Pendekar Pemetik Harpa 8
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 8
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
"Di depan ada sebidang hutan marilah kita istirahat disana."
Sebesar ini belum pernah bergaul berduaan dengan laki-laki yang belum dikenalnya betul, apa lagi harus bermalam di hutan belukar macam ini? Walau dia tahu Tan Ciok-sing adalah pemuda baik-baik, betapa pun dia merasa malu dan rikuh.
Setelah berpikir lalu dia berkata.
"Baiklah, kita boleh tidur bergiliran, kau boleh istirahat dulu, aku yang jaga malam."
Tak keruan rasa hati Tan Ciok-sing mendengar ucapan ini, pikirnya.
'"Belum lagi tiba di hutan itu, kenapa kau sudah bicara lebih dulu? Memangnya aku bakal menipumu? Hemm, kau putri seorang pendekar besar, memangnya aku tidak setimpal bersama kau, biarlah setelah sampai di markas Kimto Cecu dan bertemu dengan Tam-toako, setelah urusan kubereskan, aku akan segera berpisah dengan dia, kembali ke Kwi-lin seorang diri.
Supaya orang jangan menyangka aku sebagai kodok buduk ini kepingin gegares daging bangau,"
Sama-sama memikirkan persoalannya sendiri sehingga untuk sesaat lamanya mereka tidak banyak bicara lagi.
Kalau In San seenaknya menjalankan kudanya pelan-pelan, Tan Ciok-sing mengikutinya di belakang tanpa bersuara.
Baru saja mereka sampai di hutan itu, dari arah belakang terdengar derap lari kuda yang gemuruh dan kencang.
Tan Ciok-sing berkata.
"Agaknya pasukan pengejar telah menyusul. Nona In kudamu dapat lari kencang, lekaslah kau lari lebih dulu."
Berkerut alis In San katanya.
"Kalau betul pasukan pengejar, kenapa aku harus lari lebih dulu? Kau kira aku gentar menghadapi para pengejar ini?"
"Bukan itu maksudku. Dari langkah kuda dapat kudengar yang mengejar hanya lima orang, kukira aku mampu menggasak mereka, kau tak usah ikut campur."
"Memang, kenapa aku lupa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari aku, gagah dan perkasa, tak perlu aku harus membantumu,"
Demikian sindir ln San jengkel. Pada saat itulah pengejar itupun sudah mengudak datang, orang yang terdepan mendadak berteriak keras.
"Adik San, adik San, kenapa kau bergaul dengan pemuda bergajul ini. Tahukah kau siapa dia? Dia itulah bangsat cilik Tan Ciok-sing yang sekongkol dengan It-cu-king-thian membunuh ayahmu itu."
Karena dongkol semula In San bermaksud tinggal lari seorang diri ke tempat Kim-to Cecu biar Tan Ciok-sing sendirian menghadapi musuh, namun begitu mendengar dan melihat orang yang mendatangi ini, niatnya seketika menjadi buyar.
Rasa dongkolnya kepada Tan Ciok-sing menjadi beralih kepada orang yang mencelakai ayah dan menyebabkan keluarganya berantakan ini.
Ternyata orang yang membedalkuda paling depan ini bukan lain adalah Liong Seng-bu.
Di belakang Liong Seng-bu masih ada empat orang berpakaian busu, bukan saja seragam mereka serupa, raut muka mereka pun hampir mirip satu dengan yang lain, seakan-akan mereka saudara kembar dan sekandung.
Jarak cukup jauh, salah seorang busu itu mendadak membidik terus melepas panah.
Melihat musuh besar mendatangi, keruan membara mata Tan Ciok-sing, hakikatnya dia tidak hiraukan panah yang mengincar datang itu, dari punggung kuda dia melejit turun, bentaknya.
"Liong Seng-bu, kebetulan keparat kau ini datang."
Pedang dilolos terus memapak maju, panah itu mengenai kudanya sampai mati, namun ujung pedangnya sudah mengancam muka Liong Seng-bu.
"Trang"
Seorang busu di samping Liong Seng-bu ternyata amat cekatan, pada saat kritis itu dia angkat pedangnya menyambut tusukan pedang Tan Ciok-sing sehingga senjata beradu keras, dan tusukan ke muka Liong Seng-bu tertangkis.
Begitu pedang beradu, lelatu api berpijar, pedang yang digunakan busu ini adalah pedang panjang berpunggung tebal, namun toh gumpil sebagian besar, namun tidak sampai patah.
Namun demikian busu ini menjadi kaget dan heran melihat permainan pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini.
Bahwa busu ini mampu menangkis serangan pedang Tan Ciok-sing yang liehay, ini betul-betul diluar dugaan Tan Cioksing.
Tapi dia yakin keempat musuh ini hanya kaum kroco belaka, dalam tiga gebrakan dia yakin dirinya masih mampu merobohkan mereka.
Gerakan pedang Tan Ciok-sing laksana angin lesus, hakikatnya musuh tidak diberi kesempatan ganti napas.
"Sret, sret"
Beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan berantai.
Seorang busu telah melompat turun dari punggung kuda, lekas dia menubruk maju, seorang busu yang terdepan dan sudah bergebrak duluan dengan Tan Ciok-sing tadipun sudah putar balik memutar pedangnya menjadi garis bundar terus menyapu menyilang dari kiri ke kanan, jadi kebetulan serasi dengan busu seorang lagi yang menyerang dari arah lain, rasanya gerakan pedang mereka begitu rapat dan sempurna tiada lobang sedikitpun, sehingga serangan pedang Tan Cioksing yang liehay itu dapat dipunahkan dengan mudah.
Keruan bercekat hati Tan Ciok-sing pikirnya.
"Walau ilmu pedang mereka tidak terhitung tinggi, tetapi juga tidak begitu hebat, entah kenapa begitu kedua orang bergabung kekuatannya lantas berlipat ganda secara mendadak?"
Maklum sekarang Tan Ciok-sing sudah berhasil menyelami inti sari pelajaran Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong, umpama berhadapan dengan ilmu pedang tingkat tinggi dan aliran manapun dalam pandangannya tidak lebih juga hanya begitu saja, kalau di bicarakan secara serius, ilmu pedang kedua orang ini belum terhitung tingkat tinggi.
Tapi anehnya justeru kelihatan biasa, tapi sejurus ilmu pedang itu ternyata begitu rapat dan sempurna di bawah permainan dua orang ini.
Akan tetapi, meski seorang diri menghadapi dua orang, Tan Cioksing masih tetap unggul.
Di sebelah sana Liong Seng-bu berteriak.
"Bocah ini liehay sekali, Toako dan Jiko kalian mungkin belum mampu membekuk bocah itu, kalian tidak perlu hiraukan aturan Kangouw segala, lekaslah keroyok dia saja."
Busu ketiga berkata.
"Site, majulah kau membantu Toako dan Jiko,"
Lalu dia berpaling dan berkata kepada Liong Sengbu.
"Kongcu tak usah kuatir, bila ketiga saudaraku ini membentuk suatu barisan pedang, meski kepandaian bangsat cilik ini setinggi langit juga pasti tidak akan bisa lolos. Biar aku disini menemani Kongcu saja,"
Dia kuatir bila ln San mendadak mengamuk, Liong Seng-bu tak kuat melawannya. Liong Seng-bu tahu maksud orang, matanya menatap In San, sikapnya seperti temberang sambil mulut bersuara dalam tenggorokan, lalu katanya.
"Ya, begitu juga boleh."
In San sudah lompat turun pula dari punggung kuda, dengan sepenuh perhatian dia menyaksikan ketiga busu itu mengeroyok Tan Ciok-sing dengan sengit, hakikatnya dia tidak peduli dan tidak hiraukan kehadiran Liong Seng-bu.
Busu ketiga masuk gelanggang, Tan Ciok-sing semakin rasakan tekanan bertambah berat.
Di tengah pertempuran sengit itu mendadak dia gunakan jurus Sam-coan-hoat-un Pek-hong-kiam terayun ke atas memetakan tiga kuntum cahaya pedang, seperti ke kiri tapi juga mirip ke kanan, dalam sesingkat itu, ketiga lawannya sama-sama merasa kabur dan silau pandangannya, hawa pedang yang dingin menyampuk muka, seakan-akan tajam pedang yang kemilau itu sekaligus mengancam tenggorokan mereka bertiga.
Tapi ketiga saudara ini mempunyai tekad dan isi hati yang sama, serempak mereka membentak, tiga pedang sekaligus terayun dalam gerakan dan posisi sama, satu di depan yang lain di belakang melibatkan diri dalam selarik lingkaran pedang.
Jurus yang dilancarkan Tan Ciok-sing adalah hasil kesimpulannya sendiri yang diperoleh dari kembangan Bubing- kiam-hoat yang paling ganas, cepat, keji, telak dan berubah empat unsur berkombinasi sehingga gaya pedangnya seperti mengambang tapi dilandasi tenaga dalam sehingga perubahannya sukar diraba.
Tapi gerak-gerik ketiga lawannya selalu serempak dan bersatu padu, barisan pedang yang mereka ciptakan betul-betul rapat dan kuat, maka sering terdengar dencing benturan senjata disertai lelatu api.
Bukan saja Tan Ciok-sing tidak mampu menjebol pertahanan lawan, malah dia terkepung di tengah lingkaran sinar pedang ketiga lawannya, dalam benturan barusan telapak tangan terasa sedikit pedas.
Kiranya empat busu yang dibawa Liong Seng-bu kali ini adalah saudara kembar yang dilahirkan satu rahim, she Huwan bernama Liong', Hou, Pau dan Kiau.
Yang mengeroyok Tan Ciok-sing adalah Lotoa Huwan Liong, Loji Huwan Hou dan Losi Huwan Kiau, yang melindungi Liong Seng-bu adalah Losam Huwan Pau.
Ke empat busu ini sebetulnya adalah pengawal pribadi paman Liong Seng-bu, Liong Bun-kong yang menjabat Kiu-bun-te-tok di kota raja, kalau dinilai kepandaian sejati mereka, bila satu lawan satu mereka bukan tandingan Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan, namun keempat saudara kembar ini meyakinkan suatu ilmu barisan pedang yang amat liehay dan ketat, jago kosen kelas tinggi pun sukar meloloskan diri dari kepungan barisan pedang mereka.
Barisan pedang mereka ini diciptakan oleh aliran Thianliong- bun di Tibet, berbeda dengan aliran pedang yang ada di daerah Tionggoan, kalau hanya seorang bertempur dengan musuh permainan pedangnya kelihatan biasa dan sepele, tapi dua orang bergabung kekuatannya bertambah satu lipat, tiga orang bekerja sama, kekuatannya akan bertambah lipat ganda pula, bila empat orang sekaligus turun tangan, kekuatannya sama dengan enam belas orang jago kosen sekaligus menyerang pada titik sasaran yang sama.
Kini Tan Ciok-sing seorang diri melawan tiga orang, berarti dia melawan delapan musuh kelas satu, meski bersenjata pedang pusaka, namun pedangnya sering tertolak pergi oleh getaran tenaga gabungan ketiga lawannya, sehingga sukar dia membentur putus senjata, lawan, sejauh ini tak mungkin dia membuat keuntungan.
Terpaksa Tan Ciok-sing kembangkan kegesitan tubuhnya, gerakannya enteng dan lincah secara cekatan lagi supaya tidak sampai terbokong dan kecundang.
Lima puluh jurus kemudian, lingkaran kepungan lawan semakin mengetat, gerakan cepat Tan Ciok-sing semakin sukar dikembangkan.
Bahna gugupnya lekas dia berteriak.
"Nona In, lekas kau pergi. Tolong sampaikan kabarku kepada Tam Tayhiap, tak usah kau menungguku disini."
Anehnya bukan saja In San tidak segera mengeluarkan senjata maju membantu, dia pun tidak segera tinggal pergi. Tan Ciok-sing suruh dia lari, dia seakan-akan tidak mendengar peringatannya itu. Dasar kepincut paras ayu, Liong Seng-bu berpikir.
"Pasti dia sudah mendapat tahu duduknya persoalan dari mulut bocah keparat itu. Tapi aku yakin dia masih setengah percaya."
Dilihatnya Tan Ciok-sing yang dikepung Huwan bersaudara tidak akan bisa lolos lagi, maka legalah hatinya, segera dia maju dua langkah, katanya.
"Adik San, jangan kau kena kepelet bocah keparat itu, dia betul-betul adalah musuh pembunuh ayahmu. Apa kau tidak ingin menuntut balas dan membunuhnya?"
In San bersikap pura-pura bimbang, sorot matanya guram dan melirik kearah Liong Seng-bu, katanya.
"Liong kongcu, silakan kau kemari aku ingin bicara dengan kau."
Huwan Pau yang ada di samping Liong Seng-bu berbisik.
"Hati-hati Kongcu."
Liong Seng-bu tertawa, katanya.
"Apa tidak bisa kau katakan disini saja?"
In San mendengus, katanya.
"Persoalan ayah bundaku ingin kutanya supaya jelas, baru nanti aku percaya padamu. Hmm, kau tidak percaya padaku, memangnya aku harus percaya padamu. Kau tidak mau kemari, ya sudah."
Persoalan ayah bunda In San menyangkut urusan keluarga, sebagai anak perempuan sudah tentu dia pantang membicarakan keburukan keluarga di hadapan umum, hal ini memang jamak dan masuk di akal.
Mengingat hal ini diamdiam hati Liong Seng-bu senang, pikirnya.
"Asal timbul rasa curiganya terhadap bocah she Tan itu aku akan berhasil membujuknya sehingga dia percaya padaku."
Maka tanpa pedulikan peringatan Huwan Pau, dia mengulap tangan sambil berkata.
"Tak usah kau ikuti aku. Nona In adalah adikku, kami bersaudara ingin omong urusan pribadi, memangnya aku harus hati-hati apa,"
Sembari bicara diam-diam dia memberi lirikan kepada Huwan Pau terus melangkah ke arah In San.
Meski terkepung dan sedang berhantam dengan sengit, tapi mata kuping Tan Ciok-sing selalu memperhatikan keadaan sekelilingnya, maka setiap perkataan In San dapat juga didengarnya jelas.
Karuan hatinya semakin gelisah, teriaknya.
"Nona In, jangan kau ketipu lagi oleh anak jadah itu."
Sedikit lena karena bicara, pedang panjang Huwan Liong meluncur tiba menusuk lurus dari depan mengincar dada, sementara kedua pedang Huwan Hou dan Huwan Kiau juga berendeng dalam satu garis melingkar satu bundaran membendung gerakan pedang Tan Ciok-sing.
Walau secara lincah dan pas-pasan Tan Ciok-sing masih sempat menghindari tusukan pedang Huwan Liong, tapi terdengar suara "Bret"
Pakaiannya bolong oleh tusukan pedang Huwan Liong, untung tidak sampai melukai kulit dagingnya, apa boleh buat menyelamatkan diri lebih penting, maka dia tidak hiraukan lagi keadaan In San. Mendekati In San, Liong Seng-bu cengar-cengir, katanya.
"Adik San, soal apa yang ingin kau tanyakan?"
Pada saat itulah mendadak tampak bintik-bintik sinar bintang kemilau sama meluruk datang, tahu-tahu In San timpukkan segenggam Bwe-hoa-ciam.
Jarak sedemikian dekat, mana Liong Seng-bu bisa meluputkan diri? Sebisa mungkin dia memutar tubuh sambil menundukkan kepala, belum lagi dia angkat langkah melarikan diri, terdengarlah suara berisik lembut, jarum-jarum lembut itu seluruhnya sudah menancap di punggung Liong Seng-bu.
Girang hati In San, jengeknya dingin.
"Bangsat keparat, justru kaulah yang membantu mencelakai ayahku, kau kira aku bisa kau tipu lagi?"
"Sret"
Dia mencabut golok terus maju hendak menggorok leher Liong Seng-bu. Mendadak Liong Seng-bu menoleh.
"Adik San, kenapa kau berkelakar denganku?"
Wajahnya berseri tawa, sedikitpun tidak tampak dia terluka. Rasa girang In San berubah jadi kaget, hatinya ragu-ragu.
"Memangnya bocah ini sudah memiliki Iwekang kebal senjata rahasia? Waktu dia menemui aku tempo hari kepandaiannya masih keroco, memangnya tiga tahun ini kemajuan sepesat ini?"
Tapi dendam kematian orang tua sedalam lautan, meski hati merasa bimbang tangannya segera bekerja cepat, dengan jurus Yan-loh-ping-sa, golok pusakanya segera membelah.
Dia cepat ternyata Liong Seng-bu juga tidak lambat, lekas dia mengayun balik pedang, gaya pedangnya ternyata cukup liehay dan ganas.
Jurus ini mengincar balik musuh sehingga lawan dipaksa melindungi tubuh sendiri lebih dulu sebelum melukai lawan.
Secara reflek In San sudah tentu harus menghindar, tapi gerakannya amat cekatan, goloknya sudah merabu pula dengan jurus Pek-ho-liang-ji.
"Trang"
Kembang api berpijar, pedang Liong Seng-bu terketuk gumpil sedikit oleh golok In San.
Tapi Liong Seng-bu sempat melompat minggir sejauhnya, tetap segar tidak terluka sedikitpun.
Cepat sekali Huwan Pau sudah lompat maju menolong.
Ternyata Liong Seng-bu memakai kaos kutang yang tidak mempan senjata, jarum-jarum itu tembus pakaian luarnya, namun tidak kuasa menembusi kaos kutangnya itu.
Di samping itu, Bu-bing-kiam-hoat yang diperolehnya meski hanya petilan dan tidak lengkap, namun selama tiga tahun belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini juga memperoleh kemajuan.
Tergantung kedua keuntungan inilah, maka dia berani maju kedepan In San tanpa dikawal.
Baru sekarang Tan Ciok-sing sadar akan sikap In San yang pura-pura dungu tadi, maksudnya adalah memancing Liong Seng-bu mendekatinya supaya leluasa membunuhnya.
Walau usaha itu gagal, namun rasa kuatir Tan Ciok-sing seketika tersapu bersih.
Segera dia mengempos semangat, beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan, kepungan ketat Huwan bersaudara yang mengetat tadi kini didesaknya mundur melebar.
Disana In San sudah melabrak.
Huwan Pau seorang diri melawan In San.
Huwan Pau jelas kalah setingkat, namun karena hanya lebih rendah setingkat maka untuk mengalahkan lawannya agak sukar juga bagi In San, malah dia kena dilibat sehingga tak kuasa terjang kesana mengejar dan membunuh Liong Seng-bu.
"Nona In,"
Teriak Tan Ciok-sing.
"selama gunung tetap menghijau, tak usah takut kehabisan kayu bakar, lekaslah kau pergi ke markas Kim-to Cecu memberi kabar."
Tapi In San gertak gigi tanpa bersuara, sekaligus dia kembangkan tiga puluh enam jurus ilmu goloknya, Huwan Pau didesaknya mundur puluhan langkah.
Memang tujuan Huwan Pau memancing kemarahan In San dengan serangan gencar ini sehingga dia bisa mundur ke dekat para saudaranya, meski hanya mampu menangkis dan membela diri, gerak pedang dan langkah kakinya masih tetap tenang dan teratur.
Tan Ciok-sing sudah tahu bila ke empat saudara ini bergabung jadi satu, maka barisan pedang ini akan bertambah kokoh sukar ditembus lagi, bahwa In San mendesak maju ke arahnya ini bukankah ibarat masuk jaring sendiri.
Tapi dia tahu In San takkan mau mendengar peringatannya, apa boleh buat dia hanya bisa menghela napas gegetun belaka.
Betul juga Huwan Liong yang menjadi pimpinan barisan segera memberi aba-aba merubah posisi dari barisan pedang ini, kini In Sanpun digulung dalam barisan.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat orang bergabung perbawanya berlipat pula.
Empat batang pedang memetakan sebuah jaringan sinar pedang, Tan Ciok-sing dan In San berdua seperti dibungkus di dalamnya, baru sekarang In San merasakan gerak-geriknya seperti terkekang, ilmu goloknya tak kuasa dikembangkan, beruntun dia terancam tusukan dan tabasan pedang musuh.
Melihat Tan Ciok-sing dan In San berdua meski tumbuh sayap juga takkan bisa meloloskan diri, baru lega dan lenyap rasa kaget Liong Seng-Bu, segera dia main tingkah lagi dengan mengudal ocehan.
"Kalau tidak bisa membekuk hiduphidup bocah she Tan ini, yang mati juga boleh. Tapi nona In adalah adikku, sekali-kali kalian jangan melukainya."
Huwan Liong mengiakan, pedang panjangnya tiba-tiba menusuk keluar dari urutan lingkar besar menusuk ke Hian-kihiat di depan dada In San.
Sebagai saudara tertua dari ke empat bersaudara ini, ilmu pedangnya terhitung paling sempurna, dengan ujung pedang dia mampu menusuk hiat-to lawan tanpa melukai seujung rambut si korban.
Kerja sama gerak pedang ke empat bersaudara memang benar-benar rapat tanpa cacat sedikitpun di kala Huwan Liong menusukkan pedangnya, tiga pedang yang lain serempak juga menyerang Tan dan In berdua, bukan saja menekan dan menutup gaya permainan pedang Tan Ciok-sing, golok pusaka In San juga kena ditindih.
Dalam menghadapi saat-saat kritis ini Tan Ciok-sing menjadi nekat, tanpa hiraukan keselamatan awak sendiri mendadak dia mendesak maju seraya lancarkan serangan mematikan, memangnya Bu-bing-kiam-hoat yang dipelajari amat berguna untuk menghadapi segala perubahan seperti ini, maka jurus Sing-han-hu-jay ini tahu-tahu menyelonong masuk ke pusaran lingkaran sinar pedang lawan dan ternyata betulbetul membawa akibat luar biasa.
Maka terdengar suara bentrokan yang nyaring dan panjang, tiga pedang musuh sekaligus kena dibentur pergi.
Golok In San tegak kokoh di depan dada berhasil membentur pergi pedang Huwan Liong yang menusuk datang.
Huwan bersaudara sekaligus turun gelanggang, kekuatan mereka seumpama enam belas jago-jago silat kelas tinggi turun tangan bersama meski Tan Ciok-sing dapat mengembangkan perbawa Bu-bing-kiam-hoat mencapai taraf kejayaannya, namun kekuatannya masih belum dapat melampaui rangsakan para musuhnya.
Memang ketiga pedang lawan kena dibentur pergi, namun demikian tidak urung pundak kirinya tergores luka oleh pedang Huwan Kiau, untung hanya luka luar dikulit badannya saja.
"Nona In, bocah she Tan ini laksana golekan lempung yang takkan mampu menyebrang sungai, jiwa sendiri sedang terancam memangnya dia mampu melindungi dirimu,"
Demikian bujuk Huwan Liong.
"tentunya kau juga tahu Liongkongcu kami merasa kasihan dan menaruh hati padamu, jelas dia tidak akan membikin susah padamu. Harap kau letakan senjata dan mundurlah keluar gelanggang, supaya kami tidak sampai melukai kau,"
Untung mereka tidak berani melukai In San, sehingga sejauh ini In San masih kuat bertahan. Mendadak In San tertawa dingin, jengeknya.
"Terlalu pagi kalian takabur, nah lihatlah keliehayan nonamu,"
Di tengah jengek tawanya itu tiba-tiba Ceng-bing-kiam sudah tcrlolos dari sarungnya, dengan tangan kiri pegang golok tangan kanan main pedang, golok untuk menjaga badan sementara pedang panjang menyerang musuh Memang aneh bin ajaib tusukan pedang In San yang miring seperti sembarangan ini, ternyata serasi dan cocok pula dengan gerakan jurus pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing, rangkaian sinar pedang lawan laksana jala itu seketika tercerai berai.
Ternyata sekarang Tan Ciok-sing dan In San sama menggunakan pedang jantan dan betina, dua permainan ilmu pedang tergabung menjadi satu, kekuatannya ternyata dahsyat sekali.
Dahulu Thio Tan-hong suami istri tak lama setelah menikah, berdasar ajaran ilmu pedang tingkat tinggi, berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan yang tiada bandingan tarapnya.
Siang-kiam-ho-bik (dua pedang gabungan) yang diciptakan ini bukan melulu mengutamakan setiap jurus pedang bergerak secara serasi, namun gaya pedangnya yang harus serasi, cukup asal kedua pihak samasama menghafal kunci rahasianya cukup sebuah tusukan pedang biasa saja, namun dapat bergabung mencapai puncak kehebatan dengan gerakan pedang kawan sendiri.
Hakikatnya In San belum pernah melihat Thio Tan-hong begitulah menurut ingatannya tapi ilmu pedang yang dimainkan ini secara tidak langsung memang Thio Tan-hong yang mengajarkan padanya, dalam hal ini memang ada kisahnya tersendiri.
Dikatakan didalam ingatannya selamanya belum pernah dia melihat Thio Tan-hong juga kurang tepat.
Yang benar dia dulu pernah melihatnya, tapi itu terjadi tiga hari setelah dia dilahirkan dari rahim ibunya, sebagai orok yang belum tahu apa karena baru saja dilahirkan, bahwa ayah bunda sendiripun belum bisa membedakan sudah tentu siapa saja yang pernah dilihatnya di masa kecilnya dulu jelas tiada kesan apa-apa dalam benaknya.
Waktu itu istri Thio Tan-hong yaitu bibi In Hou yang bernama In Lui sudah meninggal beberapa tahun, Thio Tanhong sudah berniat mengasingkan diri ke Ciok-lin, mendengar isteri In Hou melahirkan seorang bayi perempuan maka dia hadiahkan pelajaran ilmu pedang ini sebagai kado, diminta kelak setelah sang bayi menanjak dewasa mengajarkan ilmu pedang ini kepadanya.
Waktu itu Thio Tan-hong sudah jelaskan dimana manfaat dan kegunaan kedua ilmu pedang gabungan ini kepada In Hou, malah diapun menambahkan pesan.
"Inilah ilmu pedang gabungan yang biasa dimainkan aku bersama bibimu, bibimu tidak melahirkan putra putri, maka perlu aku meninggalkan warisan ilmu pedang jerih payahnya ini kepada keponakan perempuannya. Kelak bila kau mendapatkan menantu bagus, ilmu pedang jantan akan kuturunkan kepadanya. Kuharap kelak dia adalah muridku, tapi umpama dia bukan muridku, ilmu pedang gabungan ini juga pasti akan kuajarkan kepadanya."
Setelah In San tumbuh dewasa sang ayah lantas ajarkan ilmu pedang ini kepadanya, malah sering dia berkelakar menggoda putrinya.
"Murid Thio Tayhiap jauh lebih tua dari kau sejauh ini dia belum menerima murid penutup, kukira harapannya kelak k;m menikah dengan murid didiknya bakal menjadi angan-angan kosong belaka. Tapi kado pemberian Thio Tayhiap terhadapmu ini boleh dikata merupakan hadiah yang tak ternilai harganya, coba siapa jejaka yang punya rejeki sebesar ini dapat mewarisinya."
Kini di kala kepepet dan jiwa terancam bahaya, tanpa sadar In San lantas teringat akan pelajaran ilmu pedang gabungan yang liehay ini, kebetulan Tan Ciok-sing juga sedang menggunakan Pek-hong-kiam, maka tanpa banyak pikir secara reflex tangannya bergerak menurut ajaran ilmu pedang gabungan yang diperoleh dari Thio Tan-hong.
Perbawa ilmu pedang gabungan ternyata mampu mengatasi kekuatan gabungan ilmu pedang Huwan bersaudara, malah didalam perkembangan gaya pedangnya jauh di atas ilmu gabungan ke empat musuhnya.
Bahwa barisan pedang mendadak tercerai berai, karuan bukan kepalang kejut Huwan bersaudara, lekas mereka berputar posisi merubah kedudukan, kaki melangkah menurut Ngo-hing-pat-kwa menyurut mundur, pikirnya hendak ganti napas lalu serempak meronta serta balas menyerang.
Sudah tentu kejut dan girang Tan Ciok-sing bukan main, segera dia pegang kencang kesempatan baik ini, tanpa memberi kesempatan ke empat musuhnya ganti napas, pedang dimainkan sekencang kiliran, dia rabu musuh dengan tusukan dan tabasan pedang.
Ilmu golok warisan keluarga In terkenal di seluruh jagat ini dan tiada bandingan, kini dia ganti memakai pedang yang bobotnya lebih enteng untuk merangsak musuh, maka daya kecepatannya ternyata mampu menyamai gerakan pedang Tan Ciok-sing.
Hakikatnya dia tidak usah peduli jurus permainan apa yang dilancarkan Tan Ciok-sing, cukup asal dia bekerja sesuai teori ilmu pedang dan dipraktekkan secara fasih dan betul, ternyata setiap gerak dan jurus permainannya cocok dan serasi satu dengan yang lain "Trang", pergelangan tangan Huwan Riau tertusuk pedang lebih dulu, senjatanya mencelat jatuh.
Maka beruntun terdengar pula suara berisik dari senjata-senjata yang kebentur patah, pedang panjang Huwan Hou dan Huwan Pau tertabas kutung, sementara pedang panjang Huwan Liong yang berkepandaian tinggi juga gumpil delapan tempat, selanjutnya jelas takkan bisa dipakai lagi.
Karuan bukan kepalang kaget dan jeri Huwan bersaudara, serempak mereka menjerit bersama terus ngacir ke empat penjuru.
Liong Seng-bu si kurcaci ini lebih takut mati pula, begitu melihat gelagat jelek siang-siang dia sudah menyingkir ketempat jauh dan melarikan diri lebih dulu.
Kuda tunggangan mereka adalah kuda-kuda perang yang sudah terlatih baik, mendengar tanda suitan para majikannya lekas mereka lari mendatangi.
Tapi ada seekor larinya agak terlambat, malah sering berpaling kemari seperti ada sesuatu yang berat ditinggalkan.
Sekali cemplak Tan Ciok-sing mencelat ke punggungnya terus ditarik kekangnya dan ditundukkan kembali.
Huwan Liong, Huwan Hou dan Huwan Pau sudah mencemplak kuda tunggangan masing-masing, kuda yang dirampas Tan Ciok-sing adalah kuda tunggangan Huwan Kiau, sudah tentu dia tak berani merebutnya lagi, saking ketakutan lekas dia berlari ke arah sang Toako dan mencemplak di belakang punggung saudaranya, dua orang satu tunggangan terus ngacir sipat kuping, cepat sekali mereka sudah lari jauh tak kelihatan lagi.
Kuda putih yang dinaiki In San itu tampak lari keluar dari dalam hutan, kuda yang ditunggangi Tan Ciok-sing semula masih meronta-ronta, namun begitu melihat kuda putih itu, sikapnya seketika lembut dan menurut, tanpa dikuasai dia berlari menghampiri kearah kuda putih lalu saling menggosok kepala dan mendengus-dengus dengan mesranya.
Kiranya kuda putih In San ini kuda jantan, kuda yang dirampas Tan Ciok-sing adalah kuda betina, maklum laki dan perempuan saling berkasih mesra.
Agaknya kedua kuda ini sekali bertemu hati lantas terpaut dan jatuh cinta.
Sudah tentu jengah muka I n San, katanya menarik kuda putih.
"Kudaku ini bisa lari cepat, masih sempat aku kejar bangsat she Liong itu."
"Mereka sudah lari, tak perlu dikejar,"
Ucap Tan Ciok-sing.
"kuda yang baru kurampas ini mungkin belum mau tunduk padaku, biarlah mereka berkasih mesra sebentar."
In San juga tahu kuda tunggangan Tan Ciok-sing takkan bisa menandingi kecepatan lari kuda putih, seorang diri dia takkan mampu membekuk Liong Seng-bu, terpaksa dia batalkan niatnya.
Teringat adegan berbahaya tadi sungguh jantung Tan Cioksing masih berdebar, katanya.
"Nona In, tak nyana ilmu pedangmu ternyata juga seliehay itu."
Semakin merah wajah In San, katanya.
"Memangnya hanya ilmu pedang ini yang pernah kuyakinkan, setelah dimainkan secara serampangan, tak kira berhasil menggempur mundur musuh. Yang benar ilmu pedangmu yang liehay, aku toh hanya memperoleh bantuanmu."
Saat mana hari sudah gelap, tapi di ujung barat di kaki langit sana masih kelihatan selarik sinar kemerahan, rona jengah di wajah In San jadi kelihatan berpadu, diam-diam bergetar hati Tan Ciok-sing, pikirnya.
"Anak perempuan memang aneh, sedikit bicara juga mesti merah mukanya. Katanya tertawa.
"Nona In, kenapa kau jadi begini sungkan? Justeru aku yang mendapat bantuan sepenuh tenagamu baru berhasil lolos dari bahaya. Nona In, kau tidak menyalahkan aku bukan?"
In San melongo, katanya.
"Menyalahkan kau apa?"
"Tadi kuatir musuh terlalu kuat, aku tidak ingin kau ikut mengalami bahaya dan terancam jiwamu, maka kuminta kau lekas lari lebih dulu. Untung kau tidak mendengar nasehatku. Tapi bukan maksudku hendak memandang rendah dirimu, tentunya kau tidak salah paham bukan?"
Sungguh malu dan haru pula hati In San mendengar perkataan Tan Ciok-sing yang tulus ini, katanya.
"Kau selalu memikirkan diriku, berterima kasih toh aku belum sempat, mana aku berani menyalahkan kau?"
Dalam hati dia membatin.
"Memangnya dia belum tahu asal-usul dari ilmu pedang gabungan ini, atau sengaja hendak memancing reaksiku?"
Tan Ciok-sing berkata.
"Hari sudah hampir gelap, marilah kita menempuh perjalanan sejauh mungkin, atau kau ingin istirahat disini saja?"
Tiba-tiba dia berhenti bicara karena mendapatkan In San tengah mengawasinya mendelong. Baru saja Tan Ciok-sing merasa heran, tiba-tiba, didengarnya In San berteriak.
"Haya."
Karuan Tan Ciok-sing terperanjat, tanyanya gugup.
"Nona In, kenapa kau?"
"Aku tidak apa-apa,"
Sahut In San.
"Tan-toako, pundakmu terluka, apa kau tidak tahu?"
Pundak Tan Ciok-sing tadi tergores luka oleh pedang Huwan Kiau, sementara lengannya juga tergores luka panjang tiga dim oleh pedang Huwan Liong, darah masih merembes keluar, lengan baju kirinya sudah basah dan lengket, baru sekarang dia sadar akan luka-luka ini setelah diingatkan oleh In San.
"Luka-luka ringan, terhitung apa,"
Ucap Tan Ciok-sing.
"Luka-luka meski ringan tak boleh diremehkan, hentikan dulu darah yang mengucur keluar,"
Demikian kata In San.
"aku membawa Kim-jong-yok, Tan-toako, silakan duduk, biar kubantu kau membubuhi obat dan membalutnya."
Waktu bertempur tadi Tan Ciok-sing tidak merasakan lukaluka di lengan dan pundaknya ini. Kini setelah diingatkan oleh In San baru dia merasakan, katanya.
"Begitupun baik, biarlah merepotkan kau nona In."
"Tan-toako, kau sudah membantu sebesar itu pada ayah bundaku, urusan sekecil ini, kenapa kau malah sungkan terhadapku?"
Tapi setelah dia mengeluarkan Kim-jong-yok, dia sendiri jadi bimbang, maklum untuk membubuhi luka dan membalut luka Tan Ciok-sing dia harus membuka baju luar dan merobek lengan bajunya itu, sebagai seorang gadis perawan, kapan dia pernah bergaul dan bersentuhan kulit dengan jejaka? Mau tidak mau dia jadi malu dan serba kikuk lagi.
Agaknya Tan Ciok-sing tahu maksud hatinya, sambil kertak gigi segera dia robek lengan bajunya, katanya.
"Nona In, serahkan Kim-jong-yok itu padaku, aku sendiri bisa membubuhi luka ini."
Karena Tan Ciok-sing merasa rikuh, In San malah tak enak hati, katanya.
"Tan-toako, dengan sebelah tangan saja mana bisa kau membubuhi obat dan membalutnya? Dengarlah kataku, rebahkan."
Pelan-pelan Tan Ciok-sing turunkan harpa yang digendong di punggungnya, lalu dia duduk berpunggung dahan pohon, katanya.
"Terima kasih nona In. Banyak peristiwa dalam dunia ini yang tak pernah diduga sebelumnya, beberapa jam yang lalu kau masih menganggapku musuh, kini kau justru begini baik terhadapku,"
Hatinya sungguh amat senang, maka tanpa dirasakan dia utarakan isi hatinya. Merah muka In San, katanya.
"Iya, ya memang banyak persoalan yang sukar diduga sebelumnya. Tan-toako, kau tidak menyalahkan kecerobohanku bukan?"
"Aku sendiri juga belum sempat berterima kasih kepadamu, kenapa menyalahkan kau. Em, obatmu memang lebih mujarab, rasa sakit sudah tak terasakan lagi."
"Masakah begitu cepat kasiat obat ini,"
Ucap In San tertawa.
"hari sudah gelap, bocah she Liong itu sudah pecah nyalinya, tanggung dia lari ke Tay-tong dan tak berani balik kesini lagi. Kita tak perlu buru-buru melanjutkan perjalanan, marilah istirahat disini saja. Kau boleh tidur lebih dulu, biar aku jaga malam."
"Yang benar aku tidak pernah merasa lelah, malam ini tidak tidur juga boleh."
"Tan-toako,"
Kata In San lembut.
"kepandaianmu amat tinggi, namun badanmu bukan tulang besi otot kawat, dengarlah perkataanku, istirahatlah dulu."
"Paling sukar menerima kebaikan perempuan cantik,"
Memangnya kapan Tan Ciok-sing pernah memperoleh perhatian gadis selembut ini? Seketika badan seperti segar dan semangat serta semilir dihembus angin sepoi-sepoi, hatinya manis mesra. Katanya.
"Baiklah aku mendengar nasehatmu. Tapi sekarang aku belum ngantuk."
"Tan-toako, bolehkah aku melihat harpamu!"
"Sudah tentu boleh."
Kata In San mengelus harpa.
"Harpa antik yang tak ternilai harganya, pastilah ini warisan keluargamu."
Mendengar harpanya dipuji, hati Tan Ciok-sing semakin senang. Ternyata dia cukup ahli juga mengenali nilai-nilai barang antik,"
Katanya.
"Ya, warisan kakekku. Mungkin dia belum terhitung harpa antik yang tak ternilai, namun 'didalam pandanganku, dia memang jauh lebih berharga dari benda mana saja."
"Apa betul tidak ada?"
Tanya In San tertawa. Tan Ciok-sing tersentak sambil tepuk dahi, katanya.
"Ya, betul, memang ada sesuatu yang jauh lebih berharga dari harpa ini."
"Sesuatu apakah itu?"
"Persahabatan dari kawan terdekat,"
Demikian ucap Tan Ciok sing di kala mengucapkan kata-katanya ini, tanpa terasa dia teringat kepada Toan Kiamping, dalam hati dia pernah berjanji hendak menghadiahkan harpa ini kepada Toan Kiam-ping.
Tapi In San salah mengartikan perkataannya, dan kira katakata ini ditujukan kepada dirinya, karuan mukanya jengah dan panas, katanya.
"Tan-toako, kakekmu adalah guru harpa nomor satu di kolong langit ini, tentunya kau cukup ahli juga main harpa?"
"Terlalu jauh aku dibanding kakek. Sayang lenganku terluka, nanti setelah luka-lukaku sembuh kupetik beberapa lagu untuk kau nikmati. Nona In, kau juga suka memetik harpa bukan?"
"Petikan harpaku bukan merupakan irama, waktu kecil pernah aku belajar beberapa hari. Aku punya seorang teman, dia senang memetik harpa."
"Apakah Siau-ongya?"
"Ya, Toan Kiam-ping. Dari mana kau tahu?"
"Di Tayli pernah aku mendengar dia memetik harpa, memang bagus petikannya."
"Beberapa tahun lalu pernah dia tinggal sebulan di rumahku, sering dia memetik harpa untukku. Tapi aku tahu dan yakin petikannya tidak akan lebih bagus dari kau."
"Kau toh belum pernah mendengar aku memetik harpa, darimana kau berani mengambil kesimpulan ini?"
"Kenapa harus pernah dengar? Seorang guru ahli pasti menelorkan murid teladan, apalagi kakekmu adalah Ki Harpa yang diakui seluruh jagat, eh, apa yang sedang kau pikirkan Tan-toako?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba dia memperhatikan Tan Ciok-sing .yang sedang melongo seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Tiada yang kupikirkan, aku hanya ingin lekas sembuh supaya dapat memetik beberapa lagu untukmu,"
Yang benar dalam hati dia sedang berpikir.
"Bila mereka menikah kelak, harpa ini akan kuhadiahkan sebagai kado untuk mereka suami isteri, kurasa kadoku ini cukup luar biasa. Em, yang satu pangeran suatu kerajaan, yang lain adalah putri seorang pendekar besar, mereka memang setimpal, sungguh merupakan perjodohan yang bahagia."
Mekar seri tawa In San laksana sekuntum bunga, katanya.
"Kalau begitu terima kasih lebih dulu. Toako, konon irama harpa dapat menenangkan pikiran orang, apa betul?"
"Pernah aku mendengar cerita kakek, bila kepandaian memetik harpa seseorang telah mencapai tingkatan yang paling tinggi, rasa senang dan duka seseorang dapat kau kendalikan dengan alunan irama harpa."
"Sayang aku kurang ahli, kalau tidak ingin aku memetik sebuah lagu untuk menina bobo kau supaya lekas tidur. Tantoako, sehari ini kau sudah cukup lelah, sudah saatnya kau beristirahat."
"Petikan harpa Toan-kongcu amat bagus, kau sebagai muridnya dalam hal ini, kenapa merendahkan diri? Silahkan kau petikan lagunya, ingin aku pulas di tengah alunan harpamu,"
In San tertawa, katanya.
"Yang benar aku ingin petunjuk dari kau sang guru yang ahli ini, baiklah kupetikan sebuah lagu, tapi jangan kau tertawakan diriku,"
Lalu dia letakan harpa di pangkuannya, sambil memetik, diapun tarik suara bernyanyi.
Lagu yang dibawakan adalah lagu yang mengisahkan seorang gadis yang merindukan sang jejaka, lagu yang cukup populer di kalangan rakyat jelata di Tay-tong.
Lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping di kala In San berusia lima belas, yaitu kali terakhir Toan Kiam-ping bertemu di rumahnya.
Waktu itu dia masih kecil dan belum tahu makna lagu ini, cuma dirasakan lagunya enak dan merdu dinyanyikan.
Kini waktu dia tarik suara di hadapan Tan Ciok-sing, habis lagunya mukanyapun merah jengah dan lekas-lekas menunduk.
Begitu asyik Tan Ciok-sing mendengarkan alunan lagu nan merdu dan empuk ini, tiba- tiba dia berpikir.
"Pasti lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping, supaya kelak dalam malam penganten mereka bisa hidup rukun bahagia, eh kenapa aku ngelantur."
Mendengar lagu ini hati Tan Ciok-sing dirundung kesedihan, tapi lebih banyak ikut bahagia dan mesra.
Tanpa terasa dia betul-betul tenggelam dalam alunan lagu merdu ini dan lelap.
Di alam mimpi dia nampak senyum In San bak kembang mekar tengah bergandengan tangan menghampiri dirinya, harpa antik segera dia persembahkan sebagai tanda kenang-kenangan bagi pernikahan mereka.
Dalam mimpi Tan Ciok-sing bertemu dengan Toan Kiamping.
Diam-diam In San memperhatikan dia memejam mata dan akhirnya lelap, tanpa terasa diapun terkenang kepada Toan Kiam-ping.
Selama ini dia tidak pernah berdekatan dengan jejaka siapapun, kecuali Toan Kiam-ping.
Pernah beberapa kali Toan Kiam-ping bermain di rumahnya, sejak dia masih kecil dia sudah berkenalan.
Tapi di kala dia berusia lima belas itu Toan Kiam-ping lantas berpisah selama tiga tahun sampai sekarang belum pernah bertemu lagi.
Dalam jangka tiga tahun kini kecuali dia menunggu kedatangan sang ayah yang tidak kunjung pulang, sering juga dia terkenang padanya selalu membawa kesan-kesan dan menggembirakan.
Malam ini menghadapi Tan Ciok-sing yang sedang pulas di hadapannya, tanpa terasa dia terkenang pula kepada Toan Kiam-ping.
Namun perasaan yang mengisi sanubarinya sekarang jelas berbeda lagi dengan kesan yang dirasakan pada saat-saat dulu bila dia terkenang kepada Toan Kiamping.
"Tak kira pemuda yang baru saja kukenal ini sedemikian baiknya terhadapku. Sebaik Toan-toako terhadapku,"
Demikian batin In San.
Dia adalah anak tunggal, tiada kakak tak punya adik, maka didalam sanubarinya selamanya dia pandang Toan Kiam-ping sebagai kakak kandung sendiri.
Padahal Tan Ciok-sing baru dua kali bertemu dengan dia, jadi kalau dinilai secara tepatnya belum ada satu hari dia berkenalan.
Walau baru berkenalan tapi hubungan mereka sekarang tidak layak diumpamakan baru berkenalan.
Betapa mendalam hubungan Tan Ciok-sing terhadap keluarganya, mungkin jauh melebihi hubungan baiknya dengan Toan Kiam-ping.
Dia pernah menolong ayahnya, setelah ayahnya ajal, dari tempat ribuan lie jauhnya, tanpa mengenal lelah berani menyerempet bahaya datang ke Tay-tong untuk mengembalikan barang ayahnya.
Diapun tuan penolong ibundanya segala persoalan keluarganya diapun sudah jelas, malah mungkin lebih jelas dari apa yang dirinya ketahui.
Masih ada satu hal yang sering membikin dia merasa jengah dan malu.
Thio Tan-hong adalah gurunya, Thio Tanhong sudah menyerahkan pedang jantan dan betina itu kepada mereka berdua.
Bila sekarang dia terkenang kepada Toan Kiam-ping, tak lain hanya merupakan kenangan sang adik terhadap sang kakak belaka.
Kenangan itu memangnya menyenangkan, menyejukkan sanubari, namun asal-usul rasa senang ini tak lebih hanya merasa puas pernah mendapat perlindungan dan kasih sang kakak.
Dinilai dari kejadian yang dialaminya sehari hari ini, pemuda yang baru dikenalnya ini ternyata tak bedanya dengan Toan Kiam-ping, membela dan melindungi dirinya dengan penuh kasih sayang.
Namun kasih sayang yang diterimanya dari Tan Ciok-sing agaknya berbeda dengan kasih sayang yang pernah diperolehnya dari Toan Kiam-ping, perasaan yang peka ini sudah tentu sukar dijelaskan dengan kata-kata.
Bila dia terkenang pada Toan Kiam-ping mukanya takkan merah jengah, kini berhadapan dengan Tan Ciok-sing tanpa merasa wajahnya terasa panas.
Tan Ciok-sing sudah tidur, tidak enak dia menunggui laki-laki asing yang sedang pulas dengan gayanya yang lucu ini, maka dengan langkah ringan dia beranjak lewat dari samping orang.
Didalam sanubarinya mulailah timbul perbedaan pendapat tentang laki-laki asing di hadapannya ini dengan Toan Kiam-ping yang sudah lama dikenalnya.
Toan Kiam-ping berwatak lemah lembut sebagai mana seorang sekolahan dari keluarga bangsawan, sikapnya ramah dan terbuka, bukan saja ilmu silatnya tinggi, main harpa, catur, membuat syair dan menggambar juga serba bisa.
Pernah dirinya diajar memain harpa, mengajar dirinya menulis serta menggambar dirinya serta membuatkan syair lagi.
Bicara sesungguhnya, dia amat suka dan senang kepada "Toantoako"
Ini.
Walau belum sehari dan berkenalan dengan Tan Ciok-sing, tapi perasaan sudah jelas menunjukkan bahwa dia bukan sejenis laki-laki seperti Toan Kiam-ping.
Kepandaian memetik harpa Tan Ciok-sing mungkin lebih tinggi dari Toan Kiam-ping, tapi meski petikan harpanya tiada bandingan, sikap dan tindak tanduknya sebagai pemuda kampungan tetap terlalu menonjol.
Akan tetapi bahwasanya Tan Ciok-sing tidak pernah berusaha untuk menyembunyikan ke kampungan dirinya, dia tetap menampilkan keaslian dirinya di hadapan In San.
Memang dia amat menyukai Toan Kiam-ping, senang akan sikapnya yang ramah dan romantis, senang akan wataknya yang terbuka dan suka mengambil dirinya, tapi kemurnian dan keaslian Tan Ciok-sing yang serba kampungan dan sederhana ini justeru menimbulkan kesan yang mendalam, kesan yang mantap dan dapat dipercaya.
Sukar dia memberi jawaban pada tanda tanya hati sendiri, apakah setelah dia bergaul lama dengan Tan Ciok-sing dirinya akan menyukainya pula seperti dirinya menyukai Toan Kiam-ping, tapi dia yakin bahwa Tan Ciok-sing pasti akan membencinya.
Pikir punya pikir tanpa merasa merah pula muka In San.
Angin malam yang berhembus semilir menyegarkan badan, sesaat dia melongo lalu berpikir.
"Kenapa aku harus membandingkan ke dua orang ini? Toh aku tidak ingin menikah dengan Toan-toako, meski Tan Ciok-sing membawa pedang jantan, memangnya aku harus kawin dengan dia. Usiaku toh masih muda, kenapa harus bikin susah diri sendiri? Untuk apa aku pikirkan persoalan tetek bengek ini sepagi ini?"
Selamanya dia belum pernah memikirkan soal nikah, soal masa depannya, malam ini baru pertama kali.
Dia tidak akan memikirkan lagi, namun perasaan hatinya tetap gejolak tak mau tenang.
Tanpa merasa dia beranjak semakin jauh kedalam hutan, semakin jauh pula meninggalkan tempat Tan Ciok-sing mendengkur.
Kuda putih dan kuda rampasan Tan Ciok-sing itu entah berada dimana, mungkin pergi mencari rumput segar, sebagaimana sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, entah kemana mereka sedang bermain cinta di malam nan permai ini.
Tiba-tiba sayup-sayup seperti didengarnya suara ringkik kuda.
Semula dia kira kuda putihnya itu menemukan kembali tempat istirahat majikannya.
Tapi sesaat lagi kuda putih tidak kunjung muncul, malah dia mendengar langkah kaki orang.
In San sembunyi di belakang sebuah pohon besar, malam ini bulan purnama, di bawah penerangan bulan purnama tampak dua bayangan orang muncul di balik lekukan gunung sebelah sana dari bentuknya kelihatan mereka laki dan perempuan.
Keduanya jalan berendeng, tidak menunggang kuda.
Lekas In San mendekam sambil pasang kuping, didengarnya yang perempuan sedang berkata.
"Aneh, entah kenapa kuda putih kita punya ini tadi kelihatan gelisah dan tidak tenang, tidak tunduk perintah lagi, tahu-tahu kita dibawanya kesini. In San terperanjat, suara perempuan ini seperti sudah amat dikenalnya. Disusul seorang laki-laki berkata.
"Sudah sehari penuh dan setengah malam ini kita berkelana, umpama kuda tidak lelah manusia yang akan keletihan. Siau-moay kau memang harus beristirahat."
"Ing-piauko."
Kata perempuan itu.
"kau tidak tahu kenapa aku menguatirkan adik dari keluarga In itu, bahaya yang mengancam kota Tay-tong sudah tiada, ingin rasanya aku tumbuh sayap terbang kesana menemuinya."
"Memang aku juga mendapat titipan Toan Kiam-ping untuk cepat-cepat disampaikan padanya,"
Demikian kata laki-laki itu.
"kuda putih kita berlari secepat terbang, yakin besok juga kita sudah bisa sampai di Tay-tong, kaupun tidak perlu terburuburu. Marilah cari tempat yang bersih supaya kau bisa beristirahat. Aku akan berjaga malam, besok pagi, aku akan bangunkan kau."
Mendengar pembicaraan mereka sungguh kejut dan girang hati In San, kini dia sudah tahu siapa kedua orang laki perempuan ini.
Mereka bukan lain adalah Kanglam Sianghiap Kwik Ing-yan dan Ciong Bin-siu yang ingin ditemuinya di markas Kim-to Cecu.
Tak kira sebelum dia sampai ke tujuan, kedua orang ini sudah mencarinya juga.
"Mereka menempuh perjalanan malam hanya ingin selekasnya menemukan aku,"
Demikian batin In San.
"biar aku diam dulu, nanti akan kugoda mereka."
Kedua muda-mudi itu sudah memasuki hutan, jaraknya tidak jauh dari tempat In San sembunyi.
Begitu mereka dekat In San sudah siap untuk muncul secara mendadak supaya kedua orang itu terperanjat dan kesenangan.
Ternyata langkah mereka berhenti, agaknya sedang celingukan mencari sesuatu tempat cocok dan bersih.
Melihat mereka tidak maju lebih lanjut, In San sudah siap melompat keluar memberi kejutan, tiba-tiba didengarnya Ciong Bin-siu tertawa, katanya.
"Cara bagaimana kau hendak menyampaikan isi hati Toan Kiam-ping kepada adik keluarga In itu."
Kali ini berbalik In San yang terkejut.
"Toan Kiam-ping hendak menyampaikan isi hati apa terhadapku? Kenapa pula harus melalui mereka untuk menyampaikan kepadaku?"
Sesaat ini jantung In San berdebar keras, hatinya juga bingung dan gelisah. Terdengar Kwi Ing-yang berkata dengan tertawa.
"Dia rikuh mengatakan kepadaku, aku sendiri juga rikuh untuk menyampaikan pesannya itu kepada adik keluarga In. Adik Ciong, untuk hal ini terpaksa aku memohon bantuanmu. Bukan membantu untuk kepentinganku, tapi membantu untuk kepentingan Toan-toako."
"Memang Toan-toako harus dikasihani meski namanya dia seorang pangeran, hidup makmur dan serba berkecukupan, namun dia kurang mendapat seorang teman sejati, hingga sampai sekarang dia masih jejaka. Beberapa tahun lagi Siauongya yang selalu disanjung puji rakyatnya ini bukan mustahil akan menjadi Lo-ongya, memang pantas kita membantu dia."
"Betul, hanya kau yang bisa membantu dia untuk ini kau tidak bisa menampik lagi."
Agaknya Ciong Bin-siu juga ingin memuaskan rasa ingin tahunya, katanya tertawa.
"Bukan soal bagiku untuk membantu kesulitannya itu, nah coba kau tuturkan persoalan pribadi apa yang pernah dia bicarakan dengan kau."
"Terhadapmu boleh aku katakan terus terang tapi jangan nanti lantas menggoda dia. Mungkin kau belum tahu Pangeran kita yang satu ini biasanya bergaul bebas dan terbuka, namun waktu ia bicara soal isi hati sendiri, eh, lucu sekali sikapnya malu-malu kucing, mukanya merah seperti nona jelita layaknya."
Ciong Bin-siu cekikikan, katanya.
"Tak usah kau ngelantur sejauh itu. Ceritakan saja bagaimana dia utarakan isi hatinya padamu?"
"Hari itu aku membujuknya supaya lekas menikah, kukatakan sekarang kau sudah tiba saatnya untuk berkeluarga, adalah pantas kalau dia sekarang sudah punya calon permaisuri. Dia hanya diam saja sambil menunduk. Kukatakan kau Bun-bu-coan-cay (serba pandai silat dan sastra) adalah pantas kalau pandanganmu terlalu tinggi, perempuan biasa pasti tidak masuk dalam hitunganmu. Tapi untuk menemukan perempuan yang cocok memang sukar, bolehlah untuk ini kau sedikit mengalah saja."
"Eh setelah kuolok-olok begini, dia malah mau bicara. Coba terka apa yang dia katakan?"
"Nama pujaan hatinya lantas dia beritahukan kepadamu?"
"Dia justru tidak sewajar itu dalam bicara soal ini. Dia menghela napas lebih dulu, lalu dengan suara selirih nyamuk dia berkata.
"Terbalik perkataanmu, bukan aku memandang orang terlalu tinggi, adalah aku sendiri malah yang kuatir tidak sesuai menjadi suaminya."
"Mendengar jawabannya ini saking senang aku berjingkrak sambil keplok tangan, kataku.
"Jadi kau punya pujaan hati, lekas kasih tahu padaku, nona dari keluarga mana dia."
"Sesaat lamanya dengan suara tersendat baru dia berkata.
"Kaupun sudah kenal nona ini, ayahnya adalah pendekar besar yang tersohor di kolong langit ini, sejak kecil dia sudah kelihatan cerdik pandai dan lincah Jenaka, ayu diluar iembut didaiam, sejak beberapa generasi kedua keluarga kita sudah ada hubungan erat, selama ini dia memandangku sebagai Toako-nya. Waktu kecil dulu pernah aku berkelakar sama dia, kukatakan kelak aku pasti akan mengawini dia, waktu itu hanya bermain saja, tapi pada terakhir kali aku bertemu dengan dia, dia sudah merupakan gadis yang sudah mekar dan jelita, sesampai di rumah aku jadi terserang sakit mala rindu, tak bisa aku melupakan wajahnya, baru sekarang aku sadar bahwa aku sudah tidak boleh berkelakar lagi, aku betulbetul ingin mengawininya."
"Sesaat aku masih belum tahu dan tak teringat siapa nona yang dimaksud, sambil berpikir kukorek pula keterangannya, tanyaku.
"Keluarga kalian sudah berhubungan turun menurun kenapa tidak kau suruh comblang untuk meminangnya, dengan kedudukan sebagai pangeran memangnya kuatir pihak perempuan menampik?"
"Dia menghela napas pula, katanya.
"Usiaku belasan tahun lebih tua, selama ini kuanggap dia sebagai adik cilik, bagaimana tidak rikuh untuk bicara soal jodoh."
"Kukatakan tak perlu kau sendiri yang menyampaikan isi hatimu, cari seorang comblang untuk meminang kepada orang tuanya, kan beres."
"Dia bilang ayah si gadis sudah hilang sejak tiga tahun yang lalu kini dia hanya sebatang kara tinggal di rumah."
"Sampai disini baru aku sadar dan tahu, teriakku sambil berjingkrak.
"O, jadi yang kau maksud adalah putri In Tayhiap, kita punya adik dari keluarga In itu."
Kalau Ciong-Bin-siu merasa diluar dugaan, In San sendiri juga tidak mengira sama sekali, diam-diam dia mencuri dengar pembicaraan kedua muda-mudi ini, sampai disini tak terasa jengah dan panas wajahnya, hatinya gundah dan bingung, tak tahu entah apa yang harus dilakukan.
Kelakar Toan Kiam-ping terhadap dirinya dulu sebenarnya sudah lama dia lupakan, kini tibatiba mendengar orang menyinggung kejadian lucu itu masa lalu kembali menggelitik sanubarinya.
Waktu itu usianya baru sembilan tahun, masih nona cilik yang suka ingusan, hari itu dia ditemani Toan Kiam-ping turun ke kali menangkap ikan, maklum kali kecil yang tidak dalam airnya, airnya warna kuning, berlumpur lagi, sebagai seorang pangeran kapan Toan Kiam-ping pernah bermain di tempat sekotor ini? Tapi demi menyenangkan hati In San, dengan rasa was-was dia menggandeng In San turun ke kali yang berlumpur itu menangkap ikan, pakaiannya yang mewah dan serba baru itu kuatir kotor, dasar In San memang gadis nakal sengaja dia menciprati pakaian baru orang dengan air dan lumpur, hingga pakaian orang berlepotan lumpur.
Siangnya In Hou memanggil pulang makan, kebetulan dia saksikan In San membuat kotor pakaian Toan Kiam-ping, dengan tersenyum dia memberi nasehat kepada putrinya.
"Kau budak liar ini begitu nakal, kelak siapa berani menjadi suamimu? Hm, kalau kau masih nakal juga kelak bagaimana kau bisa memperoleh suami."
Setelah mendapat tegoran ayahnya ini memang In San merasa takut, setelah makan diam-diam dia bertanya kepada Toan Kiam-ping.
"Apakah anak perempuan harus menikah? Bagaimana kalau aku tidak bisa memperoleh suami?"
Waktu itu Toan Kiam-ping terpingkal-pingkal, katanya.
"Adik cilik, kau tidak usah kuatir, kelak akulah yang akan mengawini kau."
Sungguh tak nyana kelakar Toan Kiam-ping di masa kecil dulu, sekarang sikapnya menjadi serius.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau dulu masih kecil, setelah ditegor ayahnya dia pernah tanya kepada Toan Kiam-ping bagaimana kalau dia tidak bisa mendapatkan suami.
Kini setelah tahu bahwa Toan Kiam-ping betul-betul hendak mempersunting dirinya diapun tidak tahu bagaimana baiknya, memangnya kepada siapa sekarang dia harus merundingkan hal ini? Karena gelisah In San berdiri terlongong.
Tadi dia sudah siap melompat keluar hendak membuat kaget Kwik Ing-yang berdua, kini karena malu dia malah menyembunyikan diri tak berani mengunjuk diri.
Dia takut Ciong Bin-siu betul-betul menyinggung soal pernikahan ini, cara bagaimana dia harus menjawab nanti? Di kala dia kebingungan itulah tiba-tiba didengarnya ringkik tiga ekor kuda yang bersahutan.
Kwik Ing-yang berjingkrak kaget serunya.
"Didalam hutan ada Ciong Bin-siu juga melompat berdiri teriaknya senang.
"Kwik-piako, coba kau dengar agaknya ringkik kuda putihku itu."
"Betul, suaranya memang mirip,"
Sahut Kwik Ing-yang.
"Lekas kita tengok kesana."
Ciong Bin-siu sudah lari lebih dulu ke arah datangnya suara.
Lekas Kwik Ing-yang menyusul kencang, tinggal In San seorang yang masih berdiri menjublek di tempat.
Tak lama kemudian terdengar suara benturan senjata dan bentakan serta makian dari dalam hutan.
In San yang terlongong tiba-tiba tersentak kaget, pikirnya.
"Celaka, mungkin mereka sudah bertarung dengan Tan-toako, bagaimana aku harus bertindak? Ai, kenapa keadaan semakin berabe begini?"
Jejaka dan perawan sama-sama bermalam di hutan nan sepi dan jauh dari keramaian, meski mereka sama-sama suci bersih dan bergaul secara terang-terangan, betapapun akan menimbulkan kesan jelek di mata umum.
Apalagi kedatangan Kwik dan Ciong justru hendak menyampaikan kabar bahagia akan pinangan Toan Kiam-ping terhadap dirinya.
"Bila mereka menemukan aku bersama Tan-toako di malam nan gelap ini di hutan, entah bagaimana mereka memperkirakan diriku?"
Tanpa kuasa merah dan panas pula muka In San.
Tapi jikalau dia tidak segera mengunjuk diri, mungkin urusan bisa lebih payah dan tak karuan jadinya, terpaksa In San buang segala pikiran yang tidak enak, dengan mengeraskan kepala lekas dia berlari ke arah datangnya suara.
Apa yang dia tebak memang tidak salah, Kanglani Sianghiap memang sudah berhantam dengan Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing juga terjaga oleh suara ringkik kuda, dia kira ada orang hendak mencuri kudanya, maka bergegas dia bangun, belum lagi dia menemukan kudanya, jejaknya sudah ditemukan oleh Kanglam Sianghiap.
Malam ini bulan purnama memancarkan sinarnya yang redup; baru saja dia kucek-kucek mata dan belum melihat siapa kedua pendatang ini, mereka sudah mengenali Tan Ciok-sing lebih dulu.
Kebetulan di kala mereka berhadapan inilah tampak kedua kuda putih itu juga muncul dari dalam hutan begitu melihat kuda putih miliknya itu tanpa banyak bicara "Sret"
Ciong Bin-siu segera menusuk ke arah Tan Ciok-sing. Tan Ciok-sing juga sedang membentak.
"Maling kuda bernyali besar. Hanya kau, kau kiranya kau...!"
Ciong Bin-siu menghardik.
"Kau maling cilik ini tak nyana kebentur dengan pemiliknya bukan?"
Mulut bicara pedang tak berhenti.
Terpaksa Tan Ciok-sing cabut pedang menangkis, dengan jurus Hian-niau-hoat tiba-tiba dia balas menusuk dari posisi yang tidak terduga oleh Ciong Bin-siu.
Jurus serangan ini memaksa lawan untuk membela diri lebih dulu, sehingga Ciong Bin-siu harus menarik pedang kalau tidak pasti pedangnya tertabas kutung.
Tan Ciok-sing menarik napas lega, teriak-teriaknya lekas.
"Ciong-lihiap, jangan kau salah paham, aku sengaja hendak mengembalikan kuda putihmu itu."
Melihat ilmu pedang Tan Ciok-sing begitu liehay, kejut Kwik Ing-yang bukan main, kuatir sang Piaumoay kecundang, lekas diapun mencabut senjata.
Kungfu Kwik Ing-yang jauh lebih tinggi dibanding Ciong Bin-siu, begitu ilmu pedang dikembangkan, tipu-tipu serangannya ternyata bergelombang deras susul menyusul tak kenal putus.
Walaupun permainan ilmu pedangnya ini dalam pandangan Tan Ciok-sing hanya sepele saja, tapi karena dia tidak bermaksud jahat dan tidak ingin melukai lawan supaya tidak menimbulkan salah paham lebih mendalam apalagi dia tak boleh memapas kutung senjata lawan, sehingga Tan Ciok-sing harus sedikit memeras keringat menghadapi kedua lawan ini."
Bahwa dirinya hampir saja kecundang, sudah tentu Ciong Bin-siu tidak mau percaya akan seruan Tan Ciok-sing. Serunya gusar.
"Kau bangsat cilik ini, waktu di Ang-wa-poh tempo hari, aku sudah curiga akan tindak-tandukmu yang jahat ini, kuda putihku cara bagaimana bisa terjatuh ke tanganmu? Jelas kau adalah sekomplotan dengan pembegal di Ang-wa-poh itu. Masih berani kau membual mengudal mulut manis hendak menipuku lagi."
Belum habis dia mengamuk, mendadak didengarnya sebuah suara nyaring berteriak.
"Siu-cici (kakak Siu), dia tidak menipu kau, apa yang dia katakan memang benar."
Karuan Kwik dan Ciong berdua melengak dan berhenti sambil berpaling, lekas Tan Ciok-sing melompat jauh ke belakang seraya mengembalikan pedang kedalam sarung, katanya.
"Nah, kalau kalian tidak percaya padaku memangnya kalian tidak percaya kepada nona In?"
Bahwa dirinya dituduh semena-mena sebagai anak muda adalah jamak kalau hatinya agak dongkol, cepat dia menyingkir tanpa bersuara, biar In San yang membela dirinya.
Sejenak Ciong Bin-siu tenangkan diri, melihat yang berdiri di depannya benar-benar adalah In San, sesaat dia melongo tak percaya akan penglihatannya, In San tertawa, katanya.
"Kak Siu, kau sudah tidak mengenalku lagi?"
"Haya,"
Teriak Ciong Bin-siu kegirangan.
"adik San, memang kau ini. Kukira dari mana munculnya pemuda setampan ini."
"Aku hendak mencari kalian di tempat Ciu-pepek, kuatir kurang leluasa di perjalanan, maka terpaksa aku menyamar."
"Kami juga hendak mencarimu di Tay-tong. Dia, siapa dia?"
Tanya Ciong Bin-siu. Melihat In San menyaru pemuda seperjalanan dan bermalam di hutan ini, karuan timbul rasa curiganya.
"Seperti juga kalian, Tan-toako ini adalah teman baik Toan Kiam-ping pula, sengaja dia datang ke Tay-tong mencariku,"
Demikian tutur In San.
"Tapi baru hari ini juga kami berkenalan,"
Lalu dengan tertawa dia menambahkan.
"Tidak berkelahi tidak akan kenal, terus terang akupun pernah salah paham padanya, malah melabraknya tak karuan. Malah kalian kuperkenalkan."
Tanda tanya mengganjel dalam benak Kwik dan Ciong, terpaksa mereka memberi hormat kepada Tan Ciok-sing, kata Ciong Bin-siu.
"Kudaku ini tempo hari dirampas oleh kawanan pejahat di Ang-wa-poh, entah bagaimana bisa berada di tangan Tan-heng?"
Dalam hati dia membatin.
"Kalau dia teman Toan Kiam-ping, kenapa tidak pernah diceritakan pada kami?!"
Sementara mereka bicara kedua ekor kuda itu sudah datang menghampiri, kuda putih itu meringkik perlahan dan mengelus mukanya ke muka Ciong Bin-siu sejenak lalu berlari pula ke arah Tan Ciok-sing dan bermesraan.
Kuda putih ini memang cerdik dan pandai, tingkahnya ini seakan ingin memberitahu kepada majikan lamanya bahwa dia bersahabat baik dengan Tan Ciok-sing.
Kuda putih milik Kwik Ing-yang juga berlari datang, Kwik Ing-yang berkata dengan tertawa.
"Tak heran sampai disini kau tidak mau pergi, kiranya kau menemukan pasangan disini. Baiklah, pergilah kalian bermesraan jangan mengganggu aku disini,"
Kedua kuda ini dapat menangkap perkataan majikannya, berendeng segera mereka berlari masuk kedalam hutan.
Kuda rampasan Tan Ciok-sing baru sekarang mendatangi dengan lesu dan tunduk kepala, dia tidak berani ikut kesana terpaksa dia menyingkir kesana sendirian, kasihan melihat keadaannya yang kelihatan sedih.
Kecut hati Tan Ciok-sing melihat keadaan kudanya, diamdiam dia membatin.
"Melihat kawan lama adalah jamak kalau dia melupakan teman baru. Demikian sang kuda, begitu pula manusia."
"Adik Siu,"
Ujar Kwik Ing-yang.
"kudamu itu juga mesra terhadap Tan-heng, bila Tan-heng tidak pernah menolongnya, pasti dia takkan bersikap demikian,"
Mau tidak mau dia sedikit percaya akan omongan Tan Ciok-sing.
"Kak Siu, memang Tan-toako yang merebut kembali kuda putihmu itu dari tangan kawanan brandal di Ang-wa-poh. Kudamu itu sedikit terluka, Tan-toako pula yang menyembuhkan. Begitu baik Tan-toako terhadapnya, adalah jamak kalau dia juga bersahabat terhadapnya. Demi mengembalikan kuda itu kepada pemiliknya, sepanjang jalan dia mengejar dan menguntit jejak kalian dari Tayli sampai disini."
Ciong Bin-siu jadi rikuh, katanya.
"Tan-toako tadi aku menuduhmu, mohon dimaafkan."
"Ah, tidak apa."
Sahut Tan Ciok-sing tawar.
"syukur kuda-ini sudah kukembalikan kepada pemiliknya, terhitung tercapainya keinginanku."
"Tan-toako,"
Ucap Ciong Bin-siu cekikikan.
"Kau memang orang baik, pantas adik cilik dari keluarga In kita ini baru saja kenal sudah begitu percaya padamu."
Sebagai gadis cilik sudah In San merasakan duri tajam pada perkataan Ciong Bin-siu, seketika merah wajahnya, katanya tertawa dipaksakan.
"Kak Siu, salah omonganmu, aku sendiri juga pernah kapiran orang baik. Waktu pertama kali aku bertemu dengan Tan-toako, hampir saja aku membalas budi kebaikannya dengan serangan-serangan mematikan."
Kwik dan Ciong sama melengak, kata Ciong Bin-siu.
"O, jadi Tan-toako juga tuan penolongmu?"
"O, ya, tadi kau bilang pernah melabrak Tan-toako, apakah yang telah terjadi?!"
Tanya Kwik Ing-yang.
Maka In San ceritakan pengalaman yang menimpa ayahnya kepada mereka, lalu ditambahkan bahwa demi melaksanakan pesan ayahnya.
Tan Ciok-sing menempuh perjalanan yang jauh, mengalami berbagai rintangan dan ancaman bahaya sampai di Tay-tong serta menyerahkan barang peninggalan ayahnya kepada dirinya.
Tapi tentang pertemuan Tan Cioksing dengan ibunya tidak diceritakan.
Mendengar betapa gagah perkasa sepak terjang Tan Cioksing, tak ubahnya sebagai kaum pendekar umumnya, timbul rasa kagum dan hormat Kwik dan Ciong terhadap Tan Cioksing.
Tapi dalam hati mereka juga menguatirkan nasib teman mereka Toan Kiam-ping.
Mereka pikir betapa erat dan mendalam hubunganTan Ciok-sing dengan keluarga In, mungkin demi membalas budi kebaikan orang, In San bisa jatuh hati dan kelak jadi isteri Tan Ciok-sing malah.
Kini mereka bicara terpencar, Ciong Bin-siu tarik In San ke samping sana, katanya lirih.
"Toan-toako amat merindukan kau, sebetulnya dia titip pesan pada kami supaya kau mengungsi ke Tayli soalnya waktu kami tiba disini Tay-tong sudah aman, maka kami putar jalan langsung menuju ke markas Kim-to Cccu lebih dulu."
"Ya aku sudah tahu,"
Ujar In San.
"Lalu kau mau kemana? Pergi ke Tayli atau mau menemui Kim-to Cecu?"
"Sudah tentu aku akan ajak kalian menemui Ciu-pepek lebih dulu. Beliau adalah saudara angkat ayahku, kuduga dia pasti juga merindukan aku."
"Memang dia amat merindukan kau. Kalau tidak setelah tahu Tay-tong sudah aman, beliau lantas suruh kami kemari mencari jejak dan beritamu. Tapi bila dia tahu kau selamat saja pasti lega hatinya, bukan maksudnya supaya kau kesana membantu dia. Bila kau pergi ke Tayli dulu bukan saja dia tidak akan menyalalahkan kau, malah dia akan ikut girang."
Di hadapan Tan Ciok-sing sudah tentu tak enak Ciong Bin-siu menjadi mak comblang bagi Toan Kiam-ping, maka secara samar-samar saja dia menyampaikan keinginan sang pangeran.
"Aku tahu Ciu-pepek tidak membutuhkan bantuanku, tahu harus kesana secepatnya. Ciong-cici, kapan kau meninggalkan markas?"
"Baru kemarin dulu?"
"Kalau begitu tahukah kau Tam Tayhiap dengan ibuku apakah sudah sampai di markas?"
Ciong Bin-siu melengak, katanya.
"Jadi kau sudah tahu bahwa Pek-bo, Pek-bo sudah meninggalkan, meninggalkan..."
Tak enak dia meneruskan perkataannya.
"Benar, aku sudah tahu ibu sudah meninggalkan keluarga Liong. Bagaimana aku bisa tahu kelak akan kujelaskan padamu. Sekarang beritahu padaku, apakah beliau sudah tiba di markas Ciu-pepek dengan aman?"
"Sebetulnya ingin aku memberitahu kepadamu, cuma... entah..."
Agaknya dia kuatir bila In San tidak senang dirinya menyinggung perihal ibunya.
"Ibuku ditipu orang sehingga dia berpisah dengan ayah. Tapi betapapun dia adalah ibu kandungku."
Maka legalah hati Ciong Bin-siu, lebih leluasa pula dia bercerita.
"Satu jam sebelum kami meninggalkan markas kebetulan Tam Tayhiap dan ibumu telah tiba, aku juga belum sempat bicara dengan beliau. Diapun tidak tahu bahwa aku adalah temanmu."
"Ibuku memang sengsara dan banyak menderita, sudah belasan tahun berpisah dengan dia, kini dia sudah berada di ambang mata. Kakak Ciong, coba kau pikirkan, tidak pantaskah aku menemuinya?"
Karena Ciong Bin-siu belum tahu bahwa In San sudah memaafkan kesalahan ibunya, maka tadi dia membujuk In San uatuk pergi ke Tayli saja, kini setelah tahu duduk persoalannya, maka tidak pantas kalau dia mendesaknya supaya pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping.
Tanpa terasa hari sudah menjelang fajar.
"Manusia menghadapi urusan bahagia pasti bangkit semangatnya, pemeo ini memang tidak salah,"
Demikian kata Ciong Bin-siu tertawa.
"semalam aku tidak tidur, setelah bertemu kau, kita berangkat sekarang, malam nanti kau akan bertemu dengan ibumu,"
Bersama In San berdua mereka menunggang satu kuda jalan di depan.
Tan Ciok-sing mencemplak kuda yang dirampasnya dari pasukan Watsu, bersama Kwik Ing-yang mereka jalan berendeng.
Dalam perjalanan Kwik Ing-yang sengaja bicara tentang Toan Kiam-ping, katanya.
"Toan-toako memang teman sejati yang patut dipuji, sebagai seorang pangeran, bukan saja serba pandai Kungfu dan sastra, terhadap teman pun dia tidak pandang bulu, jiwanya besar dan lapang dada tak pernah dia mengagulkan sebagai keturunan bangsawan."
Tan Ciok-sing berkata tawar. '"Betul orang macamku yang golongan kroco ini, diapun sudi bersahabat denganku."
"Tan-heng terlalu sungkan, orang yang memiliki Kungfu setinggi kau, kami dapat berkenalan adalah keberuntungan kami. Seperti juga Toan-toako, kau memang kawan yang sukar dicari bandingannya,"
Getir suara Tan Ciok-sing.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana aku bisa dibanding dengan Siau-ongya?"
"Memang keseluruhannya Toan-toako serba baik, hanya ada satu bagi kami para temannya ikut merasa menyesal."
"Soal apa yang harus disesalkan?"
Tanya Tan Ciok-sing."
Kata Kwik Ing-yang.
"Usianya sudah hampir tiga puluh, tapi sejauh ini dia belum menikah."
"Betul, rakyat jelata Tayli bila memperbincangkan Siauongya, pasti juga menyinggung soal ini."
Kwik Ing-yang cukup tahu diri, tak enak dia bicara secara sendirian, maka dia berpikir.
"Kelihatannya dia juga cukup cerdik, kurasa dia sudah dapat merasakan juntrungan katakataku."
Tiba-tiba Tan Ciok-sing memutar pokok pembicaraan.
"Tadi seperti kudengar Ciong-lihiap mengatakan, bahwa Kimto- thi-ciang Tam Tayhiap sudah sampai di markas Kim-to Cecu, apakah Kwik-hcng sudah bertemu dengan Tam Tayhiap?"
Teringat sesuatu Kwik Ing-yang lantas tanya.
"Tan-heng, apakah kau juga kenal dengan Tam Locianpwc?"
"Kenal sih tidak. Tapi dua hari yang lalu pernah aku bertemu dia di rumah keluarga In Tayhiap, dia pernah menyuruhku menemui dia."
"Betullah kalau begitu, jadi pendekar muda yang dia ceritakan itu kiranya kau Tan-heng."
"Ah, jadi dia pernah menyinggung diriku terhadap Kwikhcng, apakah dia ada pesan untuk aku?"
"Waktu itu kebetulan aku sudah siap turun gunung hanya sekejap aku bicara dengan beliau. Dia suruh aku perhatikan di sepanjang jalan seorang pemuda she Tan yang menggendong harpa. Tapi bila Tan-heng tiba di markas nanti mungkin takkan ketemu dia." '"Lho, kenapa?" '"Tam Tayhiap bilang, dia masih ada janji dengan It-cuking- thian Lui Tayhiap yang belum dia tepati, kemarin setelah dia mengantar In-pekbo sampai di markas, lantas pamitan dengan Kim-to Cecu, hanya menginap semalam, hari ini dia sudah berangkat ke Kwi-lin untuk menemui Lui Tayhiap."
"Konon It-cu-king-tliian sudah menghilang sejak tiga tahun lalu, rumah tinggalnya di Kwi-lin juga sudah di bumi hanguskan. Apakah dia titip kabar untuk Tam Tayhiap, atau Tam Tayhiap mendengar kabar beritanya dari lain tempat, kini diketahui bahwa dia sudah kembali ke Kwi-lin?"
"Waktu itu aku sudah siap meninggalkan markas, jadi tak sempat banyak bicara dengan Tam Tayhiap. Tapi kudengar pembicaraannya dengan Kim-to Cecu, katanya tiga tahun yang lalu sebenarnya dia sudah pernah janji dengan Lui Tayhiap karena kematian In Tayhiap, sehingga janjian pertemuan kali itu gagal. Maka janji diperbarui lagi untuk bertemu tiga tahun yang akan datang."
Tan Ciok-sing diam saja tanpa bersuara, hatinya bingung dan pikiran kalut.
"Tan-heng, apa yang kau pikirkan?"
"Tiada apa-apa, aku hanya mengharap bertemu sekali lagi dengan Tam Tayhiap. Entah Tam Tayhiap ada titip omongan untukku tidak?"
"Ya, dia ada titipan omongan untuk disampaikan padamu, dia bilang. 'Bila di tengah jalan kau bertemu pemuda yang menggendong harpa, katakan padanya, aku akan kembali kesini, setelah menepati janji pertemuan dengan Liu Tayhiap. Suruh dia menunggu di markas saja."
Tan-heng agaknya dia hanya tahu kau she Tan tapi tidak tahu namamu."
"Betul, dua kali aku bertemu dengan dia dalam waktu singkat dan tergesa-gesa, belum aku memberitahukan namaku kepadanya,"
Tiba-tiba dia menarik tali kendali memutar balik kudanya.
"Tan-heng, apa yang kau lakukan?"
"Tolong sampaikan kepada nona In, katakan aku tidak bisa mengiringi dia pergi ke markas Kim-to Cecu."
Kebetulan waktu itu In San sedang menghentikan kudanya karena mereka berdua tertinggal jauh di belakang, teriaknya sambil berpaling.
"Hai lekas kalian kemari."
Kwik Ing-yang segera tarik suara.
"Nona In. Tan-toako bilang tidak akan pergi ke markas."
In San kaget, teriaknya.
"Tan-toako, tunggulah sebentar."
Kwik Ing-yang tersenyum katanya.
"Tan-toako, umpama benar kau ingin pergi, sepatutnya pamitan dulu kepadanya."
In San dan Ciong Bin-siu keprak kudanya putar balik.
"Tantoako kau hendak kemana?"
"Aku akan kembali ke Kwi-Iin."
"Tiada angin tidak hujan kenapa tiba-tiba hendak pulang ke rumah? Bukankah kau pernah bilang rumahmu sudah tiada?"
"Kedatanganku kali ini mengemban tiga tugas. Pertama mengembalikan barang warisan In Tayhiap. Kedua membawa pesan Toan Kiam-ping untuk nona In. Ketiga mengembalikan kuda putih ini kepada Ciong-lihiap. Tiga tugas kulaksanakan kupikir aku harus segera pulang dulu saja."
Berkerut alis In San, katanya.
"Sudah tiba disini, tinggal sehari perjalanan lagi, kenapa tidak kau menemui Kim-to Cecu lebih dulu toh kau tiada urusan penting?"
"Justeru baru saja kuketahui adanya sebuah urusan, maka perlu segera pulang ke rumah. Disini hakikatnya tiada keperluan lagi untukku."
"Urusan apa yang baru saja kau ketahui?"
Tanya In San. Kwik Ing-yang segera menyela.
"Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap pergi ke Kwi-lin untuk menemui It-cu-king-thian Lui Tayhiap, pagi hari ini dia berangkat kesana. Baru aku ketahui akan berita ini."
"O, jadi kau hendak pulang ke Kwi-lin menemui mereka?"
"Betul, ingin aku selekasnya bertemu dengan Tam Tayhiap,"
Sahut Tan Ciok-sing.
"Tapi Tam Tayhiap kan akan kembali kesini bukan?"
In San mendesak lagi.
"Ya, betul,"
Sela Kwik Ing-yang pula.
"tadi sudah kujelaskan tentang ini. Tam Tayhiap jelas akan pulang kesini, kenapa tidak tunggu dia sampai pulang? Paling menunggu sebulan, dari pada susah payah kau mencarinya ke Kwi-lin kan belum tentu ketemu."
"Justeru aku kuatir takkan sabar menunggu selama satu bulan,"
Tegas perkataan Tan Ciok-sing. Melihat sikap keras Tan Ciok-sing, In San tahu meski ditahan juga takkan bisa membatalkan niatnya, kalau dia menahannya secara getol, mungkin bisa menimbulkan salah paham Ciong Bin-siu, terpaksa dia berkata.
"Baiklah, banyak terima kasih atas bantuanmu kali ini, kalau kau punya urusan penting, akupun tak enak mengganggumu lagi. Semoga kaupun akan datang kemari."
Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya.
"manusia hidup ada kalanya kumpul ada saatnya berpisah, aku juga mengharap bisa bertemu dengan kalian pula, apakah bisa terkabul kelak sekarang tak bisa kupastikan."
Ciong Bin-siu cekikikan, katanya.
"Jangan bicara seperti itu, yang pasti kau harus kembali kesini."
Tan Ciok-sing membalikkan kudanya pula, tiba-tiba Kwik Ing yang berbisik kepada Ciong Bin-siu.
"Mari kita memberi sebuah kado kepadanya?"
Ciong Bin-siu seketika sadar, segera dia berteriak.
"Tantoako tunggulah sebentar."
"Ada apa?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Marilah saling tukar kuda tunggangan dengan aku,"
Kata Ciong Bin-siu. In San sampai melengak oleh tindakan ini.
"Ah, mana boleh, sengaja aku kembalikan kepadamu kenapa harus kuterima pula kuda kesayanganmu ini?"
Ujar Tan Ciok-sing.
"Anggaplah aku meminjamkan untukmu,"
Kata Ciong Binsiu.
"kalau bukan kau yang merebutnya dari tangan kawanan penjahat, sekarang dia juga bukan milikku lagi. Sekarang kau memerlukan dia, adalah pantas kalau aku meminjamkan padamu. Em, Tan-toako, memangnya kau saja yang boleh membantu orang, tapi menampik bantuan orang lain kepadamu?"
Segera Kwik Ing-yang ikut bicara.
"Ciu Cecu pasti juga meminjamkan kuda jempolan untuk tunggangan Tam Tayhiap ke Kwi-lin, dengan menunggang kuda putih ini, kemungkinan kau bisa menyusulnya di tengah jalan."
"Maksud mereka baik Tantoako, lekaslah kau terima saja, toh hanya kau pinjam sementara kelak kan bisa kau kembalikan,"
Demikian In San ikut membujuk.
"Itulah tujuan kami meminjamkan kuda ini kepadamu dengan harapan supaya kau lekas kembali kesini,"
Demikian seru Ciong Bin-siu.
"supaya adik kecil kita ini tidak cemas mengharapi kedatanganmu."
Kata-kata ini terlalu polos tapi juga menusuk perasaan, karuan Tan Ciok-sing dan In San sama merah mukanya. Kata Tan Ciok-sing.
""Kejadian dalam dunia ini sukar diramal sebelumnya, belum tentu aku bisa kembali kesini. Markas Kim-to Cecu kan juga sering berpindah..."
"Hal itu tak perlu kau buat kuatir,"
Tukas Ciong Bin-siu.
"kalau kau tidak sempat pulang kesini, boleh kau titipkan kuda putih ini kepada Toan-ongya di Tayli saja. Dia takkan pindah rumah. Tak lama lagi aku juga akan ajak adik San kesana."
In San tidak pernah bicara soal ini dan berjanji akan ke Tayli, karuan dia melengak. Tapi tak enak dia menyangkal di hadapan orang banyak. Tapi lain bagi perasaan Tan Ciok-sing, segera dia cemplak kuda putih, katanya.
"Baiklah, banyak terima kasih akan kebaikan kalian meminjamkan kuda ini padaku, kalau aku tak sempat pergi ke Tayli, pasti akan kusuruh orang mengantarkannya kesana,"
Segera dia keprak kuda putih terus mencongklang kencang ke depan, cepat sekali bayangannya sudah lenyap.
"Ciong-cici,"
Kata In San cemberut.
"kapan aku pernah janji akan pergi ke Tayli dengan kau."
"Kukira setelah kau menyampaikan sembah sujudmu kepada Pek-bo, kau akan kesana. Baiklah anggap aku salah menangkap perkataanmu. Tapi Toan-toako begitu kangen padamu, adalah pantas kalau kau kesana menemuinya."
"Cukup kalau kau beritahu padanya bahwa aku selamat dan sehat walafiat. Betapa susah payahnya usaha ibu untuk datang kesini sehingga bisa berkumpul dengan aku, beliaupun tak pernah kelana di Kangouw, aku pingin lebih lama merawat dan meladeninya."
"Soal ini boleh dibicarakan pelan-pelan. Piauko, berikan kudamu kepadaku,"
Mereka tetap berdua menunggang kuda putih milik Kwik Ing-yang, beberapa kejap kemudian Ciong Bin-siu berkata pula lirih.
"Kita adalah kaum persilatan yang harus mengutamakan perbedaan budi dan dendam, tapi untuk membalas budi juga harus ada batasnya bukan. Umpamanya aku meminjamkan kuda putih itu kepada Tan-toako, itupun termasuk balas budi..."
In San melongo, pipinya jadi merah seketika katanya.
"Kak Siu, apa maksud perkataanmu?"
"Aku membalas budi dan kesetiaan kawannya terpaksa hanya meminjamkan kuda putih padanya, tapi jiwa ragaku kan tak mungkin kuserahkan pula. Adik In, kau seorang gadis yang pintar, perumpamanku ini tentunya kau dapat merabainya?"
Seperti kepiting direbus merah muka In San, katanya aleman dengan malu-malu.
"Aku tidak tahu, tidak tahu, tak usah bicarakan lagi, perumpamaanmu itu aku juga tidak mau dengar lagi."
"Baiklah tak usah omong, jangan kau marah. Nanti setelah pikiranmu jernih, kelak kita bicarakan lagi."
Kuda segera dibedal berlari kencang naik turun, demikian pula pikiran In San ikut timbul tenggelam tidak menentu. Kim-to Cecu menyambut kedatangan In San dengan riang gembira, katanya tertawa.
"Tak kira secepat ini kaupun datang,"
Ditariknya tangan orang lalu tanya ini dan itu. Hati In San amat gelisah, segera dia bertanya.
"Ciu-pepek, soal lain biar bicarakan nanti. Kabarnya ibuku sudah kemari..."
"O, kau sudah tahu?"
Tanya Kim-to Cecu.
"Dia tidak menyalahkan ibunya, maka aku yang memberitahu,"
Sela Ciong Bin-siu.
"Syukurlah kalau begitu In-hujin sedang kuatir bila putrinya tidak mau memaafkan kesalahannya. Sebetulnya aku akan menunda sementara baru akan kujelaskan kepadamu..."
Tak sabar In San bertanya pula.
"Mana ibuku? Kenapa tidak kelihatan?"
"Badannya kurang sehat, dia sedang istirahat didalam, tapi kau tidak usah kuatir penyakit tidak begitu gawat,"
Kim-to Cecu menerangkan.
"Harap Pepek lekas bawa aku menemui beliau,"
Pinta In San. Berpikir sejenak Kim-to Cecu lantas memanggil seorang tentara perempuan, tentara perempuan ini yang disuruh mengantarkan In San katanya tertawa.
"Kalian ibu dan anak memang harus berbincang-bincang, aku tidak akan mengganggu,"
Sebagai orang tua yang cukup makan garam, dia tahu pertemuan ibu dan anak yang sudah sekian tahun berpisah ini pasti banyak persoalan pribadi yang akan dibicarakan dan pantang diketahui orang luar.
Maka Kim-to Cecu tetap tinggal menemani Kanglam Sianghiap.
Dalam pada itu In-hujin memang belum tidur, dia sedang memikirkan putrinya.
"Pemuda yang pandai memainkan ilmu golok keluarga In yang ditemui Tan Ciok-sing itu pasti anak San adanya, memang sejak kecil dia senang berpakaian laki
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
laki. Kalau dia muncul di sekitar Tay-tong, suatu hari pasti akan menyusulku kesini. Ai, entah sudikah dia memaafkan ibundanya yang sudah hina apa ini?"
Lalu dia berpikir pula.
"Tan Ciok-sing memang pemuda idaman, bukan saja perangainya baik, hatinya jujur dan berilmu silat tinggi, sayang dia keturunan dari keluarga awam, bila kelak anak San berjodoh dengan dia, lega juga hatiku. Tapi Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli itu juga calon suami pilihan yang sukar ditemukan bandingannya, jikalau anak San menjadi isterinya mungkin dia akan lebih bahagia. Tapi Tan Ciok-sing menanam budi begitu besar terhadap keluarga kami, membawa pedang Thio Tayhiap sebagai ikatan jodoh pula..."
Hatinya menjadi risau dan sukar berkeputusan, akhirnya dia menghela napas dan berpikir pula.
"Pernikahan hanya mengutamakan jodoh, kenapa aku harus kapiran memikirkan soal 'jodoh' putriku, terserah dia suka mana dan menikah dengan siapa. Apalagi kemungkinan dia tidak akan mau mengakui aku sebagai 'ibunya', memangnya aku kuasa memberi putusan soal pernikahannya?"
Dada terasa sakit lagi.
In-hujin tahu ini tanda-tanda penyakitnya bakal kumat, sakit hati sukar diobati, obat yang paling mujarab adalah mempertahankan ketenangan hati dan pikiran.
Dia berusaha menekan gejolak pikirannya, namun tak kuasa mengendalikan, hatinya telah mulai sakit dan penyakit hampir kumat.
Di kala pikirannya kacau dan ruwet ini, tiba-tiba didengarnya suara pintu didorong orang perlahan.
In-hujin kira Kim-to Cecu suruh pelayan membawakan obat untuk dirinya, tak nyana waktu dia menoleh dilihatnya yang masuk adalah seorang pemuda yang cakap.
Meski berpisah sudah belasan tahun.
Walau waktu berpisah puterinya baru berusia 7 tahun, walau sekarang puterinya ini berpakaian laki-laki...
peduli ada berapa banyak walau hubungan ibu dan anak sudah mendarah daging, umpama laut kering dan batu membusuk, benda berubah bentuk, seorang ibu betapapun takkan bisa melupakan dan pangling terhadap puterinya sendiri.
Sesaat lamanya In-hujin sampai menjublek di depan puterinya.
Demikian pula In San berdiri terlongong didepan ibunya, ribuan kata laksaan omongan, tak tahu dari mana dia harus mulai bicara.
"San-ji, betulkah kau ini. Ini, ini, apakah ini bukan mimpi?"
Segera In San menubruk kedaiam pelukan ibunya, anak dan ibu saling berpelukan dengan kencang, keduanya saling bertangisan.
"Bu, jangan kau menangis, selanjutnya kita takkan berpisah lagi."
In-hujin menyeka air mata, katanya.
"San-ji, kau tidak membenciku? Aku, aku salah..."
"Yang sudah lalu anggaplah sebagai impian, tak usah disinggung lagi Bu, yang kubenci adalah orang lain, aku tidak pernah menyalahkannya kau."
"San-ji,"
Kata In-hujin sesenggukan.
"Aku tahu kau pasti memaafkan aku. Aku pernah pulang ke rumah mencarimu."
"Bu, aku tahu. Sayang hari itu aku kebetulan tak di rumah. Bu, kali ini kau bertindak setegas ini untuk pulang ke rumah, aku amat senang,"
Dengan erat dia menggelendot dalam pelukan ibunya, tanpa terasa air matapun bercucuran. In-hujin tertegun sejenak, katanya.
"Ah, kau sudah tahu. Jadi kau sudah pulang ke Tay-tong?"
"Bu, rumah kita itu sudah dibakar oleh pasukan pemerintah yang dibawa Liong Seng-bu bocah kurcaci itu."
Mendengar puterinya menyinggung keponakan suaminya yang tiri, kembali hati In-hujin merasa dongkol dan perih pula, hatinya penuh penyesalan, katanya.
"Binatang cilik itu, jangan kau menyinggung nya lagi. Aku ingin bicara tentang seorang yang lain."
"Siapa?"
"Seorang yang punya hubungan kental dengan keluarga In kita, ayahmu pernah mendapat budi pertolongannya, akupun pernah ditolong jiwaku. San-ji, ayahmu, ternyata sudah meninggal duuia..."
"Bu, semua peristiwa itu sudah kuketahui jelas, tak perlu kau jelaskan lagi. Bila ayah tahu kini kau sudah pulang, di alam baka beliau pasti akan senang juga,"
Demikian In San menghibur ibunya sambil menyeka air matanya. Kembali In-hujin terlongong, pikirnya.
"Bagaimana dia bisa tahu semuanya? lalu berkata lebih lanjut.
"Orang itu bernama Tan Ciok-sing, dia seorang pemuda yang baik, bukan saja Kungfunya tinggi, orangnya pun baik dan mengagumkan..."
"Bu, aku tahu,"
Tukas In San, mendengar ibunya memuji Tan Ciok-sing, manis mesra rasa hati ln San, tanpa kuasa merah mukanya, kembali dia mengulang perkataan.
"aku tahu."
In-hujin berhenti bicara, dengan seksama dia perhatikan putrinya, baru sekarang dia dapati putrinya sudah menggembol pedang dan golok pusaka. Karuan kejut dan girang hatinya, serunya.
"San-ji, kau sudah bertemu dengan Tan Ciok-sing?"
In San haturkan golok pusaka ayahnya, katanya.
"Bu, golok pusaka ayah sudah dia kembalikan."
"Pedang pusaka ini, bukankah ini pedang betina yang bernama Ceng-bing-kiam itu."
Jengah muka In San, dengan suara lirih dia mengiakan.
"Atas perintah Thio Tayhiap dia menyerahkan pedang ini, kepadamu?"
"Betul,"
Sahut In San, kepalanya tertunduk semakin rendah. Tak kuasa In-hujin menekan rasa senangnya, katanya.
"Asal-usul pedang mustika ini, tentunya ayahmu pernah menjelaskan kepadamu, maksud tujuan Thio Tayhiap menyuruhnya menyerahkan pedang mustika ini, kukira juga sudah kau ketahui?"
In San menjawab tahu, tapi juga tidak menyangka! Tidak tahu. Sesaat lamanya baru dia berkata lirih.
"Bu, bicaralah soal lain saja. Putrimu ingin mendampingimu untuk selamanya."
"Anak bodoh,"
Ujar In-hujin tertawa.
"bagaimana mungkin kau mendampingi kuselamanya, sampai disini tiba-tiba mukanya berubah pucat, batuk dua kali.
"Bu adakah kau merasa kurang enak. Rebahlah istirahat."
"Tidak apa-apa,"
Ucap In-hujin setelah mengatur napas, katanya lebih lanjut.
"Dua hari ini aku menguatirkan dua hal. Pertama entah selagi aku masih hidup ini apakah masih sempat melihatmu, sekarang syukurlah keinginanku terkabul. Kedua aku amat merindukan Tan Ciok-sing, apakah dia dapat lolos dari bahaya. Dimanakah kau bertemu dia?"
"Kemarin dulu bertemu di tengah jalan. Semula kukira jahat, malah pernah aku melabraknya. Akhirnya dia ceritakan duduk persoalannya dan bicara pernah bertemu dengan ibu baru aku mau percaya."
"Dia tidak kau ajak kemari untuk menengok aku?"
"Dia tidak mau datang kesini."
"O, dia tidak datang. Dia kemana?"
"Dia pulang ke Kwi-lin."
In-hujin tertegun, katanya.
"Dia sudah tahu tentang perjanjian Tam Tayhiap dengan It-cuking- thian?"
"Ya, Ciu-pepek suruh Kanglam Sianghiap ke Tay-tong mencari jejakku, kebetulan juga petang hari itu kami bertemu. Setelah tahu tentang berita ini Tan-toako segera putar haluan, katanya mau pulang ke Kwi-lin saja. Kami sudah membujuknya untuk kemari lebih dulu, tapi dia tetap tidak mau. Kutanya dia kenapa dia terburu-buru, bilang suruh aku tanya kepada ibu."
"O, jadi demikian, kalau demikian tidak boleh menyalahkan dia,"
Ucap In-hujin. Dia ingin lekas pulang untuk menyelidiki siapa musuh pembunuh kakeknya. Dia pernah mencurigai ltcu- king-thian, tapi dia tetap ragu-ragu."
"Betul, ayah memang sering menyinggung It-cu-king-thian kepadaku. Walau ayah hanya mengagumi orangnya dan belum pernah bertemu, tapi dia sudah jelas karakternya. Yakin pasti bukan dia yang turun tangan sejahat itu."
"Tapi bicara dari sudutnya itu, adalah pantas kalau untuk menyelidiki peristiwa ini sampai terang. Dari apa yang dia uraikan akan kejadian itu, kuduga meski It-cu-king-thian bukan biang keladi di belakang layar yang mencelakai ayahmu, kemungkinan dia sudah tahu siapa sebetulnya yang menjadi tulang punggung peristiwa itu."
Sampai disini mendadak In-hujin menghela napas.
"Bu, masih ada persoalan apa yang menyedihkan kau?"
"Entah kau sudah tahu belum, demi menyelamatkan ayahmu sehingga kakeknya itu dicelakai musuh. Terlalu banyak hutang budi kita terhadapnya."
Kata In San rawan.
"Tak kira nasibku serupa dia, sama kehilangan orang yang paling dicintai, padahal dia tidak berdosa, tapi kerembet oleh keluarga kita. Aku yakin musuh yang membunuh kakeknya."
"Itu jelas sudah pasti. Umpama bukan karya satu orang, pasti mereka ada hubungan satu dengan yang lainnya."
Sampai disini In-hujin batuk-batuk lagi sambil menekan dada.
"Bu,"
Seru In San kuatir.
"istirahat saja, jangan terlalu membuang tenaga."
"Aku tidak apa-apa, tapi ada satu hal perlu aku berpesan kepadamu."
Demikian kata in-hujin dengan wajah serius. Melihat sikap ibunya yang sesungguhnya, lekas In San bertanya.
"Soal apa pula yang harus kukerjakan, Ibu boleh kau katakan saja."
In-hujin menghela napas, katanya.
"Walau penyakitku tidak jadi soal, entah kapan baru akan sembuh. Dendam kematian ayahmu, hanya kepadamulah kuserahkan untuk membalasnya."
"Itu sudah menjadi kewajiban untuk menuntut balas, selama hayat masih di kandung badan, aku bersumpah pasti membalas sakit hati ayahku. Bu, kau tidak usah kuatir."
"Musuhmu bukan kaum sembarangan, dua gembong iblis yang mencelakai ayahmu di Citsing-giam itu, apa kau sudah tahu siapa mereka?"
"Kabarnya mereka bernama Le Khong-thian dan Siang Posan."
"Kedua orang ini adalah jagoan tangguh dari kalangan sesat, seorang lagi yang tak kalah liehaynya bergelar raja golok Ie Cun-hong,"
Belum diketahuinya bahwa Le Khongthian sudah mati di tangan Thio Tan-hong, demikian pula Ie Cun-hong sudah terbunuh oleh Tan Ciok-sing. Diam-diam In San berpikir.
"Yang benar biang keladinya sembunyi di belakang layar adalah paman dan keponakan dari keluarga Liong. Bu, meski kau tidak menjelaskan, kelak aku pasti akan membuat perhitungan dengan mereka."
In-hujin seperti tahu jalan pikirannya.
"Memang di belakang ketiga orang ini masih ada pula biang keladinya. Tapi aku minta setelah aku mati baru kau boleh pergi membunuhnya."
Luluh hati In San mendengar pesan ibunya, batinnya.
"Ibu berkata demikian, maksudnya supaya aku tidak membunuh Liong Bun-kong dan keponakannya,"
Dia kira ibunya pernah kawin dengan Liong Bun-kong, mengingat hubungan suami isteri selama belasan tahun ini, betapapun dia tidak tega.
Sudah tentu *hal ini membuat In San kurang senang.
Tapi tidak enak dia membongkar kelemahan jiwa ibunya ini.
Dengan menggigit bibir akhirnya dia berkata perlahan.
"Bu, tak usah kau bicara soal yang menyedihkan."
"Baiklah mari kita bicara soal penting saja. Ilmu golok yang kau pelajari meski sudah memperoleh ajaran murni ayahmu, bekal Kungfu yang kau miliki sekarang masih terlampau jauh dibanding gembong-gembong iblis itu, kalau kau ingin menuntut balas dengan tanganmu sendiri, hanya ada satu cara."
In San melongo, tanyanya.
"Cara apa?"
Pernah juga dia memikirkan soal ini, tapi menurut pikirannya ia harus lebih tekun menggembleng diri mencapai tingkat tinggi, paling cepat juga harus makan waktu sepuluh tahun. Kata In-hujin.
"Bila kau berhasil meyakinkan ilmu setingkat ayahmu, mungkin musuhmu sudah mati berusia lanjut. Jikalau kau ingin lekas berhasil menuntut balas, kau harus menggabung sepasang ilmu pedang dengan Tan Ciok-sing."
Merah muka In San, kepalanya tertunduk tanpa suara.
"Untung musuhnya adalah musuhmu juga, kukira umpama dia tidak mempcrsunting kau dia pasti akan bergabung dengan kau."
"Bu' apa kau ingin supaya sekarang juga aku menyusulnya ke Kwi-lin,"
Tanya In San. In-hujin menghela napas, katanya.
"Pikiranku ruwet sekali, aku harap secepatnya kau menuntut balas sakit hati ayahmu."
"Menuntut balas memang penting, bu kau sedang sakit, aku harus merawatmu dulu. Biarlah anak mendampingmu untuk beberapa waktu lamanya."
In-hujin tertawa getir, katanya.
"Sekarang aku sudah tahu, tak perlu aku membuat kau banyak susah, bahwa aku bisa bertemu dengan kau terakhir kali ini, sudah puas hatiku. Hari ini adalah hari yang paling menggembirakan aku, hahaha hahaha..."
Gelak ketawanya mendadak terputus. In San kaget, teriaknya.
"Bu, kau, kenapa kau?"
Tidak mendapat jawaban dan tidak melihat reaksi ibunya lekas dia memburu maju meraba pernapasan hidungnya, terasa badan ibunya sudah mulai dingin, seketika dia menjublek saking kaget.
Selama beberapa tahun ini yang selalu dibuat ganjalan hati In-hujin hanyalah putrinya dan ingin selekasnya bertemu dan berkumpul, kini setelah keinginan terlaksana, semangat dan kesehatannya sudah terlalu lemas, seumpama tanggul yang sudah jebol.
Senang, penyesalan, gembira dan sedih serta pilu pula...
berbagai perasaan yang saling bertentangan seketika menggejolak sanubarinya, sehingga penyakit hatinya mendadak kumat di tengah gelak tawanya malah mendadak napasnya putus.
Lama sekali In San mematung, akhirnya dia sadar akan kenyataan ini, barulah dia berteriak dan menangis gerunggerung.
000OOO000 Tan Ciok-sing tengah dalam perjalanan menuju ke Kwi-lin, pikirannyapun gundah-gulana.
Betapapun dalam perjalanan menuju ke kampung halaman, hatinya merasa senang dan hasrat untuk lekas sampai mengobar semangatnya, tapi di antara semangat yang berkobar ini, hatinya diselingi perasaan hambar pula.
Perubahan tiga tahun yang dialami sungguh terlalu besar, terutama dua bulan terakhir ini.
Nasib memang selalu mempermainkan orang, sebetulnya dirinya tiada sangkut paut apa-apa dengan keluarga In yang jauh letak rumahnya dengan tempat kelahirannya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kini kedua keluarga seakan telah bergulat didalam satu arena kehidupan yang saling ikat mengikat, seumpama benang ruwet yang tidak mungkin dibenarkan digunting tidak akan habis, disebutkan takkan bisa lurus.
Terbayang percakapannya dengan In-hujin yang panjang lebar, teringat akan perkenalannya dengan In San yang semula melabraknya sebagai musuh, nasib keluarga In seolaholah sudah mendarah daging dengan kepribadiannya.
Terbayang olehnya petikan harpa In San yang menina bobokkan dirinya didalam hutan, perpisahan di tepi jalan serta pesan In San masih terngiang di telinganya, diharapkan dirinya lekas pulang menyusulnya ke markas Kim-to Cecu...
sungguh senang tapi juga sedih pula hati Tan Ciok-sing, akhirnya dia hanya tersenyum pahit belaka.
"Dengan Toan-siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli memang dia pasangan yang setimpal, memangnya siapa aku ini, memangnya masih berani memikirkan dia. Paling aku hanya bisa berdoa dan menyampaikan selamat bahagia untuk pernikahan mereka, bila berita bahagia ini kelak kuterima, biar kuhadiahkan harpa antik ini sebagai kado. Ai, kenapa aku selalu memikirkan dirinya? Sekenanya Tan Ciok-sing mengayun pecutnya membedal kuda putih itu supaya berlari lebih cepat. Seakan dia ingin menghilangkan bayangan In San dari kelopak matanya, sayang bayangan In San masih terus menggelitik sanubarinya, dia sudah berusaha untuk tidak memikirkan dia, tapi tidak kuasa dia melupakannya. Kuda putih memang berlari kencang, hanya tiga hari Tan Ciok-sing sudah keluar dari wilayah San-he, kini dia mulai memasuki propinsi Ho-lan. Hari itu dia tengah mencongklang kudanya di bawah Ongju- san yang berliku-liku, kira-kira tengah hari, baru dia merasa lapar dan dahaga, kebetulan dilihatnya tak jauh di depan terdapat sebuah kedai minuman. Kedai minuman di pinggir jalan umumnya menyediakan hidangan bagi kaum pedagang atau para pelancongan yang menempuh perjalanan jauh, bukan saja menyediakan minuman juga menghidangkan arak dan nyamikan. Maka Tan Ciok-sing menghentikan kudanya, kebetulan tak jauh di samping kedai terdapat tanah lapang berumput. Dengan tertawa Tan Ciok-sing berkata.
"Aku bisa makan di kedai, kaupun boleh makan rumput sekenyangmu,"
Dia beri kebebasan kuda putihnya mencari makan di tanah lapang berumput subur. Tan Ciok-sing memesan seporsi daging sampi katanya.
"Ada arak apa yang tersedia boleh keluarkan saja, bawakan dulu setengah kati."
Umumnya kedai minuman di tengah jalan hanya menyediakan minuman dan makanan yang bertarip rendah, adalah jamak kalau arak yang dihidangkan juga murahan, nyamikan paling juga kacang goreng.
Tak nyana seteguk dia menghirup arak yang dihidangkan terasa harum dan segar, ternyata arak bagus yang belum pernah dia rasakan, sudah tentu senang hati Tan Ciok-sing, serunya memuji.
"Arak bagus, arak bagus. Apa nama arak ini?"
Pemilik kedai adalah laki-laki tua renta, sahutnya.
"Arak kampungan yang bikin sendiri, masa diberi nama segala. Syukurlah tuan suka menikmatinya, silahkan minum beberapa cangkir lagi."
Melihat pemilik kedai ramah dan supel, segera Tan Cioksing mengajaknya minum.
"Orang sehobi sukar ditemukan, kau pandai menikmati arakku, adalah pantas kalau aku yang traktir kau minum, mana boleh terbalik malah?"
Tan Ciok-sing tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Siapa yang harus mentraktir bukan soal, hayolah minum sepuasnya."
Pemilik kedai ternyata laki-laki tua yang suka kelakar, katanya.
"Hayolah, biar kuiringi kau sampai mabuk,"
Lalu dia masuk mengeluarkan seguci arak, katanya.
"Inilah arak tua yang sudah tersimpan sekian tahun, rasanya tentu lebih kecut, coba kau rasakan."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Aku masih harus menempuh perjalanan, kalau banyak minum mungkin mengganggu."
"Boleh minum sekuat ukuranmu saja,"
Ucap pemilik kedai, dia penuhi dua cangkir lalu ditenggaknya habis. Semula Tan Ciok-sing masih ragu-ragu melihat orang menghabiskan dua cangkir, dengan lega hati tanpa curiga segera diapun ikut minum.
"Tuan muda, siapa she-mu?"
Tanya pemilik kedai setelah menghabiskan beberapa cangkir.
"Aku yang rendah she Tan, Lopan, siapa nama besarmu?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Terima kasih. Aku she Khu bernama Ti."
"Khu-losiansing fasih berbahasa, tentunya dulu seorang sekolahan juga?"
"Waktu kecil memang pernah belajar membaca beberapa tahun, sayang aku terlalu gemar arak sehingga pelajaran terbengkalai, sampai setua ini aku tidak memperoleh gelar apa-apa. Oleh karena itu ganti nama 'Ti' (terlambat), maksudku untuk peringatan akan ketidak becusanku sendiri."
Timbul rasa hormat Tan Ciok-sing, katanya.
"Kiranya Lopek adalah seorang pujangga yang mengasingkan diri disini, sungguh kurang hormat."
Khu Ti tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Karena aku tidak pintar mencari nafkah, hobiku hanya minum dan suka bikin arak sendiri, maka kubuka kedai minuman di pinggir jalan untuk sesuap nasi. Soal pujangga apa segala, tuan ini jangan menggodaku."
"Khu-losiansing, kau terlalu rendah hati."
"Tan-heng, kau membawa harpa, tentunya kau seorang ahli dalam bidang ini?"
"Ahli sih tidak, hanya bisa sedikit petikan belaka. Khulosiansing pernah sekolah, tentu kaupun mahir memetik harpa?"
"Kau terlalu sungkan. Memetik harpa aku tidak bisa, tapi dulu aku pernah kenal seorang guru harpa yang kenamaan. Secara kebetulan guru harpa itupun she Tan."
"Siapakah guru harpa itu?"
Tanya Tan Ciok-sing.
"Konon kepandaian memetik harpa guru harpa ini tiada bandingan di kolong langit, orang banyak menyebutnya Siankhim (Dewa Harpa) tapi dia sendiri menamakan dirinya Ki Harpa."
"Yang di maksud ternyata kakek,"
Demikian batin Tan Cioksing. Kata Khu Ti lebih lanjut.
"Pernah aku sekali bertemu dengan dia, jadi belum boleh dianggap sahabat baik. Seperti kau suatu hari dia lewat sini dan mampir di kedaiku minum arak, setelah merasakan arakku timbul rasa senangnya maka dia memetik harpa sambil bersenandung, begitu indah dan mengasyikan sekali petikan harpanya itu, selamanya takkan bisa kulupakan. Em, dihitung-hitung kejadian itu kira-kira sudah dua puluh tahun berselang."
Tan Khim-ang memang guru harpa yang suka kelana di Kangouw, tidak perlu dibuat heran kalau dia pernah mampir di kedai ini dan pamer sekedar keahliannya.
Karena baru kenal sudah tentu pantang bagi Tan Ciok-sing untuk menjelaskan tentang dirinya.
Ternyata semakin berkobar semangat Khu Ti, katanya.
"Beruntung hari ini Tan-heng berkunjung dan membawa harpa pula, bagaimana kalau kaupun petikkan sebuah lagu dengan iringan harpa seperti kejadian dua puluh tahun yang lampau itu?"
"Petikan harpaku yang rendah ini mana berani dibanding dengan Dewa Harpa?"
Ucap Tan Ciok-sing.
"Tan-heng tidak usah menampik, nah kusuguh secangkir penuh untuk menambah seleramu."
Tan Ciok-sing memang sudah terpengaruh oleh air katakata (arak), katanya.
"Baiklah untuk membalas suguhan arakmu, biarlah aku sekedar pamer kejelekan sendiri,"
Demikian ujar Tan Ciok-sing. Lalu dia membuka kotak mengeluarkan harpa. Seketika terbeliak bola mata Khu Ti mulutpun bersuara heran, katanya.
"Tan-heng, harpa milikmu ini kok mirip sekali dengan harpa yang dibawa Ki Harpa dulu."
"Manusia ada yang mirip adalah jamak kalau bendapun serupa, meski lagu yang dipetik sama, tapi dengan harpa yang berbeda petikan lagunya pasti berbeda pula."
Dasar Tan Cok-sing sedang kasmaran, segera dia memetik lagu yang menggambarkan seorang pemuda yang sedang sakit mala rindu.
Lagunya mengalun lembut, tapi juga memilukan.
Lagu sudah habis, tapi perasaan Tan Ciok-sing masih belum tentram, lama dia duduk terlongong seperti melupakan kehadiran pemilik kedai di depannya.
Mendadak derap kaki kuda yang dicongklang pesat mendatangi dengan suara gemuruh, Tan Ciok-sing tersentak dari lamunannya oleh suara gaduh ini, sebuah suara yang sudah dikenal dan menusuk kuping berkata.
"Petikan harpa yang mengasyikkan. Hm, kau bocah kampung ini umpama kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau."
Waktu Tan Ciok-sing berpaling, tampak lima ekor kuda sudah tiba di tanah lapang berumput di samping kedai, yang bicara bukan lain adalah Liong Seng-bu.
Di kanan kirinya berjajar Huwan bersaudara.
Kalau Liong Seng-bu memperhatikan petikan harpa Tan Ciok-sing, adalah Huwan Liong dan saudara-saudaranya memperhatikan kuda putih itu.
Katanya.
"Bocah ini takkan lolos, Liong-kongcu, sudikah kau menghadiahkan kuda itu kepadaku."
Segera Tan Ciok-sing bersiul pendek, kuda putih itu memang cerdik segera dia lari masuk hutan. Karuan Huwan Liong gusar, bentaknya.
"Majikanmu takkan lolos, memangnya kau bisa melarikan diri,"
Sebelah tangannya terayun, sebatang panah segera meluncur kencang mengejar kuda putih.
Tan Ciok-sing jemput sebatang sumpit, dengan gerakan melempar dia susul timpukan panah kecil orang dengan sambitan sumpitnya, panah timpukan itu kena dipukulnya jatuh di tengah jalan.
Kuda putih itupun sudah lenyap di balik pohon.
Sudah tentu Huwan Liong gusar dan malu, hardiknya.
"Bocah bernyali besar, berani kau bertingkah. Hehe, mana budak liar keluarga In itu? Kau sudah dilempar dan tak dipedulikan bukan? Hm, hehe, dengan budak itu kalian menggabung sepasang pedang, mungkin kami memang bukan tandingan. Tapi kini kau sendirian, memangnya kau bisa lolos dari tangan kami?"
Huwan bersaudara serempak melompat turun terus berbaris memasuki kedai.
Omongan Huwan Liong memang bukan gertakan, Tan Cioksing pernah merasakan keliehayan barisan pedang mereka, dia insaf tanpa kehadiran In San tak mungkin dia memainkan ilmu pedang gabungan, jelas dirinya bukan tandingan mereka.
Tapi urusan sudah terlanjur, gugup juga tak berguna.
"Paling adu jiwa, Liong Seng-bu bocah keparat itu betapapun akan kupersen lobang tusukan di badannya,"
Demikian batin Tan Ciok-sing.
Maka dia tidak hiraukan lagi mati hidup awak sendiri, perasaan yang gejolak tadipun menjadi tentram dan tenang tanpa takut lagi.
Pedang melintang, kaki pasang kudakuda, seluruh perhatian tumplek di ujung pedangnya menunggu reaksi para musuhnya.
Liong Seng-bu terakhir masuk kedai, melihat sikap Tan Ciok-sing yang tegang dan bersiaga, hatinya amat senang dan puas.
Katanya setelah bergelak tawa.
"Tan-heng, kau memang pemuda romantis. Irama harpa mengirim rasa rindu, kau belum bisa melupakan nona In yang jelita itu bukan? Sayang untuk selanjutnya, mungkin kau takkan bisa bertemu dengan dia."
Pemilik kedai itu tiba-tiba tampil ke depan katanya dengan tertawa.
"Kapan kedaiku yang bobrok ini pernah dikunjungi tamu sebanyak ini, nah silakan tuan-tuan tamu duduk, minumlah dulu beberapa cangkir. Kalian ada pertikaian apa sukalah memandang mukaku, bagaimana kalau aku jadi penengah?"
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung