Pedang Inti Es 4
Pedang Inti Es Karya Okt Bagian 4
Pedang Inti Es Karya dari Okt
Orang tua itu tertawa.
"Hari ini aku menghadapi semacam penyakit yang aneh,"
Ia menyahut.
"yang membuatku sulit. Karena penyakit itu tidak dapat aku sembuhkan, tak enak aku menyebutkannya padamu."
"Kau pandai sekali bergurau, tuan!"
Berkata banyak orang.
"Bagimu mana ada penyakit yang kau tidak dapat sembuhkan!"
"Kecuali orang itu telah ditakdir rohnya bakal dibetot raksha!"
Berkata seorang lain sembari tertawa.
"Walaupun demikian, kau tentunya mempunyai kepandaian akan merampas jiwa orang dari tangan iblis itu!"
Mendengar kata-kata itu, rupanya tabib ini dipandang seperti tabib sakti di Tiongkok. Sementara itu Papo memandang ke arah Hoa Seng, lantas ia terlihat merasa heran. Menampak orang mengawasi ia, Hoa Seng berbangkit untuk memberi hormat.
"Sudah banyak tahun aku belum melihat lagi tetamu dari Tiongkok,"
Kata tabib itu.
"Aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini!"
"Silahkan tuan minum bersama aku!"
Hoa Seng mengundang. Tabib itu tertawa, ia menerima undangan dengan gembira. Maka Hoa Seng lantas minta pelayan menambahkan barang makanan. Tabib itu duduk di sebelah ini kenalan baru.
"Tuan seorang tabib pandai, aku kagum sekali!"
Kata Hoa Seng kemudian.
"Ah, kau cuma dengar ngaco belo mereka itu!"
Kata si tabib merendahkan diri.
"Aku cuma mengenal beberapa macam obat. Bicara tentang ilmu tabib, kau bangsa Tionghoa yang paling pandai, aku sendiri cuma mengetahui bulu atau kulitnya saja. Bahkan aku menerima hadiah dari kamu bangsa Tionghoa."
"Apakah tuan pernah datang ke Tiongkok?"
Tanya Hoa Sang heran.
"Meskipun aku belum pernah pergi ke Tiongkok, aku mengerti bahasa Tionghoa,"
Menyahut tabib Nepal itu.
"Mulanya aku pelajari ilmu tabib, aku meyakinkannya dari kitab kamu PEN TSAO KANG MU, itu kitab ilmu obat-obatan karangan Li Shih Chen di jaman Kaisar Tiat Cong dari Ahala Song. Sekarang aku masih meyakinkan terlebih jauh bahagian pemeriksaan nadi. Aku lagi memikir untuk menyalin kitab itu ke dalam bahasaku. Aku pun telah mendengar kabar tentang tabibmu di ini jaman yang pandai sekali, namanya Hoe Ceng Coe. Katanya dia pernah tiba di selatan dan utara gunung Thian San serta Tibet juga. Menurut katanya seorang yang baru kembali dari Tibet, kakeknya pernah diobati Tabib Hoe itu serta dia masih menyimpan surat-obatnya. Mungkin tabib itu menulis buku tentang kepandaiannya itu, sayang ke negeriku ini, kitab itu masih belum sampai."
Hoa Seng tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi ia menghargai tabib Nepal ini, maka ia menyesal tidak dapat berunding dalam ilmu itu.
"Kalau begitu,"
Katanya bersenyum.
"meski kedua negeri kita dipisahkan tanah pegunungan, sebenarnya kita tidak asing satu dengan lain!"
"Bukan saja tidak asing, aku bilang, malah boleh bersahabat,"
Berkata Papo.
"Dongeng kami ada banyak yang ada hubungannya sama dongeng kamu."
Ia lantas menunjuk ke menara di luar itu, ia menambahkan.
"Kabarnya ibukota kami ini pun dibuka oleh pendeta yang berilmu dari Tiongkok kamu."
Hoa Seng jadi sangat ketarik hati.
"Oh, ada cerita demikian rupa?"
Katanya. Lalu ia menanya.
"Sebenarnya, raja kamu ada mempunyai beberapa puteri?"
"Cuma satu,"
Sahut Papo.
"Kalau begitu putera raja di Kota Iblis itu bukannya putera mahkota,"
Hoa Seng kata dalam hatinya. Papo bersenyum dan berkata.
"Mungkin kau telah mendengar kabar urusan perjodohan dari puteri kami! Kau tampan dan mengerti ilmu silat, kau boleh mencoba-coba peruntunganmu!"
Hoa Seng heran.
"Ah, mengapa dia ketahui aku mengerti silat?"
Pikirnya. Tapi ia berkata.
"Hal itu aku tidak berani sekalipun untuk memikir saja. Ya, apakah banyak orang yang akan mengajukan lamaran?"
"Ujian dimulai semenjak tahun yang lalu, hampir setiap hari ada orang yang datang mencoba-coba,"
Menyahut tabib itu.
"hanya kemudian, pelamar itu menjadi berkurang, makin lama jadi makin sedikit. Selama tiga bulan yang belakangan ini belum pernah terdengar ada seorang juga."
Hoa Seng ingat suatu apa.
"Kenapakah itu?"
Ia menanya.
"Semua pelamar tidak dapat menjatuhkan dayangnya puteri, tentu sekali mereka tidak dapat melihat puterinya sendiri,"
Menyahut Papo.
"maka itu belakangan orang pada tahu diri dan mundur sendirinya."
Hoa Seng tertawa.
"Raja tak dapat menantu, apakah ia tidak jadi bergelisah?"
"Ya, dia sangat bergelisah! Maka juga .."
Mendadak tabib ini menghentikan omongannya.
Hoa Seng heran.
Ia tadinya hendak menanya pula ketika segera ia mendapatkan suasana dalam rumah makan itu telah berubah, kapan ia mengangkat kepalanya, ia melihat munculnya seorang pahlawan yang membawa golok.
Ketika tuan rumah menanya pahlawan itu, dia lantas menyahuti.
"Aku tidak mau minum arak!"
Dia terus bertindak ke mejanya Hoa Seng, untuk menjura kepada Papo, dengan sangat menghormat ia mengangsurkan sebuah kotak perak, kemudian tanpa mengucap sepatah juga, ia mengundurkan diri, berlalu dari rumah makan itu.
Kembali Hoa Seng merasa heran.
Ketika ia mengawasi si tabib, yang memegang kotak perak itu, ia mendapatkan tangan orang sedikit bergemetar, seperti juga dia lagi menghadapi ancaman bahaya.
"Ada apa, tuan?"
Ia lantas menanya.
"Adakah kau menghadapi sesuatu kesukaran?"
"Terima kasih untuk perhatian Siangkong,"
Berkata Papo.
"Sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, hari pun sudah tidak siang, aku sudah harusnya pulang."
Hoa Seng heran.
"Habis, kapan aku dapat bertemu pula sama Loo-tiang?"
Ia tanya.
"Umpama kata kita masih berjodoh, lagi tiga hari biarlah aku menanti di sini untuk menerima pengajaran,"
Katanya si tabib.
Hoa Seng cerdas sekali, kata-kata orang itu membuatnya dapat menduga sesuatu.
Pada ini mesti ada mengancam bahaya.
Hanya, entah apakah itu.
Jadi janji tiga hari itu masih sangat samar.
Tapi di situ, di dalam rumah makan, ia tidak dapat omong banyak dan jelas.
"Kalau begitu,"
Katanya.
"baiklah, tiga hari kemudian aku menanti di sini untuk menjamu Loo-tiang."
Papo lantas berlalu.
Hoa Seng lekas membayar uang minuman, lalu ia bertindak keluar, terus ia menguntit tabib itu.
Waktu itu api telah dinyalakan.
Hoa Seng menguntit terus.
Papo nampaknya tidak ketahui ada orang menguntit padanya, ia jalan terus dengan tenang, melewati beberapa jalan besar dan kecil, sampai di sebuah gang kecil di kota barat.
Gang itu sangat kecil dan sunyi.
Di situ ada sebuah rumah berundakan dua.
Itulah rumah Papo, sebab ia terus membuka pintu dan masuk ke dalamnya, lalu "Brak!", daun ditutup dengan digabruki! Hoa Seng menantikan sekian lama, ia melihat ke sekitarnya, setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, ia menghampirkan rumah itu, untuk terus berlompat naik ke atasnya.
Dari wuwungan ia pergi ke belakang, lantas ia memasang kuping.
Segera terdengar nyata elahan napas berulang-ulang dari Papo.
Oleh karena keinginannya untuk mengetahui, Hoa Seng lantas mengintai.
Papo telah membuka kotak yang diberikannya kepadanya oleh si Boesoe, isinya dia telah angkat dan meletakinya di atas meja.
Itulah mutiara, batu permata dan beberapa potong uang emas.
Menampak itu, Hoa Seng heran bukan main.
"Tak sedikit hadiahnya si boesoe!"
Pikirnya.
"Nah, habis kenapa dia menarik napas panjang-pendek ...........?"
Papo masih menghela napas, kemudian dari dalam kotak ia menjumput keluar sehelai surat undangan, ia cekali itu dan mengawasinya dengan menjublak.
Sampai di situ, Hoa Seng tidak mau menanti terlebih lama pula.
Ia mencari jalan untuk lompat turun dan masuk ke dalam rumah.
"Kau berduka kenapa, Loo-tiang? Bolehkah aku membantu meringankan kedukaan Loo-tiang?"
Katanya langsung. Papo terkejut hingga ia berjingkrak. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia mengenali Hoa Seng.
"Kau baik sekali, Lao-tee, aku bersyukur kepadamu,"
Ia berkata.
"Tentang urusanku ini lebih baik Lao-tee jangan mencampurinya."
"Loo-tiang, begitu bertemu sama kau, aku merasa kita adalah sahabat-sahabat kekal,"
Kata Hoa Seng membujuk.
"maka itu kalau loo-tiang mendapat sesuatu kesukaran, tak dapat aku tidak membantunya."
"Aku tahu kau liehay dalam ilmu silat, lao-tee,"
Berkata si tabib, mengawasi.
"Ah, jagan lao-tee heran! Aku tidak mengerti ilmu silat tetapi aku mengerti sedikit ilmu ketabiban. Tadi di rumah makan aku telah melihat sorot matamu, maka itu sengaja aku membentur lenganmu. Nyata nadimu bersih sekali, tenaga, dari itu aku dapat membade kau bukanlah sembarang orang."
Hoa Seng kagum sekali.
"Pantas dia sangat tersohor, kiranya, benar dia sangat pandai,"
Pikirnya.
"Benar lao-tee pandai ilmu silat tetapi urusan ini bukan urusan yang dapat dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat,"
Berkata pula Papo.
"Pula aku tidak menghendaki lao-tee seorang lain bangsa nanti jadi bentrok sama pasukan Gie-limkoen dari negaraku ...."
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana eh, loo-tiang?"
Tanya Hoa Seng, heran.
"Loo-tiang menjadi tabib, pekerjaan loo-tiang ialah menolong orang banyak yang menderita kesakitan, mengapa kau justeru mendapat urusan dengan Gie-lim-koen?"
Papo menggeleng kepala.
"Aku sendiri pun tidak mengerti,"
Sahutnya.
"Dan sekarang ini, aku bakal bercelaka atau bakal beruntung, aku pun tidak tahu pasti ."
"Loo-tiang tentu sudi anggap aku sebagai sahabat baikmu, maka aku minta sukalah loo-tiang memberi penjelasan padaku,"
Hoa Seng minta, mendesak. Papo mengawasi, ia berkata.
"Surat undangan yang boesoe tadi sampaikan kepadaku ialah surat undangan dari pemimpin kepala dari pasukan Gie-lim-koen. Pemimpin pasukan pahlawan raja itu menginginkan aku sebentar jam tiga pergi ke rumah peristirahatannya. Dia melarang aku memberitahukan hal itu kepada lain orang."
Hoa Sang lantas tertawa.
"Kalau begitu mungkin di sana ada orang yang sakitnya aneh!"
Katanya.
"Dia tentu mau minta loo-tiang menolong si sakit itu."
"Tidak, tidak bisa jadi!"
Kata Papo menggeleng-geleng kepala.
"Ah, aku ingat sekarang. Ketika tadi aku keluar dari istana, aku melihatnya pemimpin Gie-lim-koen itu celingukan memandang ke luar .."
"Oh, kalau begitu tadi loo-tiang pergi ke istana memeriksa orang sakit?"
Tanyanya.
"Sebenarnya urusan ini tidak dapat aku memberitahukannya kepada lain orang,"
Berkata Papo, menyahuti.
"akan tetapi laotee ada orang terpelajar dari negara lain, kau pun begini baik terhadap aku, baiklah, aku omong terus-terang padamu. Apa yang tadi aku ucapkan di rumah makan bukan kedustaan belaka, memang benar aku tengah menghadapi serupa penyakit aneh yang seumur hidupku paling sukar untuk diobatinya. Orang yang sakit itu ialah sri baginda raja. Turut pemeriksaanku kepada nadinya, dia seperti terkena semacam racun, racun yang luar biasa, yang sebelumnya tak pernah aku mengetahuinya. Penyakit itu membuatnya Sri baginda jadi lemah, tidak dapat ia menggunai pikirannya, yaitu otaknya. Jikalau racun itu tidak dapat disingkirkan, sesudah tiga bulan, dia bisa wafat dengan mendadak, lalu lainnya tabib tidak bakal mendapat tahu dia sakit apa "
Mau atau tidak, Hoa Sang terperanjat.
"Siapa begitu berani meracuni raja?"
Ia tanya.
"Memang!"
Berkata Papo.
"Istana terjaga kuat sekali, orang luar tidak nanti dapat masuk. Maka kalau dugaanku tidak keliru, si orang jahat, mesti orang yang berdekatan dengan sri baginda sendiri."
Hoa Seng berpikir.
"Mungkinkah dia si pemimpin Gie-lim-koen itu?"
"Di waktu aku menerima barang-barang ini, aku pun mulanya mau menduga dia,"
Berkata Papo.
"hanya kemudian aku berpikir, walaupun dia biasa mendampingi Sri baginda, sebenarnya sulit untuk dia turun tangan."
"Kenapa sulit?"
Kata Hoa Seng.
"Asal ada ketikanya, racun bisa dimasuki ke dalam teh atau arak! Tidakkah itu sederhana?"
"Tidak, tidak demikian. Inilah racun yang sifatnya lunak, setiap dipakai, jumlahnya sedikit, dari itu dipakainya mesti sedikitnya tujuh kali. Dan si kepala Gie-lim-koen, tanpa firman raja tidak dapat dia masuk ke dalam keraton. Kecuali kalau dia berkongkol sama pelayannya sri baginda. Tapi dia meracuni rajanya, apakah faedahnya untuknya? Takhta toh bakal diwariskan kepada anak raja."
"Aku menumpang bertanya. apakah rajamu mendapat dukungan rakjat, apakah dia dicintai dan dijunjung?"
"Sri baginda bijaksana, dia dicintai rakyat, dijunjung."
"Jikalau begitu, soal pasti bukan soal racun belaka. Di Tiongkok pun pernah terjadi peristiwa raja diracuni. Sembilan dalam sepuluh, ini mesti soal perebutan kedudukan kaisar."
"Tapi semua rakyat tahu tuan puteri cerdas dan bijaksana,"
Berkata Papo.
"dia pun puteri tunggal dan sangat disayang, tidak ada alasannya kenapa dia mesti meracuni ayahnya. Oh! "
Matanya tabib ini bercahaya secara tiba-tiba, agaknya dia kaget. Hoa Seng heran.
"Kenapa?"
Dia menanya.
"Sudah, kita jangan main terka tak keruan,"
Katanya, airmukanya berubah pucat.
"Sekarang sudah larut malam, aku mesti lekas pergi memenuhi panggilan kepala Gie-lim-koen ."
"Dia menjanjikan kau jam tiga, ini aneh,"
Kata Hoa seng. Wajah si tabib tetap tak tenang.
"Lao-tee, kita baru bertemu tetapi kita seperti sahabat kekal,"
Katanya.
"maka itu dengan kepergianku ini, apabila aku tidak pulang dalam tempo tiga hari, pasti aku sudah mati. Aku minta perkaraku ini jangan diumumkan, kau juga jangan cari aku. Aku sebatang kara, tanpa isteri tanpa anak, kegemaranku cuma meyakinkan ilmu obat-obatan. Kitab obat-obatanku adalah yang aku paling sayangi, kalau tiga hari kemudian aku tidak pulang, kau ambillah kitab itu. Ah, lebih baik aku memberikannya sekarang!"
"Tidak!"
Hoa Seng memotong.
"Nanti aku menemani kau pergi!"
"Eh, mana kau dapat turut serta?"
Papo tanya.
"Aku menyamar jadi kacungmu."
Tabib itu bersangsi, ia berdiam hingga sekian lama.
"Ya, baiklah,"
Katanya kemudian.
"Aku tidak takut mati, hanya aku kuatir, sematinya aku, di dalam negara ini tidak lagi ada tabib yang sanggup mengobati sri baginda raja."
Ia lantas menyuruh Hoa Seng salin pakaian, muka orang dicompreng sedikit, lain kepalanya dibungkus dengan sabuk, setelah dia menggendol kantung obat di punggungnya, Hoa Seng benar-benar mirip kacungnya seorang tabib.
Papo ada mempunyai kereta dan kuda sendiri, yang ia sediakan untuk ia pergi ke kampung-kampung yang jauh, supaya ia tidak usah berjalan kaki, sekarang ia pergi dengan menggunai kendaraannya itu.
Villa dari congkoan, atau kepala, dari Gie-lim-koen, berada di sebuah gunung, ke sana Papo berangkat dengan dikawani Hoa Sung.
"Tadi kau masuk ke istana, apakah ada yang mengetahui?"
Tanya Hoa Seng di tengah jalan.
"Sebenarnya aku dipanggil oleh seorang pengawal pintu istana,"
Menjawab Papo.
"Dialah seorang pendeta. Aku diajak masuk dari pintu belakang dari taman. Dia memesan aku agar aku jangan mengasi tahu siapa juga."
"Sebenarnya kenapa kamu demikian takut pada kepala Gielim- koen itu?"
Tabib itu tertawa menyeringai.
"Sri baginda bijaksana, dia sebaliknya. Dan balai istirahatnya ini justeru ada tempat ia menyiksa dan mengompes orang, itulah mirip dengan penjara pribadinya."
Kira setengah jam, sampailah sudah mereka di kaki gunung yang dituju. Di sana sudah menanti dua orangnya si kepala Gie-lim-koen. Begitu dia melihat orang tiba, yang satunya menuding Hoa Seng.
"Ini orang apa?"
Dia menanya bengis.
"Dia kacungku, yang menjadi juga pembantuku,"
Sahut Papo, tenang.
"Tunggu!"
Menitah orang itu, seorang boesoe. Dia lantas menitahkan kawannya untuk minta keputusan dari congkoan. Kawan itu pergi akan tak lama muncul pula.
"Karena orang itu pembantunya, ajaklah dia masuk bersama."
Kedua boesoe mengajak tabib dan kacungnya mendaki tanyakan.
Sebentar saja mereka sudah sampai di muka balai istirahat, yang macamnya mirip benteng kuno, temboknya tersusun dari batu-batu merah dan tebal.
Pintunya, yang terbuat dari besi, dicat merah juga.
Hoa Seng mengikuti masuk dengan mulut bungkam sama sekali mereka melintasi tujuh unit pintu besi, pintu hek.
Setiap masuk di satu pintu, pintu itu segera ditutup pula.
Seram nampaknya keadaan di situ, malah samar-samar terhendus bau amis.
Setelah itu tibalah mereka di sebuah ruang besar.
Di sini berbaris sejumlah boesoe di kiri dan kanan.
Di tengah ruang diatur sebuah meja bundar, di situ berduduk seorang yang mukanya berewokan, yang bajunya sulaman.
Di belakang dia berdiri dua boesoe lainnya lagi.
Diam-diam Papo melirik kepada Hoa Seng, maka pemuda ini lantas ketahui orang itu ialah si congkoan, kepala Gie-limkoen.
Ia berlagak pilon tetapi ia memperhatikan.
Di samping, meja bundar itu ada berduduk seorang lain, seorang pendeta dengan jubah merah.
Papo tidak kenal pendeta itu, siapa telah Hoa Seng mengenalinya.
Dialah pendeta jubah merah dengan siapa ia pernah bertempur di dalam Kota Iblis.
Karena ia menyamar, si pendeta sebaliknya tidak mengenali ia.
Melihat datangnya si tabib, congkoan itu lantas berbangkit.
"Tabib pandai telah datang!"
Katanya.
"Selamat datang, selamat datang!"
Tapi tak menanti si tabib menyahuti, ia lantas menanya.
"Apakah kacungmu ini ketahui tadi siang kau masuk ke istana mengobati raja?"
"Dialah satu-satunya pembantuku,"
Sahut si tabib.
"Yang lain orang tidak tahu, dia mengetahuinya."
Wajah si congkoan suram, tapi lantas dia tertawa dan berkata.
"Kalau begitu, suruhlah dia menantikan di bawah tangga itu!"
Seram suara tertawa itu. 12. Misteri Penyakit Raja Nepal Dua boesoe lantas merintangi, melarang Hoa Seng mengikut si tabib. Congkoan Gie-lim-koen itu mempersilahkan Papo duduk, lalu dia menanya dengan suaranya yang sangat dingin.
"Tadi aku menitahkan orangku membawa bingkisan untukmu, kau sudah terima atau belum?"
"Sudah, congkoan,"
Menyahut Papo.
"Hambamu justeru hendak mohon menanya kenapa hamba dihadiahkan bingkisan sangat berharga itu? Hamba tidak berjasa, tidak berani hamba menerima bingkisan. Maka juga itu bingkisan hamba bawa bersama."
Ia lantas mengeluarkan kotaknya itu dan meletakinya di atas meja. Menampak itu, si kepala Gie-lim-koen memperlihatkan roman tidak senang.
"Apakah kau tidak sudi menerima barang dari aku?"
Dia menanya.
"Seperti hamba sudah bilang, tanpa jasa hamba tidak berani menerima hadiah,"
Papo menjawab. Matanya congkoan itu melirik tajam, lalu dibuka lebar.
"Asal kau suka turut perkataanku, kau berjasa sangat besar!"
Katanya.
"Silahkanlah perintahkan,"
Menyahut si tabib. Congkoan itu menatap dengan tajam.
"Kau tadi masuk ke istana memeriksa penyakitnya raja, kau tahukah sakit apa itu?"
Dia menanya, suaranya keren.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu .. itu .."
"Semua orang di sini orang-orang kepercayaanku, kau boleh bicara, tidak ada halangannya!"
Berkata congkoan.
"Aku . aku belum .."
"Kau maksudkan kau belum mendapat tahu itu penyakit apa?"
Si congkoan tanya sambil tertawa dingin.
"Hm! Kalau begitu, kecewa kau menjadi tabib sakti!"
Papo menjadi tidak senang. Bangsanya telah menamakan dia tabib sakti karena kepandaiannya yang liehay dalam ilmu pengobatan, tapi sekarang dia dicela.
"Aku belum dapat memikir obat untuk mengobati penyakit itu,"
Ia bilang.
"Dengan begitu kau jadi sudah ketahui sebabnya penyakit!"
Kata si Congkoan, suaranya tetap keras.
"Penyakit apakah itu?"
"Itu bukannj penyakit ."
"Habis bagaimana?"
Congkoan membentak.
"Nampaknya raja terkena racun."
Sekarang congkoan itu bersenyum.
"Kau suka omong terus terang, itu bagus,"
Katanya.
"Nah, sekarang aku hendak memohon sesuatu dari kau."
"Apakah itu dapat hamba melakukannya?"
Papo tanya.
"Sangat sedenhana!"
Coagkoan itu tertawa.
"Besok kau pergi ke istana, untuk memberikan obat, kau obati raja dengan obat sakit kepala yang biasa saja. Kalau di istana ada yang minta kau memberikan obat cuci perut, kau mesti memberi kepastian bahwa raja dapat sakit kepala bukan sakit lainnya."
Hoa Seng mendapat dengar semua pembicaraan itu, maka sekarang tahulah ia duduknya perkara. Ia lantas menduga-duga.
"Kalau bukan coangkoan ini sendiri yang meracuni raja, tentulah konconya. Papo tabib kenamaan satu-satunya di negara ini, kalau dia memastikan raja mati karena sakit kepala, pasti tidak ada orang yang berani mencurigai kematian itu."
Papo mengangkat kepalanya, dia memandang si congkoan.
"Paduka,"
Katanya.
"tadi paduka mengajari aku untuk omong dengan jujur, kalau begini, aku jadi bakal mendustai seluruh negara .."
Congkoan itu melengak.
"Jadi kau tidak suka menurut?"
Ia menegaskan.
"Hm! Kau pikirlah biar betul! Jikalau kau menerima baik, uang emas dan perak dan barang permata, kau tinggal minta saja. Jikalau sebaliknya, hm!"
"Aku lebih suka melindungi namaku sebagai tabib sakti dari negeri ini,"
Berkata Papo, terang dan tenang.
"Nama itu ada terlebih menang dari pada aku membawa semua harta dan permata ini ke liang kubur."
Di dalam hatinya, Hoa Seng memuji tinggi tabib ini. Wajah si congkoan merah padam, agaknya dia hendak memperluap kemurkaannya, hendak dia melampiaskan itu, tetapi si pendeta jubah merah keburu mengasi dengar tertawanya yang dingin.
"Sakitnya raja toh kau tidak mampu sembuhkan, apa itu namanya tabib sakti!"
Berkata dia, mengejek.
"Sekarang kami hendak menyuruh kau menyebutnya penyakit itu penyakit kepala biasa, apakah itu dapat merusak nama baikmu?"
Kata-kata itu sangat menyinggung Papo, tetapi belum lagi ia mengambil sesuatu sikap, sudah terdengar suara tertawa berkakak dan nyaring dari Koei Hoa Seng.
"Kau kenapa?"
Menanya dua pahlawan yang menjaganya.
Mereka kaget dan heran.
Hoa Seng tidak menjawab dengan mulutnya, hanya dengan tangannya.
Begitu tangan kirinya melayang, satu pahlawan roboh terjungkal ke tangga hingga tubuhnya bergulingan.
Pahlawan yang ke dua menghunus goloknya dan membacok ke kaki.
Hoa Seng mengangkat sebelah kakinya hingga ia berdiri dengan sikap "Kim kee tok lip,"
Atau "Ajam emas berdiri dengan sebelah kaki."
Dengan begitu ia bebas dari bacokan itu.
Ia tidak berhenti sampai di situ, selagi tubuh si penyerang terjerunuk, ia meneruskan kakinya, menendang lengan orang, maka goloknya si pahlawan kena dibikin terbang.
Melihat demikian, pahlawan-pahlawan lainnya, yang berdiri di kedua samping, sudah lantas menghunus senjata mereka.
Hoa Seng tidak menjadi takut, bahkan dia tertawa bergelak.
Dengan lincah luar biasa, tubuhnya mencelat ke atas meja.
"Aku hendak bicara!"
Katanya nyaring.
Pemimpin pasukan pengiring raja itu, ialah congkoan dari Gielim- koen, ada seorang kosen di negaranya, kedua tangannya kuat mengangkat barang berat seribu kati, akan tetapi melihat gerakannya Hoa Seng, ia terkejut, tapi meski begitu, ia tidak takut, maka juga ia lantas lompat maju, untuk membekuk.
Kedua tangannya diulur guna mencekal pundaknya si anak muda she Koei.
"Kau duduk!"
Dia berkata, seraya menekan.
Gerakannya congkoan ini ada dua maksudnya, ialah di satu pihak untuk merusak tulang pundaknya si anak muda, di lain pihak guna menakut-nakuti Papo.
Hanya ketika kedua tangannya mengenai pundak, kembali ia menjadi kaget.
Ia bukannya dapat mencekal pundak yang bertulang keras hanya pundak yang lemas empuk seperti kapuk, dan selagi ia kaget itu, mendadak ia merasakan tenaga membal yang keras, yang mengenai tangannya itu, hingga kedua tangannya nyernyaran dan seperti mati.
Hoa Seng mengangkat kedua pundaknya.
"Paduka yang mulia tidak duduk, hamba yang rendah mana berani duduk sendiri,"
Ia berkata sambil tertawa. Si pendeta jubah merah menjadi kaget. Ia masih belum mengenali anak muda itu. Ia berbangkit tanpa merasa, di dalam hatinya ia kata.
"Heran ini kacung tabib, kenapa dia begini liehay?"
"Kau hendak bicara apa?"
Membentak si congkoan, yang dari kaget menjadi gusar sekali.
"Aku memohon paduka yang mulia mengajak aku masuk ke istana,"
Sahut Hoa Seng sabar.
"Untuk apakah itu?"
Congkoan itu masih gusar tetapi ia heran, maka ia mengajukan pertanyaannya itu. Hoa Seng tetap berlaku tenang, hanya sekarang ia tertawa dingin.
"Kamu bilang guruku ini tidak sanggup mengobati Sri Baginda Raja,"
Jawabnya.
"Hm! Kamu keliru! Siapakah yang tidak tahu guruku ini tabib sakti nomor satu di dalam negara ini? Jangan kata guruku ini, untuk sakitnya Sri Baginda Raja itu, aku sendiri, mampu aku mengobatinya! Aku berani tanggung Sri Baginda Raja lantas sembuh!"
"Ah, apakah kau memang sengaja hendak menyaterukan kami?"
Menanya si paderi jubah merah. Ia heran dan mendongkol tetapi ia mencoba menyabarkan diri.
"Bukankah kamu memikir untuk mengobati hingga sembuh kepada raja?"
Hoa Seng membaliki.
"Kamu boleh pujikan aku kepada Sri Baginda, aku tanggung aku akan dapat menyembuhkannya! Bukankah dengan begitu kamu jadi turut berjasa?"
Pendeta jubah merah itu tertawa.
"Baik, baiklah!"
Katanya.
"Mari aku ajak kau masuk!"
Dengan mendadak, berbareng sama perkataannya itu, tubuh si pendeta melesat serta tangannya melayang kepada si anak muda, yang dia hendak hajar hancur lebur batok kepalanya.
Berbareng dengan itu si congkoan juga lompat menyerang dengan pedang pendeknya, dan ia membokong punggung, karena dia berada lebih dekat, dia tiba terlebih dulu.
Hoa Seng tabah sekali, dia tidak takut, bahkan dia tertawa panjang.
Dengan sebat tangan kirinya diputar ke belakang, untuk memapaki, menangkap lengan si congkoan.
Tepat tangkapannya ini, sebab congkoan itu segera merasakan tubuhnya tidak dapat digeraki lagi.
Berbareng dengan itu tibalah tangan si pendeta merah.
Atas itu Hoa Seng mengangkat tangan kanannya, untuk mengusap mukanya, lalu sambil mundur sedikit, ia berkata.
"Pendeta siluman, apakah kau masih mengenali aku?"
Tangannya itu juga bukan cuma mengusap muka hanya diteruskan ke tangannya lawan, menyambuti dengan jeriji "Tiat-piepee cie"
Atau "Jeriji besi."
Pendeta jubah merah itu kaget sekali. Di lengannya lantas berpeta tapak lima jari tangan si anak muda, warnanya merah. Ia pun segera mengenali orang adalah si pemuda Tionghoa yang di Kota Iblis telah mengalahkan padanya. Ia mundur tiga tindak.
"Kau kau kau!"
Serunya.
"Kau berani datang ke kota raja kami untuk mengacau?"
Hoa Seng tidak mau mengadu bicara.
"Marilah kita bicara di depan Sri Baginda!"
Katanya, separuh menantang. Pendeta itu membuka jubahnya akan tetapi ia bersangsi untuk turun tangan pula. Hoa Seng bersikap tenang, ia tertawa.
"Di sini ada paduka congkoan yang menemani kita!"
Ia berkata.
"Mari, soehoe, mari kita pergi bersama!"
Sembari berkata begitu, Hoa Seng menarik tangan si pemimpin pasukan pengiring raja itu, karena cekalannya terus tidak dilepaskan.
Sudah dikatakan, congkoan Gie-lim-koen itu bertenaga sangat besar dan semua anggota barisannya mengetahuinya dengan baik akan tetapi sekarang dia dapat dituntun jinak bagaikan seekor kambing, itulah suatu tanda telah lenyap tenaganya.
Maka kejadian itu membikin semua orang heran.
Hoa Seng bertindak sambil tertawa, atau mendadak dari sebelah belakangnya terdengar suara menyambarnya senjata rahasia! Ia terkejut.
Itulah bokongan yang ia tidak sangka sama sekali.
Tapi ia tabah, ia memutar tubuhnya sambil menolak si congkoan gie-lim-koen, dengan sebat ia menangkis dengan sentilan "Tiat piepee cie."
Sebagai kesudahan dari itu, ia menjadi terlebih kaget lagi. Ia merasai sepuluh jeriji tangannya sesemutan.
"Aku tidak menyangka di ibukota Nepal ini, pada ini malam pertama, aku menemui lawan yang tangguh ..,"
Pikirnya.
Sementara itu si congkoan Gie-lim-koen roboh sambil menjerit, sebab kecuali ia kena tertolak keras, juga jalan darahnya thian-kie-hiat telah ditotok sekalian oleh si anak muda, guna membikin dia tidak berdaja.
Maka itu dia lantas repot ditolongi oleh anggota-anggota barisannya.
Di antara serdadu pengiringnya itu ada yang memburu kepada Papo si tabib, rupanya mereka bermaksud menawan tabib itu, melihat mana Hoa Seng lekas-lekas menyerang dengan Pekkhong- ciang, pukulan Tangan Kosong, maka beberapa yang maju di muka lantas roboh terguling, karena mereka merasakan dorongan yang keras sekali.
Menyusuli itu, Hoa Seng pun menyerang beberapa serdadu lainnya, hingga roboh tujuh atau delapan orang di antaranya.
Sampai itu waktu, Hoa Seng masih melihat penyerang gelapnya, ia menghadapi sekalian serdadu Gie-lim-koen itu, sambil tertawa dingin, ia berkata.
"Guruku ini lebih gagah sepuluh kali dari padaku, kamu hendak menawan ianya, apakah itu bukan berarti kamu mencari mampusmu sendiri?"
Sengaja anak muda ini mengucap demikian, guna mengangkat Papo, sebab kawanan serdadu itu tidak tahu bahwa mereka dirobohkan Hoa Seng.
Gertakan ini memberi hasil, lantas tidak ada serdadu lagi yang berani merangsak kepada Papo.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi suasana tegang demikian, di situ terdengar satu suara yang keren sekali.
"Semua mundur!"
Hoa Seng lantas saja melihat seorang yang rambutnya panjang terurai ke pundak, hidungnya mancung dan matanya dalam, tubuhnya pun besar. Dengan mementang mulutnya yang lebar, orang itu lantas menegur anak muda kita..
"Adakah kau datang dari Tiongkok? Ilmu silatmu tak ada celaannya!"
Ia berkata sambil tertawa, tangannya lantas diulur, untuk berjabatan.
Koei Hoa Seng mengawasi, ia menyambuti, ketika tangan mereka berjabat, ia merasakan satu tenaga yang kuat sekali mendesak padanya.
Ia mengerahkan tenaganya untuk melawan.
Habis itu, tiba-tiba saja tenaga lawan lenyap, hingga hampir ia terhuyung, syukur ia dapat memperkokoh kuda-kudanya, bahkan ia lantas memindahkan tenaganya ke tangannya, guna membalas menotok nadi orang.
Walau dia notok, orang itu membawa dirinya seperti tidak ada terjadi apa-apa, malah dia tertawa lebar, sembari menarik pulang tangannya, dia berkata.
"Benar hebat, ada harganya untuk kau main-main dengan aku!"
Hoa Seng heran.
Ia tidak menyangka orang mengerti ilmu menutup jalan darah hingga dia tidak dapat kena ditotok.
Teranglah orang ini tidak kalah dengan orang-orang kosen kelas satu di Tiongkok.
Si pendeta jubah merah nampaknya puas menyaksikan Hoa Seng keheranan-heranan.
Ia lantas menuding anak muda kita seraya berkata.
"He, bocah dari Tiongkok, malam ini telah datang saat bagimu! Tahukah kau siapa adanya hoat-soe ini? Dialah Bapak Daud jago nomor satu dari Arabia! Sekarang baik-baik saja kau mohon pengajaran dari padanya !"
Hoa Seng lantas ingat Bapak Daud ini atau Timotato, jago dari Arabia. Ia telah mendengarnya dari si nona baju putih. Maka ia lantas berpikir.
"Telah aku mendengarnya negara-negara Arabia mirip sama Tiongkok ialah suatu wilayah tua dan berkebudajaan, maka kalau dia ini adalah jagonya, dia tidaklah mengecewakan. Baik aku berlaku waspada terhadapnya .."
Timotato sudah lantas menantang, Ia menepuk kedua tangannya.
"Apakah kau ada membawa pedang? Kau keluarkanlah!"
Katanya. Pedangnya Hoa Seng ada pedang Theng-kauw-kiam yang lemas, yang dapat dilibat di pinggangnya sebagai sabuk, maka heranlah ia yang jago dari Arabia itu dapat melihatnya.
"Tunggu dulu!"
Ia berkata.
"Boleh kita main-main akan tetapi lebih dulu kita mesti omong biar jelas. Kalau menang bagaimana, kalah bagaimana?"
"Ah, bocah cilik yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi!"
Berseru si pendeta jubah Merah dengan mendongkol.
"Apakah kau kira hoat-soe Timotato bakal kena dikalahkan olehmu? Hm!"
Bapak Daud sebaliknya tertawa.
"Bagus!"
Serunya.
"Kau anak muda, kau benar-benar bernyali besar! Selama tigapuluh tahun baru kali ini aku mendengar seorang yang menanya begini kepadaku! Baiklah, kau dengar biar jelas!"
Segera tangannya jago ini menuding kepada sebatang lilin di pojok ruang itu.
Gedung dari congkoan Gie-lim-koen ini besar dan indah sekali, di empat penjurunya ada tiang-tiang beling bundar yang di dalamnya kosong dan di dalam situ ada dinyalakan masingmasing sebatang lilin yang besar.
Lilin itu berbayang merah dan bergoyang-goyang, maka sinarnya yang mencar ke luar beling, luar dari biasanya.
Sambil menunjuk lilin itu, Timotato berkata pula.
"Kau sudah berlaku tidak pantas terhadap paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja, maka aku yang berdiam di sini selaku tetamunya, tidak dapat aku membiarkannya saja! Akan tetapi karena kau berani main-main dengan aku, hendak aku memberikan satu ketika padamu .."
Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti.
"Kau lihat lilin itu, itulah batas waktu mainmain kita. Jikalau sebelum lilin itu padam aku dapat mengalahkan kau, sudah tidak ada bicara lagi, maka aku mesti serahkan kau kepada paduka tuan komandan ini, terserah kepadanya bagaimana dia hendak mengurusmu. Sebaliknya, apabila lilin telah padam dan aku masih belum dapat merobohkan kau, nah, urusan di sini aku akan tidak tahu menahu lagi!"
Lilin itu sudah terbakar habis lebih dari pada separohnya, nampaknya tak usah lagi setengah jam akan padamlah apinya. Melihat itu, Hoa Seng mendongkol juga. Ia telah dipandang hina sekali.
"Baiklah!"
Ia memberikan jawabannya tanpa berpikir pula.
"Baik, begini perjanjian kita! Kau majulah!"
Hoa Seng menyangka Timotato memandang enteng kepadanya, sangkaannya ini salah.
Sebaliknya, jago dari Arabia itu memandang lawannya tinggi walaupun sikapnya agak jumawa, tadi ia telah melihatnya kepandaian si anak muda, yang tak dapat dipandang tidak mata.
Ini pun sebabnya ia telah memberi waktu sebatas puntung lilin itu.
Orang Arabia itu tertawa.
"Baiklah!"
Katanya.
"Aku minta sukalah kau berdiri biar tetap!"
Sembari berkata itu, nampaknya acuh tak acuh, dia maju sambil meninju.
Hoa Seng sudah mengeluarkan pedangnya akan tetapi ia sengaja tidak mau menggunakan itu, sembari memasang kudakudanya dengan tegar, ia menggeraki tangan kirinya untuk menyambut serangan dengan tenaga dari Taylek Kim-kongcioe.
Karena tidak puas dengan sikap lawan itu, ia pun jadi memandang rada enteng.
Tapi kesudahan dari ini hebat untuknya, hampir saja di jurus pertama itu ia kena dirobohkan.
Belum lagi anak muda ini mengerahkan benar tenaganya, atau mendadak ada dorongan yang sangat keras terhadapnya, dorongan bagaikan "gunung ambruk dan laut terbalik".
Ia terkejut, lantas ia berseru.
Ia segera menggunakan sembilan bagian dari tenaganya untuk membuat perlawanan.
Begitu tenaga mereka bentrok, begitu Hoa Seng menjerit di dalam hatinya.
Ia merasakan dadanya seperti dihajar gembolan, kuda-kudanya telah tergempur, hampir ia roboh, baiknya ia sebat menukar siasat, ialah dengan membongkar kuda-kudanya itu, ia berbalik menggunakan kepandaiannya ringan tubuh, ialah ia lompat mencelat tinggi dua tombak, sebelah tangannya menyambar penglari, sedang dengan tangannya, ia menyampok kebawah.
Bapak Daud puas sekali dengan kesudahannya jurus yang pertama itu hingga ia tertawa terbahak-bahak.
Ia bertindak maju, terus ia melengak, dengan itu ia mengasi lewat serangannya si anak muda.
Habis itu lantas ia yang membalas menyerang.
Kembali kesudahannya serangannya ini hebat sekali, hingga orang kaget.
Penglari yang dipegangi Hoa Seng, telah kena terhajar hingga patah, hingga serdadu-serdadu Gie-lim-koen yang berkumpul di situ pada berteriakan.
Hoa Seng tidak menjadi kaget, ia melepaskan cekalannya, untuk lompat turun.
Ia melompat bukan untuk menyingkir, hanya untuk meneruskan.
Ia lompat kepada lawan, yang ia terus serang dengan pedangnya, secara bertubi-tubi, hingga Bapak Daud seperti terkurung sinar pedangnya itu.
Baru sekarang Bapak Daud terkejut.
Barusan ia terlalu memandang enteng lawannya.
Ia menduga, kalau penglari patah, lawan itu akan roboh dan kalah, siapa tahu, Hoa Seng justeru menyerang ia hebat sekali.
Sia-sia belaka ia membela, dirinya, ia lantas kena didesak.
Hoa Seng menyerang terus, akan di akhirnya mengirim babatan menurut tipu silat "Houw Tek memanah matahari."
Percuma Timotato memperlihatkan kegesitannya, sia-sia belaka ia berkelit, seutas rambutnya yang terurai itu telah kena dibabat kutung pedangnya lawan.
Hal ini membuatnya gusar sekali.
Ia lantas menyerang, tangan kanan membuka, tangan kiri meninju.
Ketika itu Hoa Seng lagi melanjuti serangannya, yang berantai tiga kali.
Inilah Tatmo Kiam-hoat, ilmu pedang Bodhidarma yang ia gabung dengan ilmu pedangnya si nona baju putih, ilmu pedang yang diberi nama Peng-coan Kiam-hoat atau ilmu pedang "Kali Es."
Ilmu silat ini baru saja ia ciptakan.
Maka kagetlah ia ketika mendadak ia merasakan pula dorongan yang keras sekali, yang membikin tubuhnya terputar seperti juga ia lagi terbawa pusar air ..
Selama di gunung Himalaya, Hoa Seng pernah menempur dua muridnya Timotato, maka tahulah ia kegagahannya jago dari Arabia itu, yang hebat ilmu silatnya "Tenaga Im Yang,"
Tenaga imbangan dari negatip dan positip.
Maka itu, ia lantas menggunai tenaga serupa, untuk mengimbanginya.
Ia mengubahnya itu dari Tatmo Kiam-hoat.
Dengan siasat ini, ia dapat menggunai kekerasan atau kelunakan dengan melihat selatan.
Dengan begini juga ia tidak usah berkuatir walaupun ia kena diputar .
Serangannya Timotato terus bertambah hebat, sedetik demi sedetik.
Hal ini kemudian membikin Hoa Seng berkuatir juga.
Ia sekarang dapat mengetahui, dalam hal tenaga-dalam, lawannya ada terlebih mahir dari padanya.
Ia tidak takut bahwa ia bakal kena dirobohkan, akan tetapi ia kuatir, sang tempo setengah jam nanti keburu habis.
Kalau lilin padam, meski ia belum kalah, ia toh kalah bertaruh.
Pula masih ada kemungkinan yang ia bakal dibikin jadi sangat letih .
Di pihaknya Bapak Daud, dia juga tidak kurang kekuatirannya.
Sang tempo berjalan terus.
Bagaimana jikalau ia tidak dapat merobohkan pemuda yang liehay ini sedang api lilin telah padam? Maka di samping terus menyerang dengan hebat, ia memasang mata tajam.
Senang hatinya apabila ia menampak orang mulai letih.
Tanpa mensia-siakan tempo lagi, ia menyerang dengan tenaga yangnya, tenaga yang dahsjat seperti "gelombang atau badai."
Ia pun menggunai dua-dua tangannya berbareng.
Ia mengharap sangat dengan hanya sekali hajar, lawan yang ulet itu bisa dibikin roboh! kalau tidak mampus, sedikitnya terluka ..
Hoa Seng pun justeru lagi menggunai siasat.
Ia bermata tidak kurang tajamnya.
Ia mendapat lihat musuh menggunai kekerasan.
Inilah apa yang ia harap-harap.
Ia mau menggunai tenaga negatipnya, tenaga im yang lunak.
Maka mendadak ia bersiul panjang, tubuhnya mencelat, akan terus berlari-lari berputaran, menghindarkan diri dari serangan, sedang sinar pedangnya berkilauan.
Itulah cara lari di delapan penjuru, menuruti kedudukan patkwa.
Semua orang lainnya, yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi berdiri bengong.
Timotato menyerang hebat, tubuhnya berputaran juga, karena ia mesti mengikuti gerakannya lawan.
Ia mesti menyerang dengan berbareng membela diri.
Sampai di situ, suasana menjadi berubah.
Kalau tadi Hoa Seng si pihak diserang, maka sekarang ia berbalik menjadi si penyerang, dan Timotato dengan sendirinya menjadi pihak yang membela diri.
Dengan begitu, dengan sendirinya pula redalah penyerangan tenaga im-yang dari jago dari Arabia ini.
Ia boleh terlebih mahir tenaga-dalamnya akan tetapi ia kalah dalam hal keringanan tubuh.
Di sebelah itu, Hoa Seng pun mempunyai pedang yang tajam istimewa, sebab itulah pedang mustika kumala, pedang Han-giok-kiam.
13.
Akhir Pertempuran Naga dan Harimau Hoa Seng menjadi terlebih unggul karena cara berkelahinya ini, tetapi ini bukan berarti ia menang.
Sebenarnya, ia pun terancam bahaya.
Sebabnya ialah ia telah menggunai tenaga yang melewati batas.
Tanpa berkeras begini, tidak bisa ia menggunai ilmu ringan tubuhnya itu yang membuatnya menjadi gesit luar biasa.
Maka menurut kenyataannya, mereka berimbang.
Hoa Seng dapat kehabisan keuletannya, dan Timotato di sembarang saat dapat tertikam atau tergores pedang, sebagaimana tadi, karena sedikit alpa, rambutnya telah terpapas ujungnya.
Hoa Seng mengubah siasat guna dapat menang tempo.
Itu bukannya arti sang tempo diperpendek, hanya diperpanjang, agar api lilin lekas-lekas padam.
Tentu saja adalah pengharapannya juga agar lawan yang tangguh itu bisa dipukul roboh, sebab inilah pasti menjadi terlebih bagus pula.
Tetapi pengharapan ini adalah pengharapan kecil.
Bapak Daud itu benar-benar satu ahli silat jempolan.
Sampai sebegitu jauh, dia masih dapat mempertahankan dirinya dengan baik sekali.
Lewat lagi sekian waktu, Hoa Seng mulai bernapas sengalsengal, sedang peluhnya mulai terlihat di jidatnya, mulai berketes-ketes.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di depan dia sebaliknya, Timotato menyeringai puas, kedua tangannya mulai mendesak pula.
Segera juga terlihat, keadaan Hoa Seng letih seperti tadi.
Ia seperti sudah maju dan tak dapat mundur.
Memang ia merasa tak dapat bertahan, kupingnya telah berbunyi saja, matanya mulai berkunang.
Masih ia bertahan.
"Inilah bagianmul"
Berseru Timotato, yang sebelah tangannya meluncur.
Hoa Seng membela dirinya dengan bertindak mundur, tetapi ia tidak dapat menguasai diri, ia mundur beberapa tindak, tubuhnya limbung.
Timotato sebaliknya marangsak, serangannya pun menyusul.
Hoa Seng menangkis dengan pedangnya, atas mana, lawan menarik pulang tangannya, masih ia terdesak, lagi sekali ia mundur, hanya kali ini habislah tenaganya, kedua kakinya menjadi lemas, dengan tidak dapat terkendali lagi, tubuhnya terhuyung.
Sia-sia ia mencoba menguati hati.
Di saat itu, sambil merangsak terus, Timotato sudah mengirim serangannya yang ketiga kali.
Habis sudah tenaga Hoa Seng, untuk mengangkat tangan saja ia tidak dapat, maka itu batok kepalanya terancam tangan yang kuat dari si jago dari Arabia itu.
Di detik yang menghabiskan itu, sekonyong-konyong Timotato berseru panjang, serangannya ditarik pulang, sembari berbuat begitu, ia berkata.
"Benar-benar hebat ilmu silat Tionghoa! Aku percaya, lewat lagi sepuluh tahun, pastilah aku tidak dapat bertahan! Baiklah, sang tempo telah habis, aku memberi ketika padamu untuk berlalu !"
Hoa Seng mendapat tempo untuk bernapas, ia memandang ke tiang yang ada apinya, di sana ia mendapatkan api lilin telah padam .
"Taysoe, terima kasih untuk pengajaran kau ini!"
Ia berkata. Ia memberi hormat sambil tertawa.
"Baiklah, di belakang hari nanti kita bertemu pula ..!"
Bapak Daud tidak membilang suatu apa, karena ia sebenarnya merasa sangat tidak puas.
Ia menang berkelahi tetapi kalah bertaruh.
Maka hendak ia lantas mengundurkan diri.
Justeru itu terdengar rintihan si congkoan, sedang si pendeta jubah merah lantas bertindak maju, ia berjalan dengan perlahan tetapi terus ia membentak Hoa Seng.
"Eh, binatang, kau menggunai ilmu siluman apa terhadap paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja?"
Ia menegur bengis.
Congkoan Gie-lim-koen itu kena ditotok jalan darahnya thiankie- hiat.
Itulah hebat.
Itu jalan darahnya pusat, atau otot besar dari delapanbelas jalan darah di punggung.
Sedang ilmu totok Hoa Seng istimewa.
Mulanya totokan itu cuma menyebabkan orang merasa gatal, akan tetapi dengan berjalannya sang tempo, rasa gatal lalu ditambah dengan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.
Maka kendati dia bertubuh kuat dan angkuh, tak tahanlah dia dan dengan terpaksa dia mengasih dengar rintihannya itu.
Melihat keadaannya congkoan itu, Hoa Seng tertawa terhadapnya.
"Paduka tuan pemimpin yang mulia,"
Katanya.
"kau menganggapnya guruku tidak dapat mengobati racun, tetapi sebenarnya kami berdua, guru dan murid, di sampingnya bisa mengasi racun juga pandai memunahkannya. Kau tahu kenapa kau sekarang begini menderita? Itulah cuma disebabkan sedikit sekali racun di tubuhmu. Coba aku menggunai racunku dalam jumlah banyak maka sekarang ini tentulah tubuhmu sudah mengeluarkan darah. Karena racunku ini sedikit, paduka tuan yang mulia, kau akan dapat hidup selama tujuh hari."
Congkoan itu kaget bukan main. Ia tidak tahu bahwa ia hanya lagi digertak. Saking takutnya itu, ia merasakan gatal dan nyerinya jadi bertambah sendirinya. Tapi dasar berkedudukan tinggi dan angkuh, ia menjadi murka.
"Kurang ajar!"
Ia membentak. ,,Kenapa kau berani berbuat begitu terhadap aku? Baiklah, kau mesti dicingcang!"
Tapi Hoa Seng tidak takut. Ia bahkan tertawa lebar.
"Paduka tuan yang mulia!"
Katanya pula.
"Jikalau benar kau membunuh aku dengan tubuhku dicingcang maka tak ada orang yang nanti menyembuhkan keracunanmu ini!"
Sementara itu Timotato, walaupun ialah seorang jagoan, ia mengawasi congkoan itu dengan mata membelalak.
Ia mengerti yang congkoan itu sebenarnya ditotok Hoa Seng, ia pun mengerti sedikit tentang ilmu totok Tionghoa, akan tetapi memandang congkoan itu, sudah menggaruk-garuk punggungnya secara kalap, sampai bajunya robek rubat-rabit, sampai punggungnya bengkak.
Ia menggaruk, ia merasakan sakit, kalau ia tidak menggaruk, ia diganggu rasa gatal.
Sambil menahan gatal, ia pun merintih-rintih.
Punggung itu telah menjadi berwarna merah, hingga nampaknya seperti betulbetul bekas kena racun.
Ia menjadi bingung sendirinya.
Ia tahu betul, ia sendiri tidak sanggup membebaskan totokan lawannya itu.
Sebaliknya, tidak dapat ia memohon kepada Hoa Seng, untuk si congkoan ditolongi.
Ia merasa terlalu agung untuk meminta sesuatu kepada orang yang baru saja ia kalahkan itu.
Maka itu, ia cuma bisa mengawasi, tidak mau ia memberitahukan si congkoan bahwa dia hanya kurban totokan.
Juga si pendeta jubah merah agaknya gelisah sekali.
Ia mau menolongi, ia tidak mampu.
Ia berdiam saja, tidak tega ia menonton penderitaannya congkoan itu.
Maka diakhirnya ia menoleh kepada Bapak Daud, maksudnya guna memohon bantuannya ini orang Arab yang liehay.
Timotato dapat menduga maksudnya pendeta itu, ia mendahulukan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku telah membilangnya, satu ialah satu, dua ialah dua!"
Berkata jagoan ini.
"Aku sudah bilang, urusan di sini tidak dapat aku mencampurnya pula, maka itu, tetap aku tidak dapat mencampur tahu!"
Congkoan itu menjadi ketakutan. Kalau Bapak Daud tidak bisa membantu padanya, celakalah dia "Habis kau menghendaki apa dari aku?"
Akhirnya ia tanya Hoa Seng. Suaranya perlahan, sikapnya pun menjadi lunak. Ia tidak bengis lagi seperti tadi ia membentak anak muda itu.
"Seperti aku telah bilang sejak semula,"
Berkata Hoa Seng, sabar.
"Kau ajak aku masuk ke dalam istana, untuk menghadap Raja, untuk aku mengobati sakitnya. Setelah itu, aku juga akan mengobatimu."
Pemimpin barisan pengiring raja ini menjadi bingung. Ia sangat ragu-ragu. Ia pun bercuriga dan takut sekali.
"Kalau dia membeber perbuatanku kepada raja, apakah aku masih mempunyai jiwaku?"
Katanya dalam hatinya. Di saat congkoan ini masih bersangsi itu, tiba-tiba orang mendengar suara terbukanya pintu besi. Ia menjadi kaget.
"Kurang ajar betul!"
Ia mencaci di dalam hatinya.
"Tanpa titahku kenapa serdadu penjaga pintu berani membukai pintu?"
Tapi ia tengah disiksa gatal dan rasa nyerinya itu, tenaganya seperti habis, ia bagaikan tidak mempunyai tenaga lagi untuk membentak atau mendamprat.
Dengan lantas pintu besi dipentang, maka itu terlihat sinar matanya semua orang menjurus ke arah pintu besar itu.
Ruang pun menjadi sangat sunyi.
Hoa Seng pun heran, tidak menjadi kecuali, ia juga memandang ke arah pintu.
Di ambang pintu tertampak dua orang dayang, yang berjalan dengan tindakan perlahan.
Mulai naik di undakan tangga, keduanya menghentikan tindakannya, lantas yang di sebelah depan berkata dengan suaranya yang halus tetapi terang.
Katanya.
"Di sini ada seorang muda yang datang dari Tiongkok, yang bernama Koei Hoa Seng, benarkah?"
Hoa Seng heran tidak kepalang.
Bukankah ia baru saja tiba di Katmandu, ibukota Nepal ini? Kenapa sekarang ada orang, bahkan orang di dalam istana raja, yang ketahui kedatangannya itu malahan ketahui juga she dan namanya? Oleh karena tidak ada yang memberikan ia penyahutan, dayang itu memandang semua orang seraya mengulangi pertanyaannya.
Sampai di situ, Hoa Seng bertindak maju.
"Akulah Koei Hoa Seng yang datang dari Tiongkok itu,"
Ia menyahut.
"Sri Baginda Raja menitahkan mengundang kau segera masuk ke istana,"
Berkata dayang itu.
"Tuan komandan, inilah firmannya Sri Baginda, kami dititahkan datang kepadamu di sini untuk meminta orang. Kau telah melihatnya nyata, bukan?"
Dayang ini menyerahkan firmannya itu kepada satu boesoe, untuk dia menyerahkannya kepada congkoan itu.
"Entahlah, untuk urusan apakah junjunganmu memanggil aku menghadap?"
Hoa Seng tanya.
"Katanya tuan datang dari negara besar Tiongkok, tuan mengerti ilmu ketabiban, maka itu tuan diundang,"
Menyahut dayang itu. Hoa Seng heran.
"Mana aku mengerti ilmu ketabiban?"
Pikirnya.
"Aku tadi cuma menggertak saja kepada kepala pasukan pengiring raja! Siapa tahu firman ini justeru membuatnya aku bicara dusta .. Ah, biarlah, asal pemeriksaannya Papo tepat, penyakitnya raja benar karena terkena racun yang sifatnya lunak, yang bekerjanya perlahan, aku percaya Thian San soatlian bakal dapat menolong kepadanya."
Karena ini, ia berkata kepada dayang itu.
"Untuk aku mengobati, tidak sukar, asal aku diberikan ijin datang bersama dua orang lain."
"Sri Baginda pun telah mengeluarkan perintah, apa yang tuan menghendaki, semua harus diluluskan,"
Sahut dayang itu.
"Kalau begitu aku hendak mengajak Tabib Papo serta pemimpin dari pasukan pengiring raja turut bersama masuk ke istana,"
Hoa Seng memberitahukan keinginannya. Mendengar itu, pemimpin pasukan pengiring raja itu menjadi pucat mukanya. Menampak demikian, si pendeta jubah merah maju seraya berkata.
"Sungguh sukar yang tetamu agung dari negara yang jauh laksaan lie telah datang ke marl, karena itu sudah seharusnya paduka tuan pemimpin mengantari dia."
Congkoan Gie-lim-koen itu melihat sinar matanya si pendeta, ia tidak bersangsi pula.
"Baiklah,"
Katanya. Sebaliknya, Hoa Seng menjadi curiga. Maka ia pikir, asal ia dapat berlalu dari situ, ia tidak usah menguatirkan apa-apa lagi. Congkoan itu lantas berkata.
"Aku yang rendah minta tuan suka memberikan obat yang mujarab, dengan begitu barulah aku berani menemani."
Ia berkata demikian karena di depannya dayang itu ia tidak berani sebut tentang raja diracuni. Dayang itu heran mendengar perkataan pemimpin pasukan gielim- koen itu.
"Apakah tuan pemimpin yang tubuhnya begini sehat juga dapat sakit?"
Ia menanya.
"Kalau itu hanya sakit tidak berat, baiklah tuan mengundang lain tabib saja, dan besok tuan baru datang menghadap Baginda."
Hoa Seng bersenyum, ia mengulur tangannya ke pundak congkoan itu, untuk menotok dengan perlahan di jalan darah ceng-pek-hiat. Ia berkata.
"Lain tabib membutuhkan obat yang mustajab, aku hanya cukup dengan tanganku. Biarlah sesudah aku menyembuhkan Sri Baginda baru aku mengobati kau hingga sembuh ke akarnya penyakitmu."
Ditotok begitu rupa, congkoan itu merasakan tubuhnya lega, cuma masih ada sedikit rasa sakit di dadanya.
Karena itu, dengan terpaksa ia turut Hoa Seng pergi.
Kedua dayang itu heran bukan main, keduanya lantas bicara berbisik.
Hoa Seng telah mahir tenaga-dalamnya, hanya dengan memasang kuping, ia dapat mendengar suara bisikan itu.
Ia memang bisa mendengar di dalam jarak seratus tindak.
"Pemuda Tionghoa ini benar luar biasa,"
Demikian ia dengar dayang yang satu.
"Mungkin sekali dia dapat menyembuhkan sakit yang aneh dari Sri Baginda."
"Seharusnya dialah seorang yang cakap tampan,"
Berkata dayang yang lain.
"maka kenapa dia justeru mirip sama orang bangsa kita yang kasar, kulit mukanya begitu hitam hingga dilihatnya menakuti ..?"
Hampir Hoa Seng tertawa.
Ia mengambil taplak meja yang putih-bersih, ia pakai itu untuk menyeka mukanya maka lenyaplah mehongan di mukanya, hingga kulitnya nampak putih bersih seperti asalnya.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat perubahan kulit muka orang itu, kedua dayang heran hingga mereka tercengang.
"Mari,"
Kata Hoa Seng tertawa.
"mari kita berangkat!"
Dan ia menarik tangannya si congkoan Gie-lim-koen, bertindak turun di tangga, terus melewati sampai tujuh pintu besi.
Selama itu, tidak ada orang yang merintangi mereka.
Di luar menanti sebuah kereta kuda yang indah, sedang kuda penariknya empat ekor yang berbulu putih salju dan nampaknya gagah sekali.
Itulah kereta yang dinaiki kedua dayang.
Hoa Seng dan Papo, berikut si congkoan beramai, bergantian naik atas kereta itu, yang sebentar kemudian ditarik keempat ekor kuda itu, yang cepat larinya.
Di atas kereta, Hoa Seng berpikir.
Ia merasakan bahwa pengalamannya itu hari dan malam bagaikan impian belaka.
Ia memikirkan tak hentinya.
"Kenapa raja ketahui tentang diriku? Kenapa dia tahu aku bisa mengobati penyakit? Kenapa kedua dayang tadi membilangnya aku seharusnya mesti menjadi seorang laki-laki yang cakap tampan? Apakah artinya itu mesti?"
Diam-diam ia melirik kedua dayang itu, justeru mereka pun lagi mengawasi ia seraya bersenyum secara aneh.
Selagi Hoa Seng berpikir keras itu, tiba-tiba ia mendengar suara angin berdesir di arah belakangnya.
Dengan lekas ia berpaling, atau ia menjadi terkejut.
Tidak ayal lagi, ia menyambar les kuda dari kusir, ia mengedut dengan keras, atas mana keempat ekor kuda itu, yang semua ada kuda pilihan dari istal raja Nepal, lantas kabur.
Pada itu Hoa Seng menambah sama cambuknya.
Karena kuda lari bagaikan terbang, penumpang-penumpangnya menjadi duduk tak tetap di atas kereta itu.
Itulah Timotato yang mengasi dengar suara angin, yang telah menyusul mereka dengan lari keras sekali.
Sembari lari terdengarlah suara tertawanya yang aneh.
Makin lama, ia menyusul makin dekat.
Sebentar kemudian, mendadak keempat ekor kuda meringkik keras, tentu kaki mereka pada berdeku.
Luar biasa cepat, Timotato sudah dapat menyandak, tangannya menyambar kereta itu, begitu lekas dia mengerahkan tenaganya, kereta itu kena ditahan, kudanya lantas roboh kakinya, tak dapat binatang itu maju walaupun hanya satu tindak.
"Apakah perkataanmu tak dianggap olehmu?"
Hoa Seng tanya, membentak. Timotato tertawa.
"Aku bilang aku tidak campur tahu urusan di benteng tua!"
Katanya.
"Sekarang, sekeluarnya dari benteng tua itu, maka aku mesti mencampurinya tahu!"
Ia lantas memegang kereta, untuk menarik sambil mengenjot tubuhnya, dari itu dalam sejenak ia sudah berada di atas kereta. Hoa Seng menghunus pedangnya, dengan lantas ia menikam dadanya Bapak Daud. Ia menggunai tipu silat "Lie Kong memanah batu."
Dengan kesebatan luar biasa, Timotato mengulurkan dua jari tangannya. Ia menggunai tipu silat "Burung hong mengangguki kepala."
Dengan gerakannya itu ia hendak merampas pedang penyerangnya itu.
Hoa Seng tidak sudi menyerahkan pedangnya, dengan mengibas, ia membabat kedua jari tangan orang! Tidak mengecewakan Bapak Daud menjadi jago dari seluruh Arabia, sambil berkelit, ia ayun tangannya untuk menangkis, berbareng dengan mana, tangan kirinya menggempur hingga pedangnya Hoa Seng kena disampok mental.
Ia tidak berhenti sampai di situ, dengan tangan kanannya, dengan dua jerijinya, ia menyambar ke matanya lawan itu! Hoa Seng mesti mundur untuk mengelakkan serangan itu, karena mana ia membuatnya kedua dayang menjadi kaget hingga mereka menjerit ketakutan karena tubuh mereka kena terlanggar.
Tubuhnya Timotato sudah berada di atas kereta, kedua kakinya sudah dipernahkan, tinggal lagi satu tarikan, ia akan sudah berada di dalam kereta.
Di saat itu, ia ditikam Hoa Seng, yang mengarah tenggorokannya.
Ia dapat menolong dirinya, dengan satu sampokan ia membuatnya pedang penyerangnya mental kesamping, hingga pedang itu menghajar putus sepotong kaju! Dua jago itu jadi bertempur, seorang di dalam kereta, yang lain di sebelah luar.
Hebat pertempuran mereka, melebihkan hebatnya pertempuran di dalam rumah, di ruang yang luas, karena di sini keduanya sukar bergerak dan setiap serangannya berbahaya sekali.
Bapak Daud berkelahi dengan bengis.
Satu kali dia berseru, dengan tubuh terangkat, dengan sebelah tangan dia menyampok pedang, dengan tangan yang lain dia membarengi menyerang dadanya lawannya.
Hoa Seng menghadapi ancaman bahaya.
Ketika itu pedangnya sudah tidak keburu ditarik pulang.
Tidak ada jalan lain, ia mesti berkelit atau menangkis serangan ke dada itu, pedangnya sendiri sebisa-bisa ditarik pulang dengan diputar.
Di saat yang sangat mengancam itu, sekonyong-konyong Timotato menggigil sendirinya.
Ia merasakan hawa dingin yang datang tiba-tiba.
Juga Hoa Seng merasai hawa dingin meresap ke tubuhnya, hanya karena ia berada di dalam kereta di mana ia dapat memernahkan diri dengan baik, gangguan hawa dingin itu tidak terlalu hebat.
Ia pun menginsafi suasana, maka itu ia menggunai ketikanya, segera ia memapas.
Timotato mengasi dengar teriakan dari kesakitan, tubuhnya lantas jatuh ke bawah kereta.
Di lengan kirinya, sepotong dagingnya kena dipapas pedang.
Ia menjadi sangat gusar.
"Hai, binatang, kau menggunai ilmu siluman apa?"
Dia menanya bengis.
Koei Hoa Seng tidak mau melayani jago itu, ia tarik les kudanya, ia mengeprak, maka keretanya lantas dibawa lari sekeras-kerasnya.
Dengan begitu, karena dia terluka, Timotato tidak dapat mengejar lebih jauh.
Memikirkan kejadian barusan, Hoa Seng heran sekali.
Dari mana datangnya hawa dingin itu yang demikian tiba-tiba? Itulah hawa dingin yang ia rasakan adanya di gunung Nyenchin Dangla, di guha es.
Tidak mungkin hawa dingin itu datangnya dari langit.
Kalau orang, siapakah yang menggunakannya? Di dalam kereta itu tidak ada lain orang lagi.
Siapakah orang yang membantu kepadanya? Kereta lari keras sekali maka tidak lama tibalah sudah mereka di dalam kota.
Masih Hoa Seng berpikir keras, memikirkan orang yang membantu ia dengan hawa dingin itu.
Ia dapat mengingat si nona berbaju putih tetapi nona itu tidak ketahuan di mana adanya.
Adakah dia Papo? Tapi Papo tidak mengerti ilmu silat! Apakah dialah si kedua dayang? Kalau mereka, dari mana mereka dapatnya inti es dari guha es itu? Akhirnya ia menduga-duga, mungkinkah si nona baju putih justeru ada si puteri Nepal, memikir ini, ia merasa ia menjadi terbenam makin dalam dalam keheranan ..
Tidak lama semasuknya ke dalam kota raja, istana sudah lantas tertampak.
Papo lantas mengasih lihat roman berduka.
"Saudaraku, benar-benarkah kau merasa pasti?"
Ia bertanya.
"Jangan kuatir!"
Hoa Seng menyahuti tertawa.
"Sakitnya raja, yang terkena racun, bukannya enteng,"
Menerangkan Papo.
"Adalah aturan di dalam negara kami, tabib yang mengobati raja mungkin nanti berkurban jiwa, untuk sama-sama dikubur ...."
"Kalau penyakit ada penyakit lain, aku tidak merasa pasti. Kalau benar itu disebab racun, ha ha! aku tanggung obatku akan dapat mempunahkan racun itu! Loo-tiang, pernahkah kau mendengar kemustajabannya teratai salju dari Thian San dalam hal mengobati bisa?"
Sembari berkata, Hoa Seng mengeluarkan setangkai bunganya, untuk dikibaskan di depan tabib itu, maka di dalam kereta itu segera tersiar bau harum-semerbak.
Sesuatu orang lantas merasakan segar sekali.
Papo pernah membaca kitab ilmu obat-obatan, ia mengetahui tentang soat-lian, atau teratai salju dari gunung Thian San, maka itu mengertilah ia, teratai itu memang dapat menyembuhkan sekalipun racun nyali merak atau jengger burung ho.
Karena ini, sekarang hatinya menjadi lega.
Segera juga kereta dihentikan di depan istana.
Istana raja Nepal kalah indah dengan istana di Pakkhia, kalah juga dengan istana Potala, akan tetapi toh ada keistimewaannya sendiri.
Di kedua samping ada kuil-kuil serta menara-menaranya, lauwteng atau ranggonnya terukir indah, sedang di atas wuwungan atau kotak atau keranjang tiang bendera ada burung-burungan atau beburonannya yang bagus seperti binatang bernyawa.
Di wuwungan menara ada kelenengan atau genta terbuat dari pada kuningan, yang indah-mengkilap serta suaranya sedap didengar.
Di depan istana ada patung Sang Buddha tinggi tiga tombak lebih.
Di situ pun ada air mancur, yang keluarnya dari kepala naga kuningan.
Teranglah itu ada buatan campuran seni Timur dan Barat, kecampuran sifat seni Tionghoa.
Maka itu, senang juga Hoa Seng menyaksikan itu semua, matanya mengawasi ke segala pihak.
Meski begitu, ia tidak melupai tugasnya.
Ia jalan di lorong panjang, mengikuti dayang, ia sendiri sembari menarik si congkoan dari Gie-limkoen.
Di akhirnya, di dalam sebuah ruang istana dari batu putih ia menghadap raja Nepal.
Di sini Hoa Seng merasa heran.
Raja Nepal bermuka semu dadu, tanda dari kesehatannya, tidak ada tanda-tandanya bahwa ia lagi mengandung sakit.
Di belakang raja itu berdiri seorang tua, yang Papo kenali sebagai tabib istana.
Di sebelah depan raja berdiri seorang muda, yang punggungnya menghadap ke luar.
Begitu berada di dalam istana itu, Hoa Seng dapat mencium bau yang harum luar biasa, ialah bau harum dari teratai salju dari Thian San.
Melihat datangnya tetamu, raja Nepal berbangkit dengan perlahan-lahan dari tempat duduknya yang berbangsal sulaman indah.
Berbareng dengan itu, si anak muda pun memutar tubuhnya, untuk berbalik.
Kapan Hoa Seng melihat wajah orang, ia terperanjat saking heran.
Si anak muda juga heran sama seperti ia.
Maka itu keduanya jadi berdiri tercengang.
Pemuda itu bukan lain dari pada si anak muda bangsa India yang diketemukan di gunung Himalaya.
Kemudian, sesudah mengangguk perlahan kepada si anak muda, Hoa Seng memberi hormat kepada raja Nepal.
Raja itu membalas hormat sambil mengangguk.
"Tetamu dari negara besar, tak usah kau menjalankan banyak kehormatan,"
Katanya.
"Duduklah!"
Hoa Seng segera menanya untuk urusan apa raja memanggil ia datang menghadap. Raja tertawa.
"Sebenarnya aku memanggil tuan untuk mengobati penyakitku tetapi sekarang tak usahlah aku membuat tuan capai hati lagi,"
Sahutnya. Ia lantas menunjuk itu pemuda India seraya menambahkan.
"Pemuda ini ialah Jatsingh putera raja Champa. Dia datang di saat kami baru mengirim kereta untuk mengundang tuan, dia lantas memberikan obatnya. Luar biasa mujarab obatnya itu, begitu dimakan begitu aku sembuh. Demikian sekarang, aku sudah sembuh seanteronya. Tapi tuan telah datang ke negaraku ini, maka itu walaupun tidak ada urusan apa-apa aku ingin mengundang tuan berdiam di sini untuk beberapa hari."
Mendengar itu sekarang Hoa Seng mengerti duduknya hal.
Sengaja Jatsingh mencari soat-lian untuk menolongi raja dan dia telah berhasil, raja Nepal sudah diobati sembuh dari sakitnya itu.
14.
Sayembara Puteri Nepal Raja Nepal lihat congkoan dari Gie-lim-koen, pemimpin pasukan istananya.
Ia heran menampak roman orang tak wajar.
Hamba itu nampak lesu atau letih.
"Kau datang bersama tetamu agung, ada urusan apakah?"
Raja tanya. Papo lantas mendahului menyahuti.
"Paduka congkoan ini memanggil hamba katanya untuk memeriksa penyakit tetapi dia melarangnya membilang bahwa Sri Baginda sakit terkena racun, hamba disuruh membilang itulah sakit kepala yang biasa saja."
Raja menjadi gusar.
"Apakah artinya itu?"
Ia tanya. Melanjuti keterangannya, Papo menuturkan apa yang terjadi di benteng kuno. Selagi tabib ini berbicara, dari perdalaman pendopo istana itu muncul satu orang melihat siapa congkoan Gie-lim-koen itu kaget hingga ia lantas berseru.
"Pangeran, tolongi aku !"
Hoa Sang kenali orang yang baru muncul itu ialah putera raja Nepal yang ia ketemukan di dalam Kota Iblis. Tanpa membilang apa-apa pangeran itu bertindak menghampirkan si congkoan, mendadak dla berseru.
"Kau telah dipercayakan Sri Baginda dan diberi tugas penting, kenapa kau berani meracuni Sri Baginda? Mungkin Sri Baginda suka memberi ampun padamu tetapi aku tidak!"
Congkoan itu kaget sekali.
"Kau . kau ....."
Katanya.
Putera raja itu tidak mau banyak omong, bahkan dengan kesebatannya yang luar biasa, ia menghunus goloknya dengan apa ia membacok pemimpin pasukan Gie-lim-koen itu, hingga orang roboh dengan jiwanya melayang! Hoa Seng berdiam.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau ia mau mencegah, ia dapat melakukannya.
Kejadian itu dilakukan tanpa menanti Papo selesai bicara.
Sungguh suatu kejadian di luar dugaan saking cepatnya.
Putera raja itu menyusut goloknya, terus ia berkata kepada, raja.
"Paman-raja, paman berada di dalam istana dan kena orang racuni, perkara itu tidak usah diselidiki lagi, tentulah itu dilakukan oleh congkoan ini, tak usah disangsikan lagi."
Raja lagi mendengar keterangannya Papo, ia mulai mencurigai congkoannya itu, sekarang ia menyaksikan perbuatannya pangeran itu, meski itu ada di luar sangkaannya, ia tidak curiga, bahkan ia mendapat kesan pangeran itu bersetia kepadanya.
"Dia bertugas melindungi, sekarang dia justru berbuat jahat, pantas dia terbinasa,"
Kata raja ini, yang lantas menitahkan supaya mayatnya congkoan itu lekas disingkirkan, supaya bekas-bekas darah itu lantas dibersihkan.
Di lain pihak, perintah pun dikeluarkan guna lekas menyajikan barang santapan, untuk mengadakan pesta.
Dua bulan lebih raja menderita sakit, sekarang ia sembuh dengan tiba-tiba, kegembiraannya luar biasa.
Maka ia mengadakan pesta istimewa di dalam istananya itu.
Ia menjamu putera raja Champa serta Hoa Seng si tetamu yang dihormati.
Urusan congkoannya itu tak lagi ia menghiraukannya.
Papo bersama Hoa Seng saling mengawasi, mulut mereka tertutup rapat, hati mereka tapinya bekerja, seperti sinar mata mereka menunjuki.
Mereka tahu pasti sakit raja bukan perbuatannya congkoan Gie-lim-koen itu, hanya benar, congkoan itu mesti tahu duduknya hal dan mungkin dia, turut ambil bagian juga.
Mereka terpaksa berdiam karena kalau mereka membuka mulut, pastilah istana itu menjadi kacau.
Pula tidak baik muncul kekacauan selagi raja baru sembuh dan mengadakan pesta ini.
Sampai di situ, Hoa Seng mengasih keluar suratnya Dalai Lama dan ia peserahkan pada raja itu sembari ia berkata.
"Seharusnya surat ini dihaturkan kepada Sri Baginda selekasnya aku datang ke kota raja ini. Harap Sri Baginda memaafkannya."
Raja membaca surat itu, ia girang sekali.
"Aku memerintah Negara dengan berpokok kepada ajaran agama Buddha, sudah selayaknya jikalau akulah yang lebih dulu menanyakan kesehatannya Buddha Hidup,"
Katanya.
"Berhubung dengan hari ulang tahun Sang Buddha ini,"
Berkata putera raja, yang campur bicara.
"aku sudah mengirim utusan atas nama paman raja untuk memberi selamat sekalian menghadiahkan menara emas kepada Istana Potala. Oleh karena paman tengah sakit, hal ini aku belum melaporkannya."
Tapi raja senang.
"Tindakanmu ini cocok dengan hatiku!"
Katanya girang.
"Maka itu lain kali, dalam urusan negara, apa yang kau lihat pantas dilakukan, kau lakukanlah."
Tiba-tiba raja ini ingat suatu apa. Maka ia lantas berkata pula.
"Dua hari yang lalu ada datang pendeta dari Tiongkok, mungkin kau kenal dia, karena aku lagi sakit, tidak sempat aku memanggil dia menghadap. Sekarang ini baiklah dia diundang untuk turut menghadirkan pesta ini."
Raja lantas mengeluarkan perintahnya.
Hoa Seng heran, ia menduga-duga siapa pendeta dari negaranya itu, yang dapat melintasi gunung Himalaya.
Karena ini, ia lantas berpaling kepada putera raja itu.
Kelihatannya putera raja itu heran, maka mungkinlah dia tidak mengenalnya atau tidak mengetahuinya.
Ketika pesta dimulai, pendeta Tionghoa itu belum muncul, maka itu raja Nepal mengundang dulu Jatsingh, Hoa Seng dan Papo berduduk dulu, Putera raja hadir bersama.
Sebagai pelajan, raja menitahkan delapan dayang, di antaranya ada dua dayang yang diperintah pergi mengundang Hoa Seng.
Raja mengisi arak.
Ia lantas berkata.
"Malam ini ada tiga hal yang menggirangkan yang aku hendak menyebutkannya "
"Setiap kali paman menyebutkan serupa hal yang menggirangkan itu, kita minum tiga cangkir arak!"
Berkata putera raja, menimbrung. Raja Nepal tertawa lebar.
"Kegirangan yang pertama-tama ialah tentang aku sendiri, yang dari celaka jadi memperoleh keberuntungan!"
Berkata raja.
"Di luar tahuku, aku telah diracuni orang jahat, kelihatannya aku bakal menjadi setan penasaran, maka syukurlah telah datang putera raja dari India ini yang memberikan aku obat dewa! Sekarang ini bukan melainkan sakitku itu sudah sembuh, pula aku merasakan tubuhku sehat luar biasa! Tidakkah, karena itu, sudah selayaknya aku mengadakan pesta keselamatan ini?"
"Memang orang baik diberkahkan Tuhan!"
Berkata putera raja.
"Aku memujikan paman selamat panjang umur!' Ia lantas mengeringkan tiga cawannya.
"Sekarang kegirangan yang kedua,"
Berkata raja Nepal.
"Inilah hal aku mendapat kunjungan tetamu yang terhormat. Tuan Koei dan putera raja Champa sama-sama pernah melintasi gunung besar nomor satu di dunia ini, perbuatan mereka harus dicatat dalam hikayat."
"Kedua tetamu yang terhormat telah mendatangi negara kita, itulah artinya keberuntungan kita!"
Berkata pula si pangeran.
"Baiklah, untuk tuan setiap tiga cawan!"
Selagi ia mengangkat cawannya kepada Hoa Seng, terlihat nyata sikap ber-muka-muka dan licik dari pangeran ini, yang tertawa tak wajar. Ia agaknya mengangkat cawan sambil berbareng mau mempengaruhi orang. Di dalam hatinya, Hoa Seng berkata.
"Entahlah, raja ketahui atau tidak niatnya pangeran ini menyerbu Tibet . Jikalau ada ketikanya, aku mesti membeber rahasianya ini."
Meski hatinya berpikir demikian, Hoa Seng toh menghirup kering cawan araknya. Raja berhenti berbicara karena pangerannya itu, kemudian ia mengangkat cawannya sambil bersenyum.
"Aku tidak mempunyai putera hanya seorang puteri,"
Ia berkata pula kemudian.
"Sudah lama aku berniat mencari pasangan untuk puteriku itu, sayang dia beradat tinggi, sampai sekarang ini dia belum mendapatkan orang yang cocok dengan hatinya. Maka sekarang aku telah menerima kunjungan pangeran Jatsingh ini, yang telah menolongi jiwaku. Aku mendapatkan pangeran bagaikan kielin di antara hewan atau burung hong di antara burung-burung, bahkan dengan tidak memandang hina kepada negaraku yang kecil, ia telah datang untuk meminang puteriku itu. Sebenarnya, walaupun tak ada peristiwa ia telah menolongi aku, suka aku menerima baik pinangannya itu. Maka itu, dengan aku yang mengambil keputusan, lewat lagi beberapa hari, hendak aku menikahkan mereka. Aku harap pesta sekarang ini ialah suatu pesta penetapan pertunangan!"
Pengutaraan ini disambut dengan sorak persetujuan.
Sekarang ini Hoa Seng tahu pasti sebabnya kenapa Jatsingh mencari soat-lian.
Diam-diam ia bergirang, yang ia telah membikin minatnya pangeran itu tercapai.
Maka ia pun memberi selamat kepada pangeran itu.
Paras Jatsingh yang hitam bersemu dadu, ia agaknya likat.
"Hanya entahlah bagaimana pendapat tuan puteri?"
Ia menanya, agaknya ia ragu-ragu. Raja Nepal tertawa.
"Mustahil dia tidak puas?"
Katanya dalam girangnya.
Lantas ia menitahkan seorang dayang masuk ke dalam keraton, untuk meminta serupa barang permata dari puterinya, agar permata itu dijadikan tanda pertunangan.
Setelah itu, pesta dilanjuti.
Selagi Hoa Seng minum araknya, mendadak ia merasa seorang dayang membentur ia perlahan sekali.
Ia heran.
Untuk berpurapura, ia terus menghirup araknya, tetapi berbareng dengan itu, dengan sebat ia menyambuti segulung kertas dari dayang itu.
Bahkan sebat sekali, tengah Jatsingh semua bergembira, ia membuka kertas itu, untuk diperiksa, maka matanya lantas nampak bunyinya surat.
Untuk heran dan kagumnya, ia membaca beberapa huruf Tionghoa yang halus dan bagus sekali tulisannya.
Bunyinya itu ialah .
"Lekas memberitahukan raja, bahwa soat-lian itu asalnya kepunyaanmu. Harus dicegah pertunangan di antara putera raja India itu dengan tuan puteri."
Hoa Seng heran hingga ia terperanjat.
"Apakah artinya ini?"
Ia tanya dirinya sendiri.
"Kenapa aku mesti mencegah pertunangan itu? Apa mungkin tuan puteri tidak setuju? Kalau begitu, kenapa aku yang mesti maju di depan?"
Ia lantas menoleh kepada dayang yang membenturnya dan yang menyerahkan surat itu, ia mendapatkan orang bersenyum padanya, bersenyum secara aneh.
Tentu sekali, ia menjadi bingung.
Tidakkah kejadian itu aneh sekali? Ketika itu terdengar suaranya Papo, si tabib.
"Percuma aku si orang tua menjadi tabib,"
Ia berkata.
"Tuan pangeran, aku mohon petunjukmu, dengan obat apa kau telah menyembuhkan penyakitnya Sri Baginda?"
Putera raja Nepal tertawa.
"Tuan Papo,"
Katanya, ,,kaulah tabib nomor satu di dalam negara kita, mustahil sekali kau tidak mengetahui tuan pangeran ini menggunai obat apa?"
"Aku menduga semacam bunga akan tetapi bunga itu sangat sukar didapatinya,"
Papo menyahut.
"Di India tidak ada bunga semacam itu. Karena aku kuatir aku menduga salah, tidak berani aku menyebutkannya. Mungkin ada obat lainnya yang mujarab. Tolong tuan pangeran memberitahukannya agar aku mendapat tambahan pengetahuan."
Putera raja Champa itu nampaknya likat, kulit mukanya pun bersemu merah.
"Sebenarnya itulah soat-lian dari Tiongkok,"
Sahutnya kemudian. Papo agaknya kaget sekali.
"Tuan pangeran hebat sekali!"
Serunya. ,,Apakah tuan pangeran pernah mendaki gunung Thian San?"
Sebelum menyahuti, putera raja Champa itu menoleh kepada, Hoa Seng, siapa mengasi lihat airmuka, tertawa bukannya tertawa, mengawasi padanya, hingga ia menjadi bingung, menjadi terlebih likat pula.
Ketika itu mulai terdengar suara genta.
Nepal ada negara penganut agama Buddha, sekalipun di dalam istana ada biaranya, ada saat-saat yang tertentu di mana orang membunyikan genta itu.
Demikian ketika itu, sudah jam tiga, itulah saat dari upacara suci yang terakhir.
Tatkala pangeran Jatsingh mendengar suara genta itu, pikirnya bekerja.
Pikirnya.
"Semenjak masih kecil aku pernah mendengar Liong Yap Taysoe berbicara tentang agama, maka itu kenapa sekarang, di saat ini, pikiranku menjadi tak sadar? Bukankah Sang Buddha melarang orang mendusta? Pemuda Tionghoa ini dengan segala kemuliaan hatinya telah menghadiahkan aku teratai salju, kenapa sekarang aku mesti merampas jasanya itu?"
Karena memikir ini, dalam sadarnya, ia lantas berkata kepada raja Nepal.
"Sri Baginda, orang kepada siapa Sri Baginda harus bersyukur adalah ini Tuan Koei. Jikalau tidak ada dia, mungkin tabib yang paling pandai di dalam dunia ini juga tidak bakal sanggup mengobati penyakit aneh dari Sri Baginda itu!"
Mendengar itu, raja menjadi heran.
"Apa?"
Tanyanya.
"Kalau begitu, sebelumnya ini kamu telah saling mengenal satu pada lain? Adakah Tuan Koei ini yang mengajarkan kau untuk kau menyembuhkan penyakitku ini?"
"Obat teratai salju itu adalah pemberiannya Tuan Koei ini,"
Jatsingh memberitahukan terlebih jauh.
Lalu, tanpa ragu-ragu lagi, pangeran itu menuturkan pengalamannya di gunung Himalaya di mana ia secara kebetulan bertemu sama Koei Hoa Seng, sampai anak muda itu membagi ia soat-lian, obat manjur yang sangat langka itu.
Hoa Sang kagum untuk kejujurannya pangeran itu.
Maka ia lantas berkata.
"Pangeran Jatsingh sudah melakoni perjalanan yang berbahaya itu mencari teratai salju, semua itu ada untuk Sri Baginda, untuk mengobati sakit Sri Baginda, aku sendiri secara kebetulan saja aku mempunyai obat itu, yang aku berikan kepadanya. Agama Sang Buddha mengutamakan sebab-musabab, ada perbuatan, ada akibatnya, karena Sri Baginda arif bijaksana, suka berbuat baik, maka Sri Baginda memperoleh karenanya. Sri Baginda, aku tidak berani mendapat bagian dari jasanya pangeran ini."
Sembari berkata begitu, Hoa Seng berpikir.
"Tidak perduli apa yang Jatsingh pikir mulanya, maka walaupun tuan puteri ada menaruh hati padaku, aku mesti membantu merekoki jodoh puteri dengan pangeran ini. Bukankah aku telah mempunyai orang yang aku penuju?"
Selagi berpikir demikian, mendadak di otaknya berkelebat bayangan si nona baju putih, maka diam-diam ia memuji di dalam hatinya, biarlah si nona baju putih itu bukannya puteri raja Nepal ini . Raja Nepal sendiri sangat tergerak hatinya.
"Tuan-tuan berdua adalah orang-orang cerdik pandai dari dua negara besar,"
Berkata ia.
"Kejujuran kamu berdua mendatangkan rasa hormat siapa juga. Tuan Koei, apabila kau sudi berdiam di sini, silahkan kau merendahkan diri untuk menjadi pemimpin dari pasukan pengiringku."
"Hoa Seng seorang merdeka yang gemar merantau,"
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya.
"Laginya aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, bahkan baru saja aku tiba di negara Sri Baginda ini, maka itu tidak berani aku menerima tugas yang demikian berat."
Raja Nepal pun menduga orang tidak nanti sembarang menerima keangkatannya itu.
"Jikalau Tuan Koei tidak dapat menerima, aku juga tidak berani memaksa,"
Ia berkata pula.
"Walaupun begitu aku mau minta, kalau nanti Tuan berangkat, berangkatlah sesudah hari pernikahan puteriku. Itu waktu aku sendiri akan mengantarkan keberangkatan tuan."
Sementara itu lega hatinya Jatsingh.
Tadinya ia kuatir raja nanti mengubah pikirannya sesudah mendapat tahu soat-lian kepunyaannya Koei Hoa Seng.
Ia pun girang atas kata-katanya orang she Koei itu, yang tidak hendak merebut jasa.
Biar bagaimana, Jatsingh telah membuka rahasia karena ia terpaksa oleh perkataannya Papo.
Di samping itu, ia memang sangat mengharapi tangan puteri Nepal, maka kalau terjadi sesuatu, belum tentu ia suka menyerah dengan begitu saja.
Sedang Jatsingh bergirang, dayang yang tadi diperintah raja untuk mengambil permata tanda mata telah muncul pula.
"Mana barang permata dari tuan puteri?"
Raja mendahului menanya.
"Tuan puteri membilangnya dia tidak berani melanggar aturan,"
Menyahut dayang itu.
"Tuan puteri menghendaki supaya segala apa yang sudah ditetapkan terlebih dulu dijalankan sepenuhnya. Tuan puteri ingin supaya setiap orang menerima ujian."
Airmuka raja berubah mendengar jawaban itu.
"Ah, anak yang tidak tahu urusan!"
Katanya, tak puas.
"Apakah kau tidak menjelaskan tuan pangeran ini ialah tuan penolong dari jiwaku?"
"Sudah, Sri Baginda!"
Jatsingh sendiri menjadi jengah, mukanya berubah merah.
"Nah, pergilah kau beritahu pula kepada tuan puteri!"
Berkata raja.
"Jikalau dia tetap tidak mau menurut, suruhlah dia keluar, supaya dia melihat sendiri juga wajahnya tuan pangeran ini! Aku mau lihat, dia puas atau tidak "
Kata-katanya raja ini sebagian untuk menghiburkan Jatsingh, supaya dia ini jangan terlalu jengah.
Sebaliknya, mata si pangeran lantas dilirikkan ke sebelah dalam istana di mana di belakang sekosol ada sebuah pintu.
Di situlah si dayang keluar masuk barusan.
Tidak lama atau segera terdengar suara gelang beradu dan suara terseretnya pakaian yang panjang.
Hoa Seng turut berpaling, hatinya tegang sendirinya.
"Jikalau tuan puteri adalah adik Giokku, bagaimana?"
Hatinya, bertanya berulang-ulang.
Lekas juga terlihat orang muncul di pintu model rembulan.
Begitu ia melihat, hati Hoa Seng lega.
Wanita itu memang cantik sekali tetapi dia bukannya si nona baju putih, bukannya Hoa Giok.
Raja kelihatan tidak puas melihat siapa yang muncul itu.
"Mengapa tuan puteri tidak keluar?"
Ia lantas menanya dayang itu.
"Benarkah dia telah menerima baik dan pada kau telah diserahkan barang permatanya tanda pertunangan?"
Hati Hoa Seng lega ia masih ragu-ragu. Nona ini jadinya ada dayangnya si tuan puteri. Hati Jatsingh tidak keruan rasa, hatinya itu berdenyutan. Untuk ia masih belum ada keputusannya. Dayang itu menyahuti raja. Katanya.
"Tuan puteri bilang, karena tuan pangeran telah dapat menyembuhkan Sri Baginda, aturan ujian dapat dikurangi separuh "
Raja masih tidak senang.
"Separuh?"
Tanyanya.
"Bagaimana itu?"
"Tidak usah lagi menjalankan ujian ilmu surat, cukup ilmu silat saja,"
Menyahut si dayang menerangkan.
"Juga dalam ujian ilmu silat, tidak usahlah memenuhi semua upacara. Tuan puteri bilang, kalau tuan pangeran dapat mengalahkan aku, dia boleh bertemu sama tuan puteri, puteri yang mengadu pedang dengannya. Untuk ini, asal dia dapat seri melawan tuan puteri, cukuplah sudah dia memenuhkan syarat!"
Suara itu, biar bagaimana, bernada keras.
Jatsingh itu ketahui baik liehaynya tuan puteri.
Buktinya banyak sudah calon putera-putera raja lainnya yang gagal.
Bahwa ia paksakan diri mencari teratai salju itu pun karena niatnya dapat menyingkirkan dari ujian ilmu silat itu, siapa sangka, pulang pergi, tuan puteri tetap memegang erat-erat syaratnya itu.
Tentu sekali, mendengar jawaban si dayang, ia menjadi tidak puas.
Biar bagaimana juga, ialah murid kepala dari Liong Yap Taysoe, ia merasa bangga dengan kepandaiannya yang ia telah punyakan.
Di dalam hatinya, ia kata.
"Jikalau aku tidak menempur dia, tentulah dia bakal memandang tidak mata padaku."
Maka ia lantas kata pada Raja Nepal.
"Tuan puteri adalah wanita gagah, tuan puteri sudi memberi pengajaran padaku, inilah hal yang memintanya pun aku tidak berani. Hanya aku kuatir, jikalau menggunai golok atau pedang, nanti kita kesalahan tangan .."
Pangeran ini ingin supaya acara mengadu silat itu diubah dengan ujian ilmu surat. Ia memikir, ujian ini tidak berbahaya, dan kalau ia gagal, tak usahlah ia malu .
"Benar!"
Begitu terdengar suara raja, menyetujui pikirannya ini bakal calon menantu.
"Tuan pangeran telah datang dari negara yang jauh, dia pun telah mengobati aku hingga sembuh, jikalau ujian mengadu silat dijalankan juga, tidakkah itu kita jadi berlaku tak selayaknya terhadap seorang tetamu? Wanran, pergi kau kembali kepada tuan puteri, kau sampaikanlah perkataanku ini. Biarlah, syarat ini yang separuh lagi pun dihapuskan saja." 15. Akal Muslihat Pangeran Nepal Dayang itu menurut perintah. Ia kembali ke dalam. Hanya tidak lama, ia sudah muncul pula.
"Tuan puteri bilang, untuk menghapus semua syarat pun boleh,"
Berkata ia.
"cuma tuan puteri memberitahukan ada serupa barang tanda mata yang tidak dapat ditiadakan, yang tak boleh dikurangkan."
Jatsingh menjadi tidak sabaran.
"Barang apakah itu?"
Ia menanya, mendahului raja Nepal. Ia percaya ia mempunyai segala macam barang permata, karena negaranya kaya-raya.
"Tuan puteri mendengar tuan pangeran telah menyembuhkan Sri Baginda dengan teratai salju,"
Menyahut sang dayang.
"maka itu sekarang tuan puteri menghendaki teratai salju itu sebagai pesalinnya."
Jatsingh lantas saja berdiri menjublak.
Negaranya boleh kaya akan tetapi dari mana ia dapat mencari teratai obat itu? Ia ketahui Koei Hoa Seng masih mempunyai dua kuntum bunga itu tetapi tidak dapat ia memintanya pula.
Karena ini ia menjadi nekat, pikirnya.
"Baiklah, aku nanti pergi ke Thian San untuk mencari teratai itu! Aku hendak lihat, apa lagi nanti kau bilang?"
Ia berpikir begitu baru sejenak, atau segera ia ingat.
"Sungguh gampang aku berpikir! Bisakah aku mencari dan mendapatkan teratai itu di sana? Dan berapa banyak bulan dan tahun aku bakal menggunakannya?"
Maka itu, terus ia berdiri diam. Ia jadi ngelamun, ia mengharap Hoa Seng nanti memberikan ia sekuntum yang lain Hoa Seng pun berpikir keras. Syaratnya puteri itu luar biasa. Setelah menanti sebentar, si dayang berkata pula.
"Jikalau tidak ada bunga teratai salju, maka syarat ujian harus dijalankan. Tuan puteri membilangnya, dengan jalan ini ia hendak memberikan kelonggaran kepada tuan pangeran, coba lain orang, biarnya dia mempunyakan teratai salju, ujian mesti dilakukan juga!"
Selagi mengucap demikian, dayang itu melirik kepada si anak muda she Koei, untuk sambil bersenyum ia menambahkan.
"Hanya tuan puteri menjelaskan juga, jikalau toh ada lain orang, yang benar-benar mempunyai teratai salju dan orang itu suka menghadiahkannya kepada tuan puteri, tidak nanti tuan puteri menerimanya itu dengan cuma-cuma, untuk itu tuan puteri suka membalas menghadiahkan serupa mustika yang tidak ada bandingannya di kolong langit ini."
"Mustika apakah itu ?"
Hoa Seng tanya keterlepasan.
"Aku pun tidak tahu mustika itu mustika apa,"
Sahut si dayang.
"tuan puteri melainkan memberitahukannya bahwa mustika itu, siapa pun yang mendapatkannya, dia bakal tak lawannya di kolong langit ini! Tuan, apakah kau mempunyai soat-lian asal gunung Thian San itu? Kalau benar, janganlah kau lewatkan ketika yang baik ini! Umpama kata kau tidak berani mengadu kepandaian dengan tuan puteri, atau umpama kata kau tidak berniat menikah dengan tuan puteri kami, dengan mendapatkan mustika itu, cukuplah untuk kau menjagoi di dalam dunia ini!"
Hoa Seng heran hingga hampir ia lompat berjingkrak.
"Bukankah yang dikatakan tuan puteri itu ialah pedang inti es Pengpok Han-kong kiam? Ah, mungkinkah . mungkinkah tuan puteri ini ialah aku punya adik Hoa Giok?"
Katanya di dalam hati, penuh kesangsian.
"Ah tidak, tidak, itulah sukar untuk di percaya ! Juga raja Nepal menjadi heran sekali. Aneh perkataannya dayangnya itu. Ia kata di dalam hatinya.
"Di mana di dalam istanaku ada semacam mustika aneh?"
Ia menjadi berpikir karenanya.
Lalu mendadak ia ingat apa yang terjadi malam tadi.
Puterinya telah mengatakan bahwa telah terdengar kabar ke negara mereka ada datang seorang pemuda Tionghoa yang gagah perkasa, yang ada membawa serupa obat mujarab, karena mana puteri itu minta raja, sang ajahanda, suka mengundang tetamu Tionghoa itu.
Raja sangat mempercayai puterinya itu, kebetulan ia pun lagi sakit maka itu ia tidak memikir untuk menanyakan jelas bagaimana caranya sang puteri telah mendapat tahu perihal tetamu Tionghoa itu.
Sekarang, setelah berpikir sejenak, ia bagaikan mendusin.
"Ah, pantaslah dia menyuruhnya aku menyambut tetamu Tionghoa itu, kiranya dia telah penuju di hatinya .."
Pikirnya akhirnya.
Karena ini diam-diam ia melirik kepada Koei Hoa Seng.
Ia mendapatkan orang tampan, menang jauh, dari pada si pangeran dari India itu.
Hanya sebentar kemudian ia berpikir pula.
Jatsingh tetap ada putera raja dan Hoa Seng mana dapat dibandingkan dengan pangeran itu.
Selagi Hoa Seng heran dan girang.
Jatsingh mendongkol dan masgul, maka masih saja ia menjublak.
Raja sendiri tentu saja ia terbenam dalam keragu-raguan.
Maka itu, dalam saat itu, semua orang pada berdiam.
Syukur tidak lama, keadaan tegang itu dapat diredakan.
Seorang pahlawan datang masuk bersama seorang lama Putih, atas mana raja berkata.
"Pendeta dari Tiongkok telah tiba!"
Terus ia menoleh kepada dayangnya untuk berkata.
"Kau kembali dulu ke dalam! Kau bilangi tuan puteri untuk ia berpikir pula baik-baik, jangan sekali ia mengacau .!"
Begitu lekas si lama Putih tiba di undakan tangga pendopo, Hoa Seng menjadi girang sekali.
Ia mengenali Maskanan.
Sebaliknya Maskanan, melihat Hoa Seng berada di dalam istana ini, ia tidak menjadi heran.
Karena lebih dulu dari pada ini ia sudah tiba di Istana Potala di mana ia bertemu sama Buddha Hidup dan Buddha Hidup telah memberitahukannya bahwa Hoa Seng telah berangkat ke Nepal dengan dbekali surat perkenalan untuk raja Nepal.
Hanya, biar bagaimana, karena mereka adalah sahabat-sahabat lama, ia pun girang sekali.
Sebaliknya si putera raja Nepal yang menjadi tidak tenang.
Ia kuatir sekali Maskanan nanti membeber peristiwa di dalam Kota Iblis.
Maskanan memberi hormat kepada raja Nepal seraya menghaturkan suratnya raja agama Putih.
Raja Nepal menerima surat itu dan membacanya, habis mana dia terkejut.
"Kenapakah tongkatnya raja kamu bisa berada di dalam negaraku?"
Ia tanya.
"Selama siauwceng berada di Tibet, tongkat suci itu lenyap,"
Maskanan memberi keterangan.
"Tongkat itu telah dirampas oleh guru negara Sri Baginda."
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sembari memberikan keterangannya itu, lhama Putih ini menoleh kepada putera raja Nepal yang ketika terjadi perampasan tongkat ada hadir bersama, bahkan putera raja itu turut turun tangan.
Bukan main gelisahnya putera raja, segera dia menyelak.
Katanya.
"Kira-kira di bulan dua dan tiga, bersama-sama guru negara aku telah pergi ke Istana Potala untuk menghormati Buddha Hidup, sepulangnya dari sana karena paman kurang sehat, sampai sekarang aku belum sempat menjelaskan sesuatu."
Pangeran ini bicara benar hanya separuh. Yang pergi ke Istana Potala adalah si pendeta jubah Merah, ia sendiri berada di Kota Iblis mengatur daya upaya untuk menyerbu Tibet.
"Kalau begitu, kau jadinya ketahui duduknya urusan?"
Raja bertanya.
"Harap paman ketahui,"
Berkata putera raja.
"tongkat dari raja agama Putih itu memang benar telah dirampas oleh Maran Hoat-soe."
Maran ialah namanya pendeta agama Merah itu. Dialah pendeta yang biasanya sangat dipercaya raja Nepal. Maka itu, mendengar keterangan itu, raja terkejut.
"Maran Hoat-soe, mengapa dapat terjadi peristiwa ini?"
Ia tanya pendeta itu.
"Paman,"
Pangeran berkata pula, mendahului.
"jikalau paman tidak menanyakannya, tidak berani aku bicara. Maran Hoat-soe itu besar sekali cita-citanya, dia hendak menelad contohnya Buddha Hidup dari Tibet untuk dapat mengangkat dirinya menjadi Buddha Hidup di negara kita ini, supaya dia dapat berkuasa melebihi kekuasaan raja sendiri. Itulah sebabnya kenapa dia sudah merampas tongkat suci dari raja agama Putih. Tongkat itu adalah benda suci dan agung dari agama Sang Buddha, dengan begitu maka kemudian dialah orang yang akan paling dimuliakan!"
Raja Nepal tercengang.
Amanat Marga -- Khu Lung Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long Naga Kemala Putih -- Gu Long