Taruna Pendekar 7
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 7
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
Nyo Yan menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, ucapnya.
"Kenapa kau menolongku karena aku adalah bangsa Han?"
"Sebab teman yang paling baikku juga bangsa Han, aku pernah menerima budi kebaikan dari teman bangsa Han itu, mereka pula yang telah menolong jiwaku. Dan lagi"Berbicara sampai di situ, tanpa terasa ia menjadi tertawa sendiri, lanjutnya.
"Dan lagi kau benar-benar mirip sekali dengan seorang sahabat cilik bangsa Han yang pernah kukenal banyak tahun berselang, sekalipun aku tahu pasti kau bukan dia."
Ketika mendengar Lomana mengucapkan kata-kata tersebut tanpa terasa Lohay dan Salam mengalihkan sorot matanya kewajah Nyo Yan dan mengawasinya lekat-lekat Tiba-tiba Lohay berkata "Aku ingin menanyakan satu hal kepadamu, bersediakah kau untuk memberitahukan kepadaku?"
"Inkong ingin mengetahui soal apa? Asal aku tahu, pasti akan kuterangkan."
"Dalam bangsa Han terdapat manusia bernama Toan Kiam- ceng. beberapa hari berselang dia berada di sini, tahukah kau tentang orang ini?"
Nyo Yan tak bisa tidak harus berbohong, maka sahutnya.
"Belum pernah kudengar nama orang ini, apakah orang she Toan ini adalah sahabat kalian?"
"Bukan. Dia adalah orang jahat."
Nyo Yan pura-pura terkejut lalu serunya.
"Ooh rupanya orang itu adalah seorang yang jahat Inkong, kau bertanya kepadaku apakah kenai dengannya, apakah kau mencurigai aku?"
"Kau jangan banyak curiga"
Tukas Lohay cepat "Bangsa Han pun sama seperti bangsa lainnya ada orang baik ada orang jahat, aku percaya kepadamu.
bila kau kenal dengannya, sudah pasti kau bukan temannya."Maksud lain dari perkataan itu adalah kalau bukan teman sudah pasti musuh.
Diam-diam, Nyo Yan merasa terperanjat sekali, segera pikirnya dengan cepat.
"Jangan-jangan mereka telah menduga siapakah aku?"
Benar juga, terdengar Lohay bertanya lebih jauh.
"Dapatkah kau memberitahukan kepadaku, dari manakah kau datang?"
"Sudah kukatakan kepada kalian tadi, aku datang dari tempat yang banyak bangsa Han-nya."
"Yang kumaksud, beberapa hari berselang kau datang dari mana?"
Ujar Lohay cepat. Salam juga turut berkata.
"Yang ingin kami ketahui adalah beberapa hari berselang, kau datang dari mana? Apakah beberapa hari berselang kau pernah datang ke benteng utama Lor Ariki?" (Yang dimasudkan sebagai benteng utama adalah pusat pemerintahan di Lor Anki, atau sebanding dengan suatu kota keresidenan di daratan Tionggoan. Cuma "Benteng Utama"
Di tempat ini kebanyakan tidak dikelilingi dinding kota yang tinggi, tempat itu merupakan tempat tinggal dari kepala suku dan keluarganya). Nyo Yan berkata.
"Aku tidak berkunjung ke sana, beberapa hari berselang aku masih berada di Chilotupu."
Chilotupu letaknya berada di sebelah barat dari pemukiman suku Wana.
Sedangkan benteng utama Lor Anki berada di sebelah barat, sehingga boleh dibilang letaknya saling berlawanan.
Tanpa terasa Lohay menjadi amat kecewa, tapi dia pun merasa geli sendiri, pikirnya.
"Jalan permikiran-ku benar-benarmenggelikan, malam itu aku tidak melihat orangnya tapi hanya mendengar suara dari pemuda itu, tentu saja bukan dia."
Sementara dia berpikir demikian, Nyo Yan telah bertanya.
"Entah apa sebabnya inkong bertanya demikian?"
"Ooh tidak apa-apa. Ketika berada di benteng utama Lor Anki, aku telah menerima budi kebaikan dari seorang bangsa Han, sayang ia tak mau bersua muka denganku. Ketika mendengar suaramu tadi, aku merasa agak sedikit mirip."
Nyo Yan tertawa, ucapnya, Tadi, nona itu mengatakan wajahku mirip seorang sahabatnya sewaktu masih kecil, sekarang kau orang tua mengatakan suaraku mirip dengan seorang tuan penolongmu, tampaknya aku benar-benar telah membonceng mereka."
"Jangan berkata begitu,"
Ujar Lomana sambil tertawa.
"Hidup sebagai seorang manusia sudah seharusnya bisa membedakan mana budi dan mana dendam, tapi yang penting adalah membalas budi kebaikan kepada orang yang pernah melepaskan budi kepadamu, misalnya malam ini, kami telah membantumu, maka di kemudian hari kau pun harus menolong orang yang sedang menemui kesulitan atau bahaya sebagai balas jasa kepada kami. Benar bukan perkataanku ini?"
Timbul perasaan hormat dan kagum dalam hati Nyo Yan setelah mendengar ucapan itu, buru-buru sahurnya.
"Perkataan nona memang benar."
"Oleh karena itu, sekalipun kau sama sekali tidak mirip dengan bangsa Han yang kami kenal, kami pun tetap akan membantumu."
"Betul,"
Sambung Lohay pula.
"musibah yang menimpa dirimu ini cukup mengenaskan, di sini tak punya sanak takpunya keluarga, bila tiada tempat lain yang hendak kau tuju, bagaimana kalau mengikuti kami untuk bersama-sama berang- kat ke benteng utama Lor Anki?" Terima kasih banyak atas kebaikanmu, sudah banyak budi kebaikan yang kuterima dari kalian, tidak berani mengganggu kalian lebih lama lagi."
"Kalian bangsa Han mempunyai sebuah pepatah yang mengatakan, empat penjuru adalah saudara sendiri. Aku merasa ucapan ini memang tepat sekali, dan kau pun tak usah sungkan-sungkan terhadap kami."
"Bukannya sungkan, sekarang aku sudah tak bertenaga lagi,sekalipun ingin mengikuti kalian pergi pun juga tak kuat untuk berjalan sendiri,"
Kata Nyo Yan menerangkan.
"Malam ini baik-baiklah rahat, besok pagi siapa tahu kesehatan badanmu jauh lebih baik?"
Kata Lohay.
"Waktu itu, kami masih dapat mencarikan seekor kuda tunggangan."
"Di tengah malam begini kalian masih melakukan perjalanan, aku rasa pasti ada persoalan penting yang sedang kalian hadapi, bila kalian mesti mengurusi si sakit macam aku, bisa jadi perjalanan kalian akan terganggu. Kalian sudah begitu baik kepadaku dan aku amat berterima kasih, aku tak berani merepotkan kalian lagi."
"Bagaimanapun juga, toh malam ini kami hendak beristirahat,"
Kata Lomana cepat-cepat.
"tinggallah semalam dalam tenda kami. Urusan besok kita bicarakan besok saja"
Sementara mereka masih bercakap-cakap, Salam telah mendirikan tenda. Terpaksa Nyo Yan menerima maksud baik mereka dan masuk ke dalam tenda untuk tidur.Terdengar Lomana berkata.
"Ayah, kenapa kau menaruh curiga kalau orang ini adalah pemuda tersebut?"
Lohay tidak langsung menjawab pertanyaan dari putrinya, tapi berkata kepada Salam.
"Salam, malam itu kau yang melihat orang tersebut, menurut pendapatmu apakah ada kemiripan antara orang ini dengan dirinya?"
"Aku hanya menyaksikan bayangan punggungnya saja hingga sukar untuk dikatakan mirip atau tidak, tapi kalau dilihat perawakan tubuhnya memang hampir serupa"
"Ilmu silat yang dimiliki Toan Kiam-ceng luar biasa lihaynya, orang itu bisa mengalahkan Toan Kiam-ceng, boleh dibilang hebat sekali, mana mungkin dengan kepandaiannya yang lihay, dia bisa dilukai oleh pencoleng?"
Kata Lomana sambil tertawa Lohay tertawa pula, ucapnya.
"Aku hanya heran, masa di dunia ini bisa terdapat kejadian yang begini kebetulan. Seperti yang kau katakan tadi, dia memang agak mirip dengan wajah Nyo Yan di kala masih kecil dulu, sedang suaranya mirip pemuda yang mengalahkan Toan Kiam-ceng malam itu, maka aku jadi keheranan dan ingin tahu, itu pula sebabnya kuajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Bukan berarti aku benar menaruh curiga kepadanya Aah, betul, tadi kau telah menyinggung soal Ki See-kiat dan Leng lihiap, bagaimana keadaan yang sebenarnya? Lebih baik kita mengalihkan pembicaraan ke soal yang lain saja."
"Tentang persoalan mereka, aku sendiri pun tidak begitu tahu, cuma kalau didengar dari pembicaraan enci Leng, tampaknya ia sangat menyukai pemuda she Ki tersebut, kendatipun ia tak mengatakannya secara berterus terang."
"Tapi, bagaimana pula sikap pemuda she Ki tersebut terhadap Leng lihiap?""Masa perlu ditanyakan lagi? Tentu saja Ki See-kiat juga menaruh perasaan cinta padanya."
"Dari mana kau bisa tahu? Apakah Leng lihiap yang mengatakannya pada dirimu?"
Lomana tertawa cekikikan.
"Ayah, kau betul-betul pikun,"
Katanya.
"masa rahasia seorang gadis diutarakan secara sembarangan?"
"Kau keliru, yang kutanyakan adalah perasaan hati lelaki itu. Apakah Leng lihiap sudah tahu perasaannya dan mengutarakannya kepadamu?"
Lomana segera tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk-bungkuk badannya.
"Ayah, aku lihat kau sendiri yang dibikin linglung oleh persoalan ini. Dilihat dari pembicaraan enci Leng, pada mulanya ia mengatakan kalau hatinya sudah mati dan tak ingin menjadi gundah lagi gara-gara Ki See-kiat, kalau didengar dari ucapan tersebut, bukankah berarti dia sudah tahu kalau ia telah mengetahui bahwa Ki See-kiat menaruh perasaan cinta kepadanya?"
"Pada mulanya dia berkata demikian, tapi apa pula yang kemudian dia katakan lagi?"
"Ayah,"
Ucap Lomana sambil tertawa.
"tampaknya kau belum puas sebelum mengorek sampai ke dasar kuali. Cukup dilihat dari kegelisahan hatinya yang ingin buru-buru berangkat ke selat Tong-ku-si-sia, masa kita belum memahami bagaimanakah perasaan hatinya sekarang?"
Lohay segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh aku hanya berharap Leng lihiap bisa memperoleh kebahagiaan bersama kekasihnya, maka tak bosannya ku-tanyakan soal ini kepadamu. Setelah mendengar perkataan itu, aku pun lega."
"Benar, enci Leng adalah seorang yang berbudi baik, berilmu silat tinggi, paras mukanya juga cantik, cuma sayang nasibnya kurang begitu mujur. Seandainya perempuan macam dia tidak berhasil untuk menemukan kekasih pilihannya, Lo- Thian-ya benar-benar bersikap kurang adil kepada umatnya."
"Setelah tiba di selat Tong-ku-si-sia, bukankah dia akan segera menemukan kekasih hatinya?"
Seru Santala sambil tertawa.
"Jangan kau sumpahi Lo-Thian-ya."
Pembicaraan itu mereka lakukan dengan bahasa Wana, Nyo Yan meski berlagak tidur, ia dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas, sebab dia memahami bahasa Wana.
Sebagai saudara angkat dari Leng Ping-ji, seharusnya dia turut bergembira setelah mendengar ucapan Lomana itu, tetapi entah mengapa muncul perasaan cemburu yang tak diketahui dari mana munculnya, menyelimuti seluruh benak- nya.
Kalau dibilang sebetulnya ha! ini memang sangat aneh, tapi manusia tetap manusia, manusia memang tak luput dari pengaruh rasa cemburu.
Dalam hati dia lantas berpikir.
"Ooh rupanya enci Leng berangkat ke selat Tong-ku-si-sia bukan lantaran aku, gara- gara Auwyang Seng menyaru sebagai aku, dia percaya kalau aku telah berubah menjadi orang jahat, padahal Ki See-kiat baru berjumpa sekali dengannya, namun dia mempercayainya penuh, bahkan menaruh hati kepadanya. Aai kalau enci Leng saja tidak percaya kepadaku, siapa lagi yang akan percaya?"Kemudian terdengar Lomana mengisahkan bagaimana Leng Ping-ji menolongnya meloloskan diri dari cengkeraman iblis, sebetulnya ia sudah menceritakan secara ringkas. Kemudian terdengar Lomana mengisahkan bagaimana Leng Ping-ji menolongnya meloloskan diri dari cengkeraman iblis, sebetulnya ia sudah menceritakan secara ringkas, hanya kali ini jauh lebih terinci. Apa yang ingin diketahui Nyo Yan banyak diketahui dari pembicaraan tersebut. Tanpa terasa kenTongan ketiga sudah lewat, Lohay lantas berkata.
"Besok, kita masih harus melanjutkan perjalanan, kita harus.segera beristirahat."
Pada saat itulah, mendadak terdengar derap kaki kuda yang ramai berkumandang dari kejauhan, derap kaki kuda itu amat kencang seperti angin puyuh.
Tugas Salam yang sebenarnya adalah komandan pengawal Lohay, walaupun saat ini bukan di medan pertempuran, dia tak lupa dengan tugasnya, maka begitu mendengar suara derap kuda di tengah malam buta begini, keningnya kontan saja berkerut "Di tengah malam buta begini masih ada yang melarikan kudanya kencang-kencang, sudah pasti dia bukan manusia baik-baik.
Biar kutengok siapakah dia?"
Katanya kemudian.
"Mungkin pemburu yang kemalaman, kenapa mesti kebingungan?"
Jawab Lohay tenang.
Derap kaki kuda yang berkumandang datang itu cepat sekali, baru saja Salam menyingkap tenda, penunggang kuda itu sudah berada dalam jarak limapuluh langkah.
Santala dan Lomana, segera melompat ke samping Salam Ketika dilihatnya pendatang itu hanya seorang, Santalamenjadi agak lega, pikirnya.
"Sekalipun pencoleng yang datang, asal seorang saja kenapa mesti takut?"
Malam itu bulan satu tanggal empatbelas, rembulan amat besar dan bulat, padang rumput pun merupakan tanah datar, maka pemandangan pada jarak limapuluh langkah dapat terlihat dengan amat jelasnya.
Sementara Santala tidak menaruh perhatian pada penunggang kuda itu, Lomana menjadi amat terperanjat.
"Orang ini satu komplotan dengan Toan Ki-am-ceng si bajingan tengik itu,"
Teriaknya cepat-cepat.
"Walaupun aku tak tahu siapa namanya, tapi aku kenal siapakah orang itu."
Begitu Lomana bersuara, orang itu segera mendengar pula suara teriakannya itu.
Orang itu bukan lain adalah kakak Tong dari Auwyang Seng yang menyaru sebagai Nyo Yan, Auwyang Toan adanya.
Lomana pernah bertemu dengannya namun tidak mengetahui namanya, sedangkan Nyo Yan meski tak pernah bertemu dengannya namun tahu akan namanya.
Dalam hati dia lantas berpikir.
"Menurut Auwyang Seng, ilmu silat yang dimiliki kakak Tong-nya ini sepuluh kali lipat lebih hebat daripadanya, enci Leng pun tak lebih hanya bisa mengungguli dirinya. Aku rasa Santala meski ditambah dengan Salam belum tentu bisa mengalahkan dia, padahal tenaga da- lamku belum pulih kembali, bagaimana baiknya?"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, terdengar Auwyang Toan telah berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haah hahh hahh suamimu tidak akan mampu melindungi dirimu, tak kusangka kita bakal bersua lagi di sini, ayo ikut aku saja!"Dalam pada itu, Santala telah menyiapkan gendewa dan panahnya, ia menjadi gusar sekali setelah mendengar perkataan itu, Sreet! sebatang panah segera dibidikkan ke depan. Dengan cepat Auwyang Toan melepaskan sebuah bacokan, angin pukulan yang menderu-deru membuat bidikan panah dari Santala itu miring ke samping. Hanya selisih beberapa inci saja panah itu bakal menembusi jidat lawan, sayang meleset dan tidak berhasil melukainya. Di dalam anggapannya semula, dengan mengandalkan sebelah telapak tangan pun bidikan panah itu berhasil dirontokkan, sungguh tak disangka baik ilmu memanah mau- pun tenaga yang dimiliki Santala di luar dugaannya, tak urung terkejut juga dibuatnya. Dalam keadaan begini, dia tak berani bertindak gegabah lagi, buru-buru sambil menyemptak kudanya menyerbu datang. Ketika bidikan panah pertama dari Santala dilepaskan tadi, dia masih berada pada jarak tigapuluh langkah lebih, maka dengan serbuannya yang makin dekat, sulit buat Santala untuk melepaskan bidikan berikutnya, sebab panah hanya digunakan untuk jarak jauh, makin dekat jaraknya makin ber- kurang kemampuannya. Satu ingatan segera melintas dalam benak Lomana, tiba- tiba teriaknya dengan suara melengking.
"Enci Leng, kau cepat keluar!"
Auwyang Toan pernah menderita kekalahan di ujung pedang Leng Ping-ji, justru karena persoalan inilah dia hendak berangkat ke Lor Anki untuk melapor pada Toan Kiam-eeng, tak heran kalau ia menjadi amat terperanjat setelah men- dengar teriakan tersebut Namun bagaimanapun juga diaadalah seorang kawakan, setelah terkejut segera pikirnya,"Andaikata budak ini benar-benar berada di sini, sepantasnya kalau ia sudah mendengar suaraku sedari tadi, masa dia tak menampakkan diri menyambut kedatanganku?"
Walaupun demikian ia toh agak jeri juga, maka kudanya segera dihentikan pada jarak duapuluh langkah lebih, kemudian ia mengambil tali dan melemparkan tali laso itu untuk menjerat tiang tenda.
Sebagaimana diketahui, pemburu yang hidup di padang rumput sudah terbiasa menggunakan tali laso untuk menjerat binatang buruannya, Auwyang Toan pandai sekali mempergunakan kepandaian tersebut, hanya kegunaannya sekarang bukan untuk menjerat binatang.
Begitulah, tali lasonya menjerat tiang tengah dari tenda itu, kemudian bentaknya keras-keras.
"Naik!"
Di bawah hentakan tenaga yang maha dahsyat, tiang penyangga tenda itu segera tercabut sehingga dengan demikian tersingkaplah seluruh tenda tersebut Begitu tenda tersingkap, Lohay segera menyerbu keluar, sedangkan Nyo Yan menggelinding ke samping.
Dalam perhitungan Auwyang Toan, seandainya di sana ia benar-benar menemukan jejak Leng Ping-ji, maka dia akan membalikkan kudanya dan melarikan diri dari tempat itu.
Sekarang, walaupun dia belum melihat jelas siapa gerangan Nyo Yan, tapi asal di situ tiada Leng Ping-ji maka dia tak merasa jeri.
Sebagaimana diketahui, ilmu silat yang dipelajarinya adalah ilmu pukulan Lui-sin-ciang yang berhawa panas, sebaliknya pedang Peng-pok-han-kong-kiam yang dimiliki Leng Ping-jijustru merupakan tandingan dari ilmu pukulan Lui-sin-ciang, oleh karena itu jangankan dia belum tahu kalau orang yang menggelinding keluar di belakang Lohay adalah Nyo Yan, sekalipun tahu, dia pun tak akan merasa ketakutan seperti bertemu dengan Leng Ping-ji.
Dengan Nyo Yan dia memang tidak kenal, tidak begitu dengan Lohay yang dikenalnya baik-baik.
Begitu menjumpai Lohay, segera timbul ingatan jahat di dalam hatinya.
"Kalau kutangkap bapaknya Lomana lebih dulu, masa ia tak akan menyerahkan diri?"
Begitu keputusan diambil, Auwyang Toan lantas melompat turun dari kudanya langsung menerkam Lohay.
Salam amat setia kepada majikannya, sudah barang tentu dia tak akan membiarkan lawan melukainya, dengan cepat dia turut menubruk ke depan, mendahului di depan Santala dan menghadang di muka Lohay.
Dua orang itu sama-sama mengayunkan telapak tangannya.
"Blaam!"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suatu benturan keras segera terjadi.
Salam sebenarnya adalah seorang busu kenamaan dalam suku Wana, akan tetapi ilmu pukulan Lui-sin-ciang milik Auwyang Toan merupakan saJah satu di antara tiga macam kepandaian sesat yang mahasakti, dengan kemampuan dari Salam tentu saja dia tak tahan.
Begitu sepasang telapak tangannya saling membentur.
"Blaaam!"
Salam segera merasakan tubuhnya kepanasan seperti tersengat api, kontan tubuhnya roboh terkapar ke tanah.
Untung saja ilmu pukulan yang dimiliki Auwyang Toan masih belum mencapai kelihayan seperti Toan Kiam-ccng,dalam pukulan Lui-sin-ciang Toan Kiam-ceng ada racunnya, dia belum menyertakan ilmu beracun dalam pukulannya tersebut, dengan tenaga dalam yang dimiliki Salam hal ini tak sampai membinasakannya.
Cuma, untuk merangkak bangun lagi, hal ini belum bisa dilakukan dengan begitu saja.
Dalam keadaan begini, Auwyang Toan tak sempat menggubris Salam lagi, dengan cepat dia menerkam ke depan dan mencengkeram tubuh Lohay.
Waktu itu Lohay membawa busur berpegas kuat yang berisi lima butir batu cadas, cepat kepalannya diayun untuk menghajarnya.
Auwyang Toan bertujuan membekuk musuhnya dalam keadaan hidup, maka dia tak berani melukai dengan pukulan Lui-sin-ciang, walaupun demikian, terdengar "kraak!"
Busur berpegas kuat dari Lohay itu kena dicengkeram sampai retak.
Baru saja dia hendak mencengkeram tulang pi-pa-kut di atas bahu Lohay, pada saat itulah mendadak Nyo Yan menggelinding ke samping tubuhnya dan menghadang perginya.
Ketika Auwyang Toan menyaksikan Nyo Yan berbaju dekil dan compang-camping, dikiranya dia cuma kacung kuda.
Maka sambil menendang dengan keras, dia membentak.
"Enyah kau dari sini!"
Betul Nyo Yan sudah tak mampu menggunakan tenaganya lagi, namun ilmu silat tingkat tinggi yang dimilikinya masih utuh.
Masih untung jika Auwyang Toan tidak menendang, begitu tendangan tersebut dilancarkan, seketika itu juga dia telah memberi kesempatan bagi Nyo Yan untuk merninjarn tenaga memukul tenaga.Ketika tendangan dari Auwyang Toan menyambar datang tadi, Nyo Yan melintangkan telapak tangannya untuk melindungi dada, begitu tangannya diayunkan ke depan, kon- tan kuda-kuda Auwyang Toan menjadi gempur, dia tak sanggup berdiri tegak lagi dan terlempar sejauh beberapa kaki dari tempat semula.
Sayang Nyo Yan sudah tak mampu mengerahkan tenaganya lagi sehingga taktik meminjam tenaga memukul tenaga yang dilakukan itu paling hanya bisa memanfaatkan delapan bagian saja dari tenaga yang dipancarkan lawan.
Selain itu, hal ini pun dikarenakan Auwyang Toan menganggap cuma seorang kacung kuda belaka, tentu saja kacung kuda tidak pantas menjadi lawan tandingnya.
Oleh sebab itu bukan saja dia tidak menggunakan segenap tenaganya, bahkan tidak bermaksud untuk merenggut nyawa Nyo Yan, tendangannya hanya dilakukan sambil lalu.
"Kau bisa hidup terus atau tidak, terserah kemujuran nasibmu,"demikian dia berpikir. Maka ketika tendangan dilancarkan tadi, dia mengira kacung kuda itu tak akan bisa hidup terus. Karena dia tidak menggunakan tenaga penuh, tentu saja bantingan tadi tak sampai melukainya. Kendatipun dia bisa melejit kembali dengan gerakan Ikan Leihi Meletik, timbul juga perasaan bimbang dan ragu dalam hati.
"Benar-benar sangat aneh,"
Demikian ia berpikir.
"masa aku bisa jatuh terpeleset? Masa kacung kuda ini seorang jago lihay yang sengaja merahasiakan ilmu silatnya? Tapi andaikata dia benar-benar berilmu, kenapa aku tidak sampai terluka?"Sebenarnya dia pun mengerti ilmu meminjam tenaga memukul tenaga tersebut, tapi oleh karena dia sudah terpengaruh lebih dulu oleh jalan pemikiran sendiri, maka ba- gaimanapun juga, dia tidak percaya kalau seorang kacung kuda bisa mempergunakan kepandaian tersebut. Hal ini ditambah pula dengan kenyataan bahwa tubuhnya tak terluka, bahkan dia malah mengira hal tersebut bukan hasil "permainan setan"
Dari kacung kuda ini, melainkan karena kurang berhati-hati-nya dia sendiri.
Sementara itu Santala telah memburu datang.
Sekarang dia menggunakan sebilah golok lengkung berbentuk bulan sabit untuk bertarung mati-matian melawannya.
Lohay pun meloloskan pedangnya dan terjun ke arena pertarungan.
Sebagaimana diketahui, Santala pernah belajar ilmu silat aliran Thian-san-pay, walaupun hanya kepandaian permulaan, namun hal itu sudah cukup baginya untuk bertahan sebanyak dua tiga gebrakan.
Auwyang Toan tidak khawatir melukai Santala, sebaliknya dia hendak menawan Lohay hidup-hidup, maka dia cecar Santala habis-habisan.
Semua serangan itu tak dilancarkan dengan menggunakan ilmu Lui-sin-ciang, sekalipun demikian, lama-kelamaan Santala terdesak juga sehingga terpojok dalam keadaan yang berbahaya sekali.
Nyo Yan bergulingan di atas tanah berlagak seperti gugup dan ketakutan, dia berguling ke sana kemari, khususnya di sekitar arena pertarungan itu.Menanti jarak mereka sudah semakin dekat, diam-diam Nyo Yan mengeluarkan sebatang Thian-san-sin-bong yang dijepitnya di antara kedua jari tangan, lalu disentilkan ke depan kuat-kuat.
Duri keras yang disebut Thian-san-sin-bong ini panjangnya cuma tiga inci, tapi kerasnya bukan kepalang.
Tentu saja Auwyang Toan sama sekali tak mengira kalau dia bakal diserang dengan senjata rahasia selihay itu, menanti dia merasakan datangnya ancaman tersebut, untuk berkelit sudah tidak keburu lagi, pergelangan tangannya segera terhajar telak.
Sebenarnya Nyo Yan hendak mengarah jalan darah Lau- kiong-hiat pada telapak tangannya, sayang tenaganya tak cukup maka apa yang diharapkan tak bisa diwujudkan.
"Aah sayang"
Diam-diam ia berpikir dengan kecewa.
Andaikata jalan darah Lau-kiong-hiat pada telapak tangan yang terhajar, niscaya seluruh kepandaian Lui-sin-ciang yang dimiliki Auwyang Toan akan punah sama sekali, bila tidak dilatih sepuluh tahun lagi, jangan harap kepandaian itu bisa pulih kembali.
Dengan kekuatan yang tak cukup, otomatis duri Thian-san- sin-bong itu hanya sempat menembusi pergelangan tangan dan melukai kulit luarnya belaka.
Tapi, lantaran datangnya serangan itu sangat tepat waktunya, maka akibatnya Santala berhasil meloloskan diri dari ancaman bahaya maut.
Sebenarnya Santala sudah tak mampu lagi untuk menahan datangnya ancaman itu.
Sambil mencabut duri Thian-san-sin-bong itu, Auwyang Toan membentak dengan penuh kegusaran.
"Siapa yang telahmenyergapku dengan senjata rahasia? Kalau bernyali, ayo menggelinding keluar!"
Tentu saja Nyo Yan tak memberitahukan kepadanya, dan lagi sekalipun dia ingin berdiri juga tak mampu.
Di atas padang rumput tiada tempat yang bisa dipakai untuk menyembunyikan diri, Auwyang Toan yang memeriksa sekeliling tempat itu sama sekali tidak menjumpai penyerang tersebut, itu berarti orang yang melancarkan serangan senjata rahasia itu kemungkinan besar adalah Nyo Yan, Lomana atau Salam? Auwyang Toan tahu kalau Lomana tidak pandai menggunakan senjata rahasia, dan lagi dia tidak memiliki kekuatan sambitan yang begitu besarnya.
Walaupun dia merasa Nyo Yan agak "sesat", tapi oleh karena sewaktu jatuh tadi tidak terluka, dia kurang percaya kalau seorang "kacung kuda"
Pun bisa memiliki ilmu silat yang sehebat itu.
Maka, kendatipun dia merasa agak curiga terhadap Nyo Yan, namun dianggapnya kemungkinan besar orang yang melancarkan sergapan dengan senjara rahasia tadi adalah Salam yang sedang terluka.
Salam adalah seorang busu kenamaan dari suku Wana, sewaktu beradu kekuatan dengannya tadi, terbukti kalau tenaga dalamnya memang amat sempurna.
Tadi, dia berhasil mengalahkan dirinya karena dia mengandalkan kemampuan dari ilmu pukulan Lui-sin-ciang.
Dengan tenaga dalam yang dimiliki Salam, walaupun sudah terluka, untuk menyambit senjata rahasia bukanlah suam pekerjaan yang sulit baginya.Bukan cuma dia saja yang berpendapat demikian, bahkan Lohay, Lomana maupun Santala juga berpendapat sama.
Sambil mencabut keluar Thian-san-sin-bong, Auwyang Toan kembali membentak keras.
"Kalau kau memang tak berani menampakkan diri, baik, nanti locu akan mencarimu untuk membalas dendam, sekarang silakan kau terima dulu barang milikmu itu"
Dengan menggunakan ilmu sambitan yang dahsyat, dia melontarkan senjata rahasia Thian-san-sin-bong tersebut ke arah Salam.
Waktu itu Salam tergeletak di atas tanah dengan sekujur tubuh kepanasan, namun tenaga yang dimilikinya belum lenyap sama sekali.
Melihat datangnya senjata rahasia yang mengancam tubuhnya, dengan cekatan dia melejit ke samping dan menangkis ancaman tersebut dengan sebuah batu cadas.
Ternyata serangan Thian-san-sin-bong tersebut berhasil ditahannya secara tepat.
"Tring!"
Thian-san-sin-bong yang keras bagaikan baja itu segera menancap di atas batu.
Salam sendiri tentu saja paling mengerti kalau senjata rahasia itu bukan dia yang melepaskan, tapi dia pun tak berani mencurigai Nyo Yan.
Waktu itu Nyo Yan sedang keracunan, dan gejala tersebut dialah yang menemukan, jadi kenyataan tersebut tidak mungkin salah.
Betul separuh butir Pek-leng-wan telah menyelamatkan selembar jiwanya, namun dia pun baru beberapa jam menelan pil Pek-leng-wan itu, bagaimanapun juga, sekalipun seorang tokoh yang berilmu tinggi, mustahil masih bisa melukai se-orang siluman yang berilmu silat tinggi dalam keadaan seperti ini.
Tapi kalau bukan Nyo Yan siapa lagi? Salam tak habis mengerti, merasa bingung dan curiga, terpaksa dia mencabut keluar Thian-san-sin-bong itu dan disembunyikan ke dalam sakunya.
Luka yang diderita Auwyang Toan tidak terlampau parah, tapi toh ada pengaruhnya juga.
Dikerubuti oleh Lohay dan Santala, dalam keadaan gelisah bercampur gugup, semakin sulit baginya untuk meraih kemenangan.
Apalagi dia pun merasa takut, khawatir kalau ada senjata1 rahasia yang akan menyergapnya lagi.
Untuk menghilangkan malam yang panjang dan impian yang buruk, mendadak dia memperoleh satu akal bagus, mendadak tubuhnya melejit ke samping dan berbalik menubruk ke arah Lomana.
Rupanya dia hendak membekuk perempuan cantik tak mengerti ilmu ini, pikirnya.
"Aku benar-benar pikun, untuk memilih buah yang masak, tentu harus memilih yang lunak lebih dulu, buat apa mesti beradu kekerasan dengan mereka?"
Kalau tadi dia bermaksud hendak menangkap Lohay untuk memaksa Lomana menyerahkan diri padanya.
Lohay seorang kepala suku, membekuk Lohay akan mendapat banyak keuntungan, sekarang ia berpendapat lebih baik membekuk Lomana lebih dulu kemudian baru memaksa Lohay untuk menyerah, itulah sebabnya dia lantas berganti haluan.
Di mana Lomana berdiri sekarang, jaraknya agak jauh dengan tempat di mana Nyo Yan berada.
Ketika menerjang ke muka sambil mencengkeram tubuh Lomana, timbul kembali rasa seram dalam hati Auwyang Toan,rasa seram berupa "bocah si kacung kuda"
Yang dianggapnya sedikit sesat.
Sementara itu, bagaikan gulungan angin puyuh, dalam beberapa kali lompatan saja Auwyang Toan telah berhasil meloloskan diri dari kepungan Lohay dan Santala, langsung menerjang ke hadapan Lomana.
Lomana pernah mempelajari simhoat tenaga dalam aliran Thias-san-pay, tapi apa yang diperolehnya tak lebih hanya dasar-dasar belaka Sementara untuk melakukan perlawanan terhadap serangan musuh sama sekali dia tidak paham.
Ketika Nyo Yan melepaskan sebatang Thian-san-sin-bong tadi, dia telah menguras habis sedikit tenaga dalam yang berhasil dihimpun sedikit demi sedikit dalam beberapa jam, bagaimanapun juga, sekarang dia sudah tak mampu lagi antuk melepaskan sebatang Thian-san-sin-bong sejauh itu.
Sementara Nyo Yan sedang terkejut bercampur cemas, mendadak terdengar Auwyang Toan membentak keras.
"Siapa di situ? Ayo cepat keluar!"
Dengan keheranan Nyo Yan segera berpikir.
"Mungkinkah di sini memang benar-benar terdapat seseorang yang sedang menyembunyikan diri?"
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat di dalam benaknya, tiba-tiba terdengar desingan angin tajam bergema memecahkan keheningan.
"Sreeet!"
Ternyata ada sebutir batu kerikil yang sedang menyambar datang dari jarak ratusan kaki, namun dalam sekejap mata telah berada di depan mata Auwyang Toan.
Tak terlukiskan rasa terkejut Auwyang Toan menghadapi ancaman tersebut, ia belum tahu sampai di manakahkemampuan yang dimiliki lawannya, maka serangan itu tak berani disambut dengan kekerasan, dengan cekatan dia me- lompat ke samping untuk menghindarkan diri.
Baru saja dia berkelit, terdengar suara tertawa seorang perempuan berkumandang datang.
Dengan hati gembira Lomana segera berteriak keras.
"Enci Leng-kah di situ? Kau telah kembali?"
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, perempuan itu telah menampakkan diri.
Begitu tiba-tiba kemunculannya, seakan-akan muncul dari dalam bumi.
Ternyata perempuan itu mengenakan baju berwarna hitam pekat, sebelum Auwyang Toan tiba di sana tadi telah menyembunyikan diri di balik semak belukar, itulah sebabnya Auwyang Toan sama sekali tidak menemukan jejaknya.
Akan tetapi, perempuan itu bukan Leng Ping-ji.
Ketika Auwyang Toan mengetahui kalau orang itu bukan Leng Ping-ji, tampaknya dia merasa lega sekali.
"Kau si budak ingusan juga berani memusuhi aku?"
Tegurnya sambil tertawa dingin.
Budak Ingusan Menghajar Gembong Iblis Perempuan itu masih sangat muda, sifat kekanak- kanakannya belum hilang, mungkin di antara tujuh delapanbelas tahunan, rambutnya yang panjang terurai sebahu, sepasang matanya hitam pekat dan bersinar terang,di bawah sorot rembulan dia tampak amat lincah dan menawan hati.
Sambil tertawa cekikikan, gadis itu menjawab.
"Pertama, aku bukan budak ingusan. Kedua, dengan kepandaianmu yang tidak luar biasa, kenapa aku tak boleh memusuhi manusia macam kau?"
Mendengar ucapan itu, Auwyang Toan lantas berpikir.
"Mungkin dia cuma seorang budak yang baru saja muncul dalam dunia persilatan, yang biasanya terlalu dimanja orangtua atau gurunya, maka dia belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
Melihat gadis itu lincah dan menarik, amarahnya semakin mereda, katanya kembali.
"Dari ucapanmu itu, tampaknya ilmu silat yang kau miliki lumayan juga?"
"Kalau lumayan sih tak berani kukatakan, sebab baik atau jelek hanya bisa diketahui bila sudah berani kukatakan sangat baik, tapi toh jauh lebih baik bila dibandingkan dengan ilmu silatmu itu!"
"Kenapa kau hendak memusuhi aku?"
"Lantas kenapa kau mesti memusuhi enci ini?"
"Urusanku lebih baik tak usah kau campuri!"
"Kalau begitu, urusanku pun tak usah kau campuri pula, kalau toh kau boleh menganiaya enci ini, kenapa aku pun tak boleh memusuhi dirimu?"
Agak mendongkol dan marah juga Auwyang Toan setelah mendengar perkataan itu, serunya kemudian.
"Kau si budak cilik yang tak tahu diri, sekali kugencet tubuhmu, mampus kau nanti!""Huuh, kau berani benar memaki aku,"
Teriak gadis itu pula.
"Kau ingin menggencet mati aku? Heeh heehh heehh tahukah kau apa yang hendak kulakukan? "Aku tak ingin bersikap buas dan galak macam tampangmu itu, begitu turun tangan lantas ingin membunuh orang. Kau berani memaki aku, maka aku pun hanya ingin menempeleng mukamu beberapa kali!"
Dari gusar Auwyang Toan menjadi tertawa geli, serunya.
"Budak ingusan, kau terlalu latah, ingin menempeleng aku beberapa kali? Silakan saja mencobanya!"
Ia pernah menyaksikan kepandaian gadis menyambit senjata rahasia, walaupun tahu ilmu silat yang dimilikinya tidak lemah, namun bagaimanapun juga dia tidak percaya kalau wajahnya bisa ditampar gadis itu.
Malahan dalam hatinya dia sedang mempertimbangkan, apakah perlu untuk melukainya dengan ilmu pukulan Lui-sin- ciang atau tidak.
"Dengan usianya yang begitu muda, bisa memiliki kepandaian sehebat itu bukan sesuatu yang gampang, ayahnya atau gurunya sudah pasti adalah jago kenamaan dalam dunia persilatan, lebih baik aku bertindak agak sungkan saja atau membekuknya dalam keadaan hidup-hidup."
Begitu berkata hendak menampar, ternyata gadis itu segera mewujudkan apa yang diucapkannya belum habis Auwyang Toan berpikir "Plook!"
Sebuah tamparan keras telah bersarang dengan telak di pipinya.
Sesungguhnya Auwyang Toan sudah melakukan persiapan yang seksama, tapi entah mengapa, jangankan melepaskan serangan balasan, untuk menghindarkan dia pun tak mampu.Dalam gusarnya, Auwyang Toan segera melancarkan serangan dengan menggunakan ilmu pukulan Lui-sin-ciang yang maha dahsyat itu.
"Weee! Weee! Weee.,.!"
Secara beruntun dia melancarkan tiga buah pukulan maha dasyat.
Serangan ini begitu dahsyatnya, membuat Nyo Yan yang berada tiga puluh langkah jauhnya dari arena merasakan sambaran hawa panas yang dari serangan itu Akan tetapi angin pukulan Lui-sin-ciang yang dahsyat itu ternyata tak mampu untuk rnenyentuh ujung baju gadis Han, malah wajah Aaw-yang Toan kembali kena ditampar keras.
"plaaak ploook!"
Secara beruntun Aawyang Toan ditampar, menyusul kemudian terdengar gadis itu berkata sambil tertawa.
"Bagaimana? Aku bilang bila aku ingin menamparmu, maka kau pasti dapat kutampar, bagaimana hasilnya seka- rang? Kamu toh kena kutampar juga, kalau belum puas, ayolah kita coba lagi?"
Ketika itu sepasang pipi Auwyang Toan kena ditampar yang telah berubah tak karuan bentuknya, gumpalan warna hijau dan warna merah karena sembab dan membengkak membuat tampangnya kelihatan jelek, darah segar bercucuran dan mulurnya, gigi pun copot beberapa biji.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam keadaan seperti ini, dia mana berani mengatakan ingin mencoba lagi? Jangankan berkata demikian, hakikatnya dia sudah dibikin ketakutan setengah mati sampai termangu- rnangu dibuatnya.
Ilmu sifat yang dimiliki gadis ini benar- benar mahir untuk menghadapi gadis semacam itu.
sudah pasti anajt aum bahkan untuk kabur pun benari tentu bisa.
Sambil memegangi wajahnya yang membengkak besar dia berdiri termangu dan tak tahu apa yang mesti dilakukan,seandainya di situ ada gua, sudah pasti dia akan menerobos masuk ke dalam gua itu.
Nyo Yan yang berbaring di atas tanah tak sempat melihat bagaimana cara gadis itu menghajar musuhnya, tapi setelah mendengar suaranya yang merdu, tergerak juga hatinya.
"Empat kali tempelengan yang dia hadiahkan kepada Auwyang Toan barusan mirip sekali dengan ilmu pukulan Lok- eng-ciang-hoat, tapi Lok-eng-ciang-hoat merupakan hasil ciptaan sucou yang tak pernah diwariskan kepada orang lain. Tentu saja dia tak mungkin bisa menggunakannya. Cuma ilmu silat tingkat tinggi memang saling berhubungan, bukan sesuatu yang aneh bila dia pun dapat mempergunakan kepan- daian yang mirip dengan kepandaian tersebut"
Baru selesai dia berpilar, terdengar gadis itu membentak lagi.
"Apakah kau ingin merasakan beberapa kali tempelengan lagi? Kalau memang tak berani mencoba lagi. kenapa tidak segera enyah dari hadapanku?"
Memang kata-kata semacam inilah yang sedang dinantikan oleh Auwyang Toan, begitu mendengar kata "enyah", bagaikan memperoleh pengampunan, cepat-cepat dia menyemplak kuda dan kabur dari sita.
Hawa amarah dalam dada Lohay belum mereda, mendadak dia membentak keras.
"Sekalipun lihiap ini berbelas kasihan kepadamu, aku tak akan membiarkan kau pergi dengan sedemikian gampangnya!"
Di tengah bentakan keras, dia segera membidikkan busur berpegas kuatnya.
Sreeet, sreeeet, sreeet anak panah bertaburan di angkasa dan melesat ke arah Auwyang Toan.Betul-betul amat dahsyat bidikannya itu, secepat sambaran petir anak panah tersebut melesat ke depan.
Sekalipun kuda Auwyang Toan kabur amat cepat, namun bidikan panah Lohay jauh lebih cepat lagi, belum habis dia membentak, anak panah sudah mengancam punggungnya.
Auwyang Toan pernah merontokkan bidikan panah dari Santala dengan mudah, dia menganggap Lohay yang sudah tua tak mungkin memiliki tenaga bidikan yang lebih hebat dari Santala.
Buktinya Santala yang masih muda dan lebih kekar pun tak sanggup melukainya, tentu saja dia lebih-lebih tak memandang sebelah mata terhadap kemampuan Lohay.
Itulah sebabnya ketika mendengar suara desingan tajam mengancam tiba, tanpa berpaling dia me-epaskan sebuah pukulan ke belakang.
Siapa tahu, jahe semakin tua semakin pedas ternyata bidikan panah yang dilepaskan Lohay itu datangnya dari arah yang sama sekali tak terduga.
Sesungguhnya ia mengandalkan ilmu membedakan angin untuk menentukan arah serangan, maka tangkisan dilakukan ke arah belakang sebelah kiri, dengan kemampuannya untuk melancarkan serangan, sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit untuk merontokkan bidikan panah pertama yang mengarah tubuhnya.
Siapa sangka baru saja pukulan tersebut dilepaskan, mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar lewat, sebatang anak panah lainnya telah mengancam bahu kanannya.Ternyata ilmu panah yang dimiliki Lohay jauh lebih hebat dari Santala, ilmu memanahnya boleh dibilang sudah mencapai tingkatan yang amat sempurna sekait, bukan saja sasarannya tepat, lagi pula pada saat yang hampir bersamaan dia dapat membidikkan tiga batang panah dengan kekuatan yang berbeda.
Panah keduanya itu dibidikkan belakangan, namun tiba pada sasaran lebih dulu.
Begitu ancaman datang dari arah yang sama sekali tak terduga, seketika itu juga Auwyang Toan dibikin kelabakan setengah mati.
Perlu diketahui, walaupun ilmu pukulan udara kosong itu bertenaga dahsyat, tapi begitu arahnya keliru maka sulit baginya untuk menahan bidikan panah yang dilepaskan oleh Lohay, pemanah nomor wahid dari suku Wana Untung saja dia cukup cerdik, dalam gugupnya, serangan yang dilepaskan tadi agak dimiringkan scdikrtte samping, dengan begitu, panah yang dibidikkan Lohay menjadi miring beberapa inci dan terhindarlah dia dari ancaman bidikan ke tulang pi-pa-tat-nya.
Walaupun bidikan yang pertama berhasil dihindari, bidikan kedua sukar dihindari.
Bidikan panah ini dilancarkan paling datu, namun tibanya justru lebih lambat.
Padahal ketika itu pukulan udara kosong dari Auwyang Toan sudah mendekati titik akhir.
"Traak!"
Tak ampun lagi, lengan kirinya segera terbidik dengan telak.
Sementara itu panah ketiga telah meluncur datang dengan kecepatan tinggi.Kini Auwyang Toan sudah terlukai dia tak sanggup melepaskan pukulan udara kosong lagi, sekalipun dapat, dia yakin bidikan itu sukar ditahan.
Tanpa terasa dia menarik napas dingin, pekiknya di hari.
"Mati aku kali ini!"
Terpaksa dia hanya berharap agar bidikan tersebut jangan sampai mengenai bagian yang mematikan di tubuhnya.
Tapi anehnya, sewaktu dia sedang bergidik dengan ketakutan, terdengar desingan angin tajam menyambar lewat, ternyata panah itu hanya menyambar melewati atas bahu kirinya tanpa melukai tubuhnya sedikit pun juga Dengan ilmu panah Lohay yang begitu sakti, dia mengira bidikan tersebut pasti akan mengenai sasarannya.
Sesungguhnya tiga batang panah itu dapat mengenai tubuhnya semua, kini hanya sebatang saja yang bersarang di tubuhnya, itu pun tidak mengenai tempat yang mematikan, bagaimanapun juga, hal itu sudah merupakan suatu "keberuntungan"
Di balik ketidakberuntungan.
Dalam waktu singkat, Auwyang Toan benar-benar merasa seperti baru saja lolos dari kematian.
Dia khawatir bidikan berantai dari Lohay akan dibidikkan kembali, buru-buru dia menahan rasa sakit yang luar biasa dan menyemplak kudanya keras-keras untuk kabur dari sini.
Mengapa ketiga batang anak panah yang dilepaskan Lohay bisa meleset dari sasarannya? Ternyata bukan bidikan Lohay yang tidak mengenai sasarannya, melainkan karena ada orang yang secara diam-diam telah menolong Auwyang Toan.Orang yang telah membantu Auwyang Toan secara diam- dia ini bukan saja tak disangka oleh Auwyang Toan, bahkan Lohay dan Nyo Yan sekalian pun tak pernah menduganya.
Ternyata orang itu tak lain adalah si nona yang baru saja menempeleng wajah Auwyang Toan.
Tatkala panah ketiga yang dilancarkan Lohay melesat ke depan, dia segera mengibaskan ujung bajunya ke depan.
Termakan oleh kibasannya tersebut, Lohay segera merasakan cekatannya pada busur berpegas tinggi itu menjadi tidak mantap, otomatis sasaran bidikan pun menjadi meleset.
Dalam sekejap mata Auwyang Toan sudah melarikan diri hingga lenyap tak berbekas.
Sebaliknya Lohay berdiri tertegun dengan wajah kaget bercampur tercengang, dia hanya bisa mengawasi tanpa berkedip, untuk sesaat ia tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tampaknya gadis itu dapat menduga apa yang sedang dipikirkan olehnya, dengan suara dingin katanya.
"Aku telah memberi tempelengan yang cukup keras kepadanya, bagaimanapun juga, kau mesti mengampuninya!"
Didengar dari perkataan tadi akan-akan dia menegur Lohay yang telah membuatnya harus mengingkari janji. Lomana menahan diri, lalu berkata.
"Dia adalah siluman yang mencelakai diriku. Nona, kau bisa saja mengampuninya, tapi kami benar-benar tak dapat mengampuni manusia semacam itu."
Nona itu berkata lagi dengan suara yang tetap dingin seperti es.
"Itu urusan kalian, aku tak mau tahu. Kalau kalian punya kepandaian, cari saja dirinya di kemudian hari dan buatlah perhitungan dengannya!"Kena batunya, Lohay dan Lomana menjadi termangu, namun bagaimanapun juga nona ini telah menyelamatkan jiwa mereka, terpaksa mereka pun maju untuk menyampaikan rasa terima kasih. Mendadak gadis itu berkata.
"Tahukah kau, kenapa aku membantu kalian?"
"Siluman itu sudah banyak melakukan kejahatan, tentunya nona sudah mengetahui akan hal ini,"
Sahut Lomana. Gadis itu segera menggeleng.
"Aku sama sekali tidak tahu siapakah orang itu,"
Luarnya.
"Kalau begitu kau adalah seorang pendekar yang kebetulan lewat dan membantu setelah melihat kejadian yang tak adil? Aku tahu kejadian semacam ini sermg terjadi, yang terbatas, kami tetap amat berterima kasih sekali kepadamu."
Gadis itu menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.
"Aku bukan seorang pendekar, aku hanya seorang manusia yang melakukan apa yang aku senangi, aku sama sekali tidak merasa kalau perbuatan yang kulakukan pada malam ini merupakan suatu perbuatan yang sudah seharusnya kulakukan."
"Lantas karena apa?"
Tak tahan Lomana segera bertanya. Gadis itu tersenyum.
"Enci Lomana, sudah lama kudengar kalau kau disebut orang sebagai perempuan tercantik di wila- yah Sinkiang, maka aku sengaja datang kemari untuk membuktikannya. Kalau kau sampai dicelakai oleh siluman itu, mana mungkin aku dapat melihat jelas raut wajahmu?"
Selama hidup, Lomana memang sudah terbiasa dipuji-puji orang, maka dari itu meski dia merasa agak istimewa setelahmendengar ucapan dari gadis tersebut, dia pun tidak terlampau heran. Sambil tertawa, katanya kemudian.
"Nona, kau tak usah sungkan-sungkan. Kau pun cantik sekali. Terus terang saja, aku selalu menganggap diri ku jelek, apa lagi setelah bertemu dengan dirimu, aku semakin merasa diriku jelek. A ah, benar, nona, kami masih belum menanyakan namamu."
Untuk ketiga kalinya nona ini menggelengkan kepalanya berulang kali, dia sama sekali tidak menyebutkan namanya sebaliknya malah berkata dengan dingin.
"Kau tidak jujur, perkataanmu barusan hanya mengumpak diriku. Aku tidak suka kalau kau berbohong untuk menipu aku. Bila harus berbicara sejujurnya, maka kata jelek tersebut seharusnya ditujukan untuk diriku."
Untuk kedua kalinya Lomana kena batunya, kembali ia tertegun dan tak tahu apa yang mesti dikatakan. Dia merasa tak dapat mengumpak gadis itu, tentu saja dia pun merasa rikuh untuk memuji kecantikan sendiri,maka pikirnya di dalam hati.
"Wajah manusia dibawa semenjak dilahirkan orangtuanya, cantik atau tidak cantik toh bukan suatu masalah yang penting, buat apa mesti diributkan?"
Ini adalah jalan pemikirannya, tapi berbeda dengan jalan pemikiran gadis ini. Ketika dilihatnya Lomana tidak menjawab, tiba-tiba ujarnya lagi sambil tersenyum.
"Lomana, kau tahu sewaktu aku datang melihatmu tadi, apa yang kupikirkan dalam hati?"
Lomana tertegun, lalu sahutnya.
"Apa yang kau pikirkan, dari mana aku bisa tahu?""Baik, kalau kau tidak tahu maka akan kukatakan kepadamu. Terus terang saja, aku pun seorang gadis yang amat membanggakan kecantikan wajahku. Aku sedang berpikir tadi, seandainya Lomana benar-benar berparas lebih cantik dari diriku, maka aku akan menusuknya sampai mati!"
Ucapan tersebut benar-benar ibarat guntur di tengah hari bolong, begini ucapan tersebut diucapkan, Lohay, Lomana, Nyo Yan maupun Santala sekalian menjadi amat terperanjat. Setelah tertawa, gadis ini kembali melanjutkan.
"Ternyata nama besarmu memang bukan kosong belaka, wajahmu memang jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan. Sebetulnya aku hendak membunuhmu, tapi wajahmu itu membuat hatiku menjadi iba, oleh karena itu kau tak usah takut sekarang, karena kini aku tak ingin membunuh dirimu lagi."
Lomana segera menghembuskan napas lega, bisiknya cepat-cepat, Terima kasih banyak nona!"
Siapa tahu kembali gadis itu tertawa cekikikan, katanya lebih lanjut.
"Tapi, apa yang telah kukatakan selamanya pasti akan kulaksanakan pula, walaupun wajahmu terlampau cantik sehingga menimbulkan rasa iba dalam hatiku, dan membuat aku tak tega untuk turun tangan, tetapi kendati aku tak akan memenggal kepalamu, paling tidak kau harus meninggalkan semacam tanda sebagai kenang-kenangan."
Sudah seharusnya kubalas budi kebaikanmu itu,"
Buru-buru Lomana menjawab.
"Enci, apa yang kau kehendaki? Pasti akan kuberikan kepadamu asal bisa."
"Tak usah kau yang memberi, biar aku saja yang mengambilnya sendiri"Begitu selesai berkata, tampak cahaya putih berkelebat lewat, segenggam rambut Lomana tahu-tahu sudah ditebas olehnya. Tindakan yang dilakukan amat tiba-tiba ini mengejutkan Salam yang sedang berbaring di tanah, dengan cepat ia melompat bangun.
"Perempuan siluman, jangan"
Dia mengira perempuan itu hendak mencelakai Lomana, tapi belum sampai ucapan tersebut dilanjutkan, nona itu sudah menyarungkan kembali pedangnya.
Salam baru tahu kalau nonanya tak terluka, hanya kehilangan segenggam rambutnya belaka.
Sambil tertawa gadis itu berkata lagi.
"Aku hanya menirukan cara Cho Cho, memotong rambut sebagai pengganti batok kepala. Cuma kalau dia memotong rambut sendiri maka sekarang aku memotong rambutmu. Enci Lomana, tentunya kau tidak merasa sayang bukan dengan segenggam rambutmu ini?"
Rasa kaget dan ketakutan yang menyelimuti perasaan Lomana belum sirap, tentu saja (ha tak sanggup mengucapkan sepatah kata pula ua.
Salam yang diliputi ketegangan berdiri kaku di tempat, tapi begitu menghembuskan napas lega, tanpa terasa dia terkapar kembali ke atas tanah.
Diam-diam ia agak menyesal juga karena telah memaki gadis itu sebagai "siluman perempuan".
Tiba-tiba gadis itu berjalan mendekatinya, kemudian secara tiba-tiba melepaskan sebuah tendangan.
Dalam kagetnya buru-buru Salam menggelinding ke samping dengan gerakan Keledai Malas Menggelinding,sekalipun demikian toh badannya kena ditendang juga oleh ujung kaki lawan.
Salam mengira nona itu hendak membunuhnya untuk membalas makiannya tadi, siapa tahu ketika ujung kaki nona itu menyentuh tubuhnya, ternyata sana sekali tidak disertai tenaga, bahkan segera ditarik lagi.
Sebagai seorang ahli silat, Salam segera tahu kalau ujung kaki nona itu sedang menyentuh jalan darahnya, bila tendangan itu disertai dengan sedikit tenaga saja, niscaya jiwanya akan melayang, tentu saja dia pun tahu kalau nona itu telah mengampuni selembar jiwanya.
Terdengar gadis itu berkata sambil tertawa bergelak.
"Ilmu silatmu lumayan juga, sudah terluka oleh pukulan Lui-sin-ciang orang tadi?"
Salam baru mengerti kalau nona itu hanya ingin mencoba apakah dia benar-benar terluka atau tidak, setelah mendengar pertanyaan itu, dia segera mengangguk.
"Benar!"
"Aku telah membuatmu terperanjat, maka sudah sepantasnya pula kalau memberi ganti rugi untukmu. Nah, di sini ada sebutir pil yang dapat menyembuhkan luka Lui-sin- ciang, cepat telanlah!"
Salam percaya penuh pada gadis itu, dia tahu seandainya gadis tersebut ingin membunuhnya, hal itu bisa dilakukan dengan mudah, maka mustahil pil yang diberikan kepadanya itu beracun.
Tanpa berpikir panjang lagi dia terima pil itu dan ditelannya, tak lama kemudian dia merasakan sekujur badannya menjadi segar sekali.
Walaupun tenaganya belum pulih kembali, namun sudah dapat berdiri.Sementara itu fajar sudah mulai menyingsing di uruk timur, mendadak nona itu menyaksikan Nyo Yan tergeletak di tanah, sambil menuding ke arahnya dia lantas menegur.
"Bocah yang kotor itu tampaknya bukan anggota rombongan kalian, siapakah dia?"
"Aku adalah seorang pengemis,"
Jawab Nyo Yan cepat- cepat.
"Ooh kau adalah seorang pengemis? Kenapa kau melakukan perjalanan bersama dia?"
Lohay khawatir menderita kerugian di tangan gadis ini, maka cepat-cepat ia turut berbohong.
"Aku menyaksikan dia tergeletak di jalan, maka kusuruh dia masuk ke dalam tenda kami untuk menghangatkan badan. Sudah beberapa hari dia tidak makan, saking laparnya sampai tak mampu untuk berjalan lagi."
"Ooh, kiranya begitu. Kasihan benar nasibnya. Dengan adanya kau seorang dermawan, rasanya aku pun tak usah membantunya lagi. Maaf, aku harus pergi sekarang!"
Semenjak tadi, semua orang memang berharap "siluman perempuan"
Yang senang gusar tak menentu itu cepat-cepat pergi dari sana, maka tak seorang pun yang berani menahan.
Dalam waktu singkat, gadis itu sudah lenyap tak berbekas.
Menanti gadis itu sudah hilang dari pandangan mata, Santaia baru menghembuskan napas panjang, katanya.
"Nona itu aneh sekali, entah dia berasal dari golongan sesat atau lurus? Lomana, tadi, aku benar-benar merasa khawatir sekali pada keselamatan jiwamu!"
"Pada mulanya aku mengira dia adalah enci Leng, ternyata aku salah. Walaupun dia bukan enci Leng, tak kusangka kalauilmu silatnya jauh lebih hebat dari enci Leng, bagaimanapun juga, dia toh terhitung pula tuan penolong kita."
"Tentu saja kita harus berterima kasih kepadanya. Cuma, sekalipun ilmu silatnya amat lihay, tak mungkin gadis itu bisa menandingi enci Leng sebagai seorang pendekar dari Thian- san-pay? "Tentu saja. Enci Leng adalah seorang pendekar sejati, sedangkan perempuan tadi, lurus atau sesatnya masih belum bisa kupastikan!"
Tiba-tiba Nyo Yan ikut menimbrung.
"Yang kalian maksudkan apakah Leng Ping-ji pendekar wanita dari Thian- san-pay?"
"Kau juga tahu Leng lihiap?"
Tanya Lomana tercengang.
"Sejak melangkah ke dalam wilayah Sinkiang aku sudah mendengar banyak penggembala yang membicarakan dia."
Selama beberapa tahun ini Leng Ping-ji mengembara di wilayah Sinkiang, di mana saja dia membantu para penggembala yang sedang kesulitan. Maka setelah mendengar perkataan dari Nyo Yan ini, semua orang tidak heran. Kembali Nyo Yan bertanya.
"Tentunya kalian juga kenal dengan Teng Keng-thian, Teng tayhiap ketua dari Thian-san- pay? Walaupun aku ini bukan orang persilatan, namun sewaktu masih berada di daratan Tionggoan dulu, sering namanya disebut orang, konon dia merupakan seorang tayhiap yang berilmu paling tinggi dalam dunia persilatan dewasa ini?"
"Kami pernah tinggal di Thtan-san, beruntung wajah Teng tayhiap pernah kami jumpai,"
Sahut Santala.
"cuma Tengtayhiap telah meninggal dunia pada setengah tahun ber selang."
Mendengar berita itu, Nyo Yan merasa sedih sekali, tanpa terasa ia menjerit tertahan.
"Aah! Teng tayhiap telah meninggal dunia?"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak dia teringat kalau asal-usulnya tak boleh sampai ketahuan mereka, maka buru-buru dia menambahkan.
"Orang yang begitu saleh dan baik, kenapa harus mati secepat ini? Sungguh sayang."
Setelah mendengar berita kema-tian gurunya yang pertama, rasa sedih segera mencekam perasaan pemuda itu, membuat pikirannya menjadi kosong.
Lohay sendiri walaupun merasa agak heran ketika Nyo Yan mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pertarungan sengit yang barusan ber- langsung, namun dia mengira kalau hal dikarenakan rasa kagumnya terhadap pendekar besar itu, maka dia pun hanya berdiam diri belaka, tentu saja tak pernah disangka olehnya kalau pemuda itu sebenarnya adalah murid terakhir Teng Keng-thian.
Setelah hening sesaat, dia baru berkata, Teng lociangbun meninggal dalam usia tujuhpuluh tahun lebih, tak bisa dibilang dia mati muda."
Nyo Yan memang sengaja berbicara salah agar mereka tidak menaruh curiga kepadanya. Santala yang menyaksikan Salam masih terluka, agaknya tak ingin banyak berbicara lagi, dia lantas berkata.
"Sekarang fajar sudah hampir menyingsing, kita harus segera me- lanjutkan perjalanan."Lohay tampak agak sangsi, dia lantas menengok ke arah Nyo Yan sekejap. Dengan cepat Nyo Yan berkata.
"Atas bantuan kalian semua, kini aku merasa jauh lebih baikan. Harap kalian tak usah mengkhawatirkan diriku, aku tak lebih cuma seorang pengemis, sekalipun para perampok datang lagi juga tak sampai mengancam keselamatan jiwaku. Lebih baik kalian segera meninggalkan tempat ini."
Yang dikhawatirkan Lohay memang persoalan ini, sebenarnya dia hendak membawa serta Nyo Yan, akan tetapi setelah Salam terluka, tak mungkin lagi baginya untuk mengurusi dua orang penderita, lagi pula kuda yang mereka bawa tidak banyak.
Tapi dia sudah terlanjur berbicara, bila Nyo Yan ditinggalkan begitu saja, berarti dia telah mengingkari janji sendiri.
Setelah mendengar perkataan Nyo Yan itu, agak berkurang perasaan ragu Lohay, dengan nada minta maaf dia lantas berkata.
"Aku pun tidak menyangka bakal menjumpai musibah yang sama sekali di luar dugaan ini, baik-baiklah merawat lukamu di sini, bila sudah baik nanti datang saja mencari kami. Nah, beberapa tahi! perak ini harap kau terima untuk digunakan."
Dia lantas meninggalkan beberapa keping uang perak dan sebungkus ransum kering untuk Nyo Yan.
Sementara itu Salam telah mencoba meluruskan otot kaki dan tangannya, kini tenaganya sudah pulih beberapa bagian dan secara paksa masih bisa menunggang kuda, cuma kalau dia disuruh naik kuda bersama Nyo Yan, hal tersebut masih tak sanggup dilakukan.Sambil naik ke atas punggung kudanya, dia berkata.
"Saudara cilik, bila sudah sembuh jangan lupa datang mencari kami. Datang saja ke benteng utama Lor Anki, asal bertanya kepada orang di manakah tempat tinggal kelo, dengan cepat mereka akan mengantarmu ke sana."
Nyo Yan berpura-pura terkejut, lalu serunya.
"Jadi kalian kalian adalah."
Sambil tersenyum Lomana berkata.
"Ayahku adalah kelo dari suku Wana!"
Nyo Yan segera menunjukkan sikap gugup dan gelagapan, katanya dengan cepat.
"Rupanya inkong (tuan penolong) adalah kelo, harap kau suka memaafkan ketidaktahuan siaujin."
"Kelo tak ada bedanya dengan manusia biasa,"
Kata Lohay sambil tertawa.
"aku menyesal sekali tak dapat memberikan pertolongan kepadamu sampai selesai, soal pemberianku ini harap kau jangan pikirkan di dalam hati."
Menanti Lohay sekalian telah pergi, Nyo Yan melanjutkan kembali semadinya untuk mengatur pemapasan, dengan cepat hawa mumi telah mengelilingi seluruh tubuhnya Setelah menelan separuh butir pil Pek-leng-wan pemberian dari Lomana tadi, racun dalam tubuhnya sudah punah separuh, tak sampai satu jam ia bersemadi, peredaran darahnya pulih kembali, tinggal nadi Jin dan nadi Tok yang belum lagi tembus.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda ramai berkumandang datang dari kejauhan sana Nyo Yan terperanjat, segera pikirnya.
"Jangan-jangan Auwyang Toan balik kembali?"Perlu diketahui, walaupun saat itu kesehatan badannya telah pulih kembali tujuh delapan bagian, tapi berhubung kedelapan nadi pentingnya belum tembus, dia masih belum dapat bertarung menggunakan tenaga dalam. Seandainya dia memaksakan diri untuk bertarung, akibatnya semua usahanya selama ini akan gagal, kendatipun berhasil merobohkan lawan, dia sendiri pun akan menjadi setengah lumpuh. Cepat benar lari kuda itu, dalam waktu singkat dia telah tiba di hadapannya Yang datang bukan Auwyang Toan, melainkan gadis yang baru dua jam berselang pergi meninggalkan mereka itu. Nyo Yan khawatir kalau dia mengetahui bahwa dirinya sedang bersemadi, buru-buru kakinya diluruskan ke depan dan berlagak malas-malasan, sambil bersandar pada batu, dia memakan ransum kering. Gadis itu menatapnya lekat-lekat, mendadak dia berkata.
"Di hadapanku lebih baik tak usah berbohong, sesungguhnya siapakah kau?."
"Bukankah telah kukatakan kepadamu? Aku hanya seorang pengemis cilik,..!"
"Kau hanya seorang pengemis?"
Kata nona itu ketus.
"Aku lihat kau si pengemis agak mencurigakan."
"Nona jangan bergurau, aku benar-benar hanya seorang pengemis yang hanya bisa meminta-minta apa anehnya? Kembali gadis itu mendengus dingin.
"Hmm! Aku lihat kau adalah seorang manusia yang sengaja menyembunyikan kepandaian!""Nona, apa itu orang sungguhan orang gadungan? Aku tidak memahami maksudmu!"
"Kau tidak paham? Kalau begitu aku ingin bertanya, siapa yang berhasil melukai penjahat yang bisa menggunakan kui- suciang itu?"
"Aku hanya melihat kau menempelengnya, sebelum kau datang beberapa orang suku Wana itu tak ada yang mampu menandinginya. Benarkah dia sudah terluka lebih dulu?"
Sementara dalam hati kecilnya dia berpikir.
"Masa sepasang matanya begitu lihay. Diam-diam aku telah melepaskan serangan dengan Thian-san-sin-bong yang sangat kecil, bersembunyi seratus langkah di balik semak belukar, masa semuanya itu bisa dia saksikan dengan jelas?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, terdengar gadis itu berkata lagi sambil tertawa dingin.
"Kau sedang berlagak pilon rupanya, semalam hanya beberapa gelintir manusia saja yang hadir di sini, aku telah memeriksa satu per satu dan tahu kalau itu bukan perbuatan mereka, kalau bukan kau siapa lagi?"
Ternyata setelah gadis itu menempeleng Auwyang Toan, mendadak ia jumpai gerak-gerik orang itu sudah tidak gesit lagi, jelas bagian kakinya telah menderita luka Kalau bukan demikian, kendatipun Auwyang Toan bukan tandingannya, keempat tempelengannya itu pun tak mungkin bisa dilakukan dengan lancar.
Pada mulanya dia masih mencurigai Salam, tapi setelah mencoba kepandaian yang dimiliki orang itu, dia segera tahu, walaupun kungfu yang dimiliki Salam lumayan, ia masih belum mampu melukai Auwyang Toan.
Cuma waktu itu dia belum mencurigai Nyo Yan.Setelah melakukan perjalanan, ia merasa makin lama semakin curiga, sehingga akhirnya dia tak tahan dan segera balik kembali ke situ untuk memeriksa Nyo Yan.
Pakaian yang dikenakan Nyo Yan compang-camping dan kotor, apalagi setelah terluka, wajahnya berubah menjadi kuning membengkak, tampangnya memang rada mirip pengemis.
Dengan disangkalnya hal itu, sang nona benar-benar dibuat tidak habis mengerti.
Dengan sinar mata penuh kecurigaan, gadis itu mengawasi wajah Nyo Yan lekat-lekat hingga membuat pemuda itu merinding juga dibuatnya.
Sesaat kemudian, gadis itu baru bertanya.
"Kalau begitu, kau benar-benar tidak mengerti ilmu silat?"
"Kalau aku mengerti silat, tak perlu aku hidup meminta- minta sebagai pengemis! "jawab Nyo Yan tertawa Mendadak gadis itu tertawa dingin, katanya kembali.
"Baik, kau bilang kau tak mengerti ilmu silat, segera akan kusuruh kau memperlihatkan sendiri apakah kau benar-benar tak mengerti ilmu silat atau tidak?"
Begitu ucapan terakhir diutarakan dia segera turun tangan.
Waktu itu Nyo Yan termangu-mangu, belum lagi ucapan tersebut dipahami, tahu-tahu serangan dari gadis tersebut sudah riba di depan mata, bahkan langsung mencengkeram tubuhnya Setelah menyaksikan ini, Nyo Yan segera memahami apa yang dimaksudkan.
Ternyata cengkeraman tersebut dilancarkan ke arah tulang pi-pa-kut pada bahu Nyo Yan.
Dengan kecepatan serangannyadan kekuatan yang dimilikinya, seandainya cengkeraman tersebut sampai mengenai sasaran, niscaya tulang pi-pa-kut dari Nyo Yan akan hancur.
Bila tulang pi-pa-kut sudah hancur, bagaimanapun lihaynya ilmu silat yang dimiliki juga akan punah sama sekali.
Jarak mereka begitu dekat, jangankan Nyo Yan memang belum sembuh dari luka keracunan, sekalipun tidak terluka pun sulit baginya untuk menghindarkan diri dari ancaman itu kecuali menangkis.
Tapi, bila Nyo Yan sampai menangkis, terbongkarnya rahasia itu masih merupakan soal kedua yang lebih payah lagi adalah semadinya tadi.
Tadi, dia menghentikan latihannya di saat yang sebenarnya amat penting dalam semadinya tadi, segenap nadi pentingnya belum tembus, bila dia mesti menangkis, akibatnya semua usahanya selama ini akan bubar berentakan.
Akibatnya walaupun dia dapat terhindar dari ancaman miang pi-pa-kut tersebut, namun tenaga dalamnya akan punah tak berbekas.
Bedanya dengan tulang pi-pa-kut yang telah hancur adalah, bila tulang itu sampai hancur, mulai detik itu akan menjadi orang cacad dan tak dapat berlatih lagi.
Sebaliknya bila tulang itu tak sampai remuk, akibat dari tangkisan itu tenaga dalamnya akan punah tapi bisa dilatih lagi mulai permulaan, lapi dengan demikian, paling tidak dia membutuhkan waktu selama sepuluh tahun untuk memulihkan kembali kekuatannya itu.
Jadi akibat dari kedua hal tersebut sesungguhnya tidak jauh berbeda.Lantas, bagaimana sekarang? Untuk sesaat, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Nyo Yan, dia tak tahu harus melawan atau jangan? Sementara ingatan tersebut masih melintas lewat dalam benaknya, ujung jari gadis itu telah menyentuh tulang pi-pa- kut di atas bahunya.
---ooo0dw0ooo--- "Semakin kupikir aku merasa bocah muda itu semakin mencurigakan!"
Di tengah jalan Salam mengutarakan kecurigaannya itu kepada Lohay.
"Apa yang mencurigakan?"
Tanya Lohay cepat.
"Aku curiga kalau dia adalah seorang manusia yang mengerti ilmu silat tingkat tinggi!"
Lohay segera tertawa, katanya.
"Mengerti ilmu silat sih mengerti, tapi tak mungkin amat tinggi, kalau tidak masa dia bisa kena dilukai oleh penyamun?"
Agaknya Lomana juga merasa curiga setelah mendengar perkataan Salam tersebut.
"Dari mana kau bisa menganggap dia pandai ilmu silat tingkat tinggi"
"Aku curiga kalau dia telah menolong kita secara diam- diam."
Santala segera tertawa tergelak setelah mendengar perkataan itu.
"Haahh haahh haahh selama ini dia hanya berbaring belaka di atas tanah, mana mungkin bisa membantu kita?""Ketika aku terluka tadi, siluman tersebut sedang menubruk tuan putri, situasi ketika itu boleh dibilang sangat berbahaya sekali. Tapi bocah muda itu justru berguling ke hadapan siluman tersebut tepat pada waktunya."
"Benar!"
Seru Lohay dengan cepat seperti baru sadar.
"Aku masih ingat, agaknya siluman itu menendangnya sekali. Untung saja dia dapat menahan siluman itu sebentar sehingga Santala segera datang tepat pada waktunya dan bekerja sama denganku. Kalau tidak, mungkin sebelum perempuan itu datang menolong kita, aku sudah terluka di tangan siluman itu."
"Tepat sekali!"
Seru Salam lagi.
"Bayangkan saja betapa lihaynya ilmu silat yang dimiliki siluman itu, kalau toh bocah muda itu kena ditendang, mengapa dia tak sampai terluka?"
Lohay termenung sebentar kemudian menjawab.
"Waktu itu aku tidak melihat kejadian dengan jelas, mungkin saja siluman itu tidak menendangnya."
"Walaupun begitu nyali yang begitu besar benar-benar mengherankan sekali."
"Aku pun teringat akan suatu kejadian yang sangat mencurigakan,"
Kata Lomana pula.
"Sewaktu siluman itu hendak menangkapku tadi, entah mengapa tiba-tiba dia menarik tangannya kembali, padahal aku yakin sulit untuk meloloskan diri dari cengkeramannya"
"Soal ini gampang untuk dijelaskan,"
Kata Santala.
"bukankah waktu itu sang siluman mencaci maki ada orang yang telah menyergapnya? Kemudian perempuan itu pun memunculkan diri. Sudah pasti senjata rahasia itu disambitkan oleh wanita yang melukai siluman itu.""Aku rasa senjata rahasia itu dilancarkan oleh wanita tersebut,"
Kata Salam. Lohay tertawa, katanya cepat.
"Mungkin lantaran kalian tak suka dengan wanita itu, maka kalian lebih percaya kalau bocah muda itulah yang diam-diam membantu kalian daripada perempuan tersebut!"
"Perempuan itu telah menolong kita, walaupun aku tidak suka kepadanya bukan berarti tidak berterima kasih kepadanya,"
Kata Lomana "Cuma aku tetap curiga, keber- hasilan kita untuk meloloskan diri dari marabahaya kali ini bukan berkat jasanya semua"
"Tidak peduli apa pun yang kalian katakan, aku tetap tidak percaya kalau hal itu hasil perbuatan pemuda tersebut. Ia menderita luka keracunan, berkat setengah butir pil Pek-leng- wan pemberianmu itulah dia dapat melanjutkan hidup. Masa seseorang yang sudah terluka parah masih punya kemampuan untuk mencelakai siluman? Salam, bukankah kau sendiri yang memeriksa lukanya, dan luka itu tidak pura-pura?"
"Ya, benar, luka yang dideritanya memang cukup parah, itulah sebabnya aku menjadi amat curiga"
"Kalau toh kalian tetap curiga kenapa tidak balik lagi ke sana untuk menanyai sendiri?"
Ucap Lohay sambil tertawa "Kalau memang dia bermaksud menolong kita secara diam- diam.
sekalipun kita tanyakan soal ini kepadanya juga percuma belum tentu dia mau bicara Hitung-hitung dua hari lagi enci Leng pasti sudah kembali, mari kita nantikan keda- tangannya di Lor Anki!"
Leng Ping-ji Telah KembaliApa yang diucapkan Lohay hanya perkataan biasa saja, setelah mengalami peristiwa yang menegangkan urat syaraf semalam, dalam hatinya masih merasa agak jeri, benar Auwyang Tdan kena dibidik hingga terluka, namun dia khawatir kalau Auwyang Toan balik kembali dan bertemu dengan mereka di tengah jalan.
Apalagi mereka harus mengkhawatirkan komplotan dari Auwyang Toan, itulah sebabnya dia lebih setuju cepat-cepat pulang ke rumah.
Untung saja sepanjang jalan tak terjadi peristiwa apa pun, hari kedua sampailah mereka di benteng utama Lor Anki.
Obat penawar yang diberikan perempuan itu kepada Salam memang manjur sekali, pada mulanya dia masih kepayahan untuk menunggang kuda sendiri, tapi setelah melakukan perjalanan selama dua hari, semangatnya menjadi segar, kesehatan badannya juga hampir pulih kembali seperti sediakala.
Setibanya di rumah, semua orang baru merasa lega.
Di luar dugaan, di antara orang-orang yang menyambut kedatangan mereka ternyata terdapat Leng Ping-ji dan seorang pemuda yang belum pernah mereka jumpai.
Lomana menjadi amat kegirangan, dia segera memburu ke depan sambil memeluk Leng Ping-ji erat-erat, serunya.
"Enci Leng, kau telah kembali!"
"Sudah kuduga kalian pasti akan kembali ke sini, maka aku pun mengajaknya langsung kemari,"
Ujar Leng Ping-ji.
"Kami sendiri pun baru pagi tadi tiba di sini. Aah, benar, kalian tentu belum pernah saling bersua bukan, biar kuper-kenalkan kepada kalian."Lomana segera tertawa cekikikan, serunya, Tak usah diperkenalkan lagi, aku rasa dia pastilah Ki toako bukan?"
Merah padam selembar wajah Leng Ping-ji karena jengah, sahutnya.
"Betul, dia memang Ki See-kiat."
"Ki toako,"
Kata Lomana kemudian sambil tertawa.
"tahukah kau, enci Leng amat khawatir jikalau sampai tertipu oleh Nyo Yan, juga khawatir kalau kau sampai terluka di selat Tong-ku- si-sia, entah berapa hari dia merasakan siksaan batin!"
Ki See-kiat segera merasa jantungnya berdebar keras setelah mendengar perkataan itu, sahutnya kemudian.
"Aku memang tersesat dalam selat Tong-ku-si-sia, untung saja nona Leng berhasil menemukan aku dan mengajakku lolos dari sana."
"Dalam sepuluh tahun belum tentu kalian akan datang bersama ke tempat ini, bagaimanapun juga, kali ini kalian mesti tinggal agak lama di sini. Aah, betul, sebulan lagi di tempat kami ini akan diselenggarakan pesta Jagal Kambing, kau dan enci Leng harus mengikutinya!"
"Apa yang dinamakan Jagal Kambing?"
Tanya Ki See-kiat tidak habis mengerti. Selapis warna dadu seperti orang mabuk segera menghiasi wajah Leng Ping-ji, buru-buru tukasnya.
"Enci Lomana, tidak usah bicara yang bukan-bukan lagi, mari kita berbicara serius, aku masih ada persoalan penting yang hendak ditanyakan pada kalian."
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Lomana baru bertanya.
"Kini Ki toako telah kau temukan, masih ada urusan penting apalagi yang hendak kau kerjakan?"
"Apakah Nyo Yan telah datang kemari atau ke rumahmu?""Ada seseorang datang kemari, dia telah membantu ayah untuk mengusir Toan Kiam-ceng si bajingan cilik itu. Tapi, bukankah persoalan ini sudah kau ketahui?"
"Aku maksudkan apakah kemudian orang itu datang lagi kemari? Aku curiga kalau dia adalah Nyo Yan!"
"Tidak, ia tidak datang lagi. Kenapa kau menaruh kecurigaan tersebut?"
"Sebab sekarang aku baru tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan sama sekali tidak berada di bawah Toan Kiam-ceng. Nyo Yan yang kujumpai tempo hari ternyata cuma Nyo Yan gadungan. Aku pikir kalau dia tidak datang kemari lagi, semestinya telah ke rumahmu untuk mencari aku."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aah sebenarnya aku memang sudah mencurigai Nyo Yan tersebut, ternyata dia memang benar-benar gadungan!"
Tapi kemudian Lomana berkata lebih lanjut.
"Sekalipun demikian, belum tentu orang itu adalah Nyo Yan. Apakah selama berada di selat Tong-ku-si-sia, kalian tidak berhasil memperoleh kabar berita tentang Nyo Yan?"
"Aku telah bertemu dengannya,"
Ucap Ki See-kiat.
"sayang telah ku-sia-siakan kesempatan itu, karenanya aku berharap dia bisa datang kemari mencari nona Leng."
Tergerak hati Salam setelah mendengarkan ucapan itu, mendadak timbrungnya dari samping.
"Waktu berada di tengah jalan, kami telah bertemu dengan seorang pemuda aneh!"
"Benarkah?"
Seru Leng Ping-ji cepat.
"Bagaimana bentuk wajah dan dandanannya?"
Lomana segera tertawa, sahutnya.
"Berbicara soal wajah, dia memang ada satu dua bagian mirip Nyo Yan ketika masihkecil dulu, Cuma sayang orang ini tidak mungkin adalah Nyo Yan."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Dia adalah seorang saudagar bahan obat-obatan, di tengah jalan telah bertemu perampok dan kena dilukai. Cobalah bayangkan, seandainya dia adalah Nyo Yan, dan ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan benar-benar sangat lihay seperti apa yang kau katakan, bagaimana mungkin dia bisa dilukai perampok?"
Berbicara sampai di situ, mendadak ia teringat kembali dengan perkataan dari Salam maka dengan nada suara yang berubah, dia melanjutkan.
"Cuma"
"Cuma kenapa?"
"Cuma hal ini menurut pandangan aku saja, kau kan tahu kalau aku tidak mengerti ilmu silat Menurut dugaan Salam, dia curiga kalau pemuda itu merupakan seorang jago yang memiliki ilmu silat sangat lihay!"
Buru-buru Leng Pihg-ji berpaling ke arah Salam dan menanyakan pendapatnya. Salam segera menuturkan kembali beberapa kecurigaan yang pernah diungkapkan di tengah jalan tadi, akhirnya dia menambahkan.
"Setelah terkena senjata rahasia, siluman itu mencabut keluar dan balas disambitkan ke arahku, mungkin dia mengira aku yang telah menyergapnya, maka dia berbuat demikian."
"Sekarang, di manakah senjata rahasianya?"
"Untung saja tidak mengenai tubuhku, senjata rahasia itu telah kuambil dari tanah."
"Cepat perlihatkan kepadaku!"Salam mengambil benda itu dan diangsurkannya ke depan, kemudian katanya.
"Aku memang ingin mohon petunjuk dari kalian berdua, senjata rahasia apakah ini? Selama hidup, belum pernah kujumpai senjata rahasia seaneh ini!"
Setelah melihat senjata rahasia itu, kontan saja Leng Ping-ji jadi tertegun. Ki See-kiat juga ikut tertegun, katanya.
"Aku sendiri pun belum pernah menjumpai senjata rahasia semacam ini. Nona Leng, apakah kau kenal?"
Mendadak ia jumpai perubahan mimik wajah Leng Ping-ji agak istimewa. Tiba-tiba gadis itu menjerit tertahan.
"Dia adalah Nyo Yan, tak salah lagi, dia adalah Nyo Yan!"
Terkejut dan girang Ki See-kiat setelah mendengar perkataan itu, buru-buru tanyanya.
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Senjata rahasia ini bernama. Thian-san-sin-bong, hanya anak murid Thian-san-pay yang mempergunakannya. Aku masih ingat, ketika terakhir kali turun gunung bersama Nyo Yan, dia memang membawa beberapa batang Thian-san-sin- bong."
Lohay yang mendengar ucapan itu selain ikut gembira, dia pun merasa agak menyesal, katanya.
"Tahu kalau dia adalah Nyo Yan, tidak seharusnya kami tinggalkan dia di sana."
"Kelo, kau tak usah menyalahkan diri sendiri, mana mungkin kami akan menyalahkan dirimu?"
Ucap Leng Ping-ji.
"Aku cukup mengetahui wataknya, bila ia tak membe-ritahu identitasnya, sekalipun kau berusaha menasihatinya, dia pun belum tentu mau untuk datang kemari bersama kalian.""Dia telah menyanggupi setelah sembuh dari lukanya akan datang kemari mencari kami,"
Kata Santala pula.
"cuma tidak dijanjikan saat yang pasti."
"Kalau memang begitu, entah kita mesti menunggu sampai kapan?"
Ujar Leng Ping-ji.
"Aah, betul, dia terluka karena apa? Parahkah lukanya?"
Walaupun dia tahu Nyo Yan pasti terluka tidak terlampau parah, sebab buktinya dia masih bisa menghajar Auwyang Toan dengan senjata rahasia Thian-san-sin-bong, bagaima- napun juga hatinya tetap risau.
"Menurut keterangan Salam, dia seperti kena senjata rahasia beracun."
Ujar Lomana.
"aku telah memberikan separuh butir pil Pek-leng-wan kepadanya, sebelum berpisah, kulihat paras mukanya telah berubah menjadi merah segar."
Agak lega juga perasaan Leng Ping-ji setelah mendengar ucapan itu, katanya.
"Sudah pasti dia terkena senjata rahasia Toan Kiam-ceng si bajingan cilik, dengan dasar tenaga dalam yang dimilikinya serta separuh butir pil Pek-leng-wan yang telah dimakan, mungkin keadaannya sudah tidak berbahaya lagi. Cuma aku masih berharap dapat menemukannya kembali dengan cepat"
"Tentu saja harus demikian,"
Kata Lohay.
"Salam, bagaimana dengan luka yang kau derita?"
"Lukaku sudah lama sembuh kembali, nona Leng, Ki siauhiap, mari kuajak kalian pergi mencarinya."
"Baik, sekarang juga kita berangkat, cuma terpaksa aku mesti merepotkan dirimu."
Lomana tertawa."Kita toh sudah bagaikan keluarga sendiri, kata-kata sungkan tak perlu dibicarakan, semoga saja kalian dapat segera menemukan Nyo Yan dan cepat-cepat kembali, jangan sampai melewatkan kesempatan untuk menghadiri pesta Jagal Kambing." ---ooo0dw0ooo--- Walaupun Leng Ping-ji tahu kalau Nyo Yan tak mungkin berada di tempat semula untuk menunggu mereka datang mencarinya, namun dia masih mengharapkan akan berhasil.
Sekalipun tidak ditemukan orangnya, paling tidak akan mene- mukan jejaknya.
Tatkala Salam membawa mereka datang ke tempat di mana mereka membuat tenda pada malam itu, benar juga di sana tidak dijumpai sesosok bayangan manusia.
Di atas rumput hanya dijumpai darah, entah darah dari siluman itu ataukah darah dari Nyo Yan.
"Sa toasiok, kau sudah membantu kami dengan sepenuh tenaga, silakan kau pulang lebih dulu,** kata Leng Ping-ji kemudian. Sebagaimana diketahui. Salam adalah komandan pengawal pribadi Lohay, padahal entah sampai kapan mereka baru akan menemukan Nyo Yan, tentu saja dia tak dapat membiarkan dirinya terlalu lama berada di luaran. Sebenarnya Salam masih ingin membantu mereka untuk melanjutkan pencariannya di sekitar tempat itu, namun Leng Ping-ji segera berkata.
"Daerah di sekitar tempat ini cukup kukenal, harap Sa toasiok tak usah mengkhawatirkan kami"Salam lantas berpikir, seandainya tidak ditemukan, dia sendiri pun tak akan bisa membantu mereka, terpaksa menuruti perkataan Leng Ping-ji dan pulang. Tak berhasil menemukan Nyo Yan di sekitar tempat itu sudah berada dalam dugaan Leng Ping-ji, akan tetapi memandang noda darah di atas pasir, mau tak mau ia merasa khawatir. Yang dia khawatirkan adalah seandainya tenaga dalam yang dimiliki Nyo Yan belum pulih, kendatipun luka racunnya telah sembuh, lalu bertemu dengan Toan Kiam-ceng apa jadinya kemudian? Tapi padang rumput begitu luas dan tiada bertepian, dia tak tahu ke mana ia mesti melanjutkan pencariannya. Tiba-tiba dari kejauhan sana lamat-lamat terdengar suara nyanyian yang bergema terbawa angin. Itulah sebuah nyanyian yang cukup dikenal olehnya. Nyanyian rakyat suku Wana yang suka menerima tamu, Sungai es di puncak suci bagai sungai langit yang terbentang. Dengarlah suara rintik air sungai yang mengalir Bagai tangan lembut si nona yang memetik Donggala. Dia menanyakan pelancong yang sedang mengembara, Kau harus melewati berapa bukit? Menyeberangi berapa kesulitan sebelum berakhir. Dengan penuh kegembiraan tiba-tiba Leng Ping-ji berteriak.
"Mehan! Mehan."
Selang beberapa saat kemudian, tampak seorang pemuda penggembala suku Wana melarikan kudanya kencang-kencang menerjang ke hadapan mereka.Sambil tertawa Leng Ping-ji segera berkata.
"Mehan, suara nyanyianmu makin lama makin merdu merayu!"
Rupanya pemuda yang bernama Mehan ini adalah seorang penyanyi kenamaan di daerah itu, juga merupakan teman lama dari Leng Ping-ji. Mehan kelihatan amat gembira sekali, serunya cepat.
"Nona Leng, angin apakah yang telah menghembusmu datang kemari? Kami semua amat rindu kepadamu! Kemarin kami masih membicarakan entah sampai kapan kau baru akan datang lagi, sungguh tak disangka hari ini kau sudah datang. Eeeh dia adalah."
"Dia bernama Ki See-kiat, seorang temanku,"
Leng Ping-ji segera memperkenalkan mereka.
"Ki toako, kau adalah teman nona Leng, berarti temanku juga."
"Aku mempunyai arak anggur yang baru jadi, silakan datang ke rumah dan mencicipinya."
"Kehangatanmu lebih manis daripada anggur, maksud baikmu akan kami terima di dalam hati."
Setelah berhenti sejenak gadis itu melanjutkan.
"Mehan, kita adalah teman lama, aku tidak usah bicara sungkan- sungkan, sekarang aku sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang penting sekali, bersediakah kau membantu kami?"
"Leng lihiap, kau sudah terlalu banyak membantu kami, apa pun yang kau minta, aku pasti akan mengabulkannya."
"Aku hanya ingin mencari kabar tentang seseorang."
"Siapa?""Dalam dua hari belakangan ini, pernahkah kau jumpai ada seorang bangsa Han melewati padang rumput? Kalau kau tidak menjumpainya, tolong carikan keterangan dari penggembala yang berada di sekitar tempat ini." Tak usah bertanya kepada orang lain lagi, dua hari berselang aku telah bertemu dengan bangsa Han, bahkan bukan cuma seorang, melainkan dua orang."
Terkejut dan gembira Leng Ping-ji setelah mendengar perkataan itu, buru-buru tanyanya.
"Dua orang? Bagaimanakah dandanan kedua orang bangsa Han ini? Masih muda atau sudah tua?"
"Waktu itu kebetulan hujan sedang turun, dua orang bangsa Han itu lari amat cepat, wajahnya tidak sempat kulihat jelas, dari dandanan mereka aku tahu jika mereka adalah bangsa Han. Meski hanya sekilas pandang, aku dapat melihat kalau umur mereka hampir sebaya dengan Ki toako ini, pokoknya sudah pasti bukan orang tua."
Mendengar hal itu Leng Ping-ji terperanjat. Ki See-kiat pun diam-diam agak terperanjat, cepat-cepat tanyanya.
"Apakah mereka sedang berkejar-kejaran?"
"Ya, agaknya memang demikian,"
Dia hanya memahami sedikit bahasa Han, apa yang dilihat itu adalah dua orang bangsa Han, seorang di depan seorang di belakang seperti sedang berlomba lari, dia mengira keadaan seperti itulah yang diartikan Ki See-kiat sebagai saling berkejaran.
"Mereka telah kabur ke arah mana?"
Tanya Leng Ping-ji.
"Menuju ke arah barat laut Di sana terdapat sebuah gunung, ketika itu aku berjumpa dengan mereka tak jauh darikaki bukit tersebut. Kemungkinan besar mereka sedang lari ke bukit itu untuk mencari tempat berteduh"
"Baik. Terima kasih banyak atas petunjukmu. Seandainya orang itu memang orang yang kucari, sekembalinya nanti pasti akan mampir ke rumahmu untuk minum arak."
Sambil berkata dia lantas lari ke depan, ketika kata "minum arak"
Diucapkan, dia dan Ki See-kiat sudah berada di luar jangkauan penglihatan Mehan. Menyaksikan kejadian itu, Mehan menjadi terkejut bercampur keheranan, segera pikirnya.
"Heran, kenapa orang Han selalu dapat lari sedemikian cepatnya!"
Mereka berlari terus sampai di kaki bukit itu baru melambatkan langkahnya.
Senja sudah tiba, tenaga dalam yang dimiliki Leng Ping-ji tak dapat menandingi Ki See-kiat, setelah berlarian hampir dua jam lamanya, ia sudah mulai tak tahan dan tersengal-sengal napasnya.
"Marilah kita beristirahat sebentar,"
Ujar Ki See-kiat.
Leng Ping-ji menggelengkan kepalanya berulang kali, dia tidak berkata apa-apa, tapi wajahnya tampak amat murung.
Sekalipun tanpa jawabannya, namun Ki See-kiat tahu apa yang dikhawatirkan gadis itu.
Tak mungkin demikian kebe- tulannya,"
Hibur Ki See-kiat.
"mungkin saja ada orang lain yang kebetulan lewat di sini."
Menanti napas Leng Ping-ji yang tersengal-sengal sudah agak mereda, sambil berjalan kembali dia berkata.
"Dua hari berselang adalah saat di mana Nyo Yan meninggalkan Lohay sekalian.""Walaupun di antara mereka ada seorang yang mungkin adalah Nyo Yan, tapi seorang yang lain toh belum tentu adalah Toan Kiam-ceng."
"Dari mana kau bisa tahu kalau bukan?"
"Bukankah mereka mengatakan kalau Toan Kiam-ceng dipukul mundur oleh Nyo Yan?"
"Dia tahu kalau Nyo Yan sudah terkena senjata rahasia beracunnya, pada mulanya dia tak berani mengusik karena musuh terlampau tangguh, tapi setelah diperkirakan racun itu mulai berjalan, tentu saja berani mencari gara-gara dengannya. Dan lagi pula kalau bukan Toan Kiam-ceng si bajingan cilik itu, mengapa Nyo Yan harus menghindari dirinya?"
"Sekalipun dia itu benar-benar adalah Toan Kiam-ceng, mengapa tidak kamu duga kalau Nyo Yan yang sedang berusaha menangkapnya? Nyo Yan telah meminum pil Pek- leng-wan yang amat mustajab, seharusnya racun yang mengeram dalam tubuhnya pasti sudah punah."
"Pil Pek-leng-wan sendiri toh bukan obat dewa, apalagi itu hanya separuh butir saja. Mungkin saja racunnya telah punah, tapi tenaga dalamnya belum tentu bisa pulih kembali sedemikian cepatnya."
"Jika didengar dari pembicaraan Salam, malam itu tampaknya Toan Kiam-ceng juga telah menderita luka, belum tentu tenaga dalam yang dia miliki bisa pulih kembali sede- mikian rupa dalam waktu singkat."
Akhirnya Leng Ping-ji menghela napas."Aaaai moga-moga saja apa yang kau katakan itu benar. Tapi sehari tidak berhasil menemukan Nyo Yan, aku merasa tak lega."
Padahal Ki See-kiat sendiri pun merasa khawatir sekali, bahkan lebih tebal rasa seram dan ngerinya daripada Leng Ping-ji.
Walaupun dia belum pernah menyaksikan ilmu silat yang dimiliki Toan Kiam-ceng, namun sudah banyak cerita yang pernah didengarnya.
Dia masih ingat perkataan suhunya Ghasam Hoatsu menjelang saat ajalnya.
"Walaupun kau telah mempelajari simhoat tenaga dalam kuil Lan-tou-si, kemudian mendapatkan pula ilmu silat warisan Kui tayhiap suami istri, tapi masih bukan suatu pekerjaan yang gampang jika ingin mengalahkan Toan Kiam-ceng si bajingan keparat itu."
Itulah sebabnya dia harus melatih diri selama tiga tahun lamanya sebelum pergi mencari Toan Kiam-ceng untuk membalas dendam. Apa yang diucapkan oleh gurunya tentu saja tak berani tak dipercayai dengan begitu saja, maka ia lantas berpikir.
"Kini aku bara berlatih dua tahun, bila dibandingkan dengan Nyo Yan, meski belum bisa melampauinya, selisih pun tidak jauh. Ditinjau dari hal ini dapat diketahui bahwa kemungkinan bagi Nyo Yan untuk mengalahkan Toan Kiam-ceng pun masih terbatas sekali.
"Toan Kiam-ceng si bajingan keparat ini bukan saja telah memperoleh semua ilmu silat milik suhu, dia pun mendapatkan kitab pusaka ilmu beracun milik Han Ji-yan si perempuan siluman, itu berarti luka yang diterimanya dari NyoYan, kebanyakan tak akan lebih parah daripada luka keracunan yang dialami Nyo Yan."
Hari semakin gelap, hujan gerimis pun mulai turun kembali. Sebenarnya Ki See-kiat hendak menasihati Leng Ping-ji agar beristirahat bentar, namun dalam keadaan gini, dia tak berani menasihatinya"
Maka sambil manggut-manggut katanya.
"Perkataanmu memang ada benarnya juga, untuk menghindari segala sesuatu yang tidak diingini, lebih baik agak cepatan sedikit kita temukan Nyo Yan."
Maka sambil menembusi hujan yang semakin lebat, dua orang itu melanjutkan perjalanannya naik gunung Hujan makin lama semakin besar, tiba-tiba Leng Ping-ji menemukan sebuah kuil bobrok di atas bukit itu, tergerak juga hatinya, dia lantas berkata.
"Menurut keterangan Mehan, adik Yan sewaktu dikejar oleh Toan Kiam-ceng hari itu, hujan juga sedang turun amat besar. Andaikan hasil pertarungan itu mengakibatkan mereka berdua sama-sama menderita luka, siapa tahu kalau kedua orang itu berada di kuil bobrok?"
Dalam bayangannya, seakan-akan dia menyaksikan Nyo Yan benar-benar dikejar Toan Kiam-ceng. Ki See-kiat yang menyaksikan kejadian itu diam-diam tertawa geli, pikirnya.
"Mana mungkin di dunia ini terdapat kejadian yang begitu kebetulan."
Tapi dia toh berkata juga.
"Benar, mari kita beradu nasib ke sana. Biarpun tidak berhasil menemukan dirinya, kita pun bisa menggunakan kuil bobrok itu sebagai tempat untuk berteduh dari hujan."Apakah mereka akan berhasil menjumpai "kebetulan"
Tersebut dan menemukan Nyo Yan dalam kuil bobrok itu? Harap pembaca yang budiman bersabar dulu.
Mari kita mengikuti dulu pengalaman dari Nyo Yan.
---ooo0dw0ooo--- Kembalinya gadis itu bertujuan untuk mencoba apakah Nyo Yan benar-benar tidak mengerti ilmu silat, dengan cepat dia mencengkeram tulang pi-pa-kut lawan.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seandainya tulang Pi-pa-kut itu sampai tercengkeram hancur, akibatnya ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan akan punah sama sekali.
Untuk menghindarkan diri jelas sudah tak mungkin lagi, sebaliknya bila harus mengerahkan tenaga untuk melawan, kendatipun tulang tersebut tak sampai hancur, paling tidak usahanya selama ini akan sia-sia belaka.
Apa dayanya? Belum lagi ingatan tersebut melintasi di dalam benaknya, ujung jari gadis itu sudah menyentuh tulang pi-pa-kut-nya.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Nyo Yan mengambil suatu keputusan yang sangat berani, untuk kesekian kalinya dia hendak mempergunakan mati hidupnya sebagai taruhan.
Hawa mumi yang telah dihimpun kini dibuyarkan kembali, lalu menunjukkan sikap seolah-olah seseorang yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat.
Agaknya ilmu silat yang dimiliki gadis itu telah mencapai tingkatan yang bisa ditarik atau digunakan sekehendak hatinya, begitu ujung jari tangannya menyentuh tubuh lawan, dia segera tidak merasakan timbulnya tenaga pantulan dari tu- buh lawan, buru-buru tangannya ditarik kembali."Rupanya kau tidak membohongi aku, kau benar-benar tidak mengerti ilmu silat!"
Demikian nona itu berkata. Timbul juga perasaan menyesal di dalam hatinya, sambil tertawa dia lantas menambahkan.
"Aku telah membuatmu ketakutan, nah, terimalah sekeping uang perak ini sebagai uang kaget."
Sambil memungut uang itu buru-buru Nyo Yan berkata.
"Terima kasih banyak nona. Bila begitu gampang mencari uang, tak ada salahnya jika kau mengejutkan diriku beberapa kali lagi."
Gadis itu segera mendengus dingin.
"Hmm kau si pengemis sialan, besar amat nyalimu, betul- betul tak becus."
Dalam waktu singkat dia telah membalikkan badan dan berlalu dari situ, bayangan tubuhnya segera lenyap dari pandangan mata.
Menanti gadis itu sudah pergi jauh, Nyo Yan baru menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya, sambil bangkit berdiri dari sandaran batu dia berpikir.
"Untung dia tidak menemukan pedang yang kusembunyikan, kalau tidak, bila dia sampai mencobaku sekali lagi, sekalipun aku tidak sampai dicekik, paling tidak aku akan dibikin mati kaget."
Setelah berhasil menenangkan hatinya, dia mulai membayangkan kembali gerak serangan yang digunakan gadis itu tadi, tanpa terasa pikirnya dengan kesal.
"Heran, kenapa ilmu gerakan tangan yang dia gunakan untuk mencengkeram tulang pi-pa-kut-ku tadi sekan-akan satu aliran dengan ilmu Liong-jiau-jiu (Tangan Cakar Naga) ajaran guruku? Masa ada kejadian yang begini kebetulan? Atau jangan-jangan siluman perempuan kecil yang belum diketahui lurus atau sesarnya inimempunyai hubungan yang erat dengan orang yang harus kutemukan itu?"
Hawa mumi yang teiah buyar pelan-pelan dihimpunnya kembali, kemudian dia melanjutkan usahanya mengerahkan tenaga dalam mengobati luka yang dideritanya.
Ketika tengah hari menjelang tiba, delapan nadi penting di dalam tubuhnya itu telah berhasil ditembus semua, tenaga dalam yang dimiliki pun telah pulih sebesar delapan bagian.
Entah bagaimana, dia merasa amat berharap agar nona tadi kembali datang mencarinya.
"Seandainya dia datang lagi, giliranku untuk memberi sedikit pelajaran kepadanya,"
Demikian Nyo Yan berpikir. la mendongakkan kepalanya memandang cuaca. Ia menemukan tanda-tanda hujan lebat akan segera turun. Di atas padang rumput tak tampak sesosok bayangan manusia pun. Pikiran Nyo Yan ketika itu pun semendung cuaca di angkasa.
"Ke mana aku harus pergi? Aaai walaupun jagat begini luas, tapi ke manakah aku pergi?"
Tambah dipikirkan dia merasa pikiran maupun perasaannya semakin bertambah kacau. Gurunya yang pertama, lociang-unjin dari Thian-san-pay Teng Keng-thian telah meninggal, ayah angkatnya Miau Tiang- hong meski mengatakan "menetap"
Di Thian-san, namun dia gemar berkelana, dalam satu tahun ada tigaratus hari lebih justru tidak berada di Thian-san.
Terutama sekali di saat musim gugur yang begitu segar dan nyaman, bila naik kebukit Thian-san, maka sembilanpuluh persen tak mungkin bisa bersua dengan ayah angkatnya.
Betul, di atas Thian-san masih ada seorang yang sangat dirindukan olehnya yaitu Leng Ping-ji yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri.
Tapi sekarang dia agak menaruh rasa benci dan geram terhadap dirinya.
Dia lantas berpikir.
"Seka- rang, mungkin dia telah berhasil menemukan Ki See-kiat di selat Tong-ku-si-sia, aku rasa dia pun tak mungkin secepat ini kembali ke bukit Thian-san, lagi pula dia pasti mencegahku mencari Beng Goan-ciau guna membalas dendam, urusanku sendiri pun belum dikerjakan hingga selesai, buat apa aku meski ke sana menjumpai dirinya? Kalau begitu, bagaimana kalau pergi ke Jik-tat-bok lebih dulu untuk membuat perhitungan dengan Beng Goan-cau?"
Sekalipun dia mempunyai niatan tersebut, namun entah mengapa, timbul pertentangan batin yang amat hebat dalam hati kecilnya.
Dia tak ingin secara sengaja mencari Beng Goan-cau untuk membuat perhitungan, alangkah baiknya kalau pertemuan itu terjadi karena tak terduga.
Kalau begitu lebih baik pulang ke dusun kelahiran yang belum dijumpai saja! Tapi ia enggan.
Apakah ayahnya masih hidup atau sudah mati, dia sendiri pun tidak tahu.
"Kenapa aku mesti pulang ke dusun untuk mengaku famili dengan mereka? Selain cemoohan, apa lagi yang bisa kuterima? Sedikit pun tidak ada artinya."
Karena tempat mana pun seakan-akan tidak sesuai dengan seleranya, maka dia pun melanjutkan perjalanan tanpa tujuan tertentu.Awan hitam semakin menyelimuti jagat, menyusul kemudian hujan turun dengan derasnya.
Angin puyuh berhembus kencang bagaikan sambaran golok, air hujan yang menimpa tubuhnya terasa sakit dan pedih.
Apakah tubuhnya yang tidak tahan menghadapi terpaan angin puyuh dan hujan badai karena baru sembuh dari penyakit? Ataukah karena hatinya sedang merasa amat sakit? Di tengah hujan badai yang begitu deras, timbul perasaan "gembira dan nyaman"
Dalam hatinya, seakan-akan hujan badai itu bisa menghilangkan semua kemurungan dan kemasgulan di dalam hatinya.
Namun, ditimpa hujan badai yang begini derasnya di tengah padang rumput yang tiada tempat berteduh, sekalipun seorang yang memiliki ilmu silat hebat pun lama kelamaan tak tahan juga.
Entah pagi hari atau malam hari, suasana gelap telah menyelimuti seluruh padang rumput itu.
Tanpa terasa dia telah tiba di bawah kaki sebuah bukit, di atas bukit penuh tumbuh pepohonan, berteduh di atas bukit rasanya jauh lebih baikan daripada di tengah padang rumput Bukit itu tidak terhitung curam, tapi sukar untuk dilewati dalam hujan badai seperti ini.
Cuma saja, hal ini tentu saja tidak menyulitkan Nyo Yan.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia menempuh hujan badai naik ke atas bukit Baru saja dia hendak mencari tempat yang berpepohonan lebat untuk berteduh dari hujan, mendadak di atas puncak bukit itu lamat-lamat seperti ada cahaya lampu.Ketika didekati, ternyata tempat itu merupakan sebuah kuil yang sudah bobrok, sekalipun bobrok, masih bisa dipakai untuk berteduh dari siraman air hujan.
Di dalam kuil terdapat dua orang yang sedang membuat api unggun, waktu itu kedua orang itu duduk di tepi api dan sedang berbincang-bincang.
Oleh karena suara hujan yang amat deras, maka suara pembicaraan mereka pun dipertinggi nadanya.
Sesungguhnya Nyo Yan tidak bermaksud untuk menyadap pembicaraan mereka, akan tetapi setelah mendengar apa yang mereka bicarakan, tubuhnya seakan-akan terpantek di tempat, untuk sesaat lamanya dia termangu.
Diintip dari belakang dinding yang sudah penuh berlubang, dapat dilihat kalau mereka adalah seorang lelaki berusia tigapuluh tahunan serta seorang pemuda berumur dua-puluh tujuh delapan tahunan.
Waktu itu, lelaki yang lebih tua itu sedang berkata sambil menghela napas panjang.
"Aai See-kiat sute mungkin sudah tertimpa bencana, tapi kita yang dapat getahnya, hmm Sudah hampir setahun kita mencari jejaknya tanpa ketemu, entah penderitaan ini harus berakhir sampai kapan?"
"Rupanya mereka adalah kakak seperguruan Ki See-kiat,"
Demikian Nyo Yan berpikir.
"Mungkin ibu See-kiat yang melihat putranya belum juga kembali, lantas mengutus murid- muridnya untuk datang kemari mencari jejaknya. Bagaimana kalau kuberitahukan kepada mereka tentang kabar yang menyangkut diri Ki See-kiat?"
Sementara itu, sang pemuda yang lebih muda itu berkata.
"Song suheng, walaupun kita menderita, tapi sukoh yang tidak berhasil menemukan keponakannya, lagi pula kehilanganputra tunggalnya, ia pasti merasa sedih sekali. Tentunya kau tahu juga bagaimana dengan tabiatnya, andaikata kita pulang tanpa membawa kabar berita, sudah pasti caci maki yang kita terima! Tapi aku tidak takut didamprat, hanya aku rada khawatir dengan si nenek yang sebatang kara itu."
Setelah mendengar sampai di situ, Nyo Yan baru tahu kalau mereka berdua bukan murid bibinya, melainkan murid dari ayannya. Suhu Masih Hidup Lelaki yang berumur agak tua itu segera mendengus dingin.
"Hmm! Sukoh kita disebut orang sebagai Lak-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Keji), masa kau menaruh belas kasihan kepadanya! Selama hidup, Lak-jiu-Koan-im tak pernah menerima belas kasihan orang, andaikata dia sampai tahu kalau kau berkata demikian, mungkin bukan saja tak akan menerima kebaikanmu itu, bisa jadi kau bakal ditampar beberapa kali!"
"Justru karena dia orang tua berwatak keras, maka usia tuanya harus dilewati dalam suasana yang penuh kesedihan dan sendiri seperti ini, bukan saja kesengsaraannya tak bisa dilampiaskan kepada orang lain, ia harus menanggung segala sesuatunya seorang diri, itulah sebabnya aku menaruh rasa iba padanya."
"Oh sute!"
Seru lelaki itu dingin.
"tak kusangka kau mempunyai perasaan yang lemah. Kau lupa dengan keadaan sunio dulu yang disiksa dan dicemooh olehnya sehingga menderita? Menurut pendapatku, apa yang diterimanya sekarang tak lain merupakan hukum karma baginya!""Ya, aku tidak melupakan hal ini,"
Sahut sang pemuda dengan suara lirih. Agaknya sang suheng merasa amat gusar bila membayangkan masa lalu, terdengar ia berkata lebih lanjut.
"Teringat ketika itu, sunio sedang berbadan dua, tapi ia telah melontarkan pelbagai tuduhan dan dosa kepadanya sehingga di bulan duabelas yang dingin sunio mesti pergi meninggalkan rumah. Coba kalau sunio tidak diusir, Nyo Yan pun tak akan sampai lahir tanpa mengetahui siapakah ayahnya, dia pun tak perlu mencari keponakannya sehingga mengorbankan selem- bar jiwa putranya sendiri."
"Kemudian sunio tewas dalam pertempuran di Siau-kim- jwan, mungkin saja hal itu terpengaruh oleh kondisi badannya sesudah melahirkan, sehingga kalau ingin mencari biang dari semua ini, dialah penyebabnya. Bukan saja dia telah mencelakai orang lain, juga mencelakai diri sendiri, hal ini bukankah merupakan suatu tindakan yang mencari penyakit buat diri sendiri?"
"Hmm, kalau dibilang kasihan, suniolah baru pantas untuk dikasihani! Oh sute, entah bagaimanakah pendapatmu, tapi bagiku walaupun Hun Ci-lo telah dicerai oleh suhu kita, namun aku masih menganggap dirinya sebagai ibu guru kita!"
Nyo Yan yang secara kebetulan sempat menyadap pembicaraan mereka itu menjadi tertegun dan berdiri mematung, hatinya terasa bagaikan disayat dengan pisau, pi- kirnya.
"Ternyata ibuku telah mengalami penderitaan yang begitu banyak dan berat. Bagaimanapun juga Ki toako masih terhitung orang baik, tak disangka dia mempunyai seorang ibu yang begitu kejam dan berhati buas, apalagi dia masih tak rikuhnya untuk mencari aku untuk diajak pulang hmm!"Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, terdengar pemuda itu sudah menghela napas panjang seraya berkata.
"Dalam urutan saudara seperguruan, usiaku paling kecil, sunio pun menganggap diriku sebagai putranya sendiri, atau dengan perkataan lain boleh dibilang dialah yang memelihara aku sampai dewasa, mana mungkin aku bisa melupakan budi kebaikannya itu? Dalam pikiranku, dia bukan hanya merupakan sunio-ku, bahkan dia merupakan ibuku. Sayang sekali, sepanjang hidupku, aku tak mungkin bisa membalas budi kebaikannya lagi."
Ular Belang Putih -- Kauw Tan Seng Lembah Nirmala -- Khu Lung Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung