Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 10


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 10



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kalau ia menyerang terus, mesti ia kena dihajar bocah itu.

   Inilah ia tidak menghendakinya.

   Maka itu ia tarik cambuknya, untuk dipakai membela diri.

   Ketika ini digunai Sin Cu untuk menolong dirinya.

   Dengan pedang di depan dada, ia turun, untuk menaruh kaki.

   Tapi Poan Thian Lo benar-benar sebat, dia dapat menyerang pula, ke arah jalan darah soankie hiat, setelah mana ujung cambuknya menyambar terus ke arah Siauw Houwcu.

   Berbahaya sekali bocah itu, dalam halnya ilmu enteng tubuh, ia kalah dari Sin Cu, maka sulit untuk ia membebaskan diri.

   Si nona pun kaget bukan main, hatinya cemas.

   Adalah di saat sangat mengancam itu, tiba-tiba cambuk Poan Thian Lo mental nyam-ping.

   Di antara mereka lantas terlihat Hek Moko, yang sembari tertawa terbahak-bahak memuji si bocah.

   "Bagus, Siauw Houwcu! Pukulan Naga kau ini benar-benar ada ajaran gurumu!"

   Memang juga Siauw Houwcu menyerang dengan Liongkun, pukulan Naganya itu, hanya sebab kalah tenaga, ia kena dibikin terpental lawannya, ia justeru malu sendirinya, karena ia anggap gurunya itu menterta-wai padanya, ia dapatkan tubuh lawannya miring.

   Jadi ia telah kena menghajar musuh jago itu, meski tidak hebat.

   Sekarang barulah ia tahu, gurunya memuji ia dengan sebenar-benarnya.

   Pertarungan berjalan terus.

   Hek Pek Moko telah mendesak Poan Thian Lo dan Ismet dan Akhmad.

   Dua saudara ini, dengan mendapatkan bantuannya Poan Thian Lo, menjadi mendapat hati, hingga mereka sanggup membuat perlawanan dengan sama serunya.

   Poan Thian Lo tidak puas, maka tanpa memikir panjang lagi, ia memberikan tanda dengan siulannya, atas mana murid-muridnya di kedua pinggiran lantas menghunus senjatanya masing-masing, semua meluruk untuk mengepung.

   Hek Moko melihat ancaman bahaya itu.

   "Sin Cu, kau lindungi tuan puteri, kau menerjang keluar!"

   Ia teriaki si nona.

   "Marilah kita berlalu bersama-sama!"

   Mengajak Toan Teng Khong.

   "Tidak!"

   Menyahut Hek Moko.

   "Tidak dapat tidak, aku mesti menghajar dulu binatang ini!"

   Sin Cu sudah lantas mendampingi puteri Iran itu, dengan pedang di tangan ia menunjuki roman bengis.

   Puteri itu pun agung, ia tidak jadi kecil hati karena bahaya yang mengancam itu.

   Untuk beberapa tahun, ia pernah belajar silat di bawah pimpinan suaminya.

   Bahkan sambil bersenyum, ia kata pada suaminya itu.

   "Kau tidak usah pedulikan aku! Apakah kau senang membiarkan satu bocah membantu kau menerjang?"

   Siauw Houwcu memang telah berpisah pula.

   Ia sudah lantas menghunus goloknya golok Bianto yang ia cekal di tangan kiri, karena dengan tangan kanannya ia bersilat dengan Loo Han Kun ajarannya Hek Pek Moko.

   Dengan golok itu ia bersilat dengan ilmu golok Ngohouw Toan-bun too.

   Ia berkelahi dengan bengis sekali hingga murid-muridnya Poan Thian Lo tidak berani merapatkan dia.

   Sayangnya untuk ia, ia masih belum cukup ulat.

   Maka kemudian ia kena dirintangi juga oleh banyak musuh, yang bersenjatakan tombak.

   Tapi ia tidak kenal mundur, walaupun sudah mandi keringat, ia bertempur terus.

   "Sungguh, tidak kecewa dia menjadi puteranya Thio Hong Hu!"

   Sin Cu memuji degan kekaguman menyaksikan kegagahan orang. Toan Teng Khong telah menerima baik anjuran isterinya, begitu ia menghunus pedangnya, begitu ia lompat maju menerjang. Dan begitu lekas juga, beberapa musuh roboh di ujung pedangnya.

   "Dengan baik hati aku melayani kau, kenapa kaumelukai pengikut-pengikutku?"

   Poan Thian Lo menegur.

   "Terima kasih, Hoan ong"

   Menjawab Teng Khong.

   "Kalau benar Hoan ong bermaksud baik, mengapa kau tidak membubarkan sekalian pengiringmu ini? Kenapa kau merintangi kami? Tentang kebaikanmu, nanti saja setibanya kami di Pakkhia, kami melaporkannya kepada sri baginda raja!"

   Teng Khong bicara dengan bahasa Tionghoa yang kaku, maka kata-katanya ini yang bersifat menyindir terasa lebih menusuk kuping, dari itu, Poan Thian Lo menjadi gusar bukan main.

   Tapi ia mesti mendongkol saja, untuk menghampirkan orang dan menyerangnya, ia tidak sanggup.

   Kedua tongkatnya Hek Pek Moko tetap tengah mengurung padanya.

   Toan Teng Khong tersohor sebagai ahli pedang nomor satu di Iran, ia merangkap kedua kepandaian Timur dan Barat, ia menjadi hebat sekali.

   Sebentar kemudian, lagi beberapa orang roboh sebagai kurban pedangnya.

   San Cu dapat lihat orang menggunai pedang dengan jarang sekali menyabet, selalu dengan menikam, maka gerakannya Teng Khong ada cepat sekali.

   Ia anggap ilmu silat orang ada baik sekali walaupun, tidak dapat dibandingkan dengan Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari gurunya.

   Dalam pertempuran dahsyat itu, tiba-tiba terdengar mengaungnya senjata rahasia.

   Segera ternyata, itulah serangannya Bong Goan Cu, adik seperguruan dari Poan Thian Lo.

   Dia telah menggunai gelang perak di lengannya.

   Tapi dia menyerang dengan tubuhnya rebah di tanah.

   Tinjunya Hek Moko membikin dia tidak dapat merayap bangun.

   Meskipun dia tidak bisa jalan, tangannya masih dapat menggunai senjata rahasianya itu.

   Begitulah kedua tangannya menyerang dengan enam buah gelang peraknya.

   Toan Teng Khong kaget sekali waktu tahu-tahu ada senjata rahasia yang menyambar ke arahnya.

   Ia lekas-lekas menangkis dengan pedangnya.

   Senjata rahasia itu kena terpukul, lalu mental.

   Celakanya, dengan mengasi dengar suaranya yang luar biasa, gelang itu mental nyambar puteri Iran.

   Tentu sekali, ia menjadi bertambah kaget.

   Di saat ia hendak berlompat, akan menolongi isterinya, mendadak tiga buah gelang yang lain menyambar pula ke arahnya.

   "Celaka!"

   Ia mengeluh.

   Akan tetapi, tidak usah pangeran ini menangkis atau berkelit, enam buah gelang itu telah runtuh sendirinya, jatuh ke tanah.

   Sebab Ie Sin Cu sudah menolongi dia menimpuknya hingga semua senjata rahasia itu jatuh.

   Dan caranya si nona menimpuk tepat menuruti caranya Ismet dan Akhmad tadi! Bukan main gembiranya Sin Cu yang ia dapat meniru cara orang itu.

   Mengikuti kegembiraannya itu, ia lantas gunai semuanya tujuh puluh dua biji bunga emasnya, untuk terus menyerang murid-muridnya Poan Thian Lo.

   Mereka itu berjumlah kira lima puluh orang, kecuali yang dirobohkan Toan Teng Khong dan Siauw Houwcu, masih ada sisa tiga puluh lebih orang dan mereka ini, semua roboh di tangannya si nona.

   Hingga ia cuma menggunai tak ada separuh dari senjata rahasianya itu.

   Habis menyerang dengan cepat Sin Cu jalan mengitari kalangan, untuk memungut pulang semua bunga emasnya itu.

   Pertempuran di antara Hek Pek Moko melawan musuhmusuhnya berlangsung terus, keadaan mereka kedua pihak agaknya berimbang.

   Maka juga, menyaksikan itu, Sin Cu tidak mendapat duga kapan akan akhirnya itu.

   "

   Cianp wee marilah kita berlalu!"

   Akhirnya Sin Cu menyerukan dua saudara Moko itu, mengajak mengangkat kaki. Kedua saudara Moko itu tertawa bergelak, keduanya menyahuti dengan berbareng.

   "Inilah tandingan yang setimpal! Inilah pertandingan yang seumur hidupku mungkin sukar diketemukan meski juga satu kali saja! Maka itu baik kamu membiarkan kami bertempur sepuas-puasnya!"

   Kata-kata mereka ini di akhirkan dengan satu tangkisan tergabung dari kedua tongkat hijau dan putih dan golok bengkung dari Ismet lantas saja terhajar terlepas mencelat ke atas.

   Akan tetapi Ismet benar-benar liehay, belum sampai datang serangan kepadanya, ia sudah mencelat menyambuti goloknya itu, hingga bersama saudaranya dapat ia merapatkan diri untuk bertempur terlebih jauh.

   Kedua golok mereka terus bergerak-gerak mengimbangi kedua tongkat, kadang-kadang mereka membalas menyerang juga.

   Poan Thian Lo adalah yang terendah ilmu silatnya akan tetapi dengan dapat bantuannya dua saudara kembar yang menjadi kawannya itu, ia bisa bergerak dengan gesit untuk memberikan bantuannya mengepung dua saudara Moko itu.

   Hingga berlima mereka menjadi bertarung rapat sekali.

   Sin Cu mendapat perasaan sayang untuk tidak menyaksikan pertempuran yang istimewa itu, akan tetapi kapan ia melihat cuaca, ia menginsafi perlunya mereka mengangkat kaki.

   Kalau umpama touwsu mengirim bala bantuan, tentulah sulit untuk mereka menyingkir.

   Dari itu di akhirnya ia berseru kepada dua saudara Moko itu.

   "Baiklah, kami akan menantikannya di selat selatan sana!"

   Di mana di situ sudah tidak ada lainnya musuh dengan merdeka Sin Cu beramai dapat menyingkir dari benteng itu.

   Sin Cu menarik tangannya si puteri, sedang Toan Teng Khong mendahulukan mereka untuk mengambil kudanya yang bulu merah atas mana ia sudah terus menyem-plak, sedang tangannya menuntun seekor kuda lain yang sama warna bulunya.

   "Baik aku bersama Siauw Houwcu menaiki kuda ini,"

   Toan Teng Khong bilang.

   "Kau naiki itu kuda untuk sekalian melindungi tuan puteri."

   Kedua kuda ada kuda Persia kenamaan, larinya pesat, jalanan pegunungan yang sukar di jalani itu tidak menjadikan rintangan untuknya. Sebentar kemudian mereka sudah tiba di selat di sebelah selatan itu. Toan Teng Khong lompat turun dari kudanya.

   "Bagaimana kau lihat kedua ekor kuda ini?"

   Sembari tertawa ia menanya Siauw Houwcu.

   "Jikalau kau suka kuda ini, lain hari boleh aku menghadiahkan padamu!"

   Sin Cu bersenyum.

   "Kedua kuda ini memang tidak dapat dicelah,"

   Menjawab si bocah.

   "hanya kalau mereka hendak diadu dengan kudanya encie ku, bedanya masih jauh sekali!"

   "Benarkah itu?"

   Menanya Teng Khong kurang percaya. Belum lagi Siauw Houwcu menyahuti, Sin Cu sudah mengasi dengar siulannya yang nyaring halus yang panjang, yang berkumandang di selat itu. Mendengar suara itu, Teng Khong terperanjat.

   "Leluhurku beberapa turunan pernah membilang hebatnya ilmu silat Tionghoa, sekarang aku percaya kebenarannya itu,"

   Ia berkata kagum.

   "Sekalipun kau, nona, kau telah mempunyai tenaga dalam yang liehay ini."

   Sin Cu tidak membilang suatu apa, ia cuma bersenyum, jawabannya telah diwakilkan suara meringkik yang nyaring dan keras dan panjang, lalu tertampak lari mendatanginya seekor kuda putih, lari pesat dan melompati beberapa solokan, akan sebentar saja tiba di hadapan mereka.

   Itulah Ciauwya Say-cu ma, yang datang atas panggilan majikannya.

   Toan Ceng Khong menghela napas.

   "Orang Eropah membilang Persia mempunyakan banyak mustika, aku bilang, Tiongkok kita, barulah negara kaya raya,"

   Ia berkata.

   "Lihat saja, sekalipun kudanya pun begini istimewa!"

   Ie Sin Cu tertawa. Ia pondong puteri untuk dikasi turun dari kudanya. Puteri itu menyekal tangan orang erat-erat.

   "Terima kasih!"

   Katanya dalam bahasa Tionghoa, yang sedikit-sedikit ia dapat pelajari dari suaminya.

   Suaranya itu kaku tetapi toh enak didengarnya.

   Sin Cu bersenyum.

   Lalu, dengan kata-kata Tionghoa yang ia tahu, dibantu sama gerakan tangannya, puteri itu mencoba memasang omong dengan nona kita.

   Sin Cu menanyakan kenapa puteri ini datang ke Tiongkok.

   Tidak dapat puteri memberi keterangan jelas, maka ia minta Teng Khong membantu bicara.

   Ia agaknya senang sekali dengan suami asingnya ini, karena memang ada biasa untuk wanita Persia yang berbesar hati mempunyai kekasih, sedikitpun ia tidak malu atau likat.

   Sin Cu pun girang, ia gembira melihat suami isteri itu bicara sambil dicampur sama tanda-tanda dengan tangan, tetapi kemudian, ia masgul seorang diri.

   Lain orang telah berpasangan, hidupnya berbahagia, tetapi ia sendiri, ia masib sebatang kara...

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siauw Houwcu tidak dapat kawan bicara.

   Ia lari sana lari sini, akan mencari kesenangannya sendiri, ia pun sering menoleh ke arah dari mana tadi mereka datang.

   Lama rasanya sudah lewat, mendadak dia berseru.

   "Lihat, kedua guruku telah datang. Kelihatannya mereka gembira sekali, pasti mereka telah peroleh kemenangan!"

   Dan ia lantas tertawa terbahak-bahak.

   Memang di sana terlihat Hek Pek Moko mendatangi dengan laratkan kuda mereka.

   Dari jauh cambuk mereka itu telah dibulang-balingkan, kemudian terdengar suara tertawa mereka riang gembira.

   Sin Cu semua berpaling, lantas ia lari bersama Siauw Houwcu untuk memapaki.

   Segera juga kedua saudara Moko telah sampai, keduanya lantas lompat turun dari kuda mereka.

   Mereka pun tertawa dengan gembira sekali.

   "Kali ini pertempuran barulah mempuaskan sekali!"

   Keduanya berseru.

   "Sudah belasan tahun yang kami belum pernah menemui tandingan seperti kali ini!"

   "Ceritakanlah, suhu , untuk kami mendengarnya!"

   Berkata Siauw Houwcu yang pun girang luar biasa. Hek Moko menoleh kepada Sin Cu.

   "Pada sepuluh tahun yang lalu kami dua saudara pernah bertarung dengan gurumu suami isteri,"

   Ia berkata.

   "Kami kena dikalahkan tetapi kami kalah dengan puas. Kali ini kami bertempur, kami menang dan Ismet dan Akhmad dua saudara juga kalah dengan puas juga!"

   "Dua saudara itu ada harganya untuk dijadikan sahabat!"

   Berkata Pek Moko.

   "Cuma sayang mereka tidak berpandangan luas sebagai guru kamu nona, setelah kalah mereka lantas bersumpah akan pulang ke negerinya untuk tidak mencampuri lagi segala urusan nganggur!"

   "Yang paling memuaskan adalah Poan Thian Lo si jahanam itu!"

   Berkata pula Hek Moko.

   "Dia kena kuhajar dengan tongkatku hingga tulang kakinya patah! Siauw Houwcu, kau pun boleh merasa puas!"

   "Kabarnya Poan Thian Lo itu bersama-sama Yang Cong Hay ada murid-muridnya Cie Hee Toojin,"

   Berkata Sin Cu. Hek Pek Moko tertawa terbahak.

   "Habis Cie Hee itu bagaimana?"

   Tanya mereka.

   "Mustahilkah kami dan gurumu berdua jeri terhadapnya? He, Siauw Houwcu, mengapa kau diam saja?"

   "Kepalaku sedikit pusing,"

   Menyahut murid itu. Hek Moko menyambar tangan orang untuk memeriksa nadinya.

   "Ah tidak beres!"

   Katanya.

   "Dia telah kena makan obat pengganggu urat saraf, sesudah itu dia pun kena makan bisa yang diberikan oleh gadisnya touwsu,"

   Sin Cu memberitahukan.

   "Obat pengganggu urat saraf itu sudah dipunahkan,"

   Berkata Hek Mako.

   "Bagaimana dengan bisa itu?"

   "Turut apa yang aku dengar,"

   Sin Cu memberi keterangan.

   "bangsa Biauw suka memelihara pelbagai macam binatang berbisa mereka taruh semua binatang itu dalam sebuah paso besar, semuanya dibiarkan saling membunuh hingga tinggal semacam binatang yang hidup sendiri. Binatang itu ditumbuk dijadikan bubuk, bubuk itu dibikin menjadi semacam obat, jikalau itu dicampur dalam air teh atau di dalam sayur atau nasi dan dikasikan orang minum atau makan, di dalam waktu yang tertentu, umpamanya seratus hari atau satu tahun, bisa itu akan bekerja, dengan begitu celakalah si kurban kecuali dia ditolong oleh orang yang mera-cuninya sendiri."

   Pek Moko menjadi gusar sekali.

   "Kalau begitu mari kita kembali!"

   Ia berseru.

   "Kita mesti ubrak-abrik rumahnya touwsu itu dan paksa si wanita siluman mengeluarkan obat pemunahnya!"

   "Bukan, dia bukannya wanita siluman,"

   Siauw Houwcu bilang.

   "Ketika itu hari aku dilukai oleh Poan Thian Lo dan Bong Goan Cu, selama setengah bulan, aku dirawat nona itu."

   Sin Cu segera menaruh jari tangannya di mukanya.

   "Siauw Houwcu ada punya liangsim yang baik sekali,"

   Katanya, menggoda.

   "dia menyayangi isterinya itu!..."

   "Siapa bilang dialah isteriku?"

   Siauw Houwcu membentak.

   "Bukankah kita telah membilangnya bahwa kami telah putus hubungan?"

   "Eh, bagaimana duduknya hal ini?"

   Hek Pek Moko tanya heran.

   "Dia telah dipeda-yakan dan dinikahkan,"

   Berkata Sin Cu yang terus menuturkan duduknya hal. Tapi, ketika menutur sampai di bagian mengacau kamar pengantin, nona ini jengah sendirinya. Hek Pek Moko lantas tertawa lebar.

   "Jikalau menuruti adatku dulu-dulu, touwsu itu mesti diubrak-abrik!"

   Berkata Hek Pek Moko kemudian, romannya sungguh-sungguh.

   "tetapi sejak aku bersahabat dengan gurumu itu, perangaiku dapat aku ubah banyak. Mendengar keterangan kau, rupanya gadis touwsu itu juga dijadikan pekakasnya Poan Thian Lo, maka itu, tidak perlu kita mengganggu padanya. Aku tidak percaya di dalam dunia ini ada racun yang tidak dapat dipunahkan!"

   Hek Pek Moko pernah mengidarkan seluruh India, sudah merantau luas di Persia, Tiongkok dan beberapa negara timur lainnya, mereka telah perhatikan pelbagai macam obat di negara-negara itu, lebih-lebih Hek Pek Moko, ia paling memperhatikan penyakit-penyakit yang aneh, ia jadi lebih mengarti daripada saudaranya itu.

   Maka ia lantas menyuruh Siauw Houwcu duduk bersila, terus ia memeriksa pula.

   Di akhirnya ia tertawa.

   "Bisa ini benar berbahaya tetapi dia tidak dapat mencelakai orang yang faham yoga,"

   Katanya.

   "Sin Cu, pergi kau lebih dahulu bersama tuan puteri, nanti aku bebaskan Siauw Houwcu dari bisa yang menyerangnya, kemudian kita nanti menyusul kamu."

   Sin Cu menurut, maka ia lantas berlalu bersama puteri Iran.

   Hek Pek Moko juga sudah lantas bekerja, akan uruti Siauw Houwcu.

   Lekas sekali bocah ini merasakan hawa panas pindah dari tangan gurunya ke tubuhnya sendiri, sudah panas, ia pun sampai bernapas memburu.

   "Mainkan napasmu,"

   Hek Moko ajari muridnya.

   Siauw Houwcu menurut, ia menenangkan diri, ia bernapas dengan beraturan, dengan pelahan.

   Inilah sama dengan pelajarannya setiap hari, untuk merapikan jalan napasnya itu.

   Mulanya ia merasakan sulit akan mengendalikan napasnya itu, lama-lama barulah ia merasa lega.

   Lewat lagi sekian lama, ia merasakan dalam perut seperti ada kutu bergerak-gerak, perutnya itupun mengasi dengar suara gerijukan.

   "Sudah!"

   Berkata Hek Moko setelah menyaksikan perubahan pada muridnya.

   "Nah, pergilah kau ke sana membuang air besar!"

   Siauw Houwcu menurut, ia pergi jongkok.

   Banyak ia mengeluarkan kotoran.

   Ketika ia kembali pada gurunya, ia diberikan obat makan.

   Tiga hari Siauw Houwcu mesti membuang tempo, untuk dirawat terus oleh kedua gurunya bergantian, selama itu ia terus bersamedhi, maka akhir-akhirnya bukan melainkan racunnya lenyap, tubuhnya pun menjadi semakin tangguh berkat latihan tenaga dalam itu.

   Sesudah itu bersama kedua gurunya itu serta Toan Teng Khong, ia melanjuti perjalanan untuk menyusul Sin Cu dan puteri Iran.

   Sekeluarnya dari wilayah bangsa Biauw, Hek Pek Moko mengadakan pembicaraan seturuhnya.

   Mereka mengusulkan untuk pergi dahulu ke Khong San, guna mencari Tan Hong suami isteri.

   Di kaki gunung Khong San itu pun ada wilayah Tali, negara atau kampung halamannya Toan Teng Khong.

   Teng Khong setujui usul itu.

   Memang selama beberapa hari bergaul, dari Sin Cu dan Hek Pek Moko juga, ia telah dengar perihal Thio Tan Hong itu orang macam apa hingga ingin ia berkenalan dengan orang she Thio itu suami isteri.

   Ia merasakan, pengalaman dan hal ikhwalnya sendiri sama dengan penghidupan yang penuh derita dari Tan Hong itu, yang juga pernah merantau di negara orang.

   Setelah mendapat kesetujuan, Hek Moko mengusulkan pula untuk mereka memecah rombongan.

   Rupa mereka beda satu dari lain, saudaranya dan ia sendiri pun ada apa yang dinamakan "orang-orang yang dicari pemerintah,"

   Jadi dengan jalan mencar, mereka tidak bakal menarik perhatian umum dan akan bebas dari kecurigaan orang.

   Usul ini pun dapat kesetujuan umum.

   Maka mereka lantas memisah diri.

   Ie Sin Cu berjalan bersama Siauw Houwcu.

   Toan Teng Khong tetap bersama isterinya.

   Dan Hek Pek Moko tetap berdua dengan mereka jalan paling belakang, untuk sekalian melindungi pasangan bangsawan itu.

   Kalau di depan ada musuh, Sin Cu akan memberi kisikan, dan apabila di belakang ada pengejar, dua saudara Moko yang akan bertahan.

   Hek Moko memberikan Sin Cu beberapa batang hiangcian, yaitu panah bersuara.

   "Umpama kata kau menemui musuh di waktu siang, kau lepaslah panah putih ini,"

   Si Moko Hitam memesan.

   "Di waktu malam, kau mesti melepas ini panah hitam. Panah ini tidak melainkan suaranya dapat terdengar sejauh beberapa lie, juga akan mengeluarkan sinar api biru, hingga di waktu malam gampang terlihat dan dikenali."

   Sin Cu simpan anak-anak panah itu.

   Toan Teng Khong puas hatinya menyaksikan pelindung ini pandai bersiaga.

   Di waktu berangkat, Sin Cu ajak Siauw Houwcu bersama menaiki kuda putihnya.

   Mereka melintasi tanah datar perbatasan Inlam dan Kuiciu, lalu masuk ke dalam propinsi Inlam.

   Mereka merasa beruntung tidak pernah mereka menemui sesuatu halangan hingga panah mereka tidak usah digunakan.

   Mereka senang dengan perjalanan ini.

   Dibanding dengan Sin Cu, usia Siauw Houwcu lebih muda tiga tahun, tubuhnya pun lebih kate (pendek) sebatas pundak si nona.

   Di tengah jalan mereka omong banyak satu dengan lain, mereka memanggil kakak dan adik.

   Mereka banyak bicara tentang ilmu silat, hingga mereka tidak perna kesepian.

   Lewat beberapa hari mereka mulai berjalan di jalan umum dari kota Kunbeng.

   Di sini mereka jadi semakin tak berkuatir lagi.

   "Karena kuatir kita nanti terpisah terlalu jauh, dalam beberapa hari ini kita berdua tidak berani membiarkan kemerdekaannya kuda kita, pasti si putih sudah pepat pikirannya,"

   Berkata Nona Ie.

   Siauw Houwcu bersenyum.

   Sin Cu mengeprak kudanya dengan tali lesnya, yang ia terus kendorkan, maka tidak ayal lagi, kuda putihnya sudah lantas membuka ke empat kakinya, untuk berlompat lari, hingga di lain saat, mereka telah tinggalkan jauh di belakang pohon-pohon dan rumah-rumah yang berada di kedua tepi jalan besar.

   Siauw Houwcu mempeluki pinggang si nona.

   "Enak, enak!"

   Serunya kegirangan disebabkan kaburnya kuda mereka.

   "Ha, kita menjadi mirip dengan dewa dewi yang melayang naik di udara!..."

   Sin Cu tertawa.

   Ketika kemudian nona ini menahan les kudanya, mereka telah berada di luar kota Kunbeng, ibukota propinsi Inlam.

   Tembok kota sudah ada di dalam pandangan matanya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kunbeng adalah kota yang keadaannya cocok dengan pribahasa "Empat musim seperti musim semi."

   Itu waktu sudah di pertengahan bulan ke delapan tetapi di luar kota itu, pohon bunga ada bagaikan sulaman, sedang di dalam kota, suasana kota ramai sekali dan di mana-mana kedapatan pohon-pohon bunga, sedang gunung See San nampak bagaikan seorang wanita cantik tengah rebah miring.

   "Bagus sekali kota ini, kita harus pesiar di sini lebih lama dua hari!"

   Berkata Siauw Houw-cu.

   "Mereka akan sampai di sini sedikitnya nusa, kau dapat pelesiran dengan puas,"

   Sin Cu bilang.

   Mereka masuk ke dalam kota setelah mengitarkan itu, untuk mempuaskan mata mereka, setibanya di dalam, mereka menuju ke pusat kota untuk lantas mencari rumah penginapan.

   Di luar hotel mereka meninggalkan tanda.

   Besoknya pagi Sin Cu sudah lantas dapat keterangan perihal tempat-tempat yang kesohor dari kota Kunbeng, maka sambil tertawa ia kata pada Siauw Houwcu.

   "Eh, bocah nakal, hari ini aku beri cuti satu hari padamu! Mari kita pergi ke taman Taykoan Wan, lohornya kita pergi ke See San! Hanya ingat, aku larang kau main gila!"

   "Belum lagi aku mengangkat guru kepada Thio Tayhiap, kau sudah mau tunjuk pengaruhmu sebagai kakak seperguruan!"

   Berkata Siauw Houwcu.

   "Aku justeru hendak main gila!"

   "Jikalau kau main gila, aku tidak akan ajak padamu!"

   Mengancam si nona.

   "Aku pun tidak akan ajarkan kau ilmu dalam Hiankong Yauwkoat!"

   "Bagus!"

   Seru bocah itu.

   "Belum-belum kau sudah mengancam tidak mau mengajarkan ilmu padaku! Baiklah, aku akan dengar perkataanmu!"

   Pesan terakhir dari Thio Hong Hu menghendaki Siauw Houwcu, puteranya itu, diterima Tan Hong sebagai murid, ini pun maksudnya Hek Pek Moko mengantar puteri Iran ke Tali, ialah sekalian menjenguk Thio Tan Hong.

   Hal ini diketahui Sin Cu begitupun Siauw Houwcu, maka si bocah nakal sudah lantas akuh Sin Cu sebagai sucie, kakak seperguruannya.

   Taykoan Wan ada taman terindah dari kota Kunbeng, begitu memasuki pintu lantas terlihat banyak bunga serta bau harumnya.

   Di situ ada dua buah telaga yang kedua tepinya ditanamkan pohon-pohon yangliu di antara mana orang dapat mundar-mandir.

   Di situ juga ada dua buah pengempang teratai, yang bunganya harum semerbak.

   Gembira Sin Cu berada di taman indah ini setelah selama satu tahun ia berjoang saja.

   Ia merasa seperti ia telah kembali ke kampung halamannya di telaga Thayouw.

   Di dalam taman pun ada lauwteng atau ranggon Taykoan Lauw, berada di atas itu orang dapat memandang ke sekitarnya sejauh lima ratus lie, untuk menikmati pemandangan alam yang luas dan menarik hati, yang mirip dengan keindahan di Kanglam.

   Sin Cu tersengsam hingga tanpa merasa ia ingat pertemuannya pertama kali dengan Tiat Keng Sim di sungai Tiangkang.

   Ia jadi bagaikan bermimpi...

   "Eh, encie, kau kenapa?"

   Siauw Houw-cu menegur menyaksikan orang diam saja.

   "Tidak apa-apa,"

   Menyahut si nona, pelahan.

   "Sinar matamu tidak dapat mendustai aku, encie1."

   Kata si nakal.

   "Kau mesti tengah memikirkan sesuatu! Kenapa kau tidak sudi memberitahukan itu kepadaku?"

   Ia lantas bawa jarijari tangannya ke mukanya, untuk goda kawan itu. Mau tidak mau, Sin Cu tertawa. Bocah nakal itu Jenaka sekali.

   "Anak kecil tahu apa tentang orang tua!"

   Katanya.

   "Jangan main gila!"

   "Hai, berapa tua sih kau ada, encie?"

   Tanya bocah "Kau sudah lantas bawa lagaknya si orang tua! Mari berdiri, untuk kita mengukur tubuh kita. Lihat, apakah kau bukan sama tingginya dengan aku?"

   Ia mendekati, untuk berdiri berendeng, guna mengukur tingginya mereka. Sin Cu menolak tubuh orang.

   "Siapa sedang memikirkan sesuatu!"

   Katanya.

   "Jangan kau main gila!"

   Justeru itu di bawah ranggon terdengar suara gembreng ramai.

   "Ha, di sana ada yang main sulap!"

   Kata Siauw Houwcu, yang sudah lantas melongok ke bawah.

   "Mari kita lihat! Kau nanti hilang kemasgulanmu, encie."

   "Kemasgulan apa perlu aku melenyapkannya?"

   Sin Cu berkata.

   Meski ia berkata begitu, ia turut Siauw Houwcu turun di tangga.

   Bocah itu sudah mendahului ia lari turun.

   Di sebuah tanah terbuka ada, seorang tua dan seorang nona, yang rupanya ada ayah serta gadisnya.

   Orang tua itu menggubat kepalanya dengan sabuk putih dan si wanita muda memakai semacam sarung.

   Dandanannya mereka sebagai orang suku bangsa Ie.

   Si nona tengah mengasi pertunjukan makan pedang, ialah pedangnya yang panjang dia masuki ke dalam mulutnya sebatas gagangnya.

