Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 4


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 4



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sinar golok bayangan orang berkelebat lewat, laki-laki pendek itu beruntun membacok tujuh kali, namun tidak sampai membentur golok pusakanya, inipun sudah membikin Tan Ciok-sing keripuhan.

   Cepat sekali dua musuh yang memburu datangpun telah tiba.

   Dinilai taraf kepandaian silat ketiga orang ini, belum termasuk apa-apa di kalangan Kangouw, tapi menghadapi Tan Ciok-sing tenaga mereka bertiga cukup berkelebihan.

   Tan Ciok-sing mencak-mencak keripuhan dicecar mereka, meski dia mengandal ketajaman goloknya, namun keadaannya tetap terdesak di bawah angin, berkali-kali dia menghadapi ancaman bahaya.

   Untung dia membekal golok pusaka, kalau tidak bagaimana akibatnya sungguh tak berani dia membayangkan.

   Kalau Tan Ciok-sing mengeluh dalam hati mendadak didengarnya Hek-moko berteriak.

   "Dari pada tamu berubah jadi majikan, adalah lebih baik majikan melayani sang tamu. Yang muda melampaui yang tua, yang terlambat lebih baik dari pada yang gugup."

   Dasar otaknya encer, cepat sekali berkelebat pikiran Tan Ciok-sing, apa yang diajarkan Hek-moko cepat sekali sudah menyadarkan pikirannya.

   "Wut"

   Tiba-tiba goloknya membacok, gerakannya kini jelas lebih mantap dan sudah memperoleh poros inti ilmu golok keluarga In, ujung golok memapak serangan golok musuh yang datang dari arah depan, sementara gagang goloknya mengetuk golok yang menyerang tiba dari arah kiri, tajam goloknya miring terus menyayat ke bawah, karuan seorang lawan yang berada di sebelah kanan menjadi kaget dan jeri serta menarik tangan dan mundur tersipu-sipu.

   Jurus Hun-mo-san-bu (menari tiga kali menggenggam mega) ini adalah serangan golok yang tadi digunakan Hekmoko untuk membabat rontok rambut Ie Cun-hong.

   Sudah tentu jurus yang sama dilancarkan oleh Tan Ciok-sing, perbawanya jauh ketinggalan dibanding Hek-moko, tapi kepandaian ketiga lawannya itupun jauh lebih rendah dibanding Ie Cun hong.

   Kini Tan Ciok-sing sudah berhasil menyelami intisari ilmu golok keluarga In, maka permainannya sekarang sudah jauh berbeda, walau belum bisa menang, tapi untuk bertahan terang sudah cukup berkelebihan.

   Tapi ilmu golok yang berhasil diselaminya sekarang baru pertama kali ini dipraktekkan, apa benar permainannya, dia sendiri juga tidak tahu.

   Untung Hek-moko segera berseru lagi.

   "Dalam pandangan ada musuh, dalam hati tiada musuh. Usaha tergantung pada diri pribadi, peduli musuh kuat atau lemah,"-kata-kata ini juga merupakan letak dari kemurnian ilmu golok tingkat tinggi, apa yang dinamakan dalam pandangan ada musuh ialah di kala kau . bergebrak kau harus menghadapi lawan secara serius, dalam hati tiada musuh berarti peduli musuh betapapun kuatnya, kalau kau sudah melabraknya dengan sengit, maka kau harus anggap lawanmu itu musuh yang enteng dan patut kau robohkan. Pendek kata peduli lawanmu itu musuh tangguh atau lawan lemah, kau sendiri harus dapat berkelahi dengan sungguhsungguh dan menggunakan taraf kepandaianmu yang memadai, berkelahi dengan singa harus setaker tenaga, berkelahi dengan kelinci pun harus demikian. Karena baru pertama kali Tan Ciok-sing menggunakan ilmu golok yang berhasil dipelajari dan diselaminya sendiri, hatinya masih belum yakin akan kemampuan sendiri, kini setelah mendengar petunjuk Hek-moko, hati lapang pikiran jernih, dapat menangkap maknanya yang paling dalam pula, maka semangat tempurnya kontan berkobar. Sekaligus dia lancarkan tiga jurus serangan berantai, dari bertahan kini dia balas menyerang, serunya lantang.

   "Terima kasih akan petunjukmu."

   Melihat permainan golok si bocah mendadak tambah gencar dan liehay, laki-laki pendek itu kaget dan gugup, serunya.

   "Jaga posisi kalian masing-masing, hayo gunakan bacokan serempak, cacah dia jadi pergedel,"

   Walau mereka bertiga berusaha membentuk barisan golok, tapi karena biasanya sudah kebiasaan dalam praktek barisan, kerja sama dalam menyerang dan bertahan amat serasi, maka permainan mereka cukup ampuh, juga kekuatannya tidak boleh dipandang rendah.

   Di tengah pertempuran sengit itu, beruntun terdengar suara mendesis, pakaian Tan Ciok-sing ternyata tersayat sobek, lengan bajunya tertabas jatuh sebagian, sobekan yang melayang jatuh ini terkoyak-koyak kecil beterbangan pula oleh samberan golok ketiga orang itu.

   Tapi karena gerakan golok teramat cepat, meski pakaian tersayat sobek, kulit dagingnya tidak sampai terluka.

   Kalau sebelum ini, menghadapi detik-detik yang berbahaya ini betapa pun besar nyalinya, terang dia sudah gugup dan ketakutan.

   Kini sedikitpun dia tidak terpengaruh malah seperti tidak merasakan sama sekali akan ancaman bahaya, setelah bertempur seratusan jurus permainan goloknya malah semakin lancar dan mahir, gerak permainan yang semula kaku lama kelamaan menjadi wajar dan liehay, semakin dipraktekkan, semakin banyak dan mendalam pula hasil yang dapat diselaminya.

   Dalam pertempuran memperebutkan antara hidup dan mati ini, mendadak Tan Ciok-sing menggerung keras, jurus Hunmo- sam-bu dilancarkan pula, dimana golok pusakanya terayun.

   Jurus Hun-mo-sam-bu yang sama namun setelah dilancarkan untuk yang kedua kalinya oleh Tan Ciok-sing ternyata perbawanya jauh lebih hebat dari yang pertama tadi.

   Sekonyong-konyong cahaya golok bertambah terang bertaburan seperti tabir bintang, maka terdengarlah lengking jerit yang menyayat hati, laki-laki pendek yang menyerang dari arah depan itu lengan kanannya kena tertabas buntung, kontan dia roboh kelejetan Sementara laki-laki di sebelah kiri golok bajanya terbabat putus jadi dua, telapak tangannya tergetar pecah berdarah, sedangkan laki-laki di sebelah kanan kena disodok Ih-khi-hiatnya oleh gagang pedang Tan Cioksing, saking kesakitan dia melengking sambil memeluk perut.

   Tanpa hiraukan temannya yang terluka, kedua orang ini lekas melarikan diri sambil menahan sakit.

   Selama ini belum pernah membunuh orang, kini mendadak dia memperoleh kemenangan setelah mengalami pertempuran sengit, sungguh tidak pernah terpikir olehnya bahwa permainan goloknya tadi mempunyai kekuatan sehebat itu, maka dengan mendelong dia mengawasi saja laki-laki yang buntung lengannya terguling-guling di depannya.

   Meski dikerubut serta kerepotan, tapi pandangan dan pendengaran Hek-moko tetap memperhatikan keadaan sekitarnya, melihat Tan Ciok-sing berhasil mengalahkan lawannya, segera dia berteriak.

   "Tidak lekas lari tunggu apa pula? Mau kemana kau pergi boleh terserah, aku punya akal untuk mencarimu."

   Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya Hek-pekmoko masih terkurung dalam barisan golok musuh, antara sinar terang dan cahaya coklat selalu berkutet dan timbul tenggelam, kedua pihak bergelut dengan seru dan sengit.

   Maklum taraf kungfunya masih rendah, tidak bisa dia membedakan pihak mana bakal unggul dan asor.

   Pikirnya.

   "Gelagatnya Hek-pek-moko masih kuat bertahan dan tak mampu menjebol kepungan, tapi mereka takkan mudah dikalahkan. Setelah aku menyingkir dari sini, mereka tidak perlu kuatir akan keselamatanku, mungkin mereka akan bertempur lebih terkontrol,"

   Hatinya kini betul-betul sudah kagum dan terima kasih pada Hek-pek-moko, apa yang dikatakan orang sudah dipercaya seratus persen. Batinnya.

   "Dia bilang akan bisa menemukan aku, pasti akan bisa bertemu lagi. Ginkang mereka begitu bagus, asal bisa menjebol kurungan, memangnya mereka tak mampu menyusul aku?"

   Karena musuh berada di depan mata pula, sudah tentu dia tidak berani membocorkan jejak Thio Tan-hong, maka dia berkata.

   "Baiklah, kutunggu kalian di tempat tujuanku,"

   Lalu dia lari kencang turun gunung.

   Kini dia sudah percaya penuh bahwa Hek-pek-moko adalah teman baik Thio Tan-hong, maka dia kira bahwa merekapun pasti sudah tahu kalau Thio Tan-hong sekarang semayam di Ciok-lin, dia yakin Hek-pekmoko pasti maklum kemana juntrungan kata-katanya.

   Seperti baru bermimpi buruk, setelah berlari sekian lamanya, suara dencing senjata beradu tak terdengar lagi, pikirnya.

   "Manusia memang tidak boleh dinilai dari tampangnya, semula kukira kedua kakek tua ini adalah gembong penjahat, siapa tahu mereka justru menyelamatkan jiwaku. Betapa menyenangkan bila aku bisa pergi ke Ciok-lin menemui Thio Tayhiap bersama mereka?"

   Waktu dia lari menuruni lereng gunung, mendadak di dengarnya dari semak-semak rumput sana ada rintihan orang.

   Tan Ciok-sing tak kuasa menghentikan daya larinya yang menurun, kakinya hampir saja menendang tubuh seseorang, tapi kedua kakinya tiba-tiba dipeluk orang itu, karuan kagetnya bukan main, waktu dia menunduk, di tengah keremengan cahaya bulan masih dikenalinya orang yang memeluk kakinya adalah anak buah Ie Cun-hong yang tadi dilempar ke bawah lereng oleh Hek-pek-moko.

   Luka-lukanya amat parah, terutama kedua kakinya putus, namun dengan kencang dia peluk kedua kaki Tan Ciok-sing.

   Tan Ciok-sing menaruh belas kasihan dan tidak tega melihat keadaannya, segera dia berjongkok sambil keluarkan Kim-jong-yok mengobati luka dan menyambungkan tulang kakinya, orang itu menjadi terharu dan berterima kasih akan kebaikan hati si pemuda, setelah dia tahu kemana arah tujuan si pemuda, segera dia memberi petunjuk ke arah mana dia harus menempuh perjalanan.

   Sesuai petunjuk orang ini dengan leluasa Tan Ciok-sing turun gunung terus menuju ke barat.

   Tujuannya adalah Cioklin yang berada di Hun-lam, arahnya tepat ke arah barat.

   Hari kedua pagi-pagi benar Tan Ciok-sing sudah tiba di bawah gunung, angin gunung menghembus sepoi-sepoi, kicau burung terdengar merdu, sesaat dia berhenti dan pasang kuping dengan cermat suara pertempuran jelas tidak terdengar dari tempat sejauh ini.

   Tanpa merasa gundah dan waswas perasaan hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Kedua kakek bangsa Thian-tiok apakah bisa lolos dari bahaya?"

   Tapi teringat akan dendam sakit hati sendiri, sekali-sekali dia tidak boleh berada di tempat berbahaya ini.

   Ie Cun-hong punya anak buah sebanyak itu, tersebar luas lagi, umpama Hek-pekmoko mampu mengalahkan mereka, sukar juga untuk memberantas musuh yang banyak.

   Bila beberapa di antaranya yang lolos melarikan diri turun gunung dan kepergok dirinya, akibatnya bisa celaka.

   Mumpung hari masih pagi dan penduduk kampung belum banyak yang keluar, segera ia kembangkan ginkang, sekaligus dia berlari dua tiga puluh li, akhirnya dia memasuki sebuah kota kecil, disini dia mampir ke kota membeli dua perangkat pakaian serta sarapan pagi sekenyangnya, lalu melanjutkan perjalanan ke barat pula, Tan Ciok-sing terus maju menempuh perjalanan dengan perasaan tidak tenang, beruntung dia tidak pernah mengalami rintangan pula.

   Sebelum matahari tenggelam dia sudah menempuh perjalanan seratus li jauhnya.

   "Semoga Thian memberi pelindungan, dengan selamat aku bisa tiba di Ciok-lin dan menemukan Thio Tan-hong yang dijuluki jago pedang nomor satu pada jaman ini, dia bertekad untuk belajar Kungfu sampai berhasil, pulang untuk menuntut balas. Tapi dia dengar usia Thio Tan-hong sudah amat lanjut, apakah dia masih hidup? Kedua kakek Thian-tiok itu adalah teman Thio Tan-hong dan In Tayhiap, jikalau aku bisa bertemu pula dengan mereka, akan kumohon petunjuk dan ajaran kepandaian mereka, tentunya mereka tidak akan menampik? angan-angan Tan Ciok-sing memang merasuk hati, tapi apa yang harus dia hadapi kemudian sungguh menjadi kecewa. Perjalanan terus dilanjutkan ke arah barat, hari ini adalah yang ketiga. Sepanjang jalan tetap selamat, namun dia belum juga bertemu dengan Hek-pek-moko. Di kala dia berayun langkah dengan hambar itulah, mendadak dia dengar seorang berteriak.

   "Haya, kau, bukankah kau ini adik cilik pemetik harpa itu? Sungguh iak nyana bertemu pula dengan kau."

   Waktu Tan Ciok-sing berpaling, tampak seorang pemuda berpakaian pelajar tengah mempercepat langkahnya memburu ke arah dirinya.

   Meski bukan Hek-pek-moko, Tan Ciok-sing sedikit kecewa, tapi karena pertemuannya yang tidak terduga dengan pemuda pelajar ini, rasa gundah dan was-wasnya selama ini agak terhibur juga.

   Pemuda pelajar ini bukan lain adalah siucay yang pernah jumpa di warung makan tempo hari, orang memberi dua tahil perak setelah dia membawakan sebuah lagu di bawah iringan dan petikan harpa, dia hanya tahu orang dipanggil Liongsiucay.

   "Liong-siangkong,"

   Kata Tan Ciok-sing menghentikan langkah.

   "aku belum mengucapkan banyak terima kasih akan kejadian tempo hari itu."

   Pelajar itu berkata tertawa.

   "Hari itu aku betul-betul menguatirkan keadaanmu, tak nyana kecuali kau pandai memetik harpa, ilmu silatmu ternyata juga hebat. Setelah kau lolos dari kerubutan orang-orang jahat itu, baru legalah hatiku. Oh, ya, aku belum berkenalan dengan nama dan shemu."

   Tahu bahwa dirinya adalah anak gunung yang masih bau pupuk bawang, belum pernah kecimpung di dunia Kangouw lagi, dalam kalangan bulim jelas takkan ada orang yang kenal dirinya, kalau pelajar ini tahu namanya pasti juga tidak jadi soal, maka dia bicara sejujurnya.

   Pelajar itu segera memperkenalkan diri pula.

   "Aku she Liong, bernama Seng-bu. Boleh kau panggil namaku atau panggil Liong-toako juga boleh."

   "Aku ini kan anak rudin, mana berani aku menjajarkan diri dengan dirimu,"

   Ujar Tan Ciok-sing. Berkerut alis Liong Seng-bu, katanya.

   "Kalau demikian kau anggap aku ini orang apa? Bersahabat tidak perduli tinggi rendah kedudukan, apalagi kau pandai bermain Kungfu, bicara terus terang, malah kuatir tak sebanding bersahabat dengan dirimu."

   "Paling aku pernah belajar beberapa gerakan cakar kucing, mana boleh dikata membekal Kungfu segala?"

   Kata Ciok-sing tertawa.

   "Soal Kungfu aku ini termasuk orang luar, Kungfu yang pernah kau pamerkan hari itu, cukup membuat aku kagum dan tunduk lahir batin. Tapi kepandaian yang kumaksud akan dirimu bukan soal Kungfu saja, kemahiranmu memetik harpa itu juga termasuk keahlian yang tak ada bandingannya. Terus terang hobyku juga bermain catur, melukis dan memetik harpa. Guru-guru ahli musik atau ahli pemetik harpa yang kukenal tidak sedikit, tapi tiada seorangpun yang mampu menandingimu."

   Mendengar orang memuji kepandaian dirinya memetik harpa, Tan Ciok-sing merasa orang sehoby dirinya, katanya.

   "Liong-siangkong terlalu memuji."

   "Lho, kenapa memanggilku Liong-siangkong segala? Kalau sudi sukakah kau memanggil aku Liong-toako saja."

   Maka tanpa sungkan-sungkan lagi Tan Ciok-sing memanggilnya.

   "Liong-toako, dimanakah alamatmu. Kelak kalau aku lewat ke kotamu, pasti aku mampir ke rumahmu,"

   Secara tidak langsung dia hendak pamit untuk berpisah.

   "Kenapa terburu-buru, adik cilik, kau mau kemana?"

   Tanya Liong Seng-bu. Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak mau menceritakan tujuannya ke Ciok-lim mau menemui Thio Tan-hong, setelah berpikir dia berkata.

   "Aku ini hanyalah bocah yang mencari nafkah dengan menyanyi dan memetik harpa, empat penjuru lautan ini adalah rumahku, tiada tujuan tertentu yang menjadi arah perjalananku."

   "Kalau kau tiada tujuan tertentu, ingin aku berunding dengan kau."

   "Berunding soal apa?"

   "Ingin aku mengundangmu ke tempat tinggalku, angkat kau sebagai guru, entah kau sudi atau tidak?"

   "Kepandaianku serendah ini mana pantas menjadi guru? Liong-toako, banyak terima kasih akan bantuanmu, kebaikanmu akan kuukir dalam benakku."

   "Usiamu memang lebih muda, jaman dulu ada juga bocah yang pernah menjadi sarjana, kau kan punya keahlian, kenapa begini sungkan. Adik cilik, setulus hati aku suka mengangkat kau sebagai guru, jikalau kau tidak percaya, sekarang juga boleh aku berlutut kepadamu."

   Tan Ciok-sing tersipu-sipu mencegah orang, katanya.

   "Bukan sungkan, aku tahu apa yang aku bisa sekarang belum matang betul. Dan lagi aku sudah biasa kelana di Kangouw, tidak kerasan kalau menetap pada suatu tempat."

   Melihat orang menolak dengan tegas, dibujuk juga tetap tidak mau, mendadak Liong Seng-bu tertawa, katanya.

   "Siausuhu, kalau kau tidak mau menetap di rumahku, terpaksa biar aku yang mengikuti kau saja."

   Tan Ciok-sing kaget, katanya.

   "Kau ini seorang pelajar, mana boleh berkelana di Kangouw bersamaku?"

   "Pangkat dan harta tidak terpandang di mataku, kapan aku bisa bertemu dengan guru harpa seahli dirimu. Hari ini setelah kutemukan, bagaimana juga aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."

   Tan Ciok-sing berterima kasih akan tekad dan ketulusan hatinya, tapi betapapun dia tidak boleh selalu mengikuti diriku? Sesaat dia jadi bingung dia seperti merengek.

   "Mana boleh? Bagaimana mungkin?"

   "Kenapa tidak mungkin?"

   Tanya Liong Seng-bu.

   "Kau punya pekerjaan, aku juga punya urusan!"

   "Kau punya urusan apa?"

   "Aku harus berkelana mencari sesuap nasi dengan harpaku, kau harus belajar mengikuti ujian, kalau tidak pulang apakah kau tidak jadi kapiran nanti?"

   "Tadi sudah kukatakan aku tidak gila pangkat dan harta. Tentang kau mencari nafkah, kukira tidak akan menjadi persoalan, kalau aku belajar kepadamu, kan menjadi kewajibanku untuk meladeni guru?"

   "Tidak, tidak bisa,"

   Ucap Tan Ciok-sing geleng kepala.

   "tetap tidak bisa."

   "Kenapa tetap tidak bisa?"

   "Kau keluar kali ini tentunya punya sesuatu urusan, mana bisa kau ingin ikut aku lalu bersikap sekukuh ini?"

   "O, jadi kau kuatirkan hal ini atas diriku. Bicara terus terang, aku ini suka melancong, kali ini meninggalkan rumah, seperti juga dirimu, tanpa tujuan tertentu, kemana kaki melangkah ke situlah aku pergi, dimana ada pemandangan bagus, disana aku akan tinggal beberapa hari. Hehehe bukankah ini cocok dengan tabiatmu?"

   "Apalagi dari pada kau menempuh perjalanan seorang diri, bukankah lebih baik punya teman?"

   Demikian kata Liong Sengbu lebih lanjut.

   "Setiap waktu bila kau merasa senang, boleh kau ajarkan aku cara memetik harpa."

   Tan Ciok-sing memang anak gunung yang masih hijau plonco tidak punya pengalaman lagi, karena kalah debat akhirnya dia berkata.

   "Baiklah, kita boleh seperjalanan, aku akan ajarkan memetik harpa, kau mengajar beberapa huruf kepadaku. Toako, kemana kau hendak melancong?"

   "Daerah ini termasuk perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu, bagaimana kalau kita keliling ke tempat-tempat wisata. Lusa kita mampir ke Gun-bing, lalu melancong pula ke Tayli."

   Di tengah jalan Tan Ciok-sing sudah mencari tahu, bahwa letak Ciok-lin berada di karisidenan Lok-lam kira-kira dua ratus li di selatan Gun-bing.

   "Boleh saja, hayolah berangkat,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   Sengaja dia berjalan dengan langkah lebar, maksudnya supaya pelajar ini memburunya, kalau sedikit tersiksa tentu orang akan kapok, Liong Seng-bu memang berjalan cepatcepat sampai napasnya ngos-ngosan, akhirnya.

   Tan Ciok-sing sendiri yang merasa tidak tega lalu memperlambat langkahnya mengiringinya.

   Begitulah jalan berhenti, berhenti jalan pula, hari itu mereka hanya menempuh tujuh puluhan li, ternyata Liong Seng-bu tidak pernah mengeluh, kalau malam menginap di hotel, sikapnya tetap gagah bergairah, tidak kelihatan lelah, bersenda gurau dan bercakap riang gembira.

   "Liong-toako,"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Tan Ciok-sing tertawa.

   "tidak duga, kaupun kuat berjalan."

   "Sering aku melancong seorang diri, maka aku lebih kuat dari pada kaum pelajar umumnya. Kepandaian begini bagus siapa yang mengajarkan kau?"

   "Aku ini anak gunung, sejak kecil diasuh oleh kakek, beliaulah yang mengajar aku, tahun ini kakek telah meninggal, terpaksa aku kelana di Kangouw mencari sesuap nasi."

   "Jadi kakekmu yang mengajar harpa dan ilmu silat. Entah siapakah nama besar kakekmu? Sudilah kau memberitahu?"

   "Biasanya orang memanggil beliau Ki Harpa. Siapa namanya aku pun tidak tahu,"

   Teringat akan kematian kakeknya, tanpa merasa berkaca-kaca bola mata Tan Cioksing.

   "Adik cilik, hal apa yang kau sedihkan?"

   Tanya Liong Sengbu.

   "Tidak apa-apa, aku teringat pada kakek, Liong-toako, biar kupetikkan sebuah lagu untuk kau dengar."

   Liong Seng-bu tersentak sadar, pikirnya.

   "Benar kalau aku terlalu banyak mengajukan pertanyaan, mungkin dia bisa curiga padaku,"

   Maka dia lantas berkata.

   "Baiklah, memangnya aku kan ingin belajar padamu."

   Mereka menginap semalam, hari kedua melanjutkan perjalanan ke arah barat.

   Liong Seng-bu tidak pernah tanya soal pribadinya lagi, yang diperbincangkan hanya soal seni lukis dan kesastraan melulu.

   Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit memungut hasil.

   Seperjalanan dengan orang, di samping kuatir orang tanya tentang riwayat hidupnya, Tan Ciok-sing juga kuatir bila dia kebentur dengan Hek-pek-moko bagaimana baiknya? "Aku tak mungkin menjelaskan padanya, bila tiba saatnya terpaksa biar ku tinggal dia pergi ikut Hek-pek-moko saja,"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   Kira-kira setengah bulan mereka seperjalanan, tanpa merasa hari itu mereka telah tiba di Gun-bing, tapi jejak Hekpek- moko tidak muncul juga.

   Cuaca kota Gun-bing sepanjang tahun seperti musim semi.

   Kotanya makmur, pusat perdagangan dan kebudayaan lagi.

   Tan Ciok-sing terpesona waktu memasuki kota budaya ini.

   Melihat dia senang, Liong Seng-bu tertawa, katanya.

   "Bagus tidak kota ini, biarlah kita tinggal beberapa hari sambil plesir di kota ini,"

   Setelah berputar kayun setengah harian dalam kota, akhirnya mereka menetap di sebuah hotel besar yang terletak di pusat kota Hari kedua Liong Seng-bu sudah membuat rencana untuk tamasya, pagi pergi ke Toa-koan-wan sorenya pergi ke Saysan.

   Kedua tempat ini merupakan pusat keramaian dari kota Gun-bing, Agaknya Liong Seng-bu memang sudah biasa berpetualang, disini dia menjadi petunjuk dan pandai menceritakan seluk beluk dan asal-usul tempat-tempat yang mereka kunjungi.

   Pada saat mana mereka berada di suatu tempat yang bernama Liong-bun (pintu naga), entah benar-benar lelah atau hanya beraksi Liong Seng-bu berhenti serta berdiri menggelendot di pagar, katanya.

   "Siau-suhu, beberapa hari ini, aku sampai tak sempat belajar harpa lagi dengan kau, mumpung di tempat sejuk dan sepi ini, bagaimana kalau kita bermain disini?"

   Lalu Liong Seng-bu pinjam harpa Tan Cioksing terus ditabuhnya, dia membawakan sebuah lagu kenangan seorang jejaka yang jatuh cinta terhadap seorang gadis yang dipujanya, sayang dia tidak memperoleh tanggapan yang diharapkan.

   "Cinta juga termasuk seni, dengan irama musik dapat menyatakan makna cinta, apakah lagu yang kau mainkan tadi adalah apa yang terkandung dalam sanubarimu?"

   Demikian kata Ciok-sing tertawa.

   "Betul. Aku tahu, aku tidak setimpal jadi jodoh nona itu, maka tak berani aku nyatakan isi hatiku."

   "Liong-toako, orang setampan kau, pandai tulis pintar membaca, gadis cantik mana yang tidak setimpal jadi jodohmu, kenapa kau merendahkan diri?"

   "Gadis yang kupuja itu di samping pandai sastera, dia pun ahli silat pula Siau-suhu, kaupun pandai Kungfu sudikah kau mengajarkan kepadaku, atau berilah petunjuk supaya aku dapat belajar pada seorang tokoh kosen?"

   "Apakah dia hendak mengorek isi hatiku?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   "tapi melihat sikap orang yang tulus dan sungguh-sungguh, diam-diam dia salahkan jalan pikirannya yang tidak genah ini. Katanya dengan tawa getir.

   "Aku sendiri juga ingin belajar lebih tinggi, toh sejauh ini tak berhasil aku menemukan jago kosen."

   "Siau-suhu, adakah jago kosen siapa yang sudah menjadi pilihanmu?"

   Tanya Liong Seng-bu. Tan Ciok-sing mengelak, katanya.

   "Aku toh belum berkecimpung dalam bulim, siapa saja jago-jago kosen dalam bulim ini, hakikatnya aku tidak tahu. Dan lagi jago kosen hanya bisa di temukan secara kebetulan, tak mungkin diburuburu, sebelum ini cara bagaimana aku bisa tahu kepada siapa aku harus belajar?"

   Liong Seng-bu seperti kecewa, katanya lesu.

   "Adik cilik, memang betul ucapanmu. Biarlah aku berdoa semoga kelak aku bisa menemukan seorang jago kosen dan mengangkat guru kepadanya."

   "Lebih baik kita tetap belajar harpa saja, Liong-toako petikan harpamu sudah bertambah maju, kini marilah kugantikan, coba kubawakan syair lagu hasil ciptaanmu, kemarilah."

   Setelah menyambuti harpa, Tan Ciok-sing duduk mendeprok lalu mulai menyetem serta siap membawa lagunya.

   Di kala mereka asyik dan tenggelam dalam alunan irama harpa, mendadak terdengar seorang tarik suara keras-keras terus berkaok-kaok dengan suara kasar dan serak, suaranya sumbang menusuk pendengaran, konsentrasi Tan Ciok-sing sampai buyar dan menghentikan petikannya.

   Tampak dari ujung pengkolan sana tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang bertampang kriminil.

   Berkerut kening Liong Seng-bu, katanya.

   "Menyebalkan."

   "Apa menyebalkan?"

   Seru salah seorang laki-laki itu.

   "kepada siapa kau tujukan ucapanmu?"

   Dengan langkah lebar dia terus menumbuk ke arah Liong Seng-bu.

   Jalanan gunung yang sempit terletak di atas ngarai ini memangnya licin dan membelakangi jurang, Liong Seng-bu berdiri membelakangi jurang, meki di belakangnya ada pagar, kalau di tumbuk bukan mustahil dia bisa terjungkel ke bawah jurang! Karuan Tan Ciok-sing kaget, namun hendak menolong Liong Seng-bu jelas tidak keburu lagi, sementara seorang laki yang lain juga menumbuk ke arah dirinya.

   Lekas Tan Ciok-sing angkat harpanya seraya bergerak dengan Hud-in-jiu, sekali putar tahu-tahu dia seret orang itu lewat ke samping terus menyelonong ke belakang.

   Ilmu silat orang ini agaknya lumayan juga, meski badan kehilangan keseimbangan, tapi sekaligus dia doyongkan badan sambil angkat sebelah kakinya mendepak, sebelah kakinya pula menggantol ke tumit Tan Ciok-sing maksudnya hendak menjegalnya jatuh.

   Untung bekal kepandaian Tan Ciok-sing sekarang tidak serendah beberapa bulan yang lalu, dalam keadaan kritis ini, gerakannya masih cepat lagi, sambil merendahkan pundak, sikutnya bekerja.

   "Buk"

   Kaki orang memang menggantol kakinya, tapi sebelum lawan kerahkan tenaga, dadanya sudah kena disikut sampai terjerumus jatuh terguling ke jalanan sempit yang menurun ke bawah sana.

   Waktu Tan Ciok-sing memutar badan, apa yang dilihatnya membuat hatinya mencelos.

   Yang dilihatnya kiranya laki-laki kasar itu sedang jatuh celentang di tanah,* sementara bayangan Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.

   Cepat sekali laki-laki ini sudah melejit berdiri, sikapnya sudah siap menggasak Tan Ciok-sing pula tapi ragu-ragu.

   Agaknya dia melihat temannya yang terguling-guling itu, maka tidak berani bertindak pula secara semberono.

   Jarak kira-kira ada tiga tombak, angin pukulan menyampuk muka menimbulkan rasa pedas dan panas.

   Kuatir bukan tandingan lawan, lekas Tan Ciok-sing mencabut golok, sekali ayun dia membelah sebuah batu gunung yang besar serta membentak.

   "Mari maju ingin aku tahu apakah batok kepalamu lebih keras dari batu ini."

   Betapa tajam golok pusaka Tan Ciok-sing ini, karuan lakilaki itu ciut nyalinya, tanpa berani bersuara segera dia putar tubuh angkat langkah seribu. Setelah kedua orang kasar itu dipukul kabur, baru Tan Ciok-sing mendengar teriakan Liong Seng-bu.

   "Adik cilik, tolong, tolong."

   Waktu menengok keluar pagar, dilihatnya Liong Seng-bu bergantung di atas jurang, sebelah tangannya menangkap kaki sebatang cagak besi dari pagar gunung.

   Lekas Ciok-sing mencopot kain sabuknva, kedua kaki menggantol pagar besi, segera dia ulurkan kain sabuknya ke bawah, untung panjang sabuk kainnya pas-pasan mencapai tempat dimana Liong Seng-bu bergelantung di udara.

   Pucat dan ketakutan yang teramat sangat membuat Liong Seng-bu tak kuasa bicara untuk sekian lamanya.

   Setelah napas teratur dan perasaan tenang kembali, baru dia ingat mengucapkan terima kasih kepada Tan Ciok-sing.

   "Liong.toako,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "peristiwa ganjil ini agak mencurigakan."

   "Memangnya, kita tidak pernah bermusuhan dengan mereka sungguh aku tak habis mengerti kenapa mereka membuat gara-gara, syukur Tuhan masih melindungi, kalau tidak tentu aku sudah hancur lebur di jurang sana."

   "Liong-toako, kau terluka tidak?"

   "Syukur hanya lecet sedikit. Waktu orang tadi menumbuk datang, aku sempat mendengkul perutnya, tapi aku sendiri terjungkel ke bawah, untung aku sempat meraih cagak besi. Adik cilik, kepandaianmu memang hebat, kedua orang kasar itu kena kau pukul pergi."

   "Bukan kepandaianku tinggi, mereka takut pada golokku ini,"

   Demikian ujar Tan Ciok-sing, terbayang kejadian tadi, rasa curiganya timbul lagi. Pikirnya.

   "Kalau tiga bulan yang lalu, mungkin aku sudah celaka. Liong-toako katanya tidak bisa silat, tapi setelah disergap orang yang pandai Kungfu, jiwanya masih selamat, sungguh aneh bin ajaib."

   "Adik cilik,"

   Tanya Liong Seng-bu.

   "harpamu tidak rusak?"

   Mencelos hati Tan Ciok-sing, lekas dia periksa harpanya dengan teliti, akhirnya menghela napas, katanya.

   "Untung tidak kurang apa-apa."

   "Say-san masih banyak lagi tempat tamasya, setelah kejadian yang tidak menyenangkan ini, jadi lenyap seleraku untuk melancong. Hayolah kita pulang saja,"

   Sepanjang jalan ini Liong Seng-bu seperti khawatir bila kedua laki-laki kasar itu akan mengejar lagi, maka sikapnya tampak gugup dan sering celingukan, langkahnyapun buru-buru. Tapi Tan Ciok-sing diam-diam membatin.

   "Kalau benar kedua orang itu tiada bermusuhan dengan Liong-toako, kenapa mereka bertindak sekasar ini, kan tidak pantas bertujuan jahat? Tapi bukan mustahil tujuan mereka adalah diriku. Mungkinkah mereka anak buah Ie Cun-hong?"

   Sulit juga Tan Ciok-sing memperoleh jawaban dari rekaannya, diam-diam dia malah sedikit menyesal dan merasa bersalah terhadap Liong Seng-bu yang harus ikut ketimpa bahaya. Pikirnya.

   "Kalau betul dugaanku, bukankah aku yang membikin Liong-toako turut susah?"

   Setelah tiba di hotel baru Liong Seng-bu tampak lega dan dapat bicara dengan tertawa, katanya.

   "Adik cilik, hari ini aku terhindar dari kematian, kaupun dibuat kaget, marilah kita minum beberapa cawan untuk menenangkan hati."

   Entah karena kebanyakan minum atau karena terlalu lelah dan rasa ketakutan yang menghantui hatinya, setelah makan malam Liong Seng-bu terus menutup diri dalam kamar dan tidur dengan nyenyak, dengkur pernapasannya lambat dan teratur.

   Tapi Tan Ciok-sing malah gundah gulana tidak bisa memejamkan mata.

   Tanpa terasa didengarnya suara kentongan tukang ronda yang mundar-mandir di jalan raya sebanyak tiga kali, berarti hari sudah menjelang subuh.

   Tan Ciok-sing bangun perlahan-lahan lalu mengenakan bajunya, dengan suara lirih dia memanggil "Liong-toako"

   Dua kali, tapi dengkur Liong Seng-Bu masih sekeras babi, jelas tidak mudah untuk membangunkannya. Pikiran Tan Ciok-sing kalut seruwet benang, pikirnya.

   "Sebetulnya aku masih bisa menemani Liong-toako beberapa hari lagi, tapi biarlah aku berangkat sendiri saja lebih cepat lebih baik. Yang terang kapan saja aku toh harus berpisah dengan dia. Laki-laki kasar itu kalau hendak mencari setori padaku, Liong-toako tentu tidak akan diapa-apakan."

   Tengah dia menimbang-nimbang apakah dia perlu meninggalkan tulisan untuk memberi penjelasan kepada Liong Seng-bu, tiba-tiba daun jendela yang tertutup itu menjeplak terbuka sendiri, selarik sinar tampak meluncur dan "Trak"

   Sebuah pisau belati yang tajam kemilau tahu-tahu menancap di atas meja, di ujung belati yang menancap meja tertusuk secarik kertas surat. Mengira musuh telah meluruk datang, lekas Tan Ciok-sing ambil surat itu serta dibuka sampulnya, pikirnya.

   "Begini lebih baik, aku jadi terang duduknya persoalan,"

   Tapi setelah dia membaca isi suratnya, sungguh amat diluar dugaannya.

   Surat itu bukan ditujukan dirinya, tapi ditujukan kepada Liong Sengbu malah.

   Tulisan surat ini miring dengan .

   gaya yang tidak karuan, jelas ditulis orang kasaran, bunyinya demikian.

   "Liong-san, kebetulan kau berada di Gun-bing, perhitungan lama kita harus lekas diselesaikan. Kalau kau berani, kita janji bertemu di Liong-bun. Aku tidak akan membawa anak buah, kita bertanding satu lawan satu. Kuperingatkan kepadamu untuk terakhir kali, mau lari kau tidak akan lolos dari pengawasanku, kuharap kau tahu diri."

   Sebetulnya Tan Ciok-sing siap meninggalkan Liong Seng-bu secara diam-diam, setelah membaca surat ini, sesaat dia melenggong Tiba-tiba sebuah tangan menyelonong dari belakang merebut pucuk surat yang dibacanya, kata orang di belakangnya.

   "Adik cilik, bikin kaget kau saja,"

   Entah kapan ternyata Liong Seng-bu sudah bangun dan tahu-tahu berdiri di belakang.

   "Maaf Liong-toako, surat ini untuk kau, aku tidak tahu barusan sudah kubuka dan kubaca."

   Setelah membaca surat itu, berubah hebat muka Liong Seng-bu, katanya sesaat kemudian.

   "Adik cilik, ada sebuah hal, kuharap kau suka memaafkan diriku. Kukatakan aku tidak pandai silat, ini memang aku menipumu. Kelihatannya aku seperti Siucay, yang benar akupun kaum persilatan."

   "Kemarin kau tidak terluka apa-apa, memangnya aku sudah curiga. Tapi aku tak habis mengerti, apa sebetulnya yang pernah terjadi?"

   "Panjang ceritanya, pendek kata aku pernah berbuat salah terhadap seorang jahat yang memiliki kepandaian tinggi, kedua orang yang di Liong-bun tadi hanyalah anak buahnya saja."

   "Lalu siapa yang mengirim surat ini?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Pasti anak buahnya juga. Orang jahat itu terlalu tinggi hati, caranya keji, hatinya kejam, dia memang yakin bahwa aku tidak akan lolos dari telapak tangannya, maka dia mengundang untuk bertanding satu lawan satu. Agaknya dia sengaja supaya aku banyak menderita lahir batin baru akan membunuhku."

   "Undangannya itu jelas tidak bermaksud baik. Kalau kau memang bukan tandingannya, lebih baik kau tidak usah tepati undangannya."

   "Tiada gunanya, anak buahnya tersebar dimana-mana, kemana aku lari tetap kecari juga. Umpama hari ini aku berhasil lolos besok juga pasti harus membuat perhitungan. Kecuali ada seorang jago kosen yang sudi membantuku."

   "Sayang, besar keinginanku membantu apa daya tenaga tak sampai. Musuhmu itu pasti teramat liehay, kedua anak buahnya tadi, akupun bukan tandingan mereka."

   "Aku tahu. Bicara terus terang, aku bersahabat dengan kau, maksudku ingin minta bantuanmu, tapi dari peristiwa tadi, meski kepandaianmu lebih tinggi dari aku, kau tetap bukan tandingan gembong penjahat itu. Umpama kau tetap hendak membantuku, terpaksa aku harus menampik kebaikanmu, aku tidak ingin kau mendapat susah. Adik cilik buntalanmu sudah kau siapkan, apakah kau sudah siap meninggalkan tempat ini?"

   Merah muka Tan Ciok-sing, katanya.

   "Bukan maksudku hendak pergi diluar tahu Liong-toako, tapi, tapi..."

   "Adik cilik, lekaslah kau pergi, tak perlu kau menjelaskan padaku. Begini besar perhatianmu kepadaku, tidak sia-sialah kami bersahabat. Mati hidup seseorang sudah ditentukan takdir, kalau besok malam aku memang harus celaka, akupun akan menerima nasibku ini."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bergolak dada Tan Ciok-sing, sifat satrianya berkobar, tanpa pikirkan diri sendiri lagi, segera dia berseru.

   "Liong toako, kau ikut aku saja?"

   "Ikut kau? Kemana?"

   "Toako, kau tak usah peduli, aku punya satu tujuan,"

   "Kalau tak bisa lolos bagaimana? Bukankah kau ikut celaka malah?"

   "Tadi aku ingin pergi diam-diam karena aku belum tahu persoalanmu. Kini setelah kau menghadapi mara bahaya, kalau aku tidak ikut memikul bebanmu, buat apa persahabatan kita ini. Aku juga tidak tahu apakah kita bisa lolos, tapi kan lebih baik dari menunggu nasib."

   Lekas Liong Seng-bu- goyang-goyang tangan, katanya.

   "Jangan, lebih baik kau lari seorang diri saja."

   "Kau berkata demikian berarti memandang rendah diriku. Toako sebetulnya kau tidak perlu banyak kuatir, tempat itu tidak jauh dari Gun-bing, kalau sekarang berangkat, menempuh perjalanan siang malam, kalau lari cepat, besok malam tentu sudah tiba di tempat tujuan. Setiba di tempat itu, pasti ada orang akan membantu. Betapa liehay musuhmu, pasti takkan petingkah disana,"

   Kuatir Liong Seng-bu tidak mau ikut lari, terpaksa dia sedikit membocorkan rahasia itu. Girang Liong Seng-bu bukan kepalang, lekas dia rogoh keluar sekeping uang mas terus ditaruh di atas meja, katanya.

   "Syukur adik begini setia kawan, baiklah sekarang kita berangkat. Tak usah mengganggu pemilik hotel."

   Maksud Tan Ciok-sing adalah ingin mengajak Liong Sengbu ke Ciok-lin dan semoga diterima Thio Tan-hong sebagai murid.

   Alam pikiran Tan Ciok-sing memang terlalu Jenaka, karena iba dan merasa punya kewajiban sebagai sesama sahabat, kalau teman memang hadapi bahaya adalah pantas kalau dia ikut memikul kesulitan yang menimpa Liong Seng-bu, pada hal dia tidak memikirkan untung rugi akibat yang diperbuatnya ini.

   Thio Tan-hong adalah pendekar besar yang dikagumi dan diagungkan oleh kaum persilatan di kolong langit ini, sudah tentu dia berjiwa ksatria dan perkasa dalam membela kepentingan si lemah.

   Dengan membawa surat dan barang milik In Tayhiap memohon sesuatu bantuannya, tentu dia akan meluluskan permintaanku.

   Jikalau dia suka menerima Liong-toako sebagai muridnya pula sudah tentu baik sekali, umpama tidak mau, demi memandang muka In Tayhiap, paling tidak pasti suka melindungi Liong-toako,"

   Demikian pikir Tan Ciok-sing.

   Tapi apakah Thio Tan-hong masih hidup, setiba di Ciok-lin apakah lantas dapat menemukan Thio Tan-hong? Semua ini masih sukar diramalkan, oleh karena itu terhadap Liong Seng-bu dia masih belum berani menjelaskan sejujurnya, sebelum tiba di Ciok-lin, sementara dia hanya akan memberi keterangan samar-samar.

   Setelah meninggalkan uang, secara diam-diam Liong Sengbu dan Tan Ciok-sing meninggalkan hotel itu.

   Baru sekarang Tan Ciok-sing menyadari bahwa ginkang orang ternyata masih lebih tinggi dibanding dirinya.

   Tinggi tembok kota Gun-bing ada tiga tombak, Tan Ciok-sing takkan mampu melompatmya, maka Liong Seng-bu merambat naik lebih dulu dengan ilmu cecak merambat, lalu menggunakan tambang panjang yang memang sudah disiapkan mengerek Tan Ciok-sing ke atas.

   Setiba diluar kota, langkah 1 long Seng-bu ternyata lebih ringan bagai terbang, kcadaaanya jelas jauh berbeda dengan sebelum ini, sekuat tenaga Tan Ciok-sing kerahkan kemampuannya baru sejajar.

   Tak nyana Liong-toako pandai berpura-pura dan menipu orang.

   Tanpa merasa Tan Ciok-sing geli sendiri akan kebodohannya yang sejak mula kira orang adalah pelajar yang lemah, tapi dia merasa jengkel juga karena telah tertipu mentah-mentah.

   Dasar bajik dan jujur lekas dia berpikir pula.

   "Dia punya kesulitannya sendiri, bukankah ada beberapa persoalan yang tidak mungkin kubicarakan dengan dia?"

   Mendengar musuh Liong Seng-bu sedemikian liehay, sepanjang jalan hati Tan Ciok-sing ikut kebat-kebit, kuatir di tengah jalan bentrok dengan musuh liehay dan teringkus balik.

   Namun diluar dugaannya, sepanjang jalan ini tiada terjadi apa-apa pula, mereka tiba di tempat tujuan satu jam lebih pagi, sebelum senja dengan selamat merekapun tiba di Ciok-lin.

