Ceritasilat Novel Online

Pedang Inti Es 5


Pedang Inti Es Karya Okt Bagian 5



Pedang Inti Es Karya dari Okt

   

   "Bukankah tadi Papo telah membilangnya?"

   Berkata pula pangeran.

   "Bukankah selama di benteng dari pasukan pengiring raja, di sana pun hadir Maran Hoat-soe?"

   "Benar,"

   Berkata Papo.

   "Guru negara telah memberi nasihat kepadaku supaya aku menuruti perkataannya congkoan Gielim- koen."

   "Berkhianat! .. berkhianat!"

   Berseru raja gusar.

   "Maka itu menurut dugaanku,"

   Kata lagi pangeran, yang menggunai ketikanya yang baik itu.

   "berhubung sama soal meracuni, mungkin itu keluar dari pikirannya guru negara, hanya dia memerintahkan pasukan Gie-lim-koen yang melaksanakannya!"

   "Memang begitu mestinya!"

   Berkata raja, yang kena terpengaruh.

   "Maka itu aku minta paman memerintahkan supaya Hoat-soe ditangkap!"

   Kata pangeran akhirnya.

   Perbuatannya pangeran Nepal ini ada di luar sangkaannya Koei Hoa Seng dan Maskanan.

   Terang pangeran itu lagi main gila, untuk mengadu satu pada lain.

   Akan tetapi di depan raja itu, mereka tidak dapat mengambil tindakan guna membeber kedustaannya pangeran itu.

   Pula Maskanan cuma ingin mendapat pulang tongkatnya, ia tidak memikir akan menimbulkan gara-gara.

   Ia pun tahu, pangeran itu, sebagai keponakan raja Nepal, besar sekali pengaruhnya, kekuasaan atas angkatan perang berada di tangannya.

   Bahkan bagus sekali kalau pangeran itu mau menawan guru negara itu, untuk ia mendapatkan tongkatnya.

   Memang bagus kalau raja Nepal tak usah terseret-seret urusan tongkat itu.

   Raja Nepal berpikir keras, lalu dia berkata.

   "Guru negara liehay dan banyak kambratnya, kelihatannya cuma kau yang dapat menawan dia, yang dapat membikin dia puas ."

   "Dalam urusan besar ini memang sudah selayaknya aku yang harus turun tangan,"

   Berkata pula si pangeran.

   "pantas kalau aku bekerja untuk paman, cuma ada satu hal yang aku hendak ajukan supaya paman suka mengambil keputusannya."

   "Kau bilanglah, apa itu?"

   Raja tanya.

   "Guru negara gagah sekali, di dalam negara kita, dia menang tidak ada tandingannya,"

   Berkata pangeran, menjelaskan.

   "Atau umpama kata dia dapat dibekuk oleh kita, mungkin sekali bakal roboh banyak kurban di pihak kita. Maka itu aku hendak mengusulkannya. Di sini ada Tuan Koei bersama pangeran Jatsingh yang gagah-perkasa. Di sini pun ada Maskanan utusan dari raja agama Putih, yang datang jauh dari Koko-Nor, Tiongkok, yang pun ada seorang gagah. Maka itu aku memikir untuk meminta bantuannya mereka ini bertiga untuk merekalah yang menawan guru negara. Umpama kata Pangeran Jatsingh yang dapat menawannya, bukan main besarnya jasa dia untuk negara kita, sedang menurut undang-undang kita, jasa itu luar biasa sekali, hingga luar biasa juga hadiahnya untuknya. Menurut pikiranku, apabila itu sampai terjadi, baiklah dengan kekuasaan paman, dia boleh dijodohkan dengan adikku. Pasti sekali perjodohan itu bakal disambut dengan gembira oleh seluruh negara, bahkan adik juga tentunya tidak dapat membilang suatu apa! Jikalau seandainya yang dapat menangkap ialah Tuan Koei ini, untuk hadiahnya itu, paman bolehlah menanyakannya kepadanya sendiri, supaya dia dapat dibuat puas karenanya!"

   Pangeran ini tidak menjelaskan tetapi sudah terang, umpama kata Hoa Seng meminta tangannya puteri Nepal, permintaan itu pun boleh diluluskan.

   Hoa Seng menjadi heran, ia menjadi curiga.

   Bukankah selama di Kota Iblis ia telah ketahui baik sekali di antara pangeran ini dan guru negara, si pendeta Merah, ada kerja sama, mereka berdua ialah satu komplotan? Kenapa, sekarang pangeran itu bicara jelek dari hal guru negara dan bahkan menghendakinya guru negara itu ditangkap dan disingkirkan dari dalam dunia ini? Pasti sekali Koei Hoa Seng tidak mengetahui jelas duduknya kejadian.

   Orang yang meracuni raja Nepal adalah ini keponakan raja atau pangeran.

   Inilah disebabkan raja Nepal, untuk takhtanya, telah mengambil cara Barat, atau cara negara-negara Timur yang modern.

   Tegasnya, walaupun puteri, dia dapat mewariskan mahkota kerajaan.

   Bukan seperti di Tiongkok di mana seorang puteri tidak dapat mewariskan kerajaan.

   Raja Nepal ada mempunyai hanya seorang puteri dan sanak yang terdekat ialah si pangeran, maka itu, kalau tidak puteri, si pangeranlah yang nanti menggantikan menjadi raja.

   Juga menteri-menteri terpecah dalam dua rombongan, yang satu menghendaki puteri menjadi raja, yang lain menyokong pangeran ini.

   Karena itu, si pangeran telah berdaya mendapatkan takhta.

   Puteri sendiri tidak menghiraukan kedudukan raja itu, tidak demikian dengan si pangeran.

   Dia ini, kecuali mengharapi kedudukan raja, hendak juga dia menelan Tibet.

   Dia tahu baik sekali kalau dia berhasil merampas Tibet, dia bakal dijunjung dan dipuja rakyat Nepal, hingga kesudahannya dialah akan menjadi raja yang pengaruhnya sangat besar.

   Maka itu, bagaimana dia bergelisah ketika di luar kehendaknya, Koei Hoa Seng secara kebetulan mendapat tahu cita-citanya yang besar itu.

   Maka sepulangnya ke negerinya, dia lantas berserikat sama Maran Hoat-soe dan congkoan Gie-lim-koen itu.

   Untuk meracuni raja, mereka jeri terhadap puteri, dari itu mereka menggunai asura, itu bunga yang cuma terdapat di gunung Himalaya, yang dicampur sama obat beracun lainnya yang sifatnya lunak hingga raja sakit meroyan tanpa diketahui sebabsebabnya, tanpa tanda-tandanya juga.

   Sebenarnya, lagi satu bulan, raja bakal mati tidak keruan, tetapi ia masih panjang umur, ia dapat ditolong soat-lian dari Hoa Seng meskipun pertolongan datang secara tidak langsung.

   Tentu sekali pangeran itu takut rahasianya terbuka.

   Untuk membela diri, guna menutup terus rahasianya itu, ia berlaku kejam, ia telan kawan sendiri.

   Demikian paling dulu congkoan dari Gie-lim-koen dihabiskan jiwanya, sesudah mana akan menyusul Maran Hoat-soe, si guru negara.

   Tapi ia licik sekali, diam-diam ia memberi kisikan kepada Maran Hoat-soe agar dia ini segera melarikan diri, lalu dia mengusulkan Jatsingh dan Hoa Seng, untuk menangkap guru negara itu.

   Di samping semua itu, juga Timotato atau Bapak Daud adalah orang undangannya pangeran Nepal ini.

   Orang Arab ini diundang untuk membantu dia mendaki pucuk Cholmo Lungma, ia tidak diberitahukan maksud yang sebenarnya dari si pangeran.

   Untuk menyingkirnya guru negara, pangeran itu minta Timotato menjadi pangantar.

   Dengan ini ia mengharap Hoa Seng atau Jatsingh, atau dua-duanya, nanti terbinasa di tangannya Timotato yang kosen itu.

   Pasti sekali, Hoa Seng dan si pangeran dari India tidak pernah menduga kelicikan pangeran itu.

   Dua-dua Jatsingh dan Maskanan bersedia akan menerima baik permintaannya raja Nepal untuk menangkap guru negara itu.

   Si pangeran dari India tidak memikir lain asal ia memperoleh tangannya puteri Nepal dan Maskanan mengharapi kembalinya tongkat sucinya.

   Cuma Hoa Seng yang bersangsi.

   Ia kata.

   "Untuk menyingkirkan seorang pengkhianat, aku tidak menampik, melainkan aku tidak mengharapi hadiah."

   Raja girang yang orang telah meluluskan permintaannya itu, maka syaratnya Hoa Seng itu ia tidak buat pikiran iagi.

   Ia lantas mengasi perintah untuk menyiapkan tiga ekor kuda pilihan, semua kuda asal Arabia, dan pangeran diperintah turut, untuk mengepalai penangkapan itu.

   Sekeluarnya dari istana, pangeran lantas memecah jalan.

   "Aku tahu,"

   Berkata Jatsingh, yang segera melarikan kudanya.

   Ia mengambil jalan lempang, akan menuju ke benteng dari pasukan Gie-lim-koen.

   Pangeran Nepal mengambil jalan motong, untuk pergi ke tempat penjagaan api unggun, katanya untuk sekalian minta bantuannya tentera penjaga di sana.

   Tidak ada setengah jam, rombongan Hoa Seng telah tiba di kaki gunung di mana mereka melihat api berkobar-kobar di benteng yang modelnya kuno itu.

   "Tepat dugaannya si pangeran Nepal,"

   Pikir Hoa Seng.

   "Terang sudah si pendeta Merah kabur malam-malam. Entahlah Timotato, dia turut kabur bersama atau tidak."

   Hoa Seng ingin memberi ingat kepada Maskanan, untuk berwaspada, siapa tahu wakilnya raja agama Putih itu sudah kabur jauh dengan kudanya, yang dikasi lari keras, walaupun dia disusul, dia tidak dapat dicandak.

   Di timur, cahaya terang sudah mulai terlihat.

   Sang fajar telah tiba.

   Hoa Seng berlari-lari sambil berpikir.

   Ia merasa pengalamannya ini luar biasa.

   Tiba-tiba ia mendengar seruan berulang-ulang dari Maskanan .

   "Lekas! Lekas! Aku telah mendapat dengar suara roda keretanya!"

   Pangeran dari India mengeprak kudanya, untuk lari mendahului.

   Ia seperti takut ketinggalan oleh Hoa Seng, yang ia segera lewatkan.

   Melihat demikian, pemuda she Koei itu bersenyum.

   Hoa Seng melihat ke depan.

   Ia menampak sebuah selat yang panjang, yang berliku juga, hingga sukar untuk melihat jauh.

   Benar dari dalam selat itu ada terdengar suaranya roda kereta.

   Di antara tiga orang itu, Maskanan yang dapat lari pesat dan paling dulu.

   Inilah disebabkan dia dibesarkan di Koko-Nor di mana dia biasa melarikan kudanya dipadang rumput datar.

   Maka itu, mengejar belum lama, berhasillah dia menyandak kuda kereta di depan.

   Dia pun lantas mengayun tongkatnya ke arah kuda kereta sampai beberapa ekor kuda itu kaget dan berlompat berjingkrak sambil meringkik keras, sampai keretanya terangkat.

   Sebagai kesudahan dari itu, dari dalam kereta terlempar jatuh banyak permata emas dan perak.

   Mungkin itulah harta yang dibawa lari setelah Maran Hoat-soe membakar benteng itu.

   "Lekas keluar!"

   Maskanan berseru ke arah kereta selagi ia maju ke samping kereta itu. Dengan tongkatnya ia pun mengancam. Sekonyong-konyong dari dalam kereta terdengar tertawa dingin yang diikut dengan kata, mengejek.

   "Kau makhluk apa maka kau berani membentak aku?"

   Lalu dengan disingkapnya tenda kereta, terlihat munculnya satu kepala orang yang hidungnya bengkung.

   Dialah seorang imam bangsa Arab.

   Maskanan tidak kenal Timotato, ia melengak.

   Setelah melengak sebentar, hendak ia menghaturkan maaf, atau mendadak ia merasakan dorongan angin keras sekali.

   Ia lantas, menangkis dengan tongkatnya, sedang kagetnya pun tidak terkira.

   Tapi itu masih belum semua.

   Serangan angin itu sangat hebat, tongkat terpental, telapakan tangan Maskanan dirasakan sangat sakit.

   Yang paling hebat ialah ia merasa kepalanya pusing, bumi bagaikan terputar, tanpa dapat mempertahankan diri lagi, ia roboh dari atas kudanya.

   Maka syukurlah untuknya, dalam ingatannya samar-samar, kedua kakinya ia menyangkelkannya di sanggurdi, dengan begitu ia jadi kena terbawa kudanya itu.

   Hanya celaka itu binatang tunggangan, lari baru belasan tombak, dia roboh sambil meringkik keras dengan habis jiwanya! Itulah sebab binatang itu terhajar dahsyat oleh Timotato, kepalanya pecah.

   Syukur untuk Maskanan, dia berkelit cepat, lalu kudanya menalangi padanya, maka itu, ia hanya tak sadarkan dirinya.

   Ketika itu Jatsingh tiba bersama kudanya.

   Ia telah mendengar teriakannya Maskanan.

   Tentu saja tidak ada ketika untuknya buat menolongi kawan itu.

   Maka sambil berlompat dari kudanya, ia menghunus gembolannya.

   Ia berlompat ke arah kereta.

   "Tuan pangeran, jangan tak tahu selatan!"

   Timotato berseru.

   "Lekas menyingkir!"

   Meski dia berseru dengan pemberian ingatnya itu, Timotato toh menyerang hingga tubuhnya si pangeran terpelanting, hingga dia mesti membuang dirinya sambil berlompat, gembolannya terlepas, terlempar menghajar kereta hingga rusak bahagian yang terhajar itu.

   "Timotato!"

   Berseru Jatsingh.

   "Kiranya, kau!"

   Tajam seruan itu, saking heran dan kaget.

   Pangeran ini kenal Bapak Daud karena pada, tiga tahun yang baru lalu Bapak Daud pernah pergi ke India di mana dia pergi mengunjungi Liong Yap Taysoe, untuk mengajak orang berilmu itu bicara dari hal ilmu silat akan tetapi Liong Yap Taysoe cuma melayani dengan merundingkan tentang agama, sesudah mana, dia diantar pergi.

   Adalah di itu waktu, pangeran ini bertemu sama jago dari Arabia itu.

   Timotato heran yang ia tidak dapat merobohkan pangeran itu, meski benar ia tidak menggunai pukulan dari kematian, karena ke satu ia masih memandang Liong Yap Taysoe, kedua karena orang adalah putera raja.

   Jatsingh pun jeri melihat Timotato, tetapi ia penasaran.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia hendak mendapatkan tangan puteri Nepal, ia tidak suka pulang dengan tangan kosong.

   Maka ia berkata.

   "Sekarang ini aku lagi menerima tugas dari Raja Nepal untuk menawan Maran Hoatsoe!"

   Jatsingh berkata begitu sebab ia telah melihat, di antara kereta yang sudah rusak tendanya, Maran lagi duduk numprah di atas kereta itu, duduk di atas tumpukan mutiara.

   "Aku ada di sini, siapa yang berani menawan dia?"

   Berkata Timotato sambil tertawa dingin.

   "Aku pernah merantau ke banyak negara, di negeri mana saja, sesuatu rajanya menaruh hormat padaku! Nah, kau pergilah pulang!"

   Jatsingh bersangsi sebentar, lantas ia bertindak maju.

   "Kau biarkan aku membawa dia pergi,"

   Katanya.

   "Habis itu, kau boleh pergi kepada Raja Nepal untuk memintanya pulang, itu waktu aku tidak akan campur tahu lagi!"

   Timotato melirik putera raja itu. Ketika itu, Hoa Seng pun tiba. Pemuda itu telah mengasih kudanya lari keras.

   "Di dalam kamusku tidak ada perkataan minta!"

   Berkata Timotato dingin sambil ia melirik itu pemuda Tionghoa.

   Tapi ia tidak cuma berbicara, ia lantas lompat turun dari kudanya, untuk menyerang pangeran dari India itu.

   Bapak Daud bertindak begini karena ia melihat datangnya Hoa Seng.

   Ia kuatir Hoa Seng nanti bekerja sama Jatsingh.

   Kalau itu terjadi, sungguh ia bakal mendapat lawan berat, dari itu ia hendak turun tangan terlebih dulu.

   Ia menginsafi bahaya yang mengancam Maran itu.

   Di pihak lain, ia juga kuatir yang nama besarnya nanti runtuh.

   Ia anggap berkelahi cepat pun tidak akan mensia-siakan kepercayaannya pangeran Nepal terhadapnya.

   Di luar dugaannya, ia menghadapi satu lawan yang tidak dapat dipandang enteng.

   Jatsingh telah mempunyai latihan yoga dari enam atau tujuh tahun, dia dapat membuat perlawanan dengan baik.

   Bahkan satu kali, ketika pundaknya dihajar, pundak itu dapat diegos dengan manis.

   Dengan ilmu yoganya, tubuh Jatsingh menjadi lemas sekali.

   Timotato gusar yang serangannya itu gagal bahkan dia dibalas diserang.

   Maka ketika ia menyerang pula, ia menambah tenaganya sampai delapan bagian.

   Ia seperti sudah tidak memandang lagi orang ada seorang putera raja dan muridnya Liong Yap Taysoe.

   16.

   Kiranya Tuan Puteri Nepal ..........

   Jatsingh merasakan satu tolakan keras sekali, hingga ia seperti sukar bernapas, meski demikian, ia masih bertahan, tubuhnya tidak juga kena dirobohkan.

   Setelah ia berkelit sambil memutar tubuh, ia menghunus sebatang pedang pendek, dengan apa ia membalas menyerang di saat Bapak Daud belum sempat menarik pulang kedua tangannya yang dipakai menyerang itu.

   Ujung pedang itu cepat sekali meluncur ke arah lengan.

   Di saat itu, Hoa Seng sudah tiba lagi satu tombak lebih.

   Timotato melihat ancaman bahaya, dia lantas berseru, tangannya digeraki, dipakai menyerang pula.

   Jatsingh terkejut, pedang pendeknya itu terlepas dan jatuh ke tanah, dadanya pun terasakan seperti terhajar gembolan, sedang punggungnya seperti tertindih bukit.

   Tanpa ia merasa, tubuhnya itu sudah kena digencet, ditolak dan ditindih.

   Tak dapat ia bertahan lagi maka robohlah ia dengan tak sadarkan diri.

   Adalah di detik itu, Hoa Seng lompat turun dari kudanya, dengan tangan menyekal pedang Theng-kauw-kiam terhunus, ia menghampirkan Timotato.

   Bapak Daud melihat datangnya orang, dia tertawa berkakak.

   "Apakah kau bersendirian saja?"

   Tanyanya memandang enteng. ,,Ke mana perginya itu orang yang membantu kau dengan peluru inti esnya?"

   Hatinya Hoa Seng terkesiap.

   Tadi malam pun ia telah mencurigai itu hawa dingin yang luar biasa adalah es atau inti es dari dalam guha es.

   Sekarang itu telah dibuktikan oleh Timotato bahwa itulah peluru es inti.

   Timotato adalah ahli silat yang pandai, yang banyak pengetahuannya, maka apa yang dia bilang itu tidak dapat disangsikan kebenarannya.

   Maka itu, benarkah si nona baju putih adalah puterinya raja Nepal? Kalau bukan, maka dari manakah datangnya peluru es itu? Tengah Hoa Seng berpikir begitu, ia merasakan dorongan dari tenaga yang keras sekali.

   Sebab Timotato telah menyerang ia dengan kedua tangannya yang kuat itu.

   Ia terkejut, lekas-lekas ia berlompat tinggi.

   Dengan mengapungi diri itu, bisalah ia menyelamatkan dirinya.

   Habis itu, selagi tubuhnya turun, ia membabat dengan pedang mustikanya.

   Timotato pun menyingkir dari tabasan itu.

   Tidak perduli Hoa Seng telah melayani dengan baik, ia toh telah berada dibawah angin.

   Timotato sudah dapat merampas kedudukan, dia terus menyerang, serangannya itu berantai, bagaikan gelombangnya sungai Tiang Kang yang mendampar saling susul.

   Maka, setelah lewat limapuluh jurus, si anak muda merasa dadanya mulai sesak, kepalanya pusing, matanya kabur.

   Ia merasa pertempuran kali ini jauh terlebih hebat dari pada pertempuran di benteng tua tadi malam.

   Memang juga pertempuran kali ini beda dengan pertempuran kemarinnya.

   Pertempuran tadi malam itu benar ada mengenai juga nama baik akan tetapi di antara mereka berdua tidak ada permusuhan besar, karena itu Timotato tidak menggunai jurusjurusnya yang liehay yang dapat meminta jiwa orang.

   Kali ini ada lain.

   Kali ini Bapak Daud hendak membalas sakit hatinya untuk tusukan tadi malam dan di samping itu, ia sibuk melindungi Maran, supaya Hoat-soe itu bisa lolos dari bahaya.

   Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh, ia tidak memikir untuk mengasi ampun pula.

   Ini pula sebabnya, tadi malam Hoa Seng dapat bertahan sampai seratus jurus lebih akan tetapi sekarang, baru limapuluh jurus, ia sudah keteter.

   Mendapatkan keadaan tak baik untuk pihaknya, Hoa Seng mengandalkan pula keringanan tubuhnya, dengan kelincahannya, ia berputar di sekitar tubuhnya lawan, maka itu sinar pedangnya lantas bergemirlapan pula.

   Timotato sudah memperoleh pengalaman bertempur tadi malam melawan ini musuh yang lincah, ia sudah memikirkan daya untuk melayaninya.

   Ia lantas menggunai tenaga Im, dengan itu ia hendak memecahkan tenaganya Hoa Seng, untuk ia dapat "membetot"

   Orang, agar lawan itu tidak dapat menyingkir dari ianya.

   Ia menanti ketikanya, lalu mendadak ia berseru keras membarengi tolakan kedua tangannya.

   Ia telah mengerahkan seluruh kekuatannya, maka itu dari lunak, mendadak ia menjadi keras sekali.

   Dengan serangan ini ia bagaikan memecah sinar pedangnya Hoa Seng itu, sesudah mana, ia mendesak sambil berbareng menggunai tenaga Im-yang.

   Hoa Seng menjadi kaget.

   Ia merasakan dirinya bagaikan perahu enteng memain di antara gelombang dahsyat, tubuhnya itu seperti kehilangan pepegangan.

   Di saat anak muda ini terancam bahaya itu, tiba-tiba kupingnya dapat mendengar suara seruling yang terbawa angin.

   Itulah suara seruling yang sangat halus dan meresap untuk pendengaran.

   Itulah juga suara seruling yang sama yang ia dengarnya di waktu malam di Kota Iblis.

   Begitu lagu itu masuk ke kupingnya, begitu ia mendapatkan perasaan aneh, dengan sendirinya semangatnya terbangun, hingga ia lantas saja pulih ketenangannya, tidak lagi ia merasa bagaikan perahu enteng di antara permainan sang gelombang itu.

   Demikianlah secara berantai ia dapat melakukan penyerangan membalas.

   Dengan sekejap saja ia seperti hebas dari tindihan yang berat.

   Di pihaknya Bapak Daud, kapan ia telah mendengar suara seruling itu, hatinya yang tadinya sangat mantap lantas menjadi berubah.

   Ia juga terkesiap kapan ia melirik ke arah Maran Hoat-soe.

   Mendadak saja guru agama itu berlompat turun dari kereta kudanya, lantas dia berlompat naik ke atas kuda jempolan yang ditinggalkan pangeran Jatsingh, sembari berbuat begitu dia berkata dengan nyaring.

   "Maafkan aku, aku hendak berangkat terlebih dahulu! Nanti di Mekkah kita orang bertemu pula!"

   Kuda itu segera dicambuk hingga dia lari kabur, hingga sebentar saja dia sudah keluar dari lembah yang sempit itu.

   Bapak Daud menjadi sangat tidak puas, tak senang hatinya.

   Kenapa orang lari selagi ia melindunginya? Karena ini, ia menjadi berpikir.

   Justru itu, suara seruling lantas berhenti.

   Sebagai gantinya, di situ muncul seorang wanita dengan baju putih, baju dan celananya berdebaran di antara sampokan sang angin, hingga dia mirip seorang bidadari.

   Nona itu berlompat turun dari atas gunung.

   Kapan Koei Hoa Seng telah melihat si nona, ia girang bagaikan kalap.

   "Adik!"

   Ia berseru. Si nona tertawa.

   "Kau tidak takut menempuh bahaya, kau hendak mencoba membekuk Maran, aku sangat bersyukur kepadamu!"

   Katanya, manis. Setelah itu ia menoleh kepada Timotato, suaranya pun seperti salin rupa ketika ia berkata kepada jago dari Arabia itu, sebab suara itu sangat dingin. Katanya.

   "Bangsa Nepal biasanya paling senang menyambut tetamu akan tetapi orang semacam kau ini, yang lancang dan sembrono, kau tidak mendapat penyambutan yang menyenangkan, maka lekaslah kau berlalu dari sini!"

   Bapak Daud ini sudah sering sekali merantau, ke pelbagai negara, di mana ia tiba di situ ia disambut dengan baik, baikpun oleh golongan orang bangsawan, sama sekali belum pernah ia menerima penyambutan begini dingin.

   Maka tanpa merasa, ia menjadi gusar sendirinya.

   "Hai, budak cilik!"

   Ia membentak.

   "Kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini terhadap aku? Apakah kau tidak ketahui akulah tetamu undangan yang dihormati oleh putera rajamu?"

   "Siapa yang dapat menghargai dirinya sendiri, barulah dia mendapat penghargaan orang,"

   Berkata si nona, tenang.

   "Bukankah di antara kamu bangsa Arab ada semacam ujarujar? Tetamu yang diundang, dia harus memegang aturan tata sopan-santun! Raja hendak menawan Maran, maka hak apa kau mempunyainya untuk menghalang-halangi? Apakah ada seorang tetamu yang diundang yang sikapnya begini kurang ajar?"

   "Adik kecil, hati-hati!"

   Berseru Hoa Seng selagi si nona berkata-kata itu. Sebab Timotato, dalam murkanya yang sangat, tanpa menanti orang bicara habis, sudah lantas menyerang dengan kedua belah tangannya. Hoa Seng tidak cuma memberi peningatan kepada ia punya "adik Hoa"

   Itu, dia bahkan maju menikam si jago dari Arabia yang tangguh itu.

   Sebaliknya si nona baju putih, begitu ia diserang, begitu tubuhnya terapung naik, terapung dengan lincah sekali, sikapnya pun tenang seperti tadinya.

   Bahkan di dalam saat sangat terancam itu, ia masih mengambil kesempatan akan melirik si anak muda, sambil tertawa manis, mulutnya yang mungil mengatakan.

   "Terima kasih untuk kebaikanmu!"

   Menyaksikan kelincahan tubuh nona itu, Timotato kaget tak terkirakan.

   Di sebelah itu, ia juga mesti menangkis tikamannya Hoa Seng.

   Tapi ia tidak takut, malah ia tetap gusar dan penasaran, maka habis menghalau pedang si anak muda, ia menyerang kepada si nona.

   Ia menggunai tenaga Im, guna membetot nona itu yang ia niat banting ringsak! Di saat Timotato menggeraki tenaganya yang hebat itu, dari atas, ialah dari arah si nona, ada sebuah benda putih berkilau seperti beling sebesar mutiara menyambar turun, karena benda itu terhajar pukulan, sedetik itu juga dia hancur lebur, hanya sehabis itu, berbareng sama buyarnya, terasalah hawa yang dingin sekali, hingga si orang Arab menjadi menggigil sendirinya.

   hingga ia mesti terpaksa mundur tiga tindak.

   "Ha, budak, kiranya kaulah yang tadi malam menyerang aku dengan peluru es ini ?"

   Ia berseru.

   Peluru es inti itu ialah Pengpok sin-tan.

   Sementara itu Hoa Seng, sedatangnya si nona, sudah mendahulukan mengempos semangatnya, untuk bersedia melawan hawa dingin.

   Ia telah memahamkan ilmu tenaga dalam dari Tatmo Couwsoe, selama di guha es pun ia telah mempunyakan pengalaman, dari itu hawa dingin dahsyat dari Pengpok Sintan tidak dapat mengganggu padanya.

   Tidaklah demikian dengan Timotato, hanya walaupun menggigil, dia masih bertahan.

   Menyaksikan ketangguhan orang Arab ini, kecuali Hoa Seng, si nona pun kagum.

   Di dalam hatinya, kedua muda mudi itu memuji.

   "Tak kecewa jago dari Arabia ini!"

   Tadi malam Timotato bertempur sambil sebelah tangannya memegangi kereta, tubuhnya seperti tergantung, dari itu dengan kena dihajar peluru es, dia jadi kena ditikam satu kali oleh Hoa Seng, sekarang dia berdiri tegak di tanah, dia pun tengah siap sedia, maka itu, tidak berhasil si anak muda menikam kepadanya.

   Si nona telah lantas turun pula, tubuhnya nampak melayang secara enteng sekali.

   Ia bukan lantas menghadapi Timotato, hanya sambil memandang Hoa Seng dan tertawa manis, ia berkata .

   "Kau lihat, pedang Pengpok Han-kong-kiamku telah rampung dibikin!"

   Kata-kata ini disusul sama gerakan sebelah tangannya, mengasi berkelebat sebuah benda yang terang bercahaya berkeredepan, benda mana bukannya emas bukannya besi, mirip dengan kristal, romannya seperti pedang.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebab seperti katanya, itu pun Pengpok Han-kong-kiam, ialah pedang inti es! Kapan si nona telah mengibas dengan pedangnya yang istimewa itu, kecuali sinar terangnya itu yang berkeredepan, juga tersebar hawa dinginnya, sampai Timotato menggigil pula dan giginya bercatrukan.

   Lekas-lekas dia mengibas dengan kedua tangannya, untuk mencoba menghalau hawa dingin itu, menyusul mana, dia maju menyerang.

   Kibasannya itu membuatnya hawa dingin terpukul mundur, maka itu, dapat dia terus menyerang.

   Si nona melayani jago dari Arabia ini, dengan lantas mereka bertarung seru.

   Si nona menanti sampai sudah seratus jurus, lagi-lagi ia mengibas dengan pedangnya yang berhawa dingin itu.

   Kali ini ia menggunai ilmu silatnya Pengcoan Kiam-hoat, ilmu silat pedang Sungai Es itu.

   Maka berulang-ulang ia telah mendatangkan hawa yang sangat dingin.

   Koei Hoa Seng mendongkol dan penasaran, ia tidak mau berdiam saja, ia juga maju menyerang, maka itu Timotato jadi kena dikepung berdua.

   Dengan begitu, kedua pedang mustika itu seperti bergabung, bersatu padu.

   Setelah banyak jurus berlangsung, hawa dingin jadi semakin hebat, hawa itu bagaikan membeku, maka bagaimana liehay juga pukulan angin dari Timotato, sekarang dia tidak dapat menghajar buyar.

   Karena dia telah menggunai tenaga terlalu besar, sekalipun dia diliputi hawa dingin luar biasa, dia toh mengeluarkan peluh, keringatnya berketel-ketel di jidatnya.

   Sebaliknya, tubuhnya menggigil terus! Timotato adalah satu jago dan berpengalaman, lantas dia berpikir.

   "Kalau aku terus bertahan, meski aku bisa melawan sampai lagi satu atau dua jam, kesudahannya menang atau kalah masih belum bisa dipastikan, yang terang ialah akhirnya aku bakal mendapat sakit berat. Maran sudah kabur, dari itu untuk apa aku menjual jiwaku untuknya?"

   Segera juga ia mengambil putusan.

   Ia lantas mengerahkan tenaganya di tangan.

   Dengan tiba-tiba ia menyerang hebat.

   hingga ia dapat membikin kedua pedang yang rapat menjadi renggang.

   Berbareng dengan itu, ia lompat melesat, memoloskan diri di antara renggangan itu, terus bagaikan terbang, dia lari pergi.

   Koei Hoa Seng menjadi kagum melihat ketangguhan orang itu.

   "Apakah ini bukannya impian?"

   Ia tanya kemudian. Matahari baru muncul, sinarnya indah. Hawa dingin pun mulai lenyap per-lahan-lahan, demikianpun hawa dingin di tubuh si anak muda.

   "Pasti bukan!"

   Sahut sang puteri sembari tertawa.

   "Sungguh aku tidak menyangka kaulah tuan puteri!"

   Kata Hoa Seng.

   "Pantas tadi malam kau memberi selamat kepada pangeran India itu!"

   Ujar si nona.

   "Ah, engko, kau tolol sekali! Seharusnya kau sudah dapat menerka dari siang-siang!"

   Meski ia mengatakan demikian, kedua belah pipi si puteri pun bersemu dadu, maka di mata Hoa Seng, itulah menambah kecantikan dan membuat hatinya sangat tergiur. Lewat sesaat, anak muda ini berkata pula.

   "Kau puteri dan satu negara, kau bahkan calon ratu negaramu,"

   Demikian katanya.

   "cara bagaimana aku berani lancang mengangkat diriku dan memanggil kau adik?"

   Puteri itu tertawa.

   "Kenapa kau berpandangan seperti orang biasa saja?"

   Ia tanya.

   "Aku toh kebetulan saja terlahir di dalam keluarga raja? Apakah kedudukanku ini merusak persahabatan kita? Ah, kau sungguh tak tahu hatiku. Mana pernah aku memikir untuk menjadi ratu? Di mataku, kemuliaan dan kemewahan adalah bagaikan mega atau asap. Aku hanya ingin aku ingin .."

   "Kau ingin panjang umur dan hidup berbahagia bersama!"

   Hoa Seng meneruskan. Puteri itu berdiam, kedua tangannya membuat main rambut di samping kupingnya.

   "Ah!"

   Katanya kemudian.

   "Sebenarnya aku keluar dari istana dengan cara diam-diam. Ayah baru sembuh, ia perlu rawatan, maka itu sekarang aku harus kembali. Terima kasih untuk teratai saljumu dari Thian San itu!"

   Hoa Seng lantas ingat kejadian tadi malam.

   "Tuan puteri, kau harus waspada terhadap kakakmu sepupu!"

   Ia mengasi ingat. Puteri itu mengangguk.

   "Dari siang-siang aku telah ketahui ambekannya yang besar itu,"

   Sahutnya.

   "Sebenarnya aku tidak mempunyai minat untuk berebutan takhta kerajaan dengannya. Semua perbuatannya di Kota Iblis tidak aku beritahukan ayah. Aku hanya diam-diam mencoba, melenyapkan ambekannya itu."

   Hoa Seng menghela napas.

   "Kau sungguh baik,"

   Pujinya.

   "Hanya aku kuatir... aku kuatir ambekannya itu tidak sampai di sini saja "

   "Apa? Bukankah ia cuma mengharap menjadi raja?"

   Biar bagaimana, Hoa Seng jauh lebih berpengalaman dari puteri ini. Di dalam hatinya, ia kata.

   "Kau tidak ingin menjadi ratu tetapi keinginanmu ini dia belum mendapat tahu .."

   Ia berdiam, ia tidak berani menjelaskan segala kecurigaannya kepada puteri ini.

   Ia tahu bahwa ia hanya baru bercuriga, sedang di Nepal ini, di mana ia baru sampai, ia ada hanya seorang asing.

   Pula ia tidak ingin merenggangkan persanakan keluarga raja Nepal itu.

   Tuan puteri mengangkat kepalanya.

   "Di lembah sana telah dinyalakan api unggun,"

   Katanya.

   "mungkin mereka itu telah mendapat tahu yang kamu di sini hendak menawan Maran. Aku percaya, tidak lama lagi, mereka bakal menyusul ke mari. Maka itu aku harus berlalu."

   Hoa Seng maju satu tindak.

   "Kapan kita bertemu pula?"

   Ia menanya. Puteri itu bersenyum.

   "Kau baik baca saja itu kitab-kitab sastera Nepal!"

   Katanya. Hoa Seng melengak, akan sedetik kemudian dia sadar.

   "Ha, kiranya kau lagi mengajari aku bersiap untuk turut ujian!"

   Katanya.

   "Kalau begitu, maka lain hari kita bakal bertemu di atas panggung pertandingan. Aku harap kau nanti menaruh belas-kasihan "

   Berbareng sama berhentinya kata-kata itu, lenyap juga tubuh si tuan puteri, yang berlalu dengan cepat.

   Hoa Seng merasa kehilangan apa-apa, ia berdiri bengong mengawasi bayangan puteri itu.

   Ia baru sadar ketika ia mendengar rintihan di sisinya.

   Hoa Seng terkesiap hatinya.

   ,.Ha!"

   Serunya di dalam hati. .,Maskanan dan Jatsingh telah terluka, kenapa aku boleh melupakan mereka?"

   Inilah yang membuatnya kaget.

   Maka ia lantas lari kepada orang yang disebutkan pertama itu.

   Maskanan sudah tersadar, tetapi dia mengasi dengar rintihan.

   Hoa Seng lantas menyingkir tubuh kuda yang menindih orang, terus ia memeriksa lukanya.

   Ia mendapatkan dua tulang rusuk telah patah, kecuali itu cumalah bekas terbanting yang membikin Maskanan itu pingsan.

   Lekas-lekas ia menguruti, untuk membantu pernapasannya.

   Melainkan selang sesaat, Maskanan lantas dapat bangun berdiri dan berjalan.

   "Sungguh liehay!"

   Katanya kemudian.

   Segera, keduanya menghampirkan Jatsingh.

   Mereka lantas menjadi kaget.

   Muka Jatsingh pucat sekali, kulitnya bersemu gelap, sedang hidungnya mengeluarkan napas sangat perlahan.

   Maskanan mengerti juga ilmu tabib, ketika ia memegang nadinya pangeran itu, ia menggeleng kepala.

   "Celaka!"

   Serunya.

   "Nadinya telah tergerak, begitupun kedudukan anggotanya dalam tubuh, dia sukar ditolong lagi. Paling lama dia dapat bertahan hanya setengah jam "

   Hoa Seng mengawasi.

   "Belum tentu,"

   Katanya kemudian. Ia lantas angkat tubuhnya Jatsingh, untuk dipondong ke tepi sumber air. Di situ ia mengambil air, untuk dipakai mengaduki sekuntum soat-lian, kemudian setelah memaksa membentet mulutnya si pangeran, ia tuang air obat itu.

   "Ah, kau mensia-siakan sekuntum teratai saljumu!"

   Kata Maskanan menghela napas.

   "Paling banyak dia cuma dapat bertahan buat beberapa hari .."

   Setelah makan obat, Jatsingh tidak lantas sadar; lukanya ada terlalu hebat untuk ia dapat sadar dalam sekejap. Hoa Seng terus mengawasi, ia menghela napas, untuk melegakan hatinya.

   "Maskanan, aku hendak minta tolong,"

   Ia berkata.

   "Bilanglah!"

   Menjawab Maskanan cepat.

   "Kalau ada perlunya, akan aku terjun ke air panas atau api berkobar!"

   "Bagus!"

   Kata si anak muda.

   "Mari kita membantu dia dengan tenaga dalam kita. Akan aku mengajari kau ilmu menolak darah, untuk menyalurkan hawa kita. Hanya, setelah itu, tenaga kita bakal berkurang, kita harus beristirahat beberapa hari."

   Maskanan mengangguk.

   "Dalam hal tenaga dalam, kau lebih kuat seratus kali dari pada aku,"

   Katanya.

   "kau sendiri tidak takut mengurbankan itu, apa pula aku."

   Maka bekerjalah mereka berdua.

   Sebenarnya tenaganya Hoa Seng sendiri sudah cukup, dibantu Maskanan, tenaga itu seperti berlebihan.

   Belum lama, mukanya Jatsingh lantas berubah, dari pucat mulai ada sinarnya dadu, suatu tanda bahwa darahnya mulai berjalan pula.

   Hoa Seng mengawasi terus, ia lantas mengeluarkan napas lega.

   "Siapa si nona cantik tadi?"

   Maskanan bertanya. Dia pun lega hatinya. Tempo si puteri Nepal baru berlalu, Maskanan baru mendusin, maka itu ia masih sempat melihat tegas kecantikan orang yang mengesankan itu. Ditanya begitu, Hoa Seng bersenyum.

   "Kau menanyakan si nona?"

   Ia balik bertanya.

   "Dialah si tuan puteri! Dia pula si bidadari yang di dalam Kota Iblis telah meniup seruling!"

   Maskanan berseru kaget saking herannya. Tapi lantas dia berdiam.

   "Kau kenapa?"

   Hoa Seng menanya.

   "Sebenarnya kenapa kau begini bersungguh hati menolongi orang ini?"

   Maskanan menanya. Hoa Seng bisa lantas menduga hatinya orang ini, maka berpikirlah ia.

   "Jikalau aku ada seorang rendah, boleh aku melepas tangan, tidak menolongi orang ini, dengan begitu aku menjadi kurangan seorang musuh yang tangguh di antara pelamar-pelamarnya puteri. Tapi, mana dapat aku berbuat itu?"

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dari itu ia mamandang Maskanan dan memberikan jawabannya.

   "Aku tidak berani menyebut diriku seorang mulia akan tetapi kalau aku menghadapi kematian lain orang, mana aku tega tidak mencoba menolongnya?"

   "Aku bukannya tidak memikir untuk menolongi dia,"

   Maskanan bilang.

   "aku hanya sangat mengagumi nyalimu yang besar dan mulia. Diumpamakan aku, aku .."

   "Jikalau kau, bagaimana?"

   Tanya Hoa Seng. Maskanan berpikir dulu.

   "Aku akan menolongi dia!"

   Sahutnya tertawa.

   17.

   Bunga Soat-lian Yang Terakhir Selagi mereka bicara, Jatsingh telah mendusin, ia mendapat pembicaraan itu tetapi Hoa Seng tidak mendapat tahu.

   Anak muda ini lantas memegangi, untuk membantu orang bangun, telapakan sebelah tangannya ditempel di jalan darah thian-kiehiat di punggung, untuk menyalurkan hawa hangat dari tubuhnya.

   Jatsingh mengasi dengar suara di tenggorokannya hingga beberapa kali, lalu dia memuntahkan darah.

   Hoa Seng menanti sampai mulut orang sudah hampir bersih dari darah itu, darah mati lantas memberikan air untuk kekumur.

   "Kau telah memuntahkan darah, bagus!"

   Katanya tertawa.

   "Selanjutnya kau boleh makan obat kuat seperti jinsom dan lokjiong, setelah setengah bulan, kesehatanmu bakal pulih kembali. Obat-obatan itu memang mahal harganya tetapi semua itu tersedia di dalam istana raja Nepal, maka itu pangeran, kau jangan kuatir!"

   Jatsingh mengawasi anak muda di depannya itu, airmatanya mengembeng, sampai sekian lama, tidak dapat ia membuka mulutnya.

   Boleh dibilang di saat itu juga tampak seorang penunggang kuda kabur mendatangi ke dalam lembah itu, maka segera ternyata dialah si putera raja Nepal.

   Segera terdengar suaranya yang nyaring.

   "Hai, kenapakah kamu?"

   "Tidak kenapa-napa!"

   Hoa Seng menyahuti.

   "Pangeran Jatsingh mendapat sedikit luka .."

   "Itu itu ,"

   Berkata pula putera raja itu.

   "Itu kau maksudkan Timotato?"

   Maskanan meneruskan.

   "Dia telah dihajar kabur oleh saudara Koei kami ini!"

   Sebenarnya Maskanan tidak melihat bagaimana Hoa Seng bersama Puteri Hoa Giok, si Kumala Indah, menempur Timotato dengan pedang mereka yang seperti bersatu padu, ia tengah pingsan, ia hanya menduga saja.

   Dugaannya ini memang cocok.

   Hoa Seng yang jujur hendak memberikan keterangan yang jelas, tetapi belum sampai ia membuka mulutnya, ia dapat pikir pula baiklah hal itu disembunyikan untuk putera raja Nepal ini, maka itu ia bersenyum.

   "Walaupun Timotato telah dapat diusir pergi, hanya Maran Hoat-soe telah dapat meloloskan diri,"

   Katanya.

   Di dalam hatinya, putera raja itu terkejut mendengar Hoa Seng dapat mengalahkan Timotato, akan tetapi dialah seorang licin, dia dapat menguasai diri untuk tidak mengentarakan itu.

   Dia lantas tertawa terbahak-bahak untuk menutupinya, sembari tertawa, dia lompat turun dari kudanya.

   Dia pun menggederuk tanah dengan tongkat Kioe-hoan sek-thung.

   "Bukankah ini tongkat suci dari raja agamamu?"

   Ia menanya Maskanan. Orang yang ditanya menjadi girang sekali.

   "Benar!"

   Jawabnya separuh berseru.

   "Terima kasih, tuan Pangeran, yang kau telah menolongi kami merampasnya."

   "Bukan cuma aku telah dapat merampasnya pulang, bahkan Maran Hoat-soe telah dapat aku binasakan!"

   Sahut putera raja itu dengan bangga.

   Putera raja ini tidak mendusta bahwa ia telah membunuh Maran si guru agama.

   Dia telah memotong jalan di lembah untuk memegat.

   Di situ ada sebuah mulut lembah yang dia kenal baik.

   Dia percaya, kalau Maran dapat melihat api unggun, ia tidak nanti berani nerobos keluar dari mulut lembah di depan.

   Dia pun sudah memikir, jikalau Maran ada bersama Timotato, dia cuma hendak meminta pulang tongkat suci Kioe-hoan sekthung itu, lalu dia hendak menganjurkannya mereka itu kabur terus, tetapi dia mendapatkan Maran seorang diri, tidak ampun lagi, tanpa menanti Maran membuka suara, ia menyerang dan membunuhnya.

   Maran itu adalah koncohnya dalam usaha membinasakan raja, pasti sekali guru agama ini tidak percaya si putera raja bakal membunuh padanya, kalau tidak, apabila keduanya sampai bertempur, sedikitnya mereka berdua bakal sama unggulnya.

   Maskanan segera menyambuti tongkat suci itu.

   "Sekarang marilah kita pulang ke istana untuk menyampaikan kabar girang kepada Sri Baginda!"

   Berkata putera raja itu kemudian.

   "Benar tongkat suci ini akulah yang merampas pulang tetapi kamu pun turut berjasa!"

   Hoa Seng bertiga menerima baik ajakan itu.

   Jatsingh masih terlalu lemah, maka itu untuk dapat naik di atas punggung kuda, Hoa Seng membantui ia, hingga mereka jadi menunggang bersama seekor kuda.

   Demikian mereka berjalan pulang ke kotaraja.

   Berjalan belum lama, mendadak Jatsingh merintih, terus ia merasai dadanya sesak.

   Hoa Seng mengetahui itu, lekas-lekas ia mengendorkan larinya kudanya.

   "Kau merasa bagaimana?"

   Ia menanya perlahan kepada pangeran itu.

   "Aku kuatir aku tidak kuat lagi "

   Sahut pangeran itu perlahan, terputus-putus suaranya.

   "Tidak apa-apa, jangan kau kuatir,"

   Hoa Seng menghibur. Tapi pangeran itu berkata pula, dengan suara menggetar.

   "Gunung Burung Jenjang, kota Rajaghra, guruku yang berbudi, sungai Ganges yang indah, selamat tinggal untuk selamalamanya ..! "Hus, jangan ngaco belo!"

   Kata Hoa Seng.

   "Kau tidak bakalan mati!"

   Sembari berkata begitu, Hoa Seng memegang tempilingan pangeran itu, ia merasakan hawa panas yang tinggi sekali, hingga ia menjadi kaget sekali. Ia jadi mau berpikir.

   "Apakah sia-sia belaka bantuan tenaga dalamku kepadanya? Mustahil jiwanya masih tidak dapat ditolong? Tidak, tidak mestinya! Dia pun mempunyai peryakinan ilmu yoga yang sempurna. Asal dia dapat menetapi hati, menenangkan diri, tidak nanti dia mati ."

   Hoa Seng hendak memberi nasihat pula, untuk menghiburi, ketika Jatsingh mengaco pula, dia seperti sudah was-was. Tentu sekali, ia menjadi bingung. Tiba-tiba Jatsingh mementang matanya lebar.

   "Aku hendak minta tolong padamu!"

   Katanya, suaranya menggetar.

   "Bicaralah!"

   Ia lekas memberikan jawabannya.

   "Aku mau minta sekuntum soat-lian,"

   Berkata Jatsingh. Hoa Seng terkejut sekali, ia tercengang, tetapi lekas sekali ia tertawa.

   "Darah yang tergumpal di dalam badanmu sudah termuntahkan, kau tidak membutuhkan soat-lian lagi!"

   Katanya. Kedua matanya pangeran itu merah bagaikan membara.

   "Soat-lian . Soat-lian "

   Katanya, seperti ngelindur, suaranya terputus-putus.

   "Soat-lian dari gunung Thian San . Aku ingin . Soat-lian dari gunung Thian San .!"

   Dia mirip anak yang termanjakan, yang aleman, yang meminta suatu barang. Hoa Seng mengusap-usap dengan perlahan.

   "Pangeran, kau sadar!"

   Ia membujuk.

   "Kita akan segera tiba di istana raja."

   Jatsingh tetap tak sadar, ia seperti orang was-was disebabkan hawa panasnya yang tinggi itu.

   "Soat-lian ....., soat-lian!"

   Ngaconya pula.

   "Soat-lian dari Thian San!"

   Hoa Seng menjadi tidak tega. Ia mengeluarkan satu-satunya soat-lian, sisanya. Kedua matanya Jatsingh bersinar.

   "Dengan sungguh-sungguh aku mencari soat-lian,"

   Ngaconya pula.

   "jikalau aku bisa mendapatkan sekuntum saja untuk dipakai menemani aku dikubur, dapat aku mati meram! Ah, mari, mari kasikan aku!"

   Hoa Seng heran, tetapi ia dapat mengerti.

   Memang umum bahwa ada orang, umpama seorang raja, yang di saat-saat dekat kematiannya, menghendaki sesuatu barang yang paling disukai untuk dibawa mati bersama.

   Tentu sekali ia menjadi bersangsi.

   Dari Thian San ia hanya membawa tiga kuntum, dan yang mana, satu telah dipakai menolongi raja Nepal, yang satu lagi untuk pangeran ini.

   Sekarang ini pangeran meminta pula! Sedang ia tahu, dia tak membutuhkannya lagi.

   Tapi orang lagi was-was atau kalap, sinar matanya menunjuki keinginannya yang sangat akan bunga teratai salju itu .

   Ia lantas ingat perkataannya Papo si tabib pandai.

   "Untuk mengobati orang, yang paling penting ialah membikin hatinya si sakit tenang dan tetap, jikalau itu tidak dapat dilakukan, dikuatir penyakitnya menjadi bertambah buruk. Sekarang dia menghendaki bunga terataiku. Ah, baiklah aku memberikannya, akan melihat bagaimana kejadiannya lebih lanjut ."

   Karena ini, ia mengangsurkan teratainya itu.

   Jatsingh menyambuti soat-lian dengan airmukanya segera menjadi terang.

   Ia menyenderkan diri pada penolongnya itu, matanya dimeramkan.

   Ia bagaikan tengah beristirahat dengan pikiran puas.

   Menampak itu, hati Hoa Seng pun lega.

   Ia tetap menjalankan kudanya per-lahan-lahan.

   Ketika akhirnya mereka tiba di depan istana, di sana sudah ada pengawal yang menantikannya.

   Itulah sebab pangeran Nepal dan Maskanan sudah tiba terlebih dulu dan telah lantas masuk ke dalam istana menghadap raja kepada siapa dituturkan duduknya kejadian pangeran Jatsingh terluka parah.

   Pahlawan pengiring raja lantas membantu menurunkan Jatsingh, untuk direbahkan di atas semacam gotongan yang dipakaikan kasur berseprei sulam, terus dia dibawa sampai ke depan raja Nepal.

   Hoa Seng mengikuti.

   Raja Nepal berbangkit dari kursinya untuk menyambut sendiri, kepada Hoa Seng ia menghaturkan terima kasih, setelah itu baru ia menanya Jatsingh, untuk menghiburkannya.

   Sekonyong-konyong pangeran itu tertawa dan berlompat turun dari gotongan.

   Ia lantas memberi hormat kepada raja.

   "Soat-lian dari Thian San yang dikehendaki tuan puteri telah aku bawa bersamaku!"

   Katanya nyaring. Hoa Seng kaget tak kepalang. Baru sekarang ia ketahui pangeran ini ber-pura-pura ngaco untuk mempedayakan bunga teratai saljunya itu. Tentu sekali, ia menjadi bingung, hingga pikirannya kacau.

   "Bagus!"

   Seru raja girang.

   "Segera aku akan menitahkan dayang menyampaikan pesalinmu ini kepada puteriku! Inilah benda yang ia kehendaki, maka sekarang sudah tidak ada bicara lagi!"

   Kata-kata yang terakhir ini raja ucapkan terhadap putera raja.

   Hoa Seng masih berdiam, tenggorokannya seperti tersumpalkan sesuatu, hingga tak dapat ia mengeluarkan sepatah kata.

   Mukanya pun menjadi merah.

   Ia benar-benar tidak tahu harus membilang apa.

   Di saat anak muda ini bingung demikian rupa, mendadak terdengar pula suaranya Jatsingh, suara yang keras dan terang.

   "Bukan, Sri Baginda! Sri Baginda salah paham! Inilah bukannya pesalin dari aku! Soat-lian dari Thian San ini ada kepunyaannya Tuan Koei! Tuan Koei gagah dan tampan memenangi aku seratus lipat, maka itu kalau dia dipasangi dengan tuan puteri, sungguh sangat setimpal!"

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kembali Hoa Seng menjadi kaget. Inilah ia tidak sangka sama sekali. Akan tetapi sekarang ia kaget berbareng hatinya lega. Di dalam hatinya, ia lantas berkata.

   "Ah, hampir saja aku berlaku rendah menuduh seorang ksatria hinadina. Jatsingh sendiri, habis berkata begitu, tubuhnya lantas terhuyung. Rupanya, karena tertawa dan berlompat, karena kata-katanya yang keras itu, ia telah menggunai tenaga terlalu besar, maka tak dapat ia bertahan diri. Raja Nepal terkejut. Dengan lekas ia berpaling kepada Hoa Seng.

   "Pangeran Jatsingh ini was-was, kasihan ia,"

   Katanya.

   "Koei Hoa Seng, kau telah mendirikan jasa yang besar sekali, tidak nanti aku membuatnya kau kecewa! Di dalam istanaku ini ada segala macam permata mulia, kau boleh ambil sesukamu! Jikalau kau sudi memangku pangkat, akan aku angkat kau menjadi komandan dari pasukan pengiringku!"

   Raja itu melainkan menyebut-nyebut jasa dan janji pembalasan budinya, ia tidak omong tentang jodoh puterinya. Hoa Seng pun tidak memikirkan itu, karena di dalam hatinya ia kata.

   "Asal tuan puteri benar-benar menyinta aku, kenapa aku tidak dapat mendaftarkan diri untuk turut dalam pemilihan? Kenapa sekarang aku mesti mengandalkan jasaku ini untuk mengajukan lamaran?"

   Maka ia jawab raja itu.

   "Telah dari siang-siang aku membilangnya aku tidak mengharapi pembalasan,"

   Berkata ia.

   "Untukku, segala barang permata tidak ada keperluannya sedang pangkat aku tidak menghendaki."

   "Jikalau begitu, aku minta tuan suka tinggal bersama kami untuk banyak hari,"

   Berkata pula raja.

   "Adalah pengharapanku yang kami nanti mendapat pengajaran dari kau."

   "Terima kasih, Sri Baginda,"

   Hoa Seng menampik.

   "tidak berani aku membikin banyak pusing kepada Baginda. Aku tinggal di rumahnya tabib Papo, jikalau Sri Baginda memerlukan aku, sembarang waktu Sri Baginda boleh memanggilnya, aku akan segera datang menghadap."

   Raja merasa kurang enak sendirinya, tetapi ia berpikir. ,,Agaknya puteriku ada menaruh hati terhadapnya, maka itu lebih baik aku tidak membiarkan dia tinggal di dalam istana."

   Raja ini lebih penuju Jatsingh.

   Hoa Seng gagah dan tampan akan tetapi dia bukannya orang bangsawan.

   Lantas raja memberi persen banyak kepada Papo, setelah mana ia menitahkan pengiringnya pengantar tabib itu, bersama-sama Hoa Seng keluar dari istana.

   Sebaliknya Jatsingh dibiarkan tinggal di istana, untuk merawat diri.

   Papo berdua keluar dari istana seperti juga mereka baru habis bermimpi.

   Sembari jalan, sambil tertawa, ia berkata.

   "Adalah minatku untuk menterjemahkan kitab ramuan obat PEN TSAO KANG MU dan pemeriksaan nadi CHI CHING PA ME KAO dari LI SHIH CHEN, karena bahasa Tionghoa itu dalam artinya, bisalah aku mohon bantuanmu. Bahkan kemudian, setelah kau menjadi menantu raja, aku masih hendak mengandalkan bantuanmu yang berharga untuk menerbitkan kedua salinan kitab ilmu ramuan obat serta pemeriksaan nadi itu!"

   "Mana aku, mempunyai rejeki demikian besar,"

   Kata Hoa Seng merendah. Papo tertawa.

   "Kami di sini mempunyai suatu peribahasa,"

   Katanya.

   "Ialah asal seorang nona menaruh cinta kepada seseorang, dia lantas menjadi mirip dengan tawon gula yang memetik sarinya bunga, meskipun diusir, dia tidak nanti pergi!"

   Demikian mereka pasang omong sampai mereka tiba di rumah.

   Papo baru membuka pintu atau segera hidungnya mendapat cium bau harum semerbak.

   Ketika ia bertindak sampai di dalam ruang, ia mendapatkan di atas meja teh, di mana ada diletaki setumpuk buku, di bawah buku itu ada tertindih sehelai amplop berkembang.

   "Kau lihat!"

   Kata tabib itu tertawa.

   "Karena adanya kau di sini, sekalipun harumnya bunga dapat melayang masuk ke mari!"

   Hoa Seng lantas menjumput amplop itu, untuk dibuka dan menarik keluar selembar surat, yang ia terus baca. Surat itu bagaikan syair, begini bunyinya.

   "Bagaikan kapu-kapu bertemu air, maka juga hati seperti khim telah terlebih dahulu dipeserahkan. Bagaikan sebuah rumah atau dunia atau lautan di mana diri telah dipernahkan, maka biarpun di sana ada. Puncak Mutiara, puncak itu sukar memisahkan jalan ke gunung Thian Tay. Di sini ditulis maksud hatiku, maksud hati itu diserahkan kepada sang angin halus, ditiupkan kepada kau di sana, kekasihku."

   Surat itu tiiak ada tanda tangannya akan tetapi Hoa Seng tahu betul itulah suratnya puteri Nepal, yang ditulis tangannya sendiri, untuknya.

   Itu berarti, empat penjuru lautan bagaikan sebuah rumah, bahwa meski terhalang puncak tertinggi di dalam dunia, persahabatan kedua negara tidak dapat diputuskan, atau tegasnya, cinta mereka berdua tidak dapat dirintangi lagi.

   Habis membaca surat itu, Hoa Seng berdiri diam, ia terbengong.

   Kemudian ia memeriksa itu setumpuk buku.

   Nyatalah itu ada kitab sastera kuno dari Nepal.

   Malam itu ia mencobanya membaca, maka tahulah ia, isi kitab kebanyakan ada hubungannya sama Tiongkok.

   Di antaranya ada kitab karangannya pendeta Hui Chao tentang perjalanannya ke India.

   Hui Chao adalah seorang pendeta di ahala Tong, yang pergi ke India sehabisnya Hsuan Tsang.

   Di dalam kitab itu ada catatan perjalanannya ke Nepal dan kitabnya itu telah disalin ke dalam bahasa Nepal.

   Yang lainnya ada kitab agama Buddha yang ditulis oleh seorang pendeta berilmu bangsa Nepal sendiri.

   Hoa Seng bukannya penganut agama Buddha akan tetapi karena bunyinya kitab menarik hati sedang itu pun adalah puteri Nepal yang menghendaki ia membacanya, maka ia membaca terus, bahkan ia memberi tanda kepada bagianbagian yang ia kurang mengerti.

   Ia telah pikir, besok pagi ia akan minta keterangan dari Papo.

   Di hari ke dua pagi, belum lagi pemuda ini turun dari pembaringannya, Papo sudah menghampirkan dianya.

   Bahkan tabib itu lantas menanya.

   "Bukankah hari ini kau bersedia akan mendaftarkan nama untuk turut meminang tuan puteri?"

   "Habis kenapa?"

   Tanya Hoa Seng.

   "Kalau benar, kau tidak usahlah pergi lagi,"

   Kata tabib itu. Hoa Seng heran hingga ia terperanjat.

   "Kenapakah?"

   Ia menanya cepat.

   "Oleh karena Raja baru saja mengumumkan,"

   Menyahut Papo.

   "Telah diputuskan, urusan pemilihan menantu raja telah ditangguhkan sementara waktu, nanti sesudah seratus hari kemudian, baru akan dilaksanakan pula. Sebabnya ini kabarnya ada dua. Yalah ke satu lain tahun berhubung dengan hari ulang Sang Buddha bakal diadakan suatu arak-arakan besar, untuk mana pendeta-pendeta suci dari banyak negeri bakal datang berkunjung ke mari. Untuk ini ada diperlukan tempo beberapa bulan. Pula ada kemungkinan, berbareng dengan itu, ada datang lagi lain-lain calon menantu raja, maka itu, mereka hendak diberikan ketika. Dan ke dua, raja baru sembuh dari sakitnya, ia ingin puterinya, yang merawat dan menemani."

   Di samping itu, sebenarnya ada sebab yang ke tiga, akan tetapi Papo tidak mau memberitahukan kepada tetamunya.

   Sebab yang ke tiga itu ialah raja Nepal ingin sekali menikahkan puterinya dengan Pangeran Jatsingh, sekarang pangeran itu lagi merawat diri di dalam istana, maka raja mengharap di dalam tempo seratus hari itu, puterinya nanti dapat berbalik pikir dan rela menikah sama pangeran itu.

   Mendengar keterangan itu, Hoa Seng tertawa.

   "Tidak apa!"

   Katanya.

   "Tidak ada halangannya untuk aku menanti sampai seratus hari. Aku justeru memikir untuk tinggal di sini lebih lama pula, supaya aku dapat mengetahui dengan baik segala kebiasaan atau adat istiadat bangsamu sekalian pesiar ke pelbagai tempat yang menarik hati."

   Papo senang melihat tetamunya lega hati itu.

   Maka semenjak itu, Hoa Seng tetap menumpang sama tabib ini.

   Siang ia membaca kitab, malam ia membantu Papo menyalin ke dua kitabnya Li Shih Chen ialah Pen Tsao Kang Mu dan Chi Ching Pa Me Kao yang pernah disebutkan tabib itu.

   Kadang-kadang saja ia mengambil ketika akan keluar untuk berjalan-jalan.

   Papo tabib terpelajar, maka itu, kedua sahabat ini sama-sama mendapat tambahan pengetahuan tak sedikit.

   Tanpa merasa, satu bulan telah berlalu.

   Pada suatu hari dalam satu bulan itu, Maskanan berangkat pulang ke negerinya.

   Di harian keberangkatannya itu, raja Nepal mengadakan perjamuan perpisahan, Hoa Seng telah diundang menghadiri pesta itu.

   Di situ pemuda ini tidak melihat puteri dan Jatsingh.

   Ada dibilang menurut tabib istana, karena lukanya parah, Jatsingh perlu beristirahat terus, karena meski ia telah makan soat-lian, kesehatannya belum pulih seanteronya.

   Semenjak pesta itu, belum pernah raja mengundang atau memanggil Hoa Seng datang ke istana.

   Hoa Seng merasakan sikap tawar dari raja itu tetapi ia tidak memperdulikannya.

   Pada suatu hari habis melihat-lihat apa yang dinamakan menara Bunga Teratai, setibanya di rumah, Hoa Seng melihat roman berduka dari Papo, yang sedang bebenah untuk suatu perjalanan.

   Lantas ia menanyakan apa sebabnya.

   "Aku mesti pergi dan kita bakal berpisah kira-kira satu bulan,"

   Menyahut tabib itu, yang memberitahukan bahwa ia telah dapat undangan memeriksa orang sakit di Bhatguon, bahwa si sakit itu ada pendeta kepala dari bihara Matsingle.

   Untuk negara Nepal, kecuali bihara di ibukota, bihara di kota Bhatguon itulah yang terbesar, letaknya di atas gunung.

   "Apakah pasti kau akan kembali dalam satu bulan?"

   Tanya Hoa Seng tertawa.

   "Perjalanan pergi dan pulang masing-masing memakan tempo sepuluh hari,"

   Menyahut Papo.

   "Waktunya mengobati, aku taksir sepuluh hari kira-kira, Maka itu, aku menduga satu bulan."

   Hoa Seng menghitung hari, ia dapat kenyataan, untuk sampai pada hari pemilihan menantu raja, atau hoe-ma, masih ada tempo limapuluh hari, maka ia pikir, baik ia turut pergi bersama, untuk pesiar di sana di mana katanya ada pemandangan-pemandangan alam yang indah.

   Papo senang dengan permintaan itu, ia menerimanya dengan girang.

   Maka juga besoknya berangkatlah mereka berdua.

   Koei Hoa Seng bergembira, tanpa ia mendapat firasat sedikit jua bahwa kepergiannya hampir membuatnya tak kembali ke Katmandu.

   18.

   Sumber air dingin Yang Menggoda Dari Katmandu ke Bhatgaon, perjalanan ada lima ratus lie lebih, kalau tempo perjalanan ditetapkan sepuluh hari, setiap harinya cuma dibutuhkan jarak lima sampai enam puluh lie.

   Perjalanan ini dilakukan dengan gembira oleh Papo, tetapi dasar ia sudah berusia lanjut, ia tidak dapat jalan lebih kira enam puluh lie seharinya, sudah begitu, keberangkatan dimulai pagi-pagi sekali hingga magrib baru ditunda.

   Kelambatan ini ada baiknya untuk Hoa Seng, yang menjadi mendapat banyak ketika menikmati keindahan alam di sepanjang jalan.

   Di hari ke tujuh, Hoa Seng menghadapi jalanan buntu .

   Di depannya tidak lagi jalan besar dari tanah datar seperti harihari yang sudah dilewatkan.

   Sekarang di depannya menghadang sebuah lembah yang nampaknya dalam sekali.

   Untuk dapat melintasi lembah itu, di situ dipasang melintang sebuah jembatan rantai besi, yang kedua ujungnya ditancap atau diikat kepada kedua tepian lembah.

   Oleh karena sampokannya sang angin, jembatan itu biasa mengasi dengar suaranya yang nyaring, karena rantainya bentrok satu dengan lain.

   Di situ terlihat sebuah air tumpah yang besar, yang jatuh dari puncak, hingga muntjratan airnya mirip "mutiara beterbangan atau kumala berpeletikan."

   Di dalam lembahnya sendiri terdapat hawa bagaikan kabut. Indah pemandangan itu, tetapi memikirkan dalamnya jurang, hati akan bergidik sendirinya ..

   "Lootiang, mari aku gendong kau,"

   Berkata Hoa Seng kepada si tabib.

   "Tidak usah,"

   Berkata Papo.

   "Di negara kita ini, jembatan rantai semacam ini terdapat di mana-mana, bahkan ada yang terlebih panjang belasan atau dua puluh kali lipat, maka untuk kami, sudah biasa kami untuk melewatinya. Kau jangan kuatirkan aku, kau nyeberanglah lebih dulu, habis beristirahat sebentar, akan aku menyeberang sendiri."

   Mendengar begitu, Hoa Seng percaya, maka ia terus menghampirkan jembatan itu, dengan ilmunya ringan tubuh, leluasa ia berjalan di situ.

   Hanya, setibanya di tengah, mendadak ia merasakan rantai itu goncang keras.

   Ia menjadi kaget bahna heran, maka ia melepaskan pandangan matanya.

   Maka ia menampaklah, di seberang sana dari jembatan rantai itu, ada seorang pendeta yang bermuka hitam, yang tubuhnya tinggi dan besar, tengah memegang ujung rantai, yang dia goyangkan dengan sekuat tenaga.

   "Eh, bapak pendeta, kau lagi bikin apa?"

   Ia menanya, nyaring.

   Pendeta itu rupanya mendengar pertanyaan akan tetapi ia tidak mengambil mumat, malah dengan keras sekali ia menggentak ke bawah, terus tangannya dilepaskan, dari itu rantai tersebut jadi mental, menambah goncangan.

   Hoa Seng menjadi gusar.

   Terang orang sengaja berbuat demikian.

   "Bapak pendeta!"

   Serunya.

   "Kita, tidak kenal satu pada lain, kenapa kau hendak membikin celaka padaku?"

   Ia menyejak, ia mencelat, ketika ia turun pula, ia mencari rantai, untuk menyejak dan berlompat pula. Ia telah menggunai tipu "Cecapung menowel air,"

   Suatu ilmu ringan tubuh yang mahir sekali.

   Dengan begitu, ia maju mendekati tapian sana.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekonyong-konyong si pendeta muka hitam tertawa nyaring, tubuhnya mencelat maju, dalam gerakan menubruk orang yang lagi mendatangi itu.

   Kembali Hoa Seng menjadi kaget.

   Ketika itu tubuhnya seperti lagi melayang.

   Terpaksa dengan kaki kirinya ia menginjak kaki yang kanan, untuk mencelat seperti tadi ia menyejak rantai besi, sembari berbuat begitu, ia menggeraki kedua tangannya guna mendorong tubuh si pendeta.

   Ia pun berseru.

   "Turunlah kau!"

   Di luar dugaan, tenaganya si pendeta itu besar luar biasa, tidak kalah dengan tenaga pemuda ini, ketika keduanya beradu, terdengar suaranya yang keras, tubuh Hoa Seng, bagaikan batu besar, meluncur turun ke bawah lembah, sedang kupingnya mendengar suara riuh dari air tumpah.

   "Celaka!"

   Ia mengeluh dalam hatinya.

   Dalam berbahaya itu, ia mencoba akan lompat jumpalitan, kepala di bawah, kaki di atas, untuk mencari tempat di mana ia bisa menaruh kaki.

   Tapi kabut tebal, ia tidak bisa melihat nyata.

   Sudah begitu, kembali ia merasakan dorongan yang keras.

   Tidak ampun lagi, ia jatuh menimpa air tumpah sekali, maka terbawalah tubuhnya oleh air yang deras itu tanpa ia dapat berdaya.

   Karenanya, ia cuma bisa menahan napas.

   Ia baru berlompat dengan kakinya menyejak tatkala ia merasakan kakinya itu membentur sesuatu.

   Berbareng dengan itu ia bernapas dan membuka matanya, yang tadi dimeramkan.

   Ketika ia telah melihatnya, ia menjadi heran dan kagum.

   Pemuda ini seperti merasakan dirinja berada di sebuah dunia lain.

   Di hadapannja ada lapangan rumput yang hijau segar, ada pohon bunga, ada pohon lainnja.

   Memandang ke atas, ia melihat air tumpah bagaikan air yang tergantung di udara.

   Ia ternjata telah berada di dalam guha.

   Karena kecebur ke air tumpah, tentu saja pakaiannja kuyup basah.

   Tapi yang sekarang ia perlukan ialah jalan keluar dari guha itu, akan kembali kepada Papo.

   Tiba-tiba, ia mendengar tertawa lebar di sampingnya.

   Ia berpaling dengan lantas.

   Di sana ia melihat si pendeta muka hitam, yang pun basah kuyup seperti ia.

   Rupanya orang pun jatuh dan menimpa air seperti ianya.

   Ia menjadi gusar sekali.

   "Kau siapa?"

   La menegur.

   "Kenapa kau membikin celaka padaku?"

   Pendeta itu seperti tidak mengerti omongan dalam bahasa Nepal dari pemuda ini, dia tertawa pula, tertawanya tak sedap didengar, setelah mana, dia mencaci.

   Mendengar suara orang, Hoa Seng tahu pendeta itu berbahasa India.

   Ia biasa bergaul sama Jatsingh, ia mengerti beberapa kata-kata India, akan tetapi cacian pendeta ini ia tidak mengerti sama sekali.

   Melainkan samar-samar ia mendengar disebutsebut "Jatsingh."

   Setelah berpikir sebentar, Hoa Seng mengeluarkan dua jari tangannya, dengan itu ia menunjuk dirinya sendiri.

   "Kau menyebut Jatsingh, apakah artinya itu?"

   Ia menanya. Ia sebenarnya mau memberitahukan bahwa dengan Jatsingh itu ia bersahabat. Pendeta itu mengasi dengar suara "Hm!"

   Seraya ia menggeleng-geleng kepalanya. Ia mau membilangi bahwa ia tidak percaya. Hoa Seng lantas membungkuk, kedua tangannya digeraki. Ia hendak memberi gambaran ketika ia menolongi si pangeran. Ia pun berkata.

   "Jatsingh itu akulah yang menolongi, kau tahu atau tidak?"

   Pendeta itu tetap tidak mengerti, karena Hoa Seng menggunai Bahasa Nepal, tetapi ia dapat mendengar disebutnya nama Jatsingh, hanya sekarang ia melengak.

   Rupanya ia dapat membade gerak-gerakannya si anak muda.

   Cuma sebentar ia berdiam, lantas ia mengasi lihat gerakan kedua tangan yang menolak, mulutnya pun mengoceh.

   Sekarang di antaranya, Hoa Seng mengerti perkataan-perkataan "menipu orang"

   Dan "Aku larang kau pergi!"

   Hoa Seng menjadi heran, hingga ia menduga-duga.

   "Apakah mungkin Jatsingh mendapat kecelakaan?"

   Terkanya.

   "Kenapa dia menimpakan kesalahan kepadaku?"

   Tetapi mereka tidak dapat berbicara, bahasa mereka menjadi rintangan. Hoa Seng masgul sekali. Tidak dapat ia memberi keterangan atau meminta penjelasan. Maka ia pikir.

   "Tidak ada lain jalan untukku dari pada mencari jalan untuk keluar dari sini, untuk pergi ke istana. Di sana baru aku akan memperoleh keterangan."

   Karena ini, ia bertindak menuju ke arah mulut guha di depannya. Di situ justeru berdiri si pendeta muka hitam.

   "Aku larang kau keluar!"

   Dia berteriak. Dia pun menolak keras sekali, sampai si anak muda terhuyung mundur, hampir ia jatuh.

   "Aku mesti keluar!"

   Membentak Hoa Seng, yang menjadi gusar sekali. la lantas mengeluarkan Theng-kauw kiam, pedang lemasnya itu. Ia mau menggunai senjata sebab ia kalah tenaga akibat tadi selagi jatuh ia kena terdorong keras.

   "Minggir!"

   Pendeta itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia tertawa dingin, ia menyeringai.

   "Aku larang kau pergi!"

   Kembali ada kata-katanya yang Hoa Seng mengerti. Habislah sabarnya si anak muda. Ia membalingkan pedangnya ke atas, hingga terlihat cahayanya berkelebat. Di dalam hatinya ia kata.

   "Aku mau lihat, kau memberi jalan atau tidak padaku .."

   Selagi begitu, si pendeta juga mengeluarkan senjatanya, sebuah senjata yang luar biasa.

   Itulah golok hitam yang tidak ada bagiannya yang tajam.

   sedikit bengkung, gagangnya ditabur mutiara yang berkilau.

   Hoa Seng mau menerjang keluar, ia tidak menyerang, ia hanya menggerak pedangnya itu untuk membela diri saja.

   Di luar sangkaannya, si pendeta muka hitam justeru membacok padanya.

   "Traang!"

   Kedua senjata mereka beradu.

   Hoa Seng menjadi kaget sekali.

   Tangannya dirasakan sangat sakit, pedangnya itu hampir terlepas dari cekalannya.

   Ia tidak menyangka golok lawan demikian keras dan kuat.

   Juga si pendeta muka hitam bukannya tidak kaget.

   Sendirinya dia menjerit dan mundur dua tiga tindak.

   Itulah sebab dia mendapat kenyataan, goloknya itu telah kena tersempoakan pedang si anak muda, sedang ia ketahui baik, goloknya terbuat dari pada besi pilihan yang dilapis dengan beberapa logam lainnya dan beratnya pun tujuh puluh dua kati.

   Untuknya, golok itu ialah golok mustika.

   Menyaksikan itu, hati Hoa Seng lega.

   "Dia menggunai golok mustika tetapi pedangku masih menang,"

   Pikirnya. Karena ini ia lompat maju pula, untuk menerobos keluar. Ia membela diri dengan jurusnya "Bong houw toat louw,"

   Atau "Harimau galak merampas jalanan."

   Pedangnya itu diluruskan guna membuka jalan.

   Pendeta itu pun nampaknya menjadi gusar.

   Ia lantas mencabut kebutannya, yang ia pegang dengan tangan kanan, maka sekarang ia bersenjatakan dua rupa, sebab golok mustikanya dicekal dengan tangan kirinya.

   Dengan lantas ia mengebut.

   Hoa Seng ada satu ahli, lantas ia mengetahui liehaynya kebutan itu.

   Di tangan orang biasa, atau orang yang kepandaiannya tidak berarti, kebutan itu tidak nanti menjadi satu seperti pit besi, mestinya bulunya terbuka buyar.

   Tapi ia percaya betul pedangnya, ia tidak takut.

   Ia lantas membabat ke atas, dengan niat memapas ujung kebutan itu.

   Hebat si pendeta muka hitam itu.

   Tepat di saat kebutan dan pedang hendak beradu, bulu kebutan itu mendadak buyar, setiap lembarnya menjadi kaku bagaikan duri seperti juga jarum yang panjang, dan semuanya menusuk ke arah seluruh tubuh si anak muda! Hoa Seng terkejut bukan kepalang.

   Inilah benar-benar ia tidak duga.

   Ia hanya menyangka ujung kebutan dapat digunai sebagai totokan jalan darah atau menikam sebagai pisau.

   Sjukur ia liehay dan gesit.

   Dengan lemas ia mainkan pernapasannya, guna menutup semua jalan darahnya, sembari berbuat begitu, ia berkelit dengan jurusnya "Hong sauw lok hoa"

   Atau "Angin meniup bunga rontok."

   Selagi meloloskan diri dari kebutan itu, pedangnya menangkis bacokan golok, tetapi karena berbareng ia meluncurkan terus pedangnya itu, ia pun kena membabat kutung ujung bulu kebutan.

   Si pendeta menjadi terlebih-lebih gusar, ia lompat untuk menyusuli! Hoa Seng bebas dari bacokan dan kebutan, tetapi ia bukannya bebas seluruhnya.

   Beberapa ujung bulu kebutan sempat juga mampir di tubuhnya, meski ia sudah menutup jalan darahnya, saking tajamnya, bajunya ditembusi dan kulitnya kena tergores, dari itu luka-lukanya itu mengeluarkan darah.

   Ia menjadi kaget dan heran.

   "Entah pendeta ini dari golongan apa?"

   Pikirnya.

   "Sudah dia liehay tenaga dalamnya, juga aneh senjatanya ini. Dia dapat dibandingkan dengan Timotato ."

   Pendeta India itu merangsak dalam kemarahan, selain memutar kebutan dan goloknya, dia pun berseru-seru, dengan hebat dia menyerang.

   Oleh karena masih gelap mengenai lawannya itu, Hoa Seng mengambil sikap membela diri.

   Kelihatan ketangguhan mereka berimbang.

   Si pendeta tidak bisa maju, si anak muda sukar meloloskan diri.

   Aneh adalah perkelahian mereka ini, di saat keduanya telah lelah sendirinya, sedang cuaca pun bertukar, siang menjadi magrib, mereka berhenti sendirinya, untuk beristirahat.

   Si pendeta duduk bercokol di mulut guha, yang pun menjadi mulut lembah, untuk orang masuk dan keluar dari lembah itu.

   Dia mengatakannya.

   "Aku larang kau keluar!"

   Itulah cuma kata-kata India yang Hoa Seng mengerti.

   Pemuda itu tidak mengambil usil.

   Ia pun tidak mau beristirahat di dekat orang.

   Ia berjalan ke sebelah dalam lembah itu.

   Ia berjalan perlahan-lahan, hatinya terbuka.

   Di situ ia mendapat lihat banyak macam bunga dan rumput, yang tak ada di lain tempat.

   Di waktu magrib, hawa pun teduh.

   Jalan belum jauh, ia menghadapi sebuah sumber air, yang airnya hijau jernih.

   "Tempat ini bagus,"

   Ia berpikir.

   "Kalau tidak terjadi peristiwa kebetulan ini, mana bisa aku sampai di sini?"

   Lantas ia berhenti, untuk mengeluarkan bekalan rangsum keringnya, yang ia dahar dengan dibantu air sumber itu yang jernih dan dingin, yang memberi sari cocok dengan selera.

   Habis minum, ia merasa tubuhnya segar sekali.

   Habis itu ia mencari tempat untuk duduk bersamedhi, guna melewatkan sang malam.

   Ia tidak berani berlaku alpa, kuatir nanti si pendeta muka hitam datang mengganggu.

   Terus sampai besoknya fajar, pendeta itu tidak datang menyerang atau menggerecok, malah ketika Hoa Seng pergi ke mulut guha, dia masih duduk bersamedhi.

   Dia Baru lompat bangun ketika dia mendengar tindakan kaki.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lantas dia berseru.

   "Aku larang kau keluar!"

   Hoa Seng heran bukan main.

   "Kenapa dia melarang aku?"

   Pikirnya.

   "Kalau dia mencurigai aku yang mencelakai Jatsingh, mestinya dia mengadu jiwa denganku. Apakah dia sengaja hendak menahan aku di dalam guha ini? Untuk apakah? Apakah sebabnya?"

   Ia sangat tidak mengerti. Melihat orang tidak menyerang kepadanya, Hoa Seng kembali ke tepi sumber air. Ia dahar sisa rangsum keringnya, ia minum air yang jernih dan adem itu. Kemudian ia ingat Papo. Entah bagaimana bingungnya tabib itu.

   "Pendeta ini melarang aku keluar dari sini, justeru aku mesti keluar!"

   Pikirnya. Sesudah bertempur sekian lama, Hoa Seng merasa ia telah mengenal baik tenaga lawannya itu.

   "Baiklah aku melawan dia dengan ilmu pedang Tat Mo Kiam,"

   Pikirnya kemudian.

   Ilmu pedang itu yang berarti ilmu pedang Menakluki Hantu, adalah salah satu tipu silat dari ilmu pedang Tatmo Kiam-hoat, yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus.

   Setelah memikir tetap, Hoa Seng menghampirkan pendeta itu.

   Ia memaksa mau lewat, ia dihalangi, maka itu, mereka jadi bertempur pula.

   Kali ini, selama setengah jam yang pertama, ia benar menang di atas angin, ia terus mendesak, hingga lawannya pun terus mundur, hanya setibanya di mulut guha, si pendeta lantas dapat bertahan, dia tak dapat dirangsak terlebih jauh.

   Lagi sekian lama, mereka masih seimbang saja.

   Hoa Seng heran bukan main.

   Kemarin ia bertempur seri, sekarang ia lebih unggul, toh kesudahannya seri pula.

   Ia jadi mau menyangka, apakah ia menampak kemunduran ataukah si pendeta yang dalam satu malam memperoleh kemajuan? Di akhirnya, mereka berhenti pula sendirinya.

   Hoa Seng bingung.

   Bekalan rangsumnya sudah habis.

   Terpaksa ia nyebur ke sumber air, ia tangkap beberapa ekor ikan, yang terus ia bakar dan dahar.

   Sumber air itu banyak ikannya, yang kecil-kecil, sarinya ikan pun lezat.

   "Biar aku berdiam di sini setengah sampai satu tahun, tidak nanti aku kelaparan ...."

   Pikir Hoa Seng sambil dahar.

   Tapi tentu sekali ia tidak sudi dikeram lama-lama di situ.

   Maka ia mengasah otaknya.

   Malam ke dua itu Hoa Sang dapat tidur nyenyak.

   Karena si pendeta tidak niat mencelakai ia, ia tidak kuatir, ia tidak waspada seperti malam pertama.

   Maka itu besoknya, di hari ke tiga, ia mendusin dengan merasa segar sekali.

   "Kemarin aku unggul tetapi aku tetap dapat dirintangi dia, mungkin itu disebabkan aku kurang tidur,"

   Pikirnya.

   "Sekarang baik aku mencoba pula."

   Anak muda pergi kepada si pendeta.

   Ia lantas menantang.

   Maka lagi sekali mereka bartanding.

   Seperti kemarinnya, mulanya si pendeta kena didesak mundur, hanya seteIah mundur sampai di mulut guha, dia kembali dapat bertahan, dia tidak bisa terdesak terlebih jauh.

   Sampai ia merasa letih, Hoa Seng tidak maju setindak juga, dengan terpaksa ia berhenti berkelahi dan mengundurkan diri.

   Tapi ia bukannya tidak berpikir.

   Ia tidak mengerti pendeta itu dapat bertahan secara demikian.

   Benarkah dia terlebih ulet? Selanjutnya saban habis dapat beristirahat, Hoa Seng satroni si pendeta, untuk menantang dia, untuk menempur.

   Ia lakukan ini terus beberapa hari.

   Hasilnya tetap, ia cuma bisa mendesak hingga di mulut guha, tidak lebih.

   Ia tidak dapat keluar dari guha.

   Di lain pihak, pelbagai pertempuran itu menambahkan banyak akan pengetahuannya tentang ilmu silat, terutama ilmu silat si pendeta.

   Hanya ada keanehannya.

   Hari lewat hari waktu bertempurnya jadi semakin pendek, ia seperti merasa cepat letih.

   Demikian di hari ke sepuluh, baru bertempur satu jam, ia sudah letih sekali.

   Hari itu ia berkelahi dengan tipu "Tay Si Mi"

   Yang terdiri dari tujuh belas jurus. Ia sudah mendesak hebat atau ia lantas seperti kehilangan tenaganya sendiri. Maka ketika ia menikam dengan jurusnya.

   "Burung garuda menyerbu udara,"

   Kesudahannya membuatnya terkejut.

   Menurut perkiraannya, ia bakal berhasil, tidak tahunya, ia gagal seluruhnya.

   Ketika si pendeta menangkis serangan itu dengan kebutannya, pedangnya kena tersampok keras hingga terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah.

   Ia kaget bukan main.

   Aneh adalah si pendeta muka hitam itu.

   Dia bukannya lantas maju terus, untuk menghajar lawan yang sudah tidak bersenjata itu, sebaliknya, dia menghentikan pertempuran, dia tertawa, dia balik ke tempat bercokolnya, untuk bersamedhi! Hoa Seng heran bukan main.

   Ia seperti tidak diperdulikan lagi.

   Ia jumput pedangnya itu, dengan tidak keruan rasa, ia kembali ke tepi sumber air.

   Sekarang ia merasa betul, lawan itu bukannya lebih menang dari pada ia, hanya ia sendiri yang menghadapi kemunduran, tenaganya jadi kurang sendirinya.

   Kenapa begitu? Setelah kekalahan ini, untuk beberapa hari Hoa Seng tidak mencoba menantang bertempur pula.

   Temponya itu ia pakai untuk melatih tenaga dalamnya.

   Ia merasakan bahwa ia menginsafinya baik sekali sarinya ilmu silat, tetapi herannya, ia tetap tak seulet semula.

   Lalu datang satu waktu, yang membikin ia sangat kaget.

   Ia turun ke dalam sumber untuk menangkap ikan.

   Beda dari pada biasanya, kali ini ia merasakan dingin sekali.

   Inilah perubahan, yang nyata sekali.

   Apakah kesimpulannya? Ialah ia merasa kemunduran yang sangat, sudah lenyap keuletannya, lenyap juga kekuatan tubuhnya menentang hawa dingin! Dulu hari, ia dapat bertahan di dalam guha es yang dingin luar biasa.

   Sedang air sumber itu dingin biasa saja.

   "Ah.!"

   Ia mengeluh, hatinya menjadi tawar, ia menggigil sendirinya.

   Ia menjadi kecil hati.

   Kemudian lagi, Hoa Seng mendapat bukti dari hilangnya tenaganya.

   Di situ ada batu, yang ia biasa angkat pergi datang, tetapi ketika ia mengangkat itu, ia tidak kuat! Lantas hatinya jadi tawar, dukanya bukan kepalang.

   Dalam sedihnya dengan tidak keruan rasa, ia mendongaki kepala melihat langit.

   Ia mendapatkan sang Batara Surya sudah turun ke barat, sinarnya ialah sinar lajung.

   "Lagi satu hari bakal berlalu "

   Katanya dalam hati, lesuhnya bukan main. Tadinya, semenjak mengetahui tenaganya berkurang, ia sudah tidak menghitung hari lagi, sampai ia tak tahu, sudah berapa lama ia terkurung di dalam guha itu. Sekarang kebetulan saja ia melihat cuaca.

   "Mungkinkah aku bakal mati letih di sini?"

   Akhirnya ia ingat.

   "Apakah aku akan bernasib bagaikan bunga hutan itu, tumbuh dan mekar sendirinya, lalu layu dan mati sendirinya juga, tanpa ada yang ketahui?"

   Hoa Seng merabah gagang pedangnya, ingin ia menghunus itu, untuk dipakai menabas lehernya sendiri.

   Tiba-tiba di otaknya itu terkilas bayangan si tuan puteri, yang cantik manis, yang sangat menggiurkan hatinya.

   Maka ia menghela napas.

   pedangnya itu ditolak masuk pula ke dalam sarungnya "Aku tidak dapat mati! Aku tidak dapat mati!"

   Pikirnya.

   Ketika sang angin malam menghembus, samar-samar Hoa Seng mendengar tertawanya si pendeta India muka hitam itu.

   Mendadak ia menjadi gusar, hingga ia berlompat naik atas sepotong batu besar.

   Memang, sudah beberapa hari ia belum menempur pula pendeta itu.

   Jauh di tempatnya berdiam, si pendeta tertampak tengah bersilat seorang diri.

   Dia bersilat hebat sekali, bagaikan orang kalap.

   Ketika Hoa Seng mengawasi, ia heran.

   "Ah, dia pun dapat menyangkok ilmu pedang Tatmo Kiamhoat,"

   Katanya di dalam hati.

   "Nyatalah, setelah pertempuran sepuluh hari, ia juga memperoleh kesadaran seperti aku. Hanya anehnya, kenapa tenagaku jadi berkurang, tubuhku tak tahan hawa dingin "

   Pemuda ini terhibur kapan ia ingat yang ia telah memperoleh banyak kemajuan karena pertempurannya sama si pendeta India, sebaliknya ia berduka kapan ia ingat lenyapnya tenaganya itu.

   Maka ia pikir, apakah artinya kemajuannya itu kalau itu tidak dapat digunakan? Pendeta itu berlatih terus.

   Hebat tenaganya! Kapan goloknya mengenai batu, batu itu terbacok terbelah atau putus.

   Nampaknya leluasa sekali dia menggunai goloknya itu.

   "Kenapa tenagaku habis dan dia sebaliknya tidak?"

   Ia tanya dirinya sendiri.

   "Kalau dia hendak mengambil jiwaku, bagaimana gampangnya?"

   Mengingat ini, Hoa Seng menggigil sendirinya.

   Ia sampai tidak mau mengawasi lebih lama kepada pendeta itu, yang masih berlatih terus.

   Ia pun merasakan tertawanya si pendeta sangat menusuk hatinya Lewat lagi beberapa hari, Hoa Seng merasakan tenaganya terus berkurang.

   Biasanya ia menangkap ikan dengan tangan kosong, ia dapat bergerak cukup lincah, belakangan, karena air sangat dingin, ia membuat semacam cagak.

   Tapi hari ini, untuk mengangkat cagak pun ia merasa ia mesti menggunai tenaga sangat banyak.

   Tapi, yang membikin ia putus asa benar-benar ialah kemudian ketika ia tidak dapat menggunai lagi cagak itu .

   19.

   Lolos dari Kematian Bukankah, dengan begitu, ia bakal kelaparan? Tidakkah, karenanya, sayang ilmu kepandaiannya itu? Ia merebahkan dirinya di tepi sumber air itu, ia menghela napas panjang pendek.

   Tiba-tiba ia mendengar suara apa-apa.

   Ia memasang kuping.

   Rupanya ada orang mendatangi ke arahnya.

   "Apakah dia si pendeta India?"

   Ia menduga-duga, hatinya berkuatir.

   Ia lantas membuka matanya.

   Atau segera ia merasa bahwa ia tengah bermimpi.

   Yang datang itu Papo, pakaiannya rombeng tidak keruan, dan tangan dan kakinya tabib itu luka-luka tergores panjang.

   Tapi, di samping itu, kedua matanya bersinar sangat tajam, dia nampaknya sehat sekali.

   Heran dan kaget dan girang, pemuda ini berseru.

   "Apakah ini bukannya impian? Kenapa kau dapat datang ke mari?"

   "Aku datang dari belakang gunung,"

   Papo menyahut.

   Di bagian belakang gunung itu, jalanan sukar, banyak pohon durinya lagi tebing.

   Di waktu ia masih segar, Hoa Seng sendiri tidak berani mengambil jalan itu untuk menjingkir dari rintangan si pendeta India.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi Papo mengambil jalan itu! Maka ia pentang matanya lebar-lebar.

   Papo tertawa.

   "Aku juga tidak tahu di belakang gunung itu ada jalanannya,"

   Ia berkata riang.

   "Di kuil Matsingle ada seorang pendeta pelancongan, yang pernah datang ke mari memasuki lembah ini mencari daun obat-obatan, dan dialah yang memberitahukan aku tentang adanya jalanan itu. Dia membilang di dalam lembah ada sebuah guha yang dalam sekali, bahwa untuk menyampaikan guha, orang mesti naik perahu di kali yang deras yang menuju ke dekat guha, nanti setelah mendarat, orang harus jalan kaki mendatangi guha ini. Katanya jalanan itu sangat sempit dan sukar. Inilah benar, sudah dua hari dua malam aku mengambil jalanan itu, baru sekarang aku sampai di sini. Kau lihat, pakaianku tidak keruan macam."

   Banyak yang Hoa Seng hendak tanyakan, tetapi ia menguasai diri.

   "Coba tolong periksa dulu, aku mendapat sakit apa?"

   Ia berkata kepada tabib itu. Papo mengawasi sambil tertawa.

   "Tidak usah juga aku periksa lagi, kau tidak sakit!"

   Sahutnya. Mendadak saja semangat si anak muda terbangun, hingga ia berlompat berdiri.

   "Bagaimana aku tidak sakit?"

   Tanyanya nyaring. Ia heran bukan buatan. ''Lalu ia mengibaskan tangannya. Mendadak ia menjadi lesu pula.

   "Aku tidak percaya!"

   Katanya.

   "Kenapa aku tidak sakit?"

   Papo memegang, untuk menekan tubuh orang.

   "Bukankah kau merasa tubuhmu lemah hingga tidak bertenaga?"

   Dia tanya.

   "Nah, apakah ini bukan namanya sakit?"

   Hoa Seng balik menanya.

   "Bukannya sakit. Itulah disebabkan kau terlalu banyak minum air sumber ini. Ini air jernih dan adem, dilihatnya sangat menggairahkan, tetapi sarinya berbahaya untuk kesehatan. Sari itu disebabkan hawanya yang dingin. Aku ketahui ini dari seorang ahli obat-obatan, yang pernah memeriksa air sumber ini. Katanya air ini kurang zat logamnya. Dia telah melepas ikan di sini, ikan itu menjadi besar tetapi tanpa tulang "

   "Ah!"

   Seru Hoa Seng.

   "Pantas ikan di sini sangat lezat, aku menyangkanya sebagai ikan tak bertulang, tidak tahunya itulah ikan piaraannya si ahli obat-obatan itu!"

   "Maka itu,"

   Berkata Papo.

   "asal kau dapat keluar dari sini, tanpa obat, tenagamu akan pulih sendirinya. Kau membutuhkan waktu setengah atau satu tahun untuk memelihara diri."

   "Aku kuatir pendeta India itu tetap melarang aku keluar dari sini,"

   Hoa Seng bilang.

   "Pendeta itu tak berkurang tenaganya seperti aku."

   "Apakah dia si pendeta yang itu hari membuatnya kau jatuh dari jembatan?"

   "Benar."

   Lalu Hoa Seng menuturkan pengalamannya semenjak jatuh ke guha itu.

   "Dia tetap sehat, itulah tentu disebabkan dia minum air tumpah,"

   Berkata Papo.

   "Air itu datang dari atas, itulah air biasa, yang tetap mengalir. Eh ja, aku heran. Kenapa dia melarangnya kau keluar dari sini?"

   "Aku justeru mengharap keterangan dari kau. Di luar, kau dapat mendengar banyak."

   "Mulanya aku menyangka si putera raja mengirim orang untuk mencelakai kau. Aku heran kenapa bolehnya muncul ini pendeta India yang liehay sekali?"

   "Kau menyebut putera raja. Putera raja yang mana itu?"

   "Tentu saja putera raja negaraku."

   Papo pun kaget melihat Hoa Seng dibikin jatuh dari jembatan rantai itu.

   Ia ketakutan dan bingung tidak keruan.

   Ia tidak mengerti ilmu silat, mana ia dapat membantu? Setelah dapat menenangkan diri, ia lantas melanjuti perjalanannya ke Bhatgoan.

   Ia terus menemui si pendeta kepala yang sakit itu dan mengobatinya.

   Di sini ia memperoleh keterangan, ia diundang si pendeta kepala atas anjuran atau titahnya putera raja.

   Pendeta itu dipesan, kalau dia sudah sembuh, dia mesti mengasi kabar kepada putera raja, yang hendak mempersiapkan penyambutan besar-besaran kepada si tabib.

   Sebab si tabib mau diangkat menjadi tabib negara.

   Katanya, Papo adalah tabib sakti nomor satu di Nepal, kalau dia jadi tabib negara, tepat sekali.

   Karena ini, setelah si pendeta sembuh dan ia meminta diri, saban-saban ia dicegah, ia diminta bersabar, menanti sampai putera raja menyambutnya.

   Sebaliknya, penyambutan itu tak kunjung tiba.

   Lama-lama Papo menjadi curiga, apa pula kemudian ia mendapat tahu, di antara pengiring-pengiringnya si pendeta kepala ada orang-orang kepercayaannya putera raja itu.

   Karena ini, ia tidak berani minta si pendeta kepala mencoba mencari dan menolongi Hoa Seng itu.

   Kebetulan sekali di dalam kuil Matsingle itu ada seorang pendeta pelancongan yang Papo kenal baik, di waktu memasang omong, pendeta itu menuturkan tentang lembah itu serta guhanya, perihal jalanan untuk menyampaikan guha yang tersembunji itu.

   Karena itu, diam-diam Papo menjingkirkan diri dari kuil, terus ia pergi ke belakang gunung, hingga akhirnya dengan susah payah tibalah ia di dalam guha, bahkan ia lantas menemui sahabatnya ini.

   Hoa Seng heran sekali.

   "Kalau begitu, bukankah aku telah berdiam di sini sebulan lebih?"

   Ia tanya. Papo menghitung dengan jari tangannya, lalu dia menghela napas.

   "Sekarang ini tinggal tiga hari untuk sampai kepada hari pemilihan calon menantu raja,"

   Katanya.

   "Aku kuatir kau tidak dapat keburu sampai di kotaraja .."

   Hoa Seng sangat bersusah hati, tetapi ia memaksakan diri untuk bersenyum.

   "Untukku sudah cukup asal aku dapat keluar dari sini,"

   Katanya sesaat kemudian.

   "Mana aku berani mengharap dapat menikah sama tuan puteri?"

   "Tapi,"

   Berkata Papo.

   "orang sebagai kau, aku percaya, kau dapat melakoni perjalanan sukar ini untuk keluar dari sini. Di sini aku ada mempunyai obat jinsom asal keluaran negaramu, sisa obat yang aku pakai menolongi si pendeta kepala. Nah kau makanlah, mungkin kesehatanmu lekas kembali!"

   Papo mengeluarkan bekalan obatnya dan Hoa Seng segera mengunyah itu.

   "Mari!"

   Ia berkata.

   "Selagi si pendeta belum mengetahui, mari kita berlalu dari sini!"

   Maka keduanya bertindak ke belakang gunung.

   Mereka mencari perlindungan antara pepohonan bunga dan rumput yang lebat.

   Mereka berjalan secepatnya bisa.

   Setibanya di kaki gunung, bukan main girangnya Hoa Seng.

   Tapi tiba-tiba, di sana, dari belakang, terdengar suara tertawa dingin! Ketika ia menoleh, ia melihat si pendeta India, yang lagi berlari-lari mendatangi! "Aku larang kau pergi!"

   Demikian terdengar suara nyaring dan dingin dari pendeta muka hitam itu. Papo mengerti sedikit bahasa India, maka itu lantas ia berkata.

   "Majikan kamu sedang berada di istana, dia dengan Tuan Koei in adalah sahabat-sahabat. Jikalau kau tidak percaya, dapat aku mengajakmu pergi kepada majikanmu itu."

   "Tidak bisa!"

   Berkata pendeta muka hitam itu.

   "Satu kali dia sudah keluar dari sini, aku tidak berdaya untuk menahannya. Maka itu tidak ada lain jalan dari pada kau bawa si putera raja datang ke mari menemui aku."

   Hoa Seng percaya dari kata-kata si pendeta bahwa ia bakal tidak dikasi berlalu, maka harapannya yang baru saja timbul lantas lenyap pula. Tanpa merasa ia menghela napas panjang.

   "Baiklah,"

   Katanya.

   "Rupanya sudah takdir, aku mesti mati terkurung di sini!"

   Ia lantas lompat, untuk membenturkan diri pada batu karang, akan tetapi si pendeta muka hitam itu menariknya dengan cepat, mencegah padanya.

   "Kau melarang aku keluar!"

   Hoa Seng membentak, gusar.

   "Apa aku tak dapat mati?"

   Pendeta itu tidak mengerti apa yang orang kata itu, ia kembali mengeluarkan perkataannya yang terkenal.

   "Aku larang kau keluar!"

   Di saat Hoa Seng lagi mendongkol dan putus asa itu, tiba-tiba di antara mereka terdengar suara puji.

   "Amitabha Buddha!"

   Yang disusuli dengan teguran.

   "Akara, jangan tidak tahu aturan!"

   Lagi, setelah itu, menyusullah suaranya Jatsingh.

   "Saudara Koei, adakah kau baik? Adikmu datang menyusul!"

   Atas itu si pendeta muka hitam lantas melepaskan cekalannya kepada Hoa Seng, terus ia berdiri diam sambil tunduk dan melonjorkan kedua tangannya, parasnya menandakan ia berada dalam kekuatiran.

   Hoa Seng segera menoleh seraya mengangkat kepalanya.

   Maka tampaklah Jatsingh bersama seorang pendeta India yang usianya telah lanjut hingga kumisnya, sudah putih semua berdiri di hadapannya.

   Ia bingung hingga ia merasa bahwa ia tengah bermimpi.

   Benarkah ada kejadian demikian kebetulan? Bukankah si pendeta muka hitam baru menyebutkan Jatsingh, si putera raja, dan sekarang Jatsingh muncul? "Inilah guruku, Liong Yap Siangjin,"

   Jatsingh lantas memperkenalkan si pendeta tua.

   Mendengar itu, Hoa Seng heran berbareng girang, lekas-lekas ia menghunjuk hormat seraya menjura.

   Di antara pemuda ini dan Liong Yap Siangjin itu ada jarak sekira satu tombak, akan tetapi ketika si pendeta menggeraki kedua tangannya, untuk mencegah, Hoa Seng merasakan ada tenaga yang mengangkat kepadanya, perlahan tetapi kuat, yang ia tidak dapat lawan, hingga ia menjadi terkejut.

   "Liong Yap Siangjin ini kesohor itulah benar,"

   Pikirnya.

   "Tenaganya ini lebih besar dari pada Kim-kong-ciang. Thian San Cit Kiam telah menutup mata satu demi satu, maka itu, orang yang tenaga dalamnya begini mahir, mungkin sekarang tinggallah pendeta ini satu orang ."

   Ketika itu sudah lantas terdengar suaranya Liong Yap Siangjin, yang berbicara dalam bahasa Tionghoa.

   "Adik seperguruanku ini berlaku kurang ajar, loolap menghaturkan maaf untuknya."

   Baru sekarang Hoa Seng mengetahui bahwa si pendeta muka hitam ini adalah adik seperguruan dan Liong Yap, hanya ia heran kenapa mereka itu berdua, kakak-beradik, beda jauh sekali ilmu kepandaiannya.

   Ia tidak tahu, di antara usianya kedua saudara seperguruan itu ada perbedaan tigapuluh tahun, sedang Akara ini ada dari pihak Brahmana, maka kendati dia dapat pelajaran silat sempurna dari gurunya, kesadarannya atas agama kalah jauh dari kakaknya itu.

   Dengan sebenarnya Akara telah mendapat tugas dari putera raja Nepal.

   Pangeran itu memesan.

   "Pemuda Tionghoa itu liehay, jangan kau memandang enteng kepadanya."

   Ia diperintah lekas menyusul ke Bhatgaon, untuk memegat di jembatan rantai besi itu, yang bakal dilewati Papo dan Hoa Seng.

   "Baiklah kau bokong padanya,"

   Kata pula si pangeran, dalam pesannya.

   "Kalau kau gagal, berdayalah akan mengurung dia di guha sumber air dalam lembah, nanti dia mati karena terkurung itu."

   Lantas si pendeta diterangkan halnya lembah luar biasa itu.

   Akara berangkat dengan mengambil jalan memotong, dari itu ia bisa tiba terlebih dulu.

   Akan tetapi, sebelum ia berangkat, ia memerlukan masuk ke dalam istana menemui Jatsingh, si pangeran yang tengah terluka parah.

   Kebetulan Jatsingh baru sadar.

   Lebih kebetulan lagi, raja Nepal pun tidak berada bersama pangeran itu.

   Ia lantas memberitahukan titahnya pangeran Nepal itu.

   Jatsingh kaget dan berkuatir.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jikalau kau ganggu jiwanya pemuda Tionghoa itu,"

   Katanya keras.

   "selanjutnya aku tidak akan aku pula kau sebagai paman guru dan aku sendiri tidak akan pulang ke negeri kita!"

   Hebat serangannya Timotato, habis berbicara keras begitu, Jatsingh lantas pingsan pula. Akara kaget, bingung dan heran. Maka ia bercuriga terhadap si pangeran Nepal.

   "Mungkin ia mendustakan aku, tetapi toh ia seorang pangeran,"

   Pikirnya pendeta ini.

   "Umpama kata benar pangeran dan pemuda Tionghoa itu bermusuhan, tidak selajaknya dia meminjam tanganku. Ah, apakah mungkin Pangeran Jatsingh yang hendak berhitungan sendiri dengan pemuda Tionghoa itu ? Atau tuan pangeran hendak menanyakan pengakuannya?"

   Dalam ragu-ragunya itu, Akara berangkat menyusul Hoa Seng.

   Untuk Jatsingh, ia meninggalkan sepucuk surat, sebab si pangeran pingsan dan ia tidak dapat berbicara terlebih jauh dengan pangeran itu, yang oleh tabib istana lantas dibawa ke sebuah kamar istimewa.

   Ia malah dipersalahkan oleh si tabib telah menjadi gara-gara maka pangeran itu tak sadarkan diri.

   Akara berhasil mengurung Hoa Seng setelah ia gagal dengan pembokongannya karena kepandaian kedua pihak sama tangguhnya.

   Selanjutnya, ia mengurung saja, karena ia mentaati pesan atau ancaman dari Pangeran Jatsingh, tidak berani ia mengambil jiwa Hoa Seng.

   Tanpa pesan itu, mungkin pemuda itu sudah lama tak ada di dalam dunia ini karena dia menjadi kurban air sumber yang tidak mempunyai zat kekuatan bahkan mencelakakan.

   


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung

Cari Blog Ini