   Setelah mencabut keluar pedang itu, terus dia menyerang sebatang pohon, hingga pedang itu nancap dalam beberapa dim.

   Inilah untuk menunjuki pedang itu bukannya pedang lemas.

   Semua penonton lantas saja bersorak.

   Si orang tua mengangkat nampannya dari kuningan.

   "Masih ada permainan yang terlebih menarik!"

   Berkata dia.

   "Tuan-tuan penonton sudilah memberikan sedikit uang!"

   Penonton belum banyak, setelah jalan sekitaran, orang tua itu dapat uang saweran belum ada satu tail.

   Kemudian ia pergi ke depan Sin Cu.

   Nona Ie merogo sakunya, atau mendadak air mukanya menjadi merah.

   Nyata ia lupa membawa uang dan di sakunya cuma ada belasan tangkhie.

   Mana dapat ia menyawer demikian sedikit? "Kasilah seberapa saja, nona,"

   Berkata si orang tua. Sin Cu likat, maka ia cabut tusuk kondenya, yang terbuat dari batu kumala.

   "Ambillah ini!"

   Katanya seraya meletakkan tusuk konde itu ke dalam penampan, atau mendadak ia menjadi tercengang.

   Itulah warisan ibunya.

   Bagaimana itu dapat diberikan kepada lain orang? Si orang tua menjumput tusuk konde itu, ia pun agaknya heran.

   Seumurnya ia merantau, belum pernah ia memperoleh saweran barang perhiasan, sedang kumala ini berharga sedikitnya seratus tail perak.

   Tiba-tiba seorang muda tertawa dan berkata.

   "Nona ini royal sekali! Sampai barang pesalinnya pun dia dermakan!..."

   Nona kita memang sedang berduka, mendengar suara orang itu ia menjadi mendongkol.

   Ia memotes selembar daun yangliu, ia mementil itu.

   Ia belum meyakinkan ilmu itu dengan sempurna tetapi ketika daun itu menyamber lengan si anak muda, dia berkaok "Aduh!"

   Dan tangannya bertanda merah. Anak muda itu heran sekali, tidak tahu ia sebabnya itu, tapi lekas-lekas, ia angkat kaki pergi menyingkir. Si tukang sulap pegang tusuk konde, setelah mengawasi sekian lama, ia tertawa dan berkata.

   "Budakku ini tidak pantas memakai tusuk konde kumala ini. Usianya pun masih terlalu muda. Kalau tidak, cocok ini untuk dijadikan pesalinnya nanti. Nona, kau baik sekali, aku sangat berterima kasih kepadamu, hadiahmu ini tidak berani aku terima. Baiklah nona mengasi aku beberapa bun saja."

   Sembari tertawa, ia menyerahkan pulang tusuk konde itu.

   Sin Cu menyambuti kulit mukanya bersemu dadu.

   Ia lantas merogo semua uang tangkhie-nya, diletaki di dalam penampan.

   Atas itu para,penonton pada bersorak.

   Di samping tukang sulap ini ada seorang penjual mieshoa matang, ialah yang disebut mieshoa Inlam, dapurnya sedang marong apinya, si nona tukang sulap itu masuki pedangnya ke dalam api, setelah menjadi merah, ia serahkan itu pada ayahnya.

   Ayah itu menyambuti.

   pedang itu ia kibasi, hingga letikan apinya beterbangan, kemudian sambil tertawa, ia kata.

   "Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihat!"

   Ia masuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di batas gagang.

   Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan.

   Mendadak saja ia memuntahkannya atau pedang itu berloncat keluar.

   Dengan lantas ia masuki pedang itu ke dalam air di tahangnya si tukang mieshoa, lantas air itu mendidih dan berbunyi, suatu tanda pedang itu masih panas sekali.

   Asapnya pun mengepul naik.

   Semua penonton kagum hingga mereka menjublak, hingga tidak lagi mereka perhatikan si nona.

   "Ah, ilmu apakah itu?"

   Bertanya Sin Cu.

   "Ilmu sulap biasa, palsu,"

   Berbisik Siauw Houwcu di kuping orang.

   "Bagaimana bisa menjadi?"

   Si nona tanya pula. Siauw Houwcu menarik tangan si nona, untuk diajak pergi sedikit jauh.

   "Sulap ini sering aku saksikan di India,"

   Katanya.

   "Ilmu itu ilmu palsu tetapi benar untuk meyakinkan itu dibutuhkan waktu delapan sampai sepuluh tahun. Mereka dapat mempelajari segala macam senjata, asal turunnya di tenggorokan tidak bergoyang tidak nanti dia dapat melukakan orang."

   "Tetapi pedang itu telah dibakar hingga marong?"

   Si nona menanya.

   "Tukang sulap itu lebih dulu, telah menyimpan sarung pedang di dalam tenggorokannya itu,"

   Siauw Houwcu menerangkan pula.

   "pedang dikasi masuk ke dalam sarung itu maka ia tidak terbakar."

   Sin Cu mau percaya keterangan ini tetapi ia tetap heran.

   Ilmu sulap itu adanya di India, dari mana si tukang sulap pelaja-rinya? Mereka ini pun ada orang Ie sedang ketika itu perhubungan India-Tiongkok belum maju.

   Memang jarak propinsi Inlam dan India cuma terselang Birma tetapi orang yang mundar-mandir ada sangat jarang.

   Orang Ie itu, dalam hal kepindahan, ada terlebih kukuh daripada bangsa Tionghoa umumnya, apa mungkin dia melakukan perjalanan ribuan lie untuk mempelajari ilmu sulap itu? Meski ilmu menelan pedang itu tipu belaka tetapi gerak-gerik si orang Ie menandakan dia mengarti ilmu silat.

   Kalau dia mengandali main sulap saja, kenapa dia menampik tusuk konde? Selagi nona ini merasa aneh, si orang Ie sendiri merasa kecele.

   Ia sudah mengasikan pertunjukan menelan pedang panas itu, penonton yang berkerumun tidak menjadi bertambah dan uang saweran di dalam penampannya cuma seratus bun lebih serta beberapa potong perak hancur.

   "Apakah kau baru pernah datang ke kota Kunbeng ini?"

   Menanya seorang penonton.

   "Kenapa kau tidak ketahui hari ini ada hari rampungnya berhala Senghong bio? Semua penduduk Kunbeng pergi melihat keramaian. Baik kau pun pergi ke sana untuk membuka pertunjukanmu."

   Sin Cu heran mendengar perkataan itu.

   Senghong bio berarti kuil dari si malaikat kota.

   Malaikat kota bukan malaikat yang terlalu agung.

   Kenapa seluruh penduduk kuil memerlukan sangat malaikat itu? Mungkinkah Senghong di Kunbeng beda dari Senghong lainnya? Hampir itu waktu terdengar ramai suara gembreng dan tambur tercampur terompet, begitu juga berisiknya suara banyak orang.

   "Nah, Senghong merondai kota, mari kita lihat!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berseru satu orang. Itu artinya arak-arakan toapekong atau malaikat. Kali ini si tukang sulap lantas saja bebenah dan berlalu dari situ.

   "Encie, mari kita pun melihat!"

   Siauw Houwcu mengajak.

   "Seng Hong di kolong langit ini semuanya sama, tidak lebih dari- Ayah itu menyambuti, pedang itu ia kebasi, hingga letikan apinya beterbangan, kemudian sambil tertawa, ia berkata.

   "Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihatlah!"

   Ia memasuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di batas gagang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan. pada sepotong boneka kayu, ada apakah yang bagus dilihat?"

   Sahut Sin Cu tertawa.

   "Apakah di kampungmu belum pernah kau menyaksikan arak-arakan toapekong?"

   "Kita bukan melihat toapekong, kita melihat keramaian saja,"

   Siauw Houwcu mengasi penjelasan.

   "Dasar bocah gemar ramai-ramai!"

   Tertawa pula si nona.

   Sebenarnya Sin Cu pun ingin melihat, ia hanya ragu-ragu, karena ini, ia bersama Siauw Houwcu berlalu paling belakang dari taman itu.

   Kesudahannya ia mesti mendesak-desak di antara orang banyak yang berjubalan.

   Kapan akhirnya Nona Ie mendapat lihat wajah Senghong atau malaikat kota itu, hampir ia menjerit bahna herannya.

   Ia tampak suatu wajah bundar bagaikan rembulan penuh, jubahnya tersulam, tangannya memegang hut atau tanda kepangkatan.

   Kedua mata bagaikan matanya orang hidup.

   Itulah suatu roman halus tetapi agung.

   Dan itulah wajah dari ayahnya, almarhum Ie Kiam! (Menurut keterangan, Senghong bio di Kunbeng Kunming memang besar dan agung hanya sekarang digunakan untuk lain keperluan, dan Senghong atau malaikatnya memang dituliskan namanya Ie Kiam.) "Encie, apakah kau kurang sehat?"

   Tanya Siauw Houwcu heran.

   "Tidak,"

   Menyahut si nona.

   "Nah, kenapa kau menangis?"

   Sin Cu lekas me-nyusuti air matanya.

   "Aku biasa mengeluarkan air mata kalau terlalu girang,"

   Ia menjawab pula. Bocah itu lantas tertawa lebar.

   "Nah, kau suka katai aku, kau sendiri sebenarnya lebih suka menonton!"

   Katanya. Kali ini bocah ini tidak mendapat jawaban, ia mendapatkan si nona masih terbengong mengawasi toapekong yang tengah diarak itu. *** "Siapakah Senghong Looya itu?"

   Akhirnya Sin Cu tanya seorang di sampingnya.

   "Senghong ialah Senghong yaitu malaikat,"

   Menyahut orang itu.

   "Nona, pertanyaanmu aneh!"

   Sin Cu melengak.

   "Toh malaikat ini ayahku!"

   Pikirnya.

   "Mungkinkah orang tak leluasa menjelaskannya?"

   Maka ia tanya lainnya hal.

   "Siapakah yang membangun Senghong bio?"

   "Yang menderma kebanyakan orang hartawan dan saudagar besar,"

   Sahut orang itu.

   "Siapa mereka itu, tidak jelas bagiku. Ada apa kau menanyakan ini?"

   Kembali Sin Cu mendapatkan pertanyaan yang tak dapat ia jawab. Tapi ia tetap heran.

   "Siapakah yang mengukir patung Senghong itu?"

   Tanyanya pula.

   "Kau baik menanya pada kepala tukang kayu dan tukang batu tak sempat aku mela-yanimu!"

   Kata orang itu, yang lantas ngeloyor pergi. Toapekong pun sudah lantas diarak lewat.

   "Encie, apakah kau sakit kepala?"

   Tanya Siauw Houwcu, seraya ia terus raba dahi orang. Tapi ia merasakan dahi yang dingin. Sin Cu singkirkan tangan orang.

   "Jangan ngaco!"

   Katanya.

   "Kau yang ngaco!"

   Kata Siauw Houwcu dalam hatinya.

   "Kau tanya orang yang tidak-tidak..."

   Tapi ia masgul melihat sikap luar biasa dari kawannya ini.

   Sebenarnya kacau pikirannya Sin Cu.

   Ayahnya toh dipandang sebagai pengkhianat.

   Ayah itu dihukum mati dan harta bendanya disita.

   Dunia boleh penasaran tapi kaisar berkuasa, orang bisa bilang apa? Maka tidak disangka sekali, di Kunbeng ini orang justeru memuja Ie Kiam dan dihormat sebagai malaikat kota, patungnya dibikin begitu mirip dan hidup, kuilnya dibangun secara besar.

   "Kota Kunbeng ini berada jauh di Selatan tetapi masih tetap dikuasai pemerintah kalau pemerintah ketahui ini, bukankah pembikin patung ini dan pendiri kuilnya bisa ditangkap dan disita rumah tangganya? Siapa itu orang yang nyalinya begini besar?"

   Sin Cu tanya dirinya sendiri. Ia tidak ingat kalau-kalau ayahnya ada punya sahabat di sini. Pikirnya pula.

   "Aku tidak sangka ayah dapat menjadi Senghong di kota ini..."

   Tanpa merasa nona Ie bertindak mengikuti arak-arakan itu terus sampai di kuilnya, yang besar berlipat kali daripada yang biasa terdapat di lain-lain kota.

   Undakan ruang depan pun ada tiga, setelah itu baru sampai di toatian yaitu pendopo besar tempat bersemayamnya malaikat kota itu.

   Di sini segala apa ada mentereng, tangganya pun terbikin dari batu marmer, mulai dari bawah payon ada belasan undak.

   Dari dalam pendopo, asap mengulak naik.

   Di situ telah berjubal banyak orang.

   "Lihat, Siauwkongtia datang!"

   Seru banyak orang begitu lekas terdengarnya suara tetabuan patim.

   "Siapa itu siauwkongtia?"

   Tanya Sin Cu kepada seorang tua di dekatnya. Orang tua itu tertawa.

   "Di dalam kota Kunbeng ini memangnya ada berapa kokkong?"

   Dia menyahuti.

   "Siauwkongtia itu berarti "paduka hertog yang muda"

   Dan "

   Kokkong"

   Ialah hertog. Mendapat jawaban itu, Sin Cu terkejut.

   "Itukah Bhok Kokkong?"

   Dia tanya pula. Orang tua itu mengangguk.

   "Tidak salah,"

   Sahutnya.

   "Senghong bio ini ialah Bhok Siauwkongtia yang memperbarui."

   Di muka tangga batu segera terlihat dihentikan dan diturunkannya sebuah joli besar warna biru, dari dalam joli muncul satu anak muda yang romannya seperti pemuda bangsawan, bibirnya merah, giginya putih, usianya baru tujuh atau delapan belas tahun, wajahnya masih wajah kekanakkanakan.

   Setibanya pemuda ini, siraplah pendopo yang tadi ramai itu.

   Pengacara pun lantas berseru.

   "Bunyikan genta dan tambur! Silahkan Malaikat yang agung naik atas kedudukannya!"

   Kiranya pangeran yang muda ini akan mengepalai upacara selesainya pembangunan kuil dan menyambutnya malaikat ke gedungnya yang baru rampung itu.

   Sin Cu heran hingga ia merasai ia tengah bermimpi.

   Keluarga Bhok ini turun menurun menjadi hertog Kimkokkong dengan kedudukannya di propinsi Inlam ini.

   Di antara banyak panglimanya Kaisar Cu Goan Ciang dari ahala Beng, leluhurnya siauwkongtia ini, yaitu Bhok Eng, adalah yang paling berbahagia karena dia sekalian menjadi anak angkat dari kaisar itu.

   Setelah berhasil menumpas apa yang disebut "Pemberontakan Liang Ong,"

   Dia dikur-niakan gelaran raja muda Kimiengong.

   Habis dia, semua turunannya dijadikan hertog KimKokkong.

   Di a n t a ra putera atau cucu keluarga besar itu, ada beberapa yang menjadi huma yaitu menantu raja.

   Hingga di dalam kalangan menteri-menteri, tidak ada keluarga lainnya yang dapat mengimbangi kebesarannya.

   Sin Cu mempunyai ayah suatu menteri, sendirinya ia mengarti hikayat pemerintahnya pemerintah Beng.

   Cu Goan Ciang itu tidak mengenal budi, setelah menjadi raja, dia suka membunuh menteri-menterinya yang berjasa, dia kejam tak kalah daripada Han Khotouw Lauw Pang, pendiri dari ahala Han.

   Ada di antara menteri berjasa yang melebihkan Bhok Eng, umpama Cie Tat, Siang Gie Cun dan Na Giok, tapi mereka sendiri atau anak cucunya, tidak langgeng kedudukannya.

   Na Giok didakwa berontak, dia dihukum mati sampai kepada tiga tingkat keluarganya.

   Putera Siang Gie Cun terembet perkara Na Giok itu, dia dikurniakan kematian.

   Cie Tat ada menteri berjasa nomor satu, dia diangkat jadi raja muda Tiongsan Ong, dia punya mempunyai surat bukti bebas dari hukuman mati, toh kemudian ketika pangeran Yan Ong sebagai paman merampas kedudukan keponakannya (kaisar Beng Seng Couw) puteranya, yaitu Cie Hui Couw, tak luput dari pemecatan pangkat dan kehormatan dan mesti mati mereras di dalam penjara.

   Cuma Keluarga Bhok ini, dengan kedudukannya di Inlam ini, paling beruntung.

   "Kenapa siauwkongtia ini berani membangun Senghong bio ini?"

   Sin Cu heran.

   "Apakah dia tidak takut pemerintah mengetahuinya dan nanti mendapat susah karenanya? Ini toh ayahku yang dipuja, meskipun disebutnya malaikat kota? Bukankah pembangunan ini dan upacaranya ada mentereng luar biasa? Di samping itu, herannya, belum pernah aku mendengar ada hubungan apa-apa di antara ayahku dengan keluarga besar ini..."

   Siauwkongtia sudah lantas mengunjuki kehormatannya.

   Ia memasang tiga batang hio.

   Perbuatannya ini diturut oleh banyak orang.

   Kecuali si pangeran muda sendiri, di situ tidak ada pembesar lainnya.

   Sin Cu turut memberi hormatnya.

   Dari tangan biokong, pengurus bio, ia minta tiga batang hio.

   Lantas ia menekuk lutut, air matanya pun mengem-beng.

   Sembari tunduk ia kata dalam hatinya.

   "Ayah, ayah dipuja sebagai malaikat, dihormati rakyat jelata, ayah mati bagaikan hidup!"

   Siauwkongtia lihat orang demikian ber-sungguh hati bersujut, dia heran. Dia memanggil, terus dia tanya.

   "Kau ada punya kesukaran apa maka kau menyampaikannya itu kepada Senghong?"

   "Tidak apa-apa,"

   Menyahut Sin Cu seraya menepas air matanya.

   "Aku lihat kamu sangat menghormati Senghong, hatiku jadi tergerak sekali dan terharu, hingga tidak dapat aku menahan keluarnya air mataku."

   Siauwkongtia masih heran, ia sebenarnya hendak menanya pula ketika dari luar terdengar suara gembreng pembuka jalan, lantas datang pemberitahuan.

   "Ong Huciangkun tiba!"

   "Mau apa dia datang kemari?"

   Kata siauwkongtia, yang keningnya mengkerut.

   Ia berjalan keluar, untuk menyambut.

   Sin Cu menggunai ketika ini untuk mengundurkan diri.

   Ketika ia menoleh ke pojok, ia dapatkan si tukang sulap dan gadisnya lagi melirik ke arahnya, rupanya orang mengawasi ia secara diam-diam.

   Ia terkejut, ia lantas ingat suatu apa.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia berkata dalam hatinya.

   "Setibanya Hek Pek Moko, aku mesti lantas berlalu dari sini."

   Ia menduga orang mencurigai ia tetapi ia merasa berat untuk lantas meninggalkan patung ayahnya itu... Suara gembreng sudah lantas berhenti, satu pembesar kelihatan agung bertindak masuk.

   "Ong Ciangkun juga datang untuk pasang hio?"

   Siauwkongtia menyambut.

   "Siauwkongtia, bagus betul usaha kesujutanmu ini,"

   Menyahuit si panglima. Ia lantas memandangi patung. Kemudian ia tertawa dan berkata pula.

   "Pandai benar orang melukis, seperti orang hidup saja! Hanya kenapa wajah Senghong ini beda dari Senghong yang pernah aku lihat di lain-lain kota?"

   "Sesuatu tempat ada malaikat kotanya masing-masing,"

   Siauwkongtia menjawab.

   "ini tidak aneh, bukan?"

   Huciang itu tertawa lebar.

   "Perkataan kau ini, siauwkongtia, membuka kecupatan pandanganku!"

   Katanya.

   "Kiranya malaikat kota itu beda satu dari lain karena perbedaan kotanya... Haha! Pembangunan kuil ini serta pembuatan patungnya adakah atas kehendaknya Bhok Kongya atau siauwkongtia sendiri?"

   "inilah kehendakku sendiri,"

   Menyahut pangeran muda itu.

   "Adakah sesuatu yang tidak dapat?"

   "Bagus! Bagus!"

   Berkata Ong Huciang tertawa menyeringai.

   "Di dalam wilayah bangsa Ie memang tidak ada halangannya mengadakan pengajaran dengan perantaraan malaikat. Nabi sendiri pernah membilangnya begitu."

   Semua orang di ruang itu mendongkol mendengar opsir ini menyebutkan propinsi Inlam sebagai tanah suku bangsa Ie, semuanya mengawasi dengan sinar mata kebencian.

   Rupanya si ciangkun dapat lihat sikap orang itu, lekas-lekas dia tertawa dan menambahkannya.."Maksudku, ya...

   ialah, perbuatan siauwkongtia ini tepat dengan caranya seorang nabi!"

   "Ah, benarkah itu?"

   Siauwkongtia tertawa.

   "Bagus, bagus! Kalau begitu kau pun harus memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk tiga kali!"

   Perwira ini bernama Ong Tin Lam, pangkatnya yaitu Pengiam Huciangkun, tetapi di mana kekuasaan di Inlam berada di dalam tangannya Bhok Kongya , ia berada sebagai sebawahan saja dari hertog itu, ia sama sekali tidak punya kekuasaan, maka itu meskipun ia tidak puas dengan perkataan si pangeran muda, ia toh terpaksa menurut menjalankan kehormatan.

   Ia bertekuk lutut, ia manggut tiga kali, ketika ia berbangkit, ia likat sekali.

   Sin Cu tertawa di dalam hatinya.

   "Ciangkun ini tentulahh pernah lihat ayahku,"

   Pikirnya.

   "Ah, hebat permainan dari siauwkongtia ini, satu perwira tinggi diperintah memberi hormat kepada satu pemberontak!..."

   Ong Huciang itu bicara agi sedikit dengan siauwkongtia, terus dia berpamitan.

   Siauwkongtia membiarkan orang pergi, ia lebih memerlukan melihat kelilingan akan mencari Sin Cu.

   Justeru itu di luar sirap suara berisik dari banyak orang, lalu terlihat orang banyak membuka jalan, akan mengasi lewat pada seorang nona yang diiring dua budak wanita.

   Bhok Lin, ialah siauwkongtia, sudah lantas maju menyambut.

   "

   Encie pun datang!"

   Katanya. Nona itu mengangguk. Ia adalah Bhok Yan puterinya Kimkokkong Bhok Cong. Ia mempunyai alis yang panjang, romannya cantik, potongan tubuhnya halus, sikapnya pun agung. Lebih dahulu ia memberi hormat kepada Senghong.

   "Adik, mari ikut aku pulang,"

   Ia berkata kemudian.

   "Ayah mencari kau."

   "Ada apa, encie?"

   Tanya pangeran itu terperanjat. Agaknya tidak leluasa nona itu menyahuti, tapi ia bersenyum.

   "Segala apa ada aku, kau pulanglah,"

   Ia berkata.

   Ia pun menarik tangan orang untuk diajak berlalu.

   Sin Cu mencuri mengawasi.

   Ia lihat alis nona itu menunjuki hati pepat.

   Seberlalunya nona dan pangeran muda itu, pendopo kembali jadi ramai oleh orang banyak, yang pada menghunjuk hormatnya.

   Sin Cu ajak Siauw Houwcu mengundurkan diri.

   Ia lihat si tukang sulap dan gadisnya, mereka itu rupanya tidak dapat melihat padanya.

   "Dari kata-kata dan sikapnya si nona, rupanya Bhok Kokkong tidak ketahui urusan pembaruan kuil dan pembikinan patung Senghong ini,"

   Ia berpikir.

   "Anehlah si pangeran muda, ia ada muda belia, ia pun pasti belum melihat rupa ayahku, kenapa ia dapat membuatnya patung ayah begini bagus?"

   "Encie benarkah kau tidak sakit?"

   Siauw Houwcu tanya. Ia heran akan roman tak wajar dari Nona Ie, yang sejak tadi menarik perhatiannya.

   "Eh apakah kau menyumpahi aku?"

   Si nona balik menanya.

   "Aku lihat kau tidak wajar, encie,"

   Berkata bocah itu.

   "Tidak keruan-ruan mengapa tadi kau menangis?"

   "Kau lihat bukankah orang banyak itu sangat menghormati Senghong?"

   Kata si nona.

   "Sikap mereka itu membuatnya aku terharu. Aku sangat menghargai kesujutan mereka."

   Ia lalu tertawa.

   "Tidak, encie, kau tentu ada memikirkan sesuatu,"

   Membandal si bocah. Kau cuma tidak sudi memberitahukan itu kepadaku..."

   Sin Cu mengkerut-kan keningnya.

   "Sudahlah, jangan ngaco belo di sini!"

   Membentak si nona.

   "Anak kecil mana tahu urusan orang tua? Mari lekas pulang untuk bersantap tengah hari!"

   "Tidak, aku tidak mau pulang dulu! Kau telah menjanjikan aku pesiar ke See San. Sepatah katanya satu kuncu..."

   Mau tak mau, Sin Cu tertawa. Ia menambahkan.

   "...bagaikan kuda dicambuk satu kali!"

   "Bagus! Itulah baru tepat! Nah, lekas ajak aku ke See San!"

   "Apakah kau tidak lapar?"

   "Aku ada membekal uang beberapa puluh bun tangkhie!"

   "Kenapa tadi kau tidak menyawer kepada si tukang sulap?"

   "Sengaja aku tinggalkan untuk kau nanti bersantap tengah hari!"

   Si bocah tertawa.

   "Dengan melihat romanmu tadi, encie, aku tahu kau lupa membawa uang..."

   Sin Cu melengak untuk kecerdikannya bocah ini.

   Justeru itu tangannya disamber, untuk ditarik.

   Sembari berbuat begitu, bocah itu tertawa lucu.

   Ia mengajak orang untuk dahar mieshoa, hingga uang mereka tinggal dua bun! Sekeluarnya dari kota, hari sudah lewat tengah hari.

   Dengan tidak adanya mega, langit menjadi cerah.

   Terbuka hatinya Sin Cu, apapula setelah ia menyaksikan keindahan See San, Gunung Barat.

   Mengagumi untuk men-daki bukit, akan memandangi apa yang disebut "pintu naga,"

   Ialah semacam puncak yang menonjol, yang tingginya ribuan tombak, hingga kuil di atas itu mirip tergantung di udara.

   Di bawah itu ada telaga Thian Tie yang kesohor, yang luas.

   Siapa mendaki tangga, bajunya berkibar-kibar tertiup angin, orang mirip menaiki tempat dewa-dewi, Sin Cu kagum hingga ia terbengong...

   Lorong dari pintu naga itu adalah batu gunung yang dibobok dan berliku-liku, hingga ada bagian yang muat hanya satu orang.

   "Tempat ini tepat untuk main petak!"

   Kata Siauw Houwcu tertawa.

   "Aku ajak kau ke gunung ini, lantas kau ingat main petak!"

   Berkata Sin Cu, yang pun tertawa.

   "Kau mensia-siakan pemandangan alam yang indah di sini!"

   Di atas "pintu naga" (jiongburi) ada kedapatan ukiran ikan leehie yang luar biasa, yang seperti dari udara berlompat terbang.

   Ikan itu bahagian bawahnya mirip ikan, bahagian atasnya seperti naga.

   Jadi inilah yang di dalam dongeng disebut "kan leehie melompati pintu naga."

   Katanya.

   "sebab pintu naga terlalu tinggi, apabila ikan leehie dari telaga Thiantie dapat meloncatinya, ikan itu dapat terus berubah menjadi naga untuk naik ke langit."

   "Aku lihat, walaupun orang paling liehay ringan tubuhnya, tidak nanti dia dapat melompati pintu naga ini!"

   Berkata Siauw Houwcu.

   Sin Cu bersenyum.

   Di lain pihak, ia kagumi bocah ini, yang tak pernah melupai ilmu silat.

   Pantas Hek Pek Moko membilangnya dia sangat berbakat.

   Di atas iiongbun itu juga ada ukiran malaikat Kwee Seng dalam rupa patung batu, kecuali pit di tangannya yang terbuat dari kayu.

   Di situ ada tulisan singkat mengenai sebuah dongeng.

   Ialah katanya seorang pemuda kehilangan kekasihnya, dia mendaki See San dan mengukir patung itu.

   Sayang di situ dia tidak dapatkan batu yang cocok untuk membuat pit (alat tulis), hingga patungnya itu tidak lengkap.

   Habis itu ia terjun ke telaga Thiantie, hingga ia berkurban diri.

   Sin Cu ketarik, ia kagumi pemuda yang berkurban itu.

   Hanya, pikirnya kemudian, di dalam dunia tidak ada semacam pemuda...

   Memikir begini, mendadak bayangan Tiat Keng Sim berpeta di hadapan matanya.

   Ia lantas tunduk, akan mengawasi telaga Thiantie itu (yang pun disebut Kunbeng ouw, telaga Kunbeng).

   Ia melihat banyak kapu-kapu, yang tertiup sang angin, sedang lembaran-lembaran bunga di muka air pun beterbangan buyar...

   Semua itu membuat si nona menjadi berduka sendirinya.

   "Dengar! Di bawah seperti ada orang berbicara!"

   Siauw Houwcu tiba-tiba berkata, suaranya pelahan.

   Selama mengikuti In Lui meyakinkan senjata rahasia kimhoa atau bunga emas, Sin Cu berbareng diajari latihan kuping untuk pendengarannya jadi terang dan mengarti suara.

   Itulah ilmu "mendekam di tanah mendengari suara."

   Maka ia sudah lantas menempelkan kupingnya di batu gunung.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sudah dibilang, lorong Liongbun berliku-liku, maka sejarak beberapa tindak saja, orang tidak dapat melihat satu pada lain.

   Tapi suara yang didengar si bocah dapat terdengar nyata oleh si nona.

   Terdengarlah seorang, yang suaranya dalam.

   "Ong Ciangkun memesan wanti-wanti, surat ini sangat penting, maka kau mesti dapat menyampaikan ke kota raja!"

   Seorang lain menyahuti, menanyakan kepada siapa surat itu dialamatkan.

   "Kau mesti serahkan kepada Tayiwee Congkoan Yang Cong Hay,"

   Menerangkan suara yang pertama.

   "Kalau Yang Cong Hay tidak ada, kau sampaikan kepada Gielimkun Congciehui Law Tong Sun. Umpama kata dua-dua tidak ada, kau serahkan saja kepada Ong Kongkong di dalam istana."

   Orang yang kedua menyahuti.

   "Aku mengarti."

   Hanya selang sejenak, ia menanya pula.

   "Seandai kata di tengah jalan aku bertemu orangnya Bhok Kong tia?"

   "Jikalau kau dapat melawan, lawanlah, kalau tidak, lantas lari. Umpama kau mati jalan, kau telan saja suratnya. Tegasnya, surat ini tidak boleh terjatuh dalam tangan lain orang siapa juga!"

   "Aha, inilah tugas menjual jiwa!"

   Seru orang yang kedua itu.

   "Kalau begitu, tidak dapat tidak, aku mesti pulang dulu, untuk pamitan dari isteriku..."

   "Thio Lootoa, kenapa kau begini takut mati?"

   Tanya orang yang suaranya dalam itu.

   "Kau mesti berangkat malam ini juga, tentang enso, aku yang nanti urus, kau jangan buat kuatir."

   Sampai di situ, berhenti sudah pembicaraan itu, yang lalu disusul sama suara tindakan kaki mereka. Hati Sin Cu bercekat.

   "Ong Ciangkun itu tentulah perwira tadi di Senghong bio,"

   Ia berpikir.

   "Hebat, dalam waktu sebentar saja, dia sudah menulis surat rahasianya ini! Pastilah bunyinya surat tak baik bunyinya untuk Bhok Kongtia."

   Ia lantas tarik tangannya Siauw Houwcu.

   "Kita sudah pesiar cukup, sudah waktunya kita pulang!"

   Si bocah menurut.

   Ketika tiba di lorong, mereka bertemu dua orang ialah dua orang yang tadi berbicara.

   Kedua orang itu terkejut mendengar ada suara orang lain, akan tetapi setelah melihat hanya satu nona dan satu bocah hati mereka lega.

   Di lain pihak, Thio Lootoa sudah lantas maju ke lorong yang sempit.

   "Hihi-hihi!"

   Dia tertawa.

   "Nona, jalanan ini sukar dan berbahaya, maukah aku tuntun padamu?"

   "Minggir!"

   Membentak Siauw Houwcu sambil ia berlompat maju.

   Ia bertindak tanpa menanti encie-nya menjawab orang ceriwis itu.

   Ia membentur dengan pundaknya, tangan kirinya turut bergerak, karena ia berniat menggunakan pukulan Naga.

   Berbareng dengan itu, Sin Cu menarik kawannya itu.

   Dibentur Siauw Houwcu, Thio Lootoa miringkan tubuh, lantas dia hendak menangkap bocah itu dengan niat dibanting.

   Justeru itu, hidungnya dapat mencium bau harum, sebab Sin Cu dan Siauw Houwcu segera lewati dia.

   Hendak dia menjambret tetapi sudah tidak keburu.

   Sahabatnya pun menarik padanya.

   "Thio Lootoa, jangan main-main!"

   Ia mengasih nasihat. Orang ceriwis ini kecele, dia jadi meggerutu.

   "Hm kerbau cilik! Coba hari ini aku tidak punya pekerjaan penting, tentu aku sudah hajar padamu!"

   Siauw Houwcu menoleh, ia menjawab.

   "Bagus! Tuan kecilmu memang hendak berkelahi!"

   Sin Cu tarik kawan itu, sembari tertawa, ia kata kepada dua orang itu.

   "Adikku ini sedikit aseran, aku minta paduka berdua tidak buat kecil hati."

   Senang si ceriwis mendengar suara orang yang halus dan manis.

   "Oh, nona kecil, kau baik sekali"

   Katanya tertawa.

   "Apakah namamu, nona?"

   Sin Cu berpura-pura tidak mendengar, selagi orang berkata-kata, ia tarik tangannya Siauw Houwcu untuk diajak keluar dari lorong. Bocah itu tidak puas.

   "Makhluk itu kurang ajar, dia menghina kau, kenapa kau mencegah aku menghajarnya?"

   Ia tanya.

   "Kalau dia hendak dihajar, apa kau kira aku tidak bisa menghajarnya?"

   Si nona menyahuti.

   "Lekas!"

   Siauw Houwcu tidak berani membangkang, walaupun hatinya masih panas, ia jalan dengan cepat, terus lari. Dua orang itu tapinya mengejar. Belum lagi Sin Tu berdua tiba di ranggon Samceng Kok, napas mereka itu sudah memburu, tetapi mereka memaki.

   "Dua bangsat cilik, berhenti!"

   Nyatalah tadi selagi melewati Thio Lootoa, Sin Cu sudah keluarkan kepandaiannya memindah isi saku orang, ia telah samber suratnya Ong Ciangkun , karena mana ia lantas lari.

   Kepandaian itu ia peroleh dari Thio Tan Hong, siapa ketika dulu hari pertama kali bertemu sama In Lui, telah curi bersih uang orang.

   Sebenarnya Tan Hong tidak niat menurunkan kepandaian itu tetapi Sin Cu meminta dengan mendesak sebab nona ini ketarik mendengar suhu itu menggoda subonya.

   Thio Lootoa sadar dengan cepat.

   Katanya.

   "Kenapa satu bocah bisa membentur pundakku hingga aku merasa sakit?"

   Kemudian ia merabah ke sakunya, ia jadi kaget bukan main.

   Surat itu lenyap tidak keruan paran.

   Ia jadi menyangka si nona, maka itu ia ajak kawannya mengejar.

   Sin Cu berdua Siauw Houwcu tidak ambil jalan langsung, mereka mengitarkan Samceng Kok, lalu terus lari mendaki bukit.

   Melihat larinya mereka itu Thio Lootoa tawar hatinya.

   Ia mengarti orang melebihi ia dalam hal ilmu lari cepat.

   Thio Lootoa ini sebenarnya adalah seorang siewie, pengawal kaisar, namanya Tay Hong.

   Dia ditugaskan di Kunbeng, untuk mengawasi sepak terjang Bhok Kokkong.

   Supaya orang tidak mencurigai, dia datang dengan menyamar sebagai rakyat jelata dengan mengajak juga anak isterinya.

   Kawannya itu bernama Ong Kim Piauw, orang kepercayaan Cengiam Hu-ciangkun Ong Tin Lam.

   Dia pun seorang siewie dan ikut Ong Tin Lam untuk juga menilik Bhok Kokkong.

   Bhok Kokkong ada menteri setia turun temurun, kaisar mempercayainya, tetapi adalah aturan pemerintah yang telah berjalan lama, kaisar mesti mengirim orang untuk mengawasi semua menteri yang ditugaskan di pelbagai propinsi, maka propinsi Inlam tidak menjadi kecuali.

   Sudah sepuluh tahun lebih Ong Huciang tinggal di Kunbeng, belum pernah ia mendapatkan apa-apa yang mencurigai pada pihak Bhok Kokkong.

   Sampai timbullah urusan Ie Kiam dijadikan Senghong atau malaikat kota oleh siauwkongtia.

   Dua-dua Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw memang tidak puas dengan kedudukannya, keamanan kota Kunbeng membikin mereka tidak dapat ketika untuk berbuat jasa, guna mendapat kenaikan pangkat, kebetulan ada perbuatannya siauwkongtia ini, lantas mereka ambil ini sebagai alasan.

   Mereka berdamai sama Ong Huciang, lantas perwira itu menulis laporan rahasianya, Ong Kim Piauw dititahkan menyampaikannya kepada Thio Tay Hong untuk dibawa ke kota raja, apa mau mereka bertemu Ie Sin Cu dan suratnya lenyap.

   Mereka penasaran maka itu mereka mengejar terus.

   Sin Cu pandai lari, ia tidak menjadi soal.

   Tidak demikian dengan Siauw Houwcu.

   Bocah ini pandai silat tetapi dalam hal ringan tubuh, ia kurang latihan.

   Tidak lama, larinya mulai kendor, hingga Sin Cu terpaksa lari pelahan menantikan dia.

   Thio Tay Hong mengejar hingga lagi kira tiga tombak, ia lantas menimpuk Siauw Houwcu dengan dua biji kongpiauw.

   Dalam hal menggunai kongpiauw, ia mempunyai latihan belasan tahun.

   Tapi kuping si bocah terang, dia dapat mendengar suara samberan angin, lantas dia men-dak dan lompat masuk ke dalam rujuk.

   Dengan bersuara nyaring, kedua kongpiauw menghajar batu.

   "Tidak kena!"

   Mengejek si bocah sambil ia keluar dari tempatnya berkelit. Ia pun mengejek dengan buat main jeriji tangannya di mukanya. Tapi karena ini, ia telah kena susul hingga tinggal satu tombak.

   "Kau masih berniat lari, bangsat kecil?"

   Berseru siewie itu seraya dia lantas berlompat menubruk dalam gerakan "Ngo Kim Na"

   Atau "Tangan Menangkap Lima"

   Dari kaum Keluarga Gak di Hoopak.

   Ketika itu Sin Cu terpisah kira sepuluh tombak dari Siauw Houwcu, sulit untuk ia menolongi.

   Sedang Tay Hong pernah dengan tangannya itu melukai tak sedikit orang.

   Siauw Houwcu tidak takut melihat ancaman bahaya itu, bahkan dia tertawa haha-hihi dan berkata.

   "Kau menggerembengi tuan kecilmu meminta-minta, tidak bisa lain, terpaksa tuan kecilmu menderma kepadamu semua sisa uang beberapa khie lagi!"

   Kata-kata itu disusuli suara menggen-tring, lalu tiga biji tangkhie melesat ke arah Tay Hong.

   Bocah ini menggunai itu sebagai senjata rahasia kimkhie piauw, untuk menyerang ketiga jalan darah thayyang hiat di kepala, soankie hiat di dada dan yongcoan hiat di kaki.

   Thio Tay Hong tengah berlompat, ia terkejut.

   Dengan kedua tangannya ia dapat menyambar dua biji piauw, yang satunya lagi tidak keburu, maka tepat kakinya kena terhajar, terus dia roboh terbanting, saking sakitnya, dia mengeluarkan air mata.

   "Haha!"

   Tertawa Siauw Houwcu.

   "Aku tidak niat membunuh padamu, perlu apa kau menangis? Tubuhmu tinggi seperti kerbau dan besar seperti kuda, kau meluberkan air mata, apakah kau tidak malu?"

   Siapa kena dilukai jalan darahnya yong-coan hiat, dia mesti mengeluarkan air mata.

   Siauw Houwcu mengetahui itu tetapi sengaja ia mengejek.

   Ketika itu Ong Kim Piauw telah dapat menyandak, ia melihat semua, maka ia menjadi mendongkol sekali.

   Sambil berlompat, untuk menerjang, dia berseru.

   "Bocah yang baik, mari!"

   Ia menggunai sebatang poankoan pit, ialah senjata semacam alat tulis untuk menotok jalan darah. Ia pun pandai menyambuti senjata rahasia.

   "Celaka!"

   Mengeluh Siauw Houwcu.

   "Uangku sudah habis, kenapa kau mengemis padaku? Encie, kau tolongi aku mengusir dia!"

   Ia bebas dari totokan pertama, ia lantas diserang berulangulang, hingga ia menjadi terancam bahaya.

   "Baik, aku nanti menderma emas kepadanya!"

   Terdengar suaranya Sin Cu, yang habis berkata begitu terus tertawa. Ong Kim Piauw lantas saja terkejut. Di depan matanya berkelebat sinar kuning emas. Segera ia menangkis pergi pulang dergan senjatanya, maka dua kali terdengar suara "traang."

   Ia berhasil membuat terbang dua biji bunga emas.

   Ia hendak membuka mulutnya, akan menegur penyerangnya, ketika bunga emas itu berbalik menyambar pula, hingga ia menjadi gugup hendak ia menangkis pula, sudah kasep.

   Duadua bunga emas itu mengenai sasarannya, ia lantas roboh terguling dengan pingsan.

   Siauw Houwcu tertawa.

   "Dia mana sanggup menerima amal emasmu, encie."

   Katanya Jenaka.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Walaupun baru lolos dari bahaya, bocah ini sudah bergurau pula.

   Ia pungut kedua bunga emas, sembari melewati Thio Tay Hong, ia dupak jalan darah joanma hiat dari siewie itu, habis mana bersama kawannya itu ia nge-loyor pergi.

   Sin Cu cuma bersenyum saja.

   Nona Ie gembira sekali.

   Ia berhasil meniru cara menimpuk dari Ismet, yang pandai menggunakan senjata rahasia yang merupakan bola emas.

   Habis itu mereka pulang ke rumah penginapan.

   Segera Sin Cu mengunci pintu kamarnya, untuk terus merobek surat rampasannya.

   Membaca laporan rahasia itu, ia berduka.

   Di situ dibeber perbuatan siauwkongtia mengangkat Ie Kiam menjadi malaikat kota.

   Pada itu ditambahkan usul supaya siauwkongtia dipanggil ke kota raja, untuk dipecat menjadi rakyat biasa, supaya dia diganti oleh lain putera atau keponakan Bhok Kokkong .

   Tentang Bhok Kokkong sendiri diusulkan mencabut segala kekuasaannya.

   Bagus kesannya Sin Cu terhadap Bhok Lin, yang menghormati ayahnya, maka itu, ingin ia menolongi pangeran muda itu.

   Dengan cara bagaimana? Inilah yang menyulitkan ia.

   Hek Pek Moko belum tiba ia tidak dapat kawan untuk diajak berdamai.

   Saking masgul, habis bersantap ia terus merebahkan diri.

   Ia sampai tidak mempedulikan ketika Siauw Houwcu mengi-jang mengajaki ia pergi menonton keramaian tengloleng.

   Malam itu selagi Ie Sin Cu belum tidur, pemilik hotel datang padanya, mengasi tahu di luar ada orang mencari si nona.

   "Orang macam apa dia itu?"

   Tanya Sin Cu.

   "Seorang muda yang romannya tampan,"

   Sahut pemilik hotel. Nona Ie heran. Ia mulanya menyangka Hek Pek Moko. Kalau Toan Teng Khong, tidak nanti dia datang sendirian.

   "Kenapa di sini ada orang mengenal aku?"

   Pikirnya setelah berdiam sejenak.

   "Orang muda itu kelihatannya sebagai orang baik-baik. Apakah nona ingin menemui dia?"

   Pemilik hotel menanya.

   Di Inlam, pergaulan wanita dengan pria tak terlalu keras, tetapi seorang pria mengunjungi seorang wanita di hotel di waktu malam buta rata, tidaklah biasa.

   Tapi tuan hotel itu telah mendapat presen dari si pemuda, maka itu, ia bicara baik tentang pemuda itu.

   "Baiklah, silahkan ia masuk!"

   Kata Sin Cu kemudian. Seberlalunya tuan rumah, Siauw Houwcu tertawa menghadapi kawannya.

   "Seorang muda yang tampan!"

   Katanya.

   "Hihi! Kiranya kekasih encie ada di sini!"

   "Ngaco!"

   Membentak si nona.

   "Nanti aku robek mulutmu!"

   Lalu dengan roman sungguh, ia menambahkan.

   "Orang datang tengah malam, dia mesti mempunyai urusan penting sekali. Pergi kau bersembunyi."

   "Ah, kau tidak sukai aku berada di dalam kamar!"

   Kata si nakal.

   "Malu?"

   Sin Cu mendelik terhadap bocah itu, atas mana dengan mengulur lidah dan jalan berindap-indap dia pergi ke kamarnya sendiri, yang sebelah menyebelah, maka itu lantas ia manjat tembok, untuk memasang kuping...

   Sin Cu lagi berpikir, ia tidak perhatikan bocah nakal itu.

   Pula ia segera dengar suara tuan rumah di luar kamar.

   "Tetamu sudah datang!"

   Ia lantas membukai pintu.

   Seorang muda, yang benar tampan, bertindak masuk.

   Ia mengenakan mantel bulu rase putih.

   Ia bertindak dengan pelahan.

   Sin Cu mengawasi, ia heran.

   Ia merasa seperti pernah lihat orang ini, entah di mana.

   Ia lantas menanyakan she dan nama orang serta maksud kedatangannya malam-malam itu.

   Tetamu itu mengawasi ke sekitar kamar.

   Selama itu, tuan rumah sudah mengundurkan diri.

   Tiba-tiba ia tertawa, terus ia mengunci pintu.

   Sin Cu terkejut.

   "Kau mau apa?"

   Tegurnya.

   Pemuda itu tertawa, halus suaranya, maka Nona Ie menjadi curiga.

   Setelah tertawa, pemuda itu membuka kopianya, maka terlihatlah rambutnya yang bagus.

   Ketika Sin Cu mengawasi, ia segera kenali budak keluarga Bhok yang tadi ia lihat di Senghong bio tengah mengiringin Nona Bhok, ia menjadi tertawa sendirinya.

   Sudah dua tahun ia biasa menyamar, ia tidak dapat mengenali orang.

   "Maaf, Nona!"

   Berkata si budak kemudian.

   "Kenapa kau ketahui she dan namaku dan aku tinggal di sini?"

   Sin Cu menanya. Ia heran. Budak itu tidak menjawab, hanya ia berkata pula.

   "Nonaku mengundang nona. Sebentar nona akan mengetahui sendiri."

   Sin Cu menjadi bertambah heran.

   "Aku minta nona berangkat sekarang juga,"

   Berkata lagi si budak.

   "Nonaku lagi mengalami perkara sulit sekali, ia mau minta pikiran nona."

   "Mungkinkah urusan yang ada sangkutannya dengan laporan rahasia ini?"

   Sin Cu lantas menduga-duga.

   "Kalau benar, baiklah surat ini kau berikan kepada Nona Bhok itu..."

   "Nona Ie, mari lekas!"

   Mendesak pula si budak.

   "Sekarang sudah jam dua lewat, sele-watnya jam tiga, nanti orang mencurigai kita."

   Sin Cu melihat roman orang yang bergelisah.

   "Baik,"

   Katanya.

   "Tunggu sebentar..."

   Ia sebenarnya hendak memesan apa-apa kepada Siauw Houwcu, atau mendadak seorang lompat turun dari atas tembok. Ia terkejut. Syukur ia segera mengenalinya.

   "Encie, aku di sini!"

   Berkata orang itu ialah si bocah nakal Siauw Houwcu.

   "Adikku nakal, kau tentu kaget?"

   Katanya pada budak Nona Bhok.

   "Oh, tidak,"

   Sahut si budak.

   "Adikmu liehay, nona, guru silat di istanaku tak sepandai dia."

   Dia mengatakan tidak kaget, sebenarnya hatinya memukul. Sin Cu lantas kata pada Siauw Houwcu.

   "Kedua gurumu bakal datang besok, umpama aku belum pulang, kau beritahukan aku pergi ke Bhok Konghu."

   "Aku mengarti."

   "Sebelum aku pulang, kau jangan pergi ke luar."

   "Apa kau kira aku bocah cilik hingga perlu dipesan lagi?"

   Si nakal menyahuti.

   "Kau mesti jagai kudaku, jangan sampai orang curi!"

   Pesan pula si nona.

   "Kuda itu ada kesayanganmu, aku pun menyukainya, kalau ada yang curi, aku nanti adu jiwaku!"

   "Siapa bisa mencuri kuda itu, dia mesti liehay sekali. Kau mungkin bukan tandingannya..."

   "Kalau begitu, apa perlunya kau pesan aku?"

   Si nakal membaliki.

   "Kuda itu kenal aku, kalau kau yang menaikinya, dia tidak nanti membangkang. Tidak demikian terhadap orang lain. Kalau ada yang mencuri dan kau tidak sanggup melawan, kau kabur bersama kuda itu..."

   "Sudah, sudah, kau pergilah!"

   Si nakal jadi habis sabar.

   "Selembar saja kuda itu lenyap bulunya, aku bertanggung jawab."

   Sin Cu lantas berlalu bersama si budak.

   Di jalan besar tinggal sedikit orang-orang yang berlalu lintas.

   Ia diajak pergi ke pintu yang kecil dari kota timur, dekat dengan luar kota.

   Suasana di situ sunyi sekali.

   Rembulan pun guram karena baru tanggal tiga bulan delapan.

   Hanya angin bersiur-siur.

   Ia tidak bergembira.

   Selagi mendekati pintu kota, tiba-tiba terdengar satu suara angin dibarengi berkele-batnya bayangan orang di atas tembok kota.

   Ia lantas lompat mencelat, karena ia tahu ia tengah dibokong.

   Ia sudah siap dengan bunga emasnya tetapi ia tidak segera membalas menyerang.

   Hanya ia tampak tubuh si budak terangkat naik.

   Ia menjadi kaget sekali, tanpa ayal lagi, ia menimpuk dengan panah Coayam cian pengasi Hek Moko, maka panah itu meluncur ke udara dengan mengasi dengar suara tajam dan terus mengeluarkan api bersinar biru.

   Sekarang Nona Ie melihat seorang yang berpakaian hitam yang memakai topeng, dengan tali bandering dia mengangkat tubuh si budak naik ke atas tembok.

   Ia segera menyerang dengan dua buah bunga emasnya.

   Tembok kota tinggi tiga tombak.

   sedang orang itu gesit sekali, belum lagi ia terserang, sudah ia lompat turun ke luar kota.

   Sin Cu bergelisah, ia hunus pedangnya, sambil lompat, ia tancap itu ke tembok kota, untuk dipakai menahan tubuhnya, maka di lain saat ia sudah berada di atas tembok.

   Ia melihat ke bawah, ia dapatkan orang sudah lari puluhan tombak jauhnya.

   Sinar rembulan yang guram membikin ia tidak dapat melihat tegas.

   Ia cuma tahu orang dapat lari keras.

   Terpaksa ia lompat turun, untuk mengejar.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekian lama, ia melainkan bisa mendekati sepuluh tombak lebih.

   Tiga kali ia menimpuk, semuanya gagal.

   Maka ia mengejar terus.

   Orang itu lari ke lembah, di sana dia lenyap.

   Sebaliknya, Sin Cu melihat sebuah rumah besar dari mana terlihat sinar api.

   Itulah rumah satu-satunya, maka si nona menyangka orang lari ke rumah itu.

   Dengan berani ia bertindak menghampi-kan.

   Ia lihat pintu seperti cuma dirapatkan, ia lantas mencoba menolak.

   Kedua daun pintu sudah lantas menjeblak.

   "Mungkinkah pintu tidak dikunci untuk memancing aku?"

   Si nona berpikir. Ia perlu menolongi orang, ia lantas bertindak masuk. Baru ia jalan belasan tindak, mendadak pintu di belakangnya bersuara nyaring, tertutup sendirinya. Ia jadi kaget berbareng gusar, hingga ia mengasi dengar suaranya.

   "Aku akan memasukinya walaupun ini sarang naga atau guha harimau!"

   Dari sebelah dalam terdengar suara tertawa samar-samar.

   Mengikuti itu, Sin Cu membuka tindakannya.

   Ia melintasi beberapa pintu, yang hanya dirapatkan, terus sampai di sebuah ruang besar.

   Di sana terlihat satu perwira tengah berduduk di kursi dan di depannya ada si budak, yang tubuhnya terbelenggu.

   "Ha, kiranya kau!"

   Sin Cu berseru.

   "Kau menjadi Tayiwee Congkoan tapi tengah malam buta rata kau menculik gadis orang! Tahukah apa dosamu?"

   Perwira itu, ialah Yang Cong Hay, lantas tertawa.

   "Nona Ie,"

   Dia berkata.

   "tahukah kau akan dosamu di siang hari bolong melukai orang?"

   Dia balik menanya. Dia rupanya sudah ketahui perbuatan si nona tadi siang.

   "Kau tahu siapa dia ini?"

   Sin Cu menanya tanpa perdulikan perkataan orang. Yang Cong Hay tertawa.

   "Lain orang jeri terhadap Bhok Kokkong, aku tidak!"

   Katanya. Terus dia mengeprak meja.

   "Budak cilik, lekas serahkan suratmu!"

   Dia membentak si budak perempuan.

   "Surat apa?"

   Budak itu tanya.

   "Surat rahasia dari Ong Ciangkun1."

   "Ong Ciangkun yang mana?"

   "Jangan kau berlagak gila! Nonamu suruh kau malammalam mencari Nona Ie, apakah perlunya? Jikalau tidak serahkan itu, terpaksa aku berbuat kurang ajar! Lihat, aku berani atau tidak menggeledah kau!"

   Mendadak dia usir tangannya menyambar baju si budak.

   "Hai, kau berani menghina hambanya kongya?"

   Budak itu membentak. Nyata dia berani. Tapi Yang Cong Hay melawan tertawa, sedang kedua tangannya bekerja. Dengan bersuara "Bret!"

   Baju si budak terbelah dua, maka terlihatlah baju dalamnya yang merah. Sin Cu menjadi mendongkol sekali.

   "Surat itu ada di tanganku!"

   Ia berseru.

   "Kau menghina satu budak, sungguh tidak tahu malu!"

   Inilah tipunya Yang Cong Hay, untuk memaksa orang membuka rahasia. Maka ia tertawa pula.

   "Kenapa kau tidak mengatakannya siang-siang?"

   Katanya.

   "Serahkan surat itu padaku, perkara habis! Kalau tidak, jangan harap kau bisa keluar dari sini!"

   "Jikalau kau bisa, kau ambillah!"

   Si nona menantang.

   Malah segera ia mendahului menyerang dengan pedangnya.

   Yang Cong Hay mencelat dari kursinya, tapi tangannya menyambar, untuk mencoba merampas pedang penyerangnya itu.

   Tapi ia gagal, ia lantas diserang pula.

   Dengan lekas lewat sudah beberapa jurus.

   "Sungguh pesat kemajuannya satu anak muda!"

   Berkata Cong Hay, yang lihat si nona menjadi terlebih gagah.

   "Tapi, hm, untuk melayani aku, kau masih beda jauh!"

   Ia terus menyerang dengana kedua tangannya, dengan tipu silat "Naga terbang ke langit,"

   Hingga Sin Cu mesti lompat mundur dua tindak.

   Ketika ini dipakai si perwira untuk menghunus pedangnya.

   Mengetahui ia terancam di mulut harimau, Sin Cu bersedia mengadu jiwa.

   Ia keluarkan kepandaiannya menggunai pedangnya.

   Maka sembari berkelahi ia sempat mengsontek putus belengguannya si budak, hingga dia ini menjadi kaget dan lemas, tidak dapat dia berlari.

   "Lekas lari, jangan pedulikan aku!"

   Sin Cu memberi ingat. Yang Cong Hay tertawa lebar.

   "Sesudah sampai di sini kau memikir untuk lari? Hm! Kau mimpi?"

   Katanya.

   Nyata di pintu ada mengandang beberapa orang, di antaranya siewie Thio Tay Hong yang tadi siang dirobohkan Siauw Houwcu.

   Dia tidak tahu tabiatnya Yang Cong Hay, yang suka berkelahi satu sama satu, selagi yang lainnya berdiam saja, dia maju untuk membalas sakit hati.

   Sin Cu murka, ia berbalik sambil menangkis, berbareng dengan itu, tangan kirinya terayun, maka bunga emasnya membuat liang di dahinya orang she Thio itu.

   Yang Cong Hay mendongkol.

   "Gotong dia pergi!"

   Ia menitah.

   "Kamu menjaga di luar pintu, jaga kalau ada yang nyelundup! Siapa pun tak boleh masuk ke dalam rumah ini!"

   Yang Cong Hay mendongkol sebab tidak sempat ia mencegah serangan si nona. Ia pun tidak menyangka bahwa tidak gampang untuknya membekuk nona itu. Justeru ia berkata, mendadak si nona sudah bergerak dengan, tipunya "Menembusi bunga, mengitari pohon."

   Segera dia bergerak cepat sekali, berlari-lari ke empat penjuru, berputar-putar. Yang Cong Hay menyusul dan menikam, beberapa kali, tetapi ia gagal, meski nampaknya ia akan berhasil mengenai sasarannya.

   "Yang Cong Hay liehay!"

   Begitu memuji orang-orang di ambang pintu, untuk menjilat-jilat.

   Cong Hay tetap gagal dengan penyerangannya, gagal dengan beberapa puluh tika-mannya, hingga selain ia menjadi jengah, pujian pun berhenti sendirinya, sebab semua orangnya menjadi heran sekali.

   Dalam mendongkolnya, Cong Hay tertawa dingin.

   "Bagus muridnya Thio Tan Hong, sejurus juga dia tidak berani menangkis!"

   Ia mengobor. Ia tidak tahu, karena kalah tenaga dalam, Sin Cu tidak dapat bertahan terlalu lama dengan ilmunya "Menembusi bunga, mengitari pohon"

   Itu. Nona itu memang tengah bergelisah, tetapi dapat ia mengendalikan diri. Ia mengerling, lalu ia pun tertawa dingin, untuk membalas mengejek.

   "Sambut!"

   Serunya tiba-tiba, segera pedangnya berkelebat, menyusuli mana, dua bunga emasnya, melesat dari bawah pedangnya itu.

   Dua kali terdengar suara nyaring, segera terlihat Yang Cong Hay mundur beberapa tindak.

   Di luar dugaannya, pedangnya kena dihajar bunga emas si nona.

   Syukur, dia masih sempat menangkis.

   Sin Cu tidak berhenti sampai di situ.

   Bunga emasnya yang ketiga dan ke empat menyerang pula saling susul.

   Dengan pedangnya, Cong Hay punahkan dua senjata rahasia itu, terus ia tertawa.

   "Mutiara sebesar beras pun bersinar!"

   Dia mengejek.

   Tapi dia dihujani bunga emas yang ke lima, ke enam, ke tujuh dan ke delapan.

   Untuk menjual lagak, dia berlompatan, pedangnya berkelebatan.

   Maka runtuhlah ke empat bunga emas si nona.

   Nyaring suara beradunya kedua rupa senjata itu.

   Bukan kepalang puasnya orang she Yang ini, hingga ia tertawa terbahak-bahak.

   Di luar dugaannya, beberapa bunga emas yang tersampok mental itu tiba-tiba berbalik menyambar pula, mengarah jalan darahnya.

   Ia kaget, lekas-lekas ia membela dirinya.

   Ia melihat bagai-mana senjata rahasia itu mempunyai tenaga menyambar balik.

   Ia heran sekali.

   "Aneh senjata rahasianya budak ini..."

   Ia berpikir.

   Sin Cu tidak mau mengarti, ia menyerang terus dengan bunga emasnya, ia menggunai hingga delapan belas biji, maka mau atau tidak, Yang Cong Hay menjadi gentar juga nyalinya.

   Terpaksa congkoan ini mengurung diri dengan pedangnya.

   Sayangnya untuk Sin Cu, belum sempurna latihannya menimpuk menurut cara Ismet itu dan belum sempurna latihan tenaga dalamnya, karenanya, bunga emasnya masih kurang cepat untuk Cong Hay.

   Dalam murkanya, perwira itu berseru, atas mana empat pintu di ruang itu lantas tertutup rapat.

   Itu artinya sudah tertutup jalan keluar si nona, maka ia pun menjadi nekat.

   Penerangan dalam ruang itu padam, sebagai gantinya terlihat sinarnya bunga emas, yang berkilauan di sana-sini.

   Yang Cong Hay berkelahi sambil berseru, ia mencoba menjatuhkan semua bunga emas.

   Ia pun berbareng menggunai Pekkong ciang, ialah serangan tangan kosong, yang anginnya saja yang menyampok keras.

   Sin Cu heran untuk liehaynya orang ini, tetapi ia pun tidak takut, bahkan ia merangsak.

   Cong Hay lebih gagah tapi dia repot, mana mesti menjaga bunga emas, mana mesti menangkis pedang si nona.

   Pula ia jeri untuk pedang mustika nona itu.

   Mau atau tidak, sekarang ia terdesak juga.

   Didalam hatinya, Cong Hay mengeluh.

   Untuk menawan si nona, ia sebenarnya mempunyai daya lain tetapi tadi ia telah pentang mulut hendak bertempur satu sama satu dan ia malu untuk menarik pulang perkataannya itu.

   Sementara itu telah terdengar keruyuknya ayam dan sinar fajar memasuki ruang rumah.

   Rupanya sang waktu tiba pada jam empat.

   Tentu sekali, bertele-telenya pertempuran membuat kedua pihak sama-sama lelah.

   Si nona disebabkan kalah latihan tenaga dalam, Cong Hay lantaran terlalu banyak menggunai tenaga untuk menyingkir dari bunga emas dan tajamnya pedang mustika.

   Mereka yang menanti di luar ruang pun heran dan cemas hatinya.

   Mereka tetap membungkam, sebab mereka tidak berani membuka mulut untuk pemimpinnya itu menyudahi pertempuran satu sama satu itu.

   Lagi sejenak, suara napas Sin Cu terdengar nyata.

   Di lain pihak, dahi Cong Hay bermandikan keringat.

   Jago ini mendongkol berbareng bergelisah.

   Ia mesti terus menjagai keselamatan dirinya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia insaf, sedikit saja lambat, ia bisa celaka.

   Sebentar kemudian, dari jendela masuk sinar terang sang pagi.

   Tiba-tiba dari luar terdengar suara nyaring.

   "Yang Tayjin, Ong Ciangkun mengundang!"

   Inilah yang diharap Cong Hay. Kali ini ia tidak menjadi gusar. Lantas ia mencoba mendesak si nona, hingga nona itu mundur dua tindak.

   "Budak cilik, aku membiarkan kau hidup lagi beberapa jam!"

   Kata perwira itu.

   "Sebentar aku datang pula untuk membereskanmu!"

   "Congkoan yang maha agung hendak melarikan diri?"

   Si nona mengejek.

   Habis berkata Cong Hay mencelat tinggi, dia menyerbu genteng hingga berlobang dan tubuhnya keluar dari situ.

   Sin Cu berniat menyusul lawannya itu ketika mendadak ia merasakan rumah goyak bagaikan bumi gempa, berbareng dengan itu ia juga mendengar suaranya si budak perempuan.

   "Nona Ie! Nona Ie! Kau di mana?"

   Budak itu sembunyikan diri di antara meja marmer yang besar.

   "Jangan takut, aku di sini!"

   Si nona lekas menyahuti, lantas dia lompat, akan menyambar budak itu.

   Tapi berbareng dengan itu, tubuhnya terjeblos tanpa dia berdaya lagi, hingga di lain saat dia berada di tempat gelap hingga dia tak dapat melihat lima jari tangannya di depan matanya.

   Dia mendongkol hingga dia mengutuk Cong Hay sebagai manusia tak terhormat.

   *** Selagi nona itu mementang mulut, kupingnya mendengar menderunya air seperti air banjir dan berbareng tubuhnya dirasai dingin.

   Dari atas liang pun terdengar suara orang.

   "Yang Congkoan menitahkan kau menyerahkan pedang serta surat, kalau tidak, jangan sesalkan kita tidak mengenal kasihan, terpaksa kau akan direndam mati!"

   "Baiklah, kau buka pintu!"

   Sin Cu menyahuti.

   Di atas lantas tertampak sinar terang, tandanya liang dibuka.

   Sin Cu segera mencelat naik, tiga bunganya pun ditimpuki sekalian.

   Ia tidak memikirkan, berapa tingginya pintu itu.

   Belum lagi ia sampai di atas, tutup sudah dirapatkan pula.

   Dari atas itu dengar tertawa dan kata-kata ejekan.

   Sin Cu mendongkol sekali.

   Budak itu pun terdengar giginya bercatrukan.

   Air sudah merendam mereka hingga di lutut.

   "Apakah kau takut?"

   Sin Cu tanya. Ia memeluki tubuh orang.

   "Sebenarnya aku takut, tapi ada bersama nona, sekarang tidak lagi."

   Sahut budak itu.

   "Kenapa?"

   Sin Cu tanya. Ia bersenyum.

   "Karena kau ada puterinya menteri setia nomor satu di dalam kerajaan kita."

   Menjawab pula budak itu.

   "Dahulu hari ayahmu tidak takut mati, untuk membela negara ia telah berkurban, maka itu, kenapa mesti takut untuk penderitaan begini?"

   Sin Cu terharu, hingga ia berdiam saja. Ayahnya itu memang setia dan telah berkurban.

   "Nona Ie,"

   Berkata pula si budak.

   "Aku dapat melihat dan bertemu denganmu, tidaklah sia-sia hidupku ini. Nonaku pun sangat mengagumi kau."

   "Aku pun bersyukur kepada tuanmu yang muda dan nonamu itu,"

   Kata Sin Cu.

   "Apa namamu?"

   "Aku Touw Kim Go, nona. Aku ada dari suku bangsa Pek di Tali dan sedari kecil aku melayani Siocia."

   "Dari mana kau ketahui halku?"

   "Nona majikanku yang membilangi. Siocia pun ketahui kau sudah melukai Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw."

   "Bagaimana dia ketahui kejadian itu?"

   "Kemarin mereka di-ketemukan serdadu peronda, mereka lantas digotong pulang. Kebetulan Bhok Kongya tidak ada di rumah, kami semua pergi keluar untuk melihat. Siocia kenali Ong Kim Piauww sebagai sebawahan Ong Ciangkun. Siocia menanya kenapa mereka terluka, Ong Kim Piauw tidak mau memberi keterangan. Kemudian mereka diambil Ong Ciangkun. Nonaku lantas keluar sebentar, sekembalinya, ia menyuruh aku mencari kau di rumah penginapan."

   "Kenapa nonamu ketahui aku?"

   "Itulah sebab bunga emasmu, yang Siocia kenal. Katanya di kolong langit ini, kecuali isteri Thio Tayhiap dan kau, tidak lain orang yang menggunai senjata rahasia semacam itu."

   Sin Cu heran bukan main.

   "Nona itu kelihatan lemah, kenapa dia tahu tentang senjata rahasia kaum Rimba Persilatan?"

   Ia berpikir.

   "Pula, kenapa dia tahu hotelku?"

   Memikir begini, ia jadi sangat ingin segera menemui nona Bhok itu.

   Maka ia menyesal sekali, sekarang dirinya terkurung dan ia tidak mempunyai sayap untuk terbang pergi.

   Si budak kedinginan dan kelaparan, hampir dia tidak dapat bicara.

   Sin Cu memeluki dan mengangkat, untuk mencegah orang kerendam.

   Ia sendiri pun mulai lapar juga.

   Tiba-tiba terlihat sinar terang dari atas, lalu sebuah bungkusan jatuh.

   Sin Cu dapat lihat itu, ia menanggapi.

   Menyusul itu, sinar terang lenyap lagi.

   Memeriksa bungkusan, Sin Cu dapatkan itu adalah nasi yang terbungkus dengan daun teratai, baunya nasi dan harumnya teratai tercampur menjadi satu, membangkitkan selera orang.

   "Sungguh wangi!"

   Kata si budak. Sin Cu sendiri heran bukan main, hingga ia menjadi curiga.

   "Bukankah tadi mereka mengancam aku? Kenapa sekarang mereka memberikan nasi? Mungkinkah nasi ini dicampuri racun?"

   Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar suara pelahan dan halus.

   "Jangan takut, jangan takut! Makanlah!"

   Si nona terkejut dan heran.

   Ia rasa kenal suara itu, yang datangnya dari sebelah tembok.

   Sukar akan dicari orang yang dapat bicara seperti orang itu.

   Ia terkejut, karena kalau orang sudah sedemikian liehay tenaga dalamnya, sebenarnya tak susah untuk orang itu membekuk ia.

   "Aku lapar, aku lapar sekali... Barang apa itu, nona?"

   Si budak bertanya, suaranya lemah.

   "Nasi pepes daun teratai,"

   Si nona menyahuti.

   Ia lantas pecah dua nasi itu, separuh ia kasi si budak, separuhnya untuk ia sendiri.

   Berdua mereka berdahar dengan bernapsu, lezad sekali nasi itu! Kejadian luar biasa lainnya segera menyusul.

   Air yang naik semakin dekat, mendadak surut, surut hingga habis.

   Sin Cu heran berbareng girang.

   "Apa artinya ini?"

   Si nona menanya dirinya sendiri.

   "Dia musuh atau kawan?"

   Ia maksudkan orang yang mengantarkan nasi pepes itu.

   Si bujang, yang lelah sekali, setelah bersantap, lantas tidur pulas.

   Sin Cu tidak mau mengganggu, ia hanya diam berpikir.

   Lagi selang sekian lama, di atas terdengar suara beradunya senjata, selang sekian lama, suara itu lenyap.

   Habis itu mendadak terlihat sinar terang.

   "Encie Kim Go, kita ketolongan!"

   Berseru Sin Cu.

   "Apa?"

   Si budak mendusin kaget. Ia mengucak-ngucak matanya.

   "Kau peluk aku erat-erat, jangan takut, aku akan bawa kau naik."

   Nona Ie membalas memeluk dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang pedangnya, terus ia mencelat naik.

   Untuk tiba di atas, ia mesti beberapa kali menancap pedang di tembokan liang itu.

   Setibanya di atas, ia berdiri menjublak.

   Belasan orang laki-laki tampak di situ, dengan pelbagai sikapnya, seperti orang disihir.

   Ada yang lagi menikam dengan pedang, ada yang membungkuk untuk memanah, ada yang lagi membacok dan lainnya.

   Mata mereka itu berjelilatan, seperti mereka ketakutan dan tengah menderita.

   Sin Cu sadar setelah ia ingat orang tentu telah terkena totokan, akibat pertempuran tadi.

   Ia coba menotok bebas salah satu orang, untuk ditanyai keterangannya, tetapi ia tidak berhasil.

   Istimewa totokan orang yang tidak dikenal itu.

   "Apakah Hek Pek Moko yang datang atas tanda panahku?"

   Kemudian Sin Cu menduga-duga. Ia lari keluar. Sunyi di sekitarnya, di situ tidak ada lain orang. Matahari sudah bersinar layung. Tanpa merasa, sudah lohor lagi. Ia jadi bertambah heran. Hek Pek Moko tidak bakal meninggalkan padanya.

   "Nona Ie, di sini seram, mari kita lekas pergi!"

   Si budak mengajak.

   "Satu malam aku tidak pulang, nonaku tentu berkuatir sekali."

   "Baik,"

   Kata Sin Cu, yang masih memeriksa rumah itu, yang semua pintunya terpentang, penghuninya semua masih berdiam bagaikan patung-patung.

   Ia pergi ke belakang, ia melihat beberapa ekor kuda.

   Ia memilih dua ekor, dengan itu berdua Touw Kim Go ia kabur ke dalam kota, terus ke gedung Bhok Kokkong, tidak jauh dari pintu kecil bahagian timur.

   Tiba di sana, orang sudah pasang lampu.

   Kim Go ajak Nona Ie masuk dari belakang.

   Di dalam tidak ada orang merintangi ia.

   Di depan sebuah kamar indah, ia mengetok pintu, ia berkata.

   "Siocia, Nona Ie sudah datang!"

   Dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa.

   "Ah, ke mana siocia pergi?"

   Pikir budak ini. Selang sekian lama, baru pintu dibuka, seorang budak lain muncul.

   "Eh, Kim Go, kenapa baru sekarang kau pulang?"

   Tanya dia, ialah Gin Kui, pelayan lain dari Bhok Siocia.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Panjang untuk aku menutur. Mana siocia?"

   "Siocia sudah pergi."

   "Pergi? Pergi ke mana?"

   "Entahlah! Siocia pergi tadi magrib, keluarnya dari taman. Romannya kesusu sekali. Aku tidak berani menyapa."

   Sembari berkata, budak itu menyilahkan Sin Cu masuk ke dalam kamar.

   Segera setibanya di dalam, Nona Ie heran atas sebuah pigura yang bermuatkan tulisan melulu.

   Ia mengenali baik sekali tulisan gurunya, Thio Tan Hong.

   Ia tidak mengarti, kenapa tulisan gurunya ada di situ.

   Gin Kui sendiri sudah lantas berkata.

   "Malam ini kongya menjamu tetamu, yang katanya datang dari kota raja dan pangkatnya entah congkoan apa. Kongya pesan siocia untukmenilik siauwya, katanya sebentar habis pesta, kongya hendak berbicara. Siapa tahu, siocia sudah lantas pergi."

   "Congkoan?"

   Sin Cu berpikir.

   "Diakah Yang Cong Hay?"

   Ia lantas menanya, kenapa Bhok siocia yang disuruh menilik siauwkongtia. Gin Kui bersangsi.

   "Inilah Nona Ie, yang diundang nona kita, kau boleh omong segala apa,"

   Kim Go beritahu.

   "Setahu kenapa, kemarin kongtia gusar, siauwya dikurung di kamar,"

   Menerangkan Gin Kui.

   "Karena tidak ada pahlawan yang menjaga, siocia yang diberi tugas..."

   Sin Cu menduga tentulah pangeran tua memarahi puteranya urusan Senghong. Itu waktu terdengar suara kuda kereta.

   "Nah, tetamu itu datang!"

   Berkata Gin Kui.

   "Di mana pestanya dibikin?"

   Sin Cu tanya.

   "Di dalam taman sebelah barat."

   "Mari kau ajak aku melihat."

   Gin Kui kaget, dia ketakutan.

   "Mari aku yang mengantari,"

   Kata Kim Go tertawa.

   "Kita dapat bersembunyi di belakang gunung palsu di tepi pengempang. Kalau orang pergoki kita, bilang saja kita lagi main petak, kongya tentu tidak marah."

   Budak ini lantas cari makanan buat Sin Cu dan ia sendiri, kemudian mereka salin pakaian mereka yang basah.

   Secara diam-diam mereka pergi ke taman.

   Kebetulan perjamuan baru di mulai.

   Dari tempat sembunyi, Sin Cu dapat melihat nyata sekali.

   Di kursi pertama duduk seorang berpangkat besar, mukanya putih tanpa kumis.

   Yang duduk di kursi kedua benarlah Yang Cong Hay.

   Yang ketiga Sin Cu kenal sebagai Ong Ciangkun.

   Di sisi tuan rumah ada seorang imam.

   Bhok Kongya panjang jenggotnya dan nampak agung.

   "Heran, kenapa kongya mengundang imam?"

   Kim Go berbisik. Itu waktu si pembesar pangkat tinggi terlihat bicara. Kim Go tidak dapat mendengar suaranya. Sin Cu lekas menempelkan kupingnya di batu gunung, ia mendapat mendengar dengan nyata.

   "Kabarnya si bocah suku bangsa Pek di Tali hendak berontak, yang mengepalai ialah keluarga Toan, semua pembesar pemerintah hendak diusir pergi. Adakah itu benar?"

   Suara pembesar ini kecil, mirip suara wanita.

   "Memang ada gerakan memberontak itu,"

   Bhok Kokkong menyahuti.

   "Cuma menurut pengumuman mereka, mereka bukan berontak, mereka tidak menghendaki tanah daerah orang Han. Rupanya mereka mau mengangkat diri menjadi raja."

   "Hm, mengangkat diri menjadi raja!"

   Mengejek si pembesar tinggi.

   "Bukankah itu pemberontakan? Budi pemerintah kepada Keluarga Toan bukannya tipis. Ketika dulu leluhurmu, Kimlengong, memusnahhkan negara Tali, untuk turun temurun keluarga Toan diangkat menjadi pengciangsu di Tali. Kenapa keluarga itu tidak kenal cukup?"

   "Memang. Tentang itu aku pun sudah mengirim laporan kepada Sri Baginda. Kebetulan Lauw Kongkong datang, inilah terlebih baik pula. Lauw Kongkong senantiasa mendampingi Sri Baginda, justeru Kongkong ada orang Inlam, ingin aku menanya pikiran pikiranmu."

   Mendengar panggilan "kongkong"

   Itu, Sin Cu baru tahu bahwa orang ada seorang kebiri dari istana kaisar.

   Semenjak Kaisar Beng Thay Couw mendirikan kerajaannya dia melarang orang kebiri (thaykam) mencampuri urusan pemerintahan, larangan ini berjalan beberapa turunan, lalu menjadi longgar, maka juga sering terjadi kaisar angkat seorang kebiri menjadi utusannya.

   Contoh nyata yaitu Kaisar Beng Seng Couw mengirim Thaykam The Hoo ke luar negeri hingga tujuh kali.

   Orang kebiri jaman Beng banyak terdiri dari orang propinsi Inlam, The Hoo tak terkecuali, ada yang pandai, ada juga yang buruk.

   Dan ini thaykam she Lauw, mendengar suaranya, ada orang Inlam.

   Senang dia mendengar Bhok Kokkong memohon pikirannya, ia bersenyum.

   "Kongtia sampai menanyakan, mana berani aku tidak mengutarakan segala apa-apa,"

   Kata dia.

   "Menurut aku, mesti kongtia lekas mengirim pasukan perang untukmenindas. Sri Baginda pun memesan aku akan menyampaikan kepada kongtia untuk mengawasi sepak terjang mereka itu, setelah sekarang terang ada tandatandanya pemberontakannya, tidak bisa lain, mereka harus ditindas!"

   Bhok Kokkong berpikir.

   "Mengangkat senjata bukankah itu mencelakai rakyat jelata?"

   Katanya. Mendengar ini, Lauw Kongkong tidak puas. Tapi Keluarga Bhok besar kekuasaannya, raja pun memberi muka, ia tidak berani sembarang bicara. Ia tertawa.

   "Kongtia mulia hati dan welas asih, tidak kecewa kau menjadi ibu bapak rakyat,"

   Ia berkata.

   "Cuma di jaman kalut, orang mesti menggunai hukuman, tanpa mengangkat senjata, pemberontakan mana dapat ditindes? Sekarang bagaimana pikiran kongtia?"

   Bhok Kokkong bersenyum.

   "Hari ini ada dua tetamu jauh akan datang ke Kunbeng,"

   Ia berkata.

   "dengan menggunai mereka aku memikir suatu tindakan yang lunak, hanya entahlah, aku bakal berhasil atau tidak. Baiklah, sebelum aku menyampaikan itu kepada Sri Baginda, lebih dulu aku mengutarakan kepada kongkong."

   "Silahkan bicara, kongtia,"

   Kata si orang kebiri seraya meletaki cangkirnya.

   "Siapa kedua tetamu itu?"

   Yang Cong Hay menanya. Di dalam hatinya ia kata.

   "Kenapa orang-orangku tidak ketahui ini? Mestinya mereka orang luar biasa..."

   Bhok Kokkong menyahuti.

   "Mereka ada puteri Iran serta suaminya."

   Semua hadirin heran. Cong Hay lantas menanya.

   "Ada apa hubungan antara puteri Iran itu serta pemberontakan di Tali?"

   "Suami puteri itu bernama Toan Teng Khong,"

   Bhok Kokkong menjawab.

   "Telah aku dapat keterangan pasti, dialah turunan dari Toan Pengciangsu dari Tali itu, kakeknya pernah turut tentara Goan menyerang ke Barat, dia ketinggalan di Iran setahu bagaimana, dia mendapat jodohnya, menjadi menantu raja Iran. Rupanya dia rindu akan kampung halamannya, dari tempat jauh itu dia pulang ke mari."

   "Datangnya tetamu jauh menandakan kebesarannya raja kita,"

   Berkata Lauw Kongkong .

   "Sekarang aku ingin tanya kongtia, caya bagaimana kongtia hendak menggunai mereka itu untuk siasatmu yang lunak?"

   "Dia itu dapat dianggap sederajat dengan pengciangsu yang sekarang ini di Tali,"

   Berkata Bhok Kokkong.

   "maka aku hendak memohon Sri Baginda mengangkat dia menjadi pengciangsu."

   "Dapatkah itu mencegah pemberontakan?"

   "Inilah yang diharap. Sebenarnya namanya saja dia diangkat jadi pengciangsu, dia kita tempatkan di Kunbeng sini. Aku percaya dia dapat mempengaruhi bangsanya di Tali itu. Dengan memberi pangkat ini, kita memberi muka pada keluarga Toan itu. Andaikata mereka berontak juga, ada alasan untuk kita menghukum mereka, untuk menghabiskan kekuasaannya turun-temurun itu."

   Mendengar penjelasan itu, Lauw Kongkong berpikir. Justeru itu muncul budak perempuan pelayan Bhok Hujin.

   "Tidak tahu aturan!"

   Bhok Kongya menegur.

   "Aku tidak panggil kau, perlu apa kau datang ke mari?"

   "Sio... siocia..."

   Sahut budak itu gugup.

   "Siocia apa?"

   Bentak pula kongtia.

   "Siocia lari..."

   Budak itu akhirnya memberitahu.

   Bhok Hujin tidak melihat puterinya, ia menjadi bingung.

   Memang, karena sakitan, ia memuja sang Buddha saja, ia tidak campur urusan di luar.

   Malah dengan kongtia, ia bertemu hanya beberapa hari sekali.

   Begitupun hari ini, ia tidak tahu suaminya lagi mengadakan pesta, ia lantas mengirim budaknya itu.

   "Ngaco belo!"

   Bentak kongtia, yang air mukanya berubah.

   "Aku yang suruh siocia pergi kepada Keluarga Yo untuk menyambut bibinya, mungkin bibinya menahan dia. Kenapa kau sibuk tidak keruan?"

   Kongtia berpura-pura saja.

   Tentu dia malu kalau orang luar ketahui puterinya buron, sedang puteri itu tinggi kedudukannya.

   Budak itu melengak karena heran.

   Kalau siocia pergi ke rumah keluarga Yo, mestinya ibunya mendapat tahu.

   Ia ditegur, ia penasaran.

   "Hu... hujin..."

   Katanya pula.

   "Pergilah kau!"

   Kongtia mengusir.

   "Suruh hujin matangi yan-oh "

   Budak itu berlalu dengan air mata mengembeng.

   Huciangkun Ong Tin Lam heran, hingga ia jadi bercuriga.

   Kemarin toh ia lihat sendiri siocia itu, Bhok Yan, telah pergi ke Senghong bio.

   Kongtia sendiri tak tenang hatinya.

   Heran ia puterinya buron.

   Ia lantas ingat kepada perbuatan puteranya, Bhok Lin, maka ia menyangka mungkin ada hubungannya.

   Sampai di situ, Lauw Kongkong timbulkan pula pembicaraan mereka tadi.

   "Siasat lunak itu baik tetapi persiapan untuk menghukum tidak boleh diabaikan,"

   Katanya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidakkah begitu, kongtia?"

   "Memang."

   "Kapan Toan Teng Khong dan puteri Iran itu akan tiba di sini?"

   Yang Cong Hay tanya.

   "Cara bagaimana dia hendak diinsafkan akan kebaikan kongtia?"

   Bhok Kokkong tertawa.

   "Aku sudah mengirim orang memapak mereka,"

   Sahutnya. Terus ia menoleh, akan memberikan titahnya.

   "Coba lihat, Pui Tongieng sudah pulang atau belum?"

   "Pui Tongieng kembali sejak satu jam yang lalu,"

   Menyahut satu hamba.

   "Dia bilang tidak dapat dia lantas menghadap Kokkong."

   Kongtia melengak sejenak, lantas dia tertawa.

   "Di antara orang sendiri, kenapa dia malu-malu? Di sini ada Yang Congkoan, dia boleh sekalian memohon petunjuk. Lekas suruh dia datang menghadap!"

   "Pui Tongieng itu apa bukannya Pui Tee Kong yang menjadi orang kosen kenamaan di Inlam Selatan?"

   Tanya Cong Hay.

   "Telah aku dengar dengan tangan kosong dia sudah menaklukkan delapan belas tongcu di Lee Kang. Aku yang rendah mengagumi dia, jadi tak tepat untuk dia mendapat petunjuk dari aku..."

   Bhok Kokkong senang mendengar sebawahannya dipuji.

   Tidak lama, Pui Tongieng muncul bersama empat pahlawan.

   Melihat mereka itu, semua orang terkejut bahna heran.

   Empat pahlawan itu matang biru mukanya dan dibalut di sana-sini, mereka lesuh sekali.

   Tongieng sendiri berdarah pundaknya.

   "Apakah artinya ini?"

   Tanya Bhok Kokkong, yang pun tercengang.

   "Kami pergi menyambut puteri Iran serta suaminya,"

   Menerangkan Pui Tongieng.

   "Mereka itu bukan cuma tidak sudi menerima kebaikan kongtia,mereka malah menyerang kami."

   "Dari mana Toan Teng Khong mendapat barisan serdadu?"

   Kongtia tanya. Dia heran sebab dia tahu kegagahannya tongieng ini serta empat pahlawannya itu, mereka dapat melawan seratus musuh.

   "Mereka cuma, berdua,"

   Sahut Pui Tee Kong tunduk. Kongtia heran berbareng gusar.

   "Apa? Cuma berdua?"

   Dia menegasi.

   "Apakah kamu tahangtahang nasi saja?"

   "Bagaimana macamnya dua orang itu?"

   Cong Hay turut bicara.

   "Mereka dua orang India, yang satu hitam, yang lainnya putih."

   Mendengar itu, Cong Hay tertawa.

   "Jangan sesalkan mereka ini, kongtia."

   Ia kata kepada tuan rumah.

   "Dua orang itu bernama Hek Pek Moko, merekalah pencuri-pencuri mustika. Pada belasan tahun yang sudah, mereka sudah mencuri di istana di kota raja. Tayiwee Congkoan Kong Tiauw Hay kena mereka kalahkan, aku sendiri pun ragu-ragu. Hm, hm! Pui Tongieng sendiri dapat luka enteng, dia malah harus dipuji dan dihadiahkan!"

   Dia lantas menyuguhkan secawan arak pada tongieng itu. Heran Bhok Kokkong mendengar Cong Hay membilang musuh demikian kosen, kegusarannya pun lantas lenyap.

   "Mungkinkah kamu bicara kurang jelas?"

   Lauw Thaykam tanya.

   "Jangan-jangan Toan Teng Khong sangsikan kau diutus oleh kongtia."

   Pui Tee Kong menyahuti dengan penasaran.

   "Aku telah menyerahkan surat yang ditulis kongtia sendiri, sampulnya pun ada capnya Bhok Kokkong. Tanpa membaca lagi, mereka lantas merobek-robek. Kalau tidak, tidak nanti kami serang mereka itu."

   Toan Teng Khong telah terpedaya di Kuiciu oleh si hoan ong palsu, maka itu ia suruh Hek Pek Moko jangan mengasi hati lagi kepada tongieng itu.

   "Lihat!"

   Berkata Lauw Kongkong, tertawa.

   "Begitu bertemu muka mereka main hajar, itu tandanya mereka tidak memandang mata! Bagaimana sekarang dengan siasat lunak kongtia?"

   Bhok Cong murka.

   "Toan Teng Khong tidak tahu diri, hm, tidak ada bicara lainnya lagi!"

   Serunya.

   "Di harian tentaraku menindas pemberontakan, aku tawan dan hukum dia!"

   "Nah, begitu baru betul!"

   Lauw Kongkong tertawa pula.

   "Dengan orang liar bagaimana kita dapat omong pakai aturan? Pui Tongieng, kamu terluka karena tugasmu, mari duduk bersama dan minum arak!"

   Thaykam ini dan Cong Hay membaiki tongieng itu dengan maksud mengambil orang berada di pihaknya. Bhok Kokkong cerdik, ia bisa menerka hati orang, ia menjadi tidak puas.

   "Hek Pek Moko begitu liehay, Yang Tayjin tidak bisa berdiam lama di Kunbeng, habis siapa sanggup melawan mereka?"

   Kemudian pangeran ini menanya. Yang Cong Hay tertawa.

   "Biarpun Hek Pek Moko liehay, asal paman guruku turun tangan, mereka akan kena dibekuk!"

   Katanya.

   "Cong Hay, kau terlalu memandang enteng kepada musuh!"

   Berkata si imam, yang baru sekarang membuka mulut.

   "Kalau gurumu yang datang, Hek Pek Moko tidak bakal sanggup melawan satu gebrak saja! Tapi aku, mungkin aku mesti menggunai seratus jurus baru aku bisa membikin mereka takluk..."

   "Kalau begitu aku mengandal kepada too tiang saja!"

   Kata Bhok Kokkong girang.

   "Apakah too tiang ada Hong Giam Tootiang ?"

   Tanya Tee Kong.

   "Maaf, maaf!"

   Ia pun berbangkit, akan mengisikan cangkir imam itu.

   Cie Hee Toojin mempunyai cuma satu adik perguruan ialah Hong Giam Toojin ini.

   Dia ini kalah tersohor tetapi kalangan Rimba Persilatan tidak ada yang tidak tahu dia.

   Dengan temberang Hong Giam minum kering arak suguhan Tee Kong itu.

   "Cong Hay mengajak aku datang ke Inlam ini sebenarnya untuk aku menghadapi musuh yang terlebih liehay daripada Hek Pek Moko itu,"

   Katanya kemudian. Bhok Cong heran.

   "Siapa musuh itu?"

   Dia bertanya.

   "Dialah Thio Tan Hong!"

   Hong Giam omong terus terang.

   "Katanya dia telah nelusup ke Inlam dan sekarang ini sudah tiba di Tali. Apakah kongtia tidak mendapat tahu?"

   Bhok Kokkong terperanjat. Ia tahu dulu hari itu Thio Tan Hong telah membantu Ie Kiam mengalahkan Essen dan bersama In Tiong masuk ke negeri Watzu menyambut raja pulang ke negeri.

   "

   Too tiang bermusuh bagaimana dengan Thio Tan Hong itu?"

   Ia tanya.

   "Thio Tan Hong itu konconya Ie Kiam,"

   Cong Hay sambil tertawa menalangi menyahut.

   "Apakah kongtia tidak mengetahui itu? Dialah yang Sri Baginda hendak menawannya! Dia luas pergaulannya, pandai dia mendengar kabar, untuk membekuk dia, kita tidak boleh banyak omong."

   Bho Kokkong berpikir.

   "Ie Kiam setia, dia mati secara menyedihkan. Hal itu membuat aku tidak puas. Sekarang, Sri Baginda mencari Tan Hong. Bukankah itu budi dibalas jahat?"

   Ia berpikir begitu tetapi ia tidak berani kentarakan di air mukanya. Ia hanya kata.

   "Kiranya Yang Congkoan mengundang tootiang untuk membekuk pemberontak. Inilah untuk Sri Baginda, kamu harus dipuji!"

   Hong Giam Tootiang tertawa terbahak.

   "Thio Tan Hong malang melintang di Tionggoan, dia dapat julukan ahli pedang nomor satu,"

   Katanya.

   "maka itu kalau bukan aku, mungkin tidak ada lain orang yang sanggup menawan dia!"

   Sin Cu di tempat sembunyinya mendengari semua pembicaraan itu, untuk mulut besar si imam, ia mengasi dengar ejekannya di hidung. Di hatinya ia kata.

   "Kalau si hidung kerbau ini bertemu guruku, kalau hidungnya tidak dipapas, sungguh sayang!"

   Ia memang sangat memuja gurunya, saking mendongkol, ingin ia keluar untuk menghajar imam itu. Tapi ia tahu salatan.

   "Thio Tan Hong itu bagaimana romannya?"

   Bhok Kokkong menanya.

   "Apakah Yang Tayjin pernah melihat dia?"

   "Melihat belum tetapi aku ada membawa beberapa helai gambarnya,"

   Cong Hay menyahut.

   "Nah ini satu untuk kongtia, tolong nanti kongtia menjaga agar dia tidak masuk ke Kunbeng."

   Bhok Cong menyambuti gambar, untuk dibeber. Ia kaget hingga air mukanya berubah.

   "Kenapakah, kongtia ?"

   Tanya Cong Hay heran. Cepat sekali pangeran itu bersenyum.

   "Aku mengira Thio Tan Hong berkepala tiga bertangan enam, tidak tahunya dia cuma seorang mahasiswa yang lemah!"

   Katanya.

   "Memang begitulah romannya, tidak heran kongtia terperanjat,"

   Kata Cong Hay. Habis menenggak dua cawan pula, Lauw Kongkong berkata.

   "Katanya siauwkongtia tampan dan cerdik sekali, pula dia mengarti ilmu surat dan ilmu silat, kenapa dia tidak diundang hadir di sini?"

   "Anakku justeru bandel, mana aku berani terima pujian kongkong ?"

   Menyahut Bhok Kokkong.

   "Sekarang ini aku justeru menyuruh dia menyimpan diri dalam kamar tulisnya untuk memahamkan kitab-kitab, dari itu aku tidak berani menitah dia menemui tetamu-tetamu agung."

   "Kongtia terlalu merendah,"

   Berkata Cong Hay.

   "Bukankah peri bahasa tua membilang, yang tahu anak hanyalah ayahnya! Siauwkongtia pintar, itulah berkat ajaran kongtial"

   Bhok Cong pikirkan perkataan congkoan itu, ia menyangsikan ada maksudnya yang lain. Justeru itu, Lauw Kongkong berkata pula.

   "Ya, kabarnya kemarin dulu siauwkongtia mengepalai upacara pembukaan kuil Senghong bio, hal itu menggemparkan seluruh kota ini. Dia masih muda sekali tapi sudah pandai bekerja, di belakang hari kemajuannya tak ada batasnya! Aku minta sukalah kongtia mengundang dia keluar menemui kami."

   Bhok Kokkong cuma berdiam sebentar, lantas dia suruh hambanya mengundang puteranya.

   Dia sudah pikir untuk berpura-pura pilon, sebentar di muka mereka ini, hendak ia menegur puteranya itu sekalian menyuruh membongkar pula kuil Senghong itu.

   Tidak lama, hamba itu balik sambil berlari tersipu-sipu dan gugup romannya.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia bersendirian saja.

   "Kenapa siauwkongtia tidak datang bersama?"

   Bhok Cong tanya, hatinya berdebaran.

   "Apakah dia lagi salin pakaian?"

   


Amanat Marga -- Khu Lung Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id Hong Lui Bun -- Khu Lung

Cari Blog Ini