Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 16


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 16



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tiba-tiba tergerak akal Tan Ciok-sing, lekas dia mencomot secuil lempung terus dijentikan, Soat-li-ang kena ditembaknya telak dan jatuh tak berkutik.

   Lekas In San lari kesana memungutnya dan diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya memuji.

   "Toako, tembakkanmu sungguh telak dan tepat, burung ini tidak terluka scdikitpun."

   Terdengar Siau-ongya itu tengah berkata pula.

   "Aneh, baru saja kudengar kicau burung tadi, pasti teman burung putih tadi, kenapa tidak kelihatan bayangannya?"

   Sembari bicara dia mempercepat langkah, lekas sekali rombongan orang itupun telah tiba di Sian khim-sia.

   Mereka memang empat orang.

   Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya seorang pemuda berusia enam belasan berpakaian mewah perlente, tentu dia inilah Pangeran cilik itu, dua lelaki yang berlari di belakangnya meski berpakaian bangsa Han tapi jelas dari tampang mereka bahwa kedua orang ini bukan orang Han.

   Tapi orang ke empat ternyata cukup mengejutkan hati Tan Ciok-sing.

   Ternyata orang ini bukan lain adalah Lenghou Yong, setengah tahun yang lalu Tan Ciok-sing pernah melabraknya waktu berada di Cui-hwi-hong tempat kediaman Khu Ti di puncak Ong-gu-san.

   Untung Tan Ciok-sing sudah ganti rupa sehingga Lenghou Yong tidak mengenali dirinya, namun melihat perawakannya, dia merasa seperti pernah mengenalnya.

   Tergerak pikiran Lenghou Yong, segera dia maju bertanya.

   "Hay, apakah kalian yang memetik harpa disini?"

   "Tidak. Kami hanya duduk disini menikmati irama kecapi,"

   Jawab ln San.

   "Kecapi petikan siapa, mana orangnya?"

   Tanya Lenghou Yong. In San tertawa katanya.

   "Petikan kecapi dari air yang mengalir."

   Sementara itu Siau-ongya melihat Soat-Ii-ang yang terpegang di tangan Tan Ciok-sing, segera dia memburu maju seraya berseru senang.

   "Oh, ternyata burung ini tertangkap olehmu, boleh aku melihatnya?"

   Setelah pegang dan mengawasi Soat-li-ang yang diterimanya semakin senang Siau-ongya, senyumnya lebar, katanya.

   "Dengan cara apa kau menangkapnya? Sedikitpun dia tidak terluka."

   Tan Ciok-sing pura-pura tidak tahu bahwa orang adalah pangeran raja katanya.

   "Agaknya Kongcu suka pada burung ini, biarlah kuberikan kepadamu."

   "Aku baru mengenal kau, mana boleh menerima barangmu,"

   Ujar Siau-ongya rikuh.

   "Hanya seekor burung, kan hanya mainan saja, tak terhitung apa-apa bukan?"

   Betapa riang hati Siau-ongya sampai dia berjingkrakjingkrak, katanya.

   "Kau begini baik, siapakah namamu, tinggal dimana?"

   Sekenanya Tan Ciok-sing sebutkan sebuah nama palsu, dikatakan dia di rumah seorang teman, sudah tentu alamatnyapun ngawur saja, namun nama tempat itu memang ada diluar kota Pakkhia. Siau-ongya itu berkata.

   "Lui-heng, aku ingin bersahabat dengan kau, tapi ayahku menjagaku amat ketat, hari ini aku hanya diperbolehkan kelayapan sebentar, mungkin tak bisa mampir ke rumahmu, lebih baik kau saja yang mencariku?"

   Lekas Lenghou Yong dan kedua laki-laki Watsu memberi kedipan mata kepada Siau-ongya kuatir Siau-ongya yang masih muda tidak tahu urusan ini, membeber asal-usul alamatnya kepada orang luar.

   Bahwa pemuda ini memang benar seorang pangeran, tapi dia pangeran Watsu.

   Kiranya Duta Watsu yang datang secara rahasia ini adalah paman dari Khan agung yang berkuasa di Watsu sekarang.

   Pangeran ini adalah anak bungsunya yang paling disayang.

   Siau-ongya minta tamasya ke tembok besar, terpaksa Lenghou Yong ditugaskan sebagai petunjuk jalan, sekaligus ikut melindunginya, untuk tidak menarik perhatian orang dan supaya tidak tahu bahwa pemuda itu seorang pangeran, maka mereka sengaja berpakaian seperti orang Han.

   Meski Siau-ongya ini tidak begitu paham urusan, tapi dia juga tahu tempat penginapan ayahnya di Pakkhia tidak boleh sembarangan diketahui dan didatangi orang luar, setelah berpikir akhirnya dia berkata.

   "Tahukah kau di kota Pakkhia ada seorang Liong Bun-kong Liong-tayjin?"

   Tan Ciok-sing pura-pura kaget, katanya.

   "Maksud Kongcu Liong-tayjin dari Kiu-bun-te-tok itu?"

   "Betul,"

   Ujar Siau-ongya.

   "Liong-tayjin adalah teman baikku, boleh kau mencariku di rumahnya. Kalau aku kebetulan keluar kau ada urusan apa yang ingin bantuanku, boleh kau minta kepada Liong-tayjin. Kipasku ini kuberikan kepadamu sebagai tanda kepercayaanku melihat kipasku ini, yakin apanya permintaan pasti dia senang membantu kau,"

   Lalu dia keluarkan sebatang kipas, gagangan kipasnya ternyata terbuat dari batu jade.

   Di atas kipas ada tulisan dan lukisan karya Mi-lam-kiong yang terkenal pada dynasti Song dulu.

   Liong-bun-kong mendapat hadiah kipas ini dari Baginda, kini dia .hadiahkan kipas itu kepada Siau-ongya, sekarang Siauongya memberikan kepada Tan Ciok-sing Dalam hati Tan Ciok-sing tertawa geli, batinnya.

   "Yang kuhendaki adalah batok kepala Liong Bun-kong."

   Tapi supaya Siauw-ongya tidak curiga, dan lagi dia merasa sayang bila buah karya Mi-lam-kiong yang termashur itu jatuh ke tangan orang Watsu, maka tanpa sungkan dia menerimanya, katanya dengan pura-pura kegirangan.

   "Banyak terima kasih akan hadiah Kongcu, mana berani aku menginginkan pemintaan lain? Waktu sudah siang, rumah kami jauh, sebelum petang sudah harus sampai rumah mohon pamit saja."

   "Diberi harus membalas kan jamak,"

   Ujar Siau-ongya.

   "setiba di Pakkhia jangan lupa langsung mencariku, beberapa hari lagi aku sudah akan pulang,"

   Sejak kecil bapaknya mengundang guru sastra orang Han untuk mengajar membaca dan menulis bahasa Han, maka logat perkataannya cukup fasih. Lenghou Yong tiba-tiba tampil ke depan, katanya cengar cengir.

   "Kau bocah ini sungguh ketiban rejeki, seekor burung ditukar barang pusaka, masa depan gemilang masih menunggumu lagi, hidupmu akan senang berkecukupan. Sebetulnya kau ini siapa, aku belum tanya kau?"

   "Aku yang rendah dengan temanku ini adalah pelajar yang mau ujian di kota raja."

   "Kalau kau mau menghadap Liong-tayjin, mohon sekedar jabatan segampang membalik tangan, buat apa ikut ujian segala?"

   "Kami kaum pelajar yang dikejar adalah kerja yang akan membawa kami ke masa depan nan jaya. Maaf kami betulbetul ingin lekas pulang ke Pakkhia, hari ini sudah membuang banyak waktu untuk tamasya ke tembok besar. pelajaran jadi terbengkelai."

   Tawar perkataan Lenghou Yong.

   "Lui-kongcu giat dan rajin belajar, memang harus dipuji. Kelak yakin kau pasti dapat merebut Conggoan,"

   Di mulut dia mengumpak dan memuji, padahal dalam hati dia sudah berniat berbuat jahat. Sembari bicara dia maju dua langkah mendekati ke depan Tan Cioksing, mendadak dia berkata.

   "Barang apa yang kau gendong ini?"

   Yang digendong Tan Ciok-sing adalah harpa warisan keluarganya itu, disimpan dalam kotak panjang dari kayu, dengan sikap ketarik Lenghou Yong memberi tekanan suaranya dengan tepukan tangan, dia kerahkan tenaga dalam tepukan telapak tangannya ini.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak membiarkan orang merusak harpa warisannya? Lekas dia berpura-pura kaget serta tergopoh ketakutan, tubuhnya limbung ke depan dan hampir terperosok jatuh.

   In San lekas memburu maju dengan laku yang gugup dan memapahnya sehingga kedua orang gentayangan.

   Tempat dimana Tan Cok-sing berdiri adalah di pinggir selokan yang berlumut dan licin, karena pura-pura kaget langkahnya sengaja dibuat terpeleset sehingga orang lain tidak menaruh curiga akan tingkah lakunya.

   Pada hakikatnya dengan pura-pura terpeleset itu sebetulnya dia telah mengembangkan gerakan Ih-sing-hoan-wi tingkat tinggi.

   Karena tepukannya mengenai tempat kosong, tanpa merasa kaki Lenghou Yong sendiri juga ikut terpeleset, namun dia lekas menggunakan Jian-kin-tui sehingga tubuhnya tegak berdiri pula.

   Permainan sandiwara Tan Ciok-sing memang mirip sekali, ternyata Lenghou Yong yang banyak pengalaman dan luas pengetahuan inipun kena dikelabui, namun hatinya ragu-ragu.

   "Bocah ini terpeleset betul-betul atau sengaja menghindari tepukanku? Mungkinkah dia memiliki Kungfu tinggi, sengaja ingin membikin aku terpeleset jatuh sendiri?"

   Tan Ciok-sing pura-pura kaget dan marah, katanya.

   "Kotakku ini ada beberapa

   Jilid buku dengan beberapa keping uang pecahan, apa kau hendak menggeledah barang milikku? Tapi aku harus tahu siapa kau sebenarnya, apa kau opas? Keluarkan surat tugasmu, apa betul kau ada hak memeriksa aku.

   Kalau tidak sebagai pelajar mematuhi hukum jangan dikira kalau kami dapat dihina dan dipermainkan."

   Siau-ongya kurang senang katanya.

   "Lenghou-siansing kenapa menggertaknya?"

   Lalu dia berpaling dan berkata kepada Tan Ciok-sing.

   "Lui-loheng, tidak apa kalian boleh lekas pergi. Ingat sekembali ke Pakkhia, selekasnya mampir ke tempatku menginap." 000OOO000 Dalam pada itu Toan Kiam-ping dan Han Cin masih berada di panggung Bok Kwi-ing, cukup lama mereka menunggu, tapi orang yang ditunggu tidak kunjung tiba. Han Cin berkata.

   "Kalau benar Tan-toako berada di Siankhim- sia, begitu mendengar serulingku, pasti dia menyusul kemari, Ping-ko, apa kau masih mau menunggunya?"

   Toan Kiam-ping jadi bimbang, katanya.

   "Mungkinkah aku tadi salah dengar?"

   "Kukira kejadian begitu kebetulan jarang terjadi di dunia ini. Tanpa berjanji mana mungkin Tan-toako berada di tembok besar seperti kita hari ini."

   "Tunggu sebentar, lihat apa itu?"

   Seru Toan Kiam-ping. Mereka di tempat tinggi, dari atas lihat ke bawah, dilihatnya di lereng bukit sana bermunculan bayangan beberapa orang, karuan Han Cin terkejut katanya.

   "Aneh, waktu kita datang, tiada seorangpun pelancongan dari mana datangnya orang sebanyak ini?"

   "Langkah orang-orang itu tangkas dan enteng, kukira semuanya memiliki Kungfu yang baik,"

   Demikian kata Toan Kiamping.

   "Betul,"

   Uiar Han Cin setelah meneliti.

   "mereka bukan pelancongan, tapi kawanan wisu yang menyamar."

   Pendapat Han Cin menyadarkan Toan Kiam-ping, dilihatnya orang-orang itu seperti selulup timbul di antara semak rumput yang tumbuh subur dan tinggi namun mereka hanya bergerak di daerah itu tiada yang naik ke atas gunung.

   Pola mereka tak ubahnya sepasukan ronda yang sedang mondar mandir.

   Kini Han Cin melihat lebih jelas dari tempatnya yang tinggi, katanya.

   "Ada empat orang datang kesini dari arah Sian-khimsia, tapi Tan-toako tidak ada di antara mereka."

   "Ya, empat orang ini bukan manusia sembarangan, coba lihat..."

   Demikian kata Toan Kiam-ping sambil menuding kesana.

   Tampak kawanan wisu yang sembunyi di semak itu kini bermunculan seperti memapak kedatangan ke empat orang itu, Toan dan Han mendekam mendengarkan suara, didengarnya seorang memanggil "Siau-ongya".

   Han Cin terkejut, dengan tertawa dia berbisik di pinggir telinga Toan Kiam-ping.

   "Dari mana datang pula seorang Siauongya?"

   Terdengar Siau-ongya itu sedang memaki.

   "Kalian lupa lagi, sudah kukatakan jangan panggil aku demikian, sebut saja Kongcu?"

   Orang itu tersipu-sipu, katanya.

   "Lapor, lapor, Kongcu, disini tiada orang luar."

   Salah seorang dari empat orang itu lalu berkata.

   "Di atas ada orang tidak?"

   Mendengar suara orang ini, seketika Han Cin berubah air mukanya. Toan Kiam-ping bertanya perlahan.

   "Kau tahu siapa dia?"

   "Sekarang belum jelas, tapi suaranya seperti pernah kukenal entah dimana,"

   Kejap lain setelah Han Cin melihat muka orang itu dia betul-betul kaget, katanya.

   "Itulah Lenghou Yong jago kosen nomor satu anak buah Liong Bunkong."

   "Lenghou Yong yang pernah bergebrak dengan kau di Onggu- san dulu itu?"

   "Waktu itu hanya Tan-toako yang melabraknya, betapa tinggi kepandaian Tan-toako diapun terdesak di bawah angin. Akhirnya aku tampil dengan menyamar sebagai Gi-hu sehingga dia lari ketakutan, walau belum pasti dia dapat mengenaliku, lebih baik kita lekas menyingkir saja."

   Meski mengharap dapat bertemu dengan Tan Ciok-sing, tapi keadaan cukup mendesak terpaksa Toan Kiam-ping mengundurkan diri.

   Kuda mereka makan rumput di tegalan sana, sekali Toan Kiam-ping bersiul kuda tunggangan itu segera lari mendatangi, begitu mencemplak ke punggung kuda mereka putar haluan terus dibedal ke arah yang berlawanan dari arah datangnya rombongan di bawah sana.

   Lenghou Yong tidak melihat wajah mereka, namun dia lihat dua ekor kuda berlari kencang bagai angin lalu, hanya sekejap telah lenyap.

   Adalah Siau-ongya menghela napas, katanya.

   "Dua ekor kuda itu sungguh jempolan, di Mongol belum pernah aku melihat kuda sebagus itu."

   "Biar kukejar,"

   Kata tenghou Yong. Poyang Gun-ngo berkata dingin.

   "Lenghou-siansing, meski ginkangmu bagus, yakin kau tak akan mampu mengejar kedua kuda itu?"

   Sebagai jago kosen yang jarang ketemu tandingan di Watsu, sudah tentu dia merasa sirik kepada Lenghou Yong.

