Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 31


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 31



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau sungai es.

   Mereka terpesona menyaksikan keindahan panorama yang belum pernah mereka lihat.

   Di saat mereka menjublek itulah, tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang ketakutan, di belakangnya mengudak seekor badak bercula tunggal berkulit putih.

   Perawakan badak putih ini jauh lebih besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Cioksing lihat.

   Lari badak secepat terbang, dalam sekejap lagi kuda itu jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah pemuda berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak kudanya, mulutnya berkaok-kaok minta tolong.

   Tan Ciok-sing tidak banyak pikir lagi.

   "Tar, tar". Dua kali cambuknya melecut kuda, serta dibedalnya mengejar kesana. Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil menyusul kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda itu menjadi binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak sehingga si pemuda dilempar, jatuh dari punggungnya. Lekas Tan Ciok-sing juga menyendal kaki, tubuhnya melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di tengah udara tubuhnya bersalto berulang kali pedang mustikanya telah terlolos di tangan, dari atas dia menukik dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si badak. Keadaan sedemikian gawat, jiwa si pemuda sudah di ujung tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan pedang Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak, berbareng tangan kiri bekerja mendorong si pemuda. Tenaga yang dipergunakan sudah diperhitungkan sehingga pemuda itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk. Karena matanya buta badak itu jadi meraung gusar dan main terjang membabi buta.

   "Blang"

   Akhirnya menumbuk batu besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling akhirnya jatuh kedalam selokan gunung dan terbanting hancur.

   Rasa kejut si pemuda belum lenyap, meski tidak terluka sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya terasa lemas dan tidak mampu merangkak bangun.

   Lekas Tan Ciok-sing memapahnya berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang baru saja dipelajari.

   "Badak liar itu sudah mati, sudah aman, kau..."

   Tiba-tiba dia merasa wajah pemuda ini seperti sudah amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang dengan melongo, lalu berteriak senang bersama.

   Bertemu dengan kawan lama, senang si pemuda bukan main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing, katanya dengan bahasa Han yang fasih.

   "Tan-toako kau masih ingat padaku? Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara, sekarang ocehannya lebih baik lebih merdu lagi."

   Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya dari Watsu yang dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya bertugas sebagai duta rahasia.

   Hari itu bersama anak buahnya dia bertamasya di tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan Tan Ciok-sing kebetulan Tan Cioksing menangkap seekor burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung Soat-liang (merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi burung itu, maka Tan Ciok-sing berikan burung itu.

   "Siau-ongya, kau baik."

   Sapa In San dengan tertawa. Sesaat lamanya Siau-ongya pandang In San, akhirnya berkata dengan tertawa.

   "Tan-toako, temanmu ini ternyata seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya lagi,"

   Seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu In San menyamar laki-laki. In San keluarkan kipas lenipit gagang emas itu, katanya sambil diacungkan.

   "Kado yang kau berikan kepada Tantoako, dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit membantu kami, aku harus berterima kasih kepadamu."

   "Ah, terhitung apa,"

   Ujar Siau-ongya.

   "kipas itu pemberian raja kalian, lalu kuberikan lagi kepada Tan-toako."

   Sejak kecil dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka bicaranya juga amat lancar.

   "Siau-ongya,-kenapa seorang diri kau berada di atas pegunungan liar ini, tidak membawa pengikut?"

   Tanya In San. Siau-ongya bertanya.

   "Apakah kalian perriah dengar suatu dongeng bahwa di puncak gunung salju ini ada istana es?"

   "Dari kaum gembala aku pernah mendengarnya, tapi itu hanya dongeng saja,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Tidak, aku justru percaya bahwa istana es kenyataan memang ada."

   Melihat orang bicara tegas dan penuh keyakinan, Ciok-sing jadi heran, tanyanya.

   "Dari mana kau tahu?"

   "Ayahku yang bilang. Tapi aku mencuri dengar pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."

   Maka dia menceritakan kejadiannya.

   "Sudah lama aku mendengar dongeng itu maka ingin aku membuktikan sendiri, tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya jangan kata berita tentang istana es itu hanya obrolan orang belaka, umpama benar ada istana es seperti yang disebar luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak itu aku tak berani menyinggung soal itu. Tapi semakin dilarang semakin benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri dengar pembicaraan ayah dengan seorang Wisu yang baru datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari seseorang, orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diamdiam aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi ini aku kesasar, badak liar itupun hampir saja menyerudukku mampus. Tan-toako, syukur kau menolongku."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Sekarang kau telah melihat puncak salju yang menembus mega itu, apa yang dikatakan ayahmu memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada istana es, jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau pulang saja."

   Setelah mengalami berbagai penderitaan pangeran kecil ini memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya menghela napas.

   "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung salju itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun sudah cukup membuatku kepayahan, bila kepergok lagi binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus mencari penolong? Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku harus pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap suatu ketika aku bisa menyambut kedatangan kalian."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Umpama kami pergi ke Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di istana ayahmu."

   Siau-ongya menepuk kepalanya sendiri, katanya.

   "Iya, kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian adalah teman baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo Hoatsu dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo, ayahku adalah teman mereka, sudah tentu kalian tidak bisa tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di Holin. aku bisa mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."

   "Terima kasih akan maksud baik Siauongya, ada satu hal ingin mohon bantuanmu."

   "Tan-toako, tadi kau menolong jiwaku, mumpung aku sedang bingung bagaimana harus membalas budi pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan, apapun yang kau suruh pasti kulaksanakan sekuat kemampuanku."

   "Jangan kau ceritakan kepada siapapun akan pertemuan dengan aku disini."

   "Jangan kuatir Tan-toako, aku tahu maksudmu."

   Kuda yang ditunggangi siauongya adalah kuda perang yang sudah dilatih baik, setelah bebas dari pengejaran badak, tampak dia sudah lari keluar dari hutan.

   Siauongya segera cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima kasih pula atas pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.

   Tan dan In melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tampak dua orang sedang lari dikejar empat orang berkedok muka.

   Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh seorang berkedok, lekas sekali, teman pemuda itu sudah dikepung tiga orang berkedok yang lain.

   Orang yang dikoroyok tiga itu agaknya memiliki kepandaian tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas menyerang.

   Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak.

   "Aku tidak salah dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa kalian mengudak dan hendak membunuhku?"

   Orang berkedok yang mengudak itu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Memang kau tidak punya permusuhan pribadi dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"

   Mendengar 'Jendral Abu', lekas Tan Ciok-sing keprak kudanya memburu kesana.

   Orang berkedok sudah menyusul si pemuda, tiba-tiba dia menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti elang menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si pemuda.

   Kuda Tan Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya tepat waktunya.

   Tan Ciok-sing sudah melompat ke depan mengadang di depan orang berkedok.

   Melihat Ginkang orang ini cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang seraya membentak.

   "Biar kutabas cakar anjingmu."

   Orang itu menukik dengan tubrukan kencang, sebenarnya sukar menghindar.

   Tak nyana lengannya tahu-tahu bisa melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing mengincar pergelangan tangannya, dia yakin sasarannya pasti kena telak, diluar dugaan tusukannya meleset.

   Gerakan kedua pihak secepat kilat, sebelum kaki menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya menggunakan Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh dan lucu, gaya dan gerakannya itu jelas amat berbeda dengan ilmu sejenis yang dipelajari oleh cabang persilatan df Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh itu.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram, sedikit berputar, selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe, sambil berkelit sekaligus dia menusuk tujuh Hiat-to di tubuh lawan.

   Orang itu kena sekali tusukan pedangnya, tahu keliehayan Tan Ciok-sing, segera dia kabur.

   Sayang tusukan Tan-ciok-sing tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat keliehayan Kungfunya.

   Tujuan Tan Ciok-sing hanya menolong orang, tak sempat dia mengudak, teriaknya.

   "Adik San..."

   Dia ingin supaya In San mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan orang itu sudah mati.

   Mati dibunuh oleh teman si pemuda.

   Orang itu terdesak kewalahan dikeroyok tiga lawannya, entah bagaimana, mendadak dia meraung serta memperlihatkan kemahirannya, sekaligus tiga pengoroyoknya kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka.

   Orang ke empat yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga dikejarnya, saking kaget orang berkedok itu berteriak.

   "Buyung Ka, kau..."

   "Bles"

   Tahu-tahu pedang sudah menusuk jantung, jiwanya melayang seketika di bawah pedang orang itu. Tan Ciok-sing membimbing si pemuda, pemuda itu memperkenalkan diri.

   "Aku bernama A Kian, terima kasih akan pertolongan Congsu..."

   Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh terguling dari atas lereng, kedok mukanya kecantol duri sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya, tak sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget.

   "Hah, kiranya kau..."

   "Siau-ya,"

   Sentak temannya itu, agaknya dia berusaha mencegah si pemuda mengatakan nama orang itu. A Kian tertawa, katanya.

   "Dia tuan penolong jiwaku, kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah Busu kelas satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."

   "Tak heran dia memiliki Kungfu seliehay itu,"

   Ujar Tan Cioksing.

   "Kau orang Han bukan?"

   Tanya A Kian.

   "kau juga tahu Yuhian- ong?"

   "Nama besar Yu-hian-ong siapa tidak kenal, dalam negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu."

   Dalam hati diamdiam dia tertawa.

   "bukan hanya kenal saja, aku malah musuh besarnya."

   A Kian segera memperkenalkan orang itu.

   "Dia ini Wisu ayahku, bernama Buyung Ka."

   Buyung Ka berkata.

   "Terima kasih akan pertolonganmu kepada Siauya,"

   Sembari bicara dia ulur tangan berjabatan tangan.

   Tan Ciok-sing tahu orang sengaja hendak menjajal Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang.

   Buyung Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen, tenaganya seperti kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga tidak kerahkan tenaga balas menyerang.

   Sebagai ahli silat, dia insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih lebih tinggi, lekas dia lepas tangan dan berkata.

   "Kagum, kagum."

   A Kian kegirangan, katanya.

   "Apa kalian mau ke Holin?"

   Tan Ciok-sing mengiakan.

   "Ada urusan apa?"

   "Kami mengungsi, ingin mencari pekerjaan."

   A Kian kegirangan, katanya.

   "Ayah memang sedang mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."

   Lekas Tan Ciok-sing berkata.

   "Kebetulan malah bagi aku yang sedang nganggur ini,"

   Dalam hati dia membatin.

   "Tanpa membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral Abu."

   "Kau sudah tahu siapa ayahku bukan?"

   Tanya A Kian.

   "Tadi kudengar dari mulut kawanan jahat tadi, ayahmu ternyata Jendral Abu."

   "Betul,"

   Ujar A Kian.

   "Setelah memasuki wilayah negerimu, sepanjang jalan aku mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak nyana disini aku bertemu dengan Kongcu."

   "Kau adalah penolongku, jangan sungkan. Nona ini..."

   "Dia adikku,"

   Tan Ciok-sing memperkenalkan.

   "Baiklah, kuundang kalian kakak beradik mampir ke rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain, terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."

   Melihat A Kian bersikap sebaik itu, terpaksa Buyung Ka ikut bersikap baik pula.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauya,"

   Ujar Buyung Ka.

   "kejadian hari ini, sepulangmu nanti hanya boleh kau beritahu kepada ayahmu saja. Kepada orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."

   "Aku tahu,"

   Sahut A Kian.

   "Tan-heng, tolong kalianpun ikut merahasiakan kejadian ini."

   Tan Ciok-sing pura-pura tidak paham, tanyanya.

   "Entah boleh tidak aku bertanya?"

   "Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan,"

   Kata A Kian "Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku, maka kau merasa heran bukan?"

   Tan Ciok-sing manggut-manggut.

   "Yu-hian-ong amat iri terhadap ayahku, bahwa hari ini dia berani suruh anak buahnya hendak membunuhku, akupun merasa diluar dugaan."

   Kuda Tan Ciok-sing dan ln San adalah pemberian Kim-to Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung Ka adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka sudah tiba di Holin.

   Setiba di rumah A Kian, melihat dia mengajak dua orang Han pembantu tuanya keheranan, katanya.

   "Lo-ciangkun sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini. Siauya, mari kau kutemani mengundang beliau."

   "Kenapa susah-susah."

   Ujar A Kian.

   "kedua orang Han ini adalah temanku, mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay pula, biar aku ajak mereka ke belakang melihat ayah latihan, ayah tidak akan menyalahkan aku."

   Lalu A Kian menoleh kepada Tan Ciok-sing.

   "sepuluh tahun bagai satu hari, bila ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali,"

   Lalu dia bawa Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.

   Tampak seorang Jenderal usia lima puluhan lebih sedang memutar sebatang golok baja berpunggung tebal sekencang kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun pohon dan kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti disambar lesus.

   Dengan seksama Tan Ciok-sing memperhatikan, permainan golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun banyak ragamnya, diam-diam dia berpikir.

   "Jikalau dia bukan seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya boleh terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran.

   "walau belum pernah menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan sepuluh jurus, ada tiga sampai lima jurus seperti sudah amat kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu dari aliran Se-ek, lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat dijajaki. Saking bernafsu permainan ilmu golok Jendral Abu.

   "Cras"

   Tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabas oleh Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu batang pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong. Tanpa kuasa Tan Ciok-sing berseru memuji.

   "Ilmu golok bagus."

