Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 3


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 3



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Seorang tamu yang baik hati menimbrung.

   "Mungkin maling itu datang dari luar daerah, malam-malam dia kesasar masuk ke hotel ini, mana dia tahu tamu mana punya uang. Engkoh cilik, coba kau periksa lagi apakah kau ada kehilangan uang?"

   Pemilik hotel menyeringai dingin, katanya.

   "Kalau dia membawa uang, memangnya perlu orang lain mentraktir dia makan dan menginap disini,"

   Bahwa kejadian kedua tamu tadi membayar uang penginapan Tan Ciok-sing belum ada yang tahu, sengaja pemilik hotel membeber keburukannya ini dihadapan orang banyak.

   Mendengar peringatan tamu yang baik hati tadi, maka Tan Ciok-sing ingat akan kacang emasnya itu, lekas dia merogoh kantong, ternyata kantong berisi kacang emas itupun telah terbang entah kemana.

   Mungkin waktu pencuri tadi sempat menjambret robek, pakaiannya, kantong kecil itupun kena direbutnya.

   Tanpa sadar dia menjerit tertahan, serunya.

   "Ya, kacang emasku juga hilang."

   Tamu yang baik hati itu melengak, serunya.

   "Apa? Kau punya kacang emas? Berapa jumlahnya?"

   Karena Tan Cioksing berpakaian butut dalam hati dia tidak mau percaya.

   "Kira-kira ada dua puluh atau tiga puluh butir,"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "Berapa kira-kira?"

   Tanya tamu yang baik hati itu.

   "Aku tidak pernah menghitungnya dengan pasti,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Tamu itu mengerutkan kening, katanya.

   "Kalau demikian, engkoh cilik ini orang yang pandai menyembunyikan diri. Belum pernah aku melihat orang yang punya uang suka berlaku rudin seperti ini,"

   Nadanya sudah jelas bahwa dia lebih tidak percaya akan omongan Tan Ciok-sing. Pemilik hotel tertawa dingin, katanya.

   "Kalian dengar? Dia mana punya kacang emas segala? Tadi dia memang pernah membayar sebuah kacang warna kuning mengkilap, katanya kacang emas untuk membayar ongkos menginap. Hehe, setelah kuperiksa kiranya adalah mainan yang terbuat dari tembaga."

   Tan Ciok-sing naik pitam, serunya.

   "Barangku sudah hilang, kalau kau katakan itu tembaga, akupun tidak perlu berdebat dengan kau."

   Tamu perawakan pendek menyela.

   "Kau kehilangan kacang emas sebanyak itu, apa tidak perlu lapor kepada opas?"

   Tan Ciok-sing menatapnya, katanya.

   "Buat apa aku laporkan kepada opas, aku hanya mengharap pencuri itu suka kembalikan barang-barangku itu secara diam-diam. Kacang emas tidak dikembalikan tidak jadi soal, asal dia kembalikan buntalanku itu."

   "Bagus ya,"

   Semprot pemilik hotel.

   "memangnya aku sudah tidak sabar lagi, agaknya harus kubongkar tampang aslimu, kau bocah rudin ini pura-pura kehilangan barang, memangnya kau hendak memeras aku untuk mengganti kehilanganmu?"

   Jengkel dan keki Tan Ciok-sing dibuatnya, katanya.

   "Aku kan tidak minta kepadamu."

   "Sebanyak itu uangmu hilang di hotelku, kalau dilaporkan, memang hotelku ini tidak tersangkut paut? Maka urusan ini harus dibikin beres sekarang juga."

   "Tadi sudah kukatakan, aku tidak akan lapor,"

   Seru Tan Ciok-sing. Tamu baik hati itu juga kira Tan Ciok-sing memang membual, maka sikapnya kini berubah kurang simpatik, katanya.

   "Mendengar kata-katamu tadi, seolah-olah kau mencurigai semua tamu yang menginap di hotel ini, hayolah bicara terus terang saja siapa yang kau curigai?"

   "Tidak berani,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "maksudku mungkin pencuri tadi tidak sempat membawa kabur barang-barangku dan disimpan entah dimana dalam hotel ini. Bilamana tuantuan melihatnya sudilah mengembalikan kepadaku, sungguh tak terhingga terima kasihku."

   Dasar Tan Ciok-sing adalah pemuda tanggung yang cetek pengalaman dan belum pernah bergaul dalam masyarakat, dia kira kata-katanya tadi sudah cukup sopan dan masuk di akal, sehingga sang pencuri tahu diri dan tidak kehilangan muka, secara diam-diam minta damai padanya.

   Tak kira ucapannya ini justru menimbulkan reaksi masai.

   Tamu-tamu yang lain ikut gusar dan gempar jadinya.

   "Keparat, kau bilang begitu, kan berarti kami juga dicurigai, memangnya kau hendak menggeledah kamar kami?" -- "Bagus ya, kau bocah rudin ini, memangnya kau jadi gila karena tak punya uang, tak berhasil memeras pemilik hotel, lalu hendak mengancam kami?"

   "Hayo gusur saja bocah rudin ini ke kantor polisi, jangan biarkan dia main tipu disini,"

   Cuma kedua tamu tadi tidak ikut memaki terhadap Tan Ciok-sing. Tiba-tiba Tan Ciok-sing berpaling ke arah laki-laki tinggi berhidung betet itu, katanya.

   "Harap tanya, cara bagaimana jarimu itu sampai terluka?"

   Berubah air muka si brewok, katanya.

   "Jariku terluka, perduli amat dengan kau?"

   "Tidak apa-apa, hanya tanya sambil lalu saja, kalau kau tidak mau jelaskan, ya sudah. Buat apa marah-marah?"

   Laki-laki brewok itu naik pitam, serunya.

   "Baiklah bicara blak-blakan saja, apakah kau mencurigai aku yang mencuri barangmu?"

   "Siapa mencuri barangku dia tahu sendiri. Aku kan tidak menyebut dirimu,"

   Demikian ujar Tan Ciok-sing. Saking marah membesi muka si brewok, dampratnya.

   "Jelas kau telah menuduhku, kurang ajar melihat kau tak punya uang, kami kasihan dan menolongmu membayar rekening hotel, sekarang kau malah menuduhku sebagai maling."

   Hadirin sama memaki dan menyalahkan Tan Ciok-sing. Pemilik hotel bersuara paling lantang.

   "Bocah kurcaci yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan begini, buat apa banyak bacot sama dia, gusur ke kantor polisi saja."

   Laki-laki pendek itu berpura-pura jadi penengah, lekas dia menyabarkan kemarahan hadirin, katanya.

   "Belum tentu dia ini penipu, mungkin karena sudah kehabisan ongkos lalu cari akal, supaya ditraktir orang. Kita orang dewasa tidak perlu membuat ribut dengan bocah rudin yang masih ingusan ini, biar aku bujuk dan jelaskan padanya,"

   Lalu dia berpaling katanya setelah batuk-batuk dua kali.

   "Jari temanku ini teriris pisau waktu mengiris buah mangga, kenapa kau ingin tahu sebab musababnya?"

   Tak tahan lagi Tan Ciok-sing bicara lebih keras.

   "Tadi aku gebrak dengan kedua penjahat itu, salah seorang kena kulukai jarinya. Kalau temanmu teriris pisau waktu menguliti mangga, terang bukan dia adanya, harap tidak berkecil hati,"

   Dia suruh orang lain tidak berkecil hati, hakikatnya kata-katanya tadi berarti menuding hwesio memakinya gundul. Karuan hadirin dibuatnya marah lagi, pemilik hotel berjingkrak lebih gusar.

   "Nah coba semakin temberang seperti anjing gila, main gigit saja, orang yang memberinya makan juga digigitnya malah, bicara soal keadilan apa lagi dengan dia?"

   "Dia tidak tahu keadilan adalah urusannya, kita kan orang dewasa, harus dapat memaafkan keteledorannya. Adik cilik, aku tidur sekamar dengan temanku ini, kau mencurigai dia, apakah kau juga mencurigai aku?"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "Seorang pencuri yang lain kena kugenjot dadanya,"

   Waktu dia bicara, kebetulan laki-laki pendek ini sedang batuk-batuk dan menahan dada. Karuan laki-laki pendek berubah air mukanya, katanya.

   "Aku kena pilek dan batuk, jadi kau mencurigai aku. Baiklah, tuan-tuan sekalian harap menjadi saksi, biarlah bocah ini menggeledah kamarku, apakah dia dapat menunjukkan barangnya yang dicuri orang."

   Tamu yang baik hati tadi berkata.

   "Betul, semula aku simpatik terhadapnya, kini kurasakan juga dia memang keterlaluan. Kalau bukti tidak dapat ditemukan, kita harus menghajarnya sebagai peringatan. Tapi tak perlu membikinnya banyak susah, soal dilaporkan polisi, kukira boleh tidak usah."

   Tan Ciok-sing tahu kalau orang berani suruh dirinya menggeledah kamar, tentu golok dan uang emasnya sudah disembunyikan di tempat lain, kata dia tertawa dingin.

   "Barang yang telah hilang mana dapat ditemukan lagi, biarlah aku terima nasib saja."

   "Kau tidak berani memeriksa, berarti kau sendirilah pencurinya,"

   Damprat pemilik hotel. Laki-laki pendek itu mengunjuk sikap belas kasihan, katanya.

   "Bocah ini saking rudin sepeser uangpun tidak punya, memang harus dikasihani. Biarlah aku membantumu sekali lagi, harpamu ini boleh kau serahkan padaku, kubayar sepuluh tahil perak untuk sangu kau pulang ke rumah,"

   Hadirin sama memuji kebaikan hatinya yang jarang ada di dunia ini.

   "Mujur juga kau bocah rudin ini, hayo lekas ucapkan banyak terima kasih,"

   Seru pemilik hotel.

   "Meski aku mati kelaparan juga tidak akan menjual harpaku ini,"

   Sahut Tan Ciok-sing tegas. Tamu baik hati itu berkata.

   "Kau ini memang tidak tahu kebaikan, memangnya kau suka gegares nasi orang dan terima uang orang lain secara percuma?"

   "Kenapa dia harus kasihan padaku, harpa warisan keluargaku ini sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan orangorang jahat,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Tamu-tamu lain yang menonton keramaian jadi ikut naik pitam dan menaruh simpatik akan kebaikan laki-laki pendek, seorang tamu berkata.

   "Anjing saja masih bisa membedakan kebaikan. Hidup setua ini, belum pernah aku melihat bocah goblok dan sebandel ini."

   "Padahal tuan tamu ini tadi sudah membayar setahil perak untuk ongkos kamar dan makannya, harpa bobrok ini paling seharga belasan keping tembaga, tuan ini sudah punya hak merampas harpanya itu sebagai tumbal,"

   Demikian seru pemilik hotel. Tan Ciok-sing mundur selangkah sambil memeluk harpa, katanya dingin.

   "Siapa berani merebut harpaku, biar aku adu jiwa dengan dia."

   "Kau bocah ini memangnya sudah gila, makan tidur gratis masih bersikap kasar terhadap orang yang menolongmu,"

   Demikian damprat pemilik hotel.

   "agaknya kalau tidak dihajar dia tidak akan kapok, hayo gusur ke kantor polisi biar dihajar bokongnya,"

   Sembari bicara dia sudah menggulung lengan baju serta bergaya hendak menubruk maju. Tan Ciok-sing pun sudah marah betul, matanya mendelik beringas, agaknya laki-laki pendek itu jadi jeri, bujuknya.

   "Sudahlah, akupun bukan mengincar harpanya itu, anggaplah aku lagi sial, setahil perak anggap saja memberi sedekah pada pengemis."

   Bahwasanya pemilik hotel juga takut kalau berurusan dengan polisi, segera dia membentak.

   "Betapa besar jiwa tuan tamu ini, memandang mukanya, aku tidak akan menarik panjang peristiwa ini. Sekarang enyah kau bocah gila ini."

   "Pergi ya pergi,"

   Seru Tan Ciok-cing, lalu dia menuding ke dua tamu itu, katanya.

   "Tinggalkan alamat dan nama kalian."

   "Untuk apa?"

   Tanya laki-laki pendek.

   "Kalian sudah membayar satu tahil untuk ongkos nginap dan makanku, kelak pasti akan kuganti dua kali lipat."

   "Laki-laki pendek bergelak tawa, katanya.

   "Siapa minta balasanmu? Sudah kukatakan kuanggap..."

   Mendelik bundar bola mata Tan Ciok-sing, serunya.

   "Anggap apa?"

   Serasa hampir meledak dadanya, kalau laki-laki ini berani mencemoohnya lagi, dia sudah siap adu jiwa tanpa hiraukan apa akibat yang bakal menimpanya, paling tidak lakilaki ini harus dihajar. Jeri juga laki-laki pendek itu, katanya.

   "Ah, tidak apa-apa, kau harus tahu aku sudah membantu tanpa ingin menuntut balasan. Lekas kau pergi saja."

   "Bocah ini memang sinting,"

   Hadirin sama memaki.

   "kalau bikin geger lagi, tuan tamu ini mengampuni kau, biar kami nanti yang menghajarmu."

   Tan Ciok-sing tidak gentar menghadapi dua lawan ini, tapi dia tidak ingin berkelahi dengan tamu-tamu lain yang tidak pandai main silat, terpaksa dia beranjak keluar sambil menggerundel, harpa dipeluknya kencang-kencang.

   Setiba di ambang pintu keluar dia berpaling.

   "Hm, menanam budi tidak mengharap balasannya, kuingat kebaikan kalian hari ini."

   Di belakang terdengar gemuruh gelak tawa dan cemoohan orang banyak. Tahu dirinya takkan bisa berpijak lagi di kota kecil ini, terpaksa Tan Ciok-sing menunggu kedua tamu itu keluar di ujung jalan raya, pikirnya.

   "Harta dan uang tidak jadi soal, tapi golok pusaka In Tayhiap sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan mereka."

   Tak tahunya setelah tunggu punya tunggu, belum juga kelihatan kedua tamu itu keluar, tanpa terasa hari sudah mendekati tengah hari, perut Tan Ciok-sing sudah kelaparan. Akhirnya dia sadar juga, batinnya.

   "Pasti mereka sudah pergi menempuh jurusan lain."

   Akhirnya dia nekad kembali ke hotel, ternyata kuda tunggangan kedua tamu itu memang sudah tidak ada.

   Pemilik hotel berlari keluar mengusirnya.

   Saking jengkel Tan Ciok-sing segera meninggalkan kota kecil ini, entah berapa jauh dia menempuh perjalanan, rasa lapar perutnya sungguh tak tertahan lagi.

   Untung tak berapa lama lagi dia tiba di sebuah kota kecil yang berdekatan.

   Kota kecil yang ini agaknya lebih ramai dibandingkan kota kecil yang semalam dia menginap.

   Kebetulan Tan Ciok-sing lewat di depan sebuah warung makan, mencium harumnya masakan sedap perutnya betulbetul memberontak, tanpa pikir segera dia melangkah masuk.

   Lima meja dalam warung itu sudah terisi tamu, satu di antaranya di sebelah atas duduk seoraug berpakaian perwira, seorang majikan kaya ditemani beberapa orang sekolahan dan terpandang dari penduduk setempat.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka tengah ngobrol panjang lebar sambil makan minum seperti dalam rumah sendiri, tak perduli kehadiran orang lain.

   Waktu Tan Ciok-sing yang berpakaian rombeng memasuki warung, seorang tamu segera mengerutkan kening, katanya.

   "Kau pengemis ini memangnya tidak tahu aturan minta-minta? Hayo tunggu sedekah diluar."

   Merah muka Tan Ciok-sing, katanya.

   "Aku bukan pengemis."

   "Bukan pengemis? Memangnya kau tamu yang hendak makan minum disini?"

   Kata seorang tamu lain. Kata-katanya ini mendapat sambutan gelak tawa tamu-tamu yang ada. Menahan gusar dan lapar Tan Ciok-sing berkata.

   "Aku tak punya uang untuk makan minum tapi aku bukan pengemis, aku hanya menjual bakat."

   Laki-laki perut gendut mirip majikan itu mungkin sudah setengah sinting karena kebanyakan minum arak, diapun berolok dengan tertawa.

   "Maaf, maaf, kiranya kau ini seorang seniman. Kau bisa main apa?"

   "Aku bisa memetik harpa,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Perwira itu menimbrung.

   "O, kau bocah ini juga bisa main harpa? Coba mainkan."

   Tan Ciok-sing segera membuka kotak panjangnya, katanya.

   "Tolong berikan aku sebuah meja kecil."

   Melihat harpa yang dikeluarkan sudah luntur dan bobrok hadirin sama geli dan tertawa terpingkal-pingkal. Majikan gendut itu berkata.

   "Entah dari mana dia memperoleh harpa bobrok ini."

   Tan Ciok-sing menahan sabar, katanya.

   "Meski bobrok harpa ini masih bisa untuk memainkan beberapa lagu, bila tuan-tuan berkenan sukalah memberi persen ala kadarnya,"

   Entah karena saking kelaparan, atau karena mangkel, waktu menyetem senar harpanya, jari-jari tangannya kelihatan gemetar. Pemilik warung ternyata seorang yang baik hati, katanya.

   "Engkoh cilik, mirunilah dulu kuah kaldu ini untuk menghangatkan perut."

   Setelah minum kuah kaldu, rasa lapar sedikit demi sedikit berkurang, setelah selesai menyetem, mulailah dia memetik harpanya sambil bernyanyi membawakan syair pujangga So Tong-poh.

   Laki-laki sekolahan itu adalah seorang tuan tanah yang pernah belajar beberapa huruf, si perwira berpaling padanya dan bertanya.

   "Li-ang, lagu apa yang dinyanyikan bocah ini?"

   Laki-laki itu bersikap mencemooh, katanya.

   "Aku hanya paham syairnya, siapa tahu lagu sedekah (lagu pengamis) apa yang dinyanyikan?"

   Perwira itu geleng-geleng kepala, katanya.

   "Tapi lagu sedekah yang dinyanyikan kaum pengemis masih lebih enak didengar."

   Laki-laki gendut itu juga berseru.

   "Wah, jelek sekali, kupingku sakit rasanya."

   Karuan hampir meledak perut Tan Ciok-sing mendengar ejekan-ejekan itu. Pikirnya.

   "Percuma aku bernyanyi di hadapan manusia-manusia kasar tak kenal huruf ini. Bikin kotor harpaku saja. Hm, lebih baik aku mati kelaparan dari pada disini terhina begini rupa."

   Baru saja dia hendak menyimpan harpa dalam kotaknya, tiba-tiba didengarnya seorang berkata.

   "Kurasa petikan harpanya justeru patut didengarkan."

   Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, pembicara adalah pemuda yang berpakaian pelajar, sejak tadi dia duduk di meja pojokan sana seorang diri.

   Setelah memuji permainan Tan Ciok-sing dia merogoh kantong keluarkan sekeping perak kirakira senilai dua tahil, suruh pelayan warung diberikan kepada Tan Ciok-sing.

   Demi gengsi terpaksa tuan tanah majikan kaya dan perwira itu juga merogoh kantong persen beberapa keping uang tembaga.

   Tan Ciok-sing hendak menampik pemberian mereka, tapi kuatir mereka kehilangan muka dan membuat geger lagi disini.

   Di kala dia bimbang pemuda pelajar itu sudah berseru padanya.

   "Kebetulan bertemu disini, silahkan kemari duduk disini sambil minum beberapa cangkir."

   Tan Ciok-sing tinggalkan uang perak itu di atas meja lalu menghampiri dan menyatakan terima kasih kepada pemuda pelajar itu. Karuan tuan tanah, majikan kaya dan perwira itu sama mendongkol karena Tan Ciok-sing tidak berterima kasih pada mereka.

   "Engkoh cilik,"

   Kata pelajar itu.

   "siapa yang mengajar kau main harpa?"

   "Bocah rudin macamku ini mana mampu mengundang guru segala, sejak kecil aku belajar ala kadarnya dari kakek." .

   "O, kakekmu pasti seorang kenamaan?"

   Tanya si pelajar.

   "Kecuali bisa main harpa kerja kakek menangkap ikan, sejak lahir aku hidup di gunung, entah dia ternama atau tidak?"

   "Engkoh cilik, kau punya bakat tapi tidak terkembang, tak heran kalau kau suka uring-uringan. Mumpung panas makanlah paha ayam ini, minum lagi secangkir. Kalau kau sudi aku ingin bersahabat denganmu."

   Setelah minum dua cawan Tan Ciok-sing berdiri, katanya.

   "Terima kasih, kau sudi menghargaiku, biar kupetikkan satu lagu. Bicara soal bersahabat, sungguh aku tidak berani menerimanya."

   Kali ini Tan Ciok-sing membawakan syair Sim Pin, pujangga pada dynasti Tong.

   Pelajar itu mendengarkan sambil manggut dan memuji berulang kali.

   Akhirnya dia melongo saking asyik dan terbuai oleh alunan harpa yang merdu dan syahdu.

   Belum lagi Tan Ciok-sing habis membawakan lagunya ini, datang pula seorang tamu.

   Melihat Tan Ciok-sing sedang petik harpa sambil nyanyi sesaat dia merasa heran, lalu dia menyapa majikan gendut itu.

   "Lau-ang, kiranya kau gemar juga mendengar irama harpa?"

   "Bukan aku yang suka dengar, Lo-ho, kebetulan kau datang, kemarilah ikut minum,"

   Lalu dia perkenalkan kepada tuan tanah dan perwira serta yang lain. Lo-ho adalah penduduk Hek-ciok-tin yang tidak punya gawe (pekerjaan), kerjanya suka luntang-lantung dan menyebar berita.

   "Lo-ho ada berita apa tidak?"

   Setelah duduk Lo-ho berkata lirih.

   "Semalam terjadi kejadian aneh di Hek-ciok-tin, seorang pemuda tanggung berpakaian rombeng menginap di Hun-lay, tapi tak punya uang membayar rekening, untung ada tamu yang suka menolongnya, tak kira tengah malam dia membuat keributan, katanya barangnya kecurian. Pemuda itu juga membawa harpa bobrok."

   Hek-ciok-tin adalah kota kecil dimana semalam Tan Cioksing menginap, jaraknya kira-kira tiga puluhan li dari kota ini, peristiwa semalam yang menimpa Tan Ciok-sing, ternyata diketahui oleh Lo-ho ini, sehari ini entah sudah berapa kali dia bercerita kepada orang.

   Tuan tanah itu berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya.

   "Kok bisa terjadi begitu, kukira bocah itu sengaja hendak memeras hotel Hun-lay itu."

   "Pendapat Li-ang memang tepat, bukan saja bocah rudin itu hendak memeras Hun-lay, diapun memeras tamu yang membantu bayar rekeningnya,"

   Lalu dia bercerita panjang lebar akan kejadian yang didengarnya, sudah tentu dalam ceritanya ditambahi bumbu dan kecap sehingga ceritanya kedengaran lebih menarik. Akhirnya Lo-ho menambahkan.

   "Sayang kedua tamu baik hati itu melepasnya pergi. Kalau waktu itu aku hadir, mungkin sudah kugusur dia ke kantor polisi. Tapi aku sudah mencari tahu bahwa penipu itu berusia belasan tahun, pakaian rombeng, membawa harpa dan jual lagak dimana-mana. Haha, kukira orangnya sekarang jauh di langit dekat di depan mata."

   Tuan tanah itu berkata.

   "Orang orang Hek-ciok-tin tiada yang tertipu, mungkin tidak sedikit pelajar-pelajar bodoh di dunia ini yang akan digoroknya."

   "Sayang Lo-ho tidak melihat tampangnya, kalau ada saksinya, pasti kuringkus dia,"

   Demikian kata si perwira. Pada saat itulah terdengar derap lari kuda yang mendatangi, dua penunggang kuda itu seketika menarik kendali waktu mendengar suara harpa dari warung makan. Loho segera bertepuk tangan girang seraya berseru.

   "Nah itu dia saksinya telah tiba,"

   Kiranya penunggang kuda itu adalah dua tamu yang pernah membantu Tan Ciok-sing. Laki-laki pendek itu segera membentak.

   "Bagus, ternyata kau bocah rudin ini mau menipu orang lagi disini, tuan-tuan, semalam bocah keparat ini hendak memeras pemilik hotel Hun-lay di Hek-ciok-tin, kamipun kena tertipu setahil perak olehnya."

   "Peristiwa itu sudah kita ketahui,"

   Kata Lo-ho, suaranya lantang.

   "untung yang berwenang di kota ini kebetulan ada disini, biarlah urusan ini kuselesaikan disini."

   Perwira itu menggebrak meja, serunya sambil berdiri.

   "Betul, disini ada undang-undang raja, aku yang berwenang menegakkan keadilan di daerah ini, siapapun kularang berbuat curang di daerah kekuasaanku, kawanan opas, tangkap dia,"

   Agaknya dia lupa bahwa kini dia seorang diri sedang jajan di warung ini, hakikatnya tidak membawa anak buah, apa lagi di warung makan, setelah membentak baru dia sadar telah kelepasan omong. Pelajar itu mengerutkan kening, bujuknya.

   "Kulihat adik cilik ini pasti bukan penipu, kuharap persoalannya dibikin terang lebih dulu."

   "Saksi sudah di depan mata, apa pula yang harus ditanyakan?' seru si perwira.

   "Liong-siucay, kau belum jadi penggede, pulanglah belajar lagi beberapa tahun, soal dinasku tak perlu kau ikut campur, Hm, bocah keparat ini berani mendelik padaku, biar kuringkus kau."

   Sungguh tak tertahan lagi emosi Tan Ciok-sing, mendadak dia raih pecahan perak di atas meja terus dilempar ke arah dua tamu diluar sana sambil membentak.

   "Semalam kau mentraktir setahil perak, kini dibayar sekali lipat. Kau mencuri golokku, lekas kembalikan padaku,"

   Lalu dia berpaling serta meraih beberapa keping uang tembaga itu terus ditimpuk ke meja si perwira.

   "Uang kalian yang bau ini, akupun tidak sudi,"

   Kepandaian laki-laki hidung betet tidak lebih asor dari Tan Ciok-sing, sekali gerakan dengan enteng dia tangkap pecahan uang perak yang ditimpukkan Tan Ciok-sing, jengeknya dingin.

   "Kau membayar hutang memang sudah seharusnya tapi jangan kau menuduh aku yang mencuri golokmu."

   Celaka adalah laki-laki pendek yang berkepandaian rendah, mukanya terluka dan berdarah oleh timpukan uang pecahan Tan Cioksing. Laki-laki usil mulut yang dipanggil Lo-ho berteriak.

   "Celaka dua belas, pencuri cilik yang galak ini berani melukai orang lagi,"

   Mendadak dia merasa ada gejala yang kurang beres, waktu berpaling seketika dia terkesima.

   Ternyata kepingan uang tembaga yang ditimpukan Cioksing ke meja sini semuanya melesak amblas setengah berjajar di atas meja, si perwira tampak pucat dan ketakutan.

   Malah tuan tanah dan majikan kaya yang bernyali kecil sudah sembunyi di kolong meja.

   Tan Ciok-sing panggul harpanya terus menerjang keluar ke arah dua tamu itu, bentaknya.

   "Kalian inilah penipu, kembalikan tidak golokku?"

   Laki-laki brewok itu sudah siap menghajar Tan Ciok-sing, tapi sekilas pandangannya melirik ke arah Liong-siucay yang sedang menatapnya tajam seperti tertawa tidak tertawa. Mencelos hati si brewok, bergegas dia lompat ke punggung kudanya, teriaknya.

   "Bocah ini sudah jadi gila, hayolah pergi saja."

   Dua kali laki-laki pendek itu kecundang oleh Tan Ciok-sing, nyalinya sudah pecah, tanpa diperingati dia sudah bedal kudanya lebih dulu.

   Ginkang Tan Ciok-sing sekarang paling cepat, sudah tentu dia tidak kuasa mengejar kecepatan lari kuda, waktu dia tiba diluar kota, kedua musuh itupun sudah tidak kelihatan bayangannya.

   Setelah terlampias rasa dongkolnya lega juga perasaan Tan Ciok-sing, untuk menempuh perjalanan dia tidak berani lewat jalan raya, terpaksa dia lari ke atas gunung.

   Semakin jauh dia meninggalkan kota kecil itu, haripun sudah semakin gelap, tanpa terasa senja menjelang.

   Kuah kaldu semangkok dan paha ayam yang diganyangnya tadi kini sudah tidak berbekas dalam perutnya, perutnya mulai berontak lagi.

   Saking lelah akhirnya dia mendeprok di bawah pohon lalu merebahkan diri beristirahat.

   Angin malam berhembus agak kencang, Tan Ciok-sing yang memang kelaparan jadi bergidik kedinginan.

   Untung dia membawa ketikan batu, segera dia mengumpulkan dahan dan daun kering lalu membuat api unggun.

   Mendadak pandangannya terbeliak seperti menemukan sesuatu, dilihatnya di depan sana penuh tumbuh pohon-pohon ubi liar, segera dia mengeduk tanah membongkar ubi terus dibakarnya.

   Setelah makan beberapa kerat ubi, sungguh tak kepalang rasa senang hati Tan Ciok-sing, tenaga pulih semangatpun bangkit.

   Lalu bagaimana selanjutnya dia harus menempuh kehidupan ini? Masuk kota takut ditangkap opas, hidup di atas pegunungan hanya makan ubi liar melulu, semakin dipikir hati Tan Ciok-sing semakin risau, akhirnya dia turunkan kotak buntalannya lalu memetik harpa di bawah pohon.

   Tanpa sadar lagu yang dibawakan adalah Khong-ling-san yang pernah dibawakannya waktu berpisah terakhir kali dengan jenazah kakeknya.

   "Petikan harpa yang bagus,"

   Tiba-tiba terdengar seseorang memuji.

   Tan Ciok-sing berjingkrak kaget, entah kapan tahutahu dihadapannya sudah berdiri empat orang, semuanya mengelilingi pohon dimana dia duduk di bawahnya.

   Dua orang di depan adalah kakek yang berparas aneh, padahal tampang kedua kakek ini mirip satu dengan yang lain, seperti pinang dibelah dua, cuma kulit badannya saja yang berbeda.

   Seorang berpakaian serba putih, yang lain berpakaian hitam.

   Kakek baju putih kulitnya putih bersih seperti salju, kakek baju hitam berkulit hitam legam, jadi pakaian dan kulit badan mereka serasi, hitam putih kelihatan menyolok sekali.

   Rambut kedua kakek ini sudah sama beruban, bola matanya gelap kebiruan, sekali pandang orang akan tahu kalau mereka bukan Oh-jin dari daerah barat pasti orang asing.

   Kedua kakek ini sama memegang sebuah tongkat coklat yang mengkilap, entah terbuat dari apa.

   Yang membuat Tan Ciok-sing lebih heran adalah dua lakilaki yang berdiri di belakang sana, mereka bukan lain adalah dua pencuri yang menista dirinya sebagai penipu.

   Laki-laki brewok itu berkata beberapa patah kata yang tak dimengerti kepada kedua kakek hitam putih, Tan Ciok-sing tidak tahu apa yang dipercakapkan, tapi mereka bicara sambil menuding harpa miliknya, jelas mereka mengincar dan hendak merebut harpa warisan keluarganya.

   Laki-laki pendek itu berkata dengan tertawa.

   "Sungguh amat kebetulan, tak kira kau bocah ini sedang sembunyi disini."

   Gusar Tan Ciok-sing dibuatnya, bentaknya.

   "Memang aku hendak cari kalian guna membuat perhitungan, uang sudah kukembalikan, kenapa kalian tidak kembalikan golokku?"

   "Kau masih berani minta kembali golok pusaka?"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ejek lakilaki pendek.

   "besar juga nyalimu, ketahuilah, kami juga ingin merebut harpamu itu. Tapi kami tidak akan merebut secara percuma..."

   Memangnya Ciok-sing sudah dongkpl sejak kemarin, mana dia sabar mendengar obrolan orang, segera dia menerjang maju sambil memaki.

   "Kurang ajar, kalian kawanan rampok ini. Sudah mencuri golokku mau merebut harpaku pula."

   Lekas kakek tua putih mengulap tangan, katanya.

   "Jangan berkelahi, kami bukan perampok."

   Terasa serumpun tenaga lunak yang kuat tiba-tiba menahan dirinya seperti ada sebuah telapak tangan tidak kelihatan yang mendorong dadanya, walau lunak tenaganya tapi sukar ditahan dan dilawan, tanpa kuasa dia terdorong mundur beberapa langkah.

   Habis bicara kakek tua putih itu lantas berpaling setelah mendengus dia memaki kedua laki-laki itu.

   "Kalian membantu aku berdagang, bukankah sudah pernah kuberitahu kepada kalian? Kita boleh menarik keuntungan dalam perdagangan, tapi kularang main rebut barang milik orang lain? Bukankah kalian mempermainkan dan menyakiti bocah ini?"

   Bahasa pembicaraannya menggunakan bahasa Han yang fasih dan jelas, logatnya jauh lebih baik dibandingkan laki-laki brewok itu. Lekas laki-laki brewok bantu temannya membela diri, katanya.

   "Kami bukan merampas, tapi kami membeli dengan uang."

   "Pembual,"

   Damprat Tan Ciok-sing.

   "kalian pura-pura jadi orang baik mentraktir aku segala, siapa bilang aku menjual barangku kepada kalian?"

   Mimik laki-laki pendek tampak menjilat kepada kedua orang tua hitam putih, katanya.

   "Aku tahu kalian orang tua segala barang antik apapun sudah punya, tapi sejauh ini belum pernah memiliki harpa kuno, oleh karena itu aku ingin memperdayanya untuk kupersembahkan pada kalian sebagai kado ulang tahun. Silahkan kalian orang tua perhatikan, bukankah harpa itu sangat baik."

   Perlahan kakek hitam berkata.

   "Bagus memang bagus, tapi tak boleh merebut secara paksa. Tentang golok pusaka ini..."

   Si brewok kuatir kakek hitam kembalikan golok pusaka itu kepada Tan Ciok-sing, lekas dia bertanya.

   "Golok pusaka ini bagaimana?"

   "Sulit aku memberikan putusan atas golok pusaka ini,"

   Ucap kakek hitam.

   "biar kutanyakan dulu biar jelas."

   Diam-diam si brewok membatin.

   "Kaum persilatan, memangnya siapa yang tidak menyukai golok pusaka?"

   Dia kira kakek, hitam sudah menaruh perhatian, tidak lagi mengukuhi aturan biasanya bila dia berdagang. Maka lekas dia berkata.

   "Loya-cu, merebut barang orang sudah tentu tidak baik, tapi, tapi..."

   "Tapi apa?"

   Kakek hitam menatapnya tajam. Kata si brewok.

   "Kuingat kalau tidak salah Lo-ya-cu pernah bilang, hitam makan hitam kan boleh juga. Entah salahkah aku mengingat akan hal ini?"

   "Maksudmu golok pusaka milik bocah ini juga hasil curian?"

   Tanya kakek hitam.

   "darimana kau tahu?"

   Mendapat bantuan dan kisikan temannya, laki-laki pendek segera menimbrung.

   "Bagaimana asal-usul bocah ini meski.belum kami ketahui. Tapi uang sepeserpun dia tidak punya untuk membeli pakaian bekas, lalu dari mana dia bisa memiliki kedua benda pusaka?"

   Kakek hitam manggut, katanya.

   "Ucapanmu ini memang beralasan, asal-usul bocah ini memang agak mencurigakan."

   Tan Ciok-sing berseru gusar.

   "Bagaimana asal-usulku perduli amat dengan kalian. Tapi ke dua anak buahmu itu jelas pembual."

   "O, membual bagaimana?"

   Tanya kakek putih.

   "Mereka mengatakan aku rudin memang tidak salah, tapi semalam aku masih menggembol puluhan butir kacang emas. Waktu mereka mencuri golok pusakak*U ini, kacang emas itupun berhasil mereka gondol pula."

   Laki-laki pendek itu tertawa lebar, katanya.

   "Omonganmu ini memangnya bisa menipu orang?"

   Belum habis dia bicara tiba-tiba cahaya kuning emas berkelebat menyilaukan mata waktu kakek hitam membuka telapak tangannya di depan matanya, puluhan butir kacang emas ternyata sudah berada dalam genggamannya.

   Padahal laki-laki pendek ini menyimpan kacang-kacang emas ini didalam kantong baju lapisan dalam, tapi hanya dengan satu gerakan enteng dan cepat, semuanya sudah dirogohnya keluar, baju bagian luar tidak terbuka.

   Jangan kata laki-laki pendek ini kaget dan ketakutan, Tan Ciok-sing pun takjub dibuatnya.

   Gemetar sekujur badan laki-laki pendek, katanya.

   "Aku hanya ingin mendapatkan kado yang kalian sukai, sekedar sebagai penghormatan pada kalian orang tua, tujuannya jelas bukan untuk kepentingan pribadi. Soalnya bocah ini tidak mau menjual pada kami, terpaksa kugunakan akal ini, bila dia tidak ada sepeser uangpun, mungkin dia mau menjualnya kepadaku."

   "Plak, plok", beruntun terdengar suara keras dua kali, lakilaki brewok dan laki-laki pendek sama dipersen satu kali tamparan. Setelah menggampar mulut kedua anak buahnya, kakek hitam berkata dingin.

   "Tutup bacot kalian yang kotor, muka kami kalian bikin malu."

   Melihat kakek hitam menghajar anak buahnya, dalam hati Tan Ciok-sing berpikir.

   "Tandang kedua orang asing ini memang angker dan menakutkan, tapi hati mereka ternyata baik. Mungkin mereka sudi kembalikan golok pusakaku itu."

   Tak kira pelan-pelan kekek hitam melolos golok serta menjentiknya dua kali, tiba-tiba dia berkata.

   "Aku tidak akan membela anak buah sendiri, tapi kaupun harus bicara jujur. Cara bagaimana kau memperoleh golok pusaka ini?"

   Sudah tentu tak mungkin Tan Ciok-sing ceritakan peristiwa yang menimpa In Hou kepada orang asing yang tidak dikenalnya ini? Tapi diapun tidak bisa berbohong, terpaksa dia menjawab.

   "Pendek kata golok ini milikku, cara bagaimana aku memilikinya, orang lain tidak perlu urus."

   "Urusan lain aku boleh tidak perlu turut campur,"

   Kata kakek hitam.

   "tapi bicara soal asal-usul golok pusaka ini betapapun aku harus mencampurinya. Lekas katakan secara jujur, golok pusaka milik In Hou ini, cara bagaimana bisa terjatuh ke tanganmu?"

   Tan Ciok-sing terperanjat, pikirnya heran.

   "Mungkinkah mereka sahabat In Tayhiap? Hm, hati manusia susah diduga, siapa tahu kedua kakek ini pura-pura jadi orang baik, tujuannya hendak mengorek keteranganku tentang In Tayhiap?"

   "Apakah kau murid In Tayhiap?"

   Tanya kakek hitam.

   "Hakikatnya aku tidak kenal dan tidak tahu siapa itu In Tayhiap."

   Sahut Tan Ciok-sing masa bodoh. Tiba-tiba kakek hitam memutar golok mengangsurkan gagang golok ke arah Tan Ciok-sing, katanya.

   "Terimalah."

   Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, tak pernah terbayang olehnya bahwa kakek hitam ini akan kembalikan golok pusaka ini begini mudah.

   Baru saja dia hendak minta kembali sarung goloknya sekalian, kakek hitam sudah serahkan tongkat coklat mengkilap di tangannya kepada kakek putih, bentaknya.

   "Golok pusaka sudah kembali di tanganmu, hayolah bacokan ke arahku."

   Kembali Tan Ciok-sing tertegun, katanya kemudian.

   "Bicara baik-baik kenapa aku harus membacok kau?"

   Maklum golok pusaka ini tajam luar biasa, mengiris emas dan besi seperti merajang sayur, rambut yang ditiup di tajam goloknya pun putus seketika, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani memakainya membacok kakek hitam yang bertangan kosong.

   Kakek hitam tertawa dingin, katanya.

   "Jangan kau kira dengan bersenjata golok pusaka, kau mampu melukai seujung rambutku. Biar kubicara terus terang, kusuruh kau membacok dengan golok itu karena aku punya semacam peraturan, bila orang bertindak kasar terhadapku, baru aku punya alasan untuk merebut golok lawan. Kini sudah kujelaskan padamu, mau atau tidak kau menyerangku, aku tetap ingin memiliki harpa kunomu ini."

   Sembari bicara kakek hitam ulur telapak tangannya yang segede kipas hendak merampas harpa kuno itu. Kuatir orang merusak harpanya, sudah tentu gusar hati Tan Ciok-sing. Pikirnya.

   "Kiranya hanya mulutnya saja yang manis, jelas diapun pentolan rampok,"

   Tanpa pikir segera dia ayun golok terus membacok. Kakek hitam tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kau tertipu, setelah kau bergebrak, maka aku boleh turun tangan mengambil barangmu tanpa malu-malu lagi."

   Bacokan Tan Ciok-sing bertujuan menggertak saja, tak nyana kakek hitam membalik tangan, jarinya menjentik dan tepat menyelentik punggung golok, seketika telapak tangan Tan Ciok-sing terasa pedas linu, pergelangan tangannya tergetar keras, hampir saja dia tidak kuat pegang goloknya lagi.

   Di tengah gelak tawa kakek hitam, kembali tangannya yang besar itu meraih ke arah harpa.

   Bentak Tan Ciok-sing gusar.

   "Kau mau merampas harpa ini, kecuali kau bunuh aku lebih dulu,"

   Amarahnya memuncak, bola matanya sampai mencorong merah, langkahnya sebat menubruk maju, golok pusaka diobat abitkan membacok ke tangan kakek hitam yang sedang menjamah harpanya itu.

   Tan Ciok-sing tahu bahwa kepandaian silat kakek hitam berapa lipat lebih tinggi dari kemampuannya, maka dia turun tangan tak kenal ampun.

   Jurus bacokannya itu sudah menggunakan ajaran ilmu golok yang tercantum dalam buku, cahaya golok laksana bianglala, keras dan ganas sekali.

   Kakek hitam terloroh-loroh, katanya.

   "Bocah bagus, memangnya kau hendak adu jiwa,"

   Aneh bin ajaib, lengannya itu seperti bisa ditelikung seenaknya, tahu-tahu bacokan golok Tan Ciok-sing mengenai tempat kosong dan "Bluk"

   Pundak kirinya malah yang kena digenjot lawan.

   Genjotan cukup keras, tapi Tan Ciok-sing sedikitpun tidak merasa sakit.

   Sesaat ini Tan Ciok-sing melengak dibuatnya.

   Maklum pukulan kakek hitam mengenai telak pundak kirinya, ini betulbetul diluar dugaannya.

   Semula dia kira dirinya pasti terpukul jungkel balik, tapi kenyataan tidak apa-apa, malah rasa pedas dan linu di tangannya seketika lenyap.

   "Masakah hanya latihan tiga bulan lwekang, hasilnya sudah begini luar biasa?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   Cepat sekali kakek hitam sudah menubruk maju lagi sambil pentang kedua tangannya, gayanya hendak merebut golok yang dipegangnya.

   Tak sempat lagi Tan Ciok-sing pikirkan keanehan diri sendiri yang sudah memiliki lwekang secara menakjubkan atau mungkinkah lawan yang menaruh belas kasihan, lekas goloknya bergerak dengan jurus Heng-in-toanhoan (mega melintang memutus puncak) membendung sergapan lawan Lalu disusul jurus Sam-yang-kay-thay, Guahou- ting-san, Liong-yau-sim-gan, beruntun tiga jurus dari pembela diri balas menyerang.

   Sudah tentu ketiga jurus ini juga merupakan ajaran ilmu golok keluarga In.

   Kakek hitam melayang ke kiri lompat ke kanan seperti bermain petak dengan dia, sekaligus Tan Ciok-sing memberondong dengan belasan jurus, tapi jangan kata melukai lawan, menyentuh ujung jarinya saja tidak mampu.

   Terdengar kakek hitam berseru tertawa.

   "Adu jiwa tiada gunanya untukmu, menyerah saja dan serahkan golok dan harpa itu, aku tidak akan membunuhmu."

   Tapi Tan Cok-sing sudah bertekad.

   "orang hidup harpa ada, harpa hilang orangnya gugur", sambil kertak gigi tanpa berhenti golok di tangannya terus menghujani serangan gencar ke tubuh lawan. Seluruh ajaran ilmu golok yang dia pelajari dari buku peninggalan In Hou telah di praktekkan seluruhnya. Sekejap saja belasan jurus telah lewat, Tan Ciok-sing tetap tidak mampu menyentuh baju lawan, apa lagi melukainya. Mendadak kakek hitam tertawa pula, katanya.

   "Jurus Thihu- san yang kau lancarkan ini kurang betul, jurus ini sebetulnya guna bertahan sepenuhnya, jurus selanjutnya baru untuk balas menyerang mengincar bagian bawah lawan, kau justru bertahan sambil menyerang, ini tidak betul. Coba kau buktikan sendiri bukankah jurus Terbalik Menunggang Keledai ini menunjukkan lobang kosong? Jikalau telapak tanganku menepuk Hong-hu-hiat di tubuhmu, lalu cara bagaimana kau akan membela diri?"

   Di kala dia membongkar jurus gerakan Tan Ciok-sing selanjutnya, memang Tan Ciok-sing baru saja melancarkan jurus Terbalik Menunggang Keledai.

   Tan Ciok-sing kaget sekali, dia pun heran bagaimana kakek hitam ini begitu apal dan mahir sekali akan permainan ilmu golok ajaran In Hou ini? Tapi dia pikir Hong-hu-hiat terletak di belakang punggung, lawan bertempur berhadapan, bagaimana mungkin dia bisa menyerang punggungku yang memang kosong? Ilmu golok keluarga In memang mengutamakan mantap keras dan enteng lincah, kedua unsur ini dikombinasikan dalam jurus-jurus ilmu golok yang liehay itu, latihan Tan Ciok-sing jelas belum matang dan mencapai taraf yang dapat bergerak sesuai keinginan hati, dalam gerakan yang cepat ini, mana mungkin dia mampu merubah gerakan secara mendadak? Apalagi dia yakin lawan tak mungkin dapat mencapai Hong-hu-hiat di belakang punggungnya, maka jurus 'Terbalik Menunggang Keledai tetap dia kembangkan sesuai petunjuk yang dia pelajari dari buku.

   "sret"

   Goloknya menyilang dari atas ke bawah terus membabat ke dua kaki kakek hitam.

   Mendadak dia kehilangan bayangan kakek hitam, ternyata selicin belut kakek hitam telah menyelinap pergi dari bawah selangkangan.

   Gerakan aneh dan tangkas kakek hitam ini memang aneh dan lucu, gerakannya cepat lagi, hakikatnya tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa lawan bakal menyelinap ke belakang.

   Sebetulnya gerakan aneh kakek hitam yang aneh ini, bukan saja berada diluar dugaan Tan Ciok-sing, umpama lawan seorang gembong persilatan yang memiliki kepandaian puluhan lipat lebih liehay dari Tan Ciok-sing juga pasti dibuat keheranan dan tidak menduga sebelumnya.

   Maklum sebagai tokob persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan tinggi, memangnya siapa yang sudi menyelinap ke bawah selangkangan lawan, oleh karena itu tiada ajaran gerakan aneh semacam itu dalam kalangan persilatan di Tionggoan ini.

   Ternyata kakek hitam iui adalah orang Thian-tok (India).

   Gerakannya itu merupakan kembangan dari ilmu Yogya.

   Adat dan kebudayaan bangsa Tionghoa berbeda dengan orang India, bagi mereka menyelinap dari bawah selangkangan lawan bukanlah merupakan suatu penghinaan atau sesuatu yang memalukan.

   Apa lagi taraf kepandaian Tan Ciok-sing belum mencapai tingkatan yang sempurna, gerakan jurus permainannya belum terkendali oleh daya pikirannya, bahwa bayangan kakek hitam mendadak lenyap dari pandangannya, maka gerakan bacokan goloknya tetap terayun ke depan "Trang"

   Goloknya membacok batu di atas tanah.

   Dalam kejap itu pula, Tan Ciok-sing merasakan Hong-huhiat di belakang punggungnya tiba-tiba kesemutan, telapak tangan kakek hitam menepuk punggungnya terus mendorongnya pergi.

   Hong-hu-hiat adalah salah satu hiat-to dari tiga puluh enam hiat-to penting di tubuh manusia, jikalau hiat-to yang satu ini kena ditutuk dengan Jong-jiu-hiat lawan, kalau tidak mati seketika juga pasti luka parah.

   Tapi Tan Ciok-sing hanya merasa kesemutan saja, setelah dia terdorong maju beberapa langkah, begitu berdiri tegak lagi rasa kesemutan itupun telah lenyap tak berbekas.

   Hiat-tonyapun tidak tertutuk, gerak geriknya tetap leluasa, malah mampu mengayun goloknya pula.

   Kembali kakek hitam tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Tadi sudah kuperingatkan, tapi kau tidak percaya, sekarang kau mau tunduk tidak?"

   "Mau bunuh boleh bunuh, selama hayat masih di kandung badan, takkan kubiarkan kau merebut barangku."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bocah yang bandel,"

   Ujar kakek hitam tertawa.

   "baiklah, masih ada delapan belas jurus ilmu golokmu yang belum kau lancarkan, sekarang boleh kau habiskan setelah habis kau kembangkan ilmu golokmu baru kubunuh kau, supaya kau mati meram."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing sudah tidak pikirkan mati hidupnya sendiri, golok terayun dia menyerbu lagi, tanpa disadarinya sekaligus dia telah kembangkan ilmu golok keluarga In sampai habis.

   Kakek hitam mendadak jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, dengan jurus kecapung tegak terbalik, ujung kakinya menjungkir ke atas.

   "Tang"

   Golok di tangan Tan Ciok-sing kena di tendangnya terbang ke udara.

   Kembali lawan mengembangkan semacam jurus permainan aneh yang tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing.

   Sigap sekali tahu-tahu kakek hitam telah melompat berdiri pula, gerakannya teramat tangkas sebelum Tan Ciok-sing sempat berbuat apa-apa dia sudah mendahului melejit kesana menangkap golok pusaka yang melayang turun.

   Begitu menangkap golok kontan dia putar balik gagangnya pula serta disesapkan ke tangan Tan Ciok-sing, katanya tertawa.

   "Selanjutnya kau harus lebih hati-hati, jangan sampai golok pusaka ini hilang lagi."

   Sekian lama Tan Ciok-sing terlongong.

   Kakek hitam tadi bilang setelah dirinya habis melancarkan delapan jurus ilmu goloknya lantas akan membunuhnya.

   Tak nyana kini bukan saja lawan tidak membunuh dirinya, malah golok pusaka ini dikembalikan padanya.

   Kini tatapan mata kakek hitam setajam sembilu, katanya dingin.

   "Katamu kau bukan murid In Hou, lalu siapa yang mengajarkan ilmu golok ini?"

   Tan Ciok-sing naik pitam pula, serunya.

   "Kalian ini kawanan rampok, kenapa aku harus jelaskan kepada kalian?"

   Kakek hitam tertawa, katanya.

   "Golok pusaka sudah kukembalikan, harpa itupun tidak akan kurebut. Kenapa masih dianggap rampok juga."

   Ternyata tadi dia hanya menggertak Tan Ciok-sing, berpura-pura hendak merebut harpanya, tujuannya hanya memaksa Tan Ciok-sing mengembangkan ilmu golok keluarga In. Bimbang hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Mungkin mereka mengincar Kiam-boh karya Thio Tan-hong, tujuannya adalah rahasia yang kuketahui dari In Hou semasa masih hidup,"

   Maka dia balas bertanya.

   "Kalau kau bukan rampok, siapa kau?"

   Berkerut kening kakek hitam, katanya.

   "Masa kau tidak pernah dengar nama Hek-pek-moko?"

   "Apa itu Hek-pek-moko, aku tidak pernah dengar,"

   Ujar Tan Ciok-sing. Kakek putih yang sejak tadi menonton di pinggiran kini geleng-geleng kepala, katanya, 'Tak usah ditanyai lagi, ilmu golok bocah ini kukira bukan diajarkan langsung oleh In Hou, kalau tidak masakah masih begitu kaku?"

   "Betul,"

   Demikian batin kakek hitam.

   "kalau dia murid In Hou, kenapa tidak kenal Hek-pek-moko? Sejak tadi begitu melihat tampang kami berdua, seharusnya dia sudah kenal. Tapi cara bagaimana golok pusaka In Hou ini bisa berada di tangannya? Dari mana dan cara bagaimana dia bisa mempelajari ilmu golok keluarga In? Walau permainannya masih kaku, tapi jelas itulah ilmu golok keluarga In."

   Di kala dia kebingungan dan tidak tahu cara bagaimana harus menghadapi bocah bandel ini, mendadak didengarnya dua kali suitan yang gugup dan melengking tajam, kejap lain tampak laki-laki brewok anak buah mereka itu mengeluh tertahan lalu sempoyongan sambil memeluk dada.

   "Bluk"

   Akhirnya tersungkur jatuh.

   Laki-laki pendek itu masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi darah tampak menetes dari lehernya.

   Ternyata tanpa mengeluarkan suara, tahu-tahu jiwanya sudah melayang terbokong musuh, sesaat lagi baru tubuhnya roboh berdentam seperti kayu.

   Lekas sekali dari dalam hutan tampak bermunculan bayangan beberapa orang, oborpun menyala terang benderang.

   Tiga orang yang berdiri terdepan dengan langkah gontai, pelan-pelan mendekati Hek-pek-moko.

   Satu di antara ketiga orang ini sudah dikenal oleh Tan Cioksing, yaitu laki-laki yang memeluk gitar, dia bukan lain adalah gembong iblis she Siang yang ikut mencelakai In Hou didalam Cit-sing-giam tempo hari.

   Padahal hari itu dia tidak berada disana, tapi "kenal"

   Yang dia maksud lantaran pernah dengar keterangan kakeknya tentang tampang gembong iblis ini dan Le Khong-thian, serta senjata apa yang dia gunakan.

   Le Khong-thian bersenjata Tokkang- tong-jin, sedang gembong iblis she Siang .

   bersenjata gitar besi, senjata yang jarang terlihat dan digunakan oleh kaum persilatan.

   Maka Tan Ciok-sing tahu bahwa laki-laki ini pasti adalah gembong iblis yang pernah mencelakai In Hou itu.

   Baru pikirannya bekerja, maka didengarnya kakek hitam berkata dingin.

   "Siang Po-san, berani kau membunuh kedua anak buahku, memangnya kau pamer di hadapanku?"

   "Ternyata gembong iblis ini bernama Siang po-san,"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   "Dia salah satu musuh In Tayhiap, akan kucatat namanya."

   "Tidak berani,"

   Ujar Siang Po-san.

   "mengurangi dua musuh kan lebih leluasa untuk berbicara."

   Kini jarak ketiga orang ini tinggal belasan langkah saja dari Hek-pek-moko, kelihatannya merekapun segan terhadap Hekpek- moko, tiga orang berdiri dalam formasi segi tiga, semuanya menatap tajam penuh perhatian, Hek-pek-moko tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak.

   Dua orang yang lain itu terdiri kakek bertubuh kurus kering, seorang lagi adalah Hwesio berkepala besar dan bertelinga besar pula.

   Kalau kakek kurus menggantung golok di pinggangnya, sementara si Hwesio bersenjata tongkat besi.

   Anak buah mereka ada belasan orang, semuanya kini sudah keluar dari hutan, Hek-pek-moko berdua sudah terkepung.

   Tan Ciok-sing berdiri di bawah sana, letaknya di sebelah kiri bawah Hek-pek-moko, jaraknya tiga puluhan langkah, golok masih tergenggam di tangan, pikirnya.

   "Gembong iblis she Siang ini mungkin sudah ^hu bahwa In Tayhiap meninggal di rumahku, kalau dia mengincar diriku, biar aku adu jiwa."

   Didengarnya kakek hitam berkata.

   "Ie-cengcu, kawan undanganmu ini ternyata punya asal-usul juga ya, yang gundul ini adalah Thi-ciang Siansu bukan?"

   Hwesio itu bersuara dengan pongah.

   "Betul, berkat kawankawan Kangouw yang sudi memandang diriku serta memberi gelar itu padaku. Hehe, aku tahu kalian adalah Hek-pek-moko, walau kita belum pernah berhadapan, kukira masing-masing sudah pernah dengar nama masing-masing."

   Hwesio yang satu ini sebetulnya murid Siau-lim-pay, gelarannya Cau-hong, dua puluh tahun yang lalu karena melanggar disiplin perguruan, dia diusir dari Siau-lim-si oleh ketuanya Thong-sian Siang-jin.

   Tapi kepandaian ajaran Siaulim- si yang pernah dia pelajari memang amat liehay, terutama enam puluh empat jurus Hong-mo-cang-hoat merupakan bekal kepandaiannya yang hebat, konon seluruh penghuni biara Siau-lim tiada yang menjadi tandingannya.

   Oleh karena itu dia dijuluki Thi-ciang Siansu, gelarannya yang semula sudah dilupakan orang malah.

   "Kan masih ada Le Khong-thian?"

   Ujar kakek hitam.

   "Kabarnya dua tahun yang lalu dia sudah kembali ke Tionggoan, selalu keluntang keluntung dengan kau orang she Siang ini. Ie-cengcu, kau mengundang orang she Siang, kenapa tidak memanggil orang she Le itu?"

   Ie-cengcu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Hek-pek-moko, apa kalian tidak terlalu mengagulkan diri? Le Khong-thian sedang ada urusan, tapi menurut hematku, kami yang hadir ini sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan urusan disini."

   Dalam hati Tan Ciok-sing membatin.

   "Ie-cengcu ini mungkin yang dijuluki raja golok cepat le Cun-hong itu, kalau benar dia adanya, kakek hitam putih ini mungkin bisa celaka."

   Perlu diketahui, dulu Tan Ciok-sing pernah dengar percakapan Lui Tin-gak dengan kakeknya membicarakan le Cun-hong ini, waktu itu It-cu-king-thian tentu tiada bandingan di kolong langit ini, namun dia boleh terhitung tokoh ternama dalam permainan golok, hanya ilmu golok In Hou yang mungkin bisa menandinginya.

   Meski sebelum ini tidak kenal dan sekarang tidak menaruh rasa simpati terhadap kakek hitam putih, namun dalam hati Tan Ciok-sing, diam-diam mengharap kedua kakek ini nanti yang menang.

   Maklum pendatang baru ini termasuk musuh pembunuh In Hou sudah tentu bencinya terhadap orang-orang ini setengah mati, mau tidak mau dia kuatir juga akan keselamatan kakek hitam putih.

   Kakek putih ternyata berwatak lebih berangasan dari kakaknya, segera dia gcdrukkan tongkatnya ke tanah, serunya lantang.

   "le Cun-hong, bicara blak-blakan saja, apa maksud tujuan kalian mencari kami?"

   Laki-laki kurus itu memang si cepat raja golok le Cun-hong, dengan kalem dia berkata.

   "Kalian tak usah kuatir dan jangan marah, memang kedatanganku ada tujuan, untuk ini mohon kalian suka memaafkan."

   Bentak kakek putih.

   "Ada omongan apa lekas katakan."

   Berubah air muka Le Cun-hong disemprot kasar.

   "bukan aku tidak bisa memaki orang, tapi kita akan berusaha secara hormat, kalau terpaksa apa boleh buat baru menggunakan kekerasan. Hek-pek-mo-ko, selama puluhan tahun ini, harta benda yang telah kalian kumpulkan di Tiongkok ini tentu tidak sedikit jumlahnya, kalau seluruhnya diboyong keluar tentu berabe. Oleh karena itu mohon kau suka beritahu dimana kalian menyimpan harta benda itu, kami tidak akan mengangkangi seluruhnya, cukup separoh saja. Sisanya yang separoh menjadi tanggungan kami untuk mengirimnya ke perbatasan."

   Kakek putih menyeringai dingin, katanya.

   "Enak juga kalian membuat perhitungan, sayang sekali sekarang kami sudah rudin, jangan kata harta segala, uang sangupun kita tidak punya lagi, terpaksa biar kami merogoh kantong kalian saja."

   Hwesio gede itu juga menggedrukkan tongkatnya ke tanah, katanya dingin.

   "Genta yang tidak dipalu tidak akan bunyi, lampu tidak disulut tidak akan nyala. Kalau demikian terpaksa Pinceng harus menggunakan tongkatku ini untuk menyempurnakan kalian."

   "Eh, mau berkelahi juga boleh, memangnya aku takut kepadamu?"

   Tantang kakek putih. Kakek hitam justru mengulap tangan, katanya.

   "Tunggu sebentar, aku tak percaya bahwa kalian ke mari hanya mengejar harta dan uang. Adakah maksud tujuan lain, silahkan katakan saja."

   "Hek-moko,"

   Kata le Cun-hong.

   "otakmu memang lebih encer dari adikmu. Memang seorang teman minta aku tanya pada kalian, kalian kan teman baik Thio Tan-hong, tentunya tahu dimana sekarang tempat tinggalnya, temanku itu akan mencarinya."

   Mendengar kakek hitam putih ini adalah teman baik Thio Tan-hong, bukan kepalang kaget hati Tan Ciok-sing, batinnya.

   "Omongan orang she Ie entah dapat dipercaya tidak?"

   Soalnya dia tidak percaya bahwa Thio Tan-hong yang diagungkan seluruh lapisan persilatan itu ternyata punya dua teman bangsa asing.

   Memang Tan Ciok-sing tidak tahu asalusul mereka, tapi dari tingkah laku mereka jelas memang kurang genah.

   Menurut apa yang dikatakan Ie Cun-hong barusan, agaknya mereka banyak mengeduk harta benda secara tidak halal di Tiongkok.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu, meski kedua kakek bertampang seram dan aneh ini berwatak aneh pula, apa lagi mereka memang banyak mengeduk keuntungan di Tiongkok.

   Tapi mereka memang betul teman baik Thio Tan-hong, malah setelah mereka berkenalan dengan Thio Tan-hong, sepak terjang merekapun banyak berubah, lebih banyak berbuat kebajikan dari pada kejahatan.

   Kedua kakek ini adalah saudara kembar cuma yang tua hitam bernama Hek-moko, sang adik putih bernama Pekmoko, kalau digabung bernama Hek-pek-moko, semula mereka adalah pedagang perhiasan dan barang-barang antik dari India.

   Usaha dagang mereka memang cukup besar, namun cara yang mereka praktekkan memang kurang legal.

   Main selundup, sogok dan bila perlu main paksa, merekapun pernah jadi maling yang suka mengeduk harta benda didalam kuburan raja-raja.

   Namun mereka ada membuat sebuah peraturan, yaitu mereka hanya mencuri benda milik orang telah mati, kepada manusia-manusia hidup hanya menipu pantang merebut.

   Belakangan mereka kenal Thio Tan-hong, karena suatu ketika secara kebetulan Thio Tan-hong menemukan istana di bawah tanah milik kedua kakak beradik ini, didalam istana bawah tanah inilah kedua orang asing ini menyimpan harta bendanya.

   Kalau mereka sendiri akhirnya pantang menjadi maling atau pencuri, tapi mereka tetap menjadi tukang tadah, bila perlu meluruk kemana sajapun boleh, asal ada barang dan usaha jalan, tidak perduli dari mana asal-usul barang itu.

   Oleh karena itu anak buahnya campur aduk terdiri dari beberapa lapisan, itulah sekedar gambaran sepak terjang Hek-pek-moko yang lalu, lain dulu lain sekarang, kini Hek-pek moko tidak lagi sekaya dulu, meski belum sampai rudin, tapi simpanan mereka memang sudah tidak banyak lagi, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

   Soalnya setelah mereka ditundukkan oleh Thio Tan-hong, secara suka rela mereka serahkan seluruh harta simpanannya kepada Thio Tan-hong, oleh Thio Tan-hong harta terpendam itu diserahkan kepada Kim-to Cecu Ciu Kian ayah dan anak yang bercokol diluar Gan-bun-koan untuk melawan serbuan pasukan Watsu.

   Ciu Kian sebetulnya adalah komandan tentara yang berkuasa di perbatasan, karena difitnah oleh kawanan dorna, akhirnya dia tinggalkan jabatan dan kedudukan terus menduduki gunung menjadi penyamun, meski jadi brandal, namun loyalitasnya terhadap kerajaan Bing tak pernah luntur, dalam mendirikan pangkalannya diluar perbatasan itu, dia tetap berusaha menahan serbuan pasukan Watsu dibantu laskar rakyat yang patriotik.

   Tiga puluh tahun yang lalu, Ciu Kian terhitung raja golok yang kenamaan juga, kini dia sudah meninggal, maka anaknya Ciu San-bing mewarisi jabatan ayahnya, hubungannya dengan In Hou amat intim.

   Di pangkalan Ciu San-bing inilah Hek-pek-moko pernah beberapa kali bertemu dengan In Hou, masing-masing pernah tukar pikiran tentang ilmu silat, oleh karena itu kedua kakak hitam putih ini amat apal akan ilmu golok keluarga In.

   Sebelum menjawab pertanyaan Ie Cun-hong tentang jejak Thio Tan-hong, Hek-moko menengadah sesaat tanpa bersuara, akhirnya dia tertawa geli tiga kali, baru berkata.

   "Mengandalkan kalian beberapa gelintir kurcaci ini, memangnya pantas kalian mencari Thio Tan-hong?"

   Gusar Ie Cun-hong, dampratnya.

   "Cara hormat sudah kita tempuh. Ternyata kau tidak tahu diri, baiklah, ingin aku belajar kenal sampai dimana kepandaian kalian Hek-pekmoko?"

   "Ie-cengcu,"

   Timbmng Thi-cang Siausu.

   "biarlah Pinceng dulu yang belajar kenal kepandaian hitam putih ini. Liok-giokcang yang dipergunakan kakak beradik ini konon juga termasuk benda pusaka, ingin aku bertaruh dengan mereka, coba Liok-giok-cang mereka yang liehay atau tongkat bajaku yang hebat, kalau tongkat mereka dapat mengalahkan tongkatku, selanjutnya namaku akan terhapus dari percaturan Kangouw. Sebaliknya kalau aku yang menang, terpaksa tanpa sungkan tongkat pusaka mereka itu akan kurebut."

   Kalau si Hwesio dan Ic Cmi-hong berebut hendak berkelahi dengan Hek-pek-moko, sementara Siang Po-san diam-diam mengawasi Tan Ciok-sing tanpa berkedip. Seorang anak buah Ie Cun-hong berkata.

   "Ganyang dulu bocah ini?"

   Siang Po-san geleng-geleng kepala, katanya.

   "Bocah ini kalau tidak salah cucu Ki Harpa, jangan kau mengusiknya."

   "Siapakah Ki Harpa itu?"

   Tanya anak buah itu.

   "Ki Harpa adalah Dewa Harpa yang terkenal sebagai pemetik harpa nomor satu di dunia ini, bagaimana asalusulnya aku juga tidak jelas. Tapi aku tahu In Hou pernah merawat luka-lukanya di rumah mereka, In Hou masih hidup atau sudah mati, ingin aku mengompres keterangan dari mulut bocah ini."

   "Baiklah, biar kita ringkus dia hidup-hidup saja,"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata anak buah itu.

   Musuh utama mereka sekarang jelas adalah Hekpek- moko, sudah tentu Tan Ciok-sing yang masih tanggung ini tidak menjadi perhatian mereka, maka anak buah itu menarik seorang temannya lagi menghampiri ke arah Tan Ciok-sing.

   Mendengar In Hou terluka, sudah tentu Hek-pek-moko kaget, air mukapun berubah.

   Si Hwesio tertawa gelak, serunya.

   "Belum lagi turun tangan, memangnya kalian sudah jeri?"

   Hek-moko tiba-tiba menyeringai dingin, berbareng dia enjot kedua kaki, tubuhnya terapung ke atas, gerakan tubuhnya sungguh cepat luar biasa, si Hwesio kira orang melabrak dirinya, lekas dia lintangkan tongkat hendak menangkis, bentaknya.

   "Kenapa tidak kau gunakan senjata tunggalmu."

   Belum habis dia bicara, bayangan orang didepan mata tahutahu sudah lenyap. Ternyata bersuara di timur Hek-moko menggempur kebarat, di tengah udara dia memutar badan meluncur turun di hadapan Siang Po-san, bentaknya.

   "Biar aku belajar kenal senjata rahasiamu lebih dulu,"

   Sekali menekan gitar besinya, tiga batang Toh-kut-ting segera melesat keluar. Hek-moko keburu memukul turun dengan telapak tangan.

   "Tang"

   Gitar lawan dihantamnya telak.

   Perih telapak tangan Siang Po-san, tanpa kuasa dia terhuyung ke samping, tapi gitar besinya sekalian menyapu ke bawah Hek-moko.

   Gerak perubahan permainannya ini memang cukup liehay, tangkas tapi ganas.

   Tapi sebat sekali Hek-moko ternyata sudah melayang balik ke tempat asalnya.

   Terdengar sebuah dengusan keras, sebatang Toh-kut-ting tahu-tahu sudah menyambar tiba di depan mata Siang Po-san, cepat Siang Po-san angkat jari tangannya menjepit, paku itu kena ditangkapnya dengan mudah, katanya dingin.

   "Kau memakai senjata rahasiaku, mana bisa melukai aku? Hayolah kita bertanding menurut kepandaian senjata masing-masing. Wah celaka..."

   Belum habis dia bicara, terdengar dua jeritan keras yang mengerikan, ternyata tangan kiri Hek-moko menyambut senjata rahasia lawan, ketiganya lalu dia sambitkan dari arah dan posisi yang berbeda, dua batang paku di antaranya seperti punya mata layaknya, tahu-tahu balik melesat ke belakang dan mengincar ke arah dua anak buah le Cun-hong yang meluruk kearah Tan Ciok-sing, dengan telak ulu hati mereka tersambit, maka jiwanya seketika melayang.

   Begitu Hek-moko pamer kepandaian, si Hwesio yang bermulut besar melongo kaget dan jeri, pikirnya.

   "Usianya sudah lebih enam puluh tahun, tapi gerak-geriknya masih demikian gesit dan lincah. Musuh setangguh ini, jelas sukar dilayani."

   Siang Po-san sendiripun bukan kepalang kagetnya, pikirnya.

   "Gerakan untuk menangkap senjata yang dilakukan tadi, kira-kira masih bisa juga kulakukan, tapi untuk menimpuk sejauh ratusan langkah, telak mengenai ulu hati lagi, malah sasaran berada di sebelah belakang, jelas kepandaian setinggi ini belum bisa kutandingi."

   Hek-moko terloroh-loroh, katanya.

   "Siang Po-san, kau melukai dua anak buahku, kini kubalas pula dengan caramu sendiri, adil bukan."

   "Tapi anak buahmu bukan aku yang membunuh?"

   Damprat le Cun-hong gusar.

   "Kalian kan sekomplotan, kalau tidak terima boleh maju menuntut balas bagi mereka,"

   Demikian tantang Hek-moko.

   "He, bagaimana taruhan kita?"

   Karena terlanjur bicara tadi, meski hati sudah agak jeri, tapi demi gengsi terpaksa dia menebalkan muka menyinggung usulnya sendiri.

   "Kenapa tergesa-gesa?"

   Seru Hek-moko.

   "setelah aku jajal golok cepat si raja golok Ie-cengcu, tentu akan kuhadapi juga dirimu. Kaupun tak usah kuatir akan diriku, meski golok Iecengcu dijuluki golok tercepat tiada bandingannya di kolong langit, aku yakin dia takkan bisa membacokku mampus,"

   Karena diolok-olok sudah tentu berang le Cun-hong dibuatnya. Pek-moko yang berangasan menjadi gatal, mendengar si Hwesio menantang berulang kali, akhirnya dia tidak tahan, sambil mengetuk tongkat ke tanah dia membentak.

   "Kepala gundul, kau memang tidak tahu diri, kau ini barang apa, berani menantang engkohku, hm, kalau kau sudah bosan hidup, hayolah bertanding satu lawan satu dengan aku. Tidak usah pakai hadiah segala, jiwa kita saja dipertaruhkan."

   Hek-moko tertawa, bujuknya.

   "Dik, usia kita sudah setua ini, janganlah suka pemberang. Pertunjukan harus babak demi babak, kalau sekaligus dua babak, penontonnya bisa jadi kebingungan."

   Pek-moko tahu maksud tujuan engkohnya, maka dia berkata.

   "Baiklah, Koko, kumengalah padamu, biar kepala gundul ini hidup beberapa kejap lagi."

   "Baik akan kutunggu supaya nanti aku bisa mendoakan arwahmu diterima di sisi Thian,"

   Yang benar dia sudah mulai jeri, jikalau Ie Cun-hong terjun pada babak pertama kan juga menguntungkan dirinya, sekaligus dia bisa saksikan permainan musuh, jikalau dia sendiri nanti terjun ke arena melawan Hekmoko sedikit banyak sudah bisa menyelami permainannya dan menentukan akal untuk mengalahkannya.

   Padahal Ie Cun-hong amat membanggakan ilmu goloknya yang tiada tandingan, namun setelah menyaksikan demontrasi kepandaian Hek-moko tadi, rasa jeri sudah menghantui sanubarinya juga, tapi dia berpikir.

   "Masa dia bisa melebihi gerakan golok cepatku, kalau dia bergerak seperti menghadapi Siang Po-san tadi, sebelum dia tiba di depanku, badannya tentu sudah kupersen beberapa kali tusukan, kenapa takut padanya?"

   Dia kira perhitungannya tidak akan meleset, seketika timbul nyalinya, katanya.

   "Hek-moko, kau menuding aku dan menantang, baiklah kulayani, bagaimana kalau kau kalah?"

   "Apa kehendakmu?"

   Hek-moko balas tanya.

   "Seperti apa yang kukatakan tadi, cukup separah harta milikmu,"

   Ujar Ie Cun-hong.

   "Kalau kau yang kalah?"

   Tanya Hek-moko.

   "Selanjutnya kututup pintu menggantung golok,"

   Sahut Ie Cun-hong. Hek-moko tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Baiklah, silahkan kau sebutkan cara bertanding, aku menurut kemauanmu saja."

   "Jangan jumawa, keluarkan senjatamu."

   "Apa yang membuatmu terburu nafsu begini?"

   Ujar Hekmoko, tiba-tiba dia menghampiri Tan Ciok-sing, katanya.

   "Pinjam golokmu itu."

   Tan Ciok-sing mengharap dia menang, dia juga tahu kalau orang mau merampas golok dari tangannya segampang membalik telapak tangan, maka dengan sikap jantan dia angsurkan golok milik In Hou itu kepada Hek-moko.

   Ie Cun-hong tidak habis mengerti, pikirnya.

   "Pentungnya itu termasuk pusaka, kenapa dia meminjam golok kepada bocah itu malah?"

   Maklumlah permainan kombinasi kedua tongkat Hek-pekmoko bukan saja menjagoi India, di Tiongkok pernah juga menyapu banyak orang gagah, selama ini belum pernah ketemu tandingan.

   Meski Ie Cun-hong baru pertama kali ini berhadapan dengan mereka, tapi dia juga tahu keliehayan gabungan ilmu pentung kedua kakek hitam putih ini.

   Bahwa Hek-moko tidak menggunakan senjata andalannya, malah pinjam golok bocah ini, maklum kalau le Cun-hong tidak habis mengerti.

   Pelan-pelan Hek-moko jalan kembali lalu berdiri di depan Ie Cun-hong, pelan-pelan pula dia mencabut golok, tampak sinar golok laksana air bening memancarkan cahaya kemilau.

   Golok In Hou ini entah pernah menghirup darah berapa banyak orang, namun tetap memancarkan cahaya terang, tak ubahnya golok yang baru saja digembleng.

   Tersirap darah Ie Cun-hong, batinnya.

   "Betul, memang golok bagus."

   "Ie-cengcu,"

   Kata Hek-moko dingin.

   "kau dijuluki golok cepat tiada bandingan, baru saja aku belajar beberapa jurus ilmu golok dari bocah itu, ingin aku mohon belajar pula beberapa jurus dari kau."

   Sudah tentu le Cun-hong amat gusar, gelar "raja golok"

   Yang dimilikinya sudah diakui khalayak ramai, kini Hek-moko menantang dia adu golok, jelas telah memandang rendah dirinya, apalagi Hek-moko bilang baru saja belajar beberapa jurus kepada bocah ingusan lantas mau menghadapi dirinya.

   Namun Ie Cun-hong yakin akan dirinya, pikirnya.

   "Meski dia mengandalkan ketajaman golok pusaka itu, permainan goloknya jelas bukan tandinganku,"

   Saking gusar dia malah tertawa tergelak-gelak.

   "Hek-moko, kau sendiri yang cari mampus, jangan nanti salahkan aku,"

   Di tengah gelak tawanya, cahaya terang tiba-tiba berputar di empat penjuru, bayangan tubuhnya seperti dibungkus gugusan cahaya kemilau, Ie Cun-hong sudah mulai melancarkan kecepatan goloknya.

   Padahal golok hanya sebatang, orangnya pun cuma satu, tapi karena kecepatan gerak tubuh dan permainan goloknya, seakan-akan ada belasan orang yang sekaligus memainkan jurus golok menyerang ke arah Hek-moko.

   Perbawa serangan golok ini begitu dahsyat, kelihatannya Hek-moko bakal tercacah hancur tubuhnya.

   Tan Ciok-sing merinding dibuatnya, jantungnya berdetak kencaug, pikirnya.

   "Memang tidak malu Ie Cun-hong bergelar raja golok, memang tidak bernama kosong. Kakek hitam ini agaknya terlalu memandang rendah padanya."

   Di saat benaknya membatin ini, dilihatnya Hek-moko sudah tarikan golok di tangannya dengan gerakan santai dan seenaknya, boleh dikata dia menghadapi rangsakan golok lawan secara wajar dan kalem, jauh berbeda dengan rangsakan Ie Cun-hong yang keras dan deras, tapi secara pas

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   pasan dimana tajam goloknya menyabet dan menyontek, dengan tepat seperti kebetulan pula serangan hebat Ic Cunhong kena dipatahkan atau disampuk pergi, bayangan sinar golok yang bertaburan memenuhi angkasa seketika kuncup tak berbekas.

   Kebat kebit jantung Tan Ciok-sing melihat pertandingan yang menegangkan ini, pikirnya.

   "Bagus sekali, ternyata jurus Yan-loh-ping-sa (belibis hinggap di pasir datar) harus begitu cara memainkannya, agaknya aku hanya memperoleh gayanya belum menyelami inti sarinya,"

   Ternyata yang dilancarkan Hek-moko barusan memang ilmu golok keluarga In kedua pihak saling serang dan bertahan, dalam sekejap saja puluhan jurus telah berlalu.

   Gerakan golok Ie Cun-hong memang sedikit lebih cepat dibandingkan Hek-moko, tapi keadaan tetap seimbang.

   Tan Ciok-sing jadi bingung, pikirnya.

   "Beberapa jurus ini kelihatannya tidak mirip ajaran ilmu golok yang tercantum dalam buku peninggalan In Tayhiap, tapi lebih mantap tenang juga lincah dan enteng, mungkinkah ini kembangan atau variasi dari permainan ilmu golok keluarga In yang sejati?"

   Seperti dapat meraba jalan pikirannya, tiba-tiba Hek-moko menggunakan jurus Hing-hun-toan-hong membendung serangan Ie Cun-hong, katanya pelan-pelan.

   "Ilmu silat harus dihargai pada mutu ciptaannya, asal dapat menyelami inti sarinya, perduli ilmu golok tingkat tinggi sekalipun, pasti dapat dimainkan dengan perubahan sesuka hati. Malah tanpa pernah mempelajarinya pun dapat juga memainkannya secara mahir, itu tergantung bakat dan kecerdasan otak. Hehe, Ie Cengcu, coba katakan betul tidak?"

   Perlu diketahui bahwa taraf kepandaian dan bekal Kungfu Hek-moko sebetulnya masih lebih unggul di atasnya In Hou.

   Permainan ilmu golok keluarga In memang dia tidak semahir dan lengkap seperti apa yang dimainkan Tan Ciok-sing tadi, tapi karena diapun sudah apal dan pernah menyelaminya, mengandal bekal kepandaiannya lagi sehingga dengan mudah dia menciptakan sendiri gerakan baru, umpama In Hou sekarang masih hidup serta melihat permainannya ini, diapun pasti kaget dan kagum, serta merasa bahwa kepandaian ilmu golok yang pernah diyakinkannya juga hanya begitu saja.

   Kata-kata petunjuk itu sebetulnya dia tujukan kepada Tan Ciok-sing, tapi bagi pendengaran Ie Cun hong, dia menganggap Hek-moko sedang mengejek dan memberi peringatan pada dirinya.

   "Hek-moko,"

   Damprat Ie Cun-hong gusar.

   "jangan temberang, ilmu golok orang she Ie, memangnya perlu kau yang mengajarkan?"

   Hek-moko tergelak-gelak, katanya.

   "Mana berani? Siapa tidak tahu Ie Cengcu dijuluki si cepat raja golok yang tiada bandingannya? Itu hanya kesimpulanku yang bodoh belaka, mumpung ada kesempatan sukalah kau memberi kesempatan untuk tukar pikiran. Tapi menurut hematku, ilmu golok meski mampu bergerak dan menyerang dengan kecepatan tinggi masih belum boleh dihitung sebagai ilmu golok tingkat tinggi yang sudah mencapai puncaknya."

   "Jadi ilmu golokmu sudah mencapai puncak tertinggi?"

   Jengek le Cun-hong.

   "Aku tidak mengatakan demikian,"

   Ujar Hek-moko tertawa.

   "kan sudah kukatakan, kepandaian cakar kucingku ini, baru saja belajar dari engkoh cilik itu, untuk mencapai puncak tertinggi entah masih berapa laksa tingkat bedanya, sudah tentu lebih-lebih bukan tandingan kau si raja golok ini umpama tamu yang berkunjung ke rumah makan dan kau adalah kokinya. Meski aku tidak pandai memasak, tapi masakan hasil karyamu dapat juga kucicipi dan kunilai apakah enak dan lezat? Coba katakan betul tidak?"

   Sudah tentu le Cun-hong semakin berang, bentaknya.

   "Kau ini mau bertanding golok atau ingin ngobrol?"

   Dalam beberapa patah kata ini, beruntun goloknya sudah menyerang tiga puluh enam jurus.

   Padahal dengan gaya santai Hek-moko hanya balas menyerang tujuh jurus, tiga puluh enam jurus rangsakan lawan tahu-tahu telah dipunahkan seluruhnya, katanya tertawa.

   "Sudah tentu bertanding golok tapi aku ingin pula ngobrol. Tadi waktu kau memutuskan cara bertanding kan tidak melarang aku buka suara. Nah, lihatlah yang jelas, kukira ilmu golok tingkat tinggi tak berguna kalau hanya mengutamakan kecepatan, poros inti permainan golok adalah mengutamakan diri sendiri, dari pada menanti lawan menyerang, ada lebih baik aku melayani kehendak lawan. Yang muda lebih unggul dari yang tua, lambat lebih unggul dari gugup. Lawan membacok sepuluh jurus, aku cukup balas satu jurus, jikalau kau anggap analisaku ini salah. Nah mari kita mulai bertanding lagi."

   Majikan, tamu, tua dan muda merupakan unsur-unsur penting dalam ilmu golok dalam sandi kata rahasia, bergerak lebih dulu menundukkan musuh, berarti pihak yang diserang malah balas menyerang, yang bergerak belakangan malah dapat mengalahkan musuh itu berarti sang majikan melayani tamunya, menyontek dengan ujung golok dinamakan muda, mengetuk dengan gagang golok dinamakan tua, menyanggah dan menindih dinamakan lambat, kalau ujung golok memapak maju lebih dulu dinamakan gugup.

   Sembari bicara Hek-moko membuat contoh dengan gerakan goloknya, supaya Tan Cioksing dapat menyaksikan dengan jelas.

   Tan Ciok-sing belajar dan berhasil tanpa bimbingan guru, untuk beberapa bulan pelajaran ini hasilnya ternyata cukup lumayan, tapi hasil yang dia pelajari baru merupakan kulitnya saja.

   Baru sekarang dia memperoleh petunjuk dan bimbingan dari guru ternama, banyak persoalan yang selama ini tidak terpecahkan kini semuanya sudah jelas baginya.

   Waktu Hek-moko mengatakan "bertanding", tangan kirinya menggertak dengan suatu gerak tipuan, menuding timur menggempur barat, dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung sakti menggaris pasir), tajam goloknya menerobos keluar dari bawah sikutnya.

   Jurus ini bergerak tepat pada waktunya dan menakjubkan lagi, hampir saja golok cepat le Cun-bong menyentuh dadanya, seolah-olah dia sudah dapat meraba serangan Ie Cun-hong, golok pusakanya sudah menyongsong dan mencegat di depannya.

   Karena itu gerakan ilmu golok Ie Cun-hong sebetulnya lebih cepat, sekarang kini menjadi terbalik seakan sedetik lebih terlambat dari lawan.

   "Trang"

   Terdengar benturan keras, kembang api berpijar, Ie Cun-hong melompat minggir tiga langkah, waktu dia menunduk, punggung goloknya ternyata gompal sedikit.

   Tadi Ie Cun-hong melontarkan jurus Me-can-pat-hong (bertempur malam di delapan penjuru) yang merupakan gerakan menyimpan golok, tujuannya untuk melindungi sekujur badan, diam-diam dia berteriak.

   "syukur, untung golokku ini berpunggung tebal."

   Ternyata dalam detik-detik yang kritis tadi, membalik punggung golok untuk membentur golok pusaka Hek-moko.

   Memang dia sudah mahir merubah gerakan sesuai jalannya pertempuran, gerak perubahannya teramat cepat pula, taraf kepandaian ilmu goloknya memang sudah hebat luar biasa.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Diam-diam Hek-moko berpikir.

   "Ie Cun-hong bergelar raja golok, walau terlalu mengagulkan diri, tapi dia memang tidak bernama kosong,"

   Maka segera dia berkata.

   "Tadi Ie-cengcu mengembangkan unsur sebagai tamu berubah majikan, sebaliknya aku dari majikan menyambut tamu, dalam segebrak saja lantas terjadi perubahan posisi dan gaya, dari sini terbuktilah teori yang pernah kuterangkan tadi memang masuk di akal bukan?"

   Dia menggunakan praktek bertempur sebagai contoh yang nyata, tujuannya memberi penjelasan permainan ilmu golok itu kepada Tan Ciok-sing, sudah tentu Tan Ciok-sing maklum akan maksud tujuan orang, sungguh hatinya amat haru dan terima kasih pula.

   Sebaliknya Ie Cunhong kira Hek-moko seperti sedang mendidik atau menghina dirinya, karuan marahnya bukan main.

   Melihat keadaan Ie Cun-hong yang tidak menguntungkan, tiba-tiba Thi-ciang Siansu maju selangkah, tongkat besi segede mangkok di tangannya terangkat menuding Pek-moko, bentaknya.

   "Waktu sudah berlarut, Locu tak sabar menunggu, hayolah kita mulai bertanding."

   Demi mempertahankan gengsi, sudah tentu dia malu mengerubut Hek-moko dengan Ie Cun-hong, maka terpaksa dia gunakan akalnya sendiri, dia tahu kalau kepandaian Pek-moko ketinggalan dibanding engkohnya, umpama dirinya tak mampu mengalahkan lawan, tentunya juga tak akan mudah dikalahkan.

   Maka begitu gebrak di mulai dia terus merangsak dengan serangan gencar dan keras, kalau Pek-moko diserangnya hanya mampu bertahan dan mundur terus, tentu Hek-moko menguatirkan keselamatan, adiknya, itu berarti perhatiannya mulai terpencar.

   "Hayo maju, memangnya aku takut,"

   Seru Pek-moko, dengan menjinjing kedua tongkat, dia maju menghadapi tantangan si Hwesio, katanya.

   "Koko, bukan aku tidak tunduk pada pesanmu, soalnya kepala gundul ini terlalu menghina."

   Hek-moko tertawa, katanya.

   "Bahwasanya permainan sandiwaraku ini juga sudah berakhir pada babak ini, boleh kau sambut tantangannya."

   Disini dia belum habis bicara, tongkat besi Thi-ciang Siansu yang gede itu sudah menderu dengan serangan menyapu ke pinggang Pek-moko.

   Begitu kencang deru angin sapuan tongkatnya ini sampai batu pasir ikut tersapu terbang.

   Maka di tengah berdencingnya benturan keras benda-benda logam, kuping setiap hadirin seperti pekak jadinya.

   Tongkat besi Thi-ciang Siansu sebesar mulut mangkok, jauh' lebih besar dari Liok-giok-cang yang digunakan Pek

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   moko.

   Tapi begitu kedua tongkat masing-masing saling bentur, ternyata sedikitpun Thi-ciang Siansu tidak berhasil memungut keuntungan apapun, malah pergelangan sendiri terasa kaku dan linu.

   Akan tetapi menghadapi benturan kekerasan ini Pek-moko sendiri tak urung juga tergentak sempoyongan.

   Kalau dinilai lvvekang kedua pihak, ternyata mereka kira-kira seimbang.

   Thi-ciang Siansu sudah bertekad akan menyerang secara gencar dan mengadu kecepatan, sebelum Pek-moko berdiri tegak tongkatnya sudah disurung ke depan pula, ujung tongkat menjojoh Hiat-hay-hiat di bawah pusar Pek-moko dengan jurus Ular Berbisa Mencari Lubang.

   Pek-moko menggoncang tongkat di tangan kiri menyontek ke samping, sementara tongkat di tangan kanan digunakan sebagai Poan-koan-pit untuk balas menutuk Jian-kin-hiat di pundak musuh.

   Kekuatan Thi-ciang Siansu sedikit lebih unggul, walau tongkat besinya kena disontek ke samping, namun tenaga pantulannya masih belum lenyap.

   "trang"

   Tongkat kanan Pek-moko kena dibenturnya juga ke samping, sebat sekali dia barengi dengan gerak susulan yang dinamakan Heng-sau-jian-kun (menyapu habis ribuan pasukan), kembali beruntun tiga gerakan dia menyerang tiga jalan darah bagian bawah Pek-moko.

   Pek-moko menggunakan gerakan naga melingkar melangkah kaki, kembali dia berkelit.

   Berhasil merebut posisi dan mendahului dengan serangan gencar, Thi-ciang Siansu seperti mendapat angka, maka dia lancarkan rangsakan gencar, setiap jurus merupakan serangan ganas dan mematikan.

   Lwekang Thi-ciang Siansu memang teramat tangguh, kekuatan jari dan lengan tangannya memang hebat luar biasa, tongkat segede mulut mangkok ternyata dapat diputarnya seringan dahan'bambu, mengeluarkan deru kencang lagi, sekitar gelanggang bayangan tongkat melulu, perbawanya sungguh laksana gugur gunung seperti kilat dan geledek saling menyamber, bagi kaum persilatan kelas rendah, jangan kata kena dikemplang tongkatnya, tersampuk angin tongkatnya saja, isi perut mungkin bisa rontok dan terluka parah.

   Pek-moko diam-diam berpikir.

   "Hong-mo-cang-hoat (ilmu pentung iblis gila) ajaran murni Siau-lim-si ini ternyata memang hebat sekali. Aku harus dapat berperan baik didalam permainan sandiwara ini, jangan sampai dikalahkan olehnya,"

   Maka dia layani serbuan musuh dengan mantap dan tenang, bayangan tongkat selulup timbul memenuhi udara, tak ubahnya dua ekor naga yang lagi berkutet sengit di tengah udara.

   Dalam waktu mendesak ini jelas dia memang tak berkesempatan balas menyerang, tapi untuk mengalahkan dia, ternyata Thi-ciang Siansu harus menguras tenaga dan memeras keringat.

   Pada saat itulah, di sebelah sana tampak Hek-moko mengayun goloknya berkelebat di tengah udara, tahu-tahu Ie Cun-hong merasa kepalanya menjadi silir dan dingin, sebelah rambut kepalanya ternyata sudah terkupas rontok berhamburan.

   Pek-moko tertawa tergelak-gelak, serunya.

   "Koko, dia kan tidak ingin jadi Hwesio, kenapa kau mencukur gundul kepalanya."

   Hek-moko juga terloroh-loroh, katanya.

   "Apa yang diagulkan si golok cepat tiada bandingan ternyata juga demikian saja. Terima kasih,"

   Mendadak dia menghardik.

   "lecengcu, apa pula yang hendak kau katakan sekarang?"

   Tadi Ie Cun-hong sudah bilang kalau dirinya kalah, selanjutnya tidak akan muncul dalam kalangan Kangouw, itu berarti dia tidak boleh cari perkara pula pada Hek-pek-moko.

   Tapi dia berjuluk Raja Golok, dalam adu golok pula dia dikalahkan Hek-moko, betapa dia rela dan sudi menelan kekalahan ini begini saja? Apalagi dia mempunyai rencana dan tujuan tertentu, semula dia kira pihaknya pasti unggul dan menang, mana mungkin dia mau menyerah karena kalah sejurus dalam pertandingan ini? Demi gengsi dan rasa tamak yang menghantui hatinya jauh mengungguli rasa takut dan malunya.

   Karena malu Ie Cunhong malah naik pitam, bentaknya.

   "Hari ini ada kau tiada aku, ada aku tiada kau, kekalahan setengah jurus atau satu jurus bukan jadi soal, memang hal ini dapat di buat ukuran untuk menentukan kalah menang?"

   Habis bicara goloknya dikerjakan terus menyerbu lagi.

   Umpama orang sering menggunakan cara bertanding untuk menentukan siapa liehay siapa asor, yaitu cukup saling tutul saja, atau bertempur sampai titik darah penghabisan, kalau sebelumnya sudah dijanjikan tidak akan berakhir sebelum salah satu pihak ada yang gugur, meski kalah sejurus, orang masih boleh meneruskan pertempuran.

   Tapi le Cun-hong memang sudah memilih cara pertandingan ini, meski penjelasannya belum pasti, maksudnya adalah cukup saling tutul saja, baru sekarang dia menggunakan cara kedua untuk melabrak Hek-moko, tindakan dan perbuatannya ini memang tidak pantas dan tidak boleh dipuji.

   "Memangnya tidak malu kau sebagai orang kenamaan, menjilat ludah sendiri, memangnya kau tidak takut ditertawakan orang-orang gagah di kalangan Kangouw?"

   "Kalau aku dapat mati di tanganmu, kan lebih baik dari pada menggantung golok tutup pintu, siapa bilang aku menjilat ludahku sendiri? Hehe, sebaliknya bila kau terbunuh olehku, berarti aku sudah menyumbat mulutmu, yang hadir disini semua orangku pula, memang siapa yang tahu akan pertandingan golok antara kau dan aku ini?"

   Sekaligus Hek-moko patahkan dua puluh empat jurus serangan golok kilat lawan. Bentaknya.

   "Kau ingin membunuhku, kukira juga tidak gampang, bertanding satu lawan satu, jelas kau bukan tandinganku, suruhlah kambratkambratmu terjun ke gelanggang."

   Siang Po-san tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Hek-moko, memangnya aku hendak membalas permainan licikmu tadi. Kini kau begini temberang, jangan salahkan kalau aku mengeroyokmu bersama Ie-cengcu."

   Hek-moko tertawa dingin, katanya.

   "Kalian suka main keroyok untuk mengalahkan musuh, memangnya aku gentar? Hayolah maju, tak usah banyak bacot."

   Tan Ciok-sing tahu sampai dimana keliehayan Siang Posan, pikirnya.

   "In Tayhiappun bukan tandingan gombong iblis ini waktu bergabung dengan Le Khong-thian. Kepandaian raja golok I-Cun-hong kira-kira tidak di bawah Le Khong-thian, dengan kekuatan kedua orang ini, kakek hitam mana mampu menghadapi mereka?"

   Karena menguatirkan keselamatan Hekmoko, tanpa sadar mulutnya memaki.

   "Tidak tahu malu."

   Siang Po-san sudah bergaya hendak menubruk kearah Hekmoko, mendengar suaranya, mendadak dia tekan gitar besinya, tiga batang Toh-kut-ting tahu-tahu melesat keluar dari dalam perut gitar, sasarannya adalah Tan Ciok-sing yang berdiri kira-kira seratus langkah disana.

   Kepandaian senjata rahasia Siang Po-san ini termasuk kelas wahid di kalangan Kangouw, dia yakin ketiga paku penembus tulang yang disambitkan ini, hanya akan menutuk hiat-to tanpa melukai seujung rambut.

   "Tidak tahu malu,"

   Hardik Hek-moko, golok pusaka di tangannya tiba-tiba meluncur bagai selarik cahaya bianglala.

   Golok benda berat daya timpukannya kuat dan kencang, maka ketiga paku itu kena disusul, di tengah jalan tahu-tahu kena dipukul jatuh.

   Malah daya luncuran golok pusaka masih cukup kencang, kebetulan melayang turun di depan Tan Ciok-sing, ujung golok menancap amblas kedalam tanah, gagang goloknya masih bergoyang dan bergetar kencang.

   Teriak Hek-moko.

   "Nah kukembalikan golokmu, lekas kau pergi,"

   Dia tahu selanjutnya akan terjadi pertempuran sengit, musuh akan main keroyok dengan jumlah yang banyak, dia kuatir anak buah le Cun-hong akan membekuk pemuda tanggung ini.

   Lekas Tan Ciok-sing cabut golok terus dimasukkan kedalam serangka, perasaannya ternyata hambar, walau dia belum tahu asal-usul kedua kakek bangsa asing ini, namun kini Tan Ciok-sing sudah mulai yakin bahwa mereka memang teman baik Thio Tan-hong.

   Pikirnya.

   "Kakek hitam ini beruntun dua kali menyelamatkan jiwaku, seharusnya aku beritahu kabar kematian In Tayhiap kepada mereka,"

   Tapi Hek-pek-moko kini sedang bertempur sengit menggasak musuh, tak mungkin dia bisa memberitahu mereka, maka dia jadi bimbang.

   "Tinggal pergi, atau tidak?"

   Tan Ciok-sing jadi ragu-ragu dan sukar ambil putusan.

   Melihat Hek-moko melempar golok pusaka, senang hati Siang Po-san, dia tidak sia-siakan kesempatan baik ini, dengan jurus Thi-li-keng-te (bajak besi menggaruk tanah), gitarnya segera menyapu ketiga jurusan di badan Hek-moko, kekuatan serangan satu jurus tiga gerakan ini ternyata hebat luar biasa, deru anginnya ternyata menimbulkan gelombang angin lesus yang membawa taburan daun dan debu.

   Dengan bekal kepandaian Hek-moko sebetulnya dia mampu menghadapi gitar besi lawan dengan pukulan telapak tangan, tapi dia perlu menjaga serangan golok cepat le Cun-hong.

   Kalau dia melawan dan menghadapi lawan secara kekerasan, umpama berhasil menggempur mundur gitar Siang Po-san, tentu dia sendiri terluka oleh golok le Cun-hong.

   Kejadian berlangsung cepat sekali, golok le Cun-hong memang sudah membacok tiba.

   Hebat memang kepandaian Hek-moko, dalam detik-detik yang kritis ini, tiba-tiba dia jejakkan kaki, tubuhnya melambung ke atas, berbareng lengan bajunya yang gondrong mengebut membelit ke arah golok.

   "sret"

   Lalu disusul "tang"

   Lelatu apipun meletik.

   Ternyata Hek-moko gunakan ilmu tingkat tinggi yang peranti menggunakan tenaga pinjam tenaga, dengan lengan baju dia melilit golok terus ditariknya ke samping, gerak golok Ie Cun-bong laksana kilat, karena tarikan ini tak kuasa dia kendalikan gerakan sendiri, maka goloknya kebetulan membentur gitar besi Siang Po-san.

   Tapi lengan baju Hekmoko juga terkupas sebagian oleh golok lawan.

   Gebrak sejurus ini sungguh teramat berbahaya dan menegangkan, kalau sedikit lena atau salah perhitungan, yang tertabas mungkin bukan lagi lengan baju tapi sebelah lengannya malah.

   Lwekang Ie Cun-hong dan Siang Po-san setingkat, punggung golok yang tebal membentur gitar besi, golok terpental balik, sedang gitar tergetar turun ke bawah terus terseret di atas tanah meninggalkan goresan yang cukup dalam di atas tanah berlumpur.

   Kedua orang sekilas sama tertegun, cepat sekali mereka membentak gusar.

   "Hek-moko, lari kemana kau?"

   Diam-diam Hek-moko bersyukur bahwa dirinya selamat, katanya tertawa tergelak-gelak.

   "Siang Po-san, gitar besimu itu ternyata amat berguna juga untuk meluku sawah. Tak perlu kau terburu nafsu, kau ingin laripun takkan kubiarkan."

   Jurus yang digunakan Siang Posan tadi adalah Bajak Besi Meluku Tanah, karena digempur oleh gerakan aneh Hek-moko tadi, sehingga gitarnya itu betul-betul menjadi bajak yang peranti untuk meluku sawah oleh kaum petani, karuan gusarnya bukan kepalang.

   Sigap sekali laksana seekor burung raksasa selincah kera melompat Hek-moko sudah melompat jauh memburu ke arah adiknya, kakak beradik mempunyai daya pikir yang serupa, maka Pek-moko segera lemparkan sebelah tongkatnya.

   Begitu menangkap tongkatnya sendiri Hek-moko lantas membentak.

   "Biar kalian berkenalan dengan gabungan permainan tongkat kami berdua."

   Tadi seorang diri Pek-moko jelas tak kuasa menandingi tekanan tongkat baja Thi-ciang Siansu.

   Begitu Hek-moko melompat tiba tongkatnya bergetar keras, ujung tongkatnya telah menyontek ke tengah tongkat baja Thi-ciang Siansu yang segede mulut mangkok.

   Dalam sekejap itu, cahaya tongkat coklat yang mgngkilap terang itu mendadak mencorong, dua batang tongkat laksana dua ekor naga yang keluar dari lautan, tongkat baja lawan seperti dililit dan dikurung di tengah.

   "Trang"

   Sekeras guntur menggelegar, hampir saja Thi-ciang Siansu tak kuasa memegang tongkatnya lagi, lebih celaka lagi tongkatnya itu membalik hampir saja melukai jidat sendiri.

   Akibat benturan yang hebat ini membuat dada Thi-ciang Siansu sesak, darah bergolak dan seisi perut seperti dipelintir, tak tertahan lagi sekumur darah menyembur dari mulutnya.

   Untung Ie Cun-hong dan Siang Po-san lekas menubruk tiba, sehingga tekanan yang menimpa dirinya menjadi enteng.

   Bukan kepalang kaget Ie Cun-hong dan Siang Po-san, maklum Thi-ciang Siansu adalah murid didik Siau-lim-pay, Iwekangnya yang tangguh tiada bandingan diantara mereka umpama dia bukan tandingan Hek-pek-moko, paling tidak juga mampu melawan sepuluh jurus, tak nyana dalam segebrak saja melawan gabungan ilmu tongkat lawan dia sudah kecundang dan luka cukup parah.

   Betapa hebat kekuatan gabungan permainan tongkat lawan, sungguh tak pernah mereka bayangkan.

   Cepat sekali Hek-moko sudah membalik badan, sepasang tongkat mereka kembali menyapu balik memapak kedatangan Ie Cun-hong, lekas Ie Cun-hong merubah gaya permainannya, gerak-geriknya tambah lincah dan berkisar kian kemari selicin ular merambat.

   Terdengar dencing benturan senjata, seperti perpaduan musik yang ramai, tampak Ie Cunhong mencelat keluar dari lingkungan cahaya tongkat lawan sejauh satu tombak.

   Untung dia tidak terluka.

   Bukan lantaran Iwekangnya lebih tinggi dibanding Thi-ciang Siansu, adalah karena gerakan goloknya dilancarkan teramat cepat, sekali sentuh lantas mundur, sekali berkelebat lantas lewat.

   Meskipun goloknya membentur sepasang tongkat lawan sebanyak belasan kali, namun daya tolak dari benturan itu sendiri terang tidak sebesar atau sekuat daya mcmbal tongkat baja yang gede dan berat itu.

   Ternyata Siang Po-san berotak lebih cerdik, lekas dia berseru.

   "Usahakan kedua kakak beradik ini terpisah,"

   Mumpung dia lihat Hek-moko menyerbu kesana, dengan gerakan lincah dan tangkas dia mendadak menyelinap maju menggempur Pek-moko.

   Pek-moko menyambut dengan jurus Pek-hong-koan-jit, tongkat dimainkan sebagai pedang untuk memapak serangan lawan dengan tusukan.

   Gitar besi Siang Po-san menyapu miring, serta disendai balik ke samping, lima jalur senarnya tahu-tahu menggesek ke urat nadi Pek-moko.

   Gitar besi ini memang merupakan senjata tunggal jang jarang ada di kalangan bulim, daya gunanya amat banyak, betapa luas pengalaman dan pengetahuan Pek-moko, namun belum pernah dia menghadapi serangan senjata seaneh ini.

   "Creng, creng"

   Dalam detik-detik yang menentukan itu, dua senar gitar besi ternyata tersendai putus oleh tongkat lawan, senar putus biasanya menjuntai ke bawah, tapi begitu Siang Po-san mengayun gitarnya, dua senar yang putus ini ternyata berdiri lurus kaku menusuk ke arah dua mata Pek-moko.

   Lwekangnya memang bukan tandingan Pek-moko, tapi dia pandai memanfaatkan tenaga dalamnya, didalam permainan licik dan keji jelas dia masih lebih unggul dari Pek-moko.

   Karena tak menduga dan sudah kepepet, terpaksa Pekmoko kembangkan ilmu Yoga yang jarang terlihat di Tionggoan, dengan kepala di bawah kaki di atas dia jungkir balik kesana.

   Oleh karena gangguan Siang Po-san, berarti usaha memisah mereka kakak beradik jadi berhasil, kedua saudara kembar ini terpisah beberapa langkah jauhnya.

   Thi

   

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   ciang Siansu memang tidak malu sebagai bekas murid Siau- Iim-pay, dalam waktu sekejap ini, dia sudah rampung mengendalikan pernapasan dan menekan darah sehingga berjalan normal, kini dia sudah mampu terjun ke arena lagi.

   Kerja sama dengan le Cun-hong, mereka berhasil menekan permainan tongkat Hek-moko.

   Bahwa Siang Po-san menusuk sepasang mata lawan dengan kedua senar gitarnya yang putus, ini pun gerak serangan yang aneh pula, tak kira reaksi dan perubahan yang diperlihatkan Pek-moko lebih aneh lagi di kala dia jumpalitan jungkir balik itu, tahu-tahu tongkatnya mengemplang balik "Trang"

   Gitar lawan kena dipukulnya.

   Lwekang mereka memang berimbang, Siang Po-san tergentak mundur tiga langkah ke samping sementara Pek-moko bersalto tiga kali di tengah udara baru meluncur turun dan hinggap dengan enteng, tapi pundaknya terasa pegal dan linu, ternyata bajunya tertusuk bolong, untung tidak mengenai hiat-to penting.

   Kejadian berlangsung teramat cepat.

   Hek-moko mendadak menghardik, dia berkelit dari serangan golok cepat Ie Cun-hong, kakak beradik berbareng sama melompat ke atas, maka pentung mereka kembali bergabung dari atas terus menggempur ke bawah, cahaya coklat kembali mencorong benderang.

   Benturan senjata keras yang menggetar itu memekakkan telinga semua hadirin, tongkat baja Thi-ciang Siansu memercikkan lelatu api sementara punggung golok tebal Ie Cun-hong kembali gompal di dua tempat, sementara gitar besi Siang Po-san dekuk pada ujung tengahnya, alat rahasia yang dipasang di perut gitarnya tergetar rusak, maka senjata rahasia yang tersimpan di dalamnya takkan bisa digunakan lagi.

   Meski jumlah mereka bertiga, dengan tingkat kepandaian yang sebanding lagi, tapi menghadapi gabungan permainan tongkat lawan, ternyata mereka hanya mampu membela diri melulu, jangan harap dapat balas menyerang.

   Saking marah bola mata Ie Cun-hong sampai merah menyala, teriaknya gusar.

   "Pasang barisan golok,"

   Memangnya anak buah yang dia bawa sudah berdiri pada posisi masing-masing, mendapat aba-aba, segera arena kurungan mereka diperkecil, maka Hek-pek-moko berdua terkepung di tengah gelanggang.

   Keadaan seketika berubah hebat, yang tampak hanya cahaya golok yang menari-nari, laksana ribuan baris sinar kilat saling samber simpang siur, mirip sekali sebagai jala sinar yang besar.

   Karena dibendung dan terkurung didalam cahaya golok, jelas cahaya coklat yang dipantulkan tongkat Hek-pekmoko menjadi guram, tapi gerakan mereka tetap lincah dan ganas laksana naga hidup yang bergulat di tengah samudra.

   Ternyata Ie Cun-hong digelari raja golok bukan lantaran permainan ilmu goloknya saja yang hebat, tapi To-bong-tin (barisan jala golok) ciptaannya ini ternyata lebih Iiehay lagi.

   To-bong-tin harus dilakukan sembilan orang sebagai satu kelompok, delapan orang menduduki delapan unsur dan sudut, sementara seorang lagi sebagai pimpinannya berada di tengah atau di pusat kelompok barisan, dengan permainan golok cepat serempak mereka maju mundur menggempur musuh, sembilan orang bersatu padu laksana tunggal, jelas musuh takkan mungkin sekaligus membunuh sembilan orang, kalau berusaha mematahkan serangan mereka satu persatu, jelas dia sendiri yang bakal mampus terbacok.

   Anak buah Ie Cun-hong yang -dididik dalam barisan jala golok ini seluruhnya ada dua puluh tujuh orang semuanya kini dia bawa kemari, tapi dua di antaranya tadi telah terbunuh oleh Hek-moko maka barisan hanya bisa dibagi dua kelompok saja, sisanya yang tujuh orang sebagai cadangan, tapi cukup dua kelompok barisan golok ini sudah bikin Hek-moko pusing menghadapinya.

   Kalau dinilai taraf kepandaian perorangan anak buah Ie Cun-hong paling termasuk jago kelas dua dalam kalangan Kangouw, (api dengan gabungan sembilan orang, mereka cukup tangguh untuk menghadapi jago kosen mana saja, apalagi gabungan delapan belas orang, meski tokoh silat kelas tertinggi juga paling mampu membela diri saja, untuk memecahkan barisan jelas teramat sukar juga.

   Untung perbawa gabungan permainan tongkat Hek-pekmoko juga hebat luar biasa, oleh karena itu Ie Cun-hong, Siang Po-san dan Thi-ciang Siansu tetap tidak bisa berpeluk tangan mundur dari tengah arena, merekapun harus kerja sama dengan gerak perobahan barisan golok untuk membendung rangsakan kedua tongkat lawan.

   Ini berarti Hekpek- moko sekaligus harus menghadapi lima jago silat tinggi, lama kelamaan, tenaga berkurang sehingga mereka terdesak di bawah angin.

   Setelah membentuk barisan golok belum juga berhasil mengalahkan musuh, mau tidak mau Ie Cun-hong merasa gugup juga, mendadak dia sadar, bentaknya;

   "Kalian memang orang bodoh, kenapa berdiri diam saja disitu?"

   Tujuh orang sebagai cadangan kira Ie-cengcu suruh mereka ikut maju mengerubut, sekilas mereka melengak.

   Maklum barisan golok harus dilakukan sembilan orang baru bisa mengembangkan kekuatan barisan yang nyata.

   Kini kalau mereka ikut terjun, barisan jelas tak mungkin terbentuk, itu berarti mereka harus bertempur secara individu atau perorangan.

   Padahal musuh begitu tangguh, mungkin belum segebrak jiwa mereka sudah terenggut oleh tongkat Hek-pekmoko.

   Berkerut kening Ie Cun-hong, bentaknya lagi.

   "Goblok, hayo bekuk bocah keparat itu."

   Baru sekarang ketujuh anak buahnya itu sadar bahwa sang Cengcu suruh mereka membekuk bocah cilik ini, lega juga hati mereka, serempak mereka mengiakan. Ie Cun-hong memaki pula.

   "Bodoh, menangkap bocah cilik memangnya perlu tenaga tujuh orang? Cukup dua orang saja,"

   Maklum hatinya kebat kebit, di samping kuatir Tan Cioksing melarikan diri, juga kuatir bila barisannya ini kemungkinan mengalami sesuatu, tanpa adanya cadangan, kemungkinan segalanya bisa berantakan.

   Dua orang anak buahnya yang bernyali paling kecil seperti berlomba segera memburu kesana.

   Nyali mereka sudah pecah menyaksikan pertempuran yang dahsyat ini, sudah tentu mereka lebih suka menangkap bocah kecil yang masih berbau pupuk bawang, dari pada sebagai cadangan.

   Tak nyana kalau mereka ingin menyingkir dari malapetaka, tapi elmaut justru merenggut jiwa mereka lebih dulu.

   Setelah menyaksikan permainan golok Tan Ciok-sing tadi, Hek-moko tahu bahwa Tan Ciok-sing latihan tanpa guru, sehingga dia belum memperoleh ajaran ilmu golok In Hou yang murni, meski kepandaian anak buah Ie Cun-hong terbatas, tapi dia kuatir bocah itu masih bukan tandingan mereka.

   Di tengah gempuran yang sengit itu mendadak dia menghardik keras laksana guntur, tongkat di tangan kanan menyampuk serangan golok cepat Ie Cun-hong, berbareng lengan kiri terulur, di tengah samberan bacokan golok yang seliweran, dia jambret salah seorang musuh dari barisan golok musuh secara kekerasan.

   Di tengah kumandang suara hardikannya itu, Hek-moko angkat tinggi tawanannya terus diayun berputar seperti atlit lempar peluru yang siap melemparkan tawanannya, maka terdengarlah dua kali jeritan yang mengerikan disusul suara gedebukan yang keras.

   Bola manusia yang dilempar Hek-moko ini mencapai ratusan langkah dan kebetulan menumbuk salah seorang anak buah Ie Cun-hong yang lagi memburu ke arah Tan Ciok-sing.

   Orang yang ditumbuk ini keterjang mencelat ke samping kebetulan menumbuk temannya yang satu lagi, maka secara karambol ketiga anak buah Ie Cun-hong ini menggelinding ke bawah lereng sana, meski jiwa tidak melayang, paling tidak pasti terluka parah.

   Serangan berantai secara karambol ini meski membebaskan bahaya yang mengancam Tan Ciok-sing, tapi Hek-moko tergores luka lengan kirinya.

   Maklum barisan golok ini merupakan pusaka bagi Ie Cun-hong, betapapun takkan gampang dipecahkan begitu saja? Betapapun tangkas dan liehay gerakan Hek-moko, tapi untuk menjambret musuh dari barisan golok, terpaksa dia sendiri juga harus menerima akibatnya, untung lukanya itu hanya tergores kulit dagingnya, lukanya tidak parah.

   Kurang satu orang berarti barisan golok telah terbuka sebuah lobang.

   Dalam waktu segenting ini Pek-moko tidak menyiakan kesempatan ini, begitu menycndal tongkat, dia kepruk salah seorang lawan yang terdekat sehingga tulang pergelangan tangannya terketuk hancur, sambil memegang tangan, orang ini menjatuhkan diri terguling-guling sambil menjerit-jerit seperti babi mau disembelih.

   Lekas Thi-ciang Siansu memburu maju menyumbat lobang ini, begitu dua tongkat saling ketuk, rangsakan Pek-moko kena dibendung, sekali ayun kaki Ie Cun-hong tendang minggir anak buahnya yang terluka, lalu menyuruh dua anak buah cadangannya maju menggantikan kedudukan yang kosong.

   Betapa hati tidak akan jeri dan nyali pecah melihat teman sendiri menjadi korban secara mengenaskan.

   Ie Cun-hong membentak.

   "Kalian tidak perlu takut, Hek-moko sudah terluka, gasak saja takut apa?"

   Hek-moko tertawa terkial-kial, gelak tawanya bergema di atas pegunungan, katanya.

   "Ie Cun-hong, jangan kau menghinaku karena sudah terluka? Hayo kau sendiri saja yang maju,"

   Dua tongkat beriringan menggaris sebuah lingkaran, maka terdengarlah dering beruntun yang memekak telinga, delapan belas batang golok semuanya kena dibentur pergi oleh kedua tongkat.

   Malah kekuatan tongkat Hek-moko belum berakhir sampai disitu saja, ujung tongkatnya masih menyodok ke muka Ie Cun-hong, padahal sinar tongkat mencorong terang menyilaukan mata, terpaksa Ie Cun-hong lekas melompat minggir.

   Mendengar Hek-moko terluka, Tan Ciok-sing kaget, tapi dia lantas berpikir.

   "Disini aku takkan mampu membantu mereka, dari pada menjadi beban mereka, biarlah aku menyingkir saja."

   Berhasil memukul mundur delapan belas jago golok lawan, Hek-pek-moko dapat ganti napas sekedarnya, teriaknya.

   "Tidak lekas kau pergi? Lebih jauh lebih baik. Kawanan tikus ini takkan bisa mencelakai kami, kau tidak perlu kuatir."

   Mendengar gelak tawa Hek-moko yang kumandang jelas tenaga dalamnya masih tangguh, lega juga hatinya, segera dia panggul harpanya terus berteriak.

   "Baik, kutunggu kalian di bawah gunung."

   "Bawah gunung masih dalam daerah kekuasaan mereka, boleh kau lari sejauh mungkin, kalau mau mencari kau, kami pasti dapat menemukan kau,"

   Demikian seru Hek-moko.

   Tan Ciok-sing segera angkat langkah seribu, larinya sudah setaker tenaganya, sayang dia terlambat, sisa tiga orang anak buah Ie Cun-hong sudah memburu datang tanpa diperintah majikannya, baru puluhan langkah Tan Ciok-sing lari sudah tersusul musuh.

   Thi-ciang Siansu tertawa, katanya.

   "Hek-moko, gembar gembor belaka, memangnya siapa yang hendak kau gertak?"

   Gelak tawa Hek-moko tadi memang bertujuan pamer lwekang, pada hal gelak tawanya itupun dipaksakan, pertama dia ingin supaya Tan Ciok-sing pergi dengan perasaan lega, kedua untuk menciutkan nyali anak buah Ie Cun-hong.

   Tapi bagi pendengaran seorang ahli silat yang sudah memiliki kepandaian taraf tinggi, dari gelak tawanya tadi sudah diketahui bahwa tenaganya sisa sedikit dan bakal terkuras habis dalam waktu dekat.

   Ie Cun-hong akhirnya menyadari juga akan gertak sambel Hek-moko ini, teringat akan rasa takutnya tadi, merah jengah mukanya, katanya.

   "Betul, kalian tidak perlu takut, keadaannya sudah payah seperti binatang yang mengamuk dalam kandang, coba buktikan nanti berapa lama mereka kuat bertahan,"

   Langsung dia pimpin delapan belas anak buahnya sehingga daya kekuatan barisan bertambah kokoh.

   Hek-pekmoko memang hanya mampu membela diri, gerakan gabungan yang tadi dilancarkan kini sudah terbendung dan tiada kesempatan lagi jangan kata menjebol kepungan, menyerbu ke tengah barisan melukai musuhpun tidak mampu.

   Kalau disini Hek-pek-moko dalam keadaan kritis di tengah kepungan barisan golok, sementara di sebelah sana Tan Cioksing juga sedang bergelut dengan sengit.

   Musuh yang menyandaknya lebih dulu berperawakan pendek, kontan Tan Ciok-sing membacok balik ke belakang.

   Dari kejauhan Siang Po-san berseru.

   "Awas goloknya itu pusaka."

   "Aku tahu,"

   Sahut laki-laki pendek itu, golok cepat di tangannya menepis tegak mengiris dengan gerakan Siat-jiatou, karena gerak goloknya terlalu cepat menyerang musuh sehingga lawan dipaksa untuk menyelamatkan diri lebih dulu, maka Tan Ciok-sing terpaksa menarik balik golok untuk melindungi badan, dari menyerang kini dia di pihak yang membela diri.

   


Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Neraka Hitam -- Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini