Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 6


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Yang lainnya lagi?"

   Tanya pula In Loei.

   "Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?"

   San Bin membaliki.

   In Loei bersenyum pula.

   Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya loklim tjian, panah Rimba Hijau itu.

   Ia bingung.

   Tjio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.

   San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak.

   Ia bicara terus.

   "Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming,"

   Kata dia.

   "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira kira empat puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus....."

   "Bagaimana dengan nona Tjio?"

   Tanya In Loei. San Bin tertawa.

   "Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!"

   Katanya.

   "Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?"

   Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat halnya sendiri pada malam pengantin, terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin. San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula.

   "Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikin banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya....."

   Tanpa merasa, In Loei tertawa. San Bin berkata pula.

   "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu."

   In Loei tertawa.

   "Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!"

   Katanya. San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah.

   "Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek mulutmu!....."

   Dan ia ulur tangannya. In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa.

   "Mari kita bicara dari hal urusan yang benar,"

   Ia kata kemudian.

   "Nona Tjio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Loklim tjian itu?"

   "Itu adalah kejadian yang kebetulan saja,"

   Jawab San Bin.

   "Sesudah nona Tjio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain."

   "Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?"

   In Loei tanya.

   "Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta Loklim tjian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata.

   "Nama Kimtoo Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Heksek tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan asyik..... Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Loklim tjian padaku, terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan perjalanannya."

   "Oh, demikian duduknya hal....."

   In Loei berpikir.

   "Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini....."

   "Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan Bengliangkong,"

   Berkata pula San Bin.

   "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau. Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Tjio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kau kelihatannya tidak gembira?"

   San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia telah paksakan diri untuk tertawa.

   "Sebenarnya aku merasa kurang sehat,"

   Ia kata.

   "Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali."

   "Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh,"

   San Bin menerangkan pula.

   "Satu kali panah telah di kirimkan, orang-orang loklim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!"

   In Loei berdiam. San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.

   "Apakah ada orang tengah mendatangi?"

   Tanya In Loei menyaksikan kelakuan orang itu.

   "Kenapa aku tidak dengar apa-apa?....."

   San Bin lantas berbangkit pula.

   "Ada orang datang, tapi masih jauh,"

   Sahutnya. Lantas ia lari keluar, untuk coba menutup pintu, kemudian ia kembali. Itulah "Hoktee tengseng"

   Atau ilmu memasang kuping sambil mendekam di tanah yang San Bin gunakan, itu adalah suatu ilmu istimewa. Pernah In Loei pelajari ilmu itu tetapi belum sempurna. San Bin awasi si nona, lalu ia bersenyum.

   "Bukankah baik kau salin pakaian?"

   Katanya.

   Merah wajahnya In Loei.

   Kata-katanya San Bin seolah-olah merupakan teguran untuknya.

   Sambil tunduk, ia bertindak masuk ke dalam kamar rahasia, yang pintunya terus ia tutup.

   Di tinggal seorang diri, San Bin berpikir keras.

   Ia sangsikan nona ini, ia bercuriga.

   Bukankah, selama ia belum ketahui Thio Tan Hong ada musuhnya, In Loei telah bergaul rapat sekali dengan Tan Hong? Sampai di mana pergaulan mereka? In Loei sendiri, selagi ia buka bungkusan pakaiannya, di kepalanya seperti terbayang wajah Thio Tan Hong yang seolah-olah sedang tertawa, kupingnya seperti berulangkah mendengar.

   "Adik kecil, adik kecil....."

   Suara itu halus dan manis yang menggoncangkan semangat.

   Ia menjadi tidak keruan rasa, hingga ketika ia angkat bajunya, baju untuk wanita, ia merobeknya! Kenapa ia jadi sengit? Bencikah ia pada bajunya itu? Tidak! Tak tahu ia kenapa dengan mendadak ia jadi sengit.

   Lalu timbul keinginan untuk menjadi seorang lelaki! Ia percaya, kalau ia menjadi seorang pria, mungkin tak akan dialaminya segala kesukaran ini.....

   Tengah memeriksa pakaiannya, nona ini lihat sepotong baju merah tua.

   Ia ingat, inilah baju yang pertama kali ia pakai setelah Tan Hong ketahui bahwa dia adalah satu nona.

   Ketika itu, Tan Hong, yang mengawasi dengan tajam padanya, sangat mengagumi dan memuji kecantikannya.

   Ia lantas menghela napas.

   Ia terus pandang bajunya itu.

   Ya, tidak salah, itulah baju yang dipuji Tan Hong.

   Ia lantas usap- usap baju itu, lalu disimpan secara hati-hati juga.

   Di luar kamar rahasia, terdengar tindakan kaki San Bin, yang rupanya sedang jalan mondar-mandir.

   Mendengar itu, mendadak In Loei sadar dari lamunannya.

   "Pastilah tak sabaran Tjioe Toako menantikan aku!....."

   Pikirnya. Maka ia lantas pilih seperangkat pakaian pria dan segera dipakainya dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia bertindak keluar. San Bin tengah sandarkan tubuh di pintu batu.

   "Kau dengar tidak tindakan kaki kuda itu?"

   Dia berkata.

   "Orang telah dating semakin dekat. Orang yang datang ke tempat pekuburan ini, mestinya bukan sembarang orang. Bagaimana dengan kesehatanmu? Dapatkah kau menggunakan pedangmu?"

   "Rasanya aku dapat,"

   Jawab In Loei.

   "Tjioe Toako, coba kau tuturkan pula padaku tentang Loklim tjian."

   Itulah pertanyaan yang San Bin tidak sangka, ia menjadi heran. Bagaimana dalam keadaan demikian si nona masih sempat menanyakan urusan panah kaum Rimba Hijau itu? "Aku percaya sekarang ini, panah itu sudah tersiar luas,"

   Ia menjawab.

   "Apa lagi yang hendak dibicarakan mengenal panah itu?"

   "Di dalam propinsi Shoasay ini, siapakah jagonya loklim?"

   In Loei tanya. San Bin mengawasi, ia tertawa.

   "Ah, apakah kau sangsi tak akan dapat menuntut balas?"

   Dia balik menanya.

   "Di dalam propinsi ini, ada banyak jago loklim1. Ya, aku sampai lupa memberitahukan kau satu hal. Kau tahu, djiesoepeh Tiauw Im Taysoe-mu, yang belum lama ini baharu kembali dari Mongolia, sekarang berada di dalam daerah ini. Jangan-jangan dia pun telah mendapat tahu tentang panah kita itu."

   In Loei heran.

   "Adakah itu benar?"

   Dia tanya.

   "Kapan djiesoepeh pergi ke Mongolia? Apakah kau telah bertemu kepadanya?"

   "Aku sendiri tidak menemuinya, aku dengar pembicaraan orang,"

   Sahut San Bin.

   "St, jangan kau bicara pula. Dengar, di luar ada suara orang memanggil kau!"

   Memang benar kata-kata orang she Tjioe ini.

   "In Loei! In Loei!"

   Demikian suara panggilan di luar pekuburan. Itulah suaranya Tjoei Hong! In Loei heran hingga ia tercengang. Baharu ia hendak berkata.

   "Jangan bukakan pintu,"

   Atau San Bin sudah pentang pintu kuburan, hingga nona Tjio bisa lari masuk, larinya keras sekali. Begitu ia lihat In Loei, Tjoei Hong girang bukan kepalang.

   "In Siangkong, kau benar ada di sini!"

   Dia berseru. Cuma itu yang ia dapat katakan, lantas saja ia menangis tersedu-sedu, menangis karena girangnya.

   "Lukanya In Siangkong baharu baikan, kau jangan ganggu dia,"

   San Bin peringatkan. Baharu sekarang Tjoei Hong lihat pemuda she Tjioe itu, untuk sedetik ia tercengang, habis itu, sepasang alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan kegusaran.

   "Kita ada suami isteri, kenapa kau usilan?"

   Dia bentak. Tapi terus dia hampirkan In Loei.

   "In Siangkong, adakah kau terkena tangan jahatnya Hek Pek Moko?"

   Dia tanya, dengan perlahan sekali. In Loei manggut.

   "Kau jangan kuatir, sekarang ini aku sudah sembuh,"

   Ia jawab. Ia pegang tangan si nona, untuk ditarik.

   "Benar apa yang dikatakan Tjioe Toako , perlu aku beristirahat. Kau lihat, hari sudah sore."

   Mukanya Tjoei Hong menjadi bersemu merah.

   "Kau bantu kakak angkatmu, kau tidak perhatikan aku....."

   Katanya dalam hati, saking mendongkol. Ia cuma bisa berpikir, tidak berani ia utarakan kemendongkolannya itu. San Bin di samping mereka tertawa tertahan.

   "Eh, kau tertawakan apa?"

   Tegur Tjoei Hong, matanya mendelik. In Loei menyelak tanpa tunggu jawaban San Bin, yang bersenyum.

   "Aku sudah lapar, Nona Tjio, tolong kau masakkan aku makanan,"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian katanya.

   "Di sini ada beras, ada daging. Ingin aku beristirahat, maka kalau nanti makanan itu sudah sedia, baharu kau panggil aku....."

   Habis berkata terus ia masuk ke dalam kamar rahasia. San Bin hendak ikuti si nona, baharu ia jalan dua tindak, Tjoei Hong sudah perdengarkan suaranya yang kaku.

   "Eh, mari kau bantui aku ambil air untuk cuci beras!"

   Biar bagaimana, pemuda ini jengah, urung ia masuk ke dalam kamar rahasia.

   In Loei menoleh, ia bersenyum kepada pemuda itu.

   Ia bagaikan anak nakal yang merasa sangat puas karena berhasil menggodai orang.....

   San Bin masgul sekali, dengan mulut membungkam ia bantui Tjoei Hong mengambil air untuk cuci beras, lalu menyalakan api, untuk memasak nasi.

   Tjoei Hong juga bungkam terus, tidak ia pedulikan anak muda itu, suatu tanda ia murka.

   Adalah In Loei, yang katanya hendak beristirahat, di dalam kamar rahasia sudah mengasah otaknya.

   Ia pikirkan, dengan cara bagaimana dapat ia menjodohkan kedua pemuda dan pemudi itu.

   Ia bersenyum bila ia dengar orang tidak perdengarkan suara satu pada lain.

   "Tjoei Hong sangat membenci dia, itulah tentu disebabkan karena ia menyangka akan sangat berpihak pada toako San Bin,"

   Ia pikir.

   "Tapi, kalau nanti ia ketahui aku pun seorang wanita sebagai dia, pastilah dia akan tertawa! Adakah ini yang dikatakan, kalau bukan musuh tidak berkumpul menjadi satu?"

   Selagi memikir demikian, Nona In ini jengah sendiri.

   Tidakkah ia pun demikian ketika pertama kali ia bertemu dengan Tan Hong? Tidakkah ia juga semula mempunyai perasaan jemu? Karena ini, ia menghela napas sendirinya.

   In Loei tidak tahu berapa lama ia telah melamun, tahu-tahu ia dengar Tjoei Hong mengetok pintu kamar.

   "In Siangkong, nasi sudah matang!"

   Kata "isteri"

   Itu.

   Bagaikan baharu sadar dari mimpinya, dengan gugup In Loei buka pintu.

   Ia lantas dapat tenangkan diri.

   Tapi, begitu lekas ia tampak sikapnya San Bin dan Tjoei Hong berdua, yang tetap masih saling membungkam dan tak pedulikan satu dengan lain, tak tertahan lagi, ia tertawa.

   Tjoei Hong dan San Bin itu berebut hendak menyajikan nasi untuk In Loei, karenanya, nona itu kembali deliki si anak muda, hingga dia ini dengan jengah mesti mengalah.

   In Loei bersenyum, ia sambuti nasi dari Nona Tjio.

   San Bin jengah, kuatir ia nanti ditertawakan In Loei, ia diam dengan muka yang merah.

   "Tjoei Hong,"

   Berkata In Loei kemudian.

   "Tjioe Toako ini adalah Djitgoat Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe. Ia ada seorang yang banyak pemandangannya, luas pengetahuannya, maka itu pantaslah kalau kau meminta pengajaran daripadanya."

   Dengan sengaja In Loei menyebutkan lengkap "Djitgoat Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe"

   Atau "tjeetjoe muda terjuluk Kimtoo, si Golok Emas, dari pesanggrahan yang berbendera Djitgoat Siangkie, bendera sepasang matahari dan rembulan."

   Mendengar itu Tjoei Hong perdengarkan suara dihidung.

   "Hm!"

   "Memang telah aku ketahui, kakak angkatmu itu ada seorang gagah yang luar biasa,"

   Demikian katanya secara memandang enteng.

   "Jikalau bukannya begitu, cara bagaimana kau begini mendengar kata terhadapnya?"

   Mendengar demikian, San Bin menjadi sangat jengah. Tidak demikian dengan si Nona In, yang tak pedulikan ejekan itu. Ia telah menduga yang ia akan mendapat sambutan demikian. Sambil tertawa, ia berkata pada si nona.

   "Turut katanya Tjioe Toako, itu hari kau terburu-buru pulang, kenapa sekarang kau keluar pula?"

   "Memang,"

   Jawab Tjoei Hong.

   "Tidak lama setibanya aku di rumah, ayah pun pulang. Wajah ayah muram sekali, ia seperti tengah menghadapi soal sangat sulit. Aku tanya ayah apa ia dapat menemui kau, ayah jawab tidak. Ayah tahu betul kau masih berada di dalam kuburannya Hek Pek Moko, tetapi ada orang yang mencegah dia menemui kau. Hal itu membuatnya aku heran sekali."

   San Bin pun heran, hingga ia campur bicara.

   "Ayahmu ada seorang gagah, ia disegani kaum Rimba Hijau, siapa yang berani merintangi dia?"

   Demikian ia tanya. Mendengar orang memuji ayahnya, kesan jelek Tjoei Hong terhadap pemuda itu berkurang dengan segera. Tapi masih ia tidak mau melayani orang berbicara, ia hanya memandang In Loei.

   "Berulangkah aku tanya ayah, siapa itu orang yang mencegah dia, ayah tetap tidak hendak mengatakannya,"

   Kata Tjoei Hong.

   Ayah katakan ia tidak takuti siapa pun jua, melainkan perkataan orang itu tak dapat ia tidak mendengarnya.

   Ayah pun berkata, tentang jodohmu, itu ditanggung olehnya serta In Siangkong.

   Ia kata tidak usah aku pusingkan kepala lagi.

   Berkata sampai di situ, merah mukanya Tjoei Hong, hingga tidak berani ia bertemu mata dengan In Loei, tangannya pun membuat main ujung bajunya saja.

   In Loei tertawa di dalam hati.

   Ia girang, ia pun berduka.

   Ia girang menyaksikan kemalu-maluan Tjoei Hong dan Tjio Eng yang demikian menghargai Thio Tan Hong.

   Tapi ia berduka untuk nasibnya sendiri, yang belum tahu bagaimana jadinya nanti.

   Bukankah Tan Hong itu musuhnya? Ia tahu benar, orang yang dimaksudkan Tjio Eng itu adalah Thio Tan Hong, tapi tentang pemuda she Thio itu, tidak hendak ia menyebutkannya.

   "Selama belasan hari ini, sikap ayah menjadi luar biasa sekali,"

   Tjoei Hong menambahkan.

   "Biasanya, dalam hal apa juga, ayah selalu bicara denganku, hanya selama ini, semua gerak-geriknya ia rahasiakan. Tentang siapa adanya si bangsat cilik berkuda putih itu, perihal selembar gambar lukisan, juga mengenai orang yang mencegah padanya, semua itu ayah tak hendak beritahukan sedikit jua padaku. Ayah sampai tidak mempedulikannya yang aku menjadi gusar. Sebaliknya ayah menghendaki aku segera mengantarkan surat....."

   "Mengantarkan surat?"

   Tanya In Loei.

   "Mengantarkan surat untuk siapa?"

   Ia perlihatkan roman heran dan sangat ingin mengetahui. Tjoei Hong sebaliknya bersenyum.

   "Surat itu mesti disampaikan kepada seorang kangouw yang kenamaan, yang aneh,"

   Ia beri tahu. Tapi cuma sampai di situ ia memberitahukannya, lalu ia tambahkan.

   "Sekarang ini tidak hendak aku beritahukan dulu kepadamu. Jikalau kau ingin bertemu dengan orang aneh itu, besok kau boleh turut aku pergi bersama!"

   "Di propinsi Shoasay ini di mana ada orang kenamaan yang aneh seperti yang kau maksudkan itu?"

   San Bin campur bicara pula.

   "Apakah dia itu Na Tayhiap? Ataukah Tjek Tjhoengtjoe? Atau?"

   "Hm!"

   Tjoei Hong memotong.

   "Tak usah kau menduga-duga tidak keruan! Kau memang ada Kimtoo Siauwtjeetjoe yang kenamaan akan tetapi tidak nanti kau ketahui orang kangouw kenamaan yang aneh itu!"

   San Bin ketemu batunya, ia bungkam pula. In Loei tertawa.

   "Sudahlah, jangan kau main sandiwara!"

   Kata dia.

   "Akan aku turut perkataanmu. Besok bersama-sama Tjioe Toako, aku akan turut kau! Sekarang sudah malam, hendak aku tidur!"

   Dia tolak pintu kamar rahasia ke dalam mana ia bertindak masuk. Tjoei Hong cuma bersangsi sebentar, ia turut masuk juga ke dalam kamar itu.

   "Entjie Hong, di sana masih ada sebuah kamar,"

   Berkata In Loei dengan perlahan pada nona ini. Tjoei Hong jengah dan mendongkol, hingga ia berhenti bertindak. Ketika ia hendak buka mulutnya, dari luar ia dengar suara San Bin berkata-kata seorang diri.

   "Hebat kuburan ini, bagaikan satu dunia baru saja! Ruang di dalam tanah ini bagaikan istana, sudah ada ruang besar, masih ada beberapa kamar lainnya, sungguh bagus! Kamu berdua boleh tidur masing-masing di kamar, aku sendiri, aku tidur di ruang besar ini, untuk berjaga malam. Hiantee, kau baharu sembuh, perlu kau beristirahat, mesti kau tidur siang-siang, jangan kau terlalu banyak bicara....."

   Mukanya Tjoei Hong merah hingga kekupingnya, ia lompat keluar kamar rahasia.

   Di ruang tengah itu ia tampak San Bin mengawasi ia, wajahnya tampak seolah-olah bersenyum.....

   San Bin menutup mulut.

   Mendongkol Nona Tjio, hingga ingin ia bacok pemuda itu sampai tubuhnya kutung.

   Dengan mendongkol, ia tolak keras daun pintu dari kamar yang ditunjukkan In Loei, ke dalam mana ia bertindak masuk.

   Karena terus mendongkol, sampai jauh malam belum dapat ia tidur pules.....

   Besoknya, pagi-pagi, bertiga mereka itu telah mendusi dari tidurnya.

   Mereka berkumpul di ruang tengah.

   In Loei bicara dengan San Bin, tapi San Bin dan Tjoei Hong tak bicara satu pada lain.

   Tidak lama, mereka duduk bersantap bersama-sama.

   Habis dahar, ketika mereka mau keluar dari kuburan itu, tibatiba terdengar di kejauhan suara kuda berbunyi.

   San Bin lompat bangun.

   "Cepat sekali datangnya kuda itu!"

   Kata dia. Ia bicara seperti tanpa juntrungan. Baharu ia tutup mulutnya, atau suara kuda terdengar makin dekat. Dua kali binatang itu berbenger.

   "Eh!"

   Tjoei Hong berseru, tanpa ia merasa.

   "Suara kuda itu seperti suaranya Si kuda putih!....."

   Mendadak wajah In Loei menjadi pucat, tubuhnya pun limbung bagaikan hendak jatuh. Tjioe San Bin sudah lantas cabut goloknya.

   "Bagus! Dia telah mendahului datang mencari kita!"

   Ia kata.

   "Mari kita gabung tenaga kita untuk tempur dia!"

   In Loei raba pedangnya, tangannya gemetar.

   Belum lagi ia hunus pedangnya itu, terdengarlah suara berisik dari rubuhnya pintu depan, menyusul mana seekor kuda putih menyerbu masuk! San Bin berseru, kaget tercampur girang, terus dia lompat menyambut sambil memberi hormat kepada orang yang menunggang kuda putih itu.

   In Loei pasang matanya, ia dapatkan orang itu bukannya Thio Tan Hong yang ia harap-harap, hanya, di luar sangkaannya, orang itu adalah Tiauw Im Hweeshio1.

   Ia menjadi girang berbareng kecewa, hingga ia berdiri menjublak dihadapannya pendeta itu, tak dapat ia bicara.

   Si pendeta pun heran menampak orang dandan bagaikan satu pemuda, hingga ia keluarkan seruan tertahan.

   "Ah!"

   Kemudian, selagi ia hendak minta keterangan, Tjioe San Bin telah menarik ujung bajunya, mengajak ia ke pinggir, untuk dibisiki. Akhirnya, ia tertawa berkakakan.

   "Anak Loei, mari!"

   Ia memanggil sambil melambaikan tangannya.

   "Baharu beberapa tahun aku tidak lihat kau, sekarang kau telah menjadi demikian rupa."

   "Soesiok."

   In Loei memanggil, yang maju seraya memberi hormat. Tjoei Hong turut di belakang In Loei, ia pun memberikan hormatnya. Tiauw Im melirik kepada nona Tjio, lalu ia tertawa berkakakan pula.

   "Sungguh cantik!"

   Katanya, gembira.

   "Anak Loei, jangan kau sia-siakan padanya!"

   "Apa soesiok ada baik?"

   Tanya Tjoei Hong. Ia agak malu. Tiauw Im mengawasi, ia tertawa pula.

   "Kau begini cantik, apakah kau juga bisa masak nasi?"

   Dia tanya. Melengak Nona Tjio ditanya begitu.

   "Teehoe sangat cerdik!"

   San Bin menyelak, untuk mewakilkan si nona menjawab paman guru yang Jenaka itu.

   "Ia bukan cuma pandai masak nasi ia pun pandai masak sayur!"

   "Bagus, bagus!"

   Seru pendeta itu.

   "Selama dua hari aku telah melakukan perjalanan tujuh atau delapan ratus lie, sekarang perutku lapar sekali, maka itu, lekas kau matangkan aku nasi dan sayurnya!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tjoei Hong melengak, di dalam hatinya, ia kata.

   "Walaupun kau lapar, tidak selayaknya kau berlaku demikian terhadapku! Ayahku sendiri belum pernah menitahkan aku begini rupa....."

   Tiauw Im sudah lantas cangcang kudanya, habis itu ia jatuhkan diri untuk duduk.

   "San Bin Hiantit,"

   Kata dia pada pemuda she Tjioe itu, yang ia panggil "hiantit"

   Atau keponakan.

   "kau juga pergi bantui iparmu masak nasi! Kau masak kira-kira tiga kati beras. Sayurnya tak usah banyak, cukup dengan enam atau tujuh rupa!"

   Tanpa ragu-ragu lagi Tiauw Im berikan titahnya itu, ia membuatnya Tjoei Hong tak dapat menangis dan tertawa. Di dalam hatinya, ia mengeluh.

   "Kenapa paman gurunya In Loei begini keterlaluan?"

   Akan tetapi ia mesti pandang In Loei, walaupun sambil jebikan bibir, ia toh pergi ke belakang. San Bin sudah lantas susul nona itu.

   "Tak mau aku dibantui kau!"

   Kata Tjoei Hong dengan bengis. Ia tengah mendongkol, tak dapat ia sabarkan diri lagi.

   "St, perlahan sedikit....."

   San Bin berbisik.

   "Kau tidak tahu, paman gurunya In Loei ada seorang sembrono. Jikalau kau berbisik dan ia mendengarnya, nanti di depan In Loei dia ceritakan tentang dirimu!....."

   Benar-benar Tjoei Hong membungkam. San Bin tidak pedulikan orang gusari dia sambil dideliki, malah sambil tertawa, ia berkata pada nona itu.

   "Kau dengar apa kata pendeta itu, bukan? Dia berperut besar sekali, dia mengatakannya tujuh macam sayur masih belum banyak. Coba kau pikir, seorang diri saja, dapatkah kau matangkan semua sayur itu?"

   Tjoei Hong mendongkol tetapi kata-kata pemuda itu benar. Ia menoleh ke arah si pendeta.

   "Cis"

   Ia meludah.

   "St!"

   San Bin mencegah pula.

   "Paman guru dan keponakan muridnya itu asyik pasang omong, jangan kau ganggu mereka. Pendeta sembrono itu beradat aneh sekali, terhadap dia kau mesti berhati-hati....."

   Tjoei Hong mendongkol, hingga ia ingin menangis.

   "Bagus, ya, kamu paman dan keponakan!"

   Katanya, sengit.

   "Kau perhina aku sebagai orang luar! Nanti aku tegur In Loei!"

   Justeru itu, dari dalam ruang, terdengar Tiauw Im batuk-batuk. Mendengar suara orang, Tjoei Hong berdiam, dengan masih mendongkol, ia lantas bekerja bersama-sama San Bin..... San Bin geli di dalam hati, ia "layani"

   Si nona, supaya dengan begitu In Loei dapat kesempatan untuk pasang omong dengan paman gurunya itu.

   Ia berbuat demikian, tak tahu ia, bahwa ia juga tengah dipermainkan In Loei.

   Karena Nona In bermaksud supaya mereka berada berdua agak lamaan.

   Selagi pemuda dan pemudi itu berada di dapur, In Loei tuturkan Tiauw Im bagaimana caranya ia "menikah"

   Di Heksek tjhoeng, hingga, mendengar kejadian lucu itu, paman guru itu tertawa tak hentinya. Tapi, setelah ia berhenti tertawa, mendadak ia perlihatkan roman sungguh-sungguh! "Kau berjenaka di sini!"

   Katanya nyaring.

   "Kau tak tahu, untukmu, aku telah berusaha di Mongolia setengah mati setengah hidup!....."

   In Loei terkejut. Mendelong ia mengawasi paman guru itu.

   "Anak Loei,"

   Kata si pendeta kemudian, dengan samar.

   "masih ingatkah kau ketika itu tahun kau bersama kakekmu kembali ke Tionggoan?"

   "Aku masih ingat,"

   Sahut keponakan murid itu.

   "Ketika itu ada tahun Tjengtong ketiga."

   "Dan sekarang?"

   Tiauw Im tanya, sambil mengawasi.

   "Sekarang tahun Tjengtong ke- tiga belas."

   Pendeta itu menghela napas.

   "Pesat sekali jalannya sang waktu!"

   Dia mengucap.

   "Sekejap saja sudah sepuluh tahun! Pada sepuluh tahun yang lampau, aku ada bersama samsoepeh Tjia Thian Hoa-mu, kita berada di luar kota Ganboenkwan di mana kita bersumpah sambil menepuk tangan! Kita telah bersumpah, yang satu melindungi si anak tunggal, yang lain harus menuntut balas. Akulah yang bertugas membawa kau ke gunung Siauwhan san untuk diserahkan pada soesoemoay untuk dirawat dan dididik, dan samsoepeh-mu itu bertugas pergi jauh ke Mongolia untuk membunuh Thio Tjong Tjioe si penghianat! Tentang sakit hatimu ini dan tindakan untuk membuat pembalasan, mestinya gurumu telah menuturkan kepadamu, bukan?"

   In Loei segera mencucurkan air mata.

   "Ya, soehoe telah menuturkannya,"

   Sahutnya, dengan perlahan.

   "Aku berterima kasih sangat yang soepeh telah bekerja banyak sekali untukku....."

   Tiauw Im Hweeshio menghela napas pula.

   "Terlalu siang kau ucapkan terima kasihmu ini,"

   Ia berkata. Ia berhenti sebentar, lalu ia teruskan.

   "Dengan soetee Thian Hoa itu aku telah membikin perjanjian, setelah sepuluh tahun, kita harus membuat pertemuan di suatu tempat di luar kota Ganboenkwan. Di luar dugaanku, dia tidak datang untuk memenuhi janji kita itu. Menurut kabar angin, tidak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau telah meninggal dunia. Ada yang mengatakan dia telah kena ditawan Thio Tjong Tjioe. Untuk memperoleh kepastian, dengan menunggang kuda, aku berangkat seorang diri jauh ke tanah Ouw, masuk ke dalam wilayah Watzu. Aku telah mengambil keputusan, jikalau benar soetee Thian Hoa nampak bahaya, akulah yang mesti mewakili dia, guna membalaskan juga sakit hatinya....."

   "Soehoe katakan, Tjia Soepeh liehay ilmu silatnya, dia gagah dan cerdik,"

   Berkata In Loei.

   "maka itu, aku sangsikan jikalau dia terbinasa di tangan musuh! Mungkinkah itu?"

   Tiauw Im tertawa dingin.

   "Memang benar ilmu silatnya Tjia Thian Hoa ada liehay sekali, jikalau tidak demikian, sudah pasti aku telah membalaskan dendammu!"

   Katanya dengan sengit. In Loei heran, hingga ia mendelong mengawasi soepeh itu.

   "Djisoepeh, aku tidak mengerti,"

   Katanya.

   "Apakah yang soepeh maksudkan?"

   Tiauw Im menepuk meja, hingga ujungnya gempur.

   "Aku juga sangat tidak mengerti!"

   Dia berseru. Maka, heranlah In Loei. Paman guru itu menghela napas panjang-panjang.

   "Setelah aku tiba di Watzu, segera aku mengadakan penyelidikan,"

   Ia melanjutkan.

   "Sekian lama aku telah bekerja, tidak aku peroleh hasil, tidak aku ketahui di mana adanya soetee Thian Hoa atau apa yang telah terjadi atas dirinya. Aku lantas pikir untuk membalasnya seorang diri. Dalam hal ini, aku pun terhalang. Thio Tjong Tjioe terlindung kuat oleh Tantai Mie Ming, sedang gedungnya ada tanggu dan rapat penjagaannya. Tidak bisa aku sembarang turun tangan. Aku menjadi tidak sabaran, hingga aku rasa, satu hari sama lamanya dengan satu tahun."

   "Akhirnya, datang juga hari yang aku tunggu-tunggu. Aku dapat mengendus bahwa Tantai Mie Ming tidak berada di dampingnya Thio Tjong Tjioe. Mungkin dia dititahkan si penghianat pergi kesuatu tempat jauh untuk suatu tugas penting. Segera aku selidiki kebenaran itu, sesudah mana aku ambil kepastian untuk memasuki gedung si penghianat itu. Aku lakukan ini pada suatu malam yang gelap dan angin tengah menderu keras. Aku datang sendirian, tentu saja, aku juga bekerja seorang diri. Besar sekali gedung si penghianat itu, yang menjadi Yoe sinsiang, perdana menteri muda. Luas sekali pekarangan gedung itu. Melihat gedung itu nyatalah dia hidup mewah dan mulia. Negara asing di utara gobi itu adalah tempat yang dingin dan sulit, tetapi di sana telah dibangun suatu gedung mirip gedung-gedung di Kanglam, ada lotengnya, ada ranggonnya, yang mengambil contoh dari Hangtjioe dan Souwtjioe. Boleh dikatakan setengah malaman aku berkeliaran di luar gedung itu, aku baharu berhasil mempergoki dan mencekik satu kacung dari siapa aku ketahui, tempat kediamannya si penghianat, yaitu di loteng di pojok timur taman. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul lima, akan tetapi sangatlah aneh, sampai pada saat itu si penghianat masih belum tidur. Aku dapatkan dia berada seorang diri, tengah duduk menulis di dalam kamarnya itu. Ia terus tunduk dan menulis, tidak ia menyangka bahwa di luar jendela kamarnya ada orang yang sedang menghadang jiwanya. Aku menggenggam tiga batang kimtjhie piauw. Aku pun tidak hendak mensia-siakan ketika yang baik ini. Begitulah, melalui jendela, aku lakukan penyeranganku, penyerangan yang saling susul terhadap tiga jalan darah tjiangtay hiat, soankee hiat dan kimtjoan hiat. Biasanya, dalam jarak tiga tombak, tidak pernah aku gagal dengan piauw-ku itu. Dan biasanya, jangan kata orang yang tengah duduk menulis dan lengah, walaupun orang yang pandai silat dan siap sedia, sukar dapat meloloskan diri dari serangan ketiga piauw-ku itu. Akan tetapi kali ini, kesudahannya membuat aku melengak. Begitu piauw-ku menyambar, begitu juga aku dengar suara trang-trang tiga kali, lalu ketiga piauw itu jatuh di atas lantai. Di dalam kamar itu ada kamar rahasianya, aku lihat si penghianat lari minggir ketembok, ketika aku menyambar, tubuhnya nyeplos lenyap ke dalam tembok rahasia itu, aku melainkan dapat menjambret ujung bajunya, yang menjadi robek. Selagi aku menyambar, tiba tiba ada orang yang lompat kepadaku dan menolak tubuhku hingga aku jatuh ke atas meja! - Anak Loei, dapatkah kau menerka, siapa orang itu?"

   "Mungkinkah Tantai Mie Ming tidak pergi ke mana-mana dan ia hanya menggunakan tipu daya untuk mendustai orang?"

   In Loei balik menanya.

   Tapi baharu selesai ia menjawab demikian, tiba-tiba ia sadar sendirinya.

   Bukankah pada permulaan bulan yang lampau ia bersama Kimtoo Tjioe Kian, di luar kota Ganboenkwan, telah mengerubuti Tantai Mie Ming itu? Karenanya, ia lantas menambahkan.

   "Mungkinkah Tantai Mie Ming mempunyai ilmu memecah tubuhnya? Tapi jikalau bukan Tantai Mie Ming, siapakah yang ilmu silatnya demikian liehay?"

   Tiauw Im Hweeshio tertawa dingin.

   "Jikalau dia ada Tantai Mie Ming, itulah tidak aneh!"

   Katanya, dengan keras.

   "Dia adalah orang yang perhubungannya dengan aku bagaikan kaki dengan tangan! Dia adalah saudara seperguruanku - Tjia Thian Hoa!"

   In Loei heran bukan kepalang, hingga ia menjerit.

   "Samsoepeh?"

   Dia tegaskan. Tidak salah! Dialah Tjia Thian Hoa!"

   Tiauw Im pastikan.

   "Dia membuat aku mendongkol sekali. Segera aku tegur padanya. Apakah kau telah melupakan janji kita sepuluh tahun yang lalu? Kau hendak menuntut balas atau bekerja untuk musuh? Dia mendelik terhadapku, terus dia menyerang, beruntun tiga kali. Dia telah gunakan pedangnya. Dia mendesak aku mundur hingga keluar. Aku lari, dia mengejar. Di antara saudara-saudara seperguruanku, dialah yang paling liehay, aku tahu aku bukannya tandingannya, akan tetapi aku ada demikian gusar, akhirnya aku berhenti berlari, aku putar tubuhku, hendak aku tempur dia! Aneh sekali sikapnya waktu itu. Di dalam kamar, dia sangat bengis terhadapku, setelah berada di luar, dia sebaliknya tidak gunakan kepandaiannya. Dia Cuma berkelit dari serangan-seranganku. Malah dengan perlahan, dia berkata padaku. Kau tahu, Thio Tjong Tjioe itu orang macam apa? Aku sedang murka, aku damprat dia.

   "Bagaimana kau dapat bicara begini?"

   Aku tegur dia.

   Tidak nanti penghianat she Thio itu seorang baik-baik.

   Kembali aku bacok dia.

   Aku melakukannya pada malam hari, karenanya tidak dapat aku bawa tongkat sianthung-ku, maka itu aku bawa golok pendek.

   Senjata itu kurang tepat untukku.

   Dengan senjata itu, mana dapat aku bacok jitu kepadanya? Baharu aku ulangi bacokanku dua kali, dari yang mana ia selalu egoskan diri, ia berkata dengan perlahan.

   "Hai, soeheng yang tolol! Dengan mendadak dan sebat sekali, dia desak aku, sebelah tangannya menyambar, hingga aku tertotok, lalu dia panggul tubuhku, untuk dibawa pergi. Waktu itu, aku dengar suara mulai gempar. Terang sudah bahwa pengawal-pengawal telah sadar dan mengendus adanya bahaya. Tapi dia telah membawa lari aku berlompatan, berputaran, hingga tak lama kemudian kita sudah berada di dalam taman bunga, di suatu pojok yang semak, gelap dan sunyi. Di situ pun ada sebuah kandang kuda yang bagus, dari dalam kandang itu dia tuntun keluar seekor kuda putih, yang ia serahkan padaku. Sambil membebaskan aku dari totokannya yang berbahaya, dia bisiki aku.

   "Kita ada saudara-saudara angkat dari banyak tahun, mustahil kau tidak ketahui aku ada orang macam apa?" - Lekas kau pergi, lekas! Aku tidak mau naiki kuda itu. Aku katakan padanya. Jikalau kau tidak berikan aku keterangan yang jelas, tidak mau aku pergi dari sini! Wajahnya menjadi berubah pucat, lalu merah. Dia bentak aku.

   "Jikalau kau tidak pergi, jangan sesalkan aku berlaku kejam! Bukan cuma aku inginkan kau berlalu dari gedung ini, aku juga berikan kau tempo tiga hari untuk meninggalkan Mongolia! Atau aku nanti ambil jiwamu!"

   Aku menjadi sangat gusar, aku sambar dia dengan golokku. Tapi dia pampas golokku itu, di depanku, dia membuatnya patah dua. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, dia sudah angkat tubuhku, untuk digabrukkan ke atas kuda. Dia pun membentak pula.

   "Apakah benar kau tidak menghendaki lagi jiwamu!"

   Benar-benar, aku tidak sangka dia menjadi demikian rupa. Maka aku pun pikir.

   "Dia ada begini tidak berbudi, apabila aku korbankan jiwaku, siapa nanti ketahui dia adalah satu murid yang murtad? Baiklah aku menyingkir dulu, biar di belakang hari aku cari pula dia untuk membuat perhitungan. Karena ini, aku lantas angkat kaki. Kuda putih itu benar-benar satu kuda jempolan, tanpa dikendalikan, dia telah bawa aku kabur. Syukur aku pandai juga menunggang kuda. Sia-sia saja aku mencoba kendalikan dia. Dia telah membawa aku menyingkir dari kalangan gedung perdana menteri itu. Di belakangku ada ratusan penunggang kuda yang mengejar aku, mereka pun berteriak-teriak, di antaranya aku dengar ada yang mengatakan.

   "Besar nyalinya penjahat itu, dia berani curi kuda Yang Mulia Perdana Menteri!"

   Hai! Kiranya kuda itu ada kuda pilihan kepunyaannya si penghianat she Thio! Besar hatiku.

   Aku lari terus.

   Sampai dapat aku mengendalikannya.

   Kuda itu kabur bagaikan terbang, hingga dalam sekejap saja semua pengejar tertinggal jauh di belakang, tidak dapat mereka mengejar terus kepadaku.

   Malam itu aku mendongkol bukan main, tetapi di luar dugaanku, aku mendapatkan kuda yang jempolan....."

   Kuda putih itu ditambat di ruang itu, dia seperti mengerti perkataannya si pendeta, dia berbenger.

   In Loei pandang kuda itu, ia dapatkan, itulah kuda yang mirip betul dengan kuda Tjiauwya saytjoe ma kepunyaan Thio Tan Hong.

   Cuma pada leher kuda ini ada tumbuh segumpal bulu kuning.

   Teranglah, kedua kuda itu ada sebangsa.

   "Anak Loei, kau diam memikirkan apa?"

   Tiauw Im tegur si nona.

   "Aku pikirkan sikap aneh dari samsoepeh,"

   Sahut keponakan murid ini.

   "Jikalau benar samsoepeh kesudian menjadi hambanya musuh kita, kenapa dia serahkan kuda Thio Tjong Tjioe ini?"

   "Maka itu, aku pun sangat tidak mengerti!"

   Sahut si pendeta.

   "Tanpa kuda ini, tidak nanti aku lolos dari Mongolia....."

   In Loei menggelengkan kepala.

   "Benar-benar ruwet....."

   Katanya.

   "Sebenarnya Thio Tjong Tjioe itu orang macam apa? Mustahil dia....."

   "Plok!"

   Demikian suara yang diterbitkan Tiauw Im, yang kembali mengeprak gempur ujung media kemala. Dia gusar, dia berkata dengan nyaring.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Thio Tjong Tjioe itu ada dari keluarga penghianat, turun menurun dia menghamba pada negeri Watzu, dia yang mengatur tentara Watzu itu. Watzu bercita-cita menelan Tionggoan! Penghianat besar yang diketahui umum oleh dunia adakah dia satu manusia baik- baik?"

   In Loei teringat pada kakeknya yang tersiksa, yang mesti menggembala kuda dua puluh tahun lamanya di ladang yang ber-es dan bersalju, hatinya menjadi sakit. Maka menggetarlah suaranya ketika ia memberikan jawabannya.

   "Dia ada satu penghianat besar yang sangat jahat dan tak berampun! Dialah musuh besar keluargaku! - Tapi, soepeh, kau lihat, apakah dia mempunyai suatu maksud lain?"

   Kedua biji matanya Tiauw Im berputar. Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa. Maka lantas ia merogo ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan segumpal kertas. Ia buka itu sambil berkata.

   "Ketika malam itu aku serang si penghianat she Thio dan aku dijoroki Thian Hoa hingga menubruk meja, tanganku kena pegang surat ini yang terus aku tak lepaskan lagi. Inilah surat yang sedang ditulis si penghianat itu. Dia menulis tengah malam, aku duga urusan sangat penting, maka itu, aku bawa surat itu. Sayang dia menulis dalam huruf Tjodjie, yang aku tidak mengerti. Inilah suratnya, coba kau lihat. Setiap barisnya terdiri dari tujuh huruf, tidak kurang tidak lebih, maka itu, semua huruf ada dua puluh delapan. Apakah ini surat biasa atau syair?"

   In Loei anggap paman guru itu lucu, tak tahan dia tidak tertawa. Tapi dia terima surat itu, untuk dibaca. Sekian lama, dia diam saja.

   "Apakah yang kura-kura itu tulis?"

   Tanya Tiauw Im.

   "Syair,"

   Sahut In Loei. Terus dia bacakan.

   "Siapakah yang menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe? Bunga teratai harum sepuluh lie, bunga koei dimusim Tjioe. Siapa tahu, rumput dan kayu dasarnya tidak berperasaan! Menyebabkan sungai Tiangkang jadi laksaan tahun kedukaan."

   Itulah syair yang diucapkan Thio Tan Hong ketika Tan Hong menggelar gambarnya, memandang itu ia rupanya telah mendapat suatu perasaan. Tiauw Im kerutkan alisnya.

   "Sampai jauh malam penghianat itu tidak tidur, adakah syair semacam ini saja yang dia tulis?"

   Ia kata.

   "Ia menyebut-nyebut kedukaan - kedukaan apakah itu? Kenapa sungai Tiangkang dapat menerbitkan kedukaan? - Hm, aku tak mengerti, tak mengerti!"

   In Loei merasa geli hingga tak dapat ia tidak tertawa pula. Ia tertawa tertahan.

   "Inilah syairnya satu penyair di jaman Song,"

   Ia kata.

   "Sungai Tiangkang itu sejak jaman dulu adalah daerah peperangan antara pihak Selatan dan Utara. Menurut penglihatanku, syair ini bermaksud dalam sekali....."

   Tiauw Im jengah, ia tertawa menyeringai.

   "Kalau begitu, dasar aku yang tak mengerti apa-apa!"

   Katanya.

   "Coba kau jelaskan padaku, apa maksud dia menulis syair ini?"

   In Loei berpikir sekian lama.

   "Syair ini adalah karyanya penyair Tjia Tjie Houw di jaman Song itu,"

   Katanya kemudian.

   "Ada bagian depan dan belakang yang Tjong Tjioe robah. Syair yang asli menyebut-nyebut lagu Hangtjioe tetapi dia ubah dan tambah menjadi Hangtjioe dan Souwtjioe. Pada akhirnya ia tulis laksaan tahun kedukaan sedang aslinya adalah kedukaan dari laksaan lie. Jadi jarak jauh, lie, ia ubah menjadi waktu, tahun. Terang sudah, itu adalah lamunan dari suatu orang yang tengah terluka hatinya. Tetapi Hangtjioe, kenapa itu ditambah dengan Souwtjioe? Apakab artinya? Ah, ya, Tjong Tjioe Tjong Tjioe, Tjong Tjioe....."

   "Eh, mengapa kau sebut-sebut nama penghianat itu?"

   Tanya si pendeta heran. In Loei tiba-tiba seperti teringat suatu apa, ia tidak menjawab paman guru ini, sebaliknya, dia tanya.

   "Bukankah djiesoepeh mengatakan bahwa gedungnya Thio Tjong Tjioe itu dibangun mirip dengan gedung-gedung di Kanglam? Belum pernah aku pergi ke Souwtjioe akan tetapi aku tahu, gedung-gedung berikut tamannya di sana ada kesohor sekali. Apakah gedung Tjong Tjioe itu dibuat mirip dengan gedung- gedung di Souwtjioe?"

   "Memang sama,"

   Sahut Tiauw Im.

   "Nampaknya penghianat itu suka sekali akan kota Souwtjioe."

   In Loei berpikir pula, ia berdiam sekian lama. Kemudian, sambil tunduk, dengan perlahan, ia menyebut pula "Tjong Tjioe, Tjong Tjioe, Tjong Tjioe....."

   Tiauw Im terperanjat, ia heran.

   "Eh, anak Loei, apakah kau kemasukan iblis?"

   Dia tegur. In Loei sebenarnya sedang teringat akan dongengnya Tan Hong, pada otaknya berkelebat suatu ingatan. Ia lantas angkat kepalanya.

   "Aku mengerti sekarang!"

   Katanya, tiba-tiba.

   "Thio Tjong Tjioe adalah turunan Thio Soe Seng!....."

   Pada ketika itu sang waktu belum lewat tujuh atau delapan puluh tahun dari mulainya Tjoe Goan Tjiang membangun kerajaan Beng, lelakon Thio Soe Seng itu masih tersiar di antara rakyat jelata. Tiauw Im Hweeshio melengak.

   "Thio Soe Seng?"

   Katanya.

   "Apakah kau maksudkan Thio Soe Seng, yang dengan Beng Thaytjouw telah memperebutkan negara?"

   "Thio Soe Seng mengangkat dirinya menjadi raja , di Souwtjioe dan dia pakai nama kerajaan Tay Tjioe - Tjioe yang besar!"

   Kata In Loei.

   "Dan Thio Tjong Tjioe itu, bukankah terang-terang berarti, apa yang dia junjung adalah kerajaan Tjioe yang besar itu dari leluhurnya? Sama sekali dia bukannya menjunjung kerajaan Beng yang besar dari Tjoe Goan Tjiang!"

   Dengan "tjong"

   Dari "Tjong Tjioe"

   Itu, In Loei artikan "leluhur."

   "Hai, budak cilik!"

   Seru paman guru yang kedua itu.

   "Kenapa kau bicara putar balik hingga pengertianmu itu, seperti teka-teki saja?"

   In Loei tunduk, kata-kata paman guru itu seolah-olah ia tidak mendengarnya. Sang pendeta nampaknya habis sabar.

   "Aku tidak peduli dia turunan Thio Soe Seng atau bukan!"

   Dia kata dengan nyaring.

   "Dia membantu bangsa Watzu, dia pasti bukan manusia baik-baik!"

   In Loei merasakan ruwetnya soal.

   "Soepeh benar juga,"

   Katanya. Tapi, meski mulutnya mengucap demikian, dihatinya, ia kenangkan segala apa selama ia berada bersama-sama Tan Hong beberapa hari.

   "Pastilah Thio Tan Hong telah sengaja menyingkir dari Mongolia....."

   Demikian ia berpikir.

   "Karena dia pasti bukannya sebangsa ayahnya itu..... Akan tetapi soepeh Thian Hoa, dia kesohor gagah..... Jikalau Thio Tjong Tjioe benar ada satu penghianat yang terkutuk dan tak berampun, kenapa dia tidak membunuhnya? Kenapa sebaliknya dia melindunginya?"

   Soal ada demikian sulit, pada saat itu, tak dapat si nona memecahkannya.

   Kemudian ia pikir pula, tidak peduli Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan Hong buruk atau baik, mereka adalah musuh- musuh besar dari keluarga In, mereka adalah yang kakeknya pesan dalam surat wasiatnya yang berdarah untuk dibasmi habis.....

   Tiauw Im Hweeshio menghela napas.

   "Aku tidak dapat memikirnya yang soetee Thian Hoa telah tergoda iblis,"

   Katanya.

   "Karena sudah terang dia telah membantu penghianat, sekarang ini habis sudah persaudaraan antara dia dan aku. Sekarang aku berniat pergi kepada soehoe, untuk minta soehoe mempersingkat waktu dengan tiga tahun, supaya dia ijinkan gurumu segera turun gunung. Kepandaian gurumu itu, dibandingkan dengan kepandaian Thian Hoa, ada berimbang, maka aku percaya, jikalau dia bekerja dengan aku mengepung Thian Hoa, pasti kita dapat menyingkirkan Thian Hoa itu."

   Mendengar perkataan djiesoepeh ini, tiba-tiba In Loei ingat kejadian itu malam sebelum ia turun gunung.

   Ketika itu gurunya telah mengadakan perjamuan perpisahan, di waktu sinting, guru itu menuturkan tentang penderitaannya selama sepuluh tahun meyakinkan ilmunya, guru itu tak dapat melupakan Thian Hoa, suatu bukti dia sangat menyayangi saudara seperguruan itu.

   Maka sekarang, kalau gurunya itu ketahui hal ikhwalnya Thian Hoa, yang "tersesat"

   Itu, tidak tahu berapa besar kedukaannya..... Sementara itu, Tiauw Im tertawa sendirinya.

   "Thian Hoa memberikan aku kuda ini, inilah kuda yang berguna!"

   Katanya.

   "Jikalau aku pakai ini untuk pergi ke Siauwhan san, tak sampai satu bulan, aku akan sudah tiba di sana! Sungguh, ini seekor kuda jempolan! Ha-ha-ha!"

   Selagi paman guru dan keponakannya berbicara, San Bin dan Tjoei Hong telah selesai dengan makanan mereka, yang terus mereka sajikan, sesudah mana, San Bin pergi memandangi kuda si pendeta, kuda mana ia puji tak hentinya, ia sangat mengaguminya.

   Tiauw Im Hweeshio dahar secara rakus sekali, itulah tanda bahwa ia sangat lapar.

   Ia hajar daging, ia tenggak arak, ia sapu nasi hingga habis.

   Akhirnya, ia usap-usap perutnya.

   "Hai, cucu mantu yang baik!"

   Ia memuji.

   "Tak tercela masakanmu ini! Nasinya harum, sayurnya lezat!"

   Kemendongkolan Tjoei Hong belum lenyap, ia cuma bersenyum tawar. Ia berpaling, untuk memandang kuda putih, yang juga ia kagumi. Kembali terdengar si pendeta tertawa.

   "Kuda ini kuda jempolan,"

   Ia kata.

   "akan tetapi masih ada lain kuda yang terlebih jempolan pula, aku si hweeshio sungguh harus mengaku kalah terhadapnya!"

   San Bin pandai melihat kuda, ia heran.

   "Apa?"

   Katanya.

   "Ada kuda lainnya yang melebihi ini?"

   Tiauw Im pandang keponakan murid itu.

   "Benar!"

   Sahutnya.

   "Memang di kolong langit ini ada seekor kuda lainnya yang melebihi kejempolannya! Keponakan San Bin, kau telah memakai nama Kimtoo Tjeetjoe yang kesohor, dan menggabung itu dengan nama Tjio Eng, untuk menyiarkan panah Loklim tjian. Hal ini baharu saja kemarin dahulu aku mengetahuinya. Di dalam propinsi Shoasay ini, aku kenal semua orang kenamaan dari Jalan Hitam, maka itu menuruti kegemaranku, dengan menunggang kuda putih ini, aku pergi mengunjungi mereka. Nyatalah, orang yang hendak kau bekuk itu adalah satu mahasiswa yang menunggang kuda putih. Dia sungguh seorang yang nyalinya sangat besar, dia sudah membuatnya dunia Rimba Hijau menjadi gempar!"

   "Apakah yang dia lakukan?"

   Tanya mereka berbareng.

   Wajah mereka pun menunjukkan bagaimana tergeraknya hati mereka.

   Tiauw Im adukan jeriji tengahnya dengan jeriji manisnya, hingga perdengarkan suatu suara, habis itu, ia menghela napas.

   Itu bukanlah helaan napas dari kedukaan atau kemasgulan, hanya dari kekaguman.

   "Tjioe Hiantit, tahukah kau, orang macam apa si mahasiswa berkuda putih yang kamu sedang cari itu?"

   Dia tanya.

   "Menurut penglihatanku, dia adalah satu enghiong, seorang gagah!"

   Kalau orang lain, apabila terhadapnya disiarkan panah Loklim tjian, hingga karenanya ia mesti menghadapi jago-jago Rimba Hijau, sebenarnya, untuknya, untuk menyingkirkan diri saja sudah sulit, akan tetapi lain halnya dengan dia.

   Dia bukannya pergi bersembunyi, dia justeru pergi menyatroni jago-jago Rimba Hijau itu!"

   San Bin heran bukan kepalang.

   "Dia datang menyatroni?"

   Dia ulangi.

   "Siapa-siapakah yang dia telah satroni itu?"

   "Mungkin dia sudah satroni semua orang yang telah kau kirimkan panah Loklim tjian itu!"

   Sahut Tiauw Im.

   "Kemarin dulu aku pergi pada Na Tayhiap, dia baharu saja terima surat golok yang ditinggalkan mahasiswa berkuda putih itu, dia telah ditantang untuk tujuh hari kemudian pergi ke rumah Tjinsamkay Pit To Hoan untuk membuat pertemuan....."

   San Bin dan Tjoei Hong terperanjat.

   "Tjinsamkay Pit To Hoan?"

   Mereka ulangi. In Loei tidak tahu siapa itu Pit To Hoan yang berjulukan Tjinsamkay - "orang yang menggetarkan tiga dunia,"

   Akan tetapi dari sikapnya San Bin dan Tjoei Hong itu, tahulah dia bahwa orang itu mestinya sangat terkenal.

   "Benar, Tjinsamkay Pit To Hoan!"

   Tiauw Im jawab.

   "Bukankah itu berarti si mahasiswa berkuda putih telah gegaras hati srigala dan jantung macan tutul? - Setelah pamitan dari Na Tayhiap, lohornya aku pergi pada Liong Tjeetjoe. Dia juga baharu saja menerima surat goloknya si mahasiswa berkuda putih, yang pun menjanjikan dia untuk tujuh hari kemudian pergi berkumpul di rumahnya Tjinsamkay Pit To Hoan. Na Tayhiap dan Liong Tjeetjoe ada orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan, tapi toh si mahasiswa berani masuk ke dalam rumah mereka itu untuk meninggalkan suratnya yang tertusukkan golok itu. Dan itu baharu diketahui sesudah golok ditimpukkan. Maka itu, benar liehay si mahasiswa itu!"

   Mendengar perkataan soepeh ini, In Loei tidak heran. Beberapa kali ia telah dipermainkan Tan Hong, keentengan tubuh siapa ia telah saksikan. Tidak demikian adalah San Bin dan Tjoei Hong, yang menjadi heran dan kagum.

   "Karena aku merasa sangat heran, ingin aku cari si mahasiswa,"

   Tiauw Im meneruskan.

   "Aku percaya betul pada kudaku. Begitulah aku pergi. Aku girang ketika sampai diutara kecamatan Kokkoan, di satu tegalan, aku telah melihat dia. Aku menduga dia, karena dandanan dan kudanya itu. Lantas aku bedal kudaku, untuk susul dia, guna menyandaknya. Dia melihat aku, rupanya dia dapat menerka aku hendak menyusul dia, berulangkah dia berpaling, tiaptiapkali aku dengar suaranya tertawa. Dari kejauhan, dia pun teriaki aku .

   "Apakah kau juga menerima panah Loklim tjian dari Hongthianloei? Maafkan aku, aku belum tahu di mana letak pesanggrahanmu, hingga belum aku kunjungi padamu! Baiklah, lagi tujuh hari, silakan kau pergi ke rumah Tjinsamkay Pit To Hoan!"

   Rupanya dia menyangka aku adalah salah seorang yang hendak membekuk dia.

   Kudaku lari keras, kudanya lari lebih keras lagi, tidak dapat aku menyandaknya.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tak ada makanan di tanah datar itu, dia telah jauh meninggalkan aku, hingga aku dapat melihat hanya titik-titik putih.

   Sorenya tibalah aku di barat kecamatan Taykoan, di rumahnya Tjek Tjhoengtjoe.

   Nyata Tjek Tjhoengtjoe, pada tadi magrib, telah juga menerima surat dari si mahasiswa berkuda putih itu.

   Jadi teranglah, kudanya dapat lari setengah hari lebih cepat daripada kudaku."

   San Bin heran.

   "Tjinsamkay Pit To Hoan ada seorang kenamaan di Jalan Hitam dan Jalan Putih,"

   Kata dia.

   "dia biasanya tak ketentuan sepak terjangnya, maka itu, si mahasiswa berkuda putih yang baharu saja sampai dari Mongolia, cara bagaimana dia bisa ketahui tempat tinggal orang itu?"

   Inilah benar, maka itu, Tiauw Im dan Tjoei Hong turut merasa heran, mereka terperanjat, wajah mereka berubah. Tiauw Im pun heran mendengar disebutnya Mongolia. Tjoei Hong juga merasa heran terhadap San Bin, yang ketahui jelas tentang Pit To Hoan.

   "Pit To Hoan tinggal di sebuah desa kecil yang dinamakan Hoklok antara perbatasan kedua propinsi Hoopak dan Shoasay,"

   Kata Tiauw Im.

   "Aku pun baharu mengetahuinya setelah aku pergi ke rumahnya Na Tayhiap. Si mahasiswa berkuda putih baharu saja datang dari Mongolia, kenapa dia ketahui jelas tentang orang orang kenamaan dari Tionggoan? Hal ini aneh sekali dan mencurigakan..... Ah, bukankah?....."

   Pendeta ini berhenti dengan tiba-tiba, ketika ia hendak melanjutkan, In Loei mendahului dia.

   "Kamu menyebut Tjinsamkay Pit To Hoan berulang-ulang, dia sebenarnya orang macam apa?"

   Tanya nona ini. -ooo0dw0ooo- BAB IX "Walaupun kau tidak menanyakannya, hendak aku menuturkannya,"

   Berkata Tiauw Im.

   "Keluarga Tjinsamkay Pit To Hoan adalah suatu keluarga paling aneh dalam kalangan Rimba Persilatan. Keluarga itu, turun temurun, memegang kukuh semacam aturan rumah tangga yang aneh sekali untuk kita semua. Setiap anak lelaki she Pit, setelah dia masuk usia enam belas tahun, dia harus mencukur rambutnya untuk menjadi pendeta, dia mesti hidup merantau. Setelah hidup suci sepuluh tahun, anak itu diijinkan memelihara rambut pula. Sampai waktu itu, ia tidak diperkenankan mendirikan rumah tangga, sebaliknya, dia mesti menuntut lain macam penghidupan selama sepuluh tahun. Kali ini dia mesti menderita sebagai pengemis. Adalah sesudah selesai menjalankan tugas sepuluh tahun sebagai tukang minta-minta itu, baharu dia merdeka untuk menikah, untuk berumah tangga, memelihara anak. Oleh karena ini, seorang putera keluarga itu, untuk menikah, dia mesti lebih dahulu berusia tiga puluh enam tahun. Mungkin juga disebabkan kelambatan pernikahan ini, keluarga itu jadi tak banyak jumlah anggauta-anggauta keluarganya. Pit To Hoan sendiri liehay, sepuluh tahun ia jadi pendeta, sepuluh tahun ia jadi pengemis, setelah kembali jadi manusia biasa, banyak penderitaaannya, luas pengalamannya, itulah sebahnya kenapa ia diberi gelar Tjinsamkay, Menggetarkan Tiga Dunia. Dengan dunia diartikan juga kalangan atau golongan, yaitu dunia pendeta, dunia pengemis, dan dunia manusia biasa. Maka itu, orang semacam dia, setelah menerima panah Loklim tjian, dapatkah dia campur tangan?"

   "Mana aku berani mengirim panah Loklim tjian kepada jago itu?"

   Sahut San Bin.

   "Hanya, kalau Pit Lootjianpwee sudi membantu, itulah pengharapanku."

   "Kau minta ayahku turut bersama mengirim panah Loklim tjian, untuk apakah itu?"

   Tjoei Hong tanya si pemuda she Tjioe.

   "Dan itu bangsat cilik berkuda putih, dia sebenarnya orang macam apa?"

   Ditanya begitu, San Bin bersenyum.

   "Untuk membalaskan dendam suamimu,"

   Ia jawab.

   "Bangsat cilik berkuda putih itu adalah putera tunggal dari penghianat besar Thio Tjong Tjioe, dia adalah musuh besar dari saudara In Loei ini."

   Ia berhenti sebentar, segera ia menambahkan.

   "Turut penglihatanku, kebanyakan Pit Lootjianpwee dapat turun tangan untuk memberikan bantuannya, sayang tadinya aku tidak tahu dia tinggal di Hoklok, jikalau tidak sudah tentu aku sudah minta Tjio looenghiong turut mengundang dia."

   Tjoei Hong segera menoleh kepada "suaminya".

   "In Siangkong, benarkah bangsat cilik berkuda putih itu musuh besarmu?"

   Dia tegaskan.

   "Oh, ya....."

   Sahut In Loei, yang mukanya pucat.

   "Benar, dia adalah musuh keluargaku....."

   Sepasang alisnya Nona Tjio berdiri dengan tiba-tiba. Ia tertawa.

   "Kalau begitu, haruslah kau mengucap terima kasih padaku!"

   Katanya. Ia rogo sakunya, ia keluarkan sesampul surat. Terus ia berkata pula.

   "Nyata ayahku telah dapat memikirnya! Kamu tidak berani mengundang Pit Lootjianpwee itu, bolehlah aku yang menalanginya!"

   San Bin lihat alamat surat itu, benar itu adalah untuk Pit To Hoan. Saking girang, ia tertawa sambil menepuk tangan.

   "Sempurna sekali apa yang Tjio Lootjianpwee pikir!"

   Ia memuji.

   "Ah, bangsat cilik itu bagaikan melemparkan dirinya ke dalam jala! Hiantee, segera kau dapat lampiaskan dendammu dengan tanganmu sendiri!"

   Tjoei Hong sangat puas, ia gembira sekali.

   "Begitu lekas aku pulang, ayah sudah lantas menulis surat ini dan menitahkan aku segera mengirimkannya,"

   Ia terangkan lebih jauh.

   "Sebenarnya aku heran kenapa ayah menjadi demikian tak sabaran, kiranya bangsat cilik itu menjadi satu musuh besar kita. Sebentar kita pergi bersama, akan aku perkenalkan kamu dengan Tjinsamkay Pit To Hoan yang kenamaan itu!"

   In Loei terkejut di dalam hatinya.

   "Pernahkah kau baca surat ini?"

   Dia tanya "isterinya".

   "Eh, apa kau tidak dengar perkataanku barusan?"

   Tjoei Hong baliki.

   "Bukankah ayah telah permainkan aku? Apabila aku telah baca surat ini, mustahil sekarang aku masih belum tahu akan duduknya hal? Tapi sekarang ini, dengan tidak usah membaca lagi surat ini, sudah tahu aku akan isinya. Pastilah itu ada permintaan bantuannya Tjinsamkay!"

   In Loei penuh dengan keragu-raguan.

   Tjio Eng tidak tahu Thio Tan Hong itu musuhnya.

   Dan ia telah menyaksikan dengan mata sendiri, terhadap Tan Hong, Tjio Eng bersikap bagaikan pegawai terhadap majikannya.

   Mustahil sekali, Tjio Eng nanti menulis surat kepada Pit To Hoan, guna meminta bantuan untuk menghadapi Thio Tan Hong, guna membinasakan Tan Hong itu! Habis, apa isi surat itu? Sungguh sukar untuk menerkanya.

   "Eh, In Siangkong, kau sedang memikirkan apa?"

   Tjoei Hong menegur. Ia heran.

   "Ayahku telah menolongi kau membalas dendam, apakah benar kau masih tidak gembira?"

   In Loei paksakan diri untuk tertawa.

   "Aku merasa girang luar biasa!"

   Ia jawab.

   "Nona Tjio, apakah ayahmu serta Tjinsamkay Pit To Hoan itu bersahabat erat sekali?"

   "Bukan!"

   Sahut Tjoei Hong.

   "Dia justeru lawan dari ayahku! Dia berlaku sewenang wenang. Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani menghina ayahku seperti yang diperbuatnya itu!"

   "Siapa kata Pit To Hoan berlaku sewenang-wenang?"

   Tanya Tiauw Im.

   "Eh, ya, cara bagaimana dia menghina ayahmu?"

   In Loei pun tanya. San Bin pun kurang mengertinya.

   "Jikalau demikian adanya, mengapa ayahmu menulis surat kepadanya?"

   Dia tanya.

   "Dikepung"

   Tiga orang, Tjoei Hong tertawa geli.

   "Memang dia telah menghina ayahku akan tetapi ayahku sangat mengagumi dia!"

   Jawabnya, masih ia tertawa.

   "Kamu menanya bagaimana caranya dia menghina ayahku? Untuk menutur itu, aku mesti kembali pada kejadian pada sepuluh tahun yang lampau!"

   Semua orang lantas awasi nona ini. Tjoei Hong tidak berayal untuk memberikan keterangannya.

   "Ketika itu aku baharu berumur tujuh atau delapan tahun,"

   Ia mulai.

   "Benar usiaku masih sangat muda akan tetapi peristiwa itu aku ingat baik-baik. Pada suatu hari kami kedatangan satu pengemis busuk. Orangku memberikan dia nasi, tapi dia tolak. Dia diberi uang, dia menampik. Dia minta ayah menghadiahkan dia semacam barang permata. Siapa yang tidak tahu ayah adalah seorang saudagar barang permata di kalangan Jalan Hitam? Orang-orangku anggap dia hendak memeras, dia segera diserang. Kesudahannya aneh. Tidak kelihatan dia menggerakkan tubuhnya, tetapi orang-orangku, penyerangnya, terpental sendirinya setombak lebih. Baharulah kemudian aku ketahui dia telah gunakan ilmu silat Tjiamie Sippattiat yang sempurna sekali."

   Waktu itu ayah tengah mengajarkan aku membaca buku dan menulis surat. Seorang bujang datang masuk, memberitahukan ayah tentang perbuatan dan tingkah laku si pengemis jahat itu. Ayah kaget dan heran, mukanya menjadi pucat.

   "Baik, silakan dia masuk!"

   Ia titahkan.

   Sesudah dia masuk, siapa juga tak boleh turut masuk! Umpama kata aku akan dihajar mati olehnya, jika aku masuk! Ayah pun menitahkan aku menyembunyikan diri di kamar tidur, aku dilarang keluar.

   Aku menjadi takut sekali, tetapi aku masih tidak gubris larangannya itu.

   Ketika si pengemis masuk, aku sembunyikan diri di satu pojok di luar kamar, untuk mengintai.

   Luar biasa roman sipengemis itu.

   Rambutnya kusut kulit mukanya hitam seperti pantat kwali.

   Dia membawa-bawa sebatang tongkat panjang.

   Dipandang seluruhnya, dia mirip dengan satu memedi.

   Begitu dia masuk, terus dia duduk di depan ayah.

   Dia mengawasi dengan sepasang matanya yang bersinar tajam dan bengis.

   Sampai sekian lama, keduanya tidak bicara satu dengan lain.

   Akhir-akhirnya ayah menghela napas, ia bertindak masuk ke kamar dalam, untuk mengambil permata.

   Ayah tumpukkan barang itu dihadapan si pengemis.

   "Tuan Pit, inilah semua apa yang aku miliki,"

   Kata ayah. Pengemis itu tertawa dingin, dia sampok semua barang permata itu.

   "Hongthianloei, untuk apa kau berpura-pura?"

   Dia tegur ayah.

   "Keluargaku telah mencari kau berulang-ulang, sampai beberapa puluh tahun, baharu sekarang kau dapat dicari. Barang itu terang ada padamu, apakah kau masih tidak hendak mengeluarkannya untuk diserahkan kepadaku?"

   "Barang itu juga bukan kepunyaanmu!"

   Kata ayah.

   "Alasan apa kau punyai untuk memaksa aku menyerahkannya?"

   Pengemis itu tertawa dingin.

   "Mungkinkah barang itu ada kepunyaanmu sendiri?"

   Dia membaliki.

   "Kau ketahui asal usulnya barang itu, cara bagaimana kau berani mengatakan aku bukan pemiliknya?"

   Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani bicara demikian rupa terhadap ayah. Ayah menjadi lain waktu itu. Bagaikan orang yang memohon sesuatu, ayah katakan pada orang itu.

   "Memang barang ini pernah kau memegangnya tetapi itu bukan alasan untuk mengatakan kaulah pemilik seluruhnya. Aku mendapat pesan dan pesan itu harus aku jalankan. Aku boleh tak menghendaki rumah tanggaku, tetapi permata itu, Tuan Pit, aku minta sudilah kau lepaskan dari tanganmu!....."

   Pengemis itu lantas menjadi gusar, dia lompat bangun.

   "Rumah tanggamu! Rumah tanggamu!"

   Dia berteriak-teriak.

   "Siapakah yang kemaruk dengan rumah tanggamu? Katakanlah, hendak kau serahkan atau tidak barang itu padaku?"

   "Tidak!"

   Sahut ayah dengan tetap. Si pengemis tertawa pula, dengan tawar. Dia putar-putar tongkatnya itu.

   "Baik!"

   Akhirnya dia berseru.

   "Karena kau tidak sudi memberikan, sekarang ingin aku menerima pengajaran darimu - pelajaran ilmu silat pedang Liapin Kiamhoat yang menjagoi sendirian di kolong langit ini!"

   Ayah terima tantangan itu. Dia kata.

   "Jikalau begitu, maafkan aku untuk kelancanganku!"

   Ayah lantas hunus pedangnya, maka di situ mereka berdua lantas bertempur, secara bengis sekali.

   Ketika itu aku masih belum belajar ilmu silat pedang, aku menonton saja dengan perhatian.

   Ayah bergerak bagaikan harimau kalap, sinar pedangnya bergemerlapan.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terang ayah berkelahi secara mati-matian.

   Tongkat panjang si pengemis telah terkurung sinar pedang, tapi dia dapat bergerak dengan leluasa bagaikan seekor ular besar.

   Mataku menjadi seperti kabur karenanya.

   Sengit sekali mereka bertanding.

   Sampai sekian lama, masih belum ada keputusannya.

   Lalu dengan mendadak terdengar bentakan si pengemis.

   "Kau serahkan atau tidak?"

   Menyusul itu ayah kena terpukul pundaknya. Ayah berteriak.

   "Tidak!"

   Segera ayah pun membalas, hingga pundak pengemis itu mengeluarkan darah.

   "Satu laki-laki!"

   Seru si pengemis.

   Masih mereka bertempur.

   Satu kali, kembali ayah kena terpukul, sesaat kemudian, berhasil tongkat si pengemis yang ketiga kali.

   Kali ini ayah kena tersampok hingga dia berjumpalitan.

   Tanpa mengeluh, ayah merayap bangun, untuk menyerang pula.

   Lalu tidak lama kemudian ayah dapat menikam pula pengemis itu.

   Seperti ayah, dia juga tidak berteriak kesakitan.

   "Pertempuran berjalan terus, tak kurang dahsyatnya. Darah telah berceceran di tanah. Beruntun beberapa kali ayah kena dibikin jumpalitan pula, malah jidatnya telah diserempet tongkat hingga kulitnya pecah dan berlumuran darah. Berbareng dengan itu, si pengemis juga tidak unggul banyak, rambutnya yang kusut kena terpapas pendek, tubuhnya terluka beberapa lobang. Setelah lama bertempur, kedua-duanya telah menjadi sangat lelah. Masih ayah kena terpukul pula dan si pengemis kena tertikam lagi. Habis itu keduanya terhuyung rubuh, tidak dapat mereka merayap bangun. Tentu sekali aku menjadi sangat kaget dan ketakutan. Kalau tadinya aku tidak berani muncul atau bersuara, sekarang ini aku menjerit dan menangis. Ayah bergulingan beberapa kali, lalu aku dengar ia paksakan berkata.

   "Baik, tuan Pit, kau ambillah! Aku menyerah....."

   Menggetar suara ayah, suara itu seram, menakutkan.

   "Tidak, kau tidak kalah,"

   Si pengemis pun berkata.

   "Kau setia kepada pesan yang menjadi tugasmu. Seumurku baharu kali ini aku lihat kau sebagai satu laki-laki! Untuk sementara, permata itu boleh kau simpan terus, tidak hendak aku mengambilnya secara paksa. Sejak ini, apabila kau mendapatkan sesuatu kesukaran, yang harganya seimbang kalau ditukar dengan permata itu, asal kau buka mulutmu, tidak nanti aku tidak berbuat segala apa untukmu."

   Habis berkata, dia merayap bangun, dia balut sendiri luka-lukanya, dengan gunakan tongkatnya, untuk menahan tubuhnya, dia bertindak keluar dengan limbung.

   Ayah tidak dapat bangun, aku pergi panggil orang, untuk membantu mengangkat ayah naik kepembaringan.

   Setengah bulan lebih ayah berobat, baharu dia dapat turun dari pembaringannya, untuk berjalan.

   Suatu hari dengan berpegangan tembok, seorang diri ayah naik ke loteng tempat ia menyimpan barang-barang permata.

   Di sana dihadapan sebuah gambar ia keluarkan air mata.

   Biasanya tidak pernah aku berkisar dari samping ayah, tapi untuk naik ke loteng, aku sembunyi-sembunyi.

   Aku lihat segala apa, aku tidak berani menanyakannya.

   Aku tidak berani karena usiaku yang muda sekali.

   Adalah kemudian, setelah banyak tahun, aku tanya ayah.

   Ayah tidak mau memberikan keterangan."

   Hati In Loei tergerak.

   "Gambar apakah itu?"

   Dia tanya.

   "Itulah gambar lebar yang pada harian nikah kita kau melihatnya di atas loteng,"

   Sahut Tjoei Hong.

   "Oh....."

   Kata In Loei, yang terus berdiam.

   "Belakangan baharu ayah mengatakan padaku,"

   Tjoei Hong menambahkan.

   "Ayah katakan si pengemis jahat sebenarnya bukan seorang jahat, dia malah seorang luar biasa. Dari lagu dan suaranya, nyata ayah sangat kagumi pengemis itu. Tak mau aku percaya ayah. Hari itu aku saksikan sendiri dia sangat menghina ayah, dia berbuat terlalu sewenang-wenang. Orang semacam dia bagaimana bukannya orang jahat? Ayah menjadi saudagar permata di Jalan Hitam, ancaman bahaya terhadapnya banyak dan besar sekali, beberapa kali ia menghadapi bahaya maut. Akhirnya ayah beritahukan padaku bahwa si pengemis jahat dahulu kala adalah Tjinsamkay Pit To Hoan yang sekarang ini. Ayah katakan juga, di dalam segala hal, kalau kita minta bantuan tuan Pit itu, ancaman bahaya bisa berubah menjadi keselamatan. Ayah mengatakan demikian, tetapi sebegitu jauh, belum pernah ayah mohon bantuannya Pit To Hoan. Tapi In Siangkong, kali ini untuk urusan kau, ayah telah menulis suratnya ini. Ini membuktikan bahwa ia menyayangi kau melebihi dirinya sendiri, malah melebihi daripada aku juga. Maka itu, sekarang, tidak peduli dia orang jahat atau bukan, orang luar biasa atau siluman, asal dia suka bantu kau, aku merasa girang sekali, selanjutnya tidak lagi aku mengingat-ingat kejahatannya dahulu itu!"

   In Loei tengah berpikir keras, perkataan Tjoei Hong itu seolah-olah tidak ia mendengarnya! "Tentang Tjinsamkay Pit To Hoan itu,"

   Berkata Tiauw Im.

   "jikalau kau katakan dia jahat, dia memang jahat sekali, tetapi jikalau kau katankan dia orang baik, dia memang sangat baik."

   Pada dua puluh tahun yang lalu, pernah aku bertemu dengan dia itu.

   Ketika itu, ia ada bersamaku, dia ada satu hweeshio, dia belum menjadi pengemis.

   Pada waktu itu aku baharu keluar dari rumah perguruan, aku telah pergi merantau ke segala penjuru, aku selalu hidup di luaran.

   Pada suatu hari sampailah aku di Hongyang, dalam propinsi Shoatang.

   Itulah tempat yang menjadi kampung asalnya kaisar Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang.

   Mengenai kota Hongyang ini, ada ceritera burung yang bunyinya demikian.

   "Bicara tentang kota Hongyang, mengatakan perihal kota Hongyang, kota Hongyang asalnya ada suatu tempat yang baik, tetapi sejak munculnya kaisar she Tjoe, dalam sepuluh tahun, kota Hongyang mengalami sembilan tahun paceklik, kalau si orang hartawan menjuali barang makanannya, si orang melarat menjuali anakanaknya, dan siapa yang tidak mempunyai anak, pasti dia menggondol tamburnya pergi merantau ke empat penjuru. Maka itu meskipun Hongyang merupakan kota tempat kelahirannya satu raja, kotanya sendiri sedikit juga tak dapat kebaikannya raja itu, sebaliknya raja telah mengadakan berbagai macam pajak yang berat-berat, hingga rakyat hidupnya bersengsara dan celaka, satu kali datang musim kemarau, rakyat kabur terlunta- lunta ke segala jurusan. Demikian tahun itu, kota Hongyang kebetulan sedang menderita musim kering, dari sepuluh rumah, sembilan yang kosong. Bahaya paceklik mengancam demikian hebat tetapi ada sebuah tempat yang indah luar biasa. Kamu tahu, tempat apakah itu? Itu adalah sebuah biara!"

   In Loei heran sekali hingga ia segera buka mulutnya.

   "Biara?"

   Katanya.

   "Bukankah biara itu tempat kediamannya hweeshio?"

   "Tidak salah, biara itu adalah tempat kediaman hweeshio,"

   Jawab Tiauw Im.

   "Tapi hweeshio yang mendiami biara itu bukannya hweeshio seperti aku ini. Dia adalah satu hweeshio besar yang banyak uangnya, yang besar pengaruhnya. Di sini tidak usah aku takut-takut mengatakannya. Kaisar kerajaan kita sekarang ini, Tjoe Goan Tjiang, di masa mudanya adalah satu hweeshio, dan dia masuk menjadi hweeshio dibiara tersebut. Mulanya biara itu ada sebuah biara kecil, sesudahnya Tjoe Goan Tjiang menjadi kaisar, biara itu dirombak, diperbaharui menjadi besar dan indah, yang menjadi biara paling besar diseluruh negara. Oleh karena satu raja pernah menyucikan dirinya di sana, maka nama biara itu memakai nama Hongkak sie, artinya biara raja."

   San Bin mendengarkan dengan perhatian.

   "Bahwa hweeshio-hweeshio dari Hongkak sie menjadi galak dan berbuat sewenang- wenang, tidak usahlah aku ceritakan lagi,"

   Tiauw Im lanjutkan.

   Mereka itu tidak pantang, mereka tidak hormati aturan suci.

   Begitulah pada saat paceklik itu, mereka membeli banyak anak-anak perempuan dari orang-orang yang bersengsara dan hendak mengungsi, anak-anak itu dipelihara di dalam biara, mereka dijadikan korban-korban perkosaan.

   Di sepanjang jalan telah aku dengar orang banyak berbicara tentang anak-anak perempuan yang dijual pada biara itu, ada yang menjualnya buat lima ratus tjhie, ada yang Cuma tiga ratus tjhie.

   Dan uang sebanyak itu tidak cukup untuk ongkos belanja sepuluh hari.

   Malah yang lebih hebat lagi, yaitu tidak apa anaknya tidak dibeli, asal saja dapat menumpang di dalam biara itu.

   Panas hatiku mendengar hal itu! Di kolong langit ini ada semacam biara, ada semacam hweeshio, maka hweeshio sebagai aku ini, yang makan daging, sungguh lenyap muka terangku!"

   Memang kejadian itu sangat memanaskan hati.

   "Usiaku waktu itu belum cukup tiga puluh tahun,"

   Tiauw Im melanjutkan pula.

   Waktu itu aku berdarah panas melebihi sekarang ini.

   Aku tidak pedulikan lagi bahwa biara itu ada biara raja, dengan membawa tongkatku, aku pergi ke biara itu, aku cari hweeshio kepalanya, yang terus aku damprat habis-habisan.

   Di luar sangkaanku, rata-rata hweeshio di situ mengerti ilmu silat, malah kepalanya ada satu ahli.

   Semua hweeshio muncul hendak membekuk aku, untuk menyiksa dan membinasakan aku.

   Aku layani mereka, hingga dapat aku membinasakan beberapa di antaranya, akan tetapi lama kelamaan aku kehabisan tenaga, ini berbahaya bagiku.

   Di saat aku sangat terancam, datanglah satu hweeshio perantauan.

   Dia menabuh bokhie, sambil membaca doa, lalu dia berkata dengan nyaring.

   "Di waktu langit terang benderang ini, hai kamu kawanan murid-murid murtad dari Sang Buddha, bagaimana kamu berani menganiaya orang?"

   Habis itu, sambil tetap masih mendoa, ia turun tangan, ia serang hweeshio dari biara itu, hingga banyak hweeshio jahat yang terbinasa atau terluka.

   Melihat perbuatan hweeshio itu, aku menjadi girang, aku jadi mendapat hati, tetapi berbareng dengan itu hatiku menjadi lemah.

   "Soeheng, ampunilah mereka itu!"

   Aku teriaki hweeshio perantauan yang kosen itu. Tapi dia menjawab.

   "Hweeshio dari lain-lain biara boleh diberi ampun, hweeshiohweeshio di sini adalah yang aku paling benci! Jikalau kau merasa kasihan, biarkan aku saja yang turun tangan sendirian!"

   Dan ia lanjutkan terus serangannya.

   Di dalam biara itu digantungkan gambarnya Beng Thaytjouw, gambar itu lebih tinggi daripada orang biasa.

   Adalah lucu di dalam sebuah biara dipajang gambar satu raja.

   Dan lebih lucu lagi, gambar itu bukannya gambar hweeshio yang gundul kepalanya! Dihadapan gambar itu, hweeshio pengembara itu tertawa tiga kali, lalu dia meludah! Terhadap raja, perbuatan itu merupakan perbuatan sangat kurang ajar.

   Terhadap segala pembesar jahat dan okpa, yang biasa menindas rakyat jelata, aku sangat membenci, akan tetapi melihat dia demikian menghina raja, aku gentar juga.

   "Jangan kau takut!"

   Kata hweeshio itu padaku.

   Dahulu waktu Tjoe Goan Tjiang belum menjadi raja, dia adalah sama sebagai kita.

   Dia takut sekali orang mengatakannya dia pernah menjadi hweeshio.

   Aku benci pada sikapnya itu, itulah penghinaan untuk kita hweeshio seumumnya.

   Kau berani bunuh hweeshio murtad dan cabul ini, kenapa kau tidak benci pada raja yang pernah jadi hweeshio yang mengumbar hweeshio-hweeshio jahat dan busuk melangsungkan kejahatan dan kebusukannya? Dia jadi sengit sekali, akhirnya dia robek gambar raja itu, dihancurkan.

   Aku sendiri, mendengar teguran itu, bagaikan mendengar pengajaran Sang Buddha, aku jadi sadar dan tidak takut lagi.

   "Bagus Bagus!"

   Aku berteriak teriak sambil takepkan kedua tanganku.

   "Puas! Puas !"

   "Membunuh orang memuaskan, tetapi menolong orang, banyak kesulitannya, berkata pula hweeshio itu. Siapa menjadi manusia, dia tidak boleh cuma merasa puas, tetapi jeri terhadap kesulitan. Dengan berkata demikian, hweeshio itu maksudkan halnya banyak wanita yang disembunyikan di dalam biara Hongkak sie itu. Ayah bunda mereka itu sudah mengungsi, di mana mereka dapat dicari, ke mana kaum wanita itu hendak diserahkan? Tentu saja tidak dapat mereka dibiarkan pergi seorang diri.

   "Menolong orang harus secara sungguh-sungguh sampai pada akhirnya,"

   Berkata hweeshio itu pula.

   "Mari kita berdua bekerja sama, untuk mengantar mereka, untuk menolongi mereka mencari orang tuanya."

   Inilah benar.

   Membunuh orang gampang, tetapi menolong orang sulit.

   Syukur untuk kami, setelah bersusah payah dua bulan, berhasil juga kami menolong kaum wanita itu.

   Tentang harta yang tersimpan di dalam Hongkak sie, kita amalkan itu kepada rakyat yang bersengsara.

   Inilah jasaku yang pertama setelah aku turun gunung, peristiwa itu tak nanti aku lupakan seumur hidupku.

   "Dua bulan lamanya aku diam bersama hweeshio itu, kita sangat cocok satu dengan lain. Dalam hal ilmu silat, kepandaian kita juga berimbang. Kita lantas ikat persahabatan. Hweeshio itu adalah Tjinsamkay Pit To Hoan yang sekarang ini. Dengan sesungguhnya, aku kangen kepadanya. Sayang, sejak pertemuan yang pertama kali itu, selanjutnya kita belum pernah bertemu pula satu pada lain."

   Tergerak hatinya In Loei, ia berkesan sangat baik mengenai peristiwa itu, mengenai sikapnya Pit To Hoan.

   Memikirkan perbuatannya Pit To Hoan, ia bagaikan membayangkan pula waktu To Hoan meludahi gambar Tjoe Goan Tjiang.

   Kenapa Pit To Hoan begitu membenci kaisar pendiri dari kerajaan Beng itu? Inilah hal yang harus dipikirkan masak-masak.

   Tiba-tiba In Loe ingat Thio Tan Hong.

   Ia ingat, waktu berbicara tentang Tjoe Goan Tjiang, Thio Tan Hong memperlihatkan sikap sangat jemu.

   Kenapa? Ini juga hal yang memusingkan kepala memikirnya.....

   Tiba-tiba Tjioe San Bin tertawa.

   "Taysoe, kali ini kau akan bertemu dengannya!"

   Kata orang she Tjioe ini.

   "Pit To Hoan sendiri sudah cukup untuk melayani bangsat kecil itu, maka ditambah kau, biar dia punya tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti dapat dia terbang pergi! Ha-ha, hiantee, sakit hatimu pasti akan terbalaskan!"

   Dia tambahkan kepada In Loei.

   "Kakekmu di tanah baka tentulah akan meramkan mata....."

   In Loei berdiam, matanya mendelong jauh ke depan. Ia tidak menjawab perkataannya San Bin. Sikap ini membuatnya Tiauw Im dan Tjoei Hong menjadi heran. Ketika bayangan matahari menunjukkan sudah dekat tengah hari, Tiauw Im lompat berjingkrak.

   "Janji atau tantangan si mahasiswa berkuda putih itu tinggal empat hari lagi,"

   Dia kata.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "maka itu sekarang sudah seharusnya kita cepat-cepat berangkat."

   Pengutaraan ini dapat persetujuan, maka itu, berempat mereka berlerot keluar dari dalam kuburan.

   In Loei dongak, ia memandang ke langit, ia rasakan seperti baharu habis bermimpi.....

   Tiauw Im Hweeshio dengan kuda putihnya adalah yang larinya paling pesat, yang kedua ialah kuda merah dari In Loei, tetapi si hweehsio tidak bedal kudanya itu, maka itu, dapat ia rendengkan binatang itu dengan kuda In Loei.

   San Bin dan Tjoei Hong jauh tertinggal di belakang, Tjoei Hong jadi sangat tidak puas.

   Akan tetapi, ia tak dapat berbuat suatu apa.

   Dekat magrib rombongan ini telah sampai di sebuah dusun kecil ditimur kecamatan Himkoan, di sini mereka kebetulan bertemu dengan dua rombongan lain, yaitu satu rombongan dari Hweesin tan Tjek Tjhoengtjoe dari Thaykok, dan yang lainnya rombongan dari Na Tjeetjoe dari Imma tjee.

   Tiauw Im dan San Bin kenal kedua rombongan itu, kedua pihak lantas membuat pertemuan.

   Nyata kedua rombongan itu juga tengah menuju ke rumah Pit To Hoan.

   Tiauw Im segera mencari sebuah penginapan yang paling besar, ia minta tiga kamar untuknya, yaitu ia bersama San Bin mengambil sebuah kamar, In Loei dan Tjoei Hong ia berikan masing-masing satu kamar.

   Tjoei Hong menjadi tidak puas, tetapi di situ banyak orang lain, ia terpaksa bungkam.

   Malam itu In Loei tidak dapat tidur, ia bergelisah di atas pembaringannya, sampai ia dengar ketokan perlahan sekali pada pintu kamarnya.

   "Siapa?"

   Tanyanya.

   "Aku....."

   Itulah suara Tjoei Hong, suaranya perlahan. Supaya tidak menerbitkan peristiwa yang bisa jadi buah tertawaan, In Loei lantas rapikan pakaiannya, ia pakai kopiahnya, habis mana ia buka pintu untuk menemui "isterinya"

   Itu. Tjoei Hong bermandikan air mata pada mukanya, ia lantas tubruk In Loei hingga nona In ini mesti peluk padanya, lantas ia dibawa kepembaringan.

   "Kau kenapa?"

   Tanya In Loei. Tjoei Hong mengawasi, sinar matanya mengandung sinar penasaran.

   "In Siangkong,"

   Ia jawab.

   "aku bukannya seorang hina, tak dapat aku menahan sabar....."

   "Kau sebenarnya kenapa? Siapa yang menghina kau?"

   Tanya pula In Loei.

   "Paman gurumu itu serta kakak angkatmu, kenapa seperti hendak merenggangkan perhubungan kita?"

   Kata Tjoei Hong.

   "Mereka seperti tidak pandang aku adalah isterimu. Apakah mereka anggap aku tidak pantas untuk jadi pasanganmu? Mungkinkah mereka hendak mencarikan lain pasangan untukmu?"

   Setelah ketahui urusan itu, In Loei tertawa cekikikan.

   "Hai, kau memikirkan apa?"

   Dia tanya.

   "Sebenarnya mereka bermaksud baik!"

   Tjoei Hong mendongkol.

   "Bagus betul!"

   Katanya.

   "Mereka hendak mencarikan kau lain jodoh, kau kata mereka bermaksud baik! Apakah salahku, hingga kau hendak ceraikan aku?"

   Ia lantas saja menangis. Sibuk juga In Loei.

   "Apa? Apa katamu?"

   Tanyanya.

   "Kapan aku hendak ceraikan kau?"

   "Habis, kau.....kau....."

   Tak dapat si nona mengatakan terus, agaknya ia malu. In Loei berpikir keras.

   "Bagaimana aku harus bersikap sekarang?"

   Dia bingung.

   "Kau dengar,"

   Ia kata.

   "Kakak angkatku itu....."

   "Foei!"

   Tjoei Hong memotong.

   "Kakak angkatmu itu! Jikalau kau sebutsebut dia pula, nanti aku segera cari ayahku untuk minta keputusannya! Kau nikah aku atau kakak angkatmu? Hm! Aku benci dia!"

   In Loei tetap bingung, hingga ia memikirkan untuk membuka rahasia saja. Ia belum sempat membuka mulutnya, ketika ia dengar suara berdehem di luar kamar.

   "Hiantee, kau bicara dengan siapa?"

   Terdengar San Bin menanya. Hatinya menjadi lega. Ia segera tolak tubuhnya Tjoei Hong.

   "Tjioe Toako di luar?"

   Tegurnya.

   "Lekas kau keluar! Kau seka air matamu, supaya dia tidak dapat melihat....."

   Tjoei Hong mendongkol bukan main, ia lantas lari keluar, tapi apamau, ia justeru bersomplokan dengan San Bin, dalam sengitnya, ia joroki anak muda itu sampai hampir jatuh.

   Ia lari terus ke dalam kamarnya, ia tutupi kepalanya dengan selimut, ia menangis.....

   In Loei heran yang San Bin datang malam-malam padanya.

   "Hianmoay,"

   Ia dengar San Bin.

   "kita ada bagaikan orang sendiri, tidak ada halangannya untuk kau bicara terus terang. Sebenarnya kau mempunyai kesulitan apa?"

   Sejenak, In Loei terperanjat. Tapi segera ia tertawa.

   "Memang ada kesulitanku,"

   Ia jawab.

   "Apakah kau tidak lihat nona Tjio gerembengi aku? Ini sulit, kesulitan ini tidak dapat aku pecahkan. Aku lihat, toako, cuma kau yang dapat membantu aku....."

   San Bin terperanjat, wajahnya berubah.

   "Tjoei Hong adalah satu anak yang baik,"

   Berkata pula In Loei.

   "ia sesuai dengan kau Toako, kau telah berjalan bersama- sama dia, apakah kau tidak pikir suatu apa mengenai dia?"

   Pemuda itu melengak, ia merasa tak enak.

   "Adakah In Loei telah melihat lain orang maka hendak ia serahkan Tjoei Hong padaku?"

   Ia menduga-duga. Ia mulai cemburu. In Loei polos, tidak ia menyangka akan kesangsiannya San Bin itu, maka itu, heran ia menampak air muka orang menjadi pucat. Ia tercengang.

   "Adik In, jangan kau dustakan aku,"

   San Bin berkata pula.

   "Bukankah kau mempunyai pikiran lain?"

   "Apa, toako?"

   In Loei tanya. San Bin menatap.

   "Anaknya Thio Tjong Tjioe telah melakukan perjalanan bersama-sama kau, bukankah ia baik sekali terhadapmu?"

   Tanyanya, tiba-tiba. Tubuh In Loei gemetar.

   "Ya, baik sekali,"

   Ia menjawab.

   "Tapi ia ada dari keluarga musuhmu!"

   San Bin peringatkan.

   "Tentang itu tak usah kau memperingatkannya,"

   Sahut In Loei.

   "surat wasiat kakekku telah menjelaskannya terang sekali."

   "Apakah yang ditulisnya?"

   "Surat wasiat itu menghendaki supaya aku membunuh habis keluarga Thio, tidak peduli lelaki atau perempuan!"

   "Tetapi dia berlaku baik sekali terhadapmu!"

   San Bin kata pula.

   "Baik atau tidak sama saja. Aku..... aku..... aku tidak bisa tentangi pesan kakekku!....."

   In Loei menangis tersedu-sedu, tak dapat ia bicara terus.

   San Bin bingung, hatinya separuh lega.

   Ia awasi si nona, pikirannya ruwet.

   Ia merasa tak tega, ia merasa kasihan terhadap nona ini.

   Ia ulur tangannya, niatnya menghibur si nona, akan tetapi ketika tangannya membentur lengan orang, segera ia menarik kembali.

   Ia merasakan getaran.

   Justeru itu di luar penginapan terdengar bentakan keras.

   "Oh, bangsat!"

   Demikian suara Tiauw Im Hweeshio.

   "Besar nyalimu! Aku ada di sini, kau berani datang menyatroni!"

   San Bin kaget, tapi segera ia lompat keluar, tangannya mencabut goloknya.

   Ia terus lompat naik ke atas genteng.

   Di bawah sinar rembulan yang permai, di sana tampak satu mahasiswa yang putih bersih, seolah-olah ia sedang bersenyum, dengan tegak ia berdiri di antara siuran angin halus.

   Ia adalah si "bangsat kecil berkuda putih"

   Untuk melayani siapa San Bin bersama Tjio Eng sudah menyiarkan panah Loklim tjian! Waktu itu Na Tjeetjoe dan Tjek Tjhoengtjoe pun telah muncul di pojok payon. Menampak San Bin, Tiauw Im berkata.

   "Aku tidak mau melayani anak muda, akan aku gantikan kau mengurus kuda putih itu! Hati-hatilah kamu, supaya dia tidak sampai lolos!"

   San Bin tidak sahuti paman guru itu, ia hanya berkata.

   "Adik Loei, lekas kemari!"

   Tjek Tjhoengtjoe, yang bernama Po Tjiang dan bergelar Hweesin tan, si Peluru Malaikat, sudah lantas menimpuk dengan tiga biji hweetjoe, peluru api, mengarah muka orang.

   Dengan mengegoskan tubuhnya si mahasiswa lolos dari sesaran peluru liehay itu.

   Na Tjeetjoe, yang bernama Thian Sek, sudah lantas maju menyerang dengan sepasang Poankoan pit-nya, yaitu alat semacam pit - alat tulis.

   Si mahasiswa tidak hunus senjatanya, sambil menyamping sedikit, dengan sebelah tangannya ia menangkis, tangan yang lain dipakai membalas menyerang.

   Secara demikian ia membuat serangan Na tjeetjoe gagal, yang terpaksa mundur dua tindak.

   Waktu itu, San Bin lompat dengan bacokan goloknya.

   Gesit sekali mahasiswa itu, ia tidak menangkis atau lari, hanya selagi golok menyambar, ia berkelit sambil memutar diri, tangannya yang sebelah diayunkan, hingga ketika ia berbalik pula, lengan San Bin kena tersampok, sampai lengan itu bengkak dan terasa sakit.

   In Loei sudah lantas muncul di atas genteng, pedang Pekin kiam pun sudah dihunus, segera ia lihat si mahasiswa, mata siapa seperti menyinarkan api.

   Ia kertek giginya, terus ia menikam.

   Si mahasiswa kelitkan dirinya sambil berseru.

   "Telah aku dengar semua pembicaraanmu! Kiranya kamu semua sangat membenci aku!....."

   Ia tidak membalas menyerang si nona.

   "Tikam dia! Jangan kasi hati!"

   Berseru San Bin. Tjek Po Tjiang kembali menyerang dengan pelurunya, menyusul mana, Tan Hong dikepung bertiga. Dalam saat yang sangat mengancam itu, Thio Tan Hong masih sempat bersenanjung.

   "Tubuh yang kecil boleh pulang ke dalam tanah, akan tetapi bagaimana, budi permusuhan masih belum jelas?....."

   Pemuda ini berkelit pula dari pedang In Loei, berbareng dengan itu ia serang muka Na Thian Sek dengan tangan kosong.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Na Tjhoengtjoe berkelit sambil lompat nyamping, untuk membela dirinya.

   Gerakan ini digunakan sebagai ketika oleh Tan Hong, yang sudah lompat turun.

   "Kejar dia!"

   Berteriak San Bin.

   Semua orang lantas mengejar, tidak terkecuali In Loei, tetapi nona ini Cuma ikut ikutan saja, ia sebenarnya tidak punya tujuan.

   Thio Tan Hong perdengarkan suara nyaring, ia rupanya memanggil kudanya.

   Sebagai jawaban ia dapatkan kuda itu berbenger, yang berada jauh daripadanya.

   Ia lari menghampiri.

   Tiauw Im Hweeshio, di atas kuda putihnya, menghalang antara Tan Hong dan Tjiauwya saytjoe ma.

   Kuda putih itu seperti kenal baik satu pada lain, maka juga, meski dia dengar panggilan, kuda si mahasiswa tidak mau menghampiri majikannya.

   Tan Hong perdengarkan pula suara panggilannya, yang panjang.

   Kali ini Tjiauwya saytjoe ma perdengarkan jawabannya sambil berdiri pada kedua kaki belakangnya.

   Tiauw Im lihat sikap kuda itu, ia serang batang lehernya.

   Atas mana, kuda tersebut rubuh.

   Sakit hati Tan Hong menyaksikan kudanya disakiti, ia menjadi gusar sekali.

   "Hweeshio bangsat, kau berani lukai kudaku?"

   Dia berteriak.

   Terus dia maju, menyerang si hweeshio itu, atau segera ia tercandak Tjek Tjhoengtjoe, Na Tjeetjoe, San Bin dan In Loei, yang terus mengurung padanya.

   Ia menjadi mendongkol, tidak bisa ia lantas loloskan diri.

   Iapun tidak sempat mencabut pedangnya.

   Tiauw Im Hweeshio tertawa, dia berkata.

   "Tanpa kudamu, cara bagaimana kau dapat meloloskan diri?....."

   Belum pendeta ini menutup mulutnya, sekonyong-konyong kudanya berbenger dan berjingkar, kedua kaki depannya diangkat tinggi, hingga ia menjadi kaget, sebab hampir ia terpelanting dari atas kudanya itu.

   Inilah ia tidak sangka, sebab setelah sekian lama, dapat ia menjinakkan kuda itu.

   Pendeta ini tidak tahu, kudanya dengan Tjiauwya saytjoe ma mempunyai hubungan yang sangat erat.

   Tjiauwya saytjoe ma itu adalah anaknya kuda putih itu! Thio Tjeng Tjioe sangat menyayangi puteranya, ia berikan Tjiauwya saytjoe ma kepada sang putera.

   Tiauw Im telah hajar kuda itu, tidak heran kudanya menjadi kaget dan marah, setelah berjingkrak, kuda itu lari kabur.

   Ia mesti mendekam dan pegangi keras kuda itu, yang tak dapat segera dikendalikan.

   Ia dibawa kabur sampai beberapa lie! Tjiauwya saytjoe ma berbenger pula, terus dia lompat bangun, terus dia lari ke arah majikannya.

   "Bagus! Bagus!"

   Seru Thio Tan Hong.

   Na Thian Sek maju dengan pit-nya, Tjek Po Tjiang dengan cambuknya, dan Tjioe San Bin dengan goloknya, bertiga mereka hendak rintangi si anak muda menghampiri kudanya itu.

   Tan Hong lihat sikap orang, ia justeru lompat ke arah In Loei.

   Nona In kertek giginya, ia segera serang anak muda itu, akan tetapi dengan mengegoskan mukanya, Tan Hong dapat mengelakkan pedang itu ke samping mukanya.

   Adalah pada saat itu, Tjiauwya saytjoe ma telah datang dekat pada majikannya.

   San Bin tidak mau diterjang kuda, ia berkelit.

   Ketika ini digunakan Tan Hong untuk lompat kebebokong kudanya itu.

   Tjek Tjhoengtjoe menyerang dengan pelurunya, ia sebat, akan tetapi Tjiauwya saytjoe ma sangat gesit, dia membuatnya peluru lewat di belakangnya! Sambil kaburkan terus kudanya, dari kejauhan, si mahasiswa telah perdengarkan suaranya yang nyaring.

   "Maafkan aku, tidak dapat aku menemani lebih lama! Nanti saja, lagi tiga hari, kami bertemu pula!"

   Kata-kata itu, yang seperti ejekan, diakhiri dengan suara tertawa, yang segera lenyap di udara terbuka, di antara sampokannya angin, yang kemudian disusul dengan menghilangnya si penunggang kuda dan kudanya.....

   In Loei berdiri menjublak, sedang Tjek Tjhoengtjoe, Na Tjeetjoe dan San Bin lesu sekali, mereka menyesal sekali, mereka jengah sendirinya.

   Beramai mereka tak sanggup membekuk satu orang.....

   Tidak lama antaranya, tibalah Tiauw Im Hweeshio.

   Pendeta ini kembali sesudah ia dapat kuasai kudanya, ia merasa kecele, karenanya ia larikan kudanya perlahan lahan.

   Ketika ia saksikan roman kawan-kawannya, sambil menyeringai, ia berkata.

   "Malam ini kita rubuh! Nanti, setelah tiga hari, terpaksa aku mesti turun, tangan....."

   Besok paginya, perjalanan dilanjutkan.

   Tjoei Hong mendongkol berbareng berduka, karena kejadian semalam itu.

   Tak mau ia bicara dengan In Loei.

   San Bin pun berdiam, akan tetapi ia pikirkan pertempuran semalam.

   Terang ia dapat melihat, sekalipun In Loei, dia masih kalah terhadap Thio Tan Hong yang liehay itu.

   Ia juga dapat melihat, Tan Hong tidak berniat mencelakai si nona walaupun nona ini ada musuhnya.

   Bukankah itu tandanya bahwa antara mereka berdua telah ada perhubungan yang erat? Maka akhirnya, ia menjadi masgul sekali, pikirannya pepat.

   Ia tidak punya kegembiraan untuk bicara dengan Nona In.

   Nona ini lihat sikap pemuda she Tjioe itu, ini membuatnya ia berlega hati.

   Meski demikian, teringat halnya Tan Hong, ia berduka juga.

   Perjalanan dilanjutkan terus, sesudah tiga hari, sampailah mereka di Hoklok.

   Perkampungan tempat kediamannya Tjinsamkay Pit To Hoan dikitari air dan bukit, bagus letaknya.

   Tiauw Im Hweeshio maju di depan, ia temui pengawal pintu, untuk perkenalkan diri dan utarakan maksud kedatangannya, setelah mana, mereka dipersilakan masuk.

   Nyata di dalam telah ada lain tetamu, roman mereka umumnya tegang.

   Sudah dua puluh tahun Pit To Hoan dan Tiauw Im tidak pernah bertemu, pertemuan ini membuatnya mereka girang sekali, banyak yang mereka omongkan, tentang kenang-kenangan mereka, perihal kesehatan dan lainnya, hingga untuk sesaat itu, tak sempat Pit To Hoan melayani lain tetamunya, yang semua dating karena menerima panah Loklim tjian atau diundang langsung oleh Thio Tan Hong.

   Kemudian orang menanyakan Tjioe San Bin tentang Thio Tan Hong, mereka ingin ketahui jelas perihal orang she Thio itu.

   "Ayahmu, Kimtoo Tjeetjoe,"

   Berkata Pit To Hoan.

   "meskipun dia belum pernah bertemu denganku akan tetapi telah lama aku dengar tentang dia, aku tahu dia orang macam apa, maka aku percaya orang yang dia ingin bekuk mesti ada seorang yang jahat sekali. Sekarang pun terbukti, melihat sepak terjangnya, penjahat itu sangat cerdik dan berbahaya. Maka itu, tidak usah kau menjelaskan banyak, aku berniat turun tangan terhadapnya". Kemudian, menampak Tjio Tjoei Hong, tuan rumah itu urut-urut kumisnya.

   "Maafkan aku, aku tak tahu sekarang telah muncul seorang wanita gagah", ia kata. Segera San Bin memperkenalkan.

   "Nona ini puterinya Hongthianloei", katanya. Tjoei Hong segera maju, untuk memberi hormatnya, seraya memberitahukan yang ayahnya telah mengirim surat untuk menanyakan kesehatannya tuan rumah itu. Pit To Hoan girang sekali, ia tertawa.

   "Jikalau Hongthianloei menitahkan sesuatu, walaupun harus menerjang api, tidak nanti aku menolak!"

   Dia kata.

   "Sudah belasan tahun aku nantikan suratnya itu!"

   Tjoei Hong serahkan surat ayahnya, tuan rumah menerimanya, untuk terus dibuka dan dibaca, habis mana mendadak air mukanya berubah menjadi pucat.

   Hatinya In Loei goncang.

   Tak tahu ia, apa bunyi surat Tjio Eng itu.

   Pit To Hoan berlaku tenang, dengan perlahan ia lipat pula surat itu, terus ia masukkan ke dalam sakunya.

   San Bin mengawasi, ingin ia bicara, untuk menjelaskan perihal si mahasiswa berkuda putih, atau To Hoan, yang memandang padanya, mendahului dia.

   "Tidak usah kau menjelaskannya, sudah aku ketahui,"

   Katanya. Ia segera memandang kepada In Loei ke arah siapa ia berpaling.

   "Tuan ini adalah keponakan murid dari Tiauw Im Taysoe, ia juga menjadi menantu dari Tjio Looenghiong,"

   San Bin cepat memperkenalkan.

   "Menantu Hongthianloei telah datang, sayang Hongthianloei tidak."

   Kata To Hoan.

   "Aku kuatir urusan tidak akan dapat diselesaikan....."

   Ia lantas angkat kepalanya, akan melihat ke atas, hinga tampak sinar kedua matanya yang hitam dan bengis. Habis itu terdengar tertawanya yang kering.

   "Mari turut aku!"

   Kata ia kemudian sambil melambaikan tangan pada In Loei dan Tjoei Hong. Ia pun memesan.

   "Kalau si mahasiswa berkuda putih datang dengan tiba-tiba, Tiauw Im Soeheng, tolong kau wakilkan aku melayani dia."

   Sudah lama To Hoan kembali menjadi orang biasa, bukan hweeshio lagi, tapi kepada Tiauw Im tetap ia memanggil "soeheng" - panggilan cara keagamaan.

   In Loei dan Tjoei Hong turut tuan rumah itu.

   Mereka melewati lorong dan naik ke atas sebuah loteng kecil, di situ kedapatan sehelai gambar lukisan kota dan air, dengan pohon-pohon bunga.

   Mestinya gambar ini dibuat oleh satu pelukis dengan gambar yang ada di rumah Tjoei Hong, bedanya ialah gambar ini jauh terlebih kecil.

   Belum lagi tuan rumah dan tetamu-tetamunya duduk, atau satu bocah telah datang berlarian, terus saja dia tunjuk gambar itu sambil berseru.

   "Ayah, berikan padaku, berikan padaku buat main!"

   Bocah itu baharu berumur kira-kira delapan tahun, gesit dan manis, siapa saja tentu menyukai dia. To Hoan urut-urut kumisnya, ia turunkan gambar itu, lalu ia berikan pada bocah itu.

   "Pergi ambil!"

   Katanya.

   "Hari ini akan terlihat gambar aslinya, maka barang tiruan ini tak usah aku menghargainya lagi!"

   Mendapatkan gambar itu, bocah itu tertawa dan berjingkrakan, lantas dia pergi.

   Kelihatannya dia seperti sudah sering minta gambar itu kepada orang tuanya dan baharu kali ini diberikannya.

   Dengan matanya, To Hoan antar bocah itu turun, dari loteng, habis itu ia menoleh kepada Tjoei Hong.

   Ia tertawa.

   "Nona Tjio,"

   Katanya.

   "ketika tahun itu aku pergi ke rumahmu, kau masih sebesar dia. Masihkah kau ingat?"

   "Dua bulan ayahku rebah di pembaringan, mana aku dapat melupainya?"

   Jawab nona Tjio. To Hoan menghela napas.

   "Hari itu aku sangat ganas,"

   Katanya.

   "sampai pada hari ini, apakah kau masih membenci aku? Apakah yang ayahmu katakan padamu?"

   "Sedikit juga ayah tidak membenci kau,"

   Sahut Tjoei Hong.

   "Kali ini, apabila kau bisa membantu membalas sakit hati, ayah akan sangat berterima kasih padamu."

   "Membalas sakit hati?"

   To Hoan heran.

   "Sakit hati apakah itu?"

   Tjoei Hong berbalik menjadi heran.

   "Apakah ayah tidak menjelaskan dalam suratnya?"

   Ia tanya.

   "Bukankah si mahasiswa berkuda putih itu ada musuh besar dari In Siangkong?"

   To Hoan awasi nona itu.

   "Begitu?"

   Dia tegaskan. Mukanya In Loei menjadi pucat sekali.

   "Benar apa yang nona Tjio ini katakan,"

   Ia turut bicara.

   "Memang itu ada urusan sakit hati. Hanya dalam hal itu, tidak mau aku pinjam tangan lain orang!"

   "Bagus, itulah bersemangat!"

   Puji Pit To Hoan.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tapi aku lihat, di dalam urusan ini terlibat lain urusan lagi, yang menjadi sulit bagiku....."

   "Apa?"

   Tanya Tjoei Hong heran.

   "Inilah aku tidak pikir. Apakah yang ayahku tulis dalam suratnya itu?"

   To Hoan tertawa tawar, separuh berpaling, ia pandang nona itu.

   "Sekarang aku undang kau kemari, ini adalah untuk menuturkan kau sebuah dongeng,"

   Katanya kemudian.

   "Dongeng ini tentunya ayahmu belum ketahui semuanya."

   Dan ia lantas mulai dengan dongengnya itu.

   Dahulu kala, ada satu hweeshio yang pandai ilmu silat, dan pintar sekali dalam soal agama.

   Pada masa itu masuklah satu bangsa lain ke Tionggoan dan memerintahnya.

   Karena itu negara menjadi kalut sekali.

   Waktu itu hidup dua saudara angkat, si kakak hidup sebagai pedagang garam gelap, si adik menjadi pengemis.

   Kedua saudara ini berangan-angan besar.

   Mereka bercita-cita mengumpulkan tentara guna mengusir bangsa asing itu.

   Akan tetapi si hweeshio telah mendahului mereka, di Hoaysee dia telah mengerek bendera pemberontakan suci.

   "Hweeshio tua itu mempunyai dua murid, ialah si penjual garam gelap sebagai kakak dan si pengemis sebagai adiknya,"

   In Loei menyelak. Bersinar mata To Hoan, dia pandang tetamu ini. Lantas ia bersenyum.

   "Kau juga masih belum mengetahui jelas,"

   Ia beritahu.

   "Hweeshio itu bukan mempunyai cuma dua murid tetapi tiga. Siapa menuturkan kau dongeng yang tidak lengkap itu?"

   "Untuk bicara terus terang, yang mendongengkan ialah orang yang hari ini kamu semua hendak menghadapinya,"

   Sahut In Loei.

   "Dia sebenarnya hendak ceritakan aku tiga buah dongeng. Dongeng yang pertama, ialah apa yang baru saja kau tuturkan. Dongeng yang kedua aku pun sudah ketahui. Tinggal dongeng yang ketiga, yang dia belum ceritakan padaku."

   Tjoei Hong menjadi heran, hingga ia awasi "suaminya"

   Itu serta To Hoan dengan bergantian. To Hoan bersikap tenang, malah dia seperti sudah ketahui atau telah menduganya.

   "Benar,"

   Kata To Hoan kemudian.

   "Dibanding denganku, dia itu mengetahui terlebih banyak. Dongengku ini mungkin ada dongeng yang ketiga, tapi hanya sebagian saja."

   Tjoei Hong bertambah heran, wajahnya padam. Ia melirik pada In Loei, ia agaknya hendak sesalkan "suami"

   Itu mengapa dia sekian lama sudah bungkam saja terhadapnya.....

   "Oleh karena dia telah menceritakan dongeng itu, baiklah akupun tidak usah menyembunyikan lagi,"

   Berkata pula To Hoan kemudian.

   "Penjual garam gelap itu adalah Thio Soe Seng, dan si pengemis adalah Tjoe Goan Tjiang. Dan si hweeshio tua, yang menjadi guru mereka, adalah Peng Eng Giok."

   In Loei dan Tjoei Hong mengawasi, keduanya diam.

   Tjoei Hong nyata masih bingung.

   Pit To Hoan lanjutkan ceritanya.

   Peng Eng Giok itu masih mempunyai satu murid lain yang bernama Pit Leng Hie.

   Murid ini mengerti ilmu perang, dia cerdas sekali.

   Dia pernah ikuti gurunya merantau, dia pandai menyamarkan diri.

   Begitulah dia pernah menyamar sebagai hweeshio dan juga sebagai pengemis.

   "Tjoe Goan Tjiang itu, sebelumnya dia masuk ke dalam kalangan Angkin Koen, - Tentara Pelangi Merah - pernah dia bekerja dalam pasukan suka rela gurunya itu, yang menjabat sebagai satu pemimpin kecil. Mungkin hal ini telah dituturkan orang itu kepadamu, ia tambahkan pada In Loei. Pada masa itu tentara kerajaan Goan ada tangguh. Sebaliknya di antara kaum pemberontak, yang bergerak dengan berbareng, jumlah tenaganya Peng Eng Giok tidak besar. Begitulah, beberapa kali Peng Eng Giok kena dikalahkan pasukan perang Goan, hingga keadaannya menjadi terancam bahaya besar. Tjoe Goan Tjiang telah berpikir lain, untuk mewujudkan pikirannya itu, ia menanti ketikanya. Kembali Peng Eng Giok mendapat pukulan yang hebat. Inilah ketika yang baik bagi Tjoe Goan Tjiang. Dengan akal muslihatnya, ia jual gurunya kepada musuh, ia sendiri, dengan air mata bercucuran, memperlihatkan diri sebagai seorang baik. Habis itu dengan membawa sisa tentara gurunya, ia pergi kepada pasukan Angkin Koen yang paling kuat, dengan siasat ini ia gunakan tentara itu sebagai modalnya untuk merebut negara. Tjoe Goan Tjiang menduga gurunya mesti terbinasa. Dugaan ini meleset. Gurunya itu diantar ke Pakkhia, kota raja bangsa Goan. Di tengah jalan, guru itu disusul Pit Leng Hie. Murid yang setia ini menggunakan segala macam akal, akhirnya berhasil juga dia menolongi gurunya, yang dia ajak menyingkir. Tentang pengalamannya Pit Leng Hie itu, yang sulit sekali, tidak usah aku jelaskan di sini. Keadaan negara telah menjadi kacau sekali ketika itu. Peng Eng Giok dan muridnya tidak dapat kembali ke Kanglam, tapi mereka masih dapat, mengumpulkan pengikut baru, untuk bangun pula. Di Utara ada tempat kedudukan tentara Goan, begitu Peng Eng Giok bergerak, begitu ia diserbu. Dalam satu pertempuran Peng Eng Giok terluka parah. Selagi hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, Peng Eng Giok berkata pada muridnya.

   "Seseorang tak dapat lolos dari kematian, sekarang aku terbinasa di medan perang, inilah kemenangan yang terhormat. Cuma ada satu hal yang belum aku selesai lakukan, untuk itu aku minta kau yang menggantikan mengurusnya. Melihat keadaan, aku percaya bangsa Han akan bangun pula. Inilah sudah pasti. Di antara jago-jago yang sekarang sedang bergulat, yang mempunyai harapan untuk naik di tahta, menurut pandanganku, mesti kedua adik seperguruanmu, kalau bukan si Tjoe, tentu si Thio. Yang lain-lainnya tidak ada yang mempunyai ketika. Tjoe Goan Tjiang berambekan besar dan cerdik sekali, tetapi dia bersifat buruk, dia tidak kenal budi kebaikan. Bukannya aku benci padanya, yang telah menjual aku, tapi sebenarnya aku tidak ingin dia yang menjadi raja. Dia dapat mencelakai rakyat negeri. Sejak muda aku telah merantau, mengembara di seluruh negeri, karenanya aku ketahui letaknya tempat, yang mana yang baik untuk mengumpulkan tentara. Maka itu aku telah menyiapkan sebuah peta bumi yang dibutuhkan oleh pergerakan tentara. Aku percaya, siapa memperolehnya peta itu, dialah yang akan berhasil dalam usahanya menjadi jago. Sekarang aku minta kau serahkan peta itu kepada Thio Soe Seng."

   


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Pedang Ular Emas -- Yin Yong

Cari Blog Ini