Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 26


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 26



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Nanti dulu, aku belum habis bicara,"

   Tukas Tang-hay-liongong terbahak-bahak.

   "memang benar pendapat Ong-cecu, aku tahu Tan-siauhiap berkepandaian tinggi, betapapun dia masih muda dari aku, aku sendiri juga tidak ingin ditertawakan kaum persilatan sedunia..."

   Sampai disini sengaja dia merandek. Hadirin bingung, dia yang menantang tapi bilang tidak mau menindas yang muda, memangnya apa maksudnya?"

   Pelan-pelan Tang-hay-liong-ong melanjutkan.

   "Maksudku aku ingin menjajal gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dengan In Lihiap. Dengan cara ini yakin hadirin tidak akan katakan aku yang tua ini menindas yang muda bukan?"

   Cun-ih Thong tiba-tiba bertanya.

   "Gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dan In Lihiap tiada bandingan di dunia, bukankah tadi Han-heng yang berkata demikian."

   Han King-hong orang kasar, tanpa pikir segera dia menjawab.

   "Banyak kawan-kawan Kangouw semua bilang demikian, memangnya kenapa?"

   Cun-ih Thong ngakak, katanya.

   "Tidak apa-apa aku merasa bersyukur hari ini bakal memperoleh kesempatan melihat saja. Hehe, apa benar pujian tadi sebentar juga akan terang dan terbukti. Tapi kalau sudah tersiar luas di Kangouw bila gabungan sepasang pedang mereka menempur Sugong-thocu tidak bisa dikatakan yang tua menekan yang muda lagi. Betul tidak?"

   Baru sekarang hadirin maklum, sengaja dia putar kayun dengan ocehan panjang lebar, tujuan tidak lain bantu menarik keuntungan pihak Tang-hay-liong-ong. Berkerut alis Tan Ciok-sing, hampir meledak amarahnya, namun dia dibujuk oleh Tam Pa-kun.

   "Ucapan Cun-ih Thong memang benar, bertanding cara begitu memang tiada yang mengambil keuntungan. Kalian bergabung melawan musuh dijumlah usia kalian juga masih muda lawan. Maka menurut pendapatku, pertandingan ini cukup adil." . Maksud Tan Ciok-sing adalah tidak mau memungut keuntungan ini, tapi setelah dipikir lagi sekarang bukan saatnya adu mulut dan bertengkar, maka dia tidak banyak bicara..Tapi In San malah berkata.

   "Siang-kiam-hap-pik sudah merupakan kebiasaan, menghadapi satu lawan kami berdua, menghadapi sepuluh lawan, kami tetap berdua. Bila Cun-ih Siansing anggap kita mengambil keuntungan boleh silahkan Cun-ih Siansing maju bersama Sugong-thocu."

   Cun-ih Thong cengar-cengir katanya.

   "In Lihiap, kenapa kaupun menyeret diriku."

   Tang-hay-liong-ong menarik muka katanya.

   "Jangan cerewet. Hadirin sudah akur bahwa pertandingan ini cukup adil, marilah segera kita mulai. Tapi perlu aku bicara di depan."

   Lekas Cun-ih Thong menjilat pantat pula.

   "Betul peduli apapun akhir pertandingan ini akibatnya harus dibicarakan lebih dulu."

   Perlahan Tang-hay-liong-ong berkata.

   "Kalau aku yang beruntung menang dalam pertandingan ini, kalian bagaimana?"

   "Sudah tentu terserah kepadamu, hukuman apa terserah."

   Tang-hay-liong-ong geleng-geleng, katanya.

   "Aku tidak punya maksud menyakiti kalian."

   Tam Pa-kun tiba-tiba berdiri, katanya lantang.

   "Bahwa pertandingan ini menentukan kalah menang bila Sugong-thocu dapat mengalahkan mereka berarti pertandingan memilih Bengcu inipun berakhir. Selanjutnya Sugong-thocu adalah Bengcu kita."

   "Kalau kami kalah boleh terserah Sugong-thocu menjatuhkan vonisnya..."

   "Sugong-thocu barusan bilang tidak akan menyakitkan kalian,"

   Tukas Cun-ih Thong. Tan Ciok-sing tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut.

   "Sekarang kita nyatakan pula bila kami yang kalah, umpama Sugong-thocu tidak sudi menjatuhkan vonisnya. Kami sudah berkeputusan untuk memunahkan ilmu silat sendiri tapi kami tidak akan mendukungnya menjadi Bengcu."

   Cun-ih Thong mengerutkan kening, katanya.

   "Lho, apa tidak mencari gara-gara?"

   "Kami lebih suka memunahkan ilmu silat sendiri dan tidak sudi mendukungnya adalah urusan pribadi kami, tiada sangkut pautnya dengan orang lain."

   Ciok-sing mempertegas. Tujuan Tang-hay-liong-ong adalah menjadi Bengcu, dia tidak peduli apakah mereka berdua mau atau tidak mendukung dirinya, bila mereka memunahkan ilmu silat sendiri juga kebetulan malah bagi dirinya. Maka dia tertawa, katanya.

   "Urusan sebetulnya tidak sefatal itu. Tapi setiap manusia punya keinginan sendiri-sendiri, bila Tan-siauhiap sudah berkeputusan demikian, ya boleh terserahlah."

   Tan Ciok-sing bertanya.

   "Tapi bila kami yang beruntung dan kau yang kalah, bagaimana?"

   Tang-hay-liong-ong tertawa lebar, katanya.

   "Kalau aku kalah, jelas malu bercokol di dunia persilatan. Tan-siauhiap apapun keputusannmu aku akan meniru janjimu,"

   Jadi pertandingan ini bukan melulu memperebutkan Bengcu, malah pihak mana yang kalah dia harus memunahkan ilmu silat sendiri."

   Ong Goan-tin kaget, dia menoleh ke arah Tam Pa-kun, agaknya dia kuatir bila gabungan sepasang pedang Tan Cioksing dan In San bukan tandingan Tang-hay-liong-ong.

   Tam Pa-kun tahu kekuatirannya, dia hanya memberi senyum simpul tanpa bersuara.

   Tapi dari sorot mata dan rona mukanya, Ong Goan-tin tahu bahwa Tam Pa-kun yakin gabungan sepasang pedang Tan dan In pasti akan menang, maka lega juga hati Ong Goan-tin.

   Tan Ciok-sing dan In San sudah berdiri jajar di tengah gelanggang, pedang masing-masing sudah terlolos.

   Pedang mereka adalah warisan pedang Thio Tan-hong, begitu keluar sarungnya pedang pusaka itu memancarkan cahaya terang gemerlap menyilaukan mata.

   Dengan lagak jumawa pelan-pelan Tang hay-liong-ong bersuara.

   "Bawa kemari senjataku."

   Sebagian besar yang hadir hanya tahu bahwa Kungfu Tang-hay-liong-ong amat tinggi, namun gaman apa yang dia gunakan tiada satupun yang tahu, maka perhatian hadirin ditujukan kepadanya,mereka ingin tahu apakah senjatanya mampu menandingi sepasang pedang pusaka Tan Ciok-sing dan In San yang sudah terkenal sejak puluhan tahun.

   Tampak empat laki-laki memanggul keluar sepasang tombak mengkilap gelap, dikata tombak juga bukan tombak, tidak mirip ruyung atau trisula, namun ujungnya berbentuk tombak, di sisi kiri kanan terdapat lekuk bulan sabit yang tajam dan runcing, lebih bawah lagi merupakan pedang sampai di gagang ada besi melengkung sebagai pelindung jari-jari tangan.

   Ada yang tahu bahwa gaman ini dinamakan Ban-ci-toh, senjata dari garis luar gaman yang jarang digunakan oleh insan persilatan, namun kasiat senjata ini dapat digunakan merampas senjata lawan.

   Dalam hati Ong Goan-tin berpikir.

   "Ban-ci-toh memang dapat merampas pedang, tapi menghadapi pedang pusaka peninggalan Thio Tan-hong, yakin tidak akan mampu berbuat banyak."

   Ban-ci-toh panjang seluruhnya ada tujuh kaki, besarnya kira-kira sama dengan gagang tumbak umumnya, tapi dua lelaki yang memanggul sebatang kelihatan keberatan, sungguh hadirin sama heran dan kaget.

   "Betulkah Ban-ci-toh ini berbobot seberat itu?"

   Han King-hong menjadi sebal, kontan dia mengolok.

   "Ah, pura-pura belaka, memangnya siapa yang takut digertak."

   Tengah bicara, dilihatnya ke empat lelaki itu sudah melemparkan Ban-ci-toh itu ke arah Tang-hay-liong-ong.

   Entah mereka mendengar olok-olok Han King-hong, yang terang salah satu dari Ban-ci-toh itu ternyata meleset ke depan Han King-hong.

   Lekas Han King-hong lolos golok besar yang berpunggung tebal terus membacok.

   "Traaang"

   Kembang api berpijar, golok besar tak kuat lagi dipegang, jatuh berkerontang bersama tubuhnya yang kekar.

   Lekas teman-teman memapahnya bangun, tampak darah meleleh dari ujung mulutnya, untung tidak terluka dalam, namun golok punggung tebalnya itu patah jadi dua.

   Setelah membentur patah golok besar Han King-hong, Ban-ci-toh itu masih meleset ke depan ke arah majikannya.

   Dengan enteng Tang-hay-liong-ong gerakan kedua tangan meraih kedua gamannya, berdiri santai seperti tidak terjadi apa-apa.

   Han King-hong terkenal sebagai jagoan yang punya tenaga raksasa, golok tebalnya itu berat 64 kali ternyata tidak kuat menghadapi benturan Ban-ci-toh, golok patah pemiliknya juga terjungkal meski tidak terluka parah, tapi hadirin sama kaget.

   Tapi Han King-hong sendiri memang berjiwa polos dan jujur, meski dia terbentur jatuh oleh gaman Tang-hay-liongong, diam-diam dia kagum malah terhadap berat gaman orang, sambil merangkak tapi mulutnya menggumam.

   "Kukira dia hanya pura-pura saja, ternyata memang berat sekali, tak heran dua orang memikulnya dengan payah. Aneh, gaman terbuat dari logam apakah, hanya sebatang senjata macam tombak, aku ternyata tidak kuat menyambutnya."

   Cun-ih Thong ingin pamer kepintarannya di samping ingin menunjukkan bahwa dirinya punya hubungan intim dengan Tang-hay-liong-ong, dari samping segera dia mengoceh pula sambil membusung dada.

   "Sepasang Ban-ci-toh milik Sugongthocu ini memang bukan sembarangan senjata, pada setiap pertempuran jarang dipakai. Maka maklum bila kaum persilatan jarang yang tahu asal-usul senjatanya. Perlu diketahui bahwa sepasang gaman Sugong-thocu ini dibuat dari Hian-tiat (besi murni). Apa itu Hian-tiat? Dalam bentuk dan besar yang sama bobot Hian-tiat sepuluh kali lipat dari besi biasa"

   Sejak melihat Tan dan In mengeluarkan sepasang pedang pusaka, timbul harapan orangorang gagah, namun setelah tahu gaman Tang-hay-liong-ong ternyata terbikin dari Hiantiat, goyah pula keyakinan mereka.

   Apakah Hian-tiat itu hadirin banyak yang belum pernah lihat, tapi banyak juga yang tahu bahwa Hian-tiat itu merupakan sari gabungan dari lima unsur logam, konon hanya di puncak Sing-siok-hay di Kun-lun-san baru kedapatan ada Hian-tiat namun Hian-tiat itu sendiri juga sukar ditemukan disana.

   Apakah pedang mustika Tan dan In mampu melawan senjata yang terbuat dari Hiantiat? Tampak dengan menggenggam kencang senjatanya Tanhay- liong-ong sudah berdiri tegak di tengah arena, katanya kepada Tan dan In.

   "Aku lebih tua, di hadapan sekian banyak orang-orang gagah, aku pantang memungut keuntungan dari kalian. Tidak lekas kalian turun tangan, masih tunggu apa lagi?"

   Sikap jumawa nadanya mengejek. In San berdarah panas, tanpa bicara segera dia gerakan Ceng-bing-kiam, sinar pedang gemerlap ujung pedangnya langsung menusuk ke ulu hati di dada kiri Tang-hay-liong-ong. Dalam keluarga persilatan ada sebuah pameo.

   "Golok menempuh jalan putih, pedang jalan hitam"

   Maksudnya bahwa pedang kebanyakan dimulai dari sebelah kiri, jarang membuka serangan dari tengah.

   Begitu turun tangan In San langsung menusuk dada, meski bukan bermaksud merendahkan lawan, namun didalam kebiasaan adu kekuatan di Bu-lim, sikapnya ini sudah dianggap kurang hormat terhadap seorang Cianpwe.

   Karuan Tang-hay-liong-ong naik pitam, bentaknya.

   "Biar budak kecil macammu ini tahu keliehayanku,"

   Serempak dia mengembangkan kedua lengan atasnya kesamping.

   "Trak"

   Sepasang gamannya serempak menjepit ke kedua kuping In San.

   Jurus ini dinamakan Siang-hong-koan-hi (sepasang angin mengunci telinga).

   Melihat kedua pihak mulai pertempuran dengan serangan keji yang mematikan, tak urung hadirin sama menjerit kaget.

   Maklum bobot senjata lawan seberat itu, bila kepala In San tergencet sungguhan, kepalanya pasti remuk dan gepeng.

   Tujuan Tang-hay-liong-ong hendak membendung gerakan In San didalam jangkauan sepasang gamannya, tak nyana In San memiliki gerak tubuh lincah, belum lagi sepasang senjata lawan menggencet tiba dengan langkah Lou-kik-hou-pou dia berkisar ke samping kanan Tanghay- liong-ong.

   Cepat sekali Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing juga sudah bergerak laksana lembayung perak terjun ke tengah pertempuran.

   Jurus ini dinamakan Sin-liongjip-hay (naga sakti masuk laut), kelihatannya amat keji dan berbahaya, namun tujuannya untuk mematahkan serangan Tang-hay-liong-ong yang mematikan sekaligus membantu In San untuk melontarkan serangan mematikan selanjutnya.

   Dimana ujang pedang bergetar, tiba-tiba timbul tiga ceplok kuntum sinar pedang, hanya dalam jangka kilatan dalam satu jurus dia telah menyerang tiga Hiat-to mematikan tubuh Tang-hay-liong-ong, serangan ganas yang memaksa lawan menyelamatkan diri lebih dulu.

   Betapa tinggi ilmu silat Tang-hay-liong-ong, tak urung bercekat juga hatinya.

   "Thio Tan-hong memang seorang maha guru silat besar, Siang-kiam-hap-pik yang diwariskan sepasang muda mudi ini memang luar biasa. Aku tak boleh memandang enteng mereka."

   Begitu mundur cepat sekali In San sudah merangsak pula.

   Ceng-bing-kiam bergerak dengan jurus Hian-niau-hoat-sa, secara membalik menyontek lengan kiri musuh, lekas Tanghay- liong-ong memperbesar lingkaran gerak senjatanya, Tan Ciok-sing bergerak mengikuti permainan pedangnya, sebat sekali dia melayang keluar dari lingkaran benturan sepasang gaman lawan tadi secara enteng.

   Malah di antara maju dan mundui itu, secepat kilat dia tambahi pula dua jurus serangan, Tang-hay-liong-ong dipaksa berlaku hati-haati sehingga tidak berani menyerang In San dengan segala tenaganya.

   Maklum Lwekang In San memang lebih rendah, walau dirinya tidak kebentur gaman lawan namun ketindih tekanan angin keras, tak urung dia merasa sesak napasnya.

   Tang-hay-liong-ong tahu titik kelemahan berada di gadis yang satu ini, mendadak dia menghardik sekali, gaman kiri menyontek ke atas mematahkan serangan pedang Tan Cioksing, berbareng gaman kanan disapukan miring agak rendah menyerampang bagian bawah In San.

   Mendadak In San menjejak lantai tubuhnya melejit tinggi.

   "Srct"

   Berbareng pedangnya menusuk dari posisi yang tidak terduga, lekas Tang-hay-liong-ong memutar miring Ban-ci-toh, lalu mendadak didorong ke depan serta ditekan pula ke bawah, agaknya dia nekad biar dirinya tertusuk pedang In San, lawan juga pasti terluka oleh senjatanya.

   Kebentur deru angin senjata lawan saja pedang In San sudah tersampuk pergi, meski gerak susulan sudah siap dilancarkan dalam keadaan seperti itu, tenaganya juga sudah ludes umpama pedang berhasil melukai lawan, Tang-hay-liong-ong juga hanya terluka ringan saja.

   Gebrak berlangsung cepat dan singkat, gaman Tang-hay-liong-ong kelihatan hampir menutul ke pusar In San.

   Hadirin sama mencelos kaget, ada di antaranya malah menjerit ngeri.

   Namun pada detik gawat itu mendadak terdengar suara "Tang"

   Begitu kerasnya sehingga kuping hadirin pekak rasanya.

   Untuk menyelamatkan In San terpaksa Tan Ciok-sing menolongnya membentur gaman lawan secara kekerasan, dengan pedangnya dia mendorong pergi Ban-ci-toh Tang-hayliong- ong yang hampir mengenai In San.

   Bertempur selama puluhan jurus, baru sekali ini gaman mereka saling beradu.

   Bentrokan senjata menimbulkan percikan kembang api.

   Seluruh hadirin terbelalak diam hingga sunyi senyap, semua ingin tahu bagaimana akibat dari benturan keras ini.

   Tampak gerak Tan Ciok-sing melenting terus berkelebat miring kesana.

   Pek-hong-kiam tetap dipegang sedikitpun tidak kurang suatu apa, hadirin baru merasa lega Di tengah percikan api tadi, mau tidak mau Tang-hay-liongong juga kaget dan mundur selangkah.

   Tersipu-sipu dia melirik ke bawah melihat gamannya tidak kurang suatu apa, maka lega juga hatinya.

   Masing-masing pihak tidak dirugikan, Tang-hay-liong-ong berseru.

   "Bagus,"

   Dua gaman menjulur bersama, mumpung Tan Ciok-sing belum berdiri tegak dia sudah mendesaknya pula.

   Gebrak selanjutnya jauh lebih hebat dan menegangkan, kini tiada rasa memandang enteng kedua lawannya dalam benak Tang-hay-liong-ong, dia himpun semangat dan kerahkan tenaga mengembangkan kemahiran permainan sepasang senjatanya yang lain dari pada yang lain.

   Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In San ternyata dihadapinya dengan gagah berani.

   Bobot senjata sudah berat, dilandasi tenaga raksasa dengan Lwekang tinggi lagi, maka gerak gaman itu sendiri sudah merupakan tenaga raksasa yang luar biasa, lawan dapat memainkan secara lincah dan enteng lagi hingga kelihatannya seperti dua ekor naga yang mengikuti gerakgerik serangan Tan dan In berdua Lama kelamaan hadirin menjadi kabur pandangannya, hati kebat kebit lagi, Ong Goan-tin Congcecu dari tiga puluh enam Cecu di perairan Thay-ouw tak urung merasa kuatir dan berkeringat dingin, dengan suara perlahan dia tanya kepada Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun.

   "Tam-toako, menurut pandanganmu, mereka, apakah mereka kuat bertahan..."

   Belum habis dia bertanya, Tam Pa-kun juga belum menjawab, mendadak didengarnya Tan Ciok-sing dan In San berkata dua patah.

   Hadirin tidak tahu apa arti dua patah kata yang diucapkan, tapi Tam Pa-kun dan Ong Goan-tin maklum dua patah kata itu adalah inti sari ilmu tingkat tinggi yang mendalam artinya, seketika mereka tertawa saling pandang, yang satu tidak perlu tanya lagi, yang ditanya juga tidak perlu menjawab.

   Tampak permainan pedang Tan Ciok-sing semakin lambat, ujung pedang seperti diganduli benda ribuan kaki beratnya, menuding timur menggaris ke barat, gerak-geriknya seperti tidak aturan malah.

   Hadirin kaget, tapi rona muka Tang-hay-liong-ong sendiri kelihatan prihatin dan makin gelap, meski gerak pedang Tan Ciok-sing makin lambat, seperti terbuka lobang serangan, namun dia tetap tidak berani merangsak maju menyerang, sikapnya malah amat hati-hati.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lain lagi permainan In San, pedangnya diputar makin kencang disertai kelincahan tubuhnya yang tangkas dan sebat, mendesak maju mencelat mundur, mencelat ke atas mendak ke bawah.

   Semula dia hanya bertahan saja, kini terbalik dia yang melancarkan serangan menggebu malah.

   Latihan Tan Ciok-sing berdua memang belum mencapai tingkat paling tinggi, namun dia meyakinkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong, ajaran yang telah diresapinya diluar kepala itu memang mandraguna, meski baru beberapa tahun tapi bekal ilmunya sudah cukup setimpal mengangkat dirinya ke taraf jago kelas wahid demikian pula kali ini, mau tidak mau Tanghay- liong-ong harus numplek seluruh perhatiannya untuk menghadapinya.

   Setiap kali Tang-hay-liong-ong lancarkan serangan dengan tenaga raksasa, selalu Ciok-sing gunakan tenaga lunak dengan gerakan pedangnya menuntun dan memunahkannya, meminjam tenaga untuk balas menggempur lawan pula.

   Bila serangan dianggap kosong mendadak gelombang tenaga besar justru melanda tiba.

   Oleh karena itu meski taraf Kungfu Tang-hay-liong-ong lebih tinggi dari kedua lawan mudanya ini mau tidak mau bercekat juga hatinya.

   Taraf latihan In San setingkat di bawah Tan Ciok-sing, permainannya belum memadai ke taraf yang lebih tinggi sehingga sukar baginya mengembangkan permainan yang lebih ampuh.

   Namun dasar otaknya cerdas dia cukup pintar menyesuaikan diri, syarat yang tidak tercapai dia ganti dengan cara lain, terpaksa dia mengembangkan ilmu "dengan sentuhan mematahkan tenaga"

   Lwekangnya jauh ketinggalan dibanding Tang-hay-liongong namun Ginkang dan kelincahan tubuhnya jelas lebih unggul, maka dengan kombinasi permainan ini, dia gunakan kemahiran sendiri untuk menyerang titik lemah musuh.

   Begitu dia kembangkan ilmu pedangnya menusuk, menyontek, mengetuk, membelah, dan mengikis, semua ini dilaksanakan secara tepat dan bagus gerakannya, boleh digambarkan lambat di tengah kecepatan, lincah di saat enteng, gerak-gerik berkembang lembut laksana air mengalir dan mega mengembang mantap dan tegap penuh keyakinan.

   Jikalau satu lawan satu jelas Tang-hay-liong-ong tidak mudah dicecar sehebat ini, namun permainan Siang-kiam-happik mereka memang amat serasi, kerja sama mereka amat ketat dan sembabat, walau yang satu lambat yang lain cepat, kelihatannya seperti bertempur sendiri-sendiri, namun dari berlainan ini justru timbul perpaduan yang terjalin amat ampuh, kombinasi permainan sepasang pedang mereka semakin memuncak kesempurnaannya.

   Tapi hanya beberapa orang saja di antara hadirin yang melihat kehebatan dari Siang-kiam-hap-pik itu.

   Ong Goan-tin sudah tentu satu di antaranya, kini baru dia melihat titik terang hingga lega hatinya, katanya setengah berbisik kepada Tam Pa-kun.

   "Tam-toako, pandanganmu memang lebih tajam."

   Perkataannya amat lirih, tapi Tang-hay-liong-ong yang lagi berhantam di tengah arena mendengarnya. Mau tidak mau gundah hatinya, pikirnya.

   "Jikalau bertempur seperti ini dilanjutkan, sedikit lena salah-salah aku bakal konyol. Kalau aku tidak kuasa menjatuhkan dua muda mudi, umpama ingkar janji, memangnya masih ada muka aku berkecimpung di Kangouw."

   Maklum sebelum bertanding tadi mereka sudah berjanji pihak yang kalah secara suka rela akan punahkan ilmu silat sendiri.

   Dalam posisi Tang-hay-liong-ong sekarang dituntut untuk menang, karena terdesak oleh keadaan akhirnya timbul nafsu jahatnya, dia bertekad akan mengadu jiwa.

   Mendadak dia menghardik, suaranya sekeras guntur, tanpa hiraukan tusukan pedang Tan Ciok-sing sepasang gamannya mendadak mengepruk ke batok kepala In San.

   Kala itu Tan Ciok-sing sedang melancarkan jurus Pek-hou-liang-ci ujung pedangnya menepis lengan kiri Tang-hay-liong-ong.

   Bila jurus serangan kedua pihak ini dilancarkan sesungguhnya.

   Batok kepala In San jelas bakal remuk terketuk gaman lawan, tapi lengan kiri Tang-hay-liong-ong juga akan tertabas kutung dari badannya.

   Kepala pecah jiwa melayang, sebaliknya lengan buntung tetap hidup, agaknya Tang-hay-liong-ong merelakan sebelah lengannya untuk menuntut jiwa In San Perkembangan tidak terduga ini menimbulkan kagemparan orang-orang kedua pihak, semua sama menjerit kuatir.

   Namun hanya dalam waktu sekejap itu sebelum hadirin melihat jelas apa yang terjadi, mendadak cahaya kemilau di tengah gelanggang kuncup seluruhnya, sepasang gaman Tang-hay-liong-ong menjulur lurus ke depan, sementara Tan dan In menyanggah dengan kedua pedang, tiga orang sama tidak berani bergerak.

   Agaknya Tang-hay-liong-ong sudah memperhitungan di kala melancarkan keprukan sepasang gamannya ke batok kepala In San dia yakin Tan Ciok-sing takkan berani mempertaruhkan jiwa In San dengan membabat kutung lengannya, sesuai dugaannya, baru saja otaknya menduga tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah merobah permainan.

   Begitu cepat gerak perobahannya dan perkembangannya pun samasama dirasakan kedua pihak, dua pihak sama-sama menyerempet bahaya.

   tapi perkembangan ini justru sudah merupakan rencana Tang-hay-liong-ong yang licik.

   Dengan kekuatan Lwekang dan bobot sepasang senjatanya yang kuat, dia salurkan tenaganya secara bergelombang seperti air bah mengalir tidak putus-putus tenaganya terus disalurkan pada sepasang gamannya menindih ke arah musuh.

   Dalam keadaan seperti itu Tan dan In sudah tidak mungkin menangkis atau menggeser senjatanya pula, sehingga terjadilah adu kekuatan tenaga dalam.

   Kelihatannya memang tenang-tenang, senjata kedua pihak seperti lengket menjadi satu tanpa bergerak.

   Tapi dalam ketenangan ini bagi seorang jago silat kelas tinggi justru merupakan babak yang paling tegang dan mengejutkan.

   Maklum adu tenaga, Lwekang siapa kuat dia bakal menang, dalam adu kekuatan ini hakikatnya orang tidak bisa main curang.

   Walau Tan dan In melawan satu, namun mereka baru berusia dua puluhan.

   In San perempuan yang bertenaga jauh lebih lemah lagi, sementara Tang-hay-liong-ong dibekali latihan Lwekang puluhan tahun, mana mereka mampu melawannya? Di kala hadirin mencucurkan keringat dingin dan menyaksikan dengan kuatir, tampak uap putih mulai mengepul dari ubun-ubun kepala Tang-hay-liong-ong.

   Kiranya Lwekang Tan Ciok-sing memang agak lemah dibanding Tang-hay-liong-ong, tapi Lwekang yang diyakinkan dari aliran lurus dan murni memperoleh ajaran tingkat tinggi dari ciptaan Thio Tan-hong, kemurniannya jelas lebih unggul dibanding bekal Lwekang Tang-hay-liong-ong, ketahanannya juga lebih lama dan kuat.

   Tang-hay-liong-ong terus menggempur dengan menambah tenaganya, laksana gugur gunung layaknya menindih kedua lawannya, gelombang pertama disusul gelombang kedua yang lebih dahsyat.

   Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing sudah melengkung, tapi aneh, keadaan seolah batu karang di tengah sungai yang tidak bergeming meski diterjang gelombang badai..

   Bukan begitu saja, di tengah rangsakan membadai lawannya, ada kalanya diapun balas menyerang.

   Meski hanya kadang kala, namun hal itu cukup membuat rasa kejut Tanghay- liong-ong makin besar.

   Sudah delapan puluh persen Tang-hay-liong-ong meningkatkan tekanan tenaganya, terpikir dalam benaknya sisa dua puluh persen kekuatannya hendak dia gunakan menggempur In San, tiba-tiba terasa Ki-ti-hiat di lengan kanannya kesakitan luar biasa seperti ditusuk jarum, rasa sakit yang meresap tulang sumsum.

   Ternyata Tan Ciok-sing gunakan cara memusatkan tenaga dalam menyerang satu titik sasaran dari ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong.

   Cara mengerahkan Lwekang menggunakan tenaga dari ilmu tingkat tinggi seperti ini.

   Tang-hay-liong-ong sendiripun belum tahu.

   Lwekang Tan Ciok-sing memang bukan tandingan Tanghay- liong-ong, tapi dia justru menyerang ke titik sasaran yang tidak terduga, karuan Tang-hay-liong-ong kelabakan dan tidak berani menguras seluruh tenaganya.

   Karena itu dia tidak berani menambah kekuatannya menekan In San, cukup asal tenaga perlawanan In San dapat dibendungnya saja, maka tujuh puluh persen tenaganya dia gunakan menggempur Tan Ciok-sing.

   Lwekangnya memang tangguh, namun setelah berkutet setengah sulutan dupa, tak urung uap putih mulai mengepul dari kepalanya, itulah pertanda Lwekang telah disalurkan mencapai puncaknya.

   Di bawah tekanan kekuatan berat lawan, keringat sudah membasahi jidat Tan Ciok-sing napasnyapun mulai berat, keadaan In San lebih payah lagi, napasnya sudah sengalsengal muka pucat, keringat gemerobios.

   Dari pertandingan senjata berganti adu kekuatan tenaga dalam, hal ini tidak terduga pula oleh Tam Pa-kun.

   Sejauh ini Siang-kiam-hap-pik merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah mencapai taraf tinggi di kalangan Bulim.

   Tam Pa-kun menaruh harapan besar, dia berpendapat hanya Siang-kiam-hap-pik inilah yang mampu menundukkan musuh tangguh ini.

   Tapi keadaan justru berobah adu tenaga dalam, bagaimana akhir pertempuran nanti susah diramalkan.

   Walau dia sudah melihat keadaan Tang-hay-liong-ong yang menunjukkan tanda-tanda akan kehabisan tenaga, namun keadaan Tan Ciok-sing berdua juga tidak kalah payahnya, apakah mereka kuat bertahan lebih lama dari Tang-hay-liongong? Ong Goan-tin kebat-kebit, tak tahan dia berdiri, katanya.

   "Dua harimau berkelahi pasti ada satu yang luka, kukira pertandingan ini biarlah dianggap seri bagaimana?"

   Tang-hay-liong-ong tidak berani memberi komentar, dia perlu meningkatkan kewaspadaan dan ketahanannya untuk menjaga sergapan tenaga dalam Tan Ciok-sing yang menyerang satu titik sasaran, jelas dia tidak mampu buka suara.

   Tapi Cun-ih Thong yang telah disogoknya itu pandai bersilat lidah, tanpa diminta dia akan tahu diri bagaimana dia harus bertindak, terdengar sebelum buka suara beruntun tiga kali tertawa dingin.

   Han King-hong membentak.

   "Kau keparat ini tertawa apa?"

   "Kukira pernyataan Ong-locecu kurang bijaksana dan tidak adil."

   Ong Goan-tin gusar, dampratnya.

   "Dalam hal apa yang tidak adil?"

   "Babak pertandingan terakhir ini bakal menentukan siapa.menang dia jadi Bengcu, mana boleh dianggap seri? Kalau seri lalu siapa yang harus jadi Bengcu?"

   "Keduanya bukan Bengcu,"

   Seru Han King-hong "Jawaban yang tidak kenal aturan,"

   Cemooh Cun-ih Thong.

   "pertandingan menentukan Bengcu sudah disetujui khalayak ramai, mungkinkah pertandingan ini boleh tidak usah menentukan seorang Bengcu."

   Ong Goan-tin menahan amarah, katanya.

   "Maksudku supaya mereka tidak perlu gugur bersama, maka aku serukan supaya urusan ditempuh jalan damai. Tentang siapa bakal merebut jabatan Bengcu, setelah pertandingan selesai, masih bisa kita bicarakan lagi."

   "Menurut pendapatku,"

   Jengek Cun-ih Thong.

   "Sugongthocu kini jelas berada di atas angin, kurasa tidak mungkin akhirnya bakal gugur bersama."

   Ong Goan-tin menguatirkan keselamatan jiwa Tan Ciok-sing dan In San, demi mempertahankan jiwa mereka apa salahnya terima kalah dan tunduk di bawah perintahnya.

   Tak nyana di kala mulutnya sudah terbuka belum sempat bersuara, tiba-tiba didengarnya Tan Ciok-sing berkata.

   "Ong-locecu, menurut pendapatku perkataan Cun-ih Siansing memang beralasan, babak terakhir ini harus ditentukan siapa kalah dan menang."

   Dalam saat-saat kritis mengadu tenaga dalam ternyata Tan Ciok-sing mampu bersuara, bukan saja hadirin kaget.

   Tanghay- liong-ong sendiripun tidak kurang kejutnya.

   Dimakluminya bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan tandingannya, kalau dia pantang bersuara Tan Ciok-sing justru buka suara.

   Ternyata aliran Lwekang yang mereka pelajari memang jauh berbeda.

   Tang-hay-liong-ong meyakinkan Lwekang yang ganas tapi sekali bertempur harus kerahkan seluruh tenaga, tumplek perhatian tidak boleh bicara.

   Tan Ciok-sing justru meyakinkan Lwekang lunak berpupuk dasar kuat, berbicara hakikatnya tidak mempengaruhi pengerahan tenaganya, namun sedikit akibat memang ada.

   Begitu Tang-hay-liong-ong tambah tekanan tenaganya, Pek-hong-kiam di tangan Tan Ciok-sing melengkung lebih rendah lagi.

   Melihat dan mendengar Tan Ciok-sing mampu bicara, hadirin bertempik sorak riuh rendah.

   Han King-hong berkata dengan tawa lebar.

   "Bagus, Cun-ih Thong, hayo bertaruh coba nanti buktikan pandangan siapa lebih tajam."

   Dingin muka Cun-ih Thong, diam saja tidak memberi tanggapan, kini tiba gilirannya menguatirkan keadaan Tanghay- liong-ong.

   Meski sedikit lega tapi Ong Goan-tin masih berkuatir juga.

   Dia tahu, Tan Ciok-sing bisa bicara, itu pertanda dia kuat bertahan lebih lama dari dugaannya semula, tapi dia tidak yakin apakah Ciok-sing berdua mampu mengalahkan Tanghay- liong-ong.

   Di kala hadirin tumplek seluruh perhatian ke tengah gelanggang, ada seorang perempuan menggeremet masuk secara diam-diam.

   Tiada orang memperhatikan kedatangannya, namun Kek Lam-wi justru melihat kedatangannya.

   Lam-wi tidak percaya akan pandangan mata sendiri, tak terasa dia bersuara heran.

   Toh So-so mendengar suara heran Lam-wi, lekas dia angkat kepala.

   Begitu dia melihat gadis itu, sesaat diapun melongo, tapi hatinya kaget dan senang.

   Lekas dia memburu kesana menyambutnya.

   Gadis ini bukan lain adalah Bu Siu-hoa yang sedang dicari oleh Kek Lam-wi.

   Mereka tidak tahu entah sembunyi di tempat sepi mana Bu Siu-hoa sekarang, sungguh tidak nyana sekarang dia muncul sendiri, malah muncul di hadapan orangorang gagah sebanyak ini.

   "Bu-cici, betapa payah kami mencarimu,"

   Seru Toh So-so menyongsong maju serta menarik lengan Bu Siu-hoa. Sikap Bu Siu-hoa agak kikuk dan risi katanya tergagap.

   "Toh-cici, aku berbuat salah terhadap kau, aku menipumu."

   "Kau telah menolong Lam-ko, belum sempat aku berterima kasih kepadamu, urusan sudah lalu tidak usah disinggung lagi. Tapi bagaimana kau bisa datang kemari."

   Belum lagi Bu Siu-hoa menjawab, tiba-tiba didengarnya Kek Lam-wi berteriak.

   "Awas serangan gelap."

   Toh So-so bertindak lebih cepat.

   "Tring"

   Sebutir pelor duri yang terbuat dari besi telah dipukulnya jatuh.

   Gerakan membalik melolos pedang serta memukul jatuh senjata rahasia dilakukan secara mahir dan cepat seperti belakang kepalanya tumbuh mata saja.

   Kek Lam-wi berteriak pula "Si pendek yang duduk di pojok timur itulah penyerangnya, lekas gusur dia keluar."

   Belum habis dia berteriak tiba-tiba didengarnya si pendek itu sudah menjerit dan terguling di lantai. Bu Siu-hoa tertawa dingin, jengeknya.

   "Memberi tidak dibalas kurang hormat, biar keparat itu juga rasakan senjata rahasia."

   Ternyata orang itu tersambit Bwe-hoa-ciam di lutut, tepatnya di Hoan-tiau-hiat.

   Didalam kelompok orang-orang sebanyak ini dia mampu menyambitkan jarum sekecil itu tepat kesasarannya, mau tidak mau hadirin merasa kagum dan heran, tidak sedikit orang yang bisik-bisik, saling tanya.

   "Siapa gadis ini?"

   Si pendek yang membokong tadi merangkak duduk terus berteriak.

   "Perempuan siluman ini adalah putri Bu-sam Niocu dari Bu-san-pang, ln Kip adalah ayah angkatnya, pasti In Kip mengutusnya kemari jadi mata-mata."

   In Kip punya hubungan rahasia dengan pihak kerajaan, hal ini sudah terbongkar dan diketahui banyak orang. Beberapa orang yang berangasan kontan memaki.

   "Bagus, perempuan siluman ini berani bertingkah melukai orang disini, lekas bekuk dia."

   Bu Siu-hoa bertolak pinggang, katanya dingin menuding si pendek.

   "Aku pernah melihatnya, walau aku tidak tahu namanya, tapi aku tahu dia salah satu tamu kepercayaan In Kip."

   "Betul,"

   Timbrung Toh So-so teringat.

   "di rumah keluarga In, hari itu akupun pernah melihatnya. Kini dia pura-pura menjadi kaum pendekar dan menyelundup kemari."

   Beberapa lelaki kasar berangasan itu sudah memburu keluar hendak membekuk Bu Siu-hoa mendengar perkataan Toh So-so, mereka sama melenggong saling pandang. Si pendek berkata.

   "Jangan percaya obrolan perempuan siluman itu. Apapun dia adalah putri Bu-sam Niocu dari Busan- pang yang sudah rusak namanya, putri angkat ln Kip yang jahat dan kemaruk harta itu, coba kalian tanya dia berani tidak dia mengaku?"

   Tam Pa-kun berdiri, katanya.

   "Aku percaya perkataan nona Bu ini. Tapi dia memang benar putri Bu-sam Niocu dari Busan- pang, tapi sekarang dia sudah insyaf dan kembali ke jalan lurus, aku bisa menjadi saksi."

   Bahwa Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun angkat bicara menjadi saksi kebenaran asal-usul Bu Siu-hoa, sudah tentu hadirin lebih percaya kepada keterangannya. Kek Lam-wi berdiri ikut bicara.

   "Akupun berani menjadi saksi, dia pernah menolong jiwaku. Menurut apa yang kuketahui akhir kali ini, dia sudah meninggalkan Bu-san-pang dan putus hubungan dengan ibunya."

   Lenyap kecurigaan hadirin terhadap Bu Siu-hoa, maka perhatian kini ditujukan kepada lelaki pendek itu, tanpa banyak bicara dua orang telah mencengkramnya keluar dan hendak mengompresnya. Tapi Tam Pa-kun berkata.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Gusur keluar dan sekap dulu keparat ini, nanti kita minta keterangannya."

   Dalam pada itu adu kekuatan tenaga dalam antara Tan Ciok-sing bersama ln San kontra Tang-hay-liong-ong tetap tertahan, keadaan tetap seperti tadi, sama-sama tegak kaku seperti patung.

   Pertandingan seperti ini sudah tentu tidak lebih mengasyikkan dari adu pukulan dan tipu menipu, bagi mereka yang rendah kepandaiannya, malah bosan dan gerah rasanya.

   Tapi bagi para ahli silat, adu kekuatan seperti ini justru lebih menegangkan, karena babak akhir dari adu kekuatan ini sebentar lagi bakal mencapai klimaknya.

   Mendengar seruan Tam Pa-kun baru hadirin sadar, karena kedatangan Bu Siu-hoa tadi perhatian mereka jadi terpecah, kini kembali mereka memperhatikan adu kekuatan di tengah arena pula.

   Sudah tentu lebih banyak hadirin yang tidak bisa menyelami kehebatan adu kekuatan, namun mereka bisa menduga ketenangan yang kelihatannya bertahan ini, suatu ketika bakal meledak kesudahan yang menggemparkan.

   Maka mereka tidak mau pedulikan urusan lain pula.

   Laki-laki berangasan tadipun maju minta maaf kepada Bu Siu-hoa lalu si pendek itu diseret keluar.

   Bu Siu-hoa berkata.

   "Tam Tayhiap, ada urusan penting perlu kulaporkan kepada Ong-locecu"

   "Baik, mari ikut aku,"

   Ujar Tam Pa-kun. Bu Siu-hoa menjura kepada Ong Goan-tiri, katanya.

   "Siau-li datang tanpa diundang, mohon maaf akan kehadiranku yang serampangan ini."

   "Nona Bu jangan sungkan, entah ada urusan penting apa yang ingin kau sampaikan kepada Lohu?"

   "Soal ini kurasa harus kubeber di hadapan umum,"

   Kata Bu Siu-hoa. Nadanya seperti urusan ini amat penting, sebelum meneruskan perkataannya dia bertanya pula kepada Ong Goan-tin.

   "Tolong tanya, apakah orang yang bertanding melawan Tan-siauhiap dan ln Lihiap adalah Tang-hay-liongong Sugong Go?"

   "Benar, dia memang Sugong thocu,"

   Sahut Ong Goan-tin "Baiklah, syukur kedatanganku belum terlambat,"

   Ujar Bu Siu-hoa.

   Belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar Tang-hay-liongong menggeram rendah dan serak, suaranya seperti dengus sapi yang hendak disembelih.

   Maka tampak Tang-hay-liongong melangkah maju setapak.

   Ong Goan-tin tidak perhatikan lagi apa yang diucapkan Bu Siu-hoa kepadanya, lekas dia menoleh kesana menatap arena pertempuran.

   Setelah Tang-hay-liong-ong maju setapak keadaan kembali bertahan sama kuat.

   Tapi tapak kaki tampak membekas di atas lantai yang keras itu sedalam tiga senti.

   Pada hal lantai balairung ini dilandasi batu hijau yang keras sekali, tapi kekuatan Tang-hay-liong-ong mampu membuat bekas tapak kaki di atas lantai yang keras itu.

   Tan Ciok-sing dan In San memang belum kalah, tapi melihat bekas tapak kaki itu mau tidak mau hadirin sama tersirap dan berkuatir bagi mereka.

   Toh So-so lebih gelisah dari Ong Goan-tin, katanya.

   "Bucici, ada urusan apa, lekas kau katakan saja."

   Bu Siu-hoa berkata.

   "Ong-locecu kumohon kau membaca sepucuk surat."

   Ong Goan-tin melenggong, katanya.

   "Surat siapa?"

   Tapi dia sudah tidak sempat banyak pikir, karena dia menduga surat ini pasti amat besar artinya bagi situasi yang dihadapinya sekarang, kalau tidak Bu Siu-hoa tidak akan suruh dirinya melihat surat dalam keadaan segawat ini. Maka Bu Siu-hoa berkata.

   "Yaitu surat Tang-hay-liong-ong ini ditujukan kepada In Kip."

   Hadirin kaget dan heran, tanpa sadar mereka tujukan perhatian pada surat yang berada di tangan Ong Goan-tin.

   Ong Goan-tin langsung melolos sepucuk surat dari sampulnya terus dibeber dan dibaca, mimik mukanya tampak kaget dan terbelalak girang.

   Sekilas matanya melirik ke arah Tang-hay-liong-ong, dilihatnya rona muka Tang-hay-liong-ong berubah hebat, tapi sepasang senjatanya masih menekan keras dan berat, sedikitpun tidak menjadi kendor meski keadaan gawat mulai mengancam pihaknya, keringat sebesar kacang telah berketes di jidat Tan Ciok-sing dan In San terasa tekanan tenaga lawan bertambah lebih keras lagi.

   Akhirnya Toh So-so yang tidak sabaran bertanya.

   "Apa yang ditulis dalam surat itu?"

   "Nona Bu,"

   Tanya Ong Goan-tin.

   "apakah surat ini boleh kubacakan di muka umum?"

   "Memang tujuanku supaya seluruh orang-orang gagah yang hadir disini tahu siapa sebenarnya dan bagaimana karakter Tang-hay-liong-ong ini,"

   Demikian sahut Bu Siu-hoa. Makin buruk rona muka Tang-hay-liong-ong, sayang dia tidak berani memecah perhatian untuk bersuara, terpaksa dia biarkan Ong Goan-tin membaca suratnya itu. Perlahan suara Ong Goan-tin.

   "Surat Sugong-thocu ini ditujukan kepada In Kip, dia memperkenalkan dua orang sahabatnya, seorang ialah Tang-bun Cong dan seorang lagi adalah Poyang Gun-ngo. Kedua orang ini sudah datang ke Soh-ciu, dia minta kepada In Kip supaya menerima mereka secara rahasia dan di tempatkan ke suatu tempat yang tersembunyi pula, dengan suatu tugas besar yang akan diserahkan kepada mereka."

   Tang-bun Cong adalah salah satu jago kosen di dunia persilatan, bahwa diam-diam dia sudah menjadi antek kerajaan, jarang kaum persilatan yang tahu, tapi ada juga orang yang sudah tahu akan rahasianya.

   Tapi siapa Poyang Gun-ngo jarang orang tahu.

   Seperti diketahui Poyang Gun-ngo adalah salah satu Busu negeri Watsu yang terkenal tapi kaum persilatan di Kanglam hanya beberapa gelintir saja yang pernah mendengar nama dan tahu asal-usulnya.

   Banyak hadirin yang kasak-kusuk tanya sini tanya sana;

   "Siapakah sebetulnya Poyang Gun-ngo?"

   Maka Kek Lam-wi berdiri dan berkata dengan lantang.

   "Poyang Gun-ngo adalah salah satu dari empat jago pedang kepercayaan Khan agung negeri Watsu. Waktu negeri Watsu mengutus Duta rahasianya ke Pakkhia tempo hari, Poyang Gun-ngo adalah salah satu dari pengawal Duta rahasia itu. Setelah Duta rahasia itu menyelesaikan tugasnya dan kembali ke negerinya, seorang diri ternyata dia tetap berada di Pakkhia, tahu-tahu sekarang sudah berada di daerah Kanglam di luar tahu orang banyak. Kali itu aku kecundang dan terluka di bawah tangannya. Tan Ciok-sing juga pernah bertemu dangan dia di hotel milik In Kip."

   Keterangan Kek Lam-wi sekaligus membongkar asal-usul Poyang Gun-ngo juga membeber isi surat Tang-hay-liong-ong yang ditujukan kepada In Kip.

   Bahwa setelah berada di Sohciu Poyang Gun-ngo memang bersekongkol dengan In Kip.

   Karuan hadirin menjadi gempar.

   Han King-hong yang berangasan lantas berteriak.

   "Bagus ya, Sugong-thocu tadi menyerukan orang-orang gagah seluruh pelosok tanah air supaya angkat senjatanya melawan serbuan bangsa Watsu. diluar tahu kita dia justru berintrik dengan pihak musuh."

   Ih Ti-bin ikut menjengek dingin, serunya.

   "Bukan hanya sekongkol dengan seorang Busu dari Watsu saja, apa tujuan Poyang Gun-ngo datang ke Kanglam, kita sudah tahu. Agaknya hanya di mulut saja Sugong-thocu bilang kita harus seia sekata membendung serbuan bangsa asing, secara diamdiam dia justru bekerja demi kepentingan musuh."

   Perhatian hadirin terpencar karena kejadian yang tidak terduga ini, kini baru mereka sadar duduknya perkara, maka perhatian kembali ditujukan ke arena pertempuran.

   Tampak perawakan Tang-hay-liong-ong seperti mengkerat, ternyata saking besar tenaga yang dia kerahkan, tanpa terasa kedua kakinya amblas kedalam tanah.

   Sebaliknya Tan dan In masih berusaha bertahan dengan susah payah, sepasang pedang mustika sudah melengkung seperti gendewa yang ditarik.

   Walau hadirin kaget dan berkuatir bagi mereka, tapi kelihatannya sikap mereka masih lebih segar dari pada Tanghay- liong-ong yang sudah kelihatan runyam.

   Kuatir Tan dan In tidak kuat bertahan lagi, lekas Ong Goantin berseru.

   "Cun-ih Siansing, menurut pendapatmu bagaimana?"

   Cun-ih Thong sengaja bersikap tak acuh dan adem ayem, katanya.

   "Nona Bu ini dulu memang pernah menjadi putri angkat In Kip, tapi bagaimana juga surat rahasia ini tidak mungkin In Kip mau menyerahkan kepada dia? Maka tolong tanya kepada nona Bu dari mana kau peroleh surat ini?"

   "Aku pernah menjadi sekretaris pribadi In Kip, dimana dia menyimpan surat-surat penting aku tahu dengan jelas, surat ini sengaja kucuri."

   Kalem perkataan Cun-ih Thong.

   "Maaf bila aku menilai dirimu dengan sikap seorang rendah, apakah kau punya bukti bahwa surat rahasia ini memang benar tulisan tangan langsung dari Sugong-thocu? Maka menurut pendapatku, biarlah kita tunda dulu urusan ini setelah pertandingan usai, nanti kita dengar pembelaan langsung Sugong-thocu di hadapan umum. Kalau sekarang juga membuat kesimpulan kurasa masih belum saatnya."

   Tiba-tiba Ong Goan-tin berkata.

   "Segera aku bisa memberikan buktinya."

   Lalu dia keluarkan kartu nama Sugong-thocu, menurut lazimnya sebelum naik ke atas gunung Tang-hay-liong-ong memang sudah suruh anak buahnya mengirim kartu namanya ke markas Ong Goan-tin. Katanya.

   "Cun-ih Siansing silahkan kau periksa kartu namanya ini coba periksa gaya tulisan Sugong-thocu di atas kartu nama ini, apakah mirip dengan tanda tangan di bawah surat rahasia ini?"

   "Ah, gaya tulisan atau tanda tangan kan bisa dipalsu,"

   Demikian debat Cun-ih Thong.

   "Mana mungkin nona Bu pernah melihat gaya tulisan Tanghay- liong-ong serta memalsunya?"

   Bantah Ong Goan-tin.

   "Bagaimana juga, urusan harus diselesaikan setelah pertandingan ini usai, biar mereka yang bersangkutannya."

   "Persoalan surat ini tulen atau palsu jauh lebih penting dari pemilihan Bengcu itu sendiri. Kalau Sugong-thocu ingin membela diri, pertandingan boleh ditunda sementara."

   Pada hal kedua pihak sudah mengerahkan seluruh kekuatan dalamnya, sudah tiba saat-saat paling genting.

   Ong Goan-tin kuatir'Tan dan In tidak kuat bertahan lagi.

   Kalau Ong Goan-tin bicara dengan suara lantang berpegang kebenaran.

   Cun-ih Thong sebaliknya kelihatan bimbang.

   Otaknya tengah menerawang, bagaimana dia harus bersikap supaya waktu bisa terulur lebih lama sehingga Tang-hay-liongong bisa menggunakan waktu dengan baik mencapai kemenangan pertandingan babak terakhir Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tang-hay-liong-ong meraung rendah.

   Pandangan hadirin serempak tertuju ke tengah arena pertempuran.

   Di tengah raungan Tang-hay-liong-ong itu tampak tubuhnya tiba-tiba mencelat mumbul ke atas, jubin di sekitar kakinya tampak retak berantakan.

   Sebaliknya Tan dan ln berdua berputar laksana gangsingan, beruntun mereka mundur berkisar beberapa putaran.

   Karuan hadirin berjingkat kaget dan kuatir semua melongo.

   It-cu-king-thian Lui Ting-gak bersuara lebih dulu dengan nada riang dan senang.

   "Bagus. Syukurlah. Tan-siauhiap dan In Lihiap memenangkan pertandingan babak terakhir ini."

   Belum lenyap suara kejut para hadirin baru sekarang mereka melihat jelas setelah mencelat turun dan berdiri tegak, tampak pakaian di depan dada Tang-hay-liong-ong koyak silang bersilang seperti palang merah jelas itu hasil goresan ujung pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.

   Setelah berkisar beberapa bundaran, beruntun Tan dan In mundur tujuh delapan langkah baru berhasil menegakkan pula tubuh mereka.

   Agaknya Tany hay-liong-ong menjadi kacau pikirannya sejak Bu Siu-han muncul membeber surat rahasianya kepada In Kip, maka akhirnya dia berkeputusan untuk secepatnya mengakhiri pertempuran ini dengan seluruh sisa kekuatan tenaga dalamnya.

   Hasilnya meski dia berhasil memukul mundur kedua lawannya, tapi dia tetap tidak berhasil melukai mereka.

   Sebaliknya hampir saja dadanya koyak oleh permainan sepasang pedang lawan.

   Sayang sekali Tan dan In berdua tergetar mundur oleh getaran keras senjata berat lawan, meskipun dalam keadaan sekejap itu mereka sempat memanfaatkan kesempatan dengan kecepatan gerak pedang mereka, paling juga hanya berhasil menggores koyak baju di depan Tang-hay-liong-ong, tak urung mereka sendiri tertolak mundur oleh getaran tenaga lawan yang dahsyat.

   Bila getaran tenaga senjata berat Tanghay- liong-ong sedikit lemah lagi, sepasang pedang mustika mereka pasti sudah membelah dada Tang-hay-liong-ong.

   Diam-diam hadirin merasa sayang, namun walau tidak berhasil melukai Tang-hay-liong-ong betapapun Tan dan In sudah merebut kemenangan.

   Surat itu tulen atau palsu tidak penting lagi artinya, apapun sekarang Tang-hay-liong-ong tidak berhak lagi merebut kedudukan Bengcu.

   Karuan hadirin banyak yang berjingkrak senang dan bersorak sorai.

   Lekas Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun memburu maju memapah Tan Ciok-sing, sebelah telapak tangannya menekan punggung, diam-diam dia salurkan tenaga dalamnya ke tubuh orang supaya tenaganya lekas pulih, katanya.

   "Hianti syukurlah jerih payahmu berhasil."

   Getaran yang dialami In San tidak sekeras yang diterima Tan Ciok-sing, lekas dia memapak ke arah Bu Siu-hoa, katanya pegang lengan orang.

   "Bu-cici, kali ini beruntung dapat bantuanmu. Hari itu kau telah membantu kami, belum sempat kami mengucapkan terima kasih kepadamu. Betapa rindu kami kepada kau, kali ini kuharap kau tidak pergi pula secara diam-diam lho."

   Panas muka Bu Siu-hoa, hatinya haru dan tentram, sesaat lamanya matanya berkedip-kedip tak mampu mengeluarkan suara.

   Kejut dan gembira agak mereda, sementara itu terjadi pula keributan antara dua rombongan orang yang berada di dua pihak.

   Tang-hay-liong-ong mencak-mencak gusar bentaknya.

   "Kalian sengaja menyuruh budak she Bu ini mengacau untuk memecah perhatianku, apakah pertandingan ini boleh dikata adil?"

   Pihak orang-orang gagah menjadi geger, Han King-hong segera menanggapi.

   "Sugong Go, belum lagi kami mengusut persekongkolanmu dengan pihak Watsu, serta dosa besarmu menipu seluruh orang-orang gagah yang hadir disini, berani kau mencak-mencak mencari perkara disini."

   Ih Ti-bin ikut mencemooh.

   "Muslihatmu sudah terbongkar, masih berani kau mau angkat diri menjadi Bengcu, apakah tidak menggelikan. Hm, kau tamak harta dan gila pangkat, rela menjual bangsa dan negara, kenapa tidak kau beset saja mukamu di hadapan umum. Nah bukalah kedokmu, jangan pura-pura mengagulkan diri-sebagai orang gagah segala, lekas ngacir saja ke negeri Watsu, pintalah kepada Khan Agung Watsu untuk mengangkatmu menjadi menteri atau pembesar apa saja menurut keinginanmu sendiri."

   Dari malu Tang-hay-liong-ong naik pitam bentaknya gusar.

   "Hari ini aku datang untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ong-cecu aku tidak sudi mendengar kotbah kalian. Bulim Bengcu dapat tidak kuraih tidak jadi soal, tapi jangan sekali-sekali kau berani bertingkah pula di depanku. Menurut aturan Kangouw, siapa kuat dia menang, memangnya kalian mau apa sekarang?"

   Anak buah Tang-hay-liong-ong segera ikut-ikutan berkaokkaok.

   "Memangnya, bila mereka mau cari gara-gara menghina Thocu kita hayolah gasak saja."

   Sudah tentu pihak orang-orang gagah semakin mendidih, serempak mereka telah melolos senjata siap melabrak musuh, kebanyakan berpendapat untuk menahan mereka disini sehingga situasi menjadi tegang. Ih Ti-bin berteriak.

   "Kalian ingin main kekerasan, kamipun sudah siap, memangnya kami takut?"

   Tang-hay-liong-ong menyeringai sadis.

   "Baiklah boleh kalian maju, coba saja apa kalian mampu menahan diriku disini?"

   "Kungfumu memang tinggi, mungkin kami tidak mampu menahan disini,"

   Demikian debat Ih Ti-bin.

   "tapi jangan kau kira bisa keluar dari bilangan Thay-ouw dengan masih hidup. Ketahuilah bila pertempuran terjadi disini, perahu kalianpun sudah berada di tangan kami, sekali ledakan cukup menghancurkan kapal itu. Umpama kalian tidak mati dalam pertempuran juga akan mati kelaparan di atas gunung."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Anak buah Tang-hay-liong-ong memang tidak sedikit jumlahnya tapi apapun mereka berada di markas Ong Goantin, situasi jelas tidak menguntungkan mereka Umpama ancaman Ih Thi-bin menjadi kenyataan mereka tidak berhasil lolos dari Thay-ouw, meski memiliki Kungfu tinggi juga tiada harapan hidup lagi.

   Oleh karena itu lahirnya saja mulut anak buah Tang-hay-liong-ong masih garang, pada hal dalam hati sudah jeri dan kebat-kebit.

   Ong Goan-tin diam-diam menerawang keadaan di pihak Tang-hay-liong-ong, Lamkiong King dan Liu Yau-hong sudah terluka, tapi masih ada Tong-pek-siang-ki, Hiap-tiong-samkoay dan Sat-to begal kuda kelahiran Kwan-tiong dan jagojago tangguh lainnya, bila pertempuran besar terjadi, umpama musuh berhasil dibabat habis, korban di pihak sendiri juga pasti cukup berat.

   Maka mumpung Tang-hay-liong-ong kelihatan bimbang dan lembek semangatnya, segera dia berdiri membuka suara.

   "Hadirin diharap tenang,"

   Ong Goan-tin tampil ke depan, suaranya lantang.

   "Hari ini adalah hari kelahiranku, banyak terima kasih kalian sudi datang menghadiri perjamuan sederhana ini, apapun maksud kedatangan kalian, betapapun hari ini kalian adalah tamu-tamuku. Sebagai mana lazimnya sebagai tuan rumah tidaklah pantas aku berlaku kurang hormat terhadap para tamunya, tapi akupun mengharap para tamu suka memberi muka kepadaku, jangan sampai terjadi keributan yang tiada gunanya disini. Akan tetapi Sugong-thocu tadi bilang hendak menyampaikan selamat kepadaku, terus terang aku tidak berani menerimanya. Kalau sudi kau memberi muka kepadaku, silahkan minum secangkir arak suguhanku ini dan silahkan berlalu saja."

   Pidatonya mengandung beberapa maksud.

   Pertama, dia bilang sebagai mana lazimnya, secara tidak langsung dia mau bilang, bila Tang-hay-liong-ong ingin menggunakan kekerasan dia pasti "mengiringi".

   Kedua bahwasanya Tang-hay-liong-ong belum mengeluarkan pernyataan mohon diri, tapi Ong Goantin menyuguhnya secangkir arak baru menyilakan tamunya berlalu seolah-olah Tang-hay-liong-ong sudah berpamitan kepadanya, ini jelas sudah mengusirnya secara halus.

   Tapi dia pandai merangkai pidatonya sehingga Tang-hay-liong-ong tidak merasa malu karena pamornya tidak dibikin jatuh di muka umum.

   Ketiga ucapannya hanya ditujukan kepada mereka yang mengandung maksud jahat, maka dia menggunakan istilah hari ini betapapun kalian adalah tamuku, jadi maksudnya setelah hari ini, orang-orang tertentu bukan lagi tamunya, kalau bukan tamunya sudah tentu bukan teman atau sahabatnya lagi.

   Pidatonya memang masuk akal dan dapat diterima oleh segala pihak, maka hadirin tiada yang membantah, Han Kinghong berseru.

   "Baiklah, demi memberi muka kepada Ong-cecu biarlah hari ini kita memberi kelonggaran kepada mereka."

   Tang-hay-liong-ong memang pandai kendalikan biduk sesuai arah angin, dirinya tidak dibuat malu di muka umum, maka diapun tidak berani membuat keributan lagi meski sikapnya kelihatan kikuk dan runyam, tapi dia masih bisa tertawa lebar, katanya lantang.

   "Kedatanganku bermaksud baik, kalian justru salah paham dan mencurigai aku. Baiklah untuk memberi muka kepada Ong-cecu kejadian hari ini tidak akan kuambil dalam hati, tapi kekalahanku hari ini tidak akan dilupakan, kelak masih ada waktu untuk membuat perhitungan dengan kalian. Suguhan arak ini biar tidak usah kuminum, mohon pamit saja."

   Lekas sekali orang-orang Tanghay- liong-ong sudah meninggalkan ruang perjamuan ini.

   Ki-giting kembali dalam suasana pesta pora yang riang gembira, banyak orang berjingkrak menari dan menyanyi.

   Di kala perjamuan berlangsung, tiba-tiba Ih Ti-bin memberi laporan kepada Ong Goan-tin.

   "Ha It-seng dan Su Kian entah kemana perginya sudah kusuruh orang mencari mereka tidak ketemu."

   Han King-hong berjingkrak gusar, serunya.

   "Melihat kelakuan mereka hari ini, aku jadi curiga mungkin mereka ikut ngacir bersama Tang-hay-liong-ong."

   "Jangan menuduh mereka yang bukan-bukan,"

   Ujar Ong Goan-tin.

   "selidiki dulu persoalannya baru ambil kesimpulan. Bila mereka memang benar sudah pergi, biarkan saja."

   "Betul,"

   Ujar lh Ti-bin.

   "bila mereka musuh dalam selimut, tak ubahnya bisul dalam perut, lebih baik sebelum saatnya dia sudah ngacir lebih dulu."

   Mendengar orang banyak membicarakan Ha It-seng dan Su Kian yang melarikan diri, tiba-tiba Toh So-so teriak kepada In San dan Tan Ciok-sing, katanya.

   "In-cici, Tan-toako kalian melihat Bu Siu-hoa tidak?"

   In San sadar dan terkejut, katanya.

   "Sesudah kami mengalahkan Tang-hay-liong-ong tadi aku sempat bicara beberapa patah kata dengan dia, belakangan suasana agak ribut, entah kemana dia pergi?"

   "Memangnya, akupun akan menyatakan terima kasih kepadanya tahu-tahu orangnya sudah tak kelihatan lagi,"

   Demikian timbrung Tan Ciok-sing.

   Lenyapnya Bu Siu-hoa tidak boleh dibanding menghilangnya Ha It-seng dan Su Kian maka Ong Goan-tin suruh anak buahnya berpencar mercarinya, tak nyana setelah perjamuan usai Bu Siu-hoa tetap tidak ditemukan jejaknya.

   Kek Lam-wi tidak tega, hidangan-hidangan tidak tertelan lagi, katanya.

   "Dia dilahirkan dari golongan sesat, mungkin dia kuatir dihina dan dipandang rendah, maka diam-diam meninggalkan kita?"

   Ong Goan-tin berkata.

   "Jasanya hari ini paling besar, kukira dia sendiri maklum akan hal ini, lalu siapa berani memandang rendah kepadanya. Tak mungkin hanya karena soal sepele ini dia pergi dari sini?"

   "Ya kukuatirkan justru dia tidak punya pikiran sejernih kita,"

   Ucap Lam-wi. Ong Goan-tin segera menghibur.

   "Menurut analisa, tidak mungkin Bu Siu-hoa ikut naik kapal Tang-hayliong- ong, kalau dia mau meninggalkan Thay-ouw, pasti menggunakan perahu kita. Ada petugas khusus yang menyambut dan mengantar para tamu keluar masuk, umpama ada tamu yang datang naik perahunya sendiri, setelah mereka mendarat, orang kita juga yang mengurus perahunya, bila tahu siapa saja meninggalkan pangkalan, orang-orangku pasti tahu. Kenyataan mereka tiada yang memberi laporan, kuduga nona Bu belum meninggalkan tempat ini. Cepat atau lambat jejaknya pasti ketemu."

   Toh So-so lebih gelisah dari Kek Lam-wi katanya.

   "Kektoako, mari kau menemani aku mencarinya."

   "Sudah banyak orang yang mencarinya,"

   Bujuk Ong Goantin. Toh So-so berkata.

   "Aku pernah mendapat budi pertolongannya, kali ini dia kemari juga lantaran kami pula, tahu-tahu dia menghilang, jikalau kami tidak kcluai tenaga ikut mencarinya betapapun perasaan takkan bisa tentram."

   Tan Ciok-sing dan In San juga menyatakan.

   "Marilah kita mencarinya beramai-ramai."

   Waktu itu putri malam baru saja keluar dan peraduannya. In San berkata dengan tertawa.

   "Hayolah kita temukan tidak jejaknya, mari naik ke puncak Tong-thing-san barat, menikmati panorama Thay-ouw di waktu malam. Tolong kalian tunggu sebentar,"

   Bergegas dia pulang ke penginapan mengambil harpa kuno milik Tan Ciok-sing.

   Tan Ciok-sing tahu maksudnya maka dia tidak memberi komentar, berempat mereka keluar mencari jejak Bu Siu-hoa.

   Sayang perhatian mereka tertuju untuk mencari jejak Bu Siu-hoa, sehingga kurang selera menikmati panorama malam di puncak gunung.

   Tiba-tiba In San berkata.

   "Kek-toako, aku ingin mendengar tiupan lagu serulingmu."

   Kek Lam-wi tertawa katanya.

   "Harpa Tan-toako sudah kau bawa juga, aku sudah tahu maksudmu, akupun ingin mendengar petikan harpa Tan-toako."

   Betapa cerdik otak Toh So-so, lekas sekali diapun maklum, katanya tertawa.

   "Adik San, bukan maksudmu ingin mendengar tiupan seruling Kek-toako, tapi kau ingin supaya tiupan seruling Kek-toako terdengar oleh nona Bu bukan?"

   "Betul,"

   Ujar In San terus terang.

   "bukan mustahil, setelah mendengar tiupan seruling Kek-toako, dia akan muncul sendiri."

   "Baiklah,"

   Ucap Kek Lam-wi.

   "Tan-toako, harap kau petik dulu harpamu nanti kulanjutkan tiupan serulingku."

   "Lebih baik kita bawakan sebuah lagu intrumental, perpaduan suara harpa dan seruling suaranya akan terdengar lebih jauh,"

   Demikian ujar Tan Ciok-sing.

   "Begitupun baik?"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "Lagu apa yang akan kita bawakan?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Aku punya pendapat coba kalian menilainya?"

   Tiba-tiba In San menyela.

   "Sebelum kau jelaskan, bagaimana aku bisa menilainya?"

   Tan Ciok-sing berkelakar. Kek Lam-wi ikut tertawa geli, katanya.

   "Adik ln jangan kau mengajukan persoalan rumit kepada kami lho?"

   "Ini bukan soal sulit, aku hanya ingin mendengar lagu baru dengan nada yang menyegarkan, intrumental kalian ini ada kalanya harus dibawakan secara tunggal bergantian."

   "Otakku ini tumpul, aku tidak paham apa yang kau artikan secara tunggal bergantian."

   In San menjelaskan.

   "Kalian boleh sama-sama meniup seruling dan memetik harpa tapi tak usah mencocokkan nada, kalian boleh membawakan lagu apapun yang kalian senangi."

   "Lho, mana bisa nada dan lagunya berpadu?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Sebelumnya kalian boleh menentukan pilihan lagu apa yang akan kalian bawakan serta menentukan nadanya pula, tapi matnya harus sama, sehingga temponya sama pula. Seruling dan harpa adalah alat musik khusus yang mempunyai keistimewaannya sendiri, dalam perpaduan suaranya tidak perlu harus senada."

   "Usulmu memang menarik, baiklah biar kami mencobanya. Tan-toako, kau membawakan lagu apa?"

   Tanya Kek Lam-wi.

   "Aku akan membawakan lagu 'Kisah pertemuan' dengan nada E,"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "Baik, aku akan meniup lagu 'Kenangan sahabat' dengan nada B."

   Nada lagu yang mereka bawakan memang berbeda, namun suasana diliputi rasa riang gembira dan manis madu.

   Sebelum mereka habis membawakan lagunya, memang seorang telah berlari mendatangi seperti yang mereka duga.

   Tapi yang muncul bukan Bu Siu-hoa, ternyata seorang pemuda tanggung berpakaian sederhana dengan perawakan kekar.

   Melihat pemuda ini sesaat Tan Ciok-sing melenggong, tibatiba dia berjingkrak berdiri seraya berteriak.

   "Lau-toako tak nyana bisa bertemu kau disini."

   In San tidak kalah senangnya, teriaknya.

   "Lau-toako, kiranya engkau."

   Walau bukan Bu Siu-hoa yang muncul tapi rasa senang mereka tidak ubahnya seperti bertemu dengan Bu Siu-hoa. Pemuda tanggung itu tergelak-gelak, katanya.

   "Siau-ciok-cu kiranya kau. Mendengar petikan harpa aku sudah duga pasti kau. Nona ln, aku sudah tahu, kecuali bukan Siau-ciok-cu kalau dia berada disini, kau mesti disini pula. Cuma aku belum tahu apakah sekarang aku sudah boleh panggil kau In So-so?"

   "Siau-cucu, jangan kau menggoda aku,"

   Ujar In San tertawa.

   "ada urusan penting ingin aku bicara dengan kau."

   Pemuda tanggung itu jadi sadar katanya.

   "Oh, iya kedua saudara ini..."

   Setelah Ciok-sing perkenalkan Kek Lam-wi dan Toh So-so, lalu dia berkata.

   "Lau-toako bernama Thi-cu teman kecilku yang dulu sering bermain-main di sungai, sudah biasa kami saling memanggil nama kecil. Dia panggil aku Siau-ciok-cu, aku panggil dia Siau-cucu."

   Lalu Tan Ciok-sing tanya.

   "Siaucucu, kenapa kau tidak berada di Kwilin, kok tahu-tahu berada disini?"

   "In-suheng menjadi buronan pihak penguasa, maka dia pergi dari Kwilin. Dia tahu aku pandai berenang, maka dia tulis sepucuk surat suruh aku mencari perlindungan di tempat Ongcecu disini."

   Lau Thi-cu melanjutkan ceritanya.

   "Sudah setahun lebih aku disini. Syukurlah Cecu sudi menerima aku dan mengangkat aku jadi Siau-thaubak, bila ada waktu diapun suka memberi petunjuk main silat kepadaku, senang juga aku hidup dalam lingkungan ini, sayang aku tidak tahu jejak kalian, meski hati amat rindu tak tahu kemana aku harus cari kalian, syukur hari ini bisa bertemu pula."

   "Kedatangan kami untuk memberi selamat ulang tahun kepada Cecu kalian. Siau-cucu apa kau tahu bahwa gurumu juga telah datang."

   Lau Thi-cu kegirangan katanya.

   "Apa betul? Sayang sekarang aku belum bisa menemui beliau."

   Tiba-tiba tergerak hati In San tanyanya.

   "Ada sebuah hal penting ingin aku tanya kepada kau. Urusan lain nanti dibicarakan lagi."

   "Urusan penting apa? Lekas katakan,"

   Ujar Siau-cu-cu.

   "Pernahkah kau melihat seorang gadis begini."

   Lalu dia gambarkan perawakan dan muka Bu Siu-hoa, kepada Lau Thicu.

   Semula In San hanya ingin mencoba adu untung, pada hal sekian banyak orang telah disebar untuk mencari jejaknya, diapun tidak berani menaruh harapan kepada Lau Thi-cu.

   Tak nyana setelah mendengar penjelasannya, Lau Thi-cu lantas berkata.

   "Ya, pernah, pernah kulihat, tapi gadis ini tidak berjalan seorang diri."

   Lekas Tan Ciok-sing bertanya.

   "Siapa berjalan dengan dia?"

   "Siapa dia aku tidak kenal, dari kejauhan tampak dia seorang perempuan setengah umur."

   In San kaget, katanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mungkinkah ibu tirinya,"

   Tanyanya.

   "Siau-cu-cu kau tahu kearah mana mereka pergi?"

   "Mereka lari ke puncak gunung yang menjadi pusat pertemuan aliran-aliran sungai, kalian tak usah kuatir dia bisa lari dari sana."

   "Kenapa?"

   "Karena air tempuran di bawah gunung itu. amat deras lajunya seperti air terjun saja, air dituang ke bawah langsung masuk ke Thay-ouw. Selamanya belum pernah ada orang berani naik perahu keluar dari sana."

   Semakin kejut hati Tan Ciok-sing, teriaknya.

   "Celaka."

   "Apanya celaka?"

   Tanya Lau Thi-cu kaget. Ciok-sing tarik tangan Lau Thi-cu lalu diseret lari, dia disuruh menunjukkan arahnya, sambil lari Ciok-sing berkata.

   "Perempuan setengah umur itu adalah Pangcu Bu-san-pang, namanya Bu-sam Niocu. Bu-san-pang adalah salah satu sindikat gelap di daerah Sujwan. Di bawah Bu-san ada tiga selat berbahaya, merupakan daerah paling berbahaya sepanjang sungai Tiangkang. Bu-sam Niocu sudah bisa kendalikan perahu di tiga selat sempit dengan arus yang deras itu, diapun pandai berenang, kepandaiannya mungkin jauh lebih liehay dari kemampuanku dan kemampuanmu."

   In San tanya.

   "Apakah disana tidak disediakan perahu?"

   "Perahu sih ada satu tapi hanya sebagai persiapan dan jarang digunakan."

   "Celaka, Bu-sam Niocu pasti tahu adanya jalan rahasia ini, dari sana dia bisa naik perahu langsung memasuki perairan Thay-ouw, maka dia menculik Bu Siu-hoa dibawa lari lewat tempat berbahaya itu."

   "Aku jadi ingin mengadu kepandaian dengan perempuan siluman itu,"

   Ujar Lau Thi-cu, kalian tidak usah kuatir, soal perahu mudah nanti kucarikan."

   Setiba di tempat tujuan, tiada bayangan manusia, perahupun tidak kelihatan. Tan Ciok-sing tanya.

   "Siau-cu-cu, kau bilang punya akal."

   "Jangan kuatir,"

   Ucap Lau Thi-cu.

   "didalam gua tak jauh dari sini belakangan ini ada dibuat perahu yang belum sempat digunakan."

   Dalam gua yang dituju memang terdapat beberapa perahu, masih baru dan belum dicat. Tan Ciok-sing berkata.

   "Siau-cucu, ada sebuah permintaanku, sudikah kau membantu aku?"

   "Siau-ciok-cu, kenapa kau bilang begitu, memangnya aku ini bukan temanmu sejak kecil? Kitakan pernah sehidup semati, berapa kali kau pernah menyerempet bahaya menolong aku, bukan untuk kali ini pula aku pernah membantu kau."

   Kek Lam-wi dan Toh So-so kelahiran dan dibesarkan di Kanglam, sudah tentu mereka juga pandai berenang tapi dibanding Siau-cu-cu jelas mereka jauh ketinggalan.

   Setelah menurunkan perahu kecil yang dinaiki Lau Thi-cu berada di depan menunjukkan jalan, galah diangkat terus menutul ringan di dinding batu, perahu kecil itu lantas meluncur mengikuti arus.

   Perahu yang dinaiki Tan Ciok-sing dan In San berada di belakang, dalam kegelapan, tiba-tiba terasa segulung arus kencang menggulung tiba, perahu kecil Tan Ciok-sing berputar terombang-ambing terbawa arus berpusar.

   Mendengar suara gelombang Lau Thi-cu lantas tahu bahwa mereka menghadapi bahaya lekas dia berteriak.

   "Mundur ke samping kiri terus digayuh maju ke depan pula."

   Tan Ciok-sing kerahkan Jian-kin-tui sehingga perahunya tidak terbalik, setelah perahunya terkendali segera dia praktekkan menurut petunjuk Lau Thi-cu, dengan mudah perahunya segera laju ke depan pula terbawa arus, kejap lain perahunya sudah meluncur keluar dari dalam gua dan melihat langit terang.

   Diluar gua air seperti dituang menggerojok turun dengan deras masuk ke danau, disini air mengalir lebih kencang dan berbahaya.

   Angin menderu ribut seperti terjadi hujan bayu layaknya.

   In San biasanya cukup tabah tak urung kali ini hatinya kebat-kebit, katanya.

   "Sungguh berbahaya, mengecilkan nyali saja."

   Belum habis dia bicara, tiba-tiba gelombang besar mendampar. Lau Thi-cu berteriak.

   "Awas menubruk karang,"

   Batu-batu karang runcing bersusun berbentuk menara banyak tersembunyi di bawah air, yang kelihatan hanya pucuknya sedikit saja apalagi arus air teramat deras dengan gelombang besar pula, dalam gugupnya Tan Ciok-sing tak kuasa dia mengendalikan perahunya, untung Lau Thi-cu memberi peringatan, sehingga perahunya berhasil dibelokan ke samping.

   Pada detik-detik gawat di kala perahunya hampir membentur karang, Tan Ciok-sing kerahkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, galahnya diulur ke depan dengan sepenuh tenaga ujung galahnya tepat menyodok pucuk karang serta mendorongnya sehingga perahu yang terdorong ombak itu berhasil ditahannya sekejap terus dibelokan ke samping melawan arus, kejap lain perahunya seperti dilempar naik ke atas, seketika In San merasa dirinya seperti naik mega seolaholah dirinya terbawa arus dilempar ke tengah angkasa namun cepat sekali tiba-tiba tubuhnya anjlok pula ke bawah.

   Waktu dia buka matanya perahu itu sudah melampaui kumpulan batu-batu karang dan terus laju ke depan.

   Lau Thi-cu berpaling ke belakang, legalah hatinya, serunya memuji.

   "Hebat kau Siau-ciok-cu."

   Tan Ciok-sing seka keringatnya, katanya tertawa.

   "Terima kasih akan petunjukmu, kepandaianmu jauh lebih mahir lagi."

   Maklum naik perahu didalam air yang arusnya sederas itu, bukan saja diperlukan kemahiran berenang, juga harus memiliki tenaga raksasa.

   Bahwa Lau Thi-cu dapat kendalikan perahunya seperti laju di perairan yang arusnya tenang, jelas Kungfunya sekarang sudah mencapai taraf tertentu, dasarnya cukup kuat.

   Cepat sekali mereka sudah mencapai setengah dari selat sempit berarus kencang itu.

   Setelah lega hatinya, In San berkata.

   "Arus air sederas ini kurasa tidak kalah derasnya dari Sam-kiap di Tiangkang yang terkenal itu."

   Lau Thi-cu berseru di depan.

   "Syukurlah di depan tiada daerah berbahaya lagi, lekas sekali sudah akan berada di perairan Thay-ouw."

   Baru saja mereka merasa lega, tiba-tiba Toh So-so berteriak kaget, pandangannya tertuju ke depan arah samping dengan melongo.

   Lekas Kek lam-wi menoleh ke arah pandangannya, tak usah tanya segera dia tahu kenapa kekasihnya kaget dan melongo.

   Tampak di antara dua batu besar yang menonjol di permukaan air di samping sana, tersangkut sebuah perahu yang pecah, perahunya terbalik karena benturan keras perahu itu sudab pecah berantakan, jauh di depan sana masih kelihatan pecahan perahu yang terapung.

   Jantung Kek Lam-wi berdetak keras, katanya.

   "Lau-toako, perahu itu apakah milik kalian..."

   Lam-wi tidak tega meneruskan perkataannya, dia pikir jarang ada perahu lewat disini, ada perahu pecah itu, kecuali perahu yang dinaiki Busam Niocu dengan Bu Siu-hoa rasanya tiada perahu lain lagi?"

   "Betul,"

   Sahut Lau Thi-cu.

   "itulah perahu khusus yang kami sediakan di pinggir sungai."

   Kek Lam-wi menghela napas, katanya. ."Kalau begitu tak usah kita mencarinya ke Thay-ouw lagi."

   Pada hal perahu mereka kini sudah berada di perairan Thay-ouw.

   Hujan rintik-rintik kabut mulai datang, Thay-ouw seluas ini, perasaan mereka menjadi tertekan seperti dibalut kabut, kemana mereka harus mencari? Makin ke tengah kabut makin tebal, tak lama kemudian di tengah kabut tebal tampak setitik sinar lampu yang bergerak terombang-ambing maju ke depan.

   Dengan suara lirih Lau Thi-cu berkata.

   "Di depan ada sebuah kapal, titik api itu adalah lampu angin yang digantung di ujung buritan jaraknya kira-kira ada dua li."

   Pada hal saat mana sudah menjelang tengah malam, dalam kabut setebal ini pula, kapal ini masih berada di tengah perairan, jejaknya ini jelas cukup mencurigakan. Tergerak hati Kek Lam-wi katanya.

   "Lau-toako, perlahan saja mendekatinya kapal di depan itu."

   "Aku tahu,"

   Ujar Lau Thi-cu tertawa.

   "jangan kuatir, mereka tidak akan tahu jejak kita. Dengan kemahirannya mengendalikan perahu, perahunya itu tetap laju ke depan tanpa banyak mengeluarkan suara. Setelah agak dekat sayup-sayup terdengar suara percakapan dan cekikikan tawa orang. Itulah suara tawa genit seorang perempuan, suaranya jelas adalah tawa Bu-sam Niocu yang jalang itu. Karuan Tan Ciok-sing berlima amat girang. Segera mereka pasang kuping, terdengar tawa jalang Bu-sam Niocu makin jelas.

   "Idiiiiih jangan begitu, berlakulah yang genah, putriku ada di sebelah, kalau sampai didengar dia kan tidak enak,"

   Agaknya Bu-sam Niocu sedang main cinta dengan seorang lelaki.

   Berkerut alis Kek Lam-wi dan Toh So-so namun lega pula hati mereka.

   Ternyata Bu Siu-hoa tidak mengalami kesulitan, agaknya dia disekap di atas perahu itu.

   Yang menjadi tanda tanya dalam benak mereka adalah siapa lelaki itu? "He, he, putri mustikamu, merdu sekali kedengarannya, mesra dan sayang sekali.

   Bagi mereka yang tidak tahu seluk beluknya tentu menyangka genduk ayu itu adalah anak kandungmu sendiri,"

   Terdengar laki-laki itu mencemooh dengan nada menggoda.

   Tan Ciok-sing melengak, semula dia sangka lelaki yang sedang pat-gulipat dengan Bu-sam Niocu ini adalah suaminya kedua, yaitu Tok-liong-pang Pangcu Thi Khong.

   Tapi setelah didengarnya dengan cermat suaranya tidak mirip Thi Khong.

   "Lalu siapa laki-laki ini?"

   Demikian Ciok-sing bertanya-tanya. Terdengar Bu-sam Niocu berkata.

   "Haya kenapa kau bilang demikian, walau Bu Siu-hoa bukan anak yang kulahirkan dari rahimku sendiri tapi sejak kecil aku menyayangi seperti mustikaku sendiri. Kalau tidak, kali ini aku tidak akan menyerempet bahaya untuk menculiknya dari markas Ong Goan-tin. Kau kira soal gampang untuk lari dari selat geledek yang berbahaya itu?"

   "Sam-nio,"

   Ujar laki-laki itu bergelak tawa.

   "urusan sudah sejauh ini, kau masih belum mau bicara sejujurnya kepadaku, apa tidak terlalu?"

   "Bicara jujur soal apa?"

   Tanya Bu-sam Niocu.

   "Kau kan hanya memperalat dia untuk membeli hati orang Bu-san-pang, kaupun kuatir ada orang membongkar perbuatan kejimu di masa lalu, maka terpaksa kau membelit budak ayu itu di bawah gaun panjangmu. Kalau tidak menurut pendapatku sudah sejak lama kau telah membunuhnya."

   "Perbuatan keji masa lalu apa? Sebetulnya berapa banyak kau pernah dengar berita angin yang menjelekkan nama baikku?"

   Suara Bu-sam Niocu kedengarannya agak hambar dan panik. Laki-laki itu tertawa, katanya.

   "Alah aksinya, dulu kau sekongkol dengan Thi Khong membunuh suamimu yang pertama, yaitu Bu San-hun Pangcu pertama Bu-san-pang. Kalian memang bertindak amat rahasia, tapi kalau ingin orang lain tidak tahu, hendaklah awak sendiri tidak berbuat. Memang orang-orang Bu-san-pang belum memperoleh bukti, tapi tidak sedikit yang curiga terhadap kau. Bicara sejujurnya kau tidak berani membunuh genduk ayu karena kalau kau membunuh dia kecurigaan orang-orang Bu-san-pang akan bertambah besar dan yakin akan perbuatanmu yang keji masa lalu. Maka terpaksa kau besikap baik dan sayang terhadapnya supaya orang-orang Bu-san-pang tidak curiga lagi bahwa kaulah yang membunuh ayahnya."

   "Kau memang setan cerdik, apapun kau ketahui maka kaupun harus memberi kelonggaran kepada budak jelita itu."

   Laki-laki itu tertawa pula, katanya.

   "Aku tahu kau telah membiusnya pingsan, umpama tidak kau bius juga tidak jadi soal, apapun dia tidak akan bisa mendengar percakapan kita."

   "O, jadi kaupun telah melakukan sesuatu pada dirinya?"

   "Ya, aku telah menutuk Hiat-to penidurnya, paling sedikit dua belas jam kemudian baru dia akan bangun."

   "Kau memang setan kelaparan, kiranya kau memang bermaksud jelek terhadapku."

   "Salah, bukan bermaksud jelek, aku justru ingin berbuat baik terhadapmu."

   "Apa kehendakmu?"

   "Kuingin kau menjadi biniku."

   "Tidak, tidak mungkin, aku tidak bisa kawin dengan kau."

   "Kenapa tidak bisa, Bu San-hun telah mati. Kau boleh menikah dengan Thi Khong. Thi Khong telah mampus, kenapa sekarang tidak boleh menikah dengan aku? Memangnya kau ingin menjadi janda sampai tua?"

   "Justru karena Thi Khong mati belum ada satu bulan, pakaian duka citaku belum lagi kutanggalkan. Kalau kau tidak takut ditertawakan orang, aku sebaliknya malu bila dicemooh orang banyak."

   "O, jadi kau hanya kuatir dicemooh orang, jadi bukan tidak sudi kawin dengan aku. Biarlah kutegaskan kepada kau, aku tidak peduli segala ocehan orang lain. Bila aku yang menjadi suamimu, siapa berani mentertawakan kau."

   Terdengar Bu-sam Niocu cekikikan geli dan genit, katanya.

   "Memangnya kaukan Hwe-giam-lo yang terkenal dan disegani kaum persilatan siapa berani bertingkah di hadapanmu?"

   Perahu yang ditumpangi Tan Ciok-sing berlaju ke depan makin dekat, semakin didengarkan dia seperti sudah kenal suara lelaki itu, setelah mendengar percakapan mereka sampai disini, kini dia sudah yakin siapa gerangan lelaki itu.

   Orang itu bukan lain adalah Toa-thauling Giam-ong-pang Giam Cong-po yang pernah bergebrak melawan dirinya.

   Tawa genit dan percakapan kedua orang di atas perahu tiba-tiba terhenti.

   Ternyata sebagai orang yang banyak pengalaman di perairan, Bu-sam Niocu sudah tahu bahwa sebuah perahu kecil tengah menguntit kapal mereka di sebelah belakang.

   Pelan-pelan dia mendorong Giam Cong-po yang menindih tubuhnya ke samping.

   Giam Cong-po keheranan sebelum dia sempat bertanya, Bu-sam Niocu sudah berbisik di pinggir telinganya.

   "Ada dua perahu menguntit di belakang, biar aku memeriksanya."

   "Umpama Ong Goan-tin sendiri yang mengudak kemari aku juga tidak gentar, biarkan saja peduli amat?"

   Jengek Giam Cong-po penasaran, maklum nafsunya sedang berkobar, mana dia mau diganggu. Bu-sam Niocu mencubit lengannya, katanya perlahan dengan tertawa.

   "Waktu masih panjang untuk kita, sekarang kita belum bebas dari daerah terlarang, jelas ada orang menguntit betapapun harus hati-hati."

   Giam Cong-po berkata uring-uringan.

   "Kurcaci mana yang berani menguntit kita, biar nanti kupukul perahunya sampai pecah berantakan."

   Bu-sam Niocu lari keluar pegang kemudi sehingga kapalnya membelok arah melintang, sementara Giam Cong-po beranjak ke buritan, maka dilihatnya dua perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi.

   Jarak kedua pihak tinggal enam tujuh tombak, tapi di tengah kabut Giam Cong-po tidak melihat jelas siapa penumpang kedua perahu kecil itu.

   Dengan kalem dia angkat sebuah jangkar besi di pojok kapal, sekali ayun kontan dia lempar jangkar gede itu ke perahu Tan Ciok-sing.

   Jangkar besi itu besar dan berat, dia lempar dengan tenaga raksasa lagi, maka daya luncuran ditambah beratnya kira-kira ada ribuan kati.

   Jangan kata perahu kecil itu hanya mampu dinaiki tiga orang, umpama perahu besar juga tidak akan kuat ditindih oleh jangkar segede itu, jelas perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing bisa pecah berantakan.

   Untung dia melempar jangkar itu ke perahu Tan Ciok-sing.

   Ciok-sing segera kembangkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong, galah panjang dia angkat terus menyampuk dan menepis mengikuti arah luncur jangkar gede itu.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Byuuurrr"

   Jangkar gede itu berhasil disampuknya miring dan jatuh kedalam danau, air muncrat menimbulkan ombak besar.

   Karuan Giam Cong-po kaget bukan main, baru sekarang dia insyaf, yang dihadapi adalah lawan tangguh.

   Sembari meraung gusar dia meraih sebuah dayung besi terus menubruk kearah perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing.

   Kejadian cepat sekali, di tengah udara tubuhnya jumpalitan dengan gaya burung dara membalik tubuh, tubuhnya menukik turun meluncur ke arah perahu kecil itu.

   "Pletak", galah panjang di tangan Tan Ciok-sing berhasil dipukulnya patah menjadi dua. Tapi sebelum kaki Giam Congpo menginjak papan perahu, pada hal serangan susulan dengan jurus Hing-sau-liok-hap telah dipersiapkan, mendadak dilihatnya selarik sinar hijau dan selarik sinar putih laksana kilat menyambar, sinarnya terang menyilaukan mata. Maka terdengarlah dering keras beradunya senjata, kali ini gayung besi di tangan Giam Cong-po malah yang terpapas kutung. Kiranya Tan Ciok-sing dan In San melancarkan gabungan sepasang pedang. Pedang mereka gaman mustika yang dapat mengiris besi, ilmu pedang mereka tiada bandingan pula di kolong langit ini, kejadian diluar dugaan lagi, sudah tentu Giam Cong-po tak kuasa melawan mereka? Belum lagi ujung kakinya menyentuh perahu, ujung pedang Tan Ciok-sing sudah mengancam lambungnya. Lekas Giam Cong-po menangkis dengan sisa dayung yang masih dipegang, gagang dayung itu kembali terpapas kutung pula, sehingga sisanya sudah tak mungkin digunakan lagi sebagai senjata. Sementara itu Bu-sam Niocu baru selesai berpakaian, didengarnya langkah memasuki kabin, maka dengan bersuara heran dia menegur.

   "Lho, kok cepat benar kau sudah kembali?"

   Kek Lam-wi tendang pintu kabin sambil membentak.

   "Coba kau lihat siapa aku."

   Kaget Bu-sam Niocu bukan main, kontan dia ayun tangan menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam.

   Toh So-so putar kencang pedangnya dengan jurus Jiu-hong-sau-yap, maka terdengar suara gemerisik.

   Bwe-hoa-ciam lembut itu tersapu rontok dan hancur berhamburan.

   Karena sedikit hambatan ini, Bu-sam Niocu sudah membobol dinding papan terus lari ke geladak.

   Kek Lam-wi membentak.

   "Lari kemana,"

   Secepat angin dia mengudak keluar. Kembali Bu-sam Niocu mengayun balik tangannya menghamburkan senjata rahasia. Serangan senjata rahasia kali ini jauh lebih liehay, yaitu Tok-bu-kim-ciam-liat

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   yam-tam, begitu ditimpukkan senjata rahasia itu lantas meledak, segumpal asap berapi menimbulkan kabut tebal diselingi bintik-bintik sinar gemerdap yang tak terhitung banyaknya, itulah jarum-jarum selembut bulu kerbau yang beracun.

   Untung sebelumnya Kek Lam-wi sudah siaga, di waktu dia melompat ke atas kapal ini, jubah luarnya sudah dibikin basah, sekarang jubahnya dia buka serta dikebutnya sekali, gumpalan asap berapi dari ledakan senjata rahasia itu seketika dikebutnya padam.

   Jarum-jarum lembut beracun itupun tergulung dalam jubahnya.

   Sebat sekali Toh So-so sudah ikut menerjang keluar dengan getaran pedangnya dia ikut menyapu habis hamburan jarum-jarum lembut itu.

   Kek Larn-wi tidak berhenti, seruling pualamnya segera dikerjakan menutuk tiga Hiat-to di tubuh Bu-sam Niocu, jurus Hun-mo-sam-hu ini merupakan variasi yang berhasil dicangkok dari King-sin-pit-hoat merupakan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi yang liehay.

   Walau kesehatan Kek Lam-wi belum pulih seluruhnya, mungkin karena terlalu panik, Bu-sam Niocu kena ditutuk dua Hiat-tonya dan tertawan hidup-hidup.

   Lekas Kek Lam-wi berdua putar masuk ke kabin serta mencari, akhirnya ditemukan sebuah pintu kecil terus membobolnya, Bu Siu-hoa, ternyata disekap di kamar sebelah.

   Kek Lam-wi sudah berjongkok memeriksa Hiat-to mana di tubuhnya yang tertutuk dan hendak membebaskan tutukan Hiat-tonya, tiba-tiba dilihatnya Bu Siu-hoa sudah membuka mata, lapat-lapat dia melihat bayangan Kek Lam-wi dan Toh So-so, dia sangka dirinya sekarang bermimpi, teriaknya tak tertahan.

   "Kek-toako, Toh-cici, betul, betulkah kalian?"

   Toh So-so girang, serunya.

   "Bu-cici, ternyata kau sudah siuman."

   Segera dia turun tangan membebaskan Hiat-tonya yang tertutuk. Saking girang Bu Siu-hoa berlinang air matanya, katanya terisak.

   "Sungguh tak nyana aku masih bisa hidup bertemu dengan kalian."

   "Ibu tirimu yang jahat itu sudah kami bekuk hidup-hidup, sepantasnya kau bersenang hati apa pula yang kau tangisi?"

   Toh So-so menghibur.

   "Ayah kandungmu dicelakai sampai mati oleh ibu tirimu ini, apa kau sudah tahu,"

   Ujar Kek Lam-wi sengit.

   "Percakapannya dengan pentolan Gam-ong-pang di kamar sebelah sudah kudengar seluruhnya,"

   Sahut Bu Siu-hoa "Bu-cici, sepantasnya aku memberi selamat kepadamu,"

   Kata Toh So-so. Bu Siu-hoa melenggong, katanya.

   "Kenapa memberi selamat kepadaku."

   "Selamat atas kemajuan Kungfumu,"

   Ujar Toh So-so tertawa.

   "kau terkena obat bius perempuan laknat itu, ditutuk pula Hiat-tomu dengan Jong-jiu-hoat oleh Giam Cohg-po tapi sebelum saatnya kau sudah siuman lebih dulu, sungguh patut dipuji."

   Bu Siu-hoa berkata.

   "Waktu aku digusur perempuan jahat itu, diam-diam aku sudah menelan obat penawarnya. Tentang ilmu Tiam-hiat aku harus berterima kasih kepada Kek-toako, dialah yang mengajar kepadaku. Sayang belum sempurna."

   Ternyata dua hari dia berkumpul dengan Kek Lam-wi dalam gua batu, mengingat orang telah menolong jiwanya, untuk membalas kebaikannya Kek Lam-wi secara iseng mengajarkan cara mengerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to kepada Bu Siu-hoa sebagai bekal untuk menyelamatkan diri.

   "Mana keparat she Giam itu?"

   Tanya Bu Siu-hoa.

   "Masih ada di geladak sedang bertarung dengan Tantoako,"

   Sahut Kek Lam-wi.

   Waktu mereka tiba di atas geladak, tampak air bergolak dan berputar, siapapun tahu bahwa ada orang sedang bertarung didalam air.

   Lau Thi-cu yang berada di perahu kecil ternyata juga tidak kelihatan.

   Perahu kecil yang ditumpangi Tan Ciok-sing berputar-putar di atas air, kapalnya sudah miring ke sebelah, turun naik terombang-ambing oleh ombak, sebentar lagi kalau tidak dikendalikan mungkin bisa tenggelam.

   "Celaka,"

   Seru Toh So-so.

   "In-cici masih di atas perahu itu, dia tidak pandai berenang, lekas kita menolongnya."

   Beramai-ramai mereka kayuh kapal besar ini mendekati perahu yang sudah miring itu.

   In San sudah lompat ke atas atap kabin, setelah jarak kedua kapal dan perahu tinggal dua tombak In San segera melompat naik ke atas kapal besar.

   Ternyata menghadapi Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In San, Giam Cong-po tepaksa didesak jatuh kedalam air, dia tahu di atas kapal dirinya mungkin tidak kuat menghadapi mereka, maka dia selulup kedalam air hendak menyabot perahu orang.

   Kuatir Tan Ciok-sing bukan tandingan Giam Cong-po, Kek Lam-wi berkata.

   "Biar aku turun ke air membantunya."

   Lekas In San mencegah, katanya.

   "Kesehatanmu sendiri belum sembuh, jangan kau mencari susah sendiri."

   "Biar aku saja turun membantunya,"

   Kata Toh So-so.

   "Siau-cu-cu sudah terjun ke air membantu Tan-toako,"

   Demikian tutur In San.

   "bila mereka berdua juga tidak kuat menghadapi musuh didalam air..."

   Belum habis dia bicara.

   "Byuur"

   Tahu-tahu Bu Siu-hoa sudah terjun kedalam air.

   Hanya sekejap saja tiba-tiba dua kepala orang menongol ke permukaan air.

   Tan Ciok-sing mendahului lompat naik ke atas kapal, disusul Lau Thi-cu.

   Waktu itu fajar telah menyingsing tampak pakaian mereka berlumuran darah.

   In San kaget, serunya.

   "Lau-toako kau terluka. Mana adik Siu-hoa?"

   "Jangan gugup,"

   Ujar Lau Thi-cu tertawa lebar.

   "ini darah orang lain. Nona Bu berhasil membunuh brandal she Giam itu."

   Di tengah tawanya itu tampak Bu Siu-hoa sudah muncul ke permukaan air, katanya.

   "Lau-toako terima kasih akan bantuanmu hingga aku berhasil menuntut balas."

   Perlu diketahui kepandaian renang Giam Cong-po ternyata amat liehay, kalau tidak dibantu oleh Lau Thi-cu, Tan Cioksing meski dibantu Bu Siu-hoa, meski tidak terkalahkan lawan pasti berhasil melarikan diri.

   Setelah terbukti Giam Cong-po sudah mati, baru Bu Siu-hoa naik ke atas, maka dia agak terlambat muncul di permukaan air.

   Bu Siu-hoa sedang berpikir cara bagaimana dia harus menghukum ibu tirinya, bila diapun sudah berada di atas kapal dilihatnya darah hitam keluar dari panca indra Bu-sam Niocu, ternyata insyaf akan kesalahannya yang tidak terampunkan, dari pada mati di tangan orang lain dia rela bunuh diri menelan racun.

   000OOO000 Memperoleh laporan yang menggembirakan ini, lekas Ong Goan-tin keluar menyambut kedatangan mereka.

   Yang ikut menyambut ada It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thiciang Tam Pa-kun.

   Lekas Lau Thi-cu memburu maju memberi sembah hormat kepada gurunya.

   Melihat Bu Siu-hoa pulang dengan selamat legalah hati Ong Goan-tin.

   Mendengar muridnya berjasa besar Lui Tin-gak juga amat senang.

   Di samping menghibur dan melegakan hati Bu Siu-hoa orang banyakpun memuji Lau Thi-cu, pemuda yang jujur dan polos ini sampai canggung dan malu mukanya jengah.

   Dalam perjamuan, hati hadirin sama riang gembira, setelah tiga cawan masuk kedalam perut, Ong Goan-tin angkat bicara.

   "Ulang tahunku kali ini telah menimbulkan banyak keributan syukurlah Tan-siauhiap, In Lihiap dan nona Bu giat membantu sehingga keributan ini berhasil diatasi. Betapa senang hatiku karena Lui-toako dan Tam-toako sudi datang bersama kaum pendekar muda dan Cianpwe gagah ini kuharap suka tinggal beberapa hari di markasku ini."

   Tan Ciok-sing mendahului buka suara.

   "Terima kasih akan maksud baik Cecu, sayang aku dan nona In tak bisa tinggal lama disini."

   "Kalian ada keperluan penting apa, kenapa buru-buru,"

   Tanya Ong Goan-tin. Sebelum Tan Ciok-sing menjawab, Tam Pa-kun sudah tertawa, katanya.

   "Ong-toako kenapa kau menjadi pelupa?"

   Ong Goan-tin melengak, tanyanya.

   "Aku lupa apa?"

   "Tentang mereka membuat geger istana raja, waktu menyelundup ke istana raja. Ciok-sing pernah meninggalkan empat bait syair sebagai peringatan kepada raja, bukanlah hal itu pernah kuceritakan kepada kau?"

   Ong Goan-tin sadar, katanya.

   "Betul kenapa aku jadi lupa. Ciok-sing Lote, apakah kau mau kembali ke kota raja, menagih janji kepada raja keparat itu, bila perlu kau paksa dia untuk menepati janji."

   "Benar Baginda pernah berjanji, dalam jangka tiga bulan dia akan bertindak mencopot kedudukan menteri dorna Liong Bun-kong. Kini batas tiga bulan sudah hampir habis, bersama nona In kami ingin tiba di kota raja lebih dini."

   "Kalian bagaimana?"

   Tanya Ong Goan-tin kepada Kek Lamwi dan Toh So-so.

   "Janji Tan-toako dengan Baginda Raja adalah janji pertemuan Pat-sian pula, Lim-toako dan Lok-toako pasti sudah menunggu kami di kota raja. Maka kami juga akan berangkat bersama Tan-toako."

   "Apakah luka-lukamu tidak mengganggu?"

   Tanya Ong Goan-tin.

   "Sudah lama sembuh,"

   Sahut Kek Lam-wi "Bahwa kalian sedang mengemban tugas, sudah tentu aku tidak enak menahan kalian disini. Nona Bu kuharap sementara kau tinggal disini saja."

   Memangnya Bu Siu-hoa sekarang sudah sebatang kara, mendapat tempat berteduh sudah tentu dia senang, maka permintaan Ong Goan-tin dia terima dengan rasa senang dan lega.

   000OOO000 Pendek kata.

   Sepanjang jalan mereka tidak menghadapi rintangan apa-apa.

   Hari itu mereka tiba di Pakkhia.

   Untuk menjaga orang tidak mengenali mereka, sebelum masuk kota In San gunakan kepandaian tata riasnya yang dia pelajari dari Han Cin merobah wajah Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi menjadi dua pemuda sekolahan yang mau ujian ke kota raja, sementara dia sendiri bersama Toh So-so ganti berpakaian laki-laki, menyamar jadi kacung mereka.

   Jalan raya lalu lintas padat, kereta gerobak berlalu lalang, kota raja masih seramai dulu, segala sesuatunya tiada perbedaan dengan tiga bulan yang lalu.

   Tapi perasaan hati mereka yang jauh berbeda dibanding tiga bulan yang lalu.

   Tiga bulan yang lalu mereka bertekad meski gugur di medan lagajuga rela asal berhasil menemui raja, sudah tentu yang diharapkan usaha mereka sukses yaitu membunuh Liong Bun-kong sekalian.

   Meski tujuan mulia, namun mereka harus bertindak secara menggelap, harapan cerah tidak pernah nampak di depan mata.

   Kini mereka sudah sadar, umpama Baginda Raja tidak mau tunduk akan kehendak rakyat banyak namun keyakinan mereka untuk memberantas kaum dorna lebih besar, selaput gelap yang selama ini menyelubungi harapan masa depan sudah sirna tak berbekas lagi.

   Waktu mereka tiba di kota raja kebetulan adalah hari terakhir dari batas waktu tiga bulan.

   Malam itu mereka menginap di hotel, besok pagi mereka langsung menuju ke Say-san berkunjung ke markas cabang Kaypang.

   Baru saja mereka keluar kota, terasa dua orang telah menguntit mereka.

   Kedua orang ini berkepala kecil dengan muka panjang, mata kecil hidung pesek, dari tampang dan tingkah laku mereka, siapapun akan tahu bahwa kedua orang ini jahat dan menjijikan.

   Lekas sekali kedua orang ini sudah memburu dekat.

   Sekejap Tan Ciok-sing celingukan, dilihatnya kanan-kiri tiada orang, segera dia menyongsong kedatangan mereka.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saudara ini tentu sudah lelah."

   Kedua orang itu berhenti, sekejap saling pandang lalu satu persatu mengawasi mereka, mimik mukanya kelihatan aneh. Akhirnya yang perawakan agak pendek berkata.

   "Lelah sih tidak. Kalian jalan-jalan, kami juga jalan-jalan, kalau bilang lelah, tentunya kalian juga lelah."

   Sengaja dia meninggikan suara, jelas berusaha menutupi suara aslinya supaya orang tidak kenal logat suaranya. Tan Ciok-sing berkata sinis.

   "Jangan pura-pura, kalian ini kawan dari garis mana, lekas terus terang."

   Yang perawakan besar berkata.

   "Apa maksudnya kawan dari garis mana? Coba kau katakan dulu kau dari garis mana, supaya kami maklum apa yang kau maksud."

   "Baik terus terang kuberitahu kepadamu. Aku adalah kawan dari garis yang sedang dicari oleh majikanmu,"

   Di kala mengucap 'mu' dua jari tangannya yang terangkap tiba-tiba menutuk ke Hiat-to penggagu orang, dia tidak akan mengancam jiwa orang, maka gerakannya cukup gesit, orang biasa terang tak mungkin bisa meloloskan diri.

   Tak nyana dengan mudah laki-laki ini berhasil menghindar, mulutnya malah berkaok.

   "Lho, mulut bilang kawan tapi perbuatanmu tidak layak sebagai kawan."

   Di kala Tan Ciok-sing turun tangan itu, laki-laki pendek di sebelahnya tiba-tiba tertawa cekikikan sambil menutup mulut. Katanya.

   "Adik In masa kau tidak mengenalku lagi,"

   Ujarnya.

   "Toako jangan gegabah,"

   Seru In San.

   "diakan Han-cici..."

   Hampir bersamaan In San berteriak dengan laki-laki pendek itu. Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, hampir bersamaan pula diapun berteriak dengan lawannya.

   "Toan-toako kiranya kau."

   "Tan-hengte ternyata kau."

   Ternyata dua orang yang menguntit mereka ini bukan lain adalah kawan baik mereka yaitu Toan Kiam-ping dan Han Cin. In San tertawa, katanya.

   "Ooo, ternyata guruku telah datang, tak heran samaranku konangan,"

   Maklum kepandaian riasnya dia pelajari dari Han Cin.

   "Toan-toako,"

   Kata Tan Ciok-sing bukankah kau sudah pulang ke Tayli? Kenapa secepat ini sudah berada di kota raja pula?"

   "Janjimu tiga bulan dengan baginda, tidak pernah kulupakan,"

   Ujar Toan Kiam-ping.

   "Bukankah waktu itu orang banyak mengharap supaya kau melakukan usaha besar di kampung kelahiranmu, kurasa tidak perlu kau buru-buru meninggalkan kampung halaman..."

   "Aku maklum maksudmu tapi jangan kau lupa, ayahku mati karena perbuatan Liong Seng-bu, mana bisa aku membiarkan kalian saja yang menuntut balas?"

   Han Cin tertawa katanya.

   "Untung kalian bertemu aku, markas Kaypang sudah pindah."

   "Pindah kemana?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Pindah ke Jui-hwi-hong. Mari kuajak kalian kesana,"

   Ujar Toan Kiam-ping.

   Setiba di markas Kaypang baru mereka tahu apa sebabnya mereka pindah yaitu karena di kalangan mereka terbongkar adanya musuh dalam selimut, ini bukan lain adalah Kwe Su-to yang pernah ditolong itu.

   Waktu Kwe Su-to membawa pasukan besar pemerintah menggerebek Pit-mo-gay, untung orang-orang Kaypang sudah mendapat kabar, sebelum pasukan pemerintah tiba mereka sudah pindah ke lain tempat, sehingga tidak jatuh korban.

   Kaypang Pangcu Liok Kun-lun memberi tahu dua hal tentang keluarga Liong, pertama, Liong Bun-kong mohon cuti dengan alasan badan kurang sehat, sampai hari ini belum pernah masuk istana menghadap raja.

   Kedua, keponakannya yaitu Liong Seng-bu secara diam-diam mengawal separtai harta benda pulang ke Kwi-ciu ke kampung kelahirannya, seratus li setelah meninggalkan kota raja, di tengah jalan telah dibega! orang.

   "Yang berani membegal harta mereka tentu bukan kaum begal biasa,"

   Kata Ciok-sing.

   "Memang bukan begal biasa, menurut laporan mereka adalah Wi-cui-hi-kiau,"

   Ujar Liok Kun-lun. Kek Lam-wi senang, katanya.

   "O, jadi Toako juga sudah tiba, dimana mereka?"

   "Dua hari lagi baru akan tiba. Mereka sudah mengirim kabar kepadaku,"

   Sahut Liok Kun-lun pula.

   "Pertemuanku dengan Baginda tidak bisa ditunda lagi, aku tidak akan menunggu mereka,"

   Kata Tan Ciok-sing. Toan Kiam-ping berkata.

   "Kali ini aku bersama adik Cin minta persetujuan kalian untuk ikut masuk ke istana."

   Kek Lam-wi dan Toh So-so sebetulnya juga ingin ikut, tapi Liok Kun-lun bilang terlalu banyak orang tentu kurang leluasa, apa lagi mereka harus menunggu kedatangan anggota Patsian yang lain, terpaksa mereka terima nasihat Liok Kun-lun, urung ikut ke istana.

   Malam kedua kira-kira kentongan ketiga Tan Ciok-sing berempat lantas berangkat menemui Baginda Raja sesuai janji tiga bulan yang lalu.

   Tan dan In sebelumnya pernah kemari maka kali ini dengan mudah mereka dapat mengelabui para penjaga dan barisan ronda.

   Di bawah petunjuk Tan Ciok-sing yang jalan di depan, sementara In San dan Han Cin menyamar Thaykam berjalan di belakang, sementara Toan Kiam-ping menguntit dalam jarak tertentu langsung menuju ke istana belakang.

   Ginkang Toan dan Han memang agak asor tapi tarafnya juga sudah termasuk kelas tinggi, berjalan di atas genteng kaca yang licin mereka mengembangkan Ginkang laksana kecapung yang menclok dari satu wuwungan ke wuwungan istana yang lain tanpa mengeluarkan suara.

   Tan dan In sudah punya pengalaman maka mereka berhasil mengelabui jago-jago silat pelindung istana, lekas sekali mereka sudah menyelundup ke Sia-hoa-wan disini mereka menghadapi kesulitan, tidak seperti dulu dapat maju dengan leluasa.

   Kini kemana mereka harus menemui Baginda? Istana raja sebesar dan seluas ini, gedung bangunannya entah- ada ratusan jumlahnya, hanya tempat tinggal permaisuri dan para selir raja saja kira-kira ada puluhan gedung, dari mana mereka tahu malam ini sang raja menginap di istana mana? Kalau tempo hari mereka dibantu seorang thaykam yang selalu dekat di samping raja sehingga tanpa membuang banyak tenaga menemui raja, tapi Thaykam kecil itu sudah gugur dalam menunaikan tugas, kini tiada Thaykam yang akan menunjukkan jalan lagi.

   Sebelum mereka mendapat akal dan perundingan diantara mereka belum selesai tiba-tiba didengarnya suara desiran aneh pelahan seperti selembar daun yang melayang ditiup angin, tapi jelas bukan daun yang jatuh karena ditiup angin.

   Mereka adalah ahli silat, mendengar suaranya seketika melenggong.

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Itulah suara senjata rahasia meluncur, tapi bukan Bwe-hoa-ciam."

   In San berkata.

   "Kalau suara krikil rasanya jauh lebih keras dan kasar.'"

   Ciok-sing berkata.

   "Kalau tidak salah dugaanku itulah sebutir lempung kecil."

   Sampai disini tiba-tiba tergerak pikiran Tan Ciok-sing, diam-diam dia berpikir.

   "Jikalau Wisu istana memergoki jejak kita tak perlu dia menyerang kita dengan senjata rahasia apalagi senjata rahasia itu ditimpuk miring ke samping kita bukankah membuat kita terkejut dan sadar? Tidaklah lebih baik dia berteriak mengundang kawankawannya?"

   Karena itu segera dia hendak menyerempet bahaya, coba-coba dia berlari ke arah dimana senjata rahasia tadi meluncur.

   Di depan sebuah gunung-gunungan mengadang jalan di waktu mereka kebingungan ke arah mana mereka harus melanjutkan arahnya, tiba-tiba terdengar pula suara desiran ringan halus tadi, kali ini Tan Ciok-sing sengaja tidak mau menuruti petunjuk senjata rahasia itu, tapi menuju ke arah lain.

   Terdengar suara ledakan lirih seperti kacang yang dipecah kulitnya, disusul bubuk tanah yang berhamburan berjatuhan di atas kepalanya.

   Senjata rahasia yang pecah di atas kepalanya memang adalah sebutir lempung.

   Sebagai ahli silat sudah tentu Tan Ciok-sing maklum bahwa orang menggunakan Tamci- sin-thong.

   Sebutir lempung dijentik pecah pada jarak tertentu yang telah diperhitungkan dengan tepat bukan saja ini memerlukan latihan juga harus tepat waktu yang ditentukan untuk menggunakan tenaga yang pas-pasan pula.

   Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut.

   Tapi kejap lain diamdiam hatinya amat senang dan lega karena dia sudah paham, apa maksud timpukan lempung itu.

   Tengah berpikir didengarnya pula suara desiran perlahan tadi, sebutir lempung meluncur di atas kepalanya tahu-tahu lempung itu berputar satu lingkaran terus meluncur ke sebelah kiri.

   Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak keliru, orang yang menimpukkan lempung secara diam-diam ini memang sedang menunjukkan arah jalan yang selamat bagi mereka.

   Tanpa terasa mereka dituntun tiba di depan sebuah gedung.

   Di depan gedung terdapat sebuah gunung-gunungan sekelilingnya dipagari pepohonan.

   Sebutir lempung melayang lewat di atas kepala mereka, cepat sekali berputar arah lalu jatuh di atas kepala Ciok-sing.

   Tan Ciok-sing tahu, maksudnya supaya mereka berhenti sampai disitu saja.

   In San berbisik mepet telinga Ciok-sing.

   "Tempat ini dinamakan Yang-sim-tiam, di tempat inilah Baginda Raja menerima para pembantunya, ada kalanya diapun sibuk memeriksa dokumen-dokumen penting disini. Mungkinkah Baginda Raja ada disini?"

   Tan Ciok-sing sembunyi di belakang gunung-gunungan dengan seksama dia periksa keadaan sekitarnya.

   Yang-simtiam adalah gedung bersusun dua, di sebelah atasnya terdapat sebuah baicon, sinar lampu tampak menyorot disana.

   Bayangan orang tampak berpeta di jendela.

   Sementara bayangan orang tampak mondar mandir diluar, jelas mereka adalah jago-jago kosen pengawal raja.

   Ciok-sing kembangkan Ginkang tinggi secara diam-diam dia melompat ke atas pohon.

   Dia melompat ke atas sesaat angin menghembus agak kencang sehingga daun pohon bergoyang gemerisik, tapi dahan dimana dia hinggap sedikitpun tidak bergeming, para Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam tiada satupun yang tahu.

   Malam itu tiada rembulan, bintang yang kelihatan juga jarang-jarang, pohon dimana dia sembunyi daunnya rimbun, tepat untuk sembunyi.

   Dari atas pohon yang tinggi dia dapat melihat keadaaan di atas loteng.

   Yang berada didalam sebuah kamar di atas loteng adalah seorang pemuda berpakaian perlente dan seorang laki-laki setengah umur.

   Pemuda perlente itu bukan lain adalah Baginda Raja yang berkuasa sekarang dan pernah bertemu dengan Ciok-sing, yaitu Cu Kian-sin.

   Laki-laki setengah umur adalah komandan pasukan bayangkari Hu Kian-seng.

   Kungfu Hu Kian-seng setaraf dengan kepandaian komandan pasukan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, dalam kalangan Bulim terhitung jago kosen juga.

   Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.

   "Ada orang ini di sampingnya, supaya tidak mengejutkan orang banyak jelas tidak mungkin."

   Meski dirinya di tempat gelap, lawan di tempat terang tapi dia tidak yakin dalam sekali gebrak pasti dapat membekuk Hu Kian-seng, sesaat lamanya dia bimbang tidak berani bertindak gegabah.

   Di kala dia mencari akal didengarnya sang raja telah membuka suara.

   "Apakah kedua orang itu sudah masuk istana?"

   Hu Kian-seng menjawab.

   "Baginda ada janji, mana mereka berani datang terlambat, sudah lama mereka masuk. Apakah perlu mengundang mereka sekarang juga?"

   Istilahnya mengundang, dari sini dapat diperkirakan bahwa kedudukan kedua orang itu tentu luar biasa. Tergerak hati Tan Ciok-sing.

   "Kedua orang itu jelas bukan aku dan San, lalu siapa?"

   Terdengar sang raja berkata.

   "Nanti saja biar mereka terlambat setengah jam lagi. Aku ingin membaca laporan situasi dari laporan komandan kota Tay-tong. Entah bagaimana peperangan yang tengah berlangsung di Gan-bunkoan?"

   Agaknya dia ingin tahu dulu situasi dan kondisi, baru nanti berkeputusan bagaimana bersikap terhadap utusan rahasia negeri Watsu. Hu Kian-seng berkata.

   "Gelagatnya tidak menguntungkan. Laporan Lau-congping dari Tay-tong dikirim dengan kuda kilat, menjelang kentongan kedua tadi baru masuk istana. Aku sudah memeriksa dan kuletakkan di arsip-arsip surat. Silahkan Baginda memeriksanya."

   Laporan itu khusus diselipkan di sebuah map yang ditindih singa-singaan terbuat dari tembaga setelah Cu Kian-sin membacanya tiba-tiba dia berseru heran.

   Lekas Hu Kian-seng memburu maju ikut membaca, seketika rona mukanyapun berobah hebat.

   Ternyata sepasang mata singa-singaan tembaga itu dibuat dari dua butir mutiara, kini kedua matanya ternyata bolong mutiaranya telah lenyap.

   Orang yang sengaja mengorek buta singa-singaan tembaga ini secara langsung seperti mengolok Baginda Raja punya mata tapi buta, atau mungkin juga menghina laporan Lau-congping dari Thay-tong akan laporannya yang palsu.

   Sebagai komandan bayangkari, Hu Kian-seng bertanggung jawab menjaga keselamatan raja, karuan keringat dingin berketes di atas jidatnya sesaat dia berdiri melongo.

   Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah setelah membaca surat laporan itu wajah Cu Kian-sin tampak berubah pula, bentaknya.

   "Hu Kian-seng dari mana datangnya surat laporan ini?"

   Sang raja tidak mengusut kemana hilangnya sepasang mutiara yang menjadi mata singa-singaan tembaga, tapi tanya -asal-usul surat laporan yang sedang dibacanya sudah tentu hal ini jauh diluar dugaan Hu Kian-seng.

   Sebetulnya bukan Cu Kian-sin tidak melihat atau tidak tahu maksud orang mencukil mutiara mata singa-singaan tembaganya, tapi surat laporan yang bermimpipun tidak pernah dia bayangkan ini, justru amat mengejutkan hatinya.

   


Neraka Hitam -- Khu Lung Pedang Abadi -- Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung

Cari Blog Ini