Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 6


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tan Ciok-sing membawa dua bilah pedang Pek-hong-kiam dan Ceng-bing-kiam, Pek-hong-kiam tadi sudah dia gunakan menabas mati si perwira, kini entah sengaja atau karena keripuhan menghadapi serangan golok lawan, dia mencabut Ceng-bing-kiam.

   Si pemuda tadi sudah perhatikan Pek-hongkiam yang dia pakai, kini melihat dia melolos Ceng-bing-kiam, maka perhatiannya semakin besar, setelah lebih diteliti, Cengbing- kiam ini seperti pedang yang sudah dikenalnya baik, karuan hatinya semakin kejut dan gusar.

   Kepandaian si pemuda ternyata memang cukup tinggi, tapi cukup bagi Tan Ciok-sing mengembangkan Bu-bing-kiam-hoat, adalah gampang kalau dia mau mengalahkan si pemuda.

   Tapi Tan Ciok-sing masih bimbang, dia kuatir bila kurang hati-hati bisa melukai si pemuda.

   Semula dia balas menyerang untuk mempertahankan diri maksudnya supaya si pemuda tahu diri dan mundur teratur.

   Tak nyana si pemuda justru tidak hiraukan lagi mara bahaya yang mengancam.

   Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing patahkan saja semua serangan lawan.

   Sedapat mungkin dia berusaha tidak melukai lawan tapi juga harus berjaga supaya tidak dilukai, maka dapatlah dibayangkan betapa sukar dan berat usahanya ini.

   Beberapa kejap lagi Tan Ciok-sing berpikir.

   "Sebodoh-bodohnya mestinya dia tahu aku menaruh belas kasihan padanya. Aneh, kenapa dia seperti mau adu jiwa dengan aku?"

   Si pemuda tidak bodoh, diapun tidak gegabah, dia pun sedang berpikir.

   "Aneh, kenapa bangsat ini menaruh belas kasihan padaku? Ya, mungkin sengaja dia masih berpura-pura jadi orang baik untuk menipuku."

   Setelah punahkan serangan orang Tan Ciok-sing berkata.

   "Saudara, aku tidak tahu kau pernah apa dengan In Hou, tapi kalau kau memanggilnya In Tayhiap, umpama bukan murid didiknya, tentunya kaupun seorang yang pengagumnya. Kenapa tidak kita bicara blak-blakan saling menerangkan? Bicara terus terang, aku ada sedikit hubungan dengan In Tayhiap."

   "Kau ada hubungan apa dengan dia?"

   Jengek si pemuda.

   "Beritahu dulu apa hubunganmu dengan In Tayhiap, nanti kujelaskan apa yang aku tahu kepadamu."

   Pemuda itu menjengek.

   "Apa yang pernah kau lakukan aku sudah tahu, tidak perlu kaujelaskan lagi padaku."

   "Kau tahu tentang apa?"

   Tanya Tan Ciok-sing heran. Tiba-tiba si pemuda mencabut keluar sebatang pedang, dengan pedang di tangan kanan golok di tangan kiri dia menusuk dan menabas ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya.

   "Aku tahu kau adalah keparat yang mencelakai In Tayhiap dengan racun."

   Enteng gerakan pedang, golok bergaya berat dan keras, dua tangan memainkan dua macam senjata yang berbeda dengan jurus permainan yang berlainan pula, sebetulnya merupakan permainan kombinasi yang amat sukar, tapi pemuda ini justru dapat menggabungkan keras dan lunak dalam gerakan yang serasi.

   Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing memang peranti untuk menghadapi serangan yang banyak perubahan dan variasinya, namun dia toh hampir kecundang.

   Terpaksa dia tumplek perhatian, serangan lawan dia punahkan secara enteng, katanya.

   "Bukan aku ingin mengagulkan diri, tapi apa yang kulakukan justru terbalik dari tuduhanmu. In Tayhiap memang terbunuh oleh oYang jahat yang licik, tapi akulah orang yang pernah menolongnya. Walau aku sudah berusaha sekuat tenaga hendak menolong jiwanya, sayang usahaku tidak berhasil."

   Mendengar Tan Ciok-sing menyinggung kematian In Hou, amarah si pemuda memuncak sampai tidak kuasa bicara, akhirnya dia mendamprat dengan suara gemetar.

   "Kau keparat ini, kau bisa menipu orang lain, jangan harap kau bisa menipuku. Memang, dengan bekal kepandaianmu secetek ini tak bakal dapat mencelakai jiwa ln Tayhiap, tapi kau justru memungut keuntungan di kala dia dalam keadaan susah, membantu musuh berbuat kejahatan, itu berarti pula yang mencelakai jiwanya,"

   Mulut bicara tangan tak pernah kendor, pedang menusuk golok menabas, serangannya merabu semakin keji.

   "Aku membantu kejahatan?"

   Dengus Tan Ciok-sing gusar.

   "aku mencelakai In Tayhiap? Siapa yang bilang kepadamu?"

   Sedikit lena "Cret"

   Kembali bajunya tergores sobek, hampir saja pundaknya tertusuk pedang lawan. Melihat sedemikian besar rasa permusuhan si pemuda terhadap dirinya, diamdiam dia mencari akal.

   "Kujelaskan juga dia takkan mau percaya,"

   Tiba-tiba tergerak pikirannya, golok pusaka milik In Hou segera dia keluarkan, katanya.

   "Baiklah biar kugunakan ilmu golok keluarga In mohon pengajaranmu,"

   Dia meniru permainan si pemuda, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, maka terjadilah serang menyerang yang sengit. Melihat golok pusaka itu, mendelik membara bola mata si pemuda, bentaknya.

   "Bangsat keparat, katamu bukan kau yang mencelakai In Tayhiap, bagaimana golok In Tayhiap bisa berada di tanganmu?"

   "Dia sendiri yang menyerahkan kepadaku, dia titip supaya aku menyerahkan kepada sanak keluarganya. Tentunya kau tahu seluk beluk keluarganya..."

   "Siapa percaya obrolanmu?"

   Damprat si pemuda murka, sebelum Tan Ciok-sing bicara habis kembali dia mendesak dengan serangan gencar pula.

   Sejauh ini Tan Ciok-sing mulai menduga bahwa pemuda ini pasti ada hubungan erat dengan keluarga ln, asal dia bisa menyebut nama putri In Hou, tak jadi soal aku serahkan golok ini kepadanya supaya disampaikan.

   Tak kira setelah melihat golok pusaka ini, si pemuda malah semakin beringas dan memandangnya seperti musuh buyutan.

   Apa boleh buat akhirnya Tan Ciok-sing berkeputusan untuk mengalahkan dia lebih dulu.

   Selama tiga tahun menggembleng diri di Ciok-lin, Bu-bing-kiam-hoat tingkat terakhir pun telah berhasil diyakinkan, adalah jamak kalau taraf permainan ilmu golok keluarga In yang dipelajarinya juga sudah keliwat matang.

   Kalau diukur jelas lebih unggul dari si pemuda.

   Dengan golok melawan golok, pedang menghadapi pedang, Tan Ciok-sing berhasil menekan rangsakan kedua senjata lawan.

   Belasan jurus kembali telah lewat, si pemuda jelas sudah ditekannya di bawah angin hanya mampu membela diri tak kuasa balas menyerang.

   Mendapat angin Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya.

   "Golok dapat kurebut atau kucuri, tapi ilmu golok ini memangnya bisa kucuri. Ketahuilah, karena ingin membalas budi kebaikanku yang telah menolong jiwanya, maka In Tayhiap sudi mengajarkan ilmu golok ini kepadaku?"

   "Ajaran ilmu golok memang tidak bisa dicuri, memangnya buku ajaran ilmu goloknya itu tidak bisa kau curi? Sayang, berdasar ajaran buku ilmu golok itu kau belajar sendiri tanpa izin, memangnya kau kira permainan golokmu ini boleh dibanggakan,"

   Entah karena terlalu banyak bicara, gerakan goloknya ternyata menunjukkan sebuah titik lobang kelemahan.

   Tan Ciok-sing sudah naik pitam, punggung golok tiba-tiba membalik dengftn gerakan serupa dia merangsek maju menekan turun golok perak si pemuda, jengeknya.

   "Cara bagaimana baru terhitung mahir dan patut dibanggakan?"

   Dalam jangka sepercikan api ini, golok perak si pemuda tiba-tiba membalik turun, gerakan Siang-jiu-to yang sebetulnya menjojoh ke atas tiba-tiba dia tabaskan ke bawah dalam tiga jalan dengan tipu He-jiu to, bentaknya.

   "Perubahan ini kau tidak mampu, masih berani kau ngapusi aku bilang In Tayhiap mengajar langsung kepadamu?"

   Tajam golok menabas secepat kilat, tahu-tahu Tan Cioksing rasakan lututnya silir, ternyata celananya terpapas sebesar mulut cangkir, kalau dia tidak menyurut mundur, hampir saja lututnya tertabas kutung.

   Dalam detik-detik berbahaya ini, Tan Ciok-sing tidak sempat banyak pikir lagi, pedang di tangan kanan segera balas menyerang, secara reflek dia lancarkan tipu pedang yang paling liehay dari Bu-bing-kiam-hoat untuk mematahkan serangan lawan tanpa hiraukan keselamatan lawan lagi.

   "Trang"

   Golok perak si pemuda tahu-tahu kutung jadi dua, gerakan pedang Tan Ciok-sing ternyata masih terus melaju, sekali pelintir dan sendai Ceng-kong-kiam yang dipegang si pemuda kena diketuknya lepas dan terbang ke tengah udara.

   Kalau si pemuda amat kaget, tak kalah kagetnya pula Tan Ciok-sing sendiri.

   Untung pemuda itu tidak terluka, baru lega hati Tan Ciok-sing, lekas dia menarik golok dan pedang lantas dimasukan ke sarungnya, bentaknya.

   "Siapa kau sebetulnya?"

   Setelah mendapat warisan murni ajaran Kungfu Thio Tanhong baru Tan Ciok-sing berhasil mempelajari ilmu golok keluarga In secara menyeluruh.

   Bicara soal kemahiran memang dia lebih unggul, tapi dinilai kemurnian ajarannya, jelas pemuda ini lebih matang.

   Ini dapat dibuktikan dari permainannya pada jurus terakhir barusan.

   Tidak menjawab si pemuda mendadak melejit tinggi, dengan gerakan Yan-cu-sam-jau-cui Tiga Kali Burung Walet Menutul Air, beberapa kali lompatan berjangkit tahu-tahu dia mencemplak ke punggung kuda putih.

   Semula Tan Ciok-sing kira orang hendak melarikan diri, setelah melihat menunggang' kudanya baru dia terkejut, lekas dia bersiul pikirnya hendak mengundangnya kembali.

   Biasanya kuda putih ini amat penurut pada dirinya, kini entah mengapa, dia tidak lagi tunduk akan perintahnya.

   Tanpa melawan dia diam saja si pemuda menunggang di punggungnya terus kabur secepat angin malah.

   Heran dan rasa curiga berkecamuk dalam benak Tan Cioksing, pikirnya.

   "Pemuda ini pasti anak didik langsung dari In Tayhiap. Tapi suhu pernah bilang bahwa dia hanya mewariskan ilmu goloknya kepada putrinya saja, memangnya siapa dan darimana pemuda ini mempelajari ilmu golok itu? Mungkinkah murid penutupnya? Hal ini belum juga diketahui oleh Suhu? Aneh, biasanya kuda itu binal dan galak terhadap orang lain, kenapa dia mau tunduk pada pemuda itu."

   Tan Ciok-sing tetap tidak habis mengerti, sementara si pemuda sudah jauh mencongklang kuda putih itu. Untung kuda tunggangan tentara Watsu yang jadi korban itu masih berada di sekitarnya. Tan Ciok-sing tangkap salah satu di antaranya, pikirnya.

   "Apapun yang terjadi, umpama Tay-tong sudah diduduki musuh, aku akan tetap kesana mencari kabar."

   Karena kesampok barisan tentara Watsu ini, maka selanjutnya Tan Ciok-sing tak berani lewat jalan raya.

   Jalan di atas pegunungan bukan saja lebih selamat diapun dapat selalu mengamati keadaan di padang rumput nan luas terbentang sunyi itu.

   Sepanjang jalan ini dia tempuh dengan perasaan kebat kebit, kira-kira dua jam perjalanan dia tetap tak menjumpai seorang manusia.

   Memang aneh, pasukan musuh tidak pernah dilihatnya lagi, di padang rumput nan jauh di bawah sana pun tiada gerakan apa-apa.

   Tengah Tan Ciok-sing masgul, mendadak didengarnya suara berisik agak jauh di semak-semak rumput di depan sana.

   Jaraknya masih ratusan langkah, orang biasa tak mungkin mendengar keresekan ini, tapi kepandaian Tan Cioksing sudah tinggi.

   Lwekangnya tangguh, pendengarannya tajam, dia tahu di semak rumput sana ada orang sembunyi.

   Tiba-tiba di dengarnya dari semak-semak itu seorang berbisik-bisik.

   "Aneh, entah dari mana datangnya bocah ini, seorang diri menunggang kuda, berani menuju ke utara, memangnya dia hendak pergi ke Tay-tong malah?"-seorang lagi berkata.

   "Peduli siapa dia dari mana, kebetulan kita bisa merampas kudanya."

   Tan Ciok-sing melengak, pikirnya.

   "Aneh, kedua bangsa asing ini kok pandai berbahasa Han selancar ini?"

   Tengah berpikir.

   "ser, ser"

   Dua batang panah tahu-tahu sudah menyamber ke arah dirinya.

   Kedua panah ini mana dapat melukainya? Sekali raih Tan Ciok-sing tangkap sebatang, sebatang yang lain sasarannya jauh menceng ke samping.

   Agaknya bidikan panah tentara Watsu ini terlalu rendah.

   Cepat Tan Ciok-sing keprak kudanya, bentaknya.

   "Siapa itu yang membokong, hayo menggelinding keluar."

   Dua orang yang mendekam dalam semak-semak itu segera melompat keluar, sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing, mereka memang tentara, tapi bukan tentara Watsu, sebaliknya tentara kerajaan Bing dari bangsa Han tulen.

   Begitu melompat keluar kedua tentara ini menjinjing tombak terus menusuk, seorang lagi mengayun golok besar menghadang di depan terus membacok kepala kuda.

   Yang bersenjata golok ini tentara yang sudah berusia lanjut, lekas Tan Ciok-sing tarik tali kekang sehingga kepala kuda terhindar dari bacokan, karena terlalu bernafsu mengayun golok, tentara tua ini sampai terjerembab jatuh bergulingan.

   Sungguh geli dan jengkel pula Tan Ciok-sing dibuatnya, sekenanya dia ayun dan sendai pecutnya, sekali gulung dia rampas tombak panjang tentara muda itu.

   "pletak"

   Langsung dia putuskan tombak itu jadi dua, bentaknya.

   "Kalian tidak berani melawan kepada musuh penjajah, tapi berani menindas rakyat jelata melulu?"

   Kutungan tombak dibuang segera dia melompat turun. Saking ketakutan kedua tentara itu berlutut dan menyembah sambil minta ampun.

   "Aku bukan rampok, aku adalah rakyat jelata. Hayo berdiri dan jawab pertanyaanku dengan betul, nanti kuampuni jiwa kalian."

   Kedua orang itu mengiakan sambil munduk-munduk. Tanya Tan Ciok-sing.

   "Bagaimana keadaan Tay-tong?"

   "Sudah diduduki musuh,"

   Jawab kedua orang seperti berlomba omong.

   "Kalian baru lari dari Tay-tong?"

   "Betul, kita rombongan terakhir yang meninggalkan Taytong."

   Jauh hari sebelum ini Tan Ciok-sing sudah menduga cepat atau lambat Tay-tong pasti direbut musuh, tapi mendapat bukti dari mulut kedua tentara ini, mau tidak mau dia merasa merinding dan dongkol pula.

   "Tak nyana dari laksaan li dirinya ke mari, Tay-tong sudah di depan mata, namun kota yang dituju sudah terinjak-injak di bawah tapal kuda musuh.

   "Kenapa tidak kulihat rombongan besar pasukan pemerintah yang melarikan diri?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Komandan kita takut mati, sebelum musuh tiba dia sudah melarikan diri diam-diam. Setelah musuh tiba di bawah tembok wakil komandan kita bersama seluruh stafnya beramai-ramai lari, sudah tentu kaum keroco seperti kita tak lagi berani bertahan menjaga kota. Kita tak berani lari ke negeri sendiri, tak berpakaian seragam tentara pula, terpaksa lari pura-pura sebagai pengungsi."

   "Pasukan pemerintah takut melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau, tak heran kaum penjajah bertingkah dan mengganas,"

   Demikian ujar Tan Ciok-sing "Hohan,"

   Kata tentara tua.

   "kau tidak akan ke Tay-tong bukan?!"

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Aku memang hendak ke Tay-tong."

   Orang tua itu terkejut, katanya.

   "Dalam situasi seperti ini, kau masih mau pergi ke Tay-tong? Hohan, walau kau berkepandaian tinggi. Jangan seorang diri pergi ke sarang harimau lho."

   "Pepatah mengatakan tidak masuk sarang harimau, mana dapat menangkap anak harimau? Kau tak usah menguatirkan diriku. Semoga kalian selamat dan lekas sampai di rumah,"

   Habis bicara segera dia keprak kudanya berlari ke arah Utara. Sehari penuh Tan Ciok-sing menempuh perjalanan, heran selama ini tak pernah dia kesamplok lagi dengan seorangpun, jejak musuh juga tidak kelihatan.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mungkin setelah pasukan besar musuh menduduki Tay-tong, mereka perlu istirahat beberapa lama, maka tidak berlaju ke arah barat, pasukan kecil yang terbunuh di jalanan tadi mungkin hanyalah barisan ronda yang bertugas menyirapi situasi musuh?"

   Hari kedua menjelang tengah hari, Tay-tong sudah kelihatan tak jauh di depan sana.

   Tan Ciok-sing berada dipuncak gunung seberang mengawasi keadaan musuh dari tempat tinggi.

   Dilihatnya tembok kota yang biasa ramai dan mengibarkan bendera kini kelihatan sepi dan lenggang, jangan kata bayangan manusia, bayangan binatangpun tak kelihatan.

   Lama dia mendekam mendengarkan suara apa-apa, tapi tiada terdengar derap kaki kuda atau adanya tanda-tanda pertempuran.

   Diam-diam Tan Ciok-sing menaruh curiga, pikirnya.

   "Memangnya kota dikosongkan sebagai muslihat menjebak musuh?"

   Semula dia bermaksud masuk ke kota setelah malam tiba, kini melihat keadaan yang sepi ini timbul nyalinya, maka dia bedal kudanya turun dari gunung langsung berpacu ke bawah kota.

   Semakin dekat, keadaan tetap sunyi, tiada tentara yang keluar menghalanginya, agaknya kota ini memang sudah kosong.

   Pintu gerbang kota juga terbentang lebar, tiada seorangpun penjaga.

   Tan Ciok-sing keprak kudanya masuk kedalam kota.

   Jalan raya sunyi senyap rumah-rumah sama tutup pintu, entah ada tidak penghuninya.

   Setelah putar kayun menyusuri dua tiga jalan raya, barulah Tan Ciok-sing melihat sebuah warung teh yang setengah menutup pintu, seorang bocah bemsia dua belasan tengah longok-longok ke arah sini, lalu berpaling kedalam dan berkata.

   "Kek, bukan tentara asing, seorang Han yang menunggang kuda."

   Tan Ciok-sing baru paham, pikirnya.

   "Kiranya mereka kira aku ini tentara Watsu,"

   Maka dia mendekat dan turun terus mengetuk pintu katanya.

   "aku datang dari selatan, mohon suka diberi air minum."

   Bocah itu berkata.

   "Kek, sudah lama kita tidak buka warung, kebetulan ada tamu datang. Perutku memang sudah kelaparan, hayolah kita layani,"

   Maklum usianya masih kecil, dia maklum kalau berdagang pasti mendapat uang, ada uang baru bisa beli nasi. Seorang tua membuka daun pintu yang sudah keropos, katanya dengan tawa getir.

   "Berdagang pula? Tuan ini, terus terang, meski sebelum ini kami buka warung, tapi sekarang daun teh pun kami tidak punya lagi. Kau minta minum, terpaksa aku hanya bisa menyuguh segelas air putih saja."

   "Sehari ini aku tidak minum barang setetes air. Rasa dahaga tak tertahan lagi, terima kasih kalau Lo-tiang sudi memberi segelas air minum."

   Orang tua ini memang baik hati, segera dia membawa keluar semangkok penuh air putih, katanya.

   "Siau-ko, kenapa dalam keadaan seperti ini kau masih datang ke Tay-tong?!"

   "Hubungan putus berita tidak sampai, waktu aku berangkat, tidak tahu kalau disini sudah perang. Tapi masih untung, Tay-tong kan masih belum direbut musuh."

   "Beberapa hari ini sungguh berbahaya, musuh sudah berada di bawah tembok, pasukan pemerintah sudah lari semua, pada detik kita menunggu serbuan musuh kedalam kota. Entah kenapa dalam semalam saja, musuh yang berjejal di bawah tembok ternyata sudah pergi semuanya. Ada yang bilang karena Kim-to Cecu turun gunung memutus jalan mundur mereka, mereka tidak tahu kalau pasukan pemerintah sudah merat seluruhnya, kuatir terkepung dan di tekan dari depan belakang, maka lekas-lekas mereka mengundurkan diri. Ada pula yang bilang dalam negeri mereka terjadi perebutan kekuasaan, entah mana yang betul."

   "Peduli mana yang benar, kenyataan nama besar Kim-to Cecu memang menggetar nyali musuh. Pasukan musuh agaknya memang dipecah dalam jumlah banyak untuk mundur, ada juga yang terputus jalan mundurnya maka main bunuh dan mengganas terhadap penduduk."

   "Betul, pasukan kecil musuh yang terpencar itu banyak yang mengganas didalam kota setelah tahu kota ini tidak terjaga, rakyat jelata menjadi korban mereka, harta benda dan rangsum mereka rampas seluruhnya,"

   Demikian tutur si kakek.

   "O, kiranya begitu, banyak terima kasih akan pelayanan kakek, tiada yang dapat kubuat balasan, silahkan terima setengah karung rangsum kering ini,"

   Lalu dia buka kantong rangsum dan berkata.

   "Adik cilik, nah cobalah kamu akan ini."

   Bercahaya mata bocah yang sudah kelaparan ini, teriaknya.

   "Waduh wanginya. Hore, aku dapat kue bolu, aku dapat kue bolu Kek, kau pun makanlah setengah."

   "Air semangkok terhitung apa,"

   Ucap si kakek.

   "Siau-ko, mana berani aku terima kebaikanmu ini?"

   "Terus terang, rangsum kering ini sebetulnya bukan milikku,"

   Ujar Tan Ciok-sing geli. Si kakek melengak, hati curiga tapi dia tidak berani tanya, adalah si bocah yang tidak tahu urusan segera berdiri dan tanya.

   "Wah, jadi hasil rampasan? Kalau kau merampas milik orang lain, tak berani aku memakannya."

   "Bukan hasil rampasan,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "di tengah jalan ada kesamplok pasukan kecil musuh, tapi musuh yang sudah mati maka rangsum mereka aku ambil."

   "Siapa yang membunuh mereka?"

   Tanya si bocah terbelalak.

   "Entahlah, kulihat ada delapan mayat musuh menggeletak di tanah berumput, kuda mereka berpencar makan rumput. Setelah mengumpulkan rangsum mereka, aku ambil seekor kuda untuk melanjutkan perjalanan."

   Bocah itu berjingkrak sambil tepuk tangan.

   "Pasti anak buah Kim-to Cecu yang mengganyang mereka."

   "Jadi barang milik Watsu, hayolah kita sikat saja,"

   Seru si bocah lalu mengganyang kue bolu itu dengan lahapnya.

   "Siau-ko, sungguh baik hati, entah bagaimana aku harus membalas kebaikan ini. Adakah sesuatu yang perlu kubantu? Oh, ya, aku belum sempat tanya, logatmu dari luar daerah, untuk apa kau menempuh bahaya datang ke Tay-tong?"

   "Aku mendapat pesan dan titipan seorang kenalan untuk mencari seseorang disini."

   "Entah siapa yang Siau-ko cari?"

   "Di kota Tay-tong ini ada seorang In Tayhiap In Hou, apakah Lo-tiang kenal dia?"

   "Mana mungkin kita tidak kenal In Tayhiap,"

   Sela si bocah.

   "waktu kecil pernah aku melihatnya. Rumah mereka tidak jauh dari sini, belok ke kiri di ujung jalan raya itu lalu tiba di persimpangan jalan di depan pintunya terdapat sepasang batu singa besar, nah itulah rumahnya. Aku bisa antar kau kesana."

   "Jadi kau hendak mencari In Tayhiap? Sayang sudah tiga tahun In Tayhiap tidak pulang."

   "Apakah In-hujin tak di rumah?"

   "In-hujin?"

   Si kakek melengak.

   "In-hujin yang kau tanyakan? Masa kau belum tahu?"

   "Tahu apa?"

   Balas tanya Tan Ciok-sing.

   "Maaf akan kelancangan Lo-han, siapa yang suruh kau kemari mencari In Tayhiap?!"

   "Aku adalah salah seorang pembantu yang bekerja di istana keluarga Toan di Tayli atas perintah Siau-ongya, aku disuruh menyambut keluarga In Tayhiap untuk mengungsi ke Tayli."

   Kakek ini tahu bahwa keluarga In memang ada hubungan keluarga dengan keluarga Toan di Tayli, tapi hubungan tidak sering, maka dalam hati dia membatin.

   "Mungkin keburukan keluarga pantang tersiar keluar, soal itu tentu tak pernah dibicarakan In Tayhiap dengan keluarga Toan. Atau mungkin juga pernah dibicarakan, namun Siau-ongya itu tentu takkan memberi penjelasan pada bawahannya. Setiba disini setelah tahu In Tayhiap tiada di rumah, adalah jamak kalau dia menanyakan In-hujin."

   "Jadi In-hujin juga tidak di rumah?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Sejak beberapa tahun lalu In Tayhiap sudah berpisah dengan istrinya,"

   Demikian ujar kakek tua.

   "Lho, kenapa?!"

   Tanya Tan Ciok-sing kaget. Kakek itu geleng-geleng, katanya.

   "Aku mana tahu. In Tayhiap sering minum-minum di warungku ini, urusan pribadinya sudah tentu tidak aku tanyakan,"

   Seakan-akan dalam persoalan ini ada rahasia tertentu yang pantang diucapkan.

   Sebelum ajal In Hou berpesan supaya Tan Ciok-sing pulang ke rumah memberi kabar kepada puterinya, sejauh itu tidak pernah menyinggung isterinya.

   Demikian pula suhunya Thio Tan-hong juga berpesan supaya Ceng-bing-kiam diserahkan pada putri In Hou, tidak membicarakan isteri In Hou.

   Maklum hanya setengah hari Tan Ciok-sing kumpul dengan gurunya yang sudah dekat ajal.

   Adalah logis, kalau dia tidak tahu apaapa tentang seluk beluk keluarga In.

   Kini melihat sikap dan tutur kata laki-laki tua ini ada sesuatu yang kurang beres, maka dia tidak mendesak lebih lanjut.

   Tapi tujuan kedatangannya ini adalah mencari In San, maka jejak dan berita mengenai In San harus diselidiki.

   "Kabarnya In Tayhiap punya seorang putri, entah adakah dia di rumah?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Tak pernah kudengar bahwa nona In pernah meninggalkan rumah, selama belasan hari ini semua penduduk sama menutup pintu, mana berani mencampuri urusan orang lain. Apa dia masih ada di rumah, kami juga tidak tahu."

   "Apa susahnya untuk cari tahu dia di rumah atau tidak,"

   Sela si bocah.

   "hayo kuantar kau ke rumahnya kan beres."

   "Terima kasih adik cilik akan kebaikanmu, tak usah ikut repot-repot, alamat sudah kau jelaskan, aku bisa mencarinya sendiri. Cuma titip kuda ini dan sukalah kalian merawatnya baik-baik."

   "Itu mudah,"

   Ujar si kakek.

   "makanan untuk manusia memang kami tidak punya, tapi di kebun pun banyak tumbuh sayuran dan rumput liar, soal makan untuk kuda tidak perlu dikuatirkan."

   Setelah pamitan Tan Ciok-sing segera meninggalkan warung teh dan menuju ke alamat seperti yang diterangkan si bocah.

   Pada persimpangan jalan di ujung jalan raya pada putaran kedua memang terdapat sebuah rumah gedung dengan pintu gerbang lebar diluar pintu terdapat sepasang batu singa besar.

   Cuma letak dan arah sepasang batu singa ini kelihatan rada ganjil.

   Umumnya sepasang singa ini ditaruh dalam posisi yang sama dengan arah yang sama pula tapi sepasang singa yang dilihat Tan Ciok-sing sekarang justeru agak aneh.

   Kepala batu singa sebelah kanan tertuju ke tengah jalan, sebaliknya singa batu di sebelah kiri justru terbalik, pantatnya yang terarah ke jalan raya, kepalanya terarah ke pintu besar.

   Tan Ciok-sing berjingkat, pikirnya.

   "Siapa yang berbuat segila ini? Tapi tenaganya sungguh luar biasa, bahwa dia berani unjuk kekuatan di depan rumah In Tayhiap, tentunya bukan ingin melakukan tantangan belaka,"

   Lalu dengan seksama dia maju memeriksa, singa batu sebelah kanan memang tetap pada letaknya, tapi pada badan singa batu terdapat dekukan cap telapak tangan, memang tidak dalam tapi kelihatan cukup jelas.

   Tan Ciok-sing curiga dan ragu-ragu, pikirnya pula.

   "Bahwa orang ini berani pamer kepandaian di depan seorang ahli, pasti maksudnya tidak baik. Apakah nona In kini sudah dikerjai musuh?"

   Saat mana hari sudah menjelang magrib. Tan Ciok-sing mendekati pintu menggedor cukup keras, tapi ditunggutunggu tiada orang membuka pintu. Maka hati Tan Ciok-sing semakin gelisah.

   "Nona In, aku mendapat titipan dari ayahmu. Kubawa golok pusaka ayahmu sebagai bukti, harap kau suka buka pintu,"

   Demikian teriaknya menggunakan Iwekang tinggi, suaranya tidak keras tapi dapat tersiar cukup jauh, kalau didalam ada orang pasti mendengarnya.

   Tapi beruntun tiga kali berkaok-kaok, didalam tetap sunyi dan tiada reaksi.

   Kuatir putri In Hou mengalami musibah, dia tidak hiraukan adat istiadat lagi, segera dia kembangkan ginkang melompat ke atas tembok terus melayang kedalam hendak memeriksa keadaan didalam.

   Didalam sepi tak tampak bayangan seorangpun, tapi tak kelihatan ada mayat disini, diam-diam lega juga hati Tan Cioksing.

   Setelah memeriksa ruang tamu, kamar buku dan sebuah kamar tidur yang mungkin di tempati I n Hou semasa masih hidupnya, keadaan rumah dalam keadaan rapi dan teratur baik, tiada tanda-tanda keributan.

   Akhirnya dia tiba di depan sebuah kamar yang mungkin di tempati oleh nona In.

   Daun pintu hanya dirapatkan, masih tercium bau harum dari sisasisa asap dupa yang keluar dari sela-sela pintu.

   Pikir Tan Cioksing.

   "Pasti inilah kamar tidur nona In, pantaskah aku masuk kedalam?"

   Pelan-pelan dia mengetuk pintu, tetap tiada jawaban.

   Tan Ciok-sing membesarkan hati, pelan-pelan dia dorong daun pintu lalu melongok kedalam kerai di belakang pintu setengah tergulung, kelambu menjuntai turun, seprei dan kemul serta bantal guling tetap rapi, meja dan jendeia bersih mengkilat tiada debu.

   Meja bundar di bawah jendela itu terbuat dari batu marmer hijau mulus, di atas meja terdapat pedupaan, sisa api masih menyala.

   Melihat gelagatnya penghuni kamar ini belum lama keluar dan sebentar lagi akan kembali.

   Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.

   "Kalau musuh In Tayhiap kemari, pasti ada tanda-tanda perkelahian didalam rumah. Demikian pula bila nona In ketangkap musuh, sedikitnya dia pasti melawan dan keadaan kamar tentu moratmarit."

   Di kala Tan Ciok-sing kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati, mendadak didengarnya suara seorang perempuan memanggil dengan tertahan.

   "San-ji, San-ji, San-ji."

   Karuan Tan Ciok-sing terperanjat, batinnya.

   "Mungkinkah ln-hujin telah kembali? Bila dia melihat aku berada di kamar putrinya, wah, berabe..."

   Sesaat dia jadi melongo kebingungan, apakah dia harus lari keluar atau sembunyi saja. Belum lagi dia berkeputusan, didengarnya perempuan diluar itu menghela napas panjang, katanya rawan.

   "San-ji, apa kau tidak hiraukan ibumu lagi aku datang minta pengampunanmu,"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Memang tidak salah dugaannya, yang datang memang ibu In San.

   Setelah memasuki kamar In San, Tan Ciok sing hanya merapatkan daun pintunya saja.

   Langkah perempuan itu semakin dekat akhirnya berada di depan kamar.

   Tapi dia tidak segera mendorong pintu.

   "Kembali In-hujin berkata dengan suara lirih.

   "San-ji, kau membenciku, aku tidak menyalahkan kau, dulu memang aku yang salah. Tapi setiap detik aku selalu merindukan kau. Kini sengaja aku kemari mencarimu, apa kau tidak sudi keluar menemuiku?"

   Tan Ciok-sing memang belum tahu akan seluk beluk kehidupan keluarga In, namun sedikit banyak dia tahu adalah pantang dirinya mencari tahu rahasia keluarga orang lain.

   Jikalau sampai konangan bahwa dirinya tahu liku-liku kehidupan keluarga lain bisa-bisa dirinya celaka.

   "Tak heran kakek penjual teh itu ragu-ragu waktu membicarakan tentang In-hujin, agaknya perpisahan antara In Tayhiap dengan isterinya, memang berlatar belakang jelek."

   Demikian pikir Tan Ciok-sing karena itu dia sadar dirinya tidak boleh keluar. Tidak mendengar jawaban, In-hujin berpikir.

   "Biar kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada dia,"

   Maka dia berkata pula.

   "San-ji, aku membawa berita ayahmu, terserah kau mau mengakui diriku atau tidak, kau akan kubawa pergi dari sini. Karena ayahmu sudah tidak bisa merawatmu lagi,"

   Tiba-tiba dia kertak gigi terus mendorong pintu. Di saat In-hujin mengutarakan isi hatinya ini, benak Tan Ciok-sing sudah berputar bolak-balik, semula dia hendak sembunyi, tapi akhirnya dia berpikir.

   "Dia tahu berita apa tentang suaminya? Aku harus tanya jelas kepadanya. Dan lagi tujuanku kemari adalah mengembalikan barang peninggalan In Tayhiap, tidak ketemu putrinya kuserahkan kepada isterinya kan juga sama saja. Walaupun dia sudah berpisah dengan In Tayhiap, kenyataan kan dia tetap ibu In San,"

   Di kala dia hendak bersuara itulah tiba-tiba daun pintu sudah didorong terbuka.

   Mendadak melihat seorang pemuda sembunyi di kamar putrinya, karuan In-hujin kaget.

   Baru saja Tan Ciok-sing sempat berucap "aku", tiba-tiba dilihatnya cahaya kemilau dingin sudah menyamber tiba, In-hujin telah menusuknya dengan pedang.

   Sebat sekali Tan Ciok-sing mengegos ke samping, di saat In-hujin melengak, sebat sekali dia berkelebat lewat samping tubuhnya.

   Gerakannya boleh dikata cukup cepat sementara perasaan In-hujin juga tergoncang, tapi dimana ujung pedang menyamber, lengan bajunya tak urung terpapas sebagian, untung tidak melukai kulit dagingnya.

   Tersipu-sipu Tan Ciok-sing berseru.

   "Aku bukan orang jahat, aku kemari atas perintah In Tayhiap."

   Belum habis dia bicara bagai bayangan mengikuti bentuk aslinya In-hujin sudah memburu tiba.

   "Sret"

   Kembali pedangnya menusuk, dampratnya.

   "Memangnya In Hou suruh kau masuk ke kamar putrinya? Sekarang waktu apa? Kau masuk ke rumah orang tanpa permisi, kalau bukan rampok pasti pemerkosa,"

   Di kala bicara In-hujin melancarkan delapan jurus serangan, sinar pedangnya menembus ke kanan menyelinap ke kiri, sedikit lengah Tan Ciok-sing pasti dihiasi lobang pada tubuhnya. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing melolos golok pusaka In Hou.

   "Harap Pek-bo mendapat tahu..."

   "Siapa Pek-bomu?"

   Hardik In-hujin. Tan Ciok-sing memutar golok mengetuk pedang orang, katanya.

   "In-hujin, kau tidak percaya akan diriku, tentunya kau percaya akan golok ini, inilah golok pusaka milik In Tayhiap, tentunya Hujin mengenalnya baik. In Tayhiap suruh aku membawanya ke mari sebagai tanda pengenal."

   Mendengar perobahan panggilan Tan Ciok-sing, seketika merah muka In-hujin, pikirnya.

   "Apa yang kuucapkan tadi, tentunya sudah didengar seluruhnya oleh bocah ini,"

   Tiba-tiba alisnya tegak matanya mendelik, hawa nafsu berkobar dalam benaknya, dengan jurus Giok-li-coan-so, mendadak dia menusuk dari arah yang tak pernah diduga oleh Tan Ciok-sing.

   Bagaimana juga Tan Ciok-sing takkan berani menggunakan golok pusaka untuk memapas pedang lawan, tapi jurus serangan mendadak ini bukan saja keji tapi juga liehay, demi menyelamatkan diri, tak sempat dia banyak pikir menguatirkan segala sesuatunya lagi.

   Untung dia sudah meyakinkan Bubing- kiam-hoat, ilmu pedang yang khusus diciptakan untuk menghadapi segala perubahan situasi.

   In-hujin melancarkan serangan mematikan ini dia kira Tan Ciok-sing takkan mampu meloloskan diri, tak nyana pada detik-detik ujung pedangnya hampir menusuk tubuh orang tahu-tahu "Cret"

   Ceng-kongkiam di tangannya telah kutung jadi dua, pada hal Tan Cioksing hanya berputar sambil menggerakkan golok pusaka itu, maklum Tan Ciok-sing telah melansir gerakan Bu-bing-kiamhoat kedalam permainan golok.

   "Harap Hujin suka memaafkan,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "Sesungguhnya memang In Tayhiap yang menyuruhku kemari..."

   "Nanti dulu, siapa namamu?"

   Tanya In-hujin. Tan Ciok-sing kira orang sudah mau mendengar laporannya, maka dia masukkan golok kedalam sarungaya, katanya.

   "Wanpwe Tan Ciok-sing, bertempat di Kwi-lin..."

   Berubah air muka In-hujin, bentaknya.

   "Ternyata memang benar kau keparat ini."

   "Wut"

   Pedang kutung di tangannya tahu-tahu ditimpuk dengan deru angin kencang menerjang ke dada Tan Ciok-sing.

   Untung Tan Ciok-sing cepat berkelit, dengan gerakan Hong-tiam-thau, pedang kutung itu menyamber lewat serambut di atas kepalanya.

   Teriaknya dengan tersirap.

   "Inhujin, aku sudah bicara baik-baik, kenapa kau, kau..."

   Beringas pucat wajah In-hujin, beruntun dia batuk-batuk, sambil batuk sambil berkata putus-putus.

   "Kau keparat ini, kau kira aku tidak tahu? Kau sudah membunuh In Hou, berani ke mari hendak menipu aku. Hm, goloknya itu sudah kau curi dan kini kau gunakan pada diriku, memangnya kau kira aku takut, nah rasakan kelihayanku."

   Bingung dan heran Tan Ciok-sing dibuatnya, batinnya.

   "Kemarin pemuda itu seketika naik pitam setelah aku memperkenalkan diriku, menuduhku sebagai pembunuh In Tayhiap. Sekarang demikian pula sikap In-hujin. Siapakah yang memfitnahku? Kenapa pula mereka begitu percaya akan fitnah pada diriku, hakikatnya aku tidak diberi kesempatan membela diri?"-Lekas sekali dia pun sudah tahu duduk perkaranya.

   "Agaknya In-hujin memperoleh kabar bahwa akulah yang mencelakai jiwa In Tayhiap."

   Batuk In-hujin tidak berhenti, seperti orang yang sedang sakit umumnya, keadaannya sebetulnya lemah, tapi gerakannya teramat cepat, di tengah batuknya itu dia mencopot kain ikat pinggang, bagai ular sakti ikat pinggangnya ini berputar menari dan bergulung-gulung, sambil memaki kain sutra merah di tangannya itu berusaha membelit golok Tan Ciok-sing, maksudnya hendak merebutnya.

   Jangan pandang enteng kain lemas panjang ini, karena di bawah permainan In-hujin ternyata mengeluarkan deru angin yang kencang bagai lesus, perbawanya tidak kalah dari sebatang ruyung lemas, malah lebih lincah dan sukar dilayani.

   Dua jurus serangan dapat dihindarkan, tapi jurus ketiga gerakan Tan Ciok-sing sedikit ayal, ujung kain menyerempet ujung hidungnya, rasanya pedas dan panas.

   Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing tarikan goloknya untuk menangkis.

   Tapi kain selendang lemas itu justru bergerak mengikuti gerakan goloknya, naik turun seperti burung hong terbang, sedikitpun tidak kuasa untuk membendung gerakannya.

   Bahwasanya golok pusaka ini tajamnya dapat mengiris besi, tapi sekarang tak kuasa memapas selendang sutra ini, lebih sulit dihadapi lagi karena permainan selendang sutra In-hujin mengkombinasikan tenaga lunak dan keras, sesekali dia harus waspada jikalau tidak mau kepalanya kena dikemplang.

   Apa boleh buat Tan Ciok-sing keluarkan pula Pek-hongkiam pemberian Thio Tan-hong, dengan golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, dia melibat dirinya didalam cahaya pedang dan sinar golok, kini keadaannya agak mending, tapi paling hanya mampu bertahan membela diri, hakikatnya tak mampu balas menyerang.

   In-hujin menjengek dingin.

   "Kiranya kau keparat cilik ini juga berhasil menipu pedang pusaka Thio Tan-hong."

   Kecut tawa Tan Ciok-sing, katanya.

   "Cara bagaimana baru kau mau percaya padaku? Ketahuilah Thio Tayhiap adalah guruku, Pek-hong-kiam ini adalah pusaka perguruan yang diwariskan padaku, masih ada sebatang Ceng-bing-kiam..."

   "Untuk putrimu", belum sempat dia ucapkan, tahu-tahu pergelangan tangan terasa kesemutan, golok pusaka di tangan kiri sudah tergulung lepas dari cekalannya, sekali sendai dan dorong golok yang tergulung di ujung selendangnya dia timpuk balik, karena sibuk mempertahankan diri, Tan Ciok-sing tidak sempat berbicara lagi.

   "Trang"

   Golok dan pedang beradu, sama-sama senjata pusaka maka meletiklah kembang api, untung pedang dan golok tiada yang gumpil.

   Golok berkerontangan jatuh di lantai, selendang In-hujin kembali hendak membelit pedang pusakanya.

   Hanya bersenjata pedang, meski ilmu pedangnya liehay, karena kurang pengalaman, lambat laun Tan Ciok-sing semakin kerepotan.

   Di tengah pergulatan antara permainan pedang melawan selendang sutra lemas itu, Tan Ciok-sing mendengar batuk Inhujin semakin keras dan memanjang, agaknya keadaannya juga semakin payah.

   Terpaksa Tan Ciok-sing boyong seluruh kepandaiannya, beberapa jurus dia berhasil punahkan serangan In-hujin, sedikit peluang segera dia berseru.

   "In-hujin, kau sedang sakit bukan? Sukalah kau berhenti dulu, biar aku bicara beberapa patah? Jelas aku takkan bisa lolos, kaupun bisa beristirahat."

   Maksudnya baik, tak tahunya mendadak In-hujin menyerang lebih gencar dan berantai.

   "Tang"

   Akhirnya Pekhong- kiam di tangan kanan Tan Ciok-sing kena dibelit dan terlepas dari cekalannya.

   Begitu pedang dikipatkan dan terlempar di pojok kamar, sekali membalik pergelangan tangan pula, ujung selendang itu selincah ular tahu-tahu membelit leher Tan Ciok-sing, seperti ular hidup saja lilitan selendang sutra atas lehernya ini semakin mengencang, hanya sekejap Tan Ciok-sing sudah megap-megap hampir putus napas.

   Diam-diam Tan Ciok-sing mengeluh.

   "Tak nyana hari ini jiwaku amblas di tangan In-hujin secara penasaran,"

   Meski dia sudah dalam keadaan kepepet, secara reflek adalah jamak kalau dia berusaha membebaskan diri.

   Sekejap lagi pandangan Tan Ciok-sing sudah mulai gelap, kepalanya berkunang-kunaang pusing tujuh keliling, tenaga untuk merontapun sudah tiada lagi.

   Insaf bahwa jiwa sendiri bakal melayang, tiba-tiba di dengarnya In-hujin batuk-batuk pula beberapa kali, entah mengapa, selendang yang membelit lehernya perlahan-lahan mengendor.

   Sukma Tan Ciok-sing boleh dikata sudah putar balik dari sorga dunia pula, agak lama baru dia bisa memulihkan kesadarannya, waktu dia membuka mata, dilihatnya In-hujin juga mendeprok di lantai, wajahnya pucat pias, darah meleleh di ujung bibir, darah tampak pula berceceran di lantai.

   Lekas Tan Ciok-sing tenangkan diri, hawa murni dikerahkan berputar tiga lingkaran, lekas sekali dia sudah memulihkan beberapa bagian tenaga dan semangatnya, lalu perlahanlahaan menghampiri In-hujin.

   "Kau, kau bunuh aku saja,"

   Desis In-hujin geram.

   "Aku kemari bukan untuk membunuhmu,"

   Sahut Tan Cioksing.

   "Barusan hampir saja aku membunuhmu, kini aku sudah tiada tenaga melawan, kenapa tidak kau membunuhku?"

   "Hujin hendak membunuhku, mungkin karena salah paham. Memangnya aku juga harus bertindak semberono tanpa memandang baik buruk dan benar salahnya?"

   Sudah tentu In-hujin tidak percaya akan ketulusan hatinya, jengeknya.

   "Muslihat apa pula yang hendak kau lakukan?"

   Tan Ciok-sing tidak banyak bicara lagi, dia pungut dulu golok dan pedang pusaka dimasukan ke sarung lalu mengangsurkan golok pusaka itu ke tangan In-hujin, setelah orang menggenggam gagang golok pelan-pelan dia menariknya bangun.

   "Apa yang hendak kau lakukan?"

   Tanya In-hujin.

   "Mari kubimbing Hujin rebah di atas pembaringan, lantai ini lembab dan dingin, tidak baik untuk kesehatan."

   Meski tidak percaya bahwa Tan Ciok-sing ternyata sebaik ini hatinya, namun dia sendiri toh harus pikirkan kesehatan, di luar sadarnya dia genggam gagang golok lebih erat lalu beranjak ke pembaringan dengan golok sebagai tongkat.

   In-hujin rebah di atas pembaringan putrinya, katanya.

   "Baiklah, ada omongan apa boleh kau katakan kepadaku sekarang,"

   Dalam hati dia membatin.

   "Biar kudengar obrolan manis apa yang hendak dia sampaikan untuk menarik simpatikku?"

   "Jangan tergesa-gesa, sekarang kau belum boleh banyak pikir, setelah keadaanmu lebih baik saja. In-hujin sukalah kau beritahu padaku, penyakit apakah yang kau idap? Apa kau ada membawa obat?"

   Melihat sikap orang jujur dan bicara setulus hati, bukan pura-pura dan munafik, rasa curiganya dengan sendirinya mulai berkurang, katanya setelah menghela napas.

   "Penyakitku ini tak kan bisa diobati lagi, kau tidak perlu memeras keringat."

   "Sukalah kau ulurkan tanganmu,"

   Pinta Tan Ciok-sing.

   "Untuk apa?"

   Tanya In-hujin melengak.

   "Wanpwe pernah belajar ilmu pengobatan, meski masih cetek, maksud Wanpwe hendak memeriksa nadi Hujin."

   Pikir In-hujin.

   "Kalau dia mau bunuh aku sejak tadi jiwaku sudah melayang, buat apa pakai main sandiwara segala,"

   Maka dia ulurkan tangannya, tiga jari Tan Ciok-sing segera menekan urat nadi pergelangan tangannya.

   Bagi kaum persilatan bila urat nadi penting ini sampai tercengkeram oleh lawan, itu berarti menyerahkan jiwa raga sendiri kepada musuh.

   Meski In-hujin yakin Tan Ciok-sing tidak bermaksud jahat, namun hatinya kebat-kebit juga.

   Agak lama Tan Ciok-sing memeriksa urat nadi lalu memejam mata menepekur.

   In-hujin berkata.

   "Aku tahu penyakitku ini takkan bisa sembuh dan tinggal menunggu waktu saja, untuk ini boleh kau berterus terang kepadaku saja."

   Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya.

   "Kau adalah angkatan tuaku, untuk menyembuhkan penyakit ini, maaf kalau aku tidak memakai peradatan lagi."

   Pelan-pelan dia membalikkan tubuh In-hujin. Sudah tentu In-hujin kaget, serunya dengan suara berat.

   "Kau, apa yang kau lakukan?"

   Tan Ciok-sing tidak bicara, tangan kanan diulurkan menempel di punggung orang terus menyalurkan Iwekang ke tubuh orang, bantu melancarkan jalan darah yang terganggu dan tersumbat, Tan Ciok-sing sudah memperoleh ajaran murni Iwekang Thio Tan-hong, meski terbatas waktu sehingga latihannya belum sempurna, tapi Iwekang murni dari aliran lurus ini sungguh luar biasa.

   Sebentar saja terasa oleh In-hujin segulung hawa panas timbul dalam pusarnya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebagai ahli silat sudah tentu dia tahu babwa Tan Ciok-sing sedang mengobati penyakitnya secara jujur dan bajik.

   Diam-diam dia menyesal akan kecurigaan dirinya terhadap kebaikannya.

   Pikirnya.

   "Baru saja dia bertempur dengan aku, hampir tercekik mati pula, namun dia masih sudi menguras hawa murninya untuk membantu aku menembus urat nadi yang buntu, sungguh memalukan kalau aku curiga padanya malah,"

   Tanpa terasa air matanya bercucuran, katanya sesenggukan.

   "Kau sudah berusaha sekuat tenaga, tapi usahamu tak kan berhasil. Jangan kau menguras hawa murnimu demi diriku."

   "In-hujin kau masih ada harapan sembuh. Jangan banyak pikiran, lekas himpun hawa murni kedalam pusar."

   Beberapa kejap lagi didengarnya, In-hujin merintih-rintih kesakitan, teriaknya.

   "Panas, panas, mampus aku karena kepanasan, aku, aku tidak kuat lagi."

   Ternyata hawa murni yang dihimpun In-hujin tidak bisa disalurkan secara semestinya sementara Tan Ciok-sing hanya mengandalkan kekuatan Lwekang sendiri juga tak kuasa menembus Ki-kingpat- meh.

   Pikiran In-hujin tidak tenang lagi, maka hanya hawa api semakin membara dalam tubuh.

   Setelah bertempur tadi Tan Ciok-sing juga kehabisan tenaga, kini harus menguras lwekang untuk menyembuhkan penyakit In-hujin pula, keadaannya boleh dikata sudah lunglai.

   Di kala Tan Ciok-sing kehabisan daya, tiba-tiba dia teringat cara kakeknya dulu waktu menyembuhkan In Tayhiap pernah mempergunakan petikan lagu Khong-ling-san bagian pertama, meski belakangan In Tayhiap mati karena serbuan kawanan penjahat, bahwasanya usaha penyembuhan dengan irama musik itu semestinya berhasil, karena mendapat bantuan petikan harpa itu In Hou berhasil memulihkan beberapa bagian tenaganya.

   "Kenapa tidak kucoba?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   "walaupun kemampuanku belum memadai kakek, mungkin, aku masih mampu menenangkan gejolak perasaannya."

   Lekas Tan Ciok-sing menyulut dupa wangi, lalu menaruh harpa antik di atas toilet, irama musik nan merdu seketika bergema seiring dengan jarinya yang bergerak lincah di atas senar harpa.

   Laksana hembusan angin sepoi di musim panas, seperti menemukan air di tengah padang pasir nan panas terik.

   Mendadak In-hujin merasa seperti diguyur air dingin, badannya kepanasan lekas sekali terhembus lenyap oleh semilirnya alunan musik, bara didalam hatipun seketika padam tersiram oleh sumber air nan dingin.

   Bagian pertama Khong-ling-san mengisahkan kenangan terhadap seorang sahabat baik.

   Tapi In-hujin justeru terkenang pada masa lalu, masa remajanya nan riang dan gembira, terkenang pada malam pertama dirinya menikah mengecap kebahagiaan rumah tangga.

   Waktu itu dia puas bahwa sang suami adalah seorang gagah, meski sesewaktu dia pun teringat pada seorang pemuda lain yang pernah juga mengetuk sanubarinya.

   000OOO000 Layar kenangan mulai tersingkap.

   Delapan belas tahun yang lalu, dirinya masih sebesar putrinya sekarang.

   Ayahnya adalah wakil komandan dari pasukan bayangkari, sedang In Hou adalah putra In Jong yang pernah merebut Bu-conggoan.

   Kedua keluarga sembabat berhubungan intim 'agi, maka pada waktu dirinya berusia enam belas, atas putusan kedua orang tuanya, mereka dinikahkan.

   Tapi ada pula seorang laki-laki lain yang memuja dan mengejar-ngejar dirinya.

   Dia bernama Liong Bun-kong, putra tunggal Liong Yau-wa yang berpangkat sekretaris militer.

   Seperti juga In Hou, Liong Bun-kong berperawakan gagah, tampan dan romantis, ilmu silatnya memang bukan tandingan In Hou, tapi dia lebih pandai main aksi dan merayu perempuan.

   Ayahnya sebagai sekreteris militer, pada hal dia lulusan sekolah sastra.

   Kedua laki-laki ini sama-sama sudah dikenalnya baik sebelum pertunangan diresmikan.

   Tapi dinilai keadaan waktu itu, dia lebih cenderung untuk mencintai In Hou.

   Pada usia delapan belas dia menikah, betapa riang gembira pada harihari pertama sejak pernikahan itu, sampai hari ini setelah delapan belas tahun berselang, hatinya masih merasakan manis mesra.

   Tahun kedua dia melahirkan seorang orok mungil perempuan, bayangan Liong Bun-kong hakikatnya sudah tawar dan lenyap dari benaknya.

   Dia sudah cukup puas hidup dalam ketenangan sebagai nyonya muda yang diladeni, dengan sepenuh hati dia merawat dan mengasuh putrinya yang masih kecil.

   Hanya ada satu hal yang kurang memuaskan hatinya, yaitu suaminya tidak berusaha untuk mengejar kedudukan di kalangan pemerintahan, meski ayahnya seorang Bu-conggoan, namun dia tidak sudi memperjuangkan pangkat dan kedudukan di bawah naungan kebesaran nama ayahnya atau dengan bekal kepandaian sendiri.

   Sayang sekali kehidupan romantis nan bahagia ini tidak berlangsung lama, terjadi suatu perubahan pada keluarga In, sementara dia sendiripun mulai merasakan ujian nan berat didalam gelombang perjalanan hidup yang penuh liku-liku ini.

   Karena amat kecewa dan menentang kemerosotan wibawa kerajaan, In Jong tidak mau menaruh dirinya didalam kalangan dorna yang berkuasa di istana, sehingga suatu ketika dia dianggap menyalahi Ong Tin, thaykam yang paling berkuasa pada waktu itu, insaf bahwa dirinya sewaktu-waktu mungkin terancam bahaya In Jong tahu dirinya takkan lama lagi berpijak di istana, maka dia meletakkan jabatan pulang ke kampung halaman Karena selalu memikirkan keselamatan negara serta keselamatan keluarga, di hari tuanya dia jatuh sakit sampai akhir hayat loyalitasnya terhadap kerajaan tak pernah luntur.

   In Hou suaminya setelah kematian sang ayah, tiada minatnya meneruskan cara perjuangan ayahnya, dia lebih senang menggunakan caranya sendiri bergaul dengan kaum pendekar dalam kalangan Kangouw, lebih celaka lagi di antara sekian banyak kawan-kawan Kangouwnya itu, ada seorang yang bernama Ciu-San-bin justru dicap "pemberontak"

   Dan menjadi buronan pemerintah.

   Bahwa In Hou bergaul dengan kaum persilatan, adalah jamak kalau dia sendiri harus berkecimpung di Kangouw pula.

   Dia merupakan pembantu utama dari Kim-to Cecu Ciu Sanbin, mengemban tugas berat sebagai kurir untuk menarik simpatisan dan para patriot bangsa, maka jarang dia berada di rumah, lebih banyak waktunya berada diluar menunaikan tugas.

   Mengikuti perubahan kehidupan ini, hubungan mesra suami istripun mulai renggang.

   Adalah logis kalau dia tidak senang hati karena suami jarang di rumah.

   Meski dalam hati dia maklum bahwa sang suami masih amat mencintainya seperti malam pertama pernikahan mereka dulu.

   Dan yang lebih penting lagi adalah dia tidak suka hidup didalam suasana kebat-kebit yang selalu diburu dan dibayangi ketakutan, sudah tentu dia lebih tidak suka ikut suami keluntang-keluntung dalam kehidupan Kangouw.

   Hatinya selalu was-was, bila suatu ketika pihak kerajaan tahu bahwa suaminya merupakan duta penting Kim-to Cecu, akan datang suatu hari, mereka suami istri akan dipaksa mengembara di kalangan Kangouw.

   Maka timbullah kenangan masa lalu dimana kehidupan nan tenang di kota raja serba berkecukupan lagi, mau tidak mau bayangan Liong Bun-kong yang romantis dan tampan itu kembali timbul dalam benaknya, dalam impiannya pula.

   Bahwa sebagai istri dia menentang jalan hidup yang ditempuh suaminya, apalagi ayahnya yang semakin berkuasa dan gila harta dan pangkat ini, dia lebih kurang senang mempunyai seorang menantu yang tidak suka maju malah terima menjebloskan diri kedalam lumpur kenistaan.

   Maka pada suatu hari waktu dia pulang ke kandang orang tuanya, ayahnya tak mau melepasnya pulang ke rumah suaminya.

   Dan apa boleh buat dia sendiripun suka rela menetap di rumah orang tuanya.

   Selama ini Liong Bun-kong masih membujang, mendapat tahu bahwa dia kembali ke rumah orang tua, dua tiga hari dia pasti datang berkunjung.

   Kini ayahnya sudah naik pangkat lebih tinggi pula, di kalangan militer Liong Bun-kong juga sudah memperoleh pangkat yang tidak rendah di bawah naungan orang tuanya.

   Ternyata ayah bundanya ketarik dan sering memuji Liong Bun-kong di hadapan putrinya, sementara sikap Liong-kongcu tak pernah luntur, dia tetap ramah dan menaruh hati serta memperhatikan segala kebutuhannya.

   Setelah meninggalkan suami sudah tentu merasa kesepian, terhibur juga akhirnya setelah ada pemuda tampan kaya raya dan romantis lagi selalu menghibur dirinya.

   Lambat laun hubungan mereka semakin intim, pergi tamasya, berlatih silat bersama pula.

   Walau hubungannya dengan Liong Bun-kong semakin intim, tapi dia tidak pernah melupakan suaminya, dan tak pernah dia melanggar tata susila atau melakukah sesuatu yang mendurhakai suami.

   Bahwa ayah bundanya selalu memuji Liong-kongcu setinggi langit di hadapannya, mereka tak pernah memaksa atau menganjurkan dirinya untuk menikah lagi.

   Tanpa terasa dua tahun dia hidup di rumah orang tuanya, kini putrinya sudah berusia tujuh tahun.

   Dalam dua tahun ini pernah beberapa kali timbul niatnya untuk pulang ke rumah suaminya, tapi ayah bundanya selalu menahannya dengan berbagai alasan.

   Ibunya berkata.

   "Kalau suamimu masih mencintaimu, sepantasnya dia datang menjemput kau pulang. Kenyataan dia tidak pernah datang, berarti dia tidak hiraukan dirimu lagi."

   Dipikir-pikir memang beralasan, dia ingin menguji suami, maka dia berkeputusan menunggu suaminya datang menjemput dirinya.

   Tapi dua tahun lamanya, suaminya tidak pernah datang menjemput.

   Tapi dia juga pernah pikir, mungkin sang suami takut bila kerajaan tahu akan hubungan dirinya dengan Kim-to Cecu, maka dia tidak berani masuk ke kota raja? Sudah tentu tak pernah dia utarakan rahasia suaminya ini terhadap kedua orang tuanya, pernah juga dia coba-coba mengorek keterangan ayahnya, agaknya beliau belum tahu bahwa suaminya ada hubungan dengan Kim-to Cecu.

   Namun dia berpikir pula, bila suaminya masih mencintai dirinya, meski menempuh bahaya pasti juga datang.

   Umpama kata amat berbahaya, paling tidak kan mengirim kabar atau surat.

   Maklum kalau dia ngambek dan amat dongkol, akhirnya tak pernah terbetik pikiran lagi untuk pulang ke rumah suaminya.

   Tapi sebab utama akan keputusannya ini adalah karena dia tidak rela meninggalkan kehidupan yang serba makmur dan berkecukupan di kota raja ini.

   Akhirnya datang suatu hari.

   Hari itu dia di ajak Liong Bunkong menikmati pemandangan daun merah di Say-san, sehari penuh mereka melancong dengan riang dan gembira.

   Malamnya setelah dia pulang ke rumah baru diketahui bahwa putrinya sudah tiada.

   Waktu dia tanyakan kepada sang ibu, tanpa menjawab ibunya mengeluarkan sepucuk surat.

   Begitu melihat tulisan di sampul surat seketika dia mengenal gaya tulisan sang suami.

   Tapi waktu dia buka surat itu, kenyataan itu surat perceraian.

   Sungguh dongkol dan kaget pula, hampir saja dia semaput.

   Apa yang sebetulnya terjadi? Setelah dia puas menangis, baru ibunya datang dan memberi tahu.

   "Dia tadi kemari, Siau-san dibawanya pergi!"

   "Kenapa dia menceraikan aku?"

   Tanyanya hambar.

   "Katanya, sifat kalian berbeda. Dia lebih suka hidup kelana di Kangouw, kau takkan mau mengikuti jejaknya. Setelah dipikir dua tahun ini, dia rasa lebih baik berpisah saja."

   "Dan lagi,"

   Tutur ibunya dengan suara lirih.

   "ada sebuah hal selama ini memang kusembunyikan terhadapmu, menurut berita yang berhasil kami serapi, dia kini sudah punya simpanan. Konon perempuan itu she Ciu, adik perempuan seorang yang dinamakan Cecu entah apa. Sudah tentu dia tidak mengaku, tapi aku yakin lantaran perempuan inilah yang menjadi biang keladinya. Kamipun belum mencari tahu dengan jelas, bila kau ingin tahu kami bisa menyuruh orang menyelidiki hal ini."

   Dia tahu Kim-to Cecu Ciu San-bin memang punya seorang adik perempuan, katanya.

   "Ma, suruhlah ayah tak usah repot. Kalau dia sudah menceraikan aku, memangnya aku masih mengharap untuk rujuk kembali dengan dia? Peduli dia akan menikah lagi dengan siapa?"

   Ibunya menyeka air matanya, katanya tersenyum.

   "Nah itu betul, kau memang putriku yang punya pendirian teguh. Bicara terus terang, aku pun tidak senang punya mantu seperti itu. Kalau dia sudah menceraikan kau, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia mau mempersunting dirimu."

   "Ma, jangan kau berkata demikian? Meski aku tidak akan rujuk, tapi selama hidupku ini, aku tidak akan menikah lagi,"

   Tanpa terasa dia menangis gerung-gerung lagi.

   Dia membenci suami, dia dongkol pula bahwa sang ibu tak dapat menyelami perasaannya.

   Diluar tahunya bahwa siang tadi suaminya datang setulus dan penuh rasa rindu serta kecintaan yang tak pernah luntur untuk menjemputnya pulang.

   Kalau dia tahu duduknya, persoalan, pasti dia akan membenci ayah bundanya, takkan menyalahkan sang suami yang telah menulis surat cerai ini.

   Persoalannya adalah, ayah bundanya sudah lama tahu kalau mantunya ada hubungan dengan Kim-to Cecu.

   Selama dua tahun ini sering suaminya mengirimi surat, tapi semuanya dirampas oleh ayah bundanya.

   Waktu In Hou datang hari itu, ayahnya lantas mengancamnya atas hubungan rahasia In Hou dengan Kim-to Cecu.

   Ayahnya bilang bahwa putrinya yang memberitahu rahasia ini kepada dirinya.

   Diluar tahu In Hou bahwa pihak kerajaan sejak lama sudah menanam spionnya didalam markas Kim-to Cecu, maka hubungan intimnya dengan Ciu San-bin sudah tentu diketahui jelas, mau tidak mau In Hou percaya akan gertakannya ini.

   "Jangan kau bawa anakku kedalam lumpur kenistaan,"

   Demikian kata ayahnya kepada In Hou siang tadi.

   "kalau kau ingin membawa putrimu, boleh kau bawa. Mengingat hubungan sebelum ini sebagai mertua dan mantu, hal ini tidak akan kulaporkan. Tapi kau harus menulis surat perceraian,"

   Akhirnya sang mertua memaksanya untuk menceraikan isterinya. Sudah tentu peristiwa buruk ini merupakan pukulan berat bagi In Hou, dia tidak percaya kalau sang istri sudah berubah terhadapnya, katanya.

   "Boleh, suruhlah anakmu keluar, dihadapannya langsung akan kubuat surat cerai itu,"

   Dia ingin tahu bagaimana reaksi istrinya.

   "Kukira tidak perlu,"

   Kata mertua.

   "seorang laki-laki harus berani berkeputusan tanpa pamrih, urusan yang berbuntut kepanjangan takkan membawa untung kedua pihak."

   Kata In Hou menahan gejolak perasaannya.

   "Umpama selanjutnya harus putus hubungan suami isteri, pertemuan terakhir toh harus diberi kesempatan."

   Mertuanya menjengek.

   "Kuharap kau jangan menemuinya saja. Disini kau tidak akan bisa melihatnya."

   In Hou ragu-ragu, katanya.

   "Dimana dia sekarang?"

   "Baiklah kalau kau ingin tahu, kuberitahu padamu,"

   Kalau suara sang mertua.

   "sejak pagi tadi Liong-kongcu telah mengajaknya tamasya ke Say-san. Sekarang masih sempat kau pergi kesana melihatnya. Tapi surat cerai itu harus kau tulis lebih dulu."

   Seorang pelayan sudah mempersiapkan tinta dan alat tulis serta kertas.

   Seorang pelayan lain keluar membopong putrinya In San, In San yang baru berusia tujuh tahun amat senang melihat sang ayah, segera dia minta turun terus berlari kedalam pelukan ayahnya, teriaknya.

   "Yah, kau bawa aku pulang, aku tidak senang tinggal di rumah nenek, ibu jarang mengajak aku bermain."

   Seperti disayat perasaan In Hou, tanyanya dengan suara tersendat.

   "Mana ibu?"

   "Sejak pagi-pagi ibu sudah pergi jalan-jalan bersama paman Liong, dia sering pergi sendiri, aku tidak dihiraukan lagi."

   Mendengar omelan putrinya, sungguh jengkel dan penasaran serta sedih pula hati In Hou, menahan air mata segera dia angkat pena terus menulis surat cerai itu.

   Tapi dia masih belum putus asa, dia masih ingin melihat isterinya.

   Setelah menitipkan putrinya pada seorang kenalan dia menyusul ke Say-san.

   Memang dia melihat isterinya, tapi dia tidak berani unjuk diri untuk berpisahan dengan sang isteri.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apa yang dikatakan sang mertua memang kenyataan isterinya ternyata bersama Liong Bun-kong.

   Waktu itu mereka sedang jalan berendeng turun gunung, isterinya tampak mekar bersemangat, senyum selalu dikulum, kelihatannya lebih riang dan bahagia di waktu mereka baru menikah dulu.

   Perlukah dia bicara lagi dengan isterinya? Maka dengan perasaan luluh dan kecewa, diam-diam dia mengundurkan diri.

   Hari kedua dia bawa puterinya pulang ke rumah.

   Sedikitpun In-hujin tidak tahu bahwa suaminya pernah mengintip dirinya secara diam-diam.

   Tidak sampai tiga bulan In-hujin tahu-tahu sudah berubah jadi Liong-hujin, semula dia tidak ingin menikah pula, sayang dia bukan perempuan yang punya tekad baja, di kala kesedihan masih dirundung badan, akhirnya dia tak kuasa melawan bujuk rayu sang jejaka.

   Duduk persoalan sesungguhnya baru diketahui, setelah ayah bundanya meninggal.

   Ibu inangnya yang memberi tahu padanya.

   Bu inangnya berkata.

   "Siocia, waktu Hujin masih hidup aku tidak berani bicara. Dia pernah mengancam aku, bila aku bocorkan rahasia ini aku akan dibunuhnya. Hari itu Lo-hujin suruh aku membawa Siau-san keluar dan diserahkan kepada Ko-ya (babah mantu), pembicaraan mereka kudengar semuanya. Siocia, orang lain takkan ada yang bisa menyelami isi hatimu, tapi aku tahu, kau masih merindukan Ko-ya. Ko-ya memang orang baik, akupun ikut penasaran karena dia difitnah."

   Bu inang ini mengasuhnya sejak kecil, hanya dia seorang yang simpatik terhadap nasib In Hou, meski nona asuhannya ini kini sudah menjadi Nyonya Liong, tapi dalam percakapan ini dia tetap memanggil In Hou sebagai babah mantu.

   Supaya tidak membingungkan biar*selanjutnya kita tetap mengistilahkan In-hujin terhadap Liong-hujin baru ini.

   Panjang lebar bu inang menceritakan apa yang didengarnya hari itu, ingin menangis tapi air mata tak kuasa menetes, perasaan In-hujin memang sukar dilukiskan pada saat mana, akhirnya dia mengertak gigi, tanyanya.

   "Bagaimana dengan perempuan she Ciu itu? Apakah perempuan itu betul-betul sudah menikah dengan dia?"

   "Tiada kejadian itu, semua itu hanya cerita bohong Lohujin. Dua hari yang lalu seorang keponakanku baru kembali dari desa, katanya selama ini Ko-ya tidak menikah lagi, seorang diri dia rawat mengasuh dan mendidik Siau-san, meski tetap sehat tapi badannya jauh lebih kurus. Selama beberapa tahun dia tidak pernah keluar rumah pula. Kini Siausan sudah menanjak besar, dia titipkan kepada salah seorang kakak misannya untuk menjaganya, baru tahun ini dia boleh keluar rumah."

   "Tahun ini Siau-san sudah berusia tiga belas tahun bukan?"

   Ucap In-hujin mengada-ada.

   "Betul, memang berusia tiga belas. Keponakanku pernah melihatnya, katanya Siau-san amat mirip dirimu, orang' sama memuji dia sebagai kembangnya kota Tay-tong."

   Demikian tutur bu inang.

   Kabar putrinya dan suami yang dahulu sudah diperoleh, memangnya dia dapat berbuat apa? Kini statusnya adalah Liong-hujin.

   Pangkat Liong Bun-kong ternyata menanjak terus, karirnya semakin maju dalam kalangan pemerintah, selama enam tahun menikah dengan dirinya, kini pangkatnya sudah sebagai Kiu-bun-te-tok yang menguasai keamanan kota raja.

   Demi gengsi, martabat dan demi kekuasaan dan jabatan sang suami, sudah tentu dia tidak ingin pecah hubungan dengan suaminya sekarang, malah diapun merahasiakan diri bahwa dia telah tahu akan berita suaminya dulu dan puterinya.

   Adalah mending kalau soal-soal yang menyedihkan bisa terlampias, kalau sampai mengganjel hati, itulah merupakan siksa derita yang paling berat di dunia ini.

   Selama belasan hari sejak dia berbincang-bincang dengan bu inang tak pernah dia tidur tenang, siang seperti lazimnya dia ngobrol ala kadarnya dengan sang suami sebelum menunaikan tugas, maka tak lama kemudian dia mulai terserang penyakit hati yang memusingkan.

   Kalau dulu dia mendambakan kehidupan makmur dan serba kecukupan di kota raja ini, tapi kini dia sudah bosan akan kehidupan sebagai nyonya agung yang dipuja.

   Kepada suaminya dia memohon supaya diberi kesempatan pulang ke kampung halaman menyembuhkan penyakit.

   Sudah tentu Liong Bun-kong juga tahu bahwa tidur seranjang dengan sang isteri tapi dia tidak pernah memiliki hatinya, karirnya sedang menanjak, sebagai pejabat tinggi sudah tentu dia lebih bernafsu mengejar harta dan pangkat dari pada mengejar nafsu birahi terhadap isteri yang kaku dan semakin berpenyakitan ini.

   Maka dengan senang hati dia meluluskan permintaan sang isteri, kini dia lebih bebas lagi diluar pengawasan sang isteri.

   "Kau pulang saja ke desaku,"

   Demikian kata Liong Bunkong.

   "disana aku punya seorang ponakan bernama Seng-bu, dua tahun yang lalu waktu dia kemari kau pernah melihatnya. Kepandaian sastra dan silatnya cukup lumayan, tahun lalu diapun sudah lulus Ki-jin tapi dia lebih suka mengejar karir di kalangan militer. Di rumah kau bisa wakilkan aku mengajar silat padanya. Kita tidak punya anak, sejak lama aku ingin dia menjadi pelanjut dari keluarga kita. Tapi soal ini biar ditunda bila kelak dia sudah betul-betul punya kedudukan tinggi."

   Rumah keluarga Liong berada di Hoa-gi di daerah Kui-yang, itulah sebuah desa yang hijau permai.

   Dia meninggalkan kehidupan kota yang ramai dan gaduh, menetap di desa yang aman tentram dan sejuk ini, maka kesehatannya lambat laun semakin baik.

   Ilmu silat yang telah terlantar sekian tahun ini kembali dia latih lagi, bila senggang dia mengajar juga pada ponakan suaminya.

   Liong Seng-bu memang anak cerdik, pandai mengambil hatinya lagi, lama-kelamaan dia merasa senang juga hidup di desa ini.

   Tapi terasa pula bahwa keponakan yang satu ini sering bermuka-muka melucu dan ceriwis.

   Kehidupan di desa memang lebih sederhana lebih senggang pula, sehingga sering dia melamun mengenang dan merindukan suami yang dahulu dan putrinya.

   Rasa rindu ini tambah mendalam berikut berselangnya sang Waktu, di kala malam tiba seorang diri dia suka melamun.

   "Hou-ko selama ini tak pernah menikah lagi, apakah dia masih merindukan cinta kita dulu? San-ji sudah dewasa, apakah dia masih mengingatku?"

   Beberapa kali hampir dia tidak kuasa menahan gejolak perasaannya, ingin pulang ke rumah suaminya yang secara diam-diam untuk menengok putrinya.

   Hidup di desa ini jauh dari jangkauan kekuasaan suaminya yang sekarang, dia memiliki kepandaian, kemana dia ingin pergi, siapapun takkan bisa menghalangi.

   Tapi apakah dia boleh membawa keinginan hati secara serampangan? Kini dia adalah isteri Liong Bunkong, Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa di kota raja, mana boleh dia rujuk kembali dengan suaminya yang dahulu? Kesalahan di pihak sendiri, menyesal juga sudah kasep.

   Lebih merisaukan lagi, apakah In Hou dan putrinya sudi memaafkan kesalahannya? Kalau ganjalan hati ini tak dapat dilenyapkan, maka sakit hati inipun sukar disembuhkan.

   Ai, kini dia sudah meninggalkan suami, keadaannya tetap tak berubah laksana burung kenari yang terkurung didalam sangkar.

   Suatu kejadian yang tak pernah terpikir sebelumnya, suatu hari dia bertemu secara mendadak dengan suaminya terdahulu In Hou.

   Dalam kehidupan di desa, secara pasti tiap pagi adalah latihan silat di hutan cemara di belakang rumahnya.

   Ada kalanya sang keponakan mengiringi dia latihan, tapi lebih banyak waktu dia latihan sendiri.

   Maklum pemuda yang suka royal sudah biasa kehidupan malam.

   Liong Seng-bu selalu bangun siang, bila ingin mencuri kesenangan hati sang bibi saja baru dia bangun pagi menemaninya berlatih.

   Lambat laun dari seminggu tiga empat kali semakin berkurang cuma satu kali dan akhirnya satu bulan dua tiga kali saja.

   Hari itu dia hanya latihan sendiri.

   Setelah dia berakhir berlatih ilmu pedang, lapat-lapat seperti didengarnya seorang mengheia napas.

   Suara lembut yang hampir tak terdengar oleh siapapun, tapi justru bagi pendengarannya suara helaan ini sudah amat dikenalnya, malah helaan yang lirih ini laksana bunyi guntur di pinggir telinganya.

   Sekejap ini hatinya gundah, risau dan resah, tapi sudah tiada kesempatan banyak pikir lagi, sekilas tertegun lekas dia berlari ke arah datangnya suara.

   Di bilahan hutan sebelah dalam, memang dia menemukan seseorang yang sudah amat dikenalnya.

   Sungguh mimpi juga tak pernah dia bayangkan? Dia coba menggigit jari, tapi rasaaya sakit, jelas ini bukan mimpi.

   Hampir dia tidak percaya akan apa yang disaksikan, orang yang berdiri di depannya memang bukan lain adalah suaminya yang terdahulu, In Hou.

   In Hou sendiri tampak melenggong juga karena jejaknya mendadak konangan dan tidak sempat sembunyi.

   "Hou-ko, sungguh tak kira aku masih bisa bertemu dengan kau. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memang kasihan padaku yang selalu merindukan dikau, sengaja kau diantarnya ke mari untuk menemuiku? Tapi Hou-ko, aku, aku berdosa padamu, tiada muka aku menemuimu,"

   Lama baru In-hujin buka suara sambil sesenggukan.

   Sudah tentu dia tidak tahu bahwa bukan Tuhan yang pengasih terhadapnya juga bukan secara kebetulan, tapi adalah usaha In Hou sendiri yang telah memeras keringat dan pikiran, sehingga hari ini berhasil bersua disini.

   In Hou sudah mencari tahu bahwa dia sudah meninggalkan kota raja dan tinggal di desa Hoa-gi ini, selama beberapa tahun terakhir ini tiga kali dia menempuh perjalanan lewat Kwi-yang, tiga kali sengaja dia mampir ke Hoa-gi dan sembunyi di sekitar rumah keluarga Liong, bukan harapannya ingin bertemu muka dan berbincang-bincang dengan bekas isterinya, kalau bisa mengintipnya secara diam-diam sudah lebih dari cukup puas untuknya.

   Tapi karena setiap kali dia disibukkan oleh tugas penting, tak mungkin tinggal lama di Hoa-gi, apalagi sebagai orang asing di desa itu tak enak dia selalu mundar-mandir di sekitar rumah keluarga Liong.

   Oleh karena itu setiap kali datang paling dia hanya berdiam sehari, datang tergesa-gesa pergi terburu-buru.

   Pertama tidak ketemu, kedua memang sudah melihatnya, dia berada sama ponakan Liong Bun-kong, sudah tentu In Hou tidak berani unjuk diri.

   Ketiga kali yaitu sekarang ini dan yang terakhir, tadi dia melihat bekas isterinya sedang berlatih pedang seorang diri.

   Melihat wajahnya nan sayu dan kurus, tanpa terasa dia mengheia napas panjang.

   "Tidak pantas aku menemuimu,"

   Ujar In Hou.

   "kalau dilihat orang, mungkin kau akan terlibat kesulitan. Aku hanya ingin tahu, selama beberapa tahun ini apakah kau baik-baik saja? Jikalau kau hidup bahagia, hatikupun lega dan tiada yang kupikirkan lagi."

   Perasaan yang sekian lama tak terlampias ini kini bagai air bah yang menjebol tanggul tak tertahankan lagi, In-hujin memeluk suaminya, katanya sesenggukan.

   "Bicara soal bahagia segala? Coba lihat penyakit kini meradang tubuhku, tinggal menunggu waktu saja untuk berpulang ke alam baka. Hou-ko, kejadian dulu..."

   "Kejadian dulu jangan disinggung lagi. Katakan saja apa keinginanmu sekarang?"

   "Tidak, betapapun aku harus bicara soal dulu, Hou-ko bukan maksudku hendak mengingkari dirimu. Soalnya aku ditipu oleh ayah bundaku."

   "Bu inangmu sudah suruh keponakannya menjelaskan kepadaku. Kini aku hanya ingin tahu isi hatimu."

   In Hou mendesak jawabannya, karuan hatinya gundah pikiran ruwet. Memang dalam keadaan sekarang dia ingin kembali keharibaan suami dahulu, namun banyak pula soal

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   soal yang dia kuatirkan dari akibat putusannya ini, meski hubungan boleh rujuk kembali, betapapun hubungan sudah pernah retak, umpama keretakan dapat ditambal, betapapun pasti ada bekas-bekasnya.

   Memangnya mudah soal rujuk ini diselesaikan? Akhirnya In Hou menghela napas, katanya.

   "Aku ini laki-laki yang sudah kebacut kelana di Kangouw, sekarang kau adalah istri Kiu-bun-te-tok, sebetulnya tidak pantas, tidak pantas..."

   Bercucuran air mata ln-hujin, katanya terisak-isak.

   "Hou-ko, kau masih belum tahu perasaanku, tentang kejadian dulu itu, sungguh aku amat menyesal, bahwa kau tidak menyalahkan aku, aku sudah amat berterima kasih, memangnya aku harus menyalahkan kau malah?"

   "Segala persoalan masa lalu anggaplah sudah himpas sama sekali. Kalau kau tidak merasakan kerendahan diriku sekarang, apa pula yang harus kau ragukan, ayolah ikut aku."

   In-hujin menunduk kepala, katanya lirih.

   "Hou-ko, berilah kesempatan untuk kuberpikir?"

   Terunjuk mimik kecewa pada sorot mata ln Hou, katanya kemudian.

   "Ya, kini kau sudah menjadi milik orang lain, memang tidak pantas kau pergi bersamaku. Waktu amat mendesak, tak boleh aku lama-lama disini. Begini saja, setelah kau pikirkan masak-masak, bila kau memang ingin ikut aku, boleh kau menyusulku di Kwi-lin."

   In-hujin tertegun, katanya.

   "Jadi kau tidak akan pulang, tujuanmu ke Kwi-lin dan sengaja mampir ke mari? Belum pernah aku ke Kwi-lin, disana kepada siapa aku harus mencari tahu jejakmu?"

   Kata In Hou.

   "Aku sudah berjanji untuk bertemu di Kwi-lin dengan Tam Pa-kun, setiba di Kwi-lin, boleh kau mencari Itcu- king-thian Lui Tin-gak. Bersama Tam-toako kemungkinan aku menginap di rumahnya. Umpama tidak disana, pasti dia akan membantumu mencari aku. It-cu-king-thian Lui Tin-gak cukup terkenal di Kwi-lin, gampang kau menemukan alamatnya."

   Ada dua sebab kenapa In Hou menyuruh isterinya menyusul dia ke Kwi-lin.

   Pertama karena dia tidak tahu kapan dirinya bisa kembali.

   Kedua, jikalau isterinya pulang ke rumah di Tay-tong menunggu dirinya pulang, suaminya sekarang, yaitu Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong tahu alamat rumahnya, bukan mustahil dia mengutus anak buahnya meluruk ke rumahnya untuk membawanya pulang, hal ini akan menimbulkan banyak kesulitan.

   Kwi-lin terletak jauh dari kota raja, kekuasaan Liong Bun-kong di kota raja takkan menjangkau sejauh ini.

   Apalagi di Kwi-lin It-cu-king-thian Lui Tin-gak bisa membantu dan melindunginya.

   In Hou percaya pada bekas isterinya ini, meski telah mengalami berbagai pertikaian, namun dia masih berani membocorkan rahasia jejaknya kepada sang isteri.

   Malah dengan penuh keyakinan dia sudah siap untuk rujuk kembali di Kwi-lin.

   Siapa tahu kepergiannya ini justeru merupakan perpisahan untuk selamanya.

   Inilah pertemuan mereka suami isteri yang terakhir.

   Karena rahasia jejaknya ini dibocorkan tanpa sengaja, sehingga mengakibatkan dirinya mengalami peristiwa fatal dan rahasia ini bahwasanya bukan In-hujin yang membocorkan.

   Baru saja In-hujin mau bicara, tiba-tiba In Hou berkata lirih.

   "Seperti ada orang datang. Ingat pesanku, pergilah ke Kwi-lin menemui aku, sekarang aku harus berlalu."

   In-hujin tersentak sadar, lekas dia manggut-manggut, katanya lirih.

   "Berangkatlah, pesanmu pasti kuingat baik-baik,"

   Hakikatnya dia tidak memberi jawaban pasti kepada In Hou, bahwa dia akan menyusul In Hou ke Kwi-lin.

   Sayang In Hou pergi terburu-buru, tak mungkin dia menelaah nada perkataannya.

   Gerakan In Hou sungguh amat cepat dan tangkas, hanya sekejap saja dia sudah menghilang.

   Sungguh girang tapi juga menyesal hati In-hujin.

   Senang karena.

   "Oh, kepandaiannya ternyata sudah jauh lebih maju, dengan ginkangnya yang tinggi ini, seharusnya dia bisa menghindari diriku, bahwa dia mau bertemu dengan aku, agaknya memang ada maksudnya rujuk kembali denganku,"

   Diapun menyesal karena sampai detik ini dia tidak atau belum berani ambil putusan entah kemana dirinya harus menentukan arjh.

   Dikala pikiran kalut inilah, langkah orang itu pun sudah terdengar semakin dekat, waktu In-hujin menoleh, dilihatnya keponakannya Liong Sc-bu tengah mendatangi.

   Seperti biasanya Liong Se-bu cengar-cengir untuk senyum kepadanya, katanya memberi hormat.

   "Bibi, hari ini aku terlambat bangun lagi, kebiasaan buruk bangun siang ini sungguh sukar kuatasi, ai, agak rikuh aku."

   Diam-diam In-hujin perhatikan sikap dan mimiknya, agaknya dia belum tahu akan rahasia dirinya barusan. Jantungnya yang kebat-kebit lambat laun tenang kembali. Pikirnya.

   "Tingkat kepandaian Liong Seng-bu kutahu betul, dengan bekal lwekangnya sekarang, tak mungkin dia bisa mencuri dengar pembicaraanku barusan dengan In Hou,"

   Maka dia tekan gejolak perasaannya, katanya lembut.

   "Kau memang tidak biasa bangun pagi, tidak usah dipaksakan. Yang benar, kalau kau ingin berjuang di kalangan kemiliteran, dengan bekal kepandaianmu sekarang sudah lebih dari cukup. Pamanmu juga akan membantu, memangnya apalagi yang kau kuatirkan?"

   Liong Seng-bu mengunjuk sikap hambar dan gugup, katanya.

   "Aku tahu paman pasti akan mengangkat diriku, tapi aku ingin mengandal tenagaku sendiri untuk angkat nama. Walau pun aku bukan dari kaum persilatan, tapi senang aku bergaul dengan mereka. Kalau banyak bekal kumiliki, tentu diriku takkan dipandang rendah orang. Bibi, kuharap kau tidak kecewa dan jangan karena aku terlalu malas sehingga tidak sudi mengajar padaku."

   "Kau suka belajar silat, aku akan berdaya sekuat tenaga. Tapi, kenapa tadi kau bilang suka bergaul dengan kaum persilatan?"

   "Pertama kaum persilatan umumnya orang-orang gagah, aku suka mereka. Kedua kelak bila aku sudah memperoleh pangkat, toh aku bisa menarik bantuan mereka untuk bekerja bagi kerajaan."

   "Jauh juga rencanamu. Tak heran pamanmu sering memuji dikau. Katanya hanya kau kelak yang mampu mewarisi kebesaran keluarga Liong."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Terima kasih akan pujian paman dan bibi, untuk ini mohon bibi suka membimbingku."

   Terpaksa In Hu-jin mengajarkan beberapa jurus ilmu pedang, melihat orang berlatih secara rajin dan patuh akan petunjuknya, malah hasil yang dicapainya hari ini jauh lebih bagus dari biasanya.

   Adalah hati In-hujin yang ruwet ini, beberapa kali bergebrak latihan selalu dia yang melakukan kesalahan.

   Bahwa Liong Seng-bu hari ini berlatih dengan rajin dan tekun sekali, hal ini sudah melegakan hati In-hujin.

   Begini dia berpikir, jikalau Liong Seng-bu sudah tahu pertemuan rahasia dirinya dengan In Hou tadi, pasti dia tidak setenang dan sesabar ini sikapnya.

   Agaknya In-hujin menilai orang lain atas ukuran diri sendiri, diluar tahunya bahwa Liong Seng-bu yang masih berusia muda ini ternyata berotak cerdik dan banyak muslihatnya.

   Yang betul pembicaraannya dengan In Hou tadi sudah dicuri dengar seluruhnya.

   Sudah lama Liong Seng-bu mendekam di semaksemak rumput, setelah mendengar habis percakapan mereka, secara diam-diam dia menggeremet keluar ke tempat jauh, lalu dengan langkah berat putar balik.

   Waktu mendekam di semak-semak rumput tadi Liong Seng-bu tidak berani bernapas keras-keras, sementara In Hou dan In-hujin samasama dibuai oleh curahan perasaan mereka, sudah tentu mereka tidak begitu cermat untuk memeriksa keadaan sekelilingnya.

   Setelah berlatih beberapa jurus ilmu pedang.

   In-hujin berkata.

   "Belajar silat tidak boleh terlalu rakus, hari ini cukup sampai disini saja."

   "Bibi,"

   Tiba-tiba Liong Seng-bu berkata.

   "ada apa sih kau hari ini?"

   Mencelos hati In-hujin, katanya.

   "Ah, tidak apa-apa. Kenapa kau bertanya begini padaku?"

   "Hari ini agaknya bibi tidak sesabar biasanya mengajarku, atau mungkin aku yang terlalu bodoh."

   "Hari ini latihanmu cukup baik, memang badanku yang rasanya kurang enak."

   "Ooo, kiranya begitu. Bibi, kau tiada persoalan, biarlah keponakan memberi sedikit berita padamu!"

   "Soal apa?"

   "Besok aku ingin ke kota raja. Ada pesan apa bila perlu biar kukerjakan?"

   "Ah, pesan apa. Katakan saja pada pamanmu, aku baikbaik saja di desa ini, tak usah dia kuatir akan diriku."

   "Ada pesan lainnya?"

   "Tiada lagi."

   Liong Seng-bu seperti tidak mendengar omongannya, katanya seorang diri.

   "Jikalau ada apa-apa dan bibi tidak leluasa suruh orang lain, keponakan bisa melakukan."

   Berubah air muka In-hujin, katanya.

   "Ada urusan apa yang perlu aku minta bantuan orang lain? Apa maksudmu?"

   "Bibi jangan salah paham, paman dan bibi memandangku seperti anak kandung sendiri, bibi sudi membimbing dan mendidik setekun ini, aku anggap kau sebagai ibu kandungku sendiri Untuk ini harap bibi sudi menyelami ketulusan perasaanku."

   "Pamanmu memang ada maksud memungutmu sebagai anak. Aku sih tak punya rejeki sebesar ini."

   Tersipu-sipu Liong Seng-bu berlutut serta menyembah, katanya.

   "Paman dan bibi sudi mengambilku sebagai anak, sungguh merupakan rejeki besar bagiku,"

   Setelah menyembah dengan suara lembut dia memanggil "ibu".

   "Setelah pamanmu mengangkatmu secara resmi, boleh kau memanggilku demikian. Sudahlah, kalau tiada urusan lain kau boleh pulang dulu."

   "Bu, masih ada persoalan yang akan anak sampaikan."

   "Baru kukatakan, jangan memanggilku demikian. Panggil bibi saja."

   "Ya, ya, bibi, harap tunggu sebentar."

   "Masih ada urusan apa yang hendak kau bicarakan?"

   "Bi, meski ada sesuatu yang tidak enak kau bicarakan dengan orang lain, tapi paman ada satu hal yang tidak enak dibicarakan dengan kau, tapi dia pernah bicara dengan aku."

   Berubah air muka In-hujin, katanya.

   "Oo, ada kejadian itu? Apa perlu kau sampaikan kepadaku?"

   "Paman memang ingin supaya kau tahu, maka aku disuruh tanya kepada bibi."

   "Baiklah, coba katakan tentang soal apa?"

   "Dua tahun yang lalu bibi pulang ke kampung untuk menyembuhkan penyakit, paman tahu hatimu selalu murung. Tempo hari waktu aku ke kota raja, paman bilang bila bibi suka membawa San-moay kemari untuk tinggal bersamamu."

   Pucat wajah ln-hujin, katanya gemetar.

   "Apa betul dia punya maksud begitu?"

   "Kuatir kau marah dan menyinggung perasaanmu, maka paman tak berani buka suara. Kalau San-moay dibawa ke kota raja memang berabe, tapi kalau diajak kemari, orang luar pasti tidak tahu,"

   Lalu dia merendahkan suara dan berkata lebih lanjut.

   "Paman bilang, terhadap In Tayhiap diapun amat mengagumi, sayang tabiat kalian berbeda, sehingga perjodohan tidak terjalin abadi, hal ini tak boleh menyalahkan dia, bahwasanya paman tidak pernah cemburu terhadap In Tayhiap."

   "Tidak usah kau katakan lagi,"

   Teriak In-hujin.

   "Ya, paman hanya ingin supaya kau tahu maksudnya, sebetulnya dia bukan orang berjiwa sempit atau suka jelus. Keberangkatanku ke kota raja akan lewat Tay-tong, kalau bibi suka menjemput San-moay kemari, sekembalinya nanti kuselesaikan juga soal ini."

   Kalut pikiran In-hujin, katanya sesaat kemudian.

   "Usianya sudah besar, terserah kepadanya saja."

   "Kalau begitu biar aku menengoknya dulu, tanya dulu maksudnya. Bibi, sukalah kau menulis surat untuk dia."

   "Berapa lama kau pergi?"

   "Paling cepat empat puluh hari, tapi takkan keliwat dua bulan."

   "Surat tidak perlu kutulis, kau bawa tusuk kundai ini, dia mengenal barang-barangku. Katakan bahwa aku amat merindukan dia, kalau dia mau boleh kau membawanya kemari. Aku tahu kau pandai putar lidah, jauh lebih baik dari pada tulis surat."

   Seperti tertawa tidak tertawa mimik Liong Seng-bu, katanya.

   "Bibi, jangan kau memujiku, semoga saja aku tidak mengecewakan harapan bibi,"

   Segera dia terima tusuk kundai itu.

   Hari kedua segera berangkat.

   Di rumah In-hujin hidup sehari bagai setahun pikir yang ini merisaukan yang itu.

   Hari-hari berlalu secara berlarut-larut berkepanjangan, sejauh ini dia tetap sukar ambil keputusan.

   Di gunting tidak putus, dibetulkan tetap tidak bisa.

   Perasaannya waktu ini sungguh seruwet benang pintal yang sudah gubat menggubat tak mungkin diluruskan lagi.

   Mungkinkah dia rebah kembali keharibaan suami yang terdahulu? Walau dia tahu In Hou jujur, bijak dan setulus hatinya ingin rujuk kembali.

   In Hou adalah pendekar gagah yang tersohor di kalangan Kangouw, dirinya adalah wanita yang sudah hina dan nista, kalau dia kembali kedalam kalangan keluarga In, apakah ada muka dia bertemu dengan kawan-kawan In Hou yang simpatik? In Hou mungkin tidak takut ditertawakan orang, tapi dirinyalah yang akan menjadi buah bibir orang banyak.

   Bagaimana dia bisa angkat kepala ditatap oleh lirikan mata yang menghina dan mencemooh? Akan tetapi dia sudah kenyang merana dalam kehidupan yang serba munafik dan kesepian ini, hidup yang tiada arti ini, tidak mungkin berkumpul dengan orang yang paling dekat dan dicintainya, meski makan tidur berkecukupan, tak ubahnya dirinya seperti mayat hidup melulu.

   Perhitungan yang paling bijaksana adalah, mengambil In San untuk kumpul bersama dirinya, dari sini dia akan leluasa minggat bersama puterinya menjemput In Hou, sekeluarga hidup dalam pengasingan yang tidak mungkin dikenal orang pula.

   Apakah In Hou sudi berbuat demikian? Dia tahu bagaimana watak suaminya, jelas In Hou takkan mau melakukan perbuatan yang dianggapnya memalukan ini, biarlah, umpama rencana ini tak bisa terlaksana, ada sang puteri tunggal didampingnya, hidupnya tidak akan menderita dan tersiksa seperti ini.

   Dilandasi oleh perasaan yang serba kalut, ini, maka dia menyetujui maksud Liong Seng-bu yang akan pergi menjemput puterinya.

   Bahwa putusan masih belum positip biarlah hal ini diputuskan begini sementara, segala sesuatunya biar diputuskan setelah Liong Seng-bu kembali saja.

   In-hujin tidak pergi ke Kwi-lin mencari suami, tapi dia mengutus seorang pelayan pribadinya, dengan menyaru lakilaki mengantar suratnya ke rumah keluarga Lui di Kwi-lin, supaya In Hou tahu tekad dan putusannya, tahu gejolak perasaannya.

   Pelayan pribadi ini sudah pulang sebelum Liong Seng-bu pulang.

   Kabar yang dibawa pulang adalah berita buruk yang jauh berada diluar dugaannya.

   Rumah It-cu-king-thian terbakar ludes secara aneh, kini sudah tinggal puing-puingnya saja, orang-orang Iceluarga Lui entah sudah pindah kemana lagi.

   Bahwa It-cu-king-thian tidak ditemukan, sudah tentu suaminya terdahulu In Hou juga tidak bisa ditemukan.

   Tiga bulan lebih, jauh lebih lama dari janjinya baru Liong Seng-bu pulang.

   Seperti berangkatnya tempo hari, pergi seorang diri, pulang juga seorang diri, hakikatnya dia tidak membawa In San pulang.

   "Bibi, maaf kali ini aku tak mampu menunaikan tugas yang kau bebankan padaku, sungguh aku merasa malu dan menyesal,"

   Begitu sampai di rumah Liong Seng-bu segera lapor kepada sang bibi. In-hujin amat kecewa, tanyanya.

   "Apa kau tidak bertemu dengan Siau-san?"

   "Ketemu, tapi dia tidak mau ikut kemari. Nah lihatlah tusuk kundai ini,"

   Tanda mata itu dia kembalikan kepada sang bibi sambil menunduk kepala. Tusuk kundai itu sedikit gumpil, tanpa dijelaskan oleh Liong Seng-bu, In-hujin juga sudah maklum bahwa tusuk kundai itu dibanting oleh puterinya.

   "Ternyata begitu benci Siau-san kepadaku,"

   Bagai disayatsayat perasaan In-hujin, tanpa kuasa air matanya bercucuran, tapi ada persoalan lain yang membuatnya lebih kaget, lebih menyakitkan hati lagi.

   "Bibi, harap kau tenangkan diri, masih ada yang kusampaikan. Cuma agak sulit juga aku membicarakan soal ini."

   Bergetar pula perasaan In-hujin, sekuatnya dia membendung air mata, katanya.

   "Boleh kau katakan saja."

   "Perjalanan kali ini terlambat satu bulan dari waktu yang kurencanakan, karena aku mendengar kabar yang agak aneh dan ganjil. Demi mencari tahu kebenaran dari berita itu, pernah aku mencari beberapa orang yang punya sumber penyelidikan luas di kalangan Kangouw."

   "Berita aneh dan ganjil apa?"

   Tanya In-hujin.

   "Tentunya kau tahu betapa besar rasa kagum paman dan aku terhadap ln Tayhiap, meskipun terhadap paman mungkin dia masih sirik dan tidak senang hati, tapi paman tetap memperhatikan dirinya."

   "Adakah dia kena perkara apa?"

   In-hujin mendesak.

   "Betul,"

   Sahut Liong Seng-bu manggut.

   "di Kwi-lin ada seorang pendekar besar yang berjuluk It-cu-king-thian Lui Tingak, apakah bibi pernah mendengar namanya?"

   "Pernah, dia kenapa?"

   "Konon beberapa bulan yang lalu In Tayhiap pernah janji bertemu dengan dia di Kwi-lin, waktu dia kesana, mungkin saatnya aku berangkat ke kota raja itu."

   Timbul rasa curiga In-hujin.

   "Dari mana dia bisa memperoleh kabar secepat ini? Mungkinkah pembicaraanku dengan Hou-ko tempo hari dicuri dengar olehnya? Tapi melihat gelagatnya waktu itu, tidak mungkin."

   Liong Seng-bu seperti dapat menebak isi hatinya, katanya lebih lanjut.

   "Bibi kan tahu ayah paman sebagai sekretaris militer, maka kaum persilatan ternama diberbagai daerah semuanya masuk dalam daftar hitamnya."

   Penjelasan ini memang masuk akal, untuk sementara Inhujin anggap obrolannya dapat dipercaya, tanyanya.

   "Di kota raja, kabar apa yang kau dengar?"

   "Tidak lama setelah aku di kota raja, kebetulan ada sebuah surat laporan yang dibawa oleh kuda yang dapat lari delapan ratus li sehari dari Kwi-lin, konon rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak secara aneh terbakar habis, di kala rumah itu terbakar ada orang melihat In Tayhiap lari keluar dengan luka parah."

   Bahwa rumah keluarga Lui sudah tinggal puing-puingnya saja, hal ini sudah diketahui oleh In-hujin. Tapi In Hou terluka parah sejauh ini dia masih belum tahu, karuan dia kaget dan berubah air mukanya, tanyanya.

   "Bagaimana akhirnya?"

   "Berita itu singkat saja, waktu aku tetap berada di kota raja, tiada surat laporan susulan lagi dari Kwi-lin. Kejadian selanjutnya dapat kuberitahu setelah berada di kalangan Kangouw, tapi apa kabar itu benar atau salah juga tidak berani aku memastikan."

   "Peduli benar atau salah, lekas jelaskan."

   Desak In-hujin.

   "Konon It-cu-king-thian Lui Tin-gak diagulkan sebagai pendekar besar, namun dia adalah manusia munafik yang berhati keji dan telengas, entah karena apa dia berusaha mencelakai jiwa ln Tayhiap. In Tayhiap lari keluar dengan luka parah dan sembunyi di rumah seorang teman, tak nyana temannya ini juga sekongkol dengan Lui Tin-gak."

   "Jadi dia dicelakai orang? Bagaimana selanjutnya?"

   Malam itu, rumah temannya itu juga terbakar habis secara aneh. Ada orang melihat dia masuk, tapi tiada yang melihat dia lari keluar."

   "Siapa temannya itu?"

   "Kabarnya seorang kakek she Tan guru musik harpa bersama cucunya. Malam itu hanya mereka berdua saja yang kelihatan lari keluar, seperti juga keluarga Lui Tin-gak, entah kemana jejak mereka berdua yang terang mereka lenyap dari Kwi-lin secara misterius."

   "In, In Hou bagaimana? Adakah orang yang menemukan mayatnya?"

   "Rumah keluarga Tan tinggal puing-puingnya, tapi jenazah atau tulang belulang In Tayhiap sih tidak ditemukan. Tapi sejak malam itu tiada orang pernah melihatnya lagi,"

   Dari penuturan ini dapat diraba bahwa jiwa In Hou lebih banyak celaka dari pada selamat.

   Gelap pandangan In-hujin, seketika dia semaput sayup-sayup masih sempat didengarnya Liong Seng-bu berteriak-teriak memanggil "Bibi".

   Sejak hari itu, In-hujin tidak pernah menyinggung tentang In Hou lagi, penyakitnya bertambah parah, dua tiga hari kumat sekali semakin lama semakin parah dan rumit.

   Untung dia masih merindukan puteri tunggalnya, maka dia harus berontak untuk bertahan hidup.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Oleh karena itu setiap hari dia tetap berlatih silat untuk menambah tenaga kondisi badannya.

   Sejak itu pula Liong Seng-bu tak berani menyinggung tentang In Hou juga, sampai kira-kira tiga tahun kemudian, kira-kira sebulan lebih yang lalu suatu hari dia pulang tergesa-gesa.

   "Belakangan ini terjadi sesuatu peristiwa aneh di Kangouw..."

   Begitu masuk rumah, setelah memberi selamat pada bibinya lantas dia bercerita panjang lebar.

   "Kejadian aneh apa?"

   Tanya In-hujin, karena iseng ingin juga dia tahu berita apa yang terjadi diluar.

   "Di kalangan Kangouw baru saja muncul seorang pemuda yang berusia belum genap 20 tahun, dia pandai memainkan ilmu golok keluarga In."

   In-hujin kaget katanya.

   "Dia pandai main ilmu golok keluarga In,"

   In-hujin tahu, ln Hou hakikatnya tidak pernah menerima murid, ilmu golok itu hanya khusus dia ajarkan kepada putri tunggalnya.

   "Masih ada yang lebih aneh lagi, pemuda ini pun memakai sebilah golok pusaka yang tajam sekali, menurut orang-orang yang kenal baik dengan In Tayhiap, golok pusaka itu adalah golok warisan keluarga In Tayhiap."

   "Siapa nama dan she pemuda itu? Bagaimana asalusulnya?"

   Tanya ln-hujin, seketika pucat pias air mukanya.

   "Semula tiada orang yang tahu asal-usulnya, akhirnya seorang teman In Tayhiap yang suka membantu mencari tahu kian kemari, syukur usahanya ternyata berhasil. Pemuda itu she Tan bernama Ciok-sing, asal dari kota Kwi-lin."

   Gemetar suara In-hujin, katanya.

   "Kau, dulu kau pernah bilang, pada malam hilangnya In Hou tiga tahun yang lalu, dia sembunyi di rumah seorang sahabatnya. Sahabatnya itu she Tan. Pada malam itu juga rumah keluarga Tan juga terbakar habis, keluarga mereka juga lenyap tak berbekas."

   "Betul,"

   Ujar Liong Seng-bu menghela napas.

   "Keluarga Tan itu terdiri kakek dan cucu, sang kakek adalah ahli harpa, cucunya waktu itu berusia lima belasan. Pemuda yang pandai main ilmu golok keluarga In muncul di Kangouw ini kecuali membawa golok pusaka In Hou, diapun selalu membawa sebuah harpa, petikan harpanya juga cukup ahli. Usianya kirakira sebaya dengan cucu keluarga Tan itu. Ai, kukira nasib In Tayhiap tentu celaka."

   Sebetulnya In-hujin juga sudah menduga ke arah ini, dalam hati dia menerka.

   Pasti It-cu-king-thian bersekongkol dengan Tan Ciok-sing mencelakai In Hou, buku pelajaran ilmu golok dan golok pusaka itu dirampas mereka.

   Bagaikan ribuan panah mencocok jantung, tak terperikan sakit hati In-hujin, kedua matanya membelalak merah, desisnya sambil mengolak gigi.

   "Baik, nama Tan Ciok-sing akan kuukir didalam benakku,"

   Habis bicara diapun meloso roboh semaput.

   000OOO000 Sungguh tak kira tiga bulan kemudian, Tan Ciok-sing yang dianggapnya pembunuh bekas suaminya ini, kepergok di rumah sang suami pada malam pertama dia tiba-tiba ada disini.

   Meski sudah cerai selama delapan belas tahun, namun selama ini dalam sanubari In-hujin masih tetap pandang In Hou sebagai suaminya, maka dia harus menuntut balas atas kematian suami, golok pusaka milik sang suami harus direbut kembali, dengan golok pusaka milik suaminya itu itu dia akan membunuh Tan Ciok-sing.

   Tak nyana pada detik-detik yang menentukan itu mendadak penyakitnya kumat.

   Lebih diluar dugaannya lagi bahwa Tan Ciok-sing yang semula dianggap sebagai pembunuh suami dan hampir dia cekik sampai mati ini, sekarang berbalik menolong djiwanya dari renggutan elmaut.

   Pemuda sejujur, bijak dan rela berkorban sendiri demi menolong orang lain, mungkinkah dia sampai hati benar membunuh suaminya yang sedang celaka serta merebut goloknya? Kepada pihak mana dia harus percaya? Percaya pada Liong Seng-bu atau percaya pada pemuda di hadapannya ini? Hatinya yang rawan ini menjadi hambar, seakan-akan jalan pikirannya berhenti sama sekali.

   Di tengah alunan irama harpa yang lembut ini, tanpa merasa dia memejam mata, apapun tidak dipikir, dengan lelap dia pulas tanpa terasa.

   Waktu dia siuman hari sudah pagi pada hari kedua esok harinya, tampak Tan Ciok-sing masih menunggu di pinggir pembaringan.

   "In-hujin, kau sudah baik?"

   Tanya Tan Ciok-sing melihat dia membuka mata. Sungguh haru dan menyesal pula hati In-hujin, katanya.

   "Lebih baik sedikit. Apa semalam suntuk ini kau tidak tidur? Banyak terima kasih akan kebaikan dan jerih payahmu."

   "Ini memang sudah menjadi kewajiban Wanpwe,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "sudah kumasakkan bubur, kau tunggu sebentar, biar kuambil di dapur."

   Semangat In-hujin sudah jauh lebih segar, perutnya memang sedang lapar Tan Ciok-sing membawa semangkok bubur yang masih mengepul panas, eh, masih menyediakan dua macam lauk pauk lagi.

   Waktu makan bubur itu, tak urung berkaca-kaca kedua bola mata In-hujin.

   "Bikin kau repot saja, hayolah kau pun makan."

   Kata In-hujin. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Dalam kota sudah sukar menemukan makanan, untung di dapur masih ada disimpan segentong besar, kira-kira cukup untuk makan tiga hari. Aku sendiri membawa rangsum kering, barusan aku sudah makan."

   Pikiran kalut masih berkecamuk dalam hati, terasa oleh Inhujin banyak persoalan yang dia ingin tanya kepada pemuda ini, tapi tak tahu dari hal apa dia harus mulai bicara. Dengan teliti Tan Ciok-sing meladeni In-hujin sampai habis makan, katanya.

   "Semangatmu baru saja pulih jangan terlalu banyak bicara, istirahatlah sebentar lagi,"

   "Baiklah, ceritakan dulu persoalanmu kepadaku,"

   Kata Inhujin.

   "Memang akan kulaporkan kepada Hujin tentang pertemuanku dengan In Tayhiap. Tiga tahun yang lalu..."

   "In-hujin tersenyum, katanya ramah.

   "Aku tidak senang dipanggil Hujin, kau panggil bibi saja kepadaku,"

   Pada hal semalam dia melarang Tan Ciok-sing memanggilnya "bibi".

   Tan Ciok-sing bercerita dari sejak kakeknya menolong In Hou, sampai kematiannya secara mengenaskan, bicara sampai pesan In Hou yang terakhir, lalu diceritakan pula pengalamannya di Ciok-lin yang akhirnya diangkat jadi murid penutup Thio Tan-hong, sebelum sang guru meninggal, Pekhong- kiam dan Ceng-bing-kiam diwariskan padanya.

   Dari mulut Tan Ciok-sing In-hujin memperoleh kepastian akan kematian suaminya, sungguh bukan kepalang rasa pedih Inhujin.

   Untung hal ini sebelumnya sudah dia ketahui, meski hati merasa perih, dia masih kuat menerima pukulan batin ini.

   Tan Ciok-sing dapat menyelami rasa sedih seperti ini takkan terbujuk dengan kata-kata manis apapun, maka diapun diam saja berdiri di samping tanpa berbicara.

   Sesaat kemudian, setelah In-hujin menyeka air mata, katanya.

   "Wanpwe memang tidak punya rejeki, pada hari aku diterima murid oleh Suhu, pada hari itu pula Suhu meninggal dunia, hanya dua jam aku berkumpul dan bicara dengan beliau, hanya beberapa soal penting saja yang dia bicarakan kepadaku."

   "Dia suruh kau menyerahkan Ceng-bing-kiam kepada putriku, adakah dia pesan apa-apa."

   "Katanya pedang ini semula memang milik keluarga In."

   "Benar ini memang milik Sunio (Ibu guru) atau bibi ayah San-ji yang dipakainya dulu. Lalu Pek-hong-kiam?"

   "Beliau menyerahkan kepadaku, dipesan supaya aku menggunakan pedang ini secara baik-baik."

   In-hujin seperti memikirkan sesuatu, katanya sesaat kemudian.

   "Apa dia tidak menceritakan asal-usul kedua pedang ini?"

   "Aku hanya tahu bahwa kedua bilah pedang dulu adalah senjata yang dipakai Suhu dan Sunio."

   "Kecuali itu, seharusnya gurumu memberitahu persoalan lain, apa dia tidak sempat berpesan padamu?"

   Merah muka Tan Ciok-sing, sahutnya tergagap.

   "Ya, beliau tidak bilang apa-apa."

   Mendengar kata memperhatikan mimik, segera In-hujin tahu karena malu Tan Ciok-sing tidak berani memberitahu, pada hal dia sudah tahu kemana maksud tujuan gurunya, namun di hadapan Inhujin dia tidak berani berbincang terus terang.

   Pek-hong-ceng-bing merupakan dua pedang berpasangan, merupakan senjata pengikat perjodohan Thio Tan-hong dengan isterinya di waktu muda.

   Dalam hati In-hujin berpikir.

   "Agaknya Thio Tan-hong ada maksud menjodohkan San-ji kepada anak ini, waktu Thio Tan-hong bertemu dia sebelumnya sudah tahu bahwa Hou-ko sudah meninggal, sebagai sanak kadang tertua dari keluarga In, adalah menjadi kewajibannya untuk memutuskan perjodohan anak San. Houko menyuruhnya pulang menyerahkan golok dan buku ajaran ilmu goloknya mungkin sebelumnya dia juga sudah punya maksud yang sama?"

   Tanpa terasa In-hujin memandangnya terlongong sekian lamanya, pikirnya lagi.

   "Kungfu bocah ini amat baik, jujur, tulus dan bajik. Tapi soal lain yang dikatakan Seng-bu itu entah betul atau tidak? Jikalau anak San sudah punya simpanan dalam hatinya, perjodohan ini jelas tidak mungkin dibicarakan."

   Dia teringat persoalan yang pernah dibicarakan Liong Sengbu.

   Waktu itu dia rebah di atas ranjang setelah penyakitnya kumat, seperti anak kandung sendiri Liong Seng-bu dengan teliti meladeninya, setiap hari masak obat dan mengajak ngobrol.

   Meski merasakan sang keponakan ini agak bermukamuka, namun dalam hati dia berterima kasih akan kebaikannya yang sudi merawat dirinya.

   Suatu hari kesehatannya jauh lebih baik dari biasanya, tibatiba Liong Seng-bu datang dan berkata kepadanya.

   "Bibi, sebetulnya masih ada sesuatu hal yang hari itu ingin kusampaikan kepada kau orang tua, mengingat penyakit bibi masih berat, maka kutunda sampai hari ini. Kupikir lebih baik kalau hal ini kubicarakan dengan kau orang tua."

   Bagai burung yang sudah ketakutan melihat bidikan panah, jantung In-hujin berdetak pula, katanya dengan rasa kaget.

   "Apakah kabar buruk?"

   "Untuk ini bibi boleh lega hati, meskipun bukan kabar baik, tapi juga bukan kabar buruk."

   "Baik coba katakan. Soal apa?"

   "Waktu aku pulang dulu pernah aku mampir ke Tay-tong. Untuk kedua kalinya aku bertemu dengan adik San."

   Menegang perasaan In-hujin, tanyanya.

   "Dia bagaimana?"

   "Adik San baik-baik saja,"

   Ucap Liong Seng-bu tersenyum.

   "kini dia sudah tumbuh dewasa, merupakan gadis cantik rupawan."

   "Yang ingin kuketahui, apa saja yang dia bicarakan dengan kau?"

   "Kini dia sudah tahu urusan. Waktu aku memberitahu bahwa kau amat merindukan dia, dia menunduk, katanya.

   "Akupun merindukan ibu, tapi aku ingin menunggu ayah pulang, setelah mendapat izinnya baru aku mau menemui dia."

   Senang dan duka pula hati In-hujin, katanya.

   "Bahwa dia masih menganggapku sebagai ibunya, matipun aku bisa meram. Tapi dia ingin menunggu ayahnya pulang, harapan ini jelas takkan terkabul selamanya."

   "Kuatir dia tidak kuat menghadapi pukulan batin, maka peristiwa yang menimpa In Tayhiap tak berani kuceritakan padanya. Tentang pemuda yang muncul di kalangan Kangouw serta pandai memainkan ilmu golok keluarga In kuketahui belakangan. Maka akupun tak berani kasih tahu padanya."

   In-hujin menghela napas, katanya.

   "Aku tak berani mengharapkan lagi. Betapapun aku tidak tega meninggalkan dia sebagai yatim piatu yang harus hidup sebatang kara."

   "Memangnya, paman juga berpikir demikian."

   "Lho, apa pamanmu juga menyinggung anak San terhadapmu?"

   "Paman bilang, bila ayahnya mengalami sesuatu, dia masih punya ibu, paman dengan senang hati menjadi ayah tirinya. Paman juga bilang adalah jamak kalau kita memanggilnya pulang kesini, kalau sudah saatnya dinikahkan supaya yang jadi orang tua tidak kapiran memikirkan nasibnya kelak."

   "Usianya masih kecil, soal menikah boleh kelak dibicarakan. Syukur kalau dia mau berada di dampingku saja."

   "Mungkin bibi tidak tahu, soal perjodohan adik San, paman memang punya cukup alasan untuk membicarakan hal ini."

   "Alasan apa?"

   Tanya In-hujin melengak.

   "Paman ada mendengar kabar, katakan ada sebuah keluarga yang akan meminang adik San, apakah adik San mencintai orang itu, paman sendiri belum tahu, tapi kalau hal ini tidak lekas dicegah, kemungkinan bisa menjadi kenyataan. Paman amat menguatirkan hal ini, ai, orang itu, orang itu..."

   Tak urung In-hujin ikut kaget pula, tanyanya.

   "Siapakah orang itu? Bagaimana asal-usulnya?"

   Liong Seng-bu menenggak habis secangkir teh baru bicara pula.

   "Orang itu bernama Toan Kiam-ping, asal-usulnya memang cukup tinggi dan agung, dia adalah pangeran dari keluarga Toan di Tayli."

   Lega hati In-hujin, pikirnya.

   "Kenapa aku melupakan keluarga Toan, selama ini keluarga Toan dan In punya hubungan yang intim. Waktu aku berada' di rumah keluarga In, pernah In Hou membicarakan pangeran raja ini terhadapku. Konon pangeran ini amat cerdik pandai, baru berusia belasan tahun sudah mempunyai dasar Kungfu dan ilmu sastra yang tinggi. Sayang aku tak pernah melihatnya. Dihitung-hitung usianya mungkin 10 tahun lebih tua dari anak San, asal orangnya baik, 10 tahun lebih tua dari sang isteri juga tidak jadi soal. Tapi kenapa paman Seng-bu malah menguatirkan hal ini?"

   Seperti merasakan kekuatiran In-hujin, Liong Seng-bu bercerita lebih lanjut.

   "Toan Kiam-ping kenyataan memang seorang pangeran raja, bahwa keluarga In dapat berbesanan dengan keluarga agung ini sungguh merupakan suatu kehormatan yang tak terhingga..."

   In-hujin mengerutkan kening, katanya.

   "Ayah anak San bukan laki-laki yang kemaruk harta dan pangkat, bilamana anak San memang mencintai orang itu, kupikir pasti bukan lantaran dia itu seorang pangeran. Sejak kecil wataknya mirip sang ayah. Letak persoalannya hanya pada Siau-ongya itu apakah dia seorang baik?"

   "Omongan bibi memang betul, persoalan justeru timbul pada sang pangeran ini."

   "Apa pamanmu sudah mengutus orang menyelidiki hal ini? Apa sepak terjangnya tidak genah?"

   "Mungkin lebih parah dari sepak terjang yang tidak genah."

   "O, soal apakah yang sedemikian gawatnya?"

   "Bibi tidak usah gugup, biar ku jelaskan dengan jelas, Pangeran ini tahun ini berusia 27, belum menikah. Konon orangnya romantis dan suka main perempuan, di rumahnya banyak pelayan perempuan cantik-cantik. Bagi keluarga bangsawan tidaklah dibuat heran kalau dia punya tiga isteri lima gundik, tapi yang membuat paman kuatir adalah persoalan lain."

   


Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini