Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 6


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tapi ia sekarang mendapat kawan, ia ambil kesempatan akan berbicara sama Thio Hek mengenai sepak terjang kaum perompak.

   "Tukang perahu! Tukang perahu!"

   Demikian panggilan dari tepian selagi perahu laju.

   Itulah seorang mahasiswa muda yang memanggil-manggil, yang tangannya menggape-gape.

   Thio Hek tahu tugasnya, ia berpura-pura tidak mendengar, ia menggayu terus perahunya itu.

   Mahasiswa itu berlari-lari, kembali ia memanggil-manggil.

   "Tolongilah dia,"

   Kata Sin Cu, yang tak sampai hati.

   "Kami kaum perjalanan harus menolongi satu sama lain..."

   "Tetapi dunia ka-ngouw banyak bahayanya, siangkong,"

   Thio Hek bilang.

   "Tugas kita penting sekali, kalau yang naik ada satu telur busuk, apakah itu tidak berbahaya dan kita bisa gagal?"

   "Segala mahasiswa lemah, apakah yang dibuat takut?"

   Sin Cu tertawa.

   Mendengar begitu, Thio Hek ke pinggirkan perahunya.

   Mahasiswa itu lari terus ke pinggiran, ia singsatkan jubahnya yang panjang, lalu ia pegang ujung penggayu yang Thio Hek ulur kepadanya, sambil pegangan, ia lompat ke lantai perahu.

   Kendaraan air itu bergerak, tubuh si mahasiswa terhuyung, sebelah kakinya kejeblos, hampir dia kecemplung ke air, tapi Sin Cu samber tangannya, sengaja dipegang keras, untuk menguji.

   Karena tubuhnya terhuyung, hampir mahasiswa itu nubruk dada si nona dalam penyamaran.

   Baru setelah itu, dia dapat berdiri tetap.

   "Dia bukan cuma tak mengerti silat, dia pun lemah sekali,"

   Sin Cu berpikir.

   "Thio Hek berkuatir berlebihan..."

   Anak muda itu bernapas memburu, mukanya bermandikan peluh, ia keluarkan sapu tangannya untuk menyeka peluhnya itu.

   "Terima kasih!"

   Katanya kemudian. Sin Cu undang orang berduduk, lalu ia memberi hormat sekalian menanyakan she dan nama orang serta maksudnya menyeberang.

   "Siauwtee Tiat Keng Sim,"

   Menyahut anak muda itu.

   "Ayahku lagi sakit, hendak aku menjenguknya. Kami tinggal di Tayciu."

   Sin Cu tertawa di dalam hatinya.

   "Mahasiswa ini lemah lembut, ia tak surup dengan shenya,"

   Pikir ia. Pemuda itu she Tiat yang artinya besi. Ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berkata.

   "Kebetulan, siauwtee juga hendak menuju ke Tayciu."

   "Kalau begitu kebetulan sekali!"

   Berkata si mahasiswa.

   "Dengan begini, setelah mendarat, tujuan kita tetap sama. Bolehlah aku mengetahui she mulia dan nama besar dari hengtay?"

   Ia memanggil hengtay, artinya kakak yang dihormati. Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin Cu perkenalkan diri. Baru setelah itu, ia seperti ingat suatu apa. Ia lantas saja menanya.

   "Katanya perompak lagi mengacau di Tayciu, aku kuatir tidak aman di jalanan?"

   "Memang juga aku telah dengar perompak kate (pendek) lagi mengganas di pesisir Tayciu,"

   Sahut si mahasiswa.

   "dan walaupun betul kota Tayciu masih berada di tangan tentara negeri, bahaya bukannya tidak ada. Ayahku lagi sakit, sebagai anak, tidak dapat aku tidak menjenguknya..."

   Sin Cu terharu, ia jadi ingat ayahnya sendiri. Diam-diam ia menghela napas.

   "Kenapa kau menghela napas, hengtay?"

   Si mahasiswa menanya.

   "Aku terharu untuk nasibnya penduduk pesisir timur selatan,"

   Menjawab Sin Cu.

   "Di sana kaum perompak mengganas, pemerintah tidak dapat menolongi mereka..."

   "Kau mulia sekali, hengtay,"

   Kata si anak muda, yang memuji kebaikan hati orang. Ia berkata seraya menoleh ke lain arah.

   "Apakah hengtay gemar menikmati pemandangan alam indah di sini?"

   Kemudian Sin Cu menanya lain hal. Mahasiswa itu mengusap mukanya dengan tangan bajunya, ia berpaling kembali.

   "Maafkan aku,"

   Ia menyahut.

   "Mataku kurang sehat, terkena angin sungai, aku telah mengeluarkan air mata."

   Sin Cu lihat mata orang merah dan masih ada sisa air matanya.

   Ia sebenarnya tidak perhatikan itu, sampai ia dibikin bercuriga oleh nada orang yang agaknya berbicara seperti menahan tangisan.

   Kapan ia mengawasi pula, ia tampak satu muka yang tampan, kecuali alisnya menunjuki tekukan dari kedukaan.

   "Mungkin ia berduka karena ia memikirkan sakitnya ayahnya,"

   Pikir Sin Cu.

   Nona Ie ingin menghibur mahasiswa ini ketika ia batal karena perhatiannya tertarik sebuah perahu, yang mendatangi dari hulu sungai.

   Perahu itu besar sekali dan kepalanya berukiran naga-nagaan.

   Tubuh perahu juga tinggi, karena undakannya, yang merupakan lauwteng di atas mana rupanya ada terdapat banyak penumpangnya.

   Dari atas itu terdengar suara tetabuan berikut nyanyiannya.

   Mungkin orang tengah berpesta.

   Gurunya Sin Cu terpelajar dalam segala hal, si nona sedikitnya dapat mewariskan kepandaian guru itu, maka juga ia bisa mengenali suara tetabuan itu, yang bukannya tetabuan Tionghoa.

   Kapan perahu besar itu sudah datang terlebih dekat, terlihat nyata di atas lauwteng-nya ada banyak orang, yang semua bertubuh kasar.

   "Ini toh orang-orang Nippon?"

   Sin Cu kata sambil tertawa.

   "Dari mana datangnya mereka begini banyak?"

   Terdengarlah suara nyanyian, yang kasar tetapi berirama sedih. Si nona memasang kupingnya, sia-sia saja, ia tidak mengarti, samar-samar ia mendengarnya. Tiba-tiba saja si mahasiswa nyanyi seorang diri.

   "Bunga itu walaupun harum tetapi ia terbang terbawa angin tanpa perlindungan... Inilah nyanyian Nippon bunga sakura..."

   Thio Hek sudah lantas berhenti menggayu.

   "Tidak salah, inilah perahu upeti bangsa kate (pendek)!"

   Katanya. Sin Cu terperanjat saking heran.

   "Kenapa perahu mereka dapat berlayar dengan merdeka di sungai Tiangkang?"

   Katanya.

   "Siangkong tidak tahu,"

   Sahut Thio Hek.

   "Bangsa kate (pendek) itu sangat licin, di satu pihak mereka membajak, di lain pihak dengan berpura-pura mengantar upeti mereka berusaha dengan menyelundup."

   "Begitu?"

   Si tukang perahu menghela napas.

   "Malah pembesar pabean kita telah memperlakukan mereka sebagai tetamu yang dihormati!"

   Di jaman kerajaan Beng itu, sewaktu tahun Cengtong atau Kaisar Eng Cong, untuk Nippon adalah "jaman perang saudara"

   Dan di pelbagai tempat di mana ada raja muda yang berkuasa dengan angkatan perangnya, raja-raja muda itu berebut mengirim upeti ke Tionggoan, dengan mengangkutnya dengan perahu-perahu besarnya itu.

   Menurut aturan kerajaan Beng di masa itu, kalau utusan asing datang mengantar upeti, barang-barang pribadinya bebas dari cukai.

   Ketika ini dipakai pelbagai raja muda itu untuk menyelundupi barang-barangnya.

   Kalau pemerintah Beng menegur pemerintah Nippon tentang kawanan perompaknya, dijawabnya mereka itu ada golongan bangsa 11 ronin"

   Yang pemerintah Nippon tidak berdaya untuk mengurusnya. Sedang sebenarnya, rombongan ronin itu dapat tunjangan pelbagai raja muda itu atau yang langsung ditugaskan membajak.

   "Mereka itu merampok, membakar dan membunuh, kenapa pembesar negeri setempat membiarkan saja?"

   Tanya pula Sin Cu.

   "Bukankah itu disebabkan hasil keuntungan besar?"

   Thio Hek balik bertanya.

   "Mereka itu menggunai kedudukannya sebagai utusan pengantar upeti. Telah ditetapkan pemerintah, waktu mengantar upeti adalah tiga tahun sekali dan jumlah rombongan utusan pun dibataskan, tetapi pelbagai raja muda itu berebut mengantar upeti dan semua rombongan itu menyogok pembesar maka mereka dapat datang dan pergi dengan merdeka."

   Si nona menggeleng-geleng kepala, ia menjadi sangat masgul.

   "Mari kita menyingkir,"

   Kata Thio Hek selagi perahu di depan datang semakin dekat. Darahnya si nona menjadi naik.

   "Kenapa kita mesti menyingkir?"

   Katanya sengit.

   "Kita justeru papaki dia!"

   Thio Hek mengedipi mata.

   "Siangkong,"

   Ia memberi ingat.

   "bukankah kau hendak menyebrang untuk satu urusan? Perahu upeti itu biasanya galak dan jahat, satu kali kita papaki dia, onar bakal terbit dan itulah bukannya permainan."

   Nona Ie murka tapi nasihat Thio Hek membuatnya ia diam.

   Thio Hek lantas mengubah tujuannya, tetapi di lain pihak belasan tombak dari perahu upeti itu, ada sebuah perahu nelayan yang muatannya adalah seorang nelayan tua serta seorang anaknya perempuan, perahu nelayan itu dapat dilihat orang-orang dari perahu besar, lantas mereka berkaok-kaok menggunai penggayu, untuk mengejar.

   "Celaka!"

   Seru si mahasiswa, kaget.

   "Mereka hendak tangkap itu nona nelayan!"

   Kembali naik darahnya Sin Cu.

   "Thio Hek, biar bagaimana juga, mari kita hampirkan mereka!"

   Dia berteriak.

   "Lekas kau menggayu balik!"

   Di pihak sana, perahu besar sudah mendekati perahu nelayan, ada dilemparkan dua rantai gaetan, untuk membangkol perahu nelayan itu.

   Justeru itu, perahunya Thio Hek dapat menyandak, dan Sin Cu, dengan pedangnya, lantas membabat kutung rantainya gaetan seperti jangkar itu.

   Di atas perahu besar, orang kaget dan gusar, lalu terdengar teriakan mereka "Bagero"

   Berulang-ulang.

   Bahkan dua orang, yang membekal golok, sudah lantas lompat turun ke perahunya Thio Hek.

   Ie Sin Cu memang sudah bersiap sedia, ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, yang membuatnya dua bunga emasnya terbang menyamber.

   Satu ronin kena dihajar, dia roboh ke dalam air, kawannya dapat menaruh kaki di perahu tapi dia ini segera dibabat dengan pedang.

   Dia gunai goloknya, untuk menangkis.

   Untuk kagetnya, goloknya terpapas kutung, sedang tadinya dia tertawa lebar.

   Ronin itu ada dan ke empat, ia percaya goloknya yang tajam, ia tidak pandang mata kepada nona ini, yang macamnya sebagai seorang pemuda lemah, baru ia kaget sesudah goloknya itu terkutung.

   Selagi orang tercengang, sambil membentak, Sin Cu kirim tikaman mautnya seraya kakinya membarengi menendang, maka selain dada orang itu ditembuskan pedang hingga di punggungnya, dia pun roboh ke dalam air, tubuhnya dibawa hanyut air yang menjadi merah karena darahnya.

   Dari atas perahu besar segera terdengar pula riuh teriakan bagero tapi sekarang dibarengi pujian, pujian untuk caranya Sin Cu merobohkan kedua lawannya, tidak perduli lawan itu ada kawan atau bangsanya sendiri.

   Thio Hek memutar pula kepala perahunya, untuk mencoba menyingkir, atau lagi dua musuh lompat ke atas perahunya itu, mereka ini sangat lincah, dan ketika mereka telah menaruh kaki di lantai perahu, perahu lantas saja kelam sedikit.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hatinya Sin Cu menjadi besar menyaksikan bagaimana dengan gampang sekali ia berhasil menyingkirkan dua lawan yang pertama itu, ia terus menyambut lawan yang baru ini.

   Dengan gerakan pedangnya "Secara mendusta membagi emas,"

   Ia menikam mereka saling susul, berganti dari yang satu kepada yang lain.

   Kedua lawan itu berseru, mereka membabat dengan pedang mereka yang panjang.

   Dengan terpaksa, Sin Cu menarik pulang pedangnya seraya mundur.

   Hampir berbareng dengan itu, ia dengar jeritan, terus ia tampak tubuh Thio Hek terlempar ke air.

   Tukang perahu itu hendak membantui si nona, selagi kedua musuh menyerang, ia membokong satu musuh dengan penggayunya.

   Musuh itu kebetulan ada jago dan ke enam, dia lihat serangan, dia berkelit, justeru tubuh Thio Hek terjerunuk ke arahnya, dengan menggunai satu jurus yudo, dia tangkap tangannya Thio Hek untuk diteruskan dilemparkan.

   Saking kaget, Thio Hek menjerit.

   Sin Cu lantas menyerang pula, tempo ia diserang kembali, ia punahkan serangan mereka itu.

   Kedua musuh ini, yang ada dan ke enam dan ke lima, menjadi kagum mengetahui si nona liehay, karenanya, mereka berkelahi dengan ati-ati.

   Nona Ie didesak, ia tidak mau mundur, sebaliknya, ia membalas merangsak.

   Ia berhasil membuatnya orang mundur ke kepala perahu tetapi ia tidak dapat lantas merobohkan mereka itu.

   Mereka itu cerdik, tahu si nona memegang pedang mustika, mereka selalu menghindarkan bentrokan senjata.

   Selagi begitu, perahu besar mulai mendekati perahu Thio Hek.

   Dari atas perahu besar itu segera dilonjorkan belasan batang gaetan.

   Asal saja kedua perahu telah datang dekat sekali, pasti gaetan akan bekerja dan perahunya si nona bakal kena tergaet.

   Inilah berbahaya.

   Perahu kecil itu tanpa tukang kemudinya.

   Si nona sendiri tidak pandai berenang.

   Tanpa kemudi, perahu kecil itu terumbang-ambing, dan dengan di atasnya ada tiga orang lagi bertarung, terumbang ambingnya menjadi terlebih keras.

   Gubuk perahu juga telah terbabat golok -goloknya musuh.

   Lantas juga Sin Cu menjadi berkuatir.

   Goncangan keras dari perahu membuatnya repot, kesatu untuk melayani musuh, kedua guna memperteguh kuda-kudanya.

   Celakanya, kepalanya terasa pusing, hingga matanya pun bagaikan kabur.

   Ia terganggu apa yang dinamakan "mabuk laut."

   Di perahu besar, rombongan ronin berteriak-teriak, belasan gaetan mereka digerak-geraki.

   Melihat gaetan itu, Sin Cu menjadi bingung.

   Justeru itu, sambil berseru, dua lawannya menyerang dengan berbareng.

   Bahkan musuh yang di kiri.

   habis menggertak, hendak menyergap, guna menangkap tangan si nona, guna dilemparkan ke sungai.

   Dalam saat yang berbahaya itu, Sin Cu masih dapat melihat tegas.

   Ia lantas mem-bulang-balingkan pedangnya, guna menangkis.

   Ia geraki jurusnya "Kuda sungai menggendol gambar."

   Tiba-tiba musuh yang di kanan menjerit keras, sebelah tangannya lantas dikasi turun.

   Ketika baik ini digunai Sin Cu untuk berkelit dari musuh yang di kiri, yang hendak mencekuk padanya.

   Setelah berkelit, ia menikam ke bawah.

   Musuh itu lantas menjerit, karena perutnya menjadi sasaran pedang.

   Syukur untuknya, dia tidak terluka parah, maka bisa dia terjun ke air untuk menolong dirinya.

   Dia lantas ditelad kawannya, yang tangannya terus dibabat pula si nona hingga kutung.

   Untuk sejenak, hatinya Sin Cu lega, tetapi segera ia diancam belasan gaetan, yang bisa-bisa menyamber tubuhnya atau perahunya.

   Sekonyong-konyong saja perahu kecil itu memutar tujuan, lalu melesat menjauhkan diri beberapa tombak, hingga ancaman itu buyar! Dengan cepat Sin Cu berpaling ke belakang, hingga ia bisa tampak wajahnya si mahasiswa, yang bagaikan bersenyum, hanya begitu lekas sinar mata mereka bentrok, pemuda itu lantas tunduk, tinggal kedua tangannya saja yang memegang kemudi, mengendalikan perahu mereka.

   "Terima kasih!"

   Berkata Sin Cu, hatinya ingat sesuatu.

   "Terima kasih apa,"

   Sahut si mahasiswa, tenang.

   "Lekas masuk ke dalam gubuk!"

   Kata-kata ini disusuli damparannya gelombang, hingga perahu menjadi miring.

   Dengan sekonyong-konyong dari dalam gelombang terlihat satu orang lompat mencelat, di mulutnya tergigit sebatang golok Nippon, kedua tangannya menengteng masing-masing sebuah kepala orang.

   Dia lompat naik ke perahu kecil karena dialah Thio Hek si tukang perahu.

   Sebelum membilang apa-apa kepada si nona atau si pemuda, Thio Hek melemparkan kedua kepala manusia itu ke perahu besar, lalu setelah ambil golok dari mulutnya, ia berseru.

   "Siapa berani menyusul kami, inilah contohnya!"

   Kemudian baru ia menoleh, sembari tertawa ia kata.

   "Ini dia yang dibilang, orang tulen tidak mengentarakan diri, yang mengentarakan diri bukanlah orang tulen! Tiat Siangkong, kaulah si orang gagah yang menyimpan kepandaian liehay!"

   Thio Hek adalah tukang perahu, sebagai tukang perahu pastilah ia pandai berenang, maka itu tempo ia dilemparkan ke sungai, ia tidak mendapat bahaya apa-apa.

   Ia hanya tidak segera muncul pula di permukaan air, hanya dari dalam air, ia ikuti perahunya, sampai ia dapatkan dua musuh nyebur ke sungai.

   Ia lantas serang mereka itu, yang sudah terluka, dengan gampang ia bisa bunuh mereka, yang kepalanya ia kutungi.

   Selama di dalam air, ia dapatkan dua batang pisau belati nancap di dada kedua musuh itu, karena ia tahu, Sin Cu menggunai bunga emas, ia lantas menduga si mahasiswa.

   Thio Hek terus ambil penggayunya, untuk membantui si mahasiswa, dengan begitu, perahu kecil itu lantas laju pesat.

   Baru saja Sin Cu merasa lega betul-betul, atau ia telah menjadi kaget pula.

   "Celaka!"

   Tiba-tiba Thio Hek berseru, matanya mendelong ke dasar perahu.

   Si nona mengikuti tujuan mata orang, maka itu ia mendapat lihat papan perahu pecah di dua tempat dan air merubul masuk.

   Thio Hek lepaskan penggayunya, ia menimbakan air.

   Di lain pihak, perahu besar, yang memasang layar, datang menyusul.

   Di kepala perahu, seorang yang tubuhnya besar perdengarkan suaranya yang nyaring dan bengis.

   Orang tidak mengarti apa yang dia bilang, sedang sebenarnya dia mencaci.

   "Telur busuk yang besar!"

   Menyusul itu, dengan menghitung "It ni san,"

   Dia menimpuk dengan sebuah jangkar besar ke arah perahu kecil.

   Berat jangkar mungkin dua tiga ratus kati, tidak dapat Sin Cu tanggapi itu atau menangkisnya.

   Tapi jangkar sudah melayang datang, dengan terpaksa si nona berlompat, untuk pergi ke kepala perahu, guna paksa menyanggapi juga.

   Justeru itu, ia merasakan ada orang tarik ia dari belakang, lalu seorang melesat mendahulukan dia, tepat itu waktu, jangkar pun tibalah! Dalam ancaman bahaya itu, orang yang mendahulukan Sin Cu, ialah si mahasiswa, sudah lantas mengulur kedua tangannya, dengan tenang ia menyanggapi jangkar, lantas ia berseru.

   "Kehormatan tidak dibalas itulah bukan kehormatan!"

   Menyusuli itu, ia ayun kedua tangannya, maka sekejab saja, jangkar telah terlempar balik ke arah perahu besar! Orang-orang di perahu besar, yang pada berdiri di tepian, menjadi kaget, serentak mereka lari mundur karena ancaman jangkar mereka itu.

   Tapi seorang, yang ternyata ada dari dan ke tujuh, majukan diri untuk pasang kuda-kuda, guna mengulur kedua tangannya, guna menyanggapi jangkar.

   Tanpa dia berbuat demikian, jangkar itu dapat merusak lantai perahu mereka.

   Dia berhasil menyanggapi, dia terus letaki jangkar itu, hanya, berbareng dengan terlepasnya jangkar dari tangannya, ia muntahkan darah hidup dari dalam mulutnya! Itulah karena lemparan yang disebabkan tenaga besar luar biasa dari si pemuda.

   Semua orang di dalam perahu besar itu menjadi kaget sekali.

   Di dalam perahu itu ada sama sekali dua jago dan ke tujuh, dua dari dan ke enam, dan enam atau tujuh lainnya dari dan ke empat dan dan ke lima, dengan dari dan ke enam telah terbinasa satu orang, dari dan ke lima satu orang, dan dari dan ketiga atau ke empat dua orang, sekarang dari dan ke tujuh luka parah satu orang, semua penghuni perahu besar itu menjadi bingung.

   Lantas banyak suara mengusulkan untuk berhenti mengejar.

   "Jangan!"

   Berteriak jago dari dan ke tujuh yang tinggal satu-satunya. Dia bermata awas dan dia dapat melihat perahunya Thio Hek kemasukan air.

   "Apakah pahlawanpahlawannya Tenno mesti kehilangan keangkarannya? Kejar mereka, lepaskan panah!"

   Sin Cu tidak mengarti apa yang orang ucapkan itu, tidak demikian dengan Thio Hek dan si mahasiswa, yang hidup di sepanjang pesisir.

   Mereka ini menjadi kaget.

   Perahu mereka bocor dan menjadi semakin besar, kalau mereka dihujani anak panah, mana mereka dapat membela diri? Sedikitnya perahu kecil itu bakal karam! Thio Hek mengertak gigi.

   "Mari kita adu jiwa!"

   Katanya kemudian, sengit.

   "Sayang kabaran kita tidak dapat sampai di kuping Yap Toako...."

   "Yap Toako yang mana?"

   Bertanya si mahasiswa.

   "Toako Yap Cong Liu pemimpin dari tentara suka rela di Tayciu,"

   Sahut si tukang perahu.

   "Kita hendak menyampaikan kabar kepadanya."

   Thio Hek omong secara terbuka. Ia percaya si mahasiswa adalah orang kaum sendiri. Mahasiswa itu mengasi dengar suara tertahan, lalu ia mengibas tangannya.

   "Lekas menggayu dan menyingkir!"

   Ia berkata.

   "Pergi kamu mengambil jalan kecil untuk tiba di Tayciu!"

   Ia lantas menepuk kepada pinggangnya, dari mana ia loloskan sebatang joangin kiam atau pedang lemas, setelah itu ia mencelat hingga tubuhnya terlihat berkelebat seperti terbangnya seekor burung ho.

   Sementara itu riuh suara teriakan di perahu besar, panah mereka lantas ditarik dan dilepaskan ke arah perahu kecil itu, tetapi si mahasiswa putar pula gegamannya itu yang istimewa, ia membuatnya setiap batang anak panah mental balik dan jatuh ke air.

   Perahu besar pun telah datang dekat, maka tubuh si anak muda sudah mencelat naik ke atasnya, di tingkat yang kedua.

   Penumpang-penumpang perahu besar itu menjadi heran menyaksikan kepandaian orang hingga mereka jadi berdiri tercengang, kecuali dua jago dari dan ke empat, mereka maju untuk memapaki lawan, yang mereka terus serang.

   Si mahasiswa berlaku awas dan sebat sekali.

   Ia sebenarnya seperti dibokong, karena orang tidak hendak berikan ia ketika untuk menaruh kaki.

   Syukur saking gesitnya, kakinya itu telah mendahului tiba, maka ia bisa lantas menangkis serangan itu.

   Ia tidak melainkan menangkis, dengan kecepatan yang luar biasa, ia membalas menyerang.

   Kedua musuh itu tidak menyangka, mereka kaget, tetapi justeru mereka tergugu, mereka lantas menjadi kurbannya pedang perak yang lemas dari lawannya ini.

   Mereka roboh dengan lukanya masing-masing.

   Jago dan ke tujuh menjadi gusar sekali.

   Ia justeru ada murid terpandai dari Egukhi Fujiki, dan ke sembilan dan jago kendo kenamaan dari Nippon.

   Ia lantas menghunus pedangnya, sambil memasang kuda-kuda, ia menantang.

   Melihat sikapnya jago ini, yang lain-lain, dengan senjata mereka terhunus juga, lantas mengambil sikap mengurung, siap sedia untuk mengeroyok bila saatnya telah tiba.

   Si mahasiswa tidak menjadi jeri walaupun ia sudah terkurung, dengan matanya yang bersinar tajam dan bengis, ia menyapu semua lawan itu.

   Sikapnya ini membuat musuhmusuh gentar hati.

   Bukankah tadi mereka telah menyaksikan sendiri orang telah menyambuti jangkar dan melemparnya balik serta barusan saja dia telah menghalau hujan anak panah? *** "Panggillah juru bahasa kamu!"

   Membentak si mahasiswa. Ia mengarti bahasa Nippon akan tetapi dihadapan bangsa itu ia tidak suka menggunai bahasa orang itu. Di antara rombongan ronin itu ada sejumlah yang mengarti bahasa Tionghoa, salah satu di antaranya lantas menyahuti.

   "Aku lihat kau ada satu orang kosen,"

   Katanya.

   "maka kalau kau ada pesan apa-apa, sampaikanlah itu kepada kami! Perlu apa mesti pakai juru bahasa lagi?"

   Si mahasiswa pentang lebar kedua matanya, ia tertawa bergelak.

   "Aku telah naik ke atas perahu kamu ini, itu artinya aku sudah mengambil ketetapan untuk pulang tanpa nyawa!"

   Ia menyahuti.

   "Hanya untuk berpulang itu, mesti aku mengundang dan mengajak kamu pergi bersama ke noraka!"

   Kata-kata ini ditutup dengan berkelebatnya pedangnya dengan tiba-tiba, maka itu dua jago dan ke empat, yang pedangnya diajukan ke depan, kena terbabat kutung, hingga mereka itu menjadi kaget.

   Jago dan ke tujuh itu menjadi murka sekali, sambil berseru, ia menikam.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si anak muda menangkis, hingga senjata mereka bentrok hingga memuntahkan lelatu api.

   Anak muda ini tidak cuma menangkis, ia pun mesti berlompat, karena hampir berbareng beberapa pedang lain membabat kakinya! Jago dan ke tujuh itu tidak hendak mensia-siakan ketikanya, selagi orang belum menaruh kaki, ia menyerang.

   Si mahasiswa dapat melihat orang menyerang, sembari turun ia menangkis, lalu dengan sebat ia membalas menyerang.

   Maka itu ia lantas jadi bertempur sama penyerangnya itu.

   Banyak musuh menjadi kagum terhadap si mahasiswa, bukannya berkelahi, mereka justeru menonton.

   Adalah kemudian, beberapa di antaranya maju pula.

   Dengan sekonyong-konyong, si mahasiswa berseru keras.

   Ia bertubuh kecil dan kurus, romannya juga lemah, akan tetapi sekali ia berseru, ia perdengarkan suara mengguntur, sampai orang kaget, tak terkecuali si jago dan ke tujuh.

   Semua orang merasakan telinga mereka seperti berbunyi mengaung...

   Mahasiswa itu pandai menggunai ketikanya.

   Tempo ia didesak rapat oleh dua musuh dan ketiga, ia sampok senjata mereka, ia mendesak, lalu tangan kirinya menyamber seraya terus dilemparkan.

   Dua kali ia bergerak secara demikian, dua musuh kena ditangkap dan dilempar, celaka untuk mereka ini, mereka dilemparkan ke arah jago dan ke tujuh, justeru selagi dia ini menerjang.

   Sia-sia saja dia mencoba mengelakkan pedangnya, dua kawannya itu kena tertikam urat kakinya hingga urat-urat itu putus.

   Walaupun ia telah berhasil, si mahasiswa tidak berhenti sampai di situ.

   Bukankah ia berada di dalam perahu musuh dan musuh itu berjumlah besar? Maka ia mesti bekerja terus.

   Begitulah selagi merangsak, ia dapat menendang dua musuh hingga mereka itu terjungkal ke luar perahu, tercebur ke dalam sungai.

   Jago dan ke tujuh itu pun maju terus, tapi sekarang ia tampak musuh tengah menyender di loneng besi, tangannya dibulang-balingkan tak hentinya, hingga pedangnya itu mengasi dengar suara angin santer, mengaung tak hentinya.

   "Baiklah, siapa akan temani aku pergi ke noraka!"

   Teriak pemuda itu, sikapnya menantang.

   Ia jadi semakin berani karena di belakangnya ada hanya sungai Tiangkang, tak usah kuatir ia nanti ada yang bokong.

   Pihak penyerang itu beragu-ragu.

   Mereka kuatir, umpama kata musuh dapat disingkirkan, mungkin di pihak mereka sendiri bakal jatuh terlalu banyak kurban.

   Ini pun menjadi pikirannya utusan yang mengantar upeti.

   Selagi keadaan mandek itu, dari dalam perahu terlihat munculnya satu orang dengan seragamnya sebagai pembesar kerajaan Beng.

   Ia memang ada utusannya tiehu atau wedana dari Tayciu untuk menyambut dan mengawani si utusan, yang akan menuju ke kota raja.

   Kapan pembesar ini telah melihat nyata si mahasiswa, mukanya lantas saja berubah menjadi pucat.

   "Tiat Kongcu..."

   Katanya pelahan.

   "Siapa kau?"

   Membentak si mahasiswa yang dipanggil Tiat Kongcu itu seraya dia menuding dengan pedangnya. Pembesar itu memberi hormat.

   "Aku adalah Siupie Uy Tay Keng dari Tayciu,"

   Ia menyahut, memperkenalkan diri sebagai siupie atau kapten.

   "Aku kenal ayahmu untuk banyak tahun..."

   "Itulah terlebih baik lagi!"

   Berkata si anak muda.

   "Kabarnya kamu tengah mencari aku?"

   "Aku tidak berani,"

   Menyahut siupie itu seraya menjura.

   "Kenapa kau tidak berani? Sekarang ini aku justeru hendak menyerahkan diri! Kau beritahu kepada budak-budak kate (pendek) ini, karena aku hendak menyerahkan diri ke Tayciu, suruh mereka sediakan aku sebuah perahu kecil, untuk mengantarkan aku. Umpama kau tidak bertentaram hati, kau boleh utus beberapa pahlawan untuk mereka menemani aku! Sebaliknya, jikalau mereka hendak menangkap dan membunuh aku di sini, boleh saja, aku bersedia untuk melayani mereka! Asal kau maklum bahwa pedang tidak ada matanya dan tidak mengenal kasihan, seandainya aku mesti membuang jiwa di sungai Tiangkang ini, utusan ini juga jangan harap dia dapat tertanggung keselamatannya hingga di Pakkhia untuk mempersembahkan upetinya!"

   Kembali si mahasiswa kebaskan pedangnya, yang lalu berbunyi pula. Utusan pembawa upeti itu mengarti sedikit bahasa Tionghoa, ia kaget berbareng girang. Ia tarik si kapten ke samping, lalu ia kata dengan pelahan sekali.

   "Kiranya dia ini si pembunuh dan perampas, yang nyalinya besar berani merobek bendera matahari kami? Dia ini Tiat Keng Sim?"

   "Dia bilang..."

   Berkata si siupie.

   "Aku tahu apa yang dia bilang!"

   Si utusan memotong.

   "Aku hendak tanya kau, apakah benar-benar dia hendak menyerahkan diri?"

   "Sasterawan Tionghoa paling menjunjung rajanya dan berbakti kepada orang tuanya, aku lihat dia rupanya bersungguh-sungguh hati,"

   Menyahut si supie. Utusan itu mengangguk.

   "Baik," .bilangnya.

   "Aku pun menghargai dia sebagai seorang kosen. Sekarang kita atur begini saja. Sebentar aku sediakan sebuah perahu kulit, Otonu dan kau boleh bawa padanya. Sekarang undang dulu dia bersantap."

   Otonu adalah si jago dan ke tujuh. Uy Siupie sampaikan perkataannya si utusan kepada si mahasiswa, dia ini lantas tertawa lebar.

   "Mati pun aku tidak takut, kenapa aku mesti jeri untuk arak kamu?"

   Katanya.

   "Nah, suruhlah dia keluarkan barang makanannya dan dia boleh temani aku minum!"

   Nyaring tertawanya pemuda ini hingga itu terdengar jauh, sampai juga di telinganya Ie Sin Cu.

   Sebenarnya perahu kecil si nona, yang digayu Thio Hek, sudah terpisah jauh dari perahu besar, akan tetapi mendengar suara tertawa itu, nona ini berdiri di kepala perahu, ia memandang ke arah perahu besar itu.

   Ia heran waktu ia dapat lihat samar-samar si anak muda, yang dikurung perompak, tengah menenggak poci arak.

   "Kenapa barusan dia berkelahi mati-matian dan sekarang dia minum arak bersama musuh?"

   Ia tanya dirinya sendiri saking heran. Ia jadi berkuatir yang si pemuda telah kena diakali musuh.

   "Mari kita kembali!"

   Ia mengajak si tukang perahu.

   "Kita ada punya urusan penting, mana dapat kita kembali?"

   Jawab Thio Hek sambil tertawa.

   "Laginya perahu kita bocor, untuk menyingkir jauh saja masih belum tentu kita keburu, apapula untuk balik kembali..."

   Dengan sebenarnya, air sungai nerobos semakin besar.

   Thio Hek tidak tahu bocor itu disebabkan tadi dua musuh memakai sepatu yang ada pakunya dan di waktu menaruh kaki, mereka itu sengaja menginjak dengan keras.

   Di tengah sungai itu tidak ada jalan untuk menutup liang itu.

   Sin Cu tidak bisa berenang sekarang pun sepatunya telah basah kerendam air, hatinya gentar juga.

   Karena ini, ia tidak berani memaksa.

   Tentu saja ia menjadi merasa tak enak bukan main mengingat si mahasiswa berada di tangan musuh...

   Belum lagi perahu ini laju jauh, tiba-tiba terlihat sebuah perahu kecil lagi mendatangi dengan pesat, malah segera ternyata, itulah perahunya si nelayan tua.

   Begitu perahu itu sudah datang dekat, si nelayan menjura kepada Sin Cu.

   "Siangkong, terima kasih banyak-banyak untuk budimu sudah menolongi kami,"

   Ia berkata.

   "Silahkan siangkong pindah ke perahu kami untuk kami ayah dan anak menghunjuk hormat padamu."

   Di waktu begitu, Sin Cu tidak dapat menampik pertolongan.

   Thio Hek pun segera mengajak ia pindah.

   Tak lama dari kepindahan mereka, perahu mereka lantas karam.

   Perahu nelayan itu lantas digayu oleh Thio Hek dibantu si nona nelayan, Sin Cu sendiri duduk di dalam gubuk ditemani si nelayan tua.

   Nelayan itu ada penduduk asli dari Tayciu, tempo Sin Cu omong perihal perompak asing, ia menghela napas.

   Ia kata.

   "Kota Tayciu sekarang ini, walaupun di sini ada tiehu yang menjadi wakil pemerintah, sebenarnya si perompak kate (pendek) yang menjadi rajanya! Jangan kata rakyat jelata, sekalipun pembesar negeri jeri terhadap mereka itu..."

   "Sampai begitu ganasnya perompak itu?"

   Sin Cu tanya.

   "Memang! Baru bulan yang sudah terjadi satu peristiwa. Sebuah perahu penyelundup kate (pendek) berlayar ke Hayleng. Di Hayleng itu ada seorang saudagar yang kemaruk, dia berhubungan sama pihak penyelundup itu, lantas dia kena makan pancing. Selama pembicaraan di pelabuan sudah dijelaskan, mereka kedua pihak akan saling tukar barang, tetapi kenyataannya, pihak sana main gila. Caranya ialah, barang mereka dipasang harganya tinggi sekali, barang si saudagar sebaliknya ditaksir rendah. Saudagar itu tidak mau mengarti. Berani sekali pihak penyelundup itu. Mereka menuduh si saudagar melanggar janji, lantas mereka menganiaya hingga saudagar itu setengah mati, barangnya dirampas, perahunya ditenggelamkan! Tapi itu belum semua. Di dalam perahu ada isteri dan gadisnya si saudagar, nyonya dan nona itu diambil mereka, katanya sebagai barang pengganti kerugian. Saudagar itu tidak berdaya, saking putus asa, dia terjun ke sungai dan binasa karenanya. Kejadian itu membangkitkan amarah umum, banyak orang berseru-seru untuk menyerbu. Berbareng dengan itu, pihak penyelundup pun berselisih sama belasan kuli Tionghoa, yang upahnya tak hendak diperhitungkan, hingga kesudahannya kuli-kuli itu bersatu sama orang banyak. Ada ronin di dalam perahu penyelundup itu, mereka akhirnya menghunus golok, sembari menunjuk benderanya, yang dipancar di kepala perahu, mereka buka mulut besar, sambil tertawa mereka kata.

   "Dengan ada bendera ini, kami dapat malang melintang di pelbagai tempat dari Tiongkok! Pembesar-besar kamu, kapan mereka lihat bendera kami ini, mereka lantas menyambut kami dengan segala kehormatan! Beranikah kamu membikin ribut di depan bendera ini?"

   Kawanan kuli itu dan orang banyak tidak mau mengarti, mereka tetap berkeras.

   Ronin itu benar ganas, mereka lantas turun tangan, mereka menyerang kalang kabutan.

   Pihak kuli tidak bersenjata, mereka terpukul mundur, belasan yang terluka.

   Pihak ronin masih hendak mengejar, sampai di antara orang ramai ada satu pemuda yang muncul seraya membentak.

   "Apakah benar dengan adanya bendera kamu ini boleh kamu malang melintang?"

   Dia lantas lompat maju, dia lompat naik ke perahu penyelundup, bagaikan kera, dia panjat tihang bendera, untuk mengasi turun benderanya, yang terus dirobek empat! Seorang ronin membacok, goloknya ditangkis hingga kutung menjadi dua potong.

   Setelah itu si pemuda menghajar roboh belasan ronin, golok mereka dibabat kutung, kutungnya dibuang ke sungai! Setelah itu, isteri dan gadisnya si saudagar ditolongi.

   Di akhirnya, sembari tertawa, dia angkat kaki."

   Sin Cu gembira mendengar penuturan itu, meskipun mulanya ia mendongkol.

   "Bagus, bagus!"

   Serunya.

   "Siapakah pemuda gagah itu?"

   "Sebenarnya kita semua tidak tahu siapa pemuda itu, sampai belakangan, setahu dengan jalan bagaimana, satu pengkhianat telah dapat mengusutnya,"

   Sahut si nelayan tua.

   "Dia adalah puteranya satu bekas giesu yang telah pulang berpensiun di Tayciu. Giesu itu she Tiat, namanya Hong. Untuk kota Tayciu ialah penduduk kenamaan, memang telah turun temurun ia memangku pangkat. Giesu itu katanya ada dari tingkat kedua. Ia baru saja tahun yang selam meletaki jabatannya dan pulang ke kampung halamannya. Pengkhianat itu lantas memberi kisikan kepada wakil bangsa kate (pendek) di Tayciu itu, yang biasa mengurus soal-soal perdagangan bangsanya. Wakil perdagangan itu lantas mendesak kepada tiehu dari Tayciu, meminta anak muda itu. Ketika itu, si anak muda telah lenyap tak keruan paran. Tapi tiehu tidak kurang akal, dia tangkap giesu tua itu, yang terus dia tahan secara halus, untuk memaksa si giesu menyerahkan puteranya. Perkara itu menggemparkan kota Tayciu, sampai sekarang masih belum beres. Lihat, bukankah perompak kate (pendek) itu menjadi raja di sini, sampai tiehu pun jeri terhadapnya?"

   Habis menutur, nelayan itu menghela napas pula. Sin Cu lantas ingat si mahasiswa, ia terkejut.

   "Bukankah dia putera giesu itu?"

   Serunya seorang diri.

   "Kau bicara dari dia siapa, siangkong?"

   Tanya si nelayan, heran.

   "Dialah si pemuda yang tadi menempur bangsa kate (pendek),"

   Jawab Sin Cu.

   "Kalau begitu, dia benar-benar gagah!"

   Berkata si nelayan.

   "Di bawah desakan bangsa kate (pendek), tiehu memang berniat menawan dia, sekarang dia pulang dan sendirian saja dia menaiki perahu musuh, apa itu bukan berarti dia antari diri ke dalam perangkap?"

   Sin Cu berdiam.

   Entah kenapa, ia menjadi pepat hatinya.

   Setibanya di seberang, Sin Cu berpisah dari si nelayan dan gadisnya, bersama Thio Hek, ia lantas mendarat, untuk melakukan perjalanannya.

   Selang beberapa hari, tibalah ia di kota Tayciu, yang letaknya di pesisir propinsi Ciatkang, dan di desa-desa sekitarnya justeru lagi dikacau perompak, penduduk terbenam dalam ketakutan, pasar menjadi sepi, walaupun di siang hari, dari sepuluh toko atau warung, enam atau tujuh yang menutup pintunya.

   Thio Hek bawa Sin Cu langsung ke rumah kawannya, bersiap untuk berangkat nanti setelah ada perhubungan sama pihak tentara rakyat.

   Baru saja lewat dua hari, kota Tayciu gempar dengan warta bahwa Tiat Kongcu, yaitu puteranya Tiat Hong si bekas giesu atau censor raja, telah datang menyerahkan diri di kewedanaan, tetapi ada juga yang bilang dia dibawa datang oleh bangsa Nippon.

   "Coba tolong mencari keterangan,"

   Sin Cu minta kepada Thio Hek.

   Tukang perahu itu pergi dengan cepat.

   Ia ada punya banyak kenalan sekalipun di kantor negeri.

   Sesudah sore barulah ia pulang, dengan kabar yang memastikan, ia pun dapat keterangan, sekarang ini kongcu itu ditahan di dalam kantor, sebab ada kemungkinan, lagi tiga hari dia bakal diserahkan pada pihak Nippon.

   Katanya, sebab kongcu itu ada puteranya Tiat Hong, dia tidak ditahan di penjara hanya di sebuah ingin aku ketahui, penahanan itu dilakukan atas undang-undang fatsal ke berapa?"

   Kembali mukanya si wedana menjadi merah. Ia rangkapi kedua tangannya, untuk menjura.

   "Harap kau tidak gusar, kongcu,"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia bilang.

   "Apa yang aku lakukan ini sebenar-benarnya saking terpaksa. Kongcu, haraplah kau, kau maafkan kesulitanku..."

   "Sebenarnya kau pembesarnya pemerintah atau hambanya si perompak kate (pendek)?"

   Tiat Keng Sim menanya pula.

   "Terang aku ada pembesarnya pemerintah,"

   Sahut si tiehu cepat.

   "Tetapi, kongcu, kau sendiri bukannya tak ketahui, bahagian luar dari kota Tayciu sekarang ini adalah dunianya perompak kate (pendek) itu sedang di bahagian dalamnya, perwakilan Nippon telah sangat mendesak padaku. Pemerintah kita sama sekali tidak mengirim pasukan perang untuk menindas kaum perompak itu. Di samping itu, pembesar pabean telah menyambut hormat sekali kepada utusan perupetian Nippon itu. Maka, kongcu, kau, kau hendak suruh aku berbuat bagaimana? Ah, siapakah yang dapat mengarti kesulitanku ini?"

   Menampak wajahnya tiehu, biar bagaimana, Sin Cu berkasihan juga kepada pembesar lemah ini yang tidak berdaya, kalau tadinya ia ingin memenggal batang leher orang, sekarang kemarahannya, kebenciannya, tumplak semua kepada perompak kate (pendek).

   "Ya, aku mengarti!"

   Berkata Keng Sim, tapi hatinya panas.

   "Sekarang kau hendak berbuat apa terhadapku?"

   Tiehu mengurut-urut kumisnya yang sudah ubanan.

   "Perwakilan Nippon di kota ini pasti sekali ingin mendapatkan kau, kongcu,"

   Ia menyahut, pelahan.

   "maka itu dengan memandang kepada keselamatannya penduduk Tayciu, aku minta sukalah kongcu sedikit merendahkan diri untuk besok pindah tempat..."

   Keng Sim tertawa dingin ketika ia bilang.

   "Aku ada rakyatnya kerajaan Beng, jikalau aku bersalah, seharusnya kaulah yang memeriksa! Kau menyebut-nyebut undangundang negara, sekarang aku tanya padamu, mana undangundangmu itu? Apakah menurut undang-undang itu boleh bangsa asing yang memeriksa rakyat negara kita?"

   Dengan tergesa-gesa tiehu itu menjura.

   "Kongcu, meskipun benar katamu itu, aku minta kau sukalah ingat kesulitanku,"

   Ia berkata.

   "Jikalau aku tidak iringkan kehendak mereka itu, pihak perwakilan Nippon itu bisa memerintahkan kawanan perompak kate (pendek) di luar kota datang menerjang kota kita ini. Kalau itu terjadi, tidakkah penduduk kota menjadi bercelaka? Kongcu, kau ada seorang yang sadar dan mengarti segala apa, aku minta sukalah kau, kau, memaafkan kesukaranku ini..."

   Keng Sim mendongkol bukan main.

   "Kenapa aku tidak mengarti?"

   Katanya dalam hatinya.

   "Inilah semua sebab kau hendak lindungi kopia kebesaranmu, karena kau bernyali kecil, kau kasi dirimu didesak-desak!"

   Melihat roman orang, pemuda ini toh tidak tega untuk menegur lebih jauh. Ia dapatkan tiehu itu, dengan sorot mata minta dikasihani, terus mengawasi padanya. Akhirnya ia angkat kepalanya.

   "Baiklah kau ketahui, aku tidak menyayangi jiwaku, tetapi dengan kau serahkan aku kepada si budak kate (pendek), ke mana kau hendak letaki kehormatannya pemerintah kita?"

   Ia berkata.

   "Tapi kau berada dalam kesulitan. Baik begini saja. Maukah kau aku carikan jalan yang ada dua kebaikannya untukmu?"

   "Suka aku mendengarnya, kongcu,"

   Menyahut tiehu cepat.

   "Dayaku itu begini,"

   Berkata pula Keng Sim, menjelaskan.

   "Perkaraku ini kau sendiri yang periksa, kau ijinkan perwakilan Nippon itu turut hadir untuk menyaksikan. Mereka itu mencari aku, biarlah dia memanggil datang saksi-saksinya untuk menuduh dan mendakwa aku. Di waktu dilakukan peperiksaan, rakyat jelata penduduk Tayciu mesti diijinkan turut menyaksikan juga."

   "Ini... ini..."

   "Ini, ini apa?"

   Memotong si anak muda.

   "Inilah cara untuk melindungi undang-undang pemerintah sekalian untuk memberi muka kepada perwakilan Nippon itu! Dengan begini kau dapat membersihkan dirimu dari tanggung jawab terhadap pihak asing itu. Tidakkah ini bagus? Jikalau kau tidak setuju, sudah, hendak aku mengangkat kaki dari sini! Apakah kau kira ratusan atau ribuan perompak kate (pendek) itu dapat mencegah aku? Apakah kau juga dapat menghalanginya?"

   Sengit ini anak muda hingga ia hajar ujung meja teh dengan tangannya. Tiehu menjadi ketakutan. Ia memang tahu anak muda ini liehay dan telah dengar bagaimana orang telah tempur musuh. Dengan cepat ia menjura.

   "Baiklah kalau kongcu memikir demikian,"

   Katanya, terpaksa.

   "Besok akan aku bicarakan urusan ini dengan pihak sana. Aku hanya harap sukalah kongcu ingat keselamatannya penduduk kota kita."

   Wajahnya tiehu ini menjadi sangat kucel, dengan lesu ia mengundurkan diri.

   Seberlalunya pembesar itu, Sin Cu lompat turun dari payon, tanpa bersangsi pula, ia lompat menembrak jendela untuk masuk ke dalam kamar.

   Keng Sim tidak jadi kaget, bahkan ia menyambut sambil tertawa.

   Katanya.

   "Bukankah telah lama kau datang ke mari dan telah mendengar pembicaraan barusan?"

   Sin Cu merasa heran dan kagum.

   "Aku anggap aku datang di luar tahu siapa juga, tidak dinyana dia telah mengetahuinya..."

   Pikirnya. Belum lagi ia menyahuti, anak muda itu sudah menambahkan.

   "Kau telah dengar segala apa, untuk apa kau datang juga padaku?"

   "Aku hendak menjenguk kau!"

   Sahut si nona, agaknya ia kurang puas. Keng Sim bersenyum.

   "Itu hari di sungai Tiangkang kau telah sudi mengajak aku menumpang perahumu,"

   Ia berkata.

   "sekarang selagi aku dalam tahanan, kau pun menjenguk aku, saudara Ie, kau sangat baik, aku berterima kasih padamu."

   Habis berkata, dia menjura. Sin Cu mendongkol, tetapi mendengar perkataan orang dan melihat tingkahnya itu, ia tertawa.

   "Kau bilang tidak perlu aku datang ke mari, tetapi aku anggap tidak perlu kau berdiam di sini!"

   Ia kata.

   "Eh, kenapa?"

   Tanya pemuda itu.

   "Ayahmu sudah dimerdekakan, kenapa kau kesudian berdiam di sini untuk menjadi mendelu saja?"

   Berkata si nona.

   "Apakah benar-benar kau sudi menerima hinaan dengan membiarkan si budak kate (pendek) bercokol di atas menyaksikan kau diperiksa?"

   Mendengar itu, Keng Sim membalas.

   "Apakah kurang jelas bagimu maksudnya si tiehu?"

   "Dia ketakutan sangat terhadap perompak kate (pendek), dia sampai hilang semangatnya! Apakah kita, kau dan aku, jeri juga? Bukankah sejak dahulu ada dibilang, Tentara datang, panglima menangkisnya Air melanda, kita pakai tanah membendungnya? Jikalau benar-benar perompak kate (pendek) berani datang menyerang, apakah kita tak dapat berdaya untuk memukul mundur pada mereka?"

   Keng Sim tertawa. Ia mengawasi.

   "Kita berdua memang tidak takuti perompak kate (pendek) itu!"

   Ia menyahut.

   "Tetapi kita berdua saja, dapatkah kita memukul mundur pada mereka? Aku mohon tanya, umpama kata kawanan perompak itu menerjang kota secara besarbesaran, saudaraku ada punya daya apa untuk menghancurkan mereka?"

   Ie Sin Cu bicara dengan menuruti suara hatinya, hati yang muda, ia tidak pernah memikir sampai begitu jauh. Tapi ia tidak mau menyerah kalah mentah-mentah.

   "Apakah kau benar rela diperiksa mereka?"

   Ia tanya.

   "Apakah kau telah punyakan daya untuk menghajar kawanan perompak itu?"

   Tiat Keng Sim tertawa.

   "Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay,"

   Ia berkata.

   "Untuk memanah harimau dan menyingkirkan ular naga kita perlu lebih dulu menarik busur dan menggosok pedang, dari itu apa pula untuk mengusir perompak yang terlebih garang daripada harimau dan ular naga itu?"

   Sin Cu menjadi berpikir mendengar jawab orang, yang seperti telah mempunyakan daya upaya. Ia kata di dalam hatinya.

   "Mungkinkah kerelaannya diperiksa ini disebabkan dia seperti hendak menarik busur dan menggosok pedang, yaitu dia telah menyiapkan sesuatu? Sungguh dia tak dapat diterka hatinya..."

   Ia awasi pemuda itu, ia dapatkan sinar mata yang tenang.

   "Terima kasih yang kau telah datang menjenguk aku,"

   Berkata pula si anak muda sambil bersenyum.

   "Sekarang sudah waktunya untuk kau kembali pulang! Nanti saja di hari peperiksaan, kau datang pula melihat aku!"

   Sin Cu masih merasa berat.

   "Saudara Tiat, kau ada pesan apa lagi?"

   Ia tanya.

   "Aku suka berikan tenagaku yang lemah..."

   Heran juga Keng Sim menyaksikan kelakuan orang itu.

   "Baik sekali ini anak muda,"

   Ia berpikir.

   "Kita baru saja bertemu, dia sudah lantas memandang aku sebagai sahabat kekal."

   Ia menatap, hingga sinar mata mereka bentrok, hanya sejenak saja, Sin Cu lantas melengos, wajahnya menjadi merah sendirinya.

   "Dasar bocah cilik!"

   Kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia merasa lucu.

   "Barusan dia omong tampan, seperti orang dewasa, sekarang dia malu sendirinya..."

   Pemuda ini masih belum menduga bahwa orang ada satu pemudi.

   "Terima kasih, saudaraku,"

   Katanya pula kemudian, sembari tertawa.

   "Kalau begitu baiklah saudaraku tolong bawa saja pesanku."

   "Untuk siapakah itu?"

   Sin Cu tanya.

   "Terpisah tujuh atau delapan lie di timur kota ini ada sebuah desa kecil yang dipanggil Peksee cun,"

   Menjawab Keng Sim.

   "Di sebelah barat desa itu, seperti menyender pada bukit, ada sebuah rumah. Di depan rumah itu ada tiga pohon pekyang dan di depan pintunya ada sepasang singa batu. Ada sangat gampang untuk mengenali rumah itu. Kalau nanti saudaraku telah bertemu sama tuan rumah, tolong kau tuturkan kepada dia semua apa yang kau dengar dan lihat malam ini."

   "Siapakah tuan rumah itu?"

   Sin Cu tanya.

   "Orang apakah dia?"

   "Asal saudaraku bertemu dengannya, saudaraku bakal ketahui sendiri,"

   Sahut Keng Sim.

   Dia bersenyum, agaknya dia aneh.

   Sin Cu terima pesan itu, ia lantas berlalu.

   Sampai di pondoknya, ia masih tidak dapat menerka artinya senyuman pemuda itu.

   Besoknya, Sin Cu masih belum menerima balasan kabar dari orang yang diutus Thio Hek untuk menghubungi pihak tentara rakyat.

   Ia tidak menanti lebih lama, seorang diri ia menuju ke Peksee cun, desa Pasir Putih.

   Ketika itu ada di permulaan musim rontok, sawah-sawah di luar kota memperlihatkan wajah kuning emas, tandanya tanaman telah masak.

   Pemandangan alam itu ada menarik hati, maka Sin Cu merasa puas.

   Hanya ketika itu, di situ terdapat jarang sekali orang yang berlalu lintas.

   Ia menghela napas, di dalam hatinya ia kata.

   "Coba tidak ada gangguan perompak kate (pendek), tempat ini mirip dengan dunia punya Taman Bungah Toh..."

   Peksee cun terpisah dari kota tak ada sepuluh lie, maka itu dengan tanya-tanya orang, Sin Cu lekas tiba di desa itu.

   Itulah sebuah kampung kecil, yang penduduknya terdiri dari belasan rumah, yang mencar satu dari lain.

   Ia jalan terus di jalan pegunungan yang berliku-liku, sampai di selat di mana ia dapatkan sebuah rumah yang berdiri di lamping bukit.

   Rumah itu tidak punya tetangga.

   Di tanjakan terlihat tanaman bunga kuihoa, yang harumnya terbawa siuran angin gunung.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lega akan mendapatkan bau harum itu.

   Maka Sin Cu duga penghuni rumah itu seorang yang halus budi pekertinya.

   Setelah melintasi kebun bunga, Sin Cu dapat lihat sepasang ciosay atau singa-singaan dari batu, yang bercokol di undakan tangga rumah, dan di depan pintu rumah itu benar ada tiga buah pohon pekyang, yang mengalingi satu pojoknya lauwteng rumah.

   "Tidak salah lagi inilah rumah yang Keng Sim pesan aku mesti cari,"

   Memikir pemudi ini selagi ia mengawasi ke arah rumah itu.

   "Kenapa Keng Sim tidak hendak memberitahukan aku siapa pemilik rumah ini?"

   Ia bertindak meng-hampirkan pintu, tindakannya pelahan, niatnya untuk mengetok. Tiba-tiba ia merasakan samberan angin di belakangnya, lalu ia dengar teguran yang nadanya halus.

   "Siapa yang datang celingukan ke mari?"

   Ia lantas menoleh, maka di hadapannya tampak satu nona yang manis, bajunya bertangan pendek, warnanya kuning marong, rambutnya dijadikan konde dua.

   Nampaknya nona itu masih kebocah-bocahan walaupun usianya, ia taksir, tak berjauhan dengan usianya sendiri.

   Nona itu bawa lagaknya seorang dewasa.

   Untuk kagetnya, nona itu terus menyerang padanya, dengan satu jurus Kimna ciu.

   Rupanya orang telah pandang ia sebagai seorang panca longok! Sebenarnya cukup untuk Sin Cu untuk berkelit seraya menyebutkan nama Keng Sim, urusan sudah tidak ada lagi, siapa tahu, ia pun bawa tabiatnya, ingin ia mencoba nona itu.

   Ia lantas membikin punah serangan si nona itu dengan jurusnya "Mega merah menampa rembulan."

   Kalau si nona menyerang ia dengan tangan kiri seraya tangan kanan dipakai melindungi diri, ia justeru menangkis dengan tangan kiri sambil menjambak dengan tangan kanan.

   Nona itu kaget hingga ia mengeluarkan seruan pelahan, sebab sikutnya kena dibentur.

   Atas ini, ia lantas saja menyerang pula dengan jurusnya "Tujuh bintang,"

   Mengarah dada orang, karena mana, Sin Cu mesti menarik pulang tangannya. Ia menjadi kagum untuk kegesitannya nona itu. Lantas ia mengubah jurusnya tadi dengan jurus "Menarik busur untuk memanah burung rajawali."

   Ia belum dapat menguasai ilmu silat tangan kosong tetapi gurunya telah ajari ia ilmu silat pedang "Pekpian Hian Kie Kiamhoat,"

   Maka itu, ia lincah luar biasa.

   Begitulah selagi dengan tangan kiri ia tangkis serangan si nona, dengan tangan kanan ia menyamber dada orang, pada jalan darah lengkiu hiat.

   Nona itu terkejut, mukanya menjadi merah, tetapi ia tidak menangkis atau berkelit, ia buka mulutnya, untuk menggigit tangan lawannya itu.

   Melihat itu, Sin Cu pun terperanjat.

   Ia lantas ingat bahwa ia tengah menyamar sebagai satu pemuda sedang lawannya itu satu nona remaja.

   Ia jadinya telah bersikap ceriwis! Pun luar biasa sekali cara bersilatnya nona itu, yang main menggigit.

   Syukur Sin Cu sebat menarik pulang tangannya, kalau tidak dua jerijinya bisa kutung terkacip gigi! Hanya, biar bagaimana, ia merasa Jenaka juga...

   Di saat Nona Ie memikir untuk bicara, nona itu sudah menyerang pula padanya, secara bertubi-tubi, kedua tangannya, kiri dan kanan, menyamber-nyamber saling susul, kedua kakinya turut bergerak dengan cepat dan tetap untuk mengimbangi hujan serangannya itu.

   Ia terpaksa menunjuki kelincahannya akan menyingkir dari semua serangan itu, ia main berkelit, dengan mengegos tubuh atau berlompat.

   Tapi ia terus dirangsak, hingga tanpa merasa telah berlalu empat puluh sembilan jurus, hingga, umpama kata, ia tak dapat bernapas...

   "Heran,"

   Pikirnya.

   Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu silatnya itu seperti melebih padanya.

   Banyak sudah gurunya, Thio Tan Hong, menuturkan ia tentang pelbagai macam ilmu silat partai lain tetapi belum pernah ada yang semacam ini.

   Baru setelah itu, Sin Cu "menutup"

   Kedua tangannya si nona dengan ilmu silatnya "Siauwthian cee"

   Atau "Bintang kecil."

   "Bagus!"

   Ia pun memuji.

   "Sudah, sampai di sini saja, tidak usah kita bertarung pula. Aku datang untuk membawa kabar bagimu."

   Nona itu berontak, tidak dapat ia membebaskan kedua tangannya.

   Ia telah kerahkan tenaganya, masih sia-sia saja.

   Sin Cu telah berhasil mewariskan kepandaian gurunya, siapa sebaliknya telah dapat mengatasi warisan Pheng Hweeshio, yang sudah meninggalkan surat wasiatnya yang berisi pelajaran istimewa, pelajaran mana Tan Hong yakinkan selama belasan tahun.

   "Eh, kau bawa surat?"

   Tanya nona itu heran.

   "Surat apakah?"

   "Surat yang berupa pesan lisan dari Tiat Keng Sim,"

   Sin Cu menjawab.

   "Tiat Keng Sim meninggali pesan untukku?"

   Si nona menegaskan.

   "Di mana kau bertemu dengannya?"

   "Di kantornya tiehu. Besok dia bakal diserahkan tiehu kepada orang Nippon."

   Nona itu agaknya terkejut, lalu nampak ia berduka, alisnya berkerut. Setahu kenapa, menampak roman itu, Sin Cu merasa sedikit iri hati...

   "Benarkah Tiat Keng Sim meninggalkan pesan?"

   Tiba-tiba si nona menanya.

   "Kau siapa? Apakah namamu?"

   "Aku she Ie dan namaku Sin Cu. Kau?"

   "Ie Sin Cu? Belum pernah aku dengar..."

   Kata nona itu.

   "Kita ada sahabat-sahabat baru,"

   Sin Cu jelaskan. Tiba-tiba nona itu tertawa dingin.

   "Mustahil Tiat Keng Sim mempunyai sahabat semacam kau!"

   Katanya.

   "Kau ceriwis! Kau tentu penipu! Rasai pedangku!"

   Sin Cu melayani orang bicara tanpa curiga, maka ketika nona itu berontak dengan tiba-tiba, terlepaslah "tutupannya."

   Cepat luar biasa, nona itu sudah menghunus pedangnya, dan sama cepatnya, dia buktikan ancamannya, yang berupa tikaman! Mau atau tidak, Sin Cu mesti berkelit, malah terus hingga tiga kali sebab nona itu tikam ia berulang-ulang.

   Akhirnya, ia jadi mendongkol juga.

   Di dalam hatinya ia kata.

   "Ilmu pedangmu boleh liehay, apakah kau sangka aku jeri terhadapmu?"

   Di saat Nona Ie hendak mencabut pedangnya, guna melayani, kupingnya dengar tindakan berlari-lari diarah belakangnya, suara berlari-lari dari belakang bukit. Belum sempat ia menoleh, si nona sudah menghentikan serangannya sambil terus berseru.

   "Seng Jiekol"

   "Jieko"

   Itu ialah kakak yang nomor dua.

   Ketika ini digunai oleh Sin Cu untuk berpaling ke belakang, maka itu ia lantas dapat melihat dua orang tengah berlari, yang satu di depan, yang lain di belakang, keduanya laki-laki, yang di sebelah belakang adalah seorang perwira, dengan pedang di tangan, dia tengah mengejar orang di depannya itu.

   Laki-laki yang lagi diubar-ubar itu adalah seorang muda yang alisnya gompiok dan matanya besar, bajunya tak terkancing hingga nampak dadanya.

   Dia berkulit hitam.

   Segera dia dapat dikenali sebagai seorang nelayan.

   Dia bersenjatakan sebatang toya, dengan itu saban-saban dia berpaling untuk menyerang pengejarnya itu.

   Si perwira bersenjatakan sebatang golok melengkung, bagus ilmu silat goloknya, selalu ia bisa singkirkan serangannya si pemuda, ia cuma kalah ilmu ringan tubuh, karena di jalanan pegunungan seperti itu, ia kalah cepat larinya.

   Maka setiap menemui jalan yang sulit, ia mesti lari nyimpang ke lain arah untuk dapat menyandak.

   Si nona sudah lantas saja lari untuk mema-paki, karena mana, Sin Cu turut berlari juga.

   Cepat sekali, mereka sudah datang dekat satu pada lain.

   Kapan si perwira melihat Sin Cu, ia menjadi heran.

   "Hm, binatang, kau pun di sini?"

   Dia menegur.

   "Kau pernah apakah dengan si tua bangka she Cio?"

   Sin Cu segera mengenali perwira itu, ialah Tonghong Lok, hutongnia atau kepala yang kedua dari pasukan Gielimkun, ketika di kota raja ia mencuri kepala ayahnya, ia telah bertemu dan bertempur dengannya, jadi ia mengetahui orang ada liehay.

   Ia tidak tahu siapa itu yang disebut tua bangka she Cio, tetapi ia percaya datangnya kepala Gielimkun ini niscaya bukan bermaksud baik, ia lantas bersiap akan bersama si nona menempur padanya.

   Nona itu sebat luar biasa, baru Sin Cu berpikir, dia sudah mendahulukan berlompat, terus menikam perwira itu, hanya berbareng menyerang, ia teriaki si pemuda yang dikejar-kejar perwira itu.

   "Seng Jieko, kau layani itu bocah, dia berani datang menghina aku, dia bukannya satu manusia baik-baik!"

   Mendengar ini, Sin Cu tercengang. Si anak muda dengar perkataannya si nona, ia tinggalkan si perwira, ia lantas menghampirkan nona kita, untuk lantas menekan pedang orang. Tentu saja nona kita menjadi mendongkol.

   "Kenapa kau begini sembrono?"

   Ia menegur.

   "Aku datang untuk membantu kamu!"

   Ia lantas geraki pedangnya, akan bebaskan diri dari tekanan. Pemuda itu heran, tetapi ia mengawasi dengan tajam.

   "Kau siapa?"

   Ia tanya, bengis.

   "Seng Jieko, jangan dengari bujukannya!"

   Si nona berkata, sekalipun ia tengah melayani si perwira.

   "Tadi dia berlaku kurang ajar terhadapku! Hajar dulu padanya!"

   Pemuda itu menjadi gusar, ia lantas menyerang pula. Sin Cu menjadi mendongkol sekali. Atas datangnya serangan, ia bergerak dalam jurusnya "Menggeser tubuh, menukar tindakan."

   Gesit luar biasa, ia mendak, akan nyelusup di bawah toya.

   Ia ada bagaikan seekor ikan yang licin.

   Habis itu, ia membalas menyerang, dengan sabetannya.

   Ia hanya tidak menikam tubuh atau lain anggauta tubuh dari anak muda itu, ia cuma membikin putus dua buah kancing baju! Pemuda itu terkejut, justeru mana, Sin Cu tarik pulang pedangnya, sambil tertawa dingin, si nona berkata.

   "Ini dia yang dibilang, anjing menggigit Lu Tong Pin, kamu tidak kenal kebaikan orang! Coba aku tidak menghargai Tiat Keng Sim, pastilah aku telah membikin liang di dalam tubuhmu!"

   Pemuda itu terkejut, ia heran.

   "Tiat Keng Sim?"

   Ia mengulangi.

   "Tiat Keng Sim yang mana?"

   Sin Cu tertawa dingin.

   "Mana ada Tiat Keng Sim lainnya lagi selainnya Tiat Keng Sim yang sekarang tengah ditahan di kantor tiehu kota Tayciu!"

   Ia menyahut tawar.

   "Jangan dengari ocehannya!"

   Si nona mendahulukan si anak muda. Ia lagi berkelahi, ia pun memasang kupingnya.

   "Tiat Suko tidak nanti mempunyakan sahabat seperti dia ini!"

   "Traang!"

   Demikian suara yang menyusuli perkataan si nona dan nona itu menjadi kaget.

   Justeru ia perdengarkan suaranya, Tonghong Lok sudah hajar pedangnya, hingga tangannya tergetar dan pedangnya itu terlepas dan terpental! Pemuda itu terperanjat, ia tinggalkan Sin Cu, untuk membantui si nona.

   "Jangan pedulikan aku!"

   Nona itu berseru, mencegah.

   "Aku dapat bertahan! Kau hajar saja pemuda ceriwis itu!"

   Nyata nona itu besar kepala dan tak suka menyerah kalah.

   Si anak muda bersangsi sebentar, akhir-nya ia mendengar kata.

   Maka kembali ia hadapi Nona Ie, ia lantas merabu ke bawah.

   Sin Cu benar-benar mendongkol, ia berlompat, terus ia membalas menyabet dengan tipu silat "Menjahit dengan jarum emas."

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia ingin memapas pula kancing baju orang.

   Kali ini si anak muda waspada, ia dapat egoskan tubuhnya.

   Ia kalah gesit tapi menang tenaga, maka itu, ia lantas kurung dirinya dengan toyanya.

   Dalam mendongkolnya, Sin Cu menyerang dengan sengit, sampai ia lewatkan belasan jurus, baru ia papas ujung toyanya pemuda itu.

   Ia membarengi berkata.

   "Jikalau kau tidak percaya aku, kau mesti percaya suheng-mu Tiat Keng Sim!"

   Walaupun ia seorang kasar, pemuda itu tidak besar kepala seperti si nona, adik seperguruannya itu. Ia pun polos. Maka ia berpikir.

   "Ilmu silat orang ini tak ada di bawahan Tiat Suheng, kalau dia bermaksud jahat, barusan mana dapat aku membebaskan diri dari dua tikamannya?"

   "Sebenarnya kau datang untuk urusan apa?"

   Ia akhirnya tanya. Ia tidak menyerang lebih jauh, ia berdiri sambil mengawasi dengan tajam.

   "Aku datang untuk menyampaikan pesan lisan dari suhengmu"

   Sahut Sin Cu.

   "Pesan apakah itu?"

   Si anak muda bertanya.

   "Dia ditahan di kantor tiehu, besok dia hendak diserahkan pada orang Nippon!"

   Sin Cu beritahu.

   "Hm! Cuma sebegitu saja pesannya?"

   Anak muda itu menegasi. Agaknya ia seperti sudah ketahui kejadian atas diri si anak muda.

   "Kau hendak menanya apa lagi?"

   Sin Cu balik menanya. Anak muda itu berpikir, lalu ia angkat kepalanya.

   "Menurut kau, jadinya Tiat Suheng-ku itu ditahan di kantor tiehu ?"

   Katanya.

   "Benar!"

   Sahut Sin Cu.

   "Suheng-ku itu mempunyai kepandaian untuk menakluki naga dan menundukkan harimau, dia pun pandai ilmu enteng tubuh Terbang di atas rumput, kenapa dia bolehnya membiarkan dirinya ditangkap tiehu untuk diserahkan pada orang Nippon?"

   Dia tanya pula.

   "Itu adalah pikirannya sendiri, apa maksudnya, aku tidak dapat tahu,"

   Menjawab nona Ie.

   "Dia cuma membacakan dua baris syair kepadaku, ialah Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Ruparupanya dia sudah ketahui baik apa yang dia harus lakukan."

   Mendengar itu, si anak muda lantas berseru.

   "Sumoay, perkataannya orang ini benar! Benar-benar dia datang membawa pesan lisan dari suheng kita!"

   Nona itu tidak menjawab, maka Sin Cu menjadi heran.

   Ia lantas berpaling.

   Nyata nona itu tengah bertempur hebat sekali dengan Tonghong Lok, gerakan tubuh mereka pesat sekali, sinar pedang berkilauan.

   Tidak ada suara dari beradunya senjata, cuma suara angin yang bersiuran keras.

   Sebab si nona berkelahi dengan tangan kosong, melayani musuh yang bersenjata.

   Dia mainkan sepasang kepalannya sama seperti pedangnya tadi, dia menyerang bertubi-tubi, seperti tak hentinya.

   Ilmu silatnya itu tetap tidak dapat dikenali Sin Cu.

   Menghadapi nona itu, Tonghong Lok agaknya kewalahan, bukan karena ia kalah, hanya sebab sukar untuk ia memecahkan serangan berantai dari si nona.

   "Coba tenaga dalam si nona lebih sempurna sedikit saja, terang sudah Tonghong Lok bukan tandingannya,"

   Berpikir Sin Cu kemudian. Ia terus memasang mata, hingga di akhirnya, ia berseru kepada si anak muda di depannya.

   "Kamu toh muridnya Cio Keng To?"

   Anak muda itu terperanjat.

   "Cara bagaimana kau kenal guru kami?"

   Tanyanya heran.

   Di jaman itu ada terdapat empat kiamkek atau ahli ilmu silat pedang.

   Di selatan ialah Thio Tan Hong.

   Di utara yaitu Ouw Bong Hu.

   Di barat yakni Yang Cong Hay, itu congkoan kesohor dari istana kaisar.

   Dan di timur adalah Cio Keng To yang disebutkan Sin Cu ini.

   Di antara mereka itu berempat, Tan Hong yang usianya paling muda tetapi namanya paling terkenal.

   Cio Keng To adalah yang tertua, sebaliknya yang mengenal dia, tak banyak jumlahnya.

   Inilah disebabkan pada dua puluh tahun yang lampau ia telah mencuri pedang di dalam istana kaisar hingga ia menjadi melakukan perlanggaran pidana besar, ia kabur ke luar batas negara dan seterusnya mengumpatkan diri, hingga selama dua puluh tahun orang tak dengar pula.

   Lantaran ini kaum muda tidak banyak yang ketahui namanya.

   Tan Hong ketahui Keng To pandai ilmu pedang "Keng To Kiamhoat"

   Karena pernah Cio Keng To datang berkunjung kepada kakek gurunya, untuk sebagai yang muda memohon pengajaran.

   Tatkala itu Hian Kie Itsu kebetulan telah selesai meyakinkan dua pedang Pekin kiam dan Cengbeng kiam, maka dengan sembarangan ia gunai Cengbeng kiam melayani Keng To.

   Di dalam sepuluh jurus pedangnya Keng To kena dibikin sapat.

   Habis itu, di samping memuji Keng To, Hian Kie pun menjelaskan kekurangan orang.

   Hian Kie bicara dengan polos, ia membeber dengan tedas, ia pun memberi penerangan dengan jujur.

   Keng To malu atas kekalahannya itu, tapi berbareng ia kagumi pedang orang.

   Ia percaya Hian Kie liehay, tetapi ia kurang puas dengan kekalahannya.

   Ia anggap ia kalah disebabkan ia kalah pedang.

   Ia tidak menginsafi akan latihan sempurna dari Hian Kie, bahwa dengan pedang biasa juga, pedangnya itu dapat dibikin kutung.

   Karena ini timbullah niatnya mencuri pedang di istana kaisar itu.

   Tadi telah Sin Cu lihat ilmu silatnya si nona, yang bergerak bagaikan "gelombang kaget" (keng to) atau "

   "ombak mengejutkan,"

   Ia kemudian dengar Tonghong Lok menyebutnyebut "si tua bangka she Cio,"

   Ia lantas ingat Cio Keng To dan dugaannya itu ternyata tepat.

   Hanya, belum lagi ia jawab pertanyaan si anak muda, berdua mereka berpaling dengan cepat ke arah pertempuran karena keduanya dengar suara beradunya senjata nyaring sekali.

   Mereka masih sempat melihat lelatu api, lalu si nona terdesak mundur.

   Terang rupanya pedang si nona kena terhajar hebat goloknya hutongnia dari pasukan raja.

   Liehay permainan pedang dari si nona, kurang latihannya dalam tenaga dalam, karena itu ia kalah ulet dari Tonghong Lok.

   Hutongnia itu mungkin dapat melihat cacat si nona, dia menunggu sampai nona itu selesai memainkan empat puluh sembilan jurus, dengan mendadak dia melakukan penyerangan membalas dan menghajar pedang orang itu.

   Pedang telah mental balik, hampir si nona terlukai pedangnya sendiri.

   "Celaka!"

   Berseru si anak muda, yang melihat adik seperguruannya terancam bahaya.

   Ia baru hendak berlompat maju, guna membantui nona itu, atau Tonghong Lok telah kerjakan pula goloknya, kali ini dia berhasil membuatnya ujung baju si nona tersontek bolong! Golok Tonghong Lok ada punya gigi bengkung model rembulan, semacam gaetan, maka itu golok itu bisa dipakai sebagai alat membangkol.

   Si nona sedang terdesak, ia tidak berdaya menghadapi ancaman itu, ujung bajunya terus tercantel.

   Sin Cu pun kaget tetapi ia tertawa, terus ia berseru.

   "Adik yang baik, pergilah kamu dua saudara seperguruan memasang omong, akan aku gantikan kau!"

   Habis itu, selagi suara tertawanya belum lenyap di udara, ia mengayun tangannya, menerbangkan bunga emasnya.

   "Traang!"

   Demikian satu suara nyaring dan goloknya Tonghong Lok terhajar hingga miring.

   Lalu datang bunga emas yang kedua, yang membuatnya ujung baju si nona terbabat putus, hingga baju itu terlepas dari cantalan gigi golok.

   Si nona gunai ketikanya akan menarik tangannya, untuk terus menikam lawannya.

   Tonghong Lok kaget, ia berlompat ke samping.

   Tapi di sini ia dirintangi Sin Cu, yang sehabisnya menimpuk sudah lantas berlompat maju.

   Ketika si nona hendak mengulangi serangannya, ia menjadi tercengang sebab ia dapatkan musuhnya sudah bertempur dengan si pemuda...

   Hebat cara berkelahinya Sin Cu, sejenak saja ia sudah melalui tujuh atau delapan jurus.

   Si anak muda menyeka peluhnya, lalu ia tarik tangan si nona.

   "Aku lihat anak muda ini benar-benar hendak membantu kita,"

   Ia kata pada itu sumoay atau adik seperguruan.

   "Hm!"

   Si nona perdengarkan suaranya, tetapi mukanya merah. Ia membungkam.

   "Dia membilangnya dia ada sahabat kekal dari Tiat Suko, mungkin dia tidak mendusta,"

   Kata pula si anak muda.

   "Bagaimana kau ketahui itu?"

   Si nona menyahuti juga, tapi suaranya menyatakan dia masih mendongkol.

   Si anak muda tarik pula tangan sumoay ini, lalu ia bicara pelahan sekali, bisik-bisik.

   Sin Cu berkelahi dengan saban-saban menggunai ketika akan melirik itu suheng dan sumoay berdua, ia lihat tingkah laku orang, diam-diam ia tertawa di dalam hatinya.

   Tahulah dia ada hubungan apa di antara suheng dan sumoay itu.

   Karena ini, kalau tadinya ia mendongkol kepada si nona, yang perlakukan ia kasar, sekarang ia mendapatkan kesan yang baik.

   Ia merasa orang seperti kebocah-bocahan dan ia jadi menyukainya.

   Ia hanya tidak memikir bahwa ia sendiri pun masih membawa adatnya satu bocah...

   Tidak benar untuk Nona Ie memecah perhatiannya selagi ia menempur satu lawan yang tangguh, justeru lawan itu berkelahi dengan sungguh-sungguh.

   Begitu ketika Tonghong Lok melakukan penyerangan membalas, satu kali ujung goloknya hampir mampir di tenggorokannya.

   Si anak muda dapat lihat ancaman hanya untuk nona itu, ia kaget hingga ia berseru, terus ia lompat maju, guna menolongi.

   Tapi, belum ia sampai kepada si nona, ia dengar satu suara nyaring, yang dibarengi dengan muncratnya lelatu api.

   Nyata Sin Cu telah dapat membebaskan diri dari ancaman malapetaka itu, malah dengan membabat podol dua buah giginya goloknya lawannya itu.

   Sin Cu masih muda, belum sempurna tenaga dalamnya, akan tetapi di samping itu, sudah sering ia melakukan pertempuran, pengalamannya jadi bertambah.

   Kepandaiannya pun bertambah setelah ia peroleh pengajaran ilmu silat Ngoheng Kun dari Hek Pek Moko, maka itu, ia tidak lagi dapat disamakan sama waktu pertama kali ia bertempur sama Tonghong Lok.

   Dulu hari itu, selama sepuluh jurus, keadaan mereka berimbang.

   Karena ini, Tonghong Lok menjadi memandang ringan kepada nona ini, biarnya mulanya ia didesak, ia dapat membela diri dengan baik.

   Sebagai seorang berpengalaman, hutongnia ini dapat mengambil ketikanya yang baik.

   Demikian ia menyerang hebat sedangnya si nona melirik itu suheng dan sumoay.

   Ia percaya bahwa ia bakal berhasil.

   Di luar dugaannya, si nona liehay, matanya tajam, gerakannya gesit, maka goloknya kena dipapas giginya.

   Coba ia tidak berlaku sebat, mungkin ujung goloknya yang terbabat buntung.

   "Bagus!"

   Berseru si anak muda, yang dari kaget berbalik menjadi memuji. Si nona tidak turut memuji, akan tetapi di dalam hatinya, diam-diam ia kagum.

   "Kamu suheng dan sumoay sudah letih, baiklah kamu beristirahat!"

   Berkata Sin Cu, yang melihat mereka itu menonton dengan asyik.

   Ia pun tertawa.

   Mukanya si anak muda menjadi merah, ia melirik kepada sumoaynya, yang berdiam saja.

   Pertempuran berjalan terus.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanpa merasa, mereka sudah melalui kira-kira seratus jurus.

   Keduanya telah menggunai tenaga tetapi mereka nampaknya berimbang.

   Sin Cu tetap lincah seperti bermula, pedangnya berkelebatan tak hentinya, sinarnya menyilaukan mata.

   Di akhirnya, si nona menjadi kagum.

   "Aku menyangka ilmu pedang Keng To Kiamhoat tidak ada keduanya di kolong langit ini, siapa tahu sekarang ada yang menandingi,"

   Pikirnya.

   Ia kagum tetapi toh ia merasakan hatinya dingin, karena kejuma-waannya terguyur.

   Tonghong Lok penasaran tidak dapat menjatuhkan lawannya, yang ia pandang enteng itu.

   Ia heran kenapa sekarang orang ada begini liehay.

   Di dalam halnya latihan dan pengalaman, ia menang setingkat daripada si nona, yang membuatnya ia sulit adalah pedang yang tajam dari nona itu, hingga ia sungkan mengadu senjata.

   Untuk selalu mengegos golok dari tabasan pedang ada meminta kecelian mata dan kegesitan gerakan tangan, dan ini meminta banyak dari hutongnia itu.

   Setelah seratus jurus, kelincahannya Sin Cu tidak jadi berkurang.

   Sekarang ia menang di atas angin.

   Ia lantas perkeras serangannya yang bertubi-tubi.

   Si nona, yang terus menonton dengan perhatian, tanpa ia merasa, lenyap kemen-dongkolannya terhadap itu pemuda ceriwis.

   Ia sekarang dipengaruhkan kekagumannya untuk kegagahan orang.

   Si anak muda sebaliknya, di sebelah kekagumannya, hatinya menjadi sangat lega.

   Bukankah pemuda itu sudah bebas dari ancaman bahaya maut? Maka itu ia sempat tanya si nona.

   "Sumoay, benarkah suhu sudah pulang?"

   "Ya! ya!"

   Si nona menyahut, tanpa ia berpaling, karena ia sedang ketarik sekali menyaksikan gerakan terakhir dari Sin Cu. Kelihatannya pedang si "pemuda"

   Bergerak dari kiri ke kanan, tetapi nyatanya, sebaliknya, ialah dari kanan ke kiri.

   Gerakan ini sudah terjadi melulu disebabkan kelincahan.

   Tonghong Lok tengah bertempur, akan tetapi ia dapat dengar perkataannya itu pemuda dan pemudi, ia terkejut.

   Di dalam hatinya, ia berkata.

   "Sudah terang ini beberapa binatang ada murid-muridnya Cio Keng To, kalau mereka sudah begini liehay, apapula si tua bangka sendiri! Kalau sekarang dia sudah pulang, tidakkah aku menghadapi ancaman bencana?"

   Dengan sendirinya, hatinya menjadi ciut.

   Tonghong Lok datang dengan tugas untuk menawan Cio Keng To, ia menerima titah langsung dari junjungannya.

   Ia datang dengan hati besar, sebab ia percaya betul kegagahannya.

   Benar ia ketahui Cio Keng To liehay tetapi orang telah berusia lanjut, belum tentu jago tua itu dapat menandingi padanya.

   Setibanya, ia lantas mendapat pengalaman yang membuatnya ia mesti berpikir.

   Pertamatama ia tidak sanggup bekuk si anak muda walaupun anak muda itu sudah keteter.

   Kedua ia lantas mengadu kepandaian sama si nona, yang ternyata bukan tandingan sembarang.

   Dan sekarang ia menghadapi pula lain "pemuda,"

   Hatinya menjadi goncang.

   Jangan kata untuk memperoleh kemenangan, guna membela diri saja ia merasa sulit.

   Maka itu, mengetahui Cio Keng To sudah pulang, ia kaget.

   Justeru kepala Gielimkun itu kaget, justeru Sin Cu kirim tusukannya yang liehay.

   Sia-sia saja Tonghong Lok membela diri, pundaknya kena juga ditusuk, hingga tulang pundaknya terpapas sebagian.

   Ia lantas berlompat, dengan melupakan sakitnya, ia membuang dirinya ke tanah, untuk lari bergulingan di tanah mudun.

   Itulah tanda jeri yang berlebihan, sebab Sin Cu tidak menguber, hanya sembari tertawa, dia putar tubuhnya untuk menghampirkan si muda-mudi.

   "Nah, sekarang tentulah kau percaya aku!"

   Katanya pada si nona. Nona itu tidak menyahuti, ia hanya mendelik! Si pemuda maju, untuk memberi hormat.

   "Terima kasih untuk bantuan kau!"

   Ia berkata.

   "Kita repot bertempur, sampai kita tak sempat belajar kenal!"

   Kata Sin Cu sembari ia membalas hormat. Ia bicara sambil bersenyum. Nona itu tetap membungkam. Adalah si pemuda, yang menyahuti dengan cepat.

   "Inilah sumoay-ku, Cio Bun Wan,"

   Ia memperkenalkan.

   "Aku sendiri Seng Hay San. Sumoay-ku ini adalah puterinya Cio Lookiam-kek, guruku."

   Bun Wan menoleh dengan cepat.

   "Kau toh bukan hendak berbesan dengannya, untuk apa kau menjelaskan hal keluargaku!"

   Katanya kepada si anak muda. Sin Cu tidak menjadi kurang senang, sebaliknya, ia tertawa geli. Bun Wan rupanya merasa bahwa ia sudah terlepasan bicara, wajahnya lantas menjadi merah sendirinya. Seng Hay San tidak layani sumoay itu.

   "Orang toh sudah mengetahui namanya suhu?"

   Katanya, pelahan.

   "Ia pun bukannya orang lain, ada apa halangannya untuk memberi penjelasan?"

   "Aku bernama Ie Sin Cu,"

   Sin Cu berkata, tak memperdulikan suheng dan sumoay itu, yang ia anggap Jenaka lagak lagunya.

   "Guruku ialah Thio Tan Hong. Dengan sebenarnya kita bukanlah orang luar!"

   Seng Hay San terkejut hingga ia mengeluarkan suara tertahan dan lompat mencelat.

   "Pantas kau begini liehay, kiranya kau muridnya Thio Tayhiap!."

   Ia berseru. Si nona pun heran, ia sampai angkat kepalanya, akan awasi "pemuda"

   Itu.

   "Thio Tan Hong kesohor gagah dan mulia, kenapa dia ambil murid begini ceriwis?"

   Ia kata dalam hati kecilnya. Sin Cu tidak ambil perduli sikapnya dua orang itu.

   "Guruku sudah lama mengagumi gurumu yang kesohor,"

   Ia berkata.

   "sampai sebegitu jauh guruku tidak berjodoh untuk membuat pertemuan dengan gurumu, maka itu sekarang hendak aku mewakilkannya untuk menghadap Cio Lookiamkek. Aku minta encie Bun Wan sukalah mengajak aku menemuinya."

   "Terima kasih, sebenarnya kita tidak berani menerima kunjunganmu,"

   Berkata Hay San, yang mendahului si Nona Cio.

   Thio Tan Hong benar masih muda dibanding sama gurunya tetapi Sin Cu omong demikian merendah, Hay San menjadi malu hati.

   Ia memang jujur dan polos sekali.

   Ia pun heran atas sikap sumoaynya.

   Katanya di dalam hati.

   "Ini orang she Ie begini halus dan sopan, kenapa sumoay bilang dia ceriwis?"

   "Tarolah kata ayahku ada di rumah, dia pasti tidak nanti menemui kau!"

   Kata Nona Cio dingin. Agaknya hatinya menjadi panas pula.

   "Sumoay, kau kenapa..."

   Hay San heran, ia tanya adik seperguruan itu, tapi ia dipotong si sumoay.

   "Kau... kau apa?"

   Si nona pun mendelik. Sebenarnya Hay San hendak menanya, kenapa adik itu bersikap tak manis, karena ia dipegat, ia lantas merubah haluan.

   "Bukankah suhu sudah pulang ?"

   Demikian ia tanya.

   "Kenapa suhu tidak ada di rumah?"

   "Siapa yang bilang ayah sudah pulang?"

   Si nona membaliki, suaranya tawar.

   "Toh kau yang mengatakannya tadi..."

   Katanya.

   "Kau melihat memedi barangkali! Kapannya aku bilang begitu?"

   Hay San menjadi heran sekali.

   "Rupanya aku salah dengar,"

   Ia bilang.

   "Kuku garuda tadi bilang suhu sudah pulang maka juga dia telah datang ke mari."

   "Memang beberapa hari yang lalu ayah telah minta pertolongan membawa surat, katanya lagi beberapa hari dia bakal pulang dengan naik kapal,"

   Berkata si nona.

   "Sampai sekarang ayah belum balik. Hm, kuku garuda itu liehay kupingnya, maka pantaslah dia dapatkan tikamannya!..."

   Tiba-tiba si nona berhenti bicara. Ia ingat bahwa yang menikam si kuku garuda adalah si pemuda ceriwis...

   "Jikalau begitu, aku tidak berjodoh untuk menemui Cio Lookiamkek,"

   Berkat a Sin Cu.

   Ia agaknya menyesal.

   Bun Wan masih bersikap tawar, ia tidak memberikan penyahutan.

   Sin Cu berdiri dengan hati tak enak.

   Ia tahu sebabnya sikap dingin dari si nona.

   Tadi ia telah kesalahan berbuat kurang manis.

   Karena terpaksa, ia rangkap kedua tangannya seraya berkata.

   "Pesan lisan dari Tiat Keng Sim telah aku sampaikan, di sini sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, aku meminta diri."

   "Terima kasih untuk bantuan kau ini, saudara Ie,"

   Berkata Hay San sambil ia membalas hormat.

   "Tentang Tiat Suheng, kami sudah mendapat tahu. Memang sengaja Tiat Suheng meminta kau menyampaikan pe-sannya itu, supaya kami dapat berkenalan denganmu. Itu pun menandakan, Tiat Suheng pandang kau bukan seperti orang luar. Mengenai urusan Tiat Suheng itu, dari terancam bahaya dia pasti bakal mendapatkan keselamatannya, tentangnya tak usah saudara buat kuatir."

   Ada maksudnya kenapa Hay San menyebutkan Sin Cu bukan orang lain.

   Perkataannya itu sebenarnya ditujukan kepada Cio Bun Wan.

   Sin Cu sebaliknya menjadi heran.

   Kenapa Tiat Keng Sim menyuruh ia menyampaikan pesannya itu? Mengenai urusannya Keng Sim sendiri, rupanya pemuda itu sudah mengatur segala apa.

   Apakah siasatnya itu? Ia tidak tahu, Keng Sim ingin ia datang ke Peksee cun, untuk belajar kenal sama Cio Bun Wan.

   Hanya sayang, kejadiannya ada di luar dugaan Keng Sim.

   Sebab ia justeru bentrok sama Nona Cio...

   Sin Cu kembali ke kota, bertemu sama Thio Hek, ia tuturkan pengalamannya selama dua hari.

   Thio Hek pun heran atas sikapnya Keng Sim itu, tak dapat ia menerkanya.

   "Tentang Yap Toako , sudah datang beritanya,"

   Kemudian ia pun memberi keterangan. Katanya nusa lagi bakal ada datang orang untuk berhubungan sama kita. Cuma nusa lagi itu ada harian pemeriksaan atas dirinya Tiat Keng Sim oleh tiehu bersama pihak Nippon... Sin Cu ketarik hati, ia agaknya heran.

   "Bagaimana kau bisa ketahui halnya peperiksaan itu?"

   Ia tanya.

   "Tentang itu telah ada permaklumannya,"

   Menjawab Thio Hek.

   "Banyak orang telah membilang hendak menonton sidang itu."

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemeriksaan secara terbuka itu ada keinginannya Tiat Keng Sim, ia menang dari tiehu. Pihak Nippon menerima baik permintaan itu karena kepercayaannya tak bakal terjadi sesuatu.

   "Kalau begitu,"

   Berkata Sin Cu kemudian.

   "di harian sidang itu, kau baik berdiam di rumah, untuk menanti orang yang akan berhubungan dengan kita. Aku hendak pergi menonton."

   Thio Hek terima baik pengaturan itu.

   Sidang yang bakal dibuka itu adalah hal baru untuk kota Tay-ciu.

   Ada luar biasa yang tiehu hendak periksa perkara bersama-sama pihak asing, dan peperiksaan itu terbuka untuk khalayak ramai.

   Tapi untuk kebanyakan penduduk, yang mengarti keadaan, mereka itu mendongkol dan penasaran.

   Mereka membenci pihak asing itu, mereka tak puas terhadap tiehu, yang dikatakan pengecut sebab sudah membiarkan pihak asing mencampuri tahu wewenangnya.

   Demikian di harian peperiksaan, sejak pagi sudah berkumpul banyak orang di muka kantor, untuk menyaksikan sidang.

   Di antara orang banyak itu, Sin Cu menyelipkan dirinya.

   Kira tengah hari, tiehu dari Tayciu muncul bersama seorang pembesar Nippon yang tubuhnya gemuk.

   Melihat orang asing itu, banyak orang mengangkat tangannya untuk menunjuk.

   "Dialah wakil Nippon, namanya Takahashi!"

   Kata seorang.

   Takahashi itu datang bersama dua pengiring, salah satu di antaranya Sin Cu kenali sebagai Egukhi, dan ke tujuh.

   Yang satunya lagi, menurut katanya seorang penduduk, adalah Segokhi, perwakilan militer Nippon di Tayciu, dan dia katanya ada dan ke enam.

   Kapan tiehu sudah duduk di muka meja pengadilan, ia bawa aksinya.

   Ia menepuk meja, lantas ia mencabut sebatang ciam, yang ia terus lemparkan.

   "Bawa menghadap si orang jahat!"

   Ia memberi titah.

   Ciam itu ada tanda kekuasaannya untuk memanggil persakitan atau terdakwa.

   Perintah itu di jalankan seorang hamba polisi, maka tak lama kemudian, Tiat Keng Sim telah dibawa menghadap.

   Pemuda itu bersikap gagah.

   Dia tidak bertekuk lutut, sebaliknya dia berdiri tegar, sepasang matanya yang bersorot bengis mengawasi ke arah si orang asing.

   Takahashi gentar hatinya menyaksikan sikap gagah itu.

   Tapi ia menggeprak meja.

   "Orang jahat yang bernyali besar! Tahukah kau kesalahanmu?"

   Ia menegur. Ia mendahulukan tiehu. Ia bicara dalam bahasanya, lalu ada juru bahasa yang menterjemahkannya.

   "Tidak tahu!"

   Sahut Keng Sim keras.

   "Kau telah membunuh orang dan merampas barang!"

   BentakTakahashi.

   "Kau sudah pukul mati seorang kapten kapal Nippon, kau telah rampas barang-barang dari kapal itu! Kau juga sudah begitu berani merobek-robek bendera Matahari Terbit kita! Kesalahanmu telah nyata, kau mesti dihukum berat! Eh, tiehu, aku bilang, Tidak usah kau memeriksa lagi. Biarlah Kolonel Segoshi yang menjalankan hukuman potong kepadanya!"

   Jumawa wakil ini. Kata-katanya yang belakangan itu ditujukan kepada tiehu. Keng Sim tertawa dingin. Ia kata.

   "Kau harus ketahui, lebih dulu daripada itu Kapten kamu sudah bunuh orang Tionghoa, sudah merampas barang-barangnya, dan di sebelah itu ada belasan orang lain yang sudah dilukakan! Aku lakukan perbuatanku itu untuk membela keadilan, umpama benar aku telah membunuh orang, itu berarti satu jiwa ganti satu jiwa! Barang-barang yang aku rampas itu asalnya ada barangbarangnya kapal Tionghoa. Kapalmu sendiri itu hari juga sudah lari menyingkir, mana dapat kamu menampak kerugian!"

   Takahashi menjadi gusar sekali, dia menoleh kepada tiehu.

   "Tiehu, apakah boleh satu penjahat mengacau di muka pengadilan?"

   Ia menegur.

   "Bawa dia pergi!" *** Tiehu kaget dan ketakutan, mukanya menjadi pucat dan tubuhnya gemetaran. Ia telah cabut pula sebatang ciam tetapi tidak berani ia melemparkannya, karena ia ditatap dengan mata bengis oleh Tiat Keng Sim.

   "Di muka sidang orang bicara dari hal keadilan!"

   Keng Sim berkata.

   "Sebelum perkara jadi terang dan keadilan didapat, siapa berani menangkap aku?"

   Suara itu keren dan berpengaruh. Di antara orang banyak pun terdengar seruan pujian, suatu tanda pemuda itu telah peroleh bantuan semangat. Takahashi mendongkol hingga mukanya menjadi merah padam.

   "Baik!"

   Ia berseru.

   "Kau bilang kapten kapal kami membunuh orang! Apakah buktinya? Dan kau, kenapakah kau merobek bendera Matahari kami?"

   Keng Sim kasi dengar suaranya yang nyaring.

   "Kapal Nippon datang ke Tiongkok, dia mesti turut aturan kita! Kaptennya itu telah membunuh orang dan merampas barang, juga telah menyelundupi barang gelap, maka itu, kapal itu mesti dipandang sebagai kapal perompak! Aku percaya, negaranya juga tidak bakal akuhi kapal semacam itu sebagai kapal pemerintahmu! Kapal itu kapal bajak, dia tapinya mengerek bendera Nippon, itu artinya dia menghinakan negaramu sendiri! Aku wakilkan kamu menyingkirkan bendera itu, itu berarti aku telah melindungi kehormatan negaramu! Maka itu selayaknya kamu berterima kasih padaku!"

   Takahashi menepuk-nepuk meja.

   "Kau mendustai Kau membela ngawur!"

   Dia berteriakteriak. Keng Sim tidak pedulikan bentakan itu.

   "Bukankah barusan kau menyebut-nyebut tentang bukti?"

   Dia bertanya.

   "Aku ada punya buktinya! Di sini ada saksisaksinya!"

   Baru si anak muda tutup mulutnya, dari antara orang banyak muncul seorang wanita yang rambutnya kusut awutawutan, sembari menangis ia jalan di antara orang banyak untuk maju ke depan sidang.

   "Aku mohon keadilan paduka!"

   Ia berkata, masih ia menangis.

   "Suamiku telah dibunuh mati, aku juga dilukai! Barang-barangku telah dirampas semua, yang dapat dirampas pulang tidak ada separahnya!..."

   Dialah jandanya pemilik perahu yang kena dibajak.

   Menyusuli nyonya ini, yang terus mengulun, ada belasan orang lain yang maju ke muka sidang, setiap dua orang dari mereka ada menggotong bale-bale papan di atas mana ada rebah kurban-kurban pembajakan, ada yang tangannya kutung, ada yang kakinya singkal, ada yang luka-lukanya masih mengucurkan darah.

   Itulah kurban-kurban pembajakan dan penganiayaan yang dimaksudkan.

   "Inilah semua bukti!"

   Seru Keng Sim.

   "Apa lagi kamu hendak bilang?"

   Takahashi tidak pernah menyangka orang bisa menghadapkan bukti-bukti semacam itu, matanya menjadi terpentang lebar.

   Sebenarnya ia masih hendak pentang aksi lagi, untuk menegur, atau lantas datang lagi serombongan orang dengan dakwaan mereka masing-masing.

   Satu nenek ubanan mengadu anaknya kena dibunuh.

   Ada satu nyonya yang mendakwa suaminya telah dibinasakan.

   Yang lainnya lagi mengadu puteranya dianiaya hingga mati, anak gadisnya dirampas.

   Pula ada yang mendakwa rumahnya sudah dibakar musnah.

   Suara mereka itu berisik, wanitanya pada menangis.

   Takahashi gusar, bingung dan berkuatir.

   Inilah hebat.

   "Usir ini semua babi!"

   Tiba-tiba ia berteriak.

   Rupanya ia telah lantas dapat pulang ketabahannya.

   Segoshi sudah lantas lompat bangun dari kursinya, untuk meng-hampirkan para saksi itu, dengan bengis ia hajar roboh seorang tua, setelah mana ia hampirkan si nenek-nenek.

   Di lain pihak Egukhi lompat seraya menghunus pedangnya dengan apa ia membabat Keng Sim.

   Pemuda itu lihat bahaya mengancam, dengan gesit ia berkelit, hingga pedang membabat tempat kosong.

   Ia tidak lantas layani penyerangnya ini, hanya dengan berlompat, ia hampirkan Segoshi, dengan dua tangannya ia jambak bebokongnya orang yang hendak mencelakai si nenek, hingga nenek itu menjadi dapat ditolong.

   Segoshi pandai jujit-su, ia lantas melenggak, kedua tangannya dibuang ke belakang, untuk menyekal keras atasan sikut penyerangnya.

   Atas ini Keng Sim rapatkan tubuhnya.

   Sejenak saja terlihat Keng Sim menggemblok di punggungnya Segoshi, itu tandanya ia segera bakal dibanting musuhnya itu.

   Celaka kalau ia terbanting ke undakan tangga batu.

   Ie Sin Cu melihat tegas, ia kaget, dengan sendirinya ia lompat, untuk menolongi si anak muda.

   Egukhi melihat semua itu, ia girang bukan main.

   Ia tertawa dan kata.

   "Binatang cilik, kiranya ada harinya yang kau roboh di tangan jagoanku!"

   Ia tidak cuma mengejek, ia lantas geraki pedangnya untuk membacok pemuda itu.

   Sin Cu masih terpisah jauh, sia-sia ia mencoba menolong.

   Orang banyak pun berteriak bahna kagetnya.

   Hanya sekelebatan saja, terlihatlah tubuh Segoshi terjerunuk ke arah Egukhi, menyambut datangnya pedang dan ke tujuh itu.

   Egukhi tengah menyerang, tidak dapat ia menarik pulang pedangnya, maka itu tidak dapat dicegah lagi yang ujung pedang nancap di dadanya Segoshi.

   Segera terdengar tertawanya Keng Sim, yang tubuhnya mencelat, menyusul mana kedua tangannya melayang ke kedua kuping orang kupingnya Egukhi! "Di muka sidang negaraku kau berani mengacau, apakah di matamu masih ada undang-undang pemerintahku?"

   Pemuda itu menegur.

   Dalam keadaan tanggung seperti itu, tidak keburu Egukhi menarik pedangnya untuk menangkis serangan.

   Ia pun kaget dengan kesudahan itu.

   Ia tidak menyangka bahwa Keng Sim berhasil membebaskan diri dan berbalik menjadi si pemenang.

   Keng Sim ketahui lawan liehay, ketika kedua tangannya ditangkap, ia sengaja segera menempelkan tubuhnya, berbareng dengan itu, belum lagi ia sempat dibanting jeriji tangannya sudah menotok punggungnya Segoshi, hingga dia ini kaget, dia merasakan punggungnya itu sakit, gatal dan kaku.

   Tentu saja, karenanya, tidak dapat dia meneruskan gerakannya, untuk mengangkat dan membanting.

   Sebaliknya, dia tidak berdaya sama sekali ketika si anak muda dorong tubuhnya ke arah Egukhi.

   Maka jadilah dia kurban pedang bangsanya itu.

   Habis dihajar kupingnya barulah Egukhi dapat mencabut pedangnya.

   Atas itu Segoshi memperdengarkan jeritan hebat, dari dadanya darah muncrat menyembur, tubuhnya terus roboh.

   Egukhi kaget dan murka, maka ia lantas tumplaki kemarahannya kepada Keng Sim.

   Tapi anak muda itu tidak ada di hadapannya.

   Ia kaget bukan main.

   "Celaka!"

   Serunya.

   Ia tahu musuh sudah menggeser ke belakangnya, dari itu dengan sebat ia memutar tubuh.

   Hanya sayang untuknya, ia terlambat, selagi ia terlambat, selagi ia berputar, tangannya yang memegang pedang telah didulukan disamber Keng Sim.

   Cuma sekejab saja, tangan itu sudah menjadi teklok, hingga pedangnya jatuh menggontrang di lantai! Keng Sim berlaku cerdik dan sebat, setelah bikin Segoshi mati kutunya, ia tolak tubuhnya orang itu ke arah Egukhi, untuk pakai dia sebagai tameng hidup, lalu selagi pedang nancap dan sukar ditarik, ia melesat ke belakang dan ke tujuh itu, untuk tanpa menangkis ketika menyamber dengan orang di saat ia diserang.

   Justeru musuh sudah tidak berdaya, dengan satu sontekan dengan kakinya, Keng Sim bikin pedang musuh itu meletik naik, untuk ia sambut dengan tangannya.

   Tapi ia tidak gunai pedang itu sebagai senjata, hanya dengan memegang itu dengan kedua tangannya, ia mematahkannya, hingga pedang menjadi dua potong.

   Egukhi roboh karena kesakitan, ia merayap bangun, justeru itu, ia menyaksikan pedangnya dibikin patah, maka habislah dayanya.

   Keng Sim lemparkan kedua kutungan pedang.

   "Budak-budak kate (pendek) ini ada sangat kurang ajar!"

   Ia lantas berkata dengan nyaring.

   "Mereka bernyali sangat besar, berani menggunai pedang di muka pengadilan, berani menganiaya orang di muka khalayak ramai! Maka itu, tayjin, aku minta keadilanmu!"

   Tiehu kaget dan takut sampai tubuhnya gemetaran, mulutnya bungkam. Justeru itu Takahashi menggeprak-geprak meja.

   "Terbalik! Terbalik!"

   Dia berteriak-teriak.

   Menyusuli suaranya wakil Nippon itu, dari pintu belakang kantor itu muncul dengan mendadak sebarisan serdadu Nippon yang semua bersenjatakan pedang yang panjang dan mengkilap, sambil berseru mereka terus menerjang ke arah Keng Sim.

   Barisan itu ada barisan pengawalnya Takahashi.

   Tidak dapat mereka itu turut muncul di muka sidang, dari itu mereka telah diatur bersembunyi di belakang kantor, apabila ada tanda barulah mereka boleh keluar.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka memang bangsa galak, begitu dengar suara Takahashi, mereka lantas menyerbu.

   Di muka sidang itu, terus sampai di muka kantor, ada berkumpul ratusan penduduk.

   Semua mereka panas hatinya semenjak mereka saksikan kejumawa-an pihak asing itu, yang tidak menghormati tiehu dan tidak mengindahkan pengadilan.

   Mereka gusar melihat si aki dan si nenek dianiaya, maka syukur mereka dapatkan Keng Sim turun tangan.

   Mereka puas dengan kesudahannya pertempuran itu.

   Tapi mereka kaget atas datangnya itu barisan serdadu asing, bahkan beberapa anak muda lantas mendidih darahnya, melupakan segala apa, mereka maju, untuk bantu Keng Sim, guna menerjang pasukan asing itu.

   Keng Sim tidak berdiam saja yang ia dikepung, ia membuat perlawanan.

   Dengan cepat ia robohkan lima atau enam orang.

   Tapi musuh berjumlah kira tiga puluh orang, semuanya bersenjata, tidak gampang untuk cepat-cepat merobohkan mereka semua.

   Di antara anak-anak muda yang maju, beberapa orang pun terluka, malah satu orang terbacok kutung sebelah lengannya.

   Di dalam saat itu, Sin Cu telah maju menyerang.

   Lebih dulu ia ayun sebelah tangannya melayangkan lima buah bunga emasnya.

   Satu musuh dapat berkelit, empat yang lainnya roboh sebagai kurban senjata rahasia itu.

   Setelah itu, Sin Cu menghunus pedangnya, ia membekal senjata rahasianya dalam jumlah berbatas, tidak dapat ia obral itu.

   Maka ia lantas menggunai pedang.

   Dalam saat kacau itu, dari arah pintu timur terdengar suara berisik, lalu tertampak membuinya banyak orang, yang di kepalai oleh satu nona dengan baju merah, yang tangannya mencekal pedang.

   Atas datangnya mereka itu, orang banyak menyingkir ke kedua belah, untuk memberi jalan.

   Rombongan itu terdiri dari orangorang yang dandan sebagai nelayan, senjata mereka adalah tempuling dan joran pancing besar.

   Pula lantas terlihat cara berkelahi mereka yang luar biasa.

   Setiap dua nelayan menjadi satu gabungan.

   Satu yang memegang tempuling menangkis golok musuh, lantas yang satunya lagi merabu kaki musuh itu dengan pancingnya, segera musuh itu roboh terguling.

   Cara ini tidak pernah gagal, maka dalam tempo yang pendek, semua musuh itu dapat diringkus, hingga pertempuran lantas berakhir.

   Cuma pemimpinnya pasukan itu, yang nampaknya kosen, mesti dirobohkan si nona dengan sebelah tangannya ditabas kutung sesudah pertempuran beberapa jurus.

   Sin Cu lantas saja kenali nona baju merah itu, ialah Cio Bun Wan.

   Maka mengartilah ia sekarang akan duduknya hal.

   Pantas Seng Hay San membilangi ia untuk ia jangan berkuatir, kiranya mereka itu sudah siap sedia.

   Baru sekarang Takahashi ketakutan.

   Ia berniat melarikan diri tetapi kedua kakinya tidak sudi menuruti suara hatinya.

   Selagi ia bergemetaran, Keng Sim seret ia dari kursinya, untuk ditelikung, buat dihadapkan kepada tiehu.

   "Budak-budak kate (pendek) ini menghina undang-undang negara kita, di muka sidang pengadilan mereka mengacau dan menyerbu, maka itu tiehu tayjin, yang berwenang membelai negara, tidak dapat tayjin tidak mengurus mereka!"

   Demikian suara nyaring dari pemuda she Tiat ini. Tiehu kaget dan ketakutan, sekian lama ia tidak dapat bersuara.

   "Ini... ini..."

   Katanya kemudian, suaranya terputus-putus.

   "Bagaimana sekarang...? Kalau nanti perompak kate (pendek) datang menyerbu kota, bagaimana kita bisa menangkisnya? Tentara kita berjumlah sedikit sekali..."

   Keng Sim tertawakan wedana itu.

   "Di sini ada begini banyak orang, kenapa masih berkuatir tidak ada orang yang menangkis mereka?"

   Ia berkata. Gedung pengadilan itu, atau lebih benar kantor tiehu, telah dirumung banyak sekali orang.

   "Kita bersedia untuk melawan mereka!"

   Banyak suara berseru. Tapi juga ada yang berteriak.

   "Jikalau tiehu tayjin takut perompak, nah lekaslah angkat kaki, kabur dari sini, urusan di Tayciu itu, kita yang nanti membereskannya!"

   Tiehu berdebaran hatinya. Tahu ia, kalau ia berlaku penakut terus, rakyat bakal berontak.

   "Tiat Siangkong,"

   Ia lantas berkata.

   "urusan hari ini aku serahkan saja padamu untuk menyelesaikannya."

   "Untuk membela negara dan lindungi rakyat, itulah tugas setiap manusia,"

   Berkata Keng Sim.

   "tetapi tayjin adalah bapak rakyat, dari itu tidak dapat tayjin menyimpang dari tugasmu. Sekarang marilah kita bekerja sama."

   Tiehu tidak punya daya, ia menurut saja.

   Keng Sim segera pilih beberapa penduduk yang kenamaan, yang ia tahu hatinya jujur, maka mereka itu bersama-sama tiehu lantas diajak berunding, mendamaikan cara untuk melawan kalau ada serbuan musuh.

   Sedang semua musuh yang ditawan berikut Takahashi, dijebluskan dalam penjara untuk ditahan.

   Tiehu ingin Keng Sim terus berada bersama ia tetapi si anak muda menolak.

   "Aku masih ada punya urusan lain,"

   Pemuda itu memberi alasan.

   Tiehu ingat orang sudah ditahan beberapa hari, mungkin dia ingin menemui sahabat-sahabatnya, ia tidak dapat memaksa.

   Lagi-nya ia kuatir hati si anak muda berubah kalau ia menggunai paksaan.

   Keng Sim segera bertindak keluar, diikuti oleh barisan nelayan yang tadi dipimpin Cio Bun Wan.

   Mereka itu bersoraksorai karena kegembiraannya.

   Rakyat pun turut bergembira, sedang tadinya mereka berkuatir sekali menyaksikan aksi pihak musuh yang garang itu.

   Tanpa merasa Ie Sin Cu mengikuti keluar.

   Bun Wan tidak perhatikan itu "pemuda,"

   Adalah Keng Sim yang melihat orang, tangan siapa ia lantas tarik. Lebih dulu daripada itu ia mengawasi dengan wajah tersenyum.

   "Mari kita pergi bersama!"

   Mengajak Keng Sim.

   Karena orang berbicara, Bun Wan menoleh.

   Melihat si nona berpaling, Sin Cu bersenyum kepadanya.

   Bun Wan membalas mengangguk, ia hanya tetap tawar sikapnya.

   Sama sekali ia tidak sudi bicara, hingga Sin Cu pun tidak dapat membuka mulutnya.

   Sin Cu sendiri jengah, merah mukanya.

   Belum pernah tangannya dipegangi seorang pria dan sekarang Keng Sim mencekalnya dan ditarik.

   Syukur untuknya, mereka berada di antara banyak orang dan Keng Sim juga tidak memperhatikan padanya.

   Tiga muda-mudi ini berjalan bersama.

   Mereka diawasi penduduk, yang berkumpul di jalan-jalan besar.

   Mereka itu penduduk yang berdekatan, yang baru saja mendengar kabar perihal huru-hara di kantor tiehu.

   Rata-rata orang puji Keng Sim dan caci bangsa kate (pendek).

   Supaya tidak terganggu orang banyak itu, Keng Sim ajak dua kawannya ambil jalan kecil, untuk menghindarkan diri.

   Sampai jauh ia masih dengar suara riuh dari rakyat jelata itu.

   "Semakin perompak kejam, semakin naik amarahnya rakyat,"

   Bilang Keng Sim sembari jalan.

   "Peristiwa hari ini ada bukti nyata."

   Mendengar itu, Ie Sin Cu berkata di dalam hatinya.

   "Inilah rupanya sebab kenapa pemuda ini suka serahkan dirinya ditawan. Dia hendak membangunkan semangat rakyat, dia mengatur siasatnya itu."

   Cuma Nona Ie masih belum tahu apa sebabnya selagi tiehu dan panitya penduduk berunding di dalam kantor, untuk membicarakan daya akan menghadapi musuh nanti, pemuda itu meninggalkannya.

   Adakah urusan lebih penting daripada daya perlawanan terhadap musuh? Selagi Sin Cu ingin minta keterangan pada Keng Sim, pemuda itu sendiri mengawasi ia dan Bun Wan sambil tertawa.

   Dia kata.

   "Apakah kamu berdua telah saling berkenalan?"

   "Hm, bagus sahabatmu!"

   Menyahut si Nona Cio. Keng Sim heran.

   "Saudara Ie ini sungguh satu sahabat sejati,"

   Ia bilang.

   "Kita berdua berkenalan di permukaan sungai. Pertama kali aku bertemu dia selagi dia melupakan segala bahaya untuk menolong seorang nelayan ayah dan gadisnya."

   "Dengan begitu dia benar seorang gagah dan mulia hatinya, cuma..."

   Bun Wan tidak melanjuti kata-katanya itu.

   "Cuma?..."

   Tanya Keng Sim.

   "Cuma dia rada ceriwis..."

   Si nona hendak menyahuti, hanya karena memandang toasuheng itu, batal membuka mulutnya. Ia kata saja.

   "Cuma dia terlalu muda sedikit..."

   Keng Sim tertawa. Ia sebenarnya mengandung maksud, ialah supaya sumoay itu mengikat jodoh dengan "pemuda"

   Ini, ia hanya tidak tahu, sumoay itu sudah menanam bibit asmaranya terhadap Seng Hay San.

   "Saudara Tiat, kau hendak pergi ke mana?"

   Tanya Sin Cu, yang tidak perdulikan sikapnya Bun Wan.

   "Kau sendiri hendak pergi ke mana?"

   Pemuda itu balik menanya.

   "Pasti sekali, aku hendak pulang ke rumahku,"

   Jawab Sin Cu.

   "Kalau begitu, aku juga hendak pergi ke rumahmu!"

   Ujar si anak muda. Sin Cu heran. Ia lihat orang tidak tengah bergurau. Ia berpikir.

   "Dia kata kepada tiehu dia punya urusan penting, kenapa sekarang dia punyakan tempo luangnya untuk ikut padaku?"

   Ia masgul tetapi ia pun girang.

   Ia jalan terus, ke rumahnya Thio Hek.

   Tidak lama, tibalah mereka.

   Ketika Sin Cu dipapak Thio Hek, yang baru keluar dari rumahnya, ia heran, bahkan terperanjat, sebab nelayan itu ada bersama seorang yang ia tidak sangka-sangka.

   "Kau di sini?"

   Katanya pada orang itu, siapa pun menegur.

   "Oh, kiranya kau?"

   "Ya, kiranya kau?"

   Keng Sim pun berkata. Orang itu ada Seng Hay San, yang tetap dengan dandanannya sebagai nelayan yang sederhana.

   "Ini Seng Toako adalah utusannya Toako Yap Cong Liu,"

   Thio Hek lantas mengajar kenal.

   "Seng Toako yang bakal mengajak kita pergi kepada Yap Toako itu."

   "Kapan kau kenal Yap Toako?"

   Keng Sim tanya sutee-nya itu.

   "Kenapa aku tidak tahu? Sumoay membilangi aku, Yap Toako ada mengirim utusan, aku tanya siapa utusan itu, ia tidak hendak memberitahukan. Kiranya kau!"

   "Selama beberapa bulan ini aku bersama sumoay berada di tempatnya Yap Toako,"

   Hay San memberikan jawaban.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"bahkan beberapa kali kita sudah pernah bertempur sama rombongan perompak. Baru beberapa hari yang lalu kita pulang. Sudah beberapa bulan kau pesiar, suko, tidak ada ketikanya untuk kita memberi keterangan padamu."

   Keng Sim tertawa.

   "Kamu telah menjadi dewasa, sekarang kamu pandai bekerja!"

   Ia bilang.

   "Aku tadinya menduga kamu masih berdiam tetap di rumah, memain menangkap burung dan mengail ikan!..."

   Hay San pun tertawa.

   "Dalam beberapa hari ini kita memang berdiam di rumah,"

   Ia mengasi tahu.

   "Syukur suko tidak ketahui yang kita pernah meninggalkan rumah, jikalau tidak, kau tentu tidak bakal mengutus ini saudara Ie datang ke Peksee cun untuk mencari kita. Di samping itu aku juga menyangka yang saudara Ie ini adalah bala bantuan yang diundang Yap Toako. Baru tadi aku terima suaranya Yap Toako, yang menyuruh aku datang ke mari untuk menyambut seorang gagah dari Shoatang yang toako undang. Tadinya aku menduga kepada Toaliongtauw Pit Kheng Thian, siapa tahu sebenarnya ini saudara Ie! Sungguh kebetulan! Coba kemarin ini aku tidak bertemu sama saudara Ie ini, pastilah aku dan sumoay telah kena dibekuk si kuku garuda!"

   "Apakah kau pun kenal Pit Kheng Thian?"

   Sin Cu menyelak.

   "Belum pernah aku bertemu sama dia,"

   Jawab Hay San.

   "hanya namanya toaliongtauw dari lima propinsi Utara begitu terkenal, siapakah yang belum pernah mendengarnya?"

   Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan kening.

   "Nama orang, bayangan pohon,"

   Katanya, seperti kepada dirinya sendiri.

   "kata-kata ini beralasan juga. Hanya belum tentu semua orang sama dengan namanya yang kesohor itu. Maka itu, janganlah kasi diri kita digetarkan oleh nama lain orang. Aku dengar Pit Kheng Thian ada pemimpin partai Kaypang di Utara, sekarang dia menjadi kepala kaum kangouw, rupanya dia berhak juga memangku kedudukannya itu."

   Seng Hay San tidak kenal Kheng Thian, ia berdiam saja, tidak demikian dengan Ie Sin Cu. Biar ia tak berkesan baik terhadap pemimpin kaum pengemis itu, ia kurang senang atas pandangannya Keng Sim ini. Ia kata dalam hatinya.

   "Kau belum pernah ketemu Pit Kheng Thian, kenapa kau menimbang secara begini sembrono? Apa mungkin seorang pemimpin pengemis tak dapat menjadi pemimpin kaum kangouw seumumnya?"

   Keng Sim ada dari keluarga berpangkat, ia pun pandai ilmu surat berbareng ilmu silat, maka itu, pandangannya mengenai orang kangouw ada sedikit berlainan, rada memandang enteng.

   Sin Cu adalah lain.

   Nona ini benar ada puteri tunggal dari satu menteri, tetapi Ie Kiam bukan sembarang orang berpangkat, ia beda dari menteri-menteri lainnya.

   Ie Kiam telah jadi menteri, tapi di rumahnya ia suka bekerja kasar, ia tidak bawa lagaknya si menteri yang agung dan mulia.

   Sin Cu mewariskan sifat ayahnya ini.

   Sudah begitu, ia pun terpengaruh Thio Tan Hong, gurunya yang sederhana, yang kenyang mengumbara dan pernah merasai pelbagai penderitaan, sedang sahabat-sahabatnya adalah kaum kangouw.

   Mungkin Sin Cu tidak cocok dengan semua orang kangouw tetapi sedikitnya ia sangat menghargai mereka yang gagah dan mulia hatinya.

   Biar bagaimana, Sin Cu hargai sepak terjangnya Keng Sim, maka itu, cuma sebentar, lantas lenyap perasaannya tak puas barusan.

   "Kuku garuda apa itu?"

   Keng Sim tanya Hay San.

   "Kenapa mereka ganggu kamu?"

   "Katanya kuku garuda itu, dia mendengar kabar suhu sudah pulang, dia lantas datang untuk melakukan penangkapan,"

   Hay San menerangkan. Keng Sim heran.

   "Apakah artinya ini?"

   Katanya.

   "Memangnya suhu bersalah apa?"

   "Itulah aku tidak tahu,"

   Jawab Hay San. Keng Sim melirik pada Bun Wan.

   "Aku juga tidak tahu,"

   Berkata si nona, suaranya kurang tegas. Sin Cu pun heran sekali.

   "Cio Keng To mencuri pedang di dalam istana di mana dia mengacau, karenanya dia kabur ke luar negeri,"

   Ia berpikir.

   "Tiat Keng Sim ada murid kepalanya, kenapa sebagai murid dia tidak ketahui itu? Nampaknya Bun Wan tahu duduknya hal, mengapa ia tidak mau memberi keterangan pada suhengnya ini?"

   Coba Sin Cu menghadapi ini setahun berselang, tentu ia sudah membeber rahasia kepada Keng Sim, tetapi sekarang ia telah punyakan pengalaman, ia mulai mengenal dunia, dapat ia mengendalikan diri. Ia berpikir pula.

   


Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng

Cari Blog Ini