Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 1


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 1



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   


   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com Pendekar Cacad Karya . Gu Long Saduran . Tjan ID

   Jilid 1.

   Matahari telah tenggelam di langit barat, sinar keemasemasan membias di angkasa dan menyinari suasana senja yang amat indah.

   Di tengah sebuah jalan raya yang lebar, mendadak terdengar suara ringkik kuda yang amat keras, bergema memecah keheningan.

   Di bawah sinar keemas-emasan yang membias di angkasa, dari kejauhan di sebelah barat terlihat seekor kuda berbulu kuning berlari dengan kencang.

   Anehnya, kuda jempolan yang sedang berlari kencang sambil meringkik tiada hentinya itu tanpa penunggang di atas pelananya.

   Kuda tanpa penunggang itu berlari kencang menuju ke arah timur dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Akhirnya sampailah kuda jempolan tadi di muka sebuah gedung megah yang dikelilingi tembok pekarangan berwarna merah.

   Empat orang pria berbaju hitam yang membawa tombak berdiri berjaga di kedua sisi pintu gerbang gedung itu, ketika menyaksikan kehadiran kuda itu, paras muka mereka berubah hebat.

   Mendadak kuda jempolan itu meringkik panjang, suaranya keras dan sangat memilukan hati.

   Belum habis suara ringkiknya, keempat kaki kuda sudah menjejak tanah, lalu seperti anak panah terlepas dari busurnya, ia menubruk ke patung singa yang berada di sebelah kanan pintu.

   Terdengar suara benturan diikuti bunyi remuknya tulang, darah dan hancuran daging beterbangan, ternyata kuda itu melakukan bunuh diri dan mati seketika itu juga.

   Tindakan yang amat mendadak dan sama sekali tidak terduga ini berlangsung dalam sekejap, mimpi pun keempat orang pengawal itu tidak menyangka kuda jempolan itu akan melakukan bunuh diri di hadapan mereka, sesaat mereka terbelalak lebar dengan mulut melongo.

   Tampaknya kuda itu adalah kuda jempolan yang berperasaan, karena majikannya tewas, maka ia pun bunuh diri menyusul tewasnya sang majikan.

   oo Gedung nomor satu di kota Kay-hong, gedung yang ditinggali Bu-lim Bengcu, disebut pula Bu-lim Bengcu-hu.

   Gedung itu tinggi dan amat megah dengan pintu gerbang besar serta bangunan yang beratus-ratus banyaknya.

   Tengah hari baru menjelang, matahari bersinar dengan teriknya, tiang lentera yang tingginya enam-tujuh kaki di tengah halaman gedung Bu-lim Bengcu ini tampak bendera putih berkibar dengan megahnya, di antara kain putih tertera huruf-huruf yang mengartikan duka-cita.

   Pada halaman depan gedung megah itu tampak banyak kereta diparkir di situ, banyak pula orang yang berlalu-lalang melalui pintu gerbang itu.

   Tapi mereka harus melalui pemeriksaan dan pengawasan seksama oleh dua puluh empat Busu berbaju hitam sebelum masuk ke dalam.

   Semua Busu berbaju hitam itu membawa senjata lengkap, pada lengannya dibalut kain hitam yang menandakan berduka-cita, wajah mereka rata-rata serius, dengan sorot mata tajam mengawasi setiap orang yang keluar masuk di dalam gedung.

   Mendadak di sudut lapangan di luar gedung muncul seorang sastrawan berbaju hitam berwajah tampan, bertubuh kekar, tapi kalau berjalan, kaki kirinya pincang.

   Paras mukanya pucat kekuning-kuningan, seperti wajah seorang berpenyakitan, kesepian dan kehilangan semangat.

   Lama sekali pemuda berbaju hitam itu berdiri termenung di situ, akhirnya selangkah demi selangkah secara terpincangpincang menaiki anak tangga batu dan mengikuti kerumunan orang banyak bersama-sama memasuki pintu gerbang.

   Tiba-tiba dari sisi jalan melompat keluar dua orang Busu berbaju hitam yang menghadang jalan perginya, kemudian terdengar Busu yang di sebelah kanan menegur.

   "Saudara, harap berhenti dulu!"

   Agak tertegun sastrawan berbaju hitam itu mendengar teguran itu, ia berhenti dan segera menjura dalam-dalam.

   "Aku datang hanya untuk menyampaikan duka-citaku terhadap kematian Bengcu,"

   Buru-buru ia menerangkan.

   "Harap saudara sudi memperlihatkan surat duka-citanya."

   "Surat duka-cita?"

   Pemuda itu tertegun.

   "Ah, benar, lantaran tergesa-gesa melakukan perjalanan, aku lupa membawanya."

   Busu itu segera menggeleng.

   "Jauh-jauh saudara datang ke kota Kay-hong untuk melawat, arwah Bengcu di alam baka pasti mengetahui dan berterima kasih sekali, sayang aku tak mengizinkan kau memasuki gedung Bengcu ini."

   "Ai ...."

   Pemuda itu menghela napas.

   "Sudah lama kukagumi Oh-bengcu yang gagah perkasa, apakah aku tidak boleh masuk sebentar untuk menyampaikan hormatku di depan layonnya?"

   Agak tercengang juga Busu itu ketika dilihatnya sepasang mata pemuda berpenyakitan itu berkaca-kaca waktu bicara, namun ia tetap menggeleng kepala.

   "Aku pun berterima kasih atas kehadiranmu yang tulus untuk turut berduka-cita atas kematian Oh-bengcu, sayang panitia pemakaman telah memerintahkan, siapa yang tak diketahui identitasnya dilarang menghadiri upacara ini. Jadi terpaksa kehadiranmu kami tolak!"

   Pemuda berbaju hitam itu nampak semakin sedih sesudah mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, rasa kesepian dan kehilangan semangat makin kentara.

   Ia membalikkan tubuh, lalu dengan terpincang-pincang menuruni anak tangga batu.

   Dalam hati ia bergumam dengan penuh kesedihan.

   "Sepuluh tahun dipelihara dan dididik, budi kebaikan ini lebih dalam dari samudra, aku harus menyembah di muka layon guruku, meski aku Bong Thian-gak adalah murid yang sudah dikeluarkan dari perguruan. Tapi budi Suhu tak akan kulupakan. Oh! Suhu, maafkanlah aku! Bong Thian-gak akan mengingkari larangan kau orang tua dan melangkah masuk ke dalam gedung Bu-lim Bengcu!"

   Malam sudah kelam, langit sangat gelap, tiada rembulan, tiada bintang, yang ada hanya awan gelap yang menyelimuti seluruh angkasa.

   Dari balik hutan di sebelah timur laut gedung Bu-lim Bengcu, mendadak muncul sesosok bayangan.

   Dengan sepasang matanya yang tajam, dia memandang sekejap halaman gedung Bu-lim Bengcu yang terang benderang bermandikan cahaya, kemudian dengan menyeret kakinya yang pincang, pelan-pelan dia berjalan menuju ke sudut dinding.

   Tampak pemuda itu tanpa bertekuk lutut atau menggerakkan pinggang, dengan enteng melompat naik ke atas tembok pekarangan.

   Ilmu meringankan tubuh yang sempurna, betul-betul amat hebat orang tidak akan menyangka seorang pemuda pincang dapat memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

   Perlu diketahui, untuk bisa melompat naik tanpa menekuk lutut dan menggerakkan pinggang, orang harus menggantungkan tenaga pantulan kedua belah lengannya, padahal ia harus melampaui tembok pekarangan setinggi satu tombak lebih, hal itu tak mungkin bisa dilakukan seandainya dia tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna.

   Bong Thian-gak tidak berhenti lama di atas tembok pekarangan, secepat kilat dia meluncur turun dan menyembunyikan diri.

   Saat itulah bergema suara langkah orang, dari depan sana muncul tiga orang pengawal berbaju hitam sedang melakukan perondaan.

   Dengan amat teratur dan berdisiplin tinggi, mereka melakukan pemeriksaan seksama ke sekeliling halaman, sementara sebilah pedang pendek tergantung di pinggang masing-masing.

   Ketika tahu hal ini, lagi-lagi ia terperanjat.

   "Heran!"

   Ia berpikir.

   "Mengapa gedung Bu-lim Bengcu harus dijaga sedemikian ketat, bahkan beberapa kali lebih ketat daripada dulu?"

   Mendadak ia teringat kejadian siang tadi, sewaktu ia dilarang penjaga pintu memasuki gedung. Berbagai kecurigaan segera berkecamuk dalam benak pemuda itu. Kembali ia berpikir.

   "Semasa masih hidupnya dulu, Suhu adalah seorang Bengcu persilatan angkatan kedua puluh sembilan yang namanya menggetarkan seluruh sungai telaga, kini dia orang tua telah tiada, sepantasnya kalau setiap umat persilatan diberi kesempatan menyampaikan penghormatan yang terakhir, mengapa hanya orang yang menerima surat duka-cita saja yang diizinkan hadir?"

   Belum habis dia berpikir, mendadak terdengar salah seorang di antara tiga pengawal itu berkata.

   "Ah Jiang, sejak kematian Oh-bengcu, selama empat puluh sembilan hari ini gedung Bengcu dijaga sedemikian ketatnya sehingga burung pun tidak bisa lewat, tindakan ini benar-benar tidak habis kumengerti."

   "Hm, selama empat puluh sembilan hari ini kita benarbenar tersiksa,"

   Rekannya mendengus.

   "Coba kalau sikap Ohbengcu semasa hidup dulu tidak baik terhadap kita, maknya, aku benar-benar akan mencaci-maki kawanan telur busuk itu sampai tujuh turunan."

   Pengawal yang bernama Ah Jiang tampaknya merupakan ketua regu, dengan cepat membentak.

   "Kalian berdua jangan sembarangan bicara, kalian tahu apa? Konon sejak kuda tunggangan Bengcu kembali ke Kay-hong dengan membawa warta kematian Bengcu dan bunuh diri di depan patung singa, lima jago lihai yang secara kebetulan bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu pun secara beruntun menemui ajal secara aneh."

   Mengikuti suara langkah mereka yang makin menjauh, suara pembicaraan itu pun tak terdengar lagi.

   Tetapi serangkaian pembicaraan itu cukup membuat Bong Thian-gak terperanjat.

   Sekarang ia sudah tahu apa sebabnya suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu sedemikian tegang dan pengawasan dilakukan seketat itu, sebenarnya ia mengira Bengcu mati karena sakit, tapi kini ia mulai menduga kematian gurunya merupakan kematian yang tidak wajar.

   Kalau begitu, besar kemungkinan gurunya mati dibunuh orang.

   Thi-ciang-kan-kun-hoan (Pukulan baja gelang jagad) Oh Ciong-hu merupakan jagoan bernama besar dalam Bu-lim, kesempurnaan ilmu silatnya meskipun belum dapat dikatakan nomor wahid, namun orang persilatan pun belum tentu dapat menangkan ilmu Thi-ciang-kan-kun-hoannya yang maha dahsyat.

   Bong Thian-gak, si pemuda pincang itu tidak sanggup menahan diri, dengan enteng dia melompat bangun, lalu dengan mengembangkan Ginkangnya melewati beberapa bangunan.

   Setiap jalanan maupun bangunan yang ada di dalam gedung Bu-lim Bengcu ini sangat dikenal olehnya, sekali pun ia hanya memejamkan mata, dia pun bisa melukiskan peta tempat itu, karena tujuh tahun berselang dia pernah tinggal di situ.

   Walaupun penjagaan di dalam gedung Bu-lim Bengcu amat ketat, bahkan pada hakikatnya tiap tiga langkah satu pengawal, setiap langkah satu pos penjagaan, tetapi berhubung udara sangat gelap, ditambah lagi Bong Thian-gak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, maka ia dapat menyelundup masuk dengan leluasa.

   Seperti segulung asap, dia menyusup ke dalam dan akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan besar.

   Tengah malam sudah menjelang tiba, angin malam berhembus mengibarkan kain putih di atas tiang lentera, suasana amat hening, hanya tujuh buah lentera menerangi ruangan itu.

   Cahaya lentera yang redup menyinari setiap benda yang ada di situ, karangan bunga di tengah ruangan yang lebar, keranjang bunga di depan pintu gerbang dan kain-kain putih dengan huruf hitam yang tergantung di setiap dinding.

   Pada bagian paling belakang ruangan itu tampak sebuah meja abu, di depannya terpajang nama Oh Ciong-hu dan di dinding tergantung lukisan wajahnya.

   Bong Thian-gak menjatuhkan diri berlutut di depan sebuah Hiolo berwarna kuning tembaga, air mata bercucuran membasahi wajahnya, seluruh badan gemetar keras menahan isak tangis, walau tiada suara tangis yang terdengar, akan tetapi kesedihan tanpa suara tangis terasa jauh lebih menyedihkan.

   Dalam waktu singkat, kenangan lama melintas di depan mata.

   Ia teringat kejadian pada tujuh belas tahun berselang, waktu itu hujan salju turun dengan derasnya, ketika ia sedang tergeletak di suatu sudut jalanan kota Kay-hong sambil menahan lapar dan kedinginan, tiba-tiba muncul seorang seperti malaikat menunggang kuda jempolan menyelamatkan jiwanya.

   Kemudian orang itu telah memeliharanya, tiga tahun kemudian bahkan ia melanggar kebiasaan dengan menerimanya sebagai murid terakhir.

   Begitulah, dia pun merasakan kasih sayang dan kehangatan keluarga dari kakek penolongnya itu.

   Sekarang melihat tulisan turut berduka-cita yang memenuhi ruangan, tak tahan ia memanggil dengan sedih.

   "Oh, Suhu!"

   Ia menubruk ke atas meja altar, lalu sambil memeluk tulisan nama gurunya, ia bergumam lagi.

   "Suhu, aku Bong Thian-gak benar-benar sangat berdosa. Suhu, walaupun kau orang tua telah mengusirku dari perguruan, namun dalam hati tak akan kulupakan budi pertolongan dan didikan Suhu selama belasan tahun. Suhu, sebenarnya aku kemari untuk memohon kepadamu agar menerimaku kembali dalam perguruanmu ... tapi kini kau orang tua takkan bisa mengabulkan permintaanku lagi! Selama hidup Bong Thian-gak akan menjadi manusia berdosa yang telah dikeluarkan dari perguruan, oh, Suhu la tak kuasa menahan rasa sedih yang mencekam perasaannya, meledaklah isak tangisnya yang amat memilukan. Sementara Bong Thian-gak masih tercekam dalam suasana sedih, mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara helaan napas. Bong Thian-gak segera sadar dari kesedihan dan segera berpaling. Entah sejak kapan di tengah ruangan telah muncul seorang pendeta tua berjubah abu-abu. Telapak tangan kirinya disilangkan di depan dada, sementara tangan kanannya membawa tasbih, wajahnya ramah dan saleh, waktu itu ia sedang bergumam membaca doa. Setelah dapat melihat jelas raut wajah pendeta tua itu, dengan terperanjat Bong Thian-gak berpikir.

   "Bukankah pendeta tua ini adalah Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siaulim- pay?"

   Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siau-lim-pay adalah Supek ketua Siau-lim-pay sekarang, kedudukannya dalam Bu-lim boleh dibilang adalah angkatan tua.

   Bong Thian-gak masih ingat, tujuh tahun berselang, sebelum dia dikeluarkan dari perguruan, pemuda itu pernah mendengar orang berkata, Ku-lo Siansu telah menutup diri dan tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi.

   Tak heran kemunculannya sekarang kontan membuat anak muda itu tercengang.

   Beberapa saat lamanya pendeta tua itu memejamkan mata sambil berdoa, akhirnya dia membuka mata dan menatap wajah Bong Thian-gak dengan sorot mata setajam sembilu.

   "Omitohud! Limpahan perasaan sedih di hadapan layon Ohbengcu benar-benar suatu pelimpahan perasaan yang sebenarnya, bila arwah Oh-bengcu di alam baka tahu, dia pasti akan terhibur, harap Sicu segera menghentikan kesedihanmu itu!"

   Dari kata-katanya itu, Ku-lo Siansu dapat melihat Bong Thian-gak telah menderita luka dalam akibat kesedihan yang kelewat batas. Dengan amat hormat Bong Thian-gak menjura kepada pendeta saleh itu, sahutnya.

   "Terima kasih banyak atas nasehat Losiansu."

   "Sicu, bolehkah Pinceng tahu, apa hubunganmu dengan Oh-bengcu?"

   Tergerak hati Bong Thian-gak.

   "Wanpwe pernah menerima budi pertolongan jiwa dari Ohbengcu, budi ini dalamnya melebihi samudra, maka ketika kudengar berita kematiannya, aku menjadi sedih sekali, apalagi bila teringat budi kebaikannya belum sempat kubalas."

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Kegagahan dan kebajikan Oh-bengcu telah mendatangkan berkah dan keuntungan bagi seluruh umat manusia, kini dia telah tiada, kehilangan ini terasa berat dan menyedihkan buat kita, ai ... limpahan perasaan Sicu pasti akan menghibur arwah Oh-bengcu di alam baka."

   Mencorong sinar mata tajam dari balik mata Bong Thiangak sesudah mendengar perkataan itu, katanya kembali.

   "Aku sudah banyak berhutang budi kepada Oh-bengcu, sekali pun malam ini aku datang untuk menyampaikan rasa dukaku di hadapan layonnya, namun semua itu belum dapat membayar budi kebaikan yang pernah kuterima, kejadian ini benar-benar membuat hatiku sedih."

   Untuk kesekian kalinya Ku-lo Hwesio mengamati wajah Bong Thian-gak.

   "Bila Sicu ingin membalas budi kebaikannya, sudah sepantasnya bila kau lanjutkan cita-cita Oh-bengcu untuk mendatangkan keuntungan dan berkah bagi umat persilatan, sebab hanya dengan cara ini saja kau dapat membalas budi Oh-bengcu."

   "Losiansu,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.

   "ada satu persoalan ingin kutanya padamu, apa yang menyebabkan kematian Oh-bengcu?"

   "Omitohud, Lolap pun baru saja kemari dari kuil Siau-lim-si, aku sendiri kurang jelas tentang keadaan yang sesungguhnya. Bila ingin mengetahui hal ini, lebih baik besok saja ditanyakan langsung kepada para ahli warisnya!"

   Baru selesai berkata, mendadak dari luar ruangan berkumandang suara bentakan nyaring.

   "Siapa di dalam ruangan? Cepat laporkan namamu!"

   Delapan sosok bayangan orang berkelebat di depan pintu ruangan, delapan orang pengawal berbaju hitam dengan senjata terhunus telah menghadang di depan pintu.

   "Aduh celaka!"

   Pikir Bong Thian-gak dengan terperanjat. Baru lewat ingatan itu, Ku-lo Hwesio telah menyahut dengan suara rendah.

   "Omitohud, harap Sicu sekalian suka melaporkan, Ku-lo dari Siau-lim-si datang untuk menyambangi layon sahabat karibnya."

   Nama Ku-lo dari Siau-lim-si ibarat guntur yang membelah bumi di siang bolong, kontan membuat kedelapan pengawal berbaju hitam itu buru-buru membungkuk badan memberi hormat.

   "Kehadiran Losiansu sungguh di luar dugaan, maafkan Tecu sekalian yang tidak datang menyambut sepantasnya ...."

   Tidak menanti ucapan itu selesai, Ku-lo Hwesio telah menukas.

   "Omitohud, malam sudah semakin kelam dan tidak baik mengganggu tidur orang, biar Lolap menanti dalam ruangan ini sampai kentongan kelima saja, saudara sekalian silakan berlalu!"

   Pemimpin regu rombongan pengawal itu adalah seorang lelaki setengah umur berperawakan jangkung, dia segera menjura seraya berkata.

   "Panitia pemakaman ada perintah, bila Losiansu datang di gedung ini, maka kami diwajibkan melaporkan kedatangan Siansu."

   "Kalau memang begitu, harap Sicu sekalian sudi membuka jalan!"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Ku-lo Hwesio kemudian sambil mengangguk. Belum habis perkataan itu, dari luar ruangan sudah bergema suara nyaring seseorang.

   "Sinceng datang berkunjung kemari, Heng-sui sengaja datang menyambut...."

   Berbareng dengan menggemanya ucapan itu, tampak cahaya lentera bergoyang terhembus angin, seorang pemuda berbaju hijau, berwajah tampan, dingin, gagah dan bermata tajam telah berdiri di depan kedelapan pengawal itu sambil memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio.

   Menyaksikan kemunculan orang itu, sekujur badan Bong Thian-gak gemetar keras, dalam hati dia berpekik.

   "Ji-suheng ..."

   Ternyata pemuda berbaju hijau itu adalah murid kedua Thiciang- kan-kun-hoan Oh Ciong-hu yang bernama Toan-conghong- liu (usus putus darah mengalir) Yu Heng-sui.

   Kini ia sudah menjabat sebagai komandan pasukan pengawal gedung Bu-lim Bengcu, orang yang berkuasa di ruang hukuman dan berkuasa penuh dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada sembilan partai besar dalam Bu-lim, kedudukannya tinggi dan terhormat sekali.

   Ternyata persekutuan dunia persilatan ini merupakan dibentuk bersama sembilan partai besar dunia persilatan untuk menyatukannya menurut sejarah, Bengcu hanya dipilih oleh anggota sembilan partai besar dan berkuasa penuh mengatur segala tindak-tanduk sembilan partai.

   Atau dengan perkataan lain, kekuasaan Bu-lim Bengcu masih berada di atas kekuasaan sembilan ketua partai.

   Sedang anggota pengurus penting lainnya dalam persekutuan dunia persilatan ini pun harus dinilai dan diteliti lebih dulu oleh sembilan partai besar sebelum melakukan pengangkatan, kekuasaan mereka meski hanya terbatas dalam satu bidang, akan tetapi mempunyai tingkatan yang sejajar dengan kedudukan para ketua partai lainnya.

   Tampaknya Ku-lo Hwesio pernah bersua Yu Heng-sui, maka sambil tersenyum segera ujarnya.

   "Yu-hiantit, tak usah banyak adat."

   Si Pemutus usus darah mengalir Yu Heng-sui mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang berada di belakang Ku-lo Hwesio, keningnya nampak berkerut, kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ujarnya.

   "Maaf, kalau aku tak kenal dengan saudara ...."

   Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Bong Thian-gak telah menukas sambil menjura.

   "Yu-tayhiap tak perlu sungkan-sungkan, aku she Ko bernama Hong."

   "Ko Hong", nama yang asing dan belum pernah terdengar di Bu-lim, sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman luas Yu Heng-sui tetap tak mengenalnya. Namun dalam hati kecilnya dia merasa heran, diam-diam pikirnya.

   "Heran! Meski baru berjumpa pertama kalinya, namun orang ini seperti pernah kutemui, tapi kalau kuamati lagi dengan seksama, kembali terasa begitu asing."

   Yu Heng-sui tersenyum, lalu ujarnya.

   "Tampaknya Ko-heng baru saja terjun ke Bu-lim bukan?"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Benar, sudah lama aku tinggal di hutan terpencil, kali ini memang merupakan perjalanan perdanaku."

   Sementara berbicara, pemuda ini pun diam-diam berpikir.

   "Ji-suheng, tak heran kau tak kenal lagi Sutemu yang telah dikeluarkan dari perguruan ini, tujuh tahun ... ya, betapa lamanya tujuh tahun ini. Apalagi hidup dalam suasana yang penuh penderitaan dan kesengsaraan, oh, betapa keji dan mengenaskan pengalamanku selama ini."

   "Aku ... ai, Bong Thian-gak pada tujuh tahun berselang tentu saja berubah banyak kalau dibanding tujuh tahun kemudian."

   "Sewaktu meninggalkan gedung Bengcu, aku baru berusia delapan belas tahun, mukaku putih, keempat anggota badanku utuh dan gagah, tapi hari ini aku muncul sebagai seorang pincang, apalagi wajahku telah kuubah dengan obat penyaru, tentu saja kau tak mengenali diriku lagi."

   Berbagai ingatan dan perasaan segera berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak.

   "Omitohud!"

   Terdengar Ku-lo Hwesio berkata.

   "Aku lihat Kosicu amat gagah dan perkasa, aku pun dapat menyaksikan kepandaian saktimu yang tersembunyi, aku yakin kau pasti berasal dari suatu perguruan tersohor."

   Yu Heng-sui berdiri tertegun.

   Sebenarnya dia mengira Bong Thian-gak merupakan kenalan lama Ku-lo Hwesio yang datang ke sana bersamanya, tapi sekarang tampaknya Ku-lo Hwesio baru saja berkenalan.

   Kejadian ini menimbulkan kecurigaan dan perasaan serba salah dalam benak Yu Heng-sui, bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tak sepotong kata pun yang meluncur keluar.

   Bong Thian-gak bukan pemuda bodoh, ia dapat merasakan hal itu, maka ujarnya.

   "Beberapa tahun lalu, jiwaku pernah diselamatkan oleh Oh-bengcu sewaktu berada di Kang Tang, budi kebaikan ini besar bagaikan bukit, maka ketika kudengar kabar kematian Oh-bengcu, sengaja aku kemari untuk memberi penghormatan terakhir kepadanya, Ya, hanya sayang budinya tak sempat kubalas, itulah sebabnya bila selanjutnya In-jin ada persoalan yang belum terselesaikan, sekali pun tubuh harus hancur, aku bersedia mewakilinya untuk menyelesaikan masalah itu. Yu-tayhiap, aku harap kau suka menerima ketulusan hatiku ini dan tidak memandang asing."

   Beberapa patah kata itu diutarakan dengan bersungguh hati dan tulus ikhlas, kendatipun Yu Heng-sui menaruh curiga, tentu saja ia tidak bisa bersikap kelewat batas, apalagi sampai mengusir tamunya. Tapi dia berpikir juga.

   "Asal-usul orang ini tidak begitu jelas, mana mungkin dia dibiarkan hadir dalam masalah besar Bu-lim Bengcu?"

   Sementara Yu Heng-sui masih ragu dan tidak tahu bagaimana harus bertindak, Ku-lo Hwesio telah berkata.

   "Kosicu seorang yang gagah dan berjiwa besar, bila persekutuan persilatan bisa mendapat bantuan pikiran dari Sicu, ini benarbenar satu keberuntungan bagi umat persilatan."

   Ku-lo Hwesio adalah Locianpwe yang paling disanjung dan disegani dalam Bu-lim dewasa ini, tentu saja Yu Heng-sui tidak berani ragu lagi, dia pun tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Ko-heng gagah perkasa dan berjiwa besar, aku orang she Yu merasa cocok denganmu, mana berani memandang asing ...."

   Sesudah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ku-lo Hwesio sambil melanjutkan.

   "Ku-lo Supek, silakan. Silakan menuju ke ruang rapat, banyak jago lihai yang tergabung dalam panitia pemakaman sudah berada dalam ruangan menantikan kedatangan Supek."

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Kalau begitu harap Yu-hiantit membuka jalan."

   Seusai berkata, Ku-lo Hwesio mengebaskan ujung bajunya dan berjalan keluar ruangan itu mengikut di belakang Yu Heng-sui dan kedelapan orang pengawal berbaju hitam itu, Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bong Thian-gak turut pula di belakang Ku-lo Hwesio beranjak pergi.

   Setelah melewati tiga lapis halaman luas dan sebuah tanah lapang, sampailah mereka di sebuah gedung yang berpenjagaan amat ketat.

   Gedung ini berloteng tingkat tiga yang megah seperti keraton, empat penjuru penuh pengawal bersenjata lengkap, suasananya begitu ketat, tegang dan menyeramkan seperti hendak menghadapi serbuan musuh tangguh saja.

   Menyaksikan keadaan itu, timbul suatu perasaan bimbang di dalam hati Thian-gak, ia tidak habis mengerti, kematian gurunya sebenarnya menyangkut masalah besar apa sehingga suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu dijaga dengan sedemikian ketatnya.

   Sementara itu Yu Heng-sui telah berpaling ke arah Ku-lo Hwesio sambil berkata.

   "Jenazah Suhu disemayamkan di loteng sana!"

   Sementara pembicaraan berlangsung, dari balik pintu tampak bermunculan belasan orang laki perempuan, ada pendeta, Tosu, ada pula orang preman, ketika menyaksikan kehadiran Ku-lo Hwesio, serentak mereka memberi hormat seraya berkata.

   "Kami tidak dapat menyambut kedatangan Sinceng dari jauh, harap sudi dimaafkan." "Omitohud, kalian tidak usah banyak adat, Lolap sudah datang mengganggu tidur kalian, sesungguhnya Lolaplah yang harus minta maaf."

   Bong Thian-gak yang berdiri di belakang Ku-lo Hwesio menggunakan kesempatan itu mengawasi wajah para tokoh silat yang berada di sana, tapi dengan cepat hatinya bergetar keras.

   Ternyata puluhan orang Enghiong yang hadir hampir meliputi semua inti kekuatan yang ada di Bu-lim, bahkan semuanya merupakan ketua-ketua partai persilatan yang sudah termasyhur puluhan tahun lamanya.

   Ketika sorot matanya dialihkan ke wajah seorang lelaki setengah umur berbaju biru yang beralis tebal, bermata besar, muka bulat, telinga persegi dan seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian berkabung, kembali sekujur tubuhnya gemetar karena luapan emosi.

   Ternyata lelaki setengah umur berbaju biru itu adalah Toasuhengnya, Pa-ong-kiong (si Busur raja lalim) Ho Put-ciang, sedang gadis berbaju putih itu adalah puteri tunggal gurunya, Oh Cian-giok.

   Sorot mata semua jago hampir sebagian besar dicurahkan ke wajah Ku-lo Hwesio, maka tidak ada yang memperhatikan Bong Thian-gak, apalagi Bong Thian-gak mengenakan baju berwarna hitam, sehingga semua mengira dia adalah salah seorang pengawal gedung Bu-lim Bengcu.

   Hanya Oh Cian-giok, si nona baju putih itu yang memperhatikan kehadiran Bong Thian-gak, hanya sekali lirikan saja paras mukanya berubah hebat, tapi dengan cepat wajahnya kembali seperti sediakala.

   Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Ku-lo Hwesio bersama rekan-rekan pendekar lainnya beranjak masuk ke ruang besar yang terang benderang itu.

   Baru saja Bong Thian-gak hendak turut melangkah masuk, tiba-tiba terdengar Oh Cian-giok yang berada di sisinya berkata lantang.

   "Ji-suheng, Siangkong ini adalah jago lihai dari perguruan mana?"

   Tidak menanti Yu Heng-sui yang berada di belakangnya menjawab, Bong Thian-gak segera membalik badan dan menjura kepada Oh Cian-giok sambil memperkenalkan diri.

   "Aku Ko Hong, tolong tanya apakah nona puteri kesayangan Oh-bengcu?"

   Sekarang Oh Cian-giok sudah bisa melihat jelas wajah Bong Thian-gak yang pucat-pias bagai mayat, keningnya berkerut, lalu sambil menggeleng, pikirnya.

   "Heran, sekilas pandangan tadi, raut wajahnya seperti pernah kujumpai di suatu tempat, tapi setelah diperhatikan lebih seksama, serasa tak kuingat siapa gerangan orang ini?"

   "Sumoay,"

   Terdengar Yu Heng-sui menjawab lantang.

   "Kosiauhiap datang bersama Sinceng."

   "Oh ...."

   Buru-buru Oh Cian-giok menjura kepada Bong Thian-gak sambil berkata.

   "Ko-siauhiap, terima kasih banyak atas kehadiranmu turut melawat ayahku."

   "Ai, kematian ayahmu benar-benar suatu kehilangan besar bagi umat persilatan,"

   Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ko-heng, kematian guruku secara lamat-lamat menyangkut suatu ancaman maut bagi keamanan Bu-lim,"

   Kata Yu Heng-sui pula.

   "Malam ini, sengaja kuundang kehadiran, Ku-lo Sinceng untuk bersama-sama membahas ancaman bahaya yang telah semakin dekat ini .... Ko-heng sebenarnya kau bukan termasuk anggota perserikatan, bilamana tidak ada keperluan yang mendesak, lebih baik janganlah melibatkan diri di dalam pertikaian ini."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sewaktu berada di loteng tadi, aku telah mengemukakan suara hatiku, sejak kini biarpun harus terjun ke lautan api, aku tidak akan menampik."

   "Baiklah,"

   Kata Yu Heng-sui sambil manggut-manggut.

   "KaJau begitu, silakan Ko-heng mengambil tempat duduk."

   Sementara itu Ku-lo Sinceng dan para pendekar sudah mengambil tempat duduk masing-masing.

   Puluhan orang berkumpul membentuk suatu pertemuan.

   Murid pertama Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, yakni Pa-ong-kiong Ho Put-ciang, murid kedua si Pemutus usus Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok duduk di kursi tuan rumah sebelah timur, Ku-lo Sinceng duduk di sebelah barat, sedangkan Bong Thian-gak duduk di sebelah kanan Ku-lo Hwesio.

   Setelah semua orang duduk, si Busur raja lalim Ho Putciang segera membuka suara.

   "Para pendekar dan orang gagah sekalian, hari ini kita sengaja mengundang kehadiran Ku-lo Sinceng yang telah menutup diri selama sepuluh tahun untuk menghadiri pertemuan ini, tujuannya tak lain adalah untuk menyelidiki sebab-sebab kematian guruku."

   "Sesungguhnya siapa yang telah membunuh guru kami? Dan apa yang menyebabkan kematiannya? Meski sudah diperiksa dan diselidiki oleh semua jago berpengalaman, alhasil hingga kini tetap merupakan suatu teka-teki yang mencurigakan."

   "Yang lebih mengherankan lagi adalah pada empat puluh sembilan hari berselang, kuda tunggangan guru kami telah pulang sendiri ke gedung Bu-lim Bengcu untuk mewartakan kematiannya, kemudian kuda itu telah membunuh diri dengan menerjang patung singa di depan pintu gerbang, disusul pula lima orang tokoh persilatan yang kebetulan sedang bertamu di dalam gedung ini ditemukan tewas secara misterius, sebabsebab kematian mereka pun tidak berhasil ditemukan, karena di tubuh masing-masing tidak dijumpai cidera atau luka, mereka seakan-akan mati secara wajar, persis seperti keadaan yang dialami guru kami."

   "Omitohud!"

   Ku-lo Hwesio memuji keagungan sang Buddha.

   "Siapa-siapa saja kelima tokoh persilatan itu?"

   "Mereka adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong Loenghiong dari perguruan Sin-kun-bun, Liong-thau Pangcu dari perkumpulan Hek-huo-pang Kwan Bu-peng, Congpiauthau dari tujuh perusahaan ekspedisi gabungan wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago angin guntur) Gi Pengsan, Loapcu dari benteng Jit-seng-po Tui-hun-pit (Pena pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im (Koan-im baja) Han Nio-cu yang namanya disegani kaum Hek-to maupun Pekto."

   Begitu nama kelima tokoh persilatan itu diungkap, Bong Thian-gak serta sekalian pendekar mengerutkan dahi dengan wajah serius.

   Ternyata kelima tokoh silat itu tiada seorang pun yang merupakan tokoh tanpa nama dalam Bu-lim, boleh dibilang mereka merupakan pemimpin persilatan yang namanya termasyhur dalam Bu-lim.

   Siapa pun tak menyangka kalau di kolong langit terdapat seorang gembong iblis yang mampu membunuh nyawa kelima orang tokoh persilatan itu bersama-sama.

   Dengan wajah sedingin es, pelan-pelan Ho Put-ciang berkata.

   "Sampai dimanakah taraf kepandaian silat kelima orang tokoh ini rasanya sudah diketahui setiap orang, kenyataan mereka ditemukan tewas pada saat bersamaan dalam gedung Bu-lim Bengcu, bayangkan saja betapa mengejutkan peristiwa ini."

   Ketika mendengar sampai di situ, mendadak Ku-lo Hwesio memejamkan mata sambil termenung. Si Busur raja lalim Ho Put-ciang menghela napas, sambungnya lebih jauh.

   "Malam ketiga setelah kematian kelima tokoh silat itu, tahu-tahu kelima sosok mayat itu lenyap secara misterius."

   "Apakah kelima sosok mayat itu lenyap dari dalam gedung ini?"

   Mendadak Ku-lo Hwesio mementang mata lebar-lebar.

   "Benar, kelima sosok mayat itu telah dicuri orang."

   Perasaan setiap jago yang hadir di situ kembali terasa berat, sekarang mereka mulai sadar bahwa kasus ini merupakan suatu peristiwa yang amat rumit dan aneh, bahkan jika berita itu sampai bocor keluar, niscaya akan menimbulkan pergolakan yang amat hebat di Bu-lim.

   Kematian Oh Ciong-hu sendiri sudah membuat dunia persilatan diliputi selapis kabut gelap, apabila peristiwa yang lebih parah ini sampai meledak, mungkin bisa menciptakan kemusnahan bagi seluruh umat persilatan.

   Ku-lo Hwesio maupun para pendekar termenung memikirkan persoalan itu, suasana dalam ruang rapat diliputi ketegangan, keseraman dan kengerian, tekanan yang sangat berat serasa menindih dada setiap orang.

   Mendadak dari antara para jago melompat bangun seorang kakek kurus berperawakan pendek.

   "Menurut dugaan Lohu,"

   Ia berkata.

   "Kematian Ma Kong berlima diliputi suatu masalah maha besar ...."

   Sorot mata semua orang segera dialihkan ke wajahnya.

   "Kongsun-tayhiap berhasil menemukan apa?"

   Ucap Ku-lo Hwesio pelan.

   "Coba utarakan lebih jelas agar bisa didengar setiap orang yang hadir di sini."

   Ternyata kakek yang berperawakan pendek kecil ini adalah salah satu di antara tiga sesepuh Ciong-lam-san, yakni To-cising (Si bintang banyak akal) Kongsun Phu-ki. Kongsun Phu-ki memutar sepasang biji matanya yang kecil, kemudian pelan-pelan berkata.

   "Menurut dugaan dan perasaan indera keenam Lohu, sesungguhnya Ma Kong berlima hingga kini belum ... mati."

   Suasana gempar segera menyelimuti seluruh ruangan, para jago berbisik-bisik menanggapi perkataan itu. Ho Put-ciang tak dapat menahan sabar, dia segera bertanya.

   "Apa bukti yang menjadi dasar pertimbangan Kongsun-tayhiap, hingga kau berani mengatakan Ma Kong berlima sesungguhnya belum mati?"

   Kongsun Phu-ki tertawa dingin.

   "Sesungguhnya kelima orang itu memang cuma pura-pura mati, belum lama Lohu mendengar orang berkata bahwa Koan-im baja Han Nio-cu mempunyai semacam obat mustika, bilamana pil itu ditelan, maka satu jam kemudian jantung akan berhenti berdenyut dan keempat anggota badannya jadi dingin dan kaku. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaan orang mati."

   "Ah, itu pil Tong-bian-wan!"

   Mendadak terdengar Bong Thian-gak berseru tertahan. Seruan itu segera mengejutkan para jago, berpuluh pasang mata serentak dialihkan ke arahnya. Setelah semua pendekar melihat jelas raut wajahnya, sambil berkerut kening diam-diam mereka berpikir.

   "Heran, siapakah dia?"

   Paras muka Kongsun Phu-ki berubah hebat, buru-buru serunya.

   "Darimana kau bisa tahu pil itu bernama Tong-bianwan?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bong Thian-gak merasa amat tak leluasa ditatap sekian banyak orang, segera jawabnya.

   "Aku pernah membaca kupasan tentang obat itu serta sifat Tong-bian-wan dari catatan se

   Jilid kitab, menurut kitab itu, barang siapa menelan pil ini, maka semua organ tubuh akan berhenti bekerja, keadaan itu seperti ular yang tidur panjang di musim dingin, tapi bila sifat dan daya kerja obat itu sudah habis, maka kehidupan pun akan pulih seperti sedia kala."

   "Dimanakah kau pernah membaca kitab itu?"desak Kongsun Phu-ki lebih jauh.

   "Dalam sebuah gua terpencil,"

   Bong Thian-gak tersenyum rawan. Kongsun Phu-ki menatap tajam wajah anak muda itu beberapa saat lamanya, mendadak ia berkata lagi.

   "Siapakah kau?"

   "Aku she Ko bernama Hong."

   "Anak murid dari perguruan mana?"

   "Tanpa partai tanpa perguruan."

   Mendadak Kongsun Phu-ki melompat ke tengah udara setinggi satu tombak, kemudian tanpa menimbulkan sedikit suara melayang turun tiga kaki di hadapan Bong Thian-gak, bentaknya dengan suara keras.

   "Bila kau tidak menyebutkan asal-usul perguruanmu, jangan harap kau bisa meninggalkan gedung ini dalam keadaan hidup."

   Ancaman yang diutarakan amat keras ini kontan membuat suasana dalam ruang berubah menjadi tegang.

   Sementara itu Ku-lo Hwesio dan Yu Heng-sui tetap duduk tenang di tempat masing-masing tanpa melakukan sesuatu tindakan, rupanya mereka pun ingin tahu asal-usul Bong Thian-gak.

   Mendadak di saat yang kritis itulah dari atas wuwungan rumah berkumandang suara tawa dingin seseorang yang amat mengerikan.

   "He, monyet tua, lebih baik jangan menganiaya anak kecil."

   Dampratan secara tiba-tiba itu kontan membuat paras muka para pendekar yang berada di ruang rapat berubah hebat.

   Kongsun Phu-ki membentak gusar, sementara di belakangnya mengikut Yu Heng-sui.

   Untuk sesaat tampak bayangan orang berkelebat, para jago serentak menerjang keluar ruangan.

   Kini dalam ruangan tinggal Ku-lo Hwesio, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang, Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak berempat yang masih tetap duduk diam.

   Namun paras muka mereka pun diliputi perasaan tegang, bahkan Ho Put-ciang tiada hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak dengan sorot matanya yang sangat tajam.

   Akhirnya terdengar Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, kemudian berkata.

   "Sebenarnya ucapan tadi dipancarkan dengan menggunakan ilmu Jian-li-hui-im (suara pantulan seribu li) yang dikerahkan dengan menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi, ketika kalian mendengar suara itu, sang pembicara telah berada satu li jauhnya dari sini. Ai, tampaknya Bu-lim kembali dihadapkan pada suatu ancaman maha besar."

   Baru selesai pendeta itu berkata, tampak Kongsun Phu-ki dengan wajah gusar telah muncul kembali dalam ruangan, tangan kirinya membawa segulung kain putih, sedang di belakangnya mengikut enam-tujuh orang jago.

   Sambil melompat bangun dari tempat duduknya, Ho Putciang segera bertanya.

   "Kongsun-tayhiap, apa yang telah engkau temukan?"

   Kongsun Phu-ki membentang kain putih dalam genggamannya itu ke atas meja, lalu serunya dengan gusar.

   "Coba kalian saksikan sendiri!"

   Setelah kain putih itu dibentang di meja, terbacalah sederet tulisan di atas kain putih itu.

   "To-ci-sing Kongsun Phu-ki tak akan hidup melebihi bulan setan". Yang dimaksud bulan setan adalah bulan ketujuh, sedangkan hari ini adalah tanggal dua puluh tiga, berarti dia takkan bisa hidup melebihi tujuh hari lagi. Kontan semua orang terbelalak dengan mulut melongo, mereka sama-sama memandang ketiga belas patah kata itu dengan terkesima. Sementara itu Yu Heng-sui dan para jago lainnya pun telah pulang dengan tangan hampa. Sewaktu mereka menyaksikan ketiga belas patah kata yang tertera di atas kain putih itu, semua orang terbungkam dan saling pandang. Akhirnya Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menarik napas panjang; katanya.

   "Kongsun-tayhiap, kau menemukan kain putih ini dimana?"

   "Di atas tiang lentera di tengah lapangan sana,"

   Sahut Kongsun Phu-ki sambil tertawa dingin.

   "Penjagaan di gedung Bengcu ini dilakukan amat ketat, bahkan jauh lebih ketat daripada penjagaan dalam keraton kaisar, kenyataan pihak lawan dapat keluar masuk dengan leluasa, malah mengganti kain putih di tengah lapangan tanpa diketahui orang, kelihaian orang itu pada hakikatnya sukar dilukiskan dengan kata-kata!"

   "Sebenarnya siapakah orang ini?"

   Bentak Kongsun Phu-ki dengan suara lantang. Tangan kirinya menuding Bong Thiangak, sementara sorot matanya yang tajam melotot gusar ke arah Ho Put-ciang.

   "Ko-siauhiap datang ke gedung Bengcu ini bersama Ku-lo Sinceng!"

   Buru-buru Yu Heng-sui berkata.

   Yu Heng-sui cukup cerdas dan cekatan, dia dapat melihat situasi malam ini telah mengubah Bong Thian-gak menjadi orang yang amat mencurigakan, bila kesepakatan tidak ditemukan, bisa jadi keadaan akan berkembang mengerikan.

   Para pendekar yang hadir dalam ruangan rapat rata-rata adalah anggota pengurus perserikatan dunia persilatan, kedudukan mereka amat tinggi dan kekuatannya amat besar, merekalah yang akan bertanggung jawab dalam pemilihan pergantian Bengcu.

   Tapi kini ia membicarakan seseorang yang tidak jelas identitasnya yang telah memasuki ruang sidang, bahkan turut dalam perundingan rahasia itu, jelas tindakan ini merupakan suatu pelanggaran peraturan yang sangat besar.

   Itulah sebabnya maka ia lantas memutar otak dan melimpahkan semua tanggung jawab itu ke atas pundak Ku-lo Hwesio.

   Goan-hui Taysu, ketua Siau-lim-pay sekarang merupakan ketua pengurus Bu-lim Bengcu, padahal Ku-lo Sinceng adalah Supek dari Goan-hui Taysu, dia pun ketua pengurus yang lalu, bisa dibayangkan betapa tingginya kedudukan orang ini.

   Betul juga, Kongsun Phu-ki segera menarik kembali hawa amarahnya sesudah mendengar perkataan Yu Heng-sui, sambil berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, tanyanya.

   "Tolong tanya Sinceng, orang ini berasal dari perguruan mana?"

   "Kongsun-tayhiap,"

   Jawab Ku-lo Hwesio cepat.

   "Harap kau segera menenangkan hatimu, Ko-sicu adalah orang dari aliran kita."

   Dengan dasar ucapan itu, serentak para jago membuang sebagian rasa curiganya terhadap Bong Thian-gak. Dengan suara dalam, Ho Put-ciang lantas berkata.

   "Para pendekar, silakan duduk kembali untuk melanjutkan perundingan kita."

   Para pendekar secara beraturan menempati tempat duduknya masing-masing, kemudian Ui-hok Totiang dari Butong- pay angkat bicara, katanya.

   "Pihak lawan telah meninggalkan tiga belas patah kata itu dalam gedung Bengcu, menurut pendapat Pinto, lebih baik dalam tujuh hari ini Kongsun-tayhiap meningkatkan kewaspadaan."

   Kongsun Phu-ki tertawa dingin.

   "Hehehe, terima kasih banyak atas perhatian Ui-hok Totiang, Lohu percaya paling tidak aku masih dapat hidup sepuluh tahun lagi."

   "Kongsun-tayhiap, harap kau jangan gusar,"

   Kembali Ui-hok Totiang berkata serius.

   "kau harus tahu, musuh yang datang pasti bermaksud jelek, orang yang bermaksud baik tak akan begini cara datangnya, sekarang mereka sudah berani menantang kita secara terang-terangan, sudah pasti hal ini bukan cuma gertak sambal belaka."

   Kongsun Phu-ki kembali tertawa dingin.

   "Lohu tidak percaya dengan segala macam kepandaian setan mereka. Hehehe ... sudah puluhan tahun Kongsun-loji malang melintang dalam Bu-lim tanpa kuatir bertemu setan, aku minta kalian tak usah menguatirkan tentang diriku."

   Setelah berhenti sebentar, sambungnya.

   "Sekarang aku punya suatu persoalan yang membuat hatiku bingung, tadi ketika aku mendengar suara lawan, sesungguhnya selisih waktu kami hanya sekejap mata, kendatipun orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat, sulit rasanya untuk menghindar dari pengawasan mata Lohu, apalagi di sekeliling halaman ini penuh dengan pengawal yang berjumlah tiga puluhan orang, tapi kenyataannya tak seorang pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh."

   Yu Heng-sui pun diliputi perasaan berat, ujarnya.

   "Tadi secara beruntun aku telah menanyai para pengawal yang berjaga di ketujuh lapis halaman gedung, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh, juga tidak mendengar sedikit suara pun."

   "Pernahkah Sicu sekalian mendengar semacam kepandaian yang disebut Jian-li-hui-im?"

   Ujar Ku-lo Hwesio pelan.

   "Dengan menghimpun tenaga dalam, seseorang dapat menghimpun nada suaranya menjadi gelombang suara dan dipancarkan ke dalam telinga manusia dari jarak ratusan kaki."

   Begitu mendengar uraian itu, paras muka para jago berubah hebat.

   "Ai, kalau begitu ilmu silat lawan benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan?"

   "Kepandaian lawan memang bukan sembarangan, cuma di antaranya justru terdapat kelicikan ...."

   Bicara sampai di sini, Ku-lo Sinceng memejamkan mata sambil berpikir sejenak, kemudian mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain.

   "Ho-hiantit, kau paling lama mengikuti Oh-bengcu, tahukah kau selama hidup gurumu pernah terjadi peristiwa besar? Mungkinkah orang-orang itu akan membalas dendam terhadap gurumu?"

   "Selama hidup Suhu bersikap amat baik terhadap siapa pun, berjiwa sosial dan suka membantu orang, boleh dibilang tak punya seorang musuh pun, sekali pun ada, itu pun manusia-manusia kurcaci dunia rimba hijau, Sutit sudah membuang waktu selama setengah bulan melakukan penyelidikan, sebagian besar di antara mereka telah meninggal, yang belum mati pun telah dihukum Suhu hingga cacat, cuma di antaranya terdapat tiga orang yang sangat mencurigakan, hingga kini jejak mereka masih belum ditemukan."

   "Siapa ketiga orang itu? Harap Hiantit jelaskan."

   Pa-ong-kiong Ho Put-ciang termenung sejenak, lalu ujarnya dengan suara dalam.

   "Pertama adalah Suci Suhu kami yang bernama Ho Lan-hiang."

   Mendengar nama Ho Lan-hiang disinggung, paras muka Ku-lo Hwesio berubah, ujarnya.

   "Pada sepuluh tahun lalu, Ho Lan-hiang sudah termasyhur sebagai perempuan paling cantik di wilayah Kanglarn, tapi dia hanya muncul sebentar saja dalam Bu-lim, kemudian lenyap, hingga kini jejaknya tidak jelas, semasa gurumu masih hidup, Lolap pun pernah mendengar ia membicarakan Ho Lan-hiang, kalau dia adalah Suci (kakak seperguruan) gurumu, tentunya tak mungkin punya perselisihan dengan gurumu, jadi aku rasa tidak sepantasnya kita mencurigai dia sebagai orang yang membunuh Oh-bengcu."

   Pa-ong-kiong Ho Put-ciang mengangguk berulang kali, kembali katanya.

   "Orang kedua adalah Tio Tian-seng, seorang jago silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada tiga puluh tahun lalu ...."

   Mendengar nama Tio Tian-seng, kembali para jago saling berbisik, seakan-akan setiap orang mengetahui nama itu.

   Rupanya Tio Tian-seng sudah termasyhur di Bu-lim sejak tiga puluh enam tahun lalu, dia hanya tiga tahun berkelana dalam Bu-lim, mengandalkan pedang sesatnya, beruntun dia berhasil merobohkan delapan puluh satu jago pedang kenamaan sehingga dijuluki Mo-kiam-sin-kun (Malaikat sakti pedang iblis).

   Di masa lalu, bila orang menyinggung Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, maka baik jagoan dari golongan sesat maupun golongan putih, rata-rata orang menaruh rasa hormat dan gentar kepadanya.

   Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru pelan-pelan berkata.

   "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng memang seorang pendekar aneh dunia persilatan, pertarungan sengit antara Tio Tian-seng melawan almarhum Oh-bengcu di puncak Im-soat-hong di bukit Si-ciang-san pada tiga puluh tujuh tahun berselang memang betul-betul merupakan suatu pertarungan yang paling mengagumkan sepanjang sejarah...."

   "Ku-lo Supek,"

   Tiba-tiba Yu Heng-sui menyela.

   "Ketika Tio Tian-seng menantang Suhu kami bertarung di puncat Im-soathong, bukankah Supeklah yang bertindak sebagai juri?"

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Benar, waktu itu memang Lolap bertindak sebagai wasit... pertarungan sengit itu berlangsung tiga hari tiga malam sebelum akhirnya tahu siapa menang siapa kalah, waktu itu almarhum Oh-bengcu hanya berhasil menang setengah jurus."

   Ku-lo Hwesio berhenti sebentar, kemudian baru sambungnya.

   "Sejak menderita kekalahan di puncak Im-soathong di bukit Si-ciang-san, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan, selama tiga puluhan tahun belakangan ini sudah tidak pernah terdengar lagi namanya, juga tiada orang yang mengetahui jejaknya ... benar, Tio Tian-seng pernah keok di tangan Thiciang- kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, mungkin dia akan melakukan balas dendam."

   Pa-ong-kiong Ho Put-ciang segera melanjutkan perkataannya tentang orang ketiga yang dicurigai.

   "Orang ketiga adalah Bong Thian-gak, seorang murid Suhu yang dikeluarkan dari perguruan."

   Hampir saja Bong Thian-gak yang duduk di sampingnya menjerit kaget mendengar ia dituduh sebagai orang ketiga yang dicurigai telah membunuh gurunya. Mimpi pun dia tak menyangka kalau dirinya bisa dicantumkan sebagai salah seorang yang dicurigai.

   "Apakah dia adalah bocah cilik yang diterima almarhum Ohbengcu sebagai muridnya yang terakhir?"

   Tanya Ku-lo Hwesio.

   "Benar,"

   Sahut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang setelah menghela napas sedih.

   "Bong Thian-gak memang adik seperguruanku yang terkecil."

   Sambil menghela napas, Ku-lo Hwesio segera menggeleng.

   "Siau Gak si bocah cilik ini sangat penurut dan alim, dia pun cerdik, terutama bakatnya yang bagus, dia juga amat berbakat belajar silat ... sebenarnya apa yang telah terjadi? Waktu itu Lolap sudah menutup diri dalam kuil Siau-lim-si, harap Hiantit suka memberi keterangan."

   Kembali Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menghela napas panjang.

   "Bong Thian-gak Sute memang seorang bocah yang menyenangkan, sekali pun dia telah dikeluarkan dari perguruan, Suhu beserta segenap saudara seperguruannya masih tetap merindukan dia."

   Setelah berhenti sejenak, lalu sambungnya.

   "Peristiwa ini terjadi pada musim panas tujuh tahun berselang, Sam-sute Siau Cu-beng dan Su-sute Bong Thian-gak mendapat perintah Suhu untuk berangkat ke Ci Kang guna menjemput Subo pulang ke Kay-hong, di tengah jalan mereka kakak beradik seperguruan saling berdebat tentang ilmu silat, akhirnya perdebatan itu dilanjutkan dengan pertarungan di puncak bukit, dasar keduanya berdarah muda dan ingin mencari menang sendiri, mereka saling tak mau mengalah hingga pertarungan tak dapat dihindari lagi ... dan Sam-sute Siau Cu-beng kena dihajar oleh Su-sute Bong Thiangak hingga tercebur ke dalam jurang, hingga kini mayatnya tak pernah ditemukan."

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam hatinya amat sakit, pekiknya di hati.

   "Toa-suheng, wahai Toasuheng, kau tidak mengetahui rahasiaku, tak mungkin aku berebut soal ilmu silat dengan Sam-suheng hingga membunuhnya. Sesungguhnya aku mempunyai rahasia yang tidak bisa diberitahukan kepada Suhu dan kalian, oleh sebab itu mau tak mau aku harus mengarang sebuah cerita kepada kalian guna menutupi kenyataan yang sesungguhnya."

   Sementara itu Ku-lo Hwesio telah bertanya setelah selesai mendengar kisah itu.

   "Siapa yang menyaksikan Bong Thiangak telah menghajar Siau Cu-beng hingga terjatuh ke dalam jurang?"

   Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala berulang kali.

   "Mereka kakak beradik sedang berada dalam perjalanan menuju ke wilayah Ci Kang, saat peristiwa itu terjadi, kami tahu dari pengakuan Bong Thian-gak sendiri kepada Suhu sekembalinya dari Kay-hong."

   "Ketika Suhu mendengar peristiwa itu, beliau gusar sekali, hampir saja dia orang tua hendak membunuhnya, tapi entah mengapa Suhu tidak melanjutkan serangan itu, ditambah Susute dan Ji-sute serta Oh-sumoay memohon ampun baginya, akhirnya Suhu pun mengampuni dosa Su-sute dan mengusirnya dari perguruan serta putus hubungan antara guru dan murid."

   Bong Thian-gak merasa sedih sekali, kembali ia bergumam.

   "Oh, Toa-suheng! Tahukah kau, sewaktu kuhajar Siau Cubeng Sam-suheng hingga jatuh ke dalam jurang, ada seorang yang menyaksikan kejadian itu, orang itu adalah Subo ... ketika kubunuh Sam-suheng, waktu itu dalam perjalanan pulang dari Ci Kang menuju ke Kay-hong setelah menjemput Subo."

   "Siancay! Siancay! Sungguh tak kusangka selama Lolap menutup diri, dalam keluarga almarhum Oh-bengcu telah berlangsung peristiwa semacam ini, ai! Bong Thian-gak si bocah itu meski memiliki hawa membunuh yang berat, namun dia adalah seorang bocah yang berhati mulia dan baik." "Ai, sejak dikeluarkan dari perguruan, selama tujuh tahun ini Bong Thian-gak tak diketahui jejaknya lagi, mati hidupnya hingga kini belum diketahui!"

   Diam-diam Bong Thian-gak mengucurkan air mata, kembali ia membatin dengan sedih.

   "Toa-suheng, wahai Toa-suheng, tahukah kalian, selama tujuh tahun ini aku telah merasakan banyak penderitaan dan siksaan ... ketika aku baru dipecat dari perguruan, pembunuh-pembunuh yang dikirim Subo telah datang mengejekku ... hampir saja aku tewas dalam penghadangan itu. Kaki kiriku menjadi pincang adalah hadiah dari Subo. Aku amat membenci kebejatan moral Subo, sebenarnya ingin kuungkap semua rahasianya, tapi aku terlampau menghormati dan menyayangi guruku, terpaksa semua penderitaan ini hanya kusimpan dalam hati, itulah sebabnya hingga kini tujuh tahun kemudian aku belum pernah membocorkan rahasia ini kepada siapa pun, oh Toa-suheng, kalian jangan salah menuduh diriku sebagai pembunuh Suhu!"

   Sementara itu terdengar Yu Heng-sui berkata dengan wajah serius.

   "Su-sute Bong Thian-gak adalah pemuda yang perasa, dia gampang menaruh dendam pada orang, kami kuatir lantaran dia diusir dari perguruan oleh Suhu, hingga akhirnya timbul niat untuk menghabisi nyawa Suhu."

   Oh Cian-giok yang selama ini hanya membungkam diri tibatiba turut berbicara dengan air mata bercucuran.

   "Yu-suheng, aku rasa Su-sute tak akan bertindak sekejam ini, dia ... keesokan hari setelah ia dikeluarkan dari perguruan, aku pernah melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengan Bong Thian-gak Sute waktu itu, tampaknya dia seperti menyimpan suatu rahasia besar yang sukar untuk diutarakan."

   Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini dari sisi arena ingin sekali melompat keluar dan membeberkan semua kejadian yang sebenarnya.

   Selama tujuh tahun ini, dia telah merasakan penderitaan dan siksaan yang tak mungkin bisa ditahan oleh kebanyakan orang, sehingga semua itu menciptakan suatu kemampuan untuk mengendalikan diri yang luar biasa, hingga akhirnya segala sesuatunya dapat ditahan dan dilewatkan begitu saja.

   Ia tidak dapat membuka rahasia identitasnya, lebih-lebih lagi tak boleh mengungkap rahasia memalukan antara Subonya dengan Sam-suhengnya, kendatipun kini gurunya telah tiada, namun hal itu tetap akan merugikan nama baiknya.

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, katanya.

   "Walaupun Bong Thian-gak boleh saja dicurigai sebagai pembunuh gurunya, tapi menurut pendapat Lolap kemungkinannya kecil sekali, harus diketahui, orang yang bisa membunuh almarhum Oh-bengcu jelas bukan seorang murid yang baru tujuh tahun meninggalkan perguruan, kepandaian silat Oh Ciong-hu Bengcu sedemikian hebat, Lolap sendiri pun sulit menangkan dia, apalagi seorang muridnya."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.

   "Tentu saja lantaran Bong Thian-gak belum diketahui kabar beritanya hingga sekarang, kita boleh saja menuduhnya sebagai salah seorang yang dicurigai ... cuma menurut pendapat Lolap, dari tiga orang yang dicurigai Ho-hiantit, aku lebih mencurigai Mokiam- sin-kun Tio Tian-seng."

   "Kau harus tahu, sewaktu masih berkelana di Bu-lim dahulu, Tio Tian-seng mempunyai ambisi menjadi manusia paling kosen di Bu-lim, tapi ambisi itu buyar setelah ia dikalahkan oleh Oh Ciong-hu Bengcu, kekalahan yang dideritanya ini membuat pamornya sewaktu berhasil mengalahkan delapan puluh satu jago pedang pun buyar dalam semalam saja, pukulan batin yang begini berat bagi orang yang berwatak aneh macam dia, kadangkala bisa berubah menjadi dendam kesumat yang dalam sekali, oleh karena itu kukatakan bahwa Tio Tian-seng adalah orang yang paling mencurigakan." "Di samping itu keberhasilan Tio Tian-seng pada tiga puluh tahun berselang sudah seimbang dengan Oh Ciong-hu Bengcu, bila selama tiga puluh tujuh delapan tahun ini dia berlatih secara tekun, bisa jadi kepandaiannya akan berhasil melampaui Oh Ciong-hu Bengcu."

   Mendengar uraian Ku-lo, para jago tak membantah lagi, semua orang pun menganggap pentolan yang berada di balik kabut kegelapan di Bu-lim adalah Tio Tian-seng.

   Bahkan Bong Thian-gak sendiri pun berpendapat demikian, diam-diam dia mengertak gigi sambil bertekad hendak membunuh Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng untuk membalas dendam bagi kematian gurunya.

   Ku-lo Hwesio mengangkat kepala dan memandang sekejap suasana gelap di luar jendela, kemudian ujarnya lagi.

   "Membalas dendam bagi almarhum Oh-bengcu dan melenyapkan bibit bencana serta menegakkan kembali keadilan dan kebenaran di Bu-lim bukankah pekerjaan yang dapat diselesaikan sehari dua hari saja, kini musuh berada dalam kegelapan dan kita berada di tempat terang, terpaksa untuk sementara kita berada di posisi yang diincar, karenanya bila Sicu sekalian tidak mempunyai urusan penting, tak ada salahnya tinggal dahulu di gedung Bu-lim Bengcu untuk sementara waktu."

   Para pendekar dari sembilan partai besar tidak memberi komentar apa-apa, mereka menyetujui usul itu. Mendadak Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata.

   "Hingga hari ini Suhu sudah mati empat puluh sembilan hari, tapi jabatan Bu-lim Bengcu masih tetap kosong, entah bagaimanakah pendapat Ku-lo Supek dalam hal ini?"

   "Soal itu gampang untuk diselesaikan, bagaimana pun juga Sicu yang hadir di sini sekarang adalah anggota pengurus perserikatan dunia persilatan, soal Bengcu baru tentu saja harus dipilih, tapi bukan mesti dipilih dalam waktu singkat, meski demikian, untuk sementara kita memang boleh saja memilih seorang wakil Bengcu yang akan mengurus semua masalah."

   Ku-lo Hwesio adalah ketua pengurus perserikatan generasi lalu, setelah ia mengusulkan demikian, semua menyatakan persetujuannya, sedang mengenai siapa yang akan dipilih, tidak ada yang mengajukan usul. Kembali Ku-lo Hwesio berkata.

   "Orang yang dipilih menjadi wakil Bengcu paling baik bila seorang yang mengerti berbagai masalah dalam Bu-lim, daripada kita harus membuang waktu untuk mengajar padanya mengurusi soal-soal itu, itulah sebabnya Lolap usulkan paling baik jika 1 Iiantit saja yang menduduki jabatan itu, entah bagaimanakah pendapat saudara sekalian?"

   Semua jago segera menyatakan persetujuannya mendengar perkataan itu. Buru-buru Ho Put-ciang menampik, katanya.

   "Ku-lo Supek, Sutit kurang berpengalaman, kurang cocok memikul tanggung jawab yang berat ini."

   "Ho-tayhiap,"

   Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berkata.

   "Kau merupakan Tongcu yang mengurusi masalah luar dan dalam Bu-lim dewasa ini, setelah Oh-bengcu berpulang ke alam baka dan Bengcu baru belum terpilih, rasanya kecuali Ho-tayhiap yang cocok untuk jabatan ini, sulit buat kita mencari pengganti lainnya, buat apa Ho-tayhiap meski menampik?"

   "Dunia persilatan dewasa ini sedang terancam oleh suatu badai pembunuhan yang mengerikan,"

   Ujar Ho Put-ciang dengan suara dalam.

   "aku kuatir...."

   Ku-lo Hwesio tidak memberi kesempatan padanya melanjutkan perkataan itu, segera ia menukas.

   "Sudah dua puluh tahun Ho-hiantit mengikuti Oh-bengcu almarhum, bicara soal ilmu silat, kau telah mendapat seluruh warisan ilmu silat Oh Ciong-hu, selain itu kau jujur dan berbudi luhur, cocok untuk jabatan pemimpin dunia persilatan. Kau pun tak usah menampik lagi, bersiap-siaplah untuk menerima jabatan itu."

   Sebagai seorang yang berpengalaman, sudah tentu Ho Putciang dapat menangkap maksud yang lebih mendalam di balik perkataan Ku-lo Hwesio itu, terpaksa dia pun mengiakan.

   "Atas kepercayaan serta kasih sayang Cianpwe sekalian, aku orang she Ho mengucapkan banyak terima kasih, tapi selanjutnya aku masih membutuhkan banyak petunjuk serta nasehat dari para Loheng."

   Bong Thian-gak bersyukur dalam hati mendengar Toasuhengnya terpilih sebagai wakil Bengcu, ia cukup tahu kebijaksanaan dan kejujuran Toa-suhengnya, terutama soal ketenangan dan ketegasan menghadapi persoalan, ia memang berbakat menjadi seorang pemimpin dunia persilatan.

   Bicara soal ilmu silat, kepandaiannya pun tidak di bawah kemampuan Ciangbunjin partai mana pun, meski di hari-hari biasa Toa-suhengnya memang jarang bertanding melawan orang lain, namun menurut apa yang diketahuinya, tenaga dalam gurunya belum tentu lebih tinggi daripada kemampuan Toa-suhengnya ini.

   Oleh sebab itu Bong Thian-gak amat bersyukur karena dunia persilatan telah memperoleh seorang pemimpin yang jujur, bijaksana dan berwibawa.

   Tiba-tiba Ku-lo Hwesio bangkit seraya berkata.

   "Lolap rasa perundingan kita malam ini cukup sampai di sini saja, besok baru akan kuperiksa lagi jenazah Oh-bengcu."

   "Yu-sute!"

   Dengan cepat Ho Put-ciang ikut beranjak bangun.

   "cepat siapkan tempat penginapan buat Ku-lo Supek serta Ko-cuangsu. Malam ini telah merepotkan para pendekar sekalian."

   Sesudah hampir sebulan lamanya kawanan jago silat itu berdiam dalam gedung Bengcu, mereka kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

   Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui juga berangkat lebih dulu untuk mempersiapkan tempat pemondokan bagi Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak.

   Dengan demikian dalam ruang pertemuan tinggal Ku-lo Sinceng, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok berempat.

   Menanti semua orang berlalu, Ku-lo Hwesio baru berkata sambil menghela napas panjang.

   "Ho-hiantit, pihak musuh telah menyelundup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, apakah kau belum merasakan hal itu?"

   Diam-diam Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok merasa terperanjat, mata mereka serentak dialihkan ke wajah pendeta agung itu. Dengan sedih Ho Put-ciang manggut-manggut.

   "Ya, Sutit memang sudah merasa pihak lawan telah menyelundup ke dalam gedung ini, tapi Sutit tak mampu menyelidik siapa gerangan mereka."

   "Untuk sementara waktu, berita ini lebih baik kita simpan dulu rapat-rapat, jangan sampai diketahui anggota pengurus lain,"

   Ujar Ku-lo Hwesio dengan sinar mata berkilat.

   "Siapa tahu mata-mata yang dikirim pihak lawan justru berada di antara kawanan pendekar itu."

   "Entah bagaimana rencana Ku-lo Supek menyelidiki matamata ini?"

   Tanya Ho Put-ciang kemudian. Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat, mendadak dia berpaling ke arah Bong Thian-gak dan berkata.

   "Ko-sicu, Lolap mempunyai suatu permintaan, entah Sicu bersedia mengabulkan atau tidak?" "Aku merasa berhutang budi pada Oh-bengcu yang telah tiada, sekali pun harus terjun ke lautan api pun aku bersedia."

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Lolap ingin memohon kepada Sicu agar secara diam-diam melindungi Kongsun Phuki selama tujuh hari ini, mengawasi pula gerak-geriknya, entah tugas ini dapat kau laksanakan atau tidak?"

   "Aku siap melaksanakan tugas ini!"

   Sahut Bong Thian-gak dengan cepat.

   Setelah menyaksikan Ku-lo Hwesio begitu mempercayai Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok merasa lega juga, cuma mereka berdua kelewat menghormati Ku-lo Sinceng, sehingga tidak ada yang berani memberi komentar apa-apa.

   Kembali Ku-lo Hwesio berkata.

   "Kecuali Ko-sicu yang bertugas mengawasi gerak-gerik Kongsun Phu-ki secara diamdiam, Ho-hiantit, Yu-hiantit, serta Oh-titli juga harus meningkatkan kewaspadaan mengawasi gerak-gerik para pendekar secara diam-diam, terutama para pengawal dalam gedung. Jika dugaan Lolap tidak salah, di antara para pendekar sudah pasti terdapat mata-mata, kemudian oleh mata-mata ini berita itu disampaikan kepada musuh yang bertugas sebagai pengawal dalam gedung."

   Terhadap ketelitian dan keseksamaan Ku-lo Hwesio berpikir, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak, serta Oh Cian-giok merasa kagum sekali. Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.

   "Ku-lo Taysu, aku masih ada satu persoalan yang kurang jelas, mohon petunjuk."

   "Soal apa, Ko-sicu? Katakan terus terang."

   "Tadi Taysu menyinggung ilmu Jian-li-hui-im, masa di Bulim dewasa ini ada orang yang mampu melatih ilmu Khikang tingkat tinggi itu hingga mencapai tingkatan sempurna, sehingga dia sanggup mengirim suara ke telinga orang dari jarak ratusan kaki?"

   Agak terkejut juga Ku-lo Sinceng mendapat pertanyaan dari anak muda itu, pikirnya.

   "Tampaknya anak muda ini benarbenar memiliki ilmu silat yang luar biasa, kalau tidak, darimana dia bisa mengetahui rahasia ilmu Jian-li-hui-im?"

   Berpikir sampai di situ, ia lantas menjawab sambil tersenyum.

   "Pengetahuan Ko-sicu amat luas, tentunya kau tahu bukan tiada manusia di dunia ini yang sanggup melatih kepandaian sakti itu seperti apa yang didongengkan."

   Mendengar ucapan itu, seperti memahami sesuatu, Bong Thian-gak berkata.

   "Jadi Taysu sudah tahu yang dikirim lewat Jian-li-hui-im itu sesungguhnya berasal dari dalam ruang pertemuan?"

   Ku-lo Hwesio tersenyum.

   "Benar, pada saat itu juga Lolap sudah tahu! Tapi waktu itu, Lolap juga tak bisa menemukan suara itu berasal dari siapa. Agar mata-mata yang menyelundup masuk tidak menyadari, sengaja aku menggunakan cerita Jian-li-hui-im untuk mengaburkan suasana."

   Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok jadi bertambah bingung mendengar tanya jawab itu. Oh Cian-giok berkata.

   "Ku-lo Supek, sebenarnya ilmu Khikang macam apa Jian-li-hui-im itu?"

   Ku-lo Hwesio tertawa.

   "Jian-li-hui-im adalah sejenis ilmu Coan-im-ji-im atau Gi-hi-coan-im, hanya bedanya ilmu Coanim- ji-im dan Gi-hi-coan-im merupakan pancaran hawa Khikang yang memaksa nada suara seseorang berubah menjadi getaran gelombang yang bisa dikirim ke tempat tujuan dalam jarak puluhan kaki saja, kecuali orang yang bersangkutan, yang lain tidak dapat mendengar suara itu." "Sedang ilmu Jian-li-hui-im justru merupakan kebalikannya, pancaran gelombang suaranya tidak mengelompok ke satu tujuan saja, melainkan memancar kemana-mana dengan lebih mengutamakan getaran baliknya atau gaung suara pantulannya."

   "Seperti misalnya orang yang mengucapkan kata-kata makian tadi, sesungguhnya musuh yang memancarkan ilmu itu berada dalam ruang pertemuan juga, tapi berhubung suara itu dipancarkan dengan ilmu Jian-li-hui-im, akibatnya suara tadi menyebar dan memantul kembali setelah membentur langit-langit ruangan."

   Oh Cian-giok hanya bisa membelalakkan mata mendengar penjelasan itu, ia benar-benar merasa kaget bercampur keheranan. Mendadak sambil berpaling ke arah Bong Thian-gak, ia berkata.

   "Mengapa kau pun mengetahui rahasia itu?"

   Pertanyaan ini diucapkan dengan nada polos dan kekanakkanakan, membuat orang tidak bisa menampik pertanyaan itu. Bong Thian-gak merasa sangat geli, sahutnya.

   "Sebab aku sendiri pun memahami rahasia ilmu Jian-li-hui-im itu."

   "Jadi kau ... kau juga bisa ...."

   Bong Thian-gak seperti memahami apa yang dimaksudkan, dengan wajah bersungguh-sungguh katanya.

   "Tak usah kuatir nona Oh, aku adalah orang sendiri."

   "Ai, kalau memang begitu, apa sebabnya kau merahasiakan asal-usul perguruanmu?"

   Kata Oh Cian-giok sambil menghela napas sedih.

   "Ai, dalam hal ini aku harus minta maaf kepada kalian, sebab aku benar-benar punya kesulitan yang membuatku tak dapat menjelaskan asal-usul perguruanku."

   Ho Put-ciang kuatir desakan Oh Cian-giok akan menyinggung perasaan Bong Thian-gak, buru-buru teriaknya.

   "Sumoay, kau jangan memaksa orang mengutarakan persoalan yang jadi beban pikirannya, mungkin Ko-cuangsu benar-benar memiliki kesulitan yang tidak bisa diutarakan, padahal soal asal-usul bukan soal besar, asal saja hatinya bersih dan berpihak pada kita, dia tetap merupakan sahabat kita."

   Meskipun Oh Cian-giok tidak bertanya lagi, namun dalam hati berpikir juga.

   "Kecuali kau tak menggunakan jurus seranganmu, kalau tidak, suatu saat aku pasti dapat menduga asal-usul perguruanmu."

   Sementara itu Ho Put-ciang telah berkata kepada Ku-lo Hwesio.

   "Waktu sudah larut malam, Supek, Ko-cuangsu, silakan beristirahat."

   Selesai berkata Ho Put-ciang lantas membawa kedua orang tamunya meninggalkan gedung pertemuan.

   Gedung Bu-lim Bengcu memang besar, dengan bangunan yang berlapis-lapis, di situ terdapat beratus-ratus buah kamar yang berderet-deret, Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak mendapat sebuah kamar yang terletak di dekat gedung besar.

   Aneka warna bunga tumbuh di seputar halaman, di situ terlihat ada gunung-gunungan, air sungai, jembatan kayu, gardu serta dekorasi lain yang menawan hati.

   Di sisi sebelah timur dan barat menjulang bangunan berloteng, sedang di seputar loteng itu berderet puluhan halaman kecil.

   Rupanya halaman besar itu merupakan gedung penerima tamu yang khusus disiapkan untuk para jago persilatan yang datang dari jauh, hampir sebagian besar tamu yang hadir sekarang tinggal di sana, tapi setiap orang mendapat kamar tersendiri dan tidak bercampur dengan yang lain.

   Ku-lo Hwesio seorang diri tinggal di bangunan loteng sebelah timur, sedang Bong Thian-gak berada di bangunan loteng sebelah barat.

   Antara loteng sebelah timur dan sebelah Jbarat berjarak puluhan kaki, mungkin Ho Put-ciang memang sengaja mengatur demikian agar lebih mudah mengawasi gerak-gerik para jago lainnya, maka kedua orang itu dipisahkan ke dua loteng yang berbeda hingga wilayah pengawasan pun mencakup ke seluruh bagian.

   Angin dingin berhembus menggigilkan badan, saat itu kentongan keempat sudah lewat, udara benar-benar terasa amat dingin.

   Bong Thian-gak berdiri seorang diri di tepi pagar loteng sambil memandang ke seluruh bangunan Bu-lim Bengcu, terkenang kejadian masa lampau, tanpa terasa dia menghela napas panjang.

   Tujuh tahun berselang, sebelum dia diusir dari perguruan, sering dia berdiri seorang diri di loteng itu, seperti malam ini, dia menikmati keindahan malam dari tempat ketinggian.

   Tapi kini tujuh tahun kemudian, meski dia kembali ke sana, pemandangan masih seperti sedia kala, namun perasaan sudah jauh berbeda, jauh lebih berat dan masgul.

   Akhirnya Bong Thian-gak membalikkan tubuh, pelan-pelan balik ke kamarnya, membaringkan diri untuk tidur, namun bolak-balik kian-kemari, mata tak mau terpejam.

   Mendekati kentongan kelima dia baru tidur.

   Ketika mendusin keesokan harinya, matahari sudah jauh di angkasa.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan di atas ranjang tergeletak sebuah kartu merah.

   Dengan kening berkerut, pemuda itu segera bergumam.

   "Semalam Toa-suheng sendiri yang mengantarku naik loteng, seingatku di atas pembaringan tidak kuketemukan kartu merah seperti ini."

   Cepat disambarnya kartu merah itu, kemudian diperiksa.

   Bong Thian-gak segera tertegun, dia coba berpaling memeriksa sekeliling ruangan, pintu kamar masih tertutup rapat, tapi meja dan lantai sudah bersih, jelas sudah ada pelayan yang membersihkan kamar itu.

   Ketika kartu merah itu dibuka, tertulis di situ tiga huruf yang sangat besar, berbunyi.

   "PERINTAH MENGUSIR TAMU". Kemudian di bawahnya tercantum sederet tulisan yang berbunyi.

   "Diperingatkan kepada saudara agar meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu tak akan selamat sampai besok kentongan kelima". Bong Thian-gak tidak menyangka pihak musuh mencari gara-gara padanya, bahkan bersikap terang-terangan semacam ini. , Dilihat dari kemunculan kartu merah itu, dapatlah disimpulkan bukan saja pihak musuh telah menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, bahkan sempat berakar di situ, kalau tidak, mustahil mereka berani bersikap menantang seperti ini. Lama Bong Thian-gak termenung, akhirnya dia memutuskan untuk merahasiakan peristiwa kartu merah itu, pemuda yang keras kepala ini ingin tahu sampai dimana keberanian musuh menghadapinya. Mendadak dari luar ruangan berkumandang suara langkah kaki, buru-buru Bong Thian-gak menyembunyikan kartu merah itu ke dalam sakunya. Dari luar pintu segera terdengar seseorang menyapa dengan suara lembut.

   "Ko-siangkong, sudah bangunkah kau?"

   Pintu kamar dibuka, muncul seorang dayang berbaju hijau berusia lima-enam belas tahun.

   Bong Thian-gak segera mengamati wajah dayang itu dengan seksama, ia segera mengenalinya sebagai salah seorang di antara empat bocah perempuan yang khusus melayani kebutuhan Suhunya pada tujuh tahun lalu, bernama Siau Kiok.

   Kini ia telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik dengan tubuh ramping dan tinggi, berkulit putih bersih dan sangat menawan.

   Dayang berbaju hijau itu nampak agak terperanjat setelah mengetahui Bong Thian-gak sedang mengamatinya lekatlekat, buru-buru dia menegur.

   "Siangkong, ada apa?"

   "Ah, tidak apa-apa,"

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Oya, betul, siapa namamu?"

   Dayang itu tersenyum manis.

   "Aku bernama Siau Kiok, panggil saja namaku!"

   "Ehm, bagus sekali, aku akan memanggilmu Siau Kiok, kapan kau masuk kemari dan membersihkan ruangan ini?"

   "Kurang lebih dua jam berselang, aku lihat Siangkong masih tertidur nyenyak, maka tak berani kubangunkan dirimu."

   Siau Kiok seperti tidak merasa takut terhadap wajah Bong Thian-gak yang kuning penyakitan serta kakinya yang pincang itu, justru menaruh rasa iba dan kasihan. Bong Thian-gak termenung sesaat, lalu katanya.

   "Selanjutnya kau tidak usah membersihkan kamarku sepagi ini, sebab bagi kami yang biasa hidup malam, seringkali baru naik ke tempat tidur menjelang pagi."

   "Siangkong, aku telah menyiapkan air untukmu, silakan membersihkan muka dan kemudian bersantap."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Pelayananmu sangat teliti dan menyenangkan, entah bagaimana caraku menyatakan rasa terima kasih kepadamu."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendadak Siau Kiok mengedipkan sepasang matanya yang jeli dan memandang wajah Bong Thian-gak sekejap, kemudian katanya.

   "Siangkong, sebagai seorang jagoan berilmu tinggi, kau tidak nampak sombong, jumawa dan takabur seperti kebanyakan jago lain, sebaliknya sikapmu begitu merendah dan sopan, benar-benar seorang jagoan tulen."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Darimana kau tahu ilmu silatku sangat tinggi?"

   "Ruang khusus dalam gedung Bu-lim Bengcu ini hanya khusus disediakan untuk para jago persilatan yang berilmu tinggi, terutama bangunan loteng di sebelah timur dan barat, biasanya khusus disediakan bagi tamu agung."

   "Wah, kalau begitu kau pun khusus disediakan untuk melayani kebutuhan tamu agung?"

   Goda sang pemuda sambil tertawa. Siau Kiok menunduk kemalu-maluan, bisiknya sambil tertawa.

   "Ah, Siangkong pandai menggoda!"

   "Siau Kiok, kau pandai bersilat?"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya. Siau Kiok mengangguk.

   "Siocia pernah mengajarkan beberapa jurus silat kepadaku."

   "Bukankah kau melayani Oh-bengcu?"

   Bicara sampai di situ, pemuda itu baru sadar kalau sudah salah bicara. Ternyata Siau Kiok cukup cermat, dengan cepat dia balik bertanya.

   "Darimana Siangkong tahu aku adalah dayang yang khusus melayani Loya?" "Beberapa tahun berselang, ketika menyambangi Ohbengcu, aku seperti pernah melihat kau sebagai salah seorang di antara empat bocah perempuan yang melayani Oh-bengcu."

   "Siangkong memiliki ketajaman mata yang mengagumkan,"

   Puji Siau Kiok setelah mengamati wajah Bong Thian-gak beberapa saat lamanya.

   "Walaupun hanya bertemu sekilas, apalagi sudah lewat beberapa tahun, ternyata kau masih dapat mengingatnya dengan jelas, benar-benar luar biasa!"

   Bong Thian-gak kembali tertawa.

   "Ya, aku memang mempunyai kemampuan khusus untuk mengingat setiap wajah yang pernah kujumpai, apalagi terhadap raut wajah mungil, cantik dan menarik seperti kau, mana mungkin aku bisa melupakannya?"

   Diumpak seperti itu oleh Bong Thian-gak, Siau Kiok menjadi senang setengah mati, buru-buru dia berkata.

   "Ah, Siangkong memang pandai bergurau. Ketika berjumpa dengan Siangkong tadi, aku pun seperti merasa pernah berjumpa, namun tak bisa kuingat kembali dimanakah kita pernah bersua!"

   Setelah berhenti sejenak, dia baru berkata agak kaget.

   "Ah, aku mengajak Siangkong mengobrol terus, hampir saja lupa Siangkong belum sarapan!"

   Dengan cepat dayang itu mengundurkan diri dari ruangan. Memandang bayangan punggungnya lenyap di balik pintu, Bong Thian-gak kembali berpikir.

   "Heran, siapa sebenarnya yang mengantar kartu merah itu untukku? Mungkinkah Siau Kiok? Akan tetapi selain Siau Kiok, siapa lagi yang dapat memasuki loteng ini? Ah, buat apa mesti memikirkannya, malam ini aku memang hendak menanti kedatangan musuh? Kecuali dia tak datang, kalau tidak ... hm, jangan harap dia bisa lolos dari cengkeramanku!"

   Dengan perhitungan yang meyakinkan, Bong Thian-gak mulai mempersiapkan diri.

   Hari itu sepanjang waktu Bong Thian-gak mengurung diri dalam loteng itu, dia hanya mengawasi kamar tempat tinggal Kongsun Phu-ki lewat jendelanya.

   Hari itu tampaknya Kongsun Phu-ki juga seperti tak pernah pergi keluar, sedang para jago yang tinggal di kamar lain pun tak ada yang keluar.

   Bong Thian-gak dapat menyaksikan pula Toa-suhengnya, Ho Put-ciang dan Ji-suhengnya, Yu Heng-sui, mengunjungi Ku-lo Hwesio di loteng sebelah timur pada tengah hari, kemudian mereka baru berlalu menjelang sore.

   Penjagaan di sekitar gedung Bu-lim Bengcu pun tampak jauh lebih kendor, terutama di sekeliling ruangan itu, boleh dibilang tak nampak seorang pengawal pun.

   Matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang tiba, Bong Thian-gak berdiri di tepi pagar loteng sambil memandang sinar sang surya di kejauhan, mendadak ia teringat akan pesan yang ditulis dalam kartu merah tadi pagi.

   "Diperingatkan kepada saudara untuk meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu tak akan melewati kentongan kelima". Tanpa terasa Bong Thian-gak mulai meningkatkan kewaspadaan, dia berpikir.

   "Tak mungkin musuh menyerangku secara terang-terangan, besar kemungkinan mereka akan mencelakai diriku menggunakan segala tipu muslihat licik."

   Bong Thian-gak memerintahkan Siau Kiok agar mengundurkan diri sejak tadi, bahkan berpesan kepadanya agar balik lagi ke situ besok pagi.

   Biasanya para pelayan perempuan baru boleh meninggalkan tempat tugas masing-masing menjelang tengah malam.

   Langit semakin gelap, angin berhembus kencang, terasa makin dingin, akhirnya malam pun tiba.

   Bong Thian-gak memasang lentera, lalu turun dari loteng dan berjalan-jalan di halaman luar, tampaknya seperti mencari angin, padahal sedang mengawasi para jagoan.

   Mendadak ia menyaksikan Kongsun Phu-ki berjalan keluar dari kamarnya, dia mengenakan jubah berwarna putih yang masih baru, nampaknya seperti akan keluar rumah.

   Bong Thian-gak mendapat tugas mengawasi dan melindungi keselamatan Kongsun Phu-ki, karena itu dengan cepat ia melakukan penguntitan.

   Betul juga, Kongsun Phu-ki memang keluar rumah, dia langsung berjalan keluar dari pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu.

   Sudah cukup lama Bong Thian-gak tinggal di kota Kayhong, boleh dibilang jalanan di situ sangat dikenal olehnya, jalan besar lorong kecil tak sebuah pun yang tak dikenal, maka dalam penguntitan itu ia bertindak amat hati-hati.

   Ia cukup tahu Kongsun Phu-ki termasyhur karena kecerdasannya, itulah sebabnya ia harus bertindak cermat agar jejaknya tak ketahuan.

   Suasana di kota Kay-hong menjelang senja sangat ramai, banyak orang berlalu-lalang di jalanan.

   Tampaknya Kongsun Phu-ki seperti mempunyai tujuan tertentu, langkahnya tetap dan tak pernah berhenti, ternyata dia langsung menuju ke arah jalanan dimana terletak tempat hiburan malam.

   Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak berpikir.

   "Ah, masa tua bangka ini hendak berbuat iseng dengan perempuan penghibur."

   Ternyata jalanan itu panjangnya setengah li dan merupakan pusat hiburan malam kota Kay-hong, di sepanjang jalanan itu terdapat tiga puluhan rumah pelacuran.

   Bunyi musik, suara tertawa bergema dari sana sini, suasana benarbenar amat romantis.

   Sejak kecil sampai dewasa belum pernah Bong Thian-gak mengunjungi tempat hiburan semacam ini, tanpa terasa dia menjadi ragu dan kemudian berhenti.

   Saat itulah Kongsun Phu-ki telah melewati desakan orang banyak dan hampir lenyap dari pandangan matanya.

   Berada dalam keadaan demikian, terpaksa dia harus mengeraskan hati melanjutkan pengejarannya.

   Ucapan cabul, pelukan hangat membuat Bong Thian-gak benar-benar merasa amat rikuh, tapi akhirnya dia berhasil juga melalui rumah-rumah pelacuran kelas rendah itu dan sampai di depan sarang pelacuran kelas menengah.

   Bong Thian-gak segera berpikir kembali.

   "Tak nyana tua bangka itu pandai memilih, mau bermain iseng pun mencari yang kelas tinggi."

   Belum habis ingatan itu melintas, Kongsun Phu-ki telah berhenti di depan sebuah gedung pelacuran yang sangat besar.

   Bong Thian-gak segera bertindak cekatan, dengan cepat dia segera menyelinap ke samping dan menyembunyikan diri di balik kerumunan orang banyak.

   Benar saja, Kongsun Phu-ki segera celingukan memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru melangkah masuk ke dalam gedung pelacuran itu.

   Di bawah sinar lentera yang berwarna-warni, Bong Thiangak mengenali tempat itu sebagai rumah pelacuran "Kangsan- bi-jin-lau".

   Sebagai penduduk lama kota Kay-hong, tentu saja pemuda itu tahu bahwa rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau ini merupakan sarang pelacur terbesar di kota itu.

   Semua penghuni gedung itu selain berwajah cantik jelita, mereka pun pandai memetik harpa dan membawakan tarian serta nyanyian, bahkan ada pula yang pandai bersyair sehingga mutunya boleh dibilang terjamin.

   Bong Thian-gak tak berani memasuki gedung itu dan terpaksa dia menanti saja di luar, selain kuatir ketahuan jejaknya oleh Kongsun Phu-ki, dia pun merasa tidak tertarik dengan hiburan semacam itu.

   Di tengah alunan bunyi musik yang diselingi gelak tawa cekikikan, Bong Thian-gak merasa kehidupan semacam ini benar-benar memuakkan dan menjemukan.

   Malam semakin larut, tamu yang mengunjungi rumah pelacuran ini pun kian lama kian bertambah sedikit.

   Seorang demi seorang pencari hiburan pulang dalam keadaan mabuk dan berjalannya pun sempoyongan! Bong Thian-gak melototkan mata melakukan pengawasan, namun dari sekian banyak tamu yang beranjak pulang, hanya Kongsun Phu-ki seorang yang belum juga nampak batang hidungnya.

   Tanpa terasa pemuda itu menyumpah dalam hati.

   "Sialan betul si kunyuk tua itu, benar-benar tak tahu diri, sepagi itu dia masuk ke dalam, masa sampai sekarang belum juga keluar? Jangan-jangan ia sudah mampus dijepit paha perempuan."

   Sambil menggerutu Bong Thian-gak menunggu lagi beberapa jam, kini tengah malam sudah lewat.

   Tapi aneh, belum nampak juga Kongsun Phu-ki muncul dari gedung pelacuran itu.

   Biasanya gedung pelacuran akan ditutup selewatnya tengah malam, bila sesudah lewat tengah malam belum nampak, berarti dia memutuskan untuk menginap di sana.

   "Jangan-jangan kunyuk tua itu menginap di sini?"

   Bong Thian-gak berpikir.

   Dengan mata melotot dia mengawasi jalanan itu, tapi suasana sudah sepi, hanya tinggal dia seorang diri yang bersembunyi di sudut dinding sana.

   Suara musik sudah reda sedari tadi, lampu pun sudah banyak yang dipadamkan, akan tetapi bayangan tubuh Kongsun Phu-ki belum nampak juga.

   Tergerak hati Bong Thian-gak, segera pikirnya.

   "Aduh celaka! Jangan-jangan dia sudah tahu aku sedang menguntitnya, maka dia telah kabur sedari tadi?"

   Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera membalikkan badan siap berlalu dari situ. Namun baru beberapa langkah, dia berpikir kembali.

   "Tapi siapa tahu dia memutuskan untuk menginap di sini."

   Bong Thian-gak punya tugas melindungi keselamatan Kongsun Phu-ki, bila gagal menemukan keadaan yang sebenarnya, dia merasa tak lega.

   Akhirnya diputuskan untuk melakukan pemeriksaan seksama terhadap setiap ruangan dalam gedung pelacuran itu.

   Dengan gerakan cepat dia melompat naik ke tembok pekarangan, lalu melayang naik ke atas atap rumah, dengan Ginkang yang sempurna, Bong Thian-gak berkelebat secepat sambaran petir.

   Satu kamar demi saru kamar diperiksa oleh Bong Thian-gak dengan seksama, matanya yang tajam mengamati setiap wajah yang berada dalam kamar, namun kecuali sepasang laki perempuan yang sedang bermesraan atau bertempur sengit, tak nampak sesuatu yang lain.

   Yang lebih aneh lagi, dari tujuh belas kamar yang diperiksanya, dia hanya menemukan delapan pasang sejoli yang lagi berbuat mesum, namun dari sekian banyak orang, tak nampak Kongsun Phu-ki.

   Bong Thian-gak menarik napas panjang, pikirnya.

   "Sekarang tinggal gedung bertingkat itu saja yang belum kuperiksa, jika di sana pun tak ada, sudah pasti kongsun Phuki telah pergi karena mengetahui dirinya aku kuntit!"

   Berpikir sampai di situ, dia segera menggerakkan tubuhnya dan melompat ke arah bangunan loteng itu.

   Setitik cahaya lentera memancar keluar dari balik loteng itu, tanpa pikir panjang Bong Thian-gak segera melompat naik ke atas loteng.

   Kemudian daun jendela dibukanya pelan-pelan dan mengintip ke dalam ruangan.

   Hampir saja Bong Thian-gak menjerit kaget, jantungnya serasa mau melompat keluar dari rongga dada, ternyata dia menyaksikan suatu lukisan yang sangat indah.

   Bukan, bukan lukisan sungguhan, melainkan seorang yang masih hidup, tubuh indah yang mempesona hati, tubuh indah dalam keadaan bugil.

   Dari sekian banyak pemandangan seram yang diintipnya malam ini, tak satu pun di antara yang dapat mendebarkan hatinya.

   Tapi kali ini jantungnya berdebar keras, darah panas serasa mendidih dalam tubuhnya.

   Ternyata di dalam ruangan kecil di atas loteng terdapat sebuah lentera berwarna merah, sinar merah memancar ke sebuah pembaringan, di mana berbaring seorang perempuan cantik menawan, perempuan itu berbaring dalam keadaan telanjang bulat.

   Wajahnya cantik menarik bagai bidadari dari kahyangan, rambutnya yang hitam memanjang dan terurai di antara sepasang payudaranya yang montok, putih dan halus.

   Lekuk tubuhnya menawan, pinggangnya ramping, benar-benar perempuan bertubuh menarik.

   Karena perempuan sangat cantik ini, hampir saja Bong Thian-gak tidak percaya dengan apa yang dilihat, ia memejamkan mata tetapi kemudian membuka matanya kembali.

   Cantik, benar-benar cantik, makin dilihat makin indah, makin dipandang makin mendebarkan hati.

   Bong Thian-gak berusaha menenangkan hati, kemudian sambil menggeleng, pikirnya.

   "Tak nyana di rumah pelacuran ini ada juga seorang perempuan yang begitu cantik, ai ... sungguh sayang, sungguh sayang sekali...."

   Entah mengapa Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   Mendadak ia menyaksikan perempuan cantik yang sedang tidur itu membuka mata, kemudian terasa dua gulung cahaya mata yang amat tajam menggidikkan dialihkan ke arah matanya.

   Bagaimana pun juga Bong Thian-gak adalah lelaki sejati, ditatap seperti itu oleh seorang perempuan bugil, dia menjadi ketakutan setengah mati, dengan jurus ikan Lehi meletik ia berjumpalitan, lalu secepat kilat melejit pergi dan lari terbiritbirit meninggalkan sarang pelacuran itu.

   Tak selang beberapa saat kemudian, Bong Thian-gak sudah balik ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, namun jantungnya masih berdebar keras, dia menyesal dirinya telah mengintip perempuan telanjang.

   Pemuda itu tidak masuk melalui pintu gerbang, melainkan meluncur dari balik tembok pekarangan sebelah barat, dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, tanpa mengusik orang lain tahu-tahu ia sudah balik ke tempat tinggalnya.

   Bong Thian-gak berdiri sejenak di tengah halaman menenangkan hatinya yang bergolak, setelah agak tenang baru ia berpikir.

   "Coba kuintip, benarkah si kunyuk tua itu sudah kembali ke kamarnya?"

   Untuk membuktikan dugaannya, secara diam-diam Bong Thian-gak menyusup ke dalam kamar yang ditinggali Kongsun Phu-ki, lalu mengintip ke dalam lewat daun jendela.

   Apa yang dilihat? Ternyata Kongsun Phu-ki telah berbaring di atas ranjangnya, malah tertidur amat nyenyak.

   Bong Thian-gak menyumpah dalam hati.

   "Kunyuk tua, kau benar-benar sudah membuatku menderita, aku berdiri makan angin di situ, tak tahunya kau malah enak-enakan tidur di rumah."

   Sebaliknya Kongsun Phu-ki tanpa sepengetahuan dirinya telah membuktikan bahwa ia telah dikuntit Bong Thian-gak.

   Itulah sebabnya anak muda itu benar-benar merasa mendongkol.

   Dengan perasaan murung dan masgul ia balik ke kamarnya, tampak cahaya lampu masih menerangi kamarnya, maka dia melompat naik, memeriksa sekejap sekeliling situ, kemudian baru masuk ke dalam.

   Setelah memadamkan lentera, Bong Thian-gak membaringkan diri di atas ranjang, namun mata tak mau berpejam, rasa mendongkolnya membuat dia sukar tertidur, sampai lewat kentongan ketiga pikirannya baru pelan-pelan menjadi tenang kembali.

   Di depan matanya segera terbayang tubuh perempuan bugil yang baru saja dijumpainya itu.

   Mendadak tergerak hatinya, ia segera berpikir.

   "Tajam amat sepasang mata perempuan itu!"

   Kalau tadi ia tak begitu memperhatikan hal itu, tapi sekarang setelah dibayangkan kembali, tanpa terasa Bong Thian-gak berkerut kening, pikirnya lebih jauh.

   "Dia mempunyai sepasang mata yang tajam seperti sambaran kilat, tajam melebihi mata pedang, mustahil sorot mata biasa setajam itu, kalau begitu, sudah pasti dia pun seorang jago persilatan."

   Kejadian itu benar-benar aneh.

   Seorang perempuan cantik menarik yang berilmu tinggi ternyata membaurkan diri di sarang pelacuran.

   Kendati Bong Thian-gak telah memeras otak habis-habisan, belum juga menemukan alasan yang tepat untuk memecahkan teka-teki itu.

   "Bagaimana pun juga aku harus mengunjungi kembali rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau itu, akan kuselidiki peristiwa aneh ini sampai tuntas,"

   Demikian anak muda itu mengambil keputusan dalam hati, dengan begitu pikirannya yang bergolak pun menjadi reda kembali.

   Malam semakin larut, suasana amat hening, dalam suasana seperti inilah tiba-tiba terdengar langkah kaki yang sangat lirih berkumandang dari luar kamarnya.

   Bong Thian-gak terkesiap, dengan cepat ia teringat kembali akan kartu merah jambu itu! "Bagus sekali, ternyata kau benar-benar datang!"

   Tanpa berkutik Bong Thian-gak tetap berbaring di ranjangnya.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi secara diam-diam dia telah menghimpun tenaga dalamnya mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, hanya saja dia tak mau bergerak sebelum musuh bertindak lebih dulu.

   Suara langkah manusia itu berhenti tepat di depan kamarnya.

   "Mungkinkah dia membuka pintu dan bergerak masuk?"

   Belum habis ingatan itu berkelebat.

   "Krek", suara pintu didorong orang. Dengan ketajaman matanya yang mengagumkan, Bong Thian-gak dapat menyaksikan pantek kayu yang mengunci pintu kamar itu terdorong patah oleh tenaga orang yang dahsyat. Menyusul seseorang berbaju hitam menerjang secepat sambaran kilat, telapak tangannya tahu-tahu sudah diayun ke batok kepalanya. Sergapan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi peluang bagi lawan untuk mempersiapkan diri, banyak jago persilatan dan orang gagah yang ti'was oleh serangan kilat yang sama sekali tak terduga semacam ini. Apalagi pihak musuh menggunakan jurus pukulan yang paling keji, buas dan sakti, sekali pun di hadapannya berdiri seseorang yang lelah bersiap pun, belum tentu serangan itu dapat dibendung atau dihindari. Agaknya Bong Thian-gak cukup memahami kelihaian jurus serangan lawan, dia tidak mencoba berkelit ke samping, sebaliknya ilrngan kelima jari tangan kirinya yang dipentang lebar-lebar dia sambut lalangnya serangan itu.

   "Plak", terdengar benturan keras, penyergap mendengus tertahan dan sempoyongan, secara beruntun tubuhnya kena terdorong hingga mundur sejauh empat-lima langkah. Bong Thian-gak segera memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk melompat bangun dari pembaringan, kemudian diawasinya penyergap itu dengan sorot mata penuh kegusaran. Ternyata pihak lawan adalah seorang berbaju hitam bertubuh ramping, jelas seorang wanita, memakai secarik kain hitam untuk menutupi sebagian wajahnya. Tampaknya penyergap sama sekali tak menyangka sergapannya bakal mengalami kegagalan, dari balik matanya segera terpancar rasa kaget dan tertegun.

   "Siapa kau?"

   Bong Thian-gak segera membentak.

   "Lebih baik menyerah saja daripada mampus secara mengerikan!"

   Gadis penyergap itu berseru tertahan, kemudian untuk kedua kalinya dia menerjang ke muka dengan kecepatan luar biasa.

   Kali ini dia menyerang dengan sebilah pisau belati di tangan, serangannya buas dan nekat, membuat hati orang bergidik.

   Bong Thian-gak mendengus dingin, sepasang kakinya sedikit membengkok, lalu sepasang tangannya seperti cakar burung elang balas menyambar ke depan.

   Jeritan kaget terdengar, tubuh si gadis penyergap itu mengelak ke belakang bagai layang-layang putus benang, kemudian menggelinding keluar pintu.

   Bong Thian-gak tak tinggal diam, dengan lompatan lebar dia menyusul keluar.

   "Sreet", serentetan cahaya dingin menyambar. Bong Thian-gak bertindak sigap, dia miringkan tubuhnya sambil menyambar benda itu, tahu-tahu pisau belati tadi sudah berpindah ke tangannya. Gadis penyergap itu memang lihai, gerak-geriknya lincah dan cekatan. Di saat Bong Thian-gak merontokkan serangan pisau belati tadi, ia segera melompat ke depan, lalu melarikan diri turun ke bawah loteng. Bong Thian-gak membentak gusar menyaksikan musuh hendak kabur, tangannya cepat diayun ke depan, pisau belati yang berhasil disambarnya tadi tahu-tahu sudah disambitkan balik ke tubuh lawan. Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, tampak cahaya tajam berkilau, tahu-tahu gadis penyergap itu menjerit kesakitan. Pisau belati itu menancap telak di bahu kirinya, darah segera berhamburan kemana-mana, setelah sempoyongan sesaat, ia melarikan diri dari situ. Bong Thian-gak mengejar secepat angin puyuh, tapi si gadis penyergap sudah kabur sejauh tujuh-delapan depa. Terkejut juga Bong Thian-gak menyaksikan pihak musuh masih sanggup melarikan diri kendatipun tubuhnya sudah terluka parah, kuatir musuh keburu kabur, cepat dia melompati atap rumah dan berniat menghadang jalan perginya dengan cepat. Siapa tahu baru saja Bong Thian-gak melompati dua buah rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berbelok ke samping dan menyusup ke dalam bangunan rendah di sisi loteng, langsung kabur menuju ke halaman belakang. Dengan begitu selisih kedua belah pihak menjadi semakin lebar. Bong Thian-gak segera menjejakkan kaki ke tanah, seperti burung bangau raksasa dia melambung ke angkasa dan mengejar dari belakang. Kejar-kejaran segera berlangsung sengit, setelah melalui tiga halaman rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berada tiga depa saja di hadapannya, tapi pagar pekarangan menuju ke tempat tinggal kaum wanita dalam Bu-lim Bengcu pun tinggal beberapa depa lagi. Bong Thian-gak mengerti, seandainya gadis itu berhasil kabur ke gedung sebelah dalam, pasti dia akan menjumpai banyak kesulitan, buru-buru dia melepaskan sebuah pukulan yang amat lihai. Angin pukulan yang menderu-deru seperti amukan ombak di tengah samudra, dengan cepat melesat ke depan. Gadis berbaju hitam itu mendengus tertahan, tubuhnya mencelat ke udara, lalu terbanting keras ke atas tanah. Tubuhnya terkapar lemas di atas tanah, setelah berkelejetan beberapa kali, akhirnya sama sekali tak berkutik lagi. Bong Thian-gak menyusul datang dari belakang, buru-buru dia membungkukkan badan memegang nadi pergelangan tangan lawan, namun pemuda itu segera tertegun, ternyata denyutan nadi lawan sudah berhenti, musuh tewas dalam keadaan mengerikan. Menghadapi keadaan itu, Bong Thian-gak menghela napas sedih, serunya sambil mendepak-depakkan kakinya berulang kali.

   "Ai, dengan susah payah aku berhasil mengungkap titik terang ini, siapa tahu ia justru sudah mampus!"

   Baru saja dia bergumam, segulung angin berhembus, lalu terdengar seorang berkata.

   "Omitohud, ilmu pukulan Ko-sicu benar-benar kuat, tajam dan berdaya kemampuan menghancurkan bebatuan cadas, kini isi perut musuh sudah hancur, nadinya sudah putus, mana mungkin hidup lebih jauh?"

   Bong Thian-gak berpaling ke tengah-tengah kegelapan malam, tampak Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si sudah berdiri tegak di situ.

   Menyusul kemudian bayangan orang berkelebat berulang kali, secara beruntun jago-jago lainnya bermunculan pula di sana.

   Yu Heng-sui dan Ho Put-ciang juga hampir bersamaan waktunya muncul di tempat kejadian.

   Memperhatikan jenazah yang membujur di sana, Ho Putciang berkata dengan wajah serius.

   "Ji-sute, coba kau lepaskan kain kerudung hitamnya!"

   Sementara itu paras muka para jago pun berubah menjadi amat serius, berpuluh pasang mata bersama-sama dialihkan ke wajah jenazah itu.

   Pelan-pelan Yu Heng-sui merobek kain kerudung mukanya, dengan cepat muncul seraut wajah yang mengerikan, dari tujuh lubang indranya darah kental masih mengucur hingga muka jenazah itu penuh berlepotan darah.

   Tapi bagi Yu Heng-sui maupun Ho Put-ciang, raut wajah itu tak asing lagi bagi mereka, mereka cukup tahu siapa gerangan perempuan penyergap itu.

   Kontan saja paras muka kedua orang itu berubah hebat, jelas perempuan itu pun anggota gedung Bu-lim Bengcu.

   Bong Thian-gak tidak kenal perempuan itu, mungkin orang itu baru masuk ke gedung Bu-lim Bengcu setelah ia meninggalkan tempat itu, kalau dilihat dari raut wajahnya, gadis itu kira-kira baru berusia dua puluhan tahun, mungkin dayang atau pelayan.

   Cepat Ho Put-ciang memerintahkan kepada adik seperguruannya.

   "Yu-sute, cepat gotong pergi jenazah ini dan bersihkan lantai dari noda darah, jangan mengganggu ketenangan tidur orang lain."

   Kemudian sambil menjura kepada para jago, orang she Ho itu berkata lebih jauh.

   "Toa-heng sekalian, asal-usul pembunuh itu baru akan kuumumkan besok pagi, bagaimana kalau sekarang dipersilakan kembali ke kamar masingmasing?"

   Berhubung para pendekar tidak mengenali siapakah perempuan yang tewas itu, tentu saja tak seorang pun di antaranya yang bersuara, ditinjau dari paras muka Ho Putciang, dapat diduga orang itu adalah salah seorang anggota gedung Bu-lim Bengcu.

   Waktu itu malam masih kelam, terpaksa semua orang balik ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

   Menanti semua jago telah berlalu, Bong Thian-gak baru berkata tertahan dalam hati, dia seperti menemukan sesuatu yang tidak beres.

   Ternyata di antara para jago yang bermunculan, ia tidak nampak kemunculan Kongsun Phu-ki si kunyuk tua itu.

   Ho Put-ciang memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya sambil tertawa getir.

   "Harap Ko-cuangsu sudi memaafkan, ternyata pihak musuh benar-benar telah menyusup ke setiap bagian gedung Bu-lim Bengcu ini, perempuan tadi adalah salah seorang dayang Subo kami."

   Mendengar nama 'Subo' disinggung, hati Bong Thian-gak bergetar keras, bagaikan dihantam martil berat, sekujur tubuhnya gemetar keras.

   "Omitohud!"

   Ku-lo Hwesio berkata.

   "Ho-hiantit mungkin masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, untuk sementara waktu Lolap kembali dulu."

   Selesai berkata, pendeta itu segera berlalu lebih dulu.

   Bong Thian-gak tahu Toa-suhengnya bakal menjumpai banyak kesulitan dalam melakukan penyelidikan, agar tidak menyusahkannya, maka dia pun segera mohon diri pula.

   Kembali ke kamar, ia tidur di pembaringan sambil membayangkan peristiwa yang baru saja lewat, diam-diam ia merasa menyesal karena lurun tangan kelewat berat.

   Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak bergumam.

   "Konon pembunuh itu adalah salah seorang dayang Subo, mungkinkah Subo masih seperti tujuh tahun berselang, hatinya belum puas sebelum pembunuh yang dikirimnya berhasil membunuh diriku?"

   Saat itulah dalam benak Bong Thian-gak melintas peristiwa yang berlangsung tujuh tahun lalu, peristiwa tragis yang sangat memalukan.

   Peristiwa itu terjadi pada suatu malam di musim panas, waktu itu dia bersama Sam-suhengnya Siau Cu-beng sedang dalam perjalanan pulang setelah menjemput Subonya di kota Ci Kang.

   Malam itu berhubung mereka tersesat di atas bukit hingga kemalaman, maka terpaksa harus bermalam di tengah gunung.

   Udara pada malam itu panas sekali, karena tak tahan, maka di tengah malam buta secara diam-diam dia pergi ke sungai untuk menyegarkan badan, tetapi ketika selesai mandi dan kembali ke tempat semula, dia tidak menemukan Subo dan Sam-suhengnya.

   Maka dengan gelisah, ia melakukan pencarian di sekeliling tempat itu dan akhirnya di dalam sebuah hutan kecil, ia saksikan suatu adegan yang menyeramkan, tapi juga amat memalukan.

   Di atas tanah berumput di bawah sinar rembulan, tampak sepasang laki perempuan sedang saling berpelukan dalam keadaan telanjang bulat, waktu itu mereka sedang bersenangsenang menikmati surga dunia, berbuai mesum seperti apa yang sering dilakukan antara suami istri.

   Yang memegang peranan sebagai sang suami ternyata Sam-suhengnya Siau Cu-beng, sedangkan yang memegang peranan istri tak lain adalah ibu gurunya sendiri.

   Kontan saja hawa amarah menggelora di dalam dadanya, dengan geram ia keluar dari tempat persembunyian dan mengagetkan sepasang sejoli yang sedang berbuat mesum.

   Beberapa saat kemudian, Sam-suhengnya Siau Cu-beng telah selesai berpakaian dan pelan-pelan berjalan keluar dari hutan dengan senyum menyeringai menghias wajahnya, lalu disusul ibu gurunya.

   Dilihat dari paras muka Siau Cu-beng dan ibu gurunya, dapat diketahui mereka hendak membunuh orang untuk melenyapkan saksi.

   Kemarahan dan kesedihan yang melampaui batas membuat ia menerjang Siau Cu-beng seperti binatang buas, ia bertekad hendak melenyapkan pengkhianat itu dari muka bumi dan membersihkan nama gurunya yang ternoda.

   Pertempuran sengit tak bisa dihindari lagi, seorang diri dia harus bertarung menghadapi kerubutan Siau Cu-beng dan ibu gurunya.

   Entah siapa yang membantunya, dalam pertarungan itu makin bertarung ia nampak makin gagah ...

   akhirnya dalam suatu kesempatan dia berhasil menghajar Siau Cu-beng hingga terjatuh ke dalam jurang.

   


Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Anak Rajawali -- Chin Yung Hong Lui Bun -- Khu Lung

Cari Blog Ini