   Hembusan angin barat di waktu senja memang membawa suasana hangat dan silir nyaman, waktu angkat kepala, tampak puncak-puncak batu yang tak terhitung banyaknya terbentang di depan mata, berlapis-lapis dan bersusun seperti sedang lomba menembus langit.

   Dengan langkah gontai mereka mulai memasuki hutan batu, tampak di tengah sana sebatang balok batu besar seperti bergelantungan di tengah udara melintang panjang, di atas batu terukir empat huruf yang berbunyi.

   "Thian-kay-gikin" (Tuhan mencipta pandangan aneh), di sebelah dan sekitarnva masih pula banyak tulisan-tulisan dari pujanggapujangga yang memujikan keindahan alam ciptaan Thian ini. Selintas pandang kedalam hutan batu, tampak pintu seperti beribu berlaksa banyaknya, suasana tenang sepi dan menjelang keremangan malam menjadikan keadaan sekitarnya serba mengerikan. Liong Seng-bu tampak menampilkan rasa kaget dan senang luar biasa, dia berhenti di ambang pintu hutan batu, katanya.

   "Adik cilik, bukankah disini Hutan Batu?"

   "Betul, marilah kita masuk. Kenapa, apa kau merasa adanya gejala yang tidak benar?"

   "Nanti dulu, nanti dulu. Sebelum ini pernahkah kau datang ke Ciok-lin?"

   "Tidak, belum pernah."

   "Terlalu berbahaya kalau begitu. Dalam catatan kuno ada dikatakan, kalau laksana pintu hutan batu sampai tertutup, tak ubahnya berada dalam Pat-tin-koh ciptaan Cukat Liang di jaman Sam Kok dulu. Memangnya boleh kita masuk secara gegabah? Jikalau sampai kesasar dan salah jalan, selama hidup ini takkan bisa keluar dari hutan batu."

   "Menempuh sedikit bahaya kukira juga patut, cianpwe kosen yang hendak kita cari itu, justeru bertempat tinggal didalam Ciok-lin."

   "Siapa cianpwe kosen itu, sudikah kau sekarang berterusterang padaku?"

   "Kalau aku sudah mengajaknya kemari, adalah logis kalau aku terangkan asal-usul Thio Tan-hong,"

   Maka dia berkata.

   "Yahlah Thio Tan-hong Thio Tayhiap yang diakui secara umum sebagai jago pedang nomor satu di jagat ini."

   "Haya,"

   Teriak Liong Seng-bu.

   "kenapa tidak kau jelaskan sejak semula, jadi kau kenal Thio Tayhiap?"

   Kuatir orang salah paham Tan Ciok-sing berkata.

   "Bukan aku sengaja mau main teka teki waktu meninggalkan Gunbing, aku tidak pernah duga kita bakal tiba di tujuan begini leluasa. Tapi selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio Tayhiap, jadi belum bisa dikatakan kenal."

   Liong Seng-bu menarik muka, katanya.

   "Adik cilik, apa kau tidak berkelakar denganku?"

   "Toako tak usah gelisah, dengar dulu penjelasanku. Walau selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio Tayhiap, tapi aku mendapat titipan seorang untuk menemui beliau. Orang itu adalah famili dekat Thio Tayhiap, dan memberitahu padaku, asal aku menjelaskan urusannya, Thio Tayhiap pasti akan sudi menerima aku sebagai muridnya."

   "Orang itu siapa? Urusan apa pula yang dia titip supaya kau kerjakan?"

   Pertanyaan bertubi ini seolah-olah hendak membanting kwali mengorek intip ini membuat Tan Ciok-sing serba susah. Haruskah dia membeber rahasia In Hou kepadanya? Melihat orang mengunjuk sikap serba susah, sengaja Liong Seng-bu menghela napas, katanya.

   "Adik cilik, sebetulnya tidak pantas aku mencari tahu rahasiamu, tapi soal ini menyangkut urusan mati hidupku, adalah jamak kalau aku prihatin akan hal ini. Ai, adik cilik setelah kita bergaul selama beberapa hari ini, memangnya kau masih tidak percaya kepadaku? Dan lagi kalau aku tidak tahu menahu segala persoalan ini, bila berhadapan dengan Thio Tayhiap, mungkin sukar aku memberi jawaban yang tepat."

   "Kalau aku sudah mau membawa Liong-toako menemui Thio Tayhiap, cepat atau lambat rahasia ini pasti diketahuinya juga. Waktu aku memberi laporan kepada Thio Tayhiap, memangnya aku harus menyuruh dia menyingkir dulu? Kalau akhirnya toh dia mesti tahu, soal cepat atau lambat yang terpaut beberapa jam ini kenapa harus kujadikan alasan?"

   Maklumlah Tan Ciok-sing betapapun baru berusia belasan, meski sudah kenyang hidup menderita, namun dia masih cetek pengalaman dan belum bisa membedakan baik buruk serta menyelami keculasan hati manusia, akhirnya dia membeber rabasia itu.

   "Orang itu bernama In Hou, dia keponakan dekat Thio Tayhiap."

   "Kenapa tidak dia sendiri yang mencari sang paman, malah titip kepadamu? tanya Liong Seng-bu.

   "In Tayhiap sudah meninggal, sebelum ajalnya itu dia berpesan kepadaku,"

   Teringat betapa mengenaskan kejadian waktu itu, tanpa merasa dia mencucurkan air mata.

   "Adik cilik kau masih begini sedih, bolehlah kau menangis sepuas-puasnya, Meski aku bukan sanak kadangmu, tapi persahabatan kita sudah laksana saudara kandung, boleh kau anggap aku sebagai sanak kadang sendiri. Soal yang menyedihkan setelah terlampias dalam tangis, mungkin perasaanmu bisa sedikit longgar."

   Liong Seng-bu memang sengaja hendak mengorek keterangannya, maka kata-katanya kelihatan setulus hati.

   Sayang Tan Ciok-sing yang belum kenyang mengalami gelombang hidup ini, mana dia tahu kemunafikan hati orang, tanpa sadar dia menjadi haru dan menaruh simpatik padanya.

   Kalau rahasia sudah bocor sedikit, seperti juga tanggul yang bocornya semakin besar sehingga air bah akhirnya tidak tertahan lagi.

   Waktu Tan Ciok-sing menyeka air mata, rahasia dirinyapun telah habis dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling.

   Setelah tahu lika liku persoalannya sudah tentu bukan kepalang senang hati Liong Seng-bu, namun lahirnya dia berpura-pura ikut sedih dan prihatin, katanya membujuk.

   "Adik cilik, pengalaman hidupmu memang harus dikasihani penderitaan lahir batinmu memang patut dikasihani, kini tiba saatnya kau membangkitkan semangat. Kau membawa golok In Tayhiap, tanda bukti ini kukira sudah cukup, apalagi kaupun membawa buku ilmu pedang karya Thio Tayhiap sendiri, Thio Tayhiap pasti percaya padamu dan mengangkatmu sebagai murid."

   "Doakan saja. Malah aku masih punya angan-angan, jikalau kita bisa menjadi Suheng-te, bukankah, lebih baik."

   Liong Seng-bu berpura-pura amat haru dan terima kasih, katanya.

   "Adik cilik, terima kasih atas penghargaanmu akan diriku, bahwa aku bisa berlindung di tempat Thio Tayhiap sudah cukup puas bagi aku,"

   Sampai disini mendadak dia seperti teringat sesuatu, katanya.

   "Adik cilik, tanda kepercayaan yang diberikan In Tayhiap untukmu tidak kau hilangkan bukan?"

   "Barang sepenting ini, mana boleh hilang? Nah coba lihat, Kiam-boh karya Thio Tayhiap dan ilmu golok ajaran keluarga In semua kusimpan dalam kotak ini,"

   Sambil bicara dia keluarkan kotak kayu persegi itu.

   Seperti mencorong bola mata Liong Seng-bu, dia maju mendekat ke samping Tan Ciok-sing, mendadak dia ulur jari menutuk Ciang-bun-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing secara keras.

   Baru saja Tan Ciok-sing hendak membuka kotak itu, sungguh mimpipun tak pernah terbayang olehnya bahwa Liong Seng-bu yang sudah dipandang sebagai saudara kandung sendiri ini bakal membokongnya.

   "Bluk"

   Kontan dia tersungkur jatuh.

   Ciang-bun-hiat adalah salah satu dari dua belas hiat-to di tubuh manusia yang membuat badan lemas lunglai, kalau kena ditutuk, takkan mampu bergerak sedikitpun, bicarapun tidak bisa, tapi tetap sadar dan dapat mendengarkan.

   Tanpa hiraukan Tan Ciok-sing yang tersungkur, Liong Seng-bu merebut kotak kayu itu lebih dulu, lalu dia jemput pula golok pusaka itu, serunya berjingkrak senang seperti si gila putus lotre.

   "Adik cilik,"

   Katanya kemudian.

   "jangan kau salahkan bila aku bertindak keji, dari pada kau yang menjadi murid Thio Tan-hong, kan lebih baik aku saja yang menjadi muridnya."

   Tahulah Tan Ciok-sing bahwa orang hendak memalsu dirinya, menipu Thio Tan-hong menerima dia sebagai murid, karuan bukan kepalang dongkol, gemes dan marah hatinya, hampir saja dia kelenger dibuatnya.

   Di tengah gelak tawanya yang menggila, Liong Seng-bu berkata lebih lanjut.

   "Sebetulnya setelah aku memperoleh kebaikan ini dari kau, tidaklah pantas kalau aku membunuhmu. Tapi aku yakin kau tidak akan terima menderita kerugian besar ini, umpama kau tidak akan mencari perkara padaku kelak, aku kuatir kau akan membocorkan rahasiaku ini. Supaya tidak menjadikan bencana di kelak kemudian hari, terpaksa kubunuh kau dan kusumbat mulutmu. Tapi harpa kesayanganmu ini akan kukubur bersamamu, terhitung aku menanam sedikit kebaikan demi persaudaraan kita."

   Pelan-pelan Liong Scng-bu mencabut golok, setelah disentil sekali, dia memuji.

   "Golok bagus, golok bagus,"

   Seperti kucing yang mempermainkan tikus yang telah dicaploknya, dia mengamati, mengelus dan membolak-balik golok pusaka itu di samping Tan Ciok-sing, tapi tidak segera ayun golok membunuhnya.

   Baru sekarang Tan Ciok-sing menyesal dan gegetun, pikirnya.

   "Goblokku sendiri, kenapa mau percaya begini saja terhadap orang yang baru dikenalnya,"

   Apa boleh buat, terpaksa dia pejam mata menunggu kematian saja. Mendadak terdengar suara dua orang yang berpadu.

   "Golok bagus, golok bagus. Cara yang keji, cara yang keji."

   Sudah tentu kaget Liong Seng-bu bukan main, tak sempat lagi dia ayun goloknya untuk membunuh Tan Ciok-sing, lekas dia lompat ke samping, golok melintang melindungi badan baru pelan-pelan dia menoleh.

   Mendengar suara yang pernah didengarnya ini, Tan Cioksing buka matanya pula, ternyata kedua orang ini bukan lain dua laki-laki kasar yang sengaja cari perkara di Liong-bun itu.

   Liong Seng-bu tertawa sambil memasukkan golok kedalam sarungnya, katanya.

   "Kiranya kalian berdua, bikin kaget aku saja. Tapi, kenapa kalianpun ikut menyusul kemari?"

   Laki-laki yang bertubuh kekar itu berkata.

   "Liong-losam, kuucapkan selamat akan kesuksesanmu. Kemarin kami ikut membantu sebagai pembantu pemainmu, tidak jelek bukan permainan kami?"

   Baru sekarang Tan Ciok-sing kembali sadar.

   "musuh"

   Yang diomongkan Liong Seng-bu kemarin hakikatnya hanya isapan jempol belaka, ternyata dia memang sekongkol dengan kedua laki-laki ini untuk menipu dirinya. Liong Seng-bu tertawa dipaksakan, katanya.

   "Lo-li, kau punya tampang kriminil dan pandai memerankan orang jahat, sudah tentu permainanmu kemarin bagus sekali."

   Laki-laki lainnya yang bertubuh lebih pendek berkata.

   "Tapi, usaha dagang ini kan kita kerjakan bersama, setelah kau memperoleh keuntungan besar tentunya tidak melupakan kami berdua?"

   "Itu sudah selayaknya, kita kan seperti saudara sendiri, memangnya kalian masih tidak percaya padaku?"

   Yang dipanggil Lo-li berkata.

   "Bukan tidak percaya, tapi ada lebih baik kalau kita selesaikan usaha bersama ini secara damai saja. Kalau toh sudah berhasil maka pembagian harus sama dan adil. Kalau secara diam-diam kami tidak membuntutimu ke mari, cara bagaimana kami tahu kau berhasil atau tidak?"

   Merasakan nada pembicaraan mereka sudah tidak mempercayai dirinya lagi, maka Liong Seng-bu berkata.

   "Apa yang kuucapkan kepada bocah ini tadi, tentu kalian juga sudah dengar. Maka kalian tentu sudah tahu, maafaatnya masih belum kita capai seluruhnya. Coba pikirkan, Thio Tanhong hanya mau menerima seorang murid, terpaksa hanya aku saja yang memalsu dirinya. Kelak bila aku berhasil mempelajari Kungfu tinggi, baru bisa aku membagi hasil dengan kalian."

   Laki-laki kasar tinggi itu berkata.

   "Bagaimana pendapatmu Lo-han."

   "Manfaat besar memang ada di belakang, namun keuntungan kecil kan sekarang juga bisa dibagi bukan?"

   Kata orang she Han.

   "Apa yang perlu dibagi sekarang?"

   Liong Seng-bu menegas.

   "Li-toako,"

   Kata orang she Han.

   "kau terima golok pusaka, sedang aku menginginkan Kiam-boh itu, bagaimana?"

   Tidak langsung menjawab pertanyaan Liong Seng-bu sebaliknya dia berunding dengan laki-laki she Li itu, jelas bahwa mereka sebelumnya sudah ada kata sepakat. Laki-laki kekar she Li bergelak tawa, katanya.

   "Sebetulnya Kiam-boh karya Thio Tan-hong sedikit lebih bernilai, tapi kita kan sesama saudara, aku sebagai engkoh boleh saja mengalah, terserah bagaimana keinginanmu."

   Lekas Liong Seng-bu berkata.

   "'Bagaimana boleh cara begitu."

   "Liong-losam,"

   Dingin tegas suara laki-laki kasar.

   "seorang laki-laki harus tahu diri, dalam hal ini kau sudah memperoleh keuntungan yang paling besar, buat apa berdebat dan rebutan pula dengan kami?"

   Orang she Han itu menambahkan.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memangnya, Lionglosam, coba kau pikir, setelah kau menjadi murid Thio Tanhong jago pedang nomor satu di dunia ini, berarti Kungfumu kelak nomor satu di jagat ini, bukankah keuntungan yang kau peroleh jauh lebih berharga dari golok pusaka atau Kiam-boh segala? Memangnya kau tidak rikuh mengukuhi soal sepele dan kecil ini?"

   Liong Seng-bu menyeringai getir, katanya.

   "Toako berdua tidak fahu, kedua barang ini harus kugunakan sebagai tanda kepercayaan supaya bisa bertemu dan dipercaya oleh Thio Tan-hong. Kelak setelah aku berhasil belajar Kungfu kan belum terlambat kuberikan kepada kalian. Itu waktu bukan saja boleh aky serahkan golok dan Kiam-boh, Kungfu yang telah kupelajari juga bisa kuajarkan .pula kepada kalian, bukankah itu lebih menguntungkan?"

