Taruna Pendekar 9
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 9
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
"Baik, silakan nona melancarkan serangan, aku si pengemis cilik akan turut perintah. Silakan!"Begitu ucapan "silakan"
Baru diutarakan, tampak sekilas cahaya hijau telah menyambar lewat.
Tampaknya gadis itu benar-benar tidak sungkan untuk melancarkan sebuah tusukan secepat kilat Sejak membalikkan tangan mencabut pedang sambil maju seraya melancarkan serangan, beberapa gerakan ini dilakukan dengan kecepatan seperti kilat.
Selain indah, gerakannya pun- dilakukan hampir pada saat yang bersamaan.
Tapi yang membuat Nyo Yan merasa terkejut bercampur tercengang bukan hanya gerakan tubuhnya yang lincah saja, juga, bukan jurus serangannya yang ganas dan indah.
Melainkan jurus serangan yang dipergunakannya itu meski belum diketahui asal-usul perguruannya, namun ia merasa seakan pernah mengenalnya.
Dalam gugup dan terdesak, serta merta Nyo Yan menggunakan sebuah jurus serangan yang hampir mirip dengan jurus serangan yang dipergunakan gadis itu.
Di antara getaran ujung pedangnya, sekilas cahaya lingkaran ter-cipta di angkasa, lalu mengunci serangan gadis itu di luar lingkaran.
Tanpa terasa gadis itu berseru tertahan, dia pun seolah- olah merasa kalau jurus pedang itu seperti pernah dikenal olehnya.
"Siapakah yang mengajarkan ilmu pedang tersebut kepadamu?"
Seru si gadis itu kemudian.
Di mulut dia menegur, gerakan tangannya sama sekali tidak me-ngendor bahkan secara beruntun dia melepaskan tiga serangan berantai.Berada dalam keadaan seperti ini, jangan toh dibilang Nyo Yan enggan menjawab, sekalipun ingin menjawab pun tak punya kesempatan.
Mendadak tergerak hatinya, dengan cepat dia berpikir.
"Mengapa aku tidak menyaksikan dahulu seluruh ilmu silat yang dimilikinya?"
Berpikir demikian, dadanya segera ditarik ke belakang, bahunya bergetar pelan dan dengan ringan dia meluncur ke depan mengikuti sambaran angin pedang gadis itu. Mendadak gadis itu pun seperti menyadari akan sesuatu, sambil tertawa katanya.
"Aah, betul, aku toh belum berhasil mengalahkan dirimu, masa aku sudah memaksamu untuk mengutarakan asal-usul perguruanmu? Ya, hal ini memang terlalu awal!"
Di tengah gelak tertawanya yang amat merdu, cahaya pedang segera dikembangkan, jurus-jurus serangan yang digunakan pun semakin buas dan ganas.
Dengan menggunakan ilmu menggeser tempat, Nyo Yan berputar ke samping, pedangnya dicungkilkan ke atas membuat dua lingkaran besar.
Ketika tenaga serangan yang dipancarkan dari ujung pedang si nona termakan Oleh putaran lingkaran tersebut, seketika itu juga tubuhnya turut berputar satu lingkaran.
Dengan demikian, ketiga jurus serangan pedang yang amat ganas itu pun semuanya kena dipunahkan oleh Nyo Yan secara gampang.
Gadis itu bertambah heran, pikirnya kemudian.
"Aneh, mengapa jurus pedang yang dipergunakan pengemis cilik ini secara tiba-tiba berubah menjadi tak kukenal sama sekali?Kepandaian yang dipelajarinya benar-benar bercampur aduk macam gado-gado? Aah kemungkinan besar dugaanku keliru!"
Rupanya oleh karena Nyo Yan tak ingin gadis tersebut dapat menduga asal-usul ilmu pedangnya, maka setelah gebrakan pertama, dia segera mengubah permainannya dengan mempergunakan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat yang telah dipelajarinya sejak kecil itu.
Serangan yang digunakan barusan adalah tiga jurus serangan yang terdahsyat dari Tay-si-mi-kiam-hoat dalam Thian-san-kiam-hoat, jurus pertama bernama Cun-im-ca-tian (Awan Semi Membentang Mendadak), jurus kedua Tay-mo-hu- yan (Asap Kecil di Tengah Gurun) dua jurus pertama merupakan jurus-jurus serangan, sedang dalam jurus ketiga dia gunakan Sam-coan-hoat-iun (Tiga Putaran Mengubah Hu- kum) yang bertitik pangkal pada sistem pertahanan.
Tay-si-mi-kiam-hoat berdasarkan ajaran agama Buddha, perubahannya sukar diduga dan paling cocok untuk digunakan menghadapi jago yang berkepadaian lebih tinggi daripada diri sendiri.
Sesungguhnya tenaga dalam yang dimiliki Nyo Yan masih setingkat lebih unggul bila dibandingkan gadis itu, tapi sayang ilmu pedang Tay-si-mi-kiam-hoat terlalu dalam artinya, apalagi itu pun berhasil diperoleh dengan jalan melihat supek-nya Ciong Tian sewaktu berlatih pedang dulu.
Walaupun kemudian hal ini dilaporkan kepada suhu-nya, dan dia memperoleh banyak petunjuk dari mendiang suhu- nya, ketua Thian-san-pay waktu itu Teng Keng-thian.
Tapi Teng Keng-thian beranggapan meski dia pintar tapi tidak boleh belajar ilmu secara serabutan, maka sekalipun memberi petunjuk, itu pun hanya petunjuk untuk beberapa jurusserangan supaya murid terakhir yang disayang ini jangan ribut.
Waktu itu usianya masih kecil sekali, tentu saja terhadap keterangan yang diberikan gurunya tidak memahami secara keseluruhan.
Kini peristiwa tersebut sudah berlangsung tujuh tahun, ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan juga sudah jauh lebih hebat bila dibandingkan dulu, maka satu teori dipahami, teori lainnya pun lebih gampang diketahui pula.
Itulah sebabnya meski dulu dia cuma mendapat petunjuk beberapa jurus dalam ilmu Tay-si-mi-kiam-hoat, tapi dia pun menarik banyak faedah dari kepandaian-kepandaian sampingan.
Kendatipun demikian, kenyataan membuktikan kalau apa yang berhasil dipahaminya itu cukup bermanfaat, buktinya tiga jurus serangan dahsyat dari gadis itu berhasil dipunahkan secara gampang, kenyataan ini diam-diam membuat dia sendiri pun terkejut.
Dalam pada itu, lingkaran cahaya pedang Nyo Yan telah mengurung di atas kepala gadis ini.
Sekarang seluruh tubuh gadis itu sudah terkurung di dalam lingkaran cahaya pedang, entah ke mana pun dia hendak berkelit, sulit buat gadis tersebut untuk meloloskan diri.
Baru saja Nyo Yan hendak membentak "lepas pedang", mendadak gadis itu mengeluarkan jurus serangan Yan-cah- tam-bwee (Kuntilanak Mengintip Bunga Bwee).
pedangnya seperti panah menerobos masuk, ke tengah lingkaran cahaya pedang anak muda tersebut.
Bila Nyo Yan merapatkan lingkaran cahaya pedangnya pada waktu itu maka akibatnya kedua belah pihak pasti akan sama-sama terluka.
kemungkinan besar pergelangan tangan kanan gadis itu akan terpa pas kutung, tapi kelima jari tangannya juga akan terpa pas oleh gadis tersebut Inti dari perubahan jurus serangan tersebut belum berhasil dikuasai Nyo Yan sepenuhnya, tentu saja dia tak ingin melukai gadis itu, namun dia pun tak ingin dilukai oleh gadis itu.
Dalam keadaan terdesak terpaksa dia mesti mengubah jurus serangan sambil melompat mundur.
Dengan tindakannya ini, otomatis gadis itu terlepas dari kurungan serangannya, malahan dari tamu kini dia menjadi pihak penyerang.
Diam-diam Nyo Yan berpekikdi dalam hati.
"Sungguh Sayang, sayang sekali aku belum berhasil mempelajari jurus serangan Tay-si-mi-kiam-hoat tersebut hingga mencapai taraf yang paling tinggi, seandainya aku dapat mencapai setengah kematangan dari supek dulu, dengan menggunakan jurus Sam-coan-hoat-lun saja aku sudah dapat memaksa lepas senjata."
Setelah posisi penyerangan beralih ke gadis itu, si nona tidak sungkan-sungkan lagi.
Pedangnya dengan gencar menusuk ke timur menghajar ke barat menuding ke selatan menyerang ke utara, sebentar serangan tipuan sebentar lagi serangan nyata, semua ancaman dilancarkan dengan enteng, lincah dan dengan kecepatan luar biasa.
Sedikit pun tidak memberikan kesempatan kepada Nyo Yan untuk melancarkan serangan balasan.
Sebenarnya keampuhan Thian-san-kiam-hoat berada di atas kepandaian gadis ituTapi sayang selama tujuh tahun belakangan ini Nyo Yan sibuk belajar ilmu silat aliran lain sehingga terhadap Th i an- san-kiam-hoat boleh dibilang lupa untuk melatihnya, Th ian- san-kiam- hoa t yang dipelajarinya semasa kecil ini juga belum komplit, selewatnya Sam-pan-gu dia boleh dibilang kehabisan daya, dan tak tahu bagaimana mesti menghadapi serangan demi serangan dari si gadis yang makin gencar itu "Eh, kau masih mempunyai kepandaian apa lagi?"
Seru si nona sambil tertawa.
"Kalau tak ada lagi, kuanjurkan lebih baik menyerah kalah saja. Aku toh sudah bilang, pedangku tak bermata!"
Walau di bibir ia berbicara sambil tertawa, permainan pedangnya masih tetap serius, setiap serangan yang dilancarkan hampir seluruhnya ditujukan ke bagian yang mematikan di tubuh Nyo Yan. Begitu selesai berkata.
"srecet!"
Kembali sebuah tusukan dilancarkan, kali ini dia mengancam tenggorokan Nyo Yan.
Dalam keadaan begini, bila Nyo Yan tidak berganti jurus, mustahil baginya untuk memunahkan ancaman tersebut Tanpa berpikir panjang, ujung pedang Nyo Yan mendadak berputar, jurus serangan yang digunakan hampir serupa dengan jurus serangan yang digunakan gadis itu, kontan sepasang pedang saling beradu.
"Aah, betul!"
Seru nona itu lagi.
"memang seharusnya kau pergunakan jurus pedang yang kau hafal saja, selanjutnya aku akan mempergunakan jurus Im-heng-chin-nia (Awan Melintang di Bukit Chin), sedang kau boleh menangkis dengan jurus Soat-wi-lan-kwan (Salju Menggulung Kota Biru)!"
Sebenarnya Nyo Yan tak ingin menuruti perkataannya, tapi di bawah desakan serangannya yang begitu gencar, tanpadisadari anak muda itu benar-benar telah mempergunakan jurus serangan yang disebutkan tadi.
Pertempuran sengit segera berkobar, kedua belah pihak sama-sama saling menyerang dan mendesak lawan dengan mempergunakan jurus serangan yang hampir mirip satu sama lainnya.
Dalam waktu singkat ratusan jurus sudah lewat tetapi pertarungan masih juga berlangsung, dengan jurus pedang yang hampir mirip, kedua orang itu jadi mirip seperti dua orang saudara seperguruan yang sedang berlatih.
Pengalaman Getir di Masa Lalu Dalam pertarungan seru yang sedang berkobar, untuk kesekian kalinya sepasang pedang itu bentrok satu sama lainnya.
Nyo Yan segera menggetarkan lengannya dan melancarkan sebuah tusukan kilat Ternyata gadis itu pun melakukan hal yang sama.
Sebenarnya mereka berdua sedang bertarung saling berhadapan muka, maka akibatnya mereka berdua jadi berdiri berjajar secara berdampingan, sedangkan kedua bilah pedang itu pun bersama-sama menuding ke arah depan.
Nyo Yan segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh tampaknya kita lebih mirip sebagai teman daripada musuh."
Merah padam wajah si nona lantaran jengah, di tengah gelak tertawa yang nyaring terpaksa mereka menyarungkan kembali pedangnya.Gadis itu segera mundur beberapa langkah, kemudian ujarnya.
"Ya betul, kalau bertarung terus macam begini, tiga hari tiga malam lagi pun tak akan bisa diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah."
"Baiklah, kalau begitu sekarang aku boleh pergi bukan?"
Nyo Yan tahu kalau gadis itu tentu masih ada pembicaraan berikutnya, maka dia sengaja bertanya demikian. Betul juga, gadis itu segera berseru.
"Eeeh eeeh bagaimana ini? Jadi kau tidak bersedia menganggapku sebagai teman?"
"Tampaknya pertarungan yang barusan berlangsung telah menakdirkan kita untuk berteman. Tapi aku khawatir, aku si pengemis cilik tak kuat untuk menerimanya."
"Aah, mulutmu usil! Kalau kau berani sembarangan berbicara lagi, jangan salahkan kalau aku tak akan. menggubrismu lagi!"
Selesai berkata dia benar-benar membalikkan tubuhnya. Nyo Yan benar-benar khawatir kalau gadis itu pergi, maka cepat dia berseru.
"Aku si pengemis cilik tidak berani, tolong tanya nona masih ada petunjuk apa?"
Setelah mendengar perkataan itu, si nona bara membalikkan tubuhnya kembali, ujarnya kemudian.
"Sebelum pertarungan berlangsung, tentunya kau masih ingat bukan kalau aku telah mengajukan syarat?"
"Syarat yang mana?"
"Bila sampai seri dan kau bersedia menganggapku sebagai teman, maka kau harus memberitahukan nama gurumu kepadaku."
"Aku boleh saja memberitahukan kepadamu, cuma kalau kupikirkan kembali sekarang, agaknya aku rada rugi""Rugi? Dalam hal apa kau merasa dirugikan?"
"Kau hanya bersedia memberitahukan namamu, padahal namaku telah kuberitahukan kepadamu, coba bayangkan aku merasa dirugikan atau tidak?"
"Lantas apa maumu sekarang?"
"Boleh saja kuberitahukan nama guruku kepadamu, tapi kau pun harus memberitahukan pula asal-usulmu kepadaku."
"Baik, kalau begitu kuberitahukan dulu namaku, aku she Liong bernama Lcng-cu. Sedang soal perguruan, harus kutunggu sampai kau memberitahukan kepadaku lebih dulu, bara aku beri tahukan kepadamu."
"Ooh kau she Liong bernama Leng-cu?"
"Kenapa? Apa anehnya dengan namaku ini?"
Dia melihat rasa kaget bercampur tercengang yang menghiasi wajah Nyo Yan.
"Aah,.. tidak apa-apa, tidak apa-apa"
Buru-buru Nyo Yan menjawab.
"namamu itu menarik sekali."
Gadis itu bukan orang bodoh, tentu saja dia tahu kalau ucapan tersebut bukan diutarakan secara jujur, dengan cepat dia lantas mendengus dingin.
"Hmmm, kau tak usah usil mulut, aku tidak suruh kau membaiki diriku Aku hanya ingin tahu kau bersedia tidak?"
"Mengapa aku mesti memberitahukan kepadamu lebih dulu?"
"Aku toh sudah mengalah, kau masih menginginkan apa lagi? Kalau dalam soal apa pun aku yang mesti memberitahukan dahulu kepadamu, jadinya seakan-akan akuyang sedang merengek untuk berteman denganmu? Ooh, kerugian semacam ini tak sudi kupikul, lebih baik tak usah ya!"
"Aah, nona Liong, kau kelewat banyak curiga,"
Ucap Nyo Yan sambil tertawa.
"Baikah, baiklah, biar aku yang memikul kerugian kecil ini, biar aku yang memberitahukan kepadamu dulu."
Tapi dia tidak melanjutkan kata-katanya, biji matanya seolah-olah menjadi kaku, mengawasi wajah Liong Leng-cu tanpa berkedip. Tanpa terasa paras muka Liong Leng-cu berubah menjadi merah padam lantaran jengah, segera serunya.
"Bukankah kau hendak memberitahukan kepadaku? Mengapa masih saja tak berbicara?"
"Sungguh mirip!"
Mendadak Nyo Yan berbisik. Ucapan itu sangat mendadak dan membuat Liong Leng-cu menjadi tertegun.
"Apanya yang mirip?"
Serunya kemudian.
"Kau sangat mirip dengan seseorang, terutama sekali sikap manjamu sekarang, betul-betul mirip sekali."
"Siapakah dia? Teman perempuanmu?"
"Orang ini belum pernah kujumpai."
Jawaban tersebut sama sekali di luar dugaan Liong Leng- cu, dia menjadi termangu dan seperti betul-betul menjadi marah, katanya mendadak.
"Hei,-aku toh mengajakmu berbicara secara serius, mengapa kau malah mengajakku bergurau?"
"Nona, aku bicara serius!"
Seru Nyo Yan cepat-cepat.
"Kalau ingin memaki, dengar dulu ucapanku sampai selesai.""Baik, kalau begitu tolong jelaskan kepadaku, mengapa orang yang belum pernah kau jumpai itu bisa mirip aku?"
"Aku pernah melihat lukisannya."
"Lantas dari mana kau bisa tahu kalau sikap manjanya mirip sekali denganku?"
"Perempuan yang berada dalam lukisan tersebut memang dilukis dalam keadaan manja"
"Ooh sungguh aneh sekali kejadian ini Siapakah perempuan itu? Dan siapa pula pelukisnya?"
"Kujawab dulu pertanyaanmu yang terakhir, pelukisnya adalah salah seorang suhu-ku. Cuma, walaupun dalam kenyataan dia adalah suhu-ku, namun ia melarangku untuk memanggilnya sebagai suhu. Dia menyuruh aku memanggilnya sebagai sucou, paling suka kalau kupanggil yaya kepadanya."
"Sungguh aneh gurumu itu, apakah dia. sendiri yang mewariskan ilmu silatnya kepadamu?? "Tentu saja, kalau tidak mengapa aku bisa berkata kalau dalam kenyataan dia adalah guruku?"
"Lantas mengapa dia menyuruh kau memanggilnya sebagai sucou?"
"Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu"
"Kau bilang dia adalah salah seorang gurumu, sebenarnya kau mempunyai berapa orang suhu?"
"Suhu-ku dua orang, suhu-ku yang pertama sebenarnya jauh lebih pantas untuk menjadi sueou-ku, tapi dia menganggap aku sebagai muridnya yang terakhir."
"Siapa sih gurumu yang pertama itu?""Ciangbunjin Thian-san-pay yang lalu,"
Liong Leng-cu tampak terperanjat, segera serunya.
"Ooh rupanya kau adalah murid terakhir dari Teng Keng-thian, Teng tayhiap dari Thian-san-pay? Tak heran kalau ilmu silatmu begitu hebat. Betul tidak banyak jago persilatan yang kuketahui di dunia ini, tapi aku sering mendengar orang mengatakan kalau dia adalah tulang punggung dunia persilatan dewasa ini. Satu-satunya orang yang mungkin bisa menandingi kemashuran dan ketenaran dari Kim Tiok-iiu, jago pedang nomor wahid di kolong langit Cuma, walaupun Kim Tiok-liu disebut orang jago pedang nomor wahid di kolong langit, berbicara kesempurnaan ilmu silat, aku rasa dia masih belum bisa menandingi Teng tayhiap. O ya kalau begitu ilmu pedang yang kau pergunakan untuk menghadapi diriku tadi adalah ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat?"
"Betul, itulah jurus Tay-si-mi-kiam-hoat dari Thian-san- kiam-hoat"
Kemudian setelah tertawa getir, lanjurnya.
"Tapi dalam kenyataan, ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat yang kupergunakan toh belum berhasil menandingi dirimu."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat yang tak bisa menandingi diriku, menurut pendapatku, tampaknya hal ini disebabkan latihanmu yang kurang matang dan kurang sempurna. Entah betul tidak perkataanku ini?"
"Nona Liong, ketajaman matamu sungguh mengagumkan, tepat sekali ucapanmu itu. Terus terang saja, kepandaian itu kupelajari semasa masih kecil dulu, yang dipelajari pun acak- acakan dan tidak komplit hingga kini aku telah melalaikannya selama tujuh tahun.""Setelah mendengar ceritamu itu, aku jadi agak kurang mengerti, kalau toh kau sudah mempunyai seorang guru yang begitu hebat, mengapa pula kau sampai menjadi muridnya orang lain?"
"Hal ini disebabkan sewaktu kecil dulu aku telah menjumpai suatu peristiwa yang di luar dugaan, aku terpaksa harus meninggalkan gunung Thian-san dan mengembara, aaai cerita ini panjang sekali untuk dituturkan, lain kali saja, kalau ada waktu akan kuberitahukan hal ini kepadamu secara pelan- pelan."
"Aku tebak lukisan yang kau katakan sangat mirip dengan wajahku itu tentunya hasil lukisan dari Teng Keng-thian bukan?"
"Bukan, lukisan itu hasil karya dari guruku yang kedua, aah, bukan, dia menyuruh aku menyebutnya sebagai sucou, yaya- kulah yang melukis lukisan tersebut"
"Aah, aku tak ambil peduli apakah panggilanmu kepadanya, aku cuma ingin tahu siapakah gurumu yang kedua itu?"
"Dia berasal dari satu marga denganmu, dia pun she Liong."
Tanpa terasa paras muka Liong Leng-cu berubah hebat buru-buru tanyanya lagi.
"Ooh, dia pun she Liong? Lantas, siapakah perempuan yang dilukis olehnya itu?"
Agaknya secara lamat-lamat Nyo Yan pun sudah dapat menebak beberapa bagian, wajahnya segera diliputi oleh perasaan bimbang dan tak habis mengerti, sehingga tanpa terasa diamatinya wajah gadis di hadapannya itu dengan termangu.
0odwo0Peristiwa yang berlangsung pada tujuh tahun berselang dengan cepat melintas kembali dalam benaknya Waktu itu, Leng Ping-ji membawanya turun gunung untuk pergi ke Lor Anki mencari ayahnya, di tengah jalan mereka berjumpa dengan tentara Cing dan ia ditangkap seorang perwira Walaupun waktu itu dia baru berusia sebelas tahun, tapi berhubung sejak kecil berlatih ilmu silat, maka dasar ilmu silat yang dimilikinya cukup tangguh, sepuluh orang lelaki kekar biasa jangan harap bisa mendekati tubuhnya Tapi ilmu silat yang dimiliki perwira itu beberapa kali lipat lebih hebat daripadanya, dia ditangkap dan dipaksa menjadi muridnya Tentu saja Nyo Yan tidak bersedia menuruti perkataan itu.
Perwira tersebut segera berkata "Sekalipun kau enggan untuk menurut juga harus menurut kecuali tiba-tiba aku mampus, kalau tidak, kau harus mengikuti aku terus."
Perwira itu berhidung mancung dan bermata cekung, wajahnya mirip sekali dengan orang suku Oh di wilayah See- ih, cuma bahasa Han yang dipergunakan olehnya lancar sekali.
Setelah berhasil menangkap Nyo Yan, dia pun melepaskan pakaian seragamnya, meninggalkan pasukan dan memaksa Nyo Yan untuk mengikutinya pergi ke barat.
Mereka menyeberangi gurun pasir yang luas, melewati tanah perbukitan yang tinggi dan entah berapa bulan harus berjalan terus sebelum akhirnya sampai di kaki sebuah gunung.
Gunung tersebut tinggi menjulang ke angkasa, tampaknya jauh lebih tinggi dari gunung Thian-san, di atas gunungbanyak sungai es, pemandangan alamnya mirip sekali dengan pemandangan alam di gunung Thian-san.
Di kemudian hari dia baru tahu kalau gunung yang tinggi itu adalah pegunungan Himalaya, sedangkan gunung tertinggi yang menjulang sampai ke balik awan adalah puncak tertinggi di dunia ini.
Ketika itu mereka lewat di sebelah utara pegunungan Himalaya yang merupakan perbatasan antara Tibet dengan India.
Suatu malam, ketika mereka bermalam di sebuah gunung, secara diam-diam Nyo Yan melarikan diri menggunakan kesempatan di kala ia sedang tertidur nyenyak.
Siapa tahu belum jauh dia pergi, perbuatannya itu sudah ketahuan dan dirinya segera dikejar.
Nyo Yan menjadi ketakutan dan segera menerobos masuk ke dalam sebuah gua es.
Gua es itu sempit lagi memanjang, bagi Nyo Yan yang masih bocah gua tersebut bisa diterobosnya, berbeda dengan orang suku Oh tersebut Melihat bocah itu kabur ke dalam gua, orang suku Oh itu segera menggertak dan menipu dengan tujuan agar bocah itu ketakutan dan keluar dari gua tersebut Siapa tahu Nyo Yan lebih suka mati kelaparan dalam gua salju itu daripada mempercayai perkataannya.
Lama-kelamaan orang suku Oh itu menjadi naik pitam, sambil tertawa dingin serunya.
"Kau anggap aku tak mampu untuk membekukmu? Lihat saja, aku akan menyuruhmu keluar sendiri dari sana!"Dia memungut sebutir batu sebesar telur itik dan meremasnya menjadi beberapa biji batu kecil, kemudian dengan mempergunakan batu itu seperti kelereng, satu per satu disambitkan ke dalam gua es tersebut Kepandaiannya melepaskan senjata rahasia ternyata cukup lihay, setiap biji batu yang disambitkan lewat di atas kepala Nyo Yan, tiba-tiba meluncur kembali dengan kecepatan tinggi. Bagi orang yang belajar silat, dalam tubuhnya sudah tertanam semacam kemampuan untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya maut; begitupun keadaan Nyo Yan waktu itu, tanpa terasa dia mundur terus ke belakang. Ketika orang suku Oh itu menyaksikan Nyo Yan sudah hampir keluar dari gua es tersebut saking senangnya dia tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh setan cilik, kau bisa kabur ke mana lagi?"
Serunya Pada dasarnya Nyo Yan adalah seorang bocah yang berwatak keras, seandainya orang suku Oh itu tidak berkata apa-apa, mungkin dia masih akan mundur terus, tapi begitu mendengar perkataan tersebut, sama halnya dengan memperingatkan Nyo Yan.
Tiba-tiba bocah itu berteriak keras.
"Baik, aku lebih suka terhajar mampus oleh sambitan batumu itu daripada mesti mengikuti kau!"
Kali ini bukan saja dia tidak mundur, malahan menerjang maju ke depan.
Padahal pada waktu itu dua butir batu sedang meluncur balik, serta merta tubuhnya jadi menyongsong kedatangan batu tersebut.Dengan cepat dua butir batu itu meluncur mengancam jalan darah Tay-yang-hiat di atas keningnya Andaikata serangan tersebut sampai bersarang telak, sekalipun tidak mati, paling tidak juga akan terluka parah.
Malam itu udara sangat bersih, rembulan bersinar dengan terangnya menerangi seluruh jagat, pemandangan di sekitar tempat itu terlihat amat jelas.
Agaknya orang suku Oh itu tak mengira kalau Nyo Yan berwatak keras kepala, menanti dia ingin menyentilkan batu yang lain untuk memukul rontok kedua butir batu itu, keadaan sudah terlambat.
Di saat yang kritis itulah, mendadak terdengar seseorang mendamprat dengan suara keras.
"Menggunakan cara yang begini keji untuk menganiaya seorang bocah cilik, kau betul- betul tak tahu malu."
Hanya terdengar suaranya tanpa menjumpai orangnya lapi di tengah suara makian tersebut tampak dua biji batu tadi sudah rontok di hadapan Nyo Yan.
Tapi anehnya, Nyo Yan sama sekali tidak melihat benda apakah yang telah merontokkan kedua biji batu tersebut Akan tetapi, sewaktu kedua butir batu tadi rontok di hadapan mukanya, beberapa butir air sempat membasahi wajahnya, bahkan ada pula bongkahan salju yang belum sempat mencair.
Sebagai anak yang pintar, Nyo Yan segera menyadari apa yang telah terjadi, tampaknya "senjata rahasia"
Yang dipergunakan orang itu untuk merontokkan batu cadas tersebut tak lain adalah sebongkah saljuDalam pada itu, orang tersebut sudah menampakkan diri, ternyata dia adalah seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berjenggot cabang tiga Terkejut dan girang Nyo Yan menyaksikan kejadian itu, pikirnya kemudian dengan cepat "Tak heran kalau suhu seringkah berkata bahwa di luar langit ada langit, di atas manusia masih ada manusia lain, entah berapa banyak jago lihay yang ada di dunia ini? Tampaknya ilmu silat yang dimiliki lo-yaya (kakek tua) ini tidak berada di bawah kepandaian guruku."
Nyo Yan, seorang bocah pun dapat melihat kalau kakek itu berilmu sangat tinggi, apalagi orang suku Oh tersebut, sebagai seorang ahli silat dia pun mengetahui hal itu, tak heran harinya merasa amat terkejut "Kurang ajar, siapa yang begitu berani."
Dampratan itu belum selesai diucapkan ketika ia menyaksikan sambitan batu cadasnya berhasil dirontokkan oleh bongkahan salju kakek tersebut kontan saja kata-kata selanjutnya tak mampu diutarakan keluar lagi.
Orang bilang, jika telur harus beradu dengan baru, niscaya hancur dalam sekali bentrokan.
Salju yang dipergunakan oleh si kakek sekarang tak jauh berbeda keadaannya dengan sebutir telur, tapi kenyataannya yang tak tahan dalam sekali benturan bukan sang telur, melainkan batunya.
Tanpa sadar orang suku Oh itu berpikir.
"Berlatih sepuluh tahun lagi pun belum tentu aku bisa mencapai tingkatan seperti ini,"Berpikir sampai di situ, tanpa banyak membuang waktu lagi dia segera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit Saat itulah, Nyo Yan baru menerobos keluar dari dalam gua tersebut Sambil membelai rambutnya, kakek itu segera berkata.
"Anak baik, tampaknya kau dibikin terperanjat"
Jawaban Nyo Yan ternyata di luar dugaan kakek itu, ia tidak berterima kasih, sebaliknya malah bertanya.
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku adalah anak baik?"
Kakek itu tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh aku paling suka dengan bocah yang keras kepala, persis seperti aku masih muda dulu. Semasa masih muda dulu, sekalipun tahu kalau bukan tandingan, aku pun tak akan menundukkan kepala di depan orang jahat"
"Lo-yaya, kau sangat baik, kau telah membantuku untuk mengusir orang jahat"
"Kau datang dari mana nak? Dan siapa namamu?"
Nyo Yan segera memberitahukan padanya. Kakek itu manggut-manggut, ujarnya kemudian.
"Ooh, jadi rupanya kau berasal dari Thian-san, kalau begitu mustahil kau bisa pulang ke sana seorang diri. Tempat ini adalah wilayah sebelah barat dari Tibet, jaraknya dengan gunung Thian-san mencapai puluhan laksa li. Aku tahu kau pernah belajar ilmu silat kau bukan anak sembarangan, tapi usiamu terlampau kecil, andaikata tiada seseorang yang mengerti ilmu silat dan orang yang berpengalaman melakukan perjalanan me- nyeberangi gurun pasir, tak mungkin kau bisa sampai di tempat tujuan."
"Lo-yaya, kau kau."Sebenarnya dia ingin orang tua itu mengantarnya pulang, tapi teringat kalau orang tua itu sudah lanjut usia, ia menjadi rikuh untuk mengatakannya. Agaknya kakek itu mengerti maksud bannya, kembali ujarnya.
"Kalau kau memang datang dari Thian-san, tahukah kau bahwa di puncak sebelah selatan gunung Thian-san berdiam seorang tokoh persilatan masa kini? Dia adalah ciangbunjin dari Thian-san-pay, she Teng bernama Keng- thian?"
"Orang yang kau maksudkan itu adalah guruku!"
"Ooh, rupanya kau adalah muridnya Teng Keng-thian, tak heran kalau nyalimu begitu besar."
Kemudian setelah menghela napas panjang, lanjutnya dengan sedih.
"Seandainya kejadian ini berlangsung pada duapuluh tahun berselang, aku pasti akan mengantarmu pulang ke Thian-san, sekalian mengunjungi Teng Keng-thian. Tapi kini, aai! Kini aku tak ingin kalau di dunia ini masih ada orang yang tahu bahwa aku masih hidup.
"Sekalipun suara hatiku kuungkapkan kepadamu, belum tentu kau akan mengerti. Bila sudah sampai saatnya untuk memberitahukan padamu, aku tentu akan memberitahukan kepadamu."
Walaupun Nyo Yan masih kecil, tapi berhubung musibah dan pengalaman yang dialaminya jauh melebihi pengalaman siapapun, maka itu jauh lebih "matang"
Daripada bocah sebayanya, dalam hati dia lantas berpikir.
"Mungkin lo-yaya ini mempunyai kesulitan yang tak bisa disampaikan kepada orang lain? Enci Lcng pernah memberi petunjuk kepadaku, dalam dunia persilatan terdapat banyaksekali pantangan, bertanya kelewat banyak tentang persoalan orang lain juga merupakansemacam pantangan. Seandainya aku mesti bertanya kepadanya sampai sejelas-jelasnya, sudah pasti lo-yaya ini akan membenci diriku."
Berpikir demikian, dia pun tidak bertanya lebih jauh. Terdengar kakek itu berkata lebih lanjut.
"Aku enggan berjumpa dengan orang lain. Mungkin orang lain pun tidak suka berjumpa denganku, walaupun Teng Keng-thian mungkin terkecuali dalam hal ini, tapi justru itu aku semakin tak ingin mendatangkan pelbagai kesulitan yang tidak perlu bagi dirinya."
Sekalipun Nyo Yan tidak mengerti dengan apa yang diucapkan, tapi ada satu hal yang dipahami olehnya, yakni dia tak dapat mengantar dirinya pulang ke Thian-san.
"Lo-yaya,"
Ajarnya kemudian.
"kau telah menyelamatkan selembar jiwaku, hal ini sudah cukup membuatku berterima kasih. Afal tidak takut bahaya di perjalanan, aku akan pulang sendirian."
"Bocah yang bernyali besar dan berbakat seperti kau memang seorang bocah yang menyenangkan,"
Ucap kakek itu sambil membelai kepalanya.
"Sekalipun kau bersedia menyerempet bahaya, aku tak akan tega membiarkan engkau pergi menempuh bahaya. Kauhilang hendak pulang sendiri? Coba aku mau tanya, andaikata ransum keringmu habis, apa dayamu? Kau mesti tahu, perjalanan yang akan kau tempuh adalah suatu perjalanan yang sulit, dalam seratus li belum tentu ada manusia."
"Aku bisa menggunakan batu untuk menyambit burung yang sedang terbang!"
"Mengertikah kau cara mencari sumber air di tengah gurun?"Tidak!"
"Bila menghadapi angin topan, tahukah kau bagaimana caranya menghindarkan diri dari sapuan pasir?"
"Tidak tahu?"
"Seandainya kau berjumpa lagi dengan orang jahat itu, sanggupkah kau untuk meloloskan diri?"
"Tidak sanggup!"
Kakek itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha, itulah sebabnya kuanjurkan kepadamu lebih baik bila membatalkan saja niat tersebut Atau begini saja, tinggallah dahulu di sini dan belajar sedikit kepandaian, bila kau sudah dewasa nanti bara pulang sendiri!"
"Maksudmu, kau hendak menerimaku sebagai muridmu?"
"Bersediakah kau?"
"Itu memang sebuah tawaran yang bagus, tapi sebelum aku belajar silat dari orang lain, agaknya perlu kulaporkan dulu hal ini kepada guruku yang pertama."
"Kau tak usah memanggil suhu kepadaku, panggil saja aku sebagai yaya. Bagaimana? Apakah dalam Thian-san-pay kalian terdapat peraturan yang melarang anak muridnya mengangkat orang lain sebagai guru?"
"Peraturan seperti itu memang tak ada. Seorang engkoh-ku, dia pun mempunyai beberapa orang guru bahkan merupakan murid Thian-san-pay pula"
"Kalau begitu bagus sekali. Bila kau telah belajar ilmu dariku, beritahukan hal ini kepada suhu-mu bila telah kembali nanti, aku yakin dia tak akan menyalahkan kau."Kemudian setelah tertawa lanjutnya.
"Padahal sekalipun kau ingin mengangkat diriku sebagai guru pun, aku tak akan bisa meluluskan. Dengan usiamu sekarang, aku hanya pantas menjadi sucou- mu, bukan menjadi gumu."
"Guruku jauh lebih tua daripada usiamu, sedangkan aku mempunyai seorang enci Leng yang sering mengajar aku membaca, bila aku nakal dia sering memukul pantatku, bila berbicara soal tingkat kedudukan, ia seharusnya memanggil siau-susiok (paman guru kecil) kepadaku.
"Kemudian seorang supek-ku she Ciong memberitahukan kepadaku dan aku baru mengerti, rupanya di antara perguruan-perguruan yang ada di dalam dunia persilatan, hanya Thian-san-pay yangpaling tidak menaruh perhatian terhadap soal tingkat kedudukan. Konon bagi sementara murid yang istimewa seperti engkoh-ku misalnya, sekalipun berada dalam perguruan, namun dia berhubungan dengan kedudukan yang sama."
Kakek itu segera tertawa "Aku tak dapat menjadi gurumu bukanlah disebabkan selisih umur di antara kita terlalu besar, di kemudian hari kau akan memahami maksud hatiku ini.
Cuma walaupun aku tak ingin menjadi gurumu, bila kau tidak menuruti perkataanku, aku toh sama saja akan memukuli pantatmu."
"Enci Leng saja dapat memukul pantatku, tentu saja yaya pun boleh memukul pantatku. Soal ini tak usah kau terangkan lebih dulu pun aku juga mengerti. Yaya, aku akan menuruti perkataanmu."
Setelah menjadi murid orangtua itu, dia baru tahu kalau kakek ini she Liong bernama Ci-leng.Pada seratus tahun berselang, leluhur beberapa generasi yang lewat telah melarikan diri dari daratan Tionggoan ke kaki gunung Hima-laya karena menghindari bencana perang.
Dia tidak pernah menerangkan asal-usulnya secara jelas, tapi dari kisahnya yang sepotong-sepotong, Nyo Yan dapat mengambil kesimpulan kalau keluarga Liong di masa lalu merupakan suatu keluarga persilatan yang amat termashur di daratan Tionggoan.
Liong Ci-leng sendiri pun amat jarang membicarakan tentang persoalannya hingga dia sudah belajar silat selama tujuh tahun dan siap turun gunung.
0odwo0 Ketika Liong Leng-cu mendengar pemuda itu mengisahkan pengalamannya sewaktu mengangkat guru untuk kedua kalinya rasa kaget bercampur sangsi tampak menghiasi wajahnya, terlihat bahwa ia sedang berusaha keras untuk mengendalikan diri agar tidak memperlihatkan luapan emosi yang berlebihan di depan Nyo Yan.
Tentu saja Nyo Yan sendui pun mempunyai kecurigaan sendiri, tapi baru saja ia berkenalan dengannya, lagi pula mengetahui wataknya yang aneh, maka dia agak segan untuk menanyakan persoalan ini kepadanya.
Liong Leng-cu tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian sambil tertawa paksa ia berkata.
"Rupanya kau mempunyai seorang suhu ooh, bukan, seorang sucou yang bernama Liong Ci-leng, namanya ada dua kata yang mirip Sekali dengan namaku!"
"Benar,"
Kata Nyo Yan sambil tertawa.
"hal ini sungguh merupakan suatu kebetulan. Aku tahu kalau dia tak berputra,kalau tidak aku pasti akan mencurigai dirimu sebagai cucunya."
"Apakah dia mempunyai anak wanita?"
"Dia hanya mempunyai seorang putri."
"Apakah putrinya berada bersamanya? Mengapa kau tidak pernah menyinggung tentang dia?"
"la telah meninggalkan yaya. Pada saat aku hendak turun gunung, yaya baru membicarakan hal itu kepadaku. Konon sewaktu ayah dan anak berpisah, ketika itu putrinya baru berusia sembilan belas tahun."
"Kalau begitu lukisan yang dia buat itu adalah wajah putri tunggalnya sewaktu berusia sembilan-belas tahun?"
"Kau memang pintar sekali, sekali tebak sudah dapat menebaknya dengan tepat"
"Apakah sampai pada saat itu kau baru melihat lukisan tersebut?"
"Benar"
"Mengapa sebelum berpisah, dia baru memperlihatkan lukisan dari putrinya itu padamu?"
"Sebab dia berharap aku dapat membantunya untuk menemukan jejak putrinya"
"Mengapa dia bisa meninggalkan putrinya?"
"Entahlah! Aku sendiri pun tidak tahu Yaya hanya memberi tahu kepadaku, ia pernah melakukan suatu perbuatan yang telah melukai hati anaknya, maka putrinya minggat secara diam-diam."
"Siapakah nama putrinya itu?""Yaya tak pernah mengatakannya kepadaku. Dia bilang sewaktu putrinya pergi meninggalkan dirinya, ia telah bersumpah tidak akan kembali lagi. Maka besar kemungkinan dia berganti nama agar ayahnya tak akan berhasil menemukannya Yaya pun tak ingin kuselidiki persoalan ini dengan bertanya kepada orang, maka dia enggan memberitahukan nama putrinya itu kepadaku."
"Lantas bagaimana caranya kau melakukan pencarian itu?"
"Dia menyuruh aku memperhatikan adakah orang yang mempunyai ilmu silat hampir sama dengan ilmu silat yang kupelajari, bila aku dapat berjumpa dengan orang itu, sekali- pun dia bukan putrinya, paling tidak pasti ada hubungannya dengan putrinya, mungkin saja dia adalah murid putrinya atau mungkin cucunya,"
Berbicara sampai di situ, maka hal ini sama halnya seperti memberitahukan kepada Liong Leng-cu bahwa dia sedang mencurigai Liong Leng-cu sebagai orang yang diharapkan bisa ditemukan oleh yaya-nya Dengan penuh perhatian dia mengawasi perubahan wajah Liong Leng-cu, sementara itu Liong Leng-cu sendiri sedang memandang ke tempat kejauhan, agaknya dia sedang diliputi oleh rasa bimbang dan ragu.
Karena gadis ini tidak berbicara, terpaksa Nyo Yan harus bertanya kepadanya.
"Ceritaku telah selesai, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita..!"
Seperti baru sadar dari impian, Liong Leng-cu, termangu- mangu untuk beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan wajahnya barulah cerah kembali, seperti dia telah mengambil suatu keputusan dan siap memberitahukan sesuatu pada Nyo Yan."Baiklah aku akan memberitahukan dahulu kepadamu siapakah guruku, dia adalah ibuku, nama margaku juga mengikuti nama marga dari ibuku."
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, tanpa sadar Nyo Yan segera menjerit tertahan.
"Aah, mengerti aku sekarang."
Pekiknya keras-keras. Terhadap sikap anak muda itu, Liong Leng-cu nampak seakan-akan tidak merasa, ucapnya dengan hambar.
"Apa yang kau pahami?"
"Aku mengerti apa sebabnya yaya tidak menyuruh aku memanggilnya sebagai suhu Andaikata kau benar-benar adalah cucu perempuan dari yaya-ku itu, dengan usia kita yang sebaya tapi kau mesti memanggilku siau-susiok kepadaku, bukankah hal ini merupakan sesuatu kerugian yang amat besar bagimu?"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia sengaja membawa pembicaraan itu melingkar sampai jauh dengan tujuan untuk memancing reaksi Liong Leng-cu Siapa tahu reaksi dari gadis itu sangat hambar, dia hanya berkata "Betul, jalan pemikiran yaya-mu itu memang sempurna.
Cuma saja kembanganmu itu sedikit kelewat berlebihan."
Akhirnya Nyo Yan tak sabar lagi, secara terang-terangan dia lantas bertanya.
"Nona Liong, jangan-jangan kau adalah."
"Kau tak usah mengurusi siapakah aku, sekarang dengarkan dulu sebuah ceritaku."
"Baiklah, aku memang ingin mendengarkan ceritamu itu."
Pelan-pelan Liong Leng-cu berkata.
"Dulu ada seorang panglima setia bernama Nian Keng-yau, seorang panglimakenamaan pada tahun Khang-si, kemudian Nian Keng-yau mari dibunuh oleh kaisar Ybng-ceng.
"Keturunannya mengungsi ke tempat yang amat jauh dan menetap di pegunungan dekat perbatasan antara Tionggoan dengan India, turun-temurun keluarga itu tinggal di situ hingga generasinya kakek itu, hingga saat itu sudah ratusan tahun lamanya mereka tidak pernah kembali ke daratan Tionggoan."
Mendengar sampai di situ, Nyo Yan lantas berpikir, Tak heran kalau yaya tak pernah membicarakan asal-usul keluarganya padaku, mungkin hal ini disebabkan karena Nian Keng-yau itu membantu pemerintah bangsa Ging yang merupakan musuh bebuyutan kaum pendekar dan ksatria, maka yaya tak ingin kalau orang lain juga tahu kalau leluhurnya dulu ada hubungan dengan Nian Keng-yau.
Tetapi nona Liong ini baru saja berkenalan denganku, kenyataannya dia bersedia memberitahukan hal ini kepadaku, seharusnya lumayan juga sikapnya kepadaku."
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa timbul perasaan hangat di dalam hatinya sehingga tanpa sadar sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya.
Liong Leng-cu sendiri, entah dia berhasil menebak rahasia hati pemuda itu atau hanya suatu kebetulan saja, dengan wajah girang bercampur manja tiba-tiba menegur.
"Hei, apa yang sedang kau pikirkan? Katanya aku disuruh bercerita, tapi nyatanya kau enggan mendengarkan dengan seksama!"
"Aku toh sedang mendengarkan dengan seksama Aku hanya berpikir bahwa kakek yang kau ceritakan itu agak mirip dengan yaya-ku itu."
"Betul. Dia pun hanya mempunyai seorang putri tunggal.""Kemudian apa yang terjadi dengan ayah dan anak berdua itu?"
"Ketika putrinya berusia sembilanbelas tahun datanglah seorang bangsa Han ke sana. Ternyata putrinya jatuh cinta kepada orang bangsa Han itu."
"Bukankah hal ini merupakan suatu jodoh? Mustahil ada orang bangsa Han yang datang ke gunung Himalaya tanpa tujuan, apalagi kalau dilihat dari kemampuannya untuk mendatangi pegunungan Himalaya, sudah pasti ilmu silat yang dimiliki orang itu lihay sekali."
Padahal Liong Leng-cu belum pernah memberitahukan kepadanya kalau gunung itu adalah pegunungan Himalaya "Justru sebaliknya, kedatangan orang Han itu membawa bencana Akhirnya bukan saja membuat ayah dan anak mesti saling berpisah, malahan bencana menimpa diri sendiri."
"Apakah orang Han itu orang jahat?"
Seru Nyo Yan terperanjat "Bajik yang bagaimana, jahat yang bagaimana pula, baik atau buruk sesungguhnya hanya dinilai dari budi serta pikiran.
Mungkin saja dalam pandangan orang tua itu, si orang Han tersebut orang jahat, tapi dalam pandangan putrinya mungkin orang baik.
Kalau tidak, bagaimana mungkin dia dapat men- cintainya dengan sepenuh hati?"
"Lantas bagaimanakah di dalam pandangan orang lain?"
"Aku hanya dapat bercerita menurut apa yang kuketahui, aku pun tak pernah bertanya kepada orang lain, dari mana mungkin aku bisa mengetahui sudut pandang mereka? Cuma menurut apa yang kuketahui, aku belum pernah menjumpai orang baik kedua selain dia! Tentu saja baik menurutanggapanku belum tentu merupakan baik dalam pandangan orang lain, karena kebaikan tersebut muncul menurut sudut pandanganku sendiri."
"Apakah kau mengetahui asal-usul dari orang Han itu?"
Tanya Nyo Yan kemudian. Semenjak ia mendengar Liong Leng-cu membicarakan tentang "orang Han"
Tersebut, tanpa terasa wajahnya menunjukkan perasaan kagum, sementara hatinya pun se- makin terang.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kakek itu mengatakan kalau orang Han tersebut adalah seorang gembong iblis dari aliran sesat oleh karena itu dia melarang putrinya bergaul dengannya"
"Kalau dilihat dari betapa mendalamnya rasa cinta putrinya terhadap orang Han itu, aku rasa dia pasti tak akan menuruti perkataan dari ayahnya bukan?"
"Betul, mereka masih melanjutkan pertemuan demi pertemuan secara rahasia Suatu ketika perbuatan mereka diketahui oleh kakek itu, dengan serius mereka lantas diper- ingatkan, jika orang Han itu berani datang lagi maka ia akan mengutungi sebuah kakinya"
Mematahkan Kaki Kekasih Putrinya "Tentunya orang Han itu tak sampai tergertak bukan?"
Nyo Yan segera bertanya "Tentu saja tidak, watak orang itu jauh lebih keras kepala daripada sang kakek. Pada malam kedua, ternyata dia datang lagi mencari putrinya"
"Bagaimana kemudian?""Akhirnya kakek itu benar-benar melaksanakan apa yang telah diucapkan, dia mematahkan sebelah kaki orang Han itu."
Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Nyo Yan menjerit kaget, pikirnya.
"Tak heran kalau yaya mengatakan bahwa dia telah menyesal karena telah melakukan suatu perbuatan yang berdosa kepada putrinya, ya kalau dipikirkan kembali tindakannya itu memang kelewat kejam."
Sementara itu Liong Lcng-cu telah melanjutkan kembali ceritanya, Ternyata putrinya juga seorang yang keras kepala, sambil memondong kekasihnya yang luka parah dia berkata, Ayah, kecuali kau membunuh aku, kalau tidak entah dia hidup atau mati, aku akan tetap mengikutinya. "Dalam keadaan gusar, kakek itu segera memaki putrinya, Belasan tahun aku memelihara dirimu, ternyata kau begitu tak berbakti, baik, kalau kau ingin turut dia, mulai sekarang kau jangan mengakui diriku sebagai ayahmu."
"Putrinya lantas berlutut di depan ayahnya dan menyembah tiga kali, kemudian berkata, Ayah, kau memang telah mendidikku hingga dewasa, tapi kau telah melukai suamiku, tentu saja putrimu tak akan mendendam kepadamu, tapi harap kau pun memaafkan diriku karena tak bisa membalas budi kebaikanmu lagi, inilah untuk terakhir kalinya kupanggil ayah kepadamu, mulai kini aku tak akan kembali lagi kemari. Ayah, baik-baikiah kau menjaga diri. "Pada saat itulah, si orang bangsa Han yang kena dipatahkan kakinya itu tertawa terbahak-bahak."
"Dia masih bisa tertawa?"
Seru Nyo Yan keheranan.
"Sambil tertawa orang Han itu berkata, Sekarang kau pasti mengerti bukan mengapa aku tidak melancarkan serangan balasan tadi? Aku bukan takut kepadamu, berbicara soal ilmusilat mungkin aku masih kalah setingkat darimu, tapi mustahil kau dapat mengurungi sebuah kakiku. Aku bersedia menahan derita ini karena pertama, kau adalah ayahnya dan kedua aku pun ingin mencoba mengetahui sampai di manakah ketulusan cintanya kepadaku. Heeh heeh kini aku telah mengetahui, meski sebelah kakiku sudah kutung, dia masih tetap mencin- taiku, kenapa aku tak boleh merasa amat gembira? "Putrinya lantas berkata, Aku lebih mencintaimu daripada cintaku dulu. Begitulah di tengah gelak tertawa yang amat keras dari orang Han itu, dia menggendongnya dan tanpa berpaling pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan ayahnya seorang diri."
Nyo Yan segera menghela nafas panjang, katanya kemudian.
"Aai, tak bisa disalahkan jika kakek itu memakinya sebagai gembong iblis, pembalasan yang dia lakukan betul- betul kelewat keji. Meski dia kehilangan sebelah kakinya, namun kakek itu pun kehilangan putri kesayangannya, kalau dibandingkan kakek itu jauh lebih mengenaskan nasibnya."
"Aah, kau ini hanya tahu membantu kakek itu melulu,"
Seru Liong Leng-cu cepat.
"Betul orang Han itu cuma kehilangan sebelah kakinya dan tidak begitu sedih, tentu saja nasibnya tidak mengenaskan seperti kakek tersebut, dan lagi memang dia selamanya tak pernah minta belas kasihan orang. Tapi kakek itu telah merampas kemerdekaannya, dan inilah yang mengakibatkan bencana bagi orang Han tersebut"
"Peristiwa itu sudah lewat banyak tahun, perselisihan antara ayah dan anak pun sudah seharusnya diakhiri dan tak perlu dipersoalkan lagi. Nona Liong, putri kakek yang kau kisahkan itu apakah ibu kandungmu?"
"Kalau benar kenapa?""Aku harap kau bersedia membantu membujuk ibumu agar dia mau pulang menjumpai gwakong-mu Aku berani menjamin yaya pasti tak akan menyalahkan ayahmu lagi, bila ayahmu bisa turut pulang, tentu saja hal ini lebih baik."
"Yaya-mu sudah tak mungkin bisa berjumpa lagi dengan putrinya,"
Kata Liong Leng-cu cepat "Kenapa?"
Tanya Nyo Yan dengan perasaan bergetar keras.
"Dengarkanlah separuh kisah yang terakhirku ini.
"Sekembalinya ke daratan Tionggoan, mereka menetap disuatu dusun yang terpencil dan jauh dari keramaian manusia.
"Walaupun ayahku kehilangan sebelah kakinya, namun ia masih tekun bekerja. Ibuku menjahitkan pakaian orang lain, mereka hidup bahagia dan saling mencintai. Ayahku sering berkata, selamanya dia tak pernah membayangkan jika dapat menikmati kehidupan yang begitu tenteram dan bahagia "Orang-orang yang berdiam di dusun itu tentu saja sama sekali tak mengira kalau ayahku yang cacat itu sesungguhnya adalah seorang jago persilatan yang amat tersohor, lebih-lebih tak ada yang mengira kalau ibuku pun pandai bersilat "Tapi sayang kehidupan yang tenteram dan penuh kebahagiaan itu tak bisa berlangsung lama. Ketika aku berusia sepuluh tahun, entah mengapa, seorang musuh ayahku berhasil mendapat kabar kalau ayahku tinggal di sana, ia segera menyusul ke situ. Yang lebih tak beruntung lagi pada waktu itu ibuku sedang berbadan dua "Ilmu silat yang dimiliki musuh besar ayahku itu amat tinggi, akhirnya meski dia berhasil dikalahkan dan melarikan diri setelah ayah ibuku bekerja sama, tapi berhubung ayahkucacat dan langkahnya tidak lincah, ia pun terkena sebuah pukulan dahsyat. Padahal luka dalam yang diderita sepuluh tahun berselang belum sembuh, sekarang ditambah lagi dengan lukanya yang baru, membuat ayanku menemui ajalnya pada malam ini juga!"
Mendengar sampai di situ, Nyo Yan tidak sanggup menahan sedihnya lagi, sepasang matanya segera berkaca-kaca, pikirnya.
"Ternyata sejak kecil ia sudah hidup sengsara tanpa belaian kasih ayahnya, nasibnya mirip sekali dengan nasib yang menimpa diriku."
Sambil menahan lelehan air mata, dia lantas bertanya.
"Kemudian, bagaimana dengan kalian ibu dan anak berdua?"
"Setelah musibah yang amat tragis itu, tentu saja ibuku sedih sekali. Kini ayah sudah meninggal, musuh belum terbunuh, berarti bencana akan muncul setiap saat, dalam keadaan seperu ini tentu saja dusun tersebut tak bisa didiami lagi. Demi melindungi keselamatan jiwaku, terpaksa ibu harus menahan rasa sedih dengan membakar jenazah ayahku, lalu dengan membawa abunya malam itu juga kami melarikan diri.
"Mungkin karena rasa sedih yang kelewat batas, apalagi mesti melangsungkan pertarungan, kandungannya telah bergeser, setelah kabur dari dusun pada hari ketiga kandungannya gugur. Ternyata yang keluar adalah bayi lelaki. Ketika mengandung sebetulnya ibu berharap bisa mempunyai anak lelaki; aku pun berharap bisa mendapat adik lelaki. Tak nyana bencana datang tanpa diundang, semua impian indah berubah menjadi asap. Tatkala ibu tahu kalau bayinya lelaki, seketika itu juga jatuh pingsan."
Nyo Yan yang teringat pula dengan asal-usul sendiri, makin mendengar hatinya merasa makin sedih, pikirnya.
"Ketika ibuku meninggalkan rumah karena dipaksa, ia pun sedangberbadan dua, bedanya adalah aku dapat dilahirkan oleh ibuku dengan lancar dan selamat, sebaliknya adiknya mati karena lahir sebelum waktunya. Cuma, beruntung atau tidak beruntung sulit untuk dikatakan, andaikata waktu itu aku pun mati karena lahir muda, bukankah aku tak usah merasakan menderitanya hidup sebagai manusia?"
Liong Leng-cu menghentikan penuturannya dan mengambil sapu tangan untuk menyeka air mata Nyo Yan, kemudian sambil berseru tertahan katanya.
"Aku yang mengisahkan pengalaman sedihku pun tidak menangis, malahan kau yang menangis? Sudah gede masih menangis, apa tidak malu?"
"Aku sedang membayangkan, waktu itu kau belum berusia sepuluh tahun, ibumu jatuh sakit, bukankah yang menderita adalah kau?"
"Betul, waktu itu penderitaanku tak terlukiskan dengan kata-kata, cuma aku tidak berharap kaumerasa kasihan bagiku.
"Ketika ibu jatuh sakit, aku mulai mengemis kepada orang, aku pun pernah menjadi pencuri. Sungguh tak disangka ilmu silat yang diajarkan ayah dan ibuku amat bermanfaat untuk pekerjaan di bidang ini. Tapi untung saja kepandaianku sebagai pencuri jauh lebih hebat daripada kepandaian pencuri- pencuri lain, aku tidak pernah tertangkap, perbuatanku juga tak pernah diketahui siapapun, aku selalu membohongi ibuku dengan mengatakan makanan yang kuperoleh didapat dari mengemis, ternyata ibuku selalu kena kubohongi.
"Aaai, walaupun aku telah bekerja keras dan sangat menderita, hal ini pun hanya bisa memperpanjang umur ibuku selama dua tahun lagi."Sekarang Nyo Yan baru mengerti, apa sebabnya ia bilang kalau "yaya"nya tak mungkin bisa berjumpa lagi dengan putrinya, kenyataan ini bukan saja membuatnya ikut bersedih hati karena nasib si nona yang jelek, dia pun turut bersedih untuk "yaya"nya Tanpa terasa ia menjerit tertahan.
"Jadi jadi ibumu."
Liong Leng-cu telah berkata tak akan menangis, tapi kelopak matanya toh basah juga oleh air mata, beberapa saat kemudian ia baru berkata dengan sedih.
"Dengan susah payah aku bertahan terus sampai ibuku dapat bangun dari ranjang, tapi ia sudah mengidap penyakit paru-paru, dalam keadaan payah dia masih mengajakku melanjutkan pengembaraan dalam dunia persilatan. Tentu saja kami sudah kenyang menderita, kenyang dicemooh dan dihina orang, di antara orang-orang jahat itu ternyata masih terdapat juga seorang pendekar sejati yang bernama besar, tapi ia telah menerima hukuman dari ibuku, maka persoalan ini pun tak ingin kusinggung kembali."
Mendengar sampai di situ, Nyo Yan lantas berpikir.
"Tak heran kalau wataknya rada aneh, jalan pikirannya agak sempit dan cara kerjanya seperti membenci umat persilatan, ternyata sejak kecil ia telah merasakan banyak penderitaan, sudah terlalu banyak ditipu dan dipermainkan orang sehingga rasa percayanya kepada orang lain turut pudar."
Tapi sejenak kemudian dia pun teringat akan diri sendiri, bukankah dia sendiri pun demikian? Terhadap Leng Ping-ji yang dianggap sebagai enci-nya sendiri pun hingga kini masih marah? Liong Leng-cu seolah-olah sebuah cermin yang mencermini wajah sendiri, entah indah atau tidak, bayangan dan wajahnya toh tetap sama?Oleh karena itu meski lamat-lamat dia merasa watak Liong Leng-cu agak eksentrik, tapi ia justru menyukainya Terdengar Liong Leng-cu telah melanjutkah kembali ceritanya.
"Sejak ibuku melahirkan belum waktunya, ia sangat menderita, kondisi badannya lemah dan sakunya tak pernah sembuh. Setelah menderita selama dua tahun, akhirnya ia me- ninggal dunia. Sebelum ajalnya tiba, ia berkata kepadaku, Ayahku hanya mempunyai aku seorang putri, dan aku pun juga hanya mempunyai kau seorang putri saja, dan aku telah membuat kecewa gwakong-mu, semoga kau jangan membuatku kecewa, aku menginginkan kau lebih ttbah dari seorang lelaki!"
Selesai berkata, suasana di sekitar tempat itu diliputi keheningan, Nyo Yan ingin menghibur hatinya, namun tak tahu mesti menghiburnya dari mana. Akhirnya sambil tertawa paksa Liong Leng-cu berkata lagi.
"Hei, mengapa kau malah justru lebih pemurung dan lebih perasa daripada seorang gadis? Aku sudah bilang, kau tak usah bersedih hati bagi nasibku yang buruk, mengapa kau mesti mengucurkan air mata?"
Nyo Yan menghela napas pelan.
"Aaaai-..! Nasib kita hampir sama, aku sedang merasa malu karena aku tak dapat setabah dirimu."
Ucapan tersebut membuat Liong Leng-cu jadi tertegun.
"Apakah sejak kecil kau pun sudah kematian ayah ibumu?"
Tanyanya.
"Ibuku meninggal dunia sewaktu aku berumur satu tahun, sedang ayahku hingga detik ini pun belum pernah kujumpai, aku pun tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak."
"Tapi paling tidak kau toh masih ada harapan untuk menemukan kembali ayanmu""Jangan toh harapan tersebut amat kecil, sekalipun aku mengetahui jejaknya ini, aku pun tak akan pergi mencarinya."
"Mengapa?"
"Seperti juga ibumu, dia pun pernah ditipu dan dipermainkan seorang pendekar sejati yang amat termasyhur namanya di dalam dunia persilatan. Aku telah mengangkat sumpah, bila aku tak dapat membalaskan dendam baginya aku tak punya muka untuk berjumpa lagi dengan dirinya."
"Sekalipun demikian, keadaanmu toh lebih baik daripada keadaanku."
"Kau bilang yaya-mu amat menyukai kau, paling tidak kau masih mempunyai seorang sanak."
Nyo Yan justru ingin sekali membawa pembicaraan tersebut ke masa-lah "yaya"nya, tapi ia tidak memperhatikan mimik wajahnya yang sangat aneh ketika mengucapkan perkataan tersebut, seperti mengejek, seperti juga menyindir, tapi juga kagum dan dengki.
"Yaya-ku adalah gwakong-mu, dia adalah sanakku, tapi lebih-lebih merupakan sanakmu. Bila kau bersedia untuk menjumpainya, aku jamin dia pasti akan lebih menyayangimu seribu kali lipat daripada sayang kepadaku)"
Kalau Nyo Yan berbicara sambil tertawa, maka paras muka Liong Leng-cu berubah menjadi dingin bagaikan es.
"Seandainya kaki ayahku tidak dikuningi sebelah, ia tak nanti akan mati di tangan musuh besarnya. Jika ayahku masih hidup, ibuku juga tak akan pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, Tiada orang yang lebih mengasihi kita selain orang tua, jangankan akumemang tak berniat untuk mengenal gwakong-ku ini, se- kalipun kuakui dia adalah gwakong-ku, dia pun tak akan bisa lebih mengasihi aku daripada kasih sayang ayah ibuku kepadaku!"
"Peristiwa ini telah berlangsung banyak tahun, lagi pula merupakan kesalahan dari generasi yang lalu, mengapa kau mesti mengingat-ingatnya terus?"
"Setiap kali kubayangkan jeritan ayahku menjelang ajalnya, setiap kali terbayang rintihan ibu dari atas pembaringan, aku tak akan melupakan kesemuanya itu, aku tak akan melupakan kalau kesemuanya itu merupakan pemberian dari gwakong yang tak pernah kujumpai itu. Masih mendingan aku tidak mencarinya untuk membuat perhitungan, buat apa kau mesti menasihatiku untuk mengakuinya? Aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau bisa memaafkan musuh besar pembunuh orangtuamu?"
"Tapi kematian ayah ibumu toh bukan disebabkan oleh gwakong-mu?"
Seru Nyo Yan. Tapi kalau ditelusuri sebab musababnya, hal ini sama halnya dengan dia yang melakukan pembunuhan tersebut"
Nyo Yan segera terbungkam dalam seribu bahasa, ia teringat kembali akan perasaan bencinya kepada bibinya tempo hari karena ia telah memaksa ibunya pergi meninggal- kan rumah, dengan cepat dia berpikir.
"Kokoh disebut orang Lak-jiu-Koan-im, tentu saja yaya tak mungkin berhati keji dan bertangan kejam Tapi kalau berbicara menurut kenyataannya sekarang, akibat dari perbuatan yaya-nya itu, dia memang telah mencelakai segenap keluarganya, jelas perbuatan itu lebih keji daripada tindakan kokoh mengusir ibuku"Tapi terbayang kembali rasa sesal yaya-nya serta keinginnannya untuk berjumpa kembali dengan putrinya itu, mau tak mau dia harus berkata lagi.
"Betul, tindakan yaya dalam peristiwa ini memang keterlaluan, tapi ibumu toh sudah memaafkannya, mengapa kau tak dapat memaafkan? Tahun ini umurnya sudah mencapai tujuhpuluh tahun, masa hidupnya sudah tidak panjang lagi. apakah kau tega membiarkan seorang yang telah lanjut usia menanggung rasa sesal sepanjang masa?"
Tunggu dulu jangan nyerocos ngomong melulu, aku ingin bertanya lebih dulu, dari mana kau bisa tahu jika ibuku sudah memaafkannya?"
"Ibumu memakai nama marganya untuk nama margamu, kemudian menambahkan kata Meng di antara namamu, tentunya kau bisa menduga sendiri, ia sedang rindu kepada ayahnya, gwakong-mu?"
"Ibu khawatir jika musuh besar ayahku berhasil melacak asal-usulku, maka ia sengaja mengubah namaku menjadi nama yang sekarang ini."
"Tapi mengapa dia mengubah namamu dengan nama yang sekarang? Dugaanku ini tak bisa dibilang cuma ngaco belo belaka bukan?"
Mendadak Liong Leng-cu menarik mukanya sambil berseru.
"Sudah selesai belum perkataanmu itu? Aku tak punya waktu untuk ribut denganmu!"
Dia membalikkan badan lalu pergi. Nyo Yan segera mengejarnya seraya berseru.
"Nona Liong, kau bilang kau bersedia menjadi sahabatku, harap kau suka.""Justru lantaran kuanggap kau sebagai temanku, maka aku bersedia pergi dari sini,"
Tukas Liong Leng-cu.
"Kalau tidak, hmm, hmm, kini kau adalah orang yang paling disayang olehnya walau bagaimanapun, meski aku tak bisa mencarinya untuk bikin perhitungan, sepantasnya jika kubunuh dirimu agar membuatnya merasa makin sedih. Kau tak usah menyinggung tentang dia lagi, kalau tidak, jangan salahkan kalau aku akan berbalik memusuhimu!"
Sembari berkata dia percepat langkahnya untuk pergi meninggalkan tempat itu, tapi Nyo Yan masih saja mengikuti di belakangnya bagaikan bayangan. Mendadak Liong Leng-cu berpaling, kemudian serunya dingin.
"Nyo Yan, kau betul-betul tak tahu malu!"
"O ya? Tolong tanya bagaimana tidak tahu malunya?"
Seru Nyo Yan sambil sengaja cengar-cengir.
"Apa yang ingin kuutarakan telah selesai kuucapkan, mengapa kau masih merecoki diriku melulu?"
"Nona, kau jangan marah lebih dulu, dengarkan dulu perkataanku, aku hanya ingin."
Belum habis dia berkata, kembali Liong Leng-cu menukas.
"Aku tak ambil peduli apa yang kau pikirkan, pokoknya mulai sekarang kau menelusuri jalanmu, aku menyeberangi jembatanku, masing-masing seperti air sungai yang tidak melanggar air sumur!"
"Tapi, mengapa mesti begitu?"
Seru Nyo Yan sambil tertawa getir.
"Sreeet!"
Tiba-tiba Liong Leng-cu meloloskan pedangnya, kemudian menghardik.
"Nyo Yan, apakah kau hendak memaksaku untuk turun tangan? Betul aku tak sanggup me-ngalahkan dirimu, tapi aku yakin masih sanggup untuk mengajakmu mampus bersama, bila keadaan amat mendesak, paling banter aku masih punya kesempatan untuk menggorok leher sendiri!"
Dengan ketakutan buru-buru Nyo Yan mundur beberapa langkah dari situ, katanya dengan cepat.
"Nona Liong, aku tidak bermaksud untuk memaksamu pergi menjumpai yaya, aku hanya ingin bertanya kepadamu."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau ada persoalan cepat utarakan."
"Nona Liong, kau hendak pergi ke mana?"
"Aku hendak ke mana, apa urusannya dengan kau?"
"Kita adalah teman, apakah aku tak boleh melakukan perjalanan bersamamu?"
Liong Leng-cu segera tertawa dingin.
"Belum-pernah kudengar jika teman mesti melakukan perjalanan bersama. Bila kedua belah pihak merasa cocok satu sama lainnya, memang tak ada salahnya untuk berkumpul agak lama, kalau tidak lebih baik masing-masing mengambil jalannya sendiri-sendiri. Bukankah teman biasa pun demikian? Bila kau memohon kelewat batas, itu berarti kau bermaksud hendak menganiaya diriku!"
Nyo Yan segera tertawa getir sesudah mendengar ucapan itu, katanya.
"Yaya-ku adalah gwakong-mu, benarkah kita cuma teman biasa?"
Paras muka Liong Leng-cu berubah menjadi sedingin es, ujarnya dengan suara ketus.
"Kalau kau menyinggung soal yaya-mu itu, terpaksa aku harus memberitahukan kepadamu, mulai sekarang teman biasa pun kita bukan!"
Nyo Yan segera merasakan hatinya bergolak keras."Apakah kau menganggap diriku sebagai orang asing?"
Serunya. Ada sepatah kata yang selalu tersembunyi dalam hatinya, namun tak berani dia utarakan yakni.
"Kita adalah seorang yang senasib dan sependeritaan!"
Liong Leng-cu menggigit bibirnya hingga bibir itu berdarah, hatinya turut berdarah, tapi ia berseru juga dengan suara keras.
"Benar! Kau telah membantuku; juga membantu orang lain memukulku,, budi dan sakit hati sudah impas, mulai sekarang, kau akan menganggap diriku orang asing, demikian pula dengan diriku sendiri; Maafjika aku tak tahu diri, nah selamat tinggal!"
Nyo Yan tak berani mengejar lagi, dalam waktu singkat bayangan tubuh Liong Lcng-cu telah berubah menjadi setitik bayangan hitam di ujung padang rumput yang luas itu dan akhirnya lenyap tak berbekas.
Nyo Yan masih berdiri mematung di tengah padang rumput, sampai lama kemudian dia baru sadar dari lamunannya dan menghela napas.
"Aku bertanya kepadanya ke mana dia hendak pergi, padahal aku sendiri pun tak tahu harus pergi ke mana?"
Nyo Yan tertawa getir dan menggelengkan kepalanya berulang kali.
Ia pernah berpikir, ada tiga tempat yang harus dikunjungi olehnya.
Pertama, adalah pergi ke Jik-tat-bok untuk mencari Beng Goan-cau untuk membuat "perhitungan"; Tapi sejak ia menyadap pembicaraan antara Song Peng-ci dan Oh Lian-kui dalam kuil kuno itu, dari dasar hati kecilnya mulai timbul kembali setitik kecurigaan, dia curiga kalau kepergiannyamencari Beng Goan-cau untuk membuat "perhitungan"
Merupakan suatu tindakan yang salah.
Kedua orang itu merupakan murid ayahnya, mustahil seorang murid akan membicarakan kejelekan gurunya di belakang orang.
Sekalipun apa yang berhasil disadapnya ketika itu tidak lengkap dan terpotong-potong, tapi paling tidak dia sudah tahu kalau tindakan ayahnya belum tentu benar, sedang Beng Goan-cau belum tentu salah.
Sekalipun setitik ingatan itu bagaikan gunung es yang terpendam dalam hatinya, namun ia tak berani mengembangkan ingatan itu.
Otomatis ingatan "bersumpah untuk membalas dendam"
Pun serta merta mengalami guncangan besar. Perasaannya ketika itu amat bertentangan, seperti ada suatu kekuatan yang mencegahnya agar tidak memikirkan soal "balas dendam". Maka sekarang apa yang dipikirkan adalah.
"Dendam harus dibalas, tapi dia tidak ingin pergi mencari Beng Goan-cau". Dia hanya mengkhayalkan paling baik jika kebetulan ia dapat berjumpa dengan Beng Goan-cau tanpa kehadiran pihak ketiga, dan "paling baik"
Lagi kalau Beng Goan-cau adalah seorang "pendekar gadungan"
Seperti apa yang dia bayangkan selama ini, jejak "kejabatan"nya berhasil ia temukan.
Pada saat itulah dia baru merasa-i hatinya tenang untuk menghadiahkan sebuah tusukan ke arahnya Kalau toh saat ini dia belum berhasrat untuk mengunjungi Jik-tat-bok guna mencari Beng Goan-cau, lantas ke manakah dia akan pergi?Tempat kedua yang ingin dikunjungi adalah kembali ke Thian-san.
Meskipun gurunya sudah meninggal dunia, di atas gunung Thian-san masih ada ayah angkatnya.
Tapi dia tak ingin berjumpa dengan Leng Ping-ji.
Ping-ji adalah seorang yang paling disayanginya, ketika ia menjumpai Ping-ji sedang "membohonginya, membohonginya agar dia menganggap "musuh besar"
Sebagai ayahnya, tak terlukiskan rasa sedih yang dialaminya waktu itu Ia tak dapat memaafkan Ping-ji.
Karena alasan yang sama, dia pun tak dapat memaafkan ayah angkatnya Tapi, ayah angkatnya, Miau Tiang-hong, adalah seorang pendekar yang ternama, paling suka hidup luntang-lantung ke sana kemari, jarang sekali berada di Thian-san.
Meski ayah angkatnya mencintai dia bagaikan mencintai diri sendiri, tapi dia tak mengerti bagaimana caranya menyayangi seorang bocah.
Dalam soal perawatan dan kasih sayang, tentu saja dia kalah jauh bila dibandingkan dengan enci-nya Leng Ping-ji.
Oleh karena itu rasa sesalnya terhadap ayah angkatnya tidak sedalam rasa sesalnya terhadap Leng Ping-ji, dia pun lebih banyak teringat Leng Ping-ji daripada teringat ayah angkatnya.
Kini, kembali dia membayangkan Leng Ping-ji.
Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul suatu ingatan yang sangat aneh di dalam hatinya Leng Ping-ji dan Liong Leng-cu seakan- akan memiliki banyak persamaan.
Tapi di manakah letak persamaan tersebut? Kenangan di masa kecil dulu tanpa terasa muncul kembali di dalam hatinya, teringat sewaktu Leng Ping-ji sedangmenggodanya dengan wajah berseri, atau sering pula dia saksikan wajah Leng Ping-ji diliputi kemurungan dan kesedihan sambil duduk melamun, Leng Ping-ji adalah seorang perempuan yang lembut di luar tapi keras di dalam hati, wataknya hampir sekeras Liong Leng- cu.
Ketika Liong Leng-cu mengutarakan tragedi yang menimpa dirinya semasa masih kecil dulu, meski wajahnya menunjukkan luapan emosi, namun bukankah di atas wajahnya hanya menampilkan rasa sedih dan murung seperti apa yang "dikenal"nya? Kini, bila diingat kembali, terutama sekali di saat Liong Leng-cu mempermainkan orang, ketika ia sedang mempermainkan The Hiong-toh, mempermainkan Lomana, menggertak bibinya Lak-jiu-Koan-im yang hendak ditempeleng bahkan dalam senyumannya pun dia dapat merasakan "hawa"
Kemurungan yang amat dikenalnya.
Dari manakah datangnya kemurungan di dalam hati Liong Leng-cu? Ia yakin pada saat ini telah dipahaminya.
Bagaimana dengan Leng Ping-ji? Sewaktu masih kecil dulu, dia tidak mengerti.
Sekalipun dia jauh lebih perasa daripada kebanyakan bocah lain, dia pun pernah bertanya kepada Leng Ping-ji, mengapa dia seperti sering tidak senang (tentu saja Leng Ping-ji tak akan membe- ritahukan alasan yang sesungguhnya), tapi sekarang dia sudah mulai mengerti, sekalipun tidak sebanyak apa yang dipahami tentang Liong Leng-cu Sejak tujuh tahun berselang, ketika Leng Ping-ji berhasil menyelamatkan jiwanya dari cengkeraman Toan Kiam-ceng,secara lamat-lamat dia sudah tahu kalau hubungan di antara mereka berdua merupakan suatu hubungan yang istimewa.
Terutama sekali setelah mendengarkan pembicaraan antara Lohay dengan putrinya dalam bahasa Wana yang membicarakan Leng Ping-ji, dia mengetahui makin banyak, meski belum keseluruhan.
Dia tahu Leng Ping-ji pernah ditipu oleh Toan Kiam-ceng, tipuan yang paling melukai hati kecil seorang gadis muda.
Dia pun tahu, bukan saja Toan Kiam-ceng telah menipu Leng Ping-ji dalam percintaan, bahkan berulang kali bermaksud untuk menghabisi nyawanya.
Membayangkan kesemuanya itu, Nyo Yan merasakan hatinya sedih sekali! "Mengapa dua orang perempuan yang kujumpai, yang seharusnya terhitung orang-orang yang paling dekat dengan aku, semuanya tidak beruntung seperti nasibku?"
Tanpa terasa dia teringat kembali akan sepatah kata yang pernah diutarakan kepada Leng Ping-ji semasa masih kecilnya dulu.
"Cici, aku tahu kalau kau sedang mengelabui diriku, padahal kau tidak pernah merasa gembira. Tapi setelah aku menjadi dewasa nanti, aku pasti akan berusaha untuk membuatmu gembirai"
Bila ia teringat kembali perkataan itu sekarang, tanpa terasa dia tertawa getir.
Dia pun terbayang kakak misannya Ki See-kiat "Mengapa aku merasa tak senang hati ketika mengetahui kalau enci Leng pergi ke selat Tong-ku-si-sia lantaran piauko (kakak misan) bukan karena aku? Padahal bila mereka berdua dapat saling mencintai, enci Leng pasti akan memperolehkebahagiaan.
Bukankah aku selalu berharap agar dia bisa memperoleh kegembiraan?"
Benar-benar suatu pertentangan batin yang amat rumiti Tapi, bagaimanapun dia tahu kalau pertentangan batin semacam itu seharusnya tak boleh terjadi, namun ia masih belum bisa memahami Leng Ping-ji, terutama setelah mengetahui kalau Ki See-kiat mempunyai tempat yang jauh lebih penting dalam hati Leng Ping-ji, tanpa disadari muncul suatu perasaan cemburu di dalam hatinya.
Sekarang, dia tak lebih baru seorang bocah tanggung berusia delapanbelas tahun, tentu saja ia belum bisa memahami kesemuanya itu.
Perasaan cemburu semacam ini sudah tercipta semenjak dia masih kecil dulu.
Sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang ayah ibu, dia pun tak berteman.
Padahal anak kecil membutuhkan seorang "teman yang setia", membutuhkan pengganti dari ayah ibu atau kakak.
Sejak dilahirkan dia hanya mempunyai seorang Leng Ping-ji yang dapat dianggap sebagai teman yang paling akrab, apalagi setelah selama tujuh tahun dia hidup bersama yaya- nya di suatu tempat yang terpencil, rasa cinta dan sayangnya terhadap Leng Ping-ji otomatis semakin bertambah.
Ia tak ingin pulang ke gunung Thian-san, lantas hendak ke manakah dia pergi? Jalan ketiga merupakan jalan yang paling sering dia bayangkan pada saat ini.
Mengembara di dalam dunia persilatan kelewat banyak kemurungan dan kesusahan, dia berhasrat pulang ke tempat yang terpencil di kaki pegunungan Himalaya untuk menemaniyaya-nya.
Tapi apa yang harus dikatakan sekembalinya ke situ? Begitu besar pengharapan yaya-nya untuk bisa berjumpa lagi dengan putrinya, tegakah dia untuk menyampaikan berita buruk itu kepada yaya-nya? Masih mendingan jika Liong Leng-cu bersedia mengikutinya kembali ke sana, sekalipun yaya-nya tak berhasil bertemu dengan putrinya, perjumpaannya dengan cucu perempuannya ini pasti akan menghibur hatinya.
Tapi kenyataannya Liong Leng-cu justru amat mendendam terhadap yaya-nya itu.
Tegakah dia berkata begini kepada yaya-nya.
"Inilah akibat perbuatanmu dulu, kini satu-satunya cucu perempuanmu pun enggan untuk mengakui kau sebagai kong-kong-nya"
Memikirkan kesedihan yang selalu menyelimuti yaya-nya, tanpa terasa dia teringat pula pada bibinya Meski bibinya disebut orang Lak-jiu-Koan-im, namun kesedihan dan kesepian yang dialaminya mungkin tidak di bawah perasaan yaya-nya "Tidak, keadaan bibi masih jauh lebih baik daripada yaya, walaupun aku tak mau mengakuinya tapi putranya tidak seperti Liong Leng-cu.
Kakak misan adalah seorang anak yang berbakti, asal mereka ibu dan anak bisa berkumpul kembali, sudah pasti kakak misanku akan menuruti semua perkataannya"
Ia pun menemukan kembali sebuah rahasia di dalam hatinya, justru karena alasan inilah kakak misannya selalu mengatakan kalau dia mendapat perintah dari ibunya antuk datang mencari dia, oleh karena terhadap bibinya pun ia tak senang, maka terhadap kakak misannya pun iatak mau memperkenalkan diri.Cuma, dia masih tetap berharap agar Ki See-kiat dapat segera berjumpa kembali dengan ibunya, kalau tidak ia pun tak akan memberi tabu bibinya agar pergi ke Lor Anki untuk mencarinya.
Liong Lcng-cu.
Lcng Ping-ji, Ki See-kiat, ayah angkatnya, yaya-nya, bibinya bayangan dari orang-orang itu secara beruntun melintas di dalam benaknya, membuat dia semakin bimbang.
Walaupun langit amat luas, namun dia tak tahu siapakah orang yang paling ingin dijumpai sekarang.
0odwo0 Dia berharap bibinya pergi ke Lor Anki untuk mencari putranya, siapa tahu Ki See-kiat justru datang mencarinya, bahkan datang bersama-sama Leng Ping-ji.
Waktu itu mereka berdua sedang berjalan menuju ke kuil bobrok yang baru saja ditinggalkannya.
Sedang bibinya masih berada di dalam kuil bobrok itu.
Hujan telah berhenti, langit amat cerah, udara pun terasa segar dan nyaman.
Bianglala setelah hujan terbentang di langit padang rumput yang luas, membuat pemandangan amat indah, Tapi, perasaan Ki See-kiat ibarat hujan badai yang menjelang tiba, membuat orang merasa sumpek dan penuh gejolak emosi.
Agaknya Leng Ping-ji dapat merasakan kerisauan hatinya itu, mendadak ia melambatkan langkah kakinya sambil bertanya.
"Ki toako, apa yang sedang kau pikirkan?""Aah, tidak apa-apa,"
Sahut Kie See-kiat cepat sambil berusaha untuk menghindari sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu itu. Namun perubahan mimik wajahnya itu sukar disembunyikan. Sambil tertawa Leng Ping-ji segera berkata.
"Kau tak usah mengelabui aku, aku tahu kalau kau sedang memikirkan sesuatu."
"Benar, aku memang sedang memikirkan sesuatu, tapi aku khawatir kau mendampratku bila kuutarakan keluar."
"Jangan khawatir, aku tak akan mendampratmu!"
Seru Leng Ping-ji sambil tertawa "Aku berharap agar selamanya kita jangan sampai di kuil bobrok di depan sana."
Padahal kuil bobrok itu sudah berada di depan mata, sekalipun orang biasa yang berjalan paling cuma membutuhkan waktu sesulutan setengah batang hio.
"Mengapa?"
Tanya Leng Ping-ji dengan wajah tertegun.
"Aku khawatir Nyo Yan benar-benar berada dalam kuil itu."
"Apakah kau tak berharap bisa menemukannya?"
"Tentu aku berharap bisa menemukannya, cuma."
"Cuma apa?"
Ki See-kiat menghela napas panjang.
"Aai cuma bila ia berhasil ditemukan kemungkinan besar kau bersamanya akan kembali ke Thian-san. Sedangkan aku masih teringat kau pernah berkata.""Betul, dua tahun berselang aku pemah berkata kepadamu, aku tidak ingin Nyo Yan pulang bersamamu. Tapi Nyo Yan telah berusia tujuh delapan belas tahun, tak ada salahnya kalau membiarkan dia yang memutuskan sendiri."
"Aku tidak bermaksud demikian. Bila dia kau ajak pulang ke Thian-san, lantas bagaimana dengan aku?"
"Tentu saja kau harus pulang ke rumah untuk melaporkan kejadian tersebut kepada ibumu. Sudah dua tahun kau tak pernah pulang, mungkin ibumu sudah menunggu dengan hati yang gelisah. Apakah kau masih ingin mengikuti kami pergi ke Thian-san? Sekalipun kau ingin berbuat demikian, belum tentu aku membiarkan kau berbuat demikian."
"Itulah dia."
Kata Ki See-kiat dengan sedih.
"Makanya aku berharap kalau jalan ini merupakan jalanan yang tiada habisnya. Ping-ji, tahukah kau betapa besarnya harapanku agar bisa selalu berada bersamamu?"
Perasaan kaum wanita memang jauh lebih tajam, bagaimana mungkin Leng Ping-ji tak merasakan makna yang sebenarnya dari perkataan itu? Kali ini, giliran dia yang berusaha keras untuk menghindarkan diri dari tatapan mata Ki See-kiat, dia mengalihkan sorotan matanya ke ujung langit, di mana pelangi telah lenyap.
Tanpa terasa Ki See-kiat menghela napas panjang lagi, katanya.
"Bianglala mudah membuyar. Ping-ji, beberapa hari ini merupakan waktu yang paling gembira dalam kehidupanku, tapi aku takut seperti nasib bianglala tersebut"
Perkataan apakah yang bisa diucapkan Leng Ping-ji untuk menghibur hatinya?Kata-kata mesra dari Ki See-kiat itu bagai hembusan angin musim semi yang menerpa hatinya.
Pohon yang kering akan tumbuh bibit baru jika angin musim semi mulai berhembus, apakah hati si gadis yang layu pun akan menjadi segar kembali? Leng Ping-ji tidak tahu.
Mungkin jawaban yang lebih pasti adalah dia tak ingin tahu.
Yang dia ketahui adalah selama beberapa hari ini merupakan saat yang teramat gembira baginya.
Dan sekarang, dia pun merasakan pula perasaan gundah seperti apa yang dirasakan Ki See-kiat.
Dia tahu, dia harus mengucapkan sepatah kata, hanya tiga patah kata saja semua kemurungan akan tersapu hilang, akan membuat Ki See-kiat kegirangan bagai orang gila.
Tetapi, inilah kcputusan yang paling besar sepanjang hidupnya, ia masih belum berniat untuk mengucap ketiga patah kata penting itu.
Apakah dia tak menyukai Ki See-kiat? Tidak! Bukan begitu keadaan-nya.
Ia berbuat demikian karena alasan lain yang lebih penting, karena Ki See-kiat mempunyai seorang ibu yang bergelar Lak- jiu-Koan-im, inilah yang menyebabkan gadis itu tak berani mengutarakan ketiga patah kata tersebut Alasan yang lain, meski dia tahu Ki See-kiat seorang baik, tetapi "orang baik"
Belum tentu merupakan "pasangan yang baik".
Misalnya saja membandingkan Beng Hoa dengan Ki See-kiat kedua orang itu seakan-akan terdapat jarak pemisah yang cukup lebar.Tentu saja di kemudian hari pun Ki See-kiat ada kesempatan untuk mencapai ke tingkatan yang "top"
Seperti tingkatan yang berhasil diraih Beng Hoa sekarang, malah ke- mungkinan akan melampaui tingkatan Beng Hoa.
Tapi kesemuanya itu hanya waktulah yang akan membuktikan.
Setelah sekali berbuat salah, dia tak ingin mengulangi untuk kedua kalinya, maka meskipun dia menyukai Ki See-kiat, namun tak akan mengambil keputusan secara gega- bah.
Ketika Ki See-kiat melihat gadis itu tidak menjawab, dari balik sorot matanya terpancar keluar sinar kekecewaan.
Tapi walaupun tidak diutarakan perasaan tersebut kedua belah pihak dapat merasakan getaran perasaan lawannya.
Jarak mereka dengan kuil bobrok makin lama semakin dekat Mendadak Leng Ping-ji memperlihatkan wajah terkejut bercampur girang, segera seronya.
"See-kiat coba dengar, dalam kuil seperti ada orang yang sedang berbicara, aah seperti suara perempuan"
Ki See-kiat segera memasang telinga baik-baik, betul juga, dia pun mendengar suara perempuan itu.
Mendadak ia berseru tertahan, kemudian bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya lari masuk ke dalam kuil itu Ibu dan anak berjumpa lagi.
Sudah dua hari Lak-jiu-Koan-im Nyo toakoh berada dalam kuil bobrok itu, luka yang diderita Song Peng-ci serta Oh Lian- kui pun sudah hampir sembuh.Ia sedang berbincang-bincang dengan kedua orang sutit- nya ketika Ki See-kiat bagaikan angin puyuh menyerbu masuk ke dalam.
Kehadiran anak muda itu sangat mengejutkan hatinya.
Setelah saling berpandangan, sekejap mata kemudian ibu dan anak menjadi termangu-mangu saking girangnya.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aah, See-kiat sute, rupanya benar-benar kau!"
Song Peng- ci dan Oh Lian-kui serentak melompat bangun sambil berteriak keras.
"Ibu!"
Sekarang Ki See-kiat baru sempat berteriak.
"Aah, anak Kiat coba kuteliti wajahmu. Aah, kau benar- benar anak Kiat-ku. Anak Kiat ke mana saja selama dua tahun ini? Mengapa tiada kabar beritanya?"
Gumam Nyo toakoh. Oh Lian-kui mempunyai hubungan yang paling baik dengan Ki See-kiat tak tahan lagi dia pun turut bertanya.
"Sukoh dan kami baru saja akan berangkat ke Lor Anki untuk mencarimu, sungguh tidak dinyana kau akan datang. Sute, apakah kau datang dari Lor Anki?"
"Dari mana kalian bisa tahu aku dari Lor Anki?"
Tanya Ki See-kiat tertegun.
Baru saja Oh Lian-kui hendak menjawab, Leng Ping-ji telah melangkah masuk ke dalam kuil bobrok itu.
Kehadiran gadis tersebut segera membuat Song Peng-ci dan Oh Lian-kui menjadi tertegun.
Leng Ping-ji sempat mendengarkan pembicaraan antara Ki See-kiat dengan ibunya, dia tahu kalau perempuan yang berada di hadapannya adalah Lak-jiu-Koan-im yang ter- masyhur itu.Meski ia tidak menaruh kesan baik terhadap Lak-jiu-Koan- im, tapi bagaimanapun juga dia toh ibunya Ki See-kiat Betul perasaannya waktu itu bagaikan dibebani dengan bandul berat yang membuatnya serasa tenggelam, tapi dia merasakan juga kegembiraan perjumpaan ibu dan anak ini.
Dia tak ingin mengganggu suasana gembira pertemuan antara ibu dan anak itu, maka tak sepatah kata pun, diam- diam ia berdiri di samping dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya.
"Ibu!"
Terdengar Ki See-kiat berkata.
"panjang sekali kisah yang kualami selama dua tahun ini. Di lain waktu aku pasti akan ceritakan semuanya itu kepadamu, aku hendak."
Baru saja ia hendak memperkenalkan Leng Ping-ji kepada ibunya, Nyo toakoh telah keburu bertanya lebih dulu kepada putranya.
"Nona ini adalah."
"Bibi!"
Lcng Ping-ji segera maju menyapa.
"aku she Leng, bernama Ping-ji."
"Nona Leng adalah murid Thian-san-pay,"
Ki See-kiat menerangkan.
"Dia adalah teman pertama yang kukenal sejak dua tahun berselang, ketika untuk pertama kalinya kuinjak bumi Sinkiang Dia telah banyak membantuku."
"Benarkah begitu?"
Kata Nyo toakoh hambar. Seraya berpaling segera tanyanya lagi kepada Leng Ping-ji.
"Nama margamu jarang sekali dijumpai, tolong tanya apa hubunganmu dengan Leng Thiat-jiau?"
"Dia adalah pamanku."
Leng Thiat-jiau adalah komandan pasukan patriot yang bermarkas di Jik-tat-bok, juga merupakan buronan nomor wahid dari pemerintah Cing, kontan saja paras muka Nyo toakoh diliputi oleh awan gelap, tak sepatah kata pun yang diucapkan lagi terhadap gadis tersebut.Dia lantas berpaling ke arah putranya dan berkata lagi.
"Anak Kiat, bukankah kau bilang ada banyak persoalan yang hendak diberitahukan kepadaku? Coba pilih yang paling penting." 0odwo0 Ki See-kiat sedang berada dalam keadaan gembira, dia sama sekali tidak menyaksikan perubahan mimik wajah ibunya, dengan cepat ujarnya.
"Benar, benar, ada satu per- soalan penting yang hendak kutanyakan dulu kepada kalian, siapa yang memberitahukan kepada kalian jika aku berada di Lor Anki?"
"Seorang pengemis cilik,"
Jawab Oh Lian-kui cepat. Terkejut dan girang Leng Ping-ji mendengar jawaban tersebut, untuk sesaat dia jadi lupa dengan sikap Lak-jiu- Koan-im yang tak sedap itu, buru-buru tanyanya.
"Oh, seorang pengemis cilik! Siapa namanya?"
"Pengemis cilik itu pernah membantu kami tapi dia tidak mengatakan siapa namanya."
"Apakah si pengemis cilik itu berwajah begini begini?"
Kata Ki See-kiat. Setelah mendengar lukisan tentang potongan badan serta raut wajah pengemis cilik tersebut, Oh Lian-kui segera manggut-manggut. Tepat sekali. Ternyata pengemis cilik itu adalah temanmu, tak heran tak heran."
Belum habis dia berkata, Nyo toakoh telah menukas pembicaraannya yang belum selesai itu, tanyanya kepada Ki See-kiat.
"Siapakah pengemis cilik itu? Dari mana kau bisa mengenalnya?""Ibu, apakah dia yang telah memberitahukan kabar berita tentang diriku kepadamu?"
Ki See-kiat turut bertanya.
"Benar. Begitu jelas dia mengetahui jejakmu, tampaknya hubungan kalian amat akrab sekali?"
"Bukan cuma akrab,"
Sahut Ki See-kiat sambil tertawa.
"kami lebih akrab dari sahabat. Ibu, coba kau tebak siapakah pengemis itu?"
Nyo toakoh tertegun, didengar dari nada perkataan putranya itu, secara lamat-lamat ia telah menduga beberapa bagian, sesungguhnya hal ini akan membuatnya gembira, tapi bila teringat sikap pengemis cilik itu kepadanya, segera timbul perasaan tak sedap di dalam hatinya, maka dia pun tidak mendahului pemuda itu.
Setelah merenung sejenak, dia .
balik bertanya pada putranya.
"Aku tak punya waktu untuk main tebakan, cepat beritahu kepadaku, siapa gerangan pengemis cilik tersebut?"
"Ibu, kalau kuucapkan, sudah pasti kau akan gembira, sebab pengemis cilik itu tak lain adalah Nyo Yan piaute yang sedang kita cari-cari!"
Di luar dugaannya, Nyo toakoh sedikit pun tidak menampilkan rasa gembira, malahan wajahnya kelihatan lebih tak sedap dilihat Setelah mendengus katanya.
"Sungguh tak kusangka keponakan yang dengan susah payah kucari ternyata bisa bersikap demikian kepadaku, kejadian ini benar- benar membuat hatiku sakiti"
Seusai berkata, dia lantas menghela napas panjang. Melihat kemurungan ibunya, dengan keheranan Ki See-kiat bertanya.
"Ibu, bagaimana sikap adik misan terhadap dirimu?""Gara-gara dia, aku rela melepaskan putra tunggalku untuk meninggalkan diriku, dengan usiaku yang begini tua, aku rela menempuh perjalanan jauh menyeberangi gurun pasir, mendaki bukit bersalju, datang ke Sinkiang untuk mencarinya, tapi dia, setelah bertemu denganku ternyata tak mau mengakui aku sebagai bibinya!"
"Mungkin dia belum tahu kalau kau adalah bibinya?"
"Jelas dia sudah tahu siapa aku. Kalau tidak dia pun tak akan memberitahukan kabar tentang dirimu kepadaku."
"Ibu, kau jangan marah dulu, marilah kita selidiki persoalan ini sampai jelas. Oh suheng tadi kau mengatakan kalau si pengemis cilik itu pernah membantumu, sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Baru saja Oh Lian-kui hendak menjawab, Nyo toakoh telah berkata lebih dahulu.
"Tunggu dulu, aku pun hendak mencari tahu satu persoalan lebih dulu kepadamu. Kalau toh kau telah berhasil menemukan Nyo Yan, mengapa ia tidak kau ajak pulang, sebaliknya sekarang kau dan nona Leng hendak pergi mencarinya lagi?"
"Waktu itu aku belum tahu kalau dia adalah adik misanku."
"Tapi dia toh tahu kalau kau adalah kakak misannya?"
"Soal ini, soal ini."
"Apa ini itu?"
Damprat Nyo toa-koh.
"Cepat berbicara terus terang kepadaku, jangan berusaha untuk mengelabui diriku!"
"Aku aku telah memberitahukan kepadanya kalau tujuanku keluar rumah kali ini adalah untuk menemukan adik misanku."
"Sudah kaujelaskan kalau adik misanmu itu bernama Nyo Yan ?""Sudah."
Nyo toakoh segera mendengus dingin.
"H cmm, tentunya kau sudah jelas bukan sekarang, pada hakikatnya dia tidak menganggap kita sebagai sanak keluarga, hm, hm, betul-betul seorang yang tak berperasaan."
Entah dikarenakan secara tiba-tiba menyadari kalau di situ masih hadir "orang luar"
Atau merasa "kejelekan rumah tangga tak boleh diuarkan", sampai di situ mendadak saja dia merasa rikuh untuk memaki lebih jauh. Ki See-kiat khawatir jika ibunya mengucapkan kata-kata yang tak sedap didengar, buru-buru katanya.
"Piaute bukannya tak berperasaan, dia sangat baik kepadaku. Bahkan pernah membantuku."
Secara ringkas dia lantas menceritakan apa yang dialaminya bersama Nyo Yan ketika berada di selat Tong-ku-si-sia Mendadak Nyo toakoh bertanya.
"Waktu itu, dia berada seorang diri ataukah berada bersama orang lain?"
"Dia hanya seorang diri."
"Mungkin seorang yang lain itu bersembunyi di sekitar sana yang tak kau temukan?"
"Aah, tidak mungkin. Hwesio dari Thian-tok itu sudah kabur. Tapi dia menemani aku untuk melakukan perjalanan cukup jauh sebelum berpisah. Ibu, mengapa kau bertanya begini? Kau curiga dia berada bersama siapa?"
"Ya, aku curiga kalau dia berada bersama seorang siluman perempuan kecil! Gara-gara siluman kecil itulah dia baru enggan mengakui diriku sebagai sanaknya!"
"Siluman perempuan kecil apa?"
Tanya Ki See-kiat dengan wajah tertegun."Lian-kui, beritaku kepadanya."
Menyinggung kembali soal siluman perempuan cilik itu, tampaknya kegusarannya belum mereda, dia masih mengurut dada sewaktu mendengar Oh Lian-kui bercerita.
"Demikianlah ceritanya Beberapa hari berselang, ketika aku dan Song suko sedang berteduh dari hujan dalam kuil ini, pada mulanya telah datang seorang perampok kenamaan dari dunia persilatan."
Secara blak-blakan dia lantas bercerita bagaimana The Hiong-toh datang membegal barang kawalan, bagaimana pengemis kecil itu membantu mereka secara diam-diam. Nyo toakoh berkerut kening, mendadak tukasnya.
"Tak usah membicarakan yang bukan-bukan, lebih baik kembalikan pembicaraan ke soal pokok!"
"Baik, baik. Kemudian sukoh mengusir The Hiong-toh, tapi muncul seorang perempuan yang berusia sangat muda perempuan itu, perempuan itu."
"Apa yang dikatakan Oh suko sebetulnya tidak termasuk menyimpang dari pokok pembicaraan,"
Kata Ki See-kiat "Nyo Yan piaute pernah membantuku, dia pun membantu mereka, dari sini dapat dilihat kalau piaute tidak jahat malahan berjiwa pendekar. Tapi bagaimana kemudian ceritanya?"
"Entah apa sebabnya, tiba-tiba perempuan itu mengusulkan untuk beradu kepandaian dengan sukoh."
Ki See-kiat baru terkejut setelah mendengar perkataan itu, cepat-cepat katanya.
"Ibu, kau tidak bertarung dengan dia bukan?""Masa aku membiarkan seorang dayang ingusan untuk bertindak kasar di hadapanku? Tentu saja aku telah memberi pelajaran kepadanya"
"Ibu, apakah kau telah melukainya?"
Sementara dalam hati kecilnya berpikir.
"Kalau didengar dari nada pembicaraan itu, tampaknya siluman perempuan kecil itu adalah teman piaute. Karena ibu telah melukai gadis itu maka piaute enggan mengakuinya sebagai sanak dan buru- buru mengajak perempuan siluman kecil itu untuk menyem- buhkan lukanya"
Dari mana dia tahu kalau apa yang telah terjadi justru merupakan kebalikannya Merah padam selembar wajah Nyo toakoh karena marah bercampur jengah, sampai cukup lama dia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Ki See-kiat mengalihkan sorot matanya ke arah Oh Lian-kui, terpaksa Oh Lian-kui melanjutkan kembali kata-katanya Tentu saja siluman perempuan kecil itu bukan tandingan sukoh, cuma"
"Cuma kenapa?"
Oh Lian-kui tidak berani mengisahkan bagaimana sukoh-nya hampir kalah dan nyaris termakan tem- pelengan dari "siluman perempuan kecil"
Itu, tapi dia pun merasa andaikata tidak menceritakan apa adanya, hal ini terasa kurang adil buat pengemis cilik tersebut maka sikapnya menjadi sangat rikuh.
Nyo toakoh juga khawatir kalau dia tak tahu diri mengutarakan rahasia tersebut di muka orang luar, buru-buru dia menyambut "Benar, tentu saja siluman perempuan kecil itu bukan tandinganku.
Cuma aku pun hanya ingin menempelengdia beberapa kali sebagai hukuman baginya Siapa tahu piaute- mu itu keponakanku itu dia ternyata dia."
Makin lama Ki See-kiat merasa makin terperanjat, buru- buru tanyanya.
"Bagaimana dia?"
Dalam hatinya benar-benar merasa agak takut, dia takut kalau adik misannya itu terburu napsu sehingga bertarung melawan ibunya.
"Ternyata secara diam-diam Nyo Yan telah membantu siluman perempuan cilik itu sehingga perempuan siluman itu kabur. Coba kalau dia tidak menghalangi aku, sudah pasti siluman perempuan kecil itu tak bakal lolos dari cengkeraman- ku"
Ki See-kiat menghembuskan napas lega mendengar perkataan itu, ia pun tak sempat untuk bertanya kepada ibunya dengan cara apa Nyo Yan telah menghalanginya. Cepat dia bertanya.
"Tapi siluman kecil itu tidak terluka bukan?"
"Sebenarnya aku memang tak ingin melukai dirinya."
Ki See-kiat makin lega lagi setelah mendengar ucapan tersebut, ujarnya kemudian sambil tertawa.
"Ibu, siapa suruh kau mempunyai nama besar di dalam dunia persilatan? Walaupun siluman perempuan kecil itu tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, namun dia pun tidak termasuk orang jahat, tapi mungkin saja, lantaran namamu kelewat besar maka dia datang untuk menjajalmu"
"Aah. kau masih mencoba untuk membela dia, untung saja kau tidak menyaksikan tampangnya yang macam siluman, coba kau dengarkan perkataannya, dadamu bisa meledak rasanya!""Orang besar tak akan mempersoalkan anak muda,"
Kata Ki See-kiat sambil tertawa.
"Ibu, kalau kau telah memberi pelajaran kepadanya, ya sudahlah. Apalagi sekalipun pe- rempuan siluman itu berbuat sesuatu kesalahan kepadamu, toh piaute masih dapat dimaafkan."
"Dia tidak menghormati kaum tua, mengapa aku mesti memaafkan dia?"
Nyo toakoh mendengus.
"Mengapa tidak? Dia toh keponakanmu sendiri. Ibu, aku lihat piaute tidak bermaksud untuk memusuhi dirimu, cuma perempuan itu kemungkinan besar adalah sahabat karibnya, karena mengira gadis itu sudah terluka, maka buru-buru dia memburu keluar. Aah, benar, ibu, aku belum bertanya kepadamu, ketika piaute memberitahukan kabar tentang aku kepadamu itu, ini dilakukannya setelah kau bertarung melawan siluman perempuan kecil itu atau sebelumnya?"
"Sewaktu dia hendak menyusul perempuan siluman itu."
"Nah itulah dia,"
Kata Ki See-kiat sambil tertawa.
"Dalam keadaan yang begitu tergesa-gesa pun dia masih tak lupa memberitahukan soal ini kepadamu, hal ini menunjukkan kalau dia bukanlah seorang yang sama sekali tak berperasaan. Sedang mengenai apa sebabnya ia enggan mengakui sanak sendiri, untuk sesaat aku pun tidak habis mengerti. Cuma asal- usulnya memang amat rumit, kalau dia belum percaya seratus persen dengan perkataan kita, ibu, kau sudah seharusnya memberi maaf kepadanya."
Walaupun Nyo toakoh tidak mengisahkan separuh kejadian yang sesungguhnya, tapi dia pun terhibur juga hatinya, karena Nyo Yan telah membantunya terlebih dahulu sebelum membantu siluman perempuan kecil itu, andaikata tiada bantuan dari Nyo Yan, mungkin dia sudah kena ditampar oleh perempuan tersebut.Maka sambil berlagak berjiwa besar ia berkata, Tentu saja, dia adalah keponakanku, satu-satunya keturunan dari keluarga Nyo, entah apa pun yang terjadi dengan dirinya, aku masih tetap mengharapkan kedatangannya.
Aku tak menyalahkan dia, kalau ingin menyalahkan, kita hanya bisa menyalahkan perempuan siluman itu."
Ki See-kiat cukup mengetahui tabiat dari Nyo Yan, dalam hati dia lantas berpikir, Tabiat piaute jauh lebih keras daripada ibu, andaikata perempuan itu benar-benar adalah sahabat karibnya, dan ibu selalu menyalahkan perempuan itu, mungkin piaute pun enggan untuk menerima permintaan maafnya"
Baru saja dia hendak menghibur ibunya, Nyo toakoh telah berkata lagi.
"Orang muda berjiwa panas, pantangan yang paling utama adalah main perempuan. Dari dulu sampai sekarang, entah berapa banyak eng-hiong hohan yang terpikat oleh perempuan, hingga salah jalan. Terutama sekali bagi nama baik mereka sendiri. Lebih berbahaya jika sampai berada bersama perempuan-perempuan persilatan yang berasal dari aliran tak genah, bisa saja kumaaf-kan piaute- mu, tetapi kau pun mesti mempergunakan piaute-mu sebagai contoh!"
Sembari berkata, seperti sengaja tak sengaja dia melirik sekejap ke arah Leng Ping-ji. Perlu diketahui, dari pandangannya Leng Ping-ji adalah keponakan dari Leng Thiat-jiau "pentolan penyamun"
Dari Siau-kim-jwan, justru manusia semacam inilah yang di- anggapnya sebagai manusia dari golongan "tidak genah".
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Leng Ping-ji tahu kalau perempuan itu menyindirnya, tapi memandang diri Ki See-kiat, terpaksa ia mesti menahan diri.Berbeda dengan Ki See-kiat yang sama sekali tidak memahami maksud dari ibunya, dalam hati kecilnya dia sedang berpikir.
"Ibu sedang kesal, keadaan semacam ini tidak cocok untuk minta kepadanya agar memaafkan siluman perempuan kecil itu, baiklah kunasihati dia biia amarahnya telah mereda, untung saja ia telah bersedia memaafkan adik misan."
Berpikir demikian, dia lantas berkata.
"Ibu, kalau begitu mari kita pergi mencari piaute!"
"Siapa tahu dia dan siluman perempuan kecil itu sudah kabur ke mana? Lebih baik kau pulang saja lebih dulu ke rumah, di kemudian hari kita baru berusaha untuk mencarinya lagi."
"Mustahil rasanya untuk datang kemari sekali lagi. Ibu, aku teringat ada suatu tempat yang mungkin bisa menemukan jejak piaute."Menurut apa yang kuketahui, sebelum hilang piaute adalah murid terakhir dari Teng lociangbun dari Thian- san-pay, aku pikir kemungkinan besar dia akan balik keThian- san. Mari kita pergi ke Thian-san-pay untuk menjumpai ciangbunjin baru mereka Teng Ka-gwan dan memohon bantuannya agar menasehati adik Yan agar mau pulang bersama kita, bukankah cara ini bagus sekali?"
Nyo toakoh segera mendengus dingin.
"Hmm, pertama aku tak biasa memohon bantuan orang. Kedua, aku pun tak pernah mengadakan hubungan dengan pihak Thian-san-pay? Aku rasa cara ini tak bisa dipergunakan."
"Ibu,"
Ucap Ki See-kiat sambil tertawa.
"mengapa kau begitu cepat lupa? Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwasanya nona Leng ini adalah muridnya Teng hujin, istri Teng Ka-gwan, ciangbunjin Thian-san-pay yang baru? Kalau minta bantuan kepadanya, urusan toh beres?""Mengapa kau terburu-buru ingin pergi ke Thian-san?"
Pertanyaan ini membuat Ki See-kiat menjadi tertegun.
"Ibu!"
Katanya.
"apakah kau tidak berharap bisa cepat- cepat berjumpa dengan piaute?"
Tiba-tiba Nyo toakoh tertawa dingin, katanya.
"Aku lihat agaknya kau enggan pulang ke rumah bersamaku, hmm! Urusan mencari adik misanmu itu masalah nomor dua, yang paling penting kau merasa keberatan untuk berpisah dengan nona Leng ini bukan?"
Beberapa patah kata itu dengan tepat sekali menyentuh rahasia hati Ki See-kiat, tapi dia tak menyangka kalau ibunya bakal berterus terang dengan mengungkapkan persoalan itu langsung di hadapan Leng Ping-ji, merah padam selembar wajahnya, untuk sesaat dia termangu-mangu.
Nyo toakoh kembali berpaling, katanya lagi dengan suara yang hambar.
"Nona Leng, aku mengharapkan kemurahan hatimu agar mau lepas tangan!"
Pucat pias paras muka Leng Ping-ji setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan suara yang gemetar.
"Pekbo, apakah maksud perkataanmu itu?"
"Sebutan pekbo tak berani kuterima,"
Jawab Nyo toakoh hambar.
"Aku tak tahu hubungan macam apakah yang terjalin di antara putraku dengan kau, tapi yang pasti aku tidak berani berhubungan kelewat rapat denganmu. Kau mempunyai seorang paman yang bernama kelewat besar, sedang kami tak lebih hanyalah rakyat biasa saja yang menuruti peraturan kerajaan. Oleh karena itulah, terpaksa aku harus memohon kemurahan hati nona Leng agar mau berlepas tangan danmelepaskan putraku dari cengkeraman jaring-jaring cinta maut!"
Mendengar ucapan tersebut, Ki See-kiat segera menjerit kaget, teriaknya keras-keras.
"Ibu, kau kau, mengapa kau berkata demikian."
"Kalian menganggap ucapanku itu kurang jelas?"
Seru Nyo toakoh.
"Baik, akan kuperjelas kata-kataku itu. Nona Leng, aku harap mulai detik ini kau jangan berhubungan dengan putraku lagi. Anak Kiat, aku titahkan kepadamu, sekarang juga ikut aku pulang ke rumah!"
Leng Ping-ji menggigit bibirnya kencang-kencang, wajahnya berubah jauh lebih dingin dari Nyo toakoh, katanya cepat.
"Ki hujin, kau harus tahu, aku hanya secara kebetulan saja berjumpa dengan anakmu, lantaran kami bersama-sama ingin mencari Nyo Yan, maka kami melakukan perjalanan bersama- sama, hakikatnya kami memang bukan teman, lebih tak pantas kalau dibilang mempunyai hubungan istimewa. Kalau toh hujin menaruh curiga atas maksud hatiku ini, diriku masih belum serendah itu, sekarang juga aku akan tinggalkan tempat ini. Tak usah khawatir hujin, aku tak akan berjumpa lagi dengan putramu itu!"
Sewaktu mengucapkan kata "tinggalkan tempat ini"
Tadi, ia telah beranjak pergi. Sewaktu ucapan terakhir diutarakan, suaranya berasal dari ratusan langkah lebih dari posisi semula Ki See-kiat menjadi termangu-mangu, mendadak dia menyerbu keluar dari pintu kuil sambil teriaknya.
"Nona Leng, tunggu aku dulu, tunggu dulu!"
Entah Leng Ping-ji mendengar teriakannya atau tidak, yang pasti dia tidak berhenti malah sebaliknya mempercepat larinya"Kembali!"
Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long