Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 5


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Itulah semua yang terbayang di kepalanya In Loei selagi ia awasi kedua orang bertempur dengan seru dan ulet. Karena ia sangat cerdas, tiba-tiba ia ingat suatu hal. Ia pikir.

   "Kalau anak muda ini benar-benar sedang menggunakan Goangoan Kiamhoat, bila aku turut turun tangan, tidakkah musuh dapat segera dikalahkan?"

   Tengah In Loei berpikir demikian, ia dengar seruan Hek Moko, disusul dengan suaranya Thio Tan Hong, maka ia lantas awasi pula mereka itu.

   Sekarang ia tampak, suatu perubahan.

   Hek Moko tidak lagi bergerak dengan lincah dan hebat seperti tadi, sebaliknya, dia ayal bagaikan dia sedang menarik suatu benda berat seribu kati, tongkatnya bergerak-gerak ke timur dan barat dengan lambat, seolah- olah ia harus menggunakan sangat banyak tenaga.

   Di samping si hantu itu, Thio Tan Hong sudah lintangkan pedangnya di depan dadanya, wajahnya bersungguh- sungguh, terang dia tengah memusatkan semangatnya kepada tongkat lawan.

   Kedua lawan itu masih saling menyerang, tapi sekarang serangannya sama ayalnya.

   Mereka bagaikan tengah menghadapi hujan angin hebat yang baharu saja menjadi reda.

   Sedang sebenarnya, mereka benar-benar sedang adu kepandaian, mereka tengah memperlihatkan keliehayan mereka masing-masing.

   Setiap serangan merupakan serangan dari bahaya maut.

   Ilmu pedangnya Thio Tan Hong liehay tapi dia tak dapat menembusi pembelaan tongkat kemala.

   Menampak itu, In Loei insaf, orang she Thio itu masih kalah dalam hal Iweekang atau ilmu dalam dibanding dengan si hantu, hingga dia agaknya Cuma bisa melindungi diri saja.

   Ketika itu matahari dari musim semi sudah mulai naik, cahayanya menembus, masuk dari pintu kuburan yang digempur Thio Tan Hong, yang belum sempat ditutup pula, maka itu, cahayanya jadi mengganggu mata, lebih-lebih Thio Tan Hong, yang matanya tersorot sinar tepat sekali.

   Hek Moko dengan tongkatnya mendesak lawannya, serangan tongkat itu tiap-tiap kali perdengarkan suara angin.

   Dipihak sana, cahaya pedang dari Tan Hong jadi semakin kecil, sampai cahaya itu seperti berputaran di atas kepalanya saja.

   Adalah setelah itu, sambil berseru keras, si hantu hitam segera turunkan tangan jahatnya ke arah batok kepala orang! In Loei kaget, sampai ia menjerit.

   "Celaka!"

   Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw. Justeru itu, Tan Hong pun berteriak.

   "Hiantee, lekas lari!"

   Ketiga batang piauw menyambar dengan hebat, akan tetapi kesudahannya, tidak ada hasilnya.

   Ketiga piauw itu terpental ke lain arah, terkena sampokannya pedang dan tongkat yang sedang bergumul.

   Adalah pada waktu itu Pek Moko, si Hantu Putih, yang sedari tadi diam saja, sudah perdengarkan tertawa yang nyaring, berbareng dengan mana tubuhnya mencelat bagaikan terbang, menyambar ke arah In Loei - kedua tangannya yang panjang menyengkeram kepala orang! In Loei tangkis serangan itu, atau segera ia rasakan pinggangnya kaku, maka dengan gesit ia lompat sejauh setombak lebih.

   Ia keluarkan napas lega, dengan lintangkan pedangnya, ia memasang mata.

   Cepat luar biasa, pada tangan Pek Moko sudah tercekal sebatang Pekgiok thung, tongkat putih, dengan itu ia ulangi serangannya pada si orang she In ini.

   Maka itu, berdua mereka jadi bertempur.

   Pek Moko tidak tahu bahwa lawannya menyekal pedang mustika, ia baharu terkejut ketika ujung pedangnya menyambar pundaknya, hingga bajunya pecah, daging pundaknya turut terluka.

   Hasil In Loei ini didapat karena ilmu enteng tubuhnya, yang dapat bergerak dengan gesit dan lincah.

   Meski begitu, ia juga tak luput dari tangan si hantu putih, urat tjeksim hiat dibebokongnya telah tersapu.

   Syukur, karena keduanya sama-sama liehay, luka-luka mereka tidak berarti, mereka lanjutkan terus pertempuran mereka.

   Tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko sama tanggunya seperti tongkat Lekgiok thung dari Hek Moko, asalnya adalah dari batu-batu kemala dari India, di samping itu, tenaga dalam dari si Hantu Putih ini ada terlebih kuat daripada In Loei, maka itu, mengetahui tenaga besar dari lawannya tak mau si nona melayani keras dengan keras.

   Begitu, waktu ia diserang hebat, ia kelitkan diri.

   Pek Moko liehay, ia pun penasaran, ia perhebat serangannya.

   Ia desak lawannya hingga In Loei seperti terkurung cahaya putih dari tongkatnya itu.

   Tongkat itu panjangnya tujuh kaki, tetapi waktu digunakan, nampaknya seperti bertambah panjang satu tombak.

   Dengan tubuhnya yang enteng, In Loei berkelit dan mengegos tak hentinya dari hujan serangan, tetapi lama-lama, ia kewalahan juga.

   Adalah di luar dugaan Thio Tan Hong yang In Loei turun tangan, ia menjadi berkuatir untuk si nona.

   Itu pun sebabnya mengapa berulang kali ia anjurkan "pemuda"

   Itu untuk lekas angkat kaki.

   Melayani Hek Moko, ia kalah tenaga dalam, ia jadi andalkan ilmu pedangnya yang liehay, dengan itu, dapat ia bela dirinya.

   Tadi kalangan pedangnya menjadi ciut, itulah daya pembelaannya yang istimewa, dengan begitu ia membuatnya Hek Moko, si lawan, jadi kewalahan mendesak padanya.

   Dalam keadaan itu, ia mesti saksikan In Loei, kawannya, yang juga terdesak musuh.

   Bagaimana ia tak jadi kuatir? Maka ia lantas kuatkan hatinya, dengan tiba, ia balas menyerang si Hantu Hitam dengan hebat sekali.

   Dari terdesak, ia berbalik mendesak.

   Ia berpendirian.

   "Untukku, In Loei menghadapi bencana, karenanya, tak dapat aku membiarkan dia terancam, mana boleh aku hidup sendiri?....."

   Hek Moko tertawa terbahak-bahak.

   "Apakah kamu berdua, bocah-bocah, berniat angkat kaki?"

   Katanya secara mengejek.

   Lalu ia mencoba mendesak pula.

   Ia telah lihat In Loei berkelahi, ia percaya Pek Moko, saudaranya, tidak bakal kalah, dari itu, tabah hatinya untuk kedua pihak bertempur satu lawan satu.

   Selagi ia sendiri didesak, mendadak Thio Tan Hong dengar teriakan gembira dari In Loei.

   Nyata nona itu, setelah dia mendesak dengan dua serangannya, berhasil menikam kaki kiri dan kaki kanan dari si Hantu Putih, tidak peduli tikaman itu tidak membuatnya orang rubuh.

   Hek Moko pun mendesak, ia menyerang hebat, tapi tongkatnya kena disampok terpental, hingga ia jadi terkejut.

   Dalam sekejap itu, Tan Hong dan In Loei telah bekerja sama seperti juga mereka sudah berjanji.

   "Kurung mereka!"

   Hek Moko berteriak, sambil menganjurkan saudaranya.

   "Ambil jalan lie, injak jalan soen!"

   "Lie"

   Dan "soen"

   Adalah garis Patkwa, Delapan Segi, garis-garis mana sudah dicangkok ilmu silat untuk tindakan kaki. Ilmu silat tongkat dari Hek Pek Moko, yang dinamakan "Thianmo Thung"

   Atau tongkat "Hantu Langit"

   Juga bisa dipakai bersilat secara bergabung, jadi mirip dengan ilmu pedangnya Tan Hong dan In Loei itu.

   Ilmu silat ini berpokok pada garis-garis dari Patkwa, maka juga Hek Moko perdengarkan anjurannya itu kepada saudaranya.

   Biasanya dengan kurungan ini, kedua hantu itu sukar membuatnya musuh lolos, tidak peduli lawan ada tangguh.

   Mereka berdua ada saudara-saudara kembar, yang hatinya atau firasatnya sama.

   Pek Moko tahan rasa sakitnya, ia turut anjuran saudaranya, ia maju untuk mengurung, malah ia berlaku bengis dengan serangan-serangannya.

   Pertempuran ini membikin mata ke empat saudagar permata menjadi seperti kabur, mereka ini menonton dengan tubuh seperti terpaku.

   Hek Moko menyontek dengan tongkatnya ke arah tenggorokan In Loei.

   Ia gunakan tipu silat tongkatnya yang bernama "Thianmo hiantjioe"

   Atau "Hantu Langit menyuguhkan arak,"

   Habis mana ia meneruskan tusukannya ke lain arah. In Loei mainkan tipu-tipu silat dari Pekpian Hian Kee Kiamhoat untuk menghindarkan diri dari mara bahaya, mula-mula dengan "Totjoan imyang"

   Atau "Memutar balikan imyang,"

   Ia tangkis sontekan itu, lalu ia balas mendesak penyerangnya itu.

   Tapi Hek Moko dapat selamatkan diri berkat pengalamannya.

   Di pihak lain, Pek Moko telah menghajar Thio Tan Hong dengan tongkatnya, apamau, Tan Hong menangkis, demikian keras, hingga kedua senjata beradu sambil perdengarkan suara nyaring.

   Begitu rupa bergeraknya pedang orang she Thio ini, hingga terus menyambar ke arah lehernya Hek Moko! Si Hantu Hitam terkejut terpaksa ia biarkan In Loei, ia segera tangkis pedang ke arah lehernya itu.

   Ia ada cukup sebat untuk menghindarkan diri dari serangan yang tidak disangka-sangka itu.

   Setelah ini, ia geser tubuhnya ke garis "kian,"

   Sedang Pek Moko menyamping ke garis "twee". Secara begini, kedua saudara ini bisa berbareng menyerang Thio Tan Hong.

   "Celaka !"

   Teriak Thio Tan Hong, yang belum sempat perbaiki dirinya.

   Akan tetapi berbareng dengan itu, In Loei telah siap, dengan tangkisannya, hingga dapat ia talangi kawannya itu, hingga Tan Hong jadi bebas dari ancaman.

   Malah setelah itu, dengan bergeraknya kedua pedang, adalah Hek Pek Moko yang menjadi repot.

   "Bagus!"

   Teriak In Loei, air muka siapa menjadi bercahaya terang.

   "Sepasang pedang telah bergabung, benar liehay!"

   Dan kembali ia menyerang, ditimpali serangannya Tan Hong, hingga kedua pedang bergerak-gerak bagaikan "naga lincah,"

   Sampai kedua hantu itu mesti berulang-ulang mundur! Thio Tan Hong merasa sangat heran, ia menjadi bercuriga, ketika ia mengawasi si nona, yang ia lirik, In Loei tertawa.

   "Lihat!"

   Kata "pemuda"

   Itu.

   "Bukankah tidak kecewa aku menjadi pelindungmu? Tak dapat kita memberi ampun, mari kita maju bersama!"

   Luar biasa gembiranya nona ini, hingga ia ucapkan kata-kata "maju bersama"

   Dalam arti "pundak rata,"

   Ialah kata-kata kaum kangouw yang ia perolehnya dari Tjioe San Bin.

   Tan Hong kaget dan heran, ia juga merasa lucu.

   Tapi ia turut anjuran orang, ia ulangi desakannya, karena mana, Hek Pek Moko mesti keluarkan seluruh kepandaiannya guna membela diri mereka, walaupun demikian, tetap mereka kena dibikin repot.

   "Bagus, bagus!"

   Berkata Tan Hong kemudian.

   "Dengan kita bekerja sama, benar- benar kita ada bagaikan batu permata yang digabung menjadi satu!"

   Mendengar kata-kata orang itu, In Loei terkejut hingga tanpa merasa, wajahnya menjadi merah.

   Tapi ketika ia tampak Tan Hong tertawa bergelakgelak dan pedangnya dimainkan hebat sekali, ia tidak dapat anggapan jelek mengenai kawan ini, sebab nyata si kawan bukannya hendak berlaku ceriwis menggoda ia.

   Sambil tertawa, Tan Hong terus mengawasi Hek Pek Moko, yang ia rangsek.

   Kedua hantu berkelahi dengan ambil kedudukan Patkwa, kalau tadinya mereka menang di atas angin, sekarang setelah kedua pedang "bergabung menjadi satu,"

   Mereka terus terdesak, mereka jadi repot sekali, hingga mereka kewalahan melayani runtunan serangan lawan.

   Sangat rapi desakan In Loei dan Tan Hong, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan kebawah, semua serangan mereka ada hubungannya satu dengan lain, pedang mereka bergerak-gerak bergelombang, saling susul, naik dan turun.

   Heran Hek Pek Moko, tidak peduli mereka telah luas pengalamannya, mereka umpama kata menjadi bengong dengan mulut ternganga.

   Maka itu tidak heran kalau Pek Moko kembali terkena satu tusukan, dan Hek Moko kena dipapas gelang emasnya untuk menggelung rambutnya.

   Akhir-akhirnya Hek Moko menghela napas panjang, ia kata.

   "Ini dia yang dikatakan tua bangka umur delapan puluh tahun kena dipermainkan bocah cilik..... Sudah, sudahlah!"

   Lantas saja, dengan mendadak, ia tarik Pek Moko, untuk diajak lompat keluar kalangan, sedang tongkatnya, ia lintangkan. Ia pun terus berseru.

   "Kamu menang! Tempat ini dapat kamu kuasai!"

   Kata-kata ini disambung dengan seruan yang panjang, sesudah mana mereka, berikut kedua wanita Iran dan tukang belinya, begitu juga si empat saudagar permata, yang mukanya pucat pasi, tanpa berkata suatu apa, terus saja ngeloyor keluar dari kuburan itu.

   Thio Tan Hong tertawa.

   "Dua saudara itu benar-benar ada orang-orang aneh!"

   Katanya.

   "Sayang mereka tak dapat dihitung sebagai orang-orang gagah! Eh, saudara kecil....."

   Baharu ia hendak tanya In Loei, atau ia terhenti karena kupingnya segera mendengar suara meringkiknya kuda di luar pintu kuburan, menyusul mana kedua kuda mereka, bergantian lari masuk ke dalam kuburan.

   Sebab Hek Pek Moko menepati janji, mereka sudah mengobati kedua kuda itu, yang terus mereka lepas untuk dikembalikan kepada pemilik-pemiliknya.

   Kuda putih yang masuk terlebih dahulu, berjingkrakan, dia jilati majikannya.

   In Loei segera hampiri kudanya, untuk diusap-usap lehernya.

   "Kudaku yang baik, kau disiksa makhluk aneh itu!..... katanya.

   "Eh, toako....."

   Ia berhenti dengan tiba-tiba, sedang sebenarnya hendak ia tanya Thio Tan Hong dari mana dia dapatkan ilmu silat pedangnya itu.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berhenti karena tibatiba saja ia rasakan dadanya sesak.

   Thio Tan Hong berpaling dengan segera, hingga ia tampak muka orang.

   Ia kaget.

   "Eh, saudara kecil, apakah tadi kau kena terpukul tangannya Pek Moko?"

   Ia tanya.

   "Jangan, jangan kau bicara....."

   In Loei mengerti, ia manggut.

   "Lekas empos napasmu!"

   Tan Hong berkata pula.

   "Nanti aku obati kau! Kau telah terluka di dalam....."

   Ia lantas ulur tangannya. Dengan tiba-tiba, In Loei geser tubuhnya, ia berbalik, ia menggeleng-gelengkan kepala, habis itu, ia terjatuh duduk, terus ia muntahkan darah.

   "Tak usah!"

   Katanya.

   "Aku dapat mengobati diriku."

   Thio Tan Hong tercengang, tapi segera ia tertawa.

   "Saudara kecil, sampai saat ini apa kau masih hendak kukuhi pantanganmu?"

   Katanya.

   "Kau tahu, sejak siang-siang aku telah melihatnya!....."

   Merah mukanya In Loei, akan tetapi segera ia singkap kopiahnya, hingga terlihat rambutnya yang panjang dan gompiok.

   "Sebenarnya tak selayaknya aku mendustai kau, toako,"

   Katanya, malu.

   "Memang aku ada seorang perempuan....."

   Tan Hong bersenyum, tapi ketika ia berkata, ia bersungguh-sungguh.

   "Kita cocok satu dengan lain, kita dapat bersahabat, karenanya untuk apa kita ambil mumat bahwa kita ada pria atau wanita?"

   Katanya.

   "Saudara kecil, apakah benar kau masih tetap berpandangan cupat sebagai mereka yang kebanyakan?"

   Melihat sikap orang itu, In Loei bersenyum. Tan Hong itu tidak ceriwis. Walaupun demikian, di dalam hatinya, masih hendak ia katakan.

   "Bukankah kita masih belum kenal baik riwayat masing-masing?"

   Tan Hong awasi nona itu, ia bersenyum. Kemudian ia goyangkan tangannya.

   "Saudara kecil,"

   Katanya.

   "aku tahu dalam kalbumu masih ada kesangsian, seperti aku. Aku berniat untuk menanyakan kau beberapa hal. Tapi sekarang kau tengah terluka, tidak selayaknya kau banyak bicara. Biarlah nanti kita bicara pula, lagi tiga atau lima hari. Kau setuju, bukan?"

   In Loei manggut, tapi tidak membuka mulut. Kembali Tan Hong bersenyum. Ia terus awasi si nona.

   "Saudara kecil,"

   Katanya pula.

   "bagaimana lukamu? Bagaiman itu harus disembuhkannya? Seharusnya aku mesti omong terus terang padamu."

   In Loei tersenyum, kembali ia manggut. Ia bungkam akan tetapi di dalam hatinya, ia pikir.

   "Ini engko polos sekali, aku cocok dengannya. Cuma, mengapa ia selalu bersenyum?"

   Tan Hong tidak tunggu orang membuka mulutnya, ia berkata pula.

   "Aku lihat lukamu ini disebabkan Pek Moko telah berhasil menggempur urat tjeksim hiat di bebokongmu, karenanya napasmu jadi tak jalan lancar, hatimu terasa panas, muka dan matamu merah, nadimu berdenyut keras. Inilah luka di dalam, yang dilihat dari luar nampaknya enteng tetapi sebenarnya berbahaya, jikalau tidak lekas disembuhkan, jalan napasmu bisa terganggu untuk selamanya, hingga akhirnya, jikalau orang tidak menemui ajalnya pasti ia akan bercacat seluruhnya. Sukur untukmu, kau mempunyai dasar Iweekang yang baik, dapat kau bantu dirimu dengan menyalurkan napasmu perlahan-lahan dan beraturan. Saudara kecil, akan aku bantu kau dengan samim dan samyang."

   "Engko ini ada luar biasa,"

   Pikir In Loei, tanpa menjawab perkataan orang.

   "Kemarin ini dia menangis dan tertawa tidak keruan juntrungannya, aku sangka dia orang aneh yang tengah menjelajah di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi sekarang dia bicara perihal luka di dalam, nampaknya ia kenal baik ilmu kethabiban. Apakah benar ia pandai segala apa?"

   Habis bicara, Tan Hong berhenti sebentar, terus ia tertawa.

   "Aku hendak mohon sesuatu dari kau!"

   Katanya kemudian.

   "Silakan, toako,"

   Sahut In Loei dengan perlahan. Kembali Tan Hong tertawa.

   "Saudara kecil, permintaanku adalah ini,"

   Ia kata.

   "Waktu aku mengobati kau, kau mesti melupakannya bahwa aku adalah pria, begitu juga kau, kau mesti melupakan dirimu adalah wanita! Sanggupkah kau berjanji?"

   In Loei berpikir.

   "Dia hendak bantu aku dengan samim dan samyang, itu artinya tak dapat tidak, ia mesti meraba-raba tubuhku..... Tapi kita telah "angkat saudara,"

   Apakah halangannya untuk itu? Kenapa dia masih mengatakan demikian?".....

   Lantas ia bersenyum ia awasi pemuda itu.

   Thio Tan Hong pun awasi si nona, kedua matanya bersinar jeli, wajahnya tersungging senyuman.

   Menampak itu, malu In Loei, hingga air mukanya menjadi merah dadu.....

   Tan Hong segera menoleh kesekitarnya.

   "Suasana di dalam lobang kubur ini mirip dengan Taman Bunga Toh,"

   Berkata dia.

   "tempat ini cocok untuk kau berobat dan beristirahat, cuma kedua kuda itu tak dapat berdiam bersama....."

   Ia lantas perdengarkan satu seruan panjang, tangannya pun ditepuk.

   Menyusul itu kuda Tjiauwya Saytjoe ma, yang telah mengerti benar majikannya sudah lantas lari keluar.

   Kuda merahnya In Loei, yang sudah jadi sahabatnya kuda putih itu, sudah lantas turut lari keluar juga.

   Tan Hong melongok keluar kuburan, akan perhatikan letaknya pekuburan itu, habis itu ia masuk pula ke dalam, untuk menutup rapat pintunya.

   Sekarang ia perhatikan keadaan di dalam kuburan di mana terdapat ruangan tengah dan juga kamar.

   Pantas kuburan itu jadi kuburan raja-raja muda dari jaman Ahala Tjhin.

   Kemudian ia raba-raba sekitar tembok, ia ketok-ketok itu.

   Akhirnya, ia tertawa.

   "Ada kamar rahasia di sini!"

   Katanya.

   Ia dongko, untuk menjemput sepotong batu panjang, dengan itu ia menekan pada tembok di mana ada ceglokan, terus ia memutar, ke kiri dan ke kanan.

   Sebentar saja, tembok itu bergerak, hingga di lain saat terbentanglah satu pintu rahasia, hingga sekarang tertampak sebuah ruangan dalam.

   Tanpa mensia-siakan tempo, Thio Tan Hong payang In Loei masuk ke dalam kamar rahasia itu di mana terdapat sinar terang bergemerlapan dari barang-barang permata, malah meja dan kursi terbuat dari batu kemala di atas mana tertumpuk barang-barang permata itu.

   Tan Hong tidak pedulikan barang berharga itu, ia sampok hingga jatuh ke tanah, lalu dengan kakinya, ia kumpulkan di pojok tembok.

   Sebaliknya, ia dudukkan In Loei di meja itu.

   "Meja ini hawanya adem, inilah baik untuk membantu menghisap hawa panas dari dalam tubuhmu,"

   Kata si anak muda, yang segera mulai dengan pengobatannya, bukan dengan makan obat, hanya dengan menguruti tangannya, dari lengan sampai ke jari- jari.

   Ia mulai dengan tangan kanan si nona.

   In Loei merasa aneh, belum lama ia diuruti, ia rasakan hawa panas mendesak ulu hatinya, setelah itu, hawa panas itu mereda dengan perlahan dan akhirnya lenyap, diganti dengan hawa dingin di seluruh tubuhnya.

   "Sekarang jalan darahmu telah kembali semua,"

   Kata Tan Hong, yang segera melepaskan tangannya, akan tunda urutannya.

   "Baiklah kau beristirahat supaya kembali kesehatanmu. Nanti aku mulai lagi."

   Dalam ruang itu ada tersedia pelbagai macam barang makanan, yang ditinggalkan pergi oleh Hek Pek Moko, maka Tan Hong dengan merdeka dapat mendahar apa yang ia suka.

   Ia pun minum banyak, habis mana, tanpa merasa, ia bernyanyi seorang diri.

   Ia nyanyi tentang peperangan, perihal manusia tak dapat hidup untuk selama- lamanya.

   "Ya, kalau nanti bangsa Mongolia menerjang masuk, kita semua baik pria maupun wanita, anak-anak, semua mesti angkat senjata,"

   In Loei perdengarkan suaranya.

   "Kalau kita berkorban untuk negara, biar kita mati, tidaklah nama kita hidup untuk selama-lamanya?....."

   Menggetar tubuh Tan Hong mendengar pengutaraan itu, tanpa merasa, isi cawan di tangannya tumpah. Lekas-lekas ia berpaling.

   "Saudara kecil kau beristirahat, jangan kau bicara!"

   Ia kata.

   "Aku telah minum sampai aku lupa akan diriku, hingga aku mengganggu kau. Saudara, terus kau tenangkan dirimu."

   "Tetapi, toako, katakanlah, benar atau tidak kata-kataku itu?"

   In Loei tanya. Tan Hong ceguk araknya.

   "Benar, benar,"

   Sahutnya.

   "Sudah saudara kecil, kita bicara lagi nanti saja. Teruskan istirahatmu."

   In Loei berdiam, tetapi hatinya berpikir.

   Ia dapat kesan yang baik terhadap mahasiswa ini.

   Ia hanya merasa aneh, agaknya orang berduka mendengar disebutnya Mongolia, kalau bangsa Mongolia menerjang Tionggoan.

   Maka itu, ia terus awasi anak muda ini.

   Tan Hong lihat sikap orang, ia menghampiri.

   "Saudara kecil,"

   Katanya, sebenarnya ingin aku bicara dengan kau nanti sesudah kau sembuh, akan tetapi nampaknya kau kurang puas, kau rupanya masih tidak mengerti. Kau tahu, dengan banyak berpikir, istirahatmu bisa terganggu. In Loei tunduk.

   "Kau benar,"

   Sahutnya, perlahan.

   "Tetapi lukamu melarang kau banyak bicara,"

   Tan Hong menyatakan pula.

   "Kau harus mengerti, soal-soal yang akan kita perbincangkan tak dapat diakhiri dalam tempo pendek. Sekarang begini saja. Sekarang kau lanjutkan istirahatmu, sebentar waktu kita bersantap malam, nanti aku ceritakan sebuah dongeng padamu. Kau tahu, dalam satu hari, kau mesti dahar satu kali saja, di waktu malam. Menurut dugaanku, setelah tiga hari kau akan sembuh seluruhnya. Maka itu, dengan setiap hari aku dongeng satu kali, di hari ke empat, kau akan sudah sehat kembali seperti sediakala. Sampai waktu itu, saudara kecil, nanti kita saling menuturkan riwayat kita masing-masing. Saudara, jikalau kau tidak dengar kata-kataku ini, maka dongeng pun tak nanti aku tuturkan kepadamu. Nah, cukup sudah, sekarang aku larang kau bicara lagi! Lekas kau bersemedhi!"

   Di mata In Loei, sinar matanya Thio Tan Hong seperti mempunyai pengaruhapa apa.

   Ia ingat, semasa kecilnya, setiap malam, waktu ia mau tidur, ibunya selalu mengeloni ia di pembaringan, ibu itu menyanyikan sebuah lagu Mongolia, untuk menidurkan ia.

   Tak dapat ia lupakan sinar mata halus dan menyinta dari ibunya itu.

   Dan sekarang, mata Tan Hong itu bersinar bagaikan mata ibunya itu.

   Ia juga ingat sinar mata kakeknya setiap kali kakek itu memberi pengajaran kepadanya, sekarang sinar matanya Tan Hong mengingatkan ia kepada sinar mata kakek itu.

   Sinar mata Tan Hong ini menjadi halus dan keren, keren tak dapat ditentang.

   Dan In Loei, tanpa ia merasa, ia bagaikan kena terpengaruh, hingga hatinya menjadi tenang dan lantas saja ia beristirahat.

   Sudah diketahui, kuburan itu "menyender"

   Pada gunung, maka juga samping lainnya dari kamar rahasia itu adalah lamping gunung, lamping yang batunya licin dan mengkilap bagaikan kaca.

   Di sebelah atas, atau bagian wuwungan ruang rahasia itu, ada dua lobang yang merupakan lobang angin, dari situ hawa udara menerabus masuk.

   Sedang di tembok, yang menghadapi pintu, ada dipayang sebuah kaca kecil dari kuningan.

   Dari kaca ini orang di dalam dapat memandang keluar, sebaliknya, dari luar, orang tak dapat melihatnya.

   Ketika itu sinar matahari sudah menebus lobang di wuwungan itu, melihat bayangannya, bisa diduga sang waktu sudah lewat tengah hari.

   Adalah waktu itu dengan tiba-tiba terdengar satu suara dari luar, suara seperti orang membongkar pintu.

   Karena pintu bekas digempur, dengan hanya membongkar landasannya saja, pintu itu dengan mudah dapat dibuka.

   In Loei dengar tegas suara itu, ia memasang mata kepada kaca.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tampak satu bayangan orang, samar-samar ia seperti kenal bayangan itu, bayangan dari satu nona.

   Segera tergeraklah hatinya.

   Dengan tangan bajunya, ia gosok kaca itu, hingga di lain saat, dapatlah ia melihat lebih jelas.

   Hampir saja ia menjerit keras.

   Nona itu tidak lain daripada Tjio Tjoei Hong gadisnya Hongthianloei Tjio Eng.

   Bagaikan orang meraba-raba, Tjoei Hong bertindak masuk.

   "In Siangkong1. In Siangkong1."

   Ia memanggil-manggil. In Loei tertawa di dalam hati.

   "Kita bersuami isteri hanya setengah malaman, siapa sangka ia pikirkan aku begini rupa,"

   Demikian pikirnya.

   Ia terus memasang mata.

   Ruang kuburan itu guram, tiba-tiba berbareng dengan suara tekesan, api telah menyala.

   Tjoei Hong, yang menyalakan api.

   Ketika ia tampak dua belas batang lilin, segera ia sulut itu semua, hingga di lain saat, ruangan jadi terang bagaikan siang.

   Karena ini, pada kaca di dalam kamar rahasia, terlihat tegas wajahnya Nona Tjio.

   Menampak roman orang, In Loei terkejut.

   Beberapa hari saja ia berpisah dari nona itu, atau sekarang si nona telah menjadi sangat perok dan kumal.

   Masih In Loei mengawasi kepada kacanya.

   Ia lihat Tjoei Hong jalan mondarmandir di ruang besar, rupanya si nona tengah mencari dia.

   Tiba-tiba nona itu berjongkok, lalu menyusul tangisnya.

   Tjoei Hong telah mendapatkan tanda darah di tanah.

   Itulah tanda darah dari Pek Moko, yang terluka kena pedang.

   Rupanya si nona sangka, itu adalah darahnya In Loei.

   "suaminya."

   Ia tahu Hek Pek Moko ada langganan dari ayahnya, ia tahu juga liehaynya kedua hantu itu, maka ia menyangka.

   "suaminya"

   Sudah terluka ditangan kedua langganan itu.

   Mungkin, kalau tidak terbinasa, suami itu terluka parah atau bercacat.

   Maka itu, ia jadi sangat berduka.

   Tak tega In Loei menyaksikan orang berduka, ia mau lompat turun, untuk membukakan pintu kamar rahasia, guna menemui.

   Tapi Tan Hong di sisinya menekan padanya.

   "Tidak peduli apa akan terjadi di luar, tak dapat kau perdengarkan suara!"

   Si mahasiswa bisiki.

   Lalu dia tekan telapak tangan orang, untuk membantu si nona mengempos semangatnya, untuk membikin darahnya tetap berjalan dengan sempurna.

   Tjoei Hong menangis sekian lama, lantas dari sakunya ia keluarkan sepotong batu sanhu, terus ia letakkan di atas meja.

   Itulah batu yang merupakan tanda mata dari In Loei.

   Berulang kali ia raba batu itu, setiap kali ia menangis pula.

   "Adik, adik, aku sangat bersengsara....."

   Keluh si nona kemudian. In Loei dengar itu, ia merasa kasihan.

   "Entjie, aku belum mati, aku belum mati,"

   Ia menjawab dalam hatinya. Tentu sekali Tjoei Hong tidak dengar itu, ia masih menangis pula. Habis menangis, tiba-tiba Nona Tjio hunus golok yang tergantung dipinggangnya, dengan itu ia mengancam ke udara.

   "Adik Loei!"

   Ia berseru.

   "tidak peduli bagaimana lihaynya kedua hantu itu, akan aku minta ayah membalaskan sakit hatimu ini!"

   Ia jalan beberapa tindak, mendadak ia berjongkok pula. Dari tanah ia pungut dua buah gelang emas. Itulah gelang rambut Hek Moko, yang kena dipapas Thio Tan Hong. Ia awasi gelang itu dengan mendelong.

   "Ah, apakah benar hantu itu tidak mendustai aku?"

   Katanya seorang diri.

   Gelang itu ia balikbalikkan, terus ia awasi.

   Kembali ia bengong.

   Malam itu seberlalunya In Loei, Tjoei Hong menyusulnya dengan menunggang kuda, di tengah jalan, ia berpapasan dengan Hek Pek Moko, ia tanya kedua hantu itu apa mereka melihat satu anak muda, roman siapa ia petakan.

   Ia lukiskan potongan tubuh In Loei serta wajahnya.

   "Siapa dia itu?"

   Tanya kedua hantu itu sambil tertawa dingin. Tjoei Hong berikan keterangannya, atas mana, Hek Moko perdengarkan suara dihidung.

   "Hm!"

   Terus dia berkata.

   "Bagus, keponakanku yang baik, kau telah mendapatkan pasangan yang bagus sekali, ilmu silatnya pun tak ada celanya!"

   Nona Tjio heran, ia terkejut.

   "Bagaimana kau ketahui itu?"

   Tanyanya. Kembali Hek Moko tertawa dingin.

   "Dia telah menalangi kau memenangkan sejumlah harta besar!"

   Sahutnya, tetap dingin.

   "Semua bandaku di sini telah terkalahkan olehnya! Hongthianloei telah mendapatkan baba mantu semacam dia itu, sungguh, bolehlah dia mencuci tangan, tidak usah dia teruskan pekerjaannya!"

   Tjoei Hong bertambah kaget.

   "Apa? Dia berani tempur kamu?"

   Ia tanya, menegaskan.

   Hek Moko mengawasi dengan sinar mata bengis.

   Ia menyangka si nona hendak mempermainkan dia.

   Tapi ia tidak gubris pertanyaan itu, dengan tetap masih mendongkol, ia ajak Pek Moko melanjutkan perjalanan mereka.

   Tjoei Hong tahu kuburan yang menjadi istana kedua hantu itu, ia langsung menuju ke sarang orang itu.

   Tidak pernah ia bermimpikan bahwa In Loei dapat mengalahkan Hek Pek Moko.

   Maka itu, mendapatkan gelang kepala itu, ia menjadi bersangsi.

   Hek Pek Moko ada sangat liehay, tidak bisa jadi mereka terkalahkan In Loei....."

   Katanya di dalam hatinya.

   "Akan tetapi Hek Pek Moko ada orangorang kenamaan yang jujur, tidak nanti mereka mendustai Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Mungkinkah ada lain orang yang mencelakai adik Loei?....."

   Ia bersangsi pula, kekuatirannya tak segera lenyap.

   Ia menduga, darah itu ada darahnya In Loei.

   Tengah ia berpikir keras, ia dengar meringkiknya kuda di luar kuburan, menyusul mana ia tampak satu anak muda bertindak masuk dengan sebelah tangannya menuntun seekor kuda merah.

   Ia kenali, itulah kuda In Loei.

   Bahna kaget dan heran, hampir ia berseru.

   Anak muda itu tidak lain daripada Tjioe San Bin puteranya Kimtoo Tjeetjoe, dia tengah menerima titah ayahnya untuk suatu tugas, kebetulan dia dapat endus halnya In Loei, selagi lewat di tempat itu, dia tampak kuda orang - yang asalnya adalah kuda tunggangnya sendiri - maka dia lantas tuntun kuda itu.

   Dan kuda itu lantas perdengarkan suaranya, seperti juga ia hendak memberitahukan bekas majikannya ini bahwa majikannya yang baharu berada di lobang kubur itu.

   San Bin heran, apabila ia ingat pekuburan itu adalah sarangnya Hek Pek Moko, kedua hantu yang aneh itu.

   Tanpa merasa ia keluarkan keringat dingin.

   Tapi ia tidak takut, maka sambil menuntun kuda merah itu, ia bertindak masuk ke dalam pekuburan.

   Ia tampak sinar terang dari api, ia tidak lihat seorang juga, ia menjadi heran dan ragu-ragu.

   Ia maju terus.

   Di saat ia pikir untuk buka suara, untuk memanggil-manggil, tiba-tiba ia tampak satu nona dengan rambut terurai muncul dari pojok yang gelap, dan dengan goloknya, mendadak nona itu lompat membacok padanya.

   Tjoei Hong menjadi sangat bingung dan ber-kuatir, ia tengah bersedih, pikirannya jadi seperti waswas, maka itu, begitu melihat kuda In Loei, ia sangka San Bin ada seorang penjahat, tanpa sangsi lagi, ia lompat menerjang.

   San Bin terkejut, dia lompat berkelit.

   Tjoei Hong bagaikan kalap, gagal dalam ba-cokannya yang pertama, ia susul itu dengan yang kedua.

   San Bin menjadi berkuatir, terpaksa ia hunus goloknya, untuk menangkis.

   Tjoei Hong membacok untuk ketiga kalinya, lalu untuk ke empat kalinya.

   "Hai, tahan!"

   Seru San Bin.

   "Kita tidak bermusuh, kenapa kau bokong aku?"

   Setelah serangannya yang ke empat kali itu, Tjoei Hong mulai heran, di dalam hatinya, dia kata.

   "Kelihatannya kepandaian orang ini berimbang dengan kepandaianku, mana pantas dia jadi lawannya In Loei?"

   Tapi ia masih membacok lagi dua kali, membacok dengan sia-sia, setelah itu, ia menegur.

   "Binatang, lekas kau bicara! Dari mana kau dapatkan kuda merah ini?"

   Ditanya begitu, San Bin mendadak tertawa. Ia lompat kepada kudanya, yang tadi ia lepaskan dari tuntunannya, ia usap-usap kuda itu.

   "Kuda ini asalnya kudaku, untuk apa kau tanyakan?"

   Ia balik menanya. Kuda merah itu diam saja diusap-usap, ia tunjukkan kejinakannya terhadap bekas majikannya itu, ia seperti mau hunjuk, San Bin tidak bicara dusta. Tjoei Hong telah perdengarkan suara "Hm!"

   Dan pedangnya sudah digerakkan pula, baharu ia mau lompat, atau ia membatalkannya. Ia dengar pertanyaan orang, ia saksikan kelakuan kuda itu, ia heran.

   "Aku tahu kuda merah ini binal, kenapa dia sekarang jadi begini jinak?"

   Demikian ia berpikir.

   Selagi orang berdiam, San Bin mengawasi ke sekitarnya.

   Ia lantas lihat sepotong sanhu di atas meja, ia terkejut, hingga wajahnya berubah, dengan cepat ia lompat maju, untuk mengambil batu permata itu.

   Tjoei Hong lihat gerak-gerik orang, dia lompat, untuk mencegah.

   "Kau hendak bikin apa?"

   Dia tegur dengan bengis.

   "Hai, kau sendiri hendak bikin apa?"

   San Bin baliki. Si nona tertawa dingin.

   "Adakah sanhu itu kepunyaanmu?"

   Dia tanya. San Bin tertawa, dia melengak.

   "Bicara terus terang, sanhu ini ada kepunyaanku!"

   Ia jawab. Lalu dengan bengis, dia membentak.

   "Orang perempuan, lekas kau bicara terus terang! Dari mana kau peroleh batu ini? - kau mencuri atau merampas?"

   Memang sanhu itu adalah tanda mata dari San Bin kepada In Loei, dan In Loei telah memberikannya kepada Tjoei Hong.

   Menampak batu itu, pasti sekali San Bin heran dan bercuriga.

   Tjoei Hong murka sekali, ia merasa diperhina.

   Ia lompat dan membacok tanpa mengucap sepatah kata juga.

   Kali ini San Bin menangkis tanpa segan-segan lagi, dia telah menggunakan tenaga besar, hingga golok Tjoei Hong tertangkis hampir terpental.

   Dalam sengitnya si nona bergerak dengan lincah, sesaat saja, ia telah berada di belakang si anak muda.

   San Bin ketahui gerakan orang, ia mendahului membacok ke belakang sambil ia putar dirinya, atas mana, Tjoei Hong menangkis.

   Maka di situ, mereka jadi bergebrak, sekarang secara sungguh-sungguh, sebab mereka saling membalas, bukan seperti tadi, San Bin hanya, menangkis dan main berkelit.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
In Loei dari tempat sembunyinya menyasikan pertempuran itu, ia menjad gelisah sendirinya, hingga tidak dapat ia tenangkan diri, untuk bersemedhi terus.

   Thio Tan Hong gunakan kedua tangannya, guna menekan telapakan tangan si nona, sambil berbuat begitu, ia bisiki.

   "Jangan kau sibuk tidak keruan! Mereka berdua tidak akan dapat menangkan satu dari lain. Apakah kau kenal anak muda itu?"

   In Loei manggut.

   Tiba-tiba ia ingat halnya Tan Hong merobek bendera Djitgoat Kie, maka ia awasi pemuda itu sambil mendelik.

   Sikapnya membikin pemuda itu heran.

   Pertempuran antara Tjoei Hong dan San Bin berjalan terus, sebentar saja sudah melalui tiga puluh jurus lebih.

   Benar seperti dugaannya Thio Tan Hong, tidak ada satu yang kalah atau menang.

   Kalau si anak muda kuat tenaganya, adalah si nona lincah tubuhnya.

   Tjoei Hong telah membacok pula, habis mana, dia tanya.

   "Kau kata sanhu itu ada kepunyaanmu, dapatkah kau membuktikan?"

   San Bin tertawa terbahak pula.

   "Kiranya pembegal, kau pun tidak tahu apa-apa"

   Katanya.

   "Coba kau periksa itu, lihat di bawah daun yang ketiga. Tidakkah di situ ada ukiran satu huruf Tjioe?"

   Tjoei Hong menyayangi sanhu itu, ia bulak balikan entah berapa ratus kali, tidak heran kalau ia tahu benar adanya ukiran huruf itu ia menjadi heran atas pertanyaan si anak muda, ia tanya dalam hatinya, kenapa In Loei memberikan ia tanda mata yang berukiran huruf "Tjioe"

   Itu? Tapi ia cerdas, dengan lekas ia sadar. Maka ia lompat keluar kalangan.

   "Eh, bukankah kau ada saudara angkat dari In Loei?"

   Ia tanya. San Bin terkejut saking heran ia pun mundur.

   "Jikalau kau tahu aku ada saudara angkat dari In Loei,"

   Dia tanya.

   "kenapa kau tidak tahu bahwa sanhu ini akulah yang memberikannya kepadanya?"

   Teringatlah Tjoei Hong pada saat-saat malam pengantin, waktu itu In Loei seperti tak henti-hentinya menyebut nama saudara angkatnya itu.

   Maka itu, tanpa merasa, ia lirik anak muda ini.

   San Bin kalah cakap dari In Loei, tapi romannya gagah, ini dapat lantas dilihat oleh nona Tjio.

   Selagi orang lirik padanya, ia pun melihat si nona, maka sinar mata mereka bentrok satu pada lain.

   Ia tampak wajah si nona bersemu dadu.

   "Foei!"

   Berseru si nona dalam hatinya, menyusul mana, ia mendongkol terhadap In Loei. Tentu sekali, San Bin tidak ketahui apa yang si nona pikirkan itu.

   "Aku adalah saudara angkat dari In Loei, habis kau mau apa?"

   Tanya pemuda ini kemudian.

   "Lekas kembalikan sanhu itu kepadaku!"

   "Tidak!"

   Teriak Tjoei Hong.

   "Ah, bangsat perempuan,"

   Kata San Bin.

   "Kau sendirian saja, berani kau memikirkan untuk membegal barangku?"

   "Apa, barangmu?"

   Bentak Nona Tjio.

   "Sanhu ini ada tanda mata dari In Loei untukku! Jikalau aku tidak pandang saudara In Loei, tentu aku sudah bacok belah tubuhmu!"

   Untuk sesaat, San Bin melengak.

   "Tanda mata?"

   Dia ulangi.

   "Pernah apakah kau dengan In Loei?"

   "Ia adalah suamiku!"

   Sahut Tjoei Hong.

   "Tak takut aku mengatakannya ini kepadamu"

   Dengan sekonyong-konyong San Bin tertawa terbahak-bahak.

   Dengan lantas, ia ingat yang In Loei tengah menyamar, sebab sendirian dia mesti pergi ke kota raja.

   Tentu sekali, nona itu mesti merahasiakan dirinya.

   Rupanya, sampaipun terhadap nona ini, dia tidak membuka rahasia.

   "Maka aku, baiklah aku juga tidak membuka rahasianya itu, segera ia dapat pikiran. Maka itu, sehabis berpikir demikian, ia berhenti tertawa. Ia pun lantas tanya.

   "Nona, kau she apa dan namamu siapa? Kapan kau menikah dengan saudara In Loei?"

   Tjoei Hong tidak jengah, dia malah mendongkol. Dengan cekal keras goloknya, dia mengawasi dengan bengis.

   "Hongthianloei Tjio Eng adalah ayahku!"

   Sahutnya denga nyaring.

   "Kami menikah tiga hari yang baru lalu. Kenapa, apakah putrinya Tjio Eng tidak sepadan untuk adik angkatmu itu?"

   Di luar dugaan si nona. San Bin masukkan goloknya ke dalam sarungnya, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.

   "Teehoe, harap kau tidak gusar,"

   Dia berkata.

   "Sebenarnya tidak ada maksudku untuk mempermainkan kau! Apakah Tjio looenghiong baik?"

   "Baik"

   Sahut si nona dengan suara yang menyatakan ia masih mendongkol.

   "Kamu telah menikah tiga hari, adakah selama itu kamu berdiam di Tjio keetjhoeng?"

   San Bin tanya pula. Dia tidak mau tanya langsung tentang malam pengantin, dia gunakan kata-kata kiasan.

   "Malam itu dia kejar seorang penjahat berkuda putih, sejak itu tidak ada kabar kabarnya lagi."

   Sahut Tjoei Hong. Terkejut San Bin mendengar keterangan ini. Dia membuat perjalanan justeru karena penjahat berkuda putih itu.

   "Apakah penjahat itu satu pemuda berkuda putih yang romannya sebagai mahasiswa?"

   Dia tanya, menegaskan.

   "Belum pernah aku lihat romannya."

   Jawah Tjoei Hong.

   "Kuda putihnya hebat sekali bukan?"

   San Bin masih menanya.

   "Betul."

   Si nona sahuti.

   "Kuda pilihan dari Tjio keetjhoeng tidak sanggup mengejar kuda putih itu....."

   "Kalau begitu, mari lekas antar aku kepada Tjio looenghiong,'1 kata San Bin.

   "Hendak aku lepaskan panah Loklim tjian untuk membekuk penjahat berkuda putih itu! Ah, jangan-jangan In Loei telah kena dicelakai pengkhianat itu!....."

   Tjoei Hong terkejut, juga In Loei yang berada di dalam kamar. Nona Tjio kuatirkan dugaan San Bin itu benar, sedang In Loei kuatir anak muda ini benarbenar melepaskan Loklim tjian, ialah "panah Rimba Persilatan"

   Suatu cara paling cepat untuk menyampaikan berita. Ia pun kuatir si mahasiswa benarbenar ada satu pengkhianat.

   "Pengkhianat?"

   Kata Tjoei Hong.

   "Yang aku ketahui dia adalah satu penjahat tukang rampas di antara penjahat, cuma ayah menyangkalnya. Pernah aku Tanya ayah, siapa dia, tetapi ayah tidak hendak menerangkannya, malah sebaliknya, ayah seperti menghormati dia. Betul-betul aku heran....."

   San Bin tertawa dingin.

   "Tentang dia? Hm!"

   Tapi orang she Tjioe ini tidak dapat melanjutkan perkataannya.

   Bayangan tampak berkelebat di pintu kuburan, lalu terlihat bertindak masuknya satu orang.

   In Loei terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baharu datang ini.

   Ia kenali orang, itu adalah si orang Tartar, si bangsat dengan siapa ia pernah bertempur di luar kuil tua pada malam itu.

   Dia itu adalah muridnya Tantai Mie Ming.

   Ketika Tjioe San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil membacok, mulutnya pun mengucapkan.

   "Orang Tartar bernyali besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan, kau hendak berbuat apa?"

   San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming bersama muridnya itu pernah membawa pasukan tentara menyerang Tjioe Kian dan dia pernah bertempur dengan musuh ini.

   Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia masuk ke dalam pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara keras.

   "Thio Siangkong1."

   Dia kaget apabila tiba-tiba dia dibentak dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat, maka dia sempat mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.

   "Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?"

   Tanya Katalai dengan bentakannya.

   "Sekalipun kau, hendak aku mencingcangnya!"

   Jawab San Bin, sengit, kembali dia membacok.

   Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu, mereka jadi bertempur.

   Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia sudah lantas mendesak, dari itu tidak lama, ia telah membikin San Bin kewalahan, sampai orang she Tjioe ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas menyerang.

   Hingga pertempuran jadi tidak seimbang.

   Tjoei Hong berkuatir melihat pemuda itu bakal kena dikalahkan, di dalam hatinya, dia kata.

   "Toapeh ini kurang ajar akan tetapi mesti aku bantu dia!"

   Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapeh-nya - paman dari pihak "suaminya."

   Maka lantas ia hunus goloknya, terus ia maju menerjang, hingga orang Tartar itu kena dikepung berdua.

   Dibanding dengan Katalai, Tjoei Hong kalah tenaga, akan tetapi dia menang enteng tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan andalkan kegesitannya itu, dapat ia berikan bantuan berharga pada San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah sesaat kemudian, keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka itu.

   Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang gaetannya juga bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua lawannya.

   Nyata ia telah gunakan siasat.

   Sebab begitu mendesak, dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya, untuk segera lari keluar kuburan.

   San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Tjoei Hong menyusul, dari itu, sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari kuburan.

   In Loei, yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya.

   Ia lantas angkat kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong.

   Justeru itu, si anak muda pun memandang padanya sambil bersenyum, agaknya dia hendak bertanya.

   "Kau lihat, adakah aku satu penghianat atau bukan?"

   In Loei sangat percaya Tjioe Kian dan putera-nya, coba ia tidak berada bersama Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat menyaksikan kelakuan orang, begitu mendengar ucapan "penghianat"

   Dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda di sisinya ini.

   Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan lain.

   Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong, tidak pantas dia menjadi penghianat bangsa.

   Selama bergaul rapat beberapa hari, dari "jemu", ia menjadi gemar bergaul dengan orang she Thio ini, malah agaknya ia menaruh penghargaan.

   "Dia baharu kembali dari Mongolia,"

   Demikian ia berpikir lebih jauh.

   "mungkin dia mirip dengan engkong-ku yang telah menyingkirkan diri dari negara asing, karena mana bangsa Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali..... Mungkin karena itu, San Bin menyangka dia ada satu penghianat."

   Tidak lama In Loei berada dalam kesangsian, atau lantas ia dapat tenangkan diri. Begitulah ia bersenyum sendirinya.

   "Toako, aku percaya kau,"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Katanya kemudian dengan perlahan. Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira.

   "Hiantee,"

   Katanya, dengan perlahan.

   "seumurku, kau adalah sahabatku satu- satunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan semedimu. Malam ini hendak aku perdengarkan kau dongeng yang kesatu."

   Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup pintu depan, yang ia ganjal dengan dua potong batu besar yang panjang, hingga, tanpa tenaga seribu kati, sulit untuk orang membuka pintu kuburan itu.

   In Loei melanjutkan istirahatnya, semedinya.

   Ia rasakan darahnya mengalir dengan sempurna, ia merasa tubuhnya jadi sehat sekali.

   Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos masuk dari sela-sela di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang magrib telah datang.

   Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam istananya itu, maka Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk masak bubur, untuk memanaskan daging dan ayam.

   Lalu ia suguhkan makanan itu pada In Loei, hingga si nona menjadi bersukur sekali.

   Tan Hong mengawasi sambil bersenyum ketika ia berkata.

   "Kesehatanmu telah maju baik akan tetapi kau masih belum boleh bicara banyak. Kau Cuma harus dengarkan aku, tidak boleh kau banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku yang pertama. Nanti, setelah selesai aku ceritakan tiga dongengan, baharu aku tuturkan jelas tentang diriku kepadamu." -ooo0dw0ooo- BAB VII In Loei angkat kepalanya, akan pandang anak muda di depannya itu. Thio Tan Hong sudah lantas mulai dengan dongengnya.

   "Pada jaman dahulu maka adalah dua orang bersengsara yang bekerja sebagai tukang meluku sawah dari satu tuan tanah. Belakangan, karena malapetaka alam, hidup mereka jadi semakin sukar, hingga kesudahannya, yang satu menukar penghidupannya sebagai pengemis, yang satu lagi menjadi tukang selundup garam gelap. Kedua orang ini hidup sangat akur satu pada lain, hingga mereka mengangkat saudara.

   "Pada waktu itu, Tionggoan telah diduduki oleh bangsa asing. Karena ini penyinta-penyinta negara, yang hidupnya terpencar, bercita-cita membuat perlawanan. Juga kedua saudara itu berangan-angan besar, mereka mirip dengan Tan Sa dan Gouw Kong di jaman Liat Kok yang hendak merubuhkan kerajaan Tjin. Mereka angkat saudara dengan bertepuk tangan, mereka saling berjanji, apabila mereka berhasil dan menjadi orang besar, mereka tak akan melupai satu pada lain.

   "Berbareng dengan itu, bersama dua saudara angkat itu ada satu hweeshio. Dia berusia jauh terlebih tua daripada dua saudara itu, dia ajarkan mereka ilmu silat, maka itu, ia dipanggil guru.

   "Garam itu ada usaha negara, maka kalau rakyat membikin dan menjualnya dengan diam-diam, dia bakal ditangkap pembesar negeri dan dihukum mati. Apa mau si pengemis, si saudara muda, tidak berani bekerja sebagai kakak angkatnya itu, sebaliknya, dia pergi ke sebuah kuil di mana ia sucikan diri sebagai hweeshio. Apa celaka, datanglah musim paceklik, tidak ada dermawan yang menunjang kuil, telah kejadian, dari sepuluh hweeshio, tujuh atau delapan di antaranya mati kelaparan. Dalam kesukaran itu, si kakak, yang jadi penjual garam gelap, menunjang adik angkatnya ini. Karena sisa-sisa hweeshio bubar, si pengemis juga ikut merantau, ia pergi ke mana saja untuk hidup sambil menerima amal.

   "Belakangan, guru dari kedua saudara itu telah berhasil angkat senjata. Si adik, si hweeshio asal pengemis, turut mereka, gurunya itu, dia ikut dalam pasukan tentera. Dalam satu pertempuran besar si hweeshio guru lenyap tidak keruan paran, ada yang mengatakan dia terbinasa, ada yang mengatakan dia lolos dan kembali menuntut penghidupan sebagai hweeshio. Bagaimana sebenarnya, dengan hweeshio guru ini, pada akhirnya tak ada yang mengetahuinya.

   "Sekarang diceritakan tentang si tukang garam. Dia telah berusaha jauh sampai di Kangpak Utara, di sana dia dapat kemajuan hingga dia dapat mengumpulkan beberapa ratus pegawai. Dia pun lantas berontak, dia angkat dirinya sebagai raja. Selama beberapa tahun, dia terus berhasil, hingga pengaruhnya jadi tambah besar. Begitulah ia angkat dirinya jadi kaisar di kota Souwtjioe.

   "Beberapa propinsi di sepanjang sungai Tiangkang adalah wilayahnya raja bekas penyelundup garam ini, maka itu, ia gunakan pengaruhnya untuk mencari adik angkatnya. Sekian lama, tidak pernah ia peroleh hasil.

   "Sementara itu, kaum pergerakan muncul di sana-sini, di antaranya rombongan Pelangi Merah. Dia pun pengaruhnya besar. Dua tahun kemudian, Pemimpin Pelangi Merah itu telah menutup mata, dia digantikan oleh satu pemuda yang kosen, yang berhasil merampas pelbagai kota hingga daerahnya meluas di Tiangkang Selatan.

   "Kaisar di Souwtjioe itu terus mencari keterangan perihal adiknya, ia lantas dapat dengar, pemimpin Pelangi Merah itu sebenarnya berasal satu hweeshio. Ketika ia selidiki lebih jauh, ia dapat tahu, pemimpin itu benarlah ada adiknya, si pengemis yang masuk menjadi hweeshio. Tapi berbareng dengan itu, ia dengar juga lelakonnya adik ini. Katanya, ketika adik ini turut gurunya memberontak dan guru itu kalah, diam-diam dia telah jual gurunya pada pemerintah musuh, dia sendiri berpura-pura menjadi orang baik-baik, dia melanjutkan memimpin pasukan gurunya itu, yang dia robah menjadi pasukan Pelangi Merah. Dia berjasa dalam pasukan Pelangi Merah itu, sampai akhirnya ia diangkat menjadi pemimpin utama. Lelakon ini tidak dipercaya si kakak angkat, tapi dia kirim utusan, untuk mengajak bekerja sama, yang mana diterima baik. Adalah setelah ini, ia dapat kepastian pemimpin Pelangi Merah benarbenar ada adik angkatnya itu.

   "Segera juga ada pertentangan pengaruh di wilayah Tiangkang antara kedua saudara ini. Si kakak mengirim utusan menyeberangi sungai, ia kirim surat yang berbunyi.

   "Kita berdua bersaudara, siapa pun yang menjadi kaisar, sama saja. Mari kau seberangi sungai, untuk kita bertemu, lebih dahulu kita bicara sebagai saudara, kemudian kita rundingkan dan tetapkan rencana bekerja untuk bersama-sama melawan musuh asing. Di luar dugaan, adik itu merobek surat itu, dia tidak mau menyeberang, malah dia sebaliknya memotong kuping si pembawa surat, siapa disuruh pulang sambil memberikan pesan.

   "Di atas langit tidak ada dua matahari, di muka bumi tidak ada dua raja, maka itu, sama-sama kita adalah orang-orang gagah dari jaman ini, baiklah jikalau bukan kau yang mati, akulah yang binasa!"

   "Kakak itu jadi sangat gusar, maka terjadilah peperangan antara mereka berdua. Selama beberapa tahun, mereka bergantian menang dan kalah. Pertempuran terakhir terjadi di Tiangkang. Kesudahannya, sang adik yang menang, si kakak kena ditawan, dia dipaksa untuk menyerah, supaya dia suka jadi hamba dan akui si adik sebagai junjungannya. Si kakak tidak sudi tunduk, sambil tertawa berkakakan, dia kata.

   "Pengemis, jikalau kau, dapat menurunkan tanganmu, kau bunuh saja aku! Adik itu tidak menyahuti kakaknya, dia hanya perintahkan orang mengemplangi kakaknya hingga binasa, lalu mayatnya ditenggelamkan di dalam sungai Tiangkang. Habis memusnakan kakaknya, adik ini angkat dirinya menjadi kaisar. Beberapa tahun kemudian, raja ini berhasil mengusir bangsa asing dari Tionggoan, dia dapat membasmi lain-lain jago, hingga dia berhasil juga mempersatukan negara. Dengan begitu, jadilah dia satu kaisar yang membuka satu jaman baru. - Nah, adikku, coba kau katakan, kaisar ini jahat atau tidak?"

   Demikian Tan Hong akhiri dongengnya yang pertama itu.

   "Adik itu tidak ingat saudara, pasti dia jahat,"

   Sahut In Loei, yang mendengarkan dengan perhatian.

   "Tetapi dia dapat mengusir bangsa asing, dia dapat merampas kembali negara, dia dapat dikatakan satu orang gagah - enghiong atau hookiat."

   Mendengar itu, air muka Tan Hong sedikit berubah.

   "Hiantee, kau juga mempunyai pemandangan begini?"

   Kata dia dengan tawar.

   "Pengemis itu, setelah dia menjadi kaisar, dia bunuh menteri-menteri yang berjasa, dan terhadap turunan kakaknya, dia tak sudi berlaku murah hati dia sudah kirim orang ke empat penjuru untuk mencarinya, turunan si kakak itu hendak dihabiskan. Maka juga, turunan si kakak itu, bersama-sama turunan beberapa menteri berjasa, sudah kabur jauh sekali, mereka telah berpencaran. Eh, adikku, kau telah dahar habis buburmu, bagus! Dongengku juga telah tamat."

   In Loei angkat kepalanya akan pandang kawannya itu.

   "Toako,"

   Katanya.

   "tentang dongengmu ini, dapat aku menduganya. Kau bicara tentang permulaan berdirinya kerajaan kita. Si pengemis itu adalah Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, dan si kakak penjual garam gelap itu adalah orang yang menamakan dirinya Thio Soe Seng, kaisar dari Kerajaan Tjioe. Hanya belum pernah aku mendengarnya yang mereka itu berdua telah angkat saudara satu sama lain. Dalam buku hikayat juga tidak ditulis demikian, sebaliknya ada dicatat bahwa Thio Soe Seng itu asalnya seorang yang rendah martabatnya dan Thaytjouw membunuh dia adalah untuk membantu rakyat menghukum pemberontak."

   Tan Hong tertawa dingin.

   "Siapa berhasil, dia menjadi raja siapa gagal, dia jadi berandal, demikian bunyi sebuah pepatah,"

   Dia kata.

   "Inilah pepatah yang dari jaman purba sampai sekarang ini tetap menjadi kenyataan. Mengenai mereka mengangkat saudara, jangan kata hikayat tidak berani menuliskan Tjoe Goan Tjiang asal pengemis, asal hweeshio perantauan, malah dalam hikayat buatan negara tak disebutnya sama sekali. Sebenarnya, orang menjadi pengemis, orang jadi hweeshio melarat, bukankah itu tidak menghina leluhur mereka? Hm!"

   Halnya Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang pernah menjadi pengemis dan di kuil Hongkak sie menjadi hweeshio, di kolong langit ini tidak ada orang yang tidak mengetahuinya.

   Tapi setelah Tjoe Goan Tjiang menjadi kaisar, hal ihwalnya itu ia jadikan pantangan untuk diceritakan orang, karena pantangannya itu, hingga ia telah menghukum mati beberapa orang yang dianggap sudah melanggar larangannya itu.

   Tentang ini, In Loei pernah dengar engkong-nya bercerita, ia pun ketahui itu.

   Sekarang, mendengar ceritanya Thio Tan Hong, ia jadi ingat kepada bencana yang dialami engkong-nya itu sendiri, yang teraniaya dan terbinasa secara kecewa.

   Maka di dalam hatinya, ia berkata.

   "Dasar mereka yang menjadi raja semua bukan orang baik-baik, peduli apa kau dengan Tjoe Goan Tjiang atau Thio Soe Seng itu? Cuma, apa maksud toako menceritakan dongeng ini? Kenapa dia kelihatannya membenci kepada Beng Thaytjouw pendiri dari kerajaan kita ini?"

   "Sudah, jangan kau bicara banyak,"

   Kata Tan Hong, melarang orang banyak omong, dan ia teruskan menguruti "pemuda"

   Itu.

   In Loei berdiam, ia berdiam terus, karena ia tertidur.

   Ketika besok pagi ia mendusi, ia dapatkan Thio Tan Hong tengah berduduk di sisinya, apabila ia lihat tubuh orang, ia dapatkan orang belum merapikan pakaian.

   Yang membuatnya ia heran, ialah mata si mahasiswa tampak bengkak, suatu tanda bahwa tadi malam kawannya ini banyak menangis.

   Ia terharu, ia merasa berkasihan.

   "Pasti dia berduka, sebentar setelah ia selesai menutur padaku, mesti aku hibur dia,"

   Ia ambil putusan. Ketika Thio Tan Hong lihat kawannya itu telah bangun dari tidurnya, ia bersenyum.

   "Adakah kau merasa baikan?"

   Dia tanya.

   "Banyak baik,"

   Sahut In Loei cepat.

   "Tentunya semalam toako tidak tidur?....."

   Tan Hong tertawa.

   "Bagiku tidak tidur beberapa hari atau sekalipun tidur hingga beberapa hari ada sama saja, biasa saja,"

   Sahutnya.

   "Tak usah kau pikirkan aku. Sekarang mari lonjorkan kakimu."

   In Loei menurut, ia majukan kaki kanannya itu.

   Tan Hong loloskan sepatu orang, habis itu ia mulai menguruti kaki itu, dari ujung sampai ke mata kaki, ke seputarnya, lalu naik hingga ke betis.

   Selama itu, In Loei merasakan sedikit sakit.

   Itulah tanda bahwa urutan itu tepat sekali.

   Lalu, setelah itu, ia merasakan hatinya lega.

   "Sekarang, cukup sampai di sini!"

   Kata Tan Hong, yang menghentikan urutannya pada apa yang dia namakan "samyang".

   "Besok akan kuurut pula, supaya pulih kesehatanmu. Sekarang kau boleh beristirahat pula, kau bersemedi."

   Habis, berkata, ia geser tubuhnya, un- tuk kemudian keluarkan gambarnya.

   Ia gunakan terang api lilin untuk memandang gambar itu.

   Lama ia mengawasi, ia meneliti, seperti ia tengah mencari sesuatu dalam gambar itu.

   Begitu lama In Loei beristirahat, begitu lama juga ia memandangi gambar itu.

   Sampai tiba-tiba terdengar tindakan kaki di luar pekuburan.

   Baharu setelah itu, pemuda ini menghela napas, lantas ia gulung pula gambar itu.

   "Kenapa sih ada orang yang sangat menyukai tempat hantu ini?"

   Katanya perlahan, setelah mana, ia pesan kawannya.

   "Tidak peduli apa yang kau saksikan, jangan kau buka suara!"

   Rupanya di luar kubur itu bukan berada cuma satu orang, itulah ternyata dari suara dan caranya tanah di gali, dibongkar.

   Tidak lama kemudian terdengar suara menggabruk keras, dari terbukanya daun pintu.

   Ini juga menandakan usahanya suatu tenaga yang besar sekali.

   Segera ternyata, mereka itu berjumlah lima orang.

   Mereka membawa obor.

   Dengan berlerot, mereka masuk ke dalam kuburan.

   In Loei pasang matanya.

   Ia kenali, yang empat adalah si saudagar-saudagar barang permata.

   Mereka ini, dua jalan di depan, dua lagi di sebelah belakang.

   Yang jalan di tengah adalah Heksek tjhoeng Tjhoengtjoe, atau tuan rumah dari Heksek tjhoeng atau Tjio keetjhoeng, ialah Hongthianloei Tjio Eng.

   Ia terkejut.

   "Empat saudagar itu mestinya ketahui kamar rahasia ini,"

   Ia berpikir.

   "Jikalau Tjio Eng menitahkan aku pulang, bagaimana?"

   Ia menjadi bingung.

   "Mereka berdua mesti masih berada di dalam sini,"

   Terdengar satu saudagar berkata.

   "Tjio lootjhoengtjoe, kami mohon pertimbanganmu."

   Menuruti hawa amarahnya, Hek Pek Moko sudah lantas menuju pulang ke Thibet, karena kepergiannya itu, mereka titahkan ke empat saudagar pergi berusaha ke Selatan, untuk menyelesaikan usaha mereka.

   Dua hantu ini, dengan sudah menyerahkan harta bendanya, tidak ingin melanjutkan pekerjaannya itu.

   Tidak demikian dengan ke empat saudagar ini, mereka ini tidak puas, maka kebetulan sekali untuk mereka, di tengah jalan mereka bertemu dengan Tjio Eng yang tengah menyusul gadisnya.

   Mereka tuturkan pada Tjio Eng apa yang mereka alami, tentang Hek Pek Moko juga, setelah mana mereka minta jago tua ini membantu mereka.

   Mereka pun sebut nama Thio Tan Hong, yang mereka tunjuk adalah pencuri di rumah Tjio Eng pada malam itu.

   Mereka tahu, Tjio Eng kalah liehay daripada Hek Pek Moko, akan tetapi tjhoengtjoe ini besar pengaruhnya, kalau "Loklim tjian"

   Diumumkan, mereka percaya, Thio Tan Hong, tidak akan dapat terbang lolos.

   Tjio Eng memang ingin menemui Thio Tan Hong, dengan menemui Tan Hong, ia percaya, ia harap, nanti ia ketahui juga tentang In Loei, maka itu, ia berpura- pura menerima baik permintaannya ke empat saudagar itu, yang ia terus minta menjadi juru pengantarnya.

   Demikian, mereka itu telah memasuki lobang kubur.

   Setelah memutari ruang besar dengan sia-sia, karena mereka tidak dapatkan orang yang mereka cari, ke empat saudagar itu sudah lantas pentang mulut mereka lebar- lebar, mereka berteriak-teriak.

   "Bocah cilik yang berani lekas kau keluar!"

   Akan tetapi Tjio Eng segera cegah perbuatan orang itu.

   "Jangan!"

   Kata tjhoengtjoe itu, yang sebaliknya, sudah lantas mengangkat kedua tangannya, untuk menjura ke arah udara sambil berkata.

   "Thio Kongtjoe, silakan keluar. Aku si orang tua berdahaga sangat untuk bertemu denganmu. Dengan ada aku di sini, dapat aku damaikan kamu kedua pihak untuk menyelesaikan perselisihan kamu."

   Tercengang ke empat saudagar itu menampak sikapnya jago dari Tjio keethjung ini. Inilah mereka tidak sangka. Satu di antaranya, yang menjadi kepala, lantas kisiki jago itu.

   "Lootjhoengtjoe, jangan kau kuatir. Jikalau mereka itu berdua tidak kurang suatu apa, dengan mereka bekerja sama walaupun kita ada berlima, kita memang bukan tandingan mereka, akan tetapi baba mantumu itu telah dilukai Pek Moko, maka itu dengan dia bersendirian saja, pasti dapat kita lawan padanya. Mana bisa dia jadi tandingan kita? Looenghiong, jangan kau kuatirkan lukanya menantumu itu, kami tanggung kami dapat mengobati dia hingga sembuh. Untuk kami, sudah cukup asal bocah berkuda putih mengembalikan barang-barang permata kami....."

   Mulanya ke empat saudagar ini tidak mau menyebutkan hal In Loei telah terluka, akan tetapi sekarang, melihat sikapnya Tjio Eng, mereka sangka orang she Tjio ini jeri terhadap Thio Tan Hong, terpaksa mereka buka rahasia, supaya orang menjadi murka.

   Berkuatir Tjio Eng mendengar baba mantunya terluka akan tetapi meleset dari terkaan ke empat saudagar, ia tak ubah sikapnya.

   Malah dengan lantas ia sudah berkata pula.

   "Thio Kongtjoe, aku minta sukalah kau keluar! Menantuku itu tidak tahu suatu apa, untuk perbuatannya yang sembrono, sudilah kau memaafkannya."

   Di dalam kamar rahasia, Thio Tan Hong tetap tidak perdengarkan suaranya.

   "Baiklah!"

   Kata ke empat saudagar dengan nyaring.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"jikalau tetap kau tidak mau keluar, nanti kami menerjang masuk, nanti kami gusur padamu!"

   Mereka ini tidak hanya mengancam, mereka sudah lantas mengambil batu potongan dengan apa mereka coba membuka pintu rahasia.

   Sampai di situ Thio Tan Hong sudah lantas ambil putusannya.

   Ia berbisik di kuping In Loei, untuk memberikan pesannya, habis mana ia geser kunci rahasia, hingga pintu rahasia itu terpentang sendirinya, menyusul mana ia lompat keluar.

   Akan tetapi, begitu lekas ia berada di luar, ia segera tutup pula pintu itu.

   Ke empat saudagar itu tengah berdegingan mengeluarkan tenaga mereka, dengan pintu rahasia terbuka sendiri, habis keseimbangan tubuh mereka, tidak ampun lagi, mereka rubuh dengan sendirinya.

   Kemudian, ketika mereka telah berbangkit pula, mereka tampak Thio Tan Hong tengah mengipasi diri, dandanannya adalah dandanan seperti dia melayani Hek Pek Moko bertempur, bajunya makwa yaitu baju yang bersulam sepasang naga asyik memperebutkan mutiara di tengah laut.

   Segera mereka lompat ke empat penjuru, untuk mengambil sikap mengurung, setelah mereka mengepung dengan lekas Tjio Eng mulai menyerang.....

   Cahaya api menyinari wajah Thio Tan Hong, dia tampaknya sangat tenang.

   Ia masih mengipas dirinya ketika ia bersenyum menghadapi Tjio Eng.

   "Tjio Tjhoengtjoe,"

   Katanya dengan sabar, sikapnya halus.

   "mengingat kepada budimu beberapa puluh tahun yang lampau, dengan aku mewakilkan marhum orang tuaku, dengan ini terimalah hormat dan ucapan terima kasihku."

   Tjio Eng awasi anak muda itu, ia rupanya telah dapat melihat dengan tegas, dengan tiba-tiba saja ia menangis, lalu ia jatuhkan dirinya berlutut di depan anak muda itu, akan manggut-manggut hingga empat kali.

   "Siauw..... siauw....."

   Katanya, suaranya tertahan.

   Sebab Thio Tan Hong sudah lantas goyangkan tangannya berulang-ulang terhadapnya, mencegah dia bicara terus.

   Sesudah itu.

   Tan Hong maju menghampiri, akan pimpin bangun jago itu, dan ia, sebaliknya, menjura dengan hormatnya, untuk membalas menghormat.

   Ia bersikap sangat hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, maka biar bagaimana, nyata itu ada suatu pemberian hormat dari yang atasan kepada yang bawahan.

   Sikap Tjio Eng ini membuat heran dan kaget orang-orang yang berada di dalam ruang, ialah ke empat saudagar itu, tidak terkecuali dia yang sedang bersembunyi di dalam kamar rahasia.

   Cuma In Loei, sehabis itu, hatinya menjadi lega sekali, hingga di dalam hatinya berkata.

   "Nyatalah toako bukan orang jahat. Melihat Tjio looenghiong bersikap demikian hormat kepadanya, caranya ia membalasnya ada kurang pantas. Dia masih sangat muda, masa dia berani terima hormat orang sambil berlutut?"

   Ke empat saudagar itu, bahna kaget dan herannya, menjadi berkuatir.

   Adalah di luar sangkaan mereka, orang yang mereka buat andalan untuk menghadapi musuh, sekarang ternyata adalah sahabatnya musuh itu.

   Thio Tan Hong seorang diri, mereka sudah tidak sanggup lawan, apa pula dia dibantu Tjio Eng.

   Tapi Thio Tan Hong tetap bawa sikap tenang dan sabar.

   "Tjio Tjhoengtjoe ada di sini,"

   Kata dia pada saudagar-saudagar itu, ia bersenyum.

   "coba kamu tanya dia, benar atau tidak aku ada seorang yang serakah akan harta permata hingga aku mencurinya?"

   Empat saudagar itu bisa bawa diri, dengan lekas mereka ubah sikapnya. Demikian, dengan tersipu-sipu, mereka menjura, untuk memberi hormat.

   "Kamu tunggu!"

   Dia kata.

   "Segala harta Hek Pek Moko itu, sama sekali tidak aku taruh dalam hatiku!"

   Dia lantas membalik tubuhnya, sebelah tangannya diulur.

   Dia buka pintu rahasia, tetapi dia pentang sedikit saja, hanya muat tubuhnya, untuk dia bertindak masuk.

   Kamar rahasia itu besar, In Loei duduk di pojok, ia tidak terlihat oleh orang- orang di sebelah luar, sedang ke empat saudagar, berikut Tjio Eng, tidak berani melongok.

   Mereka ini cuma lihat Tan Hong menjemput sebatang sapu dengan apa si anak muda lantas menyapu di satu pojokan di mana tertumpuk rupa-rupa barang berharga dari Hek Pek Moko, semua itu disapu bagaikan kotoran keluar kamar.

   Setelah berada pula di luar, Tan Hong ber-dongak, ia tertawa besar.

   "Umumnya manusia didunia gemar akan permata atau mustika, aku sebaliknya menyukai kepintaran atau pengetahuan!"

   Katanya dengan nyaring.

   "Mari, mari maju, kamu boleh hitung barang-barang ini, ada yang kurang atau tidak!"

   Bukan kepalang girangnya ke empat saudagar itu, mereka sudah lantas maju, untuk turun tangan, akan punguti setiap permata dan barang kuno itu, untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka yang besar, yang terus mereka gendol di bebokong mereka.

   "Sekarang pergilah kamu!"

   Thio Tan Hong membentak.

   "Pergi kamu beritahukan kepada Hek Pek Moko supaya mereka berusaha dengan baikbaik, jangan lagi mereka main paksa dengan andalkan ketangguan mereka!"

   Ke empat saudagar itu manggut-manggut.

   "Ya, Ya,"

   Sahut mereka. Lalu mereka mengambil hati.

   "Bagaimana dengan lukanya sahabatmu itu? Dapatkah kami obati dia....."

   "Kamu dapat mengobati dia?"

   Tanya Tan Hong, mengulangi.

   "Itulah tidak perlu! Siang-siang sudah aku mengobatinya! Sudah, jangan kamu banyak omong lagi, lekas kamu angkat kaki!"

   "Ya, ya....."

   Sahut ke empat saudagar itu, yang benar-benar tidak berani banyak bicara pula, mereka lantas undurkan diri sambil membungkuk-bungkuk hingga di luar. Thio Tan Hong awasi orang pergi, lalu ia tertawa.

   "Telah aku sapu bersih semua kotoran ini, sangat lega hatiku!"

   Kata dia.

   "Barang barang tak halal, sebenarnya, tak usah ditakuti untuk memakainya, cuma haruslah dipakai menurut jalan yang tepat. Tidakkah demikian, Tjio looenghiong?"

   "Benar apa yang siauwtjoe katakan,"

   Jawab Tjio Eng sambil menjura. Sekarang, dengan tidak adanya orang luar, berani ia mengatakannya "siauwtjoe,"

   Yang berarti "tuan"

   Atau "majikan muda."

   "Baiklah,"

   Kata Tan Hong.

   "Kau telah menemui aku, sekarang boleh kau pergi."

   "Aku minta siauwtjoe suka mengembalikan menantuku,"

   Tjio Eng mohon.

   "Tentang jodohnya puterimu, kau serahkan saja itu pada In Loei dan aku,"

   Jawab Tan Hong.

   "Jangan kau kuatirkan, tak usah kau pikirkan. Kita pasti akan berikan kau satu baba mantu yang jempol. Aku tidak ingin kau berdiam lama di sini, kau boleh lekas pergi!"

   Kata-kata "pergi"

   Itu diucapkan dengan keras hingga berupa titah. Tjio Eng menjura.

   "Kalau begitu, baiklah siauwdjin pergi,"

   Kata dia.

   "Siauwtjoe, kau masih hendak menitahkan apa lagi?"

   Kata-kata "siauwdjin"

   Itu artinya "hamba yang rendah."

   Mendengar bahasa merendah dan menampak sikap orang yang sangat hormat itu, In Loei heran.

   "Tjio Eng ada pemimpin kaum Rimba Hijau di dua propinsi Shoasay dan Siamsay, kegagahannya juga tidak ada di bawahan Thio Tan Hong, kenapa dia nampaknya begini sangat hormat dan takut?"

   Ia pikir.

   "Kenapa dia memanggilnya siauwtjoe dan membahasakan diri siauwdjin? Mungkinkah dahulu dia ada pegawainya toako?"

   "Tidak apa-apa lagi,"

   Begitu ia dengar Tan Hong menyahuti. Masih Tjio Eng bicara, katanya.

   "Jikalau siauwtjoe membutuhkan sesuatu, nanti siauwdjin kirim Loklim tjian, biar bagaimana juga saudara-saudara di Jalan Hitam tentulah suka memberi muka padaku."

   Mendadak, Thio Tan Hong tertawa besar.

   "Di dalam dunia ini kadang-kadang terjadi apa yang di luar sangkaan kita,"

   Katanya.

   "Maka itu aku kuatir, kalau nanti tiba waktunya, siapa juga tidak akan dapat membantu aku!"

   Air mukanya Tjio Eng berubah dengan tiba-tiba, ia menjadi jengah.

   "Walaupun siauwdjin tidak berguna,"

   Ia kata.

   "kalau nanti siauwtjoe menitahkan aku, meski mesti menyerbu api, tidak nanti aku menampiknya!"

   Thio Tan Hong kibaskan tangannya, ia nampaknya lesu.

   "Aku terima kebaikanmu ini,"

   Ia kata.

   "Nah, pergilah!"

   Tjio Eng memberi hormat, lantas ia memutar tubuh dan pergi. Hati In Loei bergoncang, ia merasa tidak tenang. Begitu Tan Hong masuk ke dalam kamar rahasia, kembali ia berkata.

   "Toako, Tjio Eng tanyakan padamu, kau hendak menitah apa lagi, kenapa kau tidak gunakan ketikamu untuk minta suatu apa daripadanya?"

   "Apakah itu?"

   Tan Hong balik menanya.

   "Kemarin ini, anak muda yang datang bersama Tjoei Hong, bukankah dia pernah menyebutkan tentang Loklim tjian?"

   Tanya In Loei. Thio Tan Hong mengawasi, ia tertawa.

   "Apakah kau maksudkan itu tjeetjoe muda dari luar kota Ganboenkwan?"

   Ia menanya pula.

   "Dia dan ayahnya terhitung orang-orang kenamaan juga, jikalau dia bekerja sama dengan Tjio Eng menyiarkan Loklim tjian, akibatnya itu tidak baik bagiku. Aku telah ambil putusan, selama hidupku, tidak sudi aku memohon sesuatu dari lain orang. Lagi pula, menindih orang dengan kekuatan pengaruh, itu membuat mukaku tidak terang. Bicara terus terang, jikalau aku takut orang menyiarkan Loklim tjian, tadi begitu aku keluar, begitu lekas juga dapat aku menghabiskan jiwa kakak angkatmu itu. Aku justeru hendak membiarkan orang mencobanya. - Ya, Tjio Tjoei Hong dengan Tjioe San Bin itu memang setimpal sekali, pantas kau di dalam kamar kemantin selalu menyebut-nyebut kakak angkatmu itu!"

   Tan Hong ucapkan kata-katanya yang terbelakang ini secara wajar. Biar bagaimana, In Loei toh berduka, ia ber-kuatir. Tidak tahu ia, di antara Tan Hong dan Tjioe Kian ada urusan apa, mungkin antara mereka itu ada ganjalan....."

   Thio Tan Hong awasi si nona, ia bersenyum.

   "Melihat wajahmu, kau maju banyak,"

   Ia kata "Sekarang lanjutkanlah istirahatmu. Sebentar, selagi bersantap malam, akan aku ceritakan kau dongeng yang kedua."

   In Loei turut nasehat itu, karena ia berbakat baik, pada waktu hendak bersantap malam, kesehatannya telah pulih tujuh atau delapan bagian, hingga dapat ia makan rangsum kering.

   Thio Tan Hong layani orang dahar, sambil melayani, ia ceriterakan dongengnya.

   "Pada jaman dahulu kala, ada sebuah negara,"

   Demikian ia memulai.

   "Di dalam negara itu ada seorang menteri yang setia. Apa she dan nama menteri itu tidak usah aku menyebutkannya. Sebab tidak peduli di jaman atau kerajaan apa, mesti ada saja semacam menteri setia itu. Mungkin dia she Thio, mungkin dia she Lie, bisa jadi juga dia she Ong atau she In....."

   "Di samping negara itu, ada sebuah negara lain yang bertetangga dengannya. Kedua negara itu sering berperang satu pada lain. Suatu waktu, negara yang satu yang menyerbu, ada kalanya, negara yang lain yang menerjang, tapi tidak peduli negara yang mana yang menerjang masuk, kesudahannya yang celaka adalah si rakyat jelata.

   "Ketika terjadinya dongengku ini, kebetulan negara dari si menteri besar yang setia dan berpengaruh itu, menghendaki negara yang lain itu membayar upeti setiap tahun dan setiap tahun harus mengirim utusan selaku tanda hormat dan setia. Negara ini, yang kalah pengaruh, menjadi sangat tidak puas, maka itu ia mengumpulkan orang-orang cerdik pandai, hingga dengan perlahan-lahan ia pun menjadi kuat. Negara si menteri besar dan setia itu tak senang melihat tetangganya menjadi kuat, dia berkuatir, segera dia kirim si menteri besar dan setia selaku utusan dengan tugas, disatu pihak untuk mempererat persahabatan katanya, di lain pihak untuk dengan cara diam-diam menyelidiki keadaan yang benar dari Negara taklukkannya ini. Di luar sangkaan, menteri besar dan setia itu telah pergi dua puluh tahun lamanya..... Eh, saudara kecil, kau kenapa?..... Kau tahu, kenapa dia pergi sampai lamanya dua puluh tahun itu? Kiranya..... Eh, adik Loei, adik Loei!....."

   Thio Tan Hong dongeng sambil mengawasi sahabatnya itu, selama itu hamper setiap detik, ia tampak air muka orang berubah sedikit demi sedikit, sampai waktunya ia menyebutkan "dua puluh tahun,"

   Wajah In Loei menjadi pucat sekali dan tubuhnya pun bergoyang, bagaikan hendak rubuh.

   Ia menjadi kaget, maka dengan lantas ia ulur tangannya, untuk pegang tubuh orang untuk cegah dia jatuh.

   Walaupun keadaannya sedemikian rupa, bagaikan kesehatannya sangat terganggu dengan tiba-tiba, In Loei masih dapat bicara, malah ketika ia buka mulutnya, ia seperti menyambungi dongengnya Tan Hong itu.

   Ia kata.

   "Kau tahu, kenapa menteri besar dan setia itu pergi sampai lamanya dua puluh tahun? Kiranya orang telah menahan dia, dia dipaksa menggembala kuda di tempat di mana ada banyak es dan salju! Sudah, toako, tak usah kau lanjutkan dongengmu ini, tak suka aku mendengarnya....."

   Wajah Tan Hong juga lantas berubah menjadi pucat, sepasang alisnya dikerutkan.

   Agaknya dongengnya ini, dongeng yang tua, sekarang telah berubah menjadi kenyataan.

   Nampaknya, ia seperti telah sadar dengan tiba-tiba dari mimpinya.

   Dengan tajam ia terus awasi In Loei.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Saudara kecil,"

   Katanya kemudian.

   "kiranya kau telah ketahui dongeng ini. Kalau begitu, baiklah, besok malam aku akan ceritakan dongeng yang ketiga, nanti kau dapat mengerti semuanya. Saudara kecil, sekarang apapun kau tidak usah tanyakan, apa juga tidak usah kau mengatakannya. Kau harus beristirahat, tak dapat kau banyak bergerak dan banyak berpikir, nanti kau gagal memulihkan kembali kesehatanmu. Saudara kecil, mari aku bantu pula padamu."

   Ia cekal kedua telapak tangan In Loei, tangan itu, ia rasakan, berhawa panas. Ia juga lihat bahwa sinar mata si nona guram.

   "Saudara kecil, hatimu sedang pepat"

   Ia kata.

   "Baiklah kau menunda sebentar untuk bersemedi."

   Ia lepaskan cekalannya, lantas ia jalan mondar-mandir di dalam kamar rahasia itu, atau ia jalan mengitari ruangan.

   In Loei mesti tenangkan hati, kalau tidak kesehatannya tak akan pulih.

   Ia lihat kelakuan orang itu, ia insyaf Tan Hong sedang mendukakan ianya.

   Beberapa kali hendak ia menanya, ia batal, masih dapat ia kendalikan diri.

   Akhirnya, ia singkap rambutnya, ia bersenyum.

   "Toako, perlu kau tidur siang-siang,"

   Ia kata.

   "Akan aku sabarkan diri, untuk menanti sampai besok, guna mendengarkan dongengmu yang ketiga."

   Setelah mengucap demikian, hati si nona benar-benar menjadi tenang.

   Thio Tan Hong pun bersenyum, ia angkat ouwkim-nya dari atas meja kemala, lantas ia akurkan talinya, terus ia menabuh, yang mana ia iringi dengan nyanyiannya sendiri.

   Ia nyanyikan sebuah syair pujian untuk kota Hangtjioe yang indah, syair dari jaman Kerajaan Song.

   Pandai ia menabuh, merdu ia bernyanyi.

   Mendengar itu, lega hati In Loei, lenyap kedukaannya.

   Habis memainkan lagu dan bernyanyi.

   Tan Hong letakkan ouwkim-nya di atas meja, terus ia hampirkan si nona.

   Ia usap-usap rambut orang.

   "Adik kecil, kau tidur, tidurlah,"

   Katanya, perlahan.

   Bagaikan terkena pengaruh sihir, In Loei meram-kan matanya, tidak lama, ia tertidur.

   Besok, pagi-pagi, apabila ia mendusi, In Loei merasakan tubuhnya segar.

   Semalam ia tidur nyenyak, tanpa gangguan.

   Girang Tan Hong menampak keadaan In Loei.

   "Adik kecil, hari ini kau beristirahat pula,"

   Katanya.

   "Habis ini, kesehatanmu akan kembali seluruhnya, malah tenaga dalammu bukannya berkurang tapi bertambah!"

   In Loei menurut, ia terus beristirahat, ia terus bersemedi.

   Tan Hong pun tak bosan-bosan selang setiap satu jam, dengan tetap ia berikan bantuannya, untuk mengempos semangat si nona.

   Demikian, selewatnya tengah hari, selesailah ia dengan cara pengobatan samyang dan samim-nya.

   Wajah In Loei telah bersemu merah sekarang.

   "Saudara kecil,"

   Kata Tan Hong dengan girang.

   "lewat lagi dua jam, kau akan pulih seanteronya!"

   In Loei girang, ia bersenyum.

   Selagi ia terus bersemedi, Tan Hong duduk sendirian di sisinya memandangi gambarnya.

   Berselang setengah jam, tiba-tiba Tan Hong kerutkan alis.

   Dengan kupingnya yang tajam sekali, ia dengar suara orang di luar pekuburan itu.

   "Kenapa ada lagi orang datang mengacau?"

   Ia berpikir.

   Dengan sekonyong-konyong terdengarlah kuda Tjiauwya saytjoe ma berbenger, lalu disusul dengan satu suara sangat keras dan nyaring, yang mengakibatkan gempurnya pintu pekuburan, hingga debu pun mengepul.

   Lalu menyusul itu terlihatlah seekor kuda putih lari masuk, dibebokongnya ada seorang dengan pakaian hitam.

   Tanah di mana nancap tiang pintu memang telah lenyap kekuatannya, akan tetapi walaupun demikian, tidak sembarang orang dapat menggempurnya, sekarang orang berpakaian hitam itu dapat melakukannya, itulah suatu tanda bahwa tenaganya besar sekali.

   Dan yang lainnya yang mendatangkan keheranan adalah si kuda putih, - kuda Tjiauwya saytjoe ma - kuda yang istimewa karena binalnya.

   Kuda ini tidak akan menurut kecuali pada majikannya, akan tetapi aneh, sekarang dia dapat dikendalikan orang lain.

   Maka itu, di dalam kamar rahasia, In Loei dan Tan Hong terkejut.

   Di ruang dalam, kuda putih itu berbenger pula dengan keras, berulang kali.

   Mulai dari pintu, dia sudah lari keras, sampai di dalam dia lari berputaran.

   Di ruang dalam itu, si penunggang kuda lompat turun dari bebokongnya, begitu dia injak tanah, dia berulang kali perdengarkan panggilannya.

   "Tan Hong! Tan Hong!"

   Sekarang, di antara kaca rahasia, Tan Hong kenali orang itu, ialah Tantai Mie Ming, panglima dari negara Watzu.

   In Loei kaget sekali, sampai ia menjerit, lalu ia gerakkan tubuhnya, untuk lompat turun, tetapi, belum sampai ia bergerak, ia segera rasakan pinggangnya lemah, kaku, hingga tak dapat ia bergerak.

   Dengan sebat luar biasa, Thio Tan Hong totok kawan ini menyusul mana dia berbisik di kuping si nona.

   "Saudara kecil, jangan bergerak, kau lanjutkan semedimu! Aku hendak keluar, segera aku kembali. Kau sabar, kau tunggu, nanti aku tuturkan kau dongeng yang ketiga itu....."

   "Tan Hong, kau ada bersama siapa di dalam?"

   In Loei, yang terus memandangi kaca, dapat melihat dengan tegas. Kuda putih berdiri di dampingnya Tantai Mie Ming, kuda itu seperti telah kenal baik pahlawan asing itu. Tan Hong sudah lantas membuka pintu rahasia, dia lompat keluar.

   "St!"

   Katanya Melihat si anak muda, Tantai Mie Ming berkata pula.

   "Tan Hong, Siangya....."

   Lalu mendadak, ia berhenti.

   "St!"

   Demikian suara Tan Hong pula.

   "Tan Hong, ayahmu menyuruh kau pulang!"

   Terdengar Tantai Mie Ming berkata. Tidak lagi ia menyebutnya "Siangya" - "Sri paduka,"

   Panggilan untuk perdana menteri.

   "Tantai Tjiangkoen,"

   Tan Hong menyahut.

   "tolong kau sampaikan kepada orang tuaku, setelah aku meninggalkan Mongolia, untuk selanjutnya hidupku adalah sebagai bangsa Tionghoa, dan aku tidak akan kembali lagi!"

   Tantai Mie Ming tidak segera undurkan diri.

   "Kau ingat, Tan Hong,"

   Katanya.

   "sekalipun kau tidak memikirkan lagi ayahmu, kau toh mesti pikirkan dirimu sendiri. Seorang diri kau memasuki Tionggoan, di antara orang-orang gagah dari Tionggoan itu, siapakah yang ketahui dirimu, siapa yang tahu hatimu?"

   Tapi Tan Hong menjawab dengan suara dalam.

   "Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi laksaan keping, akhirnya, tubuhku mesti dikubur di tanah Tionggoan! Inilah terlebih baik daripada mayatku dipendam di negara asing, hingga aku meninggalkan bau busuk di negara lain! Aku minta tolong kau sampaikan kepada orang tuaku, pesanlah agar dia rawat dirinya baik- baik....."

   Mendengar sampai di situ, bukan main herannya In Loei.

   "Kalau Tan Hong ada orang Tionghoa yang bertempat di Mongolia, kenapa Tantai Mie Ming berlaku begini baik padanya?"

   Ia berpikir.

   "Tantai menyebutnya Siangya..... Siangya..... Mungkinkan Tan Hong ada?....."

   Tak dapat nona ini berpikir, terus, pikirannya itu terganggu oleh seruan Tantai Mie Ming. Panglima Watzu ini mengayunkan tangannya ketika ia menegaskan.

   "Apakah benar-benar kau tidak hendak turut aku pulang"

   "Tantai Tjiangkoen,"

   Katanya dengan sangat masgul.

   "kenapa kau begini mendesak aku?"

   Kembali tangannya Tantai melayang, kali ini ke arah dada.

   Tan Hong tidak berkelit pula, ia menangkis, tapi karena ini, ia diserang pula, terus menerus, setiap serangan panglima Watzu itu mendatangkan suara angin, satu kali dia menyambar batang leher orang, secara hebat sekali! Kalut pikirannya In Loei.

   Ia heran, ia kaget, ia pun girang.

   Ia kaget karena serangan dahsyat dari Tantai Mie Ming, serangan yang jauh melebihi hebatnya serangan dari Hek Pek Moko.

   Ia girang karena akhirnya Tan Hong membuat perlawanan, hingga teranglah sudah Tan Hong itu bukan orang segolongan Mie Ming.

   Yang membikin ia heran dan curiga, adalah kata-kata "Siangya" - "Sri paduka perdana menteri."

   Ia sampai merasa uluhatinya bagaikan ditikam pisau tajam.

   Ia jadi ragu-ragu untuk dirinya orang she Thio ini.....

   Oleh karena perlawanan Tan Hong itu, pertempuran jadi berlangsung hebat, tubuh mereka berdua melesat pergi datang, mendatangkan sambaran angin tak putusnya.

   Tubuh mereka bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak cepat tak hentinya.

   Tantai Mie Ming gesit bagaikan kera, kepalannya berat bagaikan tubrukan harimau.

   Nyata ia sangat kuat dan lincah.

   Dengan serbuannya itu ia membuatnya Tan Hong tiap-tiap kali mundur.

   In Loei bertegang hati, ia sangat berkuatir.

   Mau ia lompat, tapi tak dapat ia berbuat.

   Ia coba empos dirinya, akan bebaskan diri dari totokan Tan Hong, ini pun tidak berhasil.

   Ia jadi mengawasi dengan mendelong, hatinya berdenyut keras.

   Tiba-tiba Tantai Mie Ming ulur sebelah tangannya, menyambar tubuh Tan Hong, sambil menyambar ia berseru nyaring.

   "Pergilah kau!"

   Tan Hong kena disambar, lalu tubuhnya dilemparkan ke atas, dilepaskan dari cekalan! In Loei kaget hingga ia meramkan matanya dan berseru tertahan.

   Tapi begitu ia buka pula matanya, hatinya menjadi lega.

   Tubuh Tan Hong terlempar, ketika ia jatuh ke tanah, ia perdengarkan suara, tetapi In Loei dapatkan ia tengah berdiri dengan tidak kurang suatu apa.

   Benar Tan Hong telah dilemparkan, tetapi ia dilemparkan hingga tubuhnya jumpalitan, maka itu, waktu tubuh itu turun, kakinya yang tiba lebih dahulu di tanah.

   Sampai di situ, Tantai Mie Ming maju dua tindak kepada si anak muda.

   Ia tampak bersenyum.

   "Tan Hong, tidak kecewa gurumu mengajari kau dengan susah payah!"

   Katanya, dengan kagum.

   "Kau benar-benar liehay! Karena kau sanggup melayani aku selama lima puluh jurus, kau boleh menjagoi di kalangan kangouw. Baiklah, kau boleh bawa dirimu, berlakulah hati-hati! Di depan ayahmu nanti, akan aku talangi kau bicara, kau jangan kuatir."

   Baharu sekarang Tan Hong ketahui orang sebenarnya mencoba padanya, orang bermaksud baik. Karenanya, ia lantas menjura.

   "Tantai Tjiangkoen, dalam segala hal, aku mengandal pada kau!"

   Ia kata. Tantai manggut, atau mendadak ia tanya.

   "Siapa itu di dalam kamar?"

   "Dia adalah satu sahabatku,"

   Tan Hong beritahu.

   "Dia tidak ingin bertemu denganmu, dari itu aku mohon, dengan memandang aku, jangan kau membuatnya dia kaget."

   "Jikalau dia tidak sudi menemui, tak usah dia dipaksa,"

   Kata Tantai.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau tahu, adalah maksud Thaysoe bahwa pada bulan sepuluh....."

   "St!"

   Tan Hong perdengarkan pula cegahannya. Tantai berhenti dengan tiba-tiba, lalu ia tertawa.

   "Setelah sekarang ini, tak dapat diketahui di belakang hari kita akan bertemu pula atau tidak,"

   Kata dia, menyambungi.

   "maka marilah kau keluar, untuk kita bicara sebentar."

   Tanpa tunggu jawaban, Tantai sambar tubuh T an Hong, untuk dibawa lompat naik ke atas kuda, kuda mana segera dikeprak untuk dilarikan keluar kuburan.

   In Loei bernapas lega, atau segera ia merasa tertekan pula, seolah-olah jantungnya ditindih batu seberat seribu kati.

   Bukankah Tan Hong diajak keluar dengan paksa? Tapi karena ia tidak berkuatir, cuma hatinya yang tidak tenteram, lekas-lekas ia bersemedi, untuk tenangkan diri.

   Ia empos semangatnya, ia mencoba kerahkan tenaga dalamnya.

   Kali ini, di luar dugaannya, ia berhasil.

   Ia bebas dari totokan! Maka lantas saja ia lompat turun.

   "Kau tunggu, akan aku pecahkan rahasia dirimu!"

   Ia kata di dalam hatinya.

   Ia melihat kesekitarnya.

   Ia dapatkan pedangnya Tan Hong masih tergantung di tembok.

   Ia hampirkan pedang itu dan menurunkannya.

   Ia periksa gagangnya, ia dapatkan ukiran dua huruf "Pekin" - "Mega Putih".

   Lantas hatinya memukul.

   "Pekin"

   Beserta "Tjengbeng"

   Adalah dua pedang - atau pedang sepasang - yang menjadi peryakinannya Hian Kee Itsoe.

   Tjengbeng kiam telah diwariskan kepada Tjia Thian Hoa, pedang Pekin kiam kepada Yap Eng Eng.

   Inilah sebab yang menggoncangkan hati si nona.

   Dari mana Tan Hong peroleh pedang ini?"

   Dia tanya dirinya sendiri.

   "Apa mungkin dia muridnya samsoepeh?"

   Ia awasi pula pedang itu, yang bergantungkan sepotong batu kemala dan berukirkan naga-nagaan. Ia meneliti batu itu, yang pun ada ukiran huruf-huruf "Yoe Sinsiang hoe" - artinya.

   "Istana perdana menteri muda."

   Di samping ukiran itu masih ada lain ukiran huruf-huruf yang halus sekali, yang menjelaskan dari mana asal pedang itu. Huruf-huruf halus itu berbunyi.

   "Hadiah dari Raja ketika anak Hong dilahirkan."

   Kaget In Loei, lemas kaki tangannya, hingga dengan menerbitkan suara nyaring, pedang Pekin kiam itu terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai.

   Terang sudah sekarang bagi In Loei, pemuda itu dengan siapa ia berada sekian lama adalah puteranya Thio Tjong Tjioe yang dipandang sebagai "penghianat besar,"

   Dan menjadi musuh besar dari kaum keluarga In.

   Maka itu, untuk sejenak, kosonglah hatinya, tak sanggup ia berpikir - ia seperti bukan lagi berada di dalam dunia.....

   Tiba-tiba In Loei, dengan membawakan tangannya ke dada, tanpa merasa, telah membentur suatu barang yang kecil tapi keras.

   Ia ingat, itu adalah warisan dari kakeknya - yaitu yangpie hiatsie surat darah kulit kambing.

   Selama sepuluh tahun, selalu ia bawa-bawa warisan istimewa itu, yang bunyinya.

   "Turunan keluarga In, di mana saja dia bertemu dengan turunan keluarga Thio Tjong Tjioe, tak perduli lelaki atau perempuan, turunan keluarga Tjioe itu mesti dibinasakan."

   Sudah sepuluh tahun surat wasiat itu disimpan, rasanya masih saja ada bau bacinnya.....

   In Loei rasakan tubuhnya dan hatinya gemetar.

   Ia menjadi ngeri tidak keruan.

   Surat wasiat berdarah itu bagaikan es yang sangat dingin, yang mengurung dirinya.

   Ia pun merasakan bagaikan ada tenaga yang tak dapat ia melawannya, yang menitahkan ia membunuh Thio Tan Hong dengan tangannya sendiri! Tiba-tiba terdengar suara kuda dari luar liang kubur, itulah tanda bahwa Thio Tan Hong telah kembali.

   In Loei segera tetapkan hati, ia sampai kertek gigi, ia menggigitnya dengan keras.

   Dengan cepat ia kembali ke tempatnya beristirahat, ia duduk sambil tunduk, bagaikan ia tengah bersemedi, padahal ia sedang umpetkan mukanya yang pucat pasi itu, supaya Tan Hong tidak dapat melihatnya.

   Hatinya memukul keras, ia coba menenangkannya.

   Thio Tan Hong menolak pintu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk.

   "Dongengku yang ketiga, segera akan aku tuturkan,"

   Katanya, sambil tertawa.

   "Kali ini aku mempercepat waktunya. Eh, saudara kecil, kau kenapa?"

   Kendati ia menanya demikian, Tan Hong sebaliknya hampirkan kaca, di depan mana ia rapikan rambutnya yang kusut.

   Tiba-tiba saja pada kaca itu terlihat bayangan In Loei, kedua mata siapa mendelik berapi, tangannya tengah menikam dengan pedang! Bergetar tangan In Loei itu, tapi hebat serangannya, hingga kaca perunggu itu pecah karenanya.

   Tan Hong lolos dari ancaman bencana, pedang itu lewat di samping lehernya, di atas pundak, langsung mengenai kaca itu.

   "Saudara kecil, saudara kecil, kau dengar aku....."

   Kata Tan Hong sambil berpaling.

   In Loei tidak mempedulikannya, ia menikam pula, kali ini sambil meramkan mata, ketika ternyata ia kembali gagal, terus ia mengulanginya hingga tiga kali! Tan Hong masih berkelit, yang terakhir ia lompat melewati meja.

   Segera juga terdengar tangisnya In Loei.

   "Aku sudah tahu semua!"

   Teriaknya.

   "Tak usah lagi kau tuturkan dongengmu yang ketiga! Ia lompat maju, lagi-lagi ia menyerang. Tan Hong egoskan tubuhnya, ia menghela napas.

   "Kau toh cucu perempuan dari In Tjeng?"

   Dia tanya.

   "Dan kaulah anaknya musuh keluargaku!"

   Teriak si nona, seraya menikamkan pedangnya ke arah uluhati. Dengan sekonyong-konyong saja Tan Hong pasang dadanya.

   "Baiklah, saudara kecil, tikamlah!"

   Berkata dia.

   "Tak mau aku minta maaf padamu!"

   Pedang menyambar, tetapi menyimpang ke kanannya Tan Hong dengan begitu bahu pemuda itu lantas saja mengeluarkan darah.

   Pemuda ini benarbenar tidak berkelit dari tikaman itu, adalah si nona, yang tak dapat menarik pula pedangnya, telah menggeser incarannya.

   Masih Tan Hong tidak menyingkir.

   "Adik kecil,"

   Berkata pula si anak muda.

   "kalau sebentar kau telah binasakan aku, kau jangan terus turuti hawa amarahmu, jangan gusar, hanya duduklah diam- diam kira-kira satu jam. Di atas meja kemala itu ada satu botol kecil dari perak, yang berisikan obat, itulah obat yang sengaja aku sediakan untukmu, guna menguatkan tubuhmu. Nah, sudah, adik kecil, tak mau aku mohon maafmu, kau tikam pula padaku!"

   Kedua mata In Loei lantas mencucurkan air mata, tangannya gemetar, hatinya dirasakan sakit, hampir saja terlepas pedang Tjengbeng kiam dari cekalannya.

   Berbareng dengan itu, ia juga merasakan seperti surat wasiat darah di dadanya menjadi besar bagaikan bukit, seperti menindih sangat berat kepada hatinya, sebagai juga ia dipaksa untuk melakukan pembalasan sakit hati.....

   Sesaat saja Nona In berdiam, lantas ia acungkan pedangnya.

   "Ambillah pedangmu!"

   Ia kata kepada anak muda di depannya.

   "Aku tidak hendak membinasakan seorang yang tidak memegang senjata di tangannya!"

   Nona ini tahu baik Tan Hong ada terlebih kosen daripadanya, jikalau mereka berdua bertanding, yang akan terbinasa bukannya si anak muda tapi dia sendiri, setahu kenapa, dia menghendakinya Tan Hong tempur padanya, dia seperti ingin terbunuh Tan Hong.

   Dia seperti percaya, dengan binasanya dia di tangan Tan Hong, tidak nanti dia merasa kecewa terhadap kakeknya.....

   Tan Hong berdiri di tempatnya, tanpa bergerak, cuma wajahnya yang berubah daripada biasanya.

   Ia kelihatan nangis bukan, tertawa bukan.

   In Loei tak berani mengawasinya air muka orang itu.

   Melihat orang terus berdiam, si nona kertek giginya.

   Ia jemput Pekin kiam yang terletak di tanah, terus ia lemparkan itu kepada si anak muda.

   "Permusuhan kita kedua keluarga ada permusuhan sangat besar bagaikan langit!"

   Ia kata.

   "Maka itu, jikalau bukannya kau yang mati, tentulah aku! Lekas kau hunus pedangmu!"

   Thio Tan Hong sambuti pedangnya itu.

   "Adik kecil,"

   Berkata dia, dengan suara duka.

   "aku telah angkat sumpah, selama hidupku ini, tidak hendak aku bertempur dengan kau, maka itu jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah! Saudara kecil, jikalau kau tidak hendak turun tangan, aku akan pergi dari sini!"

   In Loei membabat ke arah muka Tan Hong, akan tetapi pedang Cuma berkelebat di depan muka, lalu ditarik kembali.

   Menampak demikian, Tan Hong menghela napas, lantas ia lompat keluar dari kamar rahasia itu, setibanya di luar segera ia lompat naik atas kuda putih.

   "Adik kecil, rawatlah dirimu baik-baik!"

   Terdengar ia berkata dengan nyaring.

   "Saudara, aku pergi!"

   Dengan bengernya kuda satu kali, sunyilah istana Hek Pek Moko itu, malah sedetik kemudian, Tan Hong sudah berada jauhnya beberapa lie.

   Di lain pihak, In Loei berdiri menjublak, pedangnya telah jatuh ke lantai.

   Dihadapan nona ini, segala apa ada suram, gelap.....

   -ooo0dw0ooo- BAB VIII Di luar pekuburan terdengar kuda berbenger, lalu keadaan menjadi sunyi dan Thio Tan Hong telah lenyap! Biarlah Thio Tan Hong lenyap untuk selama-lamanya! Misalkan saja di dunia ini belum pernah ada Thio Tan Hong itu! Demikian pikiran aneh yang melayang di kepala In Loei.

   Tapi Thio Tan Hong yang berdarah daging, yang telah berdiam bersama ia di dalam kamar rahasia, bagaimana bisa dia tidak ada di dunia? Tiga hari mereka berada bersama! Ya, Thio Tan Hong telah pergi jauh, Thio Tan Hong tak tertampak pula.

   Benarkah dia telah menghilang? Oh, tidak, tidak! Lihat! Kau lihat, dia telah kembali, dia kembali, dia kembali! Bayangannya, secara sangat samar, secara perlahan sekali, telah nelusup masuk ke dalam hati In Loei, dan surat wasiat berdarah itu, telah hilang dialingi bayangan Thio Tan Hong itu.....

   In Loei berada dalam kegelapan, ia bagaikan meraba-raba.

   Membencikah ia? Menyintakah ia? Girangkah ia? Atau, berdukakah ia? Inilah ia tidak ketahui, tak dapat ia membeda-bedakannya.

   Kebaikan budi dan permusuhan sudah melibat menjadi satu, begitupun sang cinta dan kebencian, tak dapat itu diputuskan dengan gunting, hendak dibereskannya, tetap kusut.

   Pada saat itu, tak dapat In Loei memikir apa jua, otaknya bagaikan kosong, tak suatu apa ketinggalan di kepalanya.

   Tapi dalam keadaannya seperti itu, dengan lapat-lapat, ia seperti tampak Thio Tan Hong tengah mendatangi ke arahnya, dan akhirnya pemuda itu berbisik di telinganya.

   "Adik kecil, adik kecil....."

   In Loei seperti mendengar kebengisan yang agung dari kakeknya, ia seperti melihat mata yang menyinta dari ibunya.....

   Ia mendengar satu suara yang halus sekali, yang memanggil-manggil padanya.

   Di dunia, di mana ada suara si lemah itu? Di mana ada sinar mata sehalus itu? Itulah suara Tan Hong tadi.

   Itulah sinar matanya Tan Hong tadi.....

   Kedua mata In Loei, dengan perlahan-lahan, menggeser, berpindah ke arah meja berbatu kemala, di atas mana Tan Hong telah meletakkan botol peraknya yang kecil.

   Itulah botol yang berisikan obat yang Tan Hong sediakan untuknya.

   "Bukankah itu ada barang musuh? Tidak, tidak, tak dapat aku memakannya!..... Tetapi ini ada barang yang menandakan kebaikan terakhir dari Tan Hong..... Tidak, tidak selayaknya aku menolaknya..... Kembali dua macam pikiran bertentangan satu pada lain. Kembali dengan sayup- sayup, si nona seperti melihat sinar mata menyinta dari Tan Hong tengah mengawasi ia, lalu di kupingnya terdengar suara yang halus dan merdu.

   "Adik kecil, meski benar lukamu telah sembuh akan tetapi tenaga dalammu belum pulih seanteronya, maka, adikku, makan, makanlah obat itu....."

   Itulah sinar mata yang tak dapat ditentang, itulah suara halus yang tak dapat dibangkang.

   Tanpa merasa, In Loei ulur tangannya, menjemput botol itu, dari dalamnya ia keluarkan tiga butir obat warna merah terus ia masukkan ke dalam mulutnya.....

   Tidak tahu In Loei, berapa lama sudah ia duduk menjublak, ia hanya tampak cahaya matahari di luar pekuburan sudah condong ke arah barat, rupanya hari sudah mulai magrib.

   Sekonyong-konyong, dari luar kuburan terdengar kuda meringkik.

   In Loei terperanjat, hatinya goncang.

   Dengan gesit dia lompat bangun, hatinya pun berpikir.

   "Mustahilkah dia kembali?"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiba-tiba terdengar satu seruan dari kegirangan yang meluap-luap, lalu di sana, di lorong kuburan, tampak Tjioe San Bin lari mendatangi dengan keras sekali.

   "Adik In! Oh, sungguh benar kau berada di sini?"

   Demikian seru pemuda she Tjioe itu. Tapi segera suara itu disusul dengan suara kaget dan sangat berkuatir.

   "Eh, eh, adik In, apakah kau terkena tangan jahatnya binatang itu?"

   In Loei perlihatkan senyuman tawar, ia menggeleng- gelengkan kepalanya.

   San Bin sudah lantas sampai pada si nona, malah segera ia duduk di sampingnya, terus ia tatap muka orang.

   Ia tampak satu wajah yang kumal, roman yang lesu, seperti orang kehilangan semangat, maka itu, ia merasa kuatir untuk nona itu.

   In Loei berdiam, ia coba tenangkan diri.

   "Kiranya kau dan dia bersembunyi di dalam kuburan,"

   Kata San Bin.

   "Apakah dia tidak menganggu padamu? Tahukah kau, siapa dia? Dia adalah puteranya penghianat besar Thio Tjong Tjioe! Ya, dia adalah musuh besar dari kakekmu!"

   San Bin menyangka, mendengar perkataannya itu, si nona akan kaget, tapi sangkaannya itu meleset.

   "Ya, aku sudah tahu,"

   Sahut si nona, perlahan sekali. Maka itu, adalah San Bin yang terperanjat bahna herannya, hingga dia lompat berjingkrak.

   "Apa?"

   Tanyanya separuh berteriak.

   "Kau telah ketahui? Bila kau ketahui itu?"

   Tubuh In Loei tetap tidak bergerak.

   "Baharu saja aku mengetahuinya,"

   Ia menyahut, tetap dengan perlahan.

   "Tantai Mie Ming barusan datang kemari....."

   San Bin keluarkan napas lega.

   "Begitu?"

   Katanya.

   "Aku heran, kalau kau tahu dia ada musuhmu, kenapa kau ada bersama dia. Apakah kau telah bertempur dengannya? Apakah kau tidak terluka?"

   "Aku terluka ditangan Pek Moko,"

   In Loei beri-tahu. Dia justeru yang mengobati aku....."

   San Bin heran.

   "Dia?"

   Ia ulangi.

   "Dia siapa?"

   "Ialah dia musuhnya kakekku."

   San Bin melengak.

   "Apakah dia tidak tahu bahwa kau cucu perempuannya In Tjeng?"

   Tanyanya.

   "Aku telah menikam dia dengan pedang. Dia telah mendapat tahu."

   Kembali San Bin melengak. Tapi kali ini segera ia sadar.

   "Oh, aku tahu sudah!"

   Ia kata.

   "Mulanya anak penghianat itu tidak tahu bahwa kau adalah musuhnya, maka itu ia berdaya mengambil hatimu, supaya kau dapat digunakan untuk keuntungan dia, kemudian setelah kau tikam padanya, dan ia tahu bukannya tandinganmu, ia lari kabur! Sayang kau tengah terluka, tenagamu belum pulih, jikalau tidak, pasti kau dapat membunuhnya. Coba aku ketahui, tidak usah kau berdaya demikian keras....."

   In Loei tunduk, ia tidak berkata suatu apa. Tapi San Bin, sambil tertawa, berkata pula.

   "Jikalau aku tahu ilmu silatnya tidak liehay, tidak nanti aku berdaya keras, hingga aku minta Hongthianloei Tjio Eng mengirimkan panah Loklim tjian....."

   In Loei terkejut.

   "Apa? Loklim tjian?"

   Dia tanya. San Bin tertawa.

   "Pengalamanmu mengenal kaum kangouw masih belum banyak,"

   Ia berikan keterangannya.

   "Apakah benar kau masih belum tahu apa itu Loklim tjian? Itulah panah titahan yang di kirim pemimpin kaum loklim kepada jago-jago loklim, siapa yang melihat itu, dia tentu akan datang untuk memberikan bantuannya walaupun dia mesti terjang api. Adik In, inilah pengaruhnya malaikat atau iblis yang membuatnya anak Thio Tjong Tjioe berani seorang diri saja masuk ke Tionggoan. Adik, pastilah sakit hatimu akan dapat dibalas, dilampiaskan."

   Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar.

   Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan.

   Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun.

   Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri? Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercingcang goloknya kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.....

   "Adik In,"

   Terdengar pula San Bin berkata.

   "sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau....."

   Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya.

   "Banyak terima kasih untuk perhatianmu,"

   Katanya, lemah. Kecewa San Bin melihat orang lesu.

   "Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau,"

   Berkata pula pemuda she Tjioe itu.

   "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baharu satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangannya Thio Tjong Tjioe ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud baik, pasti dia bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah, loklim tjian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantunya Tjio looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-sungguh menyintai kau!"

   In Loei bersenyum.

   "Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?"

   Ia tanya.

   "Ilmu silatnya cukup baik,"

   Sahut San Bin.

   


Pendekar Baja -- Gu Long Kuda Putih Karya Okt Kuda Putih Karya Okt

Cari Blog Ini