   Jendral Abu memeluk golok berdiri tegak, katanya.

   "A Kian, kau sudah kembali. Saudara ini..."

   "Sahabat orang Han ini adalah tuan penolong jiwa anak."

   Kata A Kian. Setelah mendengar putranya, dengan sinar tajam Abu pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba.

   "Anak Kian, keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang masuk. Waktu kembali, tutup sekalian pintu taman."

   "Tan-heng, apa betul lantaran mau cari kerja kau bersama adikmu ini datang ke Holin?"

   Tanya Abu.

   "Bicara terus terang,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "kami adalah teman baik Kim-to Cecu."

   Terbelalak kaget dan girang Abu, katanya.

   "Sudah lama aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada kesempatan bertemu."

   "Kim-to Cecu juga amat mengagumi Ciangkun, sering dia membicarakan Ciangkun dengan kami."

   "Apa yang dia katakan?"

   "Beliau bilang Ciangkun adalah teman bangsa Han kita sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya pandangan dan pengetahuan paling luas."

   Abu geleng-geleng, katanya ramah.

   "Kim-to Cecu terlalu memuji aku."

   "Bukan pujian kosong belaka, dengan kedudukan Ciangkun, apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin persahabatan antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus dipuji."

   "Harus bersahabat dengan bangsa Han adalah petuah para leluhur kita."

   Demikian kata Abu.

   "walau kami belum pernah datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi keluarga kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa Han kalian."

   Sementara itu A Kian sudah kembali berdiri di samping ayahnya, katanya.

   "Apa betul, kenapa ayah tidak pernah ceritakan hal ini kepadaku."

   Tiba-tiba Abu menoleh ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya.

   "Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah sekarang masih ada keturunannya?"

   Tan Ciok-sing melengong, katanya.

   "Pengetahuan wan-pwe masih cetek, banyak aliran golok cepat di Tiong-toh yang ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan golok kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum pernah kudengar."

   Jendral Abu menghela napas, katanya.

   "Kalau begitu tentu sudah putus turunan."

   Lalu bertanya pula.

   "Dalam kalangan Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang kisah Hong-in-lui-tian?"

   Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, Thio Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman ini, pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Cioksing tidak lama masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka tentang sejarah perkembangan kaum persilatan jarang yang diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian, sudah tentu belum pernah dengar.

   Malah In San yang teringat, katanya.

   "Kisah Hong-in-luitian aku pernah dengar dari ayah. Mereka adalah empat jago kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul tidak?"

   "Betul,"

   Sahut Abu.

   "O, jadi Hong-in-lui-tian terdiri empat orang."

   "Hong adalah Hong Thianyang, pernah menciptakan Cuihong- to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang perempuan, terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah seorang laki laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui, Lwekangnya paling ampuh. Tian sudah tentu juga nama julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang ini adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon Hong dan In adalah sepasang suami istri, sayang setelah beberapa ratus tahun berselang, ilmu ciptaan mereka mungkin sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini baca Si Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian) "Masih jelas nona In mengenang sejarah masa lalu, tapi tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan itu?"

   "Apa dia bukan orang Han? Ayah tidak menjelaskan, mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."

   "In Tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol kita,"

   Demikian tutur Abu.

   "In Tiong-yan adalah nama yang dia pakai dari bahasa Han, dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta, tantangan keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia minggat dan hidup sampai tua dengan kekasih yang dicintainya."

   Tergerak hati In San dia mengerti, katanya.

   "Ciangkun, ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah hasil dari warisan Hong Tayhiap?"

   "Betul. Tiga ratus tahun lalu, kakek moyangku adalah sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang pribadi tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan. Suami isteri leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke Tiongkok, demikian pula Hong Tayhiap pernah berkunjung ke rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga Hong, selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada kontak dan saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus tahun lebih yang lampau, karena peperangan kedua keluarga kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga hubungan putus demikian saja."

   In San berkata.

   "Pesan leluhur Ciangkun ternyata punya kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke Tionggoan akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai sekarang masih ada keturunannya."

   Abu tertawa, katanya.

   "Persahabatan antar bangsa yang kekal abadi dalam kisah itu memang mengharukan, tapi sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus Kim-to Cecu?"

   "Bukan,"

   Ujar In San.

   "tapi tujuan kami kali ini pernah kami utarakan kepada Kim-to Cecu, beliaupun menyetujui rencana kami."

   "Maaf aku lancang tanya, bolehkah aku tahu rencana kedatangan kalian?"

   "Hal ini memang ingin kami laporkan kepada Ciangkun,"

   Sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan pengejarannya kepada Liong Bun-kong sehingga tiba di Holin. Abu berkata.

   "mereka memang sudah sampai di Holin, kini tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang kuketahui, bangsat tua she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang menunggu undangan Khan Agung untuk menghadapinya."

   "Dia pasti akan menghasut khan kalian untuk mengerahkan pasukan menyerbu ke Tiongkok."

   "Itu sudah jelas. Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hianong adalah orang yang paling getol menyuarakan perang, kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."

   Kata A Kian menggertak gigi.

   "Manusia rendah yang menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di Holin bangsa Mongol kitapun bakal ketimpa malang dan bencana oleh peperangan itu."

   In San bertanya.

   "Ikut dengan bangsat tua she Liong itu ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong Go, apa Ciangkun sudah tahu?"

   "Tahu, konon ilmu silatnya tidak kalah dibanding Koksu Watsu yang bergelar Milo Hoatsu. Ketenarannya di Holin sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."

   "O, lantaran apa namanya begitu tenar?"

   Tanya In San.

   "Belum lagi majikannya Liong Bun-kong diundang oleh Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di hadapan Khan Agung."

   Ternyata Khan besar Watsu sedang membangun angkatan perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang berdarah, jiwa manusia dianggap permainan, dalam istananya tidak sedikit memelihara binatang-binatang buas, seperti singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan binatang-binatang buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya itu juga hasil pilihannya setelah diadu dengan binatang buas.

   "Tang-hay-liong-ong telah pamer kepandaiannya yang hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil yang gemilang itu sudah tentu memecahkan rekor selama pertandingan manusia dan binatang itu diadakan."

   Demikian tutur Abu.

   "Membunuh binatang buas bagi Tang-hay-liong-ong memang tidak perlu membuang banyak tenaga."

   "Itu belum hebat. Belakangan Khan besar suruh dia bertanding satu persatu dengan delapan belas jago pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang menang.

   "Dia terlalu egois untuk menuntut kemenangan, umpama mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang terang para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam kepadanya."

   "Memang, hari kedua kawanan Busu itu mengundang Milo Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan mengalahkan Tang-hay-liong-ong."

   "Bagaimana akhir dari pertandingan itu?"

   Tanya In San ketarik.

   "Konon Lwekang mereka sama kuat alias seri, susah dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran terdengar dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu sebagai Koksu, maka dia sengaja mengalah, sebaliknya ada pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin menariknya sebagai pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.

   "Tapi tak peduli siapa mengalah, yang terang tanpa bertanding mereka tidak akan kenal, sejak pertandingan itu, Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke Putala sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk memperdalam ilmu silat."

   In San bertanya.

   "Kalau demikian, sekarang dia tidak serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman Yu-hianong?"

   "Kabarnya Milo Hoatsu hendak mengajaknya mempelajari sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu singkat jelas dia tidak akan kembali."

   "Itu lebih baik,"

   Ujar In San tersenyum. Abu melengak, tanyanya.

   "Maksudmu akan, akan..."

   "Betul, mumpung ada kesempatan aku akan meluruk kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat tua ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara, bangsa kita siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus berkorban, aku bertekad akan membunuhnya. Kini Tang-hayliong- ong yang berkepandaian tinggi tidak berada di sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."

   Abu diam menepekur, A Kian berkata.

   "Ayah, tadi kau bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga membawa bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka, sekalian kita boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah menguntungkan kita semua."

   "Kedua persoalan ini harus dipencar penyelesaiannya, kularang kau punya pikiran hendak membunuh Yu-hian-ong."

   "Kenapa,"

   Teriak A Kian.

   "Ayah, berulang kali dia memfitnah hendak mecelakai kau, apa kau lupa? Tadi diapun suruh anak buahnya membunuh aku."

   "Kalau orang lain berbuat jahat, jangan kita meniru perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat hendak menjatuhkan aku, aku justru hendak menghadapinya secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan Agung untuk membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi, mati seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang akan melakukan kejahatan pula. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau Yu-hianong mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku? Aku tidak takut dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah kita bertindak demikian?"

   "Analisa Ciangkun memang benar,"

   Ujar In San.

   "kami tidak akan merembet Ciangkun."

   "Jangan kalian berprasangka,"

   Ujar Abu.

   "bukan aku mau mengatakan kalian salah. Walau aku tidak setuju cara pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada terkecuali, dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau Liong Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi hukuman oleh Sribaginda, demikian pula dendam tak terbalas, maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku tidak akan bisa menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa memberi bantuan apa-apa."

   "Ciangkun, kami juga maklum akan posisimu, maka tidak akan bertindak keliwat batas sehingga kau terjepit. Untuk membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah berabe, maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tang-hay-Liong-ong sekarang memang tidak berada di kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian tinggi di rumahnya tidak sedikit jumlahnya."

   "Mati hidup kita sudah tidak terpikir lagi,"

   Kata Tan dan ln bersama.

   "Aku harap sekali gebrak kalian bisa berhasil, tapi ini bukan tugas kecil, apapun segalanya harus dipersiapkan lebih dulu, umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum tahu. Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak tahu, maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari disini, pelajarilah dengan seksama situasinya, baru boleh bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini Tang-hay-liongong belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."

   Hari kedua Abu panggil seorang pembantunya yang dulu pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara terperinci menurut apa yang dia masih ingat tentang selukbeluk gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing dan In San.

   Hari ketiga, Tan dan In menyamar jadi orang Mongol dan ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah gedung Yu-hian

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   ong.

   Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan, syukur In San semakin matang di bidang tata rias sehingga penyamaran mereka tidak konangan orang.

   Segala persiapan yang harus disiapkan sudah lengkap, malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.

   Malam itu cuaca buruk, tiada bulan tiada bintang, mega mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam untuk melaksanakan keinginannya.

   Di belakang kebun bunga di bilangan akhir dari gedung Yuhian- ong dipagari oleh dinding gunung yang curam setinggi dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung tidak akan pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari dinding curam setinggi itu, tapi Tan dan In berdua justru masuk dari titik kelemahan mereka itu.

   Dengan Ginkang mereka yang tinggi, menggunakan tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup kedalam kebon.

   Sunyi dan sepi keadaan kebon bunga ini, keheningan sungguh diluar dugaan Tan dan In.

   Menurut penjelasan pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong bermalam di tiga tempat, tempat pertama adalah kamar tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat salah satu selir kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia menyimpan surat-surat penting.

   Bangunan gedung istana boleh dikata ada ratusan banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun susah dibedakan, kemana mereka harus mencari.

   Apalagi tujuan utama mereka bukan mau membunuh Yu-hian-ong, juga tidak perlu mencarinya.

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Terpaksa kita mengadu nasib, marilah maju sambil memeriksa ala kadarnya."

   Dengan munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu tempat, tiba-tiba di ujung loteng sebelah sana tampak sinar api menyorot keluar.

   Tempat dimana sekarang mereka berada didalam sebuah lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini dibatasi dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga.

   Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela, dengan seksama mereka mengawasi bayangan itu, akhirnya mereka bersorak girang dalam hati, karena bayangan orang itu adalah Siau-ongya.

   Didengarnya Siau-ongya sedang menggumam seorang diri.

   "Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar mereka dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini kepada ayah?"

   Seorang diri dia menggumam di atas loteng, suaranya lirih tapi Tan Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi, pendengarannya tajam, maka dia mendengar jelas. Timbul rasa curiga Ciok-sing, katanya berbisik di telinga In San.

   "Mari kita menyerempet bahaya."

   Dengan gerakan burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara. Tanpa ada angin tiba-tiba dilihatnya jendela terbuka, seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget dan menjublek.

   "Kau, kau adalah..."

   Sebelum dia sempat mengucap 'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya, bisiknya.

   "Jangan teriak, inilah aku."

   Siau-ongya kenal suara Tan Ciok-sing, jangan kata dia punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama tiada hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing, mana dia berani berteriak.

   Cepat sekali In San sudah menyusul naik ke atas loteng.

   "Terima kasih bahwa Siau-ongya sudi pandang kami sebagai sahabat,"

   Demikian ucap Tan Ciok-sing.

   "bicara terus terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada juga keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi membantu kami."

   Siau-ongya kaget, katanya.

   "Ada urusan apa? Apakah, apakah..."

   "Apakah, kenapa?"

   Mata Siau-ongya menatap Tan Ciok-sing seperti ingin ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.

   "'Siau-ongya, seorang diri kau ngomong sendiri, aku mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan kami. Kalau tidak salah, agaknya ada seseorang yang pernah membicarakan kami di hadapan ayahmu, benar?"

   "Benar, Tan-toako. Maaf bila pertanyaanku blak-blakan, apakah kalian kemari hendak membunuh ayahku?"

   "Sudah tentu bukan. Coba pikir, jikalau kami hendak membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu malah?"

   Legalah hati Siau-ongya, katanya.

   "Tan-toako, kau adalah tuan penolongku, asal kau tidak berniat membunuh ayahku, urusan apapun aku akan senang membantumu"

   "Aku ingin tahu, bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah berada di Holin, kenapa pula dia berprasangka bahwa kami akan membunuhnya?"

   "Ada orang yang memberi laporan dan ngadu biru di hadapan ayah."

   "Siapa orang yang mengadu biru itu?"

   "Aku tidak tahu, aku hanya mendengar tanpa sengaja, aku sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya mendengar suaranya."

   "Apa yang dikatakan orang itu?"

   "Orang itu bilang, Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian tinggi, katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa pembunuhnya adalah laki-laki dan perempuan, usianya masih muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah sudah menduga pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako, mungkin kau bisa menduga siapa orang ini?"

   Dalam hati Tan Ciok-sing memang sudah menduga, katanya.

   "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting yang harus segera kita laksanakan."

   "Apakah tugasmu itu akan dilaksanakan di gedung kediaman kami?"

   "Betul."

   "Perlu aku beritahu kepada kalian, untuk berjaga pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa ayah menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan, bukan saja ada tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian sembarang bertindak akan menghadapi bahaya, ketiga tempat itu adalah..."

   "Ketiga tempat itu kami sudah tahu."

   Tukas Tan Ciok-sing.

   "kami bukan ingin membunuh ayahmu. sudah tentu kami juga harus menghindari bahaya."

   Siau-ongya betul-betul lega, katanya "Baiklah, lekas katakan, bagaimana aku harus membantu kalian?"

   "Gampang saja, cukup asal kau memberi tahu dimana tempat tinggal Liong Bun-kong?"

   "Ayah meluangkan sebuah gedung untuk tempat tinggal rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini, di depannya terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou, nama Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila ada sinar bulan lapat-lapat kelihatan dari kejauhan,"

   "Baiklah, kami akan mencarinya kesana."

   Tiba-tiba Siauongya teringat sesuatu, katanya.

   "Bila lewat kentongan ketiga, kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan kalian lekas kembali saja."

   "Kenapa?"

   "Setelah orang itu pergi, ayah berunding pula dengan Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga keluargaku."

   "Apa yang mereka rundingkan?"

   "Ayah akan masuk istana menghadap Khan Agung, Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah mendekati magrib..."

   In San bertanya.

   "Ayahmu menghadap Khan Agung, apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"

   "Walau ayah boleh menemani Khan makan minum mencari kesenangan, tapi menurut kebiasaan, paling lambat sebelum kentongan ketiga pasti pulang."

   "Lalu kenapa?"

   "Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang, kuatir tenaga dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan, terutama setelah Koksu mengajak Tang-hay-liong-ong bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar pasti akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia suruh Kampula berusaha mencari jago-jago silat sebagai Wisu, tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat mencari jagojago silat tinggi? Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke istana kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han, di samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga belum berhasil, maka bahayanya akan lebih besar."

   "Terima kasih akan pemberitahuanmu ini."

   Kata In San tertawa.

   "kalau kami takut menghadapi bahaya, kami tidak akan datang kemari."

   Setelah meninggalkan Siau-ongya.

   Tan .Ciok-sing melihat cuaca, mega masih mendung, tapi bintang utara tampak kelap kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka datang tadi.

   Setelah menentukan arah, Tan Ciok-sing langsung menuju ke Hi-hi lou.

   Di tengah jalan In San berbisik.

   "Menurut dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"

   "Baiklah, kita sama-sama sebut nama orang yang kita curigai itu."

   "Mulai, satu, dua, tiga..."

   Berbareng dengan suara lirih mereka menyebut 'Buyung Ka'.

   "Lalu bagaimana baiknya? Di samping Jendral Abu ada sembunyi seorang musuh yang berbahaya."

   "Yang penting sekarang kita harus dapat membunuh bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga, urusan lain boleh dikesampingkan dulu."

   In San menarik lengan bajunya, bisiknya.

   "Sssst lihat sana."

   "Di tempat yang dituding tampak kemilau sinar emas, Tan Ciok-sing senang, katanya.

   "Betul, Hi-hi-lou ada disana."

   Katakatanya dia kirim menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping mereka juga tidak akan mendengar. In San berkata.

   "Kalau Yu-hianong sudah mengatur perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan pasang perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan mustahil juga ada perangkap."

   "Biar aku coba tanya jalan dengan melempar batu. Tanghay- liong-ong tidak berada di samping bangsat tua itu, umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat menandingi kita, takut apa."

   Sekenanya Tan Ciok-sing menjemput sebutir batu, dengan kekuatan jarinya dia menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.

   "Daaar!"

   Mendadak terjadi ledakan keras, begitu batu itu menyentuh lankan, loteng ambrol api menyembur, ujung loteng sebelah sana ternyata runtuh.

   Mungkinkah sebutir batu kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu? Ternyata di atas loteng telah dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari tangga yang membujur dari pekarangan dalam, baru orang akan selamat tiba di atas loteng.

   Belum lenyap gema ledakan keras itu, panahpun melesat selebat hujan.

   Bila seseorang betul-betul lompat naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya tinggi dan selekasnya dapat menyingkir dari tempat ledakan, juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.

   Belum reda suara ledakan dan hujan panah, dari berbagai penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya berteriak-teriak.

   "Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur cahaya dari Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan. Cuaca memang sukar diramalkan, mega mendung yang semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik pun mulai turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu masih terus berkeliaran ke segala penjuru, sehingga taman kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang seperti di kala senja. Tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, kembali dia meraih sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi krikil, dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik, dalam sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak yang telah padam, bila kawanan Wisu datang lebih banyak lagi lampu-lampu itupun sudah padam seluruhnya. Cuaca gelap pekat, ini menguntungkan mereka. Sebelum lampu suar padam mereka sudah menentukan arah, dengan mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gununggunungan menyusup kembang menghindari bentrokan dengan kawanan Wisu terus melarikan diri. Kawanan Wisu masih terus berdatangan dari berbagai arah ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di daerah yang tiada penjagaan. Legalah hati In San, tanyanya.

   "Sing-ko menurut pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat dipercaya?"

   "Kukira dia tidak akan ngapusi kita. Dalam hal apa kau curiga?"

   "Yu-hian-ong sudah masuk istana menghadap Khan Agung?"

   "Kuatir malam ini ada pembunuh meluruk datang, dia sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang dipersiapkan tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka dia merasa perlu mengungsi ke lain tempat."

   "Apa dia tidak takut Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"

   "Iya, maksudmu Liong Bun-kong mungkin ikut dia masuk ke istana menghadap Khan Besar?"

   "Hanya dugaan saja. Bila ucapan Siau-ongya dapat dipercaya."

   Tiba-tiba mereka mendengar ringkik kuda ternyata sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada beberapa ekor kuda malah terlepas dari kandangnya.

   Sudah tentu para petugas istal kuda menjadi sibuk menentramkan dan menangkap kembali kuda yang terlepas, Tan Ciok-sing mendengar salah seorang petugas menggerutu.

   "Malam ini sungguh sebal, baru saja mengantar ongya keluar, baru saja mapan tidur, terjadi keributan ini, entah apa yang telah terjadi, celakanya aku telah tidur nyenyak."

   Belum habis dia menggerutu tiba-tiba Tan Ciok-sing muncul merenggut kuduknya, dua orang lagi telah ditutuk Hiat-tonya oleh In San. Yang dibekuk kuduknya berteriak kesakitan.

   "Kau, kau siapa?"

   Tan Ciok-sing berpakaian busu Mongol, petugas itu kira orang sedang berkelakar dengan dirinya. Dengan bahasa Mongol Tan Ciok-sing menjawab.

   "Aku adalah pembunuh."

   Karuan petugas itu ketakutan, ratapnya.

   "Aku hanya bekerja mengurus kuda, Hohan jangan kau bunuh aku."

   "Kalau kau bicara jujur, aku boleh mengampuni kau, kalau tidak... coba lihat."

   Begitu dia layangkan kakinya, enam batang balok-balok kayu yang tertancap jajar di depan istal kena disapunya runtuh patah enam batang.

   "Hohan, kau, kau ingin tahu apa? Hamba akan menerangkan setahuku."

   "Adik San, kau saja yang tanya."

   Ujar Tan Ciok-sing, bahasa Mongolnya tidak sefasih In San, maka dia minta In San yang mengompres keterangan.

   "Dengan siapa Ongya keluar?"

   "Orang itu aku tidak kenal."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Orang Mongol atau orang Han?"

   "Agaknya orang Han."

   "Satu di antaranya apakah usianya sudah lanjut?"

   "Ada seorang yang sudah beruban rambut dan jenggotnya, pada hal usianya kira-kira baru enam puluhan."

   "Kapan mereka meninggalkan istana?"

   "Kentongan pertama."

   "Kapan kembali?"

   "Entahlah hamba tidak tahu, Ongya tidak memberitahu."

   "Cukuplah, orang itu jelas adalah bangsat tua she Liong."

   "Baiklah, kau boleh tidur nyenyak."

   In San tutuk Hiat-to penidur petugas istal, katanya.

   "Toako lekas kau pilih dua ekor kuda."

   Mencemplak kuda mereka lolos dari pintu belakang, meski disini dijaga beberapa Wisu, mana mereka mampu merintangi Tan dan In, kecuali dua tiga orang yang cerdik melihat gelagat, siang-siang telah menyembunyikan diri, sisa Wisu yang lain semua ketimpuk batu sambitan Tan Ciok-sing dan tertutuk Hiat-tonya.

   Di tengah kegelapan mereka menempuh perjalanan, kini cuaca lebih mending, bintang utara tampak kelap kelip, berpedoman pada bintang utara itulah mereka terus maju ke depan.

   In San berkata.

   "Entah sudah kentongan ketiga belum?"

   Dalam hal melihat cuaca Tan Ciok-sing lebih berpengalaman, katanya.

   "Bintang utara sudah berputar doyong ke barat, kentongan ketiga mungkin sudah lewat."

   Tengah mereka mencongklang kuda, tiba-tiba terdengar derap kuda dan roda kereta menggelinding, sebuah kereta ditarik empat kuda muncul dari lereng sebelah sana.

   Di depan kereta digantung sebuah lentera angin, kelihatan kereta itu cukup mewah dan besar, jelas bukan kereta milik keluarga biasa.

   In San kegirangan, katanya pelan-pelan.

   "Pasti itulah kereta Yu-hian-ong, entah bangsat she Liong itu ada tidak dalam kereta itu. Mari kita cegat mereka."

   "Jangan gegabah, kita tetap menyaru pesuruh keluarga raja, bertindak menurut gelagat."

   Demikian Tan Ciok-sing menganjurkan. Kuda mereka berhenti di tengah jalan, kereta besar itupun dihentikan. Dengan mengecilkan suara In San berkata.

   "Pesuruh ong-hu datang memberi lapor kepada Ongya."

   Kerai kereta tersingkap, kepala Yu-hian-ong muncul, katanya "Siapa namamu, terjadi apa di istana?"

   Dirasakan suara In Sun masih asing baginya, jelas bukan anak buah kepercayaannya, tapi dalam istananya terlalu banyak orang, tidak mungkin setiap orang dia kenal, maka dia tanya dulu nama In San.

   Ciok-Sing dan In San turun dari kuda serta menghampiri ke depan kereta, dalam jarak sepuluh langkah berhenti serta membungkuk memberi hormait kepada Yu-hian-ong, sengaja In San pura-pura sengal-sengal.

   katanya tergagap.

   "Ada pembunuh membuat onar harap Ongya jangan pulang dulu, aku, aku adalah.

   "

   Suaranya makin serak dan lirih sehingga Yu-hian-ong tidak dengar apa yang dia katakan lagi. Yu-hian-ong tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Sudah kuduga pembunuh bakal meluruk ke istanaku, memangnya mereka bisa meloloskan diri, sekarang aku akan pulang mengompres mereka, le, siapa namamu, katakan yang jelas..."

   Belum habis dia bicara mendadak Tan Ciok-sing dengan gerakan kilat telah menubruk ma|u mencengkram ke arah Yuhian- ong.

   Mimpipun Yu-hian-ong tidak menduga bahwa budak keluarganya bakal menyergap dirinya, baru saja dia menjerit sekali, tahu-tahu dadanya sudah direnggut Tan-Giok-sing.

   Yang duduk di sebelah Yu-hian-ong adalah seorang padri asing yang berperawakan kekar besar berkasa merah, gerakannyapun tidak kalah cepat, hampir bersamaan.

   "wut"

   Tiba-tiba dia memukul batok kepala Tan Ciok-sing. Merasakan samberan angin kencang, Ciok-sing tahu penyerang berkepandaian lebih tinggi. Cepat dia gunakan Hong-tiam-thau, berbareng tubuh Yu-hian-ong dia angkat ke atas, bentaknya.

   "Kalau berani, boleh pukul,"

   Ciok-sing kira Yu-hian-ong berada di tangannya, betapapun padri asing ini tidak akan mencelakai jiwanya. Tak nyana tanpa ayal sambil mendengus dia membentak.

   "Kenapa tidak berani."

   "Blang"

   Telapak tangannya dengan telak menggaplok punggung Yu-hian-ong.

   Begitu padri asing ini bersuara Ciok-sing lantas kenal, dia bukan lain adalah jago kosen nomor satu di Watsu, Milo Hoatsu adanya.

   Kejadian aneh sekali, pukulan Milo Hoatsu mengenai punggung Yu-hian-ong tapi yang kena pukul ternyata seperti tidak merasa apa-apa, celakanya Tan Ciok-sing justru seperti diterjang arus badai, dadanya seketika sesak seperti dipukul godam raksasa.

   Milo Hoatsu menggunakan Kek-but-thoan-kang, bila jenis ilmu seperti ini diyakinkan pada puncaknya, sekeping tahu yang ditaruh di atas batu, sekali pukul, tahunya tetap utuh tapi batu di bawahnya hancur luluh.

   Meski Kek-but-thoan-kang Milo Hoatsu belum setaraf itu, tapi liehaynya bukan main.

   Begitu dada seperti digodam, reaksi Tan Ciok-sing ternyata cukup tangkas juga kontan dia bersalto ke belakang, jarinya masih mencengkram Yu-hian-ong.

   Milo Hoatsu kira sekali pukulan tadi pasti membuat lawan tak sempat melukai Yu-hian-ong dan terluka parah oleh tenaga Liong-siang-kang, bila lawan terluka dengan sendirinya Yu-hian-ong dapat meloloskan diri dengan mudah.

   Tak nyana Tan Ciok-sing masih kuat memegang tawanannya serta menyeretnya turun dari kereta, hal ini betul-betul diluar dugaannya.

   In San juga lompat turun, pedang di tangannya lantas terayun, dua kaki depan kuda-kuda penarik kereta itu dia babat kutung, kuda roboh keretapun serong dan akhirnya roboh terjungkir, lentera angin itupun padam, keadaan menjadi gelap, dalam keributan ini Tan dan In masih perhatikan sekelilingnya, tapi orang yang diharapkan tidak kelihatan.

   Begitu menginjak bumi Ciok-sing kerahkan hawa murninya, sehingga rasa sesak dadanya sirna seketika.

   Bentaknya.

   "Yuhian- ong, kau ingin hidup tidak?"

   Saking ketakutan Yu-hian-ong menjublek tak mampu bicara. Begitu melompat turun Milo Hoatsu menjemput batu menimpuk mampus kuda tunggangan Tan Ciok-sing. Bentaknya.

   "Berani kalian melukai Ongya, coba saja apakah kalian mampu meloloskan diri."

   "Siapa bilang kami mau lari?"

   Jengek Tan Ciok-sing. Dari sebuah kereta lain yang baru tiba turun orang mendekati mereka, katanya tergelak-gelak.

   "Tidak lepas dari dugaan, kau bocah she Tan dan budak she In pula yang membuat keributan. Syukurlah kalau tidak ingin lari, mari kita tentukan siapa jantan siapa betina."

   Orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go, Tan dan In sudah menduga bahwa Yu-hian-ong pasti dikawal, tapi mereka tidak menduga yang mengawal adalah Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong, dalam hati Ciok-sing membatin.

   "Syukur Yu-hian-ong sudah kuringkus lebih dulu, kalau tidak sulit kita menghadapi kenyataan ini."

   Dengan tertawa dia berkata.

   "Sekarang kami tiada tempo melayani kau berkelahi, kalau mau bertanding boleh setelah urusanku beres, boleh kau tentukan waktu dan tempatnya."

   Jantung Yu-hian-ong masih berdebar, katanya.

   "Apa kehendak kalian?"

   "Serahkan jiwa Liong Bun-kong, kalau kau masih ingin hidup, barter dengan jiwa bangsat tua itu."

   Selama ini Yu-hian-ong tidak mendengar suara atau melihat bayangan Liong Bun-kong, dalam hati dia mengumpat.

   "Keparat tua, enak-enak sembunyi dalam kereta."

   "Betul, dia memang masuk istana bersama aku, melihat kesehatannya yang terganggu, Khan telah menahannya di istana,"

   Demikian Yu-hian-ong berbohong.

   Pada hal dia tahu bualannya ini tidak akan dipercaya lawan tapi tujuannya memang hendak mengulur waktu, dengan kepandaian Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong yang tinggi bukan mustahil mereka dapat membantunya meloloskan diri.

   Tan Ciok-sing setengah percaya setengah curiga, pikirnya.

   "Liong Bun-kong menjual negara dan bangsa, memang bukan mustahil untuk merangkulnya Khan Agung sengaja menahannya di istana. Aku sudah janji terhadap Siau-ongya untuk tidak melukai ayahnya, bagaimana baiknya?"

   Tengah hatinya menerawang, ujung matanya tiba-tiba menangkap gerakan Tang-hay-Iiong-ong yang diam-diam mendekati In San.

   "Awas adik San."

   Teriaknya memperingati. Sebat sekali In San menyelinap ke belakang Yu-hian-ong, pedangnya mengancam batok kepala Yu-hiang-ong. bentaknya.

   "Siapa berani bergerak, jiwa Ongya kalian segera kuhabisi lebih dulu."

   Maksud Tang-hay-liong-ong, hendak membekuk In San sebagai sandera, untung Tan Ciok-sing memperingatkan, terpaksa Tang-hay-Iiong-ong mundur kembali ke tempat semula. Pedang In San kini mengancam tenggorokan Yu-hian-ong, jengeknya dingin.

   "Jangan kira obrolanmu dapat menipu kami. Kuhitung tiga kali, kalau dia tidak kau serahkan jangan menyesal bila kepalamu kupenggal lebih dulu."

   Kulit leher Yu-hian-ong sudah terasa perih dingin, nyalinya serasa hampir pecah, mana dia bisa meresapi ancaman In San dengan pikiran jernih, lekas dia berteriak.

   "Baik, baiklah akan kukatakan, singkirkan dulu pedangmu..."

   Belum habis dia bicara, Liong Bun-kong yang sembunyi di belakang batu besar segera cemplak ke punggung seekor kuda terus dibedal pergi. Yu-hian-ong berteriak kalap.

   "Liong Bun-kong, kura-kura kurcaci, jiwaku teracam lantaran kau, hayo kembali, kembali."

   Sudah tentu Liong Bun-kong tidak mau kembali, teriaknya dianggap tidak dengar, beberapa kali dia lecut kudanya supaya berlari lebih kencang lagi. In San segera berkeputusan, katanya.

   "Toako, biar aku mengejarnya, kau tahan tawanan kita."

   Tan Ciok-sing cengkeram tulang pundak Yu-hian-ong, sementara telapak tangan menempel punggung, serunya lantang.

   "Sebelum nona In kembali, siapapun kularang bergerak, kalau tidak terpaksa aku tidak sungkan lagi menamatkan jiwa Ongya."

   "Kalau nona In tidak kembali bagaimana? Memangnya kau akan menyandera Ongya selamanya?"

   Jengek Milo Hoatsu "Paling lama satu jam, peduli dia pulang atau tidak, asal kalian tidak bergerak, aku akan bebaskan dia."

   Bayangan In San sudah tidak kelihatan, derap lari kuda juga tidak terdengar, perasaan Tan Ciok-sing seperti diganduli barang berat, dia kuatir Ginkang In San tidak kuasa mengejar cepatnya lari kuda.

   Di kala jantungnya berdebar-debar itu, angin lalu menghembus agak kencang, Lwekang Tan Ciok-sing amat tangguh, pendengarannya amat tajam, sayup-sayup dia seperti mendengar jeritan menyayat hati yang terbawa angin.

   Tersirap darah Tan Ciok-sing lekas dia berteriak.

   "Adik San, bagaimana kau?"

   Dia menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang, dia perkirakan umpama In San berada dalam tiga atau lima li pasti mendengar teriakannya.

   In San mengudak ke atas gunung, jikalau dihitung jarak dalam tanah datar, dia pergi kira-kira setengah jam lamanya, jarak yang ditempuhnya kira-kira sejauh itu.

   Dengan seksama dia pasang kuping menunggu jawaban In San.

   Sedikit seperti setahun, berapa risau hatinya, sungguh umpama menunggu sedetik seperti setahun.

   Alam semesta hening lelap, tidak terdengar reaksi In San.

   Bagaimanakah pengalaman In San? Apa yang dialaminya? Kuda-kuda penarik kereta Yu-hian-ong rata-rata adalah kuda kilat yang dapat lari seribu li sehari, kalau di siang hari, betapapun tinggi Ginkang In San jangan harap bisa mengejar.

   Untung sekarang malam, baru saja turun hujan.

   Jalanan gunung licin dan becek, tidak rata lagi.

   Walau kuda ini kuda perang yang sudah dilatih sedemikian rupa, namun lari di malam gelap, dia masih bisa menghindari bahaya, langkahnya pun teramat hati-hati.

   Karena itu daya kecepatannya menjadi agak berkurang bila dibandingkan berlari di tanah datar.

   In San mengembangkan Pat-pou-kan-sian Ginkang delapan langkah mengejar tonggeret, makin lama jarak kedua pihak makin dekat, tiba-tiba dia bersuit panjang sembari melolos golok peninggalan ayahnya, katanya.

   "Mohon ayah melindungi di alam baka, semoga anak dapat menuntut balas dengan golok pusakamu ini."

   Serasa terbang arwah Liong Bun-kong saking ketakutan, serunya gemetar.

   "Nona In, mohon kau suka pandang muka ibumu."

   In San lebih gusar, semprotnya.

   "Berani kau mengungkat ibuku, akan kutambah sepuluh bacokan di atas badanmu."

   Karuan nyali Liong Bun-kong serasa pecah, kuda dilecut berulang kali sekeras tangannya mengayun cambuk, tapi jalanan memang terlalu licin, betapapun kuda tak berani menancap gas lari sekencang biasanya di siang hari.

   Dalam pada itu dari arah berlawanan yang jauh sama terdengar serombongan kuda dari tentara Watsu sedang dicongklang ke arah sini, lekas sekali Liong Bun-kong sudah mendengar derap gegap gempita dari kuda-kuda banyak itu.

   In San juga sudah mendengar, lekas dia meraih sebutir batu terus ditimpukkan ke depan, jarak sudah agak dekat, tapi timpukan batunya tidak mencapai sasaran.

   Tiba-tiba Liong Bun-kong berteriak sekeras-kerasnya.

   "Lekas, lekas kemari, tolong, tolong, lekas tolong aku."

   Tibatiba teriakannya berganti jeritan kaget yang mengerikan, ternyata kaki depan kudanya terpeleset, tubuhnya terpelanting ke atas terus ambruk dengan keras, menggelundung turun ke bawah lereng.

   Ternyata karena dihujani cambuk kuda itupun menjadi sengit dan kumat sifat liarnya, maklum kuda yang sudah terlatih baik paling tidak suka dicambuk atau banyak diperintah, padahal Liong Bun-kong tidak pandai menunggang kuda lagi, mana dia bisa pegang kendali.

   Waktu kuda melompati sebarisan batu-batu tonggak, Liong Bun-kong lantas dilempar dari punggungnya.

   In San membentak.

   "Lari kemana."

   Beberapa kali lompatan jarak jauh dia mengudak ke arah suara berisik, dimana Liong Bun-kong terguling-guling hampir jatuh ke dasar lembah.

   Kala itu habis hujan, cuaca cerah, langit membiru, sang putri malam menongol pula memancarkan sinar peraknya, meminjam sinar rembulan In San menemukan Liong Bun-kong rebah di atas tanah, untung tubuhnya tersanggah di atas sebuah batu sehingga tubuhnya tidak menggelinding lebih ke bawah lagi.

   "Bangun."

   Bentak In San sambil menendang, ternyata Liong Bun-kong tidak bergerak, lekas In San menyulut api, tampak sekujur tubuh Liong Bun-kong cecel dowel penuh luka-luka, darah memenuhi sekujur tubuhnya, waktu dia meraba pernapasannya, ternyata jiwanya sudah melayang.

   Sebetulnya kalau hanya terjatuh bergulingan di lereng gunung, jiwanya masih belum mati.

   Tapi lantaran dia ketakutan, gugup lagi, setelah jatuh jantungnya pecah dan jiwanya melayang.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat kematian orang yang mengenaskan, In San jadi tidak tega menambahi sekali bacokan.

   Golok dia sarungkan kembali, katanya.

   "Inilah ganjaran perbuatan jahatmu, tak usah aku membunuhmu pula."

   Akhirnya Tan Ciok-sing memperoleh jawaban In San.

   "Sakit hati sudah terbalas, lekas kau kemari."

   Dengan mengangkat tinggi Yu-hian-ong di atas kepalanya, Tan Ciok-sing angkat langkah seribu, katanya.

   "Biarlah Ongya kalian mengantarku dalam jarak tertentu."

   Milo Hoatsu gusar, bentaknya.

   "Ucapan seorang kuncu laksana kuda dipecut, kau sudah berjanji, kenapa, kenapa ingkar..."

   Tang-hay-liong-ong juga gusar, dampratnya.

   "Jangan banyak bicara, kalau dia tidak membebaskan Ongya, hayo kita labrak dia bersama."

   Tan Ciok-sing sudah mendahului lari puluhan langkah, di belakang Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong mengudak kencang. Tan Ciok-sing sudah pikirkan akal, tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak katanya lantang.

   "Janji yang sudah kuucapkan pasti kutepati, biarlah Ongya kuserahkan kepada kalian, nah terimalah."

   Di tengah gelak tawanya dia menggentak kedua lengan, tubuh Yu-hian-ong dia lempar jauh ke samping sana.

   Tersipu-sipu Milo memburu kesana menangkap tubuh Yuhian- ong.

   Tampak tubuh Yu-hian-ong lemas lunglai, tidak bisa bersuara, tapi napasnya masih ada.

   Karuan Milo Hoatsu kaget, saking gugup dia tidak pikir apakah Ongya telah dikerjai, bentaknya.

   "Kau, kau apakan Ongya?"

   "Jangan kuatir,"

   Kata Ciok-sing.

   "aku hanya menutuk Hiattonya dengan Jong-jiu-hoat, bukan Hiat-tonya yang mematikan."

   Milo Hoatsu seorang ahli silat juga, kini dia sudah tahu Yuhian- ong hanya tersumbat Hiat-tonya, tapi belum tahu Hiat-to mana yang tertutuk. Tan Ciok-sing berkata.

   "Aku menutuk Hiat-to yang tersembunyi, silakan kalian cari sendiri. Dengan Lwekang kalian, untuk membebaskan tutukan itu pasti bisa tercapai. Tapi perlu aku beritahu, untuk membebaskan Hiat-tonya-harus segera, walau dia tidak akan mati, kalau terlambat mungkin bisa cacat."

   Tan Ciok-sing sengaja bermain muslihat pula, maklum kalau Yu-hian-ong dia bebaskan begitu saja, Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong jelas tidak akan membiarkan dirinya pergi begitu saja.

   Untuk selekasnya membebaskan Hiat-to yang tertutuk, kedua orang ini harus kerja sama membebaskan Hiat-to Yu hian-ong dengan saluran hawa murni menembus Ki-keng-pat-meh, jadi tidak usah satu persatu membebaskan Hiat-to yang tertutuk.

   Yang benar, walau Ciok-sing menutuk dengan Jong-jiuhoat, tapi tutukan Hiat-to di tempat sembunyi itu sendiri tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap Yu-hian-ong, umpama Hiat-tonya tidak dibebaskan, dalam jangka dua belas jam juga akan bebas sendiri, jadi tidak akan menjadi cacat seperti yang dikatakan Ciok-sing, perkataan Ciok-sing tadi hanya untuk menggertak musuh belaka.

   Bagi Milo Hoatsu dia harus percaya daripada mengabaikan keselamatan jiwa Yu-hian-ong.

   Kuatir Tang-hay-liong-ong terburu ingin menuntut balas, lekas dia menarik lengannya katanya.

   "Marilah kita bebaskan dulu Hiat-to Ongya."

   Sembari bekerja menembus Ki-keng-pat-meh, Tang-hay- Iiong-ong menyatakan isi hatinya.

   "Setiba di negerimu ini, sepantasnya aku setia kepada Khan Agung dan Ongya. Jangan kuatir bocah keparat itu tidak akan lari jauh, nanti kita bisa membuat perhitungan lagi."

   Setelah menyarungkan goloknya, In San tendang jenazah Liong Bun-kong sehingga menggelundung ke dasar lembah, serunya berdoa.

   "Ayah, sakit hatimu sudah terbalas malam ini, semoga di alam baka kau bisa tentram."

   Baru dia putar badan hendak bertemu dengan Ciok-sing, tiba-tiba didengarnya seorang membentak.

   "Budak bangsat, mau lari kemana kau?"

   Lenyap suaranya orangnyapun menubruk tiba.

   "sret"

   Senjatanya menusuk Hong-hu-hiat di punggung In San.

   Mendengar senjata membelah angin, In San tahu penyerang ini seorang tangguh.

   Lawannya ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo.

   Mendengar jeritan Liong Bun-kong lekas dia mendahului menyusul datang, barisan besar masih jauh ketinggalan di belakang.

   Dengan gerakan Hong-biau loh-hoa-sin-hoat sambil berkelit In San balas menyerang tanpa menoleh.

   "sret"

   Pedangnyapun menusuk.

   Tusukan pedang Poyang Gun-ngo mengenai tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang In San sudah mengancam Hian-ki-hiat di dadanya.

   Lekas Poyang Gun-ngo menahan napas menarik dada, gerak pedangnya menyimpang dirobah babatan ke bawah menyerampang kedua kaki In San.

   Dalam gebrak pertemuan ini, kedua pihak sudah serang menyerang, sama-sama menyerang sekaligus memunahkan serangan lawan.

   In San cabut golok peninggalan ayahnya, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, bentaknya.

   "Biar aku adu jiwa dengan kau."

   Permainan goloknya diselingi gerakan pedang, demikian pula sebaliknya, serangan pedangnya diselingi rangsakan golok, gerakannya aneh liehay dan mendadak pula sehingga Poyang Gun-ngo kena didesak mundur. Lekas Poyang Gun-ngo berteriak.

   "Hayo kalian lekas kemari."

   Pada saat itulah, suitan nyaring Tan Ciok-sing di puncak gunung sudah terdengar mereka disini.

   Tan Ciok-sing menggunakan ilmu Joan-im-jip-bit, mendengar suitan itu, Poyang Gun-ngo amat kaget, genderang kupingnya seperti tergetar pecah, dia kira Tan Ciok-sing tak jauh di sekitar sini.

   Pertarungan jago kosen mana boleh perhatian terpencar, apalagi gugup dan gelisah? Sekuat tenaga Poyang Gun-ngo merangsak tiga serangan, maksudnya mendesak lawan mundur supaya awak ada kesempatan melarikan diri.

   Tak nyana pedangnya tidak mampu menusuk lawan karena serangan sudah kebacut.

   "sret"

   Pedang ln San tiba-tiba menyelonong tiba menusuk dari arah yang tidak terduga, dada Poyang Gun-ngo tertusuk telak, kembali In San mengetuk dengan punggung goloknya, kontan Poyang Gun-ngo kena dirobohkan menggelinding ke bawah lereng mengejar arwah Liong Bun-kong.

   Terdengar kawanan Wisu di bawah lereng berteriak kaget dan takut.

   "Haya, itulah Poyang Ciangkun yang menggelinding jatuh."

   "Waduh celaka, Poyang Tayjin terluka, lekas, lekas keluarkan obat."

   "Ha tidak, celaka, tidak berguna lagi. Poyang Tayjin sudah mati."

   Kawanan Wisu menjadi geger. Tan Ciok-sing tengah gelisah, tiba-tiba didengarnya In San berteriak.

   "Toako, maaf bikin kau menunggu."

   Dari suaranya Tan Ciok-sing merasakan hawa murninya kurang kuat, tanyanya kaget.

   "Adik San, kenapa kau?"

   "Tidak apa-apa aku sudah menuntut balas sakit orang tua, Poyang Gun-ngo juga kubunuh."

   Secepat angin lesus dia lari ke hadapan Tan Ciok-sing, entah karena terlalu lelah, atau karena kegirangan, langkahnya tiba-tiba sempoyongan dan jatuh kedalam pelukan Tan Ciok-sing. Pada saat itulah seorang mendadak membentak beringas.

   "Kalian telah membunuh Liong-tayjin masih mau lari?"

   Seorang membentak dengan bahasa Mongol.

   "Kalian berani mengganas di Holin, Lolap tidak akan memberi ampun kepada kalian."

   Suaranya keras berisi dan memekak telinga, jelas kedua orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong dan Milo Hoatsu yang telah menyusul datang setelah menolong Yuhian- ong.

   "Jangan gugup adik San,' biar kita adu jiwa dengan mereka."

   Bujuk Tan Ciok-sing menentramkan perasaan In San. In San genggam tangannya, katanya tandas.

   "Aku sudah menuntut balas, asal berada bersama kau, mati atau hidup sudah tidak peduli lagi, hatiku tetap riang."

   Lahirnya saja Tan Ciok-jinj menghibur In San, pada hal hatinya sudah putus asa.

   Maklum meski Lwekangnya belakangan maju pesat, tapi masih bukan tandingan Tanghay- Iiong-ong, apalagi lawan ditambah Milo Hoatsu yang setaraf dengan Tang-hay-Iiong-ong.

   Di kala menghadapi mati atau hidup, timbullah cinta sejati.

   In San malah tidak menghiburnya, tekadnya sudah besar untuk gugur bersama, beberapa patah perkataannya tadi sudah merupakan pernyataan tegas melebihi rangkaian katakata mutiara yang tiada artinya.

   Memperoleh dukungan batin, meski menghadapi lautan api juga Tan Ciok-sing berani menantangnya.

   Diapun genggam tangan In San, katanya perlahan.

   "Adik San, kau benar, bila kita bersama, entah mati atau hidup, hatikupun amat senang."

   Tang-hay-Iiong-ong sudah muncul di hadapan mereka sambil menenteng sepasang senjatanya yang berat.

   Sementara Milo Hoatsu memilih kedudukan yang lebih menguntungkan, dia mengawasi dari samping, sikapnya santai, yang terang dia sudah mencegat jalan mundur Tan Ciok-sing berdua.

   Setahun ini Tang-hay-Iiong-ong sudah memikirkan cara untuk memecahkan gabungan sepasang pedang mereka, kini dia yakin dirinya sudah mampu mencapai kemenangan, pikirnya.

   "Sejak mereka menerjang keluar dari Onghu, In San budak ini baru saja mengalami pertempuran, tenaganya jelas banyak terkuras. Titik kelemahan inilah yang akan kucecar, memangnya tak mampu mengalahkan mereka?"

   Memang muluk rencananya jikalau tanpa bantuan Milo Hoatsu dia berhasil menangkap kedua pembunuh ini dan diserahkan kepada Khan besar, bukankah namanya akan lebih disegani.

   Ternyata Milo Hoatsu juga punya perhitungannya sendiri, di Pakkhia, dua kali dia pernah bentrok dengan Tan dan In, dia tahu benar betapa hebat permainan sepasang pedang mereka, kali ini dia terima berdiri di samping menjadi penonton saja, biar Tang-hay-Iiong-ong terjun pada babak pertama, bila tenaga kedua pihak sudah terkuras, dengan mudah dirinya akan menyerap keuntungan.

   Diluar tahu Tang-hay-Iiong-ong, ternyata perhitungannya meleset, benar setahun ini ilmu silatnya maju pesat, tapi Tan dan In juga tidak ketinggalan, kemajuan Tan Ciok-sing malah jauh lebih hebat.

   Permainan sepasang pedang mereka kini semakin serasi, hidup dan senyawa, meski masing-masing bersilat sendiri-sendiri, namun permainan mereka menuruti rel sehingga kerja sama mereka teramat rapat dan tiada titik kelemahannya.

   Sepasang gaman berat Tang-hay-Iiong-ong memang mempunyai perbawa hebat, sedahsyat gemuruh guntur, sehebat tindihan gugur gunung, sinar pedang seperti menyala benderang, bianglala laksana kilat menyamber.

   Terdengar "Tring"

   Sekali, kembang apipun berpijar, pedang mustika Tan Ciok-sing telah membentur gaman di tangan kiri Tang-hay- Iiong-ong, ujung pedang mendadak membal balik bergabung dengan gaya pedang In San membentuk satu lingkaran besar sehingga Tang-hay-Iiong-ong seperti terbungkus didalam sinar pedang.

   Begitu senjata beradu, sebetulnya Tang-hay-Iiong-ong hendak menindih pedang Tan Ciok-sing, tak nyana daya membalnya begitu cepat dan keras sehingga tusukan gaman kanannya ke arah In San mengenai tempat kosong, karuan kejutnya bukan main, pikirnya.

   "Bukan saja Kiam-hoat bocah ini makin liehay, Lwekangnya ternyata juga maju pesat."

   Mendadak Tang-hay-Iiong-ong menghardik, sepasang senjatanya bekerja sekaligus menusuk ke arah In San, denggn enteng In San berkelebat melayang kesana, dia kembangkan Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sebat sekali dirinya sudah berkisar pada posisi lain.

   Dalam waktu yang sama, pedang Tan Cioksing laksana pelangi tahu-tahu dari sela-sela sepasang gaman lawan menusuk dada.

   "Serangan bagus."

   Hardik Tang-hay-Iiong-ong, tusukan dia robah menjadi menangkis.

   Sepasang gamannya melintang dengan gerakan Heng-hun-toan-hong, secara kekerasan dia hendak menggempur hancur pedang lawan.

   Tapi pada detik itu, In San telah menerjang maju pula, ujung pedangnya memancarkan bintik sinar gemerlap menusuk Hong-hu-hiat di punggung Tang-hay-Iiong-ong.

   Mata dan kuping Tang-hay-Iiong-ong dipasang sejeli radar, sudah tentu dia tidak gampang dilukai.

   Kungfunya memang sudah mencapai taraf dapat dilancarkan dapat pula ditarik kembali, begitu merasa punggungnya diserang, secara reflek gaman di tangan kiri berputar balik dengan jurus Wi-seng-jianjin, tapi karena itu sepasang gamannya terpaksa dipencar, tekanan yang menindih pedang Tan Ciok-sing dengan sendirinya berkurang, pedang mustika itu mengikis naik terus menusuk, sementara In San melayang lewat, kembali berkisar ke arah lain menyergap pula dari posisi yang berbeda.

   Kalau Tang-hay-Iiong-ong tidak gesit dan tangkas melayani perobahan, jari jemarinya hampir terpapas kutung oleh pedang Tan Ciok-sing.

   Setelah berlangsung sepuluh jurus Tan Ciok-sing insyaf Lvvekang lawan setingkat lebih tinggi, sepasang senjata lawanpun tidak boleh dipandang ringan, terpaksa dia harus kembangkan ilmu pinjam tenaga menggunakan tenaga tingkat tinggi yang akhir-akhir ini berhasil dipahami, gerak gerik pedangnya lincah dan enteng, dengan mantap dia masih mampu memunahkan seluruh rangsakan lawan.

   In San bisa mengikuti permainannya dengan cukup baik, berputar menyergap dan melabrak lawan secara bergerilya, di kala Tang-hay-liong-ong kerepotan menghadapi rangsakan mereka, jurus-jurus pedang permainan mereka sering menyerang dari arah yang tidak terduga mengincar posisi yang tidak mungkin dicapai oleh pesilat umumnya.

   Tan dan In merubah permainan pedangnya pula, pedang dan batin bersatu, gerak tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, semakin bertempur gerak-gerik mereka semakin lincah, wajar dan mantap.

   Dalam beberapa gebrak sekejap itu, beruntun Tang-hay-liong-ong telah mengalami bahaya, kalau lawan tidak kuatir akan sepasang gamannya yang berat, mungkin dia sudah terluka oleh sepasang pedang lawan.

   Mau tidak mau terkejut hati Tang-hay-liong-ong, baru sekarang dia sadar, dalam setahun ini, usahanya mencipta suatu cara untuk memecah gabungan pedang lawan ternyata masih belum mampu menandingi kemajuan lawan pula.

   Semula Milo Hoatsu berpeluk tangan, pikirnya setelah kedua pihak kehabisan tenaga, baru dia akan terjun ke arena, kini melihat gelagatnya agak buruk, dalam hati dia pikir.

   "Jikalau aku tidak turun tangan, Tang-hay-liong-ong tidak akan kuat bertahan seratus jurus, akhirnya pasti Tang-hayliong- ong saja yang terluka parah, jadi bukan gugur bersama."

   Betapapun dia adalah seorang guru silat kenamaan, malu kalau main sergap, maka dengan tertawa dia berkata.

   "Sugong-heng, aku tahu sepasang senjatamu cukup mampu menandingi sepasang pedangnya, jadi aku tidak usah membantu. Tapi waktu tidak boleh berlarut, menangkap pembunuh adalah penting untuk segera diserahkan kepada Khan besar. Mereka berani membuat keributan di negeriku, jadi aku menjalankan tugas bukan karena dendam pribadi, maka tidak usah kita mematuhi aturan Kangouw segala bukan?"

   Dia mencari alasan supaya tidak malu terjun ke arena, sekaligus memberi muka kepada Tang-hay liong-ong pula.

   Sayang Tang-hay-liong-ong sedang kececar oleh sepasang pedang lawan, pertempuran sedang mencapai puncaknya, hakikatnya tidak mampu menyambut pernyataannya.

   Tan Ciok-sing malah yang menjengek dingin.

   "Tadi sudah kutantang kalian maju bersama, berani maju silakan, buat apa cari alasan. Omong kosong melulu."

   Milo Hoatsu gusar, bentaknya.

   "Bocah sombong, biar kau tahu keliehayanku."

   Dari nadanya orang pasti menyangka dia akan melabrak Tan Ciok-sing, tak tahunya dia justru bersuara di timur menggempur ke barat, mendadak jarinya mencengkram ke arah In San.

   Dengan harapan sekali labrak tujuan berhasil.

   Tak nyana perhitungan yang muluk-muluk ternyata gagal.

   Lahir batin Tan dan In sekarang sudah terjalin, gerak pedang merekapun sudah senyawa, di kala menghadapi detik-detik bahaya, semakin memperlihatkan kehebatan dan keliehayan gabungan pedang.

   Begitu jarinya luput mencengkram, kesiur angin dingin disertai sinar gemerdep tahu-tahu merangsak ke arah dirinya malah, dari kiri kanan pedang Ciok-sing dan In San mengincar Ih-khi-hiat di ketiak kanan kirinya.

   Agak gugup Milo Hoatsu menjentik jari tapi pedang In San tidak berhasil diselentik, namun In San merasa pergelangan tangannya seperti digigit semut, di samping panas ternyata agak linu.

   Hanya sedikit pengaruh saja, gerakan pedang mereka sudah tidak serapat dan setangguh semula.

   Milo Hoatsu dapat memanfaatkan kesempatan ini, mendadak dia menyelinap maju terus menjejak mundur, berhasil lolos dari libatan sinar pedang lawan.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cepat sekali gaya pedang Tan dan In berputar arah, dilancarkan belakangan tapi sasaran lain ternyata dirangsak lebih dulu, secara kebetulan mereka menyambut serangan gaman Tang-hay-liong-ong, kecepatan gerak pedang mereka susah dilukiskan dengan kata-kata.

   Rangsakan Tang-hayliong- ong, tahu-tahu telah dibendung di tengah jalan.

   "Sret, sret"

   Dua kali serangan pedang Tan Ciok-sing bantu In San memunahkan sejurus serangan Tang-hay-liong-ong, dengan perlahan dia berkata.

   "Di mata ada musuh di hati tiada lawan."

   Itulah ajaran inti yang diwariskan Thio Tanhong, maksudnya di waktu menghadapi, meski musuh teramat tangguh, jangan ambil dalam hati, lahir batin harus dipusatkan dan dikonsentrasikan sehingga mencapai taraf lupa akan anlaia musuh dan diri sendiri.

   Tapi setiap gerak serangan lawan harus diperhatikan dengan seksama.

   Kalau diartikan secara modern pada jaman ini, yaitu di medan laga musuh dipandang ringan, namun dalam strategi perang musuh harus dihargai.

   Lekas sekali In San sudah memadukan lahir dan batin, dengan Tan Ciok-sing dia mulai memulihkan posisinya semula, bahkan lebih meyakinkan dan serasi, Siang-kiam-hap-pik dikembangkan mencapai puncaknya.

   Tidak memburu menang atau kalah, tidak hiraukan mati dan hidup, tidak peduli nama dan gengsi, segala pikiran dan kekuatiran semua tersingkap dari benaknya.

   Karena itu gerak pedang mereka semakin santai, rapat dan lembut laksana air mengalir halus.

   Keadaan yang semula terdesak kini telah pulih pada posisi yang lebih mantap.

   Pertandingan semakin seru dan seimbang.

   Di tengah pertempuran sengit itu mendadak Tang-hay- Iiong-ong merasa Kik-ti-hiat di lengan kanannya sakit seperti ditusuk jarum, sakitnya meresap ke tulang sumsum.

   Kiranya Tan Ciok-sing menggunakan cara mengumpul tenaga pada satu titian, menyerang satu titik kelemahan lawan dari ajaran Hian-kang-yau-kek warisan Thio Tan-hong, begitu ujung pedang menyentuh senjata lawan, seumpama ilmu Kek-butthoan- kang.

   Walau Tang-hay-Iiong-ong tidak mengalami lukaluka, tapi di saat mengalami sergapan tidak terduga ini, di kala dia mengembangkan tenaga dalamnya sehingga kekuatannya banyak terpengaruh.

   Jurus yang seharusnya menyerang In San itu menjadi lemas lengannya, sehingga senjatanya berhasil ditangkis pergi oleh In San.

   Tapi cara Ciok-sing ini hanya khusus menghadapi Tanghay- Iiong-ong, maklum gaman Tang-hay-Iiong-ong yang terbuat dari hian-tiat itu paling mudah mengalami tekanan tenaga.

   Sebaliknya Milo Hoatsu menggunakan kasa yang lunak, Lwekangnya pun diperuntukkan menandingi tenaga kekerasan, latihannya lebih matang dan murni dari Tang-hay- Iiong-ong.

   Tan Ciok-sing tahu kekuatan sendiri, diapun sudah mengukur kemampuan musuh, diduga kalau dia mampu punahkan serangan lawan, maka dia tidak perlu menggunakan caranya itu.

   Diam-diam Tang-hay-Iiong-ong mengeluh, batinnya.

   "Kalau begini dilanjutkan, setiap mengalami sergapan tenaga dalamku selalu dikorting, akhirnya pasti bakal gugur bersama Tan Ciok-sing, sementara Milo Hoatsu yang memungut keuntungannya."

   Meski akibat dari pertempuran ini pihak mereka juga yang mencapai kemenangan, tapi mana mau dia sendiri yang dirugikan?"

   Pedang Tan Ciok-sing teramat cepat, dengan gerakan kilat dia menyergap Tang-hay-liong-ong, lalu bergabung pula dengan In San, dengan kerja sama yang semakin manunggal, dengan mudah rangsakan Milo Hoatsu mereka patahkan pula.

   Dalam pertempuran sengit itu, hakikatnya Tang-hay-liongong tidak berani pecah perhatian untuk bicara, terpaksa hanya mengerutkan alis atau mengedip mata memberi isyarat kepada Milo Hoatsu.

   Mendadak Milo Hoatsu membentak dengan bahasa Mongol.

   "Kerahkan setaker tenagamu menghadapi budak ini, jangan hiraukan anak keparat ini."

   Tang-hay-liong-ong bimbang, ya berani ya takut, semestinya dia tidak akan berani menyerempet bahaya, tapi kenyataan sekarang dia sudah tidak mampu menghadapi serangan Tan Ciok-sing yang selalu menguras tenaganya, dari pada akhirnya gugur bersama, lebih baik menerima anjuran Milo Hoatsu, dia yakin Milo Hoatsu tidak akan menjebak dirinya sehingga mengalami kerugian yang fatal.

   Mungkin dia sudah mempunyai akal yang meyakinkan untuk merobohkan kedua musuh ini."

   Demikian batinnya.

   Segera Tang-hay-liongong bertindak, dia menubruk ke arah In San, gabungan pedang lawan yang sudah manunggal hakikatnya tidak dihiraukan lagi.

   Tan Ciok-sing boleh tidak pikirkan keselamatan jiwa raga sendiri, tapi keselamatan In San tetap menjadi perhatiannya juga.

   Dalam saat-saat genting ini, secara langsung kembali dia kerahkan tenaganya pada satu titik menyerang ke satu sasaran di tubuh lawan pula.

   Cepat sekali, dalam waktu yang sama Milo Hoatsu pun sudah melontarkan Toa-jiu-in menggablok punggung Tan Ciok-sing.

   Kalau Tan Ciok-sing mau menghindar, sebenarnya dia masih sempat meluputkan diri.

   Tapi dia lebih mementingkan keselamatan In San, mana hiraukan mati hidup sendiri? "Ting"

   Ujung pedang kembali menutul gaman lawan yang berat itu, Tan Ciok-siiig kontan melancarkan serangan mematikan dengan jurus Lam-to-jit-sing, secepat kilat pedangnya menciptakan tujuh kuntum sinar kembang, kebetulan bergabung dengan gaya pedang In San pada puncaknya.

   Lwekang Tang-hay-liong ong sudah terkuras sedikit demi sedikit, saat mana seluruh perhatian dan tenaganya dia pusatkan untuk menghadapi In San, mana dia mampu melawan dan menghindar dari tujuh serangan pedang yang mematikan ini.

   Terdengar mulutnya menjerit ngeri, didalam sekejap sinar pedang menyamber itu, tubuh Tang-hay-liongong dihiasi tujuh luka-luka pedang.

   Dua tempat telak mengenai Hiat-tonya yang mematikan, meski dia memiliki Lwekang ampuh, juga jiwanya susah diselamatkan lagi.

   Di tengah jeritan itu badan Tang-hay-Iiong-ong tumbang sekaku balok terus menggelinding ke bawah lembah.

   Tapi di waktu Ciok-sing berhasil melukai Tang-hay-Iiongong, punggungnyapun menerima gablokan keras Milo Hoatsu.

   Toa-jiu-in Milo Hoatsu khusus untuk menggetar isi perut dan memutus Ki-keng-pat-meh.

   Ternyata Milo Hoatsu sengaja mengorbankan Tang-hay-Iiong-ong untuk menyergap lawan merebut kemenangan.

   "Huuuaaah". Tan Ciok-sing tumpah darah sebanyakbanyaknya. Bentaknya.

   "Biar aku adu jiwa dengan kau."

   Membalik tubuh seraya menyerang kalap seganas singa liar. Kaget In San bukan kepalang, teriaknya.

   "Toako, kenapa kau?"

   Tan Ciok-sing menarik napas panjang, sekuatnya dia bersikap wajar untuk mengelabui musuh bahwa luka-luka dalamnya hakikatnya teramat parah, katanya sambil kertak gigi.

   "Tidak apa-apa, lekas lancarkan serangan, ingat di mata ada musuh, dalam hati tiada lawan."

   Kejut Milo Hoatsu lebih besar dari In San, baru sekarang dia sadar bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan saja tangguh juga murni, jauh melebihi dugaannya.

   In San singkirkan segala pikiran, menghimpun semangat mengkonsentrasikan pikiran, tanpa terasa gerakan pedang mereka manunggal pula, perbawanya kembali bertambah.

   Kalau dulu setiap melancarkan gabungan pedang, Tan Cioksing selalu menjadi poros utama sebagai soko kekuatan manunggal itu, kini sebaliknya kedudukan berganti pada In San.

   Keadaan Tan Ciok-sing sudah umpama ada hati memeluk gunung, apa daya tenaga tidak sampai, hakikatnya sudah tidak mungkin lagi kerja sama sebaik tadi, tapi disini dan kali ini dalam menghadapi ujian berat, In San membuktikan kemampuannya yang luar biasa, ditunjukan bahwa dirinya sebenarnyapun mampu berdikari di samping membantu rekannya malah, seluruh kelemahan gerak pedang Tan Cioksing berhasil ditambalnya.

   Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut.

   "Makin tempur kenapa budak ini makin gagah malah."

   Sayang bekal Lwekang In San betapapun terpaut jauh dibanding lawan, di samping menghadapi lawan harus berusaha melindungi kekasih pula, meski dia berusaha mengembangkan kekuatan ilmu pedangnya, sukar untuk memukul mundur musuh.

   Tapi karena dia nekat dan merangsak dengan gagah berani, untuk menangkapnya hiduphidup Milo Hoatsu memerlukan waktu dan kesabaran, dalam waktu singkat jelas tidak mungkin.

   Tan Ciok-sing masih payah, deru napasnya makin berat dan tersengal.

   Di saat genting dan tegang itu, terdengar suara ribut-ribut orang dan kuda mendatangi, ternyata Yu-hian-ong memimpin sebarisan pasukan berkuda menyerbu tiba.

   Di bawah lembah Yu-hian-ong menemukan jenazah Tanghay- Iiong-ong, kagetnya bukan main, bentaknya.

   "Tan Cioksing anak keparat itu terlalu menghinaku, kalau tidak mencacah tubuhnya menaburkan abunya, sungguh tidak terlampias penasaranku. Koksu silahkan mundur."

   Dia kuatir Milo Hoatsu tidak unggul menghadapi keroyokan, maka dia berniat suruh anak buahnya menghujani anak panah untuk membunuh Tan Ciok-sing berdua.

   Harapan In San ialah dapai gugur bersama di pelukan Tan Ciok-sing, maka menghadapi kematian sedikitpun dia tidak takut.

   Meski tidak takut mati, namun dia kuatir bila dirinya terjatuh di tangan musuh, Kungfu Milo Hoatsu teramat tangguh, kuatirnya dengan sisa tenaganya bila dia membunuh diri, lawan sudah berhasil membekuknya tanpa daya, maka dia nekat, pikirnya.

   "Untuk menyelamatkan diri jelas tidak mungkin. Lebih baik biar aku berangkat lebih dulu, akan kutunggu Sing-ko dalam perjalanan ke sorga."

   Karena putus asa diam-diam dia sudah kerahkan Lwekang hendak menggetar putus urat nadi hingga mati. Untunglah di saat-saat pikirannya bekerja itu, tiba-tiba didengarnya seorang membentak dari atas puncak.

   "Yu-hian-ong, kau menginginkan putramu tidak? Berani kau mengusik seujung rambut Tan Ciok-sing, biar kubanting putra kesayanganmu ini ke bawah jurang."

   Bentaknya sekeras guntur, karuan Yu-hianonij kaget dan ketakutan, teriaknya.

   "Koksu harap berhenti sebentar "

   Waktu orang banyak menengadah, tampak di puncak atas berdiri satu orang sambil mengangkat tinggi di atas kepalanya seseorang, orang yang diangkat itu bukan lain adalah putra tunggal Yu-hian-ong. Siau-ongya berkaok-kaok.

   "Ayah, bebaskan mereka. Mereka pernah menolong jiwaku, aku tidak boleh membalas budi kebaikan dengan kejahatan, aku ingin hidup, aku tidak mau mati bersama tuan penolongku."

   Perobahan yang tidak terduga ini, bukan saja Milo Hoatsu amat kaget, Tan Ciok-sing juga heran, kaget sampai tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Ternyata orang yang menyandera Siau-ongya bukan lain adalah Buyung Ka.

   "Apakah orang yang memberi laporan rahasia kepada Yuhian- ong bukan dia?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing. Semula mereka kira Buyung Ka adalah pelapor gelap itu, tapi dari kejadian di depan mata ini, curiganya terpaksa harus tumbang. Yu-hian-ong seperti tidak kenal Buyung Ka, bentaknya.

   "Siapa kau? Ada salah apa aku terhadapmu, kenapa kau mencelakai putraku?"

   Mendengar seruan Yu-hian-ong, In San pun ikut bimbang, bingung seperti jatuh kedalam kabut tebal. Pikirnya.

   "Mungkin kami salah menduga, Buyung Ka bukan orang jahat?"

   "Ongya,"

   Seru Buyung Ka tertawa tergelak-gelak.

   "kau suruh orang membunuh putra Jendral Abu, aku hanya membekuk putramu sebagai sandera saja."

   Yu-hian-ong gusar, bentaknya.

   "Omong kosong, mana ada kejadian itu."

   Siau-ongya tiba-tiba berteriak.

   "Ayah, urusan sudah sejauh ini, terpaksa aku bicara sejujurnya. Kau suruh Jik Thian-tek menyergap dan membunuh putra Abu, aku sendiri mendengarnya. Hari itu secara diam-diam aku menguntit Jik Thian-tek yang membawa tiga orang pernah menyergap A Kian, putera Abu. Perlu aku beritahu padamu, karena aku menguntit mereka di tengah jalan aku kepergok seekor badak bercula, untung kedua orang Han itu yang telah menolongku serta membunuh badak itu."

   Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Ongya, puteramu sendiri yang membeber rahasia ini, masih berani kau mungkir?"

   Sudah tentu pasukan yang hadir di sekitarnya amat kaget mendengar 'pengakuan' Siau-ongya.

   Mereka adalah anak buah kepercayaan Yu-hian-ong, bukan kaget lantaran pemimpin mereka berusaha membunuh Jendral Abu ayah dan anak, tapi mereka menguatirkan keselamatan Yu-hian-ong karena kejahatannya terbongkar.

   Serta merta dalam hati mereka membatin.

   "Entah Jendral Abu tahu tidak akan hal ini, jikalau dia berhasil meringkus salah satu pembunuh itu dan menyeretnya ke hadapan Khan sebagai saksi akan kejahatannya, urusan bisa berlarut menjadi besar dan menggemparkan."

   Apa yang dipikirkan orang banyak sudah tentu juga terpikir oleh Yu-hian-ong, katanya.

   "Baiklah, anggaplah aku mengaku kalah hari ini, apa kehendakmu katakan saja?"

   "Soal apa yang perlu dirundingkan? Taripku tidak boleh ditawar, jiwa puteramu sebagai barter jiwa mereka berdua, jikalau kau tidak setuju, aku tidak akan membunuh puteramu, cuma asal kuserahkan dia kepada Jendral Abu, lalu kuseret dia menghadap dan mengadukan persoalan ini kepada Khan Agung."

   "Baik, aku setuju untuk menukar mereka dengan puteraku, kau bebaskan dulu puteraku."

   "Kita bebaskan bersama, aku tak takut kau main licik, kau tak usah kuatir aku bakal mencelakai puteramu. Orangmu sebanyak ini, jadi sepantasnya akulah yang berhati-hati terhadap kalian."

   "Baik, satu, dua, tiga. Kita bebaskan bersama."

   Tan Ciok-sing menarik napas menahan sakit terus lari ke atas puncak, walau terluka parah, kecepatan larinya masih lebih cepat dari Siau-ongya.

   Yu-hian-ong memang tidak suruh anak buahnya membidik dengan anak panah.

   Di tengah jalan Ciok-sing bertemu dengan Siau-ongya, katanya lirih.

   "Siau-ongya kau memang setia kawan, terima kasih."

   Lalu dia ulur tangan ajak berjabat tangan.

   "Apa yang kau lakukan?"

   Bentak Yu-hian-ong. Tan Ciok-sing sudah lepaskan tangan Siau-ongya, dengan cepat Siau-ongya lari ke bawah gunung katanya.

   "Dia adalah tuan penolongku, aku berjabat tangan perpisahan, ayah jangan kau terlalu curiga."

   Siau-ongya kembali di samping ayahnya, sementara Tan Ciok-sing dan In San sudah bergabung dengan Buyung Ka di atas puncak.

   "Tan-toako, beratkah lukamu,"

   Tanya Buyung Ka.

   "Tidak apa-apa, aku bisa lari."

   Ujar Tan Ciok-sing "Baiklah, jangan banyak bicara, kalian ikut aku saja."

   Ujar Buyung Ka.

   Tan dan In ikut masuk kedalam hutan, pengurus rumah tangga Abu ternyata sudah menunggu.

   Baru sekarang Buyung Ka sempat bercerita cara bagaimana dia berusaha menolong mereka.

   Ternyata atas perintah Jendral Abu mereka datang kemari untuk membantu.

   Melihat mereka terkepung, timbullah akalnya, segera dia lari ke Onghu.

   "Aku membekuk Siau-ongya, ternyata Siau-ongya mau kerja sama, tanpa banyak bicara dia serahkan diri supaya aku membelenggunya. Malah dia membantuku mencuri sebatang panah perintah ayahnya."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Di Onghu kami pun pernah mendapat bantuannya, Siau-ongya memang setia kawan."

   "Hutang budi tahu membalas. Adalah pantas kalau dia balas menolongmu setelah jiwanya pernah kau selamatkan."

   Haru hati Tan Ciok-sing, katanya setelah menghela napas.

   "Buyung-heng, budi pertolonganmu, entah kapan aku bisa membalasnya."

   "Sekarang bukan saatnya basa-basi ambillah panah perintah ini dan lekas berangkat. Em, ada sebuah hadiah lagi, Jendral Abu suruh aku menyerahkan kepada kau."

   Dia keluarkan sebatang Ho-siu-oh yang sudah membentuk seperti manusia, mirip orok yang baru lahir, Ho-siu-oh adalah obat mujarab yang tak ternilai harganya, apalagi obat sebesar ini, jelas sudah ribuan tahun lamanya. Tan Ciok-sing kaget, katanya.

   "Obat mujarab yang jarang ada, mana berani aku menerimanya."

   Timanor pembantu Jendral Abu berkata.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tan-toako, bicara terus terang, Ciangkun sebelumnya memang sudah menguatirkan bila dirimu terluka, maka sengaja suruh aku mengantar Ho-siu-oh ini. Aku tahu kau terluka cukup parah, Ho-siu-oh cukup untuk menyembuhkan luka-luka itu, kau pernah menolong jiwa majikan muda, kalau tidak mau terima obat ini, mana hatinya bisa tenteram?"

   "Toako,"

   Ujar In San.

   "setulus hati Ciangkun memberi obat ini kepadamu, boleh kau terima saja."

   Apa boleh buat, setelah dibujuk akhirnya Tan Ciok-sing terima Ho-siu-oh itu.

   Waktu itu fajar hampir menyingsing, terpaksa mereka berpisah dengan Buyung Ka dan Timanor.

   Panah perintah Yu-hian-ong ternyata besar manfaatnya, tiga pos gelap diluar Holin ternyata dapat mereka tembus setelah para penjaganya melihat panah perintah itu, padahal mereka orang Han, tapi tidak banyak diminta keterangan.

   Tiga puluh li setelah meninggalkan Holin, sepanjang jalan ini sudah tiada pos penjagaan lagi.

   Lega hati ln San, katanya.

   "Toako, bagaimana luka-lukamu? Mumpung tidak ada orang, lekas kau makan Ho-siu-oh ini."

   "Kita capai dulu gunung itu baru istirahat, aku masih kuat bertahan, tak usah segera makan obat."

   In San seperti juga Timanor, walau tahu Ciok-siong terluka parah, namun mereka tidak tahu luka-lukanya sudah teramat kronis. Maka dia pikir minum obat perlu istirahat dan setelah perasaan lega baru khasiat obat akan bekerja lebih nyata.

   "Baiklah,"

   Katanya kemudian.

   Tak jauh mereka berjalan, dari depan mendatangi serombongan orang berkendaraan unta.

   Melihat mereka orang-orang Han, orang-orang itu mengawasi dengan pandangan heran dan penuh tanda tanya, tapi tiada yang mencegat atau menegur.

   Agaknya mereka juga dirundung banyak persoalan, maka tidak mau mencampuri urusan orang lain.

   In San lewat dari samping mereka, didengarnya seorang berkata.

   "Kupernah dengar, di atas gunung di depan itu ada seorang tabib liehay yang kenamaan, tapi penghasilannya bukan dari mengobati orang, karena tidak praktek orang sukar menemukan dia."

   Seorang lagi berkata.

   "Kabar angin belum bisa dipercaya, aku lebih percaya tabib kenamaan di Holin. Kalau betul belum bisa sembuh, baru kita kemari mencarinya."

   Jarak makin jauh maka pembicaran selanjutnya tidak terdengar lagi. Karena mereka membicarakan tabib, maka In San pasang kuping, pikirnya.

   "Untung kami sudah punya Hosiu- oh, jadi tidak perlu cari tabib segala."

   Tak lama kemudian mereka sudah tiba di bawah gunung.

   Setelah menempuh perjalanan sejauh ini, dengan bekal lukalukanya yang parah lagi, mau tidak mau keadaan Tan Cioksing agak payah juga, Mereka langsung masuk hutan, setelah istirahat lalu makan rangsum.

   Bekal itupun pemberian Buyung Ka.

   Setelah makan, agak pulih semangat Tan Ciok-sing, katanya.

   "Aku jadi sayang untuk makan Ho-siu-oh ini."

   "Toako, meski Lwekangmu tangguh, tapi keadaanmu tak bisa terus bertahan dengan Lwekang melulu, jangan lupa kita masih harus pergi ke Thian-san."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Aku tidak mengatakan tidak mau makan,. Buyung Ka bermaksud baik, kalau tidak kumakan berani mengabaikan maksud baiknya Aku hanya merasa sayang bila setangkai Ho-siu-oh ini harus kumakan."

   Sambil berkata dengan pedang dia mengiris kecil-kecil beberapa keping terus ditelannya "Hanya sedikit saja, mana bisa membawa kasiat nyata?"

   "Kau tidak tahu, Ho-siu-oh yang sudah terbentuk kasiatnya dapal menghidupkan orang yang tampil mati, aku punya dasar lwekang sedikit juga sudah berkelebihan. Sisanya yang lebih besar ini disimpan untuk keperluan kelak saja."

   "Coba kau makan lagi seiris saja."

   Pinta In San. Segan menolak maksud baik In San, terpaksa Ciok-sing makan satu iris lagi. Sisanya dia serahkan kepada In San untuk disimpan. In San menghela napas, katanya.

   "Sungguh tak nyana di Watsu kita bisa berkenalan dengan banyak teman, Buyung Ka betul-betul orang baik diluar dugaanku."

   Tiba-tiba dilihatnya alis Tan Ciok-sing berkerut, seperti menahan sesuatu penderitaan, In San kaget, katanya.

   "Toako, kenapa?"

   "Tidak apa-apa."

   Ujar Tan Ciok-sing, lekas dia kerahkan hawa murni lalu menarik napas panjang, katanya.

   "Kurasa agak aneh."

   "Apanya yang aneh?"

   Tanya In San gelisah.

   "Ho-siu-oh biasanya pahit, tapi yang satu ini kenapa rasanya manis?"

   "Mungkin Ho-siu-oh yang sudah jadi rasanya beda dengan yang setengah matang."

   Obat mujarab pahit menguntungkan si penderita.

   Terasa oleh Ciok-sing bahwa rasa obat agak ganjil, semula dia sudah curiga, tapi dia tidak ingin memberitahu kepada In San, supaya orang tidak kuatir.

   Tapi sekarang dia sudah tidak tahan lagi, terpaksa bicara sejujurnya.

   "Rasanya seperti habis minum arak saja, aku mabuk."

   In San tidak tahu mungkinkah obatnya sudah mulai bekerja, katanya.

   "Bagaimana bisa demikian? Coba kau pusatkan hawa murni kedalam pusar."

   Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya wajah Ciok-sing berobah hebat, ternyata isi perutnya mendadak sakit bukan kepalang seperti diiris, ditusuk dan entah diapakan lagi, yang terang dia menjungkir sambil menahan sakit.

   Sudah tentu kejut In San bukan main, lekas dia pegang kedua lengannya terus bantu menyalurkan hawa murni ke tubuhnya.

   Untung Tan Ciok-sing telah meyakinkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai mereda.

   "Kurasa Ho-siu-oh itu bukan barang tulen, kau buang saja."

   Desis Tan Ciok-sing dengan keringat dingin membasahi jidat.

   "Maksudmu Ho-siu-oh ini beracun?"

   Teriak ln San tersirap.

   "Obat ini pemberian Jenderal Abu, semestinya tidak beracun. Tapi setelah kumakan, keadaanku semakin parah malah, aku tidak habis mengerti apa sebabnya. Lebih baik kita hati-hati, buang saja dari pada mencelakai orang lain."

   "Sementara akan kusimpan, bila betul ada racunnya, bisa kujadikan barang bukti. Tapi aku yakin Ciangkun tidak akan mencelakaimu, kukira urusan agak ganjil dan perlu diperhatikan, kita pasti dapat membongkar kejadian ini. Toako, bagaimana perasaanmu sekarang?"

   "Sementara mungkin aku tidak bisa berangkat, entah tiga hari atau lima hari, kita tidak perlu pikirkan perjalanan yang tertunda ini."

   In San memapahnya masuk kedalam hutan, terasa langkah Tan Ciok-sing amat berat dan kakinya susah bergerak, meski dia berusaha berbuat sebaik mungkin, tapi In San tahu racun yang bersemayam dalam tubuhnya teramat parah.

   Seorang jago kosen yang memiliki Lwekang tinggi sudah sempurna lagi, tidak mungkin tidak mampu berjalan meski dalam keadaan luka parah atau terkena racun.

   Sambil memapahnya, setiap langkah perasaan In San semakin berat.

   Akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, tak lama kemudian asap putih mengepul di atas kepalanya Melihat dia masih mampu mengerahkan Lwekang, sedikit lega hati In San.

   Selesai samadi, pakaian Ciok-sing dan In San sudah basah kuyup.

   Teramat besar perhatian In San, sehingga dia selalu mencucurkan keringat dingin.

   "Aku agak dahaga, carikan minum,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "Baiklah, akan kucarikan air. Bila menghadapi bahaya, kau lepas panah berasap."

   Panah itu bisa memancarkan sinar biru berasap putih, setelah meledak memancarkan kembang api yang indah warnanya.

   "Jangan kuatir, musim dingin, binatang liar jarang keluar, ada Pek-hong-kiam untuk membela diri, binatang kecil masih bisa aku melayani."

   Setelah In San pergi, Ciok-sing mulai bersamadi pula.

   Makin lama makin terasa adanya gejala-gejala yang tidak beres.

   Bukan karena pengerahan Lwekang tiada manfaatnya, tapi setahap dia lebih mendalami bahwa racun yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih hebat dan keadaannya lebih parah dari dugaannya semula.

   Sesuai ajaran Lwekang Thio Tan-hong dia menghimpun hawa murni kedalam pusar tiba-tiba jantungnya melonjak keras sekali, seperti denyut kaget karena ditusuk benda tajam, sehingga hawa murni yang dihimpunnya susah payah buyar seperti tanggul yang jebol sehingga air bah melanda keluar.

   Terpaksa diulang dari permulaan, syukur tenaga dapat dihimpun dua bagian, tak lama kemudian denyut kaget pada jantungnya terulang lagi.

   Demikian berulang kali, belum penuh sudah bobol, hawa murni yang dikumpulkan selalu tidak berhasil, sehingga dia tidak mampu bantu menyembuhkan luka-luka sendiri melalui penyaluran Lwekang murninya.

   Dengan tangan kiri dia periksa denyut nadi tangan kanan sendiri, terasa denyut nadinya berbeda dengan biasanya, kadang-kadang kasar cepat, tiba-tiba lembut perlahan, cepat dan lambat terus bergantian, jadi boleh dikata kacau balau, tidak karuan.

   Dari sini dapatlah dia menyimpulkan bahwa kadar racun telah meresap ke jantung dan paru-paru, bukan saja aliran darah, racun sudah masuk ke tulang pula.

   Mengkirik sendiri Tan Ciok-sing membayangkan keadaan dirinya, pikirnya.

   "Aku mati tidak jadi soal, pesan guru harus kulaksanakan."

   Seperti diketahui sebelum ajal Thio Tan-hong ada memberi pesan kepadanya, supaya ilmu ciptaannya di hari tua diserahkan kepada muridnya yang terbesar yaitu Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay yang sekarang.

   Keadaan Tan Ciok-sing separah ini, untuk berjalan saja tidak bisa, bagaimana dia bisa pergi ke Thian-san? Satu hal lagi yang menguatirkan, In San sudah berjanji sehidup semati dengan dirinya bila dirinya akhirnya meninggal, meski semasa masih hidup dia memberi pesan, melarang In San memburu jejaknya ke alam baka, mungkin In San tidak mau menurut.

   Tiba-tiba dia teringat didalam ajaran Hian-kang-yau-kek ciptaan gurunya itu ada sejenis ilmu yang dinamakan Tay-ciuthian- to-nah, dengan ilmu ini orang dapat menghimpun dan mengumpulkan kadar racun di tubuh manusia di satu tempat yang terisolir, untuk sementara racun tidak akan bekerja, kelak masih ada kesempatan untuk berusaha menawarkannya.

   Tapi menempuh cara ini harus, menyerempet bahaya.

   Karena kadar racun yang terkumpul di suatu tempat kadarnya akan bertambah besar dan ganas, bukan saja waktu bekerjanya bisa lebih cepat, kumatnya juga sukar diduga, malah begitu kumat jiwa pasti melayang seketika.

   Diam-diam Tan Ciok-sing menepekur, apakah perlu dia menggunakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan bekal Lwekang yang dimilikinya sekarang, kira-kira dia masih kuat bertahan setahun lamanya, sebaliknya bila menggunakan ajaran Lwekang itu, dia belum mampu menyalurkan kadar racun pada suatu tempat yang terisolir, maka sembarang waktu kadar racun bakal meledak, itu berarti jiwa akan segera melayang.

   Tapi ada baiknya, karena untuk sementara kekuatannya akan pulih sebagian.

   "asal aku bisa hidup sebulan saja, aku sudah bisa mencapai Thian-san."

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   "Terpaksa aku harus mengelabui adik San, supaya dia tidak ikut kuatir akan keselamatanku. Cepat atau lambat juga pasti mati. Budi guru setinggi gunung, bila aku berhasil menunaikan tugas peninggalan guru, matipun aku bisa meram."

   Akhirnya Tan Ciok-sing ambil keputusan mencoba cara menghimpun racun pada tempat yang terisolir dengan menentang bahaya.

   Diluar tahu Tan Ciok-sing, saat mana In San pun punya pendirian dan pikiran yang serupa.

   Nasib ln San yang mencari air ternyata cukup mujur, tidak jauh menuju ke arah utara, tiba-tiba didengarnya gemericik air.

   Lekas dia berlari ke arah selokan gunung.

   Tiba-tiba didengarnya teriakan bocah kecil.

   "Kakek, lekas kemari, aku berhasil mengeduk mustika."

   Bahasa Mongol yang dipelajari In San jauh lebih banyak dibanding Tan Ciok-sing, maka dia bisa menangkap arti pembicaraan orang Mongol. Tampak seorang berperawakan besar berlari-lari mendatangi, tanyanya dengan tertawa.

   "Gembar gembor, kau menemukan mustika apa?"

   Anak itu berkata.

   "Kek, coba lihat. Akar ini mirip orok kecil. Kek, aku masih ingat kau pernah bilang Jin-som dan Ho-siu-oh bentuknya mirip orok kecil, coba kau periksa ini Jin-som atau Ho-siu-oh?"

   Umpama bukan, pasti sejenis obat mujarab?"

   Agaknya bocah itu sering ikut kakeknya naik gunung mencari obat, sekarang mereka sedang cari obat dalam hutan ini. Kaget dan senang hati In San, katanya.

   "Mungkin orang inilah tabib yang dikata mengasingkan diri di gunung ini? Bahan obat yang ditemukan bocah itu entah mirip tidak dengan Ho-siu-oh dalam kantongku?"

   Baru saja In San hendak mengunjuk diri, tiba-tiba didengarnya orang tua itu berteriak gugup.

   "He, lekas buang, ini bukan obat mujarab atau barang mustika, inilah racun jahat yang bisa mencelakai jiwa orang."

   Kaget In San bukan main, lekas dia memburu ke arah mereka. Sementara itu si bocah sedang mencuci Ho-siu-oh itu didalam selokan, walau kakeknya bilang benda itu beracun, tapi dia masih merasa sayang untuk membuangnya. Orang itu kaget, tanyanya.

   "Nona muda, dari mana kau datang?"

   Maklum sudah lama dia semayam di atas pegunungan, orang Mongol pun jarang dijumpai, apalagi In San adalah gadis belia bangsa Han? Agaknya dia melihat In San adalah orang Han, maka hatinya makin heran.

   Tak nyana In San jauh lebih kaget dari dia, tanpa hiraukan pertanyaan, langsung dia berkata kepada si bocah.

   "Engkoh kecil, coba kau berikan Ho-siu-oh itu kepadaku."

   Mendengar In San menyebut Ho-siu-oh, si bocah jadi bingung, dia tidak tahu perkataannya yang benar atau perintah ayahnya yang keliru, segera dia sembunyikan Ho-siuoh itu di belakang tubuhnya, serunya.

   "Kau mau menipu, memangnya aku mudah kau tipu. Aku yang menemukan mustika ini, kenapa harus kuberikan padamu."

   Demikian kata si bocah dengan mendelik.

   "Aku tidak akan merebut mustikamu, coba lihat aku juga punya setangkai, akan kucocokkan apakah mirip mustikamu itu."

   Demikian kata In San. Segera dia merogoh saku keluarkan Ho-siu-oh itu diacungkan ke depan si bocah, melihat Ho-siu-oh di tangan In San lebih gede, baru si bocah mau menyerahkan, katanya.

   "Aneh, ternyata mirip. Mungkin milikmu ini lebih tua, punyaku masih muda."

   Ternyata Ho-siuoh di tangan In San sepanjang satu kaki sementara yang dipegang si bocah kira-kira delapan dim. Baru saja si bocah ulur tangan mau terima Ho-siu-oh dari tangan In San, tiba-tiba orang tua itu menyela.

   "Berikan kepadaku,"

   Hanya sekilas dia periksa Ho-siu-oh yang diterima dari In San, mendadak dia pegang pergelangan tangan In San. In San kaget, teriaknya.

   "Kau mau apa?"

   Tapi dia lantas tahu bahwa orang ini tidak bisa silat, dilihatnya pula maksud orang tidak jahat, maka dia tidak kerahkan tenaga meronta. Orang tua itu menghela napas lega, katanya melepas tangan In San.

   


Legenda Kelelawar -- Khu Lung Dendam Asmara -- Okt Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini