Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 7


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 7



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Cio Keng To menutup rahasia terhadap muridnya, mesti ada sebabnya. Halnya Keng To mencuri pedang di istana, sedikit sekali orang yang mengetahuinya, cuma thaysucouw serta beberapa orang lain. Suhu percaya aku, maka itu ia tuturkan aku rahasianya sejumlah orang kangouw , dari itu mana boleh aku bicara sembara-ngan."

   Karena ini, ia terus menutup mulut. Hay San pun berkata pula.

   "Maksudnya Yap Toako yaitu aku mengantarkan kedua saudara ini ke sana, habis itu, sepulangnya aku, aku mesti membantu tentara rakyat di sini membelai kota Tayciu. Kau sendiri, suheng, bagaimana sikapmu?"

   "Itu pun baik,"

   Berkata Keng Sim.

   "Nanti aku pujikan kau kepada tiehu. Kau, Cio Sumoay, kau bagaimana?"

   "Aku juga ingin berdiam di sini membantu Seng Suko,"

   Sahut si nona.

   "Yap Toako sangat mengharap bantuan kau, suko,"

   Kata Hay San. Keng Sim berpikir.

   "Begitupun baik,"

   Ia menjawab.

   "Tentang ini aku mesti pulang dulu, untuk memberikan tahu ayahku. Katanya Yap Toako lagi menghadapi kesulitan, di mana urusan menentang musuh penting sekali, seharusnya saja aku pergi ke sana."

   Pemuda ini bicara secara tawar, sikap ini tidak memuaskan Sin Cu.

   Keng Sim seperti beranggapan, asal ia pergi, urusan akan beres.

   Tapi kapan Sin Cu ingat orang liehay dan berani, sekejab itu juga lenyap lagi perasaan tak puasnya itu.

   Sampai di situ, mereka berpisahan.

   Di waktu magrib Keng Sim kembali, agaknya ia kecewa.

   "Begitu lekas ayah dibebaskan, dia lantas berangkat menuju ke ibukota propinsie,"

   Ia beritahu.

   "Ah, jauh-jauh aku pulang, untuk menolongi ayah, tapi sekarang aku tidak dapat bertemu dengannya..."

   Ia menjadi sangat masgul. Kembali Ie Sin Cu menjadi heran.

   "Hubungan antara ayah dan anak sangat erat,"

   Ia pikir.

   "kenapa Tiat Hong pergi tanpa tunggu lagi selesainya perkara puteranya ini? Adakah orang yang memaksakan kepergian-nya itu atau ia pergi karena saking kuatirnya berdiam di sini lebih lama pula?"

   Hay San tidak tahu apa yang si "pemuda"

   Pikir.

   "Habis sekarang apa suheng hendak turut kami pergi bersama?"

   Ia tanya kakak seperguruan itu.

   "Kita berangkat besok."

   Keng Sim angkat kepalanya, sambil dongak, ia bersenanjung.

   "Orang gagah itu, darahnya disiarkan ke daiam debu, maka kaiau negara di daiam susah, mana sempat dia mengurus rumah tangga? Pergi, tentu pergi!"

   Demikian besoknya Sang Hay San berangkat bersama-sama Ie Sin Cu, Thio Hek dan Tiat Keng Sim.

   Mereka meninggalkan Tayciu, Hay San yang menjadi penunjuk jalan.

   Baru dua hari, sampai sudah mereka di tempat yang termasuk daerah pengaruh tentara rakyat.

   Itulah sebuah gunung di tepi laut, gunung yang menjadi cabangnya gunung Sian Hee Nia, cukup tinggi dan lebat hutannya, markasnya berada di dalam rimba.

   Selagi memasuki gunung, mereka lihat tentara rakyat tengah memotong kayu dan atau menanam sayur, pakaian mereka cumpang-camping, tandanya mereka hidup sengsara, tetapi mereka bekerja dengan gembira, sembari pasang omong atau tertawa.

   Sin Cu kagumi mereka itu.

   Keng Sim sebaliknya memikir lain.

   Katanya dalam hatinya.

   "Mereka ada hanya serombongan yang tak teratur, tidak heran mereka tidak dapat melawan kaum perompak. Aku harus membantui Yap Cong Liu mengatur rapi mereka ini..."

   Kapan Yap Cong Liu dengar hal kedatangan tetamutetamunya, ia girang bukan main.

   Ia lantas mengundang ke markasnya, ialah sebuah tenda terbuat dari kulit kerbau.

   Tenda itu paling jempol tapi toh ada bocornya...

   Kapan Sin Cu berempat sudah berada di dalam tenda, mereka disambut beberapa orang, satu di antaranya berkumis pendek dan kaku, mukanya hitam mengkilap, bajunya ada beberapa tambalannya.

   Dia mirip kuli tani yang kenyang panas kepanasan dan hujan kehujanan.

   Dia lantas menyodorkan dua tangannya yang hitam seraya berkata.

   "Setiap hari aku memikirkan kamu, hampir aku mati karenanya! Inikah Tiat Kongcu?"

   Dengan kedua tangannya, ia tepuk pundaknya si anak muda.

   Terang ia hendak menunjuk kegirangannya yang luar biasa.

   Hanya begitu ia menepuk, di pundaknya Keng Sim bertapak sepasang tangan hitam! Di antara empat pemuda itu Keng Sim yang berdandan paling perlente dan bersih, tapi sekarang baju itu kena dibikin kotor.

   Orang hitam itu insaf akan perbuatannya itu.

   "Ah, aku membuat kotor pakaiannya tetamu agungku!"

   Katanya, tertawa. Ia lantas saja mengebuti pakaiannya pemuda itu, gerak tangannya pelahan-pelahan, tetapi tangannya itu kotor, ia membuatnya baju orang semakin kotor lagi! Keng Sim menjadi jengah sendirinya. Ia memberi hormat.

   "Adakah ini Yap Tongnia?"

   Ia tanya.

   "Tongnia"

   Itu artinya komandan, di sini diartikan komandan tentara suka rela, tentara rakyat, bukannya komandan yang diangkat pemerintah, maka itu, si orang hitam tertawa berkakakan.

   "Tongnia... tongnia ... tongnia apakah?"

   Katanya.

   "Aku adalah Yap Cong Liu, semua saudara memanggil aku Yap Loohek si Hitam atau Yap Toako saja, maka itu janganlah kamu sungkan-sungkan! Ada terlebih tua beberapa tahun dari kamu semua, baiklah aku aguli ketuaanku itu, jadinya kamu semua panggillah aku Yap Toako saja!"

   Keng Sim kata di dalam hatinya.

   "Di kota Tayciu setiap hari orang dengar nama besar dari Yap Cong Liu, semua orang bilang dialah seorang luar biasa, siapa sangka dialah seorang dusun tua..."

   Pemuda ini menyebutnya orang dusun, ia tidak tahu Yap Cong Liu berasal kuli parit yang umum paling pandang enteng dan orang-orang sebawa-hannya kebanyakan ada kuli-kuli parit yang menjadi kawan sekerjanya.

   Ie Sin Cu lantas menyampaikan suratnya Pit Kheng Thian dan Ciu San Bin.

   Yap Cong Liu buka itu surat dan membebernya di hadapannya.

   "Ah!"

   Katanya.

   "banyak surat yang kenal aku, aku tidak kenal mereka! Kau saja yang membacakannya!"

   Dengan sembarangan saja ia angsurkan surat itu pada seorang di sampingnya, orang mana bertubuh melengkung, dan pakaiannya, walaupun ada tambelannya, cukup bersih.

   Rupanya dialah si suya atau ahli pemikir.

   Dia ini menyambut surat itu, terus dia membaca.

   Bunyi surat melainkan memberitahu rombongan bala bantuan akan datang lagi beberapa hari, bahwa mereka bersedia akan bekerja sama guna melawan musuh.

   Cuma di suratnya Pit Kheng Thian ditambahkan kata-kata ini.

   "Sudah lama aku kagumi nama besar saudara. Penduduk pesisir timur selatan bebas dari ilas-ilasan perompak, semua itu mengandal pada tenagamu. Aku diangkat jadi Toaliong-tauw, sebenarnya aku malu sekali, karena aku tidak punya kepandaian apa-apa, maka itu aku nanti berdiam di bawah perintah saudarasaudara, untuk menanti segala titahmu."

   Mendengar itu, Yap Cong Liu tertawa terbahak.

   "Pit Kheng Thian menulis surat, kenapa bunyinya begini macam? Tentulah ini surat ditulis oleh suya-nya! Dia kepala pengemis, aku kepala kuli parit, bukankah kita sem-babat? Dia lebih liehay daripada aku, aku justeru hendak angkat dia menjadi toako, hendak aku serahkan semua saudara di sini untuk dia suruh-suruh, kenapa dia begini sungkan? Tidakkah ini lucu? Hahaha! Pasti ini bukan tulisannya Pit Kheng Thian sendiri!"

   Cong Liu tidak tahu, surat itu ada buah kalam sendiri dari Pit Kheng Thian.

   Kepala pengemis itu di luar terlihat kasar, pikirannya tapi tajam dan halus.

   Leluhurnya dulu ada panglima di bawahan Thio Su Seng.

   Anak cucu leluhur ini diwajibkan menjadi hweeshio atau paderi lamanya sepuluh tahun, selama sepuluh tahun itu mereka mesti hidup dari mengemis.

   Jadi Kheng Thian bukan sembarang pengemis, maka juga dia mengarti ilmu surat.

   Keng Sim tidak puas dengan kata-katanya pemimpin tentara rakyat ini.

   Ia bukannya hendak memperebuti pengaruh.

   Hanya sebab Cong Liu sangat memandang tinggi kepada Pit Kheng Thian.

   Kenapa, belum lagi orang tiba, Cong Liu sudah hendak menyerahkan kedudukannya? Di sini, pandangan Ie Sin Cu beda lagi dari orang she Tiat ini.

   Sin Cu justeru memikir.

   "Pit Kheng Thian sebenarnya memikir jauh, dia ingin menjadi kepala, tetapi dia berpurapura merendahkan diri, dia tak sejujur Yap Cong Liu."

   Tentara r akyat ini bersarang di atas gunung, di dalam rimba, barang makanan mereka setiap hari ada beras kasar dan sayur hutanan, tapi malam ini, untuk menyambut Keng Sim beramai, istimewa mereka menyembelih seekor babi hutan.

   Tapi nasinya tetap ada pesaknya, maka sulit Sin Cu memakannya.

   Tetapi Yap Cong Liu sangat ramah tamah, ia jepit potongan-potongan daging babi yang besar, ia letaki itu ke dalam mangkoknya Keng Sim dan Sin Cu.

   Nona Ie menjadi malu hati, mau atau tidak, terpaksa ia dahar banyak juga...

   Malamnya Sin Cu berempat dipernahkan di tenda yang baru dibangun.

   Itu pun tenda kulit kerbau, tapi semuanya baru, maka itu tidak ada bahagiannya yang bocor, tak usah mereka takuti hujan.

   Berempat mereka masing-masing mengambil satu pojokan.

   Malam itu Nona Ie sukar mendapat pulas.

   Ia gulak-gulik, di depan matanya seperti berbayang beberapa orang.

   Pertama-tama petaan Thio Tan Hong, gurunya, lalu Tiat Keng Sim, si pemuda sahabat yang baru.

   Habis itu bayangannya Pit Kheng Thian.

   Yang terakhir ialah Yap Cong Liu.

   "Ya, Tiat Keng Sim rada mirip guruku,"

   Ia berpikir. Tibatiba ia tertawa dalam hati. Sedetik saja, lalu ia merasakan ada perbedaannya juga, entah di bahagian mana... ia merasa kepalanya berat akan memikirkan perbedaan itu.

   "Yap Cong Liu tolol di mata Tiat Keng Sim, ia tapinya sedikit mirip dengan guruku,"

   Ia berpikir pula, kapan petaan pemimpin tentara rakyat itu lewat di depan matanya.

   Juga ia tak dapat jelaskan kemiripan itu.

   Nampaknya Cong Liu kasar tetapi dia jujur dan polos, dia tak pandai mengatur kata-kata.

   Mengenai Pit Kheng Thian, kalau dia dibanding sama Tan Hong, Keng Sim atau Cong Liu, dia agaknya kalah.

   Petaan orang she Pit ini lantas kealingan bayangannya Keng Sim.

   Orang she Tiat ini justeru masih muda dan tampan, dan tingkatnya pun berimbang dengan ia, tak seperti Tan Hong dan Cong Liu.

   Berselang dua hari ada datang serombongan nelayan, jumlahnya dua tiga ratus orang.

   Mereka di kirim Cio Bun Wan, yang pernah didik mereka.

   Seng Hay San pun pernah turut mendidiknya.

   Mereka ini bawa berita bahwa di kota Tayciu sudah berdiri barisan suka rela tetapi kurang pemimpinnya.

   "Kalau begitu, baiklah saudara Seng yang pulang."

   Cong Liu mengasi pikiran.

   Hay San suka pulang.

   Keng Sim juga ingin kembali, tapi ia dicegah Cong Liu, yang minta ia mendidik barisan nelayan itu.

   Maka ia jadi berdiam terus.

   Setelah rapi mengatur barisannya, Keng Sim minta ijin dari Cong Liu untuk mulai menggempur musuh.

   Komandan itu menolak.

   Ketika ia majukan lagi permintaannya, sampai beberapa kali, tetap ia ditolak.

   Ia menjadi kurang puas.

   Diam-diam ia kata pada Sin Cu.

   "Tentara ini berdiam lama di gunung, makan dan pakainya sulit, dengan terus berdiam saja, apakah kita bukan mencari kemusnahan sendiri? Kita datang ke mari untuk memerangi perompak, sekarang sudah lewat setengah bulan, kita terpekur saja, apakah artinya ini?"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Cu tidak habis sabar seperti sahabatnya ini. Ia tenangtenang saja.

   "Yap Toako tidak hendak memberi persetujuan, mungkin ada sebabnya,"

   Ia bilang.

   "Sebab apakah itu? Hm! Ia tentunya jeri!"

   Biasanya Sin Cu hargakan pemuda ini, sekarang ia dapatkan orang seperti memandang enteng kepada Yap Cong Liu, ia tidak puas. Maka dengan dingin ia kata.

   "Apakah cuma kau yang bisa berpikir dan lain orang tidak? Menarik bengkung busur untuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Apakah artinya itu? Untuk melawan perompak, tidak perlu kita terlalu tergesa-gesa. Bukankah kau pernah berkata begini? Siapa tahu kalau Yap Toako tengah bersiap-siap untuk menarik panahnya dan mengasah pedangnya?"

   Melihat orang tidak puas dan kata-katanya dipakai memukul padanya, Keng Sim terpaksa bungkam. Tapi tetap ia tidak puas, maka ia berpikir.

   "Aku pandai membaca kitab perang, dapatkan Yap Cong Liu dibandingkan denganku?"

   Cong Liu tidak menggeraki pasukan perangnya, itu bukan berarti ia berdiam saja.

   Setiap hari ia ada mengirim mata-mata untuk mencari tahu gerak-gerik perompak.

   Demikian itu hari, seorang mata-matanya pulang dengan berita perompak hendak menyerbu gunung dari tiga jurusan, bahwa tentaranya akan sampai di kaki gunung.

   Komandan itu bersikap tenang sekali.

   "Untuk dapat merayap naik, perompak mesti gunai temponya setengah harian,"

   Ia bilang.

   "Sekarang kita tengok dulu gerak-gerik mereka, sesudah itu baru kita mendamaikan daya untuk menyambut mereka itu..."

   Lantas ia ajak Sin Cu dan Keng Sim mendaki puncak, untuk dari tempat tinggi itu mengawasi musuh.

   Sin Cu dan Keng Sim pandai ilmu enteng tubuh, malah Keng Sim hendak pertontonkan kepandaiannya itu.

   Sebentar saja mereka berdua sudah sampai di atas puncak.

   Kapan Keng Sim menoleh, ia dapatkan Cong Liu ada bersama.

   Komandan ini tidak bermuka merah, napasnya tidak memburu.

   Keng Sim menjadi kagum, maka hilanglah beberapa bahagian dari pandangannya terhadap pemimpin itu, tidak lagi ia tak melihat mata.

   Kaum perompak benar maju dari tiga jurusan timur, barat dan utara.

   Dua yang di timur dan utara, barisannya panjang bagaikan ular.

   Mereka menyebabkan debu mengepul naik dan binatang liar lari sera-butan.

   Yang di barat sebaliknya berjumlah sedikit, mungkin cuma tiga sampai lima ratus jiwa.

   Selagi barisan ini mendaki, di atas udara ada sekumpulan burung terbang lewat, makin lama makin tinggi, sampai lenyap dari pemandangan.

   Sesudah menyaksikan sekian lama, Cong Liu ajak kawankawannya pulang.

   Terus ia mengadakan rapat.

   Keng Sim bilang.

   "Kita harus terjang musuh dengan pakai ilmu perangnya Sun Cu. Kalau tentara kita berlipat sepuluh kali, kita mengurung, kalau cuma lima kali, kita menerjang, dan bila hanya satu kali, mesti kita mencoba memecah tenaga musuh itu. Jikalau tenaga kita berimbang, kita harus rebut kemenangan, tapi kalau jumlah kita lebih sedikit, harus kita mundur teratur. Begitu juga kalau kita lebih lemah, kita mesti menyingkir dari pertempuran."

   Cong Liu semua mengawasi. Sejumlah tauwbak, ialah pemimpin rombongan-rombongan kecil, menjadi heran yang orang sempat mengapali buku kitab perang.

   "Dasar dia mahasiswa, dia pandai mengapal!"

   Kata satu tauwbak, berbisik.

   "Siapa itu Sun Cu? Dia umur berapa?"

   Lain tauwbak berbisik.

   "Kalau Sun Cu pasti tidak salah, Loo Cu lebihlebih!..."

   Keng Sim nampaknya bangga, ia kata pula.

   "Sekarang ternyata tenaga musuh lebih besar daripada kita, kalau kita memecah diri untuk melayani mereka, pasti kita kalah. Rombongan musuh di barat lebih lemah, kalau kita lawan mereka, kita jadi terlebih kuat. Maka mari kita serang bahagian baratnya itu, kemudian baru kita terjang yang di timur, kita pasti menang."

   "Oh, begitu!"

   Kata si suya.

   "Kau menyebut-nyebut Sun Cu, aku jadi bingung."

   Cong Liu berkata.

   "Kita bangsa kasar, kita tidak mengarti ilmu perangnya Sun Cu. Kalau menurut aku, kalau si perompak kate (pendek) datang, kita boleh main-main dengan mereka secara menggiling berputaran..."

   "Apakah itu cara menggiling berputaran?"

   Sin Cu tanya.

   "Pernahkah kau lihat keledai menarik penggilingan?"

   Cong Liu balik menanya.

   "Keledai itu lari terputar-putar menarik penggilingan, lama-lama matanya kabur dan kepalanya pusing, apabila kita lepaskan dia, dia masih lari berputaran terus..."

   "Apa hubungannya itu dengan cara menyerang si perompak?"

   Sin Cu tanya pula.

   "Ha, penting hubungannya!"

   Sahut komandan itu, tertawa.

   "Kita mesti bikin perompak itu menjadi si keledai tolol, kita pancing mereka supaya mereka lari-larian dan berputaran di atas gunung ini. Kita jangan bertempur dengan mereka, kita hanya berputaran, main petak. Kita kenal baik gunung kita, kita dapat lari lebih cepat. Secara begitu kita nanti bikin mereka mati letih."

   Pemimpin ini bicara secara biasa, perkataannya gampang di mengarti, maka semua tauwbak, besar dan kecil, menjadi kegirangan.

   "Akur!"

   Seru mereka.

   "Mari kita bekerja menuruti akalnya tongnia. Kita bikin perompak itu mampus kecapean!"

   "Kitab perang dahulu kala tidak pernah mencacat cara berperang ini,"

   Kata Keng Sim tawar.

   "Rangsum kita tidak cukup, apakah bukan kita yang bakal mati lelah?"

   "Musuh datang dari tempat jauh, mereka bisa bawa berapa banyak rangsum?"

   Seorang berkata.

   "Kita hidup bagaikan mengandal gunung makan gunung, mengandal air meminum air, kita pun dibantu rakyat jelata, kenapa kita mesti takut main penggilingan dengan mereka itu?"

   Keng Sim tidak perdulikan orang itu.

   "Kalau turut caramu ini, berapa lama kita akan main petak sama perompak kate (pendek) itu?"

   Ia tanya Cong Liu.

   "Tentang temponya tidak dapat dipastikan,"

   Pemimpin itu menyahuti.

   "Mungkin sepuluh hari, mungkin setengah bulan. Atau mungkin juga satu bulan..."

   "Kalau begitu, sampai kapan dapat kita gebos mereka hingga ke laut?"

   Keng Sim tanya pula, tetap dengan tawar.

   "Kau takut lawan musuh keras dengan keras, kau dapat menyingkir dari mereka. Tapi bagaimana jadinya dengan rakyat yang bersengsara? Apakah kau tidak hendak tolong mereka? Nah, pergilah kau main petak, aku sendiri hendak berperang!"

   Semua tauwbak menjadi kaget. Cong Liu mengedipi mata pada mereka itu. Seorang lantas berkata, keras.

   "Di antara kita, siapakah yang tidak berani mati dan jeri menempur musuh? Kau... kau..."

   "Cukup!"

   Cong Liu menyelak.

   "Tiat Kongcu juga memikir untuk negara dan rakyat, kita jangan berisik. Ada alasannya kenapa Tiat Kongcu ingin segera menggempur musuh kita. Cuma perompak itu licik bagaikan rase, kita mesti perhatikan itu."

   "Perduli apa mereka licik sebagai rase, garang seperti srigala atau harimau, aku tidak takut!"

   Keng Sim berkata pula.

   "Aku akan bawa barisanku untuk serang mereka!"

   Cong Liu menyeringai.

   "Kalau begitu, baik, aku nanti kirim orang untuk membantu,"

   Katanya.

   "Tidak usah!"

   Keng Sim menampik.

   "Kau sendiri baiklah main petak sama mereka itu!"

   Cong Liu antar pemuda itu keluar dari tenda, ia cekal keras tangan orang.

   "Tiat Kongcu, kau hendak berperang, aku tidak dapat melarang kau,"

   Katanya.

   "Aku cuma harap kau berhati-hati dalam satu hal..."

   Pemimpin ini berkata dengan sungguhsungguh, hati Keng Sim tergerak juga. Maka maulah ia mendengar apa pesan tongnia itu. *** "Perompak kate (pendek) itu licik, mereka pandai menggunai tipu daya, kita harus berhati-hati,"

   Berkata Cong Liu.

   "Kita mesti jaga tentara sembunyi mereka."

   Di dalam hatinya, Keng Sim berpikir.

   "Inilah pengetahuan umum dalam urusan perang, tak usahlah kau mengingatinya. Laginya dari puncak telah aku melihat tegas-tegas, di garis ini jumlah musuh paling juga lima atau enam ratus jiwa, mana ada tentara sembunyinya?"

   Maka itu ia menjawab dengan sembarangan saja.

   "Aku tahu."

   "Di waktu berperang, baiklah pasukanmu ini jangan dipersatukan,"

   Cong Liu memesan pula.

   "Kita mesti bernyali besar tetapi terliti, kita mesti memikir untuk merebut kemenangan, terutama kita mesti menjaga jangan sampai kalah. Maka itu baiklah kau memecah barisan, yaitu satu barisan kecil dijadikan pelopor, untuk maju di paling depan, guna mencari tahu tenaga musuh. Kau sendiri boleh ambil kedudukan di tengah. Biarlah Iie Siangkong paling belakang, untuk menjadi pembantu. Secara begini, andaikata benar kita menghadapi tentara sembunyi, tidak nanti kita sampai kena dikurung musuh."

   Mendengar itu, Keng Sim tertawa.

   "Walaupun aku bodoh, tahu jugalah aku sedikit tentang ilmu perang!"

   Ia berkata.

   "Tentang itu tak usahlah saudaraku memberi petunjuk padaku."

   Sebenarnya Yap Cong Liu masih hendak memesan lagi tetapi satu tauwbak telah datang sambil berlari-lari padanya mengundang ia lekas kembali ke markas. Maka itu, selagi hendak berlalu, ia hanya memesan.

   "Umpama kata benar saudara sampai bertemu tentara bersembunyi musuh, lekaslah kau mundur ke timur selatan."

   "Aku tahu,"

   Sahut Keng Sim tawar, ia mengangguk pelahan. Jumlah tentara Keng Sim ini ada dua ratus jiwa lebih, ia kumpul mereka jadi satu pasukan besar, ia titahkan lekas menuju ke lembah barat, untuk lantas menyambut musuh.

   "Tadi Yap Toako pesan..."

   Berkata Ie Sin Cu, untuk menyadarkan.

   "Dia tahu apa!"

   Jawab Keng Sim.

   "Di depan takut pada harimau, di belakang jeri pada srigala, apakah itu namanya perang? Aku sudah lihat tegas musuh berjumlah cuma lima ratus jiwa, tentara kita dua ratus, jadi satu lawan dua, sudah cukup! Lucu Yap Cong Liu, dia menyuruh aku memecah pasukanku menjadi tiga barisan. Jumlah kita sudah sedikit, lalu hendak dipecah tiga pula, habis bagaimana kita dapat berperang?"

   Besar nyalinya anak muda ini, ia percaya akan kemenangannya kemenangan besar ia sampai tak memikirkan kemungkinan bisa kalah...

   Jalanan sukar tetapi Keng Sim desak barisannya maju dengan cepat.

   Dalam tempo dua jam, tibalah mereka di lembah barat itu.

   Kecuali Keng Sim sendiri bersama Sin Cu, semua orang telah mulai bernapas sengal-sengal.

   Baru tiba di mulut lembah, mereka sudah dapat lihat satu pasukan musuh, yang mendatangi dalam rombongan-rombongan dari empat lima orang.

   Keng Sim berada di sebelah atas, mereka itu berada di sebelah bawah, maka itu, mereka itu tengah mendaki.

   "Mari maju!"

   Berseru Keng Sim dengan titahnya, sambil ia kibaskan pedangnya, pun mendahulukan berlompat maju, guna mulai menyerang.

   Tentara suka rela nelayan itu memang benci perompak kate (pendek) itu, yang biasa sangat mengganggu mereka, hati mereka panas, sekarang mereka menyaksikan kepala perang mereka sudah maju, mereka pun lantas menyerbu, tanpa takut mati, tanpa menghiraukan mereka masih lelah.

   Hebat serangannya Keng Sim.

   Sejumlah musuh lantas putus tangannya atau kutung kakinya, atau mereka itu terdupak roboh bergeluntungan ke dalam lembah.

   Setelah belasan menjadi kurban, yang lainnya ketakutan dan lari balik.

   Tentara nelayan pun menyerbu mereka secara hebat.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Keng Sim tertawa lebar.

   "Bagaimana?"

   Tanyanya kepada Sin Cu.

   Saking puas, ia menjadi bangga.

   Sin Cu juga tidak menyangka musuh demikian tak punya guna, ia menjadi gembira sekali, maka tempo si anak mudah mengejar, ia turut memburu.

   Tentara perompak itu lari sampai di tempat di mana ada hutan alang-alang atau rumput, yang tinggi sependirian, mereka lari serabutan masuk ke dalam situ.

   "Biar mereka kabur ke sarangnya, mereka mesti diserbu dan diseret keluar!"

   Berseru Keng Sim.

   Ia terus memberi contoh.

   Tentara nelayan itu berani tapi tanpa pengalaman, mereka memang tengah gembira dan sengit, mereka terus ikuti pemimpinnya yang kosen itu.

   Hanya begitu lekas mereka sudah masuk ke dalam rimba itu, tiba-tiba ada terdengar dentuman meriam, yang disusul sama teriakan-teriakan riuh dari empat penjuru.

   Nyatalah tentara perompak telah mengatur siasat, di situ mereka menyembunyikan diri, setelah memancing lawan, sekarang mereka keluar untuk membalas menerjang.

   Keng Sim dan barisannya lantas kena dikurung.

   Dua perampok, yang tubuhnya tinggi dan besar, lompat kepada Keng Sim, untuk menyerang dengan goloknya.

   Dengan dua kali tangkisan beruntun, si anak muda dapat menyingkirkan ancaman bahaya itu.

   Salah satu musuh itu adalah Otonu dan ke tujuh, yang pernah diketemukan di dalam kapal upeti, dan kawannya adalah Sakada Eio, juga dan ke tujuh, maka tidak heran, habis itu, Keng Sim kena dikurung mereka.

   Tentara sembunyi musuh itu berjumlah kira-kira seribu orang, sama mereka yang tadi memancing, jumlah semua ada seribu lima ratus lebih, dari itu bisalah di mengerti yang barisannya Keng Sim jadi kalah lima enam lipat.

   Maka juga sia-sia saja tentara nelayan itu mencoba berulang-ulang, mereka tidak dapat menoblos kurungan.

   Sebaliknya, mereka terdesak hingga mereka terkurung makin rapat.

   Keng Sim menjadi gusar berbareng cemas.

   "Awas!"

   Ia berteriak, lalu ia menyerang hebat dengan jurusan "Batu pecah, langit gentar."

   Pedangnya menikam kepada kedua lawannya, bergantian tetapi sangat cepat.

   Sakada Eio berlaku ayal, lengannya bahagian atas kena ketikam.

   Otonu dapat berkelit, terus ia hendak menolong kawannya, tetapi ia kena terbentur hingga terhuyung, hampir ia jatuh.

   Keduanya tidak mau mundur, meski yang satu sudah terluka.

   Lekas juga mereka dibantui beberapa kawannya lagi.

   Maka Keng Sim kembali kena terkurung.

   Ie Sin Cu dapat melihat kawannya terancam, ia hendak membantu, untuk ini, lebih dulu ia robohkan dua musuhnya, yang mengepung padanya.

   Belum lagi sampai pada Keng Sim, bunga emasnya, lima buah, sudah menyamber.

   Lima musuh terserang semua, yang roboh hanya dua.

   Untuk sejenak, Sin Cu tercengang, tapi segera ia ingat, musuh ada mengenakan baju lapis.

   Dua musuh yang roboh itu kebetulan terhajar tenggorokannya.

   Musuh yang lain mesti diserang jalan darahnya, baru mereka bisa dibikin jatuh.

   Karena ini, ketika Nona Ie menyerang pula, kembali dengan lima buah bunga emasnya, kali ini ia arah tenggorokan.

   Ia berhasil merobohkan tiga musuh.

   Dua yang lain bebas ialah Otonu dan Sakada Eio.

   Hanya celaka Otonu, karena dia menangkis senjata rahasia, dia kena dibarengi Keng Sim, meski benar dia bisa menangkis, hebat lengannya terhajar, hingga tak dapat dia geraki tangannya itu, terpaksa dia lari pergi.

   Sakada Eio lantas turut menyingkir.

   Keng Sim terlepas dari kurungan, tetapi pasukannya tidak, mereka masih tetap terkepung, bersama Sin Cu ia mencoba menyerbu hebat, hanya, tertoblos yang selapis, masih ada lapisan yang lainnya, demikian seterusnya.

   Mana dapat mereka membunuh habis ratusan musuh itu? Tentara nelayan merasakan kesukaran hebat.

   Sudah mesti menangkis musuh, mereka juga menderita dari tusukan ujung rumput dan duri, hingga banyak yang terluka.

   Sakit hatinya Keng Sim menyaksikan penderitaan tentaranya itu.

   "Biar aku terbinasa di sini, akan aku dayakan agar kamu lolos dari kurungan!"

   Dia berseru.

   Ia putar pedangnya untuk menyerang hebat sekali.

   Musuh membuka jalan untuk ini pemuda yang gagah, sebaliknya, tentara nelayan mereka pegat terus.

   Maka itu, ketika kemudian Keng Sim menoleh ke belakang, ia dapatkan ia berada sendirian saja, di sana Ie Sin Cu lagi bertempur seru sama musuh, guna membuka jalan untuk barisannya yang tetap terkurung.

   "Setan alas!"

   Ia mengutuk dalam hatinya.

   "Aku menyerbu seorang diri, aku lolos, siapa tahu tentaraku tetap terkurung! Bukankah mereka itu bisa dapat susah?"

   Tidak ayal lagi, ia kembali, akan menyerang balik. Segera ia merasakan kesulitan dengan pedangnya, yang bukan pedang mustika. Pedangnya itu lekas menjadi puntul.

   "Menyesal aku tidak dengar perkataannya Yap Cong Liu..."

   Katanya masgul.

   Sekarang ia menginsafi kekeliruannya.

   Ketika itu Otonu dan Sakada Eio, yang sudah dapat beristirahat, datang pula.

   Maka itu, pengurungan musuh jadi bertambah kuat, kurungan menjadi terlebih ringkas.

   Keng Sim sangat berduka dan mendongkol karena sia-sia saja ia menyerang balik, ia tidak sanggup mendekati Sin Cu atau pasukannya, saking kuatnya pertahanan lawan, yang merintangi kembalinya itu.

   Dalam saat barisan nelayan terancam bahaya kemusnahan itu, tiba-tiba ada terdengar riuh suara anak panah yang lewat mengawung di tengah udara, habis mana terlihat datangnya satu pasukan penolong.

   Bahkan sekilas lalu saja, satu lapis kurungan musuh sudah lantas kena didobrak.

   Musuh ada menyiapkan dua buah meriam, yang bisa menembak jauh beberapa puluh tombak, menampak datangnya bala batuan lawan itu, mereka lantas menembak dengan meriamnya itu.

   Tentara penolong itu mendengar suara mengguntur, mereka pada jatuhkan diri untuk bersetiarap, dengan begitu mimis lewat bagaikan hujan di atasan tubuh mereka.

   Benar mereka tidak kena tertembak tetapi majunya mereka jadi terhalang.

   Keng Sim menyaksikan itu semua.

   "Saudara Ie, akan aku membuka jalan untukmu, pergi kau bikin mampus dua tukang tembak meriam itu"

   Ia kata pada Sin Cu, habis mana ia menyerang ke arah meriam.

   Ia lemparkan pedangnya, ia cekuk dua musuh, untuk diangkat tubuhnya, buat dibulang-balingkan bagai senjata.

   Pusing kepalanya dua perompak itu, dengan goloknya mereka menyerang kalang kabutan, tapinya yang kena diserang justeru kawan mereka sendiri, kemudian mereka pun terbacok golok ngawur, hingga mereka terbinasa.

   Keng Sim lemparkan kedua mayat musuh, ia bekuk dua yang lain, ia pakai pula mereka itu sebagai senjata.

   Siasat ini ia pakai berulangkah.

   Dengan begini ia berhasil membuka jalan, dan Sin Cu dapat mengikuti.

   Dari itu setelah datang dekat kepada meriam, untuk menyerang, si nona segera gunai bunga emasnya.

   Sedetik saja, dua tukang meriam itu roboh binasa, maka bungkam juga kedua meriamnya.

   Di lain saat, barisan penolong dan tentara nelayan berhasil saling mendekati satu sama lain, untuk menggabungkan diri, karena ini, mereka lantas bisa bekerja sama.

   Barisan penolong itu dipimpin Teng Bouw Cit, atau hutongnia, pemimpin yang kedua.

   Keng Sim girang berbareng likat.

   "Mana Yap Toako?"

   Ia tanya.

   "Yap Toako menitahkan aku datang menyambut,"

   Bouw Cit menjawab.

   "

   Toako sendiri membawa pasukannya pergi ke tenggara, mungkin sekarang ia pun tengah menempur musuh di jurusan sama."

   Keng Sim terkejut.

   Ia tahu jumlah mereka semua, sekarang Bouw Cit membawa empat atau lima ratus orang, pasti jumlahnya pasukannya Cong Liu menjadi kecil sekali, tinggal separuhnya.

   Dapat mereka melawan musuh di dua jurusan di sana itu? "Bagaimana ini bisa?"

   Katanya.

   "Dia membagi separuh tentaranya, bagaimana dia bisa melayani dua rombongan musuh di dua jurusan?"

   "Yap Toako bilang, berapa bisa kita lindungi, kita lindungi,"

   Menerangkan Bouw Cit.

   "

   Toako kenal baik wilayah ini, kau adalah orang baru, maka itu toako ingin menolong dulu pada pihakmu. Toako pesan untuk jangan berkuatir."

   Keng Sim malu dan menyesal sendirinya.

   "Mari kita lantas mundur ke tenggara!"

   Katanya.

   Dengan adanya bala bantuan ini, jumlah tentara suka rela tetap ada terlebih kecil, tetapi Keng Sim membuka jalan, Bouw Cit mengikuti dia.

   Sin Cu ambil tempat di tengah.

   Orang berkelahi sambil mundur.

   Berselang setengah jam mereka berhasil keluar dan rimba alang-alang itu.

   Tapi masih mereka berkelahi terus.

   Lagi setengah jam barulah mereka tiba di mulut gunung.

   Pihak musuh masih mengejar, karena mana, Keng Sim berkuatir.

   Mereka telah berkelahi lama dan tujuan masih jauh.

   Sampai kapan mereka bisa tiba di tenggara itu akan menggabungi diri dengan pasukannya Cong Liu? Sakada Eio dan Otonu kedua dan ke tujuh, telah dapat beristirahat, dengan sejumlah tentaranya, mereka hendak mengurung.

   Untuk itu mereka ambil jalan samping, guna tiba lebih dahulu di sebelah depan.

   Lantas mereka pegat jalannya Keng Sim, hingga si anak muda menjadi mendongkol, ia segera menyerang.

   Kalau ia tak selelah itu, dapat Keng Sim pukul mundur kedua musuh, sekarang ia cuma dapat membikin keadaan berimbang.

   Meski begini, ia mesti berkelahi mati-matian.

   Karena ia terhalang, Sin Cu turut terhalang juga.

   Selagi pertempuran itu berlangsung dahsyat sekali, terlihat debu mengepul, satu pasukan mendatangi cepat sekali, maka segera tertampak satu orang dengan toyanya yang besar.

   Dia hebat sekali, belasan perompak lantas kena dibikin terjungkal.

   "Pit Kheng Thian!"

   Sin Cu berseru apabila ia telah melihat tegas roman orang.

   Kheng Thian itu memandang si nona, ia tertawa dan mengangguk, lalu terus ia menghajar musuh.

   Cepat sekali ia telah datang dekat.

   Tanpa membilang suatu apa, ia hajar Sakada Eio dengan toyanya.

   Sakada Eio menangkis dengan goloknya.

   Dia bersilat dengan ilmu golok Angin Keramat, yang liehay.

   Dia memang bertenaga besar sekali.

   Habis menangkis, dia bakal membalas menyerang.

   Dia percaya tangkisannya itu akan membuatnya senjata lawan terpental.

   Kali ini tapinya dia menduga keliru.

   Begitu kedua senjata bentrok, dia menjadi kaget sekali, hingga dia menjerit dan tangannya kesakitan.

   Telapakan tangannya pecah dan berdarah akibat bentrokan itu.

   Inilah disebabkan tenaga besar luar biasa dari si orang she Pit.

   Kheng Thian penasaran yang ia cuma bisa membikin mental golok musuh, ia terus mengulangi serangannya, dengan tenaga yang dikerahkan.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagus! Kau terima lagi satu toya!"

   Ia berseru.

   Sakada Eio menjadi jeri, ia balik tubuhnya, untuk menyingkirkan diri.

   Ia dipegat Keng Sim, yang menendang padanya, lantas saja ia terhuyung, karena dengkulnya adalah yang kena ditendang itu.

   Justru itu, datang pula samberannya Kheng Thian.

   Tidak ampun lagi, ia roboh dengan polonya pecah berarakan.

   Otonu licik, melihat kawannya terbinasa, ia lantas lari.

   Jumlah tentaranya Pit Kheng Thian ini ada seribu lebih, digabung menjadi satu dengan tentaranya Tiat Keng Sim, jumlah mereka jadi melebihkan tentara musuh, maka itu, sebentar kemudian, keadaan jadi terbalik, ialah sekarang musuh yang kena dilabrak hingga mereka buyar dan lari kucar-kacir, banyak yang terbinasa dan luka.

   Kheng Thian hendak mengejar, untuk melabrak terus tetapi Sin Cu cegah padanya.

   "Lebih baik kita pergi membantui Yap Tongnia ,"

   Sin Cu usulkan.

   "Jangan kuatir,"

   Kheng Thian mengasi keterangan.

   "Aku sudah perintah Pit Goan Kiong membawa seribu serdadu pergi ke sana."

   Sin Cu tetap berkuatir, karena ia tahu musuh berjumlah besar.

   Melihat ia sudah menang, Kheng Thian tidak memaksakan kehendaknya.

   Keng Sim segera kumpuli tentaranya dan menghitung.

   Yang terbinasa dan terluka ada kira-kira enam puluh orang.

   Jumlah kurban ini kecil kalau diingat hebatnya pertempuran, tetapi ia berduka, karena ia insaf inilah tentara nelayan yang dilatih baik sekali oleh Seng Hay San.

   Ia cekal tangannya Sin Cu, sembari menghela napas ia berkata.

   "Aku pandai membaca kitab ilmu perang, nyatanya kepandaian itu tidak dapat dipakai dalam perang yang sebenarnya, buktinya telah terbinasa dan terluka begini banyak saudara... Ah, mana aku ada punyai muka untuk pulang dan menemui Yap Toako?"

   Pit Kheng Thian lihat pergaulan orang yang erat itu, tak senang hatinya, tetapi ia bisa mengendalikan diri. Maka sambil tertawa lebar ia kata.

   "Menang atau kalah adalah umum dalam peperangan, buat apa kau pikirkan itu? Kau bertentara beberapa ratus jiwa, kau bisa layani seribu lebih serdadu musuh, itu pun sudah bagus! Saudara, apakah she-mu?" (bersambung) CATATAN 1) hal 104, pertempuran itu diceritakan dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan). Dalam cerita tsb juga diceritakan hubungan antara keluarga Pit dan keluarga Thio Tan Hong. 2) hal 125, pertikaian tiga murid Peng Hweeshio diceritakan dalam Hoan Kiam Kie Ceng (Sebilah Pedang Mustika) dan Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan). Setelah sekian lama menghilang, peta dan harta peninggalan Thio Su Seng, yang petunjuknya berupa lukisan, akhirnya ditemukan oleh Thio Tan Hong dalam cerita Peng Cong Hiap Eng PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA (SAN HOA LIE HIAP) Dituturkan oleh. Bu Beng Cu Diterbitkan untuk Masyarakat Cerita Silat Surabaya 2008

   Jilid 2 Kheng Thian lihat orang gagah, ia menyangka Keng Sim menduduki tempat penting dalam tentara rakyat, ingin bergaul erat dengannya.

   Keng Sim perkenalkan dirinya, bahwa ia datang dari Tayciu untuk menggabungi diri dengan Yap Cong Liu.

   Kemudian ia menambahkan.

   "Pit Toaliongtauw, syukur kau keburu datang. Terima kasih untuk bantuanmu ini."

   Teng Bouw Cit lalu memperkenalkan terlebih jauh, katanya.

   "Tuan ini ada putera dari Giesu Tiat Hong, yang di Tayciu terkenal untuk ilmu silat dan ilmu suratnya. Baiklah kamu bersahabat."

   "Oh, kiranya satu kongcu..."

   Kata Kheng Thian di dalam hatinya seraya ia lirik anak muda itu.

   Karena ia melirik, ia dapatkan Sin Cu, yang sudah lepaskan tangannya yang dicekal Keng Sim, masih berdiri di damping si pemuda.

   Kembali timbul rasa tak puasnya.

   Maka dengan tertawa tawar ia kata dalam hatinya.

   "Ie Sin Cu ada satu wanita gagah, kenapa dia boleh penujui mahasiswa begini macam?"

   Berbareng dengan itu.

   Kheng Thian lantas ingat bahwa orang yang Sin Cu paling puja adalah Thio Tan Hong, dan Tan Hong pun seorang mahasiswa.

   Mengingat ini, kalau tadinya ia cuma tak senang terhadap Keng Sim, dengan tiba-tiba saja ia jadi bersikap "bermusuh"

   Terhadap pemuda itu...

   Sebaliknya adalah Tiat Keng Sim.

   Ia mulanya memandang enteng kepada orang sebangsa Kheng Thian ini, tapi setelah kekalahannya apa yang orang bilang, ia menyangka saja mereka itu sahabat-sahabat erat, dari itu, ia turut tertawa.

   Malam itu semua orang bergembira, maka juga Yap Cong Liu melakukan keistimewaan, ialah ia menitahkan menyembelih belasan ekor babi untuk mereka berpesta, guna memberi selamat atas kemenangan mereka.

   Keng Sim telah gunai satu ketika akan secara pribadi menghaturkan maaf kepada Cong Liu.

   Pemimpin itu tertawa, ia kata.

   "Tidak ada artinya! Aku cuma pernah lebih sering bentrok sama perompak kate (pendek) itu, aku jadi terlebih berpengalaman sedikit. Setelah aku pikirkan, kata-katamu tentang ilmu perang Sun Cu itu benar beralasan. Bukankah kau telah bilang, menurut kitab Sun Cu itu, kalau musuh banyak dan kita sedikit kita mesti menyingkir dari perang mati-matian? Aku pikir, memang satu kali kita toh mesti bertempur secara memutuskan dengan musuh perompak ini! Untuk itu, kita mesti mencari daya yang paling menguntungi kita. Laoko, lain kali akan aku minta kau menutur kepadaku tentang ilmu perang Sun Cu itu. Sudikah kau, Laoko, menerima murid setolol aku ini?"

   Keng Sim jengah sendirinya. Ia lihat Cong Liu pandai merendah, meski sudah berjasa besar, dia tidak jumawa, dia tidak mengagulkan diri. Ia kata.

   "Sekarang barulah aku insaf, membaca kitab perang saja masih belum berarti. Aku berlagak pintar, aku main kunya kata-kata Sun Cu, aku pakai bukan di tempatnya! Pantas aku kalah. Cuma satu hal aku minta toako sudi menerangkan padaku..."

   Cong Liu tetap merendahkan diri.

   "Baiklah Tiat Siang-kong yang memperka-takan itu, nanti kita merunding bersama,"

   Ia bilang. Ia lantas saja ketahui tabiat pemuda ini, maka itu, ia lantas bawa lagaknya merendah.

   "Toako,"

   Keng Sim menanya.

   "kenapa kau ketahui musuh mengatur tentara sembunyi?"

   Cong Liu bertindak ke luar tenda sambil tertawa. Ia lihat di luar tangsi, anak buahnya lagi repot menyembelih babi dan kambing, suara mereka riuh. Jauh di atas rimba terlihat burung-burung berter-bangan, masih ada yang belum terbang jauh. Ia kata.

   "Tadi pagi di waktu kita memeriksa di atas puncak, bukankah di sana tertampak banyak burung berterbangan?"

   Ia maksudkan hutang alang-alang. Tiba-tiba saja Keng Sim sadar.

   "Ya!"

   Sahutnya.

   "Jikalau di sana tidak ada tentara sembunyi, tidak nanti burung-burung itu kabur terbang. Yap Toako, kau pandai sekali memikir!"

   "Inilah tidak berarti!"

   Cong Liu masih tertawa.

   "Setiap orang tani mengetahui tentang ini, aku cuma pakai itu dan memindahkannya ke medan perang..."

   Keng Sim malu sendirinya.

   Ia mengarti sekarang bahwa kepandaian tidak terdapat di buku saja.

   Besoknya selagi berpesta, Yap Cong Liu mengajukan usul mengangkat Pit Kheng Thian menjadi congciehui, yaitu pemimpin umum, untuk pergerakan mereka menentang perompak kate (pendek).

   Ia sendiri rela menjadi pembantu saja.

   Tentang ini, ia sudah mengasi penjelasan kepada orangnya, yang tidak menyatakan sesuatu.

   Kheng Thian sangat setujui usul itu, meskipun di mulutnya, di muka orang banyak berulang-ulang ia menampik.

   Ia menanti saja saatnya untuk menerima "dengan terpaksa."

   Adalah justeru sejenak itu, Keng Sim campur bicara.

   "Tidak, inilah tidak dapat!"

   Katanya.

   "Yap Toako sudah sering menempur musuh, kau telah ketahui baik perihal musuh itu, toako juga ada penduduk setempat, untukmu jadi lebih banyak yang me-nguntungi. Kalau toako ditukar lain orang, kendati dia pandai sekali, dalam hal pengalaman, dia kalah dari toako."

   "Tapi Pit Toaliongtauw mengepalai lima propinsi Utara, sudah beratus kali dia berperang sama tentara negeri, pengalaman perangnya itu lebih menang daripada aku."

   Berkata Cong Liu.

   "Laginya dalam hal menghadapi perompak, kita harus bekerja sama, kita harus sering berunding. Aku menjadi pembantunya toaliongtauw, apakah halangannya? Toaliongtauw beratus kali lebih pandai daripada aku, baiklah dia diminta menjadi pemimpin besar."

   Keng Sim tidak mau mengarti. Ia tahu tindakannya Kheng Thian yang bakal diambil. Lagi sekali dia berpura-pura mengalah, lantas ia bakal menerima. Maka ia berkata pula.

   "Memang, buat melawan perompak kita mesti bekerja sama, bersatu padu! Kalau begitu, buat apa kita saling mengalah? Laginya, berperang melawan tentara negeri beda dengan berperang melawan perompak ini. Sekarang ini di pesisir dari beberapa propinsi, siapa juga mengetahui toako adalah pemimpin utama tentara rakyat, kalau toako ditukar sama lain orang, banyak ruginya, sedikit kebaikannya. Toako hendak menyerahkan kedudukan, itu tandanya toako pandai menghormati orang sebawahan, dan Pit Toaliongtauw suka mengalah, menampik kedudukan itu, ini pun menandakan toaliongtauw jujur. Dua-dua toako dan toaliongtauw adalah orang-orang yang harus dihargakan. Toako, sudah selayaknya toako menerima baik penampikan toaliongtauw, dari itu harap toako tidak mengalah terlebih jauh!"

   Berpengaruh suaranya Keng Sim ini, maka juga beberapa orang, yang tadinya setuju pemimpin mereka menyerahkan kedudukan kepada Pit Kheng Thian, sekarang pada menahan pula pemimpinnya itu.

   Bukan main mendongkolnya Kheng Thian atas cegahannya Keng Sim ini.

   Tentu saja ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

   Dasar ia pandai membawa diri, lantas ia tertawa lebar.

   "Dasar Tiat Kongcu seorang sekolahan,"

   Katanya.

   "pandangannya menjadi jauh dan luas, apa yang kukatakan, telah ia mendahuluinya menguraikan. Ya, Yap Toako, kaulah harapan orang ramai, jangan kau mengalah pula! Bukankah perlawanan kepada perompak juga bakal ada hari penutupnya? Di belakang hari masih banyak sekali urusan besar dalam mana kita bisa bergandeng tangan dan bekerja sama!"

   Mendengar ini, Sin Cu tergerak hatinya. Ia heran.

   "Kenapa Pit Kheng Thian lepehkan pula bahpauw yang sudah masuk ke dalam mulutnya?"

   Ia kata dalam hatinya.

   "Mungkinkah ia telah merubah tabiatnya? Teranglah sudah ia ada mengandung sesuatu maksud..."

   Yap Cong Liu jujur, tidak pernah ia memikir curang, maka itu, mendengar perkataannya Kheng Thian itu, ia bilang.

   "Kalau Pit Toaliongtauw memaksanya, baiklah, aku terima perintah. Toaliongtauw benar, kecuali perlawanan kita sekarang terhadap pemberontak, di belakang hari masih ada banyak urusan dalam mana kita harus bekerja sama. Aku lihat, baiklah atur begini saja! Sekarang aku tetap menjadi pemimpin tentara rakyat melawan perompak, tapi toaliongtauw mesti jadi bengcu, kepada ikatan. Bukankah toaliongtauw telah menjadi bengcu di lima propinsi Utara? Maka lain kali, akan aku kumpulkan semua orang gagah kaum Rimba Hijau di dua propinsi Kangsouw dan Ciatkang supaya mereka memasuki ikatan toaliongtauw itu. Kalau nanti perompak sudah dapat diusir pergi dan pesisir aman sentosa, kami semua suka mendengar segala titah toaliongtauw."

   Ini pun ada keinginannya Pit Kheng Thian, tapi untuk sesaat ia masih menampik, setelah ia dibujuk, barulah ia menerima, maka itu perjanjian lantas diperkuat.

   Mengenai ikatan itu, Keng Sim tidak ketarik hati, dari itu, ia tidak campur bicara.

   Ia pun tidak menyangka bahwa Pit Kheng Thian ada menyimpan maksud yang dalam, bahwa Cong Liu hendak dipakai tenaganya nanti.

   Habis upacara perserikatan, Kheng Thian tarik Cong Liu ke samping, untuk diajak bicara berdua saja.

   Mereka kasakkusuk.

   Sin Cu dapat lihat kelakuan orang itu, ia tidak dapat menduga apa-apa, ia hanya terkejut sendirinya tempo ia dapatkan Cong Liu mengawasi padanya sambil bersenyum.

   "Apakah bisa jadi mereka bukan sedang berdamai hanya lagi membicarakan urusan-ku?"

   Si nona menduga-duga. Ia jadi bercuriga. Ia memandang kepada Kheng Thian, ia pun dapat orang lagi mengawasi padanya. Lantas saja ia kata dalam hatinya.

   "Di antara semua orang ini, yang ketahui aku wanita cuma Pit Kheng Thian dan Pit Goan Kiong, jikalau mereka itu membuka rahasia, terang sudah tidak dapat aku berdiam lebih lama pula di sini."

   Hatinya si nona menjadi lega pula kapan kemudian ia dapatkan Cong Liu bicara terus secara wajar, terhadapnya pemimpin itu tidak mengubah sikap.

   Semenjak perginya Seng Hay San, Ie Sin Cu berdiam di dalam sebuah tenda bertiga bersama Thio Hek dan Tiat Keng Sim, tetapi malam itu, Yap Cong Liu menitahkan orangnya membangun tiga tenda lagi, terus dia minta si nona dan Keng Sim masing-masing menempati sebuah tenda, sebuah tenda lagi untuk Pit Kheng Thian.

   Thio Hek tetap menempati tenda yang lama.

   Alasan dari ini adalah supaya masing-masing merdeka.

   Keng Sim paling senang kalau orang hargakan padanya, ia senang dengan ini cara perlayanan.

   Sin Cu tapinya bercuriga.

   Dia halus perasaannya, lantas dia dapat menduga inilah pasti ada buahnya kasak-kusuk Kheng Thian dengan Cong Liu tadi.

   Dia menjadi tidak puas.

   Dia anggap Kheng Thian kurang terhormat.

   Di lain pihak, dia senang mendapatkan sebuah tenda.

   Memang dia kuatir, kalau lama-lama tinggal bersama Keng Sim, pemuda itu nanti curigai atau pergoki dia.

   Maka itu dengan gembira dia menghaturkan terima kasih kepada Cong Liu.

   Cong Liu telah mengatur pula pasukannya dengan rapi, ia pun berserikat sama tentara rakyat di lain-lain tempat.

   Selama itu, dia menjadi repot sekali.

   Pula selama itu, sikapnya terhadap Sin Cu tidak pernah berubah, hingga si nona raguragu kalau orang telah mengetahui rahasia penyamarannya itu.

   Lewat setengah bulan, selesai sudah segala pengaturannya Cong Liu, perhubungannya dengan lain-lain pasukan rakyat pun sudah erat, maka mulailah ia menggeraki pasukan perangnya menggempur kawanan perompak.

   Dalam beberapa kali pertempuran, musuh bisa didesak balik ke arah pesisir, sampai di Seeouw, sepuluh lie dari tepi laut.

   Di sini perompak itu dapat bertahan sebab mereka dapat bantuan serombongan ronin, yang baru tiba dari negerinya.

   Selagi kedua pihak berhadapan, Cong Liu ambil sikap mengacip atau mengurung, hingga jalanan keluar musuh tinggallah jalan ke tepi laut.

   Secara begitu, mereka tidak dapat molos ke lain wilayah di mana mereka dapat mengacau pula rakyat pesisir.

   Di saat Cong Liu hendak menjanjikan satu hari yang memutuskan, tiba-tiba saja datanglah utusan perompak, terdiri dari dua orang, yang mengajak pihak tentara rakyat itu mengirim wakil untuk menghadiri pesta mereka, katanya pesta musim rontok, di waktu mana sekalian diadakan pertandingan besar.

   Di akhirnya ditegaskan, apa pihak tentara rakyat itu suka mengambil bagian.

   Membaca surat undangan itu, Keng Sim tidak puas terhadap bunyinya.

   Terang surat itu mesti ditulis oleh satu pengkhianat, yang menyerah kepada pihak perompak itu.

   Ia lantas jelaskan bunyinya surat kepada Cong Liu semua.

   "Mereka mengundang kita mengadu kepandaian, pasti mereka mengandung maksud tidak baik,"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Keng Sim mengutarakan dugaannya.

   "Di jaman Cun Ciu dahulu, memang biasa terjadi, selagi kedua negara berperang, peperangan suka ditunda, ialah di musim rontok, untuk kedua pihak turut ambil bagian dalam pertandingan memanah sambil menunggang kuda. Sekarang mereka gunai alasan ini, untuk menunda pertempuran, buat mengadu kepandaian dengan lain cara. Dulu orang berperang saudara, sekarang lain, malah sekarang, yang berperang bukan pemerintah Nippon sendiri, hingga tidak dapat kita menerima mereka sebagai musuh resmi. Menurut pikiranku, baik kita jangan perdulikan surat undangan ini dan si utusan kita rangket masing-masing lima puluh rotan, habis kita usir mereka!"

   "Bagus kau masih ada punya kesabaran untuk berbicara panjang lebar,"

   Berkata Pit Kheng Thian.

   "Paling benar robek saja suratnya itu!"

   Yap Cong Liu berpikir.

   "Memang perompak kate (pendek) banyak akal bulusnya,"

   Berkata ia.

   "tetapi tenaga kita cukup, tidak usah kita berkuatir. Aku pikir, dia menggunai akal, kita baik menggunai akal juga, ialah akal lawan akal. Artinya kita terima undangannya dan pergi mengambil bagian dalam pertandingan itu."

   "Toako ada punya daya apa?"

   Keng Sim tanya. Cong Liu bersenyum.

   "Kita lihat gelagat saja!"

   Sahutnya.

   "Sekarang kita kirim wakil kita, yang nyalinya besar, yang umpama kata dapat membuka jalan dan menyingkir dari kurungan seribu atau selaksa serdadu musuh..."

   "Kalau begitu, aku suka pergi bersama saudara Ie Sin Cu!"

   Keng Sim paling dulu mencatatkan namanya. Kheng Thian melirik kepada anak muda itu, ia tertawa.

   "Tiat Siangkong, ini urusan mengadu jiwa!"

   Katanya.

   "Ini tak dapat dibanding dengan membuat syairmu..."

   Tidak senang Keng Sim mendengar suara itu, air mukanya sampai berubah. Cong Liu dapat lihat roman orang, ia segera campur bicara.

   "Tiat Kongcu lie hay, pastilah dia tidak bakal gagal,"

   Katanya.

   "Laginya ada baik apabila yang pergi lebih banyak lagi. Pit Toako, apakah kau ada minat mengikut pergi, untuk turut ambil bagian? Dengan kau turut, segala apa pasti menjadi terlebih baik lagi."

   Mulanya tidak ada niatnya Kheng Thian untuk mengambil bagian, tetapi mendengar Keng Sim hendak pergi bersama Sin Cu dan si nona setuju, ia menjadi jelus, ingin ia segera memberikan namanya, hanya malang malang sama kedudukannya sebagai bengcu, terpaksa ia diam saja.

   Sekarang Cong Liu membuka suara, ia lantas gunai ketikanya itu.

   "Toako menitahkan aku, mana berani aku membantah?"

   Ia memberi alasan.

   Habis ini ditetapkan lagi dua nama, ialah Teng Bouw Cit dan The Kan Louw, dua pemimpin sebawahan dan tauwbak tentara rakyat.

   Jawaban diberikan kepada utusan musuh bahwa besok mereka akan memenuhi janji.

   Demikian besoknya, Keng Sim berlima pergi ke tempat musuh, yang berupa sebuah lapangan terbuka di tepi laut.

   Gelanggang luas tetapi seperti penuh oleh beberapa ribu perompak kate (pendek).

   Di tengah gelanggang terlihat belasan jago Nippon tengah berlatih.

   Mereka ini lantas menyambut tetamu-tetamunya.

   Seorang, yang rupanya menjadi kepala, yang bertubuh tinggi besar, mengulurkan tangannya, sembari dia berkata dalam bahasanya.

   "Orang-orang gagah Tiongkok harus dipuji, marilah kita bersahabat!"

   Kheng Thian majukan dirinya ke depan, ia sambut tangan orang itu.

   Ia meyakinkan tenaga kimkong cie, ingin ia membejak tangan lawan hingga tulang-tulang tangannya remuk, tetapi waktu ia memencet, ia merasakan jeriji orang bagaikan jari besi.

   Tentu saja ia menjadi heran.

   Di pihak lain, tuan rumah pun terperanjat.

   Ia adalah Ishii Taro, seorang dan ke delapan yang baru tiba dari negerinya, yang liehay yudo dan kendonya, sedang tubuhnya kebal, kuat bagaikan baja atau besi akibat latihan semenjak dari kecil tubuhnya direndam obat.

   Ia pun ingin menghancurkan tangan tetamunya, ia menjadi kaget merasakan tangan orang keras sekali, jari tangannya terasakan sakit.

   Maka lekas-lekas ia lepaskan cekalannya dan menarik pulang tangannya itu.

   Ia tapinya penasaran, ingin ia berjabat tangan sama Sin Cu.

   "Tak usah pakai adat peradatan!"

   Berkata si nona, yang tetap menyamar sebagai pemuda sambil tertawa manis, berbareng dengan mana sebelah kakinya menjejak sepotong batu di depannya, hingga batu itu hancur. Ishii dapat lihat itu, ia terkejut.

   "Benarkah pemuda tampan dan halus ini lebih liehay dari pada kawannya si tubuh kasar ini?"

   Tanya ia dalam hatinya.

   Karena ini, ia batal mencoba tenaga tangannya si nona.

   Ia tidak menduga Sin Cu sebenarnya menggunai akal, karena nona ini tak sudi berpegang tangan dengan tangannya yang kasar dan berbulu.

   Sin Cu memang mengenakan sepatu yang berlapisan besi, dan gerakan kakinya dibarengi sama aksi seperti ia salah angkat kaki dan terjerunuk.

   Tanpa banyak bicara lagi, Ishii pimpin tetamu-tetamunya ke tengah gelanggang di mana ada seorang, yang roman atau sikap dedaknya menyolok mata sekali.

   Kedua pempilingannya naik, romannya jelek, sepasang matanya tajam bersinar.

   "Inilah wasit dalam pertandingan ini,"

   Ishii memperkenalkan.

   "Ia ada Hasegawa, dan ke sembilan paling terkenal di negeri kami!"

   Diam-diam Keng Sim beramai terkejut.

   Tidak disangka musuh mendatangkan jago dan ke sembilan.

   Maka bisa di mengerti liehaynya jago ini.

   Hasegawa ini bersikap temberang.

   Dia ada dan ke sembilan, dia tak ingin turut dalaan pertandingan, dari itu dia angkat diri sebagai wasit, untuk memimpin pertandingan.

   Dia mengangguk acuh tak acuh.

   "Bagus!"

   Katanya.

   "Sekarang ini kita tengah berlatih, yang menang sampai sekarang ini ada Konu Saburo, maka siapa di antara kamu yang hendak bertanding dengannya?"

   Dia omong Nippon, lantas ada yang salin. Teng Bouw Cit kata pada Pit Kheng Thian.

   "Lainnya ilmu silat aku tidak mengarti, untuk tenaga, aku mempunyai beberapa kati, coba aku yang melayani dia."

   Lantas ia tindak meng-hampirkan Konu Saburo.

   Cuma saling mengangguk saja, kedua jago itu sudah lantas mulai bertempur.

   Mereka bergulat.

   Tiba-tiba saja, Bouw Cit kena dibanting.

   Semua orang Nippon bersorak-sorai.

   Keng Sim mengkerutkan kening, pikirnya.

   "Teng Bouw Cit ada hutongnia, kenapa dia begini tidak punya guna?"

   Ia menjadi masgul.

   Bouw Cit terbanting untuk segera merayap bangun, untuk bergulat pula.

   Lagi sekali ia kena dirobohkan, tapi lekas juga ia berbangkit pula akan menantang lagi.

   Kejadian ini diulangkan hingga tujuh delapan kali.

   Konu kewalahan sedang maksudnya adalah membikin terluka musuh, agar dia tak dapat berbangkit pula.

   Bouw Cit sebaliknya satu jago gwakee, bahagian luar, dan selama bekerja sebagai kuli tambang beberapa puluh tahun tubuhnya jadi kuat dan ulat sekali, baru dibanting pulang pergi sebagai itu, ia bagaikan baru merasa gatal.

   Ia tidak lantas dinyatakan kalah, sebab menurut aturan pertandingan itu, siapa terbanting dan dapat lompat bangun pula, dia berhak untuk melanjuti bergulat.

   Lagi sekali mereka bergulat.

   Hati Konu keder sendirinya.

   Bouw Cit sebaliknya tetap tabah.

   Kali ini ia dapat mencekal kedua lengan lawannya, sembari berseru, ia kerahkan tenaganya.

   Segera tubuh Konu terlempar, jatuh terbanting.

   Malang untuknya, kepalanya mengenai batu, kepala itu berlobang dan mengeluarkan darah, maka juga jangan kata berlompat bangun, bergeming pun ia tidak dapat.

   Pihak Nippon kaget, mereka bersuara riuh.

   Lalu seorang masuk ke kalangan seraya memutar goloknya dan berseru.

   "Lebih baik kita gunai senjata tajam!"

   Ie Sin Cu tertawa haha hihi, ia bertindak masuk ke dalam gelanggang.

   Ia tidak menghunus pedangnya, ia hanya loloskan angkinnya, ialah ikat pinggang terbuat dari sutera.

   Pihak tuan rumah menjadi heran, tidak kecuali jagonya, yang memegang golok itu, ialah Koso, dan ke tujuh.

   Ia heran menyaksikan si pemuda memutar-mutar angkinnya itu.

   "Eh, kau bikin apa?"

   Tegurnya.

   "Bukankah kamu yang bilang hendak mengadu kepandaian?"

   Sin Cu membaliki.

   "Kalau begitu kenapa kau tidak menghunus pedang?"

   "Menurut aturan bertanding bangsaku, untuk mengadu kepandaian kita mesti melihat pihak lawan,"

   Sahut Sin Cu tenang.

   "setelah itu baru kita tetapkan cara me- layaninya. Untuk melayani kau? Tidak ada harganya untuk aku menghunus pedang!..."

   Ia putar pula angkin-nya, hingga berkibar dan melilit.

   "Inilah senjataku!"

   Ia tambahkan sambil tertawa.

   Pembicaraan mereka selalu diterjemahkan tukang salin, karenanya, sifat mengejek dari Sin Cu menjadi kurang hebat, dia melainkan dapat dilihat dari aksinya, maka itu Koso merasa bahwa orang pandang tak mata kepadanya.

   Ia menjadi gusar sekali.

   "Baik, pakailah sabukmu!"

   Dia membentak, lantas goloknya menyabat, cepat dan bengis.

   "Hure!"

   Bersorak jago-jago Nippon.

   Sin Cu berlaku ayal-ayal gesit, ialah tepat golok hampir mengenakan dadanya, baru ia berkelit.

   Bagus gerakan tubuhnya, yang lemas tetapi sebat.

   Keng Sim kagum hingga ia berseru memuji nona itu.

   Tapi segera ia dapat perasaan aneh, hingga ia kata di dalam hatinya.

   "Gesit tetapi halus dan lemas sekali tubuh saudara Ie ini, kenapa dia mirip sama gerak-geriknya satu nona?"

   Karena ini, kalau tadinya ia tidak mencurigai apa-apa, sekarang ia menjadi berpikir.

   Ia ingat tidak pernah orang membuka baju luar dan di waktu mandi, Thio Hek dan ia selalu diminta menanti di luar.

   Ia mau percaya atas kebiasaan orang akan tetapi sekarang? Karena berpikir, ia menjadi diam saja.

   Justeru itu ia dapatkan Pit Kheng Thian memandang kepadanya dengan mata dibuka lebar, ia terperanjat.

   Ia pun lantas mendapat dengar sorak yang ramai.

   Nyata Sin Cu untuk kedua kali berkelit secara manis dari bacokan lawannya.

   Segera datang serangan yang ketiga kali dari Koso.

   Itulah ilmu silat golok "Sufu"

   Atau "Angin Keramat."

   Sinar golok berkilauan. Sin Cu seperti kena dikurung kiri kanannya, ke mana tubuhnya berkelit, ke situ golok menyusul. Dengan gerakannya "Burung ho mencelat ke langit,"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Cu berloncat tinggi beberapa kaki, dengan begitu golok lewat di bawah kakinya ketika Koso menyerang ia yang terakhir.

   Kembali sorak ramai, juga dari pihak lawan, karena mereka ini belum pernah menyaksikan cara berlompat demikian indah.

   Belum lagi Koso sempat menarik goloknya, Sin Cu sudah turun menaruh kaki sejarak setombak lebih dari padanya.

   Nona kita bersenyum, sabuknya dikibaskan.

   Ia berkata.

   "Tiga kali sudah kau menyerang, sekarang datang giliranku!"

   Kata-kata ini sudah lantas dibuktikan.

   Koso membabat, tetapi sabuk melayang lewat, lalu kembali, maka ia terus ulur tangan kirinya, guna menyambar, niatnya untuk membetot.

   Ia berlaku sangat cepat tetapi buktinya, sabuk terlebih cepat pula, tidak dapat ia mencekal.

   Setelah itu, ikat pinggang itu menyambar pula.

   Berulang-ulang Koso disambar pergi datang, ia menangkis, ia gagal.

   Ia mau menangkap, ia gagal pula.

   Sabuk menyambar berulang-ulang, tidak pernah mengenai sasarannya, akan tetapi dengan begitu Koso repot sendiri, hingga sebentar kemudian, ia bermandikan keringat.

   Di matanya para hadirin, sabuk Sin Cu bergerak bagus sekali, manis untuk ditonton, di mata Koso, hebatnya bukan main, karena saban-saban ia terancam bahaya bakal kena disambar dan dililit.

   Kalau ia kena menjadi sasaran, pasti celakalah ia.

   Paling untung ia bakal terlempar tubuhnya.

   Lagi sesaat, dari bermandikan peluh, Koso menjadi pusing kepalanya dan kabur matanya.

   Terlalu hebat mesti mengikuti gerak-geriknya sabuk, ia mesti berputaran tak tuasnya.

   Ie Sin Cu terdengar tertawa terkekeh, lalu itu ditutup dengan seruannya.

   "Kena!"

   Kali ini sabuk menyamber golok, golok lantas ditarik keras.

   Terlepaslah senjata itu dari tangannya Koso, terus terlempar tinggi, hingga sinar peraknya berkilauan di antara sorot matahari, memperlihatkan suatu bayangan.

   Cepat terbangnya golok itu, cepat juga melayang turunnya.

   Orang semua kaget, ada di antaranya yang mencoba menyingkir.

   Tapi golok jatuh lempang ke arah Koso sendiri.

   "Hebat!"

   Memuji Keng Sim.

   Ia mendapatkan sabuk Sin Cu bukan cuma membuatnya golok terpental, itupun diberikuti ilmu melepas senjata rahasia.

   Tidak demikian golok tak akan kembali ke arah pemiliknya.

   Sin Cu pandai menggunai kimhoa, bunga emasnya, dan kali ini, golok Koso ia terbangkan menuruti gerakan ilmunya itu melepas senjata rahasia, maka golok turun menyamber menuruti kehendaknya.

   Itulah kepandaian ajarannya In Lui yang liehay.

   Sampai di situ orang lantas dengar satu suara tertawa yang rada luar biasa, segera terlihat munculnya seorang Nippon, yang terus mendekati gelanggang.

   Dia membawa sehelai tambang, yang ujungnya dikalak hidup, tambang itu segera diayun, dilemparkan ke arah golok, maka sekejap saja, golok itu kena disambar, terus ditarik.

   Di lain saat, goloknya Koso sudah berada di dalam genggamannya.

   Keng Sim kagum untuk caranya menggunai bandring atau lasso itu.

   Tapi itu pun menjadi tanda, pihak Nippon tidak dapat dipandang ringan, di antara mereka itu ada orang-orang yang liehay.

   Pihak Nippon bersorak-sorai, antaranya ada yang menyebut nama jagonya itu.

   Keng Sim mengarti bahasa orang, maka tahulah ia, pelempar lasso jempolan itu bernama Kagawa Ryuki, dan ke delapan.

   Dalam bala bantuan Nippon itu ada satu jagonya dari dan sembilan dan dua dan delapan.

   Dan sembilan ialah Hasegawa, dia tidak turun bertanding.

   Dan delapan yakni yang satu adalah penyambut tetamu tadi, Ishii Taro, dan yang lainnya Kagawa Ryuki ini.

   Mereka ini berdua disiapkan untuk melawan musuh paling tangguh, mereka bakal keluar di saat terakhir, siapa tahu, dua kali pihak lawannya menang beruntun dan Sin Cu mempertontonkan sabuknya yang liehay itu hingga mau atau tidak, Kagawa mesti lantas maju.

   Setelah menanggapi golok, Kagawa Ryuki lilitkan lassonya di lengannya.

   "Mari kita mencoba-coba!"

   Dia menantang.

   "Kau boleh gunai senjata apa kau suka, aku siap sedia untuk melayaninya!"

   Penterjemah segera salin kata-kata yang menantang itu.

   Belum lagi Sin Cu memberikan jawabannya, tahu-tahu sabuknya telah disambar lasso orang dan terus ditarik, hingga ia kena terbetot dua tindak.

   Ia menjadi kaget sekali.

   Kagawa tidak berhenti sampai di situ.

   Dia tertawa terkekeh, tetapi tangan kirinya bergerak.

   Dengan begini dia membuatnya lassonya, yang panjang tiga tombak lebih, menjadi pendek.

   Di pihak lain, dengan satu gerakan yang menyusuli itu, dia membuatnya golok Koso di tangannya melesat menyambar lawan! Semua gerakan terjadi cepat bagaikan kilat berkelebat, tetapi juga Sin Cu tidak mau menyerah kalah.

   Setelah kena terbetot, hatinya menjadi tenang dan mantap.

   Bagaikan kilat ia bergerak, sebelah tangannya turut bergerak pula, lalu "Tas!"

   Putuslah lassonya Kagawa sebelum lasso itu sempat ditarik pulang.

   Sekarang orang lihat di tangan Sin Cu terdapat sebuah pedang pendek yang tajam mengkilap.

   Tubuhnya Kagawa berputar, lantas golok Nippon itu terkutung dua, karena Sin Cu kembali menggunai pedangnya yang tajam itu.

   Tapi ia pun bukannya tidak berkurban.

   Ujung sabuknya kena disambar musuh, yang menariknya keras sekali, hingga sabuk itu putus! Kegagalan Kagawa ini membuatnya masgul dan malu, hingga ia berdiri diam di pinggiran gelanggang itu.

   Sin Cu putus sabuknya tetapi ia merasa puas sekali.

   "Awas!"

   Sekonyong-konyong terdengar peringatannya Keng Sim.

   Nona Ie terkejut, sebab tahu-tahu Kagawa, dengan sebatang golok, sudah menerjang tanpa tanda apa juga.

   Sedang barusan saja dia berdiri diam.

   Sin Cu boleh gagah tetapi dalam hal pengalaman dan kelicinan, ia kalah dari lawannya ini, yang sebagai dan delapan, telah ulung dalam pelbagai pertempuran.

   Dia berdiam hanya menggunai akal, setelah lihat lawannya alpa, dia lantas membokong.

   Dia membekal goloknya yang tajam, sedang tadi dia pakai goloknya Koso.

   Kaget Sin Cu mendengar suaranya Keng Sim.

   Syukur ia tabah dan dapat berlaku tenang dan gesit.

   Tidak ada jalan lain, ia lantas melenggak sebatas pinggang, berkelit dengan gerakan "Jembatan papan besi,"

   Rambutnya hampir mengenakan tanah.

   Dengan begitu, golok lewat cuma sedikit di atasan mukanya.

   Kembali riuh sorak-sorainya pihak Nippon, yang bergembira berbareng menganjurkan jagonya.

   Tentu sekali nona kita menjadi mendongkol sekali.

   Ia menekan ujung pedangnya tanah.

   Selewatnya golok di mukanya, ia geraki kedua kakinya, untuk berlompat bangun, untuk berdiri pula, sembari berlompat, tangannya diayun.

   Dengan ujung pedangnya ia membabat lengan lawannya itu.

   Kagawa pun sebat sekali, dapat ia berkelit, cuma karena ayal sedikit, ikat pinggangnya, sehelai ban kulit, kena terlanggar ujung pedang hingga putus.

   "Bagus!"

   Berseru Pit Kheng Thian, nyaring suaranya, hingga ia membuatnya pihak Nippon bungkam, sedang tadi mereka girang bukan kepalang, suara mereka sangat riuh. Selagi Kheng Thian berteriak itu, teriakannya Keng Sim telah menyusulinya.

   "Celaka!"

   Demikian suaranya si orang she Tiat ini.

   "Apa?"

   Tanya Kheng Thian kaget, suaranya pun tergandet.

   Nyatanya Kagawa Ryuki tidak berhenti sampai di situ.

   Ia belum mau menyerah kalah.

   Dengan tiba-tiba tangan kirinya menyambar lengan Sin Cu, tangan kanannya, yang memegang golok, membacok ke pundak si nona.

   Sebenarnya Sin Cu hendak membikin kutung golok lawan, ia cuma berhasil memutuskan tali pinggang saja, sekarang ia dibarengi lawannya itu ia terancam bahaya.

   Dalam hal ilmu golok, Kagawa ada jago nomor tiga di negerinya.

   Ilmu goloknya itu pun dapat dipakai menyerang terus menerus.

   Inilah justeru hebatnya.

   Dengan terpaksa Sin Cu berkelit sambil mengentak tangannya dengan tiba-tiba, dengan begitu ia menjadi lolos dari bahaya, tetapi waktu ia hendak membalas menyerang, ia segera dirabu, dihujani bacokan-bacokan yang dahsyat sekali.

   Ia menjadi repot membela diri.

   Dengan begitu, ia menjadi terdesak.

   Kagawa menang di atas angin tetapi ia tidak dapat lantas merebut kemenangan terakhir.

   Sia-sia saja rangsakannya itu, percuma beberapa puluh bacokannya, tidak ada satu yang mengenai sasarannya.

   Maka kemudian ia campur pakai ilmu silat "Tanpa golok."

   Artinya ia bisa berkelahi dengan tangan kosong dan dengan tangan kosong itu dapat merampas senjata musuh. Ini ilmu mirip sama ilmu "Tangan kosong memasuki rimba golok"

   Dari ilmu silat Tionghoa, melainkan cara bergeraknya yang berlainan.

   Nona Ie kena didesak, karenanya, ia mengandal kepada keringanan tubuhnya, kepada kegesitannya berkelit atau bergerak.

   Menampak pihaknya kembali menang di atas angin, orangorang Nippon membuka pula suaranya, untuk memuji jagonya, buat membantu menganjurkan semangat orang.

   Keng Sim dan Kheng Thian mulai berkuatir untuk Sin Cu.

   Orang pun terdesak.

   Sin Cu tapinya tidak terdesak hingga ia tidak berdaya.

   Melainkan sebentar saja ia kalah angin, atau segera terjadi perubahan pula.

   Ialah di dalam rangsakannya Kagawa, ia terus bergerak cepat, melesat sana dan melesat sini, saban ia berada dekat lawannya, ia mulai main menotok.

   Perubahan ini membuat hatinya Keng Sim dan Kheng Thian menjadi lega.

   Biar bagaimana, Sin Cu adalah muridnya Thio Tan Hong, ia pun cerdas sekali dengan melihat keadaan, ia lekas dapat mengimbanginya.

   Ia mencari bahagian-bahagian yang lemah dari musuh.

   Biar bagaimana sebat orang mainkan goloknya, ia masih menang lincah, maka kemenangan bahagian ini ia pergunakan.

   Ia berkelebatan menggunai ilmu silat ajaran In Lui ialah "Menembusi bunga mengitarkan pohon."

   Ilmu silat In Lui ini berdasarkan gerakan tubuh "memindahkan wujud, menukar kedudukan,"

   Tubuh bergerak seperti menari, cepat dan halus, menarik dipandangnya.

   Keng Sim menjadi sangat ketarik hatinya, hingga ia memuji.

   Mendengar ini, Kheng Thian mengkerutkan alisnya dan mengawasi orang dengan mata tajam...

   Kagawa juga bukan seorang bodoh.

   Ia tidak mau mengikuti orang berputaran secepat itu, sebaliknya ia gunakan kecepatannya di lain pihak.

   Ialah ia menyerang dengan bengis, maksudnya untuk mendahului turun tangan dengan berhasil.

   Beberapa puluh jurus lewat pula.

   Habis ini, Sin Cu nampak kendor gerakannya.

   "Kau berputaran pesat sekali, tenagamu habis sendirinya,"

   Pikir Kagawa.

   Ia lantas menanti ketika yang baik, atau mendadak ia membacok hebat.

   Kelihatan tubuh Sin Cu terhuyung ke depan, seperti yang hendak jatuh.

   Melihat itu, semua orang Nippon sudah lantas bersorak.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Belum lagi suara mereka berhenti, atau suara "Buk!"

   Menyusulnya, terlihatlah tubuh Kagawa yang besar itu terlempar dan terbanting setombak lebih, goloknya pun berada di tangan lawannya, yang terus mematahkannya menjadi dua potong.

   Sin Cu telah menggunai tipu daya, selagi ia disusuli serangan, ia mendak berkelit, tangannya menotok jalan darah kwangoan hiat dari musuh, hingga sejenak saja, kaku tubuh Kagawa, dengan begitu, setelah goloknya dirampas, tubuhnya itu ditolak naik dengan kaget dan keras.

   Sampai dia telah terbanting.

   Kagawa masih tidak mengarti akan kekalahannya itu.

   Pihak Nippon menjadi heran dan membuatnya berisik, lalu satu di antaranya majukan diri, untuk menantang berkelahi.

   Dialah Ishii Taro, dan delapan.

   Pit Kheng Thian tahu Nippon ini mesti lebih liehay daripada Kagawa, ia berniat maju guna menggantikan Sin Cu, tapi belum lagi ia maju, ia ingat di sana masih ada Hasegawa dan sembilan.

   Sebagai toaliongtauw, kepala ikatan, pantas kalau ia melayani dan sembilan itu.

   Ia cuma tidak tahu aturan bertanding cara Nippon, kalau bukan sama tingkat, dan sembilan tidak dapat turun tangan.

   Tengah Kheng Thian bersangsi itu, Keng Sim telah bertindak ke gelanggang.

   Ia mejadi girang berbareng berkuatir.

   Kata ia di dalam hatinya.

   "Ishii Taro sebanding dengan aku, mana Keng Sim bisa menjadi tandingannya?"

   Sejenak kemudian ia berpikir pula.

   "Pihak kita sudah menang tiga babak, kalah satu babak tidak apa. Biarlah ini anak sekolah tolol dapat bagiannya, supaya lenyap temberangnya!..."

   Ishii Taro dan Keng Sim sudah lantas bertanding.

   Hebat pukulannya Ishii berat dan dahsyat anginnya.

   Di depan dia, Keng Sim berlaku ringan dan gesit.

   Setelah belasan jurus dan merasa mengetahui ilmu silat orang, Keng Sim mulai mendesak, kedua tangannya keluar saling susul dengan lincah.

   Pihak Nippon kembali menjadi heran.

   Mereka agulkan ilmu silat golok mereka paling jempol, sekarang mereka lihat orang yang bisa melayani jago mereka itu.

   Hebat keduanya saling serang.

   Beberapa waktu lagi telah lewat.

   Tiba-tiba terdengar seruannya Keng Sim.

   "Kena!"

   Dan bebokongnya Ishii kena ditepuk, hingga jago itu terhuyung.

   Dia tidak roboh.

   Cepat sekali dia menahan tubuhnya, terus dia membalik diri dan tertawa.

   Adalah itu waktu, mendadak dia membalas menyerang.

   Keng Sim menyerang tetapi ialah yang merasakan tangannya sakit.

   Ia seperti menghajar besi.

   Tentu saja, karenanya ia terkejut atas datangnya serangan, yang dimulai dengan suara tertawa.

   Lekas-lekas ia berkelit ke kiri, sikutnya diangkat naik, dengan begitu, pundaknya cuma terbentur sambil lalu, ia hanya terhuyung sedikit.

   Ishii heran bukan main, sedang ia percaya ia bakal menghajar ringsak musuhnya ini.

   Sekarang Keng Sim tahu orang kuat dan kebal, rupanya kekebalan itu sama dengan Kimciongtiauw atau Lonceng Emas atau Tiatpousan atau Baju Besi.

   Sementara Ishii ingat akan ilmu silat Tionghoa bahagian dalam, Iweekang, yang keistimewaannya gesit dan dapat meminjam tenaga lawan.

   Ia pikir.

   "Siapa nyana mahasiswa lemah ini sempurna ilmu dalamnya..."

   Meski dia memikir begitu, dia tidak jeri.

   Dia percaya betul ketangguhan tubuhnya sendiri.

   Segera keduanya bergebrak pula.

   Setelah beberapa puluh jurus, beberapa kali Keng Sim dapat menghajar tubuh lawannya, tidak dapat ia membuat orang roboh atau kesakitan, hanya ia sendiri yang merasa tangannya sakit.

   Percuma saja serangannya itu, ia malah membikin Ishii murka dan berkaokan.

   Ia sendiri dua kali kena diserang tetapi ia dapat mengegos tubuhnya, ia lolos dari bahaya.

   Setelah lagi beberapa jurus mereka masih tetap seri, mendadak Keng Sim lompat keluar kalangan seraya berseru dalam bahasa Nippon.

   "Tahan!"

   "Kenapa?"

   Ishii tanya.

   "Bukankah kita seri saja?"

   Keng Sim balik menanya.

   "Benar."

   "Kalau begitu percuma kita bertanding terus, tidak ada artinya."

   "Habis kau hendak menyudahi saja? Tidak, tidak dapat! Pihakmu telah menang tiga kali dan kali ini belum ada keputusannya."

   "Dengan bertempur secara begini, tidak bakal ada akhirnya."

   Keng Sim bersenyum.

   "Habis kau ingin berbuat apa?"

   Ishii menegaskan.

   "Baik kita gunai lain cara. Kau pukul aku tiga kali, aku pukul kau tiga kali juga. Di waktu aku hajar kau, kau tidak dapat berkelit, kau tidak boleh membalas. Demikian juga aku."

   "Tapi, kalau tetap tidak ada yang kalah juga?"

   "Usul aku yang majukan, kalau kita seri, anggaplah aku yang kalah,"

   Keng Sim kasi kepastian. Ishii girang, ia terima baik cara bertanding begini. Ia benar tangguh tetapi setelah kenyang dihajar lawannya, sedikitnya ia merasakan sakit juga di tubuh bagian dalamnya, hingga ia pikir.

   "Kalau aku terus bertempur, mungkin aku akhirnya kalah. Syukur dia adalah satu telur busuk!"

   Lantas dia tanya.

   "Siapa yang memukul lebih dulu?"

   Keng Sim tertawa ketika ia memberikan jawabannya.

   "Kami ada bangsa terhormat dan menghormati tetangga, maka pastilah sekali suka aku mengalah untuk kau yang memukul lebih dulu."

   Ia lantas gunai kakinya membuat guratan bundar di tanah, dua lingkaran, untuk mereka seorang satu. Ia pun menambahkan.

   "Siapa yang keluar dari lingkaran dia pun terhitung kalah."

   "Bagus!"

   Seru Ishii.

   "Aku berterima kasih yang kau suka mengalah."

   Keduanya lantas mengambil lingkarannya masing-masing, berdiri berhadapan. Ishii bernapsu sekali, segera ia ayun kepalannya dan menyerang. Ia mengarah muka orang. Ia pikir.

   "Biar Iweekang kau liehay, kau toh tidak bisa melatihdirimu menjadi berkepala besi!"

   Keng Sim mendak, maka kepalan lewat di atasan embunembunannya.

   Hebat serangan Ishii, karena ia tidak mengenai sasarannya, tubuhnya maju ke depan hampir roboh.

   Keng Sim sebaliknya berdiri diam, tubuhnya tidak miring, kakinya tidak bergerak, maka itu bukan dinamakan berkelit.

   "Masih ada dua lagi!"

   Kata Keng Sim sambil tertawa.

   "Kau incarlah biar tepat!"

   Ishii pikir perkataan orang benar, ia harus mengincar biar betul.

   Keng Sim sudah lantas mengerahkan tenaga dalamnya, ia pasang dadanya.

   Ishii memasang mata, terus ia menyerang.

   Kesudahannya, ia menjadi sangat heran, ia seperti menghajar besi, kepalannya itu mental balik.

   "Tubuhnya kuat seperti besi, seperti tubuhku saja,"

   Pikirnya.

   "Nah, tinggal satu lagi!"

   Berkata Keng Sim tertawa.

   "Kau hajarlah!"

   Ishii tidak membilang suatu apa, sembari menekuk dengkul, untuk memasang kuda-kuda, ia menyerang perut lawannya.

   Ia telah kerahkan tenaganya.

   Ia pikir, perut lemah, tidak nanti perut dapat dibikin kuat seperti besi.

   Ketika kepalannya mengenai sasarannya, kembali ia terkejut.

   Kepalan itu seperti memukul kapok, lalu kena tersedot.

   Belum lagi ia sempat menarik pulang kepalannya itu, Keng Sim sudah mengeropos semangatnya, perutnya dibikin melem-bung kaget.

   Maka Ishii kena tertolak keras, dia terpental mundur beberapa kaki.

   "Nah, sekarang giliranku!"

   Kata Keng Sim tertawa.

   Ia angkat tinggi kepalanya.

   Ishii berdiri tercengang, herannya bukan buatan.

   Ia sampai memikir musuh menggunai ilmu siluman.

   Tentu sekali, sekarang hatinya gentar.

   Tempo ia pandang Keng Sim, ia melihat sepasang alis yang berdiri, dua biji mata yang tajam, kepalan yang diangkat tinggi tetapi tidak segera dikasi turun...

   Bagaikan persakitan, Ishii diam saja, hatinya ciut.

   Beberapa kali pundaknya diangkat.

   Cuma sebentar ia jeri, lantas ia besarkan hatinya.

   Ia tetap dan delapan.

   "Telur busuk, kau hendak memukul atau tidak?"

   Akhirnya ia menegur. Ia jadi mendongkol. Keng Sim tidak menjadi gusar, bahkan dia tertawa.

   "Aku akan segera memukul!"

   Katanya, tetap tertawa.

   Ia benar lantas memukul, tetapi, belum lagi mengenai tubuh orang, ia sudah menarik pulang.

   ia menggertak.

   Ishii pengkeratkan lehernya, tubuhnya minggir sedikit, pundak kirinya diangkat naik, seperti untuk membentur kepalan.

   Tapi kepalan Keng Sim telah ditarik pulang, percuma segala gerakannya itu untuk membela diri.

   Malah kaki kanannya menggeser setindak.

   "Bagerol"

   Dia mendamprat saking sengit.

   Justeru ia bersuara, justeru serangan datang, tepat kepada pundak kanannya, di tulang piepee, karena tidak bersiap sedia, ia mesti mundur dua tindak, hampir ia keluar dari lingkaran.

   Ia terkesiap, peluhnya mengucur keluar ketika ia lihat kakinya hampir keluar dari rel...

   Keng Sim cerdik, ia menduga bahagian lemah dari lawan ada di punggungnya, ia lalu mencari ketika untuk menyerang ke bahagian anggauta itu.

   Tapi Hasegawa pun cerdik sekali, dia dapat menduga hati musuh.

   Malah dia lantas memberi peringatan kepada kawannya.

   "Awas, si telur busuk hendak menggunai akal! Jagalah punggungmu, berdiri tegar, jangan miring!"

   Keng Sim mengarti bahasa Jepang, ia kagum untuk Hasegawa.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi, berbareng dengan itu, ia pun sadar, maka dengan lantas ia menyerang.

   Tangannya dibawakan dari samping, ia juga tidak meninju hanya menekan jalan darah soankie hiat di dada.

   Yang hebat adalah kesebatannya.

   Ishii sudah lantas berdiri pula di tengah-tengah lingkaran begitu ia menginsafi ia hampir keluar dari situ, ia menjaga diri akan tetapi ia masih merasakan sakit pada pundaknya.

   Ia telah mendengar peringatannya Hasegawa, ia mau berhatihati.

   Begitulah ia menyingkir dari serangan dengan memutar tubuhnya.

   Inilah justeru yang dikehendaki Keng Sim.

   Tepat bebokong orang menghadapi ianya, segera ia melanjuti serangannya ke jalan darah thiancu hiat, jalan darah yang terlemah.

   Sekalipun orang berlatih Kimciongtiauw atau Tiatpousan, siapa tertotok jalan darahnya itu, dia mesti celaka.

   Demikianlah Ishii Taro, lantas saja dia menjerit, dari mulutnya menyembur darah hidup.

   Dia tertotok tepat, tubuhnya terus roboh.

   Jago-jago Nippon menjadi kaget, mereka memburu untuk meno-longi.

   Ishii berwajah pucat, napasnya empas-empis.

   Dia telah terluka di bahagian dalam.

   Jago-jago Nippon itu menjadi panas hatinya, mereka maju mengham-pirkan Keng Sim, wajah mereka menunjuki kemarahan mereka.

   Keng Sim dapat lihat sikap mengancam itu, ia gendong kedua tangannya di punggungnya, sembari tertawa, ia kata.

   "Adakah ini semangat bushido dari Nippon?"

   Mendengar itu, Hasegawa berseru.

   "Semua mundur!"

   Sejenak itu, sunyilah gelanggang itu. Semua jago Nippon berhenti beraksi. Dengan tindakan tetap, Hasegawa menghampirkan. Ia berwajah bermuram durja.

   "Kau juga mundur!"

   Berkata Hasegawa pada Keng Sim selagi orang hendak menegur padanya."Tahukah kau, siapa aku? Aku ada dan sembilan, kau bukan tandinganku! Siapa pemimpinmu?"

   Mendahului Keng Sim, Pit Kheng Thian sudah lantas majukan dirinya. Ia bukannya pemimpin akan tetapi ia anggap dirinya begitu. Ia maju begitu lekas perkataan Hasegawa diterjemahkan.

   "Kau cari aku?"

   Dia kata sambil tertawa.

   "Bagus, bagus sekali! Hendak aku belajar dari kau, dan sembilan!"

   Hasegawa memperlihatkan jempolnya.

   "Kaulah si pemimpin besar?"

   Dia tanya. Di pihak Nippon terdapat pengkhianat, maka itu mereka ketahui siapa jadi toaliongtauw di lima propinsi Utara. Cuma Hasegawa tidak tahu apa itu toaliongtauw, yang ia ketahui hanya pemimpin besar. Kheng Thian puas sekali.

   "Kiranya kau ketahui namaku yang besar?"

   Pikirnya. Terus ia tertawa. Lalu ia menjawab.

   "Orang gagah kita banyak, tidak sedikit yang menangi aku, tetapi kau tidak usah menemui pemimpin kami..."

   "Jadi kau bukan si pemimpin besar?"

   Hasegawa mengawasi, matanya mendelik.

   "Maaf untuk pujianmu? Tidak berani aku mengangkat diriku menjadi pemimpin besar!"

   Ia menjawab.

   "Bangsa kamu tidak jujur! Apa perlu kamu merendah tidak keruan?"

   Menegur Hasegawa.

   "Baiklah, sebagai dan sembilan, aku tantang pemimpin besarmu!"

   Seluruh gelanggang sunyi senyap.

   Terutama di pihak Nippon, hati mereka kebat-kebit.

   Mereka senang jago mereka maju, tapi di sebelah itu, mereka kuatir jago ini pun gagal dan mereka bisa dapat malu besar.

   Di sini terletak kehormatan mereka! Maka mereka mengawasi dengan mata dibuka lebarlebar.

   Hasegawa dan Pit Kheng Thian saling mengawasi.

   Keduanya sudah siap sedia tetapi tidak ada satu yang hendak mulai turun tangan.

   Juga Sin Cu dan Keng Sim kurang tenang pikirannya.

   Mereka sudah bertempur, mereka insaf sulitnya merobohkan musuh dan delapan.

   Sekarang Pit Kheng Thian menghadapi dan sembilan.

   Kheng Thian pun mengaku sebagai pemimpin mereka.

   Tidak baik kalau sahabat ini gagal.

   Selagi banyak mata mengawasi mereka berdua, tiba-tiba Kheng Thian dan Hasegawa berseru berbareng, tubuh mereka sama-sama dimajukan, untuk menyerang.

   Keng Thian sudah lantas menggunai ilmu silat Toasut payciu, Tangan Bantingan.

   Ia memang bertenaga besar, ilmu silat ini cocok untuknya.

   Keng Sim kagum menyaksikan kawan itu mengerahkan tenaganya.

   Di pihak Hasegawa, dia pun menyambut serangan itu.

   Baru mereka bergebrak, atau keduanya telah mundur sendirinya, dengan terhuyung tiga tindak.

   Kejadian ini mengherankan para penonton.

   Cuma Keng Sim yang terkejut untuk caranya Hasegawa.

   Dia ini nyata menggunai tipu meminjam tenaga lawan.

   Hanya saking hebatnya Kheng Thian, dia pun turut mundur.

   Hasegawa menggunai Jujitsu, yang asal mulanya adalah ilmu silat Thaykek Kun yang dibawa masuk ke Nippon di mana ilmu itu diolah pula hingga menjadi sedikit berbeda.

   Di puncaknya kemahiran, dengan itu orang bisa meminjam tenaga lawan untuk melayani atau merobohkan lawan.

   Kheng Thian kehilangan keseimbangan tubuhnya ketika ia ditimpali Hasagawa itu, sedang ia telah kerahkan seluruh tenaganya, syukur untuknya, ia pun paham /weekang dengan baik, ia masih sempat mempertahankan diri, hingga tidaklah ia sampai roboh.

   Tadi itu, ia maju menyerang dengan tangan kanannya mengancam, dengan tangan kiri ia bekerja, menotok jidatnya lawan di jalan darah pekhouw hiat.

   Ia gagal, tubuhnya maju ke depan, tapi segera ia menahan diri seraya terus mundur, maka juga ia mundur dengan terhuyung.

   Segera setelah bergerak pula, Kheng Thian bersilat dengan ilmu silat Hangliong Ciang, atau Menaklukkan Naga, tangan kirinya keras, tangan kanannya lemas.

   Ia tidak sudi merapatkan diri.

   Sebaliknya, Hasegawa ingin bertempur rapat, supaya ia bisa menyekal lawan, untuk dibanting atau dibikin terpental.

   Maka kedua pihak tidak lantas dapat mewujudkan pengharapan mereka.

   Lagi beberapa puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya.

   Pihak Nippon menjadi heran.

   Kenapa jago mereka tidak juga berhasil? Inilah tidak biasanya.

   Pertandingan ini pun tidak seseru tadi.

   Mereka tidak mau pikir, siapa lawannya jago mereka itu.

   Sebaliknya, Keng Sim dan Sin Cu ketahui, pertempuran lagi mendekati saat terakhir, puncaknya kehebatan.

   Kheng Thian sebenarnya cemas sendirinya.

   Keng Sim dan Sin Cu menang dengan gampang, hasil mereka gemilang.

   Ia sendiri? Kalau ia kalah, sungguh memalukan, apa pula ia telah menempati diri sebagai toaliongtauw...

   Ia tahu, dua-dua Keng Sim merobohkan lawan mereka itu dengan ilmu totok.

   Ia sudah mencobanya, ia selalu gagal.

   Ia sendiri, sebaliknya, tidak dapat kasi dirinya ditempel lawan itu.

   Lagi beberapa jurus, barulah Sin Cu dan Keng Sim berlega hati.

   Keng Sim kata pada kawannya.

   "Pit Toako dapat berlaku keras dan halus, dengan begini, walaupun ia tak dapat menang, tidak nanti ia kalah. Dan asal seri, pihak kita menang."

   Sin Cu mengangguk.

   "Dalam halnya kepandaian, kelihatannya Hasegawa menang setingkat,"

   Ia kata.

   "Syukur Pit Toako liehay ia punya Hangliong Ciang dan tenaga dalamnya lebih sempurna. Dengan berlaku tenang, ia tidak bakal kalah, yang aku kuatirkan ialah ia kurang sabar..."

   Baru Sin Cu mengatakan demikian, sudah terlihat Kheng Thian mengubah cara berkelahinya, ia menyerang hebat sekali umpama kata bagaikan gelombangnya sungai Tiangkang yang menggulung saling susul.

   Hasegawa terdesak, ia mesti main mundur, hingga kawankawannya mengawasi dengan hati memukul.

   "Inilah berbahaya..."

   Kata Keng Sim pelahan.

   Segera terlihat Kheng Thian berlompat maju, tangan kirinya dimajukan, untuk mementang lengan Hasegawa, terus satu jeriji tangannya dipakai menotok jalan darah tionghu hiat.

   Serangan itu hebat tetapinya pun berbahaya untuk si penyerang sendiri.

   Sin Cu kurang mengarti.

   "Kau artikan bagaimana?"

   Ia tanya Keng Sim.

   Belum lagi si orang she Tiat menyahuti, Hasegawa nampak sudah beraksi.

   Dia membebaskan diri, sebaliknya dengan sebat, dengan kedua tangannya, dia pegang lengan Kheng Thian, untuk terus ditelikung ke belakang.

   Di kalangan Jujitsu, itulah yang dinamakan tipu "Membalik tangan, melempar sendiri."

   Di mana lengan Kheng Thian sudah dipegang, asal Hasegawa mengerahkan tenaganya, mesti Kheng Thian kena dibanting roboh.

   Di luar dugaan, kedua lawan itu nampak berdiri tegar bagaikan patung batu.

   Hasegewa tetap memegangi, ia tidak angkat tubuh orang untuk dibanting.

   Kheng Thian menancap kedua kakinya bagaikan ia sebuah tunggak, tubuhnya tidak bergeming.

   Kedua pihak saling mengawasi, sinar mata mereka bengis, tandanya keduanya gusar satu pada lain.

   Di mata penonton, mereka itu nampaknya lucu.

   Kheng Thian telah menggunai kesehatan tangannya, hendak ia menotok.

   Percobaannya itu gagal.

   Ketika ia dapat menotok, ia rasai perut lawan menjadi ciut, serangannya gagal sendirinya.

   Ia terkejut, ia tahu ia terancam bahaya terbanting, maka ia lantas tabahkan hati seraya memasang kuda-kuda memberatkan tubuhnya.

   Dengan begitu ia tidak dapat diangkat, untuk dibanting.

   Hasegawa memikir untuk membanting lawannya, ia tidak dapat mewujudkan itu.

   Ia memegang lengan Kheng Thian tetapi lengan itu lembek.

   Untuk dapat membanting, ia mesti pinjam tenaga lawan, sekarang lawan itu seperti hilang tenaganya.

   Ia pun tidak dapat mengangkat, lantaran kudakudanya Kheng Thian teguh sekali.

   Maka keduanya saling berdiam, mereka sama-sama tidak berani melepaskan lengan lawannya atau menggeser kakinya.

   Pihak Nippon berdiam bengong, habis itu, mereka terbenam dalam kekuatiran.

   Keng Sim pun cemas.

   Ketika Sin Cu lihat sikap orang, kesan baiknya terhadap orang she Tiat itu bertambah, karena ia tahu, di antara Keng Sim dan Kheng Thian itu ada ganjalan tak terkenta-rakan.

   Dalam kekuatirannya, pihak Nippon membikin banyak berisik.

   Sin Cu tidak tahu apa yang mereka perkatakan, sebab ia tidak mengerti bahasa Nippon.

   Ia lantas minta keterangan dari Keng Sim.

   "Mereka itu tidak puas,"

   Sahut Keng Sim.

   "Mereka kalah, mereka bilang pihak kita menggunai ilmu siluman begitupun sekarang Kheng Thian terhadap Hasegawa."

   Sin Cu bersenyum ewah.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mereka umumnya tidak tahu liehaynya ilmu silat kita, apa begitu cupat juga pandangan dan mereka yang ke tujuh dan ke delapan?"

   Dia bertanya. Keng Sim pun cemas.

   "Mungkin pemimpin mereka di belakang layar hendak menggunai akal busuk,"

   Katanya.

   "Rupanya dia hendak mengasut supaya orang-orangnya menyerang kita secara serampangan. Biasanya semangat bushido mengalah sesudahnya kalah. Ketika ini mungkin mereka pakai untuk mengacau..."

   Dugaan Keng Sim ini tepat. Malah segera terlihat orangorang yang berjalan meng-hampirkan. Di antara mereka ada Kagawa dan delapan, yang tadi dirobohkan Sin Cu, tapi habis dipale, dia dapat pulang tenaganya. Keng Sim jadi mendongkol.

   "Beginilah semangat bushido kamu!"

   Ia menegur. Dasar dan delapan, Kagawa jengah sendirinya, ia merandak. Adalah di saat itu, di kejauhan terdengar suara berisik bagaikan guntur. Segera setelah suara itu, satu perompak yang dandan sebagai opsir berkata dengan nyaring.

   "Orang Khina tidak dapat dipercaya! Di satu pihak mereka kirim orang bertanding sama kita, di lain pihak mereka menyerang tangsi kita! Kita mesti bunuh habis semua telur busuk ini!"

   "Telur-telur busuk ini memakai ilmu siluman menjatuhkan jago-jago kita, mereka mesti dibasmi!"

   Berseru beberapa orang di antara rombongan Nippon itu.

   "Maju!"

   Benar-benar beberapa orang, yang bersenjatakan golok dan tombak, sudah lantas maju.

   Keng Sim jadi mendongkol sekali.

   Ia menyampok tombaknya dua orang yang maju paling depan, hingga tombak itu mental tinggi dan jauh.

   Setelah itu ia cabut pedangnya seraya berseru.

   "Kamu menghendaki ilmu silat sejati?"

   Terus ia membabat dengan pedangnya itu, maka beberapa golok Nippon lantas kena ditabas kutung! Mereka itu berjumlah besar, mereka pun tidak jeri, mereka merangsak terus.

   Di akhirnya, Keng Sim dan Sin Cu menjadi repot juga.

   Bahkan Keng Sim segera kena dikurung.

   Beberapa musuh menuju ke arah Kheng Thian.

   Melihat sikap mereka itu, Sin Cu terkejut.

   Keng Sim terancam bahaya tetapi tak sehebat ancaman Kheng Thian, karena toaliongtauw itu lagi melayani Hasegawa.

   Umpamakata, satu bocah pun bisa serang Kheng Thian tanpa dia ini dapat mengelakkannya.

   Maka tidak bersangsi pula, Sin Cu berlompat melewati kepala beberapa orang, untuk menolong Kheng Thian itu.

   Sejumlah musuh berteriak-teriak melihat orang berlompat tinggi.

   Malah musuh yang bersembunyi, yang bersenjatakan panah, sudah lantas menyerang.

   Karena ini, selagi mendekati Kheng Thian, Sin Cu kena terhalang anak panah.

   Terpaksa, lantaran bisa berlompat lebih jauh, ia gunai pedangnya menangkis anak-anak panah itu.

   Ketika itu terlihat Kagawa dengan golok di tangan, lari mendatangi.

   Kelihatannya dia gusar sekali, dari mulutnya terdengar kata-kata keras.

   Sin Cu tidak mengarti bahasa Nippon, ia tidak tahu apa yang orang bilang.

   Ia cuma menduga, orang tentu benci ia sebab ialah yang merobohkan orang itu.

   Cuma sebentar saja, Kagawa sudah lantas bertempur sama si Nona Ie.

   Beberapa musuh yang tadi memburu kepada Kheng Thian, karena tidak ada yang halangi, telah datang dekat kepada lawannya Hasegawa itu.

   Sin Cu lihat ini, ia jadi berkuatir bukan main.

   Sebab tidak ada lain jalan untuk menolongi kawan itu, terpaksa ia berlompat menyingkir dari Kagawa, terus ia menimpuk dengan tiga buah kimhoa kepada mereka itu.

   Justeru itu, Kagawa lompat membacok, maka terpaksa Sin Cu memutar tubuh, untuk menangkis.

   Hasegawa masih berkutat sama Pit Kheng Thian, ia dapat melihat orang hendak membantui padanya, tentu membantu dengan cara mengepung.

   Dasar ia dan sembilan, ia tidak senang sama cara mengeroyok itu.

   "Kamu semua mundur!"

   Ia bentak mereka itu.

   Adalah itu waktu, dua buah kimhoa menyamber dua orang Nippon.

   Tidak ampun lagi, mereka itu roboh.

   Hebat adalah kimhoa yang ketiga, yang menyamber ke arah Hasegawa.

   Untuk menolong diri, terpaksa jago ini melepaskan pegangannya kepada Kheng Thian, sambil berseru, ia menangkis serangan senjata rahasia itu dengan satu sampokan.

   Ia berhasil, kimhoa mental jauh.

   "Bagus!"

   Kheng Thian berseru.

   "Kau tidak sudi orang bantui, begitu juga aku! Mari kita bertempur terus!"

   Sebenarnya selagi orang melepaskan cekalannya dan membentak kawannya, Kheng Thian bisa membarengi menghajar musuh ini, tetapi sebab ia dapatkan orang satu laki-laki, ia tidak ingin berlaku curang.

   Ia juga hendak jaga baik namanya sebagai toaliongtauw.

   "Bagus! Kau benar seorang gagah!"

   Berkata Hasegawa, dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar.

   Ia menepuk ke pinggangnya, dari mana segera ia mencabut keluar sebatang golok yang tajam mengkilap.

   Yang luar biasa ialah golok itu lemas hingga dapat dilibatkan di pinggang.

   Senjata Kheng Thian adalah toya Hangliong pang, karena ia bertanding dengan tangan kosong, ia tidak bekal senjatanya itu.

   Hasegawa telah tidak mengasi ketika padanya, dua kali beruntun ia diserang hebat, hingga ia mesti berlompatan mundur.

   Menampak orang terdesak, Hasegawa tertawa berkakakan.

   Dengan tiba-tiba saja ia samber golok seorang kawannya, golok mana terus ia lempar pada lawannya itu.

   "Sambutlah! Kita bertempur dengan bersenjata golok!"

   Katanya.

   Ia berlaku adil tetapi sebenarnya, imbangan kipa.

   Ia memegang goloknya sendiri.

   Kheng Thian sebaliknya asing dengan golok orang itu.

   Maka itu, ia kembali terdesak.

   Oleh karena mereka terpecah tiga, Kheng Thian, Sin Cu dan Keng Sim tidak dapat berhubungan satu dengan lain.

   Kheng Thian melayani satu musuh, walaupun ia terdesak, ia tidak terancam bahaya langsung.

   Sin Cu liehay pedangnya, ia dapat membela diri.

   Berbahaya adalah Keng Sim, yang dikepung enam musuh.

   Syukur Teng Bouw Cit dan The Kan Louw, yang berada paling dekat, sudah lantas menyerbu mendekati dia, maka sebentar kemudian, mereka bertiga bisa merapatkan diri melayani musuh yang mengeroyok itu.

   Bouw Cit bersenjatakan cambuk joanpian, ia dapat menyerang jauh begitu juga Kan Louw, yang gegamannya bandring gembolan, maka siapa terbandring, kepalanya hancur, tubuhnya remuk.

   Mereka ini segera meminta kurban.

   Begitu juga Keng Sim, yang mengambil kedudukan di tengah, yang main papas jari tangan orang, hingga orang tidak dapat terus memegang senjatanya masing-masing.

   Melihat tiga musuh liehay, pihak Nippon tidak berani merapatkan diri, mereka main mengurung saja.

   "Kita mesti labrak mereka!"

   Kata Keng Sim akhirnya.

   "Dapat satu sudah pulang modal, dapat dua sudah untung, tetapi kita mesti dapat membinasakan lebih!"

   Dan segera dia mulai menerjang hebat. Ia ingin membuka jalan.

   "Tiat Siangkong, jangan terburu napsu,"

   Bouw Cit memberi ingat.

   "Yap Toako sudah mengatur siasatnya, dari itu kita bertiga jangan mengacau siasatnya itu."

   Keng Sim suka percaya keterangan ini, karena ia ketahui kecermatannya ketua itu.

   Karenanya, hatinya jadi lega.

   Dengan berhati lega, ia dapat emposan semangat.

   Ketika itu dua musuh dan enam hendak membokong Bouw Cit.

   Mereka maju dari belakang Keng Sim, yang kebetulan maju ke depan.

   Bouw Cit tidak ketahui itu.

   Tapi Keng Sim bermata celi.

   Mendadak saja ia putar tubuhnya dan pedangnya menyambar.

   Tepat ia dapat membabat jeriji tangan kedua musuh itu! Bouw Cit ketolongan, ia lantas ambil kesempatan akan melepaskan dua batang coayam cian, panah ular api, yang meluncur ke atas dengan mengeluarkan sinar biru.

   Dengan pertandaan ini ia minta bantuan.

   Melihat panah itu, kawanan perompak menyiapkan pasukan yang bertameng rotan, mereka ini membantu dengan maju di muka, tamengnya diatur rapi.

   Jumlah tameng ada beberapa puluh buah, semuanya menjadi tedengan atau tirai, untuk melindungi sambil maju setindak demi setindak.

   Sekarang ini sulit untuk Keng Sim membabat jari tangan musuh.

   Tameng menjadi rintangan.

   Kalau toh ada serdadu tameng yang roboh, segera datang gantinya.

   Karena ini, mereka bertiga mulai terdesak.

   Barisan tameng itu berjumlah seratus jiwa lebih.

   Dalam saat sangat mengancam itu untuk Keng Sim bertiga, mendadak terdengar suara sangat berisik di luar lapisan kurungan, menyusul mana, tertampak tentara perompak menjadi kacau, di antara mereka segera tertampak lebih jauh datangnya satu pasukan serdadu.

   "Bala bantuan datang!"

   Keng Sim berseru setelah ia melihat tegas kepada pasukan yang baru sampai itu.

   Pasukan itu kecil saja, jumlahnya tak sampai seratus jiwa.

   Pakaian mereka juga aneh ragamnya, ialah dandanan dari segala nelayan.

   Jadi mereka bukannya pasukan rakyat suka rela, menampak mana, Keng Sim kehilangan kegembiraannya.

   Segera setelah datang terlebih dekat, dari dalam pasukan itu terlihat munculnya seorang tua yang jenggotnya panjang, yang tangannya menyekal senjata seperti boneka rumput, tetapi dengan itu, satu kali ia menyerang musuh, lantas ada beberapa musuh yang terpelanting dan roboh.

   Sebab gerakannya itu adalah gerakan Toasut payciu, dalam hal mana, orang tua itu ada terlebih mahir daripada ini pemuda she Tiat.

   Keng Sim kagum bukan main tetapi kekagumannya itu segera berubah menjadi kegirangan tidak terkira, sebab sejenak kemudian, ia dapat mengenali orang tua kosen itu yang bukan lain daripada gurunya.

   Kalau pada mulanya ia tidak menyangka, inilah disebabkan ia tak pernah memikirnya.

   Di antara guru dan murid ini, perpisahannya lebih banyak daripada pertemuannya, apa pula selama beberapa tahun yang belakangan ini gurunya itu, ialah Cio Keng To, sudah mengangkat kaki pergi jauh ke luar negara hingga Keng Sim tidak ketahui lagi gerak-geriknya.

   Maka sekarang munculnya sang guru secara tiba-tiba ini sungguh di luar terkaannya.

   Maka juga ia heran berbareng girang sekali.

   Pasukan nelayan itu berjumlah kecil tetapi mereka hebat, mereka dapat satu melawan sepuluh, maka itu setelah mendobolkan kurungan lapis luar, mereka sudah lantas menerjang barisan tameng, hingga barisan tameng ini mesti membalik diri guna melawan mereka.

   Si orang tua segera memberi tanda kepada muridnya, yang ia kenali, setelah mana dia maju terus, untuk menghampirkan Pit Kheng Thian dan Hasegawa, justeru dua musuh itu lagi menghadapi saatnya yang dahsyat.

   Kheng Thian menyerang dengan goloknya, Hasegawa menangkis.

   Hebat tangkisan ini, Kheng Thian sampai kaget hampir menjerit, disebabkan telapakan tangannya dirasakan sangat sakit, sampai goloknya terlepas dari cekalan dan terlempar, terus disamber lawannya, yang dengan lantas membikinnya patah dua, setelah mana, jago asing itu meneruskan menikam lawannya! Di saat mati hidup itu, belum sempat Kheng Thian berdaya, tiba-tiba ia merasa ada orang sambar tubuhnya dan terus diangkat, hingga di lain detik, tubuhnya itu terlempar di udara, berjumpalitan dua kali, lalu turun ke tanah.

   Karena ia membantu menggeraki tubuhnya, ia jatuh berdiri dengan tidak kurang suatu apa.

   Kapan ia melihat ke depan, ia tampak seorang tua tengah menghadapi Hasegawa dengan si orang tua bersenyum dingin.

   "Hai, orang tua, apakah yang kau tertawakan?"

   Hasegawa membentak, murka.

   "Aku tertawakan kau bangsa udang dari negara pulau!"

   Menyahut si orang tua, ialah Cio Keng To.

   "Kau meniru kepandaian Tiongkok, baru mengerti beberapa jurus ilmu silat golok, lantas kau aguli dirimu!"

   Cio Keng To bicara dalam bahasanya sendiri, Hasegawa dapat mengarti dengan baik.

   Dia memang lebih mengarti mendengar daripada berbicara dalam bahasa Tionghoa.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia gusar atas teguran itu walaupun ia menginsafi, pelajaran silatnya benar ada cangkokan dari Tiongkok.

   Oleh bangsanya, kepandaian itu dianggap milik sendiri, bangsanya tak mengaku menjadi murid malah sebaliknya me-ngagulkan diri.

   Dia ada dan sembilan, belum pernah dia memperoleh penghinaan, maka itu tanpa banyak omong lagi, dia menantang.

   "Kau hunus golokmu, mari kita bertanding!"

   Keng To ada menggantung pedang di pinggangnya akan tetapi ia tidak hunus itu. Itulah hinaan hebat untuk Hasegawa, dia murka tak terkira. Dalam murkanya itu ia tapinya masih dapat tertawa bergerak. Ia kata dengan nyaring.

   "Baiklah! Sebenarnya tidak biasa aku membinasakan orang tak ternama, aku juga tidak niat membunuhmu, akan tetapi kali ini kaulah yang menyerahkan dirimu kepada golok!"

   Lantas saja ia maju menyerang, dengan lebih dulu menekuk bengkok pedang lemasnya itu.

   Keng To berkelit, sembari berkelit ia menyusuli dua jari tangannya untuk menindih belakang golok, hingga Hasegawa menjadi heran, sebab ia tidak menyangka orang demikian sebat dan tekenannya pun berat.

   Tapi goloknya lemas, ia lekas menarik pulang, guna dipakai membacok.

   "Jikalau kau dapat melayani aku tiga jurus, suka aku mengasi ampun pada jiwamu!"

   Kata Keng To, yang kagum untuk kegagahan orang.

   Ia berkata sambil tertawa.

   Ia berkelit pula dari bacokan itu.

   Hasegawa tidak gubris ancaman itu.

   Ia lihat orang tua dan tidak bersenjata, kalau ia kalah, atau jatuh di bawah angin, ia malu sekali, maka itu dalam murkanya, tanpa berpikir pula, ia ulangi serangannya.

   Menyaksikan sikap orang itu, Keng To tertawa lebar.

   Sekarang ia tidak berkelit lagi.

   Dengan kibaskan tangan bajunya, ia menangkis.

   Tangan baju itu, yang lebar, pun dapat membuat matanya Hasegawa kealingan.

   Di lain pihak, dengan tangan kirinya, dengan jari tangan, ia menyentil.

   Dengan memperdengarkan suara "Trang!"

   Maka golok itu mental balik, hampir saja membentur jidat majikannya sendiri.

   Maka Hasegawa mesti mendak, untuk berkelit.

   Justeru itu, Keng To mengibas pula dengan tangan bajunya, kali ini Hasegawa merasakan sakit pada telapakan tangannya.

   Tempo ia mencoba untuk meng-geraki goloknya, ia terkejut.

   Golok itu seperti dililit tangan baju, tidak dapat dikasi bergerak.

   "Masih kau tidak hendak melepaskan golokmu?"

   Keng To membentak dengan ancamannya.

   Tapi ia bukan cuma mengancam, ia terus menarik tangannya, dengan begitu tangan bajunya ikut bersama.

   Hasegawa masih tidak mau melepaskan cekalannya, dengan begitu dengan sendirinya tubuhnya kena ditarik maju.

   Tentu saja ia kaget tidak terkira.

   Ia tahu orang menggunai tenaga pinjaman, dan tenaga orang itu jauh lebih menang daripada tenaganya sendiri.

   Celakanya ia telah mencoba akan meloloskan goloknya itu, kesudahannya sia-sia belaka.

   Maka terpaksa ia melepaskan cekalannya, tubuhnya sendiri berlompat mundur untuk terus lari.

   Dengan demikian, dalam tempo ancamannya Keng To, sebagai dan sembilan, satu jago, ia kalah dengan kecewa, meninggalkan golok dan lari...

   "Golok yang jempolan!"

   Berkata Keng To.

   "Pantas golok ini dihadiahkan kepada muridku! Eh, aku telah beri ampun pada jiwamu, mari serahkan sarung golok itu!"

   Hasegawa dengar suara itu tetapi ia lari terus, atau mendadak ia rasa ada orang menepuk pundaknya.

   Ia lantas memutar tubuh seraya menyerang ke belakang.

   Gagal serangannya itu.

   Ia lihat Keng To terpisah dari ia setombak lebih dan di tangannya orang tua itu tercekal sarung goloknya, yang di luar tahunya rupanya telah diloloskan dari pinggangnya.

   Semua kawannya Hasegawa kaget sekali.

   Tadinya mereka tidak berani membantui, sebab Hasegawa ada dan sembilan.

   Sekarang pemimpin itu kena dikalahkan secara demikian mengecewakan, terpaksa mereka itu memburu.

   Hasegawa menanti sampai kawan-kawannya itu tiba, terus ia merampas sebatang golok.

   "Sudahlah!"

   Serunya, yang mana disusuli dodetannya kepada perutnya merupakan silang empat, maka selagi darahnya berhamburan, tubuhnya roboh, jiwanya melayang.

   Dia telah menjalankan harakiri menepati kebiasaan bushido.

   Lebih baik terbinasa daripada terhina! Pihak perompak kate (pendek) menjadi murka sekali.

   Kagawa Ryuki dan delapan sudah lantas tinggalkan Ie Sin Cu, untuk memimpin kawankawannya guna mengurung Cio Keng To.

   "Sekarang bolehlah aku mencoba-coba pedangku sendiri!"

   Kata Keng To dengan berani, sembari tertawa.

   Dan ia hunus pedangnya, ia bulang-balingkan itu ke arah musuh, hingga di antara suara trang-treng-trong, banyak golok musuh yang terbabat kutung.

   Pedang Keng To ini ada pedang curian dari istana, yang membuatnya ia dicari pemerintah.

   Pedang itu tak usah kalah dengan pedang Cengbeng kiam dan Pekin kiam buatan Hian Kie Itsu.

   Dengan bersenjatakan pedang, ia bagaikan harimau tumbuh sayap.

   Ia lantas bekerja sama dengan Ie Sin Cu, yang telah menghubungi diri kepadanya.

   Pit Kheng Thian juga bekerja keras untuk melabrak musuhnya, cuma disebabkan musuh berjumlah besar dan mereka nekat, mereka hendak menuntut balas untuk Hasegawa, mereka jadi berani luar biasa.

   Yang satu roboh, yang lain merubul merangsak.

   Barisan nelayan yang dipimpin Keng To pun gagah sekali.

   Mereka itu bersenjatakan gaetan dan golok, dengan itu mereka menggaet tameng musuh, untuk terus membacok.

   


Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Pisau Terbang Li -- Gu Long Lembah Nirmala -- Khu Lung

Cari Blog Ini