   Mendelik mata laki-laki kekar, katanya.

   "Liong-losam, bukan aku sebagai saudara tua ini tidak percaya kepadamu, memangnya kami goblok harus menunggu selama itu."

   Liong Seng-bu mengerutkan alis, katanya.

   "Kalau kalian ambil kedua barang kepercayaan ini, cara bagaimana aku harus menemui Thio Tan-hong dan mendapat kepercayaann ya?"

   "Liong-losam,"

   Ujar laki-laki pendek she Han.

   "mulutmu manis pandai bicara. Segala rahasia telah kau ketahui dari mulut bocah ini, memangnya apa pula yang kau kuatirkan?"

   "Jangan kalian lupa Thio Tan-hong tokoh besar yang pernah digembleng dalam pengalaman hidup, memangnya dia gampang ditipu seperti bocah ingusan ini?"

   "Belum tentu,"

   Ucap laki-laki she Han.

   "kau bisa juga menipunya asal tepat pada sasaran, In Hou mati di Kwi-lin ini memang kenyataan. Ki Harpa kakek dan cucu berbudi terhadap In Hou, inipun tidak keliru. Kalau toh apa yang diceritakan semua kenyataan, tanpa tanda pengenal segala juga pasti keteranganmu dipercaya."

   Laki-laki kekar itu jadi kurang sabar, katanya.

   "Liong-losam, terserah bagaimana kau akan menipu Thio Tan-hong, yang terang kami tidak mau membantumu secara percuma."

   "Tadi aku sudah berjanji kelak akan membagi hasil pada kalian!"

   Kata Liong Seng-bu.

   "Kelak, kelak, siapa tahu kelak kau akan mungkir dan menyikat seluruh hasil hari ini. Pendek kata, tidak usah banyak bicara lagi, golok dan Kiam-boh harus kau serahkan, kalau tidak, terpaksa kami tidak sungkan lagi kepadamu."

   Liong Seng-bu bersikap apa boleh buat, katanya getir.

   "Agaknya kalian memang tidak percaya lagi kepadaku, terpaksa aku kabulkan keinginan kalian."

   "Memangnya, sebaiknya sejak tadi kau terima usul kami, kau tidak perlu banyak debat?"

   Kata laki-laki she Li. Orang she Han berkata.

   "Kotak yang berisi Kiam-boh itu kau letakkan di tanah, aku bisa mengambilnya sendiri."

   "Betul,"

   Laki-laki she Li tersadar.

   "lemparkan golok itu, tak usah kau kemari."

   Liong Seng-bu tertawa pahit, katanya.

   "Kalian begini curiga, memangnya Siauwte bakal membokong kalian?"

   Lalu dia keluarkan kotak itu dan ditaruh di tanah. Orang she Han memutus sebatang dahan sebagai genter lalu menjungkit kotak itu ke arahnya. Sementara laki-laki kekar itu berseru.

   "Lemparkan golok itu ke mari."

   "Ya, terimalah,"

   Seru Liong Seng-bu, mendadak sinar golok berkelebat bagai kilat, dengan gerakan yang luar biasa cepat mendadak Liong Seng-bu mencabut golok terus ditimpuk.

   Walau sudah bersiaga, tapi tidak terbayang oleh laki-laki kekar ini setelah tipu daya Liong Seng-bu mereka bongkar, dia masih berani turun tangan keji pada mereka.

   Mau meloloskan senjata menangkis terang tidak keburu lagi.

   Maka terdengar "Crap"

   Menyusul darah muncrat berhamburan, tahu-tahu golok pusaka itu sudah menusuk amblas ke ulu hatinya.

   Pada saat itu pula laki-laki she Han itu telah timpukan sebatang Kong-piau.

   Mendengar deru angin kencang, lekas Liong Sengbu mendak ke bawah sambil berputar miring.

   Tapi tak urung pundaknya terserempet lecet berdarah, untung tidak sampai mengenai tulang pundaknya.

   Cepat sekali tanpa berjanji kedua orang sama menubruk kesana untuk merebut golok.

   Ternyata orang she Han setengah langkah lebih cepat, tapi dia tidak sempat memungut golok tersebut, terpaksa dia tendang golok itu ke samping sehingga keduanya sama-sama tidak memperoleh apa yang diinginkan.

   "Liong-losam,"

   Bentak laki-laki she Han.

   "Keji benar kau."

   "Siapa salah, kalian memaksa aku turun tangan,"

   Bantah Liong Seng-bu. Kedua orang saling menyalahkan, namun kaki tangan mereka tidak pernah berhenti. Rebah di tanah tak mampu berkutik. Tan Ciok-sing hanya mendelong mengawasi mereka baku hantam, diam-diam dia berpikir.

   "Kepandaian Liong Seng-bu ternyata memang lebih unggul dari aku. Kepandaian laki-laki she Harr ini juga lebih tinggi dari aku."

   Dinilai taraf kepandaian silat Liong Seng-bu setingkat lebih unggul, tapi pundaknya tergores Piau, sedikit banyak mengurangi kelincahannya, maka keadaan tetap sama kuat.

   "Han-toako, hentikan saja pertempuran ini,"

   Demikian kata Liong Seng-bu.

   "golok dan Kiamboh akan kuserahkan kepadamu."

   "Siapa lagi percaya omongan setanmu,"

   Damprat laki-laki she Han.

   "Biang"

   Dengan sejurus pukulan Tiang-kun, dia pukul dada Liong Seng-bu, bagai sebatang tonggak kayu yang terpukul, Liong Seng-bu terhuyung kaku beberapa langkah terus roboh dan terbanting dengan keras.

   Girang laki-laki she Han, lekas dia memburu maju hendak memeriksa apakah sang korban sudah mampus atau masih hidup, baru saja dia angkat kaki hendak persen lagi dengan sekali tendangan ke ulu hati orang, tak nyana baru saja kakinya terangkat tahu-tahu terasa kesemutan, dia sendiri tak kuasa berdiri tegak lagi terus roboh tersungkur.

   Ternyata Liong Seng-bu menggunakan akal licik pula, dia pura-pura terpukul luka parah, rebah celentang menunggu musuh maju mendekat, mendadak kedua kaki bekerja, lawan kena dijegalnya roboh.

   Dengan menahan rasa sakit di dada Liong Seng-bu melejit bangun terus menindih di atas badan laki-laki she Han.

   Dengan mengerahkan seluruh tenaganya jari-jari Liong Sengbu mencekik leher orang she Han.

   Sudah tentu laki-laki she Han berontak dan meronta sekuatnya sambil berguling-guling.

   Pertempuran ala binatang buas ini memang amat mengerikan.

   Tulang iga Liong Seng-bu putus dua, tapi sepuluh jari jemarinya laksana tanggem mencekik kencang leher lawan, sedikitpun tidak pernah kendor.

   Kira-kira setengah sulutan dupa, lambat laun laki-laki she Han mengeluarkan suara keluhan aneh dari lehernya, akhirnya dia tak kuat bertahan lagi, napas putus jiwa melayang.

   Tan Ciok-sing sampai merinding dan seram melihat adegan yang mengerikan ini.

   Liong Seng-bu kehabisan tenaga, napasnya empas-empis, luka-lukanya tidak ringan lagi.

   Meski kedua temannya berhasil dibunuh, tapi dia sendiri sekarang tidak kuat berdiri.

   Lama kemudian baru dia merayap kesana memungut golok pusaka dari tubuh laki-laki kekar.

   Lobang besar di dadanya segera menyemburkan darah yang deras, jiwanya tidak tertolong lagi.

   Terasa lunglai sekujur badan Liong Seng-bu, Pikirnya.

   "Untung hiat-to bocah ini sudah kututuk, tak usah kuatir dia bisa mengerjai aku biar nanti kubunuh juga dia,"

   Setelah beristirahat sejenak lagi, dia merayap pula kesana mengambil kotak itu. Saking senang dia sampai terloroh-loroh.

   "Dua pusaka kini berada di tanganku,"

   Karena tak kuasa menahan rasa ingin tahunya, sambil terkial-kial dia membuka tutup kotak.

   Rasa puas harus diutamakan, ingin dia menyaksikan Kiam-boh macam apa sebetulnya karya atau ciptaan Thio Tanhong yang termashur itu.

   Tak nyana saking girang dan berakhir dengan rasa duka, belum lenyap gelak tawanya, tahu-tahu dia menggembor kesakitan.

   Ternyata waktu membuka tutup kotak dia menyentuh alat rahasia, begitu tutup terbuka, lembaranlembaran pisau kecil itu seketika mengiris putus sebuah jari tangannya.

   Umumnya jari sakit bisa meresap ke sum-sum apalagi dalam keadaan lunglai seperti Liong Seng-bu, badan terluka luar dalam lagi, kini sebuah jarinya harus terputus lagi, sudah tentu kondisi fisiknya menjadi semakin goyah? Setelah menjerit kesakitan, kontan dia jatuh semaput.

   Ganti Tan Ciok-sing yang kaget dan girang, pikirnya.

   "Thian memang maha adil, yang berbuat jahat tentu memperoleh ganjaran setimpal. Tadi sebetulnya aku sudah hendak membukakan kotak itu, jikalau dia tidak begitu keburu nafsu, pasti Kiam-boh itu kini sudah berada di tangannya. Dia menutuk hiat-toku, tapi cara membuka kotak tidak tahu, patutlah kalau dia harus mengorbankan sebelah jarinya. Tak nyana kotak itu sekali lagi membantuku."

   Tapi Tan Ciok-sing sekarang belum lagi terhindar dari mara bahaya.

   Kuncinya terletak pada.

   Apakah hiat-tonya yang tertutuk bisa punah sebelum Liong Seng-bu siuman dari pingsannya? Soalnya Liong Seng-bu menggunakan Jiong-jiu-hoat menutuk jalan pelemasnya, tanpa bantuan orang untuk membebaskan sendiri hiat-to itu harus makan waktu dua belas jam padahal Liong Seng-bu hanya jatuh semaput saja.

   Apalagi dasar kungfunya juga tidak lemah, meski luka-lukanya cukup parah, tapi yakin sebelum dua belas jam tentu dia sudah siuman.

   Maka jiwa Tan Ciok-sing pasti terancam bahaya.

   Di tempat belukar yang jauh dari keramaian penduduk seperti ini, mana mungkin orang datang kemari? Kecuali Thio Tan-hong yang semayam didalam Ciok-lin kebetulan keluar.

   Tapi Ciok-lin begini luas, pucuk-pucuk batu berlapis dan bersusun ribuan seperti bentuk pintu-pintu langit, kalau Thio Tan-hong semayam jauh didalam hutan batu, betapapun keras kejadian diluar sini juga takkan terdengar dari dalam, memangnya tanpa sebab dan alasan mungkinkah Thio Tanhong keluar? Mulut tak mampu bersuara lagi, karuan Tan Ciok-sing hanya tertawa getir saja sambil terima nasib.

   Dengan mendelong dia awasi keadaan Liong Seng-bu, sedikit kaki tangan atau badan Liong Seng-bu bergerak, jantungnya pun ikut berdetak, untung sejauh ini Liong Sengbu tetap belum siuman.

   Pada hal hari itu sudah mulai gelap, sia-sialah dia mengharap pertolongan orang lain.

   Lama-kelamaan Tan Ciok-sing tak tahan mengalami siksaan lahir batin ini, meadadak pikirnya.

   "Dari pada menunggu pertolongan orang lain, kenapa aku tidak berusaha menolong diriku sendiri, kenapa tidak kucoba kerahkan hawa murni untuk membebaskan tutukan hiat-to ini? Umpama usaha ini sia-sia, kan lebih baik daripada menunggu kematian begini,"

   Maka dia tidak perdulikan mati hidup Liong Seng-bu lagi, memusatkan konsentrasi lalu mulai kerahkan hawa murni.

   Buku pelajaran ilmu golok dan pukulan peninggalan In Hou ada juga yang tercantum cara belajar lwekang.

   Lwekang yang terlatih baik ini dapat membantu membebaskan hiat-to yang tertutuk.

   Tapi Tan Ciok-sing baru latihan tiga bulan, hasilnya boleh dikata baru pupuk dasarnya saja, untuk membebaskan tutukan hiat-to sendiri sudah tentu bukan suatu kerja yang mudah.

   Entah berapa lamanya, terasa oleh Tan Ciok-sing hawa hangat tiba-tiba timbul dari pusarnya, agaknya usahanya sudah mulai menunjukkan hasilnya.

   Meyakinkan lwekang tingkat tinggi bila sudah mencapai taraf tertentu, untuk membebaskan tutukan hiat-to di tubuh sendiri biasanya paling lama memakan waktu setengah jam, tapi sekarang entah berapa jam telah berlalu, Tan Ciok-sing tetap hanya dapat menghimpun sedikit demi sedikit hawa murninya, bahwasanya badan masih tetap tidak mampu bergerak.

   Hari sudah gelap, untung sang Dewi malam yang setengah bulat bercokol di cakrawala.

   Tiba-tiba Liong Seng-bu menggeliat serta membalik badan, mulutnya berkerok-kerok seperti suara kodok agaknya takkan lama lagi pasti dia sudah siuman.

   Diam-diam Tan Ciok-sing kertak gigi, batinnya.

   "Mati hidup sudah ditentukan takdir, betapapun aku harus terus berusaha,"

   Maka dia tidak perduli lagi ada kejadian apa di sekitarnya, mata tidak melihat kuping tidak mendengar.

   Karena itu, hawa murni yang dia kerahkan menjadi bertambah cepat dan lancar.

   Akhirnya Liong Seng-bu siuman juga.

   Darah masih menetes dari jarinya yang putus, sakit dan perihnya luar biasa.

   Tapi dia sudah mulai dapat bergerak.

   Setelah membubuhi obat pada luka-luka jarinya, istirahat pula sejenak, setelah badan terasa sedikit segar, dengan hati-hati dia memeriksa, didapatinya kotak itu masih terletak di samping kakinya, tutup kotak ternyata sudah menutup kembali.

   Liong Seng-bu jemput dahan pohon yang dibuat menyongkel oleh laki-laki pendek tadi, pelan-pelan dia sentuh kotak itu, lalu didorong kian kemari tapi tiada menunjukkan reaksi apa-apa, akhirnya dia membesarkan nyali, namun dengan rasa kebat-kebit dia masukkan kotak itu kedalam kantongnya.

   Kalau tidak dibuka kotak itu takkan menyentuh alat rahasianya.

   Waktu sang dewi malam bercokol di tengah langit, barulah Liong Seng-bu pulih seluruhnya, namun tenaganya baru terhimpun dua bagian.

   Pikirnya.

   "Bocah ini berkepandaian lumayan mungkin sebelum dua belas jam dia sudah bebas hiat-tonya, maka perlu aku segera membunuhnya."

   Padahal waktu itu sudah lewat delapan jam setelah hiat-to Tan Cioksihg tertutuk, sebelum terang tanah hiat-tonya takkan punah sendirinya.

   Memang Liong Seng-bu tidak pernah menduga bahwa Tan Ciok-sing sedang berusaha membebaskan tutukan hiat-tonya, maka dengan menabahkan hati dia angkat golok pusaka serta berkata pula tertawa.

   "Adik cilik, untung aku sudah siuman lebih dulu, sebelum hiat-tomu yang kututup punah, ini berarti umurku memang panjang, maka tak usah kau menyesali nasibmu ini."

   Sekonyong-konyong terdengar suara "Trang", entah dari mana datangnya sebutir krikil tiba-tiba membentur goloknya sampai tak kuasa dia memegangnya lagi, jatuh berkerontangan di tanah.

   Karuan Liong Seng-bu kaget setengah mati, waktu dia menegas, dilihatnya Tan Ciok-sing sedang melompat bangun berdiri.

   Ternyata menghadapi detik-detik yang genting ini, Ki-kingpat- meh di tubuhnya yang belum lancar karena tutukan hiatto di tubuhnya mendadak jebol, seperti air bah yang tak terbendung, hawa murninya lantas mengalir bagai arus kencangnya, sudah tentu hiat-to yang tertutuk jadi terbuka karenanya.

   Setelah menjatuhkan golok di tangan orang Tan Ciok-sing lantas menudingnya serta mendamprat.

   "Liong Seng-bu, siasialah kau membaca buku-buku kuno dari para Nabi, tapi sepak terjangmu ternyata begini rendah dan hina, untung Tuhan memang maha pengasih, kau kurcaci ini tak berhasil mencelakai jiwaku."

   Pergelangan tangan Liong Seng-bu kesemutan dia kira ilmu silat Tan Ciok-sing sudah pulih seperti sedia kala, orang akan segera membunuh dirinya malah. Dia insaf luka-lukanya tidak ringan, mana dia berani gebrak dengan Tan Ciok-sing.

   "Adik cilik, sukalah kau mengingat hubungan akrab kita beberapa hari ini, sukalah ampuni jiwaku,"

   Saking ketakutan Liong Seng-bu lupa memungut golok pusaka itu, sembari bicara dia sudah putar badan lari sipat kuping.

   Entah dari mana dia peroleh tenaga, di kala jiwa terancam, meski badan masih lemah, ternyata dia bisa merat begitu cepat, cepat sekali dia sudah menggelundung turun ke lereng sana, kejap lain sudah tak kelihatan lagi.

   "Enyahlah kau,"

   Damprat Tan Ciok-sing.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "siapa sudi bersaudara dengan tampangmu."

   Setelah rasa penasaran terlampias, mendadak lututnya terasa lemas lagi, tanpa kuasa dia meloso jatuh pula.

   Ternyata pada detik-detik yang kritis tadi, kebetulan hiat-tonya yang tertutuk tiba-tiba bebas, maka dia menjemput krikil terus dijentikkan merontokkan golok Liong Seng-bu, padahal kondisinya masih teramat lemah, maka dia tidak kuat bertahan lama.

   Jikalau Liong Seng-bu cukup tabah dan tidak lari ketakutan, susah dibayangkan bagaimana akibatnya.

   Setelah tidur nyenyak, waktu siuman haripun telah terang tanah.

   Melihat keadaan kedua mayat yang mengenaskan ini, hatinya tidak tega, segera dia menggali liang lahat menggunakah goloknya mengebumikan kedua mayat itu.

   Sambil memasukkan golok kedalam sarungnya dia berpikir.

   "Untung golok pusaka dan harpa ini tidak hilang, sayang sekali kotak berisi Kiam-boh karya Thio Tayhiap itu terbawa lari oleh keparat itu. Tapi hanya beberapa lembar tulisan tangan yang belum lengkap itu, kukira dia takkan paham membaca dan mempelajarinya."

   Menyongsong terbitnya matahari, jagat raya ini penuh diliputi cahaya keemasan yang cemerlang, dengan langkah lebar dan tegap Tan Ciok-sing memasuki Ciok-lin.

   Tapi Tan Ciok-sing tiada selera menikmati keanehan di sekitarnya, dia ingin buru-buru masuk kedalam dan ingin tahu apakah Thio Tan-hong masih hidup dan semayam di Ciok-lin? Padahal kemana dan bagaimana dia harus menemukan tempat tinggal Thio Tan-hong didalam hutan batu yang berlapis-lapis seperti punya ribuan sampai laksaan pintu ini, terpaksa dia asal mengayun langkah saja.

   Setelah dia memasuki sebuah jalanan sempit dan tiba pada sebuah celah batu yang bentuknya menyerupai pintu, pandangannya tiba-tiba menjadi terang dan terbentang, tampak di bawah samping gunung sana terdapat sebuah danau kecil, sepanjang pinggir danau penuh ditumbuhi beraneka ragam kembang dan tetumbuhan liar, bau kembang yang wangi semerbak merangsang hidung menyegarkan badan, di atas dinding gunung yang curam tegak itu terdapat dua huruf besar yang berbunyi.

   "Kiam-hong" (puncak pedang). Tan Ciok-sing bersorak girang dalam hati, dia ingat In Hou pernah menuturkan, bahwa setiap hari Thio Tan-hong pasti berlatih pedang di Kiam-hong ini, mencuci pedang di danau kecil itu pula. Coretan huruf di puncak dinding gunung itu juga hasil karya Thio Tan-hong. Tanpa sengaja, secara kebetulan dirinya kesasar ke tempat yang ditujunya, danau kecil itu dinamakan Kiam-ti (danau pedang). Tapi bayangan orang tidak kelihatan disini, maka dia tarik suara berteriak sekeras

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   kerasnya.

   "Thio Tayhiap, Wanpwe Tan Ciok-sing, atas permintaan In Hou In Tayhiap datang kemari mohon bertemu,"

   Ditunggu-tunggu tiada reaksi, tak terdengar suara jawaban. Karena kesal akhirnya Tan Ciok-sing duduk di atas batu di pinggir danau, waktu menurunkan harpa, mendadak pikirannya tergerak.

   "Kenapa tidak kugunakan irama harpa ini untuk menyatakan maksud kedatanganku?"

   Tapi setelah sebuah lagu habis dia bawakan, gema irama harpa seperti masih mengalun dalam hutan batu ini, tapi setelah ditunggu sekian lama, keadaan tetap sunyi, hanya air danau saja yang kelihatan bergelombang lembut tertiup angin lalu, puncak pedang tetap dalam keheningan lelap.

   "Mungkin Thio Tayhiap tidak suka menemui orang-orang awam? Atau mungkin beliau sudah meninggal?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing, hatinya risau dan masgul.

   Mengingat betapa dirinya susah payah dan mengalami mara bahaya, jiwa hampir tamat lagi baru bisa mencapai tempat tujuan, jikalau tidak berhasil menemukan Thio Tan-hong, bagaimana dia dapat menuntut balas kematian kakeknya? Saking duka nestapa tak tertahan air mata bercucuran, tanpa terasa pula jari jemarinya yang sudah ahli memetik senar itu telah memetik lagu Khong-ling-san.

   Bagian belakang dari Khong-ling-san merupakan irama lagu yang paling menyedihkan di kolong langit ini, kecuali Tan Cioksing, pada jaman ini rasanya tiada orang lain yang mampu memetik lagu ini.

   Biasanya kicau burung didalam hutan begitu merdu pada setiap pagi, kini entah karena terbuai oleh irama lagu yang sedih memilukan ini, burung-burung itu seperti lupa terbang pergi mencari makan, malah tidak sedikit yang berdatangan hinggap di dahan-dahan pohon.

   Di kala dia memetik harpa melimpahkan rasa dukanya, mendadak didengarnya langkah kaki orang yang bergema didalam hutan batu.

   Tidak terhitung jumlah tonggak-tonggak batu yang berdiri menjulang tinggi ke atas, maka dinamakan hutan batu.

   Berada didalam hutan, orang bisa mondar-mandir kemari, tanpa bisa menemukan jalan keluarnya.

   Tapi langkah kaki orang itu mendatangi semakin dekat, seolah-olah orangnya sudah berada di depan mata, hakikatnya masih banyak pengkolan dan pintu-pintu yang berlapis itu harus dilewati baru orang akan bisa berhadapan muka.

   Begitu mendengar langkah kaki orang, semula Tan Cioksing kaget dan senang, tapi setelah langkah kaki itu semakin dekat dan jelas, hatinya bukan lagi girang tapi kaget dan waswas.

   Karena yang datang terang tidak seorang saja, tapi dari langkah tiga orang.

   Padahal In Hou memberitahu padanya, bahwa Thio Tan-hong seorang diri semayam di hutan batu.

   Selama puluhan tahun ini, hanya In Hou seorang saja yang terkecuali pernah masuk ke hutan batu.

   Tapi kini ada tiga orang yang mendatangi.

   Kalau orang biasa jelas tidak mungkin tanpa sebab mau memasuki hutan batu, apalagi perjalanan kedalam hutan batu amat berbahaya.

   Oleh karena itu kalau hal ini dipikirkan secara sehat, kalau yang datang bukan Thio Tan-hong sendiri, maka pendatang ini jelas adalah musuh besarnya.

   Di kala hatinya kebat-kebit itu, walau jari-jarinya bergerak menyentil senar, tapi pandangan matanya tertuju kearah datangnya suara langkah.

   Tiba-tiba terdengar suara serak seseorang tua berkata di belakangnya.

   "Sudahlah, hentikan permainan harpamu."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing kaget setengah mati, waktu dia menoleh, hatinya seketika bersorak girang. Yang berdiri di belakangnya ternyata Hek-moko adanya. Tapi tidak terbayang rasa senang pada wajah Hek-moko, malah seperti mau menyalahkan dirinya.

   "Thio Tayhiap sedang 'menutup diri latihan semadi', kau tahu tidak?"

   Apa itu menutup diri latihan semadi, hakikatnya Tan Cioksing tidak tahu. Tapi dari nada perkataan Hek-moko, seakan

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   akan dia menyalahkan dirinya telah mengganggu ketenangan Thio Tan-hong dengan irama musiknya yang menyedihkan tadi. Maka dengan hambar dia berkata.

   "Aku, aku tidak tahu. Tapi, diluar, diluar..."

   Langkah orang diluar sudah semakin dekat lagi, sebuah suara yang sudah dikenalnya sedang berkata.

   "Aneh, Thio Tan-hong masih senggang juga mendengarkan irama harpa?"

   Seorang yang tak dikenal menanggapi.

   "Mungkin dia ingin meniru Cukat Liang yang mengundurkan musuh dengan petikan harpanya? Tapi aku tak percaya dia sebanding dengan Khong Bing, memangnya kita ini bangsa kurcaci."

   Prihatin sikap Hek-moko, katanya di pinggir telinga Tan Ciok sing.

   "Lekas sembunyi, beberapa orang ini jauh lebih liehay dan jahat dibanding Ie Cun-hong, aku takkan kuasa melindungimu."

   Pernah mendapat pengalaman sekali Tan Ciok-sing cukup tahu diri, maklum kalau kehadirannya disini bukan saja tidak akan membantu Hek-moko, malah menjadikan beban orang, maka lekas dia angkat harpanya, terus merambat naik ke Kiam-hong dan sembunyi di belakang sebuah batu.

   Baru saja dia menyembunyikan diri, ketiga orang itupun telah tiba di pinggir danau.

   Salah seorang di antaranya bukan lain adalah gembong iblis besar Le Khong-thian yang pernah dilihatnya di Cit-sing-giam dulu.

   Dua orang lagi adalah seorang Tosu tua dan seorang nenek uban menjinjing tongkat berkepala naga.

   Bukan saja kaget Tan Ciok-sing juga keheranan, pikirnya.

   "Hek-pek-moko kakak beradik laksana dwi-tunggal, kenapa yang kelihatan sekarang hanya kakaknya, kemana adiknya? Celaka kalau ketiga penyatron itu berkepandaian lebih liehay dari Ie Cun-hong, seorang diri mana Hek-moko mampu menghadapi mereka? Thio Tayhiap sedang semadi, jelas dia takkan bisa keluar menghadapi musuh-musuh ini."

   Kedua belah pihak umpama busur yang telah dipentang tinggal angkat senjata terus saling labrak, dengan diliputi rasa was-was dan serba curiga, Tan Ciok-sing tidak sempat pikirkan urusan tetek bengek lagi. Le Khong-thian terloroh-loroh, katanya.

   "Hek-moko, tentunya kau tidak kira bahwa akhirnya aku bisa menemukan tempat ini, bukan. Hehe, tahukah kau, sebetulnya hari itu aku bisa bantu le Cunhong membunuhmu, tapi aku justru hendak pinjam tenagamu untuk menunjukkan jalan kemari, terpaksa kubiarkan kau hidup beberapa hari lagi. Hehche, kini kau tiada gunanya, sekali kemplanganmu kepada Ie Cun-hong biar sekarang kutagih padamu."

   "Hek-moko,"

   Terdengar nenek uban itu berkata.

   "kalau ingin hidup, lekas kau panggil Thio Tan-hong keluar."

   Hek-moko tertawa dingin, katanya.

   "Kau nenek gembel ini berani gebrak dengan Thio Tayhiap, memangnya kau ini tahu diri tidak?"

   "Kau ini terhitung barang apa, berani menghina aku Kiupoan- bo? Tahukah kau, Thio Tan-hong pun takkan berani kurang ajar terhadapku,"

   Waktu mengucapkan "kurang ajar"

   Sengaja dia gedrukkan tongkatnya, batu di bawah kakinya seketika terketuk hancur Hek-moko terbahak-bahak, katanya.

   "Kiu-poan-bo, puluhan tahun tak bertemu, ternyata kulit mukamu semakin tebal saja. Dulu bersama Liok-yang Cinjin, Jit-sia Tojin bukankah kau diusir dari Tiam-jong-san, apa pula yang Thio Tayhiap pernah katakan kepadamu? Kalau kau tidak ingat boleh kuperingatkan sekali lagi kepadamu."

   Kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, di dunia ini ada empat gembong iblis, yang jadi pentolannya adalah guru dari Le Khong-thian, yaitu Kiau Pak-bing, disusul Liok-yang Cinjin, Jitsia Tojin dan Kiu-poan-bo yang sekarang adu mulut dengan Hek-moko.

   Setelah Kiau Pak-bing dikalahkan Thio Tan-hong, dia merat jauh ke lautan timur.

   Tiga gembong iblis yang lain bergabung hendak menuntut balas kepada Thio Tan-hong, pertempuran sengit terjadi di puncak Tiam-jong-san, akhirnya mereka bertiga tetap bukan tandingan lawan, pada waktu itu mereka sudah bersumpah selama Thio Tan-hong masih hidup tidak akan muncul di kalangan Kangouw, barulah Thio Tanhong mau mengampuni jiwa mereka.

   Selama tiga puluh tahun ini, Jit-sia Tojin sudah meninggal, sementara Kiau Pak-bing sembunyi di lautan timur, hanya muridnya saja yang diutus kemari.

   Jadi empat gembong iblis yang dulu menjagoi Tionggoan kini tinggal Kiu-poan-bo dan Liok Yang Cinjin.

   Liok Yang Cinjin adalah Tosu tua yang berdiri di pinggir gelanggang sebelah sana.

   Bahwa Hek-moko mengorek borok mereka, karuan Kiupoan- bo dan Liok-yang Cinjin naik pitam.

   Kata Liok Yang Cinjin dengan suara berat.

   "Kau tahu apa, mumpung Thio Tan-hong belum mampus, maka hari ini aku datang ke mari."

   "Hek-moko,"

   Seru Kiu-poan-bo.

   "kalau kau tidak ingin jadi setan gentayangan.

   "lekas kau suruh Thio Tan-hong keluar."

   Hek-moko tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Menyembelih ayam tak perlu menggunakan golok kerbau, kalian bertiga boleh maju bersama, biar aku wakilkan Thio Tayhiap ajar adat kepada kalian."

   "Hek-moko, memangnya berapa tinggi kepandaianmu? Kalau ingin mampus apa susahnya, cukup si nenek tua ini berkelebihan untuk menamatkan riwayatmu?"

   Begitu habis ucapannya "Wut"

   Pentungnya lantas menyapu tiba. Liok Yang Cinjin sudah maju beberapa langkah, mendengar perkataan Kiu-poan-bo, terpaksa dia mundur ke tempatnya, dalam hati dia berpikir.

   "Betul, aku perlu menyimpan tenaga untuk menghadapi Thio Tan-hong. Walau Thio Tan-hong sudah berusia lanjut, betapapun dia tidak boleh dipandang remeh."

   Hek-moko angkat juga tongkatnya, terdengar dencing keras beruntun memekak telinga sampai Tan Ciok-sing yang sembunyi di tempat ketinggian sana terasa mendengung kepalanya.

   Waktu dia pentang mata, dilihatnya dua bayangan Hek-moko dan Kiu-poan-bo tiba-tiba mundur terpisah, masingmasing pihak tergentak tiga langkah.

   Hek-moko rasakan telapak tangannya kesemutan, tapi kepala naga di atas pentung Kiu-poan-bo gumpil sedikit.

   Diam-diam mencelos hati Hek-moko, pikirnya.

   "Tak heran nenek reyot ini dulu bisa sejajar dengan Kiau Pak-bing sebagai empat pentolan gembong iblis, lwekangnya ternyata memang luar biasa.

   "Selama hidup ini entah berapa kali Hek-moko bertanding satu lawan satu dengan musuh, kecuali Thio Tanhong selamanya belum ada orang yang berani mengadu kekuatan dengan dia, apalagi memungut keuntungan. Walau Kiu-poan-bo kali ini tidak memungut keuntungan apapun, tapi hasil dari adu kekuatan ini, ternyata sama-sama tergetar mundur tiga langkah, malah kalau dia tidak lekas-lekas menggunakan Jian-kin-tui untuk memberati badan, hampir saja dia kecundang di depan umum, jadi kalau dinilai secara adil, sebetulnya dia sudah terhitung kalah setengah urat. Liok-giok-cang miliknya itu termasuk barang pusaka juga, tak heran barisan golok Ie Cun-hong tetap tak mampu membekuk mereka kakak beradik. Kalau Hek-moko setengah kaget, Kiu-poan-bo juga tidak kalah kagetnya karena kepala, naga di atas pentungnya gumpil. Biasanya saudara kembar ini selalu berdampingan, kelihatan sang engkoh pasti ada sang adik, kenapa sekarang hanya Hek-moko yang menghadapi kami? Agaknya kami diberi kesempatan untuk menamatkan jiwa Thio Tan-hong. Konon kekuatan gabungan permainan sepasang tongkat mereka hebat luar biasa, jikalau aku tidak menyelesaikan pertempuran ini dalam waktu singkat bila Pek-moko keburu datang, mungkin kami bertigapun susah mengalahkan mereka kakak beradik, bagaimana kita masih bisa menghadapi Thio Tanhong?"

   Karena otaknya memang encer, kepengin menang dalam waktu singkat, maka dia tidak kepalang tanggung lagi serangan bertubi-tubi dilancarkan dengan sengit.

   Dalam detik-detik pcrtcmpiii.in yang sengit ini, kembali bayangan mereka terpisah lalu saling tubruk pula.

   Tongkat Kiu-poan-bo menjojoh ke Hiat-hay-hiat di bawah pusar lawan, sementara bentuk permainan tongkat Hek-moko yang mencorong mirip Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang sayap), dari samping mengetuk urat nadi lawan.

   Sinar coklat berkelebat, mendadak membuat sebuah lingkaran, kepala naga di ujung pentung Kiu-poan-bo seperti terbungkus didalamnya, dua gembong iblis yang menyaksikan dari samping ikut kebat-kebit hatinya.

   Mendadak Kiu poan-bo menggertak sekali, pentung kepala naganya menekan turun ke bawah dengan jurus Ping-sa-lohyan (blibis hinggap di pasir datar) untuk memunahkan tekanan tongkat Hek-moko sekaligus pentungnya itu mengetuk naik terus melintirnya pula.

   "Kena"

   Kembali mulutnya menghardik, begitu pentungnya berputar, mulut dari kepala naga besi itu tahu-tahu sudah nyelonong ke muka Hek-moko.

   Serempak Liok-yang Cinjin dan Le Khong-thian sama bersorak memuji, sebaliknya Tan Ciok-sing mengucurkan keringat dingin, hatinya kuatir setengah mati.

   Beberapa jurus permainan pentung Kiu-poan-bo memang teramat liehay dan menakjubkan, tapi juga ganas dan keji.

   Dengan gerakan kilat balas menyerang ini, dia yakin Hekmoko pasti sukar lolos dari pentung besinya.

   Tak kira gerakannya sudah begitu cepat, tapi Hek-moko masih lebih cepat lagi, terdengar "Trang"

   Yang keras, tongkat coklat Hekmoko ternyata sudah menutup gerakan pentung lawan selanjutnya, jengeknya dingin.

   "Belum tentu,"

   Kembali sinar coklat melingkar, pentung lawan seolah-olah terbungkus didalamnya.

   Beberapa gerakan saling lomba dan tubruk ini terjadi dalam sekejap mata, kedua pihak berlomba dahulu mendahului merebut kesempatan, sehingga tiga orang penonton diluar gelanggang sama silau dan terpukau.

   Terdengar Kiu-poan-bo berkaok-kaok gusar beberapa kali, pentung kepala naganya menuding timur mengepruk ke barat mengemplang ke utara menyapu ke selatan, tapi tetap tak kuasa membebaskan diri dari libatan sinar coklat lawan.

   Lwekang Kiu-poan-bo memang setingkat lebih tinggi, namun permainan tongkat Hek-moko lebih liehay dan hebat, apalagi tongkat coklat itu ternyata tahan dan kuat beradu dengan besi, dalam hal senjata jelas dia memungut keuntungan, oleh karena itu, meski dalam waktu singkat sukar dia mengalahkan lawan, namun sedikit banyak dia sudah unggul di atas angin.

   Tak berapa lama kemudian, kepala naga di atas pentung Kiu poan-bo kembali gumpil pula.

   Semakin dalam kerut kening Liok-yang Cinjin melihat laju pertempuran ini, ingin maju membantu tapi kuatir Thio Tanhong mendadak muncul, kalau dirinya sudah menguras tenaga, jelas ini bukan tindakan bijaksana yang bakal menguntungkan pribadinya.

   Tiba-tiba, Le Khong-thian berkata.

   "Yang memetik harpa tadi terang bukan Thio Tan-hong."

   "Darimana kau tahu?"

   Tanya Liok-yang Cinjin.

   "Walau Thio Tan-hong serba mahir dalam bidang sastra, tapi dalam hal memetik harpa jelas dia tidak lebih unggul dari satu orang ini. Dalam jaman ini, kecuali Ki Harpa dari Kwi-lin tiada orang lain yang mahir memetik harpa semerdu itu, waktu di Cit-sing-giam tempo hari pernah aku mendengar irama harpanya ini."

   "Bukankah kau bilang bahwa Ki Harpa telah mati?!"

   Tanya Liok-yang Cinjin.

   "Aku tahu kalau dia terluka parah, hanya dugaanku saja dia telah mati, aku sendiri tidak melibat jenazahnya."

   "Bagaimana kepandaian Ki Harpa?"

   Tanya Liok-yang Cinjin.

   "Petikan harpanya aku yakin nomor satu di dunia ini, tapi dalam hal Kungfu, dia paling terhitung kelas kambing."

   Liok-yang Cinjin menepekur sejenak, katanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aneh, kenapa Thio Tan-hong belum juga keluar?"

   "Thio Tan-hong sudah lanjut usia, kemungkinan karena ingin cepat-cepat menyelesaikan latihan Iwekangnya, sekarang dia sedang mengalami Jau-hwe-jip-mo."

   Pengalaman Liok-yang Cinjin jelas jauh lebih tinggi dari Le Khong-thian, diam-diam dia membatin.

   "Ketangguhan lwekang Thio Tan-hong sudah teruji dan tiada bandingannya sejak tiga puluh tahun yang lalu. Apalagi lwekang yang diyakinkan adalah ajaran murni dari aliran lurus. Jau-hwe-jip-mo jelas tidak mungkin. Tapi Hek-pek-moko adalah kawan yang paling setia terhadapnya, jikalan dia berada disini tak mungkin dia berpeluk tangan saja? Em, kemungkinan dia sudah meninggalkan Ciok-lin dan suruh Hek-moko menjaga tempat tinggalnya?"

   Yang dikuatirkan Liok-yang Cinjin adalah bila Thio Tanhong tak jauh dari tempat ini, orang mendadak muncul di saat-saat kritis.

   Kini setelah diketahui yang memetik harpa tadi bukan Thio Tan-hong, maka dia pikir adalah patut kalau dia menyerempet bahaya.

   Maka dia berkata.

   "Baiklah, pergilah kau eaii pemetik harpa itu, biar aku membantu Kiu-poan-bo."

   Memang itulah yang diharapkan Le Khong-thian, sudah tentu dengan senang hati dia menerima tugas enteng ini.

   "Hek-moko,"

   Bentak Liok-yang Cinjin.

   "kemana adikmu? Ingin aku merasakan betapa hebat kekuatan gabungan permainan tongkat kalian kakak beradik."

   Hek-moko tertawa dingin, ejeknya.

   "Menghadapi hidung kerbau macam tampangmu ini, memangnya perlu menggunakan ilmu tongkat gabungan? Sejak tadi toh sudah kusuruh kalian maju bersama, hayolah maju jangan pura-pura cari alasan."

   "Baik, kau sendiri yang ingin mampus, jangan salahkan kalau aku main keroyok,"

   Sembari bicara, dia sudah melangkah memasuki arena, senjata yang dikeluarkannya ternyata berbentuk aneh.

   Senjata tunggalnya itu adalah seutas cambuk panjang berwarna merah darah, entah terbuat dari jenis barang apa, di atas cambuknya ini digantung dua tengkorak manusia yang terbuat dari besi, warnanya yang putih dengan bentuknya yang bagus pula, sekilas pandang orang akan menyangka bahwa itu tengkorak asli.

   "Tar", sekali sabet cambuk Liok-yang Cinjin, kedua tengkorak itu ikut berputar dan menari mengikuti kisaran cambuk, mendadak mulut kedua tengkorak meringis lalu terpentang hendak menggigit ke arah Hek-moko."

   Hek-moko menyengel dingin.

   "Menggunakana senjata aneh semacam ini, memangnya kau kira dapat menciutkan nyaliku?"

   Sekali gentak dia ayun tangan, begitu tongkat coklat menggetarkan pergi pentung Kiu-poan-bo, ujung tongkatnya tiha-tiba menyelonong maju menusuk ke mulut tengkorak yang terpentang lebar.

   Begitu Liok-yang Cinjin memutar pergelangan tangan, kedua tengkorak itu tiba-tiba melejit terbang ke atas, beruntun dia melancarkan tipu Lian-hoan-sam-pian, Wi-hongsau- liu, dua ilmu tunggal dari permainan cambuknva yang paling liehay.

   Hek-moko gunakan Ih-sing-hoan-wi berkelit dari serangan pentung Kiu-poan-bo, sementara tongkat coklatnya mengetuk pergi ujung cambuk lawan yang satunya pula.

   "Bret"

   Ternyata bajunya tergigit oleh tengkorak dan sobek sebagian besar. Mendapat angin Liok-yang Cinjin menyeringai dingin, katanya.

   "Bagaimana, senjata aneh dari kalangan sesat ini liehay bukan."

   Hampir melonjak keluar jantung Tan Ciok-sing menyaksikan pertempuran seru ini, dilihatnya Le Khong-thian sudah tiba di kaki puncak, teriaknya.

   "Ki Harpa, tak usah sembunyilah. Asal kau mau menjawab beberapa pertanyaanku secara jujur, aku tidak akan mencabut jiwamu, hayolah keluar."

   Pada saat itulah, mendadak Tan Ciok-sing merasa pundaknya kesemutan, tahu-tahu dia telah ditangkap seseorang dari belakang. Karuan kejutnya bukan main, untung orang itu segera berbisik di pinggir telinganya.

   "Jangan berisik, kubawa kau menemui Thio Tayhiap,"

   Suaranya sudah dikenal, setelah tenangkan diri baru Tan Ciok-sing tahu bahwa orang di belakangnya ini adalah Pek-moko.

   Agaknya Pek-moko tahu seluk beluk hutan batu ini, di tengah hutan batu dia putar kanan belok kiri, dengan meminjam gugusan batu-batu besar kecil dia main sembunyisembunyi terus maju ke depan, gerakannya begitu tangkas dan gesit, tujuannya adalah Kiam-hong.

   Le Khong-thian yang berada di kaki bukit ternyata tidak tahu sama sekali.

   Lekas sekali Tan Ciok-sing telah dibawa masuk ke sebuah lobang batu.

   Didalam lobang batu besar inilah tampak duduk bersila seorang laki-laki berwajah bersih welas asih berjenggot tiga baris, Tan Ciok-sing menduga laki-laki tua inilah pasti Thio Tan-hong adanya.

   Setelah mengalami berbagai rintangan dan penderitaan, akhirnya keinginan bisa tercapai, sudah tentu bukan kepalang rasa senang dan haru serta kaget Tan Ciok-sing sesaat lamanya dia sampai berdiri melenggong tak kuasa mengeluarkan suara.

   Pek-moko menurunkan Tan Ciok-sing serta berkata.

   "Yang memetik harpa tadi adalah bocah ini. Dia, dia adalah..."

   "Aku sudah tahu asal-usulnya,"

   Tukas Thio Tan-hong.

   "jangan kau membuang waktu, pergilah bantu engkohmu."

   Tampak sikap ragu-ragu dan serba susah pada wajah Pekmoko, katanya.

   "Thio Tayhiap, lalu kau..."

   "Takkan lama lagi aku sudah akan selesai dengan semadiku, kau tidak perlu kuatir, lekas, lekas pergi,"

   Desak Thio Tan-hong.

   Ternyata dalam latihan lwekang tingkat tinggi setelah mencapai taraf yang paling top dinamakan Pit-koan-lian-kang, untuk Pit-koan atau semadi paling lama tujuh hari paling cepat tujuh hari, didalam jangka waktu latihan ini, tidak tidur, tidak makan, tak boleh bergerak atau bicara, keadaannya mirip seperti kaum padri yang semadi, maka apa yang terjadi di sekitarnya boleh melihat seperti tidak melihat, mendengar tidak didengarkan, jikalau dalam saat-saat kritis ini sampai ada musuh datang mencari setori, seorang biasa yang tidak belajar silatpun mampu untuk membuatnya mati cukup dengan tonjokan sebuah jari tangannya saja.

   Waktu Hek-pek-moko tiba di hutan batu, kebetulan Thio Tan-hong sedang Pit-koanlian- kang, maka begitu mereka tahu kedatangan ketiga gembong iblis itu, salah satu di antara mereka perlu tinggal disini untuk menjaga keselamatan Thio Tan-hong.

   Tahu bahwa kakaknya kini sedang terancam bahaya, apa boleh buat akhirnya Pek-moko berkata.

   "Thio Tayhiap, sukalah kau berhati-hati dan jaga dirimu sendiri, tak perlu kau buruburu ikut melayani musuh-musuh itu,"

   Lalu dia lari keluar dari lobang batu. Cepat sekali terdengarlah dering beradunya senjata yang ramai, gema suaranya yang keras seperti mendengung di atas pegunungan batu, dapat diduga bahwa Pek-moko tentu sedang melabrak Le Khong-thian.

   "Anak bagus,"

   Kata Thio Tan-hong dengan suara lembut dan ramah.

   "sudah lama aku menunggu kedatanganmu, tapi tak tersangka baru kau tiba di saat aku Pit-koan-lian-kang, tapi untuk sementara kau boleh tidak usah urus kejadian diluar."

   Baru-buru Tan Ciok-sing berlutut serta menyembah, katanya.

   "Wanpwe Tan Ciok-sing, mendapat pesan langsung dari In Tayhiap..."

   Belum habis dia bicara Thio Tan-hong sudah membimbingnya bangun, katanya.

   "Kau tidak perlu banyak hormat,"

   Lalu menghela napas.

   "nasib In Hou yang buruk sudah kuketahui. Anak bagus, lagu apa yang kau petik dengan irama harpa tadi?"

   Tan Ciok-sing melengak, dia tidak habis mengerti kenapa pada situasi segenting ini Thio Tan-hong masih sempat menanyakan hal-hal kecil ini. Tapi dengan laku hormat dia menjawab.

   "Yang kupetik tadi adalah lagu Khong-ling-san."

   "O, ternyata Khong-ling-san,"

   Ujar Thio Tan-hong manggut sambil menghela napas.

   "tak heran begitu memilukan, dengan latihan ketenanganku selama lima puluh tahun, ternyata terpengaruh juga diriku."--Kiranya di waktu Thio Tan-hong menjalani Pit-koan-lian-kang, keadaannya tak ubahnya seperti padri sakti yang semadi, tapi irama Khong-ling-san ternyata dapat menyentak konsentrasinya, sehingga dia terjaga dari puncak semadinya.

   "Thio Tayhiap,"

   Tan Ciok-sing berkata was-was.

   "aku tak sengaja mengganggumu, aku, aku tidak tahu..."

   Pelan-pelan Thio Tan-hong mengusap kepalanya, katanya lembut.

   "Bukan saja aku tidak menyalahkan kau, aku harus terima kasih padamu. Jikalau bukan irama harpamu yang membuatku terjaga, hutan batu yang permai ini, pasti akan diinjak-injak oleh kawanan iblis itu. Anak bagus, sekarang tolong kau petikkan pula lagu Khong-ling-san, tapi bagian depannya saja."

   Bagian depan Khong-ling-san adalah mengisahkan dua sahabat yang sedang tamasya riang gembira di alam bebas setelah sekian lama tidak bersua.

   Maka begitu irama lagu mulai berkumandang, suasana lobang batu besar yang semula terasa redup kini mendadak tambah semarak, tak ubahnya seperti alam semesta yang diliputi kehidupan subur dan makmur di musim semi.

   Pelan-pelan Thio Tan-hong pejamkan mata menunduk kepala, lekas sekali dia sudah tenggelam pula dalam latihan semadinya.

   Di kala Tan Ciok-sing mencapai ritme terakhir dari lagu yang dibawakan, Thio Tan-hong sudah mulai membuka mata serta angkat kepala, irama musik masih bergema dalam lobang batu.

   Mendadak Thio Tan-hong bersuit panjang, suaranya seperti auman harimau laksana pekik naga, Tan Ciok-sing yang berada di sampingnya sampai berjingkrak girang dan melongo.

   Suitan panjang dan menggelegar ini sekaligus telah memamerkan betapa tangguh Iwekangnya, sebetulnya Tan Ciok-sing masih terlalu cetek untuk bicara soal teori ilmu silat, tapi kini dia tahu juga bahwa semadi yang sekejap di bawah iringan lagu petikan harpanya tadi semangat dan tenaga Thio Tan-hong telah pulih seluruhnya, hawa murni seperti bergolak dalam tubuhnya.

   Betul juga dilihatnya Thio Tan-hong sudah berdiri, katanya.

   "Anak bagus sekarang aku sudah boleh berbuka semadi, marilah kau ikut aku luar." 000OOO000 Hek-pek-moko sedang memainkan gabungan ilmu tongkatnya di bawah Kiam-hong menempur tiga gembong iblis, saat mana keadaan telah mencapai saat-saat tegang yang terakhir. Mendadak suitan panjang mengalun tinggi di angkasa, sudah tentu ketiga gembong iblis itu amat kaget, sebaliknya Hek-pek-moko girang setengah mati. Liok-yang Cinjin berlaku nckad, hardiknya.

   "Biar aku adu jiwa dengan kau."

   Cambuk panjangnya tiba-tiba menggulung seperti dari kiri tapi terbalik ke kanan, ujung cambuk sudah membelit ujung kaki Pek-moko, sementara dua kerangka yang tergantol di atas cambuk sudah mental terbang ke atas.

   yang satu menggigit ke pundak kanan Hek-moko, yang lain menggigit pundak kiri Pek-moko.

   gerakan satu jurus tiga serangan ini sungguh teramat keji dan telengas.

   Dengan gerakan Yan cu coan hun (burung walet menyelinap di mega) mendadak Hek-moko melambung setombak lebih, tongkat coklat di tangannya dengan jurus Ingkik- tiang-khong (burung elang menyerang dari tengah udara) mengemplang turun ke bawah.

   Sementara Pek-moko melancarkan jurus Ko-teng-jan-siok (akar menjalin membelit pohon), menyampuk pergi kepala tengkorak yang hendak menggigit pundaknya.

   Maka terdengarlah suara "Dar, dar", dua kali, begitu tersentuh tongkat kedua tengkorak itu mendadak meledak, menyemburlah kembang api dan asap merah gelap.

   Perlu diketahui bahwa cambuk panjang yang dimainkan Liok-yang Cinjin ini dinamakan Ko-lo-liat-hwe-pian (cambuk api tengkorak), didalam kepala tengkorak besi dipasang alat rahasia, bukan saja dapat menggigit orang sampai urat nadi dan tulangnya putus, di dalamnya pun dipasang alat rahasia yang dapat menyemburkan api yang bersuhu tinggi.

   Bahwa hari itu Liok Yang Cinjin berani meluruk kesini mau menantang Thio Tan-hong bersama Kiu-poan-bo dan Le Khong-thian lantaran dia kira Thio Tan-hong sudah tua dan lemah badan, di samping dia memiliki cambuk api yang keji ini.

   Kejadian sungguh tak terduga sama sekali, saat mana Tan Cioksing masih berada di lamping gunung, tampak setelah ledakan keras tadi, Hek-pek-moko sama-sama terkurung didalam kobaran api, pakaian dan rambut mereka yang uban telah dijilat api.

   "Tosu iblis,"

   Hardik Hek-moko murka.

   "biar aku adu jiwa dengan kau,"

   Tanpa hiraukan api yang menjilat badan, mendadak dia ayun tongkatnya mengepruk ke arah Liok Yang Cinjin.

   Lwekang Pek-moko lebih rendah, dia tidak kuat bertahan, lekas dia jatuhkan diri menggelinding beberapa kali, pikirnya hendak memadamkan api yang membakar pakaian tapi belum lagi dia melompat berdiri pula pentung kepala naga Kiu-poan-bo tahu-tahu sudah mengemplang ke arah dirinya.

   Kemplangan tongkat Hek-moko berhasil menyampuk pergi Ko-lo-pian Liok Yang Cinjin, mendadak diapun menjatuhkan diri berguling seraya berseru.

   "Lui-thian-kiau-hong"

   Belum lagi Pek-moko sempat melompat berdiri tahu-tahu Hek-moko sudah menggelinding tiba hendak melancarkan gabungan ilmu tongkat mereka, maka dia urungkan niatnya malah ikut merebahkan diri pula. Begitu kedua tongkat mereka terangkat.

   "Trang"

   Keras sekali, kontan Kiu-poan-bo menyemburkan darah segar, badanpun melejit jumpalitan beberapa tombak ke belakang.

   Ternyata jurus Lui-tian-kiau-hong merupakan pusat gabungan lwekang kedua saudara kembar yang dilandasi setaker lwekang mereka, meski Kungfu Kiu-poan-bo lebih hebat lagi juga takkan kuat menghadapinya.

   Tapi .erangan tongkat Hek-moko inipun merupakan kekuatan terakhir saja, lekas dia bimbing adiknya berdiri terus lari belasan langkah kesana, keduanya tampak sempoyongan, tak ubahnya kembang lilin yang tertiup angin.

   Le Khong-thian kegirangan, teriaknya.

   "Mereka sudah tidak kuat lagi, lekas sikat mereka."

   Belum habis dia bicara mendadak terdengar sebuah bentakan menggelegar.

   "Kalian beberapa siluman jahat ini berani menjilat ludah melanggar sumpah, hari ini Thio Tanhong tak bisa memberi ampun lagi pada kalian,"

   Hardikan Thio Tan-hong ini menggunakan lwekang auman singa, begitu hebat tenaga getarannya sampai Le Khong-thian berdiri memukau seperti patung yang kehilangan semangat, To-kaktong- jin yang sudah diangkatnya tinggi ke atas tak bergerak lagi, agaknya dia jeri untuk memukulkan ke arah Hek-moko lagi.

   Cepat sekali, sebelum gema hardikan itu lenyap, tiba-tiba Thio Tan-hong sudah melayang turun seperti terjun dari tengah langit, orangnya masih puluhan langkah jauhnya, tapi tenaga Pit-khong-ciang yang dia lancarkan ternyata mendampar hebat laksana gugur gunung.

   "Blum"

   Kepala tengkorak besi yang tercantol di ujung cambuk Liok-yang Cinjin terpukul hancur menjadi bubuk oleh tenaga pukulan Thio Tan-hong, kobaran api yang menyala hebat itu seperti dihembus angin lesus malah tertolak balik membakar badannya sendiri, lekas sekali dia terguling-guling sambil menggerung, memekik dan meraung minta tolong pula, tapi kobaran api itu memang hebat, cepat sekali dia sudah mampus terbakar menjadi abu.

   Thio Tan-hong membentak.

   "Le Khong-thian, tidak setimpal kau mengotori pedangku, lekaslah punahkan sendiri ilmu silatmu."

   Le Khong-thian tetap berdiri kaku seperti patung, Tong-jin tetap terangkat di atas kepalanya, badannya tidak bergeming sama sekali. Thio Tan-hong mengerutkan kening, katanya.

   "Mengingat rasa baktimu yang ingin menuntut balas bagi gurumu, maka boleh aku mengampuni jiwamu, memangnya kau masih tidak terima?"

   Le Khong-thian tetap tidak bergerak atau menjawab pertanyaannya.

   Baru kini Thio Tanhong merasakan keganjilan ini, lekas dia memburu maju merebut Tong-jin di tangan Le Khong-thian.

   Begitu tubuh orang tersentuh, seperti sebatang balok pelan-pelan badan Le Khong-thian roboh berdentam.

   Ternyata jantungnya pecah oleh getaran hardikan Thio Tan-hong, jiwapun melayang.

   Kiu-poan-bo rebah di antara genangan darahnya sendiri, setelah merintih-rintih dia berteriak.

   "Thio Tayhiap, mohon sukalah kau bermurah hati, tamatkan saja jiwaku."

   Jurus Lui-tian-kiau-hong yang dilancarkan Hek-pek-moko memang dahsyat luar biasa, seorang diri Kiu-poan-bo berani melawan jurus dahsyat ini secara kekerasan, karuan dia tergetar luka parah sampai muntah darah, kini keadaannya sudah empas empis dan sekarat.

   Thio Tan-hong jadi tidak tega, katanya setelah menghela napas.

   "Inilah yang dinamakan orang jahat berbuat jahat akhirnya pasti memperoleh ganjaran setimpal,"

   Segera jarinya menjentik sebuah krikil dengan telak mengenai hiat-to mematikan di tubuh Kiu-poan-bo, tujuannya memang untuk mengurangi penderitaannya, jiwapun melayang seketika.

   Api yang menjilat tubuh Hek-pek-moko sudah padam, tapi keadaan mereka juga empas-empis.

   Mereka rebah sejajar di tanah, kini keduanya berusaha meronta bangun.

   "Kalian jangan bergerak,"

   Kata Thio Tan-hong.

   "biar aku obati kalian."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Napas Pek-moko sudah lemah, mulutnya megap-megap, bibirnya bergerak seperti ingin bicara, lekas Thio Tan-hong dekatkan telinganya ke mulut orang, didengarnya Pek-moko berkata.

   "Thio Tayhiap, kau sudah menuntut balas sakit hati kami, aku amat senang, api yang membakar kami mengandung racun..."

   Suaranya selembut bunyi nyamuk, sebelum habis dia berpesan, jiwapun telah melayang.

   Lekas kedua tangan Thio Tan-hong bekerja, telapak tangan kiri mendempel punggung Pek-moko, tangan kanan mendempel punggung Hek-moko, pelan-pelan dia salurkan hawa murninya ke tubuh mereka.

   Tak lama kemudian, terasa badan Pek-moko semakin dingin dan kaku, sementara Hekmoko tampak bergerak dan menggeliat, pelan-pelan dia membuka mata.

   Diam-diam Thio Tan-hong menghela napas, pikirnya.

   "Ternyata aku sendiri juga seperti pelita yang sudah hampir kehabisan minyak,"

   Tadi dengan hawa mumi sendiri dia bantu Hek-pek-moko dengan saluran tenaga, tak nyana jiwa Pekmoko tetap tak berhasil ditolongnya. Hek-moko memang sadar kembali, tapi keadaannya juga sudah payah takkan bertahan lama lagi.

   "Thio Tayhiap,"

   Kata Hek-moko lemah.

   "seharusnya tidak secepat ini kau menyelesaikan samadimu, kami berkorban tidak jadi soal kau justru harus menjaga kesehatanmu, bukankah kau harus menamatkan karya ciptaan ilmu pedangmu untuk diwariskan murid didikmu kelak?"

   Seperti disayat hati Thio Tan-hong, katanya pilu.

   "Jangan kau banyak pikiran, lekas pusatkan hawa murni ke pusar, aku akan membantumu menjebol Ki-king-pat-meh."

   "Bagaimana keadaan adikku?"

   Tanya Hek-moko.

   "Sementara tak usah kau pedulikan dia, dengarkan perkataanku. Setelah racun api yang mengenai badanmu dapat dibersihkan kau masih bisa tetap hidup,"

   Kata Thio Tanhong. Selama hayatnya belum pernah Thio Tan-hong berbohong terhadap kawannya, kini karena tidak tega memberi tahu kematian Pek-moko kepada kakaknya, terpaksa dia berbohong, namun Hek-moko sudah tahu dari nada jawabannya.

   "Thio Tayhiap,"

   Kata Hek-moko.

   "syukurlah kau tidak apaapa. Kami bersaudara dilahirkan pada hari bulan dan tahun yang sama, adalah jamak kalau mati pada hari bulan dan tahun yang sama pula. Tak usah kau membuang tenaga percuma untuk kami. Kedua tongkat harap kau suka simpan untuk warisan muridku yang datang mengambilnya. Kalau tiada yang mengambil, boleh serahkan saja kepada adik cilik ini."

   


Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Golok Halilintar Karya Khu Lung

Cari Blog Ini