Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 13


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 13



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Khu Ti memanggul sebuah buli-buli besar warna merah, wajahnya tampak lebih tua sedikit dari setengah tahun yang lalu, tapi sepasang matanya masih tampak mencorong terang.

   Sesaat itu empat bersaudara ini seperti merasakan kedua mata Khu Ti sama menatap ke arah mereka, sekali dideliki, hati mereka seketika kuncup, jantungnyapun berdetak keras, saking kaget serasa terbang arwah mereka.

   Menuding Huwan Pau, Khu Ti berseru.

   "Nah, kau yang ingin minum arak, mari kuberi,"

   Arak didalam buli-buli sekaligus dia minum sampai habis tiba-tiba dia pentang mulut menyemburkan araknya, sejalur arak seketika menyemprot ke arah Huwan Pau.

   Waktu di kedai Khu Ti tempo hari merekapun pernah kecundang oleh Khu Ti dengan cara yang sama ini.

   Karena terluka gerak-gerik Huwan Pau kurang tangkas, lekas dia tutup muka sendiri dengan kedua tangan, sederas hujan semburan arak Khu Ti semua mengenai punggung tangannya, wah rasanya sakit dan pedas sekali.

   Tempo hari Khu Ti tenggak setengah guci arak untuk menyemprot mereka berempat, kali ini hanya menghabiskan setengah buli-buli, yang disembur juga hanya Huwan Pau saja, gelagatnya jelas jauh lebih asor.

   Apalagi meski Huwan Pau merasa sakit, tapi rasanya tidak sehebat tempo hari.

   Walau demikian Huwan Pau sudah ciut nyalinya, mau lari kaki sudah tak mampu bergerak, saking ketakutan, saking gugup tanpa malu segera dia berlutut dan menyembah, teriaknya.

   "Ampun Khu-locianpwe, selanjutnya aku yang kecil tidak berani mengganggumu lagi."

   Khu Ti menyeringai dingin, jengeknya.

   "Memang kalian belum setimpal mengotori tanganku, lekas enyah dari sini."

   Semula Huwan Liong agak curiga dan ragu-ragu, kini melihat Khu Ti ini kembali menggunakan cara lama menyembur arak pada adiknya sehingga orang ketakutan sampai menyembah pula, sudah tentu diapun tak berani mainmain coba-coba lagi.

   Mendengar Khu Ti mengusir mereka, seperti mendapat pengampunan saja, lekas Huwan Pau merangkak bangun terus mendahului lari sipat kuping.

   Huwan Liong menggendong Huwan Hou ikut lari juga.

   Huwan Kiau lari paling akhir, meski ke dua kakinya tersapu ruyung dan dia jatuh terguling-guling, dia tidak berani melawan terus menggelundung turun gunung.

   Setelah menggebah Huwan bersaudara.

   Khu Ti melangkah maju, katanya setelah tertawa terkekeh-kekeh.

   "Linghou Yong, kau membawa kamrat kemari hendak menangkap aku bukan? Hehe, sengaja aku pulang untuk menyambut kedatanganmu. Kau berani hayo lawan aku saja, ingin aku lihat kau mampu berbuat apa terhadapku?"

   Sebetulnya Linghou Yong amat membanggakan diri, sebelum bertemu dengan Khu Ti, dia kira meski tinggi kepandaian Khu Ti, tapi belum tentu liehay seperti apa yang digambarkan oleh Huwan bersaudara, dengan bekal Im-yangciang dirinya, ditambah barisan pedang Huwan bersaudara dia yakin masih cukup berkelebihan untuk mengalahkan lawan, maka dia berani meluruk kesini.

   Tapi keadaan sekarang justru diluar perhitungan, bukan saja terbalik keadaannya sekarang malah lebih celaka, rasa angkuhnya seketika sirna karena tak mampu menjatuhkan Tan Ciok-sing, kini Khu Ti muncul pula di saat-saat kritis begini, karuan nyalinya menjadi ciut.

   Maklum sejauh ini dia hanya setanding dengan Tan Ciok-sing, Huwan bersaudara sudah angkat langkah, meski nyalinya besar, betapapun dia tidak berani menempur Khu Ti pula.

   Segera dia kerahkan seluruh sisa tenaganya, sekali pukul dia bikin Tan Ciok-sing tergetar mundur, terus putar tubuh angkat langkah seribu.

   Tan Ciok-sing tergetar mundur beberapa langkah oleh tenaga gempuran lawan, hampir saja dia terjengkang jatuh.

   Bentaknya gusar.

   "Sudah kalah mau lari, memangnya semudah yang kau kira."

   Tapi Khu Ti sudah lekas maju dan menariknya, katanya perlahan.

   "Musuh yang sudah ngacir jangan dikejar, biarkan dia pergi."

   Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin mengejar, kini melihat Khu Ti mendadak muncul sungguh senangnya seperti kejatuhan rejeki dari langit, sudah tentu lebih penting dia bercengkrama dengan Khu Ti.

   Setelah Linghou Yong lari, dia punya kesempatan menentramkan pernapasan, lalu maju memberi salam hormat kepada Khu Ti.

   "Jangan banyak adat,"

   Ujar Khu Ti.

   "kau kemari mencari aku, ada urusan apa?"

   Pertanyaan ini sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing, seketika dia berdiri melongo.

   Khu Ti adalah seorang tua yang simpatik, supel dan rendah hati, sahabat baik kakeknya.

   Waktu di kedai tempo hari, sikapnya ramah dan sayang, apalagi setelah tahu akan asalusul dirinya.

   Tapi kenapa sekarang kok bersikap tak acuh dan keliwat dingin dibanding pembawaannya tempo hari.

   Tapi yang lebih mengejutkan dan membuatnya melongo adalah pertanyaan Khu Ti.

   "Untuk apa dia kemari? Memangnya kejadian setengah tahun yang lalu sudah dia lupakan sama sekali?"

   Tan Ciok-sing berdiri tegak dan mengawasi seksama, yang berdiri di depannya tidak salah memang Khu Ti, cuma kerut mukanya agaknya lebih banyak dan tua.

   "Mungkin karena mengalami kejadian tempo hari sehingga batinnya agak tertekan, maklumlah orang tua ingatannya sudah jauh lebih mundur,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   "Untuk apa kau mencariku? Kenapa melongo saja?"

   Desak Khu Ti.

   "Khu-locianpwe, bukankah kau yang menjanjikan aku kembali. Aku sudah menunaikan keinginanmu dahulu,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   "Apa iya? Keinginanku yang mana sudah kau tunaikan? Coba jelaskan kepadaku."

   Ciok-sing mengiakan, baru saja dia berkata. ''Waktu aku pulang ke Kwi-lin..."

   Baru sampai disini mendadak Khu Ti seperti ingat, tukasnya tertawa.

   "Oh, ya, betapa pikunnya aku kini, ceritamu pasti panjang, hayolah duduk dalam rumah."

   Baru sekarang dia mendengar suara tawa Khu Ti, tapi raut muka Khu Ti tetap dingin membeku, setelah duduk dalam rumah, Khu Ti berkata.

   "Maaf kalau aku tak bisa menyuguh apa-apa, secangkir tehpun tiada,"

   Bukan saja teramat sungkan sikapnya malah terasa kaku dan dingin. Tujuan Ciok-sing kemari sebetulnya ingin menetap disini, setelah menghadapi sikap orang, diam-diam dia sudah merubah maksud semula, pikirnya.

   "Entah karena apa, agaknya Khu-locianpwe tidak seramah dulu menyambut kedatanganku. Setelah kusampaikan soal itu aku harus segera pergi."

   Maka dia bercerita amat jelas dan terperinci, kalem lagi, kuatir Khu Ti sudah lupa dia tambahkan pula pesan orang akan keinginannya itu sebelum mereka berpisah tempo hari.

   Khu Ti juga mendengarkan dengan asyik dan penuh perhatian, waktu Tan Ciok-sing bercerita tentang pertandingan pedang melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak di Lian-hoa-hong tampak sikapnya amat senang dan tertarik, sering dia mengajukan pertanyaan.

   Setelah Ciok-sing habis bercerita, Khu Ti segera tertawa, katanya.

   "Kalau demikian, jadi kau sudah menunaikan pesanku, dengan alasan bertanding pedang kau sudah mendemontrasikan Bu-bing-kiam-hoat itu di hadapan It-cuking- thian sehingga keinginan orang sejak lama itu tercapai. Anak bagus, baik sekali kau melaksanakan tugas, bahwa dengan Bu-bing-kiam-hoat kau setanding dan akhirnya seri melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak, sungguh kau harus diberi selamat dan patut dipuji."

   Kata Ciok-sing.

   "Pesan cianpwe betapapun harus kulaksanakan. Banyak terima kasih akan pujian cianpwe, baiklah sekarang Siautit minta diri saja."

   "Nanti dulu,"

   Tiba-tiba Khu Ti berseru menahannya. Ciok-sing melengak, katanya.

   "Khu-locianpwe masih ada pesan apa?"

   Khu Ti tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Bagus ternyata kau memang Tan Ciok-sing, sekarang aku mau percaya kepadamu. Tan-toako, kau memang orang yang dapat dipercaya, kukira kau takkan kemari lagi."

   Sudah tentu kaget Ciok-sing bukan kepalang, Khu Ti ternyata memanggilnya "Tan-toako", naga-naganya orang sudah tidak mengenalnya lagi.

   Kulit muka Khu Ti tampak tetap tak menunjukkan mimik perubahan apa-apa meski sedang tertawa lebar, tapi nada suaranya kedengaran amat senang dan riang.

   "Sekarang aku sudah tahu kau adalah Tan Cioksing, memang aku sedang mengharap kedatanganmu. Tapi apakah kau tahu siapa aku?"

   Kembali Ciok-sing berjingkat kaget dibuatnya, katanya tergagap.

   "Khu-locianpwe, kenapa kau bilang begitu? Memangnya kau, kau, kau bukan..."

   "Betul, rekaanmu benar,"

   Ujar Khu Ti.

   "kalau bukan tiruan, sebaliknya akulah yang palsu."

   "Kau, siapa kau?"

   Teriak Ciok-sing.

   "kenapa kau memalsu Khu-locianpwe?"

   Khu Ti berkata.

   "Kalau kau ingin tahu siapa aku, nah berpalinglah kau kesana dan jangan menoleh serta mengintip."

   Memutar tubuh dan membelakangi seorang asing belum diketahui asal-usulnya, bahwasanya merupakan suatu perbuatan yang amat berbahaya, Tapi Tan Ciok-sing tanpa bimbang segera melaksanakan permintaan orang, lekas dia berpaling dan berputar kesana, berdiri tegak meluruskan tangan, pandangan menatap jauh ke depan.

   Terdengar Khu Ti tertawa cekikikan, katanya.

   "Baik sekali, kau mau percaya padaku aku amat senang,"

   Lalu didengarnya sesuatu yang berjatuhan seperti lempung dan sebangsanya yang mengelotok dan berhamburan di tanah. Sesaat kemudian,, tiba-tiba didengarnya suara merdu nyaring bak suara kelinting berkata.

   "Sudah, sekarang kau boleh berpaling kesini."

   Begitu Ciok-sing membalik tubuh, seketika dia berdiri melongo dan menjublek di tempat.

   Ternyata Khu Ti yang tadi bermuka penuh keriput kini berubah menjadi seorang gadis jelita.

   Seperangkat pakaian laki-laki tampak menggeletak di tanah, di sekitar kakinya berserakan pula bubuk dan lempingan-lempingan kecil dari adonan gandum yang sudah kering.

   Pulih wajah si gadis laksana sebingkai porselin, alisnya lentik, kecantikannya tidak kalah dibanding In San.

   Mulut yang kecil mungil tengah menyungging senyum nan molek, sesaat lamanya Ciok-sing terpesona.

   "Tan-toako, maaf bila aku mempermainkan kau. Tadi sudah kuduga akan dirimu, tapi aku belum yakin, terpaksa aku harus bertindak hati-hati,"

   Melihat Ciok-sing masih berdiri menjublek gadis itu tertawa geli sambil menutup mulutnya. Setelah tenang Ciok-sing baru berkata.

   "Ah, kenapa nona bilang begitu, kau sudah menolong jiwaku, belum lagi aku nyatakan terima kasih. Harap tanya nona, ke manakah Khulocianpwe? Nona, kau pernah apanya?"

   Seketika kuncup seri tawa si gadis, wajahnya menampilkan rasa duka, katanya.

   "Kau terlambat datang, ayah sudah meninggal dunia."

   Bagai disambar petir layaknya, kontan Tan Ciok-sing tergentak kaget, sesaat dia melongo, tanpa terasa air mata berlinang, katanya.

   "Dengan wanti-wanti ayahmu berpesan padaku supaya kembali memberi kabar kepadanya, tak nyana beliau sudah mangkat. Entah adakah pesannya yang terakhir untuk aku?"

   Dalam rasa dukanya diam-diam hatinya merasa heran dan bertanya-tanya.

   "Ternyata Khu-locianpwe masih punya seorang putri, kenapa setengah tahun yang lalu tak pernah kulihat dia ada di kedai, beliau tak pernah menyinggung hal ini kepadaku. Mungkin putrinya ini sudah menikah dan tidak tinggal bersama ayahnya?"

   Tapi dilihatnya gadis ini paling baru berusia delapan belas, potongan tubuhnya semampai dan padat, jelas masih seorang gadis perawan. Agaknya si gadis merasakan sorot pandangan Ciok-sing penuh tanda tanya, segera dia menjelaskan.

   "Aku bukan anak kandungnya, aku anak angkat beliau. Aku she Han bernama Cin,"

   Sambil bicara dengan jari telunjuknya dia menulis di atas meja.

   "Cara bagaimana Khu-loyacu meninggal?"

   Tanya Ciok-sing.

   "agaknya beliau pernah menyinggung diriku kepada nona."

   "Silahkan duduk, biar kuseduhkan air teh, nanti kuceritakan kepadamu."

   "Tak usah repot nona Han, lebih baik kau ceritakan dulu kepadaku."

   "Aku harus mewakili Gi-hu (ayah angkat) melayanimu dulu, tak usah buru-buru, kawanan brandal itu toh sudah lari mencawat ekor, sambil masak air, nanti kuceritakan kepadamu."

   Ayah kandung Han Cin bernama Han Cui penduduk Thongciu asli, karena peperangan melanda kampung halamannya, terpaksa dia ngungsi ke Ong-ju-san, Han Cui kenyang membaca dan pandai membuat syair, hakikatnya dia tidak punya kepandaian apapun untuk bekal hidupnya, maka di bawah Ong-ju-san dia membuka sekolahan desa, muridmuridnya adalah anak-anak petani atau pemburu.

   Han Cin berkata.

   "Sekolah desa ayah berada di utara gunung, kedai minum Khu-lopek berada di selatan gunung, jaraknya lima puluhan li. Tapi karena kedua orang mempunyai hobi yang sama, setiap dua tiga hari, kalau bukan ayah pergi ke kedai arak Khu-lopek, pasti dia yang bertandang ke rumahku, sejak itu mereka menjadi sahabat baik."

   Sampai disini airpun telah mendidih, Han Cin memerlukan dua mangkok serta menyeduh teh, katanya.

   "Aku tahu kau bisa minum arak, sayang sisa setengah buli-buli arak yang kusimpan tadi kubuang percuma untuk menggebah kawanan brandal itu. Terpaksa aku hanya bisa menyuguh teh hangat saja."

   Setelah sama-sama menghirup teh Han Cin meneruskan ceritanya.

   "Waktu itu aku masih anak nakal yang berusia enam tahun, tapi Khu-lopek amat senang dan sayang padaku, agaknya selama hidup beliau tak pernah menikah, tak punya anak maka aku dipungutnya sebagai putri angkatnya, beliau mengajar dan mendidik aku belajar Kungfu."

   Sampai disini dia menghirup seteguk air teh lalu melanjutkan.

   "Kepandaian ayah angkatku ternyata amat banyak, kecuali Kungfu, dia masih punya kepandaian lain-lain yang serba aneh dan lucu. Umpama cara merias dan berdandan tadi juga kupelajari dari beliau, tak nyana hari ini berhasil kumanfaatkan."

   "Kepandaianmu dalam bidang ini ternyata memang amat menakjubkan, aku sendiripun kena kau kelabui?"

   Demikian puji Ciok sing.

   "Maklum aku memalsu ayah yang paling kukenal, jika memalsu orang lain, mungkin takkan dapat mengelabuhi matamu."

   Han Cin bercerita lebih jauh.

   "tiga tahun yang lalu, tiba-tiba beliau kangen akan kampung halaman, maka beliau ajak aku pulang ke Thong-ciu. Tak nyana tak lama setiba di kampung halaman beliau jatuh sakit dan selama beberapa lama rebah di ranjang sampai tahun lalu baru meninggal dunia. Setelah ayah di kebumikan dan aku berkabung selama seratus hari, baru aku kembali dan menetap disini bersama Gihu. Baru tiga bulan yang lalu aku sampai disini."

   "Kedai minum itu dibakar oleh pasukan pemerintah, penduduk sekitarnya memberitahu padaku, untuk menghindari petaka ini, entah kemana ayah menyembunyikan diri. Aku masih ingat entah beberapa kali ayah pernah menyatakan keinginannya hendak mengasingkan diri di Cui-hwi-hong puncak tertinggi dari Ong-ju-san yang indah panoramanya. Tapi lantaran tidak tega meninggalkan sahabat baiknya, maka sejauh itu dia tunda keinginannya. Ayahku tidak bisa main silat, tak mungkin dia memanjat ke Cui-hwi-hong.

   "Dengan perasaan ingin coba-coba, aku memanjat ke Cuihwi- hong. Ternyata aku memang beruntung, tapi juga tidak beruntung. Waktu aku menemukan beliau, dia sudah sakit amat parah dan hampir menghembuskan napasnya terakhir. Melihat kedatanganku dia berusaha menguatkan diri, tapi aku hanya satu jam menemani dia."

   Dalam dukanya Tan Ciok-sing merasa lega juga, katanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Syukurlah, bukan lantaran dicelakai pasukan pemerintah itu,"

   Lalu menyambung.

   "Gi-humu memiliki Kungfu yang tingggi, sebelum berpisah dengan aku, hari itu dia sudah pamer kepandaiannya yang khas, dengan seguci arak dia menyembur ke empat bersaudara tadi sampai lari lintang pukang. Sungguh tak nyana secepat ini tahu-tahu dia sudah mangkat."

   "Bagi orang yang berkungfu tinggi, mungkin puluhan tahun tak pernah sakit, tapi sekali jatuh sakit maka kesehatannya akan terganggu secara hebat. Demikianlah keadaan Gi-hu. Akulah yang harus disalahkan kenapa tidak datang lebih dini beberapa hari, beliau tiada yang meladeni..."

   "Mati hidup manusia sudah suratan takdir,"

   Demikian hibur Tan Ciok-sing.

   "manusia mana yang bisa meramal akan nasib sendiri. Untuk ini kau tidak bisa disalahkan. Bukankah akupun terlambat datang?"

   Han Cin menghela napas katanya.

   "Syukurlah kedatanganku masih sempat menemuinya sebelum dia ajal dan mengantar keberangkatan-nya."

   "Adakah beliau meninggalkan pesan?"

   "Beliau bilang. 'Manusia akhirnya akan mati, usiaku sudah mencapai tujuh puluh, terhitung berumur panjang, kenapa pula harus disesalkan menghadapi kematian ini? Apalagi orang macam aku dari kalangan perwira Gi-lim-kun yang menjadi kaum persilatan, di hari tuaku aku bisa mati dengan tentram, aku sendiripun tak pernah menduganya. Satu hal yang masih menjadi ganjalan hatiku hanyalah merindukan seorang sahabat muda, dia adalah anak dari seorang sahabatku.' Tantoako, tentunya kau paham, orang yang dimaksud beliau adalah engkau."

   Berkaca-kaca air mata Ciok-sing, katanya.

   "Begitu baik beliau terhadapku, sayang aku tiada kesempatan lagi untuk membalas kebaikannya."

   "Keinginannya yang terakhir sudah kau tunaikan dalam perjalananmu ke Kwi-lin kali ini, itu berarti kau telah membalas kebaikannya. Malah aku yang belum sempat membalas budi kebaikannya."

   "Bagaimana dia membicarakan diriku dengan kau?"

   "Dia memberitahu janjinya denganmu terhadapku, cuma belum diketahui kapan kau bakal kembali, umpama kembali juga sukar untuk mencarinya kesini. Tapi dia mengharap aku suka menunggu kau disini, walau harapan untuk ketemu teramat tipis, tapi kan lebih baik dari pada menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu."

   "Selama dua bulan lebih ini apakah kau berada disini?"

   "Sebulan lebih aku tinggal di gubuk ini, namun kau tidak kunjung datang. Aku tidak tahu apakah kau pernah kemari, atau pernah kemari tapi tidak menemukan-jejak kami maka kau pergi. Setelah kupikir putar balik, dari pada aku menunggu saja disini, ada lebih baik aku turun gunung menyirapi kabar. Kira-kira setengah bulan yang lalu aku turun gunung."

   Setelah meneguk secangkir air, dia berkata pula.

   "Karena tidak memperoleh berita apa-apa, aku pulang ke tempat sekolahan ayahku dulu, disana aku tinggal belasan hari, tadi pagi mendadak kuingat bahwa Gi-hu masih meninggalkan beberapa buah lukisan dan buku-buku tulisan yang belum kusimpan, maka pagi-pagi tadi aku buru-buru kemari. Syukurlah hari ini aku kemari, akhirnya kutemukan kau disini,"

   Sampai disini tanpa kuasa merah mukanya.

   Ternyata ayah angkatnya ada dua cita-cita yang belum terlaksana dan pernah berpesan kepada Han Cin, cuma dalam ceritanya tadi dia hanya membeber satu di antaranya.

   Kecuali merindukan Tan Ciok-sing, Khu Ti juga menguatirkan masa depan putri angkatnya ini, dia menyatakan penyesalannya karena tidak keburu mencarikan jodoh setimpal untuk putri angkatnya ini.

   Sudah tentu keinginan Khu Ti ini sukar dia nyatakan secara berhadapan terhadap Tan Ciok-sing.

   Untung Ciok-sing tidak begitu perhatikan perubahan mimik mukanya, katanya.

   "Memang untung hari ini kau kemari, kalau tidak mungkin aku takkan bisa duduk disini berbincang dengan kau. Tentunya kau mendengar suitanku dan lekas datang membantu aku bukan?"

   "Bukan saja aku mendengar suitanmu, akupun mendengar senandungmu."

   "Itulah syair tulisan kakek di waktu berkenalan dengan ayah angkatmu dulu."

   "Waktu itu aku tengah berada di pusara Gi-hu, kudengar kau bersenandung dengan tenaga lwekang tinggi, diam-diam aku sudah duga akan kedatanganmu, maka buru-buru aku berlari pulang. Lucu adalah Huwan bersaudara itu tiada yang tahu akan kedatanganku."

   "O, jadi kau merias dirimu didalam gubuk ini juga,"

   Cioksing manggut-manggut.

   "Ya, aku kenakan pakaian lama Gi-hu. Untung dalam almari masih ada sisa gandum, kebetulan cukup untuk merubah bentuk mukaku. Kalau Gi-hu sekali sembur arak dapat melukai empat musuh sekaligus, aku hanya mampu melukai satu orang yang berkepandaian paling rendah lagi, jauh sekali kemampuanku bila dibanding Gi-hu. Untung Huwan bersaudara ciut nyalinya oleh semburan arak Gi-hu tempo hari melihat aku menggunakan cara lama, sudah tentu mereka tidak menaruh curiga lagi."

   "Ayah angkatmu tak bisa kutemui lagi, adalah pantas kalau aku sembahyang di depan pusara beliau, nona-Han sudikah kau mengantar aku?"

   Tiba-tiba Han Cin seperti ingat sesuatu katanya.

   "Oh, ya, Gi-hu ada sesuatu benda yang harus kuserahkan kepadamu di depan kuburannya."

   "Barang apa itu?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Nanti juga kau akan tahu,"

   Agaknya pesan Khu Ti memang menghendaki dia berbuat demikian maka dia tidak boleh memberitahu kepada Ciok-sing lebih dulu. Sudah tentu tak enak Tan Ciok sing banyak tanya, pikirnya.

   "Tentunya suatu persoalan yang amat penting, maka Khu-locianpwe merasa perlu untuk memberikan pesannya ini. Ai, betapa besar budi kebaikan dan keluhurannya terhadapku, bila dia meninggalkan suatu pesan yang belum terlaksana, apakah aku harus menunaikannya dengan segala kemampuanku?"

   Dengan hati yang dirundung tanda tanya akhirnya Ciok-sing tiba di depan kuburan Khu Ti, teringat betapa besar kasih sayang Khu Ti terhadap dirinya, serta hubungannya dengan tiga generasi keluarganya, tanpa kuasa Ciok-sing menangis sesenggukkan.

   Sesaat lamanya baru dia angkat kepala dan berpikir.

   "Semasa hidupnya beliau paling suka mendengar petikan harpa kakek, sayang harpaku itu sudah kuhadiahkan kepada orang lain, tak bisa aku memelikkan lagu untuk menghibur arwahnya di alam baka."

   Teringat akan harpa serta meria terbayang pula akan In San, batinnya.

   "Khu-locianpwe adalah sababat kakek yang paling kental, walau hanya sekali aku bertemu, namun dia lebih akrab dan sayang dari pada sanak familiku sendiri, Kakek adik San juga adalah pengagum kakekku, meski di masa hidupnya kakek tidak tahu akan hal ini. Demikian pula akan adik San, dia adalah temanku yang paling intim dari lawan sejenis. Ai, tak nyana selanjutnya aku tak akan bisa bertemu lagi dengan Khu-locianpwe, entah kapan pula baru aku akan bisa berhadapan dengan adik San pula."

   Memang lain Khu Ti lain In San, yang satu kakek ubanan yang lain gadis jelita yang menjadi idaman hatinya namun dalam pandangan Cioksing dia pandang kedua orang ini sebagai sanak kadang yang paling dekat lahir batin dengan dirinya, kalau yang tua kini sudah tiada, sementara sang pujaan sekarang entah berada dimana.

   Kalau yang satu mati dan berpisah, yang masih hiduppun terpaksa harus berpisah, yang sudah mati memang patut dibuat duka, tapi yang masih hidup juga memilukan.

   Berlutut di hadapan kuburan Khu Ti, dua perasaan berkecamuk dalam benaknya, tanpa kuasa dia menangis sejadi-jadinya.

   Han Cin tak tahu isi hatinya, segera dia menghibur.

   "Usia Gi-hu sudah mencapai tujuh puluh tahun, meninggal dalam usia selanjut itu memang tidak perlu dibuat sedih. Tan-toako, tidak perlu kau berduka sedemikian rupa."

   Ciok-sing menunduk diam, rasa rawan, masgul dan pilu masih berselubung dalam sanubarinya, karena tidak membawa harpa, mendadak dia menepuk-nepuk batu nisan terus bersenandung.

   Suaranya lantang keras penuh dibuai perasaan makna syair yang dibawakan.

   Han Cin hanyut oleh senandungnya ini, pelan-pelan dia mengeluarkan sebatang seruling bambu kuning yang kecil pendek, segera dia iringi senandung Cioksing dengan tiupan lagu yang sama.

   Tiupan serulingnya Han Cin ternyata amat merdu dan mahir sekali, caranya meniup rasanya tidak lebih asor dari Kek Lam-wi.

   Selesai satu lagu Han Cin lantas berkata.

   "Itulah syair yang paling digemari Gi-hu semasa hidupnya dulu."

   "Ya, aku tahu. Karena melihat syair tulisannya inilah maka ayah membongkar asal-usul dirinya lalu bersahabat. Nona Han, kepandaianmu meniup seruling, apakah juga kau pelajari dari Khu-locianpwe?"

   "Bukan, ayah kandungku sendiri yang mengajar kepadaku."

   "O, ayahmu sendiri yang mengajar,"

   Tiba-tiba tergerak hatinya, tanyanya.

   "Tahukah kau ada seorang bernama Kek Lam-wi?"

   "Tidak tahu. Orang macam apakah dia?"

   "Seorang pemuda yang kenamaan dari daerah Kanglam." '"Sejak kecil aku masih hidup di gunung, baru musim semi yang lalu aku pulang kampung halaman, untuk pertama kali itulah aku keluar pintu ke tempat jauh, jarang aku bertemu dengan orang luar, apa lagi orang-orang persilatan. Kalau para pendekar dari generasi tua, Gi-hu sering bercerita tentang hikayat mereka, tapi untuk kaum muda kukira Gi-hu sendiri juga tidak tahu. Demikian pula orang she Kek ini, beliau tidak pernah bicara dengan aku. Tan-toako, kenapa mendadak kau singgung orang ini terhadapku?"

   "Tiupan serulingnya baik sekali, merupakan seorang kosen dalam bidang ini. Tapi kau ternyata tidak lebih jelek dari dia."

   Merah muka Han Cin, katanya.

   "Tan-toako kau menggodaku saja. Seenaknya saja aku belajar dari ayah, mana boleh dibanding seorang kosen."

   "Pujianku bukan sembarang pujian, tiupan serulingmu memang bagus. Apa lagi kau seorang gadis belia, namun kau mampu membawakan sebuah lagu duka nestapa dengan baik sekali. Kalau aku tidak saksikan kau meniup seruling dihadapanku, hanya mendengar dengan kuping saja, aku pasti kira kau adalah Kek Lam-wi."

   "Ah, mana aku pantas dijajarkan dengan seorang ternama. Tapi bahwa tiupan serulingku ternyata mirip dengan temanmu, akupun merasa heran."

   "Kalian tak ubahnya hasil didikan dari satu guru."

   "O, makanya tadi kau tanya aku. Mungkin orang yang mengajar meniup seruling kepada ayah dulu, seperguruan dengan aliran perguruan temanmu itu. Sayang ayah tidak pernah menyinggung soal ini terhadapku."

   "Kukira memang demikian. Kalau rekaanku ini betul, maka ahli seruling yang mengajar ayahmu itu, tingkatannya pasti jauh lebih tinggi dari guru Kek Lam-wi."

   Han Cin berkata.

   "Persoalan yang tidak penting tak usah kita bicarakan lagi mumpung waktu masih pagi kalau kau mau turun gunung, kukira sudah tiba saatnya kau berangkat."

   "Ya, tadi kau bilang Khu-locianpwe ada titip barang apa yang hendak kau serahkan padaku di depan kuburannya, sekarang boleh kau serahkan kepadaku."

   Maka Han Cin lantas menjelaskan.

   "Inilah surat peninggalan ayah kepadamu."

   Ciok-sing terima sampul surat itu serta membukanya, begitu membaca isi surat seketika dia berdiri melongo.

   Kiranya itulah surat yang isinya menyinggung soal jodoh, surat itu ditulis Khu Ti waktu dia mulai sakit, jadi jauh hari sudah dipersiapkan lebih dulu.

   Dalam surat Khu Ti menyatakan bahwa usianya sudah genap tujuh puluh, begitu terserang penyakit, dia lantas mendapat firasat dan tahu bahwa dirinya takkan hidup lebih lama lagi, dirasakan hidup ini dia tak pernah melakukan sesuatu yang baik untuk nusa dan bangsa, hal ini amat disesalkan.

   Di kala jiwa sudah di ambang pintu meninggalkan alam baka ini, hati masih dirundung dua persoalan yang selama ini masih menjadikan tanggungan batinnya.

   Membaca sampai disini lapat-lapat Ciok-sing sudah meraba kemana juntrungnya isi surat selanjutnya, tanpa kuasa jantungnya berdetak kencang.

   Memang betul dalam suratnya Khu Ti berkata lebih lanjut, kedua persoalan yang masih menjadikan ganjalan hatinya adalah belum mampu membantu It-cu-king-thian mencapai cita-citanya, dan soal kedua adalah masa depan dan perjodohan putri angkatnya.

   Setelah dia memperkenalkan nama, riwayat hidup serta paras perawakan putri tunggalnya, Khu Ti berkata lebih lanjut, dia yakin keinginannya yang pertama pasti Ciok-sing tidak menampik harapannya.

   Dia bilang dia tahu bahwa Ciok-sing belum menikah dan belum punya tunangan, dia yakin bahwa putri angkatnya adalah jodoh setimpal bagi Ciok-sing.

   Bahwa dulu dia wantiwanti pesan kepada Ciok-sing supaya lekas kembali menengok dirinya, tujuannya juga hendak merangkap perjodohan ini.

   Sayang waktu tidak mengizinkan, Thian telah memanggilnya pulang lebih dahulu, sehingga dia tidak sempat menunggu Ciok-sing kembali menemuinya.

   Maka dia meninggalkan surat pesan ini dan diminta Ciok-sing suka menganggap surat pesan ini sebagai bukti dari ikatan perjodohan itu.

   Dua baris terakhir dari tulisan surat itu kelihatan coret moret dan tenaganya tampak lemah, itulah tulisan tambahan di kala Khu Ti sudah mendekati ajal.

   Dia sudah bertemu dengan putri angkatnya Han Cin, juga sudah tahu kalau ayah Han Cin sudah meninggal.

   Maka dalam pesannya terakhir dia menambahkan bahwa mereka berdua kini sudah menjadi anak sebatang kara, maka dia lebih mengharap akan perjodohan ini, umpama Ciok-sing tidak menyukai putri angkatnya, dia minta supaya Ciok-sing wakilkan dia melindunginya.

   Tapi Khu Ti tidak sempat memberi penjelasan kepada putri angkatnya, maka dia hanya bisa titip surat pesan ini kepadanya, supaya putri angkatnya yang serahkan langsung kepada Ciok-sing.

   Dua baris kalimat terakhir nadanya lebih ditekankan lagi.

   "Aku bersahabat dengan generasi keluargamu, yakin Hiantit akan mengabulkan keinginanku terakhir ini dengan senang hati."

   Setelah membaca surat ini, ruwet pikiran Ciok-sing.

   Hatinya gundah dan bingung.

   Lama dia berdiri menjublek di depan kuburan Khu Ti.

   Memang dia sudah berkeputusan, yakin dia sudah memutus tali asmara, memutuskan hubungan cintanya dengan In San.

   Tapi bagaimana juga bayangan In San masih selalu terbayang dalam benaknya, memangnya sedemikian cepatnya dia lantas mengalihkan sasaran cintanya kepada orang lain? Apalagi baru hari ini dia berkenalan dengan Han Cin, berkumpul juga baru satu dua jam? Tapi sesuai apa yang dikatakan dalam surat Khu Ti, tiga generasi keluarganya semua berhutang budi terhadapnya, memangnya pantas dia menyia-nyiakan harapan orang yang luhur? Melihat sikap orang seperti linglung, Han Cin jadi kuatir, katanya.

   "Apa yang dikatakan Gi-hu dalam suratnya? Apakah tugas yang harus kau lakukan teramat sukar dan berabe?"

   Sudah tentu kikuk dan rikuh Ciok-sing dibuatnya, katanya.

   "Nona Han, apa kau tidak pernah baca surat ini?"

   "Itukan surat Gi-hu untuk kau, mana boleh aku membuka dan membacanya?"

   Seolah-olah dia merasa heran akan pertanyaan Ciok-sing ini. Legalah hati Ciok-sing, katanya.

   "Kukira dia sudah tunjukkan kepadamu lebih dulu."

   "Kenapa dia harus tunjukkan kepadaku dulu? Memangnya dalam surat beliau menyinggung diriku?"

   "Betul, dalam surat beliau menyinggung dirimu."

   Tanpa merasa berdebar jantung Han Cin, tanyanya menunduk dengan suara lirih.

   "Gi-hu menyinggung soal apa tentang diriku?"

   "Beliau menghendaki kita seperti saudara sekandung, dia minta aku melindungi dan membimbingmu, dan kaupun harus membantu aku."

   Selama hidup tak biasa dia berbohong, tapi bukan tidak pernah dia bohong, terhadap orang jahat dia pernah ngapusi. Tapi terhadap orang baik, terutama terhadap sahabat, baru pertama kali inilah dia berbohong. Karuan mukanya merah sendirinya.

   "Tapi Khu-locianpwe memang menghendaki aku melindungi dia, kalau dia sebagai anak angkatnya, sebaliknya aku tak ubahnya sebagai keponakannya, kalau dikata sebagai kakak adik kan tidak janggal,"

   Dengan demikian dia menghibur diri dalam hati Lambat laun sirna juga rasa jengah Han Cin, katanya kemudian dengan suara tawar.

   "Gi-hu begitu serius, memangnya beliau hanya berpesan soal-soal ini saja."

   "Ya, dalam pandangan Gi-humu, hal ini dirasa amat penting sekali. Dalam dunia ini beliau hanya punya kau sebagai sanak kadang. Akupun harus berterima kasih dan membalas budi kebaikannya, sebelum ajal, beliau sudi pandang diriku seperti sanak kadang sendiri. Nona Han, sudikah kau mempunyai engkoh seperti diriku ini?"

   "Aku tiada punya ayah bunda atau kakak beradik, kini Gi-hu yang menjadi sandaranku juga sudah meninggal. Tan-toako, kalau sudi memandangku sebagai adik, kumintapun belum tentu bisa tercapai. Cuma aku kuatir adikmu yang tidak berguna ini bakal menjadikan beban berat bagi dirimu."

   "Yang tak berguna justru aku, kalau tiada bantuan adik yang baik seperti dirimu, mungkin sekarang aku sudah mati atau terluka parah, masakah aku bisa berdiri disini berbincangbincang dengan kau?"

   Maka keduanya lantas bersembah sujud di hadapan kuburan Khu Ti saling mengangkat kakak dan adik.

   Memang Han Cin tidak pernah membaca surat itu, tapi sebenarnya dia tahu apa isi surat itu.

   Walau sebelum ajalnya Khu Ti tidak memberi penjelasan kepadanya, tapi dari pembicaraannya dia sudah maklum akan maksud tujuan ayah angkatnya, yaitu ingin menjodohkan dirinya dengan Tan Cioksing.

   "Mungkin ayah juga berpikir, karena aku adalah orang asing yang belum pernah bertemu dengan dia, jikalau sekali ketemu lantas bicara soal jodoh, bukankah serba salah jadinya, maka beliau ingin supaya kami sebagai kakak beradik dulu. Bahwa Gi-hu menyuruhnya melindungi aku, bukankah secara tidak langsung sudah menunjukkan maksudnya yang nyata,"

   Demikian batin Han Cin.

   Yang benar, setelah dia tahu kemana maksud sang ayah, hatinya ikut ruwet dan bingung.

   Pada hal sang ayah memuji Tan Ciok-sing sebaik itu, betapapun dia adalah laki-laki yang masih asing untuk dirinya, darimana dia bisa tahu kalau orang suka atau tidak terhadap dirinya? Umpama sekarang dia sudah berhadapan dengan Ciok-sing, diapun tidak tahu apakah dia sudah betul-betul jatuh cinta terhadap sang jejaka ini? Tadi dia sudah saksikan Kungfu Ciok-sing, apa yang dipujikan sang ayah memang tidak berkelebihan.

   Dari pergaulan permulaan ini, diapun sudah merasakan kalau Tan Ciok-sing adalah laki-laki sejati yang patut dipercaya dan dihormati.

   Dia juga tidak menyangkal, bahwa semakin lama dia semakin kasmaran terhadap pemuda gagah ini.

   Tapi bicara soal jodoh, lain pula persoalannya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "suka"

   Belum tentu berarti "cinta".

   "Urusan kelak biarlah dibicarakan kelak. Mungkin aku bakal jadi isterinya, atau selamanya kita tetap sebagai kakak adik, itupun tiada ruginya. Apalagi aku menyukai dia, maka diapun harus menyukai aku. Masakah berdasarkan surat pesan maka dia harus cinta dan mengawini aku, apa pula artinya?"

   Setelah Han Cin dapat berpikir demikian, perasaannya menjadi lapang dan bersyukur bahwa sang ayah ternyata memang punya perhitungan dalam memegang rol perjodohon ini, dan ini justeru mencocoki seleranya pula.

   "Adik Cin, selanjutnya bagaimana?"

   Tanya Ciok-sing kemudian.

   "Entahlah. Ayah sudah meninggal, semula kukira aku dapat mencari perlindungan kepada Gihu,"

   Sikapnya tampak hambar.

   "Apakah di kampung halaman kau tidak punya sanak kadang lagi?"

   "Famili dekat tiada, ada juga famili jauh kalau mau diurutkan satu dengan yang lain, tapi mereka adalah kaum pedagang kecil, aku tidak ingin bersandar pada mereka."

   Merandek sejenak akhirnya Han Cin berkata lebih lanjut.

   "Sebetulnya aku bisa pulang ke sekolahan ayah dulu, orangorang desa itu semuanya jujur dan menyenangkan. Aku yakin bisa hidup berdampingan dengan mereka. Tapi bicara terus terang, selama belasan tahun aku hidup di dusun kecil itu, akhirnya menjadi bosan juga. Dulu ada ayah sebagai teman, ada pula Gi-hu mengajar Kungfu, memang kehidupan terasa tentram dan menyenangkan. Ai, tapi selanjutnya lain pula yang bakal kuhadapi."

   Berpikir sejenak akhirnya Ciok-sing berkata.

   "Kau memiliki kepandaian, memang tidak pantas memendam diri di pedusunan selama hidup ini. Adik Cin, marilah kau ikut aku saja,"

   Sebetulnya Ciok-sing sendiri juga belum punya keputusan, namun teringat akan pesan Khu Ti supaya dia melindungi adik angkatnya ini, maka dia tidak banyak pikir lagi. Kelihatannya Han Cin agak kikuk dan serba susah, katanya.

   "Antara kakak beradik memang tidak perlu sungkan dan main sembunyi, tapi memangnya aku harus mengikuti kau selalu,"

   Sebetulnya dia ingin bilang 'memang aku harus ikut kau selamanya' untung dia sempat membatalkan kata-katanya ini, namun demikian tak urung merah selebar mukanya.

   Ciok-sing mendongak mengawasi gumpalan mega seperti memikirkan sesuatu, seakan-akan dia tidak begitu perhatikan perubahan mimik muka Han Cin, mendadak dia berseru.

   "Nah, ada."

   "Ada apa?"

   Tanya Han Cin.

   "Apa kau tahu Kim-to Cecu yang bermarkas diluar Gan-bunkoan?"

   Tanya Ciok-sing.

   "O, apakah Kim-to Cecu Ciu San-bin yang kau maksud. Dia merupakan tonggak utama di daerah Gan-bun-koan, pernah beberapa kali dia membendung dan malah memukul mundur invansi pasukan Watsu, sering Gi-hu bercerita tentang pahlawan tua yang perwira ini. Kau tanya soal dia, memangnya kau kenal Kim-to Cecu, dan ingin mengajakku ke markasnya?"

   Demikian tanya Han Cin sambil menjingkrak girang.

   "Aku sendiri belum pernah ketemu dengan Kim-to Cecu, tapi ada kenalan baikku disana. Dalam markasnya ada detasemen wanita, mereka kini tengah memerlukan tenaga gadis-gadis militan, jika kau mau membantu mereka, mereka pasti senang menerimamu."

   "Baiklah kalau begitu,"

   Han Cin bersorak girang.

   "Tapi kau harus menolong aku lebih dulu,"

   Ujar Ciok-sing.

   "Menolong soal apa, Toako, lekas katakan saja, tak usah sungkan."

   "Kepandaianmu merias orang sungguh amat ahli. Kupikir sukalah kau tolong merubah aku menjadi orang lain. Di kota Tay-tong aku pernah membuat geger, aku kualir pengusaha disana mengenali diriku."

   "Itu gampang. Kau suka jadi tua? Muda? Gagah, ganteng? Atau yang jelek rupa?"

   "Apa saja bolehlah, jadi jelek seperti badut juga tidak jadi soal. Yang penting orang lain takkan mengenali diriku lagi."

   "Baiklah, mari kita kembali ke pondok Gi-hu. Gi-hu masih meninggalkan beberapa perangkat pakaian lama, biar nanti kurobah sedikit, besok baru mulai menyolek dirimu."

   Malam itu Ciok-sing tidur di ruang tamu bagian luar, sementara Han Cin tidur di kamar ayah angkatnya, tapi sampai kentongan ketiga sinar pelita masih kelihatan menyorot keluar dan dalam kamar, agaknya Han Cin giat menjahit pakaian.

   Sungguh haru dan terima kasih hati Cioksing, namun dia merasa rikuh untuk mengganggu pekerjaan orang, terpaksa dia tinggal diam dan pura-pura tidur nyenyak.

   Pada hal pikirannya timbul tenggelam, hatinya gundah kalau bayangan Han Cin tersorot ke jendela kamarnya, adalah bayangan In San selalu terbayang dalam benaknya, kira-kira menjelang fajar baru tanpa terasa dia tertidur lelap.

   Hari kedua pagi-pagi, Han Cin membangunkannya, katanya tertawa.

   "Toako, bangunlah, aku akan merubahmu jadi lakilaki jelek."

   Pakaian yang dijahit dan dipermaknya itu seperti telah diukur dan dicobakan dulu kepada Ciok-sing saja, ternyata pas dan cocok dengan perawakan Ciok-sing.

   Setelah Ciok-sing masuk kamar salin pakaian, mulailah Han Cin merias dia, setelah rampung Han Cin sodorkan sebingkai kaca kepadanya, tampak seraut wajah yang tampak didalam kaca adalah orang desa penduduk setempat, memangnya bentuk wajahnya kelihatan kurus panjang, kini berubah bundar gemuk.

   Dengan tertawa Han Cin berkata.

   "Kini kau pantas menjadi seorang pedagang kecil yang suka mengkreditkan barangbarang klontong di antara penduduk pegunungan, kaum pedagang kecil seperti ini cukup banyak di Tay-tong, kau puas tidak?"

   "Teramat puas. Aku sendiri hampir tidak mengenali wajahku sendiri."

   "Sarapan pagi sudah kusiapkan, kutaruh di dapur, kalau sudah dingin silahkan kau panaskan lagi. Sebentar kau makan sendiri, aku mau turun gunung."

   "Kenapa kau tidak turun gunung bersamaku?"

   "Aku akan titipkan buku dan lukisan peninggalan Gi-hu kepada seorang kenalan baiknya, setelah mohon diri pada kenalan ayah di desa."

   "Apa aku tidak boleh ikut?"

   Han Cin tertawa.

   "Mereka adalah kenalan baikku, kalau para tetangga berbondong-bondong datang tanya kepadaku pernah apa kau dengan diriku, cara bagaimana aku harus menjelaskan?"

   Merah muka Ciok-sing, seketika dia bungkam.

   "Setelah kau turun gunung, tunggulah aku di kedai arak Gihu dulu, kira-kira setengah jam setelah lewat lohor, aku akan sudah tiba di tempat itu,"

   Lalu dia menjinjing sebuah koper kulit yang penuh berisi buku dan gambar meninggalkan gubuk, dengan mengembangkan ginkang dia berlari turun gunung.

   Melihat langkah orang ternyata enteng dan lincah, diam-diam Ciok-sing merasa kagum.

   Setelah sarapan pagi Ciok-sing turun gunung, dia berjalan seenaknya saja, kira-kira menjelang lohor dia sudah sampai di kedai arak Khu Ti yang terletak di kaki gunung.

   Kedai arak ini sudah tinggal puing-puingnya saja, dua batang pohon di samping kedai masih ada, maka Ciok-sing istirahat duduk di bawah pohon.

   Setengah jam telah berselang, tapi belum tampak bayangan Han Cin.

   Tengah Ciok-sing merasa gelisah, mendadak tampak seorang pemuda dari penduduk setempat menghampiri ke depannya, berdiri sejenak lalu mengawasi dirinya dari kepala sampai kaki.

   "Tuan, kau datang dari luar daerah bukan, siapa yang kau tunggu disini?"

   Demikian tanya pemuda itu.

   "Aku, aku, darimana kau tahu kalau aku sedang menunggu orang?"

   Ciok-sing balas bertanya.

   "Kulihat kau duduk disini sudah lebih setengah jam, bukankah sedang menunggu orang, kalau tidak kenapa tidak cari kedai minum yang lain. Memang disini dulu ada kedai arak, tapi sudah dibakar habis oleh tentara,"

   Demikian ujar si pemuda pula.

   Sudah tentu Ciok-sing jadi serba susah untuk menjelaskan.

   Walau dia tahu bahwa pemuda ini tidak mengandung maksud jahat, tapi mana boleh dia memberirahu secara terangterangan? Di saat dia kebingungan itulah, si pemuda tiba-tiba tertawa geli, katanya.

   "Kau sedang menunggu seorang nona she Han bukan?"

   Ciok-sing berjingkrak kaget dan senang, katanya.

   "O, jadi nona Han yang menyuruh kau kemari? Apakah dia mengalami suatu kejadian apa sehingga tak keburu kemari?"

   "Dia sih sudah datang,"

   Sahut si pemuda.

   "Dimana?"

   Tanya Ciok-sing sambil celingukan, kecuali pemuda di hadapannya, di sekitar situ tiada bayangan orang ketiga. Akhirnya pemuda itu cekikikan, katanya.

   "Jauh di ufuk dekat di depan mata,"

   Suaranya mendadak berubah, dari suara laki-laki yang serak dan kasar menjadi suara merdu bak kicau burung kenari. Baru sekarang Ciok-sing sadar, katanya tertawa sambil menepuk paha.

   "Bagus ya, aku menunggumu dengan gelisah, kau justru mempermainkan aku."

   "Aku ingin coba-coba apa kau masih mengenali aku. Merubah wajah gampang, aku kuatir suaraku yang gampang dikenali akan kepalsuanku."

   "Pasti orang takkan curiga kepadamu. Tapi kenapa kau menyamar jadi pemuda?"

   "Meski kita kini kakak adik, tapi wajah berbeda, orang luar kan tidak tahu apalagi laki perempuan seperjalanan, tentunya menarik perhatian orang."

   "Itu aku tahu. Tadi aku kira kau akan menyaru jadi seorang kakek. Samaranmu menjadi Gi-humu kemarin sungguh bagus sekali."

   "Kalau aku menyaru jadi kakek, maka kau akan menjadi cucuku, bukankah lebih menguntungkan aku malah?"

   "Kau memang adik binal, baiklah, tak usah ribut-ribut, marilah berangkat."

   "Aku takkan melakukan kesalahan, sebaliknya kaulah yang harus selalu hati-hati. Ingat, selanjutnya jangan panggil aku Hian-moay, tapi panggillah Hian-te, mari."

   Mengawasi dandanan Han Cin, tanpa terasa Ciok-sing teringat pula kepada In San, waktu pertama kali dia bertemu dengan In San di tengah perjalanan diluar kota Tay-tong, In San juga sedang menyamar jadi laki-laki.

   Walau tidak semirip samaran Han Cin sekarang, waktu itu diapun tidak bisa membedakannya.

   "Eh,"

   Seru Han Cin.

   "apa yang sedang kau lamunkan Toako? Wajahmu tampak lesu, memangnya kau kurang senang karena kugoda tadi?"

   "Memangnya kau kira Toakomu ini suka rewel dan bawel. Aku sedang terkenang pada ayah angkatmu, terbayang olehku pada hari perkenalanku di kedai itu dengan beliau. Meski kedai sudah terbakar, tapi kejadian itu masih tetap semayam dalam sanubariku,"

   Habis berkata tanpa sadar mukanya jengah.

   Inilah untuk kedua kalinya dia berbohong kepada Han Cin.

   Tapi sekarang dia betul-betul teringat kepada Khu Ti.

   Terbayang akan Khu Ti serta merta dia mengawasi Han Cin di depannya, perasaannya semakin hambar.

   Selama ini dia belum membalas kebaikan Khu Ti, memangnya dia menyianyiakan maksud dan harapan Khu Ti.

   Untung Han Cin tidak membongkar rahasia sanubarinya, selama hidupnya baru pertama kali ini dia seperjalanan dengan seorang laki-laki kecuali ayah kandungnya sendiri, walau kadang kala dia membawakan juga watak dan perangai seorang gadis belia umumnya, tapi ini menandakan betapa senang dan gembira hatinya.

   Mungkin belum bisa dikatakan sudah terjalin cinta di antara mereka, tapi keadaan mereka sudah layak seperti kakak beradik.

   Sepanjang perjalanan ini keduanya sering berkelakar, Ciok-sing sendiri sering juga terhibur hatinya oleh banyolan Han Cin, sehingga rasa masgulnya selama ini sirna tanpa terasa.

   Memang banyak persamaan antara Han Cin dengan In San, tapi Han Cin lebih riang dan lincah suka berkelakar dari In San.

   Hari itu mereka tiba di Tay-tong.

   Maklumlah sebagai kota yang cukup besar dan penting di daerah barat daya, setelah mengalami petaka peperangan, lekas sekali Tay-tong sudah sembuh dari kebobrokan perang, pendudukpun telah pulih juga usahanya.

   "Toako,"

   Kata Han Cin.

   "apakah kita tidak perlu cari hotel untuk menginap?"

   Maklum dia kuatir Tay-tong sebesar dan seramai ini, tentu sulit mencari penginapan.

   Selama beberapa hari perjalanan ini, setiap kali menginap di hotel mereka selalu minta dua kamar, memangnya setelah terjadi peperangan ini, banyak pedagang yang menghentikan usahanya, sehingga jarang orang keluar pintu, dengan sendirinya usaha perhotelan menjadi sepi, kebetulan kalau mereka suka memesan dua kamar.

   Tapi setiba di Tay-tong, keadaan jelas berbeda.

   Agaknya Ciok-sing tahu maksud hatinya, katanya dengan senyum simpul.

   "Kita tak perlu menginap di hotel."

   "Kau punya teman-baik di Tay-tong ini."

   "Kukenal secara kebetulan saja, mungkin tak terhitung teman. Tapi aku yakin dia pasti dengan senang hati menyambut kedatangan kita."

   "Kecuali keluarga In, kukira tiada keluarga besar lainnya yang ternama dalam kota Tay-tong, siapa orang yang kau kenal ini?"

   "Orang ini sedikitpun tidak bisa main silat, tapi usahanya mirip ayah angkatmu, diapun membuka kedai minuman."

   Letak kedai minum itu hanya terpaut satu gang dengan rumah keluarga In, waktu Tan Ciok-sing datang ke Tay-tong, tempo hari, diapun mencari tahu berita keadaan rumah keluarga In dari kedai minum ini.

   Pemilik kedai kira-kira sebaya dengan Khu Ti, anak isteri sudah meninggal, namun dia lebih beruntung dari Khu Ti, karena ada seorang cucu lakilaki yang menemaninya.

   Kedai itu berada di sebuah gang sempit yang nyelempit, waktu mereka masuk kedai, kebetulan keadaan sepi tanpa seorang pembeli.

   Begitu masuk pintu Tan Ciok-sing berkata dengan tersenyum.

   "Berikan semangkok air bening, aku sudah cukup puas. Tak perlu kau merasa rikuh karena tiada daun teh."

   Sudah tentu Han Cin kebingungan, tidak tahu kenapa Tan Ciok-sing berkata demikian.

   Pada hal mereka sudah berada dalam kedai, sementara orang tua pemilik kedai itu sudah suruh cucunya menyeduh teh.

   Sudah tentu begitu mendengar kata-kata Ciok-sing, kakek dan cucu ini sama melengak saling pandang, dengan seksama mereka mengamati Ciok-sing dari atas sampai bawah.

   Kembali Tan Ciok-sing berkata.

   "Adik cilik, apakah kue kering ini enak rasanya? Sayang kali ini aku tidak bawa oleholeh kue kering untukmu. Tapi waktu masuk kota tadi di pintu luar aku ada membeli sebungkus bolu, mungkin bolu ini lebih enak dari kue kering itu."

   Seketika bercahaya sorot mata bocah cilik itu, teriaknya sambil berjingkrak girang.

   "Bukankah kau ini paman Tan yang dulu memberi kue kering untukku itu?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Betul,"

   Ujar Ciok-sing.

   "ternyata kau masih ingat."

   "Lho, kenapa kau berubah begini? Sedikitpun tidak mirip paman Tan yang dulu itu? Apa betul kau ini paman Tan?"

   "Panjang kalau diceritakan, tapi entah mengganggu usaha kalian tidak?"

   Ujar Ciok-sing. Laki-laki tua itu seketika paham, lekas dia mendesis sekali lalu berkata.

   "Siau-gu, jangan ribut,"

   Lalu dia berpaling dan berkata kepada Tan Ciok-sing.

   "Duduklah sebentar,"

   Bergegas dia lari ke meja kasir serta menyobek selembar kertas putih dia menulis.

   "Memperbaiki tungku, libur sehari", lalu dia tempel kertas putih ini di atas daun pintu yang sudah dia rapatkan lebih dulu. Lalu dengan rasa lega dia berjalan masuk dan berkata.

   "Sekarang boleh kita berbincang dengan leluasa."

   "Kembali aku mengganggu kalian, sungguh kurang enak. Inilah adik angkatku. Dia she Han,"

   Ciok-sing perkenalkan Han Cin. Sikap laki-laki tua tampak ragu-ragu, katanya.

   "Apa betul kau adalah tamu kita yang kemari tempo hari, kuingat hari itu kau datang menunggang kuda."

   "Betul, waktu itu Tay-tong baru saja bebas dari jajahan tentara musuh, toko-toko belum ada yang buka, waktu aku datang malah ada yang kira aku mata-mata musuh. Untung kalian baik hati, sudi membuka pintu sehingga aku bisa istirahat disini. Aku diberi air minum", kudakupun dirawat baik. Lebih mengharukan lagi adalah kalian mau mempercayai aku, berita diam-diam dia yang ingin kuketahui kalian sudi memberitahu padaku."

   Laki-laki tua itu berseri, katanya.

   "Ternyata kau memang benar Tan-siangkong. Tan-siangkong, samaranmu sebagus ini, kini kau betul-betul menjadi seorang yang lain, jikalau kau tidak bicara sejelas ini bagaimana juga aku takkan percaya padamu."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "kalau kau belum percaya, tolong ambilkan sebaskom air dingin, setelah bentuk wajahku yang asli pulih, boleh kau buktikan sendiri."

   "Ah, tak usahlah, walau kita tidak perlu menjaga adanya kuping di balik dinding, harus juga hati-hati bila tetangga tahu-tahu ada yang menerobos kemari."

   Setelah yakin akan kedatangan Ciok-sing yang menyamar ini, laki-laki tua itu menjadi sciung dan sibuk, katanya.

   "Siaugu, lekas seduh teh lagi,"

   Baru saja bocah itu hendak mencomot daun teh, mendadak dia tarik tangannya, katanya tertawa.

   "Coba lihat, aku jadi linglung jadinya, Siau-gu marilah kita sembah dulu kepada Tuan penolong."

   Lekas Tan Ciok-sing tarik mereka, katanya.

   "Loyacu, kenapa kau begini sungkan, mana berani aku menerima penghormatan sebesar ini? Budi kebaikanmu belum lagi aku membalasnya."

   "Bantuan kita kecil tak berarti? Justru kau adalah penolong jiwa raga kami kakek dan cucu. Jikalau kau tidak tinggalkan rangsum setengah karung itu, mungkin sejak lama kita sudah mati kelaparan."

   "Loyacu, kembaliku ini akan minta pertolonganmu lagi, aku kuatir mungkin bisa membikin repot dirimu."

   Berkerut alis laki-laki tua, katanya.

   "Tan-siangkong silakan katakan saja. Jangan kau anggap aku sebagai manusia rendah yang tidak tahu membalas budi kebaikan orang lain."

   "Teramat berat kata-kata Loyacu. Kejadian malam itu tentunya kau sudah tahu, jikalau ada yang tahu kau pernah menerima kedatanganku..."

   "Jangan kata tiada orang yang kenal kau, umpama betul terjadi sesuatu diluar dugaan, akupun tidak akan menyesal. Silakan katakan."

   Seketika lebar tawa laki-laki tua itu, katanya.

   "Kukira ada urusan apa, ternyata hanya menginap beberapa hari saja, biarlah kuanggap kalian sebagai familiku yang datang dari jauh. Sudah tentu asal kalian tidak merasa kotor dan kurang memuaskan pelayanan kami."

   Tergerak hati Han Cin, batinnya.

   "Kenapa dia hanya bilang aku seorang saja?"

   Tapi tidak enak dia langsung tanyakan hal ini kepada Ciok-sing. Demikian pula laki-laki tua itu kira, mereka datang bersama, sepantasnya keduanya akan menginap di rumahnya, maka dia tidak perhatikan tekanan kata-kata Ciok-sing. Laki-laki tua berkata.

   "Bicara soal kejadian malam itu, ada yang ingin kutanyakan. Malam itu kau pergi ke rumah keluarga In, kira-kira kentongan ketiga, tahu-tahu rumah keluarga In dikepung pasukan pemerintah, dan menjelang fajar rumah itupun dibakar. Kira-kira menjelang kentongan ke empat kau kembali kesini mengambil kuda, waktu itu aku belum sempat tanya padamu, apakah kau sudah bertemu dengan In Tayhiap dan putrinya? Apapula yang terjadi malam itu?"

   "Malam itu aku bertemu dengan In-hujin. Nona In baru belakangan kuketemukan,"

   Demikian sahut Ciok-sing.

   "O, jadi In-hujin betul-betul pulang. Tapi hanya dia seorang saja yang kembali?"

   "Sudah tentu hanya seorang diri saja. In-hujin pulang hendak menengok putrinya, mana bisa dia membawa orang luar ke rumah sendiri."

   Laki-laki tua itu tahu bahwa Ciok-sing tentu sudah tahu liku-liku rahasia keluarga In, katanya.

   "Kalau demikian, kali ini mereka memang keliru menyalahkan In-hujin."

   "Mereka? Siapa yang kau maksud?"

   "Orang luar, mereka punya cerita yang lain pula coraknya."

   "Bagaimana cerita mereka?"

   "Mereka bilang In Tayhiap telah pulang secara diam-diam, maksudnya hendak membawa pergi putrinya, entah kenapa rahasia kedatangannya bocor dan diketahui In-hujin. Maka Inhujin menyusul pulang dengan membawa pasukan, tujuannya hendak membekuk sang suami dan merebut kembali putrinya. Mereka juga bilang pernah melihat In Tayhiap dan putrinya dikepung oleh pasukan besar tapi akhirnya mereka bisa "terbang"

   Keluar. Tapi ada pula yang mengatakan, hanya melihat In Tayhiap, tapi tidak melihat putrinya. Perempuan yang akhirnya "terbang"

   Keluar itu adalah In-hujin, tapi dia sedang mengudak sang suami dan hendak meringkusnya."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Cerita mereka hakikatnya tanpa dasar. Malam itu memang betul ada seorang laki-laki yang "terbang"

   Keluar tapi bukan In Tayhiap, melainkan adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, sahabat baik In Tayhiap semasa hidupnya.

   Dialah yang melindungi In-hujin menjebol kepungan, jadi pasukan itu bukan In-hujin yang membawanya kemari, malah sebaliknya pasukan itupun hendak menangkap In-hujin."

   Laki-laki tua pemilik kedai terkejut, katanya.

   "In Tayhiap sudah menghilang sejak beberapa tahun lalu, ternyata dia sudah meninggal,"

   Mendadak dia awasi Ciok-sing, katanya dengan tertawa.

   "Diluar masih ada pula kisah lain yang berbeda, kedengarannya bukan saja aneh, lucu juga terlalu dibesar-besarkan."

   Tan Ciok-sing melengak, katanya.

   "Kisah aneh dan lucu apa?"

   "Malam itu ada juga yang melihat seorang pemuda yang terbang keluar. Mereka bilang pemuda itu adalah murid In Tayhiap, kelak In Tayhiap akan menjodohkan putrinya dengan dia."

   Ciok-sing tertawa geli, katanya.

   "Ah, itu hanya obrolan yang mengada-ada saja, pemuda yang terbang keluar itu adalah aku,"

   "Ya, aku sudah duga, tapi aku harap apa yang mereka katakan..."

   Ciok-sing tahu apa yang akan diucapkan orang tua ini, lekas dia menyeletuk.

   "kejadian malam itu sudah kujelaskan. Marilah kita bicarakan persoalan yang lain. Aku ingin tahu kecuali peristiwa pembakaran rumah keluarga In oleh pasukan pemerintah, adakah terjadi kasus yang lain?"

   "Ya, teringat aku, kira-kira tiga hari yang lalu, ada orang pernah mampir di kedaiku ini minum teh, dia mencari tahu berita nona In. Kukira kau tahu akan orang ini."

   "Orang macam apa dia?"

   "Dia mengaku sebagai pesuruh dari keluarga Toan di Tayli, katanya dia ditugaskan sang majikan untuk mencari jejak nona In, bila perlu mengajaknya pulang ke Tayli pula."

   Waktu Tan Ciok-sing datang tempo hari, diapun mengaku sebagai pesuruh keluarga Toan yang diminta menjemput In San ke Tayli. Katanya.

   "O, ada kejadian ini? Apakah orang itu sekarang masih ada di Tay-tong?"

   "Pernah sekali saja dia kemari tiga hari yang lalu, akhirnya tidak pernah muncul pula, entah dia sudah pergi belum? Tansiangkong agaknya kau tidak tahu menahu akan hal ini?"

   "Selama ini aku belum kembali ke Tayli, mungkin Siauongya mengutus yang lain pula, hal itu aku tidak tahu."

   Tanpa terasa hari sudah mulai petang, didalam rumah bila pintu sudah ditutup, keadaan menjadi remang-remang. Lakilaki tua berkata dengan tertawa.

   "Coba betapa bodohnya aku ini, asyik bicara saja, sampai lupa masak nasi untuk makan nanti."

   "Tak usahlah, aku belum lapar."

   "Bagaimanapun harus makan nasi. Kalian sudah menempuh perjalanan sehari, tentunya sudah letih. Setelah makan boleh silakan istirahat saja."

   Bicara soal tidur, jantung Han Cin jadi dag dig dug, diamdiam dia berpikir.

   "Pemilik kedai ini dari keluarga miskin, modalnya juga kecil tempatnya sempit, memangnya ada kamar kosong untuk tempat kami. Bagaimana malam ini aku harus tidur?"

   Setelah makan malam laki-laki tua itu berkata.

   "Tansiangkong, ada sebuah kamar kosong, kebetulan untuk tidur kalian berdua. Siau-gu, hayo bantu kakek membersihkan kamar kakek itu."

   Lekas Han Cin berkata.

   "Jangan repot-repot Loyacu, aku bisa tidur di ruang ini, cukup di atas meja yang dijajar saja."

   "Mana boleh tamu diladeni sekasar itu? Kamar itu memang kosong, tidak jadi soal untuk tempat tinggal kalian,"

   Setelah menghela napas, dia menjelaskan.

   "Kamar itu dulu kamar tidur ayah bunda Siau-gu semasa masih hidup, ibu Siau-gu meninggal setelah dia lahir tidak lama kemudian, ayahnya meninggal di medan pertempuran waktu itu pasukan besar Watsu menyerbu kemari. Sekarang kamar itu kubuat menumpuk kayu-kayu bakar, namun dipannya tak pernah diusik. Cukup dibersihkan saja lantas boleh digunakan."

   Tan Ciok-sing menguap, katanya.

   "Ya, memang sudah capai."

   "Memangnya,"

   Kata laki-laki tua.

   "sehari penuh kalian menempuh perjalanan, siapa yang takkan merasa letih? Kalian tidak usah sungkan, silakan istirahat,"

   Dalam pada itu Siau-gu sudah selesai membersihkan kamar itu.

   "Merepotkan kau saja, sungguh rikuh rasanya, kau orang tua juga silakan istirahat,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing, setelah mengucap 'selamat malam' dia lantas masuk ke kamar. Apa boleh buat terpaksa Han Cin ikut dia masuk ke kamar. Setelah menutup pintu, seperti tertawa tidak tertawa Cioksing pandang Han Cin, katanya.

   "Kau masih belum ngantuk?"

   Han Cin jadi uring-uringan, katanya kesal.

   "Kau betul-betul letih, aku sih tidak biasa tidur pagi. Ranjang ini boleh kau pakai, kau sudah ngantuk silakan tidur. Aku cukup samadi di bawah saja."

   "Sebetulnya aku tidak ingin tidur pagi-pagi,"

   Kata Ciok-sing tertawa.

   "Lalu, kenapa kau buru-buru mengajakku masuk kamar?"

   Dengan suara lirih Ciok-sing berkata.

   "Aku tahu ada persoalan yang ingin kau tanya kepadaku, akupun ada hal-hal yang ingin kujelaskan padamu. Di kamar ini lebih leluasa kita berbicara."

   Han Cin jadi paham dan sadar, katanya tertawa.

   "Jadi kau ngapusi orang tua itu. Agaknya kau memang pandai membual."

   "Kalau tidak merugikan orang lain, apa salahnya bila perlu membual?"

   "Jadi kau punya hubungan seintim itu dengan keluarga In, kenapa tidak kau beritahu kepadaku?"

   "Kukira ayah angkatmu sudah ceritakan kepadamu."

   "Aku tahu ayah In Tayhiap dulu adalah sekolega dengan Gihu, tapi tak pernah beliau membicarakan hubungan antara keluarga Tan dan keluarga In. Waktu aku buru-buru pulang akhir kali itu, beruntung dapat menemuinya sebelum ajal. Aku tahu banyak yang ingin dia bicarakan dengan aku, sayang sang waktu sudah tidak memberi kesempatan lagi."

   "Perkenalanku dengan In Tayhiap jauh sebelum aku kenal ayah angkatmu, tapi tentang hubungan kedua keluarga juga kuketahui setelah aku bertemu dengan ayah angkatmu. Ayah angkatmu memberitahu, baru aku tahu."

   "Kalau demikian keluarga In menanam budi terhadapmu, keluarga In pun hutang budi terhadapmu. Jadi hubunganmu dengan keluarga In tentunya luar biasa baiknya. Bagaimana keadaan In-hujin? Kau pernah menolong suaminya, pasti dia merasa hutang budi dan amat berterima kasih padamu, mungkin memandangmu seperti keponakan sendiri? Kenapa kau tidak ikut dia?"

   "In-hujin sudah meninggal, menurut apa yang kutahu akhirnya dia sudah berada di markas Kim-to Cecu, seperti keadaan ayah angkatmu, kebetulan dia sempat melihat wajah putrinya untuk terakhir kali. Aku pernah janji kepada ayah angkatmu untuk menemui It-cu-king-thian di Kwi-lin, waktu amat mendesak maka aku tak sempat mengiringi dia pergi ke markas Kim-to Cecu."

   Han Cin menghela napas, katanya.

   "Nasib nona In itu ternyata juga amat menderita"

   "Nasib kita bertiga memang sama, semuanya yatim piatu, tiada sanak kadang lain lagi dalam dunia ini."

   Tak tertahan menyeletuk pertanyaan Han Cin.

   "Kau kan senasib sepenanggungan dengan nona In itu, kenapa kau tidak berada sama dia?"

   "Memangnya dengan kau sekarang aku tidak senasib sepenanggungan?"

   "Jangan kau menyeret diriku, mana aku berani dibanding dengan putri In Tayhiap?"

   Lalu dia bertanya.

   "kalau dia putri In Tayhiap Kungfunya tentu amat tinggi, orangnya juga cantik bukan?"

   Setelah mendengar pertanyaan ini baru Ciok-sing sadar barusan telah keliru bicara, sahutnya dengan tawa dipaksakan.

   "Memang dia sudah memperoleh didikan murni ayahnya, seperti juga kau telah memperoleh ajaran langsung dari ayah angkatmu. Kalian adalah pahlawan-pahlawan gagah dari kaum hawa yang serba bisa."

   Han Cin mencibir, jengeknya.

   "Jangan kau menyepuh emas di mukaku, aku cukup tahu diri bahwa aku tidak setimpal dibanding nona In itu."

   "Adik Cin,"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Ciok-sing sungguh-sungguh.

   "sekali-sekali jangan kau berkata-kata demikian lagi."

   Agaknya Han Cin merasa direndahkan dan dikesampingkan, maka unek-unek hatinya seketika memberondong keluar.

   "Bukankah pemilik kedai tadi sudah bilang, orang-orang luar sudah sama anggap kau sebagai menantu keluarga In."

   "Adik Cin, kau tidak tahu, aku tidak bisa salahkan kau,"

   Demikian ujar Tan Ciok-sing perlahan.

   "Baiklah akan kujelaskan, nanti kau akan tahu bahwa soal beginian tidak boleh sembarang dibuat omongan."

   "Aku tahu apa?"

   Tanya Han Cin tertegun.

   "Memang keluarga In sudah punya calon menantu, tapi bukan diriku, dia seorang sahabatku juga."

   "Apa benar? Siapakah dia?"

   "Banyak hal telah kau ajukan padaku, kenapa justru ketinggalan yang satu?"

   "Ketinggalan yang satu apa?"

   "Persoalan yang menyangkut pribadi Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli?"

   "Oh, ya, dari pembicaraanmu dengan Lo-yaya tadi, agaknya dia anggap kau pasti kenal baik setiap orang utusan dari keluarga Toan, apa sih yang terjadi?"

   "Waktu pertama kali aku kemari, aku mewakili Siau-ongya menjemput nona In. Karena tidak ingin orang salah paham menyangka aku yang jadi calon menantu orang, maka aku mengaku sebagai pesuruh Siau-ongya."

   "Lho, bukankah kau hendak menyerahkan kembali barang peninggalan In Tayhiap kepada nona In? Kenapa bilang mendapat titipan dari Siau-ongya segala."

   "Apakah kedua persoalan itu tidak dapat dibereskan bersama?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Kenapa Siau-ongya keluarga Toan minta kau yang menjemputnya?"

   Han Cin balas bertanya. Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya.

   "Kenapa tidak bisa dimengerti? Keluarga mereka kan sudah bersahabat sejak beberapa generasi. Sejak lama In Tayhiap menjodohkan putrinya kepada dia. Sekarang mereka sedang berada di Kwilin. Bila pulang kembali ke Tayli akan segera melangsungkan pernikahan. Kenapa kau tanya aku tidak bersama dia?"

   Yang benar meski In Hou ada maksud menjodohkan putrinya dengan Toan Kiam-ping, namun tujuannya itu belum menjadi kenyataan.

   Analisa Tan Ciok-sing terhadap hubungan mereka kedengarannya memang masuk di akal.

   Menurut hematnya, keluarga Toan dan In memang setimpal berbesanan, sejak kecil In San tumbuh dewasa bersama Toan Kiam-ping, orang lain bila setiap hari bergaul bersama suatu ketika pasti akan timbul asmara, apa lagi hubungan mereka yang sudah mendapat restu keluarga.

   Bila Toan Kiam-ping sudah sembuh berkat rawatan In San, pasti Toan Kiam-ping akan membawanya pulang dan melangsungkan pernikahan, umpama In San menolak, pernikahan itupun tinggal menunggu saja.

   Ada orang bilang, bila sering berbohong, diri sendiripun akan percaya.

   Apa yang diuraikan Tan Ciok-sing sudah tentu bukan seluruhnya bohong, namun dia angggap apa yang menjadi anggapannya itu adalah kenyataan, tanpa merasa dia sendiripun merasa apa yang diceritakan itu memang sesungguhnya bakal terjadi.

   Setelah dia menceritakan "kenyataan"

   Ini kepada Han Cin, meski lahirnya dia masih bisa tersenyum, tapi dalam hati bukan kepalang sedihnya.

   Berbeda adalah perasaan Han Cin, setelah mendengar cerita Tan Ciok-sing, sesaat dia termangu, mimiknya purapura berpikir-pikir, namun dalam hati justeru merasa amat lega, terasa ringan yang sukar dilukiskan.

   Setelah menghela napas Tan Ciok-sing berkata pula.

   "Cin-moay, apa yang kualami sudah kuceritakan kepadamu, sekarang kau pasti senang?"

   Merah muka Han Cin, katanya.

   "Mereka mau menikah atau tidak, apa sangkut pautnya dengan aku?"

   Api dian sebesar kacang, sinarnya redup menyorot ke muka Tan Ciok-sing yang diselimuti selapis bayangan gelap.

   Han Cin tidak berani menatapnya langsung, namun dia sadar bahwa Tan Ciok-sing sedang mengawasinya seperti tertawa tak tertawa.

   Mengira rahasia hatinya diketahui orang, mukanya seketika semakin merah.

   Diluar tahunya bahwa senyum Tan Ciok-sing ini justru merupakan pelimpahan rasa getir sanubarinya, hakikatnya bukan senyum yang ditujukan kepadanya.

   Menghindari tatapan Tan Ciok-sing Han Cin menunduk dan berpikir pula.

   "Ai, peduli dia menaruh cinta atau tidak, padahal baru berapa hari aku berkenalan sama dia, kenapa aku tergesa-gesa memikirkan nasib masa depanku sekarang?"

   Bahwasanya bukan saja Han Cin tidak bisa menyelami isi hati Tan Ciok-sing, apakah dia sendiri naksir kepada Tan Cioksing juga dia tidak tahu.

   Kedua orang sama memikirkan persoalan masing-masing.

   Tan Ciok-sing juga kuatir bila Han Cin menyelami perasaan hatinya, untuk membuktikan bahwa dirinya betul-betul ikut senang bagi pernikahan In San, maka di hadapan Han Cin dia memuji Toan Kiam-ping berkelebihan.

   "Bukan aku suka memuji temanku sendiri, tapi pemuda seperti Siau-ongya dari keluarga Toan ini memang sukar dicari bandingannya. Bukan saja Kungfunya tinggi, kepandaian sastranyapun serba mahir. Lebih harus dipuji pula, meski dia turunan keluarga bangsawan, namun sedikitpun tidak unjuk gengsi dan tahan harga. Tukang kayu di atas gunung dan para nelayan di atas sungai, semuanya adalah kenalan baiknya."

   Han Cin tertawa, katanya.

   "Kau sendiri kan juga serba mahir ilmu silat dan ilmu sastra aku tidak pernah kenal sahabatmu itu, tapi aku yakin kepandaian memetik harpanya jelas bukan tandinganmu bukan? Bicara pergaulan bebas dan teman segala kalangan, kukira temanmu juga tidak sedikit jumlahnya."

   "Mana boleh aku dibanding dia,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "begitu dia menampilkan diri, secara langsung aku lantas merasa diriku teramat kerdil, sebaliknya dia merupakan pemuda ganteng dan romantis serta dikagumi tindaktanduknya, aku tidak lebih hanya seorang lelaki awam saja."

   "Kalau orang seperti dirimu juga dianggap "awam", maka di dunia ini hanya berapa gelintir saja yang ada. Tapi setelah mendengar pujianmu atas Siau-ongya itu, aku jadi setengah percaya. Kalau tidak masakah putri In Tayhiap bakal menyukainya."

   Sampai disini pembicaraan mereka di ujung jalan sana terdengar suara kentongan, tanpa merasa kentongan ketigapun telah tiba. Mendadak Han Cin sadar, katanya tertawa.

   "Sudah jangan memuji temanmu melulu. Apa yang ingin kuketahui sudah kutanyakan kepadamu, apa yang ingin kau katakan kepadaku, sekarang boleh kau utarakan!"

   "Betul, kau memang harus tidur. Yang ingin kukatakan adalah, harap kau tidak duduk di lantai, silakan tidur di atas ranjang."

   Merah muka Han Cin, katanya bersungut.

   "Kukira kau hendak bicara serius, kiranya kau hanya menggodaku saja."

   "Apa yang kukatakan memangnya bukan serius? Seseorang bila lapar harus makan capai harus tidur. Disini tersedia ranjang, kenapa kau harus samadi di lantai?"

   "Aku tidak mau kau mengalah kepadaku,"

   Ujar Han Cin. Harus diketahui, meski dia percaya bahwa Tan Ciok-sing pemuda jujur dan lurus, tapi betapa jeleknya bila dia harus tidur di ranjang di hadapan seorang pemuda.

   "Bukan aku mengalah padamu, maksudku..."

   "Tan Ciok-sing,"

   Desis Han Cin dengan jengkel.

   "kuanggap kau laki-laki sejati, kau..."

   "Lirih sedikit Cin-moay,"

   Tukas Tan Ciok-sing.

   "jangan kau salah paham, aku..."

   "Apa keinginanmu?"

   "Aku tidak tidur disini, sekarang juga aku mau pergi."

   Baru sekarang Han Cin sadar, kiranya dia yang keliru menyalahkan Tan Ciok-sing, karuan selembar mukanya merah seperti tomat, katanya lirih.

   "Malam selarut ini, kemana?"

   "Aku akan mencari Kim-io Cecu. Supaya tidak membuat kaget, aku tidak memberitahu kepada kakek sebelumnya. Besok, tolong kau sampaikan permintaan maafku kepadanya."

   "Kira-kira kapan kau bisa kembali?"

   "Tidak bisa ditentukan. Aku belum tahu dimana sekarang Kim-to Cecu berada.

   "Kau tidak kenal Kim-to Cecu, tidak tahu dimana dia berada, bukankah sulit mencarinya?"

   "Banyak teman baikku berada di markas Kim-to Cecu. Biarlah aku mengadu nasib. Tapi aku yakin cepat atau lambat pasti bisa kutemukan."

   "Kenapa tidak kau ajak aku kesana?"

   "Banyak orang malah kurang leluasa. Apalagi sukar kuramalkan kapan aku akan bertemu dengan Kim-to Cecu, kau seorang perempuan, selalu harus tidur di atas pegunungan bisa mengganggu kesehatanmu. Bila aku sudah memperoleh tempat tinggalnya yang tetap aku akan kembali memberitahu kepadamu."

   Sebetulnya yang dikemukakan hanyalah alasan yang dicaricari, yang benar dia kuatir ketemu sama In San.

   Dia harus tahu dulu apakah In.

   San juga berada disana, bila tiada, dia akan langsung menghadap Kim-to Cecu, kalau tidak dia hanya akan mencari tahu alamat tetap Kim-to Cecu, lalu berusaha menghubungi Kanglam Sianghiap, supaya mereka menjemput Han Cin.

   Apa yang dikatakan Tan Ciok-sing memang beralasan, maka Han Cin berkata.

   "Baiklah, besok akan kujelaskan kepadanya. Betapa lama kau pergi, aku akan menunggumu disini. Kakek itu orang baik, yakin dia tidak akan membenciku."

   "Tapi ada satu hal kau perlu hati-hati,"

   Kata Ciok-sing.

   "Soal apa?"

   "Ada seorang yang menyaru sebagai pembantu rumah tangga keluarga Toan, beberapa hari yang lalu mampir ke warung ini mencari tahu keadaan keluarga In. Hal ini kau sudah mengetahuinya."

   "O, jadi orang itu menyamar?"

   "Betul, belum ada dua bulan, Siau-ong-ya dari keluarga Toan itu sedang merawat luka-lukanya di Kwi-lin, umpama luka-lukanya sudah sembuh, tak mungkin secepat itu dia pulang ke Tayli, apalagi menyuruh orang kemari. Oleh karena itu kau harus hati-hati, jangan sampai orang itu mengetahui jejakmu."

   "Buat apa kau kuatir, orang-orang Kangouw toh tiada yang kenal aku,"

   Ucap Han Cin tertawa.

   "apalagi aku sudah merubah bentuk wajahku, tak usah kuatir."

   "Meski demikian, kau tetap harus hati-hati,"

   Kata Tan Cioksing, setelah berjabatan tangan Tan Ciok-sing pamitan, hati terasa hambar.

   Untuk kepergiannya ini, mungkin dia bisa pulang tapi juga mungkin tidak akan kembali menberi kabar kepada Han Cin, kemungkinan besar dia akan menyuruh orang mengadakan kontak dengan Han Cin.

   Kalau benar demikian entah kapan pula dia baru akan bertemu pula dengan Han Cin.

   Letak rumah keluarga In tidak jauh dari kedai minum ini, sebelum keluar kota tanpa disadari Tan Ciok-sing lewat di seberang jalan dimana rumah keluarga In berada, timbul keinginannya untuk menyaksikan bagaimana keadaan rumah keluarga In setelah digerebek tentara negeri dulu.

   Entah keinginan apa yang mendorongnya berbuat demikian, Cioksing sendiri tidak tahu.

   Tampak rumah besar keluarga In sudah runtuh separo, lebih mending dari kedai Khu Ti yang dibumi hanguskan seluruhnya.

   Ternyata setelah malam itu In-hujin berhasil melarikan diri, supaya kelak Liong Seng-bu dapat kesempatan untuk bertemu lagi dengan In San, maka lekas dia suruh tentara yang dipimpinnya memadamkan api.

   Untung yang terjilat api hanya bagian luar yang tidak begitu penting.

   Kamar tidur In San, dan kamar buku In Hou semasa hidupnya masih utuh.

   Sembunyi di ujung gang kecil mengawasi rumah keluarga In yang tinggal separo, Tan Ciok-sing merasa diluar dugaan.

   Namun demikian keadaan yang sudah porak poranda ini justru mengetuk sanubarinya.

   Mengenang masa lalu, diam-diam hati Tan Ciok-sing merana sendiri.

   Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing berkata kepada diri sendiri.

   "Semua itu sudah lalu, kenapa masih kupikirkan?"

   Waktu dia hendak meninggalkan tempat itu, suatu peristiwa diluar dugaannya ternyata telah terjadi.

   Tampak sosok bayangan hitam tiba-tiba melompat keluar dari rumah keluarga In, malam gelap sehingga susah dibedakan apakah orang itu tua, muda, laki atau perempuan, tapi ginkang orang itu jelas amat tinggi, dalam sekejap jejaknya telah menghilang.

   Tan Ciok-sing kaget, pikirnya.

   "Bagaimana kepandaian lain orang itu aku tidak tahu, namun dinilai ginkangnya sudah jarang ada dibanding di bulim."

   Betapapun tinggi ginkang orang itu, bila Tan Ciok-sing mau mengejar pasti dapat dicandaknya, namun karena dia tidak ingin mengunjuk jejak sendiri, terpaksa dia tidak ambil peduli.

   Melihat seorang yang memiliki ginkang tinggi menyelundup ke rumah keluarga In, tak urung timbul rasa curiga Tan Cioksing.

   "Mungkin orang yang menyamar suruhan keluarga Toan, jelas dia bukan utusan Toan Kiam-ping, tapi siapakah dia sebetulnya? Hm, bukan mustahil datang lagi orang seperti Thi Ciang-hu?"

   Maka tergerak hatinya, batinnya.

   "Mata kuping keluarga Liong tersebar luas, berita cepat kabar tajam, mungkin mereka mendengar kabar, tahu bahwa In San sudah pulang rumah? Maka~ orang ini menyelundup ke rumahnya mencari tahu?"

   Jantung Tan Ciok-sing berdebar-debar, hampir tak kuat dia menahan gejolak perasaannya timbul keinginannya hendak menyelundup juga ke rumah keluarga In untuk menyaksikan kenyataan, ingin dia membuktikan sendiri, apa benar In San sudah pulang rumah? Walau In San harus menunggu kesembuhan luka-luka Toan Kiam ping baru meninggalkan Kwi-lin, tapi kemungkinan dia akan lebih dulu tiba di Tay-tong dari kedatangan Tan Cioksing.

   Maklum In San naik kuda yang dapat berlari ribuan li sehari, sebaliknya Tan Ciok-sing jalan kaki.

   Luka-luka Toan Kiam-ping memang tidak enteng, tapi lwekangnya cukup tangguh, dalam sepuluh atau setengah bulan tentu sudah sembuh.

   Timbul perang batin dalam benak Tan Ciok-sing, dia takut bertemu dengan In San, namun besar pula harapannya bahwa In San sudah pulang seorang diri.

   Angin dingin menghembus kencang, Tan Ciok-sing bergidik sambil menarik napas panjang, tak urung dia tertawa getir sendiri.

   "buat apa aku main teka teki, San-moay pulang atau tidak, aku harus bantu nona Han menyelesaikan persoalannya, kenyataan dia sudah angkat saudara dengan aku. Kenapa lantaran aku takut bertemu dengan San-moay, lantas urung mencari Kim-to Cecu?"

   Setelah bulat tekadnya, Tan Ciok-sing tekan perasaan sendiri pergi mencari Kim-to Cecu.

   Tapi untuk mencari Kim-to Cecu bukan suatu kerja yang mudah.

   Daerah luar Gan-bun-koan, ratusan H luasnya tanpa dihuni seorang penduduk, di tengah pegunungan yang belukar itu, entah dimana markas besar Kim-to Cecu didirikan.

   Tempo hari pernah dia mencari Kim-to Cecu bersama In San, tapi di tengah jalan mereka bertemu dengan Kanglam Sianghiap yang mau menjemput In San, dari cerita Kwik Ing-yang dia tahu bahwa Tam Pa-kun sudah berangkat ke Kwi-lin, diketahui pula bahwa Kwik Ing-yang sedang berusaha jadi comblang untuk menjodohkan In San dengan Toan Kiam-ping, maka saat itu juga dia merubah haluan, di tengah jalan dia putar balik.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kanglam Sianghiap ada maksud membawanya menghadap Kim-to Cecu, namun dia tidak menjelaskan dimana letak markas besar Kim-to Cecu itu.

   Tiga hari kemudian dia sudah keluar Gan-bun-koan, selama tiga hari tak pernah dia ketemu dengan seorangpun, kepada siapa dia harus mencari tahu.

   Untung rangsum yang dibawanya cukup banyak, di jalan dia masih bisa berburu binatang.

   Meski dia yakin cepat atau lambat pasti dapat menemukan Kim-to Cecu, namun menempuh perjalanan di tengah alas seorang diri, selama tiga hari tidak bertemu dengan manusia, mau tidak mau dia merasa kesepian dan hampa.

   "Kenapa nasibku kali ini begini buruk tempo hari bisa bertemu dengan Kanglam Sianghiap. Kali ini entah kapan baru aku bisa bertemu dengan seorang yang tahu letak markas besar Kim-to Cecu."

   Tapi untung juga tempo hari dia pernah bertemu dengan Kanglam Sianghiap yang membawanya menempuh perjalanan cukup jauh, sehingga kali ini dia tidak salah arah.

   Tatkala dia berkeluh kesah akan nasibnya yang jelek hari ini, tiba-tiba dilihatnya dua orang berjalan keluar dari dalam hutan.

   Girang sekali hati Tan Ciok-sing, lekas dia mempercepat langkah memapaknya ke depan.

   Untuk mencari tahu tempat tinggal Kim-to Cecu sebetulnya tidak boleh sembarang tanya orang, apalagi dia tidak tahu siapa kedua orang ini, demikian pula mereka juga tidak tahu tentang dirinya, umpama tahu juga takkan mau memberi tahu.

   Baru saja Tan Ciok-sing berpikir cara bagaimana dia harus buka suara, kedua orang itu sudah menyapa dulu kepadanya.

   Orang pertama tertawa lebih dulu, katanya.

   "Nasib hari ini kiranya cukup baik, akhirnya ketemu seorang disini."

   Orang kedua segera bertanya.

   "Kau pemburu di atas gunung ini, siapa namamu..."

   Karena melihat Ciok-sing menjinjing seekor belibis yang baru saja ditembaknya jatuh dengan krikil, padahal dia tidak membawa gendewa, karuan mimiknya kelihatan aneh.

   Logat kedua orang ini sama dari suatu daerah, namun nada suaranya kedengaran lucu dan sumbang seperti suara orang banci, kedengarannya berbeda dengan suara laki-laki umumnya.

   Sekilas Tan Ciok-sing melengak, diam-diam dia merasa kecewa, pikirnya.

   "Agaknya mereka juga orang dari luar daerah seperti diriku. Untuk apa mereka datang ke tempat ini? Mungkin juga mencari Kim-to Cecu?"

   "Aku she Tan,"

   Akhirnya dia menjawab.

   "pedagang kecil yang memborong bahanbahan pegunungan. Kalian she apa?"

   Tan Ciok-sing coba mengorek keterangan mereka.

   "Aku she Thio, dia she Ong, kami datang dari Tayli. Maaf ya, kulihat kau menjinjing belibis besar ini, kelihatannya baru saja kau dapatkan bukan? Kukira kau adalah pemburu. Kiranya kau seorang juragan, mohon maaf, kami kurang hormat, Tapi malah kebetulan,"

   Demikian kata orang pertama. Tan Ciok-sing tidak tahu kenapa kalau "juragan"

   Lebih baik dari "pemburu"

   Tapi dengar mereka dari Tayli, mau tidak mau timbul rasa curiganya, maka dia berhati-hati. Sengaja Tan Ciok-sing bertanya.

   "Di Tay-tong aku hanya membuka toko kecil saja, modalnya kukumpulkan dari bantuan teman teman. Mana terhitung juragan segala?"

   "Betul, kenapa aku begini bodoh, dari logat suaramu seharusnya aku sudah tahu bahwa kau penduduk kota Taytong. Aku tahu banyak penduduk Tay-tong yang berdagang seperti kau, betul tidak? Peduli besar atau kecil, jelek-jelek kau ini adalah juragan. Hari ini kita bisa bertemu di atas pegunungan yang sepi ini, terhitung ada jodoh. Jikalau kau tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita bersahabat? Kau menghadapi kesulitan apa boleh jelaskan kepada kami."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu bahwa cara orang menyelidik memang pintar, tapi apa yang dikatakan itu semua adalah bualan belaka.

   Pertama, mereka mengaku datang dari Tayli, pada hal logat bicara mereka tidak mirip penduduk Tayli.

   Kedua, Tan Ciok-sing hanya bilang dia membuka toko di Taytong, orang she Ong itu lantas bilang mendengar suaranya lantas tahu kalau dirinya penduduk kota Tay-tong.

   Pada hal Tan Ciok-sing lahir dan dibesarkan di Kwi-lin, logat orangorang Kwi-Iin dan Tay tong boleh dikata berbeda amat jauh.

   Ketiga, terhadap orang yang baru saja dikenalnya, kenapa mereka lantas menawarkan diri bilang mau memberi bantuan.

   Dalam hal ini pasti ada udang dibalik batu.

   Orang yang suka memberi bantuan tanpa diminta kadang-kadang menuntut imbalan tertentu, dari sini dapatlah Ciok-sing menyimpulkan, bahwa kedua orang ini pasti punya suatu tujuan tertentu.

   Biarlah aku pura-pura bodoh saja, bagaimana mereka akan membual lagi.

   Setelah bilang mau memberi bantuan, orang she Ong itu segera merogoh keluar dua keping uang perak diberikan kepada Ciok-sing, katanya.

   "Tan-heng, seratus tahil perak ini, boleh kau gunakan buat tambah modalmu."

   Berkerut alis Tan Ciok-sing, katanya.

   "Sebelum ini kita tidak kenal dan baru bertemu sekali ini, mana boleh aku menerima uangmu?"

   Laki-laki itu tertawa, katanya.

   "Sekarang kita sudah sahabat, sesama kawan kenapa harus sungkan. Tan-heng, tadi kau bilang modalmu dari pinjaman teman-teman, uangku inipun kupinjamkan untuk menambah modalmu, kalau tidak cukup, boleh nanti kita berunding lagi."

   "Umpama benar kalian anggap aku kawan, tapi pepatah bilang, tanpa berbuat jasa tidak akan menerima hadiah, tak berani aku menerima uangmu."

   Laki-laki itu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Tan-heng, kau memang seorang laki-laki sejati. Baiklah begini saja, kaupun boleh membantu kami melakukan suatu hal, supaya kau tidak canggung menerima uangku ini."

   "Entah bantuan apa yang harus kulakukan?"

   Orang she Thio segera berkata lirih.

   "Dimana tempat tinggat Kim-to Cecu, maukah kau memberitahu kami?"

   Tan Ciok-sing pura-pura kaget, katanya.

   "Aku hanya pedagang kecil yang hidup bersahaja, tak pernah tahu siapa itu Kim-to Cecu, atau Gin-to Cecu."

   Laki-laki she Ong itu tertawa, katanya.

   "Tan-heng, kau tidak usah takut, kami bukan opas, kau takkan ditangkap dan dijebloskan ke penjara, terus terang, kami ingin mencari perlindungan kepada Kim-to Cecu,"

   "Tapi sungguh mati, aku tidak tahu,"

   Ujar Tan Ciok-sing. Berkerut alis laki-laki itu, katanya.

   "Tan-heng, kenapa kau tidak sejujur tadi. Kami ingin bersahabat dengan kau secara jujur, maka akupun minta kau suka bicara terus terang dengan kami!"

   "Apa yang harus kukatakan? Aku, aku betul-betul tidak..."

   "Jangan katakan kau tidak tahu,"

   Tukas orang she Thio.

   "Jikalau kau tiada hubungan dengan markas besar mereka, mana kau berani keluyuran di pegunungan sepi ini."

   "Baiklah, aku bicara terus terang. Memang aku ada kenal orang dari markas Kim-to Cecu, boleh juga kubawa kalian kesana, tapi aku harus tahu siapa kalian sebetulnya?"

   "Tan-heng,"

   Kata orang she Ong.

   "apa yang ingin kau ketahui?"

   "Kalian datang dari Tayli, Siau-ongya dari keluarga Toan, entah kalian kenal tidak?"

   Laki-laki she Ong tertawa besar, katanya.

   "Terus terang saja, kami ini adalah tamu-tamu undangan dari keluarga Toan. Kedatangan kami ke markas Kim-to Cecu inipun sebelumnya sudah mendapat restu dari Siau-ongya. Sebetulnya Siau-ongya juga mau datang, tapi kuatir kedatangannya membawa kesulitan, maka dia tidak berani bertindak serampangan."

   Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya.

   "Jadi kalian orang-orang kepercayaan Siau-ongya, wah, maaf, aku kurang hormat."

   Laki-laki she Ong itu tertawa lebar, katanya.

   "Tan-heng, kini kau sudah tahu bahwa kita adalah orang sendiri, bolehlah kau beritahu kepada kami?"

   Tak nyana sebelum gelak tawanya sirap, Tan Ciok-sing mendadak turun tangan.

   "Bluk"

   Kontan laki-laki she Thio itu terjungkal roboh tertutuk hiat-tonya.

   Lalu dia mencengkram ke arah laki-laki she Ong.

   Ternyata kepandaian laki-laki she Ong ini lebih tinggi dari temannya, cengkraman Tan Ciok-sing ternyata tidak kena sasaran, begitu menurunkan tubuh, mendadak dia gunakan kedua tangan menangkap pundak Tan Ciok-sing lalu menyerang dengan jurus Jian-jia-sek tipu bantingan dari ilmu gulat hendak membanting Tan Ciok-sing, bila kedua kaki Tan Ciok-sing terangkat meninggalkan bumi, badannya pasti kena dibantingnya.

   Gulat adalah kemahiran busu bangsa Mongol, Tan Ciok-sing mahir Kungfu dari berbagai aliran di Tionggoan, namun dia belum pernah belajar gulat, karena tidak menduga, tubuhnya terangkat oleh lawan.

   Akan tetapi walau tubuh Tan Ciok-sing terangkat meninggalkan tanah, tapi laki-laki itu tak kuasa membantingnya, tahu-tahu dia merasakan kedua pundaknya seperti ditindih ribuan kati.

   Seketika itu pula dia rasakan kedua pundaknya sakit bukan kepalang seperti ditusuk pisau, ternyata tulang pundaknya sudah tercengkeram oleh Tan Ciok-sing.

   Tan Ciok-sing menghardik keras.

   "Kalian bukan orang Han, kalian adalah mata-mata bangsa Watsu."

   Bahwa asal-usul mereka dibongkar oleh Tan Ciok-sing, sudah tentu kedua orang itu amat kaget, air muka mereka berubah seketika. Tapi laki-laki she Ong itu masih membandel katanya.

   "Pandanganmu memang tajam, benar kami bukan orang Han, tapi kami adalah orang Tayli dari suku Ih-jin. Soalnya kami tahu Siau-ongya punya hubungan intim dengan Kim-to Cecu, maka kami menyaru tamu kepercayaannya."

   "Masih berani membual, aku baru saja datang dari Tayli, memangnya kau bisa ngapusi aku? Aku sudah tahu asal-usul kalian, masih kau tidak mengaku terus terang, itu artinya kau minta dihajar. Baiklah, biar kau rasakan dulu keliehayanku."

   Cengkraman jari-jari Tan Ciok-sing diperkeras, kontan orang itu merasa seluruh sendi tulangnya seperti dicopoti, sekujur badan bagai dicocoki jarum, laki-laki she Thio yang ditutuk hiat-tonya sudah tak tahan lagi, teriaknya.

   "Ampun Hohan. Kendorkan siksaanmu, baiklah aku akan bicara terus terang."

   Tan Ciok-sing mengendorkan cengkeramannya, dengan suara gemetar orang itu berkata.

   "Kami memang datang dari Watsu, kami sedang menjalankan tugas, jadi terpaksa harus menunaikan perintah atasan."

   "Atas perintah siapa? Dan apa tujuan kalian?"

   Tanya Tan Ciok-sing. Kalau cengkraman kepada laki-laki she Thio diperkendor, tapi dia menambah cengkraman pada tulang pundak laki-laki she Ong, kontan orang itu berkaok-kaok seperti babi disembelih, teriaknya.

   "Aku, aku akan terus terang."

   Laki-laki she Thio itu berkata.

   "Kami diperintah oleh Ciangkun untuk mencari jejak Kim-to Cecu."

   Ternyata tafsiran Tan Ciok-sing benar, mereka adalah mata-mata yang diutus Watsu untuk menjadi spion didalam markas besar Kim-to Cecu. Maka Tan Ciok-sing mendesak lagi.

   "Jadi di mana sebetulnya Kim-to Cecu berada, tentunya kalian sudah tahu? Nah sekarang lekas jelaskan, siapa memberi keterangan lengkap dan lebih terperinci, hukumannya akan kuperingan."

   "Betul, waktu kami datang, pemimpin kami ada memberi peta untuk kami, tapi..."

   Demikian tutur laki-laki she Thio. Setelah napasnya yang tersengal mereda, baru laki-laki she Ong berkata.

   "Peta itu ada padaku..."

   "Baik, lekas keluarkan, kau dulu yang bicara."

   Orang ini membuka sabuk kulit, bagian tengah sabuk kulitnya ini dia bedah dengan ujung belati, dari dalamnya dia mengeluarkan secarik peta dan diserahkan kepada Tan Cioksing. Tan Ciok-sing berpikir.

   "Begitu rahasia cara menyimpannya, bila aku sendiri yang harus menggeledahnya, mungkin takkan bisa kutemukan."

   Seperti berlomba kedua orang ini memberi keterangan masing-masing sejelas dan terperinci sekali, dari mulut kedua orang inilah Tan Ciok-sing tahu bahwa perebutan kekuasaan di Watsu kini sudah mereda, pemberontak telah disapu habis, kini Pangeran ketiga Melido yang pegang tampuk pimpinan sebagai raja dengan sebutan Dayan Khan.

   Setelah berhasil membangun kembali angkatan perangnya, Dayan Khan beraktif kembali dalam usahanya untuk menyerbu ke selatan.

   Mereka tidak takut terhadap pasukan kerajaan Bing, tapi jeri menghadapi laskar gerilya Kim-to Cecu.

   Tempo hari waktu pasukan besar Watsu mengepung Tay-tong, Kim-to Cecu yang memutus kiriman rangsum pasukan besar mereka, sehingga tentara Watsu dibikin kocar kacir.

   Maka kali ini rencana penyerbuan lebih disempurnakan, maksud utama harus menumpas laskar gerilya baru akan langsung menyerbu kerajaan Bing.

   Tapi Kim-to Cecu juga Iiehay dalam strategi perang, dengan perang gerilya, dia tidak mempunyai kedudukan tertentu.

   Kekuatan tentaranya tersebar beberapa tempat di atas pegunungan, markas besar merekapun sering berpindahpindah.

   Bukan tugas enteng bagi mata-mata Watsu untuk menyelidiki keadaan disini.

   Kedua orang ini adalah anak buah Jendral Palos yang berkuasa di perbatasan, pasukan infrantri di bawah pimpinan Jendral Palos inilah yang ditugaskan sebagai pasukan pelopor didalam gerakan menyerbu ke selatan menurut rencana mereka.

   Setelah diadakan seleksi yang cukup ketat akhirnya kedua orang ini yang terpilih menunaikan tugas yang cukup berat ini, bukan karena mereka memiliki kepandaian tinggi, soalnya di samping mereka cerdik pandai, merekapun fasih berbahasa Han.

   Laki-laki she Thio itu berkata.

   "Kami hanya menjalankan tugas, mohon Hohan menaruh belas kasihan."

   Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya.

   "Kalian boleh menyamar jadi orang Han, tapi alasan yang kau kemukakan tidak bisa kuterima."

   Laki-laki she Ong segera meratap.

   "Kami memang matamata. Mohon Hohan memberi ampun, kami sudah bicara terus terang."

   "Tiga hari yang lalu, apakah kalian juga mampir ke keluarga In,"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Terus terang, kami belum pernah ke Tay-tong. Dengan kepandaian yang kami miliki, betapapun kami takkan berani mengusik In Tayhiap,"

   Demikian kata laki-laki she Ong. Dari jawaban ini, Tan Ciok-sing menarik kesimpulan bahwa mereka belum tahu akan kematian In Hou. Jawaban ini sekaligus menyadarkan Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Omongannya memang boleh dipercaya, kalau mereka pernah ke Tay-tong, seharusnya tahu logat bicaraku tidak mirip orang Tay-tong."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Hukuman mati tidak perlu, tapi hukuman fisik harus kalian rasakan,"

   Sedikit dia kerahkan tenaga, tulang pundak kedua orang dia remas sampai remuk, bentaknya.

   "Nah Kim-jong-yok kuberikan dan kalian mengobati sendiri. Kali ini aku ampuni kalian, lekas enyah."

   Setelah kedua mata-mata ini ngacir, Tan Ciok-sing membuka gambar peta itu dan melanjutkan perjalanan ke arah yang ditunjuk didalam peta, dua hari kemudian dia memang menemukan markas pusat Kim-to Cecu yang dahulu, ada puluhan tenda besar kecil yang tersebar didalam hutan lebat.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tampak seekor musang menerobos keluar dari bawah sebuah tungku terus lari kedalam hutan, waktu Tan Ciok-sing berada di tengah-tengah perkemahan kosong itu, puluhan burung gagak beterbangan ke atas pohon sambil berbunyi berceloteh.

   Melihat keadaan disini yang sudah mulai belukar ini, jelas sudah lama ditinggalkan, diam-diam Tan Ciok-sing menghela napas.

   Kala itu sudah menjelang petang, perkemahan itu tersebar luas di puncak sebuah perbukitan sejauh beberapa li.

   Tan Ciok-sing yakin tiada seorangpun yang menghuni perkemahan disini, maka tiada niatnya untuk memeriksa perkemahan itu satu persatu.

   Selama beberapa hari ini dia menempuh perjalanan terus menerus, badannya betul-betul lelah, maka sekenanya dia masuk ke salah satu kemah, setelah dibersihkan, segera dia merebahkan diri.

   Entah berapa lama dia tertidur, di saat tidurnya tengah layap-layapj didengarnya suara kuda meringkik, Tan Ciok-sing tersentak bangun, sejenak dia menenangkan pikiran dan mendengarkan dengan seksama, setelah yakin bahwa pendengarannya tidak salah, rasa senangnya bukan main, pikirannya.

   "Nasibku hari ini beruntung, semula kukira akan lama aku menunggu disini, tak nyana belum semalam aku disini, ternyata ada orang datang kemari"

   Ada dua ekor kuda yang mendatangi, langkah kuda pelanpelan, seperti dituntun oleh orang, arahnya juga menuju ke timur, jadi semakin jauh dari tempatnya sekarang berada. Timbul rasa curiga Tan Ciok-sing, pikirannya.

   "Mungkin bukan anak buah Kim-to Cecu, mungkinkah pihak Watsu ada mengutus mata-mata lain?"

   Sebelum jelas kawan atau lawan, Tan Ciok-sing tidak mau unjuk diri, secara diam-diam dia bangun serta menyelinap keluar terus memburu ke arah datangnya suara.

   Ringkik kuda tadi sudah tidak terdengar, tapi setelah dia melewati beberapa perkemahan, dan berada didalam hutan yang lebat, tiba-tiba seperti didengarnya seseorang sedang menghela napas dari kejauhan.

   Lekas Tan Ciok-sing mendekam dan mendekatkan kupingnya ke bumi mendengarkan dengan seksama, lwekangnya memang sudah tinggi, pendengarannya jauh lebih tajam dari orang kebanyakan, walau jauh suara itu, namun masih dapat didengarnya jelas.

   Didengarnya suara seorang yang agak tua serak berkata.

   "Sungguh tak nyana, tetap tak bisa menemukan Kim-to Cecu, seperti menunggu kelinci diluar lobangnya begini, entah kapan baru kita akan bertemu dengan saudara-saudara didalam markas?"

   Teka teki sudah mulai tersingkap, ternyata orang inipun setujuan dengan dirinya, yaitu sedang mencari Kim-to Cecu. Angin malam nan dingin menghembus lalu, Tan Ciok-sing seperti disadarkan oleh hembusan angin dingin ini, tiba-tiba tergerak hatinya.

   "Kedengarannya aku sudah kenal suara orang ini, siapa dia,"

   Di waktu dia hendak pergi kesana melihat lebih jelas, didengarnya pula suara seorang lain. Suaranya nyaring dan kecil, itulah suara makian perempuan.

   "Hm, kau rase tua ini terhitung besar nyalinya, berani datang kemari mau menipuku,"

   Dari nada perkataannya dapat diduga, bahwa laki-laki itu seperti mengatakan apa-apa kepadanya, namun Tan Ciok-sing tidak mendengar jelas.

   Segera Ciok-sing kembangkan Pat-pou-kan-sian, ginkang tingkat tinggi, hanya sekejap saja, percakapan kedua orang itupun kini sudah didengarnya jelas.

   "Apa yang kukatakan tadi semua memang sebetulnya."

   "Hm, kau boleh menipu orang lain, tapi jangan harap dapat menipuku. Sejak mula sudah aku tahu ada orang yang menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, baru sekarang aku tahu orang itu adalah kau."

   "Aku tidak menyamar, dengarkan penjelasanku..."

   Suara perempuan itu agaknya amat jengkel dan gelisah, tanpa pedulikan penjelasannya "Sret"

   Segera dia membacok dengan goloknya.

   "Nona, jangan main senjata. Kalau kau tidak percaya, boleh kau tanya kepada Siau-ongya. Aku tahu Siau-ongya sudah datang ke tempat kalian."

   Perempuan itu tetap menjengek.

   "Pembual. Kukira Siauongyamu itu adalah pangeran dari Watsu bukan?"

   "Lho,"

   Seru orang itu.

   "kalau demikian, jadi Siau-ongya kita belum tiba disini? Kalau begitu tolong kau antar aku menemui Kim-to Cecu. Kim-to Cecu akan tahu persoalannya."

   Perempuan itu tertawa dingin, katanya.

   "Kau ingin aku mengantarmu menemui Kim-to Cecu, bolehlah. Kau sendiri punahkan Kungfumu atau aku yang wakilkan kau?"

   Maksud perkataannya sudah gamblang, bahwa dia tetap pandang lakilaki itu adalah mata-mata dari Watsu, bila ingin bertemu dengan Kim-to Cecu, tulang pundaknya harus diputuskan lebih dulu, sebagai tawanan sudah tentu dia boleh membawanya menghadap Kim-to Cecu.

   Saat mana Tan Ciok-sing sudah datang dekat, dia sembunyi di belakang sebuah pohon, untuk sementara dia tidak ingin menampilkan diri.

   Tampak perempuan itu memegang sebilah golok emas bergagang panjang di tangan kiri, sebatang golok perak bergagang pendek di tangan kanan, setelah berkata kedua senjatanya diputar, menari-nari turun naik serta mengancam.

   Betapapun tebal kesabaran laki-laki itu, bila tulang pundaknya putus, dan dirinya dianggap pesakitan hendak digusur kehadapan Kim-to Cecu, sudah tentu dia naik pitam, pikirnya.

   "Biarlah kurampas sepasang gamannya, baru bicara lebih lanjut."

   Begitu turun tangan, mau tidak mau si perempuan kaget dibuatnya.

   Ternyata dia mengembangkan Tay-kim-na-jiu yang amat mahir.

   Malam itu tanggal tujuh, bulan sabit bercokol di angkasa raya, dengan udara nan cerah, sinar rembulan redup, hutan gelap gulita lagi, sehingga keadaan disini remang-remang.

   Tapi Tan Ciok-sing sudah kenal siapa laki-laki itu.

   Dia bukan lain adalah Ling Khong-tik yang pernah bertarung dengan Tan Ciok-sing di puncak Jong San dahulu.

   Ling Khong-tik adalah guru silat dari keluarga Toan yang tahun lalu diundang sendiri oleh Siau-ongya Toan Kiam-ping.

   Dalam perjalanan ke Kwi-lin kali ini Siau-ongya mengajaknya serta.

   Tapi waktu Toan Kiam-ping mengadakan pertemuan dengan Tan Ciok-sing, hari itu juga Ling Khong-tik kebetulan sudah disuruh pulang lebih dulu ke Tayli.

   Tan Ciok-sing tidak duga bahwa dia muncul disini.

   Dari tempat persembunyiannya dia saksikan Ling Khong-tik tengah mengembangkan ilmu Khong-jiu-jip-pek-to (ilmu tangan kosong merampas senjata), padahal tubuhnya terbungkus oleh cahaya golok, namun gerak geriknya tetap gesit dan tangkas, permainannya tetap mendesak dengan serangan-serangan yang liehay.

   Gadis itu menggunakan golok emasnya untuk menyerang deras, sementara golok perak untuk menjaga diri, jadi antara kedua golok panjang dan pendek ini masing-masing memainkan jurus tipu yang berbeda, betapa aneh permainan sepasang golok ini, Ling Khong-tik yang biasa mengagulkan kepandaian dan pengalamannya yang luas untuk sementara dibuat kewalahan juga.

   Meski kepandaian silatnya jauh lebih tangguh dari si gadis, untuk sementara jelas dia takkan mampu merampas gaman lawan.

   Tan Ciok-sing masih bimbang, apakah dia perlu keluar memperkenalkan diri untuk melerai pertempuran ini? Di tengah pertempuran sengit itulah, tiba-tiba dilihatnya permainan sepasang golok si gadis telah berubah.

   Semula dia mengutamakan serangan kencang dengan golok emas, golok perak menjaga diri atau memperkokoh pertahanan.

   Kini dia justru merubah permainan dengan golok perak membuka serangan, sementara golok emas bertahan.

   Golok perak pendek, golok emas panjang.

   Dalam kalangan persilatan ada pameo yang bilang, s,ejengkal lebih panjang lebih kuat, sejengkal lebih pendek, lebih berbahaya.

   Dengan golok pendek menyerang musuh, jadi merupakan pertempuran jarak dekat, permainan ini memang tepat untuk menghadapi rangsakan ilmu tangan kosong merebut senjata lawan, tapi bahaya yang dihadapi justru lebih berat.

   Agaknya Ling Khong-tik ingat sesuatu, sambil bersuara heran dia lantas berteriak.

   "Nona, harap tanya apakah Kim-to Cecu adalah ayahmu?"

   Dugaan Ling Khong-tik memang tidak meleset gadis ini memang putri Kim-to Cecu Ciu San-bin yang bernama Ciu Kiam-khim.

   Ciu Kiam-khim adalah nona berwatak keras dan suka menang sendiri, bahwa mendadak asal-usulnya diketahui lawan, dia juga tidak pikir bagaimana lawan bisa tahu akan dirinya, bila dia mau berpikir ke arah ini, maka seharusnya dia bisa menduga bahwa lawannya ini sebetulnya adalah kawan dan bukan musuh.

   Tapi reaksi yang timbul dalam benaknya adalah.

   "Dia sudah tahu bahwa aku putri Kim-to Cecu, bila sepasang golokku tidak mampu mengalahkan sepasang tangan kosongnya, bukankah aku menjatuhkan pamor ayah?"

   Karena itu tekad juangnya ingin menang bertambah menyala.

   Mendadak sesosok bayangan seperti seorang jenderal perang yang turun dari angkasa menghadang di tengah mereka.

   Pendatang ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing.

   Tangannya memegang sebatang pohon kecil yang baru saja dia petik dari pohon, begitu kakinya hinggap di bumi, segera dia gunakan jurus Hun-hoa-hud-liu (menyibak kembang mengebut dahan Liu), dahan pohon menekan golok perak, sehingga senjata Ciu Kiam-khim kena dituntunnya nyingkir ke samping, berbareng telapak tangan didorong, secara kekerasan dia tahan sejurus pukulan Ling Khong-tik.

   Tubuh Ling Khong-tik limbung, sementara Tan Ciok-sing mundur dua langkah, demikian pula Ciu Kiam-khim harus berkisar sekali dengan tunggak kaki sebagai poros baru bisa berdiri tegak pula.

   Kejadian amat mendadak, karuan Ciu Kiam

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   khim dan Ling Khong-tik sama-sama kaget. Tan Ciok-sing merias diri mengganti rupa, sudah tentu Ling Khong-tik tidak mengenalnya lagi. Tan Ciok-sing berkata.

   "Kalian sama-sama orang-orang sendiri, kenapa harus bertarung sesengit ini?"

   "Berdasarkan apa kau berkata begini?"

   Semprot Ciu Kiamkhim.

   "Karena aku tahu ayahmu adalah Kim-to Cecu. Aku juga tahu Lo-enghiong ini siapa."

   Ciu Kiam-khim mendengus.

   "Lo-enghiong apa, tapi aku tahu kalau dia menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, matamata dari Watsu."

   "Nona Ciu, kau salah paham,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Ling Suhu ini bukan samaran. Dia betul-betul adalah guru silat dari keluarga Toan yang tulen."

   Ciu Kiam-khim kaget, teriaknya.

   "Apa, kau bilang dia ini Ling Suhu? Ada seorang bulim cianpwe yang tersohor dengan ilmu Eng-jiu-kang yang menggetarkan bulim, Ling Khong-tik Ling locianpwe, apakah, apakah..."

   Dengan kalem Ling Khong-tik menyeletuk.

   "Mana berani aku dipanggil Locianpwe, tapi Ling Khong-tik memang benar adalah aku."

   "Apa benar kau ini Ling Khong-tik Ling-locianpwe? Kenapa aku..."

   Ternyata waktu Kanglam Sianghiap mampir ke Tayli tahun yang lalu, mereka belum tahu bahwa Ling Khongtik padahal sudah berada di rumah keluarga Toan.

   Banyak pula seluk beluk keluarga Toan di Tayli yang diketahui oleh Ciu Kiam-khim, namun hatinya masih dirundung curiga, kuatirnya ada seorang lain yang mahir pula akan ilmu itu menyaru jadi Ling Khong-tik, dalam hati dia berpikir.

   "Setahuku Ling Khongtik tiada hubungan apa-apa dengan keluarga Toan di Tayli, kalau betul dia sudah diangkat sebagai guru silat keluarga kerajaan itu, kenapa Kanglam Sianghiap tidak memberi tahu kepadaku? Lebih baik aku hati-hati, supaya jangan ketipu orang."' "Nona Ciu, masih ada yang kau curigai? Boleh silahkan kau tanya."

   Sejenak Ciu Kiam-khim berpikir, bukan mengajukan pertanyaan, mendadak dia berpaling ke arah Tan Ciok-sing malah.

   "Siapa kau, berdasar apa kau berani membuktikan bahwa dia betul-betul adalah Ling Khong-tik Ling-locianpwe?"

   Demikian tanya Ciu Kiam-khim. Sudah tentu Tan Ciok-sing kelakep oleh pertanyaan ini, tengah dia kebingungan, cara bagaimana harus memberi penjelasan, tahu-tahu seseorang telah menyeletuk.

   "Nona Ciu, biarlah aku yang menjadi saksi bahwa Ling Suhu memang benar adalah guru silat kita, boleh tidak?"

   Orang ini beranjak keluar dari hutan sambil menuntun dua ekor kuda, dia bukan lain adalah kacung pribadi Tan Kiamping yang pernah dilihat Tan Ciok-sing waktu masih berada di Cit-sing-giam dulu.

   Semula Ciu Kiam-khim melengak, tapi setelah dia menoleh dan melihat jelas pendatang ini, seketika dia berseru girang.

   "Oh, kaukah Siau-ni-cu. Kau sudah tumbuh sebesar ini."

   Kacung Toan Kiam-ping ini dilahirkan di pinggir Ni-hay, maka Toan Kiam-ping mengambil huruf "Ni"

   Untuk namanya. Empat tahun yang lalu dia pernah disuruh ke markas pusat Kim-to Cecu mengantar surat, waktu itu dia baru berusia lima belas tahun. Toh Ni berkata.

   "Baru kemarin kami tiba. Karena kami tidak tahu kemana kalian pindah, maka terpaksa main tunggu disini, kami yakin suatu waktu pasti ada orang kemari. Tadi kubawa kedua ekor kuda ini ke sungai untuk dimandikan, belum lama aku pergi, tak nyana kau sudah kemari."

   "Aku dengar ada orang menyaru pesuruh keluarga Toan, maka sengaja aku turun gunung menyelidik soal itu. Kuduga mata-mata itu pasti bisa menemukan tempat ini, maka aku kesini."

   Toh Ni tertawa, katanya.

   "O, tak heran kau melabrak Ling Suhu. Baru musim semi yang lalu Ling Suhu berada di Ong-hu kita."

   Cepat Ciu Kiam-khim mohon maaf kepada Ling Khong-tik, katanya tertawa.

   "Tidak berkelahi takkan berkenalan, harap maaf akan kelancanganku."

   Toh N i bertanya.

   "Nona Ciu, apakah Siau-ongya kami dan In Lihiap sudah tiba di markas kalian?"

   "Kok belum,"

   Sahut Ciu Kiam-khim.

   "aku memang ingin tanya, apa sih yang telah terjadi?"

   Maklum kalau In San datang mau membantu ayahnya, hal ini tak perlu dibuat heran tapi bahwa Toan Kiam-ping juga ikut datang, ini benar-benar diluar dugaannya. Toh Ni juga heran, katanya.

   


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Pedang Ular Emas -- Yin Yong

Cari Blog Ini