Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 28


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 28



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Biarlah nanti aku melihat dia, kalian boleh langsung pergi ke rumah keluarga Liong."

   Lekas sekali kuda Ing Siu-goan sudah dibedal tiba, jaraknya tinggal puluhan langkah lagi. Tan Ciok-sing segera menarik kendali serta memutar balik, bentaknya.

   "Kami adalah petugas yang sedang menjalankan perintah Baginda, siapa kau berani main terjang?"

   Ing Siu-goan tidak menjawab, dia malah tertawa tergelakgelak, tiba-tiba dia mengayun sebelah tangan.

   Tan Ciok-sing kira orang menyerang dengan senjata gelap, lekas dia melolos pedang, dengan jurus Hing-sau-liok-hap, dimana sinar pedang berkelebat, dia lindungi tubuhnya.

   Tak nyana sebelum senjata rahasia itu dibenturnya jatuh, senjata rahasia itu sudah meledak sendiri, bubuk lempung berhamburan mengotori baju dan kepala Tan Ciok-sing.

   Kiranya senjata rahasia adalah sebutir lempung.

   Tergerak hati Tan Ciok-sing, di saat dia melenggong, In Siu-goan sudah tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Tan Siauhiap, selamat kau berhasil menunaikan tugas mulia. Tentunya kau tidak lupa pada orang yang semalam memberi petunjuk jalan bukan?"

   Kaget dan terbeliak senang Tan Ciok-sing dibuatnya, tapi hati agak curiga, bagaimana mungkin wakil komandan Gi-limkun mau membantu mereka? Tiba-tiba Han Cin tertawa, katanya.

   "Ah, aku sudah mengerti. Agaknya kau ini adalah wakil komandan Gi-lim-kun tiruan. Kepandaian meriasmu memang patut dipuji, hampir saja akupun kena kau kelabui."

   Ing Siu-goan tiruan tertawa lebar, katanya.

   "Han Lihiap memang seorang ahli, sekali pandang lantas tahu kalau aku ini tiruan."

   "Sebetulnya akupun tidak bisa membedakan, cuma kulihat seragam yang kau pakai itu kelihatannya tidak cocok dengan perawakanmu, tapi bukan disitu letak kelemahannya jikalau kau tidak membongkar rahasia kejadian semalam, akupun tidak yakin bahwa kau ini adalah Ing Siu-goan tiruan."

   Orang itu tertawa, katanya.

   "Semoga tiruanku ini tidak konangan oleh orang-orang Liong Bun-kong."

   Tan Ciok-sing senang, katanya.

   "Jadi Locianpwe sengaja menyusul kami hendak membantu menghadapi bangsat tua she Liong itu."

   Mereka bicara sambil jalan, orang itu mendekatkan kuda tunggangannya di samping Tan Ciok-sing, jadi jalan berjajar, katanya tertawa.

   "Jangan kau memanggilku Cianpwe, kalau dibicarakan perguruanku ada sedikit sangkut pautnya dengan perguruanmu. Mungkin aku lebih tua beberapa tahun, biarlah aku panggil lote kepadamu, tapi terhadap saudara Toan Kiamping sepatutnya aku memanggil Toako. Tapi terhadap nona Han Cin bila diteliti silsilahnya, maka dia harus memanggil suheng kepadaku."

   "Aku sudah tahu usiamu belum tua,"

   Ujar Han Cin.

   "maka tidak memanggilmu Locianpwe Tapi aku tidak menyangka bahwa kau dari aliran yang sama, tolong kau beri tahu sejelasnya siapakah kau sebenarnya."

   Orang itu tertawa, katanya.

   "Namaku, kusebutkan kalian juga tidak akan tahu. Tentang nama guruku, mungkin kalian pernah mendengarnya."

   "Kepandaian saudara setinggi itu, gurumu tentu seorang cianpwe kosen yang pernah menggetarkan Kangouw."

   Demikian ujar Tan Ciok-sing.

   "Tolong saudara sebutkan siapa nama besar gurumu."

   "Bicara tentang pengalaman berkecimpung di Kangouw, guruku masih jauh lebih lama dibanding jago pedang nomor satu Thio Tan-hong Thio Tayhiap. Adalah pantas kalau beliau disebut Cianpwe. Bicara tentang ketenaran, selama empat puluh tahun beliau memang pernah terkenal di kalangan Kangouw. Sayang belakangan beliau tidak mendapat nama baik. Maka sebutan Cianpwe kosen, baiklah aku wakili guruku menampiknya."

   Seorang murid memberi komentar sedemikian rupa tentang gurunya, hal ini jarang terjadi. Mau tidak mau Tan Ciok-sing melongo. Orang itu seperti tahu perasaan mereka katanya lebih lanjut.

   "Bukan aku sebagai murid berani bersikap kurang ajar terhadap guru, mungkin kalian tidak tahu. Guruku tidak suka diagulkan atau dipuji sanjung sebagai tokoh besar segala, bagi orang-orang yang seangkatan dengan beliau sama beranggapan beliau adalah orang yang tidak lurus, tapi juga tidak sesat, tidak peduli lurus atau sesat, setiap menyinggung nama beliau, delapan dari sepuluh orang pasti mengerutkan kening, karena itu Beliau merasa bangga, tidak lantaran kaum persilatan mengecapnya jelek lantas dia malu diri."

   "Sebanyak itu komentarmu,"

   Ujar Han Cin.

   "kukira sudah saatnya kau menyebut she dan nama gelaran gurumu."

   Maka orang itu berkata.

   "Guruku she rangkap Siangkoan bernama Ling-hong."

   Tengah Tan Ciok-sing berpikir, Toan Kiam-ping sudah berkata.

   "O, jadi gurumu adalah.Biau-jiu-sin-tho Kok Tayhiap yang sudah terkenal sejak enam puluhan tahun yang lalu?"

   "Betul."

   Ujar orang itu.

   "beliau memang maling sakti nomor satu di masa itu, tapi tiada orang yang pernah memanggilnya Tayhiap."

   "Tak heran kau bilang perguruanmu ada sedikit hubungan dengan perguruan kami."

   Demikian ucap Toan-Kiam-ping.

   "Tan-toako gurumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap mungkin belum pernah menjelaskan kepada kau, Kok-locianpwe ini adalah teman karib gurumu semasa masih hidupnya dulu, beliau memiliki tiga jenis ilmu tunggal yang terkenal, yaitu pandai mencuri, make up dan lempung menutuk Hiat-to."

   "Aku adalah murid penutup guruku, di kala aku masuk perguruan, saatnya guruku ajal pula. Tentang kisah kepahlawanan guruku dimasa mudanya aku hanya mendengar cerita orang lain."

   "Asal-usulmu aku sudah tahu."

   Ucap orang itu.

   "kedatanganku ini justru karena mengingat hubungan perguruan dimasa lalu maka ingin aku berteman dengan kau. Aku bernama Cin Tay-hun."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Cin-heng, mata singa baja penindih kertas di meja baginda itu dikorek orang, demikian pula surat laporan komandan militer kota Tay-tong telah diganti surat pribadi Kim-to Cecu, kukira kedua kejadian ini adalah perbuatanmu?"

   "Betul, memang aku yang melakukan. Kepandaian tak berarti, harap tidak ditertawakan,"

   Demikian ucap Cin Tay-bun kikuk. Tan Ciok-sing berkata.

   "Kali ini kau tidak mencuri pusaka raja, tapi telah memberikan hadiah berharga dari Kim-to Cecu kepada Baginda Raja, apalagi bisa bebas keluar masuk di Yang-sim-tiam, ini sudah menunjukkan keahlian dari perguruanmu, memang patut dipuji."

   In San ikut menimbrung, katanya.

   "Cin-toako, jadi atas perintah Kim-to Cecu kau lakukan semua ini? Sejak kapan kau datang ke markas? Kenapa aku tidak tahu?"

   Maka Cin Tay-hun lantas bercerita.

   Ternyata selama hidup gurunya Biau-jiu-sin-tho Siangkoan Ling-hong hanya suka mencuri dua macam barang, pertama ialah benda-benda pusaka tak ternilai harganya, kedua yaitu buku-buku rahasia pelajaran silat tingkat tinggi.

   Sampaipun buku-buku pusaka pelajaran pukulan, ilmu pedang atau golok dan ajaran Lwekang dari berbagai perguruan besar kecil pernah dicurinya.

   Oleh karena itu peduli golongan hitam atau aliran putih, pembesar, bangsawan atau orang kaya dalam kalangan Bulim, setiap membicarakan namanya pasti pusing kepala.

   Sejak dia mengasingkan diri, hidup di pengasingan menghabiskan masa tuanya, baru dia insyaf dan menyadari kesalahannya, sebelum ajal dia memberi pesan kepada muridnya.

   "Selama hidup terlalu banyak perbuatan jahatku, jarang berbuat baik dan bajik. Walau perbuatan jahatku tidak sampai menimbulkan korban yang tidak perlu, tapi perbuatan baikku juga tidak berarti, tidak setimpal dinilai."

   "Walau kejahatan besar tidak pernah dilakukan, perbuatan baik juga tidak patut dinilai. Jadi kalau dipertimbangkan antara yang jahat dan yang bajik, perbuatan jahatku jauh lebih besar. Aku tidak ingin setelah aku ajal, namaku masih tetap dicap jelek, oleh karena itu hanya satu permintaan kepada kau, lakukanlah suatu kerja besar yang mengundang pujian orang banyak, baru dosa-dosaku masa lalu akan tertebus, supaya aku bisa tentram di alam baka."

   Setelah menceritakan pesan gurunya, sengaja Cin Tay-hun berhenti, supaya para pendengarnya menerka-nerka dalam hati. Toan Kiam-ping berkata.

   "Gurumu adalah seorang kosen aneh yang hidup di masa jayanya, kerja baik yang dia inginkan supaya kau melaksanakan tentu suatu tugas mulia yang luar biasa. Kukira urusan ada sangkut pautnya dengan Kim-to Cecu?"

   "Betul,"

   Ujar Cin Tay-hun.

   "walau guruku mengasingkan diri, selama empat puluh tahun lepas dari urusan Kangouw. Tapi kejadian-kejadian besar diluar tetap diketahuinya dengan baik. Beberapa tahun terakhir ini, Kim-to Cecu dengan pasukan kecilnya berulang kali berhasil memukul mundur serbuan pasukan Watsu diluar Gan-bun-koan juga diketahui dengan baik. Maka beliau berpesan kepadaku.

   "Selama hidupku teramat banyak koleksi benda-benda berharga yang kusimpan, aku ini bukan orang yang tamak harta, hanya hobby saja suka mengoleksi. Aku tahu hobbymu. tidak selaras dengan kesenanganku, maka benda-benda mustika itu tidak kuwariskan kepada kau. Setelah aku mati, boleh kau serahkan seluruhnya kepada Kim-to Cecu, biar dia jual untuk membeli rangsum dan senjata. Sementara buku-buku pelajaran silat hasil curianku itu boleh kuberikan kepada kau, sayang bakatku terbatas, terlalu tamak lagi sehingga latihan yang kucapai tiada satupun yang benar-benar sempurna. Semoga setelah kau mempelajari buku-buku silat itu dapat tekun belajar dan hasilnya jauh lebih tinggi dari apa yang pernah kucapai. Cuma aku tidak ingin kau meniru diriku, senang silat lalu mengkhususkan diri di bidang ini. Kuanjurkan kau belajar silat untuk mendarma baktikan tenagamu kepada Kim-to Cecu."

   Tan Ciok-sing memuji.

   "Tindakan gurumu memang patut dipuji, jauh lebih berguna dari pada mencuri untuk membantu yang miskin. Aku tidak berani bilang apakah gurumu pernah melakukan kejahatan besar, umpama benar dia pernah melakukan perbuatan buruk, pesannya kepadamu bila sudah dilaksanakan sudah cukup untuk menebus segala dosadosanya itu."

   Tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah tiba diluar gedung pribadi tempat kediaman Liong Bun-kong.

   Melihat wakil komandan Gi-lim-kun bersama dua perwira dan dua Thaykam datang, sudah tentu orang-orang Liong Bun-kong amat kaget, lekas mereka berlari masuk memberi laporan.

   Tak lama kemudian, pengurus rumah tangga keluarga Liong, Sa Thong-hay tersipu-sipu keluar menyambut.

   Sa Thong-hay adalah seorang perwira tinggi anak buah Liong Bun-kong, setelah Liong Bun-kong minta cuti, dia melihat gelagat jelek, maka lekas-lekas dia mohon meletakkan jabatan, terima menjadi pengurus rumah tangga Liong Bunkong.

   Umpama Liong Bun-kong berhasil mempertahankan jabatan tetapnya, kelak masih ada kesempatan untuk merehabilitir kedudukannya.

   Menjadi pengurus rumah tangga keluarga Liong juga tiada jeleknya, jauh lebih aman, sederhana dan tentram dari pada berkecimpung di kalangan pemerintahan, celaka bila tahu-tahu dirinya difitnah lalu di copot kedudukannya serta dijebloskan kedalam penjara.

   Dengan mimik heran dan kurang percaya dia mengawasi Cin Tay-hun yang menyamar wakil komandan Gi-lim-kun, katanya.

   "Ing-tayjin, kuharap kau bisa membocorkan sedikit perintah raja kali ini, apakah menguntungkan atau merugikan kepada Liong-tayjin?"

   Ternyata hubungannya dengan Ing Siugoan biasanya amat baik, seperti saudara kakak beradik. Melihat orang tidak bisa membedakan tiruannya, diam-diam Cin Tay-hun amat senang dan bangga, sebagaimana lazimnya orang berpangkat, dia berkata.

   "Surat perintah ini langsung diberikan oleh baginda, siapa berani membuka mencuri lihat. Jangan kata aku tidak tahu, umpama kau tanya kepada kedua petugas inipun mereka tidak tahu. Lekas kau suruh tuanmu keluar menerima perintah raja ini, bukan mustahil kabar baik yang menguntungkan dia."

   Sa Thong-hay bersikap serba salah, katanya cemberut.

   "Kalau demikian, hamba tak berani banyak tanya. Harap para Tayjin tunggu sebentar, biar hamba segera mengundang Liong-tayjin keluar."

   Dia bilang sebentar, tapi Tan Ciok-sing harus menunggu hampir setengah jam lamanya Liong Bun-kong belum juga kunjung keluar.

   Mereka tahu untuk menerima perintah raja siapapun diharuskan berdandan mengenakan pakaian kebesaran, tapi untuk berpakaian lengkap semestinya juga tidak akan selama ini.

   Han Cin yang menyaru jadi petugas utama sudah akan marah-marah, ternyata Liong Bun-kong telah keluar.

   Han Cin lantas membentak.

   "Liong Bun-kong, berlutut, terima firman baginda."

   Liong Bun-kong berlutut seluruh tubuhnya mendekam, mukanya menempel lantai. Dalam hati dia membatin.

   "Aku ingin saksikan sandiwara apa yang sedang kalian mainkan? Kalian suruh aku berlutut malah kebetulan bagi aku."

   Waktu kecil In San sering dolan ke rumah Liong Bun-kong, kini terasa wajah orang jauh lebih kurus ? dan tua, namun bentuknya seperti tidak banyak berobah, orang sudah berlutut maka In San tidak menaruh perhatian lebih seksama.

   Dengan suara lantang Han Cin membacakan firman raja.

   Sebagai gadis belia, umumnya suara Thaykam juga sumbang dan banci, maka dia yakin samarannya tidak akan konangan.

   "Sekretaris negara merangkap Kiu-bun-te-tok Liong Bunkong ada indikasi sekongkol dengan musuh menjual negara, membocorkan rahasia militer, biasanya menindas sesama pejabat, korupsi mengeduk harta benda rakyat jelata, bersama ini dinyatakan jabatannya dicopot dan harta bendanya dirampas menjadi milik negara, serah terima diserahkan kepada Tang-jio sebagai pelaksana, Tim sendiri yang akan memeriksa perkara ini. Selesai."

   Habis mendengar firman raja, perlahan-lahan Liong Bunkong berdiri, katanya gemetar.

   "Tayjin, bolehkah aku memeriksa firman raja di tanganmu itu."

   Han Cin gusar.

   "Liong Bun-kong besar nyalimu, berani kau mencurigai firman Baginda."

   "Tidak berani,"

   Sahut Liong Bun-kong menjura.

   "menurut peraturan istana, sebagai pejabat tinggi aku berhak memohon grasi kepada junjungan."

   Di antara lima orang, hanya In San kira-kira memahami tata tertib kalangan pejabat tinggi, tapi diapun tidak tahu apakah benar ada aturan seperti yang dituntut oleh Liong Bun-kong. Dalam hati dia membatin.

   "Firman raja itu memang bukan palsu, apa salahnya biar diperiksa olehnya?"

   Maka dia berkata.

   "Baiklah, biar dia memeriksa, Tay-wi, boleh kau serahkan firman itu supaya dia periksa, setelah dibaca boleh kau copot topi kebesaran di atas kepalanya."

   In San tahu akan undang-undang ini, tapi kalau Liong Bunkong tidak menuntut sesuai pasal undang-undang istana ini In San juga tidak akan ingat lagi.

   Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing menyerahkan firman serta mencopot topi kebesaran memang sudah dalam perhitungannya yang cermat.

   Andaikata Liong Bun-kong curiga dan menolak mengembalikan firman, Tan Ciok-sing akan mampu merebutnya kembali.

   Kungfu Tan Ciok-sing sekarang sudah setaraf jago kosen kelas wahid, yang dapat mengalahkan dia sekarang bisa dihitung dengan jari.

   Liong Bun-kong hanya pembesar sipil yang lemah berpenyakitan lagi, In San kira urusan tidak bakal runyam.

   Tak nyana perobahan kejadian selanjutnya justru jauh diluar dugaannya.

   Di waktu serah terima firman dari tangan Tan Ciok-sing kepada Liong Bun-kong itu, tiba-tiba Tan Ciok-sing merasa telapak tangannya kesemutan.

   Koan-goan-hiat, Kik-ti-hiat dan Siau-siang-hiat tiga jalan darah dari aliran Siau-yang-king-meh sekaligus terasa panas.

   Itulah Kek-but-thoan-kang, tingkat Lwekang yang paling sukar diyakinkan.

   Bahwa Liong Bun-kong mampu menyalurkan Lwekang melalui secarik kertas tipis menggetar tiga Hiat-to penting di tubuh Tan Ciok-sing, betapa tangguh Lwekangnya, sungguh luar biasa dan susah dibayangkan.

   Mimpipun Tan Ciok-sing tidak pernah menduga bahwa pembesar sipil yang kelihatannya lemah berpenyakitan seperti Liong Bun-kong ternyata memiliki Lwekang setangguh ini, jangan kata sebelumnya dia tidak siaga, mengerahkan tenaga melawan, umpama dia sudah mempersiapkan diri, juga mungkin sukar menahan sergapan diluar dugaan yang hebat ini.

   Kejadian cepat sekali, tiba-tiba Liong Bun-kong menghardik keras.

   Tan Ciok-sing telah diringkusnya terus ditutuk Hiat-to pelemasnya, badannya terus diangkat tinggi di atas kepala.

   Kejadian diluar perhitungan, karuan In San, Han Cin, Cin Tay-hun dan Toan Kiam-ping sama berdiri kesima.

   "Sret"

   Kontan In San mencabut pedang seraya membentak.

   "Siapa kau, berani menyaru jadi pembesar dorna yang akan dibekuk atas perintah firman raja."

   Tan Ciok-sing disandera, In San kuatir dan ragu-ragu, meski Ceng-bing-kiam sudah dicabut, tapi dia tidak berani menusuk.

   Baru saja Cin Tay-hun hendak melabrak maju melancarkan kepandaian mencurinya, merebut kembali firman raja itu, tibatiba ada beberapa gantang air tumpah dari atas menggerojok ke atas kepalanya, sebelum ini beberapa orang yang memiliki Ginkang tinggi telah dipendam di atas atap, setiap orang membawa segantang air penuh, di saat-saat menentukan itulah mereka menyiram air itu ke bawah.

   Cin Tay-hun beramai sedang dalam pikiran kalut, betapapun gesit dan tangkas gerakan Cin Tay-hun, beberapa gantang air yang disiramkan ke tubuhnya itu bagaimana juga tak mungkin dihindarkan, sekujur badan kontan basah kuyup.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian pula In San dan lain-lain juga kecipratan muka dan tubuhnya, sehingga penyamaran mereka terbongkar.

   Liong Bun-kong tertawa tergelak-gelak katanya.

   "Betul, aku ini adalah Liong-tayjin tiruan, tapi kalian juga Thaykam dan Wisu palsu."

   Baru sekarang In San mengenali orang yang menyamar jadi Liong Bun-kong ternyata bukan lain adalah Sugong Go, Tang-hay-liong-ong yang pernah dikalahkan oleh ln San bersama Tan Ciok-sing di pesta ulang tahun Ong Goan-tin di Thay-ouw tempo hari.

   Cin Tay-hun membentak.

   "Sugong Go, kau kira kami menyamar petugas penyampai firman raja, kau salah. Firman itu tulen tulisan Sri Baginda sendiri, boleh kau suruh Liong Bun-kong keluar memeriksanya. Kalian berani menghina firman raja, meski kelak kalian bisa merat, bukan mustahil Liong Bun-kong bakal dibeslah seluruh kekayaan dan keluarganya dihukum mati seluruhnya. Liong Bun-kong, aku tahu kau sembunyi didalam, coba kau berpikir sebelum kasep."

   Hanya sekejap dari dalam memang keluar satu orang, tapi bukan Liong Bun-kong. Orang ini tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kau ini bocah keparat dari mana, nyalimu cukup besar juga, kau lihat siapa aku, kau berani menyaru tuan besarmu, bukan mustahil kaupun memalsu firman raja?"

   Orang ini bukan lain adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ing Siu-goan tulen.

   Ternyata pengurus rumah tangga Liong Bun-kong yaitu Sa Thong-hay diam-diam sudah curiga waktu melihat wakil komandan Gi-lim-kun tiruan, setelah masuk menemui Liong Bun-kong, bersama Tang-hay-liong-ong mereka berunding mencari jalan keluar untuk menghadapi persoalan ini, maka akhirnya diputuskan, Tang-hay-liong-ong menyamar jadi Liong Bun-kong, di samping menyuruh orang menunggang kuda kilat mengundang Ing Siu-goan.

   Cin Tay-hun tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kenyataan memang sukar dibedakan yang palsu dan yang tulen, ada baiknya juga kita berkenalan."

   Sembari bicara dia melompat maju, secepat kilat tangannya melancarkan serangan.

   Pukulan Cin Tay-hun telak mengenai pundak orang, terasa pundak lawan empuk lembut seperti setumpuk kapas, mendadak pergelangan tangannya tergetar, tenaga perlawanan lawan sontak timbul dengan hebat, sehingga telapak tangannya terpental, lekas Cin Tay-hun gunakan Siphiong- kiau-hoan-hun, sebelum Ing Siu-goan sempat balas menyerang, dia sudah bersalto beberapa tombak jauhnya.

   Sebelum kakinya berdiri tegak, tangannya telah terayun, katanya tawar.

   "Firman raja itu dijatuhkan untuk Liong Bunkong, kukira biarlah Sa Thong-hay menyerahkan kepada Liong Bun-kong saja. Jikalau Liong Bun-kong bernyali besar berani menentang firman raja, atau merasa curiga akan firman itu, biar dia sendiri yang langsung menghadap baginda, tanyakan persoalannya supaya jelas."

   Benda yang terayun di tangannya itu bukan lain adalah gulungan kertas yang berisi firman raja yang akan diberikan Liong Bun-kong dan tadi telah dirampas Tang-bay-liong-ong, setelah Ing Siu-goan datang, Tang-hay-liong-ong menyerahkan kepada Ing Siu-goan.

   Dalam gerakan secepat kilat menyerang Ing Siu-goan serta memukul sekali di pundak lawan, ternyata Cin Tay-hun masih mampu menggerayang kantong lawan serta mencuri balik firman raja itu, karuan hadirin sama melongo dan berdiri menjublek.

   Sementara Ing Siu-goan sendiri kaget dan ciut nyalinya diam-diam dia berpikir.

   "Bila bocah keparat ini menusuk dadaku dengan senjata gelap yang beracun, bukankah jiwaku sudah mampus sekarang."

   Di kala hadirin menjublek itu, kembali Cin Tay-hun bergerak tangkas, tahu-tahu dia sudah berada di depan Sa Thong-hay, bentaknya.

   "Terimalah firman raja."

   Saking kagetnya, secara reflek Sa Thonghay angkat kedua tangannya bersiaga, tiba-tiba terasa telapak tangannya seperti menyentuh sesuatu benda, kontan dia menangkapnya, tahutahu gulungan firman raja itu sudah disesepkan ke telapak tangannya.

   Karuan Sa Thong-hay gusar.

   "Anak keparat, berani kau mempermainkan aku."

   Dia tidak berani merusak firman raja, tangannya tak mungkin dibuat menyerang, maka dia kerjakan kedua kakinya menendang dengan serangan berantai.

   Sa Thong-hay adalah murid aliran Tam-tui yang terkenal di utara, kepandaian tendangan kakinya jauh lebih liehay dari ilmu pukulan.

   Meski tendangannya secepat kilat, mana dia mampu menendang Cin Tay-hun? Hanya membalik setengah lingkar, kembali tangannya terayun, kali ini dia menimpuk tiga keping mata uang tembaga ke arah Tang-hay-liong-ong.

   Senjata rahasia lempung menutuk Hiat-to yang diyakinkan merupakan ilmu tunggal yang tiada bandingannya, kini dia ganti menggunakan mata uang, tenaganya jauh lebih kuat dan tepat.

   Sejak tadi Tang-hay-liong-ong sudah memperhatikan gerak-geriknya, kuatir orang tahu-tahu menyerbu dan menggerayangi dirinya.

   Kini melihat mata uang menyerang dirinya, dia hendak gunakan Tan Ciok-sing sebagai tameng, namun harapannya ternyata gagal, ketiga mata uang itu seluruhnya mengenai Hiat-tonya dengan telak.

   Cin Tay-hun sudah kegirangan, tak nyana tiba-tiba didengarnya Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak katanya.

   "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan cahayanya."

   Di tengah gelak tawanya, ketiga mata uang itu tiba-tiba secepat meteor melesat balik ke arah pemiliknya.

   Tadi Cin Tay-hun menyerang dengan ayunan tangan, ketiga mata uang itu telah mengenai tubuhnya dan terpental balik dengan daya luncur dan tidak kalah kencangnya.

   Kiranya Tang-hay-liong-ong meyakinkan Can-ih-cap-pwe-tiat, Lwekangnya entah berapa tingkat lebih liehay dibanding Ing Siu-goan, ilmunya ini sudah diyakinkan cukup sempurna.

   Bukan saja dia sudah melatihnya sampai menyentuh pakaian kontan jatuh, senjata rahasia yang mengenai Hiat-tonya ternyata mampu diritul kembali untuk -menyerang pemiliknya.

   Kejadian diluar tahu Cin Tay-hun, meski dia memiliki Ginkang tinggi, cara menghindarnya juga cukup runyam.

   Mendekam ke bawah terus mencelat naik ke atas akhirnya menggelundung di tanah, ternyata pantatnya tetap terkena juga oleh mata uangnya sendiri.

   Untung dia sudah menutup Hiat-to sendiri, maka hanya merasa sakit tapi tidak terluka apa-apa.

   Sebetulnya Tang-hay-liong-ong tengah bergelak tawa, entah kenapa mendadak gelak tawanya putus seperti tenggorokannya keselek benda keras, menyusul dia meraung sekeras-kerasnya, Tan Ciok-sing yang sudah menjadi tawanannya tiba-tiba dilempar.

   Lwekang Tan Ciok-sing memang tidak setangguh Tanghay- liong-ong, tapi dia memperoleh ajaran Lwekang murni langsung dari Thio Tan-hong, ilmunya itu ternyata memiliki segi-segi lain yang menakjubkan dari ilmu Lwekang umumnya, yaitu yang dinamakan Na-gi-hiat-to maksudnya tenaga tutukan Lwekang lawan yang menyumbat Hiat-tonya dipindah ke tempat lain, begitu tekanan tutukan itu berkurang, Hiat-to yang tertutuk itu pelan-pelan akan bebas sendiri dalam waktu singkat.

   Ilmu ini tiada bedanya dengan cara mengerahkan hawa mumi menghimpun kekuatan untuk menjebol tutukan Hiat-to.

   Di waktu mata uang Cin Tay-hun mengenai tubuh Tanghay- liong-ong, tutukan Hiat-to di tubuh Tan Ciok-sing pun sudah bebas.

   Karena dia diangkat tinggi di atas kepala oleh Tang-hay-liong-ong.

   tubuh bagian atas tak mampu mengerahkan tenaga karena dicengkram jari lawan, tapi kedua kakinya masih bebas bergerak.

   Sekali ujung kakinya menendang, dengan telak menendang Hoan-tiau-hiat di lutut Tang-hay-liong-ong.

   Lwekang Tan Ciok-sing sudah tentu jauh lebih tinggi dibanding Cin Tay-hun, meski Tang-hay-liong-ong memiliki ilmu Can-ih-cap-pwe-tiat, Hiat-to yang kena ditendang tak urung merasa kesemutan dan lemas, mendapat kesempatan sekaligus Tan Ciok-sing ayun tangan menabok batok kepalanya.

   Kejadian diluar dugaan, sergapan mendadak lagi, demi menyelamatkan batok kepalanya dalam gugupnya tanpa pikir, terpaksa dia lemparkan tubuh Tan Ciok-sing.

   Lwekangnya memang teramat tangguh, dalam sekejap, hawa murninya telah disalurkan tiga kali putaran, Hoan-tiauhiat yang tertutuk telah lancar kembali, rasa pegal linu di bagian tubuhnyapun sirna seketika.

   Sambil menggerung gusar segera dia menubruk maju, maksudnya hendak meringkus Tan Ciok-sing.

   Sudah tentu In San tidak tinggal diam, dengan jurus Hing-hun-toan-hong, Ceng-bing-kiam sudah bergerak menghadang di depan Tan Ciok-sing.

   Begitu Tang-hay-liong-ong ulur tangan mencengkram.

   "Cret"

   Tahu-tahu lengan bajunya telah terpapas sobek, di tengah berkelebatnya sinar pedang sobekan kain lengan baju itu hancur beterbangan seperti kupu-kupu, kalau dia tidak lekas menarik tangannya, jari-jarinya pasti sudah terpapas putus oleh pedang mustika itu.

   Kungfu Tang-hay-liong-ong sebetulnya jauh lebih tinggi dibanding In San, kalau dalam keadaan biasa, dengan tangan kosong dia masih mampu merebut pedang In San dan dia pasti tidak akan dirugikan.

   Tapi baru saja Hiat-tonya bebas, geraknya kurang leluasa, maka hampir saja dia terluka oleh ln San.

   Baru saja Cin Tay-hun gunakan keledai malas menggelinding terus mencelat berdiri tahu-tahu tendangan berantai Sa Thong-hay telah melayang datang pula ke tubuhnya.

   Secara kebetulan, Tan Ciok-sing yang dilempar Tang-hayliong- ong dengan daya lempar keras itu tepat meluncur ke arah Sa Thong-hay, gerak kakinya lebih cepat lagi.

   "Blang"

   Sebelum tendangan Sa Thong-hay mengenai sasaran, mendadak tubuhnya mencelat sendiri tertendang oleh Tan Ciok-sing, tubuhnya terbanting keras, kepala bocor membentur lantai. Tang-hay-liong-ong meraung gusar.

   "Bawa kemari senjataku."

   Dari dalam berlari keluar empat busu keluarga Liong, dua orang memanggul Ban-ci-toh senjata khusus Tanghay- liong-ong, empat busu berholopis kuntul baris serentak melempar sepasang senjata itu ke arah Tang-hay-liong-ong.

   Sementara itu Tan Ciok-sing sudah keluarkan senjatanya berdiri jajar bersama In San.

   Setelah menyekal sepasang senjatanya, Tang-hay-liongong membentak.

   "Baiklah, dengan sepasang gamanku ini kembali aku menempur sepasang pedang kalian. Sesuai keinginan kalian, bertanding secara adil satu babak."

   "Kau seumpama seorang jendral yang telah kalah perang di medan laga, kalau tidak terima, apa halangannya bertempur sekali lagi?"

   Demikian ejek Tan Ciok-sing. Tang-hay-liong-ong gusar, dampratnya.

   "Tempo hari kalian menang dengan akal licik, masih berani juga bermulut besar? Buat apa aku ribut mulut, nah sambutlah."

   Maka terdengarlah dering ramai dari benturan keras antara sepasang pedang dengan Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong, benturan tidak kurang dari dua puluhan kali, kembang api berpijar benderang.

   Dengan kertak gigi Tang-hay-liong-ong bertekad merebut kemenangan untuk membalas kekalahannya di Tong-thing-san tempo hari, malah dalam pertempuran kali ini, dia betul-betul sudah kerahkan setaker tenaganya, seluruh kemampuan yang pernah dia yakinkan pada sepasang senjatanya dia boyong seluruhnya, maka perbawa serangannya jauh lebih hebat dari dulu.

   Makin lama pertempuran tiga orang ini makin sengit, serang menyerang dengan gencar getaran senjata mereka sekeras guntur, sinar pedang laksana kilat menyilaukan mata.

   Tanpa terasa dalam arena setombak lebih di sekitar gelanggang terjalin pusaran angin kencang sehingga orang lain tidak berani maju mendekat.

   Di saat pertempuran kacau balau berlangsung, tiba-tiba dari dalam rumah berlari keluar satu orang, Tan Ciok-sing kenal orang yang muncul belakangan ini, dia adalah anak buah Liong-bun-kong pula, perwira tinggi bernama Ciok Khong-goan, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay adalah dua perwira tinggi yang paling setia kepada Liong Bun-kong.

   Sikap Ciok Khong-goan kelihatan tegang dan gugup, katanya.

   "Sugong-thocu, mengingat nona In ini pernah ada hubungan anak dan ayah dengan Liong-tayjin, maksud beliau supaya hubungan tidak retak, maka diberikan kelonggaran supaya kau memberi kesempatan untuk mereka pergi. Sugong-thocu harap kau bermurah hati, sekarang juga kau dipanggil untuk menemui Liong-tayjin, mereka tidak perlu dihiraukan lagi."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing heran mendengar perkataan Ciok Khong-goan, tapi tidak bisa tidak mendadak dia teringat akan pepatah yang mengatakan bila pohon roboh kerapun bubarlah.

   Setelah bertempur sekian lamanya, tetap tak berhasil mengalahkan kedua lawannya, diam-diam Tang-hay-liong-ong juga sudah merasa kesal, mumpung ada alasan mengundurkan diri, mendadak dia menggertak sekali terus putar tubuh.

   Hawa amarah membakar dada In San, teriaknya.

   "Bangsat tua she Liong, kalau berani kau keluar. Keluargaku telah kau bikin porak poranda, sebelum membunuhmu, tak terlampias dendamku."

   Tang-hay-liong-ong tertawa, katanya.

   "Nona In, lekas kau pergi saja. Jelek-jelek Liong-tayjin adalah..."

   Belum habis dia bicara In San sudah melabraknya dengan menusukan pedang, seolah-olah segala dendam kesumatnya selama ini ingin dilampiaskan kepada Tang-hay-liong-ong.

   Lekas gaman 'di tangan kanan Tang-hay-liong-ong diangkat dengan gaya Ki-hwe-liau-thian, bentaknya.

   "Budak tidak tahu di untung, kau..."

   "Trang"

   Api berpijar, dengan gerak burung dara jumpalitan, tubuh In San jumpalitan mundur ke belakang.

   Tan Ciok-sing kaget, lekas dengan jurus Tiang-hong-kingthian, sinar pedangnya tampak berkembang memanjang tak ubahnya laksana lembayung dari samping mencegat di antara Tang-hay-Liong-ong dengan In San.

   Dalam sekejap itu Tang-hay-liong-ong merasa kepalanya silir semilir, ternyata di waktu In San jumpalitan mundur, dimana pedangnya bergerak, rambut kepalanya telah dipapasnya secomot.

   Selama ini Tang-hay-liong-ong agak jeri menghadapi Tan Ciok-sing, In San bahwasanya tidak dipandang sebelah matanya, tak nyana lawan yang dianggap enteng seperti In San kini mampu memapas secomot rambut di atas kepalanya karuan kagetnya bukan kepalang, tanpa banyak bersuara lagi, lekas dia merat kedalam serta menutup pintu.

   Waktu Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya ujung kaki In San baru menutul lantai, tubuhnya limbung dua kali, tak usah Tan Ciok-sing memapahnya dia sudah berdiri tegak pula.

   Melihat kekasihnya tidak terluka, legalah hati Ciok-sing.

   "Adik San, seorang Kuncu membalas dendam sepuluh tahun belum terlambat, apalagi kekuasaan bangsat tua itu sudah runtuh, kukira kita tak usah menunggu sepuluh tahun lagi, biarlah kita memberi kelonggaran beberapa hari lagi biar bangsat tua itu hidup lebih lama."

   Setelah tenang gejolak perasaannya. In San juga maklum, untuk menuntut balas seketika terang tidak mungkin. Pikirnya.

   "Entah apa yang sedang direncanakan oleh bangsat tua itu, tapi Tang-hay-liong-ong dipanggil masuk, apapun yang terjadi, masih menguntungkan kami untuk menerjang keluar. Memang untuk menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat. Sekarang lebih penting kami meloloskan diri."

   Maka dia manggut bersama Tan Ciok-sing sepasang pedang mereka membuka jalan, setelah bergabung dengan Toan Kiam-ping, Han Cin dan Cin Tay-hun mereka menerjang keluar dari rumah keluarga Liong.

   Tengah mereka melarikan diri, tiba-tiba tampak dari depan datang serombongan barisan kuda membawa panji Gi-lim-kun, dua perwira dengan seragam berlapis baja menunggang kuda tinggi gagah bukan lain adalah Bok Su-kiat dan Hu Kian-seng.

   Jabatan kedua orang ini sejajar dan setingkat, tapi lantaran tugas masing-masing berbeda, sepantasnya Hu Kian-seng menjaga keselamatan baginda raja didalam istana, kapan dia pernah keluar istana meninggalkan tugasnya.

   Kini justru bersama pasukan Gi-lim-kun membawa pasukan menuju ke rumah keluarga Liong, jelas urusan agak genting.

   Ada pula kejadian yang lebih mengejutkan hati Tan Cioksing, tampak anggota Gi-lim-kun tengah dipencar mengudak kawanan pengemis yang lari serabutan ke segala penjuru di sawah ladang yang baru saja panen.

   Cin Tay-hun membentak.

   "Apakah Gi-lim-kun memang digunakan untuk berperang melawan kajem (kaum jembel)? Sungguh memalukan, hayo lekas hentikan."

   Dandanannya sekarang masih menyamar Ing Siu-goan sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, meski obat rias di mukanya agak luntur karena tersiram air, sehingga tampangnya kelihatan lucu dan menggelikan, tapi perawakannya memang sedikit mirip Ing Siu-goan, apalagi seragam yang dipakainya juga pakaian kebesaran Gi-lim-kun.

   Demikian pula Tan Ciok-sing dan Toan Kiam-ping masih berpakaian wisu, sementara In San dan Han Cin berpakaian Thaykam.

   Melihat rombongan mereka, sudah tentu anggota Gi-limkun merasa heran, yang tidak tahu persoalan malah ada yang berteriak.

   "He, Ing-hujongling, kenapa kau menjadi begitu."

   Tapi lain pandangan Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat, lekas Bok Su-kiat membentak.

   "Kurcaci bernyali besar, di hadapanku berani memalsu wakilku. Perhatikan, mereka itu tiruan semuanya, hayo tangkap."

   Maksud Cin Tay-hun dan Tan Ciok-sing memang hendak memancing pasukan Gi-lim-kun untuk menghadapi mereka. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Semalam kami sudah bertemu, seharusnya kau maklum bahwa petugas seperti diriku ini bukan tiruan."

   Hu Kian-seng melengak, bentaknya.

   "Omong kosong, hari ini kau harus diringkus."

   Di mulut dia bersikap garang, namun dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya? Kali ini Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat memang menerima perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen yang harus menjalankan firman raja.

   Dalam keadaan kebat kcbit Cu Kian-sin semula masih bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co dan Milo Hotasu sudah lari meninggalkan istana.

   Setelah Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan di pantatnya, umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar kota minta maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi, hubungan buruk sudah terjalin, apalagi sebagai raja sudah tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.

   Tan dan In juga sudah tidak kelihatan, Kim-to Cecu menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to Cecu baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan.

   Bila Kim-to Cecu sampai menyebar luaskan konsep perjanjian damai itu, lalu angkat senjata menghasut rakyat dengan semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar, betapapun Cu Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.

   Ditimbang-timbang dan dipilih berat dan ringannya, apa boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet bahaya meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka siap dia menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu.

   Pertama yang harus dia korbankan sudah tentu adalah Liong Bun-kong.

   Hu dan Bok punya hubungan baik dengan Liong Bun-kong, bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur memimpin tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondongbondong menuju ke rumah Liong-Bun-kong, sebelum berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi kabar kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bunkong secara mudah mau memberi kelonggaran kepada Tan Ciok-sing serta menarik mundur Tang-hay-liong-ong.

   Sa Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik untuk melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan Ciok-sing pula.

   Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka, sebelum tiba di tempat tujuan, di tengah jalan mereka sudah kepergok dengan Tan Ciok-sing.

   Melihat Cin Tay-hun semirip itu menyaru wakil komandan mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaokkaok ? terus menyerbu.

   Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.

   Cin Tay-hun malah bikin barisan kuda Gi-lim-kun kocarkacir, dengan Ginkangnya yang tinggi dia terobosan di antara kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya.

   Sudah tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan setangkas gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak sempat menarik kendali malah saling tumbuk dan injak.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bok Su-kiat gusar, bentaknya.

   "Kalian minggir, biar aku ringkus dia."

   Cin Tay-hun tahu keliehayannya, lekas dia merebut seekor kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur.

   Dari seorang anak buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.

   Tombak besar, panjang dan berat, tenaga lemparan besar lagi, maka tombak itu mendesing kencang.

   Cin Tay-hun sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak mata dan menyengir hidung, teriaknya.

   "Haya celaka, kau tidak hiraukan sesama kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke istana raja akhirat melaporkan kejahatanmu,"

   Tiba-tiba tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut kuda, tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda.

   Celaka adalah seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan berada di sebelah depan, dia keprak kuda pikirnya mau mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak amblas menembus dadanya, dia terguling mati diinjak-injak kuda lagi.

   Bok Su-kiat tambah murka, hardiknya.

   "Bangsat cilik, lari kemana kau,"

   Mengeprak kuda segera dia mengudak.

   Sementara itu Toan Kiam-ping juga sudah merebut seekor kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin Tayhun.

   Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiongliong- jut-hay.

   Sekuat tenaga dia menusuk.

   Lwekang Toan Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu dia menangkis dengan pedang.

   "Trang"

   Lelatu api berpijar.

   Ceng-kong-kiam di tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung.

   Melihat gelagat tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.

   Pertempuran berjalan seru alias setanding.

   Siang-kiam-happik Tan dan In sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kianseng lekas sekali mereka sudah bergabung dengan Toan dan Han terus menerjang keluar dari kepungan.

   Bok Su-kiat masih ingin mengudak, lekas Hu Kian-seng membisikinya.

   "Biarkan mereka pergi."

   Bok -Su-kiat melengak, katanya.

   "Kukira bocah itu sudah kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada kesempatan meringkusnya?"

   Hu Kian Seng tertawa, katanya tersenyum.

   "Keluar rumah harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak menguntungkan kita, biarlah mereka pergi saja."

   Bok Su-kiat juga seorang licik, cepat sekali dia sudah paham maksud Hu Kian-seng, katanya.

   "Betul juga, kita mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bunkong, biarlah bocah-bocah itu pergi saja."

   Segera dia memberi aba-aba menarik pasukannya.

   Setiba Tan dan In di atas gunung, sementara murid-murid Kaypang yang lari berpencar itupun sudah berdatangan.

   Murid Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan mereka kepergok pasukan Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa orang yang luka-luka ringan.

   Cin Tay-hun tiba-tiba berkata.

   "Aku ingin pulang ke rumah keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku tidak menyamar Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."

   "Seorang diri terlalu bahaya bagi dirimu,"

   Ujar Tan Cioksing. Cin Tay-hun tertawa, katanya.

   "Berkelahi dengan orang, aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari aku berani bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk diajak berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik mundur, baru aku akan menyelundup ke rumah Liong Bunkong. Bila jejakku kenangan, aku akan segera lari."

   Tan Ciok-sing tahu kepandaiannya, katanya.

   "Baiklah, kau harus bertindak melihat gelagat, nanti malam kita jumpa di markas lagi."

   Setiba di markas Kaypang sudah menjelang kentong kedua. Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tayhun, tiba-tiba Liok Kun-lun membentak.

   "Kalau kawan boleh silakan masuk,"

   Belum lenyap suaranya terasa angin berkesiur, api lilin bergoyang-goyang. Waktu In San membelalakan mata, di depannya telah berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun? "Cin-lote, hebat Ginkangmu,"

   Puji Liok Kun-lun tertawa.

   "Banyak terima kasih, Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan hormat kepada Cianpwe."

   Liok Kun-lun tertawa, katanya.

   "Gurumu Siangkoan Linghong setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku keluar kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun. Kau menyebut aku Cianpwe, akulah yang tidak berani terima."

   Wi-cui-hi-kiau juga hadir, setelah saling sapa dan basa-basi ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka satu sama lain memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira. Cin Tay-hun mulai berceritera.

   "Pasukan Gi-lim-kun itu ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."

   "Apa benar?"

   Liok Kun-lun kaget.

   "jadi Liong Bun-kong telah ditangkap mereka?"

   "Tidak. Sebelumnya Hu Kian-seng sudah suruh orang memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek panji menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya yang sedikit punya kedudukan dan simpananpun telah hengkang tak karuan parannya. Jadi yang ditangkapi pasukan Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung atau tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah membekuk orangnya, harta disita, rumah disegel."

   Lim Ih-su berkata.

   "Kalau demikian mana boleh dikata mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."

   Liok Kun-lun berpikir sejenak, katanya tertawa.

   "Agaknya mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka kepalang tanggung."

   "Kepalang tanggung bagaimana?"

   Tanya Lim Ih-su. Liok Kun-lun menjelaskan.

   "Karena terdesak oleh situasi, terpaksa raja harus mengorbankan Liong Bun-kong untuk menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan firman dan rakyat banyak mengetahui, ini tidak boleh dibilang pura-pura, tapi dia membiarkan Hu Kian-seng dan kampratkampratnya bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian kepalang tanggung, kurasa masih lebih baik dari pada tidak terjadi apa-apa."

   Rasa dongkol Lim Ih-su masih belum terlampias, katanya.

   "Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara diam-diam membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu harus kita bekuk."

   In San berkata.

   "Bangsat tua itu adalah musuh besarku, hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja kepada aku dan Ciok-sing."

   "Kalian jangan rebutan tugas, yang terpenting sekarang adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua itu melarikan diri?"

   In San berkata.

   "Kukira dia tidak akan berani lari ke kampung halamannya."

   Cin Tay-hun berkata.

   "Aku sembunyi di hutan di belakang gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak sempat lari semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari paling akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun ternyata diam saja berpeluk tangan. Coba kalian terka siapa kedua orang ini?"

   "Kurasa dia bukan orang sembarangan."

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Mereka adalah Liong Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."

   "O, jadi Poyang Gun-ngo selama ini sembunyi di rumah keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu berada di kota raja, dia tetap menyembunyikan diri."

   In San seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian.

   "Dia sembunyi di rumah bangsat she Liong, kukira untuk berjagajaga menghadapi bencana hari ini."

   "Pendapatmu betul,"

   Ujar Cin Tay-hun.

   "Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan Liong Seng-bu, tapi begitu melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka lantas pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-limkun yang berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah dipindah ke lain tempat oleh Bok Su-kiat."

   Lok In-hu berkata.

   "Sebulan yang lalu keparat Liong Sengbu kena kupukul luka parah, ternyata masih kuat bertahan hidup, boleh juga dia."

   "Aku justru tidak habis mengerti, setelah dia terluka parah, kenapa pamannya tidak segera memindahkannya ke tempat lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru lari."

   "Kurasa tidak sukar kutebak,"

   Ujar Lok In-hu.

   "justru karena dia terluka, kuatir menambah beban, maka pamannya meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang Gun-ngo?"

   "Bahwa Poyang Gun-ngo selama ini tinggal di rumah bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas melindungi Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir kurasa bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri sendiri, maka dia yang sudah luka-luka tidak dihiraukan lagi."

   Lok In-hu bertanya.

   "Lalu bagaimana pendapatmu?"

   "Menurut yang kutahu,"

   Ujar In San.

   "biasanya Liong Sengbu menyimpan dan mengurus surat penting pamannya."

   Liok Kun-lun menimbrung.

   "Maksudmu Liong Seng-bu punya tugas untuk membakar surat-surat penting yang tidak sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi yang tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia harus memilih mana yang harus dibawa dan mana yang harus dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan diri."

   "Betul, begitulah dugaanku,"

   Sahut In San.

   "Aku bisa membuktikan bahwa dugaanmu tepat,"

   Ujar Cin Tay-hun.

   "dari tubuh keparat itu aku berhasil mencuri selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu, kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia,"

   Lalu dia keluarkan peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang banyak, gambar peta ini amat bagus dan teliti, lengkap dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada berapa pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan dengan terperinci.

   Liok Kun-lun keki setelah melihat peta itu, katanya.

   "Kecuali sekongkol dengan bangsa asing, Liong Bun-kong ternyata sudah ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris negara dia memanfaatkari fasilitas maka kekuatan tentara pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan jelas. Peta militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin dia hendak menjualnya kepada pihak Watsu."

   "Memang dalam kantong bajunya menyimpan setumpukan surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di sampingnya, aku hanya berhasil mencuri selembar saja,"

   Demikian tutur Cin Tay-hun.

   "Poyang Gun-ngo memapahnya jalan,"

   Demikian ujar Lok In-hu.

   "bagaimana kau bisa turun tangan?"

   Setelah Cin Tay-hun menceritakan pengalamannya, orang banyak tertawa terpingkel-pingkel.

   Wajah Cin Tay-hun sudah tidak menyamar Ing Siu-goan, tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun, secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo dan Liong Seng-bu, setiba di tempat sepi baru dia unjukkan diri, dengan sikap angkuh dia maju memeriksa.

   Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan Bok Su-kiat sudah ada intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang perwira, sudah tentu dia menjadi blingsatan.

   "Apakah Bok Su-kiat hendak melaporkan sesuatu kepadaku, maka mengutus kemari menemui aku?"

   Demikian bentak Poyang Gun-ngo. Cin Tay-hun pura-pura bingung seperti orang linglung, katanya.

   "Siapa kau, berani menyebut langsung nama besar pemimpin kita? Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."

   Poyang Gun-ngo berpikir.

   "Kiranya orang linglung, tak heran tidak menghiraukan perintah atasannya, diam-diam mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi."

   Sekali pukul dia menghancurkan sebuah batu, bentaknya.

   "Aku ini Busu kelas satu Poyang Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bokjongling kalian."

   Cin Tay-hun pura-pura kaget, katanya.

   "Oh. ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya, aku salah mengenalmu,"

   Sengaja dia pura-pura mau menjilat kepada Liong Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia telah kembangkan kepandaian copetnya. Setelah reda gelak tawa orang banyak, Liok Kun-lun berkata.

   "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana kira-kira Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini tidak kita pikirkan sebelumnya."

   Lim Ih-su berkata.

   "Betul, melihat gelagatnya, kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."

   Hasil dari perundingan, hadirin setuju mengutus Tan dan In pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus membunuh Liong Bun-kong.

   Sebelum berpisah sudah tentu perasaan amat tertekan, terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han Cin berat untuk berpisah.

   Toan dan Han akan kembali ke Tayli, sementara Kek Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.

   Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kek-jithiap, Toh Lihiap, apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-kiam-kek Liu Jiu-ceng?"

   "Betul,"

   Toh So-so menjawab.

   "putranya Kangouw Longcu Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya, kenapa?"

   "Kabarnya mereka akan menuntut balas kepadamu, ibu Liu Yau-hong bergelar Yan-Lo-sai bernama Bing Lan-kun, adalah gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu memanjakan putranya, mungkin dia yang paksa suaminya turun gunung untuk membuat perhitungan dengan kalian, kalian harus hati-hati."

   "Terima kasih atas perhatianmu, kami akan berlaku hatihati,"

   Kata Kek-lam-wi, seperti ingat sesuatu tiba-tiba dia tertawa, katanya pula.

   "Tan-toako, semoga kita lekas bertemu lagi."

   Tan Ciok-sing kira orang hanya mengucap hiburan sebelum berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian haripun telah terang tanah.

   Setelah pamitan pada orang banyak Tan dan In berangkat naik kuda ke utara.

   Diluar dugaan, sepanjang jalan mereka tidak pernah mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong Bun-kong atau menemukan jejak mereka.

   Hari itu mereka tiba di kampung kelahiran In San, yaitu kota Tay-tong.

   Setelah ditimpa perang, kota Tay-tong jauh lebih parah lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang telah menghentikan usahanya.

   Setelah malam tiba tentara negeri yang mondar mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk yang melancong di jalanan.

   Rumah In San ada di Tay-tong, setiba di Tay-tong sudah tentu In San amat rindu dan haru.

   Rumahnya sudah disegel, harta peninggalan ayahnya juga disita habis.

   Waktu memasuki kota hari mulai petang.

   Tan Ciok-sing mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata.

   "Tak usah cari penginapan."

   Tan Ciok-sing maklum, katanya.

   "Betul, nginap di hotel mungkin menarik perhatian orang. Tapi kemana kita harus berteduh?"

   In San tertawa, katanya.

   "Kau lupa rumahku ada disini?"

   "Sudah dua tahun rumahmu disegel, mungkin sekarang sudah dilelang."

   "Apa salahnya kita kesana. Kalau sudah menjadi milik orang lain, nanti kita cari tempat lain."

   Diluar dugaan, meski segel di atas pintu sudah luntur, tapi kertas segel itu masih menempel kencang, berarti rumah itu masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak dijaga.

   Mereka masuk melewati tembok, ternyata pekarangan juga terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh rumput dan alang-alang liar.

   Waktu In San masuk ke kamar tidurnya, pajangan dan keadaan sesuatunya ternyata tidak ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan kamar-kamar lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.

   Kaget dan riang hati In San, katanya.

   "Agaknya ada orang sering membersihkan rumah ini."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Rumah yang telah disegel masakah mereka mau merawatnya begini baik, kejadian cukup mencurigakan."

   In San tertawa, katanya.

   "Kita toh hanya menginap semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan lebih mending dari pada menginap di hotel."

   Tengah malam, tiba-tiba terdengar kuda dan kereta mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah In San.

   "Eeh, mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang bernyali sebesar ini?"

   Tengah mereka bertanya-tanya, terdengar sebuah suara yang sudah dikenal berkata.

   "Rumah keluarga In ini kusuruh walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku ternyata dipatuhi dengan baik. Ai. tapi sekarang aku..."

   Yang bicara ini bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong, yaitu Liong Seng-bu.

   Maklum sejak bertemu pertama kali Liong Seng-bu sudah kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu, meski rumah keluarga In disegel dan hartanya disita, namun secara diam-diam dia masih suruh orang merawat rumah ini baik-baik.

   Masih terbetik harapan dalam benaknya bila kelak dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri akan diajak pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan senang.

   Sekarang In San memang kaget dan senang, rasa senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang yang diharapkan oleh Liong Seng-bu.

   Senang karena dicari susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu ketemu tanpa membuang tenaga.

   Bangsat kecil yang dicari jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya sendiri.

   Maka seseorang berkata.

   "Buat apa Kongcu susah, musibah yang menimpa pamanmu ini hanya sementara saja, setiba di Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan pikirannya. Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup senang dan foya-foya? Kelak bila Pak-khia berhasil kita rebut, pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris belaka,"

   Logat bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong. Suara lain yang sudah dikenal bersuara.

   "Ting-congping yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu yang mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke markas militernya sana. diapun akan menyambutmu dengan tangan terbuka,"

   Orang ini adalah Huwan Liong, tertua dari Huwan bersaudara. Liong Seng-bu tertawa getir, katanya.

   "Situasi sekarang beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang berkuasa di perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat, kau kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah yang menimpa keluargaku masih mau mengingat hubungan baik masa lalu?"

   Huwan Liong berkata.

   "Justru karena berita yang dia peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling sudah mengirim orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli hubungan masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan nasibnya kelak bila Lo-tayjin suatu ketika memperoleh kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih segar bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa baiknya. Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar dengan selamat, memangnya dia bakal mencelakai kau Kongcu?"

   "Bukan kuatir diketahui orang, tapi takut dilihat orang, kalau secara terang-terangan kita mampir ke markas besarnya sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski melanggar hukum, biarlah aku menginap di rumah keluarga In semalam saja."

   Huwan Liong tertawa, katanya.

   "Kongcu memang berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada menginap di hotel,"

   Sembari bicara mereka sudah memasuki ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera terus memimpin jalan di sebelah depan. Tiba-tiba terdengar jengek tawa dingin sinar pedang menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih dulu, bentaknya.

   "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, akJiirat tiada pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu pentang mata anjingmu, lihat siapa aku?"

   Tampak In San berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil menyoreng pedang. Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.

   "Kongcu lekas lari,"

   Teriak Huwan Liong gugup. Huwan Kiau melempar lentera yang dipegangnya.

   "ting, ting, ting"

   Secepat kilat empat bersaudara ini melolos pedang membentuk barisan. Poyang Gun-ngo berteriak.

   "Kongcu, kalau kau tidak bisa lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar aku pergi mengundang bantuan,"

   Dia kuatir Tan dan In tidak akan membiarkan dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa dokumen-dokumen penting berada di badan Liong Seng-bu, pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di sakunya.

   Sudah tentu Liong Seng-bu gugup dan gusar pula, tapi sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang panjang Huwan bersaudara telah terpapas kutung oleh sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.

   Liong Seng-bu terluka delapan goresan dan tusukan, lima luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk kutungan pedang Huwan bersaudara yang terpental balik.

   Dengan jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah membanjir dari luka-lukanya, jiwanya jelas takkan tertolong lagi.

   Setelah menyeka noda darah di pucuk pedangnya, In San sarungkan kembali pedangnya, katanya.

   "Inilah ganjaran setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana ini patut kalian jadikan contoh."

   Tan Ciok-sing menambahkan.

   "Mengingat kalian hanya diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar, maka hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian tahu diri, membina diri kembali ke jalan yang benar, nah silakan kalian pergi."

   Huwan bersaudara tidak sangka bahwa Tan Ciok-sing mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura, katanya.

   "Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap mengampuni jiwa kami, kami akan patuh petuah dan nasehat siauhiap, selanjutnya tidak akan berkecimpung di kalangan Kangouw lagi."

   Hari hampir terang tanah, In San menghela napas, katanya.

   "Marilah kita melanjutkan perjalanan saja,"

   Dengan perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.

   "Dari pembicaraan mereka dapat kita simpulkan, bahwa bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan keluar perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita mampir ke markasnya memberi laporan."

   Sekeluar dari Tay-tong, sepanjang jalan tiada kejadian apaapa, bagi In San merupakan kembali ke tempat yang pernah dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan, bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya.

   "Tan-siauhiap, bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku menunggumu, hari ini baru bisa bertemu dengan kau. Kau membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu, tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak terima kasih kepadamu."

   "Semua itu juga berkat rencana Cecu yang baik, aku hanya melaksanakan tugas saja, mana berani menerima jasa segala? Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang kita ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya dengan sepenuh hati. Ada beberapa persoalan ingin kulaporkan kepada Cecu."

   Kim-to Cecu tertawa, katanya.

   "Sudah logis kalau urusan tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak akan sepenuh hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah kita bicara didalam saja."

   Dalam perjamuan yang diadakan khusus untuk menyambut kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan pengalamannya bertemu dan berunding dengan Baginda, serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang dilihatnya sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.

   Kim-to Cecu berkata.

   "Bukankah kalian hendak meluruk ke Watsu membalas dendam kepada Liong Bun-kong disana? Aku tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku berpendapat kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira belum tiba saatnya."

   In San berkata.

   "Kami akan pergi ke Thian-san, sekalian lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami akan turun tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung menuju ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah belajar rias dari Han-cici, di Watsu belum tentu kami bisa bertemu orang yang kenal kami."

   Tan Ciok-sing bertanya.

   "Situasi terakhir bagaimana? Mungkin terjadi peperangan pula."

   Kim-to Cecu berkata.

   "Watsu baru saja mefngalami kekalahan total di medan laga, rencana permohonan damai raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula pasukannya dan mempersenjatainya lebih lengkap, itu memerlukan waktu hampir setahun, yakin dalam jangka selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi lagi."

   "Kalau begitu, jangka setahun ini sudah cukup untuk kami pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah murid penutup Thio Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."

   "Apakah sebelum gurumu meninggal ada meninggalkan pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara seperguruanmu?"

   Tanya Kim-to Cecu.

   "Menemui sesama seperguruan adalah tugas sampingan. Di masa tuanya guruku berhasil menciptakan ilmu pedang baru, kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."

   Kim-to Cecu manggut-manggut, katanya.

   "Ya, memang sepantasnya."

   Lalu menambahkan.

   "Toa-suhengmu Toh Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu' meninggal di kala kau masuk perguruan, bila ada kesempatan kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang baik."

   Setelah urusan dinas dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu teringat seseorang, katanya.

   "Kebanyakan rakyat Watsu dan bala tentaranya tidak ingin berperang, menurut apa yang kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya bernama Abu. Jendral Abu paling getol menentang politik perang junjungannya, dia lebih cenderung hidup berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa tetangga. Bila dipandang perlu, setiba disana boleh kalian berusaha menemuinya."

   Hari kedua Tan Ciok-sing ikut In San sembahyang di depan makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik kuda.

   Setelah tiba di gurun sahara, alam semesta beda pula bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir kini mereka berada di dunia salju.

   Hari itu mereka lewat di bawah sebuah gunung bersalju, bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke langit itu mirip sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit, di lereng gunung tampak sejalur garis kemilau yang memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak airnya mengalir.

   Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau sungai es.

   Mereka terpesona menyaksikan keindahan panorama yang belum pernah mereka lihat.

   Di saat mereka menjublek itulah, tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang ketakutan, di belakangnya mengudak seekor badak bercula tunggal berkulit putih.

   Perawakan badak putih ini jauh lebih besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Cioksing lihat.

   Lari badak secepat terbang, dalam sekejap lagi kuda itu jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah pemuda berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak kudanya, mulutnya berkaok-kaok minta tolong.

   Tan Ciok-sing tidak banyak pikir lagi.

   "Tar, tar". Dua kali cambuknya melecut kuda, serta dibedalnya mengejar kesana. Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil menyusul kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda itu menjadi binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak sehingga si pemuda dilempar, jatuh dari punggungnya. Lekas Tan Ciok-sing juga menyendal kaki, tubuhnya melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di tengah udara tubuhnya bersalto berulang kali pedang mustikanya telah terlolos di tangan, dari atas dia menukik dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si badak. Keadaan sedemikian gawat, jiwa si pemuda sudah di ujung tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan pedang Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak, berbareng tangan kiri bekerja mendorong si pemuda. Tenaga yang dipergunakan sudah diperhitungkan sehingga pemuda itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk. Karena matanya buta badak itu jadi meraung gusar dan main terjang membabi buta.

   "Blang"

   Akhirnya menumbuk batu besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling akhirnya jatuh kedalam selokan gunung dan terbanting hancur.

   Rasa kejut si pemuda belum lenyap, meski tidak terluka sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya terasa lemas dan tidak mampu merangkak bangun.

   Lekas Tan Ciok-sing memapahnya berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang baru saja dipelajari.

   "Badak liar itu sudah mati, sudah aman, kau..."

   Tiba-tiba dia merasa wajah pemuda ini seperti sudah amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang dengan melongo, lalu berteriak senang bersama.

   Bertemu dengan kawan lama, senang si pemuda bukan main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing, katanya dengan bahasa Han yang fasih.

   "Tan-toako kau masih ingat padaku? Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara, sekarang ocehannya lebih baik lebih merdu lagi."

   Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya dari Watsu yang dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya bertugas sebagai duta rahasia.

   Hari itu bersama anak buahnya dia bertamasya di tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan Tan Ciok-sing kebetulan Tan Cioksing menangkap seekor burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung Soat-liang (merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi burung itu, maka Tan Ciok-sing berikan burung itu.

   "Siau-ongya, kau baik."

   Sapa In San dengan tertawa. Sesaat lamanya Siau-ongya pandang In San, akhirnya berkata dengan tertawa.

   "Tan-toako, temanmu ini ternyata seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya lagi,"

   Seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu In San menyamar laki-laki. In San keluarkan kipas lenipit gagang emas itu, katanya sambil diacungkan.

   "Kado yang kau berikan kepada Tantoako, dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit membantu kami, aku harus berterima kasih kepadamu."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, terhitung apa,"

   Ujar Siau-ongya.

   "kipas itu pemberian raja kalian, lalu kuberikan lagi kepada Tan-toako."

   Sejak kecil dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka bicaranya juga amat lancar.

   "Siau-ongya,-kenapa seorang diri kau berada di atas pegunungan liar ini, tidak membawa pengikut?"

   Tanya In San. Siau-ongya bertanya.

   "Apakah kalian perriah dengar suatu dongeng bahwa di puncak gunung salju ini ada istana es?"

   "Dari kaum gembala aku pernah mendengarnya, tapi itu hanya dongeng saja,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Tidak, aku justru percaya bahwa istana es kenyataan memang ada."

   Melihat orang bicara tegas dan penuh keyakinan, Ciok-sing jadi heran, tanyanya.

   "Dari mana kau tahu?"

   "Ayahku yang bilang. Tapi aku mencuri dengar pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."

   Maka dia menceritakan kejadiannya.

   "Sudah lama aku mendengar dongeng itu maka ingin aku membuktikan sendiri, tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya jangan kata berita tentang istana es itu hanya obrolan orang belaka, umpama benar ada istana es seperti yang disebar luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak itu aku tak berani menyinggung soal itu. Tapi semakin dilarang semakin benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri dengar pembicaraan ayah dengan seorang Wisu yang baru datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari seseorang, orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diamdiam aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi ini aku kesasar, badak liar itupun hampir saja menyerudukku mampus. Tan-toako, syukur kau menolongku."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Sekarang kau telah melihat puncak salju yang menembus mega itu, apa yang dikatakan ayahmu memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada istana es, jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau pulang saja."

   Setelah mengalami berbagai penderitaan pangeran kecil ini memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya menghela napas.

   "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung salju itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun sudah cukup membuatku kepayahan, bila kepergok lagi binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus mencari penolong? Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku harus pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap suatu ketika aku bisa menyambut kedatangan kalian."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Umpama kami pergi ke Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di istana ayahmu."

   Siau-ongya menepuk kepalanya sendiri, katanya.

   "Iya, kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian adalah teman baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo Hoatsu dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo, ayahku adalah teman mereka, sudah tentu kalian tidak bisa tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di Holin. aku bisa mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."

   "Terima kasih akan maksud baik Siauongya, ada satu hal ingin mohon bantuanmu."

   "Tan-toako, tadi kau menolong jiwaku, mumpung aku sedang bingung bagaimana harus membalas budi pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan, apapun yang kau suruh pasti kulaksanakan sekuat kemampuanku."

   "Jangan kau ceritakan kepada siapapun akan pertemuan dengan aku disini."

   "Jangan kuatir Tan-toako, aku tahu maksudmu."

   Kuda yang ditunggangi siauongya adalah kuda perang yang sudah dilatih baik, setelah bebas dari pengejaran badak, tampak dia sudah lari keluar dari hutan.

   Siauongya segera cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima kasih pula atas pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.

   Tan dan In melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tampak dua orang sedang lari dikejar empat orang berkedok muka.

   Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh seorang berkedok, lekas sekali, teman pemuda itu sudah dikepung tiga orang berkedok yang lain.

   Orang yang dikoroyok tiga itu agaknya memiliki kepandaian tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas menyerang.

   Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak.

   "Aku tidak salah dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa kalian mengudak dan hendak membunuhku?"

   Orang berkedok yang mengudak itu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Memang kau tidak punya permusuhan pribadi dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"

   Mendengar 'Jendral Abu', lekas Tan Ciok-sing keprak kudanya memburu kesana.

   Orang berkedok sudah menyusul si pemuda, tiba-tiba dia menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti elang menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si pemuda.

   Kuda Tan Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya tepat waktunya.

   Tan Ciok-sing sudah melompat ke depan mengadang di depan orang berkedok.

   Melihat Ginkang orang ini cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang seraya membentak.

   "Biar kutabas cakar anjingmu."

   Orang itu menukik dengan tubrukan kencang, sebenarnya sukar menghindar.

   Tak nyana lengannya tahu-tahu bisa melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing mengincar pergelangan tangannya, dia yakin sasarannya pasti kena telak, diluar dugaan tusukannya meleset.

   Gerakan kedua pihak secepat kilat, sebelum kaki menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya menggunakan Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh dan lucu, gaya dan gerakannya itu jelas amat berbeda dengan ilmu sejenis yang dipelajari oleh cabang persilatan df Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh itu.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram, sedikit berputar, selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe, sambil berkelit sekaligus dia menusuk tujuh Hiat-to di tubuh lawan.

   Orang itu kena sekali tusukan pedangnya, tahu keliehayan Tan Ciok-sing, segera dia kabur.

   Sayang tusukan Tan-ciok-sing tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat keliehayan Kungfunya.

   Tujuan Tan Ciok-sing hanya menolong orang, tak sempat dia mengudak, teriaknya.

   "Adik San..."

   Dia ingin supaya In San mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan orang itu sudah mati.

   Mati dibunuh oleh teman si pemuda.

   Orang itu terdesak kewalahan dikeroyok tiga lawannya, entah bagaimana, mendadak dia meraung serta memperlihatkan kemahirannya, sekaligus tiga pengoroyoknya kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka.

   Orang ke empat yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga dikejarnya, saking kaget orang berkedok itu berteriak.

   "Buyung Ka, kau..."

   "Bles"

   Tahu-tahu pedang sudah menusuk jantung, jiwanya melayang seketika di bawah pedang orang itu. Tan Ciok-sing membimbing si pemuda, pemuda itu memperkenalkan diri.

   "Aku bernama A Kian, terima kasih akan pertolongan Congsu..."

   Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh terguling dari atas lereng, kedok mukanya kecantol duri sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya, tak sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget.

   "Hah, kiranya kau..."

   "Siau-ya,"

   Sentak temannya itu, agaknya dia berusaha mencegah si pemuda mengatakan nama orang itu. A Kian tertawa, katanya.

   "Dia tuan penolong jiwaku, kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah Busu kelas satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."

   "Tak heran dia memiliki Kungfu seliehay itu,"

   Ujar Tan Cioksing.

   "Kau orang Han bukan?"

   Tanya A Kian.

   "kau juga tahu Yuhian- ong?"

   "Nama besar Yu-hian-ong siapa tidak kenal, dalam negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu."

   Dalam hati diamdiam dia tertawa.

   "bukan hanya kenal saja, aku malah musuh besarnya."

   A Kian segera memperkenalkan orang itu.

   "Dia ini Wisu ayahku, bernama Buyung Ka."

   Buyung Ka berkata.

   "Terima kasih akan pertolonganmu kepada Siauya,"

   Sembari bicara dia ulur tangan berjabatan tangan.

   Tan Ciok-sing tahu orang sengaja hendak menjajal Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang.

   Buyung Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen, tenaganya seperti kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga tidak kerahkan tenaga balas menyerang.

   Sebagai ahli silat, dia insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih lebih tinggi, lekas dia lepas tangan dan berkata.

   "Kagum, kagum."

   A Kian kegirangan, katanya.

   "Apa kalian mau ke Holin?"

   Tan Ciok-sing mengiakan.

   "Ada urusan apa?"

   "Kami mengungsi, ingin mencari pekerjaan."

   A Kian kegirangan, katanya.

   "Ayah memang sedang mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."

   Lekas Tan Ciok-sing berkata.

   "Kebetulan malah bagi aku yang sedang nganggur ini,"

   Dalam hati dia membatin.

   "Tanpa membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral Abu."

   "Kau sudah tahu siapa ayahku bukan?"

   Tanya A Kian.

   "Tadi kudengar dari mulut kawanan jahat tadi, ayahmu ternyata Jendral Abu."

   "Betul,"

   Ujar A Kian.

   "Setelah memasuki wilayah negerimu, sepanjang jalan aku mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak nyana disini aku bertemu dengan Kongcu."

   "Kau adalah penolongku, jangan sungkan. Nona ini..."

   "Dia adikku,"

   Tan Ciok-sing memperkenalkan.

   "Baiklah, kuundang kalian kakak beradik mampir ke rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain, terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."

   Melihat A Kian bersikap sebaik itu, terpaksa Buyung Ka ikut bersikap baik pula.

   "Siauya,"

   Ujar Buyung Ka.

   "kejadian hari ini, sepulangmu nanti hanya boleh kau beritahu kepada ayahmu saja. Kepada orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."

   "Aku tahu,"

   Sahut A Kian.

   "Tan-heng, tolong kalianpun ikut merahasiakan kejadian ini."

   Tan Ciok-sing pura-pura tidak paham, tanyanya.

   "Entah boleh tidak aku bertanya?"

   "Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan,"

   Kata A Kian "Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku, maka kau merasa heran bukan?"

   Tan Ciok-sing manggut-manggut.

   "Yu-hian-ong amat iri terhadap ayahku, bahwa hari ini dia berani suruh anak buahnya hendak membunuhku, akupun merasa diluar dugaan."

   Kuda Tan Ciok-sing dan ln San adalah pemberian Kim-to Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung Ka adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka sudah tiba di Holin.

   Setiba di rumah A Kian, melihat dia mengajak dua orang Han pembantu tuanya keheranan, katanya.

   "Lo-ciangkun sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini. Siauya, mari kau kutemani mengundang beliau."

   "Kenapa susah-susah."

   Ujar A Kian.

   "kedua orang Han ini adalah temanku, mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay pula, biar aku ajak mereka ke belakang melihat ayah latihan, ayah tidak akan menyalahkan aku."

   Lalu A Kian menoleh kepada Tan Ciok-sing.

   "sepuluh tahun bagai satu hari, bila ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali,"

   Lalu dia bawa Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.

   Tampak seorang Jenderal usia lima puluhan lebih sedang memutar sebatang golok baja berpunggung tebal sekencang kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun pohon dan kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti disambar lesus.

   Dengan seksama Tan Ciok-sing memperhatikan, permainan golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun banyak ragamnya, diam-diam dia berpikir.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jikalau dia bukan seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya boleh terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran.

   "walau belum pernah menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan sepuluh jurus, ada tiga sampai lima jurus seperti sudah amat kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu dari aliran Se-ek, lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat dijajaki. Saking bernafsu permainan ilmu golok Jendral Abu.

   "Cras"

   Tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabas oleh Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu batang pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong. Tanpa kuasa Tan Ciok-sing berseru memuji.

   "Ilmu golok bagus."

   Jendral Abu memeluk golok berdiri tegak, katanya.

   "A Kian, kau sudah kembali. Saudara ini..."

   "Sahabat orang Han ini adalah tuan penolong jiwa anak."

   Kata A Kian. Setelah mendengar putranya, dengan sinar tajam Abu pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba.

   "Anak Kian, keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang masuk. Waktu kembali, tutup sekalian pintu taman."

   "Tan-heng, apa betul lantaran mau cari kerja kau bersama adikmu ini datang ke Holin?"

   Tanya Abu.

   "Bicara terus terang,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "kami adalah teman baik Kim-to Cecu."

   Terbelalak kaget dan girang Abu, katanya.

   "Sudah lama aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada kesempatan bertemu."

   "Kim-to Cecu juga amat mengagumi Ciangkun, sering dia membicarakan Ciangkun dengan kami."

   "Apa yang dia katakan?"

   "Beliau bilang Ciangkun adalah teman bangsa Han kita sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya pandangan dan pengetahuan paling luas."

   Abu geleng-geleng, katanya ramah.

   "Kim-to Cecu terlalu memuji aku."

   "Bukan pujian kosong belaka, dengan kedudukan Ciangkun, apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin persahabatan antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus dipuji."

   "Harus bersahabat dengan bangsa Han adalah petuah para leluhur kita."

   Demikian kata Abu.

   "walau kami belum pernah datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi keluarga kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa Han kalian."

   Sementara itu A Kian sudah kembali berdiri di samping ayahnya, katanya.

   "Apa betul, kenapa ayah tidak pernah ceritakan hal ini kepadaku."

   Tiba-tiba Abu menoleh ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya.

   "Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah sekarang masih ada keturunannya?"

   Tan Ciok-sing melengong, katanya.

   "Pengetahuan wan-pwe masih cetek, banyak aliran golok cepat di Tiong-toh yang ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan golok kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum pernah kudengar."

   Jendral Abu menghela napas, katanya.

   "Kalau begitu tentu sudah putus turunan."

   Lalu bertanya pula.

   "Dalam kalangan Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang kisah Hong-in-lui-tian?"

   Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, Thio Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman ini, pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Cioksing tidak lama masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka tentang sejarah perkembangan kaum persilatan jarang yang diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian, sudah tentu belum pernah dengar.

   Malah In San yang teringat, katanya.

   "Kisah Hong-in-luitian aku pernah dengar dari ayah. Mereka adalah empat jago kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul tidak?"

   "Betul,"

   Sahut Abu.

   "O, jadi Hong-in-lui-tian terdiri empat orang."

   "Hong adalah Hong Thianyang, pernah menciptakan Cuihong- to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang perempuan, terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah seorang laki laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui, Lwekangnya paling ampuh. Tian sudah tentu juga nama julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang ini adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon Hong dan In adalah sepasang suami istri, sayang setelah beberapa ratus tahun berselang, ilmu ciptaan mereka mungkin sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini baca Si Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian) "Masih jelas nona In mengenang sejarah masa lalu, tapi tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan itu?"

   "Apa dia bukan orang Han? Ayah tidak menjelaskan, mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."

   "In Tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol kita,"

   Demikian tutur Abu.

   "In Tiong-yan adalah nama yang dia pakai dari bahasa Han, dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta, tantangan keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia minggat dan hidup sampai tua dengan kekasih yang dicintainya."

   Tergerak hati In San dia mengerti, katanya.

   "Ciangkun, ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah hasil dari warisan Hong Tayhiap?"

   "Betul. Tiga ratus tahun lalu, kakek moyangku adalah sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang pribadi tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan. Suami isteri leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke Tiongkok, demikian pula Hong Tayhiap pernah berkunjung ke rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga Hong, selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada kontak dan saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus tahun lebih yang lampau, karena peperangan kedua keluarga kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga hubungan putus demikian saja."

   In San berkata.

   "Pesan leluhur Ciangkun ternyata punya kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke Tionggoan akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai sekarang masih ada keturunannya."

   Abu tertawa, katanya.

   "Persahabatan antar bangsa yang kekal abadi dalam kisah itu memang mengharukan, tapi sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus Kim-to Cecu?"

   "Bukan,"

   Ujar In San.

   "tapi tujuan kami kali ini pernah kami utarakan kepada Kim-to Cecu, beliaupun menyetujui rencana kami."

   "Maaf aku lancang tanya, bolehkah aku tahu rencana kedatangan kalian?"

   "Hal ini memang ingin kami laporkan kepada Ciangkun,"

   Sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan pengejarannya kepada Liong Bun-kong sehingga tiba di Holin. Abu berkata.

   "mereka memang sudah sampai di Holin, kini tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang kuketahui, bangsat tua she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang menunggu undangan Khan Agung untuk menghadapinya."

   "Dia pasti akan menghasut khan kalian untuk mengerahkan pasukan menyerbu ke Tiongkok."

   "Itu sudah jelas. Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hianong adalah orang yang paling getol menyuarakan perang, kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."

   Kata A Kian menggertak gigi.

   "Manusia rendah yang menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di Holin bangsa Mongol kitapun bakal ketimpa malang dan bencana oleh peperangan itu."

   In San bertanya.

   "Ikut dengan bangsat tua she Liong itu ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong Go, apa Ciangkun sudah tahu?"

   "Tahu, konon ilmu silatnya tidak kalah dibanding Koksu Watsu yang bergelar Milo Hoatsu. Ketenarannya di Holin sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."

   "O, lantaran apa namanya begitu tenar?"

   Tanya In San.

   "Belum lagi majikannya Liong Bun-kong diundang oleh Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di hadapan Khan Agung."

   Ternyata Khan besar Watsu sedang membangun angkatan perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang berdarah, jiwa manusia dianggap permainan, dalam istananya tidak sedikit memelihara binatang-binatang buas, seperti singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan binatang-binatang buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya itu juga hasil pilihannya setelah diadu dengan binatang buas.

   "Tang-hay-liong-ong telah pamer kepandaiannya yang hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil yang gemilang itu sudah tentu memecahkan rekor selama pertandingan manusia dan binatang itu diadakan."

   Demikian tutur Abu.

   "Membunuh binatang buas bagi Tang-hay-liong-ong memang tidak perlu membuang banyak tenaga."

   "Itu belum hebat. Belakangan Khan besar suruh dia bertanding satu persatu dengan delapan belas jago pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang menang.

   "Dia terlalu egois untuk menuntut kemenangan, umpama mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang terang para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam kepadanya."

   "Memang, hari kedua kawanan Busu itu mengundang Milo Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan mengalahkan Tang-hay-liong-ong."

   "Bagaimana akhir dari pertandingan itu?"

   Tanya In San ketarik.

   "Konon Lwekang mereka sama kuat alias seri, susah dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran terdengar dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu sebagai Koksu, maka dia sengaja mengalah, sebaliknya ada pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin menariknya sebagai pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.

   "Tapi tak peduli siapa mengalah, yang terang tanpa bertanding mereka tidak akan kenal, sejak pertandingan itu, Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke Putala sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk memperdalam ilmu silat."

   In San bertanya.

   "Kalau demikian, sekarang dia tidak serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman Yu-hianong?"

   "Kabarnya Milo Hoatsu hendak mengajaknya mempelajari sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu singkat jelas dia tidak akan kembali."

   "Itu lebih baik,"

   Ujar In San tersenyum. Abu melengak, tanyanya.

   "Maksudmu akan, akan..."

   "Betul, mumpung ada kesempatan aku akan meluruk kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat tua ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara, bangsa kita siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus berkorban, aku bertekad akan membunuhnya. Kini Tang-hayliong- ong yang berkepandaian tinggi tidak berada di sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."

   Abu diam menepekur, A Kian berkata.

   "Ayah, tadi kau bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga membawa bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka, sekalian kita boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah menguntungkan kita semua."

   "Kedua persoalan ini harus dipencar penyelesaiannya, kularang kau punya pikiran hendak membunuh Yu-hian-ong."

   "Kenapa,"

   Teriak A Kian.

   "Ayah, berulang kali dia memfitnah hendak mecelakai kau, apa kau lupa? Tadi diapun suruh anak buahnya membunuh aku."

   "Kalau orang lain berbuat jahat, jangan kita meniru perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat hendak menjatuhkan aku, aku justru hendak menghadapinya secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan Agung untuk membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi, mati seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang akan melakukan kejahatan pula. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau Yu-hianong mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku? Aku tidak takut dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah kita bertindak demikian?"

   "Analisa Ciangkun memang benar,"

   Ujar In San.

   "kami tidak akan merembet Ciangkun."

   "Jangan kalian berprasangka,"

   Ujar Abu.

   "bukan aku mau mengatakan kalian salah. Walau aku tidak setuju cara pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada terkecuali, dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau Liong Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi hukuman oleh Sribaginda, demikian pula dendam tak terbalas, maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku tidak akan bisa menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa memberi bantuan apa-apa."

   "Ciangkun, kami juga maklum akan posisimu, maka tidak akan bertindak keliwat batas sehingga kau terjepit. Untuk membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah berabe, maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."

   "Tang-hay-Liong-ong sekarang memang tidak berada di kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian tinggi di rumahnya tidak sedikit jumlahnya."

   "Mati hidup kita sudah tidak terpikir lagi,"

   Kata Tan dan ln bersama.

   "Aku harap sekali gebrak kalian bisa berhasil, tapi ini bukan tugas kecil, apapun segalanya harus dipersiapkan lebih dulu, umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum tahu. Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak tahu, maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari disini, pelajarilah dengan seksama situasinya, baru boleh bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini Tang-hay-liongong belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."

   Hari kedua Abu panggil seorang pembantunya yang dulu pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara terperinci menurut apa yang dia masih ingat tentang selukbeluk gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing dan In San.

   Hari ketiga, Tan dan In menyamar jadi orang Mongol dan ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah gedung Yu-hian

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   ong.

   Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan, syukur In San semakin matang di bidang tata rias sehingga penyamaran mereka tidak konangan orang.

   Segala persiapan yang harus disiapkan sudah lengkap, malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.

   Malam itu cuaca buruk, tiada bulan tiada bintang, mega mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam untuk melaksanakan keinginannya.

   Di belakang kebun bunga di bilangan akhir dari gedung Yuhian- ong dipagari oleh dinding gunung yang curam setinggi dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung tidak akan pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari dinding curam setinggi itu, tapi Tan dan In berdua justru masuk dari titik kelemahan mereka itu.

   Dengan Ginkang mereka yang tinggi, menggunakan tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup kedalam kebon.

   Sunyi dan sepi keadaan kebon bunga ini, keheningan sungguh diluar dugaan Tan dan In.

   Menurut penjelasan pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong bermalam di tiga tempat, tempat pertama adalah kamar tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat salah satu selir kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia menyimpan surat-surat penting.

   Bangunan gedung istana boleh dikata ada ratusan banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun susah dibedakan, kemana mereka harus mencari.

   Apalagi tujuan utama mereka bukan mau membunuh Yu-hian-ong, juga tidak perlu mencarinya.

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Terpaksa kita mengadu nasib, marilah maju sambil memeriksa ala kadarnya."

   Dengan munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu tempat, tiba-tiba di ujung loteng sebelah sana tampak sinar api menyorot keluar.

   Tempat dimana sekarang mereka berada didalam sebuah lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini dibatasi dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela, dengan seksama mereka mengawasi bayangan itu, akhirnya mereka bersorak girang dalam hati, karena bayangan orang itu adalah Siau-ongya.

   Didengarnya Siau-ongya sedang menggumam seorang diri.

   "Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar mereka dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini kepada ayah?"

   Seorang diri dia menggumam di atas loteng, suaranya lirih tapi Tan Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi, pendengarannya tajam, maka dia mendengar jelas. Timbul rasa curiga Ciok-sing, katanya berbisik di telinga In San.

   "Mari kita menyerempet bahaya."

   Dengan gerakan burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara. Tanpa ada angin tiba-tiba dilihatnya jendela terbuka, seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget dan menjublek.

   "Kau, kau adalah..."

   Sebelum dia sempat mengucap 'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya, bisiknya.

   "Jangan teriak, inilah aku."

   Siau-ongya kenal suara Tan Ciok-sing, jangan kata dia punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama tiada hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing, mana dia berani berteriak.

   Cepat sekali In San sudah menyusul naik ke atas loteng.

   "Terima kasih bahwa Siau-ongya sudi pandang kami sebagai sahabat,"

   Demikian ucap Tan Ciok-sing.

   "bicara terus terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada juga keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi membantu kami."

   Siau-ongya kaget, katanya.

   "Ada urusan apa? Apakah, apakah..."

   "Apakah, kenapa?"

   Mata Siau-ongya menatap Tan Ciok-sing seperti ingin ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.

   "'Siau-ongya, seorang diri kau ngomong sendiri, aku mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan kami. Kalau tidak salah, agaknya ada seseorang yang pernah membicarakan kami di hadapan ayahmu, benar?"

   "Benar, Tan-toako. Maaf bila pertanyaanku blak-blakan, apakah kalian kemari hendak membunuh ayahku?"

   "Sudah tentu bukan. Coba pikir, jikalau kami hendak membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu malah?"

   Legalah hati Siau-ongya, katanya.

   "Tan-toako, kau adalah tuan penolongku, asal kau tidak berniat membunuh ayahku, urusan apapun aku akan senang membantumu"

   "Aku ingin tahu, bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah berada di Holin, kenapa pula dia berprasangka bahwa kami akan membunuhnya?"

   "Ada orang yang memberi laporan dan ngadu biru di hadapan ayah."

   "Siapa orang yang mengadu biru itu?"

   "Aku tidak tahu, aku hanya mendengar tanpa sengaja, aku sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya mendengar suaranya."

   "Apa yang dikatakan orang itu?"

   "Orang itu bilang, Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian tinggi, katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa pembunuhnya adalah laki-laki dan perempuan, usianya masih muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah sudah menduga pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako, mungkin kau bisa menduga siapa orang ini?"

   Dalam hati Tan Ciok-sing memang sudah menduga, katanya.

   "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting yang harus segera kita laksanakan."

   "Apakah tugasmu itu akan dilaksanakan di gedung kediaman kami?"

   "Betul."

   "Perlu aku beritahu kepada kalian, untuk berjaga pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa ayah menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan, bukan saja ada tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian sembarang bertindak akan menghadapi bahaya, ketiga tempat itu adalah..."

   "Ketiga tempat itu kami sudah tahu."

   Tukas Tan Ciok-sing.

   "kami bukan ingin membunuh ayahmu. sudah tentu kami juga harus menghindari bahaya."

   Siau-ongya betul-betul lega, katanya "Baiklah, lekas katakan, bagaimana aku harus membantu kalian?"

   "Gampang saja, cukup asal kau memberi tahu dimana tempat tinggal Liong Bun-kong?"

   "Ayah meluangkan sebuah gedung untuk tempat tinggal rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini, di depannya terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou, nama Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila ada sinar bulan lapat-lapat kelihatan dari kejauhan,"

   "Baiklah, kami akan mencarinya kesana."

   Tiba-tiba Siauongya teringat sesuatu, katanya.

   "Bila lewat kentongan ketiga, kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan kalian lekas kembali saja."

   "Kenapa?"

   "Setelah orang itu pergi, ayah berunding pula dengan Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga keluargaku."

   "Apa yang mereka rundingkan?"

   "Ayah akan masuk istana menghadap Khan Agung, Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah mendekati magrib..."

   In San bertanya.

   "Ayahmu menghadap Khan Agung, apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"

   "Walau ayah boleh menemani Khan makan minum mencari kesenangan, tapi menurut kebiasaan, paling lambat sebelum kentongan ketiga pasti pulang."

   "Lalu kenapa?"

   "Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang, kuatir tenaga dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan, terutama setelah Koksu mengajak Tang-hay-liong-ong bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar pasti akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia suruh Kampula berusaha mencari jago-jago silat sebagai Wisu, tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat mencari jagojago silat tinggi? Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke istana kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han, di samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga belum berhasil, maka bahayanya akan lebih besar."

   "Terima kasih akan pemberitahuanmu ini."

   Kata In San tertawa.

   "kalau kami takut menghadapi bahaya, kami tidak akan datang kemari."

   Setelah meninggalkan Siau-ongya.

   Tan .Ciok-sing melihat cuaca, mega masih mendung, tapi bintang utara tampak kelap kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka datang tadi.

   Setelah menentukan arah, Tan Ciok-sing langsung menuju ke Hi-hi lou.

   Di tengah jalan In San berbisik.

   "Menurut dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"

   "Baiklah, kita sama-sama sebut nama orang yang kita curigai itu."

   "Mulai, satu, dua, tiga..."

   Berbareng dengan suara lirih mereka menyebut 'Buyung Ka'.

   "Lalu bagaimana baiknya? Di samping Jendral Abu ada sembunyi seorang musuh yang berbahaya."

   "Yang penting sekarang kita harus dapat membunuh bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga, urusan lain boleh dikesampingkan dulu."

   In San menarik lengan bajunya, bisiknya.

   "Sssst lihat sana."

   "Di tempat yang dituding tampak kemilau sinar emas, Tan Ciok-sing senang, katanya.

   "Betul, Hi-hi-lou ada disana."

   Katakatanya dia kirim menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping mereka juga tidak akan mendengar. In San berkata.

   "Kalau Yu-hianong sudah mengatur perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan pasang perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan mustahil juga ada perangkap."

   "Biar aku coba tanya jalan dengan melempar batu. Tanghay- liong-ong tidak berada di samping bangsat tua itu, umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat menandingi kita, takut apa."

   Sekenanya Tan Ciok-sing menjemput sebutir batu, dengan kekuatan jarinya dia menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.

   "Daaar!"

   Mendadak terjadi ledakan keras, begitu batu itu menyentuh lankan, loteng ambrol api menyembur, ujung loteng sebelah sana ternyata runtuh.

   Mungkinkah sebutir batu kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu? Ternyata di atas loteng telah dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari tangga yang membujur dari pekarangan dalam, baru orang akan selamat tiba di atas loteng.

   Belum lenyap gema ledakan keras itu, panahpun melesat selebat hujan.

   Bila seseorang betul-betul lompat naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya tinggi dan selekasnya dapat menyingkir dari tempat ledakan, juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.

   Belum reda suara ledakan dan hujan panah, dari berbagai penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya berteriak-teriak.

   "Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur cahaya dari Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan. Cuaca memang sukar diramalkan, mega mendung yang semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik pun mulai turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu masih terus berkeliaran ke segala penjuru, sehingga taman kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang seperti di kala senja. Tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, kembali dia meraih sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi krikil, dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik, dalam sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak yang telah padam, bila kawanan Wisu datang lebih banyak lagi lampu-lampu itupun sudah padam seluruhnya. Cuaca gelap pekat, ini menguntungkan mereka. Sebelum lampu suar padam mereka sudah menentukan arah, dengan mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gununggunungan menyusup kembang menghindari bentrokan dengan kawanan Wisu terus melarikan diri. Kawanan Wisu masih terus berdatangan dari berbagai arah ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di daerah yang tiada penjagaan. Legalah hati In San, tanyanya.

   


Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung

Cari Blog Ini