Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 8


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 8



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dengan tameng, musuh lebih banyak menjaga di atas, dari itu kaki mereka tidak terlindung sempurna, kaki merekalah yang diarah.

   Lekas sekali mereka roboh separuhnya, maka yang separuh lagi terpaksa lari menyingkir.

   Begitu lekas ia bebas dari kurungan, Tiat Keng Sim memburu ke arah gurunya, untuk membantu gurunya itu melabrak musuh.

   Adalah di itu saat, di luar kurungan musuh terdengar suara menggelegar dari meriam, berulang-ulang, menyusul mana terlihat menerjangnya satu pasukan tentara di bawah pimpinan satu orang yang bersenjatakan golok, yang kemudian ternyata ada Yo Cong Bu, salah satu pembantunya Yap Cong Liu.

   Dia itu berseru-seru.

   "Tentara perompak di bahagian luar sudah dilabrak musnah, tinggal yang di sini saja, mari kita usir mereka ke laut!"

   Pemimpin perompak licin sekali.

   Sejak dua hari yang lalu mereka sudah dapat kabar, di hari pertandingan ini bakal datang bala bantuannya, terdiri dari seribu jiwa lebih.

   Dia anggap bala bantuan ini masih kurang, maka dia mengatur tipu menantang piebu.

   Selagi orang adu kepandaian, dia mengatur serangan di tiga jurusan.

   Di barat Tayciu, yaitu di pelabuan Samah, bala bantuannya akan menyerang belakangnya tentara rakyat.

   Untuk maju di muka, dia pakai pasukannya sendiri.

   Lagi satu ialah penyerangan dari pasisir di mana piebu diadakan.

   Di sini jumlah serdadunya seribu jiwa lebih.

   Mengenai piebu, Hasegawa percaya dia bakal menang.

   Dia anggap pihaknya kuat sekali.

   Dia tidak sangka, dia kalah dan dia sendiri mesti harakiri.

   Dua tentara sayapnya siang-siang sudah kena dibasmi.

   Hagasegawa licin, Yap Cong Liu lebih cerdik lagi.

   Cong Liu mencurigai musuh, maka supaya tidak terbokong, dia mengatur penjagaan.

   Syukur untuknya, dia pun secara kebetulan dapat bantuannya Cio Keng To dengan seratus lebih nelayannya yang tangguh, yang asalnya ada tentara rakyat di pelbagai pulau Laut Timur.

   Cong Liu dapat tahu datangnya Keng To, dia segera minta jago tua langsung membantu pihaknya yang lagi piebu.

   Demikian pihak perompak dilabrak, hingga sisanya kabur ke pesisir.

   Dari seribu jiwa lebih, mereka ini tinggal seratus lebih.

   Dengan naik perahu mereka, mereka kabur ke tengah laut.

   *** Sin Cu puas sekali dengan kemenangan itu.

   Dengan sapu tangannya ia susuti darah di pedangnya yang ia sayang itu.

   Cengbeng kiam benar istimewa, cuma sedikit darah yang nempel, dan sinarnya tetap bergemirlapan.

   Keng To pun ketarik, ia terus mengawasi pedang orang.

   Di saat Sin Cu mau masuki itu ke dalam sarungnya, tiba-tiba ia menyambar, hingga si nona terperanjat.

   "Cio Loocianpwee, mengapa kau main-main?"

   Ia tanya, heran. Keng To tidak segera menyahuti, hanya ia saling bacoki Cengbeng kiam dengan pedangnya sendiri, hingga kedua senjata bentrok keras tetapi tidak ada yang rusak. Menampak itu, Sin Cu heran berbareng sadar.

   "Ya,"

   Pikirnya.

   "Dia pernah kalah oleh pedang Thaysucouw, lantaran itu, dia curi pedang di istana, sekarang dia coba kedua pedang itu..."

   Keng To tertawa terbahak, terus kembalikan pedang si nona, yang menyamar sebagai seorang pemudi. Ia pun tanya.

   "Kau pernah apa dengan Hian Kie Itsu?"

   "Ialah Thaysucouwku,"

   Sin Cu jawab.

   "Jadi gurumu ialah Thio Tan Hong?"

   "Benar. Suhu sering menyebut-nyebut loocianpwee, yang ia kagumi,"

   Kata pula Sin Cu, yang terus memberi hormat, katanya, untuk sekalian mewakilkan gurunya. Keng To kagum hingga ia menghela napas. Ia kata.

   "Muridnya begini sempurna, maka dapatlah diketahui tentang gurunya. Orang kangouw merendengi aku dengan Thio Tan Hong, kami disebut empat ahli pedang besar, sebenarnya, aku malu sekali."

   Ia tertawa, ia meneruskan.

   "Ini dia yang dibilang, gelombang sungai Tiangkang yang di belakang mendampar yang di depan orang muda di dunia menggantikan mereka yang tua. Kamu muda dan gagah, aku malu, tetapi aku pun girang sekali!"

   Keng To ini lebih tinggi tingkat derajatnya dibanding sama Thio Tan Hong, sebaliknya guru Tan Hong serta Tiauw Im Hweeshio dan Tang Gak, tidak ia pandang mata, maka ia tidak puas yang orang rendengi ia sama Tan Hong itu, tetapi sekarang menyaksikan kegagahan Sin Cu, berubahlah pandangannya, sekarang ia insaf, Tan Hong memang lebih liehay daripadanya.

   Dengan begitu pun padam pula minatnya mencari Hian Kie Itsu untuk bertanding pula.

   Pit Kheng Thian berlari-lari kepada jago tua itu, guna menghaturkan terima kasih, akan tetapi belum sempat ia mengucap sepatah kata, orang she Cio itu sudah dului ia.

   "Tidak usah, tidak ada artinya,"

   Kata Keng To, tertawa.

   "Hoohan toh..."

   "Inilah Pit Toaliongtauw dari lima propinsi Utara,"

   Bouw Cit mendahului memberi keterangan.

   "Ha, kiranya toaliongtauw Pit Kheng Thian!"

   Kata Keng To.

   "Sudah dua tahun aku si tua berada di perantauan, toh pernah aku dengar, namamu yang besar. Dari murid-muridku, kelihatannya cuma Tiat Keng Sim yang dapat dibanding denganmu. Ya, pernahkah kau bertemu sama muridmuridku?"

   Kheng Thian girang mendengar ia dipuji, tapi lantas merasa tidak puas yang ia disamakan dengan murid orang, tak kepuasan itu segera terutara pada paras mukanya. Justeru itu, Keng Sim muncul, maka Keng To berkata.

   "Nah, ini dianya! Apakah kamu telah kenal satu dengan lain?"

   Kheng Thian paksakan diri tertawa ketika ia menyahuti.

   "Murid loocianpwee muda dan gagah, dalam penumpasan perompak ini, banyak aku menerima bantuannya."

   Keng To girang sekali, ia cekal tangan orang, yang ia ajak bicara tak hentinya, hingga Keng Sim tidak sempat menyelak.

   Maka anak muda itu lantas pasang omong sama Sin Cu, keduanya girang, mereka pun tertawa-tertawa.

   Melihat sikap mereka itu, Kheng Thian tak enak sendirinya.

   Ia ingin dekati mereka, guna membuyarkan, tapi Keng To terus mengajak ia bicara.

   Di sepanjang jalan pulang, Keng Sim pikirkan Sin Cu.

   Ia sudah curiga, sekarang ia lihat orang menyusuti pedang dengan sapu tangan, tambah kecurigaannya itu.

   Tidak ada pria lain yang memakai semacam sapu tangan.

   Sembari jalan, mereka bicarakan hal piebu tadi.

   Jauh di tengah laut masih terlihat titik-titik hitam, ialah perahu-perahu perompak yang sudah berlayar jauh sekali.

   "Ie Siangkong, tadi kau melayani musuh dan delapan, tubuhmu enteng sekali, gerak-gerakanmu sangat lincah dan indah, apakah namanya ilmu silatmu itu?"

   Keng Sim tanya kemudian.

   "Itulah ilmu ajarannya subo-ku,"

   Sahut Sin Cu.

   "Namanya ialah Menembusi Bunga Mengitarkan Pohon. Kau tidak tahu, rumah kita di Thayouw indah sekali dan subo gemar bunga, di depan rumah ia banyak menanam pohon mawar, lie, tho dan bwee. Setiap musim semi, semua bunga itu berkembang permai. Di situlah aku ikuti subo belajar ilmu enteng tubuh. Selama dua tahun bukan saja aku tidak dapat susul subo malah aku sering tertusuk duri, baru sesudah tiga empat tahun aku dapat nelasap-nelusap dengan baik. Di tahun ke lima barulah aku bisa sambar kun-nya subo "

   Keng Sim tertawa.

   "Subo-mu itu baik sekali terhadap kau!"

   Katanya.

   "Kau membikin orang kagum dan mengiri. Rupanya kau dipandang sebagai anak kandung sendiri."

   Dengan "anak kandung,"

   Keng Sim maksudkan anak kandung perempuan. Sedang "subo"

   Itu ialah guru wanita.

   Selagi orang bicara, Sin Cu mengawasi.

   Ia tampak wajah orang bersenyum bukannya bersenyum, dan wajah itu mirip sama wajah gurunya, Thio Tan Hong, hatinya sedikit terkesiap.

   Berbareng dengan itu ia pun sadar bahwa ia telah terle-pasan omong mengenai subo-nya itu.

   Mustahil murid pria demikian erat hubungannya sama isteri gurunya, sekalipun subo itu benar turut mengajari ia ilmu silat.

   Karena ini sendirinya parasnya bersemu merah.

   "Bagus sekali nama ilmu enteng tubuh itu. Menembusi Bunga Mengitarkan Pohon,"

   Keng Sim berkata pula.

   "Memang, ketika kau permainkan musuh tadi, kau seperti kupu-kupu memain di antara bunga-bunga, kau bukan seperti sedang piebu, kau mirip tengah menarikan tarian Puteri Kahyangan Menyebar Bunga. Ya, sungguh indah!"

   "Ah, kau memuji saja,"

   Kata Sin Cu.

   "Kalau kau main puji terus, tak suka aku bicara terlebih jauh!"

   "Memangnya aku salah omong?"

   Keng Sim tanya.

   "Taruh kata pujianku kurang, kau tak usah gusar. Sebenarnya, aku memikir untuk minta kau mengajari aku..."

   Sin Cu tertawa.

   "Kau lebih tua daripa-daku, ilmu silatmu tinggi, pengetahuanmu luas, jikalau aku yang meminta pengajaran dari kau, barulah pantas!"

   Kata dia.

   "Kenapa kau begini sungkan?"

   "Bukan begitu, Ie Siangkong,"

   Keng Sim kata.

   "Di kalangan Rimba Persilatan, pantas orang saling mengajari. Kau ajari aku apa yang kau bisa, aku ajari kau kebisaanku, bagus bukan? Maka sebentar malam, kau datanglah ke kemahku, kita nanti pasang omong selama satu malam, tentang ilmu silat. Tidakkah itu bagus? Orang dulu pun bilang, 'Mendengar tuan berbicara satu malam, lebih menang daripada membaca buku sepuluh tahun!. Demikian kita, pasti kita akan peroleh banyak kefaedahan."

   Kembali merah parasnya Sin Cu.

   "Ah, kau ngaco!"

   Katanya.

   "Siapa mau berada dengan kau dalam sebuah kemah di waktu malam? Jikalau kau datang ke kemahku, akan aku tikam kau!"

   "Oh!"

   Keng Sim berpura kaget.

   "Saudara, kenapa kau begini marah? Bukankah di waktu pertama kali kita datang, kita sama-sama mengambil sebuah kemah?"

   Sin Cu sadar bahwa kembali ia bersikap keliru, lalu sebisabisa ia tenangi hatinya.

   "Sebenarnya aku paling tidak suka berdiam dalam sebuah kemah dengan orang lain,"

   Ia menerangkan, sabar.

   "Di waktu kita pertama datang, itulah lain. Aku terpaksa karena tempatnya buruk..."

   Ia ingin berlaku tenang supaya tidak membuka rahasia, tetapi ia tetap likat.

   Keng Sim tertawa.

   Ia bukan satu pemuda ceriwis.

   Ia mengajak Sin Cu pasang omong seantero malam untuk menguji saja.

   Melihat sikap orang, tahulah ia pemuda di depannya ini sebenarnya seorang pemudi.

   Karena ini, ia tidak mau mendesak lebih jauh.

   "Karena kau menampik aku si bau, saudara, pasti aku tidak berani datang ke kemahmu,"

   Katanya bersenyum.

   "Biarlah selang dua hari lagi, kita pasang omong di sini saja. Perompak telah membikinkan kita gelanggang luas ini, di sini aku nanti minta pengajaranmu."

   Sin Cu tetap tidak tenang hatinya.

   Tahulah ia sekarang yang Keng Sim sudah ketahui rahasianya.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Syukur untuk ianya, pemuda itu tidak mengganggu padanya.

   Sebentar lagi mereka sudah tiba di wilayah gunung.

   Di sana pasukan-pasukan yang menang telah berkumpul.

   Keng Sim dapat melihat sutee dan sumoay-nya, adik seperguruan pria dan wanita, ia lekas menemui mereka itu.

   Seng Hay San dan Cio Bun Wan sudah membantu tentara rakyat membelai kota Tayciu.

   Selama dua bulan, beberapa kali mereka berhasil memukul mundur kaum perompak kate (pendek).

   Karena pergerakannya Cong Liu dan pihak perompak membantu pihaknya yang menghadapi Cong Liu itu, kota Tayciu menjadi tidak terancam bahaya lagi.

   Maka mereka berdua dapat kesempatan membawa pasukan rakyatnya membantu Cong Liu.

   Kebetulan untuk mereka, Cio Keng To pun pulang, maka guru dan murid-murid dapat bertemu dan lantas bekerja sama.

   Bun Wan masih ingat Sin Cu, yang telah permainkan padanya, ia bersikap tawar, ia tak memperdulikan-nya.

   Sin Cu tidak mendongkol, bahkan dalam hatinya, ia tertawai nona itu.

   Diam-diam ia menyingkir dari Keng Sim, ketika Keng To cari ia, untuk diajak bicara ia sudah nelusup di antara orang banyak.

   Sementara itu di antara tentara rakyat ada seorang yang rupanya ada asal kota Tayciu, dia senantiasa mengawasi Tiat Keng Sim.

   Sin Cu dapat lihat kelakuan orang itu, ia menjadi heran, tetapi karena ia lagi menyingkir, orang itu lantas lenyap dari pandangan matanya.

   Malam itu tangsi tentara rakyat ramai bukan main.

   Penduduk berdekatan pun datang berduyun-duyun menggotong daging babi dan kerbau yang mereka sembelih, beras dan arak, untuk menghadiahkan tentara itu.

   Yap Cong Liu mem-persilahkan Cio Keng To, Pit Kheng Thian, Tiat Keng Sim dan Ie Sin Cu duduk di kursi tetamu, ia sendiri menemani dengan duduk di sebelah bawah.

   Kemenangan itu ia anggap ada jasa besar dari empat tetamu itu.

   Keng Sim berdua Sin Cu merasa tidak selayaknya menerima jasa, hati mereka tidak tenang.

   Kheng Thian sebaliknya omong banyak sama Cong Liu mengenai rencana mereka selanjutnya.

   Bahkan habis menenggak beberapa cawan arak, hingga ia rada sinting, toaliongtauw ini kata sambil tertawa.

   "Yap Toako, pandai sekali kau mengatur tentara, maka di belakang hari, kita semua sangat mengandal padamu!"

   Ia memuji orang tetapi itulah saran tak langsung agar orang nanti bekerja sama dengannya.

   Keng Sim tidak puas dengan pernyataan orang itu tetapi karena orang lagi dipengaruhi air kata-kata dan dia pun memuji kemenangan mereka, sedang itu waktu mereka lagi berpesta, ia tidak bilang suatu apa.

   Untuk menghibur diri, ia pun minum araknya.

   Ia berada di samping Sin Cu, diam-diam ia senantiasa melirik si nona.

   Sin Cu tahu kelakuan orang, ia masgul, maka itu, dengan alasan tidak dapat minum banyak, ia minta perkenan untuk undurkan diri, guna beristirahat.

   Di kemahnya, ia tidak dapat tidur, pikirannya terus tidak tenang.

   Ia malu mendongkol sendirinya karena kata-kata Keng Sim.

   Ia hendak menjaga supaya orang tidak datang ke kemahnya itu, karena itu, ia tidak membuka pakaian lagi dan pedangnya diletakkan di bawah bantal.

   Ia bercokol di atas pembaringan dengan hatinya terus bekerja.

   Beberapa kali bayangan Thio Tan Hong, Tiat Keng Sim dan Pit Kheng Thian seperti berkelebat di depan matanya.

   Ia membandingkan gurunya dengan Keng Sim dan Kheng Thian itu.

   Ia anggap gurunya bagai gelombang laut dan Keng Sim seperti air telaga yang mati.

   Dan Kheng Thian bagaikan air curuk yang tumpah ke bawah.

   Air tumpah itu mungkin mengalir ke laut, mungkin juga ke telaga, hingga jadi air mati juga.

   Mungkin ada yang menyukai air tumpah tapi orang itu bukanlah ia.

   Ia merasa Kheng Thian itu menjemukan tetapi juga Keng Sim tak mendatangkan rasa sukanya, apapula Keng Sim telah mengetahui rahasia penyamarannya.

   Ruwet pikirannya nona umur tujuh belas tahun ini.

   Sampai jam tiga, ia masih belum tidur pulas.

   Maka ia ketahui, berisiknya pesta mulai sirap dan itu diganti dengan derupnya angin laut, dengan damparannya gelombang.

   Ia sampai ngelamun bagaikan gurunya menggapai kepadanya, hingga ia merasa di dalam dunia ini, kecuali gurunya itu, tidak ada lagi orang yang "berdekatan"

   Dengannya. Puas ia kapan ia ingat gurunya. Tiba-tiba Sin Cu ingat.

   "Hari ini perompak telah dilabrak hampir musnah, walaupun di beberapa tempat masih ada beberapa rombongannya, jumlah mereka kecil sekali, mereka tidak dapat dikuatirkan pula. Di pihak kita ada bala bantuan dari Ciu San Bin, apabila bantuan itu sudah tiba, kekuatiran sudah tidak ada lagi. Maka itu apa perlunya aku berdiam di sini lebih lama? Kenapa aku tidak mau pergi mengikuti suhul Tentu saja, tidak dapat aku pergi dengan berterang, Cong Liu tentulah bakal menahan dan Keng Sim serta Kheng Thian pasti akan menggerecoki aku..."

   Ia berdiam, lalu berpikir, berdiam pula, berpikir kembali.

   Ia terganggu ragu-ragunya.

   Di akhirnya, ia turun dari pembaringannya, ia rapikan pakaiannya, kemudian ia benahkan juga buntalannya.

   Sebelum berlalu dengan diamdiam, ia menulis sepucuk surat perpisahan untuk Cong Liu.

   Malam itu rembulan guram.

   Kemah Sin Cu dekat dengan kemah Keng Sim, jaraknya tidak ada setengah lie.

   Itu waktu, si nona lihat ada sinar api di kemah sahabat itu.

   Ia pikir, rupanya pemuda itu pun belum tidur.

   Maka ia pikir pula, baik ia lewat di sana dan meninggalkan tapak kakinya di luar kemah orang.

   Biar bagaimana, Keng Sim toh kenalannya.

   Ia lantas menuju ke kemah itu.

   Untuk tidak meninggalkan suara, ia lari dengan ilmu ringan tubuh.

   Anehnya, ia ingin melihat bayangan pemuda itu...

   Di samping kemah ada pepohonan lebat, selagi lewat di situ, Sin Cu dengar suara orang bicara pelahan.

   Ia pun segera mengenali suaranya Keng Sim.

   Ia jadi terlebih heran pula.

   Pikirnya.

   "Sudah malam begini dia belum tidur, dia pun kasakkusuk sama orang lain, apa dia bikin?"

   Karena ingin ketahui, Sin Cu lompat naik ke sebatang cabang pohon. Ia tidak mengasi dengar suara apa-apa. Untuk ringan tubuh, ia menang jauh daripada pemuda she Tiat itu. Segera ia kenali kawan bicara Keng Sim itu adalah orang dari Tayciu tadi.

   "Ong An, kau bukan berdiam di Tayciu melayani looya, mau apa kau datang kemari?"

   Demikian suaranya Keng Sim.

   "Pasukan rakyat toh tidak memerlukan seorang sebagai kau?"

   "Looya yang mengirim aku untuk menyampaikan pesan lisan,"

   Sahut Ong An itu.

   "Tadi siang ada banyak orang tidak leluasa untuk kita berbicara."

   "Kabar apa itu yang kau bawa?"

   Agaknya dia heran.

   "Looya pesan jangan kongcu bercampuran sama tentara rakyat,"

   Menerangkan Ong An.

   "Looya bilang di dalam pasukan rakyat terdapat segala macam orang sampaipun segala penjahat, mereka itu berkumpul cuma dengan alasan melawan perompak."

   "Tentara negeri tidak lawan perompak, kalau sekarang rakyat bertindak sendiri, bukankah itu baik?"

   "Walaupun demikian tetapi pembesar negeri tidak memikir begitu. Looya bilang, Keluarga Tiat keluarga berpangkat, tak perlu kita bercampuran sama penjahat, kalau mereka menerbitkan huru hara, kita bakal kena terembet-rembet, itulah berbahaya. Maka Looya ingin kongcu mengarti jelas."

   Keng Sim berdiam, tetapi hatinya memikiri Cong Liu beramai, yang ternyata jujur dan bekerja sungguh untuk rakyat jelata dan negara.

   Ia kagumi Cong Liu itu meski benar ia merasa, ia bukan golongannya.

   Lain lagi adalah Kheng Thian.

   Ingat Kheng Thian, ia ingat kata-kata orang tadi di medan pesta.

   Ia menerka.

   "Dia jangan-jangan bukan seperti orang jahat yang kebanyakan, mungkin dia bercita-cita merampas kerajaan Beng. Dalam hal ini, kekuatiran ayah beralasan, ayah berpandangan jauh..."

   "Looya ingin kongcu segera pulang,"

   Ong An kata pula.

   "Sekarang perompak sudah dapat disapu, maka aku pikir, seperti kata kongcu tadi, pasukan rakyat juga tidak memerlukan kongcu satu orang. Baiklah kongcu pulang agar looya tidak buat pikiran."

   Keng Sim berdiam, dia bersangsi. Dia bukan tidak ingin meninggalkan tentara rakyat, dia hanya pikirkan Sin Cu.

   "Baiklah kongcu cepatan mengambil putusan,"

   Ong An si hamba mendesak.

   "Nanti aku pikir dulu. Apakah looya di Hangciu baik?"

   "Looya berdiam di kantor butay. Dia bernama Wie Cun Teng. Ingatkah kongcu akan dia?"

   "Ya. Dialah muridnya looya. Dia juga murid looya yang pangkatnya paling tinggi."

   "Benar. Syukur dia masih ingat Looya, mengetahui looya tinggal di Hangciu, dia lantas menyambut dan mengajak looya tinggal di kantornya. Sempurna sekali rawatannya."

   "Itu bagus, Ong An. Sekarang pergilah kau pulang. Umpama kata aku hendak berangkat, sedikitnya mesti lagi dua hari."

   "Dua hari pun baik. Looya masih memesan satu hal lagi."

   "Apakah itu?"

   Keng Sim lantas membade-bade.

   "Looya telah dapat menerima firman rahasia dari Sri Baginda, maksudnya agar looya menitahkan kongcu membantu komandan Gielimkun menawan seorang penjahat yang dicari Sri Baginda..."

   "Ini aneh! Apa hubungannya itu dengan aku? Aku bukannya hamba negeri. Raja pintar, kenapa dia berbuat setolol ini? Mungkin kau salah dengar..."

   "Tidak salah, kongcu. Penjahat itu bukan lain hanya guru kongcu , si orang she Cio,"

   "Apa, guruku penjahat yang dicari raja?"

   "Benar. Firman itu dibawa sendiri oleh Law Tong Sun, komandan Gielimkun, dia menyerahkan kepada butay dan butay menyampaikan kepada looya. Katanya Cio Loosu itu pada tiga puluh tahun yang lampau pernah mengacau keraton dan sudah mencuri pedang mustika. Sekarang dia sedang dicari."

   Keng Sim menjublak seperti dikageti guntur.

   Segera ia ingat gurunya, dengan siapa baru saja ia bertemu pula.

   Segera ia ingat kejadian pada sepuluh tahun berselang.

   Ketika itu ia adalah bocah umur dua belas tahun, ayahnya memangku pangkat giesu atau censor di kota raja.

   Tidak ada orang yang kendalikan padanya, maka di samping belajar surat, ia belajar silat sama cintengnya.

   Dia tinggal di dalam kota tetapi dia pun punya pila di luar kota, ke sana dia pergi beristirahat bersama saudaranya sepupu.

   Dia pergi di musim panas, di musim rontok dia kembali ke kota.

   Di pila dia semakin merdeka.

   Yang terbelakang, dia ada punya dua guru silat baru, yang satu ahli toya Jielong pang, yang lain pandai Tiatsee ciang, Tangan Pasir Besi.

   Keng Sim pernah lihat orang menghajar batu dengan tangannya hingga batu itu hancur lebur.

   Dia gemar sekali belajar silat, walaupun sudah sampai musim rontok, dia berat meninggalkan pilanya itu, yang pernahnya di pesisir.

   Pada suatu malam terjadilah suatu perampokan.

   Beberapa cinteng kena dikalahkan.

   Kedua guru silat yang baru tak nampak.

   Keng Sim hendak dibekuk tapi dia lincah, dia bisa lari-larian.

   Satu penjahat habis sabar, dia hendak dipanah.

   Justeru itu terdengar satu seruan panjang, tiba-tiba di situ muncul seorang nelayan tua yang kumisnya panjang.

   Cuma dengan satu gerakan, ia dapat merampas busurnya si penjahat.

   Penjahat itu dan kawan-kawannya menjadi gusar, mereka menyerang.

   Nelayan itu menghunus pedangnya, ia melawan.

   Dalam beberapa gebrakan saja, habis sudah semua senjata penjahat, kena ditabas kutung pedang nelayan tua itu.

   "Pedangku tidak membinasakan segala kurcaci, lekas kamu pergi!"

   Ia membentak. Takut semua penjahat itu, mereka mengangkat kaki. Tinggallah cinteng-cinteng, yang rebah merintih di tanah, tidak dapat bangun. Nelayan tua itu tertawa, ia pegangi tangan Keng Sim untuk diawasi, lalu ia menghela napas dan berkata.

   "Sayang, sayang, bakat begini baik dibikin gagal oleh segala guru tidak keruan..."

   Justeru muncullah kedua guru silat yang baru, dengan roman sungguh-sungguh mereka kata.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Loosuhu benar, kita memang datang untuk gegares. Selayaknya kita mengangkat kaki dari sini tetapi kita tidak tahu diri, kita mohon loosuhu suka membuka mata kita."

   Mendadak mereka menyerang dari kiri dan kanan, senjatanya yang satu ialah tongkat kayu diarahkan ke batok kepala, yang lain dengan tangan besinya ke bebokong.

   Si nelayan tua menangkis tongkat, hingga tongkat itu patah dua dan penyerangnya roboh.

   Serangan yang satunya mengenai tepat.

   Keng Sim masih bocah tetapi ia tahu membedakan perbuatan jahat dan baik, dia menjadi gusar, dia lantas tegur guru silat Tiatsee ciang itu.

   Sebaliknya guru itu memegangi tangannya seraya mulutnya mengeluh kesakitan.

   "Engko kecil, tidak usah kau damprat dia, dia sudah cukup menerima bagiannya,"

   Kata si nelayan sambil tertawa.

   Sekarang terlihat nyata, tangan guru silat itu bengkak, tangannya itu dikasi meroyot turun, sedang lima jarinya kaku, tidak dapat ditekuk-tekuk.

   Tidak saja tangan itu tidak dapat digunai lagi, seluruh kepandaian silatnya pun telah musnah.

   Setelah itu, semua guru silat pergi.

   Keng Sim minta si nelayan jadi gurunya tetapi si nelayan mengajukan satu syarat.

   Ia sebenarnya bersedia sekalipun untuk sepuluh syarat.

   Nyatanya, syarat itu pun enteng, ialah si nelayan ingin Keng Sim jangan buka rahasia dia menjadi gurunya, rahasia mesti ditutup sekalipun terhadap ayah ibu dan saudarasaudaranya, atau ia tidak bakal datang lagi.

   Keng Sim tanya kalau-kalau si nelayan menghendaki ia turut guru itu pergi ke suatu tempat, si nelayan tertawa dan kata.

   "Mana bisa aku ajak-ajak kau satu kongcu, puteranya seorang berpangkat? Tidakkah aku disangka menculikmu?"

   Lantas Keng Sim tanya, bagaimana dia hendak diajari silat.

   "Aku tahu kau bakal pulang ke kota, sekarang aku ajarkan kau pokok dasarnya saja,"

   Menerangkan si nelayan.

   "Selama satu tahun, kau terus pelajarkan ini, nanti lain tahun, kau datang pula ke mari, aku nanti datang juga menemui kau."

   Keng Sim memegang janji, ia menutup mulut.

   Di lain tahunnya, ia pergi ke pila dengan mengajak satu budak kepercayaan.

   Benarlah, si nelayan pun muncul.

   Tapi dia tidak mengajari silat di pila hanya di gubuknya di tepi laut.

   Keng Sim dipesan memakai alasan pesiar untuk datang ke gubuknya itu.

   Nelayan itu ada punya satu anak perempuan umur delapan tahun, anak itu disuruh belajar sama-sama Keng Sim.

   Baru itu waktu, Keng Sim ketahui gurunya itu she Cio dan namanya Keng To dan si nona bernama Bun Wan.

   Sejak itu setiap tahun tiga bulan lamanya Keng Sim belajar sama si orang tua, dan waktu selebihnya ia pakai berlatih di rumah sendiri.

   Cuma kadangkadang saja guru itu tengok ia di waktu malam di pilanya.

   Ke rumah di kota, tidak pernah sekali jua guru itu datang.

   Selama itu, tujuh tahun berselang.

   Banyak perubahan telah terjadi.

   Di antaranya, Keng To menerima lagi satu murid, ialah Seng Hay San anak nelayan.

   Ayah Keng Sim berhenti bekerja dan pulang ke rumahnya.

   Keng Sim pun lulus ujian sebagai siucay.

   Setiap tahun Keng Sim tetap pergi ke pilanya, di sana terus ia belajar silat.

   Di rumahnya ia ada punya guru silat yang baru, hanya dengan pelabi saja, ia belajar sama guru itu.

   Sampai sebegitu jauh, tidak ada orang yang ketahui ia pandai silat.

   Adalah di musim semi di tahun ke tujuh itu barulah kaum perompak mulai mengganggu keamanan di pesisir.

   Suatu hari Keng Sim melabrak serombongan perompak yang lagi mengganas, karena itu baru orang tahu ia gagah.

   Lantas namanya tersiar sampai pun ayahnya, Tiat Hong, mengetahuinya.

   Maka pada suatu malam ia dipanggil ayah dan ditanyakan.

   Ia memang berbakti, ia lupa pesan gurunya, ia membuka rahasia.

   Ayahnya girang dan kaget.

   Girang sebab anaknya liehay, dan kaget sebab ia kuatir anak itu bersahabat sama kaum kangouw yang sesat.

   Di musim panas tahun itu, Keng Sim pergi ke pilanya seperti biasa.

   Tapi kali ini gurunya tidak ada.

   Ketika ia tanya Bun Wan, nona itu bilang memang ayahnya suka pergi tanpa ketentuan, entah kapan pulangnya.

   Tiga bulan Keng Sin, menanti di pilanya, ia menanti dengan sia-sia saja.

   Demikian seterusnya, baru sekarang ia bertemu guru itu di medan pertempuran.

   Pula, baru sekarang ia tahu rahasia gurunya, yang telah dicari pemerintah karena mencuri pedang di dalam istana.

   Demikianlah, mendengar kata-kata Ong An, Keng Sim berdiam.

   Ia cerdik tetapi ia mati daya.

   Dalam Rimba Persilatan, melawan guru adalah kejahatan tak berampun.

   Sebaliknya, titah kaisar tidak dapat ditentang.

   Sin Cu dari tempat sembunyinya terus memasang mata.

   Ia lihat orang jalan mundar-mandir, tanda dari ruwetnya pikiran.

   Dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar dehem-nya Ong An.

   Dia berkata.

   "Kongcu telah banyak membaca kitab, pastilah kongcu ketahui baik perihal perbedaan tingkat derajat manusia."

   "Bocah umur tiga tahun pun mengetahui tingkatnya langit dan bumi, raja, orang tua dan guru,"

   Sahut Keng Sim.

   "Perlu apa kau menanyakan itu?"

   "Dengan begitu, kecuali langit dan bumi, rajalah yang teratas,"

   Berkata Ong An.

   "Habis itu baru persanakan antara ayah dan anak, dan pertalian di antara guru dan murid ialah yang terendah."

   Mendengar itu, Keng Sim menggigil.

   "Jadi kau hendak mengajari aku melawan guruku?"

   Ia membentak. Dia pun heran budak ini bisa bicara demikian rupa. Dia tidak tahu, Ong An telah diajari ayahnya.

   "Mana budakmu berani mengajari kongcu menjadi manusia tidak berbudi?"

   Berkata budak itu.

   "Hanya budakmu tidak sudi melihat kongcu menjadi satu menteri tidak setia berbareng satu anak puthauw."

   "Jadi kau maksudkan, kalau aku tidak menjalankan bunyi firman, ayahku akan terancam bahaya?"

   Keng Sim tanya. Ia pun tidak sudi jadi anak puthauw atau tidak berbakti.

   "Memang dikuatirkan rumah kita disita atau entengnya kita kena terembet,"

   Ong An jawab. Mukanya Keng Sim menjadi pucat, ia jadi semakin bingung.

   "Sebenarnya sekarang ini looya pun telah ditahan secara halus di kantor butay,"

   Ong An berkata pula.

   "Keselamatan looya itu bergantung kepada kongcu seorang."

   "Bukankah kau bilang butay ada murid ayah yang terbaik?"

   Keng Sim tanya.

   "Sudah tiga puluh tahun budakmu mengikuti looya, aku ketahui baik penghidupan di kalangan pembesar negeri,"

   Berkata Ong An.

   "Kalau bahaya mengancam, makin tinggi pangkat seseorang, makin kentara orang tak menghiraukan persahabatan. Pikir saja, raja tinggal di dalam keraton, mana dia ketahui Cio Keng To itu guru kongcu?"

   "Benar. Habis, adakah firman itu firman palsu?"

   "Mana bisa firman itu palsu? Adalah kongcu yang tidak tahu kenyataan dalam urusan pembesar negeri. Law Tong Sun itu mendapat tugas menangkap orang jahat dalam kedudukannya sebagai komandan Gielimkun, sudah pasti ia bawa bersamanya kertas kosong yang sudah dicap dengan cap kerajaan, untuk tinggal diisi saja. Kabarnya Law Tong Sun yang ketahui halnya Cio Loosu serta di mana adanya Cio Loosu itu. Law Tong Sun sendiri tidak berani menangkap Cio Loosu, dia pakai pengaruh firman untuk desak butay serta looya. Maka kalau kongcu tidak suka membantu, bukan cuma looya bakal susah tapi juga butay. Bahkan mungkin Law Tong Sun bakal datang ke mari."

   "Kalau aku khianati suhu, pasti aku bakal dicaci orang gagah di kolong langit ini..."

   Keng Sim berkata.

   "Dan kalau looya dapat susah, dosa kongcu sebagai anak puthauw tidak dapat dicuci bersih dengan air sungai Tiangkang,"

   Berkata Ong An.

   "Sudah, jangan bicara pula!"

   Keng Sim membentak, tangannya dikibaskan.

   "Pergi kau pulang, urusan ini aku hendak pikirkan pula masak-masak."

   Sin Cu kagum dan berkuatir.

   "Malam ini akan ada putusannya, Keng Sim seorang gagah sejati atau satu manusia hina dina!"

   Pikirnya.

   Sin Cu paling menghormati gurunya, maka itu, biar bagaimana, perbuatan menjual guru untuk mendapatkan pangkat besar adalah dosa tak berampun.

   Apapula Cio Keng To itu orang gagah kenamaan yang seimbang dengan gurunya.

   Dalam kesunyian sang malam itu tiba-tiba terdengar siulan yang panjang disusul dengan nyanyian yang tedas.

   "Tidak mengecewakan pedang tajam tiga kaki setelah tua jantung nyali jadi semakin dingin!"

   Lalu terlihat orangnya, yang tangannya menyentil-nyentil pedang. Dialah Cio Keng To! Hati Keng Sim gon-cang. Ia lantas menyambut.

   "Suhu belum tidur?"

   Tanyanya.

   "Aku merasa sangat puas dengan peperangan hari ini!"

   Sahut guru itu sambil tertawa, tangannya masih menyentil pedangnya.

   "Aku gembira hingga aku tidak dapat tidur pulas. Kita berdua pun sudah tiga tahun tidak pernah bertemu, tadi siang tidak sempat kita berbicara, sekarang sengaja aku tengok. Kiranya kau pun belum tidur. Ah, kau kenapa-kah? Aku lihat kau kurang sehat. Mungkinkah tadi berperang letih sekali?"

   "Ya, aku merasa letih, suhu,"

   Sahut Keng Sim, hatinya memukul.

   "Tapi tidak apa. Suhu, adakah pedangmu pedang mustika?"

   Keng To tertawa terbahak.

   "Apakah kau suka pedang ini?"

   Dia tanya.

   "Ilmu pedangmu maju banyak, tidak demikian dengan Bun Wan dan Seng Hay. Aku tidak nyana ilmu pedang keluarga Cio terwariskan kepada lain she"

   Ia berhenti sebentar.

   "Selama dua tahun ini, aku telah dapat menciptakan beberapa jurus istimewa. Besok, bila ada waktunya yang luang, akan aku turunkan semua itu kepada kau, supaya kau dapat mewariskannya."

   Di antara tiga muridnya, berikut gadisnya, Keng To paling menyayangi Keng Sim.

   Tadinya, karena orang ada anak orang berpangkat, tidak mau Keng To omong terus terang, tetapi tadi ia telah menyaksikan sendiri kegagahan muridnya itu, sedang Yap Cong Liu pun telah memuji tinggi, ia anggap ia tidak salah melihat, maka hendak ia mewariskan semua kepandaiannya, untuk angkat murid ini jadi ciangbunjin, murid kepala yang mewariskan ilmu silat Keluarga Cio.

   Biasanya Keng Sim girang bukan main mendapat pelajaran baru dari gurunya, tentu-tentu ia lantas paykui menghaturkan terima kasihnya, kali ini ia merasa tidak tenang, ia malu sendirinya, punggungnya serasa ditusuk-tusuk.

   Keng To lihat itu, ia nenjadi heran murid ini bagaikan hilang semangat.

   "Apakah kau kurang sehat?"

   Ia tanya, halus. Keng Sim tidak menjawab, hanya dengan hati kebat-kebit, ia balik menanya.

   "Suhu, dari mana suhu dapatkan pedangmu ini?"

   Keng To terkejut.

   "Perlu apa kau menanyakan ini?"

   Ia pun balik menanya.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak, tidak apa-apa..."

   Sahut murid itu tidak lancar.

   "Siapa yang suruh kau menanyakan?"

   Tanya lagi sang guru, keras.

   "Tidak, tidak ada yang suruh, suhu,"

   Sahut Keng Sim. Keng To segera menatap muridnya itu.

   "Ketika pertama kali kau angkat aku jadi guru, kau pernah bilang kau akan dengar segala perkataan gurumu!"

   Ia berkata.

   "Masihkah kau ingat itu?"

   "Ingat, suhu."

   "Kalau begitu, kenapa sekarang kau hendak mendustakan gurumu? Kenapa kau menanyakan tentang pedangku ini?"

   "Suhu, maafkan muridmu,"

   Kata Keng Sim kemudian.

   "Benarkah pedang ini dapat dicuri dari istana?"

   "Memang! Memang barang curian!"

   Sahut Keng To terus terang.

   "Benda mustika disimpan saja di dalam istana, itulah artinya mensia-siakan. Apakah tidak tepat aku mengambil ini?"

   Keng Sim tidak berani bersuara. Keng To sentil pedang di tangannya. Segera pedang itu mengasi dengar suara nyaring dan panjang bagaikan naga bersenandung dan harimau menggeram. Terus ia dongak dan tertawa lebar. Ia pun kata.

   "Buat guna pedang ini aku telah buron ke empat penjuru dunia, tidak pernah aku menyesal!..."

   Habis itu, ia mengawasi muridnya. Ia kata.

   "Lekas bilang, siapa yang suruh kau menanyakan?"

   "Tongnia Law Tong Sun dari Gielimkun,"

   Sahut Keng Sim akhirnya.

   "Dia ada di mana?"

   Keng To tanya.

   "Suruh dia yang datang sendiri padaku!"

   "Dia paksa ayahku dan ayahku memaksa aku,"

   Sahut sang murid.

   "Ayah suruh aku menangkap Suhu..."

   Keng To tertawa dingin.

   "Menangkap aku?"

   Dia mengulangi. Segera dia sadar, maka dia menambahkan.

   "Aku mengarti sekarang! Jikalau kau tidak tangkap aku, dia bakal bikin ayahmu celaka! Benarkah begitu?"

   Keng Sim menangis.

   "Benar,"

   Sahutnya.

   "Sekarang ini ayahku telah ditahan secara halus di kantor butay "

   "Bagus, beginilah lelakon kita guru dan murid!"

   Berkata Keng To.

   "Sekarang kau bicara terus terang, kau hendak berbuat bagaimana? Benarkah kau hendak ambil darah di leherku untuk dipakai menyemir merah kopia hitam di batok kepala ayahmu?"

   Keng Sim menangis terus.

   "Teecu tidak berani,"

   Ia menyahuti.

   "Satu laki-laki mengucurkan darah tidak mengalirkan air mata!"

   Berkata Keng To kemudian.

   "Aku Cio Keng To, aku telah berani mengacau di istana, biarpun langit ambruk, aku tidak takut! Buat apa kau menangis? Kenapa kau takut? Lekas bilang, sebenarnya kau hendak bertindak bagaimana?"

   "Suhu,"

   Menjawab murid itu.

   "Kepandaian suhu sudah sampai di batasnya kemahiran, orang yang dapat merendengi kegagahan kau, tidak ada seberapa lagi, dari itu, suhu sudah tidak membutuhkan pedang lagi. Suhu , kenapa untuk semacam pedang kau sudi menerima dosa sebagai pemberontak?"

   Keng Sim menangis terus. Keng To berdiam.

   "Kita bukan orang luar, tidak usah kita bicara banyak lagi!"

   Katanya, bengis.

   "Sekarang bilang, kalau menurut kau, aku harus bertindak bagaimana?"

   "Suhu,"

   Jawab murid itu.

   "baiklah suhu serahkan pedang padaku, nanti aku mengembalikannya ke istana, untuk minta sri baginda menarik pulang titahnya. Tidakkah itu baik untuk kedua belah pihak?"

   "Bagus, sungguh pikiran yang bagus!"

   Kata Keng To dingin.

   Sementara itu, ia ada sangat berduka.

   Ia sudah pikir untuk menyerahkan pedang kepada muridnya ini, siapa sangka rahasianya terbuka dan muridnya itu anggap perbuatannya perbuatan mendurhaka, memberontak, hingga ia diminta menyerahkan pulang pedangnya itu melulu untuk kesempurnaan hidup mereka.

   Tentu saja penyerahan berarti pelanggaran kepada pantangan Rimba Persilatan.

   Ia sudah memikir untuk menolongi Tiat Hong, guna ajak dia dan Keng Sim pergi buron, siapa tahu, Keng Sim telah mengutarakan sarannya ini.

   Keng Sim mengawasi gurunya itu, yang ia lihat seperti sudah berubah menjadi seorang lain, romannya bermuram durja, sebagai juga guru itu sudah tidak mengenali dia.

   Ia jadi merasa sangat tidak tenang.

   "Suhul..."

   Katanya.

   "Aku bukan gurumu lagi!"

   Jawab Keng To, suaranya tapinya tenang, mungkin saking murkanya yang tertahan.

   "Suhu, kau..."

   Kata pula si murid.

   "Jangan banyak omong!"

   Menyanggapi guru itu.

   "Kau bawa pergi pedang ini!"

   Ia cekal gagang pedang, ia angsurkan itu ke muka muridnya hingga mata orang kabur dan hatinya terkesiap. Keng Sim tidak berani menyambuti.

   "Kau ambil!"

   Keng To membentak.

   "Biarlah kau jadi orang setia dan berbakti yang sempurna! Kenapa kau belum mau ambil juga?"

   Dengan hati kebat-kebit, Keng Sim angkat sebelah tangannya. Keng To segera berkata.

   "Pedang ini aku serahkan pada kau, maka ilmu silat yang aku ajarkan kau, kau mesti kembalikan padaku!"

   Di kolong langit ini tidak ada guru yang meletaki senjata kepada muridnya. Hal ini barulah Keng Sim ketahui. Pantas gurunya mengatakan bahwa dia bukannya guru lagi. Murid itu mengucurkan air mata deras, ia menangis sesenggukan.

   "Muridmu bersalah, pantas suhu menegurkan,"

   Ia berkata.

   "Aku minta suhu jangan usir aku dari rumah perguruan..."

   "Hh!"

   Guru itu bersuara, bengis, wajahnya merah padam.

   "Mana aku ada punya rejeki mendapatkan murid bagus semacam kau! Kau tentunya menganggap tidak berarti itu sedikit pelajaran yang aku telah berikan padamu... Akan aku ambil pulang pengajaran yang aku berikanmu, selanjutnya, kita masing-masing ambil jalan sendiri. Pedang ini kau persembahkan kepada raja, hitunglah ini sebagai barang presenanku yang terakhir untukmu. Seumurku, aku membilang satu, tidak dua! Kenapa kau masih tidak mau ambil pedang ini?"

   Keng Sim sangat berduka ia menjadi serbah salah.

   Kalau ia tidak menyambuti pedang, ia menjadi tidak berbakti, biarnya keluarganya tidak disita, sedikitnya ayahnya bakal kerembet dan mendapat malu.

   Kalau ia menyambuti, maka habislah perhubungan guru dengan murid, dan habis juga ilmu silatnya.

   Pada otaknya segera berbayang aksi gurunya yang memberi hajaran kepada cintengnya.

   Ia lantas menggigil sendirinya.

   "Orang terhormat mesti pandai mengambil putusan!"

   Keng To berkata pula.

   "Kau kenapa begini cupat pikiranmu? Kau ambil pedang ini, kau kembalikan pelajaranku! Apakah kau merasa dirugikan aku?"

   Guru ini balingkan pedang di muka muridnya dan tangan kirinya diangkat, supaya begitu Keng Sim menyambuti pedang, ia bisa menghajarnya. Asal ia dapat menepuk, habislah kepandaiannya Keng Sim, dia akan jadi manusia bercacad..."

   Selagi begitu, Sin Cu di atas pohon pun bergidik.

   Hebat pemandangan itu.

   Ia tidak bersimpati kepada Keng Sim tetapi ia pun tidak tega menyaksikan ilmu silat orang hendak dibikin musnah.

   Ia melihat tangannya Keng To turun dengan pelahan-pelahan, siap untuk menepuk embun-embunan Keng Sim begitu lekas Keng Sim menyambuti pedang mustika.

   Saking ngeri, hampir nona ini menjerit.

   Ia lantas merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur, hingga sendirinya ia menutup rapat kedua matanya.

   Sunyi waktu itu, atau tiba-tiba terdengar Keng To menghela napas panjang.

   Sin Cu terkejut, belum lagi ia membuka matanya, ia sudah dengar bergontrangnya suara pedang jatuh.

   Tempo ia sudah melek, ia tidak lihat lagi Keng To, sedang Keng Sim berdiri menjublak di bawah pohon, pedang menggeletak di pinggir kakinya.

   Untuk sejenak si nona tercengang, tetapi segara ia sadar.

   Keng To masih ingat ikatan guru dengan murid, tidak tega dia menurunkan tangan telengas.

   Mengingat dia menghela napas panjang, bisalah dimengarti kedudukannya yang hebat.

   Masih lewat sekian lama tempat sunyi senyap itu terbenam dalam kesunyian, baru kelihatan tubuh Keng Sim bergerak, dengan pelahan-pelahan ia membungkuk untuk menjumput pedang.

   Hati Sin Cu kusut sendirinya.

   Ia merasa jemu tercampur kasihan terhadap pemuda gagah itu.

   Ia merasa orang ia kenal erat tetapi di lain pihak asing sekali...

   Ia menjadi serba salah.

   Kembali sang waktu lewat.

   Atau mendadak, dari antara pepohonan, muncul dua orang.

   Keng Sim merasa atas datangnya orang itu, ia segera menoleh seraya mengangkat kepala.

   Itulah Ong An si hamba setia serta seorang umur empat puluh lebih, yang tubuhnya besar, yang mengenakan baju tentara suka rela kota Tayciu, muka siapa memperlihatkan wajah kelicikan, sedang kedua matanya ditujukan kepada pedang mustika.

   Si anak muda tidak kenal orang itu, sebaliknya dengan Sin Cu, yang turut mengawasi.

   Nona ini terperanjat.

   Dia kenali Tongnia Law Tong Sun dari pasukan pengawal raja pasukan Gielimkun dengan siapa ia pernah bertarung! Sambil tertawa haha-hihi, Law Tong Sun menghampirkan Keng Sim, ia ulur sebelah tangannya akan menepuk-nepuk pundak pemuda itu.

   "Tiat Kongcu, kau telah berhasil?"

   Katanya, seperti ia ada satu sahabat kekal.

   "Kenapa itu bangsat tua kabur?"

   Keng Sim mendelik.

   "Kau siapa?"

   Ia tanya.

   "Barusan aku lihat Cio Loosu datang,"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ong An mendahului orang menjawab.

   "oleh karena kuatir kongcu mendapat celaka, aku sudah lantas mengundang Law Tayjin datang ke mari. Law Tayjin ini memang datang bersama aku dari Tayciu. Harap kongcu maafkan aku yang telah tidak lantas memberitahukannya. Apakah Cio Loosu bentrok sama kongcu ? Apakah dia tidak turun tangan?"

   Keng Sim terkejut.

   "Kaulah Law Tong Sun?"

   Dia tanya.

   "Itulah aku yang rendah,"

   Sahut Tong Sun sembari tertawa. Tiba-tiba saja tangan Keng Sim terayun, hingga pedangnya melesat.

   "Pergi kau bawa pedang ini!"

   Ia berseru.

   "Mulai sekarang hingga selanjutnya, jangan kau datang pula menemui aku!"

   "

   Tong Sun berkelit, tangannya menyamber pedang, terus ia menyabet ke sampingnya di mana ada sebuah pohon, maka batang besar pohon itu kutung. Ia tertawa dan memuji.

   "Benar-benar pedang mustika dari istana! Ha, Tiat Kongcu, jasamu ini bukan main besarnya!"

   "Pedang telah ada ditanganmu, apakah kau masih tidak mau pergi?"

   Pemuda itu menegur. Tong Sun tidak lantas pergi. Agaknya ia membelar. Lantas ia tertawa.

   "Memang pedang telah aku dapatkan akan tetapi penjahatnya masih belum tertawan,"

   Ia kata.

   "Tiat Kongcu, aku harap kau bekerja tidak kepalang tanggung, untuk mengantar Sang Buddha harap kau mengantarnya sampai di Langit Barat!"

   "Apa katamu?"

   Keng Sim tegaskan.

   "Tay gie biat cin, kongcu."

   Menjawab kommandan Gielimkun itu.

   "Apapula inilah cuma di antara guru dan murid. Bangsat tua she Cio itu telah kehilangan pedangnya, dengan mengandal tenaga kita berdua, dapat kita melayani dia. Haha!"

   Belum lagi kommandan itu sempat tutup mulutnya, matanya Keng Sim sudah mendelik, kedua biji matanya seperti mau lompat keluar. Kata-kata "tay gie biat cin"

   Itu yang berarti, sekalipun orang tua sendiri pun boleh dibinasakan membuatnya murka bukan buatan. Melihat wajah orang yang bengis itu, Tong Sun merasa jeri, tetapi sejenak saja, ia sudah tertawa pula.

   "Ayahmu di dalam gedung sunbu siang dan malam memikirkan kau saja, kongcu,"

   Ia berkata pula, suaranya, tingkahnya, dibikin-bikin.

   "Kalau ada sesuatu yang membikin kau murka sebagai ini, hingga kesehatanmu terganggu, pastilah ia akan berduka bukan main!"

   Mendengar itu, Keng Sim ingat bahwa ayahnya masih di tangan butay. Ia jadi ber-sangsi, hingga tangannya yang hendak dipakai menyerang menjadi didiamkan saja. Tong Sun tertawa pula.

   "Kongcu ada seorang yang cerdik, jikalau sekarang kongcu mendirikan suatu jasa besar, maka untuk kau selanjutnya, tak usah lagi kau kuatirkan urusan pangkat dan penghidupan yang berbahagia!"

   Katanya lagi. Dengan pengaruh kekuasaan, dengan pancingan kedudukan mulia, Tong Sun hendak membikin pemuda itu jatuh di bawah pengaruhnya, tetapi sampai di situ, ia berhenti membuka mulutnya. Ia melihat wajah orang yang muram dan lalu menjadi pucat.

   "Oh, Thian!"

   Berseru itu anak muda, seraya ia menepuk dadanya.

   "kedosaan apa telah hambamu lakukan maka sekarang orang pandang aku sebagai manusia hina dina?"

   Tong Sun terkejut. Inilah ia tidak sangka.

   "Jikalau aku temahak pangkat dan kesenangan!"

   Pemuda itu kata dengan nyaring.

   "kenapa aku tidak mau bawa sendiri pedang ini ke kota raja kepada raja? Sudah cukup, jikalau lagi kau ngaco belo, aku nanti adu jiwaku denganmu, biarlah aku menjadi hamba tidak setia dan anak tidak berbakti!"

   "Sabar, kongcu."

   Kata Tong Sun dengan berani.

   "Bukankah kita dapat bicara secara baik-baik? Kenapa kau bicara keraskeras, berkaok-kaok?"

   Keng Sim tidak gubris komandan Gielimkun itu, hanya seorang diri ia berseru.

   "Suhu, suhu1. Kapankah aku bisa bertemu pula denganmu untuk membeber hatiku ini?"

   Sampai di situ, Tong Sun juga menjadi habis sabar, hingga ia menyesal tidak bisa lantas mencekek leher orang, meskipun begitu, tidak berani ia sembarang turun tangan, karena ia tahu, dalam lima puluh jurus, belum tentu ia dapat merobohkan pemuda itu yang liehay.

   Ia pun kuatir suara berisik nanti mengasi bangun banyak orang di sekitarnya.

   Bukankah ia telah mendapatkan pedang? Dengan membawa pedang itu, kendati si penjahat belum tertawan, ia sudah dapat bertanggung jawab.

   Ong An sementara itu masgul sekali.

   Belum pernah ia saksikan majikan mudanya demikian bersusah hati.

   "Kongcu, mari kita pulang menemui looya,"

   Ia berkata membujuk.

   "Baiklah kalau siang-siang kongcu menyingkir dari ini tempat buruk...?"

   "Kau juga pergi!"

   Membentak si kongcu tiba-tiba.

   "Semenjak hari ini, jangan kau melihat aku pula!"

   Lantas pemuda ini menangis seraya menepuk-nepuk dada. Ong An menjadi bingung.

   "Kongcu-mu telah jadi gila, mari kita lekas pergi!"

   Berkata Law Tong Sun menyaksikan kelakuan orang itu.

   Tapi ia sebenarnya kuatir Keng Sim menyebabkan bangunnya banyak orang, hingga Ong An bisa dibekuk.

   Ia lantas sambar tangan Ong An itu untuk ditarik diajak pergi.

   Keng Sim menangis hingga ia merasa sangat letih melebihkan pertempuran sama musuh tadi siang.

   Ia merasa telah mendapat cacad yang seumurnya sukar ia singkirkan.

   Sin Cu di tempat bersembunyi pun terharu.

   Ia lihat orang numprak di tanah, kehilangan semangat, hingga pemuda itu mirip dengan sebuah patung batu.

   Diam-diam ia menghela napas.

   Tak tahu ia, ia merasa kasihan atau muak...

   Ketika itu terdengar suara berisik yang mendatangi.

   Mungkin dari pelbagai kemah datang orang yang tadi mendengar suaranya keras dari si anak muda.

   Mendengar itu, Sin Cu pun insaf akan halnya dirinya sendiri.

   Bukankah ia hendak pergi menyingkir? Maka, tanpa ayal lagi, ia lompat turun, untuk mengangkat kaki.

   Keng Sim mendapat dengar suara pelahan sekali, segera ia mengawasi, maka sekarang baru ia ketahui, di sana ada seorang lain.

   Ia lantas mengawasi, samar-samar ia kenali Sin Cu.

   Ia menjadi menjublak sendirinya.

   Sin Cu lari terus turun gunung.

   Ia dapatkan sinar rembulan dan bintang-bintang guram.

   Fajar belum lagi menyingsing akan tetapi di tengah laut terlihat dua tiga ekor burung laut sudah berterba-ngan mencari makanan.

   Di tepian, sang gelombang mendampar gili-gili tak hentinya.

   Menampak itu, hatinya pun ruwet.

   Ia ingat ia datang dengan gembira tapi sekarang pergi dengan lesu.

   Ia menoleh ke arah Keng Sim, ia seperti dengar pemuda itu memanggil-manggil padanya...

   Kemudian pemudi ini memungut sebutir batu, ia timpuki itu ke air laut, seperti kias bahwa ia membuang segala macam kesannya...

   *** Setelah fajar, air laut nampak bergelombang hebat, suaranya bergemuruh, setiap kali tepian digempur, muncratlah letikannya, bagaikan air hujan atau hancuran mutiara.

   Sin Cu berada di tepian, bajunya terkena muncratan air.

   Hawa dingin membikin hatinya terbuka.

   Maka tanpa merasa, ia bersenandung dengan syairnya Su Tung Po "Pergi ke Kang Tong."

   Ia ingat belum pernah ia menemui orang yang cocok dengan hatinya.

   Ia bayangkan Keng Sim dan Kheng Thian, keduanya lenyap di dalam rupa bayangan.

   Cong Liu gagah tetapi dia bukanlah pria yang menjadi idam-idamannya wanita.

   Maka di akhirnya ia merasa, adalah subo-nya, gurunya yang wanita, yang berbahagia sekali.

   Di timur, cuaca makin lama makin terang, gelombang pun menghebat terus.

   Kelihatan laut dan langit seperti nempel.

   Luas air laut, yang seperti tak berujung pangkal.

   Kagum Sin Cu menyaksikan kebesaran sang laut dengan gelombangnya.

   Cuma burung-burung laut yang dapat terbang mundar-mandir diatasnya dengan kadang-kadang binatang itu terjun menyamber ke muka air.

   Mengawasi burung itu, Sin Cu tertawa sendirinya dan berkata.

   "Burung laut itu menyerbu lautan, dia mementang sayap dan berterbangan, maka mustahil sekali aku tidak dapat seperti dia?"

   Ia ngelamun tetapi ia jadi bersemangat, maka tempo ia membuka tindakannya, ia dapat berjalan dengan cepat.

   Fajar membuat laut terlihat tegas, gunung-gunung pun turut berpeta, muncul dari antara uwap gempal.

   Terbukalah hati memandangi gunung-gunung itu.

   Selagi si nona terbenam dalam keindahan sang alam itu, tiba-tiba kupingnya mendengar suara tindakan yang keras, yang tengah mendatangi.

   Ia terkejut.

   Segera ia menduga apa Cong Liu mengirim orang menyusul padanya.

   Ia memasang kuping, ia dapat kenyataan suara itu bukan datang dari arah belakang.

   Maka ia memikir pula.

   "Benarkah di waktu pagi buta begini sudah ada orang yang melakukan perjalanan?"

   Makin lama tindakan kaki itu terdengar makin dekat, sekarang pun terdengar juga suara napas orang yang disusuli dengan kata-kata.

   "Dengan bersembunyi di tempat gelap membokong orang, apakah itu perbuatannya satu lakilaki? Jikalau kau ada punya nyali, mari muncul di tempat terbuka di bawahnya matahari untuk kita main-main!"

   Itulah tantangan.

   Tapi yang menarik perhatian ialah suara itu Sin Cu rasanya kenal baik.

   Ia tidak usah memikir lama akan ingat suaranya Law Tong Sun si komandan Gielimkun.

   Ia menjadi heran.

   Bukankah komandan itu gagah sekali? Siapakah yang berani membokong padanya? Segera juga terlihat orang yang berlari-lari dan berkatakata itu muncul di sebuah tikungan.

   Dia memang Tong Sun adanya! Sin Cu lantas saja menyembunyikan diri di antara dua batu besar di tepi jalan.

   Di situ orang tidak dapat lihat ia sebaliknya ia dapat mengintai orang.

   Ia lantas memasang mata.

   Tong Sun itu riap-riapan rambutnya, mukanya mateng biru di sana-sini dan pakaiannya penuh kotoran tanah, dia bagaikan seorang rudin.

   Melihat keadaan orang itu, Sin Cu heran bukan main.

   Ia berpikir.

   "Walaupun Loocianpwee Cio Keng To tidak nanti dapat membikin ini komandan Gielimkun yang gagah menjadi rusak begini macam... Untuk Cio Loocianpwee, ini pun tidak mungkin, karena ia sudah tidak suka memusingkan kepala lagi terhadap segala urusan..."

   Oleh karena ia insaf ia bukan tandingan Law Tong Sun, Sin Cu tetap bersembunyi, ia hanya mengawasi saja.

   Bahkan napasnya ia sampai tahan, kuatir nanti kedengaran musuh itu.

   Ia tetap heran kenapa orang menjadi serudin itu.

   Tong Sun telah mendapatkan pedang mustika, ia kabur, bahkan dengan meninggalkan Ong An ketika ia dengar suara orang mencari Keng Sim.

   Ia memilih jalan kecil, lantaran ia sungkan menemui tentara rakyat.

   Ia tidak takuti tentara itu tetapi ia segan mendapat kesulitan digerembengi mereka.

   Karena ia pilih jalan kecil itu, ia mesti melewati sebuah tanjakan atau bukit kecil.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika kemudian ia memasuki sebuah tempat dengan pepohonan yang lebat bagaikan rimba, ia kendorkan tindakannya.

   Ia menduga bahwa ia sudah terpisah tiga puluh lie lebih dari tangsi tentara rakyat.

   Di sini ia mengambil kesempatan untuk menghunus pedang mustika, yang segera mengasi lihat sinar berkilauan, cahayanya mirip dengan cahaya mutiara.

   Sejarak lima tindak, ia bisa melihat segala apa dengan nyata.

   Bukan main girangnya ia.

   "Pantaslah pedang dari istana!"

   Ia memuji di dalam hati saking kagum.

   "Tidak aneh yang untuk ini Cio Keng To sampai mengacau istana!..."

   Gembira Tong Sun hingga seorang diri ia tertawa tak hentinya. Ia sudah membayangkan bahwa ia telah mendapatkan hadiah istimewa dari raja untuk jasanya sudah mendapatkan pedang itu.

   "Syukur Yang Cong Hay tidak turut bersama aku,"

   Ia ngelamun terlebih jauh. Tiba-tiba saja ia ingat rekannya itu.

   "Kalau tidak, jikalau sampai dia yang mendapatkan ini, pasti sekali dia tidak menghiraukan lagi pangkat Tay i wee Congkoan, kuasa istana! Pasti dia bakal buron dengan pedang ini! Sayang dahulu hari aku tidak meyakinkan ilmu pedang, coba sebaliknya, sekarang ini tentulah aku tidak kesudian mengantarkan pedang ke istana!..."

   Tong Sun mengatakan ia tidak mempelajari ilmu silat pedang, tetapi sedikit-sedikit ia bisa juga, maka itu, dengan pedang mustika itu, ia terus bersilat dengan caranya sendiri.

   "Traang!"

   Demikian sekonyong-konyong terdengar suara nyaring. Komandan Gielimkun ini menjadi kaget sekali. Itulah pedangnya yang mengasi dengar suara nyaring itu. Pedang itu telah kena ditimpuk batu, keras serangannya hingga tangannya sedikit gemetar.

   "Sahabat siapa itu?"

   Dia lantas menegur.

   "Silahkan kau keluar, sahabat?"

   Dari dalam rimba tidak terdengar suatu apa, suasana di situ tetap sunyi.

   Tong Sun heran dan penasaran, ia memandang kelilingan, pedangnya disiapkan untuk melindungi tubuhnya.

   Tiba-tiba ada terdengar suara tertawa pelahan di sebelah timur.

   Gesit sekali ia berlompat, akan lari ke arah dari mana suara itu datang.

   Ia pun menegur.

   "Di sini Law Tong Sun menanti pengajaran!"

   Ia percaya, orang golongan Jalan Hitam atau Jalan Putih, sedikitnya tentu pernah mendengar namanya itu.

   Belum lagi suara tantangan itu lenyap di udara, kembali ada sebutir batu yang menyambar, jauh lebih keras daripada yang tadi.

   Kali ini pedang berbunyi nyaring dan getarannya terasa hingga telapakan tangan komandan Gielimkun itu menjadi seperti kesemutan.

   Tong Sun ketahui ia dipermainkan, ia menjadi sangat gusar, maka ia lantas lompat ke arah timur itu, dengan niat memasuki rimba guna mencari orang yang mempermainkan padanya.

   Ketika ia baru sampai di muka rimba, mendadak kupingnya mendengar suara tertawa di sebelah barat.

   Ia mengenali suara yang sama.

   "Setan alas!"

   Ia mendamprat.

   "Jikalau kau tetap tidak mau keluar, nanti aku mengupat caci padamu!"

   Tengah ia membuka mulutnya itu, tiba-tiba ada sepotong tanah yang menyambar masuk tanpa ia dapat mencegah, saking hebatnya timpukan tanah itu.

   Ia kaget sekali, sampai hampir ia ketelak.

   Dengan luar biasa cepat, ia memuntahkannya.

   Tentu saja, meluap kemurkaannya, hendak ia membuktikan ancamannya, akan mengupat caci.

   Tapi kali ini, timpukan datang pula dan mengenai mukanya, hingga ia merasakan sakit dan perih, hampir berbareng dengan mana, ia dengar suara tertawa di arah selatan! "Inilah hebat,"

   Kemudian Tong Sun berpikir. Ia ada satu jago tetapi dua kali ia kena orang timpuk. Bahwa pedangnya yang kena diserang, itulah tidak terlalu heran, yang belakangan tapinya mulutnya dan mukanya. Ia menjadi mendongkol berbareng jeri.

   "Siapakah orang liehay ini? Mungkinkah dia iblis rimba ini?"

   Sekarang ia tidak berani membuka mulut pula jangan kata mendamprat atau menegur.

   Sudah tentu, ia pun tidak berani membuktikan ancamannya akan mengupat caci.

   Bahkan ia pikir, menyingkir dari tempat ini adalah paling baik.

   Ia baru jalan beberapa tindak tatkala ia dengar suara bengis.

   "Kembali!"

   Suara mana disusuli mengaungnya suara senjata rahasia menyambar.

   Dengan terpaksa jago ini mencelat mundur, dengan begitu ia lolos dari serangan.

   Untuk herannya ia memperoleh kenyataan, ia ditimpuk dengan batu yang terlebih kecil daripada telur burung.

   Maka itu menyatakan liehaynya si penyerang.

   Kalau ia kena ditimpuk, mungkin tulangnya patah.

   Penyerang batu itu tidak berhenti dengan yang pertama itu, lalu itu disusul dengan yang kedua dan ketiga, seterusnya.

   Dengan begitu juga Tong Sun terpaksa mesti kembali ke tempat dari mana ia datang.

   Sebab setiap datang serangan itu, ia mesti berkelit mundur.

   Serangan batu pun tercampur sama tanah atau gumpalan lumpur, maka itu, tidak dapat ia membebaskan diri anteronya, hingga sekarang pakaiannya menjadi kotor begitupun muka dan kepalanya.

   Percuma ia ada satu jago atau kepala dari pasukan tentara kerajaan, sekarang ini Tong Sun tidak berani membuka mulutnya, ia mesti membungkam tidak perduli kemendongkolan dan kegusarannya meluap-luap.

   Sebagai satu jago silat, ia ada cacadnya, ialah ia tidak pernah meyakinkan mata, untuk dapat melihat tegas di waktu malam gelap petang, sedang keistimewaannya, ialah ilmu silat Hunkin Cokut ciu, untuk mematahkan tulang lawan, cuma dapat dipakai dalam perkelahian rapat.

   Sementara itu langit telah mulai menjadi terang, angin laut meniup-niup dengan santar, dari kepala pusing, Tong Sun mendapat pulang kesegarannya.

   Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapat kenyataan yang ia telah dipaksa mundur kembali ke jalanan di tepi laut.

   Ia menjadi heran dan kaget sendirinya.

   "Lagi beberapa lie, aku pasti akan tiba di tangsi tentara rakyat,"

   Ia berpikir.

   "Syukurlah langit keburu terang, jikalau tidak, tentulah aku akan dipaksa mundur sampai di sana. Pasti di sana orang bakal jadikan aku buah tertawaan..."

   Dengan cuaca menjadi terang, Tong Sun terbangun semangatnya.

   Sekarang orang tidak bisa main sembunyi seperti tadi untuk saban-saban menyerang ia dengan timpukan.

   Kembali ia memandang ke sekitarnya.

   Di waktu fajar seperti itu, di situ belum ada orang yang berlalu lintas.

   Ia tidak lihat siapa juga, hingga ia jadi penasaran sekali.

   Penyerangnya itu tetap tidak pernah memunculkan diri.

   Sekarang barulah Tong Sun merasakan letih, maka itu ia cari sebuah batu besar di tepi jalanan itu, untuk duduk beristirahat.

   Ia pun segera merasakan perutnya lapar.

   Maka ia tancap pedang di sampingnya, terus ia keluarkan rangsum keringnya untuk didahar.

   Ia tidak meneliti lagi tempat duduknya itu, ia tidak tahu batu itu ada pasangannya dan di antara kedua batu itu ada satu nona tengah mengintai ia...

   Sin Cu tetap sembunyi di sela batu itu.

   Ia mengintai selama matanya masih dapat melihat.

   Ia sembunyi di situ sampai orang tiba kembali.

   Ia terkejut akan mendapatkan orang duduk di dekatnya, hingga ia dapat mendengar suara bernapas orang.

   Ia baru merasa sedikit lega setelah mendapat kenyataan rupanya orang tidak ketahui sembunyinya di situ.

   Ia terus berdiam, dengan ati-ati ia mengintai.

   Begitulah ia lihat pedang itu, yang kalau mau, dapat ia sambar dengan tangannya.

   "Kenapa aku tidak mau curi pedangnya ini, untuk diteruskan menikam padanya?"

   Si nona dapat pikiran.

   Ia nyata bernyali besar, begitu ia berpikir, begitu ia bekerja.

   Tangannya menyambar dan pedang tercekal.

   Hanya di saat ia baru mencabut, Tong Sun mendapat tahu, jago ini dengar suara angin, maka dengan kesehatannya yang luar biasa, tangannya menyambar, tepat ia kena cekal lengan si nona.

   Sin Cu kaget bukan main, ia pun merasakan sakit pada tangannya itu, yang bagaikan terjepit besi.

   Law Tong Sun sudah lantas tertawa terbahak.

   "Kiranya kau?"

   Katanya. Ia telah lantas berpaling kepada si nona, yang ia pun tarik. Sin Cu cerdik, belum sampai ia tertarik, ia mendahulukan berlompat, di waktu mana pun.

   "Sret!"

   Terdengarlah suara pedang dicabut.

   Dasar muridnya Thio Tan Hong, ia cerdik sekali, ia tidak gugup.

   Tangan kanannya benar telah orang cekuk tetapi tangan kirinya masih bebas maka dengan tangan kiri itu ia menghunus pedangnya, bahkan tanpa ayal sedetik jua, ia terus menikam ke tenggorokannya komandan Gielimkun itu.

   Tong Sun liehay, ia tarik tangannya si nona hingga tubuh nona ini tergerak, hingga tentu saja serangannya mengenakan sasaran yang keliru, ialah mengenakan pedang dari istana itu.

   Syukur untuk si nona, ia tidak sampai menikam tangannya sendiri yang kanan itu.

   Ia menjadi kaget berbareng penasaran, ia mendongkol bukan main.

   Dengan berani ia ulangi serangannya, kali ini ia membacok ke arah lengannya sendiri yang dipegangi Tong Sun itu! Inilah hebat! Tong Sun tidak sempat berdaya, walaupun sebenarnya, kalau ia cukup cerdas, dapat ia membikin patah tangan nona itu.

   Ia telah didului, ia menjadi kaget.

   Kalau ia tidak lepaskan cekalannya, bukan melainkan tangan si nona, tangannya sendiri bakal terbabat kutung, ia tidak sempat merampas pedang istana itu, yang Sin Cu tidak mau melepaskannya tidak perduli tangannya dipencet keras.

   Ia menahan sakit sebisa-bisa.

   Serangan Sin Cu ini ada maksudnya, dan nyata ia berhasil.

   Mau atau tidak, Tong Sun mesti melepaskan cekalannya, maka itu, si nona menjadi merdeka.

   Tidak mensia-siakan tempo lagi, Nona Ie segera menyerang dengan kedua pedang di tangannya itu.

   "Binatang licin!"

   Tong Sun berseru saking mendelu.

   Ia tidak takut, ia lawan si nona dengan bertangan kosong.

   Ia harap dapat melanggar atau memegang tangan nona itu, untuk dibikin keseleo atau patah.

   Ia bersilat dengan ilmu silatnya Hunkin Cokut Ciu itu yang liehay.

   Maka ia dapat melayani dengan baik.

   Dengan sangat lincah ia saban-saban menyingkir dari sabetan atau tikaman pedang.

   Hanya ia repot juga, ia mesti berlaku ati-ati luar biasa.

   Sin Cu berkelahi dengan ilmu pedangnya Hian Kie Itsu, dengan begitu, walaupun ia kalah kosen, ia masih dapat bertahan, apapula sekarang ia memegang dua batang pedang mustika.

   Mereka telah bertempur sampai kira-kira lima puluh jurus, itu artinya meminta tempo.

   Keduanya lantas merasa tidak aman sendirinya.

   Law Tong Sun kuatir munculnya lawan yang sembunyikan diri itu, yang belum ketahuan siapa adanya, kalau dia itu datang, ia bisa dapat susah.

   Sin Cu sebaliknya kuatir-kan munculnya Kheng Thian, yang bisa menggerecoki padanya.

   Maka itu keduanya sama-sama ingin lekas-lekas mengakhiri pertempuran itu.

   Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari Hian Kie Itsu mengutamakan sepasang pedang yang dipegang masingmasing oleh satu orang, sekarang Sin Cu menggunainya sendiri ini kurang tepat, tangan kirinya kalah lincah dengan tangan kanannya.

   Lama-lama kekurangan ini dapat dilihat Tong Sun yang liehay itu, maka selang lagi sekian lama, ini komandan Gielimkun lantas mendesak di sebelah kiri.

   "Lepas!"

   Berseru Tong Sun tatkala ia dapat membikin mental Cengbeng kiam di tangan kiri si nona sambil tangan kanannya menyambar ke pedang istana, untuk mana ia gunai dua jarinya, tengah dan telunjuk, untuk menjepit pedang mustika itu.

   Ia benar-benar liehay, karena berbareng sama seruannya itu, pedang itu terlepas dari tangan Sin Cu, pindah ke tangannya.

   Lantas ia tertawa berkakak.

   "Lepas!"

   Kembali komanan Gielimkun ini berseru setelah beberapa jurus lagi.

   Kali ini dengan tangan kiri ia menyamber tangan si nona dengan maksud merampas juga pedang Cengbeng kiam.

   Tapi kali ini ia keliru menyangka.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan hanya memegang sebuah pedang, Sin Cu jadi terlebih liehay daripada ia mencekal dua.

   Ia meloloskan diri dari sambaran, ia terus membalas menikam ke uluhati lawannya dengan jurusnya "Ular putih muntahkan bisa."

   Tong Sun bukan ahli pedang, ia dapat menangkis, akan tetapi ia kalah tindih, karenanya ujung Cengbeng kiam terus mengarah dadanya.

   Tentu saja ia menjadi terkejut, perlu ia lebih dahulu membela dirinya, hingga gagal ia dengan serangannya itu.

   Sin Cu menjadi dapat hati, maka itu, berulang-ulang ia mendesak.

   Dengan terpaksa, Tong Sun main mundur.

   Akhirnya, saking penasaran, komandan itu berseru.

   "Jikalau aku tidak dapat rampas pedangmu, aku bukan si orang she Law lagi!"

   Dengan teriakannya itu, Tong Sun hendak menyimpan pedang mustika ke dalam sarungnya.

   Sebab ingin ia merampas pedang si nona dengan tangan kosong, dengan menggunai ilmu silat andalannya ialah Hunkin Cokut Ciu.

   Justeru itu sekonyong-konyong terdengar seruan "lmu pedang yang bagus!"

   Lalu sebutir batu menyambar keras sekali kepada kedua pedang yang lagi saling tindih itu, hingga kedua pedang itu terpisah sendirinya.

   Tong Sun terkejut,ia lantas berlompat mundur seraya berpaling ke arah dari mana suara datang.

   Ia kenali suara yang tadi mengganggu padanya.

   Ia mendapat lihat, di tempat terpisah belasan tindak dari ia, dua orang tengah berdiri menonton.

   Mereka itu pria dan wanita, umurnya umur pertengahan, masing-masing dengan sikapnya sangat tenang.

   Rupanya sudah sekian lama mereka itu menonton pertempuran.

   Si pria dandan sedikit luar biasa, ialah ia mengenakan pakaian orang Hweekiang.

   Dan si wanita, di bebokong siapa ada tergendol sepasang gaetan, juga dandan bukan sebagai orang Han.

   Kembali Tong Sun menjadi kaget, ini kali disebabkan ia tidak ketahui datangnya orang.

   Ia percaya dirinya sangat liehay dan mengetahui segala apa.

   Ia pun lantas menduga pasti, si pria adalah orang yang dari dalam rimba menggodai padanya...

   Dengan Tong Sun berlompat mundur, Sin Cu menjadi berhenti berkelahi.

   Tentu saja ia pun heran atas datangnya batu yang memisahkan perkelahian mereka.

   Justeru itu si pria menunjuk padanya seraya menanya.

   "Eh, nona, apakah kau muridnya Thio Tan Hong?"

   Sin Cu heran bukan main hingga ia melengak.

   "Kenapa sekali melihat saja dia ketahui aku wanita?"

   Pikirnya.

   "Kenapa dia pun mengenali ilmu silatku?"

   Tapi ia tidak melengak lama, segera ia sadar. Bukannya menjawab, ia justeru menanya.

   "Bukankah kau Peehu Ouw Bong Hu?"

   Orang itu bersenyum.

   Ia memang Ouw Bong Hu, muridnya Siangkoan Thian Ya, yang mewariskan ilmu silat gurunya itu dan kepandaiannya jauh terlebih liehay daripada Tamtay Biat Beng, kakak seperguruannya yang tertua.

   Sedang wanita itu adalah adik seperguruannya.

   Kimkauw Siancu Lim Sian In si Dewi Gaetan Emas.

   Siangkoan Thian Ya, sama kesohornya dengan Hian Kie Itsu, ia hanya bertabiat aneh, ialah ia melarang pernikahan di antara murid-muridnya pria dan wanita.

   Ouw Bong Hu dan Lim Sian In terkena larangan itu, mereka menyinta satu pada lain tetapi tidak dapat mereka merangkap jodoh.

   Adalah kemudian, sesudah dibantu Thio Tan Hong, yang membikin Siangkoan Thian Ya kagum terhadap orang she Thio itu, baru pantangan itu ditiadakan dan mereka dapat menikah.

   Karena ini, tanpa perdulikan lagi tingkat derajat.

   Ouw Bong Hu suami isteri jadi bersahabat erat dengan Thio Tan Hong.

   3) Sin Cu sering mendengar gurunya bercerita tentang Ouw Bong Hu dan Lim Sian In itu, maka lekas juga ia ingat mereka dan lantas mengenalinya.

   Tentu saja datangnya mereka itu membuat hatinya lega, hingga ia menjadi girang sekali.

   Adalah Ouw Bong Hu yang bersama-sama Thio Tan Hong, Cio Keng To dan Yang Cong Hay yang disebut Thianhee Sutay Kiam-kek yaitu jago pedang paling besar di kolong langit di jamannya itu.

   Maka juga kaget sekali Law Tong Sun apabila ia dengar Sin Cu yang ia sangka seorang pemuda menyebut namanya jago itu.

   Tapi dasar ia sangat percaya ilmu silatnya Hunkin Cokut Ciu, ia tidak menjadi berkecil hati.

   "Ouw Bong Hu,"

   Ia lantas berkata, dengan dingin.

   "kaulah seorang kenamaan, mengapa kau senantiasa bermain di tempat gelap, sampai kau tidak berani memperlihatkan dirimu? Hari ini aku si orang she Law telah belajar kenal denganmu!"

   Ouw Bong Hu melirik orang dengan sikapnya yang dingin sekali.

   "Tahukah kau siapa binatang ini?"

   Ia tanya Sin Cu.

   "Tahukah kau perlu apa dia datang ke mari?"

   "Dialah tongnia dari Gielimkun,"

   Menjawab Sin Cu.

   "dia sedang menerima firman raja untuk menawan Loocianpwee Cio Keng To sekalian dia hendak merampas pedangku! Dialah satu telur busuk paling besar!"

   Ouw Bong Hu tertawa dingin, ia lantas berpaling kepada komandan Gielimkun itu.

   "Tadi malam aku tidak ketahui asal-usulmu maka itu aku berlaku murah terhadapmu,"

   Ia berkata.

   "Hm! Kenapa kau justeru mencaci aku? Kau berniat keras sekali merampas pedang orang, sekarang aku juga ingin merampas pedang di tanganmu itu! Mari, mari kita main-main!"

   Habis mengucap kata-katanya yang terakhir itu, Ouw Bong Hu mengulur sebelah tangannya ke sampingnya di mana ada pohon bambu, ia menjambret sebatang yang masih muda, ia patahkan itu, dengan tangannya ia belah dan merautnya hingga menjadi seperti pedang bambu panjang tak ada tiga kaki, kemudian menyabet dengan itu, ia kata dengan nyaring.

   "Kau gunakanlah pedang mustikamu itu! Jikalau kau dapat mengalahkan pedang bambuku ini, segera aku kembali ke gurun pasir di Utara dan untuk selanjutnya tidak nanti aku kembali ke Kanglam ini!"

   Tong Sun mendongkol tidak terkira.

   "Bagaimana jikalau pedang bambumu itu kena aku babat kutung?"

   Dia tanya.

   "Dengan begitu akulah yang kalah!"

   Menjawab Ouw Bong Hu. Tong Sun segera berpikir.

   "Aku punya ilmu pedang tidak sempurna tetapi pedang ini tajam luar biasa, rambut ditiup di tajamnya pedang putus, mustahil segala pedang bambu tidak akan terpapas buntung?"

   Lantas ia menerima baik, serunya.

   "Baiklah! Kau ada seorang kenamaan, kata-kata kita adalah janji! Jikalau aku kalah, dengan kedua tanganku akan aku persembahkan pedang mustika dari istana ini kepadamu!"

   Baru Tong Sun menutup mulutnya atau tangannya sudah bergerak menikam seraya sebelah kakinya dimajukan dengan cepat. Ia mengarah pinggang orang. Ouw Bong Hu tertawa.

   "Hm! Sungguh sebat"

   Katanya, mengejek. Sembari tertawa, ia berkelit ke samping terus ke belakang penyerangnya itu, untuk menotok jalan darah honghu hiat dari komandan Gielimkun itu.

   "Celaka!"

   Tong Sun berseru di dalam hatinya, karena ia tengah menyerang dan tidak dapat ia lekas-lekas menarik pulang pedangnya itu untuk menangkis.

   Tapi meskipun begitu, ia gunai tangan kirinya guna menyambar tangan lawan.

   Itulah gerakan dari Hunkin Cokut Ciu.

   Diserang dengan sambaran itu, Ouw Bong Hu tertawa.

   "Namanya mengadu pedang tetapi ceker anjing pun dikeluarkan!"

   Katanya.

   Mukanya Tong Sun menjadi merah dan ia merasakan panas sendirinya.

   Bukan saja sambarannya itu tidak memberi hasil juga ejekan lawan membuatnya malu sekali.

   Memang tidak ada dibikin perjanjian, mengadu pedang tak boleh dicampur baur dengan lain macam ilmu silat, akan tetapi sama-sama orang kenamaan sebagaimana ia anggap ia pun tersohor sudah sepantasnya ia hilang muka.

   Setelah ini, dalam mendongkol dan sengitnya, Tong Sun mendesak lawannya itu.

   Berulang-ulang ia membacok atau membabat, dengan niat keras membikin sapat pedang bambu dari si lawan.

   Pedang bambu itu, asal bentrok sedikit saja, mesti putus.

   Ouw Bong Hu ada sangat lincah, ia berkelit atau berlompat mengegos tubuh menyingkir dari setiap serangan, ia selalu dapat membebaskan diri dari ancaman, sambil menolong diri, di mana ada kesempatan, ia juga membalas menyerang, hingga satu dua kali, hampir Tong Sun kena ditotok ujung pedang bambu itu, yang di tangannya Bong Hu, menjadi liehay sekali.

   "Jikalau terus begini jalannya, mungkin aku nanti salah tangan atau kena dipancing,"

   Pikir Tong Sun kemudian dengan hatinya gon-cang.

   Karena ini, terus ia putar pedangnya.

   Ia tidak pandai mainkan pedang untuk menyerang tetapi untuk membela diri, melindungi tubuhnya, ia cukup mahir.

   Bagaikan lingkaran perak demikian tubuhnya tertutup sinar pedangnya itu.

   Di dalam hatinya ia kata.

   "Aku hendak lihat dengan cara bagaimana kau dapat menyerang aku! Asal pedangku dapat mengenai sedikit saja, pedangmu tentu bakal terkutung..."

   Komandan Gielimkun ini berpikir demikian, hatinya puas.

   Ia tidak menduga, justeru di saat ia membuat perubahan siasat, dari menyerang menjadi menjaga diri sekejap itu Ouw Bong Hu telah menggunai ketika-nya dengan baik, dia ulur pedang bambunya dan membentur pedang mustika dari istana raja itu.

   Dengan lekas-lekas Tong Sun membalik pedangnya, dengan harapan supaya ia dapat menempel pedang lawan dengan pedangnya bagiannya yang tajam, akan tetapi kesudahannya ia heran sekali.

   Pedang bambu itu seperti nempel sama pedangnya sendiri, tidak dapat ia membalik pedangnya itu.

   Belasan kali ia geraki pedangnya, dengan pelbagai tipu, tetap kedua pedang tak dapat terpisah.

   Yang membikin hatinya jadi kecil adalah ketika kemudian ia merasakan pedang bambu berubah sifatnya, tadinya enteng, sekarang menjadi berat, berat hingga seribu kati, hingga hampir ia tidak dapat berdaya lagi.

   Ia menginsafi akan tenaga dalam yang luar biasa dari lawannya ini.

   "Sekarang kau hendak membilang apa lagi?"

   Ouw Bong Hu menanya. Tong Sun mengertak giginya.

   "Aku serahkan pedang padamu!"

   Sahutnya sengit.

   Sambil menolak keras, ia lepas gagang pedangnya dengan ujung pedang yang tajam menjurus ke jantung lawannya itu.

   Sin Cu dapat melihat perbuatan orang itu, ia kaget hingga ia menjerit.

   Ouw Bong Hu tidak menjadi kaget karena kelicikan lawannya.

   Ia menarik pedangnya selagi Tong Sun menolaknya, tangan kirinya membarengi maju bekerja, maka sebelum ujung pedang mampir di tubuhnya, gagang pedang sudah dapat ia cekal.

   Begitu cepat gerakan tangan jago ini, sampai Sin Cu tidak dapat melihat orang menggunai tipu silat apa.

   Maka ia menjadi kagum luar biasa.

   "Pantas dia sama kesohornya seperti suhu."

   Pikirnya.

   Nona ini mengatakan demikian tanpa ia menginsafi bahwa dalam tingkat derajat, Ouw Bong Hu ada terlebih tinggi setingkat daripada gurunya itu, sedang ilmu menanggapi pedang itu, Ouw Bong Hu dapat menurunkan dari Liehiap Siauw Un Lan, sahabat gurunya.

   Untuk jamannya itu, Siauw Liehiap itu adalah yang tingkat derajatnya paling atas.

   Dahulu harinya pernah dengan sebatang pedang bambu dia melayani Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng yang mengepung ia berbareng dengan pedang mereka dengan kesudahannya seri.

   4) Begitu lekas ia menyekal pedang mustika gegamannya lawannya itu, Ouw Bong Hu tertawa lebar, hingga wajahnya Law Tong Sun menjadi bermuram durja saking mendongkol dan malunya dia.

   "Dengan pedang bambu kau merampas pedangku, itulah tidak aneh!"

   Berkata komandan Gielimkun ini terkebur.

   "Kau lihat bagaimana dengan tangan kosong aku rampas pulang pedang itu!"

   Tanpa memberi ketika lagi, komandan ini segera menyerang. Ia menggunai kedua tangannya dengan berbareng.

   "Cis, tidak tahu malu!"

   Sin Cu berludah. Ia muak menyaksikan kelicikan orang. Ouw Bong Hu berkelit mundur, sambil tertawa, ia kata.

   "Jikalau dia tidak diberikan ketika untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, biarnya dia kalah dia tidak bakal puas! Baiklah, mari aku belajar kenal sama ilmu silatmu yang katanya paling liehay di kolong langit ini ialah Hunkin Cokut Ciu!"

   Selagi ia berkata-kata, Bong Hu sudah diserang dengan hebat.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Rupanya adalah kebiasaannya Tong Sun untuk menutup kata-katanya sendiri dengan serangan, untuk separuh membokong kepada lawannya, guna membikin lawan kaget dan gelagapan.

   Tujuh atau delapan kali dia menyerang saling susul.

   "Baiklah kita main-main dengan tangan kosong!"

   Berkata Ouw Bong Hu kemudian seraya ia ambil kesempatan membawa pedangnya ke mulut, untuk digigit.

   Hingga dengan begitu ia jadi melawan tangan kosong tanpa senjata.

   Ia sudah lantas menbuyarkan setiap serangan si lawan.

   Tentu saja, dengan sikapnya ini, ia jadi sudah mengalah terhadap Law Tong Sun.

   Komandan Gielimkun itu tidak ambil mumat orang bilang apa, dengan membungkam ia melanjutkan serangannya, dengan pelbagai jurusnya, mencoba yang satu dari yang lain, karena sampai sebegitu jauh semua serangannya dapat dipunahkan lawan.

   Ia juga menggunai kedua kakinya di mana ada kesempatan.

   Nampaknya ia liehay sekali, hebat setiap serangannya itu.

   Ouw Bong Hu berlaku sangat lincah.

   Ia menyingkir setiap kali serangan datang.

   Ia pun tidak sudi kasi dirinya dirapatkan.

   Kalau ada ketikanya barulah ia menyerang.

   Tanpa merasa dengan lekas mereka telah lewatkan kira lima puluh jurus.

   Hati Tong Sun menjadi panas berbareng cemas.

   Tidakkah sia-sia belaka semua penyerangannya yang sudah-sudah itu? "Ouw Bong Hu, kau tidak berani menyambuti tanganku!"

   Kemudian ia berkata dengan sengit.

   "Dengan bertempur cara begini, sampai kapan nanti akhirnya?"

   Ouw Bong Hu tidak menjadi gusar, sebaliknya ia tertawa.

   "Aku mengalah dengan membiarkan kau main-main lebih banyak dari selayaknya!"

   Ia menyahuti dengan manis.

   "Apakah kau tidak sudi terima kebaikanku ini? Jikalau aku berniat merobohkan kau, tidak usah sampai aku gunai satu tanganku!"

   Oleh karena mulutnya sedang menggigit pedang, suaranya Ouw Bong Hu tidak terdengar terang, dan karena ia berbicara saja, dadanya telah terbuka. Ketika itu ia tengah mengegos tubuh ke samping.

   "Kena!"

   Tong Sun berseru seraya kedua tangannya dikeluarkan, tangan kirinya lebih dulu, tangan kanannya menyusul, tetapi kenyataannya, tangan kananlah yang menyerang hebat.

   Lagi-lagi dia gunai ketikanya separuh membokong itu, sebab lawannya tengah membuka suara.

   Tangan kanannya itu, yang jari-jarinya dibuka, menyambar bagaikan cengkraman.

   Sebab inilah salah satu serangan terliehay dari ilmu silatnya itu, Hunkin Cokut Ciu, ilmu peranti mematahkan tulang.

   Siapa terkena itu, kontan dia bakal bercacad.

   Kembali Sin Cu kaget.

   Ia merasakan berbahayanya serangan orang she Law itu.

   Ia pun tidak mengarti kenapa Ouw Bong Hu menjadi demikian alpa, berbicara tanpa kewaspadaan.

   Law Tong Sun berseru kena membarengi serangannya itu, tepat seruannya itu.

   Ia berhasil mengenai sasarannya.

   Hanya, ketika jari-jari tangannya baru nempel di baju, dia telah dipapaki sentilan oleh Ouw Bong Hu, yang tidak berkelit atas serangan yang liehay itu.

   "Aduh!"

   Tong Sun menjerit seraya dia lompat mundur setombak lebih. Ouw Bong Hu mengawasi orang, sembari tertawa ia kata.

   "Kau dapat bertahan untuk sebuah jeriji tanganku ini, kau hebat. Baiklah, aku beri ampun padamu dari kematian! Sekarang pergi kau pulang, untuk merawat diri selama tujuh hari. Mengenai pedang ini, suka aku menerimanya!"

   Ia angkat tangan kirinya, di situ nyata tambah sebuah sarung pedang.

   Ialah sarung pedang mustika dari istana, yang tadi tergantung di pinggangnya komandan Gielimkun itu.

   Sebab barusan, selagi sebelah tangannya menyentil, tangan yang lain menjambret ke pinggang lawan itu.

   Law Tong Sun kaget bukan main ia mati kutunya, di saat Ouw Bong Hu memasuki pedang ke dalam sarung, ia telah kabur hingga bayangannya pun lantas tak nampak lagi.

   Sin Cu girang tidak terhingga, ia lantas bertindak cepat menghampirkan orang she Ouw itu untuk mengunjukkan hormatnya, begitupun kepada Lim Sian In.

   Kimkauw Siancu tertawa ketika ia ulur tangannya menarik tangan si nona.

   "Kau menjadi besar hingga mirip dengan In Lui dahulu hari!"

   Berkata nyonya ini.

   "Juga subo-mu itu dulu senantiasa menyamar sebagai pemuda, dia merantau seperti kau sekarang ini! Lihat, Bong Hu, bagaimana bagus muridnya Tan Hong! Kita sendiri sayang tidak punya rejeki sebagai dia. Bagi kita seperti juga dunia ini lebar luas akan tetapi murid yang berbakat baik dirampas lain orang!..."

   Sin Cu tidak perhatikan pembicaraan suami isteri itu, ia hanya heran kenapa orang segera mengenali ia sebagai pemudi.

   "Peehu dan peebo ,"

   Ia tanya.

   "suhu dan subo pergi ke Khong San, apakah peehu dan peebo bertemu dengan mereka?"

   Ouw Bong Hu tertawa.

   "Jikalau kami tidak bertemu sama mereka itu, tidak nanti kami datang ke Kanglam ini,"

   Sahutnya.

   "Kau tahu, subo-mu itu telah mendengar kabar kau, turut dalam pasukan rakyat suka rela, ia menjadi girang berbareng kuatir. Ia berkuatir karena hatinya memikirkan kau, takut-takut kalau kau gagal. Aku tidak nyana, semuda kau ini, kau telah dapat mewariskan kepandaian gurumu, sampai Law Tong Sun si bangsat tua itu barusan tidak sanggup berbuat apa-apa terhadapmu. Sungguh, kau harus diberi selamat!"

   Lim Sian In sembari tertawa pun berkata.

   "Kalau nanti kami pulang akan aku mengasi keterangan pada suhu dan subo-mu itu tentulah mereka bakal jadi girang sekali, hingga selanjutnya subo-mu itu tak usah bercemas hati lagi."

   Sin Cu tertawa, ia gembira sekali.

   "Aku pun berniat pergi ke gunung Khong San di Inlam itu untuk memberi selamat pada thaysucouw di harian ulang tahunnya!"

   Katanya.

   "Itulah baik,"

   Mengatakan Lim Sian In.

   "Aku berniat mencari Cio Keng To,"

   Kata Ouw Bong Hu kemudian.

   "Kabarnya dia berada di dalam pasukan rakyat, benarkah itu?"

   "Benar,"

   Sin Cu menjawab lekas.

   "Sebenarnya aku belum pernah bertemu muka dengan dia itu,"

   Bong Hu berkata pula.

   "Kedatanganku ini adalah Tan Hong yang menyuruhnya aku pergi ke Kanglam untuk menemui dia, maka kebetulan sekali sekarang aku dapat merampas pulang pedangnya itu, pedang ini dapat dijadikan persembahan perkenalan untuknya. Bagaimana kalau aku minta kau yang mengantarkan aku mengunjungi dia?"

   "Aku kuatir sekarang ini Cio Loocianpwee sudah tidak ada di sini,"

   Sin Cu mengutarakan dugaannya.

   "Mungkin sekali ia telah pulang ke rumahnya di Tayciu."

   "Kenapa maka pedangnya ini bisa berada di tangannya Law Tong Sun?"

   Tanya Bong Hu tak mengarti.

   "Itulah ada sebabnya,"

   Sahut Sin Cu, yang terus menuturkan duduknya hal. Ouw Bong Hu tertawa.

   "Memang juga heran, dengan kepandaiannya itu, Law Tong Sun dapat merampas pedang dari tangan Cio Keng To,"

   Ia berkata.

   "Tadi malam karena aku belum tahu hal ikhwalnya Tong Sun itu, aku cuma giring dia dengan paksa ke wilayah tentara rakyat ini, untuk mencari keterangan, maka beruntung aku bertemu denganmu. Karena Cio Keng To tidak ada di sini, percuma aku mensia-siakan tempo."

   Sin Cu pun beranggapan itu benar.

   "Peehu,"

   Katanya kemudian. Tiba-tiba ia ingat suatu apa.

   "Kalau Peehu kembalikan pedang ini kepada Cio Loocianpwee, pasti sekali ia tidak dapat menerimanya, itu malah menambahkan kedukaannya."

   "Habis bagaimana?"

   Ouw Bong Hu tanya. Ia tua tetapi tidak sungkan ia menanya yang terlebih muda.

   "Pedang ini pedang mustika, mesti ada pemiliknya yang cocok. Aku sendiri tidak membutuhkan ini."

   "Kalau peehu sudi, serahkan saja padaku,"

   Sin Cu minta langsung.

   "Nanti aku serahkan pada orang yang tepat."

   Bong Hu setuju.

   "Kau benar,"

   Katanya.

   "Menurut katamu tadi, Cio Keng To ada punya satu murid she Tiat, apakah pemuda itu pantas memiliki pedang ini?"

   Wajahnya Sin Cu merah sendirinya.

   "Aku tidak akan berikan pedang ini kepadanya,"

   Ia kata. Ouw Bong Hu lantas serahkan pedang mustika itu.

   "Sekarang mari lekas kita berangkat!"

   Lim Sian In mengajak.

   "Lebih dulu kita cari Cio Keng To, baru Yang Cong Hay. Kita harus lekas-lekas menyelesaikan tugas kita supaya kita tidak terlambat pulang untuk memberi selamat kepada Hian Kie Itsu."

   Sin Cu heran.

   "Peehu dan peebo hendak cari Yang Cong Hay?"

   Ia bertanya.

   "Benar,"

   Bong Hu menyahuti.

   "Orang she Cio dan orang she Yang itu, bersama-sama kita, menjadi apa yang disebut Sutay Kiamkek. Tentu sekali, julukan itu adalah pujian kaum kangouw belaka, maka itu, kami ingin sekali membuktikan benar atau tidaknya pujian itu."

   Mendengar itu, dengan menjebi, Sin Cu kata.

   "Yang Cong Hay itu tidak layak menjadi salah satu Tay kiamkek, jago silat yang terbesar seperti peehu bertiga!"

   "Benarkah itu?"

   Bong Hu menegaskan.

   "Apakah kau pernah bertempur dengannya?"

   "Menurut pandanganku, dia hanya kurang lebih sama dengan Law Tong Sun,"

   Kata si nona tanpa menjawab langsung.

   "Kalau begitu, urusan sulit!"

   Kata Bong Hu, yang romannya jadi bersungguh-sungguh. Sin Cu menjadi heran sekali.

   "Kenapa begitu, peehu?"

   Ia tanya.

   "Sebenarnya ada urusan apakah?"

   "Kalau dia sudah demikian kosen, pasti orang yang berdiri di belakangnya liehay luar biasa!"

   Sahut Bong Hu, kembali tidak langsung. Sin Cu menjadi bertambah heran.

   "Apakah benar ada orang yang terlebih liehay daripada Siangkoan Loocianpwee?"

   Ia tanya lagi. Ouw Bong Hu tertawa.

   "Kau harus ketahui itu pembilangan, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang gagah ada lagi yang terlebih gagah. Tentang ini sukar diberikan kepastiannya,"

   Ia menjawab.

   "Yang Cong Hay itu ada orang dari partai Cekseng Pay tingkat kedua, bahwa dia berani main gila, di belakangnya mesti ada orang yang dia buat andalan..."

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hati Sin Cu terkesiap.

   Memang gurunya pernah omong tentang Cekseng Cu pendiri dari partai Cekseng Pay itu, bahwa Cek Seng Cu ada seorang Rimba Persilatan yang liehay, bahwa tiga kali Cek Seng Cu pernah datangi Hian Kie Itsu, thaysucouw-nya itu.

   Tentang kunjungan itu Tan Hong, gurunya, menerangkan.

   Pertama kali dia datang, Cek Seng Cu telah diajak Hian Kie Itsu, kakek guru itu, masuk ke kamar samedhi, di sana satu hari dia diajak berdiam.

   Pada kunjungannya yang kedua, dia diajak bersamedhi dua hari.

   Dan pada yang ketiga kali, dia diajak mengeram diri tiga hari.

   Ketika itu dari murid-muridnya Hian Kie Itsu, cuma ada Tang Gak seorang tetapi murid ini diperintah menanti di luar saja ia dilarang masuk ke dalam kamar katanya nanti mengganggu mereka berdua.

   Maka itu Tang Gak pun tidak ketahui apa yang gurunya dan Cek Seng Cu itu lakukan.

   Kalau mereka mengadu ilmu silat, dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa.

   Yang jelas adalah, setiap kali Cek Seng Cu keluar dari kamar samedhi, dia selalu tunduk dan romannya kucel.

   Sejak kunjungan yang ketiga kali itu, tidak pernah Cek Seng Cu datang pula.

   Di kunjungan yang ketiga kali itu, di waktu mana mereka berdiam tiga hari di dalam kamar, keduanya tidak pernah minum air seceguk juga.

   "Mungkinkah orang liehay yang Ouw Peehu bilang ini Cek Seng Cu adanya?"

   Sin Cu menduga. Tapi karena orang agaknya terburu-buru, ia tidak berani menanyakan keterangan. Bertiga mereka lantas berpisah. Seberlalunya suami isteri itu, baru Sin Cu periksa pedang mustika dari istana itu. Ia dapatkan dua ukiran huruf "Cie Hong."

   Itulah rupanya, namanya pedang itu, yang samar-samar mengeluarkan sinar biru muda.

   Kapan ia ingat kejadian semalam, nona ini menghela napas.

   Ia lihat hari sudah jadi terang sekali, matahari mulai naik tinggi, di laut tertampak sinar berkilauan seperti emas.

   Dari tangsi tentara rakyat ia pun mendengar suara terompet.

   Ia tidak mau berdiam lebih lama, lantas ia berangkat.

   Belum lama, Sin Cu mendapat dengar suara tindakan kaki kuda mendatangi dari arah belakangnya, ia lantas saja menoleh.

   Ia lihat sepasang muda-mudi, yang lari mengaburkan kudanya ke arahnya.

   Ia pun lantas mengenali Seng Hay San dan Cio Bun Wan.

   Karena di antara mereka tidak ada Yap Cong Liu atau Pit Kheng Thian, hatinya menjadi lega, ia lantas memutar tubuh, untuk menyambut mereka itu.

   "Aku bilang bocah ini bukan orang baik-baik, suko, kau masih tidak percaya!"

   Terdengar suaranya Nona Cio.

   "Eh, mengapa kau pergi dengan diam-diam?"

   Justeru orang telah datang dekat padanya, Sin Cu dengar nyata suaranya nona itu.

   Ia mengarti perkataan serta pertanyaan itu diartikan dan dimajukan kepadanya.

   Ia lantas angkat pedangnya, ia tertawa sedih, karena tak tahu ia bagaimana harus memulai membuka pembicaraan.

   Setibanya, Bun Wan agaknya tercengang, dia mengawasi saja pemudi yang menyamar sebagai pemuda itu.

   "Apa? Kau seorang wanita?"

   Kemudian dia tanya, heran.

   Sin Cu terkejut.

   Ia lekas memeriksa dirinya.

   Segera ia dapat kenyataan, ujung rambut di dekat kupingnya telah meroyot turun.

   Setahu kapan, ikat kepalanya telah terbuka di pinggiran itu.

   Mungkin itu disebabkan terjambret Law Tong Sun atau kebentur sela-sela batu tadi.

   Sekarang pun ia sadar kenapa Ouw Bong Hu mengenali penyamarannya itu, ialah dari rambutnya itu.

   Bun Wan sekarang mengarti kenapa orang berlaku ceriwis kepadanya.

   Akhir-akhirnya Sin Cu bersenyum.

   Tenang hatinya sekarang.

   "Adik, kau ambil pedang ini,"

   Kata ia, manis. Dengan "adik"

   Ia artikan adik perempuan. Bun Wan heran. Ia kenali pedang ayahnya itu. Ia sampai lupa menegaskan orang sebenarnya pria atau wanita.

   "Kenapa pedang ayah berada di tanganmu?"

   Dia menanya kemudian.

   "Janganlah kau menanya, kau terima saja pedang ini,"

   Sin Cu bilang.

   "Kau anggap saja bahwa ini ada persembahanku untukmu. Sekarang ini ayahmu ada sangat berduka, ia memerlukan kau mendampinginya untuk menghiburi. Baik kau lekas pulang untuk menjenguknya. Aku pun hendak pergi. Adik Bun Wan, kau harus baik-baik merawati ayahmu itu, kau mesti menghiburi dia hingga hatinya menjadi lega..."

   Sin Cu bicara dengan sungguh-sungguh, hingga ia mirip dengan gadisnya Keng To sendiri, maka itu, hati Bun Wan tergerak, lenyaplah kecurigaannya. Ia jadi ingat ayahnya hingga ia berkuatir, ingin ia segera pulang. Ia menyambuti pedang itu.

   "Terima kasih!"

   Ia mengucap, lalu ia ajak Hay San mengasi lari kuda mereka. Sin Cu mengawasi orang pergi sampai mereka itu lenyap dari pandangan mata, lalu ia menghela napas.

   "Bocah ini tajam matanya,"

   Katanya di dalam hatinya.

   "Seng Hay San ini menang daripada suheng-nya"

   Hay San nampaknya tolol, ia tak secerdik Keng Sim, yang romannya pun tampan.

   Tadinya Sin Cu heran kenapa Bun Wan pilih pemuda itu, sekarang baru ia mengarti.

   Sendirinya ia menjadi berduka.

   Beberapa bulan ia berada bersama Keng Sim, sekarang semua itu lenyap bagaikan impian...

   Nona ini angkat kepalanya, dongak melihat langit, ia dapatkan matahari merah telah naik semakin tinggi.

   Ia berpaling ke arah laut, ia tampak air laut bergemirlap bagaikan kaca.

   Hari itu benar-benar indah.

   Di antara langit biru terlihat burung-burung walet laut berterbangan.

   Sedetik itu, ia sadar akan dirinya, maka lantas ia buka tindakan kakinya, untuk melanjuti perjalanannya yang telah tertunda sekian lama.

   Beberapa hari kemudian, Sin Cu mulai menyeberang di sungai Tiangkang.

   Ia naik sebuah perahu yang menyusur gelombang.

   Di tengah-tengah sungai, pikirannya melayang.

   Di luar kehendaknya, ia terbayang kepada saat-saat pertama dari pertemuannya dengan Tiat Keng Sim.

   Saat-saat itu telah lantas lenyap mengikuti aliran sungai...

   Kuda Ciauwya Say-cu ma telah dititipkan di rumah Thio Hek di tepi sungai Tiangkang, setibanya di seberang, Sin Cu sudah lantas menuju ke rumah orang she Thio itu.

   Ia girang akan mendapatkan kudanya tidak kurang suatu apa, malah nampaknya lebih segar, berkat rawatan yang sempurna.

   Binatang itu pun gembira menemui majikannya.

   Maka Sin Cu girang berbareng terharu.

   Ia tahu, begitu banyak ia kenal orang, sahabatnya paling kekal adalah kuda jempolan ini.

   Keluarga Thio Hek menanyakan urusan melawan kaum perompak, mereka girang akan mendengar keterangan bahwa kawanan penjahat itu sudah diusir ke laut.

   Mereka pun girang waktu diberitahukan, Thio Hek sendiri akan pulang tidak lama kemudian.

   Mereka lantas memuji kaum penyinta negara yang mengambil bagian dalam penindasan perompak terutama mereka puji Sin Cu, mendengar mana si nona sendiri terharu berbareng jengah.

   Di rumah Thio Hek ini si nona tidak berdiam lama, cuma semalaman, lalu besoknya pagi ia berangkat menuju ke barat, meninggalkan wilayah Kanglam yang permai itu.

   Selang sebulan lebih, tibalah ia di daerah pegunungan Kiu Leng di barat daya.

   Di sini ia melihat pemandangan alam yang beda dengan Kanglam.

   Kalau Kanglam ada bagaikan nona-nona manis, barat daya ini seperti pemuda-pemuda sederhana.

   Tiba-tiba ia dapat suatu perasaan aneh.

   Ia ingat Keng Sim dan Cong Liu, ia umpamakan Keng Sim sebagai bunga bouwtan di taman di Kanglam, dan Cong Liu seperti pohon cemara di tanah datar kedua propinsi Inlam atau Kuiciu.

   Nona ini melanjutkan perjalanannya.

   Ia hendak melintasi Kuiciu menuju ke Inlam.

   Di Kuiciu ia tampak gunung jauh terlebih banyak, puncaknya berentet-rentet begi-tupun rimbanya, rimba cemara yang lebat.

   Di mana saja, ia dapat mendengar nyanyian kaum wanita suku bangsa Biauw dan melihat wanita bangsa itu bekerja di sawah ladang, bekerja rajin danulat seperti pria.

   Mereka itu sangat berbeda dari nona-nona Kanglam yang seperti tak pernah keluar rumah.

   Sin Cu dandan sebagai pemuda, melihat sikap wajar dari wanita Biauw itu, ia likat sendirinya, maka ia cari tempat sunyi di mana ia salin pakaiannya, untuk kembali menjadi seorang nona.

   Orang Biauw senang sekali menyambut tetamu asing, di tengah jalan di mana ada peseban peranti beristirahat, tentutentu ada disediakan air minum yang diambil dari sumber di kaki gunung serta cauwee, ialah sepatu rumput, untuk kaum pelancong melenyapkan dahaganya atau menukar sepatunya yang rusak.

   Sekalipun keluarga miskin, kalau mereka kedatangan tetamu, perlu sekali mereka melayani tetamunya supaya menjadi puas.

   Karena ini, sebagai satu pemudi, Sin Cu tidak nampak kesulitan dalam perjalanannya ini.

   Setelah berjalan setengah bulan, ia tiba di barat Kuiciu di tempat yang disebut Yamacoan.

   Dari situ, lagi enam atau tujuh hari, ia akan melintasi wilayah bangsa Biauw itu dan akan sampai di batas propinsi Inlam.

   Sore itu Sin Cu menumpang di rumah seorang Biauw di mana cuma ada dua penghuninya, ibu dan puteranya, tetapi si putera bekerja di rumah touwsu, kepala suku bangsa, maka itu, tinggallah si ibu seorang diri.

   Nyonya ini menyembelih seekor ayam semenggamengganya untuk menyuguhkan tetamunya.

   Sin Cu malu hati, ia membantui memasak beras.

   Di Kuiciu Barat, orang Han dan Biauw hidup bercampuran, dari itu ada banyak orang Biauw yang dapat berbicara Tionghoa, demikian nyonya rumah ini, meskipun ia tidak dapat bicara lancar, perkataannya masih dapat di mengerti Sin Cu.

   Dari itu mereka dapat memasang omong.

   Habis bersantap, nyonya rumah dan tetamunya duduk di luar rumah di bawah sebuah pohon.

   Nyonya itu senang sekali terhadap tetamunya, ia cekal tangan si nona seraya berkata .

   "Banyak aku melihat nona-nona bangsa Han, cuma kau yang melebihkan cantiknya wanita Biauw yang tercantik! Lihat tanganmu, begini halus dan putih, seperti kepunyaan tuan puteri dalam ceritera saja?"

   Sin Cu likat dipuji, dengan bersenyum malu-malu ia kata.

   "Mana dapat aku dibanding sama nona-nona bangsamu? Mereka itu pandai sekali bekerja, masak nasi, bercucuk tanam dan bersulam. Aku justeru sangat mengagumi mereka..."

   Nyonya itu tertawa.

   "Berapa usia kau, nona?"

   Ia tanya.

   "Tujuh belas tahun,"

   Menjawab Sin Cu.

   "Sudah punya mertua atau belum?"

   "Tidak,"

   Sahut Sin Cu, mukanya merah.

   "Kita di sini, pemudi umur tujuh atau delapan belas tahun jarang sekali yang belum menikah,"

   Berkata nyonya rumah.

   "apa pula yang cantik seperti kau, yang melamar tentulah siang-siang datang mendobrak pintu!"

   "Masih begitu muda sudah menikah?"

   Sin Cu menanya begitu tanpa ia mengetahui, di jamannya itu, sudah umum nona Han menikah dalam usia seperti itu.

   Ia tidak tahu sebab ia mengutamakan ilmu silat, perhatian tidak sampai kepada soal usia pernikahan.

   Tengah mereka memasang omong, tiba-tiba kuping mereka mendengar suara tetabuan yang merdu, yang tercampur nyanyian nona-nona Biauw.

   Sin Cu tidak mengarti kata-kata nyanyian itu tetapi lagunya menarik hatinya, lagu itu seperti berirama asmara.

   "Pernahkah kau menyaksikan upacara nikah orang Biauw?"

   Si nyonya tanya. Ia tertawa.

   "Belum,"

   Menyahut Sin Cu, dengan hatinya ketarik.

   "Mari kita lihat!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nyonya itu lantas ajak tetamunya pergi ke jalan dari mana suara tetabuan datang.

   Melewati sebuah bukit, di sana ada satu tanah datar berumput yang luas, di tanah datar itu, mengitari segerombolan pohon bunga, sejumlah nona Biauw berlari-lari mengitarinya, menari dan bernyanyi gembira sekali.

   Di antaranya ada yang memainkan tetabuan berikut seruling, yang lagunya merdu.

   Selagi Sin Cu mengawasi dengan hati tertarik, tiba-tiba dua pemuda Biauw menghampirkan ia, mereka membungkuk dan bersenyum, terus mereka pentang kedua tangan mereka seraya datang lebih dekat dengan berebut.

   "Apakah artinya ini?"

   Sin Cu tanya heran.

   Sebelum mereka itu menyahuti, si nyonya sudah bicara dalam bahasa Biauw kepada mereka itu, lantas mereka berlalu, romannya kecele.

   Si nyonya memetik dua tangkai bunga putih ia tancap itu di rambut si nona dekat kupingnya, sembari bersenyum ia kata.

   "Siapa suruh kau begini cantik, sampai bocah-bocah itu berebutan mengajak kau menarikan bunga?"

   "Apa itu menarikan bunga?"

   Sin Cu tanya.

   "Bukankah itu menarikan bunga?"

   Si nyonya balik menanya seraya tangannya menunjuk ke depan, kepada nona-nona dan pemuda-pemuda yang tengah menari di antara bunga-bunga seraya memainkan tetabuan. Malah segera juga mereka itu berpasangan, terus menari dan bernyanyi.

   "Sungguh menarik!"

   Kata Sin Cu tertawa.

   "Sayang aku tidak bisa bernyanyi dan menari!"

   "Aku tahu kamu nona-nona Han pemaluan, maka itu aku tancapi bunga di rambutmu!"

   Berkata si nyonya sambil tertawa.

   "Dengan menaruh tanda bunga ini, orang jadi tidak datang mengajak menari?"

   Sin Cu tanya pula.

   "Benar. Itu artinya orang sudah punya kekasih tetapi kekasihnya tidak hadir di sini, kau jadi cuma datang untuk menonton. Jangan kau gusar, nona, tanpa kau berbuat begini, bagaimana juga kau tidak dapat menampik bocah-bocah itu, pasti mereka tidak mau mengarti. Eh ya, sebenarnya kau sudah punya kekasih atau belum?"

   Parasnya Sin Cu merah dengan mendadak.

   Tanpa merasa, ia menjadi kesepian.

   Tapi tetabuan dan nyanyian menggema di kupingnya.

   Tidak lama, ia menjadi biasa pula, ia kembali bergembira.

   Sang Puteri Malam makin lama naik makin tinggi.

   Jumlah pasangan muda-mudi pun tambah makin banyak.

   Sabansaban ada pasangan, yang bergandengan tangan masuk ke tempat pepohonan lebat, seperginya mereka, tempatnya lantas diambil lain pasangan.

   Begitu seterusnya, bergantian.

   "Beginilah kebiasaan kami mencari pasangan!"

   Kata si nyonya sambil tertawa.

   "Ini pun tanda dari suatu pernikahan."

   Sin Cu likat tetapi ia tertarik hatinya.

   "Pernikahan?"

   Tanyanya.

   "Mana nona pengantinnya?"

   "Segera dia akan muncul!"

   Lewat sesaat lalu tertampak dua orang laki-laki dengan baju kembang dan panjang muncul seraya menuntun seekor kerbau, mereka jalan mengitari gelanggang, lantas mereka disambut tampik sorak, terus mereka dirubungi sejumlah pria, yang mengepung kerbau itu, yang diikat ke empat kakinya, kemudian muncul seorang sebagai dukun, dengan kampak dia mengampak tiga kali kepala kerbau itu, setelah binatang itu tak sadarkan diri, pemuda-pemuda itu lantas berebut mengeset kulitnya, memotong dagingnya, untuk dipanggang di situ juga.

   Sebab inilah upacara mereka yang disebut "Memukul kerbau."

   "Habis memukul kerbau, sepasang mempelai segera akan datang!"

   Si nyonya berkata kepada tetamunya.

   "Siapa itu yang ada hajat?"

   Tanya si nona.

   "Begini ramai!"

   "Orang miskin mana bisa menyembelih kerbau demikian gemuk? Inilah touwsu kami yang menikahkan puterinya."

   Baru sekarang si nyonya mengasi keterangan, maksudnya akan menggirangkan tetamunya.

   Sin Cu benar-benar bergembira.

   Ia lantas memasang mata, menanti mempelai.

   Tiba-tiba tetabuan berhenti, tanah datar menjadi sunyi.

   Lalu terlihat delapan pasang bocah pria dan wanita mengiringi sepasang mempelai.

   Pengantin perempuan memegang payung kertas kembang mentereng, dan pengantin laki-laki memakai bunga besar di dadanya, hingga separuh mukanya kena teralingi.

   Di tanah datar, mereka disambut dengan tampik sorak.

   Pengantin perempuan lantas menyerahkan payungnya pada pengiringnya, dan pengantin laki-laki ada orang yang menyingkirkan bunganya itu, untuk dikasi pakai pada bakal isterinya.

   Sekarang terlihat tegas wajah si mempelai laki-laki itu.

   Melihat dia, Sin Cu berdiri terbengong, hingga hampir ia tidak mempercayai matanya.

   Pengantin itu adalah Siauw Houwcu! Baru satu tahun Sin Cu tidak melihat Siauw Houwcu, dia telah jadi lebih tinggi dan besar banyak, akan tetapi dibanding sama pengantin perempuan, dia masih terlebih kate (pendek).

   Nona Ie menjadi heran sekali.

   Siauw Houwcu menjadi pengantin orang Biauw! Coba suasana tidak demikian rupa, mau ia percaya bocah itu tengah bersandiwara.

   Bukanlah Siauw Houwcu memangnya gemar bergurau? Kenapa si bocah menikah? Bukankah dia telah pergi mengikuti Hek Pek Moko? Kenapa dia berada di sini dan sendirian saja? Ke mana perginya Hek Pek Moko? Kenapa puteri touwsu menikah sama Siauw Houwcu? Pusing kepala si nona.

   Tidak dapat ia menjawab semua pertanyaan itu.

   "Kenapa, eh?"

   Si nyonya tanya, tertawa.

   "Kau sangat heran? Mempelai laki-laki itu ada orang bangsamu!"

   "Kenapa bocah itu datang kemari?"

   Sin Cu tanya.

   "Kenapa touwsu menikahkan puterinya dengannya? Tahukah kau sebabnya?"

   Nyonya itu menggeleng kepala sambil tertawa.

   "Kami penduduk biasa, mana kami dapat campur tahu urusan keluarga touwsu?"

   Dia menjawab.

   "Dulu-dulu memang tidak banyak pernikahan campuran Han dan Biauw tetapi sekarang sudah umum, tidak aneh lagi!"

   Tentu saja, Sin Cu bukan heran akan halnya pernikahan campuran, hanya kenapa Siauw Houwcu berada sendirian dan kenapa dia menikah sama puteri ketua suku Biauw itu.

   "Kau bilang mempelai laki-laki bocah bukankah di kalangan bangsamu ada isteri bakal sejak masih kecil?"

   Tanya si nyonya. Tapi pun kebiasaan ini berlaku di antara bocah umur dua tiga tahun sudah dinikahkan dan bakal isterinya lebih tua belasan tahun.

   "Isteri"

   Itu diambil, untuk merawati suami ciliknya, hingga ia mirip ibu merawati anak.

   "Puteri touwsu tahun ini berusia enam belas,"

   Berkata pula si nyonya.

   "dia dinikahkan sebab menurut dukun, jodohnya cocok sekali. Mempelai ini berumur empat belas, jadi usia mereka tidak beda banyak."

   Pemuda-pemuda Biauw itu telah memanggang matang daging kerbaunya, mereka dahar itu sambil minum arak, mereka gembira sekali, saban-saban mereka bersorak.

   "Dalam pesta pernikahan kami, tetamu tak usah diundang lagi,"

   Berkata si nyonya.

   "Kau pun boleh turut dahar daging panggang itu."

   "Ah, aku tidak lapar."

   "Kalau kau tidak dahar daging atau tidak minum arak, itu artinya kau tidak memberi muka pada tuan rumah,"

   Si nyonya mengasi tahu.

   "Baiklah, kau tentu malu bercampuran sama anak-anak itu, nanti aku yang ambilkan."

   Sin Cu tidak perdulikan nyonya itu, ia hanya mengawasi Siauw Houwcu.

   Ia menjadi lebih heran mendapatkan bocah itu diam saja, matanya juga mengawasi hanya kesatu jurusan.

   Siauw Houwcu tidak lincah lagi seperti biasanya, dia malah mirip boneka kayu, dia dapat orang perbuat sesukanya.

   Dari heran, si nona jadi bercuriga.

   Tiba-tiba seorang pemuda Biauw bernyanyi dalam bahasa Tionghoa.

   "Puteri Malam di atas langit dikawani mega dadu yang indah permai, burung hong di muka bumi bagaimana dapat dipasangi burung gaok? Haha! Nona yang begini cantik kenapa dijodohkan baba begini jelek?"

   Sebagai sambutan, seluruh hadirin bersorak ramai. Sembari bernyanyi, orang itu muncul dari antara orang banyak. Melihat dia itu, Sin Cu kata dalam hatinya.

   "Hm! Kau katakan Siauw Houwcu si baba jelek tapi sebenarnya dia jauh lebih ganteng dari padamu!"

   Pemuda itu bermuka merah tidak keruan akibat banyak minum arak, rupanya menjadi jelek. Dia mengham-pirkan Siauw Houwcu, dia mengusap pipi orang seraya berkata.

   "Baba kecil, mari aku lihat gigimu sudah tumbuh semua atau belum?"

   


Anggrek Tengah Malam -- Khu Lung Imbauan Pendekar -- Khu Lung Bara Maharani -- Khu Lung

Cari Blog Ini