   "Kalau begitu, mari silahkan lihat-lihat di sebelah atas,"

   Ujar Lenghou Yong.

   "O, ya, tadi kau bilang di atas masih ada peninggalan jaman kuno? Aku tidak pingin merebut kuda orang lain, dikejar juga belum tentu kecandak. Marilah kita bermain-main di atas saja."

   Lenghou Yong mengendorkan langkah, katanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lapor Siau-ongya peninggalan kuno di atas itu dinamakan panggung Bok Kwi-ing."

   Berubah air muka Siau-ongya, serunya.

   "Bok Kwi-ing apa? Apakah pahlawan perempuan bangsa Han kalian di jaman kuno dulu yang bernama Bok Kwi-ing itu?"

   "Ya, benar,"

   Sela Poyang Gun-ngo.

   "Bok Kwi-ing adalah jenderal perempuan dari marga Nyo yang terkenal, konon dulu pernah memukul hancur Thian-bun-tin pasukan Liau yang kesohor itu. Bok Kwi-ing disanjung puji sebagai pahlawan pembela tanah air oleh bangsa Han mereka."

   Siau-ongya menarik muka, katanya.

   "Lenghou-siansing lalu apa maksudmu hendak membawa kami ke panggung Bok Kwiing?"

   Baru sekarang Lenghou Yong sadar, membawa pangeran kerajaan Watsu ke panggung Bok Kwi-ing adalah merupakan suatu penghinaan bagi mereka, karuan dia tertawa nyengir lekas dia minta maaf.

   "Siau-ongya, agaknya kau tidak suka pemandangan alam disini, marilah kita pindah ke tembok besar di sebelah sana."

   Toan Kiam-ping dan Han Cin mencongklang kudanya secepat terbang, sepanjang jalan tidak jarang mereka mendengar para wisu yang berpakaian preman itu membentak dan memaki, ada yang kagum melihat kuda mereka, ada pula yang berniat merampas kuda mereka, tapi mana mereka mampu merintangi.

   Cepat sekali mereka sudah tiba di bawah gunung.

   Toan Kiam-ping berkata setelah menghela napas.

   "Sayang kesempatan bertemu dengan Tan-toako terpaksa diabaikan." 000OOO000 Dengan membawa kipas pemberian Siau-ongya, dengan leluasa Tan Ciok-sing berdua turun gunung, para wisu tiada yang berani mempersulit mereka. Waktu mereka tiba di Iamping gunung tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda membedal kencang turun gunung, lapat-lapat kelihatan namun cepat sekali tinggal dua titik bayangan dan lenyap tanpa bekas. ln San berseru memuji.

   "Kuda bagus, kuda putih milik Kanglam Sianghiap itupun belum tentu lebih unggul dari kedua ekor kuda itu."

   Tan Ciok-sing menepekur sesaat lamanya, katanya kemudian.

   "Mungkin kedua kuda itulah milik Kanglam Sianghiap."

   "Kau tetap mengira Toan-toako dan Han-cici yang menunggang kedua kuda itu?"

   "Aku memang agak curiga. Tiupan seruling orang itu memang mirip sekali dengan gaya tiupan seruling nona Han,"

   "Pandanganku memang kurang tajam, tapi dapat kulihat jeias bahwa kedua ekor kuda tadi bukan berwarna putih."

   Karena ragu-ragu akhirnya Tan Ciok-sing tertawa getir katanya.

   "Apa benar mereka toh kita tidak bisa membuktikan. Biarlah buat apa susah-susah memikir mereka."

   Untung mereka jarang ketemu orang, walau tidak berani mengembangkan ginkang, namun langkah mereka jauh lebih pesat dari orang biasa berlari, sebelum matahari terbenam mereka sudah kembali ke rumah sewa di kota Pakkhia.

   Rumah di tengah kebun ini sudah setengah bobrok tidak diurus dan lama tidak di tempati, jauh dari bangunan rumah-rumah lain, maka dalam rumah mereka lebih leluasa bicara.

   "Tan-toako,"

   Kata In San.

   "menurut dugaanmu, siapakah Siau-ongya itu?"

   "Memangnya perlu dijelaskan lagi. Jago nomor satu dari bangsat tua she Liong itu rela menjadi kacung penunjuk jalannya, jelas ada sangkut pautnya dengan Duta rahasia Watsu itu. Bukan mustahil dia putera dari Duta rahasia itu."

   "Menurut hematmu, apakah Lenghou Yong sudah menduga akan dirimu?"

   "Dari kejadian tadi, kukira dia memang sudah menaruh curiga, tapi belum tentu dia yakin akan diriku."

   "Jelasnya mereka sudah menaruh curiga maka penjagaan malam ini tentu keras sekali. Anak buah Duta rahasia itu mampu membunuh Ui-yap Tojin, tentu tidak sedikit jago kosen di antara mereka."

   "Betul, busu Watsu yang mengikuti Siau-ongya itu kepandaiannya jelas tidak lebih rendah dari Lenghou Yong. Adik San, aku tahu malam nanti bakal menghadapi mara bahaya lebih besar, namun meski tahu di atas gunung ada harimau, kita justru akan terjang ke atas gunung, mumpung Duta rahasia Watsu berada di rumah keluarga Liong, aku sudah bertekad untuk meluruk gunung harimau itu."

   Tiba-tiba In San mengusulkan.

   "Kau memiliki kipas pemberian Siau-ongya, bukankah dengan kipas ini kau bisa mohon menghadap kepada Liong Bun-kong lalu cari kesempatan membunuhnya?"

   "Cara ini kukira kurang baik, pertama Lenghou Yong sudah menaruh curiga pada kita, permohonanku menemui Liong Bun-kong belum tentu bisa terlaksana dan itu berarti kita masuk perangkap sendiri. Kedua, aku tidak sudi menggunakan barang pemberian orang lain demi keuntungan pribadiku sendiri."

   In San melenggong, katanya.

   "Apa kau sudah anggap Siau-ongya itu sebagai kawan? Kalau dugaanmu tidak meleset, ayahnya adalah Duta rahasia itu, bukankah kita adalah musuh ayahnya."

   "Ayahnya sudah tentu adalah musuh kita. Tapi pemuda berusia belasan tahun itu belum tentu sebagai musuh, paling tidak sekarang masih belum. Kawan ada banyak macam, Siauongya yang satu ini tentunya berbeda dengan kaum pendekar kita, tapi bila dia mau memandangku sebagai kawan, meski hanya karena memburu kesenangannya, akupun harus membalasnya setulus hati, dengan tegas menggaris bawahi antara dia dengan ayahnya. Bukankah kita berpedoman kebenaran dan keadilan, jelas antara hitam dan putih."

   "Komentarmu memang agak mirip analisa Ciu-pepek (Kimto Cecu). Baiklah, teorimu yang serba benar dan adil itu, jelas aku tidak mampu mendebatmu, malam nanti bila aku ketemu Siau-ongya itu, aku tidak akan membunuhnya."

   "Bila kau menyinggung Kim-to Cecu, aku jadi amat menyesal, aku sudah berada diluar Gan-bun-koan, tapi tiada jodoh untuk menemuinya."

   "Gerakan Jit-sian ke kota raja kali ini, yakin Kim-to Cecu pasti juga sudah mendapat kabar, dia pasti mengutus orang kemari."

   "Satu hal lagi yang membuatku menyesal, tadi kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Toan-toako dan nona Han." ? "Agaknya rasa curigamu belum juga padam? Mungkin hanya angan-anganmu saja bahwa Toan-toako dan Han-cici berada di kota raja. Tapi Jit-sian jelas pasti datang, mungkin sudah tiba sebelum kita sampai disini. Sayang kita tidak bisa mengadakan kontak."

   "Akupun merindukan mereka, terutama Kek Lam-wi yang pandai meniup seruling. Tapi kupikir sebelum gerakan kita dilakukan, ada baiknya kita tidak bertemu dengan mereka. Setelah malam nanti, bila kita beruntung masih hidup, barulah nanti kita cari mereka."

   Dasar berotak encer, semula In San masih melenggong, tapi cepat sekali dia sudah paham maksudnya, katanya.

   "Betul, jikalau aksi kita berhasil itu berarti Jit-sian dan lain-lain tidak perlu banyak berkorban,"

   Tak tertahan air matanya berlinang saking haru, katanya pula.

   "Tan-toako, kau sungguh baik."

   Tan Ciok-sing menyeka air matanya, katanya.

   "Apa aku yang baik? Liong bangsat itu adalah musuh kita bersama memangnya kau masih perlu main sungkan terhadapku?"

   "Bukan aku haru karena kau membantuku. Aku terharu karena kau selalu memikirkan orang lebih dulu, kepentingan orang lain selalu kau utamakan, hal inilah yang membikin aku kagum dan bertambah tebal cintaku kepadamu."

   "Sudah jangan banyak bicara lagi. Yang penting sekarang kau harus menenangkan pikiran, tentramkan hatimu dan istirahat. Kentongan ketiga nanti kita harus berangkat!"

   OooOOOooo Kala itu Toan Kiam-ping dan Han Cin juga sudah siap-siap untuk berangkat. Karena menunggang kuda sebelum magrib mereka sudah tiba di penginapan. Han Cin menutup pintu, katanya dengan tertawa lirih.

   "Sayang bertemu dengan Siau-ongya, sebetulnya kita masih bisa bertamasya lebih lama lagi, terpaksa harus buru-buru pulang sebelum waktunya."

   "Memangnya, orang yang ingin ditemui tidak ketemu, orang yang menyebalkan justru kepergok. Tapi puas juga hatiku setelah tamasya di tembok besar."

   Han Cin seperti memikirkan sesuatu, agak lama dia tidak bersuara.

   "Adik Cin, kau sedang mikir apa lagi?"

   "Aku ingin keluar belanja, sebentar juga kembali, kau tidak usah ikut."

   "Adik Cin,"

   Setelah memanggil Toan Kiam-ping tidak meneruskan perkataannya. Han Cin menoleh, katanya.

   "Kenapa, kau kuatir aku tak mampu pulang?"

   "Justeru sebaliknya, aku mengharap malam nanti kau jangan pulang."

   Berubah roman muka Han Cin, katanya.

   "Toako, apa maksudmu? Memangnya..."

   "Jangan salah paham adik Cin, bukan maksudku menyuruhmu menyingkir menjelang bahaya tiba, aku cuma berfikir, masih ada cita-citamu yang belum tercapai."

   Han Cin tertegun, katanya.

   "Dari mana kau tahu?"

   "Tiupan serulingmu tadi membuatku terkenang kepada Kek Lam-wi. Masih segar dalam ingatanku, kau pernah bilang, semasa hidup ayahmu punya seorang teman baik, seorang yang paling pandai meniup seruling, karena geger sehingga kalian putus hubungan, belakangan diketahui dia ngungsi ke Khong-goan dan sudah menetap disana. Ayahmu amat merindukan dia, namun tidak mau mencarinya ke Khonggoan. Tapi dia mengharap setelah beliau mati kau bisa kesana mencarinya."

   "Betul, ayah berpesan supaya aku, menyerahkan seluruh hasil karyanya kepada dia. Tapi ayah tidak pernah menyebut siapa nama orang itu, menjelang ajalnya dia ingin menerangkan tapi tidak sempat lagi. Naga-naganya ayah ada pertikaian yang mendalam dengan orang itu, namun malu untuk menerangkan."

   "Susiok Kek Lam-wi bernama Ti Nio konon tinggal di Khong-goan, kepandaianmu meniup seruling mirip Kek Lamwi, orang yang ingin dicari ayahmu, bukan mustahil adalah Susiok Kek Lam-wi pula."

   "Benar, akupun pernah berpikir begitu. Tapi untuk apa dalam saat-saat seperti ini kau masih menyinggung hal ini?"

   "Di rumah Coh Ceng-hun tempo hari, Sia-cin Hwesio pernah berkata pada kita, bahwa Kek Lam-wi sekarang berada di rumah Susioknya yang tinggal di Khong-goan, Wi-cui-hi-kiau sudah mengirim surat lewat burung pos supaya selekasnya dia datang ke kota raja. Kalau dihitung perjalanan, dalam beberapa hari ini Kek Lam-wi pasti sudah tiba di kota raja. Maka aku harap kau mampir ke rumah Coh Ceng-hun untuk melihatnya, bila betul Kek Lam-wi sudah datang, kaupun bisa melaksanakan cita-cita terakhir"

   Han Cin geleng-geleng kepala, katanya lembut.

   "Dalam keadaanku sekarang segala persoalan takkan lebih penting dari mati hidup kita berdua. Umpama aku tak mampu melaksanakan keinginan ayah, di alam baka yakin ayah juga pasti memaafkan diriku. Karena ayah seorang sekolahan, aku tahu dia pasti setuju akan haluan yang kutempuh ini,"

   Sampai disini tak tertahan air mata bercucuran, katanya lebih lanjut.

   "Mungkin tinggal malam inilah kita dapat berkumpul, kau masih tega menyuruhku meninggalkan kau?"

   Toan Kiam-ping bercucuran air mata pula mendengar perkataan Han Cin yang mengharukan;

   "Baiklah, kita memang harus sehidup semati. Kau ingin beli apa, lekas pergi."

   Setelah menyeka air mata, Han Cin berkata.

   "Pasar Tangan tidak jauh dari sini. Toako, jangan kau berpikir yang tidaktidak, tunggulah aku pulang dan jangan pergi kemana-mana aku akan lekas pulang."

   Han Cin bilang akan pulang cepat-cepat, tapi setelah ditunggu sekian lamanya, tetap belum kunjung pulang.

   Jantung Toan Kiam-ping sudah dak dik duk, sebentar dia kuatir Han Cin mengalami sesuatu diluar dugaan, sebentar dia mengharap Han Cin mau menuruti nasehatnya.

   "Mungkin dia mau merubah tekadnya semula, kini dia sudah pergi ke rumah keluarga Coh menemui Kek Lam-wi?"

   Cukup menderita tekanan batin Toan Kiam-ping menunggu kedatangan Han Cin, pada hal waktu itu sudah menjelang magrib.

   "Toako, pasti kau sudah gelisah menungguku?"

   Begitu masuk Han Cin lantas berkata dengan tertawa.

   "Memangnya aku sudah siap menyusulmu ke pasar, beli apa saja kau sampai pergi selama ini? Apa isi bungkusan besar ini, apa pula yang berada di kantong kecil itu?"

   "Kantong kecil ini berisi gandum, bungkusan besar ini berisi kain untuk membuat pakaian."

   "Untuk apa kau membeli semua ini?"

   "Gandum bukan untuk dimakan, kain itu kubeli untuk bikin pakaian barumu."

   "Kita kan tidak mau pergi pesta, buat apa kau bikin pakaian baru?"

   "Masa kau tidak bisa menerkanya?"

   "Aku tahu kau memang perempuan berotak cerdas, tapi aku ini orang bodoh, buat apa aku harus memeras otak. Tolong kau jelaskan sendiri saja."

   "Inilah barang-barang keperluan kita untuk menyamar nanti malam."

   "O, ya betul, di atas Pat-tat-nia siang tadi, para wisu keluarga Liong mungkin ada yang mengenali muka kita. maka perlu kita berdandan dan menukar rupa dan pakaian. Lalu menyamar apa baiknya?"

   "Menyamar wisu keluarga Liong."

   Toan Kiam-ping melengak, katanya.

   "Wisu keluarga Liong satu sama lain kenal dengan baik, kau tidak takut konangan?"

   "Jangan kuatir, kupilih caraku ini, sudah tentu sebelumnya sudah kupikirkan masak-masak. Waktu turun gunung tadi, diam-diam sudah kuperhatikau dua wisu yang ada dibarisan terakhir, amat kebetulan yang tinggi itu perawakannya mirip kau, sedang yang pendek kira-kira sebanding dengan aku, wajah merekapun sudah kucatat dalam benakku. Bahwa mereka berada di barisan terakhir, boleh dipastikan bahwa kedudukan mereka masih terlalu kroco, dibanding Huwan bersaudara tentu kalah jauh tingkatannya. Bagi wisu yang punya pangkat pasti diperhatikan dan sukar dipalsu, maka kupikir lebih mudah menyamar wisu kroco saja. Tapi siang tadi mereka berpakaian preman, maka kita harus membuat pakaian seragam wisu keluarga Liong."

   "Setiap langkah kerjamu ternyata begitu teliti dan hati-hati. Bicara terus terang, walau beberapa kali aku bersamamu lewat di depan gedung keluarga Liong, tapi tak pernah aku memperhatikan seragam apa yang mereka kenakan."

   Sembari menjahit Han Cin berkata.

   "Untuk membeli berbagai keperluan ini sebetulnya tidak makan banyak waktu, coba kau terka kenapa aku pergi begitu lama?"

   "Aku justru ingin tanya kau."

   "Di pasar Tang-an, biasanya bisa menemukan pengemis di segala pelosok, tapi hari ini seorangpun justru tidak kulihat bayangan mereka. Kudengar pembicaraan orang, bahwa di tempat lain juga demikian. Semula aku belum percaya, aku putar kayun ke berbagai tempat, tapi memang terbukti di tempat-tempat yang ramai tiada kelihatan bayangan seorang pengemis juga."

   "Agak ganjil memang, tapi hal ini kurasa tiada hubungannya dengan aksi kita."

   "Penduduk kota sedang ramai membicarakan hal ini, ada orang bilang mungkin Kay-pang Pangcu sudah tiba di kota raja, kalau itu betul, berarti ada sangkut pautnya dengan kita."

   "Yang terang, kita tidak memerlukan bantuan orang lain, peduli amat siapa yang bakal datang."

   Selama pembicaraan itu, Han Cin sudah selesai menjahit dua perangkat pakaian. Langsung dia merias muka Toan Kiam-ping, akhirnya keduanya saling pandang dan tertawa geli sendiri. Han Cin berkata.

   "Kau mau melihat tampangmu didalam cermin?"

   "Kukira tidak perlu. Tampangmu sekarang sudah merupakan cermin bagiku. Bila di tempat lain aku bertemu dengan kau, aku pasti anggap kau sebagai wisu."

   "Baiklah, kalau demikian sekarang kita boleh siap-siap untuk berangkat."

   Di waktu mereka hendak meninggalkan hotel secara diamdiam, mendadak terdengar diluar ada orang berkata.

   "Betul, ya benar, memang ada dua orang tamu seperti itu,"

   Yang bicara adalah pemilik hotel, pembicaraan dilakukan di ruang depan, sebetulnya jaraknya masih cukup jauh dari kamar mereka, tapi malam sudah sunyi, maka mereka dapat mendengar dengan jelas. Bercekat hati Han Cin, katanya lirih.

   "Mungkin orang ini sengaja hendak mencari setori dengan kita."

   "Coba dengarkan lebih lanjut."

   Tamu yang mencari temannya itu berbicara dengan suara rendah, entah apa yang barusan dia katakan, terdengar pemilik hotel mengiakan lalu menambahkan.

   "Kau orang tua terlalu sungkan, banyak terima kasih akan bantuanmu ini. Baik, baik, boleh kau masuk sendiri, kedua teman baikmu itu berada di kamar yang terletak di sayap kiri, letaknya paling belakang,"

   Mungkin orang itu telah menyogok dengan jumlah uang cukup besar sehingga pemilik hotel tunduk akan segala permintaannya.

   "Memang tidak salah, sasarannya adalah kita berdua."

   Toan Kiam-ping siap memadamkan lampu, Han Cin mencegahnya, katanya.

   "Kalau yang datang adalah wisu keluarga Liong, tidak leluasa membunuhnya di hotel, lari juga bukan cara baik. Lebih baik kita tunggu saja siapa dia sebenarnya."

   Lekas sekali orang itu sudah tiba di depan kamar mereka serta mengetuk pintu, dua kali pendek, katanya.

   "Toansiangkong, tolong buka pintu."

   Toan Kiam-ping kenal suara ini, dari celah-celah pintu dia mengintip keluar, setelah melihat jelas, hatinya kejut dan senang, yang datang ternyata adalah pesuruh tua dari keluarga Coh.

   Waktu mereka bertandang ke rumah Coh Cenghun tempo hari, orang tua inilah yang membuka pintu.

   Toan Kiam-ping dan Han Cin sembunyi di belakang daun pintu lalu menariknya bersama pelan-pelan sampai pintu terbuka lebar, orang tua itu langsung melangkah masuk, daun pintupun cepat ditutup pula oleh Toan dan Han berdua.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bahwa yang membuka pintu dan menutup pintu ternyata adalah dua wisu, karuan bukan kepalang kaget si orang tua, mulut sudah terbuka dan jeritannya hampir keluar.

   Lekas Toan Kiam-ping mendekap mulutnya, katanya perlahan.

   "Jangan gugup, aku adalah Toan Kiam-ping."

   Orang tua itu kenal suaranya, legalah hatinya, segera dia menuding ke arah dinding. Toan Kiam-ping maklum maksudnya, katanya.

   "Kamar sebelah tiada dihuni orang."

   Dengan suara lirih si orang tua berkata dengan tertawa.

   "Cara kalian merias diri sungguh amat liehay, kalau demikian yang ini tentu nona Han adanya."

   Merah muka Han Cin katanya.

   "Lo-yacu tajam juga pandanganmu."

   "Pertama kali kalian datang To Tayhiap, dan Thong Tayhiap sudah tahu bahwa kau perempuan menyamar laki-laki, cuma mereka tidak membongkar rahasiamu."

   "Dari mana kau tahu kami tinggal disini?"

   "Coh-siauya kita yang mohon bantuan pihak Kaypang menyelidiki jejak kalian "

   "Ada urusan penting bukan?"

   "Ada sebuah kabar gembira akan kusampaikan kepada kalian "

   "Kabar gembira apa?"

   Tanya Toan Kiam-ping. Orang tua itu menjelaskan.

   "Kek-jitya dari Pat-sian bersama nona Toh sudah datang. Sia-cin Taysu tahu kalian amat memperhatikan mereka, merekapun mengharap dapat selekasnya bertemu dengan kalian."

   "Jadi mereka sudah menyusul dari Say-jwan, kemari?"

   "Benar. Masih ada tamu lagi yang datang bersama mereka."

   "Siapa?"

   "Seorang adalah Susiok Kek-jitya, yaitu Say-jwan Tayhiap Ti Nio. Seorang lagi mempunyai kedudukan lebih besar..."

   Lalu dia merendahkan suara berbisik.

   "yaitu Liok-pangcu dari Kaypang."

   Wi-su-hi-kau minta bantuan Liok-pangcu dari Kaypang dengan burung pos mengundang Kek Lam-wi bersama Toh So-so supaya selekasnya datang ke kota raja.

   Tahu bahwa Pat-sian akan mengadakan pertemuan kedua kalinya di kota raja dengan tujuan menuntut balas kematian Ui-yap Tojin maka Ti Nio menawarkan diri untuk membantu keponakannya, maka mereka berangkat bersama dan bergabung dengan Liokpangcu bersama menuju ke kota raja.

   Tutur orang tua lebih lanjut.

   "Kek-jitya tahu dari cerita Siacin Taysu bahwa kalian datang-datang lantas mencarinya, sebetulnya dia ingin kemari sendiri. Tapi dia baru saja tiba, malam ini akan diadakan sekedar reuni di antara mereka. Apalagi mata-mata musuh tersebar luas di kota raja ini. Sebagai jago-jago kosen dalam Pat-sian, adalah jamak kalau pihak kawanan cakar alap-alap selalu memperhatikan gerak gerik mereka. Tengah malam menyambangi teman jelas tidak leluasa dan bisa menimbulkan kecurigaan orang, oleh karena itu mereka menekan perasaan dan menerima usul Siauya kita akulah yang disuruh kemari menyampaikan kabar ini pada kalian."

   "Sepantasnya kita harus segera menemui mereka, tapi sudah hampir kentongan ketiga, tidak leluasa kami keluar. Lebih baik besok pagi-pagi betul, pasti kami akan kesana. Ada sebuah barang ini aku titip disampaikan kepada Ti Tayhiap,"

   Lalu dia keluarkan sebuah kotak yang terbungkus sutera halus, dalam kotak berisi buah karya ayah kandung Han Cin.

   Agaknya orang tua itu merasa heran, tidak sukar membawa kotak sutra ini, kalau besok Han Cin akan kesana menemui mereka, kenapa tidak besok dia bawa sendiri dan langsung serahkan kepada Ti Tayhiap? Tapi dia tidak enak untuk tanya hal itu.

   Tapi ada sebuah hal lain yang amat aneh orang tua itu tak kuat menahan keinginannya untuk tahu persoalannya, maka dia bertanya.

   "Nona Han, kepandaianmu merias orang sungguh hebat sekali, ingin menyamar apa pasti persis yang tulen. Tadi aku amat kaget dan takut, kukira aku terjebak oleh musuh. Tapi aku tidak habis mengerti, maaf nona Han bila aku cerewet menanyakan hal ini kepadamu..."

   Han Cin tahu soal apa yang hendak ditanyakan, maka segera dia menyela.

   "Tentunya kau heran, kenapa tengah malam buta rata kami menyamar wisu keluarga Liong bukan?"

   "Betul. Mendadak melihat dua wisu menghadang jalan keluarku, kukira kalian sudah ketimpa malang, cakar alap-alap sembunyi dalam kamar hendak menangkapku pula."

   Han Cin berkata tawar, katanya.

   "Kami hanya main-main saja, di malam nan sunyi hening ini tidak perlu permainan kita diketahui orang. Bila persoalan ini berhasil selanjutnya tidak perlu kuatir berhadapan dengan mereka, betul tidak?"

   "Ya, betul,"

   Ujar orang tua.

   "dengan tampang kalian sekarang keluyuran di tengah jalan rayapun kalian tidak akan dicurigai orang. Baiklah, waktu sudah larut, aku mohon pamit saja. Besok pagi-pagi mohon kalian suka mampir ke tempat kita."

   Setelah orang tua itu pergi, Toan Kiam-ping berkata.

   "Adik Cin, mumpung Susiok Kek Lam-wi sudah datang dari Sayjwan, kau, apa kau tidak ingin merubah tekadmu?"

   "Jikalau ada niatku merubah tekad, tidak perlu aku titip buah karya ayahku kepada orang tua,"

   Jawab Han Cin tegas. Ronda di tengah jalan raya sudah mulai mengetuk tiga kali kentongan. Han Cin berkata.

   "Sudah kentongan ketiga, jikalau urusan bisa lancar, masih ada dua jam lagi waktu untuk membunuh bangsat she Liong itu. Mari kita berangkat." 000OOO000 Setelah meninggalkan hotel, semakin dipikir orang tua semakin heran dan timbul curiganya, bum-buru dia pulang. Coh Ceng-hun, Ti Nio, Kek Lam-wi dan lain-lain belum tidur, mereka sedang kumpul dan berbincang-bincang, melihat dia pulang dengan langkah gopoh dan keringat gemerobyos semua merasa heran. Ternyata waktu orang tua itu pulang, kebetulan mereka sedang membicarakan Han Cin, siapa sebenarnya Toan Kiam ping semua orang sudah tahu, tapi asal-usul Han Cin belum mereka ketahui. Sia-cin berkata.

   "Kepandaian merias gadis itu memang luar biasa, hari itu bila Toan Kiam-ping tidak membawa tanda kepercayaan Ling Khong-tik, hampir saja aku tidak mengenalnya lagi. Gadis itu menyamar jadi pelajar sedikitpun tidak kelihatan kejanggalan."

   Yang tidak dimengerti oleh Kek Lam-wi adalah soal lain, katanya.

   "Aneh kenapa begitu mereka tiba di kota raja lantas tanya tentang diriku?"

   Maklum didalam Pat-sian Kek Lam-wi termasuk orang ke tujuh paling hanyalah saudara termuda di antara mereka. Sia-cin Hwesio berkata.

   "Hari itu aku memberitahu mereka bahwa Kek-lote sekarang berada di Say-jwan meyambangi Susioknya, secara jelas gadis itu tanya apakah Susiok Kek Lam-wi adalah Ti Tayhiap yang tinggal di Khong-goan?"

   "Gadis itu she apa?"

   Tanya Ti Nio. Coh Ceng-hun melengak, katanya.

   "Bukankah sudah kuterangkan kepada kau orang tua, dia she Han."

   "Dia she Han,"

   Ti Nio menggumam sambil menepekur seperti memikirkan sesuatu.

   "pandai tata rias dan cukup ahli malah?"

   Kek Lam-wi juga heran, tanyanya.

   "Susiok kau tahu asal usul gadis itu?"

   "Aku curiga mungkin dia puteri seorang temanku yang telah meninggal? Tahukah kalian apakah dia pandai meniup seruling?"

   Coh Ceng-hun menjelaskan.

   "Kami baru bertemu pertama kali pada hari itu. Kecuali tahu dia ahli dalam tata rias, kita tidak tahu hal lain tentang dirinya."

   Sampai disini pembicaraan mereka, kebetulan orang tua itu pulang. Langsung orang tua itu serahkan kotak sutra itu kepada Ti Nio, katanya.

   "Ti Tayhiap, inilah kotak titipan nona Han yang minta diserahkan kepada kau."

   "Apa pula pesannya?"

   Tanya Ti Nio.

   "Tidak berpesan apa-apa, dia bilang malam ini tidak leluasa kemari besok pagi-pagi dia pasti akan menemui kau orang tua."

   Mendengar penjelasan ini semua orang merasa ragu-ragu, kalau besok dia akan datang, kenapa harus titip barang sekecil dan seringan ini kepada orang lain supaya disampaikan.

   Lekas Ti Nio buka kotak sutra itu, pertama dia dapatkan sepucuk surat tulisan ayah kandung Han Cin yang ditujukan kepadanya, di bawahnya adalah setumpuk naskah tulisan tangan.

   Melihat tulisan yang amat dikenal ini, sungguh girang dan kaget hati Ti Nio, teriaknya tanpa tertahan.

   "Memang betul teman lamaku."

   "Apa yang ditulis dalam suratnya?"

   Tanya Kek Lam-wi. Lekas Ti Nio buka sampul surat dan keluarkan suratnya serta dibeber, tanpa kuasa air mata berlinang-linang, katanya dengan suara gemetar dan sedih.

   "Dia, dia sudah meninggal. Ai, dia tidak berpesan apa-apa, dia hanya berpesan kepada putrinya bila dia sudah mati supaya menyerahkan karyanya ini kepadaku. Ai, masakah setelah sekian lamanya, sampai matipun dia tidak mau memaafkan dan menyelami keadaanku?"

   Kek Lam-wi belum lama berkumpul dengan Susioknya ini, bagaimana riwayat hidupnya dulu, sedikitpun dia tidak tahu.

   Dari nada perkataan sang Susiok, dia tahu ada hal-hal yang serba runyam bila diterangkan.

   Sebagai angkatan muda, tidak enak dia banyak bertanya.

   Orang tua itu melanjutkan ceritanya.

   "Ada pula kejadian yang aneh dan mengherankan, mereka menyamar jadi wisu keluarga Liong, demikian pula wajah mereka sudah berubah dari wajah aslinya. Begitu aku masuk ke kamarnya, mendadak melihat dua wisu berdiri di depanku, karuan kejutku seperti arwah sudah copot meninggalkan badan. Untung Toan-kongcu segera bersuara dan memberitahu padaku maksud penyamarannya itu, kalau tidak tentu terjadi adegan yang menggelikan."

   Coh Ceng-hun kaget, tanyanya.

   "Tengah malam begini untuk apa mereka menyamar wisu keluarga Liong?"

   "Mereka bilang hanya bermain-main saja. Bila samarannya mirip, kelak mereka bisa bertindak dengan cara itu supaya tidak mengalami bahaya."

   Kaypang Pangcu, Sia-cin Hwesio, Thong To, Kek dan Toh beramai adalah tokoh-tokoh Kangouw yang sudah banyak pengalaman, setelah mendengar keterangan si orang tua, maka timbul rasa curiga mereka. Sia-cin Hwesio yang berangasan berteriak lebih dulu.

   "Ada permainan apa dibalik samaran mereka, aku tidak bisa menerima alasan mereka dengan cara bermain-main begitu."

   "Susiok,"

   Kata Kek Lam-wi.

   "kau orang tua banyak pengalaman, tolong kau berikan pandanganmu supaya dapat kita telaah bersama."

   Ti Nio seperti sadar dari mimpi, serunya.

   "Ada urusan apa?"

   Setelah si orang tua menceritakan pula. Ti Nio amat kaget, tak sempat meneliti naskah-naskah syair peninggalan temannya, segera dia berteriak.

   "Hayo lekas berangkat."

   "Pergi kemana?"

   Tanya Kek Lam-wi heran. Lantang suara Ti Nio.

   "Meluruk ke rumah bangsat she Liong."

   Kejadian diluar dugaan, maka rencana mereka untuk membunuh pembesar dorna terpaksa dilakukan lebih cepat dari waktu yang telah direncanakan semula.

   000OOO000 Malam itu ada tiga rombongan orang yang meluruk ke rumah keluarga Liong, Ti Nio dan lain-lain hanya tahu bahwa di depan mereka ada Toan Kiam-ping dan Han Cin yang sudah mendahului mereka, tapi diluar tahu mereka bahwa masih ada dua orang lagi yang lebih dulu bertindak di depan Toan Kiamping dan Han Cin.

   Yang pertama kali tiba di rumah keluarga Liong sudah tentu adalah Tan Ciok-sing.

   Maklum tempat tinggal mereka paling dekat dari gunung keluarga Liong, sebelum kentongan ketiga, mereka sudah menyelundup kedalam rumah bangsat she Liong.

   Waktu kecil In San sering bermain-main di rumah keluarga Liong, setiba di Pakkhia kali ini, dua kali dia sudah menyelidik bersama Tan Ciok-sing, maka seluk beluk gedung keluarga Liong boleh dikata amat apal.

   In San bawa Tan Ciok-sing masuk lewat kebon belakang lalu sembunyi didalam gerombolan pohon.

   Situasi ternyata berbeda dengan dua malam yang lalu, tampak bayangan orang bergerak kian kemari didalam kebon.

   In San jadi bimbang, pikirnya.

   "Tempat tinggal bangsat tua itu sedikitnya ada empat tempat. Wisu yang meronda malam ini begini banyak, bila setiap tempat harus diselidiki, mungkin jejak kita bisa konangan."

   Tengah dia berpikir, tiba-tiba didengarnya ada orang membentak.

   "Siapa, berdiri di tempatmu."

   Tan Ciok-sing terperanjat, kiranya jejaknya konangan. Baru saja dia angkat tangan hendak menimpukkan sebutir krikil yang sejak tadi digenggamnya, tampak dari rumpun kembang sana berjalan seorang seraya menjawab.

   "Kenapa sih, aku."

   Yang keluar ternyata seorang gadis berpakaian pelayan. Wisu itu segera tertawa, sapanya cengar cengir.

   "O, kiranya kak Kwi-ci, bikin jantungku kaget saja. Selarut ini untuk apa kau keluyuran disini?"

   Budak itu balas mencemooh.

   "Aku malah yang kau bikin kaget, sepanjang jalan ini hatiku kebat kebit, takut ketemu pembunuh, ada orang bilang malam ini akan kedatangan pembunuh gelap. Tak nyana tidak kepergok pembunuh gelap, tapi ketemu kau setan alas ini, main gertak lagi."

   Wisu itu tertawa, katanya.

   "Sebanyak ini yang meronda, lalatpun takkan lolos, kenapa takut pada pembunuh segala? Kau mau kemana, kalau takut mari kuantar."

   "Aku mau antar kuah Jinsom ini ke Bing-cu-khek, kalau kau bilang tidak perlu takut, biarlah aku pergi sendiri, kau tidak usah antar aku,"

   Ternyata wisu ini sejak lama sudah naksir pada budak ayu ini, setiap ada kesempatan pasti berusaha merayunya, maka budak itu paling membencinya.

   "O, mengantar kuah Jinsom untuk Lo-tayjin?"

   Tanya si wisu.

   "Entah siapa yang akan minum, aku tidak tahu. Kalau kau ingin tahu, sekembaliku nanti kuberitahu padamu, lekas kau minggir biar aku cepat kesana."

   Wisu itu melclet lidah, katanya.

   "Tujuanmu ke Bing-cukhek, mana aku berani menghadangmu, tadi aku hanya tanya sambil lalu saja, jangan kau kira aku sengaja mau mencari tahu."-Kiranya Bing-cu-khek adalah kamar rahasia dimana Liong Bun-kong paling suka merundingkan urusannya dengan para kepercayaannya. Malam telah larut tapi budak ini bilang mengantar kuah Jinsom ke Bing-cu-khek, namun wisu itu tidak berani banyak tanya, tapi dia menduga pasti akan diberikan kepada Liong Bun-kong. Girang hati In San, pikirnya.

   "Sungguh amat kebetulan, tanpa sengaja aku berhasil memperoleh keterangan berharga,"

   Pelan-pelan dia tarik tangan Tan Ciok-sing lalu mengajaknya menuju ke Bing-cu-khek.

   Ternyata dalam taman luas ini terdapat kebon pula di tengahnya.

   Bing-cu-khek terletak di suatu pojokan dalam kebon, ada jambangan, kembang teratai tampak mekar, ada gunungan, ada air mancur dan segala pajangan kebon yang serba mewah, jadi lingkungan kebon kecil ini terputus dari taman besar di bagian luar.

   Diluar dugaan pula, kalau ronda berlalu lalang di taman luar, adalah di kebon kecil ini suasana justru sepi dan lengang, tidak nampak bayangan seorangpun disini.

   Dua wisu tampak berjaga di pintu masuk.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
In San apal keadaan disini, sengaja dia memutar ke samping, setelah melewati sebuah gunung-gunungan, bersama Tan Ciok-sing mereka masuk kedalam kebon tanpa diketahui kedua wisu jaga itu.

   Letak gunungan itu kebetulan berada di samping Bing-cukhek, tepat di depan jendela, di tengah rumpun kembang mereka terus merunduk maju ke depan tiba di bawah gunungan serta merayap masuk ke gua gunungan itu, tiada seorang wisupun yang tahu jejak mereka.

   Mulut gua itu berada di pucuk gunungan, bila kau menongolkan kepala, maka keadaan didalam loteng dapat dilihatnya dengan jelas.

   Rumah berloteng itu tampak terang benderang, Liong Bunkong sedang duduk di tengah, keponakannya Liong Seng-bu kelihatan berdiri di sampingnya.

   Ada dua orang lagi yang duduk di dua sisinya sedang bicara dengan dia.

   Kedua orang itu adalah Ciok Khong-goan dan Lenghou Yong.

   Dingin perasaan In San, batinnya.

   "Tak heran bangsat tua ini begini berani, dalam kebon ini tanpa dijaga orang, ternyata Lenghou Yong ada di sampingnya. Bila sekali serang tidak kena sasaran, untuk membunuhnya jelas amat sukar."

   Tan Ciok-sing memijat jari-jari ln San, isi hati mereka sama, In San paham maksudnya yaitu ingin mendengarkan pembicaraan orang-orang didalam, supaya sementara tak usah menempuh bahaya.

   Musuh tangguh di depan mata, meski menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang juga perlu dikuatirkan konangan musuh.

   In San manggutmanggut.

   Patah kata pertama yang mereka dengar diucapkan oleh Liong Bun-kong, terdengar dia berkata dengan nada yang aneh.

   "O, jadi Siau-ongya keluarga Toan juga pandai main silat?"

   "Bukan saja pandai, Kungfunya malah liehay,"

   Sela Liong Seng-bu.

   "kejadian sesungguhnya boleh tanya kepada Ciok Khong-goan."

   Maka Ciok Khong-goan ceritakan kegagalan tugasnya kali ini, lalu menambahkan.

   "Kungfu Siau-ongya keluarga Toan itu bukan saja liehay, dia dibantu dua orang lagi. Seorang adalah guru silat keluarga Toan, yaitu Ling Khong-tik, seorang lagi adalah gadis yang menyamar tabib kelilingan."

   Agaknya Liong Bun-kong ketarik oleh ceritanya, katanya.

   "Lho, gadis yang menyamar tabib kelilingan? Siapakah dia?"

   "Tidak tahu,"

   Sahut Ciok Khong-goan.

   "kepandaian merias gadis itu memang amat mahir, kamipun belakangan baru tahu setelah dia bicara dengan suara perempuan kepada Siauongya keluarga Toan itu."

   Mendengar tanya jawab ini, diam-diam Tan Ciok-sing amat senang, pikirnya.

   "Dugaanku ternyata tidak meleset."

   Liong Seng-bu menghela napas, katanya.

   "Semula aku kuatir, gadis itu adalah In San budak nakal itu."

   Liong Bun-kong melotot sekali padanya, katanya.

   "Sampai sekarang, kau masih tergila-gila kepada budak itu?"

   Liong Seng-bu tak berani bicara lagi, sesaat kemudian kembali Liong Bun-kong berkata.

   "Penjagaan sudah diperketat, betapapun tinggi kepandaian si pembunuh, aku tidak perlu gentar lagi, tapi kalau ada gadis yang mahir menyamar seliehay itu, tidak boleh tidak harus dijaga."

   Kini giliran Lenghou Yong berbicara.

   "Siang tadi waktu aku menemani Siau-ongya tamasya di tembok besar, di Sian-khimsia ketemu seorang pemuda, aku agak curiga kalau dia adalah Tan Ciok-sing. Kepandaian bangsat cilik ini kukira lebih tinggi dari Toan Kiam-ping, walau belum tentu dia mampu menyelundup kemari, tapi lebih baik kalau dapat membunuhnya."

   "Sudah tentu,"

   Ucap Liong Bun-kong.

   "tapi selama dua hari ini lebih penting kita melindungi tamu agung, setelah tamutamu kita pulang, boleh kalian menyelidiki jejak bocah itu. Bila dia berani datang ke kota raja, kukira takkan segera pergi,"

   Sampai disini tiba-tiba dia menambahkan.

   "aku merasa penat, Lenghou-siansing, kalau tiada urusan lagi boleh kau pulang dulu bersama Ciok Khong-goan."

   Lenghou Yong melengak, katanya.

   "Apa Tayjin tidak memerlukan tenagaku disini untuk menjaga keselamatanmu?"

   "Aku ingin kau kesana ikut melindungi tamu kita. Walau tidak sedikit jago-jago yang mengawalnya, tapi aku masih merasa kuatir, harus diusahakan jangan sampai tamu kita mengalami sesuatu di tempat kita,"

   Sembari bicara diam-diam dia memberi kedipan mata kepada Lenghou Yong. Tan dan In berdua sembunyi di atas gunungan, dapat mendengarkan suaranya tapi tidak dapat melihat tanda kedipan mata ini. Lenghou Yong mengerti, segera diapun berpura-pura.

   "Lotayjin, disini kau tidak dilindungi, akupun merasa kuatir."

   Liong Bun-kong pura-pura marah, katanya.

   "Ah, kenapa kau tidak bisa membedakan antara yang berat dan enteng. Tapi tamu kita itu adalah paman raja Khan agung dari Watsu, kawanan wisu sudah kusebar di taman luar, ada anak Bu yang menjagaku disini, kau kuatir apa, lekas pergi, lekas,"

   Terpaksa Lenghou Yong dan Ciok Khong-goan pura-pura apa boleh buat serta mengundurkan diri. In San jadi girang, pikirnya.

   "Kehadiran Lenghou Yong memang menyulitkan kita turun tangan. Kebetulan dia diutus untuk menjaga tamu. Agaknya Thian memang membantu kita."

   Lenghou Yong dan Ciok Khong.goan yang keluar dari loteng, waktu lewat gunungan agaknya berhenti mendadak.

   Tan Ciok-sing berdua sembunyi di atas gunungan, hanya bisa melihat sebelah depan tak mampu menoleh ke belakang, jantung mereka kebat.

   kebit, kuatir kedua orang ini mengadakan pemeriksaan, namun ditunggu lagi beberapa kejap, langkah kedua orang berderap pula terus pergi sampai tidak terdengar lagi.

   Dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang In San berkata kepada Tan Ciok-sing.

   "Bagaimana, sudah saatnya turun tangan?"

   "Tunggu lagi sebentar, aku kuatir ada perangkap yang sengaja untuk menjebak kita."

   Tampak Liong Bun-kong tengah mengeluarkan secarik kertas, katanya.

   "Itulah surat perjanjian yang kubuat dengan Duta rahasia Watsu itu, kau boleh memeriksanya sekali lagi, bila ada yang kurang baik masih sempat kita koreksi lagi."

   Setelah membacanya Liong Seng-bu berkata.

   "Walau Baginda percaya kepada paman, mungkin ada beberapa pembesar yang tidak tahu diri berpendapat perjanjian ini bakal merugikan kepentingan negara dan menghina bangsa, pasti mereka berusaha menentang."

   "Karena itulah aku minta kau mencari akal, cara bagaimana baru dapat melenyapkan tantangan mereka, sehingga perjanjian ini bisa ditanda tangani dengan leluasa."

   "Menurut pendapat keponakan yang bodoh, kita tetap gunakan cara lama, mengancam dan menyogok secara serempak. Yang bisa dibeli kita sogok, yang kukuh pendapat kita sikat."

   "Untuk sogokan dananya sudah kusediakan dan akupun tidak perlu kikir dalam hal ini. Baiklah, cara bagaimana menyikat para pembesar yang menantang kebijaksanaan kita itu kuserahkan kepadamu."

   "Baik, keponakan pasti bekerja sekuat tenaga."

   Mendengar sampai disini, tak urung membara darah Tan Ciok-sing. In San tahu perasaannya, katanya berbisik.

   "Buat apa toako marah, bila surat perjanjian itu sudah berada di tangan kita, manfaatnya tentu besar. Entah masih ada muslihat apapula, coba dengarkan lagi."

   Tapi setelah didengarkan lebih lanjut, yang dibicarakan ternyata bukan soal negara. Terdengar Liong Seng-bu berkata.

   "Paman, ada satu hal entah perlukah kuberitahu kepadamu?"

   "Berita baik atau buruk, aku harus mengetahuinya."

   "Lapor paman, Bibi, oh, bukan, budak liar itu kini sudah mati..."

   Liong Bun-kong kaget, tanyanya.

   "Mati bagaimana?"

   "Waktu aku menemuinya di Tay-tong dulu, dia memang sudah sakit parah. Konon setiba di markas Kim-to Cecu, beberapa hari kemudian lantas meninggal karena sakitnya."

   Liong Bun-kong pura-pura sedih, katanya menghela napas.

   "Hidup senang tidak mau dinikmati, sebagai nyonya seorang berpangkat apa jeleknya, tapi dia memilih kaum brandal sebagai kawan. Ai, sia-sia aku mencintainya sepenuh hati, tapi perempuan jalang seperti dia memang pantas juga menemui ajalnya."

   Mendengar Liong Bun-kong memaki dan menghina ibunya, serasa hampir meledak dada In San, giginya gemerutuk. Desisnya.

   "Toako, aku tidak tahan lagi, mari turun tangan."

   Waktu dia hendak melompat keluar, tiba-tiba didengarnya wisu yang berjaga di pintu kebon membentak.

   "Siapa?"

   "Aku, Kwi-ci, datang mengantar kuah Jinsom untuk Loya,"

   Ternyata genduk cilik yang molek itu telah tiba. Seorang wisu segera berteriak.

   "Yang antar kuah Jinsom sudah datang,"

   Lalu dia mengulap tangan, katanya.

   "Lo-tayjin dan Tit-siauya sejak tadi sudah menunggu kuah Jinsom ini, lekas kau antar ke atas."

   Tiba-tiba In San mendapat akal, sewaktu genduk cilik itu tiba di bawah gunungan, dengan sebuah krikil dia menjentik tangan menutuk hiat-to penidurnya, di kala tubuh orang limbung, sigap sekali In San sudah menerobos keluar serta memapah tubuhnya sehingga tidak sampai roboh, cepat dia seret genduk cilik ini kedalam gua serta membelejeti pakaiannya, gerak geriknya cepat dan cekatan, wisu yang jaga di pintu kebon ternyata tidak tahu akan kejadian disini.

   Kini In San yang menggantikan si genduk mengantar kuah Jinsom itu ke atas loteng.

   "Genduk malas, kenapa semalam ini baru kau antar kuah itu?"

   Maki Liong Seng-bu. In San mengusap muka, katanya.

   "Pentang mata anjingmu, lihatlah siapa aku,"

   Sembari berkata dia timpukkan wadah berisi kuah itu sembari melolos pedang, 'Sret"

   Senjatapun menusuk.

   "Tang"

   Wadah kuah itu dipukul jatuh oleh Liong Seng-bu, tapi kuahnya muncrat membasahi sekujur badan Liong Bun-kong. Tapi Liong Bun-Kong malah tertawa tergelakgelak serunya.

   "Budak cilik, kau kena tipu."

   Kejap lain kursi yang diduduki Liong Bun-kong tiba-tiba mencemplak mundur, dinding di belakangpun terpentang lebar, kursi yang dipegang Liong Seng-bu ikut ketarik mundur ke balik dinding dan lenyap setelah dinding itu menutup seperti sedia kala.

   Bukan hanya dinding saja yang terpentang, ternyata tempat dimana In San berdiri mendadak lantainya berputar terus terbalik, karena gerak putaran inilah sehingga tusukan pedang In San meleset, tanpa kuasa tubuhnya ikut berputar dan begitu lantai terbalik tanpa ampun kontan tubuhnya kejeblos di bawah.

   Ternyata Bing-cu-khek penuh dipasangi alat rahasia.

   Hampir bersamaan dengan In San yang terjeblos kedalam perangkap, Tan Ciok-singpun kena sergap.

   Begitu mendengar langkah In San tiba di atas loteng, segera dia keluar dari tempat sembunyinya, tapi sayang terlambat.

   Jarak gunungan ini dengan Bing-cu-khek ada belasan langkah, betapapun tinggi ginkang seseorang tak mungkin sekali lompat dapat mencapai jarak sejauh itu.

   Tapi di antara gunungan dengan loteng terdapat sepucuk pohon tinggi beberapa tombak yang tumbuh diluar jendela.

   Akar rotan melingkar batang pohon yang rindang dengan dahandahannya yang bercabang lebat, kebetulan ada cabang pohon yang menjuntai ke arah gunungan.

   Setelah mengincar tepat begitu menerobos keluar dari gunungan dengan gerakan burung bangau menjulang ke langit, tangannya meraih akar rotan terus meleset berayun ke atas dengan kaki di atas kepala di bawah, seperti tarzan yang berayun di tengah hutan saja, tubuhnya terbang ke seberang.

   Tepat pada saat itulah In San terjebak dan anjlok ke bawah lantai.

   Tan Ciok-sing masih sempat mendengar suara keras, disusul gelak tawa Liong Bun-kong.

   Pada hal tubuhnya masih terapung di udara, tidak tahu apa yang telah terjadi di atas loteng tapi dia mendapat firasat jelek karena mendengar tawa Liong Bun-kong.

   Karena gugup di tengah udara dia jumpalitan beberapa kali terus menukik turun, berbareng pedang sudah terhunus dan menutul lankan, baru saja tubuhnya membalik dan hendak menerjang masuk kedalam, bahayapun terjadi secara mendadak di hadapannya.

   Ternyata lankan atau pagar di atas loteng itupun dipasangi alat rahasia, di kala ujung pedangnya menutul itulah, lankan itu mendadak patah.

   Cepat dan tepat, Liong Bun-kong yang sembunyi di balik dinding sudah menekan tombol, hujan panah kontan berhambur menyambut kehadiran Tan Cioksing.

   Memang hebat kepandaian Tan Ciok-sing, di saat kritis inilah sekaligus dia mendemonstrasikan kepandaiannya sejati, dengan ginkang yang tiada taranya di kala tubuh masih bergantung di udara, dia lancarkan gerak pedang bertempur dalam delapan penjuru, sinar pedang berderai ke empat penjuru dengan kekuatan dahsyat.

   Dengan tubuh terapung itu dia sempat melihat keadaan di atas loteng.

   Walau usahanya memburu kedalam tidak berhasil, namun sekilas pandang ini sudah cukup membuat hatinya mencelos, perasaan dingin dan hati seperti hampir beku.

   Ternyata didalam tiada orang lagi, bayangan Liong Bunkong dan Liong Seng-bu tidak kelihatan, demikian pula In San tidak berada di atas loteng pula.

   Lantai yang terbuka sudah menutup, demikian pula dinding yang merekah telah pulih seperti sediakala.

   Sungguh heran bin ajaib, kenapa In San mendadak lenyap seperti ditelan bumi.

   Sesaat itu Ciok-sing jadi bingung dan tidak habis mengerti, serasa dirinya di alam mimpi.

   Namun tak sempat dia berpikir lebih banyak, karena di saat dirinya melorot turun itulah, sebelum kaki menyentuh bumi, segulung angin kencang tiba-tiba menerjang dari belakang.

   Kontan Tan Ciok-sing membalas dengan tusukan pedang membalik, seperti kepalanya tumbuh mata di belakang, ujung pedangnya tepat mengincar Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangan pembokongnya itu.

   Orang itupun tidak mengira dalam posisi yang seburuk ini Tan Ciok-sing masih mampu melancarkan serangan pedang seganas ini, karuan kagetnya bukan main, terpaksa dia berkelit ke samping.

   Pikirnya.

   "Baru setengah tahun berpisah, kemajuan anak muda ini ternyata begini pesat, aku tak boleh meremehkan dia."

   Walau terhindar dari pukulan telapak lawan, tak urung Tan Ciok-sing rasakan punggung kesakitan juga oleh tekanan angin pukulan yang dahsyat itu.

   "Siapa memiliki lwekang setangguh ini?"

   Demikian batinnya kaget. Terdengar seorang membentak.

   "Anak bagus, masih bandel dan pamer kepandaian. Malam ini jangan harap kau dapat terbang dari sini,"

   Di tengah bentakannya, pukulan kedua dan ketigapun dilontarkan secara beruntun.

   Penyerang gelap ini bukan lain adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari anak buah Liong Bun-kong yang setia.

   Kenyataan Lenghou Yong tidak pernah pergi melindungi tamu dari Watsu, itu hanya tipu daya yang diatur Liong Bunkong untuk menjebak musuh.

   Sebetulnya mereka tidak tahu bahwa Tan Ciok-sing telah datang, tapi karena peristiwa yang dialaminya tadi siang, maka mereka sudah mempersiapkan diri, main sandiwara untuk menipu Tan Ciok-sing.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sesuai dugaan ternyata Tan Ciok-sing dan In San masuk perangkap mereka.

   Sepasang telapak tangan Lenghou Yong melingkar membuat satu bundaran, tenaga pukulannya mendadak menindih ke bawah, sekaligus mematahkan tujuh serangan pedang Ciok-sing yang ganas, antara pukulan telapak tangan kontra pedang beradu kekuatan, dalam waktu singkat susah dipastikan siapa unggul siapa bakal kalah.

   Wisu yang meronda di taman luar sudah mendengar keributan disini, dari empat penjuru beramai-ramai mereka meluruk masuk sambil berteriak-teriak.

   "Tangkap pembunuh, tangkap pembunuh. Nah itu, aku melihatnya, pembunuhnya ada disana, lekas naik, lekas naik,"

   Dari suara teriakan itu Tan Ciok-sing mendengar Ciok Khong-goan, Sa Thong-hay dan Huwan bersaudara Sekejap lagi orang-orang itu akan segera tiba, Tan Cioksing tidak berani bertempur lama-lama, secepat kilat dia lontarkan dua kali serangan lng-kik-tiang-khong dan Hi-siangjan- te, ke atas menutuk sepasang mata Lenghou Yong, ke bawah mengincar hiat-to dipusarnya.

   Dua sasaran yang berbeda sebetulnya sukar diincar bersama.

   Tapi karena gerak pedangnya dilancarkan teramat cepat, dalam sekejap itu, Lenghou Yong merasa pandangannya menjadi silau, perutnyapun dingin.

   Meski kaget tapi kepandaian Lenghou Yong memang hebat, meski terancam dia tidak jadi gugup, sigap sekali dia menjengkang tubuh belakang, berbareng jari tengahnya menjentik "Creng"

   Tepat menjentik punggung pedang, tapi Tan Ciok-sing sempat lari menyingkir. Para wisu merubung datang dari berbagai penjuru, Huwan bersaudara datang lebih dulu, serempak mereka membentak.

   "Anak keparat, lari kemana kau?"

   Tan Ciok-sing berpapasan dengan mereka, insaf bila dirinya terkepung didalam barisan pedang mereka, terang sukar melarikan diri, dalam keadaan terpepet timbul akalnya, tibatiba tubuhnya merendah sambil berputar sekali, jarinya sempat meraih segenggam pasir, serunya.

   "Nah, kalian boleh rasakan keliehayan Toh-bing-sin-sa-ku ini."

   Sinar rembulan remang-remang, gerak tubuh Tan Ciok-sing teramat cepat lagi, hakikatnya Huwan bersaudara tidak tahu yang tergenggam di tangannya adalah pasir melulu, begitu tangan orang terayun, segumpal bayangan kabut betebaran menerjang ke arah mereka, sesuai namanya Pasir Sakti Perenggut Nyawa pastilah pasir itu beracun jahat.

   Untuk menyelamatkan jiwa tanpa berjanji serempak mereka mencelat mundur sejauh mungkin.

   Gerak gerik Huwau Kiau agak lamban, beberapa krikil pasir mengenai jidatnya, rasanya sakit dan panas, saking takutnya dia menjerit ngeri.

   "Celaka, aku terkena pasir beracun bocah keparat itu."

   Wisu yang mengudak datang di belakang mendengar musuh menimpuk pasir beracun, kontan mereka tercerai berai lari menyingkir pontang panting, di tengah keributan itulah Tan Ciok-sing sudah menerjang keluar dari rumpun kembang terus merunduk maju ke depan.

   Lenghou Yong datang memeriksa, sebagai seorang berpenga-lamanan, setelah memeriksa segera dia berkata.

   "Kau ketipu oleh anak bangsat itu, jidatmu hanya lecet sedikit, siapa bilang terluka oleh pasir beracun."

   Huwan Kiau menarik napas lega, rasa sakit memang telah lenyap dan tidak menimbulkan reaksi apa-apa, kontan dia mencaci maki.

   "Keparat yang licik, berani mempermainkan aku. Biar kubekuk kau bocah keparat ini, kubeset kulitmu."

   "Lari kemana bocah itu, siapa yang melihatnya?"

   Tanya Lenghou Yong.

   "Agaknya ke arah sini,"

   Sahut seseorang. Tapi ada pula yang menuding arah lain. Sudah tentu Lenghou Yong naik pitam sampai biji matanya melotot putih, makinya.

   "Kalian semua gentong nasi,"

   Karena dimaki, yang tidak bersalah sudah tentu merasa keki dan penasaran, namun mereka hanya mangkel di hati tidak berani balas memaki.

   "Jangan ribut sendiri,"

   Lekas Sa Thong-hay berseru.

   "kembalilah ke kelompok masing-masing dan kembali ke tempat penjagaan untuk memeriksanya,"

   Sebagai perwira yang memimpin barisan penuh pengalaman, komandonya ternyata membawa reaksi yang jitu.

   Dengan ginkang Tan Ciok-sing yang tinggi, di saat para wisu itu bingung dan ribut sebetulnya dia bisa melarikan diri.

   Tapi In San terjebak dalam perangkap musuh, sebelum berhasil menemukan dan menolong In San, mana sudi dia tinggal pergi? Meminjam kepekatan malam, banyak pepohonan dan gunungan untuk tempat sembunyi lagi, sembari sembunyi dia menggeremet maju terus.

   Tiba-tiba dilihatnya di depan ada sebuah gunungan yang cukup tinggi dengan variasinya yang serba alamiah, sekeliling dilingkari berbagai batu-batuan yang berbentuk aneka ragam, bunyi air gemericik mancur dari pucuk gunungan terus mengalir turun keluar dari mulut gua, akar pepohonan rambat tampak menjuntai turun, bunga teratai tampak mekar di empang.

   Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir.

   "Dalam keadaan kepepet seperti aku, terpaksa untung-untungan sembunyi dalam gua gunungan ini."

   Gunungan ini memang khusus diciptakan oleh seorang ahli, merupakan salah satu tempat yang paling digemari oleh Liong Bun-kong untuk melepas lelah disini.

   Didalam gunungan terdapat gua yang kosong, didalam tiada penghuninya, pada hal segala perabot dan pajangannya tidak berbeda dengan kamar buku seorang hartawan.

   Aliran air yang tercurah dari atas mengalir lambat kedalam gua.

   Untuk masuk kedalam harus menggunakan batu loncatan yang terendam di tengah aliran air dan sedikit mencuat di permukaan air.

   Bertahuntahun terendam air, maka maklum kalau batu injakan ini berlumut dan amat licin, kalau tidak memiliki ginkang tinggi, orang bisa terpeleset jatuh dan sukar dapat masuk kedalam gua.

   In San pernah bercerita tentang gunungan palsu ini kepada Tan Ciok-sing, konon didalam gua ada gua pula, namun ln San sendiri belum pernah masuk kedalam gua ini, .entah gua dalam gua itu apakah tembus ke tempat lain.

   Tan Ciok-sing tahu ada wisu yang mengikuti jejaknya dan sedang menggerebek maju, maka dia pikir gua didalam gunungan ini dapat untuk tempat sembunyi sementara waktu, umpama wisu itu tidak kuatir terpeleset jatuh, yakin mereka takkan sekaligus menerobos bersama, dengan sembunyi didalam, aku lebih leluasa menggasak mereka.

   Oleh karena itu Tan Cioksing menyusup kedalam gua.

   Gua itu memang memiliki pandangan yang lain, sumber air tampak menyembur dari suatu sumber dalam gua terdapat rerumputan yang tidak dikenal namanya, akar rotan dan tetumbuhan merambat tumbuh subur disini, dinding batupun beraneka ragam bentuknya, pemandangan disini memang lain dari yang lain, tujuan Tan Ciok-sing adalah mencari jalan keluar lainnya, tapi sesaat dia jadi bingung.

   Lekas sekali langkah orang banyak sudah semakin dekat, kedengarannya ada lima orang, mereka datang dari berbagai arah.

   Ada yang berteriak keras.

   "Jalan buntu disini, memangnya pembunuh itu mau sembunyi di gua buntu itu?"

   Agaknya kawanan wisu itu juga tiada yang tahu bahwa didalam gua masih ada gua.

   Agaknya orang ini merasa keki karena dimaki Lenghou Yong tadi, untuk memasuki gua inipun mungkin bisa terpeleset jatuh, maka dia pikir buat apa aku ikut susah-susah menjual jiwa, kepandaian pembunuh itu amat tinggi, salah-salah jiwaku melayang sebelum dapat pahala.

   Lega hati Tan Ciok-sing, hatinya mengharap kawanan wisu ini lekas pergi, tapi seorang berkata.

   "Coba diperiksa dulu kedalam, sebagai petugas yang menerima gaji orang kita wajib menunaikan perintah."

   Orang pertama tadi menjengek, katanya.

   "Kalau kau ingin mengejar pahala, boleh silahkan kau sendiri yang masuk memeriksanya."

   Seorang lagi menimpali.

   "Betul, gua itu amat sempit licin lagi, bila kita masuk beramai-ramai jelas tidak mungkin. Lebih baik begini saja, carilah seorang teman mengiringi kau masuk. Kita tunggu kabarmu diluar." . Tan Ciok-sing sudah meraba gagang pedang dan sembunyi di tempat gelap, siap bertindak bila perlu, pikirnya.

   "Apa boleh buat, terpaksa aku harus membunuh."

   Seorang agaknya terpeleset jatuh dengan suara keras dia menggerutu.

   "Anak kurcaci, bikin aku susah payah begini. Bila berhasil kubekuk kau rasakan kalau tidak kusiksa dirimu."

   Wisu lain yang tidak berani masuk mendengar suara gerutunya sama tertawa geli. Tiba-tiba tergerak hati Tan Ciok-sing, batinnya.

   "Seperti amat kukenal suara orang ini."

   Belum habis dia berpikir, tampak dua wisu sudah menerobos masuk kedalam gua. Tak sempat Tan Ciok-sing banyak pikir.

   "sret"

   Kontan pedangnya menusuk. Dengan jurus Hun-mo-sam-bu orang itu mematahkan tusukan pedang Tan Ciok-sing. Karuan Tan Ciok-sing kaget, pikirnya.

   "Kepandaian orang ini begini liehay, agaknya lebih liehay dari Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan. Kalau kepandaiannya cukup tangguh, kenapa ginkangnya begitu tidak becus?"

   Ternyata kuping Tan Ciok-sing amat tajam, tadi dia mendengar orang ini hampir terpeleset jatuh maka dia agak meremehkan dia, maka tusukan pedangnya tidak menggunakan sepenuh tenaga, maksudnya hendak menusuk hiat-tonya saja.

   Walau demikian kenyataan orang ini mampu mematahkan tusukan pedangnya yang liehay dan cepat ini, taraf kepandaiannya boleh terhitung kelas wahid dalam dunia persilatan.

   Wisu yang seorang lagi kuatir Tan Ciok-sing melancarkan serangan maut, maka dia menutuk dengan kedua jarinya seraya berkata perlahan.

   "Tan-toako, kau tidak mengenalku, tentunya kenal jurus permainanku ini?"

   Begitu mendengar suara orang ini, karuan Tan Ciok-sing tertegun serta menarik pedang, sesaat dia terlongong.

   Tutukan jari rangkap ini adalah gerakan tunggal ajaran Khu Ti yang termashur, Tan Ciok-sing pernah saksikan Han Cin mendemontrasikan ilmu tutuknya ini.

   Suara wisu yang satu inipun mendadak berubah jadi suara perempuan, siapa lagi kalau bukan Han Cin sendiri.

   Wisu yang bergebrak dengan Tan Ciok-sing baru kini "sempat bersuara.

   "Tan-toako, ternyata memang kau. Siaute adalah Toan Kiam-ping."

   Dalam keadaan seperti ini mereka bertiga bertemu, sudah tentu bukan kepalang rasa senang mereka.

   Kedatangan Toan dan Han ternyata terlambat satu jam, waktu mereka tiba, dalam taman sedang ribut mengudak pembunuh gelap.

   Tahu malam ini mereka takkan bisa turun tangan, namun mereka ingin tahu siapa "pembunuh gelap"

   Itu. Maka mereka mencampur diri dalam rombongan wisu serta pura-pura ikut mencari jejak pembunuh itu. Lekas Toan Kiam-ping berkata.

   "Biar aku keluar membawa kawanan wisu ke tempat lain, lekaslah kau melarikan diri."

   "Aku tidak akan pergi dari sini."

   "Kenapa?"

   Han Cin sudah menduga, katanya.

   "Ya, mana In-cici? Kau datang seorang diri atau kemari bersama dia?"

   "Justeru karena dia terjebak, maka aku harus mencarinya,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Setelah mereda rasa kejutnya, Han Cin berkata.

   "Kalau demikian, kau tetap sembunyi saja disini, kami akan keluar mencari tahu."

   Gua ini cukup panjang dan berliku, diluar ada gemericik air lagi sehingga percakapan mereka tidak kedengaran dari luar. Tapi pembicaraan para wisu diluar gua dapat mereka dengar dengan jelas. Terdengar seorang berkata.

   "Lho, koh lama juga belum keluar, hayo kita periksa kedalam."

   Waktu para wisu itu siap-siap hendak memeriksa kedalam gua Toan dan Han lekas keluar, Tan Ciok-sing berkeringat dingin, tapi hati merasa lega. Terdengar seorang berseru.

   "Eh, kenapa jidatmu terluka?"

   Toan Kiam-ping tertawa getir, katanya.

   "Kebentur dinding. Kuatir ada pembunuh sembunyi didalam, sembari masuk gua aku menarikan pedang untuk melindungi badan. Tak nyana pembunuh tidak ketemu, jidatku terbentur batu sampai benjut dan luka,"

   Ternyata Toan Kiam-ping sengaja melukai diri sendiri untuk mengelabui mereka supaya permainan sandiwara ini dipercaya. Wisu yang bertanya tadi berkata.

   "Makanya tadi kudengar suara benturan senjata."

   Wisu yang tadi menentang diadakan pemeriksaan didalam gelak tawa, katanya.

   "Biar kapok sudah kukatakan tadi, pembunuh masa mau sembunyi di gua buntu ini, kalian tidak percaya sekarang sudah terbukti. Baiklah, tenaga kita disini mencukupi tak usah kau bantu kita. Kembalilah ke tempat jagamu semula."

   Lega hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Untung Toan-toako pandai bertindak,"

   Tak nyana baru saja Toan Kiam-ping dan Han Cin pergi, seorang telah datang pula, orang ini adalah Lenghou Yong. Lenghou Yong berkeliling memeriksa segala pelosok, akhirnya sampai disini, tanyanya.

   "Bu-Iing-goan (nama gua itu) sudah diperiksa belum?"

   Kepala barisan segera menjawab.

   "Baru saja dua orang masuk memeriksa, tidak kedapatan jejak pembunuh. Tapi mereka bukan kelompok kami, nah itu, mereka baru saja pergi, kalau Tayjin ingin tahu lebih jelas silahkan susul mereka."

   Lenghou Yong memandang ke depan, Han Cin memberi kedipan mata kepada Toan Kiam-ping, sengaja mereka memperlambat langkah untuk menunggu sambil menoleh ke belakang.

   Lapat-lapat Lenghou Yong masih kenal kedua wisu ini, siang tadi pernah ikut dirinya ke tembok besar, namun sikap tenang Toan dan Han memang tidak menimbulkan curiganya, maka dia berkata.

   "Kalau sudah diperiksa ya sudah, lekas periksa ke tempat lain,"

   Hatinyapun berpikir.

   "Gua gelap gulita dan lembab lagi, buat apa tanya jelas segala?"

   Diam-diam Toan Kiam-ping dan Han Cin bersyukur dalam hati.

   Tan Ciok-sing merasa lega.

   Langkah Lenghou Yong semakin pergi jauh.

   Setelah tenang perasaan mulai Tan Ciok-sing perhatikan keadaan gua ini, apakah didalam gua ada gua, dengan pedangnya dia membabati akar pohon dan rumputan yang merambat, namun tiada sesuatu yang didapatinya, tapi di sebelah pojok tengah dia menemukan sebuah batu yang bentuknya aneh.

   Batu ini mirip pintu angin, batu yang sering terdapat di puncak gunung, jauh berbeda dengan batu-batuan yang dipajang dalam gunungan ini, bentuknya yang jelek menjadikan perpaduan yang menyolok dengan gunungan yang dibangun dengan batu karang dari dasar Thay-ouw.

   Tergerak hati Tan Ciok-sing, pikirnya;

   "Mungkin batu ini merupakan tutup lobang dari gua dalam gua itu?"

   Lalu dia kerahkan tenaga, sekuat tenaga dia dorong batu itu, ternyata batu ini sudah berakar didalam bumi, pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan setaker tenaganya, namun batu itu tetap tidak bergeming.

   Karena gagal akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh mulai bersamadi, menurut ajaran lwekang ciptaan Thio Tanhong dia mulai mengatur hawa murni, maksudnya setelah tenaga dan semangatnya pulih, baru dia akan coba sekali lagi.

   Untuk bersamadi dengan ajaran lwekang Thio Tan-hong diharuskan menenangkan pikiran dan menghimpun semangat, sehingga melihat tidak melihat, mendengar tidak mendengar tapi di kala latihannya berlangsung itulah, tiba-tiba didengarnya percakapan orang diluar, bukan saja suaranya sudah dikenal, pembicaraan orang itupun sedang menyinggung nama In San, mau tidak mau Tan Ciok-sing tersentak dari latihannya, diam-diam dia pasang kuping mendengarkan.

   Yang bicara bukan lain adalah Liong Seng-bu.

   Yang ajak bicara adalah Lenghou Yong.

   Untuk kedua kalinya Lenghou Yong meronda sampai disini, kebetulan bertemu dengan Liong Seng-bu yang juga mengadakan pemeriksaan di sekitar sini.

   "Bagaimana keadaan Lo-tayjin?"

   Tanya Lenghou Yong lebih dulu. Liong Seng-bu tertawa besar, katanya.

   "Yah, hanya terkejut saja, sedikitpun tidak terluka. Budak itu jelas sudah terjatuh ke tangan kita."

   "Wah, harus kuberi selamat kepada Kongcu."

   "Selamat apa, aku justru sedang risau."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pujaan hati sudah datang mengantar diri, memangnya tidak patut diberi selamat?"

   "Ah, kau tidak tahu, budak itu kukuh pendapat dan keras kepala, aku sampai tidak berani mendekatinya. Terpaksa sementara kukurung dia di penjara air bawah tanah, biar dia kelaparan beberapa hari."

   Mendengar kabar In San, bukan main senang hati Tan Ciok-sing.

   Senang karena In San masih hidup, kaget karena dia tersiksa di penjara air, padahal dia tidak tahu dimana letak penjara air itu dan cara bagaimana harus menolongnya? Lenghou Yong berada diluar gua, dia tidak menemukan jalan keluar lainnya, kalau sekarang menerjang keluar jelas menyerempet bahaya.

   Terpaksa dia tinggal diam saja mendengarkan pembicaraan lebih lanjut.

   "Tan Ciok-sing bocah kurcaci itu juga belum ditemukan, coba bayangkan, bagaimana hatiku bisa tentram?"

   "Kecuali bocah itu sudah pergi, kalau tidak orang kita sebanyak ini, ubek-ubekan mencarinya dalam taman seluas ini, pasti akan bisa ditemukan."

   Liong Seng-bu bertanya.

   "Bu-ling-goan sudah diperiksa belum?"

   "Dua orang sudah masuk memeriksa."

   "Mana kedua orang itu, undang kemari, aku mau tanya dia."

   "Mereka bukan dari kelompok ini, sekarang sudah ke tempat penjagaannya."

   "Siapa nama kedua orang itu?"

   "Kutahu mereka ikut aku pergi ke tembok besar siang tadi, namanya sih tidak ingat lagi."

   Maklum Lenghou Yong belum lama memegang jabatannya, wisu disini juga terlampau banyak jumlahnya, sudah tentu tak mungkin bisa mencatat nama-nama mereka dalam benaknya. Seorang wisu yang berjaga di bilangan ini segera maju menerangkan.

   "Lapor Kongcu, kedua orang itu adalah Loh Hiong dan Kwe Kiat."

   Liong Seng-bu melengak, mendadak dia berteriak.

   "Tidak mungkin."

   Kepala barisan itu terkejut, tanyanya.

   "Apa yang tidak mungkin?"

   Liong Seng-bu berkata.

   "Tadi aku melihat mereka, berjaga di pintu taman, menurut aturan wisu yang bertugas di pintu taman dilarang meninggalkan posnya."

   Pemimpin barisan mengunjuk rasa heran, katanya.

   "Lho, koh aneh, tapi aku kenal betul akan kedua orang itu."

   "Lekas panggil mereka kemari,"

   Kata Liong Seng-bu.

   "Celaka,"

   Demikian keluh Tan Ciok-sing dalam hati, cepat dia lanjutkan pengedukan tanah di sekitar batu besar yang aneh itu.

   Di saat kepepet, orang sering timbul akalnya, tibatiba dia teringat di antara ajaran lwekang yang baru dipelajarinya ada semacam ilmu yang khusus untuk meminjam tenaga memindahkan posisi, meski tahu bahayanya teramat besar, tapi harus dicoba juga.

   Saking gugup tenaganya ternyata jadi berlipat ganda, dengan sekuat tenaga dia mendorong dan menarik dengan dilandasi kekuatan lwekang yang diyakinkan, meski batu besar tak mampu digeser ke pinggir, tapi sudah doyong ke samping dan terbukalah sebuah lobang.

   Tan Ciok-sing segera berkeputusan terus bertindak, di saat genting ini segera dia menarik napas menekuk dada mengempes perut, secara kebetulan tubuhnya yang mengecil berhasil menerobos masuk kedalam lobang.

   Batu yang sedikit doyong ke samping itu segera tegak kembali seperti sedia kala dan lobangpun tertutup.

   Kejadian sekejap ini bagai nyawa yang putar balik antara neraka dengan dunia fana, bahayanya teramat besar, bila tenaga pertahanannya sedikit mengendor, waktunyapun tepat, jikalau gerakannya terlambat sedikit, pasti tubuhnya bisa terjepit hancur.

   Waktu Lenghou Yong memasuki gua, dia menyulut obor, dilihatnya akar pepohonan sama berserakan dibabati senjata tajam, diam-diam dia amat kaget, pikirnya.

   "Bocah itu ternyata memang pernah sembunyi disini, entah sekarang sudah keluar belum?"

   Karena akar dan dedaunan pohon yang berserakan memenuhi tanah, sehingga galian tanah itu tertutup di bawahnya, kalau tidak diperiksa secara teliti takkan bisa menemukan keganjilan.

   Tapi diapun menduga bila didalam gua ini mungkin ada jalan keluar lainnya, maka diapun coba-coba mendorong batu besar itu, meski dia sudah kerahkan seluruh tenaganya, batu hanya bergeming sedikit, hakikatnya tidak mampu menggesernya.

   Namun rasa curiga masih meliputi benaknya, terpaksa dia keluar dan hendak tanya kepada Liong Seng-bu, setelah jelas baru akan bertindak pula.

   Bukan Liong Seng-bu lupa untuk memberitahu Lenghou Yong bahwa didalam Bu-ling-goan terdapat gua pula, namun hakikatnya dia tidak pernah berpikir ada manusia yang mampu menggeser tutup batu raksasa seberat laksaan kati itu.

   Lega hati Tan Ciok-sing, setelah berdiri tegak dia mainkan pedangnya, meminjam secercah cahaya pedangnya yang kemilau, dia terus menggeremet maju di tengah kegelapan.

   Akhirnya dia mendengar suara air gua, suaranya rendah dan bergema, mirip tambur kecil yang ditabuh didalam sebuah rumah kecil yang tertutup rapat.

   Ciok-sing menduga pasti ada aliran kecil dari sungai di atas merembes ke bawah sini bergabung dengan sumber air yang ada di dasar bumi ini, sehingga timbul suatu arus tersendiri yang entah mengalir kemana.

   Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir.

   "Ada gua didalam gua, para wisu mungkin tidak tahu, tapi Liong Seng-bu tentu tahu, mungkin sebelum ini dia sudah mengatur segala sesuatu, atau sudah menunggu aku keluar di ujung lorong yang lain, tapi kalau berada dalam gua ini aku bisa mati konyol, meski bahaya apapun akan kuhadapi, aku tetap harus mencobanya keluar."

   Beberapa jauh kemudian, tiba-tiba didengarnya suara air gemuruh, ternyata di dinding batu sana seperti dijebol oleh suatu arus deras sehingga dadal, aimya seperti tumbuh bergulung-gulung mengalir ke bawah dan menjadilah sebuah empang kecil.

   Ciok-sing tidak pedulikan dinding yang dadal, terpaksa dia berputar mengitari empang kecil itu terus maju ke depan sana.

   Pada saat itulah di tengah gemuruhnya air dia seperti mendengar suara orang.

   Kejut Ciok-sing bukan main, hampir dia tidak percaya pada pendengarannya, pikirnya.

   "Lho, koh seperti adik San yang sedang memanggil-manggil namaku?"

   Dia curiga mungkin teramat memikirkan keselamatannya sehingga timbul khayalan dalam gua air di bawah tanah ini.

   Segera dia mendekam dan mendempel kuping mendengarkan suara dari bumi, yang terdengar hanyalah gemuruhnya air, suara orang itu tak terdengar lagi.

   Diam-diam dia membatin dalam hati.

   "Mana bisa terjadi begini kebetulan, mungkin aku terlalu berkhayal,"

   Tak nyana di kala dia sudah putus asa dan belum lagi dia berdiri, tiba-tiba didengarnya pula dua kali suara panggilan.

   "Ciok-sing, Ciok-sing,"

   Kali ini dia mendengar jelas, memang itulah suara In San.

   Memang ada kejadian yang amat kebetulan di dunia ini.

   Seperti diketahui In San masuk perangkap di Bing-cu-khek, dia terjeblos jatuh kedalam lobang, dan lobang itu terletak di atas penjara air bawah tanah.

   Di tengah udara dia gunakan gaya burung dara jumpalitan, Ceng-kong-kiam terulur lurus ke bawah.

   "Creng"

   Pedangnya menyentuh batu, meminjam tenaga sentuhan yang memantul ini dia jumpalitan sekali sehingga daya luncuran tubuhnya yang menurun agak mengendor, untung dia tidak jatuh ke air.

   Meski jiwanya selamat, namun dia sudah tak mungkin bertemu dengan Tan Ciok-sing lagi.

   Sakit hati belum terbalas, kini dia malah kejeblos dalam perangkap musuh, betapa marah, penasaran dan sedih hatinya.

   Dalam sekejap ini hampir saja dia coba bunuh diri, untung benaknya selalu memikirkan Tan Ciok-sing, sehingga dia tidak jadi mencari jalan pendek.

   Dalam penjara air ini gelap gulita, sekeliling adalah batu dinding yang keras, di bawah air yang tidak diketahui dalamnya.

   Untuk melarikan diri jelas tidak mungkin.

   Entah berapa lama dalam kegelapan ini, tiba-tiba dilihatnya secercah cahaya menyorot dari atas, ternyata Liong Seng-bu membuka jendela kecil yang berjeruji serta menjulurkan, sebatang obor kedalam, katanya.

   "Adik San, kau tidak luka bukan? Kalau terluka akan kuberikan obat untuk mengobati lukamu."

   Tanpa bersuara In San timpukan sebutir krikil ke arah jendela berjeruji besi itu, tapi jarak jendela kecil itu ada delapan tombak dari bawah, mana sambitannya bisa mengenai Liong Seng-bu.

   Begitu mendengar samberan angin senjata rahasia, lekas Liong Seng-bu mengkeretkan kepala seraya pura-pura menjerit kesakitan, pada hal kerikil mengenai jeruji besi, katanya kemudian.

   "Adik San. kenapa masih begini galak? Untung tidak mengenai diriku."

   Saking marah In San kertak gigi, dampratnya.

   "Liong Sengbu, kalau berani turunlah kemari dan bunuh aku, kalau tidak awas pembalasanku kelak."

   "Mana aku tega membunuhmu, memangnya kau tidak tahu kalau aku menyukaimu? Tapi kau terjeblos ke penjara air, tak heran kalau kau marah-marah. Tapi ini untuk kebaikanmu. Coba bayangkan, apa sih bagusnya Tan Ciok-sing anak kampung itu, kau sudi ikut dia dan mencampakkan daku? Supaya kau tidak kerembet perkaranya, apa boleh buat, terpaksa aku memisahkan kau dengan dia, asal kau menurut dan tunduk akan kemauanku, segera aku membebaskan dikau."

   "Apa kau bicara sejujurnya?"

   "Sudah tentu sejujurnya, jikalau aku membual biar Thian menghukumku."

   "Baik, turunlah dan bicara berhadapan dengan aku, aku ingin kau bicara jelas dimuka."

   "Apa benar kau tunduk padaku?"

   "Setelah jelas persoalannya, akan kupikirkan. Hm, sekarang kau anggap aku pesakitan, bagaimana aku dapat percaya pada dirimu?"

   Tiba-tiba Liong Seng-bu tertawa, katanya.

   "Jangan kau anggap aku bocah cilik, aku tak bisa kau tipu, sudah tentu aku ingin kau merubah haluan, tapi aku tahu sekarang pikiranmu masih belum terang, biarlah kutunggu beberapa hari, setelah kau betul-betul berubah pikiran dan aku yakin akan kebenarannya, baru akan kubebaskan kau, di tengah gelak tawanya Liong Seng-bu telah melangkah pergi. Maksud In San hendak menipunya turun kemari dan bicara padanya, lalu mengadu jiwa dan bila perlu biar gugur bersama, ternyata usahanya tidak berhasil, karuan hatinya amat kecewa, hampir dia hendak bunuh diri pula. Untung bayangan Tan Ciok-sing selalu menggoda pikirannya sehingga dia tidak bertindak nekad. Karena putus asa dan insaf diri berada di jalan buntu serta tiada harapan lolos, tanpa merasa mulutnya menggumam memanggil-manggil nama Ciok-sing.

   "Adik San,"

   Tiba-tiba didengarnya suara lirih berkata.

   "jangan takut aku telah datang."

   In San tidak percaya akan pendengaran sendiri, teriaknya.

   "Aku bukan mimpi? Tan-toako, apa betul kau telah datang?"

   "Ssst, jangan keras-keras, sudah tentu aku adanva."

   In San gigit lidah sendiri, sakitnya bukan main, memang ini bukan dalam mimpi.

   Sekarang dia sudah terbiasa keadaan gelap, pelan-pelan dia menggeremet maju mendekati air, lapat-lapat memang dilihatnya bayangan muka Tan Ciok-sing.

   Kejut dan girang In San, katanya.

   "Memang bukan mimpi, Tan-toako dari mana kau tahu aku ada disini, bagaimana pula kau bisa datang kemari?"

   "Panjang kalau dituturkan, lekas kau putar dulu, biar aku naik ke atas."

   "Kenapa?"

   "Aku bertelanjang untuk berenang masuk kemari, aku harus berpakaian dulu."

   Merah muka In San lekas dia mundur dan membalik tubuh. Sesaat kemudian tahu-tahu Ciok-sing sudah mengelus rambut kepalanya, katanya lirih.

   "Sekarang kau boleh putar badan lagi."

   Tanpa kuasa keduanya lantas berpelukan kencang sekali, lama dan lama sekali baru mereda gejolak perasaan mereka, pelan-pelan merekapun mengendorkan pelukan dan berdiri berpandangan.

   "Biar kuberitahu satu kabar baik padamu,"

   Kata Tan Cioksing.

   "aku sudah bertemu dengan Toan-toako dan nona Han."

   "Mereka juga datang?"

   Tanya In San girang.

   "Betul, suara seruling yang kita dengar di Pat-tat-nia siang tadi memang betul nona Han yang meniup,"

   Lalu dia ceritakan pertemuannya dengan Toan dan Han berdua didalam Bu-linggoan tadi.

   "Kukira belum tentu ini merupakan berita baik,"

   Ujar In San.

   "Mereka menyamar wisu keluarga Liong, Lenghou Yong dan kambrat-kambratnya tiada yang tahu rahasia mereka."

   "Wisu yang mereka palsukan memang ada orangnya, sementara mungkin mereka terkelabui, namun suatu ketika pasti terbongkar juga."

   "Betul, kita harus cepat-cepat berusaha keluar dari sini. Bila kita belum lolos yakin merekapun pasti tak mau pergi."

   Tapi cara bagaimana mereka harus keluar? "Tan-toako, aku bisa bertemu akhir kali dengan kau, puaslah hatiku. Kau jangan hiraukan diriku, pergilah kau seorang diri."

   "Memangnya kau sudah lupa akan sumpah setia kita. Sehidup semati?"

   "Tidak, tapi jangan kau lupa diluar masih ada Toan-toako dan Han-cici yang perlu bantuanmu. Sebelum kau keluar mereka takkan mau pergi. Apalagi bila kau sudah keluar, kau masih bisa berusaha menolongku, apapun bila ada seorang bisa keluar kan lebih mending dari pada sama-sama menunggu mati disini."

   Getir tawa Ciok-sing, katanya.

   "Jangan kau membujukku, umpama ada niatku keluar, sekarang takkan bisa keluar lagi."

   "Aku tak bisa berenang, tapi kau bisa. Kalau kau bisa masuk, kenapa tidak bisa keluar?"

   "Lorong itu sebetulnya tidak tembus kemari, tapi entah kenapa terjadilah kebobolan oleh terjangan arus deras. Bila aku bisa berenang dan keluar, tetap takkan bisa keluar dari gua yang tertutup dari luar. Sementara pintu keluar yang lain entah berada dimana. Umpama ketahuan juga pasti telah dipasangi perangkap, dari pada menempuh bahaya, lebih baik aku menemani disini, sedikitnya kita masih bisa bercengkrama untuk beberapa hari lamanya."

   Tiba-tiba In San teringat, katanya.

   "Liong Seng-bu keparat itu pernah membuka jendela di atas sana, aku tidak pandai Pia-hau-kang (ilmu cecak), coba kau merambat ke atas memeriksanya, kau membawa geretan api?"

   "Ada,"

   Tan Ciok-sing mengiakan.

   In San mematahkan sebatang dahan pohon kering yang menjulur keluar dari celah-celah dinding, lalu disulutnya dengan geretan Ciok-sing, walau sinarnya tidak terang, namun lebih mending dari pada menggeremet di kegelapan.

   Tan Ciok-sing mencoba, dengan susah payah akhirnya dia merambat ke atas, dengan teliti dia memeriksa, tanpa merasa dia menarik napas dingin.

   Dengan gelisah In San menunggu di bawah, tanyanya.

   "Bagaimana?"

   "Hakikatnya tiada lobang disini, hanya ada papan besi disini, papan besi yang amat tebal, pedang pusakapun takkan bisa menusuk tembus."

   In San amat kecewa, dia menunduk memeras otak. Tan Ciok-sing berkata.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Disini kita bisa bermain cinta tanpa diganggu siapapun. Bicara terus terang, selama hidupku ini, belum pernah aku merasa hidup bahagia dan sesenang hari ini. Adik San, apa kau tidak bahagia?"

   "Berada di sampingmu, memangnya aku tidak kan senang? Sayang kita tak bisa hidup abadi disini selamanya. Lebih baik kau harus keluar. Oh, ya, teringat olehku." .

   "Teringat apa?"

   "Kau pandai menyelam, kenapa tidak kau selidiki dasar air, mungkin ada jalan keluarnya."

   "Akal bagus, baiklah kucoba,"

   Setelah memadamkan obor, dia suruh In San membelakanginya lalu mencopot pakaian, membawa Pek-hong-po-kiam pemberian Thio Tan-hong segera dia terjun kedalam air. Kira-kira sesulutan dupa lamanya baru Tan Ciok-sing menongol keluar air.

   "Maaf sekian lama aku pergi, kau pasti tidak sabar menunggu."

   In San membelakanginya pula, setelah Ciok-sing berpakaian, dia membalik dan tanya.

   "Bagaimana?"

   "Permukaan air disini tenang, tapi di bawah arusnya amat deras, lorongnya juga sempit beberapa kali harus melalui lorong-lorong panjaug. Untung sejak kecil aku dibesarkan di kali, kalau tidak mungkin tak bisa kembali kesini."

   "Jalan keluarnya sudah kau temukan?"

   "Sudah kutemukan, sayang sukar keluar."

   "Kenapa?"

   "Jalan keluarnya dipagari jeruji besi sebesar lengan bayi, kira-kira harus mematahkan tiga jeruji besi baru bisa menyelinap keluar. Dengan Pek-hong-po-kiam sudah kucoba, tapi belum berhasil memutuskan, tapi aku yakin pasti dapat, cuma untuk memutus satu jeruji kira-kira makan waktu setengah sulutan dupa, untuk memutus tiga batang, berarti makan waktu hampir setengah jam. Dalam jangka waktu selama itu, bukan mustahil usaha kita bisa konangan."

   "Sayang aku tak bisa menyelam, dengan hubungan sepasang pedang kita tentu jauh lebih mudah."

   Mendengar perkataanya ini, Tan Ciok-sing menunduk diam, seperti sedang memikir apa-apa. Tiba-tiba dia berkata.

   "Adik San, kalau kau menyumbat pernapasan dapat bertahan berapa lama?"

   "Aku tidak pernah latihan menyumbat pernapasan, tapi pasti jauh lebih lama dari orang biasa."

   "Kau tidak bisa, mari kuajarkan. Ajaran dasar lwekang Thio Tayhiap yang kupelajari pasti dapat kau pelajari dengan cepat."

   "Tapi aku kan tidak bisa menyelam."

   "Didalam air aku bisa bantu menahan tubuhmu, kau pasti dapat menerobos keluar bersamaku. Setiba di permukaan yang agak lebar dan arusnya agak lambat, kau bisa menongol keluar untuk ganti napas."

   In San berpikir sejenak, akhirnya dia geleng kepala.

   "Kenapa, tidak mau ikut aku keluar?"

   Merah muka In San, katanya.

   "Memangnya aku harus meniru dirimu, menyelam tanpa berpakaian?"

   Tan Ciok-sing tertawa geli, katanya.

   "Aku bertelanjang karena untuk menggampangkan gerak gerik dalam air, berpakaian juga tetap bisa berenang."

   "Kalau berpakaian kan jadi basah kuyup, begitu keluar bukan mustahil jejak kita bisa konangan?"

   "Itu sih urusan kecil, yang penting keluar dulu."

   Setelah tiada yang perlu dirisaukan, In San berkata.

   "Baiklah, ajarkan ilmu menutup pernapasan itu kepadaku."

   Sejak kecil dia mendapat latihan dasar lwekang ajaran keluarganya, pada hal sebenarnya sama dengan ajaran lwekang Thio Tan-hong, maka cepat sekali dia sudah mempelajarinya dengan baik.

   Karena pandai berenang, meski menyelam sambil menyeret seorang bukan menjadi halangan bagi Tan Ciok-sing, pada hal banyak kesulitan harus dihadapi, namun akhirnya mereka berhasil juga melalui lorong-lorong sempit di bawah tanah dan tiba dimulut keluar.

   Dengan gabungan pedang mereka, cepat sekali tiga jeruji besi telah mereka putuskan.

   Tan Ciok-sing memapah In San naik ke atas daratan, waktu In San memeriksa sekelilingnya, dia berkata.

   "Ini berada di timur laut taman besar, cukup jauh letaknya dari kebon dalam. Biasanya keluarga Liong melayani para tamunya disini."

   Taman kembang ini sedemikian besar, barisan wisu yang meronda mondar mandir, pakaian mereka basah kuyup lagi, untuk menemukan Toan Kiam-ping dan Han Cin, meski tidak sesulit mencari jarum di lautan, tapi juga bukan kerja gampang.

   Tengah mereka celingukan dan bimbang, tampak barisan wisu mendatangi.

   Dua wisu berjalan agak ke belakang, keduanya berjalan sambil bercakap-cakap dengan santainya.

   "bagaimana keadaan diluar, kedua wisu palsu apa sudah ketangkap?"

   "Entah aku tidak tahu. Tapi waktu aku dipindah kemari, jelas belum ketangkap."

   "Meronda disini seperti berada di dunia lain, kalau diluar terjadi keributan, disini kita bisa bercakap-cakap dengan santai tanpa susah-susah, rasanya koh jadi cemplang."

   Wisu yang baru datang tertawa, katanya.

   "Agaknya otakmu sudah keblinger, siapapun kepingin dipindah kemari. Tamu agung dijaga oleh busu mereka sendiri, kita tak perlu ikut susah payah, kita hanya ditugaskan menjaga pintu air disini, hakikatnya tiada bahaya apapun yang mungkin mengancam jiwa kita, kalau diluar memang ramai, tapi bukan mustahil batok kepalamu terpenggal musuh tanpa kau tahu bahwa dirinya sudah mampus."

   "Omonganmu memang benar, disini boleh dikata tiada bahaya. Tapi tak pernah mendengar kabar diluar, rasanya jadi masgul selalu,"

   Belum habis dia bicara tahu-tahu hiat-tonya tertutuk orang, kontan dia jatuh semaput.

   Dengan gerakan secepat kilat, umpama orang mendengar geledek tidak sempat menutup kuping, Tan Ciok-sing melompat keluar dari balik gunungan terus menutuk hiattonya.

   Katanya tertawa.

   "Adik San, sekarang kita bisa ganti pakaian."

   In San pejam mata sambil membalik tubuh, katanya.

   "Lekas kau bereskan kedua orang ini, jangan sampai konangan orang."

   Semula Tan Ciok-sing hendak menenggelamkan mereka ke dasar air, hatinya tidak tega mengingat mereka tidak berdosa, akhirnya dia sembunyikan mereka di semak-semak rumput tak jauh dari empang. Setelah ganti pakaian In San keluar dari gua, katanya.

   "Untung perawakan orang ini agak pendek, walau pakaiannya tidak cocok, juga kepanjangan sedikit. Lebih celaka baunya yang kurang sedap, aku jadi risi dan mual."

   Tiba-tiba timbul pikiran Tan Ciok-sing, katanya.

   "Seharusnya kita berusaha menemukan Toan-toako dan Hancici, tapi, tapi..."

   "Tapi kenapa?"

   "Taman sebesar ini, dalam waktu singkat bagaimana bisa menemukan mereka. Tapi sekarang ada tugas lebih penting lagi..."

   In San sadar, katanya.

   "Yah, betul, maksudmu kita lakukan dulu soal lain baru mencari Toan-toako?"

   "Betul, penginapan para tamu tak jauh dari sini. Mari kita cari dulu Duta rahasia dari Watsu, paksa dia menyerahkan surat perjanjian rahasia dengan Liong Bun-kong, kita gunakan pula dia sebagai sandera, Toan-toako dan nona Han dengan mudah pasti dapat kita bantu untuk meloloskan diri."

   In San berpikir sebentar, katanya.

   "Tan-toako, perkataanmu benar, kita harus pikirkan dulu kerja yang lebih penting ini. Baiklah, aku setuju akan usulmu."

   Pada saat itulah, dari sudut tenggara sana sayup-sayup terdengar suara keributan yang semakin keras kedengaran ada orang sedang berhantam dengan sengit.

   Jarak cukup jauh, kalau mereka tidak memiliki ilmu mendekam mendengar suara dari bumi, jelas takkan mendengar geger disana.

   Dari apa yang dapat mereka tangkap, keributan disana jelas amat ramai dan genting.

   Perasaan In San tidak tentram, katanya.

   "Mungkin Toantoako dan Han-cici sudah terkepung dan dikeroyok kawanan wisu?"

   Tak usah dijelaskan lebih lanjut.

   Tan Ciok-sing sudah tahu apa yang ingin dikemukakan oleh In San.

   Sekejap itu mereka jadi bimbang.

   Bila benar Toan dan Han berdua mengalami kesulitan, adalah menjadi kewajiban mereka untuk cepat memburu kesana menolong mereka, tapi merekapun melaksanakan rencana yang barusan telah disepakati bersama, yaitu menyelundup ke penginapan para tamu dari Watsu serta membunuh atau bila perlu membekuk duta rahasia Watsu? 000OOO000 Bagaimana keputusan Tan Ciok-sing biarlah kita tunda dulu sementara waktu.

   Marilah kita ikuti pengalaman Toan Kiamping dan Han Cin setelah mereka menolong Tan Ciok-sing.

   Dugaan In San memang tidak meleset, mereka memang konangan musuh dan kini dikepung dan dikeroyok oleh banyak musuh.

   Sayang mereka tidak tahu bahwa samaran mereka telah terbongkar oleh Liong Seng-bu, waktu itu mereka masih berusaha mencari kabar tentang In San yang kejeblos kedalam perangkap.

   Dimana ada orang banyak mereka tidak berani tinggal terlalu lama, setelah putar kayun kian kemari akhirnya mereka tiba di ujung taman, disini mereka ketemu seorang wisu yang meronda sendirian.

   Toan Kiam-ping menghampiri lantas bertanya.

   "Kabarnya ada pembunuh perempuan yang ketangkap, apa betul?"

   "Betul, pembunuh perempuan yang punya asal-usul cukup genting."

   "Siapakah dia?"

   Wisu itu meliriknya sekali.

   "Kabarnya ada sangkut pautnya dengan Liong-tayjin, apa betul kau tidak tahu?"

   "Aku tak berani tanya kepada Ciok-tayjin, dari mana aku bisa tahu?"

   "Kalau Ciok-tayjin tidak menceritakan, lebih baik kalau kau tidak tahu saja."

   "Bagaimana pembunuh perempuan itu sekarang?"

   Seperti tertawa tidak tertawa, wisu itu berkata.

   "Agaknya kau memperhatikan dia."

   "Ah, jangan menggoda. Aku hanya ketarik saja dan tanya dengan iseng."

   Baru saja Han Cin hendak menutuk hiat-to wisu ini, mendadak terdengar seorang berkata dingin;

   "Kau ingin tahu, seharusnya tanya kepadaku."

   Yang datang ini adalah Liong Seng-bu. Di belakangnya ikut dua wisu, yaitu dua orang yang sekarang mereka samar. Han Cin pernah melihat Liong Seng-bu, maka dia berteriak.

   "Toan-toako, lekas ringkus dia. Dia itulah keponakan bangsat tua she Liong."

   Belum habis dia bicara pedang Toan Kiam-ping sudah menusuk ke arah Liong Seng-bu. Dua wisu membentak serempak.

   "Kurcaci, berani kau menyaru tuan besarmu, kuganyang kau,"

   Dengan amarah yang meluap mereka menubruk maju.

   Han Cin menyendat cambuk lemasnya menahan mereka dengan putaran cambuknya.

   Sehingga Toan Kiam-ping berkesempatan mengudak Liong Seng-bu.

   Seperti diketahui Liong Seng-bu pernah mempelajari beberapa jurus ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong.

   Pek-hongkoan- jit serangan Toan Kiam-ping hendak menutuk Ci-tonghiat di dadanya, ternyata meleset.

   Tapi kepandaian silatnya memang terpaut jauh dibanding Toan Kiam-ping, dua jurus dia mampu menangkis dan melawan, tapi jurus ketiga sengaja Toan Kiam-ping menggunakan daya lengket lalu sekali sentak dengan tipu Sam-coan-hoat-Iun (tiga kali memutar roda), pedang panjang Liong Seng-bu kena dipelintirnya terlepas jatuh.

   Toan Kiam-ping mengudak maju, dari semak-semak rumput mendadak menubruk beberapa orang yang memang sejak tadi sudah sembunyi disitu, mereka adalah Huwan bersaudara.

   Untung kepandaian Toan Kiam-ping sekarang sudah maju pesat, meski disergap secara mendadak oleh ke empat bersaudara, lekas dia gunakan To-dap-jit-sing-pou (menginjak terbalik langkah tujuh bintang), secara keras dia menarik daya luncuran tubuhnya mentah-mentah, syukur usahanya berhasil sehingga dia tidak terluka.

   Huwan Liong menjengek dingin.

   "O, kiranya Toansiauongya, hehe, orang hidup dimanapun pasti bertemu. Tempo hari kami tak kuasa mengundangmu kemari, tanpa diundang kali ini kau malah datang sendiri,"

   Mulut bicara tangan tidak nganggur, pedang panjang terayun, segera dia merebut posisi yang menguntungkan, mulailah dia pimpin barisannya mengadakan serangan total. Liong Seng-bu gelak tertawa, katanya.

   "Benar, kapan bisa mengundangnya kemari, adalah kewajibanku untuk menyambutnya sebagai tuan rumah. Kalian harus menahan tamu kita ini baik-baik, layanilah secara hormat."

   "Kongcu jangan kuatir, kali ini meski tumbuh sayappun jangan harap dia bisa terbang."

   Setelah barisan pedang lawan terbentuk, meski Toan Kiamping tidak terluka, tapi tidak mampu menjebol kepungan. Toan Kiam-ping menghela napas, katanya.

   "Adik Cin, kau ikut menderita jadinya?"

   Han Cin tersenyum katanya.

   "Toan-toako, jangan kau lupa sumpah kita? Sehidup semati."

   Tiba-tiba tampak seorang wisu lari tergopoh ke arah sini, pada hal wisu ini semula berjaga di mulut gua Bu-ling-goan. Liong Seng-bu kaget melihat kedatangannya, tanyanya.

   "Mana Lenghou Yong, kenapa tidak datang?"

   Saking buru-buru napas wisu itu masih sengal-sengal, sekian saat tak mampu bicara, tanpa hiraukan pertanyaan segera dia berteriak begitu dapat bersuara.

   "Kongcu, celaka."

   "Bapakmu. Apa yang celaka,"

   Damprat Liong Seng-bu.

   "Ada air mengalir dari gua bawah tanah, waktu kami beramai-ramai menggeser batu penutup air seperti menyembur keluar dari bawah."

   "Lalu Tan Ciok-sing keparat itu?"

   "Dua orang kita yang pandai berenang selulup ke bawah, bocah itu tidak ditemukan, malah mereka menemukan, menemukan..."

   "Menemukan apa? Lekas katakan."

   "Penjara air telah bobol, pembunuh perempuan yang dikurung di penjara air..."

   "Bagaimana?"

   "Pembunuh perempuan itu telah hilang."

   "Sudah dicari ke mulut keluarnya?"

   "Sudah ada orang yang kesana mencarinya. Tapi aku harus cepat kemari lapor kepada Kongcu, entah mereka menemukan pembunuh itu?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kejut dan girang Toan Kiam-ping serta Han Cin mendengar berita ini. Jago kosen lagi bertempur pantang pecah perhatian, maka terdengar suara "Cret"

   Baju luar Han Cin tertusuk bolong oleh dua ujung pedang.

   Untung dia bergerak lincah, sedikit lambat, tentu dadanya sudah tertusuk bolong.

   Bagian luar dia mengenakan seragam wisu, begitu baju luar tertutuk bolong dan robek tersingkap, maka baju dalamnya yang ringkas kelihatan.

   Huwan Pau bergelak tertawa terus mengolok.

   "Memang perempuan siluman itu. Hehe, siluman cantik, lebih baik kau menyerah saja, kalau tidak kau nanti bisa runyam, lho."

   Melihat situasi, Liong Seng-bu yakin Huwan bersaudara dapat menguasai keadaan, legalah hatinya, teriaknya.

   "Barisan panah siap, jangan biarkan pembunuh lari. Kalau tidak bisa ditawan hidup, bidik saja sampai mati,"

   Setelah memberi aba-aba, dia percaya urusan tak perlu dia tangani sendiri, maka dia siap tinggal pergi.

   Maklum dia pandang Tan Ciok-sing dan In San jauh lebih berbobot dibandingkan Toan dan Han berdua.

   Puluhan pemanah sudah menyebar diri, ada yang naik ke atas pohon, ada yang sembunyi di balik gunungan, pucuk anak panah yang kemilau tampak gemeredep di tengah kegelapan yang ditimpah cahaya obor.

   Jalan mundur Toan dan Han jelas sudah terputus.

   Umpama mereka mampu menjebol barisan pedang juga takkan luput dihujani anak panah.

   "Adik Cin, tabahkan hatimu. Tan-toako dan nona I n sudah meloloskan diri, kita tidak perlu menguatirkan mereka."

   Setelah bebas pikiran semangat tempur Han Cin berkobar, maka permainannya lebih mantap, berdampingan beradu pundak dia merangsak musuh dengan sengit bersama Toan Kiam-ping.

   Walau dalam waktu dekat tidak mampu membobol barisan pedang, namun permainan pedang ke empat bersaudara itu jadi mengendor dan tak mampu memperkecil ruang lingkup mereka.

   Kalau Han Cin berdua tidak perlu menguatirkan keselamatan Tan dan In berdua, demikian pula Huwan bersaudara kini dapat bertindak bebas, karena tidak perlu menawan hidup maka mereka menyerang lebih ganas dan bila perlu membunuh musuh saja.

   


Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long

Cari Blog Ini