Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 15


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 15



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dia berkata, dingin.

   "Hm! hm! Apakah kamu menyangka aku sebagai bocah enam tahun yang lampau ketika aku masih belum mengarti apa-apa? Lekas bilang, sebenarnya apakah kamu perbuat terhadap Thian Touw? Kamu meniru tulisannya itu! Mana dapat kamu mengelabui aku?"

   In Tay berkelit terus.

   "Kau lihatlah biar terang!"

   Ia masih berkata.

   "Surat itu tulisan tangannya Thian Touw sendiri! Mengapa kau bilang surat tiruan?"

   In Hong tertawa dingin.

   "Kau masih mendustai"

   Bentaknya.

   "Nanti aku bikin picak matamu!"

   Kali ini si nona menyerang dengan empat biji senjata rahasianya. Menyusul itu terdengarlah suara "traang!"

   Beberapa kali dan ke empat senjata rahasia itu terhajar hancur, oleh seorang Uighur sahabatnya Hek In Tay.

   In Tay sendiri menghunus senjatanya, sepasang poankoan pit, senjata mirip alat tulis, dengan apa ia menangkis Cengkong kiam.

   Ia menangkis dengan tangan kirinya sebab dengan tangan kanan ia membalas menyerang, menotok ke arah buah dada.

   Ia murka, karena ia pun berseru.

   "Sebenarnya kami memandang kepada saudara Thian Touw! Apakah kau sangka kami jeri terhadapmu? Perempuan ini tidak tahu aturan, mari kita bereskan dia dulu!"

   Dan ia menyerang pula.

   Kawannya In Tay ada tiga, dua di antaranya orang-orang Uighur, yang masing-masing bergegaman gembolan kuningan serta golok bulan sabit, sedang yang ketiga bersenjatakan sepotong kongpian panjang setombak, ketika dia menyerang, merabuh ke bawah, cambuk itu memperdengarkan siu-ran angin keras.

   Yang terliehay adalah In Tay sendiri, walaupun dia sudah terluka pundaknya, sepasang pit-nya hebat sekali, senantiasa mencari jalan darah.

   In Hong melayani dengan tabah, bahkan ia tertawa panjang.

   Ia tidak mengambil mumat yang ia dikepung berempat, ia bergerak ke segala penjuru dengan gesit sekali.

   Kedua orang Uighur itu mengandal betul kepada senjatanya masing-masing, yang berat, mereka berdaya akan membentur pedang si nona, tetapi nona itu memperlihatkan kelincahannya, jangan kata pedangnya, ujung bajunya pun tak dapat dilanggar, bahkan pedangnya berkelebatan di muka orang.

   Demikian ketika si nona berseru, si orang Uighur yang memegang gembolan kena tertikam.

   "Jangan mengadu jiwa!"

   In Tay berteriak.

   "Kurung saja padanya!"

   Ia pun mendesak terlebih hebat, sepasang pit-nya bergerak gesit ke kiri dan kanan.

   Orang yang memegang kongpian berkelahi secara renggang, ia menjauhkan diri kira-kira satu tombak.

   Cuma In Tay yang mendesak rapat.

   Kedua orang Uighur itu pun tidak merapatkan diri, mereka bersikap hendak meme-gat jalan mundur lawannya.

   Sin Cu menonton sejak tadi, kemudian ia menjadi tak sabaran.

   "Encie Leng, apakah kau hendak bikin picak si kurus ini?"

   Ia menanya.

   "Benarkah?"

   "Benar!"

   In Hong memberikan penyahu-tannya.

   "Baik!"

   Berkata Sin Cu.

   "Tidak usah encie turun tangan, nanti aku lebih dulu membikin buta mata kirinya!"

   In Tay telah berjaga-jaga terhadap nona itu, hanya melihat usia orang lebih muda daripada In Hong, ia tidak memandang mata. Maka juga ia tertawa berkakak ketika ia mendengar nona itu memperdengarkan suaranya, yang ia anggap omong besar belaka.

   "He, budak cilik!"

   Ia membentak.

   "Tuan besarmu ini semua ada ahli senjata rahasda, maka lihatlah siapa yang terlebih dulu matanya picak!"

   Dengan melindungi mukanya dengan sebelah senjatanya, orang she Hek itu mendahulukan menyerang dengan panah tangannya, yang dia sembunyikan di dalam tangan bajunya.

   Sin Cu menyingkir dari penyerangan itu, sambil menyingkir ia membalas, maka meluncurlah bunga emasnya, yang cahayanya berkilauan.

   Hek In Tay menangkis dengan poankoan pit, tetapi bunga emas itu luar bisa, setelah tertangkis lalu berbalik menyambar pula.

   Kaget In Tay, hendak ia menangkis pula seraya bertindak mundur.

   Justeru itu, In Hong maju mendesak, dengan jurus "Mega melintang di gunung Cin Nia,"

   Dia membuatnya sepasang poankoan pit musuh kena tertutup.

   Maka kimhoa menyambar tanpa rintangan, dan benar saja, bunga itu menancap di mata kiri orang! Bukan main In Tay merasakan sakit, sambil menjerit keras, ia menyerang dengan menimpuk dengan sepasang senjatanya, atas mana In Hong berlompat mundur.

   Nona ini masih dapat melihat tubuh orang roboh dan menggelinding.

   "Ini aku kembalikan panah tanganmu!"

   Berseru Sin Cu seraya menimpuk.

   Sebab tadi sambil berkelit, ia menanggapi panah tangan orang she Hek itu.

   Sebab In Tay bergulingan, panah tangannya itu gagal mengenai tubuhnya.

   Kedua orang Uighur itu melihat bahaya, mereka juga menyerang dengan senjata mereka seperti caranya In Tay, habis mana mereka menjatuhkan diri untuk menyingkir sambil menggulingkan diri juga.

   Tinggallah satu musuh, yang bersenjatakan kongpian.

   Dia pun hendak menyingkir tetapi dia kena dihalangi Sin Cu.

   Dia adalah Ouw Hong, satu berandal kuda di tapal batas.

   Dia gagah, melihat si nona masih sangat muda dan senjatanya pun pedang, ia tidak memandang mata.

   Di lain pihak, cambuknya panjang.

   Maka itu, dengan berkelahi renggang, ia menyerang bertubi-tubi.

   Hebat desiran cambuknya itu.

   Dia mengharap si nona terluka, atau sedikitnya orang membuka jalan untuknya.

   Sin Cu tidak mengasi dirinya dipermainkan.

   Melayani musuh itu, ia keluarkan ilmu silatnya "Menembusi bunga mengitarkan pohon,"

   Dengan lincah ia bergerak-gerak menyingkir dari setiap ujung cambuk.

   Akhirnya, Ouw Hong bercekat sendirinya.

   Ia tidak menyangka si nona ada demikian liehay.

   Karena ini ia memikir untuk mengangkat kaki saja.

   Ia mau segera mengundurkan diri.

   Tapi untuknya sudah kasep.

   Sin Cu dengan berani mendesak rapat, hanya dengan dua kali berkelebat pedangnya, pedang Cengbeng kiam itu telah memapas kutung cambuk orang hingga menjadi tiga potong, sesudah mana dengan tikaman "Ular putih memuntahkan bisa,"

   Ia menikam tenggorokan musuh itu.

   "Tahan, enciel"

   Berseru In Hong seraya tertawa.

   "Kasilah dia hidup, hendak aku menanyakan keterangannya!"

   Sembari berkata begitu, ia lompat akan menotok jalan darahnya Ouw Hong.

   "Suratnya Hok Thian Touw itu, bukankah kamu yang memalsukannya?"

   Nona Leng menanya dengan bengis.

   "Itu bukan urusanku,"

   Sahut Ouw Hong.

   "Itulah pekerjaan Hek Toako."

   "Kenapa kamu dapat meniru tulisannya Thian Touw,"

   In Hong menanya pula.

   "Hek Toako telah memancing seorang bekas suya dari Liang-ciu, dengan menggunakan tempo satu bulan, bisalah si suya meniru tulisan tangan orang,"

   Ouw Hong menerangkan. In Hong tertawa dingin.

   "Sungguh hebat kamu berpikir,"

   Katanya.

   "Bagaimana dengan Thian Touw? Dia sebenarnya ada di mana? Cara bagaimana kamu dapat mencuri suratnya untuk ditiru tulisannya itu?"

   "Hok Thian Touw..."

   Kata si berandal kuda perlahan.

   "Hok Thian Touw sudah mati..."

   In Hong kaget hingga mukanya menjadi pucat.

   "Mati!"

   Teriaknya.

   "Kenapa dia mati?"

   "Dia dibunuh Hek In Tay,"

   Ouw Hong menjawab pula. Kembali In Hong tertawa dingin.

   "Dengan kepandaiannya itu In Tay dapat membinasakan Thian Touw!"

   Katanya.

   "Hm! Kau ngaco belo? Apakah maksudmu dengan mendusta?"

   Bergeraklah dua jari tangan si nona, mengancam ke kedua biji mata si berandal.

   "Tahan, ceecul"

   Menjerit Ouw Hong.

   "Nanti aku omong terus terang!"

   "Kau bicaralah!"

   Si nona berkata dengan mata mendelik.

   "Asal kau mendusta, akan aku kutungi lidahmu!"

   "Pada suatu hari Hok Thian Touw itu di kaki bukit Hoasan telah bertemu sama Taybok Sinlong Hamutu,"

   Menerangkan Ouw Hong.

   "Hamutu hendak merampas kitab ilmu pedang. Keduanya jadi bertempur, keduanya sama-sama mendapat luka. Menggunai saat orang terluka, Hek In Tay mengusir Taybok Sinlong, kemudian dia meminta kitab pedang kepada Thian Touw, katanya sebagai pembalasan budi. Thian Touw menolak. Karena ini, mereka jadi berkelahi. Karena keterlepasan tangan, Hek Toako dapat menotok Hok Thian Touw, kemudian hendak ia menolongi tetapi, sudah kasep. Ia menyesal pun tidak berguna."

   Taybok Sinlong Hamutu itu si Srigala Sakti Dari Gurun Pasir adalah satu hantu di tapal batas, dan keterangannya Ouw Hong itu agaknya masuk di akal.

   Mendengar itu, In Hong kaget bukan main.

   Mendadak ia memuntahkan darah.

   Sin Cu kaget, ia menubruk untuk pepa-yang sahabatnya itu.

   "Encie Leng, sabar!"

   Ia berkata, menghibur.

   "Mari kita menanya dulu biar jelas."

   Baru Nona Ie berkata demikian, atau mendadak kupingnya mendengar suara tubuh roboh, tatkala ia menoleh, ia menampak Ouw Hong bergulingan ke bawah gunung.

   Sebab berandal ini, yang dapat membebaskan dirinya sendiri, sudah lantas melarikan diri.

   Dalam kagetnya Sin Cu hendak mengejar musuh itu, tetapi In Hong, yang mandi air mata, telah berseru.

   "Thian Touw mati! Tidak, aku tidak percaya!"

   "Memang, tidak seharusnya kau percaya!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Cu bilang.

   "Ya, pikiranku kalut, otakku tidak mau dengar kata!"

   Kata si Nona Leng.

   "Aku akan mendengar kau, encie yang baik, kau bicaralah."

   Sin Cu tahu bagaimana harus memperlakukan orang.

   "Encie, kau tutur-kanlah,"

   Ia berkata, halus. In Hong mengangkat kepalanya, ia memandang salju di puncak gunung, yang ia menganggapnya seperti gunung Thian San, dan di dalam sinarnya salju itu seperti berbayang tubuhnya Thian Touw...

   "Kita kedua keluarga Leng dan Hok bersahabat turun temurun,"

   Ia berkata, memulai.

   "Kita sama-sama berasal dari Kanglam dan bertetangga juga. Kira-kira seratus tahun yang lampau, ialah di akhir kerajaan Goan atau di permulaan kerajaan Beng, selagi jago-jago berbangkit bangun memperebuti kota-kota dan daerah, hingga Tionggoan menjadi kacau sekali dan rakyat menderita, kita kedua keluarga mengungsi ke Hweekiang yang jauh itu. Kita kedua keluarga lalu diikat dengan pernikahan satu dengan lain. Sampai kepada ayahku dan pamanku, ayah mempunyai cuma aku seorang anak perempuan dan engku Hok Heng Tiong juga mempunyai Thian Touw yang menjadi kakak misanku itu. Ayah menutup mata siang-siang, dari itu aku menumpang tinggal pada engku, yang merawatku hingga besar. Kedua keluarga kita memang keluarga yang mengarti ilmu silat, maka juga engku Heng Tiong berhasil mewariskan ilmu silat kedua keluarga. Dia gagah dan berani, di masa mudanya pernah dia merantau ke Tionggoan, untuk mengumpulkan ilmu silat pedang dari pelbagai partai. Ketika dia mendapat kenyataan Tionggoan masih diganggu peperangan, dia pulang ke Thian San untuk hidup menyendiri. Di sini dia membangun partai persilatan Thian San Pay. Dia sudah mencoba mengumpulkan pelbagai ilmu silat, hingga rambutnya putih, dia masih belum puas, tapi dia tidak putus asa, dia bekerja terus. Rupanya dia terlalu bekerja keras, belum berumur lima puluh tahun, dia menutup mata. Dia memesan Thian Touw untuk melanjuti usahanya itu, memesan juga untuk semua turunannya meyakinkan terus, supaya Thian San Pay berdiri sebagai pengumpul ilmu silatnya pelbagai partai."

   Ketarik hati Sin Cu mendengar keterangan itu.

   "Hebat semangatnya Hok Heng Tiong,"

   Pikirnya.

   "Dia dapat disamakan Gie Kong yang hendak memindahkan gunung. Kalau Thian Touw masih hidup, aku nanti minta suhu membantu hingga dia mencapai cita-cita leluhurnya itu."

   Habis hening sebentar, In Hong melanjuti ceritanya.

   "Ketika engku menutup mata, usiaku baru dua belas tahun. Thian Touw lebih tua empat tahun. Dasarnya ilmu silatku adalah engku yang menanamnya, tetapi ilmu silat pedangnya aku dapatkan dari Thian Touw. Kita sama-sama tidak mempunyakan orang tua, kita hidup bersama melebihkan rapatnya saudara-saudara kandung. Thian Touw itu bagus segala apanya, dia polos dan sederhana seperti kau punya Yap Toako itu, cuma semangatnya rada besar, dia tidak sudi untuk selama-lamanya mendekam di Thian San. Sama sekali engku telah mengumpul kitab ilmu silat dua belas partai, sedang sebenarnya, semua partai ada tiga puluh enam, maka itu, ia baru mendapatkan satu per tiga bagian. Thian Touw hendak pesiar, untuk mewujudkan cita-cita ayahnya itu. Kalau sebegitu jauh dia belum juga pergi merantau, itulah disebabkan usiaku masih terlalu muda. Empat tahun telah lewat tatkala pangeran dari Watzu memimpin tentara menyerang Hweekiang hingga bagian selatan dan utara dari Thian San menjadi tidak aman. Karena itu pada suatu hari Thian Touw mengajak aku pulang ke Tionggoan, tempat asal kita. Ketika itu aku ingat keindahannya Tionggoan. Sebenarnya ayahku memberi nama Bok Hoa kepadaku, maksudnya supaya aku jangan melupakan Tionggoan. Karena itu, aku setuju ajakan itu."

   "Oh, begitu..."

   Kata Sin Cu perlahan.

   "Sekarang kau tahu, encie, kenapa begitu melihat surat Thian Touw aku ketahui kepalsuannya,"

   Berkata pula In Hong.

   "Nama In Hong aku pakai semenjak aku tiba di Tionggoan ini, Thian Touw tidak ketahui namaku ini. Ia selalu memanggil aku Adik Hoa, Adik Hoa..."

   "Encie berjalan berdua, kenapa encie berpisah daripadanya?"

   Sin Cu menanya.

   "Kamu orang Tionggoan mana kenal hebatnya gurun pasir,"

   Menyahut In Hong.

   "Gurun itu luas seperti tak ada ujung pangkalnya. Kita jalan sepuluh hari atau setengah bulan, kadang-kadang kita belum sampai kepada tujuan kita. Demikian kita terpisah di tengah-tengah gurun. Itu hari kita kehabisan air, lantas Thian Touw pergi ke sebuah gunung kecil akan mencari sumber air. Hari itu langit terang, bukit pun terletak dekat. Aku letih, aku membiarkan dia pergi seorang diri. Apa lacur, seperginya dia, datanglah angin besar, membuat pasir beterbangan. Di jarak sepuluh tindak, tidak dapat kita melihat satu pada lain. Aku kaget, aku lari-larian untuk menyusul Thian Touw, tetapi aku salah jalan, makin lama aku nyasar makin jauh. Akhirnya aku roboh terdampar angin. Ketika aku sadar sendirinya, aku lihat hanya pasir bertumpuk-tumpuk bagaikan bukit-bukit kecil. Bukit yang dipergikan Thian Touw tidak nampak pula. Masih untung untukku, aku bertemu sama rombongan saudagar gurun pasir, aku ikut mereka keluar dari gurun pasir itu. Thian Touw hendak pergi ke Tionggoan, aku lantas menuju ke mari. Sejak itu beberapa tahun sudah lewat, tidak pernah aku mendengar halnya Thian Touw, sampai datanglah hari ini. Inilah warta pertama untukku. Aku menyaksikan kabar ini, aku tidak tahu ia benar sudah mati atau masih hidup..."

   Sin Cu mendengeri dengan pikiran bekerja keras.

   "Aku lihat dia gagah dan bersemangat, siapa tahu, hatinya pun lemah juga,"

   Ia berpikir.

   "Dia mempunyakan Thian Touw yang gagah, yang dia buat andalkan, yang dapat dia memikirkannya, umpama kata toh terjadi hal tidak beruntung bagi Thian Touw itu, tidaklah kecewa hidupnya. Tapi aku..."

   Ia menjadi berduka sendirinya. Ia pun hidup sebatang kara, ayahnya terfitnah dan terbinasa, sekarang ia hidup sendirian, belum mempunyai andalan... Maka ia mengasihani In Hong berbareng ia memikirkan nasib sendiri..."

   In Hong melanjuti ceritanya.

   "Ketika kita berangkat bersama dari Hweekiang, Thian Touw titipkan kitab ilmu silat engku, yang terdiri dari dua belas jilid, katanya untuk aku yang menyimpannya. Pernah secara bergurau ia bilang, umpama kata satu hari kita ngalami malang dan berpisahan, ia pesan untuk aku meyakinkannya sendiri. Ia sendiri, bilangnya, sudah paham semua. Ia kata juga bahwa aku dapat melangsungkan cita-cita engku. Siapa nyana, berguraunya itu sekarang menjadi kenyataan. Ia kata ia sudah paham isi kitab, ini pun salah satu sebab kenapa aku lantas ketahui kedustaannya surat dari In Tay. Bukankah Thian Touw tak membutuhkan lagi kitab ilmu pedang itu? Kemudian, ketika aku tiba di Tionggoan, aku mendapatkan keamanan tetap terganggu, di sini rakyat bersengsara melebihkan penduduk Hweekiang. Seorang diri aku merantau, tanpa merasa aku menjadi seorang kasar. Aku telah tolongi sejumlah anak-anak perempuan yang bercelaka itu, tetapi itu bukan cara yang baik, maka akhirnya aku membangun sarangku ini, angkat diriku menjadi ceecu. Aku percaya, jikalau Thian Touw mengetahui sepak terjangku, dia pasti menyetujuinya. Ah, sayang aku tidak bakal bertemu pula dengannya..."

   "Hatimu mulia, encie, Thian pasti akan melindungi kau dan akan membuat kamu nanti bertemu pula satu sama lain,"

   Sin Cu menghibur.

   "Itulah pengharapanku,"

   In Hong tertawa sedih.

   "Hanya aneh rombongan In Tay itu. Kenapa mereka ketahui kitab berada di tanganku? Kenapa mereka ketahui tulisannya Thian Touw. Maka itu aku kuatir benar-benar Thian Touw terancam bahaya..."

   Tanpa merasa, air mata si nona mengalir turun. Sin Cu bingung. Sukar untuk menghiburnya.

   "Kedukaan dapat membuat orang celaka,"

   Katanya kemudian.

   "Di depan matamu, encie, ada satu usaha besar, maka itu baik kau tenangkan diri dan ingat usahamu ini. Aku harap encie bisa menjaga kesehatanmu."

   Kembali In Hong tertawa sedih. Habis itu, benar ia nampak tenang.

   "Aku mengarti, encie ,"

   Katanya, sungguh-sungguh.

   "Kau baik sekali! Kaulah yang mengetahui hatiku. Aku tidak punya kakak atau adik, aku anggap Thian Touw sebagai kakakku, maka itu sekarang dan selanjutnya, aku pun ingin pandang kau sebagai saudaraku!"

   "Inilah yang mengharapnya pun aku tidak berani!"

   Sahut Sin Cu, yang menjadi girang sekali. Mereka lantas saling mengasi tahu umur mereka. Nyata In Hong lebih tua dua tahun, maka ia menjadi kakak. Untuk mengangkat saudara, mereka gunai tanah sebagai gantinya hio. Lalu Sin Cu memanggil "Encie1."

   Dan In Hong memanggil "Adik!"

   Upacara sangat sederhana itu ditutup dengan bercucurannya air mata mereka saking terharunya hati mereka itu, saking girang di akhirnya. Tidak lama setelah itu, mereka melihat Seng Lim mendatangi, keluar dari antara pohon bwee yang lebat.

   "Apakah tidak terjadi sesuatu?"

   Anak muda itu menanya.

   "Tentara-mu tidak melihat kau, nona, dan mereka mendengar banyak tindakan kaki, mereka jadi ribut sendirinya."

   "Tidak apa-apa!"

   Menyahut In Hong sambil tertawa. Siangsiang ia sudah menepas kering air matanya.

   "Malam ini indah, bersama Nona Ie ini aku jalan-jalan ke sini. Kalau mereka bingung, baik aku lantas pulang. Karena malam permai, kau sendiri baiklah menemani nona ini menggadanginya sebentar."

   Ia berkata seraya terus bertindak pergi. Sin Cu hendak mencegah tetapi sudah tidak keburu. Sejenak itu, hati nona ini berdenyutan.

   "Sungguh kamu gembira sekali!"

   Berkata Seng Lim tertawa.

   Sin Cu berdiam, ia ingat kebaikannya In Hong.

   Ia juga mengagumi nona itu, yang hatinya kuat, yang dapat mengatasi penderitaannya.

   Seng Lim bertindak mendekati.

   Ia melihat orang tunduk, samar-samar ia mendapatkan orang sering melirik kepadanya, maka mukanya menjadi merah sendirinya.

   Ia mundur dua tindak.

   "Nona Ie, kau tengah memikirkan apa?"

   Ia menanya. Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya.

   "Yap Toako,"

   Katanya.

   "bagaimana kau lihat ceecu ini?"

   Seng Lim melengak, lalu ia tertawa.

   "Dia gagah dan pintar,"

   Ia menyahut.

   "Dialah wanita sejati, wanita jantan!"

   Hati si nona tergerak. Ia membuat main cabang dan daun bwee.

   "Apa katanya Leng Ceecu kepadamu?"

   Seng Lim menanya.

   "Tidak apa-apa. Eh, Yap Toako, aku ingin tanya kau satu hal."

   "Silahkan."

   "Orang dulu bilang, dua perasaan saling suka, keras emas atau batu, benarkah itu?"

   Air mukanya Seng Lim merah hatinya goncang.

   "Begitulah katanya orang dulu. Umpama Ciok Eng Tay, yang sesudah mati menjadi kupu-kupu, atau Beng Kiang Lie yang menangiskan Tembok Besar. Perasaan atau cinta mereka itu dapat menggeraki langit dan bumi. Itu dia yang dibilang keras seperti emas dan batu. Kau baca lebih banyak buku dari aku, nona, kau mengarti lebih banyak lagi."

   "Orang dulu demikian, bagaimana orang jaman sekarang?"

   Seng Lim bersenyum.

   "Aku lihat, dulu dan sekarang sama saja."

   "Tapi toh ada bedanya dengan perbuatan orang yang bersangkutan sendiri..."

   "Memang, siapa cocok satu pada lain, di antara mereka baru ada cinta."

   Sin Cu berpikir.

   "Diumpamakan orang menyinta satu kepada lain, lalu satu sebab membikin mereka berpisahan, terpisahnya jauh, kabar ceritanya tidak ada, tak tahu juga sampai kapan mereka bakal bertemu pula, kalau begitu, pantas atau tidak apabila hati Selagi mengangkat saudara, Leng In Hong dan Ie Sin Cu melihat Seng Lim mendatangi, keluar dari pohon bwee yang lebat. mereka tak berubah sampai di akhirnya?"

   Seng Lim heran. Ia tidak ketahui hal ikhwalnya In Hong. Ia pikir.

   "Kiranya si nona sangat jatuh hati kepada Keng Sim, kalau begitu tak boleh aku lancang... Maka sambil tertawa tawar ia menyahut.

   "Itulah bukan soal pantas atau tidak, itulah soal cintanya. Menurut aku, setelah mereka saling menyintai, pasti hati mereka tidak berubah."

   "Bagaimana kalau salah satu pihak telah menutup mata?"

   "Mana orang muda demikian gampang mati? Kau bicara dari hal siapa?"

   Pemuda ini menjadi heran.

   "Aku lagi bicara saja, Yap Toako. Adat peradatan kita membilang, wanita itu wajib mengikuti suaminya sampai di hari akhirnya, tetapi kalau mereka belum menikah dan bakal suaminya sudah mati lebih dulu, apakah dia mesti tetap bersetia pada bakal suaminya itu?"

   Melihat orang bicara dengan sungguh-sungguh, Seng Lim tidak berani omong sembarangan.

   "Ini pun terserah kepada orang yang bersangkutan sendiri. Kalau dia mau bersetia, dia setia terus, kalau tidak, dia boleh berubah hatinya."

   "Menurut kau, toako, mana lebih baik, tetap setia atau berubah?"

   "Kalau orang itu diumpamakan aku, setelah aku mati dan aku ketahui halnya, aku pasti mengharap kekasihku itu mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku,"

   Sahut Seng Lim.

   "Inilah untuk menjaga jangan dia menjadi sebatang kara dan kesepihan hidupnya. Eh, mengapa malam ini kau menanyakan urusan seaneh ini?"

   Si nona tertawa.

   "Terima kasih untuk keteranganmu ini,"

   Katanya.

   "Kau membuatnya hatiku terbuka. Benar, dia tak dapat dibikin sebatang kara dan sepih hidupnya!..."

   Seng Lim menjadi terlebih heran.

   "Eh, kau bicara dari hal siapa?"

   Ia mananya.

   "Dari halnya satu encie-ku yang baik. Nanti kau ketahui sendiri."

   Seng Lim tidak usilan, meskipun ia heran, ia tidak menanya lebih jauh. Ia hanya mengawasi si nona, yang memandang ke arah jauh, agaknya nona itu berduka berbareng girang.

   "Ah, di sini dingin, dingin sekali..."

   Kata si nona kemudian.

   "Memang hawa udara di sini tak dapat dibanding dengan hawa udara di Kunbeng,"

   Berkata Seng Lim.

   "Coba bilang,"

   Mendadak si nona kata.

   "Tiat Keng Sim itu bakal kembali atau tidak?"

   Seng Lim heran. Itulah pertanyaannya kepada si nona, sekarang di pakai untuk menanya padanya. Ia menyesal, tetapi ia menjawab.

   "Tentang Tiat Kongcu, kau mengetahui lebih dalam daripada aku. Benar, hawa dingin sekali, mari kita pulang."

   Pemuda ini tidak ketahui hati si nona, ia menyangka orang tak dapat melupakan pemuda she Tiat itu, Sin Cu dapat menerka Seng Lim menduga tetapi sesaat itu ia tidak hendak memberikan penjelasannya.

   Besoknya, setelah Tiauw Im Hweeshio memperoleh obat pemunah dari Han Cin Ie dan ia berhasil mengobati semua orang Kaypang yang terluka, ia mendaki gunung, untuk bertemu sama Leng In Hong dan lainnya.

   Di situ dilakukan pembicaraan soal keberangkatan tentara wanita dari Huyong San ini untuk menggabungkan diri dengan tentara rakyat di bawah pimpinan Yap Cong Liu.

   In Hong berduka, halnya itu cuma Sin Cu seorang yang mendapat tahu, tetapi ia dapat menguati hati, ia tidak memberi kentara dari kedukaannya itu.

   Ia mencoba bersikap seperti biasa.

   Di tengah jalan, Sin Cu sengaja mengatur dengan diam-diam agar nona itu berjalan sama-sama Seng Lim.

   Keduanya bicara secara umum, karena keduanya tidak mengetahui akalnya Nona Ie.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bicara dari hal ilmu perang, keduanya cocok sekali satu dengan lain.

   Kapan Sin Cu memandang mereka berdua, mendadak ia membayangi pula impiannya.

   Ia dapat merasa Seng Lim dan In Hong adalah orang-orang mirip pohon tayceng.

   Ia girang dan masgul, masgul seorang diri, tanpa In Hong dan Seng Lim mengetahuinya.

   Setengah bulan kemudian rombongan tentara suka rela ini tiba di pusat tentara rakyat di Ciatkang.

   Sin Cu berduka kapan ia mengingat jauh ke depan, ingat hari-hari yang telah lalu.

   "Dulu hari di Tay-ciu,"

   Berkata Seng Lim tertawa.

   "kaulah satu-satunya pendekar wanita, sekarang kau dikawani oleh Leng Ceecu serta tentara-nya, maka itu lain kali kau tidak usah menyamar lagi sebagai seorang pemuda!"

   Sin Cu bersenyum walaupun hatinya pepat.

   Itu waktu terlihat satu pasukan tentara mendatangi ke arah mereka, yang menjadi pemimpin masing-masing ada seorang pria dan seorang wanita.

   Mereka itu ialah Seng Hay San dan Cio Bun Wan.

   Heran Seng Lim, hingga ia berkata.

   "Aneh, kenapa mereka sudah lantas mendapat kabar hingga mereka dapat ketahui hari ini kita bakal tiba di sini?"

   Ia berkata begitu karena menyangka Pit Keng Thian mengutus pasukan untuk menyambut mereka.

   Dari jauh-jauh Cio Bun Wan sudah lantas mengenali Sin Cu, maka itu ia kaburkan kudanya, hingga ia lantas sampai kepada Nona Ie, tangan siapa ia jabat keras-keras.

   "Encie Sin Cu, kau pulang asalmu, kau bertambah cantik!"

   Memuji Nona Cio itu.

   "Apakah kau bertemu sama aku punya Tiat Suko?"

   Nona Ie mengangguk.

   "Panjang untuk menutur,"

   Sahutnya.

   "tetapi sekarang ia berbahagia berdiam di istana Bhok Kokkong di Kunbeng, hingga tak usah kau menguatirkan-nya, tak usah kau memikirkannya lagi. Bagaimana ayahmu?"

   "Semenjak peristiwa itu malam, sampai sekarang ayah belum pulang,"

   Menyahut Bun Wan.

   Sin Cu berdiam, air mukanya guram.

   Ketika kemudian ia mengangkat kepala, ia lihat Seng Hay San dan Seng Lim tengah bicara dengan tangan dan kakinya bergerak-gerak, melihat wajahnya, dia tidak puas.

   Ia pun mengawasi Bun Wan, yang dari kerutan alisnya nyata dia berduka.

   "Apakah Yap Tongnia baik?"

   Sin Cu menanya. Ia ingat suatu apa.

   "Bukankah kamu datang ke mari untuk menyambut kami?"

   "Kami dititahkan Pit Toaliongtauw untuk pergi berperang,"

   Menjawab Nona Cio.

   "Hm! Hm! Jikalau kami tidak memandang kepada Yap Tongnia, tidak nanti kami suka mentaati titahnya!" *** Ie Sin Cu tertawa.

   "Tentara rakyat sudah bergerak, mana dapat kita luput dari peperangan?"

   Kata ia.

   "Kita bukannya takut berperang, hanya medan perangnya tak terpilih tepat,"

   Berkata Cio Bun Wan.

   "Bagaimana?"

   "Tentara kita terdiri dari kaum nelayan,"

   Seng Hay menjelaskan.

   "dari Tayciu kita dipindahkan ke Un-ciu, selama setahun lebih kita berperang di air, saban-saban kita beroleh kemenangan, sekarang kita harus berkelahi di tanah datar, kita pun mencil sendiri dan masuk ke perdalaman. Kita dititahkan maju ke Sianggiauw, Kangsee. Bukankah itu tak tepat, bahkan melanggar pantangan ilmu perang?"

   "Laginya dengan ke-barangkatan kita. Unciu menjadi kosong""

   Menambahkan Bun Wan.

   "Umpama kata tentara negeri menyerang dengan ambil jalan air, berbahayalah kota itu."

   Seng Lim mengerutkan kening.

   "Pit Kheng Thian mengarti baik ilmu perang,"

   Ia berkata.

   "tempo dulu ia masih menjadi berandal di Shoatang, tak kurang daripada seratus kali ia bertempur sama tentara negeri, baik pertempuran kecil maupun pertempuran besar, ia selalu menang, maka kenapa ia mengatur begini rupa? Pernahkah kamu bicarakan ini dengan pamanku?"

   "Sudah. Tapi Pit Kheng Thian telah mengeluarkan titahnya, tak mau ia menarik pulang. Dua kali Yap Tongnia bicara, tidak ada hasilnya, akhirnya ia menasihati kami untuk menurut saja, guna mencegah bentrokan. Yap Toako, sekarang kau pulang, coba kau tolong omongkan. Sebenarnya kami tidak ingin meninggalkan kampung halaman kami..."

   "Baik, nanti aku menemui Pit Kheng Thian,"

   Menyahut Seng Lim.

   "Cuma titah telah dikeluarkan, dalam ketentaraan, aturan yang dimuliakan, maka baiklah kamu bekerja terus. Jikalau aku berhasil bicara dengan Pit Kheng Thian, nanti aku mengirim warta cepat untuk menarik pulang pada kamu."

   Seng Lim bersama Sin Cu pulang ke markas besar. Di sana Pit Kheng Thian dan Yap Cong Liu lagi berunding, kapan ia mendengar kabar kembalinya mereka, lekas-lekas ia keluar menyambut.

   "Yap Laotee, banyak capai!"

   Katanya, tertawa.

   "Pergi kau beristirahat dulu! Ah, Nona Ie, kau pun pulang! Aku memang lagi memikir untuk membangun satu pasukan wanita, pulangmu ini bagus sekali."

   Matanya lantas melihat semua orang. Pek Beng Coan lantas mengajar kenal.

   "Inilah ceecu Leng In Hong dari gunung Huyong San di Kangsee!"

   Kheng Thian mengangkat tangannya, akan memberi hormat pada In Hong.

   "Sudah lama aku mendengar nama besar dari Leng Ceecu."

   Katanya. In Hong tertawa.

   "Aku pun telah mendengar namamu!"

   Sahutnya.

   "Kau telah mengirim orang merampas piauwnya Han Cin Ie, cara yang kau pakai hebat sekali, hingga aku tak dapat menerkanya bahwa itulah perbuatannya Toaliongtauw dari delapan belas propinsi yang namanya kesohor di kolong langit ini!"

   Selagi mereka berbicara, mereka telah sampai di dalam. Yap Cong Liu mendapat dengar perkataannya Nona Leng itu.

   "Apa?"

   Tanyanya.

   "Siapakah yang merampas piauw-nya Han Cin Ie?"

   Parasnya Kheng Thian berubah, tetapi ia menyahuti, secara tawar.

   "Akulah yang mengirim orang untuk merampasnya,"

   Ia mengakui.

   "Piauw itu ada keperluannya tentara negeri di Ouwpak. Ah, Goan Kiong, berhasilkah kau merampas piauw itu?"

   "Pit Toaliongtauw, siauwtee datang untuk memohon maaf!"

   Seng Lim mendahului Pit Goan Kiong menyahut. Kheng Thian heran. Ia menentang kedua matanya.

   "Untuk apakah?"

   Ia tanya.

   "Oleh karena siauwtee telah membayar pulang piauw itu."

   Seng Lim menjelaskan.

   "Sepuluh laksa serdadu negeri itu, tanpa rangsum, bakal mencelakai rakyat jelata. Karena kita menyebut diri tentara rakyat, maka untuk bertindak kita harus melihat salatan."

   "Sungguh murah hatimu!"

   Kata Kheng Thian yang tertawa dingin.

   "Pembilangannya Seng Lim beralasan,"

   Berkata Cong Liu.

   "Kita ada rakyat jelata, kita berperang untuk rakyat jelata, sudah tentu paling dulu kita mesti melindungi kepentingan rakyat jelata juga. Laginya piauwsu tua itu seorang laki-laki sejati, tak tega hatiku kalau karena piauw itu ia mesti mengurbankan rumah tangga dan mungkin jiwanya juga."

   Wajahnya Kheng Thian menjadi gelap sejenak, kemudian ia tertawa lebar.

   "Yap Laoteel"

   Katanya.

   "kau muda dan gagah, pandanganmu pun jauh, aku kagum untukmu! Tentang piauw itu, aku tidak hendak menarik panjang, sudah dilepaskan, sudah saja. Bagaimana tentang kepergianmu ke Tali, dapatkah kau bertemu dengan Thio Tan Hong? Apa katanya dia? Dan mana itu peta, sudah didapat atau belum?"

   "Thio Tayhiap pun menyampaikan hormatnya untuk paman,"

   Berkata Seng Lim, menyahuti.

   "Peta itu ada di sini."

   Tidak puas Kheng Thian mengetahui Tan Hong cuma memperhatikan Cong Liu, tetapi ia tidak membilang suatu apa, hanya ia mengulurkan tangannya guna menyambuti peta dari tangan Seng Lim itu. Justeru tangan orang diulur, Sin Cu berkata dengan cepat.

   "Peta guruku ini ada untuk Yap Tongnia."

   Seng Lim tercengang, akan tetapi hanya sejenak, ia terus berpaling kepada pamannya kepada siapa ia serahkan peta itu.

   Parasnya Kheng Thian menjadi bermuram durja, saking mendongkolnya.

   Ia baru hendak mengasi dengar suaranya, ketika Cong Liu menoleh kepadanya.

   "Pit Laotee, kau terimalah ini!"

   Katanya sambil tertawa. Ia pun mengangsurkan peta itu, yang ia baru terima dari keponakannya. Kheng Thian segera membeber peta itu.

   "Kenapa ini hanya peta lima propinsi di Kanglam?"

   Ia bertanya.

   "Karena maksudnya Thio Tayhiap supaya kita jangan terburu napsu untuk maju,"

   Seng Lim menerangkan.

   "Kalau kita dapat melindungi wilayah Kanglam dan hidup bersama rakyat sambil beristirahat, itu artinya kita membangun dasar untuk tak dapat dikalahkan."

   Kembali wajahnya Kheng Thian menjadi suram. Ia sangat tak setujui sikap menanti itu. Sebelum ia sempat membuka mulut, Seng Lim sudah berkata pula.

   "Barusan di luar tangsi aku bertemu sama Seng Hay San, katanya Pit Toaliongtauw mengirim ia ke Sianggiauw. Benarkah itu?" ' "Habis kenapa?"

   "Pasukannya Seng Hay San itu terlatih untuk peperangan di air, sekarang ia di kirim ke tanah pegunungan, aku lihat itu kurang tepat,"

   Menjawab Seng Lim.

   "Laginya menurut pandangannya Thio Tayhiap, memperkuat Kanglam ada tindakan paling utama, kalau kita memecah tenaga, untuk merampas daerah, Tayhiap kuatir kita nanti diserbu musuh!"

   "Hm!"

   Kheng Thian mengasi dengar suaranya yang dingin.

   "Thio Tayhiap, Thio Tayhiap. Kedudukan Toaliongtauw ini toh bukannya Thio Tan Hong yang mendudukinya!"

   Sin Cu gusar mendengar itu.

   "Pit Kheng Thian, apa kau bilang?"

   Ia menanya. Tidak bisa si nona mengendalikan diri lagi. Tidakkah gurunya, yang ia puja itu, telah diperhina? Kheng Thian memandang si nona dengan mata mendelik, setelah itu ia menoleh kepada Yap Seng Lim.

   "Thio Tan Hong banyak sekali pendapatnya!"

   Katanya.

   "Kenapa dia tidak datang sendiri ke mari?"

   "Karena sekarang ini Thio Tayhiap lagi mengantar puteri Iran ke kota raja,"

   Si anak muda menjawab. Kembali Kheng Thian mengasi dengar tertawanya yang dingin.

   "Pada sepuluh tahun dulu Thio Tan Hong pergi menyambut kaisar dari negera Watzu,"

   Katanya.

   "dan sekarang ia pergi pula ke kota raja menghadap sri baginda! Ha, tentulah bagiannya ada pangkat tinggi dan kebahagiaan!"

   Sin Cu murka sekali hingga ia merabah gagang pedangnya.

   "Jikalau guruku kemaruk sama kedudukan tinggi, negara Beng ini siang-siang sudah menjadi kepunyaannya Keluarga Thio!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berkata keras.

   "Mana ada bagianmu si orang she Pit!"

   Menampak demikian, Cong Liu segera maju sama tengah.

   "Thio Tayhiap bekerja untuk rakyat jelata, pasti dia bukannya seorang yang kemaruk sama kedudukan agung!"

   Ia menerangkan.

   "Ah, nona Ie, kau kurang sabar..."

   Pit Kheng Thian tertawa.

   "Nona Ie masih sangat muda, mustahil aku hendak menentangi dia?..."

   Hatinya Sin Cu masih panas tetapi ia ingat Kheng Thian pernah melepas budi sudah mengubur jenazah ayahnya, maka ia berdiam. Cuma di dalam hatinya, ia kata.

   "Karena budimu itu, baiklah, aku tidak akan melayani padamu!"

   "Thio Tan Hong memang seorang pandai,"

   Berkata pula Pit Kheng Thian.

   "akan tetapi ia berada jauh di Inlam Selatan, mana dia ketahui urusan dalam pasukan perang? Tentara negeri seratus lipat lebih besar daripada pasukan perang kita, jikalau kita tidak menyerang untuk merampas tempat atau kota, untuk lebih dulu mendapatkan beberapa kemenangan, mana dapat semangat rakyat dibuatnya terbangun? Mana bisa kita membikin seluruh negara menyambut gerakan kita? Dengan mengirim Seng Hay San ke Sianggiauw maksudku ialah kita menyerang untuk membuat perlindungan diri sendiri, guna membataskan pengaruh musuh yang tangguh. Tentara memang mesti pelajarkan ilmu perang di air, tetapi mesti dipelajari juga ilmu perang di darat, kalau tidak, dia cuma bisa menjagoi di laut."

   Sebenarnya Seng Lim hendak membantah, tetapi menampak orang sudah mulai bergusar, ia terpaksa menyabarkan diri.

   "Tentang mengatur siasat, akulah seorang kasar, aku tak dapat membilang suatu apa,"

   Berkata Cong Liu tertawa.

   "tetapi apa yang dibilang Toaliongtauw dan Thio Tayhiap, masing-masing ada alasannya sendiri, maka itu sekarang ini baiklah kita bersabar sampai lagi beberapa hari, kita nanti minta pertimbangan dari semua pemimpin kita. Pepatah pun membilangnya, seorang pikirannya pendek, dua orang pikirannya panjang. Singkatnya biarlah kita beramai samasama memikirkan suatu daya yang sampurna."

   Dengan kata-katanya Cong Liu itu, mukanya Kheng Thian menjadi terang pula.

   Karena itu, urusannya Seng Hay San jadi tak dibicarakan lagi.

   Ketika malam itu orang bersantap, rata-rata mereka tidak bergembira.

   Setelah lagi dua hari, Pit Kheng Thian sudah mengirim lagi dua pasukan untuk pergi berperang.

   Dua-dua pasukan itu ada pasukan-pasukan seba-wahannya Yap Cong Liu.

   Menampak begitu, Leng In Hong berkata kepada Sin Cu.

   "Aku lihat urusan rada aneh. Kenapa yang di kirim selalu pasukannya Yap Tongnia ?"

   Nona Leng tanya.

   Sin Cu tidak bisa bilang suatu apa.

   Ia heran tetapi ia tidak bercuriga.

   Ia hanya percaya Keng Thian berbuat demikian karena dia kemaruk sama pahala.

   Syukur tentara yang di kirim itu dapat berkelahi dengan baik.

   Tentara negeri dapat ditolak hingga ke luar batas gunung Sianhee Nia.

   Dua propinsi Kangsouw dan Ciatkang serta Hokkian Utara telah kena diduduki.

   Karena itu Kheng Thian saban-saban dapat mengadakan pesta kemenangan.

   Pula ada saja orang-orang Rimba Hijau yang datang mempersatukan diri, semua mereka ini memuji Toaliongtauw itu, si "kepala naga,"

   Hingga dia menjadi besar hati.

   Dengan lewatnya sang waktu tibalah musim semi dengan bunga-bunganya yang mekar.

   Itu waktu sepuluh laksa serdadu di Ouwpak, yang telah memperoleh rangsum, benar saja berangkat ke timur, barisan depannya sudah lantas sampai di Tunkee.

   Kheng Thian lantas mengirim Seng Lim untukmenahan lajunya tentara pemerintah itu.

   Kembali yang di kirim ini, sejumlah selaksa jiwa, pasukannya Yap Cong Liu, hingga hampir habislah tentaranya si pemimpin rakyat ini.

   Di harian keberangkatan Seng Lim, Kheng Thian sendiri pergi mengantar, Sin Cu dan In Hong turut bersama.

   Sampai jauhnya lima lie, Seng Lim minta pemimpin itu suka kembali saja.

   "Aku akan menantikan kabar baik dari kau, hiantee."

   Berkata Kheng Thian.

   "Kali ini musuh berjumlah besar dan kita sedikit, aku mengandal kepada kepan-daianmu. Kalau nanti tentara rakyat dari pelbagai daerah sudah berkumpul, akan aku mengirimkan bala bantuan untukmu."

   "Tempat ini ada pokok dasar kita, sudah seharusnya persiapan diperkokoh,"

   Berkata Seng Lim.

   "maka itu tak usahlah aku di kirimkan bala bantuan. Karena musuh besar dan kita sedikit, aku tidak berniat segera menempur musuh, hendak aku melihat dahulu keadaan tempat, guna membela diri saja, guna menggempur semangat mereka, supaya walaupun jumlah mereka banyak, tak ada niat mereka untuk berkelahi. Aku harap mereka bubar sendiri karena sang waktu."

   Kheng Thian bertepuk tangan memuji pemuda she Yap ini.

   "Kau pintar, hiantee, kau pasti bakal menang!"

   Katanya.

   "Setelah kau peroleh kemenangan nanti, akan aku ganjarkan kau sebagai pangeran Icie Pengkin Ong"

   Seng Lim mengerutkan kening.

   "Mana kita mengharapi ganjaran raja muda..."

   Katanya. Ia belum bicara terus, atau Kheng Thian telah memotong.

   "Benar, kita memang berkelahi untuk menolongi rakyat jelata dari marah bahaya!"

   Coba kata-kata itu keluar dari mulut Seng Lim, itulah tidak aneh, tetapi sekarang keluarnya dari mulut Kheng Thian, untuk kupingnya Sin Cu dan In Hong, itu tak sedap didengarnya.

   "Pit Toako, silahkan kembali!"

   Berkata Seng Lim sambil mengangkat kedua tangannya.

   "Untukku tak usah kau menambah bantuan, asal sudilah kau menerima satu permintaanku."

   "Silahkan sebutkan, hiantee."

   "Peperangan kali ini mungkin tak bakal selesai di dalam tempo yang pendek, karena itu aku minta rangsum untuk tentara nanti di kirim berangsur-angsur dengan tetap."

   Kheng Thian tertawa lebar.

   "Tentang itu tak usah hiantee pesan lagi!"

   Katanya Kheng Thian gembira.

   "Belum lagi tentara berangkat, rangsum sudah di kirim. Sekalipun rangsum tentara negeri hiantee telah lepaskan, mustahil aku nanti menahan rangsum untukmu?"

   Sampai di situ, Seng Lim berangkat. Tiba-tiba Sin Cu merasakan sesuatu.

   "Encie Leng, mari kita mengantar satu rintasan lebih jauh!"

   Ia mengajak In Hong. Nona Leng setuju, maka mereka jalankan kuda mereka berendeng. Tapi mendadak nona ini kata.

   "Ah, aku lupa satu hal, maka pergilah kau sendiri yang mengantarnya!"

   Sin Cu merasakan mukanya merah, akan tetapi, ia jalan terus. Karena ini, ia jadi mengantar sampai sepuluh lie lebih.

   "Nona Ie, silahkan kembali!"

   Kemudian Seng Lim minta. Sin Cu berduka melihat sikap orang tawar, tetapi di lain pihak, inilah yang ia harap. Maka ia menyesal In Hong tidak berada bersama. Seng Lim heran. Ia melihat si nona berdiam saja.

   "Nona Ie, kau hendak omong apa?"

   Ia menanya, mendugaduga.

   "Yap Toako, dengan kepergian kau ini baiklah kau berhatihati!"

   Akhirnya Sin Cu bisa juga mengeluarkan perkataannya.

   "Terima kasih, nona. Tentang itu, dapat aku memikir, jangan nona buat kuatir."

   "Bukannya begitu, kuatir..."

   "Kau kuatirkan apa, nona?"

   "Kau lihat Pit Kheng Thian itu orang macam apa?"

   Sin Cu tanya.

   "Kenapa?"

   Seng Lim membaliki.

   "Aku lihat hatinya Kheng Thian terlalu besar,"

   Mengutarakan si nona.

   "Bukankah di dalam sebuah gunung tak seharusnya ada dua ekor harimau? Aku kuatir dia sirik terhadap kau dan pamanmu."

   Seng Lim tertawa.

   "Tak mungkin, kurasa. Aku toh tidak berebutan dengannya?"

   "Meski begitu, berhati-hati ada terlebih baik,"

   Kata pula si nona.

   "Kita mesti berjaga-jaga untuk akal muslihatnya. Seumpama di dalam urusan rangsum..."

   "Tentang ini telah ada rencanaku,"

   Seng Lim bilang.

   "Umpama kata dia lambat mengirimnya, akan aku mengatur diri di setempat. Karena kita berperang untuk rakyat, aku percaya rakyat jelata tidak nanti membuatnya kita mati kelaparan. Kita adalah orang sendiri, aku minta kau jangan bercuriga, terutama jangan kau kentarakan itu supaya di antara kita tak terjadi keretakan."

   Di dalam hatinya, Sin Cu menghela napas. Di dalam hatinya juga ia berkata.

   "Aku hanya kuatir di kolong langit ini lain orang tak sebagai kamu paman dan keponakan berdua..."

   Karena ia tidak dapat membilang lainnya lagi, ia berdiam saja, ia cuma memberi selamat jalan.

   Ketika ia mengasi jalan kudanya, ia lesuh sekali.

   Belum jauh, ia mendengar suara larinya kuda.

   Ia mengawasi ke depan.

   Untuk herannya, ia melihat Pit Kheng Thian kabur mendatangi.

   "Pit Toaliongtauw, Yap Seng Lim sudah pergi jauh,"

   Kata si nona memapaki.

   "Kau ada punya urusan penting apa? Kudaku keras larinya, nanti aku tolong mewakilkan kau."

   Kheng Thian tertawa.

   "Aku bukannya menyusul dia, aku menyambut kau!"

   Katanya. Mukanya si nona menjadi padam.

   "Aku tidak berani membikin Toaliongtauw capai,"

   Ia bilang. Kembali Kheng Thian tertawa.

   "Aku lihat erat sekali hubungan kau dengan Yap Seng Lim,"

   Katanya.

   "Kali ini kau mengantarkan dia, agaknya kau terlebih berduka daripada waktu mengantarkan Tiat Keng Sim."

   Mukanya si nona menjadi merah. Ia gusar.

   "Pit Toaliongtauw, hargakanlah dirimu!"

   Ia berkata.

   "Apakah kau tengah mempermainkan aku?"

   Kheng Thian melarikan kudanya mundur.

   "Tidak, tidak!"

   Katanya tertawa.

   "Aku bicara untuk kebaikanmu!"

   Sin Cu tertawa dingin.

   "Sungguh kau baik, toaliongtauw!"

   Katanya.

   "Untuk kebaikan apakah itu?"

   "Jikalau aku tidak memikirkan kau, nona,"

   Menyahut pemimpin itu.

   "dulu hari tidak nanti aku menerjang bahaya besar menyelundup ke kota raja untuk mengurus jenazah ayahmu."

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nona Ie mengasi lihat sikapnya yang dingin.

   "Budimu itu sangat besar, tidak nanti aku dapat melupakannya,"

   Ia berkata.

   "maka itu tak usahlah kau menimbulkannya berulang-ulang. Dengan perlahan-perlahan pastilah aku akan membalasnya."

   Kheng Thian jengah, ia menghela napas.

   "Aku si orang she Pit mana mengharapi balasan?"

   Katanya, untuk menutupi diri.

   "Tak lain tak bukan, aku melainkan mengutarakan utarakan apa yang aku pikir..."

   "Baiklah, aku mengarti!"

   Ujar Sin Cu.

   "Nah, Toaliongtauw, silahkan!"

   Kheng Thian masih menahan kudanya.

   "Aku lagi memikir untuk kebaikan kau, nona,"

   Ia berkata pula.

   "Untukku tidak habis dengan aku mengurus saja jenazah ayahmu, aku bahkan hendak membantu kau membalaskan sakit hatimu yang besar itu!"

   "Sakit hati apakah yang besar itu?"

   Sin Cu tanya.

   "Ayahmu telah dibunuh oleh kaisar, maka aku menggeraki angkatan perang buat merobohkan pemerintah, guna memusnahkan kerajaan Beng! Bukankah itu untuk membalaskan sakit hatimu yang besar itu?"

   "Tidak salah!"

   Kata si nona dingin.

   "Kau merobohkan pemerintah, lantas kau menggantikannya menjadi raja! Adakah itu cuma untuk membalaskan sakit hatiku?"

   "Kau ketahui itu, itulah terlebih baik lagi. Aku berpikir untuk kebaikanmu. Yap Seng Lim itu di belakang hari paling juga menjadi satu menteri yang membantu membangun negara, mana dia mempunyai pengharapan sebagai aku yang bakal menjadi junjungan yang maha agung? Mengapa kau begitu memandang tinggi terhadapnya?"

   Hampir Sin Cu mendamprat orang "Tidak tahu malu!"

   Sekarang tahulah ia maksud orang, karena tanpa diminta, orang telah membuka rahasia hatinya. Ia jadi hendak dibujuk dengan kedudukan tinggi, dengan kemuliaan. Maka ia merasa sangat muak. Ia lantas mencambuk kudanya.

   "Aku minta calon baginda raja membagi jalan padaku!"

   Katanya keras.

   "Apakah kau menghendaki aku memaksa menerjang?"

   Mukanya Kheng Thian menjadi merah, ia malu sekali. Tengah ketegangan itu, mendadak terdengar tindakan kaki kuda kabur mendatangi, yang mana disusul sama suara tertawa yang nyaring serta kata-kata yang tegas sekali.

   "Ah, Toaliongtauw. Kau masih ada di sini?"

   Kheng Thian mengeprak kudanya. Ia menyeringai ketika ia menjawab.

   "Aku melihat Nona Ie belum juga kembali, aku kira ia masih mempunyai urusan apa-apa dengan Yap Seng Lim, maka itu aku memapak dia. Leng Ceecu, kau pun datang?"

   In Hong tertawa.

   "Aku kira ada urusan penting bagaimana yang lagi dibicarakan, sampai hampir aku tidak berani datang karena kuatir aku nanti mengganggu kamu!"

   Sahut si nona.

   "Memang ada urusan besar yang sangat penting!"

   Kata Sin Cu dengan dingin.

   "Pit Toaliongtauw tengah memikir bagaimana harus mengganjari menteri-menteri besarnya bila nanti ia sudah naik atas singgasana kerajaan!"

   Leng In Hong tertawa pula dengan nyaring, di atas kudanya ia memegang pedangnya untuk memberi hormat.

   "Siauwlie menghadap kepada Sri Baginda!"

   Katanya.

   "Siauwlie minta Sri Baginda sudi apalah mengganjarkannya!"

   Dengan "siauwlie"

   Ia menyebutkan dirinya "perempuan yang rendah."

   In Hong sangat polos, begitulah ia perlihatkan kepolosannya itu. Inilah hebat untuk Kheng Thian, karena gusar tak dapat ia bergusar, tertawa tak bisa ia tertawa, terpaksa ia membalas hormat seraya berkata.

   "Ah, ceecu bisa saja..."

   Ia lantas membaliki kudanya untuk berlalu. In Hong tidak membilang apa-apa lagi, kecuali ia tertawa bergelak. Setibanya di tangsi, Sin Cu tuturkan kawannya apa yang dikatakan Kheng Thian tadi, mendengar mana, Nona Leng tak dapat tertawa lebih jauh.

   "Habis, bagaimana sekarang?"

   Ia tanya.

   "Aku benar-benar tidak menyangka beginilah sifatnya Pit Kheng Thian,"

   Menyahut Sin Cu.

   "Aku pikir untuk berlalu saja."

   "Menurut aku, kita justeru tidak dapat berlalu,"

   Kata In Hong.

   "Bagaimana, eh?"

   Sin Cu heran.

   "Begitu kita pergi, Yap Tongnia bakal mencil sendirian,"

   In Hong mengutarakan pikirannya.

   "Aku kuatir nanti terjadi halhal di luar sangkaan kita."

   Sebenarnya Sin Cu telah melihat bahwa secara diam-diam Pit Kheng Thian sedang mencoba merebut pengaruh, ia hanya belum pikirkan kepada bahaya yang mengancam, sekarang setelah mendengar In Hong, ia terkejut.

   Dengan lantas ia menginsafi bahaya itu.

   Karena ini segera juga ia mengubah pikirannya.

   Maka batallah ia mengangkat kaki.

   Sang hari berlalu dengan cepat.

   Sebentar saja sudah lewat sebulan lebih.

   Selama itu, Kheng Thian tidak berani lagi main gila terhadap Sin Cu.

   Dengan begini amanlah markas besar tentara rakyat itu.

   Tidak demikian dengan keadaan di medan perang lain.

   Kecuali di pihak Seng Lim, yang mengambil sikap saling bertahan di Tunkee, pelbagai pihak lainnya mengalami kesukaran lebih-lebih pasukannya Seng Hay San.

   Dua kali dia sudah bertempur dengan musuh, dua-dua kalinya ia kena dikalahkan hingga kerugiannya kira-kira separuh.

   Sebagai tentara air, sulit untuk mereka bertempur di darat, di tanah pegunungan.

   Pada suatu hari selagi In Hong dan Sin Cu berada di dalam tangsi mereka, mereka mendengar suara berisik dari luar tangsi.

   In Hong perintah seorang serdadu wanitanya, untuk melihat.

   Tidak lama serdadu itu kembali dengan laporannya bahwa di tangsi kiri "serdadu-serdadu tengah memaki-maki Toaliongtauw."

   "Apakah katanya mereka?"

   Sin Cu tanya.

   "Apakah sebabnya?"

   "Mereka mengatakan Pit Toaliongtauw tidak suka mengirim rangsum untuk Yap Seng Lim,"

   Serdadu itu menerangkan. Nona Ie kaget.

   "Begitu?"

   Katanya.

   "Katanya Yap Seng Lim telah tiga kali mengirim utusan, Toaliongtauw selalu menggunai alasan untuk menampik. Yang terang The Tongnia ketahui kita masih mempunyai persediaan rangsum selaksa pikul, ketika Toaliongtauw ditanyakan, dia bilang untuk markas besar disediakan lima ribu dan lima ribu lagi untuk tentara di Unciu. Sebenarnya keadaan di Unciu tidak berbahaya. Nyata sekali Pit Toaliongtauw tidak suka membantu. Maka itu ketika The Tongnia pulang ke tangsinya, ia menangis menggerung-gerung..."

   Yang dipanggil The Tongnia itu ialah Teng Gie Cit, orang sebawahannya Yap Cong Liu yang menjadi kepala dari pasukan tangsi kiri. Karena itu, serdadu-serdadu di situ menjadi mendongkol dan mengumbar napsu amarahnya.

   "Benarlah dugaanku!"

   Kata Leng In Hong dingin. Sin Cu pun mendongkol sekali.

   "Mari kita ketemukan toaliong tauw"

   Ia mengajak, In Hong berpikir sebentar, lalu ia memberikan pesan pada komandan barisannya, habis mana dengan membawa pedangnya, ia turut Sin Cu pergi ke markas besar.

   Penjagaan di markas besar keras sekali, beda dengan hari-hari biasa.

   Ketika baru sampai di muka tangsi besar, Sin Cu dan In Hong dicegah oleh tente-ranya Pit Kheng Thian.

   Tiongkun, yang menjadi orang kepercayaan Kheng Thian, memberikan keterangan.

   "Pit Toaliongtauw tengah merundingkan urusan tentara bersama Yap Tongnia, tanpa ijin atau panggilan, siapa juga dilarang lancang masuk ke dalam markas besar."

   In Hong gusar hingga sepasang alisnya berdiri.

   "Kami ada punya urusan penting hendak didamaikan!"

   Ia berseru.

   "Siapa berani rintangi kami?"

   Tiongkun itu mundur keberapa tindak.

   "Kami mau masuk menghadap Pit Toaliong tauw"

   Berkata Sin Cu.

   "Kalau dia mau menegur, biar dia menegur kami, dengan kamu tidak ada sangkutannya!"

   Tiongkun itu beserta belasan kawannya memang tahu Toaliongtauw mereka sangat menghargai Nona Ie, melihat demikian, mereka tidak berani mencegah terlebih jauh.

   In Hong bersama Sin Cu lantas lompat turun dari kuda mereka, dengan cepat mereka bertindak ke markas besar.

   Segera juga mereka dapat dengar suara berisik dari dalam markas, lalu terdengar bentakannya Teng Gie Cit.

   "Pit Kheng Thian, sebenarnya kau menghendaki apa?"

   "Berbahaya!"

   Berseru Sin Cu di dalam hatinya.

   Dengan segera ia menyingkap tenda, maka terlihatlah apa yang terjadi di dalam markas itu.

   Pit Theng Thian bersama Pek Beng Coan dan Pit Goan Kiong dan yang lainnya, berjumlah belasan orang, lagi mengurung Yap Cong Liu dan Teng Gie Cit.

   Cong Liu tidak membawa pengiring kecuali Gie Cit seorang.

   Dengan mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat, Pit Kheng Thian menjawab Gie Cit.

   Ia kata.

   "Yap Tongnia telah bekerja berat bertahun-tahun dan tahun ini usianya sudah tinggi, aku tidak tega melihat ia bekerja berat terlebih jauh, dari itu untuknya aku telah sediakan satu tempat yang tenang untuk ia tinggal sambil beristirahat hingga di hari tuanya. Mana aku memikir niat yang tidak baik?"

   "Kedudukan Toaliongtauw adalah Yap Toako yang mengalah dan menyerahkannya kepada kau, sekarang kau hendak merampas kekuasaan orang!"

   Berkata Gie Cit, tetap keras.

   "Sekarang kau hendak menahan Yap Toako secara halus! Hm! Yap Toako baru masuk usia lima puluh tahun, sekarang dia disuruh beristirahat, bukankah ini lucu?"

   Cong Liu sendiri tidak gusar, bahkan sambil tertawa ia kata.

   "Pit Hiantee gagah dan pintar, dia menang seratus kali daripada aku, maka itu kalau Pit Hiantee dapat memberikan tenaga lebih, suka aku menyerahkan tanggung jawabku yang berat kepadanya. Ini memang baik sekali. Saudara Teng, untuk urusan ini kau menarik urat, orang lain tidak tahu duduknya hal yang benar, bisa-bisa mereka mengatakan aku berebut kekuasaan dengan Pit Hiantee. Bukankah itu bakal membikin kita ditertawai orang?"

   "Yap Toako, kau... kau..."

   Kata Gie Cit masih mendongkol.

   "kau tega membiarkan usaha kita banyak tahun, yang telah teguh kokoh dasarnya, dirusak di tangan dia satu orang? Kau... kau tidak perdulikan dirimu, apakah kau juga tidak memperdulikan semua saudara kita?"

   Kata-kata ini dibarengi dengan air mata yang meleleh turun. Yap Cong Liu hendak menjawab orang sebawahannya itu tatkala ia mendengar suara sangat berisik dari luar tangsi, suaranya terompet.

   "Pit Toaliongtauw, apakah itu?"

   Ia tanya Kheng Thian. Toaliongtauw itu agaknya likat, tetapi ia mengeraskan hati. Ia menjawab dengan suara dalam.

   "Tentara di tangsi kiri tidak mau menurut perintah untuk diperbaiki, aku menitahkan mereka dilucuti senjatanya!"

   Mendengar ini, habis sabarnya Cong Liu.

   "Pit Kheng Thian, dalam hal ini kau tidak benar!"

   Ia berkata nyaring.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau menghendaki aku menyerahkan kekuasaan atas tentara, itulah urusan gampang. Kenapa kau menerbitkan perang saudara?"

   "Aku kuatir saudara-saudara di tangsi kiri itu tak sependapat dengan kau, Yap Toako,"

   Kata ia dengan raguragu.

   "maka itu..."

   Ia mau mengatakannya.

   "lebih baik kau menasihati mereka untuk menyerah padaku..."

   Tetapi belum sempat ia meneruskannya, Teng Gie Cit sudah membentak.

   "Bagus! Hari ini baru aku kenal kau, bangsat yang berhati serigala berpeparu anjing!"

   Pit Kheng Thian menjadi gusar.

   "Bekuk ini bangsat pengacau yang berani melawan orang atasannya!"

   Ia memberi perintah.

   "Jangan bergerak!"

   Yap Cong Liu berseru.

   Di dalam tangsi itu semua ada orang-orang kepercayaannya Pit Kheng Thian, meski begitu, Cong Liu dapat penghargaan mereka, maka itu, atas seruan itu, mereka jadi saling mengawasi.

   Kheng Thian menjadi bertambah gusar, ia mengawasi Pek Beng Coan, ia mengedipi seraya berkata.

   "Perlu apa aku dengan adanya kau?"

   Beng Coan lantas saja mengasi dengar tertawa dornanya.

   "Yap Toako, jangan gusar!"

   Ia berkata.

   "Baik toako jaga dirimu baik-baik! Mari kau pergi beristirahat di Unciu!"

   Kata ini ditutup sama lompatannya orang she Pek ini, untuk mencekuk Cong Liu.

   Justeru itu terdengarlah satu suara nyaring.

   Leng In Hong telah melayangkan sebuah Ouwtiap piauw, piauw kupu-kupunya, yang mengenakan jitu jidat Beng Coan hingga dia ini mengeluarkan darah.

   Sampai di situ, hebatlah keadaan.

   Beberapa orangnya Pit Kheng Thian lantas maju untuk menawan Cong Liu.

   In Hong yang bersama Sin Cu telah menyaksikan itu semua, lantas berseru.

   "Sin Cu, kau pegat kawanan pendurhaka itu, aku akan melindungi Yap Tongnia keluar dari sini!"

   Kheng Thian melihat datangnya dua nona itu, ia kaget.

   "Sin Cu!"

   Ia berseru.

   "kenapa kau memusuhkan aku?"

   "Kau sendiri, mengapa kau memusuhkan Paman Yap?"

   Sin Cu balik menanya.

   "Oh, begini lekas kau melupakan budiku sudah mengurus jenazah ayahmu?"

   Toaliongtauw itu menegur, mengejek.

   "Dan kau sendiri, begini lekas kau melupakan budi Paman Yap sudah menunjang padamu?"

   Sin Cu kembali membaliki. Kheng Thian berdiam, bahkan dia mundur dua tindak.

   "Kau merdekakan atau tidak Yap Tongnia ?"

   Tanya Sin Cu seraya ia memegang pedangnya. Sepasang matanya Pit Kheng Thian menjadi menyala. Ia mengangkat toyanya, toya longgee pang.

   "Tangkap ini dua bocah wanita yang tak tahu urusan?"

   Ia berteriak menitahkan.

   Sin Cu tertawa dingin, segera ia menikam.

   Kheng Thian menangkis dengan toyanya itu.

   Nona Ie ketahui orang bertenaga besar, ia lantas menarik pulang pedangnya, untuk dengan sebat dipakai membabat ke samping.

   Kheng Thian terperanjat.

   "Baru satu tahun aku tidak lihat dia, begini cepat majunya ilmu pedangnya,"

   Ia berpikir.

   Karena ini ia putar toyanya, untuk membela diri.

   Sin Cu merebut kedudukan, bertubi-tubi ia menyerang, hingga ia memaksa Pit Kheng Thian main mundur, meski begitu, karena Toaliongtauw ini menang tenaga dalam, walaupun terdesak, dia tidak dapat segera dikalahkan, tak dapat si nona lantas merampas kemenangan.

   Leng In Hong pun sudah menyerang hebat, ia berhasil merobohkan tiga pahlawannya Kheng Thian, akan tetapi tidak lama kemudian, ia dan Yap Cong Liu kena didesak ke suatu pojok, sebab di antara orang-orangnya Kheng Thian banyak orang Rimba Hijau kelas satu.

   Dalam kekacauan itu mendadak terdengar jeritannya Teng Gie Cit, yang menteriakan Cong Liu.

   "Yap Toako, aku berangkat lebih dulu! Jangan lepaskan usaha kita!"

   Gie Cit kena dihajar cambuknya Pek Beng Coan, ketika dia roboh, dia disusuli dua bacokan, hingga dia tak dapat bertahan lagi.

   Kebinasaan ini sahabat dan kawan seperjuangan membuatnya Yap Cong Liu yang sabar dan memuja kerukunan menjadi gusar sekali, sambil berteriak ia merampas sebatang golok besar, lalu dengan itu ia membacok pahlawannya Kheng Thian yang merampas jiwanya Gie Cit.

   Ia menabas hingga tubuh pahlawan itu terkutung dua.

   "Pit Kheng Thian, kau dengar aku!"

   Ia berteriak. Kheng Thian menangkis serangannya Sin Cu, lalu sambil tertawa lebar ia berkata.

   "Setelah sampai di sini, tidak ada kata-kata yang dapat diomongkan lagi!"

   Kemudian ia berseru "Maju semua!"

   Inilah seruan untuk orang-orangnya, yang tadi dibikin merandak oleh pengaruhnya Cong Liu.

   Kali ini mereka maju pula.

   Cong Liu putus asa, karena perdamaian tak bakal didapatkan pula.

   Ia menjadi berkelahi dengan hebat.

   Ia telah berhasil merobohkan dua musuh tetapi ia sendiri kena terluka pundaknya.

   Ie Sin Cu yang mencoba untuk menawan atau merobohkan Pit Kheng Thian, sebaliknya ialah yang kena dirintangi oleh Toaliongtauw itu, ia menjadi gusar dan bingung.

   Ia telah dipaksa terpisah dari In Hong dan Cong Liu.

   Maka dalam murkanya, ia berkelahi mati-matian.

   Pit Kheng Thian melihat orang kalap, dia melawan sambil mundur.

   Dengan begitu si nona seperti diberikan ketika untuk bernapas.

   Tidak ayal lagi, ia meraup bunga emasnya, lalu sambil berseru ia menyerang kalang kabutan.

   Beberapa orang lantas saja terluka.

   Maka si nona terus maju, untuk membuka jalan.

   Kheng Thian maju pula, untuk kembali merintangi.

   Tapi ia disambut si nona dengan tiga buah bunga emasnya.

   Ia liehay, ia dapat menyampok jatuh bunga emas itu.

   Karena ini ia tidak berani merangsak lebih jauh.

   Pek Beng Coan maju, untuk membantui ketuanya itu.

   Ia berlompat.

   Justeru itu, Sin Cu menimpuk pula.

   Tepat sekali bunga emas mengenai jalan darah yongcoan di kakinya orang she Pek ini, hingga tak ampun pula, dia terguling roboh.

   Ketika itu Cong Liu dan In Hong dapat mempersatukan diri dengan Nona Ie, dan Cong Liu dengan bengis membacok tihang tenda hingga tenda itu roboh me-nungkrap Kheng Thian semua, dengan begitu bertiga mereka nerobos keluar.

   Akan tetapi di luar markas telah menanti berlapis-lapis barisannya Kheng Thian.

   Cong Liu menjadi putus asa.

   "Untuk seorang, mengapa kamu berbuat begini?"

   Katanya menghela napas, habis mana dia berseru.

   "Saudara-saudara, dengar! Tentara negeri lagi mendesak dari segala penjuru, kita sudah kena dikurung, karena itu tidak dapat kita saling bunuh! Aku tahu aku kurang bijaksana dan tak berpengartian, tidak dapat aku membantu Toaliongtauw kamu untuk bekerja sama, aku malu sekali, maka sekarang aku beritahu kepada kamu, hendak aku mengundurkan diri! Kamu sendiri, aku harap kamu dapat membawa dirimu masing-masing! Karena di dalam tangsi sudah tidak ada kerjaan apa-apa, baiklah kamu bubar!"

   Semua serdadu itu ada orang-orangnya Pit Kheng Thian dan mereka tahu Toaliongtauw mereka hendak merampas kekuasaannya Cong Liu, akan tetapi sekarang, mendengar putusannya ini pemimpin, hati mereka tergerak, hampir tanpa berpikir lagi, delapan atau sembilan dari sepuluh, lantas berseru-seru dan bubaran! Sin Cu mengasi dengar siulannya yang nyaring dan panjang, atas mana kuda Ciauwya Saycu ma lari datang padanya.

   "Paman Yap, lekas naik atas kuda!"

   Nona Ie teriaki Cong Liu.

   "Mari kita pergi ke Tunkee untuk berkumpul sama Seng Lim."

   Cong Ciu tidak lantas lompat naik ke atas kuda, sebaliknya, dengan roman keren ia berkata.

   "Pergi kamu kepada Seng Lim, suruh dia melawan tentara negeri tetapi jangan bentrok sama Kheng Thian!"

   Sin Cu terperanjat.

   "Kau sendiri, paman?"

   Ia menanya.

   "Aku hendak pergi ke tangsi kiri!"

   "Jangan!"

   Berseru In Hong.

   Tapi nona ini tak sempat berkata lebih jauh, terlihat Kheng Thian beramai telah keluar dari tendanya, mereke lari kepada kuda mereka masing-masing untuk memburu.

   Cong Liu lompat naik atas kudanya Sin Cu.

   Binatang itu, tanpa menanti perintah lagi, sudah lantas lari kabur.

   Sin Cu bersama In Hong merampas dua ekor kuda, untuk lari bersama.

   Cong Liu kabur tanpa rintangan, semua serdadu membuka jalan, tidak ada seorang jua yang melepaskan panah kepadanya.

   Cuma Pit Kheng Thian yang mengejar bersama beberapa ratus serdadu pengiringnya.

   Sin Cu merintangi dengan menimpuk dengan dua bunga emasnya, ia membikin kuda Kheng Thian roboh terjungkal, maka tempo Toaliongtauw itu mengambil ketika akan naik atas seekor kuda lain, kedua nona itu sudah pergi jauh.

   Dalam tempo yang pendek, Ciauwya Say-cu ma telah melalui beberapa lie.

   "Pit Kheng Thian mempunyai banyak tentara, dengan pergi ke tangsi kiri, Yap Tongnia seperti membunuh diri,"

   Kata In Hong pada Sin Cu.

   "Mari kita susul Ie Sin Cu bersama-sama Leng In Hong, yang hendak melindungi Yap Cong Liu dan Teng Gie Cit dari kepungannya Pit Kheng Thian dan orang-orangnya, telah bertempur dengan mati-matian. padanya!"

   Nona Ie menurut, maka mereka pun kabur ke arah tangsi kiri.

   Tangsi itu berada di tempat enam atau tujuh lie, sebentar saja Cong Liu sudah sampai di sana di mana seorang diri ia menerjang masuk.

   Ia segera disambut oleh tentara tangsi kiri itu ialah barisannya Teng Gie Cit.

   Di saat sangat genting itu, Cong Liu mengasi dengar suaranya yang nyaring.

   "Tidak ada terjadi sesuatu! Saudarasaudara tangsi kiri, silahkan kamu kembali ke tangsimu! Aku hendak mengundurkan diri, buat hidup bertani di kampung halamanku, maka itu baik-baik saja kamu mendengar titahnya Pit Toaliongtauw. Sekarang ini bukan saatnya untu kita saling bunuh diri!"

   Mendengar itu, semua serdadu tangsi kiri itu pada menangis, mereka membuatnya bengong barisannya Kheng Than yang mengurung, tidak ada yang berani turun tangan.

   Cong Liu tidak berdiam lama di situ, ia larikan kudanya keluar dari kurungan.

   Menampak demikian, In Hong dan Sin Cu terus menyusul.

   Ada banyak serdadu rakyat, yang untuk banyak tahun mengikuti Cong Liu, menyaksikan pemimpin mereka pergi, mereka tak sudi ditinggal pergi, mereka pun lari menyusul.

   Ketika Pit Kheng Thian tiba bersama barisannya, Cong Liu sudah kabur jauh.

   Semua serdadu Kheng Thian, yang tadi mengurung tangsi kiri, telah berpencaran untuk membuka jalan, maka itu, untuk mengumpulkan mereka, Kheng Thian mesti menggunai waktu sekian lama.

   Kuda Sin Cu dan In Hong lari keras, Ciauwya Saycu ma tidak dapat disusul, meski begitu di belakang mereka, musuh telah ketinggalan jauh.

   Mereka kabur terus, hingga mereka menampak pesisir laut di mana terlihat sebuah perahu kecil mendatangi ke tepian.

   Sin Cu menteriaki berulang-ulang kepada Cong Liu tetapi paman itu seperti tidak mendengarnya, dia lompat turun dari kudanya, untuk naik ke perahu kecil itu, ketika kemudian Nona Ie dan In Hong tiba, dia sudah berlalu dengan perahunya itu.

   Dari atas perahunya, dengan mengulapkan tangannya, pemimpin tentara rakyat itu berkata nyaring.

   "Pergi kamu menaiki kuda putih, pergi ke Tunkee!"

   "Paman Yap, kenapa kau tidak hendak kembali?"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sin Cu menanya.

   "Aku sudah menduga akan kejadian hari ini,"

   Menyahut Cong Liu.

   "apabila aku tidak pergi, keadaan bakal menjadi terlebih buruk pula! Biarlah Pit Kheng Thian berkuasa sendiri, itulah terlebih baik daripada kita saling bunuh! Dengan saling bunuh, kita bakal terbinasa dua-duanya! Kheng Thian buruk hatinya tetapi dia gagah dan pandai, pergilah kamu membantu dia, umpama kata kamu tidak dapat bekerja sama, tinggalkanlah tetapi jangan menyaterukan padanya!"

   Dengan habisnya kata-kata itu, perahupun berlayar terus, akan di lain saat menjadi kecil dan akhirhja nampak hanya sebagai satu bayangan! In Hong menepas air mata.

   "Setelah berpisah dari Thian Touw, inilah yang pertama kali aku menangis,"

   Berkata Nona Leng.

   "Yap Tongnia barulah satu orang besar, satu penyinta negara sejati!"

   Sin Cu menghela napas, ia tak dapat membilang suatu apa. Ia ada sangat menyesal dan terharu.

   "Mari kita cari Pit Kheng Thian!"

   In Hong berseru kemudian.

   "Aku memang sangat membenci dia, ingin aku menikam padanya, tapi paman Yap telah memesannya..."

   Menyahut Nona Ie.

   "Tapi adik Cu, aku ingin kau membantui aku..."

   Sin Cu heran.

   "Apakah itu?"

   "Aku bukan hendak membunuh dia, aku hanya hendak merampas kekuasaannya!"

   Nona Ie berpikir dengan cepat.

   "Untuk diserahkan pada Seng Lim?"

   Ia menanya. In Hong tertawa.

   "Benar! Mustahilkah kau tidak memikirkan dia!"

   Ketika itu terlihat pasukan pengejar mendatangi. In Hong menarik Sin Cu untuk menaiki kuda putih, sambil tertawa ia pun berkata.

   "Pada saat ini pasukan wanitaku sudah berada di Unciu di mana mereka menyiapkan rangsum, maka itu marilah malam ini kita merampas tanda kekuasaannya Pit Kheng Thian! Kita mainkan itu sandiwara Sin Leng Kun menolongi negara Tio!"

   Sampai di situ, Sin Cu tidak bersangsi lagi.

   Dengan perginya Cong Liu, tentara tangsi kiri, yang tetap tidak mau dilucutkan senjatanya, tidak melawan lebih jauh.

   Atas sikap mereka itu, Pit Kheng Thian tidak terus mengambil tindakannya yang bengis.

   Ia pun puas karena maksudnya merampas kekuasaan sudah kesampaian.

   Ia melainkan menyesal tidak bisa mendapatkan pasukannya In Hong.

   Karena ia tahu, Sin Cu tentu turut In Hong, ia kehilangan kegembiraannya, sebab ia sebenarnya mengharapi nona yang gagah itu.

   Malam itu Kheng Thian mengadakan pesta besar, untuk merayakan kemenangannya itu.

   Ketika ia kembali ke markasnya, ia sudah rada-rada sinting.

   Justeru ia hendak beristirahat, satu serdadu pengawalnya melaporkan "Nona Ie datang untuk mohon menghadap Toaliongtauw."

   Ia heran hingga ia melengak.

   "Dia datang untuk menghadap aku?"

   Ia menegaskan. Tapi ia tidak berlaku ayal. Ia memberikan perintahnya.

   "Suruh dia menghadap dengan meloloskan dulu pedangnya!"

   Serdadu pengawal itu berkata dengan perlahan.

   "Nona Ie datang dengan sikapnya yang damai, ia pun tidak membawa pedang, maka itu juga hamba berani datang melaporkannya."

   Mendengar itu, Kheng Thian tertawa.

   "Kiranya dia tahu aturan!"

   Katanya.

   "Baiklah, kau suruh dia masuk!"

   Selagi pengawalnya itu mengundurkan diri, Kheng Thian berpikir. Ia menghendaki Sin Cu tetapi berbareng ia merasa jeri. Ia menduga-duga.

   "Yap Cong Liu sudah pergi, mungkinkah dia telah berubah pikirannya?"

   Kemudian ia menetapkan hatinya.

   Dengan si nona tidak membekal senjata, ia percaya bila perlu ia dapat melayaninya.

   Sebentar kemudian nampak Sin Cu bertindak masuk dengan perlahan dan sabar, cuma ketika ia mengasi dengar suaranya, suara itu mirip ejekan.

   Ia kata.

   "Perempuan yang rendah Ie Sin Cu menghadap Toaliong-tauwl"

   Kheng Thian tertawa. Ia berkata.

   "Syukur tadi aku tidak sampai kena ditikam olehmu! Bagaimana sebenarnya? Aku menyangkanya kau turut Yap Cong Liu pergi!"

   Ketika ia menyahuti, Sin Cu berkata sambil tertawa.

   "Yap Tongnia rela mengalah padamu, kau tentunya puas, bukan?"

   Kheng Thian mengerutkan kening.

   "Agaknya kau tidak puas terhadapku. Benarkah?"

   Tanyanya.

   "Peristiwa telah terjadi, perlu apa kau memperdulikan orang puas tidak?"

   Menyahuti si nona.

   "Bukankah kedudukan Toaliongtauw kau ini sudah pasti sekarang? Hm! Kalau bukannya Yap Tongnia lapang hati dan ia berulang kali menasihati aku, dia melarang kami saling bunuh, sungguh aku penasaran, ingin aku menikam tembus dadamu!"

   Kheng Thian tertawa berkakak.

   "Benar!"

   Katanya gembira.

   "Sekarang segala apa sudah pasti! Siapa mengenal sala-tan, dialah seorang gagah, dan kaulah wanita yang gagah, tak usah aku menyebutnya lagi. Sekarang kau datang ke mari, apakah kehendakmu?"

   "Kau sendiri, apakah kau hendak perbuat?"

   Dengan bangga Kheng Thian menjawab.

   "Aku akan maju ke Utara! Aku akan memerintah dunia, merampas negara! Sin Cu, kau berdiam di sini, kau membangun pasukan wanita, aku akan tidak ingat lagi perselisihan kita!"

   Sin Cu masih tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya.

   "Taruh kata di lain hari kau naik atas singgasana kerajaan, aku kuatir belum tentu aku dapat menghamba kepadamu! Tapi..."

   Ia meneruskan, suaranya tenang.

   "jikalau benar kau hendak mendapatkan dunia ini, suka aku menghaturkan kau suatu barang supaya tercapailah citacitamu!"

   "Apakah itu?"

   Kheng Thian ketarik hatinya.

   "Itulah petanya Pheng Hweeshio."

   Sahut si nona.

   "yang kau telah dapati itu adalah peta untuk wilayah Kanglam saja, dan yang aku bawa ini ialah yang lengkap."

   Inilah Kheng Thian tidak sangka.

   Ia memang sangat menginginkan peta itu.

   Ia telah mengharap-harap itu entah buat beberapa banyak bulan dan tahun.

   Sekarang Sin Cu hendak menghadiahkannya kepadanya.

   Hampir-hampir ia tidak percaya kupingnya sendiri.

   Sin Cu berkata pula dengan dingin.

   "Kalau bukan Yap Tongnia dipaksa angkat kaki olehmu, hingga tanpa kau tentara rakyat ini bakal kehilangan pemimpinnya, tidak nanti peta ini jatuh dalam tanganmu!"

   Kheng Thian percaya ia kenal baik tabiatnya Nona Ie.

   Ia tidak percaya si nona hendak mengambil hatinya.

   Tapi nona itu bersikap demikian macam, suka damai tetapi ia pun ditegur dan disindir berulang-ulang, ia mau percaya orang benarbenar hendak menyerahkan peta bumi kepadanya.

   Tengah pemimpin ini menanti tindakan lebih jauh dari si nona, di atas tenda terdengar suara sangat perlahan.

   Kecuali oleh Kheng Thian dan Sin Cu, suara itu tidak nanti dapat didengar.

   Kheng Thian lantas saja mengangkat kepadanya, berdongak.

   Sin Cu sebaliknya dengan sabar mengeluarkan peta, untuk dibeber dengan perlahan-perlahan.

   "Peta ini harus diperhatikan secara saksama,"

   Berkata si nona, suaranya dingin.

   "Mari kau lihat! Aku tidak sabaran untuk berdiam lama-lama di sini!"

   "Tak usah aku kuatir,"

   Pikir Kheng Thian selagi otaknya rada sinting.

   Ia tahu di luar tangsi ada Pit Goan Kiong serta banyak pahlawannya yang gagah, sedang tentara-nya berlapis tiga.

   Maka itu ia bertindak menghampirkan.

   Selagi Sin Cu membeber lepitan terakhir dari peta itu, di situ terlihat pisau belati yang tajam mengkilap menyilaukan mata.

   Nyata nona ini mau memerankan lelakonnya Kheng Ko di jaman dulu, selagi Kheng Ko hendak membunuh raja Cin.

   Peta itu ialah palsu.

   Ia menggunai itu sebagai alasan untuk dapat mendekati Toaliongtauw itu.

   Sebat luar biasa, pisau belati itu telah mengancam tenggorokannya Kheng Thian.

   Tapi juga Toaliongtauw itu sangat gesit.

   Dengan berani ia bergerak untuk menggigit tangan si nona.

   Sin Cu menarik pulang tangannya, terus ia menikam, tapi sementara itu, tangannya Kheng Thian sudah menyambar, maka tangan si nona kena digempur dan pisau belatinya terlepas, jatuh di tanah.

   Kepandaianmu macam begini tak dapat dipakai terhadapku!"

   Kata Kheng Thian dingin.

   Belum berhenti suaranya Toaliongtauw ini, tenda di atasan kepalanya terdengar memberebet dan berlobang besar, dan belum sempat dia mengangkat kepalanya untuk melihat, ujung pedang sudah mengancam punggungnya.

   Cepat luar biasa Leng In Hong, yang sudah menanti di atas tenda, berlompat turun.

   Ia pun menggunai pedang mustika Cengbeng kiam kepunyaan Sin Cu.

   *** Di bawah ancaman In Hong itu, Kheng Thian nampaknya putus asa.

   "Kau mau apa?"

   Ia menanya.

   "Serahkan penghu !"

   Menitah In Hong. Nona ini menghendak tanda kekuasaan atas tentara, yaitu penghu yang berupa kimpay.

   "Baik!"

   Jawab Kheng Thian.

   "Penghu itu ada di sakuku, nanti aku keluarkan!"

   Kata-kata ini disusul sama diangkatnya tangannya, untuk dikasi masuk ke dalam saku, tetapi gesit luar biasa, sikutnya bekerja, membentur pedang, disusul sama gerakan tipu silat "Membuka jubah meloloskan baju lapis."

   Inilah In Hong tidak menyangka, pedangnya terlepas dari tangannya jatuh ke tanah.

   Setelah itu, Kheng Thian hendak berteriak memanggil orang.

   Ia sebat tetapi Sin Cu tak kalah sehatnya, selagi dia menyerang In Hong, guna menjatuhkan pedang, nona Ie pun menyerang padanya, menotok jalan darahnya tanpa dia dapat mengelakkannya lagi.

   Maka berdiamlah dia, habis tenaganya.

   "Dia sangat licin!"

   Kata In Hong tertawa dingin, sedang sebelah tangannya melayang ke kuping orang.

   Matanya Kheng Thian mendelik, hatinya sangat panas, tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
In Hong terus bekerja, menggeledah saku orang.

   Di situ tidak ada penghu yang dicari.

   Ia kata.

   "Adik Cu, penghu tidak ada, tentu ada di mejanya, tunggu dia, pergi kau cari di sana!"

   Sin Cu lantas bekerja. Ia memeriksa meja. Penghu itu tidak ada. Ia menjadi bingung. Justeru itu di luar terdengar suara berisik disusul sama ini kata-kata.

   "Pit Kheng Thian, kau sangat bertingkah! Kenapa kau berani tidak menemui aku? Nona Ie, akulah yang datang, lekas kau keluar!"

   Itulah suaranya Tiat Keng Sim. Sin Cu tercengang. Sungguh tidak disangka-sangka, Keng Sim muncul di tengah malam seperti itu.

   "Lekas cari!"

   In Hong menyadarkan kawannya.

   "Lekas!"

   Sin Cu sadar, bahkan ia terus berpikir.

   Ia ingat, walaupun romannya kasar, Kheng Thian sebenarnya terliti.

   Penghu tidak ada di tubuhnya, sedang baju luarnya telah diloloskannya.

   Segera ia merabah ke bawah bantal, yang menindih baju luarnya itu.

   Di situ ia kena bentur kimpay1.

   "Sudah dapat!"

   Berseru si nona kegirangan. Kembali di luar terdengar bentakannya Keng Sim.

   "Pit Kheng Thian, kalau kau tetap tidak hendak memerdekakan Nona Ie, aku akan menerjang masuk!"

   Hampir itu waktu terdengar dua orang jatuh roboh, tetapi di lain pihak, tenda terpentang dan pemimpin barisan pengawalnya Kheng Thian muncul! Sebenarnya aturan ketentaraan Kheng Thian sangat keras, tanpa ijinnya, siapa juga tidak dapat lancang memasuki tendanya, tetapi pemimpin ini adalah lain.

   Ia bernama Kouw Beng Ciang.

   Ia satu penjahat di Shoatang, yang sama terkenalnya dengan Kheng Thian, dan Kheng Thian percaya betul.

   Ia pun cerdik, maka ia heran, Keng Sim berteriak-teriak tapi Kheng Thian diam saja, tidak ada jawabannya.

   Karena curiga, ia jadi berani melanggar aturan.

   Tapi ia pun memakai alasan.

   Katanya.

   "Tiat Keng Sim mohon mengadap, harap toaliong tau w..."

   Ia baru berkata begitu atau ia kaget, sebab ia melihat Kheng Thian diam saja dan In Hong tengah mengawasi padanya.

   Tengah ia terheran-heran, Nona Leng menyerang padanya.

   Ia terkejut, tetapi ia berkelit.

   Ia memang liehay.

   Segera ia membalas menyerang, sekalipun ia bertangan kosong.

   Ke kiri ia menyerang In Hong, ke kanan kepada Sin Cu.

   Kedua nona itu tidak mempunyai keinginan untuk bertempur di dalam tenda itu.

   In Hong berkelit untuk segera menyontek tenda, untuk mengangkat kaki, sedang Sin Cu menyebar seraup bunga emasnya, untuk membuka jalan sambil merintangi musuh.

   Selekasnya musuh pada menyingkir atau menjaga diri, kedua nona lari keluar.

   Hanya setibanya di luar, mereka mendapatkan Keng Sim lagi dikurung beberapa pahlawannya Kheng Thian, karena mana, pemuda itu berkelahi mati-matian.

   Menampak demikian, mencelos hatinya Nona Ie.

   Ia kata di dalam hatinya.

   "Aku menyangka ia hidup bersenang-senang di Bhok Kokkonghu, kiranya dia tetap masih memikirkanku..."

   Karena ini, tak dapat ia ingat kemuakannya pemuda itu, terpaksa ia maju untuk mencoba memecahkan kurungan. Bukankah pemuda itu menempuh bahaya untuk menolongi mereka? Melihat Sin Cu, sembari berkelahi Keng Sim berseru.

   "Nona Ie, aku datang! Mari kita berlalu dari ini tempat tidak keruan! Jangan kita perdulikan lagi Pit Kheng Thian!..."

   Sedangkan ia berseru, Keng Sim alpa, maka toya lawannya mengenai pundaknya. Ketika itu Kouw Beng Ciang pun berlompat keluar sambil berseru.

   "

   Toaliong tauw telah dibokong tiga orang ini, jangan kasi mereka lolos!"

   Dengan cambuknya, ia terus menyabet punggung Sin Cu.

   Sin Cu tahu orang liehay, ia memutar diri untuk membuat perlawanan.

   Benar-benar Beng Ciang liehay.

   Ia hanya menggunai siasat.

   Belum lagi Nona Ie melayani ia, ujung cambuknya sudah menyambar lebih jauh, kepada Keng Sim, justeru anak muda itu lompat guna membantui Nona Ie.

   Maka terlibatlah ia, dan begitu cambuk digentak, ia roboh terguling, atas mana beberapa orang lompat menubruk, membekuk padanya.

   Sin Cu kaget berbareng guear, maka ia menyerang.

   Ia tidak perdulikan musuh liehay, tidak jeri ia untuk cambuk lawan itu.

   Di pihak lain, Beng Ciang memang hendak merintangi nona ini, ia melayani dengan sungguh-sungguh, ia mencoba menutup jalan mundur orang.

   "Adik Cu, kau bikin apa?"

   In Hong menegur.

   "Kenapa kau tidak menyingkir?"

   Sin Cu terkejut.

   Ia ingat bahwa, ia datang untuk penghu.

   Tapi, dapatkah ia meninggalkan Keng Sim? In Hong melihat orang ragu-ragu, ia maju menyerang.

   Dengan lantas ia membabat kutung goloknya seorang pahlawan, akan di lain pihak, memapas kutung ujung cambuknya Beng Ciang.

   Sebab pedangnya ialah Cengbeng kiam dari Sin Cu.

   Ilmu pedang In Hong kalah daripada Sin Cu tetapi ia cerdik dan banyak tipu-tipunya, dari itu ia liehay sekali, sedang pedangnya pun pedang mustika.

   Begitu, kecuali Beng Ciang, tiga pahlawan itu kena ia lantas lukakan, hingga mereka roboh terguling untuk tak dapat merayap bangun pula.

   Dalam tempo yang pendek, kedua nona ini dapat meloloskan diri, ketika Sin Cu menoleh ke belakang, kembali hatinya mencelos.

   Ia melihat Keng Sim tengah digiring masuk ke dalam tendanya Kheng Thian...

   Sekeluarnya dari kalangan tentara musuh, kedua nona kabur dengan Ciauwya Saycu ma, maka di dalam tempo yang pendek sekali, mereka sudah berada jauh lima puluh lie.

   In Hong menghela napas lega tapi ketika ia menoleh pada Sin Cu, ia menjadi heran, Nona Ie itu berlinang air mata.

   "Eh, adik Cu, kau kenapa?"

   Ia tanya.

   "Tidak,"

   Menyahut orang yang ditanya.

   "Siapa pemuda tadi?"

   In Hong menanya pula.

   "Tiat Keng Sim."

   "Oh, puteranya Tiat Giesu. Pernah aku mendengar namanya, ia benar tampan!"

   Mukanya Sin Cu merah, dd dalam hatinya tapi ia berkata "Sayang Keng Sim kosong seperti kantung kulit besar, dia mana dapat melawan keponakannya paman Yap?..."

   In Hong heran melihat orang diam saja.

   "Adikku, kau memikirkan sesuatu?"

   Ia menanya pula. Sin Cu tidak menjawab, hanya ia mengeluarkan penghu seraya berkata.

   "Encie, pergi kau memegat rangsum, terus kau antar kepada Yap Seng Lim di Tunkee! Aku tidak jadi pergi ke sana!"

   "Apakah kau tidak pergi menemui Seng Lim?"

   "Dengan adanya penghu ini, ponggawa yang membawa rangsum tidak nanti membantah kau,"

   Kata pula Nona Ie.

   "Kau naiki Ciauwya Saycu ma, kau, memegat di Unciu, lalu terus kau pergi ke Tunkee. Umpma kata Kheng Thian menyusul, ia bakal terlambat. Aku tidak dapat membantu kau pula!"

   In Hong heran tetapi ia dapat menduga.

   "Kau hendak kembali untuk menolongi Tiat Keng Sim itu?"

   Ia menanya.

   "Benar. Dia datang untukku, mana dapat aku membiarkan dia terjatuh di dalam tangan Kheng Thian? Aku ada mempunyai daya untuk menolongi dia, dari itu encie jangan kuatirkan aku."

   Sudah selayaknya saja Sin Cu menolongi Keng Sim, hanya air matanya, dan matanya, yang mengandung sinar kekuatiran, membikin In Hong heran. Nona ini berpikir.

   "Aku menduga ia dan Seng Lim ada satu pasangan yang setimpal, adakah dugaanku keliru? Mungkinkah orang yang ia cintai bukan Seng Lim hanya Keng Sim?"

   Ia anggap sayang kalau Sin Cu melepaskan Seng Lim.

   "Seng Lim mencil sendirian, ia berada dalam kedudukan sulit. Apakah kau tidak kuatirkan dia, adikku?"

   Ia menanya, untuk mencoba hatinya nona itu.

   "Dalam keadaan seperti ini, tidak dapat aku memecah diri,"

   Menjawab Sin Cu.

   "Kita terpaksa mesti berpencaran. Encie, kau pergi ke Tunkee, aku balik ke tangsi Kheng Thian. Seng Lim dibantu encie, hatiku lega."

   Habis berkata begitu, merah matanya nona ini.

   Dengan lantas ia lompat turun dari kudanya, untuk lari balik.

   Di dalam keadaan biasa, pasti In Hong akan menyusul Nona Ie, tetapi sekarang, ia tidak bisa berbuat lain.

   Bukankah ia perlu menolongi Seng Lim? Di dalam markasnya, Kheng Thian tengah berkuatir.

   Ia telah mahir tenaga dalamnya, setelah lewat satu malam, ia bisa membebaskan sendiri tiga jalan darahnya, karena itu, ia sudah bisa bicara, bisa menggeraki kaki tangannya.

   Tinggal empat lagi jalan darahnya, yaitu soankie, tionghu, thiankwat dan teekhong, yang belum bebas.

   Untuk ini, yang membebaskan mesti ahli.

   Sebab Sin Cu menotok menurut ajaran Hian Kong Yauwkoat.

   Kheng Thian menjadi kecil hati, ia tahu ia bakal bercacad.

   Percuma ia menjadi raja apabila tubuhnya tidak sampurna.

   Mengingat begitu, hatinya mencelos.

   Semua orang bingung mendapatkan Toaliongtauw mereka lain daripada biasanya.

   Mereka datang untuk menanyakan keselamatannya pemimpin itu, di luar dugaan, si pemimpin agaknya menjadi berangasan.

   Pit Goan Kiong dan Kouw Beng Ciang tahu pemimpin itu mendongkol karena dia telah dipermainkan kedua nona terutama Sin Cu, dalam hal itu, mereka tidak berani menanyakan, mereka kuatir Kheng Thian malu dan gusar.

   Maka itu, mereka berkumpul saja sambil merundingkan soal peperangan.

   Setelah terselang sekian lama, Beng Ciang menjadi curiga, tapi ketika ia hendak mengutarakan dugaannya, satu serdadu datang melaporkan.

   "Nona Ie datang pula..."

   Beng Ciang terperanjat. Ia lantas menoleh kepada pemimpinnya, wajah siapa menjadi bermuram durja. Hanya sebentaran, Toaliongtauw itu menjadi tenang pula, bahkan waktu ia memberi titahnya, ia omong dengan sabar sekali.

   "Suruh dia masuk..."

   Sin Cu bertindak masuk dengan perlahan, ia tidak mengambil mumat puluhan pasang mata mengawasi ia dengan tajam.

   "Ha, nona Ie, sungguh besar nyalimu!"

   Kata Kheng Thian nyaring.

   "Hm!"

   Nona itu tertawa dingin.

   "Kau hendak meminta sesuatu dari aku, aku takut apa?"

   Ia menjawab. Kheng Thian tertawa terbahak.

   "Aku kuatir kaulah yang hendak meminta sesuatu dari aku!"

   Ia membaliki.

   "Baiklah, mar i kita bicara dengan mementang jendela!"

   Berkata si nona. Ia tak mau membuang tempo.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mari kita jual beli dengan cara pantas!"

   "Kau bicaralah!"

   "Mana Keng Sim?"

   "Ah, kiranya kau datang untuk bocah itu!"

   Kheng Thian ketahui maksud kedatangan si nona, akan tetapi mendengar nona itu menyebut nama si anak muda, timbul iri hatinya, ia bercemburuan seorang diri.

   "Memang, aku datang untuk Keng Sim!"

   Kata si nona terus terang.

   "Tapi aku datang untuk Toaliongtauw juga!"

   "Bagaimana itu?"

   "Cuma Tiat Keng Sim yang dapat membebaskan kau dari totokanku, untuk memulihkan kesehatanmu. Jikalau kau tidak merdekakan dia, maka kau bersedialah untuk nanti menjadi raja yang bercacad anggauta tubuhnya!"

   Mendengar itu, semua punggawa baru tahu hal yang sebenarnya. Maka Kheng Thian pun menjadi merah.

   "Baik, pergi merdekakan Keng Sim!"

   Kata Toaliongtauw itu.

   "Tunggu dulu. Kau biarkan aku bertemu dulu dengannya!"

   Kheng Thian memberi ijinnya.

   Ia dapat menduga, Sin Cu mau mengajari Keng Sim ilmu membebaskan totokan.

   Sin Cu tentu malu untuk menyentuh tubuhnya, beda daripada waktu dia menotoknya.

   Hal ini membuat hatinya panas tetapi ia tak bisa bilang suatu apa.

   Pit Goan Kiong diperintah mengantari si nona.

   Keng Sim ditahan di belakang tenda, di dalam sebuah rumah kayu.

   Tiba di muka kamar tahanan itu, Goan Kiong menggoda Sin Cu.

   Ia tertawa.

   "Nona, mengapa kau menentang Toaliongtauw kami?"

   "Dan kau, kenapa kau turut-turutan Toaliongtauw memusuhkan Yap Toako ?"

   Si nona membaliki. Goan Kiong jengah, hingga tak dapat ia tertawa pula.

   "Baik, nona, aku takut padamu..."

   Katanya, kembali mengejek.

   "Ini kunci untuk membukai borgolan Keng Sim, kau masuklah sendiri!"

   Di dalam kamar tahanannya itu, Keng Sim mendongkol bukan main, ketika ia dapat dengar orang bicara, lantas ia pentang mulutnya.

   "Pit Kheng Thian, kau makhluk apa? Aku Tiat Keng Sim, aku laki-laki sejati, mana aku kesudian takluk padamu? Kau pergilah!"

   "Keng Sim, inilah aku..."

   Kata Sin Cu seraya bertindak masuk. Keng Sim heran. Sekian lama, belum pernah ia mendengar suara si nona demikian halus. Ia angkat kepalanya, ia mengawasi si nona sambil bersenyum. Sin Cu lantas membukai borgolan orang. Keng Sim menghela napas.

   "Apakah aku bukan lagi bermimpi?"

   Katanya perlahan.

   "Kenapa Kheng Thian mengijinkan kau datang ke mari?"

   Lalu ia kaget tiba-tiba, maka cepat ia menanya pula.

   "Adakah kau takluk kepada Kheng Thian?"

   Sin Cu memandang tajam.

   "Apakah kau lihat aku wanita demikian hina?"

   Ia balik menanya.

   "Cis"

   "Habis, bagaima- na kau dapat datang ke mari?"

   Tanya si anak muda. Ia girang mendapat itu jawaban, tidak perduli itu ada satu teguran. Ia senang akan mendapatkan Kheng Thian tidak dapat dibandingkan dengannya.

   "Aku datang ke mari untuk kau menolongi Kheng Thian."

   Anak muda itu heran.

   "Menolongi Kheng Thian?"

   Tegaskannya.

   "Benar, supaya kau menolongi dia!"

   Nona ini lantas memberitahukan yang Kheng Thian telah kena ia totok, maka Keng Sim mesti membebaskannya, dengan jalan tukar dengan kemerdekaannya.

   Ia kata ia nanti ajari ilmu totok pembebasan itu.

   Mendengar itu, lega hati Keng Sim, hingga ia menjadi girang sekali.

   "Memang juga, aku datang ke mari untukmu, supaya kau bisa menyingkir dari ini tempat buruk. Secara begini, kesampaianlah maksud hatiku!"

   "Sebenarnya, kenapa kau datang ke mari?"

   Si nona menanya.

   "Kau tidak tahu bagaimana aku sangat memikirkan kau,"

   Menyahut si anak muda.

   "Aku minta perkenan dari Bhok Kongya untuk pergi dari Kunbeng, lantas langsung aku menuju ke mari."

   "Kau dititahkan untuk apa?"

   "Aku ditugaskan pergi ke kota raja, guna menyampaikan laporan Bhok Kokkong dalam urusan di Tali."

   Keng Sim mengatakan demikian tanpa ia ketahui maksud hati dari Bhok Kongya.

   Sebetulnya utusan sudah di kirim, tapi sengaja Keng Sim di kirim pula.

   Itulah guna puterinya, yang ia tahu menyukai pemuda itu dan ia pun setujui si pemuda.

   Keng Sim pintar dan gagah tetapi belum punya kedudukan, maka itu di dalam laporannya, ia pujikan pemuda itu pada raja dengan pengharapan raja nanti memberikan pangkat padanya.

   Keng Sim ketahui samar-samar maksudnya Bhok Kokkong, tentang itu tidak berani dia menjelaskan pada Sin Cu.

   "Dan mana guruku?"

   Si nona tanya pula kemudian.

   "Thio Tayhiap suami isteri juga telah pergi ke kota raja. Mereka mengantar puteri Iran. Ia berangkat lebih dulu sepuluh hari, maka mungkin sekarang mereka sudah tiba di sana."

   "Apakah kau sudah ketahui bagaimana Pit Kheng Thian mendesak Yap Cong Liu?"

   "Itulah sebabnya kenapa aku datang mencari kau. Sedari siang-siang aku sudah melihatnya Kheng Thian makhluk busuk. Yap Cong Liu benar pandai berperang tetapi dia tetap asal kuli tambang yang tolol, mana dia dapat melawan Kheng Thian yang licin? Pantas kalau dia kena didesak! Sayang kau bercam-puran dengan dia itu, hingga aku jadi berkuatir, maka aku datang ke mari untuk mengadu jiwa. Biar bagaimana, aku ingin kau menyingkir dari tempat ini!"

   "Benarkah itu?"

   Tanya si nona, tawar.

   "Ah, mengapa kau masih belum ketahui hatiku?"

   "Mendengar suara kau, rupanya di kolong langit ini kaulah satu-satunya satu enghiong!"

   Kata Sin Cu dingin.

   "Aku ada seorang wanita biasa, mana aku mengarti apa yang kau pikir itu?"

   "Ah, segala-galanya aku lakukan untuk kau. Kau perlakukan aku tawar masih tidak apa, kenapa kau lantas menyindir aku?"

   Tanya pemuda itu.

   "Kaulah seorang dengan tulang kumala dan hati es, kau bercampur sama segala orang kasar, apakah itu tidak mengotorkan dirimu? Setelah kita berlalu dari sini, kita dapat tinggal bersama, di Hangciu atau di Kunbeng di mana kita dapat membangun sebuah rumah indah, di mana juga kita dapat meyakinkan kitab atau ilmu pedang, untuk melewatkan hari-hari yang tenang dan berbahagia. Dengan begitu, sekalipun dewa-dewi bakal mengagumi kita..."

   "Aku tidak tepat untuk menjadi dewi, aku juga tidak sudi menjadi dewi itu!"

   Berkata Sin Cu, romannya sungguhsungguh.

   "Aku hanya memikir, untuk sementara ini janganlah kau pergi ke kota raja. Guruku sudah berangkat ke sana, dengan begitu apakah kau masih kuatirkan raja bakal tak ketahui urusan di Tali itu?"

   Mendengar itu, Keng Sim girang sekali.

   "Asal kita dapat tinggal bersama, tidak usah pergi ke kota raja ya tidak usah!"

   Ia berkata.

   "Ah, mengapa kau masih belum mengarti jelas?"

   Ujar si nona.

   "Aku menasihati kau untuk sementara waktu jangan pergi ke kota raja, maksudku supaya kau pergi ke Tunkee."

   Keng Sim heran.

   "Untuk apakah aku pergi ke Tunkee?"

   Ia menanya.

   "Yap Seng Lim di sana seorang diri menghadapi sepuluh laksa serdadu pemerintah, dia membutuhkan bantuan!"

   Menjelaskan Sin Cu. Pemuda itu menjadi putus harapan.

   "Yap Seng Lim, itu bocah, berharga untuk kau pikirkan sampai begini?"

   Katanya.

   "Apa itu Yap Seng Lim? Apa itu Pit Kheng Thian? Mana dapat mereka bekerja besar hingga mereka berharga untuk aku pergi membantunya? Terhadap mereka itu, aku muak sekali! Sin Cu, mengapa kau jadi semakin berubah?"

   Keng Sim putus asa, ia tak tahu, Sin Cu terlebih putus asa pula.

   Ia menyesali Sin Cu semakin berubah, si nona sebaliknya menyesali dia pun tak berubah sama sekali, bahwa dia tidak memikirkan lain orang kecuali diri sendiri.

   Sebenarnya Sin Cu sudah mengambil putusan untuk melepaskan Yap Seng Lim, supaya Seng Lim itu diserahkan kepada Leng In Hong, siapa tahu sekarang kembali ia menghadapi sikap Keng Sim yang hanya mementingkan diri sendiri ini.

   Maka tanpa merasa di depan matanya berbayang pula Seng Lim yang demikian polos dan jujur, bayangan yang mengalingi Keng Sim di depannya ini.

   Akhirnya nona ini menghela napas dan berkata dengan masgul.

   "Sesuatu orang ada cita-citanya sendiri, tidak dapat aku memaksakan kau. Baiklah, kita tak usah bicara panjangpanjang lagi."

   Sendirinya Keng Sim menggigil.

   "Sin Cu, Sin Cu, kau... kau dengarlah aku!"

   Katanya.

   "Tak usah,"

   Menjawab si nona, dingin.

   "Kalau kau ingin berlalu dari sini, lekas kau mempelajari ilmu membebaskan totokanku. Aku kuatir Pit Kheng Thian juga sudah tidak sabaran menantikanmu!"

   Keng Sim mengawasi itu nona, sinar matanya bentrok sama sinar mata orang, pada sinar mata si nona ia mendapat suatu pengaruh hingga ia tidak berani banyak omong lagi.

   Ia lantas menerima pengajaran si nona.

   Ilmu membebaskan totokan itu bukan sembarang ilmu tetapi Keng Sim sudah punya dasar tenaga dalam dan ia pun berotak terang sekali, ia dapat mempelajari itu dalam tempo yang pendek sekali.

   Benar-benar Pit Kheng Thian sudah tidak sabaran, ia melihat munculnya pemuda dan pemudi itu, ia girang sekali, tetapi ia sengaja bersikap keren.

   "Keng Sim!"

   Katanya, nyaring.

   "Dengan memandang Nona Ie, hari ini hendak aku memerdekakan kau, maka itu jikalau kau main gila, hm! Jangan kau nanti sesalkan aku!"

   Keng Sim tidak takut diancam, bahkan ia tertawa sambil berlengak.

   "Kau kuatir aku nanti mempermainkanmu dengan totokanku?"

   Dia tanya.

   "Aku justeru kuatirkan kata-katamu tidak berarti! Sebenarnya kau manusia macam apa hingga kau ada harganya untuk aku permainkan? Apakah, kau kira aku ada sehina kau? Baiklah, mari di depan banyak orang ini kita omong biar jelas! Aku akan menotok bebas padamu, kau merdekakan aku pergi, siapa yang salah janji dialah si telur anjing!"

   Mendengar itu, Pit Kheng Thian menyeringai saking jengahnya.

   Kouw Beng Ciang semua turut merasa tidak enak hati yang pemimpin mereka diperlakukan demikian macam.

   Wajah Kheng Thian seperti mateng biru, wajah itu bermuram durja saking murkanya, akan tetapi kendati semua itu, ia tidak dapat berbuat suatu apa.

   Ia masih mengharapi kebebasannya, agar ia tidak jadi bercacad seumur hidup...

   "Bagaimana?"

   Keng Sim mendesak. Pemuda ini tidak sudi melepaskan ketikanya yang baik itu. Kheng Thian mengertak gigi.

   "Baik, aku berjanji!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahutnya nyaring. Keng Sim gembira sekali.

   "Kamu semua telah dengar!"

   Ia berkata pada orang banyak.

   "Hendak aku membebaskan totokan atas diri Toaliongtauw kamu, kalau sebentar aku berlalu dari sini, siapa pun di antara kamu tidak dapat merintangi aku! Benarkah begitu, Pit Kheng Thian?"

   "Benar begitu,"

   Kheng Thian terpaksa mengangguk.

   Keng Sim tertawa lebar.

   Ia mau percaya, biar bagaimana, Kheng Thian tidak bakal menarik pulang kata-katanya, maka lantas ia menotok Toaliongtauw itu.

   Kheng Thian sempurna tenaga dalamnya, selagi Keng Sim menotok, ia membantu dengan tenaga dalamnya itu, maka tidak lama, ia merasakan napasnya jalan dengan lurus, jalan darahnya tak tertutup pula, kecuali jalan darah teekhong, tiga yang lain, ialah soankie, tionghu dan Thiank-wat, semua pulih dengan lantas.

   Justeru itu, mendadak terdengar suara berisik di luar tangsi, yang mana disusul dengan lari masuknya Pit Goan Kiong dengan tergesa-gesa, romannya gelisah.

   "Tiauw Im Taysu datang ke mari, dia mau lantas masuk, dengan membabi buta dia main mendamprat dan menghajar orang!"

   Ia melaporkan. Kheng Thian terkejut, ia mengerutkan alisnya.

   "Beng Ciang, pergi kau menahan dia serintasan!"

   Titahnya. Baru pahlawan itu pergi, mendadak Keng Sim menghajar Kheng Thian hingga dia ini, menyusuli jeritannya, roboh. Semua orangnya Kheng Thian kaget, lantas mereka semua maju. Keng Sim, sebaliknya, tertawa terbahak-bahak.

   "Selesai sudah!"

   Berkata dia.

   "Sekarang kau sudah bebas betul-betul, Keng Thian! Apakah kau tidak sudi memegang janjimu?"

   Kheng Thian berdiam sejenak, lantas dia mengasi dengar suaranya.

   "Biarkan mereka pergi! Goan Kiong, Ciang Cin, kamu semua keluar membantui Beng Ciang merintangi si hweeshio edan!"

   "Mana dapat kamu merintangi paman kakek guruku?"

   Berkata Sin Cu, yang tidak lantas mengangkat kaki.

   "Nanti aku berbuat baik terhadap kamu, untuk membujuki dia pergi!"

   Tanpa menanti jawaban, dengan tertawa manis, nona ini bertindak keluar.

   Keng Sim sudah lantas membuka tindakan lebar, untuk mengintil di belakang orang.

   Setibanya mereka di luar tenda, terlihat Tiauw Im Hweeshio, yang bersenjata tongkatnya, tengah mengamuk dengan senjatanya itu, ia menghajar roboh sejumlah pahlawan yang maju mengepungnya.

   Di situ pun dua ekor kuda putih, satu di antaranya ialah Ciauwya Saycu ma.

   Beng Ciang bersama Ciang Cin lantas maju.

   Ciang Cin itu pemimpin pasukan pengawal pribadi dari Pit Kheng Thian.

   Dia menggunakan sepasang kampak besar, suatu tanda dari tangannya yang besar juga.

   Begitu datang dekat, dia lantas menyerang.

   Di pihak sana, Tiauw Im adalah jago ahli luar, tempo dia mengadu kepandaian sama Kiupoanpo di gunung Thiamkhong San, nyonya yang bertenaga raksasa itu masih tidak dapat melawannya, maka itu dia mana memandang mata kepada musuh ini.

   "Bagus!"

   Dia berseru seraya dia menggeraki tongkatnya menyambut kampak.

   Keras sekali ketiga senjata bentrok, sampai kuping ketulian.

   Sebagai kesudahan dari itu, kedua kampak mental terbang dan Ciang Cin merasakan kedua telapakan tangannya sakit sekali, sebab telapakan tangan itu pecah dan tubuhnya pun terhuyung-huyung.

   Beng Ciang gusar, ia maju.

   Tiauw Im berkelit, terus ia membalas menyerang.

   Tiga kali ia menyapu.

   Orang she Kouw itu terus dapat menghindarkan diri.

   Ia menjadi sangat mendongkol.

   Maka ia lantas maju, memapaki satu cambukan, hingga cambuk Beng Ciang melibat lengannya.

   Justeru itu ia berseru, ia mengerahkan tenaganya, waktu ia mengibas, cambuk itu putus menjadi dua potong.

   "Kelihatannya kau seorang gagah, aku tidak hendak membunuh kau!"

   Berkata Tiauw Im selagi orang tercengang.

   "Lekas kau suruh Kheng Thian keluar untuk bicara denganku!"

   Sampai di situ, Sin Cu maju ke depan.

   "Supeecouw, kau baik!"

   Ia menegur seraya memberi hormat dengan liamjim, dengan merangkap kedua tangannya.

   "Ha, kiranya kau semua ada di sini!"

   Berkata paderi itu tertawa lebar.

   "Bagus! Aku toh tidak salah, bukan? Yang salah ialah Pit Kheng Thian! Eh, binatang, kenapa kau masih tidak hendak menyuruh Pit Kheng Thian keluar menemui aku?"

   Bentakan itu ditujukan kepada Kouw Beng Ciang.

   "Untuk apa supeecouw hendak menemui Kheng Thian?"

   Sin Cu menanya.

   "Sebegitu jauh aku menganggap dia satu enghiong!"

   Menjawab paman kakek-guru itu.

   "Tapi hari ini, setelah aku kembali dari Unciu dan bertemu Nona Leng di tengah jalan, baru aku dapat ketahui dialah seorang busuk. Hm! Kenapa dia memaksa Yap Cong Liu mengangkat kaki? Kenapa dia membinasakan Teng Gie Cit? Benarkah telah terjadi demikian?"

   "Semua benar!"

   Menyahut Sin Cu.

   "Bagus!"

   Berseru Tiauw Im.

   "Untuk dua hal ini aku hendak menegur kedosaannya!"

   "Jikalau dia tidak mau menerima salah?"

   Si nona menanya.

   "Aku akan hajar dia mampus dengan tongkatku ini!"

   Sin Cu tertawa.

   "Gampang untuk menghajar dia mampus!"

   Ia berkata.

   "Habis, siapa nanti mengurus tugasnya? Apakah supeecouw yang bakal menggantikan dia menjadi Toaliongtauw?"

   Paderi itu mementang lebar matanya.

   "Siapa kesudian kedudukan Toaliongtauw ini?"

   Katanya.

   "Aku pun tidak sanggup!"

   "Memang begitu!"

   Kata pula si nona, tetap tertawa.

   "Dengan didesaknya Yap Toako hingga dia mengangkat kaki, hati tentara rakyat sudah tidak tenang kalau sekarang Pit Kheng Thian dihajar mampus, apakah tidak dikuatir nanti mereka menjadi kacau sendirinya? Tidakkah beberapa laksa serdadu rakyat ini nanti bubar tidak keruan paran? Ketika Yap Toako mau pergi, dia memesan wanti-wanti supaya kami memandang kepada kepentingan umum, jangan kita saling bunuh. Supeecouw bertemu sama Encie Leng di tengah jalan, dalam keadaan kesusu itu, tentulah Encie Leng belum sempat menuturkan pesan Yap Toako itu. Benarkah begitu?"

   Tiauw Im melengak.

   "Ya, kau benar juga,"

   Katanya sesaat kemudian. Sin Cu tertawa, ia menyimpangi pembicaraan.

   "Supeecouw, terima kasih banyak yang kau telah membawakan kudaku ini,"

   Katanya.

   "Nah, marilah kita pergi!"

   Melihat kesudahan itu, Beng Ciang beramai senang juga hatinya.

   Tidak dinyana, hanya dengan sedikit kata-kata, Sin Cu dapat meredahkan kemarahannya paderi itu.

   Di lain pihak, memahamkan kata-kata si nona, mereka malu juga yang mereka sudah membantu Toaliongtauw mereka yang pandangannya cupat itu, yang hanya mementingkan diri sendiri.

   Tiauw Im tidak kata apa-apa lagi, ia putar kudanya untuk berlalu.

   Keng Sim merampas seekor kuda, dengan itu ia menyusul si nona dan si paderi hingga belasan lie, di situ baru ia melihat mereka mengasi jalan kuda mereka dengan perlahan-perlahan.

   Ketika ia sudah menyandak, ia dengar suaranya si nona.

   "Supeecouw, kau hendak pergi ke mana?"

   Demikian Sin Cu.

   "Entahlah!"

   Sahut Tiauw Im.

   "Yang terang tidak dapat aku berdiam di sini!"

   "Benar!"

   Keng Sim campur bicara.

   "Mereka saling rebut kekuasaan hingga keadaan menjadi kacau seperti langit roboh dan bumi melesak, kita baiklah jangan kecipratan kekotoran mereka itu, paling benar kita mengangkat kaki jauh-jauh, supaya diri kita menjadi putih bersih!"

   Sin Cu melirik tajam pemuda itu, hatinya tak puas.

   Ia sebenarnya mau membujuk paderi itu pergi ke Tunkee, untuk membantui Seng Lim, tetapi melihat hati orang masih belum tenang dan Keng Sim pun mengatakan demikian, terpaksa ia membungkam.

   Selagi mereka berdiam, dari samping mereka, di mana ada tikungan gunung, tiba-tiba muncul satu barisan serdadu.

   Menampak itu, Tiauw Im menjadi gusar.

   "Bagus betul!"

   Serunya.

   "Aku telah lepaskan Pit Kheng Thian, sekarang dia menyuruh orang menyusul aku!"

   Ia angkat tongkatnya ia memandang tajam. Tapi segera ternyata, itulah Seng Hay San dan Cio Bun Wan bersama hanya belasan serdadu berkuda, yang pakaiannya tidak keruan macam, yang romannya lesuh. Teranglah mereka tengah kucar-kacir.

   "Eh, kenapa kamu jadi begini?"

   Paderi itu menegur, heran. Seng Hay San lebih dulu memberi hormat.

   "Kami yang muda tidak punya guna, kami merasa sangat malu,"

   Ia menyahut.

   "Pasukan rakyat kami telah kena dikalahkan tentara pemerintah, dari dua ribu jiwa, kita ketinggalan hanya tujuh belas orang..."

   "Jikalau kita bertempur di air, kita dapat satu melawan sepuluh!"

   Kata Bun Wan dengan penasaran.

   "Kita justeru disuruh Pit Kheng Thian berperang di tanah pegunungan. Semua saudara kita, menunggang kuda pun tak mampu, maka itu mereka berkelahi cuma mengandalkan semangat mereka!"

   "Meski begitu kami dapat bertahan sampai beberapa bulan,"

   Hay San menambahkan.

   "Tapi kerusakan kita hebat sekali, sudah tidak ada bala bantuan, rangsum juga tidak ada. Apa kita bisa bikin? Aku hanya malu untuk bertemu orangorang tua dari kampung halaman kita, karena aku pergi dengan dua ribu saudara tetapi sekarang kembali hanya dengan tujuh belas orang..."

   "Hm, ini juga perbuatan bagus dari Pit Kheng Thian!"

   Berkata Tiauw Im sengit.

   "Syukur kamu bertemu sama kita!"

   Keng Sim turut bicara.

   "Kamu tak usah pulang lagi kepada Pit Kheng Thian! Dia sudah memaksa Yap Cong Liu pergi, kamu dipandang orangnya Cong Liu, dengan pergi ke sana kamu seperti mengantari diri masuk ke dalam jala!"

   Seng Hay San melengak.

   "Ah, sayang ayahku tidak ada di sini!"

   Bun Wan mengeluh. Suheng, kau pergi ke mana, sudah sekian lama kau tidak kelihatan? Apakah kau tahu tentang ayahku?"

   Parasnya Keng Sim merah sendirinya.

   "Aku telah pergi ke Tali menemui Thio Tayhiap, baru beberapa hari yang lalu aku kembali,"

   Jawabnya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku belum bertemu sama suhu."

   Tapi ia melihat pedang di pinggang Hay San, ia heran, hingga ia menanya.

   "Eh, mengapa pedang suhu ada pada kau?"

   "Pedang ini Nona Ie yang berikan padaku,"

   Menjawab Bun Wan.

   "Karena aku tidak bertemu ayah, aku berikan itu kepada suheng untuk ia yang menggunainya. Sebenarnya malam itu sudah terjadi apakah? Kenapa ayah pergi dengan cara demikian mendadak? Kenapa pedang ini terjatuh ke dalam tangan Nona Ie? Sungguh aku tidak mengarti? Nona Ie, kau tentu dapat bicara sekarang?"

   Akhirnya ia tanya Sin Cu.

   "Pedang ini dirampas oleh Ouw Bong Hu dari tangannya Law Tong Sun yang menjadi komandan barisan pengawal raja,"

   Sin Cu menerangkan.

   "Ouw Peepee menyuruhnya aku menyampaikan kepada ayahmu. Sayang ayahmu itu sudah pergi. Taruh kata aku berikan pedang ini pada ayahmu, mungkin dia tidak sudi menerimanya..."

   Bun Wan heran bukan main.

   "Kenapa pedang ini terjatuh ke tangan Law Tong Sun?"

   Ia tanya.

   "Kenapa ayahku boleh tak menginginkan pula pedang ini?"

   "Tentang itu baik kamu tanyakan toasuheng kamu,"

   Menyahut Sin Cu singkat.

   Mendengar perkataan Sin Cu itu, mukanya Keng Sim menjadi merah.

   Memang kejadian mengenai pedang itu sangat membuatnya tak enak hati.

   Pedang itu ia memintanya dari gurunya dan diserahkan kepada Law Tong Sun karena Tong Sun memaksa ayahnya.

   


Bara Naga Karya Yin Yong Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Duri Bunga Ju -- Gu Long

Cari Blog Ini