki gunung, mereka bersomplokan dengan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In, muridnya si hantu, karena kedua pihak berselisih omong, mereka jadi bertempur.

   Kimkauw Siantjoe adalah murid terpandai dari Siangkoan Thian Ya, kegagahannya sebanding dengan Tjia Thian Hoa atau Yap Eng Eng, maka dalam pertempuran itu, walaupun Tiauw Im dibantui Pit To Hoan, mereka tetap terdesak, sehingga mereka main mundur dengan mendaki ke atas, ke arah rumahnya Siangkoan Thian Ya.

   Dengan demikian mereka tiba di tempat pertempuran itu.

   Siangkoan Thian Ya pun segera lihat rombongan itu, lantas saja ia perdengarkan suaranya.

   "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Bagus! Mari maju kamu semua sama mengepung aku! Asal kamu bisa lawan seri padaku maka akan aku biarkan Hian Kee si tua bangka itu menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan!"

   Selagi gurunya menantang demikian rupa, Lim Sian In telah desak pula kedua lawannya itu, tiga kali beruntun ia menyambar dengan gaetannya, disusul dengan dua kali tikaman pedangnya, karena mana ia membikin Tiauw Im dan To Hoan menjadi kewalahan melindungi diri mereka, hampir saja mereka rubuh terguling sedang napas mereka memburu keras sekali.

   Menampak demikian, Lim Sian In kata sambil tertawa.

   "Dua orang ini tak usahlah soehoe yang berikan pengajaran! Sekarang biarkan dahulu mereka beristirahat, sebentar akan aku suruh mereka melayani kembali padaku!"

   Tiauw Im dan To Hoan adalah bangsa berangasan, mereka jadi sangat gusar, maka keduanya lantas lompat kepada Kimkauw Siantjoe, untuk menyerang pula.

   Akan tetapi belum lagi mereka sampai ke pada nona itu, Thio Tan Hong telah tiba dihadapan mereka.

   Anak muda ini mengawasi dengan mendelong, romannya sangat beda daripada biasanya, seorang diri dia berkata-kata.

   "Ini, ini toh Djiesoepee... Ini, ini..."

   "Hai, Thio Tan Hong!"

   Pit To Hoan memotong.

   "Kau kenapakah? Apakah kau sudah tidak kenali kami? Aku toh Tjin..."

   Sekonyong-konyong Tan Hong tepuk kepalanya! "Ya, tidak salah!"

   Ia berseru keras sekali.

   "kau benar Tjinsamkay Pit To Hoan!"

   Tiauw Im pun segera berkata.

   "Tan Hong, aku telah menginsafi maksudnya gurumu, dulu hari kau telah berlaku tidak hormat kepadaku, tentang itu aku tidak tarik panjang pula. Kenapa kau tidak membantui gurumu itu?"

   Tan Hong awasi paman guru yang kedua ini, ia tidak menyahuti. Otaknya tengah berkutat, keras sekali ia berpikir, untuk mengingat-ingat.

   "Apakah yang dikandung guruku di dalam hatinya?..."

   Demikian berulangkah ia tanya dirinya.

   Samar-samar ia ingat yang gurunya itu berdiam di ibu kota negara Watzu di dalam sebuah gedung besar di mana pun ada sebuah taman bunga yang besar juga, di situlah gurunya ajarkan ia ilmu silat pedang.

   Ingat akan hal ini, lantas ia ingat tentang peperangan di antara kedua kerajaan Beng dan negara Watzu itu.

   Ia lantas mengingat-ingat terus, sampai tiba-tiba ia dibikin terperanjat oleh suara bentrok yang keras dari alat senjata, hingga segera ia berpaling ke arah itu, ternyata suara itu datangnya dari beradunya pedangnya Thian Hoa dengan pedang Eng Eng karena tersampok tangan bajunya Thian Ya, hingga ilmu silat siangkiam happek yang liehay dari kedua saudara seperguruan itu menjadi kalut karenanya.

   Menampak itu, Tiauw Im pun menjadi kaget sekali, hingga ia berteriak.

   "Tan Hong, masih kau tidak lekas maju?"

   Dan, sambil angkat tinggi tongkatnya, ia pun lompat. Akan tetapi ia segera dirintangi Kimkauw Siantjoe yang sambar ia dengan tangan kiri dan menikam dengan tangan kanan. Masih Tan Hong tak sadar akan dirinya.

   "Djiesoepee,"

   Dia tanya.

   "soetjouw kita itu penjahat atau pendekar pedang?"

   Tiauw Im menjadi sangat mendongkol hingga ia lompat berjingkrak.

   "Hai, Tan Hong, apakah kau sudah gila?"

   Dia berteriak.

   Tan Hong pegangi gagang pedangnya, yang ia usap-usap.

   Masih ia terbenam dalam kesangsian.

   Justeru itu dari sebuah tikungan terlihat lagi munculnya dua orang.

   Menampak mereka itu, anak muda ini berdenyut jantungnya, darahnya seperti bergolak.

   Dua orang itu adalah satu nona yang sedang pepayang seorang lelaki tua yang kakinya pincang, hingga sukar jalannya mereka itu.

   Dan mereka itu adalah In Loei dan ayahnya! Tan Hong merasakan ia seperti tengah bermimpi.

   "Adik kecil! Adik kecil!"

   Ia memanggil berulang-ulang, tanpa ia merasa.

   Air mukanya si nona menjadi berubah, air matanya lantas saja mengembeng.

   Dia mengawasi kepada si anak muda akan tetapi mulutnya tetap rapat, tak sepatah kata jua keluar dari mulutnya.

   Ayah In Loei itu berjalan dengan bantuan tongkat dan gadisnya, tindakannya dingkluk-dingkluk.

   Ia mendaki dengan susah payah, akan tetapi kedua matanya bersinar tajam waktu mengawasi Tan Hong.

   Pada kedua matanya itu nyata ada sinar dari kebencian yang sangat, hingga Tan Hong, walaupun nyalinya besar, merasa bergidik sendirinya.

   Justeru itu terdengarlah suara nyaring dari Tiauw Im Hweeshio.

   "Hai! Siapakah kau?"

   Teriaknya.

   "Eh, bukankah kau soetee In Teng? Eh, apakah kau belum mati?"

   Sehabis berseru, pendeta ini lompat kepada orang pincang itu, ia menubruk dan memeluknya, berbareng dengan mana, air mata mereka lantas saja bercucuran deras.

   In Loei berdiri mengawasi, ia juga tak dapat mencegah keluarnya air matanya.

   Tan Hong mengawasi nona itu, ketika mata mereka bentrok, si nona lekas-lekas melengos.

   Tiauw Im bertabiat keras akan tetapi besar kesayangannya kepada adik seperguruannya.

   Sesudah berisak-isak sekian lama, ia menghela napas.

   "Baharu sepuluh tahun kita tidak bertemu, mengapa kau jadi begini rupa?"

   Katanya, suaranya menyatakan terharunya hatinya.

   Pendeta ini ada terlebih tua beberapa tahun daripada In Teng akan tetapi sekarang rambutnya soetee ini telah pada putih, tubuhnyapun sangat loyo, hingga ia nampaknya jadi terlebih tua daripada soeheng-nya itu.

   Lalu, dengan tak putus-putusnya, Tiauw Im menanyakan soetee-nya itu.

   In Teng ketahui dari gadisnya bahwa di atas gunung Tangkula ini bakal dilakukan pertempuran, untuk mana saudara-saudara seperguruannya telah menjanjikan suatu pertemuan, walaupun ia menduga pasti Tan Hong akan turut hadir juga tetapi karena keras keinginannya untuk menemui saudara-saudara seperguruannya itu, ia tidak hiraukan perjalanan yang sukar, ia minta sang anak bantu padanya.

   Demikian mereka melakukan perjalanan selama belasan hari, selama itu mereka sama-sama bertahan hati untuk tidak menimbulkan atau membicarakan hal yang mengenai keluarga Thio.

   Sejak hari pertama itu, In Teng sudah tahu yang gadisnya menaruh hati terhadap Tan Hong, akan tetapi sejak hari itu, ia mencoba mengawasi dirinya sendiri, tidak ia timbulkan pula urusan mereka, tidak ia tegur puterinya.

   Akan tetapi sang puteri, In Loei, dapat terka hatinya ayahnya itu, sebagaimana ia lihat dari wajahnya, ia lantas merasa bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi akan dapat berkumpul bersama si anak muda pujaannya itu.

   Ia merasa hatinya bagaikan disayat-sayat.

   Ia merasa sakit untuk dua hal, yaitu kesatu karena nasib ayahnya dan kedua, karena nasibnya sendiri.

   Diam-diam ia sering menepas air mata sendiri.

   Selagi kedua pemuda-pemudi itu bersusah hati masing-masing, keduanya dibikin terkejut oleh suara beradunya senjata tajam, ketika mereka menoleh mereka tampak kedua pedangnya Thian Hoa dan Eng Eng kena disampok ujung bajunya si hantu.

   Inilah untuk kedua kalinya Tan Hong menyaksikan pedang gurunya itu dibikin tak berdaya oleh Siangkoan Thian Ya, yang ilmu silat bertangan kosongnya benar-benar sangat liehay.

   In Loei terkejut, karena berbareng ia pun dengar jeritannya Tiauw Im Hweeshio, sedang gurunya, ia dapatkan, nampaknya sangat gelisah.

   Ia menjadi nekat dengan tiba-tiba, ia lompat maju, pedangnya dihunus - pedang Tjengbeng kiam.

   "Lekas mundur!"

   Berteriak Yap Eng Eng kepada muridnya itu. Siangkoan Thian Ya lihat majunya si nona, ia hempaskan tangannya.

   "Nona kecil, kau juga hendak membantu meramaikan?"

   Katanya.

   Tidak keras hempasan itu, akan tetapi itu pun sudah cukup membuat In Loei rasakan telapak tangannya sakit, sampai hampir saja pedangnya terlepas dan terpental.

   Justeru itu waktu, satu bayangan putih berkelebat masuk dalam kalangan, lalu terlihat majunya Tan Hong.

   Siangkoan Thian Ya lantas saja tertawa gelak-gelak.

   "Kau juga maju?"

   Dia menanya.

   Tjia Thian Hoa membabat selagi si hantu menegur Tan Hong, atas mana, hantu itu mengebut pula dengan ujung bajunya.

   Kalau tadi Thian Ya menghempas In Loei dengan tangan kanan, sekarang ia menggunakan tangan kirinya.

   Serangan si nona disusul cepat oleh si pemuda, karenanya, ujung baju kanannya Thian Ya belum sempat ditarik pulang anteronya, ia dipaksa harus menangkis pemuda itu.

   "Breeet!"

   Demikian terdengar, lantas ujung tangan baju si hantu kena terbabat kutung pedangnya Tan Hong! Maka terkejutlah hantu dari gunung Tangkula itu.

   Tapi ia sangat tabah, segera ia mengebut pula, hingga ia membuatnya ke empat pedang dua pasang lawannya itu bentrok pula satu pada lain.

   "Sungguh sebuah pedang yang tajam!"

   Ia berseru. Tan Hong tidak pedulikan perkataan itu, seperti juga ia sudah berjanji, berbareng sama In Loei, ia terus maju pula menyerang. Dari terpencar pedang mereka berdua lantas tergabung pula. In Loei gunakan tipu silat "Lioeseng kangoat"

   Atau "Bintang mengejar rembulan", dan Tan Hong dengan "Pekhong koandjit"

   "Bianglala putih menutupi matahari". Kedua pedang itu mengarah masing- masing muka dan dada si hantu, kedua sinarnya, hijau dan putih, berkelebat bersilang. Siangkoan Thian Ya mundur tiga tindak karena serangan berbareng itu, tangan bajunya yang panjang turut digerakkan juga, kemudian secara tiba-tiba, ia balas menyerang. Luar biasa sekali cara menyerangnya itu. Tan Hong tidak berani melayani, ia berkelit ke samping. Thian Ya bergerak terus, kali ini untuk hindarkan serangannya Thian Hoa dan Eng Eng, yang menggantikan murid mereka untuk maju menyerang. Pertempuran lantas berlangsung dengan dahsyat sekali. Siangkoan Thian Ya dikepung empat lawan, yang masing-masing mainkan pedang- pedang tergabung. Pedang ada empat buah tetapi nampaknya seperti sepasang, atau setiap saat seperti berada di depan, di belakang, di kiri dan di kanan. Atau di lain saat lagi, ke empat pedang, seperti terpecah menjadi berlipat banyaknya, hingga si hantu jadi kena dikurung. Sekarang terlihat tegas kepandaiannya orang she Siangkoan ini. Walau ia dikurung musuh-musuh tangguh, dapat ia melawannya dengan baik, dapat ia gunai ketika untuk membalas menyerang. Gesit luar biasa, ia berkelebatan di antara sambaran- sambaran pedang. Tiauw Im menjadi lupa mementang mulutnya, dengan pegangi In Teng, ia berdiri diam mengawasi pertempuran itu. Juga Lim Sian In dan Ouw Bong Hoe berdiri menonton dengan mata mereka dibuka lebar-lebar dan mulut menganga, tanpa merasa keduanya telah saling senderkan tubuh mereka... Dalam saat-saat sangat dahsyat itu, Ouw Bong Hoe seperti tersadar ketika ia dengar satu suara, apabila ia berpaling dengan segera, ia lihat satu orang tua berumur kira-kira lima puluh tahun, berlari-lari mendatangi. Orang itu dandan sebagai petani, kedua tangannya memegang serupa barang. Ketika ia sudah lihat tegas orang itu, ia terkejut. Ia kenali Kimkong Tjioe Tang Gak, murid kepala dari Hian Kee Itsoe. Ia belum dapat melihat tegas barang apa yang dibawa Tang Gak itu, ia hanya menyangka orang tua itu hendak membantui saudara-saudara seperguruannya. Ia menjadi berkuatir untuk gurunya, maka juga tanpa berpikir lagi, ia lompat untuk menghalau, sambil gerakkan juga tangannya dengan totokan Ittjie sian.

   "Jangan kurang ajar!"

   Membentak Tang Gak sambil menangkis.

   Lim Sian In bergerak juga, untuk menarik saudara seperguruannya itu, akan tetapi ia terlambat, tangannya Ouw Bong Hoe telah bentrok tangannya Tang Gak, dengan kesudahan Bong Hoe lantas saja terpental jatuh jauhnya setombak lebih.

   Tang Gak berlari-lari terus, setibanya di tempat pertempuran, ia terus tekuk separuh dari kedua lututnya, kedua tangannya diangkat naik bersama barang yang ia bawa itu.

   Ia pun segera berkata.

   "Guruku menitahkan teetjoe menanyakan kesehatan loojianpwee."

   Nyata Kimkong Tjioe ada membawa karcis nama dari Hian Kee Itsoe.

   Ia telah bertindak menuruti aturan kaum kangouw, ia membuat kunjungan kehormatan terhadap orang yang terlebih tinggi tingkatnya.

   Menurut aturan, Ouw Bong Hoe tidak boleh merintangi, malah Siangkoan Thian Ya harus menyambutnya sendiri.

   Akan tetapi waktu itu ia justeru dikurung empat lawannya...

   Sekonyong-konyong terdengar si hantu tertawa gelak-gelak.

   "Tak usah menggunakan banyak adat peradatan!"

   Katanya nyaring.

   Lalu dengan tiba- tiba ia mengibaskan kedua tangan bajunya, menyusul mana, jari-jari tangannya menunjuk ke arah lawan-lawannya.

   Mendapatkan kibasan itu, dengan sendirinya Thian Hoa berempat segera lompat mundur.

   Siangkoan Thian Ya tidak hentikan gerakannya, tetapi ia bukan maju terus akan serang ke empat lawannya itu, ia hanya berlompat ke arah Tang Gak, untuk dengan kedua tangannya menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe.

   Gerakannya itu sangat cepat, bagaikan ular naga menyambar menyedot air! Tang Gak terperanjat, tetapi ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berlompat bangun, untuk terus berdiri di pinggiran.

   Di waktu itulah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, dengan berbareng telah perdengarkan jeritan yang mengerikan.

   Inilah disebahkan Tan Hong telah lompat maju dengan serangannya kepada Siangkoan Thian Ya, ujung pedangnya mengarah pundaknya hantu itu.

   Thio Tan Hong telah pahami kitab Hiankong Yauwkoat, ia telah peroleh hasilnya.

   Kitab itu berisikan penuntun atau pengajaran untuk si peyakin awas matanya, tajam otaknya, kuat ingatannya, demikianlah Tan Hong, dengan menyaksikan saja latihan orang lain, tanpa belajar pula dia telah dapat menyangkok kepandaian orang lain itu.

   Sekian lama Tan Hong sudah saksikan Siangkoan Thian Ya bertempur, ia lihat tegas gerak-gerakannya untuk menghalau pelbagai serangan siangkiam happek dari Thian Hoa dan Eng Eng, dengan sendirinya ia menginsafi ilmu silatnya si hantu itu, maka begitu ia turut maju bersama In Loei, ia dapat membuktikan sendiri liehaynya lawan.

   Mula-mula ia masih gunakan tipu-tipu dari siangkiam happek, untuk bersama si nona membantui guru mereka mendesak jago tua itu.

   Sayang baginya, lebih-lebih lagi In Loei, mereka masih kalah dalam hal latihan ilmu dalam, karena mana, ia tidak bisa mendesak dengan sungguh-sungguh terhadap lawannya yang tangguh itu, jikalau tidak, mungkin ia dapat membuatnya Siangkoan Thian Ya terperanjat.

   Siangkoan Thian Ya seorang yang besar nyalinya, dia pun biasa "suka menang sendiri,"

   Demikian di waktu menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe, ia telah pertontonkan ketangkasannya hingga ia membuatnya Tang Gak kagum.

   Walaupun demikian, di matanya Tan Hong, ia telah tinggalkan sebuah lowongan, karena mana, begitu dia mundur, Tan Hong terus lompat maju pula, untuk menyerang ke arah jalan darah kintjeng hiat di pundak kiri.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pedangnya itu pun segera disusul secara wajar oleh pedangnya In Loei, dan ujung pedang si nona menuju kepada jalan darah serupa di pundak kanan.

   Jalan darah kintjeng hiat itu adalah suatu jalan darah yang sangat berbahaya, siapa terluka pada bahagian itu, bisa rusak juga tulang piepee yang menyambung dengannya, dan itu artinya, akan habislah tenaga dilengannya dan kepandaian ilmu silatnya.

   Tjia Thian Hoa menjadi sangat girang menampak serangan murid itu, berbareng bersama Yap Eng Eng, iapun maju, untuk bantu menyerang juga.

   Begitu memang jalannya siangkiam happek, yang bergerak saling susul atau sewaktu-waktu bergerak berbareng.

   Di saat ujung pedangnya akan mengenai sasarannya, dan Tan Hong hendak mengucapkan maaf, akan tetapi belum sempat ia membuka mulutnya, ia sudah lantas dibikin terkejut oleh sambutannya Siangkoan Thian Ya.

   Pundaknya jago tua ini turun dengan mendadak, pedang Tan Hong seperti tertarik, lalu seperti terbetot dan menempel, hingga tidak dapat lantas ditarik pulang.

   Juga ujung pedang di waktu mengenai pundak rasanya seperti menikam kapas.

   Kejadian serupa dialami juga oleh In Loei.

   Thian Hoa dan Eng Eng tidak insyaf bahwa murid-muridnya tengah terancam bahaya, mereka menyerang terus.

   Mereka memang ada terlebih liehay ilmu dalamnya dibanding dengan murid-murid mereka itu.

   Dengan tiba-tiba Siangkoan Thian Ya berseru.

   "Bagus!"

   Terus kedua tangannya mengibas, ujung bajunya pun mengebut, dengan begitu kedua pedang Thian Hoa dan Eng Eng telah kena tersambar seperti tergulung, terbawa ke kiri dan kanan, hingga gagallah serangan mereka itu.

   Saat-saat yang hebat berpeta di depan mata.

   Kedua pihak telah menghadapi ancaman bencana masing-masing.

   Ke empat pedang seperti berdiam, juga si hantu diam tak bergerak.

   Kedua pihak sama-sama mengempos semangat masing-masing, yang satu mempertahankan kekangannya atas ke empat pedang, yang lain berdaya untuk membetotnya, untuk meneruskan menikam...

   Siangkoan Thian Ya liehay tetapi sekarang ia merasakan berat usahanya akan terus mempengaruhi senjata-senjata lawan-lawannya itu, yang ia niat rampas, atau sedikitnya membuat terlepas dan terlempar.

   Di lain pihak, Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In berdiri tercengang, mereka bergelisah di dalam hati.

   Tentu sekali mereka tidak berani maju, untuk memisahkan kedua pihak itu, untuk mana kepandaian mereka belum cukup...

   Dalam saat tegang itu, tiba-tiba terlihat Siangkoan Thian Ya mundur satu tindak, pundak kanannya diturunkan sedikit.

   Tubuh In Loei bergemetar, begitupun pedangnya.

   Dalam keadaan seperti itu, Thian Hoa dan Eng Eng mencoba akan mendesakkan pedang mereka, wajah mereka sendiri nampak sangat tegang, menandakan mereka telah memusatkan tenaganya.

   In Teng telah saksikan itu, hatinya goncang.

   Ia sangat berkuatir untuk gadisnya.

   Ia telah lihat ancaman bahaya yang hebat.

   Syukur ketegangan itu tidak, berjalan lama.

   Sekonyong-konyong terdengar satu suara tertawa yang wajar tetapi nyaring, di antara mereka tahu-tahu telah muncul satu orang tua! Orang tua ini beroman bersih, alis dan kumisnya telah putih semua, kulit mukanya bersemu dadu dan segar, mirip dengan kesegarannya satu bayi, sedang sikapnya alim tetapi berpengaruh.

   Kedatangannya orang tua ini telah membikin Tiauw Im bersama In Teng menjadi girang tak kepalang.

   "Soehoe."

   Teriak mereka dalam kegirangannya yang meluap-luap. Nyatalah orang tua itu Hian Kee Itsoe adanya! Orang tua ini bertindak dengan sabar ke arah kalangan pertempuran, sembari bertindak ia tertawa bergelak-gelak.

   "Hai, sahabat tua bangka!"

   Serunya.

   "Kau bergusar terhadap bocah-bocah, apakah artinya itu?"

   Ia tidak hanya bergurau, selagi datang mendekati iapun menggerak-gerakkan kebutan di tangannya, menyambar kepada ke empat pedang dari murid-murid dan cucu-muridnya, atas mana terdengarlah suara nyaring dari semua pedang itu, yang menjadi mental sendirinya.

   "Terhadap orang yang terlebih tua tak dapat kamu berlaku kurang hormat! Lekas mundur!"

   Semua ke lima orang itu melepaskan napas lega, lebih-lebih In Loei.

   Nona ini paling rendah tenaga dalamnya, ia sudah hampir tak dapat pertahankan diri, syukur baginya, Thian Hoa dan Eng Eng turut maju, ia jadi masih bisa mencoba bertahan terus.

   Di lihat keseluruhannya, pihak Thian Hoa menang sedikit di atas angin, tetapi karena ketangguannya Siangkoan Thian Ya, mereka tidak mampu berbuat lebih banyak daripada mempertahankan diri saja.

   Si hantu menghela napas, terus ia berkata.

   "Ah! Setelah lewat tiga puluh tahun, kita bertemu pula, nyata kau telah sempurnakan dirimu! Kau telah mempunyai murid-murid yang berbakat ini. Kini aku insyaf, sahabatku, mulai saat ini aku tak ingin pula memperebuti kedudukan ketua Rimba Persilatan denganmu!..."

   Hian Kee Itsoe tertawa pula.

   "Laohia, tak usah kau terlalu merendahkan diri,"

   Ia berkata.

   "Bicara sebenarnya akulah yang mesti mengalah!"

   Hian Kee Itsoe telah berdaya keras akan menciptakan ilmu silatnya ini, siangkiam happek, atau lebih benar Goangoan Kiamhoat, ia percaya pasti bahwa ia bakal menjagoi di kolong langit ini, akan tetapi di luar sangkaannya, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng berdua masih belum sanggup tunduki jago tua itu, si hantu dari Tangkula, baharulah setelah mereka dibantu Tan Hong dan In Loei, pertandingan menyampaikan tingkat seimbang.

   Karena itu, dengan sejujurnya, ia mesti kagumi si hantu itu, sebagaimana si hantu pun mengagumi padanya.

   Begitulah kedua pihak saling menyayangi, saling menghormati, keduanya saling memuji, saling merendah, tetapi selagi mereka berbicara, tiba-tiba mereka semua dengar satu seruan yang nyaring tapi halus, yang seperti mendengung di tengah udara, menyusul mana, di antara mereka segera tambah satu orang lain lagi! Tan Hong adalah orang yang melihat paling dulu dan segera ia kenali si nyonya tua dari hutan bambu tjietiok lim! Wajahnya Siangkoan Thian Ya lantas saja menjadi berubah, dari mulutnya pun terdengar suara sangat perlahan.

   "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..."

   Sekonyong-konyong Tan Hong majukan pertanyaan. Di antara kamu siapa sebenarnya yang disebut kiamkek dan si penjahat?"

   Mendengar itu, Thian Hoa terkejut.

   "Tan Hong ada satu anak baik, kenapa dihadapan kedua iootjianpwee ini ia berlaku begini tidak tahu aturan?"

   Tanya ia dalam hatinya. Ia pun heran akan menyaksikan roman orang beda daripada biasanya itu. Siangkoan Thian Ya tertawa, ia lantas berkata bagaikan menjawab Tan Hong. Ia kata.

   "Tjhuang Tze di siang hari bermimpikan kupu-kupu dan mimpi yang pendek paling gampang sadarnya, maka itu untuk apa kau menanyakannya lagi siapa si kiamkek dan siapa si penjahat? Hari ini si kiamkek dan si penjahat, apabila mereka tidak bertempur, tidak nanti mereka kenal satu pada lain, maka di sini terimalah hormatku!"

   Dengan tiba-tiba ia menjura terhadap Hian Kee Itsoe, sebelah tangannya dimajukan dengan jari-jari tangannya dikerahkan tenaganya, dalam ilmu silatnya Ittjie sian yang paling liehay! Siangkoan Thian Ya telah tersadar akan tetapi tetap ia masih mempunyai tabiat yang suka menang sendiri itu, walaupun ia sudah menyerah kalah tapi sekarang, melihat datangnya secara tiba-tiba nona kekasihnya dari tiga puluh tahun yang lampau, nona mana justeru mengawasi Hian Kee Itsoe dengan wajahnya bersenyum bukannya bersenyum, kumatlah cemburuannya, maka lagi satu kali hendak ia mencoba saingannya itu! Hian Kee Itsoe bersenyum, ia rangkap kedua tangannya untuk membalas hormat sambil menjura, kedua tangan itu dimajukan ke depan.

   Atas itu terlihatlah ujung bajunya si hantu bergerak bagaikan ditiup angin.

   Lantas saja tubuh gurunya Thian Hoa itu bergoyang dua kali, segera ia memberi hormat pula dengan dua tangannya terangkap sambil berkata.

